Ceritasilat Novel Online

Dibelai Kasih Sayangmu 3

Dibelai Kasih Sayangmu Karya Abdullah Harahap Bagian 3


Vas bunga cactus berdiri megah di samping
pintu di mana kemudian aku berdiri bimbang. Pintu
pagar terbuka. Mobil-mobil ada di rumah. Tetapi
mengapa begini sepi benar? Enggan, bel kupijit.
Terdengar bunyi musik lembut berirama oleh pijitan
bel. Lalu langkah-langkah kaki. Halus, sedikit
tergopoh-gopoh di balik pintu jati berplitur coklat
berkilat. Kemudian lagi, pintu bergerak ke sampingHal. 272
di atas roda-roda bersuara lembut. Terbayang
wajah seorang perempuan tua, terbungkukbungkuk dengan muka keriput penuh tanda tanya
dan berbau curiga dari seorang pelayan
sebagaimana pernah kualami waktu berkunjung
pertama kalinya ke rumah keluarga neneng di
Bandung, yang tidak kalah megah dengan rumah
ini. Ah, Neneng. Neneng. Mengapa aku ada di
sini?
* * * "..., kekasih," terdengar suara berbisik. "Masuklah!"
Mata yang terpejam, kubuka. Di hadapanku
berdiri Lily dengan gown siang yang semarak, bukan
Neneng dengan pan-suit pendek ketat menantang,
memperlihatkan sepasang paha yang penuh, mulus
dan merangsang. Sepasang bola matanya
berbunga-bunga. Tangannya yang halus berjari
jemari lentik dengan sebuah cincin berlian yang
cemerlang di jari manis, gemetar ketika melebarkanHal. 273
daun pintu. Musik lembut menyapu telingaku.
Bukan musik bel, melainkan musik tenang dari
sebuah plat yang kemudian kulihat di ruang tengah.
Kucoba mengingat-ingat Ya. Itu adalah salah satu
plat kumpulan koleksi dari Santo & Johnny yang
manis.
la mengulurkan tangan. Tidak untuk
memeluk. Tetapi untuk berjabatan.
Terasa hangat dan bergetar di telapak tanganku.
"Selamat datang di rumahku, Bonar,"
bisiknya. Lirih.
"Apakah gelandangan ini tak akan mengotori
udara di sini, Lily?" tanyaku berseloro.
"Bukan kotor. Tetapi manjadi sesak. Teramat
sesak. Dalam dada. Aku berbahagia, sayangku."
la membimbingku ke sebuah kursi antik
berjok tebal. "Duduklah!"
"Ah, aku kau perlakukan seperti anak kecil."
"Aku ratu-mu."
"Hem..."
la tertawa.Hal. 274
"Sebentar ya?"
Lantas ia melewati sebuah rak besar yang tiap
lapis terisi barang-barang antik yang tersusun
manis. Sisa-sisa peradaban Cina dan Jawa kuno. Dari
dalam terdengar suaranya yang riang:
"Mama? Mama? Mama...?"
Sebuah lukisan dinding berpigura warna
keemas-emasan, satu-satunya pigura yang terdapat
di ruang tamu itu, membuatku terpana. Aku melihat
seorang Dewi dalam lukisan cat minyak yang
cemerlang, dengan bias matahari dari arah
belakang menimbulkan silouet tajam di anak-anak
rambut yang beterbangan ditiup angin. Dewi mungil
dengan sepasang mata bundar berkilauan
memandang dunia ini yang baginya semua serba
indah, serba cerah. Kuteliti benar-benar, maka aku
terjengah sendiri. Itu adalah potret Lily semasih
bocah. Anak manja. Harta paling berharga dari
orangtuanya. la adalah segala-galanya. Segalagalanya!
Waktu langkah-langkah asing terdengar di
ruang dalam, aku berharap melihat seorang
perempuan setengah umur bertubuh tambun,Hal. 275
wajah bulat berminyak, mata kecil berkilat. Tentu
saja dilengkapi dengan seprangkatan perhiasan
berlian dan gelang-gelang emas bergumpal
sebagaimana biasa dipakai oleh perempuanperempuan kota ini, yang semenjak dulu
berpendapat: emas adalah harga dirimu. Tetapi
yang muncul adalah seorang perempuan bertubuh
sedang, tidak terlalu kurus namun tak dapat
dikatakan gemuk, berambut panjang sampai ke
punggung dan mengenakan kebaya berpotongan
sederhana meskipun dari bahan yang mahal, tanpa
perhiasan mewah sama sekali kecuali liontin kecil di
ujung kalung serta cincin kawin di jari manis.
la ditemani oleh suaminya, seorang laki-laki
bertubuh kekar, wajah coklat kehitaman dimakan
matahari dan sepasang mata yang lembut tetapi
bersinar keras. Kujabat tangan mereka satu
persatu, dengan kikuk. Dan bimbang oleh tangan
kedua orangtua itu yang sama sekali tidak sehangat
yang kuharapkan.
"... kami menunggumu kemaren dulu," cetus
ayah Lily. Tak berirama.
"Oh. Saya mohon maaf. Persoalan keluarga."Hal. 276
Laki-laki tua itu manggut-manggut. Isterinya
menatap tajam. Lantas aku merasa diriku bukan
seorang tamu untuk dilayani sebagaimana
layaknya, melainkan seorang tertuduh untuk
dihakimi. Atau barangkali seorang pencuri yang
akan diinterrogasi. Tuduhannya jelas sudah: aku ini
seorang pencuri. Pencuri hati anak-anak mereka.
Yang berarti, pencuri harta mereka yang paling
berharga.
Diam-diam aku merasa cemas telah
memasuki alamat yang keliru!
Untunglah suasana yang kaku itu terpecah
oleh kehadiran anak gadis mereka yang masuk ke
ruang tamu seraya membawa baki air jeruk dingin
dan penganan di kedua tangan serta tawa yang
riang di mulut.
"Papa gimana sih," ia mengoceh. "Ada tamu
kok bersarung-sarung saja!"
"Kau toh tak bilang akan ada urusan biznis...,"
balas ayahnya, tertawa.
Ibunya meledek. , "Bapakmu kuno!" lantas ia
cepat-cepat berdiri. "Minumlah dulu, nak. Ibu mauHal. 277
menemani Lily ke dapur, la khawatir tamunya tak
datang lagi, lantas enggan-enggganan sejak tadi..."
Suasana riang itu menjadi kaku kembali
setelah di ruang tamu tinggal aku berdua saja
dengan ayah Lily. la menyodorkan bungkus Dunhill
yang kutolak dengan halus. Aku keluarkan Gudang
Garam dari kantong dan sebelum menyulutnya
lebih dulu korek api yang sudah menyala
kudekatkan ke ujung rokok yang menempel di
mulut orangtua itu. la tak jadi menghidupkan
mancisnya. Dan hatiku bersorak: modal pertamaku
telah diterima!
Asap rokok berkebul.
Lalu menggantung di udara. Diam. Seperti
mulut-mulut yang mengepulkannya. Diam.
Agak lama kemudian:
"Sudah lama di Bandung?"
Aku mengatur nafas. Baru menjawab dengan
suara ditenang-tenangkan:
"Hampir enam tahun, pak."
"Kuliah?"Hal. 278
"Ya."
"Di?"
"Fakultas Hukum. Unpad."
"Kok sudah enam. Kan biasanya lima..."
"Saya agak ketinggalan waktu di tingkat
empat. Terpaksa mengulang beberapa vak..."
"Soal keluarga pula?"
"Benar, pak. Ayah meninggal...," dan dalam
hati kutambahkan: "Perkawinanku yang aneh
dengan Neneng, membuat studiku agak
terganggu."
"Oh. Ibumu masih ada?"
"Masih, pak."
"Di Medan ini juga?"
Aku terperangah. Jadi, Lily belum begitu
banyak memperkenalkan diriku pada orang tuanya.
Busyet benar, la mau membalas, karena terus
terang aku sendiri memang belum sekalipun
bercerita pada keluargaku tentang dirinya, la mau
membuat stand kami seri, dan pasti di dapur ia
sekarang sedang tertawa cekikikan. Terlalu!Hal. 279
"Ya, pak. Di Medan ini juga," aku membeo.
"Di jalan mana?"
Mulutku baru terbuka untuk menjawab,
waktu telephone berdering. Orang tua itu bangkit
seraya menggerutu:
"Pasti si Husin lagi!"
la minta maaf sebentar, lalu berjalan masuk
ke dalam. Aku dengar dengan jelas pembicaraannya
di telephone:
" hallo, ya, dengan aku. Tandatangani saja
surat suratnya, lalu berikan padanya. Apa? O, bilang
agar mereka ke kantorku saja. Ini kan hari Minggu!"
Diam sebentar.
Lalu orang tua itu tertawa.
"Pardomuan kau bilang? la ada di Medan?
Kapan pulang dari Tokyo? la... Tentu. Tentu.
Katakan aku senang sekali. Mengapa ia tak
menelphone atau datang ke sini saja? Oh, begitu...,
Hem. Boleh juga. Jadi nanti sore di Tuntungan?
Okey, okey. Bilang aku akan menjemputnya!"Hal. 280
Telephone berderak lembut waktu diletak
kan kembali di tempatnya.
Langkah-langkah kaki lagi. Dan wajah yang
lebih riang dari tadi.
" wah. Seorang sahabat lama yang sudah
bertahun-tahun tidak bertemu, menantangku main
golf hari ini di Tuntungan. Boleh. Boleh ia coba.
Hem. la mau balas kekalahannya rupanya..."
"Bapak pernah mempecundangi beliau?"
tanyaku.
"Menpecundangi? Aku seorang ahli," dan
orang tua itu tertawa. Bangga. Modalku yang
kedua, pikirku, ialah cepat-cepat memasukkan
versnelling kepersoalan yang paling ia gemari.
Maka, meskipun aku bukan orang yang tahu seluk
beluk olahraga kalangan atas itu, aku menukas juga:
"Saya dengar Tuntungan memiliki kondisi
lapangan yang paling ideal di Asia..."
"Benar. Benar sekali. Aku salah seorang
anggotanya. Malah di Parapat, sedang di up-grade
lapangan baru yang ..."Hal. 281
Dan ia bercerita panjang lebar tentang
lapangan golf, tehnik-tehnik bermain yang paling
jitu ?tentu menurut dia? yang kuiyakan saja
karena dalam masalah itu aku memang buta.
Fasilitas peralatan yang semakin super modern.
Pertandingan-pertandingannya melawan pegolf
luar negeri. Dan beberapa nama bintang-bintang
asing yang ia hafal riwayat hidupnya miskipun
bintang lapangan itu baru sekali berkunjung ke
Indonesia bahkan belum sempat ia coba
keampuhan stick golf orang asing itu.
Tak pelak lagi, suasana rilex itu berlanjut
sampai ke meja makan.
Lily tidak menghidangkan masakan Padang
yang khas sebagaimana kubayangkan semula.
Sebelum makan yang sesungguhnya, terlebih
dahulu kami mencicipi soup sarang burung, roti keju
pakai mentega, seladah dengan udang galah serta
kepiting yang diasap, minuman anggur sesloki kecil,
baru kemudian hidangan biasa. Tentu saja dengan
ciri khas: serba pedas, serba merah oleh cabe giling
yang lumat seperti tepung. Selesai makan, maulah
aku mendecip-decipkan mulut kepedasan kalau tak
malu pada tuan rumah. Terutama karena aku harusHal. 282
menghormati jari jemari kaki Lily, yang dengan
nakal menggelitiki bulu-bulu betis di balik celana
panjangku, di bawah meja. Gelitikan yang
terkadang membuat aku terbatuk dan sambal
memasuki hidung sehingga susah payah bisa juga
aku menahan agar tidak sampai bersin keras!
Lily terpingkel-pingkel melihat tampangku
yang rusak oleh kelakuannya.
Ibunya yang tampak senang, menggerutu halus:
"Sopan sedikit, anakku!"
Selesai makan siang kami duduk di terras
dalam, berhadapan dengan taman bunga di antara
batu-batu kerikil dan kulit-kulit kerang putih yang
berserakan.
Lily mengantarkan iris pepaya dan apel Korea
yang Kulitnya berwarna merah hati. Peluh
membasahi sekujur tubuhku. Sukar memang
membiasakan diri dengan udara panas kota di mana
aku pernah di lahirkan tetapi sudah diseling oleh
udara Bandung yang sejuk, merupakan thema
pembicaraan kami di terras itu.
Pelayan ribut membereskan meja di ruang makan.Hal. 283
Lalu ayah Lily memanggil laki-laki yang tadi
pagi muncul di rumahku.


Dibelai Kasih Sayangmu Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Siapkan mobil, Parto. Kita berangkat
sebentar lagi."
"Sudah, pak. Di luar."
"Hah. Kenapa tak bilang-bilang dari tadi!"
"Bapak tak tanya-tanyai"
Ibu Lily tertawa.
"Kau makin pikun," kata isterinya. Lily
membumbui:
"Malah pernah sekali terjadi, Bonar," katanya
ditujukan padaku. "Papa sudah siap di lapangan,
baru teringat peralatannya tertinggal di rumah, la
lupa mengajak Parto!"
Tawa bergelak memecah halaman dalam itu.
Aku. Lily. Dan ibunya. Tetapi, ayahnya, tidak.
Semula kukira ia tersinggung. Baru kemudian
kuketahui sebabnya, setelah tiba-tiba ia bertanya
dengan hati-lati:
"... Bonar? Jadi namamu Bonar?"Hal. 284
Aku ingin marah pada Lily, tetapi seraya
mengikik gadis itu kabur ke dalam rumah. Disusul
oleh ibunya seperti tadi. Seakan-akan disengaja.
Dan aku belum sempat menjawab, dan untung
tidak. Karena jawabanku memang tidak diperlukan.
Laki-laki berumur itu memandangku dengan sinar
matanya yang keras.
"Goresan di tulang pipimu. Kaukah orang
yang ditabrak Lily dulu?"
Aku terjengah, mengangguk dengan bingung.
Anggukanku disambung oleh helaan nafas ayah Lily.
Wajahnya tampak kelabu, yang segera ia tutupi
dengan kedua belah tangan. Dan tangan-tangan
keriput yang masih kukuh itu... gemetar! Sayupsayup kudengar keluhan dari sela jari jemarinya:
"... Lily, anakku. Mengapa...! Mengapa harus
orang Batak?"
* * *Hal. 285
13 PUCAT wajahku seketika.
Mengapa harus orang Batak, keluhnya. Sakit!
Aku tersandar lesu di tempat dudukku. Mengapa
harus orang Batak! Lututku gemetar. Mulut
terkunci, gagu. Dan orangtua itu berdiri. Gontai.
Kedua lengannya terkulai. Lemah. Wajahnya
kelabu. Dan sepasang mata tua yang keras itu,
berair. Memandangku seperti baru melihat suatu
benda yang teramat ganjil dan menakutkan
baginya. Aku merunduk. Tak kuat membalas
tatapan mata yang digantungi guillotine tajam yang
memenggal putus tali-tali jantungku dengan
kejamnya!
Waktu dagu kuangkat, orangtua itu sudah
tidak ada di dekatku lagi. Ada suara ribut-ribut di
dalam. Kuurut dada. Sakit sekali. Langkah-langkah
bergegas keluar. Mataku terpejam. Perih.Hal. 286
"... Bonar?"
Sukar mata ini kubuka.
"Bonar. Apa yang terjadi?"
Aku tengadah. Dan aku lihat wajah Lily yang
pucat pasi.
Perlukah kujawab?
Tidak, aku memutuskan. Tidak. Maka aku
berdiri.
"Aku pulang saja, Lily., .."
"Hei," ia mencengkeram lenganku.
"Mengapa pula kau?"
"Pening."
"Bohong!"
"Lily, demi Tuhan kuminta..."
"Dan Demi Tuhan, katakanlah apa yang
terjadi sehingga ayah tiba-tiba masuk ke kamar dan
terhempas di tempat tidur dengan mulut
menceracau seperti orang mengigau. Kalian
bertengkar?"
"Tidak."Hal. 287
"Lantas?"
"Biarkan aku pulang, Lily. Ini mungkin jalan
yang terbaik..."
"Tidak. Tidak. Kau tak boleh..."
"Lily!"
Perempuan setengah baya berwajah lembut
dan ke ibuan itu, berdiri di ambang pintu masuk
dengan wajah tegang. Lily menoleh.
"Ya.., mama?"
"Tak baik menghalangi keinginan orang!"
"Tetapi mama..."
Perempuan itu tersenyum padaku. Manis.
Dibuat-buat, jelas sekali. Dibuat-buat.
"Parto akan mengantarkanmu, nak."
"Mamaaaa!" jerit Lily, berlari memeluk
ibunya. Bahu perempuan itu ia goncang-goncang
seraya terus menjerit-jerit histeri: "Mamaaa.
Mengapa. Mama. 0, mengapaaa...!"
Supir itu segera muncul. "Ya bu?"
"Antarkan tamu kita ke rumahnya."Hal. 288
"Jangan!" jerit Lily seraya berlari
menghalangi parto. Tetapi ibunya menghardik:
"Lily!"
Gadis itu jatuh bersimpuh.
Air matanya bercucuran, membasahi lantai.
Aku merasa hati ini hancur berkeping-keping. Ingin
memeluknya, tetapi tak kuasa melangkahkan kaki.
Bagai kerbau dicucuk hidung kuikutkan Parto yang
membetot lenganku, kuat sekali. Diriku terasa
ringan. Melayang-layang seperti kapas. Sampai
mobil telah laju menjauhi rumah kesekian yang
tidak menyukai kehadiranku itu, aku masih belum
sadar di mana sebenarnya aku berada.
"... saya lahir di sini, bung Bonar," pelanpelan Parto bergumam. Berbung-bung pula
sekarang. Huh! "Ayah dan ibu saya dulunya kuli
kontrak. Dari Jawa."
Aku tak minta ia bicara. Tak pula
bersemangat melayani. Sekujur tubuhku dingin.
Dingin. Meng-es.
"Biarpun turunan kuli," lanjut Parto. " aku
bersyukur terlahir sebagai orang Jawa."Hal. 289
Malas, aku nyeletuk:
"Apa perduliku?"
"Orang Jawa tak rasialis. Tak seperti orang
kulit putih misalnya. Mengapa Negro, tanya
mereka. Orang Jerman, bertanya: mengapa Jahudi.
Dan di rumah tadi pun begitu: mengapa Batak!"
"Kau nguping!" rungutku seraya tertawa.
Kecut "Emangnya kau tau apa sih tentang orang
Batak?"
"Tak banyak. Itupun dapat dengar sana sini.
termasuk orangtua Lily Bicaranya selalu terbuka.
Biarpun aku cuma supirnya."
"Hem! Sejauh mana pandangan orangtua itu?"
"Konon di Tapanuli sana, kaum lelaki
menghabiskan waktu di kedai tuak. Judi. Mabukmabukkan. Lha, perempuan-perempuannya
banting tulang setengah mampus di rumah.
Numbuk padi dengan alu di tangan kanan dan anak
di gendongan tangan kiri."
"Bah. Pemeo nenek moyang. Kuno!"
"He-eh. Tapi kan bekasnya masih terasa.
Kalau kawin dengan orang Sumatera Barat, non LilyHal. 290
itu akan jadi ratu. Berkuasa. Menentukan. Dengan
Batak? la akan dibeli melalui apa yang dinamakan
perkawinan. Dibeli untuk kerja keras. Ngurus anak.
Melayani suami. Jadi babu mertua. Salah dikit,
dimaki. Masih untung tak disertai sepakan di
pantat. Lha, kalau si perempuan udah bangkotan,
tenaganya dianggap tak dibutuhkan lagi. la jadi
pengemis yang hanya berhak dapat belas kasihan
suami, bahkan anak-anaknya sendiri!"
"Menghina kau!" rungutku, tersinggung.
"Terserah anggapanmu. Buktinya, ayah Lily
semaput di kamarnya."
"Bah. Lantas kalian orang Jawa...," aku ingin
balas. "Apa tak sering bertanya: mengapa Sunda?
Hayo!"
la terdiam.
Dan aku tertawa. Memang. Lantas ngoceh,
senang campur jengkel:
"Kalian juga picik. Hanya gara-gara raja kalian
gagal mempersunting puteri Diah Pitaloka dari
Pajajaran, kalian berbunuh-bunuhan. Tambah lagi.
kalian di jajah Belanda kelewat lama. Dan pikiranHal. 291
picik kalian dimanfaatkan bule-bule itu. Benar
engga, Jawa Sunda bermusuh-musuhan!"
"Tak semua...," desahnya.
"Dan tak semua orang Batak seperti yang kau
gambarkan," rungutku.
la menoleh. Tersenyum.
Aku merasa berdekatan dengan sahabat yang
aneh dari kelas yang tersendiri. Maka tanpa segansegan, ketika di rumah kuminta ia menunggu. Koper
dan tas kumasukkan dalam bagasi. Kunci rumah
kuserahkan pada tetangga. Masuk lagi ke mobil dan
pada Parto yang terheran-heran aku berkata
setengah memerintah:
"Terus saja ke airport!"
Neneng, pikirku, sementara mobil melaju ke
Polonia. Hanya Neneng seorang yang akan
menerimaku dengan tangan terkembang lebar. Tak
perduli siapa aku adanya. Ya. Pada Neneng-lah aku
mesti pergi!
Parto menurunkan aku di Polonia. Sebelum
pergi ia mengucapkan:
"Selamat jalan. Semoga kita bertemu lagi."Hal. 292
Kujawab dengan umpatan:
"Bertemu lagi? Setanpun tak akan mampu
mengusahakannya!"
la tersenyum. Lalu menghilang ke dalam
mobil. Aku langsung menuju desk penerimaan
penumpang. Seorang petugas menyambutku
dengan tersenyum ramah. Senyum komersiel,
rungutku dalam hati. Lantas bertanya apakah ada
pesawat yang berangkat sekarang juga. Petugas itu
terheran-heran memandangiku. Lalu sejurus
kemudian berkata:
"Garuda baru saja take-off. Tetapi dalam satu
jam. Seulawah akan...."
"Ya. Seulawah saja. Tolong catatkan."
"Tiket Tuan?"
Nah. Aku terbengong sampai di situ. Tidak
Teringat sama sekali. Kalau saja petugas Phoenix
dulu mengetahui kebingunganku sekarang, pastilah
ia tertawa puas. Sedang aku berpikir mencari jawab,
petugas tadi sudah menawarkan:
"Akan saya cek ke bagian pembukuan ticket.
Kalau ada yang masih kosong. Tuan bisa sayaHal. 293
hubungkan dengan sebuah travel yang akan
melayani tuan dengan segera."
la memutar telephone.
Dan setelah meletakkannya kembali, ia
mendatangiku dengan seruan riang yang ditahan:
"Tuan beruntung!"
Lantas ia menggamit salah seorang
temannya. "Antarkan Tuan ini ke Sphynk..." Salah
dengar, aku berkata dengan terperanjat:
"Apa? Phoenix?"
Petugas itu tersenyum.
"Sphynk," ia mengulangi, agak ditekan
suaranya. "Travel-travel di sini memang senang
dengan nama yang ganjil. Tetapi percayalah,
Sphynk tidak akan mengecewakan Tuan!"
Setelah menitipkan koper dan tasku pada
petugas itu agar langsung saja ditimbang, kuikuti
temannya keluar dari airport. Ketika aku akhirnya
berhasil memperoleh ticket, tidak saja kukeluarkan
ongkos pesawat. Tetapi juga ongkos taxi pulang
pergi, serta tip yang lumayan untuk orang yang
menemaniku. Kembali ke airport, aku tidak punyaHal. 294
uang barang sepeserpun juga. Mudah-mudahan
bagasi yang kubawa tidak dikenakan biaya extra,
aku berdo'a dalam hati. Tiba di Jakarta, tak ada
persoalan. Tinggal panggil taxi, carter lantas bayar
di Bandung. Tentu saja dengan resiko haus dan
kelaparan sepanjang jalan Jakarta Bandung yang
akan memakan waktu sekitar empat jam.
Kubayangkan Neneng yang berlari-lari
menyongsongku.
"Apa? Dari Medan ke Bandung kau tak punya
uang meskipun cuma recehan? Begitu bokekkah
kau sekarang, suamiku sayang"
Di ruang tunggu, aku tersenyum sendiri. Berbisik:
"Ini aku datang, isteriku yang manis. Sudah
kau siapkan kuda-kuda kita untuk berpacu?"
Satu jam sudah berlalu, pengeras suara
belum juga menyebut-nyebut tentang penumpangpenumpang pesawat Seulawah. Kesal menunggu
kudatangi petugas yang tadi dan memperoleh
jawaban bernada menyesal:
"Sabarlah. Ada gangguan cuaca sehingga
pesawat terlambat mendarat."Hal. 295
Aku tercengang.


Dibelai Kasih Sayangmu Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa? Harus menunggu pesawat dari..."
Belum habis ucapanku, pengeras suara tibatiba memberitahu Seulawah dari Jakarta akan
segera mendarat. Petugas itu tertawa lebar.
"Apa kubilang?" katanya.
Bersungut-sungut aku kembali ke ruang
tunggu. Meskipun ada a-se namun toh aku
berkeringat juga dan kerongkongan teramat kering
rasanya. Tanpa sadar aku berjalan ke kantin dan
hampir saja memesan minuman ketika mendadak
teringat kantongku kosong. Benar-benar kosong.
Sial benar. Belum juga apa-apa, haus sudah
menggoda. Lapar bisa ditahan. Tetapi
kerongkongan yang kering? Seraya lidah
membasahi bibir yang kering melihat orang-orang
lain tertawa-tawa senang minum di kantin, aku
kembali ke tempat duduk semula.
Kuhibur diri dengan memperhatikan pesawat
yang sudah landing.
Kini, selangkanganku yang tak sabar
menunggu. Bergegas aku ke kamar kecil. Buang air.
Karena tak tahan, tanpa malu-malu lagi air leidingHal. 296
yang mengucur di kamar kecil itu kutampung
dengan telapak tangan. Aku minum sepuas hati.
Lucu juga. Dari bawah keluar. Dari atas masuk. Bau
pesing menyerang hidung. Kuacuhkan saja. Terus
kencing. Terus minum. Sampai selangkanganku
terasa ringan. Dan kerongkonganku terasa lapang.
Ketika celana kukancingkan, samar-samar
aku dengar panggilan di pengeras suara:
"... tuan Bonar? Tuan Bonar yang akan
berangkat dengan pesawat Seulawah dengan
tujuan Jakarta..."
"Ha! Aku ketinggalan pesawat!" seruku
setengah berteriak di kamar kecil.
Seseorang menyahut dari luar: "Ada apa, bung?"
Bergegas aku keluar, sambil membetulkan letak ikat
pinggang. Orang yang sudah menunggu dari tadi
tanpa setahuku, menoleh dengan wajah malas. Aku
tersenyum ke arahnya. Lantas berlari-lari ke ruang
tunggu. Di sana panggilan itu terdengar lagi:
"... tuan Bonar diharap datang ke
resepsionist! Ada yang menunggu!"Hal. 297
Seulawah masih menurunkan barang-barang
penumpang dari Jakarta. Hah! Hah! Hah!
Terangah-engah aku berjalan ke bagian
resepsionist.
Belum lagi aku sampai di sana, pintunya
sudah terbuka. Lalu seseorang yang bermuka pucat
menerobos keluar, lantas berlari-lari ke arahku
dengan kedua tangan terkembang seraya menjerit
lirih.
"Bonar, kekasihku!"
Aku terpana. Membatu bagai patung.
Mematung bagai batu. Diam. Bisu seribu kata.
Kubiarkan bibirnya dengan liar mencari-cari bibirku,
la menemukannya, dengan mata terpejam berurai
butir-butir air bening. Dan mataku yang nyalang
terbuka memperhatikan bagaimana puluhan
pasang mata melihat ke arah yang sama. Aku yang
termangu, dan Lily yang lupa diri.
Masih di bawah pandangan mata banyak
orang, Lily berjalan ke bagian penerimaan
penumpang.
"Tolong keluarkan bagasi kekasihku..."Hal. 298
"Tetapi, nona," petugas yang ramah itu,
terlepas dari pesona yang barusan dilihatnya.
"Sudah..."
"Keluarkanlah cepat. Kekasihku tak jadi
berangkat hari ini!"
Tak lama kemudian kami berdua telah berada
dalam Copella yang meluncur keluar dari pelataran
parkir airport. Lily tak melepaskan pelukannya di
pinggangku dengan kepala rebah di bahuku,
sehingga setir yang kupegang sesekali membuat
mobil berzig-tag. Masih untung jalanan sepi.
Barulah setelah di Usat kota yang ramai, jalan mobil
stabil kembali, telukan Lily merenggang, dan ia tidak
menangis lagi.
"... waktu kudengar Parto mengantarmu ke
airport, aku bagai gila rasanya!" ia menerangkan
dengan suara terisak-isak.
"Bagaimana kau bisa lolos dari ayahmu yang
fanatik itu?"
"Lolos?" Lily tersenyum. Bahagia. Hatiku
terenyuh. Dan semakin terenyuh waktu ia
menceritakan apa yang terjadi kemudian:
"Aku bersikeras menyusulmu. Papa marah. IaHal. 299
mengambil senjata berburu dan mengancam akan
menembakku. Ibu jatuh pingsan. Aku tak perduli.
Tenang-tenang aku berjalan melewati papa, masuk
ke mobil ini, kemudian kabur dari rumah. Tak ada
suara tembakan sama sekali!" lantas ia memelukku
lagi. "Papa sebenarnya orang yang baik. la takut
kehilangan aku. Takut kehilangan generasi yang
akan meneruskan keturunannya. Fanatik memang,
namun ia tetap seorang ayah yang baik. Sudikah kau
maafkan dia, kekasih?"
Kekasih. Di hadapan semua orang: kekasihku!
Aku mengeluh. Mengangguk pelan-pelan. Lily
menciumiku, dan Neneng minggat tiba-tiba dari
dalam dada, terbang keluar lewat jendela mobil,
lenyap, dibawa angin yang menderu-deru...
* * * "KAU mau menolongku?" tanyaku seraya
menghentikan mobil di pinggir jalan.
"Ya?" Lily terheran-heran.Hal. 300
Aku menelan ludah. Dan menunjuk ke sebuah
warung es campur di depan mana mobil berhenti.
"Kasihan!" Lily geleng-geleng kepala seraya
tertawa. "Ayolah!"
Tawanya semakin keras waktu kuceritakan
bagaimana aku meluluh air leiding di kamar kecil
airport saking tak kuat menahan haus. Untunglah
kebetulan hanya kami berdua saja di warung itu.
Sambil minum kami menyusun rencana. Kubilang
aku ia antarkan saja ke rumah Chairudin. la jawab
Chairudin sekarang lebih senang tinggal di rumah
Sahara!
"Okay. Kalau begitu, antarkan aku ke sana."
"Tidak. Aku tak setuju. Benar-benar tak
setuju?"
"Sebabnya?"
la mengerdipkan mata. Lalu mengemukakan alasan.
"Pertama. Aku takut, malam nanti janda
muda itu kesasar masuk kamar tidurmu. Yang
kedua, dan ini yang lebih penting. Tak baik di mata
keluargamu!"
Dengan keputusan itu, kami naik lagi ke mobil.Hal. 301
"Kau tak takut?" tanyaku waktu hampir
sampai di Pimpinan.
"Kau bilang rumahmu kosong."
"Kalau ada isinya?"
"Kuharap, yang membuka pintu bukan
seekor harimau!"
Kami tertawa.
Dan yang membuka pintu, adalah Tigor!
la memandangku dengan tajam dan wajah
yang keras pertanda sangat marah. Tetapi perasaan
itu ia tekan sekuat-kuatnya setelah melihat siapa
orang terdiri di sampingku. Kaku, ia mengangguk.
"Tumben, zus Lily!"
Mereka berjabatan tangan.
"Apa kabar?" sahut Lily dengan tersenyum
riang. "Baik-baik saja keluarga abang?"
Tigor membantu memasukkan koperku
kembali ke kamar.
"Yah, beginilah," ka bersungut-sungut.
"Waktu kami datang, pikiran ibu sudah kembali
tenang. Tetapi waktu melihat kamar anak ini kosongHal. 302
melompong, beliau sangat terpukul. Ibu boleh
kehilangan saudara laki-lakinya. Tetapi ia tak boleh
kehilangan anak bungsu kesayangannya
Dari kamar ibu keluar seorang lelaki
berkacamata terseragam putih menjinjing tas kulit
yang besar diiringkan kak Dima. Sementara mata
isteri abang bertaut tajam ke mataku, telingaku
menangkap suara laki-laki berkacamata itu yang
ditujukan pada Tigor:
"... ibumu sudah tidur. Tak usah cemas, la
akan segera sembuh. Ini resep yang bisa saudara
tukar dengan obat di apotheek!"
"Terimakasih, dok!"
Sepi, setelah dokter itu pergi.
Aku memaksa mau masuk ke kamar ibu.
Tetapi dicegah oleh kak Dima.
"Kau dengar apa kata dokter? Biarkan beliau
istirahat!"
Lily yang merasa kehadirannya membuat
suasana menjadi agak kaku, cepat-cepat berdiri
betapapun kak Dima mencegah. Setelah berjabatan
tangan dengan, Tigor serta isterinya, Lily kemudianHal. 303
memeluk dan mencium kedua belah pipiku, lantas
bergegas masuk ke dalam mobil yang ia kebut
meninggalkan debu-debu beterbangan dan... wajah
Tigor yang pucat, serta mulut kak Dima yang
menganga!
* * *Hal. 304
14 "... JADI, gadis itu yang berhasil menyeretmu
lari dari Polonia!" rungut bang Tigor.
Perlahan. Dan gusar.
Aku mengangguk. Memandangi jalan di mana
mobil Lily baru menghilang. Debu-debu itu masih
beterbangan.
"Coba kutebak. Dia-kah calon pengganti Mariann?"
Sekali lagi, aku mengangguk.
Dan Tigor tiba-tiba membentak:
"Tahukah kau, perempuan itu orang Padang?!"
Kak Dima memegang lengan suaminya.
"Ssst. Jangan terlalu keras. Nanti beliau...," ia
gelengkan kepala ke kamar tidur ibu. Tigor terduduk
di kursi.Hal. 305
Mukanya hitam legam. Daun telinganya
merah dadu. la usap wajahnya berkali-kali. Setiap
kali, semakin hitam juga. Setiap kali, semakin keras
membatu.
Lalu terdengar keluhannya yang runtuh:
"Ditinggal mati oleh ayah, rasanya tidak
saparah didatangi oleh orang Bandung yang
mengerikan ini!"
"Bang!" protes isterinya. "Tahanlah mulutmu."
"Diam!" bentak Tigor.
Ada suara terbatuk di kamar. Tigor menelan
ludah. Kak Dima mengintai lewat kisi-kisi kawat
ambang pintu kamar. Lantas bernafas lega. la
pandangi kami bergantian. Terus berjalan ke dapur.
Dan di sana, kudengar ia menangis terisak-isak.
Tigor tersandar di kursi.
Wajahnya tengadah. Menatap langit-langit
kamar. Kosong. Hampa.
"... kalau abang tak suka, aku tak menyesal
membawa koperku keluar dari rumah ini lagi," aku
bergumam. Sakit hati.Hal. 306
la tertawa. Getir.
"Lakukanlah. Dan jangan harap kami kirimi
kau kabar tentang kematian ibumu!"
Akulah yang kini tertunduk. Lemas.
Lamat-lamat kudengar gerutuan saudaraku:
"... lupakah kau pengalaman Paman
Maraiman? Bukan saja anak-anaknya tak berhak
memakai marganya, la dibeli. Dengar? Bukan kau
yang membeli isterimu. Tetapi isterimulah yang
akan membeli dirimu. Membeli garis turunanmu.
Membeli jiwamu, harta bendamu, cucuran
keringatmu. Apa yang tak dimiliki paman Maraiman
setelah menikah dengan perempuan Padang itu?
Anak, banyak. Rumah, gedong mewah. Perabotan,
kelas satu. Kendaraan, Holden produksi terbaru.
Tabungan? Berlimpah-limpah di Bank Bumi Daya.
Tetapi ketika akhirnya mereka bercerai karena yang
laki-laki ingin berkuasa dan yang perempuan ingin
lebih menentukan, apa yang dibawa pulang oleh
paman? Anak? Diambil orang. Harta? Hanya
selembar pakaian yang melekat di badan. Yang ada
di saku kemejanya, bukan lembaran uang, tetapi tak
lebih dari sehelai kartu penduduk! Puih!"Hal. 307
"Lily bukan..."
"Yeah. Aku tau kau mau bilang Lily bukan
perempuan semacam isteri paman. Tetapi kuharap
kau tak lupa, biar bagaimanapun Lily tetap orang
Padang. Dan kau, biarpun telah sangat berubah
setelah mengenyam pendidikan di Bandung, tetapi
orang Batak!"
"Kalian terlalu egois. Terlalu sukuisme!"
"Mungkin kami egois. Tetapi bukan sukuist.
Ini fakta!"
Dengan kepala yang berdenyut-denyut aku


Dibelai Kasih Sayangmu Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bangkit lalu dengan kaki yang gontai masuk ke
kamar, tidak ke kamarku sendiri. Melainkan ke
kamar ibu. Beliau masih tertidur. Pulas. Gurat-gurat
penderitaan pmpak di sudut-sudut matanya yang
sudah tua, hati-hati kuseret sebuah bangku ke
dekat beliau, hati ini menjadi teramat dingin.
Gumpalan-gumpalan batu yang mengganjal dada
itu telah terbuang habis.
Pelan-pelan, tangan ibu yang terletak di
perutnya, kusentuh.
Kemudian, aku merunduk. Kurebahkan wajah
di punggung tangan keriput itu. Hati ini semakinHal. 308
dingin. Dingin. Di luar kudengar Tigor menyumpahnyumpah. Kupejamkan mata. Berbisik dengan lirih:
"Maafkan anakmu, ibunda!"
Dan mata ini terus terpejam. Terpejam. Ada
suara otor di luar. Honda kijang melaju pergi. Lalu
suara kaki-kaki kak Dima berlari-lari dari dapur ke
halaman. Mata semakin berat juga. Kak Dima masuk
kembali. Menutupkan pintu. Aku mengharap
mendengar suara orang menangis. Tetapi yang
terdengar hanya helaan nafasku sendiri. Dan
hendusan ibu, yang teratur. Entah berapa lama aku
dalam keadaan demikian, aku tidak tahu. Waktu
aku terbangun, ibu tengah mengusap-usap
rambutku. Aku menoleh. Dan mataku bertemu
dengan matanya. Bening. Dan teduh. Bibir tipis dan
kering itu menggurat seulas senyum. Bening. Dan
teduh.
" mengapa tidak tidur di kamarmu,
anakku?" katanya. Lembut.
Aku tegak kembali dalam dudukku.
Tersipu.
"Bagaimana perasaan ibunda?"Hal. 309
"Obat-obat yang dibawakan Tigor tak ada
artinya dibanding dengan dirimu, anakku..." Pintu
terkuak.
Kak Dima masuk, la tersenyum pada ibu.
Memegang pergelangan tangan beliau. Dan
tersenyum lebih puas.
"Makan malam sudah dingin, Bonar," desah
kak Dima.
"Pergilah," bisik ibu.
"Ibu tak ikut makan?"
" makanlah kalian."
"Kubuatkan bubur?" tanya kak Dima.
Ibu mengangguk. Lemah.
Kuikutkan kak Dima ke kamar makan
merangkap dapur. Makan malam tampaknya masih
hangat. Tetapi wajah Tigor yang sudah menanti di
sebuah kursi, kelihatan dingin. Kami berdua makan
diam-diam sementara kak Dima sibuk membuatkan
bubur untuk ibu. Selesai makan Tigor minta
dibuatkan kopi,
"Jangan terlalu kental!" katanya.Hal. 310
Lalu berjalan ke terras depan. Ada suatu
dorongan yang menyebabkan aku mengikuti
langkah-langkahnya. Bintang gumintang di langit
yang biru jernih menyapa kami dengan ramah. Tigor
menghela nafas. Berulang-ulang. Lama setelah kami
lagi-lagi berbungkam diri, baru ia memulai:
"... kapan ujianmu selesai?"
Basabasi. Tetapi aku menjawab juga:
"Akhirnya tahun ini, kalau tak ada halangan."
"Jangan perdulikan halangan," ia menoleh.
Tersenyum ke arahku. Sejuk terasa dada ini. "Kau
harus tamatkan studimu. Dari keluarga kakek,
hanya kau seorang yang beruntung menginjak
bangku perguruan tinggi. Harapan semua keluarga
tertumpah padamu."
"Si Ucok kan sudah di akademi."
"Ah. la dari generasi yang berikut... dan aku
khawatir anak itu tidak akan menyelesaikan
studinya, la lebih cenderung jadi pedagang. Maka
kubelikan sebuah kios. Dan eh, tahukah kau?"
Aku tak menjawab, la yang menjawabnya sendiri:
"Ternyata usaha si Ucok lebih maju dari aku!"Hal. 311
Lantas ia tertawa.
Tak lama kemudian kak Dima keluar. "Dasar
ibumu!" ia mengoceh. "Minta dibuatkan bubur.
Setelah masak, eh, tidur pula dia!"
Tawa Tigor semakin keras.
Dan kukira, aku toh layak untuk ikut tertawa.
* * * Malam harinya aku bermimpi. Ada gumpalan
batu besar menggelinding dari puncak sebuah
gunung. Seorang berlari pontang panting
mengelakkan lindaian batu itu. Tetapi di pinggir
sebuah surup, besar yang sedang banjir, orang itu
tidak melihat jalan lain lagi. Batu gunung yang
mengerikan itu menggelinding semakin dekat.
Orang itu menoleh. Barulah aku kenali siapa dia. Tak
lain tak bukan, diriku sendiri. Dengan jantung didera
rasa ngeri dan wajah ditempa , warna putus asa,
kulihat bagaimana batu itu semakin dekat dan
semakin besar juga. Semakin dekat. Semakin besar.
Bunyinya seperti guruh yang mengguntur. HancurHal. 312
setiap benda yang dilandanya. Aku mundur. Tetapi
terlambat. Batu besar yang dahsyat itu telah
melanda.
Lepas jeritan keras dari mulutku.
Kubuka mata lebar-lebar. Gelap gulita.
Seseorang tergopoh-gopoh masuk. Lampu ia
nyalakan. Terang benderang.
"Ada apa?" tanyanya.
"Oh...," aku mengurut dada yang sesak.
"Kau bermimpi?"
"Ya. Buruk sekali."
Tigor tertawa.
"Kalau kau bermimpi lagi, jangan terlalu keras
berteriak. Bangun orang sekampung nanti!"
la kemudian meninggalkan aku termangu-mangu.
Dan sampai pagi, mataku tidak bisa terpejam,
Kudengar ibu terbatuk. Keluar dari kamar. Terus kej
kamar mandi. Masuk lagi ke kamar tidur. Tentu ia
lalu sembahyang subuh. Adzan mengalun dari
mesjidj Tenang. Syahdu. Pintu kamar lain terbuka.
Juga orang itu berbatuk. Khas suara kak Dima. AkuHal. 313
berbaring lagi. Dan kukira aku tertidur, karena
waktu mata kubuka, lewat ventilasi jendela masuk
cahaya matahari ke dalam.
Kami baru saja selesai sarapan, waktu sebuah
mobil berhenti di depan rumah. Kak Dima keluar
menyongsong tamu yang mengetuk pintu. Waktu ia
kembali, wajahnya tampak diliputi tanda tanya.
"Ada tamu."
Aku sudah tahu. Tetapi ucapan itu ditujukan
padaku, dan tekanannya lain. Heran, aku keluar.
Di ruang depan, aku melihat seseorang, la
berdiri dari kursinya waktu melihat aku datang.
Tidak ada senyuman di bibir orang itu. Tetapi bukan
itu yang terutama membuatku sangat terkejut. Apa
yang menyebabkan impian tadi malam bermain lagi
di depan mata, adalah kehadirannya. Orang yang
tidak pernah kubayangkan akan muncul di kota ini,
langsung pula ke rumah tanpa berkirim kabar
terlebih dahulu.
"Apakah aku kelihatan aneh, Bonar?" sapanya.
Mulutku tergagap:
"Tid... tiddd... aaakk!"Hal. 314
"Kau sakit?" "lyy... eh, tidak."
Bang Tigor yang segera menyusul, mengernyitkan
dahi melihat sikapku.
"Hallo," sapa tamu itu.
"Hallo. Dari mana?"
"Bandung," orang itu mengulurkan
tangannya. Disambut oleh Tigor yang terjengah
sesaat. "Nama saya Hendra. Kakak tertua dari
Neneng!"
Seketika Tigor terbungkam.
Hendra agak kikuk oleh sambutan yang aneh
itu. Lantas mencoba tertawa. Parau. Katanya:
"Senang berkenalan dengan kalian."
Bang Tigor tersadar.
"Oh, ya. Ya. Ya..," sahutnya. "Duduklah. Dutoklah. , ."
ulah yang terlebih dahulu duduk, tfdifc menahan
lutut yang goyah. Kedua orang laki-laki yang sebaya
itu memandangiku serentak. Hendra nyeletuk:
"Kudengar yang sakit bukan Bonar, tetapi ibu kita.Hal. 315
"Ibu kita?" cetus Tigor. "Oh, ya. Ya. Ibu...
Memang beliau sedang sakit."
"Oh. Boleh saya menjenguk?"
Tigor menoleh padaku.
"He, kau. Coba lihat apa ibu sudah bangun."
Aku tak mampu berdiri. Tigorlah yang berdiri,
la melongok ke dalam kamar tidur ibu sebentar, lalu
bergumam pelan:
"Masih..."
"Ah, biarlah. Jangan diganggu!" potong
Hendra, ramah, la memperhatikan kak Dima yang
keluar dengan cangkir-cangkir kopi panas. Tigor
memperkenalkan Hendra pada isterinya. Kak Dima
melongo. Lupa mengulurkan tangan. Tetapi Hendra
mengangguk ramah seraya menarik mundur
kembali tangannya yang teracung, la menyapa:
"Senang bertemu dengan kakak," ia duduk
kembali. "Konon anak-anaknya banyak. Saya juga.
Kok tak kelihatan barang sepotong?"
"Mereka di... di... Puri?"Hal. 316
"Puri?" dahi Hendra mengernyit. "Di kota ini
ada puri?"
Kak Dima menarik nafas. Lantas tersenyum.
"Maksud saya jalan Puri. Rumah kami di sana."
"Ooo!" dan Hendra tertawa lagi. Ramah.
Polos. Tanpa maksud-maksud tersembunyi. Ciri
khas orang-orang di daerahnya. Sunda.
"Kapan tiba?" tanya kak Dima.
"Tadi malam. Dengan Garuda,"
"Lho. Di mana nginap?"
"Dirga Surya."
"Oh..."
la meneguk kopi di depannya, lantas melirik
ke jam tangan. Dengan suara menyesal ia berkata
pada kak Dima dan bang Tigor:
"Wah. Waktu saya agak mendesak."
"Eh, kok cepat amat," desah kak Dima.
"Habis... eh. Kok saya pelupa!" lantas ia
jergegas keluar. Seorang laki-laki yang berdiri di luar
pintu mobil cepat-cepat membuka bagasi.Hal. 317
Berkeranjang buahan, dodol garut, oncom
goreng kemudian tersusun di ruang tamu. Hendra
juga meletakkan lebuah koper kecil yang masih
baru. Ketika ia buka, isinya bermacam-macam
bahan pakaian dari harga yang mahal-mahal.
"Untuk keluarga di sini," katanya,
mengangguk aan tersenyum ramah. Setelah itu,
barulah ia melihatku. Geleng-geleng kepala, dengan
sorot mata tajam berkilat.
"Boleh aku bicara sebentar dengan Bonar?"
Aku keluar dengan Hendra ke depan. Duduk di bibir
terras.
"Kenapa kau bungkam saja dari tadi? Kukira
tak ada hantu di sini," katanya. Tertawa. Namun
matanya, mengejek. "Aku membawa ini untukmu,"
ia menyodorkan sepucuk surat. Baru juga kulihat
amplopnya, aku sudah mengenali tulisan Neneng.
Isinya dibuat dengan tergesa-gesa:
Suamiku.
Aku tahu keluargamu teramat membenciku.
Suratmu yang kuterima telah didahului oleh
sepucuk surat lain dari kakakmu, Rosmala.
Seharusnya aku senang menerima surat dariHal. 318
keluargamu. Sayang surat itu penuh dengan
kata yang tidak kumengerti. Zinah. Zinah.
Zinah! Lalu seorang gadis lain bernama Anna,
katanya harus berkorban untuk perzinahan
yang terjadi di antara kita. Kuterima semua
tuduhan itu, sayangku. Kuterima dengan hati
yang lapang dan jantung yang tenang.
Karena surat itu membuktikan satu hal yang
sangat ingin kuketahui: bahwa kau tidak
memandang sebelah matapun pada gadis
bernama Anna itu. Bonarku, kekasih. Sudah
sembuh benarkah sakitmu? Dan ibunda,
bagaimana, sudah sehatkah? Aku berdo'a
untuk kalian. Aku bermaksud menunggumu
dangan sabar. Tetapi waktu surat kak Rosmu datang kebetulan Hendra sedang di
rumah. Tentu saja setelah membaca isinya,
sukar bagiku untuk bersikap tenang
sebagaimana harusnya.
la sangat marah. Aku berhasil
menyabarkannya. Tetapi tidak berhasil
menahan keinginannya untuk menjemputmu
langsung ke Medan.Hal. 319
Salamku pada keluargamu. Cium cinta dari
isterimu. Ttd.
NENENG yang rindu.


Dibelai Kasih Sayangmu Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Di bawahnya tertulis nota pendek yang
kelihatannya sambil lalu:
"N.B. Kemaren aku ke dokter. Kau kan tahu,
sudah dua bulan menstruasiku terlambat.
Dokter bilang, positif. Wass."
* * * Aku tersandar ke tembok.
Gigiku terhunjam dalam di bibir. Dalam.
Semakin dalam. Sama sekali tidak sakit, meskipun
aku ingin merasakan kesakitan itu. Neneng. Neneng
yang malang.
"... bagaimana?'., desak Hendra.
Apakah kukatakan saja terus terang,
kehadiran Neneng biar bagaimanapun tidak akan
diterima oleh keluargaku?Hal. 320
"Yang kuinginkan jawabanmu. Bukan orang
lain," ia seakan menebak jalan pikiranku.
"yah..."
"Cepatlah berganti pakaian."
Aku terperanjat.
"Maksudmu..."
"Kita pulang bersama-sama. Bukankah begitu
dikatakan Neneng dalam suratnya?" suara Hendra
berubah tajam.
Aku terloncat. Tegak dengan tubuh tegang.
"Tidak mungkin..."
"Eh, apa pula itu?"
"Berilah aku waktu untuk..."
"Sorry, terlambat sudah!"
"Ini soal keluargaku. Kuharap padamu,
Hendra!"
"Apakah Neneng bagimu tidak termasuk
keluarga?!"
"Jangan memaksaku!"Hal. 321
"Apa boleh buat!" tukasnya. Ketus. "Kalau
Perlu, aku bisa bertindak keras!"
"Kau... kau..."
la tertawa. Ramah, namun suara yang keluar
dari mulutnya, menusuk:
"Cobalah, bung. Aku tau kau pernah
menumbangkan pohon oak di Cijantung. Juga
menghancurkan bungkal-bungkal es dengan sekali
pukul. Tetapi semua itu hanya benda mati. Yang
tidak akan melawan biar dibagaimanakanpun juga.
Aku bukan batang kayu. Bukan balok es. Camkanlah
itu!"
Aku mencamkannya.
Mencamkan, ia adalah salah seorang guruku
di bidang tumbang menumbangkan dan hancur
menghancurkan itu. la murka. Tetapi ia tidak
menyerang, la tetap seorang guru. Yang selalu
mengingatkan pada anak didiknya:
"Tahan emosi. Pergunakan keakhlian-mu,
hanya untuk membela diri!"
Terenyuh, aku masuk ke dalam.Hal. 322
Ibu rupanya sudah terbangun, la keluar
dibimbing kak Dima. Hendra setengah
membungkuk waktu mencium punggung tangan
ibuku. Ciri khas daerahnya lagi. Mata ibu tampak
keras. Kak Dima tentu telah menceritakan siapa
tamu kami hari itu.
Dalam mobil yang melaju dengan kecepatan
penuh meninggalkan rumah, aku menggerutu:
"Kau lihat. Ibu tak tega melepas aku pergi.
Artinya, kehadiran adikmu akan semakin tidak
disukai!" aku mengeluh. Panjang pendek. "Padahal
kau bisa bersabar, bersikap lebih bersahabat dan
memberi waktu barang sebentar."
Hendra menyahut datar:
"Aku lebih mementingkan adikku. Lagipula
aku tak punya waktu. Besok aku harus sudah di
Jakarta lagi. Kau kan tahu aku harus siap-siap
menjalankan tugas praktek di Cape Kennedy!"
"Bah!"
la angkat bahu.
Di jalan Serdang, mataku sempat melihat
Copella meluncur ke arah yang berlawanan.Hal. 323
Kulongokkan kepala lewat jendela. Dan mengenali
siapa yang duduk santai di belakang setir.
"Lily!" aku memanggil.
Tetapi mobil itu telah menjauh. Lalu
membelok ke jalan Sado. Jadi, ia bermaksud ke jalan
Pimpinan untuk...
"Masukkan kepalamu kembali," rungut
Hendra. "Aku berjanji membawa kau dalam
keadaan utuh ke pangkuan Neneng. Bukan dengan
kepala yang buntung!"
"Berhentilah dulu. Putar kembali ke rumah,"
mohonku. "Aku harus..."
"Tak ada waktu. Beberapa belas menit lagi
pesawat akan take-off. Sudah ku-booking tempat
untuk dua orang."
"Tunda saja!"
"Tidak bisa."
"Tunda!"
la menatapku. Tajam. Lantas mendesis:
"Siapa gerangan gadis dalam Copella itu?"
Aku terhenyak.Hal. 324
"Diakah yang bernama Anna?"
Kupejamkan mata.
"... ya," sahutku, seenaknya.
"Barusan kau panggil dia Lily,"
"Nama lengkapnya Rosliana. Orangtuanya
memanggil dia Anna. Kupanggil dia Lily. Supaya tak
aneh di lidah orang Sunda."
Hendra tertawa. Hambar.
Dan dalam hati, aku menangis!
Setelah membayar sewa taxi yang ia carter
selama di kota ini, Hendra setengah menyeretku
memasuki airport. Kami adalah penumpang
terakhir yang koper-kopernya belum dimasukkan ke
pesawat. Dan juga merupakan penumpang terakhir
yang masih belum ke pesawat yang kebetulan
jalurnya sedang dihalangi oleh sebuah "SAS" yang
sedang berputar menjauh, sehingga keterlambatan
kami bisa dimaafkan.
Baru saja kakiku menginjak tangga pesawat
waktu terdengar seruan sayup-sayup:
"Bonar! Bonar! Bonar, ..!"Hal. 325
Aku menoleh.
Samar-samar kulihat seseorang dengan panik
menerobos di antara kerumunan manusia yang
memenuhi halaman depan dan sekitar ruang
tunggu.
"Cepatlah. Jangan bikin malu!" bentak Hendra.
Gadis itu berhasil lolos sampai ke pinggir
landasan. Beberapa orang petugas menahannya.
"Lily!" bisikku, setengah menangis.
Hendra menyeret masuk.
Dan petugas-petugas di pinggir landasan,
menyeret Lily ke tepi.
Pintu tertutup.
Rasanya seperti pintu guha yang terhempas.
Dan aku tidak punya jampi-jampi ajaib untuk
membukanya.
Aku tidak berani melihat keluar jendela.
Takut, air mata ini jatuh berderai.Hal. 326
Pesawat melangit. Membawa jasadku pergi
secara paksa, meninggalkan hati dan jiwaku
terkapar di pinggir landasan.
* * *Hal. 327
15 IKAT pinggang di kursi pesawat kubiarkan
tergantung begitu saja ketika burung raksasa itu
naik di Medan dan turun di Jakarta. Makan siang
yang dihidangkan stewardess sama sekali tidak
kusentuh, luga masakan Padang di rumah makan
"Roda" langgananku di Cipanas, beberapa jam
kemudian. Di kelokan-kelokan tajam Citatah,
menjelang Bandung, pku muntah hebat. Hendra
acuh tak acuh. la sudah terlalu kesal melihat kekeras
kepalaanku. Dan akupun faak berharap diacuhkan
oleh Hendra. Bahkan mung-fin oleh adiknya,
Neneng.
"... kalau nanti aku sudah di Amerika,"
bersungut-sungut Hendra menjelang tiba di rumah
yang rasanya telah bertahun-tahun kutinggalkan.
"Kuharap aku tidak mendengar kabar buruk dari
Neneng!"Hal. 328
Matahari senja yang temaran, menyapu sebuah
rumah semi permanen yang kecil mungil waktu taxi
yang membawa kami meluncur memasuki halaman.
Rasanya baru sedetik taxi yang lain meluncur
meninggalkan rumah lain yang bersiram matahari
pagi yang cerah. Di bola mata ini masih melekat
bayangan sosok tubuh seorang gadis merontaronta dalam pegangan beberapa orang petugas
landasan. Dan bayangan itu terus melekat, sampai
pintu rumah terbuka dan seorang gadis lain berlarilari menyongsong kemudian memelukku seraya
menangis tersedu-sedu.
"Bonar-ku. Sayangku!" isaknya di dadaku.
Bayangan gadis yang meronta-ronta di bola
mataku, mengecil.
"Mengapa tulang pipimu luka, kasihku?"
Jari jemari yang lembut dan hangat menyapu
cacat di tulang pipiku.
Bayangan di bola mata itu membesar lagi.
"Bawa patung kesayanganmu itu ke dalam.
Neng. Tak malu kau dilihat tetangga?"Hal. 329
Aku tertatih-tatih dibimbing oleh Neneng
masuk ke dalam rumah.
Di belakang, Hendra menyusul dengan koper
dan tasku serta tasnya sendiri di kedua tangannya.
"Sial. Aku jadi kuli!" umpatnya seraya
melemparkan koper itu di ruang depan.
"Kau pucat, Bonar. Tubuhmu dingin. Sakitkah kau?"
Di belakangku, Hendra mencak-mencak:
"Hei, apakah aku tidak diperhatikan? Dari
pagi aku belum mandi!"
"Pulanglah ke isterimu!" rungut Neneng,
kesal.
"Eh, apa pula ini? Bukannya ucapan
terimakasih, malah "
"Habis, tak kau lihatkan penderitaan Bonar?
la tentu mabuk dalam perjalanan..."
"Bukan lagi mabuk. Seluruh isi perutnya la
pindahkan ke lantai mobil. Kasihan supir taxi yang
malang itu!"
Neneng membawaku ke kamar tidur.Hal. 330
"Beristirahatlah sayangku. Akan kusediakan
air hangat untuk kau mandi, dan setelah itu... hem,"
ia kecup bibirku. Panas berapi-api. "Kusiapkan pula
kuda-kuda kita untuk berpacu. Okey?"
la melambai waktu keluar dari kamar.
Dan tersenyum, waktu masuk kembali tak
lama kemudian.
"Hendra sudah pulang. Kau mau mandi sekarang?"
Aku melihat lukisan kereta kuda di tembok
kamar. Aku tidak melihat bayangan Lily yang
meronta-ronta. Pelan-pelan, aku mengangguk.
Neneng membantuku bangun dari tempat tidur
kemudian memeluk dan menciumku tak puaspuasnya. la terus memeluk dan menciumiku sampai
masuk ke kamar mandi, bahkan sampai tubuhku ia
ceburkan ke dalam bath-kuip. Air hangat berkecipak
tumpah ke lantai.
"... kau tega membiarkan aku mandi sendirian?"
bisikku. Lirih.
"Selalu bersama, bukan?" sahutnya, lantas
kaki-kakinya melangkah masuk ke bath-kuip. Satu
persatu. Gemulai, la kemudian membungkuk. Air
berkecipak, semakin banyak tertumpah. TangannyaHal. 331
melepas kancing-kancing pakaian di tubuhku. Satu
persatu. Gemulai. Belum semua kancing terbuka
lepas, Neneng sudah tak kuasa menahan diri.
"Bonar, Bonarku sayang," erangnya lirih,
lantas menjatuhkan diri di atas tubuhku. Bibirku
habis dilumatnya.
Bak itu semakin sempit. Sempit!
Airnyapun sudah habis tertumpah.
Tergenang di lantai. Genangan itu memercikmercik. Memercik. Dan memercik lagi. , .!
* * * NENENG mendengus waktu ia letakkan
secangkir kopi susu panas di atas meja tulisku.
Dengan menggerakkan ekor mata sedikit, dapat
kutangkap warna sendu di kulit pipinya. Ada
detakan halus di dada. Tetapi terus juga aku menulis
sesuatu di catatan, sampai ia beranjak dari
sampingku dan berjalan ke sofa di bawah lukisan
dari cat minyak pemandangan nelayan-nelayan
menarik pukat yang terpaku di tembok. TanpaHal. 332
menoleh aku tahu ia tercenung di sana sesaat.
Detakan di dada ini kian menjadi. Naluriku
mengatakan Neneng sedang menekan sesuatu yang
teramat mengganjal hatinya.


Dibelai Kasih Sayangmu Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kopi susu itu kureguk sedikit.
Dan mataku kembali menelan huruf-huruf
yang tertera di lembaran Het Adat-reht-nya Teer
Haar. Di belakangku, Neneng mengambil jahitanan
nya yang tadi ia letakkan di atas sice kecil dekat sofa.
Dengusan itu terdengar lagi. Lewat hidungnya.
Keras.
"... kau tak minum?" tanyaku sekedar
mengurangi kekakuan yang ganjil itu.
"Sudah!"
Padahal ia hanya sebentar di dapur. Aku tahu
ia tidak minum. Kuteruskan membaca. Lalu:
"... Bonar."
Barulah aku menoleh. Neneng hampir
menyelesaikan popok kesekian yang telah ia buat
beberapa hari belakangan ini. Kulihat tangannya
agak gemetar.
"Nggh?" lenguhku, karena ia tak juga mulut.Hal. 333
Dengan mata terus pada kain yang ia jahit,
Neneng bergumam:
"... aku khawatir kau telah menyimpang dari
tujuanmu, Bonar."
"Ah?" aku tercengang. "Maksudmu?"
"Seingatku, topic thesis yang telah kau ajukan
pada dosen-dosen penguji di fakultas berjudul
SEBUAH STUDI PERBANDINGAN ANTARA HAK MILIK
ADAT DENGAN PROYEK-PROYEK PEMERINTAH &
SWASTA...."
"Kau mengingatnya dengan tepat," pujiku.
la tersenyum. Lirih.
"Lantas?" tanyaku karena ia diam lagi.
"Yang kau pelajari akhir-akhir ini agak
menyimpang dari thesis itu. Aku senang kau jadi
kutu buku. Asal, yang kau baca dan terus telaah
sepanjang waktu adalah hal-hal yang ada sangkut
pautnya dengan masa depanmu. Tetapi, sekali lagi,
kau telah menyimpang. Yang kau pelajari akhirakhir ini menjurus ke soal-soal perkawinan...," ia
memandangku. Tersenyum lagi. Lirih. "Sebagai
selingan, soal perkawinan memang menarik. TetapiHal. 334
mengapa khusus tentang sistim patriarchaat di
Batak?"
"Oh!" aku menarik nafas lega. Lantas
tertawa. Semakin lega. "Aku memang orang Batak,
Neng. Tetapi aku lahir dan besar di Medan. Belum
sekalipun pulang ke kampung halamanku di
Tapanuli sana. Dan sama sekali belum pernah
kupelajari adat serta hukum-hukum yang berlaku di
kalangan suku bangsaku sendiri. Aku hanya tahu
sedikit-sedikit, lantas aku jadi berminat untuk
mempelajarinya kembali... sekedar refreshing
pelajaran hukum adat yang sama-sama kita peroleh
waktu di tingkat persiapan dulu."
"Tetapi mengapa harus dikaitkan dengan
sistim matriarchaat di Minangkabau?"
Aku terjengah. Namun dapat juga menjawab:
"Ada dua pertentangan yang keras di antara kedua
sistim itu. Dan masih berlaku sampai sekarang."
"Tanpa kau bilangpun aku tahu tentang itu,"
ia tertawa. Enak sekali. "Sayang tidak kulihat ada
hubungannya dengan thesis yang kau buat," la
menunjuk ke rak di mana buku-buku literature,
ensiclopedi, diktat-diktat tersusun rapih bersamaHal. 335
cassette stereo, amplifier, kotak penyimpanan
televisi dan seperangkatan barang pecah belah hias.
Jari telunjuknya terarah lurus ke sebuah buku kecil
tetapi sangat tebal dengan kulit sampul berwarna
hitam legam.
"Di bukunya Engelbrecht itu...," katanya
dengan suara ditekan. "Terdapat segudang
peraturan-peraturan yang lebih tepat untuk kau
baca. Kalau mau kuingatkan, di halaman 2051
sampai 2216 terdapat segudang peraturanperaturan tentang Agraria, la beri bab dengan judul
Agrarische Bepaling-en..."
"Otakmu luar biasa!" pujiku sekali lagi.
la tertawa.
"Habis, waktu masih kuliah dulu, setengah
mampus menghafal pasal-pasal yang penting.
Sampai melotok isi kepala. Eh, tak tahunya ketika
tiba waktu ujian lisan, pak Sumarsono justru
menanyakan apa yang tidak kita perhatikan sama
sekali. Bab ini di halaman berapa. Pasal anu di
bagian mana. Gila beeng!"Hal. 336
Tawa kami berderai. Namun diam-diam aku
ada sesuatu yang tersembunyi di balik tawanya
yang enak.
Dan memang aku tidak lama menunggu.
Karena ia sudah berkata lagi:
"Jadi kau memang sudah menyimpang. Mau
mengakuinya?"
"Tidak," jawabku tegas. "Antara perkawinan
dengan tanah, selalu ada hubungannya."
la gelengkan kepala ke kiri ke kanan. Lemah.
Dan kemudian terhenti sama sekali waktu ia
memasukkan benang ke lobang jarum. Setelah
berhasil, ia teruskan menjahit.
"Aku tidak melihat hubungan antara
perkawinan dua suku dengan kasus-kasus
mengenai tanah milik adat yang akhir-akhir ini
sering bentrok dengan usaha-usaha proyek
pemerintah untuk mengikuti laju pembangunan.
Tak ada, Bonar. Tak ada sama sekali. Alasanmu tak
usah kau kemukakan. Kau pintar bersilat lidah. Itu
baik, untuk seorang calon Sarjana Hukum. Tetapi
jangan lidah itu kau putar belit di depanku. Aku akan
segera tahu, alasanmu dicari-cari. Hayo, mengaku."Hal. 337
"Ah, kau!" aku mengalah. Pelan-pelan
kusingkirkan Teer Haar dan Van Vollen Hoven di
depanku. Kuambil sebuah majalah terbitan Jakarta
yang secara berturut-turut memuat kasus tentang
kericuhan soal tanah di Ujungpandang. Tetapi yang
kubaca bukan mengenai kasus itu. Melainkan
sebuah kisah bersambung. Tentang cinta, apalagi!
"Bonar?"
"Nggh?" mataku tidak beranjak dari majalah.
A Hanya telingaku yang menajam.
" nama lengkap Anna sebenarnya
Marianna. Bukan Rosliana, toh?"
Aku menelan ludah. Tak berani mengalihkan
wajah dari majalah.
"Kenapa rupanya?" bisikku, parau.
"Sh, bukan apa-apa. Aku hanya ingin tahu,
yang bernama Anna lain dengan yang bernama
Lily."
"Oh...!"
Diam lagi. Ada rasa cemas menyelinap di dada.
"Bonar."Hal. 338
"Heh?"
"Lihat dong wajahku!" rungutnya. Setengah
merajuk, setengah gusar.
Enggan, aku melihatnya. Wajah Neneng datar
waktu bertanya:
"Gadis bernama Lily itu orang Minang, bukan?"
Aku terdiam seketika. Neneng memandang
ku, menanti jawab. Karena tahu aku tidak bisa
memberikan jawaban yang masuk akal, akhirnya
aku hanya diam saja seraya mengelakkan matanya.
Huruf-huruf di lembaran majalah menari-nari di
depan mataku. Gambar-gambar sepasang kekasih
yang sedang bertengkar, seperti meletup-letupkan
suara mereka ke telinga. Apakah letupan-letupan
itu akan segera menggema dari mulut Neneng,
tidak ubahnya mitraliyur yang membantai habis
musuhnya yang sudah tidak berdaya?
Neneng tertawa.
Tak enak lagi di telingaku, mesti volume
suaranya masih seperti tadi.
"Sudah larut," katanya. "Pagi-pagi benar aku
sudah masuk kantor."Hal. 339
Lantas ia berjalan melewatiku. Melenggang.
Tak acuh tampaknya.
la masuk ke kamar. Menutupkan pintu. Aku
sudah takut kalau ada suara terhempas. Tetapi
daun pintu tertutup tanpa suara. Kupandangi pintu
kayu berwarna coklat kehitam-hitaman itu. Licin
berkilat, fetapi aku tahu, wajahku kusam. Ingin
mataku menembus daun pintu itu. Melihat apa
yang tengah dilakukan Neneng. Berbaring di atas
tempat tidur, seraya menangkupkan wajah ke
bantal. Menangis. Atau tercelentang menatap
langit-langit kamar. Tertawa. Pahit.
"... darimana kau tahu?" aku berbisik
sendirian.
Buku-buku literature bahkan majalah di atas
meja tulisku, tau-tau telah berubah jadi semak
berduri yang menganga mengerikan. Mengancam
ku. Aku tidak berani menjamahnya. Aku hanya
melihatinya. Dan takut oleh ancamannya. Takut
oleh ejekannya: "Kau bodoh. Kau terlalu menyolok
membukai lembaran-lembaran ini. Padahal seharus
nya kau membuka lembaran-lembaran buku lain.
Tentang agraria. Tenang pidana. Tentang perdata.
Tentang pernotarisan. Bukan tentang perkawinan!"Hal. 340
Kutangkupkan wajah di kedua telapak tangan.
Dingin. Dan menyakitkan.
Di balik rasa dingin itu, di balik rasa sakit itu,
di balik kehitaman kelopak mata yang terjepit itu,
aku lihat lembaran-lembaran lain. Lembaranlembaran surat yang sudah tidak terbilang
banyaknya selama bulan-bulan terakhir ini. Jelas
terukir tulisan tangan Lily yang indah:
"Kau kejam! Kau tinggalkan aku, tanpa kau
beritahu mengapa kau harus pergi dengan cara
begitu. Minggat diam-diam. Tanpa pesan. Bahkan
tanpa ucapan selamat tinggal. Siapa laki-laki yang
menyeretmu naik pesawat, Bonar?"
"Seorang sahabat," kujawab surat pertama
Lily yang kuterima minggu pertama setelah aku
kembali berada di Bandung. "Kau baik-baik saja,
sayangku? Aku merindukanmu. Aku sebenarnya
kehilangan kau."
"Aku lebih-lebih merasa kehilangan.
Sahabatmu yang bagaimanakah dia itu, sampai ia
berhak merampas engkau dari sampingku?"
"la seorang co-pilot," aku berdusta dalam
suratku yang berikut, "la datang, ia memaksa. KauHal. 341
tentu maklum, Lily, dengan dia aku tidak usah harus
membayar apa-apa. Ticket pesawat, ongkos taxi,
dan seorang teman ngobrol dalam perjalanan yang
pasti membuatku merasa sangat kesepian, karena
harus meninggalkan engkau. Aku takut untuk pamit
padamu. Takut kalau aku tak ingin pergi, takut tak
sanggup menahan air mataku... Mengapa kau susul
aku ke Polonia?"
"Mengapa? Karena aku mencintaimu. Aku
tidak mau kehilangan kau. Tahukah bahwa aku
hampir gila ketika abangmu Tigor mengatakan kau
baru saja berangkat ke airport? Tanpa menanyakan
sebabnya lagi, kukebut Copella-ku membelah jalan
raya. Tiba di airport, kuparkir kendaraan itu bukan
di tempat yang semestinya. Tetapi di depan pintu
masuk. Dan sebuah mobil patroli lalu lintas berhenti
di belakangnya. Aku tak perduli. Aku terus
menerobos masuk. Kulihat kau pergi. Lalu polisipolisi itu datang. Aku kena tilang...!"
Aku tertawa membaca suratnya yang itu.
"Kau sudah ke Pimpinan lagi?"
"Dua kali dalam tiga bulan ini. Aku takut
terlalu sering ke sana, seperti halnya kau pasti takutHal. 342
datang lagi ke rumahku di Jalan Bhakti. Apa salahku,
Bonar? Apa salahmu, kekasih? Apa salah kita?"
"Salahnya, aku orang Batak. Dan kau orang
Minang,"
"Itu picik namanya. Di kota ini dan aku yakin
begitu juga di kota-kota lain bahkan di Sumatera
Barat sendiri, sudah ada kaum lelaki yang merasa ia
juga mempunyai hak dalam rumah tangga. Tidak
saja sebagai suami. Tetapi terutama sebagai ayah.
Sayang, ninik-mamak masih mencengkeramkan jari
jemarinya kian kemari..."
"Kami juga begitu. Dulu terpantang seorang
Lubis kawin dengan Lubis, misalnya. Kini tidak. Yang
penting jangan sampai menyimpang dari garis-garis
yang sudah ditentukan oleh agama. Bukan adat
semata. Kita bisa merombaknya, tetapi tantangan
tidaklah terlalu sedikit..."
Dengan gembira suatu hari ia menulis surat:
"Orangtuaku sudah menyerah. Asal aku tidak
kawin dengan seorang Nasrani saja, begitulah
syarat mereka. Bagaimana dengan kau?"
"... oh, nasib. Aku benar-benar putus
hubungan dengan Medan. Pernah kutulis surat. TakHal. 343
berjawab. Kutulis lagi. Tetap tak ada jawaban.
Lantas aku jadi kapok. Biarlah. Terserah mau dicap
apa aku oleh mereka. Tetapi bagiku, Tigor tetap
abangku. Ros tetap kakakku. Dari ibunda, tanpa dia
aku tidak akan pernah tahu dunia ini. Tanpa dia, aku
tak akan pernah bertemu denganmu. Tanpa dia,
aku tidak akan pernah mengenal arti cinta yang


Dibelai Kasih Sayangmu Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sesungguh-sungguhnya cinta!" kutulis dalam kertas
surat berkembang-kembang indah.
"Tuhan jadi saksi kita, sayangku, la tahu aku
selalu berdo'a untukmu. Keselamatanmu,
ketenteraman hatimu. Bagaimana ujian-ujianmu,
sayangku. Sukses?"
"Berkat do?amu. Terimakasih." aku berbasabasi.
"Kini aku sibuk dengan tentier dan kuliahkuliah tambahan menjelang tibanya saat aku harus
mepertahankan thesis. Ngomong-ngomong les tata
bukumu bagaimana? Dan kawan-kawan kita si Udin
yang konyol dan Sahara si janda. Baik-baik
mereka?"
"Mereka sudah kawin diam-diam, sayangku.
Aku cemburu pada Sahara. Ia janda tetapi cintanyaHal. 344
berhasil. Ah. Les-ku sudah selesai. Malah aku sudah
mulai bekerja secara tetap di perusahaan papa.
Dengan begitu aku tidak terlalu kesepian tanpa
akau. Selamat malam, sayangku. Bulan bersinar
lewat jendela kamar waktu kutulis surat ini. Bulan
itu mencumku. Kuharap bulan tidak menciummu
pula. Kalau ia lakukan itu, si bulan akan kulempar
dengan sepatuku!"
Suara menggelegar membuatku terkejut.
Aku berjalan ke jendela. Mengintai lewat
gordiyn tipis, ke arah kegelapan di jalan. Bayangan
sebuah beca lewat seperti siput yang merangkak
kelelahan. Ada mobil menderu di sampingnya. Air
yang tergenang di aspal berkecipak, sebagian
tersembur ke becak. Mungkin penumpangnya
memaki-maki tujuh turunan. Dan mobil itu terus
laju dengan lampu depan yang terang benderang,
menerpa butir-butir air berupa jutaan garis-garis
putih gemerlapan berjatuhan dari langit yang
kelam.
Aku kembali ke tempat dudukku.
Terhenyak di sana.Hal. 345
Darimana Neneng tahu, Lily bukan Anna, dan
Lily adalah seorang gadis Minang? Hendra tidak
sempat bertemu dengan gadis itu waktu ia
menyeretku dari Medan. Waktu ia berangkat ke
Amerika untuK menerima tugas di Cape Kennedy ia
dibekali dengan kepercayaan bahwa Lily adalah
Anna. Dan sampai waktu itu, bagi Neneng Lily juga
adalah Anna. Lantas darimana ia tahu? Sedangkan
surat menyurat yang manis antara Lily denganku
selama berbulan-bulan ini, mempergunakan alamat
fakultas tempatku studi. Dan Neneng sudah tiga
tahun ini tidak menginjak kampus lagi. Semenjak ia
memperoleh gelar Sarjana Muda dan diterima
sebagai pegawai staff salah satu perusahaan relasi
Hendra.
Aku tersentak ketika suara menggelegar itu
meledak lagi. Guntur dan petir sahut menyahut.
Lantai bergetar lembut. Disusul oleh suara berisik
dalam kamar. Lalu jerit halus dari mulut Neneng.
Seketika, aku terlompat dari tempat duduk. Berlari
ke kamar tidur, menerjang pintu sampai terbuka.
Dalam cahaya lampu violet yang temaram, kulihat
perempuan itu tengah berjongkok memungut
sesuatu dari lantai. Tombol di tembok dekat pintu,
kutekan. Kamar itu menjadi terang benderang.Hal. 346
Neneng memandangku dengan wajah pucat. Di
tangannya, ia memegang lukisan kereta kuda yang
kaca dan bingkainya sudah pecah berantakan...
* * *Hal. 347
16 PAGI harinya Neneng bangun wajah kusut
dan mata kemerah-merahan. Selesai sarapan pagi
ia berdandan di kamar. Seperempat jam kemudian
ia hembuatku heran. Di tubuhnya yang menonjol
dalam lingkaran besar pada perut tidak melekat
pakaian seragam yang biasa, la mengenakan gown
hamil yang berenda tepi-tepinya, berpoles make-up
menyolok, sandal bermanik-manik gemerlapan
serta tas bulu lemang yang belum pernah ia bawa
ke kantor tempatnya bekerja.
"Ada arisan pagi ini?" tanyaku ta'jub. la
tersenyum. Kecut.
"Aku mau ke Cipaganti...," sahutnya.
"Ooo, aku mengerti. Rupanya kau dan isteri
Hendra belum berhenti bersaing dalam soal mode
ya? Mau apa kau ke sana?"Hal. 348
"Ah, pelupa benar kau. Sonya minta tolong
agar kubantu pagi ini mempersiapkan segala
sesuatunya untuk penyambutan. Bukankah Hendra
nanti sudah kembali dari Amerika?"
"Kau tak ke kantor?"
Ia geleng kepala. Dari meja kepunyaannya ia
ambil sebuah map merah yang kemudian ia
serahkan padaku.
"Isinya surat-surat untuk ditandatangani.
Tolong bawakan sekalian nanti sambil kau ke
kampus. Serahkan pada Pujiastuti agar ia teruskan
pada kepala bagian. Kalau ditanya, bilang saja aku
sakit. Mau kan?"
"Asal dosanya kau yang tanggung!" rungutku.
Ia tertawa manis.
Mengecup pipiku, lantas melenggang keluar rumah.
Baru juga sampai di pintu, ia sudah memutar
tubuh dan bertanya:
"Kau tentier sampai sore hari ini?"
"He-eh."Hal. 349
"Pulangnya, terus saja ke Cipaganti ya?
Kutunggu!"
Sebuah potret teman-teman mahasiswa di
ruang depan kuturunkan dari tembok. Bingkai dan
kacanya kulepas. Ukurannya sama besar dengan
lukisan kereta kuda di kamar. Sementara menunggu
selesainya pesanan bingkai baru tak ada salahnya
bingkai ini kupakai. Lukisan kereta kuda itu
kupakukan kembali di tempat semula, dengan paku
yang lebih besar dan panjang agar tidak goyang atau
jatuh lagi oleh ledakan guntur yang jauh-jauh di
langit. Setelah selesai, aku memandanginya dari
arah tempat tidur. Kuda-kuda itu terus berpacu.
Aneh, tampak agak lesu. Mungkin karena
bingkainya yang lebih jelek dari yang asli.
"Sabar, sabar...," aku membujuk. "Lari saja
terus, kuda-kudaku. Larilah, keretaku"
Sambil menyenandungkan lagu lama itu, aku
membereskan rumah yang agak berantakan di
sana-sini dan tidak sempat diurus oleh Neneng.
Setelah itu ganti pakaian. Mengambil map merah
punya Neneng, beberapa buah buku dan catatan,
lantas mengunci rumah, setelah lebih dulu
mengeluarkan Vespa yang semenjak Neneng hamilHal. 350
besar beruntung aku bersenang-senang
memakainya sepuas hati. Sebelum berangkat ke
Dipati Ukur, terlebih dahulu aku melarikan Vespa
tenang-tenang ke jalan Asia Afrika. Aku turun di
kantor tempat Neneng bekerja tak jauh dari
Perapatan Lima, memasuki pintu kaca dorong, naik
tangga ke lantai atas dan berjalan ke meja
Pujiastuti, rekan sejawat isteriku.
Langkahku tenang. Puji sedang tekun mengetik.
Tenang.
"Hallo," sapaku.
"Hallo... hai, bung Bonar, tumben!" sahutnya.
"Ada titipan nih. Sayang, tanpa komisi!"
la tertawa.
Dan waktu aku mau pamit, cepat-cepat ia berkata:
"Sebentar. Aku juga ada titipan."
Aku menunggu dengan sabar. Dan tenang, la
mencari-cari di laci meja. Lama baru ketemu.
Rupanya terselip di antara surat-surat di sebuah
map. Sebuah amplop kuterima dari tangannya.
Kubaca tulisan di sampul depan. Untuk Neneng.Hal. 351
Dan rasanya, tulisan itu pernah kukenal. Waktu
kubalikkan, tak ada alamat si pengirim.
"Baru sampai tadi," kata Pujiastuti. "Neneng
berhalangan?"
"Sakit!" jawabku.
Lantas bergegas turun. Di tangga, aku tak
sabar. Kuperhatikan stempel pos di amplop. Tertera
kota alamat si pengirim: Medan. Jantungku
berdetak. Tak perduli pada satu dua orang yang naik
turun tangga, amplop surat kusobek. Isinya cepatcepat kukeluarkan. Dan setelah memaparkannya di
depan mata dan memperhatikan tidak saja tulisan
tetapi juga cara-cara si penulis menggoreskan pena,
hati kecilku segera mengingatkan. Ini surat
Rosmala!
la bertanya apa kabar Neneng. Penuh
persahabatan. Bahkan ia menyerahkan juga
beberapa hal yang perlu diperhatikan Neneng agar
kandungannya yang pertama tidak menyusahkan,
dan kalau nanti lahir berjalan dengan lancar.
Pada baris berikutnya kubaca:
"Surat terakhir adik telah kuterima. Isinya
dapat kumengerti. Aku tak berdusta, Neneng. BuatHal. 352
apa? Toh kau telah kuanggap adikku sendiri. Bukan
saja karena kau isteri Bonar, tetapi terutama karena
kau juga perempuan seperti aku. Di antara sesama
perempuan yang sudah intim seperti kita, tak perlu
ada, yang disembunyikan. Asal tujuannya baik.
Sungguh lho, dik. Kuharap, agar jaga Bonar
baik-baik. Lalai sedikit, malanglah kau. Lily itu
berbahaya, la tidak saja telah berhasil menyamping
kan Anna dari hati Bonar. la juga bisa
mengenyampingkan kau. Oh ya. Anna sudah
menikah. Kepalang tanggung, perkawinan itu
diteruskan juga. Masih dengan anak famili. Kadangkadang mereka berkunjung juga ke rumah. Tertitip
salam pengantin baru, untukmu.
Tentang keluarga di sini,"
Kertas surat itu terlepas dari tanganku.
Aku tersandar lemas ke tembok. Lututku
gemetar. Dan sepasang mata ini, betapa perih!
"Milik Anda-kah ini?"
Tersentak aku oleh pertanyaan itu. Seorang
lelaki berpakaian necis dengan dasi yang lebar di
depan dada, menyodorkan kertas surat yang
rupanya telah ia pungut dari lantai. Buru-buru akuHal. 353
menerimanya, bergegas turun ke bawah. Di sana,
baru aku ingat belum mengucapkan terimakasih.
Waktu aku menoleh, laki-laki tadi telah tidak
kelihatan lagi. Sebuah pintu baru saja tertutup. Dan
di mataku yang terpentang lebar, aku tidak melihat
anak-anak tangga. Tidak melihat ruangan-ruangan
kantor yang megah itu. Tidak melihat apapun di
sekitarku.
Kecuali ini, kebencian Rosmala terhadap
Neneng, telah berubah jadi jalinan persahabatan
yang intim antar perempuan. Semata-mata karena
seorang lelaki yang dianggap telah menghina dan
merendahkan martabat kaumnya. Karena ia benci
lelaki itu. Dan lelaki itu adalah aku. Adik kandungnya
sendiri!
"Tega nian kau kak Ros!" jerit hati kecilku,
berjalan gontai ke tempat Vespa terparkir,
menstater lantas melarikannya kencang-kencang
membelah lalu lintas yang ramai, dengan sudutsudut mata yang basah oleh butir-butir air bening...
Pertanyaan-pertanyaan yang mengerikan itu
berakhir juga. Kutinggalkan ruangan di mana
berderet-deret meja berlapis beledru hijau yang di
belakangnya duduk dosen-dosen penguji berHal. 354
tampang seperti jaksa penuntut umum yang
bermuka kejam. Peluh membanjiri sekujur tubuhku
waktu beberapa orang rekan litang menyongsong
disertai rentetan pertanyaan:
"Bagaimana? Sukses? Apa saja yang mereka
tanya? Kudengar ada suara gebrakan tadi. Pak
Nu'man menendang meja lagi seperti biasa, kalau
sedang marah? Apakah kau..."
Kutepiskan tangan-tangan yang memegangku.
Kujauhi rekan-rekan yang mengerumuniku.
Dasi yang terasa mencikik leher kurenggut dengan
tangan yang gemetar. Suara-suara menggerutu
terdengar bergaung di belakangku. Lalu suara
seseorang yang memanggil nama temanku yang
bersamaan waktunya diuji denganku:
"Sulaiman. Silahkan masuk...!."
Terbayang lutut Sulaiman yang goyah selagi
melangkah masuk ke dalam ruangan. Mata
setengah terpejam. Takut. Dan waktu kubuka mata,
aku tidak melihat tuan-tuan jaksa yang tidak kenal
belas kasihan itu. Aku melihat seseorang berlari dari
bangku taman dengan kedua lengan terkembang.
Berlari tersendat-sendat membawa perutnya yangHal. 355
berat, la kemudian memelukku dengan hangat. Dan
cukup bijaksana untuk tidak bertanya sepatahpun
juga sampai kami pulang ke rumah.
"Tidurlah sekarang, suamiku," bisiknya
lembut seraya mengecup jidatku dengan penuh
kasih. "Sudah satu bulan lebih kau kurang istirahat
karena memikirkan ujian. Kini segalanya telah


Dibelai Kasih Sayangmu Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berakhir bukan?"
"Belum, Neneng. Belum...," keluhku.
"Ya, aku tahu. Aku tahu. Kata putus baru akan
diumumkan dua hari mendatang. Percayalah akan
dirimu. Do'aku sudah bertumpuk. Tuhan pasti
mengabulkannya. Dan suamiku dua hari lagi sudah
berhak memperoleh gelar..."
Aku tidak sabar menunggu selama itu.
Pagi-pagi benar sehari setelah ujian, aku
telah ngebut ke fakultas. Ingin mengetahui situasi.
Ingin melihat wajah dosen-dosen penguji, kalaukalau ada gelagat di mata mereka yang bisa kupakai
pegangan apakah kemaren aku telah
mengecewakan dosen- dosenku atau boleh terbang
ke rumah untuk berpesta pora. Tetapi di kampus
aku tidak menemukan siapa-siapa. Hari itu rupanyaHal. 356
liburan fakultatip. Hanya segelintir mahasiswa yang
berkeliaran. Kantor tata usaha buka. Mungkin ada
yang lembur. Iseng-iseng aku melangkah ke sana.
Seorang pegawai mengangguk seraya bercanda:
"Kalau goal, jangan lupa traktir kita-kita ini
ya?"
Aku tertawa kecil sebagai jawaban.
Entah mengapa, kaki-kaki ini tertarik untuk
melangkah ke kotak surat-surat. Banyak surat-surat
lama yang belum diambil. Tidak sedikit pula yang
masih baru. Dan jantungku bagai copot rasanya,
waktu di antara surat-surat yang baru itu aku lihat
sebuah amplop yang bagian depannya ditulisi
namaku. Surat Kilat. Meskipun tanpa alamat si
pengirim, aku telah mengenal tulisannya. Dengan
kaki-kaki yang seperti mau lumpuh kuseret tubuhku
ke bawah sebatang trohon beringin berdauan
rindang di belakang kantor t ata usaha. Sepi di sana.
Hanya seekor anjing kurap sedang mendengusdengus dalam tong sampah.
Dengan dada hampir meledak, kuperhatikan
amplop surat itu. Ada catatan yang menunjukkan
bahwa surat itu tiba kemaren. Saking dipenuhi olehHal. 357
pikiran tentang ujian saja, aku sampai lupa untuk
mencek kotak pos. Tetapi itu lebih baik. Bukankah
kemaren Neneng tidak lepas-lepas dari sampingku,
kecuali waktu aku masuk ke ruang ujian? Hem. Apa
yang mau diceritakan Lily? Apakah ia mau
mengucapkan selamat? Berdo'a untuk suksesku?
Gemetar, kertas surat kupaparkan di depan mata.
Pelan-pelan, aku baca isinya:
Sayangku, Bonar.
Aku tidak bermaksud mengganggu
waktu ujianmu. Tetapi, kekasih, ada suatu
peristiwa mengerikan telah terjadi di sini. Aku
tak kuat menanggungnya sendirian. O,
mengapa... mengapa! Bonar, Bonar-ku. Kau
cinta padaku, bukan? Kau cinta padaku?
Tidak, Bonar. Aku tidak tahan
menanggung peristiwa ini. Aku akan datang
padamu. Kau harus kawin denganku, Bonar.
Kau adalah milikku. Kau tak boleh kawin
dengan perempuan lain. Kau tak boleh
dijamahnya. Kau bukan miliknya! Kau hanya
milikku seorang! Tidak! la tidak berhak
memilikimu! Bonar, aku takut. Takut. Aku
sudah beli ticket pesawat. Jemputlah aku diHal. 358
Kemayoran, kekasihku. Demi Tuhan,
jemputlah aku. Jangan, biarkan aku
sendirian! Gadismu yang malang.
ttd. LILY
Di bawahnya tertulis nota tambahan:
"Aku berangkat dengan Garuda jam 11 siang
tiga hari setelah tanggal suratku ini. Sudah pasti.
Tidak akan ada yang bisa menahanku lagi. Biarpun
setan adanya. Kekasihmu..."
Mataku hampir terloncat waktu tanggal ia
menulis surat.
Dan tiba-tiba aku terhenyak.
Lily tiba di Jakarta besok siang. Dan hasil
ujianku akan diumumkan besok siang pula!
Malam harinya aku tidak bisa tertidur.
Berulang kali Neneng menghiburku agar tabah dan
tidak terpengaruh oleh hasil ujian, bagaimanapun
juga keputusan guru-guru besar itu keesokan
harinya, la malah menyuruhku ganti pakaian, jalanjalan keluar ke mana saja untuk menenangnenangkan hati dan perasaan. Nasihatnya kuturuti.
Aku berganti pakaian, terus keluar dari rumah.Hal. 359
Tidak ke bioskop. Tidak ke rumah teman-teman.
Tidak berdiskotik di bar. Aku langsung pergi ke jalan
Sultan Agung, memesan taxi sedan 4848 yang
berangkat jam enam pagi besok.
Pulang ke jalan Pajajaran, Neneng tersenyum
heran menyambutku.
"Kok cepat benar?" tanyanya.
"Apa kau sudi aku tidur dalam kamar pelacur
di Saritem?" aku bersungut-sungut.
Neneng tertawa. Manis.
Setelah minum secangkir susu panas, aku
berterus terang:
"Kau tak usah ikut besok ke kampus, Neng"
"Hei, kenapa?" cetusnya. Polos.
"Besok kau kan harus kerja," sahutku tanpa
memikirkan jawaban yang lebih sesuai lagi. Neneng
tertawa. Bergelak.
"Belum jadi sarjana, kau sudah pikun.
Bukankah aku telah cuti hamil selama tiga bulan?"Hal. 360
"Oh-eh, oh...," aku tergagap. "Maksudku, tak
baik kau hadir besok di kampus. Kalau aku lulus sih,
lain. Bagaimana kalau..."
Neneng mencium dahiku. "Baiklah...," katanya.
"Aku percaya kau sukses, karena aku kenal akan
keuletanmu. Aku akan menunggumu di rumah. Lagi
pula besok aku harus melakukan kontrol terakhir ke
dokter... lantas ia mengusap perutnya yang sudah
menggunung. Hatiku terenyuh. Neneng bisa
kukhianati. Tetapi bisakah aku mengkhianati yang
berada dalam kandunganya?
Menjelang tidur aku bersungut lagi:
"Mungkin aku pulang jauh malam."
"Eh, kok..."
"Kalau ujianku gagal ?mudah-mudahan
tidak? kan aku harus menghibur diri agar tidak
putus asa. Kalau berhasil, teman-teman pasti
memveto minta di traktir..."
"Heheh... bawalah uang sebanyakbanyaknya, suamiku terkasih"
la masih tertidur lelap waktu aku bangun
pagi-pagi buta. Dari lemari, kuambil segumpal uangHal. 361
milik Neneng. Toh ia sudah mengijinkan dan
mudah-mudahan tidak akan marah miliknya
kuambil jauh melebihi apa yang ia pikir aku
butuhkan. Berjingkat-jingkat aku keluar kamar,
berganti pakaian di ruang tengah, lantas mengunci
pintu. Anak kunci kusorongkan lewat sela-sela di
bawah daun pintu. Aku terus kabur ke Sultan Agung.
Lupa, belum mandi...!
* * *Hal. 362
17 UDARA mendung pertanda akan hujan
membuat landasan kelihatan suram dan agak gelap,
meskipun jam menunjukkan pukul satu siang. Hujan
renyai-renyai membasahi aspal yang hitam legam
pada saat pesawat Garuda dari Mesan mendarat.
Terlambat setengah jam dari semestinya, karena
gangguan cuaca menjelang tiba di Jakarta. Aku
berdiri di antara penyambut-penyambut yang tidak
begitu banyak di pinggir landasan. Tanpa payung,
seperti orang-orang lain, sehingga pakaianku mulai
basah. Untunglah udara Jakarta yang panas tersapu
oleh bintik-bintik gerimis yang menitik-nitik di
wajahku itu. la turun paling akhir.
Berblouse pendek merah darah, sehingga
lengan-lengannya tampak putih bersih di tengahtengah cuaca temaram menyelimuti landasan. Dari
bawah rok pendeknya, tersembul batang-batang
paha yang lebih putih lagi, lantas betis-betis yangHal. 363
indah, melangkah menuruni anak-anak tangga
pesawat dipayungi oleh seorang stewardess. Baik
penumpang-penumpang yang baru turun maupun
para penyambut sudah berlari-larian masuk ke
dalam berlindung dari curah air hujan yang mulai
menderas. Tetapi Lily berjalan tenang, lembut dan
mempesona sendirian di landasan. Diam-diam aku
berterimakasih pada stewardess yang begitu sabar
menemaninya menempuh hujan yang kian
membadai.
Aku keluar dari lindungan atap yang setengah
menaungiku. Berjalan ke tepi landasan. Ada petir
menyambar ketika kami bertatapan. Lalu
stewardess tadi menyodorkan payung ke tanganku,
setelah mana ia kemudian berlari-lari masuk ke
ruang tunggu. Tidak ada kata-kata yang terucap.
Kami hanya saling berpandangan beberapa lama
dalam curah hujan dan kilatan petir. Ketika tangan
kuulurkan, ia menyambutnya. Dingin. Dan aku
menggigil.
Setelah duduk di ruang tunggu, barulah bisa
kuperhatikan dirinya lebih jelas di bawah jilatan
lampu neon yang cemerlang, aku lihat wajah Lily
yang pucat, tubuhnya yang jauh lebih kurusHal. 364
semenjak kutinggalkan serta tatapan mata yang
cahayanya agak kelam. Sepasang mata yang
hampir-hampir tidak bersinar itu menatapku tanpa
berkedip. Hanya bibir pucatnya yang mengulas
senyum sajalah, pertanda ia sangat berbahagia
melihat aku telah berada di sampingnya. Tangannya
yang menggenggam telapak tanganku, tidak ia
lepas-lepaskan. Erat sekali, namun tetap dingin.
Mungkin karena udara, atau karena sesuatu yang
terjadi pada dirinya seperti yang ia katakan dalam
surat?
Di antara gaung suara orang-orang yang
memenuhi ruang tunggu, akhirnya aku memecah
kesepian.
"... kau tidak kedinginan?"
Senyumnya bertambah manis.
"Pakaianmu basah," katanya, sebagai
jawaban. Hatiku menjadi renyai. Nyaman,
mendengar suara yang telah begitu lama
kurindukan.
"Mana kupon bagasimu? Biar kuambilkan
kopermu."
la menggelengkan kepala. Lemah.Hal. 365
"Apa? Kau tak bawa pakaian lain kecuali yang
melekat di badanmu?"
la mengangguk.
Dan aku tiba-tiba tertawa. Ujarku:
"... kita senasib. Ini saja yang kubawa," lantas
kukerpis-kerpiskan kemejaku yang basah oleh air
hujan.
Tiba-tiba aku teringat bahwa sebuah taxi
yang kucarter sebelum ia tiba pasti sedang
menunggu di luar. Aku sudah rencanakan masakmasak, ia akan kubawa ke rumah salah seorang
keluargaku yang tinggal di Jati Petamburan Jakarta.
Telah bertahun-tahun bertemu, mereka pasti
tercengang. Dan tentu surprise kalau melihat
seorang gadis cantik jelita berkenan untuk
menginjak rumah mereka. Di sana ku bisa berganti
pakaian dengan punya salah seorang bak mereka,
begitu pula Lily. Setelah itu, baru memikirkan cara
pemecahan bagaimana caranya aku keluar dari
kesulitan yang menyerang dengan mendadak ini.
"Kita pergi sekarang, Lily?" bisikku, seraya
bangkit.Hal. 366
la menahanku. Sehingga aku terduduk
kembali di sampingnya.
"Kenapa?" tanyaku. Heran.
"Jam lima nanti ada Garuda yang ke Medan.."
Aku terperanjat.
"Kau akan" gumamku, tak percaya.
la tersenyum. Menukas, manis:
"Aku. Dan kau!"
Terhenyak aku di jok tempat duduk.
Terhenyak! Lama aku tidak menemukan kata-kata
untuk berbicara. Bahkan hampir-hampir aku tidak
bisa memperoleh jalan nafasku kembali. Dan
selama itu, Lily hanya menatapku. Dengan bola
mata bundarnya yang kelam. Tak berkedip. Dan
bibirnya yang pucat. Tersenyum. Manis sekali. Aku
semakin kebingungan melihat sikapnya. Dudukku
resah. Baju yang melekat di tubuh semakin dingin.
Toh keringat membercik-bercik keluar dari semua
pori-pori.
"Kekasih..."
Suara itu sayup-sayup. Seperti desau angin malam.Hal. 367
"Ya?" aku terjengah sendiri.
"Aku pesan ticket pulang pergi. Tak usah
cemas. Telah kupikirkan segala sesuatunya. Travel
yang membooking ticketku di Medan, telah
kupesan agar mentelex ke kantor pusatnya di


Dibelai Kasih Sayangmu Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jakarta. Mereka sudah mencatat nama dan kota
tujuanmu, serta"
Semacam kekuatan gaib membuat pengeras
suara di tengah-tengah ruangan tiba-tiba bergaung
memanggil-manggil:
"... tuan Bonar dari Bandung dengan tujuan
Medan, harap segera menemui petugas
pembukuan penumpang. Tuan Bonar dari..."
"Ya Allah!" ucapku.
Sepasang mata Lily, berkilat ketika kusebut
nama Tuhan. Ada perubahan yang ganjil di
wajahnya, namun yang segera dapat ia kuasai.
Panggilan dari pengeras suara diulangi lagi.
Lily tidak memerintah lewat kata-kata, tetapi
memohon lewat tatapan mata. Aku bagai
dihipnotis, berjalan terhuyung-huyung keluar ruang
tunggu. Di bagian pembukuan penumpang,Hal. 368
kukenalkan namaku. Petugas yang menerimaku
tersenyum ramah.
"Baru saja ticket tuan kami terima," katanya
dengan suara cerah. "Mana koper-koper tuan?"
Termangu aku seketika. Termangu benar-benar.
"... tuan Bonar?"
"Heh" kupandangi petugas itu. Aku tidak
sedang bermimpi. "Boleh kulihat ticketnya?"
Heran, ia serahkan apa yang kuminta.
Benar. Di situ tertulis namaku. Kota tujuanku.
Lengkap dengan nomor flight pesawat Garuda serta
jam pemberangkatannya. Ketika kusodorkan
kembali ticket itu pada petugas, la menerimanya
dengan wajah diliputi tanda tanya, dan mau
mengatakan sesuatu waktu aku cepat-cepat
memotong:
"... tanpa koper. Bahkan tanpa tas tangan!"
la manggut-manggut.
Dan aku berjalan kembali ke ruang tunggu,
Kakiku, rasanya, tersangkut-sangkut.Hal. 369
Lily masih berada di tempatnya. Duduk
dengan pundak tegak, wajah terarah lurus ke
mataku, menembus jauh ke dasar sanubariku,
menoreh dan imenusuk-nusuk di sana, tanpa aku
kuasa jangankan untuk melawan, bergerakpun
tidak. Lily bangkit dari tempat duduk, berjalan
seperti kapas yang melayang-layang ke dekatku,
lantas bertanya dengan suara yang teramat sendu:
"Okey, kekasihku?"
Tuhan jualah yang tahu mengapa aku harus
menjawab:
" Okey, sayangku!"
Dalam pesawat kadang-kadang tergoncang
oleh hempasan topan, mulutku terkunci rapat.
Betapa tidak. Apa yang diceritakan Lily dengan
suaranya yang sayup-sayup sampai tak ubah
dengingan pisau komando yang melesat masuk ke
anak telinga, mengiris-iris sepanjang jalan sampai di
hati, terkapar di sana, menimbulkan rasa sakit bagai
diiris sembilu. Tidak sanggup aku untuk menatap
wajah gadis itu. Dan hanya dengan ketabahan yang
luar biasa aku sanggup untuk mendengar kisah yang
ia ceritakan setengah terisak-isak.Hal. 370
Sadar tekad anak tunggal belaian mata
sibiran tulang mereka tidak tergoyahkan lagi, ayah
Lily: memberi ijin untuk gadis itu berangkat ke
Jakarta. Di sana ia akan tinggal beberapa hari untuk
menghubungi beberapa relasi perusahaan ayahnya.
Setelah selesai bertugas, ia diperkenankan terus ke
Bandung untuk menemuiku dan memberitahu
bahwa kami boleh menikah kapan saja kami
kehendaki.
Untuk maksud baik, Lily datang ke jalan Pimpinan.
Ibu sudah sembuh, tetapi sedang pergi
berbelanja! ke pasar ditemani oleh si Butet. Yang
menerima Lily, adalah Rosmala, kakakku yang
perempuan. Mereka baru bertemu untuk pertama
kalinya semenjak Lily datang ke tempat yang sama
untuk memohon maaf atas kecelakaan yang
menimpa diriku di perempatan jalan Serdang dulu.
Setelah berbincang-bincang ke selatan ke utara
sebagai basa basi, barulah Lily, mengutarakan
maksudnya di tengah-tengah percakapan yang kaku
itu. "... minggu depan saya bermaksud ke Jakarta
untuk uruwn perusahaan. Dari sana terus keHal. 371
Bandung. Kalau-kalau keluarga di sini ada titipan ,
bisa saya bawa sekalian."
Rosmala mengurut dada.
"... kau... kau akan menemui Bonar?"
Malu-malu, Lily mengangguk.
Rosmala mengurut dadanya lagi. Berulangulang. Semakin keras. Dan wajahnya berganti-ganti
merah lalu pucat, merah, pucat, merah lagi, pucat
lagi. Lily khawatir bahwa ia akan kena damprat dan
dianggap tidak sopan, serta bertujuan menekan dan
memaksa nereka untuk menerima kehadiran Lily di
tengah-tengah keluargaku.
Pada saat gadis itu terombang-ambing
demikian, berkatalah Rosmala dengan suara
terputus-putus.
"Tahukah kau... bahwa... bahwa Bonar
sudah... maksudku, di Bandung sana Bonar sudah...
sudah punya isteri bahkan... bahkan ia akan segera
menjadi seorang ayah...?"
Dunia yang terang benderang waktu
orangtuanya menyerah berubah jadi gelap gulita
waktu Lily mendengar penjelasan Rosmala. la jatuhHal. 372
pingsan di tempat. Waktu ia siuman lagi dengan
bantuan kak Ros, menjelang masuk ke dalam mobil,
Lily jatuh pingsan untuk kedua kalinya. Untunglah
Parto menemaninya hari itu karena ayahnya
khawatir kegembiraan yang meluap-luap bisa
membuat Lily tidak berhati-hati di jalan. Dan justru
bukan kebahagiaanlah yang menyebabkan
kehadiran Parto benar-benar sangat diperlukan.
Parto langsung mengangkut Lily ke rumah
sakit. Sadar di sana, ia teringat pernah menikmati
apa yang dinamakan cinta di rumah sakit yang
sama. Lagi-lagi ia pingsan, la pingsan berkali-kali
setelah kembali ke rumah, Orangtuanya yang geger
memanggil dokter pribadi mereka untuk menerima
kesehatan Lily dan memperoleh jawaban yang
mengerikan:
"Syarafnya terganggu!"
Setelah kedua orangtua yang malang itu agak
reda kejutnya, dokter meneruskan:
"Anak bapak menderita mental-down yang
dahsyat. la tak mampu menahannya. Saya khawatir,
obat-obat dan perlengkapan medis apapun tidak
bisa menolongnya. Yang ia perlukan, adalah kasihHal. 373
sayang. Kasih sayang yang teramat luar biasa dari
seseorang yang saat ini tengah memenuhi
benaknya..."
Ayah Lily tidak berpikir panjang lagi.
Ayah Lily tidak berpikir panjang lagi.
la mendatangi keluargaku dan dengan panik
menceritakan apa yang terjadi, la juga minta alamat
rumahku di Bandung. Sebenarnya orangtua itu lebih
suka berhubungan perantara telex biar lebih cepat.
Tetapi tak ada nomor telephone yang bisa segera
kuterima di Bandung. Tigor menyarankan untuk
mengirim surat saja. Tetapi akhirnya ayah Lily
memutuskan:
"Aku akan terbang ke Bandung!"
Maksud itu diketahui oleh Lily malam
harinya, ketika ayahnya bersiap-siap untuk
berangkat. Entah mengapa, tubuhnya menjadi kuat.
Kesehatannya pulih, kelihatannya. Orangtuanya
gembira. Namun kegembiraan mereka cuma
sebentar. Karena Lily sudah menegaskan:
"Biar aku saja yang ke Bandung."Hal. 374
Satu malam penuh mereka berdebat. Tetapi
demi anak gadis mereka, orang tua Lily mengalah.
Parto disuruh memesan ticket, namun Lily
memaksa ikut. la ?di luar dugaan semua orang?
memesan ticket pulang pergi, bahkan memesan
ticket tambahan untuk satu kali jalan, dari jurusan
yang berlawanan Jakarta - Medan atas namaku.
Namun Lily tidak ingin menang sendiri, la setuju
menunggu dua tiga hari sampai kesehatannya
benar-benar pulih dan ia boleh berangkat. Wajah
Lily yang pucat jadi bercahaya, la berkata kepada
semua orang yang ia temui dan menjenguknya, juga
pada keluargaku:
"Bonar adalah milikku. Tak ada yang berhak
menjamah dirinya. Juga tidak gadis Bandung itu!"
Aku menarik nafas. Panjang.
"Jadi itulah yang kau maksud dalam suratmu
yang kuterima kemaren pagi," ujarku, lebih tepat
pada diriku sendiri.
Lily tertawa kecil, riang, berbahagia, dan
mendayu-dayu.Hal. 375
"Dan itu pula sebabnya aku terus kau seret ke
Medan, tanpa kesempatan pamit pada Neneng,"
lanjutku lagi.
Mata Lily mengelam kembali.
"Jangan sebut-sebut nama perempuan
terkutuk itu di depanku, sayang!"
Aku terdiam.
Juga terlambat mendarat di Medan, karena
gangguan cuaca terjadi sepanjang perjalanan.
Hujan deras menyapu.
Pesawat tergoncang lagi. Lewat jendela kaca,
tampak gumpalan awan yang menghitam, tak
ubahnya raksasa-raksasa langit yang bermaksud
melumat tubuh pesawat. Seorang pramugari
berhenti di samping tempat duduk kami dengan
kereta dorong berisi makanan dan minuman, la
letakkan di atas meja kecil otomat yang menempel
di kursi-kursi depan kami. Waktu melihat wajah Lily
yang teramat pucat dan pandangan mata gadis itu,
yang teramat kelam, Pramugari itu bertanya padaku
dagu ke arah Lily:
"... mabuk?"Hal. 376
Pramugari itu terkejut waktu Lily menyahut:
"Tidak. Terimakasih"
Lily tidak mau makan, la hanya meneguk
sedikit air jeruk. Seleraku ikut pula lenyap. Waktu
mengiris bistik di piring, pesawat tergoncang pula.
Piring berisi bistik jatuh dari meja. Suaranya
berdenting halus waktu menimpa lantai berkarpet.
Tetapi potongan bistik tidak ikut jatuh ke lantai.
Daging berwarna coklat kemerah-merahan itu,
menggelinding di haribaan Lily. Kuah berwarna
sama, menimbulkan bercak-bercak kehitamhitaman di rok Lily yang kuning bersih.
"Oh!" keluhku.
Lily tersenyum, la mendahuluiku memungut
bistik, piring dan meletakkan kembali di atas meja.
Pramugari yang segera datang, tergopoh-gopoh
membersihkan rok Lily dengan serbet. Tetapi rok
yang kuning bersih itu tetap kotor oleh bercakbercak kuah bistik, tidak bisa dihilangkan
bagaimanapun juga. Biarpun mungkin nanti toh
dicuci!
"Tenteramkan hatimu, kekasih," bisik Lily
seraya tersenyum gemulai. "Ini akan merupakanHal. 377
kenang-kenangan indah yang paling menarik
untukku..."
Aku memandanginya, tidak mengerti makna
kata-katanya.
* * * TAK ADA yang menjemput waktu pesawat
mendarat di Medan.
"Memang kusengaja," menjelaskan Lily
waktu kami telah berada dalam sebuah taxi yang
melaju meninggalkan Polonia membelah lalu lintas
kota Medan yang gemerlapan oleh lampu berwarna
warni. Jalanan tampak berkilat bekas dibasahi
hujan. Apakah seluruh negeri ini secara aneh telah
dicurahi air pada waktu yang bersamaan oleh langit
yang kini biru jernih dengan bintang gumintang
yang tampak cemerlang!
"Sengaja? Apa maksudmu, Lily?"
"Aku berangkat diam-diam. Tak seorangpun
yang tahu. Tak seorangpun..."Hal. 378
"Aneh"
"Bagi orang lain, mungkin aneh. Bagiku,
tidak," la menatapku. Mesra sekali. Lalu: Maukah
kau menciumku, kekasih?"
Supir taxi acuh tidak acuh saja ketika bibir
kukecup. Dingin. Dan tubuhnya yang kemudian
tenggelam dalam pelukanku, juga dingin. Teramat
dingin. Seraya memandangi bercak-bercak bekas
kuah bistik di roknya, aku merencanakan akan
meminta dokter pribadi keluarga mereka
memeriksa kesehatan Lily setelah ia selesai nanti
berganti pakaian.
Taxi membelok memasuki halaman rumah
megah di jalan Bhakti, dan aku ta'jub oleh suasana
yang ganjil di sana. Banyak sekali mobil di halaman.


Dibelai Kasih Sayangmu Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bahkan sampai berderet-deret di sepanjang kiri
kanan jalan. Lebih banyak lagi orang-orang keluar
masuk. Tidak ada yang memperhatikan waktu mobil
kami berhenti tepat di depan terras. Kubayar sewa
taxi, lalu turun diiringkan oleh Lily. Telapak
tangannya dalam genggamanku semakin dingin
juga. Dan aku menggigil meski udara kota Medan
yang gersang mulai menghangati tubuh.Hal. 379
Kami berjalan masuk ke dalam rumah.
Barulah pada saat itu Lily melepaskan tangannya
dari genggamanku.
"... biar aku lewat dapur saja. Takut dilihat
orang-orang," katanya.
Kemudian menghilang di halaman samping.
Aku bermaksud mengikuti dia ketika seseorang
berseru:
"Bonar! Kau di sini!"
Aku menoleh. Kulihat Chairudin bangkit di
antara lingkaran manusia yang duduk bersila
memenuhi ruang depan. Mendengar suaranya,
orang-orang lain ikut menoleh. Dan aku melihat
Tigor, suami Rosmala dan Sahara. Mereka setengah
berlari mendapatkan aku. Bahkan berebutan
memeluki tubuhku, dan yang membuatku kian
terpesona, semua orang yang memeluki aku
semenjak itu, tidak lupa untuk membasahi bajuku
dengan cucuran air mata yang seperti tidak akan
ada henti-hentinya.
Kegemparan terjadi di rumah itu setelah tahu
aku datang.Hal. 380
Di tengah-tengah suara gempar itu, aku
bertanya. Parau:
"Apa yang..."
Dari ruangan tengah, muncul seorang lakilaki tua bertubuh tinggi kekar, berkain sarung
seperti pernah kulihat, berwajah pucat seperti
kapas dengan rambut yang kusut masai. Sepasang
mata tuanya, bengkak biru bekas menangis. Tibatiba aku merasa diriku bersalah. Paling bersalah.
Akulah penyebab semuanya. Akulah yang berdosa.
Mulutku mengerimit, ingin menerangkan pada
orang tua itu tentang segala sesuatunya mengenai
harta kesayangan mereka yang paling berharga di
dunia ini.
Kami berhadapan muka.
Tegak. Saling berpandangan. Dan semua
orang, diam. Sepi seketika. Jarum jatuhpun akan
terdengar seperti ledakan mortir.
Tersendat, aku berkata:
"... Lily ada di dapur, pak..."
Mulut keras yang pucat itu, terbuka:
"Tidak, anakku. Lily ada di kamarnya...!"Hal. 381
Aku melongo. Apakah gadis itu masuk lewat
jendela?
Dan tiba-tiba orang tua itu berpandangpandangan dengan orang-orang lainnya, lantas
beralih lagi ke wajahku.
"Apa tadi kau... kau bilang? Lily ada di..."
"Benar, pak," potongku cepat, "la takut
dilihat orang, lantas katanya ia lebih baik masuk
lewat dapur. Apakah..."
Ayah Lily mundur. Wajahnya memandangku
dengan ketakutan, la mundur terus, dan kemudian
lunglai di ruang tengah. Beberapa orang segera
menyambut tubuhnya yang hampir jatuh,
memapahnya ke sebuah kursi. Ratap tangis
memenuhi telingaku kembali. Sahara berlari masuk
ke dalam, terus ke kamar tidur Lily, seraya menjeritjerit histeri.
Tak tertahan lagi, aku berlari ke arah yang sama.
Dan aku melihatnya. Dikerumuni oleh
perempuan-perempuan yang bertangis-tangisan
aku melihat Lily. Terbaring diam di atas tempat tidur
dengan selimut yang indah menutupi tubuhnya
sampai batas leher. Sepasang kelopak matanyaHal. 382
yang bagus, terpejam rapat. Pipinya putih, putih,
teramat putih. Di bibirnya yang pucat, tergores
seulas senyum. Senyum bahagia. Senyum
kedamaian.
Akan tetapi... tubuhnya tidak bergerak-gerak
sama sekali!
Terpaku di tempatku berdiri dengan
pembuluh-pembuluh darah berhenti bekerja, hati
membuka, jantung tak sudi berdenyut, kudengar
ratap tangis Sahara yang menyayat-nyayat:
" kalau saja tak kubilang! Oh, Lily-ku manis!
Kalau saja tidak kuingatkan... bahwa aku ini seorang
janda... aku ini menjanda karena tak punya anak...
Ya Allah, ampuni aku. Ampuni hamba-Mu yang sial
ini. Aduhai, Lily-ku, kau begitu bersemangat ketika
kau bilang bahwa kau... kau akan merebut
kekasihmu dari perempuan lain. Aduhai, Lily.
Maafkan aku, sahabatku. Maafkan bibimu
yang lancang mulut ini, ponakanku. Seharusnya kau
tidak..., tidak kuingatkan, bahwa usahamu itu akan
membuat seorang perempuan lain akan menjanda
harusnya tak kuingatkan kau seorang bayi yang
tidak berdosa akan kehilangan ayahnya!"Hal. 383
Sehabis meratap begitu, Sahara jatuh pingsan
di lantai.
" apa apa maksud semua... ini?" mulutku
berdesis.
Chairudin yang berdiri di sampingku,
menyeka air matanya. Lalu, tersendat-sendat ia
menjelaskan:
"Tadi malam kami berkunjung. Lily berkata
mau ke Bandung. Dan Sahara menasihatkannya
agar berpikir dua kali. Kalau Lily jadi... jadi pergi,
maka Lily akan... akan menterlantarkan isteri dan
calon anakmu. Lily terpukul hebat. Di luar setahu
semua orang, subuh tadi ia nekad. Pil tidur yang
disediakan dokter untuk ia makan secara teratur
kalau mau tidur, rupanya ia telan seluruhnya. Satu
botol penuh, Bonar. Satu botol penuh!"
Aku tidak menerima ceritanya itu. Tidak
menerima cerita mereka.
Aku tak mau dengar. Tidak...
Tetapi Chairudin terus juga:
"... dokter datang terlambat. Lily meninggalkan kita
semua... tadi... jam sebelas siang!"Hal. 384
Mataku terpejam: Lily benar-benar datang
memenuhi janjinya. Dengan sikap yang ganjil. Tatap
mata yang aneh. Tubuh yang dingin... Mataku
terbuka lagi. Lebar. Aku melompat ke pinggir
tempat tidur. Selimut yang menutup tubuh gadis itu
kusingkapkan. Orang-orang terpekik. Dan aku
melihatnya. Blouse pendek berwarna merah darah.
Rok kuning bersih serta
Rok itu dinodai oleh warna kehitaman.
Gemetar, aku membaurnya.
Bau kuah bistik!
Ketika aku kembali ke Bandung, noda dan
bau yang aneh itu tetap menyertaiku. Bahkan
setelah aku terbenam dalam dekapan Neneng yang
berbahagia, pada siapa aku berjanji untuk setia
selama-lamanya.
*** TAMATHal. 385
TELAH BEREDAR
NOVEL NOVEL TERLARIS
ABDULLAH HARAHAP
DURI DURI CINTA
RANJANG SEMUA ORANG
TATKALA CINTA MULAI BERBUNGA
DITINGGAL KEKASIH
YANG TERHEMPAS KANDAS
PEREMPUAN TANPA DOSA
BUNGA HANYA MEKAR SATU KALI
HANYA KAU YANG KUPUJA
MERAJUT SEJUTA BINTANG
TAK SEMUDAH MENCINTAI BUNGA
DI MATAMU AKU BERTEDUH
SEPI HATI SEORANG PERAWAN
PELANGI DI UJUNG SENJA
MENENTANG SEJUTA MATAHARI
CINTAKU MAMA CINTAKU JUA
LIKU LIKU PANASNYA CINTA
GADIS GADIS KELABU
MENITI BUIH
DIANTARA POHON POHON CINTA
HARAPAN YANG TERSISAHal. 386
PERNYATAAN
File ini adalah sebuah hasil dari usaha untuk
melestarikan buku novel Indonesia yang sudah sulit
didapatkan di pasaran, dari kemusnahan. Karya
tersebut di scan untuk di-alih-media-kan menjadi
file digital. Ada proses editing dan layout ulang yang
membuat nomor halaman versi digital ini berbeda
dengan aslinya, hal ini dikarenakan hasil dari proses
scan kurang jelas terbaca.
Tidak ada usaha untuk meraih keuntungan finansial
dari karya yang dilestarikan ini.
Saya tidak bertanggung jawab atas tindakan
pihak lain yang menyalahgunakan file ini diluar dari
apa yang kami nyatakan pada paragraf diatas.
CREDIT
Awie Dermawan
Ozan D.A.S
Kolektor E-Books
Tiga Iblis Pulau Berhala 1 Kisah Pengelana Di Kota Perbatasan Karya Gu Long Mencari Busur Kumala 3

Cari Blog Ini