Ceritasilat Novel Online

Mahligai Di Atas Pasir 2

Mahligai Di Atas Pasir Karya Mira W Bagian 2


berhasil meraih cita-citanya! Bukankah sebagian
keberhasilan ini karena jasa Ian juga?86
Kalau dia tidak merelakan diri menjadi suaminya...
kalau dia tidak berkorban mengurus anak di rumah... ah,
pengorbanankah namanya semua yang telah dilakukannya
untuk istrinya itu?
Aku tidak dapat mengerti diriku sendiri, pikir Rima
resah. Hari ini hari yang paling membahagiakan dalam
hidupku. Mungkin malah lebih membahagiakan daripada hari
pernikahanku. Tetapi mengapa aku malah merasa gelisah?
Ian sudah menyiapkan hidangan istimewa untuk
menyambut hari istimewa ini. Anak-anak telah
disiapkannya baik-baik. Mereka memang masih kecil.
Tetapi sudah harus tahu, ini hari besar buat ibu mereka.
"Hari ini kalian mempunyai ibu seorang sarjana,"
katanya bangga kepada mereka, meskipun Tika berkalikali bertanya, apakah sarjana itu?
Apakah sebangsa penyanyi? Sementara Bulan belum
mengerti apa-apa.
Rima menerima kecupan anaknya dengan terharu.
Menerima pelukan hangat suaminya dengan gembira.
"Selamat, Rima," bisik Ian antara bangga dan haru.
Rima memang membalas pelukan suaminya dengan
penuh terima kasih. Tetapi... mengapa dia terus merasa
resah?
Mengapa dia merasa seperti sedang bersandiwara di
depan anak dan suaminya? Mengapa dia masib selalu
memikirkan malam syukuran yang akan diadakan oleh
rekan-rekannya untuk menyambut kelulusan mereka
sebagai sarjana? Mengapa dia malah mengharapkan
suaminya tidak muncul dalam acara itu?87
Benarkah dia merasa... malu? Ya Allah! Mengapa
sampai begini perasaannya? Dia merasa malu membawa
suaminya sendiri? Malu membawanya ke lingkungan
teman-temannya? Karena dia tua dan jelek?
Siapakah mereka? Mereka bukan apa-apa! Dibandingkan dengan kebesaran jiwa Pak Ian, mereka bukan
tandingannya, biarpun mereka sarjana!
Rima merasa gemas kepada dirinya sendiri. Sungguh
tidak masuk akal! Tetapi... mengapa perasaan yang tidak
masuk akal itu terus-menerus mengusiknya?
"Pergilah kalau kamu ingin pergi, Rima." Seperti
biasa, Ian selalu sabar. Selalu penuh pengertian.
"Tetapi dengan siapa anak-anak di rumah, Pak? Saya
kuatir pestanya sampai larut malam. Maklum..."
"Saya mengerti. Kalian sedang meluapkan
kegembiraan. Pasti banyak stres yang telah kalian alami
selama masa studi yang panjang ini. Kalian butuh
pelampiasan. Sekalian perpisahan dengan sesama rekan,
bukan? Nah, pergilah. Biar saya yang menemani anakanak di rumah."
Rima ingin melompat mencium suaminya. Wah, dia
benar-benar dewa!
Tetapi sesaat sebelum dia melakukannya, dibatalkannya kembali. Tiba-tiba saja dia merasa jijik kepada
dirinya sendiri! Mengapa harus bersikap demikian kepada
suami yang begitu baik seperti Ian? Munafik!
Malam syukuran itu ternyata lebih meriah daripada
yang Rima sangka. Lebih mewah pula. Berkat sponsor
yang berhasil digaet oleh salah seorang rekannya.88
"Pamanku sedang mencari manajer, Rim," bisik Hilda,
keponakan sang sponsor. "Aku sudah merekomendasikanmu. Jangan kecewakan aku kalau dia datang nanti!"
"Lho, mengapa aku? Mengapa bukan kamu saja?"
"Karena aku akan menikah."
"Kamu akan menikah, karena itu tidak mau bekerja?"
Rima menatap temannya seperti menatap seekor burung
yang tidak dapat terbang.
"Jangan tatap aku seperti itu! Boleh kan aku memilih
jalan hidupku sendiri?"
"Jadi apa gunanya titel sarjanamu?"
"Kutempelkan di depan namaku," Hilda tersenyum
manis. "Di samping gelar nyonya!"
"Apa gunanya jadi sarjana kalau ilmumu tidak kamu
amalkan?"
"Kusimpan saja kalau-kalau kuperlukan nanti.
Sekarang aku belum membutuhkannya."
"Karena suamimu seorang jutawan?"
"Karena suamiku seorang dokter yang baru lulus. Dia
akan dikirim ke daerah. Dan aku memilih mengikutinya ke
pedalaman daripada bekerja sebagai manajer di sini
sementara suamiku digaet gadis rimba."
"Dan kalau kamu kembali ke sini setelah suamimu
menjalani ikatan dinasnya, kamu akan minta kembali
jatahmu? Itu sebabnya kamu pilih aku sebagai manajer
pamanmu? Supaya mudah digeser setelah kamu kembali?"
"Jangan kuatir, pandir! Aku tidak memerlukan jabatan
itu!"
"Kamu tetap cuma ingin jadi ibu rumah tangga?"89
"Aku tidak mau membuat suamiku frustrasi, kalau
tahu gajiku sepuluh kali lebih besar daripada
pendapatannya!"
"Sungguh pemikiran yang sempit! Bukan pikiran
seorang sarjana!"
"Sekarang aku lebih memilih jadi istri daripada sarjana!
Bagiku, itu yang terpenting. Buat apa jadi manajer kalau
aku harus kehilangan suamiku?"
"Buat apa kamu susah-susah menempuh uji-an,
membuat skripsi, kalau tidak mau jadi sarjana? Berikan saja
tempatmu di fakultas kepada calon mahasiswa yang benarbenar ingin memanfaatkannya!"
"Aku mau kedua-duanya. Tapi kalau harus memilih,
aku memilih jadi istri saja. Asal tidak usah melangkahi
suamiku."
"Hilda, oom-mu datang tuh!" teriak Buntaran dari
ambang pintu depan. "Cepat dong! Ntar keburu digaet si
Yulia!"
Ketika Hilda meninggalkannya untuk menyambut
pamannya, Rima termenung memikirkan kata-kata
temannya tadi. Benarkah laki-laki akan frustrasi kalau
dilangkahi istri? Kalau karier istrinya lebih hebat? Kalau
gajinya lebih besar?
Tapi Ian tidak tampak frustrasi. Dia malah kelihatan
begitu bangga... begitu bahagia... Ah, dia sungguh baik!
Ian tidak tampak kesal walaupun Rima pulang sampai
larut malam. Setelah menidurkan anak-anak, dia
menunggu Rima pulang di ruang depan rumah mereka.
Dengan hangat dia menyambut Rima, meskipun matanya
sudah terlihat demikian letih dan mengantuk.90
Ian membawa Rima ke kamar. Membantu melepaskan
bajunya yang bagus itu. Baju yang dibeli Rima khusus
untuk acara malam ini.
Rima tidak menolak ketika suaminya memeluknya
dengan mesra.
"Saya sangat bahagia malam ini, Rim," bisi-knya
hangat. "Kamu telah berhasil meraih cita-citamu.
Berlalulah tahun-tahun yang sibuk dan penuh
pengorbanan. Kalau fajar merekah esok pagi, kamu tidak
usah lagi serepot dulu. Dan kita punya lebih banyak waktu
untuk bersama...."
Rima membalas dekapan suaminya. Tetapi ketika Ian
membawanya ke tempat tidur, Rima langsung melepaskan
dirinya.
"Saya sangat letih, Pak," katanya penuh penyesalan.
"Lain kali saja, ya?"
Seperti biasa, Ian tidak marah. Tidak kesal. Dia selalu
memahami istrinya. Dia malah minta maaf.
"Saya lupa, kamu pasti capek sekali. Sudahlah, pergi
tidur. Mau saya buatkan susu panas?"
Rima menggeleng sedih. Benci kepada dirinya sendiri.
Dia tahu, mengapa dia menolak keinginan suaminya.
Bukan karena letih. Tetapi karena dia tidak menginginkannya.
*** Pak Asaaf mempunyai sebuah perusahaan garmen yang
sedang berkembang pesat. Perusahaannya menjadi rekanan91
pemerintah yang cukup poten, sekaligus eksportir yang
produktif.
Dia sedang membutuhkan beberapa manajer
profesional yang berkualitas untuk memimpin
perusahaannya yang mulai melebarkan sayap. Dan setelah
melalui serangkaian tes yang cukup melelahkan, akhinya
Rima diterima menjadi salah seorang manajer di Bagian
Pemasaran.
Ibarat seorang pemain yang baru mendapat bola, Rima
sedang giat-giatnya menggiring bola ke gawang. Dia
bekerja keras. Mengerahkan segenap kemampuannya
untuk meniti kariernya ke jenjang yang lebih tinggi. Dan
dia lupa menengok ke bawah. Kepada suaminya yang
masih berada di bawah sana.
Mula-mula Ian memang ikut merasa bangga. Karier
istrinya menanjak dengan pesat. Dia memang perempuan
hebat. Semua tetangga membicarakannya. Mengaguminya.
Memujinya.
Sekarang, dia diantar-jemput oleh mobil perusahaan
yang khusus disediakan untuknya. Lengkap dengan sopir
pribadi. Sekarang, dandanannya benar-benar dandanan
seorang eksekutif. Sekarang, gajinya saja sepuluh kali lipat
gaji suaminya. Belum terhitung THR dan bonus akhir
tahun.
Mula-mula, memang Pak Guru merasa bangga. Ibarat
menanam pohon, dia ikut menyirami pohon itu sejak baru
bertunas. Tetapi setelah pohon itu berbuah, lengannya
ternyata tidak sampai untuk memetik buahnya.
Rima telah berubah. Atau... bukan hanya Rima yang
berubah? Dia sendiri pun telah berubah?92
Dia merasa tersingkir. Merasa dilangkahi. Merasa
makin tidak berdaya. Makin terdesak. Makin tidak
diperlukan. Padahal dia masih tetap seorang suami yang
seharusnya memegang kendali!
"Kamu hampir tidak pernah lagi memperhatikan
suami dan anak-anakmu." Untuk pertama kalinya dalam
hidup perkawinan mereka, Ian mengeluh. "Kamu terlalu
sibuk dengan pekerjaanmu."
"Tahun depan kita harus mampu memiliki rumah
baru, Pak." Rima belum menyadari bahaya yang mulai
mengintai itu. "Saya tidak mau lagi tinggal di rumah
sempit di dalam gang becek ini. Kita harus mempunyai
rumah bertingkat di real estate. Sebuah permukiman
eksekutif yang pantas untuk seorang eksekutif! Supaya
tidak malu kalau ada kolega atau klien yang datang
kemari!"
"Mengapa mereka harus datang kemari?" tukas Ian
datar. "Belum cukup jugakah waktumu di kantor untuk
melayani mereka?"
"Bisnis tidak mengenal waktu, Pak! Kalau mereka
sampai terpaksa datang ke rumah, saya tidak mau menemui
mereka di rumah yang sekecil ini! Di mana saya harus
menerima mereka?"
Dia mulai menghina rumahku, pikir Ian getir. Padahal
selama bertahun-tahun, rumah ini telah menjadi satusatunya atap yang menaunginya!
***93
Hanya dalam waktu empat tahun, Rima sudah diangkat
menjadi GM. General Manager di perusahaan Pak Asaaf.
Sekarang gaya hidup Rima benar-benar telah berubah.
Dia tidak mau lagi makan di warung di pinggir jalan.
Meskipun selama bertahun-tahun hal itu menjadi kebiasaan
keluarganya. Hampir setiap akhir minggu Ian membawa
anak-istrinya menyantap sop buntut kegemarannya di
warung langganan mereka di tepi jalan.
Kini kalau Rima ingin makan di luar bersama
keluarganya, dia akan membawa mereka ke sebuah
restoran bertaraf internasional. Atau ke sebuah hotel berbintang lima. Paling tidak, ke restoran-restoran fast food
yang mulai menjamur di Ibukota.
Mula-mula anak-anaknya memang menggemari
makanan baru itu. Pengalaman baru. Suasana baru. Mereka
bangga melihat Ibu tidak perlu membayar makanan yang
mereka pesan. Ibu cukup menyodorkan sebuah kartu
plastik. Dan menandatangani bon yang disodorkan.
Wah, Ibu benar-benar orang hebat sekarang! Makan
saja tidak perlu membayar!
Mereka tidak melihat betapa muram wajah ayah
mereka, yang lidahnya tidak cocok dengan makanan yang
dihidangkan di sana. Apalagi biasanya perutnya sudah
merasa kenyang sebelum makan karena pertengkaranpertengkaran kecil yang terjadi sebelum mereka berangkat
kemari.
Rima memaksa Ian memakai pakaian yang tidak
disukainya. Kemeja dari bahan silk yang berlengan panjang
dan terlalu modis motifnya. Dia lebih suka mengenakan
kemejanya sendiri. Kemeja lengan pendek dari katun yang94
menyerap keringat, tidak panas dan warnanya tidak mencolok karena sudah agak luntur.
"Jangan memalukan saya dong, Pak!" gerutu Rima
kesal. "Masa ke restoran pakai baju kumal begitu! Kita kan
mau dinner di hotel berbintang lima, bukan di warteg!
Bapak kan tidak mau orang-orang di sana menyangka saya
pergi makan dengan sopir saya?!"
Sakit hati Ian mendengarnya. Sakit sekali. Mula-mula
dia memang menuruti saja perintah istrinya. Tetapi lamakelamaan, dia ingin memberontakjuga.
Masa dia tidak boleh mengatur bajunya sendiri?
Memilih makanannya sendiri? Istrinya boleh kaya.
Kariernya boleh maju. Di kantor dia boleh berkuasa. Tapi
di rumah dia tetap cuma seorang istri! Dia tidak berhak
mengatur suaminya! Menguasai suaminya!
Egonya sebagai seorang laki-laki mulai mendapatkan


Mahligai Di Atas Pasir Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

penyaluran ketika tempatnya dalam rumah tangga sudah
terdesak sampai ke sudut.
Semua pekerjaan Rima menjadi salah di matanya.
Semua usulan Rima ditolaknya mentah-mentah sebelum
dipertimbangkan baik-buruknya. Pokoknya ditolak!
Semua keinginan Rima dibantahnya dengan segera
walaupun kadangkadang demi kebaikannya sendiri.
"Mengapa Bapak jadi sulit sekali diatur sekarang?"
keluh Rima jengkel. Dia merasa benar. Lho, apa salahnya
sih menginginkan suaminya tampil rapi, bergengsi,
biarpun tua dan jelek? Tidak salah, kan?
Tetapi mengapa Ian selalu menolak apa pun yang
diinginkan istrinya? Belakangan dia malah tidak mau lagi
ikut kalau Rima mengajak makan di luar. Padahal Rima95
sudah meluangkan waktunya yang sempit itu untuk
berkumpul bersama keluarga. Dia hanya mampu
membawa anak-anaknya. Suaminya memilih makan di
warung saja.
"Pergilah sendiri, supaya kamu tidak malu punya
suami seperti saya!" kata Ian dingin setiap kali Rima
mengajak ke luar.
"Mengapa sih Bapak jadi begini?" geram Rima gemas.
"Dari dulu juga saya sudah lebih superior dari Bapak. Tapi
Bapak tidak pernah uring-uringan begini! Bapak selalu
menerima apa adanya. Sabar. Penuh pengertian. Bapak
malah ikut bangga dengan keberhasilan saya! Mengapa
sekarang Bapak jadi minder?"
"Tanyalah pada dirimu sendiri," sahut Ian tawar.
"Apakah kamu tidak terlalu tinggi memanjat."
"Lho, apa salahnya mengajak suami dan anak-anak
sendiri makan bersama di luar? Bapak selalu bilang saya
tidak punya waktu untuk keluarga. Sekarang saya berusaha
meluangkan waktu. Bapak malah tidak mau pergi!"
"Saya tidak mau diatur harus memakai baju apa."
"Tetapi sejak menjadi istri Bapak, bukankah memang
saya yang selalu memilihkan baju untuk Bapak?"
"Bukan baju seperti ini!"
"Seperti apa? Baju itu terbuat dari kain juga. Jika
Bapak tidak mau memakainya, oke! Jika Bapak lebih suka
terlihat seperti sopir saya, terserah! Pakailah baju apa saja
yang Bapak suka. Saya tidak peduli lagi!"
"Saya tidak mau makan di tempat seperti itu.
Makanannya tidak enak. Tidak cocok dengan lidah kita!"96
"Saya tidak mau lagi makan di pinggir jalan, Pak. Saya
malu. Tidak pantas seorang eksekutif seperti saya..."
"Tapi suamimu bukan eksekutif! Dan suamimu suka
makanan seperti itu!"
"Oke! Makanlah sendiri di sana. Saya tidak ikut!" Dan
mulailah babak baru dalam kehidupan mereka.
Pergi sendiri-sendiri. Makan sendiri-sendiri.
Berekreasi sendiri-sendiri.
Pada babak pertama, Rima masih sering membawa
anak-anaknya. Meskipun kesal karena suaminya tidak mau
ikut, sebenarnya dalam hati kecilnya, dia merasa lega juga.
Daripada tampil memalukan, bukankah lebih baik Ian tidak
muncul saja?
Tetapi pada babak kedua, anak-anak lebih sering ikut
ayah mereka. Dan sementara mereka sedang mengudap di
warung di pinggir jalan menghabiskan semangkuk sop
buntut, Rima sedang dinner di sebuah hotel atau restoran
bertaraf internasional bersama kolega atau kliennya.
Sesudah bertemu dengan lelaki-lelaki ganteng
berpakaian rapi yang tahu bagaimana cara memperlakukan
wanita, jangan salahkan Rima kalau sepulangnya ke rumah,
dia tidak mau lagi tidur bersama seorang pria kerempeng
yang hanya mengenakan celana dalam. Rasanya melihat
lelaki bungkuk loyo yang sudah beruban itu saja gairah
Rima sudah merosot sampai ke titik nol! Dan babak ketiga
pun segera dimulai.97
9 Jakarta, 1989
RIMA hampir tidak mempercayai penglihatannya ketika
melihat laki-laki itu muncul di kamar kerjanya bersama
Pak Asaaf. Dia masih tetap seperti dulu. Tinggi. Kurus.
Dengan penampilan khas seniman. Rambut gondrong
yang masih selebat dan sehitam dulu. Kumis, cambang, dan
janggut yang mengotori wajahnya...
Ah, Rima seperti masih dapat merasakan bulu-bulu
kasar yang menyemak itu bergesek dengan kulit
wajahnya... bau alkohol yang keluar dari mulutnya, dan...
tiba-tiba Rima merasa mual.
Pria itu tidak langsung mengenalinya. Tapi Rima
segera mengenalinya bahkan sebelum Pak Asaaf memperkenalkan mereka.
"Kenalkan, Rima," kata Pak Asaaf kepada wanita
berbusana rapi berpenampilan seorang eksekutif yang
tengah duduk di balik meja tulis besar itu. "Bung Pranata
Raya, koreografer kondang kita. Seniman akbar yang
punya reputasi internasional."
Rima bangkit dengan tenang dari kursinya. Menatap
lelaki itu dengan tatapan tanpa emosi. Dan mengulurkan
tangannya dengan mantap. Meskipun masih merasa muak,98
dia mampu meredam emosinya dengan baik. Dia memang
sudah terlatih menampilkan sikap yang paten di depan
kliennya.
"GM saya, Bung Pran," Pak Asaaf berpaling pada pria
berpenampilan semrawut bergaya seenaknya itu. "Dra.
Rima Permatasari."
Rima memang tidak mau memakai nama suaminya di
belakang namanya. Menurut pendapatnya, seorang wanita
harus punya identitas sendiri. Apalagi seorang wanita
karier. Tidak perlu menempei nama suami terus. Lebihlebih kalau nama suaminya memang tidak perlu ditempel
karena tidak ada apa-apanya.
Baru ketika Pranata mendengar nama itu, dia
tertegun. Matanya menyipit menatap Rima. Tetapi
bagaimanapun dia memeras otaknya, dia tidak dapat
mengingat sosok di hadapannya
Dulu, pada suatu waktu dulu, dia memang pernah
mengenal seorang wanita... seorang gadis remaja...
pembantu ibunya... Tetapi gadis itu kurus, hitam, lugu,
dan sederhana... bukan general manager sebuah perusahaan
garmen sebesar ini... yang punya titel doktoranda dan
berpenampilan demikian meyakinkan! Sosok eksekutif
berbusana mahal dan rapi bergaya arogan... benarkah dia...?
"Kami sudah kenal kok, Pak," sahut Rima tenang
sambil mengulurkan tangannya dengan penuh percaya
diri. "Dulu saya pernah bekerja sebagai pembantu di rumah
Bu Azwar, ibunya Pak Pranata."
Rima memang tidak perlu malu-malu lagi sekarang.
Kepada setiap orang yang menanyakan ataupun tidak, dia
mengaku, dulu dia seorang pembantu rumah tangga.
Sekarang dia tidak malu. Dia malah merasa bangga. Dia99
ingin memproklamasikan kepada seluruh dunia bagaimana
keberhasilannya. Dari seorang babu menjadi seorang GM.
Hebat, bukan? Setiap orang boleh tahu! Harus tahu!
Pranata menatapnya dengan bingung. Tidak mempercayai matanya sendiri. Alangkah berubahnya gadis ini!
Sekarang dia tampak lebih putih. Lebih berisi. Lebih
menarik. Lebih intelek. Lebih anggun. Lebih... ah,
pendeknya, segalanya telah berubah! Dia tidak mengenali
lagi bekas pembantu ibunya yang pernah di...
"Ibu baik, Pak?" tanya Rima wajar. Dia menarik
kembali tangannya yang telah terulur cukup lama. Tidak
ada tanda-tanda Pranata akan menjabat tangannya. Dia
masih tertegun kaku seperti kena pukau. Sikapnya yang
santai-santai tak acuh itu langsung berubah. Dia benarbenar terpesona.
"Oh, syukurlah kalau kalian telah saling mengenal,"
kata Pak Asaaf sambil mengajak Pranata duduk di sofa di
ruang kerja Rima. "Sudah lama barangkali tidak bertemu,
ya?"
"Hampir sepuluh tahun," sahut Rima sambil
mengikuti bosnya duduk di sofa. Dia duduk dengan
tenang. Menyilangkan kakinya dengan santai tapi santun.
Dan menatap Pranata dengan tatapan yang biasa
dilontarkannya kepada seorang klien. "Oke, Pak Pranata,
apa yang dapat saya bantu?"
"Bung Pran perlu perlengkapan untuk timnya. Para
penari dan pemusik yang akan manggung di LA.
Kebetulan memang sudah biasa kita ke menangani kostum
delegasi kesenian kita ke forum intemasional kan, Rima?
Masalahnya, Bung Pran ingin minta tolong agar kita100
memberikan prioritas kepadanya. Karena waktunya sudah
sangat mendesak."
"Sampai bulan depan jadwal kita padat, Pak," sahut
Rima sambil bangkit menghampiri white board lebar yang
terpampang di dekat meja tulisnya. "Order Garuda harus
masuk. Demikian juga pesanan Angkatan Laut. Sebagai
rekanan tepercaya, kita tidak boleh salah janji. Lagi pula,
sanksinya cukup berat, Pak."
"Bung Pran ini teman saya sejak dia masih penata tari
nasional yang hidupnya kembang-kempis, Rima. Saya
ingin menolongnya. Lebih-lebih dia membawa nama baik
bangsa kita ke luar negeri. Memperkenalkan kesenian kita
di Amerika."
"Saya hanya berpegang pada segi teknis operasionalnya saja, Pak. Kita tidak sanggup. Kecuali kaiau Pak
Pranata mau menunggu sampai bulan depan."
"Bulan depan sudah pementasannya, Rima!"
"Boleh saya bicara empat mata dengan Bu Rima, Pak?"
sela Pranata tiba-tiba.
"Oh, tentu! Tentu!" Pak Asaaf segera bangkit dari
kursinya. "Silakan. Saya tinggal sebentar."
Ketika Pak Asaaf meninggalkan kamar kerja itu, Rima
kembali duduk di sofa di hadapan Pranata. Sikapnya masih
tetap seformal tadi.
"Silakan mengungkapkan sesuatu jika memang masih
ada yang perlu diungkapkan, Pak," katanya tegas. "Tapi
kalau Pak Pranata mengira penolakan saya tadi karena
persoalan pribadi, Bapak keliru. Penolakan ini semata-mata
karena perusahaan memang tidak mampu lagi menerima101
order bulan ini. Jadwal kami memang padat sekali. Dan
saya memang selalu ketat me-megangjanji."
"Bagaimana kabarmu, Rima?" tanya Pranata seperti
tidak mendengarkan uraian Rima yang panjang-lebar itu.
Matanya mengawasi Rima seperti menatap lukisan asli
Rembrandt yang tiba-tiba ditemukan kembali.
"Seperti Bapak lihat sendiri," sahut Rima tawar.
Mengapa baru menanyakannya sekarang? Seharusnya
kamu menanyakannya sembilan tahun yang lalu!
"Tadi saya hampir tidak percaya, kamulah yang tegak
di depan saya. Rima!"
"Hidup kadang-kadang memang mengejutkan, Pak."
"Saya dengar akhirnya kamu menikah dengan bekas
gurumu di SMA."
"Hanya dia yang mau menikahi saya." Suara Rima
sedingin tatapannya.
"Maafkan saya, Rima..."
"Sudah terlambat. Semua sudah berlalu."
"Saya ikut bangga melihat prestasimu."
"Sebagian karena jasa Bu Azwar."
"Ibu baik-baik saja. Masih sehat meskipun sudah lanjut
usia. Sekarang Ibu ikut adik saya di Padang."
"Saya ingin sekali menjenguknya." Untuk pertama
kalinya, Pranata mendengar suara Rima melembut. "Tapi
saya sibuk sekali. Entah kapan saya baru dapat menjenguk
Bu Azwar. Bagaimana Rano?"
"Masih kuliah di ITB. Dia sering menanyakanmu."
"Tolong berikan alamat saya padanya." Rima mengulurkan tangannya ke atas meja tulisnya. Dan mencabut102
sehelai kartu nama. "Kalau dia ke Jakarta, tolong suruh dia
mampir ke sini. Atau ke rumah."
"Ya, dia juga mungkin sudah rindu padamu." Pranata
menatap kartu nama itu sekilas. Dan menyimpannya di
saku kemejanya.
Saat itu Pak Asaaf muncul di ambang pintu.
"Bagaimana acara kangen-kangenannya? Sudah selesai?"
"Saya tetap pada pendapat saya, Pak," sahut Rima
tegas. "Kita tidak dapat menerima order baru sampai bulan
depan. Kapasitas mesin jahit kita tidak cukup untuk
menampung order baru. Sekalipun karyawan dilemburkan."
"Tidak apa. Saya akan mencari tempat lain," potong
Pranata sama mantapnya. "Saya hanya ingin mengatakan
kepadamu, Rima, saya gembira dapat bertemu dengan
kamu di sini. Saya harap kamu selalu sukses. Saya akan
menulis surat pada Ibu. Pasti Ibu juga gembira mendengar
keadaanmu sekarang."
Rima tidak tahu apa dia juga gembira bertemu dengan
Pranata. Dia memang merasa bangga. Lelaki yang pernah
menghinanya itu kini tidak dapat merendahkannya lagi.
Kini dia sudah jadi orang. Bukan lagi pembantu yang
dapat dihina semaunya.
Tetapi apakah cuma perasaan itu yang kini menggelora di hatinya? Perasaan bangga? Tidak adakah perasaan
lain... walaupun setitik?
Lelaki itu pernah menidurinya. Walaupun dengan
memaksa. Lelaki itu ayah anaknya. Dan lelaki itu masih
tetap menarik seperti dulu!103
Walaupun penampilannya menjengkelkan. Sikap
santai tak acuh. Rambut gondrong yang semrawut.
Berewok yang kotor menyemak. Penampilan yang tidak
rapi. Tapi dia tetap menarik!
Apakah karena dia seorang seniman? Karena dia
punya kharisma tersembunyi yang dulu tidak disadari
Rima karena dia masih terlalu muda? Atau... karena dia
punya prestasi? Punya sesuatu yang dapat dibanggakan
sementara suaminya tidak punya prestasi apa-apa?
Atau... karena dia putra Bu Azwar? Kepada siapa Rima


Mahligai Di Atas Pasir Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

merasa sangat berutang budi? Mungkinkah pula karena dia
ayah Rano? Pemuda yang selalu dirindukannya... yang
selalu mengingatkannya pada masa yang paling berat
dalam hidupnya. Tapi sekaligus juga mengingatkannya
pada seorang anak yang tulus menerima kehadirannya.
Satu-satunya orang yang mengaguminya pada saat dia
dalam keadaan tidak punya apa-apa....
Benarkah karena faktor-faktor itu Pranata jadi tampak
istimewa? Atau... karena faktor lain?
Ketika masih berhadapan dengan Pranata, Rima dapat
menguasai dirinya. Dapat mengatur sikapnya. Dia
memang sudah biasa mengekang emosinya di depan
kliennya.
Tetapi begitu Pranata meninggalkan kamar kerjanya,
Rima langsung masuk ke kamar mandi yang terletak di
dalam kamar kerjanya. Dia membasuh mukanya. Menatap
wajahnya di dalam cermin. Seolah-olah dia ingin melihat
parasnya tanpa makeup. Dia ingin melihat kembali wajah
gadis remaja itu....104
*** Sejak pertemuan itu, Pranata jadi sering muncul di kantor
walaupun dia tidak punya urusan lagi dengan perusahaan.
Memang dia teman baik Pak Asaaf. Tapi perlukah dia
datang sekerap itu walaupun Pak Asaaf sedang tidak ada?
Dia seniman yang sibuk, bukan? Dan dia sedang giatgiatnya melatih anak buahnya untuk suatu pementasan
akbar di Los Angeles!
"Saya ingin Pak Asaaf dan Rima ikut menyaksikan
pergelaran saya di LA," katanya suatu hari. "Kritik kalian
merupakan masukan berharga untuk pementasan
selanjutnya di London dan Paris tahun depan. Akomodasi
tak usah dipikirkan. Kami mendapat bantuan dari Garuda
dan kedubes kita di Amerika. Semua fasilitas tersedia."
Pak Asaaf memang tidak dapat pergi. Dia malah
menganjurkan Rimalah yang berangkat ke LA sambil
mencari peluang pasar untuk produk ekspor mereka.
Akhir-akhir ini Amerika memang ketat menerapkan
politik proteksionismenya.
Tentu saja Rima ingin sekali pergi. Bisnis sambil
berlibur, bukankah menyenangkan? Tetapi suaminya tidak
setuju.
"Kalau mau, Bapak bisa pergi bersama saya," kata
Rima sambil berpikir-pikir mengapa dia malah
mengharapkan suaminya tidak ikut?
"Dan meninggalkan anak-anak sendirian di rumah?"
gerutu lan dingin. "Barangkali kamu sudah lupa, kamu
masih punya anak!"
"Apa salahnya mereka tinggal di rumah?"105
"Kamu pasti sudah lupa, Tika baru delapan tahun!
Bulan empat! Mereka belum bisa ditin-galkan tanpa
orangtua di rumah!"
"Kan ada pembantu. Bi Romlah bisa menjaga mereka.
Irah bisa memasak makanan dan Pak Bulah dapat
mengantarkan mereka ke sekolah. Tidak lama kok, Pak.
Paling-paling seminggu."
"Pergilah sendiri kalau memang tidak bisa saya larang
lagi," ujar Ian datar. "Biar saya di rumah bersama anakanak. Mereka memerlukan perhatian, bukan cuma
makanan."
"Saya tahu mereka butuh perhatian. Tapi jangan
manjakan mereka, Pak! Supaya mereka tabah, mandiri, dan
tahan bantingan! Jangan jadi anak-anak cengeng yang
terus-menerus melekat pada orangtua!"
"Seperti kamu misalnya?" sindir Ian sinis. "Bisa jadi
perempuan super tanpa bimbingan orangtua?"
"Kalau orangtua saya tidak berani melepas saya dan
terus mengekang saya di rumah, barangkali sampai
sekarang saya cuma menjadi perempuan desa!"
"Bukan wanita karier yang hebat!"
"Mengapa Bapak jadi sinis begini?"
"Mungkin karena keadaan. Karena sudah sembilan
tahun menjadi suami seorang wanita yang terlalu hebat!"
"Bapak menyesal mengawini saya?"
"Saya menyesal karena tidak mendidikmu lebih baik."
"Supaya saya menjadi istri yang penurut dan betah
diam di rumah? Dari dulu pun Bapak sudah tahu, saya
bukan perempuan seperti itu! Saya terlalu ambisius!"106
"Terlalu ambisius sampai melupakan dari mana kamu
berasal."
"Saya tidak pernah lupa dulu saya seorang babu."
'"Dan tidak pernah lupa kamu telah berhasil memutar
roda nasibmu seratus deiapan puluh derajat. Dari babu
menjadi manajer."
"Apa salahnya? Dulu Bapak malah bangga melihat
prestasi saya. Mengapa sekarang jadi sinis begini?"
"Kamu sudah keterlaluan, Rima. Melampaui batas."
"Apa sebenarnya yang telah saya lakukan, Pak? Meraih
prestasi tinggi sampai suami saya yang kariernya tidak
maju-maju menjadi minder?"
"Melupakan keluarga."
"Karena Bapak memang ingin dilupakan. Supaya
orang tidak usah melihat berapa jauh Bapak telah
tertinggal!"
"Makin hari kamu makin sombong."
"Itu cuma anggapan seorang pria yang frustrasi karena
kalah bersaing dengan istri sendiri."
"Kamu boleh menyepelekan suamimu, Rima. Tapi
ingat, dari dulu sampai kapan pun, saya tidak pernah
merasa frustrasi. Saya selalu bangga dapat menjadi seorang
guru. Seorang yang dapat mendidik tunastunas bangsa.
Calon-calon pemimpin negara. Salah satunya adalah
wanita karier yang hebat seperti kamu!"
"Kalau begitu doronglah saya untuk lebih maju, Pak!
Jangan malah mencela terus. Kembalilah seperti dulu.
Sebagai Pak Ian. Guru favorit yang saya kenal. Yang saya
banggakan. Yang saya kagumi! Yang selalu sabar dan
pcnuh pengertian!"107
"Saya tidak pernah berubah, Rima. Kamulah yang
berubah terlampau cepat. Apa pun yang saya perbuat
sekarang, kamu tak akan pernah lagi mengagumi saya.
Karena obyek-obyek yang kamu kagumi telah berubah."
"Bapak juga telah berubah. Dulu Bapak tidak pernah
minder. Tidak pernah takut menghadapi kemajuan.
Persaingan. Sukses orang lain. Tidak pernah menghalangi
saya untuk meraih prestasi setinggi-tingginya. Sekarang,
Bapak malah takut dilangkahi istri. Takut kalau saya
berhasil memanjat tangga karier saya lebih tinggi lagi.
Karena itu Bapak selalu uring-uringan akhir-akhir ini. Apa
pun yang saya kerjakan selalu salah! Bapak selalu berusaha
mencegah saya melakukan apa pun!"
"Saya sudah capek mencegahmu. Lebih baik kita
mengambil jalan kita masing-masing. Kamu sudah tidak
memerlukan saya lagi."
"Pak!" cetus Rima kaget. "Apa-apaan ini? Saya hanya
mengajak Bapak ikut ke luar negeri! Mengapa Bapak
malah mengajak berpisah?"
Tentu saja Rima sudah tidak menaruh respek lagi pada
suaminya. Akhir-akhir ini rumah tangga mereka memang
mulai retak. Tapi... berpisah? Belum pernah terpikirkan
oleh Rima! Betapa tidak bergunanya pun suaminya, punya
seorang suami lebih menjamin statusnya daripada menjanda!
"Supaya kamu lebih leluasa mengejar kariermu. Tanpa
hambatan dari suamimu yang tidak berguna ini."
Ian memalingkan wajahnya supaya Rima tidak dapat
melihat air mukanya.
"Maksud Bapak... cerai?"108
"Supaya tidak merepotkanmu, biar anak-anak saya
bawa. Kamu boleh menengok mereka setiap saat. Tapi
biarlah saya yang mengasuh mereka. Barangkali seorang
guru tidak dapat menempa mereka menjadi seorang wanita
karier yang hebat. Tapi pasti dapat mendidik mereka
menjadi calon-calon istri yang baik."
"Maksud Bapak saya bukan istri yang baik? Dan
bukan hasil didikan Bapak yang baik pula?" sindir Rima
pedas. "Kemarin saya bertemu Leni di pub. Dia sudah
menjadi wanita panggilan kelas tinggi. Bapak pasti belum
lupa, dia juga salah seorang anak didik Bapak."
Tentu saja Rima tidak rela anak-anaknya ikut
suaminya. Suami boleh pergi. Tapi anak? Dia merasa lebih
sanggup mengurus mereka. Membiayai mereka.
Memenuhi semua kebutuhan mereka. Apalagi mereka
masih kecil-kecil. Mereka lebih membutuhkan seorang
ibu! Rima tidak rela anak-anaknya jatuh ke tangan ibu tiri
kalau lan kawin lagi! Tapi yang membuatnya shock, kedua
anaknya dengan tegas memilih ikut ayah mereka.
Termasuk Kartika, yang bukan anak Ian!
"Biarkan dia tetap menjadi anak saya," pinta Ian
sungguh-sungguh. "Jangan katakan saya bukan ayahnya.
Saya menyayanginya sama seperti saya mengasihi Bulan."
"Saya akan tetap membawa Kartika," tukas Rima
gigih. "Kalau perlu, melalui pengadilan."
"Tika memilih ikut dengan saya."
"Karena dia belum tahu Bapak bukan ayahnya!"
"Jangan biarkan dia tahu!"109
"Jika Bapak mengembalikan dia pada saya, dia tidak
perlu tahu!"
"Saya sangat menyayanginya, Rima!"
"Saya juga sangat menyayangi mereka, Pak!"
Akhirnya Ian tidak jadi mengajukan perceraian.
Karena dia tidak mau berpisah dengan Kartika.
"Biar saya yang menderita," katanya pahit. "Asal
jangan anak-anak."
Sejak saat itu, mereka memang tinggal serumah. Tapi
tidak sekamar. Mereka sudah berjalan sendiri-sendiri.
Meskipun masih diikat oleh sehelai surat nikah.110
10 Moskow, 1990
LAMA Rima tegak di tepi Sungai Moskwa di Cathedral
Square, memandang ke pucuk-pucuk menara katedral
yang bermandikan cahaya lampu. Di antara mereka, tegak
di seberang sungai sana, Tembok Kremlin yang
termasyhur.
Soni yang mengantarnya ke sana, mengira Rima
masih terpukau memandangi keindahan arsitektur abad
pertengahan di hadapannya. Dia tidak menyangka, Rima
justru sedang termenung mengenang masa lalunya.
Seperti inilah hidup perkawinannya sekarang. Dipisahkan oleh tembok yang tinggi. Di seberang sana,
suaminya memisahkan diri. Terbenam dalam kesibukannya
mengasuh anak didiknya. Di sekolah maupun di rumah. Di
sisi sebelah sini, Rima berkutetan dengan bisnisnya yang
makin menyita waktu dan perhatiannya.
Dia sudah memiliki perusahaan garmen sendiri. Tetapi
Pak Asaaf tetap tidak mau melepaskan-nya. Sehingga Rima
terpaksa merangkap sebagai GM di perusahaan Pak Asaaf
dan direktris utama di perusahaannya sendiri. Akibatnya111
dia semakin terjebak dalam pusaran bisnis yang semakin
jauh menyeretnya dari keluarga.
Dan ketika sedang menyaksikan panorama yang indah
ini, pada tengah malam di sebuah negeri asing yang ribuan
kilometer jauhnya dari tanah airnya, tiba-tiba saja Rima
merasakan kerinduan membuai hatinya. Dia merindukan
kehangatan keluarga. Kelembutan anak-anak. Dan
kemesraan seorang suami.
Seperti mengerti perasaannya, Soni langsung menggandengnya pulang. Dan mengantarkan Rima sampai ke
hotelnya. Bahkan sampai di depan kamarnya.
Tetapi Rima tetap tidak mengundangnya masuk.
Meskipun sudah hampir setahun pisah tidur dengan
suaminya, Rima masih menganggap dirinya istri seseorang.
Dan dia tidak mau berzina.
"Selamat malam, Soni. Terima kasih telah bersedia
menemaniku."
"Aku ingin mengundangmu ke resepsi esok malam,
Rima."
Sebenarnya Rima dapat menolak. Ada sejuta alasan
untuk menolak undangan itu. Tetapi mengapa dia justru
menerimanya? Apakah karena Soni? Karena pemuda itu
membawa keriangan dan kehangatan yang sudah lama
menjauhi dirinya?
Dari anak-anaknya sendiri Rima hampir tidak
memperoleh lagi kehangatan seperti dulu. Mereka terasa
begitu jauh. Kadang-kadang dia merasa iri pada Ian. Tidak
ada kemajuan apa-apa dalam kariernya. Tetapi dia tetap
dekat dengan anak-anak.112
Ian tampak begitu bahagia bila berada bersama-sama
mereka. Dia tertawa. Bermain. Bergurau bersama anakanak. Sementara Rima merasa terkucilkan seorang diri.
Mengapa seperti ada kesenjangan batin antara Rima
dan anak-anaknya sendiri?
Dia memang jarang berada di rumah. Tapi itu bukan
alasan. Seharusnya mereka malah merasa rindu kalau Ibu
datang!
"Jika perhatianmu pada mereka cuma sepuluh persen,
mengapa mengharapkan mereka memperhatikanmu
sampai seratus persen?" komentar Ian dingin. "Jangan
minta lebih dari apa yang telah kamu berikan!"
"Saya memberi mereka kehidupan yang baik!" geram
Rima penasaran. "Yang tidak mungkin diberikan oleh ayah
mereka yang penuh perhatian itu!"
"Mereka butuh perhatian dan kasih sayang. Bukan
cuma makanan dan pakaian!"
"Tapi mereka juga butuh uang! Dan uang tidak
datang sendiri kalau tidak dicari!"
"Sekarang uang yang mencarimu, bukan? Nah,
berikan perhatian lebih besar pada anak-anakmu kalau
kamu tidak mau menjadi orang asing di rumah sendiri!"
Lama Rima tidak bisa tidur. Membolak-balikkan


Mahligai Di Atas Pasir Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tubuhnya di ranjang hotel yang besar itu. Memandang
replika "The New Moscow"-nya Yuri Pimenov yang
tergantung di dinding di hadapannya.
Seharusnya Tika dan Bulan berterima kasih padanya.
Dia memberi mereka kehidupan yang baik. Makanan yang
cukup. Sekolah yang bermutu. Pakaian yang bagus.113
Kalau bukan karena perjuangan ibunya, mungkinkah
mereka memperoleh semua itu? Tanpa perjuangan ibunya,
barangkali mereka sekarang masih memberi makan ayam
di kampung. Atau menjadi pembantu rumah tangga di
kota...
Ah, mengapa punya pikiran seperti itu, geram Rima
kesal. Jengkel kepada dirinya sendiri. Tentu saja dia
menyayangi anak-anaknya. Ingin memberikan yang
terbaik pada mereka. Tapi kalau mereka minta perhatian
lebih... kapan dia harus bekerja?
"Saya juga mau diam di rumah seperti istri-istri yang
lain." Kalau sedang kesal, suaminyalah yang biasanya jadi
tempat pelampiasan. "Tapi kaiau saya tidak bekerja, apa
anak-anak bisa nonton televisi berwarna? Bisa punya
komputer? Bisa diantar mobil ke sekolah?"
"Mereka lebih membutuhkan dirimu daripada semua
itu," desis Ian tersinggung.
"Untuk berapa lama? Berapa lama sampai mereka
dapat merasa iri pada teman-temannya?"
"Kalau kamu tidak ngotot menyekolahkan mereka di
sekolah bergengsi itu, mereka tidak akan mengenal
kemewahan."
"Anak-anak saya harus memperoleh apa yang dulu
tidak dapat saya peroleh."
"Kalau begitu, nikmatilah apa yang dapat kamu
peroleh sekarang. Jangan mengeluh dan meminta lebih!"
Tetapi... meminta lebihkah namanya minta perhatian
dari anak-anaknya sendiri? Dia telah memberikan semua
yang mereka butuhkan. Kecuali tentu saja, perhatian yang
lebih banyak. Itu yang tak dapat diberikannya.114
"Ibu tidak bisa berada bersama kalian dari pagi sampai
malam," kata Rima pada anak-anak-nya. "Karena Ibu harus
bekerja."
"Ibunya Noni juga kerja," sahut si kecil Bulan polos.
"Tapi masih sempat jemput Noni pulang sekolah!"
"Pekerjaan orang kan lain-lain, Ulan. Kalau Ibu harus
menjemputmu tiap hari, kamu tidak bisa punya mobil."
"Tapi Noni punya mobil!"
"Mungkin ayahnya yang membelikannya." Rima tidak
jadi mengucapkan kata-kata itu. Bagaimanapun, dia tidak
sampai hati merendahkan suaminya di depan anak-anak
mereka.
Jadi Rima diam saja. Dan untuk kesekian kalinya,
tidak mampu merebut simpati anak-anaknya.
Mereka masih lebih dekat kepada suaminya. Meskipun
Ian tidak pernah memberikan apa-apa kecuali perhatian
dan kasih sayang. Bu Azwar benar. Suaminya memang
baik sekali...
"Mengalahlah demi suami dan anak-anakmu," Rima
teringat kembali kata-kata perempuan tua itu sesaat
sesudah dia menerima lamaran Ian. "Jika kamu memilih
perkawinanmu, lepaskan kariermu."
Tetapi mengapa seorang wanita tidak boleh memiliki
kedua-duanya? Padahal karier itu telah diraihnya dengan
susah payah! Sungguh tidak adil kalau dia harus
melepaskan kariernya untuk menyelamatkan perkawinannya! Lagi pula... cukupkah gaji suaminya untuk
menghidupi mereka? Anak-anak kini sudah besar.115
Kebutuhan mereka bertambah. Dan Rima tidak mau hidup
melarat lagi! Kemiskinan tidak boleh lagi menjamahnya!
*** Rima bangun dengan kepala pusing. Ada ketukan di
pintu kamarnya. Dia menoleh ke arah jam tangannya.
Hampir pukul sembilan. Astaga! Dia benar-benar
terlambat!
Bergegas Rima menyambar gaun luar baju tidurnya.
Dan memakainya sambil melangkah ke pintu. Dengan
mata masih mengantuk dia membuka pintu sedikit.
"Selamat pagi," sapa Ivan ramah. Senyumnya secerah
udara Moskow pagi itu. "Tidur nyenyak semalam?"
"Maaf, Ivan! Saya terlambat bangun"
"Tidak apa. Kami tidak pernah tergesa-gesa. Saya
tunggu di ruang makan, oke? O ya, ada kiriman bunga
dari seorang penggemar Anda di Moskow."
Seorang pelayan menyodorkan seikat bunga. Rima
hampir mengambil tasnya untuk memberi tip ketika dia
ingat, dia berada di Moskow, bukan di New York. Dia
hanya mengucapkan terima kasih sambil tersenyum. Dan
mengingat-ingat wajah pelayan itu. Kalau dia menawarkan
sesuatu nanti...
Rima menutup pintu setelah memberi salam pada
Ivan. Dicarinya kartu pengirim yang disisipkan pada
bunga itu. Tetapi dia tidak melihat sehelai kartu nama pun.
Dia hanya melihat sebuah amplop putih. Dikaitkan
pada salah satu tangkai bunga itu. Ketika Rima membuka
sampulnya, dia melihat selembar foto.116
Foto yang sangat mengesankan. Malam di Red
Square. Dengan latar belakang Katedral Saint Basil.
Dengan kubahnya yang beraneka warna dan berbentuk
bawang...
Dasar wartawan, gumam Rima sambil tersenyum.
Entah di mana tengah malam dia mencetak foto!
Tetapi perhatian sebesar itu menimbulkan perasaan
aneh di hatinya. Justru pada saat dia sedang membutuhkan
perhatian, ketika orang-orang yang dicintainya justru
sudah tidak memperhatikannya lagi, seseorang yang baru
dikenalnya di negeri asing malah begitu penuh perhatian!
*** "Sudah puas menikmati Moskow pada waktu malam?" Ivan
menyodorkan piring roti ke hadapan Rima. "Bagaimana
kalau nanti malam saya bawa Anda ke Bolshoi Theatre?"
"Terima kasih. Bagaimana kalau esok malam? Nanti
malam ada undangan dari teman Indonesia saya."
"Oh, beruntung sekali bertemu dengan teman
Indonesia di Rusia!"
"Ya, saya beruntung sekali karena mengharapkan
nanti malam dapat bertemu dengan sepiring nasi!"
Ivan menyodorkan sepiring mentega sambil
tersenyum. Kali ini, mereka menghidangkan juga sepiring
jam. Masih tanpa pembungkus. Tetapi terlihat lebih
menarik. Apalagi di samping gelasnya Rima melihat sebutir
telur rebus. Kali ini telur terpajang rapi di tempatnya.
Tidak dibenamkan ke dalam sup.117
"Hari ini saya akan membawa Anda ke sebuah
department store" sambung Ivan setelah Rima mengambil
roti dan mentega. "Saya telah menghubungi manajernya.
Dan dia bersedia menemui Anda pukul sebelas nanti."
"Untung dia tidak minta menemui saya pukul
sepuluh!" cetus Rima lega. "Jadi saya masih keburu
sarapan!"
"Oh, dia tahu, Anda pasti terlambat bangun! Moskow
sangat mengesankan, bukan? Terutama pada waktu
malam!"
Rima tidak tahu Ivan menyindir atau tidak. Tetapi
pada saat mengantarnya ke kamar, dia bersiul perlahan
menyenandungkan From Russia with Love.118
11 "TERIMA KASIH mau datang kemari, Rima!" cetus Soni
yang sudah menunggu di depan pintu masuk. Dia
langsung menyambut Rima dan membawanya masuk ke
dalam.
"Kamu menungguku?" tanya Rima heran. "Tidak
meliput acara?"
"Oh, belum ada acara apa-apa! Biasa, jam karet!"
Tetapi Rima tidak percaya. Sudah cukup banyak
orang di ruangan itu. Acara resmi memang belum dimulai.
Tetapi acara santap malam sudah. Dan hidangan ala
Indonesia yang disajikan secara prasmanan itu pasti
mengundang selera orang Indonesia yang sudah cukup
lama bermukim di luar negeri. Cukup lama juga bagi Rima
meskipun dia baru seminggu lebih meninggalkan tanah
air. "Lapar?" tanya Soni seperti tahu kerinduan Rima pada
nasi. "Mau Iangsung menyerang sasaran?"
"Tidak masuk koranmu, kan? Aku sudah kangen
sekali pada nasi putih dan sambal!"
"Tunggu apa lagi? Mulailah! Perlu dikomandokan?"
"Kamu tidak makan?"
"Jangan kuatir. Aku biasa makan dalam tiga babak!"119
Tanpa menunggu instruksi lagi, Rima langsung
mengambil piring. Dia sudah mengu-urkan tangannya
untuk menyendok nasi ketika seorang laki-laki yang lewat
di tempat yang sempit itu tidak sengaja menyenggol
bahunya. Hampir saja piring terlepas dari tangannya.
Rima mengangkat wajahnya dengan agak kesal. Lelaki
itu juga menoleh untuk minta maaf. Dan mereka samasama terpaku. Pria gondrong bercambang dan berjanggut
lebat itu...
"Bung Pran!" cetus Soni untuk menetralisasi suasana
yang tiba-tiba menjadi tegang. "Kebetulan sekalijumpadi
sini! Kenalkan dulu, ini Rima, teman saya. Rima, ini Bung
Pranata Raya, koreografer kondang kita!"
Dan Soni segera menyadari, tidak perlu perkenalan
itu. Mereka sudah saling mengenal...
"Sedang apa di Moskow, Rima?" tanya Pranata seperti
tidak ada orang lain di sana. Sedikit pun dia tidak
mengacuhkan Soni. "Bisnis?"
Rima mengangguk. Dia merasa terpesona mengawasi
seraut wajah di hadapannya. Sedikit pun dia tidak
berubah...
"Kenal di mana?" tanya Soni penasaran begitu Pranata
meninggalkan mereka. "Pernah nonton salah satu
pementasannya?"
"Aku pernah bekerja pada ibunya," sahut Rima singkat
Tetapi Soni merasa, hubungan mereka lebih dekat dari
itu. Rima kelihatan tidak bersemangat lagi. Juga ketika
bertemu dengan nasi putih dan sambal. Selera makannya
hilang sama sekali. Dia sudah pulang sebelum acara
berakhir. Dan Soni tidak merasa heran ketika selesai acara,120
Pranata mencarinya. Ketika dia tahu Rima sudah pulang,
dia langsung minta alamat hotelnya.
*** Rima tidak terperanjat ketika membuka pintu
kamarnya, dia melihat Pranata tegak di hadapannya. Tanpa
berkata apa-apa, dia melebarkan pintu. Dan mendahului
masuk ke dalam. Langsung duduk di kursi.
Pranata mengikutinya masuk. Tetapi tidak duduk.
"Sendirian?" tanya Pranata meskipun sebenarnya dia
tidak perlu lagi bertanya.
"Dari dulu saya selalu sendirian." Sesudah mengucapkan kata-kata itu, Rima menyesal. Mengapa suaranya
seperti bernada mengundang?
"Suamimu tidak ikut?"
"Dia tidak bisa meninggalkan murid-muridnya.
"Dia tidak melarangmu pergi sendirian?"
"Dia tidak pernah dapat melarang saya."
"Memang tidak ada yang dapat menghalangimu."
Pranata mengelilingi kursi Rima dan duduk di kursi
yang lain. "Bisnis apa di Rusia?"
"Baju. Apa lagi?"
"Orang di sini mau mengeluarkan uang untuk
membeli baju bagus?"
"Yang penting murah."
"Dan kamu sanggup menyediakannya?"121
"Tenaga kerja kita masih terhitung murah. Ongkos
produksi bisa ditekan serendah mungkin. Karena itu kita
mampu bersaing di pasar dunia."
"Termasuk Rusia?" Pranata menggeleng-gelengkan
kepalanya sambil tersenyum. "Kamu memang pantang
menyerah! Terus terang, saya kagum padamu."
Suatu saat dulu, aku tidak ada artinya sama sekali
bagimu. Bahkan kehormatanku bisa kamu tebus dengan uang!
Aku cuma babu yang bisa kamu permainkan seenaknya!
"Rano baik?" tanya Rima sambil menghela napas.
Berusaha menyingkirkan obsesi itu dari kepalanya.
"Kalau kesehatan fisiknya, ya. Dia sehat."
"Ada problem?"
Pranata menghela napas panjang.
"Kuliahnya tidak maju."
"Dia perlu bimbingan."
"Mau menemuinya?"
"Pulang ke Indonesia nanti, saya akan ke Bandung
untuk menemuinya."
"Kapan pulang? Kita bisa pulang bersama-sama."
"Tidak pulang bersama rombongan?"
"Mereka bisa pulang sendiri."
"Saya juga bisa pulang sendiri."
"Tidak perlu pendamping?"
"Saya punya pemandu."
"Soni Harsono?"
"Ivanovitch."
"Di mana kamu kenal Soni?'*122
"Leningrad."
"Kelihatannya dia sangat menyukaimu."
"Mungkin saya figur yang menarik untuk obyek
tulisannya."
"Saya tidak tahu Soni gemar menulis."
"Menulis adalah pekerjaan utama seorang reporter,
bukan?"
"Reporter?" Pranata mengerutkan keningnya.
"Dia bukan wartawan?" tanya Rima sama herannya.
"Dia mengaku wartawan?"
"Bukan baru sekali ini saya bertemu dengan wartawan


Mahligai Di Atas Pasir Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gadungan!" gerutu Rima kesal. Merasa ditipu. Buat apa dia
menyamar jadi wartawan? Rima tidak peduli seandainya
dia tidak punya pekerjaan sekalipun!
"Hati-hati padanya. Kamu tahu siapa dia?"
Rima menggeleng muram.
"Kamu belum pernah mendengar nama Soni
Harsono?"
Sekali lagi Rima menggeleng.
"Ayahnya konglomerat terkenal di tanah air. Dia
sendiri seorang playboy yang punya banyak affair di luar
negeri. Bertualang dari satu negeri ke negeri lain,
mempermainkan wanita sambil berfoya-foya dengan uang
ayahnya."
Pantas aku selalu merasa ada sesuatu yang berbahaya
dalam dirinya, pikir Rima masygul. Di balik kebaikan dan
perhatiannya, aku merasakan sesuatu yang membangkitkan
kewaspadaan....123
"Saya datang untuk memperingatkanmu, Rima."
Pranata mengawasi wanita yang sedang termenung itu.
"Hati-hati terhadapnya. Dia sering mempermainkan
wanita. Apalagi yang kesepian dan sendirian seperti kamu!"
"Saya akan berhati-hati sekali," sahut Rima tanpa dapat
menghindarkan perasaan muaknya. Dia memperingatkan
korbannya untuk berhati-hati terhadap seorang lelaki yang
mungkin membahayakannya? Munafik! "Terutama kalau
dia sedang mabuk!"
Sesudah mengucapkan kata-kata itu, Rima merasa
menyesal. Buat apa menoreh kembali luka lama?
Wajah Pranata langsung berubah. Lama dia
termenung sebelum lambat-lambat mengangkat wajahnya
dan menatap Rima dengan perasaan bersalah.
"Belum dapat memaafkan saya?"
"Saya hanya belum dapat melupakannya."
"Saya ingin melakukan apa saja untuk menyilihnya,
Rima."
Sudah terlambat. Mengapa kamu tidak berkata demikian
pada saat itu? Pada saat kamu merampas milikku yang paling
berharga!
"Suamimu tidak tahu?"
"Dia tahu semuanya."
"Kamu berterus terang padanya?"
"Haruskah ada rahasia antara suami-istri?"
"Dan dia tetap menerimamu?"
"Dia lelaki yang paling baik."
"Kalau begitu, mengapa meninggalkannya?"
"Bisnis."124
"Saya rasa perkawinanmu tidak bahagia."
"Seniman memang punya intuisi yang tajam," sindir
Rima sinis. "Tapi kadang-kadang tidak bijaksana."
"Tidak bijaksana? Karena saya mengatakannya dengan
terus terang? Kamu bukan orang lain bagi saya, Rima Saya
telah mengenalmu untuk waktu yang lama. Saya tahu,
tidak ada pria yang mampu memuaskanmu. Dan tidak ada
perkawinan yang mampu mengekangmu di rumah.
Ambisimu terlalu tinggi. Kamu terlalu mandiri. Dan
merasa tidak membutuhkan siapa pun kecuali dirimu
sendiri. Saya pikir itu perasaan yang berbahaya bagi
seorang istri. Karena tidak ada seorang suami pun yang
mau berada di bawah istrinya. Dan tidak ada seorang pria
pun yang bahagia kalau punya istri yang terlalu dominan
dan terlalu mandiri seperti kamu."
"Ini pengalaman pribadi?" sindir Rima pedas.
Pranata menghela napas. Sama sekali tidak merasa
tersinggung.
"Ketika saya menikah dengan Nina, dia telah
mengandung Rano," katanya lambat-lambat. Suaranya
berat. Dalam dan tertekan. "Saat itu dia berhenti sekolah.
Saya sendiri memang sudah tidak mau melanjutkan
pelajaran lagi. Saya lebih senang luntanglantung. Sekolah
tidak, kerja pun tidak. Saya masih mencari-cari bentuk
pekerjaan yang cocok. Saya ikut teman-teman main band.
Ikut menggelandang ke sana kemari. Tetapi bahkan
sesudah saya mendapat pekerjaan sebagai penata tari di
sebuah sanggar kecil, pendapatan Nina sebagai peragawati
lebih besar daripada saya. Rumah tangga kami tidak pernah
tenteram. Sebagian karena salah saya juga. Saya merasa
dilangkahi oleh istri. Lebih-lebih ketika karier Nina cepat125
menanjak. Sementara karier saya begitu-begitu saja.
Akhirnya kami berpisah. Rano saya bawa karena Nina
lebih suka meniti kariernya seorang diri. Dia sering
bepergian. Ketika akhirnya saya pun sering manggung di
luar kota, Rano saya titipkan pada Ibu. Hanya supaya dia
punya seorang yang bisa ditemuinya kalau dia membutuhkan seseorang. Punya seseorang kalau dia pulang
sekolah. Kalau dia mau tidur..."
"Sekarang kariermu sudah cukup hebat. Mengapa
tidak kembali padanya?"
"Sekarang karier Nina tidak segemerlap dulu lagi.
Tetapi bahkan sesudah kariernya memudar, dia tetap
merasa tidak membutuhkan saya."
"Di mana dia sekarang?"
"Membuka semacam kursus untuk peragawati. Tidak
terlalu berhasil. Tetapi cukup membuatnya bahagia.
Karena itu dia tidak perlu kembali kepada saya."
"Dia pandai sekali membuat lelaki penasaran." Rima
tersenyum tipis. "Keluar lapangan sebelum sempat
dikalahkan."
*** Sengaja Rima minta Ivan mencarikan hotel lain. Dia tidak
mau sisa waktunya di Moskow terganggu oleh kehadiran
Pranata maupun Soni. Dia masih perlu tinggal di sana satudua hari lagi. Bernegosiasi dengan beberapa orang yang
dianggapnya penting untuk melancarkan bisnisnya.
Malam terakhir di Moskow, Rima mengundang Ivan
makan malam sebagai ucapan terima kasih dan selamat126
berpisah. Selesai santap malam, Ivan membawanya ke
Lenin Hill. Menatap seantero kota sambil meneguk vodka
dan mengucapkan, "Selamat tinggal, Moskow."
Pada pukul sepuluh malam, cuaca di Moskow seperti
di Jakarta pada pukul enam sore. Rima memandang jauh ke
bawah. Kepada lampu-lampu yang mulai dinyalakan dan
kepada kota yang terlihat samar-samar di kejauhan di balik
kabut tipis.
"Semoga perjalanan Anda ke Rusia menyenangkan,"
kata Ivan sambil mengangkat gelas dan meneguknya.
"Tenis terang, memang jauh lebih mengesankan dari
yang saya perkirakan," sahut Rima polos. "Dan sebagian
karena jasamu, Ivan."
"Mudah-mudahan suatu hari nanti Anda ingin
kembali Iagi ke Lapangan Merah. Menyaksikan keindahan
Saint Basil yang abadi."
"Sekarang pun saya ingin kembali ke sana," kata Rima
mantap. "Maukah kau meninggalkan saya di sana, Ivan?"
"Saya akan menunggu di seberang jalan," sahut Ivan
sambil tersenyum. "Supaya tidak mengganggu keheningan
suasana."
"Saya bisa pulang sendiri."
"Tentu. Tapi malam ini Anda baru saja berkenalan
dengan vodka Rusia. Saya tidak mau kehilangan jejak
nanti."
Lama Rima tegak di sana. Menikmati dinginnya angin
malam dan indahnya panorama di hadapannya. Ketika dia
sedang menengadah merenungi kubahkubah aneka warna
di puncak katedral abad keenam belas itu, sebuah kilatan127
cahaya menyilaukan matanya. Dia terperanjat. Dan
menoleh.
"Akhirnya kutemukan juga kamu!" cetus Soni lega
sambil menutup lensa kameranya. "Dugaanku tepat. Kamu
tidak akan meninggalkan Moskow sebelum pamit pada
Saint Basil."
"Tahukah kamu, orang bisa dituntut karena memotret
orang lain tanpa izin?" geram Rima kesal.
"Di mana kamu akan menuntutku?" Soni tersenyum
sabar. "Di sini?"
"Bagaimana kamu tahu aku ada di sini?"
"Tiap malam kutunggu kamu di sini."
"Tidak ada obyek lain yang perlu dilaporkan pada
redaksimu?" sindir Rima sinis.
"Mengapa kamu menghilang?"
"Untuk menghindarimu."
"Bukan untuk menghindari Pranata Raya?"
"Mengapa harus menghindarinya?"
"Kamu yang harus menjawabnya."
"Aku tidak perlu menjawab."
"Sekarang memang tidak perlu lagi. Dia sudah pulang
bersama rombongannya."
"Mengapa kamu tidak ikut pulang? Menunggu
kedatangan delegasi lain? Atau kamu sudah dipecat oleh
surat kabarmu? Menjadi WTS di sini, wartawan tanpa
surat kabar?"
"Wah, Pranata pasti bicara banyak padamu!"
"Cuma memperingatkanku akan bahaya seorang lady
killer."128
Soni tertawa perlahan. "Kamu percaya padanya?"
"Aku orang yang sulit percaya pada siapa pun. Tapi
tidak ada salahnya berhati-hati."
"Karena itu kamu menghilang?"
"Aku sibuk."
"Sampai perlu pindah hotel?"
"Dengarkan, playboy!" geram Rima tak sabar. "Kalau
kamu mencari mainan baru, carilah obyek lain! Aku tidak
berminat! Aku datang ke negeri ini untuk berdagang!"
"Kamu perempuan yang menarik. Walaupun tidak
terlalu cantik."
"Jenis yang belum pernah ada dalam koleksimu?"
"Jenis yang langka memang. Tapi bukan berarti
belum pernah ditemukan."
"Sayang sekali. Sudah ada orang lain yang
menemukanku. Selamat malam."
"Kapan kamu pulang, Rima?"
"Besok."
"Langsung ke Jakarta?"
"Perlu kujawab?"
"Tidak kamu jawab pun aku tetap akan
mengikutimu."
"Jangan ganggu aku lagi. Aku sibuk."
"Kelihatannya kamu memang perempuan yang sibuk.
Tapi bukan perempuan yang dingin."
"Taksiran keliru dari seorang playboy kepalang
tanggung!"129
"Kamu hanya perlu bertemu dengan seorang lakilaki
yang mampu menghangatkanmu. Dan kamu akan
membara seperti magma dalam kepundan gunung berapi!"
Rima sudah membalikkan tubuhnya. Tetapi Soni
meraih tangannya. Dan menggenggamnya dengan hangat.
Sesaat Rima merasa jantungnya berhenti berdetak.
Sudah lama tidak ada orang yang berani menggenggam
tangannya seperti ini... apalagi seorang lelaki yang begini
menarik....
"Mau pulang, Rima?" tanya Ivan yang tahu-tahu telah
tegak di sisinya. Dia mengawasi Soni dengan tajam. Tetapi
Soni membalas tatapannya dengan tenang. Tanpa
melepaskan tangan Rima.
"Terima kasih. Rima akan pulang dengan saya,"
katanya datar. "Bukan begitu, Rima?"
Rima menghela napas panjang setelah berpikir
sejenak. Dia tahu Soni tidak mau mengalah begitu saja.
Dan Ivan pasti tidak mau meninggalkannya kalau tidak
disuruh.
"Tinggalkan saya, Ivan," sahut Rima tenang. "Saya
bisa pulang sendiri."
Ivan menatap Rima sesaat. Sebelum menoleh ke arah
Soni dan mengawasinya dengan cermat. Seolah-olah
sedang merekam wajahnya kalau esok pagi Rima tidak
ditemukan.
Sesudah itu Ivan berpaling lagi pada Rima.
Mengucapkan selamat malam. Dan berlalu.
Soni menatap pemuda itu dari belakang dengan
perasaan puas.130
"Siapa dikiranya dia itu?" gerutunya sambil
menyeringai masam. "Dipikirnya sudah tidak ada pria
Indonesia yang dapat mengawal wanitanya sampai perlu
pengawalan lelaki Rusia?"
"Jangan melantur! Itu memang tugasnya sebagai
pemandu!"
"Mulai sekarang kamu tidak memerlukan pemandu
lagi! Ke mana kamu mau pergi? Novgorod? Smolensk?
Minsk? Aku bisa mengantarmu!"
"Antar saja aku ke hotel! Aku mau tidur!"
Ketika menyeberangi jalan, Rima melihat Ivan masih
mengawasinya dari kejauhan. Kedua belah tangannya
dimasukkan ke dalam saku celananya. Rima melambaikan
tangan kepadanya.
"Jangan kuatir, Ivan!" serunya dari jauh. "Orang ini
tidak berbahaya!"
"Mengapa dia begitu mencurigaiku!" gerutu Soni
gemas.
"Dia pasti sudah punya data lengkap siapa kamu dan
apa kerjamu di negeri ini."
"Apa yang dikuatirkannya? Kamu bukan anak kecil
lagi. Dan aku tidak akan memperkosamu!"
Soni memang hanya bergurau. Tetapi ketika Rima
mendengar kata yang terakhir itu, wajahnya berubah.
Tidak sadar langkahnya berhenti sesaat. Soni mengawasinya dengan cermat. Tapi tidak memberi komentar apaapa. ***131
Morning call sudah berbunyi pada pukul tujuh pagi.
Meskipun masih mengantuk, kali ini Rima tidak terlambat.
Begitu Ivan mengetuk pintu, dia telah siap.


Mahligai Di Atas Pasir Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Selamat pagi," sapa Ivan seramah biasa. "Sudah siap?"
"Kita masih sempat minum kopi?"
"Oh, tentu. Masih banyak waktu. Jangan kaget kalau
menemui pengagum Anda di lobi. Dia sudah menunggu
sejak dua jam yang lalu di sana."
Rima menghela napas panjang. Tentu saja dia senang
masih ada lelaki yang mengaguminya sampai begitu rupa.
Tetapi ulah Soni kali ini benar-benar sudah keterlaluan.
Mau apa lagi dia menunggu di sana?
"Ikut kamu ke Warsawa," sahut Soni tenang.
"Kata siapa aku mau ke Warsawa?"
"Tidak penting dari mana aku tahu. Kamu akan
mampir di Warsawa dan Budapest sebelum kembali ke
Indonesia. Dalam rangka meninjau pasaran produkmu di
Eropa Timur, bukan? Ekspormu terpukul oleh proteksi
Amerika. Karena itu kamu menoleh ke sini!"
"Kamu pasti punya mata-mata di mana-mana," gerutu
Rima tanpa menyembunyikan perasaan kagumnya. Pria ini
bukan cuma cerdik. Dia luar biasa ulet!
"Itu salah satu kelebihanku."
"Tapi aku tidak suka dikuntit!"
"Aku cuma ingin pulang bersamamu ke Indonesia."
"Sudah tidak ada lagi perempuan menarik yang perlu
kamu permainkan di sini?"
"Aku sudah menemukan perempuan yang kuidamidamkan. Kebetulan sebangsadan setanah air pula."132
"Aku sudah menikah."
"Apa salahnya? Aku tidak mengajakmu menikah. Aku
hanya mengajakmu pulang bersama."
"Aku tidak mengerti logikamu. Tapi aku bukan kamu.
Aku bukan sedang bermain main membuangbuang uang
di sini. Aku sedang bisnis. Tolong, jangan ganggu aku
lagi."
"Aku berjanji tidak akan merepotkanmu. Dan tidak
akan menambah bujetmu atas biaya perusahaan."
Dan Rima masih tetap tidak mengerti dari mana Soni
mengetahui rute perjalanannya. Tetapi dia sudah
mempunyai tiket ke Warsawa. Dan Rima tidak bisa
mencegahnya ikut ke sana.133
12 Warsawa, 1990
PEMANDUNYA di Warsawa seorang Polandia yang
pandai berbahasa Inggris tapi dengan logat lokal yang
kental, sehingga Rima kadang-kadang agak sulit
menangkap kata-katanya. Dia keheran-heranan ketika
melihat Rima datang berdua.
"Menurut telegram yang saya terima, Anda datang
seorang diri," katanya dengan paras menyesal. "Saya telah
memesan sebuah kamar single untuk Anda..."
"Oh, jangan kuatir," potong Soni sebelum Rima
sempat menjawab. "Saya sudah memesan kamar sendiri!"
"Syukur kalau Anda telah memesan kamar." Wajah
pria itu kembali cerah. "Karena semua kamar di hotel itu
telah penuh!"
"Bagaimana kamu tahu aku akan menginap di hotel
itu?" tanya Rima penasaran dalam perjalanan ke hotel.
Soni cuma tersenyum tipis.
"Bukan baru sekali ini aku ke Warsawa. Aku tahu
bagaimana caranya mengosongkan sebuah kamar."
Rima tidak tahu bagaimana caranya, meskipun dia
dapat menerka. Tetapi bagaimanapun, dia mulai134
mengagumi pria ini. Menurut pendapatnya, beginilah
memang seharusnya seorang pria. Cerdik. Ulet. Pantang
menyerah. Jangan seperti Ian... pasrah saja menerima nasib
selama bertahun-tahun....
Dan ingat Ian mau tak mau mengingatkan Rima pada
anak-anaknya. Ada perasaan pedih di hatinya ketika ingat
mereka. Dia benar-benar sudah merasa rindu. Begitu
sampai di hotel, dia langsung minta sambungan jarak jauh
ke rumah.
"Pak, bagaimana anak-anak?" desak Rima begitu
mendengar suara suaminya di telepon.
"Baik," sahut Ian datar. "Kapan pulang?"
"Minggu depan. Mana Tika?"
"Tunggu sebentar."
Rima hampir tidak sabar menunggu untuk mendengar
suara anak-anaknya. Dia sudah langsung menyambar
begitu mendengar suara Tika yang ragu-ragu.
"Ibu?"
"Tika! Kamu baik? Ibu kangen sekali padamu!"
"Kapan Ibu pulang?"
"Minggu depan."
"Kok lama?"
"Urusan Ibu belum beres, Tika. Mana Bulan?"
Dan suara si kecil sudah menerpa telinganya sebelum
Rima sempat menyapa.
"Ibu? Gigi Ulan copot lagi! Ibu bawa oleh-oleh apa
buat Ulan? Ibu pulang besok?"
***135
"Anak-anakmu?" tanya Soni begitu Rima meletakkan
gagang telepon. Dia baru masuk ke kamar Rima membawa
pisang dan jeruk. Diletakkannya buahbuahan itu di atas
meja.
Rima cuma mengangguk. Kerinduannya memang
sedikit terobati mendengar suara anak-anaknya. Tetapi
belum punah sama sekali.
"Mereka pasti hebat seperti ibunya."
Atau melempem seperti ayahnya, keluh Rima dalam hati.
Ah, mengapa dia tidak dapat menaruh respek lagi pada
suaminya? Seandainya Ian sedikit saja mirip lelaki ini...
"Lapar? Aku tahu restoran yang enak. Nanti malam
kuundang kamu bersantap malam bersama."
"Nanti malam aku sudah ada acara."
"Dengan pemandumu yang tua itu?"
"Dengan mitra usahaku di sini. Dan mereka hanya
mengundang satu orang. Karena itu, tolong jangan ikut."
"Mereka mengundangmu makan malam?"
"Ya."
"Di restoran?"
"Di mana lagi?"
"Kalau begitu jangan larang aku makan di restoran
yang sama! Aku tidak percaya mereka memesan semua
meja di restoran itu!"
***136
Warsawa. Kota yang hancur total pada Perang Dunia
Kedua. Walaupun sudah berusaha memugar diri, dia belum
mampu sepenuhnya pulih dari trauma pascaperang.
Apalagi sesudah dihancurleburkan oleh bom, selama
puluhan tahun Polandia memisahkan diri dari dunia bebas.
Membuat ekonomi mereka bertambah porak-poranda.
Tetapi angin keterbukaan yang mulai berembus,
mulai membangkitkan kembali gairah penduduknya untuk
mengejar ketinggalan mereka. Salah satu sektor yang maju
dengan pesat adalah pariwisata. Polandia seperti
menyimpan sejarah kekejaman perang. Betapa tragis akibat
yang ditimbulkannya.
Obyek-obyek pariwisata terbuka lebar bagi turis
mancanegara. Dibandingkan dengan Rusia, mereka
memang jauh lebih cepat menyesuaikan diri. Lebih cepat
belajar bagaimana menyenangkan turis dan mengorek
kantong mereka.
Berada di Warsawa, Rima seperti merasa berada di
salah satu kota di Eropa saja. Dia bisa membeli semua
barang yang diinginkannya sebanyak yang dia suka. Dan
tidak perlu antre terlalu lama.
Sesudah negosiasi yang lancar dengan mitra
dagangnya, Rima menghabiskan waktu dengan melihatlihat obyek-obyek turis bersama pemandunya. Dan tentu
saja, bersama Soni. Yang tidak mau ketinggalan sekejap
pun, kecuali kalau Rima ke WC.
Dia membelikan banyak sekali lukisan dan barangbarang kristal untuk Rima. Ketika Rima menolak untuk
menerimanya, Soni tertawa lebar.137
"Kuatir tidak bisa membawanya? Atau takut aku
menagih dalam bentuk lain?"
"Aku hanya tidak ingin menerimanya.,,
"Aku tahu kamu sanggup membelinya sendiri. Tapi
hadiah dari seorang teman selalu mempunyai arti lain."
"Justru arti lain itu yang tidak kukehendaki."
"Arti lain tidak selalu berkonotasi buruk."
"Aku memang paranoid."
"Itu yang mesti diubah dalam sifatmu. Supaya kamu
punya banyak teman selain uang."
Lama Rima merenungkan kata-kata Soni. Dia
memang seorang playboy. Ahli mempermainkan wanita.
Tidak punya pekerjaan tetap. Tapi satu hal yang menonjol
dalam dirinya, dia selalu berkata terus terang. Dan kadangkadang kata-katanya ada benarnya juga.
Sekarang Rima memang punya banyak uang. Tapi dia
tidak punya teman dalam arti yang sesungguhnya. Semua
orang terasa jauh. Bahkan keluarganya sendiri tidak cukup
dekat. Sering dia merasa Kesepian. Merasa ditinggal
seorang diri.
Sungguh sebuah ironi. Ketika dia telah memiliki
segalanya, dia justru merasa tidak punya apa-apa. Dia
memang tidak mau menjadi miskin kembali. Tetapi
kadang-kadang dia merindukan hidupnya yang lama. Saatsaat di kampung, ketika masih bersama orangtua dan
saudara-saudaranya yang sungguh sungguh mencintai dan
memperhatikannya.
"Rima," Soni memegang tangannya ketika dilihatnya
wanita itu termenung lama. "Aku ingin sekali menjadi138
sahabatmu. Tapi kamu tidak pernah mempercayai siapa
pun."
"Aku tidak tahu apa-apa tentang dirimu."
"Media massa di tanah air banyak bercerita tentang
sepak terjangku, bukan? Wanita barangkali membenci
ulahku. Tapi mereka senang membaca kisah-kisah
petualanganku."
"Aku tidak pernah sempat membaca koran dan
majalah gosip."
"Cuma sempat membaca berita ekonomi dan warta
bisnis?" Soni tersenyum tipis. "Syukur kalau begitu. Supaya
kamu tidak bertambah takut padaku."
"Apa kata mereka tentang dirimu?"
"Aku anak tunggal seorang konglomerat terkenal di
Indonesia. Disekolahkan di luar negeri. Tetapi bukan
menjadi sarjana, malah menjadi playboy!" Soni tertawa
pahit. "Uh, reputasiku jelek sekali, ya?"
"Ayahmu diam saja?
"Oh, aku sudah dianggapnya proyek rugi!"
"Apa enaknya hidup seperti ini? Berfoya-foya
menghamburkan uang ayahmu? Tidak punya tujuan apaapa yang mesti dicapai?"
"Pada suatu saat, jika seseorang sudah memiliki segalagalanya, uang tidak ada artinya lagi. Apa salahnya
dibuang-buang, dibagikan kepada orang yang masih
membutuhkan?"
"Tapi bukan seperti itu caranya! Kamu tidak menghargai uang karena kamu tidak pernah merasakan betapa
sulitnya mencarinya! Hidupmu kosong karena tidak ada
tantangan dalam hidup itu!"139
"Tantanganku adalah menaklukkan wanita. Terutama
yang sulit ditaklukkan seperti kamu."
"Kamu bahagia hidup seperti itu?"
Soni tertawa getir.
"Aku malah tidak tahu lagi apa arti bahagia. Karena itu
aku tidak mengejarnya lagi. Untuk apa mengejar sesuatu
yang tidak kuketahui? Aku hidup hanya untuk hari ini.
Esok, ada hari lain. Dan hari esok, terserah esok saja. Aku
malah tidak tahu esok aku ada di mana. Bertemu siapa.
Pergi ke mana."
"Kata-katamu menyiratkan betapa frustrasinya kamu!"
"Tambah frustrasi kalau kamu tidak mau menerima
pemberianku ini!"
"Kamu selalu membanjiri teman gadismu dengan
hadiah?"
Soni tertawa pahit.
"Apa lagi yang diharapkan seorang gadis dari lakilaki?"
"Tidak semua!"
"Aku tahu. Kamu memang tidak seperti itu. Tapi aku
tetap ingin memberikan sesuatu padamu. Aku telah
mengagumimu sejak pertama kali bertemu. Dan
kekagumanku bertambah ketika Pranata menceritakan
sejarah masa lalumu."
"Oh, rupanya dia cerita pada setiap orang aku pernah
jadi babu di rumah ibunya!" Pernahkah juga dia menceritakan
dengan bangga sesuatu yang lain?
"Kamu tidak perlu jengkel. Dia termasuk salah
seorang pengagummu."140
"Dia seorang hipokrit. Sebelumnya dia tidak
memandang sebelah mata pun padaku!"
"Kamu tidak kenal Pranata!"
Aku mengenalnya sebelum mengenal lelaki lain! Dia
lelaki pertama dalam kehidupan seksku. Tapi dia binatang! Dia
menukar kehormatanku dengan uang! Aku benci padanya.
Muak!
*** Budapest, 1990
Budapest. Ibu kota Hongaria. Terdiri atas dua kota
kembar, Buda dan Pest, yang dipisahkan oleh Sungai
Donau. Di atas sungai yang menghubungkan kedua kota
itu, terbentang Jembatan Chain dan Elizabeth. Yang
dibangun kembali dari reruntuhan Perang Dunia Kedua.
Budapest memang termasuk kota yang cepat memugar diri
sesudah perang. Dan kini tengah membuka diri untuk
pariwisata.
Buda yang terletak di tepi sebelah barat Sungai
Donau, memiliki bangunan-bangunan bergaya Gothic,


Mahligai Di Atas Pasir Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rococo House, Royal Castle, Gereja Saint Matthias, dan
Fisherman's Bastion yang antik.
Sementara Pest yang terletak di sisi timur Sungai
Donau, memamerkan kemegahan Gedung Parlemennya
yang menjadikan Budapest salah satu kota yang tercantik
di Eropa Timur.
"Budapest memang salah satu kota favoritku di Eropa
selain Wina dan Paris," kata Soni ketika mereka berdua
sedang menyantap seporsi goulash yang lezat, di salah satu141
restoran kecil bergaya Renaissance, di sebuah jalan yang
seperti mengembalikan waktu ke masa abad pertengahan.
"Kalau kamu mau, aku ingin mengajakmu bertualang
dengan bus lokal dari Budapest jam lima sore nanti. Setelah
menikmati pemandangan alam yang tidak terlupakan,
nanti malam kita sudah di Wina. Jangan kuatirkan visa
Austriamu. Berikan saja paspormu padaku. Aku punya
teman di mana-mana."
"Barangkali kamu lupa, aku kemari untuk bisnis,
bukan jalan-jalan," sanggah Rima dengan perasaan heran
mengapa dia mulai menyukai ide yang tidak masuk akal
itu. Dan lelaki seperti Soni terlalu pintar untuk tidak dapat
menangkap keinginan yang tersirat di balik sanggahan
Rima.
"Aku tidak percaya perempuan seumurmu tidak suka
bersenang-senang memanjakan diri. Kamu hanya tidak
tahu caranya!"
Dan bersenang-senang memanjakan diri menurut
persepsi seorang pria seperti Soni, ternyata juga berarti
terguncang-guncang selama berjam-jam dalam bus lokal
dari Hongaria melintasi perbatasan Austria. Ketika tiba di
Wina pada pukul sepuluh malam, tidak ada keinginan
Rima untuk menikmati Wina di waktu malam seperti yang
diinginkan Soni.
Satu-satunya keinginan Rima cuma cepat-cepat mandi
air hangat dan tidur. Punggungnya terasa pegal sekali. Dia
memilih duduk di lobi daripada menyertai Soni ke
reception. Dan dia merasa kecewa sekali ketika Soni kembali
sambil menggelengkan kepala.142
"Tidak ada kamar?" tanya Rima jengkel. "Katamu
kamu tahu cara mengosongkan sebuah kamar!"
"Kecuali kalau kamu mau tidur sekamar denganku."
"Jangan bergurau."
"Cuma ada satu kamar single."
Tanpa menggerutu sepatah pun, Rima meraih tasnya
dengan tenang.
"Aku ambil kamar itu."
Soni tersenyum lebar.
"Demikian juga yang kukatakan pada portir. Kamu
sudah sangat letih."
"Silakan kamu mencari kamar lain. Katamu, kamu
punya teman di mana-mana, kan?" Rima tersenyum sinis.
"Coba lihat di buku tamu, barangkali ada yang kamu
kenal!"
Tanpa menoleh lagi, Rima menuju reception untuk
mengambil kunci. Meninggalkan Soni yang masih
terenyak kecewa. Senyum lenyap dari bibirnya.143
13 Wina, 1990
PELAYAN yang mendorong meja berisi sarapan pagi iiu
mengucapkan selamat pagi dengan sopan sambil
menyerahkan seikat besar bunga. Rima menerima bunga
itu seraya mengucapkan terima kasih.
Hm, servis yang sangat baik! Soni pasti tidak keliru
memilih hotel.
Tetapi ketika Rima meminta bon makanan untuk
ditandatangani, pelayan itu menggelengkan kepalanya.
"Semua sudah dibayar oleh tuan di kamar sebelah, yang
memberikan bunga ini untuk Nyonya," katanya sopan.
Lalu dia mengundurkan diri dan menutup pintu.
Tanpa bertanya pun Rima sudah tahu siapa tuan di
kamar sebelah. Dan dia dapat menduga bagaimana Soni
memperoleh kamar di samping kamarnya walaupun
katanya tidak ada kamar kosong.
"Lelaki di sebelah kamarku baik sekali," sindir Rima
kepada Soni yang sedang berbicara dalam bahasa Jerman
dengan manajer hotel itu. "Tolong sampaikan terima
kasihku padanya."144
"Oh, jangan kuatir!" Senyum merekah di bibir yang
tipis itu. Sedikit pun Soni tidak tampak kesal. Tidak juga
merasa bersalah. "Dia teman baikku."
"Pasti," sahut Rima sinis. "Kalau tidak, masa dia mau
memberikan kamarnya padamu?"
"Ada kabar baik lagi bagimu. Manajer hotel ini sudah
menyiapkan mobil untuk kita. Ka mu lebih senang naik
Mercedes daripada bus ke Budapest, kan?"
"Aku lebih suka naik pesawat terbang."
"Sayang sekali. Aku sudah memesan mobil. Dan
kamar untuk malam ini. Aku juga sudah minta dipesankan
tempat di restoran untuk kita berdua nanti malam."
"Mengapa kamu begini lancang mengatur jadwalku?"
gerutu Rima sambil berpikir-pikir mengapa dia tidak
merasa kesal.
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ada orang
yang berani mengatur hendak ke mana dia hari ini. Di
mana dia tidur nanti malam. Dan siapa yang menemaninya
makan malam. Tetapi... mengapa dia tidak marah, malah
merasa aneh?
"Aku sudah memesan kaviar dan sebotol sampanye."
Soni tersenyum santai. "Mudah-mudahan tidak ada
undangan makan dari teman-teman Hongaria-mu malam
nanti."
Rima sangat menyukai rumah makan bergaya kastil
itu. Suasananya tenang, klasik, dan romantis. Hidangannya
lezat dan serba terpilih.
Penerangan di sana redup dan syahdu. Di atas masingmasing meja yang terbuat dari kayu berukir yang antik,
diletakkan tempat lilin yang indah. Cahaya lilin yang jatuh145
menimpa bunga yang dirangkai manis di atas meja,
menimbulkan bayang-bayang yang romantis. Dan
membang-kitkan kesan kuat yang mengaduk emosi.
Pelayan-pelayan di rumah makan itu mengenakan
pakaian tradisional Austria berwarna biru-putih. Di sudut
sana, dekat tong bir yang terbuat dari kayu yang antik,
beberapa orang pemusik mengalunkan karya-karya klasik
Johann Strauss dan Franz Schubert.
"Kuharap kamu menyukai suasana di restoran ini,
Rima," kata Soni lembut. Di bawah cahaya lilin, wajahnya
tampak demikian memikat. Sorot matanya hangat
mengundang. Membuat Rima resah diguncang
perasaannya sendiri.
Berapa lama lagi dia mampu bertahan, menggebah
daya tarik yang demikian menggebu? Lelaki ini punya
segalanya untuk mematahkan pertahanan wanita yang
paling gigih sekalipun!
"Sudah dua kali aku ke Wina," sahut Rima terus
terang. Suaranya terdengar sendu seperti keluhan. "Tapi
tidak pernah tahu ada tempat yang begini menyenangkan."
"Hidup ini penuh dengan hal-hal menyenangkan
yang belum kamu ketahui, Rima," kata Soni Iembut.
"Kalau kamu beri aku kesempatan, akan kubawa kamu ke
tempat-tempat yang lebih menyenangkan lagi."
"Aku harus kembali ke Indonesia."
"Rindu pada suamimu?"
"Antara kami sudah tidak ada apa-apa lagi." Sesudah
mengucapkan kata-kata itu, Rima merasa menyesal.
Mengapa harus mengucapkannya di depan Soni? Dia bisa
salah mengerti!146
"Kalau begitu, untuk apa kembali?"
Ada harapan berpijar dalam suara Soni. Dan Rima
merasa menyesal mendengarnya. Mengapa mesti memberi
harapan kalau tidak dapat memenuhinya?
"Aku punya anak."
"Kamu pasti sangat mencintai mereka. Karena itu
tidak mau bercerai."
"Aku tidak berharap dapat mencarikan ayah yang
lebih baik lagi untuk mereka selain suamiku."
"Jadi dia ayah yang baik, tapi bukan suami yang
sempurna?"
"Dia lelaki yang sempurna."
"Cukup baik di mata istrinya sehingga tak ada tempat
untuk pria lain?"
"Dia suami yang sangat baik."
"Tapi kamu tidak mencintainya lagi?"
"Aku tidak pernah benar-benar mencintainya."
"Jadi benar dugaanku. Kamu korban kawin terpaksa.
Zaman dulu, orangtua kita menjadi korban kawin paksa.
Sekarang, giliran anak-anaknya yang kawin terpaksa."
"Dulu, aku sangat mengaguminya."
"Kekaguman bisa berlalu dengan bertambahnya
umur."
"Semua salahku. Kalau aku bukan wanita karier yang
terlalu sibuk, keluargaku pasti utuh."
"Kamu terlalu banyak meninggalkan rumah?"
"Suamiku terkena kompleks rendah diri."
"Kariernya tidak maju?"147
"Dia seorang guru."
"Pasti guru yang baik. Yang tidak mementingkan
materi."
"Anak-anakku lebih dekat kepadanya daripada
kepadaku. Di mata anak-anak, suamiku adalah ayah yang
sempurna. Akulah ibu yang tidak patut diteladani."
"Sekarang aku dapat memahamimu, Rima. Pantas saja
kamu tidak kelihatan bahagia walaupun punya segalanya."
"Haruskah kutinggalkan karierku?"
"Jika itu kamu anggap jalan satu-satunya untuk
kembali kepada keluargamu. Dan jalan terakhir untuk
mempertahankan keluargamu, kalau kamu masih merasa
perlu mempertahankannya."
"Kamu menganjurkan aku memilih karier daripada
keluarga?"
"Aku yakin perempuan seperti kamu tidak betah
tinggal di rumah tiap hari. Mengurus anak dan menunggu
suami pulang. Kamu bukan tipe perempuan seperti itu.
Kamu harus realistis kalau tidak mau frustrasi."
"Jadi perempuan seperti aku tidak mungkin jadi istri
yang baik? Tidak punya kesempatan untuk memiliki
rumah tangga yang bahagia?"
"Tinggalkan pekerjaanmu. Tinggal di rumah. Kalau
kamu yakin pekerjaanmu adalah satu-satunya penghalang
mencapai kebahagiaan perkawinanmu. Tapi kamu harus
berani mengambil risiko. Jika sesudah melepaskan
pekerjaanmu pun kamu masih tetap tidak bahagia, lepaskan
yang lain."
"Lepaskan perkawinanku maksudmu?"148
"Jika sesudah menganggur pun kamu belum
memperoleh kebahagiaan dalam rumah tanggamu, kamu
harus berani berpikir untuk bercerai."
"Bagaimana dengan anak-anakku?"
"Kataku tadi, kamu harus berani mengambil risiko.
Kamu berhak untuk mencari kebahagiaanmu sendiri.
Perceraian memang membuat anak-anak menderita. Tapi
tidak membunuh mereka."
"Gampang bicara begitu. Karena kamu belum punya
anak!"
"Aku memang belum punya anak. Tapi aku pernah
jadi anak. Dari orangtua yang bercerai."
"Aku dan suamiku sama-sama tidak ingin anak-anak
menderita. Karena itu bertahun-tahun kami sama-sama
menahan diri. Berkorban demi anak-anak."
"Dan kamu pikir anak-anakmu bahagia hidup bersama
orangtua yang sudah tidak saling mengasihi lagi?"
"Tapi paling tidak, mereka masih dapat memiliki
bapak dan ibu!"
"Kamu pikir mereka pasti tidak bahagia kalau ikut
ayah atau ibu tiri?"
Aku malah kuatir mereka tidak ada yang mau ikut aku,
pikir Rima resah. Aku bisa kehilangan anak-anak!
*** Tegak dalam kegelapan di depan Kastil Schoenbrunn yang
bermandikan cahaya, bangunan megah dan artistik149
bergaya Baroque yang mulai dibangun pada abad ketujuh
belas, menyelipkan perasaan sendu di hati Rima.
Dia seperti melihat dirinya sendiri. Tegak megah
seorang diri. Dikelilingi kebun luas yang indah tapi sepi.
Soni menyentuh bahunya dengan lembut. Ketika
Rima menoleh, lelaki itu menyerahkan seikat bunga.
Ketika Rima sedang terperangah, Soni memagut bibirnya.
Terkejut tapi tanpa kemarahan, Rima memalingkan
wajahnya. Dan Soni memeluknya erat-erat. Memaksanya
menengadah. Kemudian mengecup bibirnya sekali lagi.
Rima merasakan hatinya yang telah lama membeku
seperti disaput kembali oleh kehangatan. Sesaat dia terlena.
Membiarkan jantungnya berdegup kencang disentuh
kemesraan. Merasakan darahnya menggelora dibuai
kerinduan.
Tetapi hanya sesaat badai itu memorak-porandakan
pertahanannya. Karena di detik berikutnya, dia telah
memperoleh kembali kesadarannya. Dilepaskannya dirinya
dari pelukan Soni. Dengan mantap ditolaknya ketika pria
itu mencoba mengulangi lagi paksaannya.
"Terima kasih karena telah memberikan malam seperti
ini dalam hidupku, Soni," katanya tenang. "Baru malam ini
aku benar-benar merasa terbius oleh suasana. Tetapi jangan
paksa diriku melangkahi ambang yang belum boleh
kulewati. Karena kalau suatu hari aku terpaksa melewati
gerbang perceraian, aku ingin bukan kamu penyebabnya."
"Jika kamu beri aku kesempatan, akan banyak malam
seperti ini dalam hidup kita, Rima."
"Aku tidak mau memberikan harapan palsu padamu,


Mahligai Di Atas Pasir Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Soni. Itu tidak fair."150
"Aku juga tidak mau memberikan janji palsu padamu.
Seperti yang biasa kuberikan pada gadis-gadisku. Itu tidak
fair. Kamu tidak sama dengan mereka. Jadi tidak patut
diperlakukan seperti mereka."
"Kamu berjanji tidak akan mempermainkanku? Dan
menganggapku hanya sebagai salah satu koleksimu?"
"Kalau kamu minta, aku mau berjanji."
"Janji apa?"
"Akan kujadikan kamu teman gadisku yang terakhir."
"Bosan bertualang?"
"Aku ingin sesuatu yang lain. Di tanah airku sendiri."
"Jangan pindahkan lahanmu ke negeri sendiri, Soni.
Jangan mengaduk hati gadis-gadis kita. Aku juga punya
anak perempuan!"
"Tidak kalau aku sudah memiliki ibunya."
"Mengapa aku, Soni? Kamu bisa mendapatkan yang
lebih prima."
"Karena menaklukkan perempuan seperti kamu
merupakan tantangan."
"Dan kamu akan meninggaikanku sesudah berhasil
ditaklukkan untuk menean tantangan baru?"
"Perempuan hebat seperti kamu pasti tahu bagaimana
caranya mempertahankan milikmu! Kamu sudah terlatih
mengikat langganan, bukan?"151
14 Jakarta, 1990
RIMA memeluk anak-anaknya dengan penuh kerinduan.
Kalau sedang memeluk mereka seperti ini, rasanya Rima
tidak ingin meninggalkan mereka lagi. Untuk alasan apa
pun. Bulan begitu gembira melihat oleh-oleh sebanyak itu.
Rasanya dia lebih senang melihat buah tangan sebanyak itu
daripada bertemu dengan ibunya.
Kartika pun asyik membuka hadiah-hadiah untuknya.
Cuma Ian yang tidak mendekat. Meskipun Rima tetap
membelikan sesuatu untuknya.
Dulu Rima selalu membelikan kemeja-kemeja dan
sepatu-sepatu merek terkenal kalau pulang dari luar negeri.
Tetapi karena Ian tidak pernah mau memakainya, Rima
tidak pernah membelikannya lagi. Buat apa dibeli kalau
tidak dipakai? Buang-buang uang saja!
Sekarang Rima hanya membawakan suaminya buku
dan sebuah tas kantor terbuat dari kulit. Modelnya
sederhana. Mereknya pun tidak terkenal. Maklum, buatan
negeri-negeri Eropa Timur memang belum terlalu populer
di sini. Dia berharap Ian mau memakainya justru karena
model dan mereknya tidak mencolok.152
Tetapi karena Ian tidak menaruh perhatian pada apa
yang dibawakannya, Rima jadi malas memberikannya.
Terus terang dia hanya membeli barang itu karena terpaksa
harus membawa pulang sesuatu untuk suaminya. Bukan
karena benar-benar ingin memberikan sesuatu sebagai
tanda perhatian dan kasih sayang.
Tanpa berkata apa-apa Rima meletakkan tas dan buku
yang dibawanya di atas meja tulis suaminya. Ketika dia
berbalik setelah meletakkan barang-barang itu, dia melihat
Ian tegak di hadapannya.
"Kalau kamu tidak terlalu letih, ada yang ingin saya
bicarakan," katanya datar.
"Tentang anak-anak?" tanya Rima kaget.
"Tentang kamu."
"Saya?" Rima mengerutkan dahinya dengan heran.
"Bisa kita bicara di kamarmu? Saya tidak ingin anakanak mendengarnya."
Tanpa membantah Rima mendahului melangkah ke
kamarnya. Sudah lama mereka tidak tidur sekamar. Aneh
rasanya merasakan kehadiran suaminya di kamar tidurnya
lagi. Rasanya dia seperti berada dengan seorang lelaki asing
di kamar tidurnya...
Rupanya perasaan itu juga menjalari hati Ian. Sesaat,
dia tampak amat canggung berada di sana. Dia sudah
hampir duduk di tepi tempat tidur ketika dibatalkannya
kembali. Akhirnya dia duduk di kursi goyang di depan
televisi. Sementara Rima duduk di depan meja hiasnya.
Berjauhan. Dan tidak saling berhadapan. Seperti
menyiratkan hubungan mereka sekarang...153
"Beberapa hari yang lalu Pranata datang kemari," kata
Ian setelah agak lama berdiam diri. Seperti mencari katakata yang tepat untuk melanjutkan pembicaraan.
"Pranata? Dia mencari saya?"
"Dia tahu kamu masih di luar negeri."
"Lalu mau apa dia kemari?"
"Katanya kalian berjumpa di Moskow."
"Ya. Secara kebetulan. Dia sedang mengadakan
pementasan di sana."
"Dia ingin menemui saya dan anak-anak."
"Saya tidak pernah mengatakan padanya Tika..."
"Saya tahu," potong Ian seperti merasakan sakit yang
tiba-tiba menusuk dadanya. "Dia tidak tahu tentang Tika.
Dia datang dengan maksud baik. Saya menghargai
maksudnya."
Rima menunggu kelanjutan kata-kata suaminya
dengan tegang.
"Dia bilang, di sana kamu berjumpa dengan seorang
pria yang sangat menarik."
"Apa urusannya?" sergah Rima sengit. "Saya bukan
apa-apanya! Dan saya bukan anak kecil lagi. Dia tidak
perlu berpura-pura melindungi saya!"
"Dia tahu betapa buruknya hubungan kita sekarang..."
"Dia tidak berhak mencampuri urusan rumah tangga
saya!"
"Dia memang tidak berhak," tukas Ian datar. "Dia
hanya bermaksud memperingatkan..."
"Munafik!"
"Pria itu bukan lelaki yang cocok untukmu..."154
"Saya sudah dewasa sekarang!" geram Rima panas.
"Tidak perlu diberitahu lelaki mana yang cocok untuk
saya! Apalagi oleh seorang pria seperti Pranata!"
"Dia bermaksud baik. Sudah dicobanya memperingatkanmu. Karena kamu tidak menggubrisnya, dia
menemui saya."
"Ah, dia hanya menean kompensasi!"
"Kamu tidak ingin bercerai?"
"Bapak ingin bercerai?" balas Rima tajam.
Ian menghela napas panjang. Wajahnya mengerut
murung. Seperti meredam kesakitan.
"Saya hanya memikirkan anak-anak." Dia menundukkan kepalanya ketika melanjutkan dengan suara
lebih lemah, "Pada umur saya sekarang, saya tidak memikirkan apa-apa lagi kecuali anak-anak. Saya tidak bisa
hidup tanpa mereka. Tetapi ketika melihat caramu
merangkul anak-anak tadi, saya tahu kamu tidak mungkin
dipisahkan dari mereka."
"Kalau begitu, berhentilah membicarakan perceraian."
"Tapi kita tidak bisa hidup seperti ini terus, Rima!"
"Bukankah Bapak sudah tidak memikirkan apa-apa
lagi kecuali anak-anak?"
"Tapi bagaimana dengan kamu? Kamu masih muda..."
"Sementara saya dapat mengatasinya dengan
kesibukan."
"Saya tidak percaya kamu tidak merindukan yang
lain!"
"Bapak juga tidak membutuhkan yang lain?"
"Saya laki-laki, Rima."155
"Karena itu dapat dimaafkan jika mencari pemuasan
kebutuhan itu di luar sementara saya tidak boleh karena
perempuan?"
"Kamu memang wanita hebat, Rima. Tapi kamu tidak
menyadari kodratmu sebagai perempuan."
"Bagaimana kodrat sebagai wanita itu, Pak? Tidak
boleh mencari kebahagiaan di luar pernikahan sementara
laki-laki boleh?"
"Bukan itu maksud saya. Tentu saja baik pria maupun
wanita tidak boleh melakukannya. Tetapi lelaki selalu
dimaafkan bila terpaksa melakukannya, sementara
perempuan tidak mungkin dimaafkan sekali saja mereka
berbuat yang sama."
"Itu tidak adil!"
"Masyarakat kita memang masih memenangkan pria,
Rima. Kamu harus menerimanya."
"Karena itu Bu Azwar pernah menyuruh saya supaya
mengalah pada suami. Untuk menyelamatkan perkawinan
saya."
"Dalam banyak hal, wanita boleh menyejajarkan diri
dengan laki-laki. Tapi dalam perkawinan, istri harus selalu
berada di bawah suaminya."
"Juga kalau sang istri dapat mencari lebih banyak
daripada suaminya?"
"Penghasilanmu boleh lebih banyak daripada
suamimu. Tapi kedudukanmu dalam rumah tangga mesti
tetap berada di bawahnya. Karena tidak mungkin ada dua
orang kapten dalam satu kapal."
"Apakah Bapak merasa saya lebih dominan dalam
keluarga ini?"156
"Segala-galanya."
"Karena itu perkawinan kita tidak dapat diperbaiki
lagi?"
"Kecuali kalau kamu turuti petuah Bu Azwar."
"Mengalah pada suami? Melepaskan karier saya?
Cukupkah gaji Bapak kalau saya harus berhenti bekerja?"
"Tidak perlu berhenti kerja. Tapi jangan menjadikan
pekerjaanmu yang terutama. Bagi seorang wanita, yang
pertama haruslah keluarga."
"Tapi pekerjaan saya tidak memungkinkan saya hanya
berada dua jam di kantor!"
"Kalau begitu, carilah pekerjaan iain."
"Saya tidak mau lagi bekerja di bawah orang lain.
Mengapa saya harus menjadi bawahan kalau bisa menjadi
atasan?"
"Karena terlalu lama menjadi atasan di tempat kerjamu
dapat membuatmu sok kuasa di rumah. Lupa suamimu
bukan bawahanmu."
Tetapi mengapa aku yang selalu harus mengalah, pikir
Rima ketika dia sudah berada seorang diri lagi di kamarnya
malam itu. Mengapa aku yang selalu disalahkan atas
keretakan rumah tanggaku? Karena aku seorang wanita?
Seorang istri? Karena kodrat seorang wanita memang harus
selalu mengalah? Harus selalu berada di bawah suami?
Mengapa bukan Ian yang berusaha melebihiku dan
berjuang supaya sampai di atasku? Mengapa cuma aku
yang harus membuang diri ke bawah?
Pranata telah membuktikan dirinya mampu. Sebagai
pria dia merasa ditantang untuk mengalahkan istrinya. Dia
berjuang untuk sampai di atas. Dan dia berhasil.157
Tetapi Ian? Apa yang telah dilakukannya? Dia hanya
pasrah menunggu di bawah sampai istrinya menjatuhkan
diri! Lelaki seperti itukah yang pantas menjadi suaminya?
Ian memang baik. Terlalu baik malah. Tetapi dia tidak
punya ambisi sama sekali! Dia terlalu lemah untuk menjadi
seorang lelaki! Dan Rima tidak menaruh respek pada lelaki
seperti dia!158
15 RIMA membereskan semua urusan di perusahaan Pak
Asaaf dan mengajukan permohonan mengundurkan diri.
"Untuk alasan apa, Rima?" protes Pak Asaaf kaget.
"Saya tidak mau menerima alasan yang dicari-cari!"
"Tidak ada alasan apa-apa, Pak. Saya cuma ingin
mencurahkan waktu lebih banyak untuk keluarga."
"Nonsens! Wanita karier sehebat kamu mau
mengurung diri di dapur, memasak makanan dan
memandikan anak-anak?!"
"Keluarga saya ingin saya lebih banyak di rumah,
Pak."
"Terus terang saja, Rima. Ada perusahaan lain? Ada
yang berani membayarmu lebih mahal?"
"Sungguh, Pak. Ini bukan soal uang."
"Saya dengar perusahaan garmenmu maju pesat.
Kamu punya kontrak dengan pihak Rusia dan Eropa
Timur. Apakah karena itu? Karena kamu ingin mencurahkan waktu lebih banyak di perusahaanmu sendiri?
Kalau itu alasannya, oke! Saya bisa mengerti. Tapi tinggal
di rumah? Mencurahkan waktu lebih banyak untuk
keluarga? Yang benar saja, Rima!"159
"Saya telah mengangkat direktur utama baru di
perusahaan saya, Pak. Sementara saya hanya memegang
jabatan komisaris utama saja sebelum seratus persen
mengundurkan diri."
Sesaat Pak Asaaf terdiam. Ditatapnya Rima dengan
tatapan tidak percaya.
"Ada yang sakit, Rima?"
"Insya Allah, semua sehat, Pak."
"Lalu mengapa harus begini?"
"Persoalan keluarga, Pak."
"Saya sangat mengagumimu, Rima. Saya tidak suka
melihat kamu menyerah. Persoalannya bukan hanya
perusahaan akan kehilangan tenaga ahli yang sangat
potensial. Tetapi saya kehilangan seorang tokoh idola."
"Saya sendiri menyesal, Pak. Bukan sedikit
pengorbanan saya untuk sampai di sini. Tetapi sebelum
saya mencoba, saya tidak dapat membiarkan keluarga saya
berantakan."
"Suamimu?" tanya Pak Asaaf perlahan.
Rima mengangguk.
"Saya mengerti," katanya akhirnya. "Oke. Saya tidak
dapat mencampuri urusan rumah tanggamu. Kamu
memang tampak berubah sekembalinya dari luar negeri.
Cuma saya tidak menyangka akan begini akhirnya."
***160
Selama beberapa bulan Rima membenahi perusahaannya


Mahligai Di Atas Pasir Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebelum ditinggalkan. Lalu dia menyiapkan kejutan untuk
anak-anaknya.
Rima ingin membawa keluarganya berlibur ke luar
negeri. Diam-diam dia telah menyiapkan empat lembar
tiket pesawat untuk ke Amerika.
Anak-anak pasti senang menikmati atraksi-atraksi
menarik di Disneyland dan Sea World. Dan Ian? Rima
tidak percaya kalau dia tidak tertarik melihat keunikan San
Francisco atau kemegahan Los Angeles.
Rima sendiri sudah dua kali ke Amerika. Tetapi dia
belum pernah pergi ke sana untuk berlibur. Dia selalu
sibuk dilibat urusan bisnis. Hampir tidak ada waktu untuk
bersantai.
Sekarang dia ingin menikmati semuanya bersama
keluarganya. Dan dia tidak ingin menceritakan rencananya
lebih dulu. Dia ingin membuat kejutan.
Hari ini hari terakhir Rima masuk kantor. Sengaja dia
pulang agak sore. Mampir di supermaket. Dan membeli
keperluan untuk santap malam.
Dia akan memasak sendiri makanan untuk suami dan
anak-anaknya. Nanti malam dia akan membuat kejutan.
Sudah lama sekali dia tidak pernah masak untuk mereka.
Rima sudah lupa kapan terakhir kali dia menyiapkan
hidangan untuk keluarganya.
Rima tersenyum sendiri ketika membayangkan paras
suami dan anak-anaknya nanti. Mereka pasti terkejut.
Tidak percaya. Ibu pulang sore-sore. Menyiapkan
hidangan untuk makan malam. Dan... selesai bersantap,161
Rima akan menguraikan rencananya... berlibur di
Amerika!
Uh, Bulan pasti akan bersorak gembira. Tika mungkin
tidak akan terlampau memperlihatkan perasaannya. Tapi
dia pasti gembira.
Sudah lama mereka tidak pergi bersama-sama. Ibu
selalu sibuk. Dan tidak pernah pergi ber-sama-sama lagi
dengan Bapak. Sekarang... mereka akan berlibur bersamasama... ke Amerika!
Ah, Rima menyesal mengapa tidak melakukannya
sejak dulu. Mengapa baru sekarang? Baru membeli
keperluan untuk menyiapkan hidangan nanti malam saja,
dia sudah merasa gembira. Dadanya berdebar hangat.
Membayangkan paras riang anak-anaknya...
Rumah sepi ketika Rima masuk. Ada karangan bunga
yang cukup besar dan indah di atas meja. Teronggok
begitu saja seperti tidak ada yang peduli. Siapa yang
mengirim bunga? Pak Asaaf?
Ah, rasanya tidak mungkin! Dia tidak seromantis itu!
Rima meraih kartu yang terselip di antara kuntum-kuntum
bunga.
"Semua beres di rumah? Kapan ke luar negeri lagi?
Aku tahu negeri yang penduduknya belum memakai baju!
Pasti merupakan pasar yang potensial untuk produkmu!"
Rima tersenyum tipis. Kata-kata bernada humor
begini... siapa lagi pengirimnya kalau bukan Soni?
Dia berbalik sambil mencium bunga-bunga yang
indah itu. Dan tertegun.
Ian tegak di hadapannya. Wajahnya muram. Semuram
tirai kelabu di belakangnya.162
"Aku sudah memikirkannya." Suara Ian berat tapi
datar. "Lebih baik kita bercerai saja."
Rima menatap suaminya dengan bingung. Sesaat dia
tidak mempu membuka mulutnya. Apa-apaan ini?
Mengapa tiba-tiba suaminya mengajak bercerai?
"Bapak mengajak bercerai karena saya menerima
kiriman bunga dari seorang laki-laki?" gerutu Rima
penasaran.
"Saya tidak dapat mentolerir penyelewengan seorang
istri. Daripada berbuat dosa, lebih baik kamu saya
ceraikan."
"Dosa apa yang saya perbuat? Menerima kiriman
bunga?"
"Saya tidak mau bertengkar." Ian membalikkan
tubuhnya dan meninggalkan Rima. "Lebih-lebih di depan
anak-anak."
"Biar mereka tahu!" Rima mengejar suaminya dengan
gemas. "Penyelewengan apa yang Bapak maksudkan? Saya
menyeleweng dengan siapa?"
Sekarang Ian berhenti melangkah. Bukan karena katakata Rima. Tetapi karena Tika menghadang di depan
mereka. Melihat cara Tika menatapnya, tak sadar Rima
juga berhenti melangkah.
"Kalau Ibu ke luar negeri lagi," suara Tika geram
didesak kemarahan. Matanya, mata yang demikian dipuja
dan dicintai Rima, menatapnya dcngan penuh kebencian.
Rasanya Rima lebih baik dilecuti seratus kali daripada
ditatap seperti itu oleh putrinya sendiri! "Jangan bawakan
Tika oleh-oleh lagi! Tika tidak mau apa-apa!"163
"Ulan juga nggak mau." Si kecil muncul dari belakang
kakaknya dengan sama marahnya. "Ibu jahat."
Diserang oleh anak-anak dan suaminya justru pada
saat dia ingin membahagiakan mereka, membuat Rima,
shock. Dia sudah mengorbankan profesinya. Bisnisnya.
Kebanggaannya. Untuk mereka. Dia ingin kembali kepada
keluarganya. Ingin membahagiakan anak-anaknya. Tapi
inilah yang mereka berikan kepadanya! Kemarahan.
Kebencian. Permusuhan!
"Kalian semua memarahi Ibu hanya karena kembang
ini?!" Dengan sengit Rima membanting bunga yang masih
dipegangnya itu ke lantai.
Ian sudah hendak membawa anak-anaknya
menyingkir ketika Rima mencegahnya.
"Biarkan mereka mendengar pertengkaran kita!
Mereka sudah cukup besar!"
"Saya tidak mau bertengkar di depan anak-anak!"
Dengan geram Ian membawa anak-anaknya pergi.
Meninggalkan Rima dalam kesendirian yang menyakitkan.
*** Rima sedang merobek-robek tiket pesawatnya ketika Ian
datang. Rima tidak menoleh. Dia meremas robekan tiket
itu dan melemparkannya dengan gemas ke dalam tempat
sampah.
"Saya sudah bicara dengan anak-anak," suara lan
sedingin tatapannya. "Kamu yang menginginkan mereka
ikut mengetahui ketidakcocokan kita, bukan?"164
Rima tidak menyahut. Menoleh pun tidak. Dia merasa
lesu. Tidak bersemangat untuk membantah. Tapi kata-kata
yang kemudian didengamya memaksanya berpaling.
"Anak-anak sudah setuju ikut saya. Kami akan
pindah."
"Pindah ke mana?" sergah Rima sengit. "Ini rumah
mereka!"
"Ini rumahmu."
"Jangan menghasut anak-anak saya membenci ibunya
sendiri!"
"Mereka tidak perlu dihasut. Mereka telah dapat
merasakannya sendiri. Kamu tidak memperhatikan mereka.
Bagimu, bisnislah yang terpenting. Dan kini, muncul
saingan baru mereka. Kamu bertambah jauh lagi. Tak
mungkin lagi dijangkau."
"Bapak tahu apa yang telah saya lakukan untuk
keluarga ini?" geram Rima gemas.
"Kami semua tahu. Kamu beri kami kemewahan. Tapi
bukan cuma itu yang kami harapkan darimu. Bukan cuma
itu kebutuhan anak-anakmu."
"Mereka butuh kasih sayang dan perhatian!" Rima
merenggut asbak dari atas meja dan membantingnya
dengan gemas ke lantai. "Dan, cuma Bapak yang dapat
memberikannya!"
"Karena itu mereka memilih ikut saya."
"Ke mana? Ke gedung sekolah?"
"Jangan menghina, Rima. Bertahun-tahun saya telah
menabung. Mengumpulkan uang untuk membeli rumah
kecil. Dan siap-siap kalau hari seperti ini tiba..."165
"Hari apa?" potong Rima hampir histeris. "Hari saya
mengusir suami dan anak-anak saya? Karena itu Bapak
menabung? Membeli rumah di luar tahu saya? Bapak
kumpulkan gaji Bapak untuk mencicil rumah karena saya
yang membiayai rumah tangga ini?!"
"Milikilah apa yang kamu miliki, Rima," geram Ian
menahan marah. "Saya akan pergi dengan apa yang saya
miliki."
"Apa yang Bapak miliki? Tika bukan milik Bapak! Dia
bukan anak Bapak!"
Ian mengangkat tangannya begitu cepatnya
Kaki Tiga Menjangan 2 Crazy Karya Emolicious Liang Lahat Gajahmungkur 1

Cari Blog Ini