Ratu Ayu 01 Topeng Panji Dan Cambuk Iblis Bagian 1
TOPENG PANJI
DAN CAMBUK IBLIS
SERI RATU AYU I
Karya : Dyah Palupi
PRAKATA
Dahulu pernah kuketengahkan,
Ceritera yang sama,
Bersumber dari bumi sendiri, Indonesia,
Kuutarakan tentang sifat manusia
Dengki, serakah, iri nafsu dan kesombongan,
Tetapi juga,
Tentang keperkasaan dan keteguhan
Yang melahirkan sikap,
Jalan hidup dan harga diri
Penulis
BAGIAN I.
HANYA BEBERAPA bintang yang dapat menembus mendung tipis. Angin
pegunungan semakin terasa membawa udara basah. Malam semakin merangkak. Gelap
mewarnai seluruh hutan kecil di daerah lereng pegunungan itu. Di belakang tidak berapa
jauh terbentang sebuah hutan lebat, tak ubahnya bayang-bayang raksasa yang menjangkau
lereng pegunungan.
Ditengah gelap itu, tampak berloncatan dua sosok tubuh dengan gesit seolah-olah
tidak menginjak tanah. Sikapnya seperti mencari suatu daerah yang diincar.
Di tempat lain, pesta itu belum juga berakhir, suasana bunyi genderang satu nada,
penari-penari yang hampir kehabisan tenaga, mereka menari setengah sadar. Bau tuak
keras menusuk hidung. Suara parau yang tidak lagi berujung pangkal, terdengar mulai
terucap diantara bunyi genderang lamban itu.
Seorang pemuda bertubuh besar berkumis tebal, pandangannya berapi, melangkah
memasuki ruangan dimana penari-penari sedang memamerkan kemahirannya.
"Berhenti!" Perintahnya dengan suara keras.
Serentak berhenti tak ubahnya seekor orong-orong yang ditekan bagian
tengkuknya. Mata setengah sadar memandang pudar kedatangan pemuda itu. Tak
seorangpun berani berkutik menggeser dari tempat duduknya. Penari-penari tampak
gelisah, mereka mengerti dan kenal tabiat pemuda itu. Kedua telapak tangan yangterkatup masih menempel pada ujung hidung, masih belum diturunkan, mereka menantikan apa gerangan kehendak pemuda itu.
Sebentar-sebentar terdengar tarikan napas untuk melonggarkan dada yang terasa
semakin sesak.
"Adakah kalian akan tetap bersimpuh di tempat ini?" Tanya pemuda itu dengan
menunjuk.
Sembah mereka semakin rapat, tubuh setengah menggigil. Mereka tak mengetahui
apa yang harus dilakukan, kecuali menanti, kalau diperintah melayani pemuda itu.
"Aku muak dengan pertunjukan yang kalian suguhkan." Mata pemuda itu liar
mencari sesuatu.
Melihat mereka yang belum juga meninggalkan ruangan itu, pemuda berkumis
tebal mencoba menguasai dirinya. Ia menarik napas dalam, melepaskannya dengan
panjang. Diarahkannya pandang ke lain tempat, pada ranting-ranting yang bergoyangan,
mendung hitam yang beronggok-onggok, sepasang bintang yang memancarkan sinarnya
diantara onggokan mendung yang dibawa angin. Pemuda itu tersenyum, matanya tidak
lagi berapi-api, mata itu tiba-tiba saja kelihatan redup. Ia berangan sangat jauh.
Penari-penari dan beberapa orang yang berada di tempat itu merenungi tuannya
dengan perasaan aneh. Tidaklah mustahil sebab mereka tidak mengetahui persoalan apa
yang sedang mericuhi benak pemuda berkumis tebal itu.
Tengah mereka didambakan kejadian yang tidak sanggup lagi dimakan pikirannya,
tiba-tiba pemuda itu tertawa terbahak-bahak sambil melecutkan cambuknya.
Terdengarlah berkali-kali bunyi letusan yang menggetarkan hati. Tawanya semakin
menguasai ruangan pesta.
Seorang tua yang sejak tadi memperhatikan tingkah laku anak muda itu tampak
menyibakkan mereka yang masih duduk bersimpuh menuju ke tempat anak muda yang
dengan kekuatan luar biasa melecutkan cambuknya ke udara.
"Angger." Seru orang tua itu dengan bersembah. Rupa-rupanya orang tua ini
nampak mempunyai pengaruh dalam hati pemuda itu, ia memandang sebentar. Orang
tua itu merapatkan dirinya dan memeluk kedua kaki pemuda itu dengan menundukkan
kepalanya.
"Angger, lecutan cemeti itu akan terdengar jauh. Jangan angger teruskan." Orang
tua itu menghela napas panjang.
Pemuda berkumis tebal tampak mendongak, matanya memandang segala penjuru
dengan liar. Dipandangnya orang tua yang bersimpuh memegang kedua kakinya, pemuda
itu mengangguk berulang kali."Maafkan aku paman."
"Tak mengapa angger."
"Aku lupa akan wewaler paman. Adakah sesuatu yang terjadi diatas pelanggaran
ini paman?" tanya pemuda itu.
"Mudah-mudahan tidak angger."
"Hem." Pemuda ini menggeram dengan suara di dada, Ia mengerti jawaban orang
tua itu hanya untuk menyenangkan dirinya.
Suasana menjadi hening, napas pemuda itu terdengar tidak teratur karena
perasaannya sedang bergolak. Orang tua itu sendiri tampak menggigil. Tak seorang
mengutarakan kata-kata, tetapi yang mereka lihat merupakan jawab yang mengerikan.
Kejadian semacam itu tak pernah mereka saksikan sebelumnya.
"Sudahlah paman, segalanya sudah terjadi." Kata pemuda berkumis tebal.
"Sebaiknya demikian angger, yang sudah terjadi tinggalkanlah, kita hadapi yang
akan datang," Sahut orang tua itu belas kasihan.
Kembali suasana hening, mendung tebal berarakan.
Tiba-tiba kilat menyambar, sekejap terang kemudian gelap kembali, hanya oborobor minyak jarak yang nyalanya terombang-ambing oleh angin malam menciutkan diri.
Mendung semakin tebal, kilat semakin ramai menyambar, disusul petir menggeletar
mengejutkan mereka yang sedang menekuni kejadian.
Pemuda itu mendongak, kelihatan ia tenang.
"Paman, berdirilah." Pinta pemuda itu.
Orang tua itu berdiri dengan masih mendongak memandang langit.
"Paman, langit gelap, kilat menyambar, petir bersahutan." pemuda itu diam, ia
ingin mendengar bagaimana tanggapan orang tua itu. Tetapi dinantikan jawaban tiada
juga datang, pemuda itu menyambung, katanya "Alamat apakah gerangan itu?" Ia
bertanya sendiri.
Tiada sepatah katapun terucap dari mereka yang ada di tempat itu. Pemuda itu
tersenyum kecut.
"Paman biarlah aku yang menanggung segala akibat dari perbuatanku ini." Belum
lagi habis ucapan itu, petir sangat tajam menggeletar panjang seperti membelah hatiKembali pemuda itu tertawa keras, dilecutkannya kembali cambuknya. lecutannya
hampir menyamai petir.
"Angger, sudahlah angger." pinta orang tua itu.
"Sudah paman. Tidak usah kita ricuhkan apa yang akan terjadi atas kekuasaanku
ini. Aku akan melanjutkan niatku. Majapahit harus kurebut."
Orang tua itu hanya tunduk.
"Bawa kemari yang membangkang perintahku" katanya.
Mereka yang diperintah segera pergi. Orang tua yang berdiri di samping pemuda
itu tak mengerti kemauan tuannya. Ia merasa tak dapat lagi mencegah kemauan yang
membakar hati anak muda itu.
"Semua minggir!" perintahnya keras
Mereka mulai bergerak menggeser ke tepi dan membuat lingkaran.
"Kita akan mengadakan pertunjukan yang aneh." kata pemuda itu dengan acuh
tak acuh.
Tidak berapa lama masuklah beberapa orang dengan tangan terikat ke dalam
gelanggang permainan itu. Pemuda berkumis itu tampak tersenyum lega.
"Lepaskan ikatannya." perintah pemuda itu. Mereka yang digiring dengan tangan
terikat itu, ternyata beberapa pemuda, pada tubuhnya terdapat belur-belur bekas siksaan.
Tetapi pada wajah mereka terpancar kesadaran yang dalam.
Mereka tidak kurang dari sepuluh orang. Waktu dibuka ikatan pada tangannya,
mereka sama sekali tidak berbuat sesuatu. Beberapa orang dengan bersenjata pedang dan
tombak mendorongnya dengan memukulkan tangkai tombaknya. Mereka tidak mau
berbuat seperti yang diperintahkan, waktu beberapa pukulan mengenai tubuhnya barulah
mereka berjongkok di depan pemuda yang dipanggil dengan sebutan angger itu.
Dengan cambuk di tangan, pemuda berkumis tebal itu membentak "Sekarang
giliranku memukul kalian." Habis berkata demikian, diayunkannya cambuk itu ke arah
tubuh beberapa pemuda yang berjongkok di depannya. Baru saja ia mengangkat
tangannya, orang tua itu meloncat memegang lengan tangan pemuda itu. Dengan begitu
lontaran itu tidak mengenai sasarannya. Tetapi bagaimanapun, tenaga pemuda berkumis
tebal itu bukanlah sembarangan, ia mempunyai kekuatan yang luar biasa. Sebaliknya
orang tua yang berdiri di sampingnya bukan pula orang biasa, walaupun tubuhnya
kekurusan, ia mempunyai tenaga dalam yang mengagumkan. Itulah sebabnya, lontaran
tangan pemuda berkumis tebal yang kuat itu, seperti terlontar balik karena benturan,
sampai tubuhnya turut bergeser.Dan ujung cambuknya mengenai prangkatan gamelan, Apa yang dilihat benarbenar diluar pikiran, alat gamelan itu hancur berantakan berkepingan. Beberapa bagian
yang terbuat dari bambu ternyata pecah-belah. Dapatlah dibayangkan betapa kuatnya
pukulan pemuda itu.
Mereka yang melihat kejadian itu tertegun, terbayang pada wajah mereka, apa
jadinya kalau cambuk itu benar-benar mengenai tubuh pemuda-pemuda yang sudah
disiksa sejak lama.
"Paman, mengapa paman mencegahku?"
"Mereka adalah penduduk daerah ini angger."
"Tetapi mereka membangkang perintahku."
"Aku mengerti, tetapi bukan demikian caramu angger." Orang itu membisiki.
Pemuda itu mengangguk.
"Bagus! Paman benar-benar bijaksana." Katanya setengah teriak.
Malam masih saja merangkak. Bintang pagi mulai kelihatan memancarkan
sinarnya, awan kelabu mulai berarak mengarah timur. Kokok ayam hutan mulai
terdengar jarang-jarang.
Penari-penari perempuan yang hanya bertutup badan sampai ke dada mulai
menggosok tubuhnya, sedang tangannya berkali-kali mulai menutup mulut yang menguap
karena kantuk.
"Hai, kalian yang membangkang perintahku. Kalian kubebaskan apabila menang
berkelahi." Teriak pemuda berkumis tebal itu.
Mereka tidak menjawab.
"Adakah kalian ingin kebebasan atau tidak?" Mereka masih saja bungkam.
"Jangan membuatku marah kembali." Sambung pemuda berkumis tebal dengan
sikap menantang "Atau kalian menantang aku?"
Tak seorangpun memberi jawaban.
Gigi pemuda berkumis itu terdengar gemeretak. Orang tua yang sejak tadi
memperhatikan, merasakan akan terjadi hal-hal yang kurang wajar, apabila kejadian ini
dibiarkannya.
"Sebaiknya kalian memberi jawaban atas pertanyaan angger ini. Janganlah kalian
membuat beliau marah kembali." Pinta orang tua itu dengan sangat."Aku tidak mengerti apa yang dimaksudkan paman." Jawab orang yang bertubuh
semampai berparas indah. Ia diam menantikan tanggapan, tetapi orang tua itu justru memandang kepada pemuda yang dipanggilnya dengan sebutan angger. "Aku harus
berkelahi dengan siapa paman, dengan teman-temanku sendiri, dengan harimau, atau
berkerubutan untuk membunuh teman sendiri?" Kembali pemuda itu meneguk air
liurnya, kemudian sambungnya "Atau aku harus melawan angger adipati yang
menggunakan cambuk wasiatnya itu?"
Mendengar pertanyaan itu, pemuda berkumis tebal itu tertawa keras, sampai
tubuhnya bergoyangan.
"Kalian belum menjawab pertanyaanku, apakah aku harus mengatakan yang
harus kalian lakukan? Kalau persetujuan kalian sudah kudengar, barulah kulanjutkan apa
yang kulakukan." Kata pemuda yang berkumis tebal.
Para pemuda yang membangkang itu saling berpandangan, tentu saja bagi mereka
tidak ada pilihan lain mereka akan memilih kebebasan dengan jalan apapun. Tetapi
terselip dalam relung hatinya kekhawatiran kalau mereka harus berkelahi sampai mati
sesama teman seperjuangan yang ingin menegakkan kebenaran.
Mereka tidak akan mau diperlakukan demikian, sebab kehilangan teman, sama hal
dengan kehilangan anggota badan sendiri. Apa artinya kebebasan yang mereka peroleh
kalau harus melalui bangkai teman yang setia. Dipandangnya pemuda berkumis tebal itu,
lambat laun tampak dimata mereka pemuda itu hanya sebesar jari kelingking.
"Baik! Tak usah kalian jawab sekarang. Kutunggu sampai esok saat matahari
sudah sepenggalah." ia diam sejenak, kemudian mendehem dan menyambung "Disiang
hari kalian dapat melihat mengalirnya darah dengan jelas. Aku sendiri akan puas."
"Terima kasih atas pemberian waktu berpikir." sahut pemuda berwajah tampan
dengan membungkuk hormat.
"Nah, demikianlah. Kusangka kau tak dapat berlaku sopan terhadap seseorang."
kata pemuda berkumis tebal.
Pemuda tampan tidak menjawab, sebab menjawab berarti memperpanjang waktu.
Sebaliknya adipati muda menganggap bahwa hanya dia seoranglah yang
mempunyai keperkasaan dan mempunyai kelebihan sehingga orang-orang yang
berjongkok di depannya semua takluk tidak berkutik.
Lain pula dengan orang tua yang masih berdiri di samping pemuda berkumis tebal
itu. Diantara celah-celah sinar obor dia memperhatikan sikap-sikap pemuda yang baru
saja dilepaskan ikatan pada lengan tangannya. Sebagai seorang yang telah banyak
pengalaman, ia mengetahui bahwa tidak seluruhnya benar dugaan angger Adipati mudaitu. Ia dapat merasakan kalau saja pemuda-pemuda itu tidak menjawab adalah karena
segan.
Orang tua itu mengetahui dari celah-celah kesamaran cahaya obor bahwa pemudapemuda itu sedang menenangkan segala panca-inderanya. Di tempat dan keadaan yang
sempit itulah mereka memohon petunjuk kepada Yang Maha Kuasa apa yang harus
dilakukannya. Mereka berusaha diri menahan gejolak hatinya sekuat tenaga dikuasainya
dan mencoba menekannya.
Bintang pagi semakin cemerlang, kokok ayam semakin ramai namun tak
seorangpun bergerak dari tempatnya.
Dengan sikap angkuh pemuda berkumis tebal itu meninggalkan mereka. Beberapa
langkah kemudian ia memutar tubuhnya, melecutkan cambuknya tiga kali, kemudian
berkata dengan lantang "Paman mereka kuperkenankan meninggalkan tempat ini."
"Bagaimana dengan pesakitan ini angger?"
"Lepaskan mereka, kembalikan ke tempatnya semula." Orang tua itu hanya
mengusap dadanya.
"Kalau mereka melarikan diri, jangan harapkan hidup!" Orang tua itu
mengangguk. Pemuda berkumis tebal meninggalkan mereka dengan langkah congkak dan
tidak mau memperhatikan keadaan sekelilingnya.
"Masukkan mereka kembali." Perintah orang tua itu kepada pemuda-pemuda
yang berpakaian seragam dan bersenjata. Sedang penari-penari dan waranggana serta
wijaga sedikit demi sedikit meninggalkan daerah permainannya.
Yang terakhir adalah orang tua yang dengan pandang jauh melihat kejadian itu
dengan perasaannya. Ia menarik napas panjang, kembali mengusap dadanya. Ia
tersenyum, kemudian memegang hulu pedangnya yang masih tergantung. Ditariknya dan
diperhatikannya.
"Pedang ini masih setajam dahulu," Ia berkata sendiri, kembali menghela napas,
kemudian menyarungkannya disertai gejolak perasaannya yang paling dalam.
Sebenarnya orang tua itu dalam keadaan ragu-ragu, ia tidak mungkin menyetujui
pendapat adipati muda yang bertentangan dengan kehendaknya. Tetapi ia adalah seorang
yang telah lama suwita sejak ayah adipati muda itu memegang pimpinan. Sebagai seorang
yang sudah cukup lama turut menikmati tanah dimana ia mengabdikan diri, ia tidak
sampai hati meninggalkan anak muda, yang baru beberapa hari menggantikan kedudukan
ayahnya sebagai seorang adipati.Dalam keraguannya sering terdengar mengiang di telinganya, perkataan adipati
muda yang mau menang sendiri "Orang-orang ini, adakah cukup bernilai untuk
melawanku?""
Perkataan itu memanglah tidak sesedap bunga kamboja yang dibawa angin
pegunungan. Orang tua itu berpendapat bahwa selagi pedang masih menghias jari-jari
tangan dan napas masih melekat, tak ada seorang kesatria akan menyerahkan diri tanpa
alasan.
Kali ini ia tidak seperti biasanya, dadanya terasa berdebar-debar. Ia merasakan
sesuatu yang tidak wajar. Sikap lurahnya benar-benar tidak menyenangkan. Apa yang
harus diperbuatnya. Ia seorang kesatria yang telah setengah abad lebih turut menikmati
kamukten.
"Apapun yang akan terjadi akan kuhadapi." Kata-kata itu diucapkan dengan desis
dadanya. "Ya, apapun, di daerah ini aku menikmati kamukten, di sini pulalah tempatku
berakhir." orang tua itu mengulangi ucapannya.
Tampak orang tua itu merenungi malam yang sedang merangkak, tiba-tiba ia
tertawa, tawanya semakin tinggi meledak dan memuakkan.
Benar-benar memuakkan, wajahnya yang semula berseri, nada kata-katanya
menasehati, sekarang orang tua itu benar-benar tampak menyeringai tak ubahnya srigala
yang mencari mangsanya. Dan memang demikian rupa-rupanya ia merasakan datangnya
seseorang bukan penduduk daerah itu.
Mereka yang sedang mengikuti upacara pesta dari balik sebuah belukar, meloncat
dengan melindungkan dirinya di balik batu-batu pegunungan sebesar kerbau yang
berserakan, dan bersembunyi di balik rumpun semak yang agak lebat tidak berapa jauh
dari tempat orang tua itu berdiri dalam keadaan setengah gila.
Ratu Ayu 01 Topeng Panji Dan Cambuk Iblis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bersamaan dengan meledaknya tawa yang memuakkan itu, melentinglah
seseorang dari tempat gelap masuk gelanggang, ia berdiri diantara dua buah obor yang
masih menyala. Seorang pemuda berwajah bening, tubuhnya kokoh dan dadanya bidang.
Pemuda itu berdiri dengan kedua kakinya yang kokoh memandang orang tua yang masih
saja tertawa memuakkan, sampai hati anak muda itu benar-benar muak.
"Hai, adakah kau penasehat adipati muda?" Teriak pemuda itu.
Betapapun hatinya dalam keadaan kacau oleh kebimbangan namun orang tua yang
mempunyai pengalaman dan pendengaran yang sangat tajam. Kehadiran pemuda dengan
jejak yang tak bersuara itu, diam-diam orang tua itu telah bersiaga penuh.
Orang tua itu sekali lagi tertawa sampai, tubuhnya bergoyangan. Mendengar tawa
yang terkakak-kakak pemuda berwajah bening itu justru lebih berhati-hati. Ia mengetahui
bahwa orang tua itu sengaja akan menipunya.Benar dugaan pemuda berwajah bening itu. Demikian habis tawanya yang bernada
memuakkan itu, cepat tak ubahnya baling-baling orang tua itu memutar tubuhnya,
langsung melenting tinggi mengarah lawannya dengan kaki mengarah lambung.
Pemuda berwajah bening yang sejak tadi sudah bersiaga, mengetahui gelagat yang
berbahaya, cepat memiringkan tubuhnya dan meloncat mundur beberapa langkah. Betapa
terkejutnya orang tua itu, serangannya hanya mengenai angin lalu, cepat ia membalik
meloncat dan memukul tengkuk.
Pemuda berwajah bening itu sekali lagi menghindar ke samping. Sengaja pemuda
itu tidak membalas menyerang, hal itu membuat orang tua itu semakin garang.
Dimata pendekar kawakan kesatria utama dari daerah pegunungan itu, pemuda
yang belum lagi dapat membersihkan ingus itu sengaja menghinanya. Ia tidak mau
diperlakukan demikian, apalagi oleh seorang yang belum dikenalnya.
"Paman, sebaiknya jangan sembrono!" Teriak pemuda itu.
"Bangsat!"
"Hai, paman seharusnya tak perlu berkata demikian." Keduanya saling
berhadapan. Seorang yang sudah berumur hampir tiga perempat abad, yang di
hadapannya seorang pemuda yang umurnya belum lagi mencapai tiga puluh tahun.
Dalam hati orang tua itu mengagumi kecekatan pemuda berwajah bening
dibandingkan umurnya yang belum seberapa. Di bawah sinar obor yang terombangambing dibawa angin malam, ditelusurinya tubuh anak muda itu dengan seksama lewat
jeling matanya.
"Tubuhku adalah tidak berbeda dengan tubuh paman. Terdiri dari daging, tulang
dan darah yang masih berwarna merah."
Betapa terkejutnya orang tua itu, dengan teguran itu dapat diketahui dan diukurnya
ketajaman panca indera pemuda berwajah bening itu. Diam-diam ia menyesali
perbuatannya. Tak sepatah katapun terlontar dari mulutnya. Orang tua itu menarik napas
panjang dan menghempaskannya. Ia mengetahui bahwa beberapa anak buahnya masih
belum jauh dari tempatnya. Kalau saja ia menghendaki dengan sebuah siutan keras,
beberapa orang andalannya akan kembali.
Sekarang benar-benar orang tua itu merasa terhina, pemuda yang umurnya belum
lagi mencapai setengah usianya berani merendahkannya. Untunglah perbuatan itu tidak
dilakukan ditengah orang banyak. Kalau saja demikian, dimana ia akan menyembunyikan
mukanya. Marahnya semakin menguasai diri, keringat membasahi tubuhnya, giginya
gemertak, dan timbullah kehendak liciknya. Pemuda berwajah bening itu harus dibunuh.
Tiba-tiba orang tua itu bersuit nyaring sampai memekakkan telinga.Pemuda berwajah bening itu sudah menduga sejak semula akan terjadi perkelahian
dengan berkerubutan. Sebab cara demikian sudah sejak lama diketahui.
"Paman memberi tanda agar aku dikeroyok." Tanya pemuda itu. .
"Persetan apa perdulimu." Tetapi dalam hati ia mengakui apa yang ditanyakan
anak muda itu, dan dalam hatinya yang paling dalam ia juga merasakan bahwa
perbuatannya tidak adil, apalagi melawan seorang yang dianggapnya bukan
tandingannya.
Tidak berapa lama bermunculanlah enam orang dengan pedang terhunus. Orangorang itu langsung meloncat ke tengah gelanggang dengan kebengisan wajah masingmasing. Orangtua itu merasa lega dan kembali memperdengarkan tawa yang memuakkan.
"Inikah orangnya Ki Gede?" Kata seseorang yang bertubuh buntal berkepala gede
berkulit hitam mengkilat, sedang ototnya menjorok berbongkah-bongkah
"Suradanu, ambillah dia sebagai nyamikan." Kata orangtua itu.
"Terima kasih Ki Gede. Tampaknya darahnya masih, segar."
Orang berkepala gede yang bernama Suradanu itu segera menyerang tanpa alasan.
Pemuda berwajah bening itu sengaja tidak menghindar, ia ingin membenturkan pukulan
Suradanu untuk mencoba kekuatan si Buntal yang sombong.
Senjata mereka beradu dengan keras sampai menimbulkan bunga api. Ternyata
pemuda berwajah bening itu membawa senjata sebuah tongkat besi baja putih yang
berkilauan.
Dencing kedua senjata itu benar-benar menyakitkan telinga, di samping Suradanu
terlontar sampai tubuhnya turut terpental ke belakang. Sebentar ia memutar tubuhnya untuk mendapatkan keseimbangan, setelah itu dengan melompat satu putaran ia berdiri
tegak. Tangannya walaupun masih memegang pedang yang berukuran besar itu, tetapi
masih terasa nyeri. Sedang pemuda berwajah bening yang masih berusia muda itu
kelihatan sedikitpun tidak bergeser dari tempatnya.
Belum lagi pemuda itu bernafas dengan lega, sebuah serangan datang dari arah
belakang dengan menusuk punggung. Sebagai seorang kesatria yang tidak pernah
menusuk dari belakang, marahnya bukan kepalang. Cepat ia meloncat surut beberapa
langkah dengan mengendapkan diri. Lawannya terus merangsang. Endapan diri adalah
satu sikap siaga yang berbahaya, tetapi rupa-rupanya lawannya tidak mengerti. Demikian
lawannya melangkah maju, cepat pemuda itu dengan membalikkan tubuh mengantar
tendangan ke arah bawah perut lawan.Gerakan itu dilakukan demikian cepat, sehingga lawannya tak dapat menghindar
lagi. Dan bersamaan waktunya jerit yang tertahan, robohlah sesosok tubuh tidak berkutik
lagi.
Melihat seorang teman andalannya dapat dirobohkan dalam beberapa saat saja,
Suradanu menjadi mata gelap. Ia berteriak keras, sambil melontarkan pukulan.
Dalam gelanggang perkelahian itu terjadi pertarungan seorang lawan empat, yang
lain tampak menjadi penonton.
Dari arah lain meloncat tinggi seorang masuk gelanggang pertarungan. Orang ini
sebaya dengan pemuda berwajah bening itu, pada mukanya penuh bulu dan berkumis
indah.
"Adi sebaiknya kita bagi kekuatan."
Pemuda berwajah bening itu tidak menjawab, ia menggeser beberapa langkah
diarah setengah lingkaran musuh yang mengeroyoknya untuk memberi tempat kepada
yang membantunya.
Betapa marahnya orang tua itu melihat satu demi satu anak buahnya jatuh tidak
berkutik lagi. Hati jahat semakin menguasai benak yang sudah berusia lanjut itu. Ia
memandang melihat kelemahan kedua anak muda yang dengan sekali hantam dapat
merobohkan dua orang lawan dalam waktu yang hampir bersamaan.
Dengan secepat kilat, orang tua itu melontarkan sebuah belati tak ubahnya anak
panah yang lepas dari busurnya. Dan karena tendangan lawan mengarah kepala, kedua
pemuda itu mengendapkan tubuhnya serata tanah.
Betapa terkejutnya bersamaan waktunya meluncur belati dengan membawa desis
angin karena lontaran tenaga dalam. Sebentar kedua pemuda itu tertegun, tetapi sebentar
kemudian terdengar jerit pandang tertahan yang mengerikan. Sesosok tubuh terhuyunghuyung dengan memegang dadanya. Dari sela-sela jarinya menyembur darah segar,
sebilah belati tertancap pada dadanya. Wajah orang itu menjadi bengis memandang arah
datangnya belati itu. Dan di sana berdiri orangtua dengan mata terbelalak.
"Oh, Ki Gede ......". Dan robohlah orang itu.
"Sebenarnyalah bahwa nasib seseorang ditentukan oleh kekuasaan diluar
kekuasaan manusia. Pisau yang meluncur dengan cepat sejari di atas kepalanya mengenai
lawan yang menendangnya berbareng dengan mengayunkan pedangnya mengarah
kepala, tak mungkin lagi orang itu menghindar, sebab belati dengan lontaran luar biasa
telah menusuk dadanya. Orang itu masih dapat melihat tangan Ki Gede yang belum
turun.Mereka yang melihat peristiwa itu sesaat terpaku. Demikian pula orang tua yang
tidak mempunyai maksud membunuh anak buahnya sendiri.
Sekarang tertumpahlah kemarahannya kepada dua pemuda yang dianggap
mengganggu ketentraman hatinya. Ia melihat bahwa anak buahnya hanya tinggal dua
orang.
"Minggirlah kalian, biarlah aku yang membinasakannya." Ia diam sebentar,
giginya gemertak "Kelinci-kelinci tak tahu diri!"
Terdengar beberapa orang yang terkapar di tanah itu merintih dengan suara
tersekat-sekat. Orang tua itu semakin garang mendengar nyanyi anak buahnya yang
mengeridikkan bulu tengkuk. Kali ini ia maju dengan pedang besar di tangan.
Orang tua yang menurut ukuran umurnya sudah tidak dapat berbuat lebih selain
berjalan dengan tongkat itu, tiba tiba saja melenting tinggi berputaran di udara kemudian
mendarat langsung membabatkan pedangnya dengan lontaran tenaga yang
mengagumkan.
Benar-benar mengagumkan putaran pedangnya tak ubahnya baling-baling yang
berputar sehingga, menimbulkan desis angin kencang. Dapatlah diukur sampai dimana
keperkasaan orang tua itu. Ia meloncat ke kiri dan menghantam ke kanan, menusukkan
pedangnya dengan gesit tak ubahnya burung sikatan yang sedang menyambar mangsa.
Tetapi rupa-rupanya mangsanya bukan pula seempuk dugaannya, kedua anak muda
berwajah bening itu seperti jinak-jinak merpati, seakan-akan mudah dipegang, namun
gesit menghindari tangkapan.
Serangan balasannya mengerikan. Tidak jarang orang tua itu kena bentur pada
lengan tangannya sampai gemertak, dan kadang-kadang tersentuh pula lambungnya oleh
kaki kedua pemuda itu.
Marahnya semakin menjadi, matanya liar seperti serigala lapar yang melihat
mangsa. Ia heran melihat dan menandingi lawannya yang masih muda itu. Keduanya
tidak mau berkerubutan tetapi menyerang bergantian dengan cara memperpanjang waktu.
Bagaimanapun orang tua dapat mempertahankan diri, dibawa lari kian kemari
tanpa berhenti, akhirnya napasnya kembang kempis. Betapa tidak kedua anak muda itu
seperti bermain petak mempermainkan lawannya. Mereka bergantian menggoda, sedang
orang tua itu didamba perasaan marah dan merasa terhina, sehingga apa yang dikerjakan
sama sekali tidak diperhitungkannya.
Kali ini orang tua itu merasa menyerah, ia melenting keluar gelanggang sambil
berteriak "Hai, lawanlah mereka. Kita bergantian." Belum lagi habis perintah itu, kedua
anak buahnya yang tinggal masuk ke dalam gelanggang menyerang sejadi-jadinya.Terjadi sesuatu diluar pikiran mereka, orang tua menyelinap di balik sebuah
gerumbul akan meninggalkan anak buahnya yang masih menandingi lawan. Demikian ia
baru melangkah, sebuah belati dengan kekuatan yang penghabisan meluncur ke arahnya.
Dengan sebat anak muda berkumis indah itu melemparkan belati membenturkan
belati yang datang dari arah punggung. Cepat orang tua itu memutar tubuhnya. Ia masih
melihat bunga api karena benturan kedua senjata. Sebentar orang tua itu terpaku dan
dengan sudut matanya melihat sekitar.
"Tua bangka, kau akan meninggalkan kami." Suara lemah dari seorang
terjerembab di tanah. Rupa-rupanya orang yang terhunjam belati pada dadanya itu masih
hidup
Orang tua itu sama sekali tidak menghiraukan ucapan itu, matanya memancarkan
sinar merendahkan dan menganggap sepi kepada ucapan terakhir. Mata serigala itu
tertuju kepada anak muda berkumis indah yang membenturkan belatinya.
"Mengapa kau menghindarkan aku dari belati itu?" Tanya orang tua itu seadanya.
"Hmmm. Adakah kau berharga untuk mendengar alasanku." Jawab pemuda
berkumis indah dengan memandang temannya.
Semua yang sedang mengadu tenaga serentak berhenti, mereka mendengarkan
pembicaraan antara orang tua yang tanpa tanding kekuasaannya itu dengan seorang
pemuda sebaya anaknya. Terpercik dalam benak anak buahnya yang masih ada itu, siapa
sebenarnya pemuda ini, yang demikian berani menghina Ki Gede.
Tiba-tiba saja anak muda berkamis indah itu tersenyum. Dapat dilihat dari sinar
yang samar-samar itu betapa tenangnya menghadapi lawan tangguh dan berpengalaman.
Orang tua itu menggigil menahan marah. Hinaan itu belum pernah dialaminya
sejak kecil.
"Lawanlah aku kalau kau mau berharga, atau sebaiknya kau mati kehabisan
nafas." Pemuda berkumis indah itu membakar.
Tanpa mengucap sepatah kata, orang tua itu sebat menyerang mengarah dada.
Pemuda itu memiringkan tubuhnya menggeser selangkah mundur. Setelah ia terhindar
dari serangan lawan, ganti pemuda itu mengadakan serangan balasan dengan tangkas.
Kenampuannya memainkan tongkat cukup mengerikan. Kedua pemuda sebaya itu
membawa senjata serupa, besi baja putih yang memancarkan sinar karena nyala obor,
sehingga kadang-kadang lawannya silau karenanya.
Lawannya tinggal tiga orang, sehingga orang tua itu harus pula turut ditengah
gelanggang, seorang melawan dua. Lawan-lawan mereka cukup gesit, lebih-lebih
Suradanu yang pendek gemuk tetapi mempunyai kegesitan yang luar biasa, ia meloncattak ubahnya sebuah bola yang terlempar dari satu sudut ke sudut yang lain. Karenanya
bagi kedua pemuda berwajah bening itu tak ada jalan lain, ia harus mempertahankan
pertempuran itu sampai matahari terbit, sebab kalau tidak dan kalau orang tua itu
berkesempatan melarikan diri memberi berita kepada lasykar daerah pegunungan itu,
maka akan sukarlah melawan hanya dengan dua orang.
Itulah sebabnya maka orang tua itu dijaganya benar-benar untuk tetap di tempat
itu. Sebaliknya ketiga lawannya bernafsu akan membunuh, mereka marah bukan
kepalang karena dihina.
"Kurung kelinci-kelinci tak tahu diri ini." Perintah orang tua yang disebut Ki Gede.
Serentak mereka mengurung, tetapi kedua anak muda berwajah bening acuh tak
acuh. Keduanya merapat beradu punggung.
Ketiga lawannya maju serentak, bersamaan dengan itu kedua pemuda berwajah
bening melenting tinggi melampaui lawannya. Betapa terkejutnya yang menyerang, kedua
yang meloncat mendarat dengan indahnya. Ketiganya mengejar, dengan pedang tepat
mengarah dada. Tetapi kedua pemuda itu dengan tangkas memutar tongkatnya,
membentur pedang lawannya.
Kembali terdengar dencing dengan disertai bunga api. Pedang ketiga lawannya
terlepas dan terlontar ke atas. Cepat pemuda itu menyambar dengan sebuah lontaran
keras. Terdengar untuk kesekian kalinya bunyi senjata beradu, dan pedang yang belum
lagi jatuh dilontarkan kembali beberapa kali hingga jatuh pada semak-semak jauh dari
gelanggang perkelahian. Ketiga yang mempunyainya hanya ternganga sambil melihat
arah pedangnya yang dipermainkan tongkat pemuda itu. Sekarang hanya tinggal orang
tua itu seorang yang masih memegang senjata.
"Ambillah pedang kalian, agar jangan mati seperti kerbau." Teriak pemuda itu.
Tetapi waktu lawannya berlarian menuju tempat senjata mereka, dengan cekatan pemuda
berkumis indah meloncat menghadang. Dengan membentak keras ia mengacungkan
tongkatnya, menyebabkan lawannya mengurungkan niatnya. Pemuda itu menyelinap di
balik semak. Lawannya saling berpandangan bingung.
Sebaliknya Ki Gede mendongkol melihat permainan itu.
Diam-diam orang tua itu mulai menyebarkan ilmu sirepnya. Pemuda berwajah
bening itu merasakan sesuatu yang tidak wajar, ia memandang di sekitar. Ia masih melihat
ketiga anak buah Ki Gede itu, terlongoh-longoh tak berbuat sesuatu. Waktu ia
mengerlingkan sudut matanya kepada Ki Gede, orang tua itu sedang menenangkan kedua
tangannya berpangku pada dada, walaupun pedangnya masih bersandar pada bahu
kirinya.Demikian seorang pemuda yang berkumis indah keluar dari balik semak dengan
membawa pedang pedang lawannya yang diikat menjadi satu, melihat sikap orang tua
dan rasa kantuk yang hampir tak tertahankan, mengertilah ia bahwa Ki Gede sedang
menyebarkan ilmu sirepnya dengan setengah hati. Ia dapat mengukur ilmu Ki Gede itu,
dengan sambil lalu ia dapat menyebarkan ilmunya dengan tajam, betapa kalau
dilakukannya dengan sungguh sungguh. Pemuda itu memandang tanah kian kemari
mencari sesuatu. Diambilnya sebuah kerikil, disentilkannya ke arah Ki Gede. Sentilan itu
tepat mengenai pangkal lengannya sebelah kanan. Betapa terkejutnya sampai pedang yang
dipegangnya terlontar jatuh. Dan terputuslah ilmu sirep yang disebarkan.
Sehabis itu, terdengar pemuda berkumis indah itu tertawa. Dengan melemparkan
pedang yang diikatnya menjadi satu ia berkata keras, "Maafkan Ki Gede kalau aku
mengganggu. Ambillah senjata-senjata ini agar tidak ditemui oleh pencari rumput."
Serentak yang merasa mempunyai berlarian mengambil.
Tetapi demikian mereka mulai meraih, ikatan pedang itu bergeser menjauh,
semakin dikejar semakin menjauh, waktu ketiga orang itu mendongak, mengertilah
mereka bahwa yang menarik adalah pemuda berkumis indah itu.
"Ambillah, mengapa kalian berhenti."
"Tuan!" Seru Suradanu. "Penghinaan tuan terhadap kami cukup rendah. Jika tuan
satria sejati, marilah kita berhadapan secara jantan!" Sambungnya.
"Ambillah, aku hanya sekedar menolong mengambilkan."
Mereka yang menunggu masih saja memandang pemuda itu.
"Ambillah!!" Ulangnya.
Demikian mereka membungkuk, dan membagikan pedang masing-masing.
"Nah, marilah kita berhadapan!" Kata Suradanu dengan suara dadanya. Pemuda
itu dapat merasakan bagaimana perasaan Suradanu seorang yang sudah berusia hampir
setengah abad.
"Kakang, matahari sudah memancarkan sinar indahnya. Jangan kakang
terlampau besar kepala!" sahut pemuda itu.
"Jangan mengoceh."
Sekedar untuk menyambut terbitnya matahari kakang."
"Kita lahir pada waktu yang tidak bersamaan. Adalah lumrah pula kalau
mengalami nasib yang berbeda.""Baiklah kakang. Aku akan melayanimu"
"Kita buat lingkaran!" Perintah Suradanu. Mereka mulai membuat garis lingkaran,
obor yang sudah mulai mengecil, dibesarkan lagi. Sedang pemuda berwajah bening
menjaga Ki Gede. Dengan begitu orang tua ini tidak dapat berbuat sesuatu.
Namun orang tua, yang mendapat julukan Ki Gede itu bukanlah orang
sembarangan, ia mempunyai cukup pengalaman dan ilmu yang hampir sempurna. Ia
Ratu Ayu 01 Topeng Panji Dan Cambuk Iblis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mulai merasakan sesuatu yang tidak wajar, mulai diingat-ingatnya siapa yang mempunyai
senjata tongkat baja putih. Di tengah samar-samar obor ia melihat pula otot dua pemuda
itu kelihatan menjorok kuat, lengannya tampak berotot, kakinya berbongkah kuat.
"Kurangajar." Gumamnya dengan menarik napas panjang.
"Berhenti!! Tak usah kalian melawan mereka!" Perintah orang tua itu dengan
mengambil pedangnya yang terletak di tanah.
"Mengapa Ki Gede, mati hanya sekali. Mengapa harus menanggung malu." Sahut
Suradanu keras.
Orang tua itu menarik napas panjang.
"Ki Gede, sejengkal tanah daerah lereng pegunungan ini harus kami pertahankan,
di sini aku lahir Ki Gede, di sini aku makan dan minum!" Suradanu diam sebentar, ia
menelan ludahnya, kemudian menyambung dengan lantang "Pantang kuserahkan kepada
orang yang belum kukenal, lebih-lebih orang yang datang dari daerah lain."
Matahari sudah merangkakkan sinarnya di balik bukit, suasana yang semula gelap
menjadi samar walaupun masih sangat lemah. Makin jelaslah dugaan Ki Gede itu, ia
mengangguk berkali-kali kemudian tersenyum.
"Ijinkan kami Ki Gede." Habis berkata demikian Suradanu menyerang, tetapi
dengan mudah pemuda berwajah bening dan berkumis indah itu menghindari serangan
yang semakin kalap.
"Bodoh! Menyerang lawan tanpa menghitung untung rugi." Habis berkata
demikian, sebuah pukulan mengarah dagu Suradanu. Sudah barang tentu Suradanu tak
dapat menghindari pukulan itu demikian cepat. Suradanu terhuyung-huyung. Pemuda itu
tidak memberi kesempatan, punggung Suradanu dihajar gencar, akhirnya Suradanu
terkapar dengan napas kembang- kempis.
"Sudah tua masih berlagak." Kata pemuda berkumis indah.
Orang tua itu menghela napas panjang.
"Bersujudlah kalian!" Perintah Ki Gede."Mengapa Ki Gede?" Tanya yang lain heran.
"Bersujud! Ini perintahku" Ulang Ki Gede itu. Dengan masih terlongoh-longoh
mereka berjongkok dan bersembah dengan tidak mengerti,
Suradanu yang sudah mulai membuka matanya, setengah berkedip samar-samar
ia melihat seseorang berjongkok di depan lawan. Kepalanya yang masih berat dan pening
digoyang-goyangkannya. Dengan masih terkapar di tanah, ia berkata keras. "Ki Gede,
perbuatan ini sudah keterlaluan!"
"Benar ucapanmu Suradanu. Bersujud kepada lawan berarti penyerahan dan
mengkhianati lurahmu." Kata Pemuda berkumis indah.
Semua menjadi hening, matahari semakin menampakkan diri suasana pagi
semakin terasa. Kicauan burung bertambah ramai mengisi pagi yang cerah. Orang tua itu
menarik napas panjang.
"Angger kami semua mohon maaf." Orang tua itu berbelas kasih.
Kedua pemuda itu tidak menjawab. Terdengar tawa dari balik wajahnya yang
bening dan seorang lagi yang berkumis indah. Wajah-wajah mereka berdua yang tak
pernah berobah.
Demikianlah sewaktu malam gelap, wajah-wajah yang tidak berubah itu sama
sekali tidak diperhatikannya Mereka hanya mendengar tawa-tawa atau ucapan. Tetapi
setelah semakin terang karena cahaya matahari tampaklah bahwa suara itu datang dari
balik wajah bening dan berkumis indah yang tak pernah berubah.
"Perhatikan siapa sebenarnya lawan kalian." Kata Ki Gede.
Semua memperhatikan masih dengan pandang heran. Bergantian memandang Ki
Gede yang memegang kunci rahasianya.
"Ketahuilah. Itu pulalah sebabnya aku yang tua ini hanya mengadakan sekedar
permainan." Ucapannya dengan nada tinggi.
"Aku tidak mengerti maksud Ki Gede." Tanya seseorang.
Ki Gede tertawa girang.
"Benar-benar terlalu sederhana otakmu." Kata Ki Gede. Dia diam sebentar,
kemudian menyambung. "Dia adalah . ..."
Belum habis ucapannya, kedua pemuda itu membuka topengnya, betapa
terkejutnya mereka itu.
"Oh, gusti ......" Ucapan berkepanjangan."Latihan ini terlampau berat." Kata pemuda itu. Ternyata kedua pemuda itu tidak
lain, adipati anom dan adiknya yang menggunakan topeng panji berwajah bening, dan
seorang lainnya berkumis indah.
"Latihan ini sungguh bagus, walaupun dengan ada korban."
"Terlampau mahal biayanya kakang." Sahut adik adipati anom itu
"Hem, mereka yang kurang hati-hati."
"Benar angger. Mereka yang kurang hati-hati" Sela Ki Gede. "Tetapi belatimu
paman, lima jeriji di atas kepalaku."
"Ah, karena paman tidak mengetahui angger."
"Tak mengapalah paman, aku senang dengan latihan ini."
"Benar-benar bukan latihan gusti" Kata Suradanu.
"Kalau kalian mengetahui aku, latihan ini tidak ada artinya."
"Tetapi, bukankah angger tadi pulang."
"Hem, kiraku paman tidak terlampau bodoh membuat sesuatu."
"Tentu angger." Sahut Ki Gede dengan menundukkan mukanya.
Matahari sudah sepenggalah dari perbatasan, sinarnya penuh menerangi persada
bumi, sekarang benar-benar mereka yakin bahwa dua orang pemuda yang berwajah
bening dan seorang lagi berkumis indah, adalah topeng-topeng panji yang dipakai oleh
Adipati muda dan adiknya, yang sebenarnya berwajah angker berkumis tebal, sedang
adiknya cukup tampan.
Tanpa menghiraukan mereka yang bergulingan di tanah dengan berlumuran
darah, kedua pemuda itu pergi meninggalkan mereka dengan memerintah, "Kakang
Suradanu kuburlah mereka!"
"Tentu gusti, segera kami kerjakan." Jawab Suradanu, sedang yang lain hanya
memandang dengan muka aneh.
Betapapun mereka adalah manusia yang mempunyai perasaan dan pikiran.
Mereka memang telah lama meninggalkan tatakrama hidup yang lazim dilakukan dalam
bebrayan, tetapi relung hatinya yang paling dalam masih juga mengiangkan rasa
kemanusiaannya.
Melihat sikap lurahnya, mereka terharu terhadap teman-temannya yang menjadi
korban latihan itu. Mereka bertahan untuk sekeping tanah yang menikmati diri, danmempertahankan kekuasaan lurahnya sebenarnya mereka tidak menduga bahwa kedua
pemuda pendatang itu adalah lurahnya yang menyamar. Sedang Ki Gede yang dihormati
itu, sebenarnya juga tidak mengetahui, ia seorang yang pandai menutupi kelicikannya.
Di kejauhan terdengar bunyi cambuk iblis tujuh kali, suaranya menyamai
halilintar. Semuanya mendongak dengan menarik nafas.
Matahari semakin memanasi tubuh. Mereka mengangkat teman-temannya.
"Kau berhasil kakang" Kata adiknya sewaktu mereka mulai masuk pendapa.
"Aku sudah muak dengan perkataan si tua bangka itu."
"Tetapi beberapa jatuh korban." Kata adiknya.
"Orang-orang itupun sudah tidak ada gunanya."
"Masakan begitu kakang."
"Mereka mencatut namaku waktu menarik upeti di daerah pegunungan sebelah
timur." Kata kakaknya. Matanya liar mengelilingi setiap sudut, ia seperti tidak percaya
dengan keadaan dalam rumahnya sendiri.
Adiknya berwajah tampan, kalau ia hidup dikalangan orang biasa serta
berkelakuan lumrah, kiranya banyak gadis-gadis yang terpikat kepadanya. Tetapi karena
sejak kecil ia hidup dalam lingkungan kehidupan kasar, menang sendiri dan tak pernah
mendengarkan jeritan orang lain, maka ia tidak pernah pula mengenal perasaan orang
lain. Bahkan ia mempunyai sifat-sifat melebihi kakaknya, jauh lebih bengis dari pada
kakaknya. Gadis-gadis di daerah itu, kalau mendengar namanya disebut sebut oleh adik
adipati muda itu, maka gadis-gadis itu jatuh pingsan bagi mereka adik adipati muda yang
berwajah tampan itu adalah iblis yang bersarang manusia.
"Aku ingin mereka lebih setia kakang." Kata adiknya.
"Kita membutuhkannya adik."
"Kakang, bagaimana dengan cita-citamu itu?"
"Kau belum mengetahui arti latihan di lereng itu??"
"Bagus kakang, bagus!!! Aku mengerti sekarang." Keduanya tertawa terbahakbahak sampai tubuhnya bergoyangan.
Lewat di depan pendapa itu seekor ayam jantan muda kemudian berkokok dengan
indahnya.Belum lagi habis kokoknya, terdengar suara itu tersekat, mengaparlah ayam jantan
itu dengan berlumuran darah. Sebuah belati tertunjam pada dadanya.
"Ayam jantan itu menghinaku" Kata adiknya. Adipati muda itu tidak menjawab,
tawanya semakin keras dengan menepuk pundak adiknya berkali-kali.
"Daerah alas tuwa dapat diandalkan."
"Aku tinggal menunggu perintah kakang."
"Bagus!! Belatimu yang tertusuk itu adalah gambaran yang akan kulakukan." Kata
adipati muda itu dengan mengusap kumisnya yang tebal. Matanya liar mencari sesuatu.
"Minum......." Tiba-tiba saja ia berteriak. Kembali matanya mencari dan sekali lagi
berteriak "Cepat, minum ..."
Dari arah gandok, beberapa orang datang dengan membawa bermacam-macam
minuman. Mangkuk segera disuguhkannya, keduanya mengambil dengan memerintah
"Tuak!"
Cepat yang diperintah menuangkannya.
"Tuakmu benar-benar menyegarkan aku kakang."
"Terimakasih gusti, dari alas purwa."
"Alas tuwa maksudmu?" Adipati muda itu menegas.
"Demikian gusti, tuwa sama dengan purwa."
"Apakah benar demikian adikku." Tanya adipati muda itu kepada adiknya yang
masih menikmati tuak daerahnya.
"Orang-orang menamakannya demikian, maksudnya menghormat."
"Berarti menghormati kekuasaanmu?" Pemuda itu hanya tersenyum bangga.
"Kau membawa minuman ini?" Tanya adipati muda.
Adiknya menggelengkan kepala, dengan menunjuk beberapa orang yang
berjongkok di depannya, ia berkata "Anak-anakmu mencuri."
Keduanya tertawa keras.
"Benar begitu?" Tanya adipati kepada orangnya.
"Berapa orang mengantar untuk gusti.""Tak mengapa barang-barang itupun diperoleh dari mencuri, diberikan sebagai
persembahan agar mereka kulindungi." Adipati muda itu diam sejenak, kemudian tampak
berfikir. "Siapa yang memberi dan kapan dilakukannya?" Tanyanya.
"Tadi malam gusti. Dua orang datang mempersembahkannya."
"Tadi malam?"
"Ya, waktu gusti sedang pergi. Dan tidak berapa lama beberapa orang yang diikat
tangannya diperintahkan melepaskan."
"He!!"Adipati itu berkata dengan mata melotot.
"Katanya atas perintah gusti."
"Gila!!!" Ia berteriak seraya berdiri dengan memukul meja.
"Kemana mereka itu sekarang?" Tanya adiknya. "Telah pergi bersama dua orang
itu gusti."
"Lebih gila lagi" Serta merta minuman yang didekatnya ditendanginya sejadi-jadi,
termasuk yang membawanya. Pendapa itu menjadi basah dengan tuak, beberapa orang
yang membawanya bergulingan karena tendangan yang sama sekali tidak diduganya.
"Prajurit .........." Adipati muda itu berteriak.
Dipanggilnya berulang-ulang, tetapi sepotong jawabanpun tidak didapatnya, ia
berjalan hilir mudik dengan tangan mengepal. Matanya liar "Benar yang kuduga, benar
yang kuduga, permainan itu membawa sial tujuh turunan." Berkata demikian dengan gigi
gemertak.
"Bunuh seluruh penari sial itu!" Perintahnya, nafasnya terengah engah "Malam
ini aku dikecohnya."
Beberapa lama kedua orang berkuasa itu tidak mendapat jawaban, keduanya
semakin beringas. Seorang pembawa minuman yang bernasib sial baru akan mendekat,
ditendangnya tepat mengenai rahang. Tersemburlah darah segar dari mulutnya, dan
giginya putus beberapa buah. Orang itu menjerit-jerit kesakitan.
Melihat pembawa minuman yang berjalan seperti itik kena gepak kedua pemuda
berkuasa itu tertawa sampai mendongak. Dan waktu sampai pada undakan pendapa,
pembawa minuman itu batuk dengan menyapu darah yang masih keluar. Waktu ia batuk
untuk yang kesekian kalinya, terlantar dari mulutnya dua buah gigi yang patah.
Melihat gigi yang masih di telapak tangannya. Orang itu menangis tersedu-sedu
sampai dahinya mencium ubin."Adi, mari kita periksa." Katanya dengan meloncat keluar.
Adiknya menyusul, keduanya berlari menuju gapura depan. Betapa terkejutnya,
waktu sampai di gapura, ia melihat penjaga-penjaga masih tidur dengan caranya sendiri.
Beberapa orang tertidur bersandar pada sebuah tembok yang memanjang sebelah
menyebelah gapura, beberapa lainnya tersandar pada ambin pondok yang biasanya untuk
duduk.
"Jahanam. Siapa yang menghina aku." Desahnya. Adiknya tidak berkata
sepatahpun, ia meneliti orang-orang yang sedang tidur mendengkur tak mengerti bahwa
hari sudah siang. Anak muda itu memang memiliki kecermatan yang luar biasa.
Disentuhnya tubuh penjaga itu, dirasanya panas badannya biasa, waktu ia menjenguk ke
sebelah tembok luar, dilihatnya bunga bertaburan. Cepat dimengerti bahwa mereka kena
sirep yang tajam.
"Apa hukuman orang yang melalaikan kewajiban?"
"Dimasukkan dalam liang semut sargula."
"Tubuh mereka akan habis dimangsa semut itu." Semut sargula adalah sebangsa
semut yang hidup dalam liang yang besar di bawah pohon kayu tua, semut ini memangsa
daging apa saja yang terjerumus ke dalam liangnya.
Pernah seekor anak kambing terjerumus dan waktu diangkat tinggalah tulang
belulang saja, pernah pula seseorang terjerumus kakinya, orang itu menjerit tak keruan,
akan mengangkat kaki itu terjepit akar. Akhirnya dapat diangkat setelah orang itu
setengah mati karena daging-daging yang menempel pada kakinya ternyata habis oleh
kedengkian semut sargula itu.
Demikian itu konon menurut cerita dari mulut ke mulut sejak dahulu yang tahan
jaman. Setiap orang yang mendengar akan dimasukkan ke dalam liang semut sargula,
maka orang itu tidak akan lagi mengeluarkan darah kalau diiris tubuhnya. Mereka akan
lebih senang terbunuh dengan sebuah keris, atau dipenggal dengan pedang, sebab mati di
liang sargula berarti mati sengsara, mereka akan merasakan sedikit demi sedikit rengutan
supit-supit kecil yang melubangi daging pada tubuh mereka betapa ngerinya.
Bayangan demikian masih termakan pada benak penduduk di lereng pegunungan
itu, termasuk mereka yang sekarang mengabdikan diri pada adipati muda.
"Bagus adi, kau mengingatkan aku dengan baik." Kata adipati muda.
"Mereka harus mendapat didikan yang ketat untuk tidak berbuat penyelewengan."
Kata adiknya, sebentar ia diam, kemudian menyambung. "Di daerah alas tuwa tak ada
seorangpun yang berani melalaikan kewajiban seperti di sini."
"Aku mengakui kelebihanmu dalam mengatur daerah."Anak muda berwajah tampan tetapi berhati bengis itu tersentuh hatinya, ia merasa
bangga mendapat pajian itu.
Penjaga-penjaga gapura masih saja tidur dengan nyenyaknya belum seorangpun
yang terbangun. Adipati muda itu tampak muram. Cepat ia menghunus belati, dan
dengan cekatan setiap lengan penjaga itu dilukainya.
Hampir bersamaan waktunya terdengar jerit yang mengejutkan, mereka terbangun
dengan menahan nyeri pada lengannya, luka dan darah menetes tak henti-hentinya.
Semuanya memancarkan wajah heran dan bertanya-tanya.
"Bagus!. Kalian telah melalaikan kewajiban."
"Gusti, agaknya kami semua kena sirep yang tajam."
"Bedebah. Aku tidak tanya."
Mereka menyembah berkali-kali.
"Kakang telah melakukan hukuman terhadap mereka."
"Apa itu?"
"Melukai lengan mereka."
Sang adipati muda terpaku diam. Adiknya mengerti bahwa kakaknya belum puas
atas hukuman yang diberikan, tetapi baginya tabu menghukum sampai dua kali dalam
satu kesalahan. Ia bersungut namun tak dapat berbuat lain, di depan adiknya ia segan
mengingkari kata-katanya. Di samping itu ia mengetahui watak adiknya, lebih baik
kehilangan saudara daripada mencabut ucapannya.
"Kau boleh menghukum mereka." Kata adipati muda itu.
"Aku tidak berhak berbuat demikian, sebab aku tidak mempunyai kekuasaan atas
mereka." Pemuda itu diam memandang bagaimana tanggapan kakaknya, waktu
kakaknya hanya diam, adiknya berkata "Tak ada artinya munghukum orang-orang tolol."
Perkataan adiknya benar-benar dirasa sebagai penghinaan yang tak ada taranya,
tetapi kenyataannya demikian, Adipati muda itu harus menelan kenyataan pahit. Ia
menyesal mengapa bertindak terlampau tergesa-gesa.
Kalau ia sampai berani melanggar ucapannya, maka adiknya sendiri
menghajarnya, seperti kejadian masa kanak-kanak yang keduanya tak mau
mengulanginya lagi. Karenanya mau tidak mau ia harus menerima.
"Siapa yang menyirep kalian?"Tanya adipati muda itu"Seorangpun diantara kami tak ada yang mengetahui gusti. "Hemm."
"Sirepnya demikian tajam, kami tak kuasa melawannya."
"Ada kejadian sebelumnya?" Tanya adipati muda.
"Seseorang membawa bumbung tuak kami persilahkan menghadap gusti
menyampaikan upetinya berupa tuak keras kesenangan gusti."
"He. Setelah itu,"
"Orang itu kembali dengan beberapa orang. Menurut katanya atas perkenan gusti.
Kami tidak percaya, kami tahan mereka itu, tetapi tiba tiba kami diserang kantuk yang
tidak terkendalikan."
"Tak seorang kau kenal diantara mereka itu?"
"Tidak gusti!"
Ratu Ayu 01 Topeng Panji Dan Cambuk Iblis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Goblok, benar-benar goblok!" kata adipati itu setengah berteriak.
Dalam keadaan yang wajar, tentu penjaga-penjaga itu sudah dihajar habis-habisan.
Tetapi di depan adiknya yang sengaja didatangkannya dari alas tuwa atau alas purwa, ia
merasa segan juga.
"Hebat, di sini seharusnya selalu tenteram. Tidak seperti di daerahku. Di sana
banyak binatang buas, begal, penyamun, dan yang paling mengerikan semut sargula."
Pemuda itu berkata sendiri dengan menjemput beberapa senjata yang tercecer, dengan
mengamati senjata itu, ia tersenyum, kemudian meletakkannya di atas dipan tidak berapa
jauh di depan mata kakaknya. Memang disengaja berbuat demikian. Mata adipati muda
itu semakin liar, giginya gemertak, mulutnya terkatup.
"Siapa yang mempunyai senjata itu?" tanya adipati muda.
Tak seorangpun mengaku. Adipati itu mengambilnya, memeriksanya,
dipandangnya setiap penjaga dengan pandangan aneh, wajahnya sebentar-sebentar
berubah merah padam, sebentar-sebentar bengis.
"Tak ada yang mempunyainya?" Ulanginya bertanya. Semuanya masih belum
menjawab.
"Hem, kalau demikian kalian berkomplot dengan musuhku. Mereka duduk
bersama-sama di sini. Karena terpikat hingga lupa meninggalkan senjatanya waktu pergi."
Adipati muda itu menggelengkan kepalanya memandang adiknya yang acuh tak acuh,
kemudian menyambung, katanya, "Adakah demikian?"Para penjaga gapura saling berpandangan.
"Mengakulah!" ia mengucapkan cukup halus, tetapi mukanya sebengis harimau
yang lapar.
"Semut sargula kadang-kadang bersarang di bawah gapura, walaupun hanya
beberapa ekor." Sela adik adipati. Ia berjalan ke setiap sudut, mengorek tanah dengan
belatinya. Diambilnya seekor semut yang agak besar. Diletakkannya di telapak tangan.
Dengan mengamati ia berkata menyambung,
"Inipun sebangsa sargula, tetapi sudah menjadi jinak karena bersarang di halaman
kadipaten."
Adipati muda itu mendongkol mendengar sindiran adiknya.
"Cukup Sambernyawa Alas tuwa!" Bentak adipati muda.
Dengan enaknya yang disebut Sambernyawa itu menjawab "Eeee, rupa-rupanya
kakang pamer marah di depanku."
"Ah, maafkan aku adi!" Kata adipati muda itu.
"Akulah yang mendukungmu sebagai adipati." Kata Sambernyawa alas tuwa
dengan tidak memandang kakaknya.
Penjaga itu menghaturkan sembah.
"Mengapa, adakah kau yang mempunyai senjata-senjata itu?"
"Bukan gusti."
"Apa maumu?"Tanyanya kembali.
"Jika gusti memberikan peluang untuk hamba mengatakan sesuatu di depan
gusti." Kata penjaga gapura itu.
"Tentang apa?"
"Senjata itu." Sahut penjaga itu memberanikan diri dengan napas terengah
menahan takut.
"Hem, coba katakan!"
"Ampuni hamba gusti. Barang kali yang menaruh senjata belati ini sengaja akan
menggulingkan kekuasaan gusti."
Kedua pemuda itu memperhatkan dengan sinar mata yang menyala.Sebaliknya penjaga yang memberikan keterangan menjadi ragu, apa lagi setelah ia
melihat sinar mata Sambernyawa alas tuwa seperti mata harimau lapar. Mata itu
bercahaya kelabu.
"Teruskan!" Bentak Sambernyawa alas tuwa.
Adipati muda mengerling ke arah adiknya, mengapa menaruh perhatian yang
besar terhadap ucapan penjaga itu. Dalam hati ia menaruh curiga. Sebab memang adiknya
sejak kecil seorang anak yang manja dan bengal, yang kadang-kadang sampai hati pula
terhadap saudara sendiri. Adipati muda itu pernah pula mengalami kecelakaan sampai
cacat patah lengannya karena perbuatan adiknya memasangi perangkap kuda yang
dikendarainya dengan menghentakkan tali jebakan. Teringat kejadian itulah maka
sewajarnya kalau ia menaruh curiga. Apalagi saat ia menyatakan diri sebagai adipati
tanpa pengangkatan itu, adiknya menaruh iri hati, kemudian bermukim di alastuwa tanah
warisan tak bermahkota dari kakeknya.
Penjaga itu masih memandang Sambernyawa alas tuwa dengan mulutnya komatkamit.
"Katakan apa keteranganmu!" Bentak Sambernyawa alas tuwa.
Penjaga itu belum juga membuka mulutnya.
"Hem, atau akan kubungkam mulutmu untuk selama-lamanya."
Penjaga itu semakin menjadi gagu.
Tiba-tiba saja diluar dugaan kakaknya, Sambernyawa alas-tuwa meloncat dan
menusukkan belatinya pada lambung penjaga. Terdengar jerit yang mengerikan, demikian
belati itu dicabut, tersemburlah darah segar dari lambung penjaga itu. Dengan menahan
sakit penjaga itu jatuh terkulai. Beberapa temannya memapahnya dan membawa
temannya itu menuju gandok dimana mereka bertempat tinggal.
"Terima kasih adi, kau telah melampiaskan hukumanku yang tak dapat
kulakukan." Kata adipati muda dengan membungkuk hormat.
Sambernyawa alas tuwa mengetahui bahwa ucapan kakaknya itu bukanlah
sebenarnya, tetapi sebaliknya perbuatan itu justru menghinanya.
"Kakang, jika kau menghendaki ganti, akan kuberikan kepadamu beberapa
orangku supaya kau bunuh."
"Tak ada gunanya adi."
"Jika kau kurang puas." Ia berhenti berkata karena ada sesuatu yang mengganjal
hatinya "Atau barang kali kau sependapat dengan anak buahmu?""Aku belum mendengar pendapatnya."
"Hem, jangan berpura-pura kakang. Dari matanya aku dapat membaca apa yang
dimaksudkan." Kata Sambernyawa alas tuwa.
"Aku tidak mengerti kehendakmu."
"Kau melihatnya sendiri, mengapa penjaga itu diam setelah matanya dengan nada
menghina dilemparkan kepadaku."
"Jangan terlampau perasa adi!"
"Heh. Atau barang kali kau juga berpendapat demikian?"
"Aku tidak meneatakannya."
Demikianlah pertengkaran ramai, keduanya tak ada yang mau mengalah, masingmasing mengemukakan alasan dan mempertahankan pendiriannya.
"Kakang, dalam berdebat aku tidak bisa menandingimu. Barang kali kakang
menghendaki jalan lain?"
"Terserah padamu."
"Baik, barang kali belati ini masih ingin tambah mangsa."
"Adakah itu sebenarnya yang kau kehendaki?" Sambernyawa alas tuwa tercekat.
Ia mencoba menahan diri. Kalau ia bersitegang, berarti memperkuat tuduhan kakaknya.
Mendapat pikiran demikian, ia berusaha menguasai dirinya.
"Jangan salah paham. Aku hanya mempertahankan pendirian sebagai seorang
laki-laki yang persoalannya sudah tidak bisa diatasi dengan kata-kata." Kata
Sambernyawa alas tuwa menahan diri.
Adipati muda itu mendapat kesan bahwa adiknya ingin menghilangkan kehendak
yang sebenarnya. Ia merasa mendapat kelebihan dalam menggagapi perasaan adiknya. Ia
tersenyum dengan menyipitkan mata.
"Jangan menghina kakang."
"Hem Mengapa kau perasa sekali Sambernyawa."
"Karena penjagamu membuat aku pening."
"Kau tidak melanjutkan niatmu?"Sambernyawa alas tuwa tersirap kembali marahnya. Matanya menyala tak
ubahnya mata harimau, mukanya menjadi bengis. Tangannya gemetar. Belati yang
dipegangnya bergetar.
Kakaknya tersenyum, memandang dengan sudut matanya.
Matahari sudah di tengah bundaran bumi, panasnya semakin menjadi tetapi panas
hati Sambernyawa alas tuwa seakan-akan sepanas seribu matahari. Dadanya terbakar. Ia
akan berbuat keji terhadap kakaknya, tetapi kali ini ia terpaksa menahan diri.
Karena saling menahan diri, maka keadaan masing-masing menjadi tegang, mata
mereka menyala-nyala, warna kelabu dari pusat matanya semakin bersinar, seperti
berbahayanya masa-masa candikala.
Tengah keadaan demikian, tiba-tiba seorang penjaga datang berlari. Ia berjongkok
dengan mata berlinang.
"Gusti, kakang Kriya meninggal"
"Bagaimana?" Tanya adipati muda.
"Kakang Kriya tidak dapat tertolong,"
"Mati, maksudmu?"
Penjaga itu mengangguk. Adipati muda memandang adiknya.
Adiknya membuang muka, memandang arah lain. Rahangnya bergerak garang
dengan mata berkedip-kedip. Benaknya tampak kosong seperti tak ada kejadian yang
langsung diperbuatnya.
Tak mengucap sepatah kata Adipati muda itu meninggalkan adiknya menuju
gandok. Penjaga yang memberi laporan mengikuti di belakangnya. Sedang Sambernyawa
alas tuwa acuh tak acuh.
"Kakang, berilah kabar jika kau masih akan melanjutkan niatmu terhadap
Majapahit." Teriaknya.
Waktu kakaknya membalikkan tubuh, Sambernyawa alas tuwa sudah menghilang
di balik gapura depan. Hanya terdengar tawanya yang keras memuakkan semakin hilang.
Kakaknya menarik napas panjang. Ia tidak berani berbuat kasar terhadap adiknya.
Sebab bagaimanapun dalam olah jaya kawijayan ia mengakui takluk. Adik
seperguruannya satu itu memang dapat mewarisi hampir seluruh ilmu gurunya. Sedang
ia sendiri kurang tekun. Di samping itu adiknya seorang ini mempunyai bentuk tubuh
yang serasi dan menguntungkan dalam mempelajari jaya kasantikan.Waktu adipati muda itu sampai di ambang pintu gandok, dilihatnya keluarga Kriya
menangisi mayat yang sudah ditutup kain. Beberapa orang memberi nasehat dan mencoba
menenangkan. Tetapi sia-sia.
Kriya seorang yang taat, dalam hidupnya selalu membaktikan dirinya kepada
lurahnya, bekerja keras untuk keluarganya, ia tidak pernah menyakiti hati orang lain.
Adipati muda itu merasa terharu karena tak dapat berbuat sesuatu untuk Kriya, yang mati
karena tangan adik seperguruannya.
Mengapa Kriya mendapat nasib seburuk itu, tak seorangpun dapat mengatakan. Ia
mati karena keserakahan seseorang yang akan mengharapkan lebih daripada yang
seharusnya. Adik seperguruan adipati muda yang khawalir kalau-kalau Kriya mengetahui
perbuatan liciknya.
Sebenarnyalah demikian. Kedua saudara seperguruan ini sejak kecil tak pernah
mendapat persesuaian pikiran.
Perselisihan pendapat itu semakin memuncak setelah gurunya meninggal. Guru
yang juga ayah mereka sendiri. Demikian cintanya kepada anak yang sekaligus menjadi
muridnya, maka sejak ibunya pulang ke alam langgeng, hidup kedua anak itu dimanjakan.
Dan saat meninggal, orang tuanya meninggalkan pesan bahwa anaknya tertua
yang menggantikan kedudukannya. Adiknya tidak begitu senang kepada warisan
bapaknya itu.
Sebagai seorang anak ia memprotes keputusan yang dianggapnya tidak adil, sebab
dalam tata lahirnya ia mempunyai kelebihan dari pada kakaknya. Sebagai seorang murid
ia harus tunduk kepada keputusan gurunya. Beberapa saat tampak menerima keputusan
itu, tetapi apabila hatinya berontak, dan kumat penyakitnya maka ia akan berbuat
menuruti kehendak hatinya. Pemuda yang kemudian menamakan diri Sambernyawa alas
tuwa itu memang disegani di daerahnya. Karenanya ia menjadi seorang yang congkak.
Disamping itu ia tidak rela kakaknya mendapat kamukten dengan mudah. Karena
perasaan inilah maka ia selalu berusaha untuk mendapatkan kedudukan itu.
"Ruktilah kakang Kriya dengan baik seperti keluargaku sendiri. Aku tempatkan ia
pada makam keluarga kami" Kata adipati muda itu.
"Hamba Gusti" Penjaga itu berfikir sejenak, kemudian berkata pelan "Tetapi,
tidakkah nanti......"
Belum lagi habis penjaga itu berkata, adipati muda menyahut cepat "Adikku
maksudmu?"
Penjaga itu mengangguk.
"Aku yang akan menghadapinya."Menjelang matahari mulai condong ke barat, jenazah Kriya segera diberangkatkan
dengan segala upacara. Adipati muda sendiri kelihatan berjalan tunduk. Kriya seorang
hamba yang berbudi dan cerdas. Adipati muda itu menaruh kasih kepadanya, seperti juga
ayahnya dahulu.
Kriya dikubur dimakam lingkungan keluarga adipati muda.
Demikian baru saja jenazah melangkahkan kaki memasuki gapura makam,
Sambernyawa alas tuwa meloncat mendahului dan menghadang.
"Kriya bukan keluargaku!" Bentaknya lantang.
"Aku yang mengangkatnya adi!" Sahut kakaknya mendekati.
"Hem, mengapa tidak minta persetujuanku?"
"Aku mencarimu. Kau sudah pergi!"
Dengan pandang marah, ia meloncat meninggalkan gapura makam.
Di kejauhan terdengar tawanya yang membakar hati, memang kejadian demikian
yang diharapkannya. Perselisihan, bagi Sambernyawa alas tuwa, masalah ini masalah
martabat keturunan.BAGIAN II
"SIAPKAN LASYKARKU!"
"Baik Ki Lurah"
"Cepat! Mumpung bulan penceng masih bersinar!" Mereka yang diperintahkan
segera pergi.
"Paksa mereka yang membangkang. Katakan aku perintahkan berangkat malam
ini!" Teriak laki-laki muda itu.
"Baik Ki Lurah."
Dengan berteriak seperti orang kemasukan setan, beberapa orang andelan itu
memberi berita, sehingga malam itu dengan tiba-tiba hutan alas tuwa menjadi hiruk pikuk.
Obor-obor mereka nyalakan, beberapa sosok tubuh bermunculan dengan senjata.
"Ki Lurah menghendaki kita bersiaga"
"Pasukan dengan kuda?" Tanya seseorang.
"Semuanya. Terserahlah nanti, Ki Lurah memilihnya" Sudah menjadi kebiasaan
di daerah hutan alas tuwa, tidak perduli laki-laki atau perempuan, pada saat lurahnya
membutuhkan untuk merampok atau menyerang, mereka telah siap.
Andaikata rumah itu terpelihara dengan baik dan terletak pada sebuah desa,
terhitung rumah yang indah. Rumah yang terdiri dari sebuah pendapa cukup luas, rumah
tengah berbentuk limasan dengan berperinggitan. Di kanan kirinya terdapat gandok yang
membujur panjang. Berhalaman luas pada depan dan belakangnya. Gapura rumah itu
terdiri dari dua batang kayu randu alas yang cukup besar. Di bawah randu alas itu terdapat
komboran kuda yang tidak terurus. Mengakibatkan pohon itu berlumut.
Seorang dengan berjalan mondar-mandir di pendapa menantikan sesuatu yang
dirasakannya sudah terlampau lama.
"Hem ...... rasakan. Aku tidak rela dipersamakan dengan penjaga gapura yang
mati karena tanganku sendiri" Orang itu duduk dengan menggeser belatinya ke depan
perutnya. Tampak agak gelisah. Ia berdiri dan kembali hilir mudik. "Penghinaan, bagi
seluruh keluarga dan keturunan." Ia menghela napas, menyambung dengan gigi gemertak
"Penghinaan ini jusru datangnya dari seorang yang diwarisi kekayaan" Desahnya.
Tiba-tiba wajah yang tampan itu menjadi merah membara.
"Dia harus lenyap. Aku menggantikan kedudukan itu!" Berkata demikian dengan
memukulkan tangannya pada meja."Blang!!" Meja itu pecah berantakan. Ia tersenyum menyeringai. Meledaklah
tawanya "Barangkali sudah diperhitungkan, kakangpun akan membunuh aku" Orang
laki-laki muda itu berfikir keras.
Suara barisan berkuda makin mendekat. Beberapa orang memasuki halaman
depan. Penunggangnya segera turun, dan berlari menemui pemuda itu.
"Ki Lurah, semuanya telah siap!"
"Pasukan berkuda?"
"Terserah Ki Lurah. Tinggal memilih mana yang disukai."
"Pasukan berkuda mendahului" Kata pemuda itu bangga.
"Hem" Dehem yang melaporkan.
"Mengapa mendehem"
"Kalau-kalau Ki Lurah sependapat dengan aku?"
"Apa itu?"
"Pasukan berkuda untuk melabrak setelah beberapa saat kita kerumiti penjagapenjaganya satu persatu"
"Bagus!!" Pemuda itu memukul bahu orang andelannya sehingga orang itu
blingsatan dan nyengir. "Berangkatlah sekarang."
"Siap Ki Lurah" Orang itu pergi dengan beberapa orang lainnya.
"Hai katakan aku yang memimpin pasukan berkuda!"
"Baik K i Lurah!"
"Suruh mereka berkumpul di sini!" Perintahnya.
"Baik Ki Lurah." Setelah menghormat kembali mereka meloncati pelana kudanya
dan menghilang di balik pohon randu alas memasuki gelap malam. Mereka sudah biasa
hidup dalam hutan itu, sehingga bagi kuda-kuda yang terlatih, tidak jauh berbeda antara
siang dan malam.
Orang-orang andalan pemuda itu menganggap hutan itu adalah jalan raya yang
setiap saat dapat diluncurinya. Mereka terdiri dari pemuda-pemuda tanggung dan bengal.
Mereka yang senang terhadap perkelahian.Lurah muda itu masih duduk memandangi obor yang menyala di halaman gandok.
Tiba-tiba dalam samar itu sesosok bayangan berjalan menuju tempatnya. Matanya yang
tajam segera dapat menangkap bahwa bayangan yang datang itu seorang perempuan.
Waktu sinar obor menerangi muka bayangan itu. Dapatlah dilihat dengan jelas,
Cewek 5 Bunga Ceplok Ungu Karya Herman Pratikto Bloon Cari Jodoh 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama