Ceritasilat Novel Online

Sayap Sayap Cinta 1

Sayap Sayap Cinta Karya Maria A. Sardjono Bagian 1


SAYAP-SAYAP CINTA
oleh Maria A. Sardjono
GM 401 08.030
? Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama,
Jl. Palmerah Barat 29-37
Jakarta 10270
Ilustrasi cover: maryna_design@yahoo.com
Diterbitkan pertama kali oleh
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama,
anggota IKAPI,
Jakarta, November 2008
352 hlm. ; 18 cm.
ISBN-10: 979 - 22 - 4138 - 8
ISBN-13: 978 - 979 - 22 - 4138 - 9
Cetakan kedua: Februari 2009
Kompas Gramedia Building, Blok I, Lt. 4-5
5 Tiba-tiba saja hujan lebat tercurah ke bumi, mengganti iramanya yang semula hanya rintik-rintik bagai taburan melati di atas kepala pengantin. Yulia
yang semula berjalan santai di bawah hujan rintik
terlonjak kaget. Ia segera berlari-lari mencari tempat
berteduh. Ketika pandangan matanya menemukan
emperan toko agak menjorok ke dalam, ia bermaksud memakai tempat itu untuk berteduh sambil
menunggu taksi kosong lewat. Dengan perasaan
sedikit lega, ia mempercepat larinya dan menghampiri tempat tersebut. Namun, di saat ia hampir
mencapainya mendadak saja listrik padam. Kompleks pertokoan yang sudah tutup itu pun menjadi
gelap gulita seketika.
Sambil menyumpah di dalam hati, ia melompat
masuk ke emperan toko dengan lompatan gesit dan
lincah. Akan tetapi, lompatan tersebut menyebabSatu 6 kan tubuh lenturnya membentur sesosok tubuh,
sehingga karena kagetnya ia menjerit. Barang-barang bawaannya terjatuh berceceran di sekitar kakinya. "Jangan panik, saya orang baik-baik!" Suara
seseorang yang berusaha menenangkan, terdengar
oleh Yulia. Sangat dekat dengannya.
Rasa hangat dari napas orang yang berbicara itu
menyadarkan dua hal baginya. Pertama, ia baru saja
membentur tubuh seorang lelaki. Kedua, orang itu
berdiri sangat dekat dengannya. Atau lebih tepat
lagi, wajah laki-laki itu dekat sekali dengan wajah
Yulia.
Secara refleks, Yulia lekas-lekas menggeser tubuhnya tanpa peduli arah mana yang dipilihnya. Karena gerak tak terkendali itu, kepalanya terantuk
sudut tiang pilar toko. Ia hampir menjerit kesakitan, tetapi ditahannya. Sebagai gantinya, ia menggumamkan gerutuan sambil tangan kirinya mengusapusap kepalanya yang sakit akibat benturan tadi.
Untung tidak benjol.
"Sa... saya kira tidak ada orang di sini," katanya
kemudian. Setelah tahu kepalanya tidak apa-apa,
gadis itu mengibaskan rambutnya yang setengah
basah oleh air hujan tadi sambil berjongkok. Lalu,
diam-diam tangannya meraba-raba ke sekeliling,
mencari barang-barang bawaannya yang terjatuh
tadi. Satu kantong berisi dua lembar blus, satu kantong berisi empat bungkus penganan kering untuk
oleh-oleh orang rumah, dan sekantong lagi berisi
7 beberapa buku bacaan. Itulah semua yang telah dibelinya sebelum pertokoan ini tutup. Ia merasa
lega, barang-barangnya masih lengkap.
"Memang di sekitar sini agak sepi setelah kompleks pertokoan ini tutup. Hari Minggu begini, tokotoko di sini sudah tutup begitu malam tiba." Lelaki
itu menjawab gumaman Yulia tadi. Suaranya terdengar berat.
Yulia tidak menyahut. Dalam kegelapan di hari
hujan dan berpetir pula, perasaannya menjadi lebih
peka dan kewaspadaannya menajam. Ia sadar, dirinya sedang berada di tempat rawan bersama lelaki
asing yang belum pernah dilihatnya. Hanya berduaan. Zaman sekarang, orang harus hati-hati dan
waspada bila berada di luar rumah. Apalagi malammalam begini, di tempat yang sepi pula. Oleh karena itu, setelah menemukan barang-barang bawaannya, Yulia berdiri lagi. Kemudian, dengan gerakan
lebih hati-hati ia mulai menggeser agak jauh dari
laki-laki itu.
Rupanya laki-laki itu menangkap apa yang ada
di dalam pikiran Yulia. Suaranya yang berat tadi
terdengar lebih lembut ketika dia bicara lagi.
"Walaupun di sini sepi, Anda aman berada di
dekat saya," katanya pula. "Tadi sudah saya katakan
bahwa saya ini orang baik-baik. Bukan penjahat,
penodong atau semacamnya. Yakinlah, saya juga
bukan pemerkosa. Saya berada di sini, karena nasib
dan alasan yang sama dengan Anda. Kehujanan
tanpa mempunyai apa pun yang bisa dipakai untuk
8 melindungi tubuh dari curahan air yang tampaknya
tak kenal ampun!"
Ketika mendengar penjelasan laki-laki yang tak
dikenalnya itu, Yulia tersenyum sendiri dalam kegelapan. Hatinya menjadi lebih lega. Meskipun demikian, ia tidak boleh lengah. Kewaspadaannya harus
tetap terjaga.
"Mudah-mudahan kata-kata Anda bisa dipercaya,"
sahut Yulia tanpa bermaksud menutupi kekhawatirannya yang masih tersisa. Zaman sekarang, tidak
mudah bagi Yulia menaruh kepercayaan kepada
setiap orang yang baru dijumpai. Apalagi di tempat
yang tidak lazim seperti ini. Untuk apa laki-laki itu
berkeliaran di tempat sepi begini?
Akan tetapi, seperti tadi, rupanya lelaki itu pun
dapat menangkap kekhawatiran Yulia. Kata-kata
gadis itu disambutnya dengan gumaman tawa. Suara tawanya terdengar lembut.
"Kepercayaan memang sering kali menuntut bukti. Begitu, bukan?" komentarnya kemudian.
Yulia tidak menanggapi perkataan lelaki itu. Apalagi ada mobil lewat di muka mereka. Pandangan
matanya menembus hujan yang tertimpa cahaya
lampu mobil tersebut, berharap melihat kendaraan
umum yang tersesat lewat di depannya. Paling tidak sebuah taksi seperti yang diharapkannya sejak
tadi. Ia tidak peduli bahwa untuk itu ia harus mengeluarkan paling sedikit selembar uang lima puluh
ribuan dari dompetnya. Jarak kompleks pertokoan
ini dengan rumahnya cukup jauh.
9 Yulia menarik napas kecewa tatkala melihat mobil itu bukan taksi. Dengan lesu disandarkannya
kembali kepalanya ke tiang toko.
"Tidak ada kendaraan umum lewat di sini," gumamnya.
"Memang tidak. Tetapi, bajaj atau taksi biasanya
cukup banyak yang lewat di sini," sahut lelaki itu.
"Kecuali bila Anda mau berjalan sekitar seratus
lima puluh meter ke depan sana di bawah curahan
hujan, pasti masih banyak kendaraan umum yang
lewat."
"Itu kan kalau kompleks pertokoan ini masih
buka. Dalam hujan lebat apalagi gelap gulita begini, mana ada kendaraan umum yang lewat?"
"Anda benar. Pada hari-hari biasa, tempat ini
memang ramai sekali. Mencari taksi atau bajaj sangat mudah," lelaki itu menyahut lagi.
Yulia tidak memberi komentar. Perhatiannya sedang tercurah pada suara kendaraan yang terdengar
di kejauhan. Hatinya disinggahi harapan lagi,
mudah-mudahan salah satunya ada taksi kosong
yang berbelok dan lewat di mukanya. Namun,
harapan itu ternyata sia-sia. Suara mobil tadi bukannya semakin mendekat malah semakin menjauh.
Tanpa sadar ia mengeluh, dan keluhannya terdengar
oleh orang di sebelahnya.
"Malam-malam seperti ini, mengapa Anda masih
ada di sini? Seharusnya sudah sejak tadi Anda berada di rumah, duduk menikmati saat istirahat bersama keluarga," komentar laki-laki itu.
10 Yulia menangkap nada teguran yang samar tersirat dari ucapan lelaki itu. Ia menoleh ke arah asal
suara. Namun sayang, cuaca gelap menutupi wajah
lelaki itu. Yulia bukan saja tidak dapat menangkap
air muka lelaki itu, namun juga bagaimana bentuk
wajahnya.
"Sendirian pula!" terdengar lagi suara lelaki itu.
Diamnya Yulia dijadikan kesempatan bagi lelaki itu
untuk bersuara lagi.
Sesuatu telah menyentuh hati Yulia yang peka.
Hei, jangan-jangan lelaki ini mencurigainya,
mengira ia bukan gadis baik-baik. Cepat-cepat ia
menarik napas panjang, mempersiapkan diri untuk
mempertahankan nama baiknya.
"Saya memang berjalan sendiri malam-malam
begini. Tidak duduk di depan pesawat televisi bersama keluarga. Tetapi percayalah, keadaan seperti
ini bukan saya sengaja. Seperti pengakuan Anda
sendiri tadi, saya pun orang baik-baik. Bukan... bukan... perempuan nakal, bukan... bukan wanita
panggilan atau semacamnya...." Yulia menghentikan
bicaranya dengan segera. Ia mendengar tawa kecil
lelaki itu. Tiba-tiba saja pipinya terasa hangat. Kurang-ajar lelaki ini. Berani-beraninya menertawakan
dirinya.
"Apanya yang lucu?" tanyanya kemudian, agak
tersinggung.
"Anda yang lucu!" gumam lelaki itu, "saya tidak
berpikir sejauh yang Anda katakan tadi!"
"Jangan berbasa-basi," tangkis Yulia. "Dari bicara
11 Anda tadi, pikiran Anda memang ke sana. Sama
seperti pikiran lelaki lain, jika melihat perempuan
berjalan sendirian malam-malam di tempat sepi.
Bahkan, kaum perempuan pun sering mempunyai
pikiran begitu."
"Aduh, jangan tersinggung. Saya memang tidak
sedang berbasa-basi. Percayalah. Pikiran saya sungguh tidak ke arah yang Anda sangka. Mau tahu
apa sebabnya?"
"Apa?" Mau tak mau pertanyaan lelaki itu membangkitkan rasa ingin tahu Yulia, sehingga tanpa
sadar terlontar pertanyaan itu dari mulutnya.
"Karena Anda menjerit ketika menubruk saya.
Begitu mendengar suara saya, Anda buru-buru menjauhkan diri, seolah jijik atau takut berdekatan dengan saya. Perempuan nakal tidak akan bereaksi
seperti Anda, meskipun terhadap laki-laki yang
baru dikenalnya!" sahut lelaki itu dengan suara kalem. Yulia mendengus.
"Tetapi, tetap saja pikiran Anda picik. Andaikata
saya tidak menjerit dan tidak segera menjauhkan
diri, Anda akan menyangka bahwa saya bukan perempuan baik-baik. Padahal, sekarang zamannya
sudah tidak sama lagi dengan puluhan tahun yang
lalu."
"Di mana letak tidak samanya?"
"Hak kaum lelaki dan hak kaum perempuan
yang katanya sama harus direalisasikan. Bukan
cuma jadi slogan saja. Kalau kaum lelaki boleh ber12 keliaran pada malam hari tanpa dipandang negatif,
mengapa perempuan dalam kondisi sama sering
dinilai berbeda? Kalau laki-laki mempunyai urusan
yang harus diselesaikan hingga terpaksa pergi malam-malam, memangnya perempuan tidak?"
"Apakah kaum perempuan tidak mempunyai andil dalam kekeliruan penilaian itu, khususnya terhadap lawan jenisnya?" kata laki-laki itu.
"Maksud Anda apa?"
"Bukankah Anda tadi langsung merasa takut begitu tahu ada laki-laki tak dikenal berada di dekat
Anda pada malam hari begini? Seolah, laki-laki yang
berada di tempat sepi, apalagi pada malam hari, adalah penjahat, pemerkosa dan entah apa lagi. Nah,
apakah yang seperti itu adil bagi laki-laki?"
Yulia terperangah. Namun, ia termasuk orang
yang mau mengakui kekeliruan apa pun yang ia
lakukan.
"Anda benar. Budaya patriarki memang sering
tidak adil terhadap kita semua," katanya. "Celakanya, kaum sayalah yang paling banyak terkena dampaknya."
"Anda mau tahu apa sebabnya?" Lelaki itu bertanya lagi, dengan nada yang membangkitkan rasa
ingin tahu di dada Yulia.
"Coba jelaskan!"
"Karena hak yang sama sering disalahgunakan


Sayap Sayap Cinta Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

oleh kaum Anda sendiri. Mau bukti?"
"Apa?" Yulia menyemburkan pertanyaan yang
didorong oleh keingintahuannya yang besar.
13 "Dulu, perempuan dianggap tidak pantas terlalu
banyak berhubungan dengan dunia publik secara
langsung. Apalagi pada malam hari. Nah, anggapan
seperti itu sekarang nyaris sudah tidak ada lagi. Banyak sekali perempuan bekerja di tempat-tempat
yang langsung berhubungan dengan masyarakat luas
di malam hari. Artis, pekerja kafe dan hotel, pramugari, pramuria, pemandu wisata, perawat rumah
sakit, pegawai tempat hiburan malam dan studio
televisi, serta masih banyak lagi. Apa yang terjadi?
Di balik pekerjaan itu, ada sebagian dari mereka
yang juga menawarkan sesuatu lainnya dengan
pemikiran bahwa laki-laki mudah digoda sehingga
mudah pula merogoh isi dompetnya."
Lelaki itu tertawa kecil lagi ketika menyebutkan
?sesuatu lainnya? pada kata-katanya tadi. Ada tekanan
pada nada bicaranya ketika mengatakan hal itu. Tentu
saja Yulia mengerti apa maksud ucapan laki-laki itu.
"Janganlah hanya karena beberapa gelintir perempuan seperti itu, lalu Anda dan kaum Anda memberi penilaian sama kepada setiap perempuan yang
terpaksa bekerja atau keluar pada malam hari. Itu
picik namanya!" Yulia mulai sengit.
"Lho, mengapa Anda jadi marah?"
"Tentu saja," jawab Yulia. "Sejak dulu sampai
kini meskipun kemajuan yang dicapai perempuan
sudah cukup banyak terbukti, namun pandangan
masyarakat tentang hal satu itu masih belum seluruhnya berubah."
"Contohnya?" tanya laki-laki itu. Tanpa sadar,
14 kedua orang yang belum saling mengenal itu terlibat dalam pembicaraan yang mengasyikkan.
"Dalam dunia politik, misalnya. Meskipun perempuan punya kemampuan ikut memikirkan permasalahan bangsa dan negara, ingin terjun dalam politik
untuk merealisasikan aspirasinya bahkan demi kepentingan dan kebutuhan kaumnya, gerak langkah
kakinya masih saja dijegal. Termasuk oleh keluarganya sendiri."
"Memang. Tetapi sekarang, tidak semua laki-laki
berpandangan begitu, meski kebanyakan mereka
entah disadari atau tidak mempunyai penilaian
yang bias atau memihak terhadap lawan jenisnya,"
kata lelaki itu. Kemudian setelah berhenti sesaat
lamanya, ia meneruskan bicaranya lagi. "Sudahlah,
kita akhiri perbincangan yang bisa meluas ke manamana. Udara dingin dalam hujan lebat begini sebaiknya diisi dengan merokok saja. Saya harap
Anda tidak keberatan membaui asap rokok!"
Yulia tidak menjawab, meskipun ia merasa keberatan ada orang merokok di dekatnya. Laki-laki itu
juga tidak meneruskan bicaranya lagi. Yulia mendengar ia sedang mengeluarkan sesuatu dari saku kemejanya. Tak lama kemudian terdengar suara korek
api dinyalakan.
Nyala korek api yang disulutkan ke ujung rokok
di bibir laki-laki itu sempat menyiratkan cahaya ke
wajahnya. Untuk sesaat lamanya, Yulia merasa pernah mengenal lelaki itu. Namun, siapa dia dan di
mana mereka pernah bertemu bahkan kapan pernah
15 mengenalnya, Yulia tidak ingat sama sekali. Ia hanya merasa pernah melihat wajah lelaki itu. Titik.
Merasa tak tahan tidak berterus terang, Yulia langsung melontarkan apa yang ada dalam pikirannya. "Maaf... rasanya saya pernah melihat wajah
Anda....," gumamnya.
"Oh ya?"
"Ya. Tetapi, terus terang saya lupa di mana dan
kapan pernah melihatnya."
"Mungkin ada wajah yang mirip dengan wajah
saya. Siapa tahu? Barangkali wajah saya termasuk
wajah kodian." Yulia mendengar nada geli dalam
suara lelaki itu.
"Hmm... bolehkah saya tahu nama Anda?" tanya
Yulia tak peduli. Ia menunggu lelaki itu menjawab
pertanyaannya. Rupanya, lelaki itu sedang mengisap
lagi rokoknya. Ujung rokok itu menyala dan sebentar kemudian bau asapnya memenuhi udara sekitar
mereka. Tanpa sadar Yulia mengibaskan tangannya
ke udara. Asap rokok bisa menyebabkan kanker.
Kalau kenal baik laki-laki itu, ia akan mengatakannya terus terang.
"Nama saya Gatot Prabowo. Nah, bagaimana?
Pernah mendengar nama itu?" Laki-laki itu mau
juga menyebutkan namanya.
Sepertinya, nama orang Jawa. Yulia belum pernah mendengar nama itu. Jadi, ia menggeleng.
"Bagaimana? Sudah pernah mendengar nama
saya?" Laki-laki itu bertanya lagi, dan Yulia baru
16 sadar, bahwa ia menjawab pertanyaan laki-laki itu
dengan gelengan. Dalam gelap begini siapa yang
bisa melihatnya?
"Belum," akhirnya Yulia menjawab.
"Tetapi, Anda merasa pernah melihat wajah
saya?"
"Rasa-rasanya, ya."
"Bagaimana dengan suara saya? Apakah pernah
mendengar suara saya?" laki-laki itu bertanya lagi.
"Belum juga."
"Apa perlu memandang wajah saya sekali lagi?
Yah siapa tahu Anda jadi ingat, bahwa mungkin
kita memang pernah bertemu di suatu tempat, entah kapan? Atau malah justru jadi yakin, bahwa
Anda ternyata salah lihat. Bahwa wajah saya hanya
mirip wajah seseorang yang pernah Anda kenal."
Tanpa menunggu sahutan Yulia, laki-laki itu menyalakan korek apinya lagi. "Nah, coba lihat baik-baik
wajah saya untuk memastikannya."
Yulia merasa malu. Matanya hanya sekilas menyambar wajah yang disinari cahaya itu. Perasaannya mengatakan bahwa ia memang pernah melihat wajah
Gatot Prabowo. Namun, sulit sekali mengingat kapan
dan di mana. Meski sudah memeras otak, tak sesirat
pun ingatannya menyangkut ke sesuatu. Akhirnya, ia
mengambil kesimpulan yang paling masuk akal,
barangkali ia memang pernah bertemu Gatot di suatu
tempat. Mungkin di mal atau di tempat praktik dokter, di bank, atau mungkin juga di suatu pesta. Siapa
tahu?
17 Namun, Yulia tidak mau berterus terang. Tak
ada faedahnya.
"Maaf, mungkin saya keliru lihat," katanya, demi
tidak memperpanjang pembicaraan. "Saya tidak mempunyai kenalan yang namanya seperti nama Anda.
Suara Anda juga terdengar asing di telinga saya."
"Ya, salah lihat sering terjadi pada siapa saja." Gatot
mematikan korek apinya. Mungkin tangannya mulai
kepanasan. "Di dunia ini sering terdapat kemiripan
wajah antara orang-orang yang tak punya hubungan
darah. Sebaliknya, cukup banyak pula saudara sekandung yang wajahnya berbeda sama sekali."
"Betul. Saya yakin sekarang telah salah lihat.
Lagi pula, Anda juga tidak pernah mendengar suara
saya, kan? Omong-omong, hujannya kok belum
berhenti juga ya?"
Selesai bicara seperti itu, Yulia langsung terdiam.
Mereka sudah terlalu banyak bicara. Siapa tahu, tadi
ada taksi lewat dan mereka tidak melihatnya karena
asyik mengobrol. Padahal, kenal saja pun tidak.
"Hujan seperti ini biasanya lama. Bisa semalam
suntuk. Apalagi kelihatannya hujannya merata di
seluruh Jakarta dan sekitarnya," sahut Gatot, apa
adanya.
"Kalau begitu saya harus segera pulang. Saya tidak mau mati kedinginan di sini tanpa usaha apa
pun. Harus ada sesuatu yang bisa membawa saya
meninggalkan tempat ini supaya cepat sampai di
rumah." Yulia mulai merasa cemas. Semakin ma18 lam, akan semakin sulit mencari taksi atau kendaraan umum lainnya dalam cuaca buruk begini.
Suara cemasnya tertangkap oleh telinga Gatot.
Agar Yulia tidak nekat berlari menembus hujan, lekas-lekas ia berkata.
"Tenang, tunggu sampai hujannya agak reda.
Nanti saya antar sampai ke depan mencari kendaraan. Masa tidak ada kendaraan sama sekali sih. Ini
kota Jakarta yang tak pernah tidur lho."
"Sampai kapan saya harus berdiri tenang di sini
sementara hari sudah semakin malam," bantah
Yulia. "Saya harus pergi sekarang."
"Sabar." Gatot menyalakan korek apinya lagi.
Kali ini untuk menerangi pergelangan tangannya
yang terlilit arloji. "Sekarang pukul setengah sembilan lewat sepuluh menit," gumamnya kemudian.
"Wah, sudah malam!" Yulia mencetuskan kegalauan hatinya lagi. "Mana gelap gulita begini."
"Sabar. Mudah-mudahan saja listriknya cepat menyala," kata Gatot. "Kalau sampai nanti keadaan
belum ada perubahan, saya juga akan nekat menerobos hujan."
"Realistislah. Lampu mati saat hujan lebat biasanya terjadi karena ada kerusakan. Mungkin tersambar petir. Bisa-bisa sampai pagi kita berdiri di sini
kalau tidak berani berbasah-basah kehujanan." Sambil menggerutu seperti itu, Yulia beranjak dari tempatnya menuju trotoar. Akan tetapi, seperti tadi
kepalanya kembali terantuk pinggiran pilar.
"Aduh!"
19 "Nah, apa saya bilang? Terbentur sesuatu, kan?"
Gatot berkata lagi dengan setengah menggerutu.
"Sabarlah sedikit. Atau, jangan-jangan Anda takut
berduaan saja dengan saya di sini?"
"Saya tidak takut kepada Anda. Jadi, jangan sok
jagoan." Sejak kecil, Yulia paling tidak suka disebut
penakut. Apalagi dibilang pengecut. Bisa ngamuk
dia. "Yang saya takutkan adalah membuat orang
rumah cemas karena saya belum juga pulang meski
sudah malam begini."
"Kalau begitu tunggulah seperempat jam lagi.
Siapa tahu ada taksi kosong lewat di dekat sini.
Orang rumah pasti maklum, tidak mudah mencari
kendaraan dalam cuaca buruk seperti ini. Apalagi
Anda tidak membawa jas hujan ataupun payung,"
sahut Gatot kalem. "Daripada bingung, kenapa tidak menelepon rumah?"
"Kalau saja HP saya tidak ketinggalan, tanpa
Anda ingatkan pun saya sudah menelepon rumah
sejak tadi."
Gatot menanggapi perkataan Yulia dengan merogoh saku pantalonnya, mengambil ponselnya, dan
langsung mengaktifkannya. Cahayanya sedikit menyinari tempat mereka berdiri.
"Ini, pakailah."
"Terima kasih." Tanpa basi-basi, karena memang
membutuhkannya, Yulia menerima HP orang itu
dan langsung menelepon rumah untuk mengabari
bahwa ia terhalang hujan dan terpaksa berhenti di
sebuah emperan toko.
20 "Sedang menunggu taksi lewat," begitu katanya
kepada pembantu rumah tangga yang menerima
teleponnya. "Katakan begitu pada Ibu, ya?"
Usai menelepon, Yulia langsung mengembalikan
ponsel yang dipinjamnya kepada sang pemilik sambil mengucapkan terima kasih.
"Kenapa Anda tidak mengatakan sedang terjebak
di tempat sepi yang gelap gulita dengan seorang
laki-laki tak dikenal?" Sambil menerima kembali
ponselnya, Gatot menggoda Yulia.
"Saya tidak suka mengatakan sesuatu yang tidak
penting," jawab Yulia, tak terpancing oleh ejekan lakilaki yang baru dikenalnya itu. Ia masih ingin menambah perkataannya, tetapi urung karena mendadak
listrik menyala. Ia mengejap-ngejapkan matanya karena silau. Setelah mulai terbiasa kembali pada sinar
lampu, barulah ia memperhatikan sekeliling tempat
itu. Terutama ke arah laki-laki yang sejak berada di
emperan toko itu sudah menjadi temannya bercakapcakap. Melihat wajahnya, Yulia semakin yakin bahwa
ia pernah melihat Gatot. Bahkan sepertinya juga pernah mengenalnya. Namun, di mana, kapan, dan
terlebih lagi siapa sesungguhnya laki-laki itu, tak
sekilas pun tersirat dalam ingatannya.
Ketika Yulia sedang berkutat dengan pikirannya,
tiba-tiba saja Gatot melontarkan seruan dengan suara takjub.
"Hei... bukankah kau gadis liar putri almarhum
Pak Sunandar?" begitu seru laki-laki itu. "Aduh,
ternyata dunia ini sempit ya?"


Sayap Sayap Cinta Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

21 Yulia tertegun selama beberapa saat. Ingatannya
yang buntu tadi mulai terbuka, menembus masa
lampau, belasan tahun yang lalu saat ia masih
kanak-kanak. Dengan seketika seluruh kenangan
masa lalunya mulai bermunculan di kepalanya.
Gadis liar. Ya, hanya di tempat ia menghabiskan
masa kanak-kanaknyalah orang menyebutnya sebagai gadis liar. Hanya orang-orang di tempat itulah
yang terang-terangan memanggilnya dengan sebutan
tak enak didengar itu, sebagai ungkapan ketidaksukaan mereka terhadap gadis kecil yang dianggap
nakal dan liar.
Kembalinya ingatan yang semula ditenggelamkannya ke bawah sadar menyebabkan Yulia sertamerta mengedikkan kepalanya. Sikap bawaan yang
muncul dari sisa masa kanak-kanaknya.
"Aku memang si anak liar itu," dengusnya tanpa
sadar. "Siapa kau?"
Gatot tertawa kecil. Ternyata meski sudah sedemikian lamanya mereka bicara, Yulia masih juga belum mengenalinya.
"Kan aku tadi sudah mengenalkan diri. Namaku,
Gatot. Kau Yulia, kan?" kata Gatot sesudah tawanya lenyap.
Yulia tertegun lagi. Jelas bahwa Gatot memang
benar-benar mengenalnya dengan baik, sementara
ia masih belum tahu siapa laki-laki itu kendati wajahnya seperti tak asing dalam ingatannya.
"Kau tahu namaku?" tanya Yulia kemudian.
"Tentu saja. Kau dulu tinggal di Jalan Mahoni
22 nomor dua, kan? Aku juga pernah tinggal di jalan
yang sama. Rumahku paling ujung, yang buntu dan
dekat lapangan tempat anak-anak bermain bola.
Ingat?" Gatot bertanya dengan kalem.
Yulia menepuk keningnya sendiri.
"Sekarang aku ingat. Kau kau si Gendut, kan?"
kata Yulia merasa lega dapat mengingat apa yang
semula tersembunyi di balik kesadarannya.
"Betul. Aku memang si Gendut. Nama itu lebih
dikenal orang daripada nama asliku, Gatot Prabowo."
Gatot tertawa renyah. Senang ia dapat berjumpa
kembali dengan kawan masa kanak-kanaknya belasan
tahun yang lalu.
"Aku tak pernah tahu namamu Gatot!"
"Meskipun anak-anak lain memanggilmu anak
liar, tetapi aku tahu namamu yang asli. Yulia
Anggraini, kan?"
Kata-kata Gatot merekahkan kembali luka-luka
lama yang telah bertaut di hati Yulia. Pasti laki-laki
itu tidak sadar bahwa sebutan anak liar atau gadis
liar sangat melukai harga diri Yulia. Tanpa sadar ia
mencetuskan perkataan yang dulu di masa kecilnya
bisa agak mengusap luka hatinya.
"Aku juga lebih banyak dikenal dengan sebutan
anak liar daripada namaku yang asli. Terutama di
kalangan orang-orang terhormat. Padahal, Yulia adalah nama pemberian orangtuaku sejak aku lahir ke
dunia," katanya dengan nada mempertahankan diri.
Bahkan ada tantangan di dalamnya.
23 Gatot merasakan sikap defensif Yulia. Ia merasa
itu tidak pada tempatnya.
"Kalangan terhormat?" tanyanya sambil menaikkan alis.
"Ya, kalangan terhormat, yaitu keluarga-keluarga
terhormat yang tidak seperti keluargaku."
"Aduh, Yulia. Apakah masa lalu perlu diingat
dengan kepahitan seperti itu? Sekarang sudah belasan tahun berlalu lho."
Yulia tidak menjawab. Andaikatapun menjawab,
ia tidak tahu harus mengatakan apa. Dari perkataan
Gatot, Yulia menarik kesimpulan bahwa laki-laki
itu masih menyimpan penilaian yang sama. Kenangan Gatot terhadap dirinya tetap tidak berubah kendati tidak ada lagi sikap merendahkan seperti dulu.
Jadi, tampaknya laki-laki itu hanya ingin melupakannya. Bukan mengubah anggapan atau penilaiannya.
"Kau sekarang tinggal di mana, Yulia?" Gatot
berkata lagi. "Aku sama sekali tidak ingat kapan
kau dan keluargamu pindah dari Jalan Mahoni."
"Kami pindah dari sana begitu aku naik kelas
enam SD. Ibuku tidak tahan lagi tinggal di sana,"
sahut Yulia apa adanya. Sulit baginya mengabaikan
rasa sakit yang muncul lagi. Padahal sudah lama
hal itu tak dirasakannya.
Rumahnya di Jalan Mahoni adalah rumah kuno,
peninggalan zaman Belanda yang nyaris tak ada
perubahan bentuk sejak diwariskan pada ibunya
oleh almarhum kakek buyutnya. Rumah besar itu
24 terdiri dari lima kamar tidur dengan jendela yang
lebar dan tinggi, berteralis besi dengan bentuk wajik yang tertata rapi. Bagian tepi lantainya di setiap
ruangan terdiri dari ubin berpola bagai renda mengitari ruang. Ubin kuno itu terasa sejuk, sehingga
Yulia suka sekali menelungkupkan tubuh di atasnya
sambil membaca. Benar-benar rumah yang sangat
menyenangkan untuk ditinggali. Nyaman dan sejuk
karena ventilasinya yang bagus, serta ditanami pepohonan besar di halaman belakang. Namun sayang
sekali, semua itu terpaksa ditinggalkan karena keluarga mereka sudah tidak tahan lagi tinggal di
Jalan Mahoni.
Tiba-tiba bagaikan air bah, kenangan masa kecil
ketika masih tinggal di Jalan Mahoni menyerbu
ingatan Yulia. Sebelas tahun pertama hidupnya, ia
hanya mengenal rumah di Jalan Mahoni sebagai
tempat tinggalnya. Di tempat itu pula ia mulai mengenal orang lain selain keluarganya, yaitu para tetangga dan seluruh penghuni Jalan Mahoni yang
jumlah rumahnya ada puluhan. Seiring dengan perkembangan usia dan kemampuan kakinya menjelajahi tempat di setiap sudut Jalan Mahoni, ia mengenal seluk-beluknya melebihi anak-anak lain. Ia tahu
ada gang-gang kecil dekat selokan di bagian belakang rumah orang-orang yang konon merupakan
sarana jalan bagi petugas pemadam kebakaran di
masa lalu. Ia juga tahu ada paviliun kecil di rumah
nomor tujuh belas, yang kata orang angker karena
pernah ada yang gantung diri di situ. Ia tahu tem25 pat-tempat para pembantu rumah tangga mengobrol sambil menjaga atau menyuapi anak majikan
mereka. Ia tahu pula gerobak tukang rokok, yang
di bagian belakangnya sering dipakai orang main
judi. Ia benar-benar memiliki pengenalan yang lebih terhadap segala hal yang ada di Jalan Mahoni,
melebihi anak-anak sebayanya.
Namun demikian, ia juga mengecap pahitnya
kehidupan ketika masih tinggal di Jalan Mahoni.
Ayahnya meninggal dunia secara mendadak akibat
kecelakaan. Sejak itu kehidupan mereka yang menyenangkan mulai berubah. Ibunya yang baru berusia 32 tahun terpaksa membiayai keluarganya dengan mengajar lagi di SD seperti masa gadisnya dulu.
Ada enam anak yang harus dihidupi dan dibiayai
sekolahnya. Namun gaji yang diterimanya tak cukup
memenuhi kebutuhan hidup yang begitu besar. Kekurangan uang menjadi momok nomor satu dalam
hidup mereka, sampai akhirnya mereka terpaksa
harus menjual barang-barang berharga yang dulu
dibeli almarhum Pak Sunandar. Mulai dari perhiasan
sampai akhirnya piano kesayangan Yulia dan Tiwi
kakaknya juga terpaksa harus dijual.
Sadar bahwa menjual barang-barang berharga
bukan cara yang tepat, akhirnya ibu mereka terpaksa menerima sewa kamar untuk karyawan dan mahasiswa. Dalam waktu singkat empat pemuda menyewa dua kamar terdepan rumah mereka yang
semula dipakai oleh saudara-saudara Yulia. Mereka
terdiri dari dua karyawan dan dua mahasiswa.
26 Karena kamar di rumah tua itu besar-besar, satu
kamar bisa dipakai untuk dua penyewa.
Saat itu Yulia masih terlalu kecil untuk mengerti
segala kejadian yang mengubah kehidupan mereka
sekeluarga sejak hadirnya para pemuda itu. Ia hanya tahu bahwa sejak pemuda-pemuda itu tinggal
di rumahnya, anak-anak harus mau berbagi kamar.
Yang masih kecil-kecil tidur bersama Ibu, dan yang
besar berbagi dengan saudaranya. Ekonomi keluarga
menjadi jauh lebih baik. Menu makanan tidak lagi
sesederhana hari-hari sebelumnya.
Namun, tiba-tiba ada kejadian yang mengubah
seluruh jalan hidup keluarganya. Yulia masih terlalu
muda untuk memahaminya. Ia tidak mengerti
mengapa pada suatu malam pengurus RT dan beberapa pemuka masyarakat setempat datang ke rumah. Bersama kedua kakaknya ia ikut menguping
pembicaraan mereka. Ia juga melihat ibunya menangis di sudut sofa, di depan orang-orang itu. Ia
juga tidak mengerti mengapa setelah itu ada selamatan sederhana di rumah dan para tetangga datang dengan membawa kado. Baru kemudian ia
tahu, bahwa selamatan itu diadakan karena ibunya
menikah lagi. Lelaki yang menjadi ayah tirinya adalah Oom Hardi, salah seorang laki-laki yang menyewa kamar di depan.
Sejak itu hanya satu kamar yang disewakan, karena
Dedi adiknya yang semula tidur bersama Ibu, kini
tidur bersama Yulia. Ardi yang semula juga tidur
bersama Ibu, kini tidur bersama Mas Rudi. Jadi,
27 hanya tinggal Kak Herman dan Bang Poltak yang
menyewa kamar di rumah mereka.
Sebenarnya, Yulia tidak ingin mempunyai ayah tiri
semuda Oom Hardi. Usia lelaki itu lebih muda
daripada ibunya. Yulia merasa canggung menyebutnya "Bapak". Ketiga kakaknya malah tetap memanggilnya dengan sebutan "Oom". Ibu maupun Oom
Hardi sendiri membiarkan hal itu. Meskipun memanggil Oom Hardi dengan sebutan "Bapak", Yulia
tidak bisa bercengkerama dengan nyaman dengan
lelaki itu seperti yang dulu sering ia lakukan bersama
ayahnya. Oom Hardi masih terlalu muda untuk berperan sebagai ayah enam anak yang mulai berangkat
besar. Lagi pula, Yulia tak bisa melupakan bahwa
sikap laki-laki itu tidak seperti ayahnya almarhum.
Tentu saja mengenai perasaan itu, tidak pernah
Yulia ungkapkan kepada siapa pun. Rasa kecewanya
hanya ia simpan sendiri, tapi ternyata terekspresikan
di luar rumah. Di sekolah, di sekitar rumahnya,
terutama di tanah lapang di mana ia bisa bermain apa
saja sepuasnya. Mulai main karet, lompat tali, bulu
tangkis, sampai sepak bola.
Yulia menjadi anak yang sulit dikendalikan, karena terlalu banyak bermain di luar rumah. Bandel
pula. Ia lebih suka bermain dengan anak laki-laki,
karena menurutnya mereka tidak usil dan tidak pernah bertanya tentang keluarganya atau tentang ayah
tirinya yang masih muda dan tampan. Terus terang,
ia sering merasa bingung menjawab pertanyaan teman-teman perempuannya tentang keluarganya.
28 "Apakah Oom Hardi bisa menaruh rasa sayang
terhadap anak-anak tiri yang sudah besar sepertimu,
Yulia?" Begitu Ika, gadis cilik yang tinggal beberapa
rumah dari tempat tinggalnya, bertanya dengan penuh rasa ingin tahu. Entah dari mana pertanyaan itu
mampir ke kepala Ika, tak seorang pun tahu. Hampir
setiap orang di Jalan Mahoni membicarakannya.
Begitu pula pertanyaan Mbak Sari, yang rumahnya tepat berada di depan rumah mereka.
"Apakah ibumu bisa hidup bahagia bersama suami yang menikah dengannya karena saran pengurus
RT?" tanyanya. Pertanyaan berat bagi Yulia yang
masih kecil. Ia tak bisa menjawab. Namun, ia memang tidak ingin menjawabnya. Seperti ibu-ibu
mereka, anak-anak perempuan terlalu ingin tahu
urusan orang lain.
Anak-anak laki tidak begitu peduli tentang keadaan keluarga Yulia. Mereka lebih suka bicara tentang
permainan dan cara memenangkannya. Bahkan ketika Mbak Tiwi, kakak Yulia yang tertua, mengandung anak Kak Herman padahal mereka belum
menikah, anak-anak laki teman Yulia tidak bicara
apa-apa. Kalaupun ada yang menyinggung, masalah
itu pada akhirnya menguap dengan sendirinya karena Yulia tidak mau menanggapi. Pa-dahal, di luar
lapangan ada banyak orang yang membicarakannya
dengan nada miring. Sekecil apa pun Yulia saat itu,
ia tahu bahwa nama baik keluarganya telah tercoreng-moreng. Mereka bukan lagi keluarga terhormat
sebagaimana ketika almarhum ayahnya masih hi29 dup. Terutama setelah apa yang terjadi pada ibunya
beberapa tahun lalu, kemudian juga Mbak Tiwi


Sayap Sayap Cinta Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang terpaksa menikah dengan perut sudah agak
besar. Para tetangga di Jalan Mahoni tidak suka lagi
berakrab-akrab dengan keluarganya. Rumah mereka
tidak banyak lagi mendapat kunjungan tetangga.
Yah, sekecil apa pun Yulia waktu itu, ia sudah bisa
menangkap situasi tak nyaman di sekitar kehidupan
keluarganya. Perbedaan-perbedaan sikap para tetangga sebelum dan sesudah ayahnya meninggal, terasa
mencolok sekali. Apalagi sejak pernikahan ibunya
dengan Oom Hardi. Kini tidak ada lagi yang mencubit pipinya dengan penuh sayang bila mereka berpapasan di jalan. Bahkan, wajah mereka jauh dari ramah saat memandang penampilannya yang kusut
masai dan dekil sehabis bermain bola di lapangan
yang becek setelah hujan. Pandangan mata, sikap, dan
bisik-bisik yang tertangkap oleh pancaindranya menyebabkan Yulia semakin senang bermain bersama
anak laki-laki. Bersama mereka Yulia merasa keberadaannya masih mendapat tempat, meskipun ia tahu
penyebabnya. Ia pandai bermain bola. Larinya gesit,
taktik dan teknik bermain bolanya patut diacungi
jempol. Ia juga pandai main layangan. Layangannya
nyaris tak pernah kalah. Begitupun kemampuannya
bermain kelereng dan bahkan balap sepeda patut
diperhitungkan.
Karena merasa lebih diterima di antara teman-teman lelaki, Yulia semakin jauh dari teman-teman
perempuannya. Saat bermain dengan anak laki-laki,
30 ia bisa belajar memanjat pohon. Termasuk memanjat
pohon orang untuk mencuri mangga atau jambu.
Kalau ketahuan dan diusir pemiliknya, ia lari lebih
dulu seperti kancil. Oleh sebab itu, orang-orang tak
lagi menyebut namanya, tetapi menamainya gadis
liar. Bahkan ada beberapa orangtua yang melarang
anak perempuannya bermain bersamanya. Takut kena
pengaruh buruk.
Karena sering mengalami hal-hal yang tidak mengenakkan, di relung batin Yulia terdapat banyak
memar-memar hati yang ia tidak tahu bagaimana
cara menyembuhkannya. Sebenarnya, ia tidak memilih-milih jenis permainan maupun teman sepermainannya. Ia menyukai permainan apa saja. Ia juga
mau bermain dengan siapa saja. Namun sayangnya,
anak-anak perempuan di Jalan Mahoni suka usil
dan sering mengatai-ngatainya "banci" atau "liar".
Jadi, ia tidak mau bermain dengan mereka.
Sekarang di masa dewasanya, pertemuan kembali
dengan salah seorang mantan penghuni Jalan Mahoni telah memunculkan kembali kenangan-kenangan
pahit. Terlebih karena Gatot telah mengenalinya
lebih dulu sebagai gadis liar. Bukan sebagai Yulia.
"Aku tidak ingat kapan kalian sekeluarga pergi
dari Jalan Mahoni," Gatot berkata, memutus ingatan masa lalu yang semula berhamburan di kepala
Yulia. "Sepertinya tak lama berselang setelah Mbak
Tiwi menikah, ya?"
"Ya." Yulia menjawab tanpa nada. Sampai seka31 rang ia masih menyesali perkawinan Mbak Tiwi,
yang menyebabkan kakaknya tidak bisa menyelesaikan SMA tepat waktu. Meskipun akhirnya bisa
mengikuti ujian setelah dua tahun berlalu dan kemudian masuk perguruan tinggi entah dengan cara
bagaimana, tetap saja Yulia merasa kecewa. Mbak
Tiwi sangat pandai, tetapi studinya terhambat oleh
perbuatannya sendiri.
"Bagaimana kabar ibumu, Yulia?" Gatot bertanya
lagi.
"Baik. Ibu sehat." Yulia masih menjawab pendek.
Ia tidak suka ditanyai macam-macam mengenai keadaan keluarganya. Terutama oleh orang-orang yang
pernah menjadi tetangganya di Jalan Mahoni dulu.
"Oom Hardi?"
"Ia juga sehat. Dari bapak yang baru aku mendapat tambahan seorang adik perempuan. Sekarang
sudah berumur tiga belas tahun. Nah, apa lagi yang
ingin kauketahui?" Yulia berusaha agar suaranya tidak terdengar ketus. Namun, tetap tak luput oleh
telinga Gatot.
"Bagaimana saudara-saudaramu?" Tampaknya
Gatot tidak memedulikan sikap Yulia. Ia memang
ingin mengetahui kawan-kawan lamanya yang sudah sekian belas tahun tidak pernah ia jumpai.
"Mbak Tiwi sudah empat anaknya. Mbak Ratna
memiliki dua anak. Mas Rudi belum lama menikah. Ardi sedang menunggu wisuda, dan Dedi masih di SMA. Kami semua baik-baik saja."
"Kalian tinggal di mana sekarang?"
32 "Ketiga kakakku sudah punya rumah sendiri.
Aku masih tinggal bersama Ibu, Bapak, dan adikadikku di Tebet."
"Seperti apa mereka sekarang ya? Sudah lama
sekali aku tidak melihat kalian semua." Gatot bergumam. "Sudah berapa lama ya kita berpisah?"
"Aku tak pernah menghitung hari."
"Lima belas tahun?"
"Mungkin."
"Berapa umurmu sekarang, Yulia?"
"Hampir dua puluh enam."
"Wah, sudah dewasa dan matang rupanya. Apakah kau sudah menikah, Yulia?"
Kalau saja Yulia belum kenal Gatot sejak mereka
masih kanak-kanak, pasti pertanyaan-pertanyaan
laki-laki itu dianggapnya lancang. Sudah tanya
umur, tanya statusnya pula.
"Ya, aku sudah menikah," sahutnya dengan perasaan enggan. Malas ia ditanya-tanyai terus.
"Wah, aku sedang berhadapan dengan nyonya
muda rupanya!" Gatot tersenyum. Gadis kecil yang
liar dulu bisa bertekuk lutut juga kepada cinta.
"Betul, kau memang sedang berhadapan dengan
nyonya muda," jawab Yulia, dengan nada pahit.
Gatot menoleh. Sepertinya kata-kata Yulia mengandung sesuatu yang tidak menyenangkan. Sepengetahuannya, Yulia tak pernah mau memperlihatkan
perasaan pribadinya. Namun, k ali ini berbeda.
"Kedengarannya kau tidak suka kutanyai kehidupan pribadimu." kata Gatot terus terang.
33 "Ya, memang begitu. Aku muak pada diriku sendiri karena statusku sebagai nyonya muda." Yulia
menjawab dengan terus terang.
Ternyata enak juga bisa bicara terus terang begini,
tanpa basa-basi. Sudah lama sekali ia tidak bisa berbicara mengenai perasaan pribadinya kendati hatinya
terasa penuh. Ia tidak ingin membebani hati ibunya
maupun kakak-kakaknya. Sekarang ibunya sudah bisa
tertawa lepas. Begitu juga kakak-kakak dan adikadiknya. Pergaulan mereka dengan orang-orang yang
tak ada kaitannya dengan Jalan Mahoni, penuh dengan keakraban yang tulus. Masa lalu telah terkubur
di belakang mereka. Yulia tidak mau merusak suasana
menyenangkan yang sudah terbangun.
Gatot tidak tahu hal itu. Mendengar cetusan hati
Yulia, ia mengerutkan dahinya.
"Apakah perkataanku tadi ada yang salah, Yulia?
Bukankah kau memang masih muda? Rasanya masih pantas bila kau kusebut sebagai nyonya muda.
Atau, aku keliru?" tanyanya kemudian.
"Tidak. Kau tidak keliru. Justru perkataanmu
sangat tepat. Aku memang nyonya muda."
Lagi-lagi Gatot mendengar nada pahit dalam suara Yulia. Tidak bahagiakah perkawinannya? Sebelum
ia sempat melemparkan pertanyaan lagi, Yulia telah
mengalihkan topik pembicaraan.
"Bagaimana kawan-kawan kita dulu?" Begitu
Yulia bertanya. Sebenarnya, ia tidak begitu ingin
tahu tentang mereka. Namun, daripada membicara34 kan perkawinannya, lebih baik bicara hal lain.
"Mbak Sari? Ika? Iwan? Bambang?"
"Aku nyaris tak pernah lagi bertemu dengan mereka. Ketika keluargaku meninggalkan Jalan Mahoni
kira-kira lima tahun yang lalu, mereka sudah dewasa. Mbak Sari malah sudah menikah. Aku hanya
pernah mendengar bahwa kebanyakan teman-teman
kita sudah berhasil dalam studi mereka."
"Waktu memang seperti berlari saja. Cepat sekali
berlalu," gumam Yulia. "Kau sendiri, bagaimana
dengan studimu? Apakah sudah menikah?"
Gatot tersenyum.
"Aku sudah menyelesaikan S-2," jawabnya. Kemudian mengangkat jemarinya dan memperlihatkan
sebentuk cincin berlian yang mengilat. "Aku baru
saja bertunangan."
"Wah, selamat ya."
"Kau tidak ingin tahu siapa tunanganku, Yulia?"
Gatot memancing.
"Siapa? Apakah aku mengenalnya?"
"Ya, kau mengenalnya. Nuning, yang rumahnya
berada di sebelah kiri rumahku. Setahun setelah
keluargaku pindah dari Jalan Mahoni, mereka juga
pindah. Suatu kebetulan, rumahnya yang baru letaknya tak jauh dari rumah keluargaku. Sekitar setengah kilometer saja jaraknya. Hubungan kekeluargaan yang pernah terjalin di antara keluarga kami
dulu, dilanjutkan kembali. Nah, apakah kau masih
ingat Nuning, Yulia?"
"Tentu saja aku ingat. Ia gadis tercantik di Jalan
35 Mahoni!" seru Yulia. "Wah, masih cantikkah dia?
Dan... masih... masih ang... gunkah dia?"
Wah, hampir saja lidah Yulia keseleo, menanyakan apakah Nuning masih seangkuh dulu, memilihmilih teman sepermainan. Untungnya kata ?angkuh?
bisa cepat Yulia pelintir menjadi ?anggun?.
"Ya, ia masih cantik dan masih angkuh!"
Gatot tertawa. Rupanya laki-laki itu bisa menangkap apa yang semula nyaris Yulia katakan.
Mendengar jawaban itu, Yulia agak tersipu. Dengan sedikit salah tingkah, ia mengibaskan rambutnya ke belakang. Akan tetapi, Gatot malah tertawa
lagi.
"Kenapa harus menghindari kenyataan, Yulia?
Bukankah sikapnya memang sering angkuh. Terutama terhadapmu," katanya kemudian.
"Menurut pengalamanku selama bergaul, kebanyakan orang kaya memang cenderung mudah bersikap sombong karena merasa lebih. Dalam kaitannya dengan Nuning, kurasa ia hanya... agak tidak
ramah karena memilih-milih teman." Yulia menjawab, masih dengan sedikit tersipu. "Pada saat itu ia
juga gadis kecil yang paling cantik di Jalan
Mahoni."
"Ah, siapa bilang? Lupakah kau bahwa di rumah
ibumu ada gadis-gadis jelita yang bukan hanya tercantik di Jalan Mahoni, tetapi juga di sekitar lingkungan RT dan RW kita? Ibumu yang sangat rupawan telah menurunkan gadis-gadis jelita seperti
Mbak Tiwi, Mbak Ratna, dan kau sendiri, yang
36 meskipun waktu itu masih kecil sudah kelihatan
molek."
"Hush. Tidak sopan memuji orang semaumu sendiri. Apalagi orang-orang yang kausebut bukan keluarga terhormat!"
"Jangan merendahkan keluarga sendiri, Yulia!"
"Lho, aku kan mengatakan yang sebenarnya. Bukankah bagi kalian, keluarga kami punya noda?
Masih kutambah pula dengan kenakalanku sampai
disebut gadis liar dan bandel...."
Belum selesai Yulia berkata, Gatot tertawa.
"Apanya yang lucu?" Yulia bertanya sambil mengerutkan alisnya.
"Kau yang lucu. Orang memang sering menjulukimu gadis liar yang bandel. Tetapi, tidak banyak
yang tahu bahwa kau juga luar biasa galaknya," jawab Gatot.
"Galak? Kenapa aku kausebut seperti itu?"
"Tidak ingatkah kau apa yang terjadi ketika
Nuning dan kawan-kawannya mengejekmu sebagai
gadis liar, gadis banci kelaki-lakian?"
Dengan seketika Yulia teringat peristiwa itu. Bagaimana mungkin ia bisa melupakannya? Ketika ia
sedang menuju lapangan bola bersama tiga anak lakilaki, Ika yang sedang main di rumah Nuning memanggilnya. Gadis itu mengajaknya ikut main pasarpasaran. Merasa mendapat perhatian, hati Yulia
tergugah. Namun, sebelum ia mengiyakan ajakan Ika,
tiba-tiba dengan angkuh Nuning mengejeknya.
"Kenapa harus mengajak gadis liar sih? Kan ma37 sih ada anak-anak perempuan lainnya. Banci kok
diajak main pasar-pasaran," katanya ketus.
Mendengar penghinaan itu, Yulia marah. Dihampirinya Nuning dengan berkacak pinggang.
"Apa kamu bilang? Aku banci? Lihat dulu wajahku baik-baik. Wajahku ini wajah laki-laki atau


Sayap Sayap Cinta Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perempuan. Ayo lihat! Cepat!" Begitu ia membentak Nuning.
Nuning terpaksa mengangkat kepalanya dan menatap wajah Yulia, wajah anak perempuan yang cantik
sekali. Rambut Yulia berombak membingkai wajah
cantiknya. Hati Nuning mulai dihinggapi rasa iri. Ia
ingin mempunyai rambut seindah rambut Yulia. Ia
ingin mempunyai bola mata selebar mata Yulia, yang
dihiasi alis tebal dan bulu mata lentik.
"Nah, sudah kaulihat? Apakah wajahku seperti
laki-laki? Tidak, kan? Aku cantik, kan? Lebih cantik
dari wajahmu," Yulia membentak asal keluar saja
dari mulutnya. Ia tidak tahu dirinya cantik atau tidak. Bahkan tak peduli. Ia hanya ingin menyakiti
Nuning dengan kata-katanya itu. Ia tahu, Nuning
selalu iri melihat kelebihan anak lain.
Mendengar bentakan yang mengena hatinya,
Nuning marah.
"Kalaupun bukan banci, kau gadis liar dan kotor!"
Mendengar perkataan Nuning, kemarahan Yulia
memuncak. Pakaiannya saat itu memang kotor setelah naik pohon mengambil jambu air. Di bagian
38 sakunya bahkan kemerah-merahan karena ada jambu
air yang pecah saat ia merosot dari pohon. Sementara
itu, Nuning tampak rapi. Bahkan saat sedang di rumah pun ada pita di rambutnya. Namun, ia tidak
mau mengakuinya.
"Lebih baik kotor daripada genit sepertimu,"
katanya. "Di rumah saja pakai pita!"
"Kamu yang genit. Kecil-kecil sukanya main
sama anak laki-laki. Idih, masih kecil sudah pacaran." Nuning mengejeknya. "Lagi pula, kau dekil
dan bau!"
Merasa percuma bertengkar, Yulia kehilangan rasa
sabarnya. Pipi Nuning ditamparnya, kemudian ia
segera berlalu meninggalkan halaman rumah
Nuning dengan diikuti teman-temannya. Tentu saja
Nuning marah sekali.
"Awas kamu. Kuadukan Mas Gendut nanti!"
Begitu ia mengancam dengan melotot.
"Si Gendut? Idih, aku tidak takut. Suruh ia mengejarku. Jatuh terguling-guling, ia nanti!" kata
Yulia sambil menjulurkan lidah. Ketiga temannya
tertawa, merasa lucu. Mereka pernah melihat si
Gendut jatuh terguling ketika mengejar layangan.
Tak berapa lama kemudian, Gendut benar datang menemui Yulia karena disuruh ibu Nuning.
"Kau mengancamku?" tanya pemuda tanggung
itu, yang umurnya beberapa tahun lebih tua daripada Yulia.
"Kalau ya, kenapa? Kalau tidak, kenapa?" Yulia
39 balik bertanya. Meski merasa gentar melihat anak
bertubuh besar itu, ia tak mau memperlihatkan.
"Awas, kalau sekali lagi kamu mengganggu
Nuning, kugampar kamu nanti!" Gendut mengancam sambil memperlihatkan tinjunya.
"Aku tak akan mengganggu orang yang tidak
menggangguku," kata Yulia dengan berkacak pinggang. Suka sekali ia dengan sikap seperti itu.
"Tetapi, kamu menampar pipinya!"
"Soalnya pacarmu mengatai orang seenaknya sendiri. Jadi, jangan mentang-mentang ia pacarmu lalu
kau membelanya begitu saja. Idih, kecil-kecil kalian
sudah pacaran." Yulia merasa senang dapat membalas makian Nuning yang mengatakan ia genit, kecil-kecil sudah pacaran.
Mendengar dirinya dikatakan pacaran dengan
Nuning, Gatot marah.
"Kamu yang pacaran. Kecil-kecil mainnya sama
anak laki-laki melulu!" bentaknya.
"Kamu yang pacaran!" Yulia membalas.
"Kamu!"
"Kamu, kamu, kamu, kamu! Wheee, kamu!"
"Awas, kugampar kau!"
"Coba saja gampar aku. Beraninya sama anak
perempuan yang lebih kecil, mentang-mentang gendut seperti kingkong. Wheeee, sini kejar aku!" Sebelum Gatot sempat membalas, Yulia melompat dan
langsung lari pulang.
Sejak hari itu, setiap Yulia berpapasan dengan
40 Gatot, ia selalu mengganggunya dengan segala cara.
Entah dengan sikapnya, entah dengan gerakan tangan seolah badannya gemuk, entah pula dengan
memasang muka seperti monyet dan lidah terjulur.
Tak jarang pula dengan kata-kata ejekan. Kalau
Gatot mulai marah, cepat-cepat ia melompat lari.
Gatot yang gendut agak sulit mengejar larinya yang
selincah kijang.
Sekarang, meski belasan tahun telah berlalu ternyata Gatot masih dapat mengingatnya dengan
baik. Dengan agak tersipu Yulia mengakuinya.
"Ya, aku memang galak, liar dan nakal," gumamnya. Gatot tertawa lagi.
"Mengenang masa kanak-kanak memang mengasyikkan. Yang dulu membuat kita marah, sekarang
bisa kita tertawakan. Yang dulu menyedihkan, sekarang bisa kita lihat hikmahnya," katanya kemudian.
"Bahkan terasa lucu."
"Tidak semuanya begitu," bantah Yulia. "Ada
juga hal-hal yang justru menorehkan luka cukup
dalam sehingga membekas tak terlupakan sepanjang
usia kita."
"Ah, kau terlalu memandang hidup ini dengan
kacamata buram."
"Entahlah." Sambil berkata seperti itu ia menatap
ke jalan. Rasa bosan mulai menjerat hatinya. Dilihatnya hujan sudah agak reda. Karenanya ia melihat
arlojinya. Pukul sembilan lewat. "Wah, sudah malam.
Kalau tidak nekat, kita bisa semalaman di sini."
41 "Jadi?"
"Aku akan ke jalan raya. Pasti lebih mudah mencari taksi di sana."
"Nanti kepalamu basah dan kau bisa sakit karenanya," sahut Gatot, dengan nada melarang.
"Kau belum kenal bagaimana kuatnya kepalaku,"
Yulia tersenyum. "Kau dulu pasti pernah melihat
atau setidaknya mendengar aku sering main sepak
bola di bawah hujan. Tidak sakit, tidak masuk
angin, tidak pusing. Bahkan pilek pun tidak. Kurasa kepalaku masih sama kuatnya seperti dulu."
Gatot tertawa sambil menggeleng-geleng.
"Kau memang lain dari yang lain. Yulia. Apa tidak takut make up-mu luntur dan rambutmu basah
seperti tikus masuk got?" tanyanya.
Yulia menggeleng. Ia sudah keluar dari emperan
toko dan menudungi kepalanya dengan tasnya. Untung ia tadi memilih memakai tas yang terbuat dari
kulit imitasi.
"Kecantikanku tidak akan luntur hanya karena
air hujan," katanya kemudian, sambil mulai melangkah pergi, menyebabkan Gatot menggeleng lagi.
"Ya, sudahlah. Ayo kucarikan taksi." Akhirnya
Gatot mengalah dan menjajari gerak ayunan langkah Yulia. "Kuantar ya? Suamimu tidak apa-apa
kan kalau kawan lama istrinya mengantarkanmu
pulang?"
"Kalau aku menolak tawaranmu, itu bukan karena takut suamiku marah atau takut pada ibuku.
Aku tidak ingin merepotkanmu," sahut Yulia. "Aku
42 juga tidak ingin tenaga dan waktumu mubazir.
Mengantar seseorang kok yang tidak takut pada apa
pun."
Gatot tertawa lagi.
"Aku tidak merasa kaurepotkan. Aku juga tahu
kau tidak takut terhadap apa pun," katanya kemudian. "Aku ingin mengantarkanmu pulang karena
ingin berjumpa kembali dengan keluargamu. Tidak
boleh, ya?"
"Kalau tujuanmu begitu, ya silakan saja."
"Kalau begitu, izinkan aku mengatarkanmu sampai rumah dan jangan banyak protes lagi," sahut
Gatot sambil tangannya melingkari lengan Yulia.
"Ayo kita menunggu taksi di bawah halte itu. Bajumu mulai basah!"
Yulia tersenyum. Kemudian mengangguk.
43 Gatot memanggil taksi kosong yang pertama kali
lewat di depan mereka. Yulia terpaksa membiarkan
laki-laki itu mengantarkannya pulang ke rumah.
Berdua mereka duduk di belakang.
"Nanti kau bisa pulang kemalaman. Seharusnya
kaubiarkan saja aku pulang sendirian," kata Yulia,
ketika mereka sudah duduk manis di dalam taksi
menuju rumahnya. "Cari kendaraan malam-malam
dalam cuaca seperti ini kan tidak mudah."
"Ah, mencari taksi di Jakarta kan tidak sulit. Dua
puluh empat jam mereka beroperasi. Aku punya
nomor telepon taksi langgananku," jawab Gatot.
"Naik taksi terus apa tidak pemborosan?"
"Hanya kalau aku sedang segan menyopir di tengah-tengah keruwetan lalu lintas. Belakangan ini
jalan-jalan di Jakarta kan tidak bersahabat. Di
mana-mana macet. Bikin stress orang."
Dua 44 "Ya, memang."
"Yulia."
"Ya?"
"Aku mau mengakui satu hal. Begini, sebenarnya
kalau kau tidak mengerjap-ngerjapkan mata ketika
listrik tiba-tiba menyala tadi, aku tidak akan segera
mengenalimu lho," kata Gatot.
"Memangnya kenapa?"
Gatot tertawa.
"Aku tadi teringat kepada mata besar yang sama,
yang mengerjap-ngerjap karena marah ketika aku
mengejekmu banci. Ingat?"
"Wah... aku agak lupa. Yang mana dan kapan?
Bukankah kita sering adu mulut, dan sepanjang
ingatanku kita tidak pernah akrab," Yulia tersenyum
lembut. "Kau tidak sebaya denganku. Kau juga bukan komplotanku. Apalagi kau termasuk komplotan
Nuning yang sama-sama keluarga kaya dan terhormat. Jadi, berseberangan dengan teman-teman sepermainanku."
"Memang benar, hampir di setiap perjumpaan
kita nyaris tak pernah diwarnai dengan percakapan
yang wajar. Selalu saja ada pertengkaran dan saling
mengejek. Kau dulu memang benar-benar galak
dan sangat menjengkelkan," Gatot tertawa. "Itu
yang menyebabkan kita jadi tidak sekomplotan.
Tetapi, aku menolak kalau kaubilang keluargaku
dan keluarga Nuning merupakan keluarga kaya dan
terhormat. Rasanya hampir semua rumah di Jalan
45 Mahoni megah dan besar-besar. Jadi, menurutku
kelas sosial penghuninya setara."
"Mungkin. Rumah kami warisan kakek buyutku
kok," kata Yulia menjelaskan.
"Rumah kami malah milik kantor yang boleh
dibeli dengan harga jauh di bawah pasaran," kata
Gatot. "Jadi, kami bukan keluarga kaya. Bahwa
akhirnya ayahku mendirikan perusahaan dan berhasil, itu cerita lain lagi. Karena ekonomi yang cukup
mapan, kurasa wajar jika keberhasilan itu berdampak pada gaya hidup keluarga kami. Mengenai keluarga Nuning, itu lain ceritanya. Mereka memang
sudah kaya sekali dari sananya. Ayahnya kan pejabat tinggi di Departemen Luar negeri."
"Ya, sudah. Sekarang kembali ke soal semula,
kau tadi bilang yang membuatmu teringat kepadaku adalah mataku. Kenapa?"
"Ya, itu betul. Tadi aku hampir-hampir tak mengenalimu. Selain masih tetap cantik jelita, kau
begitu berubah. Rapi, modis, dan terutama kulitmu
sekarang kuning langsat." Gatot tertawa lagi. "Sejujurnya, kalau ada orang yang menanyakan apakah
aku ingat kepadamu, pasti ingatanku langsung tertuju pada gadis berumur sepuluh atau sebelas tahun
yang tak pernah rapi. Aku sering memergokimu
bertelanjang kaki, mengendap-endap di samping
rumah dengan gaun kotor dan sepatu yang kaujinjing. Begitu dekat pintu samping, kau langsung
mengenakannya dengan tergesa. Sudah bisa kutebak, kau takut dijewer ibumu."
46 Yulia tertawa.
"Kuakui, aku memang nakal sekali waktu masih
kecil," gumamnya.
"Bukan hanya itu. Rambutmu dulu lebih sering
diekor kuda daripada memakai pita atau jepit rambut
yang cantik. Kulitmu juga agak kehitaman karena
sering bermain di bawah terik matahari. Gambaran


Sayap Sayap Cinta Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dirimu yang seperti itu sirna begitu melihatmu sekarang."
"Jangan berlebihan."
"Kau sekarang memang tampak luar biasa, Yulia.
Jelita, dan bentuk tubuhmu begitu luwes. Jadi, bagaimana aku bisa segera mengenalimu bila tadi tidak
melihat matamu yang besar dan indah itu mengerjapngerjap dengan cara yang khas seperti Yulia kecil
dulu, sehingga membuatku teringat kepadamu
dan..."
"Aku tidak menyangka, si Gendut ternyata tukang merayu!" Yulia memotong perkataan Gatot
dengan tersipu-sipu. Ah, mana ada perempuan yang
tidak suka dipuji orang? Namun, untuk menutupinya ia mulai bercanda. "Sebenarnya, aku dulu juga
cantik kok. Bukan hanya sekarang."
"Lho, aku tadi kan sudah bilang begitu. Ibumu
yang rupawan telah menurunkan gadis-gadis yang
jelita," tawa Gatot lagi. "Jangan lupa, kau sendiri
pun pernah bilang begitu sambil mengerjap-ngerjapkan lagi matamu yang besar itu!"
"Oh, ya? Kapan itu? Aku kok lupa."
"Di tepi lapangan saat menonton pertandingan
47 sepak bola antara anak-anak penghuni Jalan
Mahoni dengan anak-anak Jalan Beringin." Untuk
kesekian kalinya Gatot tertawa. "Ingat tidak waktu
kau merasa jengkel karena gawang yang kujaga kebobolan terus."
Tawa Gatot menulari Yulia. Tentu saja ia ingat
peristiwa itu. Waktu itu ia kesal sekali karena kesebelasan anak-anak Jalan Mahoni dikalahkan musuh
gara-gara penjaga gawangnya terlalu gendut. Sudah
begitu, ia tidak suka kepada pemuda tanggung yang
suka membela Nuning itu. Karenanya, ia terus saja
berteriak-teriak keras dari pinggir lapangan.
"Si Gendut diganti saja. Ia tidak bisa bergerak
lincah. Biar aku yang menggantikannya. Akan kutebus kekalahan kita!" Begitu antara lain yang diteriakkan Yulia, memanasi para pemain.
Tentu saja Gatot marah sekali. Pemuda di awal
remaja yang merasa dirinya hebat itu dihina anak
perempuan kecil yang masih ingusan. Di depan
orang banyak pula. Maka dihampirinya Yulia, lupa
kalau ia sedang bertanding.
"Anak perempuan banyak lagak!" bentaknya.
"Sana pergi! Ambil bonekamu dan jangan ikut campur permainan anak laki."
"Siapa bilang aku cuma bisa main boneka," Yulia
ganti membentak. "Aku lebih pandai main sepak
bola daripada kau. Lariku lincah dan cepat, taktik
permainanku hebat. Tanya saja kepada Iwan, Heru,
Bambang, Budi dan lain-lainnya. Kau kegendutan,
tahu? Larimu seperti gajah mabuk."
48 "Daripada kau? Banci! Pakaian sih perempuan
tetapi kau banci."
Mata Yulia mulai mengerjap-ngerjap mendengar
ejekannya.
"Hei, lihat yang jelas wajahku! Buka matamu lebar-lebar, apakah wajahku ini kelaki-lakian? Bancikah aku?" dengusnya berapi-api, penuh amarah.
"Tidak pernah dengar ya, banyak orang bilang aku
cantik. Bukan hanya Nuning-mu saja yang cantik."
Yulia tidak peduli kata-katanya mengundang
tawa anak-anak dan orang-orang dewasa yang ada
di sekitar mereka.
Kini baik Gatot maupun Yulia yang sama-sama
teringat kejadian masa lalu itu tertawa bersama.
Yah, meskipun perkataan Yulia kecil waktu itu lebih karena didasari keinginan memenangkan pertengkaran, tetapi apa yang terlihat oleh Gatot sekarang menunjukkan fakta yang tak bisa dibantah.
Ketika ia memperhatikan profil Yulia saat tertawa,
perempuan muda itu memang benar-benar jelita.
"Kalau membicarakan masa lalu memang rasanya
tak ada habisnya ya," kata Gatot, sambil mengusir
pesona di dekatnya itu. "Khusus mengenai tubuhku, karena setiap kali kita bertengkar kau selalu
menyinggung masalah postur tubuhku yang gendut,
lama-kelamaan aku merasa terganggu."
"Oh, ya?"
"Ya. Aku mulai berpikir untuk memiliki tubuh
yang proporsional."
pustaka-indo.blogspot.com
49 "Dengan cara?"
"Antara lain dengan mengendalikan nafsu makan. Itulah satu-satunya hikmah kejatuhan usaha
ayahku."
"Usaha ayahmu jatuh?" tanya Yulia.
"Ya, gara-gara salah perhitungan. Sejak itu, Papa
mengalami trauma psikis dan tidak mau lagi mengurus usahanya. Terutama setelah mencoba membuka
usaha lagi dengan meminjam uang kenalannya,
namun ternyata juga gagal. Aku sebagai anak tertua
langsung mengambil alih tanggung jawab dan
memulainya lagi dari nol. Aku mulai belajar bagaimana berhemat dan menahan diri agar tidak bersikap konsumtif seperti ketika ayahku masih jaya.
Saat itu pikiranku hanya terpusat pada keinginan
mengentaskan adik-adikku sampai selesai kuliah.
Dalam kondisi prihatin seperti itu, tanpa sengaja
aku telah menjalankan diet dan menjadikannya sebagai kebiasaan baru sampai sekarang."
"Kekayaan memang sering menimbulkan keserakahan. Terus terang aku paling tidak suka bergaul
dengan orang kaya. Sering kali mereka sombong,
menganggap diri sendiri tinggi, dan mempunyai
cara penilaian yang subjektif dengan mengukur segala hal melalui kacamata sendiri."
"Oh, ya?" Gatot melirik Yulia dengan mengerutkan dahinya. "Kenapa penilaianmu tentang orang
kaya seperti itu?"
"Pengalaman masa kecil hingga dewasa telah memberiku pemahaman bahwa kebanyakan orang kaya ya
pustaka-indo.blogspot.com
50 seperti itu. Memang tidak semua, tetapi cobalah
perhatikan gaya hidup mereka. Pergaulan mereka pun
hanya dengan orang-orang segolongan."
Gatot terdiam sesaat lamanya. Ia teringat bagaimana teman-teman keluarganya tak lagi sehangat
sebelumnya setelah ayahnya jatuh miskin. Terutama
ketika ayahnya meminjam uang untuk memulai
usaha kembali, namun ternyata gagal lagi sehingga
tak bisa mengembalikan utangnya.
"Yah, mungkin pendapatmu ada benarnya. Tetapi,
kurasa tidak semua orang kaya seperti itu, Yulia."
"Iya, sih." Yulia tertawa. "Penilaianku juga subjektif ya kalau begitu."
"Memang." Gatot juga tertawa. "Pertama, menilai seseorang kan tidak bisa hanya berdasarkan apa
yang dilihat dan didengar. Kedua, kita juga tidak
boleh menyimpulkan sesuatu hanya berdasarkan
pengalaman kita."
"Iya, iya deh."
"Kok sepertinya terpaksa bilang begitu."
"Sudahlah, jangan diperpanjang. Tidak penting."
Yulia mengibaskan tangannya ke udara. "Nah, kembali ke soal bisnismu, apakah usaha ayahmu berhasil bangkit kembali setelah kaupegang?"
"Yah, begitulah. Namun, karena namanya juga
perusahaan keluarga, segala sesuatunya ya ditanggung bersama. Senang, susah, untung, dan rugi.
Meskipun demikian, aku merasa puas karena adikadikku berhasil menyelesaikan studi mereka berkat
usaha yang kurintis kembali."
pustaka-indo.blogspot.com
51 "Kelihatannya masih ada yang kurang pas di hatimu," komentar Yulia. Dari perkataan Gatot tadi, ia
menangkap sesuatu yang tidak begitu memuaskan
hati laki-laki itu.
"Betul. Aku ingin membangun usaha sendiri,
sebenarnya. Ada banyak rencana di kepalaku. Maka
pikirku, usaha yang pernah dirintis Papa biar dipegang salah seorang adikku. Namun, mereka kurang
serius. Maklum, masing-masing sudah mempunyai
pekerjaan tetap di luar. Ketika aku mengusulkan
kepada adik-adikku agar perusahaan dipegang oleh
salah seorang ipar, yaitu suami adik perempuanku,
mereka langsung menolak. Repot, kan?"
"Kenapa kau tidak membeli perusahaan itu dari
adik-adikmu? Beres, kan?"
"Aku pernah memikirkannya. Tetapi, rasanya kurang etis. Kedua orangtuaku kan masih ada. Perusahaan itu milik Papa, kendati beliau sudah tidak
mau mengurusnya sama sekali."
"Kalau begitu, lain ceritanya. Ya sudah, jalani
saja dulu sampai tiba saat yang tepat kau bisa membuat perusahaan sendiri. Yang penting, kau harus
bisa menerima keadaan itu dengan senang hati. Jangan biarkan ada yang membebani hati."
"Ya, memang."
"Itulah salah satu seni perjuangan hidup. Seseorang yang terbiasa melihat dan mendapatkan segala sesuatu dengan mudah, tidak akan pernah tahu
betapa manisnya hasil usaha yang dirintis dengan
air mata dan keringat sendiri. Seperti contoh konpustaka-indo.blogspot.com
52 kret yang kita alami tadi. Kalau kita terbiasa naik
sedan mewah yang empuk, wangi, dan diiringi musik lembut, bagaimana kita bisa mengerti betapa
berartinya sebuah emperan toko di saat hujan lebat
tiba-tiba turun seperti tadi. Ya, kan?"
"Betul sekali, Yulia. Terima kasih ya atas kuliah
gratismu malam ini." Gatot tersenyum lembut. Sementara kedua orang itu bercakap-cakap, taksi yang
mereka tumpangi terus melaju menembus rintik
hujan yang masih tersisa.
"Apakah ibumu masih mengenaliku, ya? Sudah
lama sekali kita tidak berjumpa," Gatot mulai mengubah topik pembicaraan.
"Mungkin Ibu tidak akan langsung mengenalimu.
Kau dulu gendut sekali, kan," Yulia menjawab terus terang.
"Sekarang, bagaimana?" Gatot memancing, ingin
tahu penilaian Yulia mengenai dirinya sekarang.
"Aku tadi juga tidak bisa segera mengenalimu,
karena sekarang kau tampak beda. Sejak kapan sih
kau mulai mengurangi berat badanmu?"
"Sejak aku duduk di SMA, aku mulai ingin memiliki tubuh yang lebih enak dipandang. Maklum,
sudah remaja kan ingin juga dilirik gadis-gadis."
Gatot tertawa. "Mulailah aku banyak berolahraga
dan mengurangi makanan yang manis-manis serta
berlemak. Ditambah dengan pelajaran yang semakin
sulit dan kian menuntut energi otakku, dalam waktu dua tahun bobot tubuhku mengalami penurunan, meskipun masih tergolong dalam kategori gepustaka-indo.blogspot.com
53 muk. Yang paling berhasil membuat tubuhku
menjadi seperti sekarang adalah ketika secara bersamaan aku harus menempuh kuliah sambil mengurus perusahaan Papa. Bagaimana menurutmu, sudah
lebih enak dipandang, kan?"
"Ya. Olahraga dan diet telah membuat bentuk
tubuhmu ideal. Berisi, tegap, tinggi dan gagah," jawab Yulia terus terang.
Mendengar pujian itu Gatot tertawa. Dengan
wajah jenaka ia mengangguk dengan sikap hormat. "Terima kasih atas pujianmu, Yulia. Baru sekali
ini aku mendengar pujian yang diucapkan dengan
wajar dan apa adanya," katanya kemudian.
Pipi Yulia langsung memerah.
"Percayalah, aku juga baru sekali ini memberi
penilaian terus terang pada seorang laki-laki dengan
berhadapan muka begini," sahutnya dengan agak
tersipu. "Itu bukan basa-basi, secara spontan keluar
begitu saja."
"Ya, aku tahu. Karena itulah aku tadi mengucapkan terima kasih dengan sepenuh hatiku," komentar
Gatot, sambil tersenyum manis.
"Kelihatannya masa kecil kita ikut mewarnai
spontanitasku tadi. Dulu, ucapan apa saja bisa saling kita lontarkan tanpa kendali, tanpa berpikir
panjang apa akibatnya. Pokoknya, hati puas bisa
mengumbar perasaan. Ya, kan?" Yulia juga tersenyum.
"Ya, kurasa memang begitu. Yulia, omong-omong
pustaka-indo.blogspot.com
54 nih, kau bekerja di mana dan sebagai apa kalau
aku boleh tahu?" Gatot mengubah topik pembicaraan lagi.


Sayap Sayap Cinta Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku mengajar."
"Guru atau dosen?"
"Guru SMU. Pada sore hari aku mengajar piano
di sebuah sekolah musik. Masih ditambah beberapa
murid yang kursus privat piano di rumah mereka.
Begitulah kesibukanku sehari-hari."
"Wah, kau sarjana IKIP ya?"
"Ya. Memangnya kenapa?"
"Kalau tak salah dengar, otakmu sangat cemerlang. Kenapa tidak kuliah di kedokteran atau yang
lain?"
"Nah, ini dia!" Yulia mulai menggerutu, mengingatkan Gatot pada kebiasaan masa kecilnya dulu.
"Pemikiran yang sama sekali tidak betul. Orang kalau punya otak terang sedikit langsung diarahkan
jadi dokter, insinyur, ekonom, filsuf, dan sebagainya. Baru bila mereka tidak diterima sebagai mahasiswa jurusan sekolah-sekolah favorit, ramai-ramai
mendaftar di IKIP. Kalau calon guru kuliah di situ
karena terpaksa sebab tak ada pilihan jurusan lain,
bagaimana ia bisa mentransfer ilmu dengan sempurna kepada para muridnya?"
Gatot tertegun. Yulia telah mengatakan sesuatu
yang semula tidak terpikirkan olehnya.
"Aduh, kau seratus persen betul, Yulia," celetuknya. "Kedengarannya, kau senang menjadi guru
ya?"
pustaka-indo.blogspot.com
55 "Menjadi guru adalah panggilan jiwaku. Jadi,
bagaimana mungkin aku tidak merasa senang?"
"Aku bertanya begitu karena aku ingat masa kecilmu yang badung, galak, tak mau diatur dan li...
eh, maaf." Gatot agak tersipu, nyaris terpeleset
kata.
Yulia memahami apa yang ada dalam pikiran
Gatot. Ia tertawa tipis.
"Aku ini liar dan sulit diatur. Karenanya menjadi
guru kurang tepat bagiku. Begitu kan yang ada dalam pikiranmu? Itu pikiran yang wajar," katanya
kemudian dengan sikap serius. "Begini... menurut
pengamatanku selama ini, tidak sedikit guru-guru
yang kurang mampu berempati terhadap anak-anak
yang bermasalah. Mereka bingung mengatasinya.
Terutama terhadap remaja laki-laki. Padahal teorinya serba oke. Nah, pengalaman konkretku semasa
kecil yang sering kulalui bersama anak-anak laki
yang kebanyakan bandel-bandel telah membantu
tugasku. Dengan bekal itulah ketika kuliah dulu
aku mencoba mendalaminya dan bahkan menjadikannya sebagai tema skripsiku. Aku lulus cum
laude."
"Bagus sekali. Lalu, bagaimana dengan kenakalan
anak perempuan?"
"Aku juga belajar memahami kenakalan atau pergolakan batin anak perempuan, karena aku kan seorang
perempuan... benar-benar perempuan seratus persen
lho ya, bukan banci." Yulia tersenyum sekilas. "Ketika
aku kecil dulu, aku juga mengalami masalah batin
pustaka-indo.blogspot.com
56 yang berawal dari rumah. Mengenai hal itu kau pasti
tahu. Disadari atau tidak, seorang anak yang merasa
kehilangan kepercayaan diri, kehilangan rasa aman
dan mengalami kecemasan, akan melampiaskannya
dengan berbagai cara. Nakal, membangkang, dan
sebagainya. Semakin mendapat penentangan dan
celaan dari orang-orang sekitarnya, semakin ia ingin
menunjukkan diri sebagai individu yang patut diperhitungkan meskipun sering kali dengan cara yang
keliru. Dengan pengalaman itulah aku memadukan
teori dengan pengalaman konkret. Sebab ternyata
tidak semua teori bisa diterapkan mentah-mentah
pada setiap kasus."
"Menarik sekali."
"Ya, ilmu kemanusiaan memang selalu menarik
karena menyangkut kehidupan kita dengan berjuta
persoalannya. Menghadapi setiap anak dengan masalah yang sama pun harus dilihat dulu latar belakangnya, sebab ternyata itu semua mempengaruhi
bentuk kenakalan ataupun penyimpangan-penyimpangan perilaku anak-anak itu."
"Bisa kubayangkan bahwa kau pasti berhasil menjadi guru yang sukses dan..."
"Sukses atau tidak, aku tidak mempersoalkannya,"
Yulia menyela. "Bahwa aku berhasil mengalihkan
kenakalan murid-muridku menjadi sesuatu yang
positif, aku memang merasa puas."
"Kau luar biasa, Yulia."
"Ah, tidak. Keberhasilanku bukan sesuatu yang
luar biasa kok, karena resepnya hanya cinta. Aku
pustaka-indo.blogspot.com
57 mencintai pekerjaanku. Aku mencintai anak-anak
didikku."
"Wah, bicara denganmu ternyata sangat menyenangkan," puji Gatot terus terang.
"Ah, jangan berlebihan."
Gatot tersenyum. Entah apa pun bantahan Yulia,
ia menganggap Yulia memang memiliki kelebihan. Ia
masih ingin bercakap-cakap dengannya. Sungguh
asyik bicara dengan Yulia, tetapi sayangnya taksi mereka telah tiba di rumah Yulia. Gatot segera mengeluarkan dompetnya tanpa memedulikan protes Yulia.
"Biarkan aku yang membayar, Yulia. Sebagai tanda rasa gembiraku atas perjumpaan kita kembali,"
katanya dengan nada yang tak bisa dibantah.
Karena Gatot tampak begitu bersungguh-sungguh, Yulia terpaksa membiarkannya. Setelah taksi
yang mereka tumpangi pergi, diajaknya laki-laki itu
masuk rumah. Suara mobil berhenti yang disusul
bantingan pintu, membuat sesosok tubuh muncul
di ambang pintu. Ibu Yulia langsung berseru lega
ketika melihat putrinya pulang.
"Syukurlah kau sudah pulang, Yulia." Ibunya
menghentikan bicaranya saat melihat keberadaan
Gatot di belakang anak perempuannya. Namun,
sebelum ia menyapanya, laki-laki itu sudah mendahuluinya.
"Apa kabar, Tante?" sapanya sambil mengulurkan
tangannya. "Lama sekali kita tidak bertemu."
Ibu Yulia menerima uluran tangan Gatot. Namun, dahinya berkerut dalam.
pustaka-indo.blogspot.com
58 "Siapa ya? Maaf... saya kok lupa?" gumamnya
kemudian.
"Coba Ibu perhatikan, siapa dia?" Yulia berkata,
sambil tertawa.
"Wah... ingatan Ibu kok mampet begini." Ibu Yulia
agak tersipu karena tak mampu mengenali tamunya.
"Rasa-rasanya sih wajahnya seperti Ibu kenal."
"Tentu saja Tante kenal." Gatot tersenyum manis. "Saya Gatot. Si Gendut... putra Pak Haryadi,
yang rumahnya paling ujung di Jalan Mahoni."
"Astaga, Gendut. Ya, ya... Tante ingat sekarang.
Kau dulu sering disuruh ibumu mengantar uang arisan bila beliau berhalangan. Atau mengantarkan oleholeh dari Yogya ketika ketika... ayah Yulia masih
hidup." Ibu Yulia menepuk lembut dahinya sendiri.
"Benar, Tante. Tante masih ingat rupanya," Gatot
langsung menanggapi perkataan ibu Yulia. Ia tidak
ingin sang nyonya rumah teringat bagaimana sejak
Pak Sunandar meninggal dunia, oleh-oleh dari
mana pun tak pernah ada lagi.
"Ya, tentu saja." Ibu Yulia mulai tertawa, karena
ada hal lucu yang tiba-tiba teringat olehnya. "Kau
sangat rajin mengantar apa saja ke rumah yang ketempatan arisan, berharap dibungkuskan sepotong
atau dua potong kue."
Mereka semua tertawa mendengar perkataan ibu
Yulia.
"Ayo masuklah, Nak Gatot. Ceritakan bagaimana
kalian bisa bertemu," kata ibu Yulia, sambil mendahului masuk ke rumah.
pustaka-indo.blogspot.com
59 Mereka mengobrol dengan asyik hampir satu jam
lamanya. Apalagi kedua adik Yulia juga ikut bergabung. Namun, karena hari telah larut, akhirnya
Gatot minta diri. Sebelumnya ia sudah menelepon
taksi. Yulia menemani sampai ke dekat pintu pagar
sambil menunggu taksi datang.
"Kapan-kapan aku boleh datang berkunjung lagi,
kan?" tanya Gatot.
"Tentu saja. Ajak Nuning sekalian, ya."
"Ya." Gatot mengangguk. "Yulia, bolehkah aku
menanyakan sesuatu kepadamu?"
"Tentang apa?"
"Kita tadi mengobrol ramai sambil tertawa-tawa
cukup lama. Aku tidak melihat suamimu keluar
bergabung bersama kita. Ke mana dia?"
"Ia tidak tinggal bersamaku."
"Lho, kenapa? Maaf, jangan menganggapku mau
tahu urusan orang. Aku hanya merasa aneh."
"Kau tak usah minta maaf. Kan tadi kau sudah
mengatakan bahwa aku ini nyonya muda. Itu benar
kok."
"Maksudmu?"
"Sehari sebelum pernikahan kami dilangsungkan,
aku mengetahui bahwa ternyata suamiku sudah
mempunyai istri. Nah, bukankah itu artinya aku
memang nyonya muda alias istri kedua?"
"Oh... maaf...." Gatot kaget. "Aku tidak bermaksud mengatakan demikian."
"Ya, aku tahu. Bagaimanapun juga, aku yang tolol. Tidak menyangka bahwa laki-laki yang katanya
pustaka-indo.blogspot.com
60 mencintaiku ternyata bisa sedemikian pandainya
membodohi aku. Sebodoh apa pun, aku masih
mempunyai tenggang rasa untuk tidak melakukan
sesuatu yang bisa mempermalukan kedua belah
pihak keluarga kami. Upacara perkawinan tetap
dilangsungkan, supaya tidak mengagetkan banyak
orang. Sebulan kemudian baru aku kembali ke
rumah Ibu...."
"Aku tidak menyangka kau bisa mengalami hal
seperti itu." Suara Gatot terdengar prihatin. Namun, Yulia mengibaskan tangannya ke udara.
"Jangan mengasihani aku. Aku justru merasa beruntung karena mengetahui bahwa ia sudah beristri
sebelum perasaan cintaku padanya berkembang
hingga mendalam. Satu-satunya yang jadi pikiranku
hanyalah perasaan ibuku. Ia beranggapan, apa yang
kualami sebagai hukum karma karena perbuatannya
dengan Oom Hardi di masa muda dulu."
"Itu tidak benar. Apalagi aku tadi menangkap
kesan, ibumu sekarang hidup berbahagia. Wajahnya
awet muda dan tetap ayu."
"Ibu memang berbahagia hidup bersama Oom
Hardi. Mereka pasangan yang serasi. Ibu amat keibuan. Oom Hardi yang kurang kasih sayang seorang ibu, karena sejak berumur setahun telah
menjadi piatu, mendapatkannya dari Ibu yang usianya delapan tahun lebih tua."
"Justru karena itu ibumu tidak boleh menyalahkan dirinya sendiri sehubungan dengan kegagalan
perkawinanmu."
pustaka-indo.blogspot.com
61 "Ya. Aku juga telah mengatakan begitu. Apalagi
ketika kami masih tinggal di Jalan Mahoni, usia
Ibu masih muda dan secara fisik maupun mental
masih membutuhkan seseorang untuk berbagi suka
dan duka. Dengan wajahnya yang rupawan dan
sifat keibuannya, bisa kubayangkan bagaimana
Oom Hardi jatuh cinta kepadanya. Kalau kita mau
jujur, kesalahan mereka di masa lalu terutama
karena mereka telah melakukan...."
"Sudahlah, hal-hal yang ada di belakang kita tak
usah dibahas lagi." Gatot ganti mengibaskan tangannya ke udara. Sekarang hujan telah berhenti. Udara
kota Jakarta yang biasanya pengap dan panas, kini
terasa sejuk. "Kembali ke masalah perkawinanmu,
sekarang ini kau sudah... janda?"
"Belum. Aku malas mengurus perceraian. Bahkan
cincin perkawinan ini masih melingkari jari manisku."
"Kau sangat mencintai suamimu rupanya."
"Kau salah," Yulia menjawab dengan cepat.
"Sama sekali aku tidak lagi mencintai Hendra. Ia
telah mengobrak-abrik kepercayaan, kesetiaan, kejujuran, dan sikap penghormatan terhadap lembaga
perkawinan. Ia mengkhianati istrinya dan membohongi aku. Padahal, semua itu merupakan bagian
penting dalam prinsip hidup yang kupegang. Nilainya di mataku telah hancur berantakan."
"Wah, kalau begitu kenapa kau masih mempertahankan perkawinan kalian? Kecuali kalau kau


Sayap Sayap Cinta Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masih mencintainya," komentar Gatot.
pustaka-indo.blogspot.com
62 "Sudah kukatakan tadi, aku tidak lagi mencintainya. Aku tidak bermaksud mempertahankan perkawinan kami! Aku cuma malas saja mengurus perceraian. Mengenai cincin kawin yang masih tetap
kupakai, ini demi mempertahankan diri dari berbagai kemungkinan."
"Kemungkinan apa, maksudmu?"
"Aku pernah didekati laki-laki yang ingin menjalin hubungan cinta denganku, padahal aku tidak
menyukainya. Cincin ini kupakai sebagai senjata
menjauhkannya dariku."
"Aku tetap berpendapat kau keliru, Yulia. Suamimu pasti menyangka kau masih mengharapkan
dirinya, atau paling tidak ia akan mengira kau masih mencintainya."
"Kau betul. Aku akan mulai mengurus perceraian
kami."
"Apakah betul kau ingin bercerai dengannya,
Yulia? Jangan terburu nafsu begitu. Pikirkanlah
dulu, apakah tidak ada kemungkinan lain?"
"Kemungkinan lain seperti apa misalnya?"
"Misalnya saja perkawinannya dengan istrinya tidak bisa dipertahankan, sehingga ia ingin membangun rumah tangga baru denganmu."
"Andaikata perkawinan Hendra dengan istrinya
tidak bisa dipertahankan, itu tak ada kaitannya dengan kehidupanku di masa depan, meskipun barangkali perceraian mereka disebabkan karena diriku. Kalau Hendra ingin mendekatiku kembali,
apalagi bermaksud membangun rumah tangga baru
pustaka-indo.blogspot.com
63 bersamaku, aku tetap akan menolaknya mentahmentah. Aku tak mau membangun rumah tangga
di atas puing-puing rumah tangga orang lain. Bahwa sebelumnya aku mau menerima Hendra, itu
karena aku betul-betul tidak tahu ia sudah punya
istri. Sekarang aku akan mengurus perceraian yang
seharusnya sudah kuurus sejak setahun yang lalu."
"Mudah-mudahan kau bisa segera menyelesaikan
masalahmu dengan baik-baik," kata Gatot lagi.
"Ya, terima kasih."
Mereka masih mengobrol sebentar, sampai akhirnya taksi pesanan Gatot tiba.
"Sampai ketemu lain waktu ya," kata Gatot pamit. "Oke. Sampai ketemu."
Setelah Gatot pergi, Yulia segera menggembok
pintu pagar dan langsung masuk kamarnya. Ibunya
menyusul masuk kamar saat ia sedang menukar pakaiannya.
"Yulia, Ibu tidak menyangka Gatot sekarang sangat menarik padahal dulu begitu gendut. Tubuhnya tinggi, gagah, dan cukup ganteng."
"Ya."
"Apakah ia sudah menikah? Ibu lupa menanyakannya, tadi." Rasa ingin tahu begitu kentara mewarnai suara perempuan setengah baya itu.
"Belum. Ia sudah bertunangan."
"Oh ya? Dengan siapa?"
"Dengan Nuning, anak tunggal Pak Ahmadi
pustaka-indo.blogspot.com
64 yang tinggalnya di sebelah rumah Gatot. Ibu ingat
dia, kan?"
"Kalau tidak salah ingat, ia cantik, kan? Rupanya
Gatot bertunangan dengan orang yang tak jauhjauh darinya. Wah, sayang ya."
"Sayang kenapa, Bu?"
"Sayang ia sudah bertunangan," jawab sang
Ibu. Yulia menoleh ke arah ibunya dengan gerakan
cepat.
"Apa maksud Ibu?" tanyanya.
"Yah, sayang ia sudah bertunangan. Kalau tidak..."
"Bu, cukup satu kali aku merusak hubungan
orang. Tak akan pernah kuulangi lagi. Mata dan
telingaku akan kupasang lebar-lebar."
"Itulah sebabnya Ibu tadi bilang, sayang ia sudah
bertunangan."
"Kalaupun ia belum bertunangan, aku tidak tertarik kepadanya."
"Ibu hanya berharap kau segera mulai memikirkan kehidupan pribadimu. Segeralah mengambil
langkah yang pasti dalam hidupmu mendatang. Jangan terkatung-katung seperti sekarang. Janda, bukan. Sebagai istri juga bukan. Ibu benar-benar merasa prihatin."
"Aku tahu, Bu. Ibu tidak usah khawatir. Aku
akan mulai serius memikirkan kehidupan pribadiku.
Namun, Ibu harus tahu bahwa kebahagiaan seseorang tidak hanya dalam kehidupan perkawinan."
pustaka-indo.blogspot.com
65 Ibunya mengangguk, kemudian keluar dari kamar Yulia. Perempuan setengah baya itu kenal betul
watak putrinya. Semakin disanggah, akan semakin
bermunculan argumentasinya. Gadis itu tak pernah
kehabisan kata-kata.
Ketika telah berbaring di atas tempat tidurnya,
pikiran Yulia mulai mengembara ke mana-mana.
Masa kecilnya yang pahit kembali terpampang bagai
film yang diputar ulang. Ia ingat betapa besar pengaruh Nuning di antara teman-teman sebayanya, bahkan yang lebih besar sekalipun. Dengan kekayaan
orangtuanya, ia bisa sering membagikan penganan,
cokelat maupun permen kepada anak-anak Jalan
Mahoni. Ia mudah mendapat kawan karena bisa
"membeli" kawan-kawan yang semula tak begitu
dekat dengannya. Sebaliknya, Yulia nyaris tidak mempunyai teman. Acap kali ia merasa kesepian. Untungnya ada banyak anak lelaki yang senang bergaul
dengannya. Namun, di sudut hatinya Yulia sadar
bahwa anak-anak laki mau berteman dengannya karena ia mempunyai kelebihan-kelebihan yang tidak
setiap anak laki mampu melakukannya.
Bosan mengingat-ingat masa lalu, barulah Yulia
kembali ke pokok permasalahannya, yaitu tentang
Hendra yang sekarang masih berstatus sebagai suaminya. Ia berkenalan dengan laki-laki itu ketika
sekolah tempatnya mengajar mengadakan bazar dan
pameran besar-besaran dalam rangka ulang tahun
yang keseratus. Ada banyak pembesar, artis, dan
tokoh-tokoh masyarakat yang pernah bersekolah di
pustaka-indo.blogspot.com
66 tempat itu ikut berpartisipasi dalam perayaan tersebut. Kebetulan Yulia menjadi ketua panitianya.
Hendra yang pernah bersekolah di situ mengajaknya mengobrol macam-macam. Hendra menceritakan
banyak hal tentang sekolah tempatnya mengajar, yang
tidak diketahui Yulia. Ia merasa senang mendengarnya. Karena masing-masing merasa cocok dan menemukan kedekatan hati, pertemuan demi pertemuan
berikutnya pun mereka untai bersama. Yulia yang
selama ini tidak mempunyai waktu untuk urusan
asmara, mulai menikmati betapa hangat hatinya dicintai dan diperhatikan oleh seorang pria. Hendra sangat
romantis dan memperlakukannya bagai dewi pujaan.
Sayang sekali, ternyata pria itu bukan pria idaman.
Hendra bukan bujangan lagi. Ia sudah mempunyai
istri. Yulia yang tidak ingin menjalin hubungan
dengan laki-laki berkeluarga, segera mengambil sikap
tegas. Kendati secara hukum mereka masih terikat
sebagai suami-istri, ia tidak mau lagi berhubungan
dengan Hendra. Rumah mungil yang semula akan
menjadi tempat tinggal mereka, tak sekali pun pernah
ditempatinya. Ia memilih tetap tinggal bersama
keluarganya.
Selama satu tahun lebih mereka menjadi suamiistri, cukup sering Hendra datang membujuk hatinya. Namun, kunjungan itu tak pernah digubrisnya
sehingga akhirnya semakin lama semakin jarang
laki-laki itu datang ke rumah. Sekarang ini malah
sudah lima bulan lamanya laki-laki itu tidak muncul. Yulia merasa senang karenanya. Ia tidak perlu
pustaka-indo.blogspot.com
67 harus menolak amplop yang disodorkan Hendra,
yang disebut laki-laki itu sebagai pemberian nafkah.
Ia juga tidak harus membentak Hendra setiap kali
laki-laki itu minta ditemani, sebab benar-benar
tidak enak didengar orang rumah.
Baru malam ini setelah bercakap-cakap dengan
Gatot, Yulia ingin segera mengakhiri perkawinan di
atas kertasnya dengan Hendra. Gatot betul. Kalau
ia membiarkannya tetap seperti ini, Hendra bisa
mengira ia masih mencintainya. Malah mungkin
Hendra menyangka ia menunggu perceraiannya dengan sang istri. Padahal, tidak setitik kecil pun ia
punya keinginan semacam itu.
Merasa muak membayangkan Hendra yang perlente dan pandai merayu, Yulia mengembalikan pikirannya kepada Gatot dan Nuning. Kedua keluarga mereka mempunyai hubungan amat dekat bagai
saudara. Rumah mereka bersebelahan. Sebagai anak
tunggal, Nuning mendapat perhatian dan perlindungan dari Gatot atas permintaan orangtuanya.
Yulia merasa aneh, kenapa cinta baru tumbuh di
antara mereka sekarang, setelah Gatot berumur tiga
puluh tahun dan Nuning dua puluh tujuh? Bagaimana masa remaja mereka? Bagaimana masa-masa
ketika mereka masih kuliah? Belum adakah bibit-bibit cinta di antara mereka ketika itu. Kalau ada,
rasanya cukup banyak waktu mereka terbuang
percuma mengingat cincin pertunangan baru
melingkari jari manis keduanya.
Berpikir tentang cincin pertunangan, Yulia jadi
pustaka-indo.blogspot.com
68 teringat kembali pada cincin perkawinannya dengan
Hendra. Tanpa berpikir panjang, cincin itu dilepaskannya dari jemari. Namun, begitu cincin itu ia
letakkan di atas meja, tiba-tiba saja muncul perasaan tak enak di hatinya. Kenapa baru sekarang cincin itu dilepaskannya? Kenapa tidak kemarin-kemarin atau malah setahun yang lalu? Kenapa kok baru
sekarang dilepaskannya, sesudah bertemu dan mengobrol lama dengan Gatot?
Memang, bicara dengan Gatot terasa menyenangkan karena ia bisa berkata apa saja dan tidak perlu
berbasa-basi. Persis seperti yang pernah terjadi di
masa kecil mereka. Terhadap Gatot, Yulia tidak pernah merasa sungkan mengucapkan apa saja yang
dirasa hatinya. Namun, apakah hanya karena alasan
itu ia lalu melepaskan cincin yang selama setahun
lebih melingkari jari manisnya?
Yulia tidak bisa menjawab.
pustaka-indo.blogspot.com
69 Yulia turun dari taksi dengan tergesa. Tinggal satu
jam lagi sebelum kompleks pertokoan yang didatanginya tutup. Waktu yang dimilikinya tak banyak
lagi gara-gara muridnya yang tinggal di Menteng
tak mampu memainkan Minuet In G kendati sudah
berulang kali menjadi PR bagi anak itu. Yulia terpaksa berulang kali memberi contoh. Dengan sabar
ia menunggui anak itu berlatih lagu ber-note balok.
Kepalanya bergerak naik-turun seiring dengan matanya yang bergantian menatap ke arah buku dan
tuts piano, membuat Yulia merasa agak kesal. Sudah seperempat jam lebih waktu berlalu dari yang
seharusnya.
"Jangan terpaku pada teks lagu saja, Diana.
Hafalkan dan kenali lagunya baik-baik sehingga
menyatu dengan dirimu termasuk jemarimu," katanya berulang kali penuh kesabaran.
Tiga pustaka-indo.blogspot.com
70 Kini sesampai di kompleks pertokoan, Yulia langsung menuju tempat penjualan kaset dan CD. Sudah beberapa kali ia berjanji kepada ibunya untuk
membelikan lagu-lagu keroncong, campursari, dan
semiklasik kesukaan perempuan tengah baya itu,
tetapi baru sekarang kesampaian. Setelah memilih
lima CD untuk sang ibu dan dua untuk dirinya
sendiri, ia mengambil CD lagu-lagu semiklasik permainan piano yang di antaranya ada lagu Minuet
In G. Ia akan memberikannya kepada Diana minggu depan.
Dari toko kaset, Yulia pindah ke toko buku. Di
sana ia mencari kisah-kisah para pujangga legendaris
dunia seperti Beethoven, Mozart, Bach, Schubert,
dan lain sebagainya, termasuk komponis bangsa sendiri. Buku-buku itu akan dipinjamkannya kepada


Sayap Sayap Cinta Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Diana, supaya anak itu mengenal siapa pencipta lagulagu yang sering ia mainkan dan tahu seperti apa kisah kehidupannya. Mudah-mudahan ada gunanya.
Yulia sangat mencintai permainan piano. Dulu,
almarhum ayahnya yang mengajarinya sampai ia
mahir memainkannya. Begitu juga halnya dengan
Mbak Tiwi dan Mbak Ratna. Namun, ketika ekonomi keluarga mulai morat-marit sepeninggal ayahnya
dan piano terpaksa dijual, setiap malam selama
hampir sebulan penuh Yulia membasahi bantalnya
dengan air mata. Mbak Tiwi yang juga merasa sedih kehilangan piano melarikan kekecewaannya
dengan menjalin pergaulan di luar Jalan Mahoni
sehingga temannya semakin banyak. Mbak Ratna
pustaka-indo.blogspot.com
71 yang pendiam, lebih suka mendekap radionya di
kamar sambil belajar atau membuat PR. Sementara
Yulia sendiri menjadi anak yang liar, yang lebih
suka bermain di luar rumah bersama teman-teman
lelakinya. Sudah tidak ada lagi keasyikan bermain
piano di rumah. Membosankan dan menyedihkan.
Ketika rumah di Jalan Mahoni dijual dan mereka
pindah ke Tebet, barulah ibunya membeli piano
untuk menghapus kekecewaan hati anak-anaknya.
Dengan adanya alat musik itu, Yulia mulai lebih
banyak tinggal di rumah. Apalagi atas kebaikan
Kak Herman, suami mbak Tiwi, ia dan Mbak
Ratna bisa melanjutkan pelajaran pianonya dengan
memanggil guru privat. Pulang sekolah, ia tak lagi
keluyuran di jalan atau di lapangan seperti di Jalan
Mahoni. Di Tebet ia belum mempunyai banyak
teman.
Berkat pelajaran yang diterimanya dan karena
kemahirannya bermain piano, sekarang ia bisa
mengajar di tempat kursus musik dan menjadi guru
privat di rumah-rumah orang. Dengan uang yang
didapatnya setiap bulan, baik dari gajinya mengajar
di SMA maupun yang didapat dari mengajar piano,
ia bisa membantu ibunya membiayai sekolah Ardi
dan Dedi. Ia tidak ingin berhutang budi lebih banyak lagi pada Oom Hardi dan Kak Herman.
Setelah Yulia mendapatkan barang-barang yang
diinginkannya, ia mulai berjalan lebih santai. Baru
ketika melihat sebuah toko pakaian, ia tertarik dan
bergegas ke sana. Ia ingin mencari blus berwarna
pustaka-indo.blogspot.com
72 cokelat muda, tapi ia hanya mempunyai waktu sedikit untuk memilih. Dua puluh menit lagi pertokoan itu akan tutup. Ketika melewati emperan
toko, tanpa disadari ia kembali teringat pada Gatot.
Kira-kira di tempat inilah beberapa minggu lalu ia
berjumpa dengan laki-laki itu. Bersamanya, ia mulai merajut kembali kenangan-kenangan masa kecilnya yang pahit dulu. Padahal sebelumnya, setiap
ada bagian dari masa lalu yang melintas dalam pikirannya, cepat-cepat ia berusaha menindasnya
jauh-jauh ke lubuk hatinya yang terdalam. Kalau
mungkin, ia ingin melenyapkan kenangan pahit itu
dari sejarah kehidupannya.
Namun sejak perjumpaannya dengan Gatot, tibatiba saja dengan lancar ia dapat kembali mengingat
masa lalunya tanpa rasa sakit. Membayangkan wajah tetangga yang dulu dahi dan hidungnya
langsung berkerut ketika berpapasan dengan dirinya, tak lagi membuatnya marah.
Beberapa hari yang lalu Gatot meneleponnya saat
ia baru saja tiba di sekolah.
"Yulia, aku telah bercerita kepada Nuning tentang perjumpaan kita yang lucu di emperan toko
waktu itu. Ia kirim salam untukmu," katanya, begitu mendengar Yulia menanggapi panggilan teleponnya. "Sampaikan salamku kembali," sahut Yulia, "dan
katakan kepadanya rumahku terbuka untuknya. Ajaklah ia datang berkunjung ke rumah."
"Baik. Ia bertanya kepadaku apakah kau masih
pustaka-indo.blogspot.com
73 seperti dulu," kata Gatot lagi. Ada nada geli dalam
suaranya.
"Lalu apa jawabmu?"
"Aku bilang, masih." Gatot menjawab sambil
tertawa.
"Apanya yang masih?"
"Bahwa kau masih he he liar. Malam-malam masih berada di jalan sampai kehujanan dan
meneduh di emperan toko yang sepi, bersama seorang laki-laki yang untung saja itu aku. Kalau
bukan, wah gawat."
"Ya, untung saja itu kau. Kalau bukan, mungkin
saja harus masuk rumah sakit."
"Kok masuk rumah sakit?"
"Karena luka parah kena pukulan karateku."
"Wah, kau bisa karate?"
"Ban kuning!"
Terdengar tawa dari seberang sana, sehingga Yulia
sadar bahwa dirinyalah yang sedang ditertawakan
Gatot.
"Biarpun ban kuning, tetapi kekuatan pukulan
dan tendangan kakiku hebat lho. Masih ditambah
siku dan lututku yang sekeras baja," katanya cepatcepat.
"Wah, boleh juga iklanmu. Kapan-kapan aku
ingin mencobanya," sahut Gatot menimpali. Masih
ada nada tawa dalam suaranya.
"Kau juga bisa karate?"
"Ban hitam."
"Ah, brengsek. Ternyata kau lebih tinggi dari
pustaka-indo.blogspot.com
74 aku." Yulia menggerutu pelan, menyebabkan Gatot
cekikikan.
"Eh, Yulia. Apakah kau ingat Nanang, putra Pak
Suryana?" Laki-laki itu mengubah topik pembicaraan. "Tentu saja. Nanang yang ada tahi lalat di dagunya itu, kan?"
"Ya."
"Kenapa dia?"
"Belum lama ini aku berjumpa dengannya. Ternyata kantornya dan kantorku tidak jauh letaknya.
Ketika kuceritakan tentang perjumpaan kita, ia senang sekali. Katanya, ia rindu kepadamu. Ia merasa
sepertinya belum lama kalian bersama-sama memanjat pohon jambu air Pak Amirudin dan merosot turun
sekenanya saja karena ketahuan. Ia bilang, kenangan
masa kecil terasa begitu indah karena jarang ada anak
perempuan sebadung dirimu. Ia menanyakan alamatmu, jadi kuberikan kartu namamu."
"Kalau ketemu dia lagi, katakan bahwa aku juga
rindu padanya. Ia paling baik kepadaku. Bagaimana
keadaannya sekarang?"
"Agak gemuk. Katanya, istrinya pandai memasak."
"Aku tidak heran," Yulia tertawa. "Pada dasarnya
ia tukang makan. Hanya karena banyak gerak ia
tidak gemuk sepertimu. Kalau ada yang punya niat
mengambil mangga, rambutan, atau jambu di pohon orang, dialah yang paling bersemangat."
"Termasuk mengambil buah sawo di halaman
pustaka-indo.blogspot.com
75 samping rumahku, kan? Aku pernah memergoki
kalian!"
"Aku tidak ikut-ikut lho. Terus terang waktu itu
aku agak takut kepadamu. Kuakui sekarang. Soalnya kau tinggi dan besar sekali. Lagi pula, kau kan
tidak sebaya denganku, jadi tentu saja aku takut
karena..." Suara Yulia terhenti sebelum mengakhiri
pengakuannya sebab Gatot tertawa keras. "Kok tertawa? Apanya yang lucu?"
"Membayangkan kejadian waktu itu. Kau memang tidak ikut memanjat. Kau ada di balik pagar,
siap memberi tanda kepada Nanang dan Andi kalau-kalau ada orang yang memergoki kalian."
"Kenapa kau tidak mengusir kami?"
"Karena malas bertengkar denganmu," Gatot juga
mengaku. "Kata-katamu sering memerahkan telinga
sih. Bila aku ingin memukulmu, kau lari seperti
kijang. Mana sanggup aku mengejarmu. Daripada
malu, kan lebih baik pura-pura tidak melihat sawoku ada yang mengambil."
Yulia ganti tertawa mendengar pengakuan Gatot.
"Aku dulu bandel sekali, ya?" gumamnya kemudian.
"Ya. Itu kan masa kanak-kanak yang tidak harus
dibawa-bawa sampai dewasa, meskipun itu bagian
dari sejarah kehidupan kita."
Mereka mengobrol di telepon panjang lebar, sampai akhirnya Yulia mengatakan bahwa sebentar lagi
bel masuk akan berbunyi dan ia harus menyiapkan
diri untuk mengajar.
pustaka-indo.blogspot.com
76 "Oke. Kapan-kapan kita lanjutkan obrolan tadi,"
kata Gatot. Ia semakin sadar bahwa mengobrol dengan Yulia sungguh terasa amat menyenangkan.
Ada banyak hal yang bisa mereka bahas. Ada banyak hal pula yang bisa mereka diskusikan dengan
asyik.
Sementara itu, Yulia juga semakin sadar bahwa
sekarang ini ada yang berubah di batinnya. Segala
hal yang pernah terjadi di Jalan Mahoni dulu, tidak
lagi dipandangnya sebagai kepahitan hidup yang
tak tertahankan sebagaimana dirasakannya selama
ini. Perkataan Gatot memang benar. Semua itu hanyalah bagian sejarah kehidupannya di masa lalu.
Kini di kompleks pertokoan yang mengingatkan
Yulia pada perjumpaannya dengan Gatot dan percakapan-percakapan yang teruntai di antara mereka,
menyebabkan ingatannya bisa mengembara kembali
ke Jalan Mahoni dengan bebas tanpa beban. Sambil
memilih-milih blus yang tergantung berderet-deret
di raknya, ia bisa tersenyum sendiri saat teringat
bagaimana ia dulu sering pulang mengendap-endap
dengan baju basah kuyup dan penuh lumpur setelah main bola hujan-hujanan dan berkali-kali terpeleset karena lapangan yang licin.
Senyum Yulia langsung lenyap, ketika tiba-tiba di
belakangnya terdengar suara Gatot menyapanya.
"Hai, sedang memborong apa?"
Bagaimana tidak kaget bila orang yang baru saja
melintas di dalam pikirannya tiba-tiba muncul di
dekatnya sambil tertawa.
pustaka-indo.blogspot.com
77 "Oh... kau," sahutnya nyaris tergagap. "Aku sedang
mencari blus. Kau sendiri sedang memborong apa?"
"Aku sengaja menyusulmu," jawab Gatot. "Tadi
waktu di toko buku, aku melihatmu sedang membayar di kasir. Karena apa yang kucari di toko buku
sudah kudapat, aku segera menyusulmu."
"Menyusulku? Untuk apa?"
"Lho, tidak boleh ya?" Gatot menyeringai.
"Bukan begitu. Kau datang ke pertokoan ini pasti ada sesuatu yang ingin kaubeli, kan? Kok malah
menyusulku."
"Aku sudah dapat buku yang kucari. Daripada
iseng jalan sendiri, aku segera menyusulmu begitu
melihatmu ada di sini."
"Memangnya dari mana kau tadi?"
"Dari kantor. Aku malas pulang, jadi iseng jalanjalan di sini."
"Rupanya kau suka sekali iseng-iseng, ya," goda
Yulia.
"Atas dasar apa kau menilai begitu?"
"Dua kali kita berjumpa setelah belasan tahun
tidak pernah bertemu. Keduanya terjadi di kompleks pertokoan ini."
Gatot tersenyum.
"Sebetulnya bukan hal aneh, Yulia. Kantorku terletak di belakang gedung bertingkat delapan belas
di seberang sana. Tak sampai sepuluh menit aku
berjalan kaki, sudah sampai ke pertokoan ini,"
katanya. "Nah, kalau kau ingin membeli sesuatu,
silakan saja. Kutemani kau."
pustaka-indo.blogspot.com
78 Yulia melirik arlojinya. "Aku belum menemukan
apa yang kucari. Dalam waktu sesempit ini mana
bisa aku mendapatkan barang yang kuinginkan.
Jadi sudahlah, aku akan keluar saja. Kapan-kapan
Harimau Mendekam Naga Sembunyi 4 Alap Alap Laut Kidul Seri Ke 3 Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo Kunanti Di Gerbang Pakuan 5

Cari Blog Ini