Kembalinya Ilmu Ulat Sutra Karya Huang Ying Bagian 8
Ci-liong-ong menggelengkan kepala:
"Taysu mulai menghitung nasib dari wajah lagi!"
Pek-jin Taysu tertawa kecut:
"Siancai... Siancai...."
Bok Touw-toh tertawa dan tersenyum:51
"Menurut Suhu hanya Toa-suheng yang berjodoh dengan
Budha, benar-benar tidak salah!"
Ci-liong-ong tertawa kecut:
"Ini bukan hal baik, dari awal aku tidak ada hati
mengarah kepada Budha, masuk Bu-tai-san merupakan
kesalahan besar!"
"Kalau Toa-suheng tidak berjodoh dengan Budha, tapi
berhati Budha pasti ada!"
"Kalau aku tidak masuk neraka, siapa yang akan masuk
neraka?" tanya Bok Touw-toh.
Ci-liong-ong tertawa terbahak-bahak, Wan Fei-yang
dalam iringan gelak tawa mereka sudah melayang menjauh.
0-0-0
Gunung dan hutan lebat, lembah yang terpencil.
Karena terpencil maka dinding batu itu terjaga dengan
baik hingga sekarang, dinding yang penuh lumut setelah
dibersihkan oleh Sat Kao lumutnya tidak ada lagi, hurufhuruf yang terukir di sana jadi sangat jelas terlihat.
Sat Kao sangat menghormati dinding batu itu, seperti
benda keramat dan suci, setelah dia menguasai ilmu
lweekang iblis yang terukir disana, dia tetap merawat
dinding batu itu dengan baik, begitu ada waktu segera
dibersihkan.
Melihat dinding itu dirawat sedemikian rupa, Wan Feiyang sangat mengerti isi hati Sat Kao. Dia merasa ragu-ragu
tapi akhirnya tetap menjulurkan tangannya menekan
dinding itu, tenaga dalamnya sudah disalurkan.
Huruf-huruf yang diukir di dinding seperti bernyawa,
mereka seperti ingin meloncat keluar dari dalam dinding,52
tapi mereka juga seperti menahan kesedihan luar biasa dan
berusaha meronta-ronta.
Wan Fei-yang tidak membaca huruf-huruf itu sebab dia
tidak mengerti, hanya tahu kalau huruf-huruf yang diukir di
dinding itu mengenai ilmu lweekang Mo-kauw. Setelah 3 kali
menyalurkan tenaga dalamnya, akhirnya dia melepaskan
tangannya dan melayang mundur, kemudian huruf-huruf
yang ada di dinding segera terkelupas selembar demi
selembar lalu hancur berantakan di bawah, kecuali dewa
kalau tidak, tidak mungkin bisa membuat pecahan batu itu
utuh kembali seperti aslinya.
Wan Fei-yang melihat semua itu, dia terharu dan
mengerti, orang yang mengukir huruf-huruf di dinding sudah
berjuang keras, tapi dia lebih mengerti bila ilmu iblis ini
dipelajari oleh orang lain, bagaimana akibatnya?
Waktu itu dia mendengar suara baju ter-sampok angin,
tapi dengan cepat menghilang, dia pura-pura tidak
mendengar juga tidak menggeser kakinya.
Akhirnya orang itu sudah tidak sabar lagi, sambil menarik
nafas dia keluar dari balik semak-semak, ternyata dia adalah
orang tua berambut pirang yang tadi menyerang Wan Feiyang dengan senjata api.
Semua sudah dalam perkiraan Wan Fei-yang, kalau tidak,
dia tidak akan tergesa-gesa datang kemari untuk
menghancurkan dinding itu.
Dengan bahasa Han yang kaku, orang tua itu berkata:
"Aku sudah berusaha, tapi tetap saja terlambat olehmu,
aku tidak sempat mencatat ukiran yang ada di dinding juga
tidak sempat menghalanginya, aku memang belum tentu
bisa menghalangimu."
"Apakah kau tahu yang telah kau lakukan?53
"Ini adalah hal yang baik, paling sedikit kita bisa
mengobrol!" jawab Wan Fei-yang.
"Karena sudah menemukan, maka aku datang
melakukannya!" kata Wan Fei yang lagi sambil
menggoyangkan kepalanya.
"Sayang, dinding yang didambakan seluruh kalangan
persilatan hancur di tanganmu," orang tua itu menghela
nafas, "kalangan persilatan Tionggoan memang punya ego
yang tinggi!"
"Kau salah!" Wan Fei-yang tertawa, "aku hanya mengerti
racun dan jahatnya ilmu iblis ini!"
"Apakah karena sudah menciptakan seorang musuh kuat
bagimu?"
"Sebab bila ingin menguasai ilmu iblis ini membutuhkan
tenaga dalam dan harus dibantu dengan banyak tenaga
dalam dari pesilat-pesilat tangguh. Sedangkan tenaga dalam
yang mereka miliki didapatkan dengan berlatih susah payah,
kalau dihisap habis maka orang itu akan menjadi orang cacat
kemudian mati!"
"Mungkin dengan waktu yang singkat ini, kau belum
mempunyai waktu untuk mengerti keadaan sebenarnya,"
katanya lagi
"Aku mengerti!" orang tua berambut pirang itu menarik
nafas, "hanya sayang, penemuan Sat Kao yang begitu
penting ini tidak dikabarkan, kalau tidak, semuanya tidak
akan terjadi seperti ini!"
"Karena dia sendiri pun tidak yakin, begitu dia yakin,
nyawanya sudah berada di ujung tanduk!"
"Semua masalah di dunia ini selalu seperti itu, sulit jika
ingin mendapatkan keduanya dengan sempurna, tindakan
Beng To pun tidak direncanakan terlebih dulu, sampai kami54
tidak tahu menahu tentangnya, begitu mendapatkan berita
aku buru-buru datang kemari tapi keadaan sudah seperti
ini!" orang tua berambut pirang itu tertawa lemas.
"Sepertinya dunia persilatan Tionggoan belum waktunya
musnah!"
"Mengapa semua orang tidak mau hidup dengan
damai?"
"Berhasil menaklukkan sesuatu merupakan kegembiraan
yang tidak terlukiskan juga mulia, apa lagi bagi kehormatan
suku!"
Hati Wan Fei-yang bergetar, masalah ini belum pernah
terpikirkan olehnya. Orang tua berambut pirang itu
melihatnya tiba-tiba tertawa:
"Sepertinya kau bukan orang jahat, malah terlalu baik,
tapi ini bukan hal yang baik!" dia tertawa lagi, "orang baik
umurnya tidak akan panjang, kalimat ini kalian sering
mengucapkan-nya!"
"Aku hanya ingin hatiku tidak menyesal!"
"Apakah benar kau tidak menyesal?" orang tua
berambut pirang itu balik bertanya.
***55
BAB 16
Wan Fei-yang terdiam, hatinya menjadi tidak tenang, dia
benar-benar tidak tahu harus bagaimana menjawabnya.
Kata orang tua berambut pirang itu lagi:
"Hal yang dilakukan oleh orang baik pasti hasilnya juga
baik, tapi hal baik itu mempunyai batasan seperti apa? Kau
boleh berpikir-pikir dulu, apakah karena hatimu yang baik
pada akhirnya malah membuat dirimu celaka?"
Hati Wan Fei-yang serasa tenggelam, jangan jauh-jauh,
masalah Tong Ling dan Pei-pei, bukan-kah mereka meninggal
gara-gara dirinya yang berbaik hati?
Orang tua berambut pirang itu seperti bisa membaca
pikirannya, dia tertawa lagi:
"Langsung atau tidak langsung sama saja telah
membunuh, tidak ada perbedaannya, benar atau salah, baik
atau jahat, tidak ada orang yang bisa membedakannya
dengan jelas, paling sedikit sampai sekarang aku belum
pernah bertemu dengan orang seperti itu!"
"Aku hanya orang biasa!"
"Apakah kau yang mengaku sebagai orang biasa bisa
mengubur semua masalah?" tanya orang tua berambut
pirang itu, "tampaknya pengetahuanmu tidak luas!"
"Inilah hal yang paling kusesalkan!"
"Aku tidak bisa membedakannya!" orang tua berambut
pirang itu tertawa:
"Ini bukan hal yang buruk, kenyataan membuatku bosan
untuk membedakannya!"
Dari kata-katanya, bisa ditangkap kalau dia orang yang
sangat pandai bicara, juga mengerti mengenai perbedaan.56
Tanpa menunggu Wan Fei-yang menjawab, dia melanjutkan
lagi:
"Sebenarnya aku bukan orang picik seperti yang kalian
kira, aku adalah orang yang berprinsip, paling sedikit orang
yang mengenalku selalu berkata demikian!"
Wan Fei-yang terdiam, orang tua berambut pirang itu
meneruskan:
"Tapi waktu itu aku sudah tidak tahan dan terpaksa
menembakmu!"
"Mungkin Beng To satu-satunya harapan kami, Sat Kao
tidak salah memilih, orang itu memang berbakat, hanya saja
semua tindakannya tidak terencana, mencari orang seperti
itu memang tidak sulit, tapi dari mana bisa mencari lagi ilmu
silat ini?"
Orang tua itu melihat serpihan batu dinding, wajahnya
terlihat seperti kehilangan:
"Kau harus mengerti isi hatiku!"
Wan Fei-yang mengangguk, kata orang tua itu lagi:
"Ilmu silat Tionggoan memang misterius, walau pun
terlihat seperti akan terjadi di penghujung, tapi di saat yang
menegangkan mujizat muncul."
"Karena nafas dunia persilatan Tionggoan belum habis..."
"Aku percaya!"
"Tapi sayang, kalian tidak kompak."
"Kami akan kompak dan bersatu!"
"Apakah harus ada pelajaran berat yang kalian alami
dulu?" orang tua berambut pirang itu tertawa, "Ini bukan hal
yang menggembirakan, lebih baik menghindari hal ini!"
Wan Fei-yang mengangguk, orang yang baru datang dari
luar pun bisa melihat masalahnya di mana, tapi orang dunia
persilatan Tionggoan sendiri seperti masih bermimpi. Kalau57
hal ini bukan hal yang menggelikan, itu benar-benar hal
menyedihkan.
Orang tua berambut pirang itu tertawa lagi:
"Sayang, kami yang sudah tua ini sudah tidak tertarik
terhadap perebutan kekuasaan dunia persilatan Tionggoan,
katanya orang yang sudah tua biasanya keras kepala tapi
mengerti bagaimana merebut kekuasaan dunia persilatan
Tionggoan, tidak penting tapi tetap mengijinkannya!"
Tiba-tiba Wan Fei-yang bertanya:
"Apakah kalian benar-benar mengerti?"
"Itu sebabnya mengapa kami sudah lama tidak muncul di
dunia persilatan Tionggoan."
"Pemuda-pemuda kalian sedang melakukan apa?"
"Mereka melakukan hal yang mereka anggap berarti,
misalnya mengubah lingkungan hidup, yang sudah ada
diteliti lagi untuk diperluas, seperti senjata api ini."
Dari balik pinggangnya orang tua itu mengeluarkan
senjata api:
"Bahan peledak kalian sendiri yang menemukannya, tapi
kalian berhenti pada tahap awal!"
Hati Wan Fei-yang bergetar, orang tua itu
menggelengkan kepala:
"Aku tidak suka barang seperti ini, tapi aku termasuk
orang dunia persilatan, senjata api adalah jenis senjata
rahasia, memang tidak adil menghadapi orang tanpa senjata
di tangan."
"Tapi kau tetap membawa senjata api itu!"
"Aku harus mengakui kehebatannya, walaupun binatang
buas menyerangku, dengan tangan kosong aku bisa
menghadapinya, mempunyai barang yang ada kegunaannya
tanpa harus mengeluarkan tenaga besar, mengapa tidak58
digunakan saja?" orang tua itu menancapkan kembali
senjata api itu ke dalam ikat pinggangnya.
"Inilah sikap kalian terhadap senjata api!"
"Rata-rata memang seperti itu, yang pasti bila pikiran
sedang tidak labil ingin menjaga prinsip bukan hal yang
gampang, hati yang serakah tetap berpengaruh!"
"Dengan gosip-gosip yang beredar, tindakan kalian
benar-benar berbeda!"
"Gosip adalah gosip, mungkin itu adalah gosip puluhan
tahun lalu!" orang tua itu seperti bicara sendiri, "manusia
selalu bisa maju!"
"Maju?" Wan Fei-yang merasa asing dengan kata-kata
ini. Orang tua itu melihatnya dan tertawa:
"Di tempat asing kau akan mempunyai perasaan seperti
ini!"
"Perasaan apa?" tanya Wan Fei-yang.
"Tidak tahu apa yang disebut kemajuan?" orang tua itu
menggelengkan kepala, "terhadap pertama kali masuk
Tionggoan dengan kali ini tidak ada perbedaan!"
Wan Fei-yang menjadi bingung, orang tua itu berkata
lagi:
"Kalau ada kesempatan kau mesti keluar untuk melihatlihat, banyak hal yang harus kau lihat sendiri baru percaya!"
Wan Fei-yang bertambah bingung, dia tidak pernah
terpikir akan meninggalkan Tionggoan.
Orang tua itu melanjutkan lagi:
"Kalian mempunyai pepatah, 'To-Ban-koan-sui, Pu-yuseng-ban-li-lu' (Membaca ribuan buku, tetap lebih
bermanfaat berjalan di luar, akan lebih banyak mendapat
kebaikan) keluarlah, pandangan-mu akan bertambah luas!"59
Baru saja kata-katanya habis, dia sudah tertawa kecut
dan berkata sendiri:
"Aku tidak menyangkal, taraf kematangan budi dan
perasaan serakah seseorang akan berpengaruh setelah
berjalan keluar!"
Wan Fei-yang terdiam, dia masih memikirkan kata-kata
orang tua tadi, orang tua itu seperti bicara sendiri:
"Maka orang-orang kami merasa lebih baik jarang
mendatangi Tionggoan."
"Kalau tidak, sifat serakah mereka akan semakin besar!"
Kembalinya Ilmu Ulat Sutra Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sampai-sampai aku yang sudah tua ini pun bisa
bergerak, apa lagi yang muda!" orang tua itu tertawa,
"kecuali kalau kalian berusaha keras untuk kuat, kalau
tidak... selamanya akan seperti ini, begitu terkena akan
meledak!"
Wan Fei-yang mengangguk, orang tua itu tertawa:
"Sebenarnya kata-kata ini bukan kami yang
mengucapkannya!"
"Kita adalah orang dunia persilatan!"
"Di negara kami sudah tidak ada lagi dunia persilatan!"
Orang tua itu tertawa, "orang-orang setua kami, aku percaya
merupakan kalangan persilatan generasi terakhir, anak
muda kami sekarang ini kebanyakan menganggap berlatih
ilmu silat hanya untuk kesehatan tubuh!"
Wan Fei-yang mengangguk, tawa orang tua itu berhenti:
"Sekarang kau boleh menyerangku!"
Dengan aneh Wan Fei-yang menatapnya, orang tua itu
tertawa:
"Pertarungan kali ini sangat adil, aku tetap seorang
pesilat!"60
Dadanya dibusungkan, Wan Fei-yang melihat tekadnya
dan percaya sampai titik darah terakhir, sampai mati pun dia
tidak akan menyerang dengan senjata api.
Maka dia jadi bertanya:
"Apakah kau membutuhkan pertarungan ini?"
Orang tua itu terpaku.
"Aku masih belum mengerti kalimatmu tadi, tapi aku
akan berusaha untuk mengerti!"
Kata-katanya baru selesai, Wan Fei-yang membalikkan
tubuh dan berjalan, gerakannya begitu ringan, tapi hatinya
lebih berat dibandingkan ketika datang.
Pengetahuannya terbatas, itu yang paling disesalkan
olehnya, banyak hal yang tidak bisa dibaca dengan jelas dan
tidak tahu harus dengan cara apa menempatkannya, dia juga
mengerti karena itu akan mengganggu cara dan
kemampuannya menyampaikan. Walaupun ada kesempatan
belum tentu bisa meraihnya dengan kuat.
Tapi tidak karena itu dia menjadi patah semangat.
Orang tua itu tidak menghadang Wan Fei-yang pergi, dia
melihat Wan Fei-yang yang telah pergi jauh, postur tubuh
yang tadinya tegak pelan-pelan membungkuk, seperti tibatiba menjadi tua.
Dia ingin bertarung, tidak peduli hidup dan matinya,
bukan karena dia sudah tua melainkan karena dia masih
seorang pesilat.
Di sana, dunia persilatannya sudah tenggelam, karena itu
membuat dia... sebagai orang dunia persilatan lamakelamaan kehilangan kegagahannya tempo hari.
Apakah dunia persilatan harus bertahan atau tidak, dia
tidak tahu, kalau tidak, dia tidak akan begitu bimbang, tidak61
tahu mana yang harus diambil dan mana yang harus
dibuang.
Sampai-sampai dia tidak bisa menentukan jalannya
sendiri, karena di Tionggoan masih ada dunia persilatan. Di
Tionggoan dia bisa mendapatkan kembali perasaan
kebanggaan dan cita-cita luhurnya. Bila kembali ke
negerinya, dia akan menjadi sekelompok orang yang
terlupakan.
Tapi di Tionggoan dia termasuk orang dari Mo-kauw,
tidak hanya akan didiskriminasi atau disingkirkan, lebih-lebih
akan terus dikejar dan nyawanya akan melayang.
Setelah dipikir-pikir dia berpikiran ingin mati di depan
Wan Fei-yang. Ketika dia mencari-cari Wan Fei-yang, gunung
sudah sepi, bayangan Wan Fei-yang sudah tidak ada.
Akhirnya dia duduk di atas serpihan dinding, mencabut
senjata api dan mengarahkan ke kepalanya.
... Wan Fei-yang mendengar suara letusan, dia berhenti
dan menoleh, di hutan itu burung-burung terkejut lalu
beterbangan, dia tidak tahu apa yang terjadi, tapi firasatnya
tidak enak, kedua alisnya pun berkerut.
Dia ingin kembali ke sana untuk melihat, akhirnya dia
menekan keinginannya ini, apapun yang terjadi dia tidak bisa
menyelamatkan orang tua itu dengan kekuatannya.
Dia sangat mengerti kalau dia hanya manusia biasa,
dengan kekuatan terbatas, hal yang terjadi hanya kalau
waktu diputar baru bisa berubah, tapi manusia tidak bisa
melakukannya.
Firasatnya tidak enak, membuatnya merasa bingung. Di
benaknya orang tua berambut pirang itu bukan hanya
mempunyai ilmu silat yang bagus dan sangat
berpengalaman, seharusnya dia lebih mempunyai akal sehat.62
Tidak diragukan lagi, orang tua berambut pirang itu
adalah seorang pesilat tulen, hanya melihatnya enggan
menembakkan senjata api ke arah musuh sudah dapat
diketahui sifatnya, karena dia adalah seorang pesilat tulen
maka dia bisa memperhatikan masalah yang terjadi di dunia
persilatan dan jauh-jauh datang ke Tionggoan.
Seorang pesilat tulen di dunia persilatan kalau tidak
berada di dunia persilatan, maka kehidupannya tidak akan
berarti.
Wan Fei-yang tidak lupa dengan apa yang dikatakan
orang tua berambut pirang, di daerah mereka sudah tidak
ada dunia persilatan. Dia juga ingat pada kata-kata Kouwbok. ...orang yang berkecimpung di dunia persilatan,
melakukan sesuatu di luar kemauannya sendiri.
Pada akhirnya Kouw-bok juga mati di dunia persilatan,
apakah orang tua pirang itu juga seperti itu?
Burung terbang melewati kepala Wan Fei-yang dan
terbang ke balik awan, akhirnya Wan Fei-yang melangkah
lagi dan meneruskan perjalanannya.
...Jalan dunia persilatan.
0-0-0
Malam sudah larut, salju masih terus turun.
Sejak sore salju sudah turun, sudah berlangsung 2 jam
lamanya. Fu Hiong-kun masih berlutut di depan kuil nikoh
'Kou-siu-an' sekarang sudah memasuki hari ketiga.
Salju yang turun menutupi lututnya, karena udara begitu
dingin membuat wajahnya menjadi pucat, tapi sikapnya63
masih sangat teguh, bola matanya seperti sudah membeku
menjadi es, dia terus menatap pintu yang tertutup rapat.
Angin dingin terus berhembus, dua lampion bergetar
tertiup angin. Di bawah sinar lampu yang redup, tiang di
depan kuil tampak terus berkilau, seperti pedang-pedang
tajam yang baru dikeluarkan dari sarungnya. Pedang yang
tajam seperti tidak mempunyai perasaan dan begitu hikmat.
Di balik pintu masih ada cahaya lampu, lantunan suara
orang membaca kitab suci masih terdengar.
Saat suara orang melantunkan kitab sud berhenti, ada
suara yang berkata:
"Suhu..."
"Apakah Hiong-kun masih berlutut di luar?" suara tua itu
bertanya.
"Lapor Suhu, dia sudah berlutut selama 3 hari 3 malam di
luar!"
"Apa gunanya 3 hari 3 malam?" suara tua itu mengeluh,
"bila belum mengerti arti kitab suci, berlutut selama 3 tahun
pun percuma saja!"
Baru selesai berkata pintu terbuka. Ku-suthay keluar
ditemani oleh 2 nikoh separo baya.
Murid-murid Heng-san-pai tidak banyak, tapi ilmu
pedang mereka berbeda, di dunia per-silatan imu pedangnya
mempunyai kedudukan yang mantap, hanya saja muridmurid Heng-san-pai adalah hweesio atau nikoh, mereka
tidak banyak mengurusi masalah dunia ini, maka tidak
dikenal oleh banyak orang.
Semenjak Ku-suthay mencukur rambut dan masuk Kousiu-an lalu menjadi pemimpin Heng-san-pai, dia jarang
keluar tapi orang dunia persilatan selain tahu di Heng-sanpai ada Kwa-suthay, masih ada Ku-suthay.64
Kwa-suthay melanglang buana di dunia persilatan dan
kabarnya tidak terkalahkan, tapi di depan orang-orang dia
selalu mengatakan ilmu Budha dan ilmu silatnya kalah oleh
Sucinya, Ku-suthay.
Dari luar terlihat, Ku-suthay seperti tidak bisa ilmu silat
sebab dia selalu memberi kesan ramah dan penuh kasih
sayang.
"Pelajaran malam sudah selesai, kalian boleh istirahat
dulu..."
Dia menyuruh kedua nikoh itu pergi dan menghampiri Fu
Hiong-kun.
Di mata Fu Hiong-kun terlihat ada rasa girang, tapi Kusuthay menggelengkan kepala dan menarik nafas:
"Anak bodoh!"
"Suhu, harap membantu Tecu mencapai tujuan dan
membantu Tecu mencukur botak rambut-ku untuk menjadi
seorang nikoh..." Fu Hiong-kun memohon.
"Kau sudah berlutut selama 3 hari 3 malam, berarti
tekadmu sudah bulat. Mencukur rambut hanyalah sebuah
upacara, yang penting apakah kau berjodoh dengan Budha?
Dan apakah kau mengerti ajaran-ajaran Budha? Bagaimana
perasaan hatimu sekarang ini?"
Melihat salju yang beterbangan, Fu Hiong-kun
menjawab:
"Hati Tecu sebersih salju!"
"Hati sebersih salju?"
Ku-suthay tertawa, dia mengangkat tangan dan
menyambut salju yang turun, dia men-cengkeram dan
membuka tangannya kembali:
"Di sini mana ada salju?" karena salju itu sudah mencair
maka menetes di depan Fu Hiong-kun.65
Fu Hiong-kun terpaku, kata Ku-suthay lagi:
"Kau berada di kuil sudah 3 tahun, tapi guru merasa
jodohmu dengan dunia sana belum selesai jadi kau tidak
cocok menjadi seorang nikoh!"
"Tecu rela selamanya menemani Budha dan seumur
hidup tidak menginjak keluar pintu kuil."
Mulut Fu Hiong-kun memang berkata seperti itu tapi
hatinya terasa sepi dan sedih, sifat baik hati, yang jahat dan
yang baik bisa dibedakan walaupun lahir di perkumpulan
sesat di Siau-yau-kok, dia tetap bersih seperti sekuntum
bunga teratai, maka ketika di Tai-san di puncak Giok-hong,
pertarungan hidup dan mati antara Wan Fei-yang dan Tokko
Bu-ti, Fu Giok-su, kakaknya ingin membunuh Wan Fei-yang.
Diam-diam dia keluar untuk melarang.
Fu Giok-su mati ditikam oleh adiknya sendiri, dia merasa
sedih, walau bagaimanapun Fu Giok-su adalah kakaknya,
satu-satunya orang yang dekat dengannya.
Akhirnya Wan Fei-yang pergi tanpa pamit, sampai
sekarang tidak diketahui jejaknya. Dia tidak tahu mengapa
Wan Fei-yang bisa seperti itu, dia berusaha mencarinya tapi
dia tidak tahu ke mana Wan Fei-yang pergi.
Dunia sangat luas, ingin mencari seseorang bukan hal
yang mudah.
Akhirnya dia putus asa, dengan hati terluka dia masuk
Kou-siu-an untuk menjadi murid Ku-suthay sudah
berlangsung selama 3 tahun, tapi hatinya masih belum bisa
tenang.
Karena itu terpikir untuk mencukur rambutnya untuk
menjadi seorang nikoh.66
"Untuk apa?" Ku-suthay terlihat mengerti isi hati Fu
Hiong-kun, dia mengelus-elus kepala Fu Hiong-kun, "tempat
Budha bukan tempat untuk menyembunyikan cinta!"
"Tecu sudah berpikir matang!" mata Fu Hiong-kun
berkaca-kaca.
Ku-suthay tetap menggelengkan kepalanya:
"Aku akan menunggumu 3 tahun lagi, kalau dalam waktu
3 tahun kau masih ingin menjadi nikoh, guru pasti akan
membantumu mencapai keinginanmu!"
"Tiga tahun?" Fu Hiong-kun tertawa kecut.
"Dalam waktu 3 tahun, bila hatimu masih sebersih salju.
Kau tidak perlu tinggal di kuil! Berdirilah, ada sesuatu yang
harus kau lakukan!"
Dengan terpaksa Fu Hiong-kun berdiri, tapi karena
terlalu lama berlutut, setelah berdiri dia tidak bisa berdiri
dengan benar, tubuhnya oleng hampir ambruk, untung Kusuthay segera memapahnya.
Salju masih turun, hati Fu Hiong-kun seperti salju yang
jatuh ke atas tanah, tidak bisa berbuat apa-apa.
Sepucuk surat dan sebuah kotak yang sangat indah
diberikan kepadanya, setelah menerima kedua barang itu,
dia baru melihat sikap aneh Ku-suthay.
Dari dalam kuil terlihat asap terus melayang, sorot mata
Ku-suthay menjadi bingung, seperti banyak pikiran.
Nada bicaranya terdengar sangat tidak tenang:
"Tahun depan saat 'Pek-hoa-ki' (Bunga seratus hari),
antar surat itu ke Siong-san, Siauw-lim-si, waktu itu kau akan
melihat akan ada seseorang bertarung dengan Sin-can
Sangjin dari Siauw-lim-si, kalau yang menang adalah Sin-can
Sangjin, biarkan saja, kalau bukan, serahkan kotak indah ini
kepada orang itu, apakah kau mengerti?"67
"Tecu mengerti, siapa orang itu..."
"Sampai waktunya nanti kau akan tahu."
Pelan-pelan Ku-suthay membalikkan tubuh, tiba-tiba dia
berlutut di depan altar sembahyang:
"Budha yang baik hati, maafkan Tecu, berhati belum
bersih..."
Fu Hiong-kun terkejut dan memapah gurunya berdiri,
tapi Ku-suthay sudah menoleh, dari 2 alisnya terlihat dia
sangat sedih.
"Jangankan kau, guru yang sudah masuk agama Budha
selama 30 tahun pun sampai sekarang masih..." dia
menggelengkan kepala sambil menarik nafas. Kata-katanya
terhenti, Fu Hiong-kun melihat gurunya dengan bengong, dia
tidak tahu apa yang mesti dia katakan.
Lama hati Ku-suthay baru tenang:
"Masih ada 2 kalimat yang harus kau sampaikan kepada
orang itu."
Dia berbisik walaupun di kuil hanya ada dia dan Fu
Hiong-kun, tapi tetap merasa tidak tenang.
Kembalinya Ilmu Ulat Sutra Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Setelah mendengar bisikan gurunya, Fu Hiong-kun hanya
mengkedipkan mata, tidak ada reaksi berlebihan. Dengan
hati-hati Ku-suthay berpesan lagi:
"Bila dia yang menang, katakan kepadanya, kalimat
pertama, kalau dia tidak menang, katakan kalimat kedua,
apakah kau mengerti?"
"Tenanglah, Guru!" tiba-tiba Fu Hiong-kun menarik
nafas.
Ku-suthay menundukkan kepala dan melafalkan ayat
kitab suci, dia tidak bicara lagi.
Bulan dua, angin musim semi terasa lembut seperti air,
meniup jalanan panjang di kota kecil itu.68
Jalan itu adalah jalan paling ramai di kota kecil ini, tapi
sekarang hanya terlihat Fu Hiong-kun yang sedang berjalan
seorang diri.
Toko-toko di kedua sisi jalan semua sudah tertutup rapat
hingga suasana sangat sepi, Fu Hiong-kun merasa aneh.
Apakah telah terjadi sesuatu? Baru saja terbersit pikiran
itu, terdengar suara tangisan anak kedi, Fu Hiong-kun
mengikuti suara itu untuk melihat, dalam jarak beberapa
depa darinya di sebuah tiang terlihat ada seorang anak
perempuan berumur 5-6 tahun terikat di tiang itu.
Wajah anak perempuan itu pucat, melihat Fu Hiong-kun
mendekatinya, dia malah bertambah takut, tangisannya
bertambah keras.
Fu Hiong-kun berhenti di depan tiang itu, ketika dia akan
meloncat membuka ikatan talinya dan menanyai anak kecil
itu, tiba-tiba pintu penginapan itu terbuka.
Fu Hiong-kun segera melihat ke arah itu, terlihat
seseorang berbaju mewah keluar dari penginapan.
Orang itu sudah separo baya. Kumis yang tumbuh di atas
bibirnya membuatnya bertambah dewasa, walaupun baju
mewahnya tidak terkesan menarik, tapi membuat orang
yang melihatnya merasakan ada sesuatu yang tidak biasa.
Gerakannya tenang, di bawah sinar matahari terlihat
wajahnya yang tersenyum enak dipandang. Fu Hiong-kun
mempunyai perasaan kalau dia bukan orang jahat, tapi
orang itu mengeluarkan kata-kata aneh:
"Anak ini jangan diusik!"
"Apakah kau yang mengikatnya?" Fu Hiong-kun
mendesak.
Orang itu menggelengkan kepala, Fu Hiong-kun bertanya
lagi:69
"Siapa kau?"
"Orang yang lewat di sini!"
"Di jalan bertemu dengan ketidak adilan, sudah
seharusnya mencabut pedang untuk membantu, tapi kau
yang lewat hanya berpangku tangan melihat, sekarang
malah menghalangi orang yang ingin menolong," Fu Hiongkun tertawa dingin.
Orang berbaju mewah itu tertawa:
"Aku hanya merasa khawatir, kau tidak akan
sanggupmenghadapi orang yang akan datang."
"Walau bagaimanapun anak kecil ini patut dikasihani,
aku harus menolongnya." Fu Hiong-kun segera meloncat.
Orang berbaju mewah itu ikut meloncat dan
menghalangi Fu Hiong-kun dengan kedua tangan-nya. Ke
lima jari Fu Hiong-kun segera menotok nadi di pergelangan
tangan orang itu, reaksi orang itu sangat cepat, dengan jurus
'Hwan-hoa-ho-liu' (Mengganti bunga dan pohon Liu yang
melambai) dia menerima 3 jurus serangan dari Fu Hiongkun. Mereka naik ke atas sebentar lalu tampak turun, Fu
Hiong-kun tertawa dingin:
"Ku lihat kau berilmu tinggi, memang tidak meleset!"
Fu Hiong-kun menyerang lagi dengan tangan nya, orang
ini mundur 7 langkah, setelah menerima 10 kali
serangannya, dia segera membalikkan tubuh meloncat
masuk ke dalam penginapan, Fu Hiong-kun mengejar, dia
ikut masuk ke dalam penginapan dan kedua tangan
menyerang lagi.
Orang itu menghindar ke kiri dan ke kanan, dengan jurus
burung membalikkan tubuh, dia berlari ke belakang Fu
Hiong-kun, kemudian menutup pintu dan berkata:70
"Mereka sudah datang!"
Gerakan Fu Hiong-kun jadi berhenti, orang itu meloncat
ke depan jendela, membuka sedikit jendela atas, dari lubang
kertas dia melihat keluar.
Fu Hiong-kun melihat perbuatannya, dia mendengar
sebentar lalu ikut melubangi kertas jendela, melihat keluar.
Jalan sepi tidak ada seorang pun, anak perem puan yang
diikat di tiang pun tidak menangis lagi, dia terkejut melihat
Fu Hiong-kun dan orang berbaju mewah itu terus meloncat
dan berlari.
Angin berhembus lewat, suara baju yang terkena angin
terdengar jelas. 4 orang berbaju putih turun dari atap,
kemudian diikuti 4 orang yang berbaju merah, 4 orang
berbaju biru, dan 4 orang berbaju kuning, terakhir adalah 4
orang berbaju hijau.
Dua puluh orang dengan baju berbeda warna ini
mempunyai ilmu meringankan tubuh yang sangat tinggi, dan
sepertinya mereka sudah terlatih dengan tekun, dengan
cepat mereka membuat sebuah pemandangan menyolok di
jalanan itu, berkumpul dan berpencar lagi.
