Rencana Sederhana A Simple Plan Karya Scott Smith Bagian 3
"Seandainya kita bisa membagi uangnya sekarang,"
katanya. "Dibagi lalu pergi."
"Bukan begitu rencananya, Jacob."
"Aku tahu." Ia mendesah. "Sudah kukatakan seandainya."
Esoknya hari Jumat. Malamnya, saat makan malam.
Sarah menanyakan apakah aku telah berhit'iuu demam
Lou atau belum,
Aku lncngclcng. ".lat'nh yar akan lain'" "
Kami ll'll)'_llll nu'nyantap :;pappti (Inu Hamil Il'llp'llll
menambah polsmya. ".Iamh'!" tanyanya lu unnn-ynnr
Sendok (li mlulu, l)."l'illl lu-rgalllultwln (lun a.l-mlnlt
tcrxchul lw an-aya. Ia mengenakan gaun lmwunm
binl Ina. Ilah ('nhaya lcranl: lampu dapur. guuunyn
membuatnya lumpak menderita kuning darah.
Aku nu'npanymlk.
"Kenapa link: lkilll sendiri yang melakukannya "
159 "Mungkin meletakkannya dalam mobilnya dan mendomngnya ke Sungai Anders " tanyaku.
Ia mau mengatakan sesuatu tapi tidak kuberi ke
sempalan.
"Kita beruntung dengan Pederson. Segalanya ber
jalan menguntungkan. Tapi tidak akan terulang."
"Aku cuma berpikir "
"Kau tidak memikirkan apa-apa. Itu masalahnya.
Kau bersikap bodoh. Ingat bagaimana perasaanmu di
taman Kau menangis. Kau merengek seperti bayi.
Kau mau mengalaminya lagi "
Ia tidak menjawab.
"Lihat ke jendela," kataku. "Lihat ke seberang, ke
pemakaman."
Ia memandang ke jendela. Suasana gelap gulita
sekarang; kami tidak bisa melihat keluar lagi. Kacanya
memantulkan kembali ruang kantorku.
"Mereka memakamkan Dwight Pederson'minggu
lalu. Dia di sana karena dirimu. karena kau serakah
dan panik. Bagaimana perasaanmu "
Kutatap Jacob hingga ia balas memandangku. "Kalau aku tidak melakukannya," katanya, "dia sudah
menemukan pesawatnya"
"Seharusnya kaubiarkan dia menemukannya."
Jacob memandangku kebingungan. "Kau yang membunuhnya," katanya. "Kau seharusnya bisa menyelamatkannya, tapi tida ."
"Kubunuh dia untuk menyelamatkanmu, Jacob. Pilihannya antara dia atau kan, dan aku memilihmu."
Aku berhenti sejenak. "Mungkin aku sudah melakukan
kesalahan."
Tampaknya ia tidak tahu bagaimana harus bereaksi.
158 Ia terus saja menatapku dengan kebingungan yang
sama di wajahnya.
"Tapi aku tidak akan melakukannya lagi," kataku.
"Lain kali kuserahkan dirimu."
"Aku tidak bisa bertanggung jawab atasnya," bisik
Jacob.
"Bicaralah padanya. Katakan akan kubakar uangnya
kalau kurasa dia mengacaukan segalanya."
Ia menatap pangkuannya dengan suram, dan untuk
pertama kalinya kusadari ada tanda tanda kebotakan
pada Jacob. Mengejutkan. Kalau beratnya turun be
berapa kilo, ia pasti kelihatan persis Dad pada saat
kematiannya. Ia tampak lemah, tidak berdaya.
"Seandainya kita bisa membagi uangnya sekarang,"
katanya. "Dibagi lalu pergi."
"Bukan begitu rencananya, Jacob."
"Aku tahu." Ia mendesah. "Sudah kukatakan seandainya."
Esoknya hari Jumat. Malamnya, saat makan malam,
Sarah menanyakan apakah aku telah berbicara dengan
Lou atau belum.
Aku menggeleng. "Jacob yang akan bicara."
Kami tengah menyantap Spageti dan Sarah tengah
menambah porsinya. "Jacob " tanyanya. Ia memegang
sendok. di udara, pasta bergantungan dari sendok
tersebut ke piringnya. Ia mengenakan gaun berwarna
biru tua. Dalam cahaya terang lampu dapur, gaunnya
membuatnya tampak menderita kurang darah.
Aku mengangguk.
"Kenapa bukan kau sendiri yang melakukannya "
159 "Kupikir lebih baik kalau dia yang melakukannya.
Lou patuh pada Jacob. Dia tidak akan mematuhiku."
Ia selesai mengambil makanannya dan meletakkan
mangkuk di tengah meja. "Kan yakin Jacob menyadari
betapa seriusnya masalah ini "
"KutakuHakuti sedikit."
Sarah memandangku sekilas. "Menakutinya "
"Aku akan cerita tentang Pedersen seandainya kita
tertangkap karena ulah Lou."
"Lalu "
"Mulanya dia sedikit panik, 'tapi kupikir berhasil."
Aku tersenyum. "Dia bahkan menyarankan untuk
membunuh Lou."
Ia tampak tidak terkesan. "Caranya " tanyanya.
"Cara apa " *
"Cara dia membunuh Lou "
"Dia mau membuatnya seakan kecelakaan lalu lintas."
Sarah mengerutkan kening. Ia mengambil garpu,
membelitkan Spageti ke sana, kemudian menjejalkannya
ke mulut, mengunyah dan menelannya. "Kau seharus
nya tidak perlu mengancam Jacob," katanya.
"Aku tidak mengancamnya. Aku cuma membuatnya
sadar."
Ia menggeleng. "Kalau Jacob bisa berpikir untuk
berkomplot denganmu melawan Lou, dia juga' bisa
berkomplot dengan Lou melawan kita."
"Jacob tidak akan berkomplot melawan kita," kataku, seakan gagasan tersebut tidak masuk akal.
"Dari mana kau yakin "
"Dia kakakku, Sarah. Itu punya arti."
"Tapi siapa yang lebih dekat, kau atau Lou Lou
lebih mirip saudara daripada dirimu."
160 Kupertimbangkan kata katanya, tentu saja ia benar.
"Maksudmu, Jacob akan membunuhku. demi uang
itu "
"Maksudku, kau sama sekali tidak berhasil me
nakut-nakutinya. Usahamu hanya membuatnya semakin
dekat dengan Lou. Mereka tidak punya keluarga seperti dirimu. Mereka bisa saja datang kemari, menembakmu, mengambil uangnya, dan melarikan diri."
"Uangnya tersembunyi. Mereka tidak tahu tempatnya." '
"Misalnya saja mereka datang membawa senapan,
menodongkan ke kepalamu, memaksamu menunjukkan
di mana uangnya."
"Mereka tidak akan berbuat begitu."
"Seandainya mereka "menodongkan senapan ke
padaku " Ia menepuk perutnya. "Tepat di sini."
Kuputar Spageti dengan garpu di piringku. "Aku
tidak bisa membayangkan Jacob akan berbuat begitu,
kan bisa "
"Kau bisa membayangkan dia membunuh Pederson "
Aku tidak menjawab. Ini celah lain lagi; kurasakan
celah tersebut memanggilku, dan aku ragu-ragu. Mungkin cuma sekadar omongan, tidak lebih dari beberapa
kata, beberapa kalimat pernyataan yang sederhana.
Aku duduk terdiam menatap Sarah sekitar tiga puluh
detik, mati matian berusaha mengamati semua kon
sekuensi logisnya, baik yang terucap maupun yang
tidak. Tapi tidak bisa, semuanya berputar putar di
sekitar batas pandanganku, jadi ketika akhirnya kuambil keputusan, kulakukan dengan seenaknya.
"Bisa " desaknya.
161 "Jacob tidak membunuh Pederson," kataku, dan
seperti di kamarku kemarin, pengakuan kilat tiba tiba
meluncur. Kupindahkan posisiku di kursi. mencari
cari reaksi di wajah Sarah.
Ia menatapku tanpa ekspresi. "Katamu "
Aku menggeleng. "Dia memukulnya sampai pingsan,
dan kami mengira dia tewas. Tapi waktu mau kuangkat
ke mobil salju, dia mengerang, dan aku harus menghabisinya sendiri."
"Kan yang membunuhnya " tanyanya.
Aku mengangguk, kelegaan hebat melanda diriku.
"Aku yang membunuhnya."
Sarah memajukan badannya. "Caranya "
"Kugurrakan syalnya. Kucekjk dia."
Ia menyentuh dagunya, tampak terguncang, dan
sejenak wajahnya seakan terbuka, sehingga aku bisa
melihat ke dalamnya dan mengamati kata kataku perlahan tertanam. Kulihat kebingungan di sana, ketakutan
sekilas melintas, dan kemudian lirikannya mengandung
penolakan. lirikarr yang membangun jarak di antara
kami, mendorongku menjauh. Sejenak ia ketakutan,
tapi kemudian, secepat datangnya, ketakutannya
berlalu. Wajahnya menutup dan ia menyadarkan diriku
kembali.
"Kenapa bukan Jacob yang membunuhnya " tanyanya.
"Dia sudah pergi. Kusuruh menungguku di jemba ."
"Kau sendirian "
Aku mengangguk.
"Kenapa baru kauceritakan sekarang "
Aku mengangkat bahu. "Kupikir akan menakutkan
"
mu. 162 "Menakutkanku "
"Membuatmu tidak enak."
Sarah terdiam. Ia tengah mengikuti pemikiran yang
melintas di benaknya, mengatur segalanya agar sesuai
dengan skenario baru, dan membuatku panik saat
mengawasinya, seakan ia menyembunyikan diri ter
hadapku, berpura-pura yakin.
"Benar " tanyaku.
Ia memandangku sedetik, tapi hanya setengah jalan,
dengan matanya dan tidak lebih. Pikirannya berada
di tempat lain. "Benar apa "
"Membuatmu merasa tidak enak."
"Ini...," ia harus berkonsentrasi untuk menemukan
kata yang tepat. "Ini sudah telanjur."
"Telanjur "
"Kurasa aku tidak mau kau melakukannya, tapi
sekarang sudah terjadi. Aku bisa mengerti alasannya."
"Tapi kau berharap seandainya aku tidak melakukannya " _
"Entahlah," katanya, kemudian menggeleng. "Kurasa
tidak. Kita pasti akan kehilangan uangnya. Jacob
pasti ditangkap."
Kupikirkan hal ini sedetik, mencari-cari reaksi lain
di wajahnya. "Apa kan juga akan berbuat begitu
Seandainya kau yang berada di sana "
"Oh, Hank. Bagaimana aku bisa..."
"Aku cuma mau tahu kalau mungkin."
Ia memejamkan mata, Seakan berusaha membayangkan dirinya berjongkok di atas mayat Pederson, syal
Pedersen tergulung di tangannya. "Mungkin," katanya
akhirnya, suaranya lebih mirip bisikan. "Mungkin
akan kulakukan."
163 Aku sulit mempercayainya, menolak percaya, dan
sekalipun begitu, pada saat yang sama, merasa hal
tersebut mungkin saja benar. Ia mungkin akan membunuhnya seperti yang sudah kulakukan. Lagi pula,
bisakah kubayangkan Jacob memukul Pederson, menendang dada dan kepalanya Atau lebih tepatnya,
bisakah kubayangkan diriku mencekik pria tua tersebut
dengan syalnya sendiri Tidak, pikirku, tentu saja
tidak.
Aku menggigil menyadari bukan saja aku tidak bisa
menduga tindakan yang berlangsung di sekitarku, tapi
juga tidak bisa menebak tindakanku sendirir Rasanya
seperti pertanda buruk; seakan menunjukkan bahwa
kami telah berkeliaran tanpa peta di daerah baru.
"Jacob tidak tahu " tanyanya.
Aku menggeleng. "Kuberitahu."
Sarah mengemyit. "Kenapa "
"Kelihatannya dia runtuh. Menangis. Kupikir lebih
mudah baginya kalau tahu bahwa kami sama sama
bersalah."
"Dia akan menggunakannya terhadapmu."
"Menggunakannya terhadapku Bagaimana caranya
Kalau salah satu dari kami terlibat masalah, kami
berdua akan terkena."
"Terutama kalau kauancam dia. Ia akan menemui
Lou dan mereka akan berkomplot melawan kita."
"Ini paranoia, Sarah. Kau tidak bersungguh
sungguh."
"Kita menyimpan rahasia dari Jacob, bukan "
Aku mengangguk.
"Dan kau serta Jacob menyimpan rahasia dari
Lou "
164 Aku mengangguk lagi.
"Kalau begitu kenapa kau tidak percaya bahwa
dia dan Lou juga menyimpan rahasia dari kita "
Aku tidak bisa menjawab pertanyaan yang satu
itu. Larut malam, sekitar pukul 23.00, ibu tiri Sarah,
Millie, menelepon, interlokal dari Miami. Ibu dan
ayah Sarah. seperti diriku, telah meninggal dunia.
Ibunya meninggal ketika Sarah masih kecil, ayahnya
menyusul tidak lama setelah kami menikah.
Millie menjadi ibu tiri Sarah di awal usia remajanya, tapi mereka tidak pernah akrab. Terakhir kali
mereka bertemu pada pemakaman ayah mertuaku.
Mereka berbicara sebulan sekali di telepon, ritual
yang mereka lakukan lebih disebabkan perasaan kewajiban kekeluargaan daripada keinginan untuk bercakap-eakap.
Sarah tumbuh di selatan Ohio, tepat di seberang
sungai dari Kentucky. Millie bekerja di rumah sakit
sebagai perawat ketika ibu Sarah meninggal, perlahan,
akibat leukemia. Begitulah caranya bertemu dengan
ayah Sarah. Ia berasal dari Virginia Barat dan. bahkan
setelah tinggal sepuluh tahun di Miami, aksen selatannya masih terdengar sedikit, yang Sarah tiru
darinya setiap kali mereka berbicara.
Telepon mereka tak lebih dari monolog jarak jauh
Rencana Sederhana A Simple Plan Karya Scott Smith di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Millie mengoceh tentang kegiatan sehari-harinya bersama sekelompok kecil teman temannya, pada umum
nya meratapi penuaan Miami yang terus meningkat
secara umum dan khususnya kompleks apartemennya,
dan diakhiri dengan beberapa anekdot yang tidak
165 berhubungan sama sekali mengenai seputar kehidupan
ayah Sarah. Sarah menceritakan tentang kehamilannya,
tentang diriku dan cuaca dingin yang kami alami,
tentang hal hal yang ia baca bam-baru ini di koran atau
dilihatnya di TV. Mereka tidak pernah mengajukan
pertanyaan; sebenarnya hanya sedikit hubungan yang
ada di antara mereka. Mereka saling berbicara selama
dua puluh menit, dan kemudian, seakan telah me
nyetujui sebelumnya mengenai batas waktunya, mengucapkan selamat tinggal dan memutuskan hubungan.
Malam ini Millie menelepon tepat saat kami akan
naik ke ranjang. Ketika kusadari siapa yang mene
lepon, kubisiki Sarah bahwa aku akan ke bawah
mengambil camilan. Aku tidak suka berada di kamar
kalau ia tengah menelepon. Itu membuatku merasa
seakan tengah mencuri dengar.
Di dapur aku menuang susu dan membuat sandwich isi keju. Kumakan sambil berdiri bersandar ke
meja, dalam kegelapan. Melalui jendela samping, se
puluh meter menyeberangi lajur sempit rerumputan,
berdiri rumah tetanggaku, bagai bayangan dalarn cermin dari rumahku segalanya persis sama tapi kebalikan. TV-nya ada di kamar tidur utama. Bisa
kulihat warna kebiruan berkedip dari jendela lantai
atas, seperti cahaya memantul pada kolam.
Aku berdiri dalam kegelapan selama beberapa me
nit, menghabiskan sandwich ku, sambil mengingat
kembali percakapanku dengan Sarah. Aku lega dengan
ketenangannya atas pengakuanku, paling tidak begi
tulah. Sebelumnya aku khawatir perbuatanku akan
menakutkannya, dan tiba tiba ia memperlakukan aku
seperti monster psikopat, tapi ternyata tidak Sekarang
166 kulihat tidak ada alasan untuk terjadi seperti itu
sama seperti aku masih memandang diriku sebagai
orang baik sekalipun telah melakukan kejahatan. Sarah juga berpandangan begitu. Kami memiliki seluruh
masa lalu bersama, yang mengalahkan penyimpangan
yang satu ini. Tentu saja awalnya ia tampak shock
kulihat kilasan ketakutan atau kejijikan, tapi dalam
beberapa detik ia telah menyingkirkannya, pragmatis
sebagaimana biasa, dan mengatur ulang dirinya menghadapi apa yang telah terjadi. Sudah telanjur, katanya,
dan kemudian bergerak maju, memusatkan perhatian
pada masa depan dan bukannya masa lalu. Kekhawa
tirannya sangat praktis apakah Jacob mengetahuinya
atau tidak dan apa akibatnya terhadap hubungannya
dengan Lou. Sarah tenang bagai karang. Saat berdiri
di dapur kusadari seandainya segalanya kacau, Sa
rah lah yang akan menyelamatkan kami semua.
TV di rumah tetangga dimatikan dan rumahnya
berubah gelap, Kuletakkan gelas kosong di tempat
cuci piring.
Pada saat naik kulihat pintu ke kamar makan
sedikit terbuka. Kuhidupkan lampunya dan mengintip
ke dalam. Kertas kertas bertebaran di meja kayu,
majalah dan brosur.
Di atas kudengar suara Sarah berbicara di telepon,
pelan, teredam, seakan tengah berbicara sendiri. Ku
geser pintu kamar makan dan masuk.
Ragu-ragu kudekati meja, seakan khawatir Sarah
akan mendengarnya1 walaupun ini bukan pikiran sadar.
Kuawasi permukaannya. Terdapat segala macam bro
sur, paling tidak tiga puluh, yaitu brosur perjalanan
dengan gambar gambar wanita berkulit sawo matang
167 berbikini aneka warna, keluarga yang bermain ski
"atau menunggang kuda, pria pria di lapangan tenis
dan golf, meja-meja penuh berisi makanan eksotis.
Selamat Datang di Belize! bunyinya, Paris di Musim
Semi! Kreta, Pulau Para Dewa! Berlayarlah di Pasifik Bersama Kami! Nepal, Tanah yang Terlupakan
oleh Waktu! Semuanya mengkilap dan tampak licin;
semuanya tersenyum; semuanya ditulis dalam kalimat
pernyataan. Majalahrrya Cande Nast Traveler; Islands, The Caribbean, The Globetrottcr's Companion sama persis hanya lebih besar.
Di sebelahnya ada catatan, terbuka, dengan tulisan
tangan Sarah. Di puncak halaman tertulis Perjalanan.
Di bawahnya tertulis sederetan nama kota dan negara
di seluruh dunia, masing masing bernomor, tampaknya
sesuai dengan keinginan. Yang pertama Roma, kedua
Australia. Di halaman seberangnya terdapat daftar
lain, yang ini berjudul Yang perlu dipelajari. Di
bawahnya terdaftar kegiatan seperti berlayar, main
ski, menyelam, menunggang kuda. Daftar tersebut
sangat panjang, mencapai satu baris di atas dasar
halaman.
Ini daftar keinginan Sarah aku tersentak menyadarinya inilah yang ingin dilakukannya dengan uang
tersebut. Pandanganku menyusuri halaman dari atas
ke bawah:_ Swiss, Meksiko, Antigua, Moskow, New
York, Chili, London, India, Kepulauan Hibrida
Tenis, Prancis, selancar angin, ski air, Jerman, sejarah
seni, golf... Daftarnya terus berlanjut, tempat tempat
yang tidak pernah kudengar ia menyebutkannya, ambisi
yang tak pernah kubayangkan ia miliki.
Sejak pertemuan kami Sarah kuanggap lebih per
168 caya diri dan mantap daripada diriku. Ia yang memulai
kencan pertama kami; ia yang memancing hubungan
seksual kami; ia yang menyarankan sebaiknya kami
menikah. Ia yang memilih tanggal pernikahan (17
April), merencanakan bulan madu (perjalanan sepuluh
hari ke Naples, Florida), dan memutuskan kapan
kami mulai berusaha memiliki bayi. Tampaknya ia
selalu berhasil memperoleh keinginannya, tapi sekarang
kusadari, saat berdiri memandang majalah dan brosur
yang bertebaran di meja, sebenarnya, di balik penampilan agresif dan ketegasannya pasti terdapat tumpukan besar kekecewaan.
Sarah meraih gelar sarjana di bidang teknik perminyakan dari Universitas Toledo: Ketika kami per
tama kali bertemu, ia berencana untuk pindah ke
Texas dan bekerja di industri minyak dengan gaji
tinggi. Ia ingin menabung dan membeli peternakan
suatu hari nanti, ia menyebutnya "penyebaran" dengan
kuda kuda dan gerombolan sapi dan capnya sendiri,
"S" dalam-pigura berbentuk hati._Sebaliknya, kami
justru menikah. Aku diterima bekerja di Toko Makanan Ashenville pada musim semi tahun terakhirku,
dan tiba tiba, tanpa benar benar memilihnya, ia terdampar di Delphia. Tak banyak lowongan di barat
laut Ohio untuk sarjana bidang teknik perminyakan,
jadi ia bekerja paro waktu di perpustakaan setempat.
Ia seorang tmuper; selalu mengambil yang terbaik
dari segala sesuatu, Kalaupun begitu tetap ada
penyesalan dalam hal ini; sesekali ia harus menge
nang masa lalu dan menangisi jarak yang memisahkan
keberadaannya saat ini dengan impiannya semasa
masih kuliah. Ia mengorbankan sesuatu demi hubungan
169 kami, tapi tidak pemah tampak demikian sehingga
bagiku tampak wajar, bahkan tak terelakkan. Baru
malam ini kulihat tragedi yang terjadi.
Sekarang uangnya sudah tersedia dan ia bisa mulai
bermimpi lagi. Ia bisa menyusun daftar keinginannya,
membalik balik majalahnya, merencanakan kehidupan
barunya. Cara yang menyenangkan dalam membayang
kan dirinya penuh harapan dan bersemangat, berjanji
sendiri bahwa ia yakin bisa memenuhinya tapi juga
ada kesedihan mendalam di sana. Kusadari kami
terjebak; kami telah menyeberangi batas, dan tidak
bisa kembali. Uang itu memberi kami kesempatan
untuk bermimpi, juga membuat kami mulai membenci
kehidupan kami saat ini. Pekerjaanku di toko makanan,
rumah berdinding aluminium kami, kota di sekeliling
kami kami telah melihat semuanya sebagai bagian
masa lalu. Di sanalah kami sebelum menjadi miliuner;
segalanya kerdil, kelabu, tidak layak huni. Jadi bila
dengan satu atau lain cara kami terpaksa harus memusnahkan uang tersebut sekarang, kami bukan sekadar kembali ke kehidupan lama, memulai lagi seakan
tak pernah terjadi apa apa. Kami akan kembali setelah
melihat dari kejauhan, menilainya dan mencapnya
n'dak berharga. Kerusakannya tidak akan pernah bisa
diperbaiki.
"Hank " panggil Sarah dari atas. "Sayang " Ia
telah selesai menelepon.
"Ya!" teriakku, kemudian memadamkan lampu dan
tanpa suara menutup pintu di belakangku.
Sabtu siang tak lama setelah Sarah dan aku selesai
makan siang, bel pintu berdering. Jacob; menunggu
di serambi, berpakaian rapi mengejutkan dengan
170 celana panjang flanel kelabu dan sepatu kulit. Pertama
kali sejak pemakaman orangtuaku kulihat ia tidak
mengenakan jins dan celana kerja warna khaki. Penampilannya membuatku sedikit terkejut dan me
mukulku telak, sehingga aku membutuhkan waktu
sejenak untuk mengamati perubahan drastis pada penampilannya rambutnya yang tercukur sangat pendek,
hingga kepalanya sekarang tampak terlalu besar bagi
tubuhnya, seperti ada balon melembungdi atas bahu
nya. Ia berdiri di tempatnya dan mengawasiku, menunggu
reaksiku. Aku tersenyum padanya. Walaupun celananya
terlalu sesak dan sepatu cokelatnya tidak sesuai dengan
kaus kaki birunya, ia tampak puas diri. Ia puas
dengan penampilannya dan perasaan tersebut bukanlah
sesuatu yang sering terjadir Perasaan itu membuatku
merasa senang dengannya, membuatku ingin memuji
nya. "Rambutmu kaupotong," kataku.
Ia tersenyum malu, menyentuh kepala dengan ta
ngannya. "Tadi pagi."
"Aku senang," kataku. "Bagus."
Ia terus tersenyum, sekarang melirik ke arah lain,
kikuk. Di seberang jalan seorang anak tetangga tengah
memukul bola tenis ke pintu garasi dengan tongkat
hoki. Bolanya basah dan setiap kali menghantam
pintu, bola itu meninggalkan jejak. Mary Beth mengawasinya dari truk.
"Kau punya waktu untuk bercakap cakap " tanya
Jacob. '
"Tentu saja." Kubuka pintu lebar-lebar. "Kau sudah
makan siang Bisa kubuatkan sandwic
l7l Ia melirik ke dalam rumah. Ia selalu malu kalau
berada di dekat Saruh selalu malu bila berdekatan
dengan wanita dan selalu berusaha menghindar agar
tidak masuk kalau Sarahxdi rumah. "Aku mau mengajakmu jalan-jalan," katanya.
"'tidak bisakah dibicarakan di sini "
"Ini ada hubungannya dengan uang kita," bisiknya.
Aku melangkah turun ke serambi, menarik pintu
hingga tertutup di belakangku. "Ada apa " tanyaku.
"Tidak ada."
"Ini mengenai Pedersen "
Ia menggeleng. "Cuma ada yang mau kutunjukkan.
Kejutan."
"Kejutan "
Ia mengangguk. "Kau pasti suka. Bagus."
Kutatap kakakku, berdebat sejenak, kemudian kembali membuka pintu. "Aku ambil jaket dulu," kataku.
Begitu naik ke dalam truk, kutanyakan apa yang
terjadi, tapi ia tidak mau cerita.
"Tunggu saja," katanya. "Aku harus menunjukkannya padamu."
Kami meluncur ke barat meninggalkan Delphia, ke
arah Ashenville. Mulanya kukira kami kembali ke
cagar alam, tapi kemudian berbelok ke kiri memasuki
Burnt Road, clan melaju ke selatan. Hari cerah dan
dingin, salju di permukaan lapangan tertutup lapisan
es, dan tak peduli ke mana kau memandang, lapisan
tersebut tampak berkilau. Baru menjelang tiba di
tujuan, berbelok ke jalan tanah yang dulu mengarah
ke jalur masuk rumah kami, kusadari bahwa Jacob
membawaku ke pertanian Dad.
172 Kutatap padang di balik jendela saat truk mengurangi kecepatan sebelum berhenti. Sudah bertahuntahun aku tidak mengunjunginya, dan sekarang aku
terkejut melihatnya, shock melihat betapa sedikitnya
sisa-sisa rumahku. Rumah, lumbung, dan bangunan
lainnya telah dibongkar, ruang bawah tanahnya ditim
bun dan ditanami. Lingkaran besar pepohonan teduh
yang dulu menandai batas halaman depan telah ditebang dan dijual. Satu satunya tanda kehadiran keluarga
kami di tanah tersebut hanyalah kincir angin Dad,
yang masih berdiri sedikit miring sekarang sekitar
empat puluh meter ke barat.
"Kau sering kemari " tanyaku pada Jacob.
Ia mengangkat bahu. "Kadang-kadang," katanya.
Ia menatap ke tempat rumah kami dulu berdiri. Kau
bisa melihat sejauh lebih dari satu mil dan pemandang
an yang kaulihat tidak berbeda. Dengan tanah yang
datar dan salju menutupi segalanya, sulit untuk men
jaga agar pandanganmu tidak berkeliaran. Tidak ada
yang dilihat untuk memusatkan pandangan. Seperti
melihat ke langit.
"Kau mau turun " tanya Jacob.
Aku tidak ingin, tapi tampalmya ia menginginkannya, jadi aku berkata, "Ya," dan membuka pintu.
Karni mendzdti ke lapangan, menurut dugaan kami
sepanjang itulah bekas jalur masuk ke rumah kami
dulu. Mary Beth melangkah mendului kami di salju
setinggi lutut, berhenti sesekali untuk mengendus
endus benda yang tak bisa kami lihatr Kami berhenti
sekitar seratus meter dari jalan, ketika mencapai tem
pat rumah kami dulu berdiri. Kami mungkin telah
berdiri di tempat yang salah; tidak ada petunjuk
173 untuk menentukan tempat kami berdiri, tidak ada
batu bekas perapian atau tangkai pompa, bahkan
tidak ada cekungan di tanah untuk menandai ruang
bawah tanah yang diuruk. Semuanya sama seperti
sekelilingnya. Kincir angin berdiri agak jauh di sebelah
kiri, tampak reyot dan tidak digunakan. Angin berembus sedikit dari utara, dan ketika bertambah kuat,
angin tersebut memutar bilah kincir. Kincir itu ber
derak seiring dengan gerakannya, seperti kursi goyang,
tapi suaranya tidak langsung kami dengar. Dan pada
Rencana Sederhana A Simple Plan Karya Scott Smith di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
saat kami berpaling untuk melihat, baling-balingnya
telah berhenti berputar.
Jacob berusaha menebak di mana segalanya dulu
berdiri lumbungnya, tempat traktor, lumbung biji,
gubuk logam tempat-Dad dulu menyimpan biji. Ia
bErputar pada tumitnya, menunjuk beberapa titik yang
berbeda. Sepatu kulitnya basah akibat salju.
"Jacob," katzdtu zdthimya menginterupsinya. "Untuk
apa kau mengajakku kemari "
Ia menyeringai kepadzdtu. "Sudah kuputuskan uang
bagianku akan kuapakan."
"Apa "
"Pertanian ini akan kubeli kembali."
"Pertanian ini' "
Ia mengangguk. "Akan kubangun kembali rumah,
lumbung, segalanya'seperti dulu."
"Jangan," kataku terkejut. "Kita harus pergi."
Mary. Beth tengah menggali salju di kaki kami,
dan Jacob mengawasinya sejenak sebelum menjawab.
Kemudian ia menengadah memandangku. "Aku harus
ke mana, Hank " tanyanya. "Lain dengan kalian.
Kau punya Sarah, dan Lou punya Nancy, tapi aku
174 tidak punya siapa-siapa. Kau mau aku pergi sendirian "
"Kau tidak bisa membeli pertanian ini, Jacob.
Bagaimana kau menjelaskan asal-usul uangnya "
"Kukira kita bisa mengatakan bahwa Sarah menerima warisan. Tidak ada penduduk sini yang tahu
latar belakangnya. Kita katakan saja kalian membeli
pertaniannya sebelum pergi, dan memintaku menjalankannya."
'Aku terpaku menatap lapangan kosong di sekelilingku, jejak kami yang berliku liku menembus salju
dari jalan, dan mencoba membayangkan kakakku Ling
gal di sana, membangun kembali rumahnya, mendiri
kan pagar, bercocoktanam. Sulit untuk mempercayai
nya. "Kukira kau akan senang," katanya. "Ini pertanian
kita. Aku akan mengembalikannya."
Aku mengerutkan kening padanya. Ia keliru: aku
tidak senang. Pertanian inilah tempat yang ingin ku
tinggalkan seumur hidupku. Sepanjang ingatanku, aku
melihat tempat ini sebagai tempat segalanya runtuh
dan hancur. Tempat segalanya tidak pernah berjalan
sesuai rencana. Bahkan sekarang, memandang tempat
kosong yang dulu adalah rumahku, aku dipenuhi perasaan tak berdaya yang luar biasa. Tidak ada kejadian
baik yang pernah terjadi di sini.
"Sulit, Jacob," kataku. "Kau sadar Kau bukan
cuma membeli pertanian, kau harus menggarapnya.
Kau harus mengerti tentang mesin, biji, pupuk, pes
tisida, herbisida, saluran air, irigasi, cuaca, dan pe
merintah. Kau tidak mengerti satu pun. Kau akan
berakhir sama dengan Ayah."
175 Begitu mengatakannya, aku segera sadar kalau
telah bersikap terlalu kasar. Aku. bisa melihat dari
cara berdiri kakakku bahwa aku telah menyakitinya.
Jaketnya terangkat, bahunya merosot, tangannya terbenam dalam dalam kelsaku celananya. Ia tidak me
mandangku.
"Seharusnya aku mewarisi pertanian ini," katanya.
"Dad menjanjikannya."
Aku mengangguk, masih malu dengan kata kataku.
Dad menginginkan salah satu dari kami menjadi petani, yang lain menjadi pengacara. Di sekolah aku
lebih baik, jadi aku yang kuliah. Tapi kami berdua
telah mengecewakannya; tidak ada satu pun yang
memenuhi impiannya.
"Aku minta bantuanmu," kata Jacob. "Aku tidak
pernah meminta bantuanmu sebelum ini, tapi sekarang
aku memintanya. Bantu aku memperoleh pertanian ini
kembali."
Aku tidak mengatakan apa apa. Aku tidak ingin ia
tinggal di sini setelah uangnya kami bagi aku tahu
hal itu hanya berakibat buruk tapi sulit bagiku untuk
mengatakannya.
"Aku tidak meminta uang," katanya. "Aku cuma
ingin kauberitahu orang orang bahwa Sarah menerima
warisan."
"Kau bahkan tidzdt tahu apa Muller mau menjual
nya."
"Kutawarkan uang cukup banyak, dia akan menjualnya." '
"Kau tidak bisa membeli pertanian lainnya Di
sebelah barat, di mana tidak ada orang yang mengenal
kita "
176 Jacob menggeleng. "Aku mau pertanian ini. Aku
mau tinggal di sini, tempat kita dibesarkan."
"Kalau aku menolak membantu "
Ia mempertimbangkan sejenak,' kemudian mengangkat bahu. "Entahlah," katanya. "Kurasa akan kucoba
mengarang cerita lain."
"Kau tidak menyadari bahayanya, Jacob Bahwa
keberadaanmu di sini akan mengancam kami semua
Satu satunya cara agar kita benar benar aman adalah
kalau semuanya menghilang."
"Aku tidak bisa pergi," katanya. "Aku tidak punya
tujuan."
"Kau punya seluruh dunia. Kau bisa menetap di
mana saja."
"Aku mau tempat ini." Ia r'riengentakkan sepatunya
ke salju. "Tepat di sini. Di rumah."
Tak seorang pun berbicara selama semenit setelahnya. Angin kembali berembus dan kami menatap
kincir anginnya, tapi kincir tersebut tidak bergerak.
Aku berusaha menguatkan diri untuk mengatakan tidak
kepada Jacob, memberitahu ia tidak akan berhasil,
ketika mungkin merasakan apa yang akan kuper
buat ia memberiku jalan keluar.
"Tidak perlu kauputuskan sekarang," katanya. "Berjanjilah untuk mempertimbangkannya." '
"Baik," kataku, lega atas penundaan tersebut. "Akan
kupertimbangkan baik baik."
Baru setelah ia menurunkanku, saat aku membuka
pintu depan rumahku; kusadari alasannya berpakaian
rapi dan mencukur rambut sebelum menemuiku. Ia
ingin membuatku terkesan, menjadikan dirinya tampak
177 dewasa dan bertanggung jawab, menunjukkan padaku
kalau seandainya diberi kesempatan ia juga bisa
bersikap dewasa sepertiku. Memikirkan ia menyemir
sepatu dalam apartemennya kumuhnya dan ia memaksa
mengenakan celana yang kekecilan tersebut, mengerat
kan sabuknya, menarik kaus kakinya, dan kemudian
berdiri beberapa saat di depan cermin_kamar mandi
untuk menilai penampilannya, membuatku merasa sedih
memikirkan diriku, Jacob,'dan hubungan kami. Membuatku ingin memberinya pertanian tersebut.
Aku tahu hal ini tidak mungkin terjadi, bahkan
sekalipun aku menginginkannya, dan sewaktu kubicara
kan dengan Sarah sorenya, ia menyetujuiku.
"Dia harus pergi, Hank," katanya. "Dia tidak mung
kin tinggal." Karni tengah berada di kamar duduk,
duduk di depan perapian. Sarah tengah merajut dan
jarumnya berdetik detik saat ia berbicara, seakan me
nerjemahkan kalimatnya ke dalam kode morse. "Kau
harus membuatnya memahami hal itu."
"Aku tahu," kataku. "Cuma aku tak bisa melaku
kannya tadi. Akan kuberitahu dia hari Senin."
Ia menggeleng. "Jangan sebelum kau terpaksa."
"Maksudmu "
"Semakin lama kita biarkan, masalah itu akan
semakin kurang penting baginya."
Bisa kulihat apa yang dimaksudnya; ia khawatir
menentangnya, memaksanya semakin dekat dengan
Lou. Sejenak aku sempat ingin mendebat, mengatakan
tidak ada alasan untuk takut terhadap Jacob. Ia kakakku dan kami bisa mempercayainya, tapi kusadari
bahwa aku tidak memiliki alat untuk meyakinkannya
akan hal ini, tidak ada bukti nyata yang objektif
178 unmk mendemonstrasikan kesetiaannya. Jadi aku hanya
bisa berkata, "Seandainya kita bisa memberikan per
tanian itu padanya."
Jarumnya berhenti berdetik, dan kurasakan Sarah
memandangku sekilas dari seberang perapian. "Dia
tidak bisa tinggal di sana, Hank. Itu seperti meninggalkan petunjuk raksasa."
"Aku tahu. Kataku tadi seandainya aku bisa memhantunya."
"Kalau begitu buat dia berjanji untuk pergi. Begitulah kalau kan mau membantunya."
"Tapi apa yang akan dilakukannya, Sarah Sudah
kaupikirkan itu Dia tidak punya tujuan."
"Dia punya sejuta dolar. Dia bisa pergi ke mana
saja sesukanya."
"Tapi tidak ke tempat ini."
"Benar." Ia mengangguk. "Kecuali tempat ini."
Jarumnya mulai bergerak kembali.
"Aku selalu merasa tidak enak terhadap Jacob,"
kataku, "bahkan sewaktu kami masih kanak kanak.
Aku selalu merasa sudah mengecewakannya."
"Dia juga tidak berbuat banyak untukmu selama
bertahun tahun." '
Kuacuhkan ucapannya. Ia tidak mengerti apa yang
kubicarakan. "Dulu aku selalu mengaguminya," kataku.
"Sampai mulai sekolah dan melihatnya diejek _anak
lain karena berat badannya. Kemudian aku merasa
tidak enak, malu karena dia kakakku. Aku mulai
memudahkannya, dan dia tahu. Dia bisa merasakan
perubahannya."
Jamm Sarah berbunyi klik, klik, klik. "Itu wajar,"
katanya. "Kalian cuma kanak kanak."
179 Aku menggeleng. "Dia dulu anak yang pemalu dan
selalu gelisah."
"Dan sekarang dia pria dewasa yang pemalu dan
selalu gelisah."
Aku mengerutkan kening memandangnya. Aku tengah berusaha mengungkapkan perasaanku tentang
kakakku, berusaha memberinya petunjuk mengenai
keputusasaan yang menyelimutiku siang tadi, setelah
ia mengantarku pulang.
"Kau tahu dia suka mengompol " tanyaku.
"Jacob " Sarah menyeringai mendengamya.
"Di kelas tujuh dia mulai tidak bisa mengendalikannya setiap malam. Dia terus mengompol selama
musim dingin sampai musim semi. Ibuku biasanya
memasang weker agar bisa membangunkannya tengah
malam dan membawanya ke kamar kecil, tapi tidak
berhasil."
Sarah melanjutkan rajutannya, tampaknya ia tidak
benar benar memperhatikan.
"Menjelang akhirnya, kuceritakan hal itu pada salah
satu temanku, dan segera semua orang tahu, Setiap
orang di sekolah."
"Dan Jacob marah besar "
"Tidak. Dia cuma malu, tapi justru membuat situasi
semakin parah. Dia tidak menceritakannya pada orangtua kami, jadi aku tidak pernah dihukum." Aku ber
henti sejenak, mengingatnya. "Tindakan paling kejam
yang pernah kulakukan."
"Itu sudah lama berlalu, Hank," kata Sarah. "Berani
bertaruh dia sudah tidak ingat lagi."
Aku menggeleng. Kusadari seharusnya aku tidak
berusaha membicamkannya, ini tidak langsung terucap,
180 aku tidak mengatakan apa yang ingin kukatakan.
Maksudku, aku ingin membantu kakakku, melakukan
sesuatu yang baik baginya, menjadikan kehidupannya
lebih baik dari sekarang. Tapi aku tidak tahu bagai
mana mengatakannya.
"Tidak penting apa yang diingatnya, " kataku.
Larut malam aku terbangun mendengar suara mesin
mobil di jalur masuk. Sarah tidur telentang di sebelahku, napasnya dalam dan lambat. Satu-satunya cahaya dalam kamar berasal dari weker digital, cahaya
hijau pucat dari meja, yang memantul di pemt Sarah
yang terbungkus selimut
Saat itu pukul 00.45. Di luar, mesin mobil mati
dengan sendirinya.
Aku turun dari ranjang dan berjingkat jingkat ke
jendela. Langit bersih. Bulan separo kuning pucat
dan hampir putih terganrung di tengah tengahnya.
Bintang bersinar di sela cabang pepohonan, terang
dan tepat. Salju di halaman depan kemilau oleh
cahayanya. Di ujung jalur masuk, diparkir dengan
moncong menghadap ke rumah, terdapat mobil Lou.
Sekilas kupandang Sarah yang tertidur dengan nyenyaknya; kemudian aku berjingkat jingkat keluar kamar
ke ruang depan.
Saat menuruni tangga, kudengar pintu mobil ber
derak dibuka. Beberapa saat kemudian pintu tersebut
berderak menutup, perlahan, diam diarn.
Di pintu depan aku mengintip melalui celah di
jendela. Lou tengah melangkah dengan hati hati. Ia
mengenakan jaket kamuflase putihnya dan melangkah
seakan mabuk. Aku tidak yakin, tapi rasanya ada
181 orang lain menunggu di mobil. Saat kuawasi, Lou
terhuyung huyung ke garasi.
Garasi menempel di sisi kiri rumah. Aku tidak
bisa melihat bagian depannya, dan ketika Lou telah
dekat, ia menghilang dari pandangan.
Aku tidak memiliki senjata apa pun di dalam
rumah. Yang terpikir olehku hanyalah pisau di dapur,
dan aku tak ingin meninggalkan jendela untuk mengambilnya.
Ia menghabiskan waktu cukup lama di garasi. Pintunya tidak terkunci, tapi di sana tidak ada apa-apa yang
bisa dicarinya. Kutatap mobilnya, aku semakin yakin
kalau ada orang di dalamnya, mungkin bahkan dua.
Grandfather clock miniatur di kamar duduk berdetak keras keras dalam kesunyian, menonjolkan kesunyian itu, seakan memancingnya keluar.
Sejenak kupertimbangkan untuk menghidupkan lampu, mencoba untuk mengusir mereka, tapi tidak kula
kukan. Aku hanya mengintip dari jendela, menggigil
kedinginan dalam piama dan bertelanjang kaki, menunggu Lou muncul kembali.
Ketika akhirnya ia muncul kembali, ia tidak menuju
ke mobil tapi langsung ke pintu depan.
Aku mengejang, melangkah mundur dua langkah.
Lou naik ke serambi, sepatunya berdetak detak di
lantai kayu, bagai sepasang pemukul drum. Ia mencoba
Rencana Sederhana A Simple Plan Karya Scott Smith di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pintunya, memutar kenopnya, tapi terkunci. Lalu ia
mengetuk, sangat lirih, dengan sarung tangannya.
Aku tidak bergerak.
Ia mengetuk lagi dengan tinjunya lebih keras dan
teringat Sarah yang tidur di lantai atas aku melangkah maju dan membuka pintu.
182 Aku hanya membukanya sedikit dan mengintip keluar.
"Kau mau apa, Lou " bisikku.
Ia tersenyum lebar. Matanya seakan berkedip. "Mr.
Accountant!" katanya, seakan terkejut melihatku.
Aku mengerutkan kening memandangnya, dan ekspresinya dengan cepat berubah sebagai reaksinya. Ia
seketika serius dan tampak tersadar.
"Hank," katanya. "Aku mau menarik sedikit uangku." Kemudian ia mengikik, tak mampu menahannya.
Ia menghapus mulut dengan sarung tangannya, bisa
kucium bau alkohol dalam napasnya.
"Pulanglah, Lou," kataku. "Pulanglah." Angin dingin terus berembus melalui celah pintu, meniup
kakiku yang telanjang, dan menyakitkannya.
"Di luar dingin, Hank," katanya. "Izinkan aku
masuk."
Ia menekankan tubuhnya ke pintu. dan ketika
tanpa sadar aku mundur ia melangkah masuk. Ia
menutup pintu di belakangnya sambil menyeringai
lebar.
"Kuputuskan sudah saatnya membagi uang itu,
Hank. Aku mau bagianku." Ia menggosokkan kedua
sarung tangannya dan melirik ke jalur masuk, seakan
menduga ransel tersebut berada di sana, di tempat
terbuka.
"Uangnya tidak ada di sini, Lou."
"Di garasi "
"Kalaupun di sana, tetap saja tidak akan kuberikan."
Ia berubah marah. "Kau bukan pemiliknya walaupun menyimpannya. Sebagian milikku." Ia mengetuk
dadanya.
183 "Kau sudah setuju," katiku keras kepala.
Ia mengacuhkanku, menyandar ke samping dan
memandang ke dapur. "Apa di bank "
"Tentu saja tidak. Kusembunyikan."
"Aku sedang butuh uang tunai, Hank. Aku membutuhkannya sekarang."
"Satu satunya cara untuk memiliki uang itu hanya
kalau kita bertahan pada persetujuan semula."
"Ayolah, Mr. Accountant," katanya, suaranya pelan
dan mendesak. "Jadilah anak baik."
"Siapa di mobil "
"Di mobil "
"Menunggumu." Aku memberi isyarat ke luar.
:"Mobilnya kosong. Cuma ada aku." '
"Aku melihat seseorang di dalamnya, Lou. Nancy "
Ia tersenyum sedikit. "Kau mengawasiku selama
ini " Tampaknya ia menganggap hal tersebut lucu
dan senyumnya melebar. *
"Nancy dan siapa lagi " tanyaku. "Jacob "
Lou menggeleng. "Cuma Nancy." Ia berhenti se
jenak dan kemudian, ketika melihatku mengerutkan
kening, tersenyum lagi, seperti anak kecil yang ke
tahuan bohohgnya. "Nancy dan Sonny," katanya.
"Sonny Major " tanyaku terkejut. Aku tidak menyangka kalau mereka berteman.
Ia mengangguk. "Dia menagih sewa, dan Nancy
Serta aku mengajaknya keluar." Ringisannya melebar
hingga mirip cibiran. "Itu sebabnya aku membumhkan
uangnya, Mr. Accountant. Aku mentraktir pemilik
rumahku minum minum."
"Kau cerita mengenai pesawatnya "
184 Ia mendengus jengkel. "Tentu saja tidak. Kukatakan
kan punya utang pada
Aku mengerutkan kening. Rumahku berderak derak
memantapkan fondasinya di sekeliling kami.
"Aku cuma meminta apa yang menjadi hakku,"
katanya. Ia bergoyang goyang sedikit, dan, saat menga
wasinya, kurasakan gelombang ketidaksabaran yang
luar biasa. Aku mau ia pergi. Aku mau ia segera pergi.
"Tidak perlu semuanya," katanya. "Berikan satu
ikat saja. Aku bisa datang lagi kapan kapan untuk
mengambil sisanya."
Aku berbicara sangat pelan, menjaga suaraku tetap
pelan dan tenang. "Kalau kau memintanya lagi,"
kataku. "Kubakar uangnya besok pagi. Mengerti "
Ia mencibir mendengarnya. "Membual," bisiknya.
"M-E-M-B-U A L."
"Terserah. Lihat saja."
Ia mencibir lagi. "Aku tahu suatu rahasia, Mr.
Accountant. Jacob menceritakan rahasia kecil."
Kutatap dirinya.
"Aku tahu apa yang menimpa Dwight Pedersen"
Aku mengejang sejenak kemudian berhasil menahan
diri. Ketenanganku mengejutkan. Benakku berputar
cepat, mencari-cari jalan, tapi tubuhku tidak mengkhianatinya. Jacob telah bercerita tentang Pederson.
Aku terpaku, sama sekali tidak menduganya.
Lou menyeringai. kupaksa diriku menatap lurus ke
matanya. "Dwight Pedersen " kataku.
Senyumnya melebar, memenuhi wajahnya. "Kau
membunuhnya, Mr. Accountant. Kau dan Jacob."
"Kau terlalu banyak minum, Lou. Kau tidak tahu
apa yang kaukatakan."
185 Ia menggeleng, masih tersenyum. "Tidak akan ku
biarkan kaubakar uangnya. Itu aniaya mencuri dariku.
Akan kubuka mulutku kalau kau melakukannya."
Jam di dinding berdentang, dentangan tunggal yang
dalam. Setelah lenyap ruang depan terasa lebih gelap
dan sunyi.
Kusentuh jaket Lou, tepat di tengah dadanya. Sama
sekali tidak menekannya; sekadar menempelkan tela
pakku di sana. Kami berdua memandangnya. "Pulang
lah, Lou," bisikku.
Ia menggeleng lagi. "Aku butuh uangnya."
Aku melangkah ke lemari ruang depan, merabaraba jaketku hingga menemukan dompet. Kuambil
dua lembar dua puluhan dan kuberikan padanya.
Ia hampir tidak melihatnya. "Aku mau satu ikat,"
katanya.
"Tidak ada di sini, Lou, kusembunyikan di luar
rumah."
"Di mana "
"Ambil ini." Kugoyangkan uangnya.
"Aku mau bagianku, Hank."
"Kau bisa mengambilnya musim panas ini, sesuai
persetujuan kita."
"Tidak. Aku mau sekarang."
"Kau tidak mendengarku, Lou. Tidak bisa kuberikan
sekarang, tidak ada di sini."
"Kalau begitu aku kembali besok. Kita bisa mengambilnya bersama sama."
"Bukan begitu persetujuannya."
"Jangan sampai ada yang menulis surat pada sheriff,
mengatakan mungkin ada yang mencurigakan atas
kecelakaan Dwight Pederson."
186 Aku menatapnya dingin, sepenuhnya dikuasai ke
inginan untuk menyakitinya. Aku ingin menghancurkan
giginya dan menjejalkannya ke tenggorokannya. Aku
ingin mematahkan Iehemya.
"Ambil empat puluh dolar ini," kataku.
"Maksudku, dia jatuh begitu saja Kau percaya "
Lou menggeleng seakan tidak percaya. "Tampaknya
aneh bagiku." Ia berhenti sejenak, meringis. "Kalian
berdua kan ada di sana hari itu "
"Kau tidak akan melakukannya."
"Alm putus asa, Hank. Aku bangkrut dan berutang
pada orang-orang."
"Kalau kauserahkan kami, kau kehilangan semuanya."
"Aku tak bisa menunggu sampai musim panas.
Aku membutuhkannya sekarang."
"Ambil uang ini," kataku. Kuulurkan uang tersebut
kepadanya.
Ia menggeleng. "Aku kembali besok pagi, aku
butuh paling tidak seikat."
Aku mulai panik, tapi hanya sejenak. Kemudian
kutemukan jalan keluar. "Aku tak bisa mengambilnya
besok pagi," kataku. "Butuh waktu satu han'. Aku
tidak bisa pergi sebelum Sarah melahirkan."
Lou tampaknya tidak yakin apakah harus mempercayainya. "Satu hari perjalanan "
"Di tempat penyimpanan di Michigan."
"Kenapa harus kausimpanldi Michigan "
"Aku tidak ingin uang itu ada di dekat kita.
Kalau-kalau kita dicurigai. Aku mau menjauhkannya."
Bisa kulihat ia berdebat sendiri. "Kapan Sarah
melahirkan "
187 "Dua minggu lagi."
"Sesudah itu kita mengambilnya "
"Ya," kataku. Aku cuma ingin ia pergi."
"Janji "
Aku mengangguk.
"Dan kita bagi "
Aku mengangguk lagi. "Ambil ini," kataku. _
Ia memandang uang di tanganku, kemudian meng
ambilnya dan menjejalkannya ke saku jaketnya. Ia
tersenyum padaku. "Maaf membangunkanmu," katanya.
Ia mundur terhuyung huyung dua langkah ke pintu.
Kubuka pintu untuknya, dan, setelah ia berada di
serambi, menutup dan mengunci pintu di belakangnya.
Aku mengawasinya dari balik jendela, mengawasinya berdiri di anak tangga depan, mengambil uang
dati sakunya, dan perlahan memeriksanya sebelum
melanjutkan langkahnya. Ia sambil melambai sedikit
ke mobilnya.
Ketika ia membuka pintu mobil, lampu dalam
menyala sedetik, dan kulihat dua orang di dalam
mobil. Di depan kulihat Nancy, tersenyum ke arahnya.
Di belakang, tersembunyi dalam bayangan, duduk
orang kedua. Mulanya kuanggap ia Sonny Major.
Tapi kemudian, tepat pada saat Lou menutup pintu
mobil dan lampunya padam, keraguanku timbul. Sonny
Major kecil, lebih kecil dari Lou. Pria di kursi
belakang itu tampak besar, bahkan gendut. Ia mirip
Jacob. _
Kuawasi mobil meluncur sepanjang jalur masuk.
Mereka mencapai jalan raya sebelum Lou menghidupkan lampu depan. Aku tetap menunggu di tempat,
kakiku terasa beku menempel ke lantai kayu yang
188 Dia akan menghabiskannya di mana mana, memancing
perhatian."
"Baik, kalau begitu tidak akan kuberikan. Kutantang
bualannya." '
"Tapi dia akan cerita."
"Aku tidak bisa berbuat lainnya, Sarah," kataku,
nada suaraku meningkat karena frustrasi. "Cuma itu
pilihanku."
"Bakar uangnya"
"Tidak bisa. Lou akan cerita mengenai Pederson.
Aku akan ditangkap dengan tuduhan membunuh."
"Salahkan Jacob. Kalau kauserahkan uang itu dan
berjanji bersaksi melawannya, mereka akan memberimu kekebalan."
"Aku tidak bisa berbuat begitu terhadap Jacob."
"Lihat perbuatannya padamu, Hank. Ini semua salahnya."
"Aku tidak akan berbuat begitu pada kakakku
sendiri."
Kudengar helaan napas Sarah, cepat dan pendek.
Kuremas tangannya.
"Kurasa dia tidak akan cerita," kataku. "Kurasa
kalau kita bertahan, dia akan menunggu sampai musim
panas."
"Bagaimana kalau dia tidak mau menunggu "
"Kalau begitu kita terlibat masalah. Itu risiko yang
harus kita hadapi."
"Kau tidak bisa duduk menunggu dia menyerahkan
mu."
"Menurutmu apa yang harus kuperbuat Kau mau
aku membunuhnya Seperti kata Jacob "
Ia menyingkirkannya, mengerutkan keningr "Mak
190 dingin, hingga suara mesin mobil hilang dan rumah,
sekali lagi, berubah sunyi.
Sejenak aku berusaha menentukan tindakanku, tapi
tidak bisa. Yang terpikir hanyalah situasi sudah tidak
terkendali. Sekarang aku terlibat masalah dan tampaknya tidak ada jalan keluar. '
Ketika aku berbalik untuk kembali ke kamar tidur,
kudapati Sarah, terbungkus jubah kain terry putihnya,
menatapku bagai hantu dari anak tangga teratas.
Kami langsung berbicara di sana, di tangga. Aku
naik mendekatinya dan kami duduk berdampingan
dalam _kegelapan seperti dua anak kecil di anak
tangga kedua terams.
"Kau mendengarnya " tanyaku.
Sarah mengangguk. Ia meletakkan tangan di lututku.
"Semuanya "
"Ya."
"Jacob cerita tentang Pedersen pada 1.011."
Ia mengangguk lagi, meremas lututku. Kuletakkan
tanganku di atas tangannya.
"Apa yang akan kaulakukan " tanyanya.
Aku mengangkat bahu. "Tidak ada."
"Tidak ada "
"Menyimpan uangnya. Menunggu."
Ia menjauhkan tubuh dariku. Kurasakan ia meman
dangku. Aku menatap pintu depan. "Kau tidak bisa
berbuat begitu," katanya. Suaranya, tanpa bertambah
tinggi sedikit pun, terdengar mendesak. "Kalau tidak
kauberikan, dia akan buka mulut."
"Kalau begitu akan kuberikan."
"Tidak bisa. Dia akan membuat kita tertangkap.
Rencana Sederhana A Simple Plan Karya Scott Smith di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
189 sudku, kau harus melakukan sesuatu. Kita harus menemukan jalan untuk mengancamnya."
'Mengancamnya "
""Itu penting, Hank. Kita dulu mengendalikannya
dengan menyimpan uangnya, tapi sekarang dialah
yang mengendalikan kita. Kita harus memikirkan cara
untuk memperoleh kendali lagi."
"Mengancamnya cuma akan memperburuk keadaan.
Seperti memasang mruhan dalam poker; yang perlu
dia lakukan cuma melempar keping lain."
"Kau mau menyerah "
Kulepaskan peganganku lalu menggosok wajahku.
Di sekeliling kami rumah sunyi senyap seakan tengah
mendengarkan. "Aku cuma ingin bertahan sesuai ren
cana," kataku. "Aku mau menunggu sampai musim
panas."
"Tapi dia akan cerita."
"Dia tidak mendapatkan apa-apa kalau melapor.
Dia tahu itu. Uangnya akan lenyap kalau kita di
penjara." ' "
"Dia temp akan melapor. Dia melakukannya karena
kau tidak mematuhi perintahnya"
Kupejamkan mata, tubuhku sakit karena kelelahan,
tubuhku ingin kembali tidur.
"Kurasa kau tidak mengerti gawamya situasi ini,
Hank."
' "Sebaiknya kita kembali tidur," kataku, tapi Sarah
tidak bergerak.
"Kau sekarang berada dalam genggamannya. Kau
harus mematuhi semua perintahnya."
"Aku masih membawa uangnya. Dia tidak tahu di
mana uang itu kusembunyikan."
191 "Kekuatanmu yaitu ancaman untuk membakarnya,
sekarang sudah tidak mempan lagi."
"Seharusnya tidak perlu kuceritakan pada Jacob. "
"Kau tahu Lou. Dia akan menggunakannya demi
keuntungannya"
"Sulit kupercaya dia akan berbuat begitu padaku."
"Bahkan kalau kita bisa melewatinya sampai _musim
panas dan membagi uangnya, dia masih bisa mengan
eammu dengan ini. Dia akan menunggu sepuluh tahun,
sampai dia habiskan bagiannya, lalu dia akan melacak
kita. Dia akan memeras kita. Dia akan mengirimmu
ke penjara."
Aku tidak mengatakan apa apa. Aku tidak me
mikirkan Lou; aku memikirkan Jacob.
Sarah memegang tanganku lagi. "Jangan biarkan
dia berbuat begitur Kau harus memegang kendali
lagi."
"Tapi kita tidak bisa berbuat apa-apa. Kau terus
mengatakan akan mengancamnya, tapi bagaimana cara
nya Kita tidak punya apa-apa untuk mengancamnya."
Ia tidak mengatakan apa apa.
"Kau mau aku bertindak " tanyaku. "Kau punya
rencana "
Ia menatapku tajam, dan sedetik kukira ia akan
mengatakan bahwa ia mau aku membunuhnya, mpi
tidak. Ia hanya menggeleng. "Tidak," katanya. "T1dak
punya." '
Aku mengangguk. Aku mau berdiri dan kembali
ke kamar tidur, ketika ia mencengkeram tanganku
dan menempelkannya ke perutnya. Bayinya menendang. Kurasakan di bawah telapakku sesuatu yang
gelap dan misterius, kehangamn lembut tubuh Sarah
192 mendorong kulitku. Hal ini berlangsung selama beberapa detik.
"Segalanya akan beres," bisikku, ketika akhirnya
selesai. "Percayalah. Kita akan berhasil melewatinya."
Orang biasa berkata begitu kalau terjebak situasi
yang tidak tertahankan; kusadari hal itu segera setelah
mulai berbicara. Seperti kata ibuku terakhir kali aku
bertemu dengannya. Sesuatu yang salah dan sekaligus
berani, pengalihan pandangan mata dan penutupan
telinga, pengingkaran terhadap halangan di mana kami
terlibat adalah pertanda buruk. Dari cara Sarah me
nekankan tanganku ke perutnya dengan cengkeraman
nya yang mantap dan agresif kutebak bahwa ia juga
mengetahuinya. Kami menghadapi masalah. Kami me
mulai sesuatu yang berbahaya bersama-sama, pent'"
kepercayaan diri dan keyakinan yang naif, dan sekarang kami mengamatinya terlepas dari kendali kami.
"Aku takut, Hank," katanya, dan aku mengangguk.
"Semuanya akan baik baik saja," bisikku lagi, merasa bodoh kali ini. Tapi tidak ada lagi yang bisa
kukatakan.
Esoknya aku terjaga pagi pagi. Aku berpakaian di
ruang depan dan menggosok gigi di lantai bawah agar
tidak membangunkan Sarah. Di dapur aku membuat
kopi, dan membaca koran kemarin sambil meminumnya.
Kemudian aku pergi ke tempat Jacob.
Mobil kuparkir di seberang jalan, tepat di belakang
pickup nya. Pagi yang indah, dingin, kering, tak berawan. Segalanya tampak bersih, tergosok awning
vym'l bergaris garis milik toko palen, tiang meteran
parkir yang keperakan, bendera yang menyentak nyen
193 tak diembus angin di atas balai kota. Hari masih
pagi, beberapa menit sebelum pukul 08.00 tapi Ashenville sudah terjaga sepenuhnya. jalan dipenuhi orang
orang yang lalu lalang, koran terlipat di ketiak, cangkir
kopi beruap di tangan bersarung. Semua orang seakan
tersenyum.
Jacob, sesuai dugaanku, masih tidur ketika aku
tiba. Aku harus menggedor, menunggu, dan kemudian
menggedor lagi sebelum kudengar ia terhuyung huyung
ke pintu. Ketika akhirnya muncul, tampaknya ia ku
rang suka melihatku. Ia bersandar ke kusen pintu
sejenak, memicingkan mata akibat cahaya dari lorong,
ketidaksenangan yang mencolok tampak di wajahnya.
Kemudian ia menggeramkan "halo", berbalik. dan
masuk ke apartemennya yang remang remang.
Aku melangkah masuk, menutup pintu di belakangku. Aku membutuhkan waktu beberapa detik untuk
menyesuaikan mataku dengan keremangan. Apartemen
nya penuh sesak, berupa mangan besar berbentuk
segi empat, tanpa karpet. Jauh di sebelah kiri ada
pintu menuju kamar mandi kecil. Di sebelahnya terdapat ceruk sedalam enam puluh senti yang digunakan
Jacob sebagai dapur. Ada ranjang, meja dengan dua
kursi, sofa tua rect, TV. Pakaian kotor bertebaran di
sofa; hotel bir kosong berserakan di lantai.
Ruangan tersebut menebarkan bau kemiskinan. Se
tiap kali melihatnya, aku muak.
Jacob berbalik ke ranjang, mengempaskan tubuhnya.
Pegas ranjang menjerit menerima bebannya. Ia mengenakan celana long johns dan T shr'rt. Pakaian dalam
hangat tergantung sembarangan di pahanya. Sekitar
tiga setengah senti kulitnya tampak- di bawah kausnya.
194 Lemak yang putih, bergelombang dan lunak. Tampak
jorok bagikur Aku ingin ia menyelimuti dirinya.
Kubuka kerai kedua jendela, memenuhi ruangan
dengan cahaya matahari. Jacob memejamkan mata.
Udara dipenuhi debu, berputar putar bagai salju miniatur. Sejenak kupertimbangkan kemungkinan untuk
duduk, memandang jijik ke arah sofa, dan memutuskan
tetap berdiri. Aku bersandar ke kusen jendela dan
melipat tangan di dada.
"Apa'kegiatanmu semalam " tanyaku pada Jacob.
Mary Beth berada di kaki ranjang, kepalanya ber
sandar di cakarnya, satu telinga tegak, satu mata
terbuka, mengawasiku.
Jacob, sambil tetap memejamkan mam, mengangkat
bahu. "'Iidak ada." Suaranya berat oleh kantuk.
"Kau keluar "
Ia mengangkat bahu lagi.
"Dengan Lou "
"Iidak." Ia batuk, membersihkan tenggorokannya.
"Aku kena flu. Aku tidak ke mana mana."
"Aku bertemu Lou," kataku. _
Jacob menarik selimut menutupi dirinya dan ber
guling ke samping, matanya masih tetap terpejam.
"Dia datang ke rumah."
Jacob membuka mata. "Lalu "
"Nancy bersamanya, dan orang lain lagi. Kukira
kau." .
Ia tidak berkata apa apa.
"Atau memang kau Yang di mobil "
"Sudah kukatakan." Suaranya terdengar seakan ia
telah terusik. "Aku tidak ketemu Lou semalam. Aku
saki ."
195 "Benar "
"Ayolah, Hank " Ia beranjak bangkit, bertumpu
pada siku. "Untuk apa aku bohong "
"Apa Sonny "
"Sonny "
"Sonny Major. Apa dia yang di mobil "
"Entah. Dari mana aku tahu " Ia kembali meletakkan kepala di bantal, tapi sekarang sepenuhnya
terjaga Bisa kutebak dari suaranya.
"Mereka berteman "
' "Tentu saja Dia pemilik rumahnya."
"Mereka sering pergi bersama "
"Entahlah," kata Jacob kelelahan. "Kenapa tidak "
"Apa dia tahu tentang tiangnya "
"Uangnya "
"Ya!" teriakku jengkel. "Apa Lou cerita tentang
uang itu padanya "
Seseorang menggedor dinding sebelah pintu, dan
kami berdua membeku.
Beberapa saat kemudian, Jacob duduk di ranjang.
Ia menurunkan kaki, mencondongkan tubuh ke depan
dengan lengan bertumpu di lutut. Kutatap kakinya
yang telanjang. Aku selalu shock melihat ukurannya;
seperti dua ekor ayam mental'
"Kau harus santai. Hank. Kau mulai paranoia.
Tidak ada orang lain lagi yang tahu kecuali'Nancy
dan Sara ."
"Sarah tidak tahu."
Ia memandangku, kemudian mengangkat bahu. "Kita
dan Nancy kalau begitu. 'Itu saja."
Mary Beth turun dari ranjang, meregang, kemudian
menyeberang ke kaluar mandi. Ia masuk dan minum
196 dengan suara keras dari toilet. Kami mendengarkan
hingga ia berhenti.
"Pedersen kubunuh demi kau, Jacob," kataku.
Ia menegakkan tubuh. "Apa "
"Kubunuh dia demi kau."
"Kenapa kau selalu mengatakan itu Apa maksudmu "
"Maksudku aku sudah membahayakan diriku untukmu dan kau berbalik mengkhianatiku."
"Mengkhianatimu "
"Kau cerita pada Lou di mana uangnya kusembunyikan." '
"Hank, ada apa denganmu hari ini "
"Dia tahu uangnya ada di garasi."
Jacob terdiam. Mary Beth muncul _kembali dari
kamar mandi, kukunya berdetak membentur lantai.
"Kau tidak pernah melarangku," gumam Jacob.
Dengan sangat perlahan aku berkata, "Kau cerita
tentang Pederson."
"Aku tidak..."
"Kau mengkhianatiku, Jacob. Kau berjanji tidak
akan cerita."
"Aku tidak cerita apa apa. Dia menduganya. Dia
juga mencurigajku."
"Kenapa dia menduga seperti itu "
"Kuceritakan padanya sesudah kita kembali dari
pesawat pagi itu. Dia baru saja melihat berita tentang
Pederson, dan dia mengatakan, "Kau membunuhnya "
"Dan kau mengingkarinya "
la ragu-ragu. "Aku tidak cerita padanya."
"Kau mengingkarinya "
"Dia menebak, Hank," kata Jacob, suaranya tidak
197 sabar, merasa dipojokkan dengan tidak adil. "Dia
tahu begitu saja."
"Well, itu luar biasa, Jacob, karena sekarang dia
menggunakannya untuk memerasku."
"Memerasmu "
"Katanya dia akan buka mulut kalau aku tidak
memberikan bagiannya."
Jacob memikirkannya. "Kau akan membaginya "
"Tidak bisa. Dia akan menyebarkan uang seratusan
dolar ke seluruh kota. Kita akan tertangkap kalau dia
berbuat begitu, secepat dia cerita tentang Pedersen
pada Car ."
"Kaupikir dia sungguh sungguh "
"Menurutmu " _
Jacob mengerutkan kening. "Entah. Mungkin tidak.
Tapi akhir akhir ini dia main judi, jadi dia kekurangan
uang."
"Judi "
Ia mengangguk.
"Di mana " Untuk sejumlah alasan gagasan tersebut
terdengar tidak masuk akal bagiku.
"Di Toledo. Di pacuan kuda Dia kalah."
"Banyak "
Jacob mengangkat bahu. "Sedikit. Aku tidak yakin
persisnya."
Kagosok wajahku. "Sialan, " kataku, kemudian berbalik ke jendela. Di kusen luar terdapat burung
merpati, membengkak menahan dingin. Kuketuk kaca
dengan buku jari, dan burung tersebut terbang pergi.
Sayapnya kemilau tertimpa cahaya matahari.
"Kau mengerti apa yang terjadi, Jacob " tanyaku.
Ia tidak mengatakan apa apa.
198 "Lou sekarang bisa membuat kita dipenjara."
"Lou tidak akan "
Rencana Sederhana A Simple Plan Karya Scott Smith di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dan kita tidak bisa mengendalikannya. Sebelumnya
kita bisa mengancam akan membakar uangnya, tapi
sekarang tidak bisa. Dia akan buka mulut kalau _kita
membakamya."
"Kau memang tak pernah berniat membakarnya,
Hank."
Kuacuhkan kata-katanya. "Kau tahu apa masalah
nya Masalahnya, kaupikir kau bisa mempercayainya
Dia sahabat terbaikmu, jadi kaukira dia tidak akan
mengkhianatimu."
"Ayolah. Lou cuma "
Aku menggeleng. "Kau terlibat terlalu dalam. Kau
terlalu dekat dengannya untuk melihat sifat aslinya."
"Bagaimana sifat aslinya " tanya Jacob sinis. "Pi
kirmu kau bisa memberitahuku "
"Aku bisa memberitahu "
Ia memotongku, nadanya tinggi penuh kemarahan.
"Dia sahabat terbaikku, Hank; kau tidak tahu apa
apa mengenai dirinya. Kau melihatnya mabuk bebe
rapa kali, jadi kaupikir kau tahu tentang dirinya, tapi
tidak. Kau tidak bisa memberitahuku apa apa."
Aku berbalik memandangnya. "Kau bisa menjamin
dia tidak akan menyerahkan kita "
"Menjamin "
"Kau mau menulis pengakuan, mengakui kau yang
membunuh Dwight Pedersen sendirian, menandatanganinya, dan membiarkan aku menyimpannya "
Ia memandangku ketakutan. "Pengakuan Kenapa
kau menginginkannya "
"Untuk ditunjukkan ke polisi kalau Lou cerita."
199 Jacob terdiam. Ia tampaknya gelisah dengan gagasan tersebut, dan itu sesuai dengan harapanku. Aku
tidak benar benar menginginkan pengakuan; aku cuma
ingin menakut-nakutinya, menyentakkannya dari
ketidakacuhannya.
"Ini salahmu, Jacob, kekacauan yang menimpa
kita. Kau yang cerita padanya."
Jacob tidak mengatakan apa apa. Aku menunggu
sejenak kemudian kembali menghadap ke jendela.
"Sekarang Lou meminta sesuatu yang tidak bisa
kuberikan," kataku. "Dan kalau aku menolaknya, dia
akan buka mulut. Dia akan memenjarakan kita."
"Ayolah, Hank. Kaulah yang akan menyebabkan
kita tertangkap. Kau mengatur segalanya "
"Aku datang kemari pagi ini," kataku, tanpa berbalik dari jendela, "untuk mencari tahu kau di pihak
siapa."
"Pihak " _
"Kau harus memilih."
"Aku tidak berpihak pada siapa-siapa. Kalian ber
dua selalu berbicara tentang pihak..."
"Lou berbicara tentang pihak "
Ia tidak mengacuhkan penanyaanku. "Aku di pihak
kalian berdua. Kita semua bersama sama. Itulah ren
cananya." _
"Kalau kau harus memilih "
"Aku tidak mau memilih."
"Kau harus memilih, Jacob. Aku ingin tahu; Lou,
atau aku " '
Di belakangku kurasakan kebingungannya, kepanik
annya. Ranjangnya berderak saat ia menggerakkan
tubuh. '
200 "Aku..."
"Pilih."
Kesunyian mungkin berlangsung selama sepuluh
menit. Aku menunggu sambil menahan napas.
"Aku memilihmu, Hank," katanya kemudian. "Kau
adikku."
Kuletakkan kepalaku ke kusen jendela. Kacanya
dingin, membuat kulitku sakit. Di jalan, tepat di
bawahku, seorang kakek menjatuhkan korannya, dan
koran tersebut berhamburan tertiup angin. Pasangan
yang kebetulan lewat membantunya mengumpulkannya
kembali, dan mereka berbicara sedikit, pria tua tersebut
mengangguk bersemangat. "Terima kasih," kulihat ia
mengatakannya saat mereka belpisah. "Terima kasih."
Mary Beth menguap, dan kudengar kakakku menepuk nepuknya.
"Jangan melupakannya, Jacob," kataku, napasku
beruap di kaca di depanku. "Apa pun yang terjadi
jangan melupakannya."
Selasa sore pintu kantorku diketuk. Sebelum aku
sempat mengatakan apa apa, pinttinya membuka, dan
kepala Lou menyelip masuk. Ia tersenyum padaku,
menunjukkan giginya. Mirip gigi hewan pengerat,
tajam, kekuningan.
"Hai, Mr. Accountant," katanya, kemudian masuk,
menutup pintu di belakangnya. Ia mendekati meja
tapi tidak duduk. Ia mengenakan jaket putihnya, dan
bot kerjanya. Wajahnya merah muda kedinginan.
Inilah saat yang paling kutakuti dalam tiga hari
terakhir, tapi sekarang setelah benar benar terjadi,
aku tak lagi ketakutan, atau marah, hanya kelelahan.
201 "Kau mau apa, Lou " desahku. Aku tahu apa pun
tujuannya, mungkin bukanlah sesuatu yang bisa kupenuhi.
"Aku butuh uang, Hank."
Hanya itu yang dikatakannya. Ia tidak mengancam,
tidak menyinggung tentang Pederson maupun Jacob,
tapi bisa kurasakan hal itu di udara di antara kami,
bagai aroma.
"Sudah kukatakan "
Ia menghentikanku dengan mengayunkan tangan.
"Aku tidak minta itu," katanya. "Aku cuma minta
pinjaman."
"Pinjaman "
"Kubayar begitu kaubagi tiangnya."
Aku mengerutkan kening. "Berapa "
"Aku butuh dua ribu," katanya. Ia berusaha ter
senyum tapi tampaknya segera merasa bahwa tersenyum bukangagasan yang baik dan membatalkannya.
"Dua ribu dolar " tanyaku.
Ia mengangguk serius.
"Untuk apa uang sebanyak itu "
"Aku punya utang."
"Utang dua ribu dolar Pada siapa "
Ia tidak menjawab. "Aku membutuhkan uangnya,
Hank. Ini benar-benar penting."
"Utang judi "
Ia tampaknya mengemyit sedikit, mungkin terkejut
menyadari aku tahu tentang permainan judinya, tapi
kemudian ia berhasil tersenyum. "Banyak hal."
"Kau kalah dua ribu dolar "
Ia menggeleng. "Sedikit lebih dari itu." Ia mengedipkan mata. "Ini sekadar menunjukkan itikad baik,
202 untuk menyabarkan orangorang sampai aku mendapat
bagianku."
"Kau kalah berapa "
"Aku cuma membutuhkan dua ribu, Hank."
"Aku mau tahu kan kalah berapa."
Ia menggeleng lagi. "Itu bukan urusanmu, Mr.
Accountant." Ia berdiri di depanku, sabar, tidak tergoyahkan, tangannya di saku jaket.
"Aku tidak membawa uang sebanyak itu ke manamana," kataku. "Aku tidak bisa mengambil dua ribu
dolar dari bawah meja dan memberikannya padamu."
"Ada bank di seberang jalan."
"Aku butuh waktu," kataku. "Kembalilah nanti
sore."
Setelah ia pergi aku ke bank dan menarik dua ribu
dolar dari rekeningku dan Sarah. Kubawa kembali ke
kantor. memasukkannya ke dalam amplop, dan meletakkannya di laci teratas mejaku.
Aku berusaha bekerja tapi hari terlalu panas; aku
sulit berkonsentrasi. Aku mencorat coret di batas surat.
Kubaca majalah berburu yang ditinggalkan seseorang
di kamarku.
Aku tahu dengan memberikan amplop tersebut pada
Lou berarti setuju membagi uangnya. Hanya begitu
satu-satunya cara agar ia bisa melunasinya. Aku
memahami hal ini tapi berpura pura menganggapnya
tidak relevan. Yang kukatakan sendiri adalah ini se
kadar mengulur waktu. Aku tahu pasti ada jalan
keluar, dan'yakin kalau bisa menemukannya kalau
saja aku bisa berkonsentrasi sedikit. Aku harus berpikir; aku harus memikirkan segalanya.
203 Lou kembali sebelum pukul 17.00, mengetuk pintu
ku dan masuk tanpa kupanggil.
"Dapat " tanyanya. Ia tampak tergesa gesa. Kuletakkan uangnya di tepi meja.
Ia maju untuk mengambilnya. Ia merobek tepinya
dan menghitung isinya, bibirnya bergerak-gerak. Ke
mudian ia tersenyum padaku. "Aku benar benar berterima kasih, Hank," katanya, seakan aku melakukan
nya dengan sukarela.
"Aku tidak akan memberimu lagi, " kataku.
Ia menghitung uangnya lagi, tampaknya menghitung
sesuatu dalam kepalanya. "Kapan Sarah melahirkan "
"Tanggal 24."
"Minggu depan " Wajahnya berubah cerah '
"Hari Minggu berikutnya."
"Dan sesudah itu kita ambil uangnya "
Aku mengangkat bahu. "Aku butuh beberapa hari,
untuk membereskan segalanya. Dan kita harus melakukannya di akhir pekan. Aku tidak bisa cuti."
Lou mundur ke pintu. "Kau akan meneleponku "
tanyanya.
"Ya." Aku mendesah. f'Kutelepon kau."
Aku tidak menceritakan kejadian ini pada Sarah.
Hari-hari berlalu dengan cepat. Tanggal 24 pun ber
lalu. Selama itu aku tidak pernah bertemu atau ber
bicara dengan Jacob maupun Lou. Sarah berceloteh
tidak henti hentinya mengenai kelahiran yang akan
terjadi. Ia sama sekali tidak menyinggung Lou atau
Nancy.
Malam hari aku akan berbaring sambil menghitung
orang orang yang mengetahui. Kucari kelemahan me
204 reka, membayangkan mereka menyerahkanku, berusaha
mengkhianatiku, merampokku, menyakitiku, satu per
satu. Aku mulai memimpikannya Lou memukuliku
dengan gilingan adonan; Jacob mendatangiku dengan
garpu dan pisau, mau memakanku hidup hidup; Nancy
mencium Sarah, kemudian berbisik di telinganya, "Ra
cuni dia. Racuni dia. Racuni dia."
Aku terbangun tengah malam dan membayangkan
kaleng bir milik Lou tergeletak di salju di tepi
perkebunan. Kubayangkan agen FBI mengambilnya
dengan sarung tangan karet, memasukkannya ke kan
tong plastik dan mengirimkannya ke laboratorium.
Atau memikirkan Carl yang duduk di kantomya di
Ashenville, menunggu, sempat reruntuhan tersebut di
temukan, untuk mengaitkan laporan Jacob tentang
jatuhnya pesawat dan kemunculan mayat Dwight
Pedersen esoknya. _
Mereka akan mengeluarkan mayatnya dan meng
galinya lagi. Mereka akan mempelajari dan menemukannya, dan kemudian mereka akan tahu.
Tapi, anelmya tidak terjadi apa apa Uang dalam
tas tidak terusik di bawah ranjang. Tidak ada seorang
pun yang tampaknya mencurigaiku. Tidak ada seorang
pun yang tampaknya berkomplot melawanku. Lou
tidak menggangguku, Dan, perlahan lahan, aku mulai
berhenti membayangkan apa jadinya hidupku. Kusadari
bahwa aku bisa menghadapi kegelisahanku. Kegelisahanku abadi. Bayiku akan lahir sebentar lagi. Akan
kutantang bualan Lou, memberanikan diri menantangnya. Di musim semi pesawatnya akan ditemukan,
beberapa bulan setelahnya kami akan membagi uangnya dan pindah.
205 Lalu segalanya akan berakhir.
Pagi hari Kamis, 28 Januari, saat aku baru selesai
bersiap-siap ke kantor,_Sarah melahirkan. la kularikan
ke rumah sakit, lima belas menit di sisi seberang
Delphia, dan di sana, pukul 18:14, ia melahirkan
bayi perempuan.
206 SARAH dan bayinya kubawa pulang empat hari
kemudian. Bayinya sehat, merah muda. Beratnya empat
setengah kilo, bagian bawah dagunya berlemak dan
tangannya gemuk kecil.
Dalam perjalanan pulang kami memutuskan untuk
memberinya nama Amanda, sesuai dengan nama nenek
Sarah dari ayahnya.
Aku terpesona menyadari betapa kotomya rumah
dengan kepergian Sarah selama beberapa hari. Aku
malu karena tidak bisa membersihkannya sendiri.
Piring-piring kotor bertumpuk di wastafel, koran bertebaran di kamar, lapisan rambut tebal di saluran
bathtub.
Kuajak mereka ke lantai atas, ke kamar tidur.
Kutaruh Amanda di buaiannya yang kuletakkan di
bawah jendela. Sarah mengawasiku dari ranjang. Buai
an itu adalah salah satu benda yang ditinggalkan
Ayah seminggu sebelum kecelakaannya. Buaianku dan
Jacob sewaktu kami masih bayi; Ayah membuatnya
sendiri.
Aku turun, menyiapkan teh dan roti bakar untuk
Sarah. Kubawa dengan baki dan kami bercakap
207 cakap sementara ia makan. Tentu saja kami mem
bicarakan Amanda tentang suaranya kalau ia lapar,
caranya menyentakkan kaki kalau kami menyentuh
telapak kakinya, matanya yang biru pucat dan jernih.
Kami membicarakan rumah sakit tentang perawat
malam jahat yang sepatunya berkeriut seakan terisi
air kalau melangkah di lorong gelap; perawat pagi
ramah yang eeda] dan berusaha untuk tidak memanggil
nama Sarah; dokter dengan celah di giginya yang
selalu menganggap Amanda bayi laki laki.
Aku berdiri di dekat buaian selama percakapan
tersebut, mengawasi bayiku tidur. Ia telentang, kepalanya menghadap ke jendela, matanya terpejam rapat
seakan memicingkannya ke arah matahari. Ia me
Rencana Sederhana A Simple Plan Karya Scott Smith di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ngepalkan tinjunya di samping bahunya. Ia tidak
bergerak. Aku terus menerus ingin menyentuhnya dan
memastikan bahwa ia masih hidup.
Sarah menghabiskan teh dan rotinya. Ia berbicara
dan berbicara seakan telah menyimpan segalanya
selama empat hari terakhir ini untuk diceritakan pada
ku. Aku tersenyum dan mengangguk, memberinya
semangat hingga ia tiba tiba berhenti sendiri.
"Itu Jacob " tanyanya, dan aku memandang ke
luar jendela.
Truk kakakku tengah meraung memasuki jalur
masuk.
Ia kusambut di pintu dan mengundangnya masuk, tapi
katanya tidak sempat. Ia membawakan hadiah untuk
bayiku, sesuatu terbungkus tisu merahmuda, dan ia
bergegas memberikannya padaku, seakan membawanya
saja membuatnya malu.
208 _ "Ini teddy bear," katanya. Ia membiarkan mesin
truknya hidup. Anjingnya duduk di kursi penumpang,
mengawasi kami. Hewan tersebut menyalak sekali
padaku, dan moncongnya membentur jendela. mening
galkan bekas basah di kacanya.
"Lihatlah dia." kataku. "Sebentar saja. Dia di
lantai atas."
Jacob menggeleng lalu mundur selangkah, seakan
takut aku akan menariknya. Ia berada di tepi serambi.
"Tidak," katanya. "Kapan kapan saja. Aku tidak mau
mengganggu Sarah."
"Tidak mengganggu," kataku. Kupindahkan teddy
bmr itu ke tangan yang lain.
Jacob menggeleng lagi dan kesunyian yang tidak
menyenangkan timbul saat ia meneari cari kata untuk
diucapkan sebelum berpisah.
"Kau sudah memberinya nama " tanyanya.
Aku mengangguk. "Amanda."
"Bagus."
"Seperti nama nenek Sarah. Bahasa Latin. Artinya
'layak dicintai". "
"Benar bcnar bagus," kata Jacob. ' Aku suka."
Aku mengangguk lagi. "Yakin kau tidak mau naik "
Ia menggeleng lalu melangkah turun dari serambi,
tapi kemudian berhenti. "Hank," katanya. "Aku mau..."
Ia tidak melanjutkan, memandang sekilas ke truk.
"Apa "
"Aku bisa pinjam uang "
Aku mengerutkan kening, memindahkan teddy bear
itu sekali lagi: "Berapa "
Ia memasukkan tangan ke saku jaketnya, menatap
botnya. "Seratus lima puluh "
209 "Seratus lima puluh dolar "
' Ia mengangguk
"Untuk apa, Jacob "
"Bayar sewa. Aku terima cek pengangguranku
minggu depan, tapi aku tidak bisa menunggu selama
itu."
"Kapan kau akan mengembalikannya "
Ia mengangkat bahu. ""Sebenarnya kuharap kan
bisa memotongnya dari bagianku."
"Kau sudah berusaha mencari pekerjaan "
Ia tampak terkejut mendengar pertanyaan tersebut
"Tidak."
Aku gagal mengusahakan agar suaraku tidak ter
kesan menghakimi. "Kau bahkan tidak mencari "
"Untuk apa " Ia merendahkan suaranya hingga
menyerupai bisikan. "Kata Lou, kau setuju membagi
uangnya sekarang."
Kutatap dadanya, mempertimbangkannya. Cukup jelas terlihat bahwa aku tidak bisa memberitahunya
dengan menyatakan aku tidak akan membagi uangnya
sampai musim panas. Ia akan menceritakannya pada
Lou dan aku tidak siap menghadapinya. Tapi kalau
mau berpura pura mengambil sikap lain, aku tidak
punya alasan untuk meminjaminya uang. Di belakangnya mesin truk berdemm dan terbatuk batuk, menyemburkan asap kebiruan. Semua rumah tetanggaku tenang
seakan telah ditinggalkan. Jendela jendelanya kosong.
Hari ini hari pembuangan sampah, dan tong-tong
sampah plastik berbaris di tepi jalan.
"Tunggu," kataku. "Aku ke atas dulu mengambil
buku cekku."
*** 210 Sarah membuka teddy bear tersebut sementara aku
berdiri dek'at meja dan menuliskan cek untuk Jacob.
Bayinya tidur nyenyak di buaian.
"Ini bekas," bisik Sarah, terdengar sedikit jijik.
Aku berpaling memandang teddy bear tersebut.
Tidak ada yang nyata nyata salah pada boneka tersebut tidak ada noda atau lubang, tidak ada matanya
yang hilang maupun tonjolan isinya tapi tidak bisa
diingkari bahwa boneka itu tampak kusut. Beruang
tersebut telah tua, bekas. Bulunya cokelat tua hampir
hitam, dan kunci tembaga menancap di punggungnya.
Sarah memutar kuncinya Ketika ia melepaskannya,
terdengar musik dari dada beruang tersebut, suara
pria menyanyi Fram Jacques, Frbre Jacques/Dannezvous Darmaz-vaus Begitu mendengarnya, kusadari
mengapa beruang tersebut tampak begitu tua.
"Itu beruangnya," kataku.
"Beruang Jacob "
"Waktu dia masih kecil."
Musiknya terus berlanjut, terdengar datar dan jauh
di balik bulu teddy bear tersebut:
Fram Jacques, Frbre Jacques,
Darmcz-vaus Dormcz- vous
Sonnez les marina. Sonnez les matines.
Ding, dang, dang. Ding, dang, dong.
Sarah mengacungkan beruang tersebut di hadapannya, menilai ulang boneka tersebut. Musiknya semakin
lama semakin lambat setiap nada terulur seakan
merupakan nada terakhir tapi tidak berhenti.
211 "Kurasa dia benar benar manis, bukan " katanya.
Ia mengendus beruang tersebut. '
Kuambil kertas tisunya dan menjejalkannya ke keranjang sampah di sebelah ranjang. "Aku ingin tahu
di mana dia menyimpannya selama ini."
"Dia mau kemari "
"Trdak," kataku, melangkah ke pintu. "Dia tergesa
gesa."
Sarah memutar kunci beruang lagi. "Untuk apa
ceknya "
"Jacob," kataku tanpa berpaling, Aku tengah me
langkah ke ruang depan.
"Dia pinjam uang "
Aku tidak menjawabnya.
Bayiku mulai menangis begitu aku kembali ke
tangga. Ia memulainya perlahan antara batuk tertahan
dan jeritan burung tapi begitu aku memasuki kamar
tidur, tiba-tiba, seakan ada yang memutar kenopnya.
ia meningkatkan volumenya menjadi lolongan penuh.
Kugcndong ia dari buaian dan membawanya ke
ranjang. Tangisannya semakin keras saat kugendong,
seluruh tubuhnya menegang dalam pclukanku, wajahnya berubah merah tua seakan mau meledak. Aku
masih terkejut oleh beratnya; tidak kubayangkan bah
wa bayi bisa seberat ini, dan ada perasaan padat
yang aneh dalam dirinya, seakan penuh air. Kepalanya
besar dan bulat; seakan memakan setengah tubuhnya.
Sarah mengacungkan lengan ke arahku, mengambil
bayi dari tanganku, wajahnya mengemyit kesakitan.
"Shhh," katanya. "Amanda. Shhh."
Teddy bear nya tergeletak di sebelahnya, punggungnya menempel ke kepala ranjang, cakar hitam mungil
212 nya terulur, seakan juga ingin juga menenangkan bayi
yang menangis tersebut. Sarah menggendong Amanda
di ceruk lengannya dan dengan tangannya yang bebas
membuka kancing atas piamanya, menampilkan buah
dada kirinya. '
Aku berbalik, melangkah ke buaian, dan meman
dang ke luar jendela. Aku masih malu melihat Sarah
menyusui Amanda. Hal itu menimbulkan perasaan
ngeri, memikirkan bayiku mengisap cairan dari Sarah. Tampaknya tidak alamiah, menjijikkan. Meng
ingatkanku pada lintah.
Kutatap halaman depan. Kosong. Jacob dan truknya
telah lenyap. Hari seakan tidak bergerak, indah, bagai
pemandangan musim dingin di kartu pos. Cahaya
matahari memantul di permukaan beku; pepohonan
melampirkan bayang bayang tebal di salju. Talang di
garasi melengkung akibat batang es, dan kuingatingat untuk meremukkannya pada saat keluar lagi.
Ketika mataku beralih dari batang es ke atas, di
puncak garasi kudapati bayang bayang hitam burung
besar. Tanpa sadar tanganku bergerak ke dahi.
"Ada gagak di atap garasi," kataku.
Sarah tidak bereaksi. Kupijat kulit di atas alis
mataku. Licin sempurna; mcmarnya tidak meninggalkan
bekas. Amanda menyusu sambil mengeluarkan suara.
mantap dan konstan.
Sekitar semenit kemudian Sarah memanggilku.
"Hank " tanyanya pelan.
Kuawasi gagak tersebut berluncatan di atap garasi
yang tertutup salju. "Ya "
"Aku menyusun rencana sewaktu di rumah sakit."
"Rencana "
213 "Supaya yakin Lou tidak akan cerita."
Aku berbalik memandangnya. Bayanganku, ter
bingkai cahaya persegi dari jendela, membentang besar
di lantai kamar tidur. Kepalaku tampak sangat besar
di atas bahuku, seperti labu. Sarah membungkuk di
atas Amanda, tersenyum dengan sikap dilebih-lebihkan alis matanya terangkat tinggi di dahinya, cuping
hidungnya memerah. bibirnya terbuka menampilkan
giginya. Bayinya tidak mengacuhkannya, mengisap
buah dadanya habis-habisan. Ketika Sarah berpaling
memandangku, senyumnya lenyap.
"Ini agak bodoh," katanya, "tapi kalau kita lakukan
dengan benar, mungkin berhasil."
Aku mendekat dan duduk di kaki ranjang. Sarah
kembali berpaling ke Amanda, mengelus elus pipi
bayi dengan ujung jari.
"Ya," bisiknya. "Kau gadis kecil kelaparan, bukan "
Bibir Amanda terus bernafsu mengisap putingnya.
"Teruskan," kataku.
"Rekamlah pengakuannya atas pembunuhan Pederson."
Kutatap dirinya. "Kau bicara apa "
"Itulah rencanaku," katanya. "dengan begitu dia
tidak akan bisa menyerahkanmu. " Ia meringis padaku,
seakan sangat senang dengan gagasan tersebut.
"Apa mi lucu "
"Tentu saja tidak," katanya terkejut.
"Kenapa dia akan mau mengakui sesuatu yang
tidak dilakukannya "
"Kau dan Jacob mengundangnya minum. buat dia
mabuk, bawa dia kembali ke rumahnya, dan mulai
bergurau tentang mengaku pada polisi. Kalian berpura
214 pura melakukannya bergantian kau dulu, Jacob kedua, Lou terakhir dan waktu Lou mengaku, rekam
dia."
Kuanggap pasti ada yang logis dalam rencana
yang baru saja diajukan Sarah, dan mencoba menemukannya. '
"Itu sinting," kataku akhimya. "Tak mungkin ber
hasil."
"Jacob akan membantumu. Itu kntinya. Kalau
Jacob yang membujuknya, dia pasti bersedia."
"Tapi kalaupun kita berhasil membuatnya mengaku dan aku meragukannya takkan ada artinya. '1'1dak ada orang yang mempercayainya."
"Tidak penting," katanya. "Kita cuma membutuhkan
sesuatu untuk menakut nakutinya. Kalau kita rekam
dia mengatakannya, dan kita izinkan dia mendengarnya, tak mungkin dia akan menyerahkanmu."
Amanda selesai menyusu. Sarah mengambil serbet
dari meja dan melampirkannya di bahu, kemudian
menegakkan bayinya dan membuatnya bcrsendawa. Ia
menarik piama menutupi buah dadanya tapi tidak
mengancingkannya. Piama tersebut hadiah Natal dariku. Ia tidak bisa mengenakannya waktu mengandung
perutnya terlalu bcsar jadi ini pertama kalinya kulihat
ia mengenakannya. Piama flancl putih dengan hiasan
dedaunan hijau. Aku ingat membelinya di mall di
Toledo, masih ingat membungkusnya dalam kotak
pada malam Natal dan ia membukanya esok paginya,
memegangnya pada perutnya yang bengkak. Semuanya
seakan berlangsung bcrabad-abad yang lalu. Sejak itu
banyak hal terjadi aku telah berbohong, mencuri,
membunuh dan sekarang masa lalu tersebut, begitu
215 dekat bila dihitung waktunya, sama sekali tak bisa
diperbaiki. Betapa mengerikan untuk dikenali seperti
selat yang memisahkan kami berdua pada waktu itu,
dari membuka hadiah di lantai di bawah pohon se
mentara api menyala di perapian, dengan kami yang
sekarang, duduk di- kamar tidur, merencanakan bagaimana caranya memeras Lou dan menakut nakutinya
agar menutup mulut. Dan kami melintasinya bukan
dengan lompatan besar tetapi dengan langkah kecil
yang hampir tidak kentara, sehingga kami tidak benarbenar menyadari seberapa jauh kami telah melangkah.
Kami beringsut-ingsut mendekatinya; melakukannya
tanpa berubah.
"Kau cuma perlu membuatnya mengerti bahwa kau
dan Jacob bisa mengaku kalau dialah yang membunuh
Pedersen semudah dia mengaku kaulah pelakunya.
Kalau kau membuatnya menganggap Jacob berada di
pihakmu, dia tidak akan berani mengadukannya kepada
polisi."
"Ini bodoh, Sarah."
Ia mengalihkan pandangannya sekilas dari bayinya.
"Apa salahnya mencoba "
"Jacob tidak akan membantu."
"Kalau begitu kau harus memaksanya. Tidak akan
berhasil kalau dia tidak ikut."
Rencana Sederhana A Simple Plan Karya Scott Smith di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dia tidak mau mengkhianati sahabat terbaiknya."
"Kau adiknya, Hank. Dia akan melakukannya kalau
kautunjukkan betapa pentingnya hal ini. Kau cuma
perlu membuatnya takut pada Lou seperti kita." Ia
memandangku sekilas, menyingkirkan rambut dari wa
jahnya. Di bawah matanya terdapat lingkaran kehitam
an. Ia perlu tidur. "Ini tidak akan berakhir sebelum
216 Lou memperoleh uangnya. Dia akan terus mengganggu
kita swmur hidup. Satu satunya cara untuk meng
hentikannya adalah dengan membuatnya takut pada
kita seperti kita takut padanya."
"Maksudmu rekaman itu akan membuatnya takut
pada kita " '
"Aku tahu pasti."
Aku tidak mengatakan apa apa. Aku masih sulit
membayangkan Lou mengakui pembunuhan Pederson,
bahkan dalam keadaan mabuk sekalipun.
"Paling tidak kita harus mencobanya, Hank. Tidak
ada ruginya mencoba."
Tentu saja ia benar, atau paling tidak begitulah
tampaknya. Tapi dari mana aku tahu bahwa rencana
sederhananya justru membawa kehancuran Aku tidak
melihat risikonya. Kalau berhasil kami selamat, dan
kalau tidak, kami hanya kembali ke awal.
"Baik," kataku. "Akan kubicarakan dengan Jacob.
Kita lihat saja apa aku bisa membuatnya membantu
ku."
Esoknya aku cuti agar bisa membantu Sarah mengurus
bayinya.
Sorenya, sementara keduanya tidur, aku keluar
membeli tape recorder. Kubeli di Radio Shack, di
Toledo. Kuberitahu penjualnya bahwa aku membutuhkan tape yang mungil dan tidak terlalu rumit. Untuk
mendikte, kataku, untuk merekam surat bisnis sementara dalam perjalanan ke dan dari kantor. Ia
menjual yang lebih kecil daripada setumpuk kartu.
Rasanya nyaman, hampir tidak terlihat dalam saku
kemejaku, dan tombol perekamnya sangat besar, hing
217 ga terasa di balik kain dan tahu mana yang harus
ditekan tanpa harus melihatnya
Sarah dan bayinya masih tidur ketika aku tiba di
rumah. Dengan cepat kuperiksa mereka, kemudian ke
kamar mandi dan berlatih menggunakan tape re
corder di depan cermin. Kulakukan berulang ulang
dengan perlahan dan biasa tangan kanan menggaruk
dadaku sebentar, lalu menggenggam benda tersebut
sementara telunjukku menekan tombolnya. Tampaknya
bagus, pikirku; Lou tidak akan menyadarinya.
Kemudian setelah Sarah bangun, kucoba di hadap
annya Ia di ranjang memeluk Amanda.
"Apa yang pertama kali akan kau beli dengan
uangnya " tanyaku, dan ketika ia memandangku sekilas, kugaruk dadaku, menghidupkan tape recorder.
Ia 'menggigit bibirnya, berdebat. Dalam kesunyian
aku hampir tidak mendengar dengung lembut dari
sakuku.
"Sebotol sampanye," katanya. "Sampanye yang ba
gus. Kita meminumnya, sedikit mabuk, lalu bercinta
di atas uangnya."
"Di atas uangnya " __
"Benar." Ia tersenyum. "Kita sebarkan di lantai,
menjadikannya ranjang ratusan dolar."
Kukeluarkan rape recorder dari saku clan memutar
ulang ke awal. "Lihat apa yang kubeli." kataku.
Kuserahkan tape itu ke Sarah.
"Bisa berfungsi "
Aku meringis. "Tekan tombol play."
Iamenemukan tombolnya, menekannya.
"Sebetul sampanye," suaranya terdengar satu demi
218 satu dengan kejernihan mengagumkan. "Sampanye
yang bagus. Kita meminumnya, sedikit mabuk..."
Kamis sore, sekitar pukul 17.30, kutelepon Jacob
dari toko makanan untuk mengajaknya ziarah bersamasama agar kewajiban kami kepada almarhum Ayah
akhirnya terpenuhi. Mulanya ia menolak, dengan alas
an sibuk, tapi akhirnya aku berhasil mengajaknya.
Kami setuju untuk bertemu pukul 17.45, di jalan di
depan toko Raikley.
Pada saat aku keluar dari toko, ia telah menungguku
di trotoar dengan Mary Beth. Ia bahkan terlihat lebih
gemuk dari biasanya. wajahnya menggembung. bengkak. Jaketnya begitu erat hingga ia tak bisa meluruskan tangan di sisinya. Ia merentangkannya menjauhi
tubuhnya, seperti boneka yang kelebihan isi. Matahari
telah terbenam. dan di luar cuaca gelap. Lampu jalan
membentuk lingkaran kuning pucat di aspal pada
jarak yang tetap sepanjang jalan. Sejumlah mobil
berlalu, dan di depan apotek segerombolan remaja
berkerumun, bercakap cakap dan tertawa keras-keras.
Selain itu kota sunyi sepi.
Jacob dan aku menyeberang jalan menuju ke arah
gereja St. Jude, melangkah ke trotoar seberang, dan
berjalan ke tempat parkir. Bot kami menimbulkan
suara berderak di kerikil. Mary Beth berderap di
depan kami ke arah pemakaman.
"Aku sempat memikirkan uangnya," kata Jacob,
"dan kurasa sudah nasib kita menemukannya."
"Nasib " tanyaku.
Ia mengangguk. Ia tengah menyantap kue cokelat
terbungkus aluminium foil, menggigimya besar-besar
219 sambil melangkah. Ia harus menunggu, mengunyah
dan menelan, sebelum bisa mengucapkan sesuatu.
"Terlalu banyak kenumgkinan yang bisa membuat
perbedaan," katanya. ""Kalau sekadar kebetulan tentu
tidak akan pernah terjadi. Sepertinya memang diatur
begitu, sepertinya kita telah dipilih."
Aku tersenyum padanya, kedengarannya gagasan
yang romantis. "Kemungkinan apa saja "
"Segalanya." Ia menyusunnya dengan bantuan je
mari. "Kalau pesawatnya terbang lebih jauh lagi,
pasti jatuh di tempat terbuka dan ditemukan seketika.
Kalau tidak ada rubah yang melintas tepat di depan
kita dan kita tidak menabraknya, dan Mary Beth
tidak ada di sana atau tidak mengejar rubah itu, dan
rubah itu tidak lari ke sebelah pesawat, kita tidak
akan pernah menemukannya. Kalau kaubiarkan tasnya
di dalam setelah memeriksa pilotnya, kita akan kembali ke kota dan melaporkannya pada sherijf tanpa
mhn apa-apa mengenai uangnya. Begitu seterusnya."
Kami sekarang mencapai gerbang rantai pemakaman, dan berhenti di sana, seakan ragu untuk masuk.
Gerbangnya sebenarnya cuma hiasan; menghalangi
jalan setapak tapi tak lebih. Tidak ada pagar yang
meneruskannya Mary Beth 111cngendus endusnya se
jenak, mengangkat kakinya ke salah satu tiangnya,
kemudian melangkah memasuki pemakaman.
""Tapi kenapa nasib seperti ini " tanyaku. Bagiku
lebih mirip keberuntungan, dan sedikit menakutkan
mendengarnya menyebutkan semua yang telah terjadi
selama ini. Aku tak bisa menghindari pemikiran bahwa
pada akhirnya semuanya akan berimbang. Keberun
tungan yang telah membawa kami melewati semua
220 kesulitan yang ada sekarang ini, keberuntungannya
itu pasti akan berbalik menyerang kami sebelum
semuanya berakhir.
"Kau tidak mengerti " katanya. ""Ini terlalu acak
untuk dikatakan sekadar kesempatan. Rasanya seperti
ada yang menentukan semuanya, merencanakan untuk
membantu kita sejak awal."
"Tuhan " tanyaku tersenyum. Aku rnelamb'ai ke
gereja.
Ia mengangkat bahu. "Kenapa tidak "
"Bagaimana dengan Pedersen Apa dia juga bagian
dari rencana besar ini "
Ia mengangguk mantap. "Kalau hari itu dia datang
pada waktu lain, dia akan menemukan pesawatnya.
Dan jejak kita akan ada di sana. Kita pasti ter
tangkap."
"Tapi kenapa dia harus datang Kalau kau yang
membuat rencana, apa kau tidak akan menghapusnya
saja "
Ia memikirkannya sambil menghabiskan kuenya. Ia
menjilat aluminium foilnya beberapa kali, kemudian
menggulung dan melemparkannya ke salju. "Mungkin
penting untuk sesuatu yang belum terjadi," katanya,
""sesuatu yang kita tidak tahu."
Aku tidak mengatakan apavapa. Aku tidak pernah
mendengarnya berusaha menjadi filsuf sebelumnya.
Aku tak yakin apa tujuannya.
"Berani bertaruh pasti sedang berlangsung seka
rang," katanya. ""Kejadian yang berlangsung tepat
pada urutannya, satu demi satu, tepat di tempatnya
hingga semuanya sesuai bagi kita."
Ia menyeringai padaku. Tampaknya ia sedang gem
221 bira, dan untuk sejumlah alasan sikapnya membuatku
jengkel. Sikapnya tersebut berbau puas diri. Ia tidak
memiliki konsep terhadap masalah yang kami hadapi.
"Kau bahagia karena kita menemukan tiangnya "
tanyaku. '
Ia ragu-ragu, seakan kebingungan oleh pertanyaan
ku. lg tampaknya beranggapan ada tipuan dalam
pertanyaan tersebut. "Kau tidak "
"Aku bertanya padamu."
Ia menunggu sedetik, kemudian mengangguk. "Pasti," katanya, suaranya serius. "Tanpa ragu."
"Kenapa "
Ia menjawabnya cepat, seakan telah mempettimbangkan berulang ulang. "Aku bisa memperoleh per
tanian itu lagi."
Ia memandangku sewaktu mengatakannya, melihat
reaksiku, tapi aku tetap diam, wajahku tidak berekspresi. Beberapa menit lagi aku akan mEmintanya
untuk mengkhianati satu satunya sahabat terbaiknya
dan rasanya sekarang bukan waktu yang tepat untuk
memberitahu bahwa ia tidak bisa tinggal di Ashenville.
"Dan aku bisa memiliki keluarga," lanjutnya. "Aku
tidak bisa memilikinya sebelum ini. Aku butuh seseorang seperti Sarah, dan "
"Seperti Sarah " tanyaku terkejut.
"Seseorang yang agresif. Kau juga membutuhkannya, kau terlalu pemalu untuk bisa mencari pasang
anmu sendiri; dia harus mengejarmu."
Aku agak keheranan mendengarnya berkata begitu',
tapi pada saat yang sama kusadari kebenarannya.
Aku mengangguk'padanya, mendorongnya untuk melanjutkan. *
222 "Tanpa uang itu," katanya, "tidak ada orang yang
mau mengejarku. Aku gendut." i'a menepuk perutnya "dan miskin. Aku akan menua dan kesepian.
Tapi sekarang sesudah aku kaya semua itu akan
berubah, pasti ada orang yang mau mengejarku demi
uangnya."
"Kau mau seseorang mencintaimu demi uangmu "
_ "Aku tak pernah punya siapa siapa, Hank. Seumur
hidup. Kalau sekarang aku bisa mendapatkan sese
orang, aku tak peduli alasannya mendekatiku. Aku
tidak bangga."
Aku bersandar ke gerbang pemakaman, mengawasinya menceritakan semuanya. Wajah dan suaranya
serius. Ini bukan humor menghina amu rendah diri;
tidak ada imni apa pun. Hanya kebenaran, dingin
dan berkilau bagai tulang yang baru dicabut dari
dagingnya. Jadi, beginilah pandangan Jacob mengenai
hidupnya.
Aku tak mhu bagaimana harus bereaksi. Sejenak
kutatap botnya yang luar biasa besar, merasa kurang
enak, kemudian berkata, "Apa yang terjadi dengan
Mary Beth "
Ia menyesuaikan letak kacamata di hidungnya, me
micingkan mata memandang pemakaman di belakangku. "Dia di sana."
"Dia sudah meninggal "
"Meninggal " kamnya. "Maksudmu Dia baru saja
di sini, kau melihatnya."
"Bukan anjingnya. Mary Beth Shackleton, teman
SMA mu."
Jacob mengerutkan kening. "Kurasa dia sudah meni
kah. Terakhir kudengar dia pindah ke Indiana."
223 "Dia menyukaimu mnpa uang itu, bukan "
Ia tertawa menggeleng. "Aku tak pernah mencerita
kan kejadian sebenarnya padamu, Hank. Aku selalu
malu." Ia tiuak memandangku ketika berbicara, tapi
menatap ke pemakaman di belakangku. "Dia berpacar
an denganku hanya sebagai lelucon. Ia bertaruh antara
dia dan teman-temannya. Mereka semua benaruh se
ratus dolar kalau dia tidak akan mau berpacaran
denganku selama sebulan. Jadi dia melakukannya.
"Kau tahu "
"Semua orang tahu."
"Dan kau menerimanya "
"'I'ldak seburuk tampaknya. Memang jahat sekali
perbuatannya, tapi dia melakukannya dengan manis.
Kami tidak pernah berciuman atau menyentuh atau
berbuat apa pun, tapi kami sering bepergian bersamasama, dan bercakap-cakap. Sesudah sebulan dia masih
bersedia berhenti sekadar mengucapkan salam kalau
kami berpapasan, yang seharusnya tidak perlu dia
lakukan." '
Aku shock. "Dan kau menamai anjingmu dengan
namanya "
Ia mengangkat bahu, tersenyum aneh. "Aku. suka
namanya."
Tentu saja tidak masuk akal seluruh peristiwa
itu. Aku merasa kasihan padanya, dan malu.
Sebuah mobil membunyikan klakson di kejauhan.
dan kami berdua berhenti sejenak, mendengarkan.
Malam sangat sunyi. Anjingnya muncul kembali dari
pemakaman dan sekarang duduk di sebelah gerbang.
"Usiaku 33," kata Jacob, "dan belum pernah mencium wanita. Itu salah, Hank."
224
Rencana Sederhana A Simple Plan Karya Scott Smith di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku menggeleng. Tidak tahu harus berkala apa.
"Kalau kekayaanku mengubahnya," katanya, "sila
kan. Aku tidak peduli kalau hanya demi uangku."
Kami terdiam setelahnya. Jacob sudah berbicara
terlalu banyak, kami berdua merasakannya. Kekakuan
tergantung disekitar kami bagai kabut yang begitu
tebal hingga kami kesulitan melihat satu sama lain.
Kubuka gerbangnya dan kami masuk ke pemalmm
an. Mary Beth berderap di depan kami.
"Agak menakutkan, bukan " tanya Jacob, suaranya
keras dan berani seperti buldozer yang menyingkirkan
kekakuannya. la mengerang mirip hantu, kemudian
tertawa pendek dan tajam, berusaha agar mirip lelucon.
Tapi ia benar; suasananya memang agak menakutkan. Gerejanya gelap dan kosong. Langit di atas
berawan, menyembunyikan bintang bintang. bulan berkilau pucat di atas kaki langit. Cahaya samar yang
menerangi jalan kami berasal dari kota di sekeliling
pemakaman. Cahaya itu bahkan tidak cukup terang
untuk menimbulkan bayang-bayang kami. Kegelapan
di sekeliling makam begitu sempurna hingga mirip
sesuatu yang cair. Melewati gerbang, aku merasa
bagai melangkah ke dalam danau. Kuawasi Mary
Beth menghilang di depan kami, menyisakan suara
kalungnya yang berdencing lembut setiap kali me
langkah, sekadar menunjukkan kehadirannya.
Kami menemukan makam orangtua kami lebih ber
dasarkan ingatan daripada pandangan. Mereka dima
kamkan di tengah pemakaman tepat di sebelah kanan
jalan setapak. Ketika Jacob dan aku tiba di sana,
kami melangkah ke salju dan berdiri di depan nisan.
Nisan tersebut berupa batu granit persegi sederhana,
225 berfungsi sebagai tanda bagi keduanya. Ukiran di
batu tersebut berbunyi
JACOB HANSEL JOSEPHINE M CDONNEL
MITCHELL - MITCHELL
31 Desember 1927 5 Mei 1930,
2 Desember 1980 4 Desember 1980
kedukaan kami bertambah dud'kali lipat
Di bawahnya terdapat dua tempat kosong yang
diamplas halus. Ini untuk Jacob dan aku. Dad telah
membeli empat tempat sebelum meninggal, untuk men
jamin agar suatu hari kelak kami dimakamkan ber
sama sama.
Aku berdiri tak bergerak di. depan makam, menatap
dalam dalam ke nisan, tapi bukan memikirkan orangtua.
ku. Aku tidak mengingat keberadaan mereka atau ber
duka atas kepergian mereka. Aku justru memikirkan Ja
cob. Aku tengah memperhitungkan bantuan macam apa
yang bisa diberikannya dalam menghadapi Lou. Itu sebabnya malam ini kami berada di pemakaman: aku tengah mengingatkannya akan ikatan persaudaraan kami.
Aku menunggu beberapa menit, membiarkan kesunyian muncul di antara kami, Aku mengenakan jas
panjang, kemeja, dan dasi. Udara dingin menggigitku,
angin mendesak celanaku bagai tangan sedingin es,
mantap, mendesak, seakan menginginkan aku maju.
Mataku bergerak tanpa kentara dari nisan ke bayang
bayang gelap gereja, kemudian menyamping ke Jacob
yang berdiri di sebelahku, terbungkus kesempitan
jaketnya diam, besar, tak tergoyahkan bagai Buddha
merah raksasa. Sejenak aku penasaran, apa yang
226 tengah dipikirkannya ketika berdiri di tempatnya tanpa
bergerak, Mungkin kenangan pribadi akan orangtua
kami, atau tentang Mary Beth Shackleton. Atau tentang misteri nasib dan hadiah yang_diberikan nasib
padanya. Pintu yang dijanjikan oleh nasib sekarang
akhirnya telah terbuka ketika hidupnya tampak telah
berlangsung begitu .Iama. Mungkin saja ia bukan
memikirkan semuanya itu.
"Kau merindukan mereka " tanyaku.
Jacob menjawab pelan, seakan terjaga dari tidur.
"Siapa "
"Mom dan Dad,"
'Sejenak sunyi kala ia mempenimbangkannya. Bisa
kudengar derak es di bawah botnya ketika ia memindahkan berat tubuhnya dari satu kaki ke kaki yang
lain. _
"Ya," katanya, suaranya yang jujur terdengar datar
di udara dingin. "Terkadang."
Ketika aku tidak mengatakan apa-apa, ia melanjutkan, seakan mau menjelaskannya sendin'. "Aku rindu
rumah kita," katanya. "Aku rindu mengunjunginya
setiap akhir pekan untuk makan malam dan kemudian
duduk duduk sambil main kartu atau minum. Dan
aku rindu bercakap cakap dengan Dad. Dia selalu
mendengarkan ceritakui Aku tidak kenal orang lain
yang mau berbuat begitu sekarang."
-Ia terdiam. Rasanya ia belum selesai, jadi aku
tetap berdiri di tempatku, menatap langit, menunggunya
melanjutkan kata katanya. Jauh di barat, di atas me
nara gereja, kulihat dua kedipan lampu pesawat ber
gerak perlahan saling mendekati. Sedetik tampaknya
mereka akan bertabrakan, tapi kemudian berpapasan.
227 Itu hanya tipuan perspektif, sebab jarak di antara
mereka sangatlah jauh.
"Dad akan memahami perbuatan kita," kata Jacob.
"Dia memahami pentingnya uang. Cuma itu yang
diperhitungkan," katanya dulu, "darah kehidupan. akar
kebahagiaan.
la melirikku. "Kauingat dia mengatakan hal hal
seperti itu "
"Cuma menjelang akhirnya. Waktu dia kehilangan
pertaniannya."
"Aku sering mendengarnya berkata begitu dan tam
paknya amat sederhana sampai aku tidak benar-benar
mendengarkan. Baru baru ini saja aku mulai mengerti.
Kupikir dia berbicara tentang tidak bisa makan kalau
tidak punya uang, atau beli pakaian, atau tetap hangat,
tapi bukan cuma itu. Dia berbicara tentang tidak
adanya kebahagiaan tanpa uang. Dan juga bukan
uang dalam jumlah sedikit atau sekadar Cukup. Mak
sudnya uang dalam jumlah banyak. Dia berbicara
tentang menjadi kaya."
"Mereka tidak pernah kaya," kataku.
"Dan juga tidak pernah bahagia."
"Tidak pernah "
"Tidak, terutama Dad."
Aku bergegas mengingat bayangan ayahku dalam
keadaan bahagia. Aku bisa membayangkannya tertawa,
tapi tawa orang mabuk yang dangkal, serampangan,
dan tidak masuk akal. Aku tak bisa membayangkan
lainnya.
"Dan mereka semakin sedih saat uang mereka
menipis," kata Jacob, "sampai akhirnya, waktu uang
nya habis, mereka bunuh diri."
228 Aku memandangnya sekilas, terkejut. Sarah selalu
berteori mengatakan mereka bunuh diri, tapi tidak per
nah kudengar kakakku berpendapat begitu sebelumnya.
"Kau tidak "tahu," kataku. "Mereka mabuk. Itu
kecelakaan."
la menggeleng. "Malam sebelum kejadian itu Mom
meneleponku. Katanya cuma ingin mengucapkan selamat malam. Dia-mabuk dan dia memaksaku berjanji
untuk menikah suatu hari kelak agar aku tidak akan
meninggaL sebelum berkeluarga."
"Ia berhenti sejenak. Aku menunggu, tapi ia tidak
melanjutkan perkataannya.
"Lalu " tanyaku.
"Kau belum mengerti Dia tidak pernah meneleponku sebelumnya. Itu pertama dan satu-satunya. Biasanya
Dad yang menelepon. Mom meneleponku malam itu
karena dia tahu, karena mereka baru saja selesai
merencanakannya, dan dia sadar bahwa dia tidak
akan pernah bertemu denganku lagi."
Aku bergegas menganalisis ceritanya, mencari kelemahan. Aku tak ingin mempercayainya. "Mereka
pasti tidak berbuat begitu kalau mau bunuh diri,"
katakui "Mereka tidak akan menabrak truk."
la menggeleng. Ia sendiri telah memikirkan hal ini,
ia bisa mengantisipasi pertanyaanku. "Mereka harus
membuatnya seakan kecelakaan. Dad tahu kita memerlukan asuransi jiwanya untuk menutupi utangnya. Itu
satu-satunya jalan untuk melunasinya. Pertanian sudah
digadaikan tidak ada lagi barang berharga kecuali
hidup mereka."
"Tapi mereka bisa membunuh sopir truknya, Jacob.
Kenapa mereka tidak menabrak pohon saja "
229 "Menabrak pohon masih kelihatan seperti bunuh
diri. Mereka tidak berani mengambil risiko."
Kucoba membayangkan orangtua kami duduk dalam
kegelapan di balik palang pintu keluar, menunggu
munculnya sorotan lampu depan. Kemudian ketika
akhirnya sorotan itu muncul dan Dad memindahkan
persneling ke satu, mereka bergegas mengucapkan
kata kata terakhir, hal hal yang mereka rencanakan
sebelumnya pemyataan cinta yang bagian terakhirnya
lenyap dalam deru mesin truk yang mendekat dan
deritan rem mendadak sebelum tabrakan. Kucoeokkan
bayangan ini dengan bayangan lainnya, bayangan
yang kupertahankan dalam benakku selama tujuh tahun
terakhir. Kubayangkan mereka berdua mabuk, tenawa
tawa, radio mobilnya melantunkan musik, jendela
dibuka agar angin dingin berembus masuk, dan me
lengkapi ilusi bahwa mereka sadar, keduanya tidak
menyadari kesalahannya hingga detik terakhir ketika
truknya luar biasa besar melebihi atap mobil mereka
muncul. Kucoba memutuskan mana yang kupilih
apa yang mereka ketahui atau ketidakaeuhan me
reka tapi keduanya tampak terlalu menyedihkan untuk
bisa kuterima. Aku tak tahu harus memilih yang
mana.
"Kenapa kau tak pernah menceritakannya padaku "
tanyaku.
Jacob membutuhkan bebeiapa detik untuk memperoleh jawaban. "Kupikir kau tak ingin tahu."
Aku mengangguk. la benar. Bahkan sekarang pun
aku tidak mau tahu dan tidak mau mengerti apa yang
baru saja diceritakannya. Aku tak ingin mempertim
bangkan kemungkinan kemungkinannya dan percaya
230 bahwa ceritanya benar. Emosi yang bertentangan me
nyapu diriku. Aku iri karena Mom bukannya meneleponku tapi Jacob pada malam terakhir hidupnya.
Aku terkejut menyadari Jacob bisa merahasiakan semuanya dariku selama ini. Aku berduka atas kemungkinan bahwa orangtua kami orang orang yang baik
dan peketja keras bisa terdorong oleh kebutuhan
akan uang hingga bertindak sebodoh itu, benar benar
mengorbankan hidup mereka dan membahayakan pe
nonton yang tidak bersalah untuk menyelamatkan diri
dan anak anak mereka dari lilitan utang.
Jacob mengentakkan kakinya, berusaha menjaganya
agar tetap hangat. Aku tahu ia ingin pergi.
"Jacob," kataku.
Ia berpaling, memandang lurus ke wajahku. "Apa "
Mary Beth berkeliaran dalam gelap di sekitar kami,
berdencing dencing bagai hantu mungil terbungkus
rantai.
"Sarah tahu tentang uangnya. Aku hams cerita
padanya setelah kedatangan Lou mencari uang itu ke
rumahku."
"Tidak apal" katanya. "Dia mungkin yang paling
aman dan" kita semua."
Aku mengangkat bahu. "Masalahnya dia takut terhadap Lou. Dia takut Lou akan memenjarakan kau
dan aku karena membunuh Pederson." Aku melambai
ke kiri, ke makam Pederson. Jacob mengikuti isyaratku
dengan pandangannya.
"Lou tidak apa apa," katanya. "Dia cuma mau
memastikan kau akan memberikan uangnya. Begitu
kauberi uang itu padanya dia tidak akan mengganggumu lagi."
23] "Aku tidak akan memberikan uangnya. Sarah dan
aku sudah membicarakannya dan kami setuju untuk
tidak memberikannya sekarang."
Jacob menatapku beberapa detik, mempertimbangkan akibatnya. "Kalau begitu kita lihat saja apa
jadinya dengan bualannya."
Aku menggeleng. "Tidak akan begitu jadinya. Kita
lah yang lebih dulu bertindak."
Ia memandangku sekilas, wajahnya menunjukkan
kebingungan. "Maksudmu "
Kuceritakan tentang rencana Sarah. Ia mendengar
kan sampai selesai, bahunya membungkuk dalam jaketnya, tangannya dibenamkan dalam sakunya.
Ketika aku selesai, ia bertanva. "Kenapa kaucerita
kan semuanya padaku "
"Aku butuh bantuanmu," kataku. "Tidak akan berhasil tanpa bantuanmu."
la menyendok salju dengan bolnya lalu mengerutkan
kening. "Kurasa aku tak ingin melakukannya. Lou
tidak berbahaya."
"Dia berbahaya, Jacob. Dia selalu berbahaya."
"Bukannya "
"Tidak," kataku, "pikirkan. Bahkan kalau kita berikan bagiannya, dia tidak akan berhenti. Tidak ada
batasan untuk pembunuhan. Sepuluh tahun lagi, sesudah bagiannya habis, dia bisa melacak dan memerasmu dengan pengetahuannya."
Jacob tidak mengatakan apa apa.
"Kau mau hidup seperti 'itu " tanyaku. "Tahun
demi tahun, menunggunya menemuimu "
"Dia tidak akan berbuat begitu."
"Dia sudah berbuat begitu padaku. Dia sudah
232 melakukannya dua kali. Tidak akan kubiarkan dia
melakukannya lagi."
Mary Beth muncul kembali dari kegelapan, menggoyang goyangkan ekornya, napasnya cepat dan kasar,
seakan telah mengejar sesuatu. la meloncat ke Jacob,
dan Jacob mendorongnya turun.
"Kau sudah diberi kesempatan, Jacob. Kau bertanggung jawab atasnya, dan kau membiarkannya
lepas kendali. Sekarang aku akan mengambil alih
tanggung jawab."
"Kau menyalahkan aku "
"Dia tahu tentang Pedersen melalui dirimu, bukan
Itu yang membuat kita begini."
"Aku tidak cerita mengenai Pederson." Tampaknya
Rencana Sederhana A Simple Plan Karya Scott Smith di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sangat penting baginya agar aku mempercayainya,
tapi tidak kuaeuhkan. "Kalau ada yang harus disalahkan," katanya pahit, "kau sendirilah yang salah. Kau
yang pertama kali curiga. Kau memahitkan semua
hubungan kita dengan kecurigaanmu. Lou hanya bertindak sesuai harapanmu tentang dirinya sejak awal."
Aku berpaling memandangnya. Dari ketegangan
dalarn suaranya aku tahu telah menyakitinya. "Aku
tidak menyalahkanmu, Jacob. Aku' tidak menyalahkan
siapa-siapa. Ini kebetulan terjadi dan sekarang kita
harus membereskannya." Aku tersenyum padanya.
"Mungkin nasib."
la mengerutkan kening ke makam.
"Pilihannya ini atau membakar uangnya."
"Kau tidak akan membakar uangnya. Itu ancaman
kosong." _
Tentu saja benar, dan aku mengangguk. "Masalah
233 nya tidak sebesar itu, Jacob. Aku tidak memintamu
membunuhnya."
Ia tidak bereaksi. la menaikkan kelepak kerahnya
hingga menutupi bagian bawah wajahnya, kemudian
berpaling dari makam dan melirik ke Main Street.
Kuikuti pandangannya. Aku bisa melihat Raikley dan
jendela kantorku dari sini. Aku bisa melihat balai
kota, kantor pos, toko palen. Segalanya tenang.
"Aku butuh bantuanmu," kataku.
"Aku tidak bisa menipunya seperti itu. Dia tidak
akan memaafkan aku."
"Dia akan mabuk, Jacob. Dia tidak akan ingat
bagaimana kejadiannya." Begitu kukatakan aku segera
menyadari kalau inilah kail yang kubutuhkan. Kakakku
bukan khawatir karena harus mengkhianati Lou, tapi
khawatir kalau Lou mengetahuinya. "Kau bisa pura
pura terkejut kalau mau," kataku melanjutkan cepatcepat, menangkapnya, "seakan kau tidak tahu menahu
tentang tape recorder nya. Kau bisa berpura pura
bahwa semuanya ulahku sendiri, bahwa aku menipu
kalian berdua."
Jacob berdebat sejenak. "Cuma sekadar ancaman "
tanyanya. "Kita tidak akan pernah menggunakan re
kaman itu " '
Aku mengangguk. "Cuma untuk meyakinkan agar
dia tidak menyerahkan kita." Rasanya ia mulai goyah,
jadi kudesak lagi. "Katamu kalau tiba saatnya dan
kau harus memilih, kau akan memilihku."
Ia tidak mengatakan apa apa.
"Sekaranglah saatnya, Jacob. Kautepati janjimu "
Ia terdiam lama sekali, mengawasiku. Anjingnya
berguling di salju dekat kakinya. Anjing tersebut
234 berguling berdiri, menggeram, tapi kami berdua tidak
mengacuhkannya. Jacob memeluk perutnya, menatap
nisan orangtua kami. Mataku sudah menyesuaikan
diri dengan kegelapan, dan bisa kukenali wajahnya
sekarang dan melihat matanya di balik kacamatanya.
Ia tampak dingin dan gelisah. Akhirnya ia mengangguk.
Kucoba untuk mengatakan sesuatu, sesuatu yang
meyakinkannya.
"Kau mau makan malam di rumahku " tanyaku,
mengejutkan diriku sendiri. "Sarah memasak lasagna." Bahkan sekarang pun aku masih tidak yakin
Kain Pusaka Setan 1 Pendekar Gila 26 Undangan Maut Sebatang Kara 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama