Ceritasilat Novel Online

Mahligai Di Atas Pasir 3

Mahligai Di Atas Pasir Karya Mira W Bagian 3


menampar mulut istrinya. Untuk pertama kalinya dia
mengasari Rima. Tetapi bukan itu yang membuat mereka
sama-sama tertegun.
*** "Anak siapa saya, Pak?" tangis Tika histeris. "Siapa bapak
saya?"
Bulan yang melihat kakaknya menangis, ikut terisakisak.
"Anak siapa Ulan, Pak?"
"Saya tidak akan memaafkanmu untuk ini. Rima!"
sergah Ian sengit. Ditatapnya Rima dengan penuh
kegusaran. "Kamu benar-benar perempuan kejam! Tidak
ada ibu yang tega menyakiti anaknya sendiri!"
"Biarkan saya bicara pada Tika," kata Rima gigih. "Dia
harus tahu siapa ayahnya."166
"Tidak!" bentak Ian marah. "Malam ini juga mereka
akan pergi bersama saya. Menyingkir dari rumahmu!"
"Bapak tidak berhak membawa anak-anak saya!"
"Tanyalah pada mereka, siapa yang ingin mereka
ikuti!"
Serentak Tika dan Bulan merangkul pinggang Ian.
Mata mereka masih berlinangan air mata. Tapi sorot mata
mereka penuh kejengkelan ketika menatap Rima.
"Bawalah mereka, Pak," desis Rima sambil
mengatupkan rahangnya menahan marah. "Tapi saya akan
berjuang untuk mengambil mereka kembali. Karena
mereka milik saya!"
*** Dengan hati tersayat, ditatapnya saja kepergian anakanaknya. Ian memanggil taksi, walaupun Rima telah
menyuruh Pak Dulah mengantar mereka dengan mobil.
"Tidak usah," kata lan pendek. Dia sedang membantu sopir
taksi memasukkan barang-barangnya ke dalam bagasi.
Sementara Tika sedang melangkah gontai keluar dari
rumahnya.
"Tika!" panggil Rima ketika anaknya melewati
tempatnya berdiri. "Tidak beri ciuman dulu pada Ibu?"
Tika berhenti sejenak. Tapi tanpa menoleh dia melangkah
terus sambil menunduk. Sakit hati Rima melihatnya. Anak
yang demikian disayanginya! Anak yang telah merampas
masa mudanya! Anak yang telah diberinya hidup dengan
mengorbankan dirinya, menikah dengan lelaki yang tidak167
dicintainya... sekarang anak itu melangkah pergi tanpa
pamit! Meninggalkannya dalam kehancuran!
Bulan berlari-lari di belakang kakaknya. Masih
melambai walaupun dengan ketakutan kepada Rima.
"Daah, Ibu!"
"Sini dulu, Ulan!" Rima meraih putri bungsunya
dengan sedih. Bulan tidak melawan ketika ibunya
merangkulnya erat-erat. Air mata meleleh di pipinya.
"Jangan lama-lama tinggalkan Ibu ya, Ulan. Dan jangan
nakal" Bulan cuma mengangguk. Ketika Rima melepaskan
pelukan-nya, dia langsung mengejar kakaknya masuk ke
dalam taksi.
Malam ini adalah malam yang paling menyedihkan
dalam hidup perkawinan Rima. Dia harus tinggal seorang
diri dalam rumahnya yang besar tapi sepi. Dan untuk
pertama kalinya juga dia punya waktu untuk merenungkan hidupnya.
Apa yang telah dicapainya? Dan apa yang telah
direngkuhnya?
Apakah aku bahagia, tanya Rima kepada dirinya
sendiri.
Dilayangkannya tatapannya ke seluruh rumah. Rumah
yang besar. Mewah. Modern. Semua perabot yang
dibutuhkan telah tersedia. Kurang apa lagi?
Dia punya suami yang baik. Tidak pernah
menyeleweng. Sayang anak. Ian cuma tidak pandai
mencari uang. Tidak pandai merawat diri sehingga terlalu
cepat tua dan tidak menarik.
Rima punya anak-anak yang sehat. Normal. Tidak
cacat.168
Apa sebenarnya yang masih kurang dalam hidupnya?
Mengapa dia tidak merasa bahagia dan kesepian? Lebihlebih malam ini. Ketika semua yang dikasihinya pergi
meninggalkannya. Ketika dia kehilangan anak-anaknya...
Tapi apa salahnya sebenarnya? Dia telah mencoba
membatasi laju kariernya. Mengekang ambisinya.
Meninggalkan pekerjaannya.
Apakah dia bahagia? Tidak juga. Dia tetap gelisah.
Kesepian. Malah tambah menderita karena kehilangan
anak-anaknya! Jadi apa yang harus dilakukannya? Di mana
sebenarnya letak kesalahannya?169
16 Padang, 1990
RIMA tepekur menatap jenazah Bu Azwar yang terbujur
kaku di hadapannya. Telah pergi perempuan tua yang baik
itu. Yang bijak. Yang arif. Yang mengubah hidupnya dari
seorang pembantu rumah tangga menjadi sarjana ekonomi.
Tanpa pertolongannya, Rima tidak mungkin menjadi
seperti sekarang.
Wajah Bu Azwar demikian cerah. Demikian tenang.
Demikian polos. Seolah-olah tak ada lagi beban hidup
yang harus ditanggungnya. Dia telah melakukan tugasnya
sebagai seorang manusia dengan baik. Kini dia pergi
menghadap Penciptanya. Untuk menerima imbalan atas
semua amal perbuatannya di dunia.
Rima tidak dapat melupakan kata-katanya sesaat
sesudah Ian melamarnya. Kata-kata yang kini terbukti.
Yang sekali lagi membuktikan ketajaman intuisi dan
kebijaksanaannya.
"Calon suamimu kelihatannya baik sekali, Rima.
Sayang sekali kalau kamu harus kehilangan suami seperti
dia. Kalau Ibu boleh menasihati, lebih baik kamu170
mengorbankan cita-citamu. Abdikan dirimu bagi anak dan
suamimu."
Kalau saat itu Rima menuruti nasihatnya, barangkali
dia sudah memiliki keluarga yang bahagia. Rumah tangga
yang tenteram. Perkawinan yang kokoh. Bukan ancaman
perceraian. Kehilangan anak-anak. Dan tidak tahu apa lagi
yang harus dilakukannya sesudah keluarganya meninggalkannya.
"Selama kamu masih dapat memilih, Rima, pilihlah
salah satu saja. Kariermu atau rumah tanggamu. Jika kamu
memilih perkawinanmu, lepaskan kariermu. Mengalahlah
demi suami dan anak-anakmu."
Tapi bukankah aku sudah mengalah, Bu? Sudah
kulepaskan karierku. Tapi apa yang kuper-oleh kini? Aku
malah kehilangan segala-galanya! Lagi pula... benarkah aku
bisa bahagia hidup tanpa memiliki karier?
"Terima kasih mau jauh-jauh datang kemari, Rima,"
sapa Pranata yang entah sudah berapa lama bersimpuh di
belakangnya, di hadapan jenazah ibunya.
"Bu Azwar bukan orang lain lagi bagi saya," sahut
Rima tawar. "Jangankan hanya di Padang. Di Afrika pun
saya pasti datang melayatnya. Memberikan penghormatan
saya yang terakhir. Tanpa jasa dan pengertian beliau, di
mana tempat saya sekarang?"
"Dia juga sangat bangga padamu, Rima. Dan saya
sangat berterima kasih karena sampai saat terakhir, kamu
tetap tidak mengatakan pada Ibu apa yang telah saya
lakukan terhadapmu."171
"Saya tidak akan membalas budi beliau dengan
kesedihan," sahut Rima dingin. "Biarlah Bu Azwar tetap
tidak tahu manusia macam apa yang telah dilahirkannya."
Rima meninggalkan ruangan tempat jenazah disemayamkan itu dengan berbagai perasaan. Dia sedih
karena kehilangan orang yang paling dihormatinya. Dia
kesal karena tidak mengikuti petuahnya dulu. Dan
sekaligus marah karena Pranata masih menyinggungnyinggung masalah yang tidak ingin didengarnya lagi.
Masalah yang mengingatkannya pada sebuah penghinaan...
Tetapi Pranata tetap membuntutinya. Bahkan ketika
Rima mengasingkan diri ke kebun belakang rumah,
Pranata menyusulnya ke sana.
"Tidak sangka kamu masih mendendam pada saya,
Rima," katanya penuh sesal. "Padahal peristiwa itu sudah
demikian lama berlalu..."
Rima berbalik dengan marah. Emosinya memang
sedang labil. Gampang meledak. Dia sedang dilanda stres
yang paling hebat. Dan sebagian malapetaka ini bersumber
pada durjana yang kini tegak di hadapannya dengan paras
disaput sesal! Kalau bukan gara-gara dia, Rima tidak perlu
menikah dengan Pak Ian. Justru pada saat dia belum siap
untuk memilih. Belum siap untuk punya anak!
"Apa yang Bapak harapkan dari saya? Saya melupakan
begitu saja peristiwa yang paling mengerikan dalam hidup
saya? Mungkin buat Bapak, peristiwa itu cuma selintas
kejadian! Tapi bagi saya, penghinaan itu sebuah
malapetaka! Bencana yang tak mungkin terlupakan seumur
hidup! Bapak tahu berapa malam saya tidak dapat tidur
membayangkan peristiwa yang menjijikkan itu? Bapak
tahu berapa lama saya tidak dapat menerima suami saya di172
tempat tidur karena merasa muak? Merasa takut? Merasa
jijik?"
Dengan sengit Rima meninggalkan Pranata yang
masih tertegun di tempatnya.
"Mbak Rima?"
Tanpa menoleh pun Rima telah mengenali suara yang
ragu-ragu itu. Cepat-cepat dia menghapus air matanya.
Tapi sia-sia. Rano telah melihatnya.
Rano langsung merangkulnya dengan lembut. Sesaat
Rima terbenam dalam dekapan pemuda itu. Pemuda yang
kini sudah jauh lebih tinggi daripadanya. Tetapi yang
masih tetap mempunyai hubungan batin yang erat.
"Air mata itu bukan cuma untuk Nenek saja kan,
Mbak?" bisik Rano pahit. Begitu dekatnya hubungan batin
mereka sehingga Rano seperti dapat merabarasakan
kegalauan emosi Rima.
Rima mengangguk sedikit. Memang percuma
mendustai Rano.
Rano merenggangkan pelukannya. Dan mengawasi
bekas pembantunya itu dengan terharu.
"Rano sudah dengar apa yang terjadi pada keluarga
Mbak," Rano menyusut air mata Rima dengan ujung
jarinya. Ditatapnya Rima dengan hangat. "Rano pikir,
lelaki memang sering tidak adil pada istrinya."
Rima menggelengkan kepalanya sambil melepaskan
pelukannya. "Perkawinan terlalu kompleks sifatnya. Kamu
belum dapat memahami semuanya pada umurmu sekarang,
Rano."173
"Rano tahu betapa sulitnya Mbak mencapai apa yang
Mbak peroleh sekarang ini. Lelaki itu tidak berhak
menghancurkannya. Biarpun dia suami Mbak."
"Dia hanya menuntut haknya sebagai suami, Rano."
"Tapi dia menuntut terlalu banyak!"
"Mungkin Mbak yang salah..."
"Mbak hanya memperjuangkan apa yang menjadi
cita-cita Mbak! Salahkah itu?"
"Mungkin Mbak mengharapkan terlalu banyak."
"Suami-istri punya eksistensi masing-masing. Mbak.
Biarpun mereka sudah dilebur dalam sebuah perkawinan!
Mereka tetap dua orang ma-nusia. Boleh punya keinginan
sendiri. Boleh punya cita-cita sendiri!"
"Selama tidak merusak perkawinan itu sendiri, No."
"Yang penting kan pengertian, Mbak!"
"Itu yang tidak ada pada kami sekarang. Mbak sudah
berhasil meraih cita-cita Mbak. Tapi gagal mempertahankan perkawinan."
"Karena laki-laki itu tidak adil! Suami Mbak terlalu
egois!"
"Mungkin karena Mbak juga terlampau ambisius."
"Dia tidak pantas meninggalkan Mbak kalau tidak
mampu bersaing dengan istrinya!"
"Bukan cuma dia yang pergi, No. Anak-anak juga
meninggalkan Mbak mengikuti ayah mereka."
"Karena mereka lebih dekat pada ayahnya?"
"Karena Mbak kurang memperhatikan mereka. Jarang
di rumah. Dan lebih mementingkan pekerjaan."
"Mbak masih bisa memperbaikinya."174
"Sudah terlambat."
"Biar Rano yang bicara dengan suami Mbak!''
Mendengar betapa bersemangatnya suara Rano, mau tak
mau Rima terhibur juga.
"Dia seorang guru kawakan, No," katanya sambil
tersenyum pahit. "Dia tidak mau mendengar celoteh
mahasiswa yang hampir tidak naik tingkat! Nah, sekarang
katakan pada Mbak, mengapa kamu gagal?"
"Rasanya Rano salah ambil jurusan, Mbak."
"Kamu tidak suka pelajaranmu?"
"Rano sudah jenuh."
"Oke. Kamu boleh DO. Tapi Mbak tidak mau kamu
nganggur. Kamu mau kuliah di mana? Bidang apa yang
sesuai dengan seleramu? Belum terlambat untuk memutar
haluan. Kamu masih muda. Ayahmu mampu membiayai
studimu. Jadi kamu harus tetap melanjutkan pelajaranmu."
"Rano ingin jadi pelukis, Mbak."
"Kamu ingin menjadikannya profesi, bukan hobi?"
"Tapi Ayah tidak mau mengerti!"
"Rasanya jarang seniman yang menginginkan
anaknya juga jadi seniman. Itu wajar, No. Semua orangtua
mengharapkan anaknya jadi sarjana."
"Mbak juga ingin Rano jadi sarjana?"
"Ketika Rano menghadapi ujian SD, Mbak juga
hampir ujian. Tapi di tengah-tengah kesibukan belajar dan
bekerja, Mbak tetap menyempatkan diri mengajarimu.
Tahu kenapa? Karena Mbak tidak mau melihat Rano gagal!
Kalau sekarang Mbak punya kesempatan seperti itu lagi,
Mbak ingin mengulanginya."175


Mahligai Di Atas Pasir Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sesaat Rano menatap bekas pengasuhnya itu dengan
terharu.
"Mbak ingin Rano jadi insinyur," desah Rima lembut.
"Supaya kalau Rano diwisuda nanti, Mbak bisa bilang pada
ibu yang duduk di samping Mbak, aku yang mengajarkan
matematika pada Insinyur Rano waktu di SD dulu!"
Tanpa dapat menahan dirinya lagi, Rano memeluk
Rima. Inilah perempuan yang telah mengisi masa kanakkanaknya yang sepi. Inilah perempuan yang telah
dianggapnya pengasuh, kakak, sekaligus ibu!
Dia ingat bagaimana Rima terkantuk-kantuk
menungguinya belajar. Dia ingat bagaimana teriknya
panas matahari kalau Rima berlari-lari ke rumah teman
Rano untuk mengambil hasil tesnya. Supaya Rima masih
sempat mengajari Rano dan bersama-sama memecahkan
soal-soal yang ditanyakan. Siapa tahu ada soal yang keluar
lagi pada tes Rano esok.
