Ceritasilat Novel Online

Jalan Bandungan 2

Jalan Bandungan Karya Nh. Dini Bagian 2


malam itu dia pamit jam sepuluh. Orangtuaku tidak menahannya,
mengira dia memang betul tidak sehat. Hari Minggunya, Bapak
sudah merencanakan keluar kota sampai ke Kendal untuk melihatlihat pasar ikan, mencari kepiting kesukaannya. Aku tidak turut,
khawatir kalau-kalau Mas Wid muncul. Adikku yang besar juga
mempunyai kegiatan sendiri. Sampai petang, dan akhirnya malam, Mas Wid tidak datang. Orangtuaku berkesimpulan bahwa
bakal menantunya jatuh sakit. Terutama Ibu. Dia minta supaya
ayah kami mengirim anak buahnya keesokan harinya, mencari
keterangan di pondokan Mas Wid.
Akhir pekan telah berlalu. Hari Jumat berikutnya aku menerima
surat dari tunanganku. Itu adalah surat pertama sejak dia pindah
sekota denganku. Empat halaman bloknot, isinya mengejutkan.
Pertama-tama dia mengatakan bahwa akhir pekan ini dia dinas
ke Surabaya. Mudah-mudahan akan kembali menjelang Sabtu
pekan berikutnya. Selanjutnya, panjang lebar dia menerangkan
sifat-sifatnya, bahwa dia begini, dia begitu, bahwa dia menyukai
ini, bahwa dia tidak menyukai itu. Dia menuduhku tidak mau
mengerti sifat-sifatnya itu. Padahal, menurut dia, dia sangat
mengerti sifatku. Kalau aku akan menjadi istrinya, seharusnya
aku mau mengubah kebiasaanku. Selama ini, dia, Mas Wid, terus
yang mengalah, menuruti kebiasaanku, kebiasaan keluargaku.
pustaka-indo.blogspot.com
69 Bukankah kita akan kawin sebentar lagi? Begitu tulisnya. Apakah dia masih harus terus mengikuti cara hidupku saja? Katanya,
dalam keluarga, suamilah yang mengambil prakarsa. Istri harus
menuruti keputusan suami. Pendek kata, isi surat itu menyangkut
kami berdua. Tapi bukan menyinggung soal cinta kasih. Surat
itu hanya berisi masalah "menurut, diturut, kebiasaan keluarga".
Bagiku, jelas bahwa Mas Wid hendak menekankan siapa yang
berkuasa dalam sebuah rumah tangga. Suami atau istri?
Dadaku bergolak membaca surat itu. Aku menangis karena
marah sekali. Dia menuduhku selama ini memaksa dia untuk menuruti kebiasaan keluargaku. Soal menonton ilm adalah puncak
dari kesabarannya. Dia, berkali-kali mengatakan tidak menyukai
ilm. Tapi memang kami telah memaksanya, itu benar. Sedangkan
kebiasaan-kebiasaan lain, kukira kami tidak pemah memaksanya.
Ayahku selalu bertanya apa rencananya. Karena tidak ada, maka
dia kami ajak bertamasya, atau mengujungi keluarga sesepuh.
Berkali-kali kami bertanya kapan kami bisa sowan ke keluarganya.
Tak pernah ada jawaban yang pasti. Apakah dia ingin membentuk
keluarga sendiri dan kemudian memisah dan lepas sama sekali? Itu
juga baik. Tapi aku tidak bisa. Bapak, Ibu, dan adik-adikku tetap
merengkuhku meskipun kelak aku sudah menjadi istri orang. Aku
juga tetap menjadi anggota keluarga mereka.
Surat itu kuberikan kepada Bapak selagi mukaku basah oleh
air mata. Kami bertiga berunding. Kata Bapak, Mas Wid salah
paham. Ibu menambahkan bahwa orang seperti Mas Wid biasa
hidup sendirian, sehingga tidak mengerti sikap orang lain yang
justru ingin memperhatikannya. Aku lebih kasar, ingin agar pertunangan kami putus sampai di situ saja.
"Belum menjadi istrinya saja dia sudah mau mendiktekan keinginannya. Nanti bagaimana nasibku kalau sudah kawin?!"
pustaka-indo.blogspot.com
70 "Ya, jangan begitu," Bapak lembut membujuk. "Semua bisa
dirundingkan. Memang ibumu dan aku bersalah waktu itu menyuruh dia membawamu ke bioskop. Seharusnya aku bertanya, dia
mau atau tidak."
"Dia sudah berkali-kali mengatakan tidak suka ilm, tidak suka
tontonan. Dalam bentuk apa saja. Itu hanya ilusi, katanya."
"?Kukira, dulu hal itu disebabkan karena dia cemburu. Tapi rupanya lebih gawat. Dia ingin supaya kamu sejalan dan sepikiran
dengan dia."
"Kalau untuk hiburan, untuk makanan, diteruskan untuk idealisme, kan berbahaya bagiku, Pak. Tidak. Aku tidak bisa hidup
begitu. Bapak sendiri mengatakan bahwa kami tidak dididik untuk
membuntuti orang lain. Kecuali jika memang kami menyetujui
dia."
"Kalau kamu mencintainya pasti bisa hidup begitu," ibuku menambahkan.
Inilah dia! Apakah aku mencintainya?
"Apakah kamu mencintainya? Cukup besar cinta itu sehingga
kepribadianmu rela lebur menjadi kepribadian suamimu?" Setelah
mengatakan itu, ayahku memandang ke arah ibuku seolah-olah
meminta pendapatnya pula.
Ibu tidak menjawab, tampak berpikir. Aku demikian pula.
"Bagaimana hubunganmu dengan dia?" tanya Bapak lagi. Lalu
meneruskan, "Dia mesra kepadamu? Dia mengelus dan merangkulmu dengan penuh cinta?" Dan sambil bertanya, ayahku memegang serta membelai tanganku.
Aku tidak dapat menahan tertawa.
"Mur! Kamu selalu begitu!" Suara ibuku menyesaliku.
Tapi aku meneruskan tertawa ketika Bapak mencium tanganku. pustaka-indo.blogspot.com
71 "Kalian saling mencintai!" itulah keputusan ibuku.
"Cinta yang bagaimana ya, Bu. Dia memang mesra, tetapi ...."
Tiba-tiba aku kebingungan sendiri bagaimana bercerita kepada
orangtuaku. "Yang pasti, aku memang mulai biasa dengan kehadirannya. Itu saja. Soal cinta, cium-mencium, dia tidak pernah memperbincangkannya. Aku kan tidak berpengalaman! Kalau Bapak
mencium Ibu bagaimana, Pak?"
Ibu membentak perlahan, "Hush, anak ini!"
"Lha Bapak bertanya. Jadi aku juga menginginkan informasi!"
Kini Bapak juga tertawa, matanya membelai wajahku dengan
pandang lembut.
"Kalau Bapak mencium ibumu ya dengan rasa gregetan, penuh
cinta. Bukan begitu, Bu?"
"Ah, anak dan bapak sama saja ulahnya!" Ibu melengos. Tapi
matanya melirik ke arah Bapak.
Nah, itulah! kataku dalam hati. Aku tidak pernah mempunyai
rasa gregetan, atau merasakan gregetannya Mas Wid. Tapi itu bisa dibangun, kata Bapak. Bisa dibentuk karena kebiasaan kebersamaan, tambah ayahku pula. Pokok dan akhir pembicaraan,
ibulah yang menginginkan agar Mas Wid dan aku memperbaiki
hubungan. Tunangan itu seperti ujian, katanya. Kalau lulus, ya
kalian kawin. Kalau memang sudah tidak bisa disambung, jangan
dipaksa, kata ayahku. Pendek kata, dalam hal ini kedua orangtuaku
terasa kurang kompak. Tapi jelas keduanya menyarankan supaya
semua dirundingkan, di hadapan orangtua. Jika perlu, memanggil
paman Mas Wid yang dulu melamar. Atau pergi bersama ke
Klaten. Sekali lagi aku menurut. Apa sajalah yang dinasihatkan
Bapak dan Ibu. Karena aku percaya pasti hasilnya akan baik.
Aku menyadari memang telah biasa dengan kehadiran Mas Wid.
pustaka-indo.blogspot.com
72 Semua orang memiliki kekurangan, kata Bapak. Kita harus bisa
menyesuaikan diri.
Sabtu petang kemudiannya, Mas Wid datang. Orangtuaku
langsung membicarakan masalah tersebut. Tanpa basa-basi, Bapak
memanggilku. Kami duduk berempat dengan Ibu.
"Begini, Nak Wid. Ibu, saya, dan Mur ingin menjelaskan kedudukan kami. Dulu Nak Wid datang melamar Mur. Kami tidak
pernah menyodorkan atau menawarkan dia. Nah, sekarang kami
bertanya apakah Nak Wid masih tetap ingin meneruskan pertunangan dengan Mur apa tidak?"
Aku terkejut mendengar ketegasan, bahkan kekasaran ayahku.
Kulirik Ibu untuk mengetahui reaksinya. Dia kelihatan biasa, bersandar tetapi tegak, menatap ke depan.
"Karena kalau tidak," Bapak meneruskan, "kami siap mengembalikan janji-janji anda. Berarti masing-masing akan bebas kembali."
Tampak dari sikapnya, Mas Wid tidak mengira maupun menduga kejadian ini. Dia tidak langsung tanggap, menunduk dan
memajukan duduknya seperti mencari kata-kata.
Bapak meneruskan lagi, "Mur memperlihatkan surat anda
kepada kami. Rupa-rupanya Nak Wid dan kami mempunyai
pandangan berbeda dalam menentukan deinisi apa itu yang dinamakan keluarga." Dan panjang lagi ayah kami berpidato. Sekali-sekali dia memandang ke arahku, lalu ke istrinya untuk
menekankan, bahwa yang dikatakan olehnya juga merupakan
pendapat anak dan istrinya. Bapak menambahkan bahwa antara
dia dan Ibu tidak pemah saling menekan. Bahkan anak-anak
pun tidak seharusnya merasakan jajahan itu. Sebagai suami dia
memang kepala rumah tangga, tetapi itu tidak berarti bahwa dia
bisa berbuat sewenang-wenang. Istrinya adalah ibu anak-anaknya.
pustaka-indo.blogspot.com
73 Bapak sebagai pegawai negeri yang bergaji pas saja. Ibulah yang
memutar gaji itu supaya hidup keluarga sejahtera. Bapak juga
mengatakan bahwa keluarga tidak seharusnya mendekam di rumah, tertutup. Keluarga yang seimbang harus keluar, bergaul,
dan mengetahui lingkungan baik di dalam kota maupun di luar.
Sebab itulah ayah dan ibuku membawa anak-anak berekreasi,
mencari pemandangan baru, tetapi yang semurah-murahnya. Kebaruan itu juga berupa tontonan. Itu penting buat hiburan. Juga
baik untuk selingan setelah sepekan bekerja di kantor, belajar
di sekolah, ataupun mendekam di rumah seperti para istri. Dia
sebagai ayah tidak senang anaknya kelak mengalami hidup tertekan karena harus menuruti cara hidup suaminya. Seandainya
tidak mempunyai cukup uang, rekreasi bisa dikurangi, tetapi tidak
seharusnya ditiadakan sama sekali.
"Selama ini saya membiasakan anak-anak saya menonton
pertunjukan. Paling sedikit sekali sebulan. Dalam hal ini, kalau pasangan hidupnya tidak punya uang, biarlah saya yang menanggung. Karena saya lebih suka mempunyai anak yang bergembira daripada cemberut. Lha kalau anak saya sudah punya
tunangan, mengapa dia harus pergi menonton dengan orang lain?
Sebab itulah waktu itu Nak Wid saya minta mengantarkan Mur
menonton."
Ketika Bapak berhenti, Ibu menyambar kesempatan untuk
mengeluarkan isi hatinya. Mas Wid belum juga membawa aku
atau kami mengunjungi keluarganya. Pertunangan dianggap sah
karena memang Mur sudah dilamar, sudah diberi cincin. Tapi hubungan dengan keluarga Mas Wid juga penting. Setidak-tidaknya
keluarga pamannya kalau memang ayah dan ibunya tidak dapat
diandalkan.
Aku tidak mengetahui apa yang terjadi di kepala Mas Wid
pustaka-indo.blogspot.com
74 petang itu. Hingga akhir perundingan, dia tidak banyak bersuara.
Jawaban terhadap pertanyaan ayahku pun mengambang. Tentang
keluarganya juga tidak jelas.
Dia malahan berkata, "Sebetulnya tidak ada masalah antara
Dik Mur dan saya. Mengapa Dik Mur menunjukkan surat itu kepada Bapak?" suaranya menyesaliku. Aku akan segera menyahut
menolak tuduhan yang sangat tidak menyenangkan itu ketika
dia langsung menoleh lagi kepada orangtuaku untuk mengatakan,
"?Tentu saja saya ingin meneruskan hubungan dengan Dik Mur.
Tidak pernah terpikir oleh saya akan memutuskan pertunangan.
Ini hanya hal sepele, tapi dibesar-besarkan."
"Ini bukan sepele, Nak Wid, karena ini menyangkut pergaulan
kalian berdua dalam rumah tangga kelak," ibuku cepat memotong
kata-katanya. Lalu meneruskan, "Hidup sehari-hari dengan orang
yang sama, kalau tidak didasari pengertian dan cinta kasih, tidak akan mungkin nyaman bagi kedua pihak. Bapaknya Mur dengan saya selama ini berhasil membuat kehidupan kami tidak
membosankan. Nah, saya tidak ingin anak saya kelak mengalami
tekanan batin yang disebabkan oleh hal-hal yang anda sebut
sepele itu."
Aku lega sekali mendengar kata-kata ibuku. Tetapi di samping
itu, aku seperti mendapat irasat bahwa Mas Wid mempunyai
pikiran sempit. Dia tidak akan memiliki wawasan luas. Kalau
dia sudah mengira bahwa sesuatu itu betul, dia akan berkeras
kepala meneguhinya. Tiba-tiba aku ingin menyela mengatakan:
Sudah? Bubar saja! Aku tidak mau kawin dengan dia! Firasat
gila atau tepat ini perlahan-lahan menguasaiku. Setengah dari
diriku mengikuti pembicaraan, setengah lagi melamun. Mengenai
sekolah, mengenai perjumpaan kesenian yang akan datang
dan sudah dirancang programnya. Mengenai ulangan pekan
pustaka-indo.blogspot.com
75 mendatang yang akan menentukan kenaikan kelas. Pikiran yang
tertuju kepada Ganik juga mendadak menelusup. Kemarin dia
mengatakan bahwa ayahnya sedang mengurus visa di Jakarta.
Dokter terkenal dari kota kami itu akan keliling Amerika Serikat memenuhi undangan. Ganik mengatakan ibunya belum
memutuskan akan turut atau tidak. Di satu pihak dia ingin mendampingi anaknya yang juga akan ulangan kenaikan kelas. Di
sisi lain, ayah Ganik juga senang kalau istrinya turut, karena
wanita itu akan banyak membantu menuliskan kembali kertaskertas kerjanya selama berkeliling itu. Kemudian aku terkejut,
terbangun dari lamunan ketika namaku disebut Bapak. Aku memandangi muka ayahku, dan berganti menatap ibuku.
"Bapak memang betul dalam hal ini," kata Ibu kepadaku.
"Sekarang semua tergantung kepadamu sendiri. Terserah keputusanmu, apakah akan terus menjadi calon istri Mas Wid atau
hanya sampai di sini saja pertunangan kalian. Ibu berpendapat
seperti Bapak. Sebaiknya dicoba lagi, karena ini hanya berupa
salah pengertian. Tapi sekali lagi kamu yang harus memutuskan
sendiri." Kata-katanya diucapkan dengan nada lembut, namun
seperti biasanya, tegas dan jelas.
Aku harus menjawab.
"Kalau Bapak dan Ibu beranggapan demikian, aku mau saja
meneruskan pertunangan dengan Mas Wid. Asal ya itu, jangan
hendaknya dia keterlaluan lagi, memandangku seperti anak-anak
terus. Aku juga mempunyai pendirian. Tidak bisa harus menuruti
pendapat dia."
"Sudah, sudah," kata ayahku. "Itu semua sudah disebut tadi.
Masalahnya, dalam hidup bersama harus selalu ada kompromi.
Nah, selama ini Nak Wid terus-terusan bersama keluarga kita.
pustaka-indo.blogspot.com
76 Saya ingin coba sekarang kita menggabung ke keluarga Nak Wid.
Kapan kita ke Klaten sowan ayah dan ibu anda?"
Mas Wid tidak menyahut. Memandang kepadaku, lalu sepin

Jalan Bandungan Karya Nh. Dini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tas ke arah Bapak dan Ibu. Aku merasakan kegelisahannya yang
tidak kumengerti. Ibu menopang kalimat ayahku.
"Ya, benar. Mari kita yang ke sana. Sekalian membalas kunjungan paman Nak Wid dulu."
"Paman saya tidak di Klaten. Dia sudah menyeberang ke Lampung, membangun hidup baru di sana. Jadi petani."
Ini juga berita! Tidak sekalipun dia mengabari kami. Kalau
orangtuaku bertanya bagaimana kabar pamannya, dia hanya menjawab "baik-baik". Sungguh tidak ada komunikasi yang wajar di
antara kami!
Melihat gelagat yang kurang menyenangkan, Bapak mengambil prakarsa, memutuskan. "Seminggu lagi kita ke sana. Singgah
saja. Berangkat pagi, langsung ke Klaten. Lalu kita keliling ke
Yogyakarta." Setelah berhenti sebentar, ayahku melanjutkan, "Begini, Nak Wid. Karena anda tampak tidak mengambil perkara
dalam kedua tangan anda, padahal ini saya anggap penting, maka saya yang memutuskan. Kita harus ke Klaten. Kalau bukan
untuk anda, ini perlu buat Mur. Jadi, saya sebagai ayahnya yang
mengambil keputusan. Jangan anda kira lagi bahwa kami memaksakan kehendak kami, keluarganya Mur, pada anda. Anda yang
seharusnya memperkenalkan calon istri anda kepada orangtua
yang bersangkutan. Ini contoh kelembekan anda yang tidak saya
mengerti. Dulu ketika kita berjuang bersama-sama, kok anda lebih giat, lebih aktif?"
Kata-kata Bapak yang dimulai dengan suara biasa, diakhiri dengan nada kejengkelan. Jarang sekali aku menyaksikan ayah kami
marah. Anak buahnya yang sudah biasa keluar-masuk rumah
pustaka-indo.blogspot.com
77 kami juga bercerita bagaimana sikap Bapak terhadap mereka di
kantor. Dengan keputusan yang diambil petang itu, segalanya
tampak beres. Kami makan bersama dan meneruskan berbicang
dengan santai. Mas Wid bergurau dengan adik-adikku seolah-olah
tak pernah terjadi sesuatu ketegangan pun. Tetapi malam ketika
berangkat tidur, aku sukar melelapkan diri. Berbagai perasaan
berkecamuk, beraneka pikiran mengganggu kepalaku. Aku tidak
mengerti mengapa begitu. Apakah aku menyesali keputusanku
untuk meneruskan pertunangan dengan Mas Wid?
*****
pustaka-indo.blogspot.com
78 8 ulangan akhir tahun ajaran. Tidak ada hal yang istimewa aktu itu aku sedang tinggal di asrama untuk menyiapkan
dalam peristiwa itu, karena semua guru dan teman sudah yakin
bahwa aku akan naik kelas. Yang sesungguhnya, bagiku selalu
merupakan tantangan. Aku harus mempertahankan prestasiku.
Angkatanku waktu itu terdiri dari empat kelas. Tiap kelas berisi
kurang lebih tiga puluh siswa. Saingan untuk mendapatkan tempat terbaik lebih ketat dari tahun yang silam. Kata ayah kami,
itulah risiko menjadi orang nomor satu. Orang yang mendududuki tempat terpandang dan menyadari mempunyai harga diri,
seharusnya mempertahankan apa yang telah dicapainya. Kalau
bisa, bahkan memperbaiki rekornya sendiri. Tapi manusia berkekuatan terbatas, tambah ayahku. Bisa mempertahankan apa yang
dimiliki saja sudah bagus. Hanya, jangan bersikap mandeg tanpa
berusaha, karena orang yang cepat puas dan tidak berusaha, dinamakan apatis.
Lalu Bapak menerangkan apa arti kata yang berasal dari bahasa
Belanda itu. Pasif, tidak bergerak tidak sama dengan ilsafat Jawa
pasrah, kata Bapak. Kepasrahan kita jangan dijajarkan dengan
apatisnya orang asing. Dalam perkataan pasrah tercakup kegiatan,
gejolak jiwa kita. Selama pasrah itu orang Jawa memperkaya batin
dengan laku dan doa, menghubungkan diri dengan Yang Maha
pustaka-indo.blogspot.com
79 Kuasa. Itu jalan batinnya. Sedang jalan lahiriah berupa usaha
nyata. Kalau kamu ya belajar, kalau aku ya bekerja keras. Tambahnya lagi, Tuhan memang membagi rezeki. Tapi Dia hanya
memberi kepada mereka yang nyata berusaha.
Tinggal di asrama tidak membikinku jauh dari orangtua. Aku
menjadi corong mereka, menyalurkan pikiran mereka yang disuntikkan ke dalam diriku. Kali itu pun, di samping belajar, aku
banyak berdiskusi dengan teman-temanku. Lebih-lebih dengan
Siswi.
Pada hari ketiga ulangan, siang sesudah makan, ibu asrama
masuk ke kamarku dan menyuruhku segera pulang. Sopir menunggu dengan jip yang biasa dipakai ayahku. Secara singkat dia
mengatakan bahwa ayahku akan dioperasi. Sekarang mondok di
rumah sakit. Dengan gugup aku mengikuti ibu asrama yang mengantarku sampai ke halaman sekolah. Mobil tidak membawaku
pulang, melainkan langsung ke Rumah Sakit Elisabeth.
Bapak kutemui di kamar sendirian. Satu tempat tidur kosong
ada di sampingnya. Dengan tenang dia mengatakan sudah berada
di sana dua hari. Sabtu sore ketika mengantarkan aku, badannya
terasa tidak enak. Kakinya sukar ditapakkan. Kalau kencing sakit
sekali. Waktu malam, punggungnya dikerik ibuku. Hari Minggu,
dia merasa lebih enak. Seharian dia santai tinggal di rumah bersama Ibu dan adikku terkecil. Petang, badannya panas sekali.
Setelah adikku yang besar pulang, langsung disuruh ke rumah
Dokter Liantoro, ayahnya Ganik. Harus agak lama menunggu, karena dokter itu bersama istrinya sedang pergi menghadiri resepsi
perkawinan. Tapi malam itu juga Bapak dimasukkan ke rumah
sakit. Senin pagi-pagi berbagai pemeriksaan dilakukan. Menurut
bapaknya Ganik, ayahku harus dioperasi. Barangkali ada batu
yang sudah cukup besar di dalam ginjalnya. Untuk kepastiannya,
pustaka-indo.blogspot.com
80 harus menunggu hasil pemeriksaan dan foto. Kemudian keputusan
diambil: Bapak akan dioperasi Jumat pagi. Selama itu Ibu mondarmandir menunggui ayah kami. Sebenarnya Ibu dapat tidur di
rumah sakit. Ranjang di samping ranjang ayahku masih kosong.
Itu bisa disewa. Bergantian dengan adikku yang besar, Ibu akan
meneruskan menunggui Bapak.
Siang itu kebetulan ibuku baru pulang mengganti bekal pakaian. Aku tinggal di kamar ayahku sampai sore. Ibu datang dengan adik-adikku. Aku hanya sebentar bersama mereka karena
diusir buat belajar. Ulangan masih berlangsung beberapa hari.
Sabtu nanti aku akan diperbolehkan pulang. Dengan sendirinya
aku akan mengunjungi Bapak lagi. Lalu Senin pagi-pagi akan diantar ke sekolah melanjutkan ulangan.
Keesokannya, aku setengah memaksa ibu asrama untuk mengizinkan aku menengok ayahku. Siswi menemani. Kami berjalan
kaki dari asrama ke rumah sakit. Waktu itu sudah ketahuan
bahwa batu di dalam ginjal memang harus dikeluarkan dengan
jalan operasi. Ini kepastiannya. Hari operasi ialah Sabtu pagi,
bukan Jumat. Donor darah sedang disiapkan orang-orang kantor.
Hatiku gentar. Operasi ginjal bukan hal yang remeh. Meskipun
keahlian dan peralatan dapat diandalkan, tubuh manusia yang
diiris dan dipotong membangkitkan rasa ngeri padaku. Apalagi
yang dioperasi orangtua kami, anggota keluarga kami.
Petang itu dengan sukar aku belajar. Aku kurang bisa memusatkan pikiran. Seringkali aku teringat kepada Bapak. Bapak dan
Tuhan kusebut berulang kali. Kami dididik untuk mempercayai
kekuasaan Allah. Orangtuaku tidak bersembahyang secara agama
Islam. Tetapi keduanya menjalankan "?laku?" seperti kebanyakan
orang Jawa. Puasa dan tirakatnya tidak pernah terputus sejak masa
pengungsian hingga waktu itu. Mengurangi tidur dan mengurangi
pustaka-indo.blogspot.com
81 makan sudah merupakan kebiasaan rutin yang biasa kami lihat
dan kami tiru.
Dokter Liantoro menjalankan operasi seperti direncanakan.
Bude datang dari Purworejo untuk menolong mengawasi rumah
dan adik-adikku. Ketika aku menengok hari Sabtu sore, Bapak
sudah sadar, tetapi masih mengantuk. Pengaruh obat bius baru
akan hilang sama sekali setelah dua puluh empat jam, kata ibuku.
Pengunjung yang diperbolehkan masuk baru keluarga sendiri.
Dengan suara bisik-bisik, Ibu menceritakan apa yang terjadi sejak
kemarin dan paginya. Sekali-sekali, dengan mata terpejam, Bapak
menambahkan komentarnya. Tetap ringan, kata-kata yang memang hanya dia yang bisa mengucapkannya. Aku diantar pulang,
tetapi Ibu menunggui bersama adikku.
Hari Minggu, panas badan Bapak naik. Kami anak-anak yang
besar menengok, adikku yang kecil di rumah bersama Bude. Ganik dan ayahnya juga datang. Bapak tidak sadar, napasnya sesak.
Minggu malam dia tetap pingsan. Kami tidak pulang. Senin dinihari, dia membuka matanya. Kami berkumpul mengerumuni
tempat tidur. Dengan jelas dan terang, dia sebut nama kami satu
demi satu. Bahkan nama adikku terkecil yang berada di rumah.
Lalu ayah kami meminta maaf kepada Ibu. Sesudah itu, Bapak
mengatakan harapannya kepada anak-anaknya. Tangannya tidak
melepaskan tangan Ibu selama dia berbicara kepada kami. Lalu dia
pingsan lagi. Dokter jaga mengatakan supaya kami tenang. Udara
di atas tempat tidur harus lapang. Meskipun diberi masker untuk
bernapas, Bapak tidak tertolong lagi. Tuhan telah menentukan
kehendakNya. Pagi itu Bapak yang mencintai kami, yang kami
cintai, yang paling hebat di antara para bapak, yang teristimewa
dari seluruh suami, meninggal dunia dengan tenang. Wajahnya
seperti tertidur.
pustaka-indo.blogspot.com
82 Semua itu terjadi begitu tiba-tiba. Begitu cepat. Pembedahan
telah berlangsung baik. Tapi komplikasi paru-paru ditambah tersumbatnya pembuluh darah konon menyebabkan organ-organ
utama kurang berfungsi dengan lancar. Ayah kami memang perokok berat. Ibu biasa mengatakan, bahwa berhenti merokok itulah satu-satunya usul Ibu yang tidak pernah digubris suaminya.
Kejadian ini merupakan tikaman yang nyaris melumpuhkan
keluarga kami. Aku tidak pernah membayangkan tidak mempunyai ayah. Pukulan dahsyat semacam itu kukira tidak akan
habis-habisnya terasa sakit pada jiwa dan seluruh rasa kesadaranku.
Untunglah kami memiliki ibu seperti ibu kami. Dia menyandang
malapetaka itu dengan ketabahan luar biasa yang hampir tidak
masuk di akalku waktu itu. Pada hari kematian dan hari-hari
berkabung selanjutnya, sabar dan tawakal Ibu menasihati anakanaknya untuk tidak cengeng. Perlihatkan kekuatan kalian, anakanak revolusi yang pernah turut bapaknya mengembara di bawah
tembakan peluru musuh, kata ibu kami. Bapak kalian orang yang
berjiwa kuat, katanya lagi. Jangan dia dari dunia sana menyaksikan
anak-anaknya berhati lemah. Jangan memalukan bapakmu!
Semula, aku dibingungkan oleh sikap Ibu yang tetap seperti
biasa. Seolah-olah tidak terjadi badai yang menggoncangkan
keluarganya. Dia memang menangis. Dia berkali-kali memeluk
erat adikku yang paling kecil. Air mata terus menetes, tetapi terus dia hapus. Namun tak sekali pun dia memperlihatkan gerak
atau sikap yang lebih mencolok atau sedu-sedan yang mengiris
pendengaran. Kedua orangtuaku saling dekat, dan pasti saling
mencintai. Pastilah kematian ayahku merupakan landaan angin
ribut yang meruntuhkan ketegakan ibuku. Bagaimana ibuku bisa
bertahan? Bagaimana dia mampu menyelimuti penderitaannya
sehingga kami tidak melihatnya dengan jelas.
pustaka-indo.blogspot.com
83 Lalu, pada hari ketiga meninggalnya Bapak, aku hendak masuk ke gudang mengambilkan tambahan gula pasir. Di dapur
beberapa orang membantu menyiapkan selamatan. Sebelum
membuka pintu gudang, kudengar suara tangis yang bersahutan.
Meskipun lirih, tetapi jelas. Terseling percakapan. Yang seorang
menyesali nasibnya. Seorang lainnya membujuk, namun merana
dan merajuk Bapak kami yang baru meninggal tanpa memberikan
perlambang. Lalu mereka merintih bersama-sama. Suaranya tersengal-sengal.
Aku tidak jadi masuk. Perlahan-lahan aku memutari dinding
luar, pergi ke samping. Aku mengintip lewat jendela. Di dalam
gudang, kulihat ibuku dan Bude duduk di amben berdampingan.
Ibu menyesali nasibnya yang menerima tanggung jawab besar.
Dia harus menumbuhkan empat anak sendirian tanpa persiapan,
baik mental maupun kebendaan.
Setelah revolusi, suaminya tidak pernah membicarakan kematian mendadak seperti itu. Sekarang tiba-tiba Ibu tertinggal seorang diri. Bude ganti menyesali adiknya. Mengapa begitu tega
mendahului pergi, sedangkan anak-anak masih memerlukan dia.
Bude rela mengambil tempat Bapak kalau memang dulu diberitahu.
Biar Bude mati dulu. Dia tidak punya tanggungan, perempuan
yang tidak berguna. Sedangkan tugas ayah kami masih banyak.
Ibu dan Bude berangkulan, lama berpelukan sambil tersedu-sedu.
Aku menahan napas. Tenggorokanku terasa membengkak karena
ingin menangis pula. Dengan berjingkat, cepat-cepat aku berlari
dari sana, bersembunyi untuk memuntahkan kecengenganku.
Jadi benarlah semangat ibuku goyah karena ditinggal Bapak.
Setelah beberapa saat melampiaskan kepenuhan hatiku, aku termenung berpikir. Alangkah besar tanggung jawab Ibu. Dalam
keporakporandaan perasaannya, ibu kami masih kuat bertahan
pustaka-indo.blogspot.com
84 memberi teladan tidak bersedih berlarut-larut di depan anak-anaknya. Mengetahui hal itu, cintaku semakin menggunung dan penuh
kepercayaan kepada ibuku. Tahun depan aku harus lulus untuk
meringankan bebannya, sekaligus membesarkan harapannya.
*** Kepergian Bapak mengubah banyak hal dalam kehidupan kami.
Tanpa ribut-ribut, dan tanpa menunggu selamatan seratus harinya,
Ibu menyuruh tukang membangun kios di lorong samping rumah.
Jendela lebar terbuka ke halaman depan. Sebegitu selamatan
selesai, ibu kami membuka warungnya. Di situ dijual berbagai
bahan pokok kebutuhan rumah tangga: beras, gula, kopi, tepung,
kacang-kacangan, aneka bumbu dapur, dan jamu-jamu. Beberapa
makanan kering dibungkusi kecil-kecil, ditaruh di dalam stoples,
juga dijajakan di atas rak.
Daerah tempat kami tinggal adalah pemukiman campuran dari
berbagai golongan menengah. Jalan kami sendiri hanya dihuni
orang-orang yang disebut priyayi. Hampir semua kepala keluarga
berkedudukan yang disegani. Guru, kepala kantor listrik, kepala
kantor telepon, polisi, bahkan di ujung jalan ada seorang notaris
dan panitera pengadilan negeri. Warung ibuku yang tiba-tiba
muncul di tengah-tengah pulau kepriyayian itu tentulah dianggap
sebagai pencemaran.
Pada hari-hari pertama hingga kira-kira sebulan lamanya, tidak ada orang yang secara terang-terangan datang membeli.
Yang datang kelihatan seperti pengunjung, langsung ke belakang.
Mereka adalah pembantu-pembantu. Kemudian, seorang tamu


Jalan Bandungan Karya Nh. Dini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkunjung betul-betul. Rumahnya tidak di daerah kami. Dia
antusias melihat warung ibuku. Ketika pulang, dia membawa
pustaka-indo.blogspot.com
85 belanjaan banyak sampai becaknya penuh. Sore hari atap becak
tidak dipasang, melainkan dilipat ke belakang. Dengan sendirinya,
para tetangga yang sedang berangin-angin melihat tamu yang
pulang memborong itu.
Beberapa hari sesudahnya, istri panitera pengadilan negeri bertanya kepada Ibu apakah dia bisa titip makanan basah atau jajan
pasar. Dengan senang hati ibu kami menerimanya. Wanita itu
pulang sambil membawa kacang hijau, gula, tepung ketan, serta
kecap satu botol besar. Demikianlah warung itu berangsur-angsur
dikenal para tetangga sampai dua atau tiga petak jauhnya.
Meskipun begitu, adik-adikku masih membikin Ibu prihatin.
Mereka malu karena ibu kami menjadi bakul, pedagang kecil.
Kalau Ibu saudagar berlian, kain batik, itu lain lagi! Pendapat
mereka, bakul adalah orang desa. Bagaimanapun orangtua sudah
menggosok dan menanamkan pikiran bahwa orang desa atau kota
sama saja, tapi lingkungan pergaulan mereka masih mempengaruhi mereka dalam hal itu.
Adik-adikku malu terhadap teman-teman di jalan itu, juga kawan sekolah mereka. Pada waktu ada yang bermain sepulang dari
sekolah, atau di saat lain, adik-adikku merasa ada cibiran bibir
mengejek jika teman mereka bertanya: Apa saja jualan ibumu?
Aku turut menjelaskan, barangkali memang mereka betul-betul
ingin tahu. Mengapa tidak diajak ke warung? Mungkin mereka justru ingin membeli permen, makanan atau lainnya yang dijajakan
Ibu! Ibu sendiri dengan halus tapi tegas seperti biasanya mengatakan, bahwa itulah jalan satu-satunya supaya mereka bisa terus
sekolah. Pensiun Bapak sangat kecil. Baru akan keluar setelah diurus beberapa bulan lagi. Jumlahnya tidak akan mencukupi buat
kami sekeluarga apabila kami ingin hidup dengan cara dan alur
pustaka-indo.blogspot.com
86 seperti sekarang. Setidak-tidaknya akan mendekati seperti ketika
Bapak masih hidup. Mempunyai warung semacam itu halal. Laba
yang diperoleh hanya sedikit, tetapi cukup buat hidup kami sehari-hari. Kami hanya numpang makan, begitu saja! kata ibuku.
Maka uang pensiun Bapak diharapkan utuh, untuk membayar
listrik, air, dan persediaan untuk sekolah kalian. Berdoa sajalah
supaya kita dikaruniai kesehatan. Karena sakit sedikit juga harus membayar. Modal ibu kami kecil. Sebab itu, dia tidak bisa
berdagang emas berlian. Ibu sudah berusaha. Sekecil apa pun warung itu, katanya sudah menelan dua gelang peninggalan ibunya
sendiri dan pemberian Bapak sebelum perang meletus. Nah, kalau
memang anak-anak malu, Ibu masih bisa menutup warungnya.
Tetapi hidup yang agak mirip seperti ketika Bapak masih ada,
tidak mungkin diteruskan. Kami harus siap untuk menjadi miskin
seperti anak-anak yatim lain dengan ibu yang tidak bekerja. Masa
liburan, harus tinggal di rumah. Kalau sakit, harus minta obat ke
mana?
Dan karena pensiun Bapak akan habis dimakan, untuk keperluan sekolah, Ibu tidak berani menanggung jika warung dibubarkan. Jadi anak-anak harus siap berhenti sewaktu-waktu.
Semakin negara akan teratur, kata Ibu, semakin semuanya akan
bertambah mahal. Demikian pula sekolah. Serta-merta adikku
kedua menanggapi bahwa sebentar lagi aku akan bekerja. Akan
bisa diandalkan. Dan kalau sudah kawin, Mas Wid pasti mau
membantu keluarga kami.
"Bukankah Mbak Mur akan kawin? Mas Wid tentu mau membantu kita. Daripada Ibu menjadi bakul seperti mbok-mbok di
pasar...."
"Jangan sekali-kali hal itu kauulangi!" cepat Ibu memotong
kalimat adikku. "Kalau bapakmu mendengarnya, dia pasti sangat
pustaka-indo.blogspot.com
87 marah. Kita tidak boleh menggantungkan diri kepada siapa pun!
Mas Wid akan menjadi kakak kalian. Tapi dia hanya saudara ipar
kalian. Dia tidak sedarah sedaging dengan kalian. Kalau kebetulan
kelak terjadi sesuatu, seandainya dia menolong kita, sekecil apa
pun pertolongan itu, seumur hidup akan terus diungkit-ungkit.
Lagi pula, orang kawin itu membentuk keluarga sendiri. Dia harus siap menghidupi keluarganya, istri dan anaknya. Mungkin
Mas Wid akan bisa membantu kita. Barangkali dia memang rela.
Hanya saja, membantu bukan menyangga sepenuhnya. Apakah
kamu akan bangga kelak jika selesai sekolah, menjadi orang, lalu
dikatakan bahwa bukan orangtuamu sendiri yang mendukung keberhasilanmu itu? Orang-orang akan berkata, bahwa selama itu
kamu dibantu Mas Wid. Untung ada Mas Wid! Kalau tidak, kamu
tidak akan berhasil! Apakah kamu senang mendengar omongan
demikian? Karena Mas Wid-lah yang akhirnya akan mendapat
pujian. Bukan kamu. Bukan orangtuamu!"
Berulang kali, beribu kali kalimat-kalimat itu dicerewetkan
oleh Ibu dalam menghadapi adik-adikku. Biasanya, seketika itu
juga, adik-adikku tampak sadar. Kelihatan menyesal telah mengecewakan ibu kami. Tetapi dasar anak-anak! Dalam ilmu jiwa
yang diajarkan, dikatakan bahwa anak lelaki kalah cepat mengalami kematangan jiwa. Kebenarannya kuamati dalam keluargaku
sendiri. Aku segera mengerti betapa ibu kami berusaha melindungi
kami, membesarkan kami dalam lingkungan kehidupan yang serba ada.
Adikku tiga, masing-masing berselakan dua setengah tahun.
Antara aku dan adikku bahkan hanya berjarak sembilan belas bulan. Dalam beberapa hal, kami berdua merasa dekat sekali. Tapi
aku merasakan kesukaran untuk menyadarkan kedudukannya,
bahwa sekarang ayah kami meninggal, meskipun aku anak sulung,
pustaka-indo.blogspot.com
88 dia harus bangkit dan tegak, menjadi anak lelaki pertama dalam
keluarga.
Sementara itu warung Ibu tetap terbuka. Kehadirannya sudah
menjadi hal yang biasa. Langganan sudah berdatangan. Dari bibi
temanku Sri, warung mendapat tambahan baju rumah buat wanita. Perkataan baru waktu itu muncul, ialah daster. Rok-rok itu
ada beberapa yang digantung sebagai contoh. Tapi kebanyakan
terlipat dan disimpan di dalam rumah. Tetangga datang dengan
sendirinya. Meskipun cara membayarnya agak merepotkan karena
direntang tiga hingga empat kali, tapi ibu kami telaten, mencatat
dan sabar menagih lunasan bayaran tersebut.
Dengan kepergian Bapak, Mas Wid lebih menunjukkan kemesraannya terhadapku. Pada hari pemakaman, dia bahkan memelukku di depan umum. Sebulan setelah Bapak meninggal, dalam
percakapan antar keluarga di meja makan, dia mengatakan bahwa
sebaiknya pernikahan kami dipercepat. Aku terkejut, tetapi menerima isyarat pandang Ibu supaya diam dan mendengarkan. Alasan
yang diajukan Mas Wid ialah, kalau hubungan kami sudah resmi,
dia akan bisa tinggal di rumah kami. Dia akan menggantikan kedudukan Bapak, menolong Ibu dalam berbagai hal, mengawasi
adik-adikku.
Yang disebut paling akhir itu bersemangat menyambut gagasan
Mas Wid. Berebutan mereka menyuarakan kegembiraan masingmasing. Terus terang, waktu itu aku sendiri menganggap ide itu
tidak jelek. Terbawa oleh suasana hangat dan keakraban yang dipengaruhi oleh sambutan adik-adikku, aku hampir berkata setuju
pula.
Kemudian pikiranku melayang. Kalau aku kawin, Mas Wid
tentu akan membiarkan aku meneruskan sekolah seperti yang
dulu direncanakan. Keuntungan peresmian kami berdua sungguh
pustaka-indo.blogspot.com
89 banyak sekali. Selain kami akan lebih sering bersama, tanggung
jawab Ibu akan berkurang. Bukankah dia sendiri sering mengatakan bahwa anak laki-laki amat berbeda pertumbuhannya?
Seorang ayah lebih dibutuhkan dalam masa tumbuhnya anak lakilaki. Sama seperti kehadiran ibu untuk anak perempuan. Anak
laki-laki lebih sering berada di luar rumah. Seorang ibu kurang
sigap menangani kekerasan tingkah anak laki-laki. Kehadiran seorang bapak bisa diganti dengan laki-laki lain, teman atau keluarga, yang berperan sebagai pengarah atau penasihat. Dalam
hal ini Mas Wid akan bisa menopang Ibu.
Tapi di luar dugaanku, Ibu tidak setuju mempercepat perkawinan kami. Tegas dan pasti ibuku menolak gagasan itu. Apa
pun yang terjadi, Muryati harus menyelesaikan sekolah sampai
mendapat ijazah. Begitu kata ayah kami yang diulangi Ibu. Aku
termenung. Benar. Di saat akan meninggal pun Bapak masih
mengucapkan harapannya itu. Itu adalah amanat. Dan ini harus
dipegang teguh tidak saja oleh Muryati, tetapi juga oleh Mas Wid
dan Ibu.
"Walaupun seumpamanya Muryati mau kawin sekarang, Ibu
tidak akan memberi izin. Dan kalian adik-adiknya, harus mendukung mbakyu kalian meneguhi amanat itu. Bapak juga mengharapkah anak-anak lelakinya tabah, menekuni cita-citanya. Nah,
jalankan semua itu. Soal mencari makan, serahkan itu kepada
Ibu. Kalau kalian masih mau membantu-bantu di warung, itu
bertambah bagus. Tapi Ibu tidak akan terlalu banyak meminta.
Sekolahlah, capailah prestasi semampu kalian. Dan selesaikan dengan baik."
Seketika itu juga aku merasa malu karena telah melupakan
harapan Bapak di ranjang rumah sakit. Bahkan itu juga katakataku sendiri dulu ketika akan menerima lamaran Mas Wid.
pustaka-indo.blogspot.com
90 Sungguhlah aku bersyukur mempunyai Ibu. Aku sadar mulai terkecoh, terpikat oleh kemesraan sikap Mas Wid. Rupa-rupanya
adik-adikku juga mudah dialihkan pikirannya oleh Mas Wid. Sekolah harus diutamakan. Aku harus kuat.
Sejak kemesraannya yang semakin tidak ragu diperlihatkan
di hadapan siapa saja, kurasakan desakan lain dari Mas Wid. Dia
lebih berani mengelus dan membelaiku. Menurut istilah temanku
Ganik, dia sudah meminta "itu". Sekali-sekali, di malam-malam
libur, adikku membujuk agar Mas Wid tidur di rumah kami. Ibu
memang mengizinkan hal itu, asal tidak terlalu sering terjadi. Walaupun aku telah bertunangan, Ibu dan aku harus tetap menjaga
nama baik.
"Kamu harus sadar, Mur. Ibu ini janda, bakul lagi! Kalau tibatiba perutmu membengkak karena Mas Wid berhasil merayumu,
dualah kerugianku! Satu, karena kamu akan berpakaian pengantin
dengan perut gendut yang berarti nama keluarga tidak lagi murni.
Dua, karena kamu tidak akan bisa meneruskan sekolah.
"Dalam hal yang kedua itu, sesungguhnya kamulah yang paling
rugi. Kecuali, jika sekolah masih memperbolehkan murid hamil
turut ujian! Tidak meneruskan sekolah karena kamu tergila-gila
mau kawin, tidak apa-apa. Barangkali seketika itu kamu tidak merasa kehilangan sesuatu pun. Tapi di kemudian hari, kelak, kamu
akan menyesal mengapa tidak meneruskan sekolah. Apalagi tanggung sekali! Kamu anak cerdas. Boleh dikatakan ijazah sudah di
depanmu. Kamu tinggal mengulurkan tangan dan melangkah setapak. Ibu harus menjaga supaya kamu tidak menyalahkan dirimu
maupun Ibu kelak."
Ibu tetap halus dan tegas jika berbicara. Kali itu pun aku diingatkan dengan nada yang sama, bagaimana bahaya rayuan Mas
Wid dan bahaya kelemahanku sendiri dalam menerima rabaan
pustaka-indo.blogspot.com
91 yang memabukkan dari bakal suamiku itu. Hampir semua yang
kubayangkan mengenai orang bercintaan sudah kualami. Mas
Wid tentu sudah amat berpengalaman. Dia tahu bagian-bagian
mana dari tubuhku yang lebih peka dalam merasakan belaiannya.
Sentuhannya yang mendesak dari hari ke hari semakin berani.
Terus terang aku pun semakin tenggelam merasakan kenikmatan belaiannya. Itu hal yang baru bagiku, dan ternyata aku
menyukainya. Dengan setengah sadar sebagai pengecut, aku juga
selalu mengharapkannya akan terulang jika bertemu dengan Mas
Wid. Maka aku minta bantuan ibuku untuk menanggulangi kelemahanku sendiri itu. Kuminta Ibu menunjukkan sikap keras.
Misalnya dengan halus mengusir Mas Wid jika dia masuk ke
kamarku, atau di waktu dia terlalu larut belum juga pulang ke
pondokannya. Dengan suara biasa Ibu menunaikan tugasnya.
Seolah-olah dia memarahiku.
"Tidak baik dilihat tetangga, Mur. Serambi kita terbuka. Apa
yang terjadi di situ jelas terlihat dari jalan. Anak muda duduk berdampingan di tempat yang gelap hingga larut malam akan mengundang omongan usil!"
Dan di lain hari, kalimat yang lain lagi.
"Mur kurang tidur hari-hari ini, Nak Wid. Tugasnya dengan
organisasi sekolah mengharuskannya mondar-mandir terusmenerus. Ya olahraga, ya kesenian, ada-ada saja. Jangan terlalu
lama di luar, nanti dia masuk angin!"
Tempat di dalam adalah ruang makan dan ruang tamu. Di situ
selalu ada adikku, Ibu, atau pembantu. Tidak nyaman buat berduaan seperti yang diharapkan. Sebab itu Mas Wid segera pulang.
Ibu memang tidak mewajibkan aku membantunya di warung
maupun di rumah. Yang penting, kamarku bersih, buku dan bapustaka-indo.blogspot.com
92 rang-barangku teratur. Pakaianku tergantung atau tersampir di
tempatnya.
"Puas-puaskan kesenanganmu bergaul dan berkumpul dengan
kawan-kawanmu. Kelak kalau sudah kawin, akan kaulihat sendiri
semua berubah. Apalagi biasanya keluarga kita ini subur. Setahun
kawin sudah menggendong bayi. Kau akan terikat, mendekam di
rumah terus karena urusan rumah tangga," kata ibuku sebagai jawaban jika aku pamit akan ke luar.
Dan kalau aku pamit akan berjalan-jalan atau keluar makan
dengan Mas Wid, dia berbisik mengulangi nasihatnya.
"Ingat, Mur! Apabila lelaki sudah berniat merayu, kita perempuan sangat mudah tergoda. Pacaran ya pacaran, tapi jangan
kebacut! Imanmu yang teguh. Kamu harus terus sekolah dan
lulus. Lalu mengajar. Di samping mencari uang, pengalaman juga
berharga. Itu ditulis dalam kertas, penting kalau kelak kamu harus
mencari makan sendiri. Nanti kalau sudah kawin, kaulihat sendiri.
Tidak bisa berbuat ini atau itu. Gerakanmu terbatas sekali!"
Mungkinkah dulu ibuku juga kewalahan menanggulangi rayuan Bapak? Dia juga banyak melihat dan mendengar di lingkungan. Semakin sering kami mendengar bahwa gadis si Itu mengandung, terpaksa cepat-cepat kawin. Wanita muda saudara Bu Anu
hamil dengan kepala kantornya yang sudah beristri.
Aku memang harus selalu diingatkan. Di waktu-waktu ber

Jalan Bandungan Karya Nh. Dini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

duaan dengan Mas Wid, ciumannya hampir tidak menimbulkan
reaksi padaku. Tetapi rabaan tangannya lebih melumpuhkanku.
Aku mencurigai dia mau membawaku ke bioskop tidak untuk menonton. Karena dia selalu memilih tempat duduk di belakang. Tangannya menggerayang dan mengelus sebegitu lampu dipadamkan.
Pada mulanya hal itu tidak kusadari bahayanya. Tapi kemudian,
sentuhannya itu mengantarkan aku setapak demi setapak ke rasapustaka-indo.blogspot.com
93 rasa gairah yang menggelitik hingga menyengat. Dan kalau dia
sudah meraba bagian dalam pahaku, mengelus naik, aku tersengal
mencoba memanggil kembali seluruh kesadaranku.
Hingga saat pernikahanku, amanat Bapak yang diucapkan di
ranjang rumah sakitlah yang menjadi peganganku. Apa pun yang
kuperbuat, bagaimanapun kuatnya tolakan tanganku, Mas Wid
hanya mau mengendorkan serangannya jika napasku yang sesak
terengah-engah sempat membisikkan, "Ingat Bapak, Mas. Nanti
saja kalau aku sudah lulus." Ternyata dia lebih segan kepada orang
yang sudah meninggal daripada lain-lainnya.
Pada mulanya, kehilangan ayah kami serasa menjadi kesedihan yang tak mungkin akan berakhir. Untunglah aku mempunyai
Ganik, Sri, Siswi dan Mur. Pada hari-hari pertama kami berkabung, mereka bergantian tidur di rumahku. Macam-macam pemberian dan perbuatan mereka untuk menghiburku.
Dan dari semua saudara serta teman yang meringankan beban
kesedihan kami itu, Mur melampaui batas bayanganku sendiri.
Caranya ialah dengan menceritakan nasibnya sebagai anak yatim.
Dia mengatakan, bahwa aku seharusnya masih bahagia karena
ditunggui Bapak sampai umurku menjelang tujuh belas tahun.
Murniyah tidak pernah mengenal ayahnya. Sedari kecil, seingat
dia, hanya nenek dan ibunya yang mengasuh serta mengasihinya.
Sebegitu dia tidak menyusu ibunya lagi, dia ditinggal di rumah
neneknya di Muntilan. Ibunya sebagai perawat harus mondok di
asrama di Magelang. Karena ketekunannya, ibu Mur mendapat
kesempatan untuk belajar menjadi bidan. Kalau Mur bercita-cita
menjadi dokter, bukanlah demi kepentingan atau kepuasannya
sendiri, melainkan karena dia ingin menyenangkan hati nenek
dan ibunya.
Kelak, di waktu lulus SMA, dia berharap akan mempunyai
pustaka-indo.blogspot.com
94 nilai tinggi supaya bisa meraih beasiswa dan masuk ke Universitas
Gadjah Mada. Dia tidak peduli kelak akan ditempatkan bekerja
di mana. Di sudut pulau terpencil sekalipun dia mau. Asal dia
bekerja sebagai dokter. Itu tujuannya. Pernah kami sahabatsahabatnya bertanya mengapa dokter? Mengapa tidak insinyur
atau sarjana lain. Mur ingin memperbaiki tingkat sosial nenek
dan ibunya.
Neneknya adalah penduduk kampung biasa, rakyat jelata, tetapi yang secara alamiah mengetahui bagaimana menyembuhkan
penyakit. Dia mengenal beberapa jenis akar, daun, dan kulit kayu
yang berkhasiat, baik sebagai penyembuh maupun pemusnah penyakit. Dia dukun di lingkungan dan daerah kampung sampai ke
perbatasan Sleman. Lebih dari sepuluh kali di masa mudanya ia
menolong wanita bersalin. Pendeknya, nenek Mur mendapat sebutan Mbah yang pintar. Maka Mur sebagai anak asuh sekaligus
cucunya, harus melanjutkan garis tanjakan yang tepat. Sebab itulah dia ingin menjadi dokter. Itu adalah puncak karier dalam
keluarganya. Batasan tertinggi yang bisa dicapai kemampuan manusia dari nenek ke cucu.
Aku mendengarkan kata-kata temanku itu dengan penuh keharuan. Kami menangis bersama-sama. Kalau anak seperti Mur,
yang tidak pernah berkesempatan mengenal bapaknya kini tumbuh memiliki tekad sekuat baja untuk merenggut cita-citanya,
apakah aku yang selama hampir tujuh belas tahun dicinta, bahkan
dimanja ayahnya berhak menjadi orang tanpa kegigihan karena
tiba-tiba menjadi yatim? Akhirnya, didukung oleh persahabatanku
dengan Murniyah, semangatnya adalah semangatku.
Meskipun dengan susah payah, berangsur-angsur kesedihan
dapat kuatasi. Selama berbulan-bulan teman-temanku merengkuhku. Aku diundang tidur di rumah mereka, atau mereka datang
pustaka-indo.blogspot.com
95 bermalam di rumah kami. Mas Wid tidak bisa menghalangi kemauanku dalam hal ini. Dia mendapat jatah Sabtu dan Minggu.
Bagiku, dan bagi ibuku, itu sudah mencukupi.
Kesempatan mencari selingan di luar juga dimanfaatkan teman-temanku. Kecuali Siswi, kami berempat mengikuti kegiatan
kepanduan. Secara berkala, perkumpulan kami mengadakan perjalanan berkemah. Tapi kali itu aku hampir mundur, karena untuk
meringankan biaya panitia, masing-masing anggota diminta
tambahan iuran. Mur dan aku tidak berani memintanya kepada
ibu kami. Itu berarti tambahan pengeluaran bagi mereka. Sertamerta dan tanpa pamrih, Ganik dan Sri campur tangan. Mereka
membayari kami. Dan untuk selanjutnya, di waktu kami berlima
keluar bersama-sama menonton atau makan di warung, Ganik
dan Sri menjadi bendahara kami. Kami tidak pernah bisa berhasil
mempengaruhi Siswi untuk menggabung menjadi pandu. Katanya, dia lebih suka tinggal di rumah menjahit atau menyulam
daripada berpanasan begitu. Tapi untuk menonton dan makan,
dia selalu bersedia.
Kami lima bersahabat ditumbuhkan dalam keluarga yang berlainan latar belakangnya. Tapi kekompakan dari masa remaja itu
akan menopang dan membantuku mengarungi kehidupan yang
ternyata masih menyiapkan kejutan lain yang lebih tidak tersangka-sangka.
*****
pustaka-indo.blogspot.com
96 4 kemauanku sendiri, aku mengajar satu tahun setelah lulus esuai dengan amanat Bapak, dengan kehendak Ibu dan
dari SPG. Sebegitu satu tahun pengalaman mengajar dilunasi,
Mas Wid tidak tawar-menawar lagi. Pernikahan dilangsungkan.
Aku mengenang malam pertama yang memedihkan, yang disusul
oleh malam-malam lain yang menyebabkan aku tidak haid sebegitu menikah.
Dengan alasan menunggu surat pemberhentian yang resmi, aku
masih meneruskan mengajar. Sebaiknya kamu jangan langsung
berhenti bekerja, nasihat Ibu. Dan aku sendiri cukup kuat menghadapi kata-kata Mas Wid yang kadang-kadang halus menyindir,
lebih sering pedas menyakitkan hati. Kamu harus memanfaatkan
mencari uang dan pengalaman kerja sebanyak mungkin. Tunggu
sampai kandunganmu berumur tujuh bulan. Badanmu sehat. Asal
jangan lupa pakai setagen, dan menyebut nama Allah. Semua
akan selamat. Aku menuruti petunjuk Ibu.
Perdebatan dengan Mas Wid mengenai hal ini terjadi hampir
setiap hari. Dia tidak senang mempunyai istri yang tidak pernah
ada di rumah, katanya. Padahal aku berusaha keras agar selalu
sudah pulang di saat dia tiba dari kantor. Tetapi karena seringkali
pula aku memanfaatkan singgah di pasar yang kulewati, sampai di
pustaka-indo.blogspot.com
97 rumah kadang-kadang bersamaan dengan suamiku. Aku merasa
seolah-olah dia sengaja pulang cepat buat menjebakku.
Dan kalau ada sesuatu kekurangan atau kejadian di rumah
sewaktu aku berada di tempat kerjaku, Mas Wid menyambar
kesempatan itu untuk menonjolkannya sebagai akibat buruk
yang disebabkan oleh ketidakhadiranku. Umpamanya, pembantu
mengatakan bahwa ada orang yang mencari kami siang hari
itu. Simbok tua tidak menanyakan siapa nama tamu tersebut.
Sayang kau tidak di rumah, kata Mas Wid. Kalau kamu ada, pasti
sekarang kita tahu jelas siapa tadi yang datang. Nada suaranya
kasar penuh sesalan, bahkan tuduhan. Beberapa hari sesudahnya,
melalui tetangga, kami mendapat informasi bahwa yang dikatakan
tamu itu hanyalah pegawai salah satu perusahaan yang menawarkan produk mereka. Satu hal yang sesungguhnya tidak perlu
diributkan!
Kami menyewa sebuah rumah kecil di bagian barat kota.
Ruang tamu, kamar tidur, dan dapur merupakan bagian-bagian
dalamnya. Kamar mandi terletak di luar. Ketika kami datang,
belum ada tempat untuk mencuci-cuci, baik pakaian maupun
alat dapur. Karena aku sudah mengandung, itu kujadikan alasan
permintaan kepada suamiku supaya menambahkan tempat
tersebut di dekat kamar mandi. Tinggal membikin bak dan saluran
keran serta lapisan semen selebar yang cukup, lalu dialirkan ke
selokan. Dengan kehadiran bayi, cucian akan bertambah banyak.
Mas Wid tidak membantah, menyuruh tukang yang didatangkan
ibuku untuk menuruti permintaanku.
Ketika aku mulai menyewa rumah tersebut, Ibu tidak tega
melepasku dengan pembantu baru. Pembantu kami yang tua
disuruh menemaniku. Dia kupasrahi mengatur keberesan rumah,
kecuali membersihkan kamar tidur. Sekolah tempat aku mengajar
pustaka-indo.blogspot.com
98 cukup jauh dari sana. Sampai hampir delapan bulan umur
kandunganku, aku masih naik sepeda. Mengikuti nasihat Ibu,
aku mengenakan setagen cukup erat di bagian pinggul supaya
menyangga berat perutku. Pada bulan berikutnya aku langganan
becak. Pekerjaan sebagai guru mengesankan rasa hormat. Di
sekitar tempat kami, banyak tukang becak menunggu muatan.
Mendapatkan langganan alat pengangkutan itu tidak menjadi
masalah bagiku.
Sejak pernikahan kami, konon Mas Wid pindah bagian di
kantornya. Aku katakan konon, karena mengenai pekerjaan,
dia tidak mau melibatkanku. Ketika kami kawin, dari kantornya
hanya dua orang yang diundang. Katanya, dia tidak mempunyai
teman. Sebenarnya rekan juga perlu diundang. Tetapi dia
mengatakan tidak perlu. Pada suatu pagi, aku memperhatikan
bahwa dia tidak mengenakan seragam lagi. Ketika kutanya,
barulah dia memberitahu tentang kepindahannya. Pertanyaan
mengapa dariku tidak menyenangkan hatinya; katanya semua
tugasnya di kantor adalah urusannya. Istrinya tidak perlu tahu.
Asal setiap bulan diberi uang belanja, sudah cukup. Dari suaranya,
aku berkesimpulan bahwa aku tidak boleh lagi menyinggung
hal tersebut. Jadi aku pun diam. Yang penting, suamiku masih
mempunyai pekerjaan tetap. Bukankah dulu orangtuaku
menerima lamarannya di antaranya karena hal yang satu itu?
Hampir setahun kawin, bayiku yang pertama lahir. Laki-laki.
Kami memanggilnya Eko. Aku berhenti mengajar. Pada mulanya
aku tidak menyesali keputusan meninggalkan pekerjaanku.
Adanya bayi di rumah ternyata mengambil banyak waktu dan
ketelatenan. Kesibukan tidak kurang dari bulan ke bulan. Ketika
bayi harus mulai diberi makanan tambahan, aku semakin repot.
Sebelumnya, aku tidak pernah mengetahui betapa sukarnya
pustaka-indo.blogspot.com
99 memberi makan anak berumur empat atau lima bulan. Kesabaran
mengajar di sekolah ternyata berbeda dari kesabaran memasukkan
sesendok demi sesendok makanan ke mulut seorang bayi. Kalau
makanan yang ini tidak suka, harus dicoba makanan lain. Pada
bulan berikutnya diulangi lagi memberikan makanan yang dulu
dia tidak suka. Berat badan bayi harus sesuai dengan umurnya.
Kalau si ibu tidak telaten, hanya menuruti kemauan si bayi yang
melulu minum susu dan menyukai satu jenis makanan saja, kemungkinan pertumbuhannya akan kurang baik.
Dalam hal ini aku mengagumi kemampuan Simbok. Dia selalu
mengambil alih tugas memberikan makan. Sebagai gantinya, aku
mengalah mengerjakan cucian, memasak, atau bahkan mengepel
lantai. Menyuapi anak lebih memerlukan kesabaran daripada mencuci pakaian. Sedangkan kesabaran Simbok tua bagaikan tidak
habis-habisnya. Kadang-kadang sampai dua jam dia menyuapi
anakku. Tugas yang membosankan namun sangat penting ini juga
seringkali dikerjakan ibuku di saat-saat kunjungannya menengokku. Karena mempunyai tiga adik dan dibiasakan terlibat dalam asuhan serta menjaga mereka, aku mengetahui banyak hal
mengenai anak kecil. Di luar waktu-waktu istimewa yang membutuhkan kesabaran, aku senang mengasuh anakku, mengamati
perkembangan bayi yang seharian tidur dan minum, lalu menjadi
anak kecil yang berangsur-angsur mengenali aku, bapaknya,
dan Simbok tua, semuanya itu merupakan pengalaman hidup tersendiri. Belum lagi terhitungkan kekayaan perasaan yang membahagiakan jika anak yang belum berusia setahun itu sudah tahu
memilih, lebih menyukai aku daripada pembantu. Atau lebih
suka turut aku daripada dengan ayahnya. Meskipun Ibu tidak
pustaka-indo.blogspot.com
100 serumah dengan kami, Eko mengenalnya dengan baik. Dia lebih
menyukai ibuku daripada pengunjung lain.
Kelahiran Eko dan Widowati berantara dua tahun. Aku tidak sempat merasakan menganggur maupun kehilangan pekerjaanku sebagai guru. Kesibukan selalu ada di rumah. Tempat
tinggalku kecil. Aku dibiasakan Ibu dengan lingkungan yang
rapi dan bersih. Maka waktuku sehari-hari habis buat anak serta
membenahi rumah sewaan kami. Hubungan kami sebagai suamiistri biasa. Kukatakan demikian karena rasa-rasanya sama dengan
keluarga-keluarga lain yang kulihat di sekelilingku. Aku tidak
mengelompokkan keluarga bapak-ibuku dengan keluarga lain.
Pasangan ayah-ibuku adalah paling istimewa. Aku belum pernah
melihat keluarga lain dengan suami-istri seperti mereka, dengan
cara mendidik seperti yang kuketahui dan kuterima.
Dalam kedekatan suami-istri, aku hanya melihat kedua
orangtua Ganik yang bisa dijajarkan dengan ayah-ibuku sendiri.
Orangtua Ganik biasa hidup di Barat. Ketika muda mereka diasuh
di rumah yatim piatu. Sebagai orang dewasa mereka hidup saling
mengisi. Dokter Liantoro biasa sibuk di rumah, menyiram kebun
sendiri atau memperbaiki bagian rumah yang rusak. Istrinya mendukung keberhasilan suaminya. Dia mengetik dan merapikan
kertas dan catatan suaminya, karena mengerti dan menyelami
bidang suaminya berkat bacaan dan pergaulan dengan para ahli.
Ibuku dan aku sendiri berperan hanya sebagai ibu rumah tangga.
Tetapi aku merasa tidak mempunyai suami hebat seperti
ayahku maupun bapaknya Ganik. Namun bagiku tidak menjadi masalah. Karena setiap orang mempunyai kekurangan. Mas
Wid masa bodoh. Tidak pernah membantu urusan rumah. Untuk
bangkit mengambil surat kabar dari kamar tidur saja pun dia
memanggil Simbok yang tua. Seolah-olah dia memanfaatkan
pustaka-indo.blogspot.com
101 kedudukan sebagai kepala keluarga, sebagai majikan. Dia memang
turut menggendong anak atau menungguinya bermain di lantai.


Jalan Bandungan Karya Nh. Dini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sambil dia sendiri membaca koran. Tetapi jika anak sedang rewel
di waktu malam, bagi dia, tugas ibunyalah, atau pembantu untuk
menenangkan. Ada betulnya juga karena siang keesokannya,
suami harus bekerja di luar rumah. Hal semacam itu tidak terjadi
di rumah ibuku. Bapak tidak peduli apakah keesokannya harus bekerja atau tidak. Dia selalu turut ngemong adikku di waktu malam
jika sedang sakit.
Inilah kejelekanku. Kuakui, karena aku tidak bisa menahan diri
selalu membandingkan keluargaku dengan apa yang kusaksikan
dulu dalam keluarga ayah-ibuku. Kata Ibu, aku harus merelakan
yang kudapati sekarang. Di dunia harus ada berbagai jenis suami,
keluarga yang berlainan. Aku menjadi istri yang harus menerima
apa yang ada. Yang sebenarnya, rasa bahagia itu kamu sendiri
yang harus menciptakannya. Begitu kata Ibu.
Hidupku barangkali sama dengan kehidupan kebanyakan istri.
Apabila aku mempunyai prakarsa yang berhubungan dengan
keluarga, jarang sekali bisa terlaksana. Sedari aku belum mempunyai anak sampai Widowati lahir, aku ingin diajak sowan ke
tempat sesepuh, baik di Pati, Purworejo, maupun Klaten. Mas Wid
tidak pernah melunasi janjinya dalam hal ini. Banyak janji lain
yang juga tetap berupa janji. Akhirnya aku menjadi pasif. Aku
harus menerima apa adanya. Begitu kata ibuku. Seluruh pikiran
dan perhatianku tertuju dan terikat kepada anak-anakku dan rumahku. Tetapi ada kalanya kepasifan itu mengganjal, menjadi
beban.
Anakku Wido berumur setahun, air ledeng semakin sukar sampai di tempat kami. Simbok terpaksa mengusungi air dari jalan di
mana saluran dari kotapraja bercabang. Jarak antara tepian bagian
pustaka-indo.blogspot.com
102 depan rumah hingga ke tempat cuci kurang lebih delapan meter.
Untuk orang tua, cukup menyesakkan napas jika satu kali hanya
bisa mengangkut satu ember. Aku minta Mas Wid menambah
anggaran buat mengupah tambahan seorang tukang cuci. Biar
orang itu yang mengusung air untuk bak kamar mandi serta keperluan rumah lainnya. Kuanggap ini amat penting. Pakaian
kotor anak kecil dan bayi saja sudah satu ember besar. Belum
ditambah pakaian Mas Wid sendiri. Berhari-hari aku merintis
pembicaraan mengenai hal ini. Sikapku kubikin manis, baik di
waktu-waktu biasa maupun ketika dia mulai menarik tanganku
ke tempat tidur. Sekali-sekali kuingatkan agar dia memikirkan
bagaimana jalan keluar untuk kesulitan air kami. Akhirnya aku
tidak tahan lagi, secara langsung bertanya.
"Kita kawin hampir lima tahun, Mas Wid. Kok selama ini amplop yang diberikan kepadaku tidak juga ada tambahannya. Apa
gaji Mas Wid tidak bertambah?"
"Mengapa bertanya mengenai gaji?" dia malahan ganti bertanya, suaranya seperti biasa, tanpa perhatian, sambil lalu.
"Karena ingin tahu saja. Karena aku ingin mengerti apa alasan
Mas Wid sehingga sudah sebulan lebih tidak mau memberikan kata sepakat supaya kita mengambil tukang cuci."
"Kau ini aneh! Kita bukan orang kaya kok ingin punya dua
pembantu. Yang punya pembantu satu orang satu itu ya borjuisborjuis itu, yang rumahnya gedong-gedong!"
Aku kaget mendengar suamiku berbicara seperti itu. Tapi aku
masih bisa mengatakan pendapatku.
"Aku bukannya ingin mempunyai pembantu lebih dari seorang, Mas Wid. Simbok sudah kuwalahan karena masalah air.
Mas Wid sendiri tidak mau menolong seperti tetangga-tetangga
lelaki lainnya itu. Mereka sore hari mau mengangkuti air untuk
pustaka-indo.blogspot.com
103 rumah mereka masing-masing. Nah, menurut pendapatku, Simbok
bisa dibantu tenaga setengah hari. Ada orang yang mau datang
pagi. Dia mencuci dan mengusung air. Kita memberi upah harian
dengan makan satu kali."
"Harus diambil dari mana uang itu?"
"Aku tidak tahu, ini kebijaksanaan Mas Wid!" Aku mulai
jengkel dan kesal. Tapi masih bisa menahan suaraku selembut
mungkin. "Misalnya, kalau tidak ada sisa dari gaji, kita bisa ambil
dari uang lembur. Mas Wid sering pulang terlambat, katanya lembur."
Kali ini dia diam.
Aku memanfaatkannya untuk meneruskan, "Kalau tidak penting kan aku tidak minta. Mana aku pernah minta buat kepentinganku sendiri? Baju? Aku tidak pernah beli. Pakaianku masih
yang dulu, kubeli sendiri dengan gajiku ketika masih bekerja.
Tabunganku sendiri sudah ludes untuk tambahan ini dan itu.
Karena kalau penjual kayu datang menawarkan kayu bakar kering,
bagus, aku harus menerimanya. Begitu pula penjual ikan asin."
"Salahmu sendiri! Kayu masih banyak, kamu mau saja menerimanya. Ikan asin tidak diperlukan, kamu juga beli! Jangan meniru orang-orang kaya yang menimbun barang!"
"Bukan Mas Wid yang mengatur keberesan rumah tangga. Jadi
Mas Wid tidak tahu bagaimana baiknya. Kelihatannya kayu bakar
masih banyak. Tapi kalau kebetulan tukang kayu menawarkan dagangan bermutu ya harus diambil. Apalagi cocok harganya! Begitulah caranya sampai tabunganku pribadi habis. Tapi tidak apaapa karena itu untuk kita sekeluarga. Aku tidak menyesal. Hanya,
tunjukkan dong sedikit sikap mengerti! Sekarang aku minta Mas
Wid membantu mengenai air."
Suamiku diam, tidak menanggapi ataupun menoleh kepadaku.
pustaka-indo.blogspot.com
104 Sebenarnya ibuku sudah ingin membantuku. Tapi bagiku itu bukan merupakan jalan keluar yang adil. Urusan rumah kami adalah
keluarga kami. Mas Wid harus bisa menyelesaikannya. Namun
hari itu, aku terpaksa menggunakan gertakan yang memalukan.
"Kalau Mas Wid tidak mau membayari upah tukang cuci
itu, Ibu yang akan memberikan uang kepadaku. Dia tidak rela
melihat aku atau Simbok yang tua mengusungi air. Bagaimanapun
juga, aku kan anaknya! Bukan Mas Wid! Simbok pun, ibuku yang
memberikannya kepadaku. Untunglah aku mempunyai ibu seperti
dia!"
Itu hanya merupakan contoh dari pergaulan kami seharihari. Aku diajari Ibu untuk selalu berbicara jelas, tegas, tetapi
selembut mungkin. Tetapi sehalus dan seperlahan apa pun, kalau
bicaraku menyentuh keuangan buat keperluan rumah, suamiku
marah atau tidak memperhatikan. Seolah-olah salahkulah bahwa
kami harus menggunakan kayu bakar, bahwa kami harus makan
setiap hari, bahwa mencuci membutuhkan air bersih. Menurut
dia, barangkali, kalau aku sudah diberi amplop gajinya di akhir
bulan, itu sudah cukup. Urusan dengan dia sudah selesai. Padahal
harga-harga terus berubah, selalu naik dan tidak pernah turun.
Juga bagaimana aku mengetahui dengan pasti bahwa seluruh gajinyalah yang dia berikan kepadaku? Sampul yang kuterima selalu
sudah terbuka.
Kesimpulan dari itu semua, meskipun aku tidak menyesali
perkawinanku, yang paling menekan dalam hidupku berumah
tangga ialah kenyataan bahwa aku tidak mempunyai penghasilan sendiri. Dulu ketika aku masih mengajar, ibuku cerewet
menasihati supaya aku berhemat-hemat. Dia tidak suka melihatku
sering-sering beli baju. Sesungguhnya dia benar. Tetapi sukar
sekali aku menahan nafsu dalam hal ini. Aku sadar memang
pustaka-indo.blogspot.com
105 memerlukan berganti-ganti gaun. Pekerjaanku ditonton di depan
kelas. Kegenitanku bersolek hanya dalam hal pakaian. Untunglah
aku juga mendengarkan Ibu, menyimpan uang dalam bentuk perhiasan kecil-kecil. Emas selalu bisa dijual kembali menurut beratnya, kata ibuku.
Aku semakin merasakan kebutuhan adanya tukang cuci tambahan. Tanpa menunggu, orang yang sanggup mengerjakan cucian itu kusuruh memulai kerjanya. Di samping itu aku juga
menghubungi rekan-rekan lamaku. Kepala sekolah tempatku bekerja dan rekan-rekan masih sering kujumpai di pasar. Mereka
mengatakan bahwa kalau aku ingin kembali mengajar, tidak
akan ada kesulitan. Yang lambat ialah soal surat-surat keputusan.
Sementara menunggu gaji yang bulat, kas sekolah dapat kupinjam
sedikit setiap bulan.
"Apa? Kamu akan kembali mengajar?" suara Mas Wid jelas terkejut mendengar keputusanku.
"Aku bosan karena harus selalu cekcok dulu jika dibutuhkan
tambahan biaya ini atau itu. Kalau aku bekerja, meskipun gajiku
sedikit, tapi aku tidak perlu meminta-minta."
"Katamu, Ibu mau membiayai upah tukang cuci."
Kini ganti aku yang terkejut. Aku terheran-heran.
"Jadi Mas Wid tidak malu ibuku selalu memberi bermacammacam bahan makanan, dan sekarang gaji tukang cuci? Mas Wid
betul-betul mau menerima lagi pemberian mertua, janda yang dulu hampir Mas Wid suruh berhenti sebagai pedagang kecil?"
Aku tidak bisa meneruskan. Aku kehabisan kata-kata. Hatiku
padat, berbagai perasaan bergumulan. Sungguhkah aku kenal lakilaki yang menjadi suamiku ini? Nyatanya aku tidak juga mengerti
jalan pikirannya. Padahal kami sudah hidup bersama lima tahun.
Apakah dia berubah? Ataukah sedari dulu dia memang bersifat
pustaka-indo.blogspot.com
106 begitu tetapi pandai menyembunyikannya? Kalau berubah, apa
yang menyebabkan?
"Aku heran mengapa kamu lebih suka mendidik anak orang
lain daripada anak sendiri," katanya tanpa menanggapi omonganku, seperti biasanya.
"Ini bukan masalah suka atau tidak. Jangan Mas Wid mencaricari kesalahan atau kekuranganku. Mengapa Mas Wid menjadi
begini? Tapi kalau memang membutuhkan jawaban, kalau dicaricari mengapa aku lebih suka mendidik anak orang lain, sebabnya
ialah karena aku dibayar! Sedangkan kalau tinggal di rumah, aku
tidak mendapat gaji, malahan disesali terus. Padahal, tinggal di
rumah pun, aku tidak pernah berhenti bekerja!"
"Itu kewajiban seorang istri."
Itu adalah penutup percakapannya! Kalau dia mengucapkan
kalimat itu, berarti dia akan bangkit, pergi ke ruang tamu atau
ke luar. Pokoknya jauh dari aku. Dalam arti lain, dia tidak mau
diganggu.
Waktu itu, aku memang tidak sanggup lagi menyahutinya.
Perasaanku terlalu meluap-luap. Tapi kepalaku kosong. Aku menyadari bahwa sejak aku kawin, kegesitan pikiranku di masa remaja telah menghilang. Kadang-kadang aku bahkan meragukan
apakah aku masih memiliki kepribadian. Buktinya, sering aku
mendengarkan suamiku mengatakan sesuatu gagasan yang tidak sepenuhnya kusetujui, namun aku tidak menyanggahnya.
Ketika dia berkata bahwa lebih baik aku tinggal di rumah dan
mendidik anak-anakku sendiri daripada mendidik anak-anak
orang lain, aku sesungguhnya bisa mengemukakan pikiranku
yang lebih nalar tanpa kepahitan. Aku bisa mengajar sambil sekaligus menumbuhkan anak-anakku sendiri. Seandainya aku
bekerja aku akan bisa menggaji pembantu tambahan sehingga
pustaka-indo.blogspot.com
107 Simbok akan hanya bertugas mengasuh anak-anakku. Dia sangat
berpengalaman. Dia telah menolong Ibu membesarkan aku dan
adik-adikku.
Sejak pernikahanku, sedikit demi sedikit aku menyadari kebenaran kata-kata ayahku dulu. Muryati perlahan-lahan menghilang di balik bayangan Widodo. Dan aku juga menyadari bahwa
aku tidak tahu harus berbuat bagaimana. Setengah dirku, aku
ingin tetap menjadi diriku sendiri. Setengahnya yang lain aku
menerima apa adanya. "Aku"-ku telah luntur seperti kain yang
kehilangan warna aslinya. Aku tidak lagi memiliki gairah terhadap makanan yang dulu kusukai. Karena selama ini aku hanya
memasak apa yang disukai suamiku. Selain kekurangan biaya
untuk membikin terlalu banyak macam masakan, aku memang
kurang bernafsu makan sendirian. Citarasa suamiku menjadi citarasaku meskipun tanpa kehendakku. Aku barangkali kurang
memiliki keberanian untuk membelot, menyukai apa yang hanya
aku sukai. Dan kekurangan keberanian itu kubuktikan lagi ketika
masalah air muncul. Aku kurang berani bertanggung jawab jika
terjadi sesuatu pada anak-anakku.
"Sanalah kembali bekerja!" kata Mas Wid. "Tapi kalau anakanak sakit, jangan salahkan aku!" Kalimat itu merupakan pelumpuh yang ampuh. Aku mundur.
*** Walaupun aku tidak kembali mengajar, anak-anakku juga sering
sakit. Dalam hal ini, aku merasa memang ada baiknya aku tidak
bekerja di luar rumah. Seluruh perhatian bisa kucurahkan guna
kepentingan anak-anak. Namun dalam diriku pertentangan
tetap berkecamuk. Teman dan ibuku mengatakan bahwa aku
pustaka-indo.blogspot.com
108 tampak semakin murung sejak anakku kedua lahir. Adik-adikku
menyesaliku karena tidak cekatan lagi menanggapi lelucon.
Benar, aku juga menyadari bahwa rasa humorku mengurang.
Bapak kami dulu seringkali bilang, rasa humor dapat menolong
manusia melewati saat-saat pedih dan kehidupan yang sukar.
Humor itu seimbang dengan keimanan layaknya, begitu kata
Bapak. Tetapi di hadapan Ibu, di depan saudara-saudaraku, aku
tidak mau mengakui semua itu. Keluargaku tidak biasa menghabiskan hari dalam kemurungan. Penolakanku untuk mengakui
keadaanku yang sebenarnya dimengerti ibuku. Dia tidak mendesakku, tetapi mengajukan usul berkali-kali.
"Datanglah menginap ke rumah. Sejak kamu kawin, belum
pernah bermalam di rumah. Berkunjung pun jarang. Barangkali
ada baiknya kamu berlibur sebentar, keluar dari rumahmu sendiri
selama beberapa hari. Liburan yang paling murah adalah pulang.
Kamu tahu, rumah kita selalu terbuka buat kamu. Aku akan
mengatakan kepada Widodo supaya membiarkan kamu datang."
Mungkin karena segan terhadap mertuanya, atau oleh sebab
yang lain, Mas Wid tidak menolak undangan Ibu. Itu adalah
pertama kalinya aku menginap di luar rumahku sendiri sesudah
kawin. Ketika pulang dari rumah sakit karena melahirkan, ibuku
datang menolong setiap hari. Pagi dia memandikan bayi, lalu tinggal sampai siang waktu makan. Selama beberapa hari, dia selalu
datang dengan bawaan masakan yang siap untuk kami makan bersama. Sebagai alasan ingin makan enak, dia juga membawa paling
sedikit lima kilo beras. Di rumahku ada beras jelek, pembagian
dari kantor Mas Wid.
Aku berlibur santai di rumah Ibu. Di situlah pula aku menyadari bahwa adik-adikku juga bertanya-tanya mengapa Mas
Wid berbeda dari waktu permulaan kenal dengan keluarga


Jalan Bandungan Karya Nh. Dini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pustaka-indo.blogspot.com
109 kami. Adik-adikku termasuk sering datang menengokku. Katakata ini benarlah demikian, karena mereka hanya nyaman berbicara dengan aku, bahkan dengan Simbok. Mas Wid bersikap
menyendiri. Gurau dan kelakar yang dulu terdengar di saat-saat
mereka bersama, tidak terjadi lagi sejak aku kawin.
Untuk memudahkan, dan lebih-lebih untuk menenangkan hati mereka sendiri, adik-adikku mengatakan Mas Wid sudah bersikap seperti orang tua. Tidak banyak bicara dan tidak mau bergaul dengan anak-anak muda lagi. Aku tidak menyanggahnya.
Meskipun sebetulnya aku juga tahu bahwa suamiku tidak hanya
tidak suka bergaul dengan anak muda. Dengan yang tua seperti
Ibu pun dia tidak dekat. Bahkan aku istrinya, selain di tempat
tidur, dapat dikatakan tidak digaulinya secara normal, dudukduduk dan berbincang dengan nyaman. Tapi aku tidak bisa mengatakan semua itu kepada adik-adikku.
Aku puas menghirup kembali suasana keluarga yang merasuk
ke hati dan yang kukenali sebagai teladan, contoh yang ingin
kumiliki. Adikku yang pertama hanya dua tahun duduk di SMA.
Karena kemampuannya yang luar biasa di bidang ilmu pasti dan
alam, dia diizinkan mengikuti ujian akhir bersama kelas tertinggi.
Dia lulus dengan gemilang, berhasil masuk ke Universitas Gadjah
Mada dengan beasiswa. Adikku yang kedua di STM, mengambil
jurusan listrik. Tapi kegemarannya ialah pertukangan kayu. Yang
bungsu sebenamya ingin masuk ke SPG seperti aku dulu. Tetapi ibu kami mengarahkan ke SMP. Katanya, kelak jika masih
berminat, bisa meneruskan ke SGA. Yu Dinem, pengasuh adikku
yang bungsu, waktu itu akan menikah dengan bekas sopir Bapak.
Ketika aku menginap di rumah Ibu, di sana ada gadis lain, saudaranya Yu Dinem, juga berasal dari desa Guci. Gadis itu harus
belajar alur kehidupan sehari-hari. Dia mendampingi Yu Dinem
pustaka-indo.blogspot.com
110 membersihkan rumah atau melayani kami. Juga sedikit-sedikit
membantu di warung Ibu. Yu Dinem akan kawin, berarti kami
akan kehilangan anggota keluarga. Ibulah yang menyiapkan semua pakaiannya. Adikku yang bungsu masih kelihatan aleman
terhadap wanita muda yang mempunyai arti tersendiri dalam
kehidupan keluarga kami itu. Dia adalah saksi dari pengalaman
kami di zaman revolusi.
Aku menemukan kembali perasaan sejahtera dan percaya diri
seperti di masa-masa remajaku. Dan seolah-olah Tuhan hendak
menambah kemanjaan untukku, Ganik, Mur, dan Sri berdatangan
tanpa direncanakan. Ganik masuk ke Akademi Luar Negeri setelah berhenti dari kursus-kursus bahasa asing. Mur diterima di
Universitas Gadjah Mada, menuju ke cita-citanya. Dia menjadi
kakak perguruan bagi adikku yang pertama. Kalau semua lancar,
kira-kira satu tahun lagi dia akan menyelesaikan studinya. Sri
tidak meneruskan sekolah, menjadi pelaksana urusan pabrik
tenun neneknya di Sala. Dia kawin dengan kerabat sendiri, seorang sarjana hukum yang sedang meneruskan studi untuk
menjadi notaris. Temanku Siswi juga sudah kawin, mengajar di
Pekalongan. Waktu itu ia sedang melahirkan anaknya yang kedua.
Sri paling sering berhubungan dengan ibuku. Orangtuaku mengambil dagangan langsung dari Sala, dan Sri-lah yang menjadi
perantara.
Sahabat-sahabatku tampak puas dengan keadaan dan karier
mereka. Dan tanpa aku bercerita panjang lebar, mereka tanggap
jenis kehidupan macam apa yang sedang kujalani. Diam-diam,
rasa kasih mereka tersalur dalam rengkuhan kedekatan mereka.
Juga dalam bentuk oleh-oleh maupun sampul yang sangat berarti
dan berharga bagiku.
Ketika Mas Wid menjemput, aku hampir mengucapkan
pustaka-indo.blogspot.com
111 perkataan "sayang sekali". Tapi aku segera sadar bahwa garis
keberuntungan setiap manusia berlainan. Tuhan sudah memastikan jalanku berada di samping Mas Wid. Bagaimanapun, aku
kembali ke rumahku sendiri dengan perasaan lebih mantap. Baiklah kalau aku harus hidup hanya sebagai ibu anak-anakku. Sebagai
istri suamiku, sebagai petugas rumah tangga tanpa penghasilan.
Aku akan mengerjakan semua itu sebaik mungkin.
Bersama Ibu aku sepakat untuk membikin berbagai makanan
kecil untuk dijual di warungnya. Ibu mengirim bahan mentah,
aku mengolahnya. Aku menggoreng kacang bawang, memasak
mihun, dan berbagai kue basah yang mudah. Aku menerima bayaran yang dihitung dari jumlah bungkus makanan. Sebetulnya
itu hanya alasan Ibu untuk membantu rumah tanggaku. Dia bisa
meminta orang lain membuatkan makanan tersebut, karena sejak
istri pegawai pengadilan negeri pindah dan Ibu tidak menjajakan
jenis makanan itu lagi, sudah dua kali ibuku menolak tawaran
titipan dagangan macam itu.
Ya, ibuku janda yang berpensiun kecil. Tapi dia leluasa mengatur hidupnya, uangnya. Karena meskipun dia bakul, dia wanita
mandiri. Warungnya menjadi lebih semarak sejak adikku yang di
STM turun tangan, mau membenahi bagian-bagian yang mulai
lusuh. Bersama tukang, dia bahkan membikin bagian dalam lebih lebar. Di situ tersekat dua. Di depan untuk rak-rak tempat
cadangan dagangan, di belakangnya untuk tidur pembantu yang
akan mengganti Yu Dinem.
Dalam kehidupan rutin sebagai ibu rumah tangga itu, berangsur-angsur aku semakin mapan dan mengetahui cara menekan
perasaanku: aku menerima takdirku. Kesulitan keuangan yang sekuat kemampuanku kuatasi itu pun akhirnya kuterima dengan
cara memasabodohkan makanan yang kusajikan di meja. Aku
pustaka-indo.blogspot.com
112 belajar bersifat sembunyi-sembunyi terhadap suamiku. Upah yang
kudapatkan dari Ibu tidak kupergunakan lagi sebagai penambah
pembeli sesuatu pun yang tertuju untuk suamiku. Anak-anak dan
aku makan jenis masakan yang kami sukai. Dan uang hasilku
sendiri kubelikan makanan itu. Tetapi untuk meja makan, jenisnya lain lagi. Satu kalimat atau empat kalimat teguran dari
suamiku yang berisi penyesalan mengenai pelayanan makanan
itu tak kujawab dengan penjelasan lain kecuali "Semuanya mahal
sekarang".
Lama kelamaan aku tidak hanya membikin jajan pasar buat
warung Ibu saja. Karena perkembangan kehidupan, orang-orang
yang rapat, mengadakan pertemuan, tidak lagi membeli suguhan
dari toko. Mereka memesan dari ibu-ibu yang biasa memasak jenis
makanan kecil itu. Dengan perantaraan bekas-bekas rekan guru,
kenalan-kenalan, dan teman-teman keluarga serta Ibu sendiri, aku
berangsur-angsur menjadi pemasak pesanan. Dari makanan kecil
berubah dan bertambah. Kadang-kadang satu jenis makanan atau
lauk yang akan disuguhkan dengan nasi. Di lain waktu puding
untuk cuci mulut.
Bantuan Ibu terus mengalir. Baik berupa alat-alat masak ataupun pinjaman uang sebagai modal. Ibuku sendiri mengembangkan
usahanya dengan menyewakan piring dan gelas, peralatan lengkap
guna menyuguhi tamu. Semakin lama, ibu kami semakin mapan
dalam usahanya. Adikku yang sekolah di Yogya tidak lagi malu
mempunyai ibu pedagang kecil. Buktinya, lebih dari satu kali dia
pulang membawa teman untuk bermalam di rumah kami.
Kami sudah mulai memasak dengan minyak tanah. Kompor
yang ada di rumahku kepunyaan ibuku. Yang satu sebagai pinjaman untuk memasak makanan yang dipesan. Satu lagi hadiah
ulang tahunku. Seringkali permintaan makanan dari luar harus
pustaka-indo.blogspot.com
113 kumasak ketika suamiku ada di rumah. Mau atau tidak, seluruh
rumah menjadi bau. Tentu saja enak dan sedap. Namun ini pun
dijadikan alasan untuk mengeluh. Tapi aku sudah kebal. Apa pun
yang dikatakan Mas Wid, aku membikin perisai di kuping dan
hatiku.
Berkat petunjuk Ibu, aku bisa bertahan tiga tahun tidak mengandung. Pada zaman itu pemerintah belum mencantumkan
program keluarga berencana. Besarnya kebutuhan Mas Wid yang
harus kutanggapi di tempat tidur menyebabkan aku kuwalahan
menjaga diri agar tidak terlalu cepat hamil lagi. Hingga pada
suatu saat, aku teledor, terlambat minum jamu. Terakhir kali aku
tidur dengan suamiku telah membenihkan adiknya Widowati.
Setelah aku sadar jamu yang kuminum bertubi-tubi tidak
memberikan hasil yang kuharapkan, akhirnya aku pasrah. Ibu
memperingatkan supaya jamu kuberhentikan, karena siapa tahu,
itu akan mempengaruhi pertumbuhan janin. Ketika Seto lahir,
jarak yang terentang antara dia dan kakaknya ada empat tahun.
Perkawinan tujuh tahun telah memberiku tiga anak. Kata ibu itu
sudah cukup. Bagiku sendiri sudah sangat merepotkan. Terangterangan di hadapan Mas Wid, ibuku mengatakan pendapatnya.
Seperti biasa, suamiku tidak menjawab.
Karena badanku yang kurang kuat, aku hanya bisa menyusui
Seto tiga bulan. Air susu tidak keluar. Untuk meneruskan perkembangannya, Seto harus diberi susu kaleng. Tambahan ini merupakan belanja yang tidak sedikit. Tidak ada susu bayi yang murah.
Selama beberapa waktu aku tergoda tantangan untuk melayani
permintaan makanan dengan cara rantangan. Tetapi karena aku
tidak mempunyai modal guna membeli peralatan serta mengupah
pengantar setiap harinya, aku harus melepaskan kesempatan baik
itu. Terpaksa aku menerima keadaan sampai batas kemampuanpustaka-indo.blogspot.com
114 ku. Dan kemampuan itu hanya mencapai modal beberapa ribu
rupiah. Aku meneruskan melayani pesanan makanan kecil atau
satu dua jenis lauk yang akan melengkapi pertemuan-pertemuan
keluarga lingkunganku. Usaha makanan rantangan memerlukan
modal dan alat yang lebih besar. Seandainya aku mempunyai
sepuluh langganan, aku harus menyediakan paling sedikit dua
puluh rantang. Tetapi kalau aku melayani tiga kali makan dalam
sehari, jumlah itu harus bertambah sepuluh lagi. Satu rantang
diisi, satu rantang sudah dikirim untuk makanan sebelumnya.
Berjualan makanan masak memang repot. Tapi dengan pengaturan waktu serta bahan yang baik, keuntungannya ternyata bisa
mencapai lebih dari tiga ratus persen. Berkat petunjuk ibuku, hidupku terasa lebih santai. Tekanan batinku bisa kuringankan. Eko
masuk sekolah. Wido sudah mulai sering kutitipkan kepada teman
yang membuka Taman Kanak-Kanak di rumahnya. Seto tumbuh
menjadi bocah yang mungil, rewel, dan sehat silih berganti.
Keadaan demikian bisa terus berlangsung seandainya Tuhan
menghendaki. Alur hidupku terdiri dari rentetan gerak serta
kebiasaan yang telah menjadi rutin. Sehingga apa pun yang kukerjakan selalu diiringi rasa wajib yang hampa namun sekaligus
berguna. Barangkali ini juga satu bentuk dari keputusasaan. Aku
sudah tidak lagi mengharapkan cara hidup yang lain, karena memang aku tidak yakin akan mampu mendapatkan jenis kehidupan
lainnya.
*****
pustaka-indo.blogspot.com
115 5 bahan pokok terus meningkat. Meskipun pemerintah ahun itu kehidupan bagi rakyat bertambah keras. Harga
menganut kebijaksanaan membatasi pemasukan barang mewah
dari luar negeri, hasil dalam negeri juga tetap mahal harganya Kemiskinan yang mencolok kelihatan di mana-mana. Yang menonjol ialah di pedesaan dan di kampung-kampung.
Cara hidup yang kotor, pakaian compang-camping serta lusuh
yang tampak di zaman pendudukan Jepang, kembali tersuguh dalam kehidupan yang dikatakan modern dan merdeka. Namun begitu, pesta perkawinan tetap ada. Baik di kota ataupun di desa.
Bagiku sendiri, tekanan terasa dengan mengurangnya langganan.
Pertemuan-pertemuan kerja atau rapat kurang memesan jajanan
seperti di waktu-waktu sebelumnya. Ibuku juga mengeluh. Banyak
perlengkapan alat pesta yang hilang. Barangkali pecah, mungkin
dicuri orang. Meskipun penyewa bertanggung jawab, tetapi ibuku
bukan orang yang sampai hati melahap langganannya.
Adikku kedua sudah berangkat ke Bandung meneruskan sekolah di sana. Dia meneruskan di ITB sambil menjadi tukang di
sebuah toko. Pemilik toko itulah yang memberinya tempat tinggal.
Meskipun dia sudah mempunyai gaji, sekolah termasuk beasiswa,
dan makanan terjamin, Ibu tetap prihatin. Dia harus menyediakan
sejumlah uang yang tidak boleh disentuh sebagai cadangan jika
pustaka-indo.blogspot.com
116 terjadi sesuatu. Anak-anak jauh, katanya. Mereka sekolah dan
bekerja keras. Siapa tahu tiba-tiba sakit. Hal ini tidak merupakan
keanehan. Semua kerabat dan kenalan kelihatan prihatin. Mereka
mengeluh, menghemat untuk merentangpanjangkan gaji, semua
khawatir. Untunglah semua kenalan kami tetap bisa makan dan
berpakaian secukupnya. Seolah-olah kota kami turut merasakan
suasana yang serba menekan, udaranya bertambah panas. Jalanjalan bertambah gersang dan berdebu.
Dalam keadaan semacam itulah pada suatu hari, tiba-tiba suamiku menghilang. Pagi, dia seperti biasa berangkat ke kantor. Sampai saat aku akan menutup pintu halaman jam sepuluh malam,
dia belum pulang. Demikianlah dua hari tidak ada berita. Kupikir,
barangkali tiba-tiba dia harus dinas ke luar kota. Kutunggu sehari
lagi untuk mencari kabar ke kantornya.
Sementara itu aku mendengar dari tetangga mengenai pemberontakan yang gagal, percobaan perebutan kekuasaan yang
terjadi di Ibukota. Di daerah tempat tinggalku, aku tidak merasakan adanya kelainan. Apalagi aku jarang keluar rumah. Dan
setelah mengetahui berita kericuhan itu, barulah aku meraba-raba
sendiri tentang suasana kampung. Terakhir kali aku ke pasar ialah
lima hari sebelum tanggal yang disebutkan tetanggaku. Waktu
itu kuperhatikan kelompok-kelompok pemuda dan lelaki berdiri
menggerombol di beberapa tempat. Sikap mereka seperti berjaga,
tetapi ramah dan terbuka. Aku tidak keluar lagi sesudah itu. Jadi
tidak mengetahui apakah mereka tetap bersiaga terhadap sesuatu
ataukah hanya berkerumun biasa-biasa saja.
Hari ketiga suamiku tidak pulang, pagi-pagi aku pergi ke kantor. Di sana aku mendapat keterangan bahwa Mas Wid sudah
lama tidak masuk bekerja. Kata mereka, akhir bulan Agustus dia
pustaka-indo.blogspot.com
117 mengambil cuti tahunan. Ketika waktunya tiba harus kembali bekerja, sampai hari itu dia tidak muncul.
Tak dapat dibayangkan rasa kebingungan yang merajai hatiku.
Aku tidak kuasa menahan kegugupanku, menangis penuh kecemasan di depan pegawai-pegawai kantor suamiku. Pertanyaan
"apa yang terjadi?" berulang kali keluar dari bibirku tanpa bisa
kukendalikan. Mas Wid tidak pernah menceritakan hal-hal yang


Jalan Bandungan Karya Nh. Dini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyangkut pekerjaannya. Tidak pernah menyebut nama rekan
atau teman sekerjanya. Dia memang kelihatan serba sendirian
dan tidak bermaksud memberitahuku apa yang diperbuat di luar
rumah. Aku disisihkan sama sekali. Pagi jika dia berangkat,
dengan penuh kepercayaan aku menganggap dia sebagai pegawai
negeri yang taat dan patuh. Lebih dari sekali, dalam percakapan
yang sesantai mungkin, aku mengusulkan agar aku dikenalkan
kepada istri atau keluarga rekan maupun teman kerjanya. Dia
selalu menghindari pokok pembicaraan semacam itu. Sama tepat
jika aku menyebut soal keluarganya di Klaten. Pada waktu dia mau
menanggapi, kalimat yang paling enak didengar ialah: Nanti pasti
tiba saatnya untuk beramah-tamah seperti itu. Lalu aku mengalah.
Dan sejak aku mengambil sikap masa bodoh, menemukan bentuk
kebahagiaan tersendiri dalam kepasifanku itu, tak sekali pun aku
bertanya mengenai keluarga maupun temannya.
Kekacauan rupa-rupanya juga terjadi di seluruh Tanah Air.
Ini kudengar dari Mas Gun, anak buah Bapak yang paling dekat
dengan keluarga kami. Setelah tidak mendapatkan informasi mengenai menghilangnya suamiku, dari kantornya aku langsung mencari Mas Gun. Bekas anak buah ayah kami itu untuk beberapa
waktu meninggalkan kota kami, masuk lagi ke pendidikan. Sejak
dua tahun lalu menduduki tempat terpandang di kantor CPM.
Semua data yang kuterima dari kantor suamiku kuberikan
pustaka-indo.blogspot.com
118 kepada Mas Gun. Dia menasihati agar dicari kabar juga ke tempat
keluarga Mas Wid, di Klaten. Meskipun dia mengetahui tidak
adanya hubungan antara Mas Wid dengan orangtuanya selama
ini, tetapi kemungkinan yang sekecil apa pun harus ditelesih. Dia
akan menelepon kantor polisi di sana guna mencari inforrnasi. Di
samping itu dia juga akan mengirim orang ke rumah sakit pusat
dan balai-balai pengobatan lain di kota-kota sekitar Semarang.
Siapa tahu Mas Wid terjebak dalam kekalutan.
Ibuku seperti biasa tenang meyakinkan dan mendukung kekuatan batinku. Dia dijemput Mas Gun, menengokku sore hari
keesokannya. Sudah diterima berita bahwa mertua dan semua
keluarga di Klaten tidak mengetahui sesuatu pun. Kemudian
hari-hari lain menyusul dengan kewaswasan dan ketidaktentuan
yang sama. Itu tidak berarti bahwa kegiatanku sebagai ibu rumah
tangga dan sebagai pembuat makanan berhenti. Aku justru sadar
bahwa keperluan uang akan semakin nyata.
Berita lebih panjang dan lebih lengkap bergantian terdengar atau dibawa tetangga, semuanya membicarakan kengerian
yang terjadi di Ibukota maupun di tempat-tempat lebih dekat.
Kekalutan yang disebabkan oleh pihak Komunis menyebabkan
pembantaian besar-besaran. Yang disiarkan oleh media massa
ialah kematian orang-orang terkemuka dan berpangkat.
Rakyat yang selalu tanpa nama bergelimpangan di manamana, mengambang di sungai, atau menyumbat parit kampung
dan desa. Tak ketahuan jelas siapa nama dan dari mana asal
mereka. Kebanyakan mayat sudah tidak dikenali muka maupun
pakaiannya. Kebanyakan kematian itu dituduhkan pada kaum
Komunis. Meskipun barangkali, dalam masa kericuhan semacam
itu, kesempatan pembalasan dendam juga bisa terjadi. Bunuhmembunuh bukan hal yang biasa. Tetapi di waktu perang dan
pustaka-indo.blogspot.com
119 kekacauan, masing-masing perorangan merasa mendapat hak untuk menamatkan riwayat orang yang tidak disukainya.
Hatiku yang runyam oleh suasana yang gawat serta tidak
menentu itu baru mendapatkan setitik pandangan terang satu
setengah bulan kemudian. Suatu sore, Ibu datang diantar Mas
Gun untuk mengatakan bahwa Mas Wid ditahan di sebuah
tempat. Ada bukti-bukti bahwa suamiku anggota Partai Komunis.
Kabar itu memukul dan menghantam jiwaku. Seandainya aku
diberitahu bahwa Mas Wid ditemukan mati, barangkali aku akan
lebih bisa menerimanya sebagai kenyataan. Walaupun keakhiran
tersebut dipaksakan. Terlibat dalam satu intrik politik, apalagi dia
komunis!
Ah! Aku terkejut bagaikan jatuh terlempar dan terjerembap
dengan muka terbentur ke tanah. Sungguh aku sukar menerima
kenyataan tersebut. Mengapa hal seperti ini kualami? Pilihan
orangtuaku rupa-rupanya meleset sama sekali. Dua paman kami
terbunuh dalam peristiwa Madiun di tahun empat puluhan karena mereka tidak mau menggabung ke pihak Komunis. Bapak
yang selalu mengingatkan pernah bekerja sama dengan Mas Wid
selama zaman perjuangan tidakkah melihat benih-benih idenya yang mengarah ke kiri? Ataukah suamiku berubah dengan
mengalirnya zaman dan waktu?
Mas Gun bertanya apakah aku ingin menengok suamiku. Tanpa berpikir panjang, tawaran itu kutolak. Kecewa dan putus asa
memenuhi hatiku sehingga tak sedikit pun tertinggal nalar yang
seharusnya mengarahkanku pada perbuatan praktis. Untunglah
ibuku mengingatkan kewajibanku. Katanya, sebaiknya aku menemui Mas Wid. Kalaupun tidak didasari perasaan rindu dari pihakku, pertemuan itu dapat dipakai untuk menentukan apa tindak lanjut yang harus kulaksanakan.
pustaka-indo.blogspot.com
120 Mas Gun menambahkan, bahwa selagi suamiku berada dalam
tahanan sementara itu, meskipun kasusnya sudah masuk ke tangan
yang lebih berwenang, dia masih bisa menolongku. Keadaan sementara itu sampai kapan? Barangkali hanya sampai besok pagi
atau lusa, polisi seperti Mas Gun masih berhak mencampuri urusannya. Keputusan lain dapat saja datang sewaktu-waktu. Dalam
hal itu, bekas anak buah ayahku tidak akan bisa berbuat apa-apa.
Aku menuruti nasihat ibuku. Surat izin menengok kuterima
keesokan harinya. Dan hari berikutnya aku bertemu dengan Mas
Wid setelah antre bersama para pengunjung lainnya. Mengikuti petunjuk Ibu pula, aku membawa sedikit pakaian, lauk-lauk kering,
sikat gigi, odol, dan sabun. Mas Wid kelihatan kurus. Dia kaget
menerima kedatanganku, langsung memeluk dan menciumiku.
Terdorong oleh perasaan hati, aku kaku menanggapi pengucapan
kehangatannya itu. Hampir-hampir aku menoleh menghindari
ciumannya.
Ruangan setengah terbuka yang sempit tempat kami bertemu
penuh sesak. Suara percakapan dan tangis sangat gaduh, membikinku semakin tidak betah. Mas Wid menarikku ke pinggir. Dengan masih menggenggam tanganku, dia menanyakan keadaan
anak-anak dan aku sendiri. Aku menjawab seperlunya. Ketiga
anakku kebetulan sedang tidak sehat. Widowati demam, dibawa
Ibu ke rumahnya. Lalu Mas Wid memberi nasihat agar aku baikbaik memberi didikan kepada anak-anak.
Kepenuhan hati yang kutahan-tahan selama itu bagaikan air
di gelas yang telah mencapai pinggiran batasnya, lalu ditambah
satu atau dua tetes lagi sehingga meluap tertumpah ke segala arah.
Begitulah keadaanku pada saat itu. Langsung saja aku menangkis
kalimatnya dengan kata-kata penyesalan terhadap dia yang hanya
pustaka-indo.blogspot.com
121 bisa mengucapkan nasihat, tapi tidak berkaca pada dirinya yang
tidak bertanggung jawab.
"Buat apa sih ikut-ikutan berpartai, berpolitik?! Kalau ada
kesusahan seperti sekarang, bukan Mas Wid saja yang merasakan.
Anak-anak dan istri pun terbawa-bawa!"
"Aku tidak mau membicarakan hal itu," katanya, dan seketika
itu dia melepaskan tanganku.
Aku terheran-heran mendengar jawabannya. Untunglah
aku lebih sigap berbicara kali itu daripada di waktu-waktu yang
lampau. Aku ingat mengapa aku berada di sana.
"Baik. Kita tidak akan membicarakannya. Sekarang yang hendak kutanyakan ialah menurut Mas Wid, bagaimana aku harus
menghidupi anak-anak dan diriku. Apakah Mas Wid masih
melarang aku kembali mengajar? Seandainya Mas Wid melarang
pun, aku tetap harus berbuat sesuatu supaya kami tetap hidup.
Sedangkan pekerjaanku adalah guru. Aku akan mencari sekolah
yang mau menerimaku. Tentu tidak akan mudah, karena sekarang
orang tahu bahwa aku istri laki-laki yang terlibat dalam kericuhan
politik."
Pertemuan itu sangatlah menyakitkan hati. Di pihaknya, Mas
Wid memperlihatkan kehendak untuk mengetahui apa yang terjadi
selama dia berada dalam tahanan, siapa-siapa saja yang terciduk
atau tertangkap, dan siapa yang ketahuan meninggal. Sedangkan
di pihakku, aku ingin menusuk-nusuk, menggeledah pikiran dan
hatinya. Mencari sebab mengapa dia menjadi komunis hingga
mengabaikan kepentingan keluarganya. Dalam pembicaraan yang
serba kaku dan tegang itu dia mengatakan telah memberitahu
orangtuanya mengenai nasibnya. Dia menganjurkan, kalau aku
tidak bisa mendapatkan pekerjaan, lebih baik ke Klaten. Turut hipustaka-indo.blogspot.com
122 dup bersama mertuaku. Untuk ke sekian kalinya aku tidak tahan
mengekang ketajaman mulutku.
"Apa Mas Wid kira aku punya muka untuk berbuat semacam itu? Sejak kita kawin, tidak satu kali pun kita mengunjungi
mereka. Kalau aku mengusulkan, Mas Wid selalu bilang ?nanti
saja, nanti saja? sampai anak kita tiga! Sekarang, kita dalam kesusahan, tiba-tiba Mas Wid ingat kepada mereka! Alangkah
nistanya! Tidak! Aku barangkali akan mengetuk pintu siapa saja.
Tapi pintu mertuaku, tidak bakal kuketuk! Aku masih punya Ibu.
Kalau aku harus berlindung, ke rumahnyalah anak-anakku akan
kubawa!"
"Sebenarnya kamu hanya membesar-besarkan masalah,"
Mas Wid masih berusaha mempertahankan diri. Kata-katanya
sumbang, palsu. "Mereka kan orangtuaku. Mereka juga berkewajiban melindungi istri serta anak-anakku. Mereka pasti mau menerimamu. Setidak-tidaknya mereka punya. Hidup mereka tidak
kekurangan."
Aku semakin penasaran mendengar kalimatnya yang terakhir.
"Apa dikira ibuku hidup kekurangan! Semua kiriman yang
kubawa buat Mas Wid hari ini, dialah yang membelikan. Soal
punya atau tidak punya, itu bukan alasan. Bagiku, yang penting,
selama aku masih punya orangtua dan rumahnya terbuka untuk
aku dan anak-anakku, ke sanalah aku pulang. Mengenai sowan
ke Klaten, pasti akan kulakukan sebegitu kesempatan tersedia. Karena sementara ini polisi tentara melarangku ke luar kota. Setiap
bulan aku harus lapor, seolah-olah aku ini seorang kriminal,"
kataku. Dan untuk semakin menandaskan betapa aku menyesali
semua perbuatannya, kutambahkan, "Kalau aku sowan ke Klaten,
akan kukatakan bahwa sudah lama sekali aku ingin ke sana, tapi
Mas Wid tidak pernah memperhatikan usulku."
pustaka-indo.blogspot.com
123 Lonceng akhir kunjungan kusambut dengan perasaan lega.
Dari satu tempat tahanan, suamiku dipindah ke tempat tahanan lain. Selama itu aku menunaikan kewajiban mengirim
sesuatu sesuai dengan kemampuan keuanganku. Tapi aku tidak
menengoknya lagi. Selain sangat sukar mendapatkan surat izin,
juga aku berpendapat tidak ada gunanya kami bertemu. Semua
keadaan rumah kusampaikan lewat surat.
Pada akhir tahun, dia dipindahkan ke Nusakambangan. Hingga di masa itulah aku mampu bertahan hidup sebagai satu keluarga yang berdiri sendiri. Keuanganku tandas. Lamaran untuk
mengajar lagi tidak ada kabar beritanya. Untuk makan serta
keperluan sehari-hari, aku sudah mengorbankan perhiasan yang
dulu kukumpulkan dengan gajiku sendiri. Tunggakan sewa rumah
belum kulunasi seluruhnya. Akhirnya aku menuruti desakan Ibu
dan adik-adikku, pulang ke rumah orangtua. Lemari, alat-alat masak, pakaian dan ember cucian kuselamatkan, kubawa pindah.
Perabotan lainnya kujual. Yang terlalu lusuh kubiarkan diambil
siapa saja yang memerlukannya.
Hampir bersamaan waktunya, Siswi sekeluarga juga pindah, kembali ke kota kami. Suaminya, Winar, harus ke Jakarta
mengurus surat-surat. Aku menyerahkan tindasan berkasku agar
dicarikan informasi apa keputusan kementerian mengenai diriku.
Ganik waktu itu bekerja di salah satu kedutaan RI di luar negeri.
Kenalannya yang berkedudukan cukup tinggi di Kementerian
Sosial menjanjikan bantuannya. Dia akan menghubungi bagian
personalia di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Kepulanganku ke rumah Ibu banyak membawa hikmah. Tekanan terasa lebih mudah ditanggung. Penderitaan bagaikan
menjadi lebih ringan. Aku membantu kesibukan ibuku mengurus
rumah, warung, pesanan makanan, dan penyewaan alat-alat pesta.
pustaka-indo.blogspot.com
124 Kubikin daftar baru untuk cadangan dagangan yang disimpan di
gudang. Peralatan pesta juga kubenahi. Isi warung yang berderet
dijajakan tampak lebih rapi sejak rak dan meja kucat lagi. Ibu
membeli beberapa pot, lalu kuisi dengan tanaman yang sudah
berdesakan terlalu padat di tepi dan sudut halaman. Sebagian
kuletakkan di depan warung sehingga mengubah pemandangan.
Melihat perubahan yang nyata itu, adikku yang paling muda menjadi tergugah. Dia mau mengecat kembali seluruh warung Ibu.
*** Aku harus menunggu lebih dari dua tahun lagi, barulah surat
keputusan untuk mengajar kuterima. Aku kembali bekerja di
tempat yang sama. Sekolah itu lebih dekat dari rumah ibuku.
Dan mulai dari saat bekerja, hari-hari lewat bagaikan asap, cepat
dan tidak tampak. Tetapi bekas-bekas pergulatan selama itu meninggalkan guratan setengah lingkaran di bawah mataku. Setiap
kali aku berkaca, garis-garis yang tercoret di sisi kedua mataku
mcngingatkanku pada ketajaman malam-malam tanpa tidur yang
menguasai hidupku akhir-akhir itu.
Uluran tangan dan simpati yang kuterima dalam bentuk
perbuatan nyata datangnya hanyalah dari ibuku dan sahabatsahabatku. Kebanyakan kerabat, saudara serta kenalan berpaling
muka karena mereka takut dicurigai terlibat. Suara-suara seperti:
"Dia istrinya; mustahil tidak tahu apa-apa!" Atau: "Siapa tahu,
dia juga anggota Gerwani! Orang-orang seperti itu pandai menyelundup!" tak hentinya dibisikkan tetangga atau kenalan, bahkan
keluarga ayah-ibuku sendiri.
Interogasi yang kualami di kantor mereka yang berwenang,
yang resmi ataupun yang tidak resmi, satu rentetan terus-menerus
pustaka-indo.blogspot.com
125 maupun yang terputus-putus, hampir menguras keteguhan kepercayaanku terhadap maksud baik manusia. Dimulai dari saat orang
mengetahui bahwa suamiku masuk penjara karena kegiatannya
dalam partai yang nyaris merobohkan pemerintah, aku sebagai
istrinya yang tidak mengetahui utara-selatannya tidak berhak


Jalan Bandungan Karya Nh. Dini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lagi berbuat kesalahan sekecil apa pun. Setiap melangkah, harus kupikir dan kuperhitungkan baik-baik. Setiap kata harus kutimbang serta kurenungkan masak-masak sebelum terucapkan
di mulut yang serba biasa membungkam di muka umum sejak
perkawinanku. Surat keputusan bekerja kembali yang sangat
lama kunantikan ini pun kemungkinan besar disebabkan oleh
penungguan hasil penyelidikan yang saksama oleh pihak yang
berwajib.
Barangkali seharusnya aku bersyukur karena tidak masuk tahanan juga selama itu. Apa pun jenis hinaan, bagaimanapun
lemahnya sindiran yang kuterima, baik secara terang-terangan
atau diucapkan di belakangku yang bersangkutan dengan kenyataan bahwa "suaminya terlibat", kupingku memanas mendengarnya. Dan bersamaan dengan itu, kata-kata atau bisik-bisik
itu jatuh ke hatiku bagaikan sengatan angin beku dan berbisa
yang memedihkan. Mulai saat itu pula rasa dendamku menumpuk selapis demi selapis. Seandainya aku hidup jauh dari ibuku,
pastilah aku sudah dijangkiti rasa rendah diri yang menghancurkan
segala kepercayaanku. Baik percaya diri, percaya kepada sesama
manusia, maupun percaya kepada keagungan Tuhan dengan
Maha Kebajikan-Nya.
Setelah aku mapan bekerja tiga bulan, ibuku memberi gagasan
yang kuanggap luar biasa. Pada suatu hari Minggu, dia membekaliku
uang bis dan menyuruhku pergi ke Klaten dengan membawa Eko.
Kata Ibu, aku tidak memunyai alasan lagi mengapa tidak memulai
pustaka-indo.blogspot.com
126 menjalin hubungan akrab dengan mertuaku. Sejak setengah tahun
lalu aku boleh meninggalkan kota, tetapi keleluasaan itu belum
pernah kumanfaatkan. Kini aku sudah mempunyai gaji. Sekecil
apa pun, sebagai bukti kemampuanku dipercaya oleh kementerian
untuk mengajar kembali. Aku sama sekali tidak kehilangan muka.
Ibu menambahkan bahwa aku harus menunjukkan, bahwa justru
tanpa suami sekarang aku dapat menuruti keinginanku sowan. Ini
penting: tekankan kepada mertuamu bahwa kamu datang karena
kamu ingin mengunjungi mereka. Dan bahwa keinginan ini sudah
lama terkandung dalam hatimu.
Aku berangkat dengan bis pertama. Umur Eko hampir sepuluh tahun waktu itu. Sejak perkawinanku, baru dua kali aku
bertemu dengan orangtua suamiku. Pertama kali ketika kami kawin. Mereka datang menghadiri pernikahan. Kedua kalinya, ibu
suamiku bertandang ke rumah saudaranya di Semarang. Aku baru
melahirkan Widowati. Dan hari ini, tanpa pemberitahuan, aku
mengunjungi mereka.
Setiba di sana, aku segera melihat siapa ayah suamiku. Dia adalah semacam tuan tanah pedesaan yang hidup sejahtera dengan
mempekerjakan puluhan buruh tani di sawah serta kebun pisang.
Selama kunjungan dua jam itu aku mengetahui banyak hal. Yang
jelas dan kurasakan tulus ialah sambutan hangat, rangkulan erat
ibu suamiku, dan keramahan yang terbuka dari mertuaku lakilaki. Meskipun demikian, aku tetap waspada, menerima semuanya dengan sikap sebiasa mungkin, penuh hormat yang tanpa
berlebihan, karena aku belum kenal dengan mereka. Aku tahu
kedudukanku. Tetapi aku tidak tahu, atau belum yakin, sampai di
mana kedekatan anggapan mereka terhadap aku sebagai istri anaknya Widodo. Hari itu pula aku agak mengerti mengapa suamiku
memilih pamannya sebagai sesepuh yang melamarku dulu.
pustaka-indo.blogspot.com
127 "Sejak remaja Widodo sangat dekat dengan pamannya yang
sekarang di Lampung. Saya sendiri tidak suka kepada adik saya
itu. Pikirannya serba aneh. Selalu memberontak. Tidak pernah
puas dengan keadaan. Dia iri akan keberhasilan saya mengelola
tanah di sini. Tapi dia sendiri tidak berusaha apa-apa. Bagiannya
malahan dia jual, uangnya tidak ketahuan ke mana."
"Ya, sayang sekali. Saudara Bapak yang laki-laki hanya satu
itu. Kalau dia berhasil mempengaruhi Widodo untuk menjauhi
kami, ya kami tidak kehilangan banyak karena anak kami lima,
semuanya laki-laki. Tapi kan anak laki-laki lima bagi kami juga
berarti mantu perempuan lima sebagai ganti anak perempuan yang
tidak pernah kami punyai," kata ibu mertuaku. Dan kalimatnya
itu kuanggap sangat membujuk, menyenangkan.
"Bagaimana caranya Paman mempengaruhi Mas Wid, Bu? Setahu saya, dia lama berjuang dulu. Waktu itulah bapak saya banyak bekerja sama dengan dia."
"Nah, itulah yang tidak begitu kami ketahui. Pamanmu waktu
itu berada di Madiun. Kami malah curiga, mungkin waktu itu dia
sudah ada di pihak ekstrem kiri. Dan sepulang dari perang kemerdekaan, dia mendekati anak-anak muda. Widodo rupa-rupanya
terpikat. Nyatanya...." Bapak mertuaku tidak meneruskan. Tapi
aku sudah mengetahui lanjutannya: Nyatanya Mas Wid masuk
penjara karena terlibat.
Hari itu aku mendengar dan mengenal nama-nama yang belum pernah kuketahui menjadi saudara suamiku. Tiga anak tersebar ke daerah-daerah di luar Jawa. Yang paling kecil paling jauh
perginya. Sebegitu selesai sekolah teknik, juga ke Surabaya. Semula mertuaku khawatir, jangan-jangan dia juga masuk ke genggaman sang paman.
"Tapi kalau saya lihat, Handoko punya kemauan sendiri. Sedari
pustaka-indo.blogspot.com
128 kanak-kanak kesukaannya hanya mesin dan jembatan. Kalau ada
gambar perahu, jembatan, pasti dia gunting, dia kumpulkan. Barang permainan apa saja, yang sederhana atau yang rumit, seperti
kodok-kodokan dan mobil kecil, keduanya dibuka untuk melihat
apa yang ada di dalamnya. Pantas dia sekarang ingin jadi insinyur
kapal," ibu suamiku memberikan pendapatnya.
Adik iparku itu konon berada di Jerman. Dulu ketika masih
di Surabaya, kiriman dari mertuaku hanya cukup buat membayar
pondokan. Entah bagaimana caranya, anak paling muda ini bisa
belajar sendiri sambil bekerja di pelabuhan. Lalu kesempatan tiba.
Dia berangkat ke luar negeri sebagai awak kapal.
"Suratnya hanya datang sekali setahun. Yang paling sering bertemu dengan dia ya hanya masnya yang di Makassar. Nak Mur
tahu Irawan, bukan?" sekali lagi ibu mertuaku yang memberi informasi.
"Barangkali dia tahu nama panggilannya," mertuaku yang lakilaki berkata kepada istrinya. Lalu menoleh ke arahku, meneruskan,
"Namanya Irawan. Dia juga anak yang bisa dikatakan merintis
sendiri kariernya di bidang kedokteran. Bapak hampir tidak mengeluarkan biaya buat kuliahnya. Sejak masuk universitas, dia
menerima beasiswa. Sampai sekarang pun masih sering diundang
mengikuti kursus di luar negeri. Dia selalu berusaha lewat Eropa
supaya bisa bertemu dengan adiknya. Saya akui, keduanya saling
cocok." Sambil berbicara, bapak mertuaku memandang ke luar.
Matanya seperti merenung, menikmati apa yang dikatakannya.
Dari nada suaranya, aku merasa bahwa dia bangga. Aku tidak
tahu, mana dari kedua anak yang sedang dibicarakannya itu yang
lebih dia banggakan.
"Benar. Dua anak itu yang paling, ya bisa dikatakan, tidak
mengganggu kami. Jalannya mereka cari dan mereka temukan
pustaka-indo.blogspot.com
129 sendiri tanpa banyak menyusahkan kami. Sampai ketika sekolah
di luar pun, Handoko tidak mau minta apa-apa. Kalau dalam
surat bapaknya bertanya apakah perlu uang, mau dikirimi apa, dia
tidak menjawab." Sebentar ibu itu diam setelah mengatakan isi
hati yang kutafsirkan sebagai uneg-uneg. Apakah dia menyesali
kemandirian anaknya, ataukah juga membanggakannya?
"Lain dari mas-masnya lainnya yang ada di luar Jawa!"
"Itu berbeda, Pakne. Mereka bertani." Dan sambil meneruskan,
ibu mertuaku memandang kepadaku. "Barangkali Nak Mur ingat
Wijanarko, dulu dia menemani kami ketika Nak Mur kawin. Dia
di Sulawesi Utara. Terpikat oleh gadis Minahasa, lalu membeli tanah. Jadi petani cengkeh. Wibisono, adiknya lagi, di Lampung. Punya kebun kelapa sawit. Tapi sekarang sudah mengangsur modal
yang dipinjamkan bapaknya. Sudah mulai mapan."
"Benar. Kalau punya kebun berhektar-hektar ya memang
lain. Tidak, Bu, aku bukannya menyesali mereka karena minta
modal kepadaku. Ya kepada siapa lagi kalau tidak minta kepada orangtuanya. Aku hanya mengatakan hal itu sebagai perbandingan."
"Memang, Nak Mur. Anak banyak, harusnya ya macam-macam. Sekarang sudah mapan seperti kata Bapak tadi. Kadangkadang kalau lagi lega, ya mereka kirim surat. Kalau tidak, malahan
mendadak muncul di muka pintu karena tugas membawa mereka
ke Jawa. Kita sebagai orangtua sudah bahagia kalau mengetahui
bahwa anak cucu pada sehat, selamat."
"Sebetulnya kami juga bisa bepergian, mengunjungi mereka;
barangkali setiap dua tahun sekali. Tapi ah, Nak Mur, saya tidak
suka meninggalkan rumah. Ibu itu yang saya suruh pergi. Sana ke
Sumatra, sana ke Sulawesi. Ke Semarang saja dia juga malas. Yang
paling sering, dia ke Sala atau ke Yogya. Bukan untuk menengok
pustaka-indo.blogspot.com
130 keluarga, tapi untuk ke pasar minum gempol atau makan gudeg!"
bapak mertuaku menyindir istrinya.
"Benar, Nak Mur. Saya sama seperti Bapak. Malas pergi. Kalau
tidak tinggal di rumah sendiri, rasanya kok tidak enak. Meskipun
hanya berkunjung beberapa waktu. Meskipun di rumah anak sendiri! Kalau ke Semarang, saya serba bingung. Saya tidak tahu
apakah Nak Mur mau saya tengok atau juga sungkan ketemu saya.
Kan saya khawatir, jangan-jangan Widodo sudah mempengaruhi
anda ...."
Kalimat mertuaku itu segera aku potong untuk menjelaskan
sikapku yang sesungguhnya. Nasihat ibuku tuntas aku laksanakan
hari itu. Pokoknya aku datang untuk mencoba menjalin hubungan
baik, tidak karena disuruh suamiku. Dia tidak menghidupiku lagi.
Sekarang aku sudah tinggal di rumah ibuku sendiri, sudah bekerja
sendiri. Mas Wid tidak berhak lagi mendiktekan kemauannya kepadaku. Soal anak-anak dan sekolahnya, akan kuusahakan supaya
mereka menjadi orang yang normal seperti anak-anak lain yang
dibesarkan dengan ditunggui ayah mereka. Demikianlah katakataku kepada kedua mertuaku.
Hari itu aku bahkan mengatakan pula bahwa tiga bulan adalah
batasnya. Kalau istri tidak lagi menerima nafkah lahir dan batin
selama itu, proses perceraian sudah bisa dimulai. Aku sementara
itu tidak akan memulai sesuatu pun karena mengingat anak-anak.
Tetapi untuk selanjutnya harus kuberitahukan kepada mertuaku,
bahwa kemungkinan yang lain-lain juga terbuka. Aku tambahkan,
bahwa hidup menjanda ternyata lebih enak bagiku. Kecuali tentu
saja, ulah Mas Wid yang merugikan negara itu ternyata juga merugikan pribadiku dalam pergaulan. Lalu kuceritakan kepada kedua
orang tua itu bagaimana aku menutup telinga terhadap hinaan
dan cemohan sekelilingku.
pustaka-indo.blogspot.com
131 Pendek kata, hari itu kuanggap tuntas aku melaksanakan misiku. Kalau memang mereka sakit hati karena aku telah mengatakan isi hatiku yang sebenarnya, biarlah hubungan kami putus.
Tapi jika mereka mengerti perasaanku, jalinan kekeluargaan akan
menjadi normal, meskipun barangkali tanpa rasa kedekatan. Aku
datang ke tempat mereka demi anak-anakku. Mereka biar merasa
senang karena tahu mempunyai kakek dan nenek lain.
Hantu Jatilandak 3 Kamar Gas The Chamber Karya John Grisham Api Di Bukit Menoreh 17

Cari Blog Ini