Dewi Tombak Karya Unknown Bagian 3
para hadirin di situ coba mencegah berlangsungnya pertandingan itu. Bahkan Kok An Yong yang
masih tetap diakui sebagai pemimpin oleh anak-buahnya lalu memheri selamat kepada Sin-chio
Lie Cwan dan Hoa-chio Yo Su Nio dengan masing-masing meminum secangkir arak. Sudah itu,
mereka berdua lalu dipersilahkan berdiri di sebuah halaman yang agak luas, agar mereka dapat
bertanding dengan secara leluasa untuk mengeluarkan kepandaian masing-masing dengan
disaksikan oleh Kok An Yong beserta sekalian anak-buahnya.
Demikianlah setelah kedua pihak saling memberi hormat dan memilih tempat masing-masing, Lie
Cwan yang berlaku sebagai tuan rumah lalu mempersilahkan Su Nio untuk membuka serangan
terlebih dahulu.
Su Nio tidak menolak dari lalu menggerakkan tombak Lee-hoa chio di tangannya sambil
berkata,"Tengok tombakku!"
Sin-chio Lie Cwan yang menyaksikan serangan si nona tak dapat dibuat permainan, dengan lantas
mengangkat tombaknya sendiri untuk menangkis dengan gerakan secepat kilat, hingga dilain saat
dia yang semula diserang oleh nona itu, dengan cepat telah berbalik menjadi pihak yang
menyerang. Dan meskipun Su Nio menghujani seiangan-serangan yang berbahaya, tidak urung
dapat juga ia mengelakkannya dengan sebat sekali. Maka bagaikan baling-baling yang ditiup angin
topan, si pemuda she Lie telah mencoba untuk balas mendesak lawannya. Syukur juga Su Nio
pun tidak mudah menjadi gugup. Pada waktu melihat Lie Cwan balas menyerangnya, dengan
lantas ia mengubah siasat perlawanannya dengan mempergunakan ilmu tombak Lie Kong yang
terdiri dari 13 jurus, tapi ternyata dapat berubah-ubah begitu rupa sehingga mampu meladeni
bertempur musuh selama beberapa ratus jurus dengan tidak henti-hentinya.
Dalam pertempuran babak yang pertama sehingga ketiga, Lie Cwan masih berhasil dapat
mempertahankan dirinya. Tapi begitu pertempuran menjelang pada babak yang keempat, tiba-tiba
Lie Tiwan menjadi kabur matanya. Karena di samping menghindarkan diri dari pada seranganserangan Yo Su Nio yang seakan-akan telah berubah menjadi beberapa orang, iapun sekonyongkonyong mendapat firasat, kalau-kalau ia bisa mendapat malu besar karena dikalahkan oleh si
nona disaat itu, maka tanpa berayal lagi ia segera melompat keluar dari kalangan pertempuran.
Tidak perduli jika dengan jalan demikian ia boleh dianggap kalah. Karena akan keluar dari medan
pertempuran sebagai seorang yang hanya separuh kalah, adalah lebih baik daripada ia benar-benar
roboh karena dikalahkan secara total oleh pihak lawannya. Tapi, apa celaka, ketika baru saja ia
hendak mengubah siasat perlawanannya, tiba-tiba Su Nio telah meluncurkan tusukan kilat ke arah
uluhatinya, hingga Lie Cwan terkesiap dan lekas-lekas mencoba untuk menghindarkan diri dari
tusukan tersebut. Syukur juga ia berlaku cukup gesit, hanya merasa bajunya tersangkut sedikit tapi
baju di bagian dadanya itu telah robek kena dilanggar ujung tombak si nona, dirinya sendiri tinggal
selamat dan tidak kurang suatu apapun.
Diantara tampik sorak yang riuh, Lie Cwan mengangkat tangan memberi hormat kepada Yo Su
Nio sambil memuji kelihayan permainan tombak si nona itu.Tapi Su Nio yang menyaksikan Lie Cwan telah berlaku sportif dan mengaku kalah tanpa
mengunjukkan perasaan yang gusar atau mendendam di dalam hati, iapun merasa gembira sekali
dan lalu menyambut pemberian hormat pemuda itu dengan paras muka yang berseri-seri.
"Kesemuanya ini adalah Lie Toako yang telah berlaku mengalah kepadaku," katanya, "Tapi
bukanlah sekali-kali karena engkau sesungguhnya kalah bertempur denganku."
Setelah itu Kok An Yong segera menggenggam tangan mereka berdua dan mengajak mereka
kembali ke meja perjamuan.
Sementara Kwee Liat dan Kwee Kin yang juga ternyata ada ternyata adalah orang-orang gagah
yang sportif, dengan lantas melupakan segala ganjalan hati mereka terhadap Sin-chio Lie Cwan,
yang kini telah dapat dikalahkan oleh Yo Su Nio. Karena di samping mereka girang karena Lie
Cwan telah mengakui kekalahannya merekapun merasa tidak kecewa telah bersusah payah pergi
mengundang Yo Su Nio dan kakak serta adiknya datang ke markas besar mereka kaum Jaket
Merah di atas pegunungan San-yang.
Dan tatkala perjamuan itu telah ditutup. Lie Cwan kembali ke kamarnya dengan hati bimbang.
Karena sejak saat ia berjumpa dengan Yo Su Nio, hatinya jadi terpesona oleh kecantikan nona
yang kini telah menjadi pemenangnya bukan saja dalam ilmu permainan tombak, tapi juga dalam
perang asmara yang secara diam-diam telah terjadi di dalam hatinya sendiri. Oleh karena itu, pada
petang hari itu dia tak dapat tidur nyenyak. Duduk salah, bangunpun sami mawon. Sedang
bayangan si nona yang bertubuh langsing dan dapat bergerak dengan amat lincahnya, seolah-olah
sukar dihapus dari dalam kenangannya.
Begitulah selagi ia duduk melamun sendirian, tiba-tiba ia melihat di luar jendela, sesosok
bayangan manusia berkelebat dan bergerak bagaikan seekor burung kepinis gesitnya. Hal mana,
sudah barang tentu, telah membuat dirinya jadi terkejut dan lekas bangkit dari kursinya sambil
membentak, "Siapa?"
Tapi orang itu tidak menyahut. Lekas-lekas ia menghampiri ke depan jendela, dimana tampak
seorang wanita yang bertubuh kecil molek tengah berdiri tegak sambil menolak pinggang dan
menyoren sepasang gaetan di gegernya.
Lie Cwan segera kenali, bahwa nona itu bukan lain daripada Thio Siauw Giok adanya.
Sebelum ia membuka mulut untuk menanyakan maksud kedatangan orang, nona Siauw Giok
lalu berkata dengan suara yang menandakan kurang senang, "Setelah engkau dikalahkan oleh
kakakku, sekarang rupanya engkau hendak menipuku ya!"
Lie Cwan yang mendengar kata-kata si nona yang kurang dimengerti apa maksudnya itu, sambil
tersenyum lalu berkata, "Oh, tidok tahunya adik Siauw Giok yang datang berkunjung kesini.
Marilah masuk dan duduk-duduk di sini."
"Aku hanya datang untuk menagih janji," katanya singkat, tapi merdu sekali kedengarannya di
telinga si pemuda. "Engkau telah kalah bertaruh denganku, apakah engkau sekarang hendak
mengingkari janjimu itu?"
Lie Cwan jadi terbengong sejenak, tapi kemudian ia tersenyum, dan menjawab, "Cobalah engkau
katakan."Siauw Giok mengeluarkan suara jengekan dari lobang hidung, "Hm!" katanya, "Mana jaket
merah yang menjadi pembayaran taruhanmu?"
Mau tak mau Lie Cwan jadi tertawa mengakak. "Jaket merah itu ada di sini," katanya sambil
membuka peti pakaiannya dan keluarkan dua helai jaket merah tersebut yang lalu diserahkannya
kepada si nona sambil berkata, "Inilah pembayaran taruhanku. Harap adik sudi terima dan jangan
menjadi gusar atas kelalaianku!"
Tatkala coba-coba diukur, ternyata jaket itu tepat sekali dengan ukuran tubuhnya, maka dengan
girang Siauw Giok lalu hendak membawanya pergi, tapi Lie Cwan lalu memanggilnya kembali
dan bertanya, "Adik Siauw Giok, aku ada sepatah dua kata yang hendak ditanyakan kepadamu."
"Baiklah," kata si nona. "Engkau mau menanyakan apa? Cepat katakan, karena, aku tak ada
waktu untuk berbincang-bincang terutama pada waktu malam buta rata begini."
"Apakah kakakmu itu sudah mempunyai suami?" si pemuda she Lie dengan suara perlahan.
"Kakakku adalah seorang yang masih suci," sahut Thio Siauw Giok dengan ketus, "Apa
maksudmu berani mengucapkan kata-kata demikian?"
Lie Cwan jadi merah wajahnya karena jengah, sedang nona Thio segera berlalu dengan tidak
banyak bicara pula. Si pemuda berdiri di luar kamarnya. Tidak antara lama tampak Kwee Liat
yang sedang meronda, berjalan dan lantas bertanya "Siapa?" ketika melihat ada bayangan
manusia yang berdiri di luar kamar Lie Cwan.
"Kwee Thauw-nia," panggil si pemuda, "Marilah dahulu dan duduk-duduk di dalam kamarku."
Begitulah Kwee Liat menghampiri dan segera mengambil tempat duduk, Lie Cwan segera
bertanya dengan sikap yang malu-malu, "Ilmu tombak nona she Yo itu sungguh lihay sekali. Aku
ada suatu urusan dan hendak meminta bantuanmu."
Kwee Liat menatap Lie Cwan sambil berkata,"Lie Toako ada urusan apa sehingga memerlukan
bantuanku?"
Tampak paras Lie Cwan dengan tiba-tiba jadi merah, tetapi ia lantas menyahut, "Kwee Thauwnia, apakah kau ketahui bahwa nona she Yo itu belum bersuami?"
Kwee Liat jadi ragu-ragu mendengar pertanyaan itu, ia berdiam sejenak. Ia merasa tidak
berkeberatan untuk menjadi seorang perantara dalam soal pernikahan, tetapi setelah mendengar
kabar bahwa Su Nio pernah datang ke rumah pelacuran, hatinya jadi mundur-maju dan tak tahu
apa yang mesti diperbuat selanjutnya.
Tatkala Lie Cwan coba mendesak meminta keterangan tentang diri Yo Su Nio, Kwee Liat
terpaksa mengulangi apa kata Kie Hok yang pernah didengarnya selama masih berdiam di rumah
penginapan di Soan-hoa-tien.
Oleh karena itu, Lie Cwan jadi merasa kecewa dan mengakhiri pembicaraannya sampai di situ
saja, sehingga Kwee Liat pun segera meminta diri untuk melepaskan diri dari tanggung jawab
selanjutnya.
Sementara itu, Yo Su Nio justeru sedang menanyakan tentang hal ihwal Lauw Yu kepada Kie
Hok, sejak pertemuannya yang pertama sehingga pada waktu mereka saling berpisahan, yangmana telah dituturkan dengan selengkap-lengkapnya oleh bujang itu sambil tak henti-henti
mengucurkan air-mata. Sedang Yo An Jie yang merasa kesal duduk menganggur di dalam rumah,
lalu keluar berjalan-jalan seorang diri. Sambil mememandangi rembulan yang menyinari muka
bumi dari udara yang cerah, ia berpikir dimana ia dapat menumpangkan dirinya dengan aman.
Dan ketika baru saja ia berada di luaran, tiba-tiba ia mendengar suara Kok An Yong yang mencaci
maki seorang liauwlo sambil dipukuli dengan sengit dan berkata, "Jika omongan itu sampai
diluaran, akibatnya pasti akan memalukan sekali! Maka ka!au aku tidak memberi hukuman seperti
ini, pasti para liauwlo yang lainnya akan ikut-ikutan menyiarkan kabar buruk itu dengan
seenaknya saja."
Kata-kata itu terdengar dibarengi dengan suara sabetan camhuk yang bertubi-tubi, hingga liauwlo
itu jadi meratap-ratap dan berkata dengan terputus-putus, "Ampun, Cee cu-ya, lain kali aku pasti
tak berani bicara sembarangan lagi!"
Oleh karena itu, lekas-lekas An Jie menerobos masuk dan menolong liauwlo yang dihukum
rangket oleh Kok An Yong itu sambil menanyakan apa sebab musababnya. Tapi karena jawaban
Kok An Yong agak samar dan sukar di mengerti orang, maka diapun sebagai seorang tamu tak
dapat memaksakan diri untuk meminta keterangan lebih jauh. Maka sebegitu lekas ia
meninggalkan si orang Kok dalam asramanya, diam-diam An Jie telah mengikuti liauwlo yang
telah dihukum rangket itu untuk menanyakan apa sebab musabab sehingga dia mengalami
hukuman itu.
Si liauwlo lalu menerangkan dengan bisik-bisik kepada Yo An Jie, bahwa dia telah mendengar
Kwee Liat memberitahukan kepada Lie Cwan bahwa nona Su Nio itu pemah menjadi pelacur.
Sudah itu ia menyampaikan berita yang didengarnya kepada seorang rekannya yang bernama
Khouw Lo-sin sehingga kemudian ketahuan oleh Kok Toako, yang segera menjatuhkan hukuman
rangket serta mengancam akan dijatuhi hukuman yang lebih berat lagi, jika selanjutnya ia masih
berani menyiarkan kabar yang dapat memburukkan nama nona Su Nio itu.
Oleh sebab itu, sudah barang tentu Yo An Jie jadi sangat terkejut dan berpikir di dalam hatinya.
Jika persoalan adik perempuannya sampai diketahui orang dan tersiar di luaran, niscaya akibatnya
tak dapat dikatakan kecil, sehingga itu akan dapat menodai nama Su Nio untuk seumur hidupnya.
Sedang ia sendiri yang menjadi kakak kandungnya, pasti akan ikut juga terseret ke dalam persoalan tersebut. Maka untuk menghindarkan diri daripada kabar-kabar yang tidak enak itu, ia pikir
tak ada jalan lain daripada segera angkat kaki dari benteng gunung di situ selekas mungkin. Dan
tatkala ia memberitahuan hal ini kepada Su Nio dan Siauw Giok yang sedang mendengarkan
penuturan Kie Hok tentang nasib induk semangnya, mereka berduapun jadi sangat terkejut dan
segera bersiap-siap untuk berangkat pergi secara diam-diam. Kemudian mereka berempat
menunggang kuda dan meninggalkan markas besar kaum Jaket Merah, setelah Siauw Giok
meninggalkan kedua helai jaket yang telah diperolehnya dari Lie Cwan itu.
"Koko dan Kie Hok boleh berjalan lebih dulu," kata Yo Su Nic, "Sedang aku dan adik Siauw
Giok akan mengikuti belakangan."
An Jie mufakat dan lalu mengajak bujang Lauw Yu untuk berangkat selekas mungkin, hingga
dalam waktu singkat mereka telah terpisah jauh dari kedua orang gadis jelita itu.
Berselang kira-kira 3 jam sejak berlalunya An Jie dan Kie Hok, barulah Su Nio dan Siauw Giok
turun gunung, tiba-tiba selagi mereka turun dari jalan gunung itu, mereka melihat serombonganorang-orang berkuda yang telah mencegat mereka di tengah jalan, sehingga Yo Su Nio segera
tampil kemuka sambil bertanya, "Apakah orang yang mendatangi itu bukan Kok Toako?"
Mereka berdua sama sekali tak menyangka, bahwa pertanyaan itu akan mendapat jawaban yang
begitu ketus,
"Siapa itu Kok Toako atau Kok Siauw-ko? Kami tidak kenal siapa dia itu. Kami hanya tahu bahwa
di sinilah sarangnya para bajingan pemberontak itu!" Demikianlah menjawab seorang diantara
rombongan orang berkuda itu.
Su Nio jadi terkejut dan lekas menahan tali kekang kudanya sambil berkata, "Engkau siapa?"
Tanpa banyak bicara pula 6 atau 7 orang laki-laki berkuda yang bertubuh tinggi besar itu segera
maju mengepung Su Nio dan kawan-kawan dari empat penjuru, sedang salah seorang antaranya
yang tetnyata bukan lain daripada Wan Gan Cek, lalu menuding kepada si nona dengan
cambuknya dan membentak, "Kali ini akan kulihat cara bagaimana kalian akan meloloskan diri
dari dalam tanganku!"
Kemudian tampil kemuka seoreng pemuda bangsa Kim yang berwajah tampan dan bertubuh
kekar sambil membentak,"Hap Nouw Siu Bun ada di sini!"
Siauw Giok yang berdarah panas lekas menghunus sepasang gaetannya dan balas berseru,
"Engkau tak usah banyak bacot, Akulah akan menjadi lawanmu!"
Hap Nouw Siu Ban yang merasa lebih baik mendahului turun tangan daripada mengasih diri
sendiri diserang orang, segera menghunus pedangnya dan menepuk kudanya yang lalu menerjang
maju.
Begitulah kedua orang itu telah mulai serang menyerang dengan tak banyak bicara pula.
Mereka bertempur dengan sama gagah dan beraninya, hingga semua orang jadi sangat kagum atas
kelihayan kedua orang itu.
Tatkala pertempuran berlangsung beberapa belas jurus lama, tiba-tiba Hap Nouw Siu Bun berseru
sambil menabaskan pedangnya ke arah Thio Siauw Giok, hingga si nona yang coba menahan
bacokan itu, bukan saja tak berhasil, malah gaetannya sendiri telah terpental dan jatuh di tanah.
"Ha, ha, ha!" mengejek pahlawan bangsa Kim itu. "Tidak tahunya hanya sebegitu saja
kekuatanmu!"
Tapi siapa nyana sebelum kata-katanya itu selesai diucapkan, dengan lincah sekali Siauw Giok
telah berlompat turun dari kudanya dan memungut gaetannya yang jatuh itu. Sudah itu, dengan
kecepatan bagaikan angin, ia lompat pula ke atas punggung kudanya dan membentak, "Tak usah
engkau mencemoohkan orang! Ini gaetanku yang lainnya akan segera mendobrak uluhatimu!"
Kemudian, dengan sama cepatnya dengan suara yang diucapkan si nona itu, Siauw Giok
menggerakkan gaetannya ke arah dada Hap Nouw Siu Bun dalam ilmu permainan gaetan yang
bernama Huw-hun-kauw atau penggaet sukma, hingga pahlawan bangsa Kim yang ketahui betapa
lihaynya serangan itu jadi terkesiap hati dan bertanya, "Nona ini orang pandai dari golongan
mana?"Siauw Giok tertawa mengejek dan menjawab, "Tak usah engkau banyak tanya menanya, karena
aku lebih memerlukan kepalamu daripada segala pembicaraan yang tak ada manfaatnya!"
Melihat nikap si nona yang begitu ketus, Hap Nouw Siu Bun-pun tak banyak bicara pula dan
segera menindas gaetan si nona dengan tak segan-segan pula, sehingga Siauw Giok menjerit dan
berdaya upaya untuk mempertahankan gaetannya, agar senjata itu tak sampai terpukul dan jatuh
pula ke tanah serupa tadi.
Dan begitu lekas ia menjerit, Siauw Giok telah mengayunkan gaetannya yang dicekal di tangan
kanan dengan apa ia menusuk dada lawannya dengan sekuat tenaganya.
"Waspadalah dengan serangan gelap dari pihak musuh!" Wan Gan Cek memperingatkan
kawannya. Tapi Hap Nouw Siu Bun seolah-olah tidak menghiraukan peringatan itu, ia
membiarkan gaetan si nona meluncur kejurusannya. Kemudian, dengan gerakan yang hampir
tidak terlihat karena saking cepatnya, ia mengibaskan gaetan Siauw Giok yang sebelah kiri, sedang
gaetan yang hendak mendobrak dadanya segera dikebut oleh pedang di tangannya hingga Siauw
Giok jadi terdorong mundur dan hampir saja jatuh terguling dari atas punggung kudanya.
Hap Nouw Siu Bun tertawa mengakak. "Ternyata kepandaianmu itu masih belum cukup untuk
bertempur denganku!" ejeknya.
Su Nio jadi mendongkol dan lalu tampi! kemuka sambil memutar tombaknya.
"Siauw Giok, lekas mundur!" katanya.
Siauw Giok menurut. Ia mundurkan kudanya kesamping sambil menuding pada Hap Nouw Siu
Bun. "Sekarang engkau boleh jaga baik-baik kepalamu dalam pertempuran dengan kakakku!"
serunya.
Su Nio lalu tepuk punggung kudanya, yang berlompat maju kemuka bagaikan sebatang anak
panah cepatnya. Dan dilain saat kedua orang itu telah bertempur dengan tidak banyak bicara pula.
Hap Nouw Siu Bun yang sama sekali tak menyangka akan mendapat lawan yang begitu tangguh
keruan saja jadi terkejut bukan main. Karena walaupun ia melakukan serangan betapa hebat
sekalipun ternyata Su Nio tidak mundur barang setapakpun. Dengan demikian, rasa putus asa
segera mulai timbul dalam hati pahlawan bangsa Kim itu. Tapi sebagai seorang pahlawan yang
pantang mundur, ia tidak mengutarakan rasa putus asa itu pada wajahnya.
Sementara Su Nio yang tidak hendak memberi kesempatan kepada pihak musuhnya itu, lalu maju
mendesak dan menghujani tusukan yang berrtubi-tubi ke arah tubuh si pahlawan muda, hingga
Wan Gan Cek jadi cemas hatinya dan segera menyerukan sekalian anak semangnya, bahwa
barang siapa yang dapat menangkap hidup nona yang sangat mempesonakan hatinya ini akan
diberi hadiah besar dan dapat naik pangkat sebagai jasa dan jerih payahnya. .
Oleh sebab itu, para pengawal pribadi Cian-hu bangsa Kim itu jadi semakin giat melakukan
pengepungan, sehingga Su Nio tak berdaya akan meloloskan diri dari kepungan musuh dengan
hanya seorang diri saja.
Selagi Su Nio menerjang ke kiri kanan bagaikan harimau betina yang haus darah, tiba-tiba ia
merasakan dirinya terperosok dan terjatuh karena terjirat oleh tambang-tambang jiretan yangdilontarkan dengan serentak oleh para pengawal Wan Gan Cek itu. Maka begitu ia terjatuh dari
kudanya, ia mendengar Wan Gan Cek berseru "Lekas tangkap dan ringkus dirinya!"
V. TANPA diperintah dua kali, Hap Nouw Siu Bun telah menubruk dan menangkap nona Su Nio.
Tapi Siauw Giok yang tak mau membiarkan kakaknya ditawan orang, segera menerjang pahlawan
bangsa Kim itu dengan gaetan Houw-kauw-kauw di tangannya sambil membentak, "Jangan raba
tubuh kakakku! Ni, kau boleh rasakan gaetanku!"
Hap Nouw Siu Bun hampir saja kena dilukai oleh Thio Siauw Giok, jika para pengawal Wan Gan
Cek tidak lekas maju mengerubuti nona itu dengan serentak. Oleh karena itu terpaksa Siauw Giok
melawan mereka bertempur dengan napsu amarah yang berkobar-kobar.
Syukur juga selagi keselamatan mereka berdua bagaikan tergantung atas selembar rambut, dengan
sekonyong-konyong ada dua orang berkuda yang membeda! kuda mereka bagaikan terbang
cepatnya, kemudian terdengar mereka berseru dengan suara yang hampir berbareng, "Awas
tombak!
Siauw Giok segera kenali, bahwa kedua orang yang baru datang itu bukan lain daripada Kok An
Yong dan Lie Cwan adanya, hingga dengan begitu dia tak usah melawan bertempur Hap Nouw
Siu Bun beserta anak buah Wan Gan Cek, tapi lekas-lekas mengangkat bangun Su Nio dan
mengambil tombaknya yang jatuh menancap di atas tanah.
Oleh karena orang-orang dipihak musuh berjumlah lebih banyak, maka Su Nio dan Siauw Giokpun tak mau membiarkan Kok An Yong dan Lie Cwan dikeroyok para pengawal Wan Gan Cek,
maka dengan mencekal senjata dan menunggang pula kuda masing-masing, kedua orang dara
pendekar ini segera membantu kawan-kawan mereka untuk melabrak musuh.
Selanjutnya Wan Gan Cek yang khawatir akan masuk perangkap kaum Hong-auw-kun, akhirnya
terpaksa kabur dengan diikuti oleh Hap Nouw Siu Bun dan kawan-kawannya.
Dewi Tombak Karya Unknown di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Yo Su Nio yang melihat Cian-hu bangsa Kim dan anak-buahnya itu telah melarikan diri, segera
memberi hormat kepada Kok An Yong dan Lie Cwan sambil menyampaikan terima kasihnya atas
pertolongan mereka tadi.
Tatkala kedua orang pemimpin itu mengundang untuk kedua dara itu kembali ke atas gunung, Yo
Sun Nio lalu menampik dengan secara manis, hingga Lie Cwan tampak murung dan bertanya,
apa sebab musababnya mereka menampik undangan itu. "Apakah karena pelayanan kami kurang
memuaskan?" Demikian akhirnya ia mengakhiri pertanyaannya.
Tapi Su Nio hanya mengganda bersenyum dengan wajah yang memerah karena jengah, tapi tidak
menjawab barang sepatah katapun.
"Kami telah, menerima undangan Kok Toako untuk melawan menempur dirimu," sela Thio
Siauw Giok sambil menoleh kepada Lie Cwan. "Maka setelah kamu berdua saling maafmemaafkan serta suka bekerja sama, apakah faedahnya kita lebih lama di atas gunung?"
Kata-kata itu telah membuat Kok dan Lie menjadi bungkam, hingga Su N o terpaksa mengomeli
adiknya, "Engkau jangan bicara seenaknya saja!""Apa yang dikatakan adik Siauw Giok itu," kata Kok An Yong sambil tertawa getir "Memanglah
bukan dusta adanya. Maka kalau Su Nio tak dapat memaafkan itu, kamipun tak punya muka
untuk menahanmu sekalian."
Sesudah berkata demikian, lalu ditanggalkannya gelang emas di tangannya serta dilontarkan
kepada Yo Su Nio sambil berkata, "Barang ini dapat engkau pergunakan untuk segala keperluan
dalam perjalanmu."
Tapi dengan tersenyum dingin Yo Su Nio segera melontarkan balik ke dalam telapak tangan Kok
An Yong sambil berkata, "Aku tak berani terima pemberian orang lain, harap Kok Toako suka
memaafkan atas tampikanku ini. Sedang atas budi kebaikanmu ini, aku mengucap banyak-banyak
terima kasih."
Oleh karena itu An Yong-pun terpaksa menerima gelang emasnya itu!
Setelah kedua pihak saling memberi hormat dan berpamitan, Su Nio menepuk punggung
kudanya. Setelah beberapa saat kemudian mereka mendengar ada orang yang memanggilmanggil. Dan tatkala mereka menoleh ke belakang, ternyata Lie Cwan tengah mendatangi sambil
melambai-lambaikan tangannya.
Yo Su Nio lekas menahan tali kekang kudanya dan bertanya, apakah maksud Lie Cwan menyusul
mereka berdua?
Mula-mula si pemuda hendak mengatakan sesuatu kepada nona Su Nio, ketika menoleh dan
menatap wajah Siauw Giok, ia segera urungkan niatannya untuk berbicara.
"Jika ada sesuatu yang terkandung di dalam hatimu," kata si nona yang nakal itu, "Bolehlah
engkau segera katakan tanpa malu-malu lagi, meskipun sekarang aku berada di sini. Karena
bagaimanapun engkau menyampaikan kata-kata sesuatu kepadanya di luar tahuku, akhirnya Ciecie akan menyampaikan itu juga kepadaku!"
Lie Cwan tinggal diam terus, walaupun tangannya merogo ke dalam sakunya serta mengeluarkan
sebuah mainan yang dibuat dari pada batu kumala hijau dalam bentuk seekor naga yang membelit
seekor burung dewata, yang lalu dipersembahkannya kepada nona Su Nio sambil berkata,
"Barang mainan ini adalah barang pusaka dari nenek-moyangku, yang kini aku serahkan kepadamu sebagai suatu peringatan dari perasaan kagum atas keberanian dan kepandaian ilmu silatmu
yang begitu lihay."
Tapi ketika Su Nio menanyakan mengapa ia rela mempersembahkan barang pusakanya itu
kepadanya, Lie Cwan, tidak menjawab barang sepatah katapun. Lalu ia membalikkan kudanya
dan membedal binatang itu kembali ke atas gunung. Sementara Siauw Giok yang merasa tertarik
oleh mainan naga-nagaan membelit burung dewata itu, dengan lantas ia tertawa dan berkata,
"Aiii, mainan ini sungguh indah sekali! Jika engkau tidak menyukainya, berikan saja itu
kepadaku!"
Oleh karena nona Su Nio tidak menjawab pertanyaannya, maka Siauw Giokpun lalu
mengambillah mainan tersebut, yang lalu digantungkan, di dadanya sendiri.
Setelah itu, mereka lalu menyusul Yo An Jie yang ditemani oleh Kie Hok menuju ke kota Cenghian-tien, dimana Lauw-Yu serumah tangga di situ tengah menderita kecelakaan karena difitnah
orang. Soalnya, menurut keterangan Kie Hok, Cian-hu dari kota tersebut yang bernama Pek TekCeng telah bersekongkol dengan bangsa Kim untuk memeras harta Lauw Yu sehingga sejumlah
100 ribu tail perak lebih. Oleh karena Lauw Yu telah melakuken perlawanan dan tidak mandah
saja diperlakukan orang dengan seweneng-wenang, maka akhirnya ia telah dikeroyok ditangkap,
disiksa dan dijebloskan ke dalam penjara dengan tuduhan bersekutu dengan kaum pemberontak
yang dikatakan hendak mengusir serta membasmi seluruh bangsa Kim yang datang mengacau ke
tanah Tionggoan.
Itulah sebabnya mengapa Kie Hok begitu bingung dan tergesa-gesa meminta pertolongan Yo Su
Nio, yang semula disangkanya she Lauw, berhubung diwaktu ia pertama menjumpainya di rumah
pelacuran Lauw Heng-siu nona itu pernah mengaku she Lauw di hadapan Lauw Yu. .
Maka setelah duduknya persoalan telah diketahui dengan sejelas-jelasnya, tanpa berayal pula ia
telah mengajak Yo Su Nio dan kedua saudaranya untuk datang ke kota Ceng-hiang-tien di tempat
itu mereka justeru telah menyaksikan isteri Lauw Yu tengah diseret oleh serombongan serdadu
Kim yang garang dan hendak membawanya pergi dari situ dengan secara paksa. Tapi karena
nyonya ternyata melakukan perlawanan dan memaki-maki dengan secara membabi buta maka,
para serdadu itupun jadi sangat gusar dan menyeret nyonya itu dengan cara yang lebih keras dan
tidak mengenal perikemanusiaan. Hal mana sudah barang tentu, telah membuat Siauw Giok
menjadi naik darah dan meluap amarahnya. Ia bergegas menghampiri serta datang menyela
sambil membentak, "Apa yang telah kalian lakukan terhadap perempuan yang lemah? Rasakan
tinjuku!"
Sambil berkata demikian, si nona yang garang itu telah ayunkan tinjunya ke arah muka salah
seorang serdadu Kim yang mencekal nyonya Lauw, sehingga si serdadu menjerit keras dan jatuh
meloso seketika itu juga. Kemudian ia gerakkan kaki dan tangannya untuk menghajar para
serdadu itu, tanpa memperdulikan bahaya apa yang akan menimpa kepada dirinya selanjutnya.
Sementara Kie Hok yang tidak pandai menunggang kuda dan tak berani membedal kuda
tunggangannya dengan secepat-cepatnya, sudah tentu saja baru tiba di situ dikala pertempuran
antara si nona dan para serdadu Kim itu telah terjadi. Maka begitu menyaksikan nona Siauw Giok
tengah melabrak musuh, dengan hati berdebar-debar ia berseru, "Nona, mereka itu adalah induk
semangku, harap nona segera menolongnya!"
Nona Siauw Giok yang mendengar keterangan demikian, tidak tempo lagi segera melabraknya
dengan sehebat-hebatnya, sehingga 7 atau 8 orang musuh telah dibuat mencium tanah, hidung
mereka keluar kecap atau beberapa buah gigi mereka memberi selamat tinggal kepada gusi masingmasing. Salah seorang antara serdadu-serdadu itu adalah seorang Han, hingga dengan perasaan
gemas si nona segera mencekal leher bajunya sambil dihujani pukulan dan makian, "Pengkhianat!
Jika bangsa Kim menista dan berlaku lalim terhadap seorang Han, itu kuanggap bukan soal yang
aneh, berhubung dia dan si bangsa Han adalah berlainan suku. Tapi, seorang Han yang membantu
bangsa lain untuk menindas serta mempersukar sesama bangsanya sendiri, itulah merupakan
suatu perbuatan yang sangat rendah dan tak dapat diberi ampun lagi! Nah, ini kau rasakan tinju
dan telapak tanganku!"
Begitulah sambil membarengi dengan berakhirnya kata-kata itu, Siauw Giok segera memukul
batok kepala serdadu Han kaki tangan bangsa Kim itu sehingga jatuh meloso di tanah dengan otak
remuk dan menghembuskan napasnya yang terakhir seketika itu juga.
Kemudian ia melabrak yang lain-lainnya sehingga mereka menderita luka-luka dan lari pontang
panting bagaikan sekawanan lebah yang sarangnya tiba-tiba dibakar orang.Yo Su Nio dan Yo An Jie yang melihat Siauw Giok telah menerbitkan keonaran besar, keruan
saja jadi amat terkejut dan segera mengajak Lauw Toanio menyingkir ke lain tempat. Tapi karena
mengingat bahwa suaminya masih berada dalam tahanan dan mungkin juga akan disiksa terlebih
hebat karena perbuatan nona Siauw Giok yang dianggapnya terlampau ceroboh itu, mula-mula ia
hendak menolak atas ajakan nona Su Nio itu, tapi setelah si nona berjanji akan menolong Lauw
Yu yang pernah menjadi tuan penolongnya dengan cara yang dapat dilakukannya, maka Lauw
Toa-nio barulah suka menurut dan lalu dinaikkan ke atas kuda nona itu, yang telah melindunginya
dengan tombak Lee-hoa-chio di tangannya. "Barang siapa yang berani coba mencelakai dirimu,"
si nona berkata dengan suara mantap, "Maka akulah yang akan menjadi lawannya. Akan kuadu
jiwaku jika keadaan meminta!"
Tidak antara lama dari kejauhan tampak debu yang bergulung-gulung naik ke udara, suatu tanda
bahwa di muka perjalanan mereka ia sepasukan serdadu yang sedang mendatangi. Hanya tidak
diketahui apakah mereka khusus dikirim oleh pemerintah untuk menangkap mereka, atau
kejadian itu hanya merupakan suatu hal kebetulan saja, hingga Kie Hok yang terlebih dahulu
dapat menyaksikan gelagat yang tidak baik itu, dengan wajah pucat ia lantas berkata,"Celaka! Di
muka perjalanan kita ada sepasukan serdadu Kim sedang mendatangi!"
Semua orang jadi sangat terkejut, tapi Lauw Toa-nio yang siang-siang telah mengetahui pasukan
siapa itu yang sedang mendatangi mereka segera berkata dengan nada gembira, "Mereka bukan
serdadu Kim, tapi kakak misanku beserta anak buahnya, karena bendera yang dipakai adalah
bendera hitam. Aku kenali dia karena ciri benderanya itu."
Kakak misan Lauw Toa-nio yang bernama Ngo Sian Tie itu, ternyata semula membuka
perusahaan angkutan atau pio-hang, tapi karena kemudian ia telah mengalami bentrokan dengan
kaum berpangkat, maka akhirnya ia terpaksa kabur untuk menyelamatkan diri dengan jalan
menjadi berandal dan bersembunyi dalam daerah pegunungan yang jarang dikunjungi orang. Kali
ini ia telah mengajak anak buahnya turun gunung untuk menolong keluarga Lauw yang kabarnya
difitnah oleh Cian-hu di kota Ceng-hian-tien. Tapi tidak dinyana ia telah datang pada waktu yang
tepat sekali, sehingga ia dapat menolong Lauw Toa-nio dari kejaran musuh. Maka dengan
menangis sedih Lauw Toa-nio telah menuturkan kepada Ngo Sian Tie, kecelakaan apa yang telah
terjadi di dalam rumah tangganya.
Sementara Ngo Sian Tie yang mendengar keterangan demikian dengan lantas ia menghibur
kepada adik misannya itu, bahwa pertolongan terhadap Lauw Yu akan diatur olehnya selekas
mungkin. Lebih-lebih karena dipihak mereka telah bertambah dengan Yo Su Nio dan kedua
saudaranya yang berkepandaian silat sangat tinggi, maka mustahil akan pertolongan itu sampai
gagal untuk dilaksanakan sebagaimana pengharapan semua orang disaat itu.
Oleh sebab ilu, hati Lauw Toa-nio jadi merasa agak terhibur dan menyerahkan soal pertolongan
atas diri suaminya ke tangan Ngo Siang Tie dan Yo Su Nio serta kedua orang saudaranya.
Sedangkan Yo An Jie yang memang telah sekian lamanya bermaksud akan memberontak kepada
pemerintah Kim yang berkuasa pada masa itu hatinya jadi semakin mantap karena terdorong oleh
keadaan buruk dan anjuran Ngo Sian Tie dan kawan-kawan hingga dengan lantas ia menawarkan
diri untuk jalan di muka dalam rencana penyerbuan ke dalam kota Ceng-hian-tien untuk
menolong Lauw Yu dari dalam penjara.
Tapi Yo Su Nio yang khawatir An Jie menerbitkan keonaran juga menerbitkan kegagalan dalam
rencana yang hendak dilaksanakan mereka itu, maka terlebih dahulu ia telah mengusulkan, agarLauw Toa-nio diantar dahulu ke atas gunung, kemudian barulah dengan beramai-ramai
melakukan penyerbuan kilat ke kota Ceng-hian-tien. Usul nona itu disetujui oleh semua orang.
Begitulah sesudah Lauw Toa-nio diantarkan ke atas gunung, An Jie dan Ngo Sian Tie yang
bertabiat tidak sabaran dan sembrono, tanpa menghiraukan pula apakah Su Nio telah siap
mengatakan rencananya atau tidak, sudah lantas menyerbu masuk ke kota Ceng-hian-tien dan
terus menuju ke kantor Cian-hu dengan diiringi, anak buahnya. Sedang Thio Siauw Giok yang
juga tak mau kala, iapun telah membedal kudanya maju menyerbu dengan sepasang gaetan Houwthauw-kauw di tangannya. Oleh karena itu, mau tak mau, Su Nio-pun terpaksa menuruti
kehendak mereka, walaupun dalam hati ia tidak setuju akan penyerbuan itu dilakukan dengan
cara yang begitu tergesa-gesa. Tapi karena serbuan itu telah dilakukan mereka dengan secara tibatiba, sudah barang tentu para penjaga bui dan serdadu yang sedang menjaga kantor pembesar di
situ jadi kalang-kabut, hingga setengah diantara mereka telah kabur sebelum melakukan
perlawanan sedang setengah pula tidak keburu melakukan perlawanan dan hampir semua
menderita luka-luka ringan dan karena gugup atau memang tak mampu untuk melakukan
perlawanan sebagaimana mesfinja.
Sementara itu Yo Su Nio yang lebih mementingkan untuk menolong Lauw Yu daripada
membasmi para serdadu Kim, segera mengajak Siauw Giok untuk mengikutnya pergi mencari
kamar tahanan Lauw Yu, dan setelah mencari kian kemari beberapa lama barulah ia bertemu
seorang serdadu yang telah ditangkap memberitahukan kepada mereka dimana letaknya kamar
tahanan hartawan she Lauw itu. Maka Su Nio yang mendengar begitu, dengan lantas ia membedal
kudanya sambil berkata kepada Siauw Giok,"Dik! Mari kita pergi ke sana!"
Siauw Giok menurut. Di sepanjang jalan mereka telah melabrak sisa para serdadu yang coba
menghadang mereka berdua. Tapi, seperti juga para penjaga kantor pembesar dan penjaga bui,
mereka itupun telah dibikin tak berdaya dengan perlawanan-perlawanan yang sangat dahsyat,
sehingga beberapa orang antaranya telah tewas jiwanya dalam tangan Siauw Giok yang yang
sangat benci terhadap sesama bangsa Han yang bersemangat tempe dan telah menjadi budak dari
bangsa asing yang menjajah tanah air mereka.
Selanjutnya sesudah mendobrak penjara dan menolong Lauw Yu yang keadaannya sudah separuh
mati, Su Nio lalu naikkan tuan penolongnya itu ke atas kudanya. "Mari kita segera berlalu!"
ajaknya kepada Siauw Giok yang melindunginya dari arah belakang.
"Tidak!" sahut nona Siauw Giok getas. "Jika belum kumusnahkan seluruh gedung pembesar
durjana ini, belumlah puas rasa hatiku!"
Setelah berkata demikian, lekas-lekas dinyalakannya api dengan mempergunakan bahan-bahan
yang mudah terbakar, dengan mana ia telah membakar gedung Cian-hu di situ dari segala jurusan,
sehingga para penghuninya jadi kalang-kabut dan berlari-lari kian kemari untuk menyingkir jauhjauh dari bahaya maut.
Cian-hu Pek Tek Ceng yang semula bersembunyi di dalam kota untuk menyelamatkan diri dari
pada mara bahaya yang akan menimpa kepada dirinya sendiri, akhirnya terpaksa berlari-lari
dengan tergesa-gesa dan menyerukan anak-buahnya, "Tangkap itu bangsa pengkhianat! Tangkap
itu bangsat pengkhianat!"DEWI TOMBAK
HOA-CHIO YO SU NIO
Jilid III
Siauw Giok yang mendengar begitu, napsu amarahnya jadi amat meluap dan segera kaburkan
kudanya ke arah pembesar bajingan itu sambil berseru dengan suara nyaring, "Bukan kami, tapi
engkau sendirilah yang harus dicap sebagai bangsat pengkhianat hina-dina, anjing bangsa asing
yang berkulit muka sangat tebal! Tak punya rasa malu atau bertanggung jawab atas negara dan
sesama bangsa sendiri. Oleh sebab itu, manusia-manusia hina sebagaimana ini, lebih baik disapu
bersih dari muka bumi, daripada dibiarkan hidup untuk menerbitkan semakin banyak kedosaan
dan kejahatan sesama manusia!"
Sambil berkata demikian, Siauw Giok mengejar Pek Tek Ceng yang membedalkan kudanya
dengan secepat-cepatnya, agar dapat meloloskan diri dari dalam kebakaran dan dari tangan si
nona dengan sekaligus. Tapi Siauw Giok yang tidak bersedia untuk memberi kelonggaran kepada
Cian-hu bangsat itu, segera membentak sambil mengejar dan menggaet belakang baju si orang she
Pek sambil berseru, "Dengan lenyapnya engkau seorang dari muka bumi ini berarti sekian jiwa
dapat diselamatkan dari dalam tanganmu dengan sekaligus!"
Tapi apa mau dikata, begitu gaetan yang sebuah pula hendak digaetkan ke batang leher Cian-hu
jahanam itu tiba-tiba terdengar satu teriakan yang dibarengi dengan berkelebatnya sebuah
bayangan seseorang yang menangkis gaetan si nona bagaikan angin hebatnya.
DAK! Lelatu api segera kelihatan muncrat dan berhamburan kian kemari. Hingga saking kuat dan
kerasnya tangkisan itu, gaetan Siauw Giok hampir saja terlepas dari genggamannya.
Tatkala Siauw Giok coba memperhatikan dengan sorot mata yang menyala nyala, ternyata ada
seorang laki-laki bertubuh tinggi besar yang telah menangkis gaetannya dengan sebatang Sam-ciatciok-pian atau Cambuk bulat berbuku tiga, hingga dengan demikian, gagallah maksud si nona
untuk membinasakan jiwa Cian-hu bangsat itu. Hal itu telah membuat Siauw Giok gusar bukan
buatan dan membentak, "Engkau ini anjing alas dari mana, sehingga berani datang merintangi
nonamu untuk menghabiskan jiwa jahanam she Pek ini?"
"Bagus sekali!" balas rnengejek orang tinggi besar itu. "Lawanlah dahulu aku Ciu Tek Seng,
penjaga bui Pek Cian-hu di sini! Jika engkau belum sanggup melawanku, aku nasihati agar supaya
engkau lekas-lekas menyerahkan diri untuk menjadi selirku. Karena hanya dengan jalan itu saja
engkau dapat menyelamatkan jiwamu sendiri!"
Siauw Giok yang mendengar kata-kata yang amat tidak sopan itu, tidak usah dikatakan lagi betapa
mendongkolnya, sehingga dengan mengeluarkan bentakan nekat ia berkata, "Engkau boleh
berurusan dahulu dengan gaetanku ini!"
Bersamaan dengan diucapkannya kata-kata itu, Siauw Giok segera menerjang pada Ciu Tek Seng,
yang dengan secara sebat telah menangkis serangan itu dengan Sam-ciat-ciok-pian di tangannya.
Sambil meladeni bertempur nona itu orang she Ciu itu telah memerintahkan orang-orang
bawahannya untuk menolong serta membawa induk semangnya ke lain tempat yang lebih aman,
sedang setengah antara mereka diperintah melawan para liauwlo anak buah Ngo Sian Tie.Sementara Yo Su Nio yang merasa lebih perlu menolong Lauw Yu daripada bertempur dengan
musuh, lekas-lekas memberi isyarat agar semua kawannya mundur dengan teratur, agar mereka
dapat meninggalkan medan pertempuran dengan serentak dan bersama-sama kembali ke atas
gunung. Oleh sebab itu, dengan membawa Lauw Yu di atas kudanya, Su Nio telah memutar
tombaknya dan menyela diantara Siauw Giok dan Ciu Tek Seng sambil berseru untuk alamat adik
angkatnya, "Moy-moy, mari kita lekas berangkat!" katanya. Kemudian dengan ujung tombaknya
yang runcing ia telah menusuk ke arah dada si orang she Ciu, sehingga begundal Cian-hu yang
keji itu terpaksa berkelit sambil mundur dengan hati terkesiap.
Oleh karena percampuran tangan kakaknya ini, Siauw Giok terpaksa mundur dan kemudian
mengikut yang lain-lainnya meninggalkan kantor Cian-hu yang masih terbakar itu. Tapi pada
sebelum sampai di atas gunung, Su Nio menyaksikan Lauw Yu yang disewa di atas kudanya tidak
bergerak barang sedikitpun, hingga ia jadi curiga dan lalu menahan tali kekang kudanya sambil
memberi komando, "Berhenti!"
Yo An Jie dan Ngo Sian Tie menurut perintah dan berbalik bertanya, "Ada urusan apa?"
"Coba kalian tengok Lauw Toa-ya ini." kata si nona.
Tatkala memperhatikan keadaan Lauw Yu, ternyata mata tuan penolongnya itu tampak mendelik,
sekujur badahnya penuh luka-uka bekas aniayaan, sedang kesepuluh jari tangannya telah dicabut
dan kelihatan merah oleh darah yang masih keluar dari luka-lukanya itu.
Semua orang jadi merasa terharu dan ngeri menampak kejadian tersebut.
"Lauw Siang-kong," kata Yo Su Nio, "Apakah masih kenal kepadaku?"
Lauw Yu tinggal membisu dan tampaknya tidak sanggup lagi untuk memberi isyarat dengan
gerakan kepala atau tangan untuk memberitahu apakah ia masih kenal atau tidak kepada si nona
yang menanyainya itu.
Semua orang jadi cemas dalam menghadapi peristiwa yang sangat kritis itu.
"Apakah engkau ada pesan sesuatu yang hendak disampaikan kepada kami sekalian?" Ngo Siang
Tie bertanya dengan perasaan terharu. "Katakanlah itu seketika ini juga."
Lauw Yu iang telah menderita luka berat di dalam badan akibat siksaan dan aniayaan, dengan
napas yang memburu telah memaksakan diri untuk menjawab, "Balaskanlah sakit hatiku!"
katanya. Setelah selesai berbicara, maka putuslah jiwanya seketika itu juga.
Su Nio yang menyaksikan kejadian yang sedemikian mengenaskan hatinya itu, dengan suara keras
segera berseru,"Aku kumampuskan pembesar jahanam itu!"
Sesudah berkata demikian, ia segera minta supaya Ngo Sian Tie dan kakaknya Yo An Jie
membawa mayat Lauw Yu pulang ke atas gunung sedang ia sendiri bersama Siauw Giok hendak
kembali ke Ceng-hian-tien untuk membalas dendam kepada Pek Tek Ceng si Cian-hu jahanamitu. Ngo Sian Tie menasihati supaya Su Nio suka bersabar dahulu sampai layon Lauw Yu
dikebumikan tapi si nona tidak mupakat dan hendak balik kembali ke Ceng-hiang-tien untuk
Dewi Tombak Karya Unknown di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menuntut balas selekas mungkin hingga Sian Tie tak dapat berbuat lain daripada melepaskan nonaitu pergi untuk dengan bantuan nona Siauw Giok melaksanakan pesan almarhum Lauw Yu untuk
membalas sakit hatinya kepada Pek Tek Ceng.
Sesampainya di gedung Cian-hu, yang telah dikunjungi Su Nio berdua secara diam-diam setelah
terlebih dahulu menanyakan keterangan kepada para penduduk kota itu, haripun telah petang,
hingga sesudah menambatkan kuda mereka di tempat gelap, Su Nio dan Siauw Giok lalu
melakukan penggerebekan dan membekuk dua orang serdadu jaga di muka pintu gerbang sambil
ditanyakan, dimanakah adanya si Cian-hu jahanam pada petang hari itu.
Kedua serdadu jaga itu terpaksa memberitahukan kepada mereka bahwa Cian-hu Tayjin tengah
berpesta pora di halaman benteng gedungnya, dengan dikawani oleh orang kepercayaannya Ciu
Tek Seng serta beberapa orang gundiknya.
Begitulah setelah membuat kedua orang serdadu jaga itu tidak berdaya dengan ditotok jalan
darahnya, Su Nio dan Siauw Giok segera menyeret mereka ke tempat gelap. Kemudian mereka
berdua memasuki gedung itu dengan jalan melompat masuk dari jendela.
Maka alangkah kagetnya hati si Cian-hu jahanam itu ketika secara tiba-tiba menyaksikan ada dua
orang masuk tanpa diundang, hingga dengan suara keras ia berseru, "Ada penyahat! Ada
penyahat!"
Dengan perasaan gemas Su Nio telah menendang kursi pembesar keji itu, sehinga kursi beserta
orangnya telah terjungkal dengan sekaligus. Kemudian Su Nio dengan gerakan secepat kilat telah
menghunus pedangnya, dengan mana ia telah menusuk tenggorokan Pek Tek Ceng.
"Tolong!" teriak Cian-hu yang ternyata tak mampu membela dirinya itu.
"Aku datang!" kata seseorang yang segera menghadang dan menangkis pedang si nona dengan
cambuk Sam-ciat-tiok-pian di tangannya.
Siauw Giok segera dapat mengenali, bahwa orang itu bukan lain daripada musuh besarnya tadi
Ciu Tek Seng, yang telah berhasil untuk menolong induk semangnya dan kini mendapat
kehormatan diundang makan minum oleh si Cian-hu jahanam karena jasa-jasanya itu. Maka
dengan perasaan yang amat gusar ia telah minta kepada Su Nio suka minggir dan menyerahkan
musuh itu untuk dilayani olehnya sendiri.
Oleh karena itu, Su Nio terpaksa mengalah dan lalu melanjutkan serangannya ke arah Pek Ceng,
yang segera berteriak-teriak meminta pertolongan kepada anak semangnya.
"Petang ini adalah hari penghabisanmu hidup di dalam dunia ini!" bentak Su Nio sambil
mempergunakan senjaia rahasia Tok bwee-kwie untuk mengambil jiwa Cian-hu keji itu dari
kejauhan.
"Celaka!" teriak Pek Ceng sambil menyelinap ke belakang badan salah seorang gundiknya yang
justeru melayaninya makan minum di situ. "Tolong! Tolong!"
Su Nio jadi terkesip hatinya dan menyebut "Celaka!" tanpa disadarinya pula. Karena senjata
rahasia itu bukan saja gagal untuk mengambil jiwa si Cian-hu yang menjadi sasarannya, tapi
sebaliknya gundik itulah yang telah menjadi korban, sehingga dengan satu jeritan ngeri ia jatuh
roboh dalam keadaan mandi darah dan menghembuskan napasnya yang terakhir seketika itu juga.Sementara Siauw Giok yang sedang bertempur dengan Ciu Tek Seng dan akhirnya dikepung oleh
para serdadu bala bantuan dari luar yang telah menerobos masuk ke situ karena mendengar suara
ribut-ribut, sudah barang tentu jadi amat sibuk untuk menjaga dirinya. Sedang Su Nio yang
menyaksikan adik angkatnya berada dalam kedudukan berbahaya, segera ayunkan tangannya
menyambitkan sebuah Tok-bwee-kwie ke arah Ciu Tek Seng, hingga lawan adiknya itu jadi
menjerit karena kesakitan. Maka Siauw Giok mendapat kesempatan itu, lekas-lekas menerobos
keluar dari dalam kepungan musuh. Dan setelah berhasil dapat merobohkan beberapa orang
serdadu jaga yang hendak coba menghadangnya, ia telah melompat keluar jendela dengan diikuti
oleh Yo Su Nio, hingga dilain saat mereka telah dapat keluar dari gedung Pek Tek Ceng dengan
selamat dan segera cemplak kuda masing.masing untuk melarikan diri ke atas gunung.
Dengan demikian, maka gagallah Su Nio untuk melenyapkan jiwa Pek Tek Ceng, biang keladi
dari kematian Lauw Yu yang menjadi tuan penolongnya itu.
Sedang Ciu Tek Seng yang menderita luka karena terlanggar senjata rahasia Yo Su Nio, begitu
kekacauan telah menjadi reda, lekas-lekas pulang ke rumahnya untuk mengobati lukanya itu. Tapi
ternyata Tok-bwee-kwie Yo Su Nio mengandung racun dan tak dapat disembuhkan dengan obatobat luka yang ia punya dan tersedia di rumahnya, maka ia pikir tak ada lain jalan daripada
meminta pertolongan gurunya Ceng Kie Siangjin di pegunungan Thay-heng san. Biarawan Ceng
Hie Siangjin ini yang merasa tidak puas dengan pemerintahan kerajaan Song dan penjajah bangsa
Kim. Suatu waktu pernah menggabungkan diri dengan orang-orang gagah dari Rimba Persilatan
untuk melakukan perlawanan terhadap musuh-musuh negara itu. Tapi, karena pergerakan mereka
telah mengalami kegagalan, maka ia terpaksa melarikan diri dan bersembunyi di pegunungan
Thay-heng-san.
Hingga dikala Ciu Tek Seng turun gunung, Ceng Hie Siangjin yang masih tetap membenci kaum
kerajaan yang korup dan kaum penjajah asing yang lalim, maka ia berpesan kepada muridnya itu
untuk selalu mencari kesempatan untuk menggulingkan segala macam pemerintahan yang bersifat
diktator dan tidak mengenal perikemanusiaan. Tapi ia sama_sekali tak menyangka, bahwa sang
murid sampai kejadian melanggar semua pesannya dan bergabung dengan bangsa Kim yang
sangat dibencinya itu. Maka setelah kini Ciu Tek Seng menerima segala akibat dari pada sifatsifatnya yang membangkang pesan gurunya itu, dengan menebalkan kulit muka, ia mengambil
keputusan kembali ke atas gunung untuk meminta pengampunan. Oleh karena itu, maka pada
petang hari itu juga ia berangkat ke puncak Eng-hoat-hong di gunung Thay-heng-san tanpa
memikirkan betapa sukarnya akan pergi ke sana karena kebetulan saat itu sedang turun salju.
Malah yang lebih sial lagi bagi dirinya, adalah waktu akan melewati sebuah jalan tiba tiba ia
merasakan hembusan angin topan yang sedang mengamuk dengan hebatnya, sehingga akhirnya
dia tak dapat menahan pula dan dijatuh pingsan di muka bumi yang putih karena tertutup oleh
salju.
Dan tatkala ia siuman dari pingsannya, Tek Seng dapatkan dirinya didukung oleh seorang anak
perempuan yang berlengan keras sekali, sehingga ia heran bukan main, mengapa orang begitu baik
hati telah menolong dirinya.
Selagi ia didukung dengan manahan sakit dan lapar Tek Seng tiba-tiba mendengar suara bentakan
seseorang yang ditujukan kepada anak perempuan yang mendukungnya itu, "Hai budak kecil!"
katanya. "Lekas lemparkan orang itu ke tanah!"Tapi tanpa menghentikan larinya, anak perempuan itu hanya menoleh ke belakang, kemudian
mempercepat langkahnya dengan tidak menghiraukan orang laki-laki yang mengejarnya dengan
mencekal pedang itu. Orang itu tampaknya baru berusia kira-kira tiga puluh tahun, sedang
perawakannya pun tidak berapa besar.
Tek Seng jadi ketakutan. Tapi anak perempuan itu yang seolah-olah telah dapat membaca pikiran
orang, dengan lantas ia berkata, "Jangan takut! Aku bersedia akan mengadu jiwa untuk dapat
menolong dirimu!"
Tek Seng jadi semakin heran mendengar kesanggupan nona yang ternyata berparas lumayan dan
berusia duapuluhan, tapi ia ketahui bahwa dia itu bukan sanak atau orang yang pernah
dikenalnya. Maka apakah sebabnya sehingga begitu mencintainya?
Tek Seng baru saja hendak membuka mulut menanyakan sebab musababnya ketika si pengejar
telah tiba dan segera menusuk dengan pedangnya, hingga nona itu terpaksa melemparkan Tek
Seng yang didukungnya ke atas tanah, sedang sepasang tangannya segera digerakkan dengan
sekaligus untuk melawan bertempur si pengejar dengan siasat Kong-siu-jip-pek-jim, atau dengan
tangan kosong melawan musuh bersenjata.
"Budak kecil!" bentak orang laki-laki yang bersenjata pedang itu. "Engkau ini sesungguhnya
berhati sangat kejam dan tak mengenal budi kebaikan orang! Tahukah kau, bahwa orang yang kau
tolong itu adalah manusia binatang yang telah membunuh guru kita? Lekaslah engkau
menyingkir, aku hendak meringkusnya!"
Sambil melakukan perlawanan untuk melindungi dirinya, nona itu coba membela Tek Seng
dengan berkata, "Jie-suheng! Harap engkau jangan salah paham. Orang ini bukanlah pembunuh
guru!"
Ciu Tek Seng yang berbaring di atas salju dan dapat memperhatikan wajah orang laki-laki, meski
benar diliputi kegusaran tapi sama sekali tidak tampak seperti orang jahat, maka ia percaya bahwa
orang itu takkan sampai hati akan mencelakai jiwa adik perempuan seperguruannya sendiri. Tapi
di dalam hatinya ia merasa sangat tidak mengerti cara bagaimanakah kedua saudara seperguruan
itu sampai kejadian bertengkar untuk memperebutkan dirinya dengan sepihak berniat akan
menolong dan pihak yang lainnya bermaksud hendak membalas dendam?
Siapa gerangan kedua orang saudara seperguruan itu? Mereka itu bukan lain daripada muridmuridnya Souw Thian Lun yang menjadi pemimpin dari golongan Thian-liong pay (golongan
Naga Langit) yang pria bernama Ong Thian Sim, sedangkan anak perempuan itu bernama Cu
Thian In. Di samping mereka berdua, masih ada pula seorang murid laki-laki yang bernama Kwa
Thian Peng. Mereka bertiga masih terhitung orang-orang muda tapi toh terhitung sebagai orangorang yang telah mahir ilmu silat. Pada waktu kemarin ketika hari larut malam, Souw Thian Lun
yang sedang bersemedi tiba-tiba telah mati dibunuh orang. Ong Thian Sim yang disaat itu bertugas
melindungi gurunya, hanya mendengar suara sesuatu yang agak mencurigakan, dan tatkala ia
berlari masuk, ia melihat kakak misan Cu Thian In yang bernama Yo Kim Ko telah menyelinap
ke belakang rumah.
Oleh karena Souw Thian Lun merasa kurang senang akan Cu Thian In kerao bertemu dengan Yo
Kim Ko, maka diduga si orang she Yo jadi benci kepada gurunya dan dengan diam-diam lalu
melakukan pembunuhan tersebut. Demikianlah menurut sangkaan Ong Thian Sim. Sedang Cu
Thian In yang khawatir kakak misannya takkan mampu meladeni bertempur suhengnya, lekas-lekas mengiringi belakangan dengan perasaan hati cemas. Tapi siapa tahu di tengah jalan ia
melihat seorang yang berpakaian mirip dengan Yo Kim Ko jatuh pingsan di atas salju, maka
tanpa membuang-buang waktu pula Thian In segera mendukungnya, untuk dibawa menyingkir
ke tempat lain yang lebih aman.
Begitulah selagi kedua orang saudara seperguruan itu tengah bertempur, Ciu Tek Seng yang tidak
mengetahui duduknya persoalan yang sebenarnya lalu berseru, "Hai kalian anggap bila manakah
aku bertemu dengan gurumu?"
Kedua orang yang sedang bertempur itu, sudah barang tentu jadi terkejut sekali, ketika mendengar
kata-kata si orang she Ciu. Dan tatkala mengenali bahwa orang itu bukan Yo Kim Ko, Thian In
lalu bertanya, "Engkau siapa?"
Ciu Tek Seng yang menampak mereka berdua masih dalam keadaan gusar, maka ia pikir lebih
baik jika ia berlaku taktis. Karena jika ia sampai keliru memberi keterangan sedikit saja, bahaya
akan segera menimpa atas dirinya seketika itu juga. Syukur juga ia lantas teringat akan gurunya
Ceng Hie Siangjin yang berada di pegunungan Thay-heng-san itu, hingga ia percaya bahwa setiap
orang yang berdiam di daerah pegunungan itu pasti akan kenal baik nama biarawan yang sudah
tak asing itu. Oleh karena ini, lekas-lekas Tek Seng menjawab, "Kini aku sedang menuju ke
puncak Eng-hoat-hong untuk berobat kepada guruku di sana."
"Apakah engkau bukannya tengah mencari Ceng Hie Siangjin?" Cu Thian In lekas bertanya.
Ciu Tek Seng yang menyaksikan nona itu tak bermaksud jahat dengan lantas ia mengangguk
sebagai ganti jawaban pertanyaan itu. Kemudian ia menanyakan she dan nama kedua orang
saudara seperguruan itu.
Cu Thian In yang mengetahui bahwa Ceng Hie Siangjin mempunyai hubungan yang baik sekali
dengan gurunya, sudah barang tentu tidak berani mempersukar kepada Ciu Tek Seng. Tapi
bersamaan dengan itu, ia tampak menjadi gugup dan seolah-olah bertanya kepada dirinya sendiri,
"Jika demikian halnya kemanakah perginya kakak misanku itu?"
Sementara Ong Thian Sim dilain pihak, lalu menoleh kepada Ciu Tek Seng sambil berkata, "Aku
memberikan kelonggaran kepadamu!" Kemudian ia meninggalkan mereka berdua dengan laku
yang tergesa-gesa.
Cu Thian In yang mengetahui bahwa suhengnya itu hendak mengejar kakak misannya dengan
lantas ia mengikuti belakangan, tanpa menghiraukan pula kepada Ciu Tek Seng yang terbaring di
tanah bagaikan seorang lumpuh dan tak berdaya. Hal mana sudah barang tentu telah membuat
Tek Seng jadi ketakutan mati kedinginan dan lalu meratap, "Nona Cu, jika engkau berniat akan
menolong orang, berikanlah pertolongan dengan tidak tanggung-tanggung. Jika engkau sudi
membawaku sehinggga sampai di tempat kediaman guruku, niscaya takkan kulupakan seumur
hidupku kebaikan hatimu itu."
Thian In yang tatkala itu berniat hendak menolong kakak misannya, sebenarnya hendak
meninggalkan Tek Seng tanpa banyak bicara pula. Tapi setelah berpikir bahwa Ceng Hie Siangjin
dapat mengatakah ia keterlaluan jika ia tak menolong muridnya yang sedang menderita sakit itu,
terpaksa ia mendukung pula si orang she Ciu untuk dibawa ke tempat kediaman Ceng Hie
Siangjin.Di tengah jalan Thian In telah menuturkan kesukarannya kepada Ciu Tek Seng dan minta
kepadanya, supaya jika nanti mereka sampai ke tempat kediaman gurunya itu, Tek Seng sudi
memberitahukan juga kesukarannya kepada Ceng Hie Siangjin, sehingga paderi itu dapat
mendamaikan persoalan Thian In yang rumit itu.
Tapi Tek Seng yang merasa ragu-ragu bahwa gurunya akan suka mengobati luka bekas sambitan
Tok-bwee-kwie Yo Su Nio itu, berhubung ia telah melanggar pesan orang tua itu, segera berbalik
pikir dan lalu berkata, "Nona Cu telah sekian lamanya aku tak kembali ke atas gunung, hingga
tidak mengetahui apakah guruku ada di sana atau tidak. Maka untuk mendapat kepastian dan
jangan sampai engkau membuang tenaga dengan sia-sia, cobalah engkau tolong bawa aku ke
rumah yang terletak di arah kiri itu saja, dimana aku boleh menanyakan dahulu kepada susiokku
di situ."
Thian In yang berhati jujur lalu mengabulkan permintaan si orang she Ciu dan lalu mengantarkan
ke tempat kediaman Siu Leng Siangjin, kemudian dengan laku yang tergesa-gesa ia minta diri dan
berlalu tanpa menoleh pula ke kiri atau ke kanan.
Siu Leng Siangjin yang melihat keadaan Ciu Tek Seng yang begitu menyedihkan, karuan saja jadi
heran dan lalu menanyakan apa sebab musababnya.
Dengan menangis sedih Tek Seng lalu menerangkan maksud kedatangannya, tapi tanpa banyak
bicara pula biarawan itu segera menanggalkan angkin yang dikenakannya, sedangkan si orang she
Ciu jadi meratap, "Susiok, ampunilah aku!"
Tapi Siu Leng Siangjin tidak menghiraukannya. Ia seret Tek Seng ke bawah sebuah pohon,
dimana ia telah menggantungnya hidup dengan mempergunakan seutas tambang yang kuat dan
panjang. Sudah itu lalu memukulinya dengan sebuah cambuk bambu.
Tek Seng menjerit-jerit tidak henti-hentinya, sehingga akhirnya suaranya menjadi parau dan
dengan nekat lalu berkata, "Susiok, jika engkau hendak membunuhku, segeralah engkau bunuh
aku seketika ini juga. Tapi janganlah engkau menyiksaku begini rupa!"
Tapi Siu Leng Siangjin tinggal tetap tidak menghiraukannya dan memukulinya terus dengan
sekuat tenaganya. Kian lama kian bertambah keras, sehingga dari mulut si orang she Ciu
memuntahkan air tidak henti-hentinya dan akhirnya tidak ingat pula akan dirinya.
Sudah itu, barulah biarawan tua itu menurunkan Ciu Tek Seng, dan dibaringkan di bawah kaki
tembok, dimana ia telah memberikannya sebutir yowan atau pil, yang lalu dimasukkan ke dalam
mulut Ciu Tek Seng secara paksa.
Setelah berselang beberapa lamanya, barulah Tek Seng siuman dan merasakan luka bekas senjata
rahasia Su Nio yang beracun itu telah tidak dirasakan sakit pula, walaupun sekujur badannya
dirasakan letih bukan buatan. Dengan demikian, barulah diketahuinya, bahwa barusan susioknya
telah melepaskan dirinya dari pengaruh racun Tok-bwee-kwie Yo Su Nio yang sangat berbahaya
itu. Maka dengan memaksakan diri untuk bangun, Tek Seng lalu mengucap banyak-banyak terima
kasih atas pertolongan susioknya yang barusan itu. Tapi Siu Leng Siangjin lekas mencegahnya
akan bangun sambil berkata, "Engkau jangan bergerak! Paling betul engkau menarik napas dalamdalam untuk memunahkan sisa pengaruh racun yang masih bekerja di dalam tubuhmu!"
Oleh karena itu, Tek Seng telah membatalkan maksudnya untuk bangun dan hanya
menganggukkan kepalanya sebagai tanda terima kasih atas kebaikan susioknya itu. Tatkala SiuLeng Siangjin menanyakan sebab musabab ia terkena racun itu, Ciu Tek Seng lalu menuturkan
segala peristiwa yang telah dialaminya, tanpa ada sesuatu halpun yang sengaja tidak
diberitahukannya, hingga Siu Leng Siangjin yang mendengar begitu jadi menghela napas dan
berkata, "Gurumu gusar bukan main karena engkau telah kabur dengan melarikan bubuk obat
beracun miliknya yang bernama Tua-hun-san (obat bubuk pengejar sukma) itu. Syukur juga
engkau dibawa orang datang ke tempat kediamanku di sini, kalau tidak, entahlah bahaya apa yang
akan menimpa atas dirimu."
Tek Seng kembali mengucap terima kasih serta memohon agar sang susiok sudi melindungi
dirinya.
"Engkau tentunya akan heran, menyaksikan sikapku yang seperti tadi terhadap dirimu," kata
biarawan tua itu sambil tertawa. "Ini sebenarnya hanya karena terpaksa sebab aku di sini tak
punya obat lain yang cukup mujarab untuk membebaskan dirimu dan racun yang telah
menyerang di dalam tubuhmu itu. Maka setelah racun itu dapat dikeluarkan, aku segera
memberikan kepadamu yowan yang bernama Ciang-pian pi-seat kie-tok-wan atau yowan untuk
mengeluarkan racun, dengan mana engkau akan terhindar seluruhnya dari racun senjata rahasia
itu dalam waktu tiga hari. Syukur juga engkau datang menemuiku kalau tidak, niscaya jiwamu
sudah menghadap kepada raja Neraka disaat ini juga!"
Tek Seng lagi lagi mengucapkan banyak terima kasih atas kebaikan hati susioknya itu. Setelah itu
ia tidur sehingga dua hari dua malam lamanya, barulah bangun keadaan sehat wal afiat.
Selanjutnya karena Ciu Tek Seng telah mengenal cukup baik tentang sifat-sifat susioknya ini maka
diam-diam ia telah menghasut agar Siu Leng Siangjin suka mengikutinya turun gunung untuk
membantu Pek Tek Ceng, yang dikatakannya bahwa sang susiok pasti akan mendapat pangkat
besar, jika sang susiok suka menuruti petunjuknya. Sementara Siu Leng Siangjin yang memang
sudah sekian lama meresa tidak puas dengan sikap kakak seperguruannya Ceng Hie Siangjin yang
jujur dan patriotik serta tak mau tunduk kepada kaum penjajah asing yang lalim itu, lalu berjanji
dengan Ciu Tek Seng akan meninggalkan gunung Thay-heng-san dengan diam-diam.
VI SEBAGAIMANA apa kata si orang she Ciu, benar saja Pek Tek Ceng jadi sangat girang dan
segera memberikan pangkat Hok-kok Siangjin atau biarawan pelindung negara kepada Siu Leng
Siangjin, ketika Ciu Tek Seng kembali dari gunung Thay-heng-san dan mengajak menghadap
susioknya kepada induk semangnya. Hingga bukan saja Cian-hu itu jadi semakin besar hati
menghadapi Yo An Jie dan kawan-kawannya, tapi juga ia merasa bahwa kedudukannya jadi
semakin kuat dengan kedatangan Siu Leng Siangjin yang datang berhamba kepadanya, tanpa dia
sendiri pernah bermimpi tentang kunjungan nasib baik itu.
Maka setelah beristirahat beberapa hari lamanya, Cian-hu yang selalu meresa tidak aman sebelum
Yo An D ie dan kawan-kawannya dapat dibasmi, pada suatu hari telah mengusulkan supaya Ciu
Tek Seng dan Siu Leng Siangjin segera bersiap-siap untuk melakukan penyerbuan ke sarang Ngo
Sian Tie, yang kini menjadi pusat gerakan Yo An Jie dan kawan-kawannya untuk mengacau dan
membuat ia dan para pembesar bebodor yang lainnya tidak enak makan atau tidur.
"Jika perbuatan mereka tidak segera ditindas," kata si-Cian-hu yang sengaja hendak memanaskan
hati Ciu Tok Seng dan susioknya itu, "Niscaya kedudukan kita di sini bukan saja akan menjadi
lemah, maka kepercayaan rakyat atas diri kita pun akan menjadi berkurang. Lebih-lebih jika kitamengingat, bahwa kita di sini disebut sebagai salah satu kewedanaan yang penting dan toh tak
mampu menjaga tata tertib serta kesejahteraan sebagaimana layaknya, apakah kita di sini tidak
menjadi buah tertawaan dari kewedanaan-kewedanaan lain yang kecil dan tergolong dalam
wilayah di sini."
Ciu Tek Seng yang mendengar omongan induk semangnya, diam-diam harus mengakui juga akan
kebenarannya. Maka untuk menunjukkan bahwa diapun bukan seorang yang lemah dengan lantas
mengepalkan tinjunya yang segera dipukulkan ke atas meja di hadapannya sehingga meja itu
meski dibuat dari pada kayu cendana, tak urung menjadi bolong karena tak tahan menerima
pukulan itu, sedang dari mulut si orang she Ciu itu terdengar geraman yang nyaring yang
menandakan tak mau mengalah, "Hm!"
"Cian-hu Tayjin, janganlah tuan hamba mengucapkan kata-kata yang dapat melemahkan pihak
Dewi Tombak Karya Unknown di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sendiri, tapi berbareng dengan itu membuat pihak musuh jadi semakin kolokan dan tidak
memandang mata kepada pihak kita. Aku Ciu Tek Seng jika tak sanggup membasmi kawanan
berandal she Yo kakak beradik berikut anak semangnya sekali, aku bersumpah tak kan hendak
menjadi manusia! Cobalah Cian-hu Tayjin pikir," ia melanjutkan, "Apakah batok kepala mereka
sekalian lebih keras daripada kayu cendana ini?"
"Akupun percaya, bahwa kepala mereka tidak sekeras itu." Pek Tek Ceng sambil tertawa. "Tapi
apakah artinya kekerasan tinjumu itu, jika engkau tak pergunakan itu untuk pergi melabrak
mereka? Buktinya, hingga kini mereka semua masih bisa enak-enakan mengganggu daerah kita,
tanpa ada orang yang berani merintanginya!"
Ciu Tek Seng yang mendengar omongan induk semangnya, wajahnya jadi merah saking
mendongkol, hingga dengan lantas ia berkata, "Cian-hu Tayjin, dengan seijinmu, pada hari esok
juga akan kuajak susiokku untuk sama-sama menggempur sarang berandal itu sehingga rata
dengan bumi!"
"Nah, itulah baru lakunya seorang hohan, seorang gagah berani dijaman ini!" kata Pek Tek Ceng
sambil mengacungkan kedua ibu jarinya.
Dengan ini, dada Ciu Tek Seng seakan-akan melembung karena bangga dengan pujian yang
muluk itu.
"Tayjin boleh saksikan, cara bagaimana akan kami ringkus semua kaum pemberontak itu sehingga
tiada seorangpun yang akan dapat lolos!" katanya, sambil disambung dengan gelak tertawanya
yang terbahak-bahak.
"Untuk kehormatan Siangjin dan engkau berdua," kata Cian-hu itu, "Petang hari ini akan
kuadakan perjamuan sederhana sebagai tanda pemberian selamat menang perang untuk waktu
yang akan datang itu!"
Hal mana, telah membuat Siu Leng Siangjin jadi sangat girang dan merasa tidak kecewa telah
mengikut Ciu Tek Seng turun gunung untuk membantu Pek Tek Ceng yang memangku jabatan
Cian-hu dari bangsa Kim yang menjajah tanah Tionggoan di masa itu.
**** Kini kita ajak para pembaca menilik Yo Su Nio dan Thio Siauw Giok yang menyusul Yo An Jie
dan kawan-kawan kembali ke atas gunung.Oleh karena hari telah menjelang senja, maka rombongan Yo An Jie dan Ngo Sian Tie telah
menumpang menginap di sebuah rumah penginapan untuk beristirahat, sedang dua atau tiga
orang liauwlo telah sengaja ditinggalkannya belakangan untuk menyambut nona Su Nio dan
Siauw Giok, sehingga mereka tidak mengalami sesuatu kesukaran untuk menyusul rombongan
besar yang telah berangkat terlebih dahulu itu.
Tapi siapa nyana, selagi mereka berembuk untuk membalas dendam terhadap Cian-hu dari Cenghiang-tien dan memusnahkan kota kecil itu dengan jalan melakukan pembakaran secara besar
besaran, tiba-tiba mereka telah dikejutkan oleh suara derap kaki kuda yang mendatangi dari
kejauhan bagaikan air bah yang hendak mendobrak gili-gili. Maka Su Nio dan kawan-kawan yang
segera mengetahui, bahwa itulah bukan lain daripada pasukan bangsa Kim yang dikepalai oleh
Hap Nouw Siu Bun, dengan serentak mereka bersiap-siap dan cemplak kuda masing-masing
dengan senjata terhunus dan sedia untuk dipakai melawan musuh.
"Rupanya musuh telah ketahui bahwa kita berada di sini!" kata Yo An Jie, "Oleh sebab itu paling
betul kita mendahului menerjang mereka, pada sebelum mereka melancarkan suatu pengepungan
yang teratur rapi!"
Dan tatkala ia coba mengintai keluar dari celah-celah jendela, benar saja di sana sini tampak
banyak serdadu yang berkerumunan di sekitar rumah penginapan itu, sehingga oleh karenanya,
mereka pasti sukar untuk dapat lolos, jika tidak coba meloloskan diri dari kepungan itu dengan
sehebat-hebatnya.
"Kita boleh menerjang keluar dengan secara berpencaran," usul Yo An Jie. "Kemudian kita
berkumpul di jalan gunung yang sunyi."
Semua orang mufakat dengan usul itu.
"Sekarang engkau boleh menerjang terlebih dahulu," kata Yo Su Nio. "Aku dan Siauw Giok akan
mengikuti belakangan."
"Mari kita menerjang dengan serentak!" kata Yo An Jie pula sambil menepuk punggung kudanya.
Begitulah dengan mempergunakan siasat menerjang dengan serentak dan berpencar menjadi
beberapa rombongan, Yo An Jie, Ngo Sian Tie dan yang lain-lain segera keluar menerjang dengan
nekat, sedang Su Nio dan Siauw Giok yang menerjang dari samping kiri, tiba-tiba telah dihadang
oleh seorang pahlawan bangsa Kim yang bersenjatakan sebilah pedang panjang dan membentak,
"Jangan lari! Hap Nouw Siu Bun menantikan kamu sekalian di sini!"
Su Nio yang telah ketahui betapa lihaynya ilmu pedang pahlawan bangsa Kim itu, lekas-lekas
menyuruh Siauw Giok mundur, sedang ia sendiri sambil memutarkan tombaknya segera maju
meladeninya bertempur.
"Lagi-lagi kita saling bertemu!" kata Hap Nouw Siu Bun sambil tertawa.
Tapi tanpa banyak bicara pula Su Nio lalu menerjang musuhnya dengan dagu orang itu dibuat
bulan-bulan bagi ujung tombaknya yang runcing.
Hap Nouw Siu Bun yang bermata cukup jeli, segera mengegoskan tubuhnya sambil mencoba
untuk menabas ujung tombak si nona, dengan demikian, Su Nio terpaksa menarik tali kekangkudanya dengan sebelah tangannya, sehingga binatang itu mundur dengan cepat untuk
mengelakkan bacokan pihak musuhnya.
Dalam pada itu Siauw Giok yang menerjang bagaikan seekor harimau betina yang haus darah,
dengan sekejap saja telah membuat beberapa orang serdadu Hap Nouw Siu Bun jatuh terpelanting,
menderita luka-luka atau terpaksa lari pontang-panting karena tidak sanggup melawan si nona
yang bersenjatakan sepasang gaetan Houw-thauw-kauw itu. Kemudian ia majukan kudanya untuk
membantu Su Nio mengepung pahlawan bangsa Kim itu.
Tapi Su Nio yang tidak bernapsu untuk bertempur terlebih lama pula, lekas-lekas memberi isyarat
kepada adik angkatnya akan mundur sambil berkata, "Ayoh, mari kita mundur saja!"
Sesudah berkata demikian, nona itu segera putar tornbaknya sambil membalikkan kudanya untuk
kabur dengan diikuti oleh Siauw Giok dan dikejar oleh Hap Nouw Siu Bun yang lalu membentak,
"Jangan harap engkau sekalian dapat meloloskan diri dari dalam tanganku!"
Tapi sebelum kata-kata yang terakhir diucapkan dari mulutnya pahlawan bangsa Kim itu, tibatiba tiga buah benda yang berkilauan menyambar kejurusannya bagaikan tiga buah bintang sapu
yang sedang berkejar-kejaran.
"Aiii." si pahlawan terdengar berseru kaget. Lekas-lekas ia putar pedangnya bagaikan balingbaling cepatnya, dengan mana ia berniat untuk melindungi dirinya dari pada sambitan Tok-bweekwie yang telah dilakukan oleh nona Su Nio, hingga dua antara tiga senjata rahasia itu telah
berhasil disampuk sehingga terpental jauh sekali. Tapi yang sebuah pula telah menancap tepat
pada kembang goyang yang ditancapkan di atas topinya, hal mana telah membuat ia berseru,
"Sungguh berbahaya sekali!" Kemudian ia terpaksa mundur karena khawatir masuk ke dalam
perangkap musuh.
Maka dengan didobraknya kepungan Hap Nouw Siu Bun dan anak buahnya itu, Yo An Jie dan
kawan-kawannya-pun telah berhasil melarikan diri dengan hanya menderita kerusakan ringan.
Pada lain harinya selagi Ngo Sian Tie berembuk dengan Yo An Jie dan kedua saudaranya, tibatiba ada seorang pembawa kabar yang datang melaporkan ke atas gunung, bahwa dari kejauhan
tampak sepasukan serdadu bangsa Kim yang sedang mendatangi.
"Celaka!" kata Yo An Jie. "Jika mereka telah mengetahui tempat sembunyi kita, sudah barang
tentu mereka selanjutnya akan mengirim pasukan perang yang berjumlah tidak sedikit dan tak
sanggup lagi akan kita lawan dengan mengandal tenaga kawan-kawan yang jumlahnya tidak
berapa orang ini."
"Tapi dalam keadaan kesusu seperti ini," kata Thio Siauw Giok yang selalu berlaku tabah. "Hanya
ada satu jalan untuk meladeni mereka, yaitu melawan bertempur mereka itu! Mari, mari, kalian
boleh saksikan cara bagaimana akan kuhantam mereka semua!"
Sambil berkata demikian, ia lantas bangkit hendak mengambil kuda dan gaetannya. Tapi Su Nio
lekas mencegahnya sambil berkata, "Tunggu dulu! Engkau tak boleh sembarangan bergerak
sebelum mengetahui kekuatan pihak musuh!"
"Cie-cie jangan khawatir!" kata Siauw Giok dengan tidak sabaran. "Gaetanku ini akan meladeni
dan ketahui sampai dimana kekuatan pihak musuh itu!" Kemudian ia cemplak kudanya yangsegera dikaburkan ke bawah gunung dengan diiringi oleh beberapa puluh orang liauwlo yang
terpilih.
Di sana, sambil memgamat-amati dari kejauhan, nona itu telah menyaksikan ada dua orang yang
sedang mendatangi tengah memimpin sepasukan serdadu. Tapi apa yang telah menerbitkan rasa
herannya, adalah bahwa salah seorang antara kedua pemimpin itu berkepala gundul seolah-olah
dia itu ada seorang hweeshio.
Siauw Giuk jadi terbengong sejenak dan bertanya tanya pada diri sendiri, siapakah gerangan dia
itu? Dan jika dia itu benar seorang hweeshio, dari manakah asal-usulnya sehingga ia suka
berkomplot dengan kaum penjajah asing?
Nona itu belum lagi memperoleh jawaban dari pertanyaannya yang agak samar itu, ketika dengan
sekonyong-konyong ia telah mengenali itu pemimpin yang seorang pula, dengan siapa ia pernah
bertempur ketika menyerbu gedung Cian-hu di Ceng-hiang-tien untuk membunuh pembesar yang
lalim itu. "Ah! Dia! Ternyata ada si bangsat yang hina dina itu!" kata si nona dengan perasaan
gemas.
Sedang orang itu yang juga mengenali pada nona itu, dengan tersenyum lalu melambai-lambaikan
tangannya sambil berkata, "Ai, tidak kunyana kita bisa berjumpa pula di sini?
Siapakah gerangan kedua orang itu?
Mereka bukan lain daripada Ciu Tek Seng dan Siu Leng Siangjin yang hendak menumpas
kawanan berandal Ngo Sian Tie dan anak buahnya di atas pegunungan di situ.
Thio Siauw Giok yang selalu pantang mundur meski menghadapi musuh yang manapun, dengan
gagah lalu menahan tali kekang kudanya sambil mencekal sepasang gaetan Houw-thauw-kauw di
tangannya.
"Kami datang membawa kabar baik untukmu sekalian," kata Ciu Tek Seng sambil cengar-cengir
bagaikan kera yang keliru mencium terasi.
"Kabar baik?" mengulangi nona Siauw Giok. "Cobalah engkau katakan!"
"Soalnya ialah, bahwa kalian harus menakluk dahulu kepada kami," sahut si orang she Ciu,
"Barulah akan kuberitahukan kepadamu, kabar baik apa yang tengah menunggu kepadamu sekalian!"
"Sialan kau!" mengomel nona itu. "Cobalah engkau tanyakan gaetanku ini, apakah dia suka
menakluk atau tidak!"
Sambil berkata demikian, Siauw Giok segera tepuk kudanya, yang lantas berlompat maju ke
muka, sedang sepasang gaetan di tangannya lalu dimainkannya sambil tersenyum dingin dan
berkata.
"Ah, ternyata mereka ini tak mau menakluk mentah-mentah! Silahkan engkau maju untuk
menerima kematian!"
Ciu Tek Seng yang sudah menduga dari di muka bahwa si nona yang cerdik ini takkan dapat
ditaklukkan dengan secara mudah, lalu mengacungkan Sam-ciat-tiok-pian di tangannya dengansikap menggertak dan berseru, "Sekarang janganlah engkau menyalahkan kepadaku, jika kabar
baik itu dengan secara tiba-tiba telah terubah menjadi kabar buruk!"
"Baik atau buruk," sahut si nona, "Gaetanku inilah yang akan memberikan jawabannya!"
Kemudian dengan membedal kudanya ia menerjang kepada Ciu Tek Seng, yang segera menangkis
serangan Siauw Giok dengan cambuk yang berbuku tiga itu. Dengan demikian, maka dimulailah
pertempuran yang sangat dahsyat antara kedua orang itu. Sedang Siu Leng Siangjin yang merasa
tidak enak membantu sutitnya, terpaksa menonton di suatu pinggiran sambil memperhatikan ilmu
permainan gaetan si nona yang ternyata sangat lincah dan tak boleh dibuat gegabah, hingga ia
merasa perlu akan saban-saban memperingatkan Tek Seng agar berlaku lebih hati-hati dalam
perlawanannya itu. Hal mana, sudah barang tentu, telah membuat Siauw Giok jadi sangat
mendongkol dan lalu mendamprat kepada biarawan tua itu, katanya, "Hai, kepala gundul! Tidak
perlu engkau saban-saban memberi petunjuk kepada kawanmu ini! Jika engkau tak tahan tinggal
menonton saja, mengapakah tidak segera maju saja ke sini untuk membantunya?"
Siu Leng Siangjin jadi tersenyum dan menjawab, "Engkau ini hanya merupakan seekor tikus yang
kecil sekali dimataku, engkau mengerti? Maka ada apakah susahnya untuk menaklukkan dirimu
dalam waktu yang singkat?"
"Jika benar demikian, mengapakah engkau tidak lekas menaklukkan diriku sehingga kawanmu
ini tak usah bersusah payah untuk melawan bertempur diriku?" ejek Siauw Giok sambil
mengibaskan Sam-ciat-tiok-pian yang disabetkan Tek Seng ke arahnya.
Tapi begitu ia menggerakkah gaetan yang sebuah pula untuk mendobrak kulit perut lawannya,
tiba-tiba dari sisi kiri kalangan pertempuran kelihatan berkelebat sesosok bayangan yang segera
maju menerjang sambil membentak. "Minggir!"
Orang itu bukan lain daripada Siu Leng Siangjin adanya. Tapi Siauw Giok tidak tampak gentar
dan lalu tersenyum dingin sambil berkata, "Nah, begitulah caranya, jika engkau sesungguhnya
ingin campur tengan dalam pertempuran ini! Aku bersedia untuk meladenimu sehingga beberapa
ratus jurus lamanya sehingga engkau jadi letih dan mampus sendiri!"
Dengan berakhir kata-katanya itu, Siauw Giok segera meninggalkan Ciu Tek Seng untuk
kemudian menerjang kepada biarawan itu dengan tidak banyak bicara pula. Siu Leng Siangjin
lekas menangkis sabetan nona itu dengan tongkat di tangannya.
"Dasar tikus hutan!" bentak hweeshio tua itu, "Segala gerak-geriknya selalu tidak
dipertimbangkan dahulu dengan semasak-masaknya! Aku ini bukanlah tandinganmu yang
setimpal, kau mengerti?" Sambil berkata demikian, Siu Leng Siangjin telah memukul gaetan nona
Siauw Giok, sehingga anak dara itu merasakan telapak tangannya linu karena tak sanggup
menahan tenaga pukulan si biarawan yang tak dapat dibuat gegabah itu. Dengan demikian, untuk
sesaat lamanya Siauw Giok tak mampu melanjutkan perlawanannya itu. Syukur juga tangan
kirinya masih bertenaga penuh, hingga dengan itu ia telah memaksakan diri untuk menggaet ujung
tongkat Siu Leng Sangjin dengan sekuat tenaganya. Si biarawan yang hendak menjajal sampai
dimana kekuatan tenaga nona itu, bukan saja tidak menarik pulang tongkatnya, tapi juga sengaja
mengasih genggamannya itu digaet oleh gaetan Thio Siauw Giok. Dan begitu tongkatnya kena
tergaet, tiba-tiba Siu Leng Siangjin telah menarik pulang tongkatnya itu, sehingga Siauw Giok jadi
terpelanting dari atas kuda tunggangannya, jatuh ke tanah bagaikan sebuah kundur yang gugur
dari tangkainya."Celaka! kata si nona tanpa disadarinya.
Ciu Tek Seng tidak mau mengasih lewat kesempatan yang terbaik itu dan segera lompat turun dari
kudanya untuk membekuk si nona yang belum keburu bangun itu, sehingga dilain saat ia telah
kena dibekuk oleh si orang she Ciu, yang telah membuatnya tak berdaya dengan jalan menotok
urat di bagian pinggang nona itu.
Nona Su Nio yang diberitahukan bahwa adik angkatnya itu telah kena ditawan musuh, lekas-lekas
cemplak kudanya dan membawa tombaknya untuk melakukan pengejaran.
"Kembalikan adikku!" bentak rona itu begitu melihat Siauw Giok telah dibekuk oleh Ciu Tek
Seng, yang telah datang ke situ dengan diantar oleh seorang hweeshio tua yang tak tahu dari mana
asal usulnya.
"Susiok," kata si orang she Ciu, "Anak perempuan ini bukan lain daripada orang yang telah
melukai diriku dengan senjata rahasia beracun itu!"
Siu Leng Siangjin yang mendengar keterangan demikian, dengan lantas ia menuding kepada nona
Su Nio sambil membentak, "Bagus sekali perbuatanmu itu! Adikmu telah kutangkap, maka
engkau tidak lekas-lekas menyerahkan diri untuk menyelamatkan dirimu dari bahaya maut?"
Su Nio jadi mendongkol dan segera putar tombaknya sambil mendamprat, "Biarawan
pengkhianat. Tidak kunyana bahwa engkau sebagai seorang yang beribadat masih juga gemar
mencampuri urusan di dunia dan berkhianat kepada negara dan bangsamu sendiri. Sudah itu
engkau menghasut untuk kami menyerah mentah-mentah kepadamu. Oleh karena itu, cobalah
engkau tanya kepada diri sendiri, apakah ada manusia lain di dunia ini yang berkulit muka tebal
sebagai dirimu?"
Siu Leng Siangjin jadi sangat mendongkol mendengar makian nona Su Nio itu." Ternyata engkau
tak dapat dikasihani!" bentaknya dengan mata melotot.
Sebelum ia selesai berkata-kata, Su Nio sudah lantas gerakkan tombaknya menusuk dada
biarawan tua itu sambil balas membentak, "Siapa kesudian dikasihani oleh seorang pengkhianat?
Ini kau boleh rasakan tombakku!"
Siu Leng Siangjin lekas mengangkat tongkatnya untuk menangkis, hingga seketika itu juga mereka
jadi bertempur sambil ditonton oleh Ciu Tek Seng dan anak buahnya.
Su Nio yang telah mendengar orang cerita, bahwa Ciu Tek Seng adalah seorang murid dari Ceng
Hie Siangjin di puncak Eng-soat-hong di pegunungan Thay-heng-san, di dalam hati segera
menduga-duga, bahwa susioknya ini tentu seorang biarawan yang sangat tinggi ilmu silatnya.
Oleh karena itu, sudah barang tentu ia segera mengetahui, bahwa biarawan itu bukan
tandingannya yang setimpal. Tani karena terdorong oleh keinginan untuk menolong adik
angkatnya yang tertawan itu, maka ia telah keluarkan seluruh kepandaiannya untuk melawan
bertempur hweshio tua itu.
Ciu Tek Seng yang telah ketahui betapa lihaynya kepandaian ilmu memainkan tombak nona itu,
segera memberi isyarat akan anak buahnya maju mengepung nona itu dari segala jurusan. Sedang
anak buah Ngo Sian Tie yang melihat pihak serdadu musuh telah dikerahkan merekapun dengan
bersorak sorai segera maju menghadang dengan serentak, sehingga dalam waktu sekejapan saja di
bawah gunung itu telah terjadi suatu peperangan yang ramai. Selanjutnya Tek Seng yangmenyaksikan kenekatan Su Nio dalam melakukan serangan-serangannya, diam-diam segera
membawa pergi Thio Siauw Giok yang telah diikatnya untuk disingkirkan ke tempat lain yang
lebih aman, sedang ia sendiri dengan cambuk Sam-ciat-tiok-pian di tangannya segera maju
membantu susioknya untuk mengepung Yo Su Nio. Dengan demikian, lambat laun si nona itupun
jadi kewalahan juga dan akhirnya terpaksa mundur ke atas gunung dengan diiringi oleh sisa para
liauwlo yang telah terbinasa dan menderita luka-luka parah dan ringan dalam pertempuran
tersebut.
KINI kita mengikuti Siu Leng Siangjin dan Ciu Tek Seng yang kembali ke pesanggerahan mereka
dengan membawa nona Siauw Giok sebagai hasil dari pada penyerbuan mereka terhadap gerombolan Ngo Sian Tie dan anak buahnya.
Pada hari itu juga Tek Seng segera mengirim laporan kepada Cian-hu Pek Tek Ceng tentang
kemenangan mereka itu serta berhasil dapat menangkap seorang panglima wanita penting dari
gerombolan pemberontak itu. Tapi untuk menantikan sampai ada pihak berandal-berandal yang
tertawan, maka panglima wanita itu untuk sementara waktu ditahan dahulu dalam pesanggerahan
mereka. . .
Cian-hu Pek Tek Ceng jadi sangat girang dan lalu melanjutkan laporan tersebut kepada Ban-hu
Cin Nie Lok Ko, seorang pembesar bangsa Kim yang menjadi atasannya. Maka berdasarkan
laporan itu, Ban-hu Lo-ya segera memberikan banyak hadiah untuk Siu Leng Siangjin dan Ciu
Tek Seng yang dianggap berjasa besar dalam usaha pembasmian para pemberontak itu. Tapi,
karena hadiah-hadiah itu telah dikirimkan ke tangan Pek Tek Ceng sebelum diserahkan kepada
orang-orang yang berhak untuk menerimanya, maka pembesar korup itu mendapat kesempatan
yang terbaik untuk terlebih dahulu membagi dua hadiah-hadiah itu untuk dirinya sendiri,
kemudian baru dikirimkan kepada si orang she Ciu dan susioknya, yang segera menyampaikan
terima kasih mereka dengan melalui tangan Pek Tek Ceng, hingga dengan begitu si Cian-hu dapat
mengubah jumlah angka hadiah-hadiah yang diterima mereka itu menurut caranya sendiri.
Sementara Ciu Tek Seng dan Siu Leng Siangjin yang merasa sangat bangga atas kemenangan
mereka dan berhasil dapat menangkap nona Siauw Giok yang cantik, mereka berdua diam-diam
muncul pikiran untuk "memiliki" nona itu sebagai jasa jerih payah masing-masing, dengan keduaduanya coba berikhtiar cara bagaimana baiknya untuk dapat memilikinya, tanpa yang satu
menyadari siasat yang dilakukannya di luar tahu kawan yang lainnya itu.
Begitulah peda petang hari itu mereka berdua duduk makan-minum dengan hati gembira, dengan
Dewi Tombak Karya Unknown di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
di dalam hati masing-masing tersembunyi akal bulus untuk mencari "kemenangan" dengan mendahului turun tangan selagi yang lainnya berlaku lengah.
"Petang hati ini kita mesti makan-minum dengan sepuas-puasnya." kata Ciu Tek Seng sambil
menuangkan arak dengan berulang-ulang ke dalam cawan susioknya. Karena dengan jalan
demikian ia sangat mengharap agar si susiok menjadi lekas mabuk dan jadi lupa daratan, sehingga
dengan demikian, ia dapat memiliki nona Siauw Giok tanpa disadari oleh biarawan tua yang
hatinya masih gemar dengan perempuan cantik itu.
Tapi Siu Leng Siangjin yang ternyata bukan seorang goblok yang mudah diperdayakan orang
dengan jalan diloloh minum minuman keras, dengan berpura-pura tersenyum lalu berkata, "Aii,
perlu apakah sutit mesti begitu see-jie? Kita berdua toh adalah orang-orang dari satu goolngan
juga, maka apakah perlunya engkau berlaku hormat sehingga berlebih-lebihan sampai begitu?Ayoh, mari kita minum bersama-sama. Engkau secawan, aku secawan, untuk mengetahui siapa
yang dapat minum paling kuat dan banyak!"
Sang di dalam hati ia mengomel, "Sialan engkau! Sekarang hendak kulihat siapa antara kita yang
akan terguling dan kecanduan minum disaat ini!"
Tapi, walaupun demikian, tidak lupa dengan secara diam-diam timbul pikiran untuk menelan
beberapa butir pil anti mabuk ke dalam mulutnya supaya selanjutnya ia merasa aman dan tidak
khawatir pula akan menjadi mabuk karena minum terlampau banyak arak. Hanya amat
disayangkan bahwa kesempatan itu belum dapat diperoleh, hingga otaknya lalu diputar untuk
mencari akal tersebut.
Sementara Ciu Tek Seng yang juga bukan seorang goblok, selalu mengintai kelengahan susioknya
dan dimana terbuka kesempatan untuk ia turun tangan, ia segera berniat akan memasukkan obat
tidur ke dalam poci arak di hadapan mereka. Justeru itu, entah disengaja atau tidak, Siu Leng
Siangjin tiba-tiba meminta permisi kepada dirinya untuk pergi ke kamar kecil, hingga hati Ciu Tek
Seng jadi girang bukan buatan dan lalu berpura-pura hendak pergi menyertai tapi biarawan itu itu
lalu mencegahnya sambil berkata, "Tidak usah menyukarkan kepada sutit, aku dapat pergi sendiri
tanpa diantar oleh siapapun." Setelah berkata demikian, maka pergilah ia ke kamar kecil untuk
menelan beberapa pil anti mabuk yang selalu disimpan di dalam saku bajunya!
Sedang Ciu Tek Seng dilain pihak dengan sebat sekali telah memasukkan obat tidur ke dalam poci
arak, hingga diwaktu kedua-duanya saling mengadu minum pula, keduanya telah berhasil turun
tangan untuk saling kalah-mengalahkan!
Dalam keadaan demikian, anak buah Ciu Tek Seng jadi saling berbisik satu sama lain karenanya,
"Sungguh aneh sekali! Seumur hidupku baru pada kali ini aku ketahui, bahwa ada hweeshio yang
tidak pantang minum minuman keras dan dahar barang-barang hidangan yang terdiri dari ikan
dan daging. Hweeshio apa sih ini namanya?"
"Inilah yang dinamakan hweeshio Tie Ko Chia-hweeshio siluman babi jantan!" sahut seseorang
sambil tertawa terbahak-bahak. "Karena selain gemar arak dan makan barang jiwa, diapun gemar
juga dengan paras cantik!"
"Apa benar begitu?" tanya yang seorang pula dengan rupa tidak percaya.
"Coba saja kau tanyakan kepada Lo Samko, dia tentu akan begitu juga kepadamu," jawab orang
yang kedua.
Dan selagi mereka berbicara dengan bisik-bisik, di suatu sudut nampak seorang serdadu jaga yang
bersandar pada tiang bagaikan orang yang mengantuk, pada hal telinganya dibuka besar-besar dan
memperhatikan segala pembicaraan para liauwlo itu. Sedang matanyang tajam dan ternyata
hanya meram-meram ayam saja, selalu ditatapkan ke arah si biarawan tua dan Ciu Tek Seng yang
saling mengatur siasat untuk menjatuhkan" masing-masing, tanpa mereka sadari bahwa dari
kejauhan ada seorang yang tengah mengintai mereka secara diam-diam.
Arak yang dimasukkan obat tidur itu secawan demi secawan telah berpindah ke dalam perut kedua
orang itu, tapi tiada seorangpun di antara mereka tampak jatuh karena mengantuk. Karena
baikpun orang yang memasukkan obat tidur itu ke dalam arak atau orang yang hendak dijatuhkan
dengan pengaruh obat tersebut, tiada tampak ada tanda-tanda bahwa salah seorang antaranya
akan mengalami kekalahan mentah-mentah. Lebih-lebih karena mereka kedua-duanya telahmenelan obat untuk memunahkan pengaruh obat tidur itu, hal mana sudah barang tentu, telah
membuat mereka berdua jadi menggerutu di dalam hati, yang satu mengomel pada yang lainnya
dengan secara diam-diam.
Dan tatkala beberapa poci arak telah diminum sehingga kering, tiba-tiba Siu Leng Siangjin
mendapat suatu akal bagus dan lalu berpura-pura sinting dan pergi masuk tidur tanpa meminta
diri pula kepada Ciu Tek Seng, hingga si sutit ini jadi girang dan berkata di dalam hatinya, "Hm!
Sekarang dia baru kena batunya! Dia pasti belum tersadar sebelum lewat 43 jam lamanya! Ha, ha,
ha!" Ia tertawa sendirian.
Para serdadu anak buahnya yang melihat ia tertawa mengakak, segera menyangka bahwa induk
semang itu berbicara dalam keadaan mabuk, hingga mereka lekas-lekas memburu dan berniat
hendak mengantarnya pergi masuk tidur. Tapi Ciu Tek Seng yang mengandung maksud lain, lalu
membelalakkan matanya sambil membentak, "Apakah kamu menyangka aku mabuk? Hm! 1000
poci arak belum tentu dapat memabukkanku, kamu mengerti? Ha, ha, ha! Hi, hi, hi!"
Sesudah tertawa geli sendirian, dengan berlenggang-lenggang kangkung ia berjalan menuju ke
......... kamar tahanan, sehingga anak buahnya yang tetap menganggap ia sinting dan keliru
melihat kamar tahanan sebagai kamar tidurnya sendiri, karuan saja jadi lantas pada memburu
sambil berkata, "Lo ya, itulah kamar tahanan, bukan kamar tidurmu!"
Tapi Ciu Tek Seng kembali membelalakkan matanya sambil membentak dengan sengit, "Diam!
Apakah kamu menganggap otakku miring? Hm?" Kemudian dengan tindakan lebar ia masuk ke
dalam kamar tahanan itu.
Para anak buahnya jadi terbengong sejenak. "Celaka!" kala salah seorang antaranya. Mula-mula
mereka lupa, bahwa di dalam kamar tahanan itu justeru tengah dipenjarakan seorang gadis jelita.
Tapi ketika teringat akan hal itu, mereka jadi bisik-bisik satu sama lain dengan sorot mata curiga.
Sedang orang yang pertama membuka mulut itu, seketika itu juga jadi mendusin dan lalu
menggerutu,"Dasar manusia sialan! Banyak saja akal bulusnya yang bersarang di dalam otaknya
yang keji itu!"
Begitulah sambil memasang telinga, mereka tinggal mendengarkan hal apa yang akan terjadi
selanjutnya di dalam kamar tahanan itu dengan hati yang berdebar-debar.
VII. TAPI begitu terdengar suara teriakan yang tertahan, Ciu Tek Seng dari sebelah dalam kamar
tahanan itu segera menyusul memperdengarkan suara jeritannya yang nyaring, "Ada setan! Ada
setan!" sehingga para serdadu jaga itu jadi sangat terkejut dan segera memburu masuk ke dalam
kamar tahanan tersebut.
Hampir dalam saat itu juga Ciu Tek Sengpun telah berlari keluar dengan tersipu-sipu, hingga
kedua pihak jadi saling bertabrakan dengan tak dapat dicegah pula.
Seorang serdadu yang berlari paling depan, justeru telah membentur perut Ciu Tek Seng yang
hendak berlari keluar dari dalam kamar tahanan itu, sehingga ia menjerit dengan suara keras dan
terus jatuh mengusruk. Karena di samping merasa kesakitan, kepala dan sekujur badannya pun
jadi basah kuyup dengan muntah yang muncrat dari mulut induk semangnya, sedang Tek Seng
sendiri jatuh terlentang bagaikan sebuah kundur yang gugur dan jatuh ke tanah karena tertiup
angin besar.Tidak antara lama, entah sejak kapan masuknya, dari dalam kamar tahanan itupun muncullah
......... Siu Leng Siangjin jang lalu bertanya dengan sikap tergesa-gesa dan dibuat-buat, "Ada apa
ini ribut-ribut? Siapakah yang telah nekat membikin ribut di sini!"
Tapi Tek Seng yang baru mendusin permainan sandiwara apa yang tengah "dimainkan" oleh
susioknya disaat itu hanya bisa mendongkol di dalam hati, tapi tak dapat diutarakannya secara
lisan.
"Sungguh satu bajingan yang ulung sekali si kepala gundul ini!" omelnya secara diam-diam. Tapi
dimulut dia tak menjawab barang sepatah katapun atas pertanyaan susioknya itu.
Sementara Siu Leng Siangjin yang terlebih siang telah dapat menduga, bahwa perbuatannya yang
berpura-pura itu akhirnya telah diketahui juga oleh Ciu Tek Seng, di dalam hatinya jadi geli
bagaikan dikitik-kitik, hingga untuk sesaat lamanya diapun tak dapat berkata-kata. Karena jika ia
mencoba juga untuk memaksakan diri berbicara, gerak-geriknya pasti akan membuat siasatnya
yang palsu dapat dibongkar secara terang-terangan oleh sutitnya yang ternyata bukan seorang
goblok itu. Oleh karena itu, ia terpaksa tinggal membungkam saja sambil berpura-pura tersenyum
untuk menyembunyikan sedikit kedosaannya itu.
Karena, sebagaimana kemudian baru diketahui, diwaktu biarawan tua itu meninggalkan
perjamuan, ternyata dia bukan masuk tidur ke kamarnya, tapi dengan sebat telah menyelinap ke
belakang kamar tahanan nona Siauw Giok, dari mana ia telah berhasil masuk ke dalam setelah
menotok jalan darah dua orang serdadu jaga yang bertugas menjaga orang tahanan di situ.
Keadaan di dalam kamar tahanan itu ada sedemikian gelapnya, sehingga sukar ia dapat melihat
sebelum membiasakan diri melihat sesuatu dalam keadaan begitu. Tapi setelah berdiri di situ
beberapa saat lamanya, dapatlah ia ketahui dimana si gadis jelita itu ditahan dengan kaki dan
tangan diborgol. Dan tatkala si biarawan tua menghampiri kepada si nona yang hendak dijadikan
korbannya itu, tiba-tiba Siauw Giok jadi terkejut dan lalu mengamat-amati dengan seksama
kepada orang laki-laki yang menghampirinya itu bggaikan lakunya seorang pencuri. Tapi begitu
ia melihat nona itu tersadar dari tidurnya, tiba-tiba ia jadi merandek dengan sikap yang agak raguragu.
"Engkau siapa?" tanya nona itu dengan suara keras.
"Seorang kawan!" sahut Siu Leng Siangjin dengan laku yang gugup.
Nona Siauw Giok segera kenali siapa adanya orang itu. "Apakah maksudnya engkau datang
kemari pada malam buta begini? tanyanya pula dengan hati curiga.
"Aku hendak menolongmu," kata biarawan tua itu dengan hati berdebar-debar.
Sambil berkata demikian, ia menghampiri terlebih dekat pula kepada si nona dengan maksud
hendak memeluknya dan melakukan perbuatan yang tidak baik terhadap Siauw Giok yang masih
dalam keadaan tidak berdaya itu.
Tapi Siauw Giok yang mendapat firasat tidak baik, segera berusaha untuk mematahkan borgolan
tangannya sebelum hweeshio itu keburu meraba dirinya. Hanya amat disayangkan bahwa
usahanya itu tak berhasil, hingga ia tak tahu cara bagaimana selanjutnya menolong kepada dirinya
sendiri.Sedang Siu Leng Siangjin yang menyaksikan Siauw Giok tampak tak berdaya hatinya jadi
semakin girang dan percaya bahwa dalam beberapa detik pula si nona manis itu pasti berhasil
akan diganyangnya. Oleh karena itu, ia maju menghampiri si nona sambil tertawa haha-hihi
dengan lagak yang tengik sekali. Hal mana, sudah barang tentu, telah membuat hati nona Siauw
Giok jadi cemas bukan kepalang.
Tapi syukur juga sebelum si biarawan ceriwis itu keburu turun tangan, tiba-tiba di sebelah luar
kamar tahanan terdengar suara Ciu Tek Seng yang sedang mendatangi, hingga untuk menutupi
muka sendiri dari perbuatannya yang kurang sopan itu, lekas-lekas ia menarik leher bajunya ke
atas kepalanya, sehingga pada saat itu juga ia telah berubah menjadi tubuh yang tidak berkepala!
Maka pada waktu, ia melompat untuk menakut-nakuti sutitnya, Tek Seng yang penglihatannya
agak kabur karena dipengaruhi oleh suasana gelap malam, karuan saja jadi kaget bukan kepalang
dan segera kabur dari dalam tahanan itu sambil berteriak, "Ada setan! Ada setan!"
Tapi sesaat kemudian setelah terjadi tubrukan dengan seorang serdadu yang telah membuatnya
muntah-muntah, Tek Seng barulah agak sadar otaknya dan lambat laun mengetahui juga siapa
sebenarnya setan tak berkepala itu, berhubung telah dikenalinya bahwa pakaian iblis itu, kini
justeru telah dikenakan oleh susioknya itu!
Oleh sebab itu sudah barang tentu ia menjadi cemburu dan mendongkol sekali terhadap kejahilan
si susiok itu, sehingga ia segan menjawab pertanyaannya yang telah dilakukannya secara purapura itu...
Tapi tatkala Siu Leng Siangjin mengulangi pertanyaannya, dengan wajah memberengut dan hati
mengkal ia terpaksa menjawab, "Dimanakah pada jaman ini ada setan jika itu bukan buatan
manusia?"
Ia sebenarnya hendak menuduh Siu Leng Siangjin telah sengaja mengacau dan menggagalkan
maksudnya untuk mendekati nona Siauw Giok, tapi rasa malu hatinya telah mencegahnya akan
berbuat sedemikian kasarnya.
Pesan Hari Ini 1 Han Bu Kong Karya Tak Diketahui Kaki Tiga Menjangan 8
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama