Ceritasilat Novel Online

Istriku Adalah Ibuku 2

Istriku Adalah Ibuku Karya Fredy S Bagian 2


dilakukan demi menjaga keharuman nama
suaminya. Jangan mudah tergiur oleh 'aji
mumpung' selagi populer.
"Itu tentu, Ma. Papa sadar, menjaga
kepopuleran lebih sulit dibandingkan dengan
mencapai puncak ketenaran."
Fendy mencium kening istrinya.
"Papa pergi dulu ya, Ma."
Yeti mengangguk.
"Kalau misalnya urusan papa belum selesai,
mungkin akan papa beritahu melalui telpon," kata
Fendy. Di dalam benaknya sudah punya rencana
kalau nanti malam dia akan pergi bersama Dewi.
Maka terlebih dahulu dia berpamitan begitu.
"Papa nanti malam tidak pulang?"
"Siapa tahu kan, Ma? Siapa tahu produser itu
mengajak papa pergi ke Puncak atau ke tempat
peristirahatan lainnya. Papa kan perlu banyak
berbincang-bincang dengannya." 112
"Terserah papa saja. Yang penting papa kalau
jadi menginap di luar rumah harus telpon mama ya?
Supaya mama tidak gelisah dan khawatir."
"Tentu, sayang."
Fendy berdiri. Yeti ikut berdiri dan mengikuti
suaminya sampai di garasi mobil. Parno
membukakan pintu garasi begitu melihat tuannya
hendak pergi.
"Daaaa, mama." Fendy meluncurkan
mobilnya.
"Daaaa, papa."
Yeti berdiri memperhatikan mobil suaminya
sampai hilang dari pandangannya. Lalu dia berjalan
masuk ke dalam rumah. Di dapur dia membantu
masak mbok Ginah.
*** Sorenya ternyata Fendy pulang ke rumah
untuk mandi dan bertukar pakaian. Yeti sama sekali
tidak menaruh prasangka apa-apa kepada suaminya
yang sudah bersiap-siap untuk pergi. Perempuan itu
tetap mengajari kedua anaknya yang sedang
mengerjakan PR. 113
"Mama." panggil Fendy sambil menghampiri
istrinya. Yeti menoleh memperhatikan suaminya
yang sudah berpakaian rapi.
"Papa mau pergi?" tanya Yeti seraya berdiri
dari tempat duduknya.
"Papa mau ke mana?" tanya Dino.
"Papa mau ke mana?" tanya Ria Ikut-ikutan.
"Papa mau pergi ke luar kota. Dino dan Ria
tidak boleh nakal ya?" kata Fendy dengan kedua
tangan mengelus-elus rambut kedua anaknya itu.
"Papa nggak pulang lagi?"
"Besok papa pasti pulang, Dino."
Fendy mencium pipi Dino. Menyusul pipi Ria.
Lalu berjalan meninggalkan ruang tengah itu. Yeti
membarengi langkah suaminya. Di dekat pintu
rumah Fendy menghentikan langkahnya. Yeti juga
ikut berhenti. Lantas Fendy memeluk tubuh
istrinya. Mencium kedua pipi perempuan itu.
"Papa pergi ya, Ma. Papa malam ini nginap di
Puncak bersama produser film. Banyak
permasalahan yang hendak kami bicarakan. Mama
jaga anak-anak baik-baik ya?" 114
Yeti mengangguk. Bibir tersenyum.
"Hati-hati dijalan, Pa."
Sekali lagi Fendy mencium pipi istrinya penuh
kasih sayang. "Tentu, Ma."
Kemudian Fendy naik ke dalam mobil. Sambil
menghidupkan mesin mobil, dipandang wajah
istrinya. Perempuan itu berdiri di teras dengan
seulas senyum damai. Senyum seorang istri yang
senantiasa tidak menampakkan adanya tanda
menaruh curiga. Tulus. Dan selalu mempercayai,
bahwa selama ini suaminya tak pernah berdusta.
Sebagai seorang bintang film tentunya pintar
beracting. Bisa mempermainkan beberapa watak.
Dan pasti pintar main sandiwara. Tapi perlukah dia
bersandiwara di depan istrinya? Pura-pura tidak
memperdulikan Dewi. Membohongi Dewi sudah
pulang ke Surabaya. Padahal di senja ini dia sedang
menuju ke tempat kost perempuan itu. Dasar lelaki,
umpatnya di hati kecil. Dan dia tersenyum sendiri
sambil mengendarai mobilnya yang meluncur di
jalan raya. Rasa pening mulai dirasakan. Keringat
dingin membasahi mukanya. 115
Dan ketika dia sampai di tempat kost Dewi,
penghuni tempat itu jadi galau. Kebetulan malam
itu semua penghuni kamar kost ada di tempat.
Maka kedatangan Fendy membuat mereka sibuk
memperhatikan. Maklum bintang film top yang
datang.
Dewi menemui Fendy dengan perasaan
bangga. Betapa tidak? Dia merasa bangga lantaran
dikejar bintang film itu. Di antara mereka ada yang
nampak iri hati dan ingin mencari perhatian aktor
top itu. Namun Fendy telah tercurah perhatiannya
pada Dewi. Memang di antara penghuni tempat
kost di situ yang paling cantik cuma Dewi.
"Jadi kita pergi malam ini?" tanya Dewi
bermanja.
Fendy mengangguk.
"Aku ganti pakaian dulu ya?"
Fendy mengangguk lagi. Dewi bergegas
masuk ke dalam kamar. Fendy ditinggal duduk
seorang diri di ruang tamu. Sementara penghuni
kamar lainnya berjalan mondar-mandir ke luar
masuk rumah. Entah apa yang dikerjakan. Yang jelas
mereka mencari perhatian Fendy. Dan kalau 116
mereka tersenyum, Fendy membalas senyum
mereka. Supaya nampak ramah. Meskipun hatinya
mendongkol juga. Bayangkan, sampai terasa capai
juga membalas senyuman perempuan-perempuan
di situ. Sampai lupa mengingatnya berapa kali dia
membalas senyuman dan anggukan mereka. Rasa
pening di kepalanya makin jadi.
Di asbak sudah terdapat empat puntung
rokok filter. Berarti hampir setengah jam dia
menunggu. Dan manakala yang ditunggu sudah
selesai berpakaian, ke luar dari kamar. Dia
berpamitan dengan Tika dan Resti. Lalu
menghampiri Fendy yang duduk di kursi tamu.
Fendy cukup terpana. Dewi yang
mengenakan celana putih, kemeja putih berlengan
panjang dan switer hitam, laksana jelmaan Dewi
khayangan yang turun ke bumi. Wah, anggapan
Fendy agaknya terlampau berlebihan. Namun yang
dirasakan Fendy malam itu lebih indah dari malam
yang pernah dilaluinya. Karena Dewi tak kalah bila
dibandingkan dengan kecantikan aktris yang sedang
disanjung-sanjung.
"Yuk," ajak Dewi. 117
Fendy berdiri dari tempat duduknya. Dewi
langsung merengkuh lengan lelaki itu.
Menggandengnya meninggalkan tempat kost.
Semua penghuni di tempat kost itu berhambur ke
luar. Memperhatikan kepergian Dewi dengan aktor
top itu. Mereka saling membicarakan Dewi dengan
perasaan iri. Namun Dewi tak menghiraukan
mereka. Dan dia tahu kalau dirinya sedang
dibicarakan mereka. Biasa, ditempat kost atau
asrama yang dihuni perempuan-perempuan pasti
begitu. Tidak senang dan iri hati bila melihat
temannya bahagia.
"Selamat malam, Pa." Dewi mencium pipi
Fendy saat mobil meluncur.
Papa? Alangkah bahagianya aku dipanggil
papa. Fendy tersenyum bahagia. Malam itu
semakin indah dirasa.
"Malam, Ma." Sahut Fendy sambil
meluncurkan mobilnya di jalan raya.
"Ke mana kita?" tanya Dewi. Suaranya
lembut dan manja. Seperti suara l'in Parlinanya
Bimbo.
"Ke mana mama ingin?" 118
"Terserah papa."
"Papa ingin mengajak mama ke Puncak.
Istirahat di sana. Bagaimana, Ma?"
Mata perempuan itu berbinar-binar sekejap.
"Kau setuju, Ma?"
Perempuan itu menglhgguk. Fendy
tersenyum lega. Mobil terus meluncur di jalan
Jagorawi. Musik yang terdengar di dalam mobil
begitu lembut. Dewi meletakkan tangannya di bahu
lelaki itu. Merangkulnya. Sesekali dia mencium pipi
Fendy.
"Kemarin sepulangnya mas Fendy dari
tempat kost, mbak Yeti tidak bertanya apa-apa?"
"Tidak. Tapi besok pagi dia baru bertanya apa
kah kau jadi pulang ke Surabaya. Aku bilang ya. Tapi
Dewi tak mau kuantar ke stasiun kereta."
"Lalu tanggapannya bagaimana?"
"Dia menanyakan alamat rumahmu di
Surabaya."
"Untuk apa?"
"Dia mau kirim surat padamu." 119
Dewi tersenyum. Memandang jalanan yang
membujur di depannya. Sepi. Jarang terlihat mobil
yang meluncur searah.
"Terus papa bilang apa?"
"Aku bilang lupa alamat rumahmu."
Dewi senang. Perempuan itu mencium pipi
Fendy lagi.
"Papa pintar deh. Kalau mbak Yeti benarbenar kirim surat ke alamat rumahku yang di
Surabaya, wah bisa berabe."
"Memangnya kenapa?"
"Karena keluargaku punya keinginan lain."
"Boleh aku tahu?"
"Belum saatnya untuk memberi tahu."
"Kenapa begitu?"
"Sabar dong, Pa. Papa mau bersabar kan?"
bujuk Dewi sambil mengelus-elus bahu Fendy.
"Okey deh. Papa mau sabar."
Hawa sudah mulai terasa dingin. Kabut
berarak di depan jalan yang akan dilalui mobil itu. 120
Tapi wajah Fendy tetap saja berkeringat. Pertanda
penyakit darah tingginya mulai kumat.
"Seminggu lagi mama mau pulang ke
Surabaya," kata Dewi.
"Ada urusan yang penting?"
"Ya. Rita akan merayakan hari ulang
tahunnya yang ke tujuh. Dua tahun lagi anak itu
akan diambil oleh ayahnya." Keceriaan Dewi lenyap
seketika, wajahnya jadi berubah murung dan sedih.
Seolah-olah dia akan menghadapi sisa hidupnya
dengan rasa kesepian. Kesepian karena kehilangan
anak satu-satunya yang paling dicintai. Disayangi.
"Dan akan kau serahkan anak itu kepada
ayahnya?" tanya Fendy sambil menancap gas di
jalan yang menanjak dan berbelok-belok.
"Dengan berat hati kuserahkan Rita
kepadanya. Sebab ketika kami dalam sidang
pengadilan sudah membuat surat pernyataan,
bahwa setelah usia Rita menginjak sembilan tahun,
anak itu menjadi kewajiban ayahnya untuk
mengasuhnya." Suara Dewi parau. Kesedihan makin
meroyak dalam dada. 121
Fendy, ikut merasa sedih. Dia dapat
membayangkan betapa sedihnya seorang ibu yang
melahirkan anaknya, namun setelah anak itu ber
usia sembilan tahun harus diserahkan pada
ayahnya. Inilah ironisnya perceraian yang terjadi
pada kehidupan rumah tangga.
Fendy membelokkan mobilnya ke sebuah
hotel. Hotel itu yang dulu pernah untuk menginap
bersama Dewi. Mereka segera turun. Fendy
menghubungi seorang pelayan hotel. Kemudian
pelayan itu mempersiapkan kamar yang akan
ditempati oleh tamunya.
Kemurungan masih nampak di raut wajah
Dewi ketika memasuki kamar hotel. Fendy
berusaha menghibur Dewi agar kembali ceria.
"Rita adalah darah dagingmu, Ma. Meskipun
kelak dia akan ikut ayahnya, tapi pada suatu ketika
dia akan tetap mencari mamanya," tutur Fendy.
"Sisa hidupku akan sepi tanpa Rita."
"Aku tahu. Mungkin papa bisa memberikan
pengganti Rita yang lain pada mama?" Fendy
memeluk tubuh perempuan itu. Lalu membaringkannya di atas tempat tidur. 122
Dewi menatap wajah Fendy dalam-dalam. Be
narkah Fendy bisa memberikan Rita yang lain dalam
hidupnya? Ah, kalau seandainya memang bisa,
alangkah bahagianya hidupku. Aku akan
mempunyai keturunan dari seorang laki-laki yang
tampan. Seorang bintang film yang sedang populer.
Biarlah. Biarlah apa pun yang akan terjadi asalkan
aku bisa mempunyai keturunan lagi.
Dewi memeluk Fendy. Jemari tangannya


Istriku Adalah Ibuku Karya Fredy S di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengupas-usap kulit punggung lelaki itu. Hangat
kulitnya. Dan wajah lelaki itu berkeringat. Dewi tahu
kalau Fendy begitu, pasti lelaki itu sedang kambuh
penyakitnya.
"Papa sakit ya?" tanya Dewi.
Fendy mengangguk. Dia terlentang tidur di
sisi perempuan itu. Sementara dia pulang dari
Surabaya kerapkali penyakit darah tingginya kumat.
Maka yang dirasakan pada kepalanya seperti
ditusuk-tusuk dengan sejuta jarum. Nyeri. Sakit
sekali. Tubuhnya terasa hangat walau dalam hawa
yang dingin sekalipun.
Dewi tahu keadaan Fendy sejak di Surabaya.
Waktu lelaki itu kambuh penyakitnya seperti kerbau 123
yang disembelih. Bersujud di atas tempat tidur
sambil memijit-mijit kepalanya. Bahkan lelaki itu
sampai menangis karena tak tahan mengalami rasa
sakit. Bergulung-gulung di atas tempat tidur
sembari merintih kesakitan. Baru kemudian
penyakitnya terasa berkurang setelah meminum
daun seledri atau blimbing wuluh.
Muka Dewi jadi ngeri. Dipeluknya lelaki itu
sambil berkata:
"Papa jangan sakit. Papa jangan sakit" desahnya.
"Tidak, sayang. Bersamamu aku tidak akan sakit."
"Sungguh ya?"
Fendy mengangguk. Bibirnya tersenyum. Lalu
bibir lelaki itu dikecupnya oleh Dewi dengan mesra.
Keduanya saling berpelukan erat dan bergulingguling di atas tempat tidur.
"Dewi," panggil Fendy lirih.
"Ya?"
"Aku mencintaimu."
"Dewi juga." 124
"Maukah kau hidup berumah tangga
denganku? Bulan Desember mendatang kita
menikah. Mau?"
"Bulan Desember?" Dewi merenung.
Menghitung urutan bulan dari September sampai
Desember. Berarti kurang empat bulan lagi.
"Empat bulan lagi?"
"Ya. Empat bulan lagi kita menikah."
"Ah, bagaimana ya?"
"Masih ada yang kau ragukan?"
"Tentu. Lantas bagaimana dengan mbak Yeti?
Apakah dia benar-benar merelakan mas Fendy
menikah denganku?"
"Makanya supaya kau percaya, kapan waktu
kau temui mbak Yeti. Jalinkan pendekatan
sebagaimana dengan seorang saudara. Setelah kau
dekat akan tahu perasaannya. Betapa dia ingin
melihat suaminya hidup berbahagia dengan pe
rempuan yang dicintainya. Dan perempuan yang
dicintai suaminya bisa diajak menjalin
persaudaraan yang baik. Jangan saling menyakiti, 125
melainkan saling pengertian. Cuma itu yang
diharapkan darinya."
Dewi merenungi ucapan Fendy. Bisakah
seseorang yang hidupnya dimadu saling
pengertian? Saling bisa menjalin persaudaraan? Di
manapun seorang perempuan tak ingin cinta dan
kasih sayang suaminya terbagi dua. Dan
sanggupkah aku menjalani hidup dimadu? Setiap
malam harus menanti giliran untuk dapat tidur
bersama suaminya. Bisakah aku? Mampukah aku?
Sedangkan cintaku terhadap Fendy kian dalam.
Walau sebenarnya di dalam hatiku ada cinta yang
lain. Cin taku terhadap lelaki lain. Namun jika
dibanding kan dengan cintaku terhadap Fendy lebih
besar. Melebihi segala-galanya.
"Bagaimana, Ma?"
"Aku belum bisa memberikan keputusan, Pa.
Tapi mama sangat mencintaimu. Cuma mama
terasa berat kalau sampai menghancurkan
kebahagiaan mbak Yeti. Itu saja yang selalu mama
pikirkan," keluh perempuan itu.
Fendy menarik napas panjang. 126
"Aku tak bisa seratus prosen meyakinkan,
Mama. Seandainya kemarin mama tidak bilang mau
pulang ke Surabaya, papa menghendaki mama
terlebih dahulu akrab dengan mbak Yeti. Dengan
demikian mama baru akan yakin, kalau mbak Yeti
menaruh perhatian kepadamu. Dia merasa
terkesan dengan sikapmu yang ramah dan
mengajak persaudaraan. Itu kesan pertama yang
didapat dari mu. Dia juga merasa menyesal kenapa
mama buru-buru pulang ke Surabaya. Padahal
mbak Yeti masih ingin ketemu kau," tutur Fendy.
"Tapi menurut mama lebih baik begitu.
Mencegah supaya mbak Yeti selama ini tidak
menaruh curiga kepadaku. Apalagi mbak Yeti
sampai tahu kalau mama kerja di night club. Mama
jadi malu."
"Aku tahu. Makanya mepurut papa,
sebaiknya mama berhenti saja dari pekerjaan itu.
Papa sanggup membiayai kebutuhan dan hidup
mama. Papa akan carikan tempat kontrakan rumah
yang sederhana. Kita hidup bersama."
Dewi menimbang nimbang tawaran lelaki itu.
Masih belum dapat memutuskan juga. Ya, dia
belum dapat memutuskan lantaran semuanya itu 127
sama sekali tidak pernah diduga. Tidak pernah
diduga kalau Fendy ternyata bersungguh-sungguh
ingin menikahi. Padahal, padahal, Dewi tak bisa
meneruskan kata hatinya lebih terpennci. Sebab dia
ke Jakarta sebenarnya cuma untuk pelarian. Bukan
untuk mencari cinta. Apalagi untuk mencari suami.
"Baiklah, papa tidak akan memaksamu. Kau
memang perlu memikirkan masak-masak, karena
papa keadaannya sudah berisstri." Fendy mencium
pipi perempuan itu. Terus ciuman itu merembet ke
bibir merah yang senantiasa mengulum basah itu.
Bibir Dewi yang lembut itu dilumatnya mesra.
Malam semakin larut. Hawa dingin di Puncak
semakin mencekam. Penduduk kampung yang
sedang tidur tak lupa memakai selimut tebal.
Namun di kamar hotel yang dihuni Fendy dan Dewi
terasa hangat. Bahkan tanpa selimut pun mereka
tidak kedinginan. Malahan berkeringat.
Dengus napas mereka seperti sedang berlari
jauh. Desah dan suara rintihan perempuan itu bagai
menggelitik pijar-pijar darah Fendy. Keagresipan
perempuan itu melebihi perempuan manapun yang
pernah diajak tidur bersama oleh Fendy. 128
Menyebabkan lelaki itu tak akan bisa melupakan
sampai kapanpun.
Atau lantaran selama ini Dewi kesepian?
Selama menjadi janda tak pernah menerima
tetesan air yang menyuburkan jiwanya? Benarkah
begitu? Lantas kesempatan yang tak pernah
diperoleh ini dilakukan dengan menggebu-gebu.
Memang sudah sepatutnya kalau begitu. Karena
kegaringan dalam jiwa yang kesepian gampang
sekali meledak bila mendapatkan sedulang air. Dan
akan direguknya air itu sepuas hatinya.
Menghilangkan rasa dahaga yang selama ini
mencekik hidupnya.
Malam yang mereka lalui terasa cepat
berganti pagi. Kendati matahari bersembunyi di
balik awan putih. Di antara kabut-kabut yang
berarak. Fendy dan Dewi baru meninggalkan hotel
itu. Sepanjang perjalanan menuju ke Jakarta tak
henti-hentinya mereka saling bertukar senyum
bahagia. 129
DUA DEWI duduk di ruang yang penuh dengan
perempuan-perempuan bergincu merah. Bau
parfum menyeruak di ruangan itu. Karena setiap
perempuan yang duduk di ruang kaca itu memakai
parfum. Di sebelah Dewi duduk Tika dan Resti.
Sembilan puluh prosen perempuan yang ada di
ruang kaca itu merokok. Terasa pedas juga mata
Dewi. Sebab ruangan itu ber-AC. Asap rokok jadi
bagai kabut yang menghalangi pandangan.
Di luar ruang itu, beberapa laki-laki
mengamati perempuan-perempuan yang ada di
dalam. Mereka seperti raja karena punya kuasa
untuk menentukan selera. Di tempat seperti ini,
tamu adalah raja. Tinggal menunjuk perempuan
mana yang disukai. Dan nampak dua orang tamu
menyuruh petugas yang melayani tamu-tamu untuk
membooking hostes memanggil Dewi bersama Tika.
Tak lama kemudian Dewi dan Tika ke luar dari
ruang kaca itu. Kedua tamu itu segera 130
menyambutnya. Lalu mereka berempat menuju
ruang night club yang cahayanya remang-remang.
Lalu mereka duduk mengelilingi meja. Seorang
pelayan datang.
"Dewi dan Tika mau pesan apa?" tanya salah
satu tamu itu.
"Es jeruk," kata Dewi.
"Bir hitam," ujar Tika.
"Es jeruk satu, bir hitam satu dan bir bintang
empat. Jangan lupa kacang dan empingnya," lanjut
tamu itu kepada pelayan. Lalu pelayan itu segera
pergi.
"O ya, kenalkan dulu namaku," tamu itu
menyodorkan telapak tangannya ke arah Dewi.
Dewi menyalaminya. "Namaku Batara."
Lalu menyusul tamu satunya mengajak Dewi
dan Tika bersalaman.
"Namaku Hadi Sanjaya."
Irama musik mengalun lembut mengiringi
penyanyi wanita. Di arena melantai beberapa
pasang lelaki dan perempuan saling berdekapan.
Tubuh mereka yang rapat bergoyang-goyang 131
seirama dengan alunan lagu. Lampu-lampu yang
beraneka warna berkedip-kedip. Menambah
suasana ruangan itu jadi syahdu dan romantis.
Dewi melirik Batara yang duduk di
sampingnya. Cukup tampan juga. Tapi masih kalah
bila dibandingkan dengan Fendy. Ah, kenapa aku
selalu memikirkan lelaki itu? keluhnya dalam hati.
Di sini bukan fagi tempatnya untuk memikir kannya.
Tapi bukan di sini saja aku memikirkannya. Di
manapun aku tak mampu melupakannya. Sehingga
rasanya enggan untuk melayani tamu-tamu di sini
setiap malam kalau sedang ingat padanya.
"Kok melamun?" tegur Batara.
"Ah, tidak." Dewi melirik Tika yang asyik
ngobrol dengan Hadi. Dia merasa tak dapat
seramah itu kepada tamunya.
"Kamu baru ya di sini?"
Dewi mengangguk.
"Pantas. Sebulan yang lalu aku datang kemari
Kamu belum ada di sini. Darimana asalmu?"
"Semarang," Dewi berbohong. Dia selalu ber
bohong dengan tamunya kalau ditanya darimana 132
asalnya. Cuma dengan Sunarto dia tidak berbohong.
Soalnya lelaki setengah baya itu berasal dari
Surabaya juga. Dan lelaki itu sangat baik padanya.
Tidak sedikit pemberiannya kalau dinilai dengan
uang. Baik itu berupa perhiasan dan pakaian.
"Kenapa sampai kerja di sini?"
"Setiap perempuan yang bekerja di sini pasti
ada problem."
"Boleh aku tahu problemmu?"
"Yaaah, problemnya paling-paling soal butuh
biaya hidup."
Batara manggut-manggut. Padahal alasan
yang dikemukakan Dewi tidak benar. Dia bekerja di
night club cuma sebagai pelarian saja. Sebenarnya
hatinya meronta menjalani hidup begitu. Namun
untuk menghilangkan kekalutan pikirannya dia
terjun sebagai hostes sembari mencari hiburan.
Barangkali dengan begitu kekalutan pikirannya bisa
berkurang.
Pandangan mata Dewi menangkap Resti yang
memasuki ruang night club bersama Sunarto. Lalu
mereka berdua duduk di pojok ruang. 133
"Kita turun yuk?" ajak Batara.
Dewi tersentak.
Lalu cepat-cepat mengangguk. Barata
bangkit diikuti Dewi. Mereka berjalan bergandengan menuju arena dansa. Hadi dan Tika tidak mau
ketinggalan ikut pula turun melantai.
"Jangan begitu ah," desah Dewi manakala
Batara memeluknya. Merapatkan tubuhnya ke
tubuh Dewi.
"Kenapa?"
"Aku tak biasa melantai dengan tubuh
berdekapan."
"Kepada setiap tamumu juga begitu?"
"Ya. Malah aku biasanya cuma mau melayani
kalau berdisco saja."
"O, begitu ya?"
Dewi memaksakan diri untuk tersenyum.
Supaya kelihatan ramah. Kendati hatinya gundah.
Andainya lelaki itu Fendy akan lain lagi masalahnya.
Dia akan memeluknya erat. Mesra dan hangat. 134


Istriku Adalah Ibuku Karya Fredy S di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Musik yang berirama lembut terus mengalun.
Suara penyanyi laki-laki mengumandang merdu.
Bagai membuai kelembutan insan-insan yang
berpelukan di arena dansa. Tapi apa yang dirasakan
Dewi cuma seonggok keresahan. Sebab dia tak
kuasa mengusir bayangan wajah Fendy. Kemesraan
lelaki itu. Kelembutan belaiannya dan sikapnya yang
tenang. Pendiam. Segalanya yang dimiliki lelaki itu
adalah dambaannya.
Dewi sambil menggoyang-goyangkan tubuhnya mengedarkan pandang. Dia melihat Sunarto
sedang melantai dengan Resti. Saling berdekapan
erat. Dewi tersenyum.
Musik yang lembut berakhir. Group band
dengan tiba-tiba merubah suasana yang romantis
menjadi semarak. Hentakan musik berirama disco
memecah suasana. Ditambah dengan suara
penyanyinya yang melengking. Maka Dewi segera
menarik lengan Batara untuk meninggalkan lantai
dansa. Lelaki itu menuruti kemauan Dewi. Lalu
mereka duduk di tempat semula. Tika masih
berjingkrak-jingkrak bersama Hadi di arena dansa.
Begitu pula Resti dan Sunarto. 135
"Bagaimana kalau kau pindah kerja di tempat
night clubku?" tanya Batara.
Dahi perempuan itu berkerut. Dipandangnya
wajah Batara yang pada saat itu sedang mengamati
wajah Dewi. Mereka saling bersitatap di bawah
cahaya lampu yang remang-remang.
"Kau punya night club?"
"Ya. Tak kalah ramainya dibandingkan di sini."
"Di mana?"
"Di Menteng. Mau pindah kerja di sana?"
"Akan kupertimbangkan dulu."
Dewi meneguk minumannya. Tak lama
kemudian Tika bersama Hadi kembali duduk di
sebelahnya. Mereka ngobrol sambil bercanda.
Diam-diam Batara semakin tertarik pada Dewi.
Perempuan yang satu ini agak lain sikapnya. Tidak
genit dan manja. Selalu pendiam dan nampak
murung. Sebagai pemilik night club yang setiap
malamnya bergaul dengan hostes-hostes, tidak
pernah ditemui hostes seperti Dewi. Artinya
perempuan ini punya daya tarik yang kuat. Di
samping wajahnya cantik, barangkali kemurungan 136
yang bertengger di wajahnya itulah yang menyebab
kan dia menarik.
"Pulangnya aku antar mau?" tanya Batara.
"Tanyalah pada Tika."
"Bagaimana Tika?"
"Ada apa nih?" tanya Tika.
"Nanti kita pulang sama-sama ya?"
"Okey. Tapi nanti mampir ke jalan Sabang dulu."
"Ngapain?"
"Makan sate ayam."
"0, beres."
Tika mendaratkan ciuman ke pipi Batara.
Batara senang. Lebih senang lagi kalau yang
mencium pipinya adalah Dewi. Tapi perempuan
yang duduk di sebelahnya itu senantiasa dingin.
Pendiam sekali.
Waktu terasa cepat bergeser. Batara melihat
jarum jam tangannya. Sudah jam dua pagi. Sebentar
lagi night club akan tutup. Maka dia segera
mengajak Hadi meninggalkan ruangan itu. 137
"Aku tunggu di samping hotel ya?" kata
Batara kepada Dewi.
Perempuan itu cuma mengangguk. Lalu
Batara dan Hadi memanggil seorang pelayan. Dia
membayar nota yang disodorkan pelayan itu. Tak
lupa memberi sepuluh lembar uang sepuluh ribuan
kepada Dewi sebagai uang tip. Kemudian Batara
dan Hadi meninggalkan ruangan itu.
Sungguh royal lelaki ini, pikir Dewi. Memberi
uang tip sebesar seratus ribu rupiah. Wah, semalam
aku mimpi apa sampai kebagian rejeki nomplok.
Selama dia bekerja di night club itu, baru kali ini
menerima tip sebanyak itu. Ah, mungkin ini suatu
cara untuk memikatku? Dengan pemberian uang ini
berarti dia akan bisa menguasai diriku? Tidak. Di
night club aku melayaninya sebagai tamu, dan di
luar night club tak lebih dari sebagai teman.
Ketika Dewi bersama Tika ke luar dari hotel,
ternyata Batara dan Hadi sudah menunggunya.
Lalu mereka berempat naik ke dalam mobil.
Dewi duduk di jok depan di samping Batara yang
mengemudikan mobil. Sedang Tika duduk di jok 138
belakang bersama Hadi. Kedua manusia itu nampak
mesra. Selalu bercanda penuh keriangan.
"Resti pulang sama siapa?" tanya Tika di
dalam mobil yang sedang meluncur.
"Mungkin sama pak Narto."
"O ya, aku tadi melihatnya dibooking pak Narto."
"Biarkan saja."
Penjual sate ayam berderet di pinggir jalan
Sabang. Pembelinya kebanyakan orang-orang yang
ouka begadang. Rata-rata mereka naik mobil
datang ke situ. Setiap mobil pasti ada
perempuannya. Mudah diterka bagi orang awam,
bahwa perempuan yang datang ke situ suka
keluyuran malam. Apalagi di waktu dini hari seperti
ini. Di situlah mobil yang dikemudikan Batara
berhenti. Dewi melihat Resti dan Sunarto sedang
makan sate di dalam mobil. Lalu Dewi bergegas
turun dari mobil untuk memesan empat porsi sate
ayam. Di samping dia ingin supaya Sunarto
melihatnya. Memang, Sunarto melihatnya, tapi
lelaki itu nampak tak acuh kini. 139
Ah, perduli apa pak Narto tak menegurku.
Mungkin dia sedang asyik dengan Resti. Aku
cemburu? O, tidak. Tapi ada perubahan yang
mencolok pada lelaki itu. Atau barangkali Resti telah
menceritakan kehidupanku yang sebenarnya? Wah,
kalau memang benar, lelaki itu pasti akan
menjauhiku, pikir Dewi sambil duduk di sebelah
Batara.
"Dewi, kau lihat mobil itu?" kata Tika
menunjuk ke arah mobil Sunarto.
"Ya. Resti sama pak Narto. Biarkan saja."
"Siapa Resti?" tanya Batara.
"Teman satu kost denganku."
"Ooo," Batara manggut-manggut sambil
memandang Resti yang sedang bersenda gurau
dengan Sunarto.
Penjual sate menghantarkan pesanan
mereka. Lantas mereka menyantap hidangan itu
dengan lahapnya.
"Bagaimana kalau kita sehabis makan sate
beristirahat ke Puncak?" ajak Hadi.
"Setuju aja," balas Tika. 140
"Kamu bagaimana Dewi?" Hadi pindah
bertanya pada Dewi.
"Kalian sajalah yang pergi. Aku sedang tak
enak badan."
"Lho di sana kita kan istirahat. Siapa tahu
badanmu jadi sehat?" kata Hadi tertawa renyah,
sambil mencubit paha Tika. Tika menggelinjang
senang.
"Nggak ah. Lain kali saja."
"Lain kalinya kapan?" tanya Batara.
"Ya kapan-kapan."
Batara menarik napas panjang. Dewi
memperhatikan mobil Sunarto yang meluncur
meninggalkan tempat itu.
Selesai makan Batara membayar kepada
penjual sate. Lalu dia bertanya sekali lagi.
"Bagaimana? Kita jadi beristirahat ke
Puncak?"
"Aku mau pulang saja."
"Jangan begitu dong. Ikut sajalah Dewi,"
bujuk Tika. 141
"Aku lagi tak enak badan. Kalian sajalah yang
pergi."
"Kalau begitu kapan-kapan saja deh kita pergi
ya?" kata Tika kepada Hadi dan Batara. "Nggak enak
dong, masak ceweknya cuma aku seorang."
"Kita berdua yang pergi."
"Lalu Batara mau dikemanakan?"
"Dia pulang setelah mengantar Dewi ke rumah."
"Terserah."
"Okey Tara, kita cabut."
Batara menghidupkan mesin mobilnya. Lalu
meluncurkan meninggalkan tempat itu. Jalan raya
nampak sepi. Hawa pagi yang dingin bercampur
embun menyusup ketika Dewi menghirup ke dalam
paru-parunya. Dia kembali teringat pada Fendy.
Malam ini tentunya dia sedang tidur bersama
istrinya. Maka perasaannya jadi perih.
Ketika mobil telah sampai di depan tempat
kost, Dewi bergegas turun. 142
"Terima kasih, Tara. Yuk Hadi. Selamat berhappy dengan Tika," kata Dewi di dekat pintu mobil
yang mesinnya masih hidup.
"Daaaa. Selamat malam, selamat tidur,"
balas Batara sambil meluncurkan mobilnya.
Kemudian Dewi melangkah. Sepatunya yang
berdetuk-detuk menginjak halaman rumah itu. Lalu
dia mengetuk pintunya. Mbok Minah yang setiap
dini hari seperti ini selalu terbangun dan
membukakan pintu rumah.
"Resti belum pulang, Mbok?"
"Belum, Non."
Dewi melangkah masuk. Membuka pintu
kamarnya. Dilempar tasnya ke atas meja sambil
membuka sepatu. Lantas dia berbaring di atas
tempat tidur tanpa bertukar pakaian tidur lagi. Ke
mana Resti pergi? Barangkali pak Narto
membawanya ke Puncak? Ah, biarkan saja. Biarkan
saja, asalkan dia tidak mencerita apa-apa tentang
diriku.
Sesuatu bagai ada yang menyentak ulu
hatinya. Sesuatu itu adalah kerinduan kepada
anaknya. Lalu dia bergegas bangun dan mengambil 143
selembar foto Rita yang ada di dalam laci meja.
Dipandangnya foto Rita yang sedang mengikuti
kamafal perayaan tujuh belas Agustus. Foto itu
diambil gambarnya oleh Agus Nuryanto. Dan di
belakangnya ada tanggal dan tanda tangan lelaki
itu. Agus Nuryanto.
Bibir Dewi menyebut nama lelaki itu dengan
pelan. Sepertinya mendesah. Dan sebenarnya lelaki
itu juga telah hadir dalam hidupnya. Bahkan lelaki
itu tak pernah mau menyerah untuk mendapatkan
dirinya. Usahanya mendekati Rita, mengambil hati
anaknya cukup sabar. Apalagi mengambil hati
kedua orang tuanya. Namun ada perintang yang
dirasakan oleh Dewi. Perintang itu berasal dari
kedua orang tua Agus yang sampai saat ini belum
mengetahui kalau Dewi berstatus janda. Janda yang
sudah beranak satu.
Itulah yang menyebabkan Dewi pergi ke
Jakarta. Mencari tempat pelarian. Juga sebagai
menguji cinta Agus sampai seberapa besarnya. Dan
bukan itu saja yang menjadi tujuan Dewi. Dia ingin
tahu perjuangan lelaki itu terhadap orang-tuanya
agar Dewi bisa diterima di tengah-tengah 144
keluarganya. Sebagai menantu dengan keadaan
sudah janda dan mempunyai anak perempuan satu.
Namun, di Jakarta hati Dewi telah terpaut
dengan Fendy. Membuat dirinya jadi terombangambing di antara dua pilihan. Sementara dirinya
belum resmi diceraikan David. David adalah suami
yang kedua setelah dia bercerai dengan Prasetio.
Prasetio ayah kandung dari Rita.
Berarti untuk ketiga kalinya Dewi akan
menikah lagi, setelah dua kali gagal membina hidup
berumah tangga. Dan manakah calon suaminya
yang tepat untuk dipilihnya? Agus atau Fendy?
Kalau Agus memang masih bujangan walau
usianya sudah menginjak tiga puluh tahun. Sifat
lelaki itu keras. Namun paling pintar mengambil hati
siapa pun. Namun ada perintang di mana
keluarganya tidak menghendaki Agus menikah
dengan seorang janda. Bahkan sebenarnya lelaki itu
sudah dicalonkan oleh orangtuanya dengan gadis
pilihannya. Kendati setelah menjalin hubungan
dengan Dewi, Agus memutuskan hubungannya
dengan gadis pilihan orang tuanya. Itu atas
kemauan Dewi. Dan Agus menuruti kemauan Dewi
memutuskan hubungan itu. 145
Sedangkan Fendy, lelaki itu sudah
mempunyai istri dan dua anak. Mungkinkah dia bisa
tahan menjalani hidup dimadu? Ya, dapatkah aku
menjalani hidup dimadu?
Pertanyaan itu menyentak-nyentak dalam
rongga dadanya Dewi cuma bisa menarik napas
panjang, lantaran cintanya terhadap lelaki itu
mengalahkan segala-galanya.


Istriku Adalah Ibuku Karya Fredy S di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Perempuan macam apakah aku ini? Dewi
membalikkan tubuhnya. Memandang foto dirinya
yang terpampang di dinding. Dalam foto itu terlihat
cantik. Penuh pesona. Namun belum tentu wajah
yang cantik dan mempesona itu bernasib baik. Lalu
Dewi mengintropeksi diri. Selama hidupku cuma
sebentar merasakan bahagia, lalu sekian lama
menderita. Pernikahan dengan Prasetio dalam
usianya yang belum matang menyebabkan sering
terjadi percecokan. Dan kalau saja dia tidak hamil
duluan, pernikahan dalam usianya yang belum
matang itu, tak mungkin terjadi. Sehingga hidupnya
menderita lantaran tidak diakui sebagai anak oleh
orang tuanya lagi. Karena makin tak tahan hidup
menderita, maka perceraianpun terjadi. 146
Lalu setahun dia menjalani hidup menjanda.
Baru kemudian bertemu dengan David. Saling jatuh
cinta. Hubungannya dengan David ditentang kedua
orang tuanya karena pada saat itu David masih
mempunyai istri tapi belum mempunyai anak. Kala
itu David hidupnya kaya. Punya empat mobil tengki
minyak. Semua kekayaan itu memang diwariskan
dari orang tuanya yang sudah meninggal. Lantas
Dewi mau hidup berumah tangga dengan David,
asalkan David mau menceraikan istrinya. Dan
karena David tergila-gila pada Dewi, akhirnya dia
tega menceraikan istrinya. Lalu... lalu... Dewi tak
tahan diserang rasa mengantuk. Pikirannya sudah
terasa lelah sekali. Begitu juga sekujur tubuhnya.
Foto yang dipegang terjatuh di atas tempat tidur.
Dewi tak ingat apa-apa lagi. Dia tertidur pulas.
*** Esok sorenya Dewi tidak menegur Resti ke
mana perempuan itu pergi bersama Sunarto. Dia
berpendapat setiap tamu yang dikenal di night club
punya kebebasan bergaul intim dengan siapa pun.
Punya kebebasan mengajak pergi ke mana pun
asalkan sama-sama mau. Dan itu tergantung pribadi
orang yang bersangkutan. Kalau memang Resti mau 147
diajak Sunarto ke hotel, apa haknya Dewi untuk
melarang?
Tapi di hari-hari berikutnya Sunarto memang
sering datang menjemput Resti. Mengajak Resti ke
luar makan siang atau berbelanja pakaian. Dewi
semakin dapat merasakan perubahan Sunarto yang
kian tak acuh padanya. Kalau malam datang ke night
club selalu membooking Resti. Bila kebetulan
berpapasan dengan Dewi tak mau menyapa. Tentu
saja Dewi jadi merasa tak enak. Padahal dulu lelaki
itu sangat baik padanya. Tapi kenapa sekarang
berubah begitu?
Dewi tetap berusaha untuk menyimpan
ketegangan dalam jiwanya. Keintiman bergaul
dengan Resti mulai dirasa renggang. Sekalipun
mereka berangkat dari Surabaya bersama-sama.
Susah senang selama tinggal di tempat kost
dirasakan berdua. Kendati masing-masing
mempunyai problem yang berlainan.
Dan di siang itu, Resti yang mulai menegur
Dewi ketika sedang bersama-sama di dalam kamar.
"Kapan jadi pulang ke Surabaya, Dewi?" 148
"Hari Sabtu. Kenapa?" sahut Dewi bermalasmalasan.
"Kita pulang bersama-sama ya? Aku juga
sudah kangen sama anakku." Dewi tak ada reaksi.
"Ada apa sih pak Narto nampaknya kok lain
terhadapku?"
"Mungkin dia cemburu waktu kamu dibook
sama Batara."
"Aku rasa bukan itu penyebabnya. Pasti ada
orang yang mempengaruhinya."
Bunyi telpon berdering. Suara Tika menerima
pembicara di telpon itu. Dewi bergegas turun dari
tempat tidur karena namanya disebut-sebut oleh
Tika.
"Dewi ada interlokal dari mas Agus," teriak
Tika memanggilnya.
Dewi berhambur ke luar dari kamarnya. Lalu
mengangkat gagang telpon yang diletakkan Tika di
atas meja. Tika melangkah masuk ke kamarnya.
"Hallo," suara Dewi keras.
"Dewi ya?" 149
"Ya. Ini Dewi."
"Apa kabar, Ma?"
"Baik-baik."
"Hari Sabtu mama jadi pulang kan? Papa dan
Rita di sini sudah rindu menanti kedatangan
mama."
Dewi sesaat termenung. Hatinya gundah.
Sebaiknya pulang ke Surabaya atau tidak? Dewi
masih bingung untuk mengambil keputusan.
"Bagaimana, Ma? Rita setiap saat menanya
kan mama kapan pulang. Kasihan dia, Ma. Mama
pulang dulu ya? Masak mama tega tidak mau
menghadiri pesta ulang tahun papa."
"Ya, ya, ya, aku pasti pulang."
"Nah, begitu dong sayang. Itu baru namanya
sayang sama papa. O ya, ada kabar baik untukmu,
Ma."
"Kabar apa?"
"Selama mama tinggal di Jakarta, papa
senantiasa membujuk orang tuaku agar mau
menerima kehadiran mama di tengah-tengah 150
keluarga. Dan nampaknya usaha papa sudah mulai
berhasil. Maka untuk itu, papa harapkan sekali
kehadiran mama dalam pesta ulang tahunku nanti.
Mami dan papi-ku ingin kenal lebih dekat
denganmu."
Perasaan Dewi bercampur aduk di dalam
dada. Dia tak dapat merasakan kebahagiaan yang
utuh lagi, lantaran hatinya bercabang dua. Antara
Agus dengan Fendy. Andaikan kabar itu diterimanya
sebelum dia jatuh cinta terhadap Fendy, alangkah
tak terkiranya rasa kebahagiaan di hatinya. Namun
kabar itu menjadikan perasaannya gundah dan
bingung.
"Mama senang mendengar kabar itu bukan?
Karena hubungan kita tidak akan ada perintang
lagi."
"Ya, ya."
"Okey, Ma. Sampai jumpa hari minggu di
stasiun Pasar Turi Surabaya. Papa akan jemput
mama di sana."
Dewi meletakkan gagang telpon ke induknya.
Lalu dia berjalan lesu menuju kamar. Duduk
termenung di pinggir tempat tidur. Resti yang 151
sedang ngobrol dengan Tika memperhatikan
kemurungan Dewi.
"Ada kabar buruk dari mas Agus?" tanya Resti.
Dewi menggeleng.
"Kamu jadi pulang hari Sabtu?"
"Ya." Dewi menarik napas berat.
"Kok jadi kelihatan murung? Mestinya
senang dong mau ketemu pacar di Surabaya," kata
Tika mengajak bersenda gurau.
"Aku bingung," desah Dewi.
"Kenapa bingung?"
"Karena baru sekarang orang tua mas Agus
merestui hubunganku. Sedangkan aku sudah
terlanjur mencintai mas Fendy."
"Kalau menurut pendapatku, sebaiknya kau
menikah saja dengan mas Agus. Sudah cukup besar
pengorbanannya untukmu. Dia sampai memutuskan hubungannya dengan calon istrinya, berusaha
membujuk orang tua agar mau menerimamu
sebagai menantunya. Dan dia sangat sayang kepada 152
anakmu," kata Resti yang selama ini tahu persis
jalinan hubungan Dewi dengan Agus.
"Menurutku juga begitu Dewi. Aku bisa
menilai Agus seorang laki-laki yang penuh
pengertian sewaktu dia mengantarmu ke mari. Tiga
hari dia menginap di sini, terasa cukup bagiku untuk
menilai calon suamimu itu." Tika ikut menimpali.
Dewi merenungi saran kedua temannya itu.
Sementara hatinya masih bercabang dua. Gejolak
dalam dadanya merasa berat berpisah dengan
Fendy. Lelaki itu adalah dambaan kalbunya. Telah
mampu memberikan arti dalam hidupnya.
Sedangkan Agus, selama dia menjalin hubungan
cinta dengan lelaki itu, senantiasa tak menemui
kedamaian. Selalu berselisih pendapat. Selalu
bertengkar, walau kemesraan tumbuh di sela-sela
ketidakserasian itu.
"Ah, aku masih bingung." Dewi beranjak
meninggalkan kamar itu. Lalu dia duduk melamun
di kursi tamu.
Sebuah mobil sedan berhenti di depan
rumah. Batara dengan Hadi turun dari mobil itu.
"Tika ada tamu!" teriak Dewi. 153
Tika berhambur ke luar. Dia jadi girang
melihat Hadi datang bersama Batara.
"Selamat siang," sapa Batara begitu masuk di
ruang tamu bersama Hadi.
"Siang. Silakan duduk," balas Tika.
Kedua tamu itu duduk di kursi tamu. Batara
melempar senyum pada Dewi yang nampak resah.
Dewi membalasnya dengan terpaksa.
"Sedang melamun?" tanya Batara.
"Ah, tidak."
"Siang ini tidak ada acara?" tanya Hadi pada
Tika.
"Lagi bengong aja."
"Yuk kita ke luar makan siang," ajak Hadi.
"Kebetulan kami memang belum makan siang."
Tika menarik lengan Dewi masuk ke dalam
kamar. Dewi nampak bermalas-malasan.
"Ayoh, tukar pakaian."
"Mau ngapain?" 154
"Ditraktir makan siang kok tidak mau. Ayo
cepat," ajak Tika tak sabar lagi.
Dewi tetap bermalas-masalan ganti pakaian.
"Kau mau ikut?" tanya Tika pada Resti.
"Aku sudah ada janji sama pak Narto siang ini.
Kalian sajalah yang pergi duluan."
Dewi sambil mengenakan pakaian melirik
Resti. Apakah dia sengaja mau memancing
emosiku? Kayaknya dia terlalu membanggakan
sekali dapat pak Narto. Mentang-mentang sekarang
dia bisa mengambil hati lelaki itu. Merasa bangga
lantaran dibelikan perhiasan dan pakaian. Sering
diberi uang oleh pak Narto.
"Jangan ganggu keasyikan dia sama pak
Narto. Dia kan sedang berhappy," sindir Dewi
sambil tersenyum sinis.
"Iya dong. Soalnya aku tidak pernah
mengecewakan setiap tamu yang kukenal di night
club."
Berdesir darah Dewi. Ucapan Resti seperti
mengupas perbuatan Dewi selama ini. Dia yang
senantiasa mengecewakan tamu-tamu di night 155
club. Tidak pernah ramah. Selalu dingin. Dan
maunya cuma morotin uangnya saja. Barangkali pak
Narto pernah mengeluh begitu kepadanya.
"Ucapanmu secara tidak langsung
menyinggung perasaanku, Resti." Dewi
mendamprat Resti dengan sengit.
"Lho kamu kok jadi marah sama aku?"
"Karena kau seolah-olah menuduhku sebagai
perempuan yang cuma mau morotin uang para
tamu yang kukenal di night club."
"Sudah, sudah. Kok malah kalian jadi
bertengkar," sergah Tika.
"Habisnya kalau ngomong pakai nyindir
segala," gerutu Dewi. Tika langsung menarik Dewi
ke luar dari kamar itu.
"Ada apa kok ribut-ribut di dalam kamar?"
tanya Batara.
"Biasa, salah pengertian. Yuk, kita
berangkat," ajak Tika masih memegangi lengan
Dewi. Lalu mereka berempat berjalan menuju ke
mobil. 156
Siang yang kerontang. Mobil yang
dikemudikan Batara meluncur pergi. Membelah
teriknya sinar matahari yang menyengat bumi. Tapi
di dalam mobil itu terasa sejuk lantaran ada ac.
Dewi duduk di jok depan bersebelahan dengan
Batara yang memegang kemudi. Seperti biasa Tika
dan Hadi duduk di jok belakang sambil bermesraan.
Mereka singgah untuk makan siang di rumah
makan ayam goreng. Batara selalu memperhatikan
sikap Dewi yang pemurung. Kadang-kadang
perasaan lelaki ini merasa iri bila melihat Tika begitu
manja dan mesra kepada Hadi. Dia kepingin seperti
itu. Kepingin Dewi bermanja kepadanya. Namun
perempuan itu selalu dingin dan tak acuh.
"Apa yang sebenarnya kau pikirkan. Dewi?"
"Ah, tidak ada yang sedang kupikirkan."
"Biasa-biasa saja."
"Tapi kau selalu murung."
"Barangkali memang begitulah sifatku."


Istriku Adalah Ibuku Karya Fredy S di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Biasanya kalau orang selalu murung sedang
menghadapi persoalan rumit. Persoalan yang
belum bisa terselesaikan." 157
Dewi melempar pandang ke luar.
Memperhatikan mobil yang berlalu lalang di
jalanan.
"Katakanlah, barangkali aku bisa membantumu?"
Dewi menggelengkan kepala. Lalu dia
meneruskan menyantap makanannya.
"Terlalu sulit?"
"Ya."
Batara diam. Dia mengamati kulit di wajah
perempuan itu. Halus. Mulus. Tanpa dipoles make
up sudah memikat. Matanya yang indah selalu sayu.
Bibirnya yang merekah seperti bunga mawar tanpa
lipstik. Betapa indahnya. Sedang perempuan yang
diamati tetap tak acuh. Membuat lelaki itu jadi
makin penasaran.
"Bagaimana kalau kau ke luar dari tempat
pekerjaanmu?"
"Terus mau ngapain?"
"Mengurus rumah tangga?"
"Rumah tangga siapa?"
"Rumah tangga kita." 158
"Wah, aku masih belum kepingin hidup
berumah tangga. Masih ingin sendiri."
Batara agak kecewa. Baru kali ini tawarannya
ditolak secara terang-terangan. Padahal biasanya
dia malah diburu oleh perempuan-perempuan
seperti Dewi.
Batara semakin kecewa ketika selesai makan
siang ajakannya ditolak oleh Dewi.
"Siang ini aku tidak ingin pergi ke mana. Ingin
di rumah saja," kata Dewi di dalam mobil yang
sedang meluncur di jalan raya.
"Tidak suka kuajak pergi?" balas Batara.
"Suka sekali. Tapi kalau lagi malas kepinginnya di rumah saja."
"Mau dong sekali-kali kita pergi ke Puncak,"
Tika menimpali.
Dewi tak menyahut. Sejak dia bergaul intim
dengan Tika sudah dapat menyelami sifat
perempuan itu. Dia selalu dipengaruhi agar mau
dijadikan patner dengan teman pasangannya. Ini
terjadi bukan Sekali. Sudah seringkali begitu. 159
Namun Dewi selalu mencari alasan untuk tidak
bersedia ikut menemani teman pasangannya.
Ketika sampai di rumah, Dewi cuma
sendirian. Tika bersama Hadi dan Batara pergi entah
ke mana. Resti juga pergi. Maka dia berbaring di
atas tempat tidur dengan menghabiskan waktunya
untuk membaca majalah.
Sebenarnya konsentrasi untuk membaca
majalah kabur. Sebab pikirannya sedang
menghitung-hitung hari. Empat hari Fendy tidak
datang menjenguknya. Sibukkah dia? Atau
barangkali penyakit darah tingginya sedang kumat?
Ah, jangan. Dia tidak boleh sakit-sakitan lagi.
Kasihan. Tapi kenapa dia tidak datang? Rasa rinduku
sudah tak tertahankan lagi. Dan bagaimana
seandainya sampai hari Sabtu dia belum juga
datang? Keresahan menggeluti hatinya. Lalu dia
memutuskan kalau sampai besok malam lelaki itu
belum muncul, dia akan nekad mencarinya di
kantor-kantor film.
*** Di studio dubbing PFN sedang berlangsung
Pengisian suara film "Luruhnya Nestapa". Fendy 160
nampak terkurung di dalam kamar kaca bersama
Sirena. Keduanya adalah bintang film yang pegang
peranan utama di film itu. Mereka sedang latihan
menghafalkan dialog. Menyesuaikan dialog sesuai
dengan gerakan bibir pada gambar yang
diproyeksikan ke layar putih. Supaya sinkron
dengan pengucapannya. Tapi sudah berkali-kali dia
menghafalkan dialog masih lupa kalau sedang
mengucapkan.
Sutradara yang menggarap film itu segera
menghampiri Fendy. Dia merasa kesal juga lantaran
pada hari ini Fendy sering salah mengucapkan
dialognya. Sutradara itu masuk ke ruang kaca.
"Ada apa Fendy? Hari ini kau nampaknya
kurang konsentrasi." tegur Maruli. Sutradara itu
memperhatikan Fendy dengan nanap. Mencari-cari
dalam sorot mata lelaki itu apa yang menjadi
penyebabnya. Barangkali dengan cara begitu dia
bisa menemukan jawabannya.
"Sory, Mas. Hari ini keadaan tubuhku kurang
sehat," sahut Fendy sambil menarik napas berat.
"Tapi kulihat dari sorotmu kau sedang gelisah." 161
"Aaa, mungkin. Karena kondisiku kurang
baik. Tapi akan kucoba terus sampai dapat."
"Iya dong. Masak aktor top salah melulu
mengisi suara sendiri," Sirena menimpali sambil
tertawa renyah.
"Okey, kita mulai lagi." Maruli segera ke luar
dari ruang kaca.
Di depan mike Fendy mengucapkan dialog
lagi. Dia berusaha sepenuhnya berkonsentrasi.
Namun dia merasa terganggu bila bayangan wajah
Dewi menyelinap ke dalam benaknya.
"Nah ya, salah lagi kan?" kata Sirena.
"Ah, kenapa jadi begini? Kenapa jadi begini?"
Fendy mengeluh dengan jengkel. Lalu dia bersandar
di dinding ruang itu.
"Tenang. Usahakan pikiranmu jadi tenang."
"Sial. Sial. Hari ini pikiranku benar-benar
kacau," keluh Fendy. "Dari pagi sampai siang belum
dapat satu lop-pun."
"Mari kita coba lagi," ajak Sirena. 162
Fendy menuruti ajakan aktris itu. Dia kembali
berdiri di depan mike. Sirena mulai mengucapkan
dialog lalu dialog itu disahut oleh Fendy. Di layar
yang diproyeksikan gambar Fendy dengan Sirena
sedang duduk di taman. Dialog yang diucapkan
Fendy memang panjang. Itulah sebabnya dia sering
salah. Padahal selama ini dia dikenal sebagai dubber
yang jempolan. Tidak pernah menyusahkan
sutradara ataupun penata suara. Tapi kali ini dia
benar-benar kacau. Lantaran di benaknya tak mau
hilang bayangan Dewi. Dewi yang besok akan
kembali ke Surabaya. Dan pada hari ini merupakan
kesempatan terakhir untuk bertemu dengan
perempuan itu.
Akhirnya berkat kemauan keras Fendy
melupakan sejenak perempuan itu, satu dialog
panjang itu bisa diselesaikan dengan baik. Lega juga
hatinya. Lantas dia ke luar dari ruang kaca itu
dengan tubuh lemas. Sirena mengikutinya.
"Break makan siang," kata Maruli.
Ruang studio itu jadi terhenti kegiatannya
untuk sementara waktu. Seluruh crew film beserta
artisnya beristirahat untuk makan siang. Fendy
merasa tak ada napsu makan di siang itu. Dia malah 163
duduk menyendiri di luar studio. Maruli
menghampirinya.
"Kau tidak makan siang dulu?"
"Selera makanku hilang."
"Nanti kondisimu makin buruk. Ayolah isi
perutmu walau cuma sedikit," desak Maruli sambil
menarik lengan Fendy. Fendy dengan bermalas
malasan beranjak pergi. Ikut bergabung dengan
crew film dan artis lainnya.
Bagian konsumsi mengantarkan sebungkus
nasi kepada Fendy dan Maruli. Fendy menyantap
hidangan itu nampak kurang lahap. Bermalasmalasan.
"Masih banyak bagian lop saya hari ini?"
tanya Fendy pada Maruli.
"Lumayan,"
"Kira-kira sampai jam tujuh malam bisa selesai?"
"Kalau kau tidak sering salah pasti selesai.
Memangnya nanti malam kau ada acara?"
"Tidak. Aku mau periksa ke dokter." 164
Maruli manggut-manggut. Padahal itu curna
alasan Fendy supaya bisa pulang sore. Lalu malam
ini dia bisa menemui Dewi. Bisa mengajak
perempuan itu pergi.
Maka setelah selesai makan siang pengisian
suara film diteruskan lagi. Untuk mengejar supaya
cepat selesai, Fendy berusaha penuh konsentrasi.
Dari lop dua sampai lop berikutnya dapat disele
saikan dengan mulus pengisian suaranya. Sirena
senang. Sutradanya lebih-lebih senang. Namun,
sebenarnya tak ada satupun yang tahu apa sebab
nya Fendy berusaha cepat menyelesaikannya.
Karena terdorong oleh rasa ingin lekas bertemu
dengan Dewi.
Fendy ke luar dari ruang kaca sambil
menghela napas lega. Dia melihat jarum jam
tangannya. Sudah jam enam sore. Wah, kalau tidak
buru-buru menemui Dewi sekarang, perempuan itu
sudah duluan pergi.
"Sudah selesai bagian lop saya. Mas?" tanya
Fendy pada sutradara.
"Sudah."
"Okey dah. Aku duluan pulang kalau begitu." 165
"Silakan."
"Yuk, semuanya. Aku pulang duluan."
"Buru-buru amat sih?" kata Sirena.
"Mau periksa ke dokter." balas Fendy
sembari tergesa-gesa melangkah ke luar.
Di luar, alam sudah diselimut kelam. Fendy
berlari-lari menghampiri mobilnya yang diparkir di
dekat gardu penjagaan. Beberapa teman
menegurnya, dan Fendy cuma membalas dengan
lambaian tangan. Dia begitu tergesa-gesa seperti
takut ketinggalan pesawat. Membuka pintu mobil,
lalu duduk di belakang kemudi sambil
menghempaskan pintunya.
Mobil itu meluncur bagaikan anak panah
lepas dari busurnya. Setiap mendekati rambu lalu
lintas menyala merah. Dia mengeluh sambil
menginjak rem. Dan kalau kendaraan di depannya
macet, kepingin rasanya mobil yang dikemudikan
bisa melayang. Melayang dan cepat sampai di
tempat kost Dewi.
Ketika mobilnya telah sampai di tempat
tujuan, tetap saja dia nampak terburu-buru ingin
bertemu Dewi. Jangan-jangan dia sudah berangkat 166
bekerja? kata Fendy dalam hati. Langkahnya
terayun cepat menginjak halaman rumah itu. Dan
ketika dari dalam rumah nongol wajah Dewi, maka
segumpal kekhawatiran di dalam dada Fendy jadi
sirna.
"Mas Fendy!" teriak Dewi girang sekali.
Disambutnya kedatangan lelaki itu dengan penuh
kerinduan.
"Belum berangkat kerja?" tanya Fendy.
Padahal dia sudah kepingin memeluk tubuh
perempuan itu.
"Belum." Dewi menarik lengan Fendy.
Mengajak duduk di kursi tamu. Penghuni rumah itu
berhamburan dari dalam kamar. Lalu mereka
bergerombol di depan kamar sambil memperhatikan Fendy. Saling berbisik. Ada juga yang senyumsenyum kepada aktor top itu.
"Kamu jadi pulang besok?"
"Ya. Papa tak penah menjenguk mama ke
mana sih?"
"Sedang sibuk dubbing."
"Pasti kan ada waktu senggangnya?" 167
"Pagi sudah dijemput dan pulangnya tengah
malam. Sulit untuk menemui mama. Waktunya
sudah habis. Kalau pulang tengah malam badanku
sudah terlalu capai."
Dewi tersenyum. Menatap wajah Fendy
dalam-dalam. Rindu sekali perempuan itu pada
lelaki yang duduk di depannya. Begitupun lelaki itu.
Sesaat mereka saling bertatapan, bertukar senyum
an. "Apakah malam ini mama mau bekerja?"
tanya Fendy dengan suara berat.
Perempuan itu menggelengkan kepala.
"Mau pergi sama papa. Papa mau mengajak
pergi mama bukan?"
Bibir lelaki itu tersenyum. Wajahnya yang
berkeringat jadi berseri-seri.
"Usaplah keringatmu. Pa."
Fendy mengambil sapu tangan dalam saku
celananya. Lalu diusap keringat yang membasahi
mukanya.
"Mama ganti pakaian dulu ya?" 168
Fendy mengangguk. Dewi beranjak pergi ke
kamar. Fendy mengambil sebatang rokok dari
dalam bungkusnya lalu disulutnya. Dia mengisap
rokok itu sambil melepaskan lelah. Rasa penat dan
pegal di kedua kakinya seperti menggigit-gigit. Sejak
dan pagi dia berdiri di hadapan mike untuk
penyisian suara film.


Istriku Adalah Ibuku Karya Fredy S di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Persis sebatang rokok habis diisapnya. Dewi
sudah selesai berdandan dan bertukar pakaian
Harum bunga sedap malam masih kalah dengan
wanginya Dewi. Sirena yang dipuja kecantikannya
masih kalah dengan kecantikan Dewi pada malam
ini. Pokoknya dalam penilaian Fendy, perempuan
yang berdiri di hadapannya itu melebihi segalagalanya.
"Kita pergi sekarang?" tanya Dewi sembari
tersenyum. Duh, senyumnya menggetarkan
perasaan lelaki itu.
Fendy berdiri.
"Tunggu apa lagi?" balas Fendy dengan
menyodorkan sikutnya agar Dewi merengkuhnya.
Dan Dewi tahu apa yang dikehendaki lelaki itu. 169
Langsung saja Dewi merengkuh lengan Fendy.
Berjalan bergandengan menuju ke mobil.
"Badanku bau karena belum mandi."
"Biarin."
"Nanti bau wewangianmu bisa hilang."
"Biarin."
Fendy tertawa renyah. Dia membukakan
pintu mobil untuk Dewi. Dewi segera duduk di jok
depan. Giliran dia yang membukakan pintu untuk
Fendy. Fendy duciuk di belakang kemudi sambil
menghempas pintunya, lalu menstater mobilnya.
"Selamat malam, Papa." Perempuan itu
tersenyum ceria.
"Selamat malam, Mama," balas Fendy
sembari memasukkan prosneling satu. Mobil itu
meluncur meninggalkan asap dan debu.
"Sejak siang papa belum pulang Ke rumah?"
"Belum. Dari studio langsung menemui
mama. Papa takut kalau mama sudah berongkat
bekerja. Ini kan malam terakhir buat kita, Ma." 170
Dewi tersenyum. Lalu dia mencium pipi lelaki
itu dengan penuh kasih sayang. Fendy merasa
senang.
"Tapi mama pasti kembali."
"Berapa lama mama tinggal di Surabaya?"
"Mama kembali ke Jakarta tanggal dua puluh dua."
"Berarti seminggu di sana?"
"Ya. Tanggal dua puluh dua papa mau jemput
mama di stasiun Gambir?"
"Tentu. Papa akan menjemput mama."
Sekali lagi Dewi mencium pipi Fendy.
"Kita berhenti sebentar di gardu telpon ya?"
"Untuk apa?"
"Papa mau memberi tahu mbak Yeti melalui,
telpon kalau malam ini papa tidak bisa pulang."
Dewi mengangguk.
Fendy meluncurkan mobilnya perlahan di
jalur lambat. Pandangannya mengawasi pinggiran
jalan barangkali dilihat ada gardu telpon.
"Itu pa, sebelah sana." 171
"O ya."
Di dekat gardu telpon, Fendy menghentikan
mobilnya.
"Sebentar ya, Ma."
Fendy membuka pintu mobil dan melangkah
turun. Dewi memperhatikan Fendy yang berdiri
menunggu. Menunggu salah seorang yang sedang
telpon di dalam gardu itu.
Setelah orang itu ke luar dari gardu, giliran
Fendy yang masuk. Di ambil dalam sakunya uang
logam lima puluhan rupiah. Empat sekaligus
disediakan dekat kotak telpon itu. Diambilnya satu
lalu dimasukkan ke dalam kotak itu sambil
mengangkat gagang telponnya. Ujung jarinya
memutar nomor telpon di rumahnya.
"Hallo, mama ya?" sapa Fendy setelah
mendengar suara istrinya.
"Benar. Papa sekarang ada di mana?"
"Di studio dubbing, Ma. Papa cuma mau
memberi tahu mama kalau malam ini papa tidak
bisa pulang. Karena papa harus menyelesaikan
bagian-bagian papa sampai selesai." 172
"Tapi jangan terlalu diforsir, Pa. Nanti badan
papa sakit."
"Habis maunya sutradara begitu. Papa jadi
harus nurut. Soalnya Sirena besok pagi akan
berangkat ke London. Sedangkan pasangan dubbing
papa yang paling banyak sama dia. Maka aku dan
Sirena harus harus menyelesaikannya sampai
besok," kata Fendy berdusta. Sementara hati
kecilnya menjerit. Mengutuk kedustaannya
terhadap seorang istri yang jujur dan setia.
"Kalau memang begitu apa boleh buat. Tapi
papa harus bisa menjaga kondisi badan ya? Mama
sedih kalau papa jatuh sakit."
"Tentu, Ma. Mama tidur yang nyenyak di
rumah sama anak-anak ya? Jangan terlalu mikirin
papa yang sedang dubbing nanti mama sukar tidur."
Fendy berkata dengan suara serak. Dia merasa
paling kejam. Paling tega membiarkan istrinya tidur
seorang diri di dalam kamar. Hanya menuruti
kesenangan hatinya dapat bermalam di Puncak
bersama Dewi.
"Baik, Pa."
"Selamat malam, Ma. Selamat tidur." 173
"Malam, Pa."
Fendy meletakkan gagang telpon ke induknya
Lalu dia ke luar dari gardu itu. Seorang perempuan
ganti masuk ke dalam gardu. Fendy tak
menghiraukan dan menuju ke mobil.
"Sudah?" tanya Dewi begitu Fendy duduk di
belakang stir.
Fendy mengangguk. Menstater mobilnya.
"Papa bilang kalau malam ini tidak pulang?"
"Ya." Fendy meluncurkan mobilnya. Di jalan
Bypas mobil itu meluncur kencang.
"Apa alasan papa sama mbak Yeti?"
"Papa harus menyelesaikan dubbing sampai
besok siang."
Dewi tersenyum senang. Fendy juga
tersenyum senang. Mobil yang dikemudikan
memasuki jalan Jagorawi. Jalan kenangan bagi
mereka.
"Hadiah ulang tahun apa yang pantas
kuberikan pada Rita?" 174
Pertanyaan Fendy bagai sembilu yang
menggores hati perempuan itu. Betapa tidak,
karena yang berulang tahun sebenarnya bukan Rita.
Bukan anaknya. Melainkan Agus. Dewi telah
sengaja berdusta, sebab dia takut kalau Fendy akan
meninggalkannya. Selama ini dia merahasiakan
kemelut hidupnya lantaran terlalu mencintai lelaki
itu. Dia takut kehilangan Fendy.
"Terserah apa yang pantas dihadiahkan
kepada Rita menurut papa," sahut Dewi dengan
perasaan gundah.
"Boneka yang bagus?"
Dewi hanya mengangguk.
Mobil meluncur cepat. Menyusuri jalanan
yang menanjak dan berbelok-belok. Angin bertiup
membawa kabut yang tebal.
"Hati-hati, Pa."
"He'eh."
Fendy mengurangi kecepatan mobil.
Matanya nyaris tak berkedip memperhatikan
jalanan di depannya yang berbelok-belok. Kabut
yang berarak tebal terasa mengganggu pandangan 175
nya. Padahal jalanan berbelok-belok menanjak. Di
kiri jalanan terdapat jurang yang curam. Di kanan
jalanan bukit yang ditumbuhi pepohonan teh.
Perasaan Fendy menjadi lega ketika
perjalanannya telah melewati puncak pas. Di kiri
jalanan banyak terdapat villa. Lalu Fendy
memasukkan mobil ke halamannya. Seorang lelaki
penjaga villa itu langsung menghampirinya.
"Mau pakai villa, Tuan?" tanya lelaki itu.
"Ya. Tolong bukakan garasinya."
"Baik, Tuan." Lelaki itu berlari ke pintu garasi.
Dengan cepat dia membukanya. Kemudian mobil
Fendy masuk ke situ.
Keadaan di dalam villa itu sangat bersih dan
rapi. Seperangkat perabotannya yang mengisi di
setiap ruang sangat apik. Modelnya ukir-ukiran
Jepara. Lalu Fendy dan Dewi menghenyakkan
pantatnya di kursi itu. Pelayan villa dengan sopan
terbungkuk-bungkuk masuk.
"Mau pesan makanan atau minuman apa, Tuan?"
"Mau pesan apa, Ma?" 176
"Mama ingin pesan sayur asam dengan ikan
mas panggang. Papa suka?"
"Okey. Minumnya?"
"Teh hangat saja."
Fendy memesan sesuai permintaan Dewi
kepada pelayan itu. Pelayan itu kemudian terbungkuk-bungkuk pergi. Dewi langsung memeluk
Fendy dan menghujani ciuman. Lalu keduanya
saling bergumul di atas kursi panjang itu. Saling
berciuman untuk melepaskan kerinduannya.
Ciuman mereka terhenti. Sama-sama
terengah-engah. Saling berpandangan mesra.
"Empat hari tidak bertemu rasanya setahun."
kata Dewi.
"Apalagi seminggu bisa serasa sewindu."
balas Fendy.
"Kalau mama tidak kembali ke Jakarta lagi?"
"Akan papa susul."
Dewi tersenyum. Dikecupnya pipi lelaki itu.
"Mama jadi malas pulang ke Surabaya."
desah perempuan itu. 177
"Jangan. Kau harus pulang demi Rita. Kasihan
dia kalau merayakan pesta ulang tahun tanpa
kehadiran mamanya."
Perempuan itu menarik napas panjang.
Seolah-olah ingin mengurangi beban keresahan
yang menindih dadanya. Keresahan yang
disebabkan oleh kedustaannya.
Terdengar suara ketokan pintu. Bergegas
mereka kembali duduk seperti semula.
"Masuk," seru Fendy.
Dua orang pelayan masuk mengantarkan
pesanannya. Lalu hidangan itu diatur di meja makan
dengan rapi. Fendy mendekati. Pelayan itu
menyerahkan nota sewa villa beserta hidangan
yang dipesan. Fendy membayarnya. Kedua pelayan
itu mohon diri. Fendy mengunci pintu samping
rapat-rapat.
"Ayo Ma, kita makan malam dulu." ajak
Fendy.
Dewi bangkit dan menuju ke ruang makan.
Dia menarik kursi duduk bersebelahan dengan
Fendy. Melayani lelaki itu dengan senang hati. Lalu 178
keduanya bersantap malam dengan perasaan
bahagia.
"Apakah kita akan dapat selamanya begini?"
gumam Fendy.
"Maksud papa?"
"Berdua dalam suka dan duka. Mengarungi
hidup bersama."
Dewi terdiam. Dapatkah? Ya, dapatkah apa
yang baru saja diucapkan Fendy? Sedangkan di
Surabaya sudah menanti orang-orang yang
mencintainya. Agus telah berhasil mempengaruhi
orang tuanya untuk menerima Dewi sebagai
menantu. Dan lelaki itu sangat mencintainya. Rita
yang selama ini mendambakan perhatian dan kasih
sayangnya. Serta seluruh keluarganya yang tidak
menghendaki dia bekerja di Jakarta. Semua nya itu
menjadi perintang yang kukuh bagi diri nya untuk
mewujudkan hidup bersama Fendy Termasuk istri
lelaki itu.
"Kenapa diam, Ma?"
"Ah, tidak kenapa-kenapa." sahut Dewi
berusaha tersenyum. Sebenarnya perasaan
perempuan itu kacau balau. 179
Tapi Dewi berusaha menciptakan suasana
malam itu begitu mesra dan harmonis. Membuang
segumpal keresahan dan kekacauan dalam perasa
annya. Bukankah ini malam perpisahan? Siapa tahu
aku tidak dapat kembali ke Jakarta lagi. Siapa tahu
sesampainya aku di Surabaya terjadi hal-hal yang
diluar dugaanku. Maka akan kuukir kenangan yang
paling indah bersama lelaki yang paling kucintai ini.
Dan keinginan Dewi benar-benar dilakukan.
Malam itu dia berusaha membuat kenangan yang
teramat manis. Teramat indah. Seolah-olah seluruh
kemesraan dan kehangatan diberikan kepada
Fendy. Bermuara di ranjang dalam pelukan erotis.
Terlalu berlebihan apa yang dilakukan Dewi
agaknya. Ya, walaupun berlebihan telah membuat
Fendy terbuai di awang-awang. Dan ibarat dia
menghadapi kuda binal telah mampu menunjukan
ketangguhannya. Ketangguhannya sebagai penunggang kuda yang lihay.
*** Siang itu dengan tubuh letih Dewi turun dari


Istriku Adalah Ibuku Karya Fredy S di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mobil. Fendy memperhatikan dengan pancaran
mata penuh harap. 180
"Papa mau jemput mama jam berapa nanti?"
tanya Dewi sambil berdiri membungkuk di jendela
mobil. Memandang Fendy yang duduk di belakang
kemudi.
"Jam tiga papa akan menjemputmu. Okey?"
"Okey. Daaaa."
"Daaaa." Fendy meluncurkan mobilnya.
Terlampau indah dan berkesan kenangan
semalam, pikir Fendy sambil mengemudikan
mobilnya di jalan raya. Dia sedang menuju ke
rumahnya. Begitu mobilnya hendak memasuki
halaman rumah, kedua anaknya berlari-lari ke luar
dari dalam rumah. Keduanya bersorak-sorak
gembira di teras rumah.
"Papa datang. Papa datang," teriak kedua
anak itu sambil berjingkrak-jingkrak. Yeti ikut ke luar
dari dalam rumah.
Parno menutup kembali pintu pagar
halaman. Fendy menghentikan mobilnya di depan
pintu garasi dan bergegas turun setelah mematikan
mesinnya. Kedua anaknya langsung berhambur ke
arahnya. Dino di tangan kanan dan Ria di tangan kiri 181
ayahnya. Kedua anak itu bermanja sambil berayun
di lengan Fendy.
"He! Ayo turun! Papa kan masih capai,"
perintah Yeti yang melihat suaminya nampak
keletihan. Tapi kedua anak itu tetap saja
membandel. Tetap bergayut di lengan ayahnya
yang berjalan masuk ke rumah. Dan Yeti cuma
menggelengkan kepala mengikuti di belakang
suaminya.
"Mana oleh-olehnya, Pa?" pinta Dino.
"Iya, mana oleh-olehnya permen buat Ria?
Papa ngebohong melulu sama kita," cetus Ria
mengikuti sampai ayahnya duduk di kursi.
Fendy tersenyum. Dielus-elusnya rambut
kedua anaknya.
"Dino sama Ria tidak boleh mengganggu
papa yang capai sehabis kerja lembur ya? Sana main
dulu sayang," bujuk Yeti dengan lemah lembut.
Kedua anak itu berlalu sambil menggerutu.
Fendy jadi tersenyum. Senyumnya itu bukan karena
mendengar gerutu anaknya, melainkan karena
ucapan Yeti. Istrinya benar-benar percaya kalau tadi
malam dia kerja lembur. Memang kerja lembur, tapi 182
bukan lembur pengisian suara film. Namun kerja
lemburnya di atas tempat tidur dengan perempuan
lain.
"Papa capai?" tanya Yeti sambil memijit-mijit
bahu suaminya.
"Tentu. Semalaman papa tidak tidur."
"Penyakit papa tidak kumat?"
"Kumat juga, tapi berusaha papa tahan."
"Tapi sudah selesai kan dubbingnya?"
Fendy mengangguk.
"Nah, papa istirahat sekarang. Mama panggil
tukang pijit ya?"
"Tidak usah. Jam tiga papa ada urusan lagi."
"Papa kan masih capai. Apakah urusan itu
tidak bisa ditunda besok?"
"Tidak bisa, Ma. Urusan itu penting sekali."
Yeti mendesah. Dia merasa kasihan melihat
suaminya sibuk mengurus pekerjaan tanpa
mengenal istirahat yang cukup. 183
"Makanya waktu dua jam bisa papa gunakan
untuk tiduran di kamar. Ayolah, Pa," ajak Yeti sambil
merengkuh lengan suaminya. Lalu membimbingnya
masuk ke dalam kamar.
Fendy berbaring di atas tempat tidur. Yeti
melepaskan pakaian di tubuh suaminya.
"Pakaian ini minta ampun baunya," kata Yeti
sembari nyengir.
Fendy tersenyum. Untung pakaian itu kotor
dan bau. Kalau tidak akan ketahuan bau parfum
perempuan lain. Dan tentunya Yeti akan menaruh
perasaan curiga.
"Papa sudah mandi?"
"Belum."
"Mau mandi pakai air hangat?"
Fendy menggeleng.
"Nanti saja kalau papa mau pergi baru
mandi."
"Mama siapkan makan siang ya?"
"Papa sudah makan waktu mau pulang dari
studio." Nyeri perasaan Fendy ketika mengucapkan 184
itu. Sebab dia berdusta lagi pada istrinya. Bukannya
di studio dia makan, melainkan di sebuah restauran
khas Sunda bersama Dewi.
"Ya sudah. Waktu dua jam gunakanlah untuk
tidur."
Lalu Yeti mengenakan pakaian tidur di tubuh
suaminya. Kemudian menidurkan suaminya seperti
seorang ibu yang menidurkan anaknya yang masih
kecil.
Keletihan memang gampang membuat orang
mengantuk. Apalagi seperti Fendy yang semalaman
bagai penunggang kuda yang lihay. Memerlukan
ketangguhan menjinakkan kuda betina yang binal.
Dan seluruh tenaganya terkuras di situ. Sekarang,
dia bagai pohorv pisang yang terkulai di atas tempat
tidur. Mendengkur lagi.
Rasanya baru sekejap dia tertidur ketika
jemari tangan yang halus dan lembut mengusapusap kulitnya.
"Pa, jadi pergi tidak?" terdengar suara
perempuan pelan sekali. 185
Fendy membuka kelopak matanya. Lalu
diamati wajah istrinya yang tersenyum. Sentuhan
halus membelai keningnya.
"Jam berapa sekarang, Ma?"
"Jam tiga kurang sepuluh menit."
Bersejingkat lelaki itu bangun dari tidurnya.
Lalu buru-buru turun dari tempat tidur.
"Sudah kusiapkan air hangat di kamar mandi."
Fendy mengangguk. Dia berjalan menuju ke
kamar mandi. Dari handuk sampai celana dalam
sudah disediakan oleh istrinya di situ. Dan tubuhnya
yang letih menjadi segar setelah diguyur air hangat.
Selesai mandi istrinya tetap setia menunggu
sampai dia berpakaian. Perempuan itu membetulkan pakaiannya bila ada yang kurang rapi.
Menyiapkan sepatu yang hendak dipakainya.
"Apakah nanti malam papa tidak pulang
lagi?" tanya Yeti sambil membetulkan kragh kemeja
suaminya.
"Sore papa sudah pulang. Cuma mau
menemui tamu di Mandarin hotel." 186
"Minum dulu kopinya."
Fendy berjalan ke luar kamar diikuti Yeti. Di
atas meja ruang tengah telah tersedia secangkir
kopi hangat. Lalu Fendy meneguk minuman itu.
Dadanya terasa segar.
"Anak-anak di mana?"
"Sedang main di taman barangkali."
"Papa pergi dulu, Ma."
Yeti mengantar suaminya sampai di tera?.
Fendy naik ke dalam mobil lalu menstater
mesinnya. Pamo buru-buru membuka pintu pagar
halaman. Dengan lambaian tangan, Yeti mengiringi
kepergian suaminya.
Ternyata Dewi sudah menunggu. Perempuan
itu sudah berdandan rapi. Namun menyambut
kedatangan Fendy dengan wajah tidak ceria. Masih
terlihat sisa-sisa kemarahan di wajah perempuan
itu. Dan kelihatan lusuh.
"Sudah siap mau berangkat?" tanya Fendy.
"Ya." Lalu Dewi berpamitan pada Tika.
Setelah itu berjalan di sebelah Fendy yang
menjinjing tasnya. Memang tidak terlalu banyak 187
barang yang dibawa Dewi. Cuma sebuah tas koper
dan tas plastik yang di dalamnya berisi oleh-oleh
buat Rita. Ada juga sebuah boneka yang bagus
pemberian Fendy.
"Rasanya aku enggan untuk pulang ke
Surabaya." kata perempuan itu sambil mendesah.
Di saat mobil yang dikemudikan Fendy meluncur di
jalan raya.
"Demi Rita, mama harus pulang."
Dewi menghembuskan napas keras-keras.
Hatinya pedih. Tak ingin. Tak ingin. Tak ingin pulang
ke Surabaya. Tapi ah, bagaimana jadinya kalau tidak
pulang ke Surabaya. Pasti akan mengecewakan
Agus. Perjuangan dan pengorbanan lelaki itu telah
disia-siakan. Sedangkan lelaki itu akan merayakan
pesta ulang tahunnya. Apa salahnya kalau aku
menyenangkan hatinya sesekali. Sebagai imbalan
atas pengorbanannya.
Sementara di belahan perasaannya ada
keraguan. Ada keresahan. Sebab dia habis
menerima ancaman dari Resti. Ya, sebelum
berangkat tadi dia bertengkar dengan Resti. Pokok
timbulnya pertengkaran lantaran Sunarto. Lelaki itu 188
ketika ditelpon oleh Dewi telah menanggapi dengan
sinis. Bahkan sempat mengucapkan selamat
berbahagia kepada Dewi yang akan menjalani
pertunangan dengan Agus.
Tak salah lagi. Pasti Resti telah membeberkan
rahasia hidupnya kepada lelaki itu. Dan karena
itulah Dewi mendamprat Resti. Memaki-maki Resti,
sehingga timbul pertengkaran. Lalu Resti
mengancam akan memperpanjang persoalan itu
sesampainya di Surabaya. Maka Resti terlebih dulu
pergi meninggalkan tempat kost. Mereka batal
pulang bersama-sama.
"Kenapa melamun, Ma?"
"Ah, tidak." Dewi berusaha tersenyum.
Dipandangnya wajah Fendy. "Papa baik-baik di
Jakarta ya? Jangan sering keluyuran malam. Kasihan
mbak Yeti dan anak-anak."
"Tentu. Dewi juga baik-baik di Surabaya."
Dewi mengangguk.
"Kalau misalnya ada sesuatu telponlah papa."
Fendy memberikan salah satu nomor telpon di
rumah Martinus. Martinus merupakan sahabat 189
kentalnya. "Dua hari sebelum mama berangkat ke
Jakarta telponlah dulu."
"Ini nomer telpon siapa?" tanya Dewi sambil
memperhatikan kartu nama yang diberikan Fendy.
"Martinus itu sahabat kental papa. Jadi lebih
enak kalau kita berbicara di sana. Papa tunggu
telpon dari mama tanggal dua puluh ya?"
"Jam sepuluh siang mama akan telpon papa."
"Sungguh lho. Papa akan menunggu telpon
mama di rumah Martinus."
"Tapi...."
Rambu lalu lintas di jalan Gunung Sahari
menyala merah. Fendy menghentikan mobilnya.
"Tapi kenapa?"
"Kalau misalnya mama tidak menelpon papa
pada jam dan hari itu, berarti mama mengalami hal
yang diluar dugaan." Alasan itu dikemukakan oleh
Dewi lantaran ingat ancaman Resti. Cemas juga
perasaannya.
Fendy termangu.
"Mengalami hal di luar dugaan? Kira-kira itu apa?" 190
"Tunggu sajalah kabar dari mama."
"Mama mau kirim surat?"
"Kalau memang harus demikian."
Suara klakson mobil yang di belakang
mengagetkan Fendy. O, rambu lalu lintas sudah
menyala hijau. Maka dia segera tancap gas. Mobil
meluncur lagi.
"Ada apa sebenarnya? Terus teranglah pada
papa," kata Fendy penuh harap.
"Tidak ada apa-apa. Ini cuma perasaan mama saja."
Fendy menarik napas panjang dalam desah.
Adakah kemelut dalam hidupnya? Aku rasa ada.
Tapi dia selalu merahasiakan. Tak mau
mengutarakannya. Tapi biarlah. Yang penting
selama ini dia baik terhadapku. Aku membutuhkannya. Aku mencintainya.
"Dewi, aku harapkan kau kembali ke Jakarta
lagi. Jangan biarkan papa di sini kesepian tanpa
mama."
"Mama pasti kembali." 191
Mobil itu masuk ke tempat parkir di samping
gedung stasiun kereta api. Fendy dan Dewi
bergegas turun. Keduanya berjalan bergandengan
menuju loket penjualan karcis. Di depan loket
terpampang tulisan 'Karcis habis'. Fendy mengeluh.
Tapi dia malah dikerubungi para calo. Mereka
menawarkan karcis. Permainan macam apa ini?
pikir Fendy. Apa gunanya spanduk-spanduk yang
bertuliskan : Jangan membeli karcis pada calo. Apa
gunanya di depan loket di pasang tulisan 'Karcis
habis?'
Fendy terpaksa membeli karcis pada calo itu.
Harganya cukup mahal lantaran dia dikenal sebagai


Istriku Adalah Ibuku Karya Fredy S di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bintang film top. Menjadi pusat perhatian seluruh
orang di stasiun kereta api itu. Yah, karena gengsi
karcis itu dibelinya juga dari tangan calo. Meskipun
calo itu mengambil karcis itu dari loket melalui pintu
belakang. Dengan sembunyi-sembunyi. Dan hal itu
sudah bukan rahasia lagi. Kayaknya cara dan
permainan ini sudah membudaya di tanah air.
Menyedihkan, memang.
Dewi tak mau terlepas menggandeng Fendy.
Mereka berjalan menuju ke peron sepur sebelas.
Gerak-gerik Fendy menjadi perhatian semua orang. 192
Malah ada beberapa gadis minta difoto bersama
dengannya. Minta tanda tangannya. Semua dilayani
oleh Fendy dengan ramah. Tak ingin mengecewakan penggemarnya. Sementara Dewi merasa
bangga bukan saja sebagai penggemar, melainkan
sudah memiliki hati dan perasaan top star itu.
Gerbong kereta api Mutiara bergerak
mundur di sepur sebelas. Para penumpangnya
bergegas naik. Fendy masih nampak sibuk melayani
para penggemarnya. Dewi merengkuh lengan
Fendy.
"Ayo, Pa. Cari tempat duduknya dulu."
"Ng, maaf ya. Apabila ada yang belum
mendapat tanda tangan saya, kapan waktu kita
masih bisa bertemu lagi. Daaaa," kata Fendy kepada
seluruh penggemarnya.
"Daaaa," balas mereka secara beramairamai. Namun ada juga yang mengeluh karena
belum mendapat tanda tangan top star itu.
Fendy dan Dewi naik ke dalam gerbong.
Mereka mencari nomor tempat duduk sesuai
dengan karcis. Di dalam gerbong pun para 193
penumpangnya tak hentinya memperhatikan
Fendy.
"Di sini tempat duduknya, Ma."
"Ya."
Fendy menaruh koper Dewi di tempat
barang. Lalu dia duduk di kursi sebelah Dewi yang
masih kosong. Kedua jemari tangan mereka saling
meremas. Seolah-olah mereka akan berpisah sekian
lama.
"Tanggal dua puluh mama jangan lupa
interlokal papa ya?" kata Fendy penuh harap.
"Jam sepuluh mama akan interlokal."
"Salamku untuk Rita."
Dewi mengangguk. Sementara pengeras
suara memberi tahu bahwa kereta api Mutiara akan
segera diberangkatkan. Fendy berdiri dari tempat
duduknya diikuti Dewi. Lalu mereka berjalan ke
pintu kereta.
"Selamat jalan, Ma." Fendy mencium kedua
pipi perempuan itu. Dewi membalasnya. Bukan
cuma membalas dengan mencium pipi, melainkan 194
melumat bibir Fendy. Memeluk tubuh lelaki itu
erat-erat.
Cuma sesaat ciuman itu, tapi membuat Fendy
terkesan. Sedangkan di dalam hati Dewi berkata
lain. Mungkinkah ini perjumpaanku yang terakhir
dengan lelaki ini? Lelaki yang sangat kucintai? Kalau
memang demikian, apa salahnya kucium dia sekali
lagi?
Maka Dewi mencium bibir lelaki itu sekali
lagi. Wah, persis adegan di dalam film. Tanpa malumalu berciuman di dekat pintu gerbong kereta.
Namun Dewi tak ambil pusing ada beberapa lelaki
dan perempuan menyaksikannya.
Pluit bagai menjerit.
Ciuman mereka terlepas.
"Selamat tinggal. Pa. Jangan sering sakit
sakitan lagi ya?" kata Dewi dengan kedua mata
berkaca-kaca. Kepingin rasanya dia menangis.
Kereta bergerak. Fendy melompat turun.
Lantas dia melambaikan tangan mengiringi lajunya
kereta. Dewi membalasnya sambil berdiri di pintu.
Semakin jauh kereta itu meluncur. Hilang sudah
lambaian tangan perempuan itu. Dan Fendy 195
melangkah gontai meninggalkan peron stasiun.
Suara laju kereta api semakin jauh. Tak terdengar
lagi. Maka hidup Fendy menjadi terasa sepi,
meskipun jadi pusat perhatian orang banyak.
Perpisahan memang selalu menimbul
perasaan kehilangan dan kesepian. Apalagi
berpisah dengan orang yang paling dicintainya.
Seolah-olah dalam hidupnya cuma sendiri. Dan di
dalam mobil yang meluncur memang Fendy sendiri.
Di sebelahnya tidak lagi duduk Dewi yang selalu
mesra, selalu sayang kepadanya. Rasanya dia
kehilangan ucapan "Selamat siang, Pa." atau
"Selamat malam, Pa." yang diucapkan dengan suara
lembut dan merdu oleh perempuan itu.
*** Seorang laki-laki berbadan gemuk duduk di
kursi panjang. Sebentar-sebentar melihat jarum
jam tangannya, lalu mendesah karena sudah tak
sabar menunggu kereta api datang. Laki-laki itu
tidak tergolong jelek. Wajahnya cukup simpati dan
potongan tubuhnya gagah. Ada kumis tebal di atas
bibirnya. Punya mata bagai elang. Kelihatan angker. 196
Sudah satu jam laki-laki itu menunggu di
stasiun Pasar Turi. Nampak dia sudah tidak sabar
lagi ingin ketemu dengan Dewi. Sebulan mereka
tidak saling ketemu, sehingga rasa rindu di dalam
dada lelaki itu nyaris mau meledak.
Pengeras suara memecah suasana. Berdebardebar jantung lelaki itu karena pengeras suara itu
memberi tahu, kalau kereta api Mutiara akan
segera tiba. Bersejingkat dia bangun dari tempat
duduknya. Membuang puntung rokok yang nyaris
habis. Lalu dia berdiri di pinggir jalan kereta api.
Lokomotip kereta api Mutiara sudah menampakan mukanya. Disusul oleh suara signalnya yang
menggetarkan jantung. Kereta api itu semakin
pelan dan berhenti. Para penjemput saling berlarian
ke sana ke mari. Sama halnya dengan lelaki yang
sejak tadi menunggu kereta itu datang.
"Dewi!" panggil lelaki itu sambil
menghampiri seorang perempuan yang baru saja
turun dari gerbong.
Dewi tersenyum. Lalu keduanya saling
berpelukan sesaat.
"Kau baik-baik saja?" tanya lelaki itu. 197
"Seperti yang kau lihat. Dan kau bagaimana?"
"Sama-sama sehat walafiat."
Agus membawakan tas Dewi. Mereka
berjalan sambil bergandengan ke luar dari gedung
stasiun Pasar Turi. Sengatan sinar matahari pagi
terasa lain dibandingkan dengan Jakarta. Di sini rasa
nya lebih menyengat. Itu yang dirasakan Dewi
ketika sampai di tempat parkir. Dan Agus
membukakan pintu mobil untuk perempuan yang
sangat dicintainya itu.
Dewi duduk di jok depan. Agus duduk di
belakang stir, lalu menstater mobilnya. Mobil Agus
memang kalah mewahnya dibandingkan mobil
Fendy. Sekarang mobil yang Dewi naiki cuma
Peugeot keluaran tahun 1975.
"Senang tinggal di Jakarta?" tanya Agus
sambil meluncurkan mobil.
"Senang sekali. Kenapa Rita tidak diajak
menjemputku?"
"Dia kan masuk sekolah."
"O ya."
"Resti tidak ikut pulang bersamamu?" 198
"Kau lihat kan aku pulang sendiri. Itu berarti
Resti tidak ikut pulang bersamaku. Dan kalau kau
sempat ketemu dia, jangan mudah percaya apa
yang diucapkannya."
"Kalian bertengkar?"
Dewi mengangguk. Mobil terus meluncur di
jalan Tunjungan. Cukup ramai kendaraan di jalan
searah itu. Tapi belum mampu mengalahkan
kepadatan kendaraan di kota Metropolitan.
"Soal apa kalian bertengkar?"
"Dia menuduhku yang tidak-tidak."
"Maksudnya apa?"
"Ya seperti dia. Kau tentunya kenal Resti
bagaimana orangnya."
Agus mendesah. Membelokkan mobilnya ke
Jalan Opak.
"Yaah, aku tahu. Aku kan sudah sering
melarangmu supaya menjauhinya, tapi kau tetap
tak mau menurut. Malah nekad pergi ke Jakarta
dengan Resti." 199
"Kau percaya, kalau aku melakukan
pekerjaan seperti Resti?"
Agus menginjak rem. Mobil mereka telah
sampai di depan rumah Dewi.
"Tidak. Aku tidak mudah percaya dengan
omongan orang lain. Karena selama ini aku
menilaimu bukan perempuan gampangan. Yuk, kita
turun."
Dewi membuka pintu mobil dan melangkah
turun. Bagaimana tidak percaya, selama Dewi
menjalin hubungan dengan Agus selalu menunjuk
kan kepribadian yang baik. Sekalipun dia seorang
janda, tapi bukan perempuan yang gampangan. Itu
sering dibuktikan setiap kali mereka pacaran. Dewi
melayani Agus dalam batas-batas tertentu. Cuma
sebatas ciuman, tidak lebih dari itu. Sering juga Agus
membawanya ke Kaliurang atau ke Tretes. Namun
Dewi tetap menolak kalau diajak tidur seranjang.
Dia mau menuruti kemauan lelaki itu, asalkan sudah
resmi menikah. Dinilai dari keteguhan hati Dewi,
maka Agus percaya kalau Dewi bisa menjaga diri
baik-baik. Tidak sampai melakukan perbuatan nista. 200
Tapi apa kenyataannya? Dewi yang tetap
dianggap Agus memiliki keteguhan iman, ternyata
di luar sepengetahuannya telah melakukannya
dengan Fendy. Agus tetap beranggapan bahwa
Dewi tetap Dewi yang sejak pertama dikenalnya.
Dan itulah kemenangan Dewi, karena telah mampu
memberi kesan yang baik kepada Agus.
Kedatangan Dewi disambut oleh ayah dan
ibunya. Kali ini Dewi menjumpai kelainan pada sikap
kedua orang tuanya itu. Kalau dulu cuma masa
bodoh, tapi kini penuh perhatian dan kasih sayang.
Dia merasa diharapkan sekali kedatangannya.
"Siang amat sampainya, Dewi," ujar ayahnya.
"Keretanya terlambat, Yah."
Dewi bersama ibunya berjalan masuk ke
kamar. Sedangkan Agus ngobrol di ruang tamu
dengan ayah Dewi. Kelihatan akrab sekali. Seperti
anak sedang ngobrol dengan ayahnya.
Dewi juga sedang ngobrol dengan ibunya di
kamar. Dia sambil berbaring melepaskan lelah
mendengarkan ucapan ibunya.
"Agus telah berterus terang pada ayah dan
ibu ingin melamarmu. Selama kau tinggal di Jakarta, 201
setiap dua hari sekali datang kemari. Kadangkadang mengajak Rita pergi ke tempat-tempat
rekreasi. Dia begitu sayang dan penuh perhatian
pada Rita."
Dewi tak bersuara. Dia memijit-mijit keningnya yang dirasa pening.
"Ayah dan ibu sangat senang kalau kau mau
menerima lamaran Agus. Dia bakal menjadi
suamimu yang baik. Karena keluarganya juga dari
keturunan orang baik-baik pula."
"Tapi orang tuanya belum mengetahui
statusku janda, Bu. Belum mengetahui kalau aku
sudah punya anak perempuan yang berumur tujuh
tahun."
Sekarang giliran ibunya yang terdiam.
"Selama ini kami memang merahasiakan hal
itu. Dan sejauh mana ibu tidak mengetahui keadaan
orang tua mas Agus. Mereka adalah keturunan
priyayi. Mungkin bukan seperti kita, kalau anaknya
sudah sama-sama mencinta, orang tua tinggal
merestui. Mereka nampaknya kurang menyukai
kalau anaknya menikah dengan seorang janda."
"Semua tinggal kemauan Agus," gumam ibunya. 202
"Memang, tapi kalau Dewi tidak disukai
orang tuanya, bukankah itu sama saja Dewi minum
racun?"
"Jadi maumu bagaimana?"
"Jika mas Agus benar-benar mau menikahi
Dewi, dia harus bisa menundukkan hati orang
tuanya. Agar mereka benar-benar mau menerima
Dewi dengan apa adanya. Dan diterima bukan
hanya di luarnya saja. Juga di dalam hati dan
kehidupan mereka. Itu yang Dewi inginkan."
Celepak-celepak suara sandal kian mendekat.
Lalu ayah Dewi melongok ke kamar itu.
"Ealaaaah, enak-enakan ngobrol di sini.
Kasihan tuh nak Agus. Ayo temani dia di ruang
tamu, Dewi."
Dewi bermalas-malasan turun dari tempat tidur.
"Iya, temanilah dia ngobrol." Ibunya
menimpali.


Istriku Adalah Ibuku Karya Fredy S di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dewi menuju ke ruang tamu. Begitu muncul
ditanya Agus. "Capai?"
"He'eh." Dewi menghenyakkan pantatnya di
kursi. 203
"Kalau begitu istirahat saja dulu. Besok
malam datanglah ke pesta ulang tahunku." Agus
bangkit dan mencium pipi Dewi. "Aku pulang ya?"
Dewi mengangguk. Lalu dia berdiri dan
mengantar Agus sampai di teras rumah. Lambaian
tangannya mengiringi kepergian lelaki itu.
*** Tamu sudah mulai berdatangan, walau tidak
meriah pesta perkawinan. Tapi pesta ulang tahun
Agus yang hadir tentunya teman-teman sekantor
dan teman dekatnya. Di samping pesta ulang tahun,
sekaligus semacam pengukuhan Agus sebagai
direktur perusahaan. Perusahaan yang selama ini
dikelola ayahnya akan dilimpahkan kepada Agus.
Tentu saja para relasi perusahaan itu ikut hadir
untuk saling berkenalan dengan Agus yang
dikukuhkan menjadi direktur utama.
Sulistiawan dan istri memperkenalkan para
relasi pada anaknya. Agus menyalami para relasi
yang diperkenalkan oleh kedua orang tuanya. Di
samping nyonya Sulistiawan berdiri seorang gadis
manis. Gadis itu bernama Rury yang selama ini
dekat sekali dengan kedua orang tua Agus. 204
Rambutnya yang terurai sebatas punggung, hitam
mengkilat. Kulitnya kuning langsat dan kelihatannya
ramah sekali. Kalau tersenyum aduhai manisnya.
Rury adalah gadis pilihan yang dicalonkan
oleh orang tua Agus. Namun Agus lebih cenderung
memilih Dewi ketimbang gadis itu. Memilih sebagai
pendamping hidupnya. Kecenderungan itu kian
terlihat ketika Dewi muncul di antara para tamu
yang hadir. Agus nampak gembira menyambut
kedatangan perempuan itu.
"Selamat berulang tahun, Mas. Semoga
panjang umur dan sukses dalam segal hal." Dewi
memberi ucapan selamat sambil menjabat tangan
Agus. Lalu dia mencium kedua pipi lelaki itu.
"Terima kasih. Dewi." Agus berkata pelan di
dekat telinga perempuan itu. Lalu dia mengajak
Dewi berkumpul dengan orang tuanya.
Dewi memberi salam kepada orang tua Agus.
Sulistiawan mengangguk ramah, sedang nyonya
Sulistiawan cuma tersenyum kecil. Sepintas saja
memperhatikan Dewi. Lebih semarak memperhatikan semua tamu yang hadir di ruangan itu. Dan
lebih senang berbicara dengan Rury daripada 205
bersikap ramah kepada Dewi. Dewi jadi merasa tak
nyaman. Kikuk dan tak bebas bergerak. Pokoknya
menimbulkan perasaan tak senang.
Tamu-tamu telah berkumpul di ruang pesta.
Kiranya tak ada tamu yang perlu ditunggu lagi.
Semua relasi dan karyawan kantor sudah lengkap.
Maka Sulistiawan segera memulai acara itu. Lelaki
berbadan gemuk itu berpidato ala kadarnya,
sementara Agus yang mengenakan pakaian stelan
jas hitam berdiri di depan kue ulang tahun. Dua
buah lilin menyerupai angka tiga dan satu berjejer
di atas kue itu. Di sampingnya berdiri Dewi yang
sejak tadi tertunduk saja. Nyonya Sulistiawan dan
Rury juga ada di sebelah Agus. Kedua perempuan
itu merasa kurang menyenangi kehadiran Dewi.
Dari lirikan kedua perempuan itu pada Dewi sudah
bisa dinilai tak menyenangkan. Selama Sulistiawan
berpidato, tak pernah sedikitpun Dewi mengangkat
mukanya. Dia selalu tertunduk. Suasana di
sekitarnya dirasa mengekang kebebasannya.
Apalagi tanggapan nyonya Sulistiawan begitu dingin
padanya. Membuat perasaan Dewi ingin
secepatnya meninggalkan tempat itu. 206
Sulistiawan telah menyelesaikan pidatonya.
Dewi tersentak oleh tepuk tangan para tamu. Lala
dia jadi ikut bertepuk tangan, supaya tidak
menimbulkan kesan buruk. Kesan tidak
menghormati keluarga yang sedang berbahagia.
Apalagi gerak-geriknya selalu diawasi oleh nyonya
Sulistiawan dan Rury. Memang sungguh tidak
menyenangkan.
Sekarang giliran Agus yang berpidato.
Suaranya begitu mantap. Matanya mengedarkan
pandang ke seluruh tamu-tamu membuat dia
nampak berwibawa. Namun sesekali dalam
pidatonya mengajak bercanda. Para tamu jadi
tertawa. Dewi terpaksa ikut tertawa, walau dia
tidak tahu apa yang mesti ditertawakan. Apa yang
diucapkan Agus sehingga para tamu tertawa?
Karena selama Agus berpidato, pikiran Dewi
melayang-layang tak karuan. Perasaannya gundah.
Akhirnya pidato Agus selesai. Para tamu
bertepuk tangan. Dewi tidak ketinggalan ikut
bertepuk tangan. Lalu para tamu secara bersamasama menyanyikan lagu "Selamat ulang tahun".
Suasana rang pesta jadi meriah sekali. 207
Setelah berulang-ulang para tamu
menyanyikan lagu 'Selamat ulang tahun', tibalah
saatnya peniupan lilin yang menyerupai angka tiga
puluh satu itu. Huuuup! Agus meniup kedua lilin itu.
Kedua lilin itu pun mati. Dan para tamu bertepuk
tangan lagi.
Sulistiawan memeluk Agus.
"Jadilah seorang direktur yang cekatan, Nak."
"Terima kasih, Pi."
Nyonya Sulistiawan yang giliran memeluk
anaknya.
"Semoga kau sukses dalam segala hal. Nak.
Panjang umur dan hidup berbahagia." Nyonya
Sulistiawan mencium kedua pipi anaknya.
"Terima kasih, Mi."
Rury segera memeluk Agus. Mencium kedua
pipi lelaki itu mesra sekali. Dewi tertunduk. Bahkan
memejamkan matanya.
"Selamat ulang tahun, Mas. Selamat atas
dikukuhkannya mas Agus sebagai direktur dan
semoga sukses dalam segala hal," kata Rury. 208
Agus cuma mengangguk. Matanya melirik
Dewi yang sedang tertunduk. Begitu Rury
melepaskan pelukannya, Agus menghadap ke arah
Dewi.
"Dewi," panggil Agus.
Dewi baru mengangkat kepalanya.
Memberanikan diri memandang lelaki yang berdiri
di hadapannya itu.
"Se... selamat ulang tahun. Mas. Semoga
panjang umur dan sukses selalu," kata Dewi dengan
terputus-putus. Dia berdiri kaku seperti patung.
Bukan Dewi yang memeluknya. Bukan Dewi
yang mencium kedua pipi lelaki itu. Melainkan yang
memeluk dan mencium pipinya malah Agus. Lelaki
itu memeluk Dewi dan mencium kedua pipi
perempuan itu dengan lembut. Mesra.
"Kenapa kau kelihatan kurang bahagia.
Dewi?" tanya Agus lirih di telinga perempuan itu.
"Aku... aku, bahagia." Dewi berkata gugup.
"Agus, ayo cepat potong kuenya," perintah
nyonya Sulistiawan. 209
Dewi mendorong dada Agus supaya pelukan
lelaki itu terlepas. Lalu Agus memutar tubuhnya.
Mengambil pisau dan memotong kue itu.
Bersamaan dengan itu, lampu di ruang itu padam.
Semua bertepuk tangan dibarengi dengan suara
musik gembira yang dimainkan group band.
Suasana di dalam rumah Sulistiawan jadi
santai. Musik mulai mengiringi orang-orang
berdansa.
Agus menarik lengan Dewi ke lantai dansa,
tapi perempuan itu menolak. Dia lebih senang
duduk di samping rumah. Agus terpaksa
meninggalkan ruang pesta dan mengikuti
perempuan itu. Mereka duduk di kursi menghadap
ke taman.
"Mamimu nampaknya tidak menyukai
kehadiranku," kata Dewi dengan wajah tertunduk
murung. Duduknya tak enak karena gelisah.
"Ah, tidak. Kurasa biasa-biasa saja."
"Tapi Dewi merasakannya. Sungguh,
merasakan kalau mamimu tak menyukai
kehadiranku di pesta ini." 210
Agus memeluk bahu Dewi. Dia berusaha menentramkan perasaan perempuan itu yang nampak
gelisah. Lalu dibelai rambutnya.
"Jangan rusak kebahagiaan kita malam ini.
Dewi percayalah padaku, kalau mami sudah
merestui hubungan kita. Selama kau ada di Jakarta,
kami sekeluarga sudah berembuk mengenai
pertunangan kita. Dan kedua orang tuaku tidak
mengutarakan apa-apa. Itu berarti mereka setuju."
"Lantas mengenai Rury?"
"Aku mengatakan terus terang sudah punya
pilihan hati. Kaulah orangnya."
"Apakah mas Agus juga sudah menceritakan
keadaanku yang sebenarnya?"
"Belum."
"Berarti hubungan kita masih ada perintang.
Tidak seperti apa yang aku bayangkan, kalau mas
Agus sudah berterus terang mengenai keadaanku.
Dewi ingin semuanya jelas. Dewi ingin tahu apakah
keadaan Dewi yang sudah janda dan beranak satu
ini dapat diterima oleh keluarga mas Agus. Itu saja
yang ingin Dewi tahu. Kepastian itu yang Dewi 211
inginkan," kata Dewi dengan dada naik turun
lantaran napasnya tersendat-sendat.
Berusaha mengendalikan emosinya.
"Sabar. Sabar. Sedikit demi sedikit aku akan
terus berusaha memberikan pengertian pada
orang-tuaku. Supaya mereka mau mengerti
perasaanku, bahwa gadis ataupun janda bukan
ukuran kebahagiaan hidup berumah tangga. Tapi
yang terpenting adalah hati dan perasaan, di mana
keduanya sudah saling mencintai dan menyayangi."
Dewi tertunduk diam.
"Satu bukti kalau aku bersungguh-sungguh
padamu, kiranya tak perlu kujelaskan lagi.
Bagaimana aku telah memutuskan pertunangan
dengan Rury. Tidak kecil tantangan yang aku hadapi
dari pihak keluarga. Dan tentunya engkau bisa lihat
sendiri kalau aku tak menggubris Rury. Lebih berat
padamu. Karena aku sangat mencintaimu,"
Rury duduk sendiri di sudut ruang. Ruang
yang luas itu penuh dengan tamu-tamu yang sedang
bergembira. Sedang melantai. Sedang saling tukar
menukar gossip. Terutama nyonya-nyonya yang 212
seperti biasanya bergunjing soal kehidupan dan
pribadi orang lain.
Dan nampak segerombol nyonya-nyonya
sedang membicarakan Dewi. Rupanya dua di antara
nyonya-nyonya itu ada yang mengenal Dewi.
Sengaja kedua nyonya itu mengajak bicara nyonya
Sulistiawan.
"Wah, kelihatannya putra ibu akrab sekali
sama Dewi." kata nyonya Ida.
Nyonya Sulistiawan tidak menimpali. Cuma
alisnya yang berkerut.
"Apa ibu Sulis sudah tahu keluarga Dewi?"
tanya nyonya Mia.
"Jangankan keluarga perempuan itu. Sedang
yang namanya Dewi baru kulihat dua kali ini," jawab
nyonya Sulistiawan tak acuh.
"Jadi bu Sulis belum tahu siapa dia?"
Nyonya Sulistiawan mengangguk.
"Dewi itu 'kan sudah janda, Bu. Sudah punya
anak satu."
Nyonya Sulistiawan terbengong. 213
"Oya?" gumam nyonya Sulistiawan yang
kemudian menoleh dan memperhatikan Dewi.
Melalui jendela yang terpentang, terlihat Dewi
sedang duduk dalam pelukan Agus.
"Dan kalau bu Sulis mau tahu ayah Dewi,
ouw, lelaki itu doyan kawin. Istrinya ada empat."
lanjut nyonya Ida sambil mencibir.
Ucapan nyonya Ida seperti api yang
membakar sumbu bahan peledak. Seperti
mencoreng muka nyonya Sulistiawan dengan arang
hitam. Menyebabkan dada perempuan itu naik
turun lantaran menahan gejolak kemarahan.
"Darimana bu Ida tahu semuanya itu?" nada
tanya nyonya Sulistiawan sudah geregetan.
"Rumahnya tidak jauh dari rumah saya. Bu.
Jadi saya tahu persis kehidupan keluarganya.
Malahan Dewi sudah dua kali kawin, tapi selalu
gagal."
Nyonya Sulistiawan langsung berdiri. Sumbu
yang dibakar oleh nyonya Ida telah meledak. Dan
perempuan itu menghampiri Agus.
"Agus!" panggilnya dengan emosi. 214
Agus melepaskan pelukannya di bahu Dewi.
Dia menoleh ke arah ibunya.
"Ada apa. Mi?"


Istriku Adalah Ibuku Karya Fredy S di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sini!"
Agus berdiri mendekati ibunya, sedang Dewi
tertunduk. Tidak berani memandang nyonya
Sulistiawan. Dia sudah punya firasat kalau
perempuan itu akan memarahi anaknya.
"Masuk!" bentak nyonya Sulistiawan sambil
menarik lengan anaknya lebih menjauh dari Dewi.
Terus saja ditariknya sampai ke pojok ruang.
"Kenapa kau pilih perempuan semacam dia!"
kecam nyonya Sulistiawan dengan jengkel.
"Sabar, Mi. Jangan marah di dalam suasana
gembira ini," kata Agus lunak. Berusaha meredakan
kemarahan ibunya.
"Justru di dalam kegembiraan ini, kau telah
mencoreng nama baik keluarga kita! Membuat
malu orang tua!" suara nyonya Sulistiawan makin
ngotot. Namun suaranya masih kalah dengan suara
musik yang mengalun. Suara penyanyi yang sedang
membawakan lagu populer. 215
"Tenang, Mami. Tenang. Tidak baik dilihat
para tamu kalau mami marah-marah sama Agus."
pinta Agus menarik lengan ibunya ke ruang dalam.
"Kau kira mami tidak tahu siapa sebenarnya
Dewi itu heh? Kau mau membohongi mamimu?"
Agus jadi bingung. Jadi serba salah. Maka dia
cuma bisa menghembuskan napas keras-keras.
"Dewi itu bukan gadis lagi. Dia sudah dua kali
menikah dan gagal. Ayahnya doyan kawin dan
punya empat orang istri. Itukah perempuan
pilihanmu yang kau puja-puja? Kau katakan dia
lebih baik dibandingkan Rury? Apanya yang bisa kau
bilang baik? Apanya?! Kecantikannya? Ya?
Kecantikannya? Itukah yang menjadi ukuran
kebaikan gadis itu di penglihatanmu? Tak perduli
dia janda yang sudah punya anak satu?" kata
nyonya Sulistiawan nyerocos sengit.
Agus tertunduk lemas. Dia bersandar di
dinding sambil memijit-mijit keningnya. Mendadak
rasa pusing menyerang kepalanya.
"Sekarang juga, suruh perempuan itu
meninggalkan tempat ini I" 216
"Mami? Jangan sekejam itu." Agus nampak
jadi gelisah.
"Kalau kau tidak mau mengusirnya, biar
mami yang melakukannya!" ancam perempuan itu
dengan gemas.
"Jangan, jangan mami."
"Kau masih mau membangkang?!"
Agus tambah bingung. Kalau permintaan
ibunya tidak segera dilaksanakan bisa kacau. Bisa
berantakan. Sebab kalau ibunya sampai bertindak
mengusir Dewi, kegaduhan pasti terjadi. Agus akan
malu menghadapi, para tamu yang sedang hadir.
"Baik, Mi. Akan kuturuti perintah mami. Tapi,
aku tidak mau dikekang oleh prinsip mami. Aku
sudah dewasa dan punya hak untuk menentukan
perempuan mana yang kupilih menjadi
pendamping hidupku!" kata Agus tegas. Lalu dia
beranjak pergi dari hadapan maminya.
Kursi yang diduduki Dewi telah kosong. Agus
jadi bingung. Ke mana perempuan itu pergi? Lantas
Agus mencari-cari di antara para tamu yang ada di
ruang pesta. Tak nampak Dewi. Sepintas dia melihat
Kisah Sepasang Bayangan Dewa 6 Pendekar Naga Putih 62 Penculik Penculik Misterius Altar Setan 3

Cari Blog Ini