Dewi Tombak Karya Unknown Bagian 2
berkata, "Nona, dijaman ini orang lebih memandang hina kepada orang miskin daripada kaum
pelacur. Maafkanlah omonganku yang tak layak didengar orang ini. Orang-orang perempuan
secantik kalian berdua saudara jika sudi berdiam di tempat kediamanku, niscaya akan mendapat
banyak langganan yang kaya raya yang membuang uangnya bagaikan orang membuang sampah.
Minta sepuluh dapat sepuluh, minta seribu dapat seribu. Dengan demikian, sudah barang teniu
kalian takkan putus-putusnya memperoleh uang dan perhiasan untuk menutup segala
kekuranganmu."
Su Nio yang mendengar omongan itu, sama-sekali tak menjawab "ya" atau "tidak", meski di
dalam hati ia merasa sangat tidak mupakat dengan filsafah si mucikari itu. Tapi Siauw Giok yang
semula berpura-pura tidur, kini menjadi meluap amarahnya dan segera mendamprat, "Enyahlah!
Kami berdua adalah orang-orang perempuan terhormat dan bukan sundel keleleran! Kami rela
mati kelaparan daripada menodai nama baik para leluhur kami!'
Lauw Heng-siu yang didamprat oleh nona Siauw Giok wajahnya jadi merah bagaikan kepiting
rebus, tapi Su Nio lekas-lekas mengajaknya keluar sambil berkata, "Aku harap supaya Lauw
Heng-siu jangan menjadi gusar. Adikku ini yang masih bersifat kekanak-kanakan, hanya pandai
mendamprat orang dengan membuta tuli, tanpa mengetahui duduknya persoalan secara
kenyataan,"
Oleh karena mendengar alasan yang diajukan oleh nona Su Nio, maka si mucikari pun jadi
tersenyum dan berkata, "Tidak usah engkau khawatir. Aku selanjutnya takkan berurusan pula
dengan bocah itu. Tapi mengenai saranku tadi boleh juga engkau coba timbang dengan secara
teliti. Jika sekiranya ada kecocokan, engkau boleh datang ke tempat kediamanku. Aku pasti akan
menerima kedatanganmu dengan tangan terbuka."
Nona Su Nio meski tidak berniat akan mengabulkan permintaan orang, tapi dilahir ia sengaja
mengatakan akan pikir-pikir dahulu mengenai hal tersebut, agar tidak membuat rasa tidak
senangnya induk semang para pelacur itu.
Tapi begitu Lauw Heng-siu berlalu. Su Nio telah mendapatkan tubuh Siauw Giok terasa dingin
bagaikan es. Hal mana, sudah barang tentu telah membuat hati si nona bingung bukan buatan.
Lekas-lekas ia pergi menjumpai pemilik rumah penginapan itu untuk minta tolong dipanggilkan
tabib, tapi pemilik rumah penginapan itu telah menggelengkan kepalanya sambil berkata, "Tabib
takkan mau dipanggil jika tidak dibayar tunai!"
Dalam keadaan putus asa Su Nio jadi berbalik mendongkol dari lalu berkata, "Lauw Heng-siu
baru saja mengatakan kepadaku, bahwa jika aku perlu uang atau keperluan sesuatu, boleh segera
menyuruh orang untuk meminta itu kepadanya. Ia bersedia memberikan berapa saja yang aku
butuhkan. Apakah pesan itu masih juga kau anggap sepi?"Si pemilik rumah penginapan yang melihat Su Nio kini telah mempunyai penjamin yang tebal,
sudah barang tentu tak berayal lagi untuk memanggil tabib dan menyediakan uang untuk membeli
obat-obat yang dibutuhkan oleh nona Siauw Giok.
Oleh sebab itu, petang hari itu Siauw Giok telah dapat tidur nyenyak setelah diberi minum satu
resep obat godokan. Kemudian tanpa banyak pikir lagi dan tidak menghiraukan apa yang kelak
akan terjadi, nona Su Nio terpaksa menebalkan muka dan segera pergi mengunjungi Lauw Hengsiu untuk membicarakan "usul" yang telah diajukan oleh pihak mucikari itu.
Sesampainya di rumah Lauw Heng-siu, Yo Su Nio baru ketahui, bahwa rumah tinggal mucikari
itu sangat mentereng dan mewah, sehingga tidak bersalahan jika dikatakan bahwa itu hampir
mirip dengan sebuan istana raja muda. Keadaan di dalamnya tidak begitu diperhatikan oleh Su
Nio yang pikirannya sedang kusut, kecuali di sana dilihatnya ada 5 atau 6 orang perempuan muda
yang sedang melayani para tamu yang berkumpul makan minum di situ dengan amat asyiknya.
Pada waktu Su Nio tiba di muka pintu gedung itu, salah seorang pelayan yang justeru lewat di
situ telah menghampirinya dan bertanya, "Siapa yang hendak dijumpai nona itu. Dan tatkala
diberitahukannya tentang maksud kedatangannya, si pelayan segera melaporkan kepada induk
semangnya, yang tak lama kemudian telah muncul dengan paras muka yang berseri-seri dan
menjabat tangan Su Nio sambil berkata, "Aiii, angin dari mana ini yang telah meniup nona datang
kesini?"
Su Nio tersenyum dan kemudian diajaknya masuk ke dalam sambil digandeng tangannya.
Para pelacur lain yang menjadi penghuni gedung indah itu, keruan saja jadi pada keluar
memandangi Su Nio yang digandeng tangannya oleh Lauw Heng-siu memasuki ruangan yang
mewah itu sambil berbisik-bisik dan sekali-sekali menudingkan telunjuk mereka ke arah nona she
Yo itu.
"Mereka semua kurang mengerti adat kesopanan," kata mucikari itu kepada si nona, "Hingga
untuk itu aku banyak harap supaya nona sudi memaafkannya."
Tapi Su Nio hanya mengganda tersenyum dan menganggap sepi pemanis bibir mucikari she Lauw
itu. Setelah beraaa di dalam rumah dan dipersilakan duduk, sambil menundukkan kepalanya nona
Su Nio lalu menerangkan tentang maksud kedatangannya ke situ.
"Kali ini karena keadaan yang sangat memaksa untuk menolong adik perempuanku yang sedang
sakit," katanya dengan suara perlahan, "Maka aku telah mengambil keputusan untuk
mengabulkan ajakanmu itu. Tapi dalam pelaksanaan tugasku itu aku hendak niengajukan syarat,
menjual suara dan kepandaian silat, tapi tidak bersedia menjual diri. Tiga hari kemudian setelah
aku dapat mengumpul uang cukup, aku takkan datang pula ke tempat kediamanmu ini."
Lauw Heng-siu jadi sangat girang mendengar omongan nona she Yo itu.
"Syaratmu itu, dapat kuterima dengan baik, nona," katanya sambil tersenyum, "Karena aku
paham bahwa selama tiga hari itu, engkau pasti akan memperoleh banyak uang untuk merawat
penyakit adik perempuanmu serta membantu seluruh kebutuhan hidupmu berdua saudara. Tapi
karena engkau bukan tergolong sebagai seorang pelacur maka akan kuakui dirimu sebagaikemanakan perempuanku dan mengaku she Lauw jika nanti ada tamu yang menanyakan nama
keluargamu."
Dengan demikian, bereslah syarat yang diajukan nona itu dan Su Nio diijinkan memakai sebuah
kamar untuk menyambut tamu yang dihiaskan dengan kursi, meja dan pelbagai macam perabotan
rumah tangga yang sangat mewah dan mahal, hingga kamar itn hampir menyamai kamar-kamar
yang biasa dipergunakan oleh raja-raja muda atau para jutawan dimasa itu.
Diluar pengetahuan Siauw Giok yang masih menderita sakit, Su Nio dengan diam-diam kerap
meladeni para tamu makan minum, bernyanyi atau menari untuk menghibur hati mereka tapi
sama sekali menolak keras untuk melakukan pekerjaan sesuatu yang melanggar susila.
Bagaikan guntur yang berbunyi di siang hari, dengan sekejap saja nama biduanita dan penari
Lauw Su Nio menjadi tersohor di seluruh kota Soan-hoa-tien.
Pada suatu hari Lauw Heng-siu telah minta nona Su Nio untuk melayani makan minum seorang
pemuda tampan yang kaya raya dan telah lama menjadi langganan mucikari itu. Tapi berbeda
daripada para tamu lain yang terdiri dalam rombongan kali ini nona itu diminta untuk melayani
tamu itu dengan satu sama satu hal mana, sudah barang tentu, telah membuat bati Su Nio jadi
kebat-kebit dan agak ragu-ragu untuk mengabulkan permintaan itu. Tapi karena mengingat akan
syarat-syarat yang telah diajukan semula, maka tak lupa ia telah mengulangi syarat-syarat tersebut
di hadapan Lauw Heng-siu, pada sebelum ia menginjakkan kakinya ke ruangan tamu, itu. Dan
tatkala si mucikari berjanji dan mengatakan telah menyampaikan juga syarat-syarat itu kepada
temunya ini, barulah Su Nio memberanikan hati berjalan masuk ke dalam ruangan tamu itu
sambil menundukkan kepalanya karena jengah.
Tapi begilu ia menindakkan kakinya ke ambang pintu, tiba-tiba hatinya jadi semakin berdebardebar dan lalu merandek di situ dengan wajah yang dirasakan semakin panas, ia berniat hendak
mundur, tapi Lauw Heng-siu lalu mendorong tubuhnya dari belakang dengan pelahan sambil
berkata, "Orang muda ini bernama Lauw Yu, salah seorang sanak saudaraku sendiri. Dia ini
seorang jutawan yang berniaga garam. Hari ini karena mendengar orang bercerita tentang
kecantikan dan kepandaianmu dalam hal bernyanyi dan menari, maka dengan mengeluarkan
banyak uang ia telah minta aku untuk menyampaikan undangan kepadamu, agar engkau sudi
melayaninya makan-minum."
Oleh karena itu, apa boleh buat Su Nio terpaksa menebalkan muka maju memberi hormat kepada
tamu itu, dengan di dalam hati merasa sangat menyesal dan menganggap bahwa berkeliaran di
luaran sebagai seorang perampok malah lebih baik daripada menjadi seorang perempuan yang
berlindung dalam sebuah rumah pelacuran! Tapi nasib yang malang telah memaksa ia sampai ke
situ, walaupun dia sama-sekali tidak pernah bermimpi akan datang ke situ, jika tidak karena
Siauw Giok menderita sakit dan sangat perlu untuk ditolong selekas mungkin.
"Kemanakanku ini baru saja pernah datang kesini," Lauw Heng-siu memperkenalkan si nona
kepada tamunya itu. "Maka kalau pelayanannya masih kurang memuaskan, banyak harap supaya
Kong-cu sudi memaafkannya. Kini arak dan hidangan telah siap untuk dibawa datang, sedang
para pemain tetabuhan wanita telah disewa untuk mengiringi nyanyian dan tari-tarian
kemanakanku yang bernama Su Nio itu."
Lauw Yu manggut-manggut sambil tersenyum, menandakan puas dapat bertemu muka dengan
nona Su Nio yang sesungguhnya berwajah amat cantik ituSetelah saling berkenalan sejenak dan menyaksikan tingkah laku pemuda she Lauw itu yang sopan
santun, diam-diam Su Nio jadi merasa lega juga di dalam hatinya. Lebih-lebih ketika mengetahui
bahwa Lauw Yu itu tidak pandai ilmu silat. Maka kalau seumpama ia berani berlaku kurang ajar,
dengan mudah saja ia akan dapat mengalahkannya.
Maka sesudah bercakap-cakap dan minum beberapa cawan arak, Lauw Yu membisikkan beberapa
patah kata di telinga Lauw Heng-siu, yang lalu manggut-manggut dan berkata, "Ya, ya. Sudah
tentu boleh sekali."
Kemudian ia menoleh kepada nona Su Nio sambil berkata, "Jika Hian-tit-lie tidak berkeberatan.
Lauw Kong-cu akan merasa girang sekali jika engkau sudi menarikan tarian Hong-lay-tiauw
(burung dewata datang menghadap) dengan iringan tetabuhan para pemusik wanita yang telah
kami undang di sini."
Yo Su Nio mengangguk dengan wajah memerah karena jengah. Maka setelah para pemusik
selesai memainkan lagu pembukaannya, Su Nio lalu mulai menarikan tarian tersebut dengan
gerak-gerik yang lemah gemulai, sehingga Lauw Yu tak sudah-sudahnya memuji sambil menepuk
tangan menyatakan kekagumannya.
Sementara Lauw Heng-siu yang turut menyaksikan tarian itu, iapun jadi sangat memuji dan
merasa puas dengan layanan yang telah diunjuk oleh nona she Yo itu. Karena di samping tamunya
itu pasti akan merasa senang hati, diapun dapat membayangkan sendiri berapa banyak persenan
yang ia akan diperoleh dari pemberian pemuda jutawan itu.
Tapi sungguh amat tidak dinyana, selagi tarian Su Nio masih berlangsung, tiba-tiba dari luar
ruangan tamu itu telah menerobos masuk beberapa orang tamu yang masuk dan segera membikin
ribut sambil memaki-maki dan berseru, "Lauw Heng-siu, sejak hari kemarin telah kami
mendengar, orang cerita bahwa dalam rumah pelacuranmu ini telah bertambah dengan seorang
nona yang baru dan berwajah sangat cantik, tepi bukannya dengan menyuruh dia datang
melayani kami sekalian, tapi sebaliknya telah memberikan kesempatan akan dia dimonopoli oleh
pemuda sialan ini! Apakah engkau menganggap bahwa kami sekalian ada tukang-tukang sikut
yang kerap keluar masuk di sini tanpa membayar apa-apa?"
Lauw Heng-siu yang sudah berpengalaman dan bukan sekali ini saja mengalami kejadian serupa
ini, dengan wajah yang tenang dan berseri-seri lalu memberi hormat kepada mereka sekalian
sambil berkata, "Tuan-tuan, harap kalian jangan menjadi gusar dahulu. Nona Lauw ini adalah
kemanakanku sendiri dan sama sekali bukan seorang bunga raya. Kini atas undangan Lauw Kongcu, ia di sini tengah berlatih tari-tarian yang hanya disaksikan oleh kami serumah tangga. Jika
nanti ia sudah mahir betul dalam tariannya itu, niscaya sekali-kali ia akan menari juga untuk
menghibur tuan-tuan sekalian. Oleh sebab itu aku banyak harap supaya sudilah kiranya tuan-tuan
sekalian bersabar dan memaafkannya, jika pada kali ini ia mengadakan tari-tarian ini dengan
secara tertutup ............"
"Kentut!" teriak salah seorang antara 7 atau 8 orang tamu yang telah kalap karena pengaruh
minuman keras itu. "Jika dia membayar dengan perak atau emas, apakah engkau anggap kami
sekalian pelesir di sini dengan pembayaran batu atau pasir, sehingga kami sekalian di anak-tirikan
begini rupa? Sekarang kami hendak mengajak nona ini untuk melayani makan-minum dan pelesir
dengan kami sekalian!"Sambil berkata demikian, salah seorang antara 7 atau 8 orang tamu itu lalu hendak menarik tangan
nona Su Nio untuk diajak pergi dari situ, tapi Lauw Yu segera merintanginya sambil membentak,
"Nanti dulu!"
"Engkau ini siapa? sehingga bernyali begitu besar berani merintangi kehendak tuan besarmu?"
kata orang itu pula sambil memukul muka si pemuda she Lauw, sehinga Lauw Yu yang tak
mengerti ilmu silat terpaksa berlompat mundur untuk mengelakkan pukulan orang itu.
Sementara bujang Lauw Yu yang merasa khawatir induk semangnya dilukai orang dan datang
juga ke situ untuk menolongnya, lalu dibarengi dengan satu jotosan, hingga ia terpaksa berlompat
ke samping untuk menghindarkan pukulan tersebut. Karena selain tak mengerti ilmu silat, diapun
agak seram berhadapan dengan beberapa orang tamu yang sedang kalap itu.
"Ayoh, nona manis, marilah engkau turut dengan kami sekalian!" kata tamu yang barusan hendak
memukul Lauw Yu dan anak semangnya sambil tertawa terbahak-bahak.
Tapi orang itu ternyata telah salah hitung dan menganggap nona Su Nio sama saja tidak berbeda
dengan para pelacur lain yang mereka pernah ketahui. Maka begitu orang itu mengulurkan
tangannya hendak meraba tubuh si nona dengan lantas Su Nio mempergunakan siasat Sun-hongla-jiu tauw dengan menuruti angin menarik perahu mencekal tangan orang laki-laki yang mabuk
itu yang kemudian lalu ditariknya dengan secara keras sehingga ia nyelonong ke ubin bagaikan
sebuah kundur yang gugur dari tangkainya.
Gedebuk! "Aduh!" menjerit orang itu karena kesakitan. Sedang kawan-kawannya yang lainnya
lalu terdengar berteriak, "Hai, begitu berani Lauw Heng-siu memukul orang? Ayoh, saudarasaudara, jangan biarkan dia berlaku begitu keras terhadap para tamu yang terhormat!"
Begitulah para tamu yang masuk maju dengan serentak untuk mengepung kepada Yo Su Nio,
sehingga nona itu terpaksa harus memberikan perlawanan dengan tidak kepalang tanggung.
Seorang demi seorang telah dirobohkan oleh si nona dengan pukulan atau tendangan, sehingga
dalam waktu sekejapan saja 7 aiau 8 orang tamu yang mabuk dan bikin ribut itu telah dibikin lari
pontang-panting sambil berteriak-teriak, "Lauw Heng-siu memukul orang! Lauw Heng-siu
memukul orang!"
Dengan ini, maka jelaskan sudah bahwa kata-kata Heng-siu itu di Shaotang dapat diartikan orang
sama dengan mucikari atau pelacur.
Lauw Yu yang baru mendusin bahwa Yo Su Nio itu bukan seorang perempuan sembarangan,
lekas-lekas maju memberi hormat sambil berkata, "Nona, ternyata engkau ini ada seorang
perempuan gagah yang telah keliru atau terpaksa dengan keadaan sukar masuk ke rumah
pelacuran di sini! Oleh sebab itu, sudikah kiranya nona memaafkan kepadaku, jika aku telah
berbuat atau mengucap kata-kata sesuatu yang kurang sopan atau menyinggung perasaan
halusmu. Tapi amat disayangkan bahwa aku telah beristeri, kalau tidak, sudah pasti aku akan
melamar dirimu sebagai isteriku. Kini karena sudah telanjur dengan terjadinya peristiwa ini,
sehingga kita telah dapat saling berkenalan, maka timbullah pikiran dalam hatiku untuk
mengangkat dirimu sebagai adik perempuanku. Tapi belum tahu bagaimana pendapatmu?"
Su Nio berdiam sejenak. Tapi semangatnya yang agung membuat ia timbul perasaan yang tak
ingin hidup atas belas kasihan orcng lain, maka dengan suara mantap ia menjawab, "Aku iniadalah seorang perempuan yang telah dilahirkan diantara keluarga miskin. Oleh sebab itu, maka
tak mungkin Kong-cu bersanak saudara dengan seorang perempuan sebagai diriku ini."
Tapi Lauw Yu segera bangkit dari tempat duduknya dan memberi hormat kepada nona Su Nio
sambil berkata, "Tak perduli apakah adik sudi menerima diriku sebagai saudara atau tidak, aku
tetap akan mengakui dirimu sebagai saudara perempuanku yang lebih muda."
Su Nio jadi gugup dan lekas-lekas membalas penghormatan itu sambil berkata, "Kong-cu, aku
sesungguhnya tak dapat menerima pengakuanmu itu! Aku terlampau rendah dan tidak tepat
menjadi saudara perempuanmu!"
Tapi, tanpa menghiraukan omongan nona itu, Lauw Yu lalu berkata pula, "Aku mesti mengajak
adik pulang untuk menjumpai adik kandung perempuanku yang lainnya di rumahku. Mari, dik.
Segeralah engkau mengikut kepadaku, dan janganlah menolak."DEWI TOMBAK
HOA-CHIO YO SU NIO
Jilid II
Su Nio tampak ragu. Ia berdiam sambil berpikir, agar jawaban yang akan diberikannya kepada
pemuda itu tidak menyinggung hati orang atau terlampau merendahkan derajat diri sendiri. Maka
setelah berpikir sesaat lamanya baru ia menjawab,"Oleh karena adikku masih dalam keadaan sakit
muka kini belum dapat aku mengabulkan permintaan Kong-cu! Tapi jika nanti penyakit adikku
sudah sembuh betul, sudah barang tentu aku bersedia mengabulkan permintaanmu itu."
Oleh sebab itu, Lauw Yu lalu memberikan banyak uang kepada si nona, agar dengan itu ia dapat
mengobati penyakit adik perempuannya dengan sebaik-baiknya. Sementara Su Nio yang merasa
sangat berterima kasih atas kebaikan pemuda she lauw itu, lalu berjanji akan berkunjung ke rumah
Lauw Yu jika nanti penyakit Siauw Giok telah sembuh seluruhnya. Kemudian ia meminta diri
kepada si pemuda dan mucikari Lauw Heng-siu, untuk kembali ke rumah penginapan menjenguk
adiknya yang masih sakit itu. Tatkala Siauw Giok yang masih bertabiat kekanak-kanakan melihat
Su Nio kembali dengan membawa banya uang, segera juga ia bertanya, dari mana sang kakak
dapat memperoleh uang sebanyak itu? Tatkala Su Nio menjawab bahwa uang itu telah dapat
diperolehnya dari sumbangan para kawan dan handai taulannya dikalangan Rimba Persilatan,
dengan lantas Siauw Giok berkata dengan laku yang aleman,"Cie-cie, belikanlah aku baju baru.
Baju yang aku kenakan ini sudah hampir pecah. Cobalah Cie-cie tengok ini."
Su Nio tersenyum sambil menjabat tangan sang adik dengan rasa penuh kasih sayang.
"Bukan hanya baju saja," katanya,"Tapi akupun hendak membeli juga kuda sebagai ganti kudamu
yang telah terpaksa dijual untuk biaya merawat penyakitmu."
Siauw Giok girang bukan main, hingga rasa sakit pada lukanya itu sekonyong-konyong
dirasakannya telah hilang hampir separuhnya. Demikianlah pengaruh uang tunai terhadap
seseorang tang tengah menderita kesakitan dan kekurangan, hingga kontan tampak
kemustajabannya begitu uang tersebut tiba di tangan.
Tatkala berselang beberapa hari lamanya dan penyakit Siauw Giok telah sembuh seluruhnya,
nona itu lalu mengajak Su Nio pergi keluar untuk berjalan-jalan. Sementara Su Nio yang
mengingat bahwa telah sekian lamanya Siauw Giok tak keluar dari dalam kamarnya karena sakit,
maka apa boleh buat ia telah mengabulkan juga permintaan saudara angkatnya itu.
Tapi begitu keluar dari rumah penginapan, segera juga Siauw Giok melihat di suatu tempat yang
terpisah agak jauh, ada sekelompok orang-orang yang tengah mencoba menunggangi seekor kuda
bulu merah, tapi ternyata tiada seorangpun yang mampu menunggangi kuda yang ternyata sangat
binal itu. Maka Siauw Giok yang memang mahir menunggang kuda dan telah lama tidak
menunggang kuda sejak ia jatuh sakit, lalu diam-diam timbul sifat kekanak-kanakannya untuk
mencoba menunggangi kuda binal itu.
Lalu mereka berdua menghampiri beberapa orang militer bangsa Kim yang tengah mencoba
menunggangi kuda binal itu, tapi ternyata seorang demi seorang telah dilempar oleh kuda itu
sehingga jatuh terguling ke tanah dengan antaranya menderita luka-luka ringan ctau babak belur
pada tubuh masing-masing.Tiba-tiba Siauw Giok jadi merandek dan berkata,"Cie-cie, bukankah kuda merah itu kuda milikku
yang telah terpaksa dijual itu?"
Su Nio setelah memperhatikan sejenak lalu menjawab,"Benar, benar. Tapi cara bagaimana kuda
itu bisa berada di sini?"
Siauw Giok tak mau ambil pusing mengapa kuda itu berada di situ, tapi segera berkata,"Cie cie,
marilah kita tebus kudaku itu."
Sebelum Su Nio menjawab, seorang perwira bangsa Kim telah menghampiri kepada rekanrekannya sambil tertawa dan berkata,"Dasar kamu sekalian tidak berguna! Mari, mari. Kalian
boleh saksikan cara bagaimana akan kutundukkan kuda jahat itu!"
Dewi Tombak Karya Unknown di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sesudah berkata demikian, perwira bangsa Kim itu segera menarik tali kekang kuda itu dari tangan
kawannya dan kemudian ia, cemplak binatang tersebut sambil berseru,"Goblok!"
Tapi begitu ia duduk di atas pelana tiba-tiba kuda merah itu merah meronta sambil berdiri dengan
dua kaki belakangnya serta mengibaskan perwira itu sehingga tangannya yang mencekal tali kekang terlepas, hingga dilain saat iapun jatuh terguling ke atas tanah bagaikan dahan pohon yang
ditumbangkan oleh angin taufan. Hal mana, keruan saja telah menyebabkan gelak tertawa riuh
dari para rekannya yang juga telah terguling oleh kuda jahat itu.
Sementara si perwira yang baru jatuh itu ketika mendengar dirinya ditertawakan oleh para
rekannya, sudah barang tentu bukan main malunya, sehingga kesudahannya ia telah
melampiaskan kegusarannya atas binatang itu dan membentak,"Dasar binatang sialan! Engkau
tak layak dikasih hidup terlebih lama lagi dalam dunia ini!"
Sambil berseru demikian, ia segera menghunus goloknya, yang lalu dibacokkan pada kuda itu
sambil berseru,"Tu, kau boleh rasakan pencaharianmu!"
Tapi SRET! Dengan satu sampokan yang dahsyat sekali, golok perwira bangsa Kim itu telah
terpukul jatuh ke tanah, sedang satu suara yang garing telah membentaknya,"Kawan, sabar dulu!
Engkau sendiri yang tidak mempunyai kemampuan untuk menunggangi kuda itu, tapi mengapa
sebaliknya lantas marah-marah terhadap binatang yang tak berdosa itu?"
Tidak tahunya pada waktu si perwira hendak membacok kuda itu dengan goloknya, tiba-tiba
tangannya telah disampok oleh Siauw Giok, tanpa Su Nio dapat mencegah pula akan terjadinya
insiden tersebut.
"Kurang ajar!" mengomel perwira bangsa Kim itu. Dengan cepat ia memungut goloknya dari
tanah dengan apa ia lantas menabas pinggang Thio Siauw Giok sambil berseru dengan suara
gemas,"Rasakan golokku!"
Tapi Siauw Giok yang bermata jeli segera miringkan sedikit tubuhnya untuk mengasih lewat
bacokan perwira bangsa Kim itu, kemudian ia kibaskan tangan kirinya untuk menotok
pergelangan tangan musuh yang mencekal golok, sedang telapak tangan kanannya lalu digerakkan
untuk menempiling muka orang itu.
PLOK! "Aduh!" Dengan jeritan ngeri si perwira jadi terhuyung dan lalu jatuh tertiarap dengan
muka mencium tanah, hingga selain hidungnya keluar kecap, dua buah giginya pun jadi copot
karena terbentur oleh batu yang terpendam sebagian di tepi jalan."Hai, budak jahanam!" teriak perwira itu,"Engkau berani mempermainkan serta menghinakan
kepada tuan besarmu? Engkau harus tanggung sendiri segala akibatnya nanti!" Kemudian ia
memberi komando kepada para rekannya sambil berseru,"Mau tunggu sampai kapan lagi untuk
meringkus si budak yang hina itu?"
Tapi Su Nio yang berotak lebih dingin segera maju memisahkan sambil berkata,"Nanti dulu!
Nanti dulu! Aku ada sepatah dua kata yang hendak disampaikan kepadamu sekalian!"
"Coba katakan!" kata perwira yang dirobohkan nona Siauw Giok itu dengan suara tidak sabaran.
"Antara kami dan kalian sebenarnya tak pernah terikat permusuhan apa-apa," kata Su Nio dengan
suara merendah. "Oleh sebab itu, biarlah kita selesaikan pertengkaran ini dengan secara damai.
Barusan adikku telah kesalahan tangan memukul pada tuan, berhubung tuan hendak membunuh
kuda jahat itu. Dan bersamaan dengan itu, adikku telah mencela bahwa tuan tidak dapat menunggangi kuda itu. Sekarang bagaimana jika kita persilahkan dia untuk coba menunggangi kuda itu?
Aku sendiri hendak coba menyaksikan, apakah diapun sesungguhnya mempunyai kepandaian
naik kuda yang lebih unggul daripada tuan?"
"Itulah suatu saran yang baik sekali." kata salah seorang antara para perwira bangsa Kim itu.
"Kita kaum laki-laki tidak mampu menunggangi kuda itu, apa lagi budak perempuan yang
bertubuh kecil serupa dia ini, bisa modarlah kalau dia berani berbuat begitu!"
"Boleh, boleh! Biar dia rasakan dan menelan kecongkakannya sendiri!" menyetujui sekalian
perwira bangsa Kim itu.
Sedang perwira yang dirobohkan Siauw Giok tadi dan memang tidak mempunyai kesanggupan
untuk balas merobohkan nona itu, dengan hati gemas telah mengabulkan permohonan Su Nio
dan kawan-kawannya untuk mempersilahkan Siauw Giok coba menunggangi kuda binal itu.
"Biar dia mampus dibanting oleh kuda sialan itu!" mengutuk perwira tersebut di dalam hatinya.
"Jika engkau sesungguhnya mampu menunggangi kuda itu," kata perwira itu pula. "Aku rela
menghadiahkan binatang sialan itu kepadamu!" Karena ia percaya, bahwa nona itu bukan saja
takkan mampu menunggangi kuda itu, malah dia akan mencemoohnya habis-habisan jika nanti
Siauw Giok pun dibanting juga oleh kuda itu.
"Apakah kata-katamu itu sungguhan dan bukan omong main-main belaka?" kata Thio Siauw
Giok dengan rupa bernapsu.
"Aku tidak akan mendustakan kepadamu," kata perwira pecundang kuda binal itu. "Para rekanku
di sini akan menjadi saksi-saksinya, bahwa apa kataku itu adalah dengan sesungguhnya dan
takkan kupungkir lagi jika engkau sesungguhnya dapat menunggangi kuda itu!"
Oleh sebab itu, Yo Su Nio lalu sengaja menarik muka cemas dan berpura-pura menasihati Siauw
Giok supaya jangan berlaku terlampau besar hati akan coba menunggangi kuda itu. "Binatang itu
terlalu jahat dan tak dapat dibuat permainan." kata si nona,"Lagi pula engkau baru sembuh dari
penyakitmu. Jika engkau sampai dibanting oleh binatang itu seperti tuan-tuan ini tadi, niscaya aku
tak berani bertanggung jawab untuk menerima sesalanmu itu."Tapi Siauw Gok yang terlebih siang telah paham akan maksud kakak angkatnya itu, dengan lantas
ia tertawa dan berkata,"Cie-cie tak usah engkau khawatir, aku pasti akan dapat menunggangi kuda
itu menurut caraku sendiri."
Dan tatkala Su Nio coba ngotot untuk merintanginya nona Siauw Giok sudah lantas mencekal
tali kekang kuda itu, kudanya sendiri yang lalu ditungganginya sambil berpura-pura tak dapat
duduk dengan tetap di atas pelana, hingga perwira bangsa Kim yang telah dirobohkannya tadi,
diam-diam merasa girang dan bersiap-siap untuk mengejek dengan segala cara untuk
melampiaskan seluruh rasa mendongkol yang telah dirasakannya tadi. Tapi, sungguh di luar
dugaannya, akan kemudian menyaksikan, bahwa selain tidak jatuh dibanting oleh kuda itu, nona
itupun telah sanggup berdemonstrasi dengan jalan membuat kuda itu berdiri dengan dua kaki,
berlompat-lompat bagaikan gembala puteri yang sedang melatih kuda liar. Sudah itu ia bedal kuda
itu berlari-lari mengitari lapangan luas yang terdapat di tepi jalan dengan kecepatan bagaikan
angin, hingga para perwira dan orang-orang yang berlalulintas di situ jadi terbengong dan kagum
sekali menyaksikan kepandaian Siauw Giok menunggang kuda.
Diwaktu si nona balik kembali dan menghampiri para perwira bangsa Kim itu, dengan bangga ia
tersenyum dan bertanya "Sekarang bagaimana? Apakah engkau tidak mungkir akan memberikan
kuda ini sebagai hadiahku?"
"Dasar sialan!" mengomel perwira itu dengan perasaan jengah, iri, stmpur mendongkol.
"Ambillah kuda itu untukmu!"
Kemudian perwira bangsa Kim dan kawan-kawannya itu segera berlalu sambil menggerutu di
sepanjang jalan.
Tapi begitu Siauw Giok dan Su Nio hendak berlalu, tiba-tiba ada seorang tua yang semula tinggal
menonton di tepi jalan dan terpesona menyaksikan kepandaian si nona menunggang kuda, lekaslekas berlari menghapiri sambil berkata,"Nona, tunggu dulu!" Tatkala mereka menanyakan apa
urusan orang tua itu, dia menerangkan, bahwa kuda itu adalah miliknya yang hendak dikangkangi
oleh perwira bangsa Kim. Oleh karena itu, sudah barang tentu ia merasa berkeberatan
menyerahkan binatang itu sebagai hadiah, hingga Siauw Giok dan Su Nio jadi terbengong sejenak,
kemudian salah seorang nona itu berkata,"Pa, pasalnya kuda ini adalah milik kami, yang
kemudian kami jual karena terpaksa oleh keadaan sukar. Oleh karena itu bagaimana pikiran
paman jika kami menebus kuda itu dengan memberi penggantian uang kepadamu?"
"Kuda ini berhubung tiada seorangpun yang dapat menungganginya," menerangkan orang tua
itu,"Maka aku terpakxa hendak menjual kembali kepada siapa saja yang berminat untuk
memilikinya. Barusan para perwira bangsa Kim itu, telah berniat hendak merampas kuda itu dari
tanganku, tapi ternyata tiada seorangpun diantara mereka dapat menungganginya, maka dengan
secara lancang ia telah memberikan binatang itu kepadamu sebagai hadiah. Maka kalau nona
bersedia untuk menebus kudamu ini, sudah berang tentu akupun girang sekali untuk mengabulkan
permintaanmu itu."
Dengan demikian, kuda Siauw Giok telah dapat ditebus kembali, hingga orang tua itu merasa
gembira dan lalu berjalan pulang dengan hati lega.
Pada suatu hari Yo An Jie telah tiba dari Pek-hoa-tien dan cepat menjumpai Su Nio dan Siauw
Giok di tempat penginapan mereka yang baru itu. Dan tatkala menyaksikan kedua orang adik
perempuannya itu berpakaian dengan bahan yang mahal, sedangkan ia sendiri berpakaiancompang-camping, karuan saja ia menjadi heran dan lalu bertanya,"Dik, apakah engkau telah
memperoleh keuntungan besar selama aku meninggalkan kalian di Pek-hoa tien?"
Siauw Giok yang memang pandai berbicara dan gemar berkelakar, dengan lantas ia
menjawab,"Cie-cie telah memperoleh rejeki besar karena melakukan perampokan uang yang
berjumlah tidak sedikit!*
An Jie jadi ierkejut dan lalu menoleh kepada Su Nio sambil membelalakkan matanya.
"Benarkali engkau telah merampok?" tegurnya.
Su Nio tersenyum dingin. "Kita datang ke sini memang menjadi perampok," katanya. "Demikian
juga dengan halmu yang pergi mencari Kwee Liat kakak beradik ke atas gunung. Bukankah itu
juga berarti bahwa engkau hendak menggabungkan diri dengan para perampok?"
An Jie yang disemprot balik oleh adiknya jadi kemekmek dan tak dapat menjawab barang sepatah
katapun.
Dari semula sebenarnya An Jie kurang senang kepada sikap Siauw Giok yang agak lancang dan
pandai menggoda orang tapi ketika kini melihat tingkah laku nona itu yang begitu hormat dan
menyediakan air hangat untuk ia menituci muka dan pakaian bersih untuk ia menukar pakaian,
hatinya yang keras jadi agak lumer dan kemudian berkata kepada kedua adiknya itu sebagai
berikut,
"Kwee Liat kakak-beradik ternyata tak dapat kutemukan di daerah Teng ciu. Oleh sebab itu
kemanakah gerangan kita harus menuju sekarang ini?"
Su Nio yang kini sudah mempunyai. uang cukup, iapun tak punya niatan untuk pergi naik gunung
akan menggabungkan diri dengan Kwee Liat kakak-beradik itu. Kemudian ia memberitahukan
kepada kakaknya dengan secara terus terang, bahwa ia di situ tengah, menantikan Lauw Yu yang
telah berjanji akan menjemputnya dan mengajaknya pulang ke rumahnya.
Siapa tahu waktu Yo An Jie yang bertabiat pemarah mendengar keterangan adiknya, tiba-tiba ia
menjadi sangat gusar dan lalu menggebrak meja sehingga terbelah dan runtuh seketika itu juga
sambil berseru,"Ah-ha! Sungguh bagus sekali perbuatanmu itu! Jika para handai taulan di
kalangan dunia persilatan mendengar kabar bahwa adik perempuanku menjadi seorang pelacur
secara bagaimana aku dapat berkeliaran dikalangan Kang-ouw tanpa menjadi buah tertawaan dan
bulan-bulanan dan hinaan dari mereka?"
Sementara Su Nio sendiri yang tak pernah menyangka bahwa kakaknya akan menjadi sedemikian
gusarnya, dengan hati penasaran dan air mata bercucuran lalu membantah,"Engkau jangan salah
paham! Aku hanya untuk sekali ini saja berlaku sebagai seorang pelayan untuk dapat membiayai
perawatan serta pengobatan adik Siauw Giok yang telah menderita luka dalam pertempuran
dengan para serdadu pasukan bangsa Kim yang lalim itu, tapi sama sekali bukan menjadi pelacur!
Jika engkau tak mau percaya omonganku dan merasa terhina oleh perbuatanku itu, biarlah aku
tinggalkan dikau dan membuang sekali she Yo kita itu!" Kemudian ia membalikkan badannya
hendak meninggalkan kamar itu, ketika An Jie dan Siauw Giok lekas merintanginya dan mencekal
tangan si nona untuk menyabarkan hatinya.
"Moay-moay, sabar dulu!" kata Yo An Jie. "Semua ini adalah karena kesalahanku juga, sehingga
engkau dan adik Siauw Giok terlunta-lunta begini rupa!""Semua orang tak dapat dicegah dari kesalahan," sela nona Siauw Giok. "Maka sudah selayaknya
jika kita saling maaf memaafkan!"i
Oleh karena itu, barulah hati Su Nio menjadi lunak dan menyudahi pertengkaran mereka sampai
di situ.
Pada suatu hari diwaktu berhias di kamarnya, tiba-tiba Su Nio mendengar suara ribut-ribut dari
Thio Siauw Giok yang mendamprat orang dan antara lain telah mengatakan,"Enyahlah kalian
dari sini! Kami kakak beradik adalah orang-orang perempuan dari keturunan baik-baik, hingga
tidak patut sekali kalian jadikan kami bulan-bulanan dari pada perhatian kalian yang begitu
menyolok mata!"
"Kami berdua bukanlah orang-orang ceriwis menurut sangkaanmu itu," balas membentak seorang
laki-laki dengan suara mendongkol,"Tapi adalah hendak mencari salah seorang sahabat! ........."
"Jangan banyak bacot!" bentak Nona Siauw Giok dengan sengit,"Jika belum ketahuan, tentunya
kalian sengaja hendak coba menghina kami kaum wanita!"
Bersamaan dengan berakhimja suara bentakan itu, di luar kamar itu segera terdengar suara orangorang yang berkelahi dengan amat serunya. Dan tatkala Su Nio menjenguk keluar jendela di sana
ia menampak dua orang laki-laki bertubuh tinggi-besar usia tiga puluhan yang pada pauw-hok
masing-masing digantungkan sebilah pedang panjang, sedang salah seorang antaranya tengah
bertempur dengan Siauw Giok, yang telah melancarkan serangan-serangannya bagaikan seekor
harimau betina yang haus darah, hingga Su Nio jadi sangat terkejut dan lekas-lekas berseru untuk
menghentikan pertempuran tersebut.
III. SIAUW GIOK yang sedeng bertempur begitu mendengar seruan kakaknya segera melompat
keluar dari kalangan pertempuran dan berkata,"Cie-cie. orang-orang ini telah berlaku kurang
sopan dan dari setadian telah mengincar dirimu dari luar kamar! Oleh karena itu, mereka harus
kuajar adat dahulu, barulah kemudian kita bicara pula dengan mereka!
Sementara salah seorang laki-laki itu tatkala menoleh ke arah Yo Su Nio, dengan lantas ia
bertanya,"Nona, bukankah engkau ini bernama Yo Su Nio?"
Su Nio itdak kenal siapa adanya kedua orang laki-laki, hingga ia jadi terbengong, keheran-heranan
tanpa dapat berkata-kata barang sepatahpun.
"Apakah An Jie Koko ada di sini? kata orang laki-laki itu pula. "Kami Kwee Liat dan Kwee Kin
dua saudara tengah mencari untuk menjumpainya."
Thio Siauw Giok yang mendengar keterangan demikian, keruan saja jadi agak uring-uringan dan
berkata,"Jika kamu berdua bermaksud hendak mencari orang, mengapakah kalian tidak siangsiang mengatakan demikian sehingga kita mesti melakukan pertempuran yang tidak berguna ini?"
Yo Su Nio yang baru mendusin bahwa mereka berdua adalah n.asih terhitung orang-orang sendiri,
segera mempersilakan mereka masuk dan duduk sambil meminta maaf atas kesemberonoan adik
angkatnya itu.
"Aku sama sekali tidak menyangka bahwa Kwee Ceecu dan saudara bisa tiba di sini," kata si nona
pula.Tapi orang laki-laki yang berwajah agak kehitam-hitaman itu segera membeli hormat sambil
berkata,"Kini aku Kwee Liat yang berkepandaian sangat rendah tidak lagi memimpin para liauwlo
di atas gunung, tapi aku telah menyerahkan kedudukan Cee-cu di sana kepada Kok An Yong.
Kok Toako."
Siauw Giok tampak keheran-heranan mendengar jawaban Kwee Liat itu. "She orang yang hidup
di dunia ini memang tidak sedikit jumlahnya yang aneh-aneh," katanya,"Tapi tak pernah aku
mendengar ada seseorang yang memakai she Kok itu."
"Kok Toako ini sebenarnya bukan she Kok," kata Kwee Liat sambil tertawa,"Tapi she Han dan
masih pernah sanak saudara dari kaisar Goan Leng Cong!
"Sungguh aneh sekali," nyeletuk Yo Su Nio. "Jika dia sendiri pernah sanak saudara dengan kaisar,
mengapakah dia tidak pergi memerangi bangsa Kim dan malah rela menjadi kepala berandal?"
"O1eh karena tata tertib negara kalang kabut dan orang-orang yang pandai tidak mendapat
kesempatan untuk bekerja pada negara," menerangkan Kwee Liat sambil menghela napas,"Maka
Kok Toako terpaksa keliaran di luaran sebagai seorang petualang, meski ia sendiri bukan lain
daripada kemanakan raja muda Peng-Goan-Kun Han Ciu. Oleh karena Han Ciu sebagai kepala
perang kerap dikalahkan musuh, maka akhirnya ia telah dijatuhi hukuman mati oleh kaisar. Kok
Toako yang melihat pemerintahan negeri kian hari kian bertambah buruk dan sewenang-wenang,
maka akhirnya ia telah buron di luaran dengan mengganti she dan nama menjadi Kok An Yong,
yang maksudnya sudah jelos yaitu Apakah gunanya negara!"
"Ilmu silat Kok Toako sangat lihay," Kwee Kin mencampuri bicara,"Hingga kami berdua tak
sanggup mengalahkannya. Oleh sebab itu, kami telah menakluk dan menyerahkan kedudukan
kami kepadanya. Kini Kok Toako di San-yang tengah mengatur suatu pekerdiaan besar untuk
menumpas bangsa Kim dan menolong saudara-saudara kita yang ditindas oleh pemerintah bangsa
asing yang menjajah tanah air kita ini. Maka untuk dapat melaksanakan maksud dan cita-citanya
yang mulia itu, kami menganjurkan supaya saudara sekalian sudi membantu tenaga dan pikiran
serta menggabungkan diri dengan Kok Toako di sana."
Justeru itu Yo An Jie pun telah pulang dari luaran, hingga Kwee Liat kakak beradik jadi sangat
girang dan lalu menjelaskan maksud kedatangan mereka ke situ.
Menurut keterangan Kwee Liat setelah Kok An Yong buron ke San-yang, di sana ia telah
berhubungan dengan para hohan untuk mengatur gerakan perlawanan terhadap bangsa Kim yang
menjajah Tionggoan dimasa itu. Dengan mengibarkan bendera Tee Thian Heng Too atau
membantu Thian untuk menjalankan kebenaran, Kok An Yong telah memimpin pergerakan
tersebut dengan mengumumkan larangan keras seperti berikut, 1) Dilarang keras berjina atau
mencemarkan kehormatan kaum wanita, (2) dilarang keras untuk sembarangan membunuh orang
tanpa mengetahui dahulu apa kedosaannya (3) dilarang keras menindas kaum kecil yang tidak
berdaya, (4) dilarang keras mengatakan laporan tidak benar dengan secara membuta tuli, (5)
dilarang keras mengkhianati cita-cita dan saudara sepergerakan sendiri, (6) dilarang keras mundur
dalam medan peperangan tanpa diperintah atau mendapat perkenaan pihak pimpinan, (7) dilarang
keras main mabuk-mabukan sehingga membuat kapiran pekerjan besar, dan, dilarang keras
meninggalkan cita-cita setengah jalan. Disamping itu, di muka pintu benteng gunung terdapat
sebuah papan nama yang berbunyi, Hwan Kim Biat Song, Tie Po An Liang, atau Gulingkan
bangsa Kim dan musnakan kerajaan Song, untuk menindas pihak yang jahat dar menjamin
keselamatan pihak yang baik.Tapi tidak dinyana pada suatu hari ada seorang pemuda bersenjata tombak Lee-hoa-chio yang
menyatroni San-yang untuk menantang bertempur Kok An Yong. Pemuda itu mengaku bernamc
Sin-chio Lie Chwan, atau Lie Chwan si Tombak Sakti. Dalam tiga kali pertempuran Kok An Yong
telah menderita kekalahan, hingga pemuda itu timbul pikiran untuk mengangkangi kedudukannya
sebagai pemimpin. Hal mana, sudah barang tentu, telah membuat Kok An Yong penasaran bukan
kepalang. Oleh sebab itu, ia telah mengutus Kwee Liat dan Kwee Kin akan pergi mengundang Yo
Si Nio, agar supaya Dewi Tombak itu sudi membantunya turun tangan untuk mengalahkan
pemuda Lie Chwan tersebut.
Mendengar keterangan demikian, Yo An Jie jadi heran dan lalu balik bertanya,"Dari mana Kok
Toako mengetahui, bahwa adik perempuanku Su Nio mahir ilmu tombak?"
"Kami di San-yang telah berjumpa dengan seorang tua yang mengaku bernama Liok Kong,"
Kwee Kin mencampuri bicara,"Yang mengatakan bahwa adik perempuanmu sangat mahir ilmu
tombak Lee hoa-chio, sehingga dalam dunia ini sukar dicari tandingnya. Nona Su Nio pasti akan
sanggup mengalahkan Lie Chwan si Tombak Sakti itu," katanya. "Oleh karena itu, Kok Toako
telah mengutus kami berdua untuk mengundang Yo Toako kakak beradik untuk membantu beliau
melawan orang she Lie itu."
Tapi Yo Su Nio tampak agak ragu dan kemudian menganjurkan kakaknya saja yang pergi
mengikut kedua orang kakak-beradik she Kwee itu ke San-yang, hingga An Jie lalu
berkata,"Engkau sendiri yang diundang, tapi cara bagaimana engkau lantas menghaturkan aku
yang akan menerimanya?"
Kwee Liat kakak beradik jadi terbengong dan saling berpandangan dengan laku yang putus asa.
Tapi Thio Siauw Giok yang bertabiat aseran, selalu tidak suka mengalah terhadap seseorang yang
gemar tantang menantang. Maka begitu melihat Su Nio seolah-olah tidak suka mengabulkan
undangan Kok An Yang yang dianggapnya dinista oleh pihak Sin-chio Lie Chwan, dengan lantas
ia tampil ke muka sambil berkata,"Jika Cie cie tak suka mengabulkan permintaan Kok Toako,
Dewi Tombak Karya Unknown di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
maka akulah yang akan menerima undangan itu untuk melawan bertempur orang she Lie yang
sombong itu! Aku ini meski bukan seorang ahli tombak, tapi sepasang gaetanku ini masih sanggup
meladeni Lie Chwan bertempur sehingga beberapa ratus jurus lamanya!"
Kwee Liat yang berotak cerdik dan melihat ada kesempatan untuk meminta bantuan ketiga orang
saudara itu dengan sekaligus, dengan wajah yang berseri-seri lalu berkata,"Jika nona Thio sudi
turut kami naik gunung, niscaya remoongan kami akan bertambah lebih kuat dan Lie Chwan pasti
akan dapat dikalahkan." Kemudian ia datang lebih dekat ke arah nona Siauw Giok dan berbisik,"Jika nona dapat membujuk Cie-ciemu untuk sama-sama naik gunung, tanggung Kok Toako
akan memberikan dikau, kedudukan sebagai pemimpin keempat."
Siauw Giok tidak pernah mengetahui, bahwa para pemimpin dikalangan perampok mempunyai
kedudukan yang bertingkat-tingkat, tapi dia yang selalu gemar bertualang segera menjadi gembira
dan lalu berkata,"Baiklah, aku ada suatu akal untuk mengajak juga kakakku mengikut naik
gunung untuk membantu Kok Toako di sana!"
Sesudah berkata demikian, lekas-lekas ia menghampiri Su Nio dan berbisik di telinganya,"Apakah
Cie-cie tidak berani melawan Lie Cwan karena ia bernama julukan Tombak Sakti, sedangkan
nama julukanmu hanya Dewi Tombak saja, cobalah engkau bentahukan kepadaku dengan
sejujurnya jika engkau mempunyai alasan yang kuat untuk menampik undangan Kok Toako, aku
bersedia untuk meladeni bertempur si orang she Lie dengan berpura-pura menyebutkan namajulukanku Siauw Giok si Gaetan Sakti. Dengan demikian, Gaetan Sakti akan melawan Tombak
Sakti, sama-sama sakti dan pasti akan merupakan pertempuran yang ramai sekali. Oleh sebab itu,
engkau sendiri yang tak mengikutiku naik gunung, atau jika engkau mau coba menyusulku
janganlah sampai engkau memberi kesan kepada siapapun juga, bahwa Dewi Tombak pun berada
juga diantara rombongan kami ........."
Su Nio jadi agak kurang senang mendengar omongan itu. "Cara bagaimana aku mesti berlaku
secara sembunyi, sedangkan nama julukan Dewi Tombak itu telah cukup dikenal orang dan telah
diberikan oleh para kawan dikalangan persilatan terhadap diriku?" katanya penasaran "Selain dari
itu, Sin-chio Lie Cwan akan mengatakan aku gentar kepadanya, jika aku mengikut naik gunung
dengan secara diam-diam. Apakah barangkali engkau juga menganggap bahwa aku sesungguhnya
takut kepada si tombak sakti itu?"
Siauw Giok yang melihat umpannya telah dimakan juga oleh kakak angkatnya, dengan lantas ia
tertawa dan membelai-belai Su Nio sambil berkata,"Cie-cie, aku bukan mengatakan bahwa
engkau takut. Harap Cie-cie jangan salah paham. Lebih-lebih karena aku sendiripun telah ketahui,
bahwa engkau adalah ahli tombak kaliber besar dan seorang pemberani. Kalau tidak, niscaya
sudah siang-siang engkau ditangkap oleh pasukan tentara bangsa Kim yang gagah-gagah dan tidak
sedikit jumlahnya itu!" .
Su Nio yang semula agak "dibanting" dan kemudian mendadak "diangkat" lagi, sudah barang
tentu amarahnyapun kontan menjadi agak reda dan berbalik tanya,"Jika seumpama aku dapat
mengalahkan Sin-chio Lie Chwan, hadiah apakah yang hendak kau berikan kepadaku?"
Siauw Giok yang merasa siasatnya telah berhasil untuk memanaskan hati kakak angkatnya,
dengan lantas menjawab,"Cie-cie boleh sebutkan sendiri, aku bersedia untuk memberikannya
dengan ikhlas. Asalkan jangan kepalaku saja yang kau minta .........!"
Semua orang jadi bertepuk tangan dan tertawa riuh, hingga Su Nio pun jadi turut tersenyum
sambil mencubit paha si adik yang nakal itu.
Kemudian sebelum Su Nio mengutarakan sendiri pikirannya, Siauw Giok telah mendahului,
menoleh kepada Kwee Liat dan Kwee Kin sambil berkata,"Tuan-tuan, Cie-cieku kini telah mengabulkan permintaan Kok Toako untuk naik gunung melawan bertempur pada Sin-chio Lie Cwan
itu. Kalian boleh saksikan dengan mata kepala sendiri, cara bagaimana Dewi Tombakku ini akan
menaklukkan si pemuda yang congkak itu! Tapi," ia melanjutkan sambil menoleh ke arah Yo Su
Nio. "Bilamanakah kita berangkat ke San-yang?" Sambil berkata demikian Siauw Giok berpurapura menengadahkan kepalanya ke udara sambil seolah-olah berkata-kata pada dirinya
sendiri,"Hari masih pagi dan masih banyak waktu untuk kita berangkat ............"
Su Nio yang mendengar omongan itu, segera mendusin kemana maksudnya pembicaraan sang
adik, hingga dengan spontan ia katakan,"Kita boleh berangkat pada hari ini juga!" Itulah yang
memang dimaksudkan Siauw Giok, hingga Kwee Liat kakak beradik jadi sangat girang dan segera
menyatakan kesediaan mereka untuk melayani segala keperluan yang dibutuhkan Nona Su Nio
disaat itu. Dan setelah berkemas-kemas serta membayar rekening penginapan mereka, Su Nio, Yo
An Jie dan Thio Siauw Giok lalu menunggang kuda masing-masing untuk berangkat ke San-yang
dengan diantar oleh Kwee Liat kakak beradik sebagai penunjuk jalan.Di sepanjang jalan kedua saudara Kwee dan Siauw Giok sengaja saban-saban memanasi hati nona
Su Nio, hingga nona itu diam-diam jadi mendongkol dan segera bertanya,"Apakah letak daerah
San-yang masih jauh?"
"Sudah tidak berapa jauh lagi, sudah tidak berapa jauh lagi," sahut kedua saudara itu.
Pada suatu senja pelana Siauw Giok telah patah. Oleh sebab itu, terpaksa mereka mencari rumah
penginapan dalam sebuah chung atau desa yang lingkungannya masih terletak di muka perjalanan
mereka.
Sesampainya di muka gerbang desa tersebut, segera mereka melihat ada sepasang tengloleng besar
yang masing-masing dituliskan sebuah huruf HEE yang cukup besar untuk dapat dilihat orang
dari kejauhan. Maka Yo An Jie yang melihat begitu, dengan lantas ia berkata,"Inilah desa Heekee-chung. Marilah kita coba menanyakan kepada chung-teng atau ronda desa di sana, kalaukalau kita boleh menumpang menginap di dalam desa ini."
Sesudah berkata demikian, An Jie segera turun dari kuda dan mengetok-ngetok pintu. "Apakah
di dalam ada orang?" katanya. "Kami orang-orang perjalanan yang telah kemalaman di sini minta
bertemu dengan Hee Tha Kong."
Tidak antara lama dari sebelah dalam chung itu terdengar suara orang yang menjawab,"Tengah
malam buta cara bagaimana kalian dapat berjumpa dengan Hee Thay Kong yang telah tidur
nyenyak sejak tadi? Lebih baik nanti besok saja kalian kembali pula kesini!"
"Kami sekalian hanya berniat hendak menumpang menginap," kata Yo An Jie. "Harap Toako
sudi melaporkan kepada induk semangmu."
Diwaktu pintu desa itu dibuka dengan dibarengi oleh gerutuan yang tidak terdengar jelas, dua
orang ronda desa tampak keluar dan memperhatikan Yo An Jie dari kepala sampai di kaki, kemudian dari seorang perhatian mereka telah dialihkan kepada orang-orang yang lainnya, diantara
kelima orang pelancong yang telah kemalaman itu.
"Jika kalian hendak menumpang menginap," kata salah seorang antara kedua chungteng itu,"Ada
kemungkinan induk semangku takkan merasa keberatan apa-apa. Silahkan kalian masuk."
Yo An Jie dan kawan-kawan jadi girang dan lalu mengikut pada kedua chungteng tersebut sambil
menuntun kuda masing-masing.
Sesampainya di bagian dalam desa itu tiba-tiba ada seorang-orang yang terdengar bertanya,"Siapa
itu?"
Chungteng tadi lalu menerangkan kepada induk semang mereka, bahwa petang hari itu ada
beberapa orang pelancong yang kemalaman hendak menumpang menginap di situ.
Tatkala An Jie dan kawan-kawan dipersilahkan masuk ke ruangan pertengahan, lebih banyak
lampu lalu dipasang untuk membuat ruangan itu jadi semakin terang, sedang seorang pemuda
tampak muncul dengan diiringi oleh 8 atau 9 orang pengawal pribadinya. "Orang ini tentulah
Chungcu dari desa ini," pikir Yo An Jie dan kedua saudara Kwee itu, hingga mereka segera maju
memberi hormat sambil berkata,"Kami sekalian karena kemalaman, maka sangat mengharap
supaya Chungcu sudi mengabulkan kami menginap di sini untuk semalaman ini."Begitulah selanjutnya mereka telah berkenalan dan memberitahukan she dan nama masingmasing, hingga An Jie dan kawan-kawan baru mengetahui, bahwa pemuda itu bukan lain
daripada Chungcu muda dalam desa itu dan bernama Hee Cwan Hoa.
Ketika Hee Cwan Hoa membalas pemberian hormat para tamunya, Kwee Liat kakak beradik jadi
bergidik dan segera mendusin, bahwa si pemuda telah mempergunakan ilmu khie-kang untuk
menjajal sampai dimana kemampuan mereka berdua. Tapi karena mereka berdua khawatir akan
tak sanggup menandingi Chungcu muda itu, maka apa boleh buat mereka tidak membalas
mendorong balik tenaga dalam Hee Cwan Hoa yang telah dimajukan terhadap diri mereka berdua
itu. Sementara Hee Cwan Hoa ar. u menyaksikan bahwa ilmu kepandaian mereka belum tergolong
sebagai ahli-ahli silat kelas satu, sudah barang tentu dalam hatinya timbul sifat menghina dan lalu
bertanya,"Tuan-tuan sekalian termasuk pada golongan mana?"
Kwee Liat kakak beradik yang ingin dianggap bahwa diri mereka cukup "besar" untuk dihargai
orang lain dengan congkak lalu menjawab,"Kami sekalian adalah para komandan dari pasukan
Hong-auw-kun atau rombongan jaket merah."
Hee Cwan Hoa yang mendengar keterangan demikian segera memberengut dan
membentak,"Lekas tutup pintu desa dan ringkus semua orang ini!"
Kwee Liat kakak beradik jadi sangat terkejut dan lekas bertanya apa sebab musababnya.
"Kami memang telah berniat untuk meringkus orang-orang dari Rombongan Jaket Merah untuk
mencari pahala!" sahut orang she Hee dengan tersenyum dingin.
Sambil berkata demikian, ia segera memberi isyarat untuk anak buahnya menutup pintu dan
menangkap kelima orang itu.
Tapi si orang she Hee tak pernah menyangka, bahwa Su Nio dan kawan-kawan bukan orangorang lemah yang selalu suka mandah saja diperlakukan dengan seenaknya saja. Maka diwaktu
melihat mereka berlima melakukan perlawanan dengan serentak, Hee Cwan Koa segera
mengambil tombak Hong-thian-hoa kek yang biasa dipergunakannya dari tangan salah seorang
pengawalnya kemudian ia memerintahkan supaya para pengawalnya melakukan pengepungan
dan melepaskan anak panah untuk melumpuhkan perlawanan kelima orang itu.
Kwee Liat lekas menghunus pedangnya untuk melawan musuh, sedang Yo An Jie dan Kwee Kin
dengan serentak maju menghambat para chung-teng yang hendak mengepung mereka dari segala
jurusan. Sementara Yo Su Nio yang tidak keburu mengambil tombaknya yang diselipkan pada
pelana kudanya terpaksa menghunus pedang yang disoren di pinggangnya untuk membantu Kwee
Liat kakak beradik melepaskan diri dari kepungan Hee Cwan Hoa dan anak buahnya itu. Tapi
karena Su Nio tak biasa bertempur dengan bersenjata pedang, maka tidaklah heran jika
perlawanannya itu tak dapat dikatakan istimewa atau menakjubkan orang. Syukur juga permainan
gaetan Houw-thauw-kauw Thio Siauw Giok cukup lihay dan lincah, sehingga para chung-teng tak
berani sembarangan menyerang nona itu dari dekat jikalau mereka tidak mempergunakan alat
senjata bergagang panjang seperti pentungan, tombak atau anak panah guna menyerang dari jarak
yang agak jauh.
Hee Cwan Hoa yang sangat mahir mempergunakan tombak Heng-thian-hoa-kek, sudah barang
tentu dengan sekejap saja telah berhasil mendesak mundur Kwee Liat yang bersenjata pedang,hingga Kwee Kin terpaksa meninggalkan para chung-teng untuk membantu kakaknya melawan
si orang she Hee.
Tapi Yo Su Nio yang melihat gelagat tidak baik bagi pihaknya sendiri, dengan lantas ia terjang
tiga orang chungteng yang mencegatnya sehingga mereka bertiga lari kalang kabut, kemudian
menyarankan supaya kawan-kawannya segera melarikan diri. Yo An Jie dan Kwee Liat kakak
beradik segera mundur sambil menerjang para chung-teng yang tidak sedikit jumlahnya. Tapi
dikala Siauw Giok kembali dengan menuntun empat ekor kuda masing-masing untuk kabur dari
desa Hee-kee-chung, Kwee Liat jadi terkejut tidak melihat bayangan adiknya. Dan tatkala melihat
para chungteng telah mulai melepaskan anak panah. Yo Su Nio lalu berseru,"Lekas kabur,
kemudian kita boleh kembali untuk menolong Kwee Jie-ko!"
Oleh karena keadaan yang sangat memaksa, maka apa boleh buat semua orang segera cemplak
kuda masing-masing dan kabur dari desa Hee-kee-chung bagaikan burung yang terlepas dari
sangkarnya, hingga dalam waktu sekejap saja mereka telah berhasil dapat meloloskan diri dari
dalam desa itu. Dan setelah para pengejar mereka sudah tidak kelihatan pula batang hidungnya,
barulah mereka berembuk cara bagaimana akan menolong Kwee Kin yang ada kemungkinan telah
kena ditawan oleh Hee Cwan Hoa beserta anak semangnya.
Yo An Jie yang terlebih siang telah mengetahui hal ini, lalu mengusulkan supaya sekalian kawankawannya melakukan penyelidikan dahulu ke desa Hee-kee-chung sebelum mereka menerjang ke
sana dengan secara membuta tuli. Karena di samping menolong Kwee Kin serta mencari tahu
dimana ia ditahan, merekapun perlu juga mengetahui, siapakah sebenarnya Hee Cwan Hoa itu.
Kawankah atau lawankah dia itu?
Petang hari itu mereka terpaksa bermalam di dalam rimba, dengan membentangkan pakaian luar
di atas rumput dan mempergunakan pelana sebagai bantal.
Pada keesokan harinya setelah mencari makanan di dalam desa yang terdekat dan kembali dengan
diam-diam ke desa Hee-kee-chung, di tengah jalan mereka telah bersua dengan seorang tukang
kayu, yang bertubuh tinggi besar.
Mula-mula Siauw Giok hendak tampil kemuka untuk coba minta keterangan tentang siapa adanya
Chungcu dari Hee-kee-chung yang bernama Hee Cwan Hoa itu, tapi karena menganggap bahwa
nona itu terlampau getas dan mudah naik darah, maka tidak mungkin ia dapat berurusan dengan
secara taktis. Oleh sebab itu, Su Nio segera maju memberi hormat sambil pura-pura
bertanya,"Kakak, aku numpang tanya. Kami sekalian telah berniat akan berkunjung ke desa Heekee chung, tapi karena ingin mengetahui orang macam apa yang menjadi Chungcu di situ, maka
tidak salahnya jika kami mencari tahu lebih dahulu sebelum datang kesana."
Tukang kayu itu tidak segera menjawab pertanyaan orang, tapi terlebih dahulu meneliti orang dari
kaki hingga kepala, kemudian menoleh ke arah tiga orang yang lainnya. Sudah itu barulah ia
manggut-manggut sambil berkata,"Sekarang aku baru paham apa maksudmu. Hee Cwan Hoa itu
adalah seorang kaki tangan bangsa Kim, dan ia diberi tugas yang khusus dari induk semangnya
untuk menangkap para pengkhianat."
"Tahukah kamu siapa yang dicap kaum pengkhianat oleh bangsa Kim?" Siauw Giok nyeletuk
dengan secara tiba-tiba."Sudah barang tentu orang-orang yang hendak menggulingkan mereka keluar dari daerah
Tionggoan!" sahut tukang kayu itu. "Lebih-lebih kita sekalian bangsa Han, yang selalu dicurigai
oleh pihak kaum penjajah sebagai orang-orang berbahaya dan dapat memberontak terhadap
mereka disembarang waktu!"
"Ya, benarlah apa katamu!" kata Yo Su Nio. "Tapi belum tahu jika ia menangkap orang-orang
yang menurut pendapatnya agak mencurigakan, kemanakah orang tawanannya itu ditahan?
Apakah di desa Hee-kee-chung terdapat rumah tahanan yang khusus untuk menahan orang-orang
yang dicurigai atau kawanan pemberontak terhadap bangsa Kim itu?"
"Sebegitu jauh yang aku ketahui," kata tukang kayu itu pula,"Di sana hanya ada rumah tahanan
sementara. Karena begitu ada seorang atau beberapa orang yang mereka tangkap orang tawanan
itu segera diangkut ke asrama tentara Kim dengan mempergunakan gerobak-gerobak orang
tahanan. Pada kemarin malam di desa Hee-kee-chung telah kedatangan kawanan pengacau, tapi
mereka semua telah dipukul mundur oleh Hee Cwan Hoa dan anak semangnya, sehingga mereka
lari pontang-panting dan salah seorang antaranya telah kena dilukai dan dibekuk oleh para
chungteng di sana, yang kini kabarnya telah dimasukkan ke gerobak orang tahanan untuk dikirim
ke asrama tentara. Maka karena mendengar pertanyaanmu tadi, di dalam hatiku segera timbul
pikiran, kalau orang yang tertawan itu adalah kawanmu sendiri. Hanya belum tahu apakah
dugaanku itu benar atau salah?"
"Ya, benar!" Siauw Giok mendadak menjawab. Tapi kata-kata yang telah diucapkan sudah
barang tentu tak dapat ditarik kembali, sehingga Su Nio jadi terkejut dan diam-diam menyesalkan
sikap adik angkatnya yang begitu semberono.
Bersamaan dengan itu, tiba-tiba dari sebelah muka jalan telah terdengar suara derap kaki kuda
yang agak riuh, hingga Yo Su Nio dan kawan-kawan terkejut dan segera menoleh ke arah suara
tersebut. Sedang si tukang kayu yang khawatir dirinya akan terlibat kedalam peristiwa tidak enak
yang tengah dialami oleh orang-orang itu, buru-buru meminta diri dan segera berlalu dengan
tindakan yang agak tergesa-gesa.
Tatkala rombongan penunggang kuda itu telah tampak dari kejauhan, Yo Su Nio dan kawankawan segera dapat mengenali bahwa seorang pemuda yang berkuda dan berjalan paling depan
dengan mencekal sebatang tombak Hong-thian-hoa-kek di tangannya, bukan lain daripada
Chungcu dari Hee kee Chung yang bernama Hee Cwan Hoa itu.
Maka Yo Su Nio yang kini telah tidak bersenjata pedang lagi seperti di hari kemarin, segera
kaburkan kudanya ke tengah jalan untuk mencegatnya sembil melintangkan tombak Lee-hoa-chio
di tangannya dan membentak,"Tahan dulu!"
Hee Cwan Hoa segera menahan tali kekang kudanya sambil balas membentak,
"Engkau siapa? dan apa maksudnya engkau mencegat kami?"
Seketika itu juga Su Nio melihat ada sebuah gerobak pesakitan yang ditarik oleh kuda dan
mengikuti di arah belakang si orang she Hee. Maka sambil mehunjuk kepada gerobak itu ia
bertanya,"Itu pesakitan yang berada di dalam gerobak, siapa namanya? Dan engkau hendak bawa
kemana?"
"Dia itulah kaki tangan pemberontak Jaket Merah yang hendak kuserahkan ke asrama pasukan
perang kaisar!" sahut orang yang Su Nio segera ketahui, bahwa pesakitan itu tentulah bukan laindaripada Kwee Kin adanya. Oleh karena itu, ia lalu menuding ke arah gerobak itu dan berkata
dengan suara nyaring,"Aku tidak berkeberatan untuk kalian lewat di sini, asalkan orang tawanan
itu engkau serahkan kepadaku!"
"Oh, jadi engkau inipun komplotan berandal Jaket Merah itu juga?" kata Hee Cwan Hoa sambil
tersenyum dingin. "Bagus, sekali! Jika engkau mampu mengalahkan diriku, barulah engkau boleh
terima dia sebagai barang taruhan, kalau tidak, engkau boleh pergi persetan! Tengok tombakku
ini!"
Dengan tidak banyak bicara pula, Hee Cwan Hoa segera putar tombaknya, dengan apa ia lalu
menusuk dada si nona dengan kecepnatan laksana angin. Tapi Yo Su Nio yang juga bermata
sangat jeli, buru-buru mengangkat tombaknya buat menangkis, sehingga dilain saat suatu
pertempuran di atas kuda dan sama-sama bersenjatakan tombak telah terjadi di tepi jalan gunung
yang sunyi itu. Sedang Yo An Jie dan kawan-kawan yang merasa tak enak akan tinggal memeluk
tangan saja, merekapun segera maju ke medan pertempuran untuk melawan anak semang Hee
Cwan Hoa yang jumlahnya jauh lebih banyak daripada mereka.
Begitulah pertempuran yang ramai itu telah terbagi menjadi dua rombongan, yakni Yo Su Nio
melawan Hee Cwan Hoa, sedang Yo An Jie bertiga merampas Kwee Kin dari dalam gerobak
pesakitan dengan sekaligus melawan bertempur para penjaganya.
Tapi karena rombongan Su Nio ternyata lebih unggul meski jumlah orangnya lebih sedikit, maka
tidak heran jika pertempuran itu lekas berakhir. Karena begitu Kwee Kin dapat dirampas oleh Yo
An Jie dan kawan-kawan para penjaganyapun dapat dipukul mundur dan dibuat lari pontangpanting, hingga akhirnya hanya ketinggalan Hee Cwan Hoa seorang yang sudah kembang kempis
karena tidak sanggup bertempur melawan Yo Su Nio. Ia sebetulnya masih juga hendak
memaksakan diri untuk mempertahankan dirinya. Maka setelah tombaknya dibikin terpental dan
ujung tombak Su Nio telah siap ditujukan untuk memanggang ulu hatinya, barulah terdengar she
Hee berteriak "Tahan dulu!" Dan untuk mempertahankan selembar jiwanya ia mengangkat kedua
tangannya. "Aku mengakui ilmu tombakmu lebih unggul daripada diriku! Oleh karena itu aku
rela menyerahkan orang tawananku kepadamu. Tapi sebelum kita saling berpisahan, aku mohon
tanya she dan namamu nona?"
"Aku inilah Yo Su Nio dari Ek-touw!" sahut si nona dengan singkat.
Hee Cwan Hoa tampak terkejut dan segera mengulangi,"Apakah bukan Yo Su Nio yang diberi
orang nama julukan Dewi Tombak?"
"Jika kau sudi menyebut namaku begitu, bolehlah engkau menyebut tanpa ada orang yang berani
melarang!" kata si nona sambil membalikkan kudanya dan meninggalkan Hee Cwan Hoa dan
anak semangnya dalam keadaan kemekmek bagaikan orang-orang yang terkesima.
Dalam perjalanan menuju ke San-yang, Kwee Liat yang menyaksikan permainan tombak Yo Su
Nio melawan Hee Cwan Hoa jadi sangat kagum memuji, bahwa kalau nanti ia berhadapan
dengan Sin-chio Lie Cwan, niscaya pemuda sombong itu akan dapat dikalahkannya dengan
mudah, hingga diam-diam Su Nio jadi girang juga mendengar pujian yang muluk itu.
Dewi Tombak Karya Unknown di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tatkala itu karena Kwee Kin telah terluka ketika ia ditawan, maka Kwee Liat menganggap perlu
untuk beristirahat beberapa hari lamanya untuk merawat luka adiknya, kemudian baru
melanjutkan perjalanan mereka ke San-yang. Oleh sebab itu, lalu dicarinya sebuah rumahpenginapan di suatu tempat di luar kota, yang begitu dapat dicari, segera ia menghadap kepada
pemiliknya untuk minta disediakan dua buah kamar yang sebuah dengan dua ranjang, tapi yang
lainnya boleh hanya dengan sebuah saja. Tapi si pemilik kedai berikut rumah penginapan yang
ingin menarik lebih banyak keuntungan lalu menggelengkan kepalanya sambil berkata,"Aii,
sangat menyesal tuan-tuan telah datang terlambat. Semua kamar sudah penuh, hingga kalian perlu
mencari kamar di lain rumah penginapan."
"Tapi kini hari sudah malam." kata Kwee Liat,"Sedang kami di sini membawa seorang sakit. Oleh
karena itu, harap supaya Tiamcu, sudi berlaku murah hati untuk menyediakan kamar bagi kami
berlima ............"
Si pemilik kedai berikut rumah penginapan itu baru saja menggelengkan kepalanya hendak
menolak permintaan orang, ketika Siauw Giok yang bertabiat aseran segera menggebrak meja
dengan mata mendelik dan membentak,"Tiam-cu! Apakah engkau menganggap kami tak mampu
membayar sewa kamar, sehinga tanpa memeriksa pula apakah kamar yang kami minta itu masih
ada atau tidak, engkau segera menolak dengan getas permintaan kami? Ini uang sewanya kami
berikan dahulu kepadamu! Sisanya kurang atau lebih engkau boleh perhitungkan pula nanti!
Apakah sepotong perak ini cukup untuk membayar sewa kamar dan makanan kami berlima untuk
beberapa hari lamanya?"
Si pemilik kedai yang melihat Siauw Giok meletakkan sepotong perak yang agak berat
dihadapannya, sudah barang tentu jadi cengar-cengir dan manggut-manggut dengan laku yang
hormat sekali. Oleh karena mengingat bahwa diantara kalian ada seorang-orang yang sakit,"
katanya,"Maka kami rela memberikan kamar sendiri untuk tuan-tuan dan nona-nona sekalian.
Hanya kamar-kamar itu terlampau sederhana, hingga tuan-tuan dan nona-nona jangan buat
celaan." Kemudian ia pergi mengantarkan para tamunya itu ke kamar belakang, yang sebenarnya
bukanlah kamar tidurnya sendiri, tapi bukan lain daripada kamar-kamar yang memang sengaja
disediakan untuk para tamu yang berani membayar dengan sewa mahal.
Di situ Kwee Liat minta si Tiam-cu (pemilik kedai) untuk menyuruh para pelayannya pergi
membawa kuda-kuda mereka ke istal untuk diberi air dan rumput, kemudian minta antarkan air
hangat untuk mencuci luka Kwee Kin.
Si Tiam-cu menyanggupi dan lekas-lekas menyuruh seorang pelayan untuk melayani segala
keperluan kelima orang itu.
Tatkala Kwee Liat menanggalkan baju luarnya dan tampak jaketnya yang berwarna merah di
sebelah dalamnya, si pelayan jadi sangat terkejut dan dengan diam-diam segera meninggalkan
kamar itu untuk melaporkan kepada induk semangnya, hal apa yang telah disaksikannya dengan
sikapnya yang tergesa-gesa.
"Oleh karena salah seorang antaranya berjaket merah." bisik pelayan itu kepada induk
semangnya,"Maka sudah barang tentu yang lain-lainnya pun kawan-kawannya juga ............"
"Coba mari kita perhatikan sekali lagi," kata si Tiam-cu ragu-ragu.
Begitu Tiam-cu dan si pelayan masuk ke dalam, seorang tamu yang rupanya kenal baik dengan
semua pelayan di situ, lalu dengan iseng-iseng menghampiri dan bertanya,"Soal apa sih yang
barusan dibicarakan oleh kawanmu itu dengan induk semangmu?"Si pelayan yang kebetulan berada dekat serta mendengar juga soal apa yang dibicarakan oleh
kawan dan induk semangnya tadi, dengan suara pelahan lalu menjawab,"Para tamu tadi ternyata
bukan lain daripada orang-orang dari rombongan Hong-auw-kun!"
"Apa betul omongan kawanmu itu?" kata tamu itu ragu-ragu. "Coba saja kita lihat apa yang akan
terjadi selanjutnya," kata pelayan itu yang juga belum mau percaya akan laporan kawannya tadi.
Demikianlah dari satu ke lain mulut orang berbisik-bisik tentang kedatangan rombongan orangorang Jaket Merah itu ke rumah penginapan tersebut, sehingga berita itu sangat menarik perhatian
para tamu yang justeru berkumpul di situ sambil mengobrol dan makan minum.
Sementara itu si Tiam-cu dan pelayan yang terlebih siang telah melihat jaket Kwee Liat yang buah
bajunya dua baris dan digantungkan pada paku di dinding tembok, dengan lantas menerobos masuk sambil memberi hormat dan berkata,"Ji-thauw-nia, maafkanlah kepadaku. Barusan aku tidak
mengetahui bahwa tuan-tuan dan nona-nona sekalian adalah dari rombongan Hong-auw-kun,
hingga aku minta maaf sebesar-besarnya, jika barusan aku telah berlaku kurang hormat. Dan
bersamaan dengan itu sepotong perak yang barusan aku telah terima dari nona itu," sambil
menunjuk kepada Siauw Giok,"Dengan ini aku kembalikan sambil menyampaikan ucapan
maafku, karena semula tidak mengetahui kepada siapa aku sedang berhadapan." Si Tiam-cu
mengetahui tingkat Kwee Liat sebagai Ji-thauw-nia (pemimpin kedua) karena syarat buah
bajunya yang dua baris itu.
"Orang yang tidak mengetahui, sudah barang teritu tak dapat dipersalahkan" kata Kwee Liat
sambil tersenyum. "Tapi perak potongan itu engkau boleh terima sebagai pengganti ongkosongkos dan hadiah para pelayan yang bertugas melayani kami sekalian."
Si Tiam-cu manggut-manggut kemudian memerintahkan beberapa orang pelayan akan
menyajikan hidangan untuk kelima orang itu bersantap. Sudah itu ia memberitahukan kepada
Kwee Liat, bahwa pada beberapa waktu itu Kok Toako Kok An Yong tidak lagi menjadi
pemimpin besar di San-yang, tapi kedudukan itu kini telah diduduki oleh Sin-chio Lie Cwan yang
telah mengalahkannya. Hal mana, sudah barang tentu telah membuat si orang she Kwee jadi
kemekmek.
"Ia rela menyerahkan kedudukan itu pada orang lain, sebelum orang yang diundangnya menjajal
dahulu sampai dimana kelihayan pemuda sombong itu?" nyeletuk Thio Siauw Giok dengan
perasaan tidak enak. "Hm, sungguh tak berguna sekali si orang she Kok itu!" Kemudian ia
menoleh kepada Yo Su Nio sambil melanjutkan bicaranya,"Jika demikian gelagatnya, paling
benar kita batalkan saja kepergian kita ke San-yang!"
"Aku sungguh tidak mengerti apa maksudmu," kata Yo Su Nio.
"Tanpa menimbang segala kesukaran dan bahaya kita telah menerima undangan si orang she
Kok!" gerutu Thio Siauw Giok,"Kita bertekad mengalahkan si orang she Lie untuk
mempertahankan kedudukannya sebagai pemimpin besar negara, tapi tidak tahunya dia sendirilah
yang begitu tak berguna, sehingga mau menyerah mentah-mentah secara pengecut!"
Sementara Yo Su Nio yang mendengar demikian dan menganggap bahwa omongan adik
angkatnya itu benar juga, lalu dengan perasaan kurang senang bangkit dari tempat duduknya
sambil berkata,"Ya, benarlah apa katamu. Paling benar kita segera berkemas-kemas dan berangkat
hari ini juga ke lain tempat!"Kwee Liat jadi gugup lalu dengan tersenyum coba membujuk sambil berkata,"Toa-moy moy,
engkau jangan menimpakan semua kesalahan itu atas diri Kok Toako. Ada kemungkinan karena
keadaan yang sangat memaksa, maka ia telah menyerahkan kedudukannya kepada Lie Cwan.
Oleh karena itu, aku memohon kepada Toa moy-moy, agar engkau suka bermurah hati dan jangan
menunda perjalanan ini sebelum tiba ke tempat yang dituju itu. Lagi pula perjalanan ke San-yang
sudah tidak berapa jauh lagi dari sini. Maka baik atau buruk, aku mohon supaya Toa-moy-moy
jangan membuat aku kehilangan muka terhadap Kok Toako di sana."
Kemudian Kwee Kin yang merasa sakitnya telah menjadi kurang setelah dibalut dan dipakaikan
obat luka, tiba-tiba timbul pikiran untuk memanaskan hati Yo Su Nio tatkala mendengar omongan
Siauw Giok tadi, hingga dengan memaksakan diri tersenyum ia berkata,"Ah, apakah barangkali
Toa-moy-moy merasa gentar terhadap si orang she Lie, sehingga mengambil keputusan untuk
mundur teratur secara mendadak? Jika benar demikidn sudah barang tentu kitapun tak berani
memaksa orang yang sudah takut untuk bertempur. Karena meski bagaimana dipaksa juga,
hasilnyapun tak akan menjadi lain daripada keok juga!"
Tapi Siauw Giok yang mendengar kata-kata Kwee Kin yang dianggapnya agak menghina kepada
kakaknya itu, karuan saja jadi mendongkol dan lalu membelalakkan matanya dan membentak,"Siapa bilang kakakku takut dengan segala anak bawang seperti si Lie Cwan itu! Hmm sungguh
menjemukan sekali! Engkau sendiri tidak punya kemampuan apa-apa untuk melawan bertempur
musuh itu, kini sekarang hendak berbalik menghasut kakak kami. Apakah itu bukan perbuatan
yang tak tahu malu!"
Kwee Kin hanya mengganda tersenyum dan berlaku tenang waktu mendengar kata-kata si nona
selanjutnya.
"Beranikah engkau bertaruh denganku," kata Siauw Giok pula,"Bahwa kakakku tak mampu
mengalahkan orang she Lie itu?"
"Mengapakah tidak?" sahut Kwee Kin. "Kalau aku kalah bertaruh, akan kubayar taruhanku itu
dengan sebuah jaket merah!"
Siauw Giok yang teringat bahwa jaket merah itu menjadi lambang kaum Hong-auw-kun, diamdiam menyangka bahwa Kwee Kin hendak membayar taruhannya itu dengan jaket merah
miliknya sendiri, sehingga sambil menjebilkan bibirnya ia berkata,"Hm siapa kesudian menerima
bayaran taruhan dengan jaketmu yang bau asam!"
"Bukan jaket yang dikenakannya sendiri," sela Kwee Liat sambil tertawa,"Tapi jaket yang lainnya
dan masih baru, yang dimaksudkan oleh adikku itu."
"Kalau begitu, baiklah," Siauw Giok menerima baik pertaruhan itu. "Jika ternyata kakakku kalah
dalam pertempuran dengan si Lie Cwan, akan kubayar taruhanku dengan sepasang gaetanku ini!
Akur?"
"Akur!" sahut Kwee Liat dan Kwee Kin dengan suara yang hampir berbareng.
Oleh karena itu, maka batallah maksud Su Nio untuk berkemas-kemas dan sekarang berbalik
menantiken saat untuk bertempur dengan Sin-chio Lie Cwan di San-yang nanti.
Sesudah dahar nasi, Yo An Jie, Kwee Liat dan Kwee Kin bercakap-cakap di dalam kamar, sedang
Siauw Giok yang tidak biasa tinggal berdiam saja lalu mengajak Su Nio makan angin di luaran.Diwaktu mereka berdua membeli kue kering pada seorang pedagang yang berjualan di tepi jalan,
diam-diam dari kejauhan ada seorang yang mengintai kepada mereka berdua, tapi segera
menyelinap begitu Su Nio menoleh ke jurusannya.
Setelah balik kembali ke dalam kamar beberapa saat lamanya, mereka mendengar suara Kwee
Liat tengah menghardik seorang di luar kamar sambil berkata,"He, diam kamu setan! Di sini
hanya ada perempuan baik-baik, tapi bukan perempuan jahat sebagaimana katamu tadi, kau
mengerti"
Tatkala Yu Su Nio menjenguk keluar, di sana ia melihat seorang pelayan kecil tengah diancam
hendak dipukul oleh Kwee Liat, jika dia tak mau lekas-lekas berlalu dari situ.
Tapi si pelayan kecil dengan menangis tetap mengatakan,"Aku tidak berdusta, barusan aku
melihat Lauw Heng-siu yang bernama Su Nio masuk ke situ. Aku tidak keliru lihat!"
"Kurang ajar!" bentak Kwee Liat pula dengan sengit.
Syukur juga Yo An Jie keburu datang, kalau tidak, niscaya bocah itu sudah ditempiling oleh Kwee
Liat.
"Ada apa ini ribut-ribut?" katanya.
"Bocah ini sungguh kurang ajar sekali," kata Kwee Liat,"Barusan ia telah mengatakan bahwa ada
Lauw Heng-siu yang masuk kesini. Entahlah siapa yang dimaksudkan, atau dia telah salah mata
mengenali orang."
Yo An Jie yang teringat akan halnya Su Nio yang pernah mengaku she Lauw kepada Lauw Hengsiu di Pek-hoa-tien, diam-diam jadi mendongkol kepada adiknya yang pernah datang ke rumah
pelacuran mucikari she Lauw di sana, tapi sudah barang tentu ia merasa tidak enak untuk
membentangkan persoalannya sebenarnya di hadapan Kwee Liat, maka dengan gusar iapun
lantas membentak kepada bocah itu,"Engkau gila! Kami di sini adalah orang-orang she Yo, baik
kaum laki-laki atau perempuan, maka dimanakah ada orang bernama keluarga Lauw itu? Ayoh,
enyahlah kamu dari sini! Kalau tidak, akan kuhantam kepalamu dengan bangku ini!"
An Jie mengancam sambil mengangkat sebuah bangku.
Su Nio yang mendengar suara ribut-ribut yang mempunyai sangkut paut dengan dirinya sendiri,
diam-diam jadi sangat menyesal dan lalu berniat akan keluar dari dalam kamarnya, tatkala An Jie
yang tampak gusar berjalan masuk dan berpapasan dengan Thio Siauw Giok sambil berkata,"Nah,
sekarang kalian boleh saksikan, apa jadinya dengan perbuatan kalian yang telah lampau itu!"
Su Nio yang semula merasa bersalah, tiba-tiba jadi naik darah ketika mendengar kakaknya
menyesali perbuatannya dulu.
"Jika engkau takut kecipratan dengan kesalahanku yang telah lampau itu," katanya
sengit,"Biarlah aku berangkat seorang diri saja untuk menjauhkan diri dari kamu sekalian!"
Tapi An Jie yang khawatir adiknya akan marah sungguhan, terpaksa tersenyum dan berkata,"Apa
mau dikata. Aku hanya merasa tidak enak bahwa orang lain berani menuduhmu dengan
seenaknya saja!""Tapi dia sekarang telah kuusir setelah makan telapak tanganku!" kata Siauw Giok sambil
tertawa.
"Siapakah gerangan bocah itu?" Diam-diam Su Nio bertanya di dalam hatinya.
AN JIE yang rasa mendongkolnya belum reda, lalu menoleh ke arah Siauw Giok sambil
berkata,"Bukannya engkau bantu memberi penjelasan, tapi sebaliknya membuat keributan
semakin menjadi-jadi!"
"Siapa bilang aku membuat keadaan jadi semakin rusuh?" balas nona Siauw Giok dengan
membelalakkan matanya.
"Sudah, sudah! Jangan bikin ribut. Semua ini adalah karena kesalahanku juga!" Su Nio memotong
pertengkaran kedua orang
"Cie-cie tidak salah!" kata Siauw Giok. "Kita semua adalah orang baik-baik. Oleh sebab itu.
siapakah yang rela dimaki sebagai perempuan-perempuan jahat? Lagi pula perempuan-perempuan
jahat yang bernama Su Nio bukan karena dia she Yo atau lainnya saja tapi siapapun boleh pakai
nama itu tanpa ada orang lain yang melarang!"
"Apa kata Jie moy-moy itu memang benar sekali." nyeletuk Kwee Liat. "Sekarang tak usah kita
bertengkar pula. Barang siapa berani menghina Toa moy-moy dan Jie moy-moy dengan kata-kata
yang tidak baik itu, nanti akan kubeset mulutnya hingga terbelah dua!"
Hal mana telah membuat Su Nio yang merasa jengah dan berbareng geli di dalam hatinya jadi
berkata,"Sudalah, mari kita tidur siang-siang. Besok kita perlu berangkat ke San-yang untuk
menjumpai Kok Toako dan mewakilinya bertempur melawan orang she Lie itu!"
Dengan demikian, pertengkaran itupun berakhirlah sampai di situ.
Pada keesokan harinya sesudah dahar sarapan dan membayar sewa kamar dan harga makanan,
yang semula ditampik oleh pemilik kedai dan rumah penginapan itu, Yo Su Nio dan keempat
orang yang lainnya segera berniat untuk menuju ke San-yang, dengan Kwee Liat kakak beradik
berlaku sebagai penunjuk jalan mereka.
Tapi begitu Su Nio dan kawan-kawan keluar dari rumah penginapan tersebut, tiba-tiba ada
seorang mencekal kuat-kuat tali kekang kudanya sambil meratap,"Lauw Su Nio, sudah beberapa
kali aku mencarimu, tapi baru kali ini aku dapat menjumpaimu!"
Bahwa semua orang jadi terbengong menyaksikan sikap bocah yang aneh itu, itulah tak usah
diragukan pula. Bahkan Su Nio sendiri jadi mencelos hatinya ketika mendengar kata-kata yang
diucapkan bocah tersebut.
Yo An Jie, Thio Siauw Giok dan Kwee Liat kakak beradik jadi sangat gusar melihat sikap si bocah
yang keras kepala itu. Lalu mereka hendak mengusirnya, atau hendak memukulnya jika dia tak
mau menyingkir juga, tapi Su Nio lekas menyabarkan mereka sambil menggoyang-goyangkan
tangannya,"Nanti dulu! Kalian boleh bersabar sementara aku menanyakan kepadanya sepatah
dua kata untuk meminta keterangan serta sebab musabab ia mencari kepadaku." Oleh karena itu,
Yo An Jie dan yang lain-lain terpaksa menatap wajah bocah itu dengan sorot mata gusar dan
bersedia akan memukulnya, jika ternyata dia berani mengucapkan kata-kata yang dapat
memalukan pribadi Su Nio dan mereka sekalian."Yo Su Nio," kata bocah itu pula,"Engkau tentunya tak pernah lupa akan kebaikan serta
kemurahan hati induk semangku, diwaktu engkau melayaninya minum arak di rumah pelesiran
Lauw Heng-siu. Namaku Kie Hok, dan aku tak pernah lupa kepadamu, sejak aku melihatmu di
Pek-hoa tien di rumah pelesiran Lauw Heng-siu itu. Apakah barangkali engkau sudah lupa itu
semua?"
Yo Su Nio jadi kemekmek. Dalam keadaan demikian, maka teringatlah ia akan diri Lauw Yu,
karena dialah orang satu-satunya yang pernah dilayaninya minum arak, tatkala Su Nio berada
dalam kesukaran untuk menolong Siauw Giok yang pada waktu itu belum sembuh dari luka yang
pernah dideritanya dalam pertempuran dengan anak buahnya Lauw Lo Houw. Oleh karena itu,
dengan perasaan jengah ia bertanya,"Siapakah induk semangmu itu?"
"Dialah Lauw Yu, yang aku pastikan engkaupun tentu belum lupa." sahut Kie Hok. "Kali ini
engkau harus menolongnya! Engkau harus ingat akan budi kebaikannya yang pernah
dilimpahkannya atas dirimu!"
Mendengar kata-kata bahwa dia harus "menolongnya" itu, Su Nio jadi terbengong sejenak, ksr
n,"Aku bukan she Lauw, tapi she Yo. Coba terangkan kepadaku apa yang telah menimpa atas diri
induk semangmu?"
"Tempo hari ketika Su Nio tengah melayani induk semangku minum arak di Pek-hoa-tien."
menerangkan Kie Hok,"Apa mau dikata telah terjadi keributan karena kedatangan beberapa orang
mabuk yang mengacau kesana, sehingga kesudahannya mereka lari pontang-panting kena
dilabrak olehmu. Tapi siapa nyana bahwa diantara mereka ada seorang pangkat Cian-hu. Pek
Tek Ceng yang mempunyai hubungan erat dengan tentara Kim, hingga dengan mudah saja ia
mengadukan induk semangku pada pembesar militer di kampung halamannya yang segera
menangkap dan menahan induk semangku hingga sekarang ini. Sanak saudara dan handai
taulanku telah coba berdaya untuk menolongnya, tapi hingga kini belum juga mereka dapat
menolongnya. Oleh sebab itu, induk semangku pernah mengatakan kepadaku, bahwa lain
daripada Su Nio seorang, pasti takkan ada orang kedua yang akan dapat menolongnya. Itulah
sebabnya mengapa aku telah mencari Su Nio kian kemari, dan syukur juga masih aku ada umur
dapat berjumpa denganmu di sini, kalau tidak, entahlah bagaimana jadinya dengan induk
semangku itu, yang mengharap-harap pertolonganmu bagaikan orang yang mengharapkan hujan
dimusim kemarau!"
Dan tatkala Su Nio mendengar keterangan demikian, tak tertahan pula ia jadi mengucurkan air
mata sambil menundukkan kepalanya bagaikan sedang berpikir keras.
Sementara Kwee Kin yang membenci bangsa Kim dan kaki tangannya bagaikan binatangbinatang liar atau ular-ular yang berbisa, dengan lantas menghunus pedangnya dan menabas
batang pohon di tepi jalan sehingga putus menjadi beberapa potong.
"Basmi semua bangsa Kim untuk membebaskan negeri kita dari penjajahan!" serunya.
"Akur!" menyetujui yang lain-lainnya.
Sedang Su Nio sendiri lalu menabas batu dengan pedang mustikanya sehingga terbelah menjadi
dua potong.
"Jika aku tak dapat menolong Lauw Siangkong," katanya,"Aku bersumpah takkan mau menjadi
manusia!"Tapi setelah mengetahui bahwa Yo Su Nio pernah menjadi Heng-siu, diam-diam Kwee Liat kakak
beradik jadi dingin sikapnya terhadap si nona.
Sementara Thio Siauw Giok yang semula tinggal berdiam saja, tiba-tiba menjadi tak tertahan pula
untuk bertanya kepada Yo Su Nio demikian,
"Tempo hari ketika kita masih berada di Pek-hoa-tien, pada waktu petang telah mendengar orang
menyebut dirimu Heng-siu. Apa sih maksudnya kata-kata itu? Dan siapakah orang yang kau
bahasakan Lauw Siangkong itu?"
Wajah Su Nio jadi merah karena jengah, kemudian ia menghela napas dan menjawab,"Aku akan
jawab pertanyaanmu secara singkat, bahwa kita berdua telah menerima budi Lauw Siangkong
yang bukan kecil. Oleh karena itu, kita harus menolongnya dalam segala cara yang dapat kita
lakukan!"
Siauw Giok yang bersifat getas segera menjawab,"Jika dia itu tuan penolong kita, sudah barang
tentu kita harus menolongnya. Ayoh, mari kita pergi menolongnya seketika ini juga!"
Kwee Liat yang melihat sikap kedua kakak beradik yang begitu spontan, karuan saja jadi amat
gugup dan lalu mencekal tangan Su Nio sambil berkata,"Nanti dulu! Pegunungan yang kita tuju
sudah berada di depan mata, tapi mengapakah serta merta kau lantas mau menjauhkannya pula
Dewi Tombak Karya Unknown di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
untuk menolong orang di lain tempat yang letaknya bukan dekat itu?"
Oleh karena permintaan Kwee Liat yang begitu sangat, Su Nio terpaksa menunda permintaan Kie
Hok untuk menolong tuan penolongnya, tapi ia memberi jaminan kepada bujang kecil itu, bahwa
lambat atau cepat dia akan melaksanakan juga pertolongan itu, walaupun dirinya bisa binasa
karena melaksanakan tugas suci itu. Dengan demikian, Kie Hok pun baru merasa puas dan merasa
tidak kecewa mencari Su Nio sekian lamanya untuk menyampaikan permintaan tolong induk
semangnya, yang memang pernah melepas budi terhadap Su Nio dan adik angkatnya Siauw Giok.
Begitulah pada waktu Kwee Liat kakak beradik melaporkan tentang kedatangan Yo Su Nio dan
An Jie serta adiknya kepada Kok An Yong di atas benteng gunung dalam wilayah San-yang,
pemimpin pemberontak itu lalu mengajak Sin-Chio Lie Cwan dan anak buahnya untuk
menyambut serta mempersilahkan mereka sekalian naik ke atas gunung.
Ternyata nama Yo An Jie sebagai seorang pembuat pelana telah cukup terkenal dimana-mana,
lebih-lebih adiknya Yo Su Nio, yang selain memang sudah terkenal di kalangan Kang-ouw sebagai
Dewi Tombak, ketambahan pula ia kerap digembar-gemborkan namanya oleh Liok Kong yang
menjadi gurunya, hingga tidak heran jika banyak orang merasa gentar sebelum bertemu muka dan
menyaksikan dengan mata kepala sendiri tentang ilmu kepandaian main tombak si nona itu.
Begitulah setelah kedua pihak saling bertemu dan memberi hormat sebagaimana layaknya tuanrumah dan tamunya. Kok An Yong dan kawan-kawan segera mengajak Yo Su Nio bertiga saudara
naik ke atas gunung, dimana dengan secara cermat ia memperhatikan usia dan perawakan si tuan
rumah dan anak buahnya.
Untuk mempersingkat jalannya cerita, di sini kita hanya perlu memperkenalkan dua orang penting
yang merupakan peran-peran utama dalam cerita kita ini, yang pertama Kok An Yong, seorang
laki-laki berusia setengah tua, berwajah persegi, beralis tebal dengan mata yang besar. Ia bertubuh
agak jangkung dan mengenakan pakaian yang berlengan lebar, sehingga dengan begitu ia tampak
lebih mirip dengan seorang pelajar daripada seorang yang paham ilmu silat. Sedang Sin-chio LieCwan yang usianya masih muda belia, rambut di atas ubun-ubunnya dibuat sebuah konde siput
dengan memakai paku konde dari emas. Ia berpakaian warna biru muda, bertubuh kekar dan
berwajah tampan. Sikapnya lebih tepat dengan seorang pemuda keturunan bangsawan daripada
seorang pendekar muda yang hidup dikalangan Rimba Hijau. Oleh karena itu, Su Nio tampak
agak memandang rendah kepada si pemuda ini.
Selain kedua orang tadi, semua orang yang berkumpul di situ mengenakan jaket merah yang
bentuknya mirip dengan apa yang dikenakan oleh Kwee Liat kakak beradik. Maka Siauw Giok
yang melihat begitu, lantas ia mengerlingkan matanya ke arah Kwee Kin sambil bertanya dengan
suara pelahan,"Bila manakah engkau hendak memberikan jaket merah itu kepadaku?"
"Jika ukuran tubuhmu sudah diketahui," kata Kwee Kin, "Pada hari esok juga jaket merah
untukmu itu akan selesai digunting dan dijahit."
"Engkau harus jangan lupa," kata si nona pula. "Bahwa kakakku pada hari esok juga akan berlalu
dari sini."
Kwee Liat yang mendengar omongan itu, lantas tersenyum dan berkata, "Dengan susah payah
kami telah mengundang kalian datang kesini. Maka setelah kalian berada di sini, cara
bagaimanakah kalian boleh berlalu dengan seenaknya saja?"
Dalam perjamuan yang diadakan oleh Kok An Yong di situ sebagai penghormatan atas
kedatangan Yo Su Nio dan saudara-saudaranya, Lie Cwan bertindak sebagai tuan-rumahnya,
sehingga Kwee Kin mendongkol bukan -main dan mengomel di dalam hati atas kesombongan si
pemuda she Lie itu.
Sementara Siauw Giok yang seolah-olah telah dapat menerka maksud hati Kwee Kin, dengan
tersenyum lalu berkata dengan suara perlahan, "Itu semua adalah kesalahan Kok Toako sendiri.
Dia sendiri masih mempunyai begitu banyak anak buah yang setia kepadanya, tapi mengapa tidak
segera mengusir pulang saja si orang she Lie yang hanya sendirian itu?"
Kwee Kin jadi semakin jengkel mendengar omongan Siauw Giok yang dianggapnya
mencemoohkan dirinya itu. Tapi karena ia sendiri merasa tidak unggulan untuk melawan Lie
Cwan, maka timbullah dalam hatinya pikiran untuk memanasi hati si nona dengan berbicara
secara bisik-bisik, "Jie moy-moy mengapakah engkau tidak segera menganjurkan kakakmu turun
tangan menghajar Lie Cwan? Aku percaya, dengan ilmu kepandaian memainkan tombak
kakakmu itu, niscaya Lie Cwan akan dapat dikalahkan dengan mudah. Jika dia telah dikalahkan,
kedudukan sebagai pemimpin dapat dikembalikan kepada Kok Toako, sedang kedudukan sebagai
wakil pemimpin dapat diserahkan kepada kalian."
Siauw Giok tampak gembira mendengar keterangan Kwee Kin itu. Tapi karena Su Nio tampak
adem dan tidak mudah diadu domba orang, maka ia harus berfikir masak-masak kalau siasatnya
itu akan gagal, hingga ia berdiam sebentar untuk mencari akal, cara bagaimana agar ia dapat
memanaskan hati kakaknya itu. Setelah itu, barulah ia berkata, "Aku dapat suatu akal yang baik
sekali. Mula-mula aku boleh mencari alasan agar dapat bertanding dengan Lie Cwan, kemudian
berpura-pura kalah dan mengajukan kakakku sebagai lawannya. Dengan begitu sudah tentu
kakakku akan tampil kemuka untuk mempertahankan nama baikku dan berbareng melaksanakan,
undangan Kok Toako untuk melawan bertempur orang she Lie yang sombong itu!"
"Aiii, sungguh bagus sekali siasatmu itu!" Kata Kwee Kin dengan perasaan hati sangat girang.Begitulah selagi perjamuan itu masih berlangsung, tiba-tiba Siauw Giok telah mencabut sepasang
gaetannya dari gegernya, kemudian dengan mencekal senjatanya itu, ia memberi hormat kepada
para hadirin sambil berkata, "Kini untak menambah kegembiraan dalam perjamuan para
pendekar ini, ijinkanlah aku mempertunjukkan permainan gaetanku yang jelek ini."
Sesudah berkata demikian, dengan lantas ia putarkan sepasang gaetannya itu bagaikan sepasang
naga tengah bermain-main diantara gelombang laut dengan dibarengi oleh suara angin yang
menderu-deru dengan amat dahsyatnya, hingga Lie Cwan dan para pendekar yang berkumpul di
situ segera bersorak sorai karena amat kagumnya. Sementara Kok An Yong, sambil menoleh
kepada Yo Su Nio lalu mengangkat tangan memberi hormat dan berkata,"Jika adik perempuan
sampai seperti itu ilmu silatnya, inilah pasti, telah diperolehnya karena berkat pendidikannya
juga."
Tapi Su Nio lalu menjawab, bahwa semua itu adalah karena berkat keuletan Siauw Giok yang
kerap berlatih dengan secara giat sekali, hingga sekali-kali bukanlah karena jasa pendidikannya.
Padahal dia sendiripun tidak mengetahui, bahwa ilmu permainan gaetan Siauw Giok telah
diperolehnya dari ajaran seorang nikouw luar biasa di luar perbatasan Tembok Besar di daerah
Tiongkok utara.
Diwaktu bersilat hingga sampai di muka meja Lie Cwan, tiba-tiba Siauw Giok telah
menggerakkan salah sebuah gaetannya ke arah cangkir arak si pemuda she Lie, dengan maksud
mencari lantaran, untuk menantang bertempur sebagaimana apa yang telah direncanakannya
dengan Kwee Kin tadi.
Tapi Lie Cwan yang bermata sangat celi dan melihat gelagat yang tidak baik itu, begitu gaetan si
nona melayang kejurusan cangkir araknya lekas-lekas ia mengangkat cangkir tersebut dengan
tangan kirinya, sedang tangan kanannya segera digerakkan dan menjepit ujung gaetan nona itu
dengan dua jari tangannya dan tertawa sambil berkata, "Ahha ternyata permainan gaetanmu itu
sungguh lihay sekali!" Tapi bersamaan lengan itu, iapun segera mempererat jepitan kedua jari
tangannya itu, sehingga nona Siauw Giok tak mampu menggerakkan gaetannya itu, yang
seyogianya hendak disabetkan ke arah cangkir pemuda she Lie itu.
Siauw Giok jadi terkejut dan menyesal di dalam hatinya. "Pejajaran." katanya sambil mencoba
untuk menarik gaetannya yang dijepit oleh kedua jari tangan Lie Cwan itu. Tapi, walaupun ia
telah mengeluarkan sekuat tenaganya ia tak sanggup ia melepaskan gaetannya itu dari jari tangan
Lie Cwan, hingga ia berpura-pura tersenyum dan berkata, "Jika Lie Toako sudi, marilah kita coba
main-main untuk beberapa jurus lamanya!"
"Kita semua adalah orang-orang sendiri," jawab Lie Cwan dengan tersenyum, "Hingga kiranya
tidak perlu lagi akan kita main jago-jagoan diantara sesama teman..."
"Jadi dengan demikian," Siauw Giok segera memotong pembicaraan orang, "Engkau
menganggap bahwa kami bukan tandingan denganmu?"
"Bukan begitu." kata Lie Cwan, "Apa untungnya jika kita harus bertarung? Mungkin ada baiknya
juga jika kita saling menjajaki kemampuan yang kita miliki, tapi apakah perlunya kita saling
memperebutkan segala persoalan remeh?"Nona Siauw Giok yang bertabiat aseran tiba-tiba membelalakkan matanya dan
membentak,"Siapa bilang aku suka mengalah kepadamu? Tidak, tidak. Aku tak mau terima
usulmu itu!"
Lie Cwan yang akhirnya jadi jengkel juga melihat sikap nona itu dengan tersenyum getir lalu
berkata,"Sekarang begini saja.. Aku suka mengalah kepadamu. Dan bersamaan dengan itu akan
kuberi hadiah kepadamu sebuah jaket merah sebagai tanda kekalahanku terhadapmu."
"Tapi bagaimana aku bisa terima tawaranmu itu," sela Thio Siauw Giok, "Sedangkan aku sendiri
belum ketahui sampai dimana lihaynya ilmu tombakmu sehingga dengan itu engkau telah
memperoleh gelar si Tombak Sakti?"
"Itu semua hanya nama kosong belaka!" kata Lie Cwan sambil tersenyum getir.
Sementara Yo An Jie yang khawatir Siauw Giok akan menerbitkan keributan, dengan lantas ia
mencampuri berbicara, "Antara kita sendiri perlu apakah mesti saling uji kepandaian?"
"Jika tidak diuji," kata Siauw Giok lagi, "Cara bagaimana orang ketahui tenaga dan kepandaian
kita masing-masing? Ayoh, siapkan tombakmu!" Ia menoleh ke arah Lie Cwan. "Jika engkau tak
berani melawanhu, akan kuundang kakakku ini Hoa-chio Yo Su Nio alias si Dewi Tombak, pasti
engkau takkan mampu meladeninya. Oleh sebab itu, aku kira lebih baik kau bertempur denganku
saja!"
Lie Cwan yang tak rela dianggap sepi oleh setiap orang, sudah tentu saja dibikin menjadi
mendongkol dan bangkit dari tempat duduknya dengan wajah kemerah-merahan. "Jika engkau
begitu mendesak." katanya. "Akupun bersedia akan meladenimu, atau kepada siapa saja yang
bersedia akan pie-bu denganku!"
Dengan diucapkannya kata-kata itu, semua mata terutama Kok An Yong dan Kwee Liat kakak
beradik jadi menoleh ke arah Yo Su Nio, yang ternyata agak tersinggung mendengar kata-kata Lie
Cwan yang terakhir.
Maka dengan mengambil kesempatan sebelum Su Nio membuka mulut, Siauw Giok lalu
menoleh ke arah kakaknya sambil berkata, "Cie-cie, aku menantikan komandomu! Apakah
engkau yang bakal maju melawan Lie Toako, atau aku yang harus maju melawannya sebagai
wakilmu?"
Mendengar kata-kata itu, Su Nio jadi berpikir sejenak. Jika ia menyuruh Siauw Giok melawan
Lie Cwan, dia akan dicela orang dalam dua jalan, yang pertama ia bisa dikatakan takut bertempur
melawan Sin-chio Lie Cwan, sehingga ia mempergunakan siasat melelahkan orang dengan jalan
menyuruh Siauw Giok melawan bertempur terlebih dahulu kepada bakal lawannya itu kemudian
barulah dia sendiri yang maju melawan bertempur. Karena sudah pasti bahwa Siauw Giok bukan
lawan Lie Cwan yang setimpal. Kedua, ia pasti akan dikatakan pengecut oleh Kok An Yong dan
Kwee Liat kakak beradik, yang telah mengundangnya untuk bertempur dengan Lie Cwan. Karena
bukan dia sendiri yang segera maju untuk melawan pemuda she Lie itu, tapi sebaliknya mundur
teratur dengan mengajukan adiknya sebagai wakilnya. Oleh karena itu dengan perasaan agak ragu
ia telah memanggil Siauw Giok dengan isyarat gerak tangan dan berkata, "Engkau boleh mundur
dan segera pergi mengambil tombakku di sana!"
Dengan demikian, jelaslah sudah, bahwa Su Nio hendak melawan sendiri Sin-chio Lie Cwan,
tanpa berayal pula Siauw Giok segera mengambil tombak Lee hoa chio kakaknya yang diselipkandi sisi pelana kuda tunggangannya hingga dengan perasaan gembira ia menyerahkan senjata itu
kepada Yo Su Nio sambil berisik, "Hantamlah pemuda sombong itu untuk mempertahankan
nama baik kita!"
Su Nio hanya mengangguk, suatu tanda ia mupakat dengan omongan adiknya itu.
Oleh karena pie-bu ini seolah-olah telah sengaja diatur dari awal, maka tiada seorangpun antara
Api Di Bukit Menoreh 29 Hush Hush Trilogy Buku 3 Silence Karya Becca Fitzpatrick Playboy Dari Nanking 6
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama