Ceritasilat Novel Online

Istana Bunga 1

Istana Bunga Karya Bung Smas Bagian 1


BUNG SMAS
Istana BUNGA
engantar
Istana Bunga adalah nama julukan sebuah panti asuhan anak yatim, yatim-piatu, dan terlantar. Disebut Istana Bunga karena di dalamnya diasuh anak-anak calon bunga bangsa. Di panti asuhan itu hidup sejumlah anak yang tidak seberuntung anakanak lainnya. Di antara mereka ada Keti, gadis kecil yang cerdik dan periang.
Keti sangat suka tinggal di Istana Bunga. Ia menolak ketika akan diambil sebagai anak angkat oleh seseorang. Ia pun membuat ulah sehingga calon orang tua angkat itu tidak menyukainya. Pilihan kemudian iatuh kepada Oli, teman Keti yang memang sangat ingin meninggalkan Istana Bunga. Oli ingin mendapatkan orang tua, sekalipun hanya orang tua angkat
Kecerdikan Keti diuji ketika penghuni Istana Bunga dibuattakut oleh ular tanah yang berkeliaran.
Ular tanah termasuk lima binatang paling berbisa di dunia. Jika menggigit, korbannya akan mati dalam dua jam bila tidak diberi pertolongan. Keti bisa menangkap ular berbahaya itu hanya dengan tape singkong. Kecerdikan itu pula yang membongkar rahasia ketika penghuni Istana Bunga dicekam oleh ketakutan karena munculnya hantu menangis. Keti bisa membuktikan apa sebenarnya hantu menangis yang sangat menakutkan itu.
Adakalanya kecerdikan Keti juga dikalahkan oleh akal seorang anak yatim lain. Itu terjadi ketika Keti menolong Togi, anak yatim yang mengemis di jembatan penyeberangan. Bagaimanapun, cerita tentang Keti dan Istana Bunga ini menarik untuk disimak, sekaligus mengaiak kita menengok 'dunia lain'. Yaitu dunia anak-anak yatim, yatim piatu, dan terlantar, yang sering kita lupakan. Padahal Allah telah memberikan peringatan keras pada kita dalam surat AI-Maa'uun; tentang orang yang mendustakan agama, yaitu orang yang menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin, dan enggan menolong dengan barang-barang yang berguna.
Keti Tidak Mau Pergi
stana bunga merupakan sebuah bangunan [kuno peninggalan zaman kolonial. Berdiri megah, berkamar banyak, terletak di tepi sebuah jalan yang ramai di Jakarta. Di halaman bangunan itu berdiri sebuah papan nama bertuliskan "Panti Asuhan Anak Yatim -Yatim Piatu & Telantar Halimatus-sya'diyyah."
Memang Istana Bunga adalah sebuah panti asuhan. Disebut istana Bunga karena di dalamnva diasuh anak-anak calon bunda banosa.
Orang yang pertama kali menyebut panti asuhan itu dengan nama Istana Bunga adalah Bu Suli. lbu Suli ini seorang wanita setengah baya yang lembut, yang selalu mengenakan kain dan kebaya dalam berbagai kesempatan. Semua penghuni Istana Bunga memanggilnya Ibu. Bu Suli tinggal di Istana Bunga bersama seratus orang lebih anak-anak asuhannya. Mereka terdiri dari anak laki-laki yang menempati deretan kamar di sayap kanan bangunan, dan anak perempuan yang menempati deretan kamar di sayap kiri. Di antara dua deretan kamar itu ada tanah lapang yang cukup luas. Di sana berdiri sebuah musala tempat penghuni lstana Bunga melakukan salat dan belajar mengaji. Ada juga sebuah kolam ikan, kebun kecil, dan kandang ayam. Di tempat ini akan terjadi banyak peristiwa nantinya.
Keti seorang gadis kecil berusia dua belas tahunan. Ia menghuni Istana Bunga sejak bayi. Paling tidak begitulah kata Bu Suli. Bagaimana bayi Keti bisa berada di Istana Bunga, Keti sendiri tidak tahu. Siapa orang tuanya, dia juga tidak
tahu. Riwayat hidup semua penghuni Istana Bunga dirahasiakan sampaiwaktutertentu Bila telah dewasa, barulah mereka diberi tahu. Memang begitulah peraturan panti asuhan.
Hari ini Keti sedang bersedih, demikian pula Kikis, teman sekamar Keti. Masalahnya ada orang yang ingin mengadopsi anak dari panti asuhan. Mengadopsi adalah mengambil anak untuk dijadikan anak angkat. Orang boleh mengangkat anak dari panti asuhan itu. Calon orang tua angkat yang kali ini datang adalah Bapak dan Ibu Himawan. Pasangan suami istri ini sudah menikah dela pantahun lamanya, tetapi belum dikaruniai anak. Oleh karena itu, mereka bermaksud mengadOpsi anak dari panti asuhan. Awalnya, Bu Suli memperlihatkan foto-foto penghuni Istana Bunga dalam beberapa buah album foto. Bu Himawanterkesan ketika melihat foto Keti. Wajah anak itu tampak manis dengan rambutnya yang dikucir dua.
"Anak ini manis sekali," gumam Bu Himawan ketika memandangi foto Keti.
Pak Himawan melongok ke album foto yang dibuka di pangkuan istrinya. Ia melihat foto Keti.
"Ya, manis seperti Jeng Sri," kata Pak Himawan. la memanggil istrinya dengan panggilan Jeng Sri. Nama Bu Himawan adalah Srikanti. Panggilan Jeng itu artinya Dik. Biasa diucapkan oleh seorang suami kepada istrinya.
"Namanya Keti," kata Bu Suli. "Coba Ibu lihatIihat yang lain."
"Ah, rasanya saya tertarik pada anak ini." kata Bu Himawan.
"Ada baiknya Ibu melihat foto-foto yang lain, kan? Barangkali ada yang lebih menarik."
Bu Himawan membuka-buka album lagi. Melihat foto-foto penghuni Istana Bunga. Namun, tampaknya dia tidak tertarik.
"Yang ini namanya Kikis," kata Bu Suli. "Dia juga manis, kan? Anaknya juga baik."
"Apa yang namanya Keti ini tidak baik?" tanya Bu Himawan.
"0, baik juga. Tetapi... bagaimana, ya. Anaknya agak... nakal, begitu."
"Nakal?"
"Maksud saya...agak sukar diatur, begitu, Bu."
Bu Himawan tampak kecewa. Kelihatannya ia sudah iatuh hati pada Keti.
"Coba lihat-lihat yang lain, Jeng," buiuk Pak Himawan.
Bu Himawan melihat-lihat foto yang lain.
"Yang ini Oli," kata Bu Suli ketika Bu Himawan melihat foto yang lain. "Anaknya lembut, bisa mengasuh anak kecil. Di sini saja dia mangasuh lca, anak kami yang masih kecil dan rewel. Oli telaten sekali...."
"Saya tidak butuh pengasuh anak...," sela Bu Himawan. Dia melihat foto yang lain.
"Yang itu lndah namanya. Yang ini Lupi. lni Siti, ini Jamilah, ini Wida"
Bu Himawan menutup album itu. Ia tidak mau melihat-lihat foto lainnya. Pilihannya tetap pada Keti. Kalaupun bukan Keti, setidak-tidaknya Kikis yang tampak lembut dan mengibakan. Yang lain tidak.
"Setelah melihat-lihat foto ini, Ibu dan Bapak bisa berkenalan langsung dengan anaknya," kata Bu Suli. "Sekarang lbu dan Bapak melengkapi persyaratannya lebih dulu."
Persyaratan mengadopsi anak dari panti asuhan itu mudah saja. Calon orang tua angkat itu mendaftarkan nama dan alamat, menyerah
kan fotokopi kartu keluarga dan buku nikah yang menyatakan bahwa mereka suami-istri. Suratsurat itu diperlukan untuk pengesahan adopsi di pengadilan negeri. Jadi, pengangkatan anak itu disahkan secara hukum melalui pengadilan negeri.
Bu Suli mengumumkan kepada anak-anak asuhannya bahwa ada di antara mereka yang akan diadopsi oleh Bapak dan Ibu Himawan. Berita inilah yang menyedihkan Keti dan Kikis.
"Aku tidak mau pergi dari Istana Bunga," kata Keti di kamarnya. "Ini rumahku. Sejak kecil aku hanya mengenal Istana Bunga sebagai rumahku. Bu Suli sebagai ibuku. Aku ingin tetap begitu."
"Aku juga ingin tetap di sini," sahut Kikis. Wajahnya tampak sayu. Tidak sedang sedih pun dia ben/vajah sayu. Apalagi ketika hatinya resah seperti ini. "Aku tidak ingin punya ibu lagi selain Ibu di sini. Ket, bagaimana caranya agar aku tidak terpilih oleh Ibu Himawan, ya?"
"Aku juga tidak tahu. Kata lbu, rangking pertama yang terpilih aku. Baru kemudian kamu. Jadi, kalau bukan aku, ya kamu yang dipilih."
"Duh... kita akan berpisah, ya? Aku sedih sekali. Sejak kecil aku di sini bersamamu. Kaulah saudaraku. Biar kau suka nakal padaku, tetapi kau saudaraku yang paling dekat, kan?"
"Semua penghuni Istana Bunga ini menjadi saudara."
"Tetapi kau yang paling dekat denganku, Ket. Kalau kita harus berpisah, berat sekali rasanya...."
Keti pun merasakan kesedihan yang sama dengan kesedihan Kikis. Malam hening. Keduanya diam di kamar itu. Keheningan itu dipecahkan oleh suara tangis melengking dari kamar di ujung belakang. Itu suara lca, anak perempuan berusia lima tahunan yang rewel sekali.
"Tidak mau! Ica tidak mau! Habis Kak Oli nakal!" seru lca dengan suara melengkingIengking.
"Ica..." terdengar suara Oli dengan nada lembutdan menyabarkan diri. "Maumu apa sih?"
"Ica mau bobok dengan Kak Oli! Kak Oli tidak mau!"
"Bukannya Kak Oli tidak mau. lca yang nakal. Maunya mengobrol saja. Ini sudah malam. Mestinva Ica bobok"
"Ica tidak mau bobok! Habis kalau Ica bobok, Kak Oli pergi!"
"Pergi ke mana?Tidak, Kak Olitidak pergi. Kak Oli menemani Ica sampai pagi di sini."
"Bohong! Kemarin saja Kak Oli pergi ke kamar Kak Keti!"
"Kak Oli kan belajar bersama Kak Keti. Mengerjakan PR matematika."
"Tidak mau! Kak Oli tidak boleh pergi!"
"Ya, sudah. Ica bobok, ya. Kak Oli tidak pergi!"
"Tidak mau! Tidak mau!"
Ica terus menangis melengking-lengking. Oli ikut menangis karena kesal dan bingung. Ica ini entah siapa, entah anak siapa. Menghuni Istana Bunga sejak bayi. Oli tidak ingat lagi bagaimana Ica bisa berada di Istana Bunga. Seingatnya, sejak bayi lca akrab dengannya. Keakraban yang kadangkala menyusahkannya. Oli harus menjadi pengasuh anak rewel yang manja ini.
Keti mendengar kegaduhan itu. Ia terharu pada nasib Oli.
"Oli ingin pergi dari sini," gumamnya. "Mengapa Bu Himawan tidak memilih Oli saja, ya?
"Mungkin foto Oli tidak menarik. Setiap kali ada orang mau mengangkat anak dari sini, selalu Oli tidak terpilih. Fotonya harus diganti."
"Kita harus menolong Oli. Kalau dia pergi dari sini, dia akan berbahagia. Dia ingin bebas dari Ica. Dia ingin punya ayah dan ibu angkat. Ingin tinggal di rumah biasa, tidak di panti asuhan."
"Dia selalu bilang begitu."
Tangis Ica mulai mereda. Semakin pelan karena sudah mengantuk. Tak lama kemudian, anak itu pun tertidur lelap. Masih terisak-isak dalam tidurnya. Oli bangkit dari tempat tidur dengan gerakan perlahan. Lalu berjingkat pergi. Ina teman sekamar Oli melihatnya.
"Kalau dia bangun lagi, gempar nanti!" bisik Ina.
"Kalau tidak digigit nyamuk, dia tidak akan bangun. Makanya jaga jangan sampai ada nyamuk yang menggigitnya."
"Aku juga mau tidur. Menjaga anak cengeng itu? Huh!"
"Yah.,semua orang memang tidak mau mengasuhnya...."
"Kecuali emaknya."
"Emaknya siapa?"
"Kamu!"
Oli tersenyum masam. Memang, anak-anak Istana Bunga menjulukinya emak si Oli. Awalnya Keti yang menjuluki begitu.
Oli masih berjingkat-jingkat ketika menuju ke kamar Keti. Ia mendorong pintu kamar itu juga dengan perlahan. Seolah khawatir Ica akan terbangun.
"Nah, itu emak si Oli," sambut Keti. "Anakmu sudah tidur?"
"Anak siapa?" Oli menggerutu. "Aku sendiri tidak tahu aku ini anak siapa!"
Oli duduk di tepi tempat tidur, bersebelahan dengan Kikis, sementara Keti duduk di kursi belajar. Di Istana Bunga hanya ada sebuah meja belajar dan kursinya. Hadiah dari seorang donatur atau penyumbang. Meja dan kursi belajar itu ditaruh di kamar Keti.
"Kau ingin jadi anak Bu Himawan, kan?" tanya Keti.
"Anak Bu Himawan atau anak siapa, aku mau. Pokoknya bisa pergi dari sini."
"Hari Minggu besok ada acara perkenalan dengan Bapak dan Ibu Himawan. Anak-anak
Hm yang terpilih dibariskan. Bapak dan Ibu Himawan melihat-lihat untuk memilih siapa yang akan mereka ambil sebagai anak angkat. Kalau kau bisa bergaya sebagai anak yang memelas, mungkin Bu Himawan akan memilihmu."
"Kata Ibu, Bu Himawan hanya memilihmu."
"Bu Himawan baru melihat fotoku. Pasar kambingnya baru diadakan hari Minggu lusa."
"Pasar kambing?"
"Iya. Kita akan dibariskan, lalu Bu Himawan melihat-lihat dan memilih siapa yang akan diambil dan dibawanya pulang. Seperti orang memilih kambing di pasar. Kita ini kambingkambingnya!"
"Ihl Terlalu, kamu!"
"Memang, Keti sering begitu. Ucapannya kadang-kadang keras dan lugas.
"Coba kamu belajar akting," kata Keti pula.
"Akting itu apa?" tanya Oli.
Pura-pura. Seperti bintang film memerankan tokoh dalam film itu, lho. Berakting jadi pengemis, artinya berpura-pura jadi pengemis. Kan bukan pengemis sungguhan."
"Bagaimana caranya?"
Keti bergaya seperti anak memelas yang sangat patut dikasihani. Matanya sayu, wajahnya sendu.
"Begini," katanya.
Oli menirukan gaya Keti.
"Begini?" tanyanya.
"Salah! Matamu kurang sayu. Lihat! Begini, seperti memandang jauh dan kosong."
Oli berusaha menirukan gaya Keti lagi. Kikis tertawa melihatnya.
"Kamu tidak berbakat," katanya. "Kamu tidak bisa berakting. Sudahlah, tampil apa adanya saia. Siapa tahu Bu Himawan malah jatuh hati padamu."
"Aduh, kalau tampil apa adanya, bagaimana aku bisa dipilih? Tampangku kan bukan seperti tampang anak baik-baik. Orang sering sebal melihat tampangku."
"lya memang," kata Keti."KaIau tampil apa adanya, kamu bisa kalah oleh Kikis."
"Jadi bagaimana supaya aku terpilih, Ket?"
Bagaimana? Keti berpikir keras, mencari akal untuk itu. Oli harus terpilih karena Oli memang sangat ingin pergi dari Istana Bunga, sedangkan
Keti dan Kikistidak. Padahal pilihan Bu Himawan sudah jatuh pada Keti atau Kikis.
Bu Suli sendiri sudah yakin bahwa Ibu Himawan hanya akan memilih Keti. Diam-diam ia khawatir mengingat perangai Keti. Menurutnya, Keti agak sulit diatur dan tidak penurut. la khawatir Keti tidak bisa meniadi anak angkat yang baik bagi Bu Himawan. Pada hari Sabtu sore, Ibu Suli memanggil Keti.
"Keti tidak mau pergi dari sini, Bu," kata Keti, begitu ia muncul di hadapan lbu Suli di teras belakang. Teras ini menghadap ke arah tanah lapang. Kalau orang duduk di sana menghadap ke tanah lapang, berarti ia membelakangi ruang tamu yang cukup luas. Ruang tamu itu hanya berdinding tiga. Bagian depannya tidak berdinding, hanya berpagar kayu setinggi satu seperempat meter. Ruang tamu seperti itu lazim terdapat di rumah-rumah bangunan kuno Di kanan kiri teras belakang ini terdapat ruanganruangan yang digunakan sebagai kantor. Salah satu ruangan itu dijadikan kamar lbu Suli.
"Semua anak Ibu akan meninggalkantempat ini, Keti. Semuanya, tanpa kecuali," kata Ibu. Suaranya lembut, diucapkan perlahan.
Seorang gadis muda berusia dua puluh tahunan tampak berada di depan dapur Istana Bunga. Ia sedang menampi beras. Namanya Kak Yana. Dia penghuni Istana Bunga yang sampai saat ini masih tinggal di sini. Keti melihatnya.
"Kak Yana tidak pernah pergi dari sini, Bu," katanya. "Keti ingin seperti Kak Yana."
"Belum pernah ada orang yang mau mengadopsi Kak Yana. Karena itu, Kak Yana masih tinggal di sini." Ibu menghela napas panjang sesaat sebelum melanjutkan ucapannya. "Keti, setiap perpisahan tentu terasa menyakitkan. Ibu sangat sedih setiap kali ada anak Ibu harus pergi meninggalkan Istana Bunga. Tetapi, perpisahan itu memang harusteriadi. Istana Bunga ini hanya tempat sementara bagi anak-anak Ibu sebelum mereka mendapatkan orang tua angkat. Kau sendiri sering melihat saudara-saudaramu meninggalkan tempat ini. Sebulan yang lalu, Mira pergi. Sebulan sebelumnya, Sumi juga pergi.
Setahun yang lalu, Zola bahkan diadopsi oleh orang Belanda dan dibawa ke Nederland sana. Budi juga dibawa orang tua angkatnya ke Afrika. Berbahagialah mereka yang mendapatkan orang tua angkat. Mereka mempunyai ayah dan ibu, tempat tinggal, dan kehidupan yang jauh lebih baik daripada di sini...."
Keti memandangi Kak Yana. Dedak halus dan butiran-butiran pecahan beras berhamburan dari nyiru yang diayun-ayunkan Kak Yana. Dua ekor anak ayam mematuk-matuk dedak dan butiran pecahan beras itu.
"Keti tidak ingin punya ibu lagi selain Ibu," desah Keti, penuh harap.
"Tidak bisa, Ket. Bukan Ibu tidak sayang padamu, tetapi peraturan panti asuhan ini mengharuskan begitu. "Kau akan mendapatkan kehidupan lain yang lebih baik daripada di sini, dan beban panti asuhan akan berkurang dengan kepergianmu...."
Seekor induk ayam datang mendekati Kak Yana. la mematuk dua ekor anak ayam yang ada di situ. Dua ekor anak ayam itu lari menjauh.
"Lihatlah induk ayam itu, Ket," kata Bu Suli. Ternyata Bu Suli juga memperhatikan induk ayam dan dua ekor anak ayam itu. "Dua ekor anak ayam itu adalah anak_anak induk ayam itu. Dulu ketika anak-anak ayam itu masih kecil, diasuhnya ke mana-mana. Diajarinya mengais dan mematuk makanan. Kalau malam tiba, dilindunginya anak-anak ayam itu di bawah sayapnya. Tetapi sekarang ketika anak-anak ayam itu telah besar, induknya mematuk dan mengusirnya. Mengerti artinya, Ket?"
"Tidak, Bu."
"Hukum alam berlaku begitu. Induk ayam itu bukannya tidak sayang kepada anak-anaknya. Dia mengusir anak-anaknya yang sudah besar agar anak-anaknya itu bisa hidup mandiri. Tidak bergantung lagi kepadanya. Ada saatnya anakanak itu harus berpisah dengan induknya. Seperti yang terjadi pada kita. Ada saatnya Ibu harus merelakanmu pergi, setelah sejak bayi dulu Ibu mengasuhmu."
Keti tidak bisa berkata-kata lagi. Dua butir air matanya menetes. Dia bukan anak penyedih.
Pembawaannya justru periang, tidak mencerminkan keadaan seorang anak yatim-piatu yang merana. Namun, mendengar ucapanucapan Ibu, tak urung hatinya pilu iuga. Membayangkan dirinya harus meninggalkan semua yang telah akrab dengannya sejak masa kecilnya dulu, alangkah memilukan. Istana Bunga inilah rumahnya, dunianya. Ia tidak punya tempat bernaung lagi selain Istana Bunga. Kini semuanya harus ditinggalkan. Ia harus tinggal ditempat yang entah seperti apa, bersama ibu yang entah bagaimana perangainya.
Hari Minggu meniadi hari yang mengerikan. Pada hari itulah "pasar kambing' menurut istilah Keti akan diadakan. Bapak dan Ibu Himawan sudah tiba di Istana Bunga. Anak-anak yang masuk dalam daftar terpilih akan dibariskan. Bapak dan Ibu Himawan akan berkenalan dengan mereka.
Tiba-tiba terdengar bunyi peluit melengkinglengking. Keti berlari dari dalam kamarnya sambil meniup peluit keras-keras. Dia berlari ke tanah lapang. Di sana berteriak-teriak, "Hai, kambing
kambing! Keluarlah! Pasar kambing akan dimulai! Hei, kambing-kambing! Ayo mengembik!"
Kikis keluar dari dalam kamar itu. Mengenakan celana pendek yang ketat sekali. Celana yang dilarang dikenakan oleh lbu karena tidak sopan bagi anak perempuan. Juga karena memperlihatkan aurat, yaitu bagian tubuh yang harus disembunyikan. Lutut termasuk aurat, lebih-lebih bagi anak perempuan. Kikis iuga mengenakan baju laki-laki yang terlalu besar di tubuhnya. Ujung-ujung baju itu dikaitkan menjadi simpul di depan perutnya. Penampilan Kikis itu sungguh mengejutkan siapa saja yang pernah mengenalnya. Kikis gadis kecil yang sangat santun. Berperangai halus dan lembut. Kini tibatiba menjelma meniadi orang lain yang aneh begitu. Gayanya seperti penyanyi musik rock saia. Begitu muncul dari kamarnya, dia berlari ke tanah lapang sambil berseru menirukan kambing mengembik, "Embeeeeeek!"
"Naaaa! Kambing betina ini sudah datang! Hei, kambing-kambing yang lain! Ayo kumpul!" seru Keti. Lalu dia meniup-niup peluitnya.
Ibu berada di teras belakang bersama Bapak dan Ibu Himawan.
"Masya Allah...Keti!" desis lbu.
Betapa terkejutnya Ibu menyaksikan tingkah Keti dan Kikis. Ibu dan Bapak Himawan tak kurang terkejutnya. Seperti itukah anak-anak yang akan mereka pilih menjadi calon anak angkat?
"Itu Keti, Bu?" tanya Bu Himawan kepada |bu.
Ibu tidak bisa menjawab sesaat lamanya. Mulutnya terasa kelu sekali.
"Kok begitu dia?" gumam Bu Himawan.
Barulah ibu tersadar, dia harus menjawab pertanyaan Bu Himawan.
"Oh...iya...iya... itu Keti dan Kikis. Tetapi...eh maaf, maaf Bu. Biasanya mereka tidak seperti ini. Mereka anak baik. Maksud saya, tidak pernah bertingkah aneh seperti ini.... Saya kira ada yang salah...."
Anak-anak lain mulai berkumpul di tanah lapang. Semuanya delapan orang. Oli ada di antara mereka. Ia tampil dengan sikap yang sangat santun. Wajahnya menunduk, matanya sayu, dan sangat pendiam. Keti mondar-mandir
di depan anak-anak itu. "Kalian adalah kambingkambing yang akan dipilih. Salah seorang dari kalian akan dibawa pergi dari sini. Kambing yang terpilih nanti akan tinggal di rumah baru, punya orang tua baru," kata Keti sambil mondar-mandir.
Ibu hampir pingsan menyaksikan keadaan kacau seperti itu. Namun, acara perkenalan tetap dilangsungkan iuga. Bu Himawan menyalami Keti.
"Saya Keti, Bu," ucap Keti ketika bersalaman dengan Bu Himawan. Ia berdiri tegak, sama sekali tidak membungkukkan badan untuk menghormat. Sikap itu tidak sopan. "Hobi saya main panco."
Bu Himawan tidak bisa berkata-kata lagi menghadapi Keti. la menyalami Kikis.
"Yang ini siapa?" tanyanya.
"Kikis, Bu. Saya calon penyanyi rockterkenal. Saya suka latihan menyanyi di bus kota. Begini," Kikis lalu bergaya bagai kondektur bus kota jurusan Grogol yang berteriak-teriak memanggil penumpang di tepi jalan, "Grogol! Grogol! Bisa duduk! Tancaaaaap!"
Bu Himawan kikuk menghadapi anak-anak nakal itu. Pak Himawantersenyum. Ia memahami bahwa Kikis dan Keti sengaja bergaya begitu agar tidak dipilih untuk diadopsi.
Semua anak telah disalami. Hanya Oli yang bersikap sangat santun. Ibu mengerti, semua ini pasti hasil kerja Keti. Hanya Keti yang mempunyai akal begitu. Hanya dia yang bisa menyuruh teman-temannya untuk membuat pertunjukan semacam itu di hadapan Bu Himawan.
Ibu mengajak Bu Himawan kembali ke ruang tamu. Rasa malu Ibu tak bisa digambarkan lagi dengan kata-kata.
"Anak yang pendiam itu, siapa namanya, Bu?" tanya Bu Himawan.
"Yang pendiam?" Ibu menduga-duga. Rasanya tidak ada anak yang pendiam di antara anakanak yang dibariskantadi. "Yang pakai baju apa, va?"
"Rok bawahan hijau tua, bajunya hijau muda."
"O...itu Oli."
"Bagaimana kalau saya memilih dia?"
"0, boleh, boleh saja, Bu. Oli anaknya baik, bisa mengasuh anak kecil."
"Saya tidak memerlukan pengasuh anak, tetapi saya memilih dia." Bu Himawan berpaling ke arah suaminya. "Bagaimana, Mas?"
"Setuiu. Mulai sekarang jangan memanggil Mas lagi."
"Kenapa?"
"Kita kan sudah punya anak, namanya Oli. Kita adalah Papa dan Mama."
"O, iya. Kita Mama dan Papa."
Bu Himawan tertawa. Ibu bernapas lega.
Di kamarnya, Keti dan Kikis sedang membayangkan hukuman apa yang bakal mereka terima dari Ibu atas kenakalan yang baru saja mereka lakukan.
"Hukuman apa saja yang akan kuterima," kata Keti.
"Aku iuga," sahut Kikis.
Keduanya sadar, Ibu akan memberi hukuman bagi kenakalan mereka. Tak apa, mereka melakukan semua itu demi Oli.
Oli ada di kamar itu. Ia sangat terharu atas perjuangan teman-temannya. Kelak semua itu akan meniadi kenangan bila ia telah meninq
galkan Istana Bunga. Dibayangkannya betapa Istana Bunga akan selalu ingar-bingar karena tangis Ica vana kehilanuan pengasuhnya.
esawat nenas
ikis kehilangan Keti. Tadi mereka berjalan Kbersama sejak dari sekolah. Di perempatan jalan, tahu-tahu Keti tidak ada.
"Aduh, bagaimana ini?" keluh Kikis. "Ibu bisa marah kalau begini."
Tentu saja Ibu bisa marah. Pulang sekolah langsung pergi main saja sudah salah. Apalagi siang nanti ada tugas dari Istana Bunga untuk mencari sumbangan. Kikis dan Keti mendapat giliran tugas hari ini. Tiba-tiba saia Keti hilang di
perempatan jalan. Kalau tidak salah tadi Keti main pesawat kertas. Ia membuat pesawat terbang dari kertas yang bisa diluncurkan ke udara. Di perempatan jalan tadi ia meluncurkan pesawatnya. Kikis tidak acuh saja. Ia baru sadar ketika Keti sudah jauh dari perempatan jalan itu.
Ke mana sebenarnya Keti? Ia sengaja memisahkan diri dari Kikis. Ia pergi ke sebuah jalan yang agak sepi. Sudah beberapa kali ia pulang sekolah lewatjalan ini. Biasanya bersama Kikis. Kali ini ia ingin sendirian saja.
Ia berhenti di sebuah rumah gedung. Rumah itu besar dan mewah. Ada seorang gadis kecil seusia Keti duduk di atas kursi roda di teras rumah itu. Keti sudah sering melihat gadis kecil itu. Selalu duduk di sana, di teras rumah mewahnya. Sendirian, kadang-kadang hanya berdua dengan boneka panda.
Keti mendekatkan moncong pesawat kertas ke mulutnya. Dibukanya mulutnya untuk mengembuskan udara ke moncong pesawat itu.
"Hah!" serunya ketika mengembuskan udara. Entah untuk apa. Anak yang akan meluncurkan pesawat kertas memang lazim berlaku demikian.
Sesudah itu, pesawat kertas pun diluncurkan ke udara. Pesawat kertas meluncur dan melayang-layang dengan gerakan naikturun bagai ikan lumba-Iumba berenang. Meliuk dan berbelok meluncur ke arah gadis kecil di atas kursi roda itu. Si gadis kecil menangkapnya.
"Oh! Maaf! Tidak sengaja," seru Keti. la berdiri di depan pintu gerbang besi rumah itu. Ia bilang tidak sengaja, padahal itu sudah diperhitungkannya. Pesawat kertas itu memang diperkirakan akan jatuh di sekitar si gadis kecil.
"Tidak apa-apa," kata gadis kecil itu. Suaranya merdu sekali. "Bagus sekali ini. Buat saya,ya?"
"Hm...kalau kau mau, nanti saya buatkan saja. Itu sudah jelek."
"Kamu ke sini."
"Ke situ?"
"Iya. Dorong saia pintunya."
"Boleh?"
"Boleh. Doronglah. Tidak berat, kok."
Keti mendorong pintu gerbang itu. Melangkah masuk, dan mendorongnya kembali hingga menutup.
"Aku sering lihat kamu," kata gadis kecil itu.
"Aku juga. Namaku Keti."
Keti mengulurkan tangan. Gadis kecil itu menyambut uluran tangan Keti. Keduanya bersalaman.
"Aku Shiane," ucap gadis kecil itu.
"Namamu sulit sekali."
"Panggil saia Nene."
"Nene."
"Iya. Kamu baru pulang sekolah, ya?"
"Iya."
"Senang ya, bisa sekolah bersama temanteman."
"Lho, apa kamu tidak sekolah?"
"Tidak. Aku kantidak bisa berjalan. Aku hanya bisa duduk di kursi roda ini."
"Oh, maaf...."
"Aku sering duduk di sini melihat anak-anak pergi dan pulang sekolah. Aku iri pada mereka."
Keti tidak bisa bicara apa-apa. Kasihan gadis kecil bernama Nene itu. Wajahnya cantik, kulitnya putih bagai batu pualam. Kedua kakinya kecil, terlalu kecil untuk ukuran tubuhnya. Mungkin itu sebabnya dia tidak bisa berialan.
"Aku hanya bisa sekolah di rumah," kata Nene pula.
"Di rumah?"
"Iya. Guru-guru datang secara bergiliran. Kalau sekolah-sekolah sedang test cawu, aku juga test cawu. Sekarang aku kelas lima."
"Ooo...sama kalau begitu."
"Sama. Kamu kelas lima juga?"
"Iya."
"Ayo jangan berdiri saia di sini. Masuk, yuk!"
"Masuk ke mana?"
"Ya ke rumah."
"Maksudku, lewat mana?"
"Ya lewat pintu."
"Duh...maksudku, pintunya yang mana?"
Memang Keti tidak tahu, rumah itu pintunya yang mana. Jendelanya lebar dan rendah, mirip pintu. Jumlahnya banyak.
"Pintunya yang itu," kata Nene menunjuk ke pintu.
"Oh, iya."
Tiba-tiba pintu itu terbuka dengan sendirinya. Keti terkejut. Nene tertawa kecil. Ia memegangi
alat berupa kotak kecil yang semula ditaruh di kursi roda itu. Bila salah satu tombol pada kotak itu ditekan, maka pintu akan terbuka dengan sendirinya. Alat itu merupakan pengendali jarak jauh semacam remote control pada pesawat televisi.
"Wah! Serba otomatis, ya?" kata Keti.
Memang iya. Kursi roda Nene pun digerakkan dengan tenaga baterai. Bisa meluncur dengan sendirinya tanpa harus didorong. Dikendalikan dengan alat berupa tongkat pendek yang terletak di pegangan kursi sebelah kanan.
"Eee...ada tamu...." Seorang wanita muda berseru dari dalam rumah. Wanita itu cantik sekali. Wajahnya mirip wajah Nene.
"Selamat siang, Tante," Keti menegur wanita muda itu.
"Selamat siang."
"Ini teman Nene, Ma," kata Nene. "Namanya Keti."
"0, iya?"
Keti menyalami tangan wanita muda itu, ibu Nene.
"Tinggal di mana Keti?" tanya ibu Nene ketika bersalaman dengan Keti.
"Di Istana Bunga, Tante."
"Istana Bunga? Di mana itu?"
"Oh maksud saya...di panti asuhan. Kami menyebutnya Istana Bunga karena kami kan calon-calon bunga bangsa...."
"Ya...ya...."
"Aduh, Mama, minumannya mana? Kok bicara saja...," seru Nene manja.
"Oh iya, Mama lupa. Keti mau minum apa?"
Keti bingung. Di rumah mewah begini, apa nama minuman untuk tamu?
"Apa saja, Tante," akhirnya Keti bilang begitu saja.
"Orange juice, ya?"
" Boleh, Tante."
Entah apa yang disebutkan ibu Nene itu. Keti mau saja.
Ketika minuman itu disajikan, ternyata warnanya kuning. Disajikan juga sepiring kue yang entah apa namanya. Keti baru melihatnya.
"Ayo, Keti. Jangan malu-malu. Sering-sering main ke sini, ya? Nene kan tidak punya teman.
Sejak pulang dari YPAC, dia selalu kesepian di rumah. Kalau di YPAC kan banyak teman."
"YPAC itu apa, tante?" tanya Keti. Dia memang belum tahu apa itu YPAC.
"Yayasan pemeliharaan anak-anak cacat. Sejak kecil Nene tinggal di sana bersama temanteman senasibnya. Sudah setengah tahun ini Nene tinggal di rumah. Kalau Keti selalu main ke sini, Nene tidak akan kesepian. Iya, kan Nene?"
"Iya. Ma. Keti mau kok, selalu main ke sini. Ya, Keti?"
"Insya Allah kalau Ibu mengizinkan."
"Ibu siapa?" tanya Nene.
"Pengurus panti asuhan. Kami semua memanggilnya Ibu. Beliaulah Ibu kami."
"Biar nanti Tante minta izin kepada Ibu. Biar Keti selalu main ke sini," kata |bu Nene.
"Terima kasih, Tante."
"Kok Mama saja yang mengobrol dengan Keti?" seru Nene.
"Oh, iya. Mama lupa. Habis Mama senang sekali Nene punya teman. Kalau Papa tahu, Papa juga pasti senang. Ya sudah. Mama masuk sana...."
Ibu Nene masuk ke ruang dalam. Tinggal Nene berdua dengan Keti.
"Ayo diminum, Ket. Jangan malu-malu." Nene menawarkan minuman. Ia sendiri mengangkat gelas minumannya. Keti mengangkat gelas minuman la memejamkan matanya membayangkan rasa apa yang bakal singgah di lidahnya dengan minuman berwarna kuning yang namanya entah apa tadi.
"Oh. Rasanya kok seperti es jeruk?" serunya setelah mencicipi minuman itu.
"Memang es jeruk, kok," kata Nene.
"Kata Tante namanya."
"Orangejuice."


Istana Bunga Karya Bung Smas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Iya."
"Orange juice itu ya es jeruk."
"Wah! Aku baru tahu itu."
"Kuenya dimakan, Ket."
Aduh ini kue apa? Seperti roti dibelah, diberi daging, saos, tomat, selada. Rasanya aneh. Keti hampir tidak sanggup memakannya. Matanya sampai terpejam dan terbuka ketika mengunyah dan menelan makanan itu. Nene tertawa melihatnva.
"Kenapa, Ket?"
"Ah, tidak. lni kue apa? Tadi kukira hamburger."
"Itu memang hamburger, kok."
"Oh kalau begitu aku kampungan sekali, ya? Sering mendengar namanya, baru sekali ini melihat dan merasakannya. Kalau aku ke sini lagi, jangan disuguhi makanan begini. Roti biasa saja, diberi mentega dan gula."
"Jadi kau akan sering main ke sini?"
"lya. Sudah lama kok, aku ingin main ke sini. Tadi pesawat kertas itu kan sengaja kuterbangkan ke arahmu."
"Masa?"
"Iya. Sengaja biar bisa kenal kamu."
Oh Nene senang sekali. Baru sekali inilah dia mempunyai teman selain anak-anak YPAC, tempat ia tinggal dulu. Sejak kecil Nene berada di YPAC. Di sana ia disembuhkan dari penyakit polio yang dideritanya sejak bayi. Juga dilatih untuk hidup mandiri dengan cacat kaki yang disandangnya.
Hari itu menjadi hari yang sangat menggembirakan Keti. Sayang ia harus pulang ke Istana Bunga. Tentu saja Ibu marah kepadanya.
"Pulang sekolah langsung main, itu kebiasaan buruk," kata |bu. "Apalagi kau ingkar dari tugasmu mencari sumbangan."
Keti diam saja. Ia tahu, kelangsungan hidup panti asuhan ini adalah dari sumbangan para donatur atau penyumbang. Ada seiumlah dermawan yang menyumbang secara tetap setiap bulan. Ada iuga dermawan yang menyumbang secara berkala. Setiap penghuni lstana Bunga diberi tugas untuk mencari sumbangan secara bergiliran. Hari ini Keti dan Kikis mendapat giliran untuk tugas itu.
Kikisiuga kesal luar biasa kepada Keti. Begitu ia bertemu Keti, langsung saia marah-marah.
"Terlalu! Kamu pergi main seenakmu, sedangkan aku mencari sumbangan sendirian ke mana-mana!" sembur Kikis.
Keti tenang saia.
"Dapat berapa?" tanyanya.
"Dua ribu rupiah!"
"Sedikit sekali?"
"Memang dapatnya hanya dua ribu rupiah."
"Aku mau mencari donatur kakap."
"Apa itu?"
"Donatur yang menyumbang besar untuk Istana Bunga."
"Omong besar, kamu."
"Lihat saja."
Besok siangnya, Keti menghilang lagi. Ia kembali ke rumah Nene. Rupanya Nene sudah menunggu di teras. Begitu Keti muncul, ia meloniak gembira.
"Kemarin aku dimarahi lbu," kata Keti.
"Aduh, kasihan...." Nene merasa iba. "Nanti kamu dimarahi lagi?"
"Pasti."
"Habis kamu tidak minta izin terlebih dahulu."
"Kalau minta izin juga tidak diizinkan. Pulang sekolah harus langsung pulang. Tidak boleh langsung pergi main."
"Kalau begitu, kamu pulang dulu, baru main ke sini."
"Tidak bisa. Selama seminggu ini aku kena tugas minta sumbangan. Tidak boleh main ke mana-mana."
"Sumbangan apa?"
Keti menerangkan tentang sumbangan itu. Bahwa panti asuhan itu didirikan oleh sebuah yayasan sosial. Yayasan itu memberikan dana setiap bulan untuk panti asuhan. Namun, dana itu sangatlah tidak cukup untuk keperluan hidup panti asuhan. Harus dicarikan dana lain dari sumbangan para dermawan.
Peraturan itu sangat mengharukan Nene. Ia anak orang berada. Ayahnya seorang pengusaha yang berhasil. Hidup sangat berkecukupan. Kini ia mendengar ada sekelompok anak hidup sangat kekurangan, bergantung pada belas kasihan dermawan.
"Mamaaa!" Tiba-tiba Nene berseru.
Rumah itu besar sekali. Banyak bagiannya yang berliku-liku. Pada saat itu ibu Nene entah berada di mana. Tidak mendengar panggilan anaknya. Nene ingat akan hal itu. Ia meluncurkan kursi rodanya ke meja telepon. Dipijitnya tomboltombol di pesawattelepon. Pesawat telepon ini selain bisa bekerja sebagai telepon biasa, juga bisa berguna sebagai telepon antarruangan dalam rumah itu. Nene berbicara tanpa mengangkat gagang telepon, "Mama...l"
"Ya, Sayang...." Terdengar suara ibu Nene melalui pesawat telepon ini.
"Ada Keti, Ma."
"Oh, iya? Sudah lama? Mama kok tidak mendengar dia datang."
"Keti bercerita sedih sekali, Ma."
"Sedih bagaimana? Kenapa dia?"
"Dia dan teman-temannya di Istana Bunga terancam bahaya!"
"Ya, Allah! Bahaya apa?"
"Bahaya kelaparan!"
"Aduh, kasihan...."
"Jangan kasihan saja. Mama seharusnya menolong mereka."
"Iya! Iya! Mama akan menolong mereka! Mama akan memberi sumbangan kepada mereka! Papa pasti setuju itu. Semalam mama sudah bercerita tentang Keti kepada Papa. Papa senang sekali."
"Terima kasih, Ma."
Nene mematikan pesawat telepon. Keti menggeleng-gelengkan kepalanya
"Kenapa?" tanva Nene.
"Caramu bicara dengan Tante kok begitu? Tante sampai gugup sekali."
"Aku juga ngeri membayangkan anak-anak kelaparan...."
"Sebenarnya tidak segawat itu. Kami tidak benar-benar kelaparan. Hidup kami sangat prihatin, begitu."
"Ah, sama saja."
Ibu Nene muncul dari salah satu pintu.
"Halo, Keti...," tegurnya ramah dengan nada meriah.
"Halo, Tante. Assalamu'alaikum"
"Wa'alaikum salam. Apa kabar? Mau minum apa? Atau makan siang saia sekalian, ya? Nene juga belum makan, kok."
"Terima kasih, Tante. Keti sedang bingung...."
"Bingung kenapa?"
"Kalau pulang nanti pasti dimarahi Ibu lagi."
"Oh, iya. Hm...bagaimana kalau Tante menelepon Ibu di Istana Bunga?"
"Bagaimana, ya?"
Ibu Nene sudah mendekati pesawattelepon.
"Berapa nomornya?" tanyanya.
"Delapan-delapan-kosong-tiga-dua-sembilan-dua, Tante."
Ibu Nene memijit nomor telepon. Menunggu sesaat, lalu mendapat sambungan dengan Ibu di Istana Bunga.
"Assalamu'alaikum, Ibu Suli. Perkenalkan, saya Irene di Jalan Mawar nomor 23"
Saat itu Keti baru tahu ibu Nene bernama Tante Irene. Selanjutnya terjadi pembicaraan melalui telepon yang cukup lama antara Tante Irene dan Ibu di Istana Bunga. Tante Irene meminta maaf karena Keti berada di rumahnya tanpa minta izin lebih dahulu dengan Ibu.
Biarpun begitu, ketika pulang Keti tetap dimarahi Ibu.
"Kenapa tidak minta izin Ibu lebih dulu?" tanya Ibu
Keti diam saja. Mau menjawab apa, dia bingung.
"Kenakalanmu sudah keterlaluan," kata Ibu lagi. "Dua hari kau ingkar dari tugasmu mencari sumbangan. Ibu sampai bingung bagaimana harus menghadapimu."
Keti sendiri juga bingung bagaimana harus menghadapi Ibu. Kikis pun bingung bagaimana harus bicara dengan Keti.
"Besok kamu pasti akan menghilang lagi," kata Kikis.
"Iya," jawab Keti.
Benar saja, besoknya Keti menghilang. Kali ini sejak di sekolah. Begitu bel pulang berbunyi, Kikis tidak menemukan Keti di mana-mana. Jadilah siang ini Kikis mencari sumbangan sendirian.
Keti heran mendapatkan pintu gerbang rumah Nene terkunci. Ia memijit bel di tiang pintu gerbang itu berkali-kali. Nene tidak ada. Biasanya ia duduk di teras. Sekarang di mana Nene? Keti nekat memanjat pagar.
"Biar seperti pencuri," katanya kepada dirinya sendiri. "Aku harus masuk. Siapa tahu Nene sedang memerlukan pertolongan? Dia pingsan atau apa. Dia kan anak cacat...."
Dengan berpikir begitu, Keti merasa tidak terlalu bersalah dengan memanjat pagar. Dia segera tiba di depan pintu. Dia berseru memang
gil-manggil Nene. Pintu itu terbuka. Nene tampak duduk di kursi rodanya di belakang pintu.
"Kau kenapa?" tanya Keti gugup.
"Tidak apa-apa."
Keti melihat wajah Nene pucat dan berkeringat. Ia juga tampak sangat lelah.
"Wajahmu pucat, Ne."
"Aku kelelahan."
"Kenapa?"
"Sepuluh kali aku mondar-mandir ke gerbang. Makanya ketika kau memijit bel aku diam saja. Kukira bukan kau."
"Kenapa mondar-mandir ke gerbang?"
"Pertama kali peminta sumbangan yang memijit bel. Aku ke gerbang untuk menemuinya. Lalu balik lagi ke rumah untuk mengambil uang, dan kembali ke gerbang untuk menyerahkannya. Yang kedua, orang yang menawarkan bedak dan alat-alat kecantikan. Yang ketiga pengamen...."
Nene terus bercerita betapa repotnya ia mondar-mandir ke gerbang untuk melayani orang-orang itu. Biasanya Bi lsah, pembantu rumah itu yang melayani mereka. Atau Pak Man, tukang kebun rumah itu. Bi lsah sedang ikut
Mama pergi berbelanja, sedangkan Pak Man kebetulan tidak masuk kerja karena anaknya sakit. Nene sendirian di rumah.
Bel berbunyi lagi.
"Itu ada lagi!" kata Nene. Keti mengintip lewat kaca jendela. Ia melihat di depan gerbang berdiri seorang gadis dan seorang pemuda membawa tas besar. Di tangan pemuda itu ada beberapa buah jam tangan dan weker.
"Itu salesman," kata Keti. Salesman adalah orang yang kerianya menawarkan atau meniajakan barang-barang tertentu. Orang yang di depan gerbang itu akan menawarkan iam tangan dan weker dengan harga murah.
Bel terdengar lagi. Cukup mengganggu iuga. Berkali-kali bel itu berbunyi. Akhirnya dua orang itu pergi sambil menggerutu.
"Sebentar lagi pasti ada yang memijit bel lagi," keluh Nene.
"Wah! ini harus diatasi!" kata Keti.
"Bagaimana caranya?"
Keti berpikir keras. Biasanya ia punya akal untuk mengatasi hal-hal seperti ini. Oh, ya! Dia pun segera mendapatkan akal itu.
"Kamu punya uang?" tanyanya segera.
"Berapa?"
"Kira-kira dua puluh lima ribu."
"Ada."
Nene tidak tahu untuk apa uang itu. Ia memberikannya kepada Keti. Keti membawa uang itu pergi. Dua puluh menit kemudian dia kembali. Membawa sebuah papan nama bergambar anjing herder bertuliskan AWAS ANJING GALAK. Papan nama itu terbuat dari lempengan timah. Bisa dibeli di toko besi atau toko kelontong. Dipasangnya papan itu di pintu gerbang. Ia juga membawa sebuah kaset bergambar anjing. Kaset itu berisi rekaman genggong bermacam-macam anjing. Kaset seperti ini memang dijual orang, sama halnya dengan kaset rekaman kicau burung. Satu kaset berisi kicau satu jenis burung.
"Apa-apaan kau ini?" tanya Nene.
"Mengusir orang yang mengganggumu," kata Keti. "Pasang kaset ini di tape recorder."
Nene memasang kaset itu di tape recorder.
Bel berbunyi
"Itu dia!" seru Keti. "Bunyikan kasetnya!"
Nene menyetel tape recorder. Terdengar bunyi gonggong anjing herder. Keti mengintip lewat kaca jendela. Ada seseorang di depan pintu gerbang yang ketakutan. Dia melihat gambar anjing herder itu. Mendengar bunyi gonggongnya, dia takut dan lari terbirit-birit.
Keti tertawa melihatnya. Tetapi kemudian tawanya berhenti.
"He! Aku kenal dia!" serunya.
"Siapa?" tanya Nene.
Keti tidak sempat menjawab pertanyaan Nene. Ia sudah berlari ke halaman dan melongok melalui gerbang. Sempat dilihatnya seorang anak kecil kurus ben/vajah memelas, lari terbiritbirit. Anak itu tentu bermaksud meminta sumbangan dirumah Nene.
Nene keluar dari rumahnya. la tiba di teras.
"Siapa. Ket?" tanyanya.
"Saudaraku di Istana Bunga."
"Uh."
"Namanya Kikis."
"Kasihan..."
"Yah...kasihan. Itulah salah satu pengalaman kami kalau minta sumbangan...."
Nene merenung. Kejadian itu tak pernah terpikir olehnya. Betapa menyedihkan nasib anak-anak yatim dan yatim piatu di panti asuhan itu. Nene menyadari, dirinya masih jauh lebih beruntung daripada mereka. Hal itu tak pernah terbayangkan sebelumnya. Selama ini ia merasa dirinyalah satu-satunya manusia paling malang di dunia karena dilahirkan cacat.
Tante Irene tiba. Ia mengendarai mobil minibus. Membawa belanjaan banyak sekali. Baju-baju, celana dan rok segala macam ukuran. Nene bercerita tentang Kikis yang terbirit-birit itu. Tante Irene iba sekali.
"Sudah papan nama anjing galak itu dilepas saja," kata Tante Irene. "Biarlah orang-orang meminta sumbangan ke sini. Bi lsah yang membuka pintu gerbang. Biasanya juga begitu."
Begitu lebih baik, pikir Nene. Toh ia tidak selalu tinggal sendirian di rumah.
Sore itu Tante Irene mengantar Keti ke Istana Bunga. Bi lsah ikut serta, juga Nene. Pintu samping minibus itu bisa dibuka dengan digeser ke samping. Dari sanalah kursi roda Nene
dimasukkan. Nene digendong ketika harus masuk dan keluar dari mobil. Ibu menyambut Tante Irene dengan ramahnya.
"Keti itu anak kami yang nakal," kata Ibu.
"Tidak," kata Tante Irene. "Dia menyadarkan kami untuk melihat hal-hal yang semula terlupakan. Saya sendiri baru tahu tentang panti asuhan ini dari Keti. Insya Allah, mulai bulan ini kami sekeluarga akan menjadi penyumbang tetap."
Tak terbayangkan rasa suka Ibu mendengar itu. Rasa suka yang juga dialami oleh anak-anak Istana Bunga. Mereka mendapatkan satu setel pakaian dari Tante Irene. Ada yang tidak kebagian karena jumlah mereka lebih banyak daripada yang diperkirakan Tante Irene. Tetapi mereka tak usah berkecil hati. Tante Irene akan mengirimkan pakaian bagi mereka yang belum mendapat bagian.
Ibu tidak tahu harus marah atau bagaimana terhadap Keti. Kikis pun begitu.
"Ini yang kubilang donatur kakap," kata Keti kepada Kikis. "Aku mendapatkannya dengan
modal pesawat kertas. Tidak usah pakai terbiritbirit karena digonggong anjing galak."
"He! Kau tahu aku digonggong anjing galak?"
"Tahu saja."
"Bagaimana kau tahu?"
"Aku kan punya pengalaman begitu juga."
"Oh kukira kau melihat aku lari karena digonggong anjing."
Keti tidak sampai hati mengatakan hal yang sebenarnva kepada Kikis.
Otak Tape
agi-pagi sekali ada keributan di Istana
P Bunga. Ugi bicara keras-keras dengan Demo. Mereka bertengkar hebat.
"Pasti kau yang membunuh ayam jagoku!" seru Ugi dengan suara keras sekali.
"Menuduh sembarangan!" bantah Demo.
"Kau pernah melempar ayamku dengan batu!"
"Habis dia berisik! Sepanjang malam berkokok! Kamarku kan dekat dengan kandang
ayammu! Tidurku terganggu semalaman! Bayangkan saja, sejak pukul sebelas malam ayam jagomu berkokok sampai pagi!"
"Karena itu kamu membunuhnya?"
"lidak!"
"Kau pernah mengancam akan membunuhnya!"
"Karena aku kesal. Tetapi aku tidak jadi membunuhnya!'
"Sekarang ayam jagoku itu mati! Kalau bukan kamu, siapa yang membunuhnya?"
Datanglah ke tempat itu seorang anak lakilaki lain. Namanya Dian. Ia teman sekamar Demo.
"Kalau sudah mati ya dikubur saja," kata Dian tenang. "Ayam jagomu memang brengsek. Masa pukul sebelas malam sudah berkokok? Ayam yang baik akan berkokok sejak pukul satu dini hari! Aku juga terganggu! Apalagi bau kotorannya! Huh! Kamu tidak merasakannya. Kamarmu kan jauh dari kandang ayam!"
Keti ikut bergabung ke tempat itu, di depan deretan kamar anak laki-laki di sayap kanan bangunan Istana Bunda.
"Memelihara ayam kantidak dilarang!" kata Ugi.
"Memang tidak. Tetapi mengganggu orang kan tidak boleh!" seru Demo.
"Memang memelihara ayam di Istana Bunga tidak dilarang," sela Keti. "Tetapi Ibu pernah bilang sebaiknya jangan memelihara ayam bangkok seperti ayam iagomu itu."
"Memangnya kenapa?" tanya Ugi dengan nada tinggi. Dia masih marah, karena itu ucapannya bernada melengking tinggi.
"Ayam bangkok itu kan ayam aduan. Digunakan orang untuk sabung ayam. Kamu tahu kan, sabung ayam itu dilarang agama dan negara?"
"Aku kan tidak menyabung ayam. Aku hanya memelihara."
"Memelihara ayam bangkok itu menyediakan ayam untuk sabungan. Kau sendiri sering mencoba ayam iagomu diadu dengan ayam lain. Kalau ayam iagomu selalu menang, kaujual dengan harga mahal. Kalau yang selalu kalah, harganya murah. Betul, kan?"
Memang begitu. Ugi diam saja. Hanya dalam hati ia mengakui kebenaran ucapan Keti.
"Si Jagur sudah ditawar orang seratus nbu rupiah," gumam Ugi. "Sekarang dia mati...."
Si Jagur itu nama ayam jago Ugi yang sekarang tergeletak mati.
"Seratus ribu rupiah? Banyak sekali?" sahut Keti.
"lya. Pembunuhnya kurang ajar sekali!"
"Kamu menuduh Demo?"
"Kalau bukan dia, siapa lagi?"
"Menuduh lagi, kamu!" seru Demo kesal. Ia memukul waiah Ugi.
"Aduh! Kamu kok memukul?"
Ugi bersiaga akan memukul Demo. Keti berseru-seru memisah.
"Eit! Eit! Jangan berkelahi! Jangan begini!" serunya.
"Biar saia, Ket" kata Dian. "Habis dia menuduh orang sembarangan. Biar tahu rasa."
Ugi diam, tak jadi memukul Demo. Terus terang saja, dia tidak berani melawan Demo. Badannya kalah besar. Untunglah Keti menengahi sebelum terjadi perkelahian. Kalau tidak. qu bisa babak belur melawan Demo.
Sekarang Ugi sedih sekali. Dia yakin, Demolah pembunuh ayam jagonya. Tidak ada orang yang lebih mencurigakan daripada Demo. Tetapi bagaimana cara membuktikannya agar Demo tidak mungkir lagi?
Keti sedang memeriksa bangkai ayam jago itu. Dibukanya sayapnya. diperiksanya bagian bawah sayap itu. Bulu-bulunya disibakkan hingga kulitnya tampak. Keti memeriksa bagian lain dengan cara yang sama. Ia menemukan sesuatu di leher ayam jago itu.
"Ini dia!" serunya.
Ugi melihat bagian leher ayam jago yang diperlihatkan Keti. Di sana ada tiga buah luka kecil seperti tusukan jarum. Tiga buah luka itu membentuk segitiga bila dihubungkan dengan garis. Luka yang terletak di puncak segitiga itu lebih besar daripada dua buah luka lainnya.
"Gigitan ular!" seru Keti.
"Ular?" seru Ugi. "Di sini ada ular?"
"Bisa juga. Ini buktinya. Ayam jagomu mati digigit ular berbisa!"
"Bagaimana ular bisa masuk ke sini?"
Ya, bagaimana? Istana Bunga dikelilingi tembok yang tinggi. Terpisah dengan lingkungan di sekelilingnya, kecuali bagian depannya. Jika ular berbisa merayap dari depan sana, tentu harus melewati ruang tamu dan teras belakang. Jika dia merayap lewat pintu samping di sebelah kiri ruang tamu, dia harus melalui deretan kamar. Kedua tempat itu selalu ramai orang. Mustahil tidak ketahuan bila ada ular merayap di sana. Pada malam hari, kedua pintu di bagian itu ditutup rapat. Jadi, tidak mungkin ular merayap melalui bagian depan Istana Bunga.
Ada seseorang yang sedang mandi. Bunyi air bergemericik ketika mengalir ke saluran di bawah tanah. Saluran itu membujur di bawah lantai Istana Bunga menuju ke selokan di tepi jalan.
"Saluran air!" seru Keti. "Ular bisa masuk lewat saluran air!"
"Ular apa yang bisa mematikan dengan cepat begitu?" tanya Dian dengan penuh perhatian. "Tadi selesai salat Subuh aku masih mendengar si Jagur berkokok."
"Aku juga mendengarnya. Jadi, kira-kira ayam ini mati dalam satu jam setelah digigit ular. Wah! ltu ular berbisa yang sangat berbahaya!" seru Keti.
Seorang laki-laki setengah baya datang ke tempat itu. Orang itu tinggal di Istana Bunga sebagai penjaga dan tukang kebun merangkap pesuruh. Namanya Pak lbon. Anak-anak memanggilnya Pak Bon saja. Rupanya ia sudah tahu apa yang terjadi di depan deretan kamar anak laki-laki itu.
"Di kampung saya banyak ular berbisa yang mematikan begitu," katanya. Pak Bon berasal dari kampung di pantai utara Bekasi. "Sering ada pemancing ikan tewas digigit ular. Pemancing itu duduk di atas tanah dan digigit ular. Banyak yang tidak tertolong."
"Ular apa itu, Pak Bon?" tanya Keti.
"Orang kampung saya menamakannya ular lempe. Disebut begitu karena ularnya kelihatan seperti ular mati. Begitu tersentuh, tiba-tiba mematuk dengan cepat. Para pemancing ikan menamakannya ular laut."
"Berarti adanya di daerah pantai?" tanya Keti.
"Iya. Kampung saya memang di pantai. Orang Jakarta sering datang ke sana untuk memancing."
"Ini bukan daerah pantai. Ular itu tidak akan sampai ke sini," kata Keti.
Ugi percaya bahwa pembunuh ayam jagonya memang ular berbisa. Gara-gara itu, Istana Bunga dilanda demam ketakutan terhadap ular. Setiap saat orang dicekam rasa takut. Ketika Kikis secara tak sengaja menginjak tali dia berteriak-teriak ketakutan karena menyangka yang diinjaknya adalah ular berbisa. Bila malam tiba, anak-anak tidak berani keluar dari kamar mereka. Sebelum tidur mereka pun memeriksa kolong tempat tidur, kursi, meja dan lemari. Khawatir ular berbisa itu ada di sana. Pendek kata, sejak pagi itu penghuni Istana Bunga dicekam rasa takut.
Hal itu menjadi perhatian Ibu. Keti dipanggil dan ditanyai.
"Apa benar ada ular berbisa di sini?" tanya Ibu. "Semua orang ketakutan."
"Betul, Bu. Sewaktu-waktu ular itu bisa menggigit siapa saja," iawab Keti.
"Bagaimana cara mengatasinya?"
"Keti belum tahu, Bu."
Ibu bisa mengerti, Keti tidak bisa mengatasi kesulitan itu. Keti sendiri sedang memutar otak untuk menangkap ular berbisa itu. Bila tidak, akan jatuh korban seperti si Jagur. Korban itu bisa siapa saia. Bisa juga dirinya sendiri.
Di sekolah Keti ada perpustakaan sekolah. Buku-buku perpustakaan ini berasal dari Departemen Pendidikan Nasional. Bisa dipinjam dengan cuma-cuma oleh para murid sekolah. Keti mencari-cari buku bacaan yang berisi pengetahuan biologi. Ia menemukan sebuah buku berisi tentang binatang-binatang berbisa. Tentang ular berbisa ditulis di buku itu, lengkap dengan gambarnya. Ada lima macam ular yang paling berbisa di dunia, demikian menurut buku itu. Ular rattle, king kobra atau kobra hitam, kobra, ular tanah, dan ular laut. Ular rattle terdapat di daerah gurun pasir. King kobra atau kobra hitam di benua Afrika. Kobra, ulartanah,
dan ularlautterdapatjuga di Indonesia. Ular laut adanya di laut dan daerah pantai. Berarti tinggal kobra dan ular tanah yang mungkin berada di lstana Bunga. Keduanya sangat berbisa. Ular tanah bisa membunuh korbannya dalam waktu dua jam setelah digigit.
Keti memperhatikan gambar dua macam ular berbisa itu. Ular kobra disebutiuga ular sendok karena bila dia siap menyerang, kepalanya mengembang berbentuk seperti sendok. Ular tanah berwarna abu-abu tua kehitaman berbintik-bintik putih. Ular ini tidak besar. Hanya sebesar iari kelingking orang dewasa. Tetapi bisanya luar biasa berbahaya. Suka berada di tempat yang basah atau lembap. Selokan air sangat memungkinkan untuktempattinggalnya. Jenis ular ini menyukai bau-bauan tertentu, terutama dari hasil peragian. Tidak ada keterangan hasil peragian itu apa, tapi Keti tahu maksudnya. Tempe, minuman anggur, tape adalah makanan dan minuman yang dihasilkan dengan cara peragian. Bahan-bahan untuk makanan dan minumanitu diberi rani, kemudian
terjadilah proses fermentasi hingga makanan dan minuman itu jadi.
Ada sebuah peristiwa yang diingat Keti. Ia suka makan tape goreng. Di dekat Istana Bunga, di trotoar jalan, ada seorang penjual makanan bernama Bi Siyah. la menjual tape, singkong, ubi, tempe, dan tahu, yang semuanya digoreng. Keti sering membeli tape goreng di sana. Bi Siyah selalu memberi tambahan jika Keti yang membeli. Katanya untuk amal bagi anak yatim piatu. Sayang, sekarang Bi Siyah tidak menjual tape goreng lagi. Gara-garanya, di tempat tape itu sering ada ular. Bi Siyah takut digigit ular.
Sore itu Keti ke tempat Bi Siyah berjualan. Di bawah tempat berjualan Bi Siyah memang ada selokan air. Air buangan dari Istana Bunga juga mengalir ke selokan itu.
"E...Keti! Sudah lama tidak ke sini," tegur Bi Siyah begitu Keti muncul.
"Iya, Bi. Habisnya Bi Siyah tidak berjualan tape goreng lagi," kata Keti.
"Iya, Ya. Habisnya Bi Siyah takut. Sering ada ular di tempat-tempat tape."
"Ular apa itu, Bi'?"
"Wah, tidak tahu, ya. Kata orang-orang berbisa."
"Warnanya apa, Bi?"
"Warnanya...kehitam-hitaman...."
"Berbintik-bintik putih?"
"Iya."
"Ular itu suka tape seperti Keti, ya Bi?"
"Iya. Sekarang tapenya tidak ada. Ubi rebus saja, ya? Ini juga enak, kok."
"Tidak, Bi. Terima kasih, ya...."
Keti akan beranjak pergi. Ia hanya meminta keterangan tentang ular itu, tidak mau membeli apa-apa. Sekarang keterangan itu sudah didapatkannya. Ia akan segera pulang.
"E, tunggu dulu! Bawa ubi goreng saja. Ini!" seru Bi Siyah.
"Tidak, Bi. Saya tidak mau beli, kok."
"Tidak usah beli. Ini buat Keti saja. Ayo, jangan menolak rezeki, lho."
"Kalau begitu, ya terima kasih."
Bi Siyah memberikan tiga potong ubi goreng. Orang kecil seperti dia hatinya mudah tersentuh oleh anak yatim piatu rupanya.
Tiba di Istana Bunga, Keti berseru gembira, "Aku bisa menangkap ular itu!"
"Bagaimana caranya?" tanya Ugi. Ia termasuk yang sangat resah sejak berita ular berbisa itu tersiar.
"Dengan tape singkong!"
"Hah? Tape singkong? Yang benar saja, Ket! Mentang-mentang kamu suka tape goreng!"
"Betul! Siapa yang punya uang, coba belikan aku tape singkong!"
Tidak ada yang percaya pada Keti. Demo yang ikut mendengar ucapan itu juga tidak percaya.
"Ah, kamu! Dasar otak tape!" ejek Demo. "Bilang saja kamu ingin makan tape goreng. Sekarang kan Bi Siyah tidak berjualan tape goreng lagi!"
"Jadi tidak ada yang percaya padaku? Sialnya, aku tidak punya uang untuk membeli tape. Kalau aku punya, kubeli sendiri dan tidak usah ribut. Besok ular itu sudah kutangkap supaya kita aman dari ancaman maut! Jangan dianggap ringan, lho! Digigit ular tanah bisa mati!"
"Percaya, Ket," kata Ugi. "Yang sulit dipercaya adalah ulartanah suka tape! Itu kan bisabisanya kamu saja!"
Jadi memang tidak ada yang percaya pada Keti. Pak Bon juga tidak percaya. Masa ada ular berbisa suka tape? Keti kesal juga jadinya. Lebih kesal lagi dia dijuluki otaktape oleh Demo. Anakanak yang lain ikut menjulukinya begitu.
Kikis iba mendengar Keti dijuluki otak tape. Setiap kali ada yang menyebut otak tape, anakanak tertawa. Kikis tidak sampai hati untuk ikut tertawa. Malam harinya, Keti tampak termenung di kursi belajar. Kikis kasak-kusuk membuka lemari pakaiannya. Dari dalam laci lemari itu ia mengambil uang lima ratusan.
"Besok kamu belitape singkong sendiri saja," kata Kikis sambil menyodorkan uang itu kepada Keti.
Keti terbengong. Dipandanginya Kikis. Tampaknya Kikis begitu tulus memberikan uangnya.
"Kamu punya uang dari mana? Janganjangan ada yang kehilangan," kata Keti. Begitu caranya menyatakan rasa heran karena Kikis mempunyai uang sebanyak itu.
"Minggu kemarin aku kan bertugas mencari sumbangan selama seminggu. Pencari sumbangan kan mendapat sepuluh persen hasilnya."
"Oh, iya. Dapat banyak, ya?"
"Sebelas ribu rupiah selama satu minggu. Aku mendapat seribu seratus rupiah."


Istana Bunga Karya Bung Smas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lumayan. Jadi kau percaya aku bisa menangkap ular itu dengan tape?"
"Tidak. Aku tidak percaya sedikit pun."
"Kenapa kauberi aku uang?"
"Tidak tahu kenapa. Mungkin supaya kamu terhibur. Kamu kan sedih karena tidak ada yang mau percaya padamu? Tidak ada yang memberimu uang. Kamu sendiri tidak punya."
Keti terharu juga pada ketulusan Kikis.
Besok siangnya, Keti membeli tape singkong di pasar. Pak Bon tidak percaya bahwa ular itu akan tertangkap dengan tape, tetapi ia mau membantu Keti. Ia bekerja menurut petunjuk Keti. Mula-mula Pak Bon menggali tanah. Lalu menanam sebuah ember plastik di lubang tanah itu. Bibir ember plastik rata dengan tanah. Dinding ember plastik itu diberi minyak kelapa
supaya licin. Tape singkong ditaruh di dasar ember plastik.
"Begini saja?" tanya Pak Bon setelah semuanya selesai dikerjakan.
"Iya, begini saja. Ular tanah itu akan tertarik oleh bau tape. la akan masuk ke ember itu. Ia terjebak, tidak bisa keluar lagi karena dinding embernya licin."
"Apa kamu sudah pernah menjebak ular begini?"
"Belum. Ini kan hasil reka-reka saya."
"Kalau begitu, semoga berhasil sajalah!"
Pak Bon mengucapkan itu dengan tidak yakin. Ia membantu Keti karena tidak ada anak yang mau membantu. Membiarkan Keti menggali tanah rasanya tidak sampai hati. Lebih baik Pak Bon saja yang menggali tanah itu.
Malam berlalu. Bau tape menguar ke manamana dibawa angin. Sebagian bau itu terbawa ke saluran air. Memang benar, di sana ada makhluk kecil yang sangat berbahaya. Makhluk sebesar jari kelingking yang bisa membunuh manusia dengan gigitannya. Dia keluar dari tempat huniannva. Meravap di atas tanah. Bila
ada yang lewat dan menginjaknya. celakalah. Orang itu bisa meninggal dalam dua jamjika tidak mendapat pertolongan yang tepat.
Pagi-pagi sekali, Keti memeriksa jebakan itu. Seekor ular tanah menggeliat-geliat di dasar ember. Ia merayap naik untuk keluar dari ember itu. Tetapi dinding ember cukup licin karena berminyak. Ia terjatuh dan mencoba kembali berkalivkali.
Demo melihat Keti.
"Ada apa didalam ember itu, Ket?" tanyanya dengan maksud mengejek.
"Ada adikmu tuh!" seru Keti.
"Brengsek, kau!"
Demo bergegas mendekati ember itu. Ia melihat ular kehitaman dengan bintik-bintik putih itu.
"Jadi ular ini benar-benar suka tape?" gumam Demo.
"Kamu koktidak tahu keSukaan adikmu?" ejek Keti. "Dasar otak tape, kamu!"
Demo malu jadinya Ternyata dialah yang otak taoe.
Pak Bon datang. Ia menangkap ular itu dengan jepitan, lalu membunuhnya.
Kikis gembira, uang lima ratus rupiahnya ternyata sangat berarti. Bisa membebaskan Istana Bunga dari cekaman rasa takut dan ancaman maut.
Upi Tidak Bohong
nak yang paling kecil di Istana Bunga Abernama Upi. Ia lebih muda beberapa bulan dari Ica. Sebenarnya ada yang lebih kecil daripada Upi. Umurnya baru beberapa bulan. Namanya bayi, bukan anak kecil. Jadi, tetaplah Upi anak yang paling kecil di Istana Bunga.
Upi tinggal di sebuah kamar besaryang dihuni oleh sepuluh orang sekaligus. Seorang pembantu Istana Bunga tinggal juga di kamar itu untuk mengasuh mereka. Namanya Bu Inang.
lca yang kehilangan pengasuhnya SBIBK Ull pergi, kini tinggal juga di kamar besar itu.
Ada kebiasaan Upi yang menyebalkan. Kalau dia menangis, maka sulit sekali didiamkan. Bu Inang sering kehabisan akal untuk mendiamkan tangis Upi. Pagi hari itu, Upi pun menangis. Sudah bermacam-macam cara dilakukan Bu Inang untuk mendiamkannya. Namun, Upi tetap saja menangis.
Keti baru saja selesai mandi. la melintas di depan kamar besaritu. Bu Inang muncul di pintu kamar. la mendesah dan menggelengkan kepalanya. Seolah dengan sikap begitu ia mengadu kepada Keti.
"Ada apa, Bu?" tanya Keti.
"Payah. Kalau Upi sudah menangis sulit sekali didiamkan."
"Kenapa dia menangis?"
"Biasa. Dia ngompol lagi. Setiap ngompol dia pasti menangis."
Memang biasa begitu. Upi itu bandel sekali. Kalau disuruh pipis dulu sebelum tidur, dia tidak mau. Akibatnya dia pipis dalam tidurnya.
Biasanya dia tidak mau mengaku. Dia malah menuduh anaklain yangtidurdidekatnya.Ka|au kebetulan roknya sama-sama basah, anak yang dituduh itu ya tidak bisa berkutik. Kali ini anak yang roknya basah lwul. Semalam dia yang tidur di sebelah Upi.
"Bu lnang jahat! lwul jahat! Nakal! Tidak mau...!" seru Upi sambil mengisak.
Keti menjengukkan kepalanya ke kamar itu. Upi melihatnya. Serta merta Upi bangkit dan bergegas mendekati Keti. Ia mencengkeram rok Keti kuat-kuat. Seolah ingin menyatukan dirinya dengan diri Keti. Tak mau lepas lagi.
"Bu Inang jahat, Kak" Upi mengadu. "|qu jahat. Semua jahat! Upi tidak ngompol, dibilang ngompol lagi...."
"Siapa lagi yang jahat?" tanya Keti menggoda.
"Ica, Nila, Sari, Umi... semuanya. Habis semua bilang Upi ngompol."
"Biasanya Upi memang selalu ngompol, kan?"
"Semalam tidak. Kemarin Upi kan tidak berlari-larian. Jadi malamnya tidak ngompol. Bu
7lf'l
Inang kemarin yang berlari-Iarian mengejar kucing yang mencuri ikan. Bu Inang yang ngompol"
Bu Inang tertawa tertahan. Lucu kalau dia dituduh ngompol karena kemarin mengejar kucing.
Upi terus mencengkeram rok Keti Seperti tak akan melepaskannya.
"Sudah, lepaskan rok Kak Keti. Kak Keti kan mau pergi ke sekolah."
"Tidak mau!"
Upi terus menempel dengan Keti. Cengkeraman tangannya bertambah kuat. Kini dia bahkan merapatkan tubuhnya dengan tubuh Keti.
"Upi kok menempel terus begini? Seperti keong racun."
"Tidak mau dibilang keong racun!"
"Habis keong racun kan selalu menempel di daun seperti Upi."
"Biar saja. Habis Upi tidak ngompol dibilang ngompol. Kak Keti bilang kepada anak-anak, Upi tidak ngompol!"
"Ya, sudah. Hei, anak-anak! Semalam Upi tidak ngompol!"
"Bohong!" seru Ica yang berada di dalam kamar itu. "Orang baunya saja begitu!"
"Aaaaa!" seru Upi. "Tidak mau! Habis tidak ada yang percaya!"
Wah, repot juga kalau begini. Keti hampir kehabisan akal mengatasi Upi.
"Upi, dengar, ya," bujuknya. "Kak Keti kan harus pergi sekolah. Kalau Upi terus-menerus memegangi rok Kak Keti begini, Kak Keti tidak bisa ke sekolah. Nanti disetrap Bu Guru. Upi kasihan pada Kak Keti, kan?"
"Kasihan."
"Kalau begitu, lepaskan rok Kak Keti."
"Tidak mau. Habis anak-anak tidak percaya Upi tidak ngompol."
"Ya, sudah. Kak Keti pergi ke sekolah dulu, ya? Nanti Kak Keti akan mencari siapa yang semalam ngompol. Bukan Upi, kan?"
"Bukan!"
"Sekarang lepaskan dulu rok Kak Keti."
"Kak Keti ianii. va"
"Iya."
"Nanti anak yang ngompol dicubit saja ya...."
"Iya. Sekarang lepaskan."
Akhirnya Upi mau juga melepaskan rok Keti. Dia masih tetap menangis terisak-isak. Untuk sementara, Keti terbebas dari Upi.
Ternyata pada siang harinya ketika Keti pulang sekolah Upi masih menangis juga. Heran, anak itu kuat sekali kalau sudah menangis. Boneka yang bisa menangis saja baterainya akan habis kalau disetel terus-menerus. Bunyinya ngeok-ngeok. Upi tidak. Tangisnya masih kuat. Seolah boneka yang menggunakan baterai tahan lama.
Begitu melihat Keti, Upi lari menghampiri. Dia kembali mencengkeram rok Keti.
"Lho! Sejak pagi belum berhenti juga?" seru Keti.
Across Nightingale Floor 5 Golok Halilintar Karya Khu Lung Topeng Kedua 1

Cari Blog Ini