Ceritasilat Novel Online

Dewi Tombak 4

Dewi Tombak Karya Unknown Bagian 4


Sedang Siu Leng yang merasa dirinya telah disindir oleh sutitnya, diapun terpaksa membungkam
dalam 1000 bahasa meski di dalam hati ia menggerutu, "Dasar sialan, daging yang sudah ada di
mulut terpaksa mesti dimuntahkan pula sarena gangguan manusia sial ini!"
Demikian juga halnya dengan Ciu Tek Seng, yang telah memaki si hweeshio ceriwis yang telah
menggagalkan impiannya yang muluk itu.
Kesudahannya mereka jadi saling tuding-menuding, tuduh-menuduh, kemudian membuka
rahasia masing-masing dengan tertawa getir.
"Ini semua adalah salah kita juga berdua!" kata Siu Leng Siangjin akhirnya.
Tapi ketika mereka baru saja saling maaf memaafkan, tiba-tiba ada seorang serdadu jaga yang
masuk dengan tergesa-gesa serta melaporkan bahwa dua orang serdadu jaga yang bertugas
menjaga orang tahanan telah ditotok orang jalan darahnya sehingga lumpuh, sedangkan nona
Siauw Giok yang ditahan di sana telah menghilang entah kemana perginya.
Ciu Tek Seng dan Siu Leng Siangjin yang mendengar laporan tersebut, karuan saja jadi terkejut
dan segera mengerahkan para serdadunya untuk pergi mencari dan melakukan pengejaran keluar,
sedang biarawan tua lalu membebaskan kedua serdadu jaga itu daripada pengaruh totokan yangtelah dilakukannya tadi, dengan diam-diam ia telah menyesali perbuatannya yang terlalu kesusu
sehingga tak pernah dipikirkannya pula tentang akibat pada perbuatannya yang telah diketahui
oleh kedua orang yang telah ditotcknya itu. Tapi beras yang sudah menjadi bubur pasti takkan
dapat dikembalikan kepada asalnya semula, ia menyesal tapi semua itu ternyata sekarang telah
menjadi kasip. Sementara itu, di suatu jalan gunung yang sunyi tampak sesosok bayangan manusia
yang mendukung seorang di atas punggungnya, berlari-lari dengan gerakan yang amat gesit.
Sesampainya di bawah sebuah pohon yang rindang, orang itu menurunkan orang yang
didukungnya itu ke atas tanah serta sekaligus membebaskannya juga dari totokan orang yang
telah dia lakukan atas diri orang yang didukungnya itu.
Maka sebegitu lekas ia terbebas dari pada totokan yang telah dilakukan orang atas dirinya, orang
yang ditolong itu terdengar bertanya, "Tuan ini siapa?"
"Seorang sahabat," sahut orang itu sambil tertawa. "Apakah nona Siauw Giok tak dapat
mengenali aku?"
Orang yang ditolong itu, yang ternyata bukan lain daripada Thio Siauw Giok yang seketika itu
juga segera dapat mengenali tuan penolongnya itu, karena penolong itupun bukan lain daripada
Hap Nouw Siu Bun adanya.
Hal itu membuat mengeluh si nona di dalam hatinya. Karena dengan demikan dari dalam bahaya
ia kembali masuk ke dalam bahaya lain yang lebih besar dan sulit.
"Untuk maksud apa engkau menolongku?" tanya nona Siauw Giok dengan perasaan hati yang
gelisah.
Tapi Hap Nouw Siu Bun segera memotong bicaranya sambil cengar cengir,
"Ini bukan berarti suatu pertolongan," katanya, "Tapi Lebih tepat lagi jika dikatakan sekadar
mengambil pulang hakku yang telah diserobot oleh orang lain. Aku telah menyusun suatu rencana
untuk menangkapmu tapi siapa tahu rencanaku itu telah dirusakkan oleh si orang she Ciu dan
susioknya itu. Oleh sebab itu, dengan menyamar sebagai seorang serdadu biasa, aku telah
mengambil kesempatan untuk merampas dirimu dari tangan mereka. Maka setelah kini engkau
terjatuh ke dalam tanganku, dengan sendirinya engkau menjadi orang tawananku, hingga dengan
demikian, akulah yang berhak untuk menyerahkan dirimu kepada atasanku, tapi bukan si orang
she Ciu dan susioknya itu."
Siauw Giok yang mendengar keterangan demikian, sudah barang tentu amarahnya jadi meluapluap, hingga tanpa banyak bicara pula ia melompat bangun dan menghantam dada Hap Nouw
Siu Bun dengan telapak tangannya.
Pahlawan bangsa Kim yang menyaksikan si nona memukulnya dengan ilmu Cee-gwa Soan-hongciang, atau ilmu pukulan angin puyuh dengan telapak tangan, yang asal mulanya dipelajari orang
di luar perbatasan Tiongkok, segera ketahui betapa lihaynya pukulan tersebut, sehingga dengan
sebat ia mengelakkan pukulan itu sambil berseru, "Sungguh lihay sekali seranganmu itu!"
Tapi Siauw Giok yang tak mau memberi kesempatan untuk Hap Nouw Siu Bun dapat bernapas
lega, segera untuk kedua kalinya ia menerjang dengan amat dahsyatnya, sehingga pahlawan
bangsa Kim itu kembali melompat mundur untuk menghindarkan pukulan si nona yang
bersemangat jantan itu.Hap Nouw Siu Bun yang selalu didesak oleh nona Siauw Giok, diam-diam timbul pikiran curang
untuk memperoleh kemenangan tanpa mengeluarkan terlampau banyak tenaga. Yakni, ketika si
nona menghujani serangan-serangan kepadanya, si pahlawan bangsa asing itu telah sengaja
berpura-pura keteter, terdesak, hanya mampu menjaga serangan-serangan nona itu tapi tak dapat
balas menyerang sebagaimana mestinya.
Sementara nona Siauw Giok yang menganggap bahwa ia berada di atas angin, bukan saja tidak
mengetahui siasat busuk pihak lawannya itu, tapi juga telah lupa untuk mengambil kesempatan
untuk kabur, selagi pihak musuh berada dalam kesibukan. Oleh karena itu setindak demi setindak
ia telah masuk ke dalam perangkap Hap Nouw Siu Bun, yang sambil sengaja berpura-pura
terdesak, diam-diam telah mencari kesempatan untuk melancarkan serangan yang cukup
mematikan, sehingga dengan begitu ia dapat menawan kembali nona itu tanpa mengeluarkan
terlampau banyak tenaga.
Begitulah setelah melangsungkan pertempuran itu dengan siasat mundur-mundur udang, tiba-tiba
Hap Nouw Siu Bun terdengar berseru dan segera terhuyung karena membentu akar pohon yang
menonjol ke muka bumi, sehingga dilain saat ia jatuh roboh bagaikan sebuah kundur yang gugur
dari tangkainya. Sedang Siauw Giok yang semestinya segera meninggalkannya kabur, tiba-tiba
timbul suatu pikiran untuk membekuk pahlawan bangsa Kim itu, dengan pengharapan untuk
mendirikan pahala bagi pihak mereka kaum Jaket Merah.
Tidak tahunya Hap Nouw Siu Bun yang terlebih siang telah bersiap siaga, begitu melihat si nona
hendak menyergapnya, lekas-lekas ia pergunakan siasat Yauw-cu-hoan-sin atau alap-alap
membalikkan badan dengan jalan berguling dan kemudian mencelat ke atas, hingga dengan jalan
demikian, dengan sekejapan saja ia telah berbalik berada dalam kedudukan di sebelah atas. Dan
sebelum Siauw Giok keburu menghindarkan diri, dua jari tangan Hap Nouw Siu Bun telah
menotok jalan darahnya yang telah membuatnya tak berdaya, sehingga di lain saat ia jatuh terkulai
dan kembali menjadi seorang tawanan pahlawan bangsa Kim itu.
Maka dengar, mendukung nona Siauw Giok, Hap Nouw Siu Bun dengan girang telah
membawanya ke pesanggerahannya di bawah kaki gunung, dari mana kemudian nona itu hendak
diangkutnya dalam sebuah gerobak pesakitan kepada Ban-hu Cin Nie Lok Ko yang menjadi
atasannya.
PADA saat nona Siauw Giok tertawan oleh Hap Nouw Siu Bun, Yo Su Nio yang merasa sangat
khawatir akan nasib adik angkatnya, justeru sedang menuju ke pesanggerahan Ciu Tek Seng
secara diam-diam, dengan pengharapan untuk menolong serta membebaskannya selagi pihak
musuh tidak berjaga-jaga. Tapi siapa tahu begitu sampai di suatu tempat yang masih termasuk
dalam daerah penjagaan si orang she Ciu, tiba-tiba ia telah dikejutkan oleh kedatangan para
serdadu yang telah dikerahkan oleh Ciu Tek Seng dan Siu Leng Siangjin untuk melakukan
pengejaran atas diri nona Siauw Giok. Tapi Su Nio yang tidak mengetahui bahwa adik angkatnya
telah dilarikan orang dari dalam kamar tahanan, dalam hatinya segera menduga, bahwa
kedatangannya ke situ telah di ketahui oleh pihak mata-mata si orang she Ciu, sehingga maksud
penyerbuan kilatnya ke situ telah diketahui dari awal sehingga segera dilakukan pengepungan dari
pihak sana sebelum ia sendiri keburu bergerak.
Tapi karena melihat keadaan sudah terlanjur menjadi begitu, apa boleh buat Su Nio segera
pergunakan tombaknya untuk melawan para serdadu itu, sehingga disaat itu juga telah terjadi
pengeroyokan yang ramai sekali terhadap diri si nona itu. Sementara Ciu Tek Seng dan Siu LengSiangjin yang mendengar laporan tentang serbuan si Dewi Tombak ke dalam pesanggerahan
mereka sudah barang tentu mereka jadi sangat lerkejut dan lekas-lekas keluar untuk membekuk si
nona yang baru datang itu.
"Orang yang kurang penting telah kabur." kata Ciu Tek Seng kepada susioknya. "Tapi salah
seorang yang sangat penting sekarang telah datang kesini untuk, menjadi penggantinya tahanan
kita itu. Harap susiok lekas tangkap bocah perempuan yang dahulu pernah melukai diriku dengan
Tok-bwee-kwie itu!"
"Oh, ini dia bocahnya yang bernama Yo Su Nio alias si Dewi Tombak itu!" kata Siu Leng Siangjin
dengan laku yang jumawa. "Engkau jangan khawatir! Dalam sedikit waktu saja akan kuringkus
dia itu hidup-hidup!" Kemudian ia keluar dari pesanggerahan dengan diiringi oleh Ciu Tek Seng.
Maka begitu keluar menyaksikan kegagahan Yo Su Nio, diam-diam si biarawan jadi merasa
kagum dan tergerak hatinya. Karena menyaksikan Su Nio sangat mahir ilmu tombaknya, hingga
tak heran jika Siu Leng Siangjin jadi terbengong sejenak bagaikan seorang yang terkesima,
kemudian ia menghela napas sambil berkata di dalam hatinya, "Aku yang telah sekian lamanya
berdiam di tempat sunyi yang jauh dari pergaulan umum, baru sekarang dapat kusaksikan dunia
yang begini ramai berikut penduduk wanitanya yang begitu ayu cantik. Maka kalau aku bisa
dapatkan nona ini sebagai ganti dari seorang bocah manis yang telah kabur itu, sungguh tidak
kecewa aku meninggalkan pertapaanku dan menuntut penghidupan sebagai manusia biasa!"
Tapi Ciu Tek Seng yang melihat sikap susioknya dan dapat menerka sebagian besar dari rahasia
hati biarawan tua itu, dengan gemas ia menyengir sambil berkala, "Susiok, bukannya engkau
segera membekuk si Su Nio itu, tapi sebaliknya tampak bengong terlongong-longong sambil
menonton para serdadu yang sedang mengepungnya itu? Apakah barangkali engkau gentar untuk
meladeninya bertempur?"
Siu Leng Siangjin yang tidak kalah akal segera membelalakkan matanya sambil membentak,
"Engkau selalu berkata-kata tanpa dipikir terlebih dahulu! Tahukah engkau bahwa aku tengah
mengatur suatu siasat, cara bagaimana untuk membekuk bocah perempuan itu dengan tak usah
mengeluarkan terlampau banyak tenaga? Cobalah engkau saksikan bagaimana hasilnya nanti,
barulah akan kau ketahui bahwa apa kataku itu bukan omongkosong belaka!" Ciu Tek Seng hanya
menyambut kata-kata itu dengan tersenyum kambing tapi tak memberi komentar sesuatu akan
buat susioknya itu. Sudah itu barulah Siu Leng Siangjin ke muka sambil menudingkan tongkatnya
ke arah Su Nio yang sedang dikepung oleh anak buahnya sambil membentak, "Hai bocah, apakah
engkau bukan bocah Yo Su Nio yang pernah melukai sulitku dengcn Tok-bwee-kwie? Tengok,
hari ini akan kuringkus dirimu bagaikan mengikat bacang!"
Sambil berkata demikian, ia segera maju ke medan pertempuran sambil menyuruh para serdadu
itu menyingkir, sedang ia sendiri lain meladeni bertempur si Dewi Tombak dengan memutarkan
tongkatnya bagaikan baling-baling cepatnya.
Su Nio yang seumur hidupnya baru pernah pada kali ini mendapat lawan seorang hweeshio, diamdiam hatinya jadi terkejut. Karena menurut ketentuan dalam rimba Persilatan, ada tiga kaum yang
harus disegani dan tidak boleh dipandang ringan yakni, kanak-kanak, orang perempuan dan kaum
yang beribadat (orang pertapaan, hweeshio, toocu atau nikho). Tapi kali ini karena ia bertujuan
untuk menolong adik angkatnya yang tertawan itu, maka ia tak pikirkan itu semua dan lalu maju
menjumpai biarawan tua itu sambil berkata, "Siangjin, engkau dan aku tak pernah terbitpermusuhan sesuatu. Oleh karena itu, aku mohon supaya engkau membebaskan adik perempuanku yang telah kau tangkap itu!"
Siu Leng Siangjin tertawa mengakak mendengar permintaan si nona itu.
"Engkau berbicara hanya enak untuk dirimu saja," katanya "Kamu sekalian adalah kaum
pemberontak, sedang kami adalah otang-orang pemerintah yang bertugas untuk membasmi kalian
yang berani melawan kepada pemerintah kami. Oleh karena itu, cara bagaimana engkau berani
mengatakan bahwa kita berdua pihak tidak terikat permusuhan sesuatu? Dan hal engkau
memohon supaya adik perempuanmu dapat dibebaskan, akupun bersedia mengabulkan
permintaanmu itu asalkan engkau suka menerima baik tiga buah permintaanku ........."
"Apa permintaanmu cepat katakan," kata Su Nio dengan wajah beringas.
"Yang pertama," kata Siu Leng Siangjin, "Hentikanlah perlawanan terhadap pemerintah yang
berwenang dimasa ini. Kedua, ajak kawan-kawanmu yang berpusat di gunung-gunung dan hutan
belantara. Ketiga, kamu sekalian harus menakluk terhadap pemerintah kami......."
"Cukup, cukup! Jangan banyak bacot!" kata si Dewi Tombak, "Semua permintaanmu itu kutolak
mentah-mentah dan jangan ucapkan di hadapanku! Sekarang mari kita bertempur untuk
menentukan siapa antara kita berdua yang lebih unggul! Tengok tombak-ini!"
Tanpa menantikan pula jawaban Siu Leng Siangjin, Yo Su Nio segera putarkan tombaknya, dan
dengan ganas menerjang biarawan tua itu yang lalu menangkis tombak si nona dengan tongkat di
tangannya.
Siu Leng Sianngjin yang baru pertama kali ini berhadapan dengan Yo Su Nio, mula-mula agak
memandang ringan kepada si nona itu. Tapi setelah pertempuran berlangsung beberapa jurus
lamanya, barulah ia suka mengakui bahwa nama julukan Dewi tombak yang dimiliki nona itu
bukanlah nama kosong belaka. Setiap tusukan serangan yang dilancarkan oleh Yo Su Nio dengan
bertubi-tubi, tidak jarang membuat Siu Lenc Siangjin jadi tergetar hatinya, hingga jika ia berani
sedikit saja kurang sebat dalam penangkisannya, niscaya ia sudah kena dirobohkan oleh si nona
dengan mengalami luka-luka parah. Oleh karena itu, Siu Leng Siangjun jadi khawatir akan
dirobohkan oleh si nona yang tergolong pada tingkatan kaum muda, sudah barang tentu jadi
semakin hati-hati dalam memberikan perlawanannya.
Sementara Ciu Tak Seng yang merasa tidak sabaran tinggal menonton saja dari kejauhan, segera
mencabut Sam-ciat-tiok-pian dari gegernya, dengan mana ia maju mengepung si nona sambil
membentak, "Budak yang hina dina! Sekarang aku kembali untuk membalas dendam kepadamu!"
Begitulah ia akhiri kata-tatanya sambil memukul dengan bertubi-tubi ke arah Yo Su Nio, hingga
si nona yang dikepung oleh dua orang lawan dari depan dan belakang dengan sekaligus, sudah
barang tentu jadi amat sibuk dan memutarkan tombaknya bagaikan baling-baling yang menerjang
angin tofan. Begitu dahsyatnya ia memutar tombaknya itu, sehingga tubuhnya hampir tidak
kelihatan karena diliputi oleh sinar senjata itu, hingga biarpun Ciu Tek Seng mendesak dengan
sekuat-kuat tenaganya, tidak urung dia tak mampu membuat nona Su Nio mundur barang
setapakpun dari kalangan pertempuran. Maka Siu Leng Siangjin yang menyaksikan memuji di
dalam hati, "Sungguh tidak salah jika orang menamakannya Dewi Tombak! Bahkan aku sendiri
yang sedari muda pernah menyaksikan kepandaian beberapa orang ahli tombak, tiada seorangpun
yang permainan tombaknya semahir dan selincah Yo Su Nio ini!" Oleh karena itu, kekerasan hatibiarawan tua itu mendadak jadi lumer dan melompat mundur ke suatu pinggiran dan berdiri
menonton di situ sambil membiarkan sutitnya melawan bertempur nona itu dengan hanya seorang
diri saja.
Tapi ketika pertempuran berlangsung sehingga beberapa jurus lamanya, Ciu Tek Seng segera
menarik kesimpulan, bahwa dia tak akan memperoleh kemenangan dalam pertempuran melawan
nona Su Nio, tanpa sang susiok memberikan bantuannya. Oleh karena itu, dengan menebalkan
muka ia berteriak, "Susiok, tolong!"
Siu Leng Siangjin tampak agak ragu, tapi akhirnya ia terpaksa turun tangan juga membantunya
menempur Yo Su Nio, tatkala Tek Seng dengan berulang-ulang berteriak meminta pertolongan
kepadanya.
Maka dengan majunya pula biarawan tua itu ke medan pertempuran, kembali Su Nio jadi sibuk
dan akhirnya terpaksa kabur.
"Jangan lari!" bentak Ciu Tek Seng yang timbul kembali keberaniannya karena derongan
semangat susioknya itu, tapi Su Nio yang napasnya terengah-engah karena sangat letih karena
pertempuran itu kabur terus tanpa meladeni bentakan si orang she Tek itu.
"Kejar terus!" Kemudian Tek Seng menganjurkan kepada anak buahnya.
Maka pengejaran atas diri nona itu telah dilakukan dengan amat hebat dari segala jurusan,
sehingga nona Su Nio hampir putus asa karena tak melihat ada jalan untuk ia dapat meloloskan
diri.
Syukur juga selagi pengepungan dilakukan sedang ramainya, tiba-tiba muncul dua pasukan
liauwlo yang maju dari kiri kanan dan serentak untuk memotong para serdadu yang mengepung
Yo Su Nio bagaikan rombongan pemburu yang sedang mengepung binatang buruan mereka. Dan
begitu pasukan kedua pihak saling berhadapan dua orang laki-laki yang bersenjatakan golok besar
pihak kedua rombongan liauwlo itu terdengar berseru, "Adik Nio! Kami datang untuk
membebaskanmu!" Dan bersamaan dengan diucapkannya seruan itu kedua orang pemimpin
rombongan liauwlo itu yang ternyata bukan lain daripada An Jie dan Ngo Sian Tie adanya, segera
menerjang masuk ke dalam pasukan serdadu Ciu Tek Seng, sehingga dalam waktu sekejap saja
rombongan kedua pihak itu telah jadi bertempur dengan tidak banyak bicara pula.
Tapi nona Su Nio yang sedang dikejar-kejar oleh Ciu Tek Seng dan susioknya, tak dapat
berhubungan dengan kakak dan kawannya, meski bala bantuan tengah bertempur dengan amat
serunya di sekitar daerah pegunungan itu. Maka sambil melawan menempur, nona itu terpaksa
mundur untuk mencari kesempatan ia dapat menggabungkan diri dengan kawan-kawannya
sendiri, sedang Ciu Tek Seng yang seolah-olah dapat memahami maksud Yo Nio disaat itu, ia
sama sekali hampir tak memberi kesempatan untuk nona itu mencari jalan keluar dari
kepungannya dan susioknya berdua.
"Kali ini selain engkau menyerah kepada kami," kata orang she Ciu itu, "Jangan harap akan kau
dapat meloloskan diri secara mudah!"
Tapi Su Nio masih saja melakukan perlawanan terus tanpa menghiraukan segala ejekan yang
keluar dari mulut pihak lawannya.Pada suatu waktu ketika nona itu terdesak sehingga di tepi jurang, Tek Seng yang merasa pasti
bahwa Su Nio takkan dapat meloloskan diri pula dari dalam tangannya maka dengan semangat
yang menyala-nyala telah diajaknya Siu Leng Siangjin untuk maju menerjang dengan serentak,
sehingga Su Nio yang betul-betul tak dapat jalan untuk meloloskan dirinya, terpaksa terjun ke
bawah jurang yang dalamnya mencapai lebih kurang beberapa belas kaki sedangkan Ciu Tek Seng
sama sekali tak menduga, bahwa nona itu akan mengambil tindakan yang begitu nekat. Maka si
orang she Ciu yang telah menyaksikan kenekatan nona Su Nio disaat itu, mau tak mau jadi
menepuk dadanya sambil berkata. "Sungguh tidak kunyana bahwa budak perempuan itu
mempunyai nyali yang begitu besar!"
Tapi syukur juga nona itu telah terjun ke arah tanah yang agak rata, hingga dengan meringankan
tubuhnya ia telah tiba di bawah jurang itu dengan selamat dan tidak kurang suatu apapun.
"Selamat!" kata nona Su Nio di dalam hatinya.
Tapi Tek Seng dan susioknya yang belum mau sudah sampai di situ saja, lekas-lekas turut
melompat turun ke bawah jurang untuk melanjutkan pengejaran tersebut.
Tidak berapa jauh dari bawah jurang itu, terdapat sebuah jalan kecil satu-satunya untuk turun ke
bawah gunung. Tapi anehnya, di situ terdapat sebuah gubuk di tengah-tengah jalan tersebut,
sehingga orang tak dapat turun gunung tanpa memasukinya. Sedang pemiliknya seorang
perempuan tua yang kedua matanya telah buta, tampak duduk bersila di muka pintu, yang
merupakan jalan satu-satunya yang dapat dilalui orang untuk turun ke bawah gunung. Oleh sebab
itu dengan meletakkan tombaknya di tanah, Su Nio lalu memberi hormat sambil berkata, "Nenek,
mohon kiranya nenek mengijinkan untukku lewat di sini disaat ini juga!"
Tapi si nenek meski tampaknya mendengar dan paham akan kata-kata nona itu, ia sama sekali
tidak menjawab atau suka mengalah untuk mengasih jalan kepadanya, hingga dengan sikap
tergesa-gesa Yo Su Nio terpaksa telah mengulangi permintaannya itu.
Kemudian dengan sikap yang acuh tak acuh si nenek telah mengomel, "Ada-ada saja engkau ini!
Aku tidak ada urusan denganmu! Ayoh, enyah dari sini!"
"Nenek," kata si nona. "Jika engkau sudi mengijinkan lewat di sini, aku pasti takkan lupa atas
kebaikan hatimu itu."
"Ada apa sih yang telah membuatmu tampak begitu kesusu?" kata si nenek sambil menepuk
pahanya sehingga bersuara nyaring sekali.
Su Nio yang merasa tidak guna untuk mengulur-ulur waktu dengan jalan tanya-jawab dengan
perempuan tua itu, segera menuturkan dengan serba singkat bahwa dia kini tengah dikejar-kejar
oleh dua orang musuhnya, sehingga dengan demikian, ia mohon permisi untuk meloloskan diri
dengan jalan melalui gubuk tersebut.
Sementara si nenek yang mendengar keterangan begitu, dengan lantas ia tersenyum dingin dan


Dewi Tombak Karya Unknown di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkata, "Hm! Sungguh tak berguna sekali engkau ini! Jika engkau mesti lari pontang-panting
karena menghadapi dua orang musuh saja, cara bagaimana engkau mampu menghadapi musuh
yang jumlahnya jauh lebih banyak daripada itu?"
"Nenek!" Su Nio terpaksa mengambil sikap lunak untuk menutupi rasa cemas dan malunya
untuk bertempur dengan musuh umumnya tak pernah aku mesti kabur serupa ini ............""Siapakah mereka itu?" kata si nenek tidak sabaran.
"Mereka berdua adalah kaki tangan kaum penjajah," sahut Su Nio, "Yang seorang tidak membuat
aku gentar, tapi yang seorang pula seorang hweeshio sesungguhnya mempunyai ilmu kepandaian
yang lihay sekali."
Sebelum si nona selesai berbicara. si nenek sudah lantas hantamkan telapak tangannya ke atas
sebuah batu gunung yang dipergunakannya sebagai atas kakinya sehingga batu itu terbelah dua
dengan mengeluarkan suara bagaikan tertumbuk oleh sebuah godam besi yang berat sekali.
"Apakah kepala si gundul itu lebih keras daripada batu ini?" tanya nenek itu dehgan suara bangga.
Yo Su Nio yang melihat ada kesempatan untuk memanaskan hati si nenek yang gila hormat itu
dengan lantas ia menjawab, "Ah, telapak tanganmu itu sungguh hebat sekali, sehingga si kepala
gundul itu masih tepat untuk menjadi cucu muridmu!"
"Apakah omonganmu itu bukan berarti mengumpak-umpak belaka?" kata si nenek sambil
tersenyum gembira.
"Jika nenek tak percaya omonganku," kata Yo Su Nio, "Nenek boleh coba sendiri sampai dimana
kelihayannya si hweeshio itu."
"Ya, baiklah," kata perempuan tua yang buta itu. "Sekarang engkau boleh berdiri di belakangku,
dan berdiam di situ sehingga para pengejarmu datang kesini!"
Su Nio yang mendapat kenyataan bahwa si nenek itu bukan seorang perempuan sembarangan,
dengan lantas ia menuruti omongannya dan berdiri di belakangnya dengan tombak Lee-hoa-chio
miliknya selalu dicekal di tangannya. .
Tidak antara lama, betul saja Ciu Tek Seng dan susioknya telah tiba juga di hadapan perempuan
tua yang buta itu. Tapi karena si nenek duduk bersila di situ bagaikan sebuah patung, maka
berhentilah untuk mereka mengejar nona Su Nio yang berdiri di belakang nenek itu dengan tegak
dan tanpa berkata-kata barang sepatahpun. Hal mana, telah membuat kedua orang susiok dan
sutit itu jadi saling lihat-lihatan dengan sikap ragu-ragu untuk melanjutkan pengejaran mereka atas
diri nona Su Nio yang kini hendak dilindungi oleh perempuan tua yang tampaknya tolol, tapi
sesungguhnya tidak setolol apa yang diduga mereka berdua. Maka mereka tak berani
sembarangan maju dengan secara semberono.
Tek Seng terpaksa memberi hormat kepadanya sambil berkata, "Nenek, sudikah kiranya engkau
mengijinkan akan kami melewati jalan ini untuk turun ke bawah gunung?"
Si nenek mengeluarkan suara bentakan dari lobang hidungnya berkata, "Hm! Untuk maksud apa
engkau lalu di sini? Cobalah engkau terangkan dengan sejujur-jujurnya!"
Tek Seng menatap wajah nona Su Nio sambil mulutnya menyahut, "Kami hendak menolong adik
perempuanku yang sedang dikejar-kejar oleh pihak musuhnya........!"
Tapi begitu selesai Tek Seng berbicara, si nenek segera mendorongkan telapak tangannya sambil
membentak, "Bohong! Engkau sendirilah musuh yang sedang mengejar-ngejar nona itu! Ayoh,
enyahlah engkau dari sini!"Bersamaan dengan itu, Ciu Tek Seng merasakan ada suatu tenaga tidak kelihatan yang telah
mendorongnya mundur sehingga punggungnya bertubrukan dengan dada Siu Leng Siangjin yang
berdiri di belakangnya!
"Aduh!" kata mereka dengan suara yang hampir berbareng.
"Sungguh edan sekali si nenek buta itu!" mengomel si orang she Ciu itu.
Tapi begitu mulutnya tertutup, tiba-tiba si nenek membentak dengan suara nyaring, "Enyahlah
kalian dari hadapanku!" Dan berbareng dengan gerak kedua tangannya, Ciu Tek Seng segera
merasakan tubuhnya jadi terdorong mundur dan hampir saja ia jatuh telentang, jika susioknya
tidak lekas menahannya dari arah belakang.
Siu Leng Siangjin yang melihat sikap si nenek buta yang jumawa itu, dengan lantas ia tampil
kemuka sambil membentak, "Hai, engkau ini siluman dari mana, yang tanpa angin atau hujan
segera mengambil sikap bermusuhan terhadap kami berdua?"
"E-eh, engkau ini kepala gundul dari mana yang telah kesasar dan datang ke rumah tangga orang
tanpa permisi dahulu kepada orang yang menjadi nyonya rumahnya!" balas si nenek buta dengan
suara ketus.
Siu Leng Siangjin yang mendengar ejekan itu, sudah barang tentu jadi sangat mendongkol dan
lalu menuding orang dengan tongkatnya sambil mendamprat, "Tua bangka siluman! Jika engkau
tak mau menyingkir dan memberi kesempatan untuk kami menangkap si budak perempuan, yang
hina dina itu, janganlah engkau katakan aku keterlaluan. Gubukmu ini berikut dirimu juga, akan
kusapu dari sini, sehingga berantakan dan masuk ke dalam jurang itu!"
Tapi si nenek buta yang digertak begitu, bukan saja tidak menjadi jeri atau takut, malah sebaliknya
lantas tertawa terkekeh-kekeh dan balas memaki, "Ah-ha, mentang-mentang lidah tidak bertulang,
sehingga engkau berani mengucapkan kata-katamu dengan seenaknya saja! Gubuk ini adalah
milikku sendiri, tapi cara bagaimana engkau hendak mengusir orang secara paksa dan bertindak
dengan melampaui batas kekuasaan orang yang berhak untuk berbuat begitu? Kini engkau hanya
seorang yang kebetulan hendak lewat di sini, tapi dalam kenyataan engkau telah berlaku begitu
lancang, sehingga aku sebagai pemilik gubuk ini berhak untuk tidak menerima kedatanganmu!
Ayoh. enyahlah kamu dari hadapanku!"
Bersamaan dengan diucapkannya kata-kata itu, si nenek segera menggerakkan kedua telapak
tangannya ke arah Siu Leng Siangjin yang seketika itu juga jadi terdorong mundur sehingga
beberapa kaki jauhnya. Syukur juga ia mahir ilmu Cian-kin tui yang dapat membuat tubuhnya
jadi sangat berat dengan mana ia bisa menahan tenaga dalam nenek buta yang ternyata bukan
main dahsyatnya itu.
"Hm! Engkau hendak menjajal ilmu kepandaianku, ya?" kata si biarawan tua sambil menyengir.
"Boleh, boleh! Ni, kau rasakan tongkatku!"
Sambil berkata demikian, ia segera ayunkan tongkatnya yang segera dipukulkan ke arah ubunubun nenek buta itu. Tapi .........
DAK! Haiya!"Bersamaan dengan terdengarnya suara-suara itu Siu Leng Siangjin yang memukul si nenek buta
jadi terpental dan jatuh menimpa Ciu Tek Seng yang berada di belakangnya, sehingga mereka
berdua terguling bersama-sama dengan sekaligus.
"Dasar sialan!" si biarawan tua memaki kepada si nenek buta yang disaat itu tertawa terpingkalpingkal dan menantang, "Ayoh, kupersilakan engkau atau kalian boleh maju kesini. Jika gentar
untuk melawan aku satu lawan satu, boleh juga kalian maju dengan serentak!"
"Kurang ajar!" kata Siu Leng Siangjin dengan penasaran. Tanpa menantikan sampai sutitnya
bangkit, kembali ia telah menerjang si nenek buta dengan mempergunakan siasat Thay-san-sapteng, atau pegunung Thay-san menindas puncaknya, dengan pukulan yang bukan main
dahsyatnya.
Tapi, seperti biasa si nenek meski matanya buta, tapi pendengarannya sangat tajam dan tepat
sekali. Dan begitu tongkat si biarawan melayang ke atas ubun-ubunnya, kedua tangan nenek itu
yang seolah-olah bermata sudah lantas menangkapnya sambil tertawa mengakak, kemudian
dengan sekali bergerak saja, tongkat itu berikut Siu Leng Siangjin sendiri telah dilemparnya
sehingga beberapa belas kaki jauhnya, di mana biarawan tua itu telah jatuh terlentang dengan
mengeluarkan suara bagaikan kalong terbanting di dalam sangkarnya.
Nona Su Nio yang menyaksikan kelihayan si nenek buta itu diam-diam jadi sangat memuji dan
bertanya di dalam hatinya, "Siapakah gerangan si nenek buta ini?
"Ayoh! Engkau boleh maju pula dan keluarkan seluruh kepandaianmu!" Sambil berkata
demikian, si nenek lalu menjumput beberapa buah batu kolar yang terserak di hadapannya,
dengan mana ia menyambit ke arah si biarawan dan sutitnya sambil membentak, "Hai, belum
jaga kalian berlalu dari sini? Ayoh, enyah! Lekas!"
Oleh karena dihujani batu, maka Siu Leng Siangjin dan Ciu Tek Seng jadi kewalahan dan segera
kabur selekas mungkin.
Begitu paman dan kemenakan ini tidak kelihatan mata hidungnya, Yo Su Nio lekas menjura di
hadapan si nenek buta itu sambil memberi hormat dan berkata, "Nenek, aku mohon tanya. Nenek
ini orang she apa? Nama gelarmu disebut apa, dan mengapa berdiam di sini dengan hanya seorang
diri saja?"
Tapi, bukannya menjawab pertanyaan orang, si nenek buta itu tempak kurang senang dan lalu
mengerutkan dahinya, mendelikkan matanya yang putih dan membentak, "Aiii, sungguh besar
sekali nyalimu, sehingga engkau berani menggunakan siasat halus untuk memata-matai orang!
Apakah sangkamu aku takut, sehingga aku mesti bersembunyi di sini?"
"Nenek, harap engkau jangan menjadi gusar dahulu," kata si nona. "Oleh karena terdorong oleh
rasa kagum atas kepandaianmu yang begitu tinggi, maka aku telah mengajukan pertanyaan
tentang siapa she nenek yang mulia serta karena apa engkau berdiam yang begini sunyi dengan
hanya seorang diri saja, tapi sama sekali bukan bermaksud untuk memata-mataimu atau
menganggap engkau seorang penakut."
"Aiii, sungguh pandai sekali engkau memutar lidah!" kata si nenek sambil menghela napas. "Aku
orang tua tak punya she, tak punya nama gelar sesuatu. Maka untuk menyebut namaku, cukup
engkau mengatakan nenek buta saja. Aku berdiam di sini atas kehendakku sendiri, tapi bukan atas
anjuran atau tekanan siapapun. Itulah jawabanku atas pertanyaanmu itu, Siapakah engkau ini?Dan untuk maksud apa engkau memancing hweeshio jahat dan kawannya itu datang kesini,
sehingga dengan demikian mereka telah mengetahui tempat kediamanku."
Su Nio lagi sekali menjelaskan di hadapan nenek buta itu, bahwa telah dikejar-kejar oleh kedua
orang itu, yang ia telah lawan bertempur berhubung ia merasa sangat benci, bahwa mereka itu jadi
kaki-tangan kaum penjajah asing. Kesudahannya, dia sudah sengat terdesak, ia telah melalui
daerah pegunungan itu. Tapi sama sekali bukan karena ia sengaja memancing mereka datang ke
situ.
Oleh karena mendengar keterangan tersebut, barulah si nenek kelihatan mau mengerti juga,
hingga selanjutnya ia tak menyebut-nyebut juga tentang persoalan yang telah terjadi barusan itu.
Dalam keadaan tidak disengaja, si nenek telah meraba gagang tombak si nona yang berdiri di
belakangnya.
"Tombakkah yang kau pegang di tanganmu itu?" ia bertanya dengan tiba-tiba.
Su Nio membenarkan.
"Barusan engkau telah mengatakan." kata si nenek, "Bahwa engkau adalah seorang anak
perempuan keluarga Yo di Ek-touw. Sekarang ada seorang pendekar wanita ahli tombak golongan
muda, yang bermarga Yo, Yo Su Nio namanya. Ia begitu dikagumi orang dari kalangan Kangouw dengan nama julukan Dewi Tombak. Apa kau kenal dia itu? Atau memang masih tergolong
keluargamu juga?"
Su Nio merasa gembira dan segera menjawab, "Ah, itulah hanya nama julukan kosong yang orang
telah berikan kepadaku. Harap nenek jangan anggap itu sebagai suatu kebanggaan."
"Apa? Kebanggaan?" Si nenek tertawa terpingkal-pingkal, "Itulah bukan suatu kebanggaan, nak.
tapi sesuatu yang menerbitkan rasa kecewa orang! Dewi Tombak! Hi-hi hi! Dewi Tombak yang
keok!"
Meski Su Nio bukan seorang yang suka diumpak, tapi tak urung ia merasa tidak enak juga diejek
demikian, sehingga wajahnya berubah merah seketika itu juga. Ia mengomel di dalam hati, tapi
kenyataan membuat ia tak berdaya untuk berbantahan dengan si nenek buta itu.
"Aku orang tua suka berkelakar dan mengecam orang secara terus terang!" kata si nenek itu pula,
"Dari itu engkan jangan menjadi kecil hati atau gusar kepadaku. Sekarang bolehlah engkau
pertunjukkan ilmu tombakmu beberapa jurus untuk coba disaksikan olehku."
"Dapatkah nenek melihat aku bersilat, sedangkan kedua matamu buta?"
Kata-kata itu sudah hendak diucapkannya, tatkala ia teringat akan sikap perempuan tua yang aneh
dan mudah tersinggung itu, sehingga akhirnya ia terpaksa tinggal membisu dan siap sedia untuk
memainkan ilmu tombaknya di muka gubuk yang halamannya cukup luas untuk ia
mempertunjukan kepandaiannya. Maka sesudah memberi hormat sebagai tanda mulai bersilat,
nona Su Nio lalu berkata, "Nenek, aku sudah hendak mulai. Harap nenek sudi memberi
petunjuk!"
"Sunggnh aneh sekali! kata si nenek sambil tertawa. "Cara bagaimana aku dapat mengoreksi ilmu
tombakmu pada bagian-bagian mana yang masih belum sempurna karena kedua mataku buta!"Su Nio yang berontak cerdik lalu timbul siasat terang untuk coba mengumpak nenek buta itu
dengan secara halus. "Nenek!" katanya, "Engkau seorang yang mahir thia-hong atau mendengar
sesuatu tanpa perlu menyakslkan dengan mata telanjang, tapi cukup dengan hanya
mempergunakan pendengaran saja. Oleh karena itu apakah salahnya aku meminta petunjukpetunjukmu?"
Si nenek buta tertawa terkekeh-kekeh dengan hati gembira, "Dasar anak pintar! Sekarang bolehlah
engkau bersilat, tapi jika engkau mendengar aku menepuk tangan, itu berarti engkau harus segera
hentikan permainan tombakmu. Itulah tandanya bahwa, bagian permainan tombakmu itu harus
dikoreksi."
Su Nio mengucap terima kasih dan lalu mulai memainkan tombaknya dengan sungguh.sungguh
hati, sedang si nenek buta duduk tegak di atas kursi batu memasang telinganya dan mendengarkan
gerak-gerik permainan tombak si nona dengan amat cermatnya.
Dari jurus pertama hingga jurus yang kesepuluh, si nenek masih tinggal mendengarkan dengan
secara asyik sekali. Tapi setelah Su Nio memainkan tombaknya hingga jurus-jurus yang beberapa
belasan, tiba-tiba si nenek buta telah menepuk tangannya sambil berkata, "Berhenti!"
Yu Su Nio lekas menarik tombaknya dan berdiri tegak untuk menerima pembetulan yang akan
diutarakan oleh nenek buta itu. Tapi bukannya memberi koreksi atas permainan tombaknya itu.
Sebaliknya si nenek segera bertanya, "Nak, aku ada suatu pertanyaan yang hendak kuajukan
kepadamu, dan engkau harus jawab pertanyaanku ini dengan sejujur-jujurnya!"
"Su Nio bersedia untuk menjawab pertanyaan nenek itu," sahut si nona.
"Siapakah gurumu, yang pernah mengajarimu ilmu tombak ini?" Pertanyaan ini diucapkan
dengan kedua mata si nenek yang putih bagaikan ditatapkan peda wajah nona Su Nio.
"Mungkin juga nenek kenal nama guruku itu," kata si nona dengan roman gembira. "Beliau
disebut Liok Kong."
"Siapa? Liok Kong si bangsat tua itu!" kata si nenek dengan rambutnya yang sudah putih semua
dengan sekonyong-konyong pada berdiri bagaikan bulu landak. "Kukira dia sudah lama mampus,
tidak tahunya masih hidup sehingga disaat ini?"
"Nenek .............!" Nona Su Nio timbul pikiran untuk membujuknya serta menanyakan sebabmusabab mengapa ia begitu gusar kepada gurunya. Tapi bukan saja ia tak suka menghiraukan
bujukan itu, malah sebaliknya jadi semakin gusar dan membentak dengan suara nyaring, "Tutup
mulutmu! Jika terlebih siang aku ketahui bahwa engkau ini adalah murid si tua bangka bangsat
itu, niscaya aku sudah serahkan dirimu kepada si kepala gundul itu untuk digantung! Tahukah
kau bahwa gurumu telah membunuh murid kesayanganku? Aiii, sungguh keterlaluan sekali si tua
bangka itu!"
"Nenek," kata Su Nio yang berusaha untuk meredakan kegusaran si nenek itu, "Mungkin kejadian
itu hanya suatu salah faham belaka karena guruku tidak akan bertindak sembarangan membunuh
orang yang tidak bersalah, harap nenek ...."
"DIAM!" bentak nenek itu pula. "Oleh karena gurumu tidak ada di sini, maka tidak ada alasan
cukup untuk aku berbantahan dengannya, tapi sudah menjadi suatu dalil yang tertentu, bahwa
hutang jiwa haruslah dibayar dengan jiwa pula! Engkau telah mengatakan bahwa gurumu tidaksembarangan membunuh orang. Tapi tahukah engkau, bahwa oleh karena itu ia sampai dihukum
buang ke lain tempat?"
Bahwa gurunya pernah dihukum buang ke lain tempat, ini memang benar pernah juga didengar
Su Nio dari penuturan gurunya sendiri, tapi ia tidak tahu-menahu tentang duduknya persoalan
sehingga sang guru sampai mesti menjalankan hukuman tersebut. Karena selain tidak kenal siapa
pribadi dan dari mana asal usul gurunya itu, iapun tak pernah menyangka, bahwa persoalan
gurunya itu bisa mempunyai sangkut paut yang sedemikian banyak seginya itu. Tapi untuk bantu
meredakan suasana yang tampaknya agak panjang itu, Su Nio terpaksa berlaku tenang dalam hal
berurusan dengan si nenek buta yang mudah naik darah itu. Maka setelah berpikir sejenak, lekaslekas ia memotong pembicaraan itu sambil berkata, "Nenek, harap jangan gusar dahulu. Aku
sama sekali tidak tahu-menahu tentang duduknya persoalan ini. Karena itu, sudikah kiranya
nenek memberitahukan kepadaku asal mulanya insiden yang telah terjadi antara muridmu dan
guruku!"
"Tidak perlu engkau banyak bacot!" bentak si nenek. "Gurumu berani membunuh muridku tanpa
mengindahkan kepada aku yang menjadi gurunya, apakah salahnya jika aku balas perbuatannya
itu dengan jalan membunuhmu sebagai pengganti jiwa muridku yang telah tewas di tangannya
itu?"
"Nenek!" Su Nio menjerit kaget.
Tanpa banyak bicara pula, si nenek buta segera melompat ke muka bagaikan melesatnya sebatang
anak panah ke arah nona Su Nio, hingga noua itu terpaksa melompat mundur dengan tergesagesa dan gugup untuk mengelakkan pukulan dengan telapak tangan yang dilakukan oleh si nenek
yang dahsyat sekali.
Ser! DAK!
Sambil menukik si nenek telah melancarkan pukulannya bagaikan sinar kilat yang menyambar
gunung, sehingga batu karang yang berdiri tidak berapa jauh dari tempat Su Nio menyelinap telah
menjadi hancur bagaikan ditimpa oleh sebuah godam besi yang besar dan berat.
"Sungguh lihay sekali!" seru si nona tanpa dapat ditahan dengan hati terkesiap.
"Jangan lari!" bentak si nenek pula, sambil lagi-lagi melesat ke udara untuk memukul Yo Su Nio
dengan sikap yang sangat bernafsu.
"Nenek, ampunilah aku!" Begitulah Su Nio terpaksa menangis untuk meredakan napsu amarah
yang tengah membakar hati si nenek.
Tapi si nenek buta tidak menghiraukannya dan terus saja mengejar-ngejar si nona dengan jalan
mendengarkan gerak-gerik Yo Su Nio yang berlari-lari aiau menyelinap kesana sini untuk
menyelamatkan dirinya.
Dan selagi mereka berdua berkejar-kejaran bagaikan orang-orang yang sedang main kucingkucingan, tiba-tiba tampak sesosok bayangan manusia yang muncul dari balik semak-semak dan
berseru, "Suhu sabar dulu! Nona itu adalah orang kita sendiri!"Si nenek yang mendengar seruan itu, terpaksa menghentikan pengejarannya sejenak sambil
menengadah dan pasang kuping mendengarkan, kemudian ia bertanya, "Siauw Giok! Engkau dari
mana? Dan siapa sebenarnya budak perempuan murid musuh kakakmu ini?"
"Dialah Hoa-chio Yo Su Nio!" kata orang yang baru datang itu, yang ternyata bukan lain daripada
Thio Siauw Giok yang telah berhasil bisa kabur dari tawanan Hap Nouw Siu Bun dengan jalan
menyamar sebagai seorang serdadu dari pasukan balatentara Kim di kota Ceng-hiang-tien.
"Dialah seorang baik-baik dan nona penolongku. Aku harap supaya Suhu jangan salah paham."
"Kurang ajar!" mengomel si nenek buta itu, yang ternyata bukan lain daripada guru Thio Siauw
Giok. "Tahukah kau bahwa kakak seperguruanmu telah dibunuh oleh guru si bocah she Yo ini?
Dengan demikian, dia terhitung juga sebagai musuh besarmu?"
"Suhu, dengarkanlah dahulu keterangan murid tentang Yo Cie-cie ini," kata Thio Siauw Giok
sambil membungkukkan badannya memberi hormat di hadapan gurunya. Karena dengan berbuat
demikian, ia seakan-akan bersedia untuk mengorbankan dirinya sendiri, jika sampai kejadian
gurunya melancarkan pukulan maut kepada Yo Su Nio.
Setelah itu, barulah ia beritahukan riwayat perjalanannya kepada gurunya, semenjak ia turun
gunung sehingga kemudian bertemu dan mengangkat saudara dengan Yo Su Nio dan yang lainlainnya, tanpa ada suatu halpun yang tidak dituturkan dengan sejelas-jelasnya.
Si nenek buta tampak terharu mendengar penuturan itu, tapi sikapnya masih tetap keras dan
bermusuhan terhadap Yo Su Nio.
"Suhu," kata nona Siauw Giok pula, "Mengenai kematian kakak yang terbunuh dalam tangan
guru Yo Cie-cie ini, bukanlah menjadi tanggung jawabnya!"


Dewi Tombak Karya Unknown di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa katamu? Engkau berpihak kepada murid musuh yang telah membunuh kakak
seperguruanmu sendiri?" bentak si nenek dengan suara menggeledek. "Sungguh keterlaluan sekali
perbuatanmu itu!" . .
"Suhu," Thio Siauw Giok yang telah sedari lama ketahui sikap gurunya yang keras itu, telah
mencoba untuk membujuknya. "Yo Cie-cie dan gurunya meski punya hubungan erat sebagai
murid dan guru, tapi tidak punya sangut-paut dalam sesuatu perbuatan atau tanggung jawab yang
dilakukan oleh masing-masing. Jadi dengan demikian jika gurunya sampai kejadian membunuh
orang, apakah ada aturan bahwa muridnya juga harus dihukum?"
Si nenek buta yang mendengar demikian, diam-diam jadi mengakui juga atas kebenaran omongan
muridnya itu, tapi dilahir ia tetap tak mau mengunjuk kelemahannya atau mau mengalah sampai
di situ saja, meski dalam kenyataan guru Yo Su Nio telah dijatuhi hukum buang oleh pembesar
yang berwajib atas perbuatannya itu.
"Selain daripada itu, murid ada suatu alasan yang kuat untuk membela diri Yo Cie-cie!" nona
Siauw Giok melanjutkan. Tapi pembicaraannya segera dipotong oleh gurunya yang membentak,
"Coba jelaskan apa alasanmu, sehingga engkau menganggap si bocah she Yo ini tidak berdosa
atau sedikit dikitnya tidak turut bertanggung jawab atas perbuatan gurunya itu!"
"Suhu jangan lupa," kata nona Siauw Giok tenang, "Bahwa Yo Cie-cie baru berguru kepada Liok
Kong Lo cian-pwee setelah peristiwa tersebut terjadi!""Kentut!" bentak si nenek buta sambil menepukkan telapak tangannya pada sisi batu di dekatnya,
sehingga batu itu hancur dan pecahannya jatuh berserakan ditiup angin lalu. "Engkau mengucapkan nama si bangsat Liok Kong itu dengan sebutan Lo-cian-pwee atau kaum tua, apakah
sangkamu tingkat kepandaian gurumu kalah jauh dengan tua bangka keji itu?"
"Suhu!"
"Tutup mulut!" bentak si nenek buta itu, "Hari ini juga aku mesti mengambil suatu keputusan
untuk menuntut balas!"
Dalam pada itu, entah sedari kapan datangnya, seorang laki-laki yang usianya telah lanjut
mendadak telah muncul di hadapan si nenek dan kedua anak dara yang justeru berada di situ!
"Pek Tin, tak usah engkau mengumbar amarah tidak karuan macam!" kata si kakek sambil
tertawa. "Jika engkau masih tetap menganggap aku keji dan berdosa, ajukanlah tuntutan itu
kepadaku sendiri, tapi bukan layaknya engkau merembet kepada muridku yang sama-sekali tak
berdosa dan tak tahu-menahu mengenai persoalanku ini!"
Jika disaat itu ada suara guntur di sisi telinga si nenek buta, ada kemungkinan dia tak begitu kaget
seperti juga mendengar suara si kakek itu, sehingga dengan badan menggigil karena saking
marahnya ia membentak dengan suara nyaring, "Binatang tua!" katanya, "Sudah sekian lamanya
aku mencarimu tidak berhasil, tapi hari ini tanpa dicari engkau telah datang sendiri mengantarkan
jiwamu! Ayoh, mari kita menentukan siapa antara kita berdua yang lebih unggul ilmu
kepandaiannya dan patut menerima sebutan Lo-cian-pwee itu!"
Bagaikan melesatnya anak panah dari busurnya, dalam waktu sekejapan saja si nenek buta telah
menyerang si kakek bagaikan seorang biasa yang dapat melihat dengan secara leluasa, sehingga
sesuatu jurusan yang ditujunya, semua tepat di arahkan kepada bagian yang berbahaya pada tubuh
si kakek itu.
"Ah-ha, sungguh dahsyat sekali seranganmu itu!" kata si kakek sambil tertawa mengakak dan
menghindarkan diri dari pada dua jari tangan si nenek yang menusuk pada kedua biji matanya
dengan siasat silat sangat lihay yang bernama Thian-ong-tok-tha, atau Raja langit menyangga
mercu. Tapi meski ia diserang begitu rupa, si kakek tidak coba menurunkan tangan jahat untuk
balas mencelakai lawannya. Karena begitu ia berhasil dapat mengelakkan tusukan jari tangan si
nenek itu, lekas-lekas ia melompat mendekati dinding gunung, dengan punggungnya bersandar di
situ bagaikan menyediakan dirinya sendiri untuk dibuat bulan-bulan dari pada serangan-serangan
si nenek selanjutnya.
"Kali ini kalau tidak aku, tentulah engkau!" kata si nenek dengan rupa gemas dan segera
menerjang dengan jalan mencelat di udara.
Serangan ini bernama Pek-lek-siang-eng atau kilat dan guntur sambut-menyambut, yang
gerakannya selain amat dahsyat, juga dapat berbalik membahayakan bagi diri si penyerang, jika
pihak lawan faham akan cara memunahkannya siasat ini.
Yo Su Nio yang segera kenali bahwa si kakek ito adalah gurunya sendiri Liok Kong, dalam hatinya
jadi mencelos dan segera memanggil, "Suhu!"
Tapi Liok Kong yang disaat itu tengah menghadapi bahaya maut yang sedang mengancam kepada
dirinya, sudah barang tentu tidak mendapat kesempatan untuk menyahuti panggilan muridnyaitu. Hanya dengan kecepatan yang hampir tak dapat dilihat dengan mata telanjang, ia mencelat
ke atas sambil membalikkan tubuhnya dan berjungkir balik sehingga dadanya mendekap pada
dinding gunung dan berdiam di situ dengan kepala menghadap ke bawah dan ujung sepatunja
digaetkan pada sebuah batu yang menonjol diantara dinding gunung di situ. Dengan demikian,
keadaan Liok Kong sekarang lebih mirip dengan seekor kelelawar atau cecak yang sedang hinggap
dengan tenangnya di atas dinding tembok.
Su Nio dan Siauw Giok jadi sangat kagum menyaksikan kepandaian si kakek itu. Tapi si nenek
buta yang mengerti bahwa serangannya gagal, kedua telapak tangannya itu tak keburu ditarik
pulang, sehingga dengan mengeluarkan suara DAK yang keras sekali, kedua tangannya
terpendam pada dinding gunung bagaikan sepasang golok yang menancap di atas sebuah talenan!
"Jika sepasang telapak tangan itu menancap pada tubuhku si orang tua," kata Liok Kong dari
atas dinding gunung sambil tertawa mengakak, "Niscaya jiwaku sudah melayang ke alam baka!"
Si nenek buta jadi uring-uringan dan lalu mencabut kedua telapak tangannya dari dinding gunung
itu sambil mengomel, "Engkau berani mengejekku?"
"Bukan begitu, nyonya besar," kata si kakek pula. "Aku bukan mengejekmu, tapi engkau
sendirilah yang telah berlaku terburu napsu. Cobalah engkau pikir sendiri, apakah tubuhku ini
lebih keras daripada batu-batu di dinding gunung ini?"
"Kalau begitu," kata si nenek dengan rupa tidak sabaran, "Dengan syarat bagaimanakah
pertandingan ini hendak kau lakukan? Lekas terangkan kepadaku!"
"Pek Tin," kata si kakek dengan suara membujuk dan sabar, "Lebih baik kita sudahi saja
pertengkaran kita ini. Aku sudah, bosan akan saban-saban bercidera setiap waktu kita saling
bertemu muka!"
"Boleh, boleh," kata si nenek sambil menyengir, "Asalkan engkau suka menerima salah dan
meminta maaf serta menerima kalah kepadaku!"
"Aku merasa tak pernah berbuat salah kepadamu." kata si kakek. "Lagi pula apa perlunya aku
mesti minta maaf? Dan mengapa aku Butek-sinkun atau tinju sakti yang tak terkalahkan mesti
mengaku kalah kepadamu, sedangkan aku sendiri selama hampir setengah abad berkeliaran
dikalangan Kang-ouw belum pernah dikalahkan orang! Pergunakanlah pikiranmu yang sehat!
Aku belum pernah dikalahkan olehmu, maka cara bagaimana aku rela mengaku kalah?"
"Hm, kalau begitu, engkaulah yang tak mengerti hubungan persaudaraan dikalangan Kang-ouw,
hingga selalu mencari perkara saja untuk menerbitkan rasa dongkolku!" bentak si nenek sambil
mundur beberapa tindak ke belakang, kemudian mencelat ke atas untuk memukul Liok Kong yang
mendekap di dinding gunung.
"Jika engkau mengerti hubungan persaudaraan dikalangan Kang-ouw, engkau pasti takkan
berbuat begini rupa!" kata Liok Kong sambil menghindarkan diri dari pada pukulan si nenek
dengan jalan beralih tempat dan mendekap di atas batu di dinding gunung.
Dan tatkala si nenek mengetahui bahwa serangannya inipun telah tak berhasil, dengan lantas
iapun menuruti teladan Liok Kong mendekap di dinding dan menghajar batu dimana si kakek
berada, sehingga batu itu gugur berikut Liok Kong yang berada di atasnya turut jatuh ke dalam
jurang yang meliputi puluhan kaki dalamnya itu!"Celaka!" kata Su Nio dan Siauw Giok dengan suara yang hampir berbareng.
Si nenek buta lekas turun ke tepi jurang sambil menggerutu, "Mampus kau!"
"Sampai kita bertemu pula!" kata suara si kakek dari dalam jurang itu mengejek.
Dengan demikian, si nenek segera mengetahui, bahwa kejatuhan itu tidak membuat si kakek
menderita sesuatu yang hebat. "Dasar sialan kau!" katanya, belum reda dari pada rasa gusar dan
mendongkolnya.
Selagi si nenek berniat akan turun ke bawah untuk mengejar si kakek yang dianggap mengejeknya
itu, tiba-tiba dari bawah gunung tampak sepasukan serdadu yang dikepalai oleh dua orang
perwira yang bertubuh tinggi besar, antara mana yang berjalan paling dahulu menjinjing sebatang
golok besar di tangannya, hingga Su Nio dan Siauw Giok yang melihat begitu dengan lantas melambai-lambaikan tangan sambil memanggil-manggil, "Toako kami berdua ada di sini! Toako,
kami berdua berada di sini!"
"Siapakah gerangan pemimpin pasukan itu!" Tanya si nenek buta yang mendengar seruan kedua
anak dara itu, seolah-olah matanya melihat dan mengetahui siapa-siapa yang berada di bawah
gunung itu.
Su Nio jadi heran dan bertanya, "Nenek, matamu sudah jelas tak dapat melihat, tapi cara
bagaimana engkau mengetahui tentang kedatangan seseorang ke gunung ini?"
Si nenek buta tertawa mengakak. "Dasar anak goblok!" katanya. "Mataku meski buta, tapi
kecerdasan otakku, penciumanku dan pendengaranku sudah cukup untuk memberi firasat untuk
aku mengetahui siapa-siapa yang akan datang kesini dalam jarak 10 li jauhnya!"DEWI TOMBAK
HOA-CHIO YO SU NIO
Jilid IV
Tapi Yo Su Nio hanya menganggap nenek buta membual belaka. Karena jika dia dapat
mengetahui sesuatu yang berada di tempat yang sejauh 10 li, mengapakah dia tak mengetahui
tentang kedatangan Liok Kong kesitu yang terjadi secara tiba-tiba itu? Lagi pula dengan terjadinya
peristiwa yang luar biasa ini, nona Su Nio jadi teringat akan pengakuan adik angkatnya Thio
Siauw Giok yang pernah mengatakan bahwa gurunya adalah seorang nikhouw atau paderi
perempuan di luar Tembok Kota Besar, tapi mengapakah sekarang mendadak berubah menjadi
seorang nenek buta itu? Hal ini sesungguhnya telah membuat nona Su Nio jadi tidak mengerti!
Tapi ia merasa bahwa inilah bukan saatnya untuk menanyakan hal itu kepada Thio Siauw Giok,
maka lekas-lekas ia berari-lari ke tepi jurang sambil melambai-lambaikan tombak di tangannya ke
arah Yo An Jie dan seorang kawan yang lainnya yang rasa-rasanya ia baru pernah bertemu disaat
itu, "Toako, kami ada di sini!" katanya pula. Sedang dari arah sana Yo An Jie melambailambaikan goloknya sambil menjawab, "Aku mendatangi untuk menyambutmu!"
"Siapakah orang-orang yang sedang mendatangi itu?" Si nenek tiba-tiba bertanya.
"Kakakku beserta anak-buahnya," sahut nona Su Nio.
"Apakah engkau sengaja mengundangnya untuk mengepungku di sini? Boleh, boleh!" kata si
nenek itu sambil memperlihatkan sikap yang tak mau mengalah. "Ayoh, panggillah dia kesini,
lekas!"
"Nenek," kata si nona, "Sedangkan aku masih ada di sini, cara bagaimanakah aku dapat
mengundangnya dengan cara yang begitu cepat? Harap nenek anggap ini sebagai suatu kejadian
yang kebetulan saja, karena aku sendiripun tidak mengetahui, cara bagaimana ia bisa mengetahui
bahwa aku berada di sini."
Si nenek jadi sabar kembali, setelah menganggap bahwa omongan nona itupun masuk akal juga.
Tatkala Yo An Jie dan anak buahnya sampai di atas gunung dan turun dari kuda masing-masing,
lekas-lekas Su Nio dan Siauw Giok menghampiri mereka sambil menuturkan pengalaman mereka
secara singkat dan berkata, "Toako, rupanya engkau tengah mencari kami, bukan?"
Yo An Jie mengangguk membenarkan.
"Jika demikian halnya," kata nona Su Nio pula, "Marilah engkau menjumpai nenek penolongku
ini!" Sambil memperkenalkannya kepada si nenek buta.
Yo An Jie yang mendengar keterangan adik perempuannya, dengan lantas maju memberi hormat
kepada si nenek buta sambil berkata, "Nenek, aku Yo An Jie mengucap banyak-banyak terima
kasih atas pertolongan yang sangat berharga yang telah kau berikan kepada adikku Su Nio ini."
Sementara Siauw Giok yang berdiri di sampingnya lalu berkata, "Suhu, inilah kakak angkatku Yo
An Jie, dengan siapa kami turut berjuang untuk membasmi bangsa Kim yang menjajah tanah air
kita."Si nenek buta tampak girang mendengar keterangan demikian, "Ya, ya, itulah memang
merupakan tugas kalian orang-orang muda," katanya "Hingga aku yang sudah tua hanya bisa
menantikan hasil. dari perjuanganmu yang gilang-gemilang itu. Hancurkanlah musuh-musuh kita,
berikut para pengkhianat bangsa yang hanya mengingat keuntungan untuk diri sendiri saja, tapi
seakan-akan rela diperbudak dan tanah air dipukang serta diperintah sebegai negara jajahan."
Kata-kata nenek itu sesungguhnya merupakan kata semboyan yang sangat penting bagi negeri
yang agung," memuji Yo An Jie dengan terus terang sehingga nenek buta itu merasa senang sekali
mendengar pujian itu.
"Sayang aku sudah tua," kata si nenek itu pula. "Jika aku masih muda seperti kalian, ah! Tak
dapat kukatakan bagaimana jadinya!"
"Para pejuang dimasa ini jika mempunyai separuh saja dari semangat perjuangan yang begitu
bergelora seperti apa yang dimiliki nenek itu." kata Yo An Jie yang mendadak sontak menjadi
pandai mengumpak orang, "Niscaya tanah air kita tak sampai kejadian menjadi jajahan bangsa
asing serupa ini!"
"Tapi segala apa masih belum terlambat untuk diperbaiki," kata nenek itu bagaikan menghibur
orang. "Bergiatlah dalam segala hal, pakaliah pedoman, Bersatu teguh, bercerai runtuh adalah hal
yang paling manjur untuk menghadapi pihak musuh!"
"Kita harus berpegang kepada pedoman yang dianut nenek yang harus kita junjung tinggi ini!"
kata Yo An Jie kepada seluruh anak buahnya, yang lalu menyambut anjuran itu dengan bertepuk
riuh Kemudian ia menghampiri kepada si nenek buta sambil membungkukkan diri memberi hormat
dan berkata, "Nenek yang baik, sudilah kiranya nenek memberitahukan she dan namamu, agar
kami semua dapat menjadikan dirimu sebagai semboyan dari gerakan pembebasan tanah air kami
yang masih muda ini?"
Nenek buta tertawa terkekeh-kekeh karena merasa sangat senang mendengar pujian-pujian Yo An
Jie yang sangat muluk itu dan akhirnya ia merasa tidak berkeberatan untuk menuturkan riwayat
hidupnya yang "ramai" dan banyak seginya itu yang akan diceritakan di bawah ini,
Sebuah keluarga di desa Pek-kee-chung mempunyai tiga orang anak yang masing-masing bernama
Pek Tin, Giok Tin dan Hui Tin. Ketiga orang anak dara itu meski tidak terbilang sebagai anakanak perempuan yang cantik, tapi mereka yang terlahir dalam keluarga yang berada, sudah barang
tentu soal perjodohan bukan berarti masalah yang terlampau sukar bagi mereka.
Begitulah ketika mereka bertiga telah mencapai usia dewasa, seorang demi seorang mereka keluar
pintu dan berumah tangga dengan pasangan hidup masing-masing menurut pilihan orang tua
mereka.
Giok Tin dan Hui Tin tinggal menetap di desa Pak-kee-chung, berhubung suami-suami mereka
adalah orang-orang dari desa itu juga. Tapi Pek Tin yang bersuamikan seorang saudagar keliling
di kewedanaan Tiang-ceng, sejak menikah lalu berpindah tinggal ke kampung halaman suaminya,
dimana sehingga beberapa tahun lamanya ia hidup beruntung dengan suaminya itu, sedang oleh
para tetangga sekampungnyapun ia sangat dihormati, berhubung nyonya Pek Tin adalah seorang
nyonya rumah yang ramah dan banyak beramal kepada orang-orang miskin.Pada suatu hari, Ong Ciang demikianlah nama suami nona itu telah diangkut pulang dalam
sebuah tandu dengan menderita luka-luka parah. Menurut keterangan seorang sahabatnya yang
bernama Ciu Kong, yang yang menolongnya membawa pulang serta berdagang bersama-sama,
pada suatu malam mereka telah dirampok oleh sekawanan bajak di sungai Oey-ho. Barang-barang
mereka telah dirampok, sedang Ong Ciang yang hendak melindungi barang-barang dagangannya
telah dilukai hebat. Tapi Ciu Hong yang lebih mementingkan keselamatan dirinya daripada
barang-barang dagangannya, segera bersembunyi diantara timbunan layar-layar yang sudah usang
dan koyak-koyak, sehingga dengan demikian, ia telah terlolos dari bahaya maut.
Pek Tin yang menyaksikan suaminya menderita luka-luka parah, segera memanggil tabib yang
pandai untuk mengobatinya. Tapi karena luka-lukanya itu sudah terlampau berat, maka Ong
Ciangpun meninggal dunia setelah ia berada di rumahnya sendiri hanya sehari saja lamanya.
Orang rumah dan keluarganya tak usah dikatakan pula bagaimana besarnya kesedihan hati
mereka, meski mereka semua percaya bahwa semua itu telah ditakdirkan oleh Thian yang Maha
Kuasa.
Setelah layon suaminya dikebumikan sebagaimana layaknya, Pek Tin seolah-olah mendapat
firasat, kalau-kalau kematian suaminya, bukanlah terjadi karena perampokan sebagaimana telah
dikatakan oleh Ciu Hong itu. Tapi karena ia hanyalah seorang wanita yang lemah dan tak biasa
berpergian kemana-mana, maka sukarlah untuk ia mencari keterangan dari sumber-sumber tepat
dan boleh dipercaya, hingga peristiwa yang menyedihkan itu telah lampau tanpa ada orang yang
mengetahui bagaimana keiudahannya,
Syukur juga Thian tidak buta, hingga segala kejahatan dan kelicikan yang dilakukan oleh ummat
manusia, satu-persatu telah mendapat ganjaran yang setimpal dan tidak berat sebelah. Karena bagi
Pek Tin masih bersusah hati memikirkan peristiwa tersebut, tiba-tiba muncullah bintang penolong
yang sama sekali tak pernah dipikirkannya dari semula.
Bintang penolong ini ternyata bukan lain dari Tio Ceng, seorang kepercayaan Ciu Hong yang
telah diusir oleh majikannya karena menolak untuk melakukan sesuatu pekerjaan yang tidak halal
dan bertentangan dengan hati nuraninya.
Tio Ceng yang kenal baik sesuatu orang yang menjadi sahabat majikannya, sudah barang tentu
kenal juga pada Ong Ciang suaminya Pek Tin. Dan itupun karena Ong Ciang inilah, sehingga Tio
Ceng mengakhiri perhambaannya kepada Ciu Hong. Sebagaimana dibagian muka telah
dikatakan, Ong Ciang dan Ciu Hong selain bersahabat akrab, juga hampir selalu berjualan keliling
dengan berduaan, hingga setelah berdagang sendiri-sendiri setahun lamanya, kemudian mereka
lalu bersama dagang barang kelontong dan berlangganan menyewa sebuah perahu yang biasa
berlayar hilir mudik dengan menyusur sepanjang desa-desa yang padat penghuninya di tepi sungai
Oey-ho.
Maka karena kerajinan dan keuletan kerja mereka, tidak berapa lama perdagangan mereka telah
bertambah maju dan memperoleh keuntungan yang bukan kecil, sehingga Ciu Hong yang masih
bujangan segara mendapat pikiran untuk memperisterikan seorang anak dara untuk menjadi
kawan hidup dan pembantu utama didalam rumah tangganya, pikiran mana lalu diutarakannya
di hadapan Ong Ciang, yang ternyata sangat setuju dengan niatan sahabatnya itu.
Justeru itu, si tukang perahu yang biasa mereka langgani, mempunyai seorang anak dara yang
berparas lumayan juga, yang telah sekian lamanya menjadi idam-idaman Ciu Hong. SementaraOng Ciang yang juga diberitahukan hal ini oleh Ciu Hong sendiri, sudah barang tentu iapun tak
berani merintanginya bahkan menganjurkan si sahabat untuk segera meminang si anak dara itu.
Begitulah, setelah Ciu Hong meminang dan kemudian melangsungkan pernikahannya dengan
anak dara itu, si tukang perahu itu lalu dipensiun oleh Ciu Hong dan mengganti pengayuh perahu
itu dengan kakak misan isterinya, yang selain usianya masih muda dan bertenaga kuat, juga
mengerti sedikit ilmu silat. Maka selain menjadi tukang perahu, iapun merangkap pekerjaan
sebagai pelindung dari kedua orang pedagang keliling itu.
Lama-lama karena perkongsian Ong Ciang dan Ciu Hong telah memperoleh keuntungan yang
sangat besar, maka timbullah pikiran tidak baik dalam hati Thio Pin si tukang perahu yang lalu
menghasut Bie Kie, adik misan perempuan yang menjadi isteri Ciu Hong agar perkongsian dengan
Ong Ciang itu dibubarkan saja. Alasannya ialah bahwa, berdagang dengan berkongsi selain
keuntungan bagi Ciu Hong akan berkurang, juga dia seolah-olah tak mampu berdagang, jika
bukan dengan bekerja sama dengan Ong Ciang.
Semula Ciu Hong coba menolak saran yang diajukan oleh isterinya tanpa mengetahui bahwa itu
semua adalah berdasarkan hasutan Thio Pin. Juga dia tak paham, bahwa Bie Kie telah menjadi
kecintaan Thio Pin, tapi hingga sebegitu jauh belum ada kesempatan menyampaikan rasa kasih
masing-masing, berhubung si empek tukang perahu itu, selalu berlaku "waspada" tidak mudah
diabui oleh anak perempuan ataupun kemenakannya itu.
Tapi begitu Bie Kie menikah dengan Ciu Hong dan sang ayah yang merasa bebas dari tanggung
jawabnya serta digantikan tugasnya oleh Thio Pin maka pulanglah ia mudik dan hidup senang


Dewi Tombak Karya Unknown di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan mendapat pensiun dari sang mantu. Sedang Bie Kie selalu mengikut Ciu Hong dan Ong
Ciang berlayar untuk menyiapkan keperluan dahar atau pekerjaan rumah tangganya di atas
perahu, di hadapan suami dan pesuruh itu selalu berlaku sopan dan hormat sekali, hingga Ong
Ciang pun turut merasa senang melihat sahabatnya mempunyai seorang isteri yang begitu dan
dapat dibuat kawan hidup yang tepat serta berharga. Oleh karena itu, diapun tak lupa untuk sabansaban memberi hadiah sebagai rasa terima kasih atas perawatan serta pelayanannya yang begitu
manja. Tapi perbuatan ini justeru dianggap tidak benar oleh Thio Pin, diam-diam merasa cemburu
atas diri Ong Ciang. Dan itulah musababnya mengapa ia telah menganjurkan Bie Kie untuk
menghasut Ciu Hong membubarkan perkongsiannya dengan Ong Ciang. Tapi Ciu Hong tidak
lantas menuruti saja anjuran isterinya itu. "Aku dan Ong Toako telah berdagang bersama-sama
sedari masih kecil-kecilan sehingga menjadi besar serupa ini," kata Ciu Hong. "Oleh karena itu,
cara bagaimana setelah perdagangan kita mengalami kemajuan yang begini pesat, secara tiba-tiba
tanpa sebab musabab perkongsian ini hendak dibubarkan? Aku sudah merasa senang berdagang
dengan cara perkongsian ini, maka lebih baik engkau orang prempuan jangan mencampuri urusan
perdagangan kami, tapi uruslah rumah tangga kita dengan sebaik-baiknya. Aku sudah merasa
puas dan berterima kasih atas bantuanmu yang berharga itu."
Tapi Thio Pin belum mau mengerti sebelum maksudnya yang keji itu terlaksana, diam-diam telah
memutar otak untuk membuat siasat yang akan menangkap bangau dan kerang raksasa yang
tengah berkutet dengan ia sendiri akan menjadi penangkap ikan dalam dongengan, perkongsian
antara Ong Ciang dan Ciu Hong menjadi berantakan, serta menanggap kedua-duanya dengan
sekaligus. Tapi cara bagaimanakah siasat itu hendak diaturnya?
VIII.PIKIR punya pikir, akhirnya telah diperolehnya suatu siasat mengadu-dombakan Ciu Hong
dengan Ong Ciang jalah dengan mempergunakan tenaga seorang pelacur kecintaannya sendiri,
dengan perjanjian kelak jika siasat itu berhasil, akan dikawininya sebagai isterinya yang resmi.
Si pelacur yang bernama Ang Hoa itu, sudah barang tentu telah menyanggupi, dan menantikan
kesempatan untuk beraksi begitu saatnya tiba.
Begitulah pada petang hari itu selagi berlabuh di tepi sebuah desa yang penduduknya agak padat,
Bie Kie yang terlebih siang telah mendapat petunjuk-petunjuk dari Thio Pin telah memberitahukan
pada Ciu Hong, bahwa pada hari esok berkenaan dengan hari ulang tahun kakak misannya, ia
berniat mengadakan suatu perjamuan kekeluargaan, antara mana akan diundang Ang Hoa, yang
dikatakan sebagai salah seorang sahabat akrabnya, dan beberapa orang kawan pria dan wanita
yang menjadi sahabat-sahabat Thio Pin dan dirimu sendiri. Tapi Bie Kie tidak mengetahui, bahwa
Ang Hoa itu adalah kecintaan kakak misannya Thio Pin, dengan siapa sesudah menikah pada Ciu
Hong, ia mempunyai hubungan yang akrab sekali.
Ciu Hong menyatakan mupakat, dan lalu menyediakan segala perbelanjaan seperlunya.
Maka dengan menuruti segala petunjuk kakak misannya itu, Bie Kie segera menyiapkan
perjamuan tersebut sebagaimana layaknya.
Dalam perjamuan itu Bie Kie telah memperkenalkan Ong Ciang pada Ang Hoa, yang ternyata
pandai sekali "membuang lagak", sehingga hati si orang she Ong kontan menjadi berdebar-debar
keras. Kepada Ong Ciang, Bie Kie memberitahukan secara taktis, bahwa nona Ang Hoa itu adalah
seorang janda kembang yang hingga kini dibuat rebutan orang-orang, tapi sampai sebegitu jauh
lamaran-lamaran itu telah ditolaknya mentah-mentah berhubung nona Ang Hoa tak mau
mempunyai suami sembarangan. Sementara Ong Ciang yang mendengar keterangan begitu,
diam-diam menjadi tertarik dan minta perantaraan Bie Kie untuk melamarnya sebagai isteri yang
kedua. Tapi si pelacur yang sudah mendapat instruksi dari Thio Pin, mula-mula coba menolak,
tapi ketika dibujuk oleh Bie Kie yang mengatakan bahwa Ong Ciang adalah pesero suaminya,
barulah ia menurut juga. Maka disamping merayakan hari ulang tahun Thio Pin, pada petang hari
itupun dirayakan juga hari "perkenalan" antara Ong Ciang dan Ang Hoa.
Dan tatkala perjamuan telah bubaran, handai taulan Bie Kie dan Thio Pin telah meminta diri dan
pulang ke rumah masing-masing, tapi Ang Hoa telah sengaja ditahan oleh Bie Kie untuk
bermalam di dalam perahunya, yang ternyata cukup besar dan diperaboti sama mewahnya dengan
kamar tidurnya di daratan
Di situ Ong Ciang kembali dijamu oleh Bie Kie dan Thio Pin serta diberi selamat atas "nasib baik"
yang telah diperolehnya. Tatkala itu Ciu Hong yang telah diloloh sehingga mabuk keras, telah
diantar ke kamar tamu, dimana ia tertidur bagaikan bangkai.
Sedang Ong Ciang sesudah diloloh minum arak dan juga telah mabuk keras, lalu dibaringkan di
atas ranjang Ciu Hong, dimana dengan diam-diam Bie Kie telah menyuruh Ang Hoa melayaninya
dengan mengenakan pakaian yang bisa dikenakannya sehari-hari, sambil dipesan untuk berbuat
begini-begitu jika nanti Ciu Hong mendusin dari mabuknya.
Ang Hoa berjanji akan melakukan peranan itu dengan sebaik-baiknya.
Diwaktu hari menjelang fajar. Ciu Hong benar saja telah tersadar dari mabuknya dan menjadi
heran mendapatkan dirinya terbaring di kamar tamu. Lalu ia keluar dari situ dengan kepala yangmasih dirasakan agak pusing. Tapi begitu ia keluar dari kamar tamu tiba-tiba ia menyaksikan Ang
Hoa yang disangka isterinya menginap ke belakang perahu dengan cara yang mencurigakan sekali.
Oleh karena itu, Ciu Hongpun lekas-lekas menyusulnya, tapi ketika sampai di buritan, ia hanya
mendapatkan pakaian Bie Kie yang disesapkan di belakang ranjang kayu, dimana tampak Ang
Hoa tengah tertidur dengan nyenyak sekali.
Sungguh mengherankan sekali!" pikir Ciu Hong. "Barusan aku melihat Bie Kie masuk kesini. tapi
mengapakah secara tiba-tiba ia bisa menghilang entah kemana perginya?"
Oleh karena itu, Ciu Hong jadi merandek dan lalu membatalkan maksudnya untuk
membangunkan Ang Hoa, walaupun di belakang ranjang itu ia melihat pakaian yang dikenakan
Bie Kie dan barusan saja masuk ke situ dengan sikap yang tergesa-gesa!
"Apakah aku melihat setan?" pikirnya masih tetap tidak mengerti. "Atau aku masih mabuk,
sehingga penglihatanku kabur dan melihat Ang Hoa sebagai Bie Kie? Tapi cara bagaimana
pakaian Bie Kie bisa ada di sini?"
Sambil berpikir demikian, lekas-lekas ia kembali ke kamar tidurnya di tengah perahu ilu, dimana
ia menyaksikan............ Ong Ciang tengah tidur mengeros di atas ranjang yang biasa ditidurinya
bersama-sama isterinya! Oleh sebab itu, karuan saja hatinya jadi curiga, tapi tidak berani secara
langsung menuduh sahabatnya itu berlaku kurang ajar terhadap isteri dan dirinya sendiri. Karena,
ia pikir, seorang yang sedang mabuk, ada kemungkinan tidak menginsafi atas segala
perbuatannya. Tapi .......... apakah artinya dengan pakaian isterinya yang disesapkan di belakang
ranjang yang ditiduri Ang Hoa itu?
Mungkinkah Ong Ciang berjalan serong dengan isterinya? Ciu Hong jadi merasa tidak enak hati
dan lalu menantikan begitu Ang Hoa tersadar dari tidurnya dan pergi ke belakang, lekas-lekas ia
sambar pakaian Bie Kie yang terdapat di situ dan lalu diperiksanya secara teliti sekali. Pada baju
isteri itu tidak terdapat sesuatu yang mencurigai hatinya, tapi pada bagian celana Bie Kie terdapat
noda sesuatu yang memastikan, bahwa isterinya sesungguhnya telah berani main gila terhadap
dirinya!
Rasa gusar segera timbul di dalam hatinya, tapi tak berani sembarangan bertindak sebelum
memperoleh bukti-bukti yang cukup tapi takkan dapat dibantah pula oleh pihak yang berdosa.
Begitulah dengan diam-diam ia segera pergi menjumpai Thio Pin, untuk menanyakan kemana
perginya Bie Kie tapi isteri yang sedang dicari itu kebetulan berada juga di situ, hingga dengan
wajah gusar ia berniat hendak mendampratnya, ketika Thio Pin dan Bie Kie sendiri lekas memberi
isyarat, agar Ciu Hong suka bersabar dan mendengar dahulu keterangan mereka.
Ciu Hong terpaksa menahan sabar dan mendengarkan keterangan mereka dengan rupa yang tidak
sabaran.
"Telah beberapa kali kukatakan di hadapanmu," kata Thio Pin pada Ciu Hong, "Supaya
perkongsianmu dengan Ong Ciang dibubarkan saja, tapi engkau selalu memberikan alasan ini itu
dan tak suka mendengarkan nasihatku. Aku sebagai iparmu, sudah lama melihat ada sesuatu
gejala tidak baik yang dikandung dalam hati orang she Ong itu. Dan kini maksud kejinya hampir
saja kesampaian, jika piauw-moy berlaku kurang cerdik dan tidak siang-siang bersedia payung
............" Kemudian, dengan suara bisik-bisik ia melanjutkan bicaranya, bahwa peran Bie Kie
dengan diam-diam telah, diisi oleh Ang Hoa yang sebagaimana pernah dirembukkan akanmenjadi isteri Ong Ciang yang kedua. Oleh sebab itu, Ong Ciang tidak sadar, bahwa ia tidur
dengan Ang Hoa, yang disangkanya Bie Kie itu. "Tapi untuk membuat perbuatan tidak sampai
kejadian terulang pula," kata si tukang perahu yang licik itu, "Maka harus sedapat mungkin
engkau memisahkan diri atau kalau terpaksa menyingkirkannya dengan segala cara yang dapat
kita lakukan. Karena jika dia dibiarkan terus berada di sini, itulah tak berbeda dengan memelihara
binatang liar yang ganas diantara kita! Itulah sesungguhnya sangat berbahaya sekali!"
Ciu Hong yang mulai percaya bahwa Ong Ciang berani berlaku kurang ajar terhadap dirinya,
sejak saat itu hatinya menjadi tawar dan selalu mencari jalan untuk membubarkan perkongsian
mereka dengan jalan berlaku malas-malasan dalam hal mengurus dagangan mereka, sehingga Ong
Ciang terpaksa menegurnya secara halus, agar si sahabat tidak merasa tersinggung. Tapi Ciu
Hong yang memang telah punya rencana untuk selanjutnya bekerja sendiri, selalu tidak
menghiraukan teguran-tegurannya itu, sehingga akhirnya retaklah perhubungan kedua orang
sahabat itu. Dan tatkala orang perantara Ang Hoa menanyakan kepada Ong Ciang, bila mana
Ang Hoa akan diambilnya sebagai isteri, Ong Ciang yang sedang bingung menghadapi
persoalannya dengan Ciu Hong karuan saja menjadi semakin bingung lagi, hingga diam-diam ia
merasa menyesal, telah membikin perhubungan dengan Ang Hoa yang kemudian baru diketahui
bukan seorang perempuan baik-baik. Dan tatkala dengan uring-uringan ia minta supaya urusan
pernikahan itu dibatalkan saja, Thio Pin secara rahasia telah memberi instruksi kepada Ang Hoa
agar ia minta ganti kerugian 5000 tail perak kepada Ong Ciang, kalau tak mau membayar
permintaan kerugian itu, ia menggertak untuk menyiarkan perbuatan Ong Ciang dan
mengadukannya kepada pembesar yang berwajib, bahwa ia telah dicemarkan kehormatannya
sesudah diloloh sehingga mabuk keras. Tapi ketika ia menuntut permintaan ganti kerugian,
permintaan itu telah ditolak mentah-mentah oleh Ong Ciang, yang ternyata tak gentar untuk
menghadapi pembesar negeri yang mana juga.
Tapi ketika kemudian Ong Ciang yang dituntut ganti kerugian oleh Ang Hoa karena takut
perbuatannya diketahui isterinya yang tua, telah menjanggupi dan membayarnya jumlah tersebut
di luar dugaan Thio Pin, si tukang perahu yang keji itu timbul pikiran jahat untuk menyingkirkan
saja jiwa Ong Ciang dengan jalan menyewa seorang tukang pukul yang biasa bekerja secara
bergelap agar urusan menjadi beres sampai di situ saja.
Sementara Ciu Hong yang selalu diobor oleh Bie Kie yang pandai mengambil hati dan kian
bertambah benci saja kepada Ong Ciang, akhirnya telah menyanggupi untuk menyuruh seorang
tukang pukul yang biasa membantunya sebagai pengawal pribadi untuk mencelakai diri Ong
Ciang secara diam-diam. Tapi orang itu, Tio Ceng namanya, menyatakan berkeberatan untuk
melakukan perbuatan keji itu, lebih-lebih karena ia kenal Ong Ciang sebagai seorang sahabat yang
baik dan ringan tangannya dalam hal tolong-menolong terhadap orang-orang yang membutuhkan
pertolongannya. Oleh sebab itu, Ciu Hong terpaksa melepas Tio Ceng dari pekerjaannya serta
diperintahkan agar segera meninggalkan perahunya saat itu juga. "Jika engkau berani
berbantahan," ancam Ciu Hong dengan amat marahnya, "Engkau harus tanggung sendiri segala
akibatnya nanti!"
Tapi dengan mengganda tertawa Tio Ceng lalu balas mengancam, bahwa kalau Ong Ciang sampai
kejadian mengalami sesuatu peristiwa yang tidak diinginkan, maka dialah yang akan bertindak
sebagai seorang saksi dihadapan pembesar yang berwajib. Kemudian ia berlalu tanpa menantikan
Ciu Hong berkata-kata atau mendengarkan dahulu caci maki bekas majikannya itu.Kesudahannya Ong Ciang telah dianiaya oleh Thio Pin sendiri yang pada suatu malam telah
menyamar sebagai perampok dan mencelakai diri orang she Ong itu sehingga akhirnya meninggal
dunia.
Sementara Ciu Hong yang mengetahui bahwa Ong Ciang sudah tidak dapat berbicara untuk
menjelaskan peristiwa yang telah dialaminya itu, akhirnya terpaksa berpura-pura
mengantarkannya pulang dengan menyampaikan bela sungkawanya terhadap si orang she Ong
kepada keluarga di Pek-kee-chung.
Tapi selagi isteri si mati masih merasa bersedih hati, tiba-tiba muncullah Tio Ceng, yang segera
menerangkan kepada nona Pek Tin tentang kecelakaan yang sesungguhnya diderita oleh Ong
Ciang itu, sehingga si nyonya mengajukan dakwaan kepada pembesar yang berwajib, dihadapan
siapa ia menuduh Ciu Hong sebagai pembunuh suaminya berdasarkan keterangan-keterangan
yang telah diperolehnya dari Tio Ceng. Sedang Tio Ceng sendiri ketika dipanggil untuk
mempertanggung jawabkan terhadap tuduhan yang diajukan oleh isteri Ong Ciang, dengan Tio
Ceng yang mengaku sebagai bekas pengawal pribadi Ciu Hong turut memperkuat tuduhan nona
Pek Tin itu.
Tapi dengan Thio Pin yang bertindak sebagai "bebotoh" dan kenal banyak polisi-polisi atau orangorang yang bekerja sebagai para pengawal di kantor-kantor pembesar, maka Ciu Hong yang tidak
sayang membuang uang untuk menolong dirinya sendiri, bukan saja bebas dari tuduhan, bahkan
nona Pek Tin dikatakan mengajukan pengaduan palsu untuk mencelakai orang baik-baik,
sehingga pengaduan nona Pek Tin itu ditolak mentah-mentah. Sedang Tio Ceng yang dikatakan
tidak ditahan oleh pembesar yang berwajib telah ditahan dan segera dihukum rangket 20 rotan
dan diancam akan dijatuhi hukuman yang lebih berat lagi jika selanjutnya ia masih berani
menuduh orang secara membuta tuli.
Dengan demikian, maka kandaslah pengaduan nona Pek Tin sampai di situ. Dan tak lama
kemudian Tio Ceng pun lenyap entah kemana perginya.
Dengan berdagang sendiri dan mengangkangi semua harta benda Ong Ciang yang masih ada di
dalam tangannya serta tak dapat diganggu gugat oleh nona Pek Tin sebagai isteri si mati, kini Ciu
Hong telah menjadi seorang pedagang yang kaya raya. Di luaran ia disegani oleh para saudara
dari golongan yang setingkat dengan dirinya, tapi di dalam rumah ia menjadi kerbau dicocok
hidung jika tak mau dikatakan "kacung" bagi isterinya yang cantik dan pandai bersandiwara itu.
Karena jika dia tak punya dalang Thio Pin dibelakang layar, niscaya kedudukannya sudah direbut
oleh Ang Hoa yang ternyata dengan diam-diam telah merebut hati Ciu Hong dan menjadi saingan
gelap bagi Thio Pin dan Bie Kie dengan sekaligus.
Jalannya penghidupan manusia memang tak berbeda dengan lakon sandiwara yang tengah
berlangsung di atas pentas. Sedih dan gembira muncul silih berganti. Demikian juga halnya
dengan nona Pek Tin, yang setelah mengalami pelbagai macam penderitaan, akhirnya telah
berpapasan dengan lain macam nasib buruk yang tak mungkin terjadi sekali diantara puluhan ribu
orang yang pernah hidup di muka bumi ini.
Pada suatu hari dimusim dingin, desa Pek-kee-chung telah kedatangan seorang pengemis laki-laki
tua dengan cucunya, seorang anak perempuan yang baru berusia antara 4 atau 5 tahun. Nona Pek
Tin yang merasa kasihan waktu melihat mereka berdua berteduh di bawah pohon, lalu memanggil
dan mengijinkan mereka untuk berlindung selama turun hujan salju di bawah serambi muka
rumahnya, disediakannya bubur hangat dan pakaian yang kering, hingga si kakek dan cucunyamerasa sangat berterima kasih atas kebaikan hati nona itu. Tapi si kakek merasa tercengang
menampak wajah nona Pek Tin yang selalu bermuram durja itu akhirnya coba memberanikan diri
untuk menanyakan apa sebab-musababnya. Nona Pek Tin yang tidak suka urusan di dalam rumah
tangganya diketahui, lalu memberikan alasan yang menyimpang daripada apa yang sebenarnya
telah terjadi.
Mula-mula si kakek hanya manggut-manggut saja. Tapi lama-lama seolah-olah mengetahui juga,
bahwa segala keterangan nona itu sebenarnya menyimpang jauh daripada persoalan yang
sesungguhnya tengah dialaminya.
"Nona?" kata si kakek itu akhirnya, "Aku bukan seorang yang suka mencampuri urusan orang
lain, tapi jika mengetahui bahwa orang yang bersangkutan tidak berdaya untuk menghadapi
sesuatu peristiwa yang sehebat itu aku tak sudi membiarkan. Atau dengan lain perkataan, aku
hanya menyediakan tenaga untuk melakukan sesuatu pekerjaan yang tak dapat atau tak mungkin
dapat dilakukan oleh orang yang kuanggap perlu mendapat bantuanku itu. Oleh karena itu,
cobalah nona jelaskan, persoalan apakah yang telah membuat hatimu risau?"
Nona Pek Tin yang melihat tak ada jalan untuk menyembunyikan rahasia hatinya terlebih jauh
pula terpaksa menuturkan juga segala persoalan yang pernah dialaminya hingga si kakek yang
mendengar tentang sikap pembesar setempat yang sangat korup itu dan pandai memutar balikkan
perkara, dengan lantas menjadi gusar dan mengepal-ngepaikan tinjunya sambil memaki, "Kurang
ajar! Jika seorang pembesar yang bertugas menjaga tata tertib dan kesejahteraan dalam kota
berbalik menjadi musuh rakyat dan tidak mengindahkan keadilan, maka apakah gunanya ia dihormati serta dijunjung tinggi sebagai bapak rakyat? Nona, aku bukan omong sombong, jika aku
belum ambil kepada manusia busuk itu? belumlah puas rasa penasaranku! Tapi untuk kita saling
menjamin dan mengindahkan kepentingan masing-masing aku punya suatu syarat yang hendak
kuajukan kepadamu. Jika aku tidak berhasil dalam pekerjaanku membasmi pembesar lalim itu
sudah barang tentu jiwakupun akan melayang! Karena itu jika aku sudah mati sudilah kiranya
nona merawat cucuku ini dengan sebaik-baiknya, karena selain dia ada kemungkinan akan hidup
terlunta-lunta di luaran, diapun adalah anak satu-satunya dari keluarga kami yang masih hidup
selama bangsa Kim melakukan penyerangan kilat ke tanah air kita ini. Maka biarpun nanti aku
akan binasa, aku akan mati dengan mata meram ............. tanpa ada sesuatu yang akan
kukhawatirkan pula............"
Nona Pek Tin jadi mencelos hatinya dan berbareng cemas memikirkan akan tindakan yang bakal
diambil oleh si kakek itu, hingga diam-diam ia merasa sangat menyesal atas keteranganketerangan yang telah diberikannya tentang apa yang pernah dialaminya, sehingga ini membuat
ia gelisah bukan buatan, tapi tak berdaya untuk membuat si kakek mengubah niatannya itu.
Begitulah tatkala malam tiba, si kakek membiarkan dahulu sampai cucunya tidur nyenyak,
kemudian ia meminta diri kepada nona Pek Tin sambil tidak lupa mengulangi syarat apa yang
kelak harus ditepati si nona itu jika sampai kejadian ia celaka dalam percobaannya yang sangat
berbahaya itu.
Nona Pek Tin berjanji untuk menepatinya.
Si kakek ini yang ternyata bukan seorang sembarangan dan mempunyai kepandaian silai yang
cukup tinggi, akhirnya berhasil juga memasuki gedung pembesar korup itu. Tapi, apa daya ketika
pekerjaannya untuk membunuh pembesar itu telah gagal, ia telah ditangkap dan dilukai oleh para
pengawal dalam gedung pembesar korup itu hingga dengan susah payah ia kabur dan kembali kerumah nona Pek Tin dalam keadaan separuh mati. Maka bukannya membantu meringankan
dalam penderitaannya, kini sebaliknya nona itu telah mengalami kesukaran yang berlipat ganda
besarnya, ketika si kakek datang karena luka-lukanya itu.
Asap tak dapat ditutup, demikianlah kata sebuah peribahasa.
Diwaktu nona Pek Tin dengan diam-diam memerintahkan orang untuk mengubur si kakek itu,
apa mau hal ini telah diketahui oleh para mata-mata dari kantor pembesar, hingga ia ditangkap
dan digiring ke kantor pembesar tersebut, sedang mayat di dalam peti mati itu ketika diperiksa
ternyata telah dikenali oleh pengawal yang pernah mengepung dan melukainya bahwa mayat itu
adalah mayat si kakek yang telah gagal melakukan pembunuhan atas diri si pembesar. Oleh sebab
itu, sekarang nona Pek Tinlah yang dituduh sebagai orang yang telah menyewa si kakek
melakukan kejahatan itu, dan meski ia membantah keras dengan memberikan alasan-alasan yang
masuk diakal, namun tidak urung ia telah dijebloskan juga ke dalam penjara, hingga disamping
memikirkan tentang nasibnya yang sangat buruk itu, iapun jadi teringat akan cucu si kakek di
rumahnya, yang ia tak tahu bagaimana nasibnya disaat itu.
Selanjutnya di bawah pemeriksaan yang bengis dan dibarengi dengan siksaan yang tidak mengenal
kasihan, nona Pek Tin terpaksa membubuhi tandatangan atas surat pengakuannya, bahwa ia
benar telah menyewa si kakek yang sudah mati itu untuk membalas dendam kepada si pembesar
hingga dengan ini terbukalah jalan yang mudah sekali untuk pengadilan negeri menjatuhi
hukuman mati atas diri nona yang bernasib sangat buruk itu!
Tapi syukur juga Thian yang Maha Kuasa masih suka melindungi diri nona Pek Tin yang tak
berdaya itu. Dan tatkala pada hari esoknya ia mesti menjalankk hukuman mati di tiang gantungan,
tiba-tiba pada petang hari itu telah muncul seorang Nikouw atau biarawati yang usianya telah
lanjut dan masuk ke dalam penjara tanpa diketahui oleh para sipir bui wanita yang menjaga di


Dewi Tombak Karya Unknown di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

situ. Dan sesudah mematahkan semua borgolan nona Pek Tin yang disaat itu masih dalam
keadaan pingsan karena bekas disiksa, ia segera mendukungnya dan membawanya pergi dengan
melayang melalui pagar tembok penjara yang tinggi, dari mana ia turun ke bawah dan menghilang
ditelan kegelapan.
Di waktu nona Pek Tin tersadar dari pingsannya, ia mendapati dirinya terbaring di atas ranjang,
tapi tidak mengetahui ia ada dimana disaat itu. Sedang di tepi ranjang itu ia melihat seorang
biarawati yang wajahnya tampak sabar dan tinggal menantikannya di situ untuk melayani segala
keperluannya. Tapi ketika si nona hendak bangkit, biarawati itu dengan sikap yang manis lalu
mencegahnya sambil tersenyum dan berkata, "Jangan engkau bangun dahulu, karena engkau
masih terlampau lemah untuk berbuat begitu." Kemudian, sambil membuka tutup cawan yang
terletak di atas meja, ia angkat cawan itu serta mendekatkannya kepada nona itu dan berkata,
"Minumlah obat ini. Pada hari esok engkau pasti akan merasa lebih segar dan dapat bangkit
sebagaimana biasa."
Nona Pek Tin mengucap terima kasih dan lalu minum obat yang rasanya amat pahit itu dari dalam
cawan yang diangsurkan kepadanya oleh biarawati tua itu.
"Sungguh pahit sekali," kata si nona sambil menggidikkan tubuhnya.
Si biarawati tersenyum dan mengiakan, "Benar," katanya, "Sehingga itu tak berbeda dengan rasa
getir yang tengah kau hadapi dewasa ini. Tapi engkau tak usah merasa cemas atau khawatir,
karena pembesar itu tak mungkin dapat menangkap pula kepadamu. Dia telah kubunuh danancam semua kaki tangannya, bahwa barang siapa berani membela perbuatan majikan yang keji
itu mereka semua akan kusapu bersih, sehingga tiada seorangpun yang dapat kuampuni!"
Nona Pek Tin jadi agak lega hatinya. Tapi ketika teringat akan cucu si kakek yang ketinggalan di
rumahnya itu, ia jadi cemas dan memberitahukan hal itu kepada si biarawati tua, yang hanya
mengganda tersenyum dan menghibur, agar si nona jangan khawatir terhadap bocah itu, yang
dikatakannya telah dibawa pergi oleh salah seorang sahabatnya untuk dididik dan dirawat
sebagaimana mestinya.
Lebih jauh si biarawati memberitahukan kepada nona itu, bahwa si kakek yang telah mati itu
adalah menjadi juga salah seorang saudara seperguruannya yang ilmu kepandaiannya paling
rendah dari antara mereka sekalian. Tapi ketika si nona menanyakan siapa gelar biarawati itu, dia
hanya mendapat jawaban, bahwa dia akan ketahui itu dikemudian hari. Sudah itu ia diminta
supaya berlaku tenang dan beristirahat dengan hati lega.
Pada keesokan harinya, benar saja Pek Tin merasakan badannya lebih segar, luka-luka bekas
siksaan yang dideritanya pun menjadi sembuh dan tidak sakit lagi. Dan tatkala Pek Tin telah
sembuh betul dan dapat bergerak dengan bebas pula, pada suatu hari si biarawati telah menunjuk
pada sebilah pedang yang tergantung di atas dinding tembok sambil berkata, "Jika engkau ingin
bertanya dimana adanya keadilan dewasa ini, tanyakanlah itu kepada pedang ini!"
Semula Pek Tin tidak paham apa maksud si biarawati. Tapi ketika dijelaskan bahwa pada masa
itu hanya senjata dan kekuatan saja yang punya keadilan, nona itu baru sadar dan lalu memohon
kepada si biarawati agar ia bisa diterima sebagai muridnya dan diberi pelajaran ilmu silat untuk
dapat memperoleh keadilan seperti apa yang telah dikatakan oleh si biarawati tadi.
Nikouw tua itu menyanggupi, jika Pek Tin suka terlebih dahulu menerangkan kepadanya, untuk
maksua apa, keadilan itu hendak di jalankannya.
"Itulah untuk membalas dendam terhadap musuh-musuh suamiku!" Pek Tin menjawab singkat
dan jelas, "Aku merasa perlu sekali untuk bertindak sendiri, berhubung pihak pembesar yang
berwajib selalu mengeloni mereka dan membuat aku tak berdaya!"
Nikouw tua itu tampak tersenyum dan menganggukkan kepalanya sambil berkata, "Itu boleh,
asalkan keadilan itu dijalankan dengan menuruti peraturan yang layak."
Begitulah, dibawah bimbingan biarawati tua itu. Pek Tin telah mempelajari ilmu silat dengan giat
sekali sehingga beberapa tahun lamanya dengan mengandung suatu tujuan yang tertentu, yaitu
akan membalas dendam terhadap musuh-musuh suaminya, antara mana sebagaimana telah
diketahuinya dari keterangan Tio Ceng, selain Ciu Hong, adalah Thio Pin yang menjadi biang
keladi daripada kematian yang sangat mengenaskan hati telah dialami oleh Ong Ciang itu.
Hari berganti bulan, bulan berganti tahun. Bagaikan berkisarnya sang waktu, demikian juga
kepandaian nona Pek Tin kian hari kian bertambah, hingga masa anak bawang telah dilampauinya
dengan hampir tak terasa. Dan jika pada beberapa tahun yang lalu dia hanya seorang perempuan
yang lemah dan tak berdaya, tapi kini dia telah memiliki kepandaian silat yang hebat sekali.
Memainkan pedang dan alat-alat senjata yang lainnya. Melompat tinggi bagaikan kucing dan
berjalan dengan separuh miring bagaikan seekor burung kepinis. Kepandaian-kepandaian apa itu
kini telah dimiiikinya dan mencapai pada taraf seorang taihiap atau pendekar wanita. Dengan
demikian, ia pikir sudah cukuplah untuk dibuat membalas dendam kepada musuh-musuhsuaminya itu. Tapi ketika maksud ini diutarakan kepada biarawati tua yang menjadi gurunya itu,
ia hanya mendapat jawaban dengan gelengan kepala, "Belum cukup, berhubung pihak musuh,
telah berhasil dapat mengumpulkan orang-orang pandai untuk melindungi dan membantu dalam
usaha mereka yang tidak halal itu. Oleh sebab itu, aku menasehati supaya engkau menunggu
sedikit waktu lagi untuk bergerak. Karena segala pekerjaan yang dilakukan dengan tergesa-gesa,
takkan memberikan hasil yang baik bagi dirimu!"
Dan tatkala berlatih pula dengan giat sehingga hampir setahun lamanya, kembali Pek Tin
mengajukan permintaannya kepada sang guru untuk keluar melakukan pembalasan kepada
musuh-musuhnya itu. Dan kali ini sang biarawati mengabulkan sambil berpesan, "Sejak saat ini
dan selanjutnya aku usulkan supaya engkau merubah namamu menjadi Pek In (Awan putih) dan
bukan lagi Pek Tin (permata hijau gemerlap) sebagaimana biasa disebut orang. Bagaikan orang
yang maju dimedan perang, engkau harus selalu waspada dan jangan berlaku lengah. Segera
mundur, jika ternyata perlu, tapi janganlah mengumbar napsu untuk mengurangi tekadmu yang
sedang menyala-nyala. Orang yang mundur dalam peperangan tidak selalu kalah atau berlaku
pengecut. Maka dalam segala kerja engkau harus berpegang kepada kepercayaan atas diri sendiri,
dan jangan berlaku sombong diwaktu memperoleh kemenangan, atau lekas putus asa diwaktu
mengalami kegagalan. Karena orang yang selalu mengetahui dimana ia harus mundur dan dalam
keadaan bagaimana ia harus maju, dia itulah seorang yang pandai melihat gelagat. Camkanlah
pesanku ini karena hidupku dalam dunia inipun kian lama kian bertambah pendek, hingga segala
tugasku yang belum dapat diselesaikan semasa hidupku, selayaknya dilanjutkan olehmu sebagai
muridku dikemudinn hari. Tapi soal permusuhan, setelah pihak-pihak yang bersangkutan telah
terbalas impas, lebih baik disudahi, daripada dibuat berlarut-larut hingga anak cucu kita turut juga
terseret kedalamnya. Itulah suatu kebiasaan lama yang sangat kutentang keras untuk dipraktekkan
oleh setiap orang yang berkecimpungan dalam dunia Kang-ouw."
Maka dengan menukar pakaian yang ringkas dan membekal pedang hadiah dari gurunya dan
kantong kulit yang berisikan beberapa macam senjata rahasia, Pek In (begitulah selanjutnya akan
kita menyebutkan nama Pek Tin) kembali dengan diam-diam ke desa Pek-kee-chung untuk
menyatroni tempat kediaman Ciu Hong, yang kabarnya menetap di dalam desa halamannya itu,
setelah peristiwa Pek Tin dilarikan orang dari dalam penjara dan setelah beberapa tahun lamanya
persoalan tersebut hampir dilupakan oleh penduduk di sana.
MALAM terang bulan merupakan malam yang menyenangjan sekali bagi seluruh ummat
manusia di muka bumi ini, tapi tidak demikian halnya dengan para pencuri dan penjahat, yang
merasa lebih leluasa dan lebih tenang justeru pada malam-malam gelap gulita!
Demikian juga menurut pendapat Pek In yang tengah menyatroni gedung Ciu Hong diwaktu itu.
Tapi hatinya yang selalu dipenuhi dengan hasrat pembalasan, seketika itu seolah-olah tidak
menghiraukan keadaan tersebut.
Kejurusan mana saja ia menuju, matanya seolah-olah berbentrokan dengan musuh-musuhnya
yang sangat dibencinya itu sehingga merasuk ke dalam tulang-tulang dan sumsumnya, dan
musuh-musuhnya itu bukan lain daripada Ciu Kong, Thio Pin dan sekalian kambrat-kambratnya.
Petang hari ini juga Pek In telah mengambil keputusan di dalam hatinya, "Jika bukan kedua
bangsat she Ciu dan she Thio itu yang mampus, tentulah aku!"
Sesudah berhasil menyusur sepanjang pagar tembok dan tiba di atas sebuah kamar yang
penerangannya agak guram, tiba-tiba ia mendengar suara seorang perempuan yang berbicaradengan bisik-bisik kepada seorang laki-laki katanya, "Engkau ini tamnaknya kian hari kian
bertambah berani saja! Apakah engkau tak pernah memikirkan bagaimana akibatnya nanti, jika
sampai suamiku mengetahui persoalan ini?"
Si laki-laki tertawa tengik. "Takutkah engkau akan segalanya diketahui oleh suamimu? Tapi
mengapakah engkau berani memulai main api jika engkau merasa takut terbakar?" katanya
memukul balik akan kata-kata si perempuan itu.
"Ah, tidak kunyana keberanianmu ini. Sudah dikasih bahu, lalu minta kepala!" kata orang
perempuan itu mendongkol.
Si laki-Iaki tertawa haha hihi, hingga Pek In jadi jengah dan mengomel di dalam hati, "Sialan
benar lelaki berengsek itu! Aai!"
Dengan mendengarkan jalannya percakapan itu, ia segera faham apa yang terjadi dalam kamar
tersebut disaat itu.
"Baru saja aku hendak bergerak." pikir Pek In, "Tiba-tiba aku telah menemui perkara mesum
serupa ini! Tapi siapakah gerangan orang laki-laki itu? Apakah perempuan itu isteri Ciu Hong?"
Pek In belum lagi dapat berpikir terus, ketika dari sebelah dalam gedung itu tiba-tiba terdengar
suara orang yang membentak dengan suara keras, "Binatang!" katanya. "Anjing yang dipelihara
baik-baik masih ingat kepada majikannya. Tapi engkau seorang manusia meski diperlakukan
bagaimana baik dan hormat sekalipun, akhirnya masih juga berani merusak rumah tanggaku
tanpa memikirkan segala kebaikan yang telah kulimpahkan kepada dirimu! Apakah engkau
sesungguhnya menyangka aku hendak berlayar ke lain kota? Rasanya perlu juga kuberitahukan
kepadamu, bahwa telah sekian lamanya aku intip perbuatanmu berdua, dan sekarang terbuktilah
bahwa dugaanku itu tepat adanya! Maka apakah yang hendak kau katakan pula?"
Laki-laki yang tertangkap basah itu rupanya menjadi nekat dan balas mengancam kepada orang
yang pertama menerbitkan kehebohan itu dengan bentakan keras, "Tutup bacotmu! Orang yang
telah membuat engkau menjadi kaya raya seperti sekarang ini, antara lain adalah aku sendiri.....
engkau harus berterima kasih karena tenaga bantuanku itu! Ingatlah, dengan siasat-siasat yang
telah kuikhtiarkan itu, engkau telah terbebas dari segala tuntutan yang sebenarnya engkau sendiri
yang harus bertanggung jawab! Lupakah, atau engkau sengaja melupakan peristiwa isteri Ong
Ciang yang telah dipenjarakan karena dituduh menyewa pembunuh untuk menghabiskan jiwa
pembesar yang berwajib, yang kemudian telah melayang juga jiwanya di tangan seorang Nikouw
yang tak diketahui dari mana asal-usuln, yang menurut para penjaga bui, dengan berbareng telah
Pendekar Elang Salju 6 Putri Bong Mini 03 Pedang Teratai Merah Pelangi Dilangit Singosari 4

Cari Blog Ini