Ceritasilat Novel Online

Legenda Ular Putih 1

Legenda Ular Putih Karya Marcus As Bagian 1


Legenda Ular Putih
(Ouw Peh Coa)
Oleh Marcus AS
Buku Koleksi milik : Aditya Indra Jaya
Juru Potret : Awie Dermawan
Edit Teks dan Pdf : Saiful Bahri Situbondo
Selesai Edit : 28 Oktober 2018,Situbondo
Selamat Membaca ya !!!!
*********
LEGENDA ULAR PUTIH
Diceritakan Kembali Oleh MARCUS A.S.
Judul : Legenda Ular Putih
Judul Asli : Ouw Peh Coa'
Diceritakan Kembali Oleh : Marcus A.S.
Editor : Winarti
Penerbit : UP. MARWIN
Cetakan Pertama : 1994
Hak Cipta Dilindungi Oleh Undang-undang
All Right Reserved
____________
DAFTAR ISI
Daftar isi.....
Kata Pengantar........................
Prolog...........................
Riwayat Hidup Khouw Han Bun . . . . . . . . . . . . . .
Peh Tin Nio Bertemu Dengan Siluman Ular Hijau . . . . .
Khouw Han Bun bertemu Dengan Dua Nona Cantik . . . .
Khouw Han Bun Diberi uang . . . . . . . . . . . . . . . .
Khouw Han Bun Dihukum Rotan Oleh Ti-koan . . . . .
Khouw Han Bun Menemukan Delapan Belas Kantung Uang Curian .....
Atas Usaha Hartawan Gouw, Khouw Han Bun Dibebaskan .....
Peh Tin Nio Menyusul Han Bun . . . . . . . . . . . . . .
Khouw Han Bun Membuka Toko Obat Sendiri . . .
Peh Tin Nio Dan Siauw Ceng Menyebarkan Penyakit ......
Peh Tin Nio Bertarung Dengan Pendeta . . . . . . .
Khouw Han Bun Bertemu Dengan Hoat Hay Siansu.....
Han Bun Pingsan Melihat Ular Putih . . . . . . . . .
Peh Tin Nio Mencari Obat Untuk Suaminya . . . . .
Han Bun Menyembuhkan Penyakit Isteri Ti-hu . . .
Para Tabib Kota Souw-ciu Iri Dengan Keberhasilan Han Bun.....
Han Bun Ditangkap Oleh Anak Buah Tan Lun . . . .
Khouw Han Bun Dibuang Ke Ciat-kang . . . . . .
Peh Tin Nio Mengunjungi Li Kong Hu . . . . . . .
Hartawan Ci Jatuh Cinta Pada Peh Tin Nio . . . . .
Peh Tin Nio Memberi Pelajaran Pada Hartawan Ci .....
Peh Tin Nio Bertarung Melawan Pendeta Hoat Hay . ......
Han Bun Dan Isterinya Mengunjungi Li Kong Hu . . .
Han Bun Dan Isterinya Datang Ke Rumah Li Kong Hu .....
Peh Tin Nio Diselamatkan Pek Hoo Tong Cu . . . . .
Peh Tin Nio Ditangkap Oleh Hoa! Hay Sian-su . . .
Peh Tin Nio Dibebaskan Dari Hukuman Atas Permintaan Anaknya
__________
KATA PENGANTAR
LEGENDA ULAR PUTIH ini adalah sebuah kisah yang sangat menarik untuk dibaca. Kami yakin bahwa di antara pembaca sudah ada yang pernah membaca atau pun mendengar kisah ini, bahkan mungkin ada yang sudah pernah menyaksikan film atau pun opera atau dramanya.
Kisah ini memang sangat menarik hingga banyak orang penasaran ingin melihat pagoda yang digunakan untuk menindih siluman ular putih itu di Telaga Barat (See-ouw).
Satu hal lagi yang membuat kisah ini tetap menarik karena kisah ini terus berkembang dan mengalami perubahan peruhahan setiap edisi baru.
Dulu orang menganggap bahwa kawan si ular putih adalah ular hitam.-Tapi setelah sekian waktu ternyata arti kata ouw bukan hitam tapi hijau, sehingga kawan ular putih bukan si ular hitam melainkan ular hijau.Demikian pula dalam terjemahan Inggrisnya. bukan hitam tapi hijau .Kesalahan-kesalahan seperti ini memang sering terjadi seperti pada roman San Pek Eng Tay pun menurut Bapak O.K.T umumnya di Indonesia menyebut Sam Pek dan Eng Tay. tapi sebenarnya adalah San Pek dan Eng Tay. Almarhum Nio Yu Lan pun berpendapat, bahwa telah terjadi kesalahan nama San Pek dibaca Sam Pek.
Berdasarkan catatan pengamat sastra Indonesia. Jakob Sumardjo kisah ini bahkan sudah menjadi gunjingan di Indonesia pada awal-awal abad ke 17. Pementasan tertua dalam bahasa melayu pasar atau melayu rendah berlangsung pada 1911. (Citra No. 215/V/9-15 Mei 1994)
Naskah lama yang sampai kini masih tersimpan di Museum Nasional Jakarta, adalah naskah yang diterbitkan pada tahun 1885 dan dicetak ulang pada tahun 1908, naskah ini pula yang dijadikan dasar dari Opera Ular Putih yang dipentaskan oleh Sdr. N. Riantiarno di Taman Ismail Marzuki pada 23 April 1994 sampai 8 Mei 1994 yang baru lalu.
Sebenarnya kami bukan ikut-ikutan menerbitkan kisah ini karena sedang hangat-hangatnya dibicarakan, tapi karena sudah sejak lama kami ingin menerbitkan kisah ini (bahkan ketika kami masih menangani PT Bhuana Ilmu Populer). Namun karena kami merasa bahan serta data-datanya masih belum memadai, maka penerbitan kisah ini kami tunda. Sekarang setelah kami mendapatkan masukan masukan yang berarti, barulah kami berani menerbitkan kisah ini.
Sebagai penambah pengetahuan bagi pembaca kisah ini, kami mencantumkan catatan kaki di adegan-adegan yang perlu mendapatkan perhatian. Tapi itu pun sekedar catatan kaki bagi penggemar yang berminat meneliti saja. Sedangkan bagi pembaca yang tak berminat, ini bisa diabaikan karena catatan kaki itu tidak mempengaruhi jalannya cerita.
Jika kita amati dalam terbitan-terbitan terdahulu, kisah ini selalu dimulai pada saat Khouw Han Bun akan pergi ke kuburan orang tuanya (perayaan Ceng Beng). Sedangkan dalam buku ini kami mulai mengisahkan pada saat pertama siluman ular putih itu bermusuhan dengan Pendeta Hoat Hay Sian-su. Ini berarti bahwa kisah ini dimulai ketika Khouw Han Bun masih kecil. Maksud kami menceritakan awal permusuhan di antara ular putih dengan Hoat Hay Siansu karena kami menganggap hal ini sangatlah penting, sebab selama ini pembaca atau penonton Film, opera maupun sandiwara Legenda Ular Putih hanya mengetahui. bahwa si ular putih bermusuhan dengan Pendeta Hoat Hay, tanpa tahu awal mula permusuhan itu.
Demikianlah keterangan yang dapat kami berikan, semoga pembaca menjadi puas. Selain itu kami juga ingin mengucapkan terima kasih kepada para peminat setia buku-buku kami yang telah memberikan saran dan masukan untuk lebih meningkatkan mutu buku-buku terbitan kami. Kami mohon maaf jika surat-surat Anda tidak bisa kami balas satu persatu. Namun demikian saran Anda sekalian tetap akan kami perhatikan, sebab kami tahu tanpa pembaca sekalian kami bukanlah apa-apa.
Penerbit
______________
PROLOOG LEGENDA ULAR PUTIH
_________
KISAH ini di mulai pada awal musim semi di Daerah Telaga Barat yang terkenal sangat indah karena itu setiap hari telaga ini banyak dikunjungi orang. Mereka ingin melihat keindahan Telaga Barat dari dekat. Para pengunjung itu biasanya memadati jalan jalan di sekitar Telaga Barat, terutama di sebuah jembatan patah.
Padahal orang-orang itu tidak menyadari bahwa seorang dewa yang bernama Lu Tong Pin sedang memperhatikan mereka dari angkasa. Rupanya Dewa Lu Tong Pin tertarik melihat keramaian di sekitar Telaga Barat itu, dan ingin melihat keramaian itu lebih dekat lagi.
Karena dia sangat tertarik, dia memutuskan untuk turun ke bumi. Kemudian dia mencari sebuah daerah yang sepi dan merubah dirinya menjadi seorang tukang bakso yang sudah tua. Sambil membawa dagangannya dia berjalan mendekati jembatan patah yang ramai dikunjungi orang. Setelah tiba di sana, dia segera mencari pohon yang besar dan rindang untuk tempat berjualan bakso.
"Bakso...bakso! Bakso murah dan lezat! Tiga bakso besar seharga satu tail dan bakso yang kecil seharga tiga tail!" kata si penjual bakso tua.
Mendengar ucapan si tukang bakso, semua orang yang mendengarnya jadi tertawa.
"Hai Pak Tua, kau salah menyebut! Masa bakso yang besar lebih murah harganya sedangkan bakso yang kecil lebih mahal!
Seharusnya bakso yang kecil lebih murah daripada bakso yang besar!" kata salah seorang dari mereka.
Tapi Lu Tong Pin tidak meladeni ucapan orang itu, karena itu dia kembali menjajakan baksonya seperti tadi.
"Bakso....bakso!"
Tak lama maka banyaklah orang yang membeli dagangan Lu Tong Pin, karena menganggap bakso Lu Tong Pin sangat murah. Dalam waktu yang singkat bakso-bakso itu habis terjual kecuali bakso kecil yang mahal harganya itu.
Mulai saat itu setiap hari Lu Tong Pin berjualan bakso. Setelah bakso-bakso besarnya habis, Lu Tong Pin selalu menyisakan bakso kecil itu.
Suatu hari seperti biasa Lu Tong Pin berjualan bakso di Daerah Telaga Barat. Ketika semua baksonya sudah habis terjual, tiba tiba seorang anak kecil dan ayahnya hendak membeli bakso.
"Pak beli baksonya!" kata sang ayah pada penjual bakso tua itu.
"Oh sayang sekali Tuan. baksonya sudah habis?" 'kata Lu Tong Pin.
Mendengar kata-kata Lu Tong Pin, anak kecil itu menangis dengan keras.
"Huh. huu! Aku mau bakso!" kata anak itu terisak-isak.
Melihat anak itu menangis. Lu Tong Pin jadi merasa kasihan. Akhirnya dengan terpaksa dia terpaksa memberikan bakso kecil yang selalu disisakannya. Setelah mendapatkan bakso itu ,barulah anak kecil itu diam dan memakan bakso itu,
__________
Tiga hari berlalu....
Setelah memakan bakso itu,si anak kecil tidak mau makan.Melihat keadaan anaknya, sang ayah menjadi sangat cemas
Dengan segera dia mencari si tukang bakso itu.
"Pak sungguh celaka. setelah memakan bakso itu anakku tidak mau makan. Bagaimana ini?" kata sang ayah cemas.
Mendengar kata-kata ayah si anak, si penjual bakso malah tertawa.
"Tenang! Tenang! itu soal mudah!"
"Soal mudah bagaimana?" kata sang ayah merasa kurang puas.
"Tenanglah! Sekarang mana anak itu?" tanya si penjual bakso.
Kemudian si ayah menyuruh agar anaknya mendekat. Setelah anak itu mendekat, Lu Tong Pin segera memegang kaki anak itu lalu mengangkat anak itu ke dekat jembatan. Kemudian tubuh anak itu dibalik, sedangkan kakinya berada di atas dengan kepala menghadap ke bawah.
Melihat hal itu, tentu saja anak itu berteriak ketakutan .Namun saat dia berteriak, bakso yang ada di dalam mulutnya segera ke luar dan masuk ke dalam air telaga
*** Sementara itu dikisahkan di dasar Telaga Barat, tepatnya di bawah jembatan patah terdapat dua makhluk yang hidup secara damai. Kedua makhluk itu seekor kura-kura dan seekor ular putih. Mereka bertapa selama ratusan tahun, karena mengharapkan anugrah dari dewa.
Namun setelah mereka bertapa sekian lama. tiba-tiba melihat sebuah benda bulat masuk ke dalam telaga. Sedangkan benda bulat dan kecil itu mengeluarkan cahaya yang menyilaukan. Ternyata benda itu bakso ajaib milik Dewa Lu Tong Pin. Dan menurut cerita. bakso ajaib itu terbuat dari pil ajaib milik Lu Tong Pin yang sedang mereka tunggu-tunggu. Kabarnya pil itu pun memiliki kekuatan gaib yang sangat hebat.
Ketika benda itu terjatuh ke dalam air, si ular putih dan si kura-kura berebut ingin mendapatkannya. Namun karena gerakan si ular putih lebih cepat dari si kura-kura, maka dialah yang berhasil mendapatkan pil ajaib milik Dewa Lu Tong Pin. Setelah gagal mendapatkan pil ajaib itu, si kura-kura sangat marah kepada si ular putih. Kemudian si kura-kura menantang si ular putih untuk bertarung. Tak lama maka terjadilah pertempuran hebat antara ular putih melawan si kura-kura. Masing-masing tidak ada yang mau mengalah, rupanya mereka sudah tidak mengingat lagi persahabatan mereka selama ini .
Setelah mereka bertempur agak lama, akhirnya si ular putih dapat mengalahkan si kura-kura.
Setelah kura-kura itu berhasil dikalahkan si ular putih, ia lalu kabur ke Barat. Sedangkan si ular putih lalu menjilma menjadi seorang wanita cantik bernama Peh Tin Nio.
Tak lama Peh 'Tin Nio terbang ke langit untuk menghadiri pesta buah persik. Dalam pesta Peh Tin Nio bertemu dengan Dewa Lu Tong Pin, tapi ia tidak dikenali oleh Dewa Lu Tong Pin.
Setelah Peh Tin Nio menceritakan peristiwa ketika dia mendapatkan bakso ajaib milik Lu Tong Pin, para dewa yan hadir di pesta itu tertawa. Kemudian para dewa itu menyuruh Peh Tin Nio agar mencari anak itu untuk berterima kasih kepada anak itu.
"Berkat anak itu. kau mendapatkan pil ajaib itu. Sekarang seharusnya kau mencari anak itu untuk berterima kasih kepadanya." kata para dewa. Ternyata anak kecil itu yang nantinya menjadi Khouw Han Bun.
Sedangkan kura-kura yang berhasil dikalahkan oleh Peh Tin Nio, akhirnya menjadi Pendeta Hoat Hay Siansu.
Demikianlah awal dari kisah permusuhan antara Peh Tin Nio dengan Pendeta Hoat Hay Siansu.
_________
RIWAYAT HIDUP KHOUW HAN BUN
PADA zaman Dinasty Goan (Monggol) berkuasa di Tiongkok (1280-1368), hiduplah seorang yang bernama Khouw Eng alias Bi Ke. Dia tinggal di Daerah Ki-kang. Hang-cia-hu sebagai seorang pedagang. Khouw Eng mempunyai isteri dari Marga Tan. Dari perkawinan itu. mereka dikaruniai dua orang anak. Anaknya yang pertama seorang perempuan yang diberi nama Khouw Kiauw Yong, sedangkan anaknya yang kedua seorang anak laki-laki diberi nama Khouw Han Bun.
Khouw Han Bun berwajah sangat tampan. selain itu dia juga sangat cerdas.
Namun ketika Khouw Han Bun baru berumur lima tahun ayah dan ibunya meninggal dunia karena sakit keras. Untung saat ayah dan ibunya meninggal. Khouw Kiauw Yong sudah menikah dengan seorang laki-laki bernama Li Kong Hu. Suami Kiauw Yong bekerja di Kantor Cian Tong Koan, dia menjadi kepala penjaga gudang uang milik pemerintah. Ketika ayah dan ibu Han Bun meninggal, Li Kong Hulah yang merawat dan menguburkan jenazah kedua mertuanya itu. Selesai penguburan jenazah kedua mertuanya. Li Kong Hu mengajak Han Bun tinggal bersamanya .Sejak itu maka tinggallah Khouw Han Bun di rumah kakak iparnya di Hang-ciu.
Setelah Khouw Han Bun berusia 7 tahun. Li Kong Hu menyekolahkan Khouw Han Bun, hingga ia menjadi pandai dalam ilmu sastra. Pada usia 16 tahun Han Bun menjadi pemuda yang cakap .Tingkah lakunya amat sopan. hingga ia disayang baik oleh kakak perempuannya maupun oleh kakak iparnya.
Makin hari Khouw Han Bun makin dewasa, hingga Li Kong Hu berniat mencarikan pekerjaan untuk adik iparnya itu, agar si adik ipar 'tidak kesepian dan menganggur.
Pada suatu hari sepulang Li Kong Hu dari jaga malam di gudang pemerintah. dia disambut oleh isterinya. Kemudian saat mereka sedang duduk berdua. Li Kong Hu berkata.
"Isteriku, karena kini Han Bun telah menjadi pemuda yang cukup dewasa. kupikir ada baiknya kalau aku mencarikan pekerjaan untuknya. Hal ini bukan karena aku keberatan mengurus dia. tapi aku berkeinginan agar dia menjadi pemuda yang berguna. Dengan demikian dia tidak hidup berkeliaran seperti umumnya pemuda seumurnya. Aku harap kau jangan salah paham. Isteriku." kata Li Kong Hu.
"Suamiku. kalau benar kau hendak mencarikan pekerjaan untuknya. aku malah sangat berterima kasih kepadamu. Selama ini bukankah kau yang merawat dan mendidik dia, hingga dia dewasa dan menjadi pemuda yang pandai?" Jawab Khouw Kiauw Yong terharu.
"Kukira kami banyak berhutang budi kepadamu karena selama ini kaulah yang telah mencurahkan seluruh hidupmu untuk kami berdua."
"Hal itu Jangan kau pikirkan sebab aku pun tak mempunyai saudara. Dengan demikian sudah sepantasnya aku menganggap adikmu sebagai saudara kandungku sendiri. Dengar Isteriku. aku mempunyai seorang sahabat. dia sudah bagaikan saudaraku sendiri .Dia bernama Ong Beng alias Hong San. Karena dia kaya, orang memanggilnya Ong Wan-gwee (Hartawan Ong)
). Saat ini Ong Beng mempunyai sebuah toko obat yang cukup besar serta sangat laku. Sedangkan tempat tinggalnya di Gang Hoai Ceng Hang, tepat di depan Kantor Ti Koan (Asisten Wedana). Aku pikir besok aku akan pergi ke toko obatnya untuk meminta agar dia mau menerima adikmu bekerja di tokonya, Bagaimana, apakah kau setuju dengan pendapatku ini?" kata Li Kong Hu.
Mendengar rencana suaminya, tentu saja Khouw Kiaw Yong amat girang.
"Aku setuju sekali! Bahkan aku senang kau sangat memperhatikan adikku. Terima kasih atas perhatianmu, Suamiku," kata Kiauw Yong sambil tersenyum.
Tak lama Li Kong Hu mengajak isterinya tidur karena hari sudah malam.
******
Esok harinya.
Begitu Li Kong Hu bangun, ia segera mandi dan bertukar pakaian .Sesudah sarapan, Li Kong Hu pamit pada isterinya.
"Isteriku, mumpung hari masih pagi aku akan pergi ke rumah Ong Beng. Dengan demikian aku bisa bebas berbicara dengannya."
"Baiklah, hati-hati di jalan!" jawab isterinya.
Sesudah itu maka pergilah Li Kong Hu ke rumah Ong Beng. Tak lama Li Kong Hu sampai di depan toko obat milik Ong Beng. Melihat Li Kong Hu datang. Ong Beng segera menyambutnya.
"Oh, Saudara Li, mari silakan masuk!" kata Ong Beng.
Li Kong Hu diajak masuk ke ruang tengah dan dipersilakan duduk. Tak lama pegawai Ong Beng menyuguhi teh wangi yang hangat.
"Silakan diminum tehnya,
" kata Ong Beng.
"Terima kasih." jawab Li Kong Hu.
Kemudian sesudah tamunya meminum seteguk teh wangi yang hangat. sambil mengawasi penuh hormat dan ramah Ong Beng berbicara.
"Maaf Kanda Kong Hu, ada urusan apa hingga Kanda datang sepagi ini'?" kata Hartawan Ong.
"Begini Saudara Ong, ipar laki-lakiku yang bernama Khouw Han Bun. sampai hari ini belum bekerja. Sejak ditinggal kedua orang tuanya, dia tinggal bersama kami. Saat itu adik iparku masih kecil. Dia sangat baik. sabar dan rajin belajar, karena itu aku merawat dan menyekolahkannya. Sedangkan maksud kedatanganku ke mari untuk menitipkan adik iparku itu kepadamu. Aku berharap dia bisa belajar di toko obatmu. Bagaimana, apakah kau mau menerima adik iparku?" kata Li Kong Hu.
"Oh itu maksud kedatanganmu, Kanda Li. Jika benar kau ingin menitipkan adik iparmu untuk membantuku di toko'obat, tentu saja aku sangat senang. Apalagi toko obatku sekarang sedang ramai. Sebenarnya aku pun memang ingin mencari pembantu yang mau bekerja di tokoku. Sekarang karena kau menawarkan adik iparmu, tentu saja hal ini membuatku senang. Jadi kapan kau akan mengantarkannya ke mari?" kata Ong Beng.
Mendengar Ong Beng mau menerima adik iparnya, tentu saja Li Kong Hu girang bukan main.
"Oh terima kasih. terima kaSih Adik Ong Beng. Kalau begitu sekarang aku pamit dulu. aku akan mengabarkan hal ini pada isteri dan adik iparku," kata Li Kong Hu
Sesudah itu Li Kong Hu pun bergegas pulang.
Setiba di rumahnya. Li Kong Hu disambut oleh isteri dan Khouw Han Bun. Mereka pun lalu duduk sambil berbincang-bincang.
"Bagaimana hasilnya, Suamiku?" tanya Khouw Kiauw Yong.
"Syukurlah, ternyata Ong Beng seorang yang baik, dia mau menerima Han Bun bekerja di toko obatnya. Sungguh menggembirakan!" jawab suaminya.
*** Esok harinya.
Pagi-pagi sekali Khouw Han Bun diantarkan ke toko obat Ong Beng. Begitu mereka sampai. Ong Beng segera menyambut mereka sambil menyapa.
"Selamat pagi Kanda Li, apa kabar?" kata Ong Beng
"Baik, terima kasih," jawab Li Kong Hu.
Sesudah itu Ong Beng mempersilakan mereka masuk. Ketika Li Kong Hu memperkenalkan Khouw Han Bun pada Ong Beng. ternyata Ong Beng sangat senang menerima Han Bun untuk dipekerjakan di toko obatnya. Tak lama Li Kong Hu pamit, karena ia harus segera pergi bekerja.
Sesudah Li Kong Hu pergi, Ong Beng mengajak Han Bun ke toko obatnya. Di sana Khouw Han Bun diajari bagaimana melayani pembeli dan diberi tahu di mana letak kotak-kotak obat. Karena Han Bun sangat pandai dan mengerti surat dalam waktu hanya sebentar ia sudah menguasai pekerjaannya. Ditambah pula Han Bun amat ramah pada para langganannya yang berbelanja ke toko obat itu. hingga membuat orang-orang senang dengan pelayanan yang cepat dan ramah dari Khouw Han Bun.
Dari hari ke hari langganan toko obat milik Ong Beng semakin bertambah banyak, hingga membuat Ong Beng merasa semakin senang. Selain itu dia semakin sayang kepada Khouw Han Bun, karena Han Bun cerdik dan pandai dalam membaca resep. Apalagi Han Bun sangat cekatan dalam memeriksa orang-orang sakit yang datang ke toko obat Ong Beng. Ong Beng memang selalu mengajari cara bagaimana dia harus memeriksa orang sakit dan obat apa yang harus diberikan kepada
pasiennya .Dengan demikian maka tak heranlah kalau toko obat Hartawan Ong menjadi semakin maju saja. "
**** Dikisahkan di Seng Kun-Shia di Su-cuan....
Sekitar 600 li dari kota itu terdapat sebuah gunung. Puncak gunung itu diberi nama Ngo Tong Thian, atau Lima Goa Langit. Sedang gunungnya yang sangat tinggi itu disebut Ceng San Coa. Di dalam Goa Ngo Tong Thian terdapat 72 goa kecil dan delapan goa besar. Pada salah satu goa yang diberi nama Goa Ceng Hong Tong, berdiam seekor ular betina putih (pe-coa). Ular putih tersebut sudah bertapa seribu limaratus tahun lamanya. Selama itu ular putih tidak pernah mengganggu orang. apalagi mencelakakan sesama mahkluk lainnya..
Akhirnya sesudah ia bertapa 1800 tahun, ular putih tersebut menjadi sakti,. Karena dia berilmu tinggi, dia bisa menjelma menjadi manusia.
Pada suatu hari dia menjelma menjadi seorang wanita cantik dengan nama Peh Tin Nio. Sebenarnya harapan Peh Tia Nio ingin menjadi dewi namun harapannya itu belum tercapai.
Karena dia agak kecewa belum bisa menjadi dewi, akhirnya dia berpikir ingin berjalan-jalan ke luar dari goa tempatnya bertapa.
"Dari pada aku berdiam terlalu lama di tempat ini, lebih baik aku berkelana. Dengan demikian aku bisa menikmati pemandangan alam yang indah di tempat lain." pikir Peh Tin Nio suatu hari.
Tio Nio memang pernah mendengar betapa indahnya pemandangan alam di Telaga Barat (See ouw) yang ada di Hang-ciu.
Sesudah niatnya tetap, Peh Tin Nio lalu keluar dari goanya .Kemudian sesudah pintu goa itu ditutup, ia membaca manteranya. Tak lama maka terbanglah Peh Tin Nio ke angkasa.
Hari itu Dewa Siang Te Ya yang berdiam di Bu Tong-san, baru pulang dari istana milik Giok Tee.
Saat dia hendak pulang ke gunungnya, matanya yang awas dapat melihat adanya sinar siluman sedang mendatangi Ke arahnya. Melihat hal itu Dewa Siang Te Ya berhenti untuk menunggu kedatangan sinar itu. Ternyata sinar itu Peh Tin Nio.
Karena sedang asyik memandangi pemandangan yang indah, Peh Tin Nio agak lengah. Karena itu walaupun dia sudah hampir mendekati Dewa Siang Te Ya, dia belum juga sadar
"Hai siluman ular putih, mau ke mana kau? Apa maksudmu meninggalkan tempat pertapaanmu?" tegur Dewa Siang Te Ya
Mendengar teguran itu, betapa terkejutnya Peh Tin Nio. Dia segera mengawasi ke arah orang yang menegurnya. Begitu tahu dia sedang berhadapan dengan Dewa Siang Te Ya, dalam sekejab tubuh Peh Tin Nio gemetar ketakutan. Segera saja dia berlutut sambil mengangguk anggukkan kepalanya.
"Oh maafkan hamba karena hamba tak melihat keberadaan Anda di tempat ini. Hamba memang siluman ular putih yang berasal dan Gunung Ceng Seng-san dan tinggal di Goa Ceng Hong-tong. Selama 1800 tahun hamba bertapa. namun tetap belum bisa menjadi dewi. Hari ini terpaksa hamba ke luar hendak menemui Dewi Koan Im di Lam-hay (Laut Selatan).
Maksud hamba untuk bertanya kepada Beliau, mengapa sampai saat ini hamba belum menjadi dewi?" jawab Peh Tin Nio.
"Tapi mengapa saat kau melihatku, kau tidak segera berlutut?" tanya Dewa Siang Te Ya.
"Maafkan hamba, karena asyik menikmati pemandangan alam yang indah. hamba jadi lengah dan kurang sopan. Untuk itu hamba mengaku salah. Jika kesalahan hamba harus mendapat hukuman mati sekalipun. hamba siap menerima," jawab Peh Tin Nio.
Mendengar ucapan Peh Tin Nio. Dewa Siang Te Ya tersenyum.
"Hm ular putih. jika benar kau bermaksud menemui Dewi Koan Im. maukah kau bersumpah bahwa kau benar-benar akan ke sana? Jika kau telah bersumpah, barulah aku bersedia memaafkanmu serta mengizinkan kau lewat. Tapi jika kau bohong awas!" kata Dewa Siang Te Ya
"Sungguh. hamba tidak berbohong. Jika hamba berbohong, hamba Siap dihukum dan dikurung di kaki Pagoda Lui Hong Ta serta hidup sengsara di atas bumi di kemudian hari!" ,kata Peh Tin Nio.
"Baiklah kalau begitu!" kata Dewa Siang Te Ya sambil tersenyum.
"Murid-muridku menjadi sakSi atas sumpahmu. Jika kemudian hari kau melanggar sumpahmu. kau akan dihukum sesuai dengan sumpahmu tadi."
__________
PEH TIN NIO BERTEMU DENGAN SILUMAN ULAR HIJAU
SESUDAH Dewa Siang Te Ya pergi. Peh Tin Nio segera meneruskan perjalanannya, terbang ke arah Hang-ciu. Tak lama sampailah dia di tempat tujuan. Begitu dia tiba di tempat sunyi. Peh Tin Nio segera turun ke bumi, lalu berjalan dan membaur dengan orang-orang di Kota Hang-ciu. Saat itu Peh Tin Nio melihat sebuah gedung besar yang disangkanya rumah bekas milik pembesar. Selain besar, pekarangan rumah itu pun sangat luas. Tampaknya tempat itu sangat nyaman. walau sekarang di sana-sini terdapat semak belukar karena tidak berpenghuni lagi
"Mengapa rumah ini didiamkan kosong. Pak?" tanya Peh Tin Nio pada penduduk di sekitar rumah itu.
"Rumah itu banyak hantunya. jadi tidak ada orang yang berani meninggali rumah itu." kata salah seorang.
"Ketika ada orang yang mencoba tinggal di sana. dia malah mati karena diganggu setan!" kata yang lain.
Mendengar jawaban itu. Peh Tin Nio mengangguk tanda mengerti . Tapi ketika dia mengawasi ke arah rumah besar yang megah itu, di sana dia lihat taman bunga di rumah itu masih bagus. Akhirnya sesudah orang-orang yang ditanyainya pergi, diam-diam Peh Tin Nio masuk ke halaman rumah besar itu .
Namun baru saja Peh Tin Nio memasuki halaman rumah besar itu. tiba-tiba dia dikagetkan oleh suara teguran yang kasar dari arah belakangnya.
"Hai siluman. tunggu! Berani-beraninya kau sembarang
masuk ke pekarangan ini' Siapa kau dan dari mana asalmu, Ayo lekas kau jawab! Kalau tidak kau akan merasakan pedangku yang tajam ini!" kata seorang perempuan muda
. Ketika Peh Tin Nio menoleh, dilihatnya seorang gadis yang memegang sebilah pedang sedang berdiri siap menyerangnya. Namun karena matanya awas Peh Tin Nio segera mengetahui, bahwa wanita itu pun siluman ular. Melihat hal itu maka Peh Tin Nio tertawa.
Ternyata orang yang menegur Peh Tin Nio memang Siluman ular hijau (ouw-coa). Karena dia sudah bertapa selama 800 tahun. sekarang kepandaianuya cukup lumayan. Rupanya dialah yang tinggal di atas Lauw-teng Cui Cun Lauw sebagai tempat tinggalnya.
"Hm siluman ular hijau, jangan kau bertingkah di hadapanku! Walau kau mengancamku, aku tidak takut. Kalau berani mari kita bertarung, aku mau tahu apakah kau sanggup menghadapiku?" kata Peh Tin Nio.
"Lagipula mengapa kau begitu marah, padahal aku baru saja turun gunung hendak menemui Dewi Koan Im .Aku akan bertanya kepada Beliau, mengapa aku yang sudah bertapa selama 1800 tahun belum juga menjadi dewi? Hari ini aku baru saja sampai di tempat ini dengan maksud ingin bermalam di sini. Tapi mengapa tanpa sebab kau begitu marah kepadaku, bukankah kita sama-sama siluman ular.?"
"Hm. enak saja kau mau tinggal di sini! Tidak. aku tak setuju kau tinggal di sini! Jika benar kau sakti. coba lawan aku sebanyak tiga jurus, Jika kau dapat melawanku itu membuktikan bahwa kau benar-benar lihay!" kata si ular hijau.
"Hm baru bertapa 800 tahun saja, kau sudah sombong. Padahal aku merasa kasihan kepadamu sebab jika kau bertarung denganku sudah pasti kau akan kalah!" kata Peh Tin Nio.
Mendengar ejekan itu, si ular hijau jadi sangat marah.
"Kalau begitu mari kita buktikan!" katanya.
"Baik. tapi sebelum kita bertarung harus ada syaratnya!" kata Peh Tin Nio.
"Apa syaratnya?"
"Kalau aku yang kalah, aku bersedia menjadi budakmu. Tapi sebaliknya jika kau yang kalah, kau pun harus menjadi budakku. Bagaimana apakah kau setuju?" kata Peh Tin Nio.
"Baiklah! Sekarang ayo kita mulai!" kata si ular hijau.
Sesudah itu tanpa banyak bicara lagi siluman ular hijau langsung mengayunkan pedangnya untuk menyerang Peh Tin Nio. Begitu diserang, Peh Tin Nio yang tak mau mengalah segera mencabut sepasang pedangnya untuk menangkis serangan itu. Tak lama maka terjadilah pertarungan yang sangat seru. Keduanya saling menyerang dengan gencar. Tapi karena ular hijau memang bukan tandingan Peh Tin Nio, belum lama mereka bertarung dia sudah mulai terdesak, dan akhirnya pedang yang ada di tangan ular hijau terlepas.
Menyadari dia bukan tandingan Peh Tin Nio, dengan cepat si ular hijau berlutut di hadapan Peh Tin Nio. Begitu dia melihat lawannya menyerah, Peh Tin Nio yang memang tidak berniat membinasakan lawannya. segera membangunkan sang lawan.
"Sudahlah, sekarang kita sudahi saja pertengkaran ini. Tapi bagaimana dengan janjimu?" kata Peh Tin Nio.
"Terima kasih Nio-nio. Selain itu aku pun akan menepati ianjrku. Sejak saat ini aku akan mengabdi kepadamu sampai akhir hayatku. Semua perintahmu akan kukerjakan. sekalipun
aku harus menembus ke dalam lautan api!" kata si ular hijau, Mendengar kesediaan si ular hijau, Peh Tin Nio tersenyum .Sesudah itu ia pun berkata dengan lembut.
"Baiklah, kalau begitu mulai sekarang kau akan kupanggil dengan nama Siauw Ceng. Apakah kau mau?" kata Peh Tin Nio,
"Terima kasih. tentu saja aku mau." jawab Siauw Ceng.
Peh Tin Nio tersenyum. lalu dengan bergandengan tangan mereka pun berjalan masuk.
"Mari Nio-nio," kata Siauw Ceng menyilakan Peh Tin Nio masuk ke Cui Cun Lauw.
Sejak hari itu Peh Tin Nio dan Siauw Ceng tinggal di Cui Cun Lauw.
_________
KHOUW HAN BUN BERTEMU DUA NONA CANTIK
DIKlSAHKAN sejak Khouw Han Bun bekerja di toko obat Hartawan Ong. hartawan ini merasa sangat girang, sebab makin lama perusahaannya semakin maju pesat. Langganannya pun semakin banyak. Selain pandai memeriksa orang sakit, Khouw Han Bun pun bisa melayani langganannya dengan ramah. Tidak heran kalau Ong Beng menjadi sangat sayang kepadanya.
Pada suatu hari.
Menjelang perayaan Ceng Beng (saat orang-orang membersihkan kuburan orang tua dan leluhurnya serta bersembahyang di makam para leluhurnya). Khouw Han Bun yang ada di depan toko obat Hartawan Ong pun melihat kesibukan penduduk yang pergi ke kuburan. Dari para langganannya, Han Bun mengetahui bahwa hari itu adalah hari menjelang dilaksanakan perayaan Ceng Beng tersebut!
Khouw Han Bun segera teringat pada kuburan kedua orang tuamu dan berniat untuk bersembahyang.
"Sebaiknya aku minta cuti kepada Ong Wan-gwe, lalu mengajak Ci-hu (kakak ipar) dan Enci (kakak perempuan) ke kuburan ayah dan ibu. Oh sungguh bahagianya aku dapat membersihkan dan memperbaiki kuburan orang tua kami. Kalau bukan atas kebaikan Ci-hu, mana mungkin aku bisa menjadi sebesar ini dan mengerti surat. Apalagi aku juga telah bekerja di toko obat Hartawan Ong," pikir Khouw Han Bun.
Sesudah tekadnya bulat, Khouw Han Bun pun lalu masuk hendak menemui Hartawan Ong. Begitu melihat Han Bun masuk, Ong Wan-gwe segera menegurnya.
"Ada apa? Apakah ada yang tak bisa kan layani di luar?" kata Hartawan Ong.
"Tidak Tuan Ong, cuma ada yang hendak aku sampaikan kepada Tuan," kata Han Bun.
"Coba kau katakan. soal apa itu?"
"Besok menjelang Ceng Beng aku berniat minta cuti sebab aku bermaksud pergi ke kuburan ayah dan ibu." kata Han Bun.
"Oh begitu. aku kira ada apa." kata Ong Wangwe.
"Tentu saja kau boleh cuti."
"Sejak kecil aku sudah ditinggal mati oleh ayah dan ibuku. Namun karena kebaikan Ci-hu Li Kong Hu. aku dan kakakku dirawatnya. Besok aku mau ikut mereka memberSihkan kuburan dan bersembahyang di sana." kata Han Bun.
"Baiklah," kata Ong Wan-gwe sambil tersenyum.
"Kau memang anak baik dan berbudi. Memang sudah seharusnya kau menghormati ayah dan ibumu. Selain itu kau pun harus sayang kepada kakak dan Cihumu sebab tanpa mereka kau tak mungkin akan menjadi pandai. Baiklah, besok kau boleh pergi!"
"Terima kasih. Tuan." jawab Han Bun.
Khouw Han Bun segera kembali ke toko untuk melayani para langganannya. Sesudah Han Bun pergi, Ong Wan-gwe memanggil pembantunya yang bernama Ong Toan.
"Kau bawa uang 10 tail perak, lalu pergilah berbelanja untuk keperluan sembahyang,
" kata Ong Wan-gwe.
"Baik Tuan," kata Ong Toan.
Tak lama pergilah Ong Toan ke pasar. Selesai berbelanja dia pun segera pulang, lalu semua belanjaannya itu diserahkan kepada pelayan perempuan Ong Wan-gwe untuk dimasak .Ternyata semua barang sembahyang itu disediakan untuk Khouw Han Bun.
******
Esok harinya
Pagi-pagi sekali Khouw Han Bun sudah bangun. lalu sesudah mandi dan sarapan pagi, dia akan segera berangkat bersama pembantu rumah Ong Toan .Han Bun berjalan di muka, sedangkan Ong Toan mengikutinya sambil memikul keranjang makanan untuk sembahyang. Namun belum lagi mereka berangkat. Ong Wan-gwe menemuinya dan berkata.
"Han Bun. selesai sembahyang kau harus segera pulang bersama Ong Toan. Jangan buang waktu di luaran karena toko kita sedang sibuk."
"Baik Tuan," jawab Han Bun girang, karena majikannya sangat memperhatikan dirinya.
Sesudah itu pergilah mereka ke kuburan. Namun ketika mereka sampai di kuburan. Han Bun melihat kuburan orang tuanya belum dibersihkan oleh Ci-hu dan kakaknya. Ong 'Toan segera meletakkan hidangan sembahyang agar Han Bun dapat bersembahyang di kuburan kedua orang tuanya. Sesudah itu dia membersihkan kuburan itu. Ternyata Han Bun tak jadi ke rumah kakaknya. karena itu ia hanya berdua Ong Toan ke kuburan orang tuanya. Sesudah selesai bersembahyang. Khouw Han Bun pun mengajak Ong Toan pulang. Dengan segera Ong Toan membereskan barang bekas sembahyang itu. lalu berjalan mengikuti Han Bun.
Saat itu Khouw Han Bun sangat gembira melihat keramaian di sepanjang Jalan. Biasanya sesudah bersembahyang mereka
pergi ke Telaga Barat (see-ow) di Hang-ciu untuk menyaksikan pemandangan indah di telaga tersebut. Ketika Han Bun melihat orang-orang secara berduyun-duyun pergi ke See Ouw, hatinya jadi tertarik.
"Ah alangkah senangnya jika aku pun bisa menyaksikan keramaian di sana!" pikir Han Bun.
"Kalau begitu akan kuajak Ong Toan."
Setelah berpikir begitu Han Bun berkata kepada Ong Toan.
"Ong Toan. bagamana kalau kita jangan pulang dulu. Mari kita lihat keindahan Telaga Barat!" kata Han Bun.
"Tapi bukankah tadi kita telah dipesan oleh Ong Wan-gwe supaya segera pulang?" kata Ong Toan.
"Memang benar, tapi apa salahnya kalau kita pergi ke sana sebentar? Bukankah hari ini kita sedang cuti, Jadi kukira sayang sekali kalau kesempatan ini tidak kita pergunakan dengan sebaik baiknya," kata Han Bun.
"Nanti kalau dimarahi Wan-gwe bagaimana!"
"Jangan kuatir. masa cuma sebentar saja kita dimarahi oleh Tuan?" kata Han Bun.
"Ah, aku tidak mau!" kata Ong Toan.


Legenda Ular Putih Karya Marcus As di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalau begitu pulanglah kau duluan," kata Han Bun.
"Tapi bagaimana kalau Tuan menanyakanmu'?"
"Katakan saja bahwa aku hendak pergi ke rumah Ci-hu dan En-ciku. Nanti sesudah itu barulah aku menyusulmu." kata Han Bun.
"Baiklah kalau begitu, tapi kan harus segera pulang jangan sampai Wan-gwe cemas menunggu kau pulang!" kata Ong Toan.
"Jangan kuatir, aku akan segera pulang." kata Han Bun.
Sesudah itu sambil memikul sisa makanan sembahyang. Ong Toan pulang ke rumah majikannya. Ketika Ong Toan pergi. Han Bun segera melangkahkan kakinya berjalan ke Telaga Barat.
Setiba di sana, Han Bun segera menyewa sebuah perahu, lalu dengan menaiki perahu itu dia pergi ke 'Telaga Barat. Namun karena banyaknya perahu yang lalu lalang di sungai tersebut, air yang bergelombang bagai air yang sedang dimasak dan mendidih. Saat itu perahu-perahu yang hilir mudik di sungai itu dihias dengan indah, bahkan mereka seolah berlomba dalam menghias perahu mereka. Tampaknya perahu-perahu itu sangat menarik sekali hingga menambah keindahan pemandangan di tempat itu. Hari itu keindahannya nampak bagai harian Peh Cun (Pesta perahu naga untuk memperingati wafatnya Perdana Menteri Kut Goan pada zaman Tong Ciu Liat Kok) saja.
Pada saat Khouw Han Bun sedang menikmati pemandangan di sungai yang ramai oleh para pengunjung serta hilir mudiknya perahu yang dihias dengan indah, tiba-tiba mata Han Buu menatap ke suatu arah. Dalam sekejab hatinya terkesiap, ketika matanya melihat dua orang wanita cantik sedang berdiri di atas jembatan. Rupanya kedua wanita rupawan itu pun sedang menikmati keramaian di sungai itu. Melihat kecantikan kedua wanita itu, sukma Khouw Han Bun seolah melayang .Dalam sekejab dia jadi rikuh, berdiri salah, duduk pun jadi serba salah.
"Oh cantik nian kedua gadis itu. anak siapakah mereka?" pikir Khouw Han Bun.
Ternyata dua wanita cantik itu Peh Tin Nio dan Siauw Ceng yang sedang berjalan-jalan untuk menikmati pemandangan indah di tempat itu.
Sejak tadi dia pun seolah sedang mencari-cari seseorang. Ketika pandangan matanya melihat seorang pemuda tampan yang berada di atas sebuah perahu, dia mengawasi si pemuda ganteng tersebut. Siauw Ceng yang melihat kawannya terus mengawasi ke arah sebuah perahu, segera menegur kawannya.
"Kakak, apa yang sedang kau perhatikan?" kata Siauw Ceng.
"Coba kau perhatikan laki-laki cakap di perahu itu'" kata Peh Tin Nio sambil menunjuk ke arah sebuah perahu.
Siauw Ceng segera memandang ke perahu yang ditunjuk oleh Peh Tin Nio, lalu dia pun manggut-manggut.
"Ganteng, ya!" katanya.
Ketika mata Han Bun dan Peh Tin Nio saling beradu, keduanya jatuh cinta dalam pandangan pertama. Kemudian secara diam-diam Peh Tin Nio menggunakan ilmunya untuk menciptakan hujan.
Tak lama setelah ia membaca manteranya, langit berubah menjadi gelap karena awan tebal telah menutupinya. Kemudian selang sesaat maka turunlah hujan lebat. Sedangkan orang yang bersuka-ria, secara tiba-tiba menjadi bubar, masing-masing mencari tempat untuk berteduh. 'Ada pula yang langsung pulang.
Han Bun yang ada di perahu pun agaknya kecewa, apalagi dia belum sempat menemui kedua nona cantik itu untuk menanyakan di mana tempat tinggal mereka.
"Huh dasar sial, belum lagi aku berkenalan dengan kedua nona cantik itu, hujan deras telah turun. Kalau begitu biarlah hari ini aku pergi dulu ke Cian Tong untuk ke rumah kakak iparku. Besok pagi baru aku akan datang lagi ke mari. Siapa tahu aku bisa bertemu dengan kedua wanita elok itu. Dengan
demikian aku bisa mengetahui anak Siapa mereka dan di mana rumahnya?" pikir Han Bun.
Akhirnya karena godaan kedua gadis manis itu, hati Han Bun, jadi kacau. Kini dia jadi lupa akan semua pesan Ong Wan-gwe agar dia segera pulang, sesudah dia selesai bersembahyang. Namun demikian sambil mencari-cari Han Bun minta agar dia diturunkan ke daratan .Kemudian sesudah tak menemukan kedua nona itu, Han Bun segera memanggil sebuah perahu kecil yang memakai atap dan menyewanya. Perahu kecil itu memang selalu digunakan sebagai perahu penyeberangan. Setiap orang yang hendak ke seberang atau sebaliknya, selalu menaiki perahu itu.
"Tukang perahu ke mari!" teriak Khouw Han Bun sambil menggapaikan tangannya
Mendengar panggilan Han Bun. si tukang perahu segera menepikan perahunya. Setelah perahu itu menepi, Han Bun segera melompat ke atas perahu. sedangkan si tukang perahu sudah siap dengan galanya hendak mengayuh kembali perahu itu ke seberang.
"Tukang perahu. tunggu kami!" terdengar suara teriakan seorang perempuan .
Mendengar teriakan itu, si tukang perahu dan Hari Bun segera menoleh. Saat itu dilihatnya dua perempuan elok sedang berlari lari ke arah perahu mereka. Rupanya kedua nona cantik itu pun hendak menumpang perahu untuk menyeberang.
Ketika Han Bun mengawasi ke arah kedua nona canttk itu. ia menjadi kaget. Ternyata mereka adalah wanita yang ada di atas jembatan yang sedang dicarinya.
"Tunggu," kata Han Bun kepada si tukang perahu itu.
"Ada dua nona cantik yang hendak menumpang di perahumu!"
Melihat tingkah Han Bun. si tukang perahu tersenyum geli. Kemudian Si tukang perahu mendayung kembali perahu kecilnya
ke tepi agar kedua nona itu naik ke perahunya.
Siauw Ceng segera membimbing Peh Tin Nio yang berpakaian putih naik ke perahu.
"Hati-hati Nona, perahunya licin, nanti kau jatuh!" kata Siauw Ceng.
Namun Peh Tin Nio tak menyahut. Sesudah naik ke perahu, Peh Tin Nio membuang muka. Rupanya karena Khouw Han Bun terus memperhatikan Peh Tin Nio. Begitu naik. nona itu segera berjalan ke pojok perahu lalu duduk. Sedangkan Siauw Ceng hanya tersenyum-senyum ke arah Han Bun, sehingga hati Han Bun bertambah mantap.
"Dik, siapa namamu dan mau ke mana kalian?" kata Han Bun.
Saat itu Peh Tin Nio yang mengenakan pakaian serba putih telah basah kuyup. Dengan demikian pakaiannya yang melekat di tubuhnya yang indah, terlihat jelas oleh Han Bun. Melihat hal itu Han Bun bertambah tergiur oleh keindahan tubuh dan kecantikan Peh Tin NiO.
"Kami berasal dari Cian Tong Koan. dan tinggal di Gang Siong The Hang. Ini Nona Peh Tio Nio, sedangkan aku Siauw Ceng. Saat nonaku masih kecil, ayahnya bekerja di Kota Pie-kwan, tapi kini kedua orang tuanya telah tiada. Sedangkan kedatangan kami ke mari untuk mengunjungi kuburan majikanku. Namun sehabis sembahyang nonaku kuajak menyaksikan keramaian di Telaga Barat. Tapi tanpa diduga hujan turun dengan lebat. sehingga kami kehujanan dan basah kuyup. Kalau boleh tahu siapa nama Anda, Tuan? Dan Anda tinggal di mana?" kata Siauw Ceng dengan lancar.
"Ah ternyata kita sekampung, aku juga penduduk Cian Tong Koan. Aku Khouw Han Bun atau Khouw Sian. Kedua orang tuaku pun sudah tiada. karena itu tadi pun aku pergi ke kuburan mereka untuk bersembahyang. Sedangkan aku bekerja dan
tinggal di rumah Hartawan Ong sebagai tukang obat," kata Han Bun.
"Sekarang kau mau ke mana, Tuan?" tanya Siauw Ceng
"Aku hendak pergi ke rumah kakak perempuanku, dia telah menikah dengan seorang she Li. Kakak iparkulah yang telah merawat dan membesarkanku,
" kata Han Bun.
"Di mana toko obat milik Hartawan Ong itu?" tanya Siauw Ceng.
"Di Gang Hoai Ceng Hang, tapi hari ini aku cuti. Tadi karena hujan lebat. aku bermaksud untuk pergi ke rumah kakak perempuanku dengan naik perahu ini ke seberang." kata Han Bun.
Sementara itu tukang perahu terus mendayung perahunya, sedangkan Siauw Ceng dan Han Bun tetap bercakap-cakap. Setelah perahu itu sampai di seberang, mereka segera naik ke darat. Saat itu Han Bun yang membayar semua ongkos perahu sebab ketika Siauw Ceng hendak membayarnya, Han Bun mencegahnya.
"Jangan, biar aku saja yang bayar," kata Han Bun.
Si tukang perahu tertawa saja ketika menerima pembayaran dari Han Bun. Sesudah itu dia mendayung perahunya. lalu berteduh di bawah sebuah pohon besar agar tidak kehujanan.
Setiba di darat hujan gerimis masih tetap turun. Namun kedua nona itu dengan malu-malu sudah berjalan. Han Bun yang melihat hujan gerimis itu masih cukup besar, merasa tak tega pada kedua nona itu.
"Nona tunggu!" teriak Han Bun.
"Ada apa Tuan?" tanya Siauw Ceng.
"Nona. kalau kalian mau kalian boleh memakai payungku. Kebetulan aku membawa payung. Dengan demikian kalian tak kehujanan," kata Han Bun pada kedua nona cantik itu.
"Baiklah," kata Siauw Geng sambil menerima payung itu .Tapi ketika dia melihat payungnya hanya sebuah, Siauw Ceng berkata,
"Eh payungnya cuma satu ya. Nanti jika kau pinjamkan kepada kami, kau bagaimana? Kau tentu akan basah karena kehujanan," kata Siauw Ceng.
"Tak apa, kalian jangan ragu-ragu. Kalian pakailah payungku ini, apalagi kalian perempuan tak bisa berjalan cepat. Karena aku laki-laki, aku bisa beijalan cepat. Lagipula rumah kakak perempuanku tidak jauh lagi dari sini. Silakan pakai payung itu!" kata Han Bun.
"Kalau begitu baiklah. terima kasih. Ah, budimu sangat luhur Tuan. Kalau begitu biar besok payungmu akan kukembalikan ke rumah kakak perempuanmu. Tapi kalau kau tak ada di rumah, pada siapa harus kuserahkan payung ini?" kata Siauw Ceng.
Ketika mendengar Siauw Ceng akan datang untuk mengantarkan payungnya ke rumah kakak perempuannya, Han Bun menjadi kaget. Rupanya dia tak berani mengizinkan Siaw Ceng datang ke rumah kakak perempuannya karena selama ini kakak perempuannya mengetahui bahwa Han Bun seorang alim dan pendiam. Jadi kalau sampai Siauw Ceng datang. sudah pasti kakak perempuannya akan kaget. Mengingat hal itu dengan segera ia berkata.
"Jangan" kata Han Bun.
"Kenapa. apakah aku tidak boleh datang ke rumah kakakmu?" kata Siauw Ceng
"Bukan begitu, tapi lebih baik kau tak usah antar payung ini ke rumah kakak perempuanku agar tidak merepotkanmu. Jadi biar saja aku yang mengambil ke gedung kalian. Bagaimana apakah kalian keberatan?" kata Han Bun.
"Oh. tentu saja tidak! Bahkan kurasa itu lebih baik! Jadi besok kau benar-benar akan datang ke rumah kami? Kalau
begitu terima kasih. Maaf, karena kami telah menyusahkanmu Tuan." kata Siauw Ceng.
"Tak apa, tapi di mana alamatmu'!" kata Han Bun.
Sinnw Ceng segera menyebutkan nama jalan tempat tinggal mereka.
Tak lama Siauw Ceng berkata lagi,
"Nah, itulah tempat tinggal kami, besok kau boleh datang ke sana untuk mengmbil payungmu!"
Sesudah Han Bun mengetahui alamat rumah si nona. kedua perempuan itu mengucapkan terima kasih dan selamat berpisah .Sementara itu Peh Tin Nio yang berjalan dengan perlahan masih tetap dituntun oleh Siauw Ceng.Sedangkan Han Bun yang semakin tertarik oleh kecantikan Peh Tin Nio, mengawasi kedua perempuan itu sampai keduanya tak nampak lagi bayangannya .Padahal saat itu hujan gerimis masih tetap turun hingga sekujur tubuh Han Bun basah kuyup. Namun, tak dihiraukan olew Khouw Han Bun yang sedang gembira. Dia tetap mengawasi dengan penuh perhatian seolah sukmanya amat tertarik dengan kedua wanita itu.
__________
KHOUW HAN BUN DIBERI UANG
Begitu Khouw Han Bun tiba di rumah kakak perempuannya. dia segera mengetuk pintu. Tak lama kakak perempuannya membukakan pintu. Setelah dilihatnya yang datang adalah adiknya, Kiauw Yong nampak sangat gembira
"Oh Han Bun, kenapa kau pulang? Apakah di toko Tuan Ong tidak sibuk? Memangnya hari ini hari apa?" tanya kakaknya
"Harian Ceng Beng, Kak. Maka itu aku bisa pulang." kata Han Bun
"Aku baru saja dan kuburan ayah dan Ibu kita. Sesudah membersihkan kuburan dan sembahyang di sana, aku menyempatkan diri untuk datang ke mari. Apalagi aku sudah kangen sekali pada Ci-hu dan Kakak."
"Sebenarnya aku pun kangen padamu, tapi karena kau harus belajar bekerja, terpaksa aku menahan dia tak datang menjengukmu." kata kakaknya.
"Bagaimana keadaan kalian?" kata Han Bun.
"Kami sehat-sehat saja, Han Bun."
Kiauw Yong sangat senang karena adiknya sangat memperhatikan keadaan mereka.
"Sekarang di mana Ci-hu?" kata Han Bun.
"Dia masih bekerja di kantornya. tak lama lagi dia juga pulang." jawab kakaknya.
"Lama tidak ya, Kak?" tanya Han Bun.
"Aku rasa tidak, lebih baik kau makan saja dulu." kata
Kiauw Yong.
Setelah pembantu rumahnya membawakan nasi dan sayur keduanya lalu makan sambil berbincang-bincang. Namun dalam percakapan mereka, Han Bun tidak menceritakan tentang pertemuannya dengan kedua wanita cantik itu. Bahkan tentang payung yang dipinjamkan, juga tak diceritakan kepada kakaknya. Han Bun hanya bercerita bahwa majikannya sangat menyayanginya. Mendengar hal itu tentu saja Kiauw Yong sangat senang.
Selesai makan, mereka meneruskan percakapan mereka di ruang lain karena pembantu rumah Kiauw Yong hendak membersihkan meja makan itu.
Namun sesudah Han Bun menunggu sampai hari telah malam, Li Kong Hu belum juga pulang. Akhirnya dengan terpaksa dia bermalam di rumah kakaknya. Saat itu Han Bun tak bisa memejamkan matanya karena selalu teringat pada kedua nona cantik itu.
*****
Dikisahkan setelah kedua nona cantik itu bertemu dengan Khouw Han Bun di perahu. mereka lalu pulang ke gedung tua tempat di mana mereka tinggal selama ini.
"Kakak Peh, bagaimana menurut pendapatmu mengenai pemuda tadi?" kata Siauw Ceng.
"Dia cakap dan baik hati! Tapi setelah kudengar dari ceritanya bahwa dia bekerja di toko obat, kurasa dia pasti seorang miskin. Dengan demikian jika aku kawin dengannya, sudah tentu hidup kami akan susah. Sedangkan aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan?" kata Peh Tin NiO.
"Bagaimana kalau dia kita beri uang?" kata Siauw Ceng
"Sebenarnya aku pun bermaksud begitu. Tapi karena kita tak punya uang, lalu apa yang harus kita perbuat?" kata Peh Tin Nio kebingunan.
"Kuharap Kakak jangan cemas! Apalagi kau pun berilmu tinggi, jadi kenapa tidak kau gunakan ilmumu untuk menolo pemuda miskin yang pemalu itu? Dengan demikian kalian akan hidup bahagia karena dia menjadi orang kaya.?" kata Siaw Ceng
Mendengar ucapan sahabatnya, Peh Tin Nio girang,
"Ah kau benar. Siauw Ceng. Kalau begitu malam ini akan kita gunakan ilmu kesaktianku!" kata Peh Tin Nio.
*** Malamnya....
Tepat jam dua tengah malam. Peh Tin Nio segera membaca mantera.
Tak lama dari empat penjuru telah bermunculan para hantu dan iblis menghadap padanya.
"Nio-nio, ada urusan apa hingga kau memanggil kami" tanya para iblis itu.
"Aku ingin menyuruh kalian untuk mengerjakan sesuatu" kata Peh Tin Nio.
"Apa yang harus kami kerjakan?" tanya mereka
"Malam ini Juga kalian harus mendapatkan 1000 tail perak. Awas, kuharap kalian jangan gagal!" kata Peh Tin Nio.
"Baik Nio-nio." jawab setan-setan itu.
Tak lama sesudah kelima setan itu berunding maka keluarlah mereka dari gedung tua itu.
"Di mana kita akan mendapatkan uang itu?" kata salah satu setan.
"Bagaimana kalau kita mencuri uang itu di Gudang Ko Cian Tong Koan?" kata yang lain.
"Ah kau benar. kalau begitu lekas kita pergi ke sana sebelum kesiangan " kata yang lainnya lagi.
Sesudah ada kata sepakat di antara para setan itu. maka berangkatlah mereka ke gudang uang di Cian Tong Koan. Begitu sampai di gudang, dengan menggunakan kepandaiannya mereka membuka pintu dan tempat uang .Sesudah itu dengan segera mereka mengambil 20 kantung uang yang Jumlahnya 1000 tail. Kemudian mereka pun bergegas kembali ke kediaman Peh Tin Nio dan Siauw Ceng .
Begitu mereka sampai, Peh Tin Nio langsung bertanya,
"Bagaimana, apakah kalian berhasil?!"
"Sudah Nio-nio, Jumlah uang ini tak kurang dari 1000 tail perak." kata salah satu setan yang menyerahkan uang itu kepada Peh Tin Nio.
"Terima kasih, sekarang kalian boleh kembali ke tempatmu masing masing,
" kata Peh Tin Nio.
Setelah setan-setan itu kembali ke kediamannya. Peh Tin Nio menyimpan uang itu baik-baik.
******
Dikisahkan Khouw Han Bun yang bermalam di rumah kakak perempuannya, hingga 'pagi belum bisa memejamkan matanya apalagi tertidur pulas
Esok harinya....
Pagi-pagi sekali sesudah dia mandi, dia langsung pamit pada kakak perempuannya
"Kok buru-buru sekali?" kata sang kakak
"Aku harus segera kembali ke toko obat karena kuatir Wan-gwe akan menungguku. Apalagi aku belum minta izin
bahwa aku mau bermalam di rumahmu. Kak." kata Han Bun berbohong.
"Oh, kalau begitu baiklah," kata sang kakak.
Akhirnya tanpa sarapan lagi Han Bun langsung meninggalkan rumah kakaknya.Namun Han Bun bukan
langsung kembali ke tempat kerjanya, melainkan pergi ke Jalan Siang The Hang. Ketika itu Han Bun bertemu dengan orang yang berusia lanjut.
"Maaf Paman, kalau boleh aku ingin bertanya di mana rumah pembesar she Peh yang ada di gang ini?" kata Han Bun.
Mendengar pertanyaan Khouw Han Bun. orang tua itu menjadi kaget sebab sampai saat ini dia belum pernah mendengar ada pembesar bermarga Peh tinggal di sekitar itu.
"Oh maaf, aku tidak tahu!" jawab si empe lalu ia pun pergi.
Mendapat jawaban itu Han Bun heran. tapi sebelum ia bertanya lagi orang itu sudah berjalan jauh
Sambil berjalan si empe menggerutu.
"Dasar orang sinting, mana ada pembesar bermarga Peh yang tinggal di tempat ini, huh ada-ada saja" katanya.
Walau Han Bun masih sempat mendengar ucapan si empe secara samar-samar, dia tak mau menghiraukanya. Dia hanya memasuki gang itu hingga akhirnya dia sampai di depan pekarangan sebuah gedung bekas rumah pembesar yang sudah lama dikosongkan.
Han Bun segera mengawasinya dengan seksama. Ternyata gedung itu masih indah. Tak lama ketika dilihatnya seorang gadis manis muncul, ternyata gadis itu Siauw Ceng.
"Nona! Nona Siauw, aku datang!" teriak Han Bun.
"Oh. aku kira siapa? Ternyata pagi-pagi begini Tuan sudah sampai. Ayo mari masuk!" kata Siauw Ceng
Kemudian Siauw Ceng mengajak Han Bun masuk ke Paseban Cut Yang Teng.
"Tuan, kau tunggu dulu di sini. Aku akan memanggil nonaku agar menemuimu," kata Siauw Ceng sambil tersenyum.
'Tak usah! Jangan repot-repot, jangan kau ganggu nonamu. Kedatanganku hanya ingin mengambil payungku. Lagipula aku
pun akan segera pulang. Dan sebaiknya kau juga jangan memanggilku dengan sebutan Tuan sebab aku orang miskin. Karena keadaanku ini, aku tak berani menerima panggilan itu, Nona!" kata Han Bun.
"Oh kau tunggu sebentar sebab kalau tak diberitahu, nonaku bisa marah. Tadi pun aku telah dipesan, agar memberitahu jika kau datang. Mungkin dia ingin bertemu denganmu, Tuan. Tadi katanya dia mau mengucapkan terima kasihnya sendiri kepadamu," jawab Siauw Ceng.
"Ah kuharap kau jangan membicarakan soal budi, padahal aku hanya meminjamkan sebuah payung. Dengan demikian dia tak perlu bersusah payah untuk mengucapkan terima kasih kepadaku. Sekarang lekaslah kau ambilkan payungku, agar aku dapat segera pergi!" kata Han Bun.
"Jangan Tuan, kau jangan pergi dulu. Kuharap kau tunggu sebentar sampai nonaku ke luar," kata Siauw Ceng memaksa.
Akhirnya karena dia dipaksa menunggu, terpaksa Han Bun menurut. Padahal Han Bun sebenarnya memang ingin menemui si nona berbaju putih itu.
"Baiklah jika kau memaksa, Nona." jawab Han Bun akhirnya.
"Tapi kalau bisa lekas sedikit sebab aku harus segera pulang!"
Siauw Ceng hanya tersenyum saja. Sesudah itu dia pun masuk untuk memberitahu nonanya. Tak lama maka terciumlah bau harum semerbak hingga akhirnya Siauw Ceng dan Peh Tin Nio muncul menemui Han Bun yang sedang duduk di paseban. Melihat mereka muncul, Han Bun segera bangun untuk memberi hormat yang dibalas oleh si nona.
"Terima kasih atas kebaikanmu kemarin. Jika saja kau tak meminjamkan payungmu. sudah pasti kami akan basah kuyup karena kehujanan," kata Peh Tin Nio dengan ramah.
"Ah tak usah terlalu memuji dan berterima kasih, Kukira itu
soal kecil, jadi tak perlu Nona memujiku" kata Han Bun dan wajah yang berubah merah.
"Silakan duduk, Tuan," kata Peh Tin Nio.
Siauw Ceng segera menyuguhi mereka teh hangat .
"Ayo, silakan diminum tehnya,
" kata Peh Tin Nio.
Tak lama sesudah Han Bun meneguk teh hangat itu, Siauw Ceng menyerahkan payung kepadanya
"Tuan, ini payungmu." kata Siauw Ceng.
"Terima kasih." kata Han Bun.
Tak lama Han Bun berdiri sambil memberi hormat,
"Kalau begitu sekarang aku pamit untuk pulang."
"Mengapa kau terburu-buru pulang? Lebih baik kau makan dulu. Tuan." kata Peh Tin Nio.
"Sesudah kau makan, barulah kau pulang."
"Terima kasih, aku sudah makan!" jawab Han Bun.
"Ah kau jangan begitu, 'Tuan. Seharusnya kau makan dulu sebab aku dengan tulus hati mengundangmu makan. walaupun hanya makan seadanya. Selain itu kuharap kau jangan kapok, berkunjunglah lagi ke tempat kami yang sederhana ini." kata Peh Tin Nio.
Mendengar suara yang halus dan sopan dari Peh Tin Nio. Han Bun jadi serba salah. Karena itu dia tak berani menolak atau berkata-kata. Padahal otaknya masih bekerja.
"Ah memang pantas kalau dia anak seorang pembesar. bicaranya saja lembut dan sopan. Hal ini menandakan bahwa dia turunan orang baik-baik." pikirnya.
Sesudah itu Han Bun segera memberi hormat.
"Tak usah repot-repot, Nona! Aku ini orang miskin, jadi kau tak perlu memperlakukan aku begitu baik. Terima kasih." kata Han Bun.
"Mengapa kau berkata begitu Tuan? Sedangkan kemana budimu pada kami sangat besar. Kau telah meminjamkan payungmu pada kami, padahal kau sendiri kehujanan," kata Peh Tin Nio
Tak lama Siauw Ceng membawa hidangan, lalu dia meletakkannya di atas meja.
"Mari kita nikmati hidangan sederhana ini," kata Peh Tin Nio kepada tamunya .
Karena hidangan sudah tersedia, mau tak mau Han Bun terpaksa menerima undangan itu. Saat itu Siauw Ceng duduk di samping nonanya, dengan poci arak siap di tangannya agar dapat melayani mereka.
Sambil makan Han Bun tetap menunduk, mungkin karena dia pemalu. Apalagi Han Bun belum pernah bergaul dengan wanita lain, selain dengan kakak perempuannya.
Sedangkan Siauw Ceng yang memperhatikan Han Bun menunduk malu-_ malu, segera menggodanya.
""Tuan Han. apakah kau punya toko?" tanya Siauw Ceng.
"Oh tidak! Bukan punyaku, aku hanya bekerja di toko obat itu,
" kata Han Bun.
"Wah Kalau begitu gajimu besar dong?" kata Siauw Ceng.
"Ah tidak Juga. hanya cukupan saja;" jawab Han Bun malu-malu.
"Sebaiknya Tuan Han buka saja toko sendiri." kata Siauw Ceng menggoda
"Ah. rupanya kalian tak mengerti keadaan. Saat ini untuk mencari uang tidaklah gampang. apalagi membuka toko sendiri? Wah kukira impian itu tidak akan menjadi kenyataan. Sekalipun aku bekerja dengan baik dan disayang oleh majikanku, kukira utuk mengumpulkan uang sampai aku bisa membuka toko obat sendiri. cuma impian belaka ..." kata Han Bun tak malu-malu.
"Kuharap kau jangan pesimis, Tuan Han! Siapa tahu akan ada yang mau membantumu?" kata Siauw Ceng menggoda Khouw Han Bun.
"Mudah-mudahan saja begitu, Nona. Tapi aku tidak yakin akan hal itu." jawab Han Bun.
"Kemarin pertolonganmu itu sungguh-sungguh membuat kami bersyukur sekali," kata Peh Tin Nio.
"Ah itukan kewajiban setiap orang. Sebagai manusia sudah seharusnya kita saling tolong-menolong pada sesama, dan... dan...." Han Bun tak meneruskan kata-katanya.
"Tuan Han, apa yang paling menyenangkan bagimu?" tanya Siauw Ceng lagi.
"Ya berbincang-bincang, apalagi dengan sahabat baikku,
" kata Han Bun.
Tak lama Siauw Ceng pergi ke belakang hendak mengambil arak, disusul oleh Peh Tin Nio akan membantu temannya itu.
Saat bertemu dengan Siauw Ceng, Peh Tin Nio tersenyum..
"Bagaimana, ganteng bukan? Apa perlu kuusir dia?" Siauw Ceng menggoda temannya.
Namun Peh Tin Nio hanya menunduk malu.
"Atau kau ingin agar dia tinggal terus bersama kita di sini?" goda Siauw Ceng.
"Siauw Ceng, aku harapkan kau jangan menggodaku terus! Bukankah kau sudah tahu bagaimana perasaanku!" jawab Peh Tin Nio.
Namun ketika dilihatnya wajah Peh Tin Nio berubah merah, Siauw Ceng menggoda lagi.
"Ya aku mengerti, kau tentu menginginkan agar aku jadi mak comblang bagi kalian, bukan?" katanya .
Ketika Han Bun merasa sudah puas. dia segera akan pamit.
"Nona aku permisi dahulu!" kata Han Bun
"Jangan buru-buru pulang, Tuan!" teriak Siauw Ceng yang segera ke luar.
"Hm. baiklah. Tapi bagaimana kalau aku kemalaman di sini?" kata Han Bun.
"Aku akan meminjamkan lentera kepadamu. Bukankah kau juga telah meminjamkan payungmu kepada kami?" kata Siauw Ceng menggoda
"Ah kau ada-ada saja, Nona," jawab Han Bun.
"Tuan Han. berapa usiamu sekarang?"
"Dua puluh tahun...."
"Apakah kau sudah menikah?"
"Belum."
"Katamu kau sudah berusia dua puluh tahun. tapi mengapa kau belum menikah juga"
"Tadi sudah kukatakan berulang kali. bahwa aku seorang miskin. Jadi mana mungkin ada wanita yang mau kepadaku?" jawab Han Bun malu-malu.
"Kalau kau mau. aku bisa mencarikan calon isteri." kata Siauw Ceng tegas.
"Ah kau jangan bergurau sebab mana mungkin orang semiskin aku dapat mempunyai isteri?" kata Han Bun.
"Kalau kau menuruti saranku. kukira soal uang tak perlu dipikirkan. Tuan Han."
"Memang apa saranmu itu?" tanya Han Bun.
"Begini! Sebenarnya usia Nona Peh Tin Nio tak jauh berbeda dengan usia Tuan. Sedangkan saat ini dia masih sendirian. Saat bertemu Tuan. dia telah jatuh Cinta kepada Tuan," kata Siauw Ceng.
"Ah tak mungkin!" kata Han Bun.
"Tuan Han. maukah kau menikah dengannya?" tanya Siauw Ceng.
"Aku sih mau saja. Tapi seperti yang kukatakan tadi bahwa aku seorang yang miskin, jadi bagaimana mungkin aku bisa menikahinya?" kata Han Bun.
"Tadi pun sudah aku katakan, bahwa ,soal itu bukan masalah," kata Siauw Ceng,
"Tidak. tidak mungkin. Rasanya hal itu seperti mimpi saja." kata Han Bun.
Tak lama Peh Tin Nio muncul dengan wajah merah dadu
Melihat Nona Peh muncul. Han Bun menggeleng-gelengkan kepalanya.
Kemudian Peh Tin Nio mengajaknya bicara.
"Aku hidup sebatang kara, tak punya sanak famili. Untung Siauw Ceng menemaniku sejak ayah dan ibuku meninggal... Kemarin karena Ceng Beng, kami pergi ke kuburan orang tuaku hingga bertemu dengan Tuan di sana. Bahkan Tuan juga telah bersusah payah mengajak kami naik perahu serta meminjamkan payung.... Kalau tidak entah apa jadinya kami, sudah pasti kami akan basah kuyup. Kini karena aku hidup sebatang kara. aku merasa bersyukur sekali jika ada orang yang mau melamarku. Tapi siapa yang mau kepadaku, apalagi aku jelek. Jika ada yang mau kepadaku. biar dijadikan gundiknya pun aku mau...." kata Peh Tin Nio.
Han Bun yang baru saja menenggak arak beberapa cawan menjadi girang ketika mendengar ucapan si nona.
"Ah. kau ada-ada saja. Nona. Masa tak ada orang yang mau kepada gadis secantik Nona. Apalagi Anda seorang anak pembesar tidak seperti aku yang miskin. Seharusnya akulah orangnya yang tidak ada yang mau. Sebenarnya nasibku pun sama seperti Anda. tapi hidupku jauh lebih menderita. Rumah
saja aku tak punya, sedangkan sekarang aku menumpang di rumah Hartawan Ong. Untung saja dia mau memperkerjakan aku sebagai pelayan toko obatnya untuk menyambung hidup . _ Jika aku memberanikan diri untuk melamar-mu, rasanya tak mungkin. Sungguh, aku tidak berani apalagi hidupku terlalu miskin" kata Han Bun yang mulai berani berbicara.
Mendengar ucapan Han Bun, Nona Peh tersenyum manis
"Jangan terlalu merendah, Tuan . Memang apa halangannya kalau orang miskin menikahi seorang wanita? Aku kira hal itu tak ada salahnya. bukan? Apalagi soal Jodoh ada di tangan Thian (Tuhan). Jika ada seorang wanita yang mengharapkan suaminya kaya, kukira pikiran wanita terlalu pendek. Aku bukan wanita semacam itu...." kata Peh Tin Nio
"Sudahlah Nona, terus terang aku katakan bahwa aku benar-benar orang miskin. Sedangkan aku tidak mempunyai apa-apa. jadi bagaimana mungkin aku bisa menikahimu. Nona!" kata Han Bun
"Ah, kau cuma memikirkan uang saja"
"Tentu saja, bukankah kalau kita menikah akan banyak memakai uang, belum lagi untuk biaya hidup selanjutnya...." kata Han Bun
Siauw Ceng segera masuk tak lama dia pun sudah kembali sambil membawa 100 tail uang perak yang kemudian diserahkan kepada nonanya. Ketika Khouw Han Bun pamitan pulang, Peh Tin Nio menyerahkan uang itu.
"Bawalah uang ini agar kau bisa berbelanja untuk persiapan perkawinan kita, Jika masih kurang, kau boleh datang lagi untuk mengambilnya." kata Nona Peh Tin Nio.
Mendapat uang itu, betapa girangnya Khouw Han Bun. Kemudian tanpa malu-malu lagi, dia segera menyambut uang itu.
"Oh terima kasih Nona. Kalau begitu sekarang aku pulang
dulu ke rumah kakak perempuanku. Setiba di sana akan kuberitahu mereka mengenai persoalan kita. Kemudian akan kuminta agar kakakku mengatur urusan kita. Sampai jumpa lagi Nona!" kata Han Bun.
"Baiklah, tapi kumohon agar kau menepati janjimu'" kata Peh Tin Nio.
"Baiklah, jika sampai aku melanggar janjiku, biarlah aku dikutuk oleh Thian (Tuhan)." kata Han Bun.
Kemudian sesudah memberi hormat, maka kembalilah Han Bun ke rumah kakak perempuanya. Saat itu bukan main gembira hatinya karena si nona bersedia jadi isterinya.
__________
KHOUW HAN BUN DIHUKUM CAMBUK OLEH TI-KOAN
SAAT itu dikisahkan Li Kong Hu baru saja tiba di rumahnya. Wajahnya tampak muram sepulang dari tempat kerjanya. Hal itu membuat Kiauw Yong keheranan.
"Suamiku. apa yang telah terjadi, kelihatannya kau sangat susah?" tegur Kiauw Yong.
"Celaka! Celaka sekali Isteriku, tadi malam gudang uang yang kami jaga telah kehilangan 1000 tail perak," kata suaminya.
"Yang mengherankan, pintu gudang dan petinya tetap terkunci!"
"Aneh sekali. lalu bagaimana selanjutnya?" tanya Kiauw Yong.
"Tentu saja kami jadi panik. Sebab mana mungkin kalau pintu gudang itu masih terkunci dan peti uangnya tidak dirusak, uang 1000 tail bisa hilang. Apakah hal itu tidak mengherankan?" kata suaminya. .
"Ah aneh sekali. Tapi apakah hal ini sudah kau laporkan?" kata isterinya.
"Sudah, bahkan ketika aku melaporkan hal itu kepada Ti-koan (Asisten Wedana), kami pun segera memeriksanya ke gudang penyimpanan uang. Ternyata uang itu memang hilang, jumlah uang yang hilang 1000 tail perak." kata Li Kong Hu.
"Lalu apa kata Ti-koan?"
"Dia bilang itu bukan perbuatan pencuri sebab jika pencuri yang melakukannya, sudah pasti kunci pintu dan kunci peti uang
ini akan dirusak," jawab Kong Hu.
"Kemudian apa pendapat Ti-koan selanjutnya?"
"Dia bilang pasti mereka salah menghitung ketika menerima uang itu, atau mungkin juga uang itu berlebih ketika dibelanjakan!" jawab suaminya.
"Wah aneh sekali, sekarang apa tindakan Ti-koan?" tanya isterinya.
"Setelah kehilangan uang itu, Ti-koan langsung memeriksa daftar dan mengumpulkan penjaga pada malam itu, mereka ditanyainya!" kata Kong Hu.


Legenda Ular Putih Karya Marcus As di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lalu apa jawab mereka?"
"Mereka tidak tahu-menahu. Lagipula kalau benar ada pencuri yang masuk, masakan yang lainnya juga tak mendengarnya? Jadi kata mereka, pasti salah menghitung."
"Sungguh mengherankan?" kata Kiauw Yong.
"Akhirnya karena Ti-koan penasaran aku dipanggilnya. Kemudian setelah aku datang, aku diharuskan mencari uang itu, Sialnya jika aku tak berhasil, aku akan dihukum rangket sebanyak 20 kali pukulan rotan. Untuk itu aku diberi waktu tiga hari. kalau aku belum berhasil hukuman itu akan dilaksanakan!" kata suaminya.
"Oh, pantas saja wajahmu murung. Rupanya kau sedang diancam akan dihukum kalau kau tak berhasil menemukan uang itu?"
"Benar Isteriku. Jadi apa yang harus kuperbuat?" kata Li Kong Hu kebingungan.
Pada saat Li Kong Hu baru selesai bercerita, Khouw Han Bun tiba dengan wajah berseri-seri. Saat itu wajahnya agak merah karena habis meminum arak, sedang di tangannya tergenggam bungkusan uang. Begitu masuk dia segera bertemu dengan kakak perempuan dan kakak iparnya yang sedang
berbincang bincang. Han Bun datang menghampirinya sambil tersenyum-senyum, melihat hal itu Kiauw Yong keheranan
"Eh Han Bun tadi kau sudah permisi ingin buru-buru pulang sebab katamu, kau takut dimarahi majikanmu. Tapi kenapa kau malah kembali lagi ke sini? Kenapa pula wajahmu merah, apakah kau baru minum arak? Kau sedang senang, ya?" tegur kakak perempuannya.
"Han Bun! Sebenarnya kau dari mana?"
Namun Han Bun hanya tertawa saja.
"Aku membawa kabar baik, Kak!" kata Han Bun sambil tertawa riang.
"Coba kau katakan, kabar apa itu?" tegur Li Kong Hu penasaran.
"Begini En-ci dan Ci-hu. kemarin ketika aku pergi ke kuburan ayah dan ibu, sehabis sembahyang aku jalan-jalan ke Telaga Barat untuk menyaksikan keramaian di sana. Namun karena hujan turun secara tiba-tiba, maka aku naik perahu. Tiba-tiba aku melihat dua orang wanita sedang kehujanan. Karena aku merasa kasian aku pun mengajak mereka. lalu kupinjami mereka payung. Ternyata dia tinggal di Gang Siong The Hang, sedang nama nona itu Peh Tin Nio dan Siauw Ceng. Sedangkan umur mereka sekitar 17 tahun. Tadi pagi ketika aku berniat mengambil payung yang kupinjamkan itu, di sana aku dijamu makan. Namun pada perjamuan itu..,Peh Tin Nio mengajakku kawin, sekalipun telah kukatakan bahwa aku miskin dan tak punya apa-apa. Begitu dia mendengar pengakuan jujurku. Nona Peh Tin Nio memberiku uang sebanyak 100 tail." kata Han Bun sambil menunjukkan uangnya.
"Kumohon agar Ci-hu dan En-ci mau membantuku untuk membeli berbagai keperluan perkawinan kami. Sekarang uang ini kuserahkan kepada En-ci " kata Han Bun sambil menyerahkan kantung uang kepada kakak perempuannya.
Begitu kakak perempuannya itu menerima uang, ia girang
sekali. Demikian pula Li Kong Hu yang sebagai kakak iparnya.
Namun ketika uang itu diperiksa, Li Kong Hu menjadi kaget. Ternyata dia dapat mengenali bahwa uang itu milik negara yakni uang yang semalam hilang dari gudang Ti-koan. Saking terkejutnya mata Li Kong Hu terbelalak . Rupanya dia merasa heran, bagaimana mungkin uang itu ada di tangan adik iparnya,
"Padahal gara-gara uang ini aku diberi waktu tiga hari untuk mengungkap di mana uang itu berada. Tapi nyatanya sekarang uang ini malah ada di tangan adik iparku. Oh kiranya Thian masih melindungi aku, kalau tidak ada sudah tentu aku celaka. Selain itu aku juga akan mendapat malu karena dihajar 20 rotan," pikir Li Kong Hu.
Setelah berpikir demikian, dia berkata kepada adik iparnya.
"Adikku, kalau kau bertemu jodoh dan hendak menikah, mungkin karena sudah kehendak Thian," kata Kong Hu.
"Tadi kau minta agar kami membantumu. Baiklah, sekarang akan kubawa uangmu agar dapat kubelanjakan untuk pernikahanmu"
"Oh terima kasih Ci-hu. Sedangkan uang itu boleh kau belanjakan apa yang baik menurutmu." kata sang adik ipar.
"Baiklah, aku pergi dulu!" kata Kong Hu yang segera pergi membawa uang itu.
Namun sampai di jalan, Li Kong Hu bukan pergi untuk berbelanja, tapi dia langsung ke kantor Ti-koan di Cian Tong Koan. Begitu masuk Kong Hu segera meletakkan uang 100 tail itu di meja Ti-koan. Sesudah itu dia berkata dengan tenang.
"Tuan, karena hamba orang kecil yang jujur, hamba datang untuk melapor. Soal uang yang hilang di gudang, sekarang sudah mendapat titik terang. Tapi sayangnya baru bisa ditemukan dua kantung yang bernilai 100 tail," kata Li Kong Hu
Mendengar laporan itu, Ti-koan segera memeriksa kantong uang itu. Benar saja, ternyata itu benar-benar uang negara yang hilang.
"Kong Hu. dari mana kau dapatkan uang ini?" tanya Ti-koan.
"Uang ini dari Khouw Han Bun adik iparku," kata Li Kong Hu. Kemudian Li Kong Hu menceritakan kembali apa yang diceritakan oleh adik iparnya dengan Jelas.
Mendengar cerita itu, Ti-koan manggut-manggut.
"Tapi bagamana uang itu bisa jatuh ke tanganmu?"
"Adik iparku memintaku agar aku membelanjakan uang ini untuk keperluan pernikahannya, Tuan." kata Kong Hu dengan jujur.
Sesudah mendengar laporan Li Kong Hu, Ti-koan langsung membuat surat penangkapan. Kemudian sesudah itu dia mengutus empat orang petugas agar datang ke rumah Li Kong Hu untuk menangkap Khouw Han Bun.
Mendapat perintah itu. tanpa banyak bicara lagi keempat petugas itu segera berangkat ke rumah Li Kong Hu. Begitu sampai mereka langsung masuk. Namun Han Bun yang melihat para petugas itu demikian kasar menerobos masuk, segera menegur mereka.
"Hai apa-apaan ini, Siapa yang kalian cari?" tanya Hari Bun
"Kami ditugaskan untuk menangkap seseorang," jawab para petugas.
"Aku Khouw Han Bun. adik ipar pemilik rumah ini. Sedangkan kakakku juga petugas di kantor Ti-koan. Sebenarnya siapa yang mau kau tangkap?" tanya Han Bun.
Namun begitu mereka mendengar bahwa orang itu bernama Han Bun dengan serentak para petugas itu mengepungnya.
Kemudian menangkap Han Bun, tangannya diborgol dan ia dibawa ke kantor Ti-koan
"Eh mengapa kau menangkapku, memang apa salahku?" teriak Han Bun kaget.
"Diam, kau jangan banyak bicara! Nanti saja kau bicara di kantor Ti-koan!" kata para petugas.
"Tapi apa salahku?" teriak Han Bun.
"Diam! Lagipula kamu kan bukan orang gila, menangkap orang tanpa sebab? Ayo sekarang kau ikut kami!" kata petugas itu.
Mendengar ribut-ribut di luar, Kiauw Yong segera ke luar dari kamarnya. Tapi begitu ke luar, dia jadi kaget bercampur heran ketika, melihat adiknya ditangkap oleh petugas.
"Hai mengapa kalian menangkap adikku? Memang apa salahnya? Seharusnya kalian menunggu sampai suamiku pulang" teriak Kiauw Yong
Tapi para petugas itu tidak menghiraukan teriakan Kiauw Yong, mereka terus menyeret Han Bun dengan disaksikan oleh para tetangga rumah kakak perempuannya. Sedangkan Kiauw Yong yang tak berani menyusul, dengan terpaksa harus menunggu sampai suaminya pulang.
Tak lama setelah para petugas itu sampai di kantor Ti-koan, Han Bun langsung dihadapkan pada Ti-koan.
Ketika Ti-koan mengawasi ke arah Han Bun. ia merasa kagum kepada Han Bun.
"Ah. ternyata pemuda ini begitu tampan!." pikirnya
"Pakaiannya juga tapi, tampaknya ia seorang terpelajar. Kalau kulihat dari wajahnya yang lugu, rasanya dia bukan seorang penjahat atau pun maling "
Setelah berpikir demikian, akhirnya Ti-koan bertanya
"Kaukah yang benama Khouw Han Bun?" tanya Ti-koan.
"Benar Tuan"
"Berapa umurmu dan di mana kau tinggal? Coba tolong kau terangkan! riwayat hidupmu secara singkat tapi jelas!" kata Ti-koan.
"Nama hamba Khouw Han Bun, sekarang usia hamba baru 20 tahun. Sejak kecil hamba dirawat oleh En-ci dan Ci-hu Li Kong Hu, sebab ayah dan ibu hamba telah tiada. Tapi kini hamba telah bekerja di toko obat Ong Beng." jawab Han Bun dengan jujur.
"Lalu dari mana kau memperoleh uang ini?" kata 'Ti-koan.
Melihat kantong uang yang ia berikan kepada kakak iparnya ada di atas meja, Han Bun menjadi kaget.
"Uang ini pemberian seseorang, Tuan. Namun hamba tidak tahu uang apa dan dari mana asalnya?" jawab Han Bun dengan gugup.
"Siapa yang memberi uang itu?" tanya Ti-koan.
Mendengar pertanyaan itu. Han Bun yang kaget jadi serba salah. Sebab jika dia berterus terang, sudah pasti Nona Peh akan celaka. Tapi jika dia tidak berterus terang, dia juga akan mendapat hukuman.
"Ayo jawab, siapa orangnya yang telah memberi uang ini kepadamu?" tegur Ti-koan lagi.
"Maaf Tuan, orang yang memberi uang itu bukan berasal dari daerah ini. Sedangkan namanya juga aku lupa, jadi maafkan hamba. Rupanya karena kami sudah lama tak bertemu. maka dia memberi hamba uang itu." jawab Han Bun berbohong.
Dia tak mau berterus terang sebab tak tega kepada Nona Peh. Rupanya Han Bun takut kalau Peh Tin Nio ketahuan. sudah tentu dia akan mendapat susah. Akhirnya karena dia berpikir begitu, dia rela kalau dia yang dihukum
"Hm sungguh beraninya kau berbohong di depanku. Hai
pengawal, lekas kau seret dia dan hajar dia sebanyak 40 pukulan!" teriak Ti-koan.
Tak lama Han Bun diseret dan diikat, lalu dia dihajar dengan rotan besar hingga tubuhnya luka-luka .Tak lama Han Bun yang kesakitan menjerit-jerit. Tapi baru beberapa pukulan dia sudah pingsan. Tubuhnya mandi darah dengan luka yang cukup parah.
Sesudah disiram, beberapa saat kemudian Han Bun siuman.
"Ampun Tuan, jangan pukuli hamba lagi," ratap Han Bun.
"Hm kenapa kau tak berterus terang kepadaku, padahal aku sudah mempunyai saksi." kata Ti-koan.
Mendengar kata Ti-koan. Han Bun ingin tahu siapa yang mengadukan dirinya segera berkata.
"Kalau hamba bersalah, tolong Tuan katakan siapa yang mengadukan hal itu kepada Tuanku?" kata Han Bun.
"Baiklah. Hai pengawal, panggil Li Kong Hu dan bawa ke mari!" perintah Ti-koan.
Tak lama Kong Hu masuk ke ruang sidang. Melihat kakak iparnya. Han Bun kaget. Rupanya dia tak menyangka bahwa yang mengadukan dirinya justru kakak iparnya sendiri.
Ketika Kong Hu menghampiri Han Bun. ia berkata.
"Dik. tadi kau bilang bahwa orang yang memberimu uang bernama Peh Tin Nio .Ketahuilah olehmu. Ternyata uang itu uang negara yang hilang .Jadi mengingat hal itu terpaksa uang itu tak kubelanjakan seperti pesanmu. tapi kukembalikan ke kantor Ti-koan. Sebenarnya uang yang hilang seluruhnya berjumlah 1000 tail. Saat itu aku diberi waktu selama tiga hari untuk mencarinya. Sedangkan kalau aku gagal. aku akan dihukum rotan sebanyak 20 kali!" kata Li Kong Hu.
Han Bun yang mendengar pengakuan kakak iparnya, jadi kaget, Apalagi kakak iparnya sudah membuka seluruh rahasianya hingga dia tidak bisa melindungi Nona Peh lagi.
Akhirnya secara terus terang Khouw Han Bun mengisahkan seluruh pengalamannya, dari mulai bertemu dengan Peh Tin Nio sampai dia dihukum rotan oleh Ti-koan.
Mendengar pengakuan Han Bun, Ti-koan senang sekali. Apalagi pengakuan Han Bun tertulis dan ditanda tangani
"Hm, aku merasa senang karena kau mau berterus terang. Tapi karena kami kehilangan 20 kantung uang dan kau baru mengembalikannya 2 kantung. Jadi di mana disimpannya yang 18 kantung lagi?" kata Ti-koan.
"Maaf Tuan, hamba cuma menerima itu saja, jadi untuk yang lainnya hamba tak tahu?" jawab Han Bun.
"Baiklah, tapi maukah kau kalau aku perintahkan pergi ke rumah perempuan itu bersama para petugas? Dengan demikian kau tak usah menderita karena dihukum!" kata Ti-koan.
"Terima kasih, Tuanku." kata Han Bun.
__________
KHOUW HAN BUN MENEMUKAN DELAPAN BELAS KANTUNG UANG CURIAN
DlKISAHKAN Sesudah Peh Tln Nio dan Siauw Ceng memberi uang kepada Khouw Han Bun. mereka merasa senang karena mendengar sumpah Khouw Han Bun yang bersedia menikah dengan Peh Tin Nio. Tapi sesudah agak lama Han Bun belum kembali, perasaan Peh Tin Nio agak terganggu, dia mulai merasa tak enak hati. Apalagi ketika dia teringat pada uang yang diberikannya kepada Han Bun.
"Oh celaka!" kata Peh Tin Nio.
"Ada apa Siocia?" kata Siauw Ceng kaget.
"Aku teringat akan uang yang kita berikan kepadanya. Ah jangan Jangan uang ini akan mencelakakan dirinya...." kata Peh Tin Nio
"Mengapa begitu. Nio-nio?" tanya Siauw Ceng.
"Karena uang itu milik negara. sedang yang menjaga uang itu kakak iparnya. Jadi jika uang itu diperlihatkan kepada kakak iparnya. sudah pasti dia akan melaporkan hal itu pada atasannya .Dengan demikian bukan saja Han Bun yang akan celaka. tapi persembunyian kita pun akan digeledah" kata Peh Tin Nio.
"Lalu bagaimana kita sekarang?" tanya Siauw Ceng.
"Sekarang kau susul dia. lalu cari keterangan yang jelas," kata Peh Tin Nio.
Mendapat perintah itu. Siauw Ceng segera bergegas ke rumah Han Bun. Namun setiba di sana, ternyata Han Bun sudah dibawa ke kantor 'Ti-Koan karena itu Siauw Ceng terpaksa
menyusul ke sana. Kemudian dengan ilmunya Siauw Ceng terbang untuk mengintai dari suatu tempat. Saat itu dia melihat Han Bun sedang diperiksa dan disiksa oleh anak buah Ti-koan karena Li Kong Hu telah membuka rahasia hubungan mereka. Akhirnya ketika diketahuinya Han Bun dan beberapa petugas akan menggeledah tempatnya, dengan segera Siauw Ceng kembali menemui Peh Tin Nio.
Setiba di sana Siauw Ceng menceritakan kepada majikannya apa yang diketahuinya.
"Celaka, kita harus segera pergi dari sini! Agar Han Bun tak dihukum berat, lebih baik uang yang 18 kantung lagi kita tinggalkan saja di sini. tapi tempatnya dapat terlihat oleh mereka!" kata Peh Tin Nio.
"Kau benar," kata Siauw Ceng.
Sesudah itu dia segera masuk ke kamar untuk mengambil 18 kantung uang itu. Kemudian uang itu diletakkan di ruang tengah. Selesai menaruh uang itu, keduanya lalu bersembunyi.
**** Sementara itu Han Bun bersama delapan petugas sekarang sedang menuju ke tempat Peh Tin Nio. Setelah berjalan agak lama akhirnya mereka sampai di Gang Siong The Hang. Ketika mereka sampai di depan gedung kosong, Han Bun langsung berhenti.
"Inilah tempat tinggal mereka!" kata Han Bun.
Mendengar ucapan Han Bun. ke delapan petugas itu kaget bukan main sebab setahu mereka gedung itu angker dan tak ada penghuninya .Sedangkan sekarang Han Bun malah mengatakan bahwa gedung itulah tempat tinggal Peh Tin Nio dan pelayannya.
Tapi karena mereka berjumlah banyak. kedelapan petugas itu masuk dengan diantar oleh Khouw Han Bun. Apalagi saat itu hari masih siang. Tak lama maka sampailah mereka ke
pekarangan gedung yang cukup luas.
Begitu sampai pintu segera didobrak, lalu mereka pun masuk ke ruang tengah. Ternyata di ruang tengah para petugas itu menemukan 18 kantung uang milik negara. Ketika petugas melakukan penggeledahan, mereka tak menemukan apa-apa. Bahkan di antara para petugas itu ada yang bulu kuduknya merinding. Rupanya dia mendengar bahwa gedung itu dihuni para hantu.
Sesudah menggeledah rumah itu. mereka pun lalu ke luar dan bertanya kepada penduduk sekitar.
"Sudah pernahkah kalian melihat dua perempuan cantik yang menghuni gedung ini?"
"Apa? Dua perempuan cantik hii!" kata mereka.
"Memangnya kenapa?" kata petugas.
"Sebab sudah bertahun-tahun lamanya rumah gedung itu kosong. Dengan demikian tak ada orang yang berani tinggal di sana. Apalagi setelah ada yang tinggal di sana mati ketakutan. Sejak itu tak ada orang yang berani lagi ke sana, sebab di sana banyak silumannya.." kata orang itu.
Mendengar keterangan tersebut bulu roma para petugas itu berdiri.
Kemudian sambil membawa uang, para petugas itu tetap menggiring Han Bun ke kantor Ti-koan.
Begitu sampai, petugas itu langsung menghadap Ti-koan untuk melapor;
"Tuanku. uang yang 18 kantung sudah kami temukan di sebuah gedung di Gang Siong The Hang. Tapi menurut keterangan, gedung itu sebuah gedung kosong yang ada hantunya. Kabarnya tak ada orang yang berani tinggal di gedung kosong Itu., sekalipun gedung itu bagus dan luas pekarangannya. Mungkin hal itu karena ada silumannya." kata petugas itu.
Mendengar keterangan itu, Ti-koan berpikir keras
Sesudah berpikir begitu, Ti-koan ia: berkata
"Menurut undang-undang, barang siapa mencuri uang negara dia harus dihukum potong kepala. Tapi karena uang itu sudah ditemukan, maka hukumanmu akan kuubah, walaupun kau hanya diberi oleh seorang perempuan she Peh. Apalagi sekarang pun perempuan perempuan itu belum ditemukan, atau barangkali mereka itu siluman? Karena hukuman itu tak bisa aku cabut kembali. terpaksa kau akan kuhukum buang ke Daerah Souw-ciu selama tiga tahun!" kata Ti-koan.
"Terima kaSih, Tuanku," kata Han Bun.
Sesudah itu Ti-koan berkata kepada seorang petugas.
"Sekarang kau panggil Li Kong Hu agar datang ke mari!"
Tak lama setelah Kong Hu masuk,
Ti-koan berkata kepada Li Kong Hu.
"Sekarang kau boleh mengajak Khouw Han Bun pulang sebelum dia menjalani hukuman buang ke Souw-ciu selama tiga tahun," kata Tikoan.
"Terima kasih, Tuanku," kata Kong Hu.
Tak lama Han Bun diajaknya pulang.
Dalam sekejab kabar tentang pulangnya Han Bun telah tersiar luas. Sedangkan Isteri Li Kong Hu yang mendengar adiknya pulang, segera menyambut kedatangan adik dan suaminya.
"Kenapa kau bergaul dengan perempuan jahat? Hampir saja kita semua mendapat celaka!" sesal Kiauw Yong pada Han Bun.
"Jika saja Ci-humu tak melaporkan hal ini kepada Ti-koan. wah kita pasti akan tambah celaka kalau sampai ketahuan ketika membelanjakan uang itu."
"Untung saja kau hanya dihukum buang ke Souw-ciu. Coba kalau Tikoan kurang bijaksana, sudah pasti kau akan dihukum
mati!" kata Li Kong Hu.
"Oh Tuhan, aku berterima kasih karena kau telah menolong adikku .Sekalipun adikku bersalah, kau telah mengampuninya, walaupun dia harus dihukum buang," kata Kiauw Yong
Akhirnya kabar yang menimpa Han Bun sampai juga ke telinga Ong Beng si hartawan pemilik toko obat. Saat itu dia memang sedang merasa heran' karena Han Bun belum pulang juga. Apalagi tahu-tahu sekarang ada kabar yang mengatakan bahwa Han Bun dituduh mencuri uang negara dan akan dihukum buang.
Tak lama maka dengan bergegas Ong Beng pergi ke tempat sahabatnya Li Kong Hu untuk menanyakan hal itu agar lebih terinci .
Ketika Han Bun mendengar majikannya telah datang menyusul. dia pun segera ke luar untuk menyambutnya. Kemudian di hadapan Ong Wan-gwe, Han Bun berlutut .
"Wan Gwe. maafkan atas kecerobohanku ini. Karena tak mau mendengar kata-katamu, maka aku jadi begini Kalau saja aku segera pulang sesudah dari kuburan tentunya hal ini tak akan terjadi atas diriku...." kata Han Bun sambil menangis.
Melihat Han Bun menangis. Hartawan Ong menangis juga. Ternyata dia juga bersedih karena dia amat menyayangi Han Bun.
"Sudahlah jangan menangis. ini mungkin sudah nasibmu .Sebenarnya aku sudah senang kau mau datang ke rumahku untuk membantuku. Tapi nyatanya kau sekarang tertimpa nasib buruk. malah akan dibuang ke Souw-ciu. Untuk itu kau harus
sabar dan tawakal. Sebenarnya aku sangat menyayangkan akan kepandaianmu dalam memeriksa orang sakit dan memberi obat. Tapi sudahlah, hal itu jangan dipikirkan lagi, oh ya hampir saja aku lupa. Kebetulan di Souw-ciu aku mempunyai saudara angkat. Dia bernama Gouw Jin Kiat. Di Gang Gouw Kee Hang dia membuka toko obat." kata Ong Beng.
Mendengar kata-kata majikannya, Han Bun mencoba menghentikan tangisannya.
"Nanti kau bawa suratku kepadanya. Aku rasa saudaraku itu akan menerimamu. Asal saja kau mau menuruti kata-katanya. sudah pasti dia pun akan sayang kepadamu," kata Hartawan' Ong.
"Terima kasih, Tuan Ong," kata Han Bun.
Sesudah itu Hartawan Ong menulis surat untuk sahabatnya di Souw-ciu. Selesai menulis surat itu, maka diserahkannya kepada Khouw Han Bun. Sesudah itu barulah Hartawan Ong pulang ke rumahnya.
Tak lama para petugas dari Ti-koan datang ke rumah Li Kong Hu sambil membawa surat putusan untuk hukuman Han Bun. Dalam surat itu dikatakan bahwa Han Bun dalam tiga hari ini sudah harus berangkat ke Souw-ciu. Mendengar kabar tersebut bukan main kagetnya Kiauw Yong dia pun lalu menangis. Tapi Li Kong Hu segera membujuk isterinya agar tabah. Kemudian Kong Hu memberi uang kepada kedua petugas yang akan membawa Han Bun. Selain itu ia juga membekali uang untuk Han Bun di tempat pembuangannya.
__________
ATAS USAHA HARTAWAN GOUW. HAN BUN DIBEBASKAN
SESUDAH tiba saatnya, maka berangkatlah Han Bun dengan dikawal oleh dua petugas ke Kota Souw-ciu. Karena kedua petugas itu telah diberi uang oleh Kong Hu, maka mereka bersikap baik kepada Han Bun.
Suatu hari ketika mereka sedang berjalan, Han Bun melihat sebuah rumah makan. Karena Han Bun merasa lapar, ia meminta izin kepada dua pengawalnya untuk singgah ke sana. Setelah keduanya setuju, mereka pun lalu mampir.
"Pelayan, tolong siapkan makan untuk kami bertiga!" kata Han Bun.
Kemudian setelah pelayan itu menyiapkan makanan yang dipesan, ketiganya lalu 'makan semeja. Selesai makan Han Bun membayar semua makan itu di kasir, setelah itu mereka kembali melanjutkan pejalanan.
Ketika hari hampir senja, Han Bun Mengajak kedua pengawalnya untuk singgah. Tak lama Han Bun sudah memesan kamar dan makan malam untuk mereka bertiga.
Pelayan rumah penginapan itu segera menyiapkan sebuah kamar dan makan malam untuk mereka. Sesudah mandi barulah mereka makan malam bersama, lalu mereka pun beristirahat. Begitulah yang selalu dilakukan mereka di dalam perjalanan itu hingga akhirnya Han Bun dan dua_petugas yang mengawalnya sampai di Kota Souw-ciu.
Begitu sampai kedua petugas itu segera melapor kepada
Ti-koan Kota Souw-ciu sambil menyerahkan surat dari Ti-koan yang memerintah mereka mengawal Han Bun.
Tak lama Ti-koan itu membuat tanda terima, dengan demikian kedua petugas itu dapat membuktikan bahwa tugas mereka sudah dijalankan dengan baik.
Setelah Han Bun diterima dengan baik, ia dimasukkan ke dalam kamar tahanan. Namun karena Han Bun telah diberi petunjuk oleh kakak iparnya, dengan segera Han Bun memberinya uang kepada penjaga penjara .Dengan demikian Han Bun diperlakukan dengan baik. Setelah menerima uang dari Han Bun, sipir penjara itu berlaku manis kepada Han Bun.
"Tuan, kalau boleh aku mau minta izin," kata Han Bun.
"Soal apakah itu, Tuan Han?" kata si penjaga penjara.
"Aku membawa surat majikanku dari Cian Tong Koan. Maksudnya agar surat ini kusampaikan ke toko obat Tuan Gouw yang ada di Gang Gouw Kee Hang," kata Han Bun.
Mendengar keterangan Han Bun, si penjaga penjara menjadi kaget.
"Ah, ternyata dia kenalan orang kaya di kota ini. Aku kira tentu dia orang baik-baik," pikir si penjaga penjara .
Sesudah berpikir begitu, si penjaga penjara memanggil kawannya. Kemudian sesudah itu dia berkata kepada temannya.
"Tolong kau antarkan Tuan Han ke rumah Hartanan Gouw di Gang Gouw Kee Hang!" kata si penjaga penjara
"Baik, Tuan," jawab anak buahnya.
Sesudah itu maka berangkatlah Han Bun bersama pengantarnya ke rumah Hartawan Gouw.
Begitu sampai Han Bun langsung minta bertemu dengan Gouw Wan-gwe. Akhirnya sesudah ia bertemu maka, Han Bun menyerahkan surat Ong Wan-gwe kepada tuan rumah.
Sedangkan Hartawan Gouw yang telah membaca surat dari sahabatnya langsung berkata
"Oh ternyata kau pernah membantu sahabatku itu. Nak Han Bun," kata tuan rumah sambil tertawa.
"Jangan kuatir, aku akan membantumu sebisaku."
Mendengar janji tuan rumah itu, Han Bun senang bukan main
"Terima kasih Tuan Gouw, kalau begitu aku pamit dulu!" kata Han Bun
"Mengapa terburu-buru. mari makan dulu. Sesudah makan barulah kau kembali." kata tuan rumah.
Karena Han Bun tak berani menolak undangan itu, dengan terpaksa ia menerimanya. Demikian pula dengan pengantarnya, ia pun ikut makan bersama, Kemudian pada saat makan Han Bun mengisahkan riwayat hidupnya, sehingga tuan rumah yang menaruh perhatian pada Han Bun merasa tertarik. Selesai makan tuan rumah itu berkata
"Nak Han Bun, tunggu sebentar aku akan ikut bersamamu ke penjara"
"Untuk apa Tuan?"
"Ada sesuatu yang akan aku katakan. Mari kita ke sana bersama sama." kata tuan rumah.
Sesudah itu Hartawan Gouw dan Han Bun berangkat bersama-sama diiringi pengantarnya ke penjara. Setiba di penjara. Hartawan Gouw mengeluarkan uang sepuluh tail perak. lalu menyerahkannya kepada si penjaga penjara.
"Apa artinya ini Tuan Gouw?" kata si penjaga penjara.
"Bukan apa-apa, ini hanya sekedar ucapan terima kasihku. Lagi pula aku ingin membicarakan sesuatu denganmu, Tuan." kata Hartawan Gouw.
"Silakan, silakan apa yang hendak Tuan katakan?" kata sipir.
"Begini. sebenarnya Saudara Han Bun masih termasuk
keponakan jauhku yang tinggal di Cian 'Tong Koan. Jadi kalau boleh dia akan kuajak pulang ke rumahku," kata Hartawan Gouw,
"Tapi bagaimana kalau aku ditanya oleh atasanku, apalagi namanya tercatat sebagai orang buangan," kata sipir
"Tolong kau atur saja dengan atasanmu, aku akan setuju saja apa yang menjadi keputusan atasanmu!" kata Hartawan Gouw. Sesudah sipir itu berdamai dengan atasannya, akhirnya setelah ada kata sepakat Han Bun diperbolehkan pulang ke rumah Hartawan Gouw. Sejak saat itu Han Bun membantu-bantu di toko obat milik Hartawan Gouw. Karena Han Bun cerdas dan ramah, dalam waktu singkat para langganannya merasa simpatik. Dengan demikian toko obat Hartawan Gouw semakin maju, pesat.
_____________
PEH TIN NIO MENYUSUL HAN BUN
SESUDAH 18 kantung uang diketemukan di rumah kosong itu, keadaan rumah itu menjadi sunyi kembali. Saat itu Peh Tin Nio sedang berbincang-bincang dengan Siauw Ceng.
"Kasihan Han Bun, gara-gara kecerobohan kita akhirnya dia ditangkap dan dihukum. Bahkan mungkin dia akan dibuang ke daerah lain. Ah sungguh kasihan si Han Bun." kata Peh Tin Nio.
"Kau benar karena barang curian itu sudah diperoleh kembali, mungkin dia tak akan dihukum mati," kata Siauw Ceng.
"Sekarang pergilah kau mencari tahu tentang keadaan dia! Lebih baik kau pergi dengan menyamar." kata Peh Tin Nio.
"Baik, Nio-nio," kata Siauw Ceng.
"Oh sungguh malang nasibnya. Tapi ke mana pun dia dibuang, aku harus menyusulnya," kata Peh Tin Nio.
"Nio-nio, apakah kau benar-benar akan menyusulnya?"
"Ya, sekalipun dia dibuang ke ujung langit. aku harus tetap menyusulnya!" kata Peh Tin Nio.
"Mengapa harus bersusah payah. Kak. Padahal laki-laki yang lebih cakap dari dia pun masih banyak. Apalagi dia dibuang selama tiga tahun. Kurasa sebaiknya kau pikir hal itu kembali, Kak!" kata Siauw Ceng.
"Kau benar, untuk mencari lelaki yang cakap saja memang banyak. Tapi kita belum mengetahui adatnya. Sedangkan sikap dan tingkah laku Han Bun, sudah banyak yang kita ketahui," kata Peh Tin Nio.
Sementara Siauw Ceng manggut-manggut, Peh Tin Nio menambahkan.
"Pertama-tama pada ribuan tahun yang lalu, di penitisanku terdahulu, aku telah berhutang budi kepadanya!" kata Peh Tin Nio menegaskan.
"Jadi mengingat hal itu, tak mungkin rasanya aku menikahi lelaki lain! Sedangkan kedua, kita pun harus ingat bahwa ditangkap dan dibuangnya Khouw Han Bun, bukanlah karena kesalahannya, tapi karena perbuatan kita. Kitalah yang mencuri uang negara itu. Jadi itulah yang membuatku harus menyusulnya ke Souw-ciu."
"Lalu, apa yang harus kulakukan?" tanya Siauw Ceng.
"Pergilah kau ke Souw-ciu, lalu selidiki di mana Han Bun ditahan. Sesudah kau ketahui, segera kau beritahu aku!" kata Peh Tin Nio.
"Baiklah," kata Siauw Ceng.
Kemudian tanpa membuang waktu lagi Siauw Ceng segera menggunakan kesaktiannya. Dengan melayang di angkasa, ia pergi ke Souw-ciu. Setiba di Souw-ciu, Siauw Ceng segera mencari keterangan. Ternyata saat itu Han Bun telah dibebaskan dari penjara atas bantuan Hartawan Gouw. Bahkan sekarang pun Han Bun telah bekerja di toko obat Hartawan Gouw.
Sesudah memperoleh keterangan yang pasti tentang keadaan Han Bun. Siauw Ceng segera kembali untuk menemui Peh Tin Nio.
"Eh kenapa begini cepat kau kembali, memangnya sudah kau peroleh keterangan tentang dia?" kata Peh Tin Nio ketika menyambut kedatangan Siauw Ceng.
"Sudah, malah sangat lengkap,
" kata Siauw Ceng
Sesudah itu Siauw Ceng menceritakan di mana Han Bun tinggal sekarang serta apa yang dilakukannya.
Mendengar keterangan itu, tentu saja Peh Tin Nio girang bukan main..
Tak lama mereka segera berdamai untuk berangkat bersama-sama ke Kota Souw-ciu.
Setiba di Souw-ciu, dengan tak membuang Waktu lagi mereka langsung ke Jalan Gouw Wan-gwee.
Dari jarak yang agak jauh, mereka lihat Han Bun sedang sibuk melayani para pelanggan di toko Gouw Wan-gwee.
Pada saat Han Bun selesai melayani langganannya dan keadaan toko mulai sepi, Peh Tin Nio dan Siauw Ceng girang sekali. Apalagi ketika Han Bun sedang sendirian di toko obat itu.
Tak lama keduanya lalu masuk ke dalam toko, dan menghampiri Hari Bun yang sedang duduk seorang diri.
"Tuan Khouw, apa kabar?" tegur Siauw Ceng.
Mendengar teguran itu, Han Bun menoleh. Namun ketika dilihatnya yang datang Peh Tin Nio dan Siauw Ceng, Han Bun kaget bukan main.
Han Bun yang merasa bahwa dirinya telah menjadi korban karena ulah kedua nona itu, maka senyuman kedua nona itu disambut dengan kemurkaan Han Bun.
"Hai, mau apa kalian datang lagi ke mari? Apakah kalian mau mencelakakan aku lagi? Ayo lekas kalian pergi dari sini!" kata Han Bun dengan marah sekali.
Mendengar makian Han Bun, wajah kedua perempuan cantik itu berubah merah karena malu. Apalagi dalam sekejab tempat itu telah banyak dikerumuni tetangga Hartawan Gouw. Rupanya mereka ingin tahu, apa yang telah terjadi di Situ.
"Tuan Khouw," kata Siauw Ceng.
"Kukira kau sedang mabuk. kenapa kau memaki dan mengusir kami? Padahal waktu itu kau berjanji akan menepati janjimu. Kami tahu kau memang sedang naas karena telah ditangkap dan dihukum rangket serta
dibuang ke mari. Namun karena kami tak sempat menolongmu di sana, maka dengan bersusah payah kami menempuh perjalanan yang cukup jauh dari Cian Tong Koan ke mari. Bukankah itu pertanda kesetiaan nonaku kepadamu? Lagipula apakah itu pantas, kalau kami yang baru sampai telah kau maki? Apalagi kau katakan kami perempuan jahat dan titisan siluman segala?" kata Siauw Ceng.
Eldest 1 Pendekar Pemanah Rajawali Sia Tiauw Eng Hiong Karya Jin Yong Sibadung Jadi Pahlawan 2

Cari Blog Ini