Ceritasilat Novel Online

Istana Bunga 2

Istana Bunga Karya Bung Smas Bagian 2


"Tadi sudah berhenti sebentar. Sekarang mulai lagi. Habis anak-anak mengejek Upi"
Kasihan juga anak yatim piatu yang seorang ini.
"Keong racun, keong racun!" keluh Keti.
"Biar dibilang keong racun, Upi tidak mau melepaskan Kak Keti," kata Upi.
"Biasanya keong racun akan lepas dari daun kalau disulut api."
"Biar disulut, Upi tidak mau melepaskan rok Kak Keti,"
Wah nekatjuga keong racun yang ini.
"Ayo, sekarang kita cari siapa yang semalam ngompol!" kata Keti pada akhirnya. Sejak di sekolah tadi, ia terus-menerus berpikir untuk mengakali anak-anak di kamar besar itu. Untuk menyelidiki siapa sebenarnya yang semalam ngompol. "Lepaskan dulu rok Kak Keti."
Upi mau melepaskan rok Keti. lsaknya masih menyendat-nyendatkan dadanya.
"Sekarang jangan menangis lagi. Kak Keti tidak bisa menyelidiki anak yang ngompol kalau Upi masih menangis." Upi menyeka air matanya dengan tangan dan ujung roknya. Ia sibuk sekali dalam usahanya itu. Dia memandangi Keti dengan penuh harap. Rupanya dia begitu tersiksa dituduh ngompol. Ia ingin benar-benar bebas dari tuduhan itu. Hanya kepada Keti harapannya dilabuhkan.
Keti mengambil sekotak korek api dari dalam saku roknya. Ia memang telah menyiapkan korek api itu sejak mendapatkan gagasan untuk mengakali anak-anak di kamar besar.
"Panggil anak-anak yang semalam tidur bersama Upi," katanya.
Upi berseru-seru memanggil semua teman sekamarnya. Kadangkala isaknya masih menyendat-nyendatkan dadanya. Tetapi air matanya tidak mengalir lagi.
Anak-anak segera berkumpul.
"Kak Keti punya korek api ajaib," kata Keti sambil memperlihatkan kotak korek api itu. "Korek api ini bisa menyelidiki anak yang semalam ngompol."
"Ah, Kak Keti bohong!" seru Ica.
"lya, bohong! Masa korek api bisa menyelidiki anak yang ngompol?" seru Umi.
"Yang bisa menyelidiki Kak Keti. Korek api ini sebagai alatnya."
"Bagaimana caranya?" tanya Iwul.
Keti membuka kotak korek api itu. Ia memperlihatkan batang korek api dalam tumpukannya di kotak.
"Lihat! Batang korek api ini sama panjangnya, kan?"
"Kalau tidak sama, masuknya ke kotaknya bagaimana?" sela seorang anak.
"Korek api ini sudah diberi doa-doa sehingga batangnya bisa menjadi pendek dengan sendirinya."
"Masa?" Seorang anak menyela karena tidak percaya.
"Kita lihat saja nanti. Kak Keti akan membagikan batang korek ini seorang sebatang. Nanti kalian simpan di bawah bantal kalian. Sore nanti kita lihat. Barang siapa yang batang korek apinya menjadi pendek, berarti dialah yang tidak ngompol. Anak yang batang korek apinya tetap panjang, dialah yang semalam ngompol!"
"Masa korek api bisa begitu?" seorang anak menggumam begitu.
"Namanya saja korek api ajaib!" kata Keti. "Sudahlah, kalau kalian tidak percaya, ya sudah. Kak Keti tidak bisa menyelidiki siapa anak yang semalam ngompol."
"Ya...nanti semua orang menuduh Upi!" seru Uni.
Sulit juga kalau anak-anak tidak mau dibohongi. Keti berpikirkeras untuk mengakali anakanak itu agar mereka mau menerima batang korek api.
"Siapa yang tidak mau menerima batang korek ajaib ini, berarti dia yang ngompol!" katanya.
"Umi tidak ngompol!" seru Umi.
"Kalau begitu, Umi harus mau menerima batang korek api ajaib ini."
"Umi mau."
"Nah, ini nanti disimpan di bawah bantal, ya. Jangan lupa, di bawah bantal!"
Keti memberikan sebatang korek api kepada Umi.
"Tidak boleh disimpan di tempatlain,ya Kak?"
"Tidak boleh. Harus di bawah bantal, tepat di bawah kepala kalian kalau tidur. Awas, jangan tertukar dengan milik anak lain."
"Nila juga mau," kata Nila. "Kalau tidak mau, nanti dibilang ngompol "
Benar juga kata Nila. Kalau tidak mau, bisa dituduh ngompol nanti. Akhirnya semuanya mau menerima batana korek aoi.
"Sekarang kita bubaran dulu," kata Keti setelah masing-masing anak menerima sebatang korek api. "Malam nanti kita lihat siapa yang batang korek apinya masih panjang. Dialah yang ngompol!"
Bu Inang memperhatikan semua itu. Ia tersenyum-senyum saja. Ia tahu, Keti punya banyak akal. Apa lagi akalnya kali ini. Bu Inang sangat ingin tahu. Tentu ada kejutannya.
Ada seorang anak yang gelisah. Ia menyimpan batang korek api di bawah bantalnya, tepat di arah kepalanya. Ia memeriksa batang korek api itu. Rasanya masih utuh, tidak bertambah pendek. la khawatir bakal dituduh ngompol. Memang semalam dialah yang ngompol. Tetapi kan malu kalau ketahuan dia yang ngompol. Sejak pagi tadi dia sudah bertahan habis-habisan untuk tidak mengaku. Biar saia Upi yang dituduh. Biasanya memang Upi yang selalu ngompol. Baru sekali ini Upi tidak. Anak yang gelisah itu bernama lwul. Semalam ia tidur tepat di samping Upi. Roknya dan rok Upi samasama basah kena ompol.
Berkali-kali lwul memeriksa batang korek apinya. Tetap saja masih utuh, tidak menjadi pendek.
"Biar pendek, harus dipatahkan," pikir lwul.
lwul mengambil batang korek api itu. Digigitnya ujungnya, lalu dipatahkan. Kini batang korek api itu pendek, lebih pendek daripada semula. lwul merasa lega. Disimpannya kembali batang korek api itu.
"Sekarang aku bebas! Tidak akan dituduh ngompol!" desisnya.
Dengan perasaan begitu, dia bisa tenang tidur siang.
Malamnya, anak-anak dikumpulkan oleh Keti.
"Genggam batang korek api kalian erat-erat," kata Keti.
Anak-anak menurut. Mereka menggenggam batang korek api masing-masing.
"Sekarang coba perlihatkan batang korek apimu, Ica!"
lca membuka telapak tangannya. Batang korek apinya masih utuh,tidak lebih pendek. Dia kecewa.
"Ya...masih utuh, Kak. Teta pi Ica tidak ngompol...," katanya.
"Ya sudah. Coba batang korek apimu, Upi."
Upi memperlihatkan batang korek apinya.
"Upi tidak ngompol, Kak. Tetapibatang korek api ini kok masih panjang? Sumpah, Kak! Upi tidak ngompol!"
"Ya, sudah. Coba kamu, Umi!"
Batang korek api Umi juga masih utuh. Semuanya masih utuh, kecuali milik Iwul.
"Lihat ini!" seru Iwul gembira. "|qu tidak ngompol! Batang korek api Iwul jadi pendek!"
Keti tersenyum. Kena kamu, Iwul!
"Batang korek api Iwul memang jadi pendek," kata Keti. "Karena Iwul mematahkannya. Betul kan, Iwul?"
lwul tegang. Ia menoleh ke sana kemari dengan bingung. Kok Kak Keti tahu, ya?
"Iwul sengaja mematahkan batang korek api supaya tidak dituduh ngompol," kata Keti lagi. "Betul kan, Iwul?"
Iwul makin kebingungan."Ayo mengaku saia!" seru Nila.
"Iya," lwul mengaku juga.
"Mengapa lwul takut dituduh ngompol? Karena sebenarnya dia yang semalam ngompol!" kata Keti lagi.
Iwul panik. Anak-anak ramai berseru. Upi naik pitam. la bangkit dan meradang. Diserangnya Iwul. Akan dijambaknya rambut anak itu.
"Kamu jahat! Kamu yang ngompol! Upi yang dituduh!" seru Upi ketika menyerbu lwul.
Keti waspada. Ia menangkap tangan Upi. Ditahannya anak itu.
"Eit! Eit! Jangan! Jangan!" cegah Keti.
"Habis dia jahat! Upi yang dituduh ngompol!"
"Ya sudah. Sekarang kan sudah ketahuan siapa yang sebenarnya ngompol."
"Upi yang dituduh!"
"Sekarang tidak. lwul sudah mengaku, kok. Ya, Iwul?"
"lya, Kak. lwul takut dimarahi, jadi Iwul tidak mengaku."
"Kamu memang jahat!" seru Upi gemas.
"iya, Iwul jahat. Sekarang lwul minta maaf...."
"itu, lwul sudah minta maaf. Masa tidak dimaafkan. Upi?"
Upi masih kesal. Mulutnya berbentuk kerucut. Tandanya dia kesal bukan main. Rasanya tidak puas kalau tidak menjambak rambut Iwul. Tetapi lwul sudah mengaku salah dan minta maaf. Kata Ibu, orang harus memaafkan orang yang sudah mengaku salah dan meminta maaf. Upi ingin menuruti kata lbu. Kalau tidak, habislah kamu lwul!
Bu Inang tertawa-tawa menyaksikan semua itu. Ketika anak-anak sudah bubar, dia mendekati Keti.
"Untungnya Bu Inang tidak ikut mengambil batang korek api itu," katanya berseloroh.
"Memang kenapa, Bu?"
"Kalau Bu lnang ikut mengambil. pasti Bu Inang patahkan juga biar pendek. Supaya tidak dituduh ngompol!"
Keti tertawa. Senang juga bisa mengatasi perkara Upi yang cukup heboh itu.
Nyanyian Tengah Malam
ada tengah malam ada bunyi P berkelontangan di bagian belakang Istana Bunga. Keti terbangun karenanya. Ia tidak segera beranjak dari tempat tidurnya. Ada apa gerangan? Pak Bon bergegas. Menyorotkan lampu senter panjang. Berlari ke arah belakang. "Kena, kamu!" katanya dengan gemas. Apanya yang kena? Pak Bon menyangka akan bisa menangkap basah beberapa orang anak
yang baru saja meloncati tembok belakang. Ternyata ia tidak mendapatkan apa-apa. Hanya kaleng-kaleng bekas yang berserakan. Bendabenda itu yang tadi berbunyi berkelontangan. Pak Bon yang menyusunnya di dekat tembok. Di tembok itu biasanya ada anak-anak Istana Bunga yang meloncat ke luar dengan cara memanjat pohon mangga. Dari puncak tembok itu anak-anak akan turun ke luar menggunakan tali. Pak Bon tahu akan hal itu dari Ibu. Pak Bon mendapat tugas untuk menangkap basah anakanak yang suka meloncati tembok. Karena itu, Pak Bon memasang kaleng-kaleng bekas untuk jebakan. Bila ada yang meloncati tembok, kaleng-kaleng akan berbunyi berkelontangan karena ambruk dari tumpukannya. Ternyata Pak Bon tidak menemukan anak-anak itu.
"Wah! Aku terlambat!" gumam Pak Bon. "Anak-anak nakal itu sudah lari!"
Sebenarnya tidak. Anak-anak nakal itu masih bersembunyi di kebun kopi. Disebut kebun kopi karena di sebidang tanah itu ada beberapa buah pohon kopi yang kini mulai berbunga. Pak Bon
tidak melihat mereka karena kebun kopi itu cukup gelap dan mata Pak Bon sudah rabun. Ada seorang anak yang bersembunyi di dekat kolam ikan. Pak Bon berjalan ke sana.
Anak itu tegang. Ia meringkuskan badannya agar mengecil, dan tidak tampak oleh Pak Bon. Celakanya, Pak Bon menyorotkan lampu senter ke arah anak itu. Si anakterkejut. Khawatir akan dikenali Pak Bon, ia meloncat mendorong tubuh Pak Bon. Anak itu tidak bermaksud jahat dan mencelakakan Pak Bon. Ia hanya ingin menghindar dari tangkapan. Namun, akibat terjangannya, tubuh Pak Bon terjatuh ke dalam kolam ikan. Celakanya Pak Bon tidak bisa berenang. Tubuhnya timbul tenggelam, tangannya menggapai-gapai tak karuan.
"Haepl Haep! Tolong!" seru Pak Bon sambil berjuang untuk tetap mengambang di permukaan air.
Anak-anak itu lari entah ke mana. Kegaduhan suara Pak Bon dan kecipak air membuat anakanak lain terbangun. Mereka berlariantaktentu arah.
"Ada apa?" tanya seorang anak laki-laki.
"'I'idaktahu ada apa! Seperti suara Pak Bon!" seru yang lain.
"Di mana?"
"Tidak tahu!"
Ada yang melihat lampu senter Pak Bon yang menyala di tepi kolam ikan. Anak itu bernama Emo.
"ltu dia!" serunya.
Emo segera berlari ke kolam ikan. Anak lain mengikutinya. Emo menjadi pahlawan. Dia terjun ke kolam dan menolong Pak Bon. Ditangkapnya tubuh Pak Bon dan diangkatnya. Emo sendiri terbenam karena itu. Pak Bon meronta-ronta tak menentu sehingga Emo malah timbultenggelam. Untunglah ada pertolongan anak lain. Anak itu, Guro namanya, menelungkupkan tubuhnya di tepi kolam, menjulurkan tangannya untuk menangkap tangan Pak Bon dan menariknya. Dengan begitu, Pak Bon bisa menepi dan menyangkutkan tubuhnya di tepi kolam. Barulah anak-anak lain mengangkat tubuh itu.
Pak Bon terbatuk-batuk. Ia muntah. Air kolam tertumpah dari mulutnya. Keadaan Emo juga
sama saja. Rupanya ketika ia timbul tenggelam karena Pak Bon meronta, ia meminum air kolam secara tak sengaja.
lni sebuah kejadian besar di Istana Bunga. lbu sangat prihatin karena kenakalan anakanaknya.
"Siapa sebenarnya anak-anak nakal yang suka meloncati tembok itu?" tanya Ibu kepada dirinya sendiri.
Keti mendengar ucapan Ibu itu.
"Anak-anak yang suka menonton film Super Girls, Bu," sahut Keti.
"Kamu koktahu?"
"Anak-anak itu meloncati tembok setiap malam Kamis. Pada malam itu diteve kan diputar film Super Girlspada pukul setengah dua belas."
"Kamu kok sampai tahu begitu?"
"Kata Pak Bon memang setiap malam Kamis ada jejak di tembok."
"Maksud lbu, kamu kok tahu ada film itu. Kamu sendiri suka menonton film itu, ya?"
"Tidak, Bu. Keti tahu kan dari cerita anak-anak di sekolah. Pada malam Kamis ada film itu. Kata
mereka filmnya seru. Tetapi bukan film untuk anak-anak. Itu film untuk orang dewasa."
Ibu Suli juga tahu ada film seri itu di teve. Film tentang gadis-gadis perkasa. Diputar pada malam hari karena film itu untuk orang dewasa. Pesawat televisi di Istana Bunga sendiri dihidupkan sejak pukul tuiuh malam sampai pukul sepuluh. SeSUdah itu, anak-anak tidak boleh menonton, harus tidur. Pintu gerbang pun ditutup dan dikunci oleh Pak Bon. Anak-anak nakal itu meloncati tembok untuk bisa menonton film di pesawat televisi di luar Istana Bunga.
"Siapa kira-kira anak nakal itu, Ket?" tanya
lbu. Biasanya Keti memang serba tahu. Namun, untuk menebak begitu saia, sulit juga.
"Harus diselidiki, Bu," kata Keti.
"Caranya bagaimana?"
Tanpa sadar lbu bertanya begitu kepada Keti. Pertanyaan itu membuat Keti merasa diberi tugas untuk menyelidiki anak-anak itu.
"Nanti Keti pikirkan, Bu," katanya.
Pak Bon sendiri geram bukan main. la menderita demam sampai dua hari karena tercebur ke dalam kolam.
"Untunglah Emo menolong saya," kata Pak Bon. "Kalau tidak, saya bisa tenggelam."
"Kita membuat jebakan, tetapi diam-diam saja. Jangan pakai tumpukan kaleng lagi. Anakanak itu sudah tahu."
"Jadi dengan apa?"
"Ya, dengan apa, ya?"
Pak Bon berpikir. Sesuatu yang berbunyi bila disentuh, apa ya? Dulu ketika Pak Bon kecil ada mainan anak kampung yang terbuat dari kaleng dan uang logam yang tengahnya berlubang. Di lubang uang logam itu dipasangi karet. Karet itu dipentang di atas kaleng. Untuk mementang karet, dipasang dua tiang dari lidi di sisi kaleng. Uang logam diputar sehingga karetnya terpilin kencang. Bila karetnya ditarik sedikit ke atas, maka uang logam akan berputar karena karet yang terpilin itu. Putaran uang logam akan membunyikan kaleng.
"Saya bisa membuat bel dari kaleng. Sekarang tidak ada uang logam yang tengahnya berlubang. Kita ganti saja dengan ring," kata Pak Bon setelah ingat akan mainan anak kampung pada zamannya itu.
"Ring itu apa?" '
"Benda pipih seperti uang logam yang tengahnya berlubang. Biasa digunakan untuk pasangan mur dan baut. Mudah mencarinya. Di gudang ada, bekas ring baut pompa air."
Pak Bon segera membuat alat itu dengan diam-diam. Untuk menarik karet supaya ring pengganti uang logam itu berputar, dipasang benang yang kuat. Nanti benang itu akan diikatkan di pohon mangga. Merentang sampai ke kaleng bel yang disembunyikan di dekat kamar mandi. Bila benang itu terinjak atau tersentuh, maka kaleng akan berbunyi.
Pada malam Kamis berikutnya,ternyata tidak ada anak-anak yang meloncati tembok. Jebakan Pak Bon tidak menghasilkan apa-apa.
"Mungkin anak-anak nakal itu masih takut. Saya penasaran Ket," kata Pak Bon. "Saya hampir mati tenggelam karena diceburkan ke kolam."
"Saya juga penasaran," kata Keti. "Tidak ada yang mau mengaku siapa yang suka meloncati tembok. Kalau tidak dijebak, ya tidak ketahuan."
Sebenarnya anak-anak nakal itu tidak meloncati tembok bukan karena masih takut.
Mereka tetap akan keluar. Tetapi mereka melihat Pak Bon berjaga di dekat tembok itu. Mereka mengurungkan niat. Pak Bon segera menyadari kesalahannya bahwa ia terlalu dekat dengan tempat jebakan.
Pada malam Kamis berikutnya, Pak Bon tidak berada di dekat tembok itu. Ia menonton televisi sampai pukul sepuluh, lalu tidur. Pada pukul sebelas ia terbangun dan memasang jebakan. Kemudian bersembunyi di dekat kamar Keti. Ia ingin berjaga di sana, tetapi kantuk menyerangnya sehingga ia tertidur lelap.
Klonang-klonang-klonang! Jebakan berbunyi pada pukul dua puluh empat lewat tiga puluh lima menit. Keti yang kamarnya di dekatkamar mandi, segera terbangun karena bunyi bel kaleng itu. Ia bergegas ke luar.
Pak Bon sudah berada di dekat pohon mangga. Menyorotkan lampu senternya ke sana kemari.
"Bagaimana, Pak Bon?" tanya Keti.
"Saya terlambat lagi," sahut Pak Bon kesal.
Pak Bon menyorotkan lampu senternya ke kebun kopi. Semua bagian kebun itu disaounva
dengan sinar lampu senternya. Tidak ada siapasiapa.
"Mereka bergerak cepat sekali, seperti hantu!" geram Pak Bon.
Keti tertawa pendek.
"Sebenarnya bukan karena mereka bergerak cepat sekali," katanya.
"Betul! Pak Bon langsung ke sini, mereka sudah tidak ada!"
"Pak Bon yang terlambat. Pak Bon kan tidak segera lari ke sini. Bangun tidur Pak Bon menggeliat dulu, mengucak-ngucak mata dulu baru bangkit dan mengambil lampu senter."
Pak Bon tersenyum masam. Memang dia punya kebiasaan begitu kalau baru bangun tidur, Iebih-lebih kalau bangun karena terkejut. Pak Bon memeriksa pintu kamar-kamar anak lelaki. Semuanya terkunci. Hening, seolah semua penghuninya tidur lelap. Namun, Keti yakin ada beberapa orang yang belum tidur. Beberapa orang yang baru saja meloncati tembok dan berpura-pura tidur.
"Bangunkan saja mereka, Pak!" kata Keti.
"Dibangunkan?"
"Iva. Suruh mereka baris di teras kamar."
"Untuk apa?"
"Untuk diperiksa siapa sebenarnya anakanak nakal itu."
Membangunkan semua anak laki-laki dan membariskan mereka? Ah, Keti mengada-ada.
"Jangan khawatir, Ibu sudah tahu, kok. Ibu setuju kita membangunkan semua anak laki-laki malam ini," kata Keti pula.
"Ibu bilang begitu?"
"Yabilang begitu memang tidak. Tetapi Ibu setuju kalau kita menangkap basah anak-anak nakal itu. Caranya ya bangunkan saja semua anak laki-laki".
Tidak tahu lbu setuju atau tidak, Pak Bon gemas bukan main terhadap anak-anak nakal itu. Makanya, ia setuju saja membangunkan semua anak laki-laki. la menggedor-gedor pintu kamar anak laki-laki.
"Bangun! Bangun! Ayo bangun semua! Bangun!" serunya sambil menggedor-gedor pintu kamar.
Anak laki-laki terbangun. Mereka menggerutu. Ada apa malam-malam begini membangunkan orang?
Ayo semuanya bangun! Berbaris di teras kamar! Berbaris! Semuanya berbaris!" seru Pak Bon.
Kegaduhan itu membangunkan Ibu. Kini |bu datang ke deretan kamar anak laki-laki. Ibu melihat saia keributan di sana. Ingin tahu apa yang akan terjadi.
Beberapa orang anak perempuan juga terbangun. Mereka melongok ke arah deretan kamar anak laki-laki. Kikis keluar kamar dan segera mendekati Keti.
"Ada apa, Ket?" bisiknya sambil mendekatkan mulutnya ke telinga Keti.
"Uf! Mulutmu berbau!" seru Keti sambil menutupi hidungnya.
"Mulutmu juga! Orang baru bangun tidur kan mulutnya berbau!" gerutu Kikis.
Ribut soal bau mulut itu membuat Kikis lupa akan pertanyaannya yang belum dijawab Keti. Namun, ia tidak memerlukan jawaban lagi. Kesibukan di depan deretan kamar anak laki-laki merupakan jawaban pertanyaan itu. Semua anak laki-laki dibariskan oleh Pak Bon. Bukan main,
07 0 Pak Bon bergaya bagai komandan tentara membariskan anak buahnya. Sikapnya galak sekali. Beberapa orang anak laki-laki kesal karena itu. Mereka menggerutu, tetapi tidak berani berbuat macam-macam. Mereka sudah melihat lbu disana. Mereka menyangka Ibu yang menyuruh Pak Bon untuk membariskan anakanak. Mungkin ada latihan bahaya kebakaran atau apa. Tidak biasanya anak-anak dibangunkan pada tengah malam dan dibariskan begini.
Ternyata setelah membariskan anak-anak, Pak Bon melapor kepada Keti.
"Sudah, Ket. Siap!" katanya.
Wah anak-anak kesal bukan main. Ternyata yang menjadi komandan penguasa Keti bukan Ibu. Apa-apaan ini?
Keti mendekati barisan itu.
"Ayo menyanyi! Menyanyi!" serunya.
"Ada apa ini, Ket?" tanya Guro.
"Ada latihan menyanyi!" jawab Keti sekenanya.
Anak-anak makin bingung saja. Latihan menyanyi pada tengah malam begini, apa gerangan ini?
"Menyanyi apa?" tanya Emo.
"Apa saja. Pokoknya jangan lagu Indonesia Raya. Lagu kebangsaan tidak boleh dinyanyikan dengan sembarangan begini!"
"Lagu dangdut, boleh?" seru Anjar. Dia mulai menganggap semua ini sebagai hiburan. Daripada kesal disuruh-suruh Keti, memang lebih baik menganggap sebagai hiburan saja.
"Lagu dangdut, pop, rock, apa saja boleh! Ayo mulai! Satu, dua, tiga!"
Mulailah anak-anak menyanyi.
"Abang Midun...Abang Midun...." Ada yang menyanyi lagu dangdut begitu.
"Gelang sipaku gelang...." Ada juga yang menyanyi begitu.
"Tlah kuterima suratmu yang dulu."
"Lihat kebunku penuh dengan bunga...."
"Susan, Susan, Susan. Besok gede mau jadi apa...."
Bermacam-macamlah lagu yang dibawakan anak-anak. Suara mereka gaduh bukan main. Ada yang tertawa, ada yang sekadar berteriakteriak.
Keti kemudian mengadakan pemeriksaan, Ia mencium bau mulut seorang anak laki-laki yang berdiri di ujung barisan. Anak itu berhenti menyanyi karena Keti mendekat.
"Ayo terus bernyanyi!" kata Keti.
"Kamu mau apa?" tanya anak itu.
"Uf! Mulutmu berbau!" kata Keti pula. Lalu dia bergerak meninggalkan anak itu. Memeriksa anak yang lain. "Mulutmu juga berbau!"
"Sebenarnya kamu mau apa, Ket?" tanya Emo. Ia juga berhenti menyanyi karena Keti mendekat.
"Nah mulutmu tidak berbau. Baru saja makan permen, ya?"
"Iya."
Keti meninggalkan Emo. la memeriksa anak yang lain. Demikian seterusnya. Belum ada yang tahu apa maksudnya. Anak berkucir dua yang bertubuh kurus itu memang suka mengada-ada. Kali ini entah mau apa dia, menyuruh orang menyanyi dan dia memeriksa bau mulut!
"Sudah sekarang diam!" seru Keti setelah memeriksa semua anak. Ia menghampiri Ibu dan
melapor, "Bu, ada tiga orang anak yang meloncati pagar. Mereka adalah Emo, Guro, dan Ifar."
"Bagaimana kamu tahu?" tanya Ibu. Tentu saja Ibu heran bagaimana Keti begitu yakin bahwa tiga orang anak yang disebutkan itu yang meloncati pagar.
"Mulut mereka tidak berbau, Bu," kata Keti. "Anak yang baru saja tidur kan mulutnya berbau. Mulut mereka tidak berbau karena mereka belum tidur. Mereka baru saja menonton film teve."
Ibu heran bukan kepalang. Memang benar begitu, Ibu sendiri merasa mulutnya berbau karena baru saja bangun tidur. Ibu mendekati barisan anak-anak itu.
"Emo, Guro, Ifar," panggil Ibu. "Kalian baru saja menonton teve di luar Istana Bunga, bukan?"
Ketiganya diam. Tadi mereka mendengar Keti bicara tentang bau mulut itu kepada Ibu. Emo menyesal,tadi Keti sempat mencium bau permen dari mulutnya. Tak disangka, bau permen itu menjebaknya. Guro dan liar pun menyesal, mengapa mulutnya tidak berbau saja seperti
1010 mulut anak lain yang baru bangun tidur!
Pak Bon juga tampak menyesal. Ia menyangka Emo benar-benar sebagai pahlawan yang menolongnya dari kolam ikan.
"Saya mengaku, Bu," kata Emo. "Saya terpaksa menceburkan Pak Bon karena terkejut dan takut tertangkap. Tetapi saya tidak bermaksud mencelakakan Pak Bon. Saya tidaktahu Pak Bon tidak bisa berenang."
"Wah! Kamu lalu berpura-pura menolong saya!" seru Pak Bon kesal.
"Tidak. Saya benar-benar menolong Pak Bon setelah saya sadar Pak Bon akan tenggelam."
Emo berkata jujur. Nyatanya memang ia sungguh-sungguh menolong Pak Bon sampai dirinya sendiri timbul tenggelam di air kolam.
"Kalian sudah mengaku bersalah. Nanti akan Ibu pikirkan hukuman apa yang pantas bagi kalian. Yang penting, mulai sekarang, jangan melakukan kenakalan begitu lagi," kata Ibu.
"Iya, Bu."
Hukuman apa saja akan mereka terima. Mereka sadar, perbuatan mereka memang melanggar tata tertib Istana Bunga. Yang 102 ?
membuat mereka heran, bagaimana Keti bisa menjebak mereka dengan cara sederhana begnu?
Keti sendiri sudah tidak mempersoalkan itu. Ia sudah kembali ke kamarnya dan hendaktidur. Gagasan menjebak dengan bau mulut itu kan timbul gara-gara ia sering mencium bau mulut Kikis yang selalu membangunkannya bila Keti kesiangan.
Hantu Menangis
pa hantu bisa menangis? Suaranya A merengek, menyayat hati, bagai anak kecil yang kesakitan karena perutnya mulas melilitlilit atau seperti Igo ketika disunat dulu. Igo ikut sunatan massal di kantor kelurahan. Entah bagaimana ia menderita infeksi. Sakitnya berkepanjangan dan dia menangis merintihrintih. Suara hantu menangis itu mirip rintihan Igo dulu. Semua orang takut. Suara rintihan itu terdengar seiak pukul sembilan malam. Arahnya
entah dari mana. Kadang-kadang terdengar dari arah kamar mandi anak perempuan. Kadangkala dari dekat kolam ikan. Tidak ada yang bisa memastikan secara tepat dari mana arah suara rintihan itu. Suasana lebih mencekam karena setiap hantu menangis itu muncul ada bau wangi menyengat yang tercium sampai ke mana-mana.
Akibatnya, rasa takut mencekam seluruh penghuni Istana Bunga. Jika malam tiba, suasana sangat sepi. Anak-anak yang mengaji di musala iuga dicekam rasa takut. Begitu selesai mengaji, mereka segera masuk ke kamar masing-masing. Tidak berani keluar. Kalau kebetulan harus ke kamar mandi, mereka pergi beramai-ramai. Kadangkala minta diantar Pak Bon. Padahal Pak Bon sendiri takut pada hantu menangis itu.
"Sebenarnya apa yang berbunyi dan berbau wangi itu, ya?" gumam Pak Bon pada suatu siang.
Keti sedang berada di dekat Pak Bon, memandang ke arah kebun kopi. Dari arah kebun kopi ini bau wangi itu tercium bila hantu menangis mulai datana.
""I'ldak tahu apa. Tetapi pasti bukan hantu," sahut Keti.
"Tahunya bukan hantu, bagaimana?"
"Kata orang, hantu akan muncul sewaktuwaktu. Tidak selalu ada seperti hantu menangis ini."
"Kata orang siapa? Di kampung Pak Bon ada hantu yang muncul setiap saat. Di tikungan jalan dekat muara Sungai Citarum ada hantu tanpa kepala. Selalu muncul kalau ada pemancing ikan lewat di sana. Banyak yang sudah menyaksikannya. Ada mobil yang sampai tercebur ke sungai karena pengemudinya melihat hantu itu."
"Apa Pak Bon pernah melihat hantu itu?"
"Ya tidak. Kata orang juga."
"Kalau begitu, tidak usah dipercaya. Kata orang kan bisa keliru."
"Kalau begitu, kata orang bahwa hantu hanya akan muncul sewaktu-waktu juga bisa keliru."
Keti tidak bisa menjawab setelah didebat begitu. Pak Bon lalu bercerita tentang hantu tanpa kepala di kampungnya, di pantai utara Bekasi, dekat muara Sungai Citarum itu. Ce
ritanya sangatmenyeramkan. Kalau benar hantu itu ada, sungguh mengerikan. Tetapi, siapa yang bisa memastikan bahwa hantu itu benar-benar ada? Mungkin pengemudi mobil yang tercebur itu hanya merasa melihat hantu. Lalu panik dan membelokkan mobilnya tanpa sengaja. Jalan yang menikung itu berada di tanggul Sungai Citarum, maka terceburlah mobil itu ke dalam sungai
Kehadiran hantu menangis itu menyebalkan juga. Menciptakan rasa takut bagi semua penghuni Istana Bunga. Keti sendiri sebenarnya takut. Namun, karena ia mulai percaya bahwa yang menangis itu bukan hantu, maka rasa takutnya sedikit berkurang. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa yang menangis itu bukan hantu. Entah apa, pokoknya bukan hantu. Mungkin bunyi sesuatu. Tetapi apa gerangan sesuatu yang berbunyi begitu? Keti sendiri pernah mendengar suara hantu menangis itu dari'dalam kamarnya. Menyeramkan sekali. Dibayangkan sesosok makhluk yang wujudnya tak keruan,yang wajah dan tubuhnya tidak lazim
sebagaimana manusia. Bentuk yang tidak lazim memang menakutkan.
Cerita tentang hantu menangis itu mungkin akan menarik jika dikisahkan buat Nene. Keti teringat akan Nene. Sudah lama ia tidak main ke rumah sahabatnya itu. Ia berniat main ke sana.Tentu saja dengan seizin Ibu. Sekarang Ibu mengizinkan Keti main ke rumah Nene kapan saja, asalkan memberi tahu lebih dulu.
"Hai!" seru Keti begitu ia tiba di depan pintu gerbang rumah Nene.
Nene sedang duduk di kursi roda, seperti biasanya. Ia terkejut bukan main. Tadi ia sedang melamun sambil memandangi anak-anak sekolah yang lewat di jalan sana. Membayangkan seandainya Keti ada di antara anak-anak itu. Kini Keti benar-benar muncul di depannya. Aneh rasanya.
"Lho! Kokterkejut sampai seru begitu?" seru Keti. Ia mendorong pintu gerbang dan melangkah memasuki halaman rumah.
"Aku heran benar-benar melihat kamu!" kata Nene. "Kusangka tadi...."
"Hantu?"
"Bukan! Kusangka tadi hanya khayalanku saia. Habis sudah lama aku menunggumu Tadi aku ingin menelepon ke Istana Bunga."
"Kok tidak jadi?"
"Aku lupa nomor teleponnya."
"Untunglah kau tidak jadi menelepon ke Istana Bunga."
"Kenapa?"
"Kalau yang menerima teleponmu hantu menangis, kau bisa ketakutan. Di Istana Bunga sedang berkeliaran hantu menangis."
"Hantu menangis bagaimana?"
"Hu...huhu.... Begitu."
Nene tertawa. Keti tampak lucu ketika menirukan hantu sedang menangis. Mulutnya dimencongkan, wajahnya berkerut-kerut. Maunya menakutkan, tetapi malah tampak lucu.


Istana Bunga Karya Bung Smas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kamu kok tertawa, Ne? Tidak takut?"
"lidak."
"Kalau kamu dengar hantu menangis di Istana Bunga, kamu pasti takut."
"'Iidak."
"Jangan sombong!"
"Betul! Hantu itu kan seienis setan?"
"Iya."
"Aku tidak takut."
"Hm! Sombong benar, kamu!"
"Betul! Orang beriman tidak usahtakut pada setan. Setan tidak akan berani mengganggu orang yang beriman. Kata ustazah yang mengajarku mengaji begitu."
"Memang begitu. Tetapi kalau mendengar hantu menangis ya takut juga. Dipaksa-paksa tidak takut, sulit juga."
"Membaca doa, memohon perlindungan Allah."
"Sudah, Ne. Aku membaca Surat An-Naas berkali-kali. Hantu menangis itu tidak pergijuga."
"Kenapa kamu membaca surat An-Naas? Biasanya orang membaca Ayat Kursi kalau bertemu hantu, setan, atau jin."
"Surat An-Naas itu kan isinya permohonan perlindungan Allah dari gangguan setan, manusia, dan jin."
"Mungkin doamu tidak dikabulkan karena tidak khusyuk. Kamu berdoa kan sambil ketakutan?"
"Memang, atau mungkin sebenarnya hantu menangis itu bukan hantu sungguhan?"
' t "Maksudmu orang yang menakut-nakuti dengan menyamar sebagai hantu?"
"Mungkin. Tetapi orang menakut-nakuti begitu dengan maksud apa, ya?" Mau mencuri? Ah, mencuri apa sih di Istana Bunga? Mau mencuri anak yatim-piatu dan telantar? Malah menyusahkan!"
Pembicaraan terus berkisar tentang hantu menangis. Sampai mereka makan bersama yang disajikan oleh Bi lsah, soal hantu menangis itu masih menjadi bahan pembicaraan. Bi lsah sempat mendengar sebagian ketika ia menyajikan makanan. Juga ketika ia membereskan piring dan sisa makanan.
"Hantu menangis itu seperti apa, sih Non?" tanya Bi lsah kepada Nene.
"Lho, kok tanya kepada Nene. Itu tanyakan kepada Keti yang sudah kenal hantu menangis," kata Nene.
Bi lsah berpaling ke arah Keti. Keti segera menceritakan hantu menangis yang menakutkan seluruh penghuni Istana Bunga itu.
"Apa hantunya muncul pada waktu terang bulan?" tanya Bi lsah.
110 "Iya! Betul!"
"Baunya wangi seperti...seperti daun pandan?"
"Daun pandan itu apa?"
"Daun yang digunakan untuk pewangi kue. Tahu kue putu, kan?"
"Ya, tahu."
"Kue putu ada yang diberi daun pandan. Warnanya hijau dan baunya wangi. Memang ada kue putu yang tidak diberi daun pandan."
"Oh, iya. Keti tahu kue putu yang warnanya hijau."
"Hantu menangis itu baunya mirip bau kue putu yang diberi daun pandan?"
"Betul! Tetapi lebih wangi lagi. Maksud Keti, baunya lebih kuat."
"Hantu menangis begitu biasanya suka makan biji kopi. Apa di Istana Bunga ada pohon kopi?"
"Ada."
"Pohon kopinya pasti sedang berbuah."
"Betul! Kak Bi lsah tahu betul tentang hantu menangis itu?"
117 ,
Bi lsah tersenyum. Tampaknya dia bangga sekali bisa tahu tentang hantu menangis.
"Di kampung Bi lsah banyak hantu menangis begitu. Kalau mau, nanti Bi Isah bawakan satu!" kata Bi Isah berseloroh,tetapi tampak sungguhsungguh.
"Kamu sudah sombong," kata Keti kepada Nene, "Bi Isah lebih sombong daripada kamu!"
"Betul, kok! Bi lsah tidak sombong!" sela Bi lsah meyakinkan. "Ayo ajak Bi Isah ke Istana Bunga. Nanti Bi Isah tangkap hantu menangis itu."
Keti benar-benar heran pada Bi lsah itu.
"Sebenarnya hantu menangis itu bukan hantu sungguhan," kata Bi Isah pula. "Itu musang pandan atau rasa."
"Musang?" tanya Keti.
"Iya. Disebut musang pandan karena baunya wangi seperti daun pandan. Dia suka makan biii kopi. Pernah dengar kopi luwak?"
"Iya."
"ltu kopi yang rasanya enak sekali. Kopi luwak itu adalah biii kopi yang sudah dimakan oleh
musang pandan. Kalau musang itu membuang kotoran, biji kopi yang sudah ditelannya ikut terbuang, masih utuh. Warnanya berubah menjadi berbintik-bintik Biji kopi itu sudah diperam di dalam perut musang pandan. Rasanya lezat sekali."
"Hiii!" Keti bergidik karena jijik. Membayangkan biji kopi dalam kotoran musang, betapa menjijikkannya.
"Biar keluar bersama kotoran musang pandan, kopi itu masih bersih, kok. Biji kopi itu dijemur, digoreng tanpa minyak, lalu digiling. Disebut kopi luwak karena di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur, musang disebut luwak."
Soal kopi luwak itu Keti tidak tertarik. Soal hantu menangis, lain lagi.
"Jadi hantu menangis itu sebenarnya binatang?" tanyanya ingin meyakinkan.
"Iya. Musang pandan suka keluar pada saat terang bulan. Memakan biji kopi," kata Bi Isah bagai seorang ahli saja. Ia berasal dari sebuah kampung di Jawa Tengah. Kebetulan kampungnya penghasil biji kopi.
"Bunyi seperti orang menangis merintih-rintih itu apa?" tanya Keti sangat ingin tahu.
114 !
"Bunyi musang pandan memang begitu. Kalau dia terlalu kenyang, dia berbunyi begitu. Seperti anak kecil merintih-rintih "
Setelah dipikir-pikir, masuk akal juga keterangan Bi Isah tentang musang pandan itu.
"Aku percaya," kata Keti kepada Nene. "Tetapi bagaimana menerangkan kepada anakanak Istana Bunga supaya mereka percaya? Supaya mereka tidak ketakutan lagi."
"Kamu tangkap saia musang itu," kata Nene.
"Bagaimana cara menangkapnya?" Keti berpaling ke arah Bi Isah. Bi Isah tahu?"
"Dijebak dengan kala. Orang kampung Bi Isah bisa menjebak musang itu."
Orang kampung Bi lsah bisa Bi Isah tidak menerangkan bagaimana cara menjebak dengan kala atau tali berjerat itu. Mungkin dia tidak tahu. Mungkin juga menurut Bi Isah percuma saja menerangkan kepada Keti. Toh Keti tidak akan bisa membuatiebakan itu.
"Dipotret saja!" seru Nene tiba-tiba.
"Oh, iya! Aku menunggu musang itu datang, lalu memotret! Tetapi..."
"Kamu tidak bisa memotret?" tanya Nene.
"Bukan saja tidak bisa. Alat pemotretnya juga tidak punya-"
"Aku punya. Kalau mau belajar memotret, nanti kuaiari."
"Wah! Mau betul!"
Diajari memotret, siapa tidak mau? Alat pemotret atau tustel milik Nene ternyata cukup besar. Bukan tustel plastik yang merupakan kotak kecil seperti yang sering dilihat Keti. Tustel Nene seperti tustel milik wartawan yang ada di siaran Dunia dalam Berita TVRI. Besar, dilengkapi dengan lensa tele, yaitu lensa untuk pemotretan jarakjauh. Untuk memotret musang, lensa tele diperlukan. Soalnya Keti tidak bisa mendekati musang itu. Memotretnya harus dari jarak iauh. Menggunakan lampu kilat karena pemotretan dilakukan pada malam hari.
"Kira-kira jarak musang itu berapa meter dari tempatmu?" tanya Nene ketika mengajari Keti memotret.
"Hm...sekitar dua puluh sampai dua puluh lima meter."
"Kalau begitu, disetel saja untuk pemotretan jarak dua puluh lima meter." Nene menyetel lensa tustel itu dengan memutarnya. "Nah, ini untuk jarak dua puluh lima meter. Kamu tinggal mengincar musang itu supaya kelihatan di tustel. Diafragmanya direndahkan untuk pemotretan dengan cahaya yang sedikit. Biar menggunakan lampu kilat, jaraknya kan cukup jauh. Jadi, cahaya yang diterima lensa ini sedikit."
Diafragma itu bukan lensa. Semakin sedikit cahaya dalam pemotretan, bukan lensa harus semakin lebar. Keti tidak paham benar apa yang diterangkan Nene. Tetapi secara keseluruhan dia mengerti.
"Hati-hati, ya. Jangan sampai terjatuh atau terantuk," pesan Nene ketika menyerahkan tustel itu kepada Keti.
"Iya. Harganya mahal, ya?"
"Bukan soal harganya mahal. Dalam tustel itu ada hasil pemotretanku. Aku kan sering memotret anak-anak yang lewat di depan rumahku. Kamu juga pernah kupotret. Filmnya masih di dalam tustel itu. Janoan sampai rusak. Kalau
tustelnya terantuk atau jatuh, bisa terbuka. Film di dalamnya terkena cahaya. Jadi terbakar."
"Terbakar? Berapi dan berasap begitu?"
"Tidak. Film yang terbakar artinya menjadi hitam, tidak bisa dicetak menjadi foto. Nanti fotomu yang ada di situ jadi seperti gambar hantu menangis!"
Bodoh sekali aku, pikir Keti. Tak apa, tak usah merasa malu. Soal potret-memotret memang hal yang asing bagi anak-anakseusianya,terutama anak-anak Istana Bunga.
Malam harinya, aksi pemotretan itu dilakukan. Ini gila, pikir anak-anak Istana Bunga. Igo, anak yang ketika disunat merintih-rintih seperti hantu menangis itu, benar-benar heran, bagaimana Keti yakin bahwa yang berbunyi itu musang.
"Kamu mau menemani aku untuk memotret musang itu?" tanya Keti.
"Kalau benar-benar musang, aku berani. Tetapi kalau benar-benar hantu?" kata Igo ragu.
"Hantu apa! Dia benar-benar musang!"
"Kalau benar-benar musang, kenapa kau minta ditemani?"
"Kan iseng kalau sendirian. Bukan takut."
Untung-untungan, Igo maujuga. Padahal Pak Bon saia tidak mau karena percaya bahwa yang menangis itu hantu, seperti hantu tanpa kepala yang konon ada di kampungnya.
Menunggu di kebun kopi, menggelisahkan juga. Banyak nyamuk menggigit Harus bertahan tidak boleh menepuk nyamuk. Nanti musang itu mendengar dan tidak mau datang. Dua jam lebih Keti dan Igo bertahan di situ, dalam kegelapan karena kerimbunan dedaunan menghalangi cahaya lampu. Akhirnya datang juga hantu menangis itu. Bau wangi menguar sebelum makhluknya tampak.
Bulu kuduk Igo meremang. Hantu atau musangkah yang datang itu? Bentuknya seperti kucing, tetapi badannya lebih panjang. Juga moncongnya. Dia muncul entah dari mana, tahutahu berada di puncak tembok keliling Istana Bunga. Lalu melompat ke pohon kopi.
Keti sudah bersiaga dengan tustel yang siap dibidikkan. Klik, byar! Tustel berbunyi, lampu kilat menyala. Makhluk berbau wangi itu terkejut. Ia berjingkat dan bergegas lari.
"Musang! ltu musang!" teriak Igo seketika. "Aku sempat melihatnya ketika lampu kilat menyala!"
"Betul-betul musang, kan?"
"lya! Seperti yang kulihat di teve!"
Iya, musang sering terlihat di tayangan televisi dalam acara ilmu pengetahuan. Di kebun binatang juga ada. Hanya saja Igo belum pernah ke kebun binatang.
"Kamu bisa memberi tahu anak-anak yang lain bahwa hantu menangis itu benar-benar musang," kata Keti.
"Bisa! Kalau mereka tidak percaya, biar melihat potretnya."
"Kalau potretnya jadi. Aku kan belum mahir memotret."
"Ya, mudah-mudahan saja jadi "
Ternyata potret itu memang jadi. Meskipun tidak bagus benar, tetapi gambar musang itu tampak. Anak-anak bisa diyakinkan Pak BOn malu jadinya.
"Kalau begitu, hantu di kampung saya bisa dipotret, ya?" katanya.
"Keti tidak berani memotretnya," kata Keti.
"Semalam Keti berani memotret hantu menangis."
"Habis hantu di kampung Pak Bon tidak bisa menangis. Kantidak punya kepala. Menangisnya bagaimana? Mulutnya saja tidak ada."
Iya, ya. Mudah-mudahan saia hantu di kampund Pak Bon itu tidak benar-benar ada.
Aua Duanv
oa cara mencari uang jajan bagi anak-anak Alstana Bunga, yaitu dengan membantu Kak Yana. Kerjanya mudah, uang jajan yang diperoleh cukup lumayan. Kak Yana adalah penghuni Istana Bunga yang sudah cukup dewasa, tetapi belum juga diadopsi orang. Sampai kini dia masih tinggal di Istana Bunga. Kerjanya menerima borongan jahitan. Kak Yana mendapat pekerjaan menjahit dari perusahaan konveksi, yaitu perusahaan yang mengerjakan pembuatan pakaian.
Bahan-bahan pakaian yang sudah dipotong diambil Kak Yana dari perusahaan konveksi, lalu dijahit di Istana Bunga. Kalau sudah selesai dijahit, pakaian-pakaian itu diseterika dan diantarkan ke perusahaan konveksi. Kak Yana mempekerjakan seorang penjahit lain bernama Kak Sanah. Anak-anak Istana Bunga bisa membantu membuat lubang kancing dan memasang kancing pakaian-pakaian yang dijahit itu. Untuk jasa itu Kak Yana memberi upah.
Awalnya banyak yang suka membantu Kak Yana, tetapi belakangan ini hanya Keti dan Kikis. Hasil kerja Keti dan Kikis sangat rapi sehingga perusahaan konveksi itu puas. Anak-anak lain bekerja secara serampangan sehingga hasilnya tidak rapi.
Senang juga membantu Kak Yana. Tetapi kalau sedang banyak pesanan seperti sekarang ini, sungguh merepotkan. Apalagi dikejarwaktu, pesanan itu harus segera siap. Keti dan Kikis terpaksa harus bekerja sampai larut malam. Besok pasti mengantuk di sekolah.
"Ayo masih sepuluh setel pakaian lagi yang harus dikerjakan. Jangan mengantuk dulu," kata Kak Yana malam itu.
124 '
Mata Keti sudah berat sekali. Maunya tertutup saja. Keadaan Kikis juga hampir sama.
"Aduh!" Keti mengaduh. Ujung jarinya tertusuk jarum.
"Na, kan! Jadi kena jarum! Kerjanya sambil mengobrol juga boleh. Biar tidak mengantuk," kata Kak Yana.
"Mengobrol apa?" tanya Keti. Kata-katanya tidak jelas karena diucapkan sambil setengah Hdun
"Apa saja."
Ternyata mengobrol sambil mengantuk juga tidak mudah. Membuka mata dan mulut sama saja sulitnya. Keti sudah tersuruk sebelum mengucapkan sepatah kata. Kepalanya terkulai di tumpukan baju.
"Wah, malah tidur," gumam Kak Yana. "Ayo bertahan sebentar lagi. Nanti diberi bonus!"
Mendengar kata bonus diucapkan, Keti terbangun.
"Bonus? Bonus apa?" tanyanya.
Kikis tertawa.
"Mendengar bonus jadi hilang kantuknya, ya?" ejeknya.
126 "Ah, kamu! Tadi Kak Yana bilang kita akan diberi bonus, kan?"
"Ya," sahut Kak Yana. "Selain honor kerja kalian, Kak Yana juga akan memberi bonus."
Bonus itu hadiah. Diberikan di luar upah kerja. Tentu saja menyenangkan.
"Bonusnya apa, Kak?" tanya Keti menebaknebak.
"Jangan dibilang sekarang, biarjadi kejutan."
Demi bonus, Keti pun memaksakan diri untuk terjaga. Pekerjaan ini harus selesai. Besok akan diantarkan.
Entah pukul berapa semua pekerjaan itu bisa diselesaikan. Keti tidak ingat lagi. Dia langsung tidur. Celakanya, dalam tidurnya dia bermimpi sedang bekerja membantu Kak Yana juga. Ia terbangun. Ternyata sudah subuh. Kikis sudah bangun lebih dulu.
"Uh! Malang benar nasibku," keluh Keti.
"Lho, kenapa? Bangun tidur kok menggerutu!" tegur Kikis.
"Tidak tidur sudah susah karena harus kerja keras, dalam tidur susah iuoa."
"Susah bagaimana?"
"Mimpi kerja keras lagi! Kan sengsara berganda namanya. Kalau hidupnya susah, harusnya mimpinya yang enak-enak!"
Kikis tertawa. Ada-ada saja Keti ini.
"Ayo salat Subuh dulu! Nanti ketinggalan! Pulang sekolah nanti bisa tidur lagi!"
Memang mengantuk bukan main. Tetapi harus salat Subuh, kemudian menyapu dan mengepel lantai, selanjutnya pergi ke sekolah. Siangnya baru boleh beristirahat. Meneruskan tidur yang terputus. Mudah-mudahan tidak bermimpi kerja keras lagi.
Syukurlah, ketika tidur siang setelah pulang sekolah, Keti tidak bermimpi. Bangun tidur sudah tiba waktu asar. la melihat sebuah tas sekolah tergantung di dinding. Tas itu masih baru. Terbuat dari kain berenda benrvarna kuning muda. Bagus sekali. ltukah bonus yang dijanjikan Kak Yana?
Ketika Keti sedang mengagumi tas itu, Kikis masuk ke kamar.
"Itu taskul" katanya.
"Oh, tasmu? Baqus, va?"
"ltu bonus dari Kak Yana."
"Ha? Bonus? Untukku mana?"
"Tidak tahu. Kak Yana hanya memberi untukku."
"Wah! ini tidak adil! Kita kan sama-sama kerja keras! Masa hanya kau yang dapat bonus?"
"Tidak tahu. Mungkin karena semalam kamu mengantuk terus."
Keti kesal bukan main. Ia bergegas mencari Kak Yana. Ternyata di ruang menjahit tidak ada Kak Yana. Hanya ada Kak Sanah. Pembantu Kak Yana itu sedang membersihkan mesin jahit.
"Kak Yana mana, Kak?" tanya Keti.
"Sedang pergi mengantar jahitan. Wah, kita bakal mendapatjahitan lagi, Ket."
"Masa bodoh! Kak Yana tidak adil!"
"Lho, kenapa?"
"Masa hanya Kikis yang diberi bonus! Keti tidak!"
"Wah, Kak Sanah tidak tahu juga kenapa begitu. Kata Kak Yana, di toko hanya ada satu tas yang begitu."
"Kalau hanya ada satu, ya jangan dibeli."
"Lho, jangan protes kepada Kak Sanah. Kak Sanah kan tidak tahu apa-apa."
"Habis Kak Yana tidak ada!"
Keti tidak puas karena tidak bertemu dengan Kak Yana. la menunggu. Ternyata sampai malam tiba Kak Yana belum pulang juga. Kak Yana sedang mencari tas untuk Keti sampai ke manamana. Harus membeli tas yang sama dengan yang diberikan kepada Kikis. Kalau tidak, ia berlaku tidak adil namanya.
Lepas isya, Kak Yana belum pulang juga. Keti tertidur karena mengantuk sekali. Lagi-lagi mimpi buruk itu datang. Dalam mimpi itu, Keti bekerja keras memasang kancing baju. Uh, sengsara benar. Keti terbangun. Ia melihat tas kain berwarna kuning itu masih tergantung di dinding. Timbul amarahnya.
"Daripada tidak adil, lebih baik sama-sama tidak punya!" katanya.
Ia berniat merusak tas itu. Bagaimana caranya? la membuka laci meia belajarnya, mencari-cari sesuatu untuk merusak tas itu. Maunya mencari gunting. Tetapi gunting yang semula ada di laci itu sekarang entah di mana.
"& 130
Yang ada hanya botol-botol tinta spidol. Itu bekas membuat prakarya di sekolah. Setiap botol masih berisi separuh lebih. Ada tiga botol, masingmasing ben/varna merah, hitam, dan biru. Keti memegangi botol tinta berwarna merah. Bagaimana merusak tas dengan tinta itu? Dilemparkannya botol tinta itu kuat-kuat ke arah tas yang tergantung di dinding. Botol tinta membentur dinding beralaskan tas kain itu. Botol pun pecah. Tmtanya berhamburan. Bersemburat menjadi noda yang tak beraturan bentuknya. "Tahu rasa!" dengusnya. ia belum puas. Diambilnya botol tinta berwarna hitam. Dilemparkannya pula botol itu. Botol pun pecah. Tintanya bersemburat membasahi kain. Sebagian menutup tinta berwarna merah yang sudah membasahi kain lebih dulu. Sebagian lagi tidak. Membentuk garis-garis runcing dan tumpul. Botol ketiga yang berisi tinta warna biru pun dilemparkan dengan cara yang sama. Tinta biru bersemburat pula di tas itu Sekarang Keti puas. Ia kembali tidur. Besok Kikis akan kalang kabut melihat tasnya yang sudah tak keruan itu
Ternyata keesokan harinya Kikis tenangtenang saja. Ia siap berangkat ke sekolah dengan tas kain berenda benNarna kuning muda. Tas pemberian Kak Yana. Keti heran bukan main.
"Lho! Tasmu kok masih utuh?" tanyanya.
"Memang kenapa?" tanya Kikis.
"Lha itu tas siapa?" Keti menunjuk ke arah tas yang tergantung di dinding. Penuh noda tinta berwarna-warni. Kikis tertawa.
"Itu tasmu!" katanya. "Semalam Kak Yana datang membawa tas itu. Kamu sudah tidur. Kak Yana menggantungkan tas itu di situ. Untuk membuat kejutan. Tasku sendiri sudah kusimpan karena khawatir kamu mengamuk karena marah melihat tasku."
Keti lemas jadinya. Ternyata korban amukannya itu tasnya sendiri! Kikis tertawa-tawa sambil menyandang tas kainnya yang bagus.
"Dasar sial!" gerutu Keti. "Kukira tas Kikis!"
Kalau sudah begini, mau marah pada siapa? Menyesal juga tidak berguna Tidak akan membuat tas itu kembali berwarna kuning muda tanpa noda.
"Ah, siapa bilang tas itu jelek?" gumam Keti untuk menghibur dirinya sendiri.
Dipandanginya tas yang sudah berwarna warni itu. Oh, ternyata memang tidak jelek. Warna-warna tinta itu berbentuk aneh dan indah. Seperti lukisan abstrak, lukisan yang menggambarkan sesuatu yang tidak beraturan.
"Bagus! Bagus sekali! Tidak ada yang punya tas begitu selain aku!" katanya pula. Kali ini benar-benar puas karena tas itu ternyata memang bagus. "Seandainya tintanya tidak luntur...."
Bagaimana membuat tinta itu tidak luntur? Keti memikirkannya sampai siang harinya, setelah ia pulang sekolah. Ia bertanya kepada Bi lmah, tukang masak istana Bunga. Bi lmah dulu sering mewarnai kain dengan wantex, zat pewarna yang bisa dibeli di toko. Kain yang sudah diwarnai Bi lmah tidak luntur.
"Mudah itu, Ket," kata Bi lmah ketika Keti bertanya tentang itu. "Beli saja obat penguat warna di toko kimia."
"Toko kimia?"
"Iya. Di seberang jalan itu ada toko kimia. Di sana dijual bahan-bahan kimia. Obat untuk " 1329
penguat warna itu termasuk bahan kimia yang dijual di sana."
"Kan harus dibeli."
"Iya."
"Bahan penguat warna yang tidak usah dibeli, apa Bi?"
Bi lmah tertawa. Keti heran kenapa Bi lmah tertawa.
"Sebenarnya Bi lmah juga tidak beli obat penguat warna, kok. Membuat sendiri saja."
"Bisa?"
"Bisa. Mudah, kok. Pinang muda dan garam kan bisa menjadi obat penguatwarna. Dulu kain yang sudah Bi lmah warnai, direndam tumbukan pinang muda dan garam semalaman. Warnanya tidak luntur."
"Bilang saja begitu, tidak usah cerita soal toko kimia."
"Lho, kalau mau mudah ya beli saja di toko kimia."
Pinang muda dan garam juga mudah didapat. Di Istana Bunga kan ada pohon pinang. Ambil saja buahnya yang masih muda, lalu ditumbuk sampai halus dan airnya ditampung. Tumbukan 134 <
pinang muda itu direndam bersama tas kain, ditambah sedikit garam. Besoknya, tas kain itu bisa dibilas dengan air dingin dan dijemur.
Ketika tas itu sudah kering, kemudian diseterika. Jadilah tas kain dengan lukisan abstrak yang indah. Keti bangga ketika menyandang tas itu.
"Ini tas yang tak ada duanya di dunia!" katanya.
Memang benar begitu. Kikis pun mengakui, tas itu memang tak ada duanya di dunia. Pantas kalau pemiliknya bangga.
Dasar Keti, celaka pun bisa menjadikannya berbahagia.
Tidak Bisa Ditolona
Kurus, benNajan tirus, seharian menadahkan tangan di jembatan penyeberangan, itulah Togi. Ia juga anak yatim. Tetapi tidak menghuni panti asuhan. Kerjanya meminta-minta, mengharapkan belas kasihan para penyeberang jalan yang lewat di jembatan penyeberangan itu.
Keti menjatuhkan uang seratus rupiah ke tangan Togi.
"Terima kasih, Non" ucap Togi dengan suara memelas. 136
Sesaat kemudian Togi sadar siapa yang memberikan uang logam seratus rupiahan itu.
"Eh, kau!" katanya. Ia menyodorkan uang logam itu. "Jangan ah! Ambil lagi uangmu ini."
"Buat kamu," kata Keti.
"Tidak, ah. Aku tidak mau menerima uang anak yatim!"
"Biar saia. Aku punya, kak. Kan baru saja menerima honor dari Kak Yana."
"Ndak, ah. Sesama anak yatim dilarang saling meminta."
Keti tertawa. Kalimatyang diucapkan Togi itu merupakan plesetantulisan yang ada di kaca bus kota. Aslinya berbunyi 'Sesama Bus Kota Dilarang Saling Mendahului'. Kalimat itu memang populer sekali.
Togi tetap menolak uang Keti. Ia sudah mengenal Keti. Juga beberapa orang anak penghuni lstana Bunga yang sering melewati jembatan penyeberangan itu. Ia pernah mengobrol dengan Keti. Bercerita tentang dirinya yang menjadi yatim sejak masih bayi. la terpaksa tidak sekolah karena emaknya tidak mampu membiayai. Ia dan adiknya mengemis sepanjang hari.
138 "Apa kau tidak ingin berhenti memintaminta?" tanya Keti, saat ia menerima kembali uangnya dari Togi.
"Ah, siapa orangnya yang mau jadi pengemis?" jawab Togi. "Kalau aku bisa, aku juga ingin seperti kamu. Bisa sekolah, biar kelak jadi orang pandai. Aku ingin jadi pilot. Enak, bisa menerbangkan pesawat ke mana-mana. Tetapi bagaimana aku bisa jadi pilot kalau tidak sekolah?"
"Kalau ada cara mencari uang selain mengemis, kamu mau?"
"Mau. Aku juga tidak mau jadi pengemis, kok."
"Kamu meminta sumbangan untuk lstana Bunga saja. Nanti kamu mendapat sepuluh persen dari sumbangan yang diterima. Lumayan daripada mengemis."
"Apa bisa?"
"Bisa saja. Kamu menggantikan aku. Nanti kita jalan bersama dulu. Kalau sudah bisa, kau jalan sendiri, mau?"
"Mau! Mau!"
Togi bersemangat sekali. Tampaknya ia memang tidak suka menjadi pengemis. Keti bercerita tentang Togi kepada Kikis ketika mereka bertemu di sekolah.
"Kamu ngawur!" kata Kikis. "Tidak semua orang bisa menarik sumbangan dari donatur!"
"Anggap saja aku yang bertugas. Kau tahu kan, aku selalu tidak mau kalau harus mencari sumbangan ke mana-mana? Celakanya, aku tidak pernah bisa bebas dari tugas itu. Padahal aku sudah mendapatkan donatur kakap. Masih juga disuruh mencari sumbangan ke manamana."
"Kan demi kelangsungan hidup kita. Istana Bunga memerlukan biaya yang besar supaya kita bisa tetap makan, sekolah...."
"Ah, kamu seperti Ibu saia. Selalu bilang begitu."
"Memang kenyataannya begitu."
"lya. Besok aku mencari sumbangan. Tetapi aku tidak mau bersama kamu. Kita jalan sendirisendiri saia."
"Kamu mau bersama Toni. kan?"
"Terserah aku saja. Pokoknya kita jalan sendiri-sendiri."
"Kamu mudah iba pada nasib orang lain," kata Kikis kemudian. "Tetapi anak seperti Togi itu tidak bisa ditolong."
"Kenapa?"
"Anak begitu biasanya pemalas. Lebih suka mengemis daripada bekerja "
"Kamu salah. Dia mau bekerja mencari sumbangan."
Mereka berbeda pendapat. Biar tidak ribut, Kikis mengalah saja. Besoknya mereka mencari sumbangan sendiri-sendiri. Keti bersama Togi. Penampilan Togi berbeda dengan kemarin, ketika dia mengemis di jembatan penyeberangan. Togi berpakaian rapi, bersepatu pula. Hanya sekali diajari, selanjutnya Togi jalan sendiri.
Pada Sabtu sore, seharusnya Togi datang untuk melaporkan hasilnya. Keti menunggununggu. Togi tidak datang juga.
"Apa kataku!" kata Kikis. "Togi kabur membawa uang sumbangan itu, kan?"
"Jangan memfitnah dulu. Belum tentu begitu," bantah Keti. Padahal hatinya cemas kalau Togi benar-benar begitu.
Keti berniat mencari Togi. Di jembatan penyeberangan tidak ada. Di sekitar jembatan itu juga tidak ada. Keti bertanya-tanya kepada pengemis lain yang ada di situ.
"Tadi dia ke sana," kata pengemis itu, seorang perempuan tua yang kurus. Orang itu menunjuk ke sebuah arah.
Keti menuju ke arah itu. Ada sebuah gedung tua di sana. Gedung yang tak berpenghuni. Terdengar suara ramai dari dalam gedung tua itu. Keti menuju ke sana. Ada sejumlah anak seusia Togi dan anak-anak muda. Mereka duduk berkerumun. Keti melongok kerumunan itu. Ternyata anak-anak dan pemuda itu sedang berjudi. Mereka menebak biji buah manggis. Togi ada di situ, sedang berjudi!
"Huh! Kalah terus! Bubar, ah! Modalku habis!" katanya. Ia menggeliat dan bangkit.
"Togi!" Keti memanggilnya.
Togi terkejut. la panik sesaat, lalu menyisih dari kerumunan itu. Keti mengejarnya.
"Mana hasil sumbangannya?" tanya Keti segera.
"Aduh, Ket...mm...bagaimana, va"
"Bagaimana? Jangan-jangan sudah habis untuk berjudi?"
"Iya...."
"Masya Allah! Kamu bagaimana sih?"
"Habis hanya dapat sedikit, Ket. Maksudku biar jadi banyak, malah habis."
"Sedikit atau banyak seharusnya kamu laporkan padaku!"
"lya. Aku salah, Ket."
Keti bingung menghadapi anak semacam Togi ini. Kok ada ya, anak yatim yang begini? "Kamu terlalu!" dengus Keti. Ia akan menyembur, memarahi Togi. Tetapi heran, kata-katanya seperti habis begitu saja. Mungkin karena ia terlalu terpukul menyadari kesalahannya mempercayai Togi.


Istana Bunga Karya Bung Smas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mana brosur-brosur sumbangannya?" tanya Keti pada akhirnya. Biarlah kalau uangnya habis asalkan brosur-brosur untuk minta sumbangan itu dikembalikan. Setiap peminta sumbangan diharuskan membawa brosur-brosur begitu yang berupa surattugas dari Istana Bunga dan daftar donatur serta jumlah sumbangannya
"Aduh...tidak kubawa," kata Togi pula.
"Di mana?"
"Di rumah."
"Masya Allah!" Keti menjadi geram. "Rumahmu di mana?"
"Di kampung Bulu."
""Kampung 8qu mana?"
Togi menyebutkan alamat lengkapnya. Entah benar entah tidak, Keti mencatat juga alamat itu.
"Besok brosur-brosur itu kubawa ke sini," kata Togi.
"Kamu pasti akan bohong lagi!"
"'Iidak, Betul!"
Biarpun tidak percaya, Keti menunggu besok juga. Ternyata benar, Togi tidak muncul. Keti panik bukan main.
"Apa kataku!" kata Kikis. "Anak seperti dia memang tidak bisa dipercaya!"
"Aduh, jangan menyalahkan saja. Aku sedang bingung!"
"Kamu bodoh!"
"Iya, aku bodoh. Aku terlalu mudah iba. Padahal anak itu brengsek! Sekarang bagaimana, ya?"
144 A
"Bingung, kan? Biasanya kamu pintar."
"Kalau kita datangi rumahnya bagaimana?"
"Kalau ternyata alamatnya tidak benar, bagaimana?"
"Ya...mudah-mudahan saja benar."
Hanya mudah-mudahan, tidak pasti. Sekalipun begitu, Keti mencari alamat Togi juga pada keesokan sorenya. Kikis menemaninya. Mereka memasuki sebuah perkampungan kumuh di pinggiran Jakarta. Bertanya ke sana kemari. Ternyata mencari alamat Togi cukup mudah. Rupanya Togi cukup dikenal di kampung itu.
"Itu rumah kontrakannya!" kata seorang perempuan tua yang ditanya Keti. "Tetapi sekarang kosong. Semua orang yang tinggal di situ sedang pulang kampung."
"Pulang kampung?" tanya Keti dengan sedih, kesal, dan bingung.
"Iya. Kalau pulang kampung, semua penghuni rumah itu selalu bersama-sama."
"Kapan pulangnya, Bu?"
"Sekarang. Coba lihat di lapangan itu.
Mungkin busnya belum berangkat. Jalan saja terus ke sana lalu belok kanan. Nanti ketemu lapangan."
Mudah-mudahan busnya belum berangkat. Rupanya Togi dan rombongannya pulang kampung dengan menyewa bus. Tidak naik bus di terminal.
Keti tiba di lapangan itu. Ada sebuah bus mewah berhenti di tepi lapangan. Benar-benar bus mewah karena dilengkapi dengan AC dan kamar kecil. Keti terlongo-longo. Tidak yakin kalau Togi benar-benar berada di dalam bus itu. Kaca bus itu gelap sehingga Keti tidak bisa melihat orang-orang di dalamnya. Tetapi orangOrang di dalam sana bisa melihat ke luar. Togi yang berada di dalam sana juga melihat Keti. Ia bangkit dari tempat duduknya dan keluar lewat pintu belakang.
"Ket!" serunya kepada Keti.
Keti terbengong menyaksikan penampilan Togi. Bercelana panjang, berbaju bagus, bersepatu, sama sekali tidak mencerminkan keadaan seorang pengemis yatim di jembatan
penyeberangan. Lebih bergaya lagi, Togi membawa walk-man, yaitu tape recorder kecil yang dilengkapi dengan alat pendengar di telinga. Kepala Togi bergoyang-goyang mengikuti irama musik yang terdengar dari tape recorder itu. Hanya dia yang mendengarnya karena alat pendengarnya menempel di kedua telinganya.
"Aku tidak bisa bilang apa-apa, Gi," keluh Keti. Menyaksikan semua itu, memang hilanglah semua kata-kata Keti.
"Kemarin aku lupa mau pulang kampung," kata Togi. "Makanya aku berjanji akan mengantarkan brosur itu. Nanti kalau sudah kembali dari kampung, kuantar, ya!"
"Terserah kamu, Gi," kata Keti. Sudah malas mau bicara dengan Togi.
"'Apa?" seru Togi dengan berteriak. Ia tidak mendengar kata-kata Keti karena telinganya ditempeli alat pendengar.
"Ah, sudahlah!" Keti mengibaskan tangannya.
"Ayo masuk! Berangkat! Berangkat!" seru kondektur bus itu.
Togi memasuki mobil. Ia melambaikan tangan ke arah Keti dan Kikis.
"Sampai jumpa, ya! ' serunya.
Pintu bus tertutup. Kendaraan itu pun melaju membawa Togi di dalamnya.
"Kamu benar, Kis," desah Keti. "Aku bodoh sekali. Terpedaya oleh penipu itu."
Kikis tidak sampai hati untuk menyalahkan Keti lagi. Memang orang bisa tertipu oleh penampilan Togi. Siapa sangka dia sebenarnya berpenghasilan besar sebagai pengemis? Bisa ikut menyewa bus mewah yang bagian dalamnya saja belum pernah dilihat Keti.
Keti merenung. Baginya ini sebuah kejadian yang tidak masuk akal.
Tamat
Runtuhnya Kerajaan Manchuria 3 That Summer Breeze Karya Orizuka Kelelawar Hijau 2

Cari Blog Ini