Ceritasilat Novel Online

Rajawali Merah 17

Rajawali Merah Karya Batara Bagian 17


semua orang, Pendekar Rambut Emas mengerutkan kening dan Kim-hujin terharu. Untuk dialah pemuda itu
sampai buntung. Tapi ketika Siang Le menahan rasa sakitnya dan berdiri memberi hormat, kikuk dan gugup
maka pemuda itupun membaca syair itu dengan ragu-ragu. Tidak seperti gak-bonya yang lantang dan
bersuara nyaring adalah pemuda ini sedikit perlahan dengan sesekali mendesis. Sebenarnya dia tersiksa tapi
ditahannya, rasa sakit itu kembali mengganggu. Namun ketika dua bait syair itu selesai dibaca dan semua
mengangguk, terharu, maka Bu-beng Sian-su tiba-tiba menyentuhkan lengannya ke luka pemuda itu.
"Terima kasih. Kau sudah membacakan untukku, Siang Le. Tapi sekarang duduklah dan
berhadapanlah dengan gak-bomu!"
Siang Le terkejut. Sisa sakit di pergelangan tiba-tiba lenyap. Begitu disentuh Sian-su mendadak
hilang! Dan ketika ia tertegun dan semburat girang, duduk lagi maka kakek itu berseru agar pemuda ini
berhadapan dengan gak-bonya, karena Siang Le duduk di tempatnya semula di samping ibu mertuanya itu.
"He, kataku duduk berhadapan, Siang Le. Jangan bersebelahan. Lihat dan tatap wajah gak-bomu!"
Pemuda itu terkejut.
"Kenapa terkejut? Ha-ha, gak-bomu sudah penuh sayang dan cinta kasih, Siang Le. Tak usah takuttakut dan duduklah berhadapan. Lihat wajah gak-bomu sudah sedemikian lembut!"
Pemuda ini merah padam. Ia jadi tak mengerti dan bingung oleh sikap aneh kakek dewa itu, seolah
menggoda tapi sesungguhnya serius. Kakek itu tak main-main. Dan ketika Swat Lian juga heran tapi
mempersilahkan mantunya duduk berhadapan, tahu bahwa sesuatu sedang diperlihatkan kakek itu maka sang
nyonya menyambar dan mendesis,
"Siang Le, duduklah berhadapan. Tak usah kikuk. Sian-su tentu sedang menyuruh kita mempelajari
sesuatu."
Terpaksa pemuda ini menggeser duduknya. Ia jadi malu dan likat harus berhadapan dengan gak-bonya
itu, hal yang tak pernah dilakukan apalagi dalam suasana seperti ini. Dan ketika ia menunduk dan tersipusipu, berdebar, celakanya kakek itu menyuruh dia mengangkat wajahnya, memandang sang gak-bo lekatlekat.
"He, jangan menunduk, anak muda. Tengadahkan kepala dan pandang gak-bomu itu, lihat baik-baik.
Katakan kepada semua orang bagaimana pandang matanya sekarang!"411 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
Siang Le sungguh terkejut. Ia tak tahu apa dan mau ke mana kakek itu menyuruhnya macam-macam.
Ia disuruh tengadah dan lebih gila lagi disuruh bertatapan muka dengan gak-bonya itu, sikap yang bisa dikira
kurang hormat karena bagaikan menghadapi musuh saja. Dan ketika ia menoleh dan terbelalak memandang
kakek itu, yang justeru terkekeh maka Bu-beng Sian-su berseru agar pemuda itu memandang ibu mertuanya,
bukan orang lain.
"Hei, jangan melotot ke sini. Pandang dan tatap gak-bomu itu. Katakan bagaimana sinar matanya
sekarang!"
Siang Le salah tingkah. Sebagai pemuda baik-baik dan tahu sopan santun tentu saja ia tak berani
memandang gak-bonya lekat-lekat. Apa-apaan kakek dewa ini! Tapi ketika gak-bonya tertawa dan berseru
agar dia memandang, lakukan saja apa yang dikata Sian-su maka Siang Le merah padam dan menahan malu.
"Gak-bo, maaf. Aku tak tahu apa yang dikehendaki kakek ini."
"Tak apa," Swat Lian tersenyum, mengusap dan menyentuh bahu pemuda ini mesra. "Aku juga tak
tahu apa yang dikehendaki kakek ini, Siang Le. Tapi sesuatu yang penting pasti diperlihatkan."
"Ha-ha, benar. Dan sekarang lihat pandang mata gak-bomu. itu, Siang Le. Katakan kepada semua
orang bagaimana pendapatmu!" Bu-beng Sian-su kembali berseru.
"Hm, apa yang harus kukatakan? Siang Le bingung. "Gak-bo... gak-bo tak ada apa-apa, Sian-su. Ia
wajar-wajar saja baik-baik saja!"
"Ha-ha, benarkah? Coba kau lihat baik-baik pandang matanya. Katakan kepadaku bagaimana sorot
mata gak-bomu itu!"
"Gak-bo baik-baik saja.. pandang matanya tidak apa-apa...!"
"Benarkah?"
"Benar, Sian-su. Dan ah... apa yang kau maui ini!" Siang Le tak kuat, pandang matanya beradu dengan
pandang mata yang begitu lembut dari gak-bonya. Sinar mata penuh cinta kasih tiba-tiba menyambar. Siang
Le terkejut! Dan ketika ia melengos karena sinar mata gak-bonya itu sungguh luar biasa, penuh cinta kasih
dan mesra maka pemuda ini membuang pandangan dan jantungnya terlonjak melihat sinar mata gak-bonya
itu. Bukan sinar mata seorang kekasih melainkan sinar mata seorang ibu kepada anaknya. Lembut dan hangat
dan inilah yang membuat Siang Le tak kuat. Selama bergaul, belum pernah ia melihat sinar mata gak-bonya
yang seperti ini. Biasanya, ganas dan beringas, penuh permusuhan. Kalaupun lunak maka itupun disebabkan
karena adanya orang-orang lain di situ, misalkan Pendekar Rambut Emas atau Soat Eng dan Thai Liong.
Selama ini tak ada yang tahu bahwa gak-bonya masih tetap membencinya, dan hal itu karena gurunya Seeong yang telah membunuh Hu Beng Kui, ayah gak-bonya itu. Maka begitu sang gak-bo tiba-tiba bersikap
lembut dan hangat, pandang matanya penuh cinta kasih karena saat itu Swat Lian atau Kim-hujin ini benarbenar merasa terpukul, Siang Le telah menolong dan menyelamatkan Beng An, juga dirinya sendiri dengan
darah dan buntungan tangan itu maka Kim-hujin atau nyonya Kim ini benar-benar merasa terharu
memandang menantunya itu. Siang Le tiba-tiba tampak sebagai pemuda tampan yang berbudi luhur, halus
dan tahu diri dan teringatlah nyonya itu akan perlakuan dan sikapnya selama ini. Betapa ia memusuhi dan
bahkan mengakibatkan Siang Le tak berani lagi melatih ilmu-ilmu warisan suaminya, karena ia memaksa
dan "menjepit" pemuda itu untuk menangkap atau bahkan membunuh gurunya, See-ong yang jahat. Dan
karena memang hanya nyonya ini pulalah yang tahu kenapa Siang Le tak lagi mempelajari Khi-bal-sin-kang
maupun Lui-ciang-hoat, begitu pula ilmu meringankan tubuh Jing-sian-eng dan Cui-sian Gin-kang maka
sang nyonya tiba-tiba merasa berdosa besar dan terharu memandang menantunya ini. Siang Le benar-benar
pemuda berwatak mulia dan tahu diri, luhur dan menjunjung tinggi masalah budi hingga terhadap mendiang
See-ongpun pemuda itu tak dapat dipaksa. Lebih baik pemuda itu dibunuh daripada disuruh membunuh
gurunya sendiri, begitu berkali-kali pemuda itu berkata kalau mereka bertemu dan berbicara empat mata.
Dan karena memang pemuda ini tak mampu melaksanakan perintahnya karena Siang Le adalah pemuda
yang tahu budi, luhur dan berwatak mulia maka Kim-hujin atau nyonya Kim ini tiba-tiba merasa terharu dan
berdosa besar teringat semua perbuatannya. Siang Le tak membencinya dan justeru dialah yang membenci
pemuda itu, karena teringat bayangan See-ong dan kelakuannya membunuh mendiang ayahnya. Hu Beng412 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
Kui. Dan karena terbukti hingga detik inipun pemuda itu tak membalas kebenciannya dengan benci, bahkan
tadi menolong dan mengorbankan tangan sendiri untuk menangkis Pek-kong-kiam maka Kim-hujin tiba-tiba
menangis dan keharuan serta penyesalannya menerbitkan pandang mata yang penuh cinta kasih itu. Pandang
mata yang membuat Siang Le tak kuat dan menjadi terkejut. Sinar atau pandang mata yang memang belum
pernah diterima atau dirasakan pemuda ini. Siang Le adalah pemuda sebatangkara sejak dia diambil gurunya
See-ong, tokoh sesat itu. Maka begitu pemuda ini menerima pandang mata yang luar biasa itu, pandang mata
yang belum pernah diberikan gak-bonya maka pemuda ini tersentak dan membuang muka ke arah Bu-beng
Sian-su. Swat Lian atau Kim-hujin ini memang secara otomatis memberikan pandang matanya itu, pandang
atau sinar mata yang terjadi karena keharuan dan sesal besar, juga rasa terima kasih karena justeru dari
tangkisan pemuda itulah dia selamat dari kutuk pedang pusakanya sendiri. Dan yang lebih membahagiakan,
adalah sembuhnya Beng An dari pengaruh jahat Bu-siang-sin-kang. Darah pemuda itulah yang membuat
puteranya sembuh. Darah pemuda inilah yang membuat Pek-kong-kiam maupun Bu-siang-sin-kang hancur.
Darah suci seorang pemuda! Maka begitu Kim-hujin memandang dan nyonya itu semakin terharu karena
Siang Le tak berani menatapnya terang-terangan, sikap serta sopan santun yang tinggi ini maka nyonya ini
tak terasa lagi terisak dan menangis menyambar pemuda itu.
"Siang Le, aku berhutang budi kepadamu. Ah, benar kata Sian-su bahwa kelak aku akan berhutang
budi kepadamu!"
Siang Le menjadi terkejut lagi. Gak-bonya itu tiba-tiba menubruk dan merangkulnya, mengguguk dan
tahu-tahu menangis di pundaknya. Dan ketika ia terkejut sementara Pendekar Rambut Emas maupun puteraputerinya juga terkejut, heran, maka wanita ini sudah tersedu-sedu dan mencengkeram atau meremas-remas
bahu pemuda ini. Siang Le gugup dan jengah. Ia kebingungan karena berkali-kali gak-bonya itu lalu berkata
terima kasih kepadanya, tersendat-sendat meminta maaf dan kelakuannya sungguh berobah dengan dahulu.
Ibu mertua yang dulu masih menyimpan benci dan rasa tak suka ini mendadak sekarang bersikap begitu
lembut. Tangis dan kata-katanya penuh penyesalan. Dan ketika sebuah kecupan sayang mendarat di kening
pemuda ini, Siang Le tersentak, maka Kim-hujin atau gak-bonya itu melepaskan diri.
"Siang Le, katakan kepada semua orang bagaimana sikap atau pandang mataku kini. Dan katakan
kepada semua orang bagaimana sikap dan pandang mataku dulu. Aku sudah mulai menangkap apa yang
dimaksud Sian-su!"
"Ah, kau... kau selalu baik, gak-bo. Dulu dan kini tetap sama!"
"Begitukah? Kalau begitu coba mainkan Lui-ciang-hoat atau Khi-bal-sin-kang. Bangkit dan berdirilah
dan lakukan ilmu silat itu sampai selesai!"
"Aku.. aku tak dapat. Aku lupa!"
"Lupa atau sengaja tak mau berlatih? Hayo, tunjukkan kepada semua orang ilmu silat itu, Siang Le.
Atau katakan sebab-sebabnya kenapa kau tak mau berlatih!"
Pemuda ini terkejut. Ia tiba-tiba menjadi pucat karena gak-bonya yang dulu tiba-tiba hidup, keras dan
penuh wibawa dan tiba-tiba lenyaplah sinar mata lembut itu. Gak-bonya mendadak menjadi seperti seekor
harimau galak yang siap menerkam. Ia diminta memainkan ilmu-ilmu silat itu, padahal sudah lama ia tak
berlatih dan memang tak mau berlatih, enggan karena dulu dengan warisan ilmu-ilmu itu ia diminta mencari
dan membunuh gurunya. Atau nanti dianggap tak "loyal" dan itulah sebabnya ia lalu tak mau melatih lagi
ilmu-ilmu silat keluarga Pendekar Rambut Emas. Daripada dengan ilmu-ilmu itu ia diharuskan mencari dan
membunuh gurunya lebih baik ia meletakkan dan membuang saja ilmu-ilmu itu.Dan ketika ia kemudian tak
berlatih dan akhirnya benar-benar warisan ayah mertuanya itu tak dipelajari, ia tetap seperti Siang Le yang
dulu maka sekarang pemuda ini terkejut ketika tiba-tiba saja gak-bonya itu menyuruh dia bersilat atau
memberitahukan kenapa ia tak mempelajari lagi ilmu-ilmu silat keluarga Pendekar Rambut Emas!
"Ayo... ayo, Siang Le. Lakukan jurus-jurus Khi-bal-sin-kang atau katakan kenapa kau tak mau lagi
mempelajari ilmu-ilmu silat gak-humu'"
Pendekar Rambut Emas terbelalak. Ia tiba-tiba menjadi heran dan kaget kenapa urusan ini diangkat ke
permukaan. Sebenarnya, ia juga heran dan aneh kenapa menantunya itu "mutung", seolah tak bersemangat413 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
dan tak bergairah lagi mempelajari Khi-bal-sin-kang dan lain-lain, padahal itulah warisan Bu-beng Sian-su
dan banyak orang tergila-gila! Dan ketika ia terkejut karena isterinya sudah meloncat bangun, tak sabar,
maka lebih mengejutkan lagi ketika tiba-tiba menantunya itu menangis.
"Gak-bo, apa yang hendak kau lakukan ini. Kenapa kau mengungkit-ungkit ini."
"Hm, aku hendak memberi tahu suamiku dan yang lain-lain kenapa kau tak mau lagi berlatih ilmuilmu silat itu, Siang Le. Jujur saja dan katakan kepada mereka bahwa semua ini karena gara-gara aku!"
"Gak-bo....!"
"Tidak! Aku sekarang menyadari kekeliruanku, Siang Le. Dan aku berdosa besar kepadamu. Kalau
saja kau mewarisi kepandaian suamiku belum tentu tanganmu buntung. Ayo, tunjukkan ilmu silat itu atau
katakan penyebabnya kenapa kau tak mau lagi berlatih!"
Siang Le menangis. Tiba-tiba saja ia tertusuk dan luka mendengar kata-kata gak-bonya ini. Ia tak mau
berlatih karena ia disuruh membunuh gurunya sendiri. Dan ketika pemuda itu menunduk dan menggeleng
berulang-ulang, tak mau memberi tahu maka gak-bonya gemas mencengkeram.
"Siang Le, aku tak hendak menutup-nutupi kesalahanku lagi. Aku tak mau dikejar malu seumur hidup.
Ayo katakan kepada mereka kenapa kau tak mau mewarisi kepandaian suamiku!"
"Aku... aku berotak bebal, gak-bo. Aku tak mampu menyerap ilmu-ilmu gak-hu karena daya
tangkapku yang rendah.."
"Bohong! Kau mau melindungi gak-bomu ini? Kau tidak mau bicara jujur saja bahwa kau tak mau lagi
melatih ilmu-ilmu itu karena dengan ilmu-ilmu itu kau akan kupaksa untuk mencari dan membunuh gurumu?
Heh, tak usah menutup-nutupi kebusukan gak-bomu ini, Siang Le. Katakan terus terang bahwa kau tak mau
lagi melatih ilmu-ilmu itu karena kau bersetia dan masih menjunjung tinggi gurumu, biarpun jahat. Kau
pemuda tahu budi dan berwatak luhur. Kau berjiwa mulia dan karena itu lebih baik meletakkan, warisan
suamiku daripada nanti disuruh membunuh gurumu akibat kedengkian dan kebencian hatiku. Nah, katakan
kepada mereka bahwa untuk sebab-sebab inilah kau tak mau lagi berlatih Khi-bal-sin-kang dan lain-lainnya
itu!"
"Gak-bo...!"
Swat Lian terkekeh-kekeh. Wanita ini gemas dan terharu karena didesak seperti itupun pemuda ini tak
juga mau mengaku. Siang Le hendak melindungi dirinya. Siang Le hendak melindungi mukanya! Dan ketika
semuanya itu membuat nyonya ini terpukul dan tertusuk-tusuk, murid See-ong yang jahat ini benar-benar
suci dan bersih, sebersih ikan di laut yang tak tercemar garam atau dosa-dosa duniawi maka Swat Lian tibatiba bercucuran air mata dan ganjil serta luar biasa sekali melihat seseorang terkekeh-kekeh padahal
menangis!
"Siang Le, katakan bahwa semua kata-kataku bohong. Katakan bahwa ini tidak benar. Hayo, mana
kejujuranmu dan sangkallah kata-kataku ini!"
Pemuda buntung itu pucat pasi. Ia terhenyak dan kaget serta heran akan sikap gak-bonya ini. Di depan
orang lain tak malu-malu lagi menelanjangi diri. Ah, ia terharu! Dan ketika pemuda itu berlutut dan
menangis memeluk kaki gak-bonya, Swat Lian atau Kim-hujin ini juga masih bercucuran air mata dengan
tawanya yang aneh maka Siang Le tak dapat bicara apa-apa kecuali mengguguk.
"Aku... aku tak berani bicara apa-apa, gak-bo. Semuanya terserah kau..."
"Heh, tidak boleh begitu. Katakan kepada semua orang di sini apakah tadi kata-kataku tidak betul,
Siang Le. Jawab dengan jujur apakah semuanya itu bohong!"
"Tidak... tidak, tapi.. ah, aku tak mau membuat malu dirimu!"
"Nah!" Kim-hujin atau Swat Lian ini membalik, menghadapi suaminya dan yang lain-lain di situ.
"Dengar dan lihat kata-kata menantu kita ini, suamiku. Siang Le tak pernah memberi tahu atau menceritakan414 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
penderitaannya kepada orang lain. Sudah seperti inipun ia masih juga ingin melindungi aku. Aduh, aku
berdosa besar kepadamu, Siang Le. Aku menyesal dan kecewa berat akan tindak-tandukku sendiri. Sian-su
benar, menantu kita ini mutiara yang memukau sukma. Dan aku ingin menebus dosa dan semua kesalahanku
dengan menyayang dan mencintainya seperti anak kandungku sendiri!" dan Swat Lian yang menubruk serta
memeluk pemuda itu dengan sedu-sedannya yang mengguncang tubuh lalu membuat bengong dan kaget
serta terbelalak semua orang. Soat Eng dan ayahnya mendecak dengan kagum, begitu pula Shintala dan lainlain. Tapi mengetahui dan justeru melihat sepak terjang isterinya, yang tidak bersahabat dan memusuhi Siang
Le tiba-tiba Pendekar Rambut Emas bangkit berdiri dan mengerutkan kening dengan muka kemerahmerahan, malu dan juga penasaran!
"Niocu, kau telah memusuhi dan membuat menantu kita sendiri sampai menderita seperti ini? Kau
yang menyebabkan hingga Siang Le tak mau lagi melatih ilmu-ilmu yang kuberikan kepadanya? Pantas!
Tapi kenapa kau lakukan itu, niocu. Bukankah dulu kau sudah menerima dan berjanji bersikap baik kepada
pemuda ini. Bukankah kau sudah mau menerimanya sebagai suami Soat Eng. Kenapa kau masih juga
memusuhinya!"
"Ha-ha, ini karena sepotong pedang itu!" Bu-beng Sian-su tiba-tiba tertawa, bergelak. "Dan pedang
inilah yang menusuk bumi hingga luka berdarah, Kim-mou-eng. Tak usah kaget atau penasaran akan sikap
isterimu. Sebagian besar manusia memang begitu. Dendam isterimu kepada mendiang See-ong amatlah
besar. Dan karena dendam isterimu dibawa-bawa pula kepada pemuda ini maka isterimu tak perduli lagi iblis
berulah!"
"Maksud Sian-su?"
"Dendam meracuni isterimu, Kim-mou-eng, dan dendam itu telah tertanam demikian dalam hingga
susah dicabut kembali. Dalam marah dan dendamnya isterimu masih ingin membawa-bawa pemuda ini. Tapi
ketika guntur dan petir sambar-menyambar, maut dan ketakutan menghampirinya maka sekarang isterimu
sadar dan itulah sebagian besar watak manusia, ha-ha...!"
Kim-mou-eng tertegun, Dia coba menangkap dan mengartikan guntur dan petir yang sambarmenyambar itu, tak dapat dan akhirnya dia mengeluh memegangi kepalanya. Dan ketika ia terduduk dan
jatuh kembali, perbuatan isterinya itu sungguh tak diduga maka ia menyerah.
"Sian-su, aku pening. Aku tak dapat mengurai kata-katamu. Aku masih terkejut oleh tindak-tanduk
isteriku ini!"
"Ha-ha, tak ada yang sulit. Dendam dan kemarahan memang merupakan momok yang menakutkan,
Kim-mou-eng. Tapi isterimu sudah mengakui, kita tinggal melicinkan saja jalan yang sudah dibuatnya!"
"Aku tak dapat mengikuti jalan itu...."
"Bukan tak dapat, melainkan belum dapat. Nah, mari kita bicara lagi dan duduklah kalian dan dengar
kata-kataku!" lalu t meminta Kim-hujin meredakan tangisnya, melepas dan mendorong Siang Le maka kakek
dewa itu berkata lagi, sungguh-sungguh, serius,
"Kim-mou-eng, dan kalian semua, Kim-hujin telah mengakui kesalahannya dan ini amat
mengagumkan. Melihat dan menyadari sebuah kesalahan amatlah baik. Tapi mengerti dan tak akan
mengulangi lagi kesalahan itu adalah yang paling baik. Siapa dapat menyangkal ini? Tentu tak ada. Dan
Kim-hujin pasti akan menuruti dalil ini. Bagus, kita mulai berjalan di atas jalan yang sudah dibuat Kimhujin..."
"Aku tak mengerti!" Soat Eng tiba-tiba berseru. "Jalan apa yang sudah dibuat ibuku, Sian-su. Dan
mana pula jalan itu!"
"Ha-ha, jalan itu adalah pengakuan atau rahasia yang dibuka ibumu ini, sepak terjangnya atau tindaktanduknya kepada Siang Le. Eh, jangan buru-buru memotong kalau belum kutanya, siauw-hujin (nyonya
muda). Nanti yang lain tak dapat mengikuti!"
"Maaf," Soat Eng tersipu, merah. "Aku tak sadar, Sian-su. Tapi sekarang aku mengerti!"415 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
"Bagus, dan mengerti itu berarti sudah ikut memasuki persoalan. Dan persoalan itu sederhana saja,
bukan lain dendam atau sakit hati ibumu kepada See-ong. Dan karena suamimu adalah bekas murid See-ong
maka dibawa-bawalah suamimu itu padahal dulu sudah kuberi tahu bahwa pemuda ini bukanlah See-ong
meskipun ia murid See-ong. Nah, siapa, ingat wejanganku akan laut dan ikannya!"
Pendekar Rambut Emas tersenyum, mengangguk. "Aku, Sian-su. Aku masih ingat akan itu."
"Hm, katakan. Apa inti wejanganku itu!"
"Bahwa manusia harus mencontoh seperti ikan di laut. Air laut boleh asin tapi sang ikan sendiri tak
terpengaruh oleh garam atau asinnya laut itu."
"Dengan lain kata?"
"Manusia boleh dikelilingi debu-debu kejahatan tapi tak boleh dimasuki kejahatan itu!"
"Ha-ha, bagus. Dan kau ingat, hujin?"
"Ya, akupun ingat."
"Tapi kau tak mengetrapkan apa yang kau ingat itu. Kau memusuhi dan menyusahkan menantumu
sendiri!"
"Aku terlampau dendam terhadap See-ong, Sian-su. Aku terlampau benci," sang nyonya terisak,
menunduk.
"Tapi sekarang kebencianmu lenyap. Kau sudah tidak seperti dulu!"
"Aku berhutang budi kepada Siang Le. Ia telah menyelamatkan aku dan anakku."
"Hanya itu?"
Sang nyonya tertegun.
"Bagaimana kalau misalnya See-ong masih hidup?"
Sang nyonya terkejut.
"Ha-ha, tidak hanya itu, hujin. Melainkan juga ditambah bahwa kematian See-ong sedikit banyak telah
melarutkan dendammu. Manusia biasanya tak dapat melupakan dendam kalau sedikit atau banyak dendam
itu belum terlampiaskan. Nah, karena kematian See-ong telah membuatmu sedikit puas, musuh yang kau
benci itu tiada maka hutang budi dari menantumu ini dapat masuk dengan cepat apalagi menusuk langsung
hal yang amat penting, nyawamu dan nyawa puteramu!"
Nyonya ini terisak, menunduk.
"Bagaimana?"
"Kau mungkin benar, Sian-su. Ah, aku memang banyak salah. Aku khilaf!"
"Hm, dan mengerti serta tidak akan mengulangi kesalahan itu lagi adalah yang paling penting. Pedang


Rajawali Merah Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kebencianmu telah dihancurkan namun masih ada pedang lain yang juga tak kalah berbahayanya. Kalian
harus berhati-hati akan ini!"
"Pedang apa?" Pendekar Rambut Emas terkejut.
"Pedang bukan sembarang pedang, Kim-mou-eng. Lentur dan lemas tapi tajamnya dapat dibuat tak
ulah-ulah!"
"Pedang apakah itu. Masa lemas dan lentur tapi tajamnya tak ulah-ulah."
"Hm, kalian jangan tergesa bertanya dulu. Setiap orang mempunyai pedang ini. Lihat kejadian Pekkong-kiam dan renungkan itu!"416 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
Pendekar Rambut Emas tertegun. Dia mengerut-ngerutkan kening tapi kakek dewa itu terkekeh. Yang
lain juga mengerut-ngerutkan kening tapi kakek ini tertawa. Dan ketika Soat Eng berseru bahwa pedang itu
mungkin sejenis pedang pusaka, seperti Pek-kong-kiam atau lain-lainnya maka kakek ini terbahak.
"Ha-ha, kalau itu yang kau maksud maka tak semua orang memilikinya, siauw hujin. Kau salah.
Pedang ini dimiliki setiap orang dan kau maupun siapa saja di sini mempunyainya. Hayo, tebak pedang
apakah itu!"
"Sebaiknya Sian-su memberi petunjuk. Arahkan kami untuk menebak teka-teki ini.
"Eh, aku sudah mengarahkan kalian, Kim-mou-eng. Dengar apa kataku tentang Pek-kong-kiam.
Renungkan itu!"
Kim-mou-eng merenung. Dia bingung dan belum dapat menangkap apa yang dimaksud kakek ini. Bubeng Sian-su terlalu rahasia, masih dianggapnya berbelit. Tapi ketika ia mengingat-ingat dan coba mengerti,
persoalan itu berat mendadak puterinya bertanya apakah nanti ada hubungannya dengan syair itu.
"Tentu saja," kakek ini menjawab. "Nanti kita ke situ lagi, siauw-hujin. Dan jawablah apa kira-kira
pedang lain yang berbahaya itu."
"Aku sukar menebak..."
"Harus dilatih. Otak yang banyak bekerja akan menjadi tajam, siauw-hujin. Dan jangan mudah putus
asa untuk menemukan ini!" kakek itu tertawa.
"Hm, baik..!" dan Soat Eng yang kembali mengerutkan kening dan berpikir keras lalu menoleh kepada
kakaknya, yang tersenyum-senyum.
"Kau sudah menemukannya?" bisiknya.
"Belum."
"Kalau begitu kenapa tersenyum-senyum?"
"Eh, apakah tidak boleh? Aku geli melihat kalian berpikir keras, Eng-moi. Padahal nanti tentu begitu
sederhana dan gampang. Biar kalian dan lain-lain menebak, aku mendengarkan saja!"
"Konyoi!" dan ketika Thai Liong tertawa adiknya mendesis, mau mencubit tapi dia mengelak maka
Shintala juga gemas melihat sikap kekasihnya ini.
"Kau tak usah mempermainkan kami. Tentu kau sudah tahu!"
"Ha-ha, sudah tahupun belum tentu benar, Shintala. Teka-teki ini gampang-gampang sukar. Sst, Siansu memandang kita!" dan ketika pemuda itu mengangkat tangannya karena gadis itupun mencubit, semua
menyerang maka Shintala melengos dan Pendekar Rambut Emas tersenyum melihat anak-anaknya ini. Ia
sudah tahu hubungan puteranya dengan cucu Drestrawala itu dan tentu saja Shintala memang calon
menantunya. Mendapatkan gadis seperti ini adalah menggembirakan. Ia akan menjadi kakek dari calon
cucunya lagi. Tapi ketika ia memberi isyarat agar anak-anak muda itu tak ribut, Soat Eng melotot dan
memandang yang lain maka tiba-tiba ia bertemu dengan suaminya, Siang Le.
"Kau tak tahu?"
"Kupikir tidak. Tapi, hmm... barangkali saja itu!"
"Itu apa?"
"Sumpah gak-bo!"
"Sumpah ibu?"417 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
"Ya, barangkali. Tapi, eh... nanti dulu. Aku bingung. Biarkan orang-orang tua menjawab dulu!" dan
ketika suami isteri muda ini saling berbisik-bisik, Kim-mou-eng dan isterinya berpikir keras maka kakek
dewa itu berseru lagi, tangan kanannya diangkat ke atas.
"Sudah terjawab?"
"Belum!"
"Ha-ha, satu di antara kalian hampir menyentuhnya, Pendekar Rambut Emas. Tanyakan menantumu
apa jawabannya tadi!"
Siang Le tiba-tiba menjadi perhatian. Ia tadi saling berbisik dengan Soat Eng dan lain-lain mendengar.
Tapi karena masing-masing berpikir sendiri-sendiri dan kurang memperhatikan, kini tiba-tiba pemuda itu
dikatakan hampir menyerempet jawaban maka kontan saja semua menoleh.
"Kau menjawab apa?" Pendekar Rambut Emas bertanya.
"Aku, eh... aku menjawab sembarangan, gak-hu. Belum tentu benar!"
"Dia menjawab sumpah ibu!" Soat Eng berseru, nyaring. "Tadi Le-ko bicara tentang sumpah ibu,
ayah. Tapi bagaimana dikata jawabannya hampir mengena!"
"Sumpah? Hmm..!" sang pendekar menepuk paha. "Barangkali itu, Eng-ji. Benar juga. Sumpah ibumu
telah menjadi senjata makan tuan. Cocok, barangkali ini!" dan ketika Pendekar Rambut Emas membalik dan
menghadapi lawan bicaranya maka dia berseru, "Sian-su, barangkali ini jawabannya. Benar, sumpah dapat
merupakan pedang yang amat tajam kalau tak hati-hati dipakai. Ini jawaban kami!"
"Ha-ha, jawabanmu atau jawaban menantumu?"
"Sama saja, Sian-su. Jawaban kami semua!"
"Benar," Soat Eng mendukung, berseru dengan wajah berseri. "Jawaban suamiku sama dengan
jawaban kami semua, Sian-su. Kami bingung dan tak menemukan jawaban lain!"
"Ha-ha, kalau begitu kenapa suamimu menjawab seperti itu. Coba dijawab!"
"Aku sekedar mengikuti petunjuk Sian-su," Siang Le agak tersipu. "Tadi Sian-su menyebut-nyebut
tentang Pek-kong-kiam dan tiba-tiba aku teringat sumpah gak-bo ketika pedang itu menuntut dan hendak
membunuh gak-bo. Tentu karena sumpah inilah maka gak-bo termakan balik. Dan aku mengira-ngira begitu,
sama seperti gak-hu."
"Ha-ha, tak ada yang lain lagi?"
Semua terbelalak.
"Kau!" Si Rajawali Merah tiba-tiba dituding. "Kau agaknya dapat menjawab lebih baik, Thai Liong.
Coba sempurnakan jawaban Siang Le dan katakan di sini!"
Thai Liong terkejut. Ia tadinya berpikir sejenak dan dialog ini memancing datangnya percikan
menyambar. Sama seperti ayahnya yang juga mengenal gerak-gerik kakek dewa itu maka Thai Liongpun
mencari dan coba menemukan jawaban. Sebagai pemuda yang berotak encer tiba-tiba saja ia menemukan
jawaban itu, teringat sebuah wejangan Sian-su agar dia hati-hati akan satu hal, menjaga kata-kata atau
bicaranya agar tidak mengundang hasil buruk di kemudian hari. Dan karena Sian-su sudah menyatakan
bahwa jawaban Siang Le hampir benar, hanya ia diminta untuk menyempurnakan jawaban itu tiba-tiba
pemuda ini bangkit berdiri dan Beng An yang ada di dekatnya tiba-tiba ditotok atau ditusuk lehernya sampai
menjerit.
"Maaf, barangkali ini, Sian-su. Kalau tidak salah maka inilah pedang yang kau maksud... tuk!" dan
sang adik yang berteriak dan terlonjak bangun tiba-tiba kaku tubuhnya dengan lidah terjulur keluar!418 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
"Heii..!" Swat Lian membentak, terkejut. "Apa yang kau lakukan, Thai Liong. Kenapa kau membuat
adikmu seperti itu!"
"Maaf," pemuda ini tertawa, Beng An mendelik dan ah-uh-ah-uh tak dapat menarik lidahnya, kaku
seperti patung anak-anak. "Aku memperagakan jawabanku, ibu. Dan agaknya Sian-su setuju dengan cara
seperti ini. Itulah jawabannya, itulah pedang yang dimaksud Sian-su!"
"Pedang? Mana?"
"Ha-ha!" Pendekar Rambut Emas tiba-tiba tertawa bergelak, melompat bangun. "Benar juga, Thai
Liong. Ah, pedang itu sudah kulihat. Benar, itulah pedangnya!"
Swat Lian dan puterinya terbelalak lebar. Suami dan putera mereka itu menunjuk-nunjuk Beng An dan
yang ditunjuk melotot marah. Beng An merasa dipermainkan dan mendelik memandang kakak laki-lakinya
itu. Tapi ketika ia melihat ayahnya terbahak-bahak dan girang memandang dirinya, yang kaku dengan lidah
terjulur maka Swat Lian maupun Soat Eng terheran-heran dan menganggap dua laki-laki itu tidak waras.
Gila!
"Eh, mana pedangnya. Mana pedang yang kalian katakan itu!"
"Ha-ha, itu. Di mulut Beng An. Lihat ia membawa pedang dan alangkah tepatnya kiasan Sian-su.
Aihh, sekarang aku mengerti, Sian-su. Sekarang aku menemukan jawabannya dan tahulah aku. Ha-ha,
pedang itu sudah kulihat!"
Pendekar Rambut Emas atau Kim-mou-eng terbahak-bahak. Ia menuding-nuding putera bungsunya
namun Soat Eng maupun sang ibu tertegun. Mereka tak melihat pedang di mulut Beng An. Yang mereka
lihat adalah lidah anak itu. Tapi ketika Siang Le menepuk dahi dan Shintala juga meloncat bangun, terbeliak
dan berseru keras maka gadis itu berseru,
"Benar, aku juga melihat pedang itu. Aih, pedang itu di mulut Beng An!"
"Dan aku juga. Ooh, kau mengingatkan kami, Sian-su. Kau benar. Terima kasih!"
Siang Le dan Shintala tertawa-tawa girang. Soat Eng dan ibunya kian terbelalak lebar namun Kimhujin ini mendadak menegang tubuhnya. Ada sesuatu yang dia lihat dan tiba-tiba nyonya ini merasa seram!
Dan ketika ia mundur dan berseru tertahan, terbelalak memandang Beng An maka iapun tiba-tiba tersedu
dan.... menutupi mukanya.
"Aduh, aku juga telah melihat, Sian-su. Benar, pedang itu di mulut Beng An!"
"Pedang?" Soat Eng masih bengong. "Mana pedang itu, ibu? Kalian melihat apa?"
"Duh, aku telah melihat pedang itu, Eng-ji, dan aku sadar. Ooh, pedang itu adalah lidah Beng An.
Itulah pedangnya!"
Soat Eng tertegun. Ibunya sudah tersedu dan berlari menubruk Sian-su, mengguguk dan menangis di
situ dan tiba-tiba nyonya ini seolah sudah menangkap segalanya. Soat Eng bengong dan bingung tapi
Shintala tiba-tiba berbisik bahwa lidah adiknya itulah yang dimaksud Sian-su sebagai pedang. Lidah yang
dapat dipergunakan manusia untuk menyerang dan menusuk orang lain dengan tajam dan tak kalah jahatnya.
Dan ketika Soat Eng sadar dan berseru tertahan, kebingungannya tiba-tiba lenyap maka tersentaklah dia
melihat ini. Beng An sendiri sudah dibebaskan totokannya dan Thai Liong tersenyum meminta maaf. Anak
itu terpaksa dijadikan alat peraga untuk membuka mata yang lain-lain, menjawab atau memecahkan teka-teki
Sian-su tentang pedang yang aneh itu. Dan ketika di sana Swat Lian atau Kim-hujin ini mengguguk memeluk
Sian-su, meratap di bawah kakinya maka kakek ini tersenyum berseri-seri dan tampak puas, meletakkan
tangan di pundak nyonya itu.
"Bagus, kau sudah melihatnya dengan baik, hujin, dan aku girang. Agaknya tak perlu kujelaskan lagi
yang lain-lain karena kau tentu mengerti!"419 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
"Tidak... tidak, Sian-su. Aku ingin mendengar dari mulutmu sendiri tentang semuanya ini. Biarlah aku
dan anak-anakku mendengar. Aku masih belum puas!"
"Eh, bukankah kau sudah tahu?"
"Tak puas rasanya hati ini kalau belum mendengar dari mulutmu sendiri, Sian-su. Dan mungkin masih
ada lagi yang hendak kau katakan. Aku masih butuh nasihatmu!"
"Hm, baik, kalau begitu berdirilah. Sekarang pedang yang kutanyakan sudah ketemu, aku girang
bahwa kalian tak bingung lagi. Kau...!" kakek ini memandang Soat Eng. "Masihkah bingung lagi, siauwhujin? Bukankah kau sekarang juga tahu?"
"Beb... benar," Soat Eng gemetar, jawabannya lirih. "Aku sekarang tahu, Sian-su. Tapi betul kata ibu
bahwa sebaiknya kau mengulang lagi!"
"Ha-ha, boleh. Tapi ayah atau kakakmu nanti dapat melanjutkan karena mereka juga tahu apa yang
menjadi inti pelajaran ini. Hm, duduklah semua. Kita bicara lagi," dan ketika kakek itu mengebutkan
lengannya dan Kim-hujin terlempar perlahan, duduk dengan lembut maka kakek ini bersinar-sinar
memandang yang lain.
"Awal kejadian ini dari dendam, sakit hati atau kemarahan ibumu. Dan karena dendam itu sudah
ditanamkan seperti pedang terhunus yang menancap di bumi, dalam dan kuat maka dendam itu tak dapat
dicabut begitu saja tanpa melalui kejadian atau peristiwa-peristiwa berikut. Mula-mula ibumu menumpahkan
kemarahannya kepada suamimu, Siang Le. Apalagi setelah suamimu mendapat warisan ilmu-ilmu dari
ayahmu. Ibumu tak senang, ibumu semakin meluap. Dan ketika ia memaksa suamimu untuk mencari dan
membunuh gurunya, dengan ilmu-ilmu yang didapat dari ayahmu maka suamimu memilih untuk meletakkan
saja semua pelajaran ayahmu daripada dipakai membunuh gurunya. Suamimu amat menjunjung tinggi budi
dan kebaikan orang lain. Suamimu tak dapat melupakan begitu saja kebaikah dan hutang yang pernah
didapat dari gurunya. Dan karena ia memilih lebih baik dibunuh daripada disuruh membunuh, ibumu marahmarah maka semua kejadian ini terus berlangsung di mana kalian semua tak ada yang tahu tentang ini. Siang
Le memendam saja penderitaannya ini. Dia juga tahu kebencian atau dendam di hati ibumu. Tapi karena
sejahat-jahatnya mendiang See-ong kakek itu tetap gurunya, orang yang membesarkan dan memberinya
kepandaian dan makan sehari-hari maka suamimu berada di persimpangan jalan dan batinnya tertekan berat.
Sepak terjang gurunya juga tak disetujuinya. Berapa kali dia menentang dan melawan gurunya sendiri hingga
berkali-kali hampir dibunuh juga. Tapi karena See-ong amat sayang kepada muridnya ini dan meskipun
gusar kakek itu tak mampu membunuh muridnya sendiri maka dibiarkannya Siang Le hidup dan persoalan
muridnya yang ditekan ibumu ini juga tak diketahuinya. Siang Le tak mau ribut-ribut. Dan ketika
penderitaan demi penderitaan diterimanya dengan tabah, suamimu ini memang pendiam dan tak banyak
mulut maka ibumu marah-marah dan dibuat penasaran. Kalau saja tak takut kepada kalian atau ayahmu
mungkin ibumu dapat membunuh suamimu ini. Lihat saja ketika ia datang di Sam-liong-to... Bukan
menantunya yang lebih dulu ditolong melainkan puterinya. Pemuda itu dibiarkan saja entah celaka atau
tidak, dan ayahmu yang lalu melepaskannya dari cengkeraman Ui Kiok. Dan ketika suamimu kembali
menjadi tawanan Togur karena ibumu tak sabar menunggu di pantai, asal kau selamat maka kebencian atau
rasa tidak suka ibumu ini menonjol sekali. Keselamatan Siang Le sungguh tak dihiraukannya. Tanyalah ayah
atau kakakmu ini ketika ibumu sama sekali tak perduli kepada suamimu ketika Togur mengancamnya untuk
membunuh. Ibumu benar-benar tak acuh. Tapi ketika Pek-kong-kiam muncul dan pedang yang pernah
menjadi saksi sumpah ibumu ini berada di tangan Togur, ibumu kaget dan pedang itu mengancam
membunuhnya maka barulah ibumu terguncang dan rasa ngeri atau takut melandanya. Sudah menjadi sifat
manusia untuk menyadari bahaya di kala bahaya itu datang. Sudah menjadi sifat manusia untuk merasa takut
dan gentar menerima akibat dari perbuatannya yang salah. Dan karena ibumu juga begitu karena ia telah
menarik janji atau sumpahnya kepada Pek-kong-kiam, yang kini menuntut balas maka pengorbanan atau
tindakan nekat suamim itu ketika menyelamatkannya kembali membuat jiwanya terguncang dan tergetar.
Pek-kong-kiam yang hancur bertemu darah suamimu membuat kejutan dahsyat di jiwa ibumu. Tiba-tiba
ibumu sadar bahwa suamimu ini adalah seorang ksatria berdarah suci. Dan ketika adikmu Beng An juga
sembuh menghirup darah suamimu, yang semula terpengaruh dan kemasukan Bu-siang-sin-kang maka
semuanya ini merupakan petir dan guntur yang sambar-menyambar. Itulah kiasan yang kumaksud dan
ayahmu tentu mengerti apa maksudnya bait kedua itu. Peristiwa demi peristiwa yang mengguncangkan420 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
ibumu inilah yang kuartikan sebagai guntur atau petir yang sambar-menyambar. Dan karena ibumu tiba-tiba
sadar oleh semuanya ini, perbuatan atau keberanian suamimu menerima Pek-kong-kiam, tak perduli atau
mengingat-ingat segala kebencian ibumu kepadanya maka ibumu benar-benar terpukul dan kesembuhan
Beng An semakin membuka mata hatinya lagi bahwa menantunya itu benar-benar orang baik. Ibumu
menyesal dan hancurlah kesombongan atau api kebenciannya dulu. Dia sekarang benar-benar melihat bahwa
suamimu bukanlah See-ong. seperti halnya See-ong bukanlah suamimu. Dan ketika ia sadar di saat maut
datang menggetar, nyaris terlambat menerima akibat sumpahnya sendiri maka yang terakhir ini harus
menjadi pelajaran bagi kita semua bahwa kita harus hati-hati mempergunakan lidah. Inilah 'pedang' yang
kumaksud lentur dan lemas. Inilah senjata yang tak kalah berbahaya dengan pedang-pedang lain. Dan karena
menyadari ini berarti membuka kewaspadaan kita, di samping pengertian akan kebencian dan lain-lain itu
maka sebagai manusia yang ingin meraih kebahagiaan yang lebih tinggi kita harus membuang rasa-rasa
dengki atau kebencian yang bakal merugikan. Kita hanya akan menyesal saja di belakang hari, hanya
memperoleh sampah-sampah busuk dari hasil perbuatan kita yang melenceng dari kebenaran. Dan karena
mengerti dan sadar akan semuanya ini bakal membuat kita semakin terang dan bercahaya maka tak ada
jeleknya sewaktu-waktu kalian tepekur dan mawas diri. Lidah, benda yang lemas dan lentur ini ternyata
memiliki sisi lain yang gelap bagi manusia. Lihat berapa sering manusia bermusuhan dan berperang karena
pedang yang satu ini. Lihat betapa kebencian dan kemarahan juga berasal dari benda yang satu ini. Dan
karena iblis amat suka sekali mempergunakan organ tubuh yang satu ini, sering hinggap dan meluncur
membawa keributan dan permusuhan maka kalian yang sekarang tahu dan sadar akan ini harap hati-hati
mempergunakan lidah. Aku tak akan bicara banyak lagi karena semuanya sudah cukup. Kalian tentu dapat
mencerna dan melihatnya lebih luas lagi. Dan karena Kim-hujin sudah sadar dan aku girang melihat ini,
syukur dan selamat kuucapkan maka biarlah lain kali kita bertemu dan mengupas kejadian lain lagi dalam
kesempatan berbeda!"
Semua terkejut. Bu-beng Sian-su tiba-tiba bangkit berdiri dan mengebutkan lengan bajunya. Mereka
yang tadi terhanyut dan terbawa uraian panjang lebar ini mendadak tersentak. Merekapun tiba-tiba berdiri,
kaget! Tapi ketika kakek itu tertawa dan berkata bahwa uraian sudah jelas, selanjutnya Kim-mou-eng atau
Rajawali Merah dapat melanjutkan maka kakek itu memandang Beng An dan berkata.
"Anak ini masih belum sembuh benar. Bagaimana kalau sebulan lagi dia kubawa dan kalian
melepaskan rindu dulu. Apakah disetujui."
"Sian-su hendak membawa puteraku? Aduh, terima kasih, Sian-su, tentu saja kami setuju. Tapi
bagaimana kalau jangan sebulan lagi. Bagaimana kalau dua atau tiga bulan!" Swat Lian atau Kim-hujin ini
menawar.
"Hm, boleh-boleh saja, hujin. Tapi sisa penyakitnya di tubuh itu tak boleh terlampau lama dibiarkan.
Bu-siang-sin-kang sudah hancur, namun darah yang pernah dijadikan tempat ilmu hitam itu dapat sewaktuwaktu bergolak, seperti bibit penyakit yang lumpuh namun tertinggal di dalam. Kalau kau tak ingin cepatcepat tentu saja aku tak memaksa. Hanya sebaiknya sebulan cukup. Aku ingin menggembleng puteramu
untuk menghadapi sesuatu di depan. Terserah kau dan suamimu."
"Kami tak menolak," Pendekar Rambut Emas tiba-tiba berkata, mendahului isterinya. "Kau memiliki
kewaspadaan yang jauh melebihi kami, Sian-su. Kalau itu untuk kebaikan puteraku biarlah sebulan lagi kami
akan menyerahkan Beng An!"
"Hm, bukan untuk kebaikan puteramu seorang," kakek ini tersenyum, "melainkan untuk kebaikan
dunia, Kim-mou-eng. Kebaikan orang banyak. Sudahlah, kalian dapat mengantar anak ini ke Lembah
Malaikat kalau cukup. Aku pergi dan selamat tinggal!" dan begitu kakek itu berkelebat dan menggerakkan
kakinya sekonyong-konyong ia sudah lenyap dan menghilang dari depan semua orang. Kim-mou-eng yang
sudah berkali-kali menyaksikan kepandaian kakek ini tetap saja merasa kagum. Ia yang sudah memiliki
kesaktian dan kepandaian tinggi masih juga tak sanggup mengikuti. Namun ketika ia dan yang lain-lain
terbelalak melihat sesosok asap di bawah bukit, asap yang bergerak dan melayang cepat di permukaan laut
selatan untuk akhirnya menghilang maka Soat Eng dan Siang Le mendengar bisikan lembut, suara yang
sayup-sayup sampai namun jelas terdengar di telinga.421 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
"Siang Le, kau masih akan merasakan cobaan lagi di depan. Isterimu akan memusuhimu. Tabahlah,
jadi orang baik memang sukar, anak muda. Ada-ada saja yang akan menjatuhkanmu!"
Dan ketika pemuda itu tertegun sementara isterinya terbelalak di sebelah, tidak mendengar itu maka
Soat Eng mendengar kata-kata kakek ini, yang juga tak didengar suaminya.
"Siauw-hujin, hidup ibarat gelombang samudera, naik turun berganti-ganti. Sayangilah suamimu dan
jagalah agar ia tak menderita!"
Dua orang muda itu sama-sama mengangguk. Soat Eng maupun Siang Le tentu saja menerima bisikan
itu dengan perasaan yang berbeda-beda. Soat Eng bersinar-sinar dan penuh cinta kasih memandang
suaminya sementara Siang Le dengan alis dan kening berkerut-kerut. Apalagi ini. Cobaan apalagi itu! Tapi
ketika pemuda ini tersenyum dan memandang isterinya, sinar mata isterinya menarik dan mendorong dia
untuk menoleh maka pemuda itu menarik napas panjang dan menerima pesan kakek dewa itu dengan tabah,
tenang! Ia balas memandang isterinya dengan penuh cinta kasih. Sukar dipercaya bahwa isterinya kelak akan
memusuhinya. Dan ketika isterinya bergerak dan mencekal lengannya, penuh kerinduan maka isterinya itu


Rajawali Merah Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkata, perlahan.
"Le-ko, sudah waktunya kita beristirahat. Badai telah berlalu. Dan Sian-su menyuruhku untuk
menyayang dan menjagamu agar tidak menderita. Ih, lucu kakek itu. Masa aku harus membuat suamiku
sendiri menderita!"
"Kau mendapat pesan?"
"Ya, apakah kau tidak dengar."
"Hm, aku tak tahu. Tapi kakek itu memang luar biasa, dan aku menjadi malu!"
"Malu? Apa yang membuatmu malu?"
"Kata-katanya itu, Eng-moi, pujiannya. Aku jadi berat dan malu menerima ini. Aku manusia biasa,
jangan-jangan nanti melambung dan justeru terjebak kesombongan!"
"Tidak, kau memang begitu, Le-ko. Kau pemuda luar biasa dan baik. Dan aku kagum. Apa yang
dikata Sian-su memang tepat dan semua orang tentu mengakui!"
"Hm, jangan meniup kepalaku lagi. Nanti seperti balon. Sudahlah, aku jengah dan kikuk menerima
pujian-pujian, Eng-moi. Sebaiknya kita persilahkan ayah dan ibu memasuki rumah. Kita di luar istana!"
Soat Eng teringat. Ia tertawa dan mengecup pipi suaminya ini tak malu-malu di depan orang lain,
tanda kebahagiaan atau kebanggaan hatinya. Bu-beng Sian-su sendiri telah memuji suaminya, hal yang
jarang terjadi! Dan ketika ia mempersilahkan ayah ibunya untuk turun bukit, mereka masih bengong di atas
maka Pendekar Rambut Emas berkelebat dan menyambar lengan isterinya. Swat Lian sendiri menyambar
Siang Le dan Siang Le menyambar Soat Eng. Empat orang itu berendeng dan tiba-tiba Thai Liong berkelebat
menyambar Beng An, tertawa. Dan ketika di sana Shintala juga bergerak dan menyambar bibinya, Cao Cun
yang bengong dan mendengarkan percakapan itu maka keluarga Pendekar Rambut Emas ini meluncur di
bawah bukit menuju Istana Hantu. Istana itu adalah tempat tinggal Siang Le suami isteri dan di sinilah
semuanya bermalam. Swat Lian atau Kim-hujin tak henti-hentinya memegang Siang Le, memperhatikan atau
mengobati pemuda buntung itu dengan amat manisnya. Dan ketika Pendekar Rambut Emas menetapkan
untuk tinggal seminggu, berkumpul dan melepas kerinduan dengan keluarga maka malam demi malam
dilalui pendekar ini dengan renungan. Wejangan atau nasihat Sian-su mengena di hatinya. Kata-kata kakek
dewa itu selalu terngiang kembali. Dan ketika ia menggeleng dua tiga kali melihat sikap isterinya terhadap
Siang Le, perhatian dan kasih sayangnya yang luar biasa maka pendekar ini menarik napas dalam-dalam.
Sungguh tak diduganya bahwa sejauh itu isterinya memusuhi Siang Le. Sikap memusuhi yang
diakibatkan dendamnya terhadap See-ong. Dan teringat betapa isterinya hampir celaka oleh pedang Pekkong-kiam, pedang pembawa sumpah maka Pendekar Rambut Emas diam-diam bergidik. Bukan oleh
sumpah itu melainkan oleh "pedang" yang dipakai isterinya, lidah yang amat berbahaya itu. Ah, dengan
lidah memang manusia dapat menimbulkan apa saja. Permusuhan, dengki, iri dan sebagainya yang semua itu422 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
bersumber dari "pedang" ini. Dan karena lidah dapat dipergunakan untuk menusuk dan "membacok" orang
lain, dapat menimbulkan atau menciptakan hal-hal mengerikan maka pendekar ini mengusap dada.
Bukan main. Manusia ternyata memiliki sebuah senjata ampuh untuk menghantam dan melukai
manusia lainnya. Dengan senjata yang lemas dan lentur ini manusia dapat menciptakan keributan dan
kekerasan. Dan ngeri oleh hasil "pedang" yang tajam ini, yang bisa berupa kutuk atau fitnah maka Pendekar
Rambut Emas memejamkan mata dan menekan dalam-dalam segala ingatan buruk. Ia hampir saja
kehilangan isterinya. Ia hampir saja menjadi "korban" dari pedang isterinya itu. Menjadi duda! Dan teringat
bahwa gara-gara sumpah atau omongan isterinya terhadap Pek-kong-kiam, yang hendak membunuh atau
mengutungi orang yang dulu membebaskan See-ong (baca: Istana Hantu) maka pendekar ini serasa teriris.
Dulu isterinya itu telah bersumpah untuk membunuh atau mengutungi orang yang melepaskan Seeong, kakek iblis yang dulu dia kurung dan hukum di Sam-liong-to. Tapi karena ternyata yang membebaskan
See-ong adalah puteranya, Thai Liong, yang melakukan itu untuk melancarkan jalan bagi perjodohan
adiknya maka isterinya terpukul dan pingsan. Tentu saja tak mungkin membunuh Thai Liong karena Thai
Liong anak tirinya. Apalagi karena perbuatan itu dilakukan untuk membahagiakan adiknya, anak yang
dilahirkan isterinya sendiri. Dan ketika isterinya terpaksa membuang sumpah dan Pek-kong-kiam ke laut, tak
menyangka urusan berlanjut maka isterinya harus menerima pembalasan dendam atau tuntutan Pek-kongkiam. Nyaris terbunuh kalau saja tidak diselamatkan Siang Le, pemuda yang justeru selalu dimusuhi dan
dibenci isterinya, hanya karena bayangan See-ong. Dan ketika isterinya bersyukur telah selamat dari bahaya
maut, darah Siang Le "mencuci" dosa-dosa isterinya maka sekali lagi Pendekar Rambut Emas menarik napas
dalam-dalam.
Inilah karena lidah!
Kalau dulu isterinya tidak mengeluarkan sumpah atau kutuk, atau apa saja yang berasal dari "pedang"
ini dan amat berbahaya tak mungkin bakal ada kejadian itu. Tapi karena gara-gara lidah dan Pek-kong-kim
menuntut, isterinya terguncang maka maut hampir saja merenggut dan pendekar itu menghela napas lagi.
Bukan hanya isterinya saja yang berbuat salah semacam itu. Ada banyak manusia-manusia lain yang pada
intinya sama. Lihat saja pertengkaran-pertengkaran atau permusuhan di sana-sini. Lihat saja pembunuhan
dan perang yang muncul di sana-sini. Bukankah karena lidah juga? Dan pahit mebayangkan ini maka
Pendekar Rambut Emas mengangguk-angguk.
Benar kata Sian-su. Salah satu "tubuh" manusia yang amat lemah dan rawan dipakai iblis adalah ini:
Lidah. Salah satu tempat atau sumber permusuhan-permusuhan adalah juga ini: Lidah! Ah, dapatkah
manusia menekan atau mengendalikan lidahnya untuk mengurangi permusuhan atau kedengkian di sanasini? Dapatkah manusia lebih waspada dan sadar akan senjatanya yang lemas dan lentur namun amat
berbahaya ini? Semuanya terpulang kepada masing-masing pihak. Kalau orang itu sering mawas diri dan
melakukan perobahan-perobahan ke arah yang baik tentu dapat. Tapi kalau manusia tak mampu dan
membiarkan diri tenggelam dalam keburukannya maka itulah yang terjadi. Permusuhan dan pembunuhan!
Pendekar Rambut Emas tergetar. Melihat dan menyaksikan ini ia merasa seram. Lidah benar-benar
dapat menjadi alat berbahaya kalau tak hati-hati mempergunakan. Buktinya sumpah isterinya itu, karena tak
hati-hati mempergunakan lidah dan omongannya maka ia nyaris terbunuh. Manusia memang harus waspada
akan benda lemas dan lentur yang dimilikinya ini. Sekali terjerumus maka malapetakalah yang didapat. Duh,
Thian Yang Agung. Ampunilah kami!
Pendekar ini memejamkan mata. Sekarang ia mengerti bait demi bait dari syair kakek dewa itu. Bait
pertama. berisikan "sepotong lidah", yang sekali menusuk memang dapat membuat bumi luka berdarah. Dan
bait kedua, hmm... apalagi kalau bukan peristiwa demi peristiwa yang mengguncangkan isterinya? Guntur
dan petir memang telah sambar-menyambar, dan itu adalah kejadian demi kejadian yang memukul isterinya.
Kalau tak ada guntur atau petir ini barangkali isterinya tak akan sadar. Kalau belum di ambang maut
barangkali manusia-manusia lain juga tak akan sadar. Dan pahit membayangkan bahwa manusia rupanya
harus digebuk atau dihajar dulu untuk merasakan sakit maka pendekar ini geleng-geleng kepala.
Gejala apakah ini? Apakah manusia termasuk mahluk yang bandel dan bodoh? Apakah manusia tak
punya kecerdasan batin untuk melihat dan mengerti semuanya itu? Kalau benar maka jawabannya adalah423 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
pantas. Pantas bahwa manusia itu memang goblok! Tapi kalau tidak kenapa banyak orang tak hati-hati
mempergunakan lidahnya? Apakah kurang "informasi"?
Barangkali ini. Baik. Dia akan meneruskan dan memberitahukan orang lain akan wejangan kakek
dewa ini. Keluarganya sudah diberi tahu dan dia akan bergerak lebih luas, bukan ke mana-mana melainkan
ke suku bangsanya dulu, baru setelah itu sahabat-sahabatnya dan orang lain. Dia akan berteriak kepada dunia
bahwa mahluk yang bernama manusia ini akan diberi "penyuluhan". Dan begitu Pendekar Rambut Emas
berseri dan bangkit berdiri maka terdengarlah pekikannya yang menggelegar mengguncang Sam-liong-to.
"Hoaiyoooo....!"
Anak isterinya terkejut. Pulau berderak dan tentu saja bayangan-bayangan berkelebatan. Swat Lian
dan Soat Eng serta yang lain-lain mengira ada bahaya baru. Tapi ketika mereka tertegun melihat pendekar itu
berdiri gagah di atas sebuah batu karang, berseri-seri, wajahnya kemerahan sementara rambutnya berkibarkibar di belakang bahu, rambut yang keemasan dan hidup tertimpa sinar matahari pagi maka sang nyonya
terbelalak melihat sikap suaminya itu. Mata yang juga mencorong seperti mata seekor naga yang sedang
gembira!
"Heii, ada apa, suamiku? Kenapa kau berteriak mengguncangkan pulau? Bikin kaget saja, kami
terkejut!"
"Ha-ha, aku teringat wejangan Sian-su. Aku ingin meneruskan wejangannya dan berseru kepada dunia
bahwa manusia harus hati-hati mempergunakan lidahnya!"
"Kau gila? Dengan apa kau hendak memberitahukan mereka?"
"Dengan mulutku, isteriku. Dengan tingkah laku dan tindak-tandukku. Aku akan memberitahukan
anak cucuku atau murid-muridku!"
"Gila, kau tak akan berhasil. Umurmu tak sepanjang dunia. Daripada begitu lebih baik begini... wutwut!" dan sang nyonya yang sudah bergerak dan melayang ke batu karang yang, lain tiba-tiba mengguratkan
kuku-kuku jarinya dan terbelalaklah Pendekar Rambut Emas melihat apa yang dilakukan isterinya, meloncat
dan berkelebat lagi ke batu karang di sebelah dan tiba-tiba Kim-hujin atau nyonya ini sudah menulis sebuah
pesan pada batu-batu karang yang lain, beterbangan dan sekejap kemudian sudah sepuluh batu karang penuh
guratan huruf-huruf dalam. Sebuah pesan pendek terukir di situ:
JAGALAH LIDAHMU
Dan ketika Kim-hujin atau nyonya Kim ini meneruskan perbuatannya menggurat, batu-batu Samliong-to maka Pendekar Rambut Emas tertawa bergelak dan mengikuti gerakan isterinya.
"Ha-ha, kau betul, niocu. Dengan tulisan ini maka pesan kita akan tertinggal seumur hidup. Kau betul.
Usiaku tak seumur dunia. Ah, biar kutinggalkan pesan ini dan hayo berlomba siapa paling banyak!"
Dua orang ini berkejar-kejaran. Pendekar Rambut Emas dan isterinya berebut menulis lebih banyak.
Batu-batu lebih kecilpun akhirnya menjadi sasaran, yang besar-besar sudah habis. Dan ketika ratusan batu
sudah penuh guratan di mana masing-masing tak mau berhenti, Soat Eng dan lain-lain tersenyum maka
seperti kena magnit tiba-tiba merekapun bangkit kegembiraannya dan berkelebatan pula.
"Hi-hik, bagus, ibu. Mari kubantu. Kalahkan ayah!"
"Tidak, aku akan membantu ayah, Eng-moi. Kalian tak boleh mengeroyok!"
"Eh, laki-laki dikeroyok sudah lumrah. Hayo, aku membantu enci Eng dan siapa yang menang!"
Thai Liong terkejut. Dia tadi berkelebat membantu ayahnya karena adiknya membantu ibu. Tapi
begitu Shintala berseru dan membantu adiknya, yang berarti juga ibunya maka pemuda ini tertawa dan
Pendekar Rambut Emaspun terbahak-bahak. Mereka beterbangan dari satu batu ke batu yang lain dan
kebahagiaan atau kegembiraan sungguh terpancar di situ. Keluarga Pendekar Rambut Emas ini merasakan
perasaan yang meluap-luap. Dan ketika semuanya berlornba menggurat batu, seorang wanita lain424 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
memandang itu dari gerbang Istana Hantu maka perlahan-lahan wanita ini menitikkan air mata dan terharu.
Dia bukan lain adalah Cao Cun dan wanita itu mengangguk-angguk melihat sikap yang sedang bergembira
itu. Wejangan Bu-beng Sian-su ternyata diabadikan di Sam-liong-to. Tepat sekali itu. Tinggalan ini akan
dilihat anak cucu, biarpun mereka kelak tiada. Dan ketika wanita itu mengangguk-angguk dan menangis
sendiri, penuh haru, maka Cao Cun tiba-tiba tak tahan dan kembali memasuki Istana Hantu. Kegembiraan
dan keutuhan keluarga Pendekar Rambut Emas mendadak menusuk jantungnya. Ada kepedihan di situ. Ada
rasa nyeri yang hebat. Namun ketika ia mengguguk dan berlari memasuki kamar tiba-tiba sebuah tangan
yang kokoh menyergapnya.
"Bibi teringat keluarga bibi? Bibi teringat putera-puteri bibi?"
"Oohhh...!" wanita ini tersentak, kaget. "Kau, Siang Le? Kau ada di sini...?"
"Aku memperhatikanmu, bibi, dan aku juga melihat mereka. Aku terkejut melihat kau menangis!"
"Aku... aku tak tahan....!"
"Aku tahu. Mereka keluarga yang utuh, bibi. Sementara kau tidak. Kau kehilangan anak-anakmu, kau
kehilangan suami dan siapa saja yang pernah dekat denganmu. Ah, aku terharu. Kita hampir senasib, bibi.
Kau kehilangan anak-anakmu sementara aku kehilangan orang tua. Kau...." Siang Le tersendat, air mata tibatiba menitik. "....kau boleh anggap aku sebagai pengganti anakmu, bibi, kalau kau suka. Dan aku... aku akan
menganggapmu sebagai ibuku!"
"Siang Le...!"
Cao Cun tak kuat dan menubruk. Wanita ini menjerit dan seketika meledaklah tangisnya yang keras.
Ia terpukul dan terharu bukan main oleh kata-kata pemuda ini. Ia memang butuh keluarga, anak. Dan ketika
ia tersedu-sedu dan Siang Lepun tak tahan menahan runtuhnya air mata, memeluk dan bergetar melihat
tangis wanita itu maka pemuda inipun juga naik sedu-sedannya hingga berguncang.
"Bibi, aku akan memanggilmu ibu sekarang juga, kalau boleh. Apakah boleh aku memanggilmu
seperti itu dan kuanggap sebagai ibu kandungku yang tak pernah kulihat!"
"Aduh, kenapa tidak, Siang Le? Aku tak keberatan. Aku justeru bangga. Aku bangga mempunyai anak
seperti kau. Kau seperti ikan yang tak tercemar oleh asinnya air laut. Kau mutiara yang akan menerangi
hatiku. Aduh, aku berterima kasih, Siang Le. Aku bersyukur. Sebut lagi kata-kata itu, nak.... panggillah aku
dengan ibu!"
"Apa?"
"Panggillah aku sebagai ibumu!"
"Tidak, bukan.... bukan itu, ibu... melainkan panggillanmu yang terakhir tadi. Bagaimana kau
memanggilku!"
"Kau anakku, kau kuanggap anakku. Duh, kenapa, Siang Le. Kenapa kau roboh. Siang Le.... anakku!"
Siang Le terjengkang. Ia roboh karena tiba-tiba wanita ini memeluk dan mendekapnya terlalu ketat,
kebetulan dekat dengan lukanya yang buntung itu dan Siang Le mengeluh. Tapi ketika ibunya mengguncangguncang dan berkali-kali menyebutnya sebagai anakku, panggilan "nak" itu demikian lembut dan penuh
kasih sayang maka pemuda ini membuka matanya dan air matanya yang basah memenuhi muka bercampur
dengan air mata ibunya itu, tak dapat lagi dibedakan. Siang Le tercekik oleh kebahagiaan yang sangat dan ia
tak mampu berkata-kata, sang ibu menciuminya penuh khawatir dan cemas. Tapi ketika ia bangkit duduk dan
bersandar dinding, berkata bahwa ia tak apa-apa maka Cao Cun mengguguk menubruknya kembali.
"Duh, kusangka ada apa, nak. Kau mencemaskan ibumu!"
"Aku... aku terlampau bahagia. Tenggorokanku rasanya tercekik, ibu. Baru kali ini aku mendapat
panggilan lembut seorang ibu!"425 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
"Oohhh...!" dan keduanya yang saling peluk dan segera hanyut dalam keharuan akhirnya tak berkata
apa-apa lagi karena pandang mata dan jari-jari mereka sudah berbicara lebih dari sekedar kata karena di situ
sudah muncul getaran-getaran cinta kasih yang amat dahsyat. Masing-masing menunduk, dan membenamkan
kepala di bahu yang lain. Cao Cun tersedu-sedu namun bukan oleh kedukaan melainkan justeru oleh
kebahagiaan. Hanya mereka berdualah yang tahu betapa besar dan dalam kebahagiaan itu. Hanya merekalah
yang tahu betapa nikmat dan bahagianya cinta kasih ini. Dan ketika. Siang Le menyandarkan kepalanya di
pundak ibunya ini, diusap dan dielus-elus akhirnya tanpa sadar pemuda ini ternina-bobok. Siang Le
merasakan hembusan angin semilir dan tiba-tiba iapun tertidur. Mimpi yang amat indah membuainya. Dan
ketika dua tiga kali ibunya mengecup keningnya, keharuan dan semangat baru timbul dalam dada wanita ini
maka Cao Cunpun tak terasa menyandarkan kepalanya di bahu anak laki-lakinya itu. Wanita inipun tertidur
tanpa sadar. Hembusan angin laut yang menerpa Istana Hantu sungguh hebat. Udara tiba-tiba menjadi harum
dan teruarlah bau semerbak dari bunga-bunga di Sam-liong-to. Dan ketika ibu dan anak tertidur dibuai
mimpi indah, Cao Cun menyungging senyum maka orang pasti terharu melihat adegan ini. Siang Le
dirangkul ibunya dengan lembut. Cinta kasih dan perasaan sayang tak dapat disembunyikan wanita itu.
Kebahagiaan jelas memancar di sini, kebahagiaan sejati. Dan ketika semerbak bunga semakin harum, laut
beriak tenang seakan membisikkan kagum kepada dua manusia itu maka perlahan-lahan gerbang Istana
Hantu menutup.
Layar telah diturunkan dan selesailah kisah ini. Adakah kebahagiaan yang tak menyentuh rasa haru?
Adakah bunga-bunga kebahagiaan yang menebar di seluruh pulau? Hanya Sam-liong-to yang tahu.
Pembaca yang budiman, dengan berakhirnya kisah ini penulis juga hendak mohon diri. Tak ada apaapa yang hendak dikatakan. Peristiwa di Sam-liong-to telah berakhir tapi tentu saja kisah ini masih terus
akan berlanjut. Siang Le telah menemukan kebahagiaan barunya bersama ibunya itu, Cao Cun si wanita
malang. Dan karena masing-masing sama menerima dan memberi, kebahagiaan tak pernah meninggalkan
unsur keseimbangan maka biarlah kita temui lagi mereka di kisah berikut. Anda akan bertemu lagi dengan
pemuda ini dan keluarga Pendekar Rambut Emas yang lain.
Anda akan menjumpai lagi peristiwa-peristiwa baru dalam kisah perjalan hidup mereka ini. Apakah
tak ada lagi badai menimpa si buntung itu? Menyedihkan. Pemuda yang satu ini rupanya memang harus
mengalami peristiwa demi peristiwa yang pahit. Kalau dulu ibu mertuanya memusuhinya habis-habisan
maka pada kisah berikut: PUTERI ES, anda akan melihat si buntung ini dimusuhi isterinya sendiri. Juga
habis-habisan! Masalah apa itu? Ah, mari kita lihat saja. Yang jelas, kata-kata Bu-beng Sian-su memang
terbukti. Dan Anda tentu saja kembali akan bertemu dengan kakek dewa ini. Penasaran? Memang penasaran!
Pembaca yang budiman, penulis kira cukuplah sampai di sini dulu. Mudah-mudahan hiburan ringan
ini benar-benar dapat menghibur Anda. Dan sambil menunggu cerita baru itu tak lupa penulis titipkan salam
untuk Anda semua.
Salam bahagia!
T A M A T
Triyagan, 04 Oktober ?89
Berantem Gaya Baru 1 Satria Gendeng 07 Pasukan Kelelawar Kembalinya Sang Pendekar Rajawali 40

Cari Blog Ini