Ceritasilat Novel Online

Sebatang Kara 1

Sebatang Kara Nobodys Boys Karya Hector Malot Bagian 1


SEBATANG KARA Hector Malot SEBATANG KARA Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta,
2010 NOBODY'S BOY by Hector Malot Ali rights reserved.
SEBATANG KARA PENJELASAN UNDANG UNDANG EPUB ini dibuat oleh untuk memfasilitasi akses bagi tunanetra dan mereka yang memiliki keterbatasan membaca buku dalam cetak tinta.
Fasilitasi akses atas suatu Ciptaan untuk penyandang tuna netra, penyandang kerusakan penglihatan atau keterbatasan dalam membaca, dan/atau pengguna huruf braille, buku audio, atau sarana lainnya, tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta jika sumbernya disebutkan atau dicantumkan secara lengkap, kecuali bersifat komersial.
Cuplikan UU No.28 Tahun 2014 Pasal 44 Ayat 2 tentang Hak Cipta
Pasal 44 (1) Penggunaan, pengambilan, Penggandaan, dan/atau pengubahan suatu Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait secara seluruh atau sebagian yang substansial tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta jika sumbernya disebutkan atau dicantumkan secara lengkap untuk keperluan:
pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta atau Pemegang Hak Cipta;
keamanan serta penyelenggaraan pemerintahan, legislatif, dan peradilan;
ceramah yang hanya untuk tujuan pendidikan dan ilmu pengetahuan; atau
pertunjukan atau pementasan yang tidak dipungut bayaran dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta.
(2) Fasilitasi akses atas suatu Ciptaan untuk penyandang tuna netra, penyandang kerusakan penglihatan atau keterbatasan dalam membaca, dan/atau pengguna huruf braille, buku audio, atau sarana lainnya, tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta jika sumbernya disebutkan atau dicantumkan secara lengkap, kecuali bersifat komersial.
(3) Dalam hal Ciptaan berupa karya arsitektur, pengubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta jika dilakukan berdasarkan pertimbangan pelaksanaan teknis.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai fasilitasi akses terhadap Ciptaan bagi penyandang tuna netra, penyandang kerusakan penglihatan dan keterbatasan dalam membaca dan menggunakan huruf braille, buku audio, atau sarana lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Alih bahasa: Tanti Lesmana
GM 402 01 10 0028 Desain dan ilustrasi cover: Satya Utama Jadi
Hak cipta terjemahan Indonesia: PT Gramedia Pustaka Utama
Jl. Palmerah Barat 29-37 Blok I Lt. 4-5 Jakarta 10270 Indonesia
Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama,
anggota IKAPI, Jakarta, April 2010 384 hlm; 20 cm ISBN: 978 - 979 - 22 - 5702 - 1
Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta
Isi di luar tanggung jawab percetakan
Bab Satu DESA TEMPAT TINGGALKU Aku seorang anak pungut. Tapi sampai aku berumur delapan tahun, kupikir aku punya ibu seperti anak-anak lainnya, sebab kalau aku menangis ada seorang ibu yang selalu memelukku erat-erat dan membuaiku dengan lem?but, sampai aku berhenti menangis. Dia selalu memberikan ciuman selamat malam setiap aku akan pergi tidur, dan ketika angin bulan Desember meniupkan salju bercampur es ke kaca-kaca jendela, dia akan menghangatkan kaki-kaki?ku di antara kedua tangannya dan menyanyi untukku. Sampai sekarang pun aku masih ingat lagu yang biasa dia nyanyikan. Kalau badai datang sewaktu aku sedang di luar rumah, mengurusi sapi peliharaan kami, dia akan berlari menjemputku di jalan setapak, lalu ditutupinya kepala dan bahuku dengan rok katunnya supaya aku tidak basah ke?hujanan.
Kalau aku bertengkar dengan salah satu anak lelaki di desa, dia menyuruhku menceritakan masalahnya, lalu de?ngan lembut dia menegurku kalau ternyata aku salah, dan memujiku kalau aku berbuat benar. Semua itu dan banyak lagi lainnya, juga dari caranya berbicara padaku serta me?natapku, dan betapa dia selalu mengomeliku dengan lem?but, membuatku yakin bahwa dia benar-benar ibuku.
Desaku, atau lebih tepatnya desa tempat aku dibesar?kan"sebab aku tidak mempunyai desa asalku sendiri, ti?dak mempunyai tempat kelahiran, sama seperti aku tidak mempunyai ayah atau ibu "desa tempat aku menghabiskan masa kecilku bernama Chavanon. Salah satu desa paling miskin di Prancis. Hanya sedikit sekali tanahnya yang bisa digarap, sebab padang gersang mahaluas yang memben?tang di sini hanya ditumbuhi semak-semak. Kami tinggal di sebuah rumah kecil di dekat anak sungai.
Sampai umurku delapan tahun, aku belum pernah me?lihat laki-laki di dalam rumah kami. Tetapi ibu angkatku bukan seorang janda. Suaminya adalah pemotong batu yang bekerja di Paris, dan dia belum pernah pulang ke desa sejak aku mulai cukup besar untuk memperhatikan hal-hal yang terjadi di sekitarku. Kadang-kadang dia me?ngirim kabar melalui seorang rekannya yang pulang ke desa, sebab banyak petani di sini bekerja sebagai pemotong batu di kota.
"Ibu Barberin," kata si pembawa pesan, "suamimu baik- baik saja. Dia menyuruhku memberitahumu bahwa dia masih bekerja, dan dia menitipkan uang ini untukmu. Mau dihitung dulu?"
Begitulah. Ibu Barberin merasa puas karena suaminya baik-baik saja dan masih bekerja.
Walaupun Pak Barberin tidak tinggal di rumah, tidak berarti hubungannya dengan istrinya tidak baik. Dia tinggal di Paris karena dia bekerja di sana. Nanti, kalau sudah tua, dia akan pulang dan tinggal bersama istrinya, dan mereka akan hidup dari uang yang selama ini dikumpulkannya.
Pada suatu senja bulan November, seorang laki-laki ber?henti di pagar rumah kami. Aku sedang berdiri di ambang pintu, mematahkan kayu-kayu. Orang itu melongok dari atas pagar dan memanggilku, menanyakan apakah benar Ibu Barberin tinggal di sini. Kuteriakkan ya, dan kusuruh dia masuk. Dia membuka pagar yang sudah reyot itu dan melangkah perlahan-lahan ke arah rumah. Belum pernah aku melihat orang sekotor itu. Tubuhnya tertutup lumpur dari kepala sampai kaki. Jelas bahwa dia datang dari jauh dan menempuh jalanan-jalanan yang kondisinya buruk. Mendengar suara kami, Ibu Barberin lari ke luar.
"Aku membawa kabar dari Paris," laki-laki itu berkata.
Nada suara orang itu membuat Ibu Barberin waswas.
"Oh, astaga," serunya sambil menggerak-gerakkan kedua tangannya. "Pasti ada apa-apa dengan Jerome!"
"Ya, benar, tapi jangan takut. Dia terluka, tapi tidak mati, tapi mungkin dia akan cacat. Aku dulu sekamar de?ngannya, dan waktu aku hendak pulang, dia minta aku menyampaikan pesan ini padamu. Aku tidak bisa lama- lama, sebab perjalananku masih jauh dan sekarang sudah mulai gelap."
Tetapi Ibu Barberin ingin mendengar lebih banyak; dia memohon agar orang itu mau makan malam bersama. Kon?disi jalanan-jalanannya buruk sekali, dan kata orang, ba?nyak serigala di pinggiran hutan. Bagaimana kalau besok pagi saja meneruskan perjalanan" Maukah bermalam di sini"
Orang itu bersedia. Dia duduk di sudut dekat perapian, dan sambil makan malam dia menceritakan pada kami ten?tang kecelakaan tersebut. Pak Barberin terluka parah ter?timpa perancah yang ambruk, dan berhubung dia seharus?nya tidak berada dekat-dekat tempat terjadinya kecelakaan tersebut pihak pembangun tidak mau membayar ganti rugi.
"Barberin yang malang/' kata orang itu sambil menge?ringkan bagian kaki celana panjangnya yang sekarang sa?ngat kaku tersaput lumpur. "Dia tidak beruntung, sama sekali tidak beruntung! Ada orang-orang yang mendapat uang dari urusan begini, tapi suamimu tidak bakal dapat apa-apa!"
"Tidak beruntung!" katanya lagi, dengan nada sangat simpatik, yang jelas-jelas menunjukkan bahwa dia sendiri bersedia kehilangan nyawanya kalau sebagai gantinya dia mendapatkan uang ganti rugi. "Kubilang padanya, mesti?nya dia mengajukan tuntutan hukum pada si pembangun itu."
"Tuntutan hukum!" seru Ibu Barberin, "Itu perlu uang banyak."
"Ya, tapi bayangkan kalau kau menang!"
Ibu Barberin ingin berangkat ke Paris, hanya saja urusan ini berat sekali... perjalanannya begitu jauh dan biayanya sangat mahal!
Keesokan paginya kami pergi ke desa untuk minta nasihat kepada Pastor. Dia menyarankan Ibu Barberin jangan pergi dulu sebelum mencari tahu apakah kehadirannya di sana ada manfaatnya. Lalu sang Pastor menulis surat ke rumah sakit tempat Pak Barberin dirawat, dan beberapa hari ke?mudian mendapatkan surat balasan yang mengatakan Ibu Barberin tidak usah datang, tetapi dia diminta mengirim?kan sejumlah uang kepada suaminya, sebab suaminya akan menuntut si pembangun yang proyeknya telah membuat Pak Barberin mengalami kecelakaan.
Hari dan minggu berlalu, dan dari waktu ke waktu Ibu
Barberin mendapat surat yang isinya meminta kiriman uang lebih banyak. Surat terakhir, yang nadanya lebih me?maksa daripada surat-surat sebelumnya, mengatakan bah?wa kalau tidak ada uang lagi, maka sapi mesti dijual un?tuk memenuhi jumlah yang diminta.
Hanya orang-orang yang pernah tinggal di desa, ber?sama para petani, yang bisa memahami perasaan sedih yang amat sangat kalau mendengar kalimat "Sapi mesti dijual." Selama masih mempunyai sapi di kandang, mereka tahu mereka tidak akan menderita kelaparan. Dari sapi peliharaan kami, kami memperoleh mentega untuk di?campur dengan sup, dan susu untuk membasahi kentang. Kami menikmati banyak sekali manfaat dari sapi kami, sehingga sampai saat aku menuliskan semua ini, aku be?lum pernah merasakan makan daging. Tetapi sapi kami bukan hanya memberikan makanan; dia juga sahabat kami. Ada orang-orang yang menganggap sapi binatang bodoh. Padahal tidak begitu. Sapi sangatlah cerdas. Kalau kami mengajak bicara sapi kami, membelai-belainya dan mem?berinya ciuman, dia mengerti, dan dengan sepasang mata?nya yang besar dan bulat, yang sorotnya begitu lembut, dia bisa memberitahukan apa yang dia inginkan dan tidak dia inginkan. Malah dia sangat sayang pada kami, dan kami juga sangat sayang padanya, dan itu saja sudah cukup. Tapi mau tak mau kami harus berpisah dengannya, sebab suami Ibu Barberin baru merasa puas kalau kami menjual sapi itu.
Seorang pedagang ternak datang ke rumah kami, dan setelah memeriksa Rousette dengan saksama "sambil terus menggeleng-gelengkan kepala dan mengatakan sapi itu sama sekali tidak cocok untuknya, dia tidak akan pernah bisa menjualnya lagi, sapi itu tidak ada susunya, mentega dari susunya pasti jelek "akhirnya orang itu berkata dia mau membeli Rousette, itu pun karena dia merasa kasihan, apalagi Ibu Barberin adalah wanita yang jujur dan baik hati.
Kasihan Rousette. Dia sepertinya tahu apa yang terjadi. Dia tidak mau keluar dari kandangnya dan mulai rne- lenguh-lenguh.
"Pergilah ke belakangnya dan paksa dia keluar," si peda?gang berkata padaku seraya mengulurkan cemeti yang tadi dia kalungkan di lehernya.
"Tidak, sapi itu tidak akan mau," seru Ibu Barberin. Lalu sambil menggiring Rousette yang malang pada ping?gangnya, dia berbicara dengan lembut kepada sapi itu, "Ayo, cantikku, ayolah... ikutlah."
Rousette mau dibujuknya, dan kemudian, setelah sapi itu keluar ke jalan, si pedagang mengikatnya di belakang keretanya, kudanya berderap pergi dan Rousette harus mengikuti.
Kami masuk kembali ke rumah, tetapi lama sesudahnya suara lenguhan Rousette masih terngiang-ngiang di telinga kami. Sekarang tidak ada susu lagi, dan tidak ada men?tega! Kami hanya bisa makan sepotong roti kalau pagi, dan sedikit kentang yang diberi garam untuk makan ma?lam hari Panekuk berlangsung beberapa hari setelah kami menjual sapi. Tahun lalu Ibu Barberin membuatkan ma?kanan enak untukku, yaitu panekuk dan kue apel, dan aku makan begitu banyak, sampai wajah Ibu berseri-seri dan dia tertawa senang. Tetapi sekarang tidak ada Rousette yang bisa memberikan susu dan mentega untuk kami, jadi tidak akan ada Hari Panekuk, pikirku sedih.
Tapi Ibu Barberin punya kejutan untukku. Meskipun dia
tidak suka berutang, kali ini dia meminjam secangkir susu dari salah satu tetangga kami, dan sepotong mentega dari tetangga lainnya. Waktu aku pulang sekitar tengah hari, dia sedang menuang tepung ke dalam mangkuk besar dari tanah liat.
"Oh," kataku, sambil menghampirinya, "tepung?"
"Ya," sahutnya, tersenyum padaku, "ini memang tepung, Remi kecilku, tepung yang indah. Lihat, butir-butirannya cantik sekali."
Aku ingin sekali tahu, untuk apa tepung itu, tapi aku tidak berani bertanya. Selain itu, aku tidak ingin dia tahu bahwa aku ingat hari ini adalah Hari Panekuk. Aku takut dia jadi sedih.
"Tepung biasanya untuk dibuat apa?" tanyanya dengan tersenyum padaku.
"Roti." "Apa lagi?" "Bubur." "Dan apa lagi?"
"Wah, tidak tahu."
"Ah, kau tahu, tapi kau memang anak baik. Kau tidak berani menyebutkannya. Kau tahu hari ini Hari Panekuk, dan karena kaupikir kita tidak punya mentega dan susu, kau tidak berani bicara. Bukankah begitu, eh?"
"Oh, Ibu." "Aku tidak ingin Hari Panekuk tidak jadi dirayakan oleh Remi kecilku. Coba lihat ke dalam wadah itu."
Aku cepat-cepat membuka tutup wadah itu, dan di da?lamnya kulihat ada sedikit susu, mentega, telur, dan tiga butir apel.
"Kemarikan telur-telurnya," katanya. "Sementara aku memecahkan telur, kau mengupas apel-apelnya."
Aku memotong apel-apel itu menjadi iris-irisan, sedang?kan Ibu Barberin memecahkan telur-telur ke dalam tepung dan mulai mengaduk campuran itu, sambil sesekali me?nambahkan sedikit susu. Setelah adonannya sudah cukup diaduk, dia memindahkan mangkuk tanah liat yang besar itu ke atas bara api hangat, sebab panekuk dan kue apel?nya baru boleh dimakan saat makan malam. Mesti kukata?kan terus terang bahwa hari itu rasanya lamaaa sekali, dan lebih dari sekali aku mengangkat kain penutup mang?kuk.
"Nanti adonannya jadi dingin," serunya, "dan tidak akan mengembang dengan semestinya."
Tapi ternyata adonan itu mengembang dengan baik, gelembung-gelembung kecil bermunculan di permukaan?nya. Dan telur-telur serta susunya mulai berbau harum.
"Pergilah memotong kayu," Ibu Barberin berkata, "kita membutuhkan api yang besar dan bagus."
Akhirnya lilin dinyalakan.
"Taruh kayunya ke dalam api!"
Dia tidak perlu mengatakannya dua kali; sedari tadi aku sudah tidak sabar menunggu dia mengucapkan kata-kata itu. Tak lama kemudian lidah api sudah menjilat-jilat naik ke cerobong asap, dan cahayanya menerangi keseluruhan ruang dapur. Kemudian Ibu Barberin menurunkan peng?gorengan dari gantungannya dan menaruhnya di atas api.
"Kemarikan menteganya!"
Dengan ujung pisaunya dia mengoleskan sepotong men?tega seukuran kacang ke dalam penggorengan. Mentega itu meleleh dan mendesis-desis. Sudah lama sekali kami tidak mencium bau harum itu. Betapa lezat baunya! Ketika aku sedang asyik mendengarkan bunyi desisan mentega itu, kudengar suara langkah-langkah kaki di pekarangan kami.
Siapa sih yang datang mengganggu kami pada jam begini" Barangkali tetangga yang ingin minta kayu api. Aku tak sempat berpikir, sebab persis pada saat itu Ibu Barberin menaruh sendok kayunya yang besar di dalam mangkuk dan menuang sesendok adonan ke dalam peng?gorengan. Ini bukan saatnya pikiran melayang ke mana- mana. Ada yang mengetuk pintu dengan tongkat kayu, lalu pintu berayun membuka.
"Siapa itu?" tanya Ibu Barberin, tanpa membalikkan ba?dan.
Seorang laki-laki masuk. Dalam cahaya api yang me?nyinarinya, bisa kulihat dia membawa sebatang tongkat besar di tangannya.
"Wah, kau sedang membuat makanan enak rupanya, ja?ngan sampai kau terganggu," katanya dengan suara ka?sar.
"Ya Tuhan," seru Ibu Barberin; cepat-cepat dia menurun?kan penggorengan ke lantai, "kaukah ini, Jerome?"
Lalu ditariknya lenganku dan diseretnya aku ke arah laki-laki yang berdiri di ambang pintu itu.
"Ini ayahmu." Bab Dua Ayah Angkatku Ibu Barberin memberikan ciuman pada suaminya. Aku juga hendak mencium Pak Barberin, tetapi dia menjulurkan tongkat kayunya dan menghentikanku.
"Apa ini"... kauhilang.."
"Emm, ya, tapi belum ... sebab..."
"Ah, belum, eh?"
Pak Barberin maju ke arahku dengan mengacungkan tongkatnya; secara naluriah aku mundur. Apa salahku" Aku kan tidak berbuat apa-apa! Aku tadi cuma hendak menciumnya. Kupandangi dia dengan takut-takut, tapi dia sudah memunggungiku dan sekarang berbicara dengan Ibu Barberin.
"Jadi, kau merayakan Hari Panekuk," katanya. "Bagus, sebab aku lapar sekali. Ada makanan apa untuk nanti ma?lam?"
"Aku membuat panekuk dan kue apel."
"Hmm, tapi kau tidak akan menghidangkan panekuk pada orang yang sudah berjalan sangat jauh seperti aku ini, kan?"
"Aku tidak punya apa-apa lagi. Kami tidak mengira kau akan pulang."
"Apa" Tidak ada makanan lain! Tidak ada apa-apa buat makan malam!" Dia melayangkan pandang di dapur.
"Ada mentega sedikit."
Pak Barberin menengadah ke langit-langit, ke tempat daging babi asin biasanya digantung, tetapi sudah lama tidak ada apa-apa lagi di cantelan itu; yang ada hanya be?berapa utas bawang merah dan bawang putih yang menjuntai-juntai dari palang atap.
"Nih, beberapa bawang merah," katanya, sambil menarik salah satu tali itu dengan tongkatnya yang besar. "Dengan empat atau lima bawang merah dan sedikit mentega, kita bisa membuat sup yang enak. Keluarkan panekuknya dan goreng bawang-bawang ini!"
"Keluarkan panekuknya dari penggorengan!"
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Ibu Barberin cepat-cepat melakukan perintah suaminya. Pak Barberin duduk di kursi di sudut perapian. Aku belum berani me?ninggalkan tempatku, gara-gara acungan tongkatnya tadi. Sambil bersandar di meja, aku memandanginya.
Dia berumur sekitar lima puluh tahun, wajahnya keras dan gerak-geriknya kasar. Kepalanya agak ditelengkan ke pundak kanannya, akibat luka yang dialaminya, dan cacat ini semakin memberi kesan menakutkan pada dirinya.
Ibu Barberin sudah mengembalikan penggorengan ke atas api.
"Kau mau mencoba membuat sup dengan mentega se?potong kecil itu?" tanya Pak Barberin. Lalu dengan kasar dia meraih piring berisi mentega dan menumpahkan se?muanya ke dalam penggorengan. Habis sudah mentega?nya... dan berarti... tidak akan ada panekuk.
Pada saat lain, aku pasti sedih sekali dengan malapetaka ini, tapi sekarang ini aku tidak memikirkan panekuk dan kue apel lagi. Pikiran yang paling mendominasi benakku adalah: laki-laki ini, yang kelihatannya sangat kejam, ada?lah ayahku! Ayahku! Selama ini aku tidak pernah benar- benar memikirkan, seperti apa seorang ayah. Samar-samar kubayangkan dia sebagai semacam ibu yang bersuara be?sar, tetapi ketika melihat laki-laki ini, yang datang dengan begitu tiba-tiba, aku merasa sangat cemas dan takut. Tadi, sewaktu aku ingin menciumnya, dia menggusahku pergi dengan tongkatnya. Kenapa" Ibuku tidak pernah mengusir?ku kalau aku ingin menciumnya. Malah dia selalu meraih?ku ke dalam pelukannya dan memelukku erat-erat.
"Daripada berdiri saja di situ seperti patung kayu," kata Pak Barberin, "lebih baik taruh piring-piring di meja."
Aku hampir jatuh saking terburu-buru mematuhi perin?tahnya. Supnya sudah matang. Ibu Barberin menyendok?nya ke piring-piring. Pak Barberin beranjak dari sudutnya di dekat cerobong asap besar, dia duduk dan mulai makan, hanya berhenti sesekali untuk menatapku sekilas. Aku me?rasa sangat tidak enak, sampai tidak bisa makan. Aku juga balas menatapnya, tetapi hanya dari ujung mata, lalu cepat-cepat aku mengalihkan pandang kalau dia kebetulan melihatku.
"Bukankah biasanya dia makan lebih banyak dari itu?" tanyanya tiba-tiba.
"Oh, ya, nafsu makannya bagus."
"Sayang sekali. Tapi kelihatannya dia tidak berminat de?ngan makanannya sekarang ini."
Ibu Barberin sepertinya tidak ingin berbicara. Dia sibuk mondar-mandir melayani suaminya.
"Kau tidak lapar?"
"Tidak." "Kalau begitu pergilah tidur, dan langsung tidur. Kalau tidak, aku akan marah."
Ibu menatapku, sorot matanya menyuruhku untuk patuh tanpa banyak tanya. Tapi sebenarnya tanpa diperingatkan pun aku memang tidak bermaksud membantah.
Seperti umumnya di rumah-rumah orang miskin, dapur kami juga berfungsi sebagai kamar tidur. Semua keperluan makan dan memasak ditaruh di dekat perapian "meja, panci-panci dan belanga, juga bufet; di ujung satunya ada?lah kamar tidur. Tempat tidur besar Ibu Barberin diletak?kan di satu sudut, dan di sudut seberangnya, di sebuah ceruk kecil, adalah tempat tidurku, yang ditutupi kelambu merah.
Aku cepat-cepat membuka pakaian dan naik ke tempat tidur. Tapi susah sekali untuk langsung terlelap. Aku sa?ngat cemas dan sangat tidak bahagia. Mana mungkin orang itu adalah ayahku" Dan andai dia benar ayahku, kenapa perlakuannya padaku begitu jahat"
Dengan hidung menempel di tembok, kucoba mengusir pikiran-pikiran itu jauh-jauh. Kucoba tidur seperti yang diperintahkannya, tapi aku tak bisa. Rasa kantuk tak juga datang. Belum pernah aku merasa begitu susah tidur.
Tak lama kemudian "aku tidak tahu persis berapa lama "kudengar seseorang mendekati tempat tidurku. Langkahnya pelan, berat, dan terseret-seret, jadi aku lang?sung tahu bahwa yang datang itu bukan Ibu Barberin. Terasa embusan napas hangat di pipiku.
"Kau sudah tidur?" Pertanyaan itu diucapkan dalam bi?sikan parau.
Aku sengaja tidak menjawab, sebab kata-kata menakut?
kan itu, "Aku akan marah", masih terngiang-ngiang di telingaku.
"Dia sudah tidur," kata Ibu Barberin. "Begitu naik tem?pat tidur, dia langsung terlelap. Kau bisa bebas bicara, ti?dak usah takut dia akan mendengar."
Sebenarnya aku harus memberitahukan bahwa aku be?lum tidur, tapi aku tidak berani. Aku sudah disuruh tidur, tapi aku belum tidur, jadi aku jelas-jelas salah.
"Nah, bagaimana dengan tuntutan hukum itu?" tanya Ibu Barberin.
"Kalah. Kata Hakim, aku di pihak yang salah karena berada di bawah perancah itu." Lalu Pak Barberin meng?hantamkan tinjunya di meja dan mulai menyumpah-nyum- pah, mengucapkan kata-kata yang tidak ada artinya.
"Kalah di pengadilan," dia meneruskan beberapa saat kemudian, "uang habis, semuanya, kemiskinan mengadang kita di depan mata. Dan seolah-olah semua itu belum cukup, waktu pulang ke sini aku menemukan anak itu. Kenapa kau tidak melakukan seperti yang kusuruh waktu itu?"
"Sebab aku tidak sanggup."
"Kau tidak bisa membawa anak itu ke Panti Asuhan?"
"Seorang perempuan tidak akan tega menyerahkan anak kecil seperti itu kalau dia sudah memberi makan anak itu dengan air susunya sendiri dan menyayanginya."
"Dia bukan anakmu."
"Yah, aku ingin menuruti katamu, tapi waktu itu dia ja?tuh sakit."
"Sakit?" "Ya. Dan aku tidak sampai hati membawanya ke sana. Dia bisa mati."
"Tapi setelah keadaannya membaik?"
"Yah, dia tidak langsung membaik. Setelah sakit yang itu, dia kena penyakit lain lagi. Dia batuk-batuk, sedih se?kali mendengarnya, si kecil yang malang. Nicolas kita me?ninggal karena sebab yang sama. Kupikir kalau kita me?ngirimnya ke Panti Asuhan, dia juga akan mati."
"Tapi sesudahnya..." Sesudahnya?"
"Yah, waktu terus berjalan dan kupikir toh aku sudah menunda-nunda mengirimnya ke sana, jadi ku tunda saja lagi sedikit lebih lama."
"Berapa umurnya sekarang?"
"Delapan tahun."
"Nah, kalau begitu, dia harus segera dikirim ke tempat dia seharusnya berada sejak dulu, dan sekarang dia pasti akan susah beradaptasi."
"Oh, Jerome, kau tidak boleh... kau tidak akan berbuat begitu, kan!"
"Kenapa tidak" Dan siapa yang bisa mencegahku" Kau- pikir kita bisa terus memelihara anak itu?"
Hening sejenak. Aku hampir-hampir tidak berani ber?napas. Tenggorokanku serasa tersumbat dan nyaris mem?buatku tercekik. Tak lama kemudian, Ibu Barberin menerus?kan,
"Paris telah banyak mengubahmu! Sebelum pergi ke sana, kau tidak akan bicara seperti itu padaku."
"Mungkin tidak. Tapi kalau Paris telah mengubahku, maka Paris juga hampir saja membunuhku. Sekarang aku tidak bisa bekerja lagi. Kita tidak punya uang. Sapi sudah dijual. Kalau untuk makan kita sendiri saja tidak cukup, bagaimana kita bisa memberi makan anak yang bukan anak kita?"
"Dia anakku." "Dia bukan anakmu dan bukan anakku. Lagi pula, dia
bukan anak desa. Dia bukan anak orang miskin. Dia anak yang ringkih, lengannya kurus, kaki-kakinya kurus."
"Dia anak yang paling tampan di desa ini!"
"Aku tidak bilang dia tidak tampan. Tapi dia tidak tang?guh! Kaupikir kau bisa mendidik dia menjadi pekerja" Bahunya saja seperti itu. Dia anak kota, dan di sini tidak ada tempat buat anak kota."
"Menurutku dia anak yang baik, cerdas, dan lucu seperti anak kucing; hatinya baik, dan dia akan bekerja membantu kita...."
"Tapi sementara ini kita yang mesti bekerja buat dia, padahal sekarang aku tidak bisa bekerja lagi."
"Kalau orangtuanya datang mencarinya, kau akan bilang apa?"
"Orangtuanya! Apa dia punya orangtua" Kalau punya, pasti sekarang mereka sudah mencarinya. Sinting sekali aku dulu, mengira orangtuanya akan datang mencarinya suatu hari nanti, dan membayar kita karena telah merawat?nya. Dasar aku tolol. Memang dia memakai pakaian bagus berhias renda waktu ditemukan, tapi itu tidak berarti orangtuanya bakal mencarinya. Lagi pula, mereka sudah mati."
"Mungkin mereka tidak mati. Dan suatu hari nanti me?reka akan datang..."
"Perempuan memang keras kepala!"
"Tapi bagaimana kalau mereka benar-benar datang?"
"Yah, bilang saja dia sudah kita taruh di Panti Asuhan. Tidak usah berdebat lagi. Besok akan kubawa dia. Seka?rang aku mau pergi menemui Francois. Aku pulang satu jam lagi."
Pintu dibuka dan ditutup kembali. Dia sudah pergi. Aku
cepat-cepat duduk tegak di tempat tidur dan memanggil- manggil Ibu Barberin.
"Mamma!" Dia lari menghampiriku. "Apa aku akan dikirim ke Panti Asuhan?"
"Tidak, Remi kecilku, tidak."
Dia mengecupku dan memelukku erat-erat. Aku merasa lebih tenang dan air mataku mengering di kedua pipi?nya.
"Jadi, kau belum tidur sejak tadi?" tanyanya lembut.
"Bukan salahku."
"Aku bukan memarahimu. Jadi, kau mendengar apa katanya?"
"Ya, kau bukan mamma-ku, tapi... dia juga bukan ayah?ku."
Kata-kata yang belakangan itu kuucapkan dengan nada berbeda. Sebab, meskipun aku sedih karena ternyata Ibu Barberin bukan ibuku, aku merasa senang dan hampir-ham?pir bangga mengetahui bahwa laki-laki itu bukanlah ayah?ku. Perasaan yang bertentangan ini tercetus jelas dalam nada suaraku. Tapi Ibu Barberin sepertinya tidak menya?darinya.
"Barangkali seharusnya aku mengatakan yang sebenar?nya padamu. Tapi kau benar-benar sudah seperti anakku sendiri, dan aku tidak sampai hati memberitahumu bahwa aku bukan ibu kandungmu. Kau sudah dengar yang di?katakan Jerome, anakku. Dia menemukanmu pada suatu pagi bulan Februari, di sebuah jalanan di Paris, di Avenue de Breuteuil. Dia akan berangkat bekerja, dan mendengar tangisan bayi. Dia menemukanmu di sebuah undak-undak. Dia melihat-lihat sekitarnya, untuk minta bantuan, dan pada waktu itulah dia melihat seorang laki-laki muncul dari balik pohon. Orang itu lari pergi. Kau menangis sa?ngat keras, sehingga Jerome tidak sampai hati menaruhmu di undak-undak itu lagi. Sementara dia berpikir-pikir mesti berbuat apa, semakin banyak orang yang datang, dan me?reka semua sepakat untuk membawamu ke kantor polisi. Kau masih terus menangis. Anak malang, kau pasti ke?dinginan. Tapi setelah dibawa ke kantor polisi yang ha?ngat, kau masih juga menangis, jadi mereka pikir kau lapar, dan mereka membawakanmu susu. Wah! Kau lapar sekali! Setelah kau puas minum susu, mereka membuka pakaianmu dan menggendongmu di depan perapian. Kau bayi mungil yang cantik, dan kau memakai pakaian yang sangat bagus. Letnan polisi mencatat detail-detail pakaian?mu dan di mana kau ditemukan, dan katanya dia akan terpaksa membawamu ke Panti Asuhan, kecuali kalau sa?lah satu dari orang-orang itu mau merawatmu. Tidak akan susah membesarkan anak setampan kau, katanya, dan orangtuamu pasti akan mencari-carimu dan akan mem?bayar uang pengganti pada siapa pun yang merawatmu. Jadi, Jerome bilang dia akan merawatmu. Pada waktu itu aku punya bayi yang seusia denganmu, jadi aku bisa me?nyusui kalian berdua. Nah, Sayang, begitulah ceritanya aku menjadi ibumu."
"Oh, Mamma! Mamma!"
"Ya, Sayang, begitulah! Dan tiga bulan kemudian aku kehilangan bayiku sendiri, dan aku jadi semakin sayang padamu. Sayang sekali Jerome tak bisa lupa, dan ketika setelah tiga tahun ternyata orangtuamu tidak juga datang mencarimu, dia mencoba menyuruhku menaruhmu di Panti Asuhan. Kau sudah dengar kenapa aku tidak melaku?kan yang disuruhkannya?"
"Oh, jangan kirim aku ke Panti Asuhan," tangisku sam?
bil memeluknya era-erat. "Ibu Barberin, kumohon, ku?mohon, jangan kirim aku ke Panti Asuhan."
"Tidak, Sayang, tidak, kau tidak akan dikirim ke sana. Biar nanti kubereskan. Jerome bukan orang jahat. Dia ha?nya sedang banyak masalah, dan dia cemas tentang masa depan. Kita semua akan bekerja, kau juga."
"Ya, ya. Aku mau melakukan apa saja yang kausuruh, tapi jangan kirim aku ke Panti Asuhan."
"Kau tidak akan dikirim ke sana, kalau kau janji akan langsung tidur. Jangan sampai kau belum tidur juga se?waktu dia pulang nanti."
Ibu Barberin mengecupku dan membalikkan badanku menghadap tembok. Aku ingin tidur, tetapi guncangan akibat mendengar semua itu tadi membuatku sulit ber?angsur-angsur lelap. Ibu Barberin yang baik hati bukan ibu kandungku! Kalau begitu, seperti apakah seorang ibu kan?dung" Lebih baik" Lebih manis" Tak mungkin! Lalu aku berpikir bahwa seorang ayah kandung mungkin tidak akan mengacung-acungkan tongkat padaku... Laki-laki itu ingin mengirimku ke Panti Asuhan. Bisakah ibuku mencegah?nya"
Di desa ini ada dua anak yang tinggal di Panti Asuhan. Mereka disebut "anak-anak panti". Mereka memakai lem?pengan logam bernomor yang dikalungkan di leher. Pa?kaian mereka buruk, dan sangat kotor. Anak-anak lain se?ring mencemooh mereka dan melempari mereka dengan batu. Mereka juga dikejar-kejar seperti anjing telantar, se?kadar untuk bersenang-senang, dan juga karena anjing te?lantar tidak memiliki siapa pun untuk melindunginya. Oh, aku tidak mau menjadi seperti anak-anak itu. Aku tidak mau leherku dikalungi nomor. Aku tidak mau anak-anak itu meneriaki aku, "Hei, anak panti. Hei, anak telantar!"
Sekadar memikirkannya sudah membuatku ngeri dan gigi- gigiku gemeletuk. Aku tidak bisa tidur. Dan sebentar lagi Pak Barberin akan pulang.
Tapi untunglah dia baru pulang larut malam, dan aku sudah tertidur sebelum dia datang.
Bab Tiga Bertemu Signor Vitalis Malam itu aku bermimpi telah dibawa ke Panti Asuhan. Pagi-pagi sekali keesokan harinya, ketika aku membuka mata, aku nyaris tak percaya bahwa aku masih berada di tempat tidur kecilku. Aku meraba-raba tempat tidur itu dan mencubit lenganku sendiri untuk memastikan se?muanya nyata. Ah, ya, aku masih tinggal bersama Ibu Barberin.
Ibu Barberin tidak mengatakan apa-apa padaku sepan?jang pagi, jadi aku mulai menganggap mereka sudah tidak berniat mengirimku ke Panti Asuhan. Barangkali Ibu Barberin sudah mengatakan bahwa dia bertekad memper?tahankan aku. Tapi saat tengah hari Pak Barberin menyu?ruhku memakai topi dan ikut dengannya. Aku memandang Ibu Barberin, memohon dengan sangat supaya dia me?nolongku. Tanpa ketahuan suaminya, dia memberi isyarat agar aku ikut saja. Aku patuh. Dia menepuk pundakku sekilas ketika aku lewat di dekatnya, untuk memberitahuku bahwa aku tidak perlu takut. Tanpa berkata-kata aku ikut dengan Pak Barberin.
Jarak dari rumah kami ke desa agak jauh "sekitar satu jam berjalan kaki. Pak Barberin tidak mengajakku bicara sepanjang jalan. Dia melangkah terpincang-pincang. Se?sekali dia menoleh untuk melihat apakah aku masih mengikutinya. Ke mana dia akan membawaku" Berkali-kali kutanyakan hal itu di dalam hati. Meski tadi Ibu Barberin telah memberi isyarat supaya aku tenang saja, aku merasa ada sesuatu yang akan terjadi dan aku ingin kabur. Kucoba berjalan berlama-lama di belakang, sambil berpikir-pikir untuk melompat ke dalam selokan, sehingga Pak Barberin tidak bisa menangkapku.
Mulanya Pak Barberin kelihatan puas karena aku terus mengikutinya sepanjang jalan, mengekor di belakangnya, tetapi rupanya tak lama kemudian dia mulai curiga dengan niatku, dan dia mencengkeram pergelangan tanganku. Aku dipaksa mempercepat langkah. Akhirnya kami sampai di desa. Orang-orang yang berpapasan dengan kami menoleh dan menatap heran, sebab aku kelihatan seperti anjing na?kal yang dikalungi tali leher.
Ketika akan melewati kedai minuman, seorang laki-laki yang berdiri di ambang pintu memanggil Pak Barberin dan mengundangnya masuk. Pak Barberin menarik telingaku dan mendorongku ke depannya. Sesampainya di dalam, dia menutup pintu. Aku merasa lega. Tempat ini hanyalah kedai minum desa, dan aku sudah lama ingin melihat bagian dalamnya. Aku sudah sering bertanya-tanya, apa yang berlangsung di balik tirai-tirai merah ini, dan seka?rang aku akan melihatnya sendiri...
Pak Barberin duduk di salah satu meja, bersama pemilik kedai yang tadi mengundangnya masuk. Aku duduk disamping perapian. Di sudut di dekatku ada seorang laki- laki tua jangkung dengan jenggot putih panjang. Pakaian?nya aneh. Aku belum pernah melihat pakaian seperti itu. Ikal-ikal panjang rambutnya terjuntai sampai ke bahu, dan di kepalanya bertengger topi kelabu tinggi berhiaskan bulu- bulu hijau dan merah. Dia mengenakan sehelai kulit dom?ba"bagian yang berbulu dipakai di sebelah dalam. Kulit itu tidak berlengan, tetapi ada dua lubang besar yang di?buat di bawah pundak, untuk memasukkan lengan-lengan?nya yang tertutup kain beledu yang dulunya berwarna biru. Dia memakai penutup kaki dari wol, sampai ke lutut?nya, dan sehelai pita ditalikan beberapa kali seputar kedua kakinya, untuk menahan penutup kaki itu. Dia duduk de?ngan siku bertumpu pada kaki-kakinya yang disilangkan. Belum pernah aku melihat orang yang sikapnya begitu diam dan tenang. Di mataku dia seperti salah satu orang suci di Gereja kami. Di sampingnya duduk tiga ekor anjing"seekor anjing spaniel berbulu putih, seekor anjing spaniel berbulu hitam, dan seekor anjing kecil berbulu ke?labu yang cantik, dengan wajah mungil dan ekspresi cerdas. Si anjing spaniel putih memakai helm polisi yang sudah usang, ditalikan di bawah dagunya dengan tali dari kulit.
Sementara aku terheran-heran memandangi orang itu, Pak Barberin dan si pemilik kedai mengobrol dengan suara pelan. Aku tahu, akulah yang sedang mereka bicarakan. Pak Barberin sedang menceritakan pada orang itu, bahwa dia membawaku ke desa untuk diajak ke kantor Wali Kota, supaya Pak Wali Kota meminta Panti Asuhan membayar biaya perawatanku. Hanya itu yang bisa dilakukan Ibu Barberin, tapi kupikir kalau Pak Barberin bisa mendapat sedikit uang sebagai pengganti biaya perawatanku, maka aku tidak perlu takut lagi.
Laki-laki tua itu rupanya diam-diam mendengarkan pem?bicaraan mereka, sebab tahu-tahu dia menunjukku sambil menoleh kepada Pak Barberin dan bertanya dalam aksen asing yang kental,
"Itukah anak yang menjadi masalah buatmu?"
"Ya, dia." "Dan kaupikir Panti Asuhan mau mengganti ongkos pe?rawatannya?"
"Ya Tuhan! Dia kan tidak punya orangtua dan aku su?dah keluar uang banyak untuknya, jadi sudah seharusnya kota ini memberikan ganti rugi sedikit padaku."
"Bukan itu maksudku. Seharusnya memang begitu, tapi apa kaupikir mereka akan memberikannya?"
"Belum tentu!" "Nah, kalau begitu, kurasa kau memang tidak bakal mendapatkan apa yang kauinginkan."
"Kalau begitu, anak ini harus masuk Panti Asuhan. Ti?dak ada hukum yang memaksaku untuk mempertahankan dia di rumahku kalau aku tidak mau."
"Sejak semula kau sudah setuju untuk mengurusnya, jadi kau mesti memenuhi janjimu."
"Nah, aku tidak mau terus mengurusnya. Dan terserah aku kalau aku mau mengusirnya dari rumahku."
"Barangkali ada satu cara untuk menyingkirkan dia seka?rang juga," laki-laki tua itu berkata setelah berpikir-pikir sesaat, "dan kau akan mendapat sedikit keuntungan dari transaksi ini."
"Tunjukkan caranya padaku, kau akan kutraktir mi?num."
"Pesanlah minumannya, kita sudah sepakat."
"Yakin?" "Yakin." Si lelaki tua bangkit dan duduk di hadapan Pak Barberin. Aneh, begitu dia bangkit, kulihat kulit domba yang dipakai?nya itu bergerak-gerak. Kulit itu terangkat, dan aku pe?nasaran apakah ada seekor anjing juga di bawah lengan?nya.
Apa yang akan mereka lakukan padaku" Jantungku ber?debar kencang, dan aku tak bisa mengalihkan pandang dari si pak tua.
"Kau tidak mau anak ini makan rotimu lagi, kecuali ka?lau ada orang lain yang membayarinya, bukankah begitu?"
"Ya... sebab..."
"Tidak perlu menceritakan alasannya. Itu tidak penting buatku. Nah, kalau kau tidak menginginkan dia lagi, beri?kan saja dia padaku. Aku akan mengurusnya."
"Kau" Mengurus anak itu!"
"Kau tidak mau direpotkan lagi, kan?"
"Memberikan anak seperti dia padamu" Anak setampan dia" Sebab dia memang tampan, yang paling tampan di desa, lihat saja dia."
"Aku sudah melihatnya."
"Remi, kemari."
Aku mendekat ke meja, kedua lututku gemetar.
"Nah, jangan takut, Nak," kata si pak tua.
"Coba lihat dia," Pak Barberin berkata lagi.
"Aku tidak bilang dia tidak tampan. Andaikan iya, aku tidak bakal tertarik. Aku tidak menginginkan monster."
"Ah, andai dia monster dengan dua telinga, atau kalau?pun dia orang cebol..."
"Kau akan mempertahankannya, sebab kau bisa dapat uang banyak dari monster. Tapi anak kecil ini bukan orang cebol ataupun monster, jadi kau tidak bisa mempertontonkannya. Dia sama seperti anak-anak lainnya, dan dia tidak berguna untuk apa pun."
"Dia bisa bekerja."
"Dia tidak cukup kuat."
"Dia" Tidak kuat" Yang benar saja. Dia kuat seperti orang-orang lainnya, coba lihat kaki-kakinya, kokoh sekali! Kau pernah lihat kaki yang lebih tegak daripada kaki-kaki?nya?"
Pak Barberin mengangkat celana panjangku.
"Terlalu kurus," kata si pak tua.
"Dan lengan-lengannya?" Pak Barberin melanjutkan.
"Sama seperti kakinya... tidak terlalu bagus. Tidak akan tahan kecapekan dan kemiskinan."
"Apa, kaki dan lengan seperti itu" Coba rasakan. Lihat saja sendiri."
Si pak tua meraba dan merasa-rasakan kedua kakiku dengan tangannya yang kurus, sambil terus geleng-geleng kepala dan meringis.
Aku pernah melihat pemandangan seperti ini sewaktu pedagang ternak datang untuk membeli sapi kami. Pe?dagang itu juga meraba-raba dan memencet-mencet si sapi, sambil geleng-geleng kepala dan bilang sapi itu tidak ter?lalu bagus, akan susah dijual lagi, tetapi pada akhirnya dia membelinya juga dan membawanya pergi. Apakah pak tua ini akan membeliku dan membawaku pergi bersamanya" Oh, Ibu Barberin! Ibu Barberin!
Andai aku berani, aku akan bilang bahwa baru semalam Pak Barberin mencemoohku karena sosokku yang kelihatan rapuh, kedua lengan dan kakiku kurus, tapi aku merasa tak ada gunanya memprotes. Paling-paling aku dimarahi. Jadi, aku diam saja.
Lama sekali mereka tawar-menawar tentang kelebihan- kelebihan dan kekurangan-kekuranganku.


Sebatang Kara Nobodys Boys Karya Hector Malot di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nah, aku akan ambil dia akhirnya si pak tua berkata, "tapi ingat, aku tidak langsung membelinya. Aku akan me?nyewanya. Kau kuberi dua puluh franc setahun sebagai harga sewa."
"Dua puluh francl"
"Itu jumlah yang pantas, dan akan kubayar di muka."
"Tapi kalau aku tetap merawatnya, kota ini akan mem?bayarku lebih dari sepuluh franc sebulan."
"Aku tahu berapa banyak yang akan kau peroleh dari kota ini, tapi kau harus memberinya makan."
"Dia akan bekerja."
"Kalau kaupikir dia sanggup bekerja, kau tidak bakal ingin cepat-cepat menyingkirkannya. Kalian mau mengam?bil anak-anak telantar bukan untuk mendapat ganti biaya perawatan, tapi karena kalian bisa menyuruh anak-anak itu bekerja. Mereka jadi pelayan, kalian yang dibayar, dan mereka sendiri tidak diberi gaji. Kalau anak ini bisa meng?hasilkan banyak untukmu, kau pasti akan mempertahankan?nya."
"Pokoknya aku harus dapat sepuluh franc setiap bulan?nya."
"Dan andaikan Panti Asuhan tidak mengizinkanmu me?rawatnya, tapi malah memberikannya kepada orang lain, kau tidak akan dapat apa-apa. Sedangkan dengan aku, kau tidak perlu repot-repot mengejar uangmu, kau tinggal mengulurkan tangan saja."
Si pak tua mengeluarkan dompet kulit dari sakunya, menghitung empat keping perak, yang lalu dilemparkannya di meja. Keping-keping itu bergemerincing ketika ber?jatuhan.
"Tapi coba pikirseru Pak Barberin, "orangtua anak ini akan muncul suatu hari nanti."
"Apa pentingnya itu?"
"Yah, orang yang telah merawat anak ini akan men?dapatkan imbalan. Kalau itu tidak terpikir olehku, sejak dulu aku tidak bakal mau mengambilnya."
Oh! Dasar orang jahat! Aku sangat benci pada Pak Barberin.
"Nah, jadi sekarang kau ingin mengusirnya karena kau- pikir orangtuanya tidak akan datang mencarinya," kata si pak tua. "Tapi andai nanti mereka benar-benar datang, me?reka akan langsung mencarimu, bukan mencariku, sebab tidak ada yang kenal padaku."
"Tapi andai kau yang menemukan orangtuanya?"
"Kalau begitu, kita bagi dua hasilnya, dan sekarang aku akan bayar tiga puluh untuknya."
"Empat puluh." "Tidak, untuk pekerjaan yang akan dia lakukan buatku, jumlah segitu terlalu tinggi."
"Kau mau dia melakukan kerja apa untukmu" Kau mau kaki-kaki yang bagus, dia punya kaki bagus; kau mau le?ngan yang kuat, dia punya lengan yang kuat. Aku tetap pada ucapanku sebelumnya. Kau mau apa dengannya?"
Si pak tua memandangi Pak Barberin dengan ekspresi mengejek, lalu perlahan-lahan meneguk isi gelasnya sampai habis.
"Aku hanya ingin dia menemaniku. Aku mulai tua, dan kalau malam aku suka agak kesepian. Kalau sudah ke?capekan, senang rasanya kalau ada anak kecil di dekat kita."
"Nah, untuk itu, aku yakin kedua kakinya cukup kuat."
"Oh, tidak terlalu, sebab dia juga mesti menari, me?lompat, dan berjalan, lalu berjalan dan melompat lagi. Dia akan menjadi bagian dari Perusahaan Hiburan Keliling Signor Vitalis."
"Di mana letak perusahaan ini?"
"Akulah Signor Vitalis, dan akan kutunjukkan perusa?haanku sekarang juga."
Bersamaan dengan itu, dia membuka kulit domba yang dipakainya dan mengeluarkan seekor binatang aneh yang dipeluknya dengan lengan kiri, rapat ke dadanya. Rupanya binatang itulah yang telah beberapa kali membuat kulit dombanya terangkat sedikit, tapi ternyata itu bukan anjing kecil seperti yang kukira. Aku tidak tahu sebutan yang tepat untuk makhluk aneh itu, yang baru pertama kali kulihat. Kupandangi binatang itu dengan takjub. Dia memakai man?tel merah yang pinggirannya dihiasi rumbai-rumbai ke?emasan, tetapi kedua lengan dan kakinya telanjang, sebab sebenarnya itu bukan benar-benar lengan dan kaki, dan bu?kan juga cakar, namun tertutup kulit hitam berbulu, bukan putih atau merah muda. Kepalanya yang seukuran kepalan tangan berbentuk lebar dan pendek, hidungnya yang men?cuat memiliki lubang hidung mengembang, dan bibirnya kuning. Tapi yang paling menarik minatku adalah kedua matanya yang berdekatan dan bersinar-sinar seperti kaca.
"Oh, monyet jelek itu!" seru Pak Barberin.
Monyet! Mataku semakin terbuka lebar. Jadi, binatang itu monyet. Aku belum pernah melihat monyet, tapi sudah pernah mendengarnya. Jadi, makhluk kecil yang kelihatan seperti bayi berbulu hitam ini seekor monyet!
"Inilah bintang pertunjukanku," ujar Signor Vitalis. "Ini Mr. Pretty-Heart. Nah, Pretty-Heart," " dia menoleh kepada binatang itu ?"ayo membungkuk pada penontonmu."
Monyet itu menempelkan satu tangan di bibirnya dan meniupkan ciuman pada kami masing-masing.
"Sekarang, berikutnya Signor Vitalis melanjutkan se?raya mengulurkan tangannya kepada si anjing spaniel pu?tih. "Signor Capi akan mendapat kehormatan untuk mem?perkenalkan teman-temannya kepada para penonton yang terhormat."
Si anjing spaniel, yang sejak tadi diam saja, sekarang me?lompat bangkit dengan gesit. Dia berdiri di atas kedua kaki belakangnya, kaki-kaki depannya disilangkan di dada, dan dia membungkuk begitu rendah kepada tuannya, sampai-sampai helm polisi di kepalanya menyentuh tanah. Selesai memberi hormat, dia berbalik kepada rekan-rekan?nya, dan dengan satu kaki depan masih ditempelkan di dada, dia membuat isyarat dengan kaki satunya, menyuruh mereka mendekat. Kedua anjing lainnya, yang matanya tertuju pada si anjing spaniel putih, langsung bangkit dan mengulurkan kaki depannya pada kami bergantian, ber?jabat tangan seperti dilakukan orang-orang yang sopan. Lalu dia mundur beberapa langkah dan membungkuk pada kami.
"Yang kupanggil 'Capi' itu," kata Signor Vitalis, "sing?katan dari Capitano dalam bahasa Itali. Dialah pemimpin?nya. Dia yang paling cerdas dan dia menyampaikan perin?tah-perintahku kepada yang lain-lainnya. Si pesolek berbulu hitam itu adalah Signor Zerbino, yang berarti 'si Jagoan'. Coba perhatikan dia, dan kalian akan mengakui bahwa namanya cocok sekali. Dan yang masih muda itu, yang berpembawaan rendah hati, adalah Miss Dulcie. Dia anjing Inggris, dan namanya dipilih berdasarkan sifatnya yang manis. Dengan para artis hebat inilah aku berkelana menjelajahi seluruh pelosok negeri, mencari penghidupan,
kadang-kadang nasibku bagus, kadang-kadang tidak... ter?gantung keberuntungan saja! Capi...!"
Si anjing spaniel menyilangkan kaki-kaki depannya.
"Capi, kemarilah dan tunjukkan sikap terbaikmu. Me?reka ini orang-orang terhormat dan harus disapa dengan sangat sopan. Sekarang coba beritahukan pada anak lelaki kecil itu, yang menatapmu dengan mata terbelalak, jam berapa sekarang."
Capi menurunkan kaki-kaki depannya, menghampiri tuannya, dan menyibakkan kulit domba itu. Setelah me?raba-raba sejenak di dalam saku rompi tuannya, dia me?narik keluar sebuah jam besar dari perak. Sejenak dia mengamat-amati jam itu, lalu memperdengarkan dua gong?gongan keras, yang disusul dengan tiga gonggongan pen?dek, tidak sekeras dan tidak setajam yang sebelumnya.
Maksudnya sekarang adalah jam tiga kurang sepuluh.
"Bagus sekali," kata Signor Vitalis, "terima kasih, Signor Capi. Dan sekarang mintalah Miss Dulcie menghibur kami dengan berdansa sambil lompat tali."
Capi kembali meraba-raba isi saku tuannya, lalu me?ngeluarkan seutas tali. Dia memberi isyarat singkat kepada Zerbino yang seketika mengambil posisi di seberangnya. Kemudian Capi melemparkan satu ujung tali kepadanya dan mereka berdua mulai memutarnya dengan ber?sungguh-sungguh. Dulcie melompat ringan di tali itu, dan dengan sepasang matanya yang lembut dan indah tertuju pada tuannya, dia mulai bermain lompat tali.
"Kaulihat betapa cerdasnya mereka," kata Signor Vitalis. "Kecerdasan mereka akan terlihat lebih nyata kalau diper?bandingkan dengan sesuatu. Misalnya kalau aku punya pelawak untuk berakting bersama mereka. Itu sebabnya aku menginginkan anak itu. Dia akan menjadi si pelawak, sehingga kecerdasan anjing-anjing itu tampak menonjol dan terlihat nyata."
"Oh, dia akan menjadi pelawak...Pak Barberin me?nyela.
"Harus pintar untuk bisa berakting sebagai pelawakkata Signor Vitalis. "Anak itu pasti bisa menjalankan peran?nya setelah diberi sedikit latihan. Kita akan langsung mengujinya. Kalau dia cerdas, dia tentu mengerti bahwa bersamaku dia bisa menjelajahi pelosok negeri dan negara- negara lain. Tapi kalau dia tetap di sini, paling-paling dia akan menggembalakan ternak di ladang yang itu-itu juga, dari pagi sampai malam. Kalau dia tidak cerdas, dia akan menangis dan mengentak-entakkan kaki, dan aku tidak akan mengajaknya ikut denganku. Dia akan dikirim ke Panti Asuhan, di sana dia mesti bekerja keras dan hanya mendapatkan sedikit makanan."
Aku cukup cerdas untuk mengetahui hal ini... anjing- anjing itu lucu sekali, dan pasti menyenangkan kalau bisa selalu bersama mereka, tapi Ibu, Ibu Barberin...! Aku tidak sanggup meninggalkannya! Tapi kalau aku tidak mau ikut, jangan-jangan aku tidak boleh tinggal bersama Ibu Barberin lagi... mungkin aku akan dikirim ke Panti Asuhan. Aku merasa sangat sedih, dan ketika mataku mulai berkaca- kaca, Signor Vitalis menepuk-nepuk pipiku dengan lem?but.
"Ah, si kecil ini mengerti, sebab dia tidak menangis keras-keras. Dia sedang memperdebatkan masalah ini di dalam kepalanya yang kecil itu, dan besok..."
"Oh, Sir," aku berseru, "izinkan aku tetap bersama Ibu Barberin, kumohon, izinkan aku."
Aku tak bisa bicara lebih banyak, karena disela gong?gongan keras Capi. Pada saat bersamaan, anjing itu melompat ke meja tempat Pretty-Heart duduk. Si monyet, yang melihat perhatian semua orang sedang tertuju pada?ku, rupanya berniat memanfaatkan kesempatan. Dia cepat- cepat mengambil gelas tuannya yang penuh anggur, dan bermaksud meminumnya sampai habis. Tetapi Capi anjing penjaga yang baik, dia melihat ulah si monyet, dan se?layaknya pelayan yang setia, dia menggagalkan kenakalan monyet itu.
"Aku akan membayar tiga puluh Franc untuknya."
"Mr. Pretty-Heart," Vitalis berkata dengan tegas, "kau rakus sekali, dan juga pencuri. Sana pergi ke sudut dan berdiri menghadap tembok. Dan kau, Zerbino, awasi dia. Kalau dia berani bergerak, pukul dia. Dan kau, Mr. Capi, kau anjing yang baik. Kemarikan kaki depanmu. Aku ingin berjabat tangan denganmu."
Si monyet menjerit-jerit pelan dengan suara tertahan, tetapi dia patuh dan pergi ke sudutnya. Sementara itu si anjing mengulurkan kaki depannya dengan bangga dan bahagia kepada tuannya.
"Nah," Signor Vitalis melanjutkan, "kembali ke urusan bisnis. Kalau begitu, kau kuberi tiga puluh franc untuk anak ini."
"Tidak, empat puluh."
Terjadi tawar-menawar, tetapi Signor Vitalis segera meng?hentikannya dengan berkata,
"Urusan ini tidak menarik buat si anak. Biarlah dia ber?main saja di luar."
Dan dia sekaligus memberi isyarat kepada Pak Barberin.
"Ya, sana pergi bermain di pekarangan belakang, tapi jangan coba-coba kabur, atau kau mesti berhadapan denganku."
Mau tak mau aku mematuhinya. Aku pergi ke pe?karangan, tapi aku tidak berminat bermain-main. Aku du?duk di sebuah batu besar dan menunggu. Mereka sedang membicarakan nasibku. Apa kira-kira yang akan terjadi" Mereka berbicara lama sekali. Aku terus duduk menunggu, dan baru satu jam kemudian Pak Barberin keluar ke peka?rangan. Dia hanya sendirian. Apakah dia datang untuk menjemputku, untuk diserahkan kepada Signor Vitalis"
"Ayo," katanya, "kita pulang."
Pulang! Kalau begitu, aku tidak jadi dipisahkan dari Ibu Barberin"
Banyak sekali yang ingin kutanyakan, tapi aku tidak be?rani, sebab kelihatannya suasana hati Pak Barberin buruk sekali. Sepanjang perjalanan pulang kami tidak bercakap- cakap. Tetapi tepat sebelum kami sampai di rumah, Pak Barberin yang berjalan di depanku berhenti.
"Dengar," katanya seraya menarik satu telingaku dengan kasar, "kalau kau berani mengucapkan sepatah kata saja tentang apa yang kaudengar hari ini, kau akan tahu akibat?nya. Mengerti?"
Bab Empat Kembali ke Rumah "Nah, apa kata Wali Kota?" Ibu Barberin bertanya sewaktu kami masuk ke rumah.
"Kami tidak bertemu dia."
"Lho! Kalian tidak bertemu dia?"
"Tidak, aku bertemu beberapa teman di kafe Notre-Dame dan sudah malam waktu kami keluar dari situ. Jadi, kami akan ke sana lagi besok."
Jadi, rupanya Pak Barberin batal membuat kesepakatan dengan si pak tua yang mempunyai anjing-anjing itu.
Dalam perjalanan pulang, aku sempat bertanya-tanya apakah ini hanya siasat Pak Barberin. Tetapi ucapannya tadi mengusir seluruh keraguanku. Berhubung besok kami akan kembali ke desa untuk menemui Wali Kota, berarti Pak Barberin tidak menerima tawaran Signor Vitalis.
Meski sudah diancam untuk tidak buka mulut, aku pasti akan menyampaikan ketakutan-ketakutanku kepada Ibu Barberin, andai saja aku bisa berduaan sejenak dengannya. Tetapi sepanjang malam itu Pak Barberin tidak meninggal?kan rumah, dan akhirnya aku pergi tidur tanpa sempat berbicara pada Ibu Barberin. Sebelum tidur aku berniat memberitahu Ibu Barberin keesokan harinya. Tetapi besok?nya, ketika aku bangun, aku tidak melihat ibuku. Pak Barberin melihatku, dan bertanya aku mau apa.
"Mamma." "Dia sedang pergi ke desa dan baru pulang siang nan?ti."
Ibu Barberin tidak memberitahuku semalam bahwa dia akan pergi ke desa, dan entah kenapa aku menjadi cemas. Kenapa Ibu tidak menunggu sampai kami berangkat siang nanti" Apakah dia sudah pulang sebelum kami berangkat" Tanpa tahu persis sebabnya, aku mulai merasa sangat ke?takutan, dan cara Pak Barberin menatapku tidak membuat?ku merasa lebih tenang. Supaya tidak usah melihat ta?tapannya itu, aku lari ke kebun.
Kebun itu sangat berarti bagi kami. Di situ kami me?nanam hampir semua sayuran yang kami makan "kentang, kubis, wortel, lobak. Tidak ada bidang tanah yang terbuang percuma. Tetapi Ibu Barberin telah memberikan sepetak kecil tanah untukku sendiri, dan di situ aku menanam pa?kis dan tanaman-tanaman rempah yang kucabut dari ja?lanan sewaktu aku sedang menggembalakan sapi. Aku menanam tanpa aturan, semuanya bersisian: petak kebun?ku tidak bisa dibilang indah, tetapi aku sangat menyayangi?nya, sebab petak itu milikku sendiri. Aku bisa mengatur?nya sesuka hatiku, dan kalau sedang membicarakan kebun itu "aku bisa membicarakannya dua puluh kali sehari " aku menyebutnya "Kebunku".
Kuncup-kuncup pohon jonquil sudah bermunculan, ta?naman Mac sudah mulai bertunas, dan wallflozvers akan se?gera berbunga. Bagaimana bunganya" Aku penasaran, dan itu sebabnya aku datang menengoknya setiap hari. Tetapi ada bagian kebunku yang kuamat-amati dengan berdebardebar. Aku telah menanam sayuran yang diberikan sese?orang padaku. Sayuran ini hampir-hampir tidak dikenal di desa kami. Namanya artichoke Yerusalem. Katanya sayuran ini lezat, lebih lezat daripada kentang, sebab rasanya se?perti gabungan artichoke Prancis, kentang, dan lobak. Aku bermaksud menghidangkan sayuran ini sebagai kejutan untuk Ibu Barberin. Aku belum pernah menyebut-nyebut tentang hadiahku ini padanya. Aku menanam sayuran ini di petak kebunku sendiri. Kalau nanti sayuran itu mulai bertunas, akan kubuat Ibu Barberin mengira itu tanaman bunga, dan nanti kalau tanaman itu sudah masak, akan kucabut sementara ibuku sedang pergi, lalu kumasak sen?diri. Bagaimana caranya" Aku tidak tahu, tapi aku tidak memusingkan hal sepele itu. Lalu, kalau Ibu Barberin pu?lang untuk makan malam, aku akan menghidangkan sayur artichoke Yerusalem untuknya. Hidangan yang pasti men?jadi selingan menyenangkan untuk menggantikan menu kentang yang itu-itu juga, dan Ibu Barberin tidak akan ter?lalu sedih dengan dijualnya Rousette. Dan pencipta ma?sakan sayur yang baru ini adalah aku, Remi. Aku penciptanya! Jadi, aku ada gunanya juga di rumah ini.
Dengan rencana tersebut di dalam benakku, aku harus memberikan perhatian cukup pada tanaman artichoke Yerusalem-ku. Setiap hari aku menengok petak tempat me?reka kutanam. Rasanya mereka tumbuh lama sekali. Ketika aku sedang berlutut di tanah, bertumpu pada kedua ta?nganku dengan hidung hampir menyentuh tanah tempat artichoke-artichoke itu disemai, kudengar Pak Barberin memanggil-manggilku dengan tak sabar. Aku cepat-cepat kembali ke rumah. Bayangkan betapa kagetnya aku ketika melihat Signor Vitalis dan anjing-anjingnya berdiri di de?pan perapian.
Seketika aku tahu apa yang hendak diperbuat Pak Barberin terhadapku. Signor Vitalis datang untuk menjem?putku, dan supaya Ibu Barberin tidak mencegah kepergianku, Pak Barberin sengaja menyuruhnya pergi ke desa. Karena tahu pasti bahwa aku tidak akan bisa memohon-mohon kepada Pak Barberin, aku lari menghampiri Signor Vitalis.
"Oh, jangan bawa aku pergi. Kumohon, Sir, jangan bawa aku pergi." Aku mulai terisak-isak.
"Nah, anak muda," katanya, nadanya cukup ramah, "kau tidak akan sengsara bersamaku. Aku tidak pernah mencambuk anak kecil, dan anjing-anjing itu akan menjadi temanmu. Kenapa kau tidak mau pergi bersamaku?"
"Ibu Barberin..."
"Pokoknya kau tidak bisa tetap di sini," Pak Barberin berkata dengan kasar, sambil menjewer telingaku. "Ikut dengan bapak ini, atau masuk Panti Asuhan. Pilih yang mana!"
"Tidak mau, tidak mau. Mamma! Mamma!"
"Jadi, kau mau membuatku marah, eh!" seru Pak Barberin. "Akan kuhajar kau habis-habisan dan kuusir ke?luar dari rumah ini."
"Anak ini sedih harus meninggalkan ibunya, jangan pu?kuli dia gara-gara itu. Dia punya perasaan, dan itu ba?gus."
"Kalau kau mengasihani dia, tangisannya akan semakin keras."
"Nah, kembali ke urusan bisnis."
Sambil berkata demikian, Signor Vitalis menaruh delapan keping uang masing-masing senilai lima franc di meja,
yang langsung disambar Pak Barberin dan dimasukkan ke sakunya.
"Di mana buntelannya?" tanya Signor Vitalis.
"Ini," kata Pak Barberin sambil menyodorkan sapu?tangan katun warna biru yang diikat pada keempat ujung?nya. "Ada dua kemeja dan sepasang celana panjang katun di dalamnya."
"Kesepakatannya bukan begitu. Kaubilang kau akan memberikan beberapa pakaian. Ini cuma kain rombeng."
"Dia tidak punya yang lainnya."
"Kalau kutanyakan langsung pada anak ini, aku yakin dia akan menyangkal ucapanmu. Tapi aku tidak punya waktu untuk mempertengkarkan urusan ini. Kami harus berangkat. Ayo, sobat kecilku. Siapa namamu?"
"Remi." "Nah, Remi, ambil buntelanmu dan jalanlah di samping Capi."
Kuulurkan kedua tanganku kepada Signor Vitalis, lalu kepada Pak Barberin, tetapi kedua orang itu membuang muka. Lalu Signor Vitalis meraih pergelangan tanganku. Aku harus ikut dengannya.
Ah, rumah kecil kami yang malang! Sewaktu melewati ambang pintu, sebagian diriku seakan-akan tertinggal di sana. Dengan berlinang air mata aku memandang sekeli?lingku, tapi tak ada seorang pun untuk menolongku. Tak ada siapa-siapa di jalan, dan tak ada siapa-siapa di ladang dekat kami. Aku mulai memanggil-manggil,
"Mamma... Ibu Barberin!"
Tapi tidak ada yang menjawab panggilanku. Suaraku semakin pelan dan akhirnya menjadi isakan. Aku harus mengikuti Signor Vitalis yang sama sekali tidak melepas?kan pergelangan tanganku.
"Selamat tinggal dan semoga beruntung/' seru Pak Barberin. Lalu dia masuk ke dalam rumah. Selesai sudah.
"Ayo, Remi, cepatlah, Nak," kata Signor Vitalis. Dia me?megangi lenganku dan aku melangkah di sampingnya. Untunglah dia tidak berjalan cepat. Kurasa dia menyesuai?kan langkah kakinya dengan langkahku.
Kami mendaki bukit. Ketika menoleh, masih bisa kulihat rumah Ibu Barberin, tetapi rumah itu makin kecil dan ma?kin kecil. Aku sudah berkali-kali melewati jalan ini, dan aku tahu bahwa sampai agak jauh aku masih bisa melihat rumah itu, dan nanti kalau sudah berbelok aku tidak akan bisa melihatnya lagi. Di hadapanku terbentang dunia yang asing bagiku, di belakangku ada rumah itu, tempat aku menjalani hidup bahagia sampai hari ini. Barangkali aku tidak akan pernah melihatnya lagi. Untunglah bukit itu masih jauh, tapi akhirnya kami sampai juga di puncaknya. Signor Vitalis tidak melepaskan pegangannya pada tangan?ku.
"Boleh aku istirahat sebentar?" tanyaku.
"Tentu, Nak," sahutnya.
Dia melepaskan lenganku, tapi kulihat dia memberi isya?rat pada Capi, dan anjing itu mengerti. Dia mendekat pada?ku. Aku tahu Capi akan menyambar kakiku kalau aku mencoba melarikan diri. Aku naik ke gundukan berumput yang tinggi dan duduk di situ, dengan si anjing di sam?pingku. Dengan penglihatan kabur oleh air mata, aku me?layangkan pandang untuk mencari-cari rumah Ibu Barberin. Di bawah sana ada lembah dan hutan, dan di kejauhan sana adalah rumah kecil yang telah kutinggalkan. Gumpalan-gumpalan kecil asap kuning keluar dari cero?bong asapnya, melayang ke langit, lalu mengarah kepada kami. Meski aku berada jauh dan di tempat tinggi, bisa kulihat sekelilingku dengan sangat jelas. Di atas tumpukan sampah tampak ayam betina kami yang besar dan gemuk berlari-lari, tetapi dia tidak kelihatan sebesar biasanya. Ka?lau aku tidak tahu bahwa itu ayam kami, pasti kupikir itu seekor burung dara kecil. Di samping rumah bisa kulihat pohon pir yang bengkok, yang suka kutunggangi seperti kuda. Di sungai kecil samar-samar terlihat saluran air yang telah susah payah kugali supaya bisa menggerakkan peng?gilingan yang kubuat dengan kedua tanganku sendiri. Tapi sungguh sial, rodanya tidak pernah berputar, walaupun sudah berjam-jam aku mengerjakannya. Dan bisa kulihat juga kebunku. Oh, kebunku tersayang...!
Siapa yang akan melihat bunga-bungaku berkembang" Dan nrtichoke-artichoke Yerusalem-ku, siapa yang akan me?rawat mereka" Barangkali Pak Barberin yang jahat itu! Bersama setiap langkah, kebunku akan semakin jauh dariku. Tiba-tiba, dari arah desa, di jalanan yang menuju ru?mah kami kulihat sebuah topi kerudung putih. Sesaat topi itu lenyap di belakang beberapa batang pohon, lalu terlihat lagi. Jaraknya sangat jauh sehingga aku hanya bisa melihat ujungnya yang putih, seperti seekor kupu-kupu musim semi. Topi itu hilang dan muncul di antara pepohonan. Namun adakalanya hati bisa melihat lebih jelas dan lebih jauh daripada mata yang paling tajam sekalipun. Aku tahu topi itu topi Ibu Barberin. Dialah yang berjalan itu. Aku yakin sekali.
"Nah," kata Signor Vitalis, "kita sudah bisa melanjutkan perjalanan?"
"Oh, Sir, tidak, tolong jangan dulu."
"Kalau begitu, benar juga kata orang, kakimu tidak kuat, belum apa-apa kau sudah kecapekan. Berarti tidak terlalu bagus untuk menjalani hari-hari kita."
Aku tidak menyahut. Aku sedang memandangi...
Itu memang Ibu Barberin. Itu topi kerudungnya. Itu rok birunya. Dia berjalan cepat-cepat, seperti ingin lekas sam?pai di rumah. Sesampainya di gerbang, dia mendorongnya dan melangkah terburu-buru di jalan setapak kebun. Aku langsung melompat bangkit dan berdiri di gundukan, tan?pa memedulikan Capi yang menyerbu ke arahku. Ibu Barberin tidak berlama-lama di dalam rumah. Dia keluar lagi dan mulai berlari mondar-mandir di pekarangan, ke?dua lengannya terulur.
Dia mencari-cariku. Aku mencondongkan badan ke de?pan dan berseru dengan seluruh kekuatanku,
"Mamma! Mamma!" Tetapi seruanku tidak sampai ke telinganya, lenyap tertelan udara.
"Ada apa" Apa kau sudah sinting?" tanya Signor Vitalis.
Aku tidak menjawab. Mataku masih tetap tertuju pada Ibu Barberin. Tetapi dia tidak melihat ke atas, sebab dia tidak tahu aku ada di sana, di atasnya. Dia mengitari ke?bun, lalu keluar ke jalanan, mencari-cari sampai ke ujung?nya. Aku memanggil-manggil lebih keras, tetapi tetap saja tak ada gunanya. Kemudian Signor Vitalis pun mengerti. Dia juga naik ke gundukan. Sebentar kemudian dia sudah melihat sosok bertopi kerudung putih itu.
"Anak malang," dia berkata pelan pada dirinya sen?diri.
"Oh," aku terisak-isak, merasa lebih berani setelah men?dengar kata-katanya yang penuh iba, "tolong izinkan aku pulang." Tetapi dia mencengkeram pergelangan tanganku dan menarikku turun ke jalan.
"Berhubung kau sudah cukup beristirahat," katanya, "kita akan melanjutkan perjalanan."
Kucoba membebaskan diri, tetapi dia memegangiku eraterat.
"Capi! Zerbino," katanya sambil menoleh kepada anjinganjing itu. Kedua anjing mendekat ke arahku. Capi di bela?kangku, Zerbino di depanku. Setelah berjalan beberapa langkah, aku menoleh ke belakang. Kami telah melewati belokan bukit dan aku tak bisa lagi melihat lembah itu maupun rumah kami.
"Nah, Remi, ambil buntelanmu dan jalanlah di samping Capi."
Bab Lima Dalam Perjalanan Orang yang membeli anak kecil seharga empat puluh franc belum tentu kejam dan bermaksud memangsa anak itu. Signor Vitalis tidak berhasrat memangsaku, dan meskipun dia suka membeli anak kecil, dia bukan orang jahat. Hal ini cepat terbukti. Kami berjalan dalam diam selama be?berapa waktu. Aku menghela napas.
"Aku mengerti perasaanmu," kata Signor Vitalis. "Mena?ngislah sepuasmu. Tapi cobalah memahami bahwa semua ini demi kebaikanmu sendiri. Orang-orang itu bukan orang- tuamu. Si istri memang baik padamu dan aku tahu kau sayang sekali padanya, itu sebabnya kau sangat sedih. Tapi dia tidak bisa mempertahankanmu kalau suaminya tidak menghendakimu. Dan laki-laki itu mungkin juga bukan orang jahat sebenarnya. Dia sakit dan tidak bisa bekerja lagi. Akan susah baginya dalam keadaan itu...."
Ya, ucapan Signor Vitalis memang benar, tetapi yang ada di benakku hanya satu hal ini: barangkali aku tidak akan pernah lagi melihat satu-satunya orang yang paling ku?sayangi di dunia ini.
"Kau tidak akan sengsara bersamaku/' Signor Vitalis melanjutkan. "Begini lebih baik daripada dikirim ke Panti Asuhan. Dan dengar kataku, jangan mencoba kabur, sebab kalau kau kabur, Capi dan Zerbino akan langsung me?nangkapmu."
Kabur "aku tidak lagi berniat kabur. Ke mana aku bisa pergi" Laki-laki tua jangkung ini barangkali akan menjadi majikan yang baik untukku. Aku belum pernah berjalan kaki begitu jauh. Di sekitar kami yang tampak hanya padang-padang gersang dan perbukitan. Selama ini kupikir dunia di luar desaku indah, tetapi ternyata tidak.
Signor Vitalis berjalan dengan langkah-langkah panjang dan tetap, sambil membawa Pretty-Heart di pundaknya, atau di dalam tasnya, sedangkan anjing-anjing berlari-lari kecil di dekat kami. Sesekali Signor Vitalis mengucapkan kata-kata ramah kepada mereka, kadang-kadang dalam bahasa Prancis, kadang-kadang dalam bahasa yang tidak kupahami. Dia dan binatang-binatang itu kelihatannya ti?dak juga lelah. Sementara aku... aku capek sekali. Langkah?ku terseret-seret dan susah payah aku berusaha menyamai langkah majikanku yang baru ini. Tetapi aku tidak mau meminta izin untuk berhenti.
"Kelompen itu yang membuatmu lelah," kata Signor Vitalis seraya menatapku. "Nanti setibanya di Ussel aku akan membelikanmu sepatu."
Ucapannya membangkitkan semangatku. Sudah lama aku ingin punya sepasang sepatu. Anak lelaki Wali Kota dan anak lelaki pemilik penginapan memakai sepatu, se?hingga kalau datang ke gereja pada hari Minggu, mereka seperti meluncur di lorong yang berlantai batu, sementara kami anak-anak desa memakai kelompen yang menimbul?kan suara berisik.
"Apakah Ussel masih jauh?"
"Ah, pertanyaan itu datang dari hatimu," kata Signor Vitalis, dan dia tertawa. "Jadi, kau ingin punya sepasang sepatu, ya" Nah, aku janji akan membelikanmu sepatu, yang ada paku-paku besarnya. Kau juga akan kubelikan celana panjang beludru, rompi, dan topi. Mudah-mudahan itu bisa mengeringkan air matamu dan membuatmu ber?semangat menempuh enam mil berikutnya."
Sepatu berpaku! Aku diliputi rasa bangga. Punya sepatu saja sudah cukup keren, apalagi sepatu yang berpaku- paku! Aku langsung lupa akan kesedihanku. Sepatu de?ngan paku-paku! Celana panjang beludru! Rompi! Dan topi! Oh, andai Ibu Barberin bisa melihatku sekarang, dia pasti sangat bahagia, sangat bangga padaku. Tetapi meski dijanjikan akan mendapatkan sepatu dan celana beludru di penghujung jarak enam mil itu, rasanya mustahil aku bisa berjalan sejauh itu.
Langit yang tampak biru ketika kami memulai perjalanan, sekarang dipenuhi awan-awan kelabu, dan tak lama kemudian hujan gerimis mulai turun. Signor Vitalis cukup nyaman di balik lindungan rompi kulit dombanya, dan dia bisa melindungi Pretty-Hcart yang cepat-cepat masuk ke dalam tempat persembunyiannya begitu tetes hujan pertama turun. Tetapi anjing-anjing dan aku tidak punya perlin?dungan dari hujan, dan sebentar saja kami sudah basah kuyup. Anjing-anjing bisa mengguncang-guncang badan mereka sesekali, tapi aku tidak bisa berbuat begitu, dan aku harus terus melangkah sementara pakaianku yang basah kuyup terasa berat dan membuatku sangat kedinginan.
"Apa kau gampang masuk angin?" tanya majikan baru?ku.
" Tidak tahu. Rasanya aku belum pernah masuk angin."
"Bagus. Berarti kau cukup tangguh, 'lapi aku tidak ingin kau sakit. Sebentar lagi kita sampai ke desa. Kita akan ber?malam di sana."
Ternyata tidak ada tempat penginapan di desa itu, dan tak seorang pun bersedia memberikan tumpangan kepada pengemis tua yang membawa anak kecil dan tiga ekor an?jing yang basah kuyup.
"Tidak ada penginapan di sini," kata mereka.
Dan mereka menutup pintu di depan wajah kami. Kami mendatangi rumah-rumah penduduk, satu per satu, tetapi semuanya menolak memberi tumpangan. Haruskah kami berjalan kaki empat mil lagi ke Ussel tanpa beristirahat sedikit pun" Malam sudah turun dan hujan membuat kami kedinginan sampai ke tulang. Oh, betapa inginnya aku ber?ada di rumah Ibu Barberin!
Akhirnya seorang petani yang lebih berbelas kasihan daripada tetangga-tetangganya mengizinkan kami ber?malam di lumbungnya. Dengan satu syarat, kami hanya boleh tidur di sana, tetapi tidak boleh menyalakan api.
"Berikan korek apimu," katanya kepada Signor Vitalis. "Besok akan kukembalikan, saat kau akan berangkat."
Setidaknya kami punya tempat berteduh dan terlindung dari badai.
Dari kantong yang tadi disampirkan di pundaknya, Signor Vitalis mengeluarkan sebongkah roti dan memecah?nya menjadi empat potong. Lalu untuk pertama kalinya aku melihat bagaimana dia menerapkan kepatuhan dan disiplin di antara para anak buahnya. Tadi, sewaktu kami mendatangi rumah-rumah penduduk untuk minta tempat berteduh, Zerbino lari masuk ke sebuah rumah dan cepat- cepat keluar lagi dengan menggondol sepotong kerak roti di moncongnya. Signor Vitalis hanya berkata begini,
"Baik, Zcrbino... nanti malam."
Aku tidak memikirkan pencurian itu lagi. Tapi ketika Signor Vitalis memecah-mecah roti, kulihat Zcrbino tampak sangat sedih. Signor Vitalis dan aku duduk di atas peti kayu dengan Pretty-Heart di antara kami. Ketiga anjing berdiri berbaris di hadapan kami, Capi dan Dulcie dengan mata tertuju pada tuan mereka. Zerbino berdiri dengan telinga terkulai dan ekor di antara kedua kakinya.
"Si pencuri harus meninggalkan barisan dan pergi ke sudut sana," Signor Vitalis berkata dengan nada memerin?tah. "Dia harus pergi tidur tanpa diberi makan malam."
Zerbino meninggalkan tempatnya, dan dengan berjalan zigzag dia pergi ke sudut yang ditunjuk Signor Vitalis de?ngan jarinya. Dia duduk di bawah setumpuk jerami, tidak terlihat oleh kami. Tetapi kami mendengar bunyi napasnya yang memelas, dengan sedikit dengkingan.
Signor Vitalis mengulurkan sepotong roti padaku, dan sambil memakan rotinya sendiri, dia memecah roti menjadi potongan-potongan kecil untuk Pretty-Heart, Capi, dan Dulcie. Betapa rindunya aku pada sup buatan Ibu Barberin... walaupun tidak pakai mentega, juga pada perapian yang hangat, dan tempat tidur kecilku dengan selimut yang bisa kutarik sampai ke hidung. Dengan badan sangat letih aku duduk di sana, kedua kakiku perih karena bergesekan de?ngan kelompen yang kupakai. Aku menggigil kedinginan di dalam pakaianku yang basah. Saat ini sudah malam, tapi aku tidak terpikir untuk tidur.
"Gigi-gigimu gemeletuk," kata Signor Vitalis. "Kau ke?dinginan?"
"Sedikit." Kudengar dia membuka tasnya.
"Aku tidak punya banyak pakaian," katanya, "tapi ini ada kemeja yang kering dan rompi untuk kaupakai. Se?telah itu masuklah ke bawah jerami, kau akan merasa ha?ngat dan bisa tidur."
Tetapi badanku tidak cepat menjadi hangat seperti yang dikira Signor Vitalis. Lama sekali aku masih bergulak-gulik di jerami yang menjadi alas tidurku, aku terlalu sedih dan tidak bisa tidur. Apakah mulai sekarang hari-hariku akan seperti ini, berjalan kaki dalam guyuran hujan, tidur di lo?teng lumbung, gemetar kedinginan, dan hanya makan se?potong roti kering untuk makan malam" Tak ada yang menyayangiku, tak ada yang memelukku, tak ada Ibu Barberin.
Hatiku sangat sedih. Air mata mulai bergulir di kedua pipiku. Tiba-tiba kurasakan embusan napas hangat di atas wajahku. Kuulurkan tanganku dan jariku menyentuh bulu Capi yang tebal dan keriting. Dia telah mendekatiku per?lahan-lahan, melangkah hati-hati di atas jerami, dan dia mencium-ciumku: mengendus-endusku dengan lembut, napasnya merayapi pipi dan rambutku. Mau apa dia" Lalu dia berbaring di jerami, dekat sekali denganku, dan dengan sangat lembut dia mulai menjilati tanganku. Merasa ter?sentuh oleh sapuan lidahnya, aku duduk tegak di tempat tidur jeramiku, kurangku 1 lehernya dan ku kecup hidung?nya yang dingin. Dia mendengking sedikit, lalu cepat-cepat dia meletakkan satu kaki depannya di tanganku dan tidak bergerak-gerak lagi. Aku seketika lupa akan rasa lelah dan kesedihanku. Aku tidak lagi sendirian. Aku punya te?
man. Bab Enam Pertunjukan Pertamaku Kami berangkat pagi-pagi sekali keesokan harinya. Langit biru, dan angin sejuk yang bertiup kemarin malam telah mengeringkan lumpur di jalanan. Burung-burung bercericip gembira di pepohonan dan anjing-anjing berlari-lari di se?kitar kami. Sesekali Capi berdiri di atas kedua kaki bela?kangnya dan menggonggong ke wajahku dua-tiga kali. Aku mengerti maksudnya. Dia temanku. Dia cerdas, dia mengerti segalanya, dan dia tahu cara membuatku me?ngerti. Kibasan ekornya menyimpan lebih banyak kecer?dasan dan kefasihan berkomunikasi daripada lidah atau mata manusia.
Walaupun aku belum pernah bepergian ke luar desaku dan penasaran sekali ingin melihat kota, yang paling ingin kulihat di sana adalah toko sepatu bot. Di manakah toko tempat aku bisa menemukan sepatu berpaku yang telah dijanjikan Signor Vitalis padaku" Aku menoleh ke sekeli?lingku, mencari-cari, sementara kami melewati jalanan-ja?lanan tua di Ussel. Tiba-tiba majikanku berbelok ke sebuah toko di belakang pasar. Di bagian depan toko itu digan?tungkan beberapa senapan tua, sehelai mantel berpinggiran jalinan-jalinan benang emas, beberapa buah lampu, dan sejumlah kunci yang sudah karatan. Kami menuruni tiga undak-undak dan masuk ke sebuah ruangan besar yang sepertinya tidak pernah dimasuki sinar matahari lagi sejak atapnya dipasang. Mana mungkin barang-barang bagus seperti sepatu berpaku dijual di tempat seburuk ini" Tetapi Signor Vitalis lebih tahu, dan tidak lama kemudian aku sudah dipakaikan sepatu berpaku yang sepuluh kali lebih berat daripada kelompen-ku. Kemurahan hati majikanku tidak berhenti sampai di situ. Dia juga membelikanku man?tel beludru warna biru, sepasang celana panjang, dan se?buah topi laken.
Mantel beludru untuk aku yang tidak pernah memakai bahan lain selain katun! Dia pasti orang paling baik di du?nia, dan paling murah hati. Memang benar bahan beludru?nya sudah kucai dan celana panjang wolnya sudah lusuh, topi lakennya juga tidak jelas warna sebenarnya, karena sudah sering terguyur hujan. Tetapi aku begitu terpesona pada setelan yang bagus-bagus itu, sehingga tidak meng?gubris kondisinya.
Namun sesampainya kami di tempat penginapan, betapa sedih dan terkejutnya aku ketika Signor Vitalis mengambil gunting dan memotong kedua kaki celana panjangku hing?ga tinggal selutut. Setelah itu barulah aku boleh memakai?nya. Kupandangi dia dengan mata terbelalak.
"Itu karena aku tidak mau kau tampil seperti orang- orang lainnya," dia menjelaskan. "Saat kita berada di Prancis, kau akan kudandani seperti orang Itali. Saat kita di Itali, kau kudandani seperti anak Prancis."
Aku jadi semakin takjub. "Kita ini seniman jalanan, bukan begitu" Nah, kita tidak boleh berpakaian seperti orang-orang pada umumnya. Ka?lau penampilan kita sama saja dengan orang-orang lain, apa kaupikir orang-orang akan memandangi kita" Apa kita bisa menarik perhatian orang banyak saat kita berhenti" Jelas tidak! Penampilan sangat penting dalam hidup ini."
Aku masih anak Prancis pada pagi hari, tetapi malam harinya aku sudah menjadi anak Itali. Celanaku hanya se?batas lutut. Signor Vitalis menjalinkan tali-tali merah di stokingku dan melilitkan seutas pita merah di topi laken-ku, lalu menghiasinya dengan sejumlah bunga dari benang wol.
Entah apa pendapat orang-orang yang melihatku, tapi sejujurnya mesti kuakui, aku sendiri menganggap pe?nampilanku keren sekali. Dan rupanya Capi juga ber?pendapat sama, sebab dia memandangiku lama sekali, lalu dia mengulurkan satu kaki depannya dengan sikap puas. Aku senang Capi menyukai penampilanku. Apalagi karena selama aku didandani, Pretty-Heart duduk di seberangku, dan dengan gaya dilebih-lebihkan dia meniru setiap ge?rakanku. Setelah aku selesai, dia bertolak pinggang, me?nyentakkan kepalanya ke belakang, dan tertawa dengan lagak mengejek.
Apakah monyet memang bisa tertawa" Itu pertanyaan ilmiah. Aku tinggal bersama Pretty-Heart cukup lama, dan aku tahu dia memang tertawa, dan sering kali dengan cara yang terasa sangat menghina bagiku. Tentu saja dia tidak tertawa seperti manusia, tetapi kalau ada sesuatu yang membuatnya geli, dia akan menarik sudut-sudut mulutnya ke belakang, menyipitkan kedua matanya, dan menggerak- gerakkan rahangnya dengan cepat, sementara sepasang mata hitamnya seperti memercikkan bara api.
"Sekarang kau sudah siap," kata Signor Vitalis, semen?tara aku memakai topiku, "dan kita akan mulai bekerja, sebab besok hari pasar dan kita harus mengadakan per?tunjukan. Kau mesti berperan dalam komedi bersama anjing-anjing dan Pretty-Heart."
"Tapi aku tidak tahu cara bermain komedi," aku berseru ketakutan.
"Makanya aku akan mengajarimu. Kau tidak akan bisa, kalau kau tidak belajar. Binatang-binatang itu sudah belajar mati-matian sampai menguasai peran mereka. Mulanya susah sekali, tapi lihat sekarang, mereka sangat pintar. Ko?medi yang akan kita mainkan berjudul 'Pelayan Mr. Pretty- Heart, atau Ternyata Dialah Si Bodoh Itu/ Begini ceritanya: Pelayan Mr. Pretty-Heart, yang bernama Capi, akan pen?siun karena sudah tua. Tapi Capi sudah berjanji kepada majikannya, sebelum pergi dia akan mencarikan pelayan baru. Nah, si pelayan baru ini bukan seekor anjing, tapi seorang anak lelaki, anak desa bernama Remi."
"Oh..." "Kau baru saja datang dari desa untuk menjadi pelayan Mr. Pretty-Heart."
"Monyet kan tidak punya pelayan."
"Dalam sandiwara, monyet bisa punya pelayan. Nah, kau baru datang langsung dari desamu, dan majikan baru?mu menganggapmu bodoh."
"Oh, aku nggak suka!"
"Apa pentingnya kau tidak suka" Yang penting para pe?nonton tertawa. Nah, kau mulai bekerja pada tuan itu dan kau disuruh menata meja. Ini peralatan yang akan kita gunakan nanti. Coba kautata."
Di meja ada piring-piring, sebuah gelas, sebilah pisau, sebuah garpu, dan sehelai taplak meja putih. Bagaimana aku bisa menata benda-benda itu" Aku berpikir-pikir sam?
bil mencondongkan badan dengan kedua tangan terulur dan mulut terbuka, tidak tahu mesti memulai dari mana. Majikanku bertepuk tangan sambil tergelak-gelak.
"Bravo" serunya, "Brnvo! Sempurna. Anak yang ikut aku sebelum kau, menunjukkan ekspresi licik, seperti hendak berkata, 'Lihat, aku bisa berakting tolol/ Aktingmu wajar sekali. Bagus sekali."
"Tapi aku tidak tahu mesti berbuat apa."
"Justru itu aktingmu jadi bagus sekali! Sekarang kau su?dah tahu mesti bagaimana, dan nanti kau mesti pura-pura menampilkan apa yang sekarang ini benar-benar kaurasa- kan. Kalau kau bisa menunjukkan ekspresi seperti saat ini dan berdiri seperti caramu berdiri ini, aktingmu pasti akan bagus. Untuk memainkan peran ini dengan sempurna, kau tinggal berakting dan berekspresi seperti yang kaulakukan sekarang ini."
"Pelayan Mr. Pretty-Heart" bukanlah sandiwara yang luar biasa. Pertunjukannya hanya berlangsung dua puluh menit. Signor Vitalis menyuruh kami berlatih berulang kali, anjing-anjing itu dan aku.
Aku takjub melihat betapa sabarnya majikanku ini. Aku sudah sering melihat binatang-binatang di desaku diper?lakukan dengan buruk, dipukuli dan dihujani sumpah se?rapah kalau mereka sulit diajari. Meski pelajaran ini makan waktu lama, tidak sekali pun Signor Vitalis marah-marah atau menyumpah-nyumpah.
"Ulangi lagi," katanya tegas, kalau ada kesalahan. "Itu jelek, Capi. Kau akan kumarahi, Pretty-Heart, kalau kau tidak mau memperhatikan."
Itu saja, tapi itu pun sudah cukup.
"Ambil contoh anjing-anjing itu," katanya saat mengajari?ku. "Bandingkan mereka dengan Pretty-Heart. Pretty-Heart
mungkin lebih lincah dan cerdas, tapi dia tidak sabaran. Dia cepat menguasai pelajaran, tapi juga cepat melupakan?nya. Selain itu, dia tidak pernah melakukan perintah de?ngan rela. Dia lebih suka berbuat sebaliknya. Itu memang sudah sifatnya, dan itu sebabnya aku tidak pernah marah padanya. Monyet tidak punya kesadaran yang sama seperti anjing. Mereka tidak mengerti arti kata kewajiban, dan itu sebabnya mereka lebih inferior dibandingkan anjing. Kau mengerti itu?"
"Kurasa aku mengerti."
"Kau cerdas dan mau memperhatikan. Tunjukkan sikap patuh, lakukan yang terbaik dalam apa pun yang mesti kaulakukan. Ingat itu sepanjang hidupmu."
Sambil berbicara dengannya, aku mengumpulkan ke?beranian untuk menanyakan sesuatu yang selama latihan tadi membuatku sangat heran: kenapa dia bisa begitu sabar pada anjing-anjing, si monyet, dan aku sendiri.
Signor Vitalis tersenyum.
"Jelas bahwa selama ini kau hanya tinggal bersama petani-petani yang suka bersikap kasar pada binatang, dan menganggap binatang hanya bisa dibuat patuh kalau di?ancam akan dipukul dengan tongkat. Salah besar. Sikap kejam tidak akan banyak membawa hasil, tapi kau bisa mendapatkan banyak hasil, meski tidak sempurna, dengan menunjukkan kelembutan. Karena aku tidak pernah kejam pada binatang-binatangku, mereka bisa menjadi seperti ini. Kalau aku memukuli mereka, mereka akan menjadi makhluk-makhluk yang ketakutan. Rasa takut membuat kecerdasan jadi lumpuh. Selain itu, kalau aku menuruti amarah, aku tidak akan menjadi aku sekarang ini. Aku takkan mungkin memiliki kesabaran yang akhirnya me?menangkan rasa percaya diri mereka. Itu menunjukkan
bahwa dengan mengajar makhluk-makhluk lain, berarti kita mengajar diri sendiri juga. Aku bukan hanya mengajar binatang-binatangku, aku juga mendapat banyak pelajaran dari mereka. Aku telah mengembangkan kecerdasan me?reka, dan mereka telah membentuk karakterku."
Aku tertawa. Penjelasannya terdengar aneh buatku.
"Kau menganggap aneh," Signor Vitalis melanjutkan, "aneh bahwa anjing bisa memberikan pelajaran pada ma?nusia. Tapi itu benar. Sang tuan harus menahan diri pada saat mengajari anjingnya. Sebab anjing akan meniru tuan?nya. Tunjukkan anjingmu, dan akan kukatakan seperti apa dirimu. Anjing penjahat kelakuannya juga jahat. Anjing pencuri akan mencuri juga. Anjing orang bodoh akan bo?doh dan tidak cerdas juga. Sedangkan orang yang baik hati dan penuh perhatian, anjingnya pasti baik juga."
Aku sangat gugup membayangkan akan tampil di depan publik keesokan harinya. Anjing-anjing dan si monyet lebih unggul daripada aku, sebab mereka sudah pernah tampil ratusan kali. Apa kata Signor Vitalis kalau aku tidak bisa membawakan peranku dengan baik" Apa kata para penon?ton nanti" Aku sangat cemas, sampai-sampai setelah akhir?nya bisa tidur, aku bermimpi tentang kerumunan orang yang tertawa terpingkal-pingkal karena aku kelihatan begi?tu tolol.
Besoknya aku semakin gugup ketika kami berbaris ber?iringan ke pasar, tempat kami akan mengadakan per?tunjukan. Signor Vitalis berjalan paling depan. Kepalanya tegak dan dadanya dibusungkan. Kedua lengan dan kaki?nya bergerak seiring nada-nada riang serulingnya. Di bela?kangnya melangkah Capi yang membawa Pretty-Heart di punggungnya. Si monyet mengenakan seragam jenderal Inggris, mantel merah, dan celana panjang berhiaskan ja?
linan benang emas serta helm dengan bulu di puncaknya. Di belakang Capi, pada jarak yang pantas, melangkah Zerbino dan Dulcie. Aku berjalan paling belakang. Iring- iringan kami cukup memakan tempat, sebab kami harus berjalan pada jarak tertentu satu sama lain. Nada-nada nya?ring seruling menarik perhatian orang-orang. Mereka ber?lari keluar dari rumah. Sejumlah anak kecil berlari di bela?kang kami, dan ketika kami sampai di lapangan pasar, orang banyak sudah berkerumun. Cepat-cepat kami mem?buat panggung. Seutas tali diikatkan pada empat batang pohon, dan di tengah-tengah kotak itulah kami akan ber?aksi.
Pertunjukan utama menampilkan para anjing beraksi. Aku tak mengerti sedikit pun tingkah polah mereka. Aku sangat gugup dan sibuk menghafalkan bagianku sendiri. Aku hanya ingat Signor Vitalis menyingkirkan serulingnya
Pertunjukan pertama Remi dan kawan-kawan.
dan mengambil biolanya, lalu memainkannya untuk meng?iringi gerak-gerik anjing-anjing. Kadang-kadang dia me?mainkan musik dansa, kadang-kadang musik yang ter?dengar sentimental.
Selesai beraksi, Capi mengambil cangkir logam dengan mulutnya dan mengedarkannya kepada para penonton yang terhormat. Kalau ada penonton yang tidak memasuk?kan uang ke dalam cangkir, Capi menaikkan kedua kaki depannya ke saku orang tersebut, menggonggong tiga kali, kemudian menepuk-nepuk sakunya dengan satu kaki de?pan. Melihat ini, semua orang tertawa dan berseru-seru senang.
"Wah, pintar sekali anjing spaniel itu! Dia tahu siapa yang punya uang dan siapa yang tidak!"
"Ayo, keluarkan!"
"Dia pasti akan memberi juga!"
"Tidak bakal!" "Padahal dia dapat warisan besar dari pamannya! Dasar orang pelit!"
Akhirnya orang yang bersangkutan mau juga mengeluar?kan sekeping uang dari dalam sakunya dan melemparkan?nya ke dalam cangkir. Sementara itu Signor Vitalis terus mengikuti gerakan Capi, tanpa berkata sepatah pun, sambil terus memainkan biolanya dengan riang. Tak lama kemu?dian Capi kembali kepada tuannya, dengan bangga mem?bawa cangkirnya yang penuh.
Sekarang pertunjukan komedinya.
"Tuan-Tuan dan Nyonya-Nyonya," kata Signor Vitalis seraya membungkuk dengan menyapukan satu tangan, sambil memegang biola di tangan satunya, "kami akan me?nampilkan sebuah komedi berjudul Pelayan Mr. Pretty-Heart, atau Ternyata Dialah Si Bodoh Itu. Orang pada kedudukanku ini tidak layak memuji cerita dan para aktornya sendiri sebelum kehebatan mereka terbukti. Aku hanya ingin meminta Anda sekalian melihat, mendengar?kan, dan siap-siaplah bertepuk tangan."
Yang dimaksud Signor Vitalis dengan komedi itu se?benarnya lebih tepat disebut pantomim. Wajar saja, sebab dua pemeran utamanya, Pretty-Heart dan Capi, tidak bisa bicara, sedangkan yang ketiga, yakni aku sendiri, tidak pandai berkata-kata. Maka, supaya para penonton bisa me?mahami jalan ceritanya, Signor Vitalis menjelaskan situasi- situasinya sementara pertunjukan berlangsung. Misalnya, dengan gaya seperti akan maju perang dia mengumumkan kemunculan Jenderal Pretty-Heart yang telah mendapatkan pangkat tinggi dalam berbagai pertempuran di India. Se?lama ini Jenderal Pretty-Heart hanya mempunyai Capi se?bagai pelayan, tetapi sekarang dia ingin pelayannya ma?nusia, sebab sekarang dia sudah mampu menggaji manusia. Sudah sejak dulu binatang diperbudak oleh ma?nusia, dan sekarang sudah waktunya hal itu berubah!
Sambil menunggu kedatangan si pelayan, sang Jenderal berjalan mondar-mandir seraya mengisap cerutunya. Mesti?nya kalian melihat cara si monyet meniupkan asap ke wa?jah para penonton! Karena tak sabar, dia mulai mendelik seperti orang yang sebentar lagi akan marah-marah. Dia menggigit bibirnya dan mengentak-entakkan kaki di tanah. Pada entakan ketiga, aku harus maju, dengan dibimbing Capi. Kalau aku lupa peranku, si anjing yang akan meng?ingatkan. Lalu Capi akan mengulurkan satu kaki depannya padaku dan memperkenalkan aku pada sang Jenderal. Begitu melihatku, sang Jenderal mengangkat kedua tangan?nya dengan gaya putus asa. Apa! Itukah pelayan yang mereka berikan padanya" Lalu dia mendekat dan menatap sebal ke wajahku, dan berjalan mengitariku sambil angkat bahu. Ekspresinya lucu sekali, sampai-sampai para penon?ton tertawa terbahak-bahak. Mereka bisa menangkap bah?wa si monyet menganggapku tolol. Para penonton juga berpendapat demikian. Adegan ini sengaja dirancang untuk menunjukkan betapa bebalnya aku, sedangkan si monyet ditampilkan sangat cerdas dan cerdik. Setelah mengamat- amatiku dengan saksama, sang Jenderal rupanya merasa iba dan memutuskan untuk menerimaku. Dia menunjuk ke meja yang sudah ditata untuk makan siang, dan memberi isyarat supaya aku duduk.
"Jenderal berpendapat pelayannya tidak akan terlalu bo?doh lagi kalau sudah makan," Signor Vitalis menjelaskan.
Aku duduk di depan meja kecil itu. Sehelai serbet di?taruh di piringku. Akan kuapakan serbet itu"
Capi memberi isyarat supaya aku menggunakan serbet tersebut. Setelah memandangi benda itu sejenak, sambil berpikir-pikir, aku menggunakannya untuk membersihkan hidungku. Sang Jenderal tertawa terpingkal-pingkal sambil memegangi perutnya, sedangkan Capi jatuh telentang de?ngan empat kaki mengais-ngais udara, merasa kesal akan kebodohanku.
Sadar aku telah membuat kesalahan, kupandangi lagi serbet itu, bertanya-tanya mesti kuapakan benda tersebut. Lalu aku mendapat gagasan. Kugulung serbet itu dan ku?jadikan dasi. Sang Jenderal tertawa lagi, dan Capi jatuh telentang lagi dengan keempat kaki di udara.
Akhirnya, karena kesal, sang Jenderal menyeretku pergi dari kursi. Dia duduk di tempatku dan makan makanan yang telah dihidangkan untukku.
Ah! Dia tahu cara menggunakan serbet! Dengan luwes diselipkannya serbet itu di balik seragamnya, dan di?tebarkannya di lututnya. Lalu dengan sikap anggun dia memecahkan rotinya dan mengosongkan isi gelasnya!
Klimaksnya adalah ketika dia minta tusuk gigi setelah selesai makan siang. Dengan cepat digerak-gerakkannya tusuk gigi itu di antara gigi-giginya. Tepuk tangan mem?bahana dari sekeliling kami, dan pertunjukan tersebut ber?akhir dengan sukses.
Bodoh sekali si pelayan dan pintar sekali monyet itu!
Dalam perjalanan pulang ke tempat penginapan, Signor Vitalis memujiku. Rupanya aku telah berhasil menjadi pe?lawak yang baik, sehingga pantas mendapatkan pujian dari majikanku.
Bab Tujuh Belajar Bersama-Sama Rombongan kecil Signor Vitalis memang sangat pintar, te?tapi bakat mereka tidak begitu banyak. Karena itulah kami tidak bisa lama-lama menetap di suatu kota. Tiga hari se?telah kedatangan kami di Ussel, kami sudah harus me?lanjutkan perjalanan lagi. Ke mana kami akan pergi" Aku sudah cukup berani sekarang, jadi kutanyakan hal itu pada majikanku.
"Apa kau tahu daerah sekitar sini?" Signor Vitalis balik bertanya sambil memandangiku.
"Tidak." "Kalau begitu, kenapa kau bertanya kita akan ke mana?"
"Karena ingin tahu saja."
"Ingin tahu apa?"
Aku terdiam. "Kau bisa membaca?" tanyanya, setelah sejenak me?mandangiku lekat-lekat.
"Tidak." "Kalau begitu, kau akan kuajari nama-nama dari buku,
dan berbagai hal tentang kota-kota yang kita lewati. Rasa?nya akan seperti mendengarkan cerita."
Selama ini aku dibesarkan tanpa bekal pengetahuan se?dikit pun. Memang benar aku pernah masuk sekolah desa selama sebulan, tetapi dalam sebulan itu tak pernah sekali pun aku memegang buku. Pada masa-masa itu, banyak desa di Prancis yang sama sekali tidak memiliki sekolah, dan di daerah-daerah yang mempunyai kepala sekolah, biasanya si kepala sekolah tidak tahu apa-apa, atau punya kesibukan lain sehingga tidak bisa memberikan banyak perhatian bagi anak-anak yang dipercayakan di bawah asuhannya.
Seperti itulah keadaannya dengan kepala sekolah di se?kolah desa kami. Bukan maksudku mengatakan dia bodoh, tapi selama sebulan aku bersekolah, dia tidak pernah mem?berikan satu pun pelajaran. Dia punya pekerjaan lain. Pro?fesinya adalah pembuat sepatu, atau lebih tepatnya pem?buat kelompen, sebab tidak ada yang membeli sepatu darinya. Dia duduk di bangku kerjanya sepanjang hari, menyerut kayu beech menjadi kelompen. Jadi, aku tidak belajar apa-apa di sekolah, bahkan belajar abjad pun ti?dak.
"Apakah belajar membaca itu susah?" aku bertanya se?telah kami berjalan dalam diam selama beberapa waktu.
"Apakah otakmu bebal?"
"Tidak tahu, tapi aku mau belajar kalau diajari."
"Nah, kita lihat saja nanti. Kita punya banyak waktu di depan kita."
Banyak waktu di depan kita! Kenapa tidak dimulai seka?rang saja. Aku tidak tahu seberapa sulitnya belajar mem?baca. Kupikir aku hanya perlu membuka buku dan lang?sung tahu isinya.
Keesokan harinya, saat kami berjalan kaki, Signor Vitalis membungkuk dan memungut sepotong kayu yang tertutup debu.
"Lihat, kau akan belajar membaca dari buku ini," kata?nya.
Buku! Itu kan sepotong kayu! Kupandangi dia, untuk melihat apakah dia bercanda. Tapi dia kelihatan sangat se?rius. Aku melongo menatap potongan kayu itu. Panjangnya seukuran lenganku dan lebarnya seukuran dua tanganku. Tidak ada tulisan ataupun gambar di permukaannya.
"Tunggu sampai kita tiba di pepohonan di sana itu. Nanti kita beristirahat di sana," kata Signor Vitalis, ter?senyum melihat keherananku. "Akan kutunjukkan bagai?mana aku mengajarimu membaca dari potongan kayu ini."
Setibanya di pepohonan tersebut, kami lemparkan tas-tas kami di tanah dan kami duduk di rerumputan yang hijau, di antara bunga-bunga daisy yang tumbuh di sana-sini. Pretty-Heart, yang sudah dilepaskan dari rantainya, me?manjat ke atas pohon dan mengguncang-guncang ranting- rantingnya, seperti hendak membuat kenari berjatuhan. Anjing-anjing berbaring di samping kami. Signor Vitalis mengeluarkan pisaunya, dan setelah menghaluskan kedua sisi potongan kayu tadi, dia memotongnya menjadi dua belas potongan kecil berukuran sama.


Sebatang Kara Nobodys Boys Karya Hector Malot di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku akan mengukir satu huruf pada masing-masing potongan," katanya seraya menatapku. Aku tidak melepas?kan pandang darinya. "Kau akan mempelajari huruf-huruf ini dari bentuknya, dan kalau kau sudah hafal begitu me?lihatnya, aku akan membentuk huruf-huruf ini menjadi kata-kata. Kalau kau sudah bisa membaca kata-katanya, kau boleh belajar dari buku sungguhan."
Saku-sakuku langsung penuh oleh potongan-potongan kayu itu, dan tak lama kemudian aku sudah menguasai huruf-huruf abjad, tetapi belajar membaca ternyata lebih sulit. Aku tidak bisa cepat belajar, dan sering kali aku me?nyesal telah mengatakan ingin belajar. Tapi ini bukan ka?rena aku pemalas, melainkan karena gengsi saja.
Sambil mengajariku abjad, Signor Vitalis memutuskan untuk sekalian mengajari Capi. Kalau anjing bisa belajar mengetahui jam dari arloji, mestinya dia juga bisa belajar abjad, bukan" Potongan-potongan kayu itu ditebarkan di rumput, dan Capi diajari untuk mengambil huruf yang di?minta, dengan menggunakan kaki depannya.
Mulanya aku lebih banyak kemajuan daripada dia, tapi meski aku lebih cepat tanggap, dia mempunyai ingatan lebih tajam. Begitu mempelajari satu hal, dia bisa terus mengingatnya. Dia tidak pernah lupa. Kalau aku membuat kesalahan, Signor Vitalis akan berkata:
"Capi akan bisa membaca lebih dulu dibanding kau, Remi."
Capi kelihatannya memahami ucapan majikannya, dan dia mengibas-ngibaskan ekornya dengan bangga.
Aku sangat tersinggung, maka kucurahkan seluruh per?hatianku untuk belajar, dan akhirnya aku bisa membaca dari buku, sedangkan anjing malang itu hanya bisa me?narik empat huruf yang membentuk namanya.
"Sekarang kau sudah bisa membaca kata-kata. Maukah kau belajar membaca nada-nada musik?" tanya Signor Vitalis.
"Kalau aku belajar membaca nada-nada musik, aku akan bisa menyanyi seperti Anda?" tanyaku.
"Ah, jadi kau ingin bisa menyanyi seperti aku," sahut"Aku tahu itu mustahil, tapi aku ingin bisa menyanyi sedikit."
"Kalau begitu, kau mau mendengar aku menyanyi?"
"Mau sekali. Suaramu lebih merdu daripada burung bul- bul, tapi sama sekali tidak seperti nyanyian mereka. Kalau kau menyanyi, kadang-kadang aku ingin menangis dan kadang-kadang ingin tertawa. Jangan menganggapku ko?nyol, Tuan, tapi sewaktu kau menyanyikan lagu-lagu itu, aku serasa bersama Ibu Barberin tersayang lagi. Kalau ku?pejamkan mataku, bisa kulihat lagi dia di pondok kecil kami, meskipun aku tidak mengerti kata-kata dalam lagu?mu, sebab semuanya dalam bahasa Itali."
Aku mendongak menatapnya, dan kulihat matanya ber?kaca-kaca. Aku tertegun, dan kutanyakan apakah ucapanku menyinggung perasaannya.
"Tidak, anakku," sahutnya, suaranya bergetar, "kau tidak menyinggung perasaanku. Justru kau membuatku teringat masa mudaku. Ya, kau akan kuajari menyanyi, Remi kecil, dan karena hatimu baik, kau juga akan membuat orang- orang menangis saat mendengar lagu-lagumu."
Tiba-tiba dia berhenti bicara, dan perasaanku mengata?kan saat ini dia tidak ingin mengatakan lebih banyak. Aku tidak tahu kenapa dia menjadi sedih.
Keesokan harinya Signor Vitalis membuat potongan-po?tongan kecil kayu untuk ditulisi nada-nada musik, persis seperti ketika mengajariku abjad. Nada-nada itu lebih ru?mit daripada abjad, dan kali ini aku merasa jauh lebih sulit dan membosankan mempelajarinya. Signor Vitalis, yang begitu sabar pada anjing-anjing, lebih dari sekali hilang kesabaran padaku.
"Dengan binatang, orang belajar mengendalikan diri, se?bab yang diajari itu makhluk bodoh yang tidak bisa bicara,
tapi kau benar-benar membuatku jengkel!" Dia menggerak- gerakkan kedua tangannya dengan gaya dramatis.
Pretty-Heart, yang suka sekali meniru gerakan-gerakan yang dianggapnya lucu, mengikuti gerak-gerik majikanku, dan berhubung monyet itu hadir setiap hari saat aku belajar, jadilah aku melihat dia menggerak-gerakkan kedua lengannya dengan gemas setiap kali aku kelihatan ragu- ragu.
"Lihat, Pretty-Heart juga ikut mengejekmu," seru Signor Vitalis.
Kalau berani, ingin kukatakan padanya bahwa monyet itu bukan hanya mengejekku, tapi mengejek dia juga. Meski demikian, aku tidak bilang apa-apa, karena rasa hor?mat sekaligus takut.
Setelah berminggu-minggu belajar, akhirnya aku bisa menyanyikan sepotong nada dari kertas yang ditulisi Signor Vitalis sendiri. Hari itu majikanku tidak menggerak- gerakkan tangannya dengan kesal lagi, dia justru menepuk- nepuk pipiku. Katanya kalau aku terus belajar seperti itu, aku pasti bisa menjadi penyanyi terkenal.
Bab Delapan Cerita Signor Vitalis Cara kami berkelana sederhana sekali: Kami berjalan lurus saja, ke mana pun, dan kalau menemukan desa yang dari kejauhan kelihatannya cukup penting, kami memulai per?siapan untuk masuk ke desa tersebut dengan gegap gem?pita. Aku mendandani anjing-anjing, menyisiri bulu-bulu Dulcie, memasang plester di salah satu mata Capi kalau dia membawakan peran sebagai orang tua pemarah, dan memaksa Pretty-Heart mengenakan seragam jenderalnya. Ini yang paling sulit, sebab monyet itu tahu betul bahwa dipakaikan seragam berarti dia harus bekerja, dan dia lang?sung berulah supaya aku tidak bisa mendandaninya. Aku pun terpaksa memanggil Capi untuk membantuku, dan berkat kerja sama kami, akhirnya berhasil juga monyet itu ditaklukkan.
Setelah semuanya siap, Signor Vitalis mengeluarkan se?rulingnya dan kami pun berbaris memasuki desa. Kalau jumlah orang yang mengikuti kami cukup banyak, kami menggelar pertunjukan. Tapi kalau hanya ada beberapa pengikut, kami merasa tidak perlu berhenti, jadi kami me?lanjutkan perjalanan. Kalau kami tinggal di suatu kota se?lama beberapa hari, Signor Vitalis memperbolehkan aku berjalan-jalan dengan ditemani Capi. Dia memercayakan aku pada anjing itu.
"Kau sudah berkeliling Prancis, padahal sebagian besar anak-anak seusiamu mesti bersekolah," dia pernah berkata begitu padaku. "Buka matamu, lihat dan belajar. Kalau me?lihat sesuatu yang tidak kaumengerti, jangan takut untuk bertanya padaku. Dulu aku tidak seperti yang kaulihat se?karang ini. Aku sudah belajar banyak hal lain."
"Apa?" "Kita bicarakan itu nanti. Untuk sekarang ini, dengarkan nasihatku, dan kalau kau sudah dewasa nanti, kuharap kau akan mengenangku dengan sedikit rasa terima kasih. Ya, mengenang si pemusik miskin ini, yang dulu membuat?mu sangat takut waktu dia mengambilmu dari ibu angkat?mu. Pada akhirnya, perubahan belum tentu berakibat bu?ruk bagimu."
Aku bertanya-tanya, seperti apa majikanku ini dulunya, di masa-masa yang telah lama berlalu.
Kami terus berjalan, sampai tiba di dataran tinggi Quercy yang sangat rata dan gersang sunyi. Tak ada mata air, kolam, ataupun sungai. Di tengah-tengah dataran tinggi ini kami menemukan sebuah desa kecil bernama Bastide-Murat. Kami menginap semalam di lumbung milik tempat penginapan.
Signor Vitalis berkata, "Di desa inilah, dan barangkali juga di tempat penginapan ini, lahir seorang laki-laki yang kelak memimpin ribuan prajurit ke medan perang. Semasa kecilnya dia menjadi pengurus kandang, dan setelah dewasa, dia menjadi raja. Namanya Murat. Orang-orang menyebutnya pahlawan, dan desa ini dinamakan menurut
namanya. Aku mengenalnya dan sering mengobrol dengan?nya."
"Waktu dia masih menjadi pengurus kandang?"
"Tidak," sahut Signor Vitalis dengan tertawa, "waktu dia sudah menjadi raja. Ini pertama kalinya aku datang ke wi?layah ini. Aku kenal dia di Naples, tempat dia menjadi raja."
"Kau pernah mengenal seorang raja!"
Nada suaraku pasti agak menggelikan, sebab majikanku tertawa tergelak-gelak.
Kami duduk di bangku di depan pintu kandang, ber?sandar pada tembok yang masih hangat oleh cahaya mata?hari. Belalang-belalang menggumamkan lagu mereka yang monoton di pohon sycnmore besar yang menaungi kami dengan ranting-rantingnya. Di atas puncak-puncak rumah, bulan purnama yang baru muncul beranjak naik perlahan- lahan. Malam itu jadi semakin indah karena siangnya hawa begitu panas membakar.
"Kau mau tidur?" tanya Signor Vitalis, "atau kau mau mendengar cerita tentang Raja M urat?"
"Oh, aku mau dengar cerita!"
Maka Signor Vitalis pun mengisahkan cerita tentang Joachim Murat. Selama berjam-jam kami duduk di bangku itu. Sementara dia bercerita, cahaya pucat rembulan jatuh pada sosoknya, dan aku mendengarkan dengan penuh per?hatian, kedua mataku terpaku pada wajahnya. Aku belum pernah mendengar cerita ini. Tidak ada yang bakal men?ceritakannya padaku. Ibu Barberin jelas tidak. Dia tidak tahu apa pun tentang itu. Dia lahir di Chavanon dan ke?mungkinan akan menghabiskan umurnya di sana. Pikiran?nya tidak pernah mengembara lebih jauh daripada yang bisa dijangkau matanya.
Majikanku pernah bertemu seorang raja, dan raja ini mengajaknya bicara! Siapa sebenarnya majikanku ini pada masa mudanya, dan bagaimana ceritanya dia menjadi se?perti ini pada masa tuanya"
Kami sudah berjalan kaki sejak pagi. Tadi Signor Vitalis berkata kami akan tiba di desa menjelang malam, dan ka?mi bisa beristirahat. Tapi sekarang sudah malam dan be?lum terlihat tanda-tanda keberadaan sebuah desa, tidak ada kepulan asap di kejauhan untuk menunjukkan bahwa kami sudah berada di dekat rumah. Aku tidak melihat apa pun kecuali bentangan dataran tinggi di depan kami. Aku capek dan sangat ingin tidur. Signor Vitalis juga sudah ca?pek. Dia ingin berhenti dan beristirahat di pinggir jalan. Tapi aku tidak ikut duduk di sampingnya. Kukatakan pada?nya aku akan naik ke bukit di sebelah kiri kami dan dari situ melihat-lihat apakah ada desa di dekat-dekat sini. Ku?panggil Capi, tapi Capi juga sudah kecapekan dan dia ti?dak menghiraukan panggilanku. Biasanya dia bersikap begini kalau dia tidak mau patuh padaku.
"Kau takut ya?" tanya Signor Vitalis.
Pertanyaannya membuatku langsung berangkat, sen?dirian.
Malam telah turun. Tak ada bulan, tetapi bintang-bintang yang berkelap-kelip di langit memancarkan cahaya mereka ke atmosfer yang berkabut. Berbagai objek di sekitarku se?perti berubah menjadi bentuk-bentuk asing dan aneh da?lam cahaya remang-remang ini. Semak-semak furze liar menggerumbul di samping batu-batu berukuran raksasa yang menjulang di atasku dan seperti menoleh meman?dangiku. Semakin tinggi aku mendaki, semakin lebat pe?pohonan dan semak-semaknya, puncak-puncaknya me?lewati atas kepalaku dan saling berjalin. Kadang-kadang aku harus merangkak menembusnya untuk lewat. Tapi aku bertekad harus sampai di puncak bukit. Namun ketika akhirnya aku sampai di sana, dan melayangkan pandang ke sekitarku, aku tidak melihat seberkas pun cahaya; tidak ada apa-apa selain bayang-bayang dan bentuk-bentuk aneh, serta pohon-pohon raksasa yang seolah-olah men?julurkan cabang-cabang mereka kepadaku, seperti lengan- lengan yang siap merengkuhku.
Aku memasang telinga, siapa tahu terdengar suara gong?gongan anjing, atau lenguhan sapi. Tetapi sekelilingku su?nyi senyap. Dengan menajamkan telinga, dan hampir-ham?pir tidak bernapas supaya bisa mendengar lebih baik, aku berdiri tak bersuara. Lalu aku mulai gemetar. Keheningan di wilayah sunyi yang masih liar ini membuatku takut. Apa yang membuatku takut" Keheningannya, barangkali... atau gelapnya malam... pokoknya ada ketakutan tak ber?nama yang merayapi sekujur tubuhku. Jantungku berdebar kencang, seperti ada bahaya mengintai. Dengan takut-takut aku menoleh-noleh ke sekitarku, dan tiba-tiba di kejauhan kulihat sebuah sosok raksasa bergerak di tengah-tengah pepohonan. Pada saat bersamaan terdengar gemeresik cabang-cabang pohon. Kucoba membujuk diriku bahwa rasa takutlah yang membuatku membayang-bayangkan se?suatu yang tidak biasa. Barangkali sebenarnya yang kulihat itu hanya semak-semak, atau ranting pohon. Tetapi ranting- ranting itu bergerak-gerak, padahal tidak ada angin berem?bus, tidak juga angin sepoi-sepoi yang menggerakkannya. Mana mungkin ranting pohon bisa bergerak kalau tidak digoyang oleh angin atau disentuh seseorang.
Seseorang" Tidak, sosok raksasa dan gelap yang mengarah kepada?ku ini tak mungkin manusia "barangkali itu semacam bi?natang entah apa, atau burung malam yang sangat besar, atau laba-laba raksasa yang bergelantungan di atas puncak- puncak pepohonan. Yang pasti, makhluk ini memiliki kaki- kaki sangat panjang, yang membuatnya bisa melangkah dengan jangkauan luar biasa. Begitu melihatnya, aku lang?sung lari tunggang-langgang turun bukit, ke arah Signor Vitalis berada. Tapi anehnya perjalanan turun bukit ini lebih lama daripada sewaktu mendaki tadi. Aku terjungkal ke dalam gerumbulan semak-semak thistle dan bramble yang lebat, dan badanku tergores-gores dengan setiap lang?kah. Sambil tersaruk-saruk keluar dari semak-semak ber?duri, aku menoleh sekilas ke belakang. Binatang itu sudah semakin dekat! Dia hampir sampai ke tempatku!
Untunglah aku sudah sampai di kaki bukit dan bisa lari lebih cepat di rerumputan. Tapi meski aku sudah mati- matian mengerahkan kecepatan, Makhluk itu tetap semakin dekat. Aku tidak merasa perlu menengok ke belakang, aku tahu dia berada persis di belakangku. Aku hampir-hampir tidak berani bernapas. Aku capek setengah mati karena berlari mati-matian, dan napasku tersengal-sengal. Aku mengerahkan kekuatan penghabisan dan akhirnya tersung?kur jatuh di kaki Signor Vitalis. Aku hanya bisa mengucap?kan satu kata ini:
"Binatang itu! Binatang itu!"
Di tengah riuh rendah gonggongan anjing-anjing, aku mendengar suara tertawa terbahak-bahak. Lalu majikanku memegang bahuku dengan dua tangan dan memaksaku membalikkan badan.
"Dasar bodoh," serunya, masih sambil tertawa, "coba mendongak dan lihatlah."
Tawanya itulah yang mengembalikan akal sehatku. Ku?buka satu mataku, lalu satunya lagi, dan melihat ke arah yang ditunjuknya. Makhluk yang tadi membuatku ke?takutan bukan main, sekarang berhenti dan berdiri diam di jalanan. Sewaktu melihatnya lagi, mesti kuakui aku mu?lai gemetaran. Tapi ada Signor Vitalis dan anjing-anjing ini di sampingku. Aku tidak sendirian di tengah pepohonan sana... Aku mendongak dengan berani dan memandangi Makhluk itu lekat-lekat.
Binatangkah itu" Atau manusia" Ada badannya, ada ke?pala dan sepasang lengan seperti manusia, tetapi kulit berbulu yang menutupinya dan sepasang kaki kurus pan?jangnya seperti bagian tubuh binatang.
Meskipun malam itu gelap, aku bisa melihatnya, sebab siluet sosok gelap itu kelihatan jelas berlatar belakang la?ngit berbintang. Aku pasti akan terus bertanya-tanya makhluk apa itu sebenarnya, andai majikanku tidak meng?ajaknya bicara.
"Bisa Anda memberitahukan, apakah kami masih jauh dari desa?" tanyanya sopan.
Lho, kalau makhluk itu bisa diajak bicara, berarti dia manusia! Bayangkan betapa kagetnya aku ketika makhluk itu menjawab bahwa tidak ada rumah di dekat-dekat sini, tapi ada tempat penginapan, dan dia akan mengantar kami ke sana. Kalau dia bisa bicara, kenapa dia punya cakar-cakar"
Andai aku berani, pasti dia sudah kuhampiri, untuk me?lihat dari apa cakar-cakarnya itu terbuat. Tapi aku masih agak takut, jadi kuambil tasku dan kuikuti majikanku tan?pa berkata apa-apa.
"Kau sudah lihat, kan, apa yang tadi membuatmu ke?takutan setengah mati," Signor Vitalis berkata sambil ter?tawa, sementara kami meneruskan perjalanan.
"Tapi aku belum tahu, dia itu apa. Apa di daerah ini ada raksasa-raksasa?"
"Ya, kalau manusia berdiri di atas egrang."
Lalu Signor Vitalis menjelaskan padaku bahwa orang- orang Landais berjalan ke mana-mana dengan mengguna?kan egrang, supaya tidak tenggelam sampai ke pinggul kalau harus melewati dataran-dataran berawa-rawa.
Betapa bodohnya aku tadi!
Bab Sembilan Ditangkap Aku masih menyimpan kenangan indah tentang Pau, tem?pat peristirahatan musim dingin yang cantik, di mana angin hampir tak pernah bertiup. Kami menetap di sana selama musim dingin, sebab kami memperoleh cukup ba?nyak uang. Para penonton kami sebagian besar adalah anak-anak, dan mereka tak pernah bosan walaupun kami menampilkan pertunjukan yang sama berulang kali. Me?reka anak-anak orang kaya, kebanyakan berkebangsaan Inggris dan Amerika. Anak-anak lelaki gemuk dengan kulit kemerah-merahan, dan gadis-gadis cilik yang cantik, de?ngan sorot mata lembut, hampir selembut mata Dulcie. Dari anak-anak inilah aku jadi belajar menyukai permen, sebab mereka selalu datang dengan saku-saku penuh per?men yang lalu mereka bagikan kepada Pretty-Heart, anjing-anjing, dan aku sendiri. Tetapi ketika musim semi mulai menjelang, jumlah penonton kami pun kian me?nyusut. Satu demi satu, dua demi dua, anak-anak kecil itu berdatangan untuk berjabat tangan dengan Pretty-Heart, Capi, dan Dulcie. Mereka datang untuk mengucapkan se?lamat tinggal. Mereka akan pergi. Begitu pula kami. Kami harus meninggalkan tempat peristirahatan musim dingin yang indah ini dan kembali meneruskan pengembaraan kami.
Jiranku Kekasihku 2 Live To Love Season A Karya Rakhaprilio The Order Of Phoenix 9

Cari Blog Ini