Di jalan masuk menuju jalan panjang ini terlihat asap
berwarna-warni, ratusan orang berbaju putih, kuning,
merah, biru, hijau keluar dari balik asap berwarna-warni itu,
mereka menggotong dua tandu yang tidak tertutup di atas
pundak mereka dan berjalan menuju tiang itu.
Masing-masing tandu berisi seorang laki-laki paro baya
berbaju perak, berwajah pucat dan tinggi, berkumis juga
bertubuh kerempeng, mereka benar-benar seperti mayat
hidup.
Wajah kedua orang itu sangat mirip, sikapnya pun mirip,
siapa pun yang telah melihat mereka akan merasa takut.71
Tandu diturunkan, mata mereka terbuka. Warna putih
lebih banyak dibandingkan yang hitam, mata mereka seperti
siluman sekarang sedang melihat ke arah tiang, kemudian
mejamkan mata dan mengangguk bersamaan.
Dua orang berbaju putih segera meloncat ke atas tiang,
membuka ikatan yang mengikat gadis kecil itu, kemudian
membawa gadis kecil itu turun.
Dua orang berbaju hijau segera membuka karung dan
menyambut dua orang berbaju putih itu, dengan tepat
memasukkan gadis kedi itu ke dalam karung, mengikat
mulut karung lalu melempar ke dalam kotak yang digotong
oleh dua orang berbaju biru.
Di dalam kotak kayu itu ada karung yang sama.
Setelah menutup kotak itu barisan mereka berjalan lagi.
Fu Hiong-kun tidak tahan lagi:
"Mereka adalah..."
"Murid-murid Pek-lian-kauw." (Perkumpulan Teratai
Putih) jawab orang berbaju mewah dengan suara rendah,
"orang yang digotong di atas pundak adalah bawahan
Kauwcu bernama Thian, Te dan Jin (Langit, bumi, manusia),
mereka ketua Thian dan Te, bergelar Ku-hai-siang-yauw
(sepasang siluman Ku-hai)".
"Oh ya? Untuk apa mereka menangkap gadis kecil itu?"
Tidak ada jawaban, Fu Hiong-kun melihat ke sisinya,
jendela di sebelah sana sudah terbuka, orang itu sudah
menghilang, dia meloncat ke sana untuk melihat. Asap
berwarna di jalanan belum menyebar hingga bersih, tapi
orang itu sudah menghilang.
Dia berpikir sejenak kemudian dia pun bergerak, dan
berlari keluar.72
Sore, Fu Hiong-kun berjalan di sebuah jalan di gunung
kecil.
Sore hari awan terlihat indah, tapi Fu Hiong-kun tidak
tertarik menikmatinya, dia hanya berkonsentrasi mengawasi
barisan orang Pek-lian-kauw.
Dari atas melihat ke bawah, dia bisa melihat dengan
jelas, barisan Pek-lian-kauw itu masih terus berjalan. Fu
Hiong-kun tidak tahu mereka akan pergi ke mana juga tidak
bisa menebak apa tujuan mereka menangkap gadis kecil itu.
Orang berbaju mewah yang selalu melayang-layang itu
pun membuatnya bingung, dengan terpaksa dia harus
mengejar mereka untuk mengetahui apa alasan melakukan
semua ini.
Orang berbaju mewah tadi sepertinya bukan orang jahat,
Pek-lian-kauw dalam bayangannya pun tidak terlalu jahat.
Dia tahu kalau Pek-lian-kauw adalah sebuah
perkumpulan setengah terbuka, kadang-kadang disebut
Beng-kauw, terkadang disebut Bi-lek-kauw (Bi-lek=nama
dewa) mereka membakar dupa untuk bersembahyang,
memasang lampu, juga vegetarian, dan harus melakukan
sembahyang di waktu yang dipentingkan, mereka percaya
kalau Bi-lek-hud akan turun ke dunia ini untuk menjadi raja
Beng di dunia ini.
Sebenarnya nama aslinya adalah Beng-kauw disebut Moli-kauw. Seseorang dari Negara Fo-se, menyatukan namanya
menjadi Fo-se-pek-huo-kauw (Agama menyembah api)
dengan agama Budha di India, agama Kristen dari Yunani,
menjadi sebuah agama baru. Mereka berpendapat bahwa
meraka harus memasang lampu semalam suntuk, dengan
berperang melawan kegelapan. Makanan vegetarian,
dengan maksud mereka tidak makan daging, bukan daging73
ayam, sapi, kambing, melainkan kelompok bawangbawangan. Di malam tertentu dalam jangka waktu satu
bulan harus berkumpul secara rahasia. Di jaman dinasti Tong
mereka sudah masuk Tionggoan, sampai pada dinasti Song
ajaran mereka semakin besar kekuatannya dan pernah
melakukan pemberontakan melawan pemerintah.
Pek-lian-kauw bisa dikatakan cabang agama Budha yang
menyembah O-mi, To-hud, semakin lama agama ini semakin
diterima rakyat, apa lagi waktu itu suasana sedang penuh
kekacauan.
Sejarah agama Bi-lek paling misterius dan tidak banyak
tercatat. Katanya wajah Bi-lek-hud terlihat sangat ramah dan
selalu tersenyum, karena itu dia disebut Siau-hud (Budha
tertawa). (Bi-lek-hud atau Siau-hud adalah Budha berperut
besar, biasanya orang Tionghoa bila ke kuil ingin meraba
perut atau wajahnya, kabarnya setelah meraba perut dan
wajahnya kita akan selalu tertawa, artinya tidak ada yang
perlu menekuk wajah lagi) kehidupan dan usaha pun akan
lancar.
Bi-lek-hud katanya orang yang kedua setelah Budha
Sakyamuni menjadi dewa Budha.
Tiga agama dengan asal usulnya berbeda, pada akhir
dinasti Goan selalu digunakan oleh pemberontak melawan
kerajaan Goan mengembalikan kejayaan dinasti Song dan
menutupi gerakan mereka. Karena tujuan yang sama lamakelamaan mereka bersatu dan bercampur dari 3 agama itu.
Fu Hiong-kun mempunyai pengetahuan yang salah.
Melawan dinasti Goan tidak akan bisa mengembalikan
kejayaan dinasti Song. Cu Goan-ciang menyatukan seluruh
Tiongkok dan mendirikan dinasti Beng. Katanya dia pernah
dipilih menjadi pemimpin Beng-kauw, Pek-lian-kauw, dan Bi-74
lek-kauw, setelah naik tahta karena jasa masing-masing, dia
memberi anugerah kepada 3 agama ini, maka ketiga agama
itu tidak muncul lagi.
Semenjak Fu Hiong-kun berkelana di dunia persilatan,
untuk pertama kali dia bertemu dengan orang-orang Peklian-kauw, dia merasa aneh dengan kemunduran mereka
juga mengkhawatirkan keselamatan gadis kecil itu.
Malam semakin terasa dingin, akhirnya murid-murid Peklian-kauw berhenti di sebuah lapangan terpencil.
Fu Hiong-kun bersembunyi di sebuah pohon, terus
mengawasi mereka.
Di lapangan rumput itu tidak ada yang aneh. Barisan
murid Pek-lian-kauw seperti tidak siap menginap di lapangan
berumput itu, tapi mereka berdiri dalam barisan 5 kelompok
berwarna, mereka seperti sedang menunggu sesuatu.
Sebelum mereka datang, sebagian murid Pek-lian-kauw
sudah berkumpul di sana. Tidak diragukan lagi ratusan orang
dengan jabatan tertinggi adalah Thian-te-sian-cun. Melihat
Siang-cun datang mereka segera menyambutnya.
Sebuah lampu merah menyala di lapangan berumput itu,
kemudian disusul lampu biru, kuning , putih, dan hijau.
Lima barisan berwarna dengan warna lampu tidak sama
menyala, warnanya sangat jelas, barisan pun terlihat sangat
rapi, di dalam pekatnya kegelapan terlihat sangat aneh dan
indah.
Cahaya lampu menyinari lapangan berumput itu menjadi
terang. Fu Hiong-kun baru melihat dengan jelas di depan
murid-murid Pek-lian-kauw berhenti sebuah lampu emas
yang sangat besar, di bawah sinar lampu emas ada sebuah
bunga teratai putih yang sangat besar, tapi belum mekar,
bunga teratai itu di bawah siraman lampu tampak berkilau.75
Di depan bunga teratai putih itu terlihat ada 3 teratai
putih kecil. Di kiri dan kanan duduk Thian-te-siang-cun, tapi
salah satu kursi tampak kosong.
Lampu emas besar itu akhirnya menyala, di bawah
cahaya itu terlihat pengikut Pek-lian-kauw bersorak:
"Bunga teratai yang suci, terang, sangat senang, Bi-lek
lahir untuk menolong semua orang menjadi baik."
Ketika pengikut Pek-lian-kauw bersorak, teratai putih
besar itu mekar di bawah siraman cahaya lampu emas itu.
Di tengah-tengah teratai duduk bersila seorang tua
berbaju emas, rambut dan janggutnya sudah memutih.
Ke dua tangan orang tua itu menekan sebuah kecapi tua,
kedua alisnya panjang juga putih tampak terangkat, matanya
dengan pelan membuka. Sorot matanya tampak seperti dua
kilat, tidak terlihat sedang marah tapi sangat berwibawa.
Sorot matanya melihat tempat duduk teratai yang
kosong, pelan-pelan bertanya:
"Manajin-cun?"
Nada bicaranya tidak tinggi tapi setiap orang bisa
mendengar dengan jelas.
"Lapor Kauwcu, Jin-cun sudah menghilang selama 3
tahun!" Jawab Thian-cun dengan cepat.
Kembalinya Ilmu Ulat Sutra Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Orang tua itu adalah orang yang dikabarkan dunia
persilatan mempunyai kepandaian sangat tinggi dan tidak
bisa diduga kehebatannya. Identitasnya sangat misterius dan
mempunyai julukan 'Pu-lo-sin-sian' (Dewa yang tidak pernah
tua) dia adalah Kauwcu dari Pek-lian-kauw yang sudah lama
menghilang.
Wajahnya langsung terlihat marah:76
"Selama 20 tahun ini pertama kalinya aku Cu-koan
(keluar dari latihan) berani-beraninya dia tidak datang untuk
bertemu denganku, apakah aku tidak berharga di matanya?"
Thian-te-siang-cun tidak berani menjawab, pengikut Peklian-kauw dan 5 kelompok sewarna lampu pun hanya diam
tidak ada seorang pun yang berani menjawab, hingga
lapangan berumput itu jadi sepi dan hening.
Put-lo-sin-sian melihat semua orang dan berkata:
"Di malam rapat akbar Pek-lian-kauw, ada dua hal yang
harus kalian tahu, 20 tahun yang lalu aku dan Sin-can Sangjin
dari Siauw-lim-pai berjanji akan bertarung di Tai-san, semua
karena gaya dan pandangan kami berbeda. Pek-lian-kauw
dianggap perkumpulan sesat, karena itu kami berjanji 20
tahun kemudian di hari Pek-hoa di Siong-san, kami akan
bertarung, yang kalah harus membawa murid-muridnya
bergabung dengan perkumpulan lawan, kalau kalian masih
curiga kepadaku, silakan tinggalkan Pek-lian-kauw, aku tidak
akan memperpanjang masalah!"
"Kepandaian Kauwcu begitu hebat, Pek-lian-kauw pasti
menang dan Siauw-lim-pai akan kalah!" pengikut Pek-liankauw seperti sudah ada pengerti-an yang tidak perlu
diungkapkan, mereka serentak berkata dan bersorak.
"Baik sekali, Siauw-lim-pai pasti akan kalah," Put-lo-sinsian tertawa, "mencukur rambut menjadi hweesio, setiap
hari memukul kentongan dan ikan kayu, apakah akan cocok
untuk kalian? Kalau aku kalah bertarung dan kalian melihat
tanda-tanda yang kuberikan, segera turun gunung dan
tinggalkan tempat itu!"
Pengikut Pek-lian-kauw saling pandang tapi tidak
bersuara, Put-lo-sin-sian selalu mengaku tidak terkalahkan,
sekarang dia bicara seperti itu, apakah dia tidak yakin?77
Sorot mata Put-lo-sin-sian melihat Thian-te-siang-cun:
"Pek-lian-kauw adalah sebuah perkumpulan
terorganisasi, Pek-lian-kauw juga perkumpulan suci, karena
dianggap sebagai perkumpulan sesat walau pun aku
melakukan Pi-koan (tutup pintu) untuk berlatih silat, tapi apa
yang terjadi di dunia persilatan ini aku tetap tahu, seperti
tahu detil jari dan tanganku sendiri. Katanya ada banyak
pengikut Pek-lian-kauw yang sering berbuat kejahatan, apakah itu benar?"
Thian-cun seperti tidak ada masalah yang terjadi, dia
menjawab:
"Murid-murid perkumpulan kita mengikuti peraturan
dan kebiasaan dengan patuh, banyak gosip mengatakan
seperti itu, aku takut ada yang bermaksud jahat!"
Dari balik bajunya Put-lo-sin-sian mengeluarkan sebuah
plakat giok, dengan plakat itu dia menghadapi semua orang:
"Di bawah perintah giok hijau ini, kalau ada yang
menutupi kenyataan sebenarnya, akan dihukum sesuai
peraturan perkumpulan!"
Semua murid Pek-lian-kauw tampak ketakutan dan
menyembah.
"Aku tahu selama beberapa hari ini ada orang dengan
kata-kata jahat mengancam dan memaksa orang desa yang
lugu menyerahkan anak laki-laki dan anak perempuan
mereka untuk dilatih yang dikatakan Pek-kut-mo-kang (Umu
iblis tulang putih), aku memberikan peringatan terakhir,
peri-laku sesat itu segera harus berakhir, kalau tidak, setelah
masalah di Siong-san selesai, aku akan membunuh orang
seperti itu!"78
Semua orang terdiam, Thian-te-siang-cun tidak bereaksi
apa-apa, sepertinya masalah ini tidak ada hubungan dengan
mereka dan tidak tahu menahu tentang hal ini.
"Aku akan memperlihatkan benda itu kepada kalian!"
Put-lo-sin-sian tepuk tangan.
Dua murid Pek-lian-kauw keluar dari hutan dan
menggotong sebuah kotak besar, melihat kotak kayu itu
wajah Thian-te-siang-cun segera berubah.
Kotak kayu itu diletakkan di depan Put-lo-sin-sian, dua
murid Pek-lian-kauw itu segera mundur.
"Inilah benda perkumpulan kita, apa isinya, kalian pasti
sudah tahu, cepat keluarkan!" Put-lo-sin-sian membentak.
Empat murid Pek-lian-kauw keluar dari hutan, mereka
adalah orang yang tadi menggotong kotak itu ke hadapan
Thian-te-siang-cun.
"Orang dan benda curian tertangkap basah, apa yang
akan kalian katakan?"
"Kauwcu menyalahkan kami yang tidak bersalah... "
empat murid Pek-lian-kauw itu segera berlutut.
"Kalian berani bicara lagi!" Kedua alis Put-lo-sin-sian
terangkat, "biar kalian merasakan apa yang disebut Lengyan-soh-hun!"
Kata-katanya baru selesai, jari tengah Put-lo-sin-sian
menyentil, suara keras memecah langit, 4 murid Pek-liankauw tadi telah roboh dan mati seketika.
Semua orang tampak ketakutan, hanya Thian-te-siangcun terlihat tenang, mereka tahu Put-lo-sin-sian akan
melindungi mereka, karena telah menghukum 4
pengkhianat, untuk sementara tidak akan diusut lagi.
Benar saja, Put-lo-sin-sian tidak berkata apa-apa lagi, dia
mengibaskan lengan bajunya, angin kencang terus79
menggulung kotak kayu itu belah, tapi dua karung yang
tersimpan di dalamnya tidak terganggu.
"Buka ikatannya..." pesan Put-lo-sin-sian.
Dua murid Pek-lian-kauw segera membuka ikatan karung
dan terpaku di sana, karena di dalam karung berisi 2 ekor
babi kecil.
Thian-te-siang-cun dan semua murid Pek-lian-kauw
tampak terkejut, Put-lo-sin-sian pun terpaku.
Fu Hiong-kun yang berada di atas pohon melihat
semuanya, dia segera berpikir itu tentu prkerjaan orang
berbaju mewah itu, kemudian dia melihat 2 ekor babi kecil
terus berlarian dan barisan murid Pek-lian-kauw tampak jadi
ribut, dia tertawa hingga mengeluarkan suara.
Put-lo-sin-sian segera bereaksi, dua alisnya segera
terangkat, kemudian tertawa dingin:
"Menukar matahari dengan bulan, baiklah! Kalau Tuan di
depan Siang-cun bisa melakukan jurus ini, berarti Tuan
memang hebat, biar mereka tahu di atas langit sana masih
ada langit yang lebih tinggi, di atas manusia sana masih ada
manusia yang lebih kuat!"
Wajah Thian-te-siang-cun tidak ada ekspresi sedikit pun,
tapi dari mata mereka memancarkan aura membunuh.
Fu Hiong-kun tidak bisa melihat reaksi Thian-te-siangcun, tapi kata-kata Put-lo-sin-sian semua terdengar jelas. Dia
sadar tawanya tadi sudah diketahuii oleh Put-lo-sin-sian.
"Kalian berdua sudah lama mencuri dengar rapat kami,
sudah waktunya kalian pergi!" kata Put-lo-sin-sian.
Fu Hiong-kun merasa aneh, seseorang sudah turun dari
atas pohon seperti seekor kera, dia adalah orang berbaju
mewah itu.
"Maksudnya adalah kita!" Wajah orang itu penuh tawa.80
Fu Hiong-kun melihatnya dan tidak bersuara. Kata-kata
Put-lo-sin-sian terdengar lagi:
"Malam ini aku ada urusan penting, tidak leluasa
melayani kalian, kelak bila ada kesempatan aku akan
meminta petunjuk kepada kalian berdua, sekarang dengan
iringan suara kecapi ini aku akan mengantarkan tamu-tamu
pergi!"
Tawa orang berbaju mewah segera berhenti, dia segera
berkata:
"Nona, cepat pergi! Suara kecapi Jit-sat (7 roh jahat)
tidak akan bisa membuat kita kuat bertahan!" dia segera
berlari.
Fu Hiong-kun ingin bertanya tapi suara kecapi sudah
terdengar, seperti suara guntur, walaupun tenaga dalamnya
lumayan tinggi tapi dia tetap tergetar oleh suara kecapi dan
dia merasa bergoyang goyang, dia segera meloncat dari atas
pohon.
Dia mencari orang itu tapi sudah tidak ter-lihat jejaknya.
Fu Hiong-kun tertawa kecut sambil menggelengkan kepala.
"Orang itu..." suara kecapi terdengar lagi untuk kedua
kalinya. Fu Hiong-kun segera berlari dengan cepat dan
menghilang di dalam kegelapan.
Put-lo-sin-sian tidak memetik kecapi untuk ketiga kali,
dia membiarkan Fu Hiong-kun dan orang berbaju mewah itu
pergi. Baginya tidak ada hal lebih penting dari
pertarungannya dengan Sin-can Sangjin di Siong-san.
Fu Hiong-kun mengendarai kuda dan saat ini dia sudah
tiba di Siong-san, setelah melakukan perjalanan selama 3
hari dia berhenti mengikuti aturan Sia-be-pak (tugu turun
dari kuda) kemudian berjalan kaki menuju Siauw-lim-si.81
"Hari ini dan esok, Siauw-lim-si tidak menerima tamu,
harap Sicu kembali lagi nanti!" dua orang hweesio menahan
Fu Hiong-kun di luar kuil.
"Aku adalah murid Heng-san-pai dari Kou-siu-an, aku
diperintahkan guruku datang kemari untuk menemui
pemimpin kalian!" Fu Hiong-kun mengeluarkan sepucuk
surat.
Dua orang hweesio yang bertugas melayani tamu segera
melihat surat itu dan saling bertukar pandang. Yang satu
membawa surat itu masuk, yang satu lagi merangkapkan
telapak tangannya berkata:
"Harap Sicu menunggu sebentar!"
Baru saja Fu Hiong-kun akan menjawab, dia melihat
hweesio yang bertugas melayani tamu, melihat ke arah jauh,
mengikuti arah pandangannya. Benar saja ada orang sedang
berjalan mendekatinya, dia adalah orang berbaju mewah itu.
Melihat Fu Hiong-kun ada di situ, orang berbaju mewah
terlihat terkejut. Setibanya di sisi Fu Hiong-kun dia baru
berkata:
"Sungguh kebetulan!"
"Ke mana aku pergi, kau juga pasti akan pergi ke sana,
benar-benar sangat kebetulan!" jawab Fu Hiong-kun dengan
santai, "tapi sayang Siauw-lim-si hari ini dan esok tidak
menerima tamu!"
"Benarkah?" orang berbaju mewah itu segera berbicara
kepada hweesio yang bertugas melayani tamu, "Aku
persilahkan guru melapor, bahwa orang yang datang dari ibu
kota sudah tiba!"
Hweesio itu terpaku:
"An-lek-hou..." dengan cepat dia memberi hormat.
(Hou=gubemur, An-lek= jabatan).82
"Tuan Su sudah datang, kami..."
Orang berbaju mewah melambaikan tangannya:
"Tidak usah seperti itu..."
"Silakan masuk dan duduk di dalam!"
"Di sini pun sama!"
"Orang dunia persilatan harus menghormati
aturan dunia persilatan!"
"Biar aku melapor kepada Hong-tiang!" kata hweesio itu
dan segera membalikkan tubuh dan berlari.
"Apakah Anda An-lek-hou, Su Yan-hong?" tanya Fu
Hiong-kun.
"Benar!" Su Yan-hong tampak terkejut.
"Nona..."
"An-lek-hou adalah orang berilmu tinggi juga menguasai
sastra tinggi, dan murid Kun-lun-pai Tiong Toa-sianseng, di
dunia persilatan ini siapa yang tidak tahu Anda?"
"Oh!" Su Yan-hong memberi hormat.
"Siapakah nama Nona?"
"Fu Hiong-kun dari Heng-san-pai!"
"Oh!" Su Yan-hong tidak berkata apa-apa lagi, menilik
sikapnya kepada Fu Hiong-kun yang datang dari Heng-sanpai dia punya sedikit kesan.
"Anda tidak menikmati hidup di ibu kota, lalu datang ke
Siauw-lim-si, ada keperluan apa?"
Su Yan-hong hanya tertawa, tidak menjawab. Fu Hiongkun pun tidak bertanya lagi.
Tidak lama kemudian, sekelompok hweesio keluar dan
dalam kuil. Fu Hiong-kun memang tidak mengenali mereka,
tapi dia bisa menebak siapa saja, yang paling depan adalah
Hong-tiang Siauw-lim-si, Bu-go Taysu.83
"Lihat! Hongtiang Siauw-lim-si sendiri yang keluar
menyambutmu!" nada bicara Fu Hiong-kun bertambah
dingin.
Su Yan-hong hanya tertawa.
Tapi begitu tiba di hadapan mereka, Bu-go Taysu malah
menyapa Fu Hiong-kun dan bertanya:
"Bagaimana keadaan gurumu? Apakah dia baik-baik
saja?"
Fu Hiong-kun merasa terkejut, tapi dia tetap tidak lupa
untuk bersikap sopan:
"Baik..."
"Antarkan Nona Fu ke Ceng-sin-goan untuk beristirahat!"
pesan Bu-go Taysu.
Fu Hiong-kun tidak banyak bertanya lagi, setelah di Kusiu-an selama 3 tahun dia menjadi sangat bisa menguasai
diri.
Bu-go Taysu berkata kepada Su Yan-hong:
"Hou-ya, silakan ke ruang tamu untuk mengobrol!"
Yang berbicara di ruang tamu hanya ketua Siauw-lim-pai,
Bu-go Taysu, tianglo Siauw-lim-si, Bu-wie Taysu dan Su Yanhong.
"Baginda sudah beberapa kali memberikan banyak
sumbangan, sekarang Hou-ya sendiri yang datang ke Siauwlim-si, apakah ada firman dari baginda?"
Bu-go Taysu tidak berbelit-belit langsung bertanya.
"Siauw-lim-si adalah tempat belajar agama Budha secara
tepat dan lurus, Siauw-lim-si juga tempat asal ilmu silat
Tionggoan. Baginda sudah lama berencana menginginkan
Hong-tiang datang ke ibu kota untuk mempropagandakan
agama Budha, beliau juga ingin mengangkat Taysu menjadi
Kembalinya Ilmu Ulat Sutra Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Koksu."84
"Pinceng terima kebaikan baginda di dalam hati!" Bu-go
Taysu melafalkan bacaan Budha.
"Maksud baginda terasa tulus dan iklas..."
"Pinceng mengerti, hanya saja pinceng telah mengabdi
kepada Budha, maka sudah tidak tertarik pada semua itu..."
Bu-go Taysu berkata sambil menarik nafas, "apalagi Siauwlim-si akan menghadapi sebuah halangan, mengurus sendiri
pun masih merasa kewalahan."
"Maksud Taysu apakah masalah pertarungan antara Putlo-sin-sian dan Sin-can Sangjin?"
"Perjanjian pertarungan akan dilakukan esok hari,
pertarungan menyangkut hidup dan mati Siauw-lim, maka
malam ini di Siauw-lim-si akan diadakan membaca ayat suci
Budha untuk menyam-but tetua Siauw-lim Cu-koan (keluar
dari tempat latihan silat)."
"Sebelum Sin-can Sangjin Jit-koan, namanya sudah
menggetarkan dunia persilatan. Golongan sesat dan siluman
sangat takut pada beliau, jadi Taysu tidak perlu merasa
khawatir!"
"Aku berharap begitu!" Bu-go Taysu menarik nafas
panjang.
"Baginda..."
Bu-go Taysu melayangkan tangan memotong, dia
mengalihkan pembicaraan:
"Apakah keadaan Tiong Toa-sianseng baik-baik saja?"
"Setiap tahun aku pasti pergi ke Kun-lun, Suhu baik-baik
saja dan dalam keadaan sehat!"
"Sebelum tetua Jit-koan (masuk berlatih silat) beliau
sudah 3 kali mengunjungi Kun-lun menenui Tiong Toasianseng untuk mengobrol secara luas, waktu itu pinceng85
selalu ikut, setelah dihitung-hitung tidak terasa sudah lewat
23 tahun." Bu-go Taysu menghembus nafas panjang.
Su Yan-hong masih belum mengerti Bu-go Taysu sudah
bersikeras, dia masih bertanya:
"Apakah Taysu bisa mempertemukan aku dengan tamu
yang ada di Teng-toh-goan?"
"Oh?" Bu-go Taysu terpaku.
"Ini adalah kehendak baginda!"
Bu-go Taysu melihat Bu-wie, Bu-wie tertawa dan
berkata:
"Ini adalah kehendak Langit!"
"Kehendak Langit sulit ditebak." Bu-go Taysu melafalkan
ayat suci Budha lagi.
Tong-toh-goan (Ruangan mendengar gelombang) yaitu
mendengar suara alunan gelombang bambu. Teng-toh-goan
adalah sebuah rumah ber-loteng kecil, bila kita duduk di atas
loteng dan angin kencang berhembus lewat, kita seperti
duduk di atas sampan yang sedang berjalan di atas
gelombang besar.
Wan Fei-yang sudah tidak punya perasaan seperti itu,
mungkin karena dia sudah terbiasa atau karena perasaannya
sudah mati.
Dia sendiri menganggapnya seperti itu, tapi begitu dia
melihat Su Yan-hong, dia tidak bisa menguasai diri dan
datang menyambutnya.
"Apa kabar, Hou-tayjin?" nadanya masih penuh dengan
kehangatan.
"Baik!" Su Yan-hong memegang erat kedua tangan Wan
Fei-yang, "Lo-te, masalahnya sudah lewat..."
Wan Fei-yang mengangguk:
"Terima kasih Hou-ya sudah menolong nyawaku..."86
"Lagi-lagi kau mengatakan masalah ini lagi, sebenarnya
tidak ada hubungannya denganku," Su Yan-hong tertawa.
"Tiga tahun yang lalu, ketika di Tai-san saat aku
menyambut pukulan Tokko Bu-ti, sekalipun menang tapi
nadi-nadiku sudah banyak yang putus, kalau bukan karena
bertemu dengan Hou-ya, dan memberikanku obat Cian-lianciap-su lalu mengantarkan aku ke Siauw-lim-si, dibantu oleh
Bu-go Taysu dengan ilmu tusuk jarum, sehingga membuat
nadiku tersambung kembali seperti semula, kalau tidak,
walaupun aku tidak mati, aku percaya aku sudah menjadi
orang cacat."
Inilah alasan mengapa diam-diam dia mening galkan Fu
Hiong-kun, dia sadar kalau dia tidak akan bisa hidup lama,
untuk apa membuat Fu Hiong-kun sedih, maka dia hanya
bisa bersembunyi, tidak disangka dia bertemu Su Yan-hong,
akhirnya dirinya malah tertolong.
"Cian-lian-ciap-su adalah benda yang diberikan pejabat
daerah kepada baginda, aku hanya mengambilnya saja!
Kalau Bu-go Taysu tidak punya hati seperti Budha walaupun
aku mempunyai obat itu pun percuma saja," kata Su Yanhong sambil tertawa, "semua sudah berlalu, jangan
dibicarakan lagi!"
"Apa tujuan Hou-ya datang kemari kali ini?"
"Sebenarnya aku diperintahkan oleh baginda raja!"
"Bila ada masalah, katakanlah langsung."
"Baginda ingin bertemu denganmu!"
Wan Fei-yang terkejut, lama baru berkata:
"Aku adalah orang desa, tidak tahu sopan santun, lebih
baik tidak bertemu dengan baginda!"
"Terus terang saja..." dengan serius Su Yan-hong berkata,
"kekuasaan kerajaan sekarang jatuh ke tangan Liu-kun, Liu-87
kun adalah orang serakah di kerajaan, dia selalu
menyingkirkan orang yang tidak sependapat dengannya, dan
menarik orang-orang sesat, maka baginda ingin kau masuk
ke istana untuk membantu beliau!"
"Orang dunia persilatan tidak..."
Su Yan-hong memotong:
"Apakah kau tega melihat negara kita jatuh ke tangan
orang licik?"
"Hou-ya, kata-katamu terlalu berat!" Wan Fei-yang
tertawa. Su Yan-hong adalah murid terbaik Tiong Toasianseng, ilmu silat dan kepintaran nya lebih tinggi dari
orang lain, "Hou-ya di sana, siapa yang berani membuat
baginda susah?"
"Kalau hanya sendiri sulit bertahan.
"Besok Siauw-lim-pai dan Pek-lian-kauw akan bertarung,
apakah Hou-ya sudah tahu?" Wan Fei-yang mengalihkan
pembicaraan.
Su Yan-hong tertawa:
"Bagaimana pertarungannya menurutmu?"
"Kalah menang sudah terlihat jelas!"
"Oh!" Su Yan-hong tidak mengerti.
"Aku hanya percaya, yang sesat tidak akan bisa menang
dari yang lurus!" kata Wan Fei-yang tertawa, "kepandaian
Sin-can Sangjin adalah Kim-kong-sin-hoat (Ilmu pukulan Kimkong) beliau juga menciptakan Ho-bu-kiu-thian (Sembilan
hari bangau menari), dia Pi-koan selama 20 tahun, aku
percaya beliau sudah sampai pada taraf bisa menggeser
bentuk dan mengganti bayangan. Siauw-lim-si sudah berdiri
selama beberapa ratus tahun, mana mungkin beliau dengan
mudah terkalahkan?"88
"Kalau begitu pertarungan besok, Pek-lian-kauw pasti
kalah!"
"Kita lihat saja besok!" kata Su Yan-hong.
Wan Fei-yang tidak menjawab, tiba-tiba dia berkata:
"Dengar..." terdengar suara gagah sedang melantunkan
ayat kitab suci, suara ini mengikuti arah angin, Wan Fei-yang
berkata sendiri, "Siauw-lim-si patut disebut Siauw-lim-si,
semua orang bersatu, apakah bisa membuatku tidak percaya
yang lurus mengalahkan yang sesat, Siauw-lim-si tidak
musnah Sin-can Sangjin pasti menang?"
"Dua ekor harimau bertarung pasti ada yang terluka," Su
Yan-hong menarik nafas, "melihat keadaan sekarang, orangorang jahat tampaknya sedang memegang peran, kalau
orang dunia persilatan bisa menyingkirkan perbedaan
perkumpulan dan bersama-sama membantu membantu
kerajaan.."
"Hou-ya mulai lagi!" Wan Fei-yang memotong katakatanya dan tertawa.
"Mendengar suara yang melantunkan ayat suci, aku
terpikir kalau pesilat di ibu kota biar pejabat bagian tentara
atau ekonomi bisa kompak seperti murid Siauw-lim-si,
dinasti Beng pasti akan kuat, rakyat akan hidup tenang, tidak
akan seperti sekarang ini," ucap Su Yan-hong.
Wajahnya memang tertawa, tapi sorot matanya terlihat
penuh kekhawatiran.
Matahari sudah terbit, orang yang melantunkan ayat suci
masih belum berhenti.
Di gua Yan-sia, Bu-go Taysu dan para hweesio tidak
terlihat lelah, sikap mereka terlihat tenang, berbaris begitu
teratur.89
Pintu gua Yan-sia akhirnya terbuka pelan-pelan. Sinar
matahari masuk, menyinari Sin-can Sangjin yang berambut
dan berkumis putih, rambutnya terjuntai panjang hingga ke
bawah.
Dua ekor bangau berdiri di atas pundaknya, dia
tersenyum seperti datang dari Kim-thian tempat bermukim
para dewa.
Suara orang melantunkan ayat suci tiba-tiba berhenti,
semua hweesio bersorak:
"Tecu menyambut Tianglo Cu-koan."
Sin-can Sangjin melambaikan tangan, bangau putih
terbang ke angkasa dan masuk menembus awan putih.
Bu-go Taysu segera membawa satu setel jubah hweesio
berwarna merah, berjalan ke depan-nya.
Setelah memakai jubah merah itu, Sin-can Sangjin
bertambah gagah, di depan ruangan di atas panggung dia
duduk bersila. Menerima pemberian hormat semua murid
Siauw-lim-si. Lalu dia berkata: "20 tahun yang lalu aku dan
Pek-lian-kauw-cu, Put-lo-sin-sian bertemu di Tai-san, aku
memberi khotbah selama 3 hari 3 malam kepada Put-lo-sinsian, tapi hati Put-lo-sin-sian tidak tergerak sedikit pun dan
berjanji bertemu kembali 20 tahun kemudian, hari ini, yang
kalah harus membawa semua muridnya masuk ke
perkumpulan lawan. Aku percaya Budha selalu ada dan jalan
lurus selalu akan menang, maka aku menyetujui perjanjian
ini. Murid-murid Siauw-lim-si bila takut kalah dan tidak mau
tunduk kepada lawan, boleh pergi dulu meninggalkan Siauwlim, kami tidak akan mengusut lebih jauh."
Mereka berlutut, tidak ada seorang pun yang
meninggalkan tempat, semua sesuai dengan perkiraan Fu
Hiong-kun dan Su Yan-hong, mereka merasa murid Siauw-90
lim memang berbeda dengan murid Pek-lian-kauw, mereka
bersungguh-sungguh.
"Baik!" Sin-can Sangjin tertawa, "Jit-sat-kim dari Pek-liankauw-cu akan membuat rohmu hancur, dengan keadaan
kalian sekarang belum tentu kalian kuat bertahan dan
mengendalikannya, aku harap kalian keluar dulu dari kuil ini,
mengurangi yang terluka dan nyawa yang tidak perlu
dikorbankan."
"Tecu mengikuti perintah!" jawab semua murid Siauwlim-si.
Sin-can Sangjin melihat Fu Hiong-kun:
"Aku tahu hubungan antara gurumu dan Pek-lian-kauwcu mengenai apa yang diminta guru-mu, aku tidak ada
komentar lain."
Fu Hiong-kun tidak tahu menahu apa yang dituliskan
oleh Ku-suthay, tapi dia tetap mengangguk dan
mengucapkan terima kasih.
Lalu Sin-can Sangjin melihat Su Yan-hong:
"Apakah Tiong Toa-sianseng masih terus melancong
mengelilingi dunia?"
"Selama 20 tahun ini masih tetap seperti itu!" jawab Su
Yan-hong dengan sikap hormat. Dia adalah keturunan raja
Tiong-san dan menjadi pejabat, tapi di dunia persilatan, dia
tetap menghormati aturan dunia persilatan.
"Baik!" Sin-can Sangjin sangat gembira.
Waktu itu terdengar suara musik aneh datang dari jauh.
***91
BAB 17
"Put-lo-sin-sian benar-benar menepati janji!" kata Sincan Sangjin, "kita sambut para tamu..."
Bu-go Taysu melafalkan bacaan Budha, dia yang
memimpin barisan menyambut tamu.
Wan Fei-yang yang sedang berada di Teng-toh-goan
setelah mendengar alunan musik yang aneh, malah duduk
bersila untuk mengatur nafas. Dan sikapnya makin tenang.
Yang masuk ke lapangan di depan ruang Siauw-lim-si
hanya Pek-lian-kauw-cu, Put-lo-sin-sian sendiri. Dia memeluk
kecapi tuanya, pelan-pelan berjalan menuju panggung yang
berada di depan Sin-can Sangjin lalu duduk bersila.
Sin-can Sangjin segera membaca:
"O-mi-to-hud..."
Dengan tenang Put-lo-sin-sian meletakkan kecapi tuanya
dan tertawa:
"Sin-can Sangjin, apa kabar?"
"Baik!"
"Siong-san Siauw-lim-si sungguh gunung terkenal dan
kuilnya sudah kuno, sungguh luar biasa!"
"Kuil Siauw-lim sudah biasa dibuka untuk umum dan
kegagahannya bukan hanya Kauwcu yang
menyebutkannya!"
"Tapi aku sangat menyayangkan karena besok di saat
yang sama seperti sekarang ini, Siong-san Siauw-lim-si akan
hancur!"
"Belum tentu!"
"Sin-can Sangjin, kata-katamu 20 tahun lalu apakah kau
menyesalinya?"92
"O-mi-to-hud," kata Sin-can Sangjin sambil tertawa,
"hweesio dilarang berkata sembarangan, bila sudah
mengeluarkan kata-kata tidak boleh ada penyesalan, apakah
Kauwcu..."
"Aku tidak merasa menyesal, pertarungan hari ini kalau
tidak bisa menggetarkanmu hingga hancur, maka aku yang
kalah!"
Kedua alis putih Put-lo-sin-sian terangkat.
Sin-can Sangjin tertawa:
"Budhaku yang baik, suara kecapi Jit-sat memang sangat
Kembalinya Ilmu Ulat Sutra Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lihai, tapi belum tentu semua sesuai keinginan Kauwcu!"
"Baiklah, Sin-can Sangjin, aku terima jurus Ho-bu-kiuthian, kemudian aku akan memecahkan Kim-kong-ting!" Putlo-sin-sian tertawa.
"Aku akan menuruti perintahmu!" kata Sin-can Sangjin
tidak mengganti posisinya.
Put-lo-sin-sian membentak, langit seperti akan terbelah,
guntur seperti berbunyi keras, diiringi bentakannya dia
meninggalkan panggung itu, langsung menyerang Sin-can
Sangjin. Saat lewat seakan angin berhembus kencang, batu
dan pasir beterbangan, murid-murid yang sedang berdiri
tampak bajunya terus berkibar tertiup angin.
Sin-can Sangjin memang meninggalkan panggung, tapi
posturnya masih tetap bersemedi.
Put-lo-sin-sian menyerang terlebih dulu, kepalan tangan
dan kaki sama-sama menyerang, sampai-sampai lututnya
pun menjadi alat untuk menyerang. Tubuhnya seperti tidak
bertulang, bisa berputar sesuai dengan keinginannya sendiri
dan menyerang musuh dengan arah berbeda.
Ada orang yang melukiskan kelincahan seorang pesilat
tangguh seperti seekor landak, sekarang melihatnya seperti93
itu benar-benar memang mirip landak, mungkin hanya Putlo-sin-sian saja yang seperti itu.
Bu-go Taysu, Fu Hiong-kun, dan Su Yan-hong melihat
seluruh bagian tubuh Sin-can Sangjin menjadi sasaran
empuk Put-lo-sin-sian juga sangsi apakah gerakan Sin-can
Sangjin bisa sama cepatnya.
Sin-can Sangjin tidak menerima juga tidak pasrah sama
sekali, sebab dia sudah tidak ada di tempatnya, dia sudah
keluar dari sasaran serangan Put-lo-sin-sian.
Gaya duduknya tidak banyak berubah, sekali pun ada
kemungkinan tidak secepat Put-lo-sin-sian, tapi dia sanggup
melakukannya.
Hanya Put-lo-sin-sian yang tahu alasan sebenarnya
karena di matanya Sin-can Sangjin bukan hanya ada satu tapi
berubah menjadi beberapa puluh, dia tidak bisa tahu di
mana Sin-can Sangjin yang sebenarnya, bila dia salah
menyerang akan terjadi hal yang tidak dia inginkan.
Saat pesilat tangguh bertarung tidak boleh membuat
kesalahan, Put-lo-sin-sian bergerak dan menyerang dengan
cepat, Sin-can Sangjin tidak bisa membalas menyerang.
Gerakannya pelan tapi tepat, dia mulai mengelilingi Putlo-sin-sian.
Put-lo-sin-sian berubah lagi sambil tertawa berkata:
"Ilmu It-seng-hoan-eng yang hebat..." (meng geser
bentuk menukar bayangan), suaranya tenang tidak
terganggu dengan perubahan tubuhnya. Sorot matanya
segera melihat ke bawah, Sin-can Sangjin memang berubah
menjadi puluhan sosok tapi di bawah sinar matahari,
bayangan yang ada di bawah hanya ada satu.
Bayanga semakin mengecil, kedua tangan Sin-can Sangjin
melayang. Dengan jurus bangau naik ke langit, dia segera94
naik ke atas, melihat sorot mata Put-lo-sin-sian melihat ke
bawah dia sadar tidak bisa menyembunyikan bentuknya lagi
maka dia segera terbang ke atas.
It-seng-hoan-eng adalah sebuah ilmu meru-bah tubuh
yang didukung dengan perubahan tenaga batin (hipnotis),
yang dimaksud tenaga batin seperti ilmu dari Mo-kauw, ilmu
mengganti roh. Ilmu keluarga Lamkiong Se-sin-sut dan
hipnotis dari Bi-cong. Put-lo-sin-sian tidak mau melihat mata
Sin-can Sangjin, maka dia tidak terganggu oleh ilmu sihirnya
dan mengambil kesempatan melihat bayangan di bawah
sinar matahari, maka kesempatan pun menghilang.
Put-lo-sin-sian tidak bergeser, dia tertawa:
"Sin-can Sangjin, kau sudah Jit-koan selama 20 tahun,
malah belajar ilmu-ilmu dari Mo-kauw!"
"Budha bukan iblis, iblis bukan Budha, iblis juga Budha,
bukan iblis bukan Budha!" kata Sin-can Sangjin di tengahtengah udara tampak terbang.
"Sembarangan bicara!" kata Put-lo-sin-sian tertawa dan
dia juga naik ke atas.
Sin-can Sangjin terbang seperti bangau, ke dua lengan
bajunya seperti bangau yang sedang menari saat bermain di
Kiu-thian (tempat para dewa).
Put-lo-sin-sian juga terbang, ke kiri 3 kali ke kanan 3 kali,
tapi tetap tidak bisa mengejar Sin-can Sangjin.
Di udara Sin-can Sangjin terus menari-nari seperti seekor
bangau, dia terbang di atas kepala Put-lo-sin-sian, kedua
tangannya berubah menjadi paruh bangau, kemudian
berubah menjadi cakar bangau. Mematuk dan mencakar,
dengan cepat memaksa Put-lo-sin-sian turun.95
Put-lo-sin-sian dengan miring kembali ke arah panggung,
kemudian mencengkeram kecapi kunonya, kecapi sudah
berada di atas pangkuannya.
Bersamaan waktu Sin-can Sangjin juga turun di panggung
sebelah sana.
"Ho-bu-kiu-thian memang hebat, awalnya aku tertipu
oleh It-seng-hoan-eng juga Ho-bu-kiu-thian, aku kalah," Putlo-sin-sian tertawa.
Bu-go Taysu, Su Yan-hong, dan Fu Hiong-kun serta
murid-murid Siauw-lim melihatnya. Begitu mendengar katakata Put-lo-sin-sian, wajah mereka segera terlihat senang,
ilmu silat Sin-can Sangjin lebih tinggi dari yang mereka duga,
tadi mereka terlalu tegang, sekarang bisa lebih tenang.
"Aku ingin tahu ilmu Kim-kong-can-ting mu seperti apa?"
"Selama 20 tahun Kim-kong-can-ting (Kim-kong
bersemedi) ingin meminta petunjuk Jit-sat-kim I nya
Kauwcu!"
"Sobat satu hati sulit ditemui, aku akan I memetik
lagunya dengan sungguh-sungguh!" Put-lo-sin-sian
membereskan kecapi kunonya.
Sin-can Sangjin melihat, dia segera melambaikan tangan:
"Kalian pergilah keluar!"
Bu-go Taysu melantunkan ayat kitab suci, membawa
semua orang keluar. Fu Hiong-kun dan Su Yan-hong terpaksa
mengikuti dari belakang.
Sin-can Sangjin menurunkan tasbih dari lehernya,
memejamkan matanya sambil menghitung butiran tasbih,
dia juga melafalkan ayat kitab suci di dalam hati.
Put-lo-sin-sian membereskan bajunya juga membereskan
rambutnya yang berantakan.96
Bu-go Taysu duduk bersila di lapangan berum put, dia
juga menurunkan tasbih dari lehernya dan dengan diam
menghitung, Bu-wie Taysu dan anak buahnya serentak ikut
menurunkan tasbih dari leher masing-masing.
Su Yan-hong melihat semua hweesio di sana, kemudian
melihat Fu Hiong-kun berpesan:
"Hati-hati, Nona!"
Fu Hiong-kun tidak bersuara, dia duduk di atas batu
besar sedang mengatur nafas, siap mena-han nada Jit-satkim milik Put-lo-sin-sian. Waktu dia memetik kecapi dengan
asal-asalan untuk mengantarkan para tamu, itu saja sudah
membuat hatinya bergetar, sekarang dia harus sepenuh hati
mempersiapkan diri.
Dengan hati-hati Sin-can Sangjin memerintah kan semua
orang keluar dari kuil. Fu Hiong-kun tidak menganggapnya
berlebihan.
Akhirnya kedua tangan Put-lo-sin-sian menekan senar
kecapi. Suaranya seperti guntur membuat tanah bergetar.
Tubuh Sin-can Sangjin bergetar tapi dia segera
menenangkan diri, wajahnya tidak berubah, Put-lo-sin-sian
melihatnya, dia tertawa dingin, jarinya diputar, suara kecapi
berdenting lagi. Dari alunan pelan hingga mengencang,
begitu gagah lalu seperti bisa menggeser gunung,
menumpahkan air laut.
Burung-burung yang diam di sana segera beterbangan,
daun-daun terus berguguran.
Suara kecapi dipetik dengan tenaga dalam, tidak hanya
mendesak hati dan roh, juga bisa membunuh makhluk hidup
di dunia ini.97
Sin-can Sangjin seperti tidak punya perasaan, tasbih
diputar dengan teratur, bibirnya terus bergetar, dia diam
melafalkan ayat kitab suci.
Suara kecapi terdengar keras dan aneh, seperti dipetik
asal-asalan tapi jika didengar dengan teliti seperti ada
nadanya.
Sepertinya ini adalah alunan musik paling aneh juga
penuh dengan hawa siluman.
Sin-can Sangjin tidak mendengar petikan kecapi, awalnya
dia hanya melafalkan ayat kitab suci, kemudian dia juga tidak
melafalkannya, dia sudah berada pada tahap kosong, semua
kosong.
Suara kecapi semakin lihai, semakin aneh, juga penuh
dengan hawa siluman.
Bu-go Taysu tidak sekuat Sin-can Sangjin, dari luar
terlihat tidak berperasaan tapi dalam hati mulai terkejut dan
mulai mengeluarkan keringat dari dahinya.
Ekspresi Su Yan-hong semakin serius, alis Fu Hiong-kun
berkerut, tidak sulit melihat dia tampak sedang berusaha
menjaga ketenangan.
Para hweesio memiliki reaksi tidak sama, ada yang
tubuhnya bergoyang, ada yang menutup telinga, ada yang
berguling-guling di padang berumput itu.
Semakin Put-lo-sin-sian memetik kecapi terdengar
semakin cepat, jarinya terus menari-nari di atas senar.
Jarinya terlihat semakin putih dan semakin mengkilat,
akhirnya menjadi 10 batang giok.
Sin-can Sangjin tetap memejamkan mata, tangannya
tetap menggulir tasbih, gerakannya semakin pelan, daun
yang gugur semakin banyak.98
Akhrinya dari dahi Fu Hiong-kun keluar keringat, kedua
tangan tidak bisa menutup telinganya, dan SRAAT, tusuk
konde yang ada di kepal-anya tiba-tiba putus dan melesat
keluar.
Su Yan-hong terkejut, dia mengangkat tangan dan tepat
bisa menyambut tusuk konde itu, lalu tertawa kecut kepada
Fu Hiong-kun.
Fu Hiong-kun segera melihat ke tempat lain.
Su Yan-hong tidak bisa bicara, dengan cepat dia
memejamkan mata untuk bersemedi, dahinya pun mulai
berkeringat.
10 jari dan wajah Put-lo-sin-sian berubah menjadi warna
hijau giok. Dia masih memetik kecapi, 10 jarinya berubah
menjadi 10 cahaya yang bergerak, suara kecapi yang
kencang sudah membuat makhluk dalam radius ratusan
depa di sekitarnya mati.
Daun habis berguguran, semua nadi putus, kulit pohon
mulai layu dan terbelah terus mengeluarkan suara.
Sin-can Sangjin yang ada di depan Put-lo-sin-sian tidak
bisa tidak mengalami perubahan. Tasbih berputar dengan
pelan tapi masih terus berputar.
Di sana terdengar ada burung bangau berteriak, bangau
yang telah terbang menembus awan, waktu itu dia terbang
kembali ke gua Yan-sia. Sin-can Sangjin yang sudah bergaul
20 tahun bersemedi di sana belum lagi mendekat,
bangaunya sudah terbujur mati di bawah.
Sin-can Sangjin seperti mendengar teriakan bangau itu,
dia ingat bangau itu baru menetaskan telur dan melahirkan
bangau-bangau kecil.99
Sepasang bangau putih terbang kembali karena masih
ada 4 ekor bangau kecil itu, 2 bangau dewasa tidak bisa
terhindar dari kematian, apa lagi 4 ^ ekor bangau kecil.
Sin-can Sangjin pernah berpikir atas keselama tan muridmurid Siauw-lim-si, tapi dia lalai terhadap ? 4 ekor bangau
kecil itu.
Bukan manusia saja yang bernyawa, karena itu ^ Sin-can
Sangjin membuka matanya, dia melihat pohon yang sudah
layu dan terbelah serta sepasang bangau k yang sudah
terbujur mati.
Kemudian melihat Put-lo-sin-sian, dia merasa sorot
matanya tajam dan dingin. Waktu itu suara kecapi yang aneh
serta dipenuhi hawa siluman mengambil kesempatan masuk.
Sekali demi sekali menghantam ke dalam jantungnya,
pikirannya jadi pecah dan tidak bisa dikumpulkan kembali.
Seorang hweesio selalu mementingkan hati yang baik,
sepasang bangau itu sudah menemaninya j selama 20 tahun
dan membantunya berlatih ilmu 'Ho-bu-kiu-thian?, di antara
mereka telah terjalin persahabatan yang dalam, apa lagi 4
ekor bangau kecil itu.
Manusia adalah manusia, pasti akan ada sifat lalainya,
terhadap Put-lo-sin-sian dia terpikir harus mempunyai
tenaga dalam yang kuat untuk menahan alunan Jit-sat-kim.
Dia terpikir keselamatan akan manusia, tapi lalai dengan
nyawa burung bangau.
Mendengar teriakan burung bangau itu, membuatnya
teringat pada kelalaiannya, hingga terlupa pada alunan Jitsat-kim, teriakan burung bangau membuat kematian datang
menjemputnya.
Ketika konsentrasinya buyar, lantunan ayat kitab suci
sudah menghilang dari otaknya. Tasbih yang sedang100
dihitungnya pun berhenti, ketika dia ingat pada Put-lo-sinsian dan ingin mengembalikan konsentrasinya, semua sudah
terlambat.
Alunan kecapi telah masuk ke dalam syarafnya, nadinadinya dengan cepat membengkak.
Keringat mulai keluar, begitu keluar meng-uap menjadi
asap putih.
Wajahnya mulai berubah, dari merah muda menjadi
merah tua, dari merah tua menjadi merah darah.
Put-lo-sin-sian melihat perubahan Sin-can Sangjin
dengan jelas, kedua tangannya memetik lebih cepat lagi.
Kumis dan rambutnya pun tersibak, suara kecapi sudah
menutupi bumi ini. Bukan hanya bumi dan langit, sampai
awan pun sepertinya ikut berubah warna.
Yang dilihat Sin-can Sangjin adalah merah, kemudian
menjadi gelap, cairan di dalam tubuhnya sudah habis dan
mengering, darahnya pun hampir kering.
Cahaya kulitnya semakin menghilang, wajahnya
memancarkan kesedihan. Tasbih yang di pegang nya tibatiba putus, tangan kanannya bersamaaan tergeletak ke
Kembalinya Ilmu Ulat Sutra Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bawah, jari tengah seperti ulat pelan-pelan mengukir di atas
papan batu menuliskan ?bangau putih'.
Put-losin-sian menghentikan petikan kecapinya, dia
tertawa panjang tiga kali menghadap langit.
Fu Hiong-kun, Su Yan-hong, Bu-go Taysu, dan Bu-wie
Taysu tampak terkejut. Mereka segera berlari masuk, para
hweesio mengikuti mereka.
Bu-go Taysu berhenti di bawah panggung, melihat abu
mayat yang terbang dihembus angin, hatinya benar-benar
bergejolak dan terharu.
"O-mi-to-hud, tetua sudah pergi!" dia berlutut di bawah.101
Para hweesio berlutut dan membacakan ayat kitab suci,
bumi dan langit hanya berisi kesedihan.
Put-lo-sin-sian menatap langit. Setelah suara bacaan doa
berhenti, dia tertawa dengan sombong:
"Bu-go Taysu, pada pertarungan kali ini sebenarnya Sincan Sangjin sangat beruntung, karena berada di tempatnya
sendiri, banyak pendukung juga waktu yang tepat, tapi dia
tetap saja kalah, sekarang apa yang akan Siauw-lim-pai
katakan?"
"Tidak ada satu kata pun yang perlu diucapkan!" Bu-wie
Taysu menarik nafas panjang dan membaca ayat kitab suci.
"Cepat buka jubah hweesio kalian dan hancurkan tasbih
lalu caci maki kepada Budha sebanyak-banyaknya!" Kata
Put-lo-sin-sian sambil menunjuk patung Budha.
Semua hweesio berteriak, Su Yan-hong dan Fu Hiong-kun
benar-benar marah.
"Budhaku yang baik, Siauw-lim akan mengalami
musibah, aku yang menjadi ketua Siauw-lim tidak sanggup
menolong murid-murid, aku malu menjadi ketua Siauw-lim,
hanya dengan kematian baru bisa menjaga kesucian hati
kepada Budha!" dia tertawa sedih, telapaknya dibalik
menghantam kepalanya lalu roboh dan berhenti bernafas.
Tidak ada seorang pun yang sempat menghadang,
teriakan terdengar dari semua penjuru.
Put-lo-sin-sian seperti tidak ada kejadian apa-apa, dia
tertawa dingin:
"Bu-wie, bagaimana denganmu?"
Bu-wie Taysu melihat para hweesio Siauw-lim lainnya.
Di antara hweesio-hweesio itu ada yang marah dan
mengepalkan tangan, ada yang menundukkan kepala
kehilangan semangat.102
Sorot mata Bu-wie berputar:
"Ketua sudah mengorbankan diri untuk menjaga
kesucian Budha, seharusnya aku ikut tapi aku adalah
pelindung Siauw-lim, aku harus ber-pesan jelas terlebih dulu,
kalau kalian ingin masuk Pek-lian-kauw untuk melindungi
nyawa kalian, aku tidak akan melarangnya. Kalau menolak,
biar aku membereskan semua masalah di Siauw-lim terlebih
dulu lalu kita sama-sama ikut tetua dan ketua Siauw-lim
pergi ke alam sana!"
Put-lo-sin-sian tertawa terbahak-bahak, dia melihat
semua hweesio:
"Siapa yang ingin hidup, harap berdiri!"
Semua terdiam tidak ada yang bersuara, seorang
hweesio muda berdiri dan berjalan ke balik punggung Put-losin-sian, ada ke satu pasti ada ke dua, ke tiga, tidak banyak,
jumlah mereka hanya 14 orang.
Semua hweesio melihat mereka dengan sorot mata
mengejek.
Put-lo-sin-sian dengan tertawa melihat 14 orang hweesio
itu: "Aku pernah berkata, buka baju hweesio kalian,
hancurkan tasbih yang menggantung di leher kalian dan caci
maki Hud-cu (patung Budha)."
Awalnya 14 orang hweesio itu tampak ragu, akhirnya
mereka mulai membuka baju hweesio mereka.
Dalam barisan hweesio itu banyak yang masih muda,
mereka tampak marah:
"Pengkhianat.. ."
Ada dua orang hweesio muda segera menerjang kepada
Put-lo-sin-sian, yang satu berteriak:
"Siluman, aku akan bertarung denganmu!"103
Sebenarnya mereka sudah menyerang sekuat tenaga tapi
ilmu silat mereka terlalu jauh. Masih di udara, dia sudah
disentil oleh Put-lo-sin-sian dan terbanting hingga jatuh dan
langsung mati.
"Siauw-lim-pai adalah perkumpulan besar dan ternama,
tidak disangka banyak orang yang tebal muka dan tidak tahu
malu dan setelah berjanji malah tidak ditepati!" Put-lo-sinsian tertawa dingin.
"Siapa yang tidak terima, ayo serang aku!"
Tiga orang hweesio segera keluar, Fu Hiong-kun lebih
cepat dibanding mereka, Bu-wie Taysu lebih cepat lagi.
Bu-wie Taysu mencegat Fu Hiong-kun dan membaca:
"O-mi-to-hud, ini adalah urusan Siauw-lim-si dengan Peklian-kauw, harap Sicu jangan campur tangan!"
"Guru..."
"Jangan berlama-lama di sini!" Bu-wie Taysu menarik
nafas, "murid Siauw-lim-si boleh mati, tapi jangan
melakukan penghinaan kepada perguruan kami!"
Tiga orang hweesio mundur dengan penuh kemarahan,
Put-lo-sin-sian melihat 14 orang hweesio itu:
"Hancurkan tasbih-tasbih dan caci maki sang Budha!"
"Put-lo-sin-sian, kau jangan terlalu senang dulu!"
Terdengar suara seseorang.
Put-lo-sin-sian melihat Su Yan-hong yang entah kapan
sudah berada di atas panggung.
"Siapa kau?"
"Orang yang suka ikut campur masalah orang lain!"
"Apakah kau sanggup ikut campur?" Put-lo-sin-sian
tertawa dengan sombong.
"Aku hanya bertanya, apakah Anda orang yang menepati
janji?"104
"Kau kira Pek-lian-kauw sama dengan Siauw lim-si?" Putlo-sin-sian tertawa, "kata-kataku bisa dipegang..."
"Dengan cara apa Sin-can Sangjin Cianpwee dan Anda,
menentukan menang atau kalah?"
"Apakah kalau suara Jit-sat-kim tidak membuat lawan
menjadi abu lalu terbang tertiup angin, berarti kau yang
kalah?"
Dengan sombong Put-lo-sin-sian tertawa:
"Kecuali abu, apa yang bisa kau cari?"
"Potongan telapak!" Su Yan-hong meng-korek-korek abu
mayat, ada potongan baju hweesio, di bawah jubah ada
potongan tangan, walaupun terpotong tapi tidak hancur,
karena menemukan potongan tangan itu, dia meloncat naik
ke panggung.
Begitu melihat potongan tangan itu, tawa Put-lo-sin-sian
segera membeku.
Su Yan-hong berteriak:
"Walaupun Sin-can Sangjin sudah meninggal, tapi
tangannya masih utuh, berarti beliau yang memenangkan
pertarungan ini!"
Semua hweesio tampak bengong, kemudian mereka
berlutut, air mata pun menetes.
"O-mi-to-hud!" Bu-wie Taysu berkata dengan terharu,
"aturan Budha tidak terbatas, Siauw-lim-si tidak akan
musnah!"
"Tidak disangka..." rambut dan kumis Put-lo-sin-sian
tampak bergetar, "Sin-can Sangjin adalah keledai botak yang
licik, lebih licik dariku, dia sudah tahu Kim-kong-can-ting
tidak akan bisa mengalahkan105
suara Jit-sat-kim, tapi tetap saja dia mengumpul-kan
semua tenaga di telapaknya, hari ini aku kalah tapi dengan
tindakan mulia!"
"O-mi-to-hud..." Bu-wie Taysu mengatupkan kedua
telapaknya, "Kauwcu benar-benar menjaga janjinya, kami
kagum kepadamu!"
Jantung Put-lo-sin-sian berdebar-debar, dia berkata
sendiri:
"Alunan suara Jit-sat-kim tetap tidak terkalah
kan!"
Bu-wie melafalkan bacaan Budha lagi, Put-lo-sin-sian
tiba-tiba melambaikan lengan bajunya:
"Sudah terjadi seperti ini, tidak perlu banyak bicara lagi,
aku akan mengembalikan para pengkhianat ini kepadamu
untuk dibereskan."
Wajah 14 orang hweesio yang tadi berpaling tampak
pucat, mereka segera berlutut di depan Bu-wie Taysu. Tidak
menunggu mereka memohon ampun, dia sudah berkata
dengan tenang:
"Selama ribuan tahun ini, orang hanya mati satu kali, aku
tidak menyalahkan kalian yang ingin meninggalkan Siauwlim, kalian harus mengoreksi kesalahan kalian sendiri."
Empat belas orang hweesio itu terlihat malu, mereka
menyembah 3 kali, kemudian merangkak ke belakang kuil.
Bu-wie Taysu membalikkan tubuh berjalan ke depan Su
Yan-hong dan berlutut:
"Terima kasih..."
"Jangan begitu!" Su Yan-hong meloncat turun dari atas
panggung dan memapah Bu-wie Taysu I berdiri.
Hweesio yang lain pun ikut berlutut. Put-lo-sin-sian
tertawa dingin:106
"Suara kecapi ku tidak terkalahkan, tapi bisa-bisanya
kalah karena sebuah potongan tangan, Siauw-lim-si tidak
musnah, aku mengakui cara Budha benar-benar tidak
terbatas!"
"Cara Budha memang tidak terbatas, Sin-can Sangjin
memang belum bisa mengerahkan tenaga penuh
memenangkan pertarungan, itu adalah alasan mengapa
beliau kalah," suaranya terdengar jelas keluar dari arah Yansia-tong.
Mendengar suara itu hati Fu Hiong-kun berdebar-debar,
suara, wajah, juga tawa Wan Fei-yang yang terukir sekali di
dalam hatinya, mana mungkin bisa terlupakan?
Yang datang emang Wan Fei-yang, kedua tangannya
membawa 4 ekor mayat bangau kecil, datang seperti awan
berjalan.
Sorot mata Fu Hiong-kun terasa membeku, mimpi pun
dia tidak menyangka kalau dalam waktu 3 tahun kemudian
dia akan bertemu Wan Fei-yang di sini.
Dia ingin berteriak tapi tidak ada suara yang keluar, kata
"Wan-toako" hanya sampai di tenggorok-an sudah
tersendat, tiba-tiba dia ingin menangis.
Matanya berkaca-kaca, tapi akhirnya dia bisa menahan
tidak menangis.
Wan Fei-yang pun melihat Fu Hiong-kun, dia terpaku,
tapi sorot matanya sekejap kembali melihat Put-lo-sin-sian.
"Siapa kau?" kata Put-lo-sin-sian sambil menyi pitkan
matanya. Dia melihat pemuda itu ber-beda dengan yang
pemuda biasanya, apa lagi tenaga dalam nya berada di atas
Su Yan-hong.
"Bu-tong Wan Fei-yang..107
"Wan Fei-yang?" kata Put-lo-sin-sian sedikit terkejut,
"kau adalah Wan Fei-yang yang telah mengalahkan Tokko
Bu-ti, orang-orang menyebutmu sebagai orang nomor satu
di dunia ini."
"Mereka terlalu memuji! Di luar gunung masih ada
gunung yang lebih tinggi, di atas orang masih ada orang yang
lebih hebat!"
"Kata-kata ini tidak pantas diucapkan oleh anak muda,
kalau seorang pemuda berpikir seperti itu bagaimana dia
bisa dengan leluasa melanglang dunia. Tadi menurutmu Sincan Sangjin belum mengeluarkan seluruh tenaganya, dari
mana kau bisa tahu?"
Wan Fei-yang mengambil bangau yang sudah mati dari
bawah pohon, dengan tenang dia meloncat ke atas
panggung. Meletakkan mayat bangau itu di atas baju Sin-can
Sangjin:
"Sin-can Sangjin Lo-cianpwee ketika bertapa di Yan-siatong, setiap hari hanya ditemani bangau-bangau ini selama
20 tahun, kemudian melihat suara Jit-sat-kim sudah
membunuh semua makhluk di dunia ini, dia teringat pada 4
ekor bangau kecil yang ada di Yan-sia-tong..."
"Ini adalah suatu kelalaian," Put-lo-sin-sian memotong,
"seorang hweesio harus sangat teliti, menolong semua
makhluk, tapi dia hanya tahu harus i menolong nyawa
manusia tapi nyawa bangau terlupakan, dosa ini tidak bisa
diampuni."
"Karena dia mengkhawatirkan nyawa para bangau, maka
pikiran Sin-can Sangjin terpecah, maka suara kecapi bisa
mengambil kesempat-an..."
"Itu karena kestabilannya tidak cukup, jika I Kim-kongcan-ting sudah mencapai pada tingkat j tertinggi, Tai-san108
longsor pun tidak akan berpengaruh, karena bangau putih
itu Sin-can Sangjin tergoyahkan, seorang hweesio atau nikoh
memang harus berhati hati, tapi masih kurang tingkatannya,
lebih-lebih lalai dan belum sekuat tenaga berusaha, maka
menyebabkan kematiannya jangan salahkan orang lain," Putlo-1 sin-sian tertawa.
"Jika Kim-kong-can-tng seperti ini, walau pun tidak kalah,
karena nyawa Bangau akan kalah oleh j orang lain, aku yang
salah bicara satu kalimat, kalah
I atau menang ditentukan oleh tubuhnya yang sudah
menjadi abu!"
Wan Fei-yang terdiam, Put-lo-sin-sian ber-kata
lagi:
"Yang menang, tidak menang, yang kalah pun tidak
kalah. Jago nomor satu di dunia persilatan, masih suara
kecapi Jit-sat-ku..." tiba-tiba dia ber-henti bicara, matanya
berkedip, dia melihat Wan Fei-yang dari bawah ke atas, dari
atas ke bawah.
Hati Bu-wie Taysu tergerak, suara lantunan bacaan
Budha keluar lagi. Wajah Su Yan-hong dan Fu Hiong-kun
tampak berubah, apa yang dipikirkan Put-lo-sin-sian
gampang ditebak oleh mereka.
Put-lo-sin-sian tertawa:
"Sin-can Sangjin adalah nomor satu dari Siauw-lim-si,
semua orang di dunia persilatan tahu. Setelah 20 tahun
Kembalinya Ilmu Ulat Sutra Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bersemedi, seperti aku, orang yang mengingat kita sudah
tidak banyak, kalau mengatakan nomor satu akan dikatakan
memberi julukan untuk dirinya sendiri, teman-teman dunia
persilatan tidak akan terima."
Wan Fei-yang menarik nafas panjang, dia sangat
mengerti ada nada jengkel datang lagi.109
"Pertarungan antara aku dan engkau tidak bisa dihindari
lagi!" kata Put-lo-sin-sian, "menurut orang dunia persilatan
Thian-can-sin-kang sangat aneh dan misterius di antara
murid-murid Bu-tong-pai hanya kau saja yang
menguasainya. Sampai-sampai ilmu iblis dari Tokko Bu-ti pun
bisa kalah, kesempatan ini jarang ada, maka aku harus
meminta petunjuk kepada orang nomor satu di dunia
persilatan ini!"
"Apakah orang dunia persilatan memang harus seperti
itu?" Wan Fei-yang menggelengkan kepala.
"Tidak bertarung juga tidak apa-apa, asal kau mengaku
kepada dunia luar bahwa kau kalah dariku, ilmu silat Butong-pai kalah dari ilmu silat Pek-lian-kauw, kelak bila anak
murid Bu-tong bertemu anak murid Pek-lian-kauw kalian
harus bersembunyi!" Put-lo-sin-sian bicara dengan santai.
"Apakah Kauwcu tidak ingin beristirahat dulu..tanya Wan
Fei-yang.
"Sin-can Sangjin tidak menghabiskan tenaga dalamku,
kalau sekarang harus beristirahat dulu, berarti selama 20
tahun ini aku sia-sia bersemedi!" Put-lo-sin-sian menjawab
dengan sombong.
Wan Fei-yang segera duduk bersila, seperti tidak sengaja
melihat ke arah Fu Hiong-kun. Fu Hiong-kun ingin
mengatakan sesuatu tapi tidak jadi, walau pun tidak bicara
tapi sinar yang mengandung perhatian sudah terlihat dari
sorot matanya.
Bu-wie Taysu dan para hweesio dalam lantun an bacaan
ayat suci mundur dari sana. Fu Hiong-kun dan Su Yan-hong
berjalan paling belakang. Tiap maju selangkah, Fu Hiong-kun
selalu menoleh ke belakang. Hatinya terasa kacau, apakah
Wan Fei-yang bisa bertahan terhadap suara Jit-sat-kim milik110
Put-lo-sin-sian, dia tidak yakin. Dia pernah menyaksi kan
kehebatan Thian-can-sin-kang, tapi suara Jit-sat-kim tadi bisa
menggetarkan roh, tetap membuatnya khawatir.
Setelah di luar kuil, Bu-wie Taysu menggelengkan kepala:
"Tidak disangka Put-lo-sin-sian yang telah berumur senja,
masih suka berpetualang dan galak!"
"Kalau tidak, perjanjian bertemu setelah 20 tahun tidak
akan ditepatinya dan bersikukuh ingin bertarung dengan Sincan Sangjin Lo-cianpwee!" Su Yan-hong tertawa kecut,
"kalah atau menang seseorang, apakah begitu penting?
Bu-wie Taysu mengerti maksud Su Yan-hong.
"Tadi Put-lo-sin-sian hanya mengaku di mulut, tapi dalam
hati dia tidak terima, dia tidak akan menyuruh murid-murid
Pek-lian-kauw untuk bergabung ke Siauw-lim-pai, bila dia
sendiri bergabung dengan Siauw-lim-si, malah akan menjadi
malapetaka bagi Siauw-lim!"
"Lalu harus dengan cara apa mengatasinya?" Tanya Fu
Hiong-kun.
"Kecuali dia mau menerima Budha di dalam hatinya..."
Alis Fu Hiong-kun berkerut, dia mulai tidak
berkonsentrasi. Su Yan-hong seperti merasakannya, dengan
cepat berkata:
"Nona, hati-hati!"
Kata-katanya belum selesai, alunan suara kecapi sudah
datang, baru dimulai saja sudah seperti suara guntur
menggelegar.
Fu Hiong-kun seperti baru terbangun dari mimpi, dia
duduk bersila di atas batu besar untuk mengatur nafas.
Tidak hanya 10 jari, semua tangan sudah berubah
menjadi warna giok, matanya pun seperti memancarkan
cahaya hijau melihat Wan Fei-yang.111
Jari yang jatuh di atas senar pun bercahaya hijau, suara
kecapi yang tajam terus menusuk telinga siapa pun, suara
Jit-sat-kim dalam tahap ini adalah tahap yang paling tinggi.
Tadi ketika Put-lo-sin-sian menggetarkan Sin-can Sangjin
dia menggunakan tenaga sebanyak 90%, sekarang hampir
mencapai 100%, maka keringat mulai keluar dari poriporinya, otot di tangan dan dahi-nya bermunculan seperti
cacing yang sedang merayap.
Tapi Wan Fei-yang yang berada di depannya, sedikit
keringat pun tidak keluar, sikapnya begitu tenang, suara
kecapi seperti tidak terdengar dan tidak dia terganggu,
perasaan lain pun tidak terlihat.
Tampaknya tenaga dalam Wan Fei-yang berada di atas
Kim-kong-can-ting.
Sin-can Sangjin sudah puluhan tahun menjadi seorang
hweesio, semua bisa dianggap kosong dan ilmu Kim-kongcan-ting adalah ilmu yang harus di gunakan dengan
konsentrasi penuh dan hati yang tenang. Wan Fei-yang
masih begitu muda, mana mungkin punya kekuatan begitu
mantap.
Hal ini membuat Put-lo-sin-sian merasa aneh, dia melihat
Wan Fei-yang, dia menambah tenaga lagi pada jarinya. Suara
Jit-sat-kim sudah berada pada nada tertinggi.
Waktu itu mata Wan Fei-yang terbuka, dia membentak
dengan keras.
Kerasnya suara Wan Fei-yang tidak terlukiskan, tidak
hanya bisa menutup suara kecapi juga seperti palu besi
memukul hati Put-lo-sin-sian.
TUNG, TUNG, TUNG, 3 kali berbunyi, senar Jit-sat-kim
putus 3 helai, kulit jarinya pun terluka.112
Kedua alis Put-lo-sin-sian terangkat, dia memetik sisa 4
senarnya, cara memetiknya hampir seperti orang gila.
Wan Fei-yang menarik nafas panjang, lalu membentak
lagi. Dan 3 senar mengikuti bentakan Wan Fei-yang terputus
lagi, 10 jari Put-lo-sin-sian jadi memetik tempat kosong,
wajahnya berubah dan terus berubah lagi, keringat terus
menetes dari dahi-nya, tiba-tiba terdengar suara aneh,
ternyata jarinya jatuh di senar terakhir juga senar paling
kasar, dia menarik dan memetik senar itu dengan gila.
Dalam keadaan seperti itu otomatis senarnya
mengeluarkan suara aneh, tapi kekuatannya sangat hebat
dan kencang tadi seperti tidak pernah ada.
Rambut Wan Fei-yang yang panjangnya sebahu segera
beterbangan. Sorot matanya dengan cepat melihat senar
terakhir, tiba-tiba dia meloncat, bersamaan waktu
membentak lagi.
Senar itu segera putus dan mengeluarkan asap putih
dengan cepat menyebar. Sampai asap putih itu menghilang,
kecapi yang bernama Jit-sat-kim sudah berubah menjadi
hitam hangus.
Wajah Put-lo-sin-sian menjadi pucat, dia roboh di
belakang kecapinya, jarinya terus mengeluarkan darah, dia
berusaha merangkak bangun, mulutnya dibuka dia pun
memuntahkan darah segar.
Wan Fei-yang terbang ke atas kemudian turun di sisi Putlo-sin-sian. Dari balik baju bagian dada dia mengeluarkan
sebuah botol, kemudian mengeluarkan sebutir obat
memapah Put-lo-sin-sian bangun.
Tapi Put-lo-sin-sian menggelengkan kepala:
"Tidak ada gunanya lagi..113
Tapi Wan Fei-yang tetap menaruh obat itu ke dalam
mulutnya, Put-lo-sin-sian terpaksa menelannya. Kemudian
dia menggelengkan kepala:
"Nada Jit-sat-kim seharusnya melukai musuh bukan
melukai tuannya, bila dia tidak bisa melukai musuh, dia pasti
akan melukai tuannya, semua nadiku sudah tergetar putus,
sekalipun dewa yang datang untuk menolongku sudah tidak
ada gunanya lagi."
Ada suara orang melantunkan bacaan Budha. Bu-wie
Taysu sudah membawa hweesio-hweesio kem bali, tapi Fu
Hiong-kun segera melewati mereka.
Langkah-langkah Fu Hiong-kun belum benar, karena dia
baru bisa menenangkan hatinya, dia mengkhawatirkan
keselamatan Wan Fei-yang, karena itu dia tidak
berkonsentrasi, untung tenaga dalamnya kuat, kalau tidak,
dia sudah terluka oleh Jit-sat-kim.
Su Yan-hong mengikuti Fu Hiong-kun, karena dia merasa
kali ini dia menghadapi nada kecapi yang sangat sulit, dia
mengira karena ilmu lweekangnya sedikit berkurang tidak
terpikir yang lain, dia juga siap menolong. Tapi Fu Hiong-kun
begitu cepat sudah kembali seperti asal, semua benar-benar
di luar dugaannnya.
Melihat Wan Fei-yang selamat, hati Fu Hiong-kun baru
tenang. Tidak saat melihat Put-lo-sin-sian, dia segera
teringat pesan gurunya, dengan cepat dia berlari ke atas
panggung.
Put-lo-sin-sian melihat Bu-wie Taysu dan para hweesio,
tiba-tiba dia tertawa:
"Katanya nasib Siauw-lim-si sangat baik, ternyata benar,
tapi yang mengalahkanku bukan dari Siauw-lim, melainkan
dari Bu-tong..." dia berhenti sejenak bertanya kepada Wan114
Fei-yang, "kau adalah pesilat nomor satu, benar-benar tidak
salah!"
Kata-katanya baru selesai, dia memuntahkan darah lagi.
Fu Hiong-kun sudah berada di atas panggung, dia berjongkok
di depan Put-lo-sin-sian.
"Boanpwee adalah murid Heng-san-pai Fu Hiong-kun."
Put-lo-sin-sian terpaku matanya berputar:
"Kau..."
"Guru memerintahkanku membawa sebuah kotak kecil."
"Kau anak murid Kou-siu-an?"
"Betul!" Fu Hiong-kun mengeluarkan kotak itu.
Mata Put-lo-sin-sian melihat kotak kecil itu. Daging di
sudut matanya terus bergetar, tiba-tiba dia bertanya:
"Apakah dia masih mengingatku?"
Fu Hiong-kun tidak menjawab, karena dia tidak tahu
harus menjawab apa. Kedua tangan Put-lo-sin-sian bergetar
mengambil kotak itu dan membukanya.
Barang yang berada di dalam kotak adalah sebuah tusuk
konde emas, setelah Put-lo-sin-sian melihat dia sangat
terharu dan berkata sendiri:
"Dia masih menyimpan tusuk konde ini..
"Masih ada kata-kata yang ingin guru sampai kan kepada
Lo-cianpwee..."
"Cepat katakan..."
Fu Hiong-kun membisikan kata-kata yang ingin
disampaikan Ku-suthay. Mata Put-lo-sin-sian tampak
berkaca-kaca, dia mengambil tusuk konde itu dan
memegangnya dengan erat menghadap langit, bibirnya
bergetar tapi tidak ada perkataan yang keluar dari mulutnya.115
"Lo-cianpwee..." Fu Hiong-kun ingin mengatakan
sesuatu.
"Ini kehendak Langit!" kata Put-lo-sin-sian menarik nafas
panjang, "Kalau dia mengatakan 20 tahun yang lalu, mana
mungkin aku berubah jadi seperti ini?" lalu dia
menundukkan kepala, "jaga gurumu baik-baik!"
"Pasti, Lo-cianpwee tenang saja!"
Put-lo-sin-sian tertawa, tawa tidak bisa berdaya:
"Tidak tenang pun tetap harus tenang!"
Hatinya jadi tenang, dia mendengar suara orang-orang,
terakhir melihat wajah Bu-wie Taysu:
"Mau Siauw-lim, mau Bu-tong, kekalahanku hari ini
kuterima dengan lubuk hatiku yang terdalam, sekarang
sesuai dengan perjanjian, semua murid Pek-lian-kauw akan
naik gunung untuk mengikuti kalian percaya pada Budha,
harap kalian bisa mendidik mereka, dan aku akan mati
dengan tenang!"
"O-mi-to-hud, kami akan berusaha keras membantu
mereka!" kata Bu-wie Taysu, kedua tangan nya dirangkapkan
menjadi satu dan membaca bacaan ayat kitab suci.
Put-lo-sin-sian segera mengeluarkan sebatang mercon
dari balik baju bagian dadanya, kemudian dia
menembakkannya ke atas, mercon meletus di tengah
angkasa. Keluar gambar sebuah bunga teratai berwarna
merah, lama terpampang di angkasa.
Setelah gambar bunga teratai memudar dan menghilang,
tetap tidak ada reaksi apa pun. Akhirnya Put-lo-sin-sian
curiga.
"Kauwcu..." akhirnya Su Yan-hong tidak tahan lagi,
"kurasa mereka tidak akan naik gunung!"116
Put-lo-sin-sian melihat Su Yan-hong, tiba-tiba dia teringat
sesuatu:
"Apakah kau pernah menyuruh orang menukar anak
kecil dalam karung dengan babi kedi?"
"Maaf!" Su Yan-hong tidak menolak tuduh-an ini.
"Kau curiga terhadap isyarat yang ku-keluarkan?"
Su Yan-hong menggelengkan kepala:
"Boanpwee... jangan percaya apa yang dikatakan ketua
cabang, Kauwcu sudah bersemedi selama 20 tahun..."
"Ada yang tidak tahu..."
"Tidak tahu apa?"
"Pengikut Pek-lian-kauw sekarang tidak seperti dulu lagi,
mereka membuat bencana di dunia persilatan bukan sekali
dua kali saja, sekarang Kauwcu sudah kalah, mereka menjadi
pengkhianat dan mendirikan perkumpulan lain!"
"Maksudmu apakah Thian-te-siang-cun?"
"Orang dunia persilatan menyebut mereka 'Ku-hai-siangyau' (Sepasang siluman menderita), Boanpwee kalau tidak
tahu sifat mereka tidak akan bertindak..."
Put-lo-sin-sian tampak berpikir sebentar, dia menarik
nafas:
"Aku tahu, hati mereka sudah tidak beres dan menunggu
setelah peristiwa Siong-san baru akan dibereskan,
sekarang..." dia menarik nafas dan melihat Su Yan-hong,
"Siapakah Tuan?"
"Su Yan-hong."
"Baiklah..." Put-lo-sin-sian tampak sedang berpikir, "aku
lihat kau adalah orang yang berdiri di atas keadilan..."
"Bila Kauwcu ada pesan katakan saja!"117
"Aku harap kau bisa membantuku menyelesaikan satu
masalah!"
Kembalinya Ilmu Ulat Sutra Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Boanpwee akan berusaha!"
"Bila aku mati nanti, pengikut Pek-lian-kauw pasti akan
berubah total, Thian-te-siang-cun akan terus mempelajari
ilmu iblis Pek-kut, sekarang mereka sudah menguasai ilmu
itu, bila mereka bertambah tinggi tingkatnya akan lebih sulit
meng-hadapi mereka, maka harus secepatnya mencari
mereka mewakiliku membereskan masalah
perkumpulanku!" Put-lo-sin-sian segera mengeluarkan giok
dan memberikannya pada Su Yan-hong, "Ini adalah Pi-giokleng (Perintah giok hijau), biasanya dipegang oleh Kauwcu,
melihat Pi-giok-leng seperti melihat orang.."
"Tapi Boanpwee sudah masuk perkumpulan Kun-limpai..."
"Kalau begitu kau cari orang yang bisa menjadi
penerusku. Pek-lian-kauw sudah berdiri selama ratusan
tahun, tidak boleh hancur di tanganku!" suara Put-lo-sin-sian
semakin melemah, dia terus memuntahkan darah.
Su Yan-hong melihat keadaannya seperti itu, dia tidak
tega mengembalikan Bi-gok-leng, akhirnya dia mengangguk:
"Kauwcu, tenang saja!"
Put-lo-sin-sian tertawa:
"Pi-giok-leng ini..
Kata-katanya terputus, darah menyembur lagi, dia
menggelengkan kepala, kemudian menatap tusuk konde itu.
Perasaannya jadi haru dan sedih, dia tertawa.
Itulah tawa terakhirnya, setelah itu dia sudah
memejamkan mata, jiwanya sudah melayang, tapi tubuhnya
masih berdiri tegak dan tidak bergeming.118
Bu-wie Taysu menarik nafas panjang, suara lantunan
ayat kitab suci keluar lagi dari para hweesio, suara itu
menggetarkan bumi dan langit.
Su Yan-hong melihat Pi-giok-leng yang ada di tangannya,
dia juga melihat Put-lo-sin-sian, meli-hat abu mayat Sin-can
Sangjin yang ada di atas panggung, dia menarik nafas
panjang.
Sorot mata Fu Hiong-kun beralih dari tangan Put-lo-sinsian yang masih terus memegang tusuk konde ke wajah Wan
Fei-yang.
Wan Fei-yang menatap langit, wajahnya datar, tidak ada
seorang pun yang tahu bagaimana perasaannya, Fu Hiongkun pun tidak terkecuali.
0-0-0
Di pondok kedi.
Wan Fei-yang mengantar Su Yan-hong keluar dari Siauwlim-si, sampai di depan pondok kecil itu mereka baru
berhenti.
Fu Hiong-kun berada di sisinya, dia benar-benar takut
kehilangan Wan Fei-yang lagi! Sampai sekarang dia baru
mengerti mengapa Ku-suthay selalu menolak mencukur
rambutnya menjadi nikoh, karena terhadap Wan Fei-yang
dia benar-benar mencintainya dengan sangat dalam.
Sepanjang perjalanan Su Yan-hong selalu diam, sekarang
baru membuka suara untuk bertanya:
"Apa Lo-te sudah mengambil keputusan?"
Wan Fei-yang tertawa:
"Hou-ya tidak perlu bertanya lagi!"119
"Hari ini kita berpisah, entah kapan baru bisa bertemu
lagi!" kata Su Yan-hong.
"Bila ada jodoh kita pasti akan bertemu lagi!"
"Betul!" Su Yan-hong tertawa, "bila kau datang ke ibu
kota jangan lupa pada Kang-thiat-say-cu (Singa baja)
bermarga Su, orang lain akan mem-beritahu di mana bisa
mencariku!"
Wan Fei-yang mengangguk, Su Yan-hong berkata kepada
Fu Hiong-kun:
"Nona, bila ada kesalahan yang telah kuper-buat, mohon
maafkan aku, marga Su selalu seperti itu, ingin berubah
sangat sulit, aku kembali kan tusuk konde ini kepadamu!"
Dari balik bajunya dia mengeluarkan tusuk konde milik
Fu Hiong-kun yang sudah patah dan melesat keluar karena
kecapi Jit-sat.
"Hou-ya berkata terlalu berat!" Fu Hiong-kun mengambil
tusuk kondenya, dia menatap Wan Fei-yang, "Kalau tahu
Hou-ya adalah teman Wan-toako, aku tidak berani berbuat
macam-macam!"
Mata Fu Hiong-kun memancarkan kelembutan, tapi Wan
Fei-yang seperti tidak merasakannya, dia hanya menatap Su
Yan-hong.
Su Yan-hong pamit, setelah dia tidak ter-lihat lagi. Wan
Fei-yang baru melihat Fu Hiong-kun:
"Sekarang semua sudah selesai, apa rencanamu
berikutnya?"
"Bagaimana denganmu sendiri?" Fu Hiong-kun balik
bertanya.
"Aku sudah terbiasa di Teng-toh-goan selama 3 tahun ini,
kurasa lebih baik aku tinggal di Siauw-lim-si!" nada bicara
Wan Fei-yang sangat dingin.120
Fu Hiong-kun seperti tidak mendengar, dia
menundukkan kepalanya:
"Sekarang aku baru mengerti kata-kata guruku!"
"Apa yang dikatakan beliau?"
"Katanya jodoh di dunia fanaku belum berakhir, aku
tidak cocok menjadi nikoh!"
Wan Fei-yang terpaku:
"Kau ingin menjadi nikoh?"
"Sekarang sudah tidak lagi!" Fu Hiong-kun
menggelengkan kepala, "aku sudah lama belajar ilmu
ketabiban, harus melayani pasien yang miskin!"
Tidak bisa dipungkiri bukan ini yang dia ingin sampaikan
kepada Wan Fei-yang. Wan Fei-yang pura-pura tidak
mengerti, hanya mengangguk:
"Benar, kau masih muda harus menyayangi dirimu
sendiri, kau berhati baik, pasti akan hidup bahagia!"
"Apakah aku masih bisa hidup bahagia?"
"Pasti bisa!"
"Maksudmu, kau tidak akan meninggalkanku
lagi?"
Akhirnya Wan Fei-yang mengerti, di wajahnya muncul
raut kesedihan:
"Hiong-kun..."
"Selama 3 tahun ini walaupun aku berada di Kou-siu-an,
tapi hatiku tetap..."
"Hiong-kun..."
Wan Fei-yang memotong kata-kata Fu Hiong-kun:
"Aku sudah putus dari jodoh di dunia fana, dan tidak
ingin memikirkan percintaan lagi."
"Aku tahu, aku memang tidak pantas untukmu..." kepala
Fu Hiong-kun ditundukkan.121
"Salah, seharusnya aku yang mengucapkam kata-kata
tadi, hanya saja di dalam hatiku, kau selalu menjadi adikku!"
Fu Hiong-kun tiba-tiba mengangkat kepalanya:
"Apakah kau belum pernah..."
"Seumur hidup aku hanya menyukai 2 orang gadis, yang
satu adalah Sumoiku, Lun Wan-ji, yang satu lagi adalah adik
perempuanku Tokko Hong..
"Mereka sudah meninggal!" Fu Hiong-kun memegang
tiang pondok, tubuhnya terus gemetar.
"Benar, tapi mereka akan selalu hidup di dalam hatiku
selamanya!"
"Wan-toako, untuk apa kau terus menyiksa diri seperti
ini?" mata Fu Hiong-kun tampak berkaca-kaca, sambil
menggelengkan kepala dia terus mundur.
Wan Fei-yang tidak menoleh, dia berdiri tegak tidak
bergerak, tubuhnya seperti terbuat dari besi.
Akhirnya Fu Hiong-kun menangis, kedua tangan
menutupi wajahnya dan dia berlari keluar dari pondok.
Wan Fei-yang mendengar tangisan Fu Hiong-kun yang
telah menjauh, dia benar-benar hancur, kepalannya
melayang dia memukul tiang pondok itu kemudian memeluk
tiang itu, nafasnya ngos-ngosan.
"Hiong-kun..." matanya berkaca-kaca, dia terbatuk dan
muntah darah.
"Wan-tayhiap..." Bu-wie Taysu keluar dari hutan bambu
dan berlari ke depan Wan Fei-yang, dia segera memapahnya.
"Guru..." Wan Fei-yang melihat Bu-wie Taysu dan
menggelengkan kepala.
"Suara Jit-sat-kim tidak bisa dianggap remeh, dari awal
aku sudah melihat ada yang tidak beres!" Bu-wie mengeluh,
"karena itu aku selalu mengawasimu..."122
"Kita tinggalkan tempat ini dulu..." kata Wan Fei-yang.
"Nona Fu sangat mencintaimu, mengapa kau menolak
cintanya?"
"Guru adalah hweesio, jangan pedulikan hubungan
antara laki-laki dan perempuan."
"Seorang hweesio harus berhati baik, hweesio juga
berharap orang yang saling mencintai, bisa menikah, Nona
Fu pandai dan cantik..."
"Guru harus tahu, aku sedang terluka berat, hidupku
tinggal sebentar lagi..." akhirnya Wan Fei-yang mengatakan
rahasianya.
"Apakah karena suara Jit-sat-kim milik Put-lo-sin-sian?"
"Tidak juga!" kata Wan Fei-yang menarik nafas, "ketika di
Giok-hong-teng, dalam pertarungan antara aku dan Tokko
Bu-ti, aku terluka oleh ilmu Thian-mo-kay-te-tay-hoat, saat
itu kebetulan bertemu dengan Su Yan-hong, dia memberikan
Cian-lian-ciap-su dan mengantarkanku ke Siauw-lim-si untuk
menjalani pengobatan tusuk jarum dari Bu-go Taysu,
menyambungkan nadi yang terputus, selama 7 tahun ini
sudah pulih sekitar 70-80%..."
"Jadi belum sembuh total?" Bu-wie Taysu baru mengerti.
"Karena Jit-sat-kim, syarafku putus lagi, walau pun ada
Cian-lian-ciap-su, atau melakukan tusuk jarum, sulit
disambung kembali." Kemudian Wan Fei-yang meminta satu
hal supaya Bu-wie Taysu bisa membantunya.
"Wan-tayhiap sangat berbudi kepada perkumpulan kami,
jangankan satu hal, puluhan atau ratusan hal pun aku
akan..."
"Guru terlalu berat mengatakannya...."
"Silakan katakan..."123
"Bila Hiong-kun datang mencariku lagi, katakan aku
sudah pergi."
"Ini..."
"Guru, aku harap Anda bersedia membantuku," Wan Feiyang lalu muntah darah lagi.
"Baik, baik,... " Bu-wie Taysu dengan cepat mengangguk,
"kau sudah terluka, jangan sampai hatimu terlalu
bergejolak."
"Aku merepotkan Guru!" Wan Fei-yang melihat langit,
matanya berkaca-kaca. Dia memang orang yang penuh
perasaan.
Bu-wie berteriak:
"Di perkumpulan kami tersimpan buku milik Tat-mocouw-su kami tentang syaraf dan urat, kata nya kalau bisa
mengerti artinya bisa mencuci tulang sumsum dan
menyambungkan urat, tapi orang tersebut harus
mempunyai tenaga dalam yang kuat, bila otaknya tidak
encer juga tidak akan mengerti, Wan-tayhiap boleh
mencobanya."
"Guru..."
"Wan-tayhiap adalah orang jujur dan terus terang, tidak
perlu banyak bercerita lagi waktunya sudah mendesak,
cepat ikut aku ke tempat penyimpanan buku."
Wan Fei-yang mengangguk, semangat juangnya mulai
muncul lagi.
0-0-0
Bulan naik dan turun, malam akhirnya pergi.124
Fu Hiong-kun duduk terdiam di atas batu itu sudah
semalaman dia di sana, air matanya sudah mengering.
Melihat matahari terbit, hati yang dingin mulai muncul api.
Dia turun dari batu itu dan berlari ke arah Siauw-lim-si.
Hweesio penerima tamu mengantar Fu Hiong-kun ke
Teng-toh-lou.
Tapi orangnya sudah pergi, loteng itu pun kosong, Fu
Hiong-kun merasa aneh.
Tiba-tiba Bu-wie Taysu muncul.
"Apakah Nona Fu belum turun gunung?" Bu-wie taysu
menghela nafas di dalam hati, tapi dari wajahnya tidak
terjadi perubahan apa-apa.
"Guru..., Wan-toako, dia..."
"Dia sudah pergi!"
"Ke mana?"
"Dia tidak mengatakannya."
Fu Hiong-kun melihat Teng-toh-lou dengan bengong:
"Dia sudah pergi, dia pergi..
Bu-wie taysu menarik nafas:
"Jodoh atau tidak ditentukan oleh Tuhan, kalau tidak
berjodoh percuma saja memaksa, kalau jodoh, suatu hari
kalian akan bertemu kembali!"
Fu Hiong-kun mengangguk. Dalam alunan suara
membaca ayat kitab suci, dia pun meninggal kan Siauw-limsi. Ke manakah dia pergi, dia sendiri pun tidak tahu.
0-0-0
Di ibu kota, di sisi jalan banyak pedagang kaki lima,
barang yang dijual termasuk makanan, mainan, dan pakaian,
pejalan kaki berlalu lalang keadaan sangat ramai.125
Su Yan-hong tidak suka berjalan di jalan besar karena
terlalu banyak orang mengenalnya. Walaupun dia
mengenakan baju biasa tapi karena dia orang yang ramah,
maka orang yang mengenalnya terus menyapa dan memberi
hormat kepadanya.
Menurutnya dunia ini sangat aman, tapi itu hanya di luar
saja. Sebenarnya di ibu kota penuh dengan bahaya.
Sepulangnya dari Siauw-lim-si, dia tidak bisa
mengundang Wan Fei-yang datang ke ibu kota, setibanya di
ibu kota dia merasa tenaganya sangat terkuras.
Tapi sekarang berjalan di jalanan besar, dia tampak
tenang dan wajahnya penuh tawa, semua karena Ih-lan.
Ih-lan adalah putrinya, sekarang baru berusia 8 tahun,
cantik dan pintar, lucu juga polos. Setiap kali melihat
putrinya dia selalu merasa senang dan gembira, tapi juga
Kembalinya Ilmu Ulat Sutra Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
merasa sedih.
Ketika berusia 2 tahun Ih-lan sudah kehilangan ibunya,
ayah dan putri hidup bersama. Dia menjadi pejabat kerajaan,
selalu berbuat baik, setiap ada waktu senggang dia akan
menemani putrinya. Sekarang Ih-lan berlari ke jalan untuk
melihat-lihat, ayahnya pasti tidak akan menolaknya.
Dia bisa berkumpul dengan putrinya hanya dengan
waktu yang sangat terbatas.
Jalanan ramai pasti menarik perhatian anak kecil, apa
lagi Ih-lan selalu hidup dalam gedung pejabat dan jarang
main ke luar.
Maka di tangannya penuh dengan barang belanjaan, ada
kincir angin, ada makanan, tawa pun tidak pernah hilang dari
mulutnya. Melihat putrinya gembira Su Yan-hong ikut
gembira.126
Di depan jalanan banyak orang sedang berkumpul,
terdengar suara simbal.
"Ayah, aku ingin ke sana!"
Ih-lan menarik tangan Su Yan-hong untuk berjalan ke
sana.
"Di sana hanya tukang obat, tidak ada yang bisa kita
lihat," Su Yan-hong menggelengkan kepala, tapi karena Ihlan terus meminta, maka mereka pun berjalan ke sana.
Ih-lan segera masuk ke dalam kurumunan orang itu,
tubuhnya kecil tapi lincah, maka dia tidak mengalami
kesulitan.
Su Yan-hong hanya melihat dari luar.
Yang memukul simbal adalah seorang orang tua. Rambut
dan kumisnya sudah memutih, tapi mempunyai hidung
merah dan besar, kepala dan wajahnya bundar, kakinya yang
pendek berdiri di sana seperti sebuah boneka.
Orang tua dengan perawakan seperti itu ternyata
mempunyai gerakan yang lincah, dia seperti seekor kera,
meloncat kesana kemari, kadang-kadang bersalto. Simbal di
tangannya terus dipukul, suaranya menggetarkan sekitarnya.
Ekspresi wajahnya pun terus berubah, kadang gembira,
kadang terkejut, kadang marah kadang senang, di dalam
kerumunan terdengar ada yang berteriak, teriakannya
membuat siapa pun yang mendengar menjadi khawatir dan
membuat terdiam, tidak lupa mengambil arak yang ada di
dalam Ho-lou (tempat arak terbuat dari labu) dan meminum
araknya.
Pemuda yang sedang mengikuti suara simbal
pertunjukan membuat orang khawatir.
Sama-sama bersalto tapi pemuda itu seperti tidak
bertulang, karena dia bisa bersalto beratus-ratus kali,127
kadang-kadang tubuhnya berubah men-jadi bulat, kaki dan
tangan menyambung, kemudian seperti bola meloncat ke
atas kemudian meloncat ke sebuah bambu dengan panjang
6 depa yang ditancap kan di bawah, di atas bambu dia masih
terus beratraksi, tiba-tiba seperti akan terjatuh ke bawah,
tapi dia hanya terjatuh setengah tiang, lalu kembali lagi ke
atas bambu lagi. Variasi gerakannya sangat banyak dan
orang-orang banyak yang bertepuk tangan.
Ih-lan tertawa sambil berteriak, sepasang tangannya
sampai merah karena bertepuk tangan dengan semangat.
Turun dari tiang bambu dia masih beratraksi sebelum
turun, wajahnya tidak menjadi merah juga tidak ngosngosan, rambut yang berkibar membuatnya terlihat hidup.
Wajahnya memberi kesan nakal tapi tidak membuat
orang membencinya, sepasang mata besarnya penuh tawa.
Ketika orang tua itu sudah turun, dengan suara yang
serak dia berkata:
"Hadirin dan saudara-saudara!" pemuda itu
mengikutinya bicara tidak lupa memukul simbal.
"Hari ini kami, guru dan murid berada di ibu kota pada
Ilusi Illusion 3 Bukan Cinta Satu Hati Karya Rara El Hasan Prodigy 5
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama