Ceritasilat Novel Online

Mahligai Di Atas Pasir 6

Mahligai Di Atas Pasir Karya Mira W Bagian 6


terbata-bata.
Bulan mengangguk mantap.
"Di lantai," katanya tegas. "Mula-mula sih Ibu nggak
mau. Paman Prana memaksa Ibu tidur."
*** Bulan tampak demikian gembira. Kedatangan Soni benarbenar menghidupkan kembali semangatnya. Soni benarbenar merasa menyesal. Seandainya dia datang lebih cepat!
Bulan memang belum dapat makan sebanyak dulu.
Tetapi menurut Bi Romlah, itulah pertama kali Bulan
dapat makan dengan lahap sepulangnya dari rumah sakit.
Soni menemani Bulan bermain, mengobrol, makan,
bahkan tidur. Tetapi sampai Bulan terlelap, Rima belum
pulang juga. Dia hanya menelepon sekali dari rumah sakit.
Menurut Bi Romlah yang menerima telepon itu, Rima
hanya menanyakan keadaan Bulan.
Rima pasti dalam keadaan sangat tertekan, pikir Soni
ketika sedang berbaring di sofa menunggu kedatangan
wanita itu. Tika mengalami kecelakaan. Bulan sakit.
Menghadapi gugatan pengguguran kandungan yang
merusak nama baiknya pula.
Mengapa Pranata sampai hati berbuat sekejam itu pada
Rima? Menggugurkan kandungan memang perbuatan
kejam. Tetapi pantaskah membalas kekejaman dengan
kekejaman pula?411
Rima pasti punya alasan mengapa melakukannya. Lalu
apa alasan Pranata menggugatnya? Dalam keadaan seperti
ini pula!
Tidakkah Pranata merasa iba kepada Rima, kepada
anak-anaknya? Mungkinkah karena... Rima menolak
lamarannya?
Tetapi... kalau Rima tidak mencintainya, mengapa dia
membiarkan saja Pranata menghamili dirinya?
Rima seorang wanita dewasa. Soni yakin, dia sudah
cukup matang. Tahu apa yang boleh dan apa yang
sebaiknya tidak dilakukan.
Emosi? Sebagai seorang wanita yang telah matang dan
berpengalaman luas, mungkinkah Rima membiarkan
emosi menguasai rasionya?
Atau... benarkah apa yang diungkapkan Bulan?
Pranata... memaksa Rima? Tapi kalau benar Pranata yang
memaksa, mengapa dia yang menuntut?
Sekali lagi Soni menghela napas panjang. Dia merasa
pengap. Pusing. Rasanya dadanya ikut merasa sesak kalau
berada di rumah ini. Aneh memang. Rumah yang besar.
Bagus. Mewah. Tapi tak pernah tenteram!
Ketika jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam,
sebenarnya Soni ingin menyusul Rima ke rumah sakit.
Terus terang dia sudah merasa kuatir. Dia juga ingin
melihat Tika.
Tetapi... pantaskah ke rumah sakit malam-malam
begini? Apakah justru tidak mengganggu Tika?
Bagaimana dengan Bulan? Bagaimana kalau dia terjaga
sebelum ibunya pulang? Tadi Soni sudah berjanji akan
menungguinya sanipai Ibu pulang.412
"Besok Oom kemari lagi?" tanya Bulan redup.
Matanya yang sudah mengantuk menatap Soni
dengan sayu. Tetapi dalam mata itu, Soni melihat seberkas
harapan.
Soni cuma dapat mengangguk. Dan membe-lai pipi
Bulan. Alangkah cepatnya dia berubah. Sebelum ditinggal
pergi ayahnya, pipinya montok dan sehat. Sejak ayahnya
pergi, Bulan memang semakin kurus. Tetapi tidak seperti
sekarang! Dia kelihatan lesu. Tidak bergairah. Apakah
karena penyakitnya? Atau... karena tekanan psikis pula?
Kesepian? Merasa tidak diperhatikan karena ibunya sibuk
terus mengurusi kakaknya?
*** Suara deru mesin mobil yang memasuki halaman
menyadarkan Soni dari lamunannya. Dia mendengar Bi
Romlah membuka pintu depan.
"Bulan sudah tidur, Bi?" Berdebar hati Soni ketika
mendengar suara perempuan yang diam-diam masih
dicintainya itu. Sudah lama sekali rasanya dia tidak
mendengar suara Rima. Suara yang mampu menggetarkan
jantungnya dua kali lebih cepat....
"Sudah, Bu. Sudah tidur dari tadi. Makannya juga
banyak. Tidak rewel, lagi. Bagaimana Non Tika, Bu?"
Rima tidak menjawab. Dia cuma menghela napas
berat. Dan saat itulah dia melihat Soni. Tegak di tengahtengah tangga.
Wajah Rima langsung berubah. Antara terkejut. Tidak
percaya. Gembira. Sekaligus terharu. Matanya berbinar413
sekejap. Sebelum kesedihan dan kesakitan melumurinya
kembali.
"Oh, iya, maaf, Bu!" tukas Bi Romlah cepat-cepat
seperti menyadari kesalahannya. "Saya lupa bilang, ada
Tuan Soni..."
Tidak perlu lagi kata-kata itu. Karena Rima sudah
tidak mendengarnya. Dia merasa bumi di bawah kakinya
bergetar. Seolah-olah gempa mahahebat tengah
mengguncangkan bumi. Dan dia tidak tahu, benarkah
bumi yang bergetar, atau hanya kakinya yang gemetar.
Bi Romlah sudah langsung meninggalkan mereka
begitu melihat sikap Rima. Dia mengunci pintu. Dan pergi
dengan diam-diam ke belakang.
Sesaat Rima tidak mampu membuka mulutnya. Tidak
mampu menyapa. Bahkan tidak mampu menggerakkan
salah satu bagian tubuhnya.
Dia hanya mampu memandangi Soni. Dan untuk
sesaat, mereka cuma saling pandang, tanpa mampu
mengucapkan sepatah kata pun.
Tetapi memang tidak perlu lagi kata-kata. Dalam saatsaat seperti itu, mata mereka telah berbicara sendiri.
Menumpahkan kerinduan. Mencurahkan perasaan.
Soni-lah yang lebih dulu menghampiri. Mula-mula
dia memang tampak ragu-ragu. Hendak memeluk Rima.
Atau sekadar mengulurkan tangannya.
Tetapi ketika jarak mereka sudah cukup dekat, dan dia
dapat melihat air mata yang menggenangi mata wanita itu,
dia langsung membuka lengannya untuk memeluk Rima.
Dan tanpa tertahankan lagi, seperti dilemparkan oleh414
tangan-tangan yang tidak kelihatan, Rima membuang
dirinya ke dalam pelukan laki-laki itu.
Sekilas mereka saling peluk. Saling dekap. Begitu erat.
Begitu hangat. Membiarkan kerinduan yang telah sekian
lama terbendung menemukan pelampiasannya.
Soni merasakan otot-otot lengannya menegang ketika
dia memeluk tubuh Rima demikian eratnya. Menekan
punggungnya begitu rapat sampai dada mereka saling
melekat seakan-akan tak terpisahkan lagi.
Rima merasakan kehangatan yang melumuri dadanya.
Menjalari setiap bagian tubuhnya. Diamencicipi
kenikmatan yang tersalur melalui dekapan erat Soni. Tanpa
merasa sakit sedikit pun, sungguhpun Soni memeluknya
demikian kuat.
Soni menciumi rambut Rima. Mukanya. Lehernya.
Seolah-olah dia ingin memberitahukan kepada setiap pori
di kulit Rima, betapa bibirnya merindukan kulit wanita
yang dicintainya. Betapa dia merasa kehilangan selama ini.
Betapa enggannya dia berpisah lagi.
Dan ciuman-ciuman bergelora itu membangkitkan
gairah yang telah lama terpendam di setiap inci jaringan
saraf Rima. Membebaskan rasa bersalah yang telah sekian
lama terbendung.
Tiba-tiba saja Rima merasa bahagia. Begitu
bahagianya sampai dia merasa ingin menangis. Inikah
manifestasi kebahagiaan sempurna seorang wanita?
Untuk pertama kalinya setelah hari-hari kelabu ini,
hatinya terasa hangat kembali. Semangatnya terbangun.
Gairahnya tergugah.415
Tubuhnya terasa meregang. Tetapi kakinya terasa
lemas. Hampir tak kuat menyangga berat tubuhnya.
Hanya karena kedua lengannya masih merangkul
leher Soni-lah, dia masih mampu berdiri.
Rima tidak menolak ketika Soni merengkuhnya ke
dalam gendongannya. Dan membaringkan tubuhnya di
sofa. Lampu yang belum sempat dinyalakan dan memang
tidak perlu dinyalakan, membuat suasana di mangan itu
menjadi remang-remang gelap.
Tetapi betapapun gelapnya, Rima masih dapat
merasakan hangatnya tatapan Soni. Tatapan yang mampu
membakar gairah di hatinya.
Napas laki-laki itu terasa panas menggelitiki kulit
wajahnya. Membuat Rima merasa sekujur tubuhnya
meregang. Dan ketika rangsangan yang mengiritasi setiap
jengkal saraf di tubuhnya itu mencapai titik kulminasi,
Rima tahu, dia tidak akan mampu lagi menolak. Dia
tidakakan sanggup melawan jika Soni menghendakinya.
Dia tidak akan mampu mengenyahkan sesuatu yang sangat
didambakannya.
Tetapi Soni tidak melakukannya. Dia tidak
mengambil apa yang dapat diperolehnya dengan mudah,
sungguhpun dia juga menginginkannya. Dia hanya
mencium bibir Rima. Hangat dan lama. Lembut dan
mesra.
Lalu dia mengangkat kepalanya. Menjauhi wajah
Rima sedikit. Dan dalam jarak yang masih demikian dekat,
menatapnya dengan penuh kasih sayang.416
"Apa yang terjadi, Rima?" Suaranya demikian lembut.
Seperti pohon beringin yang rindang. Yang menjanjikan
keteduhan bagi musafir yang kepanasan.
Tatapan matanya demikian sejuk. Rima begitu
menyukainya. Mencintainya. Kecuali ketika mata itu
memandang dengan iba.
"Jangan kasihani aku," pinta Rima, lembut tapi tegas.
"Kalau kamu datang kembali malam ini, aku ingin kamu
datang bukan karena merasa iba."
Soni memegang kedua belah pipi wanita itu dengan
kedua belah telapak tangannya. Mendekatkannya ke
wajahnya. Memandang lurus ke dalam matanya. Dan
berbisik hangat ketika kedua belah ujung hidung mereka
sudah hampir saling menyentuh.
"Aku datang karena tidak dapat mendustai hatiku lagi.
Tidak dapat mengusir bayanganmu lagi dari mataku. Pada
saat kamu bahagia, aku ingin selalu berada di sisimu.
Membagi kebahagiaan itu bersamamu. Tetapi pada saat
kamu menderita, aku ingin berada di depanmu. Supaya
dapat mengusir setiap penderitaan yang datang menghampirimu."
*** Rima menceritakan segalanya. Penyakit Bulan. Kecelakaan
yang menimpa Tika. Bagaimana dia kehilangan janinnya.
Tetapi tentu saja dia tetap merahasiakan bagaimana bayi
Pranata dapat berada dalam kandungannya. Meskipun dia
tahu, dengan tetap merahasiakan hal itu, dia terpaksa
menyakiti hati Soni.417
"Kamu mencintainya?" desak Soni penasaran. Rima
menggeleng dengan mantap. Dan Soni tahu, Rima tidak
berdusta.
"Lalu mengapa memberikan kesempatan itu padanya?"
"Semua salahku," sahut Rima lirih. "Sudahlah. Jangan
tanyakan lagi."
"Benarkah Pranata memaksamu?" desak Soni gigih.
Rima tertegun sekejap. Soni merasakan tubuh wanita itu
membeku sesaat. Matanya menggelepar liar dalam
kegelisahan. Bibirnya bergetar sedikit. Dan melihat reaksi
Rima, tiba-tiba saja Soni memahami segalanya.
Tubuh Soni gemetar menahan marah. Matanya
menyala dalam kegusaran. Napasnya terasa panas.
Darahnya mendidih.
"Dia memperkosamu?" geramnya dengan suara
tertekan. Ketika mengucapkan kata-kata itu, Soni merasa
dadanya sakit seperti dikoyakkan sebilah pedang.
Rima memalingkan wajahnya. Bukan hanya karena
dia merasa sedih. Tetapi karena tidak sampai hati melihat
kesakitan yang merayap di mata lelaki yang dikasihinya.
Tetapi Soni merenggut bahunya dengan kasar.
Memaksa Rima menoleh ke arahnya.
Dan ketika melihat wanita yang dicintainya itu
memejamkan mata, ketika melihat air mata yang mengalir
dari celah-celah bulu mata Rima, Soni melepaskan
pegangannya. Dia merasa sakit. Sekaligus terhina.
***418
Dikepalnya tinjunya erat-erat. Begitu kuatnya seperti
meremas segenap benak Pranata. Dia tidak mampu
mengucapkan sepatah kata pun. Rahangnya terkatup rapat
menahan amarah yang menggeledak di dada.
Jadi itulah sebabnya Rima hamil! Pranata telah
memperkosanya!
Memperkosa kekasihnya... sungguh biadab! Biadab!
Dan Soni telah keliru menghukum Rima. Padahal dia tidak
bersalah! Dia sendiri sudah begitu menderita akibat
perbuatan jahanam seorang laki-laki tak bermoral....
Soni merasa hatinya sakit. Sakit sekali. Kalau dulu dia
merasa sakit karena dikhianati kekasih, sekarang dia merasa
lebih sakit lagi karena kekasihnya diperkosa lelaki lain!
Dia tidak mampu berbuat apa-apa untuk menolong
kekasihnya. Dia malah menambah penderitaannya dengan
meninggalkannya... Menuduhnya berbuat hina... Memakinya pelacur....
Rima dapat merasakan betapa sakitnya hati Soni.
Melihat keadaan lelaki itu, dia malah merasa lebih tersiksa
lagi.
"Dia sungguh-sungguh menginginkan diriku," desah
Rima lirih. "Sesudah melakukannya, dia melamarku."
"Dan sesudah melamar, dia menuntutmu?!" geram
Soni muak. "Karena kamu menolak lamarannya?"
"Katanya dia melakukannya untuk anak-anakku.


Mahligai Di Atas Pasir Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Padahal sebelum dia menuntutku pun aku sudah terhukum
dengan kehilangan bayiku."
"Mencoreng arang di kening mereka? Itu yang
dilakukannya untuk anak-anakmu? Dia benar-benar sakit!"419
*** Nama baik Rima memang rusak berat. Atas permintaannya
sendiri, dia mengundurkan diri dari pelantikannya sebagai
salah seorang wanita pengusaha paling sukses tahun ini.
Rima tidak mungkin hadir pada upacara itu.
Menerima penghargaan sementara orang-orang berbisikbisik menggosipkan pengguguran kandungannya.
Sementara itu, Dokter Elsie pun mendapat skorsing
sementara dari IDI sampai kasusnya menjadi jelas. Sebuah
tim dokter dari MKEK, Majelis Kode Etik Kedokteran,
memeriksanya lebih dulu sebelum kasusnya dilimpahkan
ke pengadilan.
Dengan terjadinya musibah yang menimpa Tika,
sebenarnya Rima sudah apatis untuk membela diri. Dia
tidak peduli lagi apa pun hukuman yang akan dijatuhkan
kepadanya. Dia memilih menemani Tika daripada
membuang-buang waktu menyusun pembelaan.
Satu-satunya keinginannya hanyalah membebaskan
Elsie dari kesulitan. Dia tidak bersalah. Dia hanya ingin
menolong temannya. Mengapa harus menyusahkan Elsie
kalau Pranata hanya ingin membalas dendam kepada
Rima?
Tetapi Rima tidak punya bukti apa-apa untuk
meringankan tuduhan yang ditimpakan kepada mereka.
"Bagaimanapun kamu harus membela diri, Rima,"
Soni berkeras menggugah semangat perlawanan Rima.
"Bukan hanya untuk Elsie. Tapi untuk dirimu sendiri juga.
Orang-orang harus tahu, kamu tidak bersalah! jika kamu420
berdiam diri, kamu seolah-olah membenarkan apa yang
dituduhkan kepadamu!"421
38 KARTIKA mengalami depresi berat. Dia tidak mau
makan. Tidak mau bicara. Bahkan tidak mau membuka
matanya. Setiap kali Rima datang, dia mengamuk.
Meronta-ronta. Membanting-banting kaki kirinya.
Seolah-olah dia ingin melepaskan sama sekali kaki yang
buntung itu. Tidak mau melihatnya lagi.
Bukan cuma Rima yang kewalahan menghadapinya.
Dokter juga.
"Tampaknya Ibu bukan orang yang paling dekat
dengan Tika," kata dokter yang merawatnya dengan hatihati.
"Dia malah menyalahkan saya atas kecelakaan yang
menimpanya ini, Dokter," sahut Rima terus terang. Dia
benar-benar sudah hampir putus asa. Segala upaya telah
dilakukannya untuk mendekati Tika. Tapi Tika bukan
semakin dekat, malah bertambah jauh. Kelihatannya dia
begitu benci pada ibunya.
"Perawat mengatakan dia sering meracau memanggilmanggil ayahnya. Tidak mungkinkah memanggil ayahnya
kemari? Keberadaan orang yang paling dekat dengannya
dapat membangkitkan kembali keinginannya untuk
survive."422
"Saya malah tidak tahu ayahnya masih hidup atau
sudah meninggal, Dokter."
"Maafkan saya..."
"Tika memang paling dekat dengan bapaknya. Tapi
selain ayahnya, ada seorang laki-laki lagi yang dekat
dengannya. Saya akan berusaha menemui lakilaki ini,
Dokter. Mungkin kalau dia datang dan menghibur Tika,
keadaan Tika dapat menjadi lebih baik."
"Cobalah, Bu. Kita tidak dapat menenangkan Tika
terus-menerus dengan obat-obatan. Bagaimanapun, dia
sudah harus belajar melihat kenyataan. Masih banyak yang
harus dilakukannya untuk menempuh hidup yang sama
sekali baru baginya. Sebagai penyandang cacat, dia harus
belajar hidup bersama cacatnya itu."
Berlinang air mata Rima ketika menatap Tika dari
balik pintu kamarnya. Keadaannya benar-benar menyedihkan. Bukan hanya karena dia cacat. Tetapi lebih-lebih
karena dia tidak dapat menerima cacatnya.
Mengapa anakku harus menanggung penderitaan
seperti ini, Tuhan? Dia masih anak-anak! Belum mengecap
kegembiraan seorang remaja! Seharusnya dia masih bisa
berlari-lari dengan teman-temannya.
Sebentar lagi dia akan mulai menggemari gaungaun
yang indah... celana jins luntur, sepatu kets yang modis....
Sebentar lagi dia akan mulai menggandrungi penyanyipenyanyi yang tampan. Dia akan berjingkrak-jingkrak
bersama mereka.
Dia ingin mengendarai mobil sendiri. Ingin berenang.
Ingin naik gunung. Ingin ke disko. Fit-ness. Nonton423
bioskop. Sebentar lagi semua kesenangan itu akan menjadi
miliknya... kalau dia tidak cacat!
Pemuda mana yang mau pergi dengan gadis buntung?
Mau pacaran dengan gadis cacat, betapapun cantiknya dia?!
"Dia ingin jadi penari!" Terngiang lagi kata-kata
Pranata di telinga Rima. Nada suaranya begitu
menyedihkan. Antara marah, sedih, dan putus asa. "Dia
begitu berbakat! Dia ingin memperlihatkannya di
hadapanmu! Tapi ibunya tidak pernah memperhatikannya!"
Jadi bukan cuma Pak Ian yang menuduhnya kurang
memperhatikan anak-anak. Pranata juga! Padahal dia sudah
berusaha membagi waktunya dengan sebaik-baiknya.
Antara pekerjaan dan keluarganya.
Dia tidak mau masa lalunya yang buruk terulang
kembali. Dia tidak mau kariernya memisahkannya dari
anak-anaknya. Tapi apa yang diperolehnya sekarang?
Seorang anak yang cacat! Yang membencinya
setengah mati! Anak yang lain masih tidak ketahuan apa
penyakitnya... Ya Tuhan! Mengapa sulit sekali menjadi
wanita yang mandiri, wanita karier yang merangkap istri
dan ibu?!
*** Pranata tidak heran ketika melihat Soni muncul di
rumahnya.
"Jangan minta saya menarik kembali gugatan atas
Rima, Bung Soni," katanya dingin, tanpa bangkit sama
sekali dari kursinya. "Abortus kriminalis adalah perkara424
pidana. Negaralah yang menuntutnya. Bukan saya. Saya
tidak berhak lagi mencabut gugatan itu."
"Sebelum saya menjotosmu, Bung Prana, tolong
katakan dulu pada saya, mengapa tidak mau menjumpai
Tika kalau benar-benar menyayanginya? Dia sangat
membutuhkan seseorang untuk tempat melampiaskan
kesedihannya. Dan Bung Prana adalah orang yang paling
dekat dengannya. Bung Prana-lah seharusnya yang
menolong Tika keluar dari lubuk keputusasaannya! Bukan
malah mencorengkan arang di keningnya dengan memfitnah ibunya!"
"Uruslah saja perek-perekmu, Bung Soni! Itu bidang
keahlianmu, bukan? Jangan mengaduk-aduk kapling orang
lain!"
Soni harus mati-matian menahan diri agar tidak
memukul Pranata, seperti yang telah dijanjikannya pada
Rima.
"Dulu saya sangat mengagumimu, Bung Prana. Anda
terkenal sebagai seniman besar yang nyentrik! Sekarang
saya tahu, Anda bukan hanya nyentrik! Anda sakit!"
Sakitkah aku, pikir Pranata sambil menghabiskan
minumannya. Aku bukan tidak ingin menemui Tika. Aku
hanya tidak sampai hati melihatnya!
Dibuangnya begitu saja botol yang telah kosong itu di
lantai rumahnya. Botol kosong itu bergulir menjauhinya.
Dan berhenti di kaki seseorang yang muncul di ambang
pintu.
Pranata mengangkat wajahnya. Dan matanya
bertatapan dengan mata yang redup itu.425
"Saya tidak dapat menolongmu lagi," geram Pranata
sengit. "Saya tidak dapat mencabut kembali tuntutan itu!"
"Saya hanya minta Pak Pranata datang menemui
Tika," sahut Rima perlahan. Suaranya dalam tertekan.
Tetapi masih tetap setegas biasa. Dia memang tampak lesu.
Mukanya muram. Matanya redup. Tetapi sedikit pun dia
tidak memperlihatkan kesedihannya.
"Tidak! Saya tidak mau melihatnya lagi!" erang
Pranata getir. "Biar cuma sosok Tika yang dulu, Tika yang
tidak bercacat, Tika yang berbakat cemerlang, yang tetap
saya kenang!"
"Tika mengalami depresi berat."
Tiba-tiba saja Rima merasa iba kepada Pra-nata. Tibatiba saja dia menyadari, kesedihan Pranata tidak lebih
ringan daripada kesedihannya sendiri. Bedanya, Rima
masih dapat mengatasinya. Pranata tidak.
"Semua salahmu!" geram Pranata antara marah dan
putus asa. "Kalau kamu tidak sekejam itu pada anakmu...!"
"Kata dokter, hanya orang yang paling dekat
dengannya yang dapat diharapkan mampu membantu Tika
mengatasi depresinya. Sesudah ayahnya, Pak Prana-lah
orang yang paling dekat dengan Tika."
"Saya tidak mau melihatnya lagi!" raung Pranata getir.
"Tidak tanpa kaki kirinya!"
"Semua sudah terjadi. Kita tidak dapat membuat Tika
memperoleh kembali kaki kirinya. Tapi kita dapat membantunya memperoleh kembali masa depannya."
"Masa depannya?" Pranata menatap Rima dengan
marah. "Kamu tahu masa depan bagi seorang gadis cacat?!"426
"Tika anak saya juga! Kesedihan saya tidak lebih
ringan daripada kesedihan Pak Prana! Tapi saya insaf,
menangis bukan jalan satu-satunya untuk menolongTika!"
"Kamu pikir masih dapat menolongnya?!"
"Kita harus membantu Tika memulihkan kepercayaan
dirinya..."
"Bagaimana? Mengajarnya menari dengan satukaki?!"
"Meyakinkannya bahwa orang cacat juga masih punya
harapan! Orang buntung juga masih punya masa depan!"
"Kamu saja yang mengajarinya! Saya tidak sanggup!"
"Tapi Pak Prana lebih dekat kepadanya.
Mungkin kata-kata Pak Prana lebih didengar oleh Tika."
"Apa lagi yang harus didengarnya? Dia akan
dikeluarkan dari sekolah kalau tidak naik kelas lagi?!"
Pranata mengawasi Rima dengan tatapan berapi-api.
"Kamu sendiri yang merusak masa depan anakmu!"
"Tapi saya masih berusaha memberikan masa depan
itu baginya! Tidak seperti Pak Prana, menguburnya hiduphidup dalam keputusasaan!"
"Apa lagi yang dapat saya lakukan? Menyanyi di
samping tempat tidurnya?!"
"Datanglah. Bangkitkan kembali semangatnya. Dia
belum mati. Dan dia harus tetap hidup, walaupun cuma
dengan satu kaki!"
"Kamu yang mengusir saya keluar dari hidupnya!"
"Sekarang saya mohon agar Pak Prana kembali."
"Baik!" Pranata menatap Rima dengan tata-pan
berkilat-kilat. "Saya akan ke sana. Tapi hanya dengan satu
syarat!"427
"Katakanlah. Apa pun akan saya lakukan. Demi Tika."
"Buka bajumu," desis Pranata bengis. "Serahkan
dirimu pada saya."
Sekejap Rima menatap laki-laki itu dengan tatapan
tidak percaya.
"Belum puas jugakah kamu menyiksa saya?" tanyanya
jijik.
"Seseorang harus membuktikan, kamu perempuan
hina! Kamu membunuh bayimu sendiri! Kamu membunuh
anak saya!"
"Cukup dua kali saja," desis Rima muak. "Saya tidak
ingin ada yang ketiga!"
Dengan perasaan jijik bergegas ditinggalkannya lakilaki itu.
*** "Apa yang terjadi, Mbak?" Rano langsung merangkul
Rima begitu sampai di rumah sakit. Dia dan teman
gadisnya baru saja kembali dari Banjarmasin menemui ibu
Emilia. "Mengapa sampai begini?"
"Cobaan hidup, Rano," sahut Rima tabah. "Doakan
saja agar Mbak cukup kuat menghadapinya.
"Saya ingin melihat Tika, Mbak."
"Jangan memperlihatkan kesedihanmu, Rano. Sudah
cukup dia menangisi nasibnya."
"Siapa pula yang menyiarkan berita bohong itu,
Mbak? Benarkah Ayah yang menuduh Mbak menggugurkan kandungan?"428
"Kita perlu waktu untuk membicarakannya, Rano."
"Rano harus menemui Ayah."
"Jangan. Tidak ada gunanya. Ayahmu juga sedang
menghadapi stres."
"Tapi menuduh Mbak..."
"Ayahmu mengira Mbak menggugurkan kandungan.
Padahal Mbak benar-benar keguguran. Tapi kedua hal itu
memang sulit dibuktikan."
"Mbak tidak mungkin sengaja melakukannya!"
"Terus terang, Mbak memang pernah berniat
menggugurkannya."
"Tidak mungkin! Saya kenal Mbak Rima. Mbak tidak
sampai hati menyakiti seorang anak. Apalagi membunuh
anak sendiri!"
"Mbak memang membatalkan niat itu karena tidak
sampai hati menyingkirkan anak Mbak sendiri." Rima
menunduk sedih. "Tapi Tuhan berkehendak lain. Anak
yang pernah ingin Mbak singkirkan itu, diambil-Nya
kembali...."
"Benarkah anak itu anak Ayah, Mbak?"
Rima mengangguk. Mantap. Polos. Sederhana. Di
depan Rano, dia memang selalu berterus terang. Karena itu


Mahligai Di Atas Pasir Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rano yakin, semua yang dikatakannya benar. Dan jawaban
itu tidak membuatnya membenci Rima. Malah tambah
menghormatinya.
"Rano mengerti," katanya penuh pengertian. "Ayahlah
yang tidak dapat dimengerti. Mengapa harus mengajukan
tuntutan yang memalukan itu?"429
*** "Anak itu anak Ayah!" geram Pranata sen-git ketika Rano
menanyakannya dengan marah. "Kamu tidak bakal
mengerti karena kamu belum punya anak!"
"Tapi Rano juga anak Ayah! Rano tahu sekali
bagaimana perlakuan Ayah pada anak. Ayah memang
mencintai Rano. Oke! Tapi lebih dari cinta Mbak Rima?
Jangan mendustai Rano, Ayah! Masa kecil Rano diisi oleh
Mbak Rima. Bukan oleh Ayah!"
"Ini lain! Dia tidak mau menikah dengan Ayah. Tapi
dia tidak mau orang lain tahu, dia hamil tanpa suami!
Karena itu dia membunuh anaknya! Anak Ayah!"
"Mustahil."
"engadilan yang akan membuktikannya."
"Bersalah atau tidak, kalau Mbak Rima sampai
dihukum, Rano tidak akan sudi bicara dengan Ayah lagi!"
"Mengapa kamu justru membela perempuan yang
membunuh anaknya sendiri?!"
"Karena saya tidak percaya Mbak Rima melakukan
perbuatan sekeji itu! Dia sudah cukup menderita. Suaminya
hilang. Anaknya cacat. Mengapa mesti ditambah lagi
penderitaannya?!"430
39 TERHUYUNG-HUYUNG Pranata turun dari mobilnya.
Dalam keadaan separo mabuk, dia melangkah memasuki
rumahnya. Dia tidak berhasil memasukkan kunci pintu ke
lubangnya.
Tetapi ketika dia sedang mendorong-dorong kunci
itu, pintu terbuka dengan sendirinya. Rupanya dia lupa
mengunci pintu rumahnya tadi.
Sempoyongan dia melangkah masuk. Menubruk kursi.
Terjerembap ke lantai. Beringsut bangun. Melangkah lagi.
Dan tersungkur kembali.
Sesudah dua-tiga kali mencoba bangkit tapi gagal,
Pranata memutuskan untuk tidak mencoba lagi. Buat apa
dia berusaha berdiri, kalau toh akhirnya pasti tersuruk lagi
ke lantai? Lebih baik dia berbaring di sini saja.
Tidurlah. Tidur yang lelap. Tidur. Lupakan segalanya!
Anak tunggal yang membencinya. Anak kecil yang
disayanginya. Anak berbakat yang kini cacat. Bayi yang
tersingkir. Dibunuh oleh ibunya sendiri... perempuan yang
dicintainya!
Tetapi... benarkah dia mencintai Rima? Kalau benar,
mengapa harus menambah lagi penderitaannya? Benarkah431
cuma karena Tika? Karena bayi dalam kandungan Rima?
Atau ada hal lain? Egonya yang terluka karena Rima selalu
me-nolaknya?
"Cukup dua kali saja," terngiang lagi suara Rima yang
penuh perasaan jijik. "Saya tidak ingin ada yang ketiga!"
"Anda bukan hanya nyentrik. Anda sakit!" Kata-kata
Soni seperti menampar telinganya. Sakit! Benarkah dia
sakit? Sinting?
"Kamu sampah!" tuduh Rima di Bandung dulu, ketika
Pranata memaksa menidurinya. "Binatang saja masih lebih
tahu aturan!"
"Rano tidak sudi bicara dengan Ayah lagi!"
"Anda sakit!"
"Kamu sampah!"
Gilakah aku? Pranata memegang kepalanya dengan
perasaan takut. Mengapa semua orang mencerca? Karyakaryaku semakin dikagumi orang. Tetapi diriku sendiri
semakin rusak! Semakin sulit dimengerti! Inikah tandatanda kegilaan seorang seniman? Semakin gemilang
karyanya, semakin berantakan hidupnya?
Esok aku harus menemui seorang psikiater, pikirnya
sambil merayap bangun. Aku harus tahu, benarkah aku
sudah sinting?
Tangannya meraba-raba dinding mencari tombol
lampu. Tetapi sebelum dia dapat mene-mukan tombol itu,
lampu duduk di meja di sudut sana menyala.
Pranata mengangkat wajahnya dengan kaget. Dan
lebih terperanjat lagi melihat seraut wajah yang diterangi
oleh cahaya lampu yang samar-samar itu....432
Astaga, hantukah yang datang ke rumahnya? Wajah
itu begitu pucat. Tua. Penuh kerut merut. Itukah... hantu?
Atau... dia benar-benar sudah gila? Mungkinkah
halusinasi ini timbul karena busa alkohol yang
memabukkan?
"Bung Pranata masih kenali saya?"
Tentu saja! Bagaimanapun berubahnya wajah itu,
bagaimanapun bertambah tuanya dia, Pranata masih
mengenalinya....
"Kita pernah bertemu di rumah saya ketika Bung
Pranata kembali dari Moskow. Bung khusus datang ke
rumah untuk membicarakan Rima."
Bukankah dia sudah mati? Dia pasti sudah jadi hantu!
"Saya tidak ingin muncul kembali kalau tidak
terpaksa." Suara itu masih tetap suaranya! Cuma lebih
dingin dan datar. "Tapi tuduhan Bung atas diri Rima
memaksa saya untuk kembali."
Tatapan itu... astaga dinginnya! Tatapan seperti itu
pasti hanya dimiliki oleh hantu dari dalam kubur!
"Ada satu rahasia besar yang tidak ingin saya katakan
kepada siapa pun. Tapi karena Bung menuduh Rima
sekejam itu, terpaksa saya membongkarnya. Dengar baikbaik, Bung Pranata, saya tidak akan dua kali
mengatakannya. Rima tidak mungkin menggugurkan
kandungannya. Dia bukan wanita tipe itu!"
Dia datang dari neraka khusus untuk menyampaikan
hal ini? Dia akan mencekikku selesai menceritakan apa
yang diketahuinya? Aku benar-benar sudah gila! Bahkan
hantu pun menyambangiku untuk mencela gugatanku atas
Rima!433
"Dua belas tahun yang lalu Bung memperkosa Rima,"
Sekarang Pranata yakin, hantulah yang sedang duduk
di sana itu. Mukanya sepucat bajunya. Matanya sedingin
nisan kuburan. Suaranya menyeramkan seperti iblis. Dan
pengetahuannya bukan pengetahuan seorang manusia lagi!
Hanya setan yang dapat mengetahui hal-hal yang tidak
diketahui manusia, bukan?!
"Dia hamil. Tapi dia tidak menggugurkan
kandungannya. Karena dia tidak sampai hati membunuh
anaknya sendiri."
Rima hamil? Meremang bulu roma Pranata. Dia
merasa dingin. Dingin sekali....
Rima mengandung anaknya? Kakinya terasa lemas.
Tubuhnya gemetar. Pandangannya berputar.
"Rima bersedia menikah dengan lelaki yang tidak
dicintainya demi anak itu...." Tatapan yang dingin itu
perlahan-lahan meredup. "Seumur hidup saya memohon
padanya agar merahasiakan hal ini. Saya tidak ingin Tika
tahu, saya bukan ayahnya. Tapi tidak adil membiarkan
Rima menanggung penghinaan ini. Orang-orang harus
tahu, dia bukan ibu yang tega membunuh anaknya. Dia
memilih mengorbankan dirinya, hidupnya, masa
depannya, demi menyelamatkan kandungannya.... Kalau
perlu, saya tidak segan-segan tampil di pengadilan
membela Rima..."
Tetapi Pranata sudah tidak mendengar apa-apa lagi.
Kepalanya terasa ringan. Ringan sekali. Tika bukan anak
Pak Ian! Tika bukan anak lelaki ini!
Dua belas tahun yang lalu Rima hamil... Suaminya
bukan ayah anak itu! Jadi... Tika... Tika???434
Kepala Pranata tersungkur ke lantai. Semuanya terasa
gelap. Gelap.
*** "Bapak?!" desah Tika dengan tatapan tidak percaya.
Laki-laki yang muncul begitu saja di samping tempat
tidurnya itu langsung menempelkan jari telunjuknya ke
bibir. Sambil tersenyum dia menunjuk ke dinding. Ke jam
yang telah menunjukkan pukul satu malam.
Kamar Tika telah sepi. Semua perawat telah
meninggalkan kamar itu. Tika pun sudah terlelap. Tetapi
dia langsung membuka matanya begitu mendengar suara
ayahnya.
Tika demikian gembira mendengar suara yang begitu
dirindukannya. Seka?gus sedih teringat setelah dia
kehilangan kaki kirinya?
"Bapak!" seru Tika sambil merangkul ayahnya dan
menangis tersedu-sedu.
"Jangan nangis ya, Sayang," bujuk ayahnya sedih.
"Supaya jangan membangunkan suster..."
Tika menahan tangisnya. Dia takut Bapak pergi jika
perawat datang. Tetapi karena dia belum mampu
mengendalikan emosinya, dia masih tetap terisak-isak
dalam pelukan ayahnya.
"Bapak ke mana saja?" desisnya dengan air mata
berlinang. "Kenapa tinggalin Tika?"
"Bapak harus pergi, Tika. Demi kebahagiaan Tika."435
"Tika malah sedih! Bukan bahagia! Sekarang malah
buntung!" Tangis Tika menghebat lagi. "Tika cacat!"
Ayahnya memeluknya lebih erat. Membelai-belai
kepalanya. Menciuminya dengan penuh kasih sayang. Dan
berusaha untuk tidak menoleh ke arah kaki Tika.... Betapa
menyakitkan melihat kaki yanghilang itu!
"Bapak tahu, Tika. Karena itu Bapak datang."
"Bapak jangan pergi lagi!"
"Bapak harus pergi. Tapi Bapak akan sering datang
melihat Tika. Kalau Tika janji tidak menangis terus."
Tika berusaha menahan tangisnya. Hanya supaya
Bapak jangan pergi. Terisak-isak dia di dada ayahnya.
"Tika mau ikut Bapak aja!"
"Nggak mau!"
"Harus."
"Ibu nggak sayang Tika!"
"Siapa bilang? Ibulah orang yang paling sayang Tika."
"Gara-gara Ibu, Tika buntung!"
"Tika buntung karena ditabrak mobil, kan?"
"Karena Ibu memaksa Tika sekolah! Melarang Tika
ikut Paman Pranata!"
"Kalau Bapak ada, Bapak juga akan memaksa Tika
sekolah."
"Tika nggak mau sekolah! Tika mau jadi penari!"
"Tika tidak bisa menjadi penari kalau belum lulus SD!
Penari zaman sekarang perlu pengetahuan luas. Bukan
cuma pandai menggoyangkan tubuhnya!"436
"Tapi sekarang Tika sudah nggak bisa lagi jadi penari!
Tika buntung, Pak!"
"Tapi Tika bisa jadi guru seperti Bapak. Bukankah
Tika ingin jadi guru?"
"Mana ada guru buntung?!"
"Guru tidak perlu kaki. Guru perlu otak dan hati."
"Bapak mau ngajarin Tika lagi kayak dulu?"
"Tika mesti sekolah lagi."
"Tika nggak mau! Malu! Buntung!"
"Kalau Tika sayang Bapak, Tika mesti sekolah lagi.
Tika harus jadi guru. Seperti Bapak."
"Tapi Tika mau ikut Bapak! Ibu cuma sayang Ulan!'"
"Ibu sayang Ulan dan Tika. Hanya caranya
menyatakan rasa sayang itu yang berbeda. Suatu hari, Tika
pasti dapat merasakannya."
"Kalau Ibu sayang Tika, kenapa nggak mau tinggal
sama-sama Bapak lagi? Bapak jadi terpaksa pergi!"
"Bapak pergi atas kemauan Bapak sendiri. Bukan salah
Ibu."
"Kenapa Bapak pergi? Bapak nggak sayang Tika!"
"Bapak pergi karena sayang Tika. Supaya Tika bisa
berbahagia bersama Ulan dan Ibu. Nanti kalau Tika lebih
besar, Tika akan mengerti."
"Tika nggak mau kehilangan Bapak lagi! Tika nggak
mau kita pisah! Bapak jangan pergi!"
"Bapak akan sering menemui Tika kalau Tika janji
tidak menangis dan mau sekolah lagi."
"Bapak jangan pergi!"437
"Bapak tidak akan jauh dari Tika. Kalau Tika perlu
Bapak, pasti Bapak datang. Kita akan bersama-sama lagi.
Di suatu tempat yang hanya untuk kita berdua."
*** Pagi-pagi semua perawat di bagian itu gempar. Begitu
bangun tidur, Tika sudah mengamuk.
"Tika mau ikut Bapak! Mana Bapak? Tika mau
ketemu Bapak!"
Rima menatap anaknyayang sedang ditenangkan oleh
dokter dan perawat itu dengan sedih. Hatinya hancur
luluh. Sampai kapan Tika akan bertingkah seperti ini?
Sia-sia Rima memeluknya. Membujuknya. Menenangkannya. Tika tetap berkeras ingin menemui
ayahnya.
"Tadi malam Bapak datang," katanya berkeras. "Bapak
ada di sini! Mana Bapak?!"
"Bapak belum datang, Tika," desah Rima lirih. "Nanti
kalau Bapak dengar Tika sakit, mungkin Bapak datang."
"Bapak sudah tahu! Bapak sudah datang! Bapak suruh
Tika jangan nangis dan sekolah lagi! Bapak suruh Tika jadi
guru! Guru nggak perlu kaki! Guru perlu otak dan hati!"
Bukan cuma Rima yang merinding mendengar katakata Tika. Perawat-perawat juga. Itu bukan katakata
seorang anak berumur sebelas tahun! Benarkah ayahnya
yang datang? Mengapa tidak seorang pun melihat dia
kecuali Tika?438
40 PRANATA membuka matanya dengan kepala pusing.
Mula-mula dia tidak tahu berada di mana. Dirabanya lantai


Mahligai Di Atas Pasir Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dingin di bawah tubuhnya. Ditatapnya langit-langit di atas
kepalanya. Sekarang dia menyadari di mana dia berada.
Dia sedang berbaring di lantai rumahnya. Napasnya
masih berbau alkohol. Pasti dia mabuk tadi malam. Dia
melihat hantu suami Rima dudukdi kursi itu....
Sambil memegangi kepalanya yang terasa sakit,
Pranata merayap bangun. Dilayangkannya pandangannya
ke kursi di sudut sana... dan dia hampir terjerembap
kembali.... Kursi itu tidak kosong! Seseorang tengah duduk
di sana. Menatapnya dengan tatapan redup...
"Rima!" desahnya sambil mencoba bangun. Tetapi dia
mengaduh kembali sambil memegangi kepalanya.
Tubuhnya terkulai lemas ke lantai.
Rima bangkit dari kursinya begitu melihat
pemandangan yang menyedihkan itu. Dihampirinya
Pranata. Dibantunya lelaki itu berdiri. Dia hampir muntah
mencium bau alkohol yang keluar dari mulut lelaki itu.
Tetapi dipaksanya dirinya memapah Pranata ke kursi.
"Rima..." desis Pranata seperti meracau. "Tika...
Tika..."439
"Tika sangat membutuhkanmu," sahut Rima lirih.
"Saya mohon Pak Pranata mau menolongnya. Saya reia
menyerahkan diri saya jika Pak Pranata mau datang
menemuinya...."
Sambil mengucapkan kata-kata yang terakhir itu,
tangan Rima telah bergerak untuk melepaskan pakaiannya.
Dia rela menjadi pelacur sekali-pun asal anaknya tertoiong!
Dia tidak tahan lagi melihat keadaan Tika. Seseorang harus
menolongnya! Dan cuma lelaki ini yang dapat menolong
anaknya!
"Jangan!" Pranata merenggut tangan Rima dengan
segera. "Saya akan menemui Tika... sekarang! Biar saya
harus merangkak sekalipun, saya akan menemuinya!"
*** Pertemuan itu sangat mengharukan bagi siapa pun yang
melihatnya. Diam-diam Rima merasa air matanya meleleh
ke pipinya. Soni pun merasa terharu. Sampai tak mampu
mengucapkan kata-kata.
Pranata dan Tika saling berpelukan sambil menangis.
"Tadi malam Bapak datang, Paman!" erang Tika
sambil menangis. "Katanya Tika nggak boleh nangis lagi.
Tika mesti sekolah. Mesti jadi guru kayak Bapak! Guru
tidak perlu kaki! Guru perlu otak dan hati!"
"Paman tahu," kata Pranata mantap. Didekapnya
anaknya erat-erat. Anak perempuannya. Anak kandungnya! Mengapa dia baru tahu setelah anaknya kehilangan
kaki? Tetapi kehilangan apa pun, dia tetap anaknya!440
Pranata rela melakukan apa pun demi Tika... "Bapak juga
datang menemui Paman."
Rima menatap Pranata dengan bingung. Hampir tidak
percaya mendengar kata-katanya. Seriuskah dia? Tidakkah
dia hanya mendustai Tika untuk menghiburnya? Pak Ian
datang menemuinya juga? Jadi... Tika tidak bermimpi?
"Bapak bilang apa?" desak Tika sambil terisak-isak.
"Bapak bilang begitu juga. Tika tidak boleh nangis.
Dan harus sekolah lagi."
"Bapak janji mau datang lagi."
"Bapak pasti datang lagi. Tapi kata Bapak, selama
Bapak tidak ada, Paman-lah yang harus menggantikan
menemani dan menjagai Tika."
"Tapi Tika nggak bisa ikut ke sanggar lagi, Paman!"
Tika mulai menangis lagi. "Tika nggak bisa jalan. Nggak
bisa menari! Tika buntung!"
"Paman akan ajari Tika menari. Paman bersumpah,
akan mengikut-sertakan Tika dalam karya-karya Paman.
Kalau perlu, Paman akan menyiapkan karya khusus untuk
penari yang kehilangan kaki seperti Tika!"
Dari dalam pelukan Pranata, Tika memandang ke arah
ibunya. Yang tegak mematung di dekat pintu dengan air
mata berlinang. Alangkah kurusnya Ibu sekarang!
Alangkah pucatnya wajahnya tanpa secuil makeup pun!
"Bapak pergi atas kemauan Bapak sendiri," terngiang
lagi di telinganya kata-kata ayahnya. "Bukan salah Ibu."
Jadi selama ini Tika telah keliru menyalahkan ibunya.
Bapak pergi atas kemauannya sendiri!
Tika merasa bersalah kepada ibunya. Dia ingin minta
maaf. Ingin lari memeluknya...441
Tapi ingat kakinya, Tika membatalkan desakan
hatinya. Dia sudah tidak bisa berlari! Dia buntung! Tika
ingin menangis keras-keras setiap ingat kakinya. Dan
perasaan sesalnya langsung lenyap.
Gara-gara Ibu dia buntung! Kalau Ibu tidak marahmarah karena Tika bolos sekolah, kecelakaan itu tidak
bakal terjadi! Tika tidak akan menjadi buntung! Cacat!
Tetapi... apa sebenarnya yang dilakukan Ibu? Ibu
hanya menyuruhnya sekolah. Sama seperti Bapak. Ibu
melarangnya bolos. Apa bedanya dengan Bu Lies? Dengan
Bapak Kepala Sekolah? Dengan guru-gurunya yang lain?
Mereka juga menyuruhnya.
*** Tika masih memeluk Pranata ketika peristiwa itu terjadi.
Masih menatap ibunya dengan berbagai perasaan dari balik
bahu Paman Pranata ketika kedua orang yang berseragam
itu menghampiri Ibu. Dan entah mengapa, begitu melihat
sikap mereka yang demikian resmi, tiba-tiba saja Tika
merasa tidak enak. Merasa takut. Merasa kecemasan yang
tidak diketahui dari mana datangnya, merasuk ke hatinya.
Lebih-lebih ketika dia merasa lengan Paman Prana yang
masih memeluknya mendadak mengejang.
"Ibu Rima Permatasari?" sapa salah seorang di antara
kedua orang itu.
Rima mengangguk kaku. Seperti sudah merasa apa
yang akan terjadi. Sudah tahu dari mana orangorang ini
berasal. Dan apa yang mereka ke-hendaki.442
"Maaf terpaksa mengganggu Ibu di sini. Kami sudah
beberapa kali datang ke rumah, dan Ibu selalu tidak ada."
"Anak saya mendapat kecelakaan..." sahut Rima
gugup.
"Kami tahu. Kami hanya mengantarkan surat
panggilan ini. Ibu diminta datang untuk memberi
keterangan."
Tepat pada saat Soni juga sedang berpaling ke
arahnya. Sesaat mereka saling tatap. Sesaat Soni merasakan
kebingungan di mata wanita itu. Untuk pertama kalinya,
dia membaca rasa takut di mata Rima. Dan Soni merasa
hatinya nyeri. Sakit karena tidak dapat menolong
perempuan yang dicintainya ketika Rima sangat membutuhkan pertolongannya.
"Maaf, Pak," sela Soni kaku, tatkala Rima mengulurkan tangannya untuk menerima surat panggiian itu.
"Bolehkah kalau saya minta Ibu Rima didampingi oleh
seorang pengacara ketika dimintai keterangan?"
*** Dokter Elsie gagal meyakinkan tim dokter ahli yang
memeriksanya bahwa dia tidak bersalah. Dia hanya
menolong pasiennya yang keguguran. Tetapi memang
tidak ada bukti yang menguatkan pernyataannya. Dia tetap
dituduh melakukan abortus provocatus tanpa indikasi
medis terhadap pasiennya.
"Menurut Pasal 348 ayat 1 KUHP, Dokter Elsie bisa
dihukum lima tahun enam bulan karena melakukan
pengguguran kandungan dengan seizin pasiennya," kata443
Wibowo, S.H. pengacara yang diminta Soni untuk
mendampingi Rima sebagai penasihat hukumnya. "Selain
itu, izin prakteknya bisa dicabut."
"Apa yang harus saya lakukan untuk menolongnya,
Pak?" desah Rima dengan perasaan bersalah.
"Menolongnya?" Wibowo mengangkat alisnya
dengan heran. Perempuan apa yang duduk di hadapannya
ini, yang masih memikirkan menolong orang lain pada saat
dirinya sendiri perlu ditolong?
"Anda harus memikirkan diri Anda sendiri. Menurut
Pasal 346, Anda bisa dituntut empat tahun penjara!"
*** Rima tidak tahu kedatangan siapa yang memberi pengaruh
lebih besar pada Tika. Bapaknya... kalau benar Pak Ian-lah
yang datang menjenguk Tika... atau Pranata.... Yang jelas,
kemajuan Tika terasa sekali.
Dia masih tetap murung. Masih tetap sering menangis
sendiri. Masih diliputi kesedihan setiap kali ingat kakinya.
Tetapi keadaannya sudah jauh lebih baik. Depresinya
mulai dapat diatasi. Semangat hidupnya mulai timbul
kembali. Pranata selalu mendampinginya. Membangkitkan
semangatnya. Menghiburnya.
Ketika Tika sudah boleh keluar dari rumah sakit,
Pranata-lah yang dengan telaten melatihnya berjalan
dengan kaki palsunya. Dia yang dengan tekun
mengajarnya menari. Dengan gigih Pranata menempa
Tika agar tidak berputus asa.444
Sering dia mengajak Tika berdua saja ke suatu tempat.
Ke sanggar. Atau ke rumahnya. Kini Rima memang tidak
melarang lagi. Dia insaf, keliru mengusir Pranata keluar
dari hidup Tika. Mereka tidak mungkin dipisahkan lagi.
Pranata tidak pernah menceritakan kepada Rima apa
yang dikatakan Pak Ian dalam pertemuan mereka. Dia juga
tidak pernah menanyakan kepada Rima apakah benar Tika
anak kandungnya.
Dia hanya sering tepekur menatap Tika. Mengawasinya dengan diam dan lama. Pranata memang sering
menangis seorang diri kalau ingat Tika. Meskipun di
depan anaknya, dia tidak mau memperlihatkan
kesedihannya.
Sesalnya karena tidak lebih cepat mengetahui Tika
anaknya, bertambah setiap kali melihat kaki kiri Tika.
Tetapi dia tidak mau menyalahkan Rima lagi. Sudah cukup
penderitaan yang ditimpakannya kepada wanita itu.
Pranata tidak menyalahkannya karena merahasiakan siapa
Tika. Tidak mau pula menyalahkannya atas tragedi yang
menimpa anak mereka.
Semua telah terjadi. Pranata menganggap semua ini
hukuman atas dosa-dosanya. Dia harus membayar utang
dosanya dengan tersiksa seumur hidup setiap kali melihat
kaki Tika yang cacat. Tetapi... tak ada musibah tanpa
hikmah, bukan? Jika peristiwa naas itu tidak terjadi, sampai
kapan dia baru mengetahui Tika anak kandungnya?445
41 Jakarta, 1993
SIDANG pengadilan perkara Rima meraih animo yang
cukup besar. Setiap kali persidangan, ruang pengadilan
meluap oleh pengunjung. Sebagian besar wanita.
Tidak heran. Rima tokoh wanita pengusaha yang
punya nama besar. Kisahnya sudah dimuat secara luas di
majalah dan surat kabar. Penggugatnya seorang seniman
terkenal pula.
Kasusnya pun termasuk langka. Jarang seorang ibu
digugat karena menggugurkan kandungan. Apalagi oleh
laki-laki yang mengaku ayah anak itu.
Meskipun Pranata sudah berkali-kali mengatakan
ingin membatalkan tuntutannya, jaksa tidak mau mundur.
Nyawa seorang manusia kecil telah menjadi korban. Jika
benar ini kasus pengguguran kandungan, keadilan harus
ditegakkan. Yang bersalah harus dihukum.
Dan sampai sebegitu jauh, pembela belum mampu
menampilkan seorang saksi pun yang menguntungkan
Rima. Sementara jaksa yang mengajukan Dokter Elsie dan
Pranata sebagai saksi, sudah melangkah begitu jauh ke446
depan. Merasuk keyakinan semua orang di ruang
pengadilan itu atas kebersalahan Rima.
Pranata yang diajukan sebagai saksi, sebenarnya sudah
menolak memberikan kesaksian. Tetapi jaksa mengharuskannya.
"Di sini ada kewajiban bagi setiap warga negara untuk
memberikan kesaksian bila dibutuhkan untuk menegakkan
hukum dan keadilan. Jika Anda menolak memberikan
kesaksian yang diminta oleh pengadilan, Anda dapat
dikenakan sanksi menurut Pasal 522 KUHP."
Akhirnya terpaksa Pranata duduk di kursi saksi,
meskipun sebenarnya dia enggan. Meskipun sebenarnya
jiwanya menjerit penuh penyesalan.
Apa yang harus dilakukannya? Mengungkapkan
rahasia yang diceritakan Pak Ian? Memberi malu Rima
sekaligus membuat shock Tika?
Bagaimana caranya memberikan kesaksian semacam
itu kalau jaksa tidak pernah memberi kesempatan? Tidak
pernah menyinggungnya sama sekali? Setiap kali Pranata
mencoba menyimpang keluar dari rel, dia langsung
diperingatkan agar hanya menjawab apa yang ditanyakan.
"Berapa lama Anda telah mengenal tertuduh?"
"Kira-kira tujuh belas tahun," sahut Pranata setelah
lama berpikir.
"Mengenal dengan baik?"
"Ya."
"Bagaimana Anda berkenalan?"
"Rima bekerja pada ibu saya."
"Sebagai apa?"447
Sesaat Pranata tampak resah. Matanya berkeliaran
dengan gelisah ke arah Rima. Tetapi Rima membalas
tatapannya dengan tenang.
"Sebagai apa, Pak Pranata?"
"Pembantu," sahut Pranata terpaksa.
"Hubungan kalian cukup erat?"
Pembela segera mengajukan protes.
"Pertanyaan itu tidak ada kaitannya dengan perkara
ini, Pak Hakim!"
"Saya hanya ingin mengungkapkan, sebenarnya sudah
lama terjalin hubungan erat antara tertuduh dan saksi.
Ketika tertuduh ditinggalkan suami selama dua tahun dan
bertemu kembali dengan saksi, segala sesuatu bisa
terjadi...."
Pranata memejamkan matanya dengan kepala pusing.


Mahligai Di Atas Pasir Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tidak mau mendengarkan argumentasi para ahli hukum
itu lagi. Suara mereka seperti deru mesin pesawat tempur
yang meraung-raung di udara.
Sudah gilakah aku? Mengapa aku harus menuntut
Rima? Bukankah seharusnya aku yang dituntut untuk apa
yang telah kulakukan padanya?
Hati Pranata tidak henti-hentinya memprotes.
Rasanya dia ingin menjerit sekuat-kuatnya untuk melampiaskan kepengapan dadanya. Tetapi mereka tidak
mengerti! Mereka tidak henti-hentinya mendesak.
Bertanya. Dan bertanya lagi!
"Mengapa malam itu Anda menemui tertuduh?"
"Mengabarkan anaknya sakit. Harus dirawat di rumah
sakit."448
"Bagaimana Anda tahu di mana harus menemui
tertuduh malam itu?"
"Anak sulungnya mengatakan, ibunya menelepon
Dokter Elsie." Pranata ingin menggigit lidahnya sampai
putus karena harus mengatakannya. Tetapi apa lagi yang
harus dikatakannya? Dia telah disumpah untuk mengatakan hanya yang benar saja, bukan?
"Untuk apa tertuduh menelepon Dokter Elsie?"
"Tidak tahu."
"Kalau tidak tahu, mengapa Anda langsung
menelepon Dokter Elsie?"
"Hanya sekadar bertanya, barangkali dia tahu ke mana
Rima."
"Mengapa Anda menduga Dokter Elsie tahu ke mana
tertuduh pergi?"
"Karena saya tidak tahu lagi ke mana harus mencarinya."
"Apa yang dikatakan putri sulung tertuduh
sebenarnya, sampai Anda menduga Dokter Elsie tahu di
mana tertuduh berada?"
"Saya tidak menduga..."
"Tolong ulangi lagi apa yang dikatakan oleh putri
sulung tertuduh, Pak Pranata."
"Saya tidak ingat seluruhnya..."
"Putri sulung tertuduh mengatakan Ibu ada janji
dengan Dokter Elsie, karena itu Ibu pergi ke sana?
Bukankah itu yang Anda ceritakan pertama kali ketika
mengajukan gugatan, Pak Pranata? Kalau Anda lupa, kami
masih mempunyai rekamannya."449
Pranata tidak menjawab. Dia hanya mampu
mengepalkan tinjunya erat-erat menahan perasaannya.
"Benarkah saat itu Anda menanyakan kepada putri
sulung tertuduh ibunya sakit apa dan anak itu menjawab
Ibu sehat? Tidak sakit apa-apa?"
Habislah semua. Habis. Pranata hanya mampu
mengatupkan rahangnya rapat-rapat.
Semua terlukis begitu jelas. Begitu gamblang.
Perempuan yang keguguran tidak mungkin sempat
membuat janji lebih dulu dengan dokternya sehari
sebelumnya, bukan? Apalagi kalau dia sehat. Tidak sakit
apa-apa! Buat apa dia menemui dokter?
Kesaksian Dokter Elsie lebih kacau lagi.
"Rima memang pasien saya. Dia melakukan antenatal
care, pemeriksaan kehamilan, pada saya. Dan pemeriksaan
kehamilan dilakukan rutin sebulan sekali sampai umur
kehamilan dua puluh delapan minggu, tidak perlu
menunggu sampai pasien jatuh sakit baru datang mengunjungi dokternya...."
Tetapi Dokter Elsie tetap tidak berhasil meyakinkan
hakim, bagaimana kecelakaan itu bisa terjadi. Bagaimana
pasiennya dapat mengalami keguguran tepat pada saat dia
melakukan pemeriksaan kehamilan?
Ada bukti lain yang lebih melemahkan pernyataannya.
Kalau pemeriksaan kehamilan dilakukan di kamar praktek
di lantai dasar rumahnya seperti kesaksian Pranata,
bagaimana Rima bisa jatuh dari tingkat dua?
***450
"Tidak ada harapan sama sekali," keluh Wibowo, S.H. di
depan Rima dan Soni. "Tidak ada bukti yang dapat
meringankan tuduhan ini. Hanya dua hal yang mungkin
dapat meringankan hukuman. Tertuduh belum pernah
dihukum. Dan perbuatannya dilakukan karena rasa malu.
Untuk menutupi nama baik semata-mata."
"Bagaimana kalau kita dapat mengajukan saksi yang
memberi kesaksian tertuduh diperkosa? Dipaksa melayani
keinginan lelaki itu? Tidak ada hukum yang mengharuskan seorang wanita mengandung anak hasil perkosaan,
bukan?"
"Soni!" bentak Rima marah.
"Kamu harus membela diri, Rima! Sudah saatnya
kamu berterus terang!"
"Maaf, Ibu Rima," sela Wibowo, S.H. bersemangat.
"Kalau benar Pranata Raya memperkosa Anda..."
"Anak bungsu Rima menyaksikan ibunya dipaksa
melayani keinginan laki-laki itu di lantai kamarnya,"
potong Soni tanpa menghiraukan kemarahan Rima.
"Tapi anak itu baru berumur delapan tahun..."
"Tidak akan kubiarkan Bulan datang ke pengadilan!"
kata Rima tegas. "Menjadi saksi ibunya terlalu berat bagi
seorang anak seumur dia!"
"Tapi cuma dia harapan satu-satunya, Rima! Cuma
Bulan yang dapat membebaskan ibunya dari hukuman!"
"Tidak!" sahut Rima gigih. "Kalau masih ada yang
dapat kulakukan untuk menghindarkan anak-anakku dari
trauma psikis yang lebih berat lagi, apa pun akan
kulakukan, penjara sekalipun taruhannya!"451
Cuma kebetulan Tika mendengar kata-kata ibunya
kcpada Oom Soni itu. Tetapi kata-kata itu tidak mau
hilang juga dari benaknya.
"Kenapa Ibu harus masuk penjara, Paman?" Itulah
pertanyaannya yang pertama begitu bertemu dengan
Pranata. "Kenapa Ulan harus jadi saksi?"
Sesaat Pranata tertegun. Ditatapnya Tika dengan
bengong. Melihat sikap pamannya, Tika merasa kecemasan
yang belum pernah dirasakannya menjalari hatinya.
"Paman!" Diguncang-guncangnya tangan Pranata
dengan panik. "Betul Ibu bakal masuk penjara?"
Pranata tidak dapat menjawab. Ditatapnya Tika
dengan nanar. Ketika dilihatnya air mata Tika, dia tahu apa
yang mesti dilakukannya.
*** Wibowo, S.H. mengangkat mukanya dan mengawasi
lelaki di hadapannya dengan heran.
"Bapak siapa? Mengapa ingin memberikan kesaksian
dalam perkara Ibu Rima Permatasari?"
"Nama saya Ian Basuki. Suami Rima Permatasari.
Bolehkah seorang suami memberikan kesaksian yang
mungkin dapat meringankan tuduhan atas istrinya? Rima
tidak seperti apa yang ditulis majalah-majalah dan surat
kabar itu. Dia tidak mungkin menggugurkan
kandungannya!"
Wibowo, S.H. belum sempat menutup mulutnya.
Belum sempat menurunkan rasa kagetnya ketika seorang
pria lain masuk ke kantornya.452
"Maaf memaksa masuk dengan cara begini, Pak
Wibowo," kata laki-laki yang baru masuk itu. "Bapak
sudah kenal saya. Nama saya Pranata Raya. Saya akan
memberi pengakuan tertulis. Saya telah memperkosa Rima
Permatasari. Apakah pengakuan ini dapat menggantikan
kesaksian Bulan?" Sesudah mengucapkan kata-kata itu,
dengan tenang Pranata berpaling pada lelaki di sebelahnya.
"Biarkan Tika tetap menjadi anakmu. Rima juga
menghendaki demikian."
"Jika dapat meringankan tuduhan atas diri Rima, saya
akan menceritakan semuanya. Saya kira, Tika bisa
menerimanya. Demi ibunya."
"Sudah cukup penderitaannya, Pak Ian. Jangan
kacaukan lagi pikirannya."
"Jika dia boleh memilih, saya yakin, Tika akan
menyetujui tindakan saya ini. Saya kenal Tika."
"Dan dia sangat menyayangimu. Biarkan dia tetap
menganggapmu bapaknya."
"Apakah saya boleh tahu apa yang terjadi?" sela
Wibowo, S.H. bingung.
Pranata menoleh ke arah pengacara itu dengan
tenang.
"Katakanlah, apa lagi yang harus saya lakukan untuk
meringankan tuduhan terhadap Rima? Saya bersedia
melakukan apa saja untuknya!"
*** Rima mengawasi Tika dengan perasaan heran. Tidak
biasanya Tika bersikap demikian terhadapnya. Sejak tadi453
dia memang diam saja. Tetapi begitu Rima melangkah ke
kamar, Tika mengikutinya.
Dia membuntuti ibunya terus. Ketika Rima masuk ke
kamar, Tika berhenti di ambang pintu. Menatap ibunya
dengan tatapan ganjil.
"Ada apa, Tika?" tanya Rima heran.
Ditatapnya mata anaknya dengan cermat. Ada sesuatu
di mata itu yang berubah. Itu bukan mata Tika yang
dikenalnya tiga tahun terakhir ini... Itu mata Tika kecilnya.
Anak sulungnya yang dulu.
Sebelum dia memusuhi dan menjauhi ibunya....
Tanpa dapat menahan perasaannya lagi, Rima meraih
Tika ke dalam pelukannya. Dan untuk pertama kalinya
setelah sekian lama, Tika tidak meronta. Tidak membeku
dalam pelukan ibunya. Dia malah balas merangkul.
Rima merasa keharuan yang tidak dapat diuraikan
dengan kata-kata menyeruak ke hatinya. Dibiarkannya
Tika menyelusupkan kepalanya ke dalam pelukannya. Dan
merasakan kedamaian yang telah lama berlalu dari hatinya
kembali bersemi.
Lama mereka saling rangkul tanpa dapat
mengucapkan sepatah kata pun. Alangkah damainya hati
ini! Betapa sejuk menikmati kembali kasih ibu yang telah
lama hilang dari nuraninya... Betapa bahagia memiliki
kembali kelembutan dan kehangatan pelukan ibunya....
"Ibu" desis Tika, masih dalam pelukan ibunya. "Ibu
nggak usah masuk penjara, kan?"
Sejenak Rima terpana. Ketika merasakan tubuh ibunya
tiba-tiba membeku, Tika segera merenggangkan pelukannya. Dan menatap ibunya dengan ketakutan.454
"Ibu...?" desahnya cemas.
Rima tidak menjawab. Karena dia tahu, begitu dia
membuka mulutnya, tangisnya pasti pecah.
Ya Tuhan! Mengapa baru diperolehnya kembali
anaknya yang hilang ketika dia telah sampai di ambang
pintu penjara?
Ketika Tika meiihat setitik air mata yang tersembul di
sudut mata ibunya, dia langsung mendekap ibunya sambil
menangis.455
42 "BAPAK!" jerit Tika dan Bulan berbareng ketika melihat
ayah mereka melangkah tertatih-tatih memasuki rumah.
Ian menerima anak-anaknya dalam pelukannya
dengan air mata berlinang. Didekapnya mereka erat-erat.
Tanpa mampu mengucapkan sepatah kata pun. Baru
setelah tangis Tika dan Bulan agak mereda, Ian dapat
mengangkat kepalanya untuk menoleh pada Rima, yang
tengah terpana mengawasinya.
"Apa kabar, Rima?" sapanya lirih.
Rima tidak menjawab. Begitu banyak pertanyaan
yang hendak diajukannya kepada suaminya. Begitu
banyaknya sampai dia tidak mampu mengucapkannya.
"Pranata kirim salam padamu," kata Ian pula. "Dia
tidak mau datang. Tidak mau melihat pertemuan Tika
dengan saya. Pak Wibowo juga minta saya menyampaikan
padamu agar tidak menguatirkan apa-apa lagi. Kita telah
mempunyai dua orang saksi yang mungkin dapat
meringankan tuduhan atas dirimu."
Sekali lagi Rima hanya dapat membisu. Semuanya
terjadi dengan begitu cepat. Di luar dugaan, tiba-tiba saja
suaminya kembali. Rasanya seperti mimpi.456
"Maafkan saya, Rima," kata Ian setelah mendapat
kesempatan berdua saja dengan istrinya. "Kepergian saya
ternyata telah membuatmu dan anak-anak sangat menderita."
"Setiap penderitaan pasti ada hikmahnya, Pak," sahut
Rima tenang. "Yang penting adalah bagaimana kita
menerapkan pengalaman pahit itu untuk menyongsong
masa depan."
"Ternyata kamu masih tetap perempuan paling hebat
yang pernah saya kenal, Rima. Saya bangga dan kagum
padamu."
"Saya juga tidak luput dari kesalahan, Pak. Cacat Tika
sebagian akibat kesalahan saya juga."
"Jangan salahkan dirimu, Rima. Kamu tidak bersalah."
"Mula-mula saya terlalu sibuk mengejar karier sampai
menomorduakan keluarga," kata Rima lirih. "Saya tidak
pandai menjaga perasaan suami dan meremehkannya.
Ketika kesadaran merasuki diri saya, saya ingin kembali.
Tetapi anak-anak menolak saya. Bapak mengalah dan
pergi untuk memberikan kesempatan pada saya memiliki
kembali anak-anak saya. Tetapi saya telah menyia-nyiakan
kesempatan itu. Saya terlalu keras pada Tika. Tidak
memahami jiwa anak saya sendiri. Dan saya hampir
kehilangan dia untuk selama-Iamanya..."
"Rima..." Ian memeluk istrinya dengan lembut. Lebih
bersifat pelukan seorang bapak dari pada suami. Dan
memang itulah sosok Ian dalam kalbu Rima. Figur bapak.
Guru. Bukan suami. "Saya juga telah bersalah karena
meninggalkan kalian. Membuatmu dan anak-anak
menderita. Tapi semua sudah terjadi. Tidak ada gunanya
lagi disesali. Marilah kita mencoba melihat ke masa depan.457
Pengalaman memang guru yang paling bijaksana.
Meskipun kadang-kadang keras dan kejam."


Mahligai Di Atas Pasir Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa rencana Bapak sekarang?"
"Saya akan kembali ke rumah saya. Dan mengurus
perceraian kita."
"Bagaimana dengan anak-anak?"
"Hampir tiga tahun mereka telah hidup bersamamu.
Saya pikir mereka sudah bisa hidup tanpa saya."
"Bagaimanapun, mereka pasti masih memerlukan
Bapak. Lebih-lebih Tika."
"Saya akan tetap berada di dekat mereka, kapan saja
mereka memerlukan saya. Tapi kamu memerlukan seorang
lelaki lain, Rima. Kalau saya masih boleh bertanya, yang
mana yang akan menjadi pengganti saya kelak?"
"Saya akan memikirkannya sesudah kita resmi
bercerai," sahut Rima lembut tapi tegas. "Kalau saya
menikah lagi, saya ingin ada cinta dan respek dalam
perkawinan kami. Tanpa cinta dan respek, perkawinan
ibarat mendirikan mahligai di atas pasir."
"Kalau begitu saya tahu, kira-kira lelaki mana yang
akan kamu pilih," kata Pak Ian lunak.
"Mudahmudahan kali ini kamu tidak salah pilih lagi."
"Di mana Bapak tinggal selama tiga tahun ini?
Sudahkah Bapak menemukan pengganti saya?"
Ian tersenyum letih.
"Tiga tahun saya berkelana. Tidak pernah menetap
lebih lama dari lima hari di suatu tempat. Sampai sekarang
saya belum menemukan penggantimu, Rima. Tapi saya
yakin, suatu hari saya pasti dapat menemukannya."458
"Mengapa Bapak tidak menetap di sini saja? Kembali
mengajar seperti dulu. Bapak tidak perlu lagi melarikan
diri, bukan? Saya kira sesudah melalui demikian banyak
cobaan, saya dan anak-anak telah dapat menerima
kenyataan dan berhasil mengatasinya."
*** "Saya tidak setuju!'" protes Rima keras, begitu tahu
kesaksian apa yang akan diberikan oleh Pak Ian dan
Pranata. "Jangan menyiksa Tika lagi dengan kesaksian
yang membuatnya bingung. Dia sudah cukup menderita!"
"Saya yang akan bicara dengan Tika," potong Pak Ian
segera. "Saya tahu bagaimana harus mengatakannya."
"Apa pun yang Bapak katakan, pasti akan
membuatnya shock. Dia sudah menganggap Bapak
sebagai ayahnya! Biar cuma kita yang mengetahui rahasia
ini!"
"Kalau ada hal yang paling ingin saya rahasiakan di
dunia ini..." gumam Pak Ian lirih.
"Karena itu jangan buka rahasia kita, Pak! Lebih-lebih
pada Tika!"
"Jika masih ada jalan lain untuk menolongmu, akan
saya tempuh apa pun yang harus saya korbankan, Rima..."
"Tapi jangan menempuh jalan ini, Pak! Saya mohon,
jangan korbankan Tika!"
"Saya tidak rela kalau kamu dihukum padahal tidak
bcrsalah, Rima! Dan saya yakin, Tika pun tidak reia!"459
*** Tika memandang kedua laki-laki itu berganti-ganti
dengan tatapan heran.
"Ada apa, Pak? Paman?" gumamnya bingung.
Melihat sikap Paman Prana dan ayahnya, tiba-tiba saja
Tika merasa panik. Matanya yang memancarkan rasa takut
berkeliaran dengan resah antara kedua pria itu.
"Ibu...?" bisiknya gemetar mencetuskan kata yang
tidak ingin diucapkannya itu.
"Tika..." Pak Ian menarik napas panjang sebelum
membuka pembicaraan. Dia menunggu sesaat. Tetapi
ketika dilihatnya Pranata diam saja, dia memutuskan dialah
yang akan berbicara lebih dulu. "Bapak dan Paman Prana
ingin bicara dengan Tika."
"Soal Ibu?" potong Tika panik. Matanya menatap
ayahnya dengan resah. "Ibu nggak masuk penjara kan,
Pak?" Ketika dilihatnya sikap ayahnya meragukan, cepatcepat dia menoleh ke arah pamannya. "Paman?!" Tika
mengguncang-guncang tangan Pranata dengan gugup.
"Nggak kan, Paman?"
"Tika nggak mau Ibu masuk penjara, kan?" gumam
Pranata terpaksa. "Tika mau menolong Ibu?"
"Apa yang harus Tika perbuat?"
Pranata sudah membuka mulutnya. Tapi Pak Ian
segera mendahuluinya.
"Tunggu dulu, Tika. Bapak ingin tanya dulu. Tika
sayang Paman Prana?"
"Tentu dong."460
"Tika mau punya ayah Paman Prana?"
Tika menatap ayahnya dengan heran. Lambat-lambat
dengan perasaan bingung, dia mengangguk.
"Kalau harus memilih, siapa yang Tika pilih? Paman
Prana atau Bapak?"
"Pilih apa?" Tika mengerutkan dahinya dengan
bingung.
"Pilih Bapak atau Paman Prana sebagai ayah Tika?"
Lama Tika melongo heran. Menatap ayahnya dengan
bingung. Lalu lambat-lambat tatapannya yang penuh
tanda tanya itu beralih ke arah pamannya. Seakan-akan
ingin bertanya. Tapi Paman Prana diam saja. Hanya
membalas tata-pannya dengan redup.
"Dua-duanya," sahut Tika akhirnya. Lirih. Perlahan.
Pak Ian meraih Tika ke dalam pelukannya. Didekapnya
gadis kecil itu erat-erat. Sekaranglah saatnya. Sekarang. Dia
harus mengatakan sesuatu yang paling tidak ingin dikatakannya. Hatinya serasa dicabik-cabik cemeti ketika
bibirnya bergetar membisikkan kata-kata itu.
"Tika ingat waktu Tika menanyakan ayah Tika
yang sebenarnya?"
Tika mengangguk setelah berpikir sebentar.
"Kata Bapak, Tika anak Bapak," katanya lirih. Masih
diliputi perasaan bingung.
"Tika memang anak Bapak," suara Pak Ian basah dan
berat menahan perasaannya. "Bapak yang membesarkan
dan merawat Tika. Bapak sayang sekali pada Tika. Tetapi
Paman Pranalah ayah Tika yang sebenarnya."461
Dengan hati hancur Pak Ian merasakan tubuh Tika
membeku dalam pelukannya. Sebelum dia meronta lepas
dari dekapannya dan menatapnya dengan tatapan tegang.
Sambil menahan perasaannya, Pak Ian membalas
tatapan Tika. Untuk sesaat mata mereka saling bertemu.
Ya Tuhan, keluhnya dalam hati. Betapa aku mencintai
anak ini!
Dia ingin memeluk Tika. Ingin mendekapnya eraterat. Tidak ingin melepaskannya lagi. Seolah-olah tidak
mau memberikannya kepada orang lain... Ayah
kandungnya sekalipun!
Tetapi Tika sudah melepaskan dirinya. Dan berbalik
ke arah Pranata.
"Paman?" tanyanya seperti bertanya.
Tetapi Pranata tidak menjawab. Tidak bergerak. Dia
hanya membalas tatapan Tika dengan redup.
"Betul Paman Prana ayah Tika?" desak Tika
penasaran.
Lama Pranata membisu. Sebelum perlahan-lahan
menganggukkan kepalanya.
"Tika nggak sedih kan kalau kenyataannya Pamanlah
ayah Tika, bukan Bapak?"
Tentu saja Tika menyukai Paman Prana.
Menyenanginya. Menyayanginya. Tetapi menjadi ayahnya? Menggantikan Bapak? Sebelum Bapak kembali, oke.
Tapi sesudah Bapak kembali?
"Jika Tika menginginkan Ibu bebas, Tika harus dapat
menerima kenyataan ini," kata Pak Ian ketika melihat
keraguan melintas di mata Tika. "Supaya Ibu jangan sedih
karena terpaksa mengatakan hal yang sebenarnya."462
Tika mengawasi Pak Ian dengan bimbang. Melihat
tatapan matanya yang berbaur antara ragu dan bingung,
Pak Ian langsung berjongkok di depan Tika.
"Tidak ada yang berubah, Tika. Bapak tetap ayahmu.
Meskipun Tika tidak tinggal bersama Bapak lagi,
meskipun Tika sudah mengetahui Paman Pranalah ayah
kandung Tika."
Sekarang Tika menoleh ke arah Pranata. "Bagaimana
Paman bisa menjadi ayah Tika?" desaknya penasaran.
"Paman pernah menjadi suami Ibu?"
Sekarang Pranata-lah yang menatap anaknya dengan
bingung. Haruskah dia menceritakan apa yang telah
dilakukannya kepada ibu gadis kecil ini? Tetapi ketika dia
melirik ke arah Pak Ian, lelaki tua itu menggelengkan
kepalanya.
"Belum waktunya," katanya seolah-olah kepada
Pranata.
"Suatu waktu, kalau kamu sudah besar nanti, Paman
akan berterus terang pada Tika," kata Pranata akhirnya.
"Sekarang terimalah saja kenyataan ini. Paman Prana
adalah ayah kandungmu. Kalau Tika tidak mau
menerimanya, Paman akan kecewa sekali!"
"Paman memaksa Ibu?" desak Tika gigih. "Paman
menyakiti Ibu?!"
Astaga, keluh Pranata dalam hati. Inikah hukuman atas
dosa-dosaku? Sekarang anakku sendiri menggugatku! Apa
yang harus kukatakan padanya? Tika memang baru berumur
dua belas tahun. Dia belum dewasa. Tapi dia juga bukan anak
kecil lagi! Dia sudah tidak bisa dibohongi semudah itu!463
43 KESAKSIAN Pranata dan Pak Ian memang membalikkan
persepsi terhadap Rima. Jika dulu opini umum memandang
negatif kepadanya, pandangan itu perlahan-lahan mulai
berubah.
Cerita-cerita mengenai wanita karier yang terkenal
sukses tapi menelantarkan keluarga, kejam terhadap anak
dan suami sampai suaminya melarikan diri dan anakanaknya telantar, mulai pupus. Berganti dengan
pemahaman yang simpatik.
Kini Rima bukan lagi figur wanita sukses yang bengis,
tidak berperasaan, yang tega membunuh anak dalam
kandungannya sendiri demi menjaga nama baiknya.
Cerita tentang perempuan kesepian ditinggal suami
yang main serong dengan lelaki lain, kemudian hamil dan
menggugurkan kandungan-nya, memang cerita lumrah
yang masih tetap menarik. Apalagi bila diceritakan oleh
seorang tokoh terkenal seperti Pranata.
Tetapi kesaksiannya di pengadilan justru menjungkirbalikkan opini publik yang telah telanjur mendiskreditkan
Rima. Lebih-lebih setelah Pak Ian ikut memberi kesaksian.
"Jika dianggap perlu, saya pun bersedia memberi
kesaksian." Soni tersenyum tipis. "Dalam karier saya464
sebagai seorang lady killer, saya belum pernah gagal
membawa wanita yang saya inginkan ke tempat tidur.
Tetapi Rima berhasil memaksa saya menunggu sampai di
atas ranjang pengantin kami."
"Sayang kesaksian Bung Soni tidak relevan untuk
kasus ini," sanggah Wibowo, S.H. sambil tertawa lunak.
"Kesaksian itu mungkin menguatkan opini positif terhadap
kepribadian Bu Rima. Tapi tidak meringankan tuduhan
abortus kriminalis yang dilakukannya."
"Masih ada kesaksian lain dari seorang temannya di
Amerika," sambung Soni tegas. "Ira bersedia diwawancarai
wartawan. Menceritakan apa yang telah dilakukan Rima
untuknya, ketika seluruh dunia dengan orang-orang yang
mengaku beradab di dalamnya, justru telah meninggalkannya di ambang pintu kubur."
*** Setelah melalui beberapa kali persidangan, akhirnya Rima
dibebaskan dari tuntutan dan dinyatakan tidak bersalah.
Ahli forensik yang memberi kesaksian di pangadilan
menyatakan bahwa bercak darah kering yang ditemukan
pada permadani alas tangga, ternyata mempunyai
golongan darah yang sama dengan golongan darah Rima.
Memang kenyataan itu tidak merupakan bukti kuat.
Tetapi paling tidak menyokong adanya kemungkinan
Rima jatuh dari tangga.
Kemungkinan itu diperkuat dengan kesaksian perawat
Dokter Elsie. Ketika malam itu dia mengganti pakaian465
Rima, dia melihat bercak memar di pinggul, pantat, dan
siku Rima.
Di tengah-tengah keraguan akibat tidak adanya buktibukti yang kuat, hakim akhirnya membebaskan Rima.
Keputusan ini disokong oleh kesaksian Pranata bahwa anak
yang dikandung Rima adalah hasil perkosaan. Bukan
didasari atas hubungan yang dikehendaki oleh kedua belah
pihak.
Setelah melalui hari-hari persidangan yang
meletihkan, akhirnya Rima dibebaskan dari semua
tuntutan. Meskipun kasusnya telah menjadi demikian
populer dan media massa berebut untuk memperoleh
kisahnya, Rima tetap bersikap menutup mulut.
Dia kembali ke tengah-tengah keluarganya sama
seperti ketika peristiwa tragis itu belum terjadi. Dia tetap
tegar melindungi anak-anaknya. Tetap tegas mendidik
mereka. Meskipun kini dengan lebih lembut dan penuh
pengertian.
Dia juga telah memperoleh kembali semangat dan
keberaniannya untuk memupuk kariernya, meskipun
banyak pihak mencela kesibukannya sebagai wanita karier
yang merangkap ibu rumah tangga.
Kini Rima yakin, dia mampu membagi waktunya
antara karier dan keluarga. Apalagi sesudah Soni resmi
menjadi suaminya. Dan Pak Ian tinggal di rumahnya yang
lama. Kembali mengajar di sekolah yang dulu.
Anak-anak tetap tinggal bersama Rima. Tetapi mereka
boleh berada bersama ayah mereka kapan saja mereka mau.
Tika sudah tidak menyusahkan lagi meskipun sebagai
penyandang cacat, hidup tidak terlampau mudah baginya.466
Untungnya, dia kini mempunyai tiga orang bapak yang
selalu siap membantunya. Dan dia boleh memilih kapan dia


Mahligai Di Atas Pasir Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hendak bertemu dengan salah seorang dari mereka.
Pranata semakin giat berkarya, meskipun banyak
pihak meragukan kesehatan mentalnya. Tetapi meskipun
dia bertambah nyentrik, istilah untuk seniman kalau dia
berlaku yang aneh-aneh, karya-karyanya semakin
dikagumi. Pergelaran-pergelarannya merebut sukses di
mana-mana.
Kerja kerasnya menempa Kartika pun tampaknya
mulai menampakkan hasil. Nama Tika mulai dikenal
akibat publikasi yang cukup gencar. Cacatnya malah
membuat dia lebih cepat dikagumi dan lebih cepat
mendapat simpati publik.
Hubungan Tika dengan ibunya memang belum
sedekat hubungannya dengan ayahnya atau dengan Paman
Prana. Tetapi paling tidak, sekarang Tika sudah dapat
memahami, ibunya juga menyayanginya. Walaupun
kadang-kadang dengan cara yang tidak dapat dipahaminya. Di tengah-tengah kesibukannya, Ibu sudah mau
meluangkan waktu untuk hadir dalam pementasan karyakarya Paman Prana yang menampilkan Tika. Meskipun
Ibu tetap mendesaknya agar mengutamakan pelajaran
sekolah.
Hubungan dengan Soni pun sudah mulai bertambah
baik dengan bertambahnya umur Tika. Dia mulai dapat
memahami ibunya membutuhkan seorang pendamping.
Dan Oom Soni-lah laki-laki yang paling cocok untuk Ibu.467
Soni bukan lagi merupakan ancaman bagi keutuhan
keluarga Rima. Dia mampu bertindak sebagai ayah yang
baik bagi kedua anak tirinya.
Sebagai suami, Soni juga mampu membukti
menjadi suami seorang wanita karier yang sesukses Rima
bukan hal yang mustahil. Asal tahu caranya. Saling
percaya. Saling menghargai. Dan saling mencintai.
Soni memacu dirinya agar tidak berada di bawah
istrinya. Tetapi sebaliknya, dia juga mengendalikan dirinya
sendiri agar tidak berada di atas istrinya.
Karena tempat seorang istri adalah di samp
suaminya. Bukan di atasnya. Bukan pula di bawahnya.
Created Ebook by
syauqy_arr@yahoo.co.id
kan, ing 468 http://hana-oki.blogspot.com
Hina Kelana 25 Satria Gendeng 18 Siluman Bukit Menjangan Untuk Sebuah Pengabdian 1

Cari Blog Ini