Ceritasilat Novel Online

Jalan Bandungan 1

Jalan Bandungan Karya Nh. Dini Bagian 1


JALAN BANDUNGAN
Oleh Nh. Dini
GM 201 01 09 0026
? Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Kompas Gramedia Building, Blok I Lantai 4-5
Jl. Palmerah Barat 29-37
Jakarta 10270
Desain dan ilustrasi sampul oleh eMTe
Lay-out isi oleh Malikas
Diterbitkan pertama kali oleh
Penerbit Djambatan, 1989
Diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama,
Anggota IKAPI, Jakarta, November 2009
Hak cipta dilindungi undang-undang.
Dilarang memperbanyak seluruh atau sebagian isi buku ini
tanpa izin tertulis dari Penerbit.
ISBN: 978?979?22?5085?5
Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta
Isi di luar tanggung jawab Percetakan
,CN?B?.GL?J?K@?LEIS
GLG@?PSQC@?EG?LICAGJ
B?PGW?LENCPL?FISRCPGK?B?PGKS
/B (Catatan di Pondok Baca Nh. Dini)
Bagian Satu
2 3 # Cerita itu memang mengejutkan. Patutlah jika Winar tidak mau memberitahukannya kepadaku di depan orang banyak.
Dia hanya menganggukkan kepala sebagai isyarat supaya aku
mengikutinya. Tapi aku tidak segera menanggapinya. Di dalam
ruang kantor aku meneruskan percakapan dengan dosen-dosen
lain mengenai sesuatu hal yang sebenarnya tidak penting. Sekalisekali kulihat Winar melongok ke arah kami. Baru setelah tiga
kali hal itu terjadi, aku keluar.
"Kok begitu lama!" tegurnya kesal.
Aku tidak mempedulikannya. "Ada apa, sih? Mengapa tidak
mau berbicara di sana saja?"
Winar berjalan menjauhi kantor dan aku terpaksa mengikutinya. Kukira dia akan menunjukkan sesuatu kepadaku. Tetapi dia
berhenti setelah berada beberapa jauh dari kantor, di pinggiran
yang beratap di samping bangsal tempat pertemuan-pertemuan
besar. Badannya berbalik menghadapiku.
"Benar, mereka akan dikeluarkan."
Seketika itu juga seluruh pancaindraku tegang, kepalaku tertegak. Kami berpandangan. Beberapa hari yang lalu dia menyampaikan desas-desus dari Ibukota. Sekarang mukanya menunjukkan
kesungguhan, bahkan kekhawatiran. Dalam keterkejutanku, aku
masih sempat berpikir.
"Siapa saja yang akan dikeluarkan?"
4 "Semua."
"Kapan?"
"Gelombang pertama diperkirakan sampai di Jakarta pertengahan bulan depan."
Sejenak tidak ada yang berbicara di antara kami. Winar tetap memandangiku. Aku tidak tahan menentang matanya. Matahari jam sepuluh pagi sudah membikin halaman sekolah silau
menguning. Dahan-dahan angsana yang ditanam sebagai ganti
akasia tahun lalu bersusah payah menjulur dan merentang guna memberikan lindungannya di sana-sini. Tak sesilir angin
pun mengirim kesejukan. Mataku kutambatkan pada salah satu
cabang pohon itu sambil hatiku lembut membisikkan nama
Handoko. Dan sekilas ada perasaan yang menusuk, seolah-olah
memperingatkan aku agar waspada akan datangnya sesuatu bahaya. Naluri wanitakah ini? Indra keenam atau ketujuh yang kadang secara aneh menelusup memberitahu kita untuk bersiaga?
"Bagaimana memberitahu suamimu?"
Suara Winar tidak bertanya. Dia membunyikan kata-kata yang
terselip di balik bisikan namanya. Jadi kawanku itu memikirkan
hal yang sama. Berarti dia juga mengerti bahwa berita itu bukan
sesuatu yang menguntungkan. Sebaliknya justru menyebabkan
timbulnya masalah.
"Kapan dia pulang?" tanya Winar sambil tetap memandangiku. "Paling cepat baru hari Jumat," sahutku.
Dia diam sebentar, lalu mengatakan perhitungannya.
"Mestinya Jumat sore atau petang," kemudian diam lagi. Sambil mengeluh dia menambahkan, "Masih tiga hari penuh."
Dan aku membetulkan, "Kalau dia baru sampai di rumah
Jumat malam, ya berarti empat hari."
5 Handoko baru berangkat Minggu malam. Rencananya, mulai
Senin pagi sudah berada di tempat kerjanya, ialah jembatan yang
baru-baru ini runtuh karena tanah longsor dan banjir. Bersama
regunya dia harus mengadakan pengamatan dan mencari kemungkinan-kemungkinan terbaik untuk pembangunannya kembali. Sementara menunggu kepulangannya, aku tidak bisa mengambil prakarsa apa pun. Kepalaku berpikir keras. Paling tidak,
aku harus mendapatkan informasi selengkap mungkin mengenai
berita itu.
"Kau mendapat kabar itu dari sumbernya?"
"Ya, dari saudaraku yang itu. Kau tahu, dia yang selalu
menolong kita."
Aku segera mengerti. Sekaligus aku semakin mempercayai kebenaran berita itu. Berkat bantuan saudara Winar itu pulalah
selama ini aku selalu menemukan kelancaran di bidang urusan
perizinan. Kalau saudara temanku itu memberikan instruksi,
biasanya semua berlangsung tanpa hambatan. Tidak jarang perintahnya hanya berupa panggilan telepon kepada instansi yang
bersangkutan. Aku mengakui bahwa selama ini campur tangannya
selalu menunjukkan keampuhan yang meyakinkan.
Dari ruang terdekat, siswa-siswa mulai keluar. Kuliah yang
diberikan pada jam paling pagi telah selesai. Berombongan mereka berjalan menjauh. Dua atau tiga orang mengelompok, berdiri
di samping. Kami membalas salam mereka.
"Kamu menelepon saudaramu untuk menanyakan hal itu?" kataku karena ingin mendapatkan keterangan lebih lanjut.
"Tidak. Kemarin ada CPM datang ke rumah menyampaikan
pesan, bahwa saudaraku itu akan singgah di lapangan udara pagipagi ini. Aku baru saja kembali dari sana."
Jadi berita itu benar. Tak hentinya aku terheran-heran. Ba6 rangkali karena masih ada harapan bawah-sadar supaya itu tetap
merupakan desas-desus.
"Dia dari kepulauan sana, lalu ke Ambon, tidur di Surabaya
kemarin. Beberapa hari lagi Widodo tentu menyuratimu," kata
Winar lagi. "Kalau dia pulang, ke mana dia?"
Kali itu pun temanku mengucapkan apa yang mendengungdengung dalam kepalaku. Winar menyuarakan persoalan yang
memberati berita itu. Ya, akan ke mana dia? Karena tidak tahu
bagaimana menjawab, aku menoleh. Sekali lagi mata kami saling
bertatapan. Rumah peninggalan ibuku masih dikontrakkan. Jangka waktunya memang akan habis sebulan lagi. Penghuninya
sudah memberitahu ingin memperpanjang kontraknya. Kami
sedang merundingkan pilihan antara kenaikan harga atau perbaikan beberapa bagian rumah. Handoko memerlukan gudang
sementara untuk tempat menyimpan barang-barangnya. Kalau
pengontrak rumah ibuku mau memperbaiki atap dan saluran air,
harga tidak akan dinaikkan. Di halaman belakang akan kami bangun gudang sederhana berlantai semen. Untuk itu kami terpaksa
harus mengorbankan pohon kluwih dan beberapa pohon pisang.
Kalau rencana itu jadi, luas halaman akan menyusut. Penghuni
rumah itu tidak berkeberatan. Katanya malahan mengurangi pekerjaan membersihkannya. Seperti kata Winar, Widodo tentu
akan mengirim surat sebegitu dia tahu akan keluar. Saudara satusatunya di Jawa hanyalah Handoko. Ataukah dia akan ke Klaten,
ke tempat keluarga orangtuanya? Adakah di antara mereka yang
mau menerimanya? Bagaimana reaksi Handoko jika mengetahui
kakaknya akan pulang? Dan anak-anakku? Pikiran terakhir ini
mendadak membikin keringat dingin mengalir deras di punggung
dan pelipisku. Aku merasa sesak, sukar bernapas. Berlawanan dengan rasa kebakaran dalam diriku, peluh yang menggerayangi kulit
7 di bawah blusku meninggalkan kebekuan tajam. Aku meminggir
dan bersandar pada dinding.
"Kau mau duduk? Ayo ke kantin saja!" Aku tidak menyahut
dan tidak beranjak. Sekali lagi pandanganku kulempar ke tengahtengah halaman, laju ke seberang, ke kelompok pemukiman yang
ditumbuhi kehijauan lebih padat dari lingkup gedung-gedung
sekolah. Winar menjawab salam beberapa mahasiswa. Aku menoleh, berusaha kembali sadar untuk cepat memikirkan apa yang
harus kukerjakan di hari-hari dekat.
"Buat sementara, kalau dia mau menengok anak-anaknya, biar
tinggal di rumah kami," kata Winar.
Temanku ini sangat baik. Hari itu dia buktikan untuk kesekian
kalinya kedermawanan hatinya bersama istrinya. Selama ini mereka berdua selalu membantu dan menopangku. Dulu di masamasa paling sukar, kebanyakan saudara dan kawan mengucilkan
kami, Siswi dan Winar tetap membuka lengan buat merengkuh
kami. Keakrabannya sungguhlah bersahabat dan sejati. Tetapi mereka adalah teman-temanku. Siswi tidak pernah bisa cocok dengan
Widodo. Maukah yang akhir ini tinggal bersama mereka? Apa
yang akan dia pikirkan? Dan orang-orang lain? Mengapa saudara
sendiri dititipkan di tempat orang? Sebaliknya, kalau Widodo
datang dan tinggal bersama kami, apakah orang-orang juga akan
bisa diam? Aku bekas istrinya yang kawin dengan adiknya. Orang
selalu usil dan jahil. Apa pun yang kami kerjakan pastilah akan
dipergunjingkan. Serba salah. Apalagi anak-anaknya memang
tinggal bersama kami. Sehingga Widodo mempunyai dua alasan
seandainya berada di rumah kami: dia menengok anak-anaknya
dan adiknya.
Empat belas tahun lamanya perpisahan itu. Anak sulungku
dan adiknya pernah menengok satu kali ketika tempat tahanan
8 ayahnya masih bisa dijangkau. Waktu itu ibuku masih hidup.
Untuk terakhir kalinya dia mengorbankan sisa-sisa perhiasannya
guna membiayai perjalanan dan membeli berbagai keperluan Widodo. Seolah-olah sudah merasa, dia mendesakku agar memberi
izin kepada Eko dan Widowati mengikuti rombongan menjenguk
tahanan ke Nusakambangan. Katanya selagi ada kesempatan.
Siapa tahu akan lama lagi bertemu kembali.
Waktu itu aku menyadari betapa pentingnya kelestarian hubungan antara bapak dan anak. Lebih penting dari hubunganku
sendiri dengan suamiku. Seto masih terlalu kecil. Kenangan
yang dia simpan mengenai bapaknya hanyalah merupakan pengaruh cerita dari kakak-kakaknya. Terus terang aku tidak pernah menolong menghidupkan maupun menambah kenangan
tersebut. Sejak perkawinanku dengan Handoko, aku lebih ingin
menghindari menyebut nama ataupun hal yang bersangkutan dengan bapak mereka. Kehadiran dua anak bersama kami memang
tidak memudahkan kehendak tersebut. Sebagai ibu, aku tetap
berkewajiban menjadi perantara ikatan anak pada bapak.
Seto malas menulis surat. Kukira tidak banyak anak di dunia
ini yang dengan sukarela rajin menulis surat kepada orangtuanya.
Meskipun Seto tahu bahwa bapaknya senang menerima berita
langsung dari dia dan dia sendiri pun puas jika menerima surat tersendiri, terpisah di halaman lain. Tapi untuk duduk dan
mencoretkan kalimat demi kalimat yang berbentuk surat, kami
berdua harus berdebat berhari-hari. Aku tidak pernah bisa menyembunyikan kejengkelanku dalam hal ini. Pertama-tama disebabkan karena setiap kali mendesaknya menulis itu, aku terpaksa
teringat bahwa aku pernah menjadi istri bapaknya Seto. Dengan
ingatan itu, mau atau tidak, perasaan bawah-sadarku menggelitik
lalu menggelegak untuk menampilkan ke permukaan lagi se9 gala kepedihan serta kepiluan yang kualami selama bersendiri
membesarkan ketiga anak. Kehadiran ibuku bukan merupakan
unsur pendidikan yang memperkuat disiplin bagi anak-anakku.
Ibuku selalu lemah menghadapi cucu-cucunya. Semua ulah dan
kenakalan mereka dibiarkan. Alasannya: Kasihan mereka, belum
tahu apa-apa. Atau: Sudah, biarkan! Anak sebegitu kecil sudah
tidak ditunggui bapaknya! Karena sering berada di luar rumah
untuk mengajar, ibukulah yang kuharapkan bisa mengawasi
anak-anakku. Meskipun begitu memanjakan, aku merasa sangat
beruntung mempunyai Ibu.
Di saat-saat pergolakan hidup yang menggilas dan hampir
menghancurkanku, aku masih bersyukur karena ibuku tidak menolakku. Kulihat di sekelilingku, tidak sedikit istri-istri senasib
yang jauh lebih menderita. Ada yang tidak mempunyai orangtua
lagi, sedangkan saudara-saudara menjauhi dan tidak sudi bergaul
lagi dengannya. Ada yang masih memiliki orangtua, tetapi hubungan mereka menjadi dingin karena takut terlibat. Ibuku tidak begitu. Apa pun yang terjadi, rumahnya selalu terbuka untuk menjadi pelindung anaknya. Walaupun tampaknya dia bukan pendidik yang berdisiplin, ibuku mempunyai kekuatan
sifat lainnya. Dia berani dan gigih. Sedari masa remaja aku menyaksikan betapa dia bekerja keras sebagai pedagang kecil untuk menambah jumlah pensiun Bapak yang sedemikian sedikit.
Terdesak oleh kebutuhan guna menumbuhkan anak-anaknya,
ibuku berani menantang pendapat umum. Tanpa menunggu
selamatan seratus hari meninggalnya Bapak, Ibu sudah mendatangkan tukang. Dia menyuruh orang membikin warung di samping rumah. Sampai sekarang aku ingat betapa itu merupakan
peristiwa besar di jalan tempat kami tinggal. Daerah itu tergolong
pemukiman para priyayi yang disebut orang-orang terpandang.
10 Tanpa segan dan ragu ibuku menjual gelangnya sebagai modal.
Pada waktu itu, warung terdekat terletak di sebelah barat, empat
petak perumahan jauhnya dari jalan kami. Apabila pembantu lupa membeli garam, kecap, atau kebutuhan pokok lain, dia harus
berjalan ulang-alik paling cepat setengah jam.
Itulah sebabnya ibuku mengambil keputusan yang berani untuk menjadi bakul, pedagang kecil bumbu-bumbu. Katanya, dia
tidak pernah tamat sekolah dan tidak memiliki kepandaian khusus. Tapi dia bisa menghitung dengan baik serta bisa memilih
bahan makanan yang segar. Sambil mengawasi rumah tangganya,
dia ingin mengerjakan sesuatu yang bisa menambah penghasilan.
Maka, jadilah warung itu. Dan Ibu bekerja keras. Sesungguhnya
kami anak-anaknya juga diminta membantu dia. Namun sangat


Jalan Bandungan Karya Nh. Dini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sukar mengerahkan tenaga adik-adikku. Ibuku sendiri tidak pernah memaksa mereka. Dia tidak pernah mengeluh. Sampai larut
malam aku sering melihat dia membungkusi gula setengah kilo
demi setengah kilo, kue kering atau kacang goreng dua sendok
demi dua sendok. Dia juga selalu siap melayani pembeli pada
jam berapa pun. Berkat warung itulah kami bersaudara dapat
terus sekolah, makan, dan berpakaian sepantasnya. Malahan
kadangkala aku merasa lebih beruntung dari teman-temanku
yang juga bernasib yatim. Ketika Bapak meninggal, aku sudah
memulai sekolah kejuruan, pendidikan khusus untuk menjadi
guru. Berulang-kali ayah kami berkata kepada Ibu bahwa apa pun
yang terjadi, aku harus terus sekolah sampai mendapat ijazah.
Meskipun anak perempuan, aku harus memiliki kepandaian dan
bukti berupa ijazah sebagai bekal hidup. Ibuku menyetujuinya.
Bukankah seringkali dia mengulangi penyesalannya karena tidak pernah menyelesaikan pelajarannya di zaman pendudukan
Belanda?
11 Mempunyai ibu pemilik kedai hampir menghalangiku menikah.
Konon orangtua Widodo kecewa ketika mengetahui bahwa bakal
menantunya adalah anak seorang janda yang mempunyai warung
kebutuhan dapur. Dan setelah kami kawin, suamiku yang pertama
itu bahkan berkali-kali membujuk ibuku supaya menghentikan
usaha kecilnya itu. Untunglah Ibu tidak menggubrisnya. Karena
ternyata berkat warung itu pulalah ibuku bisa membantu aku
membesarkan anak-anakku. Seumpama dulu ibuku menuruti usul
menantunya, hidup hanya dengan pensiun yang tipis dan jumlah
sumbangan kecil dari sang menantu itu, kemudian aku terpaksa
pulang ke rumah ibuku dengan membawa tiga anak, dengan apa
kami bisa makan sebelum aku mulai bekerja kembali?
Sambil bersandar pada dinding di pinggiran ruang-ruang
kuliah itu, aku terus berpikir. Seandainya dulu kami tidak jadi
kawin karena orangtua Widodo tidak menyetujui, barangkali
aku tidak mengalami hidup pahit seperti masa-masa yang lewat.
Tapi seandainya terjadi demikian, bagaimana kemudian aku akan
bisa bertemu dan kawin dengan Handoko? Ah, manusia! Selalu
tergiur oleh perkataan seandainya. Seolah-olah dengan perkataan
itu kita bisa membentuk dunia baru atau kehidupan lain yang sesuai dengan idaman masing-masing.
Tiba-tiba kurasakan sentuhan di lenganku.
Winar menarikku. "Kita ke kantin saja," katanya.
Aku menurut, kami berjalan berdampingan menuju kantin.
Tanpa membantah kubiarkan temanku memesan air jeruk dan
makanan gorengan.
"Harus kaupikirkan bagaimana sebaiknya memberitahu suamimu. Tadi Siswi berpesan supaya aku mengingatkanmu. Handoko
selalu cemburu. Hati-hati berbicara mengenai rencanamu dalam
hal ini."
12 Perlahan dadaku ditelusupi rasa kelembutan lagi. Pada saat
kebingungan seperti sekarang pun, kedua sahabat itu memberiku
kecerahan yang meyakinkan. Aku tersenyum.
"Ada apa?" tanya Winar.
"Kalian baik sekali. Benar-benar sahabatku, saudaraku yang
melebihi saudara-saudara sedarah dan sekandungan. Siswi benarbenar mengerti sifat Handoko."
"Tentu saja kami mengetahui bagaimana sifat suamimu! Cintanya kepadamu sedemikian berlebihan sampai kadang-kadang
kami takut apakah itu sungguh-sungguh ataukah untuk menutupi
sesuatu kesalahannya. Hingga sekarang setelah lima tahun kalian kawin, kami memutuskan bahwa dia memang tergila-gila kepadamu. Sekali dalam seratus tahun hal itu bisa terjadi pada sejarah kemanusiaan."
"Aku juga tergila-gila kepadanya. Meskipun sudah lima tahun
kami bersama, hatiku tetap gemetar di saat menyebut namanya,"
sahutku menanggapi kata-kata ketulusan pandangan temanku
itu. Kini Winar turut tersenyum. Hanya Siswi yang kenal Widodo.
Dia bekas temanku sekelas, pindah ke kota lain dan kawin di
sana. Ketika mereka pindah lagi ke kota kami, Widodo sudah
menghilang. Semula Winar baik kepadaku karena istrinya adalah
kawanku. Berangsur-angsur kami mendekat disebabkan karena
hubungan Winar dengan tamu-tamu bangsa asing yang secara
kebetulan juga mengenalku. Kemudian kedatangan Handoko dari
luar negeri mengokohkan kedekatan kami. Winar dan Handoko
segera saling cocok. Mereka membuat proyek bersama beberapa teman lain yang juga sejalan gagasan serta pendapatnya. Winar dan
Siswi termasuk lingkungan dekatku yang menyepakati hubungan intimku dengan Handoko. Rasa simpati beberapa anggota
13 keluarga dan teman yang selama bertahun-tahun menyaksikan
hidupku sendirian menumbuhkan ketiga anakku, perlahan-lahan
bersemi tanpa aku mengemis maupun mengharapkan belas kasihan mereka. Perhatian mereka yang bermaksud baik lebih diperlihatkan setelah mereka mendengar berita kemampuanku sehingga terpilih untuk memenuhi undangan studi ke luar negeri.
Karena surat kabar besar di kota kami memuat berita keberangkatanku, maka hampir semua kenalan dan keluarga mengetahui hal tersebut. Dari saat itulah rasa percaya-diriku bertambah
kuat. Aku semakin tidak takut menghadapi siapa saja dan di kantor
instansi mana pun. Mungkin tidak sedikit orang mengatakan
bahwa nasibku baik. Bahwa keberhasilanku banyak tergantung
kepada keberuntunganku. Kalaupun itu benar, bersalahkah aku
karena mendapat keberuntungan itu?
Selama bertahun-tahun aku dikucilkan. Orang takut dan segan
bergaul dengan aku. Instansi-instansi di mana pun yang kumasuki
untuk urusan perizinan lebih sering memperdengarkan sindiran
kata yang menyakitkan hati. Apakah itu tidak terhitung sebagai
nasib buruk yang kemudiannya patut diimbali dengan suatu keberuntungan? Pertemuan dan kemudian perkawinanku dengan
Handoko benarlah kuanggap sebagai satu hadiah besar. Orangorang yang dekat denganku melihat sendiri bagaimana pergaulan
kami sebelum dan setelah menjadi suami-istri. Teman-teman
baik kami merasakan keserasian hubungan kami berdua. Aku
bahkan seringkali merasa, Handoko keterlaluan memanjakanku.
Berduaan atau bersama orang-orang lain, suamiku memperlakukan aku dengan cara yang sama. Selalu memperlihatkan cinta
kasihnya yang berlebihan. Dalam hal ini, dia jelas amat berbeda
dari kakaknya.
Di kantin siang itu aku memanfaatkan waktuku guna menarik
14 sebanyak mungkin pendapat Winar sebagai laki-laki, sebagai suami. Seumpama dia Handoko, dia mengawini perempuan bekas
istri kakaknya, lalu tiba-tiba kakak itu datang menginap untuk
waktu lama, apakah tindakannya? Bagaimana perasaannya?
"Sebenarnya yang pokok ialah soal kepercayaan. Kau dan Handoko saling mencintai. Tetapi kalian kurang saling mempercayai.
Aku? Aku tidak bisa menempatkan diri sebagai Handoko, suamimu. Aku cemburuan, tapi tidak terlalu emosional seperti dia. Aku
tidak punya kakak. Dengan adik satu-satunya pun aku kurang
rukun karena tidak cocok. Siswi juga tidak suka kepadanya. Andaikata tiba-tiba adik itu datang dan tinggal bersama kami, terus
terang setelah cukup waktunya, kami akan mengusirnya."
Jadi sahabat-sahabatku juga mengetahui kurang adanya kepercayaan antara aku dan suamiku. Alangkah benarnya pengamatan itu. Dengan kesadaran terhadap kebenaran tersebut, rasa
bawah-sadar yang tetap hendak kusembunyikan dan kutekan,
kini memberi isyarat lebih nyata bahwa berita pagi itu adalah pertanda malapetaka bagi kebahagiaanku.
*****
Bagian Dua
16 17 1 anak-anakku penuh gelora api. Dua pengertiannya. Api re- ertemuanku dengan lelaki yang kemudian menjadi bapak
volusi dan api dalam arti kata yang sesungguhnya.
Pekerjaan ayahku ialah polisi di salah satu seksi di kota Semarang ketika perang meletus. Waktu itu, bersama keluarga beberapa pejabat penting kotapraja, kami terburu-buru harus mengemasi dua kopor. Aku dan adik-adikku boleh membawa tas
sekolah yang kami isi dengan apa saja, sesuai dengan keinginan
kami. Tapi kami tidak berhak bertanya sesuatu pun. Setiap kali
kami anak-anak yang besar ingin mengetahui ke mana kami pergi,
mengapa kami harus berbicara dengan suara rendah, orangtua
kami menghardik dengan suara tertekan sambil memelototkan
mata. Aku segera mengerti bahwa semuanya serba harus dipendam. Maka aku sebagai anak sulung, harus memberi contoh sebaik-baiknya kepada adik-adikku. Kubuka pendengaranku untuk
mengikuti semua percakapan. Kupertajam pengamatanku agar
dapat melihat apa yang disembunyikan. Kalimat-kalimat orang
dewasa tidak selalu kumengerti. Tetapi sekurang-kurangnya, aku
berusaha mengikuti suasana. Yang akhirnya kumengerti ialah
rombongan kami harus mengelabui mata pemburu bangsa Jepang
beserta kaki-tangannya.
Sebegitu keluar kota, kami meneruskan menuju ke barat. Aku
bahkan mengetahui bahwa kami melewati Pekalongan. Sesudah
18 itu, perjalanan menjadi lebih melelahkan. Kendaraan bermotor
kami tinggalkan, kami meneruskan dengan naik kereta api. Karena
jembatan rusak, setelah menyeberang dengan rakit, rombongan
menyewa gerobak dan dokar. Untuk selanjutnya, aku kurang
jelas, karena tertidur kelelahan. Matahari terbenam, matahari terbit, perjalanan berlangsung tanpa kusadari sepenuhnya. Gerobak
yang ditarik sapi atau kerbau menjadi alat angkutan utama
selama beberapa hari. Kadang-kadang kami berhenti, tidur untuk
satu malam, bahkan beberapa malam di tempat yang sama. Yang
kuingat benar ialah udara berangsur-angsur menjadi sejuk. Entah
sudah berapa hari kami meninggalkan kota. Pada suatu malam,
kudengar bisik-bisik di sebelah luar dinding bambu kami yang
mengatakan, bahwa kami sedang menuju ke ibu kota RI yang
bernama Yogyakarta. Kami tidak pernah sampai di sana. Selama
tiga tahun lebih kami mengembara. Kaki, lereng, dan punggung
Gunung Slamet kami jelajah konon untuk mencari terobosan
yang aman ke arah selatan. Waktu itu aku tidak mengetahui urusan orang dewasa. Setiap kali kulihat ayah kami tergopoh-gopoh
mendekati tempat bermalam kami atau perhentian sementara, itu
tandanya bahwa kami harus siap untuk berangkat. Bulan berganti
bulan, kami anak-anak tidak begitu sadar bahwa waktu itu negara dalam keadaan perang. Kenangan masa itu bagiku adalah
perjalanan yang tak kunjung berhenti. Menurut keterangan singkat yang kudapatkan dari Ibu, Bapak sedang mengawal pejabat
kotapraja tingkat provinsi. Dia bersama keluarganya harus selamat
sampai di ibu kota RI.
Rombongan kami juga dikawal oleh beberapa orang Tentara
Rakyat atau pejuang. Dari satu tempat ke tempat lain, pengawal
ini diganti. Pakaian mereka tidak selalu seragam. Paling sering
para pemuda dan lelaki dewasa itu mengenakan celana dan baju
19 warna hitam. Kata ibuku, itu warna yang paling bagus untuk
menyatu atau menghilang dalam hutan. Juga karena tidak perlu
terlalu sering dicuci.
Kenangan dari masa itu bagiku juga tidak berbentuk bulat
ataupun utuh. Bagian demi bagian yang terpenggal, kadangkala
berurutan kejadian diikuti kejadian. Tetapi seringkali juga terdiri
dari adegan-adegan saja tanpa kuingati di mana dan dalam peristiwa
yang macam mana. Yang tercetak dalam ingatanku misalnya pada
saat ketika aku merasa sangat kedinginan. Lalu penduduk setempat
membikinkan beberapa ceret wedang jahe buat rombongan kami.
Dan itulah minuman yang paling nikmat yang pernah kuteguk
hingga umurku waktu itu. Di sudut ingatanku juga tersimpan
pemandangan-pemandangan menyenangkan. Umpamanya untuk pertama kalinya aku melihat orang memerah susu. Ingatan
yang mengerikan ialah ketika aku menyaksikan seorang anggota
rombongan menangkap ular besar sekali. Kata Bapak, itu ular
sanca. Tidak berbahaya karena gigitannya tidak mematikan. Tapi
kalau dia lapar sekali dapat menelan anak sebesar adikku. Waktu
itu aku sepenuhnya mempercayai ayah kami. Tapi kemudian ibuku
berbisik, bahwa Bapak berkata begitu supaya adikku patuh jika
dilarang bermain terlalu memisah dari rombongan.
Dalam pengungsian itu adikku terkecil lahir. Untunglah waktu
itu kami sedang menetap di desa Guci. Tiga kali kami pergi dan
kembali lagi ke desa itu. Setiap kali kami serombongan dibagi keluarga demi keluarga, atau dua keluarga bersama, dititipkan pada
penduduk yang memiliki tempat. Rumah-rumah di sana sederhana
sekali seperti biasanya yang terdapat di desa-desa berhawa dingin
lainnya. Meskipun lantainya dari tanah, entah bagaimana, pada
saat matahari terbenam, terasa seolah-olah ada uap hangat yang
muncul dari sana.
20 Di desa Guci itu aku dapat mengatakan menemukan kebahagiaan masa anak-anak yang juga sangat sederhana namun
membekas seumur hidupku. Permainan jual-beli yang kami
sebut pasaran menyediakan bahan yang beraneka ragam, karena
pagar dan perdu tidak hentinya bertunas. Setiap kali, rombongan
harus meninggalkan desa, lalu kembali lagi. Tapi kami anakanak dalam rombongan menyebutkan perkataan "pulang" pada
saat kami tiba lagi di sana. Sepanjang ingatanku, selama dalam
pengungsian itu kami tidak pernah mengalami kelaparan. Ke mana pun kami pindah, jatah makanan dari dapur umum selalu
mencukupi. Minuman demikian pula, walaupun gula yang kami
dapatkan bukan gula pasir. Untuk tambahan lauk dari jatah tersebut, masing-masing keluarga menambahkan sendiri menurut
kemampuan dan kemauan mereka.
Pertama kalinya kami datang ke desa Guci, aku tidak tahan
udaranya yang dingin menyengat. Lalu penduduk menunjukkan
sumber-sumber air panas. Itu tersebar di mana-mana. Yang terdekat dengan tempat kami terletak di tengah-tengah sawah. Aku
seringkali bermain-main ke sana hanya untuk merendamkan kaki
di parit yang dialirkan ke tepi jalan desa. Karena harus menghemat
minyak buah jarak buat pelita, kami harus mandi sebelum kabut
mengawang menutupi pemandangan.
Pada waktu terakhir kalinya kami menetap di desa itu, barulah
paceklik terasa mengancam. Jatah nasi hanya diberikan satu kali sehari. Meskipun demikian, jagung dan singkong tetap berlimpah.
Ibu-ibu yang bertugas di dapur umum sangat kreatif. Mereka
menyulap labu sebesar bayi menjadi berbagai makanan asin dan
manis, sehingga kami anak-anak tidak lagi menganggapnya sebagai sayur. Pada waktu itu pula, karena lebih dari tiga bulan
kami tidak berpindah tempat, ayah kami mengumpulkan anak21 anak desa dan anggota rombongan. Mereka diajar bersama secara


Jalan Bandungan Karya Nh. Dini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

teratur.
Di halaman kelurahan ada hanggar tempat penimbunan panen kentang dan hasil lain. Di sana anggota rombongan mengatur tempat buat pertemuan-pertemuan. Kami anak-anak juga
memanfaatkannya buat belajar. Yang dipentingkan ialah pelajaran menulis, membaca, dan menghitung. Sejarah diganti dengan dongeng, cerita mengenai Tanah Air sedari dulu sampai
perjuangan masa itu. Semua anak dari semua umur dijadikan satu.
Yang mengajar bergantian, siapa saja di antara orang tua yang
merasa mampu dan pada saat itu tidak bertugas di dapur maupun
di tempat lain, karena orang-orang dewasa yang berbadan kuat juga turut ke ladang, atau berjaga bersama kaum pejuang.
Aku sebagai anak tertua tidak pernah mempunyai waktu senggang. Sebegitu menyelesaikan tugas yang diberikan ibuku, ayahku
memanggil untuk mengerjakan sesuatu yang lain. Tetapi aku merasa masih memiliki waktu untuk bermain-main. Karena selagi
orang-orang dewasa beristirahat di waktu siang, kami anak-anak
biasa menyelinap keluar rumah, berkencan dengan kawannya
sendiri-sendiri. Sejak sekolah mulai teratur, aku merasa semakin
lebih santai, karena pagi sampai siang aku harus belajar bersama
anak-anak lain. Lalu Ibu mengambil seorang penduduk desa agar
bisa menolong mengawasi adikku yang paling kecil. Dia juga bergantian dengan ibuku mencuci pakaian kami. Dengan demikian,
masa tinggal kami di desa Guci benar-benar merupakan kenangan
yang menyenangkan bagi kami anak-anak.
Sekolah membikin aku terbebas dari tugas mencuci baju. Pekerjaan rumah tangga yang harus kulunasi ialah memandikan
adikku; kadangkala menimba untuk mengisi bak di samping sumur dan sore hari mengambilkan jatah minuman teh dari dapur
22 umum. Kalau aku atau adikku yang besar mengeluh ataupun
berdalih buat menghindari tugas yang telah diperingan itu, ibu
kami segera mengingatkan berita yang sering disampaikan oleh
pendatang baru. Konon di kota-kota pendudukan, di daerah
pesisir, air semakin sukar didapatkan. Tidak hanya makanan yang
langka dan mahal, air pun harus dibeli dengan harga yang tinggi.
Meskipun kami hidup di pengungsian, kami tetap harus bersyukur
karena masih bisa makan nasi bersih satu kali sehari, bisa mandi
dengan leluasa dan minum sebanyak kemauan kami. Di kota-kota
itu, kabarnya, orang harus antre lama untuk mendapatkan makanan maupun air bersih.
Kami anak-anak hampir lupa bahwa desa Guci adalah tempat
tinggal sementara. Tiba-tiba pada suatu pagi kami diberitahu
bahwa pelajaran dihentikan dan kami harus pulang mengemasi
baju untuk dibawa pergi. Setelah membantu ibuku sebentar, aku
disuruh mendahului ke halaman kelurahan sambil mengemong
adikku. Di sana sudah banyak orang berkumpul. Bapak sibuk
berbicara dengan pengawal lain. Seorang anggota tentara membuka kertas lebar di atas meja. Mereka semua menunduk memperhatikan gambar di sana. Aku menunggu bersama anak-anak
lain. Kemudian kudengar seseorang berkata bahwa gerobak perbekalan sudah diberangkatkan lebih dahulu, dan bahwa sebaiknya
anak-anak dan wanita segera menyusul.
Sebelum lohor, kami meninggalkan desa Guci untuk kesekian
kalinya. Dalam rombongan yang berjalan bersama kami anakanak dan kaum ibu, kulihat dua pejabat kota yang selalu dikawal
Bapak. Tetapi orangtuaku sendiri tidak tampak. Aku ingin bertanya di mana bapak dan ibu kami. Tetapi wanita-wanita dan lelaki
berumur di dekatku tidak ada yang mengetahui. Perjalanan hari
itu tenang tetapi menyedihkan. Hanya ada satu gerobak di barisan
23 belakang. Kami anak-anak disuruh berjalan di tengah. Silih
berganti, kami diperbolehkan menggonceng gerobak yang sudah penuh dengan tas dan barang bawaan kami semua. Lama sekali kami
berjalan. Makan siang dibagikan dalam bungkusan daun yang
berbau jamu. Bambu tempat air minum diedarkan dari tangan
ke tangan. Kami berhenti sebentar sambil makan dan mengganti
kerbau penarik gerobak. Orang-orang dewasa tersebar di dekatdekat, mencari tempat duduk yang kering. Meskipun beberapa
anak belum selesai makan, rombongan harus bergerak lagi. Sebegitu matahari bergeser ke barat, kabut mulai bergantungan
di pucuk-pucuk dan dahan pohon. Tapi kami terus berjalan.
Seseorang mengatakan kekhawatirannya kalau-kalau tidak bisa
mencapai tujuan sebelum matahari terbenam. Dari belakang ada
yang menyahut bahwa bagaimanapun juga, rombongan harus ke
sana. Karena hanya itulah tempat berhenti yang terlindung. Daripada bermalam di tempat terbuka, tambahnya lagi.
Ketika kegelapan kabut menyelubungi kepanjangan rombongan dari depan ke belakang, orang-orang dewasa menyalakan
obor. Perjalanan menjadi lebih lambat. Sekeliling kami gelap
pekat. Anak-anak lelaki besar yang sudah berjalan sejak waktu
berangkat, mulai mengaduh dan mengeluh. Kata mereka, jalan
semakin licin. Sebetulnya aku juga berpendapat begitu. Tetapi
karena mengerti bahwa sebaiknya diam daripada mengganggu
orang-orang dewasa, maka aku membisu saja. Adikku yang paling
kecil sudah tertidur di gerobak, dipangku Yu Dinem, pamongnya.
Pikiranku masih lebih terpusat kepada kedua orangtuaku yang
belum juga tampak menggabung. Entah berapa lama kemudian,
kami digiring memasuki sebuah bangunan beratap. Kami ditanya
apakah mau makan atau minum. Karena kelelahan, banyak dari
kami anak-anak yang lebih memilih tidur. Di pinggiran ruang,
24 telah diatur jerami dan karung-karung yang digelar. Tanpa disuruh, kami bergelimpangan menjatuhkan diri. Aku mendekati
pengasuh adikku, lalu berbaring di sampingnya. Dan langsung
tidak sadar apa yang terjadi di sekelilingku.
Entah berapa lama aku tertidur. Tiba-tiba saja terbangun oleh
bunyi kecek-kecek belalang dan nyanyian jengkerik. Kutilingkan
kuping untuk mengikuti percakapan bernada rendah yang datang
dari luar. Di atas kepalaku tampak sinar terang, merembes dari
celah-celah atap. Kelihatannya pemandangan di luar lebih jelas
daripada di dalam. Dan lebih aneh lagi ialah aku kepanasan.
Kutegakkan badan sambil mencoba membiasakan mataku melihat
siapa-siapa yang berada di dekatku. Tidak ada bayangan bapak
maupun ibuku. Perlahan aku bangun, kemudian menuju ke pintu
yang terbuka memberikan sinar dari luar.
"Jangan keluar, Nak! Berbahaya!" suara perempuan agak serak
menahanku.
Aku menoleh, mengenali bayangannya.
"Saya ingin mencari Ibu, Mbah," sahutku sambil terus berjalan
ke pintu.
"Di sini saja. Nanti sebentar lagi ibumu kembali," bujuknya
keras.
Sampai di depan pintu aku mengintip. Di luar juga tidak ada
lampu ataupun obor yang menyala. Tetapi sinar yang terpancar
dari langit berwarna merah, memberi pantulan yang terang sehingga aku bisa membedakan satu pohon dari lainnya. Hati-hati
aku melongokkan kepala. Karena tidak merasa adanya bahaya,
perlahan aku keluar, menepi-nepi pada dinding. Belum mencapai
empat langkah, seseorang menegur.
"Ada apa, Dik?"
25 Aku tidak kenal suara itu. Ketika dia mendekat, kulihat seorang pemuda menyandang senapan.
"Saya mencari Bapak atau Ibu," sahutku.
Tentulah dia termasuk pengawal kami malam itu. Kuamati
wajahnya kalau-kalau aku sudah pernah mengenalnya. Tiba-tiba
segalanya menyilaukan. Seolah-olah sebuah bola cahaya jingga
keperakan terlempar ke angkasa dan menerangi luasan yang tidak
terbatas. Tanah bergerak seperti gempa, disusul suara dentuman
yang menggetarkan udara. Aku menjerit dan menutup mata.
Tanganku kulindungkan ke kedua telingaku. Seketika itu juga
aku merasa diriku ditarik dan direngkuh, dibawa ke bawah atap.
Dentuman dan ledakan yang gaduh bertubi-tubi memecahkan pendengaran. Derak dan geretek berselingan membarengi goyangan
tanah tempatku berpijak. Beberapa saat kemudian aku baru sadar
karena hidungku tidak leluasa bernapas. Suara pemuda itu lembut
memanasi bagian atas kepalaku.
"Ssst, tenang Dik, tenang. Tidak apa-apa, tidak apa-apa. Itu
gudang mesiu kepunyaan tentara Belanda yang diledakkan pejuang kita."
Kurasakan rambutku dibelai dan dielus. Aku menengadahkan
muka agar bernapas lebih bebas. Sebentar tanah bergerak lagi.
Letusan masih beruntunan. Aku tetap berada dalam pelukan
pemuda itu. Dari kelompok pengungsi terdengar anak-anak merengek, menangis. Orang-orang dewasa berusaha membujuk. Beberapa dari mereka tidak terkendalikan, berseru bahwa kami lebih
baik keluar karena ada gempa. Dan memang mereka berlarian
keluar. Aku kembali menjadi panik, memaksa diri lepas dan turut
mereka yang keluar.
Seseorang bersuara di depan pintu. "Ah, ini bukan gempa!"
Disusul nada yang lebih tenang, "Alhamdulillah! Ini tandanya
26 pemuda-pemuda kita telah berhasil!" Beberapa orang lain menggumamkan perasaan syukur mereka.
"Mudah-mudahan mereka semua selamat," tambah seseorang.
Dan seolah-olah hanya menunggu kalimat tersebut, mendadak
terdengar rentetan tembakan di kejauhan. Kami terdiam, menunggu. Kilauan sinar silih berganti antara warna perak dan kuning kemerah-merahan melesat satu-satu ke langit. Percikan nyala yang terlempar ke angkasa memberi pemandangan indah di
tengah-tengah keluasan yang tanpa batas. Aku terdorong oleh
kerumunan orang dewasa masuk kembali ke dalam bangunan.
Pelita yang tadi sudah dinyalakan, kini dimatikan. Suara tembakmenembak terus merentet, berselingan dengan ledakan di sanasini. Bisik-bisik ucapan doa menyela kedahsyatan pertempuran di
kejauhan itu.
Lalu, suasana menjadi lebih tenang. Letusan senapan terdengar
mengurang. Kemudian berhenti sama sekali. Agak lama kami menunggu, baru ada seorang dewasa yang berkata, barangkali Belanda sudah angkat kaki dari perkebunan. Aku terdiam, tetap
menelungkup di tempatku sambil bertanya-tanya sendiri di mana
orangtuaku, dan perkebunan mana yang dimaksudkan. Orangorang mulai bergerak. Ada beberapa yang akan keluar. Suara langkah-langkah sibuk di depan pintu. Disusul percakapan dengan
suara biasa, tanpa sembunyi-sembunyi. Barangkali pengawal berganti. Ataukah barangkali ada pendatang baru? Seketika itu aku
berpikir mungkin orangtuaku yang datang.
Kemudian lalu-lalang semakin sibuk. Seorang di sudut berkata akan menyalakan pelita. Dari pintu ada sahutan memperbolehkan. Terdengar suara korek, lalu ruangan bawah atap itu
pun bermandikan cahaya sangat melegakan. Seorang anak minta minum, ditiru yang lain-lain. Orang dewasa mengusulkan
27 memberi makanan. Tiba-tiba aku juga merasa lapar. Yu Dinem,
pengasuh adikku, sudah memegang arem-arem. Kulihat orangorang dewasa mulai santai, ada beberapa yang juga memegang
singkong rebus atau makanan lain. Seseorang mengusulkan agar
pengawal di luar dikirimi ceret teh. Setelah makan sekerat ubi jalar dan minum sedikit, aku kembali berbaring dan tertidur.
Pagi keesokannya, ibu dan bapakku sudah ada di luar ketika
aku bangun. Mereka tampak biasa saja. Ketika aku mendekat dan
Ibu memelukku, badannya berbau obat-obatan seperti di rumah
sakit. Seseorang dari belakang bangunan membawa jatah makan
pagi, lalu kami sekeluarga makan bersama. Segera setelah selesai,
Ibu bersiap-siap akan pergi lagi. Tapi kali itu aku mendapatkan
penjelasan.
"Jaga adik-adikmu baik-baik. Aku akan membantu di gubuk
palang merah," katanya. Dan kepada adikku yang besar Ibu berpesan, "Tidak boleh bermain-main terlalu jauh dari gudang!"
Jadi bangunan tempat kami berteduh itu sebuah gudang. Aku
mengikuti ibuku sampai agak jauh dari pintu.
"Aku ingin turut Ibu," kataku memberanikan diri.
"Jangan. Kamu membantu-bantu di sini saja. Seperti biasanya,
tolong membagikan makanan dan awasi anak-anak lain. Kamu
bisa mengatur permainan misalnya, supaya mereka tidak tersebar
ke mana-mana."
Pagi itu aku juga mengetahui lebih banyak sebab-sebab kebakaran semalam. Juga mengapa kami harus menyingkir dari
desa. Kata orang-orang dewasa, tentara RI menyerbu gudang perbekalan musuh di perkebunan teh Kaligua. Biasanya setelah penyerangan semacam itu, musuh menggeledah desa-desa sekitar.
Sebab itulah kami harus mengungsi ke hutan. Anak-anak diberitahu bahwa selama beberapa hari itu kami harus lebih prihatin.
28 Makan seadanya dan bertahan jangan terlalu mengeluh supaya
orang-orang dewasa bisa meneruskan pengawalan dan perjuangan dengan hati yang kuat. Dengan menerima keadaan yang
sederhana, kami diberitahu bahwa itu juga sudah berarti turut
berjuang. Nasi tidak akan selalu ada menurut kata orang-orang
dewasa yang menunggui kami. Tetapi makanan lain seperti kacang
hijau, kedelai, kentang, singkong dan ubi jalar masih tersimpan
berkarung-karung. Itu akan cukup buat makan selama bertahan
di tengah-tengah hutan.
Memang hari-hari berikutnya kami mendapat makanan tersebut. Pada hari-hari di mana disuguhkan nasi jagung, rasanya
bagaikan pesta. Kami bahkan pernah diberi daging bakar. Anakanak lelaki selalu lebih suka makan daging. Kebanyakan mereka
rewel, karena bosan, lalu tidak mau makan jatah yang diberikan.
Maka wejangan-wejangan diulang kembali, dan harus diucapkan
oleh orang dewasa laki-laki.
Kata seorang ibu yang bertugas di dapur, sudah kodrat kaum
wanita tidak selalu dituruti dan dipatuhi oleh anak-anak lelaki.
Aku masih muda waktu itu. Tetapi karena pengalaman zaman
pengungsian dan juga karena pengamatan terhadap adik-adikku
sendiri, aku menyetujui pendapat wanita itu.
Ketika Ibu akan berangkat lagi ke gubuk PMI pada suatu pagi,
sambil menggendong adikku yang paling kecil aku diperkenankan
menemaninya berjalan turun. Ternyata bangunan itu tidak begitu
jauh dari tempat kami berteduh. Tapi karena tidak ada jalan setapak yang langsung menuju ke sana, dan karena letaknya di
antara dua gundukan bukit kecil, kerimbunan dahan pohonpohon amat rapat menyembunyikannya. Aku harus berhati-hati
mengikuti ibuku supaya adikku tidak tergores oleh duri dan ranting-ranting kering. Supaya tidak tersesat di saat pulang, Ibu
29 mengajariku bagaimana menemukan jalan kembali. Katanya, di
hutan semua pohon kelihatan sama. Tetapi kalau diperhatikan
dengan saksama, masing-masing tumbuhan mempunyai ciri atau
tanda.


Jalan Bandungan Karya Nh. Dini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jalan ke gubuk PMI hanya dikenal beberapa orang dewasa
anggota rombongan kami. Aku merasa bangga karena ibuku menunjukkannya kepadaku. Di tempat-tempat tertentu ada bongkahan batu atau batang pohon yang tumbang. Pohon tumbang
pun tidak sembarangan. Harus tahu, di dekatnya ada suatu pemandangan yang harus dikenali. Karena siapa tahu ada pencari
kayu yang mendadak memotong dan membawa batang pohon
itu. Cabang atau dahan besar yang menggelantung di atas juga
harus diperhatikan. Itu semua merupakan tanda-tanda alam yang
sangat menolong orang di dalam hutan. Dan ketika berhasil pulang kembali ke gudang, aku merasa puas sekali. Pengalaman
tersebut tidak akan kulupakan seumur hidupku.
Aku tidak sadar berapa lama kami tinggal di sana. Lelaki dewasa
rombongan kami yang dianggap pemuda, jarang tampak bersama
kami. Kami anak-anak perempuan mudah diatur. Sedangkan
anak-anak lelaki besar semakin hari semakin menunjukkan sikap
kejenuhannya. Lingkup gerak mereka sebenarnya cukup leluasa.
Tetapi karena sifat mereka yang serba ingin bermain jauh, mereka
merasa tidak bebas. Mereka diminta menolong mengangkut air
dari sungai kecil yang mengalir di bawah jalan setapak. Itulah
batas sebelah barat di mana mereka diizinkan pergi.
Memang tempat itu merupakan daya tarik bagi mereka. Anakanak perempuan juga suka sekali bermain-main di tepian sungai
itu. Hingga pada suatu hari terjadi kepanikan. Dua anak lelaki tidak pulang makan siang. Sampai sore, di saat kabut seperti bubur
mengalutkan pandangan sejarak dua meter, orang-orang dewasa
30 yang bertanggung jawab di hanggar pengungsian kami menjadi
khawatir. Air sungai cukup dangkal. Dengan arusnya yang lembut
tidak mungkin anak-anak besar itu mendapatkan kecelakaan di
sana.
Dua petani yang biasa membantu telah disuruh mencari mereka di sepanjang sungai ke arah hilir maupun udik. Mereka
kembali tanpa hasil. Kata mereka, ke udik dan ke hilir sudah
dijalani lebih dari empat batu. Mereka tidak berani pergi sampai
ke desa kalau tidak diperintah ke sana. Ibu anak-anak yang dianggap hilang menangis sambil menyebut nama Tuhan dan bapak
mereka. Umur anak-anak itu sudah sepuluh dan sebelas tahun.
Seharusnya mereka mengerti berhati-hati. Apalagi seharusnya
juga ingat mematuhi peraturan atau nasihat yang selama itu selalu diulangi orang-orang dewasa. Lalu seorang ibu lain berkata,
mungkin anak-anak itu menyusul ayah mereka. Tapi tidak seorang
pun pernah diberitahu di mana orang-orang lelaki dewasa berada.
Seperti juga aku dan adik-adikku tidak mengetahui ke mana
bapak kami pergi. Aku hanya tahu bahwa masing-masing orang
dewasa itu memiliki tugas. Di mana dan bagaimana tugas itu, kami tidak pernah yakin.
Dulu ketika kami masih berada di desa Guci, aku sering berjalan di sawah atau ladang. Secara kebetulan, aku melihat sesuatu
yang aneh. Seorang laki-laki seperti petani duduk di galengan
sambil merokok seolah-olah berlepas lelah. Ketika ada laki-laki
lain lewat, mereka berbicara biasa. Lalu petani yang duduk menawarkan tempat rokok. Orang yang baru tiba itu duduk, menarik
kertas rokok untuk digulung setelah diisi tembakau. Tapi sebelum
meramunya, dia membaca apa yang tertulis di kertas. Sebegitu
rokoknya dinyalakan, dia berterima kasih, lalu pergi.
Penemuan itu kuberitahukan kepada ibuku. Orangtuaku me31 nambahkan bahwa itu adalah hal yang biasa. Kurir atau pembawa
berita tidak berani masuk ke desa. Harus ada penerus berita yang
kadangkala menemui mereka di hutan atau di ladang. Tempat
pertemuan harus berganti-ganti. Sejak waktu itulah aku semakin
menghormati siapa saja yang kutemui di mana pun. Walaupun
yang berada di jalan atau di sawah itu sungguh-sungguh petani,
aku harus tetap hormat. Orangtua kami tidak hentinya mengulang
betapa penduduk desa sangat berjasa dan berbaik hati. Mereka
banyak membantu para pengungsi dan pejuang. Bagaimanapun
juga, rasa hormat harus dimulai dari diri kami lebih dahulu jika
kami ingin disegani orang. Bapak kami juga mengajar kami agar
tetap waspada. Karena gembala atau petani mungkin juga samaran
mata-mata Belanda. Kaki tangan musuh itu dibayar tinggi. Orangorang sebangsa pun mau berkhianat jika nafsu ingin memiliki
kekayaan tidak dapat dikendalikan.
Ketika kami tinggal di desa Guci, aku dan adik-adikku pernah
menyaksikan penangkapan seorang petani yang menyelundup
untuk mencari informasi yang akan dijual kepada tentara Belanda. Aku menjadi semakin ngeri, karena ternyata hidup ini
bisa berbalik dari baik menjadi jelek. Maka sikapku terhadap
petani-petani yang belum kukenal kembali menjadi biasa saja.
Lalu ayah kami mengungkapkan sesuatu cara sepintas lalu untuk
mengetahui apakah orang itu benar-benar petani atau bukan.
Lihatlah tangannya, kata Bapak. Kalau tangan itu bersih, kukunya
tidak hitam, ya patut dicurigai. Kalian tidak perlu banyak bicara,
menghindarlah. Lebih baik tidak tahu dia lawan atau kawan. Jika
perlu, kalian pulang dan beritahu orang dewasa di desa, begitu
kata Bapak.
Pada hari yang tegang karena dua anak tidak makan siang
dan sampai jam empat sore belum pulang itu, aku bertanya-tanya
32 kepada anak-anak lain apakah tidak melihat seseorang yang tidak
dikenal di sekitar tempat kami bermalam. Siapa tahu anak-anak
yang hilang itu dibawa orang lain. Tapi ketika petang hari kami
bersiap-siap akan tidur, di luar terdengar beberapa orang datang.
Anak-anak yang hilang itu diantarkan pulang oleh tiga Tentara
Rakyat. Ibu mereka memeluk serta menciumi mereka sambil tidak
hentinya menyesali perbuatan yang dikatakan keterlaluan itu.
Akhirnya lelaki sesepuh yang tinggal dalam gudang pengungsian
bersyukur. Semuanya berakhir baik-baik. Tentara itu menemukan
anak-anak itu jauh sekali dari tempat kami. Sudah diadakan tanya-jawab. Anak-anak itu harus bersumpah tidak akan berbuat
kesalahan lagi. Karena perbuatan mereka dapat mengakibatkan
kehancuran rombongan kami, juga tentara yang mengawal.
Seperti pada waktu berangkatnya, kembalinya kami ke desa
Guci pun dilaksanakan dengan mendadak. Tapi kali itu rombongan dibagi. Kelompok pertama dengan satu gerobak berangkat
pagi-pagi buta. Aku dan adik-adikku menunggu orangtua, baru
keesokan harinya. Pada waktu itulah kami sepakat mengatakan
bahwa kami "pulang" ke tempat kami mondok di desa Guci. Seolah-olah itu adalah rumah kami yang sesungguhnya. Dimulai
dari waktu itu, kenangan dari masa tinggal kami di sana menjadi
lebih jelas dan lebih merasuk dalam ingatanku. Desa tetap dikawal
atau diawasi tentara dan pemuda pejuang. Bergiliran mereka
menampakkan diri. Pada saat-saat tertentu mereka kelihatan.
Kadang-kadang berunding dengan pengatur kelurahan. Di lain
waktu, sedang mengambil jatah di tempat perbekalan. Ada yang
ramah, menegur kami anak-anak. Yang lain hanya lewat, atau
mengangguk dari jauh.
Sejak pengungsian ke gudang dengan peristiwa kebakaran itu,
aku mencoba mengamati setiap pemuda pengawal. Aku mencari
33 atau berusaha mengenali kembali pejuang yang dulu berjaga
di depan pintu tempat kami berlindung. Aku tidak sadar apa
yang mendorongku mencarinya. Bukan karena aku rindu kepadanya. Aku hanya ingin tahu bagaimana wajahnya. Hingga beberapa hari, kemudian sepekan lebih aku mencarinya. Lalu aku
melupakannya.
Pengertian hari dan bulan bagiku belum sepenuhnya lengkap.
Karena di rumah yang kami tempati tidak ada kalender. Aku
hanya mengikuti perkataan orang dewasa yang melihati langit
dan mengintip munculnya bulan. Setelah suasana kembali santai, kami anak-anak dikumpulkan lagi dan mulai mengikuti pelajaran. Seperti pada waktu lampau, berhitung, membaca, dan
menulis diutamakan. Kami anak yang besar menolong adikadik. Tambahan pelajaran sejarah berupa dongeng dan cerita,
kemudian kami anak-anak yang besar juga diberi pengetahuan
umum. Kalender di kelurahan dikeluarkan supaya kami mengenal
nama-nama bulan internasional. Kami juga diberitahu mengapa
kami berjuang dan mengadakan revolusi. Kegiatan di luar negeri
untuk mempersingkat perang di negeri bekas jajahan Belanda lalu
Jepang pun diceritakan sedikit oleh orang dewasa yang bertindak
sebagai guru.
Demikian santainya suasana di desa sehingga jam malam diundurkan. Baru kali itu anak-anak diperbolehkan bermain di luar
meskipun sudah waktunya sembahyang Isya. Kami mempraktekkan
permainan dan nyanyian tembang yang sudah lama diajarkan di
sekolah pagi. Waktu itulah saat petang bulan purnama pertama
yang kualami dengan bermain-main bersama anak-anak desa. Yang
tidak menyukai bernyanyi memilih bermain gobak sodor. Atau
pada petang-petang terang lainnya, kami duduk bersama sambil
menyanyi dalam bahasa Indonesia. Ada saja orang dewasa yang
34 pandai dan mengetahui nyanyian baru. Keberhasilan pejuangpejuang di Kaligua tetap menjadi bahan pembicaraan. Tetapi di
desa kami, hal itu hanya disentuh dalam suara rendah.
Berita lain yang kemudian lebih mengambil tempat ialah yang
mengatakan, bahwa Belanda telah mengundurkan diri ke utara.
Dikatakan bahwa perang akan segera selesai. Tapi aku sudah
terlalu sering mendengar hal yang paling akhir itu, sehingga tidak
mempercayai lagi apakah kami tidak akan berpindah lagi. Keadaan
memang damai bagi kami anak-anak. Kami menerima makanan
biasa seperti dulu lagi. Tetapi minyak buat penerangan tetap harus dihemat. Pakaian penduduk dan kami sendiri mengurang. Ibu
sudah mengorbankan kain-kain batiknya untuk dijadikan celana
monyet adik-adikku. Lalu adikku yang besar mulai malu, harus
dibikinkan celana pendek lain. Mereka bertambah tinggi terus.
Kata orangtua kami, anak-anaknya tumbuh pesat karena udara
gunung yang sehat. Baju kami cepat sesak dan menjadi kecil.
Bahan pakaian merupakan barang sangat langka. Sama seperti
alat tulis-menulis dan obat-obatan yang bukan berasal dari akar,
daun, atau kulit pohon. Ayah kami mengatakan bahwa mencari
ganti bahan makanan lebih gampang daripada pengganti pakaian.
Orang-orang desa yang bekerja di lumpur memang tidak malu
mengenakan celana dari bahan bagor atau karung. Selain itu, memang mereka terpaksa menggunakannya, karena baju yang cukup
baik tinggal satu-satunya. Rombongan kami lumayan, ketika berangkat dari kota dapat membawa paling sedikit dua kopor untuk
masing-masing keluarga. Ditambah lagi tas-tas kecil. Sebagai
pengganti alat penerangan sekaligus untuk mengusir nyamuk,
kami meniru orang desa. Bunga kluwih dan kelopak bunga aren
dan kelapa dikeringkan, dinyalakan pada malam hari. Ujungnya
yang termakan api lumayan bisa menunjukkan titik terang. Pada
35 waktu kami ingin ke kamar mandi, kami hanya boleh menggunakan jenis penerangan semacam itu.
*** Pagi itu kami sedang berada di sekolah. Yang mengajar kami
Bapak. Dia meneruskan ceritanya, yaitu Babad Tanah Jawa. Perhatian kami terputus karena kelihatan beberapa orang mendekati
pintu hanggar tempat kami belajar. Seseorang masuk, berbisik
di telinga Bapak. Mereka bersama-sama keluar. Orang yang tadi
kembali dan memberitahu bahwa pelajaran tidak diteruskan.
Kami diminta pulang, karena tempat itu akan dipergunakan
orang-orang dewasa. Dalam perjalanan ke tempat pondokan, aku
bertemu dengan ibuku. Dia berkata supaya aku mengambil jatah
makan siang itu ke dapur umum. Ibu juga akan turut berkumpul
di halaman kelurahan. Tetapi aku terlalu asyik bermain, baru
teringat harus mengambil makanan ketika temanku mengatakan
sudah lapar dan akan pulang. Aku ke dapur mengambil rantang.
Sewaktu akan berangkat, ayah dan ibuku sudah kembali. Baru
sampai di pintu pagar Ibu sudah berseru.
"Lihat apa yang kita terima!" Di kedua bahunya tersampir
lipatan kain berbunga-bunga. Warnanya biru dan kuning. Di bawah ketiak dia mengepit gulungan tebal berwarna cokelat tua.
"Mari ke sini!" panggilnya sambil tetap berteriak.
Aku mengikutinya mendekati balai-balai di pinggir dinding depan rumah. Kain tebal yang dikepit diletakkannya di atas amben,
katanya, "Ini buat celana adik-adikmu. Namanya kain beledu,
dari katun. Tebal dan kuat. Awet kalau dipakai, tapi tidak terlalu
panas."
36 "Dik Mur tentu pantas pakai yang biru itu, Bu," seseorang menyambung.
Aku menoleh ke arahnya. Seorang pemuda tersenyum kepadaku. Dia berada di dekat ayahku. Aku belum pernah melihatnya
di antara mereka yang bergilir berpatroli ataupun berjaga di desa.
"Ya. Yang kuning terlalu cerah buat dia," Ibu sekali lagi
memperdengarkan suaranya yang nyata gembira. Lalu untuk menekankan kata-katanya, dia menempelkan ujung bahan yang
tersampir di bahu kirinya ke wajahku. Warnanya biru kehijauan.
"Benar, Bu. Itu bagus buat Muryati," Bapak menyetujui.
Lalu dalam nada suara tetap cerah, Ibu bertanya apakah aku sudah mengambil jatah makanan. Kukatakan bahwa aku baru akan
berangkat.
"Ayo bersama-sama!" pemuda itu langsung mengusulkan. Lalu
menambahkan, "Sekalian saja saya mengambil jatah saya."
Kami berdua beranjak akan pergi ketika Bapak berkata,
"Makan di sini saja, Nak Wid. Bukan begitu, Bu?"
"Ya, itu gagasan yang baik. Saya masih punya sisa sambel
goreng telur untuk tambahan lauk. Mur! Bawa wadah makanan
lebih besar. Atau satu panci rantang lagi untuk jatahnya Mas
Wid. Dijadikan satu saja ya, Nak Wid."
Widodo, itulah namanya. Di waktu keluar rumah, berjalan di
sampingnya menuju ke dapur umum, aku belum mengetahui siapa
sebenarnya pemuda ini. Jarang sekali orangtuaku menunjukkan
keakraban mereka terhadap tentara atau pemuda pejuang lain.
Dan baru terjadi kali itulah seseorang diminta makan bersama
keluarga. Di rumah kami. Apalagi prakarsa itu datangnya dari
Bapak. Seingatku, dulu ketika kami masih tinggal di kota, kalau
akan ada tamu ditahan supaya makan, mereka berunding di belakang dulu.
37 "Sesudah jaga pada malam serangan yang berhasil dulu, baru
sekarang saya ditugaskan di garis belakang," kata pemuda di
sampingku. Dia menyambung, "Kebakaran dan letusan-letusan
malam itu dahsyat sekali, bukan? Ternyata memang banyak bahan peledak, mortir, dan peluru yang tersimpan di sana. Itu perbekalan Belanda yang penting rupanya."
Aku menoleh sebentar ke arahnya. Ah, jadi inilah si pemuda
itu. Biasa saja dia. Seumpama bertemu di suatu tempat, sendirian
atau menggerombol bersama pejuang lain, tidak akan aku bisa


Jalan Bandungan Karya Nh. Dini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengenalinya. Kali itu pun, seandainya dia tidak menyebutkan
kejadian malam itu, pastilah aku tetap akan menganggap dia sebagai pejuang atau tentara pengawal lain. Di dapur umum, semua
petugas menyalami dan memberi selamat. Kami menerima jatah
nasi lebih banyak hari itu, karena ada tambahan kiriman dari luar.
Pemuda itu turut mengawal kiriman tersebut. Termasuk bahan pakaian yang tadi dibagi-bagikan.
Suasana makan siang di rumah amat ringan dan santai. Sudah
lama aku tidak melihat kedua orangtuaku ramah-tamah dan banyak bicara seperti saat itu. Mas Wid, begitulah Bapak dan Ibu
menerapkan panggilan itu terhadap tamu kami. Dan sejak hari
itu aku memanggilnya demikian.
Mas Wid menceritakan, bahwa setelah penggempuran gudang perbekalan musuh malam itu, berhari-hari dia bersama pasukannya berjaga-jaga mengawasi gerak-gerik Belanda. Selama
hampir dua pekan terjadi pertempuran kecil-kecilan. Waktu itu,
kami di hanggar dalam hutan, ditinggal hampir tanpa orang lelaki dewasa. Mereka yang sekiranya berbadan kuat dan sanggup
membawa senapan disebar ke beberapa pos sebagai pasukan cadangan. Lalu suasana agak reda. Disusul adanya tanda-tanda musuh bergerak menarik diri. Tapi kaum pejuang tidak mengubah
38 posisi mereka. Hingga akhirnya perkebunan Kaligua ditinggalkan
sama sekali oleh Belanda. Namun Tentara masih menunggu saat.
Baru dua hari yang lalu mereka memutuskan memasuki daerah
perkebunan tersebut.
Mas Wid tergabung dalam regu pertama yang mengadakan
penjajakan di kompleks pemukiman. Rupa-rupanya Belanda betulbetul telah meninggalkan kubu pertahanannya di sana. Sedikit
demi sedikit barang-barang dan bahan pangan yang ditemukan
di pabrik teh dan pemukiman itu dikeluarkan. Daripada terjadi
perampokan yang tidak terarah, barang-barang itu dibagikan kepada penduduk desa sekitar dan para pengungsi. Hari itu giliran
desa Guci yang menerima kiriman.
"Saya tahu di Guci banyak anak lelaki. Kain-kain jendela dan
pintu di rumah-rumah itu masih bagus. Saya suruh kawan-kawan
menurunkannya. Itu baik untuk dibikin celana. Kasihan anakanak lelaki kalau iri, karena yang kami temukan di gudang hanya
sisa pembagian kain-kain berkembang buat wanita. Itu tentu
simpanan sejak zaman pendudukan Jepang, Bu. Entah bahannya
masih kuat atau tidak, saya tidak tahu."
"Kita lihat saja nanti kalau sudah dipakai. Awet atau tidak.
Tapi lumayan buat ganti," Ibu menyahut. Lalu meneruskan, "Kalau kain korden memang kuat. Terima kasih sekali, Nak Wid, kok
turut memikirkan kami pengungsi dari kota."
"Tidak apa-apa, Bu. Saya sendiri punya adik laki-laki banyak.
Mereka jauh, di Klaten."
"0h, iya? Di Klaten? Apakah bisa mendapat kabar dari sana?
Sejak kapan Nak Wid meninggalkan rumah?" Ibu masih bertanya.
"Adiknya berapa?" Bapak turut menyambung.
39 "Empat, Pak. Saya sudah lama pergi dari rumah. Beritanya, hidup di pedalaman lebih baik. Apalagi orangtua saya petani."
"Nak Wid anak yang sulung?"
"Ya, Bu. Kami berlima laki-laki semua."
"Wah, Pendawa Lima kalau begitu."
"Ya, benar begitu."
"Adik empat ditinggal!" Bapak berkata seperti kepada dirinya
sendiri. "Kalau perang selesai, tahu-tahu Nak Wid melihat mereka
sudah besar semuanya!"
"Ya, pastilah mereka tumbuh terus, Pak."
"Di sini sama saja!" Ibu memberikan pendapatnya. "Lihat
mereka! Tambah besar terus. Mur sudah sama tingginya dengan
saya."
"Ya. Perawan sunti dia sekarang," sambung Bapak.
Pipiku terasa hangat karena sadar semua memandang kepadaku. Adikku yang besar bertanya apa artinya perawan sunti. Apakah juga ada joko sunti? Bapak, Ibu, dan Mas Wid tertawa. Merasa
terlepas dari pusat perhatian, aku dengan lega turut tertawa.
*** Api revolusi meneruskan kobarannya. Kami di desa Guci dapat dikatakan agak tersisih. Kadang-kadang terdengar sayupsayup letusan tembakan. Di lain waktu, ledakan mesiu. Suatu
ketika, rentetan bersahutan lebih lama. Aku tetap menguping
percakapan di antara orang dewasa. Biasanya, setelah suatu peristiwa terjadi, penjelasannya datang di kemudian hari. Konon
Patroli TNI berpapasan dengan patroli musuh. Atau pemudapemuda mengejar orang yang dicurigai.
Sementara itu pikiranku menjadi lebih terbuka untuk me40 ngerti keadaan. Kedua orangtuaku menanggapi hal ini. Tanpa
kuminta, mereka lebih sering memberitahuku kejadian yang
dianggap perlu kuketahui. Perkembangan paling akhir yang dibicarakan kepada ibuku juga berarti ditujukan kepadaku. Berturut-turut ayahku menyebutkan nama-nama asing yang berbunyi asing bagi pendengaranku. Lalu terang-terangan Bapak memandang kepadaku, sambil menjelaskan apa arti perundingan
atau kegagalan sebuah usaha pertemuan. Perjanjian yang harrus
ditandatangani oleh musuh dan pihak RI di suatu tempat harus
berhasil, katanya. Di sana pula untuk pertama kalinya aku mendengar, bahwa ada sebuah organisasi dunia yang disebut Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Ketika menerima berita bahwa perdamaian hampir disetujui,
rombongan kami bersiap-siap akan kembali ke kota asal. Kami
turun sampai di desa Moga. Di sana berhenti lebih dari sebulan.
Lalu kami berangkat lagi memasuki kota Pemalang. Di situ keluarga-keluarga ditinggal. Ayahku mengantar para pejabat ke
Pekalongan. Sesudah itu, lama kami tidak melihat Bapak. Kami
hanya mendapat berita melalui pendatang, penduduk asli ataupun
orang yang singgah. Mereka menceritakan kehidupan di kotakota pesisir.
Akhirnya datanglah seseorang yang disuruh ayahku. Dia membawa surat buat semua keluarga yang tertinggal. Bapak sudah
pulang ke rumah kami di kota. Katanya dalam surat, rumah kami tetap utuh dan keadaannya cukup baik. Tetangga yang tidak
mengungsi dan dipasrahi kunci sudah meninggal. Tapi menantunya baik, sering membuka pintu dan jendela-jendela untuk
mengurangi bau kelembapan. Waktu menulis surat itu, Bapak sudah memanggil tukang yang diharap akan bisa memasang talang
dan mengganti genting yang pecah. Setelah itu, Bapak akan
41 menyuruh orang yang sama memperbaiki kamar mandi. Kalau semua sudah agak lebih rapi, dia akan menyuruh orang menjemput
kami. Aku turut menangis ketika melihat ibuku mengusap air matanya. Kami sangat terharu membaca surat Bapak.
"Syukurlah. Syukurlah. Bapak kalian selamat sudah sampai
kembali di rumah. Malahan sudah memperbaiki rumah kita. Oh,
Tuhan, terima kasih. Terima kasih karena aku Kau beri suami yang
begitu baik. Kalian lihat itu! Betapa cintanya Bapak kepadamu
semua. Masih capek, masih lelah, baru datang dari pengungsian,
tapi sudah sempat memikirkan memberi atap yang sebaik seutuh
mungkin kepada istri dan anak-anaknya," kata ibuku di sela-sela
tangisnya.
Dan waktu itu aku merasakan sungguhlah benar kata-kata
ibu kami itu. Di antara sesama pengungsi, aku menyaksikan
sendiri bagaimana ayah kami berbeda. Dia memiliki sifat yang
tidak kulihat pada bapak-bapak lain terhadap anak mereka. Dia
juga suami yang hebat, selalu memperlakukan ibuku dengan
ulah yang tidak kuketahui diperbuat laki-laki lain kepada istri
mereka. Tanpa segan atau membantah, jika ibuku meminta dia
mengambil jatah makanan, Bapak berangkat. Pada waktu dia
harus meninggalkan kami untuk bertugas di tempat lain, ciuman
dan pelukannya terasa benar dan penuh cinta. Berkali-kali dia
kembali lagi sambil membawa sesuatu makanan yang barangkali
remeh namun menunjukkan perhatiannya kepada Ibu dan kami.
Beberapa tangkai sayur bayam, sekantung jambu air, bahkan kadang-kadang telur asin. Oleh-oleh di zaman pengungsian hanya
kusaksikan dibawa oleh ayahku buat kami. Laki-laki atau bapakbapak lain tidak mempunyai prakarsa semacam itu. Kata ibuku,
barangkali mereka kurang memperhatikan, atau tidak mempunyai
waktu untuk mencari.
42 Lalu pada suatu sore dua kendaraan bermotor berhenti di
dekat pondokan kami di kota Pemalang. Satu jip, satunya lagi
lebih besar. Setelah kami amati baik-baik, di antara lima orang
yang turun dari dalamnya adalah bapak kami. Aku dan adikku
yang besar berseru kegirangan. Alangkah gagahnya dia. Memakai
seragam baru. Sepatunya belum pernah kami lihat. Dia langsung
mengangkat adikku terkecil, dilambungkan tinggi-tinggi. Sambil
membawanya masuk rumah untuk memeluk ibuku dengan lengannya yang lain.
Keesokannya kami berangkat ke kota Semarang. Petang kami
sudah sampai, pulang ke rumah sendiri. Aku berkata kepada ibuku bahwa kami telah betul-betul pulang kembali. Mendengar aku
mengatakannya, ibuku langsung mendekati ayah kami. Tanpa
berbicara, dia menjatuhkan kepala di dada suaminya. Mukanya
tersembunyi dalam rangkulan kedua lengan Bapak. Demikian
mereka berengkuhan di tengah-tengah kesibukan anak buah ayahku yang hilir-mudik mengangkut kopor serta barang-barang lain.
"?Terima kasih, Mas, terima kasih," setelah agak tenang ibuku
bersuara terputus-putus.
Dari atas kepala ibuku, Bapak menggoda, berkata sambil memandang kepadaku, "Lihat ini! Sudah sampai di rumah sendiri,
ibumu malahan menangis."
Meskipun berkata demikian, pelukannya tetap mengunci badan ibu kami.
*** Kebiasaan dan alur hidup baru segera terbentuk. Anak-anak didaftarkan masuk sekolah. Waktu itu tidak ada peraturan ketat
mengenai batasan umur. Kalau anak sudah bisa membaca dan
43 menulis, pasti diterima di kelas yang pantas. Umur dan tinggi
anak tidak dipersoalkan. Kekacauan perang menjungkirbalikkan
runtutan pendidikan formal di sebagian besar kota di Tanah Air.
Sejak aku kecil, orangtuaku sudah mengetahui bahwa menjadi
guru adalah cita-citaku. Untuk itu aku diharuskan mengikuti
pendidikan dasar. Jadi setelah pulang dari pengungsian, aku
masuk kelas enam. Aku senang dapat belajar kembali dengan
cara yang lebih teratur.
Setahun berlalu, aku langsung ke pendidikan khusus
yaitu Sekolah Pendidikan Guru atau SPG. Aku sendiri tidak
memikirkan kemungkinan untuk meraih perguruan yang lebih
tinggi. Tetapi orangtuaku berpendapat lain. Sementara menunggu
sistem pendidikan RI yang lebih sempurna, aku akan dapat
mencari pengalaman dulu selama mengajar. Walaupun kelak
sudah mengajar, kalau kesempatan tersedia dan ada biaya, harus
menambah pengetahuan. Harus terus berkembang. Ini adalah
kata-kata Bapak. Ibuku menyetujuinya. Mengajar itu mengamati,
katanya. Secara tidak langsung kamu juga terus belajar sendiri.
Satu tahun di SPG aku puas. Tidak kuragukan lagi bahwa
memang itulah jalanku. Aku menyukai semua mata pelajaran yang diberikan. Semuanya bisa kuterima dengan gamblang
dan kucerna baik-baik. Ketika kenaikan kelas, tanpa kesukaran
aku menjadi murid terbaik dari tiga kelas yang sejajar. Bagiku
itu bukan kebanggaan yang paling penting. Tetapi ayah ibuku
menganggapnya sebagai prestasi hebat. Aku semakin dijadikan
teladan. Kasihan adik-adikku. Mereka harus mengikutiku.
Sekurang-kurangnya adikku yang besar. Sulung dan satu-satunya
anak perempuan, aku merasa mempunyai tugas cukup berat
karena harus merintis semua yang serba paling baik bagi adikadikku.
pustaka-indo.blogspot.com
44 Pada waktu itulah, tanpa disangka-sangka kami menerima kunjungan yang mengejutkan. Biasanya, tamu datang di sore hari,
saat setelah orang mandi, sedang minum teh dengan makanan
kecil. Hari itu pun Bapak sedang minum teh panas kesukaannya
di serambi. Dia mengawasi adikku yang terkecil. Ibu duduk di
sampingnya, membaca surat kabar.
Sejak kami pulang dari pengungsian, pembantu kami yang
lama datang menemui kami. Ibu langsung menerimanya. Pengasuh adikku, Yu Dinem, juga ikut ke kota kami. Sore begitu, para
pembantu di belakang. Ada yang mandi, ada yang membenahi
alat-alat untuk makan malam. Waktu itu kudengar kedua adikku
mandi bersama-sama. Aku mengatur tas sekolah. Menyisihkan
buku yang masih akan kubaca sebagai persiapan pelajaran esoknya. Aku tidak tinggal di asrama. Tetapi aku berhak menginap di
sana di saat-saat ulangan umum atau ketika ada rencana-rencana
yang harus dibicarakan bersama siswa lain. Belajar bersama, merundingkan pertemuan atau kegiatan-kegiatan kelompok maupun
antar sekolah, merupakan dalih yang baik buat kumpul-kumpul di
asrama. Namun aku juga menyadari bahwa kebersamaan itu harus
dibatasi. Aku tetap lebih suka berkumpul dengan orangtuaku.
Kata ibuku, anak-anak begitu cepat menjadi besar. Sayang
kalau kami mempergunakan waktu yang berlalu seperti kilat
itu dengan berpisah-pisah. Kalau Mur dipondokkan di asrama,
hanya akan pulang hari Sabtu siang hingga Minggu sore. Selama
setahun kita akan bersama dia berapa hari? Kelak jika sudah
bekerja, ditempatkan di kota lain, kita berpisah lagi. Tidak. Biar
Mur tinggal di rumah saja. Itulah kata-kata keputusan ibuku. Dan
aku tahu bahwa Bapak juga menyukai keputusan tersebut.
Suara ramai di serambi depan membikinku melongokkan kepala
pustaka-indo.blogspot.com
45 di samping pintu. Kulihat orangtuaku bersalaman dan ramah menyambut tiga tamu. Mereka dipersilakan duduk. Nama-nama
kami disebut bergantian. Kemudian nama-nama itu diserukan ke
arah belakang. Aku hampir menyelesaikan kesibukanku ketika
Ibu masuk sambil mengulangi panggilannya. Melihat aku, dia bertanya, "Mana adik-adikmu?" Dan tanpa menunggu jawaban, dia
meneruskan, "Kau keluar dulu menyalami. Aku akan menyiapkan
teh. Kamu kembali untuk menyuguhkannya kepada mereka. Sana
keluar dulu!"
Pikirku, pastilah ini tamu istimewa, karena tidak sering Ibu
mau membuatkan minuman. Biasanya tugas itu diserahkan kepada pembantu.
"Lha ini Muryati! Sini menyalami tamu-tamu kita," Bapak gembira melihat aku datang mendekat. "Ingat kamu siapa mereka? Ini


Jalan Bandungan Karya Nh. Dini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mas-Mas yang mengawal kalian dulu di Gunung Slamet."
Aku mengulurkan tangan, selintas melayangkan pandang.
Orangtuaku menyebut nama-nama Mas Sardi, Mas Yoga, Mas
Wid. Tanpa kusengaja, aku menoleh sekali lagi ke arah Mas Wid
sebelum pergi lagi.
Bapak menahanku, "Duduk sebentar menemui Mas-Mas ini."
"Aku bikinkan teh dulu," sahutku dan langsung pergi.
Ibu sudah menempatkan tiga cangkir di atas nampan.
"Ini bawa dulu. Nanti kalau sudah semua, bawa juga kue semprongnya. Jangan lupa piring-piring kecil!"
Aku membawa minuman ke serambi. Melihatku datang, Mas
Wid bangkit dan menolong membagikan cangkir. Yang pertama
diletakkan di hadapan ayahku.
"Saya yang punya rumah kok malahan didahulukan," kata
Bapak.
"Sesepuh kok, Pak," jawab Mas Wid dan meneruskan mengampustaka-indo.blogspot.com
46 bilkan teh untuk teman-temannya. Ibu kembali ke depan bersamaku.
"Kami merepotkan, Bu," kata seorang tamu setengah bangkit.
"Ah, tidak. Memang sudah ada. Kalau sore, kami biasa minum
teh sambil duduk-duduk di sini."
"Tadi Bapak mengatakan bahwa Dik Mur di SPG. Ya, Dik?"
kata Mas Wid.
"Ya, kelas dua," sahutku.
"Calon guru," sambung temannya entah siapa namanya.
"Itu kemauannya sejak dulu masih kecil sekali," Ibu memberi
penjelasan.
"Saya sangat menyetujui, karena kalau liburan panjang sekali,"
ayahku menanggapi.
"Barangkali Dik Mur suka kepada anak-anak, karena itu ingin
menjadi guru," Mas Wid berkata lagi.
"Saya ingin menjadi guru karena saya senang mengajar. Saya
suka sekali memberitahukan apa yang saya ketahui kepada orang
lain."
Bapak mengangguk-anggukkan kepala sambil memandangku
dengan perasaan puas.
"Kalau begitu Dik Mur tidak bisa menyimpan rahasia, ya," seorang tamu bergurau. Kami semua tertawa bersama.
Pembicaraan diteruskan. Banyak menyangkut nama-nama
orang dengan siapa kami dulu berkumpul di tempat-tempat pengungsian. Masing-masing menyebut sudah bertemu dengan siapa.
Atau si itu sekarang menjabat apa, sedangkan nama lainnya belum ketahuan di mana. Diam-diam aku meninggalkan serambi.
Ketika mereka akan pulang, aku dan adik-adik dipanggil lagi supaya bersalaman.
Berselang dua hari Mas Wid datang kembali sendirian. Kali itu
pustaka-indo.blogspot.com
47 dia ditahan makan malam. Dia juga masuk ke kamar adik-adikku.
Gurau dan canda mereka memenuhi seluruh rumah. Hampir jam
sepuluh malam, barulah dia pamit. Katanya keesokannya akan
pulang ke Surabaya. Di sanalah dia bekerja. Tapi dia berjanji
akan selalu singgah jika kebetulan dinas ke kota kami. Bulanbulan mendatang barangkali akan sering mampir karena ada
proyek kantor yang mengharuskannya berhubungan dengan
Jawa Tengah. Bapak bertanya di mana dia biasa bermalam. Lalu
Ibu menawarkan, kalau mau tempat yang sederhana, Mas Wid
dipersilakan tidur di rumah kami saja.
"Ya berdesakan di kamar adiknya Mur. Hanya ruangan itu yang
paling besar. Atau, kalau mau tidur di serambi, pakai ranjang tentara buat di lapangan."
"Terima kasih, Bapak dan Ibu. Di mana saja saya bisa tidur.
Kan prajurit! Biasa tidur di mana pun dan makan apa saja."
Tampaknya Bapak berkenan dengan jawaban tersebut. Dia
mengulangi undangannya. Adik-adikku bersuka cita menyambut
gagasan itu.
Mulai dari waktu itulah Mas Wid sering datang. Dia dianggap bukan orang lain, bisa keluar masuk di rumah kami tanpa
kehadiran orangtua kami. Kalau dia tiba sedangkan di rumah
hanya ada pembantu, dia berhak langsung menempatkan barangbarangnya di kamar adikku. Ini dijadikan alasan ibuku untuk
mengharuskan anak-anak lelakinya menjadi lebih rapi. Lihatlah
bagaimana kamarmu! katanya kepada adik-adikku. Begini ini
seandainya Mas Wid tiba-tiba datang, apakah kalian tidak malu?
Di mana Mas Wid meletakkan tasnya? Untuk melangkahkan kaki
saja tidak bisa. Ayo, jangan dibiarkan semua berantakan!
Mas Wid benar-benar menjadi anggota keluarga kami. Pembantu menyayanginya. Dia bisa minta minum atau makan sekehenpustaka-indo.blogspot.com
48 daknya. Sampai beberapa bulan kemudian, pada suatu sore dia
datang lagi. Kali itu dia bersama pamannya dari Klaten. Mereka
bermalam di tempat lain. Aku hanya sebentar menemui mereka,
karena kebetulan keesokannya harus mulai tinggal di asrama buat
belajar. Orangtuaku bahkan tidak memanggilku ketika mereka
pulang. Tapi setelah kami makan, Ibu dan Bapak memanggilku.
Adik-adik disuruh tinggal di kamar dan tidak boleh keluar. Waktu
itu aku tidak mempunyai prasangka apa pun. Kukira karena
keesokannya aku akan tidur di asrama, barangkali orangtuaku
akan mengingatkan beberapa kewajiban pokok.
"Ini tadi Mas Wid melamarmu," begitulah Bapak memulai.
Lalu meneruskan, "Bagaimana kamu?"
Aku tercengang-cengang, tidak menjawab.
Ibu menambahkan, "Buat melestarikan hubungan kita kan
baik," nada suaranya menginginkan persetujuan dari pihakku.
Aku masih terheran-heran, tetap terbungkam. Lalu, karena
tidak mampu berpikir jernih menghadapi kabar yang tak terduga
itu, aku malahan tertawa.
"Lho, kok tertawa! Mur! Apa yang lucu?" Bapak jelas ganti
keheranan melihatku. "Lha aku harus menjawab bagaimana?" kataku terus terang.
"Kamu senang apa tidak kepada Mas Wid?" tanya Ibu.
"Ya senang sih senang. Tapi kan hanya sebagai kenalan saja.
Aku tidak tahu yang lain-lain, misalnya bagaimana sifatnya, bagaimana dia ...."
"Dia baik dan sudah seperti keluarga sendiri," Ibu memotong
kalimatku.
"Waktu revolusi Bapak sering bekerja sama dengan dia. Bapak
tahu dia memiliki banyak kualitas," Bapak menambahkan.
"Dia berasal dari keluarga baik-baik. Dan ...." Ibu berhenti
pustaka-indo.blogspot.com
49 sebentar, lalu melirik ke arahku, menyambung, "... hidungnya
mancung!"
Aku tidak dapat menahan, tertawa lagi. Kini lebih merasa geli
daripada gugup.
"Ini anak!" suara Bapak nyata agak kesal.
Kami berpandangan.
Mata Bapak menjadi lembut. Ia berkata lagi dengan suara lebih halus, "Apa lagi yang kamu cari? Laki-laki yang bagaimana
yang akan kaujadikan suamimu?" Nadanya tidak bertanya. Lebih
berbentuk desakan.
Tiba-tiba aku teringat kepada cerita di buku-buku mengenai
kawin paksa. Perkawinan yang diatur oleh orangtua. Tanpa cinta.
Seketika itu aku memutuskan untuk berterus terang.
"Aku tidak tahu apakah aku cinta kepadanya." Dan dengan
berani namun lembut kutantang pandang ayahku. Tanpa kuharapkan, dia menghindariku.
Ibu yang berbicara, "Cinta itu datangnya karena kebiasaan."
Ini adalah kata-kata bahasa Jawa yang sering terdengar dalam
lakon-lakon wayang atau ketoprak. Aku hampir tertawa lagi. Tetapi segera bisa mengendalikan diri.
"Barangkali itu betul, Bu. Sekarang dalam halku, aku tidak
merasa biasa dengan Mas Wid." Dan memang sungguhlah demikian. Tidak terpikir sama sekali aku akan berpacaran dengan Mas
Wid. Meskipun sudah berbulan-bulan dia sering bermalam di
rumah kami, tetapi aku tidak mempunyai rasa tertarik yang lain,
yang menggetarkan, seperti yang sering kami bicarakan secara intim di antara kawan sekolahku.
"Kita sudah lama kenal dia," sekali lagi Bapak berkata. Lalu
meneruskan, "Berkali-kali dia mengawal rombongan kita."
Aku hanya teringat peristiwa pengungsian di dalam hanggar
pustaka-indo.blogspot.com
50 di malam kebakaran gudang mesiu Kaligua. Tapi kalau ayahku mengatakan bahwa Mas Wid adalah pengawal tetap kami, tentulah
memang begitu.
"Mengapa tiba-tiba Mas Wid melamarku?" tanyaku, dan ini
lebih merupakan pengucapan isi hatiku daripada mengharapkan
jawaban.
"Tentu dia menganggap kamu istimewa. Dia takut kedahuluan
orang lain," ayahku menyahut.
Jawaban ini sangat membujuk. Tapi aku tidak terkena. Bahkan
meneruskan mengatakan isi batinku. "Dia kelihatan baik. Tapi
aku belum mengenalnya betul-betul," kataku sambil memandang
ibuku.
"Aku dan bapakmu dulu juga tidak kenal baik ketika kawin.
Setelah bertunangan, jarang bertemu. Kalau bertemu, masih ditunggui Bude, eyangmu atau sesepuh lain. Setelah kawin, barulah
kami berkenalan dengan sungguh-sungguh. Sampai sekarang perkawinan kami tetap kuat."
"Bapak adalah laki-laki istimewa. Dan Ibu juga wanita pilihan.
Bapak dan Ibu tidak ada tandingannya. Jangan menyamakan Bapak dengan Mas Wid, Bu," kataku memprotes.
Sekilas aku melihat ayahku tersenyum kepadaku. Dan aku merasa bahwa aku tidak akan terlepas begitu saja dari persoalan
petang itu tanpa jawaban mantap dariku. Akhirnya aku berkata,
"Ibu dan Bapak menyukai Mas Wid?"
"Dia baik. Punya pekerjaan tetap," Bapak menyahut.
Aku menoleh, menunggu komentar ibuku. Namun dia tidak
bersuara.
"Kalau dia tidak mencintaimu, setiap kali dinas di kota ini
tentulah tidak bermalam di sini," Bapak menyambung pendapatnya. "Katanya ada saudaranya yang tinggal di Lampersari."
pustaka-indo.blogspot.com
51 "Atau kamu pikirkan dulu baik-baik. Besok sore Mas Wid datang lagi," barulah Ibu bersuara.
"Aku tinggal di asrama mulai besok siang, Bu. UIangan dimulai hari Senin."
"0h ya, betul. Aku lupa!"
Aku benar-benar tidak tahu bagaimana seharusnya. Aku tidak berani memutuskan. Lalu, barangkali mencari gampangnya,
lamaran itu kuserahkan kepada orangtuaku.
"Bagaimana? Apa maksudmu terserah Bapak?" Ayahku terkejut
menanggapi keputusanku.
"Aku tidak tahu bagaimana harus menjawab, Pak. Tadi, sewaktu dia melamar, apa yang Bapak katakan kepadanya?"
"Kukatakan bahwa kami orangtua setuju-setuju saja. Apalagi
aku sudah mengetahui bagaimana Widodo dalam kerjanya. Tapi
aku juga mengatakan bahwa keputusan berada di tanganmu. Ibu
dan Bapak tidak mau memaksamu."
"Aku mau meneruskan sekolah sampai selesai. Mengapa harus
mengurusi lamaran segala." Itulah kata pembelaanku yang paling
akhir.
"Tentu saja!" suara Ibu tegas. Lalu melanjutkan, "Tadi bapakmu sudah mengatakan hal itu. Bagaimanapun juga, kalau memang kamu menyetujui lamarannya, perkawinan baru akan bisa
dilaksanakan jika kamu sudah lulus dan mengajar paling sedikit
satu tahun."
Aku menarik napas lega. Mengapa sedari tadi Bapak tidak
mengatakannya? Kini hatiku terasa ringan. Sekali lagi orangtuaku menunjukkan kecintaan yang besar dan pengertian yang
mendalam. Ibu selalu bilang bahwa dia bapak yang baik, suami
yang hebat. Baru saja aku juga menyetujui bahwa laki-laki lain
pustaka-indo.blogspot.com
52 tidak bisa disamakan dengan Bapak kami. Kini aku sejuta kali semakin sepakat.
Tanpa ragu-ragu, aku berkata, "Baiklah. Aku serahkan keputusan menerima atau tidak lamaran ini kepada Bapak dan Ibu.
Kalau menurut Bapak dan Ibu, Mas Wid cocok menjadi suamiku,
aku patuh. Tapi kami berdua harus berkenalan dulu lebih dekat.
Bu, ini zaman modern, jangan sampai kami ditunggui kalau sedang
berduaan, ya. Dan aku minta Bapak tetap memperteguh syaratsyarat tadi. Aku harus mengajar dulu buat cari pengalaman."
"Ah, jadi kamu menerima!" Bapak dan Ibu serentak berkata.
"Ya. Tapi aku besok siang tinggal di asrama."
Ibu langsung bangkit dan menciumku. Wajahku diambil ke
dalam kedua tangannya, dipandanginya sambil berkata, "Satusatunya gadisku sudah dewasa."
Bapak sudah berada di sampingku, mengambilku ke dalam
rengkuhannya.
"Anak perawanku yang istimewa," dan diciuminya kepalaku.
Sedangkan lengan satunya meraih badan istrinya, memeluknya
sekalian, berkata lagi, "Dalam hidupku ada dua perempuan yang
sangat kucintai. Inilah keduanya!"
Dan tanpa kuketahui mengapa, tiba-tiba aku terharu, ingin
menangis. Kutahan kecengenganku, mukaku kutekankan pada
dada ayahku.
Pekan berikutnya aku menerima surat dari Mas Wid. Jarang sekali aku menerima surat. Di musim ulangan, kami dibiasakan orangtua menulis, meminta restu kepada para sesepuh
yang dekat dengan keluarga kami. Aku menerima balasan dari
Kakek, dari Bude atau dari Pakde. Di waktu liburan, kami juga
bersuratan antara teman sekolah. Menerima balasan selalu amat
menyenangkan. Dan hari itu, ketika surat Mas Wid datang,
pustaka-indo.blogspot.com
53 kegembiraan yang samalah yang terasa dalam hatiku. Tidak ada
perasaan istimewa lainnya. Namun sebegitu membaca isinya,
perlahan-lahan diriku serasa diselimuti kehangatan yang belum
pernah kukenal.
Surat pertama belum kujawab, disusul kedatangan surat kedua.
Tak dapat disangkal, perkataan Jawa yang disitir ibuku mulai
berpengaruh pada diriku. Aku mulai tertarik kepada Mas Wid
karena mulai terbiasa dengan suratnya. Terus terang aku malas
menjawab. Tapi aku mengharapkan dia terus menulis kepadaku.


Jalan Bandungan Karya Nh. Dini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dalam surat-surat itu dia mengatakan bahwa sejak perkenalannya
dengan keluarga kami, dia tidak pernah melupakan aku. Dari
semua tempat yang dijelajahinya selama revolusi, hanya desa
Guci-lah yang melekat dalam kenangannya. Setelah kemerdekaan,
dia merintis jalannya sebaik mungkin agar cepat bisa menetap
dan bekerja. Dia sudah cukup umur untuk membangun keluarga
sendiri. Ketika melihatku kembali, dia memutuskan bahwa aku
yang dipilih untuk menjadi istrinya. Dia akan berusaha meminta
dipindahkan ke kotaku.
Cinta itu disebabkan karena kebiasaan kata ibuku. Semula aku
hanya menganggap Mas Wid sebagai pria seperti anak buah ayah
kami lainnya yang juga sering berkunjung. Kami menganggap
dia sebagai kakak. Dalam tradisi Jawa, suami diharapkan lebih
tua dari istri. Karena aku anak sulung dan kebetulan perempuan,
Mas Wid dan beberapa anak buah Bapak kami pandang sebagai
abang tertua dalam keluarga kami. Setelah lamaran itu datang,
kami baru mengetahui bahwa umur Mas Wid dua puluh lima
tahun. Aku menyerahkan keputusan penerimaan atau penolakan
lamarannya kepada orangtuaku disebabkan karena aku sendiri
tidak tahu mana sikap yang paling baik. Ibu menyetujui. Bapak
demikian pula.
pustaka-indo.blogspot.com
54 Aku sendiri tidak mempunyai pilihan lain. Masa sekolahku belum selesai. Umurku belum penuh mencapai tujuh belas
tahun. Aku terlalu asyik bersekolah dan merasa bahagia dalam
keluargaku, sehingga pandangan kehidupan yang lain sama sekali
tidak menarik hatiku. Pemuda-pemuda lain juga tak pernah ada
yang memikatku. Keakraban mereka terhadapku biasa-biasa
saja. Sama dengan Mas Wid. Tapi yang mengajukan lamaran
justru Mas Wid. Aku sungguh-sungguh terkejut. Di samping
itu, seandainya waktu itu aku menolak, dan di kemudian hari
aku lama sekali tidak menemukan laki-laki yang cocok hingga
umurku semakin bertambah, pastilah nasibku akan dihubunghubungkan dengan kejadian sebelumnya. Wanita selalu dijadikan
pusat perhatian. Demikian pula dalam keluarga. Aku anak sulung
dan satu-satunya perempuan dari empat bersaudara. Dalam hidup
berkarier, perempuan tetap diteropong. Meskipun sebagai guru.
Kalau aku menjadi perawan tua, Bapak dan Ibu tentu akan menyesal. Barangkali rasa takut bertanggung jawab inilah yang mendorongku menyerahkan jawaban lamaran tersebut kepada bapakibuku.
Waktu itu aku merasa cukup matang dan mengerti kehidupan
dengan baik. Namun keputusan semacam itu, aku tidak berani
mengambilnya seorang diri. Tapi aku mengenal dan percaya kepada orangtuaku. Tidak mungkin mereka menghendaki anaknya
mengalami perkawinan yang tidak membahagiakan. Seandainya
waktu itu yang melamar bukan Mas Wid, kukira aku juga bertindak sama, yakni menyerahkan persoalan kepada Bapak dan Ibu.
Sesuai permintaan Mas Wid, ayah dan ibuku mengadakan
selamatan untuk mengumumkan bahwa kami bertunangan. Tetangga dekat, beberapa rekan, dan anak buah Bapak serta kepala
sekolahku diundang. Dari semua siswa SPG, hanya akulah yang
pustaka-indo.blogspot.com
55 telah resmi tukar cincin. Teman-teman dekatku menjadikan aku
sebagai juru penerang dan penasihat di bidang asmara mulai
dari waktu itu. Sebelumnya, perbincangan mengenai masalah
cinta, pergaulan lelaki-perempuan kukenal dari bisik-bisik dan
pinjam-meminjam buku roman yang disebut cabul. Mereka yang
tinggal di asrama tahu saja, terampil menyembunyikan bendabenda terlarang tersebut. Bisa saja menyisihkan waktu untuk
memperbincangkan apa yang mereka baca. Saling menyampaikan
pengalaman juga merupakan keasyikan kami.
Disebabkan oleh pertunanganku, maka mereka menganggap
aku menjadi gudang tempat meminta aneka bagian pengetahuan
dalam hal bercinta. Lebih-lebih hari Sabtu siang. Di kala kami
akan pulang, sindiran dan pesan mengalir ke arahku. Sabtu dan
Minggu merupakan hari bersantai. Sedangkan bagi para kekasih,
menjadi saat istimewa berduaan yang jarang terjadi.
Aku sendiri tidak tahu pasti bagaimana harus bersikap, karena
aku merasa biasa saja menjelang malam Minggu. Ketika Mas
Wid tinggal di Surabaya, waktuku kuhabiskan untuk bersekolah,
bersama keluarga, dan tentu saja tidak hentinya mengharapkan
kedatangan suratnya. Kemudian, setelah pertunangan diresmikan,
Mas Wid dipindah ke kota kami. Mengikuti nasihat Bapak, dia
hanya datang pada Sabtu malam. Boleh menginap jika mau. Tapi
dia lebih suka hanya berkunjung.
Sejak saat kepindahannya, dia tidak pernah bermalam lagi
di rumah kami. Hari Minggu siang dia juga biasa datang, tinggal bersama kami hingga selesai makan malam. Jika dia datang,
kami hanya duduk-duduk di serambi. Kadang-kadang dia membawaku berjalan-jalan, lalu makan di warung atau restoran kecil.
Berkali-kali aku usul supaya kami menonton ilm. Tetapi sampai
lama kami sudah bertunangan, belum pernah dia memenuhi
pustaka-indo.blogspot.com
56 keinginanku itu. Jadi, setiap hari Sabtu di waktu kami akan pulang, bergantian teman-temanku menyindir, merangkul sambil
membisikkan, "Hari Senin jangan lupa ceritakan semua" atau
"Coba kerjakan resep istimewa yang kita baca kemarin, ya." Dalam hati ada rasa menggelitik yang memberi semangat. Yang
menantang kegairahanku untuk bertemu dengan Mas Wid. Aku
bahkan berkata dalam hati, "Ya, aku akan mengelusnya, aku akan
menunjukkan bahwa aku bisa berbuat aktif seperti cerita dalam
buku."
Tapi semua itu hanya khayalan. Teman-teman dan aku sendiri
terlalu berimajinasi. Umur dan rasa ingin tahu yang hanya dipuaskan oleh bacaan murahan serta bayangan kami sendiri tanpa pengarahan, rupa-rupanya membangun khayalan muluk terlalu melambung. Maka jika kenyataan yang dihadapi meleset,
kekecewaan yang terasa seolah-olah tak akan terobati. Dalam
kelompokku di sekolah ada yang bersombong "pemah melakukan
hal itu" atau "pernah melihat kejadian itu." Di lain waktu ada
yang tiba-tiba berkata karena ingin menarik perhatian, "Hal itu
terjadi! Dia mencium bibirku kemarin. Seperti terkena listrik rasanya aku!"
Harapan akan menerima surat Mas Wid, yang kemudian diganti dengan degap-degup jantung menunggu kedatangannya setiap Sabtu petang, ternyata amat berbeda hasilnya. Surat Mas
Wid memberikan rasa kedekatan, kehangatan. Aku membacanya
berkali-kali tanpa kejenuhan. Sabtu-Minggu yang membawa kehadirannya sangat berlainan. Seperti teman-temanku di sekolah,
aku ingin mengalami apa yang dilukiskan dalam bacaan kami. Salah satu adegan yang aku tuliskan kembali dalam catatanku, aku
baca dan baca lagi sehingga hafal.
"Si Pemuda memandangi wajah gadisnya. Wanita itu tersepustaka-indo.blogspot.com
57 nyum lembut, membalas belaian mata kekasihnya. Lama mereka
saling memandang. Tanpa suara, tanpa bicara, dialog terjadi
hanya dengan arus kegairahan yang menggemuruh dalam dada
masing-masing. Pada saat yang memuncak itu, kedua tangan si
Pemuda memegang bahu si Gadis, lalu mendekatkan muka dan
menunduk. Bibir mereka bertemu dalam usapan perlahan. Namun
pertemuan itu terasa bagaikan benturan dua keping besi membara,
berpijar serta memancarkan kepanasan yang mempengaruhi sekitar mereka. Itulah permulaan dari luluhnya kedua tubuh yang
akan menyatu."
Bagian kalimat-kalimat tertentu kugarisbawahi dengan pensil
merah. Dan aku mengharapkan Mas Wid akan memandangiku
dengan kelembutan yang penuh gairah seperti yang kutandai
dalam catatanku. Aku juga ingin merasakan arus panas melanda
diriku jika dia menyentuhku. Di waktu-waku aku tinggal di
asrama, bergantian kami memperagakan adegan-adegan yang sedang dibacakan teman lain. Kami tidak merasakan sesuatu pun,
malahan terkikih kegelian menyaksikan bagaimana lucu dan
kikuknya teman-teman itu berpelukan maupun saling mendekatkan mukanya. Kalau seorang mendekatkan mulutnya, yang
lain melengos. Katanya segan bersentuhan.
Bermain peragaan demikian antara gadis, rupa-rupanya lain
rasanya jika berpasangan dengan lelaki yang dikasihi. Dan karena aku sudah bertunangan, aku mengira dan berharap akan
mendapatkan pengalaman itu dari tunanganku. Semua yang selama itu menjadi bahan pembicaraan rahasia di asrama sekolah,
kutunggu-tunggu akan terjadi pada diriku. Pertemuanku dengan
Mas Wid setelah lamarannya diterima, berlangsung di serambi.
Orangtuaku membiarkan kami berduaan. Mas Wid memilih duduk di bangku bambu yang terletak di pinggir serambi, lebih
pustaka-indo.blogspot.com
58 dekat dengan halaman. Dia mengulangi apa yang telah dia tulis
dalam surat pertama dan kedua. Kami duduk berdampingan. Tapi
tak ada gerakan untuk menyentuh atau memegang tanganku. Dia
juga tidak bertanya apakah aku mau menjadi istrinya. Mungkin
karena Bapak sudah memberikan jawaban dan merestui hubungan
kami berdua. Dan karena aku duduk di sampingnya, dia tidak
mau bersusah payah menoleh untuk memandangiku seperti yang
dilukiskan dalam catatanku. Hanya, ketika kami disuruh makan
oleh Ibu, dia duduk di hadapanku, maka dia memandangiku hampir terus-menerus. Namun kelembutan ataupun luapan perasaan
cintanya tidak terasa mengisi pandang tersebut.
Pada akhirnya, setelah memakai cincin yang bertuliskan gabungan kependekan nama kami berdua, aku juga tetap tidak
mengalami gejolak atau sengatan rasa apa pun terhadap Mas Wid.
Debaran jantungku yang berpacuan cepat lebih disebabkan oleh
penungguan daripada luapan atau kepuasan kerinduan kepadanya.
Pendekatan dan perkenalan memang betul lebih mendalam. Meskipun tanpa dilanjutkan dengan kerinduan buat bertemu. Kangen
kepadanya, aku tidak pernah merasakannya. Harapan akan
bertemu lebih didasari harapan untuk mengalami kebaruan.
Jika ada waktu senggang dan sesuai dengan jadwal sekolah
kami, Bapak membawa keluarga mereguk udara luar kota. Pada
zaman itu, bepergian santai demikian disebut darmawisata. Seharian kami bersama berada di udara terbuka. Kuakui, Mas Wid
luwes sekali dalam pergaulan di luar. Bertemu dengan orang desa
atau pedagang kecil di pasar, dia segera bisa berkomunikasi dengan santai.
Kemudian, pada hari libur yang dapat digabung dengan Sabtu
dan Minggu, orangtuaku memperkenalkan Mas Wid kepada anggota keluarga di luar kota. Kami sowan ke sesepuh di Pati, dan di lain
pustaka-indo.blogspot.com
59 kesempatan ke Purworejo. Bapak selalu berusaha agar keluarganya
benar-benar santai. Dia meminjam kendaraan tambahan dari
kantornya yang dikendarai oleh seorang anak buahnya terdekat,
namanya Gunardi. Mas Gun lebih muda empat tahun dari Mas
Wid. Keduanya tampak cocok. Dan Bapak kelihatan sangat menyukai anak buahnya itu. Seringkali kalau adikku mendapat kesulitan pelajaran, bukan aku yang disuruh menolong, melainkan
Mas Gun. Ibu juga berkata menemukan banyak kualitas dalam diri
pemuda itu. Jatah yang datang dari kantor selalu dikirim ke rumah.
Yang mengantar adalah Mas Gun. Dengan sendirinya, Ibu merasa
semakin dekat dengan anak buah suaminya itu. Lebih-lebih lagi,
Mas Gun mempunyai banyak saudara di daerah Purworejo. Bapakibunya sendiri sudah meninggal. Dia dibesarkan oleh pamannya.
Sehingga bertamasya ke Purworejo bagi kami juga berarti menengok keluarga pula bagi Mas Gun. Dan di waktu orangtua kami memperkenalkan Mas Wid kepada para sesepuh, mereka juga
menyebutkan nama Mas Gun sebagai anak buah Bapak yang paling terbiasa dengan keluarga.
Selama setahun itu Mas Wid melihat dan menyelami bagaimana cara kami hidup. Seharusnya dia sudah memperhatikan
dari dekat bagaimana Bapak dan Ibu mendidik kami, menjadikan
kami manusia yang dekat dengan keluarga.
Sejak kunjungan pamannya turut melamarku, tak sekali pun
ada niat Mas Wid membawaku ke Klaten, ke rumah orangtuanya.
Ada perundingan di antara kedua orangtuaku mengenai hal ini.
Sampai Bapak mengatakannya kepada Mas Wid sendiri. Jawabannya ialah ia justru lebih dekat dengan pamannya, karena sejak kecil diasuh pamannya itu. Untuk berkunjung ke rumah pamannya, harus diatur lebih dulu. Kelak Mas Wid akan memberitahu. Masalah itu tidak dipikirkan lagi.
pustaka-indo.blogspot.com
60 Sementara Bapak tetap sering membawa kami keluar kota.
Minggu pagi kami santai bangun sekehendak hati. Pada siangnya
Ibu dan aku berkemas, kemudian Bapak membawa kami hanya
sampai di pinggir kota. Sekedar santai makan siang dan tiduran di
tepi sebuah sungai, di bawah pohon yang rindang. Yang mau berjalan-jalan diperbolehkan, asal harus mengumpul lagi pada jam
tertentu.
Pada hari-hari lain, kendaraan kami titipkan di halaman rumah penduduk di pinggir jalan. Tikar, makanan dan benda lain
kami bawa berjalan ke tempat lebih ke dalam. Di pinggir sawah
kami makan. Setelah makan, ayahku dan adik-adik berkelana
sampai jauh ke kaki bukit, aku dan ibu ditinggal. Kadang-kadang
kami membaca, kadang-kadang menyulam. Ketika Mas Wid
sudah menjadi anggota keluarga kami, berselang-seling di saat
dia turut bertamasya begitu, dia mengembara dengan adik-adikku
atau dengan Bapak, tapi adakalanya kami berdua terpisah.
Mas Wid juga dibiasakan bergaul dengan teman-teman orangtua
kami, teman-teman adik-adikku. Sejak pulang dari mengungsi,
aku mempunyai dua teman dekat: Murgiyani dan Murniyah.
Mereka sekelas denganku di Sekolah Rakyat. Kemudian mereka
meneruskan ke Sekolah Menengah Pertama. Tapi hubungan kami
tetap erat. Kami masih terus bertemu secara teratur. Kami juga
bersama-sama dalam kepanduan. Di SPG aku bertambah teman,
namun aku merasa paling akrab dengan Siswiah. Dalam kegiatan
berpandu, kami mendapat tambahan teman Sriati, murid Sekolah
Kepandaian Putri atau SKP. Dulu, ketika masih duduk di Sekolah
Rakyat, Murgiyani, Murniyah, dan aku, Muryati, mendapat sebutan "Tiga Mur" dari teman sekelas dan guru-guru. Kemudian,
meskipun "Tiga Mur" terpencar sekolahnya, kami tetap saling
merasa dekat. Tingkatan sekolah menengah di kota kami juga
pustaka-indo.blogspot.com
61 sering bertemu di lapangan hijau untuk bermain voli atau basket.
Berkat pertandingan-pertandingan antarsekolah, Sriati dan Siswiah saling bertemu. Langsung mereka dapat berkawan. Lalu se

Jalan Bandungan Karya Nh. Dini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cara kebetulan, pada suatu pertemuan antarpelajar juga, kami berlima berkumpul, berkenalan, dan cocok.
Di mulai waktu itu kami membentuk persahabatan "Tiga Mur
dan Dua S". Di mana pun kami berada, bagaikan ada radar yang
menyatukan kami, yang menggerakkan kami untuk saling mendekat. Murniyah dan aku, Muryati, mendapat panggilan Mur.
Murgiyani disebut Ganik oleh ayah-ibunya, jadi kami meneruskan
memanggil dengan nama itu. Sriati kami panggil Sri. Siswiah
biasa disebut Siswi.
Karena aku calon guru, untuk membedakan kami yang menerima panggilan sama, aku disebut Mur Guru. Temanku yang
lain Mur Dokter, karena dia bercita-cita menjadi dokter. Dan
dia yakin akan berhasil, karena ilmu eksakta dia kuasai dengan
mudah. Ketika masih duduk di Sekolah Rakyat, kami selalu mengaguminya karena dapat menghitung di luar kepala bagaikan
mesin. Kalau kami bergurau mengingatkan, bahwa sekolah kedokteran amat lama dan memerlukan banyak biaya, dengan ringan
dia menjawab bahwa nilai kelulusannya dari SMA pastilah akan
bagus, sehingga dia akan bisa mendapatkan beasiswa di perguruan
tinggi. Ibuku senang melihat keyakinan Mur. Dia memberi nasihat
agar kami turut mendoakan, agar tercapai cita-citanya.
Ganik lain. Dia juga anak tunggal, bapaknya dokter. Dia lebih
berbakat di bidang bahasa. Sedari kecil sering bepergian ke luar
negeri. Zaman Revolusi tidak dia kenal, karena dia berada di
Amerika. Sedari permulaan persahabatanku dengan dia, orangtua
kami sudah saling berkenalan. Dokter Liantoro dan istrinya
adalah keluarga terpandang di kota kami. Dalam pertemuanpustaka-indo.blogspot.com
62 pertemuan jabatan, ayahku tidak jarang bertemu dengan ayah
Ganik. Jadi ibu kami berdua juga merasa saling dekat.
Sriati berasal dari keluarga pedagang, juragan. Orangtuanya
tinggal di Sala. Di kota kami, Sri turut bibinya yang mempunyai
toko kain batik di Kauman. Temanku Siswi sama dengan Mur.
Mereka berdua anak janda yang dengan giat masih bekerja. Ibunya
Mur menjadi bidan. Ibunya Siswi adalah guru lulusan zaman dulu.
Kepada Mur dan Siswi inilah ibuku sering menaruh perhatian
lebih besar dalam hal kebendaan. Kalau ada bahan baju yang
dirasakan tidak akan terpakai, selalu aku disuruh memberikannya
kepada Mur atau Siswi. Sepatu kiriman seorang paman yang terlalu kecil buatku, juga disuruh berikan kepada salah satu dari
mereka. Ibu selalu mengulangi bahwa hidup tanpa ayah tidak
selalu mudah. Katanya, aku sebagai teman mereka harus berusaha
membikin mereka selalu merasa nyaman, tidak bersedih.
Dari kami lima sahabat, Sri dan Ganik tampak hidup paling
mentereng. Seringkali mereka dijemput atau diantar naik mobil.
Barang-barang dan pakaian mereka kelihatan mahal. Kalau aku
sering memberikan kepunyaanku kepada Siswi, Ganiklah yang
dapat dikatakan menggantinya dengan pemberian yang tidak
mungkin kudapatkan dari orang lain. Dalam hal kedudukan, kami
berdua hampir seimbang. Ayahnya dokter terpandang di kota
kami. Ayahku termasuk pejabat, kepala polisi berpengalaman
yang sangat dekat dengan Walikota. Singkatnya, kami lima bersahabat, masing-masing mempunyai latar belakang berbeda, tetapi
kerukunan kami menyatu dan tulus.
Pada saat kami bersama, soal bayar-membayar jajan atau minuman yang kami beli, tidak pernah dipersoalkan asal ada Ganik atau Sri. Masalah perizinan, kalau dalam keluarga mereka
menemukan kesulitan, ayahku yang membantu. Dalam hal surat
pustaka-indo.blogspot.com
63 dokter, kalau Mur terlambat pulang dari menengok neneknya
di Muntilan, ayahnya Ganik yang menanggung. Ibunya Mur dapat menolong kami jika kami harus berurusan dengan rumah
sakit. Untuk memeriksakan diri, untuk menengok kerabat yang
sakit, Bu Bidan itulah yang menjadi perantara supaya semuanya
berjalan lancar tanpa antre di loket. Jadi pada hakikatnya, itulah
arti bersahabat. Kami saling memanfaatkan, tetapi juga saling
mengisi kebutuhan. Kata ibuku, tidak ada gunanya berkawan
jika tidak ada timbal-baliknya. Pemberian atau pengisian tidak selalu berupa harta. Bantuan moril, dukungan gagasan juga sangat
berharga dalam hidup bersama. Ibuku juga mengingatkan bahwa
persahabatan di masa muda belum tentu akan langgeng. Lingkungan kami berubah. Masing-masing akan berkeluarga. Semua
itu akan mempengaruhi. Apakah kami berlima akan tetap erat,
belum bisa dipastikan. Pada waktu itu kami serempak menjawab
bahwa kami akan berusaha mempertahankan keeratan hubungan
kami.
Untuk sementara waktu itu, dari kami berlima, akulah satusatunya yang jelas akan lebih dahulu membangun keluarga. Sedekat dan seerat apa pun tanggapanku terhadap Mur, Ganik, Sri,
dan Siswi, namun apa yang kualami dengan Mas Wid tidak bisa
kusampaikan kepada mereka. Barangkali aku malu. Aku mungkin
takut menyampaikan kekecewaanku. Tapi mungkin pula karena
aku masih mengharapkan akan terjadi perubahan.
Waktu pulang dari jalan-jalan, Mas Wid memang merengkuhkan lengannya ke bahuku di dalam becak. Tiga kali, ketika gerimis turun dan tirai becak ditutup, aku dicium Mas Wid. Hanya
sebentar bibirnya menyentuh mulutku. Aku merasa tergugah, kudekatkan kepalaku padanya. Tapi dia hanya kembali memegang
bahu dan merengkuhku. Di kali lain, dia mengelus pinggangku
pustaka-indo.blogspot.com
64 sambil memelukku. Tangan kiri bermain-main dengan rambutku.
Tapi tidak pernah dia memandang dekat-dekat, meneliti wajahku.
Aku bahkan terlalu hafal catatan dari bacaan di asrama, sehingga
mengharapkan dia tidak hanya mengelus pinggangku, melainkan
menaikkan tangan sedikit dan meraba dadaku. Tetapi harapan
yang telah cukup membakar dan mempercepat aliran darahku
itu tidak terpenuhi. Demikianlah, lebih dari enam bulan kami
bertunangan, yang dikatakan Bapak "waktu supaya kalian berdua
saling lebih mengenal dan mendekat" cepat berlalu.
Kemajuan memang ada, ialah aku dibawa menonton ilm oleh
Mas Wid. Sebenarnya itu bukan prakarsanya. Sejak lama aku
ingin menonton berbagai ilm yang selalu dibicarakan saudarasaudara atau teman-temanku. Tetapi Mas Wid tidak pernah mau.
Maka aku mengambil prakarsa lain. Kalau dia berjanji akan datang
Minggu sore, paginya aku menonton bersama teman atau adikku.
Dia nyata tidak menyukai kelakuanku itu. Dia bertanya mengapa
aku suka menonton ilm. Aku ganti bertanya mengapa dia tidak
menyukainya. Katanya, ilm itu hanya ilusi. Itu hanya bayangan
tentang kehidupan yang tidak benar. Jawaban ini menjadi bahan
diskusi yang cukup ramai di antara orangtua dan adik-adikku.
Ibuku sangat bersemangat mengatakan bahwa Widodo harus
diberitahu bahwa ilusi itu penting dalam kehidupan. Khayalan itu
diperlukan manusia yang sehat. Para genius untunglah memiliki
khayalan sehingga mereka bisa dan mampu mencipta berbagai
penemuan. Tapi aku tidak berani bertindak tanpa pengarahan
orangtua. Aku bertanya apakah aku bisa terus menonton bersama
teman-temanku. Dengan tegas, Bapak memberi izin. Barangkali
Widodo cemburu karena kamu akrab dengan teman-temanmu,
demikian komentar ayahku. Katanya lagi, mungkin pula dia ingin
pustaka-indo.blogspot.com
65 menunjukkan rasa "mempunyai" terhadapmu. Kamu seharusnya
menyukai apa yang dia sukai dan membenci apa yang dia benci.
"Apakah Bapak ingin aku berbuat seperti Mas Wid?" tanyaku
terus terang.
"Apakah selama ini Bapak dan Ibu mendidikmu demikian?
Membuntuti orang lain tanpa mempunyai pendapatmu sendiri?"
ayahku ganti bertanya.
"Tidak," sahutku. Dan memang orangtua kami mendidik aku
dan adik-adikku agar mandiri, mampu mempertahankan pendapat
kami masing-masing meskipun menerima pikiran dan gagasan
orang lain. Namun selama kami masih muda dan hidup di bawah
naungan orangtua, kami harus taat dan patuh pada peraturan
orangtua.
"Kamu bebas," ibuku menambahkan. "Mas Wid akan menjadi
suamimu. Terserah kepadamu, apakah kamu akan menuruti pendapatnya ataukah pendapatmu sendiri. Tapi jangan sampai kamu
merasa tertekan."
Lalu muncul ilm The Long March di gedung-gedung bioskop
kota. Banyak orang membicarakannya. Itu ilm baru mengenai
revolusi RI. Beramai-ramai orangtua dan adikadikku menonton.
Karena ceritanya mengenai perjuangan, aku menunggu Mas Wid.
Sebegitu Sabtu sore dia datang, Bapak langsung berkata, "?Tanggal tengahan begini Nak Wid masih punya uang? Sebaiknya Mur
dibawa menonton di Orion atau Lux. Filmnya bagus. Tentu Nak
Wid sudah mendengar. Itu cerita mengenai Siliwangi yang hijrah
ke Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kami sudah menonton semua.
Mur tidak mau ikut, karena menunggu anda."
"Benar, bagus ilm itu, Nak Wid," sambung ibuku. "Sesudah
nonton, makan di rumah saja."
Semua itu lebih kedengaran seperti perintah daripada usul. Tapustaka-indo.blogspot.com
66 pi karena barangkali merasa tidak ada pilihan, Mas Wid menurut.
Dia bertanya jam berapa pertunjukan dimulai.
"Langsung naik becak saja supaya mencapai pertunjukan jam
tujuh. Di Lux sudah agak sepi, karena sudah lebih lama ilm itu
dimainkan," kata Bapak. Dan untuk lebih menekankan, ayahku
menyambung bahwa Mur membawa uang secukupnya. Bapak
yang membayari menonton, katanya lagi. Berarti Mas Wid hanya
bertugas mengantarkan aku. Mau atau tidak.
Sepanjang perjalanan menuju ke gedung bioskop, Mas Wid
tampak murung. Aku berusaha menciptakan suasana santai.
Kuceritakan apa yang kukerjakan sepekan itu. Ganti aku menanyakan kesibukannya, di kantor, keluarganya. Dia menjawab
pendek-pendek. Keluarga? Dia memang tidak pernah menyebutnyebut.
Waktu akan membeli karcis, dia juga tidak menolak uang
yang kuberikan. Di dalam gedung dan selama pertunjukan, dia
duduk tegak. Lampu mati dan keadaan gelap, tapi dia tidak beringsut mendekat. Akulah yang sekali-sekali mendekatkan kepala, berbisik kepadanya. Aku mengingatkan kejadian yang kami
alami dalam pengungsian dulu. Tapi dia tetap kaku, tidak menanggapiku.
Menuruti nasihat Ibu, kami langsung pulang. Tinggal kami berdua yang belum makan. Dia kulayani sebagaimana mestinya, lalu
aku duduk di hadapannya untuk makan bersama-sama. Karena
menyadari sedari tadi semua bicaraku tidak ada gunanya, aku terdiam. Hingga di tengah-tengah waktu makan, Ibu mendekati dan
duduk bersama kami.
"Bagaimana ilmnya? Makannya kok sepi saja. Nak Wid suka
ilmnya?"
"Mas Wid barangkali agak sakit, Bu. Sedari tadi dia tidak
pustaka-indo.blogspot.com
67 banyak bicara," dengan lancang aku menyahuti ibuku. Dan seketika itu pula aku khawatir sendiri oleh keberanianku itu.
"Ya? Tidak enak badan, Nak Wid? Capek mungkin, ya? Udara
terlalu panas hari-hari ini. Mudah-mudahan hujan akan segera
datang. Kabarnya, di daerah selatan sudah turun. Kita di pesisir
belum kebagian," ibuku berbicara seperti kepada pendengar yang
ramah. Dia langsung bangkit, kembali lagi membawa aspirin
sambil meneruskan berbicara, "Kalau mau menanggulangi dulu,
Nak Wid? Atau anda lebih suka vitamin C?" Lalu Ibu berseru
memanggil adikku supaya mengambil vitamin C di bupet dekat
ruang tamu.
Mas Wid menggumamkan sesuatu. Kami sudah selesai makan,
dia bangkit dan akan ke serambi. Aku membenahi meja. Aspirin
dan vitamin masih berada di meja.
"Bawa obatnya ke depan dengan gelasnya, Mur," kata ibuku.
"Dia tidak mau, Bu. Bukannya dia lupa tidak meminumnya!
Biarkan saja!" kataku, sibuk memasukkan lauk pauk ke dalam lemari makan.
"Bawa saja ke depan!" desak Ibu.
"Kok sepertinya kita memaksa-maksa. Dia bukan anak kecil
lagi, Bu."
"Bukan memaksa. Kita hanya ingin turut ngopeni mas-mu."
"Ya kalau yang diopeni mau? Kalau tidak?"
"Kamu kok begitu!" Ibu berdiri di seberang meja, memandangiku, lalu meneruskan, "Apa kalian bertengkar?"
"?Tidak. Aku bahkan tidak tahu apa salahku sehingga semua
kata-kataku tidak ditanggapi. Nonton ilm bagus juga tidak punya
komentar. Dibayari Bapak lagi!"
"Hush! Jangan keras-keras!" Ibu cepat melirik ke pintu luar.
"Barangkali memang agak sakit dia!" Akhirnya itulah kesimpulan
pustaka-indo.blogspot.com
68 Ibu. Dan tanpa ribut-ribut, Ibu menambahkan teh di gelas Mas
Wid, mengambil vitamin dan aspirin, membawa semuanya keluar.
Aku meneruskan tugasku di belakang.
Ibu selalu baik. Kepada siapa pun. Ketika membawa pecahbelah ke tempat cucian, aku menyesal telah berbuat lancang.
Tidak terhadap Mas Wid, melainkan terhadap ibuku. Sabtu malam
Minggu biasanya dia tinggal hingga jam setengah dua belas. Tapi
Pedang Golok Yang Menggetarkan 6 Pendekar Rajawali Sakti 114 Gerhana Darah Biru My Name Red 12

Cari Blog Ini