Ceritasilat Novel Online

Jalan Bandungan 3

Jalan Bandungan Karya Nh. Dini Bagian 3


Rupa-rupanya kedatangan kami berdua berkenan di hati mertuaku. Sore setelah mandi, pick-up yang biasa digunakan untuk
mengangkut hasil tanah disuruh mengantarkan kami pulang ke
pesisir utara. Kami duduk di depan, sedangkan di belakang ada
sekarung beras, sepuluh butir kelapa, satu ember ikan emas, dan
aneka ragam hasil bumi lainnya.
Dan seolah-olah hubunganku dengan keluarga Mas Wid memang disetujui oleh Tuhan, berselang dua bulan kemudian, Irawan singgah di kota kami. Dia sedang kongres di Surabaya dan
ingin menjenguk ke Klaten. Pagi hari Jumat dia sampai di Semarang, langsung ke tempat kami tinggal diantar oleh sopir Dokter Liantoro. Dia hanya bertemu dengan Ibu dan anakku yang
bungsu.
Setelah meninggalkan pesan, dia pergi untuk urusannya ke
rumah sakit pusat. Dia datang kembali siang ketika kami berkumpul untuk makan. Katanya, dia mendapat pinjaman mobil
yang akan mengantarkan ke Klaten hari Sabtu keesokannya. Apakah aku dan anak-anakku mau ikut, menginap di sana dan pulang
hari Minggu sore. Kejutan kedatangannya saja sudah sangat menggembirakan, apalagi tawarannya yang di luar dugaan itu.
Petang dia datang lagi untuk menjemput kami makan di Restoran Oen, rumah makan terpandang dan megah yang belum pernah
kami masuki. Orangtua Ganik juga diundang, karena Irawan
pustaka-indo.blogspot.com
132 tidur di rumah mereka. Rupa-rupanya mereka sering bekerja
sama, bertemu di seminar atau lokakarya di dalam maupun di
luar negeri. Aku tidak ingat bahwa ayah Ganik memang pernah
memuji kecakapan Irawan setelah mengetahui bahwa dia adalah
adik iparku. Semua yang berhubungan dengan keluarga Mas Wid
sedemikian dijauhkan oleh suamiku sehingga aku yang sudah
mengambil sikap pasif juga menjadi kurang perhatian.
Sabtu siang setelah makan, kami berangkat ke Klaten. Irawan sudah minta tolong kepada rekannya di Yogya agar memberi
kabar orangtuanya mengenai kedatangan kami. Aku dan anakanakku diberi satu kamar di rumah induk. Tempat tidurnya dua,
satu besar, satu kecil, digelari seprei bersih yang berbau khas akar
wangi dari daerah Yogyakarta. Jelas kamar itu baru dibersihkan,
dengan lantainya yang dipel dengan karbol. Rasa nyaman karena
kedatangan kami yang ditunggu itu sungguhlah baru kali itu menyelinapi dadaku.
Keputusan untuk pergi bersama Irawan tidak disarankan oleh
ibuku, melainkan kuambil sendiri. Ibu hanya menyampaikan
pesan Irawan tentang maksudnya pergi ke Klaten. Baru setelah
berhadapan sendiri dengan aku, dia mengajak kami bersama-sama
pergi. Waktu itu aku tidak berpikir dua atau tiga kali, langsung
menerima undangannya tanpa meminta pendapat Ibu. Selain
aku yakin bahwa ibuku juga gembira karena Irawan berbaik hati
kepada kami, dia pasti bersenang hati pula karena kesempatan
yang ada bagi anak-anakku yang lain untuk mengunjungi kakek
dan neneknya di Klaten. Kemudian aku menyadari bahwa aku
telah biasa lagi berprakarsa dengan penerimaanku pergi bersama
adik iparku itu. Tanpa meminta pendapat Ibu aku langsung menjawab ya.
Dan ternyata aku juga tidak menyesal turut Irawan ke rumah
pustaka-indo.blogspot.com
133 orangtuanya. Saat itulah aku berkenalan dalam arti sebenarnya
dengan kelurga mertuaku. Dari Sabtu malam hingga Minggu sore
kami banyak berbincang. Anak-anakku dibawa kakeknya melihatlihat belakang rumah yang penuh empang, pergi ke kebun pisang,
diantar ke candi-candi yang tidak begitu jauh dari sana. Irawan
sendiri mengingatkan aku kepada Mas Wid pada awal perkenalan
kami di zaman revolusi dan ketika kami bertemu kembali di kota
sebelum kami bertunangan. Sikap dan kata-katanya memikat,
membikin orang semakin ingin mendengarkan pembicaraannya.
Tidak mengherankan jika Irawan adalah dokter yang disukai,
guru yang berhasil, dan ilmuwan yang maju.
Kata ayah Ganik kepada ibuku ketika kami makan bersama
di Restoran Oen, konon adik suamiku itu akan segera dipercaya
memegang pimpinan rumah sakit di Makassar. Dia adalah satusatunya dokter tangguh dalam bidangnya di seluruh Indonesia
Timur. Anakku sulung Eko kelihatan segera melekat pada pamannya itu. Mereka tinggal satu kamar sewaktu bermalam di Klaten.
Itu adalah kamar Irawan. Dan dia berkata. bahwa setiap kali Eko
datang, dia boleh menempati kamar tersebut. Sedari tiba di Klaten
sampai kami diantar pulang, mereka berdua selalu bersama.
Mulai dari waktu itu, dari hari ke hari, hubunganku dengan
keluarga suamiku berangsur mendekat. Selama hidupku bersama
suami, belum pemah aku merasakan manfaat atau kenyamanan
memiliki mertua ataupun adik ipar. Sampai-sampai Handoko,
adik terkecil yang bersekolah di Jerman pun tiba-tiba mengirimi
kartupos bergambar, satu untuk Eko dan adik-adiknya, satu ditujukan kepadaku. Isinya biasa, salam perkenalan.
Masa menjandaku yang menuju tahun kelima kujalani dengan
rasa mapan dalam segala kesulitan dan keringanannya. Jiwaku
semakin membaja. Kedekatanku dengan keluarga suamiku sudah
pustaka-indo.blogspot.com
134 kulandasi dengan penerangan, baik kepada Irawan ataupun kepada mertuaku sendiri, bahwa ini kulakukan demi anak-anak.
Irawan bahkan dengan terus terang bertanya kepadaku apakah
tidak lebih baik jika aku membentuk hidup baru daripada menunggu Mas Wid. Dia kenal dengan orangtua Ganik. Tentulah
dia mendengar banyak tentang aku dan apa yang kupikirkan mengenai kakaknya selama ini. Tapi aku menanggapi pertanyaan
Irawan dengan jawaban yang mengambang.
Sementara itu aku ingin menikmati kesendirianku, yang ruparupanya juga berarti kebebasanku untuk menentukan sikap dan
perbuatanku. Pada tahun-tahun pertama penderitaanku, aku
selalu ditopang dan dibantu oleh ibuku. Tanpa mertua, tanpa
saudara ipar, ibuku adalah sumber kekuatan dalam berbagai bentuk. Setelah keluarga Mas Wid memperhatikan kami, keyakinan
terhadap diriku sendiri menambah kekebalanku untuk menanggulangi sindiran, cemohan, hinaan. Baik yang diucapkan terangterangan di depanku maupun yang kudengar diucapkan orang
di balik punggungku. Keyakinan itu mengantarkan aku untuk
mendaftarkan diri kembali belajar sambil meneruskan bekerja.
Institut Pendidikan di kota kami menawarkan kesempatan bagi
guru-guru Sekolah Dasar yang ingin menambah pengetahuan.
Aku masuk untuk belajar bahasa Inggris. Konon jika rencana berjalan lancar, akan dibuka kelas-kelas percobaan di Sekolah Dasar
yang ditunjuk sebagai laboratorium. Murid-murid di situ akan
diajar bahasa Inggris. Aku mendaftarkan nama sebagai calon guru
pengajar bahasa asing itu.
Waktuku semakin padat terisi. Hidup kami tetap prihatin
dalam arti keseluruhannya. Sepedaku yang tua amat besar jasanya. Benda antik itu setia mengantar ke mana pun aku pergi.
Kemajuan telah membawa aneka kendaraan angkutan modern
pustaka-indo.blogspot.com
135 dan mengubah tata kota. Dengan angkutan yang serba bermotor,
jalan-jalan menjadi semakin gaduh dan ribut. Tapi aku tetap naik
sepeda. Anak-anak naik becak. Hanya Eko yang berangsur-angsur
meningkat sekolahnya, mulai naik kendaraan umum baru yang
disebut Daihatsu.
Setiap bulan, Irawan mengirim sejumlah uang. Katanya sebagai pendorong Eko supaya bersekolah baik-baik dan menuruti
ajaran ibunya. Uang kiriman itu cukup untuk biaya sekolah
dan keperluan Eko sendiri. Ini sangat membantu. Selain itu,
secara berkala, kami menerima beras dan berbagai hasil bumi
yang dikirim mertuaku dari Klaten. Kadangkala disertai sampul
berisi uang, di lain waktu potongan-potongan bahan baju. Semua
itu juga amat berguna. Dan dengan cara demikianlah, di saat
orang-orang lain yang berpenghasilan kecil seperti aku tidak
bisa makan pisang raja atau jeruk manis, kami dapat berbahagia
merasakan buah-buah mewah yang mahal itu. Kami bahkan bisa
membantu orang lain dengan memberikan baju-baju yang sudah
tidak terpakai, karena dapat diperkirakan akan mampu memiliki
lainnya yang baru.
Namun demikian, walaupun kami merasa mempunyai kehidupan yang lebih baik, anak-anakku mengerti dan taat jika
kami ajari harus selalu bisa mengendalikan nafsu yang berlebihlebihan. Kami harus tetap prihatin meskipun makanan yang
tersedia mencukupi. Semakin anak-anak menjadi besar, ibuku
menjadi semakin sukar mengetatkan aturan-aturan yang ingin aku
terapkan. Ibu kurang sampai hati berlaku keras terhadap anakanak, terutama terhadap Eko. Kata-kata yang ditonjolkannya sebagai alasan selalu sama: "Kasihan, sejak kecil tidak ditunggui
ayahnya"; atau ada saja alasan lain yang menurut dia patut dibenarkan.
pustaka-indo.blogspot.com
136 Selama adikku yang bungsu masih sekota, tidak ada masalah
yang mencolok. Dia jadi masuk SGA setelah lulus dari SMP.
Selama itu anak-anakku cukup menuruti pengarahannya. Lebihlebih Eko. Tetapi setelah adikku itu lulus dan ditempatkan di luar
kota, tinggal Ibu dan aku sendirilah yang mengawasi anak-anak.
Eko tumbuh menjadi remaja yang tidak direngkuh dari dekat oleh
lelaki idolanya. Widowati menyusul tepat di bawahnya dengan
kematangan anak perempuan yang terlalu cepat. Sementara
aku semakin sibuk, waktuku bersama mereka semakin menipis.
Seto tampil sebagai pra-remaja yang tampak manis, tapi kadangkadang tersirat janji watak lebih sukar dari kakak-kakaknya.
*****
pustaka-indo.blogspot.com
137 , Demikian komentar ibuku. Nafsu untuk maju, untuk embali ke sekolah membikinku tampak lebih muda.
mendapat nilai paling unggul sedari dulu memang merupakan
bagian dari sifat-sifatku masa remaja. Rupa-rupanya setelah kawin
dan mempunyai anak tiga, karena hidup tanpa suami, aku masih
bisa mendapatkan lagi sisa-sisa gairah berlomba tersebut. Setiap
test, setiap ujian, kulalap dengan kemudahan yang menimbulkan
keheranan lingkunganku. Belajar sambil semalaman menjaga
anakku yang demam pun, keesokannya aku maju ujian bisa lulus.
Penggunaan waktuku yang semakin padat ternyata masih dapat
diselingi dengan kegiatan lain.
Di antara sahabat-sahabatku, hanya Siswi yang tinggal sekota setelah pindah dari Pekalongan. Winarno, suaminya, banyak
membantuku di berbagai bidang. Sedari permulaan perkenalan
kami yang didasari karena aku sahabat istrinya, Winar menunjukkan perhatiannya terhadap diriku sekeluarga. Dia menjadi ketua
Persatuan Guru di kota kami.
Hampir bersamaan dengan dimulainya masa kuliahku, bendahara perkumpulan itu jatuh sakit dan diopname. Tugasnya harus
diteruskan orang lain. Winar menemukan kesulitan memilih
orang yang mau dan yang bisa dipercaya. Siswi mengusulkan, barangkali untuk sementara aku bisa menolong suaminya. Semula
pustaka-indo.blogspot.com
138 aku menolak. Aku tidak suka memegang uang berjumlah tidak
sedikit yang bukan milikku. Lagi pula aku tidak berpengalaman
berorganisasi. Winar meringankan bebanku dengan mengatakan
bahwa itu sifatnya hanya sementara. Akhirnya, setelah berkalikali didesak Siswi, dan merasa karena telah berhutang budi kepada Winar, aku menyanggupi.
Tetapi kemudian, bendahara yang sesungguhnya meninggal.
Diadakan rapat serta pemilihan untuk menentukan pemegang bagian keuangan yang baru. Semua mengusulkan agar aku tetap
menjabat tugas tersebut. Dengan setengah terpaksa, aku tetap
menjadi bendahara.
Melalui organisasi itulah kenalanku bertambah. Tingkat keahlian tertinggi yang dapat dicapai di tempatku kuliah hanya
sarjana muda. Karena memang bukan maksudku mengejar gelar,
itu sudah mencukupi bagiku. Hanya aku masih memerlukan pengalaman kerja yang lain daripada jenis yang telah kuketahui. Maka
pada hari-hari tertentu aku bekerja di sekolah laboratorium dan
mengajarkan bahasa Inggris kepada anak-anak pra-remaja. Honorariumnya sangat rendah. Tapi lumayan untuk tambah-tambah,
di samping sebagai tabungan pengalaman kerja.
Dan dimulai waktu kelulusanku itu, aku memenuhi undangan
orangtua Ganik. Mereka tinggal di kompleks dengan nama jalan kota-kota peristirahatan seperti Tawangmangu, Kopeng, Kaliurang. Tempatnya di dekat rumah sakit pusat, dan jalan mereka
bernama Bandungan, ialah kota berudara sejuk tidak jauh dari
Ungaran maupun Ambarawa. Keluarga Ganik mempunyai satu
ruangan yang penuh buku dalam berbagai bahasa. Terutama bahasa Belanda, Inggris, Jerman, dan Prancis.
Dokter Liantoro menyuruh aku membaca cerita-cerita klasik
yang ditulis oleh para pengarang dunia. Ayah Ganik itulah
pustaka-indo.blogspot.com
139 yang setiap kali mengarahkan pilihanku. Dari mereka aku juga
meminjam majalah-majalah lama terbitan zaman pendudukan Jepang. Sebagai selingan, aku membaca ulang karangan-karangan
pengarang Indonesia, baik yang sudah dibukukan maupun yang
termuat dalam majalah-majalah yang dikumpulkan orangtua
Ganik.
Kemudian kenalanku bertambah tidak hanya melewati perkumpulan. Dokter Liantoro sering menerima tamu bangsa asing.
Tamu-tamu itu berkunjung ke Indonesia karena mengikuti kongres atau atas biaya sendiri. Selain rekan-rekan sekerja ayah Ganik,
beberapa dari mereka sudah menjadi teman akrab keluarga itu.
Tidak selalu mereka itu dokter. Ada yang profesor, wartawan, pegawai kedutaan atau diplomat. Beberapa kali aku bahkan diminta
ayah temanku itu menemani tamu-tamunya mengunjungi tempattempat pariwisata. Pada waktu-waktu itulah aku berkesempatan
mempraktekkan bahasa Inggris. Berangsur-angsur pengetahuanku
yang serba teori menguat dengan percakapan dan tambahan kaidah-kaidah yang bahkan kebanyakan tidak ada di dalam buku.
Di antara tamu-tamu itu, seorang pejabat dari Kedutaan Belanda adalah kawan baik keluarga Ganik. Karena melihat bahwa
aku akrab dengan orangtua Ganik, maka dia juga akhirnya sangat leluasa bergaul santai dengan aku. Pada waktu dia ke Jawa
Tengah, istrinya memintaku untuk menemaninya ke pasar. Kalau kebetulan aku tidak bisa karena mempunyai kesibukan
lain, ibukulah yang menggantikanku. Hubungan kami menjadi
semakin dekat dengan cara demikian. Kata Dokter Liantoro,
orang dari Kedutaan Belanda itu banyak sekali menolong mem

Jalan Bandungan Karya Nh. Dini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berangkatkan ahli-ahli Indonesia untuk melakukan riset di Perpustakaan Besar Leiden. Lalu ayah Ganik bertanya apakah aku
tertarik untuk belajar di luar negeri. Tentu saja aku tertarik.
pustaka-indo.blogspot.com
140 Tetapi semua ada waktunya. Waktu itu aku tidak merasa siap, masih harus menunggui pertumbuhan anak-anakku.
Aku tidak membesar-besarkan tanggung jawabku karena seorang diri menjaga dan mengawasi tiga anak. Hingga saat itu
aku tidak menemui kesulitan yang serius. Eko sampai pada umur
remaja. Biasanya, bagi anak lelaki, diperlukan laki-laki dewasa,
yang serumah atau akrab dengan keluarga, untuk dijadikan idola
maupun teladan. Setelah adikku pergi, Winar menjadi semacam
pegangan. Dia cukup luwes. Tidak jarang suami sahabatku itu
menyempatkan diri membawa anakku menonton pertandingan
sepakbola. Kalau ada ilm menarik untuk segala umur, kami dua
keluarga menonton bersama-sama. Di waktu lain, hanya Winar
berdua dengan Eko, pergi menikmati ilm untuk anak yang lebih
besar.
Pada suatu kesempatan, Ganik pulang dengan membawa sepasang temannya bangsa asing. Dia menyewa kendaraan yang cukup
besar sehingga kami sekeluarga dapat terbawa bertamasya. Sudah
lama ibuku tidak bepergian dengan santai. Dia mudah terbujuk
untuk menyertai kami ke luar kota. Anak-anakku demikian pula,
kecuali Eko. Bagiku pribadi, tidak begitu penting anak sulungku
pergi bersama kami. Tapi Ganik berkata bahwa sudah waktunya
dia menyenang-nyenangkan kami sekeluarga. Eko sudah besar,
setiap Minggu mempunyai rencana sendiri. Akhirnya Ganik dapat
membujuknya untuk ikut kami dengan menyerahkan kameranya
kepada anakku. Dia menjadi juru potret kami. Rupa-rupanya tugas itu cukup menggiurkan.
Kami berangkat pagi-pagi sekali supaya dapat sampai di Borobudur untuk berpiknik sarapan. Lebih dari satu setengah jam
kami santai semaunya, berjalan-jalan atau mengelilingi candi
yang megah itu. Dari sana kami langsung ke Klaten. Ibu dan
pustaka-indo.blogspot.com
141 anak-anakku ditinggal di situ, Ganik dan aku mengantar tamu
ke candi-candi di sekitarnya. Kami kembali lagi tepat untuk makan siang. Kebetulan mertuaku sedang mengadakan percobaan
beternak belut. Disuguhkannya ikan itu sebagai lauk membikin
percakapan mengasyikkan bagi tamu-tamu Ganik.
Setelah makan, kami mengantar tamu ke rumah teman
Ganik di Yogyakarta. Ibu turut karena hendak berbelanja di Pasar Beringharjo. Anak-anak ditinggal di Klaten. Ketika akan
kembali ke pesisir utara, kami lewat Sala menyalami Sri. Ibu
mengambil dagangan untuk warungnya pula. Seharian penuh aku
merasakan kepuasan yang telah lama tidak kunikmati. Sebagian
besar disebabkan karena aku tahu bahwa anak-anakku dan ibuku
juga bersenang-senang hari itu. Eko juga tampak mempunyai
kenangan bagus hari itu. Untuk beberapa hari berikutnya, dia
menyebut-nyebut peristiwa yang terjadi "ketika kami pergi ke
Borobudur", "kata Bu Ganik", atau "Bu Ganik menganjurkan supaya ..." dan seterusnya.
Periode kenaikan kelas dan ujian menyusul. Kami guru dan
dosen semakin sibuk, karena pengawasan ujian dan pemeriksaan
kertas juga harus kami laksanakan di samping meneruskan
tugas mengajar. Bersamaan waktu itulah ayahnya Ganik memberitahukan, bahwa namaku ditunjuk sebagai calon yang akan
diikutkan test di Kedutaan Belanda. Kata Dokter Liantoro, institut
tempatku dulu kuliah dikirimi surat pemberitahuan yang juga
berupa undangan. Kedutaan Belanda memberi jatah tiga beasiswa
kepada guru-guru sekolah percobaan untuk melanjutkan kuliah di
beberapa tempat di negeri itu. Satu nama sudah ditunjuk, ialah
aku. Dua lagi, Kepala Institut dipersilakan memilih sesuai dengan
prestasi calon pengikut. Biaya perjalanan ke Jakarta akan diganti,
pustaka-indo.blogspot.com
142 dan selama tinggal di Ibukota disediakan tempat di wisma yang
ditunjuk.
Lama aku menunggu panggilan atau pemberitahuan dari Institut mengenai undangan itu. Tak satu surat pun kuterima. Dan
tak seorang rekan pun membicarakannya. Beberapa hari sekali,
aku menyempatkan singgah ke Bagian Administrasi dan cobacoba bertanya kalau-kalau ada berita baru. Mereka hanya bilang
"semua biasa saja". Bahkan dua kali aku bertemu sendiri dengan
dekanku dulu, tapi dia hanya berkabar berbasa-basi. Ayah Ganik
turut penasaran. Dia menelepon temannya di Kedutaan Belanda.
Jawabannya: sudah ada tanda terima. Berarti surat tercatat sudah
diambil. Pasti Rektor dan Dekan Fakultas sudah mengetahui maksud baik kedutaan asing itu.
Aku baru tanggap. Naluriku sebagai wanita yang telah banyak
menerima sindiran, hinaan, dan bisik-bisik di balik punggung,
kini mendorongku pada satu praduga yang nalar: tentu ada penjegalan. Kerugianku yang segera nyata ialah sementara itu waktu
bergerak cepat. Batasan yang diberikan untuk datang mengikuti
test akan segera habis. Barangkali "mereka" memang berharap
supaya aku terjebak. Tidak bisa berangkat ke luar negeri karena
terlambat atau tidak turut test itu. Dan dua calon beasiswa pun
dikorbankan.
Ada dua jalan yang bisa kutempuh, kata ayah Ganik. Aku
nekat, berangkat mengikuti test. Kalau lulus, dapat ke luar negeri
atas dasar diundang secara perorangan. Aku sebagai guru yang
berdiri sendiri. Jalan satunya ialah terang-terangan aku bertanya
kepada Rektor atau kepala bagianku dulu. Baik yang pertama
maupun yang kedua tidak kusukai. Kalau aku nekat jalan sendiri,
kelak jika pulang lagi, aku tidak yakin akan masih diterima bekerja di sekolah percobaan itu. Risikonya besar, karena aku akan
pustaka-indo.blogspot.com
143 kehilangan pekerjaan. Padahal pada waktu ini kedudukanku masih sangat rapuh.
Kata ayah Ganik, aku perlu menjadi pegawai negeri guna
mengukuhkan situasiku yang goyah karena aku istri orang yang
terlibat. Seumpama aku sudah bercerai, masalahnya lain. Aku
bisa nekat pergi. Sewaktu kembali lagi, akan mudah mencari pekerjaan lain meskipun harus bersabar sedikit. Kalau mempunyai
modal, bahkan barangkali bisa mendirikan Taman Kanak-Kanak
di mana muridnya diberi pelajaran berbahasa Inggris. Wawasan
jangka panjang yang menantang ini sangat mempesona. Tapi
kenyataannya aku belum bercerai. Dokter Liantoro tidak mendesakku. Namun, katanya, pada suatu ketika aku harus sampai pada
titik penentuan yang tegas. Karena mau atau tidak, karier dan
kehidupanku bisa jalan bersama hanya jika aku lepas dari masa
lalu yang sangat mengekang dengan nama Widodo.
Rupa-rupanya terjadi perdebatan tersekap di lingkungan pengarah administrasi institut almamaterku. Mereka mempertanyakan
mengapa aku yang ditunjuk dengan kepastian harus berangkat
sekolah ke luar negeri. Aku tidak pernah berjasa sesuatu pun.
Siapa pejabat di Jakarta yang demikian memperhatikan nasibku,
istri orang terlibat? Apakah akan bisa berangkat biarpun ditunjuk
oleh kedutaan asing? Pendek kata, aku dipergunjingkan.
Untuk kesekian kalinya aku dihadapkan pada kenyataan betapa ruginya menjadi istri Mas Wid. Untuk kesekian kalinya aku
diingatkan betapa tidak bertanggung jawabnya dia sebagai kepala
keluarga. Karena dengan kepergianku bersekolah lagi ke luar negeri, kepulanganku akan berarti meningkatnya kepandaianku. Tidak mungkin itu tidak berupa kertas tambahan yang bakal menaikkan tingkatan yang menentukan gaji seseorang. Tambahan gaji
merupakan peningkatan kesejahteraan anak-anakku, yang juga
pustaka-indo.blogspot.com
144 anak-anak Mas Wid. Dengan pikiran yang semakin panik oleh
mendekatnya batasan waktu test, dendamku bagaikan tergosok
semakin meruncing.
*** Dimulai saat aku tahu bahwa dia ditahan dan karena apa, aku
tidak lagi mempunyai rasa kelembutan terhadapnya. Hubungan
yang tetap lestari dari pihakku lebih didasari oleh kewajiban
atau setia kawan. Itu pun yang sebenarnya dipaksakan karena
kehadiran Eko, Widowati, dan Seto.
Di sekitar, aku menyaksikan seorang demi seorang para istri
tahanan yang minta cerai. Atau yang tetap mengirim te tapi sudah bergaul atau hidup bersama dengan pria lain. Enam tahun
perpisahan bagiku bukan kesunyian. Tak setitik pun rasa rindu
atau rasa kehilangan. Kebalikannya, justru hidupku bersendiri lebih santai dan mapan. Tentu saja semua itu berkat kehadiran ibuku. Dia juga menolongku mengingatkan anak-anakku supaya menyurat kepada bapak mereka. Lebih-lebih Eko. Sedikit demi sedikit
aku memindahkan kewajibanku dalam kirim-mengirim. Eko harus
memberitakan perkembangan paling akhir di rumah. Mengenai
sekolahnya dan sekolah adik-adiknya. Terhadap Mas Wid aku tidak merasakan kedekatan yang melebihi keakraban seorang kenalan, atau barangkali rekanan, sama-sama mengusahakan yang
baik-baik bagi anak-anak kami. Hanya pada waktu itu, akulah
yang mencari makan; di samping menerima bantuan dari Irawan
dan mertuaku sejak beberapa waktu belakangan itu.
Aku heran melihat istri-istri tahanan lain. Mereka tampak tetap setia, penuh cinta jika membicarakan suami mereka. Mungkin
mereka memang pernah hidup bahagia bersama suami-suami itu.
pustaka-indo.blogspot.com
145 Begitu bahagianya sehingga kesalahan dan pengkhianatan terhadap keluarga demi pengabdian terhadap partai pun bisa dimaafkan. Bagiku sendiri, suamiku telah berkhianat kepadaku, anakanakku, bahkan orangtuaku yang dulu menerima lamarannya.
Masalah kelakuannya yang bagaimana terhadap negara, itu soal
lain lagi. Pokoknya, sementara itu, korban terdekat dan langsung
adalah keluarganya.
Setelah membaca puluhan karya dunia, aku mendapat kesimpulan bahwa pembibitan kader Partai Komunis memang
demikian: orang harus mengutamakan idealisme daripada keluarganya sendiri. Menurut cerita Mas Gun, bekas anak buah
bapak kami, tanda tangan suamiku tertera dalam persetujuan
pembantaian keluarga-keluarga tertentu yang tinggal di daerahdaerah pemukiman tertentu. Daerah tempat tinggal ibuku termasuk dalam daftar tersebut. Memang itu tergolong pemukiman
priyayi. Meskipun yang sesungguhnya zaman telah berubah, dan
penghuni di sana tidak lagi merupakan kekuatan feodal yang bisa
meruntuhkan sesuatu sistem pemerintahan. Penduduknya sudah
tua, kebanyakan janda. Anak-anak mereka tersebar bekerja atau
bersekolah di kota-kota lain. Aku tidak akan heran jika ibuku
termasuk dalam daftar yang harus dibantai. Dia janda polisi bekas
pejuang. Yang ingin kuketahui ialah apakah aku sebagai anak
ibuku juga tercantum dalam daftar calon korban? Mas Gun tidak
pernah memenuhi rasa ingin tahuku itu dengan jawaban yang
jelas. Kelas atau golongan tengah dan atas, orang yang dianggap tidak bisa ditatar guna membangun masyarakat baru memang
harus dimusnahkan, begitu menurut bacaanku mengenai pembentukan kader partai yang membahayakan itu.
Dalam perbincangan serius maupun santai, ibuku sering menyinggung kemungkinan-kemungkinan perceraian antara Mas
pustaka-indo.blogspot.com
146 Wid dan aku. Jika memang aku menghendakinya, Ibu tidak berkeberatan dan akan membantuku melancarkan prosesnya. Saudara Winar yang pejabat penting juga pernah mengatakan hal
itu. Seandainya aku hanya memikirkan diri sendiri, tentulah
aku tidak menunggu hingga enam tahun. Pertimbangan-pertimbangan yang memberatkan keputusanku ialah anak-anakku. Paling penting, Seto belum mengenal bapaknya karena dia baru berumur dua tahun ketika Mas Wid masuk tahanan. Bercerai berarti
aku menjadi janda betul-betul. Menjadi janda barangkali lebih
memudahkan aku sebagai seorang warga negara. Tetapi sebagai seorang wanita? Kedudukan sebagai istri tahanan politik sekurangkurangnya membikin aku aman dari keisengan rekan-rekan atau
para lelaki yang kujumpai di bidangku. Meskipun tentu saja ada
yang mencibirkan bibir dengan ucapan "perempuan bekasnya
orang komunis!"
Seandainya aku menjadi janda karena bercerai, belum tentu
aku akan menemukan ketenangan dan kesantaian. Lagi pula, buat
apa bercerai padahal aku tidak bermaksud kawin lagi. Aku tidak
mempunyai calon atau pasangan dengan siapa aku ingin hidup
bersama maupun bercumbuan meskipun tanpa menikah. Kawin
lagi atau tidak, aku tidak ingin terjerat kembali oleh keharusankeharusan yang disemukan di balik perkataan kewajiban maupun
kodrat: istri harus begini, istri harus begitu. Aku terlanjur khawatir
jatuh lagi ke tangan lelaki serba slintutan yang tidak terus terang
seperti Mas Wid, dan yang hanya memperhatikan aku sebagai
alat pemuas nafsunya di tempat tidur. Kesimpulannya, perceraian
tidak terpikirkan olehku sebagai kenyataan yang akan membawa
lebih banyak kebaikan padaku daripada keadaanku waktu itu.
Aku juga sering menerima pujian sebagai "istri yang setia"
pustaka-indo.blogspot.com
147 karena tetap bersendiri, tidak minta cerai dan "ditanggung tidak
punya kekasih." Orang tidak memperhatikan, bahwa jarang sekali aku menyebut atau bercerita mengenai suamiku. Aku hanya menjawab jika orang bertanya. Misalnya pertanyaan: Bagaimana kabar Mas Wid? Jawabku: Menurut surat yang diterima
anak-anak, katanya baik-baik. Tidak pernah aku secara suka
rela berkepanjangan membicarakan dia. Bahkan di kalangan keluargaku sendiri pun demikian. Bagiku, Mas Wid sudah keluar dari
hidupku. Orang-orang yang bukan lingkungan dekatku kurang
memperhatikan, bahwa pergaulanku cukup luas dan tidak tertutup
melulu di satu bidang. Aku jarang diketahui tidak menutup diri
terhadap kesempatan-kesempatan bersenang-senang.
Suatu ketika, keluargaku menonton ilm bersama keluarga
Siswi. Secara kebetulan di gedung bioskop bertemu dengan rekanku. Itu merupakan berita penting. Di hari-hari berikutnya
aku disapa dengan nada keheranan oleh rekan-rekan lain. Nyata
mereka tidak mengira bahwa aku juga mempunyai minat untuk
menonton, untuk bepergian. Tentu saja hal itu tidak kulakukan
terlalu sering. Aku membatasi diri terutama oleh penghematan.
Bukan karena aku hendak mengurung diri maupun menjauhi kesenangan. Pesta-pesta perkawinan, ulang tahun atau selamatan
lain pun tidak jarang kuhadiri. Tetapi adakalanya kuhindari.
Waktu yang habis untuk berkondangan dan uang buat membeli
hadiah sangat kuperhitungkan. Jika hubunganku dekat dengan si


Jalan Bandungan Karya Nh. Dini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pengundang, hadiah bisa berupa makanan yang kumasak sendiri.
Hadiah antara rekan lebih praktis karena dapat dibeli secara patungan beberapa orang. Kalau pesta terjadi di luar kota, aku biasa
hanya mengirim telegram atau kartu ucapan selamat.
Sejak masa kesulitanku karena kepelitan suami, aku sudah
belajar untuk tidak mengacuhkan basa-basi dalam hal hadiah.
pustaka-indo.blogspot.com
148 Padahal ajaran orangtuaku dulu serba hadiah. Katanya, hadiah
sekecil apa pun, dapat melestarikan hubungan. Kami dibiasakan
saling memberi hadiah kecil-kecil tetapi yang diharapkan berguna
atau disukai oleh yang menerima. Kebiasaanku dalam hal ini
luntur karena perkawinanku.
Ayah kami pernah berkata bahwa memberikan sesuatu kepada
seseorang mempunyai arti beragam. Si pemberi bisa menganggap
dirinya lebih tinggi dari yang diberi. Bisa juga karena si pemberi
hendak mencari muka, ingin disukai, ingin mendapatkan nama
di pandangan si penerima atau lingkungan kedua orang yang
bersangkutan. Yang paling terpuji bagi orangtua kami ialah jika
pemberian didorong oleh keinginan membagi apa yang dimiliki.
Yang didasari oleh keinginan menolong tanpa pamrih, yang dilandasi oleh kasih dan cinta. Semakin aku bertambah umur, aku
semakin menyatakan bahwa ayahku memang benar.
Untuk menyenangkan anak-anakku, Ibu, sahabat-sahabatku,
dan lingkungan mereka, aku harus memutar otak dalam membelanjakan uangku yang sedikit dan pas-pasan. Tapi jika aku mengeluarkan uang untuk memberi mereka hadiah, hatiku diselinapi
rasa bahagia karena yakin akan membahagiakan, akan membikin
senang orang-orang yang kukasihi. Ini tidak lagi kurasakan jika
aku menyiapkan kiriman buat suamiku. Masa bodoh dan seperlunya saja yang mengarahkan gerakanku. Sebab itulah tugas itu
kupasrahkan kepada anak sulungku.
*** Desas-desus dan omongan menggugat di belakang punggungku
mengenai penunjukan namaku oleh kedutaan asing untuk mengikuti test di Ibukota dapat kuabaikan. Perasaanku telah terasah
pustaka-indo.blogspot.com
149 oleh sindiran dan hinaan yang kuterima sejak orang tahu bahwa
suamiku terlibat. Pendengaranku sudah kebal. Aku tidak merasa
bersalah, jadi tidak perlu mempedulikan mereka yang iri hati
ataupun tidak tahu-menahu duduk perkaranya. Tapi jika rasa iri
atau tidak tahu-menahu duduk perkaranya itu menyebabkan aku
kehilangan kesempatan ke luar negeri kali itu, alangkah rugiku.
Pikiran ini membikinku panik.
Kusampaikan praduga dan kecemasanku kepada ayahnya Ganik dan kepada Winar. Dokter Liantoro memutuskan akan menemui Rektor sendiri. Aku semakin kagum. Orang tua yang sigap
dan baik hati, dokter ternama dengan jadwal padat untuk seminar,
pertemuan, operasi, mengajar, namun masih sempat menyisihkan
waktu untuk mengurusi teman anaknya.
Entah apa yang dia katakan kepada pimpinan Institut, aku
segera menerima panggilan. Dua hari kemudian aku berangkat
ke Jakarta bersama dua orang yang ditunjuk, seorang lelaki dan
seorang wanita. Aku belum pernah bekerja sama dengan mereka.
Di Kedutaan Belanda kami diterima teman baik ayah Ganik yang
telah kukenal dengan baik pula. Secara bergilir rekan-rekanku
diwawancara, sementara aku disuruh tenang-tenang melihat isi
perpustakaan. Test kesehatan lebih rumit dan lama.
Selama tiga hari kami mendapat pinjaman kendaraan dan sopir
dari teman Dokter Liantoro. Kami bisa melancong, mengunjungi
tempat-tempat yang patut dikenal. Waktu itu yang menjadi gubernur ialah Ali Sadikin, lebih tersohor dengan panggilan Bang
Ali. Ibukota asri, tampak memiliki tatakota yang nyaman dipandang karena kebersihannya. Air sungai-sungai buatan yang
berjuluran di tengah kota mengalir lancar. Lebih bersih dari yang
ada di kota kami. Waktu itu Taman Ismail Marzuki baru selesai
dibangun. Kami termasuk orang luar kota yang beruntung bisa
pustaka-indo.blogspot.com
150 mengujungi masa permulaan pusat kegiatan seni di Ibukota itu.
Hari ketiga kami mendapat informasi bahwa kami dianggap pantas
diberangkatkan ke Negeri Belanda di musim semi mendatang.
Berita tersebut kurahasiakan terhadap Ibu dan anak-anakku.
Aku belum yakin akan memenuhi persyaratan, akan bisa lolos
dan mendapat izin dari pihak yang berwenang. Surat tanggungan
dan undangan dari Kedutaan Belanda kusimpan rapi dalam berkas
yang berisi kertas-kertas penting lain. Ka1au Ibu dan anak-anak
tahu bahwa aku menerima undangan, tetapi pada akhirnya tidak
bisa berangkat karena tidak diperbolehkan mendapat paspor, tentu mereka akan kecewa. Sebab itulah mereka hanya akan kuberitahu jika waktu keberangkatanku sudah dekat, dan jika paspor
sudah betul-betul berada di tanganku.
Sepulangku dari test di Jakarta, ada kejutan yang menungguku. Ibu menyampaikan bahwa rombongan keluarga tahanan akan
berangkat ke Nusakambangan. Ka1au aku hendak turut, harus
mendaftarkan nama dan jumlah anggota keluarga. Reaksi pertamaku ialah tidak ada gunanya aku pergi. Gajiku yang sedikit
harus kuhemat sebagai tabungan persiapan keberangkatanku ke
luar negeri. Meskipun kami akan diberi uang saku, tetapi aku harus menyediakan sejumlah sebisaku untuk membeli barang-barang
kerajinan tangan asli Indonesia. Setiap kali Ganik pulang, aku
melihat dia memborong benda-benda tersebut untuk simpanan
hadiah di tempatnya bertugas. Dia mengatakan, bahwa selendang
atau taplak meja yang sederhana sangat berguna dan menyebabkan si penerima bersenang hati. Pada kesempatan dia diundang
makan, tidak perlu dia membeli bunga atau hadiah lain, karena
selembar taplak meja atau sawal bantal kursi yang dibungkus rapi
pasti akan membahagiakan si nyonya rumah yang telah berjerih
payah memasak. Contoh ini bisa kutiru. Kalau belum-belum aku
pustaka-indo.blogspot.com
151 harus mengeluarkan uang buat perjalanan ke Nusakambangan hanya untuk menengok suami yang sudah tidak lagi berarti bagiku,
kapan aku akan memulai menabung?!
Kali itu, untuk kesekian kalinya, ibuku turut campur. Katanya,
baiklah Eko yang menjenguk ayahnya. Ini adalah kesempatan
yang harus dimanfaatkan. Siapa tahu akan lama lagi mereka bisa
berjumpa. Kalau berangkat sendiri ke Nusakambangan, tentu biayanya jauh lebih besar. Dan karena Eko akan pergi menengok
ayahnya, Widowati ingin turut pula. Setelah dirundingkan, sesungguhnya Seto-lah yang paling ingin bertemu dengan bapak
mereka. Tetapi aku tidak bisa melepasnya tiga bersama-sama. Setelah kami membujuk dan memberi pengertian, diputuskan bahwa Eko dan Wido yang berangkat.
Sisa perhiasan ibuku yang hingga saat itu masih selamat, dia
korbankan agar cucu-cucunya bertemu dengan ayah mereka. Kebetulan Sri berada di kota kami. Perhiasan kenang-kenangan dari
almarhum Bapak itu kami jual kepada sahabatku. Kelak jika kami
mempunyai cukup uang, akan bisa kami tebus. Itu berupa peniti
kebaya bermata mirah delima. Bapak memberikannya kepada Ibu
ketika aku lahir. Sebab itulah ibuku tetap mempertahankannya
tidak dijual. Keberangkatan anak-anakku tidak mungkin dengan
tangan kosong. Surat Mas Wid selalu berisi daftar benda yang dia
butuhkan. Ibu tidak tega menolak permintaan menantunya. Katanya, demi anak-anak.
Kiriman kepada Mas Wid diatur oleh Eko. Kalau Ibu tidak
membelikan benda yang diminta, artinya Ibu berurusan dengan
Eko juga. Aku bosan mendengar alasan semacam itu. Sebab
itulah aku tidak mau lagi menyaksikan kesibukan anakku dalam mengatur kiriman atau surat. Namun adakalanya debat berkepanjangan antara Eko dan ibuku mengenai permintaan yang
pustaka-indo.blogspot.com
152 mahal, yang tidak atau belum bisa dibelikan, menyebabkan aku
harus turun suara. Aku yang harus menjadi wasit, memutuskan
apakah benda itu memang harus dibeli atau tidak. Kebanyakan
kali, karena memang uang sukar buat kami, permintaan suamiku
yang aneh-aneh seperti alat cukur listrik, kucoret saja. Kepada Eko
kujelaskan bahwa kami harus bersikap tegas. Sedari dulu hanya
neneknya yang dermawan mengirim. Jangan hendaknya kedermawanan itu dimanfaatkan menjadi keterlaluan. Perhiasan ibuku
habis untuk membiayai mereka menengok ayahnya. Itu sudah
bagus sekali, dan ibuku rela. Kalau memang Eko ingin berangkat,
harus puas membawa kiriman semampu yang membelikan.
Rombongan terdiri dari orang-orang yang aku kenal. Ibu dan
aku membikin sedemikian rupa sehingga anak-anakku mempunyai
bekal makan, minum, obat-obatan, dan pakaian ganti. Mereka juga kami beri bantal supaya bisa bersandar dengan enak. Sebelum
berangkat, kuulangi ajaranku mengenai kemandirian. Aku tidak
ingin anak-anakku terlalu menggantungkan diri kepada orang
lain.
Prakarsa ibuku mengirim anak-anak menengok bapaknya ternyata ada kebaikannya. Walaupun sepulang dari perjalanan itu
Wido sakit sehingga beberapa hari tidak masuk sekolah, tetapi
setelah sembuh, dengan lebih suka rela dia mau membantu kakaknya menulis surat atau mengemasi kiriman untuk ayahnya.
Sebaliknya, Eko menjadi pendiam.
Tahun itu anak sulungku masuk SMA kelas satu bagian pasti
dan alam. Sudah kukatakan bahwa hingga saat itu, kami tidak
menemukan kesukaran yang serius dalam mengawasi pertumbuhannya. Hubunganku dengan dia kubikin santai namun berbatas kedisiplinan: kamar harus dirapikan, waktu belajar yang
teratur dan keharusan berada di rumah di waktu makan malam.
pustaka-indo.blogspot.com
153 Sebagai anak lelaki remaja yang membesar tanpa ayah, dalam
keseluruhannya, aku tidak mempunyai keluhan mengenai sikap
dan kelakuannya.
Menuruti naluri keibuan yang ditunjang oleh pengalaman di
dunia pendidikan, aku tahu mengukur kekenduran atau keketatan
tali kendali yang ada di tanganku. Tetapi sejak pertemuannya dengan bapaknya, aku merasa bahwa jiwa Eko goyah. Aku berusaha
mencari sebabnya. Kutanyakan kepada adiknya apa saja yang mereka bicarakan, siapa-siapa yang mereka jumpai, apa yang mereka
lihat, apa yang dikerjakan selama perjalanan maupun ketika berada di sana.
Ibuku khawatir kalau-kalau bapak mereka atau orang lain mengatakan atau menceritakan sesuatu. Barangkali Eko meragukan
fakta yang selama ini dipercayainya sebagai pegangan kebenaran.
Aku tidak akan pernah bisa mempercayai orang-orang partai
seperti itu, kata ibuku. Dan dia memang benar. Ditambahkan,
bahwa berapa tahun pun mereka disekap, kelihatan dari luar sudah berubah, menjadi alim dengan memasuki agama apa pun,
tetapi dalamnya tetap berulat. Mereka itu sembahyang, pergi ke
gereja, ramah tamah, kelihatan mengalir bersama arus, tapi ya
tetap komunis. Kata ibuku, mereka paling pintar berselubung. Menyelundup ke bagian-bagian yang paling tidak dicurigai. Itulah
pendapat ibuku yang telah kehilangan paman dan beberapa saudara di zaman peristiwa Madiun. Meskipun pemikiran itu banyak
didasari rasa dendam, tetapi banyak pula kebenarannya.
Dan sejak Eko berubah, mau atau tidak, kecurigaan kami muncul dengan sendirinya. Aku mempergunakan kesempatan itu
untuk menyesali ibuku mengapa selalu memanjakan suamiku dengan mengirim hampir semua permintaannya. Orang seperti itu
tidak bisa diberi hati. Di Jawa ada peribahasa "sudah diberi hati
pustaka-indo.blogspot.com
154 merogoh atau mengambil sendiri rempela". Artinya sudah diberi
kebaikan, semakin kurang ajar. Karena ibuku selalu mengambil dalih kasihan kepada anak-anak, maka dianggapnya semua kelakuan
yang mengiyakan menantunya itu bisa dibenarkan, dihalalkan.
Kuminta agar ibuku bisa membatasi diri. Kiriman terakhir yang dibawa Eko dan Wido memang tidak lengkap memenuhi keinginan
Mas Wid, tetapi Ibu masih selalu berusaha mengganti benda yang
tidak ada dengan benda lain. Pengeluaran uang dan tenaga atau
waktu buat membelikannya sama saja. Ini tidak dipikirkan orang
yang berada di dalam penjara.
Perubahan Eko mencemaskan hatiku. Hal ini kusampaikan
kepada Winar. Dia sudah mengetahui rencanaku pergi ke luar negeri. Aku tidak akan tenang meninggalkan rumah dalam keadaan
yang tidak normal. Winar membujukku untuk tidak terlalu berprasangka. Eko sedang tumbuh. Tahun itu umurnya akan mencapai
enam belas tahun. Mungkin itulah yang membikin dia murung.
Kuserahkan tugas untuk mengorek dan mengetahui isi hati anakku. Bulan itu Winar harus ke Yogyakarta, keperluan dinas. Karena
ada hari Sabtu libur, akan digabung dengan Minggu. Dia akan
mengajak Eko. Siapa tahu hal ini akan membawa kebaikan bagi
anak sulungku.
Keputusan Kedutaan Belanda sudah kami terima. Rekanrekanku akan berangkat lebih dulu, menggabung dengan rombongan yang telah menunggu sejak setahun, berasal dari luar
pulau dan Ibukota. Aku akan dimasukkan ke kelompok Jawa Barat dan Bali. Bersamaku akan berangkat tujuh guru lain. Kalau
harus meninggalkan keluarga dalam suasana yang tidak mantap,
aku tidak akan tenang di negeri orang. Itu bukan perjalanan bersenang-senang.
Kami memang tidak diwajibkan membikin kertas kerja sepustaka-indo.blogspot.com
155 telah selesai mengikuti kuliah di sana. Meskipun begitu, menurut Dokter Liantoro, sebaiknya meninggalkan kesan yang menarik. Caranya ialah harus berangkat dengan catatan-catatan
pengalaman mengajar selama ini, diteruskan di sana, lalu kedua
jenis penemuan dirangkum menjadi sebuah kesimpulan. Tidak
perlu terlalu panjang. Seolah-olah hanya berupa laporan. Meskipun aku tidak bisa berbahasa Belanda, kertas itu dapat kutulis dalam bahasa Inggris. Dalam pertemuan-pertemuan yang
diadakan di sana, aku bisa menjadikan catatanku sebagai pegangan. Dengan pengarahan ayah Ganik itu, aku menyiapkan
tulisanku. Bapak sahabatku antusias membaca halaman-halaman
yang sudah kutulis.
Keberangkatanku ke luar negeri mendekat. Untuk mengurus paspor, diperlukan antara lain surat berkelakuan baik. Aku
ke kantor polisi. Dalam berkas sudah terselip kartu tanggungan
dari saudara Winar yang berkedudukan penting di Jakarta.
Tetapi itu akan kuberikan jika surat-surat dari Kedutaan Belanda
tidak mencukupi. Saudara Winar yang di Jakarta itu sudah banyak membantuku dalam urusan perizinan dan berbagai surat
keputusan Kementerian tempatku bekerja. Administrasi negara


Jalan Bandungan Karya Nh. Dini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ditangani oleh terlalu banyak bagian dan orang, sehingga kadangkadang perlu dikejutkan dengan dobrakan. Ternyata dari kantor
polisi aku tidak mendapatkan kesukaran. Barangkali Mas Gun
sudah memberikan instruksinya. Aku segera menerima surat yang
kuperlukan tanpa ejekan atau kata-kata menyakitkan hati. Aku
merasa lega. Sudah bisa kupastikan bahwa paspor akan mudah
kudapatkan pula.
Berita lain menyusul: suamiku akan dipindahkan ke Pulau
Buru. Walaupun tidak menyebabkan aku menjadi lebih sedih
atau bingung, ini adalah suatu kejadian penting bagi keluargaku.
pustaka-indo.blogspot.com
156 Perlahan dan sebiasa mungkin kujelaskan kepada anak-anakku,
lebih-lebih kepada Eko dan Widowati, bahwa cobaan bapak
mereka belum selesai. Bahwa Tuhan masih mengharuskan ayah
mereka meneruskan bertapa. Kukatakan pula bahwa di pulau sana,
para tahanan mungkin akan lebih leluasa bergerak. Barangkali
mereka lebih diberi kesempatan mengerjakan kegiatan di udara
terbuka. Itu lebih sehat dan baik untuk jiwa manusia.
Tetapi bersama Ibu, aku semakin mengerti betapa besar keterlibatan suamiku dalam perkaranya dengan negara. Dan mengenai
waktu kebebasannya, tidak perlu anak-anak dibiarkan bermimpi
sehingga berharap. Aku semakin mengkhawatirkan keadaan Eko.
Atas dasar itulah aku berpendapat, barangkali guna mengimbangi
kabar buruk itu, aku memberitahukan kepergianku ke luar negeri
kepada anak-anakku. Dengan demikian, aku berharap bisa membelokkan perhatian mereka. Sedikit demi sedikit, setahap demi
setahap, aku membicarakan bahwa ada kemungkinan kami guruguru sekolah percobaan akan dikirim ke Negeri Belanda. Kalau
aku lulus test, mungkin aku akan terpilih.
Wido dan Seto menunjukkan reaksi yang lebih langsung daripada Eko. Anakku perempuan mengatakan mudah-mudahan
aku terpilih. Seto hanya memikirkan dirinya; katanya kalau aku
ke luar negeri dia minta dibelikan permainan blok untuk bikin
macam-macam bentuk maket seperti kepunyaan kawannya. Eko
tidak memperlihatkan pendapatnya. Aku harus bertanya, barulah
dia ganti menanyakan berapa lama aku akan pergi seandainya
jadi berangkat. Kujelaskan semua yang kuketahui. Ada dua macam tambahan kuliah. Tiga bulan dan enam bulan. Aku harus bersepakat dengan institut almamaterku dulu mengenai mana yang
akan kupilih. Lalu aku bertanya dia ingin oleh-oleh apa dari sana.
Katanya sudah lama dia ingin jaket yang bagus. Tambahnya lagi,
pustaka-indo.blogspot.com
157 harus bertanya kepada Bu Ganik, karena barangkali dia juga akan
membelikan. Dulu Eko sudah ditanya. Lalu, dia mengatakan lagi,
kalau aku pergi, lebih baik ambil kuliah yang enam bulan. Sayang
kalau hanya mengambil yang singkat. Jauh-jauh, tanggung kalau
hanya belajar tiga bulan. Pengetahuannya pasti kurang mantap
dari yang enam bulan.
Aku agak terkejut mendengar pendapat anak sulungku itu.
Dalam sikap dan kelakuannya yang mencurigakan, rupa-rupanya
dia juga memiliki kematangan. Tanpa kusembunyikan, aku menyatakan kegembiraanku karena dia mempunyai pikiran yang
sama dengan aku. Kalau Ibu pergi, kataku kepadanya, apakah
Eko tahu dan bisa bertanggung jawab di rumah? Dia bilang bisa. Kalau memang semuanya baik-baik di rumah, kelak kalau
aku pulang, barangkali akan dapat menambah oleh-oleh untuk
Eko. Apa lagi yang diinginkannya? Dia menjawab dengan suara
yang sama tegasnya: mikroskop mini. Permintaan itu pun cukup
mengejutkan. Meskipun mini, mikroskop yang sungguh-sungguh
tentu mahal. Kutanyakan apakah ada dan berapa harganya kirakira. Eko mengatakan bahwa dia melihat benda itu di rumah
temannya, oleh-oleh dari ayahnya yang pergi ke Jepang. Bagus
sekali. Bisa digunakan untuk mengamati bakteri dalam setitik air.
Aku terdiam, kuamati anak sulungku yang berangkat dewasa.
Apakah dia ingin menekuni bidang biologi? Kalimat yang tidak
kuucapkan itu segera mendapatkan jawaban. Dia berkata ingin
menjadi dokter dulu, kemudian menjadi peneliti, bekerja di
bidang riset. Hanya, dia tidak yakin apakah akan ada biaya buat
meneruskan sekolah. Aku menanggapinya secara langsung. Soal
biaya tidak seharusnya dia pikirkan sekarang. Cita-citanya bagus. Sampai saat itu sekolahnya stabil, nilainya cukup tangguh.
Biaya bisa dicari. Itu nanti, kelak dipikirkan. Yang perlu, sekarang
pustaka-indo.blogspot.com
158 mencapai prestasi setinggi mungkin. Kuingatkan dia pada kasus
pamannya, adikku yang hanya dua tahun duduk di SMA. Sekarang
dia sudah menjadi dokter. Beasiswa bisa diusahakan. Kalau tidak
dari negara, mungkin dari yayasan-yayasan. Kalau memang Eko
bertekad kuat, aku juga akan mencarikan terobosan lain kelak.
Percakapan bersama keluarga mengenai kepergianku malahan memberi pandangan gamblang padaku. Anakku sulung menyingkapkan isi hatinya. Kubicarakan penemuanku itu kepada
Winar. Kesimpulan kami sama. Eko mulai khawatir. Mungkin di
Nusakambangan dia melihat kenyataan yang mencolok: keadaan
bapaknya. Di situ barangkali anakku sadar bahwa dia benarbenar tidak dapat menggantungkan diri pada ayahnya. Semula,
selagi jauh, dengan hanya menulis surat, membaca surat dan
pengarahan bapaknya, Eko masih menyimpan gambaran lain.
Harapan terhadap bapak sebagai pelindung masih ada. Kenyataan
lain yang sejak dulu dilihat, bahwa neneknyalah yang membayari
dan mencukupi keperluan si bapak, tidak juga dia terima sebagai
hal yang akan berkesinambungan. Ataukah dia menutup mata?
Jadi Eko masih berharap. Dia tidak percaya bahwa ayahnya adalah orang yang tidak berdaya.
Bersama Winar aku mempunyai perkiraan tersebut. Meskipun
hanya merupakan dugaan, tapi aku senang karena bisa agak jelas melihat dasar masalahnya. Mungkin dugaan kami meleset.
Namun tidak ada jeleknya jika dari segi kepercayaan terhadap
masa depan yang cerah bagi kelanjutan studinya itulah aku akan
mengukuhkan kekuatan jiwa anakku. Namun mempunyai teori
untuk mengembalikan suasana seperti semula, tidak membikin
Eko segera serba terbuka. Dia tetap pendiam, lebih suka mengurung diri. Radio pemberian kakeknya di Klaten tetap bersuara
sehari-hari.
pustaka-indo.blogspot.com
159 Di waktu siang, menuruti jadwal masing-masing, kami terpaksa makan sendiri-sendiri. Tapi petang hari, aku berusaha mengumpulkan ketiga anakku untuk duduk makan bersama. Eko
semakin sulit diatur. Dia berangkat keluar justru jam enam, belum pulang ketika kami makan jam tujuh. Hal itu terjadi beberapa kali. Kalau hanya sekali, barangkali bisa dimengerti. Dia
kutegur, namun tidak ada perubahan. Aku mulai kehilangan
kesabaran. Ibu membelanya. Eko tidak berbuat kesalahan besar,
mengapa orangtua harus berkeras kepala ingin memperlihatkan
wibawanya?
Bagiku sendiri, hanya sedikit waktu yang kunikmati buat bersama dengan anak-anakku. Setelah makan malam, empat kali
seminggu aku belajar bahasa Belanda pada ibunya Ganik. Aku
curiga, Eko memang menantangku. Dia sengaja menyalahi aturan yang sudah kugariskan. Meskipun sesungguhnya itu bukan
aturan. Aku hanya meminta pengertiannya bahwa aku ingin bersama anak-anakku lengkap selama setengah jam dalam sehari.
Kalau Eko bisa menuruti keinginanku tiga kali seminggu saja,
aku tidak akan merasa diremehkan, karena selama bersama setengah jam sehari itu aku dapat mendengarkan apa pikiran mereka, bagaimana keadaan sekolah mereka. Kalau dipikir secara
lebih mendalam, ibuku benar. Eko tidak berbuat sesuatu yang
menyalahi hukum. Barangkali harga diriku sebagai orangtua yang
tersinggung, karena aku merasa digampangkan. Aku sadar bahwa
semakin orangtua terlalu cerewet, anak-anak semakin jenuh. Pada akhirnya mereka tidak mau lagi memperhatikan apa yang kami
inginkan dari mereka. Mungkin Eko merasa sudah besar, namun
sekaligus belum mampu bertindak penuh seperti orang dewasa.
Aku memutuskan untuk mengalah sedikit. Kasus-kasus kenakalan remaja yang melibatkan ganja dan minuman keras
pustaka-indo.blogspot.com
160 sering kami bicarakan dalam perkumpulan guru-guru. Obat-obat
terlarang yang disalahgunakan oleh para siswa semakin menonjol
menjadi bahan berita koran daerah kami. Hingga waktu itu,
Eko bukan anak yang sukar. Aku harus dapat mengendalikan
perasaanku sebagai orangtua. Kalau aku salah langkah, Eko akan
mudah terpengaruh oleh pergaulannya dengan anak-anak muda
yang lemah itu.
*** Sementara itu, di akhir tahun ajaran, anak-anakku naik kelas
dengan angka yang lumayan. Di waktu liburan, untuk pertama
kalinya, mereka akan dibawa lama oleh pamanku, adik Ibu di Purworejo. Kemudian pada hari yang telah ditentukan, aku diantar
Winar menjemput mereka. Kami tidak pulang ke Semarang, melainkan ke Klaten. Aku bermalam semalam, sedangkan Winar ke
Yogyakarta. Keesokannya dia menjemputku, anak-anak kami tinggal di Klaten. Sepuluh hari sesudah itu, aku naik bis ke Sala dan
tinggal bersama keluarga Sri. Dua hari kemudian, Sri mengantar
aku menjemput anak-anakku ke Klaten; dan bersama-sama kami
menuju ke kota kami di pesisir utara.
Mendengar dan melihat kelakuan mereka, liburan panjang
pertama yang dihabiskan di luar rumah kami itu memberikan
kenangan tersendiri bagi anak-anakku. Selama liburan itu kubiarkan Eko mengurus adik-adiknya dan berkomunikasi sendiri dengan pihak sesepuh. Hampir semua saudara tahu waktu itu bahwa
aku harus ngebut belajar bahasa Belanda guna kuliah tambahan di
negeri itu. Menurut anak-anakku, baik keluarga di Purworejo maupun Klaten, semua bangga karena kepergianku disebabkan dipilih
oleh kedutaan. Keluarga ibuku turut bergantian mengundang dan
pustaka-indo.blogspot.com
161 memperhatikan anak-anakku, termasuk mereka yang dulu pernah
menghindari ibuku karena punya menantu yang terlibat.
Ya, aku tidak menyembunyikan lagi perihal kepergianku ke
luar negeri. Aku sudah yakin akan berangkat. Di samping itu,
ada sedikit kepongahan dariku. Aku ingin menunjukkan kepada mereka bahwa aku mampu melepaskan diri dari tekanan.
Meskipun suamiku masuk tahanan, terbukti bahwa aku tetap
dapat berkembang sesuai dengan bidangku, bahwa aku tidak
terpengaruh sedikit pun oleh idealismenya. Kesempatan bertemu
dan berbicara santai dengan mertuaku tidak pernah kupergunakan
untuk memperbincangkan suamiku. Kalau mereka mendahului,
misalnya menanyakan berita paling akhir, aku menjawab bahwa
hal itu harus ditanyakan kepada Widowati atau kepada Eko. Lama kelamaan, mereka tanggap bahwa perasaanku terhadap anaknya yang sulung sudah kosong. Mengurusi beritanya pun aku sudah malas. Dan memang ini bukan merupakan rahasia bagi keluargaku sendiri.
Bagian pertama tahun ajaran berikutnya meluncur tanpa terhalang oleh sesuatu kejutan yang lain. Dalam kesibukan yang
telah menggaris menjadi alur biasa di kehidupanku, aku merasa
semakin mapan dan siap untuk berangkat. Paling akhir aku diberitahu bahwa tiga orang akan menggabung ke dalam program
yang sama. Orangtua Ganik keduanya mengarahkan aku tidak
saja dalam penulisan catatan atau pengetahuan bahasa Belanda.
Ibunya Ganik bahkan memberikan alamat kenalan dan temantemannya di beberapa kota. Katanya, lebih baik aku menyewa
kamar sendirian. Kebanyakan, dengan menyewa lebih murah, dua
mahasiswa bisa berbagi kamar tempat pondokan. Tetapi itu tidak
menjamin ketenangan belajar dan lain-lain. Kalau teman sekamar
kebetulan baik, semua ya baik. Tetapi kalau teman sekamar tidak
pustaka-indo.blogspot.com
162 sejalan, dapat dipastikan salah satu harus pindah. Sebab itu, ibu
temanku menyarankan agar sedari semula aku menyewa kamar
sendirian.
Pada suatu siang, aku sedang mengajar di sekolah percobaan ketika orang mengetuk pintu kelas. Aku menoleh, melihat petugas
kantor berdiri di luar. Aku mendekat. Barulah tampak laki-laki
berpakaian seragam, anak buah Mas Gun. Dia memberi salam.
"Ibu harus cepat ke rumah sakit. Anak anda mendapat kecelakaan," katanya dengan suara direndahkan.
"Anak yang mana? Di mana?"
"Eko."
"Mengapa? Di mana?" pertanyaanku berturut-turut, tapi tanpa
menunggu jawaban aku kembali ke meja di depan kelas dan
membenahi barang-barangku. Sebegitu keluar, aku pamit kepada
Kepala Sekolah yang sedang mengajar juga. Sebelumnya, pagi
itu, aku menunaikan tugas seperti biasa di sekolahku sendiri. Jam
dua belas aku pulang dan langsung makan. Eko belum datang
ketika aku berangkat lagi. Hal itu tidak kurisaukan, karena tidak
jarang kami bertemu di ujung jalan pemukiman. Atau di lain hari,
anakku pulang tidak lama setelah aku pergi lagi untuk mengajar
di sekolah percobaan. Aku selalu menanyakan jam berapa Eko
pulang.
Di dalam kendaraan aku bertanya kepada polisi yang menjemputku. "Lukanya gawat, Mas?"
"Tampaknya begitu."
"Di mana dia ditabrak? Mobil apa?"
"Tidak ditabrak. Perkelahian."
Aku hampir terpental karena kaget.
"Apa? Bagaimana bisa? Dengan siapa?"
"Keroyokan, Bu. Di depan sekolah."
pustaka-indo.blogspot.com
163 Ya, Tuhan! Apa lagi yang kualami ini? Jika orang menyebut
perkataan kecelakaan, bayanganku adalah tabrakan. Sama sekali
tidak terpikir olehku Eko berkelahi. Jawaban yang diberikan polisi
itu membikin jantungku berdetak lebih cepat.
"Keroyokan bagaimana?"
"Belum jelas persoalannya. Yang luka berat dibawa ke rumah
sakit. Yang luka ringan masih ditahan di seksi."
"Banyak yang luka?"
"Empat yang berat. Eko kena tusukan pisau."
Kini darah di jantung berdesir turun. Perutku mulas. Dengan
susah payah aku bertahan agar tidak gemetar. Tapi aku tidak kuasa mengucapkan kata-kata lagi. Kudengarkan cerita polisi itu.
Mas Gun kebetulan sedang berada di Seksi Tiga, dekat dengan
kancah pertikaian itu ketika laporan datang. Karena dia tahu Eko
sekolah di sana, dia mengikuti regu yang ditugaskan menangani
masalah tersebut. Jip Mas Gun-lah yang membawa korban ke ru

Jalan Bandungan Karya Nh. Dini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mah sakit.
"Semua yang luka berat akibat tusukan pisau?" tanyaku untuk
mengetahui apakah ada yang lebih parah daripada Eko.
"Dua barangkali akibat pukulan. Ada pengeroyok yang membawa lempengan besi. Dua kena pisau. Yang satu luka di lengan.
Satu lagi di perut."
"Eko?"
"Di perut."
Oh, Tuhan! Oh, Eko, sulungku yang tumbuh tanpa bapak dan
tanpa kesulitan hingga saat itu. Hatiku menjeritkan namanya dan
nama Allah silih berganti. Apakah hanya sampai di situ waktunya
aku dipasrahi mengasuh anakku itu? Anak tiga akan diambil seorang. Dan pada umur tanggung di mana aku hampir akan bisa
menyaksikan kelajuan atau kemandekan cita-citanya. Dalam
pustaka-indo.blogspot.com
164 kebisuan yang kacau, aku berdoa, aku mengeluh, aku penasaran
mengendalikan cengkeraman rasa cemas. Apa pun yang hendak
kutanyakan lagi, polisi itu tidak akan bisa menjelaskan yang lebih
gamblang. Bukankah tadi dia mengatakan bahwa masalahnya
sedang diusut?
Di rumah sakit aku diantar dari ruang ke ruang mencari keterangan di mana murid-murid yang luka berada. Seseorang
yang kukenal melambai-lambai di lorong. Dia berjalan ke arah
kami. Dia adalah teman Eko yang sering datang ke rumah. Kami
diantar ke ruang bedah. Melihatku dari jauh, Mas Gun bangkit
dari bangku, memapakku dan segera mendahuluiku.
"Tidak apa-apa. Tidak apa-apa," tangannya digandengkan ke
lenganku. Dia menggeretku duduk di kamar tunggu sambil meneruskan, "Dokter Liantoro menanganinya. Eko masih dilindungi
Tuhan. Tusukan pisau lewat satu setengah senti dari levernya."
Sekali lagi darah mendesir di jantungku, berputar, mengalir
cepat ke perut.
"Dia bukan anak yang suka berkelahi. Bagaimana itu bisa terjadi?" Pertanyaan itu sedari tadi tersekap. Kini kuucapkan di hadapan Mas Gun, dan kutambahkan bersyukur, "Untunglah Mas
Gun ada di dekat sana. Kalau tidak ..."
"Ya, kebetulan aku sedang mengunjungi rekan di Seksi Tiga.
Menurut dia, memang sudah berkali-kali ada cegatan. Anak-anak
sekolah lain yang menghadang murid sekolah Eko. Tapi selalu dihindari. Yang dihadang mencari jalan lain untuk pulang. Hari ini
pengeroyok penasaran. Diserang saja di kubunya sendiri."
"Apa persoalannya?"
"Belum jelas. Tapi sudah ada gambaran. Tadi kami omongomong dengan teman-temannya Eko." Kepala Mas Gun digelengpustaka-indo.blogspot.com
165 kan ke arah murid-murid yang duduk agak jauh. "Yang lain-lain
masih diinterogasi di Seksi. Masalahnya cemburu."
"Masalah pacar kalau begitu. Gadisnya ada di sana juga?"
Mas Gun mendekatkan wajahnya, menunduk sambil berbisik,
"Homoseks."
"Apa?!" aku tidak bisa menahan kekagetanku, hampir berteriak.
"Ssssst. Nanti saja kuceritakan," tangannya menepuk-nepuk
punggung tanganku. "Yang penting sekarang, Dik Mur tahu bahwa Eko tidak apa-apa."
"Ya apa-apa," bantahku rendah, dengan suara kesal. "Dia tertusuk pisau. Itu kan mengerikan. Dia terlibat perkelahian. Itu
sangat memalukan!"
"Ya, benar. Tapi dia sudah dirawat Dokter Liantoro. Pokoknya
Eko berada di tangan yang bisa dipercaya. Soal perkelahian, sebenarnya dia hanya mau melerai. Dik Mur tidak perlu malu. Malahan harus bangga."
"Bagaimana Mas Gun tahu? Dia bilang begitu?"
"?Dia belum sempat mengatakan apa-apa karena aku gendong
dia sudah pingsan. Itu teman-temannya yang bilang!" sambil berkata demikian, mukanya bergerak lagi menunjuk ke tempat murid-murid yang duduk mengelompok.
"Yang menyerang banyak?" tanyaku lagi.
"Begitu kabarnya. Barangkali sepuluh, lima belas."
Aku menghela napas. Untuk kesekian kalinya kusadari betapa
kebetulan yang baik dan Tuhan masih melindungi keluargaku.
"Untunglah Mas Gun segera ke sana dan melihat Eko!" kuulangi
kata hatiku.
"Itulah!" dia menyetujui. Lalu meneruskan ceritanya, "Aku
memang harus ke Seksi Tiga. Kepalanya diganti. Dia sudah
pustaka-indo.blogspot.com
166 mengunjungi kami orang-orang lama. Kan aku harus membalas,
tetapi belum sempat-sempat juga. Jadwal mengajar, kongres ke
luar kota, sakit, akhirnya sudah enam bulan lewat. Baru hari ini
tadi sebelum pulang, aku pikir, ah, lewat sebentar menyalami!"
Di waktu pamit, ada anak buah yang melaporkan kerusuhan
di depan SMA. Mas Gun ingat bahwa Eko sekolah di sana. Dia
mengikuti petugas untuk melihat suasana dari dekat. Polisipolisi lain berhasil membubarkan kelompok dan kerumunan, lalu membekuk beberapa yang jelas terlibat. Dalam kerumunan,
Mas Gun melihat Eko berjongkok memegangi perut. Darah bertetesan dari jarinya. Rupanya dia sudah kehilangan banyak darah.
Begitu Mas Gun mendekat, Eko langsung menggeletak di trotoar.
Sekarang anak-anak lainnya masih di ruang potret. Seorang belum sadarkan diri sejak kena pukulan. Kata Mas Gun, Dokter
Liantoro baru saja datang. Dia sudah pensiun, tetapi berapa kali
sepekan masih datang ke rumah sakit umum secara sukarela. Keahliannya masih diperlukan di bidang pengajaran maupun praktek. Mas Gun kebetulan melihat dia di lorong, dan langsung ayah
temanku itu merawat anakku.
Mengikuti cerita Mas Gun aku menjadi lebih lega, tetapi ketegangan sarafku belum mengurang. Aku ingin segera melihat anakku. Alangkah besar kurnia Allah kepadaku. Orang-orang yang
selama ini bisa dikatakan selalu mendampingi serta menopangku,
hari itu tetap ditakdirkan dengan kemampuan masing-masing
menolong anakku. Tiba-tiba aku teringat bahwa cerita Mas Gun
belum lengkap. Aku bangkit, sambil berbisik dan melirik ke seisi
ruang.
"Kita berdiri di luar saja. Aku ingin tahu cerita yang tadi itu."
Mas Gun mengikutiku. Sampai di pintu, dia memanggil anak
buahnya. Kulihat dia memberikan uang.
pustaka-indo.blogspot.com
167 "Aku suruh belikan makanan yang bersih. Anak-anak itu kasihan. Sudah menunggu lama, pasti mulai lapar. Aku sendiri haus
sekali," katanya menjelaskan.
Tapi aku kurang memperhatikan, bertanya. "Bagaimana cerita
homo yang tadi?"
Kami berdampingan berjalan menelusuri lorong terbuka yang
menghubungkan bagian-bagian dalam rumah sakit. Sinar matahari tidak penuh sampai di bumi. Sejak pagi, mendung mengawang seolah-olah menyaring cahaya. Tetapi karena tak ada
sesilir angin pun, udara panas, pengap. Berada di luar begitu,
rasanya lebih nyaman daripada di kamar tunggu. Rumput dan
daun-daun tanaman yang kelihatan tidak terpelihara di halaman
rumah sakit itu memunculkan tunas-tunas. Warnanya lebih hijau.
Baru kejatuhan hujan dua atau tiga kali saja, setiap tumbuh-tumbuhan di sana menunjukkan kesegaran yang berbeda. Musim hujan sudah mulai.
"Salah satu guru laki-laki di sekolah Eko memiliki kecenderungan lebih menyukai anak-anak pria daripada gadis," kata Mas
Gun. "Kalau sore guru itu mengajar di sekolah menengah lain.
Kabarnya, sudah lama mempunyai ?murid kesayangan? di sekolah
sore itu."
"Murid kesayangan kan boleh saja," kataku menyela. "Apa
yang menimbulkan tuduhan bahwa dia homo?"
"Kata kawan-kawan Eko, guru itu suka mengelus, membelai.
Ya yang ketahuan hanya mengelus tangan, rambut sampai pipi siswa. Katanya, kalau di rumah lain lagi!"
"Ah, ada-ada saja!" tak tertahankan aku menyela lagi untuk
diriku sendiri. "Sudah ada buktinya? Jangan-jangan hanya desasdesus! Hanya omongan murid yang iri!"
"Itulah!" suara Mas Gun ditekankan. "Perlu diusut dulu
pustaka-indo.blogspot.com
168 sampai di mana kebenaran ?yang tidak-tidak? itu. Kalau menurut
cerita, murid kesayangan itu sudah diberi bermacam-macam barang. Di antaranya sepeda motor Honda. Katanya kredit, si murid
membayar angsuran pada guru. Tapi kenyataannya kan kita tidak
tahu!"
"Kok sampai pada keroyokan?"
"Rupa-rupanya bulan terakhir ini sang guru kurang memperhatikan murid kesayangannya. Kelakuan ini menimbulkan kecemburuan. Terutama terhadap seorang murid sekolah Eko. Ada
pembikinan dekor untuk mementaskan sandiwara di sekolah
pagi. Guru itu memang hebat dalam soal dekorasi dan desain.
Dia mengarahkan anak-anak, menasihati dan menyediakan pondokannya sebagai tempat kerja." Lalu Mas Gun meneruskan dengan suara lebih rendah. "Saya pernah melihat guru itu. Orangnya
agak kemayu. Genit. Kata kawan-kawan Eko, yang disukai selalu
remaja yang gagah, penuh kejantanan."
Aku tidak pernah merasa aneh jika melihat laki-laki genit.
Juga aku tidak keberatan laki-laki atau perempuan memiliki citarasa seks yang mana pun. Asal saja anakku tidak terkena tusukan
pisau.
"Ini soal yang pelik lho, Mas Gun. Hati-hati kalau menyelidik.
Jangan menyinggung perasaan. Ya kalau betul. Kalau tidak, kan
kasihan yang terkena tuduhan homo itu!"
"Aku akan menelepon rekan di Seksi Tiga besok pagi. Mestinya dia juga tahu sendiri."
"?Tapi sebaliknya, kalau memang benar begitu, harus ada tindakan. Bayangkan, guru merusak tatasusila anak remaja!"
Pandangku menangkap sesuatu di pintu. Seorang perawat berdiri di sana seperti mencari. Ketika melihat kami, dia mendekat.
Aku beranjak ke arahnya, meninggalkan Mas Gun.
pustaka-indo.blogspot.com
169 "Mencari kami?" tanyaku.
"Ya, Bu. Dokter Liantoro yang mencari anda."
Kami bersama-sama kembali ke ruang tunggu, langsung ke lorong yang menuju ke kamar bedah. Sebuah brankar keluar. Ayah
Ganik berjalan di sampingnya. Anakku berbaring di brankar tersebut. Perawat yang menyertai kami mengambil alat infus dari
tangan dokter. Barulah aku bisa mendekat. Langsung aku mengelus dan mengusap kening anakku.
"?Tidak apa-apa. Tidak apa-apa," kata ayah Ganik dengan suara rendah dan meyakinkan. "Seminggu berbaring, Eko akan sembuh kembali."
Aku menegakkan kepala, memandang ke bapak sahabatku.
Melihat wajah yang demikian kukenal dan yang selalu tampak seperti mengulum senyum keramahan bagiku itu, tiba-tiba tangisku
mendesak menggetarkan bibirku. Ketegangan rasa yang kutahantahan sejak meninggalkan sekolah, kini terlepas menerobos segala jaringan penghambat. Ayah Ganik merangkulku, setengah
mendorongku berjalan mengikuti brankar.
"Eko belum sadar. Sesudah mengetahui di mana kamarnya,
Nak Mur pulang saja dulu. Nanti kemari lagi."
Aku tidak menyahut. Yang pasti, aku ingin berada di sisi anakku di saat dia sadar.
"Berapa lama lagi dia akan bangun, Dokter," tanya Mas Gun.
"Sekurang-kurangnya satu jam lagi. Kecuali jika panas badannya melebihi perkiraan, dia akan gelisah, dengan kesadaran setengah-setengah."
"Ya, benar, ada kemungkinan dia akan demam," Mas Gun menyetujui.
"Mungkin sekali. Pasti ada reaksi, tergantung pada daya tahan
tubuh Eko pada saat ini bagaimana. Kita lihat saja nanti. Sudah
pustaka-indo.blogspot.com
170 saya berikan instruksi mengenai obat-obat yang harus diberikan.
Nanti tolong Mas Gun belikan yang lain-lainnya."
Anakku ditempatkan di ruangan yang telah terisi dua pasien.
Dua tempat tidur di samping dan seberangnya masih kosong. Aku
duduk di kursi di sisi ranjang.
"?Dik Mur kuantar sekarang," kata Mas Gun.
"Saya tidak pulang. Mas Gun saja ke rumah. Tolong sampaikan
kepada Ibu bahwa Eko sudah dirawat Dokter Liantoro."
"Lebih baik Nak Mur pulang dulu. Sekarang tidak ada gunanya
anda di sini. Eko masih tidur pulas. Sedangkan kalau anda pulang,
bisa beristirahat sebentar, mandi. Nanti ke sini lagi. Eko akan
bangun waktu itu. Bawakan pakaian sekalian."
"Dokter Liantoro betul, Dik Mur. Anda sebaiknya istirahat di
rumah. Nanti biar dijemput sopir, diantar kemari. Barangkali malahan bisa bermalam di sini, bukankah demikian, Dokter?"
"Ya, bisa diusahakan. Nanti saya tinggalkan pesan biar dicarikan ranjang rendah yang bisa masuk ke kolong supaya tidak
memenuhi tempat."
"Itu masih ada tempat kosong," kataku menunjuk ke ranjang
seberang dan samping.
"Jangan. Kalau Nak Mur tidur di situ, berarti mengambil tempat pasien lain. Kalau ada kasus urgen, biar selalu ada tempat
tidur."
"Anak-anak lain bagaimana? Yang kena pukulan? Yang tadi
masih di ruang foto?" tanyaku.
"Sedang ditangani dokter saraf. Nanti akan saya tanyakan. Kalau perlu, bisa disatukan di sini," sahut Dokter Liantoro.
Seorang dari teman-teman Eko mendekat. "Ya, Bu. Anda pulang saja. Kami yang tinggal menjaga Eko."
pustaka-indo.blogspot.com
171 "Nah, itu usul yang bagus. Ayo, Dik Mur saya antar! Semakin
cepat istirahat, semakin cepat bisa kembali."
Aku tidak tega, masih merenung memandangi muka anakku. Dia tampak tenang seolah-olah sedang tidur di hari-hari
biasa. Matanya tidak tertutup rapat, dipinggiri bulu-bulu yang
pendek tetapi terbalik melekuk. Hidung Eko seperti bapaknya,
lebih menonjol dengan tulang yang tinggi mulai dari pangkal.
Sebaliknya bibirnya adalah yang paling tebal di antara anak-anakku. Seperti bibirku. Wido dan Seto mempunyai lipatan bibir yang
lebih tipis dan selalu berwarna cerah. Terasa lenganku dipegang
erat.
"Sudah! Nak Mur pulang dulu!" ayah Ganik menarikku ke


Jalan Bandungan Karya Nh. Dini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pintu.
"Titip ya, Mas," kataku kepada teman-teman Eko. Tiba di pintu, aku sekali lagi menoleh. Dua teman anakku sudah duduk,
yang lain berdiri.
"Mereka belum makan. Bagaimana kalau kelaparan," kataku
seperti kutujukan kepada diriku sendiri.
"Mereka tahu jeruk dan biskuit di meja itu buat mereka," jawab Mas Gun. "Biar itu dihabiskan. Sekali-sekali merasa lapar
sedikit tidak apa-apa."
Sebelum meninggalkan bagian tersebut, anak buah Mas Gun
menyodorkan kartu pendaftaran masuk opname. Sebelum aku menerimanya, Dokter Liantoro telah mengulurkan tangan dan mengambil kartu dari pegangan polisi itu.
"Biar nanti diuruskan perawat. Sudah, sana pulang!" dan sambil berkata begitu, dia akan membelok ke arah lain.
"Kita perhitungkan semuanya besok, Pak," kataku.
Dia hanya menoleh, tersenyum sambil melambaikan kartu di
tangannya.
pustaka-indo.blogspot.com
172 Setibaku di rumah, Ibu menunggu dengan beragam pertanyaan.
Baru itulah aku melihat ibuku menunjukkan ketidaksabarannya.
Sampai-sampai dia duduk di bangku di samping kamar mandi supaya
segera bisa mendengarkan ceritaku. Kemudian dia mengikutiku ke
kamar Eko. Kusiapkan tas berisi pakaian dan barang-barang yang
mungkin diperlukan anakku. Berdua kami memuji keadaan lemari
Eko. Kata ibuku, ketika aku seumur anak sulungku itu, pakaianku
di lemari tidak pernah sedemikian rapi. Aku selalu tergesa-gesa
menarik blus atau rok yang hendak kupakai, sehingga baju yang
tertinggal tidak teratur lagi. Mereka hanya kusumpalkan kembali
cepat-cepat. Aku tersenyum mendengar komentar ibuku.
Akhirnya Eko mondok di rumah sakit selama tujuh hari. Kesibukan yang ditambah dengan menengok anakku semakin menyita waktuku. Pengeluaran buat keperluan itu semua tidak mungkin bisa kulunasi seandainya amplop dari Ganik tidak kuterima
pada saat yang bersamaan. Musim hujan selalu berarti semua lebih
mahal bagi keluarga kami. Sebabnya ialah karena kami terpaksa
lebih sering naik becak. Untuk keperluan sekolah dan ulang-alik
ke rumah sakit, obat-obatan, dan akhirnya biaya pondokan Eko,
semuanya tertutup oleh kiriman sahabatku. Uang muka yang
dibayarkan Dokter Liantoro pun tidak kuganti. Ayah temanku
itu juga meringankan bebanku dengan pemberian jenis obat-obat
yang dipunyainya. Para dokter biasa menerima contoh-contoh
benda farmasi, termasuk obat-obatan yang kadang-kadang amat
mahal harganya dan tidak terdapat di semua apotek. Uang dari
Ganik sebenarnya dimaksudkan sebagai pembeli hadiah-hadiah
kecil asli Indonesia yang akan kubawa ke luar negeri. Jadi itu
termasuk persiapanku sebelum berangkat. Dalam surat yang kemudian kukirim, aku minta maaf kepada Ganik karena terpaksa
menggunakan pemberiannya guna menutupi semua biaya.
pustaka-indo.blogspot.com
173 Kejadian itu menimbulkan kegelisahan padaku. Kalau aku
jadi pergi mengikuti kuliah yang enam bulan, seumpama pada
waktu itu terjadi sesuatu pada anak-anakku, apakah yang akan
dilakukan Ibu? Dalam perbantahan sendirian itu aku mensyukuri
kehadiran Winar, Mas Gun, dan lebih-lebih Dokter Liantoro
serta istrinya. Tapi meskipun demikian, aku bimbang. Mereka
juga mempunyai keluarga yang membutuhkan perhatian penuh.
Aku tidak berhak meminta terlalu banyak dari mereka. Keraguraguanku berdasarkan pilihan yang seharusnya aku tetapkan secepatnya, Kewajiban manakah yang lebih berbobot: memenuhi
undangan untuk menambah pengetahuan yang di kemudian hari
akan dapat kumanfaatkan buat orang lain, diri sendiri, dan keluarga; sedangkan pilihan kedua ialah tidak pergi, mengawasi
anak-anakku.
Ibuku tidak pernah mengeluh. Sedari masa mudaku, jarang
sekali aku mendengar dia mendesah atau menyesali kelakuan kami dengan cara yang berlebih-lebihan. Sejak hidupku sendirian
menyangga kebutuhan anak-anakku, dia selalu mendampingiku
dengan segala kasih cintanya. Tidak sekali pun dia terangterangan menyesali nasibku, atau nasibnya sendiri. Tetapi ketika
cucunya menderita baru-baru ini, kusaksikan betapa dia ribut dan
gugup. Ibuku sudah tidak muda lagi. Walaupun tetap giat dan
mengerjakan semuanya dengan semangat yang sama seperti dulu,
namun kemampuan manusia terbatas. Ada keausan yang tidak
tampak oleh penglihatan mata. Oleh sebab itu, karena tidak tahu
mengambil keputusan mana yang tepat kulakukan, aku membicarakan masalah pilihan tersebut dengan ayah Ganik.
Dokter Liantoro tidak mau menerima alasan yang mendasari
keraguanku. Kecelakaan bisa terjadi sewaktu-waktu dan di mana
saja, katanya. Orang mati setiap hari, tambahnya. Apabila Tuhan
pustaka-indo.blogspot.com
174 menghendaki, orang sehat segar bugar pun tiba-tiba ditemukan
tidak bernapas lagi di tempat tidurnya. Di rumah sakit, setiap saat
orang dewasa atau anak-anak dibawa ke ruang perawatan gawat
darurat karena kecelakaan remeh maupun serius. Yang paling sering ialah tabrakan, jatuh, menelan jarum, kancing, sampai uang
logam yang paling besar. Sambil tertawa sinis, dokter itu bahkan
mengatakan bahwa orang sedang pesta makan-makan pun bisa
pingsan karena lauk yang dikunyah kurang lembut, tersesat dan
menyumbat jalan pernapasan. Jadi, kesimpulannya, aku harus
berangkat.
Winar dan Mas Gun memberi pandangan yang hampir sama.
Ini kesempatan yang harus disambar, kata Mas Gun. Tidak semua
beruntung terpilih. Dik Mur juga harus mengingat bahwa anakanak bangga kalau ibunya pulang sudah berpengalaman sekolah
di luar negeri. Siswi malahan mencaci membodoh-bodohkan aku.
Bagaimana kamu akan maju kalau sedikit-sedikit bimbang? kata temanku itu. Coba aku yang disuruh berangkat, sudah duludulu aku pergi! Kaupasrahkan semuanya kepada Tuhan. Dia tahu segalanya. Kalau Dia tahu kau ke luar negeri bukan untuk
main-main, Dia tidak akan mencelakakan keluargamu. Sudah!
Berangkat saja! Siswi memang keras sedari dulu. Tapi dia tahu mana yang baik dan mana yang tidak pantas.
*** Pada waktu-waktu itulah aku sering bertemu dengan Sri. Kunjungannya yang biasa ialah sebulan sekali sehubungan dengan
barang-barang dagangan yang ditaruh di toko bibinya di Kauman.
Dia selalu singgah di tempat ibuku juga untuk melihat berapa dan
apa yang sudah dijualkan oleh orangtuaku. Ketika aku bertemu
pustaka-indo.blogspot.com
175 yang pertama kalinya, Eko masih di rumah sakit. Karena Sri
sering membantuku dengan meminjamkan mobilnya, kukira dia
mengundurkan kepulangannya ke Sala. Ibu dan aku harus bergantian menengok Eko. Pakaian yang kotor dibawa pulang, dari
rumah dibawa yang bersih. Dengan adanya kendaraan, ulang-alik
terasa kurang merepotkan. Musim hujan menambah lagi kesibukan
kami, karena harus mencari becak lebih dulu. Kemudian, setelah
Eko pulang, bahkan sesudah istirahat di rumah dan masuk kembali
sekolah, Sri masih berada di kota kami. Sering dia muncul di
rumah atau mengirim sopir mengambilku di sekolah. Kalau dia
ke rumah dan melihat bahwa paginya aku berangkat naik becak
karena hujan, dia menyuruh sopir menjemputku. Siang begitu,
biasanya dia membawa lauk, lalu turut makan bersama kami.
Apabila aku segera pergi lagi, dia mengantarkan. Tapi kalau aku
santai bisa beristirahat sampai sore, dia turut tiduran di kamarku.
Demikian sampai dua bulan lewat. Dapat dikatakan hampir setiap
hari kami berjumpa.
Aku mulai curiga ada sesuatu yang terjadi dalam kehidupan
pribadinya. Dengan Sri, hubunganku tidak pernah bisa langsung
ke tujuan. Lain jika aku berhadapan dengan Siswi atau Ganik.
Bahkan dengan Mur pun, dengan siapa aku sangat jarang bertemu
setelah perkawinanku, aku bisa berbicara terang-terangan yang
menyinggung kehidupan pribadi. Sri orangnya terbuka, ramah,
tapi kurang mudah ditembus. Karena mengetahui sifatnya, aku
tidak mendahului berbicara tentang keluarga maupun dirinya. Tetapi kali itu, aku tidak hendak mengekang rasa ingin tahuku.
Aku bertanya mengenai kelanjutan sekolah suaminya di bidang
notaris. Di lain kesempatan aku bertanya bagaimana anak-anaknya. Setiap kali, dia menjawab pendek, lalu menunduk dan mengalihkan pokok pembicaraan ke masalah lain.
pustaka-indo.blogspot.com
176 Pada suatu siang, dia sedang mengenakan dasterku untuk istirahat. Kami hanya berdua di kamar.
"Kamu kok lama tidak pulang ke Sala. Bagaimana dengan
anak-anakmu? Suamimu?" kataku sepintas lalu.
Sri terduduk di dipan yang berseberangan dengan ranjangku. Tangannya menutup mukanya. Tidak kedengaran suaranya,
tetapi bahunya bergerak-gerak, terlonjak oleh getaran. Aku terkejut, segera duduk di sampingnya. Kupaksa supaya tangannya diturunkan. Ketika tersingkap, kulihat wajahnya kemerahan, basah
oleh air mata. Seketika itu juga terdengar tangisnya. Dadaku bagaikan teriris, ngilu pedih.
"Husssssh," desisku sambil mengambil tubuhnya yang gemetar ke dalam pelukanku. Kudekap dia, kadang-kadang kubelai
rambutnya. Kubiarkan dia terisak dan tersedu-sedu. Aku menunggu sampai akhirnya dia sendiri yang tertegak. Kuambil wajahnya
dengan dua tanganku, kuciumi pipinya.
"Sebentar. Kuambilkan handuk basah," kataku sebelum keluar.
Lalu sambil memberikan handuk kecil, aku duduk di sisinya.
"Ada apa? Mertua atau Mas Tom?" tanyaku langsung.
Sri tidak segera menyahut. Handuk basah dia tutupkan pada
wajahnya. Lalu, "Dua-duanya. Mas Tom kebangetan," kalimatnya
terhenti, napasnya tersengal. "Aku sudah melihat sendiri dia punya gundik di Yogya."
"Siapa? Kamu kenal?"
"Tidak. Barangkali teman sama-sama kuliah. Sudah dibelikan
rumah segala!"
"Kaulihat sendiri surat-surat rumahnya?"
"?Tidak. Aku hanya diberitahu."
"Siapa yang memberitahu?"
"Saudara."
pustaka-indo.blogspot.com
177 "Belum tentu itu benar," kataku, bukan untuk membela suaminya, melainkan untuk membujuk temanku.
"?Tapi aku percaya. Mas Tom memang tidak selalu memberi
uang belanja setiap bulan. Gampang sekali kalau dia memang
mau membeli sesuatu yang besar dan hendak dirahasiakan dariku.
Kupikir, karena dia kuliah lagi, pengeluarannya tentu banyak. Jadi aku tidak minta kalau dia tidak memberiku."
Dia diam. Aku sendiri tidak tahu apa yang patut kukatakan.
"Mereka tinggal bersama di rumah itu," kata Sri lagi.
"Barangkali itu hanya rumah kontrakan. Kau jangan terburu
nafsu percaya. Sudah lama kamu tahu?"
"Sudah."
"Setahun?"
"Lebih. Mungkin dua tahun ini. Kalau benar sudah dibelikan
rumah, siapa tahu, malahan sudah dikawin pula! Menjadi istrinya
yang sah ...."
Kurengkuh lagi badannya sebentar. Lalu kubelai rambutrambut kecil yang melindungi dahinya. Sri sahabatku. Selama
ini dia pendam dan dia sembunyikan kesedihannya dari kami.
Barangkali karena dia tidak ingin merepotkan kami yang dianggap
sudah cukup memiliki beban pikiran. Uang tidak pernah menjadi
masalah bagi temanku ini. Selain keluarganya punya harta, Sri
juga mempunyai usaha sendiri. Menurut pengertian Ibu, toko
yang di Kauman juga sudah menjadi miliknya. Penghasilan pribadinya bisa menghidupi empat atau lima keluarga besar setiap
bulan. Tapi persoalannya tidak di situ.
"Lalu mengapa kamu malahan pergi? Anak-anak di mana?"
"Di rumah Ibu. Yang bungsu, biasa, dibawa adik ke Bandung."
Sri punya anak lima. Sulungnya seumur Widowati. Yang paling
pustaka-indo.blogspot.com
178 kecil berumur kira-kira tiga tahun dan sering dibawa adiknya
yang hingga waktu itu belum mempunyai anak.
"Apa Mas Tom tidak semakin senang kalau kau tinggal begini?
Kukira urusannya tidak akan selesai hanya dengan cara begini."
"Memang tidak. Tapi aku ingin berpikir tenang. Jauh dari rumah. Sekarang aku agak tenang. Kapan-kapan aku akan pulang,
keputusanku sudah tetap. Aku akan minta cerai."
Kedengarannya mudah, tanpa kerepotan urusan yang berlikuliku. Aku menyuarakan kata hatiku.
"Bagaimana mengurusnya? Kamu sendiri?"
"Sekarang ada yang namanya Lembaga Hukum. Di sana aku
punya kenalan baik."
Aku tidak bisa memberi nasihat apa pun. Perceraian selalu peka. Itu hanya dapat diselesaikan antara mereka yang berkepentingan. Secara baik-baik atau dengan tuduh menuduh.
Hanya yang menjalani kehidupan itulah yang tahu bagaimana
rasanya. Bisa atau pantas dipertahankan atau tidak cara hidup
yang demikian itu. Aku melihat Mas Tom sama seperti orangorang luar melihat suamiku: ramah dan baik. Kenyataannya, aku
sebagai pendamping Mas Wid tahu betul bagaimana hidupku bersama dia. Mas Tom dan Mas Wid sama-sama pengkhianat. Yang
pertama punya perempuan lain, suamiku mempunyai kegiatan
yang disembunyikan, yang merampas dia dari aku dan anakanakku. Bahkan dari kewajibannya sebagai warga negara yang
taat.
"Kau tidak mencintainya lagi?" Soal inilah yang juga ingin
kuketahui.
Sri tidak langsung menyahut. Kami masing-masing berbaring,
berjauhan. Handuk kecil terlipat, dikompreskan di matanya.
"Aku tidak yakin apakah cinta itu semuanya. Maksudku,
pustaka-indo.blogspot.com
179 sebegitu aku dulu mengetahui, melihat sendiri bahwa dia selalu
bersama dengan perempuan lain, aku tidak bisa tidur dengan dia
lagi. Kalau dia meraba pun, aku ingin menolak. Rasanya jijik."
Dan uneg-unegku pun aku keluarkan. "Aku heran dan kagum.
Kamu bisa menyembunyikan hal itu dari kami sampai sebegitu
lama."
"Aku tidak mau merepotkan kalian. Terutama kamu dan Ibu."
"Bukan merepotkan. Kami ingin turut meringankan pikiranmu.
Siapa tahu kami punya wawasan yang bisa berguna; meskipun da

Jalan Bandungan Karya Nh. Dini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lam persoalan rumah tangga, sebenarnya hanya suami-istri yang
pokok. Kalau masih bisa berkompromi, masih bisa perkawinan
diselamatkan. Kamu agak curang. Seperti kataku, lebih-lebih terhadapku. Selama ini kamu banyak membantu Ibu, aku, dan anakanakku. Tapi bebanmu kautanggung sendirian."
Temanku diam.
Aku menambahkan. "Dari dulu kamu selalu begitu. Apa arti
bersahabat?!"
Sri tetap tidak menyahut.
"Bagaimana kau tahu untuk pertama kalinya?"
"Mas Tom semakin sering tidak pulang ke Sala. Semula hanya
semalam atau dua malam dalam sepekan. Biasa, alasannya belajar,
mencari data-data, berusaha menghubungi rekan-rekan yang sudah berhasil. Lalu ditambah uang belanja yang jarang kuterima.
Padahal aku tahu bahwa usaha percetakannya di kampus tetap jalan lancar. Lama-lama, aku curiga. Mulai ada desas-desus. Katanya
dia sering kelihatan di tempat-tempat umum bersama wanita lain.
Aku menguntitnya."
Aku kaget lagi. Kumiringkan badanku agar bisa melihatnya
lebih jelas.
"Kau kuntit dia?"
pustaka-indo.blogspot.com
180 "?Ya, seperti dalam cerita-cerita itu!" sahutnya tanpa mengubah posisi.
"Ya Allah! Kok berani kamu!"
"Habis bagaimana?! Aku tidak merasa bersalah. Yang kuawasi
adalah hakku. Dia suamiku. Kalau sudah terdesak begitu, siapa
yang bisa menolong kita kalau bukan kita sendiri?!"
Benar juga kata Sri. Aku merenung sejenak.
"Tentu saja mertuamu tahu masalah ini," nada bicaraku mengatakan seadanya, karena aku mengetahui bagaimana orangtua
Mas Tom.
Sri membuka handuk, menghadapkan tubuhnya ke arahku.
"Orang-orang tua itu justru mengetahui lebih dulu. Pembantuku yang mengatakan hal ini kepadaku. Jadi pengkhianatan Mas
Tom itu sudah menjadi pembicaraan antar pembantu. Bayangkan!
Ketika aku mengadu kepada mertuaku perempuan, dia malahan
bilang itu sudah nasib wanita. Aku disuruh manut, nerimo saja.
Waktu muda, bapaknya Mas Tom juga begitu, katanya. Apalagi
laki-laki itu sering keliling Jawa. Barangkali sampai sekarang anak
cucunya tersebar di mana-mana."
Kali itu aku yang terdiam. Masih ada uneg-uneg satu lagi dalam
hatiku. Dengan ragu-ragu aku mengemukakannya.
"Hubungan kalian di tempat tidur?"
Sri tidak menjawab, kembali menelentangkan badannya.
Aku khawatir dia tersinggung. Kutambahkan, "Maafkan kelancanganku. Tapi aku ingin tahu. Meskipun ada orang lain, apakah
Mas Tom tetap menggauli kamu. Dan lagi, apakah masih sama
seperti dulu. Maksudku, dari pihak dia. Apa yang kamu rasakan?"
"Rutin saja," akhirnya suara temanku terdengar lirih. "Setidaktidaknya itu sikapku, penerimaanku. Tapi sikapnya, ketika kutunjukkan bahwa aku tahu dia menyimpan perempuan lain pun,
pustaka-indo.blogspot.com
181 nafsunya masih seperti dulu. Hanya dari pihakku sudah lain. Aku
jijik."
"Cintamu kepadanya bagaimana?"
"Entahlah! Dulu, kalau dia tidak datang, memang aku masih
mengharapkan kehadirannya karena anak-anak. Tapi aku enggan
dia sentuh. Melihat dia di rumah saja sudah cukup bagiku. Ya
itu, demi anak-anak. Rasanya aku tidak memerlukan dia lagi.
Tidak mempunyai rasa kangen lagi. Lama kelamaan, karena aku
juga menyibukkan diri belajar atau kursus macam-macam yang
berhubungan dengan kimia, pencampuran warna untuk tenunan,
aku masa bodoh dia hadir atau tidak. Ini membahayakan bagi
suami-istri. Sebab itu lebih baik cerai. Aku pengusaha. Kalau
dibutuhkan kertas-kertas untuk ini atau itu, umpamanya pinjaman
di bank, harus ada tandatangan persetujuan suami. Aku bosan
dengan aturan itu. Sedangkan kalau sudah sendirian, malahan bebas. Keputusan apa pun, aku tandatangani, jaminan rumah atau
tanahku sendiri. Lebih leluasa. Tidak sakit hati menunggu saat
dia datang atau ?berkenan? memberi tandatangannya."
Sri berhenti berbicara untuk berpaling memandang ke arahku
sambil meneruskan, "Hebat, ya! Dikatakan kita wanita sudah diberi hak memilih anggota perwakilan rakyat, sudah menjangkau
gelar-gelar kesarjanaan, tapi kalau hendak pergi ke luar negeri
masih harus diperlakukan seperti anak-anak, karena harus mendapat surat persetujuan sang suami atau ayahnya. Untuk pinjaman di bank begitu pula. Sebaliknya, kalau yang meminjam
sang suami, si istri tidak tahu pun tidak menjadi soal! Meskipun
umpamanya rumah atau tanah yang dijadikan jaminan hutang itu
milik bersama. Para bapak kalau mau ke luar negeri juga gampang.
Tinggal punya tiket. Untuk mengurus paspor, tidak ditanyakan surat persetujuan dari istri!"
pustaka-indo.blogspot.com
182 Aku menunjukkan sikap tidak mempercayainya sehingga
dia merasa perlu bangkit, dan dengan bersemangat meneruskan,
"Betul! Semua yang kukatakan itu betul!"
"Apa alasannya mempertahankan peraturan yang menghina
itu?" aku juga tidak dapat mengekang rasa penasaranku.
"Ah, alasannya ada saja kalau memang mau menunjukkan kekuasaan. Ini memang negara lelaki. Dunia ini memang kepunyaan
lelaki. Nyatanya, semua yang serba biasa, umum, untuk lelaki.
Lihat, bordil misalnya. Itu buat lelaki. Dan kalau ada lelaki ke
sana, kata orang: Oh, biasa! Untuk peraturan yang membatasi gerak perempuan, katanya bersifat melindungi. Pendek kata, segala
alasan dianggap baik kalau memang lelaki tidak percaya bahwa
kita kaum perempuan juga bisa berpikir mana yang baik mana
yang tidak, mana yang selamat mana yang membahayakan. Kita
dikira seperti anak-anak saja, masih terus harus dikekep, dikerudungi. Ini tidak boleh, itu dilarang."
Dari suaranya yang penuh emosi, aku mendapat kesimpulan
bahwa temanku sudah sering terbentur pada peraturan yang sangat
membatasi geraknya. Baik di bidang usaha maupun kehidupan pribadinya.
"Lalu kalau kamu cerai, anak-anak bagaimana? Turut siapa?"
"Jelas kuminta supaya turut aku!" katanya tegas. "Kaubayangkan anak-anak turut bapaknya? Turut ibu tiri yang tidak mereka
kenal?"
"Tidak. Maksudku barangkali dibagi. Yang mana ikut kamu,
yang lain turut Mas Tom."
"Tidak. Aku tidak mau memperlakukan anak-anakku seperti
barang, dibagi-bagikan. Yang jelas, mereka sudah kelihatan akan
lebih suka turut aku. Setelah semua urusan selesai, aku akan menetap di sini."
pustaka-indo.blogspot.com
183 Aku kaget untuk kesekian kalinya.
"Di Semarang?"
"Ya, di Semarang."
Agak lama kami terdiam. Kukira aku akan mengantuk. Tapi
ternyata pikiranku sama sekali tidak mau diistirahatkan. Aku menoleh. Mata temanku tidak berkedip, menatap langit-langit.
"Kau tidak akan menyesal nanti hidup sendirian di kota ini?"
"Mengapa?"
Tiba-tiba aku juga tidak tahu pasti mengapa aku menanyakan
hal itu. Aku hanya membayangkan betapa Mas Tom dan dia dulu
merupakan pasangan yang amat ideal. Kelihatan sangat saling
mencinta. Di waktu bersama-sama, aku sering bahkan merasa iri.
Mas Tom penuh perhatian, Sri yang manja tetapi penuh pelayanan terhadap pacarnya. Aku dan Mas Wid tidak demikian.
Kalau aku agak ngalem, melendotkan diri atau menggandeng lengannya, dingin saja dia.
"Dulu aku iri melihat kalian berdua. Seperti Ratih dan Kamajaya, dewi dan dewa cinta."
Sri tertawa tanpa melihat kepadaku.
"Kalau memikirkan, mengenang masa lampau, memang rasarasanya tidak mungkin kami sampai pada titik penutupan seperti
ini. Kami berbulan madu lama sekali." Temanku berpaling lagi
menghadapkan dirinya ke arahku sambil meneruskan, "Benar,
Mur. Aku merasa berbulan madu meskipun anak-anak berlahiran.
Setiap kali dia menyentuhku, iiih, rasanya aku seperti kena setrum
listrik karena besarnya cintaku kepadanya. Aku tidak ingat benar
sampai kapan dia masih kadang-kadang merangkul atau meraihku,
dipeluk di depan anak-anak atau orang lain. Kalau bergurau juga
tiba-tiba memangku aku! Lalu anak-anak dan aku saling berebutan minta dipangku!"
pustaka-indo.blogspot.com
184 Dia tertawa lagi sendirian. Tetapi cepat suaranya berubah, keras dan tegas. "Tapi semua itu sudah lewat. Kuanggap aku akan
mempunyai jenis kehidupan yang lain. Begitu saja."
"Tanpa rasa kangen? Penyesalan?" tanyaku.
"Tanpa rasa kangen maupun penyesalan. Dia sudah baik kepadaku selama ini. Anakku bahkan ada yang kembar karena dari
keluarga dialah keturunannya. Aku cukup bahagia dengan apa
yang telah kudapat selama bersama dia."
Aku mengeluh tanpa mengetahui mengapa.
"Kalau sudah tidak kangen, jelas kau tidak mencintainya
lagi. Kadang-kadang, tanpa cinta, kalau masih ada hubungan batin, ada kebutuhan bersama untuk sesuatu yang lain, perkawinan dapat diselamatkan. Berteman saja juga begitu. Dengan yang
lain-lain, sedari dulu, aku tidak pernah mempunyai sambungan
batin seperti yang kurasakan bersama kalian. Misalnya lama aku
tidak ketemu kau, atau Ganik, rasanya ya kangen. Sekarang, aku
kangen sekali dengan Mur."
Tiba-tiba Sri bangun, terduduk dan memandangiku. Katanya,
"Ya, benar. Ayo kita tengok dia!"
"Ke Kalimantan?" aku bertanya dengan terkejut.
"Ya, ke Kalimantan! Kita berlibur mencari dia. Kita kejutkan
dia dengan kedatangan kita!"
"Ah, kamu ini ada-ada saja!" kataku memprotes. Tapi tidak dapat menahan senyumku. "Bulan depan kan aku berangkat!"
"Oya, kamu benar." Dia kembali berbaring, pandangnya terpaku lagi ke awang-awang.
"Sebenarnya, sejak kejadian yang menimpa Eko, aku ragu untuk berangkat," aku mengeluarkan kebimbanganku kepadanya.
Dan kutambahkan, "Seandainya itu terulang, sedangkan aku tidak di sini ...."
pustaka-indo.blogspot.com
185 "Kan kami ada!" potong temanku. "Winar, Siswi, ayah-ibu
Ganik. Aku juga!"
"Kamu benar-benar akan pindah?"
"Ya. Masak kau tidak percaya? Aku akan buka toko di daerah
atas sana. Ada tempat perbelanjaan yang sedang dibangun tidak
jauh dari sekolahmu dulu."
"Ada apartemennya untuk tinggal sekalian? Atau kamu akan
menempati rumah bibimu yang di Pandanaran?"
"Memang ada at di atasnya. Tapi itu buat gudang. Aku sudah
beli rumah di daerah baru, di jalan ke Kalibanteng."
Ini adalah berita baru. Belum pemah dia menyinggung soal
pembelian itu.
"Bulan yang lalu sudah selesai dikontrak orang. Sekarang sedang diperbaiki. Air minum akan segera dipasang."
Bukan main! Rupa-rupanya temanku ini telah lama mempersiapkan pengunduran dirinya dari Sala. Sri memang cekatan dan
gesit. Dia selalu tahu mempergunakan kesempatan. Uangnya selalu ditempatkan dengan tepat. Entah kapan dia membeli rumah
itu. Nyatanya kini sangat berguna, dan aku turut merasa lega.
Kalau Sri tinggal sekota, keluargaku akan lebih mendapat perhatian.
Seolah-olah membaca isi hatiku, Sri memandangku tajam.
"Kau harus berangkat. Betul-betul mengenai rumah, jangan
kaurisaukan. Kalau aku sibuk, biar sopir yang menengok setiap
hari. Supaya setiap hari aku tahu apa yang terjadi. Anak-anak
kita ada yang seumur. Nanti aku bikinkan acara kegiatan bersama.
Kalau usahaku yang lain jadi, aku akan segera punya kendaraan
lagi. Apakah kau setuju seumpama Eko punya roda dua?"
"Setuju sekali. Aku pernah mendapat tawaran kredit dari sekolah. Tapi masalahnya, aku tidak bisa membayar angsurannya.
pustaka-indo.blogspot.com
186 Terlalu tinggi. Dulu Mas Gun juga menawarkan lagi. Tapi aku
tolak."
"Mengapa kau tidak bicara kepadaku?" Sekali lagi dia memiringkan badannya, tapi melanjutkan, "?Tidak apa-apa. Aku sudah
punya hubungan di sini. Nanti aku carikan. Tanpa kredit, aku bisa mendapat potongan harga lumayan."
"Kalau ada kendaraan, mudah-mudahan Eko tahu bertanggung
jawab. Tapi jangan-jangan malahan pergi terus," kataku agak khawatir.
"Kamu ini!" kata sahabatku kesal. "Jangan terlalu mengekang
anak! Besok kalau dia dewasa juga hilang dari rumah!"
"Bukannya mengekang," suaraku kubikin sebiasa mungkin.
"Aku hanya was-was. Jangan-jangan dia suka ngebut."
Mendengar itu, Sri terdiam sebentar. Lalu, "Lagi pula, belum
tentu aku pinjami dia roda dua. Kalau jadi, aku akan menjalankan
colt buat sewaan. Pendek kata, proyekku ada beberapa. Kamu pergi saja tenang-tenang. Kalau semua rencanaku beres, biar satu
kendaraan dipakai Ibu dan anak-anak. Nah! Kamu lebih tenang
sekarang?"
Ganti aku yang terdiam. Agak lama.
Sri memalingkan muka melihat kepadaku. Katanya, "Selain
rumah, ada alasan lain?"
Aku heran mengapa dia menanyakan hal itu.
"Tidak," sahutku. "Mengapa?"
"Sepertinya kau berat sekali pergi. Soal anak-anak dan Ibu,
aku berjanji akan turut mengawasi dari dekat. Jika perlu, biar
anak-anak turut aku saja. Kuboyong ke Puspowarno. Rumahku
cukup besar. Halamannya luas. Aku juga ingin bikin lapangan
supaya anak-anak bisa main voli atau basket. Aku lebih tenang
kalau anak orang lain yang ngumpul ke rumahku daripada anakpustaka-indo.blogspot.com
187 anakku yang keluar rumah. Dengan adanya tempat dan alat olahraga, biasanya mereka lebih suka rela datang. Lha kalau anak
orang lain datang, anak-anakmu lebih baik tinggal saja bersama


Jalan Bandungan Karya Nh. Dini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kami di sana!"
Aku tertawa.
"Ah, tidak usah. Kau ini ada-ada saja. Bagaimana ibuku akan
mau melepas mereka?! Kadang-kadang saja, misalnya Wido atau
Eko kalau mau bermalam di waktu liburan. Tapi jangan dipaksa!"
"Mana aku memaksa anak?! Kamu yang suka memaksamaksa!"
Rasa egoisku berharap agar Sri tidak berganti pikiran. Aku
akan turut rugi jika tiba-tiba temanku itu berbalik, menjadi baik
kembali dengan suaminya. Seolah-olah hendak memenangkan
hati dan menuruti kepentingan diri sendiri, aku bertanya, "Kau
sudah yakin benar akan cerai?"
"Pasti dan yakin. Dari segala segi sudah kuperhitungkan," sahut
temanku. "Aku menunggu sampai sekarang ini, karena masih berat
memikirkan anak-anak. Kemudian, pertimbanganku berkembang.
Lebih baik aku tidak memperpanjang kedudukan yang serba semu
ini. Aku tidak mampu bersikap seperti istri-istri lain, seperti kamu. Hidup berpisah dari suami, kalau kondangan, resepsi, pesta
sendirian. Atau bersama keluarga, bersama teman. Padahal si
suami ke mana-mana tampil bersama wanita lain. Selalu sama.
Berarti dia sudah tidak memikirkan etika ?menyelamatkan muka?.
Lalu aku mendapat nama apa? Sebutanku di bibir lingkungan,
bisa istri yang ditinggalkan? Atau istri yang setia? Atau malahan
lagi istri yang tidak tahu harga diri! Ah, enggak sajalah! Kalau
memang harus hidup sendirian, ya tidak setengah-setengah. Lebih baik sendirian betul-betul. Jadi cerai saja."
Aku diam, merenung. Apa yang dikatakan Sri semuanya bepustaka-indo.blogspot.com
188 nar. Aku tidak bisa dan tidak pernah mempunyai keberanian untuk berbuat setegas dia. Tapi aku menyetujuinya.
"Kau punya pacar?"
Sri tertawa mendengar pertanyaanku. Aku menoleh, kami berpandangan. "Mengapa kautanyakan itu?"
"Karena kau sedemikian yakin akan bahagia hidup sendirian.
Aku jadi curiga!"
"Bisa saja, kan? Tidak perlu punya pacar untuk hidup bahagia
seperti aku. Seperti kau juga. Apakah kau punya pacar? Aku
minta cerai karena ingin menguasai dan mengatur sepenuhnya
kehidupanku. Lebih-lebih secara profesional, perempuan tidak
diakui berhak menandatangani kertas-kertas penting jika punya
suami. Kamu umpamanya. Bagaimana kau bisa mendapatkan paspor?"
Ya, benar. Memang harus ada surat dari suami yang menyatakan tidak berkeberatan aku berangkat ke luar negeri. Tetapi
karena dia orang tahanan, Kepala atau Rektor Institut cukup bertindak sebagai penanggungjawabku. Kata Winar, kalau itu masih
tidak diterima, aku bisa menunjukkan surat tanggungan dari
saudaranya yang pejabat dan yang hingga waktu itu banyak membantuku.
"Kalau kukatakan tidak punya pacar, barangkali bisa kutambahkan perkataan ?sekarang?. Kita masih cukup muda untuk membentuk hidup rumah tangga yang baru. Sementara ini, aku ingin
bersih dulu. Melepaskan diri dari ikatan yang sudah tidak jujur,
yang munaik. Pura-puranya masih kawin, tapi berpisahan. Hidup
sendirian, bahkan tanpa anak, dua bulan ini ternyata juga mengasyikkan." Dia tertawa lirih, lalu katanya, "Kamu?"
"?Mengapa aku?" tanyaku tidak mengerti maksudnya.
"Punya pacar?"
pustaka-indo.blogspot.com
189 Aku kini yang tertawa.
"Sama seperti kau. Malas dibikin repot. Sejak hidup sendirian,
rasanya tidak hentinya aku menemukan kepuasan. Pendeknya
aku senang hidup begini."
"Siapa tahu di luar negeri kamu menemukan pacar. Aku kagum. Kamu kok bisa hidup begitu lama bersama Mas Wid. Setelah
dia ditahan, sampai sekarang kau tidak minta cerai. Tidak punya
pacar. Kalau ketemu pacar di luar negeri cerita, ya!"
Sebagai jawaban, aku tertawa lagi.
"Orang bule bau," kataku ringan. Dan kuteruskan, "Lagi pula,
mana ada orang sana yang mau pacaran dengan aku yang begini
pendek!"
"Maksudku, bukan orang sana. Bangsa kita sendiri. Kan banyak
mahasiswa kita belajar di Negeri Belanda."
"?Baik. Nanti aku carikan seorang buat kamu!"
Kami tertawa bersama-sama.
*** Akibat keroyokan antar sekolah tidak selesai hanya sampai di situ.
Peristiwa tersebut untuk selanjutnya selalu ditanyakan kerabat
dan lingkunganku: Bagaimana kabar anak anda? Saya dengar dia
terlibat keroyokan. Kabarnya terkena tusukan. Ah, anak-anak zaman sekarang, sukar dikendalikan. Apakah dia sudah keluar dari
tahanan?
Rupa-rupanya berita yang tersebar bukan penuturan kejadian
yang sesungguhnya. Keseluruhannya sangat memberatkan anakku
dan sekolahnya. Konon yang memimpin keroyokan adalah anakanak orang komunis yang ditahan di Pulau Buru. Katanya lagi,
asal mula perkelahian adalah iri hati. Anak-anak sekolah sore
pustaka-indo.blogspot.com
190 adalah anak-anak gedongan, punya kendaraan dan perlengkapan
olahraga mentereng.
Siang di saat meledaknya peristiwa itu, masalahnya adalah sepatu kickers, sepatu merek terkenal yang sedang gencar diiklankan di televisi dan poster-poster raksasa. Ketika kutanyakan kepada Eko apakah hal itu benar, dia malahan ganti
bertanya apa yang dinamakan sepatu kickers. Kujelaskan seperlunya. Juga kukatakan keadaan hatiku yang kacau bercampur rasa harga diriku yang tersinggung. Dengan gayanya yang biasa,
anakku mengatakan agar aku tidak memikirkan desas-desus. Yang
penting, Pak Gun juga berpendapat bahwa yang salah adalah
sekolah lain. Bukan Eko dan teman-temannya.
Hingga saat itu aku belum menerima tambahan informasi tentang guru istimewa yang diceritakan dulu. Kata Eko, memang
guru itu agak aneh. Tapi tidak usah dibesar-besarkan. Asal tidak
dilayani, tetapi dihadapi dengan sopan, tentu tidak akan ada salah
paham. Tentu saja kalau digoda dengan pemberian yang berharga
seperti sepeda motor, siapa yang akan tahan. Eko mengatakan
bahwa ada murid sekolahnya yang pernah menerima radio kaset
dari guru itu.
Aku ingin tidak mempedulikan peristiwa itu lagi seperti
yang dinasihatkan Mas Gun maupun teman-teman lain. Namun
jika teringat keberangkatanku, dengan kedudukanku sebagai istri, janda tanpa perceraian tanpa kematian yang selalu disorot
pandang masyarakat? Lebih-lebih lingkunganku mengajar. Kabar
yang bukan-bukan yang disangkutkan dengan kejadian antar sekolah jelas disebarkan dengan maksud tertentu. Oleh siapa?
Mas Gun rnencoba menenangkan hatiku dengan teori, bahwa
kemungkinan ada pihak lain yang memanfaatkan kesempatan tersebut untuk mempertajam hubungan kaum muda. Anak-anak
pustaka-indo.blogspot.com
191 muda lebih gampang dipengaruhi, dibakar. Dalam hal-hal negatif,
mereka lebih rapuh. Mas Gun benar. Semua keadaan yang bisa dijadikan jembatan atau alat perantara pembentukan ide di benak
para remaja, dipergunakan tanpa pilih waktu maupun tempat.
Teman-teman dekatku agak dapat menghembuskan keyakinan
yang kembali menguatkan jiwaku.
Tetapi walaupun demikian, julukan yang tetap merongrong jika aku mendengarnya sebagai istri tahanan politik yang
diberangkatkan ke Pulau Buru, semakin kusadari amat merugikan. Aku bahkan mendengar ucapan "Pantas bandel, suka berkelahi! Anak komunis!" di kantor institut almamaterku. Itu sangat
sukar kucerna. Polisi dari seksi yang bertanggung jawab sudah
mengeluarkan pengumuman, bahwa perkelahian itu hanya didasari gejolak emosi para remaja. Yang memulainya ialah sekolah
lain.
Kelegaanku bertambah berkat pengumuman tersebut. Namun sakit hatiku tetap membatu. Dendam kepada orang-orang
yang semena-mena menuduh, dendamku terhadap mereka yang
menerka-nerka dan dengan serta-merta menjatuhkan keputusan
bahwa ?karena Eko anak orang komunis, maka dialah biang keladi
keonaran? akhirnya kuteruskan tertuju kepada suamiku. Orangorang luar itu betul. Yang salah adalah bapaknya Eko sendiri.
Sampai pada pemikiran itu, tiba-tiba hatiku kembali dilapisi sesuatu yang keras. Ditambah dengan kulit baja yang baru. Tempaan dendam itu mengembalikan aku pada keputusan tegas. Aku
harus berangkat. Semakin gamblang bagiku bahwa aku harus menunjukkan kepada orang-orang itu bahwa aku sendirian pun bisa
tampil. Bahwa kepandaianku diakui sampai aku diundang menambah pengetahuan ke luar negeri.
Sri sudah pindah ke kota kami ketika aku harus ke Jakarta
pustaka-indo.blogspot.com
192 untuk terus berangkat. Di hari-hari terakhir, dia membesarkan
hatiku dengan menyampaikan berita, bahwa dia sudah mendapat
nomor telepon untuk rumahnya di Jalan Puspowarno. Pemasangan
akan segera dilaksanakan. Kelak jika aku ingin berbicara dengan
anak-anak dan ibuku, cukup dengan telepon. Temanku berpesan
agar sebegitu aku mendapat jadwal kegiatanku dengan jam dan
harinya, aku cepat menyampaikannya kepadanya.
Kabar paling akhir itu tentu saja semakin meringankan hatiku
dalam melangkahkan kaki untuk menambah pengetahuan di dunia luar. Melalui Eko aku telah mengalami cobaan berat. Jalan
guna mengatasi cobaan itu seolah-olah mudah diraih berkat kehadiran sahabat-sahabatku. Tuhan telah memberi kelancaran
hingga waktu terakhir aku akan meninggalkan Tanah Air. Benar
bahwa hidup mati kami tidak tergantung pada ada atau tidaknya
telepon di rumah Sri. Tetapi sekurang-kurangnya, itu merupakan
alat penting yang sangat berguna untuk mengadakan komunikasi
langsung. Berita dari rumah akan lebih cepat kuketahui. Untuk
kesekian kalinya Dia memberi arti yang besar terhadap keeratan
persahabatan dan hubunganku dengan mereka yang melingkungi keluarga kami. Walaupun dengan Mas Gun aku jarang
berurusan, dia tidak pemah melupakan pengarahan yang pernah
diterimanya dari ayah kami. Dengan batas-batas tertentu yang
kami mengerti, sejak suamiku ditahan, dia tetap menunjukkan
perhatiannya kepada Ibu dan anak-anaknya. Terutama kepadaku.
Aku bahkan pernah berterus terang kepadanya agar dia turut
mengawasi pertumbuhan anak-anakku. Kata Winar, keluargaku
pastilah dimasukkan ke dalam daftar tersendiri dalam berkas pihak keamanan, seperti kepolisian. Lebih-lebih jika ada anak.anaknya. Aku sendiri tidak menginginkan anak-anakku tersesat
bersimpati pada idealisme yang sama dengan bapaknya. Sebab
pustaka-indo.blogspot.com
193 itulah aku merasa bebanku dan tanggung jawabku terhadap masyarakat lebih ringan jika mengetahui, bahwa orang seperti Mas
Gun turut memperhatikan dari dekat, jika mungkin, mengarahkan pertumbuhan anak-anakku.
Tuhan memang menghendaki aku pergi meneruskan pengalaman pencarian ilmu ke luar negeri. Keadaan rumah kupasrahkan kepada teman-teman keluargaku. Hati-hati, hanya itu yang
dikatakan ibuku ketika kami berciuman di stasiun. Dalam pesan
itu tercakup seluruh cinta kasih dan harapannya.
*****
pustaka-indo.blogspot.com
Bagian Tiga
196 197 , Belanda ialah kebersihan. Lantai pelabuhan udara esan pertama yang kutemukan ketika sampai di Negeri
Schipholl berkilau seolah-olah tak sebutir debu pun melekat di
mana pun. Kereta dorong untuk bagasi yang bisa digunakan oleh
pendatang berderet rapi di beberapa tempat. Semua orang mendapat bagian karena jumlahnya yang mencukupi. Rupa-rupanya para petugas harus mengecek berapa pesawat yang akan datang dan
di gerbang mana. Ruangan pengambilan bagasi dilengkapi dengan
jumlah kereta dorong yang disesuaikan dengan perhitungan kebutuhan. Jika diberitakan bahwa pesawat akan mendarat dengan
rombangan atau regu-regu olahraga atau kesenian, konon kereta
dorong disiapkan tiga atau empat kali lipat. Diperhitungkan tamu-tamu semacam itu membawa perlengkapan jauh melebihi penumpang biasa. Sebelum berangkat dari Tanah Air, kami sudah
diberitahu bahwa di dunia Barat tidak ada kuli maupun karyawan
pengangkut bagasi. Lebih-lebih di airport.
Bepergian dengan kereta api masih mungkin ditolong oleh
karyawan yang bertugas di bagian ekspedisi. Tetapi itu pun seringkali meleset dari harapan. Sebab itu, sebelum kami berangkat,
kami sudah ditatar agar mampu bepergian hanya dengan satu
tas yang dapat dijinjing sendiri. Untuk seterusnya, kebersihan
yang terkesan itu akan terlihat di mana pun aku pergi. Hal ini
198 akan membikin aku selalu ingat kepada ibuku. Kali terakhir ketika dia ke rumah sakit umum, dia berkata bahwa dalam hal
kebersihan, pada zaman penjajahan Belanda-lah yang paling
bisa dibanggakan. Kemudian, semakin jauh aku melawat serta
menyaksikan dari dekat negeri yang berada di bawah permukaan
laut itu, aku semakin kagum. Lepas dari politik yang dulu sangat
menindas dan membodohkan rakyat Indonesia, orang Belanda
adalah bangsa yang gigih dan pekerja keras.
Dalam program perjalanan pengenalan, kami juga diantar
ke daerah pertanian. Negara yang beriklim keras dan bengis itu
disangga dengan keterampilan yang hebat oleh penduduknya.
Dari tanah tidak hanya dihasilkan kebutuhan makanan pokok
ataupun sayur dan buah yang lezat, tetapi juga beraneka bunga potong yang diekspor ke seluruh Eropa serta Amerika Serikat. Kalau
orang mendengar nama Belanda, bunga yang terbayang olehnya
pastilah bunga tulip. Meskipun sesungguhnya bunga itu berasal
dari Timur Tengah, namun sejak berabad-abad telah menyatu
dengan nama serta kepatriotan Belanda. Hingga waktu kunjungan
kami tahun itu, di selatan kota Haarlem, riset dan percobaan ma Peristiwa Merah Salju 5 Sepotong Hati Yang Baru Karya Tere Liye Cintaku Di Kampus Biru 1

Cari Blog Ini