Rencana Sederhana A Simple Plan Karya Scott Smith Bagian 2
Sekalipun hanya tagihan, tapi telah jauh melewati
batas waktu pembayaran dan orangtuaku akhirnya
harus membayarnya. Tapi tagihan tersebut tak cukup
besar untuk mengambil pertanian. Bank lah yang bisa
mengambilnya, dan pada bank-lah Dad berutang paling banyak Ia telah menggadaikan rumah, tanah,
dan sekarang, dalam waktu beberapa minggu, ia akan
kehilangan keduanya.
Aku terus bekerja tanpa mengatakan apa-apa, mengorganisir angka angka ke dalam kolom yang bisa
dimengerti, memisahkan debet dari asetnya, menambahkan segala sesuatu. Ayahku duduk di belakangku,
mengawasi dari balik bahuku. Mereka sudah makan
84 malam dan sekarang ia minum wiski dari gelas jus.
Pintu kamm' kerja terbuka, dan kami bisa mendengar
Mom mencuci piring di dapur. Ketika akhirnya aku
meletakkan pensil dan berpaling memandang ayahku,
ia tersenyum padaku. Ia pria besar dan kekar, perutnya
sangat genduu dan rambut pirangnya membotak. Matanya biru pucat dan kecil di wajahnya. Keduanya
akan meneteskan air mata kalau ia minum terlalu
banyak.
"Well " tanyanya.
"Mereka akan menyita milik Dad," kataku. "Kurasa
mereka tidak akan memberi kesempatan lebih dari
akhir tahun."
Bisa kulihat ia telah menduga aku akan berkata
begitu ia pasti sudah tahu dan bank pasti telah
mengancamnya selama berbulan-bulan. Tapi kurasa ia
berharap aku akan menemukan celah, sesuatu yang
tak akan disadari oleh orang tidak berpendidikan dan
berpengalaman di bidang akuntansi seperti diiinya. Ia
beranjak bangkit, melangkah ke pintu, dan menutupnya. Kemudian ia duduk kembali.
"Apa yang bisa kita lakukan " tanyanya.
Kuangkat tanganku. "Kurasa kita tidak bisa berbuat
apa-apa. Sudah terlambat."
Ayahku mempertimbangkan pendapatku sambil mengerutkan kening. "Maksudmu sesudah kau menambahkan dan mengurangi, kau masih tidak menemukan
cara untuk membantu kami "
"Dad berutang pada banyak orang. Tidak mungkin
Dad bisa membayarnya kembali, dan kalau Dad tidak
melunasi, mereka akan mengambil pertanian ini."
"Mereka tidak akan mengambil pertanian ini."
35 "Dad sudah bicara dengan bank Apa mereka "
"Bank." Ayahku mendengus. "Pikirmu aku akan
menyerahkan tempat ini pada bank "
Pada saat itulah kusadari bahwa ia mabuk tidak
benar benar mabuk, sekadar merasakan alkohol meng
hangatkan seluruh pembuluh darahnya seperti obat
tidur, menumpulkan persepsinya, memperlambat reaksinya.
"Dad tidak punya pilihan," kamku, tapi ia meremeh
kanku.
"Aku punya banyak pilihan," katanya. Ia berdiri,
meletakkan gelas di kursi. "Kau cuma melihat angka,
tapi belum separo cerita."
"Yah, kau terpaksa "
Ia menggeleng, memotongku. "Aku tidak harus
berbuat apa apa."
Aku terdiam.
"Aku mau tidur," katanya. "Aku belum tidur karena
kupikir kau bisa mencari jalan keluar."
Kuikuti ia keluar, berusaha mengatakan sesuatu.
Ada hal hal yang harus mereka pertimbangkan
sekarang, paling tidak mencari tempat tinggal baru,
tapi aku tidak bisa membayangkan bagaimana me
nyampaikannya. Ia ayahku; rasanya aku hanya akan
menghinanya kalau menawarkan saran.
Ibuku masih berada di dapur. Piring-piringnya telah
bersih semua, dan ia tengah membersihkan salah satu
meja. Kurasa ia pasti telah menunggu kami selesai,
karena ia segera meletakkan spons busa dan langsung
mendekati kami begitu kami mucul. Ayahku melewatinya, menuju ke tangga, dan aku mau mengikutinya.
86 "Jangan, Hank," bisik ibuku menghentikanku. "Dia
tidak apa apa Cuma perlu tidur."
', Ia memegang sikuku, menarikku ke pintu depan. Ia
kecil tapi kuat, dan kalau ia mau kau melakukan
sesuatu. ia akan menunjukkannya. Sekarang, ia mau
aku pulang.
Kami bercakap cakap sejenak di pintu depan sebelum
aku pulang. Udara sangat dingin. Ibuku menghidupkan
lampu serambi, membuat segalanya tampak mengilat.
"Mom tahu " tanyaku padanya.
Ia mengangguk,
"Mom sudah membicarakan tindakan selanjutnya "
"Kami bisa mengatasinya," katanya pelan.
Keyakinannya, dengan pengingkaran ayahku, menimbulkan kepanikan dalam dadaku. Rasanya seperti
mereka tidak memahami keseriusan masalah mereka.
"Tapi ini buruk, Mom," kataku. "Kita terpaksa "
"Segalanya akan beres, Hank. Kami akan menye
lesaikannya."
"Sarah dan aku bisa memberi beberapa ribu. Karni
mungkin juga bisa meminjam. Aku bisa membicara
kannya dengan seseorang di bank."
Ibuku menggeleng. "Ayahmu dan aku cuma akan
mengorbankan beberapa hal. Tapi bisa kami lakukan.
Jangan khawatir." Ia tersenyum, memalingkan pipinya
padaku untuk kucium.
Kucium pipinya dan ia membuka pintu kasa. Bisa
kulihat ia tidak mau membicarakannya, dan ia tidak
akan mengizinkan kubantu. Ia mengusirku.
"Hati hati hujan," katanya. "Jalan menjadi licin."
Aku berlari menembus gerimis ke mobilku. Saat
aku naik, lampu serambi dipadamkan.
87 Kutelepon ayahku dari kantor esok paginya. Ku
minta ia ke bank bersamaku agar kami bisa bicara
dengan manajernya, tapi ia menolak. Ia berterima
kasih atas perhatianku, kemudian memberitahu kalau
ia membutuhkan bantuanku, ia pasti memintanya. Kalau tidak aku harus menganggap semuanya terkendali.
Setelah berkata begitu ia memutuskan hubungan.
Itu terakhir kalinya aku berbicara dengannya. Dua
hari kemudian ia meninggal.
Sarah mematikan shower, dan seakan untuk mengisi
kesunyian yang tiba tiba kudengar bisikan dalam
kepalaku: kau lupa ziarah.
Hari ini hari pertama di Tahun Baru. Berarti
Jacob dan aku membiarkan satu tahun berlalu tanpa
berziarah. Kupertimbangkan hal ini dan memperdebat
kan kepentingannya. Kurasa pemikiran di balik ritual,
sekadar mengenang, lebih penting daripada ziarahnya
sendiri. Aku tak bisa melihat keuntungan yang di
peroleh dengan benar benar muncul di pemakaman.
Lagi pula cuma masalah satu hari saja. Kami bisa
pergi sore ini, 24 jam terlambat dari yang seharusnya.
Aku yakin, mempertimbangkan situasinya, Ayah akan
memaafkan keterlambatan kami.
Tapi pada saat yang sama kusadari sebagian besar
kepentingan vital ziarah tersebut berasal dari ketatnya
ritual; fakta yang memaksa kami menyediakan sore
tertentu setiap tahun, menjaganya dari segala gangguan
luar lainnya, dan membaktikannya untuk mengenang
orangtua kami. Ketidaknyamanan kecil yang mengiringi
acara tersebut justru menambah beban acara Tahun
88 Baru menjadi batasnya, batas akhir yang kami biarkan
berlalu.
Aku mulai mempertimbangkan beberapa bentuk hukuman akibat pelanggaran ini. semuanya berputar di
sekitar peningkatan jumlah ziarah dalam tahun tahun
mendatang. Ketika jumlah itu tengah mencapai dua
belas, satu setiap bulan, ketika Sarah muncul kembali
dari kamar mandi.
Ia hanya memakai handuk mandi kuning yang mem
bungkus kepalanya. Buah dadanya begitu tegak hingga
tampak lucu pada tubuhnya yang kurus, bagai gambaran bocah yang baru mencapai pubertas. Putingnya merah muda menyolok, dua kulit luka yang telah mengering
pada kulitnya yang putih mulus. Perutnya tergantung
rendah dan berat, dan ia menopangnya dengan tangan
saat melangkah, seakan ia tengah membawa bungkusan,
bukannya pembesaran alamiah tubuhnya. Ia tampak
aneh dan kikuk dengan kandungannya yang berusia delapan bulan. Kuamati ia melangkah ke jendela dan, satu
per satu, menarik tirainya hingga terbuka.
Kamar dipenuhi cahaya kelabu. Langit berawan
tampak dingin, pepohonan di balik kaca gelap dan
telanjang.
Mataku setengah tertutup; Sarah sekilas memandang
ranjang tapi tampaknya tidak menyadari bahwa aku
telah terjaga. Ia melepas handuk dari kepalanya. membungkuk, dan menggosok rambutnya. Kuawasi tubuhnya yang seakan dibingkai oleh jendela dan langit
musim dingin di latar belakang;
"Kami lupa berziarah," kataku.
Ia memandangku terkejut, tubuhnya masih setengah
membungkuk. Kemudian ia kembali menggosok ram
89 butnya. Ia menggosoknya keras keras, aku bisa mende
ngar suara kain beradu dengan kulit kepalanya. Setelah
selesai ia meluruskan tubuh dan membelitkan handuk
di dadanya.
"Bisa kaulakukan nanti sore." katanya. "Sesudah
kembali dari pesawat."
Ia mendekat dan duduk di tepi ranjang, kakinya
terpentang lebar, berat tubuhnya bertumpu pada ta
ngannya di belakang. Aku duduk, agar bisa melihatnya
lebih jelas. Ia memandangku dan menutup mulut
dengan tangan. . '
"Oh, Tuhan," katanya. "Kau berlumuran darah."
Kusentuh memarku. Bisa dikatakan telah hilang,
tapi kurasakan darah mengalir membasahi dahiku.
"Berdarah semalam," kataku.
"Sakit "
Aku menggeleng, meraba luka dengan ujung jarii
"Rasanya hampir hilang."
Ia mengangguk tapi tidak mengatakan apa apa.
"Bayangkan kalau mataku yang kena," kataku.
Sarah memeriksa dahiku, tapi dengan ekspresi yang
tidak sepenuhnya memperhatikan. Bisa kutebak ia
tengah memikirkan hal lain.
"Kau harus memberitahu Jacob bahwa kau kembali
ke pesawat," katanya. "Mungkin mengajaknya juga."
"Kenapa "
"Kelihatannya bagus. Jangan sampai ia atau Lou
kebetulan lewat dan melihat mobilmu dekat taman.
Mereka akan menduga kau mencoba menipul"
"Mereka tidak akan melihat mobilnya. Aku akan
ke sana dan kembali sebelum mereka bangun dari
ranjang."
90 "Cuma berhati hati, Hank. Itu yang harus kita
lakukan mulai sekarang. Kita harus berpikir sebelum
bertindak."
Kupertimbangkan sarannya sejenak, kemudian meng
angguk dengan tidak sungguh sungguh. Sarah mengamatiku dengan teliti, seakan menunggu kudebat. Waktu
aku diam saja ia meremas kakiku di balik selimut.
"Tapi kita tidak akan memberitahunya tentang uang
yang kita kembalikan," katanya. "Kau harus menyembunyikannya dan ke pesawat sendirian."
'Maksudmu dia akan mencurinya kalau tahu "
"Mungkin. Jacob cuma manusia biasa. Tidak bisa
disalahkan kalau dia mengambilnya. Atau bercerita
pada Lou. Aku tahu Lou akan mengambilnya." Ia
menyisir rambut dengan tangan. Dalam keadaan basah,
rambutnya tampak lebih gelap daripada aslinya, hampir
Cokelat. "Dengan begininta tidak perlu mengkhawatirkannya. Kita cuma tahu uang itu ada di sana, dan
kalau tetap di sana, kita aman."
Ia menggosok kakikui "Oke "
Aku mengangguk. "Oke.."
Sambil tersenyum ia naik ke ranjang, menyuruk
maju, dan mencium hidungku. bau samponya temium.
Bau jeruk. Kucium bibirnya.
Aku mandi, dan Sarah, yang mengenakan baju hamil
hijau tua, turun menyiapkan sarapan.
Kubuka keran air agar memanas, kemudian mende
kati cermin dan memeriksa dahiku. Tepat di tengahnya
terdapat lubang kecil, tak lebih dari bekas jerawat.
Darah kering keluar, menonjolkannya bagai papan
sasaran.
91 Kutatap bayanganku di cermin hingga cerminnya
mulai berkabut, membersihkan darahnya dengan ibu
jari, kemudian melepas piama. Aku merasa bengkak
dan kabur, seakan tubuhku tahu bahwa sekarang
Tahun Baru dan secara otomatis melemah.
Saat mau melangkah ke bawah :huwer, kusadari
tidak ada handuk dalam kamar mandi. Waktu kubuka
pintu untuk mengambilnya, kudapati Sarah berjongkok
dekat ranjang, memunggungiku, ransel tergeletak di
sampingnya, ikatan uang tersebar di karpet.
" Ia menengadah saat aku masuk1 melirik ke balik
bahunya dengan senyum bersalah. Melihat senyum
tersebut aku merasakan kecurigaan merayapi selumh
tubuhku, bagai getaran. Dengan cepat aku tahu pera
saan tersebut tidak diinginkan. Aku tahu perasaan
tersebut hanya keterkejutanku mendapatinya di kamar
tidur dengan uang itu sewaktu aku mengira ia di
dapur. Seketika aku merasa bersalah padanya karena
menuduhnya bermaksud jelek.
"Aku butuh handuk," kataku. Aku berdiri diam di
ambang pintu telanjang dan merasa bodoh karenanya.
Aku tidak pernah suka berkeliaran dalam keadaan
telanjang, bahkan di depan Sarah. Tubuhku penampilan fisiknya, besarnya, warna kulitnya membuatku malu. Sarah justru sebaliknya. Terutama pada
hari hari musim panas yang panas, ia senang bertelanjang dalam rumah.
"Oh, Hank," katanya, "maaf. Aku bermaksud meng
ambilkan untukmu." Ia tidak beranjak bangkit.
Dengan masing masing tangannya dipegangnya seikat uang. Aku maju selangkah ke dalam kamar.
"Apa yang kaulakukan " tanyaku.
Rencana Sederhana A Simple Plan Karya Scott Smith di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
92 Ia mengangguk ke ransel. "Aku mau meyakinkan
kalau uangnya tidak teratur."
"Teratur "
"Kalau dari perampokan bank, nomor serinya mung
kin berurutan. Kita tidak bisa membelanjakannya kalau
begitu."
"Teratur tidak "
Ia menggeleng. "Semuanya sudah usang."
Kutatap ikatan uang yang tersebar di lantai. Ikatan
tersebut terorganisir sangat rapi, tertumpuk lima lima.
"Mau kubantu menyimpannya kembali " tanyaku.
"Tidak," katanya. "Aku sedang menghitungnya."
"Menghitungnya "
Ia mengangguk.
"Tapi kami sudah melakukannya. Jacob, Lou, dan
aku menghitungnya semalam."
Ia mengangkat bahu singkat. "Aku juga mau meng
hitungnya," katanya. "Rasanya tidak nyata kalau belum
melakukanya sendiri."
Ketika aku keluar dari kamar mandi, Sarah telah
berada di bawah. Kudengar ia membenturkan barangbarang di dapur. Aku berjongkok di dekat ranjang
dan memeriksa bagian bawahnya, menyingkirkan salah
satu koper. Ranselnya masih di sana, aman, menempel
ke dinding, persis seperti semalam.
Kukembalikan koper ke tempatnya, bergegas menge
nakan pakaian dan turun untuk sarapan.
Setelah selesai makan kutelepon Jacob dan memberitahu bahwa kami harus kembali ke pesawat.
"Kembali ke pesawat " tanyanya. Kedengaran pening, baru bangun tidur.
93 "Kita harus memastikan bahwa kita meninggalkan
jejak," kataku. Aku tengah berada di dapur. Sarah di
meja, merajut sweter untuk bayi dan mendengarkan
percakapan kami. Uang yang kuhitung semalam tertumpuk di sebelahnya
"Kita meninggalkan jejak apa " tanya Jacob.
Bisa kubayangkan dirinya, berbaring di ranjang
apartemen kecilnya, masih mengenakan pakaian yang
dikenakannya semalam, gemuk, belum bercukur, selimutnya tergelung di kaki, tirai terjurai, kamar berbau
bir. "Kita tidak hati hati," kataku. "Kita harus kembali
dan memeriksa semuanya."
"Menurutmu kau meninggalkan sesuatu "
"Lou meninggalkan kaleng birnya."
Nada bicara kakakku terdengar kelelahan. "Kaleng
birnya "
"Dan aku menggerakkan pilotnya. Kita harus me
ngembalikannya ke posisi semula."
Jacob mendesah di telepon.
"Kupikir aku juga meneteskan darah di lantai pe
sawat."
"Darah "
"Dari dahiku. Mereka bisa menemukan banyak hal
dari darah. Lebih buruk daripada sidik jari."
"Demi Tuhan, Hank, tidak ada yang akan memperhatikan dua tetes darah."
"Kita tidak boleh mengambil risiko."
"Aku tidak akan berjalan sepanjang J'
"Kita kembali," kataku keras. "Kita tidak akan
mengacaukan semua ini hanya karena kau terlalu
malas untuk bertindak benar." Suaraku terdengar lebih
94 marah dari yang kumaksudkan, dan dengan cepat
menimbulkan reaksi pada kedua pendengarku. Sarah
menengadah terkejut. Jacob membisu.
Aku tersenyum menenangkan kepada Sarah, dan ia
meneruskan rajutannya. "Kujemput kau," kataku pada
Jacob. "Sesudahnya kita bisa mampir di pemakaman."
Ia menggeram pelan, yang lambat laun menjadi
kata kata. "Baik," katanya.
"Sejam lagi."
"Kutelepon Lou " _
Aku berdebat sedetik, mengawasi Sarah membuat
sweater kuning kecil. Aku tidak berniat menghabiskan
pagi hari dengan kehadiran Lou, terutama Lou yang
masih pusing akibat mabuk. "Tidak," kataku. "Tidak
ada alasan kenapa dia harus ikut."
"Tapi boleh kuceritakan tujuan kita "
"Tentu saja," kataku. "Kita terlibat bersama-sama.
Jangan sampai kita menyimpan rahasia satu sama
lain!"
Kami tak bisa menemukan cara untuk menyembunyikan uang. pada diriku tanpa diketahui Jacob. Ada
lima puluh ikatan; rasanya seperti berusaha menyembunyikan lima puluh buku bersampul lunak di tubuhku.
Kami memenuhi sakuku, menjejalkan ke lengan bajuku, di kaus kakiku, di balik pinggang. Tapi beberapa
saat kemudian beberapa bagian tubuhku membengkak
mencurigakan, tampak keberatan, terjejali, dan selalu
ada beberapa ikat yang tidak memiliki tempat.
"Kurasa ini tidak berhasil," kataku akhirnya.
Kami masih berada di dapur. Aku masih mengena
kan jaket, mulai kepanasan dan frustrasi. Ikatan yang
95 dijejalkan ke balik pakaian membuatku terasa berat;
setiap gerakan terasa kikuk seperti robot. Kami berdua
mengenakan sarung tangan. *
Sarah berdiri beberapa meter jauh dariku, meman
dangku dari ujung kaki ke ujung rambut. Dari ekspresinya tampak ia tidak menyukai apa yang dilihatnya.
"Mungkin kau bisa membawanya di tas."
"Tas " kataku. "Jelas tidak bisa. Apa yang akan
kukatakan pada Jacob " Kubuka ritsleting jaket dan
tiga ikat uang jatuh membentur lantai berturut turut.
Kulihat ia membungkuk mengambilnya.
"Mungkin sebaiknya kita kurangi saja jumlahnya,"
kataku
Ia mengacuhkanku. "Aku tahu," katanya, kemudian
berbalik dan bergegas keluar ruangan.
Aku menunggu di dapur, seperti orang orangan
sawah yang gemuk, lenganku terentang kaku dari
sisiku. Ketika kembali ia membawa ransel kecil.
"Ini untuk menggendong bayi," katanya. Ia mengacungkannya di depanku. Ransel tersebut terbuat dari nilon ungu, dengan gambar kartun dinosaurus di depannya.
Salah tampak sangat puas. "Kubeli dari katalog."
Kulepas jaketku dan kami mengenakan ransel di
bahuku, menarik talinya sampai ranselnya terletak di
perutku. Sarah membungkus uangnya dalam kantong
sampah agar aku bisa meninggalkannya bersama
uangnya di pesawat kemudian menjejalkan kantong
tersebut ke dalam ransel. Setelah ia selesai, kutarik
ritsleting parka ku. Di sekitar perutku terdapat tonjolan
yang nyata, tapi gelembung jaket menutupinya.
"Kau kelihatan gemuk," kata Sarah menepuk nepuk
pinggangku. "Tapi Jacob tidak akan menyadarinya."
96 "Aku kelihatan hamil." kataku. "Aku kelihatan
seperti dirimu." Ashenville kota kecil yang jelek,
dengan hanya dua jalan, Main dan Tyler, dan lampu
kuning berkedip-kedip yang menandai persimpangan.
Keempat sudut yang dibentuk persimpangan ini diisi
oleh lembaga penting masyarakat Balai Kota, Toko
Makanan Raikley, Gereja Episcopal St. Jude, dan
Ashenville Savings Bank. KOta sisanya, campuran
bangunan satu_ atau dua tingkat, menyebar di sekitar
keempat bangunan tersebut, berderet sepanjang kedua
sisi Tyler dan Main: kantor pos, pemadam kebakaran
sukarela, toko bahan pangan kecil, pompa bensin,
apotek, rumah makan, toko besi, laundry, dua bar,
toko berburu, restoran pizza.
Ada kesedihan yang seragam pada bangunan-bangunan tersebut, kebobrokan universal yang tampaknya
tidak terelakkan membuatku tertekan setiap kali melihatnya. Cat terkelupas dari sisi papan kayu lapis
bagai kepingan kayu besar yang seakan meleleh;
kaca jendela pecah ditutup surat kabar yang telah
menguning; selokan buntu; pintu berdebam terempas
angin; dan celah hitam raksasa menghiasi atap. me
nandai bagian atap yang tersisa setelah badai. Kota
ini miskin, kota pertanian yang pernah mengalami
masa jayanya enam puluh tahun berselang pada masa
masa sebelum depresi, kota yang populasinya terus
menurun dalam setiap sensus sejak 1930, dan yang
sekarang menempel bagai lintah pada tanah di seke
lilingnya, mengisap hanya sekadar untuk bertahan
hidup, membungkuk, tak terawat, sekarat.
Iam telah menunjukkan pukul 09.30 ketika aku
berhenti di depan toko besi, tempat Jacob tinggal
97 Ashenville tenang, trotoamya bisa dibilang kosong.
Cahaya pucat yang terhalang awan memberi kesan
kelelahan, seakan, seperti penghuninya, memasuki ta
hun baru dengan kaki lemah dan mulut terasa kering
dan lengket. Hiasan Natal tergantung di tiang lampu
yang berjajar di tepi jalan hijau, merah, dan- putih
yang diatur membentuk manusia salju, Santa, rusa
kutub, permen tongkat, tampak tua. pincang, dan
reyot, seperti barang yang kanlihat di obralan.
Jacob menunggu di tepi jalan dengan Mary Beth
sambil bersandar ke meteran parkir. Aku lega melihat
nya; berarti aku tidak perlu memasuki apartemennya,
tindakan yang selalu membuatku tertekan, menonjol
seakan itu kegagalannya di dunia. Jacob tinggal di
squalar: apartemen orang miskin, suram dan me
nyedihkan, dipenuhi perabotan rusak dan makanan
sisa. Memikirkan dirinya bangun, makan, dan tidur di
sana, memancing perasaan jijik dan kasihan dalam
diriku.
Ebberapa kali aku pernah mencoba membantunya,
tapi tak pernah berhasil. Terakhir kali tujuh tahun
yang lalu, tepat setelah kematian orangtua kami. Ia
kutawari pekerjaan paro waktu di toko_ makanan,
mengemudikan'truk pengiriman. Pekerjaan yang dulu
ketika kami masih kanak kanak, dilakukan pria yang
agak terbelakang, raksasa lamban berwajah manguluid
yang berbicara dengan nada tinggi dan penuh anggukan serta cekikikan yang tidak dipahami siapa pun.
Aku telah melupakannya, tapi Jacob tidak. Sesaat
tampaknya ia mau memukulku.
"Aku cuma mall membantu," kataku.
"Membantu " tanyanya mencibir. "Jangan meng;
98 gangguku, Hank. Begitulah kalau kaumau membantu.
Jangan mencampuri hidupku."
Dan itulah, pada dasarnya, yang kulakukan.
Jacob menjejalkan Mary Beth ke kursi belakang
station wagon, kemudian duduk di sebelahku, bernapas
melalui mulut dengan suara keras, seakan baru saja
berlari kencang menaiki tangga. Ia membawa cangkir
styrofoam penuh kopi. Setelah menutup pintu ia menarik sesuatu terbungkus tisu berminyak dari saku
jaketnya: sandwich telur dadar disiram saus tomat
sebanyak banyaknya, yang dengan cepat dilahapnya.
la mengenakan jaket merahnya, dan warna cerah
tersebut menonjolkan kepucatan wajahnya. Ia belum
bercukur, rambutnya berminyak dan belum tersisir.
Lensa kacamatanya kotor.
"Kau keluar dengan Lou semalam " tanyaku. Kurasakan tas bayi bergantung bagai bola besar dan
berat di perutku. Jaketku menutupinya, hingga menyen
tuh kemudi. Anehnya, bagiku terasa mencolok, hingga
terpaksa menahan keinginan untuk menunduk meman
dangnya.
Jacob mengangguk, mulutnya dipenuhi roti, telur,
dan saus tomat.
"Senang " tanyaku.
Ia mengangguk lagi, menghapus bibir dengan punggung tangan.
"Ke mana "
Ia menelan, menghirup seteguk kopi dari cangkir
styrofoam-nya. Kusadari tidak ada uap yang mengepul
darinya; kopinya dingin. Memikirkannya membuatku
muak.
"Palace," katanya. "Di Metamora."
99 "Kau, Nancy, dan Lou "
lIa mengangguk, dan kami melaju dalam kebisuan.
Mary Beth menjulurkan kepalanya ke kursi depan.
meletakkannya di samping bahu Jacob. Sekarang kami
telah berada di luar kota, melaju ke barat. Di ke
jauhan, melengkung, terdapat lumbung tua cokelat
dengan atap berlubang-lubang, dan sekelompok sapi
perah bergerombol di belakangnya. Hari terasa sunyi
dan kelabu, tidak benar-benar dingin atau hangat.
Suhu berkisar di sekitar titik beku. Kalau salju turun,
sebagaimana ramalan cuaca mengatakan, jalan pasti
basah dan licin.
Kubersihkan tenggorokanku, mau berbicara, tapi
kemudian membatalkannya. Jacob menghabiskan randwich nya. Ia menggulung tisu dan meletakkannya di
dasbor. Kupandangi tisu itu dengan jijik.
Aku mau menanyakan sesuatu tapi kurasa ia akan
salah menerimanya. Akhirnya tetap kulakukan. "Me
nurutmu Lou cerita pada Nancy " tanyaku.
Ia mengangkat bahu. "Jangan ganggu dia," katanya.
Sekilas aku memandangnya, berusaha membaca ekspresinya. Tapi ia berpaling, menatap padang padang
yang melintas. bahunya mengejang.
Kuhentikan mobil lalu menepikannya. Mary Beth
tergelincir ke lantai di belakang kami, kakinya meIambai-lambai. "Dia cerita, bukan "
Kami berhenti dekat tempat menghitung uang se
malam. Tidak terlihat adanya rumah atau mobil. Tanah
tak berpohon dan putih warnanya.
Jacob berpaling dari jendela. Anjingnya merayap
naik ke kursinya, merintih. Kami berdua mengacuh
kannya.
lOO "Pada akhirnya dia harus cerita, bukan " tanya
Jacob. "Bagaimana dia bisa mengambil bagiannya
tanpa menceritakan asalnya "
"Maksudmu, Nancy tahu " tanyaku. Aku menghela
napas dalam. Suaraku terdengar panik, bahkan di
telingaku.
"Maksudmu kau tidak cerita pada Sarah "
"Benar." "
Rencana Sederhana A Simple Plan Karya Scott Smith di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
I'a mengawasiku, seakan menunggu aku berubah
pikiran.
"Dia cerita atau tidak " tanyaku.
Ia terus menatapku. Tampaknya mempertimbangkan
sesuatu selama sedetik tapi kemudian menyingkirkannya. Ia kembali memandang ke luar jendela.
"Entahlah," katanya.
Aku menunggu. Tentu saja Lou cerita pikirku.
Seperti aku juga cerita pada Sarah. Dan Jacob me
ngenal kami berdua. Sejenak kupertimbangkan kepen
tingan hal ini, bahwa Jacob telah berbohong padaku,
dan aku sebaliknya juga berbohong padanya, dan
kami berdua sama sama tahu bahwa kami telah berbohong. Sedetik hal tersebut terasa lucu dan aku
tersenyum.
Jacob melambai ke jalan. "Ayo," katanya dengan
nada kelelahan. "Cepat kita selesaikan." Kami mendekati cagar alam dari arah yang sama seperti ke
marin, menyeberangi jembatan semen rendah di atas
Sungai Anders, kemudian melewati pertanian Dwight
Pedersen sepanjang batas selatan taman. Seekor anjing
duduk di ujung jalur masuk rumah Pederson, anjing
sallie besar, yang menyalak sekeras kerasnya saat
kami melaju lewat. Mary Beth balas menyalak, dengan
101"
nada tinggi yang mengejutkan kami, dan kemudian,
dengan ekor terangkat, berpaling mengawasi sallie
tersebut saat menghilang dari jendela belakang.
Kuparkir mobil di sebelah ceruk di tepi salju
bekas truk Jacob kemarin dan mematikan mesin. Aku
terpesona memandang jejak yang kami tinggalkan.
Jalur yang dalam dari jalan menembus hutan. Siapa
pun yang melewati tempat ini akan segera melihatnya.
Di sebelah kiri jejak rubahnya melintasi_lapangan ke
pertanian Pederson, berupa sederetan bintik kehitaman
di salju, lurus dan tepat. Kuikuti jejak tersebut dengan
mataku.
"Kau mau parkir di sini " tanya Jacob. "Di tempat
terbuka " _
Kupertimbangkan sejenak. Tentu saja ia benar, tapi
aku tidak bisa memikirkan alternatif lain. "Kau melihat
tempat persembunyian " kataku.
"Kita bisa masuk ke taman, membawa mobilnya
sekalian."
Aku menggeleng; aku telah memperdebatkan hal
ini dan menyingkirkannya. Kubeberkan alasanku sekarang, satu demi satu. "Gerbangnya pasti dikunci,"
kataku, "jalan di dalam belum digali, dan kita mungkin
akan tersesat kalau berusaha menemukan pesawat
tanpa ada jejak kita kemarin."
Jacob memandang jembatan sekilas. "Rasanya me
ngandung risiko kalau meninggalkan kendaraan di
tempat terbuka seperti ini.
"Kita meninggalkan trukmu di sini kemarin."
"Kemarin kita tidak tahu apa yang ada di sana."
"Tidak apa apa, Jacob. Kita lakukan cepat cepat.
Masuk dan keluar secepat kilat."
102 "Mungkin sebaiknya kita ledakkan saja."
Kusadari ia berkeringat, keringat akibat minum
yang berbau masam seperti buah yang terlalu masak.
Kusadari ia bukan khawatir ada yang melihat mobilnya; ia khawatir kalau harus berjalan ke dalam
taman.
"Kau minum terlalu banyak semalam," kataku.
"Benar, bukan "
Ia mengacuhkan pertanyaanku. Ia menghapus wa
jahnya dengan lengan jaket, dan meninggalkan noda
kehitaman di kainnya. "Kemarin trukku, sekarang
mobilmu," katanya. Orang orang bisa penasaran.
Kulepaskan sabuk pengaman, bersiap untuk turun,
dan saat berbuat begitu, kurasakan tas uang mem
bebani perutku. Tiba tiba aku sadar lebih mudah
kalau ia tidak ikut. Aku berpaling memandangnya.
Dagunya bernoda saus tomat.
"Begini saja," kataku. "Kau tinggal di sini. Aku
ke dalam, membereskan segalanya di pesawat, dan
kembali secepat mungkin. Kalau ada yang lewat
sementara aku pergi, kau bisa berpura pura membetul
kan mobil."
"Dan kalau mereka berhenti "
"Kau ajak mereka bicara."
"Bicara Aku harus bicara apa " Suaranya ter
dengar tegang. Sulit kukatakan apakah karena kelelahan atau jengkel.
"Katakan saja semua beres. Katakan kau berhasil
membereskannya." .
"Bagaimana dengan jejaknya " Ia melambai ke
hutan.
"Kubawa anjingmu," kataku. "Kalau ada yang me
105 nanyakan, katakan saja Mary Beth melarikan diri,
Lou bersamaku mengejarnya."
"Kita akan menemui kesulitan kalau ada yang
lewat kemari. Mereka akan teringat keberadaan kita
kalau akhimya mereka menemukan pesawatnya."
"Tidak ada yang akan menemukan pesawatnya selama musim dingin. Tidak akan ada yang mengingat
keberadaan kita saat itu."
"Bagaimana kalau Sharif datang lagi "
Aku mengerutkan kening. Kupaksa diriku melupakan.
Carl. "Dia tidak akan lewat," kataku, dengan kepercayaan diri yang dibesar besarkan. "Dia harus lembur
semalam. Kujamin dia sekarang masih tidur."
"Kalau tidak "
"Kalau dia lewat, katakan saja kita kehilangan
sesuatu di sini semalam. Katakan saja aku menjatuhkan
topiku di hutan dan sedang mengambilnya kembali."
"Kemarin kau marah padaku karena aku mengambil
risiko. Ini tampaknya risikonya lebih berat daripada
perbuatanku."
"Risiko yang ini harus, Jacob. Ada bedanya."
"Aku tidak melihat apa yang harus di sini."
Aku mengangkat bahu, pura pura tak peduli. "Kalau
kau mau, kita bisa membakar uangnya sekarang. Aku
tidak perlu susah payah masuk."
"Aku tidak mau membakar uangnya, aku mau
pergi."
"Aku mau masuk, Jacob. Kau boleh _tetap di sini
untuk berjaga jaga atau masuk bersamaku."
Kesunyian yang timbul cukup lama, sementara ia
mencari jalan keluar. Ia tidak menemukannya. "Aku
di sini saja," katanya.
104 Kukenakan topi wol biru tua seperti jaket dan
samng tanganku. Kemudian kuambil kunci kontak
dari tempatnya dan menjejalkannya ke saku.
Mary Beth berlari mendahului saat aku melangkah ke
dalam hutan, menghilang di balik pepohonan. Kemudian ia berderap kembali, kalung'nya berayun-ayun,
bulunya tertutup salju tipis. Ia mengitariku beberapa
kali dan kemudian berlari pergi. Aku melangkah
mengikutinya merasa nyaman, udara dingin menyegarkanku dan membuatku terjaga.
Lima belas menit kemudian aku tiba di tepi perke
bunan, dan berhenti sejenak mengawasi pemandangan.
Pesawat tersebut tergeletak di tengah tengah ceruk
yang landai, kulit logamnya tampak kemilau seperti
perak di tengah cabang cabang gelap pepohonan apel.
Jejak kami, lubang lubang kehitaman di salju menge
lilinginya.
Angin bertiup, menimbulkan bunyi kemerisik di
pepohonan sekelilingku dan membawa kelembapan
tak kentara. Perasaan adanya perubahan mendekat.
Sekilas kupandang langit, kelabu bergerak perlahan
menjanjikan salju.
Gerombolan gagak masih ada di perkebunan. Dari
tepi ceruk tidak terlihat, tapi saat aku mulai menuruninya, mereka tiba tiba ada di mana-mana, berkaok-kaok tanpa putus putusnya, seakan tengah berdebat satu sama lain.
Kudekati reruntuhan, tanganku memegang perut,
menahan beratnya kantong bayi. Mary Beth mengikutiku dekat tumit.
Pintu pesawat terbuka, tepat seperti ketika kami
105 tinggalkan. Bisa kulihat tanda yang ditinggalkan di
salju ketika kudorong pintunya keluar. Tanda itu be
rupa ceruk yang panjang dan dangkal. Mary Beth
mengelillingi reruntuhan, mengendus endus udara.
Kuselipkan kepala ke ambang pintu, membiarkan
mataku menyesuaikan diri dengan keremangan, kemu
dian menyelinap masuk. Aku tergesa-gesa, teringat
pada Jacob yang tengah menunggu di mobil, dan
kemungkinansemuanya tidak beres karena hal tersebut
Kurasakan kehangatan tidak alami di 'wajahku seperti
kemarin, kesunyian yang menggantung tebal di udara,
dan kenangan akan burung tersebut melintas dalam
benakku.
Aku berjongkok di lantai, tepat di tempat ransel
itu semula berada, menempelkan tangan ke dinding
untuk menjaga keseimbangan, dan mengintip ke pilotnya.
Ia masih di kursinya, posisi yangsama ketika
kutinggalkan kemarin sore. Kepalanya bersandar ke
belakang, menatap terbalik ke bagian belakang pesawat. .Uengannya terentang tersalib. di kedua sisinya.
Wajahnya masih tetap berduka seperti kemarin Cincin
tulang putih di sekeliling matanya membuatnya se
makin mirip badut; darah beku dari hidungnya me
nonjol melewati mulutnya yang terbuka; ujung lidahnya bengkak kehilaman terjulur di sela bibirnya.
Kulampar dinding pesawat.
"Hei!"_teriakku. "Pergi dari sini!"
Suaraku bergema. Kudengarkan, menunggu. Mary
Beth mendekati pintu terbuka, mengendus-endusnya
dengan suara keras. Ia merintih tapi tidak menyelipkan
kepalanya ke dalam. Tidak terlihat gerakan di depan.
106 "Hei!" aku berteriak lagi. Kuentakkan botku ke
lantai. '
Kulunggu, tapi tidak terjadi apa-apa. Akhimya,
puas bahwa aku satu satunya makhluk hidup dalam
pesawat, aku menegakkan tubuh, mengawasi lantai
untuk mencari kalau kalau kemarin aku meneteskan
darah. Setelah tidak menemukan apa-apa, aku maju
ke depan. Kubuka ritsleting jaket sambil berjalan.
Tanpa bersuara aku tiba di belakang pilot, melangkah dengan sedikit mefnbungkuk, berusaha memutuskan di mana akan kuletakkan uangnya. Rencanaku meletakkannya di kursi kopilot, tapi sekarang
kulihat rencana tersebut tak bisa dilakukan pasti
akan jatuh sewaktu pesawatnya jatuh. Aku harus
meletakkannya di kaki pria yang telah menjadi mayat
tersebut, menjejalkannya ke moncong pesawat.
Kubuka jaket dan kukeluarkan uangnya dari ransel.
Kuhapus kantong sampah dengan sarung tangan, meng
hapus sidik jari yang ada, kemudian berjongkok dan
menyelipkannya di lantai. Kudorong di sela kedua
kursi, melewati sepatu bot pilot itu, terus hingga ke
depan pesawat. Punggungku mulai berkeringat sementara bekerja, perasaanku dingin dan lengket. Aku
tengah menahan napas, membuatku merasa meriang.
Setelah menjejalkannya sejauh mungkin, aku beran
jak bangkit, meraih bahu pilot, dan mendorongnya ke
depan. Ia membungkuk pada pinggangnya dengan
kemudahan yang mengejutkan, kakinya meluncur di
lantai. Pada detik terakhir kepalanya terayun ke depan,
mendarat di panel kendali pesawat dengan suara
keras seperti rake! menghantam bola. Darah bekunya
patah, jatuh berkeping keping ke lantai.
107 Aku menghela napas dalam dan melangkah mundur.
Kutegakkan tubuhku sampai puncak topiku menyentuh
langit langit logam; kemudian berdiri di sana, berpikir,
memeriksa segala sesuatu dalam kepalaku. Darah
telah kucari, uangnya lelah kutanam, posisi pilotnya
telah kukembalikan. Tidak ada lagi yang harus dilakukan.
Kututup ritsleting jaket, berbalik, maju selangkah,
dan membeku. Dua burung bertengger di sebelah dalam
ambang pintu mengawasikn. Hal yang paling aneh
rasanya aku memikirkan mereka terlebih dulu sebelum
melihatnya, bayangan mereka mengambang di benakku
saat aku berbalik, dua bayangan muncul dari kegelapan
pesawat untuk menghadapiku. Mengerikan; seakan aku
memunculkan mereka dengan keinginanku.
Kutatap mereka. Mereka tidak bergerak.
Kulambaikan tangan. "Ayo pergi!" teriakku.
Salah seekor burung mendekati ambang pintu. Yang
lain tetap di tempat.
Dengan sangat lambat, aku melangkah maju. Bu
rung pertama bergegas melangkah ke pintu. Burung
tersebut berhenti di ambang pintu mengawasiku, warna
ungunya memantulkan cahaya yang membanjir dari
perkebunan. Burung kedua mengangkat sayap, seakan
menganeamku. Burung tersebut menggerak gerakkan
kepalanya ke samping, kemudian mengulurkanleher
dan berkaok. Suaranya memantul di dinding. Ketika
gemanya telah menghilang, burung tersebut melipat
kembali sayapnya dan melangkah maju ke arahku.
"Keluar!" teriakku.
Burung pertama menjerit singkat dan menghilang
melalui pintu, Kudengar embusan sayapnya saat bu
108 rung tersebut terbang pergi. Burung yang lain tetap
di tempat, mengarahkan satu matanya kepadaku, ke
mudian mata yang lainnya.
Aku melangkah maju, mengentakkan botku ke
lantai.
Burung tersebut mundur menjauhi pintu. Sayapnya
kembali terangkat.
Kuawasi. menunggu. "Aku pergi," kataku seperti
orang tolol. Aku bergegas maju dua langkah mendekati
pintu.
Burung tersebut mundur, tenggelam dalam kegelapan
di bagian belakang pesawat, sayapnya masih terangkat.
Aku melangkah maju sambil membungkuk, botku menimbulkan bunyi gesekan di lantai.
Ketika mencapai pintu, aku melangkah mundur
sehingga tidak perlu mengalihkan perhatian dari gagak
tersebut. Burung tersebut mengangkat sayapnya sedikit
lebih tinggi, memalingkan kepalanya untuk mengawasi
Rencana Sederhana A Simple Plan Karya Scott Smith di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kepergianku.
"Aku pergi," kataku lagi, menyelinap keluar ke
salju. '
Di luar, dunia tampak lebih terang, seperti kemarin.
Kusandarkan bahu ke pintu dan dengan susah payah
mendorongnya hingga tertutup dengan derikan logam
yang mengerikan.
Mary Beth telah lenyap. Kuikuti jejaknya dengan
pandanganku. Jejaknya mengarah ke jalan. Kupanggil
anjing tersebut, dua kali dengan setengah bersungguhsungguh, kemudian menyerah, menganggapnya telah
kembali ke mobil bersama Jacob.
Saat aku mulai mendaki lereng landai menjauhi
reruntuhan, aku, merasakan ada perbedaan pada perke
109 bunannya, sesuatu selain perubahan cahaya. Tapi baru
setelah mencapai tepi ceruk kusadari apa yang berubah. Aku mendengar suara mobil salju yang berasal
dari jalan raya, pelan, mendengung bagai lebam di
udara sekelilingku. Berasal dari jalan raya
Aku berhenti sejenak, tubuhku menegang, mende
ngarkan, berusaha memutuskan apa arti suara tersebut.
Angin tak lagi-bertiup, hari terasa lebih hangat, dan
ketika memandang langit kulihat kalau langit bukannya
menebal hingga memungkinkan terjadinya badai, tapi
justru semakin bersih. Aku bahkan melihat warna
kebiruan di selatan.
Dengung mobil salju perlahan semakin keras, cukup
jauh tapi sedang bergerak mendekat. Gagak di perke
bunan berteriak keras keras.
Kupandang pesawat yang berkemilau di dasar ceruk
untuk terakhir kalinya kemudian berpaling dan lari ke
jalan.
Aku berusaha keras mendengarkan suam mobil salju
sementara berlari, tapi tidak bisa. Suara napasku,
gesekan lengan dan jaketku, bot menghantam salju,
dan pepohonan yang melintas dengan cepat menyetubunyikan dengungan mesin. Jalannya licin, botku berat,
dan aku segera kelelahan. Beberapa menit kemudian
aku berjalan, ketika masih setengah jalan. Begitu
berhenti berlari kudengar dengung mesinnya. Sekarang
lebih dekat. Kedengarannya persis di hadapanku, tepat
di balik pepohonan. Kudengar salakan Mary Beth
sambil berjalan sekitar dua puluh meter untuk mene
nangkan detak jantungku. Kemudian aku menghela
napas dan mulai lari lagi. '
110 Pertama kulihat station wagon hijau tua milikku di
tepi jalan. Tampak bagai bayangan di depanku yang.
tiba tiba muncul di antara batang pepohonan. Kemudian tampak kakakku, berdiri di depannya bagai
pemancar sinyzd merah raksasa. Di sebelahnya terdapat
pria yang lebih kecil, dan di bawahnya, di sela
kakinya, terdapat mobil sadju, mesinnya berdengung
lambat mengepulkan asap kelabu tebal.
Pria tersebut kecil, tua, mengenakan jaket berburu
oranye yang telah usang. Ia Dwight Pederson aku
segem mengenalinya. Senapan t_ersandang di bahunya.
Ketika kulihat siapa dia, aku segera kembali berjalan. Aku masih sekitar tiga puluh meter dari jalan
raya, tapi segera kusadari kesalahan apa pun yang
dilakukan Jacob dengan berbicara pada orang tua ini
hanya akan semakin buruk kalau aku lari tergesa
gesa dari dalam hutan. Aku harus melangkah perlahan
sekarang. Lebih bereaksi daripada beraksi. Kuletakkan
tanganku ke dalam saku dan dengan hati hati me
langkah di sela pepohonan mendekati mereka, berusaha
tampil tenang, terkendali, biasa.
Pedersnn melihatku lebih dulu. la menatapku, tam
paknya tidak yakin akan jati diriku, kemudian mengangkat tangannya memberi salam. Aku balas me
lambai, tersenyum. Jacob berbicara dengan sangat
cepat. Aku tidak bisa mendengar apa katanya, tapi
tampaknya ia tengah berdebat dengan pria tua itu. Ia
melakukan gerakan mengiris di udara dengan lengan
nya dan menggeleng. Ketika melihat Pedersen melam
bai padaku, ia memandang panik ke hutan tapi tidak
berhenti berbicara. Pedersen tampak tidak mengacuhkannya. la menstaner mesin mobil salju, kemudian
lll mengatakan sesuatu pada Jacob dan menunjuk salju
di depan mereka berdua. .
Kejadian selanjutnya berlangsung sangat cep'at.
Jacob maju selangkah mendekati pria tua tersebut,
berputar, dan mengayunkan tinju ke sisi kepalanya.
Pedersen jatuh ke samping, tubuhnya jatuh ke tepi
jalan, tak bernyawa, kaki kirinya masih setengah
tergeletak di kursi, senapannya terlepas. Jacob ke'hilangan keseimbangan, jatuh telentang menimpa mobil
salju dan mendarat tepat di atas Pedersen.
Mary Beth menyalak.
Jacob berjuang untiik bangkit dari tubuh Pedersen.
Sarung tangannya jatuh ke salju; tampaknya ia tidak
juga berhasil bangkit. Ia kehilangan kacamatanya sewaktu jatuh, dan, sambil masih tetap berbaring, me
nepuk-nepukkan tangan di salju di sekelilingnya hingga
menemukan kacamatanya. Kemudian ia mengenakan
nya dan berusaha berdiri. Ketika akhirnya bisa ber
lutut, ia berhenti sejenak, baru sesudah itu ia berusaha
berdiri dengan susah payah.
Mesin mobil salju terus berderum mantap. Mary
Beth dengan hati-hati mendekati Jacob dari tengah
jalan. la mengayunkan ekornya perlahan, ragu ragu.
Jacob berdiri diam tidak bergerak. Ia menyentuh
wajah Pedersen dengan sarung tangannya, menyingkir
kan tangannya untuk menatapnya, kemudian mengembalikannya
Selama peristiwa tersebut aku tidak bergerak. Aku
berdiri membeku di tempatku, mengawasi dengan pe
rasaan ngeri. Aku maju selangkah ke jalan.
Jacob menyurut mundur dan menendang pria ter
sebut. Ia menendangnya dua kali, sekuat tenaga, sekali
112 di dada dan sekali di kepala. Setelah itu ia berhenti.
Ia menyentuh wajahnya dan berbalik memandangku.
Mary Beth mulai menyalak lagi.
"Oh, Jacob," kataku pelan, seakan berbicara sendiri.
Kemudian aku berlari, bergerak cepat menembus salju
mendekati kakakku.
Jacob berdiri di sana, sarung tangan menutupi mulut
dan hidungnya. Ia mengawasi diriku mendekat.
Mesin mobil salju terbatuk batuk, mengancam berhenti, dan tindakan pertamaku begitu mencapai jalan
adalah membungkuk dan mematikannya.
Jacob menangis. Sesuatu yang tidak pernah kulihat
sejak kami masih kanak kanak. Aku membutuhkan
waktu sedetik untuk menerima'bahwa hal itu benar be
nar terjadi. Ia tidak terisak isak, tidak ada kekejaman
maupun unsur dramatis dalam sikapnya. la sekadar meneteskan air mata; keduanya mengalir perlahan menuruni
pipinya, napasnya sedikit lebih cepat dari biasanya, se
dikit gemetar, ragu-ragu. Hidungnya berdarah ia menghantamkannya sewaktu jatuh menimpa Pederson dan
sekarang ia menjepit lubang hidungnya dengan dua jari.
Kupandang pria tua di salju itu. Ia berbaring
miring, kaki kirinya masih tergeletak di sadel mobil
salju. la mengenakan jins dan bot hitam. Jaket oranyenya terangkat di sekeliling pinggangnya. Bisa kulihat
sabuknya, cokelat tua tebal, dan di atasnya dua senti
pakaian dalam hangat. Jacob menjatuhkan topi pria
tua tersebut saat memukulnya, menampilkan uban
"tipis panjang yang tampak kotor berminyak. Syal wol
oranye menutupi sebagian besar wajahnya. Bisa kulihat
tempat Jacob menendangnya, tepat di atas telinga
113 kin'. Terdapat memar merah di sana, dan di sekitamya
mana kulitnya berubah menggelap dan membengkak.
Mary Beth akhirnya berhenti menyalak. Ia mendekat
dan mengendus endus bot Jacob sedetik, kemudian
kembali ke tengah jalan.
Aku berjongkok dekat mayat Pedersen. Kulepas
sarung tangan dan mengacungkan tangan di depan
mulutnya. Tampaknya ia tidak bernapas. Kukenakan
sarung tangan dan beranjak bangkit.
"Dia tewas, Jacob," kataku. "Kau membunuhnya."
"Dia mengejar rubah," kata Jacob sedikit menggagap. "Ayamnya terus menerus dicuri."
Kugosok wajahku dengan tangan. Aku tidak yakin
apa yang kulakukan. "Ya Tuhan, Jacob. Teganya kau "
"Dia pasti langsung menemukan pesawatnya. Dia
akan menemukannya."
"Tamatlah sudah," kataku, dadaku terasa sesak
oleh amarah. "Kau yang merusakkannya."
Kami berdua menatap Pedersen.
'Mereka akan memenjarakanmu," kataku.
Ia memandangku paniki Kacamatanw basah akibat
saljui "Aku terpaksa." Ia terisak. "Kalau tidak kita
pasti tertangkap."
Matanya berputar, kecil dan liar di wajahnya yang
putih dan lebar. Pipinya dibanjiri air mata. la ke
takutan, kebingungan, dan melihatnya begitu, kemarahanku lenyap dan digantikan gelombang rasa iba.
Kusadari aku bisa menyelamatkan kakakku. Aku bisa
membantunya keluar dari masalah ini, dan dalam
prosesnya turut menyelamatkan diriku juga.
Dengan cepat aku memandang ke kedua arah'jalan.
Kosong.
114 "Ada mobil yang lewat " tanyaku.
Ia tampaknya tidak mengerti. Ia mengangkat tangan
dari hidungnya, menghapus air mata di pipinya. Darah
menodai kulit di atas bibirnya, membuatnya tampak
lucu, seakan ia mengenakan kumis palsu.
"Mobil " katanya.
Kuberi isyarat ke jalan dengan tidak sabar. "Ada
yang lewat sewaktu aku di taman "
Ia memandang kosong ke kejauhan. Ia memikirkannya sedetik. kemudian menggeleng. "Tidak. Tldak
ada." Ia kembali memegangi hidungnya.
Sekilas kupandang jalanan, ke amh pertanian Pe
dersen. Rumahnya kecil dan sangat jauh. Kukira aku
melihat asap membubung dari cerobongnya, tapi tak
bisa yakin. Jejak mobil salju mengarah lurus dari
lapangan, sejajar dengan jejak rubah.
"Apa yang kita lakukan sekarang " tanya Jacob.
Ia masih menangis sedikit, dan berpaling dariku,
pura pura menatap Mary Beth, untuk menyembunyi
kannya. Anjing tersebut duduk di tengah jalan.
"Kita akan membuatnya sepe1ti kecelakaan," kataku.
"Kita bawa dia menjauhi tempat ini dan membuatnya
seperti kecelakaan mobil salju."
Jacob memandangku ketakutan.
"Tidak apa apa," kataku. "Kita bisa lolos." Untuk
sejumlah alasan, melihatnya panik justru membuatku
semakin tenang. Aku merasa percayirdiri, sepenuhnya
memegang kendali.
"Mereka akan mengikuti jej1kny1" katanya. "Mereka akan tiba di sini dan melihat jejak kita dan
mengikutinya ke pesawat."
"Tidak. Akan ada badai. " Aku melambai ke langit,
115 yang tak peduli apa yang kukatakan, semakin terang.
Kuacuhkan kenyataan tersebut, meneruskan kebohonganku. "Salju akan turun sebentar lagi dan semua ini
akan tertutup."
Jacob mengerutkan kening seakan siap menolak, tapi
tidak mengatakan apa-apa. Ia kembali menyentuh wa
jahnya, dan kulihat darah menodai sarung tangannya.
"Kau tidak meninggalkan darah padanya bukan "
"Darah "
Aku berjongkok di sebelah Pedersen, memeriksa
pakaiannya. Di bahu jaketnya terdapat noda cokelat
tua. Kuambil segenggam salju dan menggosok noda
tersebut. Hanya sedikit yang hilang.
Jacob mengawasiku, tampak menahan diri. "Tidak
bisa, Hank," katanya. "Kita akan tertangkap."
Aku terus saja menggosok darah tersebut. "Ini
tidak penting. Orang tidak akan memperhatikannya."
Ia mengacungkan tangan di depan wajahnya, menatap sarung tangannya. "Katamu ini lebih buruk
daripada sidik jari," katanya, suranya cepat dan ber
getar.
"Jacob," kataku tegas. "Tenang." Aku berdiri dan
menyentuh lengannya. "Oke Kita bisa lolos kalau
tenang."
"Aku membunuhnya, Hank."
"Benar," kataku, "tapi sudah telanjur. Sekarang
kita harus menghadapinya. Kita harus menutupinya
agar kau tidak tertangkap."
Ia memejamkan mata, kembali menyentuh hidung
nya. _
Kusadari aku harus mengusirnya, lalu kukeluarkan
kunci mobil dari saku. "Bawa Mary Beth ke jem
11(_>
batan." Aku melambai ke arah Sungai Anders. "Ku
temui kau di sana."
Ia membuka mata kebingungan. "Di jembatan "
Aku mengangguk. "Kubawa Pedersen dengan mobil
salju. Kita buang dia ke sungai, membuatnya seperti
kecelakaan."
"Tidak akan berhasil."
"Pasti berhasil. Kita akan memastikannya."
"Untuk apa dia ke jembatan "
"Jacob," kataku. "Kulakukan ini untukmu, mengerti
Kau harus mempercayaiku. Semuanya baik baik saja."
Kuulurkan kunci di telapak tanganku. Ia menatapnya
beberapa detik; kemudian mengambilnya.
"Aku akan menerobos taman," kataku. "Tidak terlihat dari jalan. Kau akan tiba di jembatan lebih
dulu, tapi jangan berhenti. Terus saja dan nanti putar
kembali. Aku tidak mau ada orang melihatmu menunggu di sana."
Ia tidak mengatakan apa apa.
"Oke "
Ia menghela napas panjang, mengembuskannya per
lahan dan menghapus pipinya. Kunci mobil berdenting
di tangannya. "Aku cuma merasa kita tidak akan
lolos."
"Kita akan lolos."
Ia menggeleng. "Terlalu banyak yang harus dipikirkan. Mungkin saja ada hal hal yang belum kita
sadari. "
"Misalnya '
Rencana Sederhana A Simple Plan Karya Scott Smith di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hal hal yang tidak kita perhitungkan. Hal hal
yang terlewatkan."
Aku menjadi tidak sabar. Waktu terus bergulir.
ll7 Setiap saat bisa ada mobil muncul di kaki langit,
melaju ke arah kami. Kalau kami lerlihat-dalam
keadaan begini, segalanya akan hilang. Kupegang
siku Jacob, membimbingnya ke station wagon. Aku
merasa kalau bisa menggerakkannya, segalanya akan
beres. Kami melangkah ke jalan. Mary Beth beranjak
bangkit dan meregang.
"Kita tidak melewatkan apa-apa," kataku. Kucoba
tersenyum menenangkan, tapi rasanya lebih mirip
permohonan. Kudnmng ia sedikit lagi.
"Percayalah padaku. Jacob," kataku.
Mungkin sekitar sepuluh detik setelah Jacob meng
hidupkan mobil dan melaju pergi dan aku berbalik
untuk mengambil Pedersen dan mendudukkannya dimobil salju, pria tua tersebut mengerang kesakitan.
Ia masih hidup.
Aku memandangnya shock, kepalaku terasa ber
putar putar. Ia menendangkan kakinya sedikit, dan
terlepas dari mobil salju ke tanah. Botnya berdebam
keras ketika menimpa tanah. Sekilas aku memandang
ke jalan. Jacob telah lenyap.
Pedersen menggumamkan sesuatu ke syal wnlnya,
kemudian mengerang lagi. Salah satu sarung tangannya
mengepal.
Aku berdiri di tempat, membungkuk, benakku ber
lomba. Dengan kejelasan yang menakutkan, kulihat
dua jalan di depanku. Mengambil salah satunya akan
menyelesaikan semuanya sekarang. Kuangkat Pedersen
ke mobil salju, membawanya kembali ke rumahnya,
dan menelepon Carl. Aku harus menceritakan segala
nya, dan memberikan uangnya kembali. Kalau kulaku
118 kan. kalau aku bicara sejujurnya dan Pedersen selamat,
aku tahu aku akan terhindar dari penjara. Tapi Jacob
tidak. Carl akan mengirim seseorang ke jembatan dan
menjemputnya. Ia akan menghadapi tuntutan penye
rangan, atau bahkan percobaan pembunuhan. Ia akan
dipenjara, mungkin untuk waktu yang lama. Dan
uangnya akan lenyap.
Kemudian, tentu saja, masih ada jalan lain. Jalan
yang sudah disiapkan, yang sudah setengah jalan
dilewati. Aku punya kekuasaan untuk menolong Jacob
dan menyelamatkan uangnya. Dan pada akhirnya,
'kurasa, itu sebabnya aku melakukannya: karena tampaknya bisa, tampaknya aku tidak akan tertangkap.
Aku mengambil uangnya untuk alasan yang sama1
yang membuatku melakukan tindakan berikutnya. Kukira dengan melakukan satu kesalahan aku bisa mem
bereskan segalanya. *
Pedersen mengerang. Ia tampaknya berusaha meng
angkat kepalanya.
"Aku," katanya jelas, tapi hanya itu. Ia mengepalkan linjunya lagi.
Aku membungkuk di sebelahnya dengan gerakan
yang tidak jelas. Kalau ada yang mengawasiku dari
kejauhan mungkin akan beranggapan aku tengah menolong pria tua tersebut.
Syalnya terbelit erat pada Iehemya. Matanya ter
pejam
Ketika kulihat Jacob memukulnya, peristiwa tersebut
terjadi begitu cepat hingga tampak wajar bagiku. Aku
terkejut. tapi tidak shock. Aku menerimanya dengan
cepat. Jacob, kataku sendiri, telah membunuhnya.
Benakku'seketika mengatakan bahwa Pedersen lelah
119 tewas. Dan itulah yang kukatakan saat berjongkok di
atas tubuhnya. Ia sudah mati, kataku. Ia sudah mati.
_ Mulanya aku bermaksud memukulnya, seperti yang
dilakukan Jacob, mungkin di kerongkongan. Untuk
beberapa alasan kupikir kerongkongan bagian tubuh
yang paling lemah. Tapi saat memandang lehernya,
kulihat syal oranye cerahnya, dan melihatnya membuatku berubah pikiran.
Sekilas aku memandang ke kedua arah jalan, meyakinkan kalau tidak ada mobil mendekat, kemudian
menyuruk maju, meraih syalnya, memuntimya sedikit,
dan menekannya kuat kuat ke mulutnya. Dengan ta
ngan yang lain kututup lubang hidungnya.
Kalau mengingatnya kembali sekarang, rasanya se
perti ada sesuatu yang lebih, semacam rintangan atau
kesadaran, rintangan yang harus ditembus. Aku menduga setidaknya ada perasaan teror, kejijikan, kesadaran bahwa perbuatanku sebenarnya salah, bukan
karena masyarakat tempat tinggalku mengatakan hal
tersebut salah tapi karena perbuatanku adalah pembunuhan, kejahatan utama. Tapi tidak ada hal seperti
itu. Dan mungkin hal ini tidak terlalu mengejutkan
mungkin justru romantis dan mengharapkan kesadaran
tiba-tiba, perasaan bahwa nasib tiba tiba pecah saat
seseorang ragu memilih. Dalam kehidupan nyata, ke
besaran'saat saat seperti itu hampir selalu lewat tanpa
disadari, sebagaimana yang terjadi padaku. Itu adalah
sesuatu yang harus ditambahkan kelak ketika mengingat-ingat kembali, tapi nyatanya terkubur di bawah
rincian insidental rasa syal Pedersen pada sarung
tanganku, kekhawatiran bahwa aku memijat lubang
hidungnya terlalu keras, bahwa aku juga akan mem
120 buatnya bengkak, dan hal ini mungkin ditemukan
dalam autopsi.
Aku tidak merasa diriku kejam. Aku gugup, keta
kutan, tidak lebih.
Ia memberontak amat pelan. Menggerakkan ta
ngannya dengan gerakan menyapu di salju sekali,
seakan berusaha menghapus sesuatu, tapi hanya itu.
Matanya tetap terpejam. Trdak ada suara, tidak ada
sentakan kematian, tidak ada erangan terakhir. Syal
tetap kupegang cukup lama di tempatnya. Langit
sudah cukup cerah untuk membiarkan matahari me
nampakkan diri, dan sinarnya menghangatkan punggungku. Aku bisa melihat bayangan awan bergerak
perlahan sepanjang tepi lapangan melintasi jalan. Saat
mengawasinya lewat, aku mulai menghitung. Aku
menghitung sangat pelan, berhenti sejenak sebelum
angka berikutnya, berkonsentrasi pada suara yang
terdengar dalam benakku. Ketika mencapai dua ratus,
kulepaskan syal dan sarung tangannya, dan mencari
denyut nadi pria tua tersebut.
Tidak ada apa apa.
Aku melaju menembus cagar alam tanpa kesulitan,
menjaga agar jalan di sebelah kanan tetap terlihat.
Aku tiba di kolam kurang lebih semenit kemudian.
Kolam tersebut membeku keras, meja meja piknik
bertebaran di sekitarnya. Segalanya tertutup salju.
Di balik kolam, hutannya lebih tebal, dan aku
harus lebih berhati hati memilih rute, meliuk liuk di
sela sela semak. Cabang pepohonan menyapu jaketku,
seakan berusaha menghentikan dan menahanku.
Mayat Pedersen kududukkan di depanku, tersuruk
121 ke depan seperti pilot pesawat. Aku harus menempel
ketat pada punggungnya untuk bisa memegang kemudi.
Aku berusaha menyibukkan benakku dengan rencana. Kurasakan bahaya dengan terus menerus me
mikirkan apa yang telah terjadi. Aku merasa berbuat
begitu hanya akan menyebabkan kebingungan dan
kegelisahan. Jalan teraman adalah maju, di mana
segalanya masih bisa berubah. '
Aku tahu jembatannya pasti telah dibajak dan
digarami; dan pasti akan ada "tumpukan salju tebal di
kedua sisinya Kalau Pedersen mau menyeberang tanpa
merusak mobil saljunya pada lapisan semen, ia harus
mengendarainya di atas salah satu tumpukan ini
tumpukan yang cukup lebar untuk mendukung mesin
nya dan cukup tinggi untuk melintasi bagian atas
pagar. '
Qrang-orang akan penasaran untuk apa ia berada
di sana, kenapa ia memutuskan menyeberangi jem
batan, tapi itu tidak cukup membangkitkan kecurigaan
mereka. Akan menjadi misteri, sesuatu yang membuat
mereka menggelengkan kepala. tidak lebih. Kecuali,
tentu saja, pesawatnya ditemukan sebelum salju turun.
Jejak mobil salju akan terlihat, juga jejak kaki menuju
taman. Akan ada bekas perkelahian di tepi jalan.
Sekilas kupandang langit. Semakin cerah dengan
kecepatan mengejutkan. Warna biru di langit telah
luas sekarang, cahaya matahari terpancar di sela
pepohonan. Udara terasa dingin dan kering. Awan
yang tersisa hanyalah awan putih tebal. Tidak ada
tanda tanda akan turunnya salju.
Semakin dekat dengan tepi taman dan jembatan di
luarnya, semakin sulit untuk memusatkan pikiranku
122 pada rencana yang kubuat. Pemikiran lain merayap
masuk..Dimu1ai dengan sensasi fisik mayat Pedersen
yang menempel di dadaku. Kepalanya terletak di
bawah daguku. Bisa kucium tonik rambutnya di balik
topi yang dikenakannya. Tubuhnya sendiri kecil, ram
ping. Tidak terasa seperti dugaanku semula. Rasanya
seperti masih hidup.
Dan begitu aku memikirkannya bahwa Pedersen
telah mati, dan aku telah membunuhnya, mencekiknya
dengan tanganku sendiri jantungku bagaikan pindah
ke kerongkongan. Aku sadar telah melewati batas,
melakukan sesuatu yang menjijikkan, brutal, sesuatu
yang tidak pernah kubayangkan akan mampu ku
lakukan. Aku telah mencabut nyawa seseorang.
Pemikiran ini membuatku bingung, membuat pemi
kiranku maju-mundur, merasionalisasi, membenarkan,
mengingkari, dan hanya dengan usaha keras aku berha
sil menguasai pemikiranku kembali. Kututup benakku,
menahan diri, memaksa pikiranku berkonsentrasi hanya
pada apa yang akan terjadi dalam lima belas menit
mendatang. Aku terus melanjutkan perjalanan ke batas
timur taman, lenganku mendukung mayat Pedersen,
membimbing mobil salju di sela pepohonan. Benakku
setengah dipenuhi pemikiran tentang jembatan, Jacob,
dan sheriff, serta perasaan penuh ancaman yang mengerikan bahwa aku hancur sekarang, terjebak, se
luruh sisa hidupku berputar pada satu tindakan ini;
bahwa dalam usahaku menolong Jacob, aku justru
akan menghancurkan kami berdua.
Sudut tenggara taman berakhir di ujung jembatan
semen.
123 Aku berhenti sejenak di tepi hutan. meyakinkan
tak seorang pun yang melihat. Sungai di sini lebarnya
sekitar lima belas meter, membeku keras, esnya tertutup lapisan salju tipis. Pertanian Pedersen terletak
di belakangku, di ujung jalan. Di seberang sungai
terdapat lapangan yang membentang kosong hingga
kaki langit horison. Jacob belum tiba.
Kuhentikan mobil salju di sisi jalan, mesinnya
bergetar di bawahku. Aku memandang ke timur, kemudian ke barat. Tidak terlihat adanya mobil. Sekarang
aku bisa melihat rumah pria tua ini, terlihat di balik
batas pepohonan, lebih dekat daripada dugaanku. Aku
bisa mengenali jendelanya, melihat anjing collie nya
duduk di anak tangga serambi teratas. Kalau ada'
orang yang berdiri di sana mengawasi, aku pasti
terlihat.
Kutarik pedal gas, membelokkan mesin ke tumpukan
salju, melaju perlahan sampai ke tengah jembatan.
Tingginya sekitar tiga meter dari permukaan es. Pagarnya terbenam salju;
Kuletakkan tangan Pedersen di kemudi, menyesuaikan posisi tubuhnya di kursi, memundurkannya sedikit,
meletakkan kakinya di pijakan kaki. Senapannya ku
sandangkan di bahunya, kutarik topinya hnigga me
nutupi telinga dan, kubelitkan di wajahnya erat erat.
Mesinnya terbatuk sedikit, menggagap, dan kutarik
gasnya lagi.
Sekali lagi aku memandang sekilas ke kedua arah ja
lan. Tidak ada mobil, tidak ada gerakan apa pun. Collin
tersebut masih duduk di serambi Pedersen. Mustahil
mengatakannya., tentu saja, apakah ada yang mengawasi
dari jendela, tapi aku tetap saja mengawasinya dengan
124 cepat. Jendela jendela tersebut memantulkan langit ke
arahku, cabang cabang telanjang pepohonan mengitari
rumah itu. Kubelokkan mobil salju ke arah sungai dan
memajukannya sedikit, hingga setengah tergantung di
es, seimbang di tepi tumpukan salju.
Kucoba memikirkan apakah ada yang kulupakan,
lalu memejamkan mata, tapi benakku menolak membantu. Aku tidak bisa memikirkan apa apa.
Collie tersebut menyalak satu kali.
Aku turun, memantapkan pijakanku pada jalan dan
mendorong mobil salju dengan bahu. Mobil tersebut
meluncur dengan mudah. Mula mula masih di tum
pukan salju. tapi kemudian lenyap. Terdengar detakan
keras ketika menyentuh es, dan mesinnya mati.
Aku kembali naik ke tumpukan salju untuk melihat.
Mobil salju tersebut telah berputar di udara, men
darat pada Pedersen, meremukkannya dengan berat
mesin. Esnya retak, tapi tidak hancur, membentuk
ceruk di sekitar pria tua dan mesinnya. Sungai per
lahan meresap keluar, menutupi mayatnya. Topinya
telah lepas dan ubannya terjurai keluar di air es.
Syalnya terlilit erat di wajahnya, bagai sumpal. Salah
satu lengannya terpilih di bawah mobil salju, yang
lain terentang di sisinya dengan telapak menghadap
ke atas, seakan ia meninggal dalam usahanya mem
bebaskan diri.
Jacob tiba dari timur beberapa menit kemudian. la
mengurangi kecepatan mobil untuk berhenti di sebelahku dan aku naik. Saat kami melaju aku kembali
melirik ke jembatan. Mayat pria tua tersebut terlihat
di bawahnya, noda oranye di es.
125 Kami melewati rumah Pedersen untuk kedua kalinya
hari itu. Anjing collie-nya menyalak sekali lagi, tapi
Mary Beth, bergelung di kursi belakang, tampaknya
tidak menyadari. Aku tadi benar, ada asap membubung
dari cerobongnya. Berani istri pria tua itu ada di
rumah, duduk dekat perapian di kamar duduk, me
Rencana Sederhana A Simple Plan Karya Scott Smith di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
nunggu suaminya pulang. Memikirkannya membuat
dadaku sesak. '
Kami melewati tempat rubahnya menyeberangi jalan, kudengar napas Jacob tersentak.
"Tuhan," katanya.
Aku memandang ke jendela, Di mana mana terdapat
jejak jejak mbah, anjing, J aoob, Lou, dan jejakku. Di
tumpukan salju terdapat ceruk akibat truk Jacob dan, di
seberang jalan, jejak mobil salju Pedersen. Jejaknya
tampak menyusut saat menghilang ke dalam hutan,
seakan membentuk panah, menunjuk lurus ke pesawat.
Jacob mulai menangis lagi, sangat pelan. Air mata
bergulir di pipinya, dan bibirnya bergetar.
Ketika berbicara, kuusahakan suaraku terdengar
tenang. "Tidak apa," kataku. "Salju akan turun. Begitu
salju turun, semuanya akan lenyap."
Jacob tidak mengatakan apa-apa. Terdengar suara
mirip sendawa dari dadanya
"Hentikan," kataku. "Segalanya beres. Kita bisa
meloloskan diri."
Ia menghapus pipinya. Anjingnya berusaha men
julurkan kepala ke kursi depan dan menjilati wajahnya,
seakan mau menenangkannya, tapi Jacob menyingkir
kannya.
"Segalanya akan beres," kataku. "Begitu salju tumn,
segalanya akan beres."
126. Ia menghela napas dalam, kemudian mengangguk.
"Kau tidak bisa bereaksi seperti itu, Jacob. Satusatunya yang membuat kita tertangkap hanya kalau
kita mulai kacau. Kita harus tetap tenang."
Ia mengangguk lagi. Matanya merah dan bengkak.
"Terkendali,"
"Aku cuma kelelahan, Hank," katanya. Suaranya
serak, hampir mirip bisikan. Ia memandang ke luar
jendela, mengedipkan mata. Hidungnya tidak lagi ber
darah, tapi ia tidak menghapus noda di atas bibirnya,
yang membuatnya"mirip Charlie Chaplin gendut.
-"Aku begadang semalam, dan sekarang aku lelah."
Kubiarkan Jacob mengemudi hingga mengitari taman.
Kami kembali mengarah ke atas utara taman, ke
Jalan Taft.
Cagar alam tampak sama pada sisi ini seperti sisi
lainnya. Hanya hutan sycamure, buckeye, maple,
beberapa tanaman hutan tropis, dan birch dengan
lengkungan putihnya. Sejumlah pinus masih tertutup
salju akibat'badai hari Selasa yang lalu. Sesekali
terlihat burung dan gerakan gerakan cepat di antara
cabang cabang gundul, tapi tak ada tanda tanda ke
hidupan liar lainnya, tidak ada kelinci atau rusa,
tidak ada racauan, possum, atau rubah. Aneh juga
kalau dipikirkan bahwa pesawatnya di sana tas penuh
uang dan mayat pilot dan di balik reruntuhan, di
sisi seberang taman, terdapat Pedersen yang kucekik,
mengambang di air es Sungai Anders.
Aku tak pernah membayangkan Jacob dan diriku
sebagai orang yang mampu melakukan kekejaman.
Kakakku sering terlibat perkelahian di sekolah. tapi
. 127
selalu karena ia dijebak, diejek hingga tidak punya
pilihan kecuali mengamuk. Ia tidak cukup pandai
menggunakan lidahnya. jadi ia menggunakan tangan
dan kakinya, tapi hasilnya sama menyedihkannya. Ia
tidak pernah belajar berkelahi, bahkan tidak pernah
berhasil meniru keinginan pegulat sejati untuk menyakiti: tidak peduli betapapun. marahnya, ia selalu
tampak menahan diri, seakan khawatir menyakiti
lawannya, dan hal tersebut membuat kemarahannya
seakan hanya kepalsuan, berpura-pura membabi buta
seperti dalam film bisu. la menerjang mereka dengan
ngawur, tangan terbuka, seakan berenang. Air mata
membanjiri wajahnya, dan mereka menertawakannya,
menjulukinya macam macam.
Kami berdua adalah produk temperamen Ayah kanti,
pria yang begitu menyukai kedamaian hingga menolak
untuk berternak tidak ada sapi, ayam, atau babi
karena tidak tahan melihat mereka dibantai. Sekalipun
begitu, bersama sama, kami mampu membunuh seseorang. '
Ketika tiba di Ashenville, Jacob menghentikan mobil
di depan apartemennya, tanpa mematikan mesin. Seba
gian besar kota tutup untuk Tahun Baru. Hanya ada sedikit orang di jalan raya, bergegas menuju tujuan
masing masing. kepala menunduk mengatasi dingin.
Angin bertiup, menerbangkan benda benda menyeberangi jalan. Langit sekarang bersih sempurna; sinar
matahari menari-nari di jendela kaca toko besi dan
membuat trotoar berkilau. Hari telah berubah indah.
Jacob tidak keluar. Ia menatap kosong ke kaca
depan, seakan tidak yakin akan keberadaannya. Ia
menyentuh batang hidungnya dengan ujung jari.
128 "Kurasa patah," katanya.
"Tidak," kataku meyakinkannya. "Cuma berdarah."
Ia masih tampak ketakutan, terkejut, dan hal tersebut
mulai membuatku khawatir. Aku tidak ingin meninggalkannya dalam keadaan begini. Mesin kumatikan.
"Kau tahu apa yang kupikirkan'!" tanyaku. "Tepat
waktu kau memukulnya " '
Ia tidak menjawab, masih tetap meraba hidungnya.
"Aku teringat perkelahianmu dengan Rodney
Sample." Kuketuk kepalaku dengan tangan. "Sekilas
terbayang di kepalaku, kau mengayunkan tinju padanya
dan jatuh."
Jacob tidak mengatakan apa apa.
"Berapa umurmu waktu itu Ingat "
la berpaling dan menatapku dengan pandangan
tidak enak. Ia mengenakan sarung tangannya lagi.
Yang kanan ternoda darah; ada noda telur kocok
kering sebesar uang logam di telunjuknya.
"Rodney Sample "
"Di pelajaran olahraga. Kau meninjunya dan kalian
berdua jatuh."
Ia mengangguk tanpa mengatakan apa apa. Ia menatap sarung tangannya, menyadari noda telur kocok
nya. la mengangkat jari dan menjilatnya, kemudian
menggosokkannya ke kaki celana.
"Kita sekarang terlibat," katanya, "ya, kan "
"Ya," kataku. "Memang."
"YaTuhan." la mendesah, dan kemudian sejenak
tampaknya ia akan menangis lagi. Ia memeluk perutnya dan bergoyang sedikit, menggaruk sikunya.
"Ayolah, Jacob. Tenangkan dirimu. Yang sudah
terjadi biarkan terjadi."
129 Ia menggeleng. "Aku membunuhnya, Hank. Mereka
akan mengautopsinya, dan mereka akan tahu."
"Tidak," kataku, tapi ia tak mengacuhkan aku.
"Mudah bagimu untuk tenang. Bukan kau yang
dipenjara." Ia menghela napas dalam, lalui terengahengah. _
"Kau tidak membunuhnya," kataku'terkejut. Ia me
nularkan kepanikamiya; aku berusaha menenangkannya
Ia memandangku sekilas, kebingungan.
Segera aku sadar bahwa aku tak ingin memberitahu
nya apa yang akan kukatakan. Aku berusaha me
nariknya kembali. "Kita berdua yang membunuhnya,"
kataku. Aku memandang ke jalan, berharap ia akan
melupakannya. Tapi tidak.
"Maksudmu " tanyanya.
Aku berusaha tersenyum. "Bukan apa apa."
"Katamu aku tidak membunuhnya."
_ Aku menatapnya, bemsaha menemukan alasan da
lam benakku. Sejak kanak kanak aku tahu tidak bisa
mengandalkannya ia akan terlambat, lupa, ia akan
mengecewakanku dengan kemalasan dan ketidakacuhannya jadi tentu saja aku seharusnya lebih tahu.
Tapi ia kakakku; aku ingin mempercayainya. Dan.
sekalipun kukira aku bisa merasakan adanya bahaya
"dalam hal ini, aku juga melihat adanya keuntungan.
Aku menyelamatkannya; tampaknya ia harus menge
tahuinya. Ia akan berutang budi padaku.
"Ia masih hidup sewaktu kau pergi," kataku. "Aku
tidak menyadarinya sampai ketika mau mengambilnya.
Saat itu kau sudah pergi."
"Aku tidak membunuhnya " tanya Jacob.
Aku menggeleng. "Kucekik dia dengan syalnya."
130 Kakakku membutuhkan waktu beberapa lama se
belum bisa meresapinya. la menatap pangkuannya,
kepalanya terselip ke dadanya, sehingga kulit di bawah
dagunya membentuk lipatan-lipatan.
"Kenapa " tanyanya.
Pertanyaan tersebut mengejutkanku. Aku memandangnya lekat lekat, berusaha menganalisis alasan aku
melakukan pembunuhan. "Kulakukan untukmu. Jacob.
Untuk melindungimu."
Ia memejamkan mata. "Seharusnya jangan kaulakukan. Seharusnya kaubiarkan saja dia tetap hidup."
"Demi Tuhan, Jacob. Kau tidak mendengar apa
yang kukatakan Kataku kulakukan untuk menyelamatkan dirimu."
"Menyelamatkan aku " tanyanya. "Kalau kaubiar
kan dia hidup, hasilnya cuma aku yang memukulinya.
Kita bisa saja menyerahkan uangnya, dan pasti tidak
seburuk itu. Sekarang ini pembunuhan."
"Yang kulakukan cuma menyelesaikan apa yang
kau mulai. Kita melakukannya bersama sama. Kalau
kau tidak melakukan bagianmu lebih dulu, aku tidak
akan pernah melakukan bagianku."
Perkataanku membuatnya terdiam. la melepas kacamatanya, membersihkannya pada jaketnya, kemudian
mengenakannya kembali.
"Kita akan tertangkap," katanya.
"Tidak, Jacob, tidak akan. Kita sudah melakukannya, dan kita akan lolos. Saru-satunya kemungkinan
k_ita tertangkap adalah kalau kita panik dan menarik
perhatian."
"Aku tidak akan panik."
"Kalau begitu kita tidak akan tertangkap."
131 Ia mengangkat bahu, seakan r_nau mengatakan, "Kita
lihat saja," dan kami mengawasi bocah lelaki yang
bersepeda lewat. Ia mengayuh sepedanya di tengah
jalan, berjuang melawan angin. Ia mengenakan topeng
ski hitam, membuatnya tampak penuh ancaman, bagai
teroris.
"Kita ceritakan pada Lou " tanya Jacob.
"Tidak."
"Kenapa "
Kurasakan sesuatu bergeser dan menetap dengan
berat ketika ia menanyakannya. Kata kaki-tangan
mengambang dalam benakku, dan mungkin untuk per
tama kalinya seumur hidup aku memahami artinya.
Kata yang kuat; mengaitkan orang orang, mengikatnya
satu sama lain. Jacob dan aku telah melakukan kejahatan bersama-sama, dan nasib kami sekarang terkait
satu sama lain. Kalau pada saat ini Jacob tampak
lebih ketakutan daripadaku akibat perbuatan kami, itu
tidak berarti apa apa. Kekuatan kami sama; kami
berada di tangan satu sama lain. Kalau ia terlalu
terguncang untuk dapat mengerti pada saat ini,-tidak
akan untuk waktu yang lama. '
Aku berpaling padanya. "Kenapa kau mau menceritakannya pada Lou "
"Cuma sekadar dia perlu tahu."
"Itu buruk, Jacob. Bisa membuat kita menghabiskan
sisa hidup kita di penjara."
Ia memejamkan matanya kembali. _
"Berjanjilah kau tidak akan cerita padanya," kataku.
Ia ragu ragu, menatap sarung tangannya, kemudian
mengangkat bahu. "Baiklah."
"Berjanjilah."
132 Ia mendesah, memandang ke luar jendela di belakangku. Pickup nya diparkir di seberang jalan. "Aku
berjanji tidak akan cerita pada Lou," katanya.
Kami sama sama membisu setelahnya. Jacob tampaknya mau turun, tapi kemudian membatalkan niatnya.
"Uangnya kausembunyikan di mana " tanyanya.
Aku _melin'knya tajam. "Di garasi," kataku berbohong. '
"Di garasi "
"Kukira Sarah mungkin akan menemukannya kalau
kusembunyikan di rumah."
Ia mengangguk, menunggu sejenak, seakan memikirkan sesuatu untuk berbimra lebih jauh. Kemudian
ia membuka pintu. Mary Beth tersentak berdiri di
belakang kami.
"Kita lupa mengunjungi makam," kataku.
Jacob memandangku dengan ekspresi kelelahan,
bibirnya membentuk cibiran. "Kau mau pergi sekarang "
Aku menggeleng. "Aku cuma mengingatkan kalau
kita sudah lupa."
Ia memberi isyarat meremehkan dengan tangannya.
"Itu masalah kita yang paling ringan, bukan " tanya
nya Ia tidak menanti jawabanku. Ia melangkah turun,
"bersiul pada Mary Beth, dan ketika anjing tersebut
turun dari kursi belakang ke trotoar menutup pintu
di belakangnya.
Sarah mendengar kepulanganku dan memanggilku ke
atas. Kutemukan ia di kamar tidur, tirai terjuntai,
cahayanya remang-remang. Ia telah siap untuk tidur
133 siang, berbaring telentang di balik selimut, rambutnya
diekor kuda di puncak kepalanya. _
Aku duduk di sebelahnya di tepi ranjang, dan
menceritakan peristiwa tadi pagi. Kumulai dari awal,
membiarkan ceritanya terungkap, meninggalkan klimaksnya, pertemuan dengan Pedersen, jatuh bagai
bom di tempat yang tepat. Sarah berguling ke sisinya,
memejamkan mata. Selimut ditariknya hingga ke dagu.
Ia tidak bereaksi terhadap ceritaku; hanya berbaring
di tempatnya, bibirnya membentuk senyum mengantuk.
Aku bahkan tidak yakin ia mendengarkan.
Tapi kemudian, tepat ketika aku menceritakan saat
aku keluar dari pesawat, ia mengangkat kepalanya
sedikit dan membuka matanya.
"Bagaimana dengan kaleng birnya " tanyanya.
la mengenaiku tepat pada sasaran. "Kaleng bir " _
"Kaleng birnya Lou."
Aku sadar telah lupa mencarinya. Aku bermaksud
mencarinya setelah meletakkan uangnya, tapi kemudian
Rencana Sederhana A Simple Plan Karya Scott Smith di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kedua gagak tersebut muncul mengalihkan perhatianku.
"Tidak kutemukan," kataku, menghindar.
"Sudah kaucari " _
Aku berhenti sejenak dan itu bisa dianggap berbohong, tapi keragu raguanku menghapuskan kebutuhan
akan hal tersebut.
"Kau lupa," katanya, suaranya penuh tuduhan.
"Aku tidak melihatnya. Tidak ada dekat pesawat,"
Ia beranjak duduk. "Kalau mereka menemukannya,"
katanya cepat, "mereka akan tahu ada yang pernah
ke sana."
"Cuma kaleng bir, Sarah. Tidak akan ada yang
memperhatikannya."
134 Ia tidak mengatakan apa-apa. Ia menatap ranjang.
Kulihat ia marah, bibirnya terkatup rapat dan tam
paknya ia mengencangkan otot di dahinya.
"Mereka akan menganggapnya sisa musim panas,"
kataku. "Ditinggalkan orang yang piknik di perkebunan."
"Mereka bisa menguji berapa lama kaleng itu
berada di sana. Mereka bisa tahu dari banyaknya
karat yang ada."
"Ayolah, Sarah. Mereka tidak akan mengujinya."
Aku tertusuk mendengar nada bicaranya. Seakan aku
telah melakukan kesalahan besar yang tidak bisa
dimaafkan. Ia mengira aku telah bertindak bodoh.
"Mereka akan menemukan sidik jari Lou di sana."
"Dia memakai sarung tangan," kataku, berusaha
keras mengingat kalau ucapanku benar. "Cuma kaleng
bir tergeletak di hutan. Tidak ada yang akan menganggap serius." kataku, berusaha keras mengingat
bahwa ucapanku benar. "Cuma kaleng bir tergeletak
di hutan. Tidak ada yang akan menganggap serius."
"Pasti, Hank. Kalau mereka curiga sedikit saja uangnya sudah. diambil, mereka akan menggeledah setiap
senti perkebunan. Dan kalau mereka menemukan ka
leng bir itu, dan menemukan sidik jari Lou, mereka
akan melacak kita." _ .
Aku memikirkannya. Sakit hati karena kemarahan
nya dan ada keinginan samar untuk membalas. Aku
tahu ia terlalu membesar besarkan masalah, tapi pada
saat yang sama lmlihat ia mungkin mau membenarkan
ketakutannya. Kami telah meninggalkan sesuatu: kecil,
tapi cukup potensial untuk menjadi petunjuk, bukti
yang mengesahkan kehadiran kami di sana.
135 "Mungkin sebaiknya kita bakar saja," katanya.
"Ayolah, Sarahl"
Ia memejamkan mata dan menggeleng.
"Kita tidak akan membakarnya," kataku.
Ia tidak mengatakan apa apa. Ia meluruskan selimut
di perutnya, wajahnya muram. Saat mengawasinya
tiba tiba kusadari aku tidak akan bercerita tentang
Pedersen. Aku terkejut karenanya, tersentak. Kami
belum pemah menyimpan rahasia satu sama lain.
Kami selalu menceritakan segalanya. Tapi aku tahu
aku tidak akan bercerita tentang hal ini, tidak di sini,
bukan sekarang. Mungkin kelak, sepuluh atau dua
puluh tahun lagi, ketika kami hidup berbahagia dengan
uang tersebut. dan apa yang kulakukan telah dibenarkan, lepas dari apa yang seharusnya mengikuti. Akan
kuceritakan padanya bagaimana aku telah menyelamatkan kami semua dari kemungkinan ketahuan, bagaimana aku melakukannya, sendirian, untuk melindungi
nya dan calon anak kami. Ia akan shock oleh kebe
ranianku, pada caraku menyembunyikannya selama
bertahun tahun, dan ia akan memaafkanku.
Tapi sebenarnya, aku takut akan apa yang dipikirkan
tentang tentang diriku. Aku ngeri terhadap penilaiannya.
"Dahimu kelihatannya sudah lebih baik," katanya
tanpa memandangku. Itulah usahanya untuk mendekatiku.
Kusentuh dahiku. "Sudah tidak sakit lagi," kataku.
Kemudian kami duduk dalam kebisuan. Sarah kem
bali berbaring, berguling ke arahku. Aku tidak meman
dangnya. Aku menunggunya meminta maaf. Kalau ia
meminta maaf aku mungkin akan menceritakannya,
tapi tidak, dan akhirnya aku menyerah.
136 "Teruskan," bisiknya.
"Itu saja," kataku. "Kututup pintu dan kembali ke
jalan. Kemudian kami pulang."
Sepanjang sore salju tidak turun. Aku berkeliaran
tanpa henti dalam rumah, sesekali melirik ke luar
jendela, memandang langit. Setiap jam kuhidupkan
radio dan mendengarkan laporan cuaca. Ramalan mengatakan salju tebal akan _turun sepanjang sore hingga
malam, tapi pada saat makan malam masih tidak
terlihat adanya awan, dan ketika matahari akhirnya
terbenam, lautan bintang putih cemerlang muncul di
langit, berkedip menerobos kegelapan di bumi.
Kecelakaan Pedersen masuk berita lokal. Sarah
dan aku menyaksikannya di TV sebelum makan malam. Mereka merekam jembatan sorenya. Mobil salju
nya masih di air, setengah tenggelam; topi pria tua
tersebut mengambang di sebelahnya, tapi mayatnya
telah diangkat. Tepi sungai dipenuhi berbagai jejak,
jadi bisa kaubayangkan keributan untuk mengeluarkannya, kepanikan dan ketergesa gesaan yang diperkuat
harapan tipis ia masih hidup.
Penyiar mengatakan mayatnya ditemukan pengendara sepeda motor yang kebetulan lewat menjelang
tengah hari. Tidak disinggung adanya tanda-tanda
kekerasan atau hal hal mencurigakan yang ditemukan.
Di latar belakang kulihat truk sheriff dihentikan di
tepi jalan. Lampunya berkelebat. Carl berdiri di sebe
lahnya, sedang berbicara dengan pria tinggi kurus
mengenakan rompi hijau, mungkin pengendara motor
tanpa nama tersebut. Di sudut layar, di kejauhan,
kulihat rumah Pederson. Ada tiga atau empat mobil
l37 di halaman, teman teman yang datang untuk menghibur
jandanya. _
. Sarah tidak mengomentari berita tersebut. Ia hanya
berkata, "Menyedihkan, di hari Tahun Baru." Ia tampaknya tidak menyadari betapa dekatnya sungai ter
sebut dengan cagar alam.
Aku tidur dengan depresi berat.
Aku telah membunuh seseorang. Setiap kali aku
berpaling ke belakang, aku meiihatnya sesuatu yang
telah kulakukan. Dalam hati aku merasa tidak ada
perubahan. Aku masih tetap orang yang sama sepetti
dulu, tapi di kepalaku aku menyadari sekarang aku
berbeda. Sekarang aku seorang pembunuh.
Dan masih ada Sarah. Aku belum menceritakan
yang sebenarnya. Kebohongan besar pertama di antara
kami. Aku juga menyadari semakin lama akan semakin
sulit menceritakannya. Angan anganku untuk mengaku
dua puluh tahun lagi memang sekadar angan angan.
Setiap saat yang kuhabiskan bersamanya tanpa bercerita merupakan kelanjutan, penguatan dari kebo
hongan sesungguhnya.
Malamnya aku tertidur dengan tangan memeluk
perut Sarah. Kalau bayinya menendang, aku bisa
merasakannya dalam mimpiku. Tapi pemikiran terakhirku sebelum tidur bukanlah tentang bayi tersebut,
atau Sarah, atau uangnya. Pemikiran terakhirku sebelum'terlelap adalah Jacob. Kupejamkan mata dan
melihat kepanikan di wajahnya saat ia berdiri di
dekat mayat Pederson, percaya telah membunuhnya.
Dan dalam dadaku saat napasku semakin lambat,
kurasakan gelombang kehangatan, sebesar gelombang
kasihan yang kurasakan ketika melihat air mata di
138 pipinya. Tapi sekarang perasaan tersebut bukan hanya
untuk Jacob, kehangatan dan rasa kasihan ini tapi
juga untuk diriku, Sarah, bayi kami, Pedersen, dan
janda Pederson. Aku kasihan terhadap semua orang.
Pagi harinya, dari cahaya dalam kamar tidur, aku
tahu salju telah turun. Remang remang, kelabu, bergerak, dan sunyi. Aku turun darijanjang dan bergegas
ke jendela. Butir butir salju raksasa melayang turun
dari langit, berputar, berpuntir, menempel pada apa
pun yang mereka sentuh. Jelas salju telah turun
sepanjang malam. Jejak di halaman tettutup, cabang
pepohonan, membungkuk keberatan. Segalanya," seluruh
dunia, putih, tertutup, tersembunyi, terkubur.
139 JENDELA kantorku menghadap ke selatan dari sudut
kanan depan Toko Makanan Raikley, menghadap ke
Gereja Episcopal SL Jude di seberang jalan. Hari
Rabu, 6 Januari, aku tengah di mejaku menyantap
donat dan secangkir kopi hangaL ketika sekelompok
pria dan wanita berpakaian hitam muncul dari pintu
samping gereja dan perlahan tnenyusuri tempat parkir
berkerikil, melewati gerbang rantai pemakaman mungil,
ke lubang hitam yang baru saja digali empat puluh
meter dati gerbang.
Pemakaman Dwight Pederson.
Enam mobil diparkir di tempat parkir, termasuk
mobil jenazah keperakan yang berhenti di sebelah
gerbang pemakaman. Pengunjungnya sedikit. Pedersen
seorang penyendiri, ia. tidak memiliki banyak teman.
Bisa kukenali jandanya Ruth, saat ia melangkah ke
makam. Pendeta memegangi lengannya yang kecil,
bahunya membungkuk, tangan kirinya memegang Alkitab di dada. Aku hanya bisa melihat tepi pemakaman;
sisanya tersembunyi di balik gereja. Para pelayat
berkerumun di batasnya. .
Lonceng gereja St. Jude mulai berdentang.
140 Kuhabiskan donatku kemudian beranjak bangkit
dan membawa kopiku ke jendela Pemakaman, mung
kin seratus meter jauhnya, cukup jauh bagiku untuk
bisa mengenali orang-orang yang berkerumun di sekitar makam. Beberapa di antaranya tersembunyi di
balik gereja. Yang lain, menunduk dengan tubuh mengerut menahan dingin, tidak kukenali, seperti orangorang asing, sekalipun aku pasti mengetahui sebagian
besar di antaranya. Mereka pasti orang-orang yang
berpapasan denganku di jalan jalan kota, orang orang
yang kuketahui ceritanya, leluconnya, dan gosipnya.
Kuamati mereka menundukkan kepala, kemudian
mengangkatnya, mengatakan sesuatu bersama-sama
sebelum menunduk lagi. Aku bisa melihat Ruth memunggungiku. Ia tidak mengangkat kepala seperti yang
lainnya; ia tetap menunduk. Kurasa ia menangis.
Pendetanya tidak terlihat.
Aku tetap di jendela hingga upacara berakhir dan
orang orang perlahan mulai kembali ke tempat parkir.
Kuawasi mereka dan menghitung diam-diam. Semuanya tujuh belas orang, termasuk sopir mobil jenazah
dan pendeta. Mereka mengorbankan pagi hari untuk
menghormati Dwight Pederson dan menyampaikan
belasungkawa. Mereka semua percaya kematiannya
adalah kecelakaan, tragedi mengerikan, terjepit mobil
saljunya lima belas senti di bawah permukaan air
sedingin es. Kaki dan dua rusuknya patah, tengkorak
nya retak, sia sia berjuang membebaskan diri dari
jepitan syalnya yang mencekik.
Hanya Jacob dan aku yang tahu kebenarannya.
Aku tahu mulai sekarang segalanya akan lebih
lancar. Seiring berlalunya hari, kecurigaan terhadap
141 perbuatanku akan semakin berkurang. Pedersen telah
dimakamkan, menyingkirkan ancaman ditemukannya
sesuatu dalam autopsi. Pesawatnya terkubur salju,
jejak di sekitarnya terhapus selamanya.
Mungkin yang paling melegakan adalah kenyataan
bahwa aku masih bisa memandang diriku sebagai
orang baik baik. Kukira peristiwa di cagar alam ter
sebut akan mengubahku, mempengaruhi karakter atau
kepribadianku. Aku akan dibebani perasaan bersalah,
kerusakan yang tidak bisa diperbaiki'akjbat kengerian
atas kejahatanku. Tapi tidak ada yang berubah. Aku
masih tetap diriku yang dulu. Kematian Pedersen
sama seperti uang itu; ada bila kupikirkan, tapi bila
tidak, lenyap. Tidak ada bedanya dalam kehidupan
sehari-hariku kecuali kalau kupikirkan.
Aku percaya perbuatanku pada Hari Tahun Baru
tersebut merupakan penyimpangan. Aku dipaksa mema
sukinya oleh situasi yang luar biasa, situasi di luar
kemampuanku untuk mengendalikan, dan sekarang semua tampaknya bisa kumengerti, bahkan dimaafkan.
Tapi benarkah Kalau ada kegelisahan yang melingkupiku saat itu, tidak ada hubungannya dengan ke
mungkinan tertangkap, tidak ada hubungannya dengan
uang atau kenangan akan kejahatanku. Hubungannya
dengan Sarah. Bisakah Sarah memahami perbuatanku'
Kurasakan embusan angin menerobos jendela. Bing
kai jendela tertutup lapisan plastik yang telah robek
dan kini melambai lambai ke dalam. Kuamati para
pelayat saling mengobrol beberapa saat di lapangan
parkir. Mereka mengerumuni Ruth Pederson, meme
luknya bergantian. Prianya saling berjabatan tangan.
Akhirnya mereka masuk ke mobil masing masing,
142 keluar dari tempat parkir, dan perlahan melaju menyusuri Main Street ke batas barat kota.
Mereka menuju rumah Pedersen: bisa kubayangkan
dengan cukup baik. Mereka makan siang di meja
kayu besar di dapur cassemle dan rhree bean salad,
daging dingin, kripik kentang. Ada minuman hangat
teh, kopi, cokelat hangat dalam cangkir styrofoam.
Untuk pencuci mulut disajikan Jell-O, kue wortel,
kue cokelat. Ruth Pedersen, tidak lagi mengenakan
pakaian hitamnya, duduk di kepala meja Ia mengawasi
yang lainnya makan; memastikan setiap orang cukup
makan. Orang-orang berkeliaran di sekitarnya, ber
bicara pelan. dan ia tersenyum sebagai balasan. Setiap
orang akan berusaha membantu mencuci piring, me
ngeringkannya, dan meletakkannya di lemari yang
salah. Kemudian, saat sore berganti malam, saat
cahaya 'memudar ke barat ke arah cagar alam, satu
per satu kembali ke kehidupan masing masing, hingga
akhimya Ruth tertinggal seorang diri di rumah kosong
tersebut.
Bisa kubayangkan ia duduk di sana, rumahnya
tenggelam dalam kegelapan, para tamu telah lenyap,
dan tak punya kesibukan lain kecuali larut dalam
duka. Tapi, sekalipun aku tahu seharusnya aku me
nyesal, aku tidak merasa begitu atas bayangan ter
sebut. Tidak ada perasaan bersalah, hanya semacam
pengertian yang abstrak, jauh, dan tidak jelas. Aku
telah merampas suaminya; bukan sesuatu yang kukira
Rencana Sederhana A Simple Plan Karya Scott Smith di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
akan bisa kuatasi, tapi ternyata bisa.
Kerai kututup, kuhabiskan kopi, lalu kubuang cangkir kosongnya ke keranjang sampah. Kemudian aku
duduk di mejaku, menghidupkan lampu yang ada di
143 sana, mencabut pena dari saku kemeja, dan mulai
bekerja.
Dalam perjalanan pulang malamnya, aku mengambil
jalan memutar yang panjang agar bisa melewati cagar
alam. Kukitari cagar alam tersebut kemudian masuk
dari barat, perlahan melaju dalam taman menuju
batas selatan. Cuaca mulai gelap dan aku melaju
dengan lampu jauh dihidupkan. menyapu tepi jalan
untuk mencari jejak kami. Tidak ada apa apa; semua
tanda tanda kehadiran kami, bahkan ceruk di tumpukan
salju di tepi jalan akibat truk Jacob telah terhapus.
Ketika aku melewati pertanian Pederson, aku bisa
melihat cahaya sejumlah lampu di balik jendela. An
jing collie-nya masih duduk di serambi. Tapi kali ini.
hewan tersebut tidak menyalak; hanya menatap sta
tion wagon ku, telinganyategak, kepalanya yang kecil
bulat perlahan berputar pada lehernya seiring laju
kendaraan di jalan ke arah jembatan Sungai Anders.
Seminggu berlalu. Aku berbicara dua kali dengan
Jacob melalui telepon tapi tidak menemuinya. Kami
hanya berbicara sejenak, keduanya tentang Pederson,
saling meyakinkan satu sama lain akan keberhasilan
kami menutupinya, Aku sama sekali tidak berbicara
dengan Lou.
Kamis sore aku tengah bekerja di kantor ketika
Sarah muncul. Wajahnya kemerahan akibat dingin,
membuatnya tampak marah dan ada kesan sibuk
yang terpancar darinya. Pandangannya berpindah pin
dah dengan oepaL tangannya menyentuh rambut, kemu
dian wajah, lalu pakaiannya, yang memberitahuku
144 ada kejadian buruk. Aku bergegas bangkit. keluar
dari balik meja, dan. membantunya melepas jaket. Di
baliknya ia mengenakan salah satu baju hamilnya
kain murahan bermotif armada perahu layar mungil
di lautan biru pucat. Bajunya sendiri membentuk
kubah bengkak di pemt. Aku tidak bisa tidak meAnatapnya karena mengingatkanku pada buah raksasa.
Ada bayi di dalamnya, setiap kali aku melihatnya
sekarang, pemikiran tersebut menggetarkanku, menimbulkan perasaan tidak enak di perutku.
Sarah menghempaskan tubuh ke kursi di sebelah
meja, kursi yang biasa diduduki pelanggan kalau
mereka meminta pengunduran pembayaran. Rambut
Sarah dijepit di sekeliling kepalanya, dan ia me
ngenakan lipstik merah tua.
"Lou memberitahu Nancy," katanya.
Aku menutup pintu kantor, kemudian duduk di
belakang meja,
"Aku bertemu dengannya di toko palen," kata
Sarah. "Aku mau membeli saus apel dan tengah
mencari kupon yang kupotong dari koran dalarn tasku
waktu dia muncul dari belakang dan menanyakan
kenapa aku repot repot."
"Dengan kuponnya "
Sarah mengangguk. "Katanya dengan hadiah Tahun
Baru kita, aku seharusnya tidak perlu khawatir."
Kubentangkan tangan di meja, mengerutkan kening.
"Dia mengatakannya di depan kasir, seperti mengo
mentari cuaca."
"Apa komentarmu "
"Tidak ada. Aku pura-pura tidak mengerti."
"Bagus." _
145 "Tapi dia tahu. Dia tahu aku mengerti apa yang
dikatakannya." '
"Sulit untuk mengharapkan Lou tidak cerita pada
nya, bukan "
"Kita bakar saja tiangnya."
"Maksudku, cepat atau lambat Nancy akan tahu
juga."
"Kita sudah melakukan kesalahan, Hank. Akuilah.
Kita terlibat terlalu dalam."
' "Kurasa kau berlebihan," kataku. Aku menyuruk
maju untuk memegang tangannya, tapi ia menariknya.
Aku menatapnya dari balik meja. "Ayolah, Sarah."
"Tidak. Kita akan tertangkap. Aku mau membakar
nya."
"Tidak bisa."
"Kau tidak mengerti, Hank'.7 Ini akan tidak terkendali. Tidak apa kalau cuma kita berempat yang
tahu. Tapi semua merasa boleh bercerita pada siapa
saja. Sekarang sudah lima orang yang tahu, tidak
lama lagi pasti lebih dari itu, dan akan terus ber;
tambah sampai akhirnya kita tertangkap."
"Kita tidak bisa membakarnya," kataku lagi.
"hai kota kecil, tidak memakan waktu lama. Kita
harus menghentikannya selagi sempat."
"Sarah," kataku lambat. "'Tidak sesederhana awalnya."
Ia mau memprotes, tapi kemudian menyadari ekspresiku. "Maksudmu " tanyanya.
"Kauingat berita tentang Dwight Pederson Pria
tua yang mobil saljunya tercebur sungai "
Ia mengangguk. "Di Hari Tahun Baru."
"Itu bukan kecelakaan."
146 Sarah seakan tidak mengerti. Ia menatapku dengan
pandangan kosong.
"Dia bertemu dengan Jacob dan aku di cagar
alam, dan kami membunuhnya." Setelah mengatakannya, aku merasa ada beban terangkat dari bahuku.
Tanpa merencanakannya, aku mengaku tidak bersalah.
Sarah duduk diam, berusaha memahaminya.
"Kalian membunuhnya " tanyanya. Wajahnya tampak aneh. Bukan ngen', hal yang paling kutakuti; tapi
mendekati ketakutan pemahaman yang diwarnai kebingungan dan di balik semuanya itu, ada sedikit
tanda tanda ketidaksetujuan yang duduk diam bagai
biji. menunggu untuk belajar lebih banyak sebelum
mencuat dan tumbuh. Melihatnya, aku menjadi raguragu, dan kemudian, bahkan tanpa pikir, sehingga
ketika kudengar kata-kataku sendiri aku terpesona
olehnya, aku kembali berbohong
"Jacob yang membunuhnya," kataku. "Dia memukulnya sampai jatuh dari mobil salju dan menendang
kepalanya. Lalu kami membawanya ke jembatan dan
membuatnya terlihat seperti kecelakaan."
Pengakuanku mengambang di antara kami, lahir
dan mati, meneteskan darah ke kertas kertas yang
bertebaran di mejaku.
"Ya Tuhan," kata Sarah.
Aku mengangguk, menatap tanganku.
"Bagaimana dia begitu tega " tanyanya. Bisa ku
lihat ia mengatakannya bukan sebagai teguran tapi
sekadar penasaran. Aku tidak tahu bagaimana menjawabnya.
"Kau tidak bisa mencegahnya "
Aku menggeleng. "Kejadiannya cepat sekali. Dia
147 baru melakukannya, dan segalanya sudah selesai saat
itu juga."
Sekilas aku memandang Sarah, dan benatapan langsung dengan matanya. Aku lega melihat ekspresinya
yang tenang. Tidak ada kengeiian di dalamnya, kedukaan. Yang ada hanya kebingungan. Ia tidak mengerti apa yang telah terjadi.
"Dia sedang mengejar rubah," kataku. "Kalau Jacob
tidak membunuhnya dia akan menemukan pesawatnya
dan melihat jejak kami di sekitarnya."
Sarah mempertimbangkannya sejenak. "Kita bisa
saja membakar uangnya," katanya.
Aku menggeleng lagi. Aku tidak akan melakukan
nya. Aku telah membunuh demi uang tersebut; kalau
kami menyerah sekarang, berarti sia sia aku membunuh. Kejahatannya menjadi tidak masuk akal, tidak
termaafkan. Aku memahami akan hal tersebut tapi
juga tahu tidak bisa menyampaikannya kepada Sarah.
Aku mengerutkan kening ke mejaku, menggulirkan
pensil melintasi permukaan meja di bawah telapak
tanganku.
"Tidak," kataku. "Kita tidak akan membakar uang
nya. "Kita akan tertangkap," katanya. "Ini mungkin kesempatan terakhir." Nadanya meninggi saat berbicara,
dan sekilas aku melirik ke pintu. Kuacungkan jari di
depan mulut.
"Kalau kita membakarnya," bisiknya, "Jacob tidak
akan apa apa. Tidak ada motif, tidak ada alasan
unmk mengaitkan kita dengan Pederson. Tapi kalau
kita menunggu tertangkap, Carl mungkin akan menebak keseluruhannya."
"
148 "Kita tidak apa apa," kataku tenang. "Kita tidak
berada dalam bahaya. Dan kalau kelihatannya kita
mulai menyerempet bahaya, kita masih sempat membakar uangnya. Itu satu satunya bukti yang menun
jukkan bahwa kita sudah melakukan kejahatan."
"Tapi sekarang bukan cuma pencurian. Ini pem
bunuhan."
"Kita satu- s-atunya yang tahu, Sarah. Kita dan
Jacob. Ini rahasia kita. Tidak ada alasan kenapa
orang lain harus curiga."
"Kita akan tertangkap." Ia menyurut dalam kursinya, tangan di perut.
"Tidak," kataku, dengan keyakinan yang melebihi
perasaanku. "Tidak akan. Tidak akan ada orang lain
yang tahu, Tidak tentang Pederson, dan tidak tentang
uangnya."
Sarah tidak mengatakan apa apa. Ia tampaknya
hampir menangis, tapi bisa kulihat, paling tidak se
jenak, bahwaaku berhasil menenangkannya. Ia akan
membiarkan segalanya berlangsung alamiah. Ia akan
menunggu dan melihat apa yang akan terjadi._ Aku
bangkit dari kursi dan mengitari meja ke sisinya.
Kusentuh rambutnya, kemudian membungkuk dan memeluknya. Bukan gerakan yang baik: ia duduk merosot
menjauhiku. perutnya menonjol di antara kami, dan
aku harus membungkuk di atas lengan kursi untuk
meraihnya. Tapi efek yang kuinginkan tercapai, ia
meletakkan kepalanya di bahuku, memelukku.
Teleponku berdering. Lima kali kemudian berhenti.
"Aku sudah berjanji, bukan Aku sudah berjanji
tidak akan membiarkan kita tertangkap."
Ia mengangguk di leherku.
149 "Dan akan kutepati," bisikku. "Akan kubicarakan
tentang Nancy dengan Lou.
Tidak apa apa Tunggu saja, dan segalanya akan
beres." '
Malam harinya, saat toko tutup, kudengar suara Jacob
di lobi. berdebat dengan kasir. Aku bergegas bangkit
dan turun dari kantorku.
Jacob tengah berdiri di kasir, jaketnya terkancing
sampai leher. Ia menatap penuh permohonan pada
Cheryl Williams, wanita gemuk pendek yang lebih
tua darinya, kasir paro waktu di toko. Cheryl meng
geleng.
"Maaf, Mr. Mitchell," katanya. "Aku tidak bisa.
Kau harus ke bank."
"Ayolah, Cheryl," pinta Jacob. "Banknya sudah
tutup." '
"Kalau begitu kau harus menunggu sampai besok."
"Aku tidak bisa," kata Jacob, nadanya meninggi.
"Aku membutuhkannya sekarang." '
Ada sesuatu tentang cara berdirinya, petunjuk nyata
bagaimana kakinya diletakkan di bawah tubuhnya
yang besar tersebut yang membuatku yakin bahwa ia
baru saja minum minum.
"Jacob," kataku, memotong jawaban Cheryl.
Mereka berpaling memandangku bersamaan, sama
sama merasa lega.
"Dia tidak mau menguangkan ini." kata Jacob. Ia
memegang cek di satu tangan dan melambaikannya
pada Cheryl.
"Kami bukan bank," kataku. "Kami tidak meng
uangkan ce ."
150 Cheryl, yang telah kembali menghitung pemasukan
hari ini, tersenyum sekilas.
"Hank "
"Ayo ke kantor," kataku memotongnya
Ia menyeberangi lobi ke kantorku dan pintu kututup
di belakangnya
"Duduk," kataku.
Ia duduk di kursi yang tadi diduduki Sarah. Derak
keras terdengar saat benda tersebut menerima'beban
tubuhnya
Aku ke jendela dan membuka kerai. Matahari
hampir terbenam, lampu lampu kota mulai menyala,
gereja dan pemakaman tenggelam dalam kegelapan.
"Kau minum minum," kataku, tidak berpaling dari
jendela. Kudengar ia bergerak gelisah di kursinya.
"Maksudmu "
"Bisa kucium. Sekarang belum pukul lima, dan
kau sudah mabuk."
"Aku cuma minum dua kaleng bir, Hank. Aku
tidak mabuk."
Aku berbalik dari jendela, menyandar di kusennya.
Jacob telah berputar di kursinya untuk memandangku.
Ia tampak kikuk, malu, seperti anak kecil yang dipanggil ke kantor kepala sekolah.
"Tidak bertanggung jawab," kataku.
"Aku benar benar membutuhkan uangnya. Aku
membutuhkannya malam ini."
"Kau lebih parah dari Lou."
"Ayolah, Hank. Cuma dua kaleng bir."
"Dia cerita pada Nancy, bukan "
Jacob mendesah.
"Jawab."
151 "Kenapa kau terus mendesak begitu "
"Aku cuma mau tahu kebenarannya."
"Dari mana aku tahu "
"Aku mau tahu pendapatmu."
Ia mengerutkan kening, merosot di kursinya. Ia
Rencana Sederhana A Simple Plan Karya Scott Smith di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidak memandangku. "Nancy kekasihnya," katanya.
"Mereka hidup bersama."
"Maksudmu dia cerita "
"Kalau Lou bertanya padaku apakah kau akan
bercerita pada Sarah, aku "
"Lou tanya begitu "
"Ayolah, Hank. Aku cuma mau menunjukkan itu
cuma dugaanku. Aku tidak yakin akan apa pun."
"Aku tidak menanyakan apa yang kau tahu. Aku
cuma menanyakan pendapatmu."
"Seperti kataku tadi, Nancy kekasihnya."
"Berani ya "
"Kurasa."
"Kauingat apa yang sudah kita katakan Bahwa
kau bertanggung jawab atasnya
Ia tidak menjawab.
"Kalau dia mengacau, ini salahmu. Kau akan kusalahkan."
"Ini bukannya "
"Kubakar uangnya, Jacob. Kalau kupikir kalian
berdua akan mengacau, akan kubakar uangnya."
Ia menatap ceknya.
"Sebaiknya kauberi dia pengertian secepatnya. Katakan bahwa dia bertanggmg jawab atas Nancy, tepat
seperti kataku bahwa kau bertanggung jawab atasnya."
Jacob menengadah memandangku, berpikir. Ia me
raba gigi dengan lidahnya, mengisapnya, seakan ber
152 usaha membersihkannya. Dahinya, lebar dan rendah,
dihiasi jerawat. Kulitnya berminyak; berkilau oleh
cahaya lampu mejaku.
"Ini seperti rantai makanan, bukan " katanya.
"Rantai makanan "
Ia tersenyum. "Lou bertanggung jawab atas Nancy,
aku bertanggung jawab atas Lou, kau bertanggung
jawab atasku."
Aku memikirkannya; kemudian mengangguk.
"Jadi," kata Jacob, "kau bertanggung jawab atas
kami semua."
Aku tidak bisa mengatakan apa apa. Aku melangkah
menjauhi jendela, mendekati meja, dan duduk di balik
nya. "Berapa banyak ceknya' " tanyaku.
Ia memandang cek di tangannya sekilas. Ia masih
mengenakan sarung tangannya. "Empat puluh tujuh
dolar."
Kuambil cek tersebut dari tangannya.
"Dari mana "
"Sonny Major. Roda pasakku kujual padanya."
Kuamati ceknya, kemudian kukembalikan bersama
pena. "Alihkan padaku."
Sementara ia menandatanganinya, kukeluarkan dua
lembaran dua puluhan dan sepuluhan dari dompetku.
Kuberikan ke Jacob sebagai ganti ceknya.
"Kau utang tiga dolar padaku," kataku.
Ia menyimpan uangnya di saku. tampaknya akan
beranjak bangkit. tapi kemudian membatalkannya.
Ia memandang dahiku sekilas. "Bagaimana memarmu' " tanyanya.
Kusentuh lukaku. Yang tersisa hanyalah luka kering
mungil. "Sudah sembuh."
153 Ia mengangguk.
"Hidungmu " tanyaku
Ia mengerutkan hidung, menghela napas melaluinya
"Baik."
Setelah itu kami duduk membisu. Aku mau bangkit
berdiri dan membimbingnya ke pintu ketika ia ber
tanya, "Kauingat waktu Dad mematahkan hidungnya "
Aku mengangguk. Ketika aku berusia tujuh tahun,
Dad membeli kincir angin lewat pos, untuk mengairi
salah satu ladangnya. Ia hampir selesai memasangnya
dan tengah berada di puncak tangga mengencangkan
mur, ketika embusan angin mendadak menyebabkan
baling baling aluminium tersebut berputar. Dad terhajar
wajahnya, jatuh dari tangga ke tanah. Mom melihatnya
dari rumah, dan karena Dad tidak segera bangkit,
tangannya masih memegangi kepala Mom menelepon
ambulans. Ashenville memiliki pasukan pemadam ke
bakaran sukarela, jadi teman teman Dad lah yang
datang berhamburan ke pertanian, dan mereka meng
godanya selama bertahun tahun. Dad tidak pernah
memaafkan Mom karena malunya.
"Kincir itu masih ada," kata Jacob. "Bisa kaulihat
dari jalan kalau melewatinya."
"Mungkin itulah satu satunya karyanya yang benarbenar berhasil," kataku.
Jacob tersenyum ketidakbecusan Dad sebagai tu
kang sudah menjadi lelucon keluarga selama bertahun
tahun tapi ketika ia berbicara lagi nadanya terdengar
sangat berduka, penuh kerinduan dan penyesalan.
"Kuharap mereka masih hidup," katanya.
Aku memandangnya, dan seakan ada tirai yang
disingkirkan dari jendela. Kulihat betapa kesepiannya
154 kakakku. Jacob lebih dekat dengan orangtua kami
daripada aku. Ia tinggal di rumah hingga setahun
sebelum kecelakaan, dan'bahkan setelah pindah ia
masih menghabiskan sebagian besar waktunya di sana,
melakukan pekerjaan rumah, berbicara, menonton TV.
Pertanian adalah tempat pengungsiannya dari dunia.
Aku memiliki Sarah, dan sekarang akan punya bayi,
tapi seluruh keluarga Jacob berada di masa lalu. Ia
tidak memiliki seorang pun.
Kucoba mengatakan sesuatu tapi tidak bisa. Aku
mau meraihnya, mengatakan sesuatu yang menenangkannya, tapi aku tidak bisa menemukan kata yang
tepat. Aku tidak tahu bagaimana caranya berbicara
dengan kakakku.
Akhirnya Jacob memecah kesunyian dengan bertanya, "Apa maksudmu, menyalahkan aku "
Dengan sedikit sentakan panik sentakan yang meng
hapuskan pengertian apa pun yang kurasakan terhadapnya sebelum ia berbicara kusadari kalau ingin
mengendalikan Jacob, aku harus menawarkan ancaman
kongkret selain gagasan sederhana sebagai penanggung
jawab. Aku hanya membutuhkan waktu sedetik untuk
menemukan jawabannya: pilihan yang jelas, satu satu
nya hal yang aku yakin akan membuatnya ketakutan.
"Kalau kita tertangkap karena Lou," kataku. "Akan
kuceritakan tentang Pederson. Kukatakan kaulah yang
membunuhnya., dan yang kulakukan hanyalah membantumu menutupinya."
Ia menatapku tidak mengerti.
"Akan kukatakan bahwa aku sudah berusaha menghentikanmu, tapi kau menyingkirkan aku dan membunuhnya."
155 Jacob tampak benar benar shock karenanya. Ketika
ia berbicara ia harus agak tergagap. "Kau yang
membunuhnya, Hank," kalanya.
Aku mengangkat bahu. "Aku akan betbohong,
Jacob. Kalau kita tertangkap karena Lou, kau akan
membayarnya."
Ia meringis seakan kesakitan. Hidungnya mengalirkan ingus, dan ia menghapusnya dengan sarung tangan,
kemudian menggosokkan sarung tangan ke celananya.
"Aku tidak mau bertanggungjawab atasnya," katanya.
"'Ihpi itu perjanjiannya. Itu yang sudah kita setujui
bersama."
Ia menggeleng. Lipatan daging di bawah dagunya
yang putih bagai marmer, terus bergetar sedetik setelah
ia berhenti. "Aku tidak bisa mengendalikannya."
"Kau harus bicara dengannya, Jacob."
"Bicara dengannya " tanyanya, suaranya terdengar
jengkel. "Bicara tidak akan menghentikannya."
"Ancam dia," kataku. .
"Dengan apa Kau mau aku mengancam akan
memukulinya Mengancam akan membakar rumah
nya " Ia mendengus jijik. "Mengancam dia."
Kami berdua membisu. Bisa kudengar orang orang
berkeliaran di lobi, siap untuk pulang.
"Aku tidak mau bertanggung jawab atasnya," kata
Jacob.
"Kalau begitu kurasa kita punya masalah."
Ia mengangguk.
"Mungkin," kataku, "sebaiknya kjta bakar saja
uangnya."
Cuma genakan, aku tidak bersungguh sungguh, dan
156 Jacob tidak bereaksi. Ia menatap meja, dahinya berkerut. Bisa kulihat ia tengah berpikir keras.
"Lou tidak akan membuat kita tertangkap," katanya.
"Benar. Karena kau tidak akan membiarkannya."
Jacob seakan tidak mcndengarkn; ia masih teng
gelam dalam pikirannya. Ketika berbicara ia melakukannya tanpa memandangku. "Dan kalau tampaknya
begitu, dia selalu bisa terlibat kecelakaan."
"Kecelakaan "
"Seperti Pederson."
"Maksudmu, kau akan membunuhnya " tanyaku
terkejut.
Ia mengangguk, menatap mejaku.
"Ya Tuhan, Jacob. Dia teman baikmu. Kau pasti
bergurau."
Ia tidak menjawab.
"Pembunuh besar," kataku.
"Ayolah, Hank. Aku cuma "
"Membereskannya, bukan Menutup mulutnya."
Aku mencibir, suaraku meninggi hampir mendekati
suaranya. '"Dia selalu bisa terlibat kecelakaan.' Kaupikir siapa dirimu, Jacob Gangster " .
Ia tidak mau memandangku.
"Kau memuakkan," kataku.
Ia mendesah, mengerutkan kening.
"'Bagaimana caramu membunuhnya " tanyaku. "Kau
punya rencana "
"Kurasa kita, bisa membuatnya seperti kecelakaan
mobil."
"Kecelakaan lalu lintas. Cemerlang. Dan bagaimana
caramu mengaturnya "
Ia mengangkat bahu.
157 "Mungkin meletakkannya dalam ambilnya dan mcn
dorongnya ke Sungai Anders " tanyaku.
Ia mau mengatakan sesuatu tapi tidak kuberi ke
sempatan.
"Kita beruntung dengan Pederson. Segalanya ber
jalan menguntungkan. Tapi tidak akan terulang."
"Aku cuma berpikir "
"Kau tidak memikirkan apa-apa. Itu masalahnya.
Kau bersikap bodoh. Ingat bagaimana perasaanmu di
taman Kau menangis. Kau merengek seperti bayi.
Kau mau mengalaminya lagi "
Ia tidak menjawab.
"Lihat ke jendela," kataku. "Lihat ke seberang, ke
pemakaman."
Ia memandang ke jendela. Suasana gelap gulita
sekarang; kami tidak bisa melihat keluar lagi. Kacanya
memantulkan kembali ruang kantorku.
"Mereka memakamkan Dwight Pedersen minggl
lalu. Dia di sana karena dirimu, karena kau serakah
dan panik. Bagaimana perasaanrnu "
Kutatap Jacob hingga ia balas memandangku. "Ka
lau aku tidak melakukannya," katanya, "dia sudah
menemukan pesawatnya."
"Seharusnya kaubiarkan dia menemukannya."
Jacob memandangku kebingungan. "Kau yang membunuhnya," katanya. "Kau seharusnya bisa menyelamatkannya, tapi tidak."
"Kubunuh dia untuk menyelamatkanmu, Jacob. Pilihannya antara (lia atau kau, dan aku memilihmu."
Aku berhenti sejenak. "Mungkin aku sudah melakukan
kesalahan."
'linnpaknya ia tidak tahu bagaimana harus bereaksi.
|58 Ia terus saja menatapku dengan kebingungan yang
sama di wajahnya.
"Tapi aku tidak akan melakukannya lagi," kataku.
"Lain kali kuserahkan dirimu."
"Aku tidak bisa bertanggung jawab atasnya," bisik
Jacob.
"Bicaralah padanya. Katakan akan kubakar uangnya
kalau kurasa dia mengacaukan segalanya."
Ia menatap pangkuannya dengan suram, dan untuk
pertama kalinya kusadari ada tanda tanda kebotakan
pada Jacob. Mengejutkan. Kalau beratnya turun beberapa kilo, ia pasti kelihatan persis Dad pada saat
kematiannya. Ia tampak lemah, tidak berdaya
Traveller 1 The Name Of The Rose Karya Umberto Eco Budi Kesatria 17
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama