Ceritasilat Novel Online

Istriku Adalah Ibuku 3

Istriku Adalah Ibuku Karya Fredy S Bagian 3


Rury sedang ngobrol dengan seorang laki-laki 217
muda. Tapi Agus tak mau perduli. Yang dicari tetap
Dewi.
Ke mana dia pergi? Mungkinkah dia pulang?
pikir Agus yang kini nampak kesal. Jengkel. Suasana
pesta yang berlangsung dengan gembira tak
digubrisnya lagi. Dia lari masuk ke dalam kamar.
Ibunya menyusul.
Agus mengambil kunci kontak di atas meja.
"Kau mau ke mana?" tegur ibunya sambil
menatap tajam anaknya.
"Mau menyusul Dewi."
"Untuk apa?! Untuk apa kau menyusul
perempuan itu?!"
Agus tidak menyahut. Langsung saja dia
beranjak pergi.
"Agus, tunggu! Kau jangan bikin malu orang,
tua!"
Lelaki itu tak perduli teriakan ibunya. Dia
berlari lewat pintu belakang menuju garasi. Buruburu naik ke mobil dan menstatemya. Bagai anak 218
panah lepas dari busurnya, mobil itu meluncur
pergi.
Nyonya Sulistiawan segera memberi tahu
suaminya. Namun lelaki tua itu cuma menarik napas
panjang sembari menggeleng-gelengkan kepala,
rasanya sudah tak mampu mengatasi kelakuan
anaknya.
Mobil yang dikemudikan Agus berhenti di
depan rumah Dewi. Lelaki itu langsung melompat
turun sembari menghempaskan pintunya. Lalu
menuju ke teras rumah dan mengetuk pintunya.
Tuty ke luar dari ruang dalam. Gadis itu
termangu memandang Agus yang berdiri di ambang
pintu dengan mengenakan pakaian stelan jas.
"O, mas Agus."
"Dewi sudah pulang?" tanya Agus terengahengah.
Tuty tercengang.
"Loh, bukannya mbak Dewi pergi ke rumah
mas Agus?"
Agus jadi gelagapan. 219
"Ya, ya, ya. Mungkin dia ke sana."
"Mbak Dewi sudah dua jam yang lalu
berangkatnya. Masak belum sampai di rumah mas
Agus?"
"Jangan... jangan bilang siapa-siapa kalau aku
mencarinya ya?"
Tuty tambah tercengang. Bingung dia.
"Aku permisi dulu," Agus bergegas pergi.
Tuty memandang kepergian Agus sambil
tetap tercengang. Apa-apaan ini? pikir Tuty
kebingungan.
Sementara itu Dewi juga kebingungan. Ke
mana dia mencari tempat yang tenang? Dia ingin
melepaskan kekalutan pikirannya. Di sepanjang
jalan Tujungan perempuan itu mengayunkan
langkahnya. Membawa segumpal kepedihan yang
mengganjal di lekuk hatinya.
Di manakah bisa kutemukan kebahagiaan?
ratap hati perempuan itu. Ternyata apa yang
kubayangkan jauh meleset dari kenyataan. Ya,
kenyataan di mana keluarga mas Agus belum mau
menerima kehadiranku di tengah-tengah mereka. 220
Jadi untuk apa aku lebih lama tinggal di Surabaya?
Di sini kepedihan hati kian terejah. Dan kalau saja
bukan karena hari ulang tahun mas Agus, lebih baik
aku tetap tinggal di Jakarta. Dan kalau bukan demi
lelaki itu, untuk apa aku pulang?
Di mana aku bisa membuang kekalutan dan
kepedihan hati ini? Itu saja yang dipikirkan Dewi.
Langkahnya terus terayun di sepanjang etalase
toko. Manakala dia melewati toko penjual cassette,
lagu disco menggoyah perasaannya.
Dewi jadi teringat night club. Barangkali di
night club kekalutan hati dan perasaannya bisa
hilang. Ya, mungkin di sanalah kebahagiaan bisa
kudapatkan, walau punya arti semu. Tapi
betapapun semu, lebih baik merasakannya
daripada kepedihan membilas-bilas hatinya.
Seorang diri perempuan itu masuk ke night
club. Sendiri pula dia menghabiskan minuman
keras. Tak tahu apa yang mesti dilakukan di tempat
duduk yang tiada teman itu. Namun kepedihan
hatinya mulai berkurang. Kenangan sewaktu dia
bekerja di night club adalah obat kepedihan itu. Dari
lelaki satu ke lelaki lainnya dikenangnya juga, sambil
memperhatikan para tamu yang sedang bercanda 221
dengan hostes. Di lantai dansa orang-orang sedang
berjingkrak-jingkrak. Berdisco. Melantai. Dan
kepala Dewi mulai pusing.
Alangkah pahitnya minuman keras ini.
Namun lebih pahit yang kualami. Dewi meneguk
minuman itu lagi. Tersedak dia. Hampir saja
muntah. Tapi dia tetap berusaha tegar. Terus
diteguknya minuman keras itu. Dan ini merupakan
pertama kali dalam hidupnya mengenal minuman
wishky!
Seorang laki-laki menghampirinya.
"Sendirian, Sus?" tegur laki-laki itu sopan.
Kepala Dewi mengangguk lemah.
"Boleh saya temani?"
"Biarkan aku sendiri." kata Dewi dengan
kepala pusing. Seolah-olah dirasakan seisi gedung
itu berputaran.
"Anda sudah nampak mulai mabok."
Dewi tertawa.
"Nah, sudah benar-benar mabok kan?" 222
Lelaki itu menghenyakkan pantatnya di kursi,
di sebelah Dewi yang masih tertawa sendiri.
"Kau boleh duduk, tapi jangan ganggu aku."
"Okey." Laki-laki itu tersenyum.
"Namamu Fendy?"
Laki-laki itu tersenyum lagi. Sudah teler,
pikirnya. Lalu diamatinya wajah perempuan itu.
Cantik. Mirip Meriam Bellina.
"Namaku Viktor. Bukan Fendy," kata laki-laki itu.
"Oooo, kenal sama Fendy?" Dewi meneguk
lagi minumannya.
"Tidak."
"Masak tidak kenal Fendy. Dia kan bintang
film top saat ini," kata Dewi sambil menggoyanggoyangkan tubuhnya. Seirama alunan musik.
"Ya, aku tahu kalau top star itu yang kau
maksudkan. Memangnya kenapa dia?"
"Aku mencintainya. Aku sangat mencintai
nya," desah Dewi yang tubuhnya kian lemas. Lalu
tubuhnya terjatuh di atas meja. 223
Victor jadi ketakutan. Maka dia segera
memanggil pelayan untuk menolong perempuan
itu. Baru saja dua orang pelayan mengangkat tubuh
Dewi, perempuan itu muntah.
"Bawa dia ke luar dari night club ini." Kata Victor.
"Tolong bawa aku ke Jakarta." pinta Dewi
dengan suara lemah. Gemetar.
"Tenang, tenang."
Di luar gedung Dewi muntah lagi. Di dalam
mobil begitu juga. Victor jadi ketakutan. Sebab
wajah Dewi pucat pias. Dan tak henti-hentinya
muntah-muntah.
"Sebaiknya bawa dia ke rumah sakit," kata
seorang pelayan.
"Nampaknya perempuan ini tidak biasa
minum whishky. Kalau tidak segera dibawa ke
rumah sakit bisa meninggal."
Victor mengambil dompet dalam sakunya.
Dia menyerahkan dua lembar uang sepuluh ribuan
kepada pelayan itu. Lalu dia buru-buru membawa
perempuan itu ke rumah sakit dengan mobilnya. 224
Tubuh Dewi yang lemas bagai tak mempunyai
daya itu segera dinaikkan ke tempat tidur dorong.
Dua orang perawat mendorongnya ke kamar
pasien. Victor mengikuti dengan perasaan
berdebar-debar. Karena wajah perempuan itu
pucat sekali. Bibirnya membiru seperti orang
keracunan.
Setelah tubuh Dewi terbaring di kamar
pasien, seorang dokter datang memeriksanya. Dewi
harus diinfus karena cairan dalam perutnya sudah
terkuras habis sewaktu dia muntah-muntah tadi.
Keadaannya sangat kritis. 225
TIGA Fendy melangkah turun lalu menghempaskan pintu mobil. Rumah itu sepi, pikir Fendy.
Jangan-jangan Martinus tidak ada di rumah? Wah,
kalau lelaki itu sudah pergi urusannya bisa berabe.
Sudah berhari-hari ia tak sabar menunggu tanggal
dua puluh, cuma mau numpang menerima
interlokal dari Dewi di rumah Martinus. Tapi
mobilnya ada kok di garasi, Fendy menarik napas
lega.
Martinus muncul di pintu. Lelaki itu girang
menyambut kedatangan sahabatnya yang sudah
sekian lama tak muncul.
"Hallo top star kita, tumben nongol lagi nih?"
sapa Martinus. Dia ke luar sambil menenteng gitar.
"Lagi ada perlu sama kau." Fendy melangkah
ke teras.
"Ooo, kalau lagi perlu baru nongol ya?" ke
cam Martinus ngeledek. 226
Fendy menghempaskan badan ke kursi.
"Aku cuma mau numpang menerima
interlokal dari temanku yang ada di Surabaya. Dia
janji kalau hari ini jam sepuluh mau interlokal aku."
Martinus menarik kursi rotan di dekat Fendy.
Dia duduk sambil termangu memandang
sahabatnya itu.
"Nggak salah yang barusan lu katakan?"
tanya Martinus mengernyitkan dahi.
"Nggak, aku serius."
"Di rumah lu kan ada telpon."
"Lagi kepingin numpang di rumah lu."
Martinus tertawa.
"Wuaaaah, ngeledek nih?"
"Kalau nggak percaya lihat saja nanti."
Fendy mengambil rokok di dalam sakunya.
Lalu disodorkan pada Martinus. Martinus ambil
sebatang. Fendy juga ambil sebatang. Keduanya
berbareng menyulut rokok itu.
"Mau minum teh apa kopi?" tanya Martinus. 227
"Kopi."
Martinus memanggil pembantu rumahnya.
Dia menyuruh pembantu itu membuatkan dua
gelas kopi.
"Punya kenalan baru di Surabaya ya?"
"He'eh."
"Cewek?"
"He'eh."
"Cantik?"
"He'eh."
"Waah, happy dong?"
"Begitulah."
Seorang perempuan berusia setengah baya
mengantarkan dua cangkir kopi. Dua cangkir kopi
itu ditaruh di atas meja yang dihadapi Fendy dan
Martinus. Lalu perempuan itu kembali masuk ke
dalam rumah.
"Sudah lama kenal dengan cewek itu?"
"Sebulan."
"Masih baru dong." 228
Fendy mengangguk.
"Barang baru memang mengasyikkan. Sudah
pernah dicoba?"
"Apanya?"
"Businya. Tokcer nggak?"
Fendy tertawa.
"Mau tau aja lu?"
"Nggak lu kasi tahu, gua udah tahu kelakuan
lu. Bejaaaat!" ujar Martinus sembari tertawa
ngakak.
"Bagaimana kabar cewek lu?"
"Siapa?"
"Yuli"
"Sudah putus."
"Kenapa putus?"
"Gara-gara dia pindah kuliah ke Jogya."
"Kalau orang benar-benar sudah cinta, walau
pindah ke luar negeri sekalipun ya tetap cinta.
Apalagi cuma pindah ke Jogya. Berarti Yuli itu tidak
sepenuh hati mencintaimu." 229
"Mungkin dia terpengaruh oleh orang tua nya."
"Terpengaruh apa?"
"Di Jogya dia punya kenalan seorang dokter.
Sering berkunjung ke rumahnya. Setiap malam
Minggu apel. Lama-lama dia jadi lupa sama gua."
"Itulah resikonya kalau punya cewek pindah
ke kota lain. Apalagi lu punya saingan berat.
Dokter."
"Tapi gua sekarang sudah dapat pengganti

Istriku Adalah Ibuku Karya Fredy S di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nya kok."
"Syukurlah. Masih tetap cantik penggantinya?"
"Kalah sih kalau dibandingkan sama Yuli.
Sengaja aku pilih yang sederhana saja. Soalnya
kalau punya pacar cantik bikin kepala pusing. Di
hatiku isinya cuma cemburu melulu."
Fendy terkekeh. Lalu dia meneguk kopi yang
masih hangat itu. Begitu pula Martinus.
"Jam berapa cewek lu mau interlokal?"
Fendy melihat jarum jam tangannya.
"Jam sepuluh." 230
"Sekarang jam berapa?"
"Jam sepuluh lebih lima menit."
"Sudah lewat dong!"
"Biar aku tunggu sampai jam dua belas.
Barangkali dia ada kesibukan lain."
"Oya, siapa nama cewek lu?"
"Dewi."
"Ow, pasti orangnya seperti Dewi khayangan
cantiknya."
Fendy cuma senyum-senyum. Sementara
jantungnya berdebar-debar. Lamban sekali rasanya
waktu ini bergeser. Dan keresahan mulai meng
gerogoti hatinya, lantaran sudah lewat satu jam
Dewi belum juga interlokal.
Tiba-tiba telpon di ruang tamu berdering.
Martinus bergegas bangkit dan masuk ke ruang
tamu. Degup jantung Fendy makin kencang. Pasti
dia yang sedang interlokal. Ya, pasti dia.
Tapi Martinus memanggil adiknya. O, berarti
bukan Dewi. Dan Fendy menarik napas panjang.
Martinus duduk lagi di kursi bersebelahan dengan 231
Fendy. Matahari sudah memancarkan sinarnya
yang terik.
"Ternyata bukan yang kau tunggu," kata
Martinus.
Fendy cuma mendesah.
"Sepertinya penting sekali interlokal dari
cewekmu itu?"
"Begitulah. Karena dia janji mau datang ke
Jakarta."
"Oooo. Kalau dia jadi ke Jakarta, kenalin aku
dong."
"Pasti."
"Dia punya famili di sini?"
"Tidak."
"Jadi mau tinggal di mana?"
"Indekost. Dulu dia memang pernah kost di
Utan Kayu."
"Kapan?"
"Sebulan dia sudah tinggal di Jakarta. Di
tempat kostnya itu." 232
"Kalau begitu kalian sudah berbulan madu ya?"
Fendy tertawa.
Berdering lagi suara telpon. Martinus buruburu masuk ke ruang tamu.
"Inilah orang yang sedang ditunggu top star
kita." ujar Martinus sambil mengangkat gagang
telpon.
"Hallo?"
"Ingin bicara sama nyonya Lila ada?"
"Ada. Sebentar ya?"
Martinus meletakkan gagang telpon di meja.
Lalu dia memanggil ibunya. Nyonya Lila tergesagesa menghampiri telpon, sedangkan Martinus
kembali ke teras.
"Belum juga masuk interlokalnya." kata
Martinus sambil menghenyakkan pantatnya di
kursi.
Fendy melihat jarum jam tangannya lagi.
Sudah jam satu siang. Ah, kenapa Dewi belum juga
menelpon? Apakah dia mengalami hal yang tidak
diinginkan? Seperti apa yang dulu pernah dikatakan 233
sebelum berangkat? Atau barangkali dia sakit?
Pertanyaan itu memenuhi benaknya. Membuat
perasaannya jadi gelisah. Sementara pekerjaan
menunggu adalah pekerjaan yang paling menyiksa
dan menjemukan. Duduk tak enak, berdiripun
salah. Padahal pantatnya sudah pegal. Sudah linu
duduk menunggu selama lima jam.
"Barangkali Dewi cuma membohongimu?"
kata Martinus.
Serasa disembelih hati Fendy.
"Tidak mungkin. Dia tidak mungkin seburuk itu."
"Buktinya dia sampai sekarang belum
interlokal juga."
Fendy termenung sesaat. Timbul
keinginannya untuk minta keterangan pada Tika
atau Resti.
"Kalau begitu aku mau ke tempat kostnya
saja. Barangkali teman dekatnya yang ada di sana
bisa memberi sedikit banyak keterangan. Aku
khawatir terjadi apa-apa pada dirinya."
"Jadi tidak perlu ditunggu lagi interlokalnya?"
Fendy menggeleng lesu. 234
"Cuma kalau misalnya dia interlokal, beri
tahu kalau aku sudah menunggunya lebih dari lima
jam di sini." Fendy bangkit.
"Baik."
"Terima kasih, Martin. Sampai ketemu lagi."
"Daaa."
Fendy naik ke dalam mobil. Hatinya makin
rusuh. Rusuh yang bercampur dengan jengkel.
Benarkah Dewi sengaja mau mempermainkan aku? Dia yang dulu berjanji, tapi dia juga yang
tidak menepatinya. Lima jam cukup lama
menunggu. Lima jam cukup meletihkan hanya
untuk menunggu interlokal.
Sialan! umpat dalam hatinya sembari
meluncurkan mobilnya. Menerobos teriknya sinar
matahari yang memanggang bumi. Menyalip
beberapa mobil yang jalannya searah. Ingin rasanya
cepat sampai di tempat kost Dewi.
Setibanya di tempat kost, Fendy disambut
oleh Resti. Mereka duduk di kursi tamu. Rumah itu
nampak sepi karena penghuninya sedang ke luar. 235
Ada yang sedang bekerja. Ada yang sedang
berbelanja di super market.
"Bagaimana kabarmu, Resti? Jadi pulang ke
Surabaya?"
"Mungkin lusa aku akan pulang ke Surabaya."
"Maukah kau menolong aku?"
"Apa?"
"Beri tahu kabarnya Dewi, apa yang telah
terjadi pada dirinya. Karena dia telah berjanji mau
interlokal aku hari ini, ternyata interlokalnya yang
kutunggu tidak jua masuk."
Resti tersenyum. Senyum itu seperti
menyembunyikan sesuatu, sehingga Fendy jadi
curiga.
"Kenapa tersenyum, Res?"
"Dia bilang pulang ke Surabaya berapa hari?"
"Seminggu. Cuma mau menghadiri pesta
ulang tahun anaknya."
Resti menutup bibirnya dengan telapak
tangan. Berusaha menahan tawanya. 236
"Ada yang lucu?"
"Kau cuma dibohongi."
"Dibohongi? Ah, tidak mungkin."
"Yang ulang tahun ini bukan anaknya, melain
kan pacarnya. Malahan pesta ulang tahun itu
sekaligus pertunangannya dengan Agus."
Fendy terhenyak di tempat duduknya.
Seperti kambing congek yang cuma bisanya
termangu.
"Mas Fendy jangan terlalu berharap, nanti
akan mengalami rasa kecewa yang berat. Dewi
pergi ke Jakarta dan bekerja di night club cuma
pelariannya saja. Sama halnya menjalin hubungan
dengan mas Fendy."
Fendy menarik pantanya lebih ke depan.
Duduknya jadi di pinggir kursi itu. Dia ingin
mengetahui kehidupan Dewi. Ya, barangkali dari
Resti dia akan mengetahui latar belakang
kehidupan perempuan itu.
"Ceritakanlah kepadaku, apa yang kau
ketahui tentang Dewi. Aku mohon kepadamu, Resti.
Ceritakanlah," pinta lelaki itu berharap sekali. 237
Resti menarik napas panjang. Berat juga rasa
nya dia mau menceritakan kehidupan temannya itu.
"Bagaimana ya?" Resti nampak ragu-ragu.
"Tak perlu sungkan-sungkan. Sama halnya
kau menolongku kalau mau menceritakan tentang
Dewi. Ceritakanlah, Resti. Ayo." desak Fendy sudah
tak sabar lagi.
"Aku kenal Dewi semenjak di SMA. Tapi aku
tahu persis kehidupannya yang pahit. Setelah dia
lulus dari SMP menikah dengan Setiawan karena
sudah mengandung duluan. Namun cuma dua
tahun pernikahannya dengan Setiawan. Karena di
antara mereka tidak ada kecocokan pendapat. Yah,
bisa dimaklumi karena setelah Dewi melahirkan
anaknya, dia meneruskan sekolah di bangku SMA.
Begitu pula Setiawan. Mereka yang belum matang
menjalani hidup berumah tangga itu akhirnya
bercerai."
Fendy menyalakan sebatang rokok.
"Terus?"
"Terus dia terpikat dengan salah seorang laki
laki yang bernama David. Lelaki itu sudah punya
istri. Hidupnya kaya karena mendapat peninggalan 238
harta benda dari ayahnya. Entah berapa banyak dia
punya mobil tangki minyak. Pokoknya kaya deh.
Lalu antara Dewi daa David saling jatuh cinta. David
mengajak Dewi hidup berumah tangga. Namun
Dewi bersedia menikah, asalkan David mau
menceraikan istrinya. Cinta yang terlalu menggebu
memang kadang-kadang bisa menghancurkan diri
sendiri. Itu terbukti setelah David manceraikan
istrinya dan menikah dengan Dewi, hidupnya
mengalami ketimpangan. Cara hidup Dewi yang
suka berfoya-foya lambat laun menghabiskan
kekayaan David."
"Jadi Dewi sudah menjalani pernikahan yang
kedua kali?"
"Ya. Dua kali dia gagal karena hidupnya yang
suka bersenang-senang. Berfoya-foya. Dan yang
paling menyedihkan adalah nasib David. Setelah
lelaki itu jatuh miskin, diusir oleh orang tuanya.
Semua saudaranya tak mau melihatnya lagi hidup
bersama Dewi. Lalu David mengajak Dewi pindah ke
Karawang. Di sana mereka menumpang di rumah
tantenya David. Sebulan kemudian mereka dapat
mengontrak rumah yang sederhana setelah David
mendapat borongan membuat patung monumen. 239
David seorang seniman patung dan pemahat.
Karena pekerjaan David tidak dapat ditentukan
penghasilannya sebagai seniman, maka Dewi
membantu mencari nafkah. Dia bekerja di sebuah
pabrik tekstil."
Resti menghentikan pembicaraannya.
Menarik napas panjang.
Fendy juga menarik napas panjang. Tidak
menyangka kalau latar belakang kehidupan Dewi
begitu buruk.
"Dewi memang cantik. Itulah kelebihannya,
sehingga di manapun dia berada selalu disukai
lelaki. Sampai suatu ketika dia terkecoh hatinya
pada manager pabrik itu. Secara sembunyi
sembunyi dia berbuat serong dengan manager itu.
Aku sendiri heran, kenapa sifat Dewi selalu suka
bersenang-senang. Berfoya-foya. Mungkin itulah
kepuasan batin yang didapat. Dengan manager itu,
dia hidup bersenang-senang. Sampai akhirnya
diketahui oleh istri manager itu. David pun akhirnya
tahu. Percecokan tak dapat lagi dihindarkan. Dewi
akhirnya diberhentikan dari pekerjaan oleh
pimpinan karena istri manager itu mengadu. Dan 240
David pun tidak tinggal diam, dia mengusir Dewi
dari rumahnya."
"Dewi sudah dicerai oleh David?"
"Belum. Sampai sekarang Dewi belum secara
resmi diceraikan oleh lelaki itu."
"Darimana kau tahu?"
"Belum lama ini aku bersama Dewi ke rumah
David. Lelaki itu nampak begitu dendam dan benci
melihat kedatangan Dewi."
"Kalian ke sana untuk apa?"
"Dewi minta bercerai secara resmi dengan
David. Karena dia mau menikah lagi dengan Agus.
Tapi David memberi waktu seminggu lagi."
"Oooh, Tuhan." Fendy mengeluh.
"Terserah apa penilaian mas Fendy. Aku
menceritakan apa adanya."
"Kalau tahu begini, lebih baik aku mundur
secara baik-baik."
"Jangan terburu-buru mengambil keputusan
begitu, Mas." 241
"Karena selama ini dia mendustaiku." Fendy
nampak kesal.


Istriku Adalah Ibuku Karya Fredy S di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Yah, mungkin dia takut kehilangan mas
Fendy. Karena dia juga masih menyangsikan apakah
orang tua mas Agus sudah benar-benar
merestuinya. Selama Agus menjalin hubungan
dengan Dewi, kedua orang tua mas Agus belum
mengetahui status Dewi yang sebenarnya. Belum
tahu kalau Dewi seorang janda dan punya anak
satu."
Fendy jadi merenung. Hatinya seperti diiris-iris.
"Menurut saranku, jangan putuskan dulu
hubungan mas Fendy dengan Dewi. Kasihan dia,
Mas. Siapa tahu dia akan kembali lagi ke Jakarta
hanya untuk mas Fendy," kata Resti.
"Akan kupertimbangkan lagi. Tolonglah kirim
surat padaku setelah kau tahu apa yang terjadi pada
Dewi. Jadi aku tidak terlalu mengharapkan Dewi
lagi."
"Tentu."
Fendy bangkit. 242
"Aku pulang, Resti. Terima kasih atas
kesediaanmu menceritakan tentang Dewi." Fendy
melangkah ke pintu. Resti mengantarkan sampai di
teras.
"Sampai jumpa lagi, Mas."
"Salamku buat Dewi ya?" Resti mengangguk.
Pembohong! Penipu! rutuk di dalam hati
Fendy sambil meluncurkan mobilnya. Tak kusangka
kalau yang namanya Dewi itu cuma mau
mempermainkan aku! Mempermainkan aktor top
yang tidak sulit untuk mencari cewek yang cantik.
Tapi kenapa kenyataannya gampang dipermainkan? Cuma buat pelarian saja? Ah, orang kalau
sudah mabok cinta itu sering jadi bodoh. Gampang
dikibulin. Sialan! Fendy memukul stir mobil. Takkan
kukenal lagi orang yang namanya Dewi itu! Persetan
dengan dia! Persetaaaaan!
Sakit sekali hati ini. Itu yang dialami Fendy
setelah merasa dibohongi Dewi. Selama hidupnya
belum pernah dia mengalami hial itu. Dan cuma
perempuan yang namanya Dewi sampai hati
berbuat begitu. Membuat Fendy merasa paling sial 243
jadi lelaki. Kendati begitu, gejolak cinta masih ada di
dalam dada. Tidak berubah secuil pun.
Namun sepanjang hari dia jadi pemurung.
Sering melamun. Menyebabkan istrinya jadi resah.
Sejak lelaki itu pulang dari tempat kost Dewi dan
mendengar cerita Resti, selalu menjadi perhatian
istrinya. Sikapnya banyak benar berubah.
Sampai pada suatu malam, Yeti mendekati
suaminya yang sedang berbaring di atas tempat
tidur.
"Papa kelihatan sedih. Kenapa,Pa?" tanya
Yeti sambil mengusap-usap bahu suaminya.
Fendy menatap wajah Yeti. Wajah yang selalu
menyimpan keteduhan. Kesetiaan.
"Kemarin papa ke tempat kost Dewi," kata Fendy.
"Ketemu dengan Dewi?" Wajah Yeti berseri-seri.
"Tidak."
"Jadi ketemu siapa?"
"Resti."
"Dewi sudah kembali ke Jakarta lagi?" 244
Kedua mata Fendy jadi berkaca-kaca. Yeti jadi
terheran menatap kedua mata suaminya itu. Lebih
heran lagi manakala suaminya memeluknya.
"Mama ...." suara Fendy meiatap. Mendekap
erat tubuh istrinya.
"Kenapa, Pa?" tanya Yeti lunak. Seperti
seorang ibu yang bertanya kepada anaknya yang
dilanda kesedihan.
"Dewi akan melangsungkan pertunangan
dengan laki-laki lain."
"Darimana papa tahu hal itu?"
"Resti yang bercerita."
Perempuan itu membelai rambut suaminya
penuh kasih sayang.
"Papa jangan mudah percaya sama Resti.
Siapa tahu dia menaruh sentimen pribadi atau iri
hati terhadap Dewi. Itu bisa saja kan, Pa?"
Fendy melepaskan pelukannya di tubuh
perempuan itu. Lalu berbaring di pangkuan istrinya. Bermanja sekali seperti terhadap ibunya.
Sedang Yeti terus saja membelai rambut Fendy.
Layaknya perempuan itu sedang mengasihi 245
putranya yang sedang kehilangan mainannya.
Mainan yang paling dia sukai.
"Coba saja, kalau dulu papa mau berterus
terang sama mama, tak mungkin akan kehilangan
Dewi. Mama bisa mohon pengertiannya. Dan kalau
mama berbicara terus terang padanya, masak
sebagai wanita tidak sampai terketuk hatinya? Dia
pasti akan mau menerima kehadiran papa dalam
hidupnya," tutur Yeti dengan setulus hatinya. Bagai
seorang ibu yang ingin melamar kan anaknya pada
gadis yang dicintai.
Fendy tak bisa berkata apa-apa. Ditatap
wajah istrinya yang tertunduk menghadapnya.
Terlihat ada senyum di bibir perempuan itu.
Senyum yang menyejukan hati Fendy. Sorot
matanya begitu lunak dan penuh kesetiaan. Oh,
selama ini aku memang mendustainya. Tidak mau
berterus terang. Aku mengatakan kalau Dewi sudah
pulang ke Surabaya, ternyata aku dan Dewi masih
menjalin hubungan cinta di Jakarta. Terkutukkah
aku? Oh Tuhan, ampunilah dosa hamba yang
selama ini mendustai istriku yang begini mulianya
kata hati lelaki itu. 246
"Mama tahu kalau selama ini papa selalu
memikirkan Dewi. Jangan ragu-ragu, Pa. Mama
sebisa mungkin akan membantu papa supaya bisa
tercapai apa yang diinginkan papa."
"Mungkinkah papa belum terlambat, Ma?"
"Mama kira belum, Pa. Apakah papa sudah
memperoleh alamat rumah Dewi di Surabaya?"
"Belum."
"Kenapa papa kemarin tidak minta alamat
pada Resti?"
"Papa lupa," kata Fendy berdusta. Nyeri lagi
perasaannya setiap kali dia berdusta pada istrinya.
"Kalau sudah tahu alamatnya, sebenarnya
mama ingin mengirim surat padanya." "Jangan,"
desah Fendy.
"Kenapa jangan? Mama ikut sedih kalau
melihat papa selalu murung dan melamun. Mama
ingin sekali bisa membahagiakan hidup papa.
Karena mama sudah merasa tidak mampu lagi."
Hati lelaki itu terasa semakin diiris-iris dengan
sembilu mendengar ucapan istrinya. Maka
didekapnya perut perempuan itu, dan dibenamkan 247
mukanya di situ. Ingin rasanya dia berteriak. Ingin
rasanya dia menjerit. Kenapa istrinya yang berhati
mulia ini menderita penyakit kanker? Kenapa?
Padahal dalam hati kecilnya tak ingin ia mencari
perempuan lain dalam hidupnya. Selain Yeti yang
senantiasa setia di dalam suka dan duka.
"Mama percaya pada pilihan papa. Dewi
perempuan baik-baik dan bisa membahagiakan
hidup papa, dan bisa diajak menjalin persaudaraan
dengan mama. Karena itulah mama rela dan
mengizinkan papa menikah dengannya."
Oh, mama. Kau tidak tahu siapa sebenarnya
Dewi. Karena selama ini aku tidak pernah
menceritakan apa-apa kepadamu. Dan aku selalu
menceritakan yang baik-baiknya saja. Andaikan
mama tahu yang sebenarnya, mama akan
meragukan pilihan papa itu.
"Sudahlah, Ma. Sebaiknya kita lupakan saja Dewi."
Yeti tersenyum. Senyum itu seperti
mengetahui apa yang tersembunyi di dalam
perasaan suaminya. Tak mungkin suaminya dapat
melupakan perempuan itu. Namun dia tak ingin
menyakiti perasaan suaminya. 248
"Bagaimana kalau sore ini kita nonton, Pa?
Mungkin kesedihan papa bisa sedikit berkurang?"
ajak Yeti.
"Anak-anak bagaimana?"
"Kita ajak sekalian. Bertepatan ada film
komedi "Gepeng Membayar Kontan", jadi mereka
bisa ikut menonton. Mau ya, Pa?"
Fendy mengangguk.
"Papa cium dulu," rengek Fendy.
Yeti tersenyum senang. Lalu dia mencium pipi
suaminya penuh kasih sayang.
"Ininya," kata Fendy.
"Papa kok jadi manja begini sih?" balas Yeti
sambil mencubit lengan suaminya.
"Ayo, Ma."
Yeti segera melumat bibir suaminya. Fendy
membalas dengan isapan hangat. Lalu keduanya
jatuh berbaring di atas tempat tidur. Saling ber
ciuman. Cuma sampai pada batas ciuman saja.
Itupun sudah membahagiakan hidup Yeti. 249
Sore itu Fendy sedang bercanda dengan
kedua anaknya di taman dekat kolam renang. Yeti
mengawasi dari kejauhan. Dan sejak pulang dari
nonton film kemarin, Fendy jadi berubah ceria. Dia
membenci kemurungannya sekarang. Maka bila
kemurungan itu mau menggeluti hatinya, buruburu ia mengajak kedua anaknya bercanda. Dia
sudah berusaha agar bisa melupakan Dewi. Rasa
sakit di hatinya masih belum hilang. Sakit hati
karena dibohongi perempuan itu.
Tapi di saat Fendy sedang bercanda, ia
kedatangan Martinus. Lelaki itu diantar Yeti ke
taman.
"Waduuuh, lagi berhappy nih?" tegur
Martinus mendekati Fendy.
"Hallo sobat. Angin sore apa yang
membawamu ke mari?"
"Angin dari Surabaya," kata Martinus begitu
sudah dekat Fendy.
"Hush, jangan keras-keras. Bisa ketahuan bini
gua." sahut Fendy sambil menarik lengan Martinus.
Mereka duduk di kursi malas. Dino dan Ria 250
berhambur pergi mendekati ibunya. Lalu mereka
masuk ke dalam rumah.
"Bini lu belum tahu?"
"Sudah."
"He? Sudah tahu?"
"Ya. Dia pernah bertemu Dewi di tempat kostnya."
"Wah, berantakan dong?"
"Nggak. Malahan dia setuju kalau aku nikah
sama dia."
"Ada-ada saja kau ini. Mana ada seorang istri
mengizinkan suaminya nikah lagi sama perempuan
lain," kecam Martinus sembari terkekeh.
"Ini tidak mengada-ada. Sungguh, Martin."
"Apa dunia ini sudah mau kiamat?"
"Monyong lu ah'" gerutu Fendy. "Dikasi tahu
nggak percaya."
"Okey, okey. Terus kau sudah ketemu sama dia?"
"Belum." 251
"Jangan bohong," ledek Martinus sambil
menunjuk muka Fendy. Bibir lelaki itu cengar cengir.
Lucu juga mukanya. Membuat Fendy ingin tertawa.
"Lu bandel ya? Dikasi tahu nggak percaya."
"Soalnya kemarin dia telpon ke rumah. Aku
yang menerimanya. Wuaaah, suaranya lembut dan
merdu. Persis suara lin Parlinanya Bimbo."
Fendy terperangah.
"Darimana dia menelpon?"
"Di Jakarta."
"Bohong. Lu mau ngajak bercanda gua ya?"
"Ya ampuuun, monyong. Gua ini ngomong
sungguhan, nyong! Kalau lu kagak percaya,
sekarang juga kita ke sana."
Fendy terdiam. Dia menimbang-nimbang
perlukah dia ke sana? Sementara gejolak kerinduan
yang nyaris padam tiba-tiba jadi membara.
Melonjak-lonjak dalam dadanya.
"Bagaimana? Ayo kita buktikan?" tantang
Martinus. "Gua juga ikut penasaran nih. Ingin tahu
bagaimana sih cantiknya pujaan hatimu itu?" 252
"Okey, kita ke sana sekarang," ajak Fendy
karena sudah tak kuasa lagi membendung
kerinduannya.
Fendy masuk ke kamar untuk ganti pakaian.
Martinus bercanda dengan Dino dan Ria di ruang
tamu.
"Papa mau ke mana?" tanya Yeti
memperhatikan suaminya yang sedang berdandan
di depan kaca.
"Mau ke rumah teman sama Martinus. Ada
urusan pekerjaan."
"Tapi nanti malam pulang kan?"
"O, tentu." Fendy mencium pipi istrinya.
"Papa pergi, Ma."
Perempuan itu mengangguk. Mengiringi
suaminya sampai ke teras.
"Papa tidak bawa mobil sendiri?"
"Tidak. Enakan numpang mobilnya Martinus."


Istriku Adalah Ibuku Karya Fredy S di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Martinus cengegesan.
"Mari, Mbak." Martinus berpamitan. 253
"Mari, mari."
"Oom Tinus sering main ke mari ya?" kata
Dino.
"Beres!" sahut Martinus sudah berada di
dalam mobil.
Fendy melambaikan tangan ketika mobil
yang dikemudikan Martinus meluncur. Yeti dan
kedua anaknya membalas lambaian itu.
"Istrimu itu sudah cantik, anggun dan mempesona. Tapi lu masih saja mau cari perempuan
lain," kata Martinus ngeledek.
"Lu bisa ngomong begitu, tapi nanti kalau lu
sudah hidup berumah tangga kira-kira dua tahun, lu
bakal kayak gua. Ngerti? Mana ada sih orang yang
tidak bosan makan sayur bayam terus? Sesekali
boleh dong ganti makanan."
"Pintar, pintar. Otak lu sedari dulu memang
encer." Martinus tertawa.
Mobil yang mereka tumpangi meluncur di
jalan Utan Kayu.
"Itu tempat kostnya,"' kata Fendy sambil
menunjuk sebuah rumah. 254
Martinus menghentikan mobilnya di depan
rumah itu.
"Kau tunggu dulu di sini," lanjut Fendy seraya
membuka pintu mobil.
"Wah, takut gua rebut ya?"
"Bukan begitu, Nyong! Kalau dia memang
ada, baru gua suruh lu turun."
"Okey, Boss."
Dengan dada berdebar-debar, Fendy
memijakkan kakinya di halaman rumah itu. Bagai
tawon penghuni rumah itu berhambur ke luar
begitu melihat yang datang top star.
"Selamat malam," sapa Fendy ramah.
"Malam," sahut seorang perempuan di situ.
"Dewi ada?"
"O, Dewinya pergi."
"Ng... Tika ada?"
Belum sampai dipanggil, Tika sudah ke luar
dari kamarnya. 255
"Hay, mas Fendy." Tika menghampiri Fendy
yang masih berdiri di ambang pintu. Perempuanperempuan penghuni rumah itu menjauh dan
masuk ke kamarnya masing-masing.
"Dewi sudah datang dari Surabaya?" tanya Fendy.
"Sudah. Tapi sekarang dia sedang pergi ke luar."
Meledak kegembiraan di hati Fendy.
Ternyata ucapan Martinus tidak berbohong.
Membuat Fendy menjadi tersenyum ceria.
"Ke mana ya?"
"0, kurang tahu. Nanti saja kalau mau ketemu
di night club."
Fendy terdiam sesaat. Berdiri seperti patung.
Dewi masih tetap bekerja di night club? Kalau
begitu apa yang diceritakan Resti tidak benar. Kalau
dia memang benar-benar sudah bertunangan,
mana mungkin calon suaminya mengizinkan Dewi
pergi ke Jakarta lagi.
"Baik deh. Tolong beri tahu Dewi kalau nanti
malam aku akan menemuinya di night club."
Tika mengangguk. 256
"Yuk, Tika. Terima kasih ya," ucap Fendy
sambil melangkah pergi.
Martinus yang sejak tadi memperhatikan dari
dalam mobil, menyambut Fendy dengan senyuman.
Fendy duduk di sebelahnya.
"Bagaimana?" tanya Martinus.
"Dewi memang sudah datang. Tapi sekarang
dia sedang pergi."
"Benar kan? Lu kayaknya nggak percaya
banget ame omongan gua."
"Ya, ya, ya. Gua sekarang percaya dah."
Martinus meluncurkan mobilnya. "Ke mana kita
sekarang?"
"Nonton film. Di mana ada film bagus yang
diputar di gedung bioskop?"
"Jayakarta theatre."
"Okey kita ke sana."
"Eh, ngomong-ngomong kenapa tak kau
comot saja salah satu perempuan di tempat kost
itu?" 257
"Enak aja main comot. Emangnya mereka
barang comotan?"
"Cantik-cantik orangnya."
"Tapi masih kalah sama pilihan gua dong."
"Awas kalau lebih jelek dari mereka."
"Buktikan saja nanti."
"Nanti kita mau balik ke sana lagi?"
"Sudahlah, pokoknya kau nurut apa yang
kukatakan. Malam ini kita bersenang-senang."
Memang benar. Malam itu Martinus senang,
tapi juga bingung. Apa maunya lelaki ini? pikir
Martinus. Nonton film dua kali di gedung bioskop
yang berlainan. Pertama nonton film nasional,
kemudian nonton film barat. Ke luar dari gedung
bioskop sudah jam sembilan malam.
"Mau nonton lagi?" tantang Martinus sambil
tertawa.
"Capai. Kita menemui Dewi sekarang," ajak
Fendy setelah mereka ada di dalam mobil. "Di
tempat kost itu lagi?"
"Tidak." 258
Martinus meluncurkan mobilnya.
"Di mana?"
"Pokoknya ikuti saja petunjuk jaianku."
Martinus jadi seperti sopir pribadi yang baru
sehari tinggal di Jakarta. Setiap Fendy bilang belok,
maka dia membelokkan mobilnya. Sampai akhirnya
berhenti di depan hotel Gajah Mada
"He, mau ngapain di sini?" tanya Martinus
termangu-mangu.
"Ayo, turun. Jangan banyak tanya."
"Okey boss."
Mereka turun dari mobil.
"Pokoknya malam ini kita bersenangsenang." Fendy menarik lengan Martinus memasuki
hotel Gajah Mada. Mereka naik lift.
"Mau ke night club ya?"
"Senang kan kau ke night club?"
"Senang buanget."
"Makanya nurut saja ya?"
"Ya, pak guru." 259
"Sialan!"
Pintu lift terbuka. Fendy dan Martinus
berjalan menuju ke pintu night club.
"Katanya mau menemui Dewi kok malah ke
mari?" gumam Martinus.
"Tenang saja. Ayo masuk."
Mereka masuk ke ruang night club. Lalu terus
menuju ke ruang pamer di mana para hostes duduk
berjejer. Dari luar ruang kaca tersebut, Fendy
mengedarkan pandang. Mencari-cari Dewi. Dan
akhirnya pandangan lelaki itu singgah pada seorang
perempuan cantik. Di sebelahnya duduk Tika. Oh,
perempuan itu nampak agak kurus. Pipinya agak
cekung. Dan mata perempuan itu kelihatan begitu
murung.
Fendy segera memberi tahu petugas yang
melayani para tamu membooking hostes. Fendy
menginginkan Dewi. Petugas itu manggut-manggut
Lalu Fendy mendekati Martinus.
"Coba pilih mana yang kau sukai," kata
Fendy. 260
"Yang itu. Yang itu," sahut Martinus sambil
menunjuk seorang perempuan yang mengenakan
kemeja merah bergaris-garis putih. Rok bawahan
nya berwarna coklat kopi susu. Dan nampaknya
Martinus tak sabar lagi, karena takut dibooking
orang duluan. "Waduuh cantiknya nggak ketulungan, Fen. Cepat beri tahu petugas itu untuk
memanggilnya."
"Eiit, tunggu dulu. Jangan yang itu, yang
lainnya saja."
"Kenapa?"
"Itu sudah kupilih."
"Sialan kalah cepat," gerutu Martinus. "Baik
deh yang itu saja."
"Beri tahu sama petugas."
Martinus mendekati petugas itu. Diajaknya
petugas itu berbincang-bincang. Sedangkan Fendy
terus mengamati Dewi yang duduk di ruang kaca.
Hatinya sangat perih menyaksikan Dewi dipajang
seperti boneka cantik di etalase toko. Sekalipun
tidak sendiri, namun perasaan Fendy mengatakan
cuma Dewi seorang yang ada di situ. Ya, lantaran
yang diperhatikan cuma perempuan itu. Ya, 261
lantaran dia telah sekian lama menahan rindu. Dan
dia sangat mencintai perempuan itu.
Fendy terus mengamati Dewi dengan
perasaan perih. Hatinya sungguh tak rela melihat
Dewi dipajang di ruang kaca itu. Sementara itu
tanpa disadari oleh Fendy, ternyata di sekelilingnya
sudah berdiri penggemarnya. Baik itu para tamu
night club ataupun para hostes di situ. Martinus
segera mencolek lengan Fendy.
"Tunggu apa lagi?" tegur Martinus.
Fendy tersentak. Begitu dia menoleh,
beberapa penggemarnya menyapa. Fendy
membalas dengan ramah. Maka dia buru-buru
memberi kode petugas untuk memanggilkan Dewi.
Kemudian Dewi berdiri. Seorang hostes
lainnya ikut berdiri begitu namanya dipanggil.
Kedua perempuan itu berjalan ke luar dari ruang
kaca itu melalui pintu. Sementara Fendy dan
Martinus sudah berdiri menyambutnya.
"Papa?" sapa Dewi nyaris menjerit begitu
melihat Fendy yang membookingnya. Lalu dia
memukuli bahu lelaki itu sambil berjalan ke ruang 262
night club. Pukulan tangannya tidak terlalu keras,
tapi gemas dan gundah perasaannya.
"Kenapa papa datang ke mari? Kenapa?"
Fendy tidak menghiraukan lagi Martinus. Dia
menggandeng lengan Dewi menuju ke tempat
duduk di sudut ruang. Lalu mereka duduk
berdampingan. Musik yang dimainkan group band
mengiringi penyanyi wanita. Lagunya lembut sekali.
"Kapan kau tiba di Jakarta?" tanya Fendy
sambil memperhatikan lengan Dewi yang kelihatan
kurus.
"Sudah seminggu yang lalu."
"Kenapa kau tidak jadi interlokal aku?"
"Pada saat itu aku masih dirawat di rumah sakit."
"Kau tidak berbohong?"
Perempuan itu menggelengkan kepalanya.
"Mas Fendy sudah tahu keadaan Dewi yang
sebenarnya bukan?" suara perempuan itu parau.
Fendy menarik napas panjang. Dipegangnya
jari tangan Dewi yang berubah kurus itu. Lalu
diremas-remasnya. 263
"Biarlah Dewi akan menempuh jalan hidup
sendiri. Karena Dewi merasa tidak pantas untuk
mendampingi mas Fendy." Setitik air mata jatuh
perlahan membasahi pipi perempuan itu. Pedih
sekali hatinya, bila teringat kejadian yang dialami.
Tiga hari dirawat di rumah sakit karena
menghabiskan sebotol wishky. Tak seorang pun dari
keluarganya yang sudi menjenguknya. Selain Agus
dan David.
"Dewi, betapa buruknya masa lalumu bukan
menjadi penghalang bagiku. Tapi selama kau tinggal
di Jakarta dan bekerja di sini, hati kecilku tidak rela.
Soal kau mau memutuskan hubungan kita, aku tidak
bisa memaksamu. Dulu kita pertama kenal baik, dan
kalau hubungan kita putus harus secara baik-baik
pula," kata Fendy lunak.
Jari tangan perempuan itu gemetar. Fendy
menggenggamnya erat agar jari tangan itu tidak
gemetar. Wajah perempuan itu tertunduk
menyembunyikan tangisnya.
"Benarkah kau menghendaki hubungan kita
sampai di sini?" 264
Dewi tidak menjawab. Dia menyeka air
matanya dengan sapu tangan.
"Jawablah, Dewi?"
"Terserah pada mas Fendy," desah
perempuan itu.
"Kau banyak berubah sekarang."
"Dewi tidak merasa berubah. Dewi tetap
Dewi yang dulu."
"Begitupun mas Fendy. Mas Fendy masih
seperti yang dulu, menunggumu sampai kau
kembali ke dalam pelukanku."
Dewi mengangkat kepalanya yang sejak tadi
tertunduk. Lalu dipandangnya wajah Fendy yang
terkena cahaya remang-remang. Wajah yang selalu
dirindukan selama dia berpisah dengan lelaki itu.
Biarkanlah aku ietap memiliki semua cinta


Istriku Adalah Ibuku Karya Fredy S di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang ada di hatimu, karena akupun sangat
mencintaimu. Apa pun akan kuberikan demi cintaku
padamu, meskipun ada bimbang terukir di hatiku.
"Tidak adakah perempuan lain yang dapat
menggantikan aku?" 265
Fendy menggeleng. Lalu memeluk bahu
perempuan itu.
"Selama kau masih sendiri, aku akan setia
menantimu sampai kau bersedia mendampingi
hidupku."
Dewi menyandarkan kepalanya di dada lelaki
itu. Dia tidak perduli pada orang lain yang
mengenalnya. Karena selama dia menjadi hostes di
sini, belum pernah berbuat semesra ini terhadap
tamunya. Bahkan dibiarkan saja jemari tangan
Fendy membelai rambutnya. Senandungkanlah
nada-nada cinta untuk diriku. Senandungkanlah.
Biarkanlah aku terlena kekasih. Biarkanlah aku
terbuai. Agar kerinduan di hatiku dapat menyatu
dalam dirimu. Keinginan itu cuma bergejolak dalam
dada Dewi tanpa bisa terucapkan.
Sedang Fendy merasakan lain. Malam ini
Dewi terlalu lembut dan pasrah. Seperti perempuan
yang lemah menghadapi badai kehidupan. Dan
dengan mengenakan pakaian yang sederhana,
seperti ibu guru yang lugu. Tidak pantas untuk
menjalani kehidupan malam di night club. Namun
ada kesan memelas dari kepasrahannya itu. 266
"Dewi belum jadi milik siapa-siapa kan?"
tanya Fendy sembari mengusap genangan air mata
di sudut kelopak mata perempuan itu.
Dewi menggeleng.
"Sungguh?"
Perempuan itu mengangguk.
"Masih cintakah kau padaku?"
"Dewi tak pernah berubah."
Fendy mencium jemari tangan perempuan itu.
"Malam ini tiada kesangsian yang tersisa lagi.
Tetaplah di sampingku walau apa pun yang akan
terjadi."
Dewi diam terkatup. Namun sepasang
matanya berbinar-binar kepasrahan. Martinus
datang mengusik kemesraan mereka.
"Fendy, aku mau bicara sebentar."
Fendy meninggalkan Dewi duduk sendiri.
Martinus mengajak Fendy duduk di kursi yang
kosong.
"Katanya kau mau menemui Dewi, jadi nggak?" 267
"Tenang dulu."
"Aku cuma mengingatkan."
"Okey, kita duduk bersama-sama. Ajak
pasanganmu ke mari."
Martinus menghampiri Siska. Sedang Fendy
menghampiri Dewi. Kemudian mereka duduk
berempat mengelilingi meja.
"Kenalkan, ini yang namanya Dewi." Fendy
memperkenalkan Dewi pada Martinus.
Sambil bersalaman Martinus termangu.
Lantas dia bertanya pada Fendy lirih.
"Diakah yang kau maksudkan itu?"
"Iya."
Martinus manggut-manggut.
"Memang yahut pilihanmu. Kalau kau sudah
bosan boleh over sama aku," kata Martinus di
telinga Fendy.
"Sompret lu!" 268
Keduanya tertawa. Tapi suara tawa mereka
masih kalah kerasnya dengan irama dan nyanyian
disco.
"Kau mau sampai pagi di sini?"
"Terserah."
"Tapi aku tidak bawa kunci rumah."
"Memangnya kenapa?"
"Mami gua orangnya cerewet dan marah
melulu kalau aku pulang larut malam."
"Wah, bisa jadi wadam kalau nurutin mami
lu," Fendy tertawa lagi.
"Lain kali dah kita kemari lagi. Aku bisa bawa
kunci serep."
"Okey, okey."
Fendy beralih memeluk bahu Dewi. Sebelum
meninggalkan tempat itu dia habiskan dulu
kerinduan di hatinya.
"Apa yang dibicarakan sama temanmu. Pa?"
tanya Dewi sambil mencium pipi Fendy. 269
"Dia takut kena marah maminya kalau pulang
larut malam." Fendy melirik Martinus yang tengah
bermesraan dengan Siska.
"Papa mau pulang sekarang?"
Fendy mengangguk berat.
"Mama tidak keberatan kalau papa pulang
sekarang?"
"Tidak. Malah mama minta agar papa jangan
datang lagi ke mari ya? Kalau mau menemui mama
di tempat kost saja."
"Besok malam papa akan menjemputmu.
Kita pergi ya?"
Dewi mengangguk senang. Lalu mereka
berciuman sesaat.
"Papa pulang, Ma."
"Sampai ketemu besok, Pa."
Fendy bangkit sambil menepuk pundak
Martinus.
"Ayo pulang. Nanti kau dimarahi mamimu,"
ledek Fendy. 270
Martinus tersentak. Buru-buru dia bangkit.
Sepuluh lembar uang sejumlah seratus ribu rupiah
ditinggalkan di atas meja oleh Fendy. Lantas kedua
lelaki itu pergi. Dewi segera mengambil uang itu dan
dibayarkan pada pelayan night club.
Jalanan sudah sepi. Mobil yang dikemudikan
Martinus meluncur cepat.
"Sejak dulu kau memang pintar cari
perempuan," kata Martinus sambil memegang
kemudi.
"Menurut penilaianmu, dia bagaimana?"
"Kontras sekali dengan istrimu."
"Maksudmu?"
"Sory nih ya? Aku sudah bilang sory duluan.
Kalau diumpamakan binatang. Dewi itu kuda binal,
sedangkan istrimu kucing anggora."
"Kenapa bisa begitu?"
"Bisa dilihat dari mukanya. Terutama mata.
Mata Dewi yang sayu dan erotis mencerminkan
besar sex appeal-nya. Untuk menaklukkannya harus
dibutuhkan ketangguhan penunggang kuda yang
lihay. Kalau kau tidak bisa seperti itu, dia bakal jadi 271
liar. Sedang istrimu cuma ala kadarnya. Diberi akan
diterima, kalau tidak ya diam saja. Perasaannya
sensitip sekali. Itulah yang kumaksudkan dengan
kontras tadi. Jadi yang lemah kau miliki, yang
binalpun bakal kau miliki. Dasar kau itu orangnya
serakah !"
Meledak tawa Fendy. Mobil terus meluncur
di kesunyian malam. Martinus terlebih dulu
mengantar Fendy, barulah dia menuju pulang ke
rumahnya.
*** Rinai gerimis mewarnai senja yang disambut
datangnya malam. Bumi yang selama ini mengalami
kemarau panjang nampak sejuk. Sesejuk hati Fendy
melihat senyum Dewi yang duduk di sampingnya.
Dan sejak mobil yang dikemudikan lelaki itu
meninggalkan jalan Utan Kayu, tak henti-henti Dewi
memandangnya. Membuat Fendy merasa kikuk
dipandang begitu.
"Ada apa, Ma?"
"Mama ingin memandang wajah papa
sepuas-puasnya." 272
Fendy menoleh ke arah Dewi sembari
tersenyum. Cuma sesaat, lalu kembali memandang
ke jalan lurus yang membujur di depannya. Dua kilo
meter lagi akan memasuki jalan tol Jagorawi.
"Memangnya kita akan berpisah lagi?"
"Ah, tidak." Dewi mencium pipi lelaki itu.
"Mama rindu sekali pada papa. Apakah papa juga
rindu sama mama?"
"Kalau saja hati papa bisa berbicara, apa pun
akan diberikan. Cinta dan kerinduan."
Dewi merasa kenangan yang hampir padam
jadi terang bagai bintang-bintang di langit. Kendati
malam itu tidak nampak satupun bintang di langit.
Rinai gerimis menyerupai tirai tipis di depannya.
Mobil yang dikemudikan lelaki yang duduk di
samping Dewi terus menerobosnya. Akankah begitu
perjalanan hidupku? Menerobos perintang untuk
menggapai cita-cita? Cita-cita ingin hidup bersama
dengan Fendy. Lantas bagaimana dengan Agus?
Lelaki itu sudah menunjukkan sikap keras terhadap
orang tuanya. Menentang prinsip orang tuanya dan
cenderung ingin menikah dengannya. Apakah
pengorbanan dan perjuangan lelaki itu akan disia- 273
siakan? Lahtas bagaimana dengan mbak Yeti?
Sampai hatikah dia merebut lelaki itu dari
pelukannya? Tegakah dia untuk memiliki lelaki itu
dari seorang perempuan yang menderita penyakit
kanker? Dewi cuma bisa mengeluh karena tidak bisa
mengambil keputusan. Perasaannya semakin dilibat
benang-benang kebimbangan.
"Bagaimana kabarnya mbak Yeti?"
"Baik-baik saja. Dia benar-benar ingin ketemu
mama."
"Jangan. Belum saatnya aku bertemu mbak Yeti."
"Kenapa?"
"Jangan paksa aku untuk mengatakan
sekarang. Biarkan hubungan kita berlangsung
secara diam-diam. Biarkan kureguk semua
manisnya kemesraan dan belaian papa. Karena aku
masih belum bisa menentukan hari depan."
"Apakah hati mama bercabang dua?"
Dewi cuma mendesah. Seperti ada beban
berat yang menindih dadanya.
"Papa sangsi pada aku?" 274
"Ya. Karena selama ini mama tidak mau ber
terus terang pada papa. Papa tahu dari sorot mata
mama yang senantiasa gelisah. Bimbang. Bukan
cuma itu saja. Sikap mama yang papa nilai
terlampau senang menimbulkan keraguan di hati
papa. Sepertinya, mama cuma mau mereguk semua
kenangan manis bersama papa, setelah itu akan
berlalu." ujar Fendy dalam keluh.
"Kalau papa menilai mama begitu, baiklah.
Baiklah, mama akan berubah menjadi pemurung
dan tak acuh," kata Dewi sambil menyandarkan
tubuhnya di jok. Kegembiraan perempuan itu jadi
hilang.
Fendy memperhatikan Dewi sesaat.
"Jangan begitu, Ma. Bukan maksud papa
melarangmu selalu gembira dan ceria."
"Habis apa kemauan papa?"
"Kepastian dari mama. Itu saja yang kupinta
dari mama."
"Jangan desak mama, Pa. Jangan desak
mama untuk memberikan kepastian sekarang.
Banyak hal-hal yang tidak papa ketahui di dalam 275
perasaan mama," kata perempuan itu sepertinya
ingin menangis.
Fendy jadi iba. Lalu tangannya yang sebelah
kiri membelai rambut perempuan itu. Memang
dirasa kurang mesra lantaran konsentrasinya harus
terbagi antara perempuan itu dengan jalanan yang
ditempuh. Hujan turun semakin deras. Maka cuma
sebentar dia membelai rambut perempuan itu.
"Maafkanlah papa, Ma. Semua itu
disebabkan papa bersungguh-sungguh padamu.
Juga jangan kecewakan perasaan Yeti yang selama
ini ikut memikirkan nasibmu."
Rasanya Dewi ingin menjerit. Bagaimana
tidak? Saat terakhir dia hendak meninggalkan
Surabaya, Agus mengantarnya ke stasiun kereta api.
Lelaki itu berharap agar Dewi selekasnya dapat
menyelesaikan urusannya dengan David. Agus
menginginkan Dewi secara resmi bercerai dengan
lelaki itu. Dan kalau urusannya itu telah selesai,
Agus menghendaki Dewi secepatnya pulang ke
Surabaya. Agus telah mengambil keputusan untuk
melamarnya. 276
Padahal di sini. Dewi telah menemukan
pelabuhan hati. Ada dua orang manusia yang begitu
memperhatikan nasibnya. Fendy dan istrinya.
Akankah dia mengecewakan kedua manusia itu?
Dan kalau dia menyanggupi untuk hidup bersama
dengan Fendy, mungkinkah dia kuat menjalani
hidup dimadu? Kebimbangan itulah yang
menyebabkan Dewi jadi kalut. Jadi serba salah.
Semuanya terasa menghimpit hidupnya.
Mobil itu telah sampai di sebuah villa. Di
tempat peristirahatan itu mereka menginap.
"Apakah selamanya kita akan begini?"
gumam Fendy seusai makan malam di villa itu.


Istriku Adalah Ibuku Karya Fredy S di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mereka duduk di ruang tengah sambil menikmati
acara televisi.
"Mama juga tidak ingin seterusnya begini, Pa."
"Kalau begitu tunggu apa lagi?"
"Bulan Desember mama akan berikan
kepastian pada papa." kata Dewi nekad.
"Berarti tiga bulan lagi papa akan menunggu
keputusanmu."
"Ya. tiga bulan." 277
"Lama juga ya?"
"Hal itu memerlukan pemikiran yang masak,
Pa. Banyak perintang yang rasanya akan mama
hadapi. Mungkin dari mbak Yeti atau dari pihak
keluargaku sendiri. Prosesnya tidak bisa terlalu
cepat."
"Aku mengerti." Fendy mencium pipi Dewi.
Lalu mereka masuk ke dalam kamar.
Malam terus merangkak. Hujan turun rintikrintik. Dingin sekali udara di Puncak. Namun
kehangatan membalut kedua insan yang bergumul
di bawah selimut.
Alangkah manisnya dosa. Alangkah pahitnya
karma. Itulah kehidupan yang selama ini dialami
oleh Dewi. Di antara dua hal itu selalu menjerat
hidupnya. Seperti melengkapi sisa-sisa hidup yang
dilalui. Dan untuk kedua kalinya dia menjalin
hubungan cinta dengan seorang lelaki yang sudah
punya istri.
Di tempat kost tambah lagi penghuni baru.
Namanya Irena. Dia belum lama bekerja di night
club. Wajah cukup manis seperti ciri khas orang
Jogya. Sikap pembawaannya agak centil tapi ramah. 278
Baru dua hari menjadi penghuni di situ sudah akrab
dengan penghuni lainnya. Lebih-lebih terhadap
Dewi. Tapi dengan Tika agak kurang sehati.
Lantaran Tika dinilai terlalu egois.
Dan selama Fendy tidak menjemput Dewi,
perasaan perempuan itu jadi sepi. Setiap hari dia
menemani Irena pergi ke mana saja. Bila ada teman
lelaki Irena datang dan mengajaknya pergi, Dewi tak
pernah menolak. Semua itu untuk menghibur
hatinya yang sepi. Yang resah, lantaran Fendy sudah
seminggu tak datang menjemputnya.
Sakitkah dia? Atau barangkali keinginannya
sudah berubah? Berubah ingin menjauhi aku.
Malam-malam seperti ini biasanya kau disisiku. Tapi
mengapa engkau tak datang menjemputku? Terasa
sunyi dan sepi hidupku. Kau biarkan diriku sendiri di
saat malam ini aku tidak bekerja. Tidakkah kau
sadari betapa rindunya hati ini?
Seharusnya kau ada di sisiku di saat malam
seperti ini. Seharusnya kau menemaniku di saat
rembulan dan bintang berseri. Mengapa kau sampai
hati tak pernah menjengukku. Padahal aku datang
ke Jakarta hanya untukmu. Sekarang hatiku jadi
resah menanggung rindu. Oh mas Fendy, haruskah 279
begini nasibku sekarang? Setiap hari aku menanti
mu, namun kau tak kunjung datang.
Hari-hari yang dilalui makin dirasa mencekik.
Lalu dia mencari pelarian. Tika yang punya banyak
kenalan pria sering mengajak Dewi pergi. Kadangkadang nongkrong sampai pagi di restauran hotel
Gajah Mada sehabis bekerja. Atau menemani
Batara yang kini seperti mendapat pengharapan
baru dari Dewi.
Sampai pada suatu siang dia mendapat
interlokal dari ayahnya. Aneh, pikirnya. Sejak dia
tinggal di Jakarta belum pernah sekalipun ayahnya
ingin mengajak bicara melalui telpon. Ada apa ini?
Berdebar-debar hati Dewi ketika mendengar suara
ayahnya.
"Dewi, untuk kali ini kau harus menurut sama
ayah. Sebagai orang tua tidak ingin melihat anaknya
hidup selalu menderita. Kau harus pulang secepatnya ke Surabaya," kata ayahnya di pesawat telpon
itu. "Tapi Dewi masih ingin tinggal di Jakarta,
Ayah. Lagi pula Dewi untuk apa kembali ke
Surabaya?" 280
"Untuk menikah dengan Agus."
"Oh ayah, orang tua Agus tidak mau
menerima Dewi sebagai calon menantunya," kata
Dewi serasa ingin menjerit. Memuntahkan seluruh
kepedihan hatinya.
"Siapa bilang begitu hah?! Semalam kedua
orang tua Agus telah datang ke rumah kita. Mereka
sudah mengutarakan keinginannya untuk melamarmu."
Dewi jadi terperangah.
"Ayah tidak berdusta?"
"Kapan aku pernah berdusta sama kau?
Pulanglah, Dewi. Pulanglah. Apa yang sebenarnya
kau cari di Jakarta, Nak?"
Pertanyaan ayahnya bagai sembilu yang
menggores hatinya. Pedih sekali. Apa yang
sebenarnya kau cari di Jakarta, Dewi? Pertanyaan
itu berputaran dalam benaknya. Menyebabkan
kelopak matanya jadi hangat. Pandangan matanya
jadi kabur karena butiran air mata mengambang di
situ. 281
"Ini merupakan kesempatanmu untuk
memperbaiki diri, Nak. Untuk membina rumah
tangga yang harmonis dan bahagia. Ayah tidak ingin
kau mencontoh dan mengalami kehidupan seperti
aku. Ayah ikut senang karena masih ada lelaki
sebaik Agus ingin menikah denganmu. Kasihanilah
Rita anakmu. Dia sudah terlalu sayang pada Agus.
Dia sudah menganggap Agus sebagai ayahnya
sendiri. Dan ayah yakin kalau Agus akan
menyayangi Rita setulus hatinya."
Setitik air mata jatuh membasahi pipi
perempuan itu. Ada perasaan haru dan bahagia
bergumul di dalam dadanya.
"Ayah dan ibumu mengharapkan sekali kau
pulang. Dan selesaikanlah urusanmu dengan David.
Setelah itu kau secepatnya pulang."
Dewi menangis terisak-isak.
"Dewi....Dewi! Bagaimana Dewi?" suara
ayahnya berteriak.
"Ba... baik ayah. Dewi akan pulang," kata
Dewi dengan suara serak.
"Kapan kau mau pulang?" 282
"Kalau tidak ada halangan minggu depan."
"Baik. Interlokal dulu kalau mau pulang."
Dewi meletakkan gagang telpon ke induknya
dengan tangan gemetar. Lalu dia berlari ke kamar.
Membanting dirinya di atas tempat tidur. Irena jadi
heran melihat kelakuan Dewi saat itu.
"Ada apa, Dewi?" tanya Irena.
"Minggu depan aku harus pulang ke
Surabaya." jawab Dewi sembari terisak.
"Kenapa?"
"Aku harus menerima kenyataan."
"Kenyataan apa?"
"Menikah."
"Itu baik, Dewi. Dari pada hidupmu cuma
sebagai hostes di night club. Misalnya aku yang jadi
kau, lebih baik menikah."
Dewi membalikkan badannya. Mukanya lurus
ke depan, matanya memandang langit-langit
kamar. Kedua mata itu dibasahi butiran air bening. 283
"Aku tak bisa meninggalkan mas Fendy,"
keluhnya dalam ratap.
"Aku tahu perasaanmu. Lalu apakah kau tidak
mencintai calon suamimu itu?"
"Dulu aku memang mencintainya. Tapi
setelah aku menjalin hubungan dengan mas Fendy
perasaanku padanya jadi luntur."
"Aku memang tidak bisa menyalahkan orang
yang sedang jatuh cinta. Karena sampai sekarangpun aku mengalami hal sama denganmu. Tapi aku
punya maksud lain. Bukan cinta yang kukejar,
melainkan uang dan harta benda. Aku menjalin
hubungan dengan Rudy yang sudah beristri itu,
cuma untuk itu. Karena aku tahu, tak mungkin
istrinya mengizinkan kami menikah."
Dewi menyeka air matanya sembari duduk.
Di dalam kamar itu cuma ada mereka berdua. Oan
penghuni di rumah itu sedang sibuk di luar rumah.
Suasananya jadi hening dan sepi.
"Tapi sifat istri mas Fendy lain. Dia malah
merelakan suaminya menikah denganku," kata
Dewi yang suaranya serak parau. 284
"Sebening-beningnya air sirih, masih terasa
pahit juga. Jadi serela apa pun, sebagai seorang istri
akan sakit juga hatinya. Suami bukan semacam
barang yang tidak berharga, lalu dengan begitu saja
diserahkan kepada perempuan lain. Suami adalah
belahan jiwa dan pengayoman bagi seorang istri.
Mana mungkin istri mas Fendy akan serela itu?
Cukup sebagai gambaran adalah diri kita sendiri.
Relakah suami kita dimiliki perempuan lain?"
Dewi jadi merenungi ucapan Irena.
Perempuan itu juga senasib dengan Dewi. Sudah
jadi janda dan beranak satu.
"Aku tidak mempengaruhi, Dewi. Aku cuma
memberi gambaran yang logis. Dan tanyakanlah
pada dirimu, dapatkah kau menjalani hidup di
madu?"
Dewi menggeleng lemah. Dia jadi teringat
masa lalu ketika menjalani hidup berumah tangga
dengan David. Sakit hatinya kalau bekas istri David
seringkah datang. Padahal mereka sudah bercerai.
Apalagi dia mengalami hidup dimadu. Ah, alangkah
menyakitkan. 285
"Tapi aku sangat mencintai mas Fendy," kata
Dewi di sela tangisnya yang makin menjadi. Berat
rasa hatinya untuk berpisah dengan lelaki itu.
"Kalau kau berat meninggalkannya, ya jalani
saja hidup bersamanya."
"Tapi aku tak mau dimadu." suara Dewi
nyaris dalam jerit.
"Berarti Fendy harus menceraikan istrinya?"
"Tidak. Jangan ..."
"Lalu bagaimana?"
"Aku tak tahu, aku tak tahu ..." tangis Dewi
makin berkepanjangan.
Irena menjadi iba. Lalu bahu Dewi dieluselusnya.
"Pikirkanlah dengan tenang dan masakmasak Dewi. Barangkali apa yang kau alami
sekarang adalah ujian hidup bagimu. Sekali ini kau
salah melangkah, hidupmu bisa tak karuan.
Penilaian setiap lelaki akan buruk, apabila untuk
yang ketiga kalinya kau gagal membina hidup
rumah tangga." 286
"Rena, tolonglah aku. Tolonglah aku
memecahkan persoalan ini. Tolonglah," ratap Dewi
yang kemudian memeluk tubuh sahabatnya itu.
Irena jadi ikut menitikkan air matanya.
"Cinta tak selamanya bersatu, Dewi. Dan
dalam hidup ini tidak hanya cukup dengan cinta.
Mungkin kita telah merasakan akibat membina
rumah tangga lantaran cinta yang menggebu-gebu.
Tanpa memikirkan faktor lainnya yang menunjang
kebahagiaan rumah tangga. Fendy memang patut
untuk dicintai, tapi tidak patut untuk menjadi
pendamping hidupmu. Karena dia sudah beristri
dan beranak dua. Tegakah kau menghancurkan
kebahagiaan mereka?"
"Lantas apa yang harus aku lakukan, Rena?"
"Pulanglah ke Surabaya."
Dewi tak berkata.
Air matanya mengalir deras. 287
EMPAT
KEADAAN di rumah kost yang dihuni Dewi
masih seperti dulu jua. Ditinggal selama dua
minggu, tak ada perobahan. Kalau siang seperti ini
sepi sekali. Tapi kalau malam, wah, ramainya minta
ampun. Seluruh penghuni di setiap kamar ada yang
bercanda, ada yang berjalan mondar-mandir.
Belum lagi kalau cewek-cewek di situ kedatangan
tamunya. Wah, wah, kayak di tempat
penampungan transmigrasi.
Barangkali cuma Fendy yang berubah.
Hatinya dilanda risau. Sementara kerinduan
meroyak-royak di dalam dadanya. Dia merasa tak
berpamitan pada Dewi. Tidak meninggalkan pesan
apa-apa buat perempuan itu. Sehingga patut kalau
dia dikira cuma mau mempermainkan. Kalau lagi
butuh baru nongol. Wah, padahal hati Fendy
tidaklah begitu. Dia datang juga mau membawa
kabar baik. 288
Baru saja kaki Fendy menginjak lantai teras,
Tika sudah menyambutnya.
"Hai, mas Fendy. Tidak pernah kelihatan ke
mana aja?" sapa Tika dengan suaranya yang riang.
"Lagi sibuk. Dewi ada?"
"Ada." Lalu Tika berteriak memanggil Dewi.
Dewi ke luar dari kamar diikuti Irena. Tika


Istriku Adalah Ibuku Karya Fredy S di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masuk ke kamarnya.
"Hai," sapa Dewi sembari tersenyum cerah.
Irena cuma melihat Fendy sepintas lalu masuk
kamar lagi.
"Hai juga."
Keduanya duduk di kursi tamu.
"Ke mana saja tidak pernah kelihatan?" tanya
Dewi.
"Sibuk shooting di Lampung."
"Kok tidak memberi tahu Dewi?"
"Berangkatnya buru-buru. Mama baik-baik kan?"
Dewi mengangguk. Tapi kemudian
membuang pandang cepat-cepat. Mata lelaki itu 289
tengah mencari-cari kegelisahan di matanya.
Membuat Dewi takut bisa ditebak. Dan hatinya
pada saat itu gundah gulana.
"Papa ada kabar baik untukmu."
Kelopak mata perempuan itu terangkat.
"Kabar apa?"
"Papa sudah mendapatkan pekerjaan yang
cocok untukmu."
Berdesir jantung Dewi.
"Pekerjaan apa?"
"Di sebuah kantor penerbitan majalah.
Mama akan tempatkan pada bagian tata usaha.
Mau kan?"
Ada kebimbangan di mata perempuan itu.
Dan Fendy mengetahui hal itu.
"Perasaan papa selama ini tidak tentram,
kalau mama masih terus bekerja di night club.
Kebetulan papa punya seorang sahabat yang
menjadi pimpinan penerbitan majalah. Lalu papa
minta bantuannya agar menerima mama bekerja di
sana. Ternyata permintaan papa disetujuinya." 290
"Apa persyaratannya?"
"Tidak ada. Yaah, paling-paling mama cuma
ditanya mengenai pengalamannya. Tapi aku sudah
bilang, kalau mama adik kandung Yeti."
Perempuan itu menarik napas berat. Seberat
hatinya untuk bersedia bekerja di kantor majalah
itu. Bukan lantaran dia tak mampu, melainkan dia
harus memenuhi anjuran ayahnya. Dia harus pulang
ke Surabaya. Dia harus menikah dengan Agus. Oh,
Tuhan. Sebenarnya hati ini tak ingin mengecewakan
mas Fendy. Lelaki itu terlalu baik padaku. Tapi nasib
yang menghendaki lain.
"Bagaimana, Ma?"
Dewi tergagap.
"Berilah mama waktu untuk berpikir."
"Seminggu lagi ya?"
Perempuan itu mengangguk ragu-ragu.
Telpon di ruang tengah berdering. Membuat
jantung Dewi berdebar-debar. Lalu terdengar suara
Tika menerima telpon itu.
"Dewi ada telpon untukmu," teriak Tika. 291
"Sebentar ya. Mas."
"Silakan."
Dewi bergegas menghampiri Tika.
"Darimana?"
"Agus."
"Aduh," Dewi jadi gelisah. Bingung. "Tika,
tolong temani dulu mas Fendy ngobrol."
"Aaah," desah Tika sambil melangkah ke
ruang tamu. Lalu dia menghenyakkan pantatnya di
kursi yang bersebelahan dengan Fendy.
"Ada telpon dari siapa?" tanya Fendy ingin tahu.
"Interlokal dari Surabaya."
"Siapa?"
"Pacarnya."
Muka Fendy jadi berubah merah. Dipusatkan
pendengarannya ke arah pembicaraan Dewi. Tapi
pembicaraan Dewi tak begitu jelas didengarnya.
Perempuan itu berbicara lirih. Gejolak rasa
cemburu membakar dalam dada lelaki itu. 292
"Padahal aku sudah sering menasehatinya,
kalau cinta sama orang satu aja. Masak bercabangcabang."
Ucapan Tika semakin membakar cemburu Fendy.
"Berapa orang yang kau ketahui?"
Tika menghitung dengan jari.
"Empat, termasuk mas Fendy. Padahal dia
kan mau bertunangan?"
Fendy cuma mengangkat kedua bahunya.
Dewi kembali duduk di kursi tamu.
"Antarin kita ke jalan Sabang yuk," ajak Tika.
Fendy memasang muka cemberut. Sepasang
matanya berkilat-kilat cemburu menatap Dewi.
Dewi yang kelihatan murung bercampur bingung
jadi merasa giris ditatap Fendy dengan begitu. Di
matanya yang coklat hanya ada ketakutan.
"Mau kan mas Fendy anterin kita makan
siang di jalan Sabang?" ulang Tika.
Karena rasa gengsi, Fendy mengangguk. 293
"Yuk, Dewi. Ayoh!" ajak Tika sambil menarik
lengan Dewi. Tapi Dewi nampak bermalas-malasan.
Fendy tetap cemberut. Tak mau berbicara
sepatah katapun dengan Dewi ketika sudah berada
di dalam mobil. Lelaki itu menunjukkan rasa
kesalnya dengan melarikan mobilnya ngebut.
Menyebabkan tubuh Dewi yang duduk di
sampingnya terombang-ambing. Seperti sedang
naik perahu yang diombang-ambingkan ombak
besar.
"Papa kok diam saja sih?" tegur Dewi yang
gelisah.
Fendy tak mau menyahut. Di jalan tikungan,
mobilnya dilarikan cepat. Menyebabkan ban mobil
itu berdenyit keras. Tubuh Dewi terbentur di pintu.
Perempuan itu jadi ikut kesal. Kenapa? Kenapa
kelakuan lelaki itu jadi begitu? Tak acuh dan tak
menghiraukan dirinya?
"Kalau tahu begini lebih enak naik taxi saja."
kata Dewi sengit.
Di rambu lalu lintas yang menyala merah
Fendy menginjak rem dengan mendadak. Tubuh 294
Dewi terhuyung ke depan. Kepalanya nyaris
membentur kaca.
"Kau ini kenapa sih, Pa?!" tegur Dewi semakin
emosi.
Fendy tetap bungkam. Menoleh ke wajah
Dewi pun tidak.
"Tenang, Dewi. Tenang. Kalau kalian
bertengkar, itu pertanda hubungan kalian akan
kekal," ujar Tika yang duduk sendiri di jok belakang.
Dewi mengambil sebatang rokok, lalu disulutnya. Fendy tetap tak perduli. Bahkan ketika
perempuan itu membuka pintu mobil, tetap saja tak
dihiraukan Fendy. Pokoknya lelaki itu tak perduli
apa pun yang akan dilakukan perempuan itu.
"Dewi, mau ngapain kau?" tanya Tika yang
mulai cemas.
"Biar. Biar, aku mati pun tak perduli!" cetus
perempuan itu.
Rambu lalu lintas menyala hijau. Fendy
tancap gas lagi. Sematan Tika menutup pintu di
samping Dewi. 295
"Haee. jangan merokok!" kata Tika pada
Dewi.
"Biariiiinl" teriak Dewi.
"Dewi, jangan begitu. Tenanglah."
"Bagaimana aku bisa tenang? Kau lihat
sendiri, mas Fendy sudah tidak suai lagi padaku."
Wajah Fendy berkeringat. Tegang sekali.
Rasanya dia hampir tak kuasa membendung
kejengkelannya. Jengkel pada kemunafikan
perempuan yang duduk di sampingnya. Sehingga
menatap pun jadi muak. Timbul keinginannya agar
perempuan itu bisa lekas turun. Dia tak ingin
melihatnya lagi.
"Kau benci pada Dewi, Pa?!"
Lelaki itu tetap saja bungkam.
"Katakan! Katakan kenapa?!" seru Dewi
sambil menggoncang-goncangkan bahu lelaki itu.
"Gombal !" maki Fendy sengit.
"Tika, kita turun di sini saja. Kita turun di sini
saja!" ajak Dewi pada Tika. Tika malah kebingungan 296
karena mobil yang mereka tumpangi masih
meluncur.
Mobil itu meluncur di jalan Sabang. Lalu
mendadak Fendy menginjak rem. Mobil berhenti di
pinggir jalan.
"Turun sini !" bentak Fendy seperti mengusir
kedua perempuan itu.
Dewi bergegas membuka pintu mobil. Dia
melangkah turun dengan terburu-buru. Tika pun
demikian. Akan tetapi tiba-tiba Dewi membalikkan
badan. Dia menyambar setumpuk casette yang ada
di dekat kaca mobil. Lalu dengan kejengkelannya,
semua cassette itu dibantingnya keras-keras ke
jalan. Berhamburlah cassette-cassette itu di jalan
aspal. Tika buru-buru memungutinya. Kemudian di
lempar ke atas jok mobil.
Fendy yang sejak tadi tak mau memandang
Dewi, tanpa diduga secara tiba-tiba perempuan itu
memukul kepalanya berkali-kali. Fendy terkejut dan
merasakan pening di kepalanya. Lalu dia
menyambar tangan Dewi yang hendak memukulnya
lagi. Dicekalnya kuat-kuat lengan perempuan itu.
Bagai kemasukan setan, Dewi meronta-ronta. Ingin 297
melampiaskan kemarahannya dengan memukuli
muka lelaki itu.
"KatakanI Katakan kenapa?!" teriak Dewi.
"Tenang! Diam! Kau jangan bikin keributan di
sini!" bentak Fendy merasa cemas. Orang-orang di
sekitarnya sudah berjalan mendekati mobil. Dugaan
mereka pasti buruk. Mungkin dikira Fendy mau
memperkosa. Mau menipu. Atau perbuatan buruk
lainnya.
"Biariiinl Biarin kita mati sekalian!"
"Dewi, kendalikan emosimu. Jangan marahmarah begitu," Tika berusaha melerai pertengkaran
mereka.
Dewi masih tetap meronta ronta. Dia sudah
kepingin menerkam muka Fendy.
"Lebih baik kita mati bersama-sama!" ancam
Dewi.
"Jangan begitu, Ma. Jangan begitu," suara
Fendy mulai lunak.
Dewi mengibaskan tangan Fendy. Lalu dia
bergegas turun. Fendy tak mau ketinggalan ikut
turun. Tapi Dewi sudah duluan menyetop taxi. 298
Kedua perempuan itu buru-buru naik dan
menghempaskan pintunya. Fendy cuma bisa
menjenguk lewat jendela.
"Ikuti saja kemauannya, Tika." Fendy berkata
dengan perasaan kacau.
"Jalan, Bang," perintah Dewi kepada sopir
taxi itu. Perempuan itu tak sudi lagi menatap Fendy.
Mobil taxi itu meluncur pergi.
Fendy cuma termangu. Bingung. Lalu dia
sadar kalau sedang diperhatikan orang banyak.
Buru-buru dia naik ke dalam mobil. Melarikannya
jauh-jauh dari jalan Sabang.
Masih terasa sakit pukulan tangan Dewi di
kepalanya. Perlu dicatat dalam sejarah hidupnya. Ini
merupakan pertama kali baginya dipukul oleh
seorang perempuan. Betapa galaknya. Betapa
beraninya. Dan betapa teganya dia berbuat begitu
padaku, kata Fendy dalam hati, yang saat itu dirasa
amat perih.
Kecuali kesedihan. Kecuali kemurungan tak
ada lagi rasa lainnya di dalam diri lelaki itu. Sampaisampai dia kepingin sekali menangis. Inikah yang
kuterima dari mendambakan cinta? Inikah balasan 299
yang kuterima dari rasa kasihku? Inikah balasannya
karena aku terlalu memikir kan nasibnya?
Terlampau pahit agaknya. Terlampau menyakitkan,
memang.
Dan Fendy melarikan mobilnya menuju
pulang ke rumah. Setumpuk rasa perih dan hancur
dibawanya pulang.
*** Hari yang dilalui terasa menjadi sepi. Sejak
kejadian yang dialami di jalan Sabang, bayangan
Dewi tak berani dia singgahkan ke dalam
lamunannya. Akan menambah kepedihan di
hatinya. Akan mengorek luka saja. Ya, luka yang
belum sembuh itu bisa menjadi perih lagi. Dan
sampai detik ini masih terasa sisa-sisa pukulan
perempuan itu. Kemarahan, keberanian dan
galaknya perempuan itu membuatnya giris.
Pada hari pertama Fendy memang bisa
melupakan perempuan itu. Namun pada hari
keduanya, dia sudah mulai terombang-ambing
dikarenakan rasa rindu ingin ketemu meroyak lagi
dalam hatinya. Sebagai pelampiasan untuk sedikit 300
mengurangi gejolak rindunya, maka dia merokok
seperti sepur langsir.
Dan ketika dia melakukan begitu di tengahtengah istri dan anaknya, si kecil Ria menegurnya.


Istriku Adalah Ibuku Karya Fredy S di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Idiiiih. papa kayak pak Ogah," olok Ria
sambil tertawa.
"Hush!" bentak Yeti.
"Lihat deh, Ma. Papa ngerokoknya kayak pak
Ogah di film si Unyil ya?" lanjut Ria lagi sambil
menunjuk ayahnya yang sedang merokok.
Fendy yang termenung murung jadi geli. Lalu
meledaklah tawa mereka.
"Kamu ini ada-ada saja. Ria." Fendy menggerutu.
Habisnya papa kayak pak Ogah sih?"
"Tuh, Pa. Apa katanya anakmu. Jangan terlalu
banyak merokok, nanti papa sakit," Yeti
menasehati.
"Ah, tidak."
"Oya, belum dapat kabarnya Dewi dari Tika?" 301
Fendy menarik napas berat. Selama ini mama
tidak tahu. Mama tidak tahu apa yang terjadi antara
aku dan perempuan itu. Oh, terlalu menyakitkan,
Ma. Tapi kau tak perlu tahu.
"Belum."
"Cobalah kapan-kapan papa menemui Tika
dan tanyakan bagaimana kabarnya Dewi."
"Ah, lagi malas."
"Biarlah kalau begitu mama yang ke sana."
"Eit, jangan. Papa yang malu. Ma."
"Dari pada papa selalu murung, mama ikut
mikir terus. Mama ingin melihat papa bisa hidup
bahagia."
Dino dan Ria berjingkrak-jingkrak karena
melihat Martinus baru turun dari mobil.
Pembicaraan Fendy dan Yeti jadi terhenti.
"Papa, Oom Tinus datang!" Kedua anak itu
berhambur menyongsong tamunya.
"Wah, ada bisnis lagi nih?" gumam Fendy
pura-pura-pura ada urusan penting. Padahal dia 302
tahu kalau Martinus datang mau mengajak pergi. Ke
mana lagi kalau tidak ke night club.
"Selamat malam, tuan dan nyonya."
"Malam. Sorry, malam ini tidak terima tamu
dulu," kata Fendy sambil tertawa.
"Baik. Tuan. Saya permisi," sahut Martinus
terus melangkah masuk ke ruang dalam. Nyelonong
saja.
"Eiit, jalannya salah."
"Saya sengaja mau ke kamar mandi kok.
Numpang kencing."
Fendy sekeluarga jadi tertawa. Dino dan Ria
jingkrak-jingkrak.
"Orang gila dilayani. Bisa-bisa kita semua ikut
jadi gila," gerutu Fendy sambil tertawa. Martinus
memutar tubuhnya, lalu duduk di kursi tamu.
Yeti menggiring kedua anaknya masuk ke
kamar. Tinggal Fendy dan Martinus duduk di kursi
tamu.
"Malam ini kau nggak ada acara?" tanya
Martinus. 303
"Mau ngapain?"
"Tengok boneka-boneka cantik di ruang kaca."
"Ah, malas."
"Sudah bosan sama dia?"
Fendy tak menyahut. Kerinduan yang
berusaha ditahannya menjadi terkorek lagi.
Keinginannya untuk bertemu Dewi meroyak dalam
dadanya.
"Kalau sudah bosan over gua aja dah," ledek
Martinus.
"Enak aja lu."
"Memang cari enaknya. Mana ada orang
yang cari susahnya sih?"
"Kau sudah bawa kunci?"
"Beres." Martinus menepuk-nepuk saku
celananya. Ada suara gemerincing kunci. "Sampai
pagi pun aku siap bertempur."
"Okey. Tunggu sebentar aku mau tukar pakaian."
"Begitu aja sudah ca'em, masih mau tukar
pakaian." 304
"He, pakaian pun bisa ikut menunjukkan
suatu perasaan. Suatu pengungkapan. Nanti kau
akan tahu sendiri." Fendy berjalan masuk ke
kamarnya.
Putih adalah suci. Begitupun niat yang
terkandung di hati lelaki itu suci. Seputih kemeja
dan celananya. Juga sepatunya. Malam itu Fendy
sengaja mengenakan setelan warna putih.
"Duh, papa kayak anak muda aja." ledek Yeti
sambil memperhatikan suaminya yang berdandan
di depan cermin.
"Papa mau ke mana sih?" tanya Ria.
"Ada urusan bisnis." sahut Fendy sambil
menyisir rambutnya.
"Apa bisnis papa juga kayak pak Ogah?"
"Kamu ini bisa aja. Ria." Fendy tertawa. Lalu
dia mencubit pipi anak itu, menciumnya. Mencium
pipi Dino juga. Kemudian mencium kening istrinya.
"Papa pergi ya, Ma?" pamit Fendy.
"Pulang nggak, Pa?"
Fendy menggeleng, hatinya perih. 305
"Ke luar kota?"
"Ya."
Fendy melangkah. Yeti membarenginya.
"Hati-hati, Pa."
"Mari, mbak Yeti." Martinus berpamitan
setelah berada di teras.
"Mari, mari," balas Yeti dengan tersenyum
ramah.
Keduanya berangkat mengendarai mobil
masing-masing. Ada kebimbangan di dalam dada
Fendy. Kebimbangan yang bergalau dengan rasa
rindu. Bagaimana kalau dia masih tetap marah
padaku? Bagaimana kalau dia sekarang berubah
membenci aku? Padahal, ah, kemarahanku kemarin
cuma karena cemburu. Ya, cemburu yang
ditimbulkan oleh omongan Tika. Sedang di dalam
perasaanku tak bisa lagi dibohongi. Aku terlalu
mencintainya. Pijar-pijar kerinduan di dalam jiwaku
terus menyala. Membara.
Ah, biarlah. Apa pun yang akan terjadi harus
kuhadapi. Kalau memang kejadian kemarin menjadi
penyebab putusnya hubungan, aku cuma pasrah.
Asalkan itu kehendaknya. Bukan aku yang 306
memutuskan, pikir Fendy setelah mobilnya
berhenti di tempat parkir. Martinus sudah terlebih
dulu sampai.
Kemudian mereka masuk. Fendy merasakan
jantangnya berdenyut kencang. Ternyata di ruang
kaca Dewi sudah tak nampak. Runtuh sudah
semangatnya untuk bisa membooking perempuan
itu. "Mana cewek lu?" tanya Martinus sambil
mengedarkan pandang ke wajah-wajah perempuan
yang bergincu merah menyala. Di dalam ruang kaca
duduk berjejer perempuan-perempuan yang serba
gemerlapan.
"Sudah tertambat."
"Dibooking orang?"
"Iyalah. Kalau tidak apalagi?" desah Fendy
dengan kecewa.
"Terus bagaimana?"
"Kau sajalah yang ngebook."
"Lalu kau?" 307
"Ya menunggu Dewi sampai selesai dibook.
Pokoknya lu jangan pikirin gua. Silakan pilih mana
yang kau sukai."
"Wah, nggak enak dong. Masak gua ngebook
lu cuma bengong?"
"Aku memang ada perselisihan faham
dengan Dewi. Makanya aku ingin menemuinya. Dan
aku datang ke sini bukan untuk siapa-siapa,
melainkan memang untuk dia."
"Okey, dah. Aku mau ngebook Siska lagi."
"Silakan. Aku duluan ke ruang sana ya?"
Martinus mengangguk. Fendy mengayunkan
langkahnya yang lambat. Pandangan matanya
mengedar ke setiap perempuan yang sedang duduk
di kursi dengan tamunya. Di mana Dewi? Di mana?
"Hai," sapa seorang hostes yang bersimpang
jalan.
"Hai juga."
Beberapa orang di sekitar meja-meja yang
dilalui memperhatikan dirinya. Lalu ada yang
berbisik-bisik dan ada pula yang menegurnya.
Perhatian seisi ruang itu jadi tercurah pada top star 308
ini. Dan yang lebih tercurah adalah Dewi.
Perempuan itu sampai tersedak ketika sedang
meneguk minumannya. Tersedak lantaran melihat
kehadiran Fendy di ruang night club itu.
Dengan siapa dia? Dengan perempuan
lainkah? Atau dia sudah membooking seorang
hostes di sini? O, tidak. Dia nampak berjalan sendiri
Mencari-cari siapakah dia? Temannya? Atau
mencari aku? pikir Dewi yang sudah mulai nampak
resah dan bingung.
"Ayo kita turun," ajak Dewi pada tamunya.
Lelaki kurus itu mengangguk senang. Dia
menggandeng tangan Dewi menuju ke lantai dansa.
Lagu disco menghentak-hentak suasana. Dewi
berjingkrak-jingkrak mengikuti irama musik. Kalau
memang engkau mencari aku, aku di sini. Di sini. Tak
melihatkah kau? Sengaja aku turun melantai supaya
kau melihatku. Melihatku, kata-kata itu menggebugebu dalam hati Dewi.
Dan Fendy yang duduk seorang diri, memang
sedang memperhatikan perempuan itu. Ah,
seandainya aku yang sedang menemanimu
berjoget, alangkah gembiranya hatiku. Tapi, aku 309
datang ke mari bukan untuk itu. Bukan untuk
berjoget ataupun berdansa denganmu. Bukan itu
maksudku. Melainkan ingin mengetahui isi hatimu.
Apakah kau masih tetap mencintaiku? Apakah di
antara kita telah menyadari kekhilapan masingmasing?
Fendy terus mengamati Dewi sampai kembali
ke tempat duduknya. 0, di sana dia duduk
menemani tamunya. Dan di tempat duduk pojok itu
kosong. Sebaiknya aku pindah ke sana saja. Supaya
dekat Supaya dia melihat aku hadir di tempat ini.
Maka Fendy segera pindah ke sana. Duduk
seorang diri dengan menghadapi sebotol minuman
seven up. Merokoknya seperti sepur lengsir. Sedang
Dewi yang duduk di sebelah tamunya nampak
termenung. Jadi salah tingkah.
"Kenapa kamu tidak segembira temantemanmu di sini?" tanya tamunya itu.
"Aku sedang bingung," desah Dewi sambil
melirik Fendy yang duduknya menyandar di kursi.
Seperti orang frustrasi.
"Kenapa bingung?" 310
"Suamiku menyusul ke mari." Dewi
berbohong, agar tamunya bisa membatasi diri.
Tidak sampai semesra tamu-tamu lainnya terhadap
hostes di sini.
"Yang mana orangnya?"
"Itu yang duduk sendiri di pojok."
Lelaki itu menoleh ke arah Fendy. Termangu
juga lelaki itu memandangnya.
"Bukankah dia aktor yang lagi top saat ini? Si
Fendy kan?"
Dewi mengangguk. Hatinya semakin resah.
"Dia suamimu?"
"Ya. Dia sudah sekian lama mencariku karena
aku kabur dari rumah. Dan malam ini dia tahu aku
bekerja di sini."
"Kenapa kamu kabur?"
"Cekcok."
Lelaki itu manggut-manggut. Memperhatikan
Fendy lagi. Lalu berbisik kepada temannya yang
sedang bercanda dengan hostes yang dibookingnya. Keempat orang yang duduk mengitari meja 311
satu memperhatikan Fendy. Fendy merasa kalau
sedang diperhatikan. Apa yang barusan dibicarakan
Dewi pada tamu-tamunya itu, pikir Fendy. Ah,
persetan. Aku tak perduli.
Pandangan Fendy ke arah lantai dansa.
Melihat Martinus sedang memeluk Siska sambil
bergoyang-goyang seirama lagu lembut. Membuat
Fendy menarik napas berat. Alangkah sepi yang
dirasakan. Alangkah tersiksanya hati ini. Dewi,
Dewi, apakah kau tahu gejolak perasaanku saat ini?
Tahukah kau? Aku datang ke mari hanya untukmu.
Untuk membicarakan kelangsungan hubungan kita.
Masihkah kau mencintaiku? Sedang selama aku
duduk sendiri di sini, tak pernah kulihat senyummu.
Kau nampak tak acuh padaku. Sungguh
menyakitkan.
Dewi bangkit. Lalu dia berjalan menuju ke
toilet. Ini kesempatan, pikir Fendy. Aku harus
menemuinya. Ada sepatah kata yang ingin
kubicarakan dengannya.
Maka Fendy segera bangkit. Dia berjalan di
bawah cahaya sinar yang remang-remang menuju


Istriku Adalah Ibuku Karya Fredy S di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ke toilet. Namun sesampainya di sana tak
ditemuinya Dewi. Ke mana dia? Ke mana dia? Fendy 312
mencari-cari. Apakah dia sudah selesai dibook?
Mungkin bisa begitu. Kalau begitu aku harus
secepat nya menghubungi petugas.
"Dewi sudah selesai dibook?" tanya Fendy
kepada petugas yang melayani tamu bila ingin
membook hostes.
Petugas itu memandang ke dalam ruang kaca.
"Saya tidak melihat Dewi kembali ke ruang
ini, Pak."
"O, mungkin belum. Tolong ya pak, jika dia
sudah selesai dibook, suruh dia pindah booking di
meja tujuh."
"Baik, Pak."
Dengan rasa kecewa Fendy meninggalkan
tempat itu. Lalu dia sengaja lewat di depan Dewi
yang duduk bersama tamunya. Tapi Fendy purapura tidak tahu. Tidak mengenal Dewi. Sedang Dewi
cuma memperhatikan lelaki itu dengan hati perih.
Belum lama Fendy duduk, Martinus bersama
Siska menghampiri.
"Masih sendiri?" tanya Martinus sambil
cengar-cengir. Gembira sekali nampaknya. 313
"Seperti apa yang kau lihat."
"Mau turun sama Siska?"
"Aku lagi senang sendiri dan melamun."
"Wah, lama-lama kau bisa jadi pengarang,"
ledek Martinus sambil tertawa. Siska ikut tertawa
juga.
"Silakan bersenang-senang. Tolong jangan
ganggu aku yang sedang sendiri."
"Duuuh, frustrasi?"
"Nggak."
"Mana cewekmu?"
"Tuh"
"O, pantesan. Biar dikira patah hati. Dasar
otak kotor," kata Martinus sembari tertawa. Lalu
dia menarik tangan Siska dan mengajak melantai.
Fendy sendiri lagi. Puntung rokok sudah
penuh di asbak. Empat jam lamanya dia duduk
sendiri di situ. Pantatnya sampai pedas. Pinggang
nya sudah pegal. Sementara dia mengharap Dewi
lekas selesai dibooking tamunya. 314
Selama Fendy duduk di situ, cuma dua kali
dilihatnya Dewi turun berdisco. Dan ketika penyanyi
membawakan lagu lembut, syairnya terasa
menggores di hati Dewi. Di hati Fendy.
Rindu....
Rindu... daku saat ini
Ingin jumpa bertegur sapa
Tiada....
Tiada lebih indah
Bila engkau tersenyum manja
Bawalah daku pergi
Dari gelisah ini
Bawalah daku pergi
Dari sepi hati ini
Bawalah daku pergi
Setulus hati yang suci
Bawalah daku pergi
Biar mati kujalani
Jauh.... 315
Jauh terasa di hati
Bila engkau tiada di sini
Syahdu....
Syahdu ucapanmu kasih
Gugup juga
Kumengungkapkan kata
Dewi merasa ingin menangis. Oh, Tuhan. Bila
memang terjadi perpisahan, bukan untuk
perpisahan yang kutangisi. Namun pertemuanlah
yang kusesali. Mengapa aku bertemu dengannya,
dan kuncup di hatiku merekah. Hanya dirinya satu
tambatan hatiku, yang hadir di setiap mimpiku.
Mengapa? Mengapa Tuhan? Kesedihan itu dikusik
oleh tamunya.
"Dewi, kita turun yuk?" ajak tamunya itu.
Dewi tertunduk sambil menggelengkan kepala.
"Maaf, Mas. Malam ini terpaksa aku
mengecewakanmu," kata Dewi dengan suara
parau. 316
Lelaki itu menarik napas panjang. Dia menjadi
sadar dengan keresahan di hati perempuan itu.
Apalagi dilihatnya perempuan itu merenung sedih.
"Aku tahu perasaanmu," kata lelaki itu lunak.
"Temuilah dia."
Dewi menggeleng.
"Jangan begitu, Dewi. Ayo temui dia," bujuk
lelaki itu.
Perempuan itu tertunduk. Ada setitik air
mata yang jatuh membasahi pipi.
"Aku tidak apa-apa. Dewi. Benar, aku ikut
senang kalau kau bisa kembali baik dengan
suamimu.
Dewi mengangkat kepalanya. Diseka air
matanya dengan selembar tissues. Jantungnya
berdebar-debar. Bagaimana baiknya untuk
menemui Fendy? Lebih baik aku tulis surat padanya.
Lalu Dewi mengambil selembar tissues. Dengan ball
point dia menulis di bawah sinar yang remangremang.
Selesai menulis dia bangkit. Dihampirinya
Fendy yang duduk sendiri itu. Lalu tissues yang 317
ditulisnya ditaruh di atas meja Fendy. Tanpa
sepatah katapun Dewi kembali duduk di sisi
tamunya.
Fendy segera mengambil tissues itu dengan
tangan gemetar. Apa-apaan ini? pikir Fendy. Tapi
setelah tissues yang terlipat itu dibukanya ;
Teruntuk : Papa tercinta.
Pa, ternyata Jakarta ini terlalu kejam buat
Dewi. Sekarang papa pulanglah. Besok temui Dewi
di rumah saja. Dewi akan secepatnya meninggalkan
Jakarta.
Fendy melipat tissues itu lagi. Tidak. Aku tidak
mau pulang sekarang, kata hati Fendy. Malam ini
juga aku akan menunggumu pulang. Tak akan
kubiarkan kau pulang bersama lelaki lain.
Dewi tambah gelisah, sebab lelaki itu belum
juga mau pulang. Masih tetap duduk sendiri.
Seolah-olah tidak mau menanggapi suratnya.
Bagaimana ini? Bagaimana? Padahal malam ini dia
sudah berjanji dengan Batara. Berjanji mau pergi
bersama. Sedangkan dia tak ingin menyakiti
perasaan Fendy. 318
"Kenapa tak kau ajak bicara?" tanya
tamunya.
"Aku cuma memberi surat supaya dia lekas
pulang," desah Dewi.
"Sebaiknya kau ajak dia pulang. Aku ikut
senang kalau kau bisa rujuk dengan dia lagi.
Tinggalkanlah tempat ini."
"Tapi full booking mas Tiar belum habis."
"Jangan pikirkan hal itu. Silakan ajak dia pulang."
Alangkah baik hatinya mas Tiar ini, pikir Dewi.
Lalu dia mohon diri pada lelaki itu. Dan
dihampirinya Fendy.
"Pa, tunggulah Dewi di tempat parkir."
"Ya?" Fendy memandang perempuan yang
berdiri di depannya itu. Memandang penuh
kerinduan.
"Papa tunggu mama di tempat parkir." Mata
Dewi berkaca-kaca.
"Sekarang?"
"Ya." 319
Dewi melangkah pergi. Bergegas Fendy
bangkit dan berjalan mendekati Martinus.
"Aku mau pulang sekarang," kata Fendy.
"He, night club belum tutup. Mau ngapain
buru-buru?"
"Aku mau pergi sama Dewi."
Martinus memandang Siska. Keduanya saling
berpandangan.
"Kau mau ikut, Yang?" tanya Martinus.
"Ikut, ah!"
"Ayo kita tinggalkan tempat ini sekarang,"
ajak Fendy tak sabar.
"Okey, okey."
Fendy segera memanggil pelayan. Dia
membayar nota yang disodorkan pelayan itu.
Kemudian mereka bertiga meninggalkan ruang
night club.
Hawa dingin terasa menembus ke dalam
pori-pori kulit. Ketika itu Dewi baru saja ke luar dari
pintu hotel. Lalu dia mengayunkan langkahnya.
Langkah yang gemulai itu mendekati mobil Fendy. 320
Fendy sudah duduk menunggu di belakang stir. Dia
langsung menstater mobilnya.
"Selamat malam, Pa," sapa Dewi sambil
duduk di jok depan.
"Selamat malam, Ma."
Mobil itu meluncur. Mobil Martinus
mengikuti di belakang. Mereka menuju ke arah
jalan Raya Bogor. Tidak lagi lewat jalan Jagorawi.
Malam ini Dewi tidak nampak ceria. Lebih banyak
diam dan murung. Fendy seringkah menoleh
memperhatikan perempuan yang duduk di
sampingnya itu. Namun yang diperhatikan tetap tak
ada reaksi. Dingin. Malas.
"Mama masih marah sama papa?" tanya
Fendy memecah kebisuan.
Dewi cuma menggelengkan kepala.
"Benarkah mama mau pulang ke Surabaya?"
"Ya."
"Kenapa mendadak mama mau pulang?"
"Aku tidak betah lagi tinggal di Utan Kayu." 321
"Kalau mama sudah tidak betah tinggal di
Utan Kayu, papa bisa mencarikan tempat kost
lainnya. Atau kalau mama mau akan papa carikan
kontrakkan rumah."
Dewi tak bereaksi. Pandangannya lurus ke
depan. Rumah-rumah di pinggir jalan itu seperti
bergeser ke belakang karena mobil Fendy melaju
dengan cepat.
"Dan perasaan papa akan selalu resah kalau
mama masih bekerja di night club. Papa mohon
tinggalkan pekerjaan itu dan bekerjalah di kantor
majalah."
"Aku tak ingin bekerja apa pun. Aku ingin
diam di rumah saja," kata Dewi tidak bergairah.
"Papa akan lebih senang kalau begitu."
"Dan aku ingin hidup sendiri."
"Maksud mama?"
Papa tak usah memikirkan aku lagi. Lupakan
saja mama."
Fendy menarik napas berat.
"Kenapa mama berubah sekarang?" 322
"Karena demi kebaikan papa."
"Demi kebaikanku? Benarkah begitu? Justru
aku takkan mungkin bisa untuk tidak memikirkan
mu. Karena hal itu demi kebaikan kita bersama.
Demi hidupku yang senantiasa kesepian. Tegakah
mama meninggalkan aku?"
Dewi menyandarkan kepalanya di tempat
duduk. Helaan napasnya terasa berat. Mobil yang
mereka tumpangi sudah melewati daerah
Cijantung. Di belakang mobil Martinus masih
mengikuti terus. Kalau di dalam mobil Fendy saling
diam penumpangnya, tapi di dalam mobil Martinus
saling bermesraan dan bercanda.
"Biarkan aku memerangi nasibku sendiri,"
ujar Dewi yang tetap dingin.
"Yaaah, apa boleh buat kalau itu memang
sudah kehendak mama," sahut Fendy dalam keluh.
Ternyata selama ini keinginanku sia-sia.
"Makanya mulai sekarang papa jangan
mengharapkan apa-apa lagi dari mama. Tak perlu
lagi banyak memikirkan mama."
"Aku sendiri jadi tak mengerti. Kenapa untuk
kali ini aku jadi pengemis cinta. Terlalu letih 323
menggapai cintamu, namun tiada rasa saling seiya
sekata. Selama kutempuh jalan hidupku, baru kali
ini aku jadi lelaki yang cengeng. Lelaki yang
terkaing-kaing hanya akibat jadi pengemis cinta,"
kata Fendy dengan jengkel. Dia jengkel dengan
kesia-siaan itu. Jengkel dengan dirinya sendiri
sampai merengek-rengek. Padahal selamanya dia
tak pernah begitu terhadap cewek manapun. Tapi
sekarang, ah, menghadapi Dewi kenapa jadi begitu?
Dia sendiri tak habis mengerti. Barangkali cinta
itulah yang menjadikan dia begitu.
Fendy membelokkan mobilnya ke hotel Ully
Arta. Mobil Martinus juga ikut belok ke situ. Pelayan
hotel buru-buru menghampiri, begitu mobil mereka
berhenti di halaman hotel.
Kamar hotel itu tidak terlalu luas, tapi cukup
bersih. Fendy dan Dewi menempati sebuah kamar.
Begitu juga Martinus dengan Siska. Namun keadaan
mereka berlainan. Kalau Martinus begitu mesra


Istriku Adalah Ibuku Karya Fredy S di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan Siska, tapi Fendy dengan Dewi nampak
saling termenung di dalam kamar.
Fendy duduk di pinggir tempat tidur sambil
meremas-remas rambutnya. Seakan-akan dia 324
menghadapi persoalan yang sulit dipecahkan.
Sedang Dewi terbaring di sisinya.
"Pa, tidurlah di samping mama," kata Dewi.
Dipegangnya tangan lelaki itu. Ditariknya perlahan
agar tubuh lelaki itu berbaring di sisinya. Tapi lelaki
itu menggelengkan kepala.
Fendy menatap wajah Dewi dalam-dalam.
Sementara perasaannya begitu sedih. Begitu perih.
Dia merasa akan ditinggalkan oleh tambatan
hatinya. Berat nian rasa hatinya menghadapi
perpisahan itu. Sehingga kesedihan, keperihan itu
membuat kedua matanya hangat.
"Papa, tidurlah sayang. Tidurlah di samping
mama," pinta Dewi lembut. Dielus-elusnya rambut
lelaki itu.
"Tidak, Ma."
"Kenapa, Pa?"
"Biarkan papa memandang wajahmu sepuaspuasnya. Biarkan," suara Fendy mulai parau. Dewi
segera bangun. Dipeluknya lelaki itu.
"Papa benci sama mama?" 325
"Tidak, Ma. Papa terasa berat berpisah
denganmu."
Dewi tersenyum. Tapi senyum itu melukiskan
kesedihan. Lalu jari tangannya membuka kancingkancing kemeja lelaki itu. Fendy mencegahnya.
"Aku tidak butuh itu. Aku tidak butuh itu. Aku
butuh cinta dan kesetiaan mama," desah lelaki itu.
"Mama tahu. Mama tahu." Dewi menarik
tubuh Fendy hingga terbaring di atas pembaringan.
Kemudian diciumnya bibir lelaki itu dengan lembut
dan mesra.
Ada air hangat. Ada air hangat yang berlinang
di mata lelaki itu. Dewi merasakan ketika
menggesekkan mukanya ke muka Fendy. Oh, dia
menangis. Kasihan. Ternyata perasaannya begitu
halus. Sehalus sutera. Sedangkan aku tak mungkin
bisa memelihara kehalusan sutera itu sampai akhir
hayatku. Aku harus menuruti kehendak orang
tuaku. Aku harus menikah dengan Agus dan
meninggalkannya. Oh, alangkah kejamnya
kenyataan yang akan kualami. 326
"Jangan menangis, Pa. Percayalah, cinta
mama kepada papa tak akan luntur sepanjang sisa
hidup mama."
"Tapi mama akan meninggalkan papa."
"Tidak"
Hati Dewi rasanya ingin menjerit. Dia merasa
berdusta pada lelaki itu. Tapi biarlah. Biarlah aku
berdusta. Namun cintaku padanya sangat tulus dan
suci, walau tak lama lagi aku akan pergi
meninggalkannya. Jadi aku harus bisa
membahagiakan perasaannya. Harus bisa.
"Sungguhkah itu, Ma?"
Dewi mengangguk.
"Kalau begitu mama harus bekerja di kantor
majalah. Itu satu bukti kalau mama benar-benar
tidak ingin meninggalkan papa."
"Tentu, tentu."
Fendy jadi merasa bahagia. Meskipun ada
kebimbangan yang terukur di dalam hatinya. Lalu
dia memeluk Dewi erat-erat. Menghujani ciuman
hangat dan mesra. Dewi pun membalasnya. Dan
keduanya pada akhirnya bermuara di ranjang 327
kenikmatan. Sekilas Fendy jadi ingat ucapan
Martinus. Untuk menundukkan kuda teji
memerlukan ketangguhan penunggang kuda yang
lihay. Dan apakah Martinus ketemu dengan kuda
teji itu? Atau ketemu kucing anggora? Cuma
Martinus yang tahu.
*** Sudah saatnya untuk memberi tahu. Ya,
sudah saatnya Fendy memberi tahu pada istrinya.
Karena Dewi sudah menyatakan bersedia menuruti
saran Fendy untuk bekerja di kantor majalah. Dan
meninggalkan pekerjaannya di night club sebagai
hostes.
Maka di siang yang cerah itu, Fendy mengajak
ngobrol Yeti di ruang tengah. Wajah lelaki itu
secerah siang yang tanpa mendung.
"Dua hari lagi Dewi tiba di Jakarta, Ma."
Wajah Yeti jadi ikut cerah.
"Darimana papa tahu?"
"Kemarin papa menemui Tika. Tika memberitahu kalau dua hari lagi Dewi tiba di Jakarta." 328
"Kalau dia sudah ada di Jakarta, bawalah dia
menemui mama, Pa."
"Tentu."
"Mama ingin bicara dari hati ke hati
dengannya."
"Mama mau berterus terang?"
"Ya, demi kebahagiaan papa."
Fendy termenung. Lalu dia berkata; "Apakah
mama sudah memikirkan masak-masak?"
"Sudah, Pa."
Adakah seorang istri semacam Yeti?
Semacam istrinya yang merelakan suaminya
menikah dengan perempuan lain? Ah, barangkali ini
bisa dikatakan aneh tapi nyata. Tapi benarkah
begitu? Tidakkah ada secuil di hatinya perasaan
perih? Ah, barangkali ada. Di manapun seorang
wanita mempunyai perasaan halus dan peka. Dan
aku bukanlah seekor binatang. Aku punya perasaan
dan pemikiran yang normal. Dus, kalau begitu apa
yang kulakukan selama ini adalah kejam. Kejam
terhadap seorang istri yang memiliki hati mulia.
"Ma?" suara Fendy serak. 329
"Ya?"
"Kenapa mama tetap bersikeras tidak mau
menjalani operasi?"
"Papa sudah lupa sama janjinya? Bukankah
papa sudah berjanji tidak akan memaksa mama
untuk menjalani operasi?"
Fendy menarik napas panjang. Entah kenapa
jadi timbul keraguannya. Keraguan untuk meneruskan keinginannya menikah dengan Dewi mungkin
lantaran sifat Yeti melebihi segala-galanya bila
dibandingkan dengan Dewi. Memang. Memang,
begitu kenyataan yang dialami lelaki itu. Selama
hampir sepuluh tahun mereka menjalani hidup
bersama, tak pernah ada pertengkaran yang serius.
Saling mengerti dan menyelami perasaan masingmasing. Saling mengisi bila terdapat kekurangan.
Dalam menghadapi penderitaan yang pahit dan
getir sekalipun, Yeti tak pernah mengeluh. Dia
selalu sabar. Selalu setia mendampinginya.
Haruskah perempuan itu tersisihkan dari
hidupnya yang sekarang? Padahal perempuan itu
menjalani hidup bersama Fendy sejak dari miskin.
Lantas setelah sekarang kaya harus menerima nasib 330
getir? Fendy yang sekarang sudah menjadi top star
akan menikah lagi dengan perempuan lain.
"Sebenarnya di hati kecilku meronta, Ma.
Apa sebenarnya yang akan papa jalani itu?
bukankah kalau aku menikah lagi akan terjadi
jurang pemisah di antara kita, Ma? Cinta dan kasih
sayang papa akan terbagi dua. Sedangkan papa
tidak menginginkan hal itu." kata Fendy merasa
jengkel dengan kenyataan yang akan dijalani.
"Pa, sebelum papa berkata demikian, mama
sudah membayangkan semuanya itu. Tapi mama
rela menerima kenyataan yang getir sekalipun.
Karena mama masih ingin mengasuh anak-anak
kita. Mama masih ingin hidup lebih lan.a lagi. Itulah
sebabnya mama merelakan papa menikah dengan
gadis manapun yang papa cintai. Tak lain agar hidup
papa bisa bahagia."
Fendy memeluk istrinya. Membelai rambut
perempuan itu dengan penuh kasih sayang.
Membuat perasaan Yeti teriris-iris. Kedua matanya
jadi hangat. Oh, aku tidak boleh menangis. Aku
harus menjalani kenyataan dengan tabah. Aku
harus rela menerima apa pun yang akan terjadi,
kata perempuan itu dalam hati. Maka dia berusaha 331
menahan jatuhnya air mata. Kemudian dia
tersenyum sambil menatgp suaminya.
"Papa jangan sedih dong, Pa. Jemputlah Dewi
di stasiun kereta api."
"Ah, biarlah."
"Papa tidak boleh begitu ya? Papa harus
menemui Dewi."
Bimbang perasaan lelaki itu.
"Jangan ragu-ragu, Pa. Jemputlah dia dan
ajaklah menemui mama. Mau kan, Pa?" desak Yeti
berharap sekali.
"Baiklah. Papa akan mengajak Dino
menjemput Dewi."
Yeti merasa lega. Gembira hatinya.
"Apakah Dewi mau seterusnya menetap di
Jakarta?"
"Papa belum tahu. Cuma kemarin papa
menghubungi Yosep. Mama masih ingat sama
Yosep kan?"
Perempuan itu mencoba mengingat-ingat. 332
"Yosep yang punya percetakan?"
"Benar. Dari pada Dewi di Jakarta tidak ada
kesibukan, dia bisa kerja di bagian tata usahanya.
Itu kalau Dewi mau menetap seterusnya di Jakarta."
"Yosep mau menerimanya?"
"Ya. Tapi papa bilang bahwa Dewi masih adik
kandung mama."
Ada senyum merekah di bibir perempuan itu.
"Biarlah, untuk meyakinkan Yosep, mama
akan menemui lelaki itu dan mengakuinya kalau
Suling Emas 5 Pendekar Pulau Neraka 31 Lima Setan Dari Barat N Atau M 1

Cari Blog Ini