Rano tidak dapat melupakan bagaimana Rima harus
menjinjing sepatunya supaya tidak rusak kalau
mengantarkannya ke sekolah dan berjalan kaki ke
sekolahnya sendiri. Dia ingat bagaimanapun letihnya
Rima, dia tetap berusaha membantu dan menemani Rano
membuat PR. Ketika Rano menerima ijazah SD-nya,
Rima-lah orang pertama yang dicarinya untuk
memperlihatkan ijazah itu!
Bahkan sesudah Rima menikah, Rano masih sering
menemuinya kalau ada kesulitan. Dan Rima selalu
membantunya. Selalu meluangkan waktu untuknya
betapapun sibuknya dia!
"Mbak menenteng sepatu mengantarkan Rano ke
sekolah," begitu kata Rima kalau Rano malas belajar.176
"Kalau Rano sudah jadi insinyur nanti, Rano harus
membelikan Mbak sepatu dengan uang hasil kerja Rano
sendiri!"
"Rano janji akan membelikan Mbak sepatu dengan
gaji Rano yang pertama," bisik Rano sambil mendekap
Rima. "Jangan kuatir, Mbak. Mbak Rima akan melihat
Rano diwisuda."177
17 Jakarta, 1990
RIMA begitu terenyuh melihat rumah anak-anaknya yang
baru. Sebuah rumah kecil berukuran 45 meter persegi.
Dengan dua kamar tidur yang lebih kecil daripada dapur di
rumah mereka yang dulu.
Sebuah kamar tamu yang menyatu dengan ruang
makan dan ruang keluarga. Sebuah WC jongkok
merangkap kamar mandi yang hanya memiliki sebuah bak
air dan sepetak lantai tempat berdiri kalau mereka mandi.
Rima yakin sekali, air akan meluap keluar dari lantai kamar
mandi membanjiri dapur yang terletak persis di sebelahnya
kalau Bulan mandi di sana.
Di depan rumah ada sepetak kecil tanah tempat anakanak bermain. Jarak dari pintu pagar yang terbuat dari
bambu sampai ke pintu depan rumah hanya satu setengah
meter.
Di depan rumah mereka melintas sebuah gang becek
yang tidak dapat dilalui mobil, sehingga Rima terpaksa
memarkir mobilnya di ujung gang dan berjalan kaki ke
dalam.
Dia sedih sekali melihat sepatu anak-anaknya yang
mahal-mahal berserakan di setiap sudut rumah karena tidak178
ada tempat khusus untuk menyimpannya. Dan tidak ada Bi
Romlah yang selalu membereskan barang-barang yang
berserakan itu lalu menaruhnya di tempat semula.
Rima menatap getir pada televisi kecil tak berwarna
yang gambarnya buram. Anak-anaknya sedang duduk di
lantai menonton televisi itu ketika dia datang. Sementara
Ian sedang duduk di meja makan. Menisik rok Bulan yang
robek ketika dia jatuh siang tadi. Kacamata putihnya sudah
merosot sampai ke pertengahan hidung tatkala dia
menajam-najamkan matanya di bawah cahaya Iampu yang
tidak terlalu terang.
Bulan menyambut kedatangan Rima dengan gembira.
Lebih-lebih ketika dia melihat Ibu datang membawa
makanan dan TV berwarna berukuran besar.
Matanya sudah sakit memelototi televisi hitamputih
Bapak yang kecil mungil itu. Dan dia sudah bosan makan
gado-gado terus.
Kartika tidak terlalu meperlihatkan kegembiraannya.
Tampaknya dia sengaja menahan diri. Dia belum dapat
memaafkan Ibu sepenuhnya. Dia menganggap gara-gara
Ibulah dia harus tinggal di rumah tikus ini!
Tentu saja Kartika juga sering mengomel karena TVnya yang jelek. Tetapi dia berpura-pura tidak
mengacuhkan TV yang dibawa ibunya.
Cuma Ian yang terang-terangan memperlihatkan
ketidaksenangannya. Dia seperti malu istrinya datang ke
rumahnya. Dan lebih tersinggung lagi karena Rima datang
membawa televisi.179
Hanya di depan anak-anaknya, dia masih dapat
menahan diri. Tidak mengucapkan sepatah kata pun
walaupun mukanya masam terus.
Rima duduk di sebuah kursi plastik yang tampak
terlalu kontras dengan bajunya, meskipun dia sengaja
sudah memilih baju yang paling sederhana untuk datang
ke tempat ini. Karena dia sudah menduga seperti inilah
rumah suaminya.
Tetapi meskipun sudah menduga, tak urung Rima
merasa hatinya teriris juga melihat kenyataannya. Anakanaknya yang sudah biasa hidup mewah harus hidup di
rumah seperti ini?!
Dipeluknya Bulan yang seperti tidak mau pergi jauh
dari sisinya. Bahkan sesudah Rima hendak pulang, Bulan
lengket terus padanya.
"Ikut lbu, Ulan?" tanya Rima dengan kerinduan yang
belum juga terlampiaskan.
Bulan menatap ibunya sesaat sebelum menoleh pada
ayahnya seperti bertanya. Tentu saja dia mau ikut lbu. Dia
rindu kamarnya yang besar. Kamarnya sendiri. Bukan
kamar sempit yang harus dibaginya berdua dengan Tika!
Dia rindu TV-nya yang bagus dan besar. Dia rindu
tamannya yang luas. Dia rindu kamar mandinya yang
bagus dan terang... yang ada air hangatnya... ada cermin
lebarnya... ada bak tempat berendam....
"Besok Bulan harus sekolah," sahut lan tawar. "Lain
kali saja, kalau libur."
"Saya bisa mengantarnya ke sekolah, Pak," pinta Rima
sedih. Bahkan untuk memiliki semalaman saja dari hidup
anaknya dia harus mengemis! Alangkah menyakitkan!180
"Lain kali saja, Ulan. Ibumu repot. Ayo, Ibu mau
pulang. Beri salam pada Ibu."
Sebenarnya Rima belum mau pulang. Dia masih rindu
pada anak-anaknya. Tetapi Ian sudah mengisyaratkannya
untuk cepat-cepat menyingkir.
"Besok Tika ada ulangan," katanya singkat. "Dia harus
belajar."
Rima menoleh ke sudut. Tika sedang mengawasinya.
Parasnya sangat murung.
"Sini, Tika." Rima menggapai putri sulungnya. "Tidak
mau memberi salam pada Ibu?"
Lambat-Iambat Tika menghampiri. Bukan karena
malas. Tapi karena ragu.
Rima memeluknya dengan penuh kerinduan. Tetapi
Tika tidak bereaksi. Dia seperti menahan diri. Tidak mau
mengumbar emosinya.
"Kamu boleh memeluk ibumu, Tika," bisik Rima
kecewa. "Ibu masih tetap ibumu, walaupun kita tidak
serumah lagi."
Tetapi Tika malah melepaskan dirinya dan berlari ke
dalam kamarnya. Rima mengawasi kelakuan anaknya
dengan sedih.
"Sudah kamu lihat apa yang telah kamu lakukan?"
tegur Ian dingin. "Padahal besok dia ada ulangan."
"Mana yang lebih penting, ulangan atau ibunya?"
bentak Rima jengkel.
Mendengar suara ibunya, Bulan langsung lari
ketakutan merangkul kaki ayahnya.181
"Lebih baik kamu pulang sebelum tetangga berdatangan," desis Ian datar. "Jangan bikin malu anak-anak."
"Lagakmu seolah-olah mereka cuma anak-anakmu,"
gerutu Rima sengit. "Apa salahnya saya menengok
mereka?"
"Kamu sudah menengok mereka. Sekarang lebih baik
kamu pulang. Saya tidak mau bertengkar di depan anakanak. Sudah cukup kamu menyakiti hati mereka."
"Jadi cuma saya yang menyakiti hati mereka," sindir
Rima pedas. "Ulah Bapak membawa mereka ke tempat
seperti ini tidak termasuk menyengsarakan mereka?"
"Apa salahnya tempat seperti ini? Sebagian besar
bangsa kita memang masih hidup di tempat seperti ini!
Jangan lupa dari mana kamu berasal, Rima! Jangan sampai
kacang lupa lanjaran!"
"Tapi kita berhak untuk memperjuangkan yang
terbaik! Jika mereka sudah memiliki yang lebih baik
daripada ini, mengapa mereka harus dipaksa menelan
kehidupan yang bukan milik mereka lagi?"
"Saya tidak mau bertengkar di sini. Lebih baik kamu
pulang. Dan ingat, kalau datang menengok anak-anak lagi,
tidak usah bawa apa-apa kemari!"
"Kenapa? Saya datang membawa sesuatu untuk anakanak saya sendiri."
"Mereka tidak membutuhkannya."
"Mereka membutuhkannya," desis Rima tajam. "Bapak
yang tidak menginginkannya! Karena akan menyinggung
harga diri Bapak sebagai laki-laki!"
"Tinggalkan rumah ini, Rima," geram Ian sama
tajamnya.182
"Tadinya saya sudah berpikir untuk tidak mengambil
mereka kembali," ujar Rima menahan marah. "Demi
kebahagian mereka, saya rela menderita. Kehilangan
mereka. Tetapi melihat keadaan mereka hari ini, saya
bertekad untuk mengambil mereka kembali. Dengan jalan
apa pun."
"Mereka tidak mau ikut kamu. Di sini mereka tidak
kurang suatu apa."
*** "Kenapa Bapak nggak mau masang televisi itu, Kak Ti ka?"
keluh Bulan sedih sambil berjongkok merenungi televisi
besarnya yang tidak berfungsi. TV itu diam saja di sudut.
Tegak sia-sia seperti lemari yang tidak dapat menyimpan
apa-apa. Satus-atunya kegunaannya cuma untuk meletakkan tas di atasnya, kalau meja sudah penuh dan Bulan tidak
tahu lagi di mana harus menaruh tas sekolahnya.
"Kan TV itu dari Ibu," sahut Tika muram.
"Kenapa kalau dari Ibu?"
"Bapak tidak suka."
"Bapak marahan sama Ibu?"
"Kalau nggak, ngapain kita pindah ke rumah tikus
ini?" gerutu Tika jengkel. "Bodoh amat sih kamu, Ulan?!
Pakai dong otakmu!"
"Ulan pingin balik ke rumah Ibu, Kak! Ulan nggak
betah di sini!"
"Hus! Mau dimarahi Bapak?"
"Di sini sempit, sumpek, dan banyak nyamuk!"183
"Nyamuk di mana-mana juga banyak!" sahut Tika
sama jengkelnya.
Dia juga sebenarnya sedang kesal. Cuma dia dapat
menahan diri. Menyimpan perasaannya.
Teman-temannya di sekolah sering mengejeknya.
Mereka tahu dia pindah ke rumah kecil. Dan tidak diantar
mobil bagus lagi. Sekarang dia mesti pergi dan pulang
sekolah naik bus!
Pelajarannya terus mundur. Tika tidak punya
semangat belajar lagi. Di rumah ini, semua serba tidak
enak. Lebih-lebih pikiran itu tidak mau hilang juga dari
kepalanya. Kata Ibu, dia bukan anak Bapak! Lalu... anak
siapa?
"Anak siapa lagi?" jawab Bapak kesal ketika Tika
menanyakannya. "Bapak tidak mau mendengar pertanyaan
itu lagi!"
Tetapi Tika masih penasaran. Ibu memang sedang
ribut dengan Bapak. Biasanya juga begitu. Mengapa baru
sekarang Ibu bilang Tika bukan anak Bapak?!
Sebenarnya, seperti Bulan, Tika juga tidak menyukai
rumah mungil ini. Tidak menyukai hidupnya yang baru.
Uang jajan dipangkas sampai separo lebih. Tidak ada
pembantu yang dapat disuruh-suruh seenaknya. Ke sekolah
harus naik bus.
Televisi kecil dan buram. Tidak berwarna, lagi. Kamar
mandi sempit. Makanan tidak enak. Itu-itu juga. Bosan!
Kamar tidurnya sudah kecil, sempit, panas, lagi. Tidak
bisa lagi beli majalah seperti dulu. Tidak punya baju baru.
Diejek teman-teman. Apalagi kalau sudah menunggak184
uang sekolah... Tika harus menghadap Kepala Sekolah
untuk minta keringanan... penurunan... kebijaksanaan....
Dulu, waktu masih bersama Ibu, semua ini tidak
pernah terjadi! Ibu selalu mencukupi kebutuhan mereka....
Tentu saja di balik kekesalannya, sebenarnya Tika
juga merindukan ibunya. Rindu pada rumahnya yang
lama. Tapi kalau disuruh memilih ikut Bapak atau Ibu... dia
tetap memilih ikut Bapak!
Ibu tidak pernah berada di rumah. Dan kata Bapak,
Ibu sudah punya teman baru... akan dibawanyakah
temannya ke rumah mereka?
*** "Aku akan menuntut mereka kembali," geram Rima di
depan Soni ketika mereka bertemu di sebuah pub. "Mereka
tidak bahagia di sana."
"Bagaimana kamu tahu mereka tidak bahagia?" tanya
Soni sabar.


Mahligai Di Atas Pasir Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mereka hidup serba pas-pasan, kalau tidak
kekurangan."
"Kamu sendiri sudah pernah mengalami hidup seperti
itu. Apakah kamu berani mengata-kan masa kecilmu tidak
bahagia?"
"Mereka lain. Mereka sudah pernah memiliki hidup
serba kecukupan. Dan mereka masih berhak memilikinya!
Untuk apa hidup dalam gubuk kalau mereka punya
istana?"185
"Hidup sederhana itu baik untuk menempa mental,
Rima. Supaya mereka tumbuh menjadi wanita tangguh
macam ibunya."
"Hidup sederhana bukan hidup melarat!" potong Rima
tidak mau kalah. "Ian tidak berhak memberikan kehidupan
seperti itu pada anak-anakku! Sementara aku bisa memberi
mereka kehidupan yang lebih baik!"
"Tanyakan dulu kehendak anak-anakmu, Rima.
Mereka memang masih anak-anak. Tapi sudah punya
keinginan sendiri."
"Percuma! Semuanya sudah didikte oleh ayah mereka!"
"Jika mereka tetap memilih ayah mereka, buat apa
memaksa anak-anakmu meninggalkan ayah-nya lewat
pengadilan? Kamu cuma akan membuat mereka tambah
menderita!"
*** "Saya ingin membawa anak-anak tinggal di rumah untuk
beberapa hari," pinta Rima pada suaminya. "Saya rasa, saya
berhak memperoleh beberapa malam dalam hidup
mereka."
"Buat apa menyiksa mereka lagi, Rima?"
"Saya justru hanya ingin membahagiakan mereka!"
"Pikirmu, kemewahan yang kamu jejalkan di
rumahmu yang seperti istana itu dapat membahagiakan
anak-anak? Mereka butuh perhatian dan kasih sayang.
Bukan harta! Itu yang tak dapat kamu berikan!"186
"Saya akan coba mengubah sikap saya terhadap
mereka."
"Berpura-pura memperhatikan mereka selama
seminggu lalu meninggalkan mereka lagi kalau mereka
sudah mau tinggal bersamamu?"
"Mereka anak-anak saya juga! Kita belum bercerai.
Saya berhak memiliki mereka!"
"Kamu selalu bicara soal hak. Tapi dalam soal anakanak, yang ada bukan cuma hak. Mereka manusia, bukan
perusahaan!"
"Saya yakin mereka tidak betah di sini."
"Mengapa tidak menanyakan saja pada mereka?"
"Karena percuma. Mereka takut pada ayahnya."
"Mereka takut padamu."
"Saya tidak pernah menakut-nakuti mereka."
"Mereka takut telantar. Ditinggal kerja. Ditinggal ke
luar negeri. Untuk apa tinggal di rumah besar,
bergelimang kemewahan, tapi kosong?"
"Saya tidak akan ke luar negeri lagi tanpa mereka."
"Sia-sia dusta itu."
"Kata siapa saya berdusta?"
"Saya akan mencegahmu mendustai anakk-anak."
"Saya akan bicara sendiri dengan mereka."
"Jangan sakiti lagi hati mereka!"
"Bapak tidak berhak melarang saya bicara dengan
anak-anak saya sendiri!"
"Saya berhak melarangmu menyakiti hati mereka."187
"Siapakah saya ini, Pak? Monsterkah? Saya juga
mencintai anak-anak! Bukan cuma Bapak!"
Setelah diam sebentar, akhirnya Ian menyetujui
permintaan istrinya.
"Hanya dua malam," katanya murung. "Minggu
depan Tika ada tes. Nilainya akhir-akhir ini merosot
sekali."
*** Belum pernah Rima merasa sebahagia itu. Rasanya kalau
perusahaannya memenangkan tender 1 M saja dia tidak
segembira ketika dapat membawa anak-anaknya pulang ke
rumah.
Sengaja Rima tidak langsung pulang. Dia membawa
mereka makan di restoran. Bulan makan dengan lahap
sekali. Tetapi Tika tidak. Dia tetap semurung ketika Rima
mengajaknya pergi tadi.
Rima tidak memaksanya makan. Dia tidak mau
terlihat cerewet justru pada saat-saat yang singkat ini. Dia
ingin berdamai dengan anak-anaknya. Dan memberi
mereka waktu yang terbaik. Jadi dibiarkannya saja Tika
makan sedikit.
Tunggu sampai kamu tiba di tempat yang penuh dengan
baju-baju bagus dan kamu bisa memilih yang mana yang kamu
inginkan, pikir Rima menyabar-nyabarkan diri.
Tetapi di sana pun keriangan Tika tidak tampak. Dia
malah terlihat gelisah. Benar dia memilih beberapa helai
gaun yang mahal-mahal. Tetapi dia tidak tampak
bersemangat.188
"Mengapa, Tika? tanya Rima tak sabar lagi.
"Bukankah kamu menyukainya? Pilihlah yang kamu sukai.
Jangan takut. Bapak tidak marah."
"Di mana Tika harus memakai baju sebagus ini, Bu?"
tanyanya datar. "Baru juga Tika keluar dari rumah, motor
yang lewat sudah menyemprotkan lumpur!" Sesaat Rima
tertegun. Mengapa dia tidak ingat hal itu? Dia ingin
membahagiakan anak-anaknya. Tapi dia malah membuat
mereka sedih!
*** Bulan melompat-lompat kegirangan ketika sampai di
rumahnya yang lama. Dia tidak dapat menyimpan
kegembiraannya. Apalagi ketika bekas pembantupembantunya berlari-lari menyongsongnya.
Waduh, enaknya punya seseorang yang bisa disuruh
ini dan itu! Di rumahnya yang baru, semua mesti
dikerjakan sendiri!
Bulan langsung mengiyakan ketika Rima mengajaknya bermalam di sana. Tidur pakai AC, asyik! Tapi
Tika spontan menolak.
"Mengapa, Tika?" tanya Rima gemas. "Ini masih
rumahmu juga! Dan Ibu tidak akan ke mana-mana.
Menemani kalian."
"Bagaimana Bapak?" Tatapan gadis itu menyiratkan
gugatan. Rima tidak suka ditatap seperti itu. Apalagi oleh
anaknya sendiri. "Bapak sendirian di rumah!"
Percuma memaksa Tika tinggal di sini. Dia tidak akan
memperoleh kegembiraan di rumah ini. Dia selalu ingat189
ayahnya. Dan sikapnya membuat Rima sedih bercampur
kesal.
Kartika duduk terus di bangku. Tidak mau melakukan
apa-apa. Bahkan membuka bungkusan yang dibelinya tadi
sekalipun, dia tidak mau.
"Tika tidak percaya Ibu sudah berubah?" tanya Rima
setelah memutuskan dia akan mengajak putri sulungnya
bicara blak-blakan. Tika bukan anak kecil lagi.
"Bapak percaya?" Tika balas bertanya dengan datar.
Tatapannya kosong.
"Mengapa semuanya harus mengacu pada Bapak?"
"Kalau Bapak tidak percaya, Tika juga tidak."
"Tika lebih suka tinggal di rumah Tika yang baru?"
"Tika lebih suka tinggal bersama Bapak."
Jadi dia benar-benar anak ayahnya! Sudah terlambat
bagi Rima untuk meraihnya kembali dari Ian. Sungguh
suatu ironi! Tika ternyata lebih dekat kepada ayah tirinya
daripada kepada ibu kandungnya! Percuma Rima
membujuknya dengan hadiah-hadiah yang mahal. Dengan
rumah yang bagus. Dengan keberadaannya di rumah. Tika
malah menganggapnya cuma berpura-pura untuk
merampas mereka dari Bapak! Akhirnya malam itu juga
Rima mengembalikan anak-anaknya ke rumah mereka
yang baru. Rumah bapak mereka. Dan melihat bukan sorot
kemenangan yang bersinar di mata Ian, melainkan sorot
kebahagiaan ketika melihat anak-anaknya kembali, Rima
insaf, percuma memperjuangkan mereka lagi. Dia
mungkin dapat memperoleh anak-anaknya. Tetapi tidak
mungkin memberi mereka kebahagiaan tanpe kehadiran
bapak mereka.190
*** "Bapak yang benar," kata Rima sportif ketika mendapat
kesempatan berdua saja dengan Ian. "Mereka tidak
memperoleh kebahagiaan dengan apa yang saya berikan.
Bahkan sesudah saya memberikan diri dan waktu saya
seutuhnya. Saya tidak akan mencoba mengambil mereka
lagi. Tapi tolong, beri saya kesempatan untuk bersama
mereka jika saya merindukan mereka."
"Selama kamu tidak merusak anak-anak, kamu boleh
berada bersama mereka kapan saja kamu mau."
Rima meninggalkan rumah itu dengan hati terluka.
Baru sekarang dia merasakan kehilangan yang amat besar.
Bukan karena kehilangan pekerjaan. Karier. Kesibukan.
Tapi karena dia kehilangan kebersamaannya bersama
keluarga. Kehilangan waktunya bersama anak-anak.
Ian yang mengantarkannya ke mobil dapat memahami
perasaannya.
"Kamu masih dapat memperoleh mereka kembali,
Rima," katanya perlahan. "Kalau kamu bersedia
mengorbankan kariermu kembali kepada keluargamu."
"Sudah saya coba, Pak," sahut Rima pahit. "Dan saya
gagal."
Tanpa berkata apa-apa lagi, Rima masuk ke mobilnya.191
18 Desa Legok, 1990
SUDAH lebih dari sepuluh tahun Rima meninggalkan
kampung halamannya. Selama ini dia hanya menyuruh
sopirnya mengirimkan uang untuk orangtuanya setiap
bulan. Dia sendiri tidak sempat datang. Dia terlalu sibuk.
Begitu Rima muncul di depan pintu, Ibu sudah tahu,
sesuatu yang tidak menyenangkan telah terjadi. Tentu saja
dia gembira melihat kedatangan anaknya. Tetapi dia
menyimpan kekuatiran dalam matanya.
"Semua baik," sahut Rima ketika Ibu berkesempatan
menanyainya. "Saya cuma ingin menenangkan diri di sini.
Anak-anak bersama bapaknya."
"Bertengkar dengan suamimu?"
"Oh, cuma berpisah sementara."
"Ada orang lain?" tanya Ibu curiga.
"Tidak ada siapa-siapa. Cuma kami yang tidak cocok."
Rima memang kesepian. Dia merasa kehilangan anakanaknya. Tetapi di tengah-tengah orangtua dan saudarasaudaranya, dia merasa terhibur.192
Hanya setiap kali melihat anak-anak saudarasaudaranya, dia merasa hatinya teriris pedih. Ah,
seandainya anak-anaknya juga berada di sini...
Keponakan-keponakannya tampak demikian bahagia
walaupun hidup mereka serba pas-pasan. Seandainya dia
tidak merantau ke kota... apakah kebahagiaan juga akan
menjadi miliknya kini?
Rima menikmati benar hari-harinya bersama
keluarganya. Dia seperti kembali ke masa dua puluh tahun
yang lampau. Ketika masih tidur dalam satu kamar bersama
saudara-saudaranya.
Tentu saja kini dia hanya dapat tidur dengan ayahibunya. Adik-adiknya sudah berkeluarga semua. Dan dua
di antara mereka masih tinggal bersama orangtua Rima.
Mereka tinggal sekamar bersama keluarga masingmasing. Mereka ikut makan bersama di atas tikar. Dan
Rima memang tidak canggung lagi makan dengan tangan,
tanpa sendok-garpu. Tetapi dia tidak bisa melihat
keponakan-keponakannya tidur bersama orangtua mereka
masing-masing dalam satu kamar.
"Sebaiknya kalian punya rumah sendiri," katanya pada
suatu malam pada adik-adiknya. "Anak-anak kalian sudah
harus dipisahkan. Tidur di kamar yang lain."
"Ah, apalagi buat beli rumah, Kak!" cetus adik
perempuannya jengkel. Kekesalan yang telah lama
dipendamnya seperti menemukan tempat pelampiasan.
"Buat makan saja tidak pernah cukup!"
Suami adiknya tidak memberi komentar apa-apa.
Tetapi dari wajahnya, Rima melihat, dia merasa tertekan.193
Jadi kebahagiaan pun rupanya tidak langgeng di sini!
Setiap rumah tangga, kaya atau miskin, pasti punya
problem!
"Apakah tidak ada pekerjaan untuk saya di kota, Kak?"
sela adik laki-lakinya yang sejak tadi membisu.
"Lapangan pekerjaan di kota sudah terlalu sempit,
Wan," sahut Rima terus terang. "Apalagi buat tenaga yang
tidak terdidik dan tidak berpengalaman seperti kamu."
"Kakak bisa mengajari saya."
"Hidup di Ibukota tidak mudah. Persaingan sangat
keras. Apakah kamu mampu menahan guncangan yang
akan kamu terima? Kamu sudah biasa hidup tenang dan
santai di sini."
"Kalau Kak Rima sanggup, mengapa saya tidak?"
"Kalau aku bahagia di sana, kamu pikir buat apa aku
kembali kemari?"
"Tetapi usaha Kakak kan sukses."
"Sukses belum berarti bahagia, Wan."
"Tapi sukses bisa menjamin kehidupan keluarga kami,
Kak. Di sini tidak ada kemajuan. Kami hidup serba paspasan."
"Dia selalu iri memikirkan kesuksesan Kak Rima,"
potong istri adiknya dengan jengkel.
"Pikimya, kalau Kakak bisa, mengapa dia tidak?
Dikiranya gampang mencari uang di kota. Sudah bosan
saya menasihatinya, Kak. Biar saja dia mencoba."
"Diam kamu!" bentak adik Rima sengit. "Kamu
perempuan, tahu apa? Kalau aku mau pergi mencari194
pekerjaan lain, kamu selalu ngomel! Tapi kalau melihat istri
tetangga punya gelang emas baru, kamu ngomel juga!"


Mahligai Di Atas Pasir Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sudahlah, jangan bertengkar," keluh Rima jemu.
"Kalau kamu mau mencoba nasibmu di kota, oke. Kamu
boleh mencobanya. Tapi dengan satu syarat. Keluargamu
harus ikut. Jangan sampai berpisah karena pekerjaan."
"Maksud saya, biar saya dulu yang ke kota, Kak. Dia
dan anak-anak belakangan, kalau saya sudah mapan."
"Saat itu sudah terlambat untuk ingat anak-istrimu,
Wan. Bawalah mereka. Kalau gagal, kalian bisa pulang
bersama-sama."
"Mau kerja apa dia di kota, Kak Rima? SMP saja tidak
lulus! Lihat, berapa banyak tetangga kita yang gagal di
Jakarta!"
"Banyak juga yang berhasil!"
"Berhasil jadi apa? Jadi babu? Pelacur? Pengemis?
Lebih baik kita tetap di sini, Kak. Turun-temurun kita ini
orang tani. Kebisaan kita cuma menggarap sawah!"
"Bosan!"
"Dia sudah memimpikan jadi direktur seperti Kak
Rima!"
"Apa salahnya? Aku kan tidak memimpikan jadi
garong!"
"Kalau ada kesempatan, saya juga ingin ke kota, Kak!"
cetus adik Rima yang perempuan. "Kerja apa saja saya
mau."
"Kamu sudah punya anak, Ratna," sela suaminya datar.
"Apa salahnya? Kak Rima juga sudah punya anak.
Tapi dia masih bisa punya perusahaan!"195
"Jangan contoh aku, Rat. Aku ini contoh istri yang
gagal. Rumah tanggaku berantakan."
"Nah, kamu dengar apa kata Kak Rima, Rat?" desis
suaminya lega. "Yang di kota itu tidak selamanya baik!
Yang kaya itu tidak selalu bahagia! Lihat, contoh si Ira.
Dulu dia gegerkan kampung kita dengan kesuksesannya!
Ke mana-mana nenteng radio. Gelang emasnya sekujur
badan. Punya mobil, lagi! Sekarang? Sakit saja nggak ada
yang urus!"
"Ira?" potong Rima kaget. "Dia ada di sini?"
"Sudah setahun kembali ke mari, Kak."
"Dia sakit?"
"Sakit kotor! Tidak ada orang yang mau merawatnya.
Takut ketularan."
"Dia masih tinggal di rumahnya yang dulu?"
"Sudah dijual, Kak."
"Dia tinggal dengan orangtuanya?"
"Orangtuanya sudah meninggal."
"Jadi dia tinggal dengan siapa? Di mana?"
"Sendirian, Kak. Tuh, gubuknya yang di ujung sana.
Dekat kuburan. Orang-orang bilang dia sengaja memilih
tempat itu supaya gampang jalan sendiri ke kuburan kalau
mati!"
"Hus!" sergah Ratna kesal. "Kalian lelaki memang
selalu begitu! Habis manis sepah dibuang! Padahal Ira jadi
begitu kan karena ulah lelaki seperti kalian!"
"Lho, bukan yang seperti aku!" protes suaminya
segera. "Aku belum pernah..."196
"Antarkan aku ke rumahnya, Rat," potong Rima tanpa
menghiraukan mereka lagi.
"Ke rumah siapa, Kak?"
"Ke rumah Ira! Rumah siapa lagi?"
"Tapi, Kak..."
"Dia temanku. Dulu aku tinggal di rumahnya sebelum
mendapat pekerjaan di Jakarta."
"Tapi tidak ada yang berani, Kak..."
"Kamu tunggu di luar saja kalau takut. Aku yakin
penyakit kotor tidak akan menular tanpa melalui
hubungan seks!"
*** Ira tersenyum pahit melihat kedatangan sahabatnya. Mulamula dia memang tertegun. Hampir tidak mengenali
Rima. Tetapi ketika dia yakin, Rimalah yang datang,
senyum getir melumuri bibirnya. Dia tidak berani
memeluk Rima. Mendekat saja enggan.
Rima hampir tidak mengenali sahabatnya lagi.
Penampilannya sungguh berubah. Tubuhnya kurus kering.
Wajahnya pucat. Sorot matanya kosong. Redup. Tanpa
sinar. Rambutnya telah banyak yang memutih. Padahal
umurnya baru tiga puluh satu tahun. Alangkah cepatnya
manusia berubah!
"Kamu salah makan obat apa, Ir?" Rima berusaha
bergurau untuk mengusir kesedihan yang melingkupi
pertemuan mereka. Sekarang Ira tidak memakai perhiasan
apa-apa. Bajunya lusuh dan kumal. Rambutnya kusut.197
Ira menyilakan Rima duduk di satu-satunya bangku di
pondoknya.
"Kamu tidak takut ke sini, Rim? Orang-orang
sekampung di sini tidak ada yang berani datang. Takut
ketularan penyakitku."
"Memangnya kamu sakit apa?"
"Macam-macam, kata dokter. GO, sifilis, herpes.
Entah apa lagi."
"Biasanya penyakit kelamin menular melalui
hubungan seks, bukan?"
"Ya. Penyakit-penyakit ini diwariskan oleh bekas
pacar-pacarku."
"Berarti aku tidak ketularan kalau cuma duduk
ngobrol di sini."
"Sayang, belum banyak orang sepintar kamu di sini."
"Termasuk adikku. Dia sudah berlari pulang begitu
kamu muncul di depan pintu."
"Memang sebaiknya dia tidak kemari. Namaku sudah
rusak sekali."
"Badanmu juga. Mengapa Kamu tidak berobat sampai
sembuh?"
"Di mana? Di sini tidak ada rumah sakit."
"Di Jakarta."
"Sejak sakit, bisnisku mundur. Apa lagi yang bisa
kujual untuk membeli obat? Aku terpaksa pulang kemari
untuk menyambung bidup. Sambil menunggu kematian
datang menjemput"
"Akan kubawa kamu ke Jakarta kalau aku pulang
nanti."198
"Terima kasih. Aku sudah tidak peduli lagi pada
penyakitku."
"Tapi aku peduli. Kamu harus sembuh."
"Suamimu pasti keberatan kalau sumber penyakit
seperti aku mengotori rumahmu."
"Kami sudah berpisah."
Sesaat Ira tertegun mengawasi sahabatnya.
"Karena itu kamu ada di sini?"
"Kukira aku akan mendapat ketenangan di sini.
Rupanya sama saja. Di mana pun problem selalu ada.
Sekarang aku sadar, aku tidak dapat lari dari masalahku.
Aku harus menghadapinya. Bukan melarikan diri."
"Dari dulu aku selalu mengagumimu, Rima."
"Semua mengagumiku. Kecuali suami dan anakanakku."
"Masih ada kesempatan untuk memperbaiki rumah
tanggamu?"
Rima menggeleng getir.
"Aku telah gagal."
"Lalu apa rencanamu? Kudengar kariermu sukses.
Keluargamu sangat bangga padamu. Tiap orang di
kampung ini membicarakanmu."
"Sebentar lagi mereka tahu, aku cuma seorang istri
yang gagal."
"Jangan putus asa, Rima. Raihlah apa yang dapat kamu
peroleh. Jangan lemparkan berkat itu setelah kamu dapat
memilikinya. Tahukah kamu, betapa banyak orang yang
ingin meraih sesuatu tapi tetap tidak dapat memilikinya
sampai saat-saat terakhir hidupnya sekalipun?"199
*** Semalaman Rima memikirkan kata-kata sahabatnya.
Sahabat yang tetap menjadi sahabatnya, sekalipun dia
sudah menjadi sampah yang terbuang dari lingkungannya.
"Kamu adalah kamu," kata Ira tegas. "Ambisimu
adalah hidupmu. Kalau ambisimu mati, hidupmu pun
berakhir."
Rima memutuskan untuk kembali ke kota. Ke
dunianya. Ke lingkungannya. Dia memang berasal dari
sini. Tetapi dia bukan milik tempat ini lagi.
Untuk satu-dua hari, dia memang menikmati suasana
di sini. Suasana yang tenang. Santai. Tanpa persaingan
bisnis. Tanpa perlu mengejar waktu. Mengejar
keuntungan.
Dia bisa menikmati kenangan manis masa kecilnya.
Dia dapat bernostalgia dengan ayam-ayam di belakang
rumahnya. Dengan pancuran dan pematang di sawahnya.
Tapi untuk berapa lama? Untuk berapa lama dia bisa
bermalas-malasan di sini? Jiwanya tetap tidak tenang
sekalipun dia berada di tempat yang tenang. Dia tetap
resah sekalipun tidak melakukan apa-apa. Dia malah
merasa bosan!
"Kembalilah ke tempatmu, Rima," kata ayahnya
sederhana sekali. "Tempatmu bukan di sini."
Dan Rima tahu, ayahnya benar. Biarpun cuma petani
sederhana yang tidak mengenyam pendidikan universitas,
Bapak mengerti perasaannya. Kegelisahannya. Peperangan
batinnya.200
Dia harus kembali ke tempat yang memilikinya.
Tempat yang membangkitkan semangat juangnya.
Tempat yang riuh dengan persaingan. Kejar-kejaran
waktu. Kesibukan.
Cuma tempat itu yang tidak menolaknya. Cuma di
sana dia dapat memuaskan dirinya.
"Ambisimu adalah hidupmu," terngiang lagi kata-kata
Ira. "Kalau ambisimu mati, hidupmu pun berakhir."201
19 Jakarta, 1990
"TAPI Ibu Rima sudah tidak bekerja di sini lagi, Pak."
Dengan heran Pak Asaaf memandangi tamunya.
Seorang lelaki kurus berpenampilan sederhana, dengan
rambut yang hampir memutih semua walaupun umurnya
belum genap lima puluh tahun.
Meskipun pria itu berpenampilan amat sederhana, Pak
Asaaf tetap menghormatinya, karena dia tahu siapa lakilaki ini.
"Sudah empat bulan Ibu Rima mengundurkan diri.
Katanya ingin mencurahkan waktu lebih banyak lagi
untuk keluarga."
Empat bulan, pikir Ian bingung. Itu berarti sebelum...
"Sudah berapa lama Ibu Rima tidak pulang, Pak?"
desak Pak Asaaf agak bingung.
"Tidak ada di rumah," gumam Ian seperti orang
linglung. "Pembantu tidak tahu dia pergi ke mana.
Mungkinkah ke luar negeri lagi?"
"Sudah ditanyakan di perusahaannya?"202
"Mereka bilang Rima sudah tidak aktif lagi di sana.
Tidak seorang pun tahu ke mana dia."
"Ada problem apa, Pak?" tanya Pak Asaaf hati-hati.
"Jangan ragu-ragu menceritakannya kepada saya.
Barangkali ada yang dapat saya bantu. Rima sudah seperti
keluarga bagi saya..."
"Anak kami mengalami kecelakaan. Saya tidak tahu
lagi di mana harus mencarinya..."
*** Sudah beberapa hari Kartika marah-marah terus. Dia
jengkel sekali. Uang sekolah belum dapat dibayar juga.
Kepala Sekolah sudah memberikan peringatan keras.
Tetapi ketika Tika menyampaikannya pada ayahnya,
Bapak malah marah-marah. Padahal biasanya Bapak sangat
sabar!
"Lebih baik kamu pindah ke sekolah negeri saja! Uang
sekolahnya lebih murah. Dan kamu tidak terpengaruh oleh
ulah teman-temanmu yang kaya itu! Masa tidak bikin PR
dihukum mentraktir bakso teman-teman sekelasmu?!
Aturan mana itu? Sudah dua puluh tahun lebih Bapak jadi
guru, belum pernah melihat ada hukuman seperti itu!"
Tentu saja Tika juga kesal. Teman-temannya
memang sengaja mengolok-olokkannya. Mereka tahu dia
sekarang miskin. Dan mereka senang mempermainkannya.
Tetapi pindah sekolah?
"Esok Bapak cari sekolah lain. Yang lebih dekat. Dan
lebih murah."203
Tapi Tika tidak mau pindah! Guru baru. Teman baru.
Lingkungan baru. Ih, tidak enak sekali!
Dia menyukai Bu Lies. Orangnya baik. Sabar. Penuh
pengertian. Mengajarnya pun enak. Mengapa harus
pindah?
"Karena Bapak tidak mampu lagi membayar uang
sekolahmu, Tika!" geram ayahnya sengit.
Tika jadi ngeri melihat ayahnya. Mengapa Bapak jadi
berubah sekali sekarang? Dulu dia begitu lembut. Sabar.
Penuh pengertian.
"Mengapa kamu tidak mengerti juga? Kamu sudah
besar. Seharusnya sudah mengerti. Kita bukan orang kaya!
Bapakmu guru. Dan bukan cuma kamu yang mesti
disekolahkan!"
Ketika Tika masuk ke kamarnya dengan kepala
tunduk, Ian baru merasa menyesal. Mengapa harus
mengasari anak itu? Tika sangat perasa. Hatinya pasti
terluka.
Bukan salahnya mereka jatuh miskin. Bertahun-tahun
Rima-lah yang membiayai rumah tangga mereka. Ian
sudah tidak terlatih lagi untuk membagi uang gajinya yang
pas-pasan itu untuk berbagai keperluan hidup.
Dulu dia cuma seorang diri. Tapi kini, dia punya dua
orang anak. Gajinya memang naik. Tetapi kenaikannya
tidak sesuai dengan kenaikan biaya yang harus
dikeluarkannya.
Selama Rima masih membiayai rumah tangga mereka,


Mahligai Di Atas Pasir Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hal itu tidak terasa. Meskipun merasa tertekan,
tersinggung, terluka karena dibiayai istri, Ian tidak pernah
merasa kekurangan. Hidupnya tenang. Santai. Tidak204
seperti sekarang. Sudah repotnya setengah mati, uang tidak
pernah cukup, lagi!
Yang merasa resah bukan hanya lan. Anak-anak juga.
Dulu hidup mereka selalu berkecukupan. Meskipun tidak
bahagia karena Ibu jarang di rumah.... Tapi... benarkah
sekarang mereka lebih bahagia? Ibu tidak ada. Uang tidak
ada. Bapak selalu marah-marah.
Diam-diam Ian mulai menyesali dirinya. Terburu
nafsu meninggalkan rumah. Berkeras membawa anakanaknya ikut menderita.
"Sudah empat bulan Ibu Rima mengundurkan diri,"
kata bos Rima keheran-heranan karena Ian masih mencari
istrinya di sana. "Katanya ingin mencurahkan waktu lebih
banyak lagi untuk keluarga."
Benarkah Rima ingin memperbaiki dirinya? Ingin
kembali sepenuhnya kepada keluarganya?
"Ibu Rima sudah nonaktif, Pak," kata direktur
perusahaannya. "Terakhir beliau ingin berlibur ke luar
negeri bersama keluarganya. Tadinya kami kira beliau
sakit. Soalnya semua begitu mendadak."
Berlibur ke luar negeri? Apakah bersama pacar
barunya itu? Yang mengirim bunga dan berjanji akan
menunggu di luar negeri?
Tapi untuk apa dia mengundurkan diri dari
perusahaan? Benarkah karena dia ingin mencurahkan
waktu lebih banyak untuk keluarganya?
"Sudah saya coba, Pak" katanya terakhir kali mereka
bertemu. "Tapi saya gagal."
Itukah makna kata-katanya? Dia telah mencoba
kembali kepada keluarganya tapi mereka tidak mau205
menerima dia? Kalau benar Rima berusaha memperbaiki
dirinya, rela mengorbankan kariernya demi keluarga,
mengapa Ian tidak mencoba pula mengubah dirinya?
Miskin memang tidak salah. Tapi menjadi kaya pun
bukan dosa asal halal caranya. Mengapa Ian seolah-olah
memusuhi istrinya karena dia berhasil dalam kariernya?
Dulu Ian selalu membanggakannya. Mengaguminya.
Ikut berpartisipasi dalam usaha Rima meraih suksesnya.
Mengapa sesudah Rima berhasil dia malah seolah-olah
frustrasi karena kalah bersaing? Bukan membenahi diri
untuk tetap mempertahankan hegemoninya dalam
keluarga?
Penghasilan istrinya boleh lebih besar. Tapi Ian harus
tetap tegar menjadi pemimpin dalam keluarganya. Bukan
malah bersembunyi di balik baju anak-anaknya!
Jadi kalau Rima bersalah karena terlalu sibuk dilibat
pekerjaan, terlalu sering meninggalkan rumah, kurang
memperhatikan anak-anak, bukan berarti Ian luput dari
kesalahan!
Ah, mengapa kesadaran itu baru muncul sekarang?
Ketika Ian benar-benar sangat membutuhkan Rima?
Kartika jatuh dari bus ketika pulang dari sekolah.
Tulang tungkainya patah. Kepalanya luka. Gegar otak,
kata dokter.
Ian membutuhkan Rima bukan hanya karena dia
membutuhkan uang yang cukup besar untuk biaya
perawatan Tika di rumah sakit. Tapi juga karena dia tidak
dapat meninggalkan Bulan seorang diri di rumah
sementara dia harus bolak-balik ke rumah sakit menengok
Tika.206
Rasanya tiba-tiba saja Ian menjadi sangat repot. Belum
ada yang sakit saja dia sudah sibuk sekali. Apalagi sekarang!
Alangkah sulitnya membagi waktu untuk bekerja,
menengok anak di rumah sakit, dan mengurus seorang
anak kecil di rumah. Karena itu dia memutuskan untuk
mencari Rima.
Tetapi pada saat dia membutuhkan istrinya, Rima
tidak ada di rumah. Tidak ada di kantor. Tidak ada di
mana-mana.
*** Penyakit Ira ternyata lebih parah daripada yang Rima
sangka. Selain mengidap gonore atau penyakit kencing
nanah yang sudah kronis, dia juga menderita sifilis stadium
dua. Pernah kejangkitan herpes genitalis. Dan belum
sembuh dari radang saluran kencing yang sudah menahun.
Tetapi yang paling mengejutkan, ditemukan gejala-gejala
ARC atau AIDS Related Complex pada pemeriksaan fisik
dan laboratoriumnya.
Memang sudah hampir setahun Ira sering demam
tanpa sebab yang jelas. Dia merasa lemah. Sering mencretmencret. Dan berat badannya turun sepuluh kilogram
dalam satu tahun terakhir ini.
Mula-mula Ira mengira gejala-gejala itu hanya
disebabkan oleh penyakitnya. Dokter juga mula-mula
beranggapan demikian.
Kecurigaan mulai timbul ketika ditemukan pembesaran kelenjar getah bening di tempat-tempat yang tidak
biasa untuk penyakit kelamin. Ketika diadakan pe-207
meriksaan laboratorium, hasilnya benar-benar mengejutkan. "Ini bukan kasus STD biasa, Dok," lapor laboran itu
khusus kepada Dokter Syahril. "Selain ditemukan anemia,
lekopenia, dan trombositopenia, juga ditemukan
penurunan rasio limfosit T penolong terhadap T penekan.
Tes Elisa juga menyatakan serum penderita positif."
"Kami anjurkan agar Ibu Ira dirawat di rumah sakit,
Bu," kata Dokter Syahril kepada Rima yang masih tertegun
tidak mengerti di depan meja dokter itu. "Kami terpaksa
menaruhnya dalam sel isolasi khusus dan mengadakan
pemeriksaan-pemeriksaan yang lebih canggih. Untuk
memastikan apakah ini benar kasus AIDS meskipun masih
dalam tahap ringan."
"AIDS?" Tiba-tiba saja bulu roma Rima meremang.
Tentu saja Rima sering mendengar tentang penyakit baru
yang belum ada obatnya dan hampir seratus persen fatal
ini. Tetapi dia tidak pernah menduga, dia akan berada
begini dekat dengan kasus penyakit yang mengerikan
itu....
"Sindroma Defisiensi Imun yang didapat," kata Dokter
Syahril. "Artinya terdapat penurunan kekebalan yang
sering berakhir fatal. Biasanya karena timbul penyakitpenyakit yang berat seperti pneumonia pneumocystis carinii,
ya i tu sejenis radang paru. Dan Sarkoma Karposi, yaitu
suatu penyakit keganasan yang sering menyerang bila
penyakit AIDS ini bertambah berat."
"Tapi penyakit Ira masih ringan kan, Dok? Dia masih
bisa sembuh?"
"Penyakitnya kalau benar AIDS, masih dalam tahap
dini. Tapi karena keadaan umumnya sangat buruk akibat208
penyakit-penyakit lain yang dideritanya, saya tidak berani
menjamin berapa lama ARC-nya ini dapat berubah
menjadi AIDS. Apalagi pengalaman kita di sini masih
sangat kurang karena kasus yang belum banyak."
"Apakah masih ada harapan jika saya membawanya ke
luar negeri?"
*** Belum pernah Rima merasa demikian bersemangat. Dia
merasa seperti tiba-tiba hidup kembali. Semangatnya
terbangun untuk menolong sahabatnya sedapat mungkin.
Padahal Ira sendiri sudah apatis.
"Buat apa?" Suaranya bernada masa bodoh. "Buangbuang uang saja. Asal kamu beri aku akhir hidup yang
menyenangkan, cukup makan dan pakai, aku sudah
bahagia. Sudahlah, Rim. Jangan repot-repot. Aku sudah
sangat berterima kasih padamu karena di akhir hidupku,
aku masih punya seorang sahabat seperti kamu."
"Aku akan membawamu ke Amerika." Dalam situasi
seperti apa pun, Rima memang keras hati. Pantang
menyerah. "Kamu harus dirawat di sana. Ada seorang
temanku yang sudah biasa bermukim di luar negeri.
Koneksinya pun banyak. Aku akan minta tolong padanya."
"Sudahlah. Percuma."
"Jika memang sudah sampai waktunya, oke. Aku tidak
menyesal kamu mati. Oleh AIDS. Atau oleh koleksi
penyakitmu yang banyak itu. Tapi sebelum ajal
berpantang mati. Aku belum mau menyerah sebelum
berjuang menyembuhkanmu dengan segala cara."209
"Berikan saja uangmu padaku. Daripada untuk
membeli obat dan membayar dokter."
"Kamu harus membantu usahaku dengan tetap
bertahan, Ir. Aku kenal kamu sejak kecil. Kamu sama
kepala batunya dengan aku. Aku mau lihat kamu tetap
ngotot sampai akhir hidupmu! Perlihatkan pada virus-virus
AIDS itu, kamu orang yang tidak gampang menyerah!
Keliru kalau mereka memilihmu!"
*** "AIDS?" cetus Soni bingung.
"Belum. Kata dokter, masih dalam tahap ringan.
Mereka menyebutnya ARC. Berapa persen ARC yang
akan menjadi AIDS, berapa lama hal itu terjadi, dokter
tidak dapat memastikan. Apalagi tubuh Ira telah digerogoti
penyakit lain dan keadaan umumnya sangat buruk. Tapi
aku tetap ingin membawanya ke luar negeri."
"Ke mana?"
"Ke Amerika. Untuk kontrol lebih lanjut. Mereka
menyarankan membawa Ira ke Centre for Disease Control di
Atlanta."
"Apa yang dapat kubantu? Aku bukan dokter."
"Kamu punya teman di mana-mana, kan? Bisa minta
informasi dari mereka? Syukur kalau mereka bisa
mengontak rumah sakit yang bersangkutan dan mempersiapkan kedatangan Ira."
Senyum merekah di bibir Soni.
"Terima kasih karena masih menganggapku berguna."210
"Aku lebih berterima kasih lagi kalau kamu tidak
mengharapkan upah."
"Oh, aku tidak membutuhkannya!"
"Mungkin bukan berupa uang?"
"Jangan kuatir. Aku memang playboy. Sampah
masyarakat. Produk gagal. Proyek rugi. Tapi aku masih
menghargai persahabatan."
"Juga kalau kuminta kamu menemani aku
mengantarkan Ira ke sana?"
"Mintalah lebih banyak lagi. Tidak akan kutolak kalau
kamu yang memintanya."
Ketika Rima pulang ke rumah, dia menerima pesan
suaminya tentang Kartika dari pembantu-pembantunya.211
20 TIKA sedang berbaring di tempat tidur ketika Rima masuk
ke kamarnya. Keadaannya sungguh menyedihkan.
Kepalanya masih dibalut. Tungkainya yang sebelah kiri
digips dan digantung.
Ada delapan tempat tidur di dalam kamar itu. Semua
terisi oleh pasien patah tulang seperti Tika. Ian tidak ada di
sana. Mungkin belum pulang mengajar. Atau baru saja
pulang untuk menengok Bulan.
Rima dapat membayangkan betapa repotnya Ian. Dan
Rima menyesal baru sekarang mendengar tentang musibah
yang menimpa putrinya itu. Dia lebih menyesal lagi ketika
melihat kamar tempat Tika dirawat.
Udara di kamar itu terasa agak berbau. Entah apa.
Obat. Keringat. Darah. Atau campuran berbagai aroma.
Hawanya panas. Dan lantainya tidak terlalu bersih. Tetapi
yang paling disesali Rima adalah cara Tika menatapnya.
Tatapannya seolah-olah menyalahkan ibunya atas apa yang
telah terjadi.
Rima memeluk anaknya dengan penuh kerinduan.
Tetapi Tika tidak membalasnya. Tubuhnya membeku.
Mukanya cemberut terus.212
"Ibu baru tahu Tika di sini," gumam Rima dengan
perasaan bersalah. "Ibu menengok Nenek di kampung."
Siang itu juga Rima mengusahakan agar anaknya
mendapat kamar yang lebih baik. Seorang diri. Dan bisa
ditunggui oleh keluarganya.
Tika memang merasa lebih enak di kamarnya yang
baru. Lebih tenang. Lebih betah. Tetapi dia merasa lebih
kesal lagi pada ibunya karena tidak datang lebih cepat
menengoknya dan memindahkannya ke kamar ini!
*** "Maaf, tidak sempat memberitahu Bapak lebih dulu, Tika
pindah kamar," kata Rima ketika melihat suaminya muncul
di ambang pintu kamar dengan wajah pucat pasi diantar
oleh seorang perawat. "Saya kuatir keburu tidak ada kamar
kosong kalau menunggu sampai sore. Bagaimana Bulan?"
"Baik," sahut Ian sambil menghela napas lega. "Cuma
agak pilek."
Ketika menemukan Tika tidak berada di kamarnya
lagi tadi, Ian hampir pingsan karena kaget. Dikiranya Tika
mengalami komplikasi. Harus dibawa ke ICU. Ke kamar
operasi. Atau malah... Ah, pikiran jelek yang mampir di
kepalanya itu hampir saja membuatnya shock. Untung
pasien di samping pembaringan Tika cepat-cepat
memberitahu, anaknya sudah pindah kamar siang tadi.
Ian menghampiri anaknya dan mengecup dahinya
dengan penuh kasih sayang.213
"Lebih enak rasanya, Tika?" tanyanya dengan secercah
perasaan bersalah karena tidak dapat memberikan fasilitas
senyaman ini pada anaknya sebelum ibunya datang.
Kartika cuma mengangguk dengan paras murung.
Seperti ikut merasakan kesedihan ayah-nya.
"Bapak bawa jeruk untukmu," kata Ian sambil
menaruh sekantong kecil jeruk di atas meja di samping
tempat tidur. "Bapak kupasi, ya?"
Kartika cuma mengangguk lesu. Ian duduk di dekat
pembaringan anaknya. Mengupas jeruk dan menyuapkannya ke mulut anaknya dengan telaten sekali.
Rima memalingkan wajahnya dengan terharu. Tidak


Mahligai Di Atas Pasir Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tahan melihat adegan yang menyayat hati itu. Ian begitu
sayang pada Tika...
"Ke mana saja kamu, Rima?" tanya Ian tanpa menoleh.
"Ke luar negeri lagi?"
"Ke kampung. Menengok Ibu."
"Ibu Bapak baik?"
"Sehat. Mereka kirim salam untukmu."
Ian menghela napas berat. Ingin dia menanyakan
sesuatu yang selalu mengganggu pikirannya sejak bertemu
dengan Pak Asaaf. Benarkah Rima mengundurkan diri dari
perusahaan karena hendak mencurahkan waktu lebih
banyak untuk keluarganya?
Tetapi mulutnya terasa terkunci. Lebih-lebih di depan
Tika. Dia harus menunggu sampai memperoleh
kesempatan yang lebih tepat.
"Mengapa Bulan tidak ikut kemari, Pak? Dia sendirian
kan di rumah?"214
"Dia agak pilek. Baru saya beri obat flu. Katanya
ngantuk. Mau tidur."
"Kalau Bapak masih di sini, saya ingin ke sana
melihatnya. Biar nanti malam saya yang tidur di sini
menjaga Tika."
"Lebih baik kamu bawa dia ke rumahmu, Rima."
Rima menoleh menatap suaminya dengan tatapan
tidak percaya. Tetapi Ian tidak berpaling. Matanya masih
tetap mengawasi jeruk yang sedang dikupasnya.
"Tidak ada yang menjaganya di rumah," katanya lirih
sambil menyuapkan jeruk ke mulut Tika. "Lebih baik
untuk sementara dia tinggal di rumahmu dulu. Saya repot
sekali. Di rumahmu kan ada Bi Romlah."
Tetapi penyakit Bulan ternyata bukan hanya flu.
Ketika Rima membawanya ke dokter, dokter itu
memintanya untuk membawa Bulan ke laboratorium
memeriksakan darahnya.
"Secepatnya, Bu," kata dokter itu sungguh-sungguh.
"Saya tunggu hasilnya."
"Sebenarnya Bulan sakit apa, Dokter?" desak Rima
cemas.
"Kepastiannya akan kita lihat dari hasil laboratorium
darahnya. Tapi saya duga ini kasus demam berdarah."
Saat itu juga Rima membawa Bulan ke laboratorium.
Dan mendengar jeritan Bulan ketika darahnya diambil,
Rima ingin sekali menggantikan tempat putrinya. Biar dia
saja yang diambil darah. Jangan Bulan!
Susah payah Rima membujuknya. Ketika akhirnya
darah Bulan berhasil diambil, Rima masih berdebar-debar
mcnunggu hasilnya.215
"Bagaimana, Pak?" tanya Rima ketika kembali ke
laboratorium setelah mengantarkan Bulan pulang dulu ke
rumah.
"Bawa saja secepatnya ke dokter, Bu."
Mendengar kata-kata karyawan laboratorium itu saja
kaki Rima sudah terasa lemas. Apalagi mendengar diagnosa
dokter.
"Positif, Bu. Demam berdarah. Malam ini juga Bulan
harus dirawat di rumah sakit."
*** "Mengapa jadi begini, Rima?" keluh lan sedih bercampur
bingung. "Tika belum sembuh, kini Bulan menyusul harus
masuk rumah sakit! Apakah ini peringatan dari Tuhan
untuk kita? Tuhan telah memberi kita anak-anak yang
sehat. Yang tidak pernah menyusahkan. Kita telah menyianyiakan berkat Tuhan. Dan kini Tuhan memperingatkan
kita?"
"Tuhan tidak memberikan penyakit sebagai hukuman,
Pak. Penyakit bukan upah dosa,"
"Semua salah saya," keluh Ian sedih ketika melihat
Bulan terbaring di tempat tidurnya sambil diinfus. "Kalau
Tika dan Bulan masih bersamamu, semua ini tidak akan
terjadi! Tika tidak jatuh dari bus. Bulan tidak sakit..."
Tentu saja Rima sedih melihat keadaan anak-anaknya.
Tetapi ketika melihat suaminya melelehkan air mata, dia
merasa kesedihan suaminya lebih besar lagi. Ternyata lelaki
itu benar-benar sangat mencintai anak-anaknya! Dan Rima
trenyuh sekali melihatnya.216
"Kecelakaan bisa terjadi di mana saja, Pak," bantah
Rima lunak. "Nyamuk yang menularkan virus demam
berdarah itu pun ada di mana-mana. Tidak cuma di rumah
Bapak. Jangan terlalu menyalahkan diri sendiri."
"Kalau bukan karena ulah saya, anak-anak tidak usah
menderita."
"Kita sama-sama bersalah, Pak. Ketika melihat
kebencian Tika pada saya, saya baru menyadari, betapa
jauhnya pekerjaan telah memisahkan saya dari anak-anak."
"Tapi kamu sudah menyesal. Dan berniat mengubah
diri. Saya yang terlambat menyadarinya."
"Tidak ada yang terlambat, Pak. Sesudah anak-anak
sembuh nanti, kita bisa mengkaji kembali apa yang harus
kita lakukan demi kebaikan mereka. Kalau Bapak tidak
keberatan, saya ingin menjual rumah kita. Membagi dua
uangnya. Dan Bapak dapat membeli rumah baru untuk
anak-anak."
"Apa maksudmu?" sergah Ian antara kaget dan
kecewa.
"Saya akan minta cerai."
"Katamu tadi tidak ada yang terlambat! Dengan samasama mengintrospeksi diri, kita dapat mencoba rujuk
kembali."
"Saya telah lama memikirkannya, Pak. Saya memang
bersalah pada anak-anak. Kurang memperhatikan mereka.
Terlalu sibuk dilibat pekerjaan. Saya bukan istri dan ibu
yang baik."
"Tapi kamu sudah menyesal! Dan sudah bertekad
meninggalkan pekerjaanmu!"217
"Saya tidak yakin dapat melakukannya, Pak. Saya
sudah ditakdirkan menjadi wanita karier. Tidak mungkin
saya dapat berbahagia kalau tidak merasa puas. Dan
kepuasan saya bukan hanya sebagai istri dan ibu, tapi juga
sebagai wanita yang punya eksistensi diri."
"Bukan cuma kamu wanita karier yang punya
keluarga!"
"Tapi sebelum Bapak dan anak-anak menyadari hal
ini, sebelum Bapak mengenal diri saya selaku istri Bapak
dan ibu anak-anak, tidak mungkin kita dapat saling
mengerti. Tanpa pengertian, tidak mungkin kita dapat
membina rumah tangga yang damai dan bahagia."
"Jadi apa yang kamu kehendaki? Kembali ke kantor,
meninggalkan rumah dari pagi sampai malam, ke luar
negeri berminggu-minggu, dan meninggalkan anak-anak
di rumah kesepian bersama suamimu?"
"Saya akan mengurangi kegiatan saya. Tapi tidak
menghentikannya sama sekali. Karena saya insaf, bagi
seorang wanita seperti saya, ambisi adalah hidup saya."
"Jadi kamu tidak mau berkorban demi anak-anakmu?"
"Ibu mana yang tidak ingin berkorban untuk anakanaknya? Tapi mereka juga harus dapat memahami, ibu
mereka bukan hanya seorang ibu, istri ayah mereka. Ibu
mereka anggota masyarakat yang punya jati diri sebagai
manusia yang independen dan mandiri. Sebelum mereka
dapat memahami itu, percuma kembali ke rumah."
"Dan sebelum saya dapat memahami ini, percuma
melanjutkan perkawinan ini?"
"Karena itu saya mengajukan permohonan cerai."
"Bagaimana anak-anak?"218
"Jika mereka ingin ikut Bapak, mereka boleh
melakukannya. Tapi mereka dapat tinggal dengan saya
kapan saja mereka mau. Karena suami-istri dapat bercerai,
tapi anak-anak tetap milik kita bersama."
Lama Ian termenung sebelum dapat membuka
mulutnya kembali.
"Barangkali kamu yang benar, Rima. Kita memang
tidak mungkin dapat bersatu kembali. Selama ini saya
memaksakan diri tetap bersama demi anakanak. Tapi kita
mendustai diri kita sendiri, kalau tetap berpura-pura
sebagai suami-istri."
"Dan kepura-puraan itu membawa penderitaan bagi
kita semua."
"Kamu masih muda, Rima. Berbakat. Potensial.
Sayang kalau kamu harus menyia-nyiakan umur dan
kesempatanmu."
"Semua harta yang kita peroleh selama masa
perkawinan kita akan kita bagi dua, Pak."
"Semua itu milikmu. Saya tidak menginginkannya."
"Tidak. Itu milik kita bersama. Milik anak-anak."
"Biar anak-anak yang memilikinya. Bukan saya."
"Untuk anak-anak, saya akan memberikan uang secara
teratur setiap bulan. Pengacara saya akan mengaturnya.
Sebaliknya, kalau mereka tinggal bersama saya, Bapak juga
harus mengirim uang untuk mereka."
"Satu pertanyaan lagi, Rima. Jangan jawab kalau tidak
mau. Sudah adakah lelaki lain?"
"Kali ini saya akan lebih berhati-hati memilih, Pak.
Saya tidak mau gagal lagi."219
"Carilah seorang pengusaha, Rima. Supaya kalian bisa
saling memahami dunia kalian."
"Bukan kesamaan profesi yang melahirkan pengertian,
Pak. Tapi keselarasan perasaan. Itu yang sudah tidak kita
miliki lagi."
"Dia memilikinya? Saya dengar kalian akan ke luar
negeri lagi."
"Saya akan menunggu sampai anak-anak sembuh.
Saya yakin, dia mengerti."220
21 "OKE, aku mengerti," sahut Soni ketika Rima minta agar
dia berangkat lebih dulu membawa Ira.
"Penyakitnya tidak dapat menunggu lebih lama.
Padahal anak-anakku belum sembuh."
"Tapi jangan lama-lama," Soni meyeringai pahit. "Aku
tidak tahu apa-apa tentang AIDS!"
"Terima kasih, Soni. Kamu sahabatku yang terbaik."
"Aku ingin untuk selanjutnya tidak ada terima kasih
lagi di antara kita. Karena kita sudah sama-sama membagi
kasih."
"Aku bukan wanita yang dapat diharapkan pria dapat
menjadi istri yang baik."
"Jangan kuatir! Aku juga bukan lelaki yang baik.
Bukan lelaki yang dapat diharapkan wanita dapat menjadi
suami yang baik. Tapi kalau dua orang yang tidak baik
bersatu, tidak dapatkah mereka menjadi pasangan yang
paling baik? Negatif ketemu negatif akan menjadi positif,
kan?"
"Aku serius, Soni."221
"Aku juga. Aku kenal kamu. Sebenarnya, kamu
perempuan hebat. Jika kamu punya suami yang hebat pula,
kalian pasti bisa jadi pasangan yang sangat hebat."
"Dan aku tahu siapa pria yang hebat itu," desis Rima
sambil menghela napas.
"Kamu wanita karier yang hebat, Rima. Tapi kalau
kamu punya suami yang dapat mendidikmu, kamu dapat
menjadi istri dan ibu yang hebat pula. Coba hitung. Berapa
banyak wanita karier yang sukses dalam profesinya
sekaligus berhasil dalam perkawinannya?"
"Kalau begitu, tolong carikan lelaki seperti itu,"
gumam Rima sinis. "Mudah-mudahan bukan cuma dalam
mimpi."
"Jangan putus asa, Rima. Kamu akan menemukan pria
seperti itu. Pria yang cocok untukmu. Mengerti
kebutuhanmu untuk eksis. Dan dapat memberikan
kebahagiaan kepadamu dan keluargamu."
"Kalau kamu bukan playboy, aku hampir yakin,
kamulah pria itu." Rima tersenyum pahit.
"Ketika melihat koleksi penyakit yang dimiliki
temanmu, aku sebenarnya sudah jera," gurau Soni santai.
"Kalau ada salah satu saja teman gadisku punya bank
penyakit seperti itu, berapa tahun lagi kredit umurku?"
"Kamu memang konyol, Soni. Tapi sebenarnya
hatimu baik. Laki-laki terhormat saja belum tentu mau
membawa perempuan yang tidak dikenalnya untuk
berobat. Apalagi yang mengidap penyakit seperti itu."
"Anggaplah untuk menebus dosaku pada
wanita."222
*** Tika pura-pura tidak melihat ketika ibunya memasuki
kamarnya. Sikapnya kepada Rima memang tidak pernah
manis. Sungguhpun Rima telah berusaha dengan segala
macam daya untuk mendekatinya. Tampaknya dia masih
menyalahkan ibunya sebagai sumber malapetaka yang
menimpanya.
Gara-gara Ibu dia harus pindah rumah. Diolok-olok
teman. Dimarahi Bapak. Ditegur Kepala Sekolah. Naik
bus. Jatuh terjungkal. Akhirnya masuk rumah sakit. Dan
menunggu kesembuhan di rumah sakit benar-benar
membosankan!
Mula-mula Rima memang masih dapat menahan diri.
Dia menganggap Tika sedang berada pada masa yang
paling sulit dalam hidupnya. Orangtuanya berpisah. Harus
tinggal di rumah sakit pula.
Dengan sabar Rima menyapa putri sulungnya.
Menyodorkan buku-buku cerita yang sengaja dibelinya
untuk Tika. Dia juga membawakan sebuah walkman.
Supaya Tika tidak kesepian lagi.
Tetapi Tika tidak menyambuti pemberian itu.
Menaruh perhatian saja tidak. Dia seolah-olah segan
menoleh. Kepada barang-barang yang dibawakan ibunya.
Apalagi kepada Rima. Mukanya cemberut terus.
Akhirnya ambang kesabaran Rima terlampaui juga.
Dia tak tahan lagi diperlakukan seperti itu oleh anaknya
sendiri.223
"Ada apa, Tika?" gerutunya kesal. "Kamu masih marah
pada Ibu? Kalau sedang kesal, jangan timpakan


Mahligai Di Atas Pasir Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kekesalanmu pada Ibu!"
Tika diam saja. Masih tetap enggan menoleh. Enggan
menyahut.
"Sebenarnya Ibu salah apa? Kamu menyalahkan Ibu
karena jatuh dari bus? Karena Ibu tidak menjemputmu
dengan mobil?"
Tika merenggut bantalnya dengan jengkel. Dan
menutupi mukanya. Tetapi Rima meraih bantal itu. Dan
memaksa Tika memandangnya.
"Lihat Ibu, Tika," perintahnya tegas. "Mari kita
bicarakan problemmu. Kamu sudah cukup besar untuk
mengetahui masalah yang dihadapi orangtuamu."
Tika menatap ibunya dengan air mata berlinang.
Tetapi di balik tirai air mata itu, Rima melihat sorot mata
yang penuh kejengkelan dan sakit hati.
"Dalam segala hal, Ibu sudah tidak cocok lagi dengan
Bapak. Karena itu kami memutuskan untuk berpisah saja.
Demi kebaikan kita semua..."
"Kebaikan siapa?" potong Tika gusar. "Tika tidak
melihat baiknya untuk Tika dan Ulan!"
"Kamu senang kalau Bapak-Ibu bertengkar terus?"
"Bapak-Ibu jarang bertengkar!"
"Itu karena kami menyembunyikannya."
"Tika juga sering bertengkar dengan Ulan! Tapi
nggak harus berpisah, kan?"
"Hubungan kakak dengan adik, lain dengan
hubungan suami-istri, Tika," kata Rima sabar. "Jika suami-224
istri sudah tidak memiliki kecocokan lagi, sebaiknya
mereka berpisah daripada hidup bersama tetapi saling
menyakiti."
"Bagaimana dengan kami?" isak Tika putus asa.
"Perceraian orangtua tidak menyebabkan kalian bukan
anak Bapak-Ibu lagi. Tika dan Ulan boleh pilih, ikut
Bapak atau Ibu."
"Dua-duanya!" sergah Tika antara marah dan sedih.
Dia tetap tidak mengerti mengapa orangtuanya mesti
berpisah!
"Baiklah, Tika boleh tinggal enam bulan bersama
Bapak. Dan enam bulan lagi di rumah Ibu."
"Teman Ibu ikut tinggal di sana?"
"Teman yang mana?"
"Yang kata Bapak mau ke luar negeri lagi bersama
Ibu."
"Belum Ibu pikirkan. Mungkin suatu hari Ibu akan
menemukan pengganti Bapak. Dan Ibu akan tinggal
bersamanya. Tapi siapa pun orang itu, dia tidak akan
menyusahkan Tika dan Ulan, lbujanji."
Kartika menatap ibunya dengan tatapan kosong. Rima
sedih sekali ditatap seperti itu oleh anaknya sendiri.
"Kalau Ibu tinggal dengan teman Ibu, Tika mau ikut
Bapak saja," gumam Tika lirih. "Betul Tika bukan anak
Bapak?"
Sesaat Rima tertegun. Haruskah dia berterus terang
pada anaknya?
Sekilas Rima ingat suaminya. Ingat bagaimana Ian
memohon padanya.225
"Jangan ceritakan padanya saya bukan ayahnya,"
pintanya getir. "Saya sangat menyayangi Tika. Tanpa dia,
hidup saya tidak ada artinya lagi."
Rima ingat bagaimana Ian melelehkan air mata ketika
melihat anak-anaknya di rumah sakit. Dan dia
memutuskan untuk membiarkan Ian tetap memiliki
miliknya yang paling berharga itu.
"Kalau Tika menanyakan laki-laki yang menyebabkan
Tika lahir, memang bukan Bapak. Tapi Bapaklah ayah
Tika. Bapak yang merawat dan menyayangi Tika sejak
kecil."
"Tika nggak ngerti."
"Suatu saat nanti, kalau sudah lebih besar, Tika akan
mengerti. Tapi selama Bapak masih menyayangi Tika
seperti sekarang, dialah bapak Tika. Buat apa Tika
menanyakan yang lain?"
*** Bukan secara kebetulan Ira bertemu dengan Ian. Dia
memang sengaja menemui lelaki itu sesaat sebelum
berangkat.
"Rima pergi ke luar negeri karena saya," katanya
setelah memperkenalkan diri. "Karena dia ingin
menyembuhkan penyakit sahabatnya. Meskipun saya
sendiri sudah tidak punya lagi keinginan untuk sembuh."
Ian menatap perempuan yang sudah seperti kerangka
hidup itu dengan nanar. Jadi dengan temannya inilah Rima
hendak ke luar negeri? Sungguh meleset dugaannya!226
"Anda sakit apa?" tanyanya gugup, setelah tidak tahu
lagi harus berkata apa. Ternyata dia telah salah menuduh
istri! "Jangan jawab kalau tidak mau."
"AIDS," sahut Ira mantap.
Sekali lagi lan tercengang. AIDS?! Ya Tuhan! Itukah
sebabnya Rima berkeras hendak pergi ke luar negeri
bersama temannya?
"Kata dokter, masih dalam tahap dini. Tapi saya tidak
peduli lagi. Rima-lah yang memaksa saya untuk berobat.
Dia seorang sahabat sejati. Dan saya ingin Bapak tahu,
mengapa dia tega ke luar negeri meninggalkan anakanaknya."
*** Rima memeluk sahabatnya dengan lembut.
"Tabahkan hatimu, Ir," bisiknya hangat. "Jangan
gampang menyerah. Biar virus-virus itu kapok
memilihmu!"
"Kalau aku ingin sembuh, Rim," sahut Ira terharu, "itu
karena kamu. Karena aku ingin jerih payahmu tidak siasia."
"Kamu punya pesan lain?"
"Sumbangkan jenazahku untuk ilmu pengetahuan,
Rim. Tapi jika badan ini tidak terpakai lagi sekalipun
sesudah jadi mayat nanti, bakarlah saja. Supaya virus-virus
jahanam itu ikut punah bersamaku."
Ketika Rima melepaskan pelukannya, dia melihat Soni
tegak di samping Ira.227
"Sampai bertemu lagi," Soni memeluknya dengan
lembut. "Mudah-mudahan kehangatan yang kita bawa dari
Rusia tetap hangat sesampai di Amerika nanti."
*** Ian duduk di samping tempat tidur Kartika. Menggosokgosok kakinya yang terasa gatal. Setiap kali ayahnya
datang, Tika minta agar Bapak menggaruk kakinya di
batas gips. Gatalnya sudah hampir tidak tertahankan lagi.
Dan Bapak selalu melakukannya dengan telaten.
Sabar. Lembut. Dia bukan hanya menggaruk bagian yang
gatal. Dia menggosok seluruh kaki Tika yang tidak
tertutup gips. Bahkan mengurutnya perlahan-lahan kalau
Tika merasa pegal.
"Tika masih marah sama Ibu?" tanya Ian lunak.
Wajah Tika langsung berubah.
"Kenapa Ibu lebih suka pergi sama temannya? Ibu
tidak sayang kita lagi?"
"Teman Ibu sakit parah. Harus berobat di luar negeri."
"Tapi Ibu kan bukan dokter!"
"Orang sakit butuh teman, Tika. Dan Ibulah
temannya satu-satunya. Karena itu Ibu harus pergi."
"Pulang dari luar negeri, Ibu tinggal sama-sama kita
lagi?"
Ian menatap anaknya dengan terharu. Mata yang
bening itu, mata gadis kecilnya yang sangat dikasihinya,
mengawasinya dengan penuh harapan. Sekarang Ian dapat
memahami perasaan Tika. Dia marah kepada ibunya bukan228
karena benci. Tapi justru karena dia merasa cemburu, Ibu
lebih menyayangi orang lain. Dia takut kehilangan ibunya!
"Tika mau kita tinggal sama-sama lagi?" tanya, Ian
lirih.
"Tika tidak mau kita berpisah!"
"Kalau Tika harus memilih sekali lagi, ikut Bapak atau
Ibu..."
"Tika mau ikut Bapak!"
"Biar rumah Bapak jelek dan Tika mesti naik bus ke
sekolah?"
"Kenapa kita harus berpisah? Ibu nggak mau lagi
tinggal sama kita?"
Ian menghela napas berat.
"Bapak tidak tahu, Tika. Tapi kalau Tika dan Ulan
mau kita berkumpul lagi, Bapak akan minta pada Ibu agar
kita bisa bersama-sama lagi."
"Ibu bilang nggak bisa cocok sama Bapak!"
"Tidak ada dua orang yang benar-benar cocok, Tika.
Yang penting, bagaimana menjembatani ketidakcocokan
itu."
"Yang penting buat Tika, Bapak-Ibu nggak pisah!"
Ian memeluk anaknya dengan penuh haru. Dia
memahami perasaan Tika. Keinginannya. Bahkan
ketakutannya.
"Bapak akan coba minta pada Ibu, Tika," bisiknya
getir. "Tapi apa pun yang terjadi, kamu harus tahu, Bapak
sangat menyayangimu. Bapak rela melakukan apa saja
untuk membahagiakanmu."229
Ian mengecup kepala anaknya dengan air mata
berlinang. Ketika Tika merasa air membasahi rambutnya,
dia merenggangkan pelukannya dan menatap ayahnya.
"Kok Bapak nangis?"
"Kamu anak manis, Tika," Ian memegang pipi
anaknya dengan kedua belah tangannya. Ditatapnya mata
yang bening itu dengan lembut. "Sesudah dewasa nanti,
kamu akan jadi wanita cantik dan hebat seperti Ibu."
Tika menggeleng muram.
"Tika mau kayak Bapak saja," katanya tegas.
Ian meraih kembali anaknya ke dalam pelukannya.
Dan mendekapnya dengan penuh kasih sayang.
Ya Tuhan, bisiknya getir. Engkau tahu betapa aku
mencintai anak ini!
*** "Besok Ulan sudah boleh pulang," Ian mengecup pipi gadis
kecilnya dengan lembut. "Kata dokter, Ulan sudah
sembuh."
"Horee!" Bulan bersorak riang. "Kita pulang ke mana,
Pak? Ke rumah Ibu?"
"Ulan mau pulang ke mana?"
"Ke rumah Ibu."
"Ulan senang ke rumah Ibu?"
"He-eh. Rumah Ibu enak. Gede. Ada mobil. Ada Bi
Omlah. Ada Tutul."
"Apa?"230
"Tutul. Ibu janji kalau Ulan sembuh, dibeliin Tutul."
"Mainan apa itu?"
"Anak anjing tutul. Kayak punya punya Noni."
"Oh!" Ian ingin tersenyum. Sekaligus ingin menangis.
Bulan begitu lucu! Dia tidak dapat membayangkan sehari
saja tidak mendengar celotehnya....
Ian membelai pipi Bulan yang montok. Makan tidak
enak, tidak teratur, bahkan sakit, tidak membuatnya jadi
kurus! Dia tetap gemuk dan lucu!
"Ulan mau jadi apa kalau sudah besar nanti?"
"Guru!" sahut Bulan spontan. Tanpa berpikir lagi.
"Guru?" lan tersenyum pahit. "Kok Ulan kepingin jadi
guru?"
"Bisa berdiri waktu murid-muridnya duduk."
"Cuma karena itu?"
"Bisa ngomelin anak-anak."
"Cuma itu?"
"Kayak Bapak."
Ian memandang anak bungsunya dengan terharu.
"Ulan mau seperti Bapak? Bukan seperti Ibu?"
Bulan menatap ayahnya sebentar. Kelihatannya dia
sedang berpikir keras.
"Ulan mau jadi guru kayak Bapak. Tapi mau kaya
seperti Ibu! Punya rumah besar. Mobil bagus. Baju
mahal..."
"Tidak ada guru yang kaya, Ulan!"
"Ada. Ulan!"231
Kamu belum mengerti, keluh Ian sambil merangkul
putri bungsunya. Tapi Bapak memahamimu, Ulan! Kamu
juga ingin Ibu kembali. Ingin kita bersama-sama lagi!
*** Rima menggendong Bulan ke kamar Tika. Dia sudah
sembuh. Dan sudah boleh dibawa pulang.
"Kita pulang ke mana, Bu?" tanya Bulan penasaran.
"Kita tengok Kak Tika dulu, ya?"
"Kak Tika sudah boleh pulang?"
"Belum. Bulan pulang sama Ibu dulu, ya?"
"Ke rumah Ibu? Bapak bilang, kita pulang samasama!"
Rima berpaling ke arah suaminya yang sedang
menjinjing tas pakaian Bulan di sampingnya. Justru pada
saat Ian sedang menoleh kepadanya. Dan melihat cara
suaminya menatapnya, Rima merasa persepsi Ian terhadapnya telah berubah...
Ketika memasuki kamar Tika, keheranan Rima
bertambah. Sikap anaknya sudah jauh berubah. Tatapannya
lebih lembut. Lebih hangat.
"Teman Ibu sakit apa, Bu?" tanya Bulan yang hari ini
menjadi tujuh kali lebih cerewet.
"Teman yang mana?"
"Teman Ibu yang dikirim ke luar negeri."
"Sakit yang belum ada obatnya," sahut Rima dcngan
perasaan heran dari mana anak-anak tahu tentang Ira.232
"Kalau dikirim ke luar negeri, dia bisa sembuh?" tanya
Tika dengan suara yang sangat berbeda dari biasanya.
"Belum tentu juga. Tapi kita harus berusaha dengan
segala macam cara untuk menyembuhkannya."
Rima menurunkan Bulan dari gendongannya. Dia
mengambil beberapa majalah dari tasnya yang tadi


Mahligai Di Atas Pasir Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dibawakan Ian. Disodorkannya majalah-majalah itu kepada
Tika.
"Sudah Ibu beli semua majalah yang ada posternya.
Tapi tidak ada poster MacGyver. Kata yang jual, sudah
lewat dua nomor. Tapi dia janji akan mencarikan untuk
Ibu."
"Terima kasih, Bu," sahut Tika lunak, untuk pertama
kalinya.
Sesaat Rima tertegun. Tidak percaya pada
pendengarannya. Bukan karena ucapan terima kasih itu
saja. Tetapi karena cara Tika mengucapkannya. Apakah itu
berarti dia telah memaafkan ibunya?
*** "Ada apa?" gumam Rima keheran-heranan setelah
mengantarkan Bulan ke rumah. Untuk pertama kalinya
setelah perpisahan itu, Ian mengantarkannya pulang.
"Mengapa anak-anak tampak begitu berubah?"
"Bukan hanya anak-anak," sahut Ian perlahan. Dia
sedang duduk di sofa di ruang tamu, sementara Rima
menyuruh Bulan beristirahat di kamarnya.
Rima menatap suaminya dengan bingung. Tepat pada
saat Ian juga sedang mengawasinya.
"Kami baru menyadari kekeliruan kami."233
"Terhadap saya?"
"Sekarang kami mengerti mengapa kamu harus ke
luar negeri."
Rima duduk di depan suaminya sambil menghela
napas panjang.
"Ira teman saya sejak kecil..."
"Saya mengerti," potong Ian lunak. "Tidak perlu
kamu ceritakan lagi. Kamu berhak melakukannya. Kamu
bahkan harus melakukannya."
"Terima kasih telah memberikan pengertian pada
anak-anak."
"Anak-anak ingin kita bersama-sama lagi. Masih
adakah kemungkinan untuk mencoba kembali, Rima?
Kamu mau memberikan kesempatan sekali lagi kepada saya
dan anak-anak untuk memperbaiki diri? Untuk mencoba
memahamimu dan memulai kehidupan yang baru?"
"Pak," sorot penyesalan di mata Rima sama dalamnya
dengan nada penyesalan di dalam suaranya. "Saya benci
kepada diri saya sendiri karena harus mengatakan ini!"
"Katakanlah."
"Saya tidak ingin berpisah dengan anak-anak. Tapi
saya insaf, saya tidak mungkin pula dipisahkan dari profesi
saya. Saya ingin jadi istri, ibu, sekaligus wanita yang eksis,
independen, dan mandiri. Saya yakin, saya tidak mungkin
memperolehnya bila tetap menjadi istri Bapak."
"Mengapa tidak mau mencobanya lagi, Rima?" keluh
Ian getir. "Demi anak-anak kita!"
"Karena saya tahu tidak mungkin berhasil, Pak.
Sekembalinya dari Amerika nanti, saya akan minta
pengacara saya agar menguras perceraian kita. Semua milik234
kita akan dibagi dua dan dinamai nama anak-anak kita.
Saya tidak keberatan Tika ikut Bapak. Saya tahu dia sangat
menyayangi Bapak, seperti Bapak juga amat mengasihinya."
"Tapi saya juga mengasihi Ulan, Rima!"
"Saya tahu. Tapi Ulan masih kecil. Dia masih
membutuhkan seorang ibu. Kalau Bapak tidak keberatan,
saya ingin mengasuhnya. Tentu saja dia boleh tinggal di
rumah Bapak jika dia merindukan ayah dan kakaknya."
"Jadi mahligai perkawinan kita benar-benar sudah
runtuh?" gumam Ian getir.
"Mahligai perkawinan kita ibarat rumah di atas pasir,"
sahut Rima lirih. "Tidak ada fondamen kuat yang
menopangnya bila angin kencang bertiup. Rasanya sia-sia
saja kita mempertahankannya, Pak."
"Saya tidak sanggup menyampaikannya pada anakanak..." Ian menunduk pedih. Mukanya mengerat seperti
menahan nyeri. "Mereka sudah begitu berharap... dapat
berkumpul kembali... di rumah yang sangat mereka
sukai...."235
22 TERTATIH-TATIH Ian melangkah ke sekolah. Hatinya
terasa pedih. Kepalanya kosong. Semangatnya kandas.
Dia benar-benar merasa terpukul. Tidak menyangka
Rima demikian tegar. Demikian keras kepala. Demikian
tega menolak rujuk. Demi anak-anak sekalipun.
Bercerai memang menyakitkan. Tetapi kalau hanya
dia yang menderita, Ian sanggup menanggungnya.
Namun... anak-anak?
Ian sudah melihat sendiri, betapa menderitanya anakanak selama berpisah dengan ibu mereka. Dan Ian tidak
ingin mengulanginya lagi. Anak-anak begitu ingin
kembali ke rumah mereka yang lama. Begitu ingin
berkumpul dengan Ibu lagi... Mengapa Rima demikian
tega?
"Selamat sore, Pak Ian," sapa penjaga pintu sekolah
heran. "Ada yang ketinggalan, Pak?"
"Ya. Ada yang tertinggal di kelas."
Tanpa menoleh sekilas pun, Ian masuk ke kelas
kosong yang terletak paling ujung. Dibukanya pintu kelas
yang belum dikunci. Aroma sebuah kelas yang telah dua
puluh tahun lebih dikenalnya menyapa hidungnya dengan
lembut.236
Ditatapnya ruang kosong yang sepi itu. Di sini, di
depan kelas ini, dia tegak selama bertahun-tahun.
Mendidik murid-muridnya. Mengajarkan semua yang
diketahuinya.
Tetapi... apa sebenarnya yang diketahuinya? Dia
bahkan tidak mengetahui ambisi salah seorang murid
favoritnya! Ambisi yang menghancurkan perkawinannya!
Dia tidak tahu bagaimana harus mendidik murid
supaya tidak menjadi call girl seperti Leni. Dia bahkan tidak
tahu bagaimana harus mempertahankan rumah tangganya
sendiri...
"Mahligai perkawinan kita ibarat rumah di atas pasir,"
kata Rima tadi. Pahit. Getir. Tapi mantap.
Apakah karena sejak mula pertama Rima memang
tidak mencintainya? Dia terpaksa menikah karena sudah
mengandung Tika. Dan cinta tak kunjung datang juga
walaupun perkawinan mereka sudah berlangsung sekian
lama.
Itukah yang membuat mahligai perkawinan mereka
seperti rumah di atas pasir? Tidak ada fondamen cinta yang
kokoh yang melandasinya?
Atau... perbedaan status sosio-ekonomi mereka yang
mencolok? Seorang guru yang jujur dan sederhana
mustahil dapat menjinakkan istri yang berkecimpung
dalam dunia bisnis yang kejam dan gemerlapan!
"Saya ingin jadi istri, ibu, sekaligus seorang wanita
yang eksis, independen, dan mandiri." Terngiang lagi
kata-kata Rima yang demikian penuh percaya diri.
Sejak dulu pun seharusnya dia sudah cukup arif, tak
mungkin mengharapkan seorang wanita seperti Rima237
merasa puas dengan gaji suaminya yang cuma seorang
guru!
Dia tipe seorang wanita yang tak pernah puas.
Semangat juangnya menggebu-gebu. Ambisinya meluapluap.
"Ambisi adalah hidup saya," katanya tegas.
Di antara mereka memang terdapat jurang perbedaan
gaya hidup yang menganga lebar. Tidak mungkin lagi
dijembatani. Rasanya Rima benar. Lebih baik mereka
bercerai saja. Tetapi... bagaimana dengan anak-anak?
"Ulan mau jadi guru kayak Bapak. Tapi mau kaya
seperti Ibu. Punya rumah besar. Mobil bagus. Baju
mahal..." Dengan pikiran sederhana seorang anak kecil,
Bulan telah mengungkapkan keinginannya dengan jujur.
"Yang penting buat Tika, Bapak-Ibu nggak pisah!"
Kartika yang sudah lebih besar, sudah menyadari arti
perceraian orangtua bagi anak-anaknya. Dia ingin mereka
hidup bersama-sama lagi.
"Bapak akan coba minta pada Ibu..."
Tetapi Bapak tidak berhasil, Tika! Bapak tidak berhasil
membujuk ibumu agar kita tidak berpisah!
Ian menelungkup ke atas meja. Menutupi wajahnya
dengan lengannya. Dia merasa hidupnya hampa. Sehampa
kelas kosong ini.
Kesunyian yang melingkupinya seperti menjanjikan
kesepian yang bakal membelenggunya seumur hidup! Tapi
bukan itu yang ditakutinya!
Dia takut bertemu dengan anak-anaknya... Dia tidak
tega melihat kekecewaan mereka... Dia tahu bagaimana
sulitnya mereka memilih, ikut Bapak atau Ibu. Dan dia238
tidak mau lagi melihat penderitaan anak-anaknya kalau
harus berpisah dengan ibu mereka!
Sekarang Rima sudah insaf. Dia sudah menyadari
kekeliruannya.
"Begitu jauh pekerjaan telah memisahkan saya dari
anak-anak," katanya dulu.
Dia sudah berjanji akan mencoba membagi waktunya
dengan lebih bijaksana. Dia akan berusaha mencurahkan
waktunya lebih banyak untuk keluarga... mengapa tidak
menyerahkan mereka kepada Rima saja?
Hidup anak-anak lebih terjamin di tangan ibu
mereka... Mereka pasti lebih berbahagia kalau tinggal
bersama Rima... tetapi bagaimana memaksa mereka ikut
Ibu? "Tika mau ikut Bapak," terbayang kembali paras putri
kesayangannya. Sendu. Tapi mantap. Ya, Tika sudah
menetapkan pilihannya. Dia lebih suka rumah ibunya.
Tapi kalau disuruh memilih, dia pasti ikut Bapak!
Tak mungkin memaksa Tika. Dia mewarisi kekerasan
hati ibunya. Apa pun yang terjadi, kalau Bapak masih dapat
diikuti, dia akan ikut ayahnya!
*** "Bapak tidak datang?" Rima mengerutkan dahinya dengan
heran. Secercah perasaan tidak enak menyergap hatinya.
Aneh kalau lan sampai seharian tidak muncul menengok
Tika. Biasanya, dia tidak pernah absen.
Kartika menggeleng muram.239
"Bapak nggak pernah nggak datang! Ada apa ya, Bu?
Apa Bapak sakit?"
Sakit sedikit saja tidak bisa mencegah Ian untuk
datang menengok putri kesayangannya! Kecuali kalau
dia...
"Nanti Ibu lihat di rumah," janji Rima menenangkan
anak perempuannya. "Mungkin Bapak tidak enak badan.
Atau sibuk di sekolah."
"Bapak tinggal di rumah Ibu?" tanya Tika tajam.
Matanya menatap Rima dengan tatapan me-nilai dan
menyelidik.
Rima merasakan setitik perasaan tidak enak
menyelusup ke relung hatinya yang paling dalam.
Mengapa Tika bertanya demikian?
"Bapak sudah bilang sama Ibu?" desak Tika ketika
melihat ibunya tertegun sejenak.
"Bilang apa?"
Berdebar-debar hati Rima ketika membalas tatapan
aneh anaknya.
"Bapak bilang mau minta Ibu tinggal sama-sama lagi."
Tika mengawasi ibunya dengan cermat.
"Bapak sudah bilang?"
Rima merasa lehernya tercekik. Dia hanya mampu
menggangguk. Tidak dapat mengucapkan sepatah kata
pun. Samar-samar suara Ian bergema lagi di telinganya.
Getir. Putus asa.
"Saya tidak sanggup menyampaikannya pada anakanak... Mereka sudah begitu berharap..."240
"Ibu pergi mencari Bapak dulu ya, Tika," cetus Rima
gelisah ketika lidahnya sudah mau diajak bicara lagi.
Bergegas dia meninggalkan kamar anaknya.
*** Bulan menggelengkan kepalanya dan memandang ibunya
dengan cemas.
"Kenapa Bapak enggak kemari, Bu?"
"Ibu juga tidak tahu, Ulan. Main sama Bi Romlah
dulu, ya? Ibu cari Bapak."
"Nanti malam Ibu bobok sama Ulan?"
"Tentu."
Sesaatsesudah Rima berpesan pada pembantupembantunya, Bulan memanggilnya lagi.
"Ya, Sayang?" Rima menoieh kembali pada putrinya.
"Bapak nggak apa-apa?"
Tiba-tiba saja Rima merasa aneh. Mengapa Bulan
bertanya demikian? Sorot matanya demikian menguatirkan
ayannya...
Rima memeluk anak bungsunya erat-erat. Bayangan
hitam itu semakin pekat menyelubungi perasaannya...
bayangan itu seperti melambangkan petaka yang kian
mendekat... menudungi langit-langit kehidupan mereka....
"Ajak Bapak pulang ya, Bu," pinta Bulan lirih, dengan
suara anak-anaknya yang murni dan polos. Begitu
sederhana. Tetapi begitu menyentuh perasaan Rima
sebagai seorang ibu.241
"Ulan bobok dulu, ya? Jangan tunggu Ibu kalau Ibu
kemalaman. Nanti Ibu menyusul."
"Nggak mau! Ulan mau tunggu Bapak. Mau bobok
sama Ibu."
*** "Tadi pagi Bapak tidak mengajar, Rim," sahut Kepala
Sekolah agak bingung. "Saya kira Bapak sakit."
Ian tidak mengajar? Kalau ada guru yang bolos tidak
mengajar, Ianlah guru terakhir yang akan melakukannya!
"Kata Pak Samin, kemarin sore Bapak datang ke
sekolah. Masuk ke kelas. Katanya mengambil barang yang
ketinggalan. Bapak keluar agak malam. Kemudian tidak


Mahligai Di Atas Pasir Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ada orang yang melihatnya lagi sampai sekarang. Rima
sudah ke rumahnya?"
Rima mengangguk lemas. Pondok Ian kosong. Kata
tetangganya, Ian tidak pulang sejak kemarin pagi.
"Biasanya habis mengajar, langsung nengok anaknya
di rumah sakit, Bu," kata tetangga itu pula. "Malam baru
pulang. Tapi tadi malam, Pak Ian tidak kembali ke rumah,"
"Mari kita cari Pak Ian di sekolah, Rim," ajak Kepala
Sekolah dengan perasaan cemas. "Kalau tidak ada juga di
sana, sebaiknya kita lapor polisi. Saya kuatir kecelakaan..."
***242
Gedung sekolah telah gelap ketika Rima tiba di sana
bersama Bapak Kepala Sekolah. Tetapi di sana pun, lan
tidak ditemukan.
"Rima tahu tempat lain di mana kira-kira Bapak
mungkin berada?" tanya Kepala Sekolah hati-hati.
Rima menggeleng murung.
"Inilah tempat yang paling disukainya," katanya pahit
tapi tanpa keraguan. "Tempat satu-satunya yang akan
dicarinya kalau dia membutuhkan ketenangan."
"Kalau begitu, mari kita laporkan kepada yang
berwajib."
"Biar saya saja, Pak. Tolong saja beritahukan pada Pak
Ian kalau besok datang mengajar, dicari istrinya. Anakanak mengharapkannya kembali."
Tetapi lan tidak pernah kembali. Tidak seorang pun
tahu ke mana dia pergi. Dia menghilang begitu saja.
Apakah dia sengaja meninggalkan anak-anak padaku,
pikir Rima getir. Supaya anak-anak tidak berpisah lagi
denganku? Supaya mereka dapat kembali ke rumah mereka
yang lama? Atau... dia tidak sanggup melihat anak-anaknya
menderita karena harus berpisah?
"Saya tidak sanggup menyampaikannya pada anakanak..." Kata-kata itu tidak mau hilang dari benak Rima.
Siang-malam menghantuinya di mana pun dia berada.
"Mereka sudah begitu berharap... dapat berkumpul
kembali... di rumah yang sangat mereka sukai...."
Karena itukah Ian menghilang? Sengaja menjauhkan
diri? Tidak sadarkah dia, anak-anak tambah menderita
karena kepergiannya? Karena tidak tahu ke mana ayah243
mereka pergi? Karena Bapak menghilang tanpa pamit,
tanpa meninggalkan pesan apa-apa?
"Saya tidak ingin berpisah dengan anak-anak," Rima
teringat kata-katanya sendiri pada saat terakhir mereka
bertemu. "Tapi saya insaf, saya tidak mungkin pula
dipisahkan dari profesi saya..."
Dan Ian mengalah. Memilih menyingkir dari
kehidupan keluarganya supaya istrinya tidak usah berpisah
dengan anak-anaknya, sekaligus tidak usah meninggalkan
pekerjaannya.
*** Rima memang memperoleh pekerjaannya kembali.
Memperoleh anak-anaknya kembali. Tapi keliru jika Ian
mengira Rima dapat memperoleh kembali hati Tika!
Kebencian Tika kepada ibunya berkobar tambah
hebat. Dia yakin, gara-gara Ibulah Bapak pergi!
"Ibu ngomong apa?" desaknya penasaran setelah sia-sia
menunggu ayahnya kembali. "Bapak bilang mau ngajak
Ibu sama-sama lagi! Ibu bilang apa?!"
Pedih hati Rima melihat penderitaan anak-anaknya
kehilangan ayah mereka. Tetapi lebih sakit lagi hatinya
melihat Tika. Dulu dia menderita karena harus berpisah
dengan mereka. Kini dia lebih sengsara lagi karena dibenci
oleh anak-anaknya sendiri!
Rima hampir tidak mampu melihat air mata anakanaknya. Rasanya, kalau dapat, dia tidak mau pulang ke
rumah. Supaya tidak menyaksikan kekecewaan dan
kesedihan Kartika dan Bulan.244
Seperti yang sudah diduga Rima, mereka sudah
menunggu di depan pintu. Begitu mobil Rima memasuki
halaman, mereka sudah langsung menghambur
menyongsongnya.
"Bapak mana, Bu?" Bulan memburu dengan tidak
sabar.
Tika tidak memberondong dengan pertanyaan. Tetapi
wajahnya tegang. Dia mengawasi ibunya dengan harapharap cemas.
Rima menggendong putri bungsunya. Dan menggeleng dengan putus asa.
"Sudah Ibu cari ke mana-mana, Ulan..."
Tika tidak mau lagi mendengar kelanjutan ka-takata
ibunya. Dia langsung mendahului masuk ke dalam rumah
dengan kepala tertunduk. Sementara Bulan masih ribut
bertanya.
"Ke mana Bapak, Bu? Kenapa Bapak pergi? Kapan
Bapak pulang?"
Tetapi Rima juga tidak tahu. Ke mana suaminya?
Kalau sudah meninggal, di mana mayatnya?
Polisi yang dilapori tentang kehilangan itu sudah
berusaha semaksimal mungkin. Mencari Pak Ian ke manamana. Tetapi hasilnya tidak ada. Pak Ian Ienyap tanpa
bekas!
Rima malah sudah pergi ke tempat orang-orang
pintar. Yang katanya punya ilmu untuk mengetahui halhal yang tidak dapat diketahui orang biasa. Tetapi sia-sia
belaka.
Yang satu mengatakan Pak Ian sudah meninggal.
Hanyut di sungai. Jasadnya baru akan timbul beberapa hari245
lagi. Yang kedua mengatakan Pak Ian dibunuh orang yang
mendendam kepadanya. Mayatnya dibenamkan di rawarawa. Yang lain malah menganggap Pak Ian masih hidup.
Dia hilang ingatan dan tidak dapat kembali ke rumah.
Soni yang dengan rajin ikut membantu mencari Pak
Ian juga menemui jalan buntu. Padahal Rima tahu, dia
sudah berusaha sekuat tenaga.
Demudan pula rekan-rekan guru dan murid-murid
Pak Ian yang ikut mencari ke mana-mana tidak
memperoleh hasil apa-apa. Tidak seorang pun tahu ke
mana dia pergi.
Akhirnya pencarian pun dihentikan. Pak Ian
dinyatakan hilang. Tidak ada yang tahu alasannya
meninggalkan rumah.
"Di sekolah tidak ada masalah apa-apa," kata rekanrekan guru yang sudah putus asa mencari itu. "Barangkali
persoalannya terletak di dalam rumah tangga Pak Ian
sendiri."
"Pasti problem dengan istrinya," komentar yang lain,
tentu saja di belakang Rima. "Istrinya terlalu ambisius."
"Wanita karier sesibuk dan sesukses istrinya, mana
punya waktu lagi untuk suami dan anak-anaknya? Pak Ian
pasti frustrasi berat."
Penderitaan Rima memang tidak ringan. Bukan cuma
kehilangan suami, dia malah disalahkan sebagai penyebab
hilangnya suaminya.
Tentu saja dia juga cemas memikirkan nasib
suaminya. Tetapi dia lebih kuatir lagi melihat keadaan
anak-anaknya. Lebih-lebih melihat keadaan Tika.246
Bulan memang sedih. Dia sangat kehilangan ayahnya.
Berhari-hari dia menangis. Lebih-lebih pada saat-saat dia
biasa diajari oleh ayahnya.
Pada minggu-minggu pertama, dia malah tidak mau
belajar. Jangankan memegang buku pelajarannya, melihatnya saja dia tidak mau.
Tetapi reaksinya karena kehilangan ayahnya masih
wajar. Dia sedih. Dia menangis.
Lain dengan Kartika. Mula-mula dia memang
menangis. Tetapi hanya beberapa hari. Sesudah itu, dia
tidak menangis lagi.
Reaksi depresinya malah lebih parah daripada adiknya.
Dia mengurung dirinya di kamar. Dan tidak mau
bicara dengan siapa pun. Tidak juga dengan ibunya.
Sikapnya seolah-olah menyalahkan Rima atas kepergian
ayahnya.
"Jangan menambah lagi kesedihan yang sudah ada,
Tika," keluh Rima putus asa. "Kita sama-sama sedih karena
kepergian Bapak. Mengapa harus ditambah lagi dengan
bersikap seperti ini pada Ibu?"
Seperti sumbat botol sampanye yang tiba-tiba meletus,
Tika melemparkan guling yang sedang dipeluknya ke atas
meja. Jambangan yang terletak di atas meja itu tersapu
jatuh ke lantai.
"Gara-gara Ibu, Bapak pergi!" geram Kartika sengit.
Matanya menatap ibunya dengan tatapan gusar yang
penuh kebencian. Belum pernah Rima ditatap seperti itu.
Apalagi oleh anaknya sendiri!
Sesaat Rima sampai tidak mampu berkata sepatah pun.
Kaget. Ngilu. Shock.247
"Bapak nggak mau pisah! Bapak mau kita tinggal
sama-sama lagi! Ibu yang nggak mau! Ibu jahat!"
"Tika!" sergah Rima gemetar menahan perasaannya.
"Mengapa bicara seperti ini pada Ibu?!"
"Semua salah Ibu!"
"Tapi Ibu sama tidak tahunya dengan Tika!"
"Bohong!"
"Ibu tidak tahu mengapa Bapak meninggalkan kita!"
"Bapak ngajak tinggal sama-sama lagi! Tapi Ibu nggak
mau!"
"Lalu Bapak pergi begitu saja?"
"Ah, Ibu pura-pura nggak tahu!"
"Ibu betul-betul nggak tahu!"
"Ibu jahat! Ibu nggak sayang sama Tika dan Ulan!"
"Jangan ngomong begitu, Tika!"
"Biar!"
"Kata siapa Ibu tidak sayang padamu?"
"Emang nggak sayang!"
"Kamu pikir Ibu masih di sini kalau tidak sayang
padamu?"
"Kenapa Ibu nggak mau kumpul sama-sama lagi
seperti dulu?"
"Antara Ibu dan Bapak ada persoalan yang tidak dapat
Ibu ceritakan padamu. Persoalan yang menyebabkan kami
tidak mungkin tinggal bersama-sama lagi."
"Karena Ibu lebih suka bekerja di kantor daripada
menemani kami di rumah? Ibu lebih suka jalan-jalan ke
luar negeri sama teman Ibu..."248
"Jangan kurang ajar pada ibumu, Tika!"
"Emang! Bapak bilang begitu!" Tika menatap ibunya
Pencuri Hati 2 Pendekar Pulau Neraka 09 Menembus Lorong Maut Rahasia Patung Menangis 1

Cari Blog Ini