Ceritasilat Novel Online

Sembilu Bermata Dua 3

Sembilu Bermata Dua Karya Marga T Bagian 3


Mengapa pula dia harus menjaga perasaan kita,
bila dia merasa dia ingin menertawakan kita Itu
haknya. Bukankah kita juga boleh tertawa bila
kita melihat dia lucu
183 Tidak. Pesta bukan merupakan tempat
kenikmatan bagi kami. Cuma, bila selama ini
kami hanya merasa tersiksa menunggu saat yang
sopan untuk pamitan, maka pada pesta terakhir
itu kami kena malapetaka.
Asal mulanya dengan sebuah kartu undangan.
Keluarga jauh dari Manel. Jauh, tapi masih keluarga.
"Mengapa dia tidak kawin tamasya saja!"
gerutunya.
"Ya, mengapa dia tidak tamasya saja!" kata
saya ikut kesal.
"Mau kasih apa, ya "
"Itu dalam lemari, begitu banyak barang!"
"Yang mana "
Dibukanya lemari. Dipandanginya tumpukan
handuk dan baju-baju dalam.
"Itu handuk dan baju dalam!"
"Ah!" Suaranya melenguh. Entah karena
sayang, entah karena saya dianggap kampungan.
Sayang, tentu saja pada handuk dan baju dalam,
bukan pada saya.
"Kita cari barang lain!"
Ya, kalau carinya masih dalam lemari, saya
takkan meringis. Tapi Manel biasa "mencari"nya
di toko. Oh, akan berapa ongkosnya pesta kawin
ini... bagi saya
Untuk mencegah dia mengamalkan keringat
saya di toko, maka saya menawarkan diri untuk mengantarnya. Seperti kebanyakan wanita.
Manel juga senang memamerkan suaminya di
184 muka umum. Terutama, sebab saya tidak gendut
dan belum botak.
Diam-diam saya sudah bertekad untuk mencari benda paling murah yang masih dapat dibungkus dengan kertas kado. Manel tidak akan
membeli sesuatu yang saya vonis jelek. Dan saya
akan bilang jelek pada setiap barang di atas dua
ribu rupiah.
Senang juga belanja dengan istri. Ego saya
melambung. Setiap kali dipegangnya sesuatu, dia
pasti menoleh dan bertanya bagaimana pendapat saya. Dengan lagak mau meneliti dari segala
penjuru, saya ambil benda itu dari tangannya lalu
membalik-baliknya sampai terlihat oleh saya harganya. Bila di atas dua ribu, tentu saja jelek. Bila
tidak terpasang harganya, lebih jelek lagi. Setengah menghina, atau saya yang merasa terhina,
benda tersebut akan saya letakkan kembali.
Tapi sekali itu saya kecewa. Laju inflasi sudah
sedemikian pesatnya, sehingga patokan harga
dua ribu dari tahun lalu tidak lagi berlaku. Satu-satunya benda dalam kotak yang masih cukup
masuk akal harganya, adalah saringan air. Enam
ratus rupiah. Kalau saja ukuran kotaknya lebih
besar dari empat kali tiga sentimeter, tentu kami
akan beli itu. Tapi ini tanggung. Untuk kado biasa, terlalu kecil. Untuk ukuran kotak perhiasan,
terlalu besar.
Hampir sejam kami mondar-mandir dalam
toko kecil dan sempit itu. Pelayan toko yang
kurang gaji itu sudah tampak tidak sabar. Saya
185 mulai gugup, sementara Manel masih tenang
melalap setiap benda dengan matanya. Juga yang
tidak mungkin diberikan sebagai hadiah, seperti
misalnya lap piring atau keset kaki dalam W. C.
Cangkir teh Dua belas ribu. Ooii! Bunga
plastik Tidak dapat masuk kotak. Juga tempat
bunganya terlalu mahal. Dari gelas yang ditiup,
sepuluh ribu untuk ukuran lima belas senti. Dari
plastik, kampungan.
Benda-benda keramik berbentuk binatang
atau orang, jelek. Dalam arti, memang tidak bagus. Bukan hanya harganya yang melangit.
Termos, lonceng, dan gelas sudah kami sepakati takkan kami beli. Pasti sudah banyak undangan lainnya yang akan membelinya. Itu kan tradisi pesta nikah di sini. Ketika kami dulu, tidak
kurang dari lima lusin gelas serta tujuh lonceng
yang kami dapat.
Toko perabot pun kami tinggalkan dengan
kecewa. Pada detik terakhir Manel masih memegang-megang sepasang panci buatan Jepang.
Kemudian dia teringat, pengantin baru itu belum
tentu akan memasak dengan gas atau listrik. Panci seperti itu bukan untuk dipakai dengan kompor
minyak tanah yang penuh j elaga.
Di toko lampu akhirnya pencarian kami selesai. Sebuah lampu tidur, yang berdosa dengan
harganya yang menyakitkan mata telah dipilih
oleh Mariel, walaupun saya berusaha meyakinkannya, bahwa itu jelek.
Manel mempunyai pendapat sendiri tentang
186 apa yang jelek dan apa yang bagus. Di samping
itu, dia memang bandel. Bentuk lampu keramik
itu seperti batang pohon di mana bertengger sepasang burung. Baguskah Cuma buatan Taiwan.
"Karena buatan Taiwan-lah, maka harganya
cuma tiga puluh ribu. Yang asli dari J erman, tujuh
puluh lima ribu. Tidak ada barang!"
Saya tidak mau pusing soal asli atau bukan.
J antung saya sudah berdebar-debar. Tahun depan
terpaksa saya mohon diangkat menjadi supervisor untuk membiayai ""pencarian pencarian" istri
yang seperti ini. Sedang yang punya toko merasa
terhina ketika saya mencoba menurunkan harga
langit itu ke atas tanah.
"Sudah murah. Di tempat lain tiga puluh
lima!" Saya menggeram dalam hati. Pada saatsaat begitu, menyesal saya sudah menyerahkan
semua gaji pada Manel. Tanpa rem, dibukanya
dompetnya. Saya takkan heran bila di situ terdapat seluruh sisa gaji dari bulan ini.
Coba seandainya saya tahan sebagian gaji itu.
Dia tentu takkan cukup uang untuk membayar
lampu itu. Dan saya pasti takkan membawa dana
amal ke toko-toko. Tapi apa boleh buat. Sudah
terlanjur. Lain bulan saja, akan saya mulai dengan pengiritan.
Kami pulang dengan perasaan terbelah.
Manel dengan lega dan gembira. Saya dengan
sedih. Untuk keluarga yang sudah begitu jauh,
sebuah lampu tidur yang demikian bagus. Buatan
Taiwan, lagi!
187 "Waktu kita kawin, dia kan ikut membantu!"
katanya membela.
"Kan sudah kauberi pakaian sepotong !"
"Ah, lampu ini begitu bagus!" katanya memeluk bungkusannya seakan takut saya rampas.
"Kalau begitu, untukmu saja! Untuk dia kita
beli yang lain."
Heran, seperti ini saya ah, bukan pelit, tapi
hemat! namun untuk Manel, gunung emas pun
akan saya beli dengan senang hati. Tidak ada barang yang terlalu mahal untuknya. Saya senang
melihat Manel menimbun dalam lemari. Saya
senang sekali.
Kembali kita pada pesta kawin Nunung, keluarga jauh Manel. Seberapa jauhnya dapat saya
terka, bila orang bilang, bahwa ayahnya dulu sudah diizinkan untuk menikah dengan ibu Nunung.
Sayang pada saat yang menentukan, ayah Manel
jatuh hati pada orang lain. Kali ini, ibu Manel.
Kalau tidak, tentunya Nunung dan Manel akan
jadi satu dan saya tidak perlu mengeluarkan biaya
untuk perkawinan yang akan datang ini.
Nunung biasa saj a. Orang bilang, pengantinnya cantik. Menurut saya, semua pengantin sama
rupanya. Mana ada yang tidak cantik ! Berapa
banyak laki-laki yang terpesona melihat pengantinnya dan kecewa keesokan harinya
Kami duduk pada sebuah meja untuk enam
orang. Sepasang suami-istri awal tiga puluhan dan
sepasang merpati yang masih pacaran. Bagaimana saya tahu mereka masih pacaran Mudah saj a.
188 Keduanya begitu mesra, tanpa cincin dan yang
perempuan selalu malu-malu menengok ke arah
pelaminan setiap kali pacarnya membisikkan sesuatu rapat rapat ke telinganya. Suami-istri tidak
begitu tingkahnya. Setidaknya, tidak begitu,
Manel dan saya.
Sepatah di sana sepatah di sini pembicaraan
tersendat sendat membuat saya sebentar sebentar
melihat jam. Manel saya biarkan melayani nyonya bawel itu. Saya sendiri mengenyangkan mata
dengan buah-buah ranum serta pemandangan
lain yang mengasyikkan.
Kami diberi makan nasi bufet. Meja tempat
makanan memanj ang di hadapan saya. Bila yang
tengah mengambil makanan itu membelakangi
saya dan orangnya kebetulan montok, dapatlah
dibayangkan betapa sedapnya pemandangan.
"Tapi Anda sudah menikah empat tahun " terdengar oleh saya suara nyonya bawel itu.
"Ya," kata Manel.
"Apa sudah periksa ke dokter "
"Belum."
"Mengapa "
Sunyi. Saya menoleh. Manel terdiam menggigit bibir bawahnya. Ingin saya tampar nyonya
itu, kalau dia laki-laki.
"O, memang tidak mau punya anak, ya "
Nyaris saya siramkan minuman saya ke
mukanya yang dipulas tebal itu. Sok tahu betul
orang ini! Manel diam saja. Saya tahu dia tersiksa. Dan saya harus diam saja tanpa berbuat apa
189 apa. Diam saja melihat istri diganyang orang.
Sepasang merpati itu kini mengalihkan perhatiannya pada kami. Tanpa tedeng aling-aling
mereka bergantian mengawasi saya dan Manel,
lalu dengan terbuka dan sportif tertawa malu.
Mungkin sudah mereka terka siapa yang mandul
di antara kami.
Saya masih menahan diri setengah jam. Lalu
dengan provokatif saya ajak Manel pulang. Tidak
sekali pun saya toleh teman-teman semeja kami.
Dan Manel juga mengikuti sikap saya.
Tiba di rumah, saya langsung ke kamar dan
menjatuhkan diri dengan rasa lega. Semoga
sampai tahun depan jangan ada yang nikah lagi.
Manel lama betul di belakang. Mungkin sejak
tadi sudah ingin tapi ditahan-tahan.
"Lama betul," kata saya tertawa ketika dia
muncul. Hati sudah tidak sabar ingin memelukn
ya. Manel tidak menjawab. Juga tidak mengham
piri saya. Matanya basah, baru dibasuh. Seluruh
wajahnya basah dengan air. Mengapa dia cuci
muka Habis menangis Saya tidak lupa air
mukanya ketika mendengar kata kata nyonya
bawel itu. Dia tersiksa. Barangkali saya terlalu
egois. Saya harus lebih membela dia. Saya harus
mencari tahu sebabnya.
Dia berdiri di muka cermin menyisir rambutnya. Wajahnya yang penuh air tampak muda
sekali. Warnanya sehat, coklat kekuningan. Saya
ingin sekali mendekap dan menghiburnya. Ingin
190 sekali saya katakan, bahwa saya mengerti. Bahwa saya ada di sampingnya. Bahwa dia tidak
perlu segan mengatakan semua isi hatinya pada
saya. Dia bahkan boleh menangis di dada saya.
Namun lidah saya kelu. Saya terlalu biasa
menahan diri dan hemat dengan kata kata. ltukah
yang saya sebut karakter yang kuat Saya tidak
bisa membuka kuntum kuntum hati saya.
Satu-satunya yang dapat saya lakukan pergi
ke Profesor Ginting. Tentu saja diam-diam. Mula mula saya ditolak. Istri harus ikut. Saya mohon pengecualian. Istri saya sangat pemalu. Saya
ingin cek diri sendiri. Bila ternyata mulus, baru
akan saya bawa istri saya.
Apa yang saya alami di sana, tidak dapat saya
ceritakan kembali panjang-lebar. Cukup dengan
singkat: betapa malunya saya. Namun demi is
tri, pikir saya. Untung perawat wanitanya sudah
tua dan tidak pernah tersenyum. Sebab bila dia
tersenyum, saya dapat salah sangka, dia mener
tawakan saya.
Seminggu kemudian saya mendapat kabar,
bahwa semuanya oke. Jadi salahnya pada Manel.
Saya harus memberi tahu dia. Tapi bagaimana
Mulailah fase kegelisahan dalam hidup saya.
Seperti yang saya alami di kelas tiga sekolah
dasar. Berhari hari saya simpan saja rapor yang
kebakaran itu, takut memperlihatkannya pada
Ayah. Gelisah betul hati saya, sehingga sering
mengigau dalam tidur. Ibu memutuskan bahwa saya perlu dibawa ke dokter. Katanya, saya
191 kurang napsu makan, sering duduk menyendiri,
mengigau, malas bangun pagi. Ibu tidak tahu sebabnya. Dokter juga cuma dapat memberi sebotol Vitamin.
Akhirnya Ibu guru menagih kembali rapor
itu. Apa belum ditandatangani Zaman itu, mu
rid masih sangat takut pada guru. Melebihi takut
pada Ayah. Jadi saya keluarkan rapor itu dan dalam detik itu juga gelisah saya lenyap. Memang
saya kena marah, tapi hati saya menjadi tentram.
Sekarang, bagaimana saya harus memberi
tahu Manel Sejak pesta itu, dia tampak lebih
murung. Akhirnya rasa egois saya menang. Su
dah lama saya curiga, jangan-jangan dia mengira,
saya yang salah. Karena ingin membuktikan saya
sehat, maka akhirnya saya beri tahu dia tentang
Profesor Ginting.
Saya tidak menuntut apa-apa, cuma saya katakan dengan hati hati bagaimana pikirannya
bila dia juga mengunjungi profesor itu. Reak
sinya sungguh di luar dugaan. Dia marah, lalu
menangis.
"Ternyata kau serupa saja dengan laki-laki biasa! Kau menuntut agar aku... kau menyalahkan
aku! Kau tidak berjiwa besar!"
Dan dia mengisak. Lho, saya jadi bingung.
Selama ini saya kira, dia yang ingin. Saya kira,
dia menyalahkan saya.
"Kalau kau sangat ingin punya anak, ceraikan saja aku! Kau dapat mencari yang lain, yang
tidak seperti aku!"
192 "Ah, ah, Nel, bukan aku yang ingin... Nel, aku
kira..."


Sembilu Bermata Dua Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jangan sentuh!"
"Kau tidak perlu ke sana, kalau tidak mau.
Bagiku tidak penting."
Pusing. Saya ingin menolong, ternyata disang
ka saya menuntut. Sampai saat ini saya tidak
tahu, apakah Manel ke sana atau tidak. Saya rasa,
tidak. Dan seperti saya bilang, bagi saya tidak
penting. Kalau dia malu ke dokter, mengapa harus dipaksa Yang penting, ibu mertua tidak lagi
melotot pada saya.
Tapi beliau malah tampak makin galak. Seandainya ular, mungkin sudah lama saya ini ditelannya. Entah apa yang dikatakan Manel padanya.
Mungkin dikatakannya, bahwa saya menuntut.
Biasa semua laki laki begitu. Sama saja. Bet
ulkah Betapa inginnya saya membuktikan, bahwa saya tidak begitu.
Bagaimana membuktikannya Kata kata
mesra tidak ada dalam kamus saya. Yang paling
dekat dengan itu adalah kata "enak", bila saya in
gin memuji masakannya.
Seluruh gaji saya serahkan padanya. Apakah
itu tidak mengatakan sesuatu padanya Atau dianggapnya waj ar saja
Saya tidak pernah kerja lembur, sebab selalu
ingin lekas pulang. Apakah dia tidak mengerti
Kadang-kadang saya bersihkan sisirnya yang penuh rambut. Apakah dia tidak melihatnya
Saya juga menyemir sepatunya, bila kebe
193 tulan saya merasa perlu menyemir sepatu saya.
Mengertikah dia Atau, ayahnya juga biasa melakukan hal itu Dan kakak iparnya juga
194 XIII ntahlah. Yang jelas, ada yang kurang pada
Ediri saya. Di mana tepatnya, saya tidak
tahu. Mungkin saya harus memeluknya
ketika dia menangis sepulang dari pesta.
Mungkin saya harus memuji baju-bajunya yang
baru. Mungkin saya harus mengatakan, bahwa
dia menarik. Bahwa dia cantik. Mungkin harus
saya katakan, bahwa saya cinta padanya.
Cintakah saya padanya Saya belum tahu.
Tapi saya pasti akan kehilangan bila dia pergi.
Saya sedih bila dia berbaring seharian karena
demam. Saya khawatir bila dia terlalu lama per
gi. Saya ingin dia selalu gembira. Saya senang
melihat rambutnya yang hitam. Saya ingin meny
isirnya. Saya ingin mengancingkan bajunya.
Saya ingin memasang kalung itu ke lehernya dan
membelainya.
Banyak yang saya inginkan. Barangkali kini
sudah terlambat. Betapa ironisnya. Justru pada
saat sekarang. Pada tahun kelima ini, Manel ti
ba-tiba akan menjadi ibu. Sudah tentu saya ikut
bahagia bersamanya.
Justru pada saat-saat seperti ini, kadang-kadang datang bencana. Barangkali salah saya.
Perempuan perlu sering dibelai dan diberi uca
pan mesra, sedang saya hampir tidak pernah mel
akukannya.
195 Dan pada suatu hari, saya temukan sepucuk
surat dalam laci. Dari seorang laki-laki yang dapat memenuhi kebutuhan itu. Sampai merah dan
panas rasanya telinga saya membaca begitu ban
yak kata mesra di situ. Siapakah dia
Saya tidak berani bertanya. Dengan pengecut,
saya kembalikan surat itu ke tempat semula. Persis di tempat semula. Supaya dia jangan tahu,
bahwa saya sudah melihatnya. Dan saya tidak
jadi mengambil alat pencukur yang terletak di
situ. Kemudian saja, akan saya minta dia ambil
kan. Dengan hati berdebar, saya lekas lekas keluar
kamar. Untung dia sedang di kebun. Sejak kabar
positif itu, Manel gemar menanam bunga. Barangkali anak itu perempuan Tapi saya tidak lagi
bergairah memikirkannya. Surat itu menghantui
saya. Siapakah penulisnya
Karakter yang kuat ternyata mampu mence
gah saya menanyakan hal itu padanya. Surat itu
kemudian lenyap, entah ke mana. Saya juga mulai melupakannya.
Ibu mertua saya kembali mengambil peranan
aktif dalam rumah saya. Berdua dengan Manel
dia menghamburkan uang gajian saya dengan
alasan: untuk bayi. Saya tidak berdaya menceg
ah. Manel bahkan tidak merasa perlu menanya
kan pendapat saya.
Tempat tidur yang pantas untuk anak raja.
Berlusin handuk serta seprai. Belum lagi popok.
Belum lagi tetek-bengek lain. Sungguh mati,
196 saya merasa dijadikan sapi pemacak yang kini
tidak lagi diperlukan. Mereka asyik berdua menyambut kedatangan bayi, seakan-akan itu milik
mereka dan bukan milik saya juga.
Manel sekarang selalu berwajah cerah. Hampir tiap hari bila saya di rumah, terdengar kuman
dang suara sumbang miliknya. Oh, dia dapat juga
bersenandung. Sedemikian, sehingga saya lebih
senang membiarkannya pergi saja menghabiskan
uang saya ke toko.
Sudah tentu dia cerah karena akan menjadi
ibu. Begitu pikiran saya. Begitu pula rasanya
pikiran kebanyakan orang. Namun dua minggu
kemudian, pendapat itu saya ragukan.
Kali ini lebih provokatif. Ketika saya mau
mengambil kaus kaki bersih, tergeletak sehelai
surat di dekat situ. Pasti keteledoran yang disen
gaja, pikir saya.
Karena Manel dapat masuk kamar setiap saat,
tidak berani saya angkat surat itu. Juga tidak per
lu. Kertasnya dilipat sedemikian, sehingga orang
dapat membaca bagian atas tanpa menyentuhnya.
Kembali kata-kata mesra yang cuma mungkin
bepercikan di antara dua orang yang saling men
gasihi. Tulisannya serupa dengan surat pertama.
Hati saya berdebar. Reaksi pertama: omong ko
song. Bila dia betul betul punya kekasih, tentu
akan disembunyikannya terhadap saya. Apa maksudnya meletakkan surat orang itu terang-terangan begitu Mau bikin saya panas Bukan begitu
caranya, kata saya dalam hati. Mulai sengit.
197 Reaksi kedua muncul di kantor. Saya termangu. Kata-kata mesra itu tiba-tiba menyengat
perasaan saya. Siapakah yang begitu kurang
ajar pada saya ! Tidakkah dia paham bahasa
kesopanan dalam hak milik Tidakkah dia tahu,
Manel sudah lima tahun menjadi istri saya, sudah
lima tahun saya rawat dan saya jaga dan sebentar
lagi akan berbuah
Mengapa orang sampai tidak menghormati
saya Siapakah di antara kawan saya yang pernah
mengalami hal serupa ini Rasanya tidak ada.
Lalu, mengapa saya ! Apa kekurangan saya dari
mereka Mengapa Manel meladeni orang itu
Menilik surat kedua, Manel tidak membalas
yang pertama dan tidak mengusir orang itu pergi dari hidupnya. Mengapa Bukankah sekarang
saatnya hidup kami akan mencapai titik kulminasi Bukankah dia gembira menantikan si Kecil
Lalu, apa yang harus saya lakukan Ini men
yangkut kehormatan diri. Dan untuk laki laki,
kehormatan kadang kadang merupakan satu satunya hal yang berarti dalam hidupnya.
Sepanjang hari itu saya hidup antara sadar
dan tiada. Apa yang terjadi di sekeliling saya
tidak begitu tertangkap oleh pancaindra saya.
Seakan terbius separuh saraf saraf saya. Perasaan
lesu serta mengantuk. Gairah untuk naik pangkat
sama sekali tidak ada. Dua kali sekretaris datang
menyerahkan surat-surat yang harus saya koreksi
dan tanda tangani, namun saya tidak ingat kapan
dia masuk ke kamar saya. Hal seperti itu belum
198 pernah terjadi. Selamanya saya selalu gesit serta waspada. Pekerjaan selalu rampung sebelum
waktunya. Lesu dan kantuk tidak saya kenal.
Sampai hari itu. Siapakah orangnya Oh, kalau
saya tahu! Remuk dia!
Jadi Manel sekarang berwajah cerah bukan
karena bayi kami. Tapi karena surat-surat itu!
Teriris perasaan saya. Heran. Padahal saya masih
belum tahu, apakah saya cinta padanya. Tapi kemungkinan munculnya kembali seorang kekasih
dari masa lalu, membuat saya pedih. Dan tak berdaya. Saya sudah tahu, dalam hal keromantisan
dan seni bahasa mesra, saya ketinggalan jauh.
Tapi bila saya sekarang mau marah, kemungkinan dia akan benar benar pergi. Dan saya akan
rugi dua kali. Kehilangan istri serta kehilangan
anak. Ah.
Sebaliknya, bila saya diam saja, barangkali
dia tidak akan meladeni orang itu lagi. Surat itu
akan dianggapnya tingkah polah anak ingusan.
Sementara suaminya dengan karakternya yang
kuat akan dianggapnya betul-betul sudah dewa
sa. Setiap wanita apalagi yang manja seperti
Manel biasanya akan memilih laki laki yang
dewasa.
Begitulah, sejam sebelum pulang ke rumah,
timbul reaksi ketiga yang saya anggap paling
baik.
Saya memutuskan akan diam saja. Supaya
saya dapat diam saj a tanpa kehilangan harga diri,
maka saya akan pura pura tidak tahu menahu
199 tentang surat itu.
Manel juga tidak memperlihatkan sikap heran
melihat saya berdiam diri. Dia tetap cerah seperti biasa. Senandungnya yang agak sumbang
tetap mengudara. Apa boleh buat. Sebab kami
tidak mempunyai radio yang dapat dengan halus
menyuruhnya diam.
Satu hal yang mencemaskan saya. Rasa curiga saya pada Manel mendadak timbul. Saya tahu,
ini tidak betul. Tapi saya tidak dapat mencegah
perasaan ini. Memang di balik karakter yang
kuat, saya sebenarnya rapuh sekali. Peka dan mu
dah curiga. Sudah tentu semuanya itu berusaha
saya tutupi walaupun dengan susah payah. Akibatnya, jiwa saya jarang tenang. Dia harus selalu
siaga. Selalu tegang.
Ketika mulai hidup berdua dengan Manel,
perasaan saya mulai menjadi tenang. Saya dapat
lebih banyak menikmati humor atau mengatakan
sesuatu yang penuh humor. Di kantor, saya lebih
banyak berkumpul dengan rekan-rekan. Bila ada
yang tertawa, saya tidak lagi merasa ditertawakan. Bila saya masuk ruangan dan mereka saling
sikut, saya tidak lagi merasa malu atau panas-dingin, walaupun saya tahu, itu karena saya. Saya
malah bangga, bahwa anak buah saya segan pada
supervisor mereka.
Pokoknya, kepercayaan diri saya bertambah.
Karena Manel Ya, karena dia. Bukan main rasanya, sebagai laki-laki ditunggu pulang, digantungi harapan naik pangkat, disediakan makanan.
200 Seorang wanita telah menyerahkan hidupnya
ke tangan saya. Bagaimana tidak akan bangga
hati saya!
Namun kini! Manel juga menimbulkan rasa
curiga dalam benak saya. Bila dia berbaring di
samping saya, pertanyaan hilir-mudik dalam pikiran saya. Dengan siapakah dia telah berbuat curang Siapakah yang hendak dimasukkannya ke
dalam sepatu saya
Dalam kedua matanya yang penuh binar-binar
itu saya coba membaca isi hatinya. Dia menutupinya dengan senyum manis dan belaian sayang.
Ah, palsu semua. Kau pura pura membelaiku, padahal dalam hati bukan namaku yang kau sebut.
Bila aku mati sekarang, siapakah orangnya
yang akan menggantikan aku Apakah kau ingin
aku mati Apakah Manel ingin saya mati Berat
rasanya hati ketika harus menjawab: mungkin.
Mengapa
F irasat inilah yang menimbulkan kecurigaan
saya padanya. Manel sudah tahu, sudah sering kali saya beri tahu, bahwa saya paling takut
memakan makanan kaleng. Terutama ikan serta
daging. Kadang-kadang juga buah serta jamur
kaleng.
Sebelum menyenduk daging kaleng, selalu
terpikir oleh saya: akan matikah saya kali ini
Sejauh itu saya selamat, tapi kali ini Apakah
kalengnya melembung tadi Apakah sudah cukup
lama airnya dibiarkan mendidih Seandainya benar mengandung racun, berapa jam yang akan
201 saya peroleh Apa yang harus saya lakukan dalam waktu singkat itu Rumah sakit mana di
Jakarta yang dapat menolong korban keracunan
makanan kaleng Bagaimana menelepon rumah
sakit itu Bagaimana minta supaya ambulans
mau lekas datang Berapa uang yang saya harus
hamburkan dalam menyelamatkan j iwa saya
Seandainya, seandainya, saya tidak lagi tertolong, bagaimana dengan Manel Siapa yang akan
memeliharanya Siapa yang akan memenuhi
nafsu pemborosannya yang tak kenal padam itu
Cukup banyakkah saya meninggalkan warisan
untuknya Untuk diboroskannya Atau akan terpaksakah dia mencari laki-laki lain yang akan dijerat oleh kata kata manis ibunya Untuk kemudian disiksa oleh beliau supaya naik pangkat
dan naik gaji tiap tahun Ibu mertua saya bukan
orang jahat. Apa yang dilakukannya semata-mata demi kepentingan serta kesejahteraan anaknya belaka. Menantu harus naik gaji, supaya anak
perempuannya dengan leluasa dapat menderma
pada setiap toko yang menarik hatinya. Itu cuma
bukti cinta kasih ibu. Persetan dengan menantu.
Dia kan anak orang lain!
Saya tahu, saya tidak boleh curiga pada
Manel. Dia kan belahan jiwa saya sendiri. Tapi
kadang-kadang ada saatnya, kita tidak mempercayai diri sendiri, bukan Kita khawatir, apa yang
akan dilakukannya akan mencelakai kita. Misalnya saja, balas memaki majikan. Bagaimana kita
dapat membiarkan diri kita berbuat seperti itu,
202 sedang kita tahu kita sendiri yang akan celaka.
Bukan majikan.
Nah, saya kini mulai curiga pada belahan
jiwa saya sendiri. Bagaimana saya dapat merasa
bahagia dalam keadaan seperti itu Curiga pada
sebagian dari diri kita. Sebagian dari jiwa kita.
Alasannya mungkin sepele saja. Manel kini sering sekali menyajikan makanan kaleng! Itu belum seberapa. Dia menyatakan tidak begitu suka
makanan makanan mahal itu selalu dibelinya
buatan luar negeri yang harganya semahal setan,


Sembilu Bermata Dua Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

namun tetap tidak dapat menghilangkan kekha
watiran saya jadi sangat jarang sekali ikut makan. Sekali ini, dia sudah makan. Lain kali, dia
mual, bayi yang dipersalahkan. Pokoknya, dia
tidak usah ikut makan makanan yang mungkin
beracun itu.
Apakah dia ingin saya keracunan Zaman sekarang, boleh dibilang sudah tidak ada makanan
kaleng yang beracun. Tapi orang dapat juga mati
ketakutan, bukan Mati karena khawatir yang
mendalam.
Berapa lamakah ketakutan serta kekhawatiran
ini akan menyeret saya ke kuburan Apakah saya
akan tinggal diam menghadapi istri yang ingin
curang bersama orang lain Apakah saya sudah
begitu bodoh
Saya makan dulu sebelum pulang ke rumah.
Restoran dan tempat makan kecil tidak terhitung
jumlahnya di Jakarta, dengan atau tanpa lalat.
Mengapa membiarkan diri dikecoh oleh istri
203 Bukankah istri itu hidupnya tergantung dari kita
Mengapa kita biarkan dia menguasai kita
Tentu saja Manel ngambek. Di mana kau makan Dengan siapa Habis berapa Makan apa
Ketika saya makan di luar tiga hari ber
turut turut dia meledak.
"Kau tidak menghargai aku! Kau boros! Kau
pasti punya simpanan! Aku mau pulang ke rumahku!"
Tentu saja maksudnya, rumah ibunya. Hati
saya berdarah. Lima tahun sudah saya menyer
ahkan kesantaian saya padanya demi memenuhi
keinginannya supaya tidak usah bekerja terus di
kantor, dan kini dia menganggap rumah ini bukan
rumahnya! Rumahnya masih tetap rumah ibunya
itu. Lima tahun sudah saya mengharuskan diri
naik pangkat setiap tahun walaupun tidak selalu berhasil, paling tidak saya sudah naik pangkat
menjadi kepala bagian dan kini dia mau pulang
ke rumahnya!
Sampai lemas badan dan habis tenaga saya,
ketika harus bersumpah, bahwa saya tidak punya
simpanan. Tentu saja dia masih belum tahu, betapa pemalunya saya menghadapi wanita wanita
asing. Kalau dia tahu, wah, bertambah besar semangatnya untuk menyiksa saya yang tidak dapat
pergi kemana-mana lagi.
Saya berjanji tidak akan makan di luar lagi
dan dia berjanji tidak akan meneruskan insiden
itu pada ibunya. Tentu saja saya tidak percaya
204 akan janjinya. Ini juga sebuah gej ala gawat yang
baru akhir-akhir itu saja timbulnya. Sejak saya
merasa cuma dijadikan pemacak, hubungan ibu
dan anak itu tampaknya makin erat saja. Sekali,
pernah saya dapati mereka terkekeh berdua. Apakah Manel menceritakan tentang tai lalat jelek
yang hinggap di paha kanan saya
Waktu itu saya demikian bingung menghadapi
ledakannya sehingga saya lupa mengatakan mengapa saya suka makan sebelum pulang sore hari.
Jadi makanan kaleng itu tidak disinggung-singgung. Manel juga tidak terpikir akan mencari
biang keladinya di situ. Jadi dia terus menyajikannya, paling sedikit empat kali seminggu. Ketika saya tanya mengapa kaleng terus, dij awabnya:
Bayi ini menyebabkan aku malas bekerja. Aku
malas ke pasar. Aku malas bangun.
Karena bayi itu akibat perbuatan saya juga,
jadi saya tidak dapat menyalahi sikapnya. Tapi
saya belum putus asa. Saya masih ingin hidup
panjang. Kalaupun harus mati, setidak-tidaknya
bukan karena keracunan atau ketakutan kronis.
Saya tetap ingin makan di luar, tapi kini ber
sama dia. Mula-mula dia mau. Tapi bayi kami
menyebabkan dia menyeret kami ke warung mie
terus. Tentu, saja tidak sehat tiap sore makan
mie saja. Juga perut saya tidak kenyang dengan
memuaskan.
Ketika saya ajak dia ke tempat lain, dia mogok makan dan cuma pesan air kelapa. Buset. Susahnya menghadapi perempuan hamil. Kalau ini
205 bukan akibat tindakan dan nafsu saya sendiri,
mungkin sudah saya tinggalkan dia. Dipikir pik
ir, hidup membujang tidak ada jeleknya, walaupun menurut penyelidikan, umur pembujang lebih pendek daripada umur suami. Barangkali itu
dimaksud suami-suami yang istrinya bisu, tuli,
atau bebal. Bukan anak bungsu, cantik, bekas sekretaris, dan berotak serta cerewet.
Akhirnya saya minta nasihat pada kawan-kawan saya yang jumlahnya dapat dihitung dengan
jari itu. Memang sedikit, tapi mereka semuanya
orang-orang bijak. Bagi saya, bukan jumlah yang
penting, melainkan mutu.
Mereka tercengang mendengar kebodohan
saya. Tidak ada laki-laki lain yang lebih istimewa dari saya, kata mereka. Dalam hal kebodohan.
Itu namanya membiarkan diri dijajah perempuan.
Bahkan lebih fatal lagi menurut mereka, perem
puannya bukan cuma istri, tapi termasuk mertua.
Ah, mereka belum tahu kelemahan saya
menghadapi kata-kata manis serta perhatian dari
ibu mertua. Apalah artinya keharusan naik gaji
sekali setahun, bila kita sudah dibelai-belai oleh
suara yang halus dan mesra itu ! Itulah ibu mer
tua, saya. Tempo-tempo saya sendiri tidak men
gerti, mengapa saya berperasaan bahwa beliau
menyiksa batin saya dan ingin memperkuda saya
untuk Manel. Padahal suara beliau selalu manis,
sikap beliau juga penuh perhatian.
J adi apa yang mesti aku lakukan, teriak saya
pada mereka. Semuanya menertawakan saya dulu
206 sebelum menjawab. Mentang mentang gratis.
Coba mereka menertawakan orang lain, paling
sedikit akan kena bogem mentah. Saya sendiri
tahu, alangkah nyamannya bila dapat menertawakan kemalangan orang lain atas biaya yang
bersangkutan.
Saya terpaksa membiarkan mereka tertawa.
Tapi cuma sekali ini saja, kata saya dalam hati.
Saya berj anji akan lebih hati-hati dan setelah ini,
tentunya saya akan lebih berpengalaman.
"Jadi istrimu sudah dua kali menerima surat
kaleng Dan kau tidak diberi tahu Ha ha...
ha."
Tentu saja saya tidak mau mengatakan, bahwa itu dari kekasih Manel di zaman silam. Lebih-lebih lagi tidak saya katakan, bahwa dia telah
membalas surat yang pertama! F atal. F atal. Baru
surat kaleng saja, lihatlah betapa mereka mencemooh saya.
"Begini. Kalau datang lagi surat berikutnya,
kau hadapi istrimu dengan tegas dan tanyakan,
dari mana itu. jangan biarkan dia mengelak dengan berlagak tidak berdosa. Paling tidak, penulis
surat itu tahu nama serta alamatnya. jangan takut
dengan istri! Cerai satu, kawin lagi!
Nasihat itu cukup berbobot, namun tidak melegakan hati saya. Pembicaranya memang menganut sistem cerai-kawin lagi, namun sejauh itu
sudah sering saya dengar dia mengeluh ke alamat
istri tanpa mengambil tindakan drastis seperti paham yang dianutnya. Bila saya nanti sudah ke
207 hilangan Manel, bagaimana bila dia malah lebih
lagi menertawakan saya
"Jangan khawatir," kata kawan yang seorang
lagi, "selama itu cuma surat kaleng, tidak berbahaya. Mungkin dia malu memperlihatkannya
padamu. Engkau pura pura saja tidak tahu. Sementara itu kau harus lebih memperhatikan dia.
Lebih banyak memujinya. Lebih sering membelainya. Lebih hangat mengatakan bahwa kau cinta padanya. Tidak ada perempuan yang dapat bertahan digempur sekeras itu. Mereka semua haus
akan kata-kata serta belaian cinta. Berapa banyak
perempuan yang kawin dengan laki-laki miskin
Kaukira karena apa Karena laki-laki itu pandai
memutarbalikkan lidahnya! Perempuan tidak
hidup dari udara belaka. Mereka butuh cinta!"
Berkeringat dingin saya mendengar petuah
itu. Kawan saya betul-betul sudah lulus gemblengan dari istrinya. Memujinya. Membelainya.
Mengatakan aku dan cinta dan kau. Semuanya
itu justru yang tidak mungkin saya laksanakan.
Menurut saya, itu kelemahan namanya. Tempatnya cuma di layar putih dalam bioskop. Laki-laki,
menurut gambaran ayah dan saya, adalah orang
yang gemar petualangan di samudra lepas, miripmirip Sinbad, tidak gentar bila harus memancung
kepala harimau, tidak tergetar mendengar ratap
tangis perempuan, keras dan kukuh dalam pendirian.
Petualangan di samudra sudah tidak mung
kin lagi dengan adanya kapal kapal besar yang
208 modern. Memancung kepala harimau tidak perlu
lagi, sebab kebanyakan sudah masuk kerangkeng
sirkus atau kebun binatang. Tapi pasal yang mengenai perempuan, itulah saya. Pendirian yang
kukuh serta keras. Tidak tergoda oleh perempuan.
Namun bila saya harus kehilangan Manel, ras
anya suram juga hidup ini. Tapi, apakah alternatif
lain cuma membelai serta membisikkan kata-kata
cinta Tidakkah seluruh amplop gaji, saya serahkan padanya tanpa dibuka Belum cukup
Bagaimana caranya membisikkan kata-ka
ta yang demikian, yang akan membuat seorang
perempuan melekat pada kita Saya tatap kawan
saya tanpa dapat meminta tolong padanya. Harga
diri serta karakter saya yang kuat mencegah saya
minta tolong.
J adi pulanglah saya dengan setumpuk nasihat
dan sebutir harapan. Tidak tahu saya bagaimana melaksanakan nasihat-nasihat itu, tetapi satu
hal sudah pasti: saya tidak mau diberi sajian
makanan kaleng lagi! Ketika saya katakan begitu
pada Manel, dia mengangkat bahu tanpa komentar. Sej ak itu lega hati saya. Kemungkinan terkena racun tidak ada lagi, sebab makanan berganti
dengan buatan sendiri. Ya kadang-kadang tawar,
ya kadang-kadang asin. Barangkali kandungan
nya membuat dia malas mencicip masakan. Sebagai laki-laki, saya harus menanggung akibat
perbuatan saya sendiri. jadi saya maafkan dia.
Selama dua bulan saya hidup tenang kembali.
Tidak ada sepucuk surat pun yang datang. Tamu,
209 cuma ibu mertua yang memang sering kontrol
keadaan anaknya. Nasihat-nasihat kawan-kawan
saya buang ke keranjang sampah. Tanpa melakukan tindakan apa apa, ternyata persoalan itu
bubar mengasap ke langit dan menghilang.
0 la, 0 la, betapa panik hati kecil saya ketika pada suatu petang saya jumpai tulisan itu lagi
di atas meja saya. Sudah keterlaluan ini! Tidak
dapatkah dia membakar atau membuang surat
itu agar tidak sampai terlihat oleh saya Apakah
dia sengaja meletakkannya di situ Saya rasa,
memang sengaja. Jadi dia ingin menguji saya.
Dikiranya saya tidak dapat menjadi marah Atau
dia memang ingin saya marah
Keinginan perempuan hamil memang anehaneh. Baiklah, bila dia ingin saya marah. Tapi dia
ingin atau tidak, kesabaran saya sudah habis.
"Manelll"
Dia muncul. Tersenyum! Buset. Apakah dia
kini sudah tidak waras Tidakkah dilihatnya bahwa saya marah Dia malah tampak senang.
"Dari mana ini " hardik saya sambil memukul
meja dengan keras tak terkira.
"Apa "
Surat itu saya lempar ke hadapannya. Baru
pertama kali itu saya berlaku kasar padanya.
Tapi salahnya sendiri. Itu sudah surat ketiga. Dia
membungkuk dan memungut jahanam itu dari
lantai. Sabar betul sikapnya. Terharu juga saya
melihat dia membungkuk seperti itu. Waktu itu
sudah bulannya yang kelima. Perutnya sudah
210 betul betul buncit.
"Oh ini!" Ah, diletakkannya surat itu kembali
di atas meja.
"Dari siapa "
"Ah, bukan dari siapa-siapa. Cuma dari sepu
puku."
"Sepupu menulis surat semesra itu !"
Dia tersenyum. Binar-binar dalam matanya
sangat penuh rahasia.
"Sepupu jauh."
"Aku tidak peduli! Kau tidak boleh melayani
surat surat seperti itu bila kau masih ingin men
jadi istriku!"
Dia terhenyak, kemudian berlinang air mata.
Saya sadar setelah terlambat. Keadaannya saat itu
sebenarnya melarang saya berlaku keras padanya. Dia tentu lebih peka dari hari-hari biasa.
"Aku tahu, kau memang tidak cinta padaku!"
cetusnya, lalu tiba-tiba meledak bendungan air
matanya.
Nah, nah, saya paling tidak berdaya menghadapi air mata. Saya bingung dan ngeri. Selama
ini belum pernah dia menangis di depan saya. Dihempaskannya dirinya ke atas kursi dan disembunyikannya wajahnya dalam telapak tangannya.
Saya hampiri dia dengan kikuk. Saya belai
rambutnya dengan ragu-ragu sementara seribu
pikiran menerj ang hati saya. Mengapa saya telah
sekasar itu Mengapa bukan saya tegur dia dengan lembut Mengapa belum pernah saya belai
rambutnya selama ini Mengapa tidak dapat saya
211 katakan isi hati saya padanya Cinta atau tidak,
saya tahu, saya tidak dapat hidup tanpa dia. Saya
tidak boleh membiarkannya pergi. Saya ingin terus bersamanya.
"Ya, Manel, aku tidak dapat hidup tanpa engkau. Janganlah menangis. Maafkan kekasaranku
tadi. Barangkali aku sudah dibakar cemburu. Ya,
aku cemburu...."
Rrrrrttt... kata-kata itu sudah meluncur keluar
dari mulut saya. Selebihnya terasa mudah, biasa
dan terjadi dengan sendirinya.
Saya curahkan semua isi hati saya yang
membanjir ke luar seolah takkan mau berhenti.
Mula-mula dia masih tidak mengacuhkan saya.
Namun perlahan-lahan isaknya terhenti. Dia
tersenyum di antara air mata dan binar-binar dalam kelereng kelereng coklat itu muncul kemba
li. Ah, Manel. Engkau seharusnya mendapat
orang yang lebih mesra dari aku. Anak bungsu
yang biasa dimanja, sekarang dan kapan pun kau
akan selalu menuntut perlakuan lembut dan istimewa. Aku akan berusaha memenuhi keinginanmu itu, asalkan kau tetap bersamaku.
Sejak itu saya melatih diri untuk lebih mem
perlihatkan perasaan cinta saya padanya. Sebab
jelas sudah, saya mencintainya. Kerbau dungu
pun akan mengerti hal itu. Cuma saya yang lebih
dungu dari dia.


Sembilu Bermata Dua Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lambat tapi pasti, hasilnya mulai nyata.
Manel menjadi lebih manja lagi pada saya. Ka
212 dang-kadang meliuk-liuk seperti Musi bila saya
membelainya.
Dia mulai merawat kembali kucing dan anjing
kami. Dia mulai membuka kembali kumpulan
buku masaknya.
Sepupunya tidak pernah menulis lagi. Betulkah itu surat sepupunya Dalam keranjang
sampah, pernah saya temukan cabikan kertas
yang penuh dengan tulisan tangan Manel. Dia
berlatih menulis. Mengapa
Kelak, bila ibu mertua saya sudah lebih ramah
pada saya, akan saya tanyakan siapakah sepupu
jauh yang kurang tahu adat itu.
Saya takkan heran bila orang itu cuma hidup
dalam pikiran Manel. Tapi saya sudah menerima
pelajaran saya, dan seperti kawan-kawan yang
lain, saya pun telah menjadi bijak berkat gemblengan istri.
213 SEMBILU
BERMATA
DUA I Niha tidak mempunyai status lain kecuali
sebagai istri dan ibu. Demikian kokohnya
status itu, sehingga kenalan-kenalan dan tetangga
semua memanggilnya dengan "Nyonya Niha".
Tidak ada lagi yang ingat atau tahu siapa nama
kecilnya. Bahkan suaminya menyebutnya dengan
"Ma".
Dan Nyonya Niha tampaknya bahkan
menyukai panggilan-panggilan itu. Dia bangga
dengan keluarganya. Suaminya bekerja sebagai
kontraktor bangunan. Cempaka, dalam usia sem
bilan belas tahun merupakan mahasiswi elektro
yang pandai serta rupawan. Kedua adik laki-lakinya, Tobi dan Beni, merupakan murid sekolah
menengah teladan. Lincah, aktif, tapi tidak
kurang aj ar.
Tuan Niha berusia empat puluh sembilan
jalan dua bulan. Menjelang ulang tahunnya dulu,
dia tampak agak berubah. Istrinya gemar seka
li memperoloknya. Sekali, dia kedapatan tengah
mencoba coba belahan baru bagi rambutnya yang
sudah abu-abu diserbu uban. Disisirnya rambutnya ke belakang semua, lalu dibelahnya di tengah, seakan membelah durian. Tapi rambut yang
sudah biasa dengan belah kiri itu membandel.
Tuan Niha tidak menjadi kewalahan. Dia sudah
P ada usia empat puluh lima tahun, Nyonya
215 siap sedia dengan sebotol Tancho yang baru per
tama kali dibelinya. Diolesnya tebal-tebal. Tidak
mengapa sedikit berminyak, pikirnya, pokoknya
harum dan dapat terbelah di tengah.
Ya, akhirnya kepalanya yang lonjong macam
semangka itu berbelah juga di tengah. Mukjizat!
Dia betul-betul tampak lebih muda. Lebih keren.
Betul kata Kastaneda, laki-laki berbelah tengah
akar selalu awet muda. Sekarang tinggal celana
putih dan sepatu putih!
Tengah Tuan Niha menikmati bayangan cer
minnya, muncul tiba tiba sang betina mengantar
suara tertawa yang sarat dengan cemooh serta kata terpatah-patah menganggap lucu semua
gerak-geriknya. Tuan Niha mendelik. Ingin rasanya dicekiknya leher yang telah melahirkan
bunyi bunyian yang menyakitkan hati itu.
"Apanya yang lucu " hardiknya dengan wibawa seorang raja.
"Apanya Semua! Aduh, aduh, Pa. Lupakah
kau berapa umurmu Lupakah kau anakmu sudah
berpacaran Aduh, aduh, apanya yang lucu Ubanmu kalau dicabuti, sudah bisa ditenun... begitu
banyak jumlahnya! Dan kini... dan kini... sejak
kapan kau suka dengan pomade Bukankah katamu, bantal lekas kotor "
Tuan Niha tidak memuntahkan kejengkelannya saat itu, namun menyimpannya diam-diam di
hati. Dibiarkannya dirinya ditertawakan macam
badut sirkus yang dibayar untuk menggelitiki ulu
hati. orang. Nyonya Niha tidak pernah menyadari
216 berapa dalam alur perasaan suaminya mengalir.
Selama itu dia mengenal sang suami sebagai laki-laki yang pendiam, pengalah, tidak banyak
cakap. Omongnya sedikit, seakan akan sepatah
kata dari bibirnya harganya sejuta sen. Namun
begitu, laki-laki itu ramah dan hangat pada kelu
arganya. Baik hati. Setia. Segala apa yang didengar Nyonya Niha dalam pertemuan arisan, yang
menyangkut riwayat rumah tangga orang lain,
takkan terjadi padanya. Suaminya senang diam
di rumah, kecuali untuk urusan kantor.
Satu-satunya keanehan Tuan Niha, kalau ini
mau dianggap keanehan, adalah sikapnya akhir akhir itu. Gemar berputar-putar di muka cermin. Mulai senang berdandan. Kemeja dan kaus
kaki yang dibelikan istrinya, tiba-tiba dianggapnya kurang cukup pantas baginya. Dia pergi sendi
ri membelinya. Lalu mencobanya bermenit menit lamanya di depan cermin. Berputar-putar
bagaikan kincir disentuh angin. Istrinya terpaksa geli hati, tapi Tuan Niha tidak meladeninya.
Nyonya Niha mengangkat bahu. Dibenahinya
kegeliannya dalam relung hati seorang istri yang
bahagia. Dia sama sekali tidak merasa terdorong
untuk melahirkan kekhawatiran atau memeriksa
per suaminya yang mana yang menjadi loncer.
Menurut pikirannya, dalam lipatan-lipatan usia
menjelang senja, mungkin saja suaminya telah
menemukan simpanan ulah kegilaan yang belum
sempat dikenakannya semasa muda. Lumrah saja
bila baju kebesaran itu mau dicobanya sekarang,
217 sebelum rusak dimakan ngengat.
J adi dibiarkannya Tuan Niha mengumpulkan
kebiasaan-kebiasaan baru yang memang aneh
baginya. Laki-laki itu bagaikan menyandang
jubah mewah yang kedodoran, menimbulkan geli
siapa saja yang selama itu mengenalnya. Tentu
saja, yang paling geli adalah istrinya. Sebab dia
yang mengenalnya paling dalam selama itu.
Entah sejak kapan, Tuan Niha mengambil
kesimpulan, dia perlu deodoran. Maka setiap
pagi kamarnya penuh wangi pomade bercampur
semprotan deo. Dia juga mencampakkan sepatu hitamnya. Putih kini merupakan warna kesayangannya. Nyonya Niha mengerutkan kening.
Sebenarnya dia kurang suka dengan warna itu.
Entah dari siapa telah didapatnya bibit pikiran
itu, namun hingga kini, dia selalu menghubungkan sepatu putih dengan laki-laki mata keranj ang
yang tempatnya dalarn klub-klub hiburan.
Tapi dia tidak melarang. Menurut pendapatnya, istri yang bijak adalah dia yang tidak mau
menggunakan hak vetonya. Dibiarkannya suaminya duduk betah menyemir sepatu putihnya
tiga hari sekali dengan cololite.
Nyonya Niha yakin sekali, suaminya dulu
bermimpi ingin menaklukkan betina seluruh
jagat. Tapi rupanya, sebelum niat itu terlaksana, telah muncul seorang Lady Godiva di atas
kuda putihnya yang tak dapat ditolak oleh sepotong hati jantan yang kering kehausan cinta.
Mimpi di permulaan musim itu agaknya telah
218 dibuang tergesa-gesa ke dalam danau ingatannya yang tak berbatas. Dilupakan selama dua puluh tahun. Kini, setelah anak-anak besar, rumah
tangga tenang, keuangan stabil, dalam kesantaian
hidupnya, laki laki itu rupanya iseng mengail di
tepian danau mimpinya. Dan dari tengah-tengah
ingatannya, muncul kembali hasrat itu. Seperti
sepatu tua yang tidak berguna, dia muncul membawa senyum untuk setiap kenangan.
Nyonya Niha juga tersenyum. Dia merasa
geli, namun dapat memahami mimpi suaminya.
Laki-laki itu tidak sempat membakar hangus
hati perempuan sekeping pun, kecuali hati istrinya. Nyonya Niha memang cantik. Sekarang
pun. Apalagi dua puluh tahun berselang. Dengan rambutnya yang hitam sepinggul panjang.
Dengan matanya yang coklat tua, dinaungi bulu-bulu menggulung lentik. Dengan hidungnya
yang manis bagaikan mawar seputik. Dengan
bibir-bibirnya yang merah, lembut menjanjikan
senyum sejuta makna. Dengan gigi-giginya yang
putih, berderet rapi.
Rambutnya sekarang tidak lagi panjang. Untuk menyesuaikan diri dengan waktunya yang
terasa menciut. Nyonya Niha rela memotong ser
ta mengeriting mahkotanya. Dengan begitu dia
mempunyai lebih banyak waktu bagi suami serta
anak anaknya.
Bibir bibirnya yang masih merah dan lembut, mengulum senyum cerah. ltulah caranya
yang paling mujarab untuk mempercantik diri.
219 Senyum perempuan yang paling indah. Ramuan
rasa bahagia, damai, aman, serta terpenuhi. Nyonya Niha tidak dapat menyebutkan kekurangan
suaminya. Baginya, laki laki itu sudah lebih dari
cukup memenuhi dan merajai segenap liku liku
hidupnya serta rongga rongga cintanya yang pal
ing dalam.
Tidak. Tingkah laku suaminya tidak
menyorongkan tanda tanya baginya. Laki-laki itu
cuma ingin menjangkau kembali masa mudanya yang masih menggelantung di awang awang
dan belum pernah dicecapnya. Tapi Nyonya Niha
yakin, bila yang dijangkau sudah berada dalam
genggaman, suaminya akan merasa muak dan
bosan, lalu mencampakkannya kembali.
Tidak. Tidak ada bahaya apa-apa. Biarlah
dia bermain-main sejenak dengan dirinya. Dia
sudah bekerja keras demi keluarganya. Sudah
lama dia melupakan diri sendiri. Biarlah dia kini
bersenang senang. Bila dianggapnya celana dan
kemeja putih itu cocok baginya, nah ya, Nyonya
Niha cuma tersenyum dalam hati. Rupanya anak
laki-lakinya bukan cuma dua, melainkan tiga.
Masih satu hal lagi yang termasuk koleksi
kebiasaan baru dari Tuan Niha. Kini laki laki
itu lebih sering menuntut cintanya. Bukan cuma
kehambaran yang rutin, namun ramuan muskil
dari wangi-wangian, buku bacaan, percakapan,
raba-rabaan serta beratus bab lainnya. Semua itu
dinyatakannya termasuk dalam arena cinta sepasang manusia.
220 Nyonya Niha merupakan perempuan produk
massa. Pikirannya merupakan pikiran massa.
Pendapatnya dibentuk pula oleh massa. Tabunya
adalah tabu massa. Bekal perkawinannya adalah
bekal yang diberikan massa. Dalam seluk-beluk
cinta pedomannya sangat sederhana: melahirkan
anak. Di situ sudah tercakup sukses, bahagia, dan
semua-muanya yang merupakan bagian dari kehidupan perempuan yang sempurna.
Kebiasaan baru suaminya itu agak asing baginya. Berhandai-handai tentang cinta, apalagi harus menyatakan apa yang dia suka, membuatnya
kikuk. Darah menyembur hangat ke muka dan
kepala. Dia tidak pernah mampu berkata,
Apa yang disukainya Adakah kenikmatan
lain yang belum pernah dikenalnya Ah, aku
malu dan segan, pikirnya. Suami tetap suami.
Tapi seks baginya tidak berwarna warni. Dari a
sampai z, maknanya cuma untuk beranak serta
memuaskan laki laki. Kurang puaskah suaminya
selama itu Tak pula dapat direkanya. Dia tidak
tahu bagaimana melahirkan pertanyaan sepeka
itu. Sedang suaminya seusai tamasya cinta, selalu melelapkan diri dalam mimpi dengan senyum
mulus terekam di atas waj ahnya yang datar,
sepanjang malam.
Dia sendiri, setelah itu, juga akan cepat lena.
Tapi tingkah laku suaminya belakangan ini membuatnya terjaga penuh was-was. Dia tetap kikuk
menghadapi gagasan-gagasan barunya. Kalau berani terus terang, dia bahkan tidak pernah
221 mendengar tentang semua keanekaragaman langkah dalam taman Hrdaus, beberapa di antaranya
malah membuatnya kaget, seakan menghadapi
suatu horor yang menakutkan.
Tidak tunai juga pikirannya menghadapi
pertanyaannya sendiri, dari mana saja manusia
memperoleh ide-ide itu. Dan dari mana suaminya memperoleh idenya Sedikit benih prasangka
yang tertabur dalam hati, segera dicampakkannya
dari persemaian. Yang seperti itu takkan dibiarkannya tumbuh. Suaminya tidak kenapa kenapa.
Dulu tidak pernah bertandang ke WTS, sekarang
pun dia pasti tidak akan main main ke sana.
Hanya kerut kening Cempaka agak merisaukannya. Gadis itu sedang menjejakkan kaki
mendaki lanjaran kedewasaan. Dia tahu, proses
itu sulit, makan waktu dan kesabaran. Rintan
gan rintangan pun membukit, siap membuat pendakinya terperosok ke bawah, meluncur dalam
kegelapan yang membutakan mata dan menyak
itkan hati.
Nyonya Niha sangat mencintai putrinya. Dia
ingin gadisnya selalu bahagia. Tapi Cempaka selalu kelihatan masam bila tengah melirik ayahnya
dari ujung sepatu putih sampai ke belah rambut
nya di tengah.
"Huh, Papa sekarang genit!" tuduhnya den
gan nada benci. "Pasti ada main!"
"Hus, Kaka! Kau tidak boleh bilang begitu,"
tegur Nyonya Niha, sementara suaminya bersituli saja. Menjengkelkan kadang kadang. Semua
222 orang di rumah dianggapnya cuma bayangan.
Perhatiannya yang dulu hangat dan penuh, kini
sudah meluntur terendam kebosanan, barangkali.
"Ah, Mama selalu membela Papa. Tapi aku
yang malu, Ma. Bagaimana kalau dilihat ka
wan kawan Apalagi Arman Bagaimana kalau
mereka mencemooh "
Kalau sudah begitu, Nyonya Niha membisu.
Dia tidak tahu harus bilang apa: Ada sebagian
dirinya menghendaki anak-anak hormat pada
ayah mereka. Namun sebagian lain dirinya men
ganggap suaminya memang agak keterlaluan.
Mendengar istri dan anaknya bertukar kata, dia
cuma mengangkat tangan untuk mengelus rambutnya yang sudah licin dipoles Tancho. Lalu dijentik-jentiknya kemejanya dengan ujung-ujung
jarinya seakan membersihkannya dari kotoran
yang sebenarnya cuma hadir dalam dugaann
ya. Kemeja itu baru serta bersih. Warnanya juga
tidak lagi biru, krem, coklat, atau abu abu. Mel
ainkan beralih kini ke spektrum yang lebih meriah. Kuning, merah, j ingga, hijau, ungu, atau putih
meletak.
Pagi itu Tuan Niha mengenakan kemej a


Sembilu Bermata Dua Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

merah bergaris putih. Cempaka mencibir dan
berdesis: kampungan. Tuan Niha mungkin tidak
mendengar. Dia asyik memperhatikan pertum
buhan kumisnya di dalam cermin wastafel dekat
kamar makan.
Sebenarnya dia tidak berkumis. Entah kenapa, mendadak dia ingin kelihatan ganteng seperti
223 Benyamin S. Dibelinya sebotol lotion penumbuh kumis dari seorang tabib di Sawah Besar.
Diolesnya bagian atas bibirnya pagi dan malam.
Cempaka pernah mengutarakan niatnya untuk
membuang isi botol itu ke WC dan Nyonya Niha
tergopoh gopoh menyembunyikannya. Dia tidak
mau perang dalam rumah. Kalau itu cuma soal
kumis, biarlah, pikirnya.
"Ada orang yang gemar mengumpulkan
perangko," katanya pada Cempaka. "Papa gemar
menumbuhkan kumis. Apalah salahnya "
"Mama tidak tahu sih. Papa pasti ada main,"
kata Cempaka dengan sikap dewasa yang keka
nak-kanakan.
Nyonya Niha senyum. Masakan anaknya lebih tahu dari dia yang melahirkannya
"Yuhui!" Tiba tiba Tobi sudah berdiri di
samping ayahnya. "Apa sudah tumbuh kumisn
ya, Pa Manjurkah "
"Bolehkah saya juga mencobanya " tanya
Beni. "Untuk sandiwara akhir tahun, saya harus
berkumis."
"Ah, anak kecil mana mungkin berkumis,"
sahut sang ayah sambil mengelus dagunya yang
kelimis. Bagian atas bibirnya sudah agak kasar,
namun kumis idamannya masih jauh dari kenyataan.
Berlainan dengan Cempaka, kedua adiknya
ternyata tidak keberatan melihat tingkah polah
ayahnya. Mereka tidak melihat keanehan apaapa. Atau boleh jadi belum dapat melihatnya.
224 Tobi dan Beni malah ingin meniru. Terkadang
merengek ingin T shirt berwarna meriah seperti
kemeja Papa.
"Belum tumbuh, ya," kata Tobi lagi menengok
ke dalam cermin, "barangkali palsu obatnya."
"Ah, mana mungkin. Buktinya, sudah mulai
tumbuh. Cuma lama."
"Tobi, Beni, lekas makan!" hardik Cempaka.
"Lihat, sudah jam berapa!"
"Dan kau!" kata Nyonya Niha menjawil lengan kemeja suaminya. "Apa tidak ke kantor "
Mereka sarapan berlima. Cempaka masam
terus. Dan tidak mau memandang ayahnya.
Matanya menatap piringnya melulu, seakan takut
ada beling yang tersuap olehnya. Tobi dan Beni
biasa saja. Banyak celoteh. Ayah mereka lain
pula cakapnya.
"Apa kemejaku di belakang sudah betul li
patannya " tanyanya pada istrinya. Dan kalau
belum betul, Nyonya Niha harus membetulkann
ya. Tapi biasanya, perempuan itu mengiakan saj a.
"Sudah betul, kok. Rapi," sahutnya berdus
ta. Dia segan membetul-betulkan. Nanti dia bisa
ikut ikut aneh.
"Rambutku " tanyanya sambil mengusap ba
gian belakang.
"Rapi," sahut yang ditanya tanpa menoleh.
"Kau tidak melihatnya!"
"Sudah. Tadi."
"Ubanku sudah terlalu banyak," keluh Tuan
Niha.
225 "Aku juga."
"Barangkali kita dapat menyemirnya "
"Aku Ogah. Kau-lah. Bila mau."
"Ya. Ya. Aku pikir, aku ingin menyemir rambut ."
"Kenapa tidak pakai rambut palsu saja, Pa "
tanya Beni. "Dalam sandiwara, kita semua
disuruh memakainya. Hebat, deh. Wajah kita jadi
lebih keren."
"Rambut palsu Ah, tidak. Panas. Kulit kepalaku tidak dapat bernapas nanti."
"Betul, Pa," kata Tobi menimpali; "bagaimana kalau ada angin kencang dan lepas Wah,
malu sekali."
Cempaka mendelik pada adiknya, tapi Tobi
tetap nyengir lucu.
"Kau betul. Memang lebih baik disemir dari
pada ditambal. Barangkali kau dapat membelikan
aku obatnya, Cempaka "
"Tak ada waktu," sahutnya ketus.
"Biar aku yang beli," kata Nyonya Niha, pasrah. "Sebut saja mereknya."
"Cap burung merak, barangkali bagus Atau...
kautanyakan saja di toko."
"Mesti hari ini juga "
"Sebaiknya. Kau mau tolong menyemirkan,
Kaka Bukankah kau pernah ikut ikutan kursus
rambut setengah jalan "
"Biar aku saja," sahut Nyonya Niha cepat,
sebelum anaknya menumpahkan radang kata-katanya ke atas meja makan.
226 Ketika Tuan Niha sudah pergi, Cempaka
menyesali ibunya.
"Mama selalu melindungi Papa. Selalu membelanya. Lihatlah nanti akibatnya. Papa kan bu
kan anak kecil. Mengapa mesti dimanja "
"Cempaka, suami adalah anak pertama dari
seorang istri. Kita mesti memanjakannya agar
dia betah di rumah. Agar rumah tangga tentram.
Kelak kau juga akan melakukan hal serupa ini
bila kau sudah menikah."
"Ah," tolak Cempaka. "Tidak. Anak manja
akhirnya cuma akan bikin susah hati orang tua.
Diberi jantung, ingin hati. Diberi seelo, ingin
sedepa."
"Bijak betul, kau," kata Nyonya Niha
tersenyum membelai kepala anaknya. "Jangan
khawatir, Kaka. Mama tahu apa yang Mama
lakukan."
"Tapi Papa membuat aku malu, Ma. Bagaima
na bila ketahuan teman teman "
"Mereka takkan tahu."
"Mengapa Mama tidak berusaha menghentikan Papa "
"Ah, biarlah. Selama ini kita hidup susah. Papa
mesti membanting tulang. Sekarang keadaan kita
sudah membaik. Biarlah Papa santai sebentar.
Yang seperti ini takkan lama, Ka. Percayalah
Mama. Pergilah sekarang kuliah. Tenangkan hatrmu."
227 II yonya Niha membelikan semir
rambut yang dipesan suaminya. Dia
' ] juga memerlukan singgah ke salon
langganannya untuk mencuci rambut dengan
krem. Sedang tujuan utamanya adalah untuk
menyadap info soal pengecatan rambut.
Dari Cempaka dia mendapat firasat, takkan
memperoleh bantuan apa apa. Anak itu makin
lama makin menganggap ayahnya sebagai ayah
tiri, suami ibunya tok. J iwa dalam jenjang anak
tangga puber memang sangat perasa dan mudah
menjatuhkan hukuman yang tidak layak pada
orang orang dewasa di sekitarnya.
Nyonya Niha teringat ketika dia pertama kali
mendengar soal seks dari mulut pembantunya.
Dia terkejut bukan main. Bertelanjang dan
aduh, kotor sekali.
"Apakah ayah dan ibuku juga melakukannya " tanyanya menegaskan, berharap akan
mendengar kata tidak. Hingga kini, dia masih
dapat merasakan betapa kuat harapannya saat
itu, untuk mendengar bahwa orang tuanya bersih,
suci, tidak sekotor orang-orang dewasa lainnya.
Dan masih juga dapat dirasakannya kekecewaannya yang menyakitkan hati, ketika pembantunya
terkekeh, memperlihat kan gigi-giginya yang pu
tih dan rata bekas pangkur.
228 "Lalu, kau datang dari mana " balik tanya
pembantunya.
Waktu itu dia baru di SMP kelas satu. Pertanyaan seperti itu masih belum terj angkau oleh ke
cerdasannya. Dia memang sudah dua kali haid,
tapi apa itu haid dan apa hubungannya dengan
dirinya sebagai perempuan, dia tidak tahu. Ibunya juga tidak mengatakan apa-apa, kecuali mengajarnya bagaimana mengenakan kain pembalut
supaya bajunya di luar tetap bersih. Neneknya
bilang, sekarang dia sudah perawan. Apa artinya
perawan Dia cuma tahu, setiap anak perempuan
yang sudah besar selalu disebut perawan.
"Dari Ibu. Lantas, dari mana "
"Ya, dari Ibu. Tapi juga dari Bapak." Dia bingung.
"Setiap kali mereka pergi tidur, mereka melakukannya!" Wajah perempuan montok itu
menyeringai penuh pengalaman. Maha tahu.
"Apa " Hatinya mulai berdebar. Dia tidak
tahu apa yang ditanyakannya, tapi nalurinya ternyata menyimpan cadangan perasaan yang selama itu tidur lelap, dan kini mulai meletup-letup
mendebarkan hati, mendengar serangkaian kata
asing dari kepustakaan perempuan yang penuh
kehidupan itu.
"Itu." Pembantunya menertawakan kedun
guannya.
"Bagaimana... itu "
"Mereka membuka baju, seperti bila kita akan
mandi."
229 Hatinya terasa sakit. Pedih. Ternyata ayah dan
ibunya sama kotornya dengan orang orang dewasa lainnya. Dadanya betul-betul terasa nyeri,
sementara degup degup jantungnya terdengar
lantang di seluruh leher serta kepalanya. Pandangnya nanar menghunjam ke wajah bulat di
depannya dan bibirnya kemak-kemik menyuruh
pembantunya diam. Namun perempuan itu tidak
mengerti dan tidak mendengarnya. Dia sedang
asyik berceloteh menguras habis isi hatinya.
Karena tidak ada teman lain, anak ingusan pun
jadilah.
"Aku pernah melihat ayahmu menikam ibumu. Anak bodoh! Kau pucat. Tentu saja bukan
menikam dengan pisau... ah, kau, bodoh. Ibumu
meronta-ronta tidak mau. Rupanya ayahmu ter
lalu sering melakukannya. Ibumu meraih sapu
lidi yang tergeletak di atas ranjang, lalu memukul
ayahmu. Aku lekas-lekas menyelinap ke luar
kamar. Ketika ibumu sudah tidur dan rumah su
dah sepi, ayahmu datang kepa..."
Tapi anak SMP kelas satu itu sudah berlari
pergi sekencang-kencangnya. Dia tidak mau
mendengar kalimat itu sampai tamat. Perasaannya yang mendebarkan hati sudah cukup memberinya titik di situ.
Berhari, berminggu, bahkan berbulan, dia
tidak dapat menghilangkan perasaan jijik terhadap orang tuanya. Justru terhadap pembantunya, dia tidak merasa jijik. Dia merasa, lumrah
saja bila perempuan itu melakukannya. Sebab dia
230 memang agak jorok, seperti selalu dikatakan lbu
bila pakaian atau perabot kedapatan kotor.
Tapi ayahnya. Ibunya. Mengapa mereka harus
melakukannya Bila itu perlu untuk mempunyai
anak, mengapa mereka masih terus melakukannya hingga kini Bukankah anak mereka sudah
tujuh
Rasa jijik itu lama kelamaan berubah menjadi sikap melawan. Ines kurang mengindahkan
orang tuanya lagi. Dia malah tidak merasa perlu menghormati mereka. Perintah dan suruhan
ibunya sengaja dilupakannya atau dilakukannya
setengah hati.
Ines, nama kecil Nyonya Niha, menjadi
murung. Dia merasa kehilangan pegangan dan
pedoman. Selama itu dia selalu mengagungkan
orang tuanya, menjadikan mereka tokoh idealnya. Tapi sejak pembantunya membuka rahasia,
Ines tidak tahu lagi ke mana harus berlari. Hati
remajanya yang demikian rapuh menggapai kesana-sini mencari tonggak pegangan, namun dia
insaf, dia sebatang kara di tengah lautan kedewasaan yang kotor dan menjijikkan. Tak ada pulau karang yang dapat dijangkaunya. Semuanya
cuma ikan-ikan buas yang tidak dapat dimengertinya.
Ines merasa sangat kesepian. Mengadu pada
Ibu Guru Bukankah Ibu Guru juga bersuami dan
mempunyai anak Berarti dia juga melakukannya. Mengeluh pada Nenek Nenek juga dulu bersuami. Dia juga kotor.
231 Ines hampir putus asa. Dia bertekad, dirinya
akan tetap bersih. Dia takkan mau melakukan
yang kotor-kotor, apalagi yang disebut "sangat
menyenangkan" oleh pembantunya. Apa yang
dapat menyenangkan, pikirnya. Sedangkan
semuanya diliputi rasa malu. Membuka baju
Takkan pernah! Di depan laki laki pula! Yang asing! Sedang di depan abang abangnya saja belum
pernah dilakukannya.
Tahun-tahun remajanya penuh kesepian.
Setiap kali terbaring di tempat tidur, Ines selalu melayangkan pikiran ke kamar sebelah. Bila
keadaan sepi sepi, dia berpikir, mereka tengah
melakukannya. Dan hatinya sakit bercampur jijik. Dia merasa semua orang dewasa kotor, tidak
dapat dipercaya, mementingkan diri sendiri dan
penipu.
Kemudian teman-temannya pun mulai menaiki pelaminan satu demi satu. Ines menjadi gugup
setiap kali mesti menghadiri upacara perkawinan.
Setiap kali terpandang olehnya kedua mempelai,
pikirannya kembali lagi ke situ: nanti malam
mereka akan melakukannya. Dan waj ahnya serentak terasa panas. Dia merasa, berpikir seperti
itu salah. Tapi bagaikan terbelit pusaran air, Ines
tidak dapat melepaskan diri.
Barulah, ketika Kino datang, cinta indah mu
lai bersemi dalam hatinya dan rasa jijik serta sepi
gelap yang menakutkan itu perlahan-lahan bubar
seperti embun dijilat matahari.
Setelah Ines mengenal denyut denyut tubuhn
232 ya sendiri, dalam hati dia menyesali ibunya yang
tidak pernah mau memberi penerangan. Mengapa
tidak dipermanisnya adegan itu dengan rangkaian bunga cinta yang semestinya selalu berkaitan
dengan pintu kamar orang tuanya, sehingga ketelanjangan semua orang dewasa dalam mereguk


Sembilu Bermata Dua Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kenikmatan dapat lebih dipahami dan diterimanya. Sehingga tidak usah dia terj erembab sendirian
dalam lembah sepi yang menggerogoti kegairahan hidupnya. Pada saat-saat itu, nilai-nilai pelajaran sekolahnya merosot sekali. Alhasil, Ines
cuma boleh masuk bagian Sospol, padahal cita-cita ingin menjadi dokter hewan.
Karena sudah merasakannya sendiri, Nyonya
Niha tidak ingin Cempaka juga kehilangan pegangan dan kepercayaannya pada orang tuanya.
Putrinya tidak boleh merasakan kesepian dalam
masa remaj anya, tidak boleh sebatang kara mengarungi laut buas menuju selat ke kedewasaan.
Masa remajanya harus ceria dan penuh semangat.
Hari depannya harus bermandikan matahari dan
berselimut awan-awan putih melulu. Tidak boleh
ada mendung. Tidak boleh ada rasa putus asa,
ragu, serta jijik.
Cempaka tidak boleh kehilangan kepercayaan
pada ayahnya. Inilah kesulitan pertama yang har
us dipecahkan Nyonya Niha.
Kesulitan kedua tidak pula mudah. Setelah
hampir dua puluh tahun hidup tentram dalam
perkawinan, Nyonya Niha tiba-tiba mendapati
bahwa rasa jijiknya sebenarnya belum diusirn
233 ya pergi. Dia cuma meringkuk mengecilkan diri,
lalu tidur tiduran di sudut gelap hatinya. Kini,
dengan adanya permintaan suaminya yang baru
dan aneh aneh, perasaan itu terjaga kembali.
Menurut pendapatnya dan pendapat itu belum pernah dibantah oleh siapa pun, sebab belum pernah dikatakannya pada orang lain seorang perempuan boleh bersenang-senang dengan
suaminya selama tujuannya adalah mempunyai
anak. Sekarang dia sudah beranak tiga. Nyonya
Niha tidak melihat alasan, mengapa mereka harus berpesta pora tiga, bahkan empat kali seminggu. Baginya, sekali seminggu cukuplah. Bahkan
sekali dalam dua minggu, pun masuk akal. Dan
tidak perlu segala macam letak dan bentuk. Rasa
enggannya akhir-akhir ini sudah merupakan kejijikan yang terpalut sakit kepala atau mual atau
lain-lain alasan sepele. Dia bahkan membiarkan
suaminya mengira, bahwa dia menderita penyak
it peralihan usia. Haidnya sudah mulai kacau dan
jarang. Sebentar lagi tubuhnya akan mengering
seperti pohon jambu yang sudah kebanyakan ber
buah.
Nyonya Niha bukan tidak menyadari, bahwa
tidak lama lagi dagingnya akan mengerut, kulitnya akan makin keriput, dan daya tariknya pasti menciut. Sambil memegangi bungkusan obat
semir rambut, perempuan itu lebih memikirkan
bagaimana caranya menghilangkan rasa enggannya sambil sekaligus menunjukkan di mana letak
rem pada suaminya. Soal daya tarik, tidak diri
234 saukannya benar. Sebab dia tahu, suaminya adalah laki-laki yang setia. Dia akan tetap berada di
sampingnya sampai kulitnya semua berlipat-lipat
macam leher anjing tetangga.
235 III engecatan rambut berhasil dengan baik.
P Cempaka sengaj a menj auh dari rumah pada
hari Minggu yang bersejarah itu, sehingga
Tobi terpaksa disuruhnya membantu. Beni ada
pula untuk melihat-lihat sambil mengacau. Tapi
tidak terj adi insiden apa-apa.
Dan Tuan Niha seperti anak kecil mendapat
mainan baru. Dia berlari masuk kamar, lalu tak
puas-puas mengagumi bayangannya dalam cermin. Kemudian dia memberi usul agar istrinya
juga dicat dengan sisa sedikit dalam botol. Nyon
ya Niha tertawa merdu.
"Cukuplah kau saja yang gila-gilaan. Jangan
aku ikut-ikutan," katanya.
Tuan Niha mengerutkan keningnya.
"Gila-gilaan Kastaneda mencat rambutnya
tiga bulan sekali."
"Kastaneda Gadis asing mana lagi dia "
"Bukan gadis asing. Pegawai cabang di Tanjung Karang. Nama asing itu barangkali bukan
nama aslinya. Dia pernah bekerja di Jakarta, dalam night club."
"Dan di situ kau mengenalnya "
Nyonya Niha tiba-tiba mendapati dirinya
memiliki bakat terpendam untuk menjadi reserse.
"Tentu saja bukan." Tuan Niha tertawa sambil
memiringkan kepalanya ke kiri lalu memperhati
236 kan setiap helai ubannya di sebelah kanan yang
kini sudah menjadi hitam.
"Di mana kaukenal dia " Nyonya Niha seketika lupa, bahwa istri yang bijak tidak boleh
cerewet.
"Tentu saja waktu aku ke Tanjung Karang!"
"Setengah tahun yang lalu Dan kau masih
ingat namanya "
"Kenapa tidak Kemarin dulu aku baru saja
omong-omong dengannya."
Untung sekali laki laki itu tidak menyadari
kecerewetan istrinya. Dengan wajah barunya, dia
tidak mempunyai perhatian lain kecuali dirinya
sendiri. Dia melihat seorang laki laki yang tegap dan penuh energi. Wajahnya yang datar yang
biasa membuatnya repot di depan hunj aman pandang seorang gadis, kini sudah banyak tertolong
oleh rambutnya yang hitam berkilat. Menurut
taksirannya sendiri, usianya mendadak sontak
berkurang paling sedikit sepuluh tahun. Tiga pu
luh sembilan, kini dia. Aha, Kastaneda akan ter
cengang. Sial. Agaknya dia keterlepasan omong
sendiri.
"Mengapa kausebut lagi nama itu "
"Betulkah " tanyanya berlagak pilon.
"Tadi kau bilang, kemarin dulu kau omongomong dengannya. Jadi gadis itu ada di sini "
"Tentu saja tidak." Tuan Niha tertawa geli.
"Aku kan meneleponnya, minta dia memesan hotel."
"Oh "
237 "Wah! Apa aku belum bilang, hari Rabu nanti
aku harus ke Tanjung Karang "
"Hm"
"Aku sudah linglung," kata Tuan Niha me
nepuk dadanya dengan rupa bersalah.
"Terlalu bahagia sih," tuduh istrinya.
"Ah, jangan begitu, Ma. Aku ke sana bukan
untuk menjumpai Kastaneda. Atau kau larang
aku pergi Tidak apa. Aku akan beri tahu Bos."
Ditantan g begitu Nyonya Niha lemah hati. Dia
tahu betapa keras suaminya selama itu membanting tulang untuk mereka semua. Dan laki laki
yang lemah lembut itu sebenarnya tidak banyak
permintaannya. Memang khayalannya mengenai
keindahan tubuh para bidadari selangit ragamnya, namun sejauh itu dia cuma ingin berkhayal.
Apalah salahnya membiarkan dia melamun
"Seperti apa rupa gadis itu " tanya Nyonya
Niha mengelak dari pertanyaan suaminya tadi.
"Nah, ya seperti apa Biasa biasa saj a." Tuan
Niha mengangkat bahu.
"Kalau pernah di night club, tentunya cantik."
"Entah. Aku sudah lupa mukanya."
"Umur berapa dia "
"Entah."
"Memang anak Tanjung Karang " Wah, wah,
Nyonya Niha tidak kuasa menyetop dirinya.
Bakat terpendamnya selama itu rupanya telah
dilalaikannya. Seharusnya dia menjadi Polwan
saj a.
Tapi Tuan Niha, aduhai sabarnya. Sambil
238 menyisir rambutnya dengan sangat hati-hati,
dilayaninya nafsu ingin tahu istrinya.
"Dia anak yatim, dulu bekerja di Jakarta. Sekarang merantau ke Sumatra."
"Rupanya patah hati barangkali," kata Nyonya Niha setengah bertanya, setengah berharap.
"Entah. Aku tidak mengurusi dirinya."
"Tapi kok apal betul kau silsilah asal-usulnya "
Tuan Niha tergelak kembali.
"Ma, kau cemburu, ya. Karena itu pandai-pandailah melayani aku. Ha ha...."
Nyonya Niha merasa tenggoroknya kering.
Matanya panas. Dia tahu, suaminya cuma bergurau. Namun hati kecilnya tiba tiba merasa tidak
rela membiarkan Kino pergi sendiri ke seberang.
Di sana menanti sesuatu yang tidak dikenalnya,
yang tidak diketahui ukuran daya kekuatannya.
Asal Jawa Timur, merantau ke Lampung. Cantik
kah Nyonya Niha merasa sedikit gelisah. Angin
dingin di senja hari serasa berdesir dalam hatinya.
Berderau cemburunya dalam benak, seperti suara
air di permulaan hujan. Apakah Kastaneda sama
artinya dengan sebuah malapetaka Namanya
saja sudah sehebat itu, bagaimana pula rupanya
Nyonya Niha merasa kecil dan tidak berarti.
Dia tidak pernah bekerja di kantor. Mengetik
pun tidak mampu. Bagaimana harus memaklumkan perang terhadap seorang gadis yang namanya begitu maut Entah berapa lusin telinga jantan
yang sudah jatuh cinta, hanya dengan namanya.
239 "Pa, kau kan tidak jatuh cinta padanya " tanyanya hati-hati, dengan penuh kerendahan.
Tuan Niha tengah mencoba beberapa macam
mimik yang dianggapnya keren. Matanya membelalak dalam cermin, kemudian dia tertawa
banglas.
"Alangkah nyaman rasanya jadi laki-laki yang
diperebutkan oleh perempuan-perempuan. Kemarin dulu Kastaneda bertanya, kalau-kalau kau
cemburu melepas aku pergi sendiri. Sekarang kau
ganti bertanya, barangkali aku jatuh cinta padan
ya ! Ma, janganlah seperti anak kecil. Kau harus
percaya pada dirimu. Aku tidak mencintainya. Ke
sana pergiku cuma untuk urusan kantor. Kalau
mau, kau boleh ikut. Tapi itu cuma akan menjadi
bahan pergunjingan saja. Tidak ada yang dapat
kaulihat di sana. Tidak ada alasan mau shopping
yang dapat kaukatakan."
"Cintakah kau padaku "
"Tentuuu." Tuan Niha mencoba sebuah
senyum yang dilihatnya pantas sekali terpampang pada waj ah seorang penyanyi TV. Tapi
padanya kurang cocok, sebab kumisnya belum
juga tumbuh. Dia terpaksa mencipta senyum lain
yang dapat menjadi hak patennya. Bibir bawah
nya dibukanya sedikit saj a, sebab di situ gusinya
kurang sehat. Sebaliknya, bibir atasnya dapat di
tarik habis-habisan seperti tirai di atas panggung
tonil. Gusi serta deretan gigi atasnya hampir sempurna bentuk dan sehatnya.
Nyonya Niha mau menangis melihat kelakuan
240 suaminya. Seandainya Cempaka sampai melihat
ayahnya saat itu, pasti akan terpukul ketentraman
batinnya oleh lecutan-lecutan pantomim ayahnya
di muka cermin.
Mengapa keadaan demikian cepat berubah
Beberapa hari yang lalu, ketika dia pergi mem
beli obat cat rambut, dia masih berpikir, bahwa
dia beruntung. Suaminya setia, senang diam di
rumah, dan cinta padanya. Namun kini Laki-laki
itu menyulap warna kepalanya agar tampak lebih muda di depan Kastaneda. Bukankah begitu
maksudnya
"Ma, kau melamun " tegur suaminya yang
tahu-tahu telah duduk di sebelahnya, di tepi ranjang. "Jangan khawatir. Hatiku ada padamu."
Serentetan kecupan dipergunakan untuk
menyegel pernyataan itu dan dunia Nyonya Niha
kembali cerah bermatahari.
"Marahkah engkau karena aku telah menyemir
rambutku "
"Oh, tidak. Sama sekali tidak." Nyonya Niha
tertawa dengan pola yang sulit ditafsirkan maknanya. Tapi dia sudah percaya lagi pada suaminya
dan bersedia memaafkan semua tingkah lakunya
yang aneh aneh dan baru baru.
Sore hari, ketika Cempaka pulang, ayahn
ya menanyakan bagaimana pendapatnya ten
tang ketampanannya. Gadis itu dengan sengaja
membuang muka, lalu mendengus dengan sikap
meremehkan. Tuan Niha tampak kecewa dengan
sambutan itu, sebab pendapat Cempaka dihar
241 gainya betul. Istrinya tidak begitu dapat dipercaya. Untuk perempuan itu, dia sudah sangat
prima. Walaupun giginya rontok semua atau lehernya bergelambir macam unta, dia tetap akan
dianggap prima. Sudah tentu tidak demikian pendapat orang lain, misalnya anu, Kastaneda.
Diam-diam Nyonya Niha menegur sikap Cempaka.
"Ah, Mama," keluh gadis itu, "tidakkah Mama
lihat betapa menggelikan tingkah laku Papa Aku
sekarang tidak berani mengundang teman teman
belaj ar di rumah. Takut kalau kalau mereka meli
hatnya. Dimana akan kuletakkan wajahku, Ma."
"Kaka, ribuan orang menyemir rambutnya.
Mengapa ayahmu tidak boleh "
"Ah, entahlah. Papa kan sudah tua, Ma."
"Tentu saja bila dia masih muda, dia takkan
perlu cat rambut, bukan "
Cempaka berlalu tanpa komentar. Nyonya
Niha heran sendiri mengapa dia demikian gairah
membela suaminya. Padahal begitu ditinggal
sendirian, dia juga meragukan kebenaran pen
dapatnya. Yang disebut hati, was-was dan khawatir. Tapi dia tidak mau membeber perasaannya.
Terutama, supaya Cempaka jangan makin retak
dengan ayahnya.
Seribu kali sehari diulang ulangnya dalam
ingatan, bahwa suaminya mencintainya. Bahwa
suaminya selalu dan selalu dan selalu akan setia
padanya.
242 IV ari Rabu pagi Tuan Niha berangkat ke
HTanjung Karang. Rencananya seminggu.
Tapi bisa lebih lama, tergantung
keperluan. Di sana mereka tengah membangun
dua sekolah dasar dan sebuah pasar. Proyek itu
baru selesai sebagian, padahal menurut perj anj ian,
harus selesai dalam dua bulan mendatang. Para
pedagang yang diungsikan sementara ke lokasi
lain, tentunya akan menuntut agar mereka dapat
menempati kios-kios yang sudah mereka beli itu
tepat pada waktunya.
Lebih gawat lagi keadaan sekolah. Ratusan


Sembilu Bermata Dua Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

anak anak menantikan gedung tersebut. Kalau
proyek ini gagal, pasti mereka akan kehilangan
order-order lain di daerah itu.
Jadi Tuan Niha diutus untuk menyelidiki sebab-musabab keterlambatan itu. Dan gadis dengan nama indah itu menantinya di sana, pikir
Nyonya Niha tidak biasanya.
Sebenarnya, kepergian suaminya ke luar kota
atau ke luar pulau sudah merupakan hal biasa.
Malah kadang-kadang lebih lama dari seming
gu. Pernah sebulan ke Menado. Tapi Nyonya
Niha tidak pernah ragu dan bimbang seperti sekarang. Hatinya yang lembut dan peka tidaklah
megap megap antara pasrah dan was was macam
saat ini.
243 Kastaneda. Nama itu ingin sekali dilupakannya. Tapi dia melekat erat seperti lintah yang merangkum sepotong bisul dengan rakusnya. Nama
itu mencengkeram benaknya dengan kuku kuku
runcing yang memedihkan hati. Hilanglah keyakinannya bahwa suaminya itu lain dari yang lain.
Bak lintah yang cuma mau lepas setelah kekenyangan, dan bukan sebelumnya, maka Nyonya Niha pun menghenyakkan diri ke dalam kursi
melepas pergi suami. Lalu menanti pulangnya.
Barulah setelah dia kembali nanti, was wasnya
akan sirna. Sedang sementara itu, hanya pada Tuhanlah dia dapat mengadukan hatinya yang biru.
Tugas dan persoalan Nyonya Niha menjadi
dua kali lebih berat, karena adanya Cempaka. Di
satu pihak, hati perempuannya mulai menyemai
bibit kecurigaan yang ditanam sendiri oleh sua
minya. Mengapa perlu perlu betul laki-laki itu
menyemir rambutnya, membelahnya di tengah,
membeli sepatu putih yang baru lagi, dan beber
apa kemeja, hanya untuk menengok beberapa
proyek yang terlantar Itu sebelah pihak.
Di lain pihak, Nyonya Niha harus memberi
gambaran mulus sekitar suaminya ke hadapan
anak gadisnya yang kini mulai penuh kritik. Set
iap kecurigaan Cempaka yang sebenarnya juga
bermain dalam hatinya sendiri harus dibere
skannya dan dibuang ke tong sampah atau disimpan. hati-hati dalam kotak-kotak mainan yang
diharapkannya akan terlupakan, dibiarkan berdebu di bawah atap pemikiran anak itu, bila saatnya
244 tiba untuk melakukan lompatan jarak jauh meninggalkan kehangatan lindungan sayap orang tua.
Nyonya Niha seakan mencabik dirinya menjadi dua belahan. Dia merasa lega dan rileks bila
Cempaka tengah kuliah. Tanpa sadar, dia mulai takut akan kehadiran anak gadisnya. Pada
wajah belia yang rupawan itu dibacanya seribu
tanda tanya yang sebenarnya juga memadati
relung-relung hatinya sendiri. Setiap kata yang
diucapkan Cempaka, seakan bunyinya hanya
satu: "Coba Mama lihat nanti!" Pandang matan
ya yang ranum tanpa pengalaman itu lurus lurus
menghunj am ke hati nuraninya, tanpa kompromi.
Kaca-kaca yang bening itu menuntut dalam kebisuannya, sebuah gerakan untuk menghalangi
ayahnya, kemana pun laki-laki itu ingin melangkah.
Nyonya Niha menghela napas. Dielusnya Cempaka.
"Sebelum terlambat, Ma," pintanya.
"Jangan takut, Kaka. Papa tidak apa-apa,"
hiburnya, lebih pada diri sendiri, daripada untuk
anaknya.
"Lalu, kenapa dia berpakaian aneh begitu "
"Entahlah."
*** 245 Seingat Ines, Kino adalah pemuda biasa yang
tidak punya keanehan apa apa. Malah dia
terlalu pemalu untuk dapat berbuat yang aneh
aneh. Tante kosnya sering sekali memujinya di
depan ibunya dan Ines ikut mendengar. Karena
itu dia mulai memperhatikan anak lajang yang
menumpang di sebelah rumahnya.
Sore hari, tamatan STM itu duduk di teras
tanpa bergerak, menghafalkan koran. Rupanya
bujang itu memang pemalu. Bahkan suara bu
rung di dahan tanjung tidak mampu membuatn
ya mengangkat muka. lnes menjadi penasaran.
Tidak ada manusia yang harus malu selama dia
tidak mencelakai orang lain. Kita semua mempunyai kepala di atas dan berjalan dengan dua kaki,
pikir Ines.
Suatu sore, dikuaknya semak beluntas yang
memisahkan kedua rumah. Ines muncul tepat
di hadapan Kino, beberapa meter di mukanya.
Pemuda itu seakan bergerak ingin lari, karena
terkejut.
"Halo," sapa Ines dengan merdu, menahan
geli. "Maaf, saya mencari gelundung benang
yang tadi dibawa kucing kemari."
"Kucing Saya... tidak melihat kucing...," sahut Kino tergagap sedikit. Dia selalu mesti gagap
bila terpaksa memamerkan wajahnya untuk
diteliti seorang gadis.
246 "Oh, tentu dia sudah lari," kata Ines ringan,
sebab kucing itu cuma ciptaannya belaka. Gadis
itu kemudian membungkuk, pura-pura sungguhan mencari.
"Perlu saya bant...u "
"Oh, terima kasih," kata Ines tidak menolak,
sehingga Kino terpaksa meninggalkan kesantaiannya untuk berjongkok di samping... aduh,
manisnya gadis ini, siapa ya namanya
Ada lima menit mereka cari-mencari. lnes
berpura asyik memperhatikan tanah di bawah semak mencari gelundung ciptaannya. Kino, agak
di belakangnya, asyik memperhatikan rambutnya
yang hitam berkilat dan panj ang.
"Ah, rupanya dibawa lari oleh si Belang," kata
Ines sambil berdiri mendadak sehingga nyaris
tersepak olehnya pemuda yang masih asyik me
mandangi punggungnya.
Kino bangkit dengan wajah sedikit merah.
Ines mengundang dirinya duduk di teras. Dia su
dah biasa bertandang ke situ, main dengan Dewi,
anak tunggal tante kos. Enam bulan yang lalu
Dewi ke Bandung melanjutkan pelajaran. Lalu
muncul Kino, dua bulan kemudian.
"Saya tinggal di sebelah," kata Ines memperk
enalkan diri.
"Oh."
"Dewi, anak Tante, teman saya."
"Oh."
"Sekarang dia kuliah di ITB. Sepi juga tidak
ada dia. Biasanya tiap hari kami saling berkun
247 jung "
"Oh."
"Kau juga kuliah " Ines sengaja tidak mau
ber Anda, supaya mereka lekas akrab.
"Tidak." Kino menggeleng. "Kau "
"Aku di ABA bagian Inggris."
"Oh."
"Sebenarnya aku ingin masuk kedokteran hewan, tapi tidak jadi."
"Oh, sayang."
"Namamu Kino, bukan "
"Ya. Kau "
"Ines. Kau kerja di mana "
"Di kontraktor bangunan."
"Oh, dulu pernah kuliah di teknik, ya " Kino
menggeleng.
"Aku dulu di STM."
"STM Kebon Sirih, ya Kenal Pak Bachmid
Tata usaha Itu pamanku," seru Ines bersemangat.
Kino mengkekeh geli. Sungguh lucu mendeng
ar seorang pemuda mengikik macam kuda. Bila
tidak karena matanya yang bagus, Ines pasti sudah pergi meninggalkannya.
"Aku di STM Cempaka Putih," kata Kino
tenang. Ines tersipu malu.
Kino selalu berbelas kasihan pada gadis gadis
yang tertimpa malu.
"Nanti mau kerja apa " tanyanya lembut mengalihkan perhatian.
"Aku mau kerj a di travel biro. Ingin melihat lihat luar negeri."
248 Namun cita-cita itu tidak tercapai. Kelembutan Kino serta kebaikan hatinya ternyata telah
menjerat erat kehidupannya, menyelusupi mimpi mimpinya, memacu deras aliran perasaannya.
Ines menyerah. Tanpa sesal.
Sebagai suami, Kino ternyata lebih lembut
lagi. Kepandaiannya yang utama adalah membaca semua keinginan istrinya dari pancaran sinar matanya. Ines tidak pernah diberi kesempatan
untuk mengeluh.
"Aku berterima kasih pada Tuhan untuk dirimu," kata Kino setiap malam.
"Aku juga," kata Ines, "untuk dirimu."
"Tapi aku merasa lebih berterima kasih dari
engkau."
"Mengapa begitu "
"Sebab kau cantik. Kau tidak perlu benar
menikah dengan aku. Sebaliknya, wajahku yang
gepeng ini tidak berani berharap akan dicintai seorang perempuan cantik. Bila berhasil menikah,
aku sudah sangat gembira. Tapi, memperoleh
cinta mulus dari seorang bidadari, sungguh merupakan kurnia bagiku." Dan deklarasi semacam
itu biasanya disegel dengan kecupan hangat yang
membara di malam sepi.
Ines menjadi seorang perempuan yang bulat
kehidupannya. Tiada sepotong sisi pun dari rin
du serta mimpinya yang tidak terpenuhi. Berturut turut muncul dari haribaannya Cempaka,
Tobi, dan Beni.
Waktu itu Kino masih bekerj a sebagai tukang
249 listrik. Pada setiap bangunan baru dia bertugas
membantu pemasangan instalasi listrik. Kerjanya
giat dan tidak banyak menuntut.
Ketika Beni lahir, Kino sudah diangkat menjadi kepala bagian. Sementara itu Ines, membantu dengan membuat kue-kue serta menerima pesanan taplak meja dan seprai bersulam.
Mereka hidup bahagia walaupun tidak leluasa
benar. Perjuangan Kino untuk mencapai puncak
piramid sekarang ini sebagai wakil direktur, memakan waktu serta tekanan batin yang tidak kepalang tanggung. Seorang rekan yang juga menghendaki posisi itu telah mengilhami serangkaian
kecelakaan kecil yang menjengkelkan. Misalnya sampah permen karet yang menutupi lubang
kunci pada pintu pick up. Atau paku panjang
yang menembus ban. Lain kali lagi, kedua ban
belakang penuh lumuran kotoran najis, padahal
Kino yakin, jalanan bersih.
Dalam ketergesaannya untuk membahagiakan
keluarganya, agaknya Kino sering kali melupakan dirinya sendiri. Dia hampir lupa bahwa dia
laki-laki. Lupa, bahwa kedudukan serta penghasilan yang bagus selalu membuat laki-laki
menjadi santapan nikmat dalam kehidupan perempuan-perempuan yang masih sepi menanti.
Ketika Kino menyadari bahwa kedudukannya
telah menyulap wajahnya menjadi ganteng, anak
sulungnya sudah menjadi remaja, dan dewi asmaranya bernama Kastaneda.
Ines sering berpikir, sejak kapankah suamin
250 ya jatuh cinta lagi. Sebenarnya dia tidak mencintainya, kata suaminya kemudian hari. Tapi Kastanedalah yang terus mengej arnya.
"Aku tidak mencintai dia," keluh Tuan Niha
beberapa bulan kemudian.
Namun saat itu, ketika dia tengah bermgas
di Tanjung Karang, istrinya masih berharap cemas, gempa bumi takkan melalui hati mereka.
Ines bertekad hendak memberi Cempaka sebuah
perisai kehidupan yang lembut namun kokoh.
Sehingga kelak, bila gadis itu harus mengenakan jubah kedewasaannya, dia takkan mencampakkan selubung remajanya, namun melipatnya
dengan rapi di antara kenangan manisnya semasa
bersama orang tua.
Ines tahu, Kino mencintainya. Tapi dia tidak
tahu kekuatan Kastaneda. jalan berduri yang kini
ditapakinya membuat perempuan itu mengurus.
Betapa tidak. Pada Cempaka dia harus selalu
memuji serta mengangkat angkat suaminya. Sedang pada diri sendiri, cuma tanya demi tanya
bercampur ragu yang mampu dilontarkan oleh
pikirannya.
Lekaslah seminggu ini berlalu, keluhnya.
251 V amun Tuan Niha terpaksa
memperpanjang kepergiannya menjadi
' ] dua minggu. Karyawan yang harus
dijewernya ternyata dioperasi usus buntu pada
hari kedatangannya. Begitu ceritanya pada
istrinya ketika dia pulang.
Nyonya Niha diam saja. Tidak memberungut.
Juga tidak tersenyum.
"Apakah suratku tidak sampai "
"Oh ya, sampai," angguk Nyonya Niha.
Matanya mengecil memandang suaminya.
Wajahnya terlalu bercahaya, tidak sepadan
dengan tugas yang dikatakannya sangat berat itu.
Seolah olah dia baru selesai mengikuti konperensi yang santai di mana banyak makanan dihidangkan, sementara semua peserta cuma perlu unjuk
muka, boleh menguap lebar lebar asal tetap dalam kursi.
Betulkah dia sehari-harian harus berada di 10kasi mengawasi para pekerja Betulkah tidurnya
demikian sering terganggu mimpi buruk bahwa
proyek proyek itu akan gagal
"Ayolah, sambut aku dengan senyum manis,"
pinta Tuan Niha sedikit manja.
Istrinya malah meringis. Nada seperti itu belum pernah didengarnya. Suaminya biasanya
praktis serta ekonomis dengan kata dan emosi.
252 Apalagi bermanj a-manj a.
"Aku kan sudah tiba kembali di sampingmu.
Tidak senangkah kau " ajuknya.
"Oh, tentu. Tentu. Anu kau tentunya ketemu
dia "
"Siapa " Tapi Tuan Niha tanpa sadar telah
tersenyum, menunjukkan bahwa dia tahu siapa
yang dimaksud.
"Siapa lagi." Nyonya Niha menunduk. Oh,
hatiku, keluhnya.
"Kastaneda "
Nyonya Niha mengangkat waj ahnya. Senyum
cerah di wajah jantan itu makin dirasanya menyilaukan, merekah tak mau layu.
"Nah, kau rupanya memang selalu teringat namanya!" Kali ini Nyonya Niha sedikit merengut.
"Habis, bagaimana lagi! Bukankah dia yang
kaumaksud Aku sudah tahu, dia yang kaumaksud."
"Hm. Tidak adakah perempuan lain di kantor
sana "
"Ada. Tapi cuma dia yang kaukenal, bukan "
Nyonya Niha menarik napas menyabarkan


Sembilu Bermata Dua Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diri. Bukan main keren suaminya kini. Hilang
lenyap malu-malu kucingnya selama itu. Dia sudah tumbuh menjadi singa jantan bersuri indah.
"Nah, kau kan ketemu dengannya Apa kabarnya "
"Biasa-biasa saja," sahut Tuan Niha menunduk.
Apakah wajahnya tiba-tiba memerah, pikir
253 Nyonya Niha. Ataukah sej ak tadi begitu
"Ma, terimalah aku kembali dengan hati terbuka. Engkau cantik, Ma. Kecerewetan bukan
merupakan merek bedak yang cocok bagimu."
"Baiklah. Tapi aku juga ingin mengatakan
sesuatu. Dandamnu sekarang kurang serasi.
Rambutmu. Pakaianmu. Sepatumu."
"Aaah." Tuan Niha tertawa melambaikan tangan.
"Cempaka tidak menyukainya. Dia malu pada
teman-temannya. Tidakkah kaulihat dia membuang muka terus di depanmu Maukah kau dikurangajari olehnya Sampaikah hatimu membuatnya sedih "
"Aaah... dia masih anak-anak. Berilah pengertian padanya. Apa salahnya aku berpakaian
begini "
"Pa, kau kan bukan dokter rumah sakit. Dokter
pun, masih ditambah lagi dengan sepasang kaca
mata putih agar tampak serasi dan tidak disangka
hidung belang yang gemar setelan putih. Juga ingat, Pa, anak kita sudah remaja. Aku tidak ingin
dia dirundung kecewa dan malu. Sudah cukup
berat peralihan yang tengah dialaminya. Dari
anak kecil yang tidak kenal tanggung jawab, dia
kini harus mulai mengenal norma-norma orang
dewasa. Dan dia menantikan kita, untuk memberinya contoh...."
"Aaah... lantas apa yang harus aku lakukan "
"Hentikanlah berdandan serba putih begitu.
Juga buang kemeja-kemej a yang menyala itu!"
254 Tuan Niha mendengus-dengus. Namun akhirnya menyerah. Istrinya tahu, suaminya sesungguhnya orang baik.
"Oke. Tapi yang sudah aku beli harus dipakai
sampai usang. Bukankah kita sendiri yang mengajarkan anak anak supaya jangan boros Dua
pasang sepatu putih dan empat setelan..."
"Nah, ya. Kalau tidak ada jalan lain," sahut
Nyonya Niha setelah berpikir sesaat. Dia akan
berusaha agar pantalon-pantalon putih itu lekas
terkena bercak apa saja. Obat merah misalnya.
Atau kena serbet yang luntur....
*** Sayang sekali sebelum Nyonya Niha berhasil
melaksanakan niatnya, Arman sudah sempat
berjumpa dengan ayah Cempaka. Lebih celaka
lagi, Tuan Niha yang baik hati itu memerlukan
menegur pacar anaknya di depan orang ramai.
Sebenarnya tidak ada hal yang luar biasa saat itu.
Paling-paling orang akan menoleh sekejap dan
tersenyum melihat Tuan Niha, yang tentu mereka
sangka salah satu contoh species yang disebut
oom senang, hasil peneluran zaman merdeka.
255 Tapi sialnya, Arman tengah bersama ibunya
belanja di supermarket. Seandainya Tuan Niha
berlagak tidak tahu dan pergi saja setelah membeli buah apel, Arman mungkin akan diam juga.
Namun egonya yang melambung tinggi sejak diragi oleh cinta Kastaneda membuat laki-laki itu
lupa diri, mengira penampilannya akan disukai di
seluruh jagat raya. Penuh semangat dihampirinya Arman yang sudah menyuruk ke belakang rak
makanan kaleng.
"Hai, halo, Arman, apa kabar Ini ibumu "
"Ya, Oom," sahut Arman meringis dan
menyumpah dalam hati melihat Tuan Niha mengulurkan tangan sepanjang-panjangnya agar terjangkau oleh ibunya.
"Ah," seru kaget ibunya terperangah menatap
Arman dengan tuntutan penjelasan sambil menjabat tangan yang terulur.
"Oh, Mam, ini... ini... ayah Cempaka."
"Cempaka " bisik ibunya dengan nada yang
tidak salah lagi. Akan terjadi sidang umum keamanan di meja makan nanti malam.
Pertunjukan Tuan Niha belum cukup sampai di sana. Belum puas dengan cuma berjabat
tangan, sambil memperlihatkan sebagian gigi
bawahnya yang kurang sehat, dia mencoba
senyum patennya. Untuk sekadar jawaban dari
ibu Arman terhadap pertanyaannya yang umumumum, dia sudah memperdengarkan suara ha, ha,
ha yang terlalu keras. Sehingga ibu Arman berkali-kali melirik anaknya sambil mengerutkan
256 kening. Sementara Arman menekan sekeras-kerasnya nafsunya untuk menyepak laki-laki itu di
bagian belakang, di mana paling banyak lemak
terkumpul.
Pertemuan yang sial itu diakhiri dengan keseleonya Tuan Niha ketika dia melangkah pergi.
Ibu Arman menggeleng melihat laki-laki itu berlalu dengan timpang seperti juga dia kemudian
menggeleng di meja makan ketika menceritakan
tentang lidah Tuan Niha yang timpang.
"Dan kau berpacaran dengan anaknya!" tuduh
ibunya dengan sebal.
Ayahnya diam saja. Mungkin baginya, laki-laki seperti itu bukan barang istimewa. Apa salahnya bersepatu putih Apa salahnya meriah-meriah dalam toko Apa salahnya menyapa seorang
wanita yang menarik
"Matanya seakan mau menelanjangi diriku!"
cetus ibu Arman setengah mau menangis. Arman
malah yakin, ibunya akan menangis, seandainya
anak anak tidak ikut hadir.
Ayahnya diam saj a. Itu yang membuat ibunya
makin meradang. Arman juga diam. Ketakutan.
J angan jangan Ibu akan menj atuhkan vonis. jangan-jangan dia tidak diperkenankan lagi meronda ke hati gadis itu. Jangan-jangan rajutan cinta
mereka akan terurai-burai karena tingkah orang
tua. Ayahnya itulah. Seandainya dia ikut memaki
Tuan Niha, mungkin ibunya akan menyudahi kecelakaan hampir ditelanjangi Tuan Niha sampai
257 di situ. Salahnya, ayahnya bungkam terus. Ibunya kini merasa dihina bukan cuma oleh seorang,
namun dua orang laki laki.
"Dasar..." Tidak diteruskannya kalimat itu,
mungkin karena ada anak-anak hadir. Kedua adiknya saling melirik, sedang Arman berpura-pura
asyik dengan tulang ikan.
"Semuanya sama! Pokoknya, kau... Arman!
Kau tidak boleh lagi meneruskan hubunganmu
dengan anaknya! Apa kau mau ditertawakan
orang, punya mertua menjadi badut jalanan "
Tapi Cempaka tidak bersalah, kata Arman
dalam hati. Namun dia tahu diri dan tidak mau
membakar ibunya dengan sanggahan-sanggahan.
Nanti saja, bila sudah mendingin, akan dimintanya ibunya mencabut kembali veto itu.
Tapi rajutan cintanya memang sudah selesai.
Secara tidak sengaja Arman telah menguping
pembicaraan santai kawan-kawannya di kantin.
Mereka terkekeh-kekeh memperolok ayah Cempaka. Terbit malu dalam hatinya. Dicarinya
Cempaka dan dikatakannya terus terang, bahwa
ibunya tidak menyukai tingkah laku ayahnya.
Cempaka sendiri, lebih dari itu lagi. Tapi entah
mengapa, dia sendiri tidak mengerti, tahu-tahu
dia marah mendengar Arman mengkritik ayahnya.
"Kenapa ibumu harus usil terhadap ayahku "
tanyanya dengan nada kurang senang.
"Cempaka," keluh Arman, sudah mulai berdarah dalam hati, "ibuku melarang aku pacaran
258 terus denganmu...."
"Karena ayahku " menegaskan gadis itu dengan perasaan terhina.
"Ya."
"Kan bukan ayahku yang akan jadi menantunya "
"Tapi harus kauakui, memang kurang enak
melihat ayahmu seperti itu. Apalagi di muka
umum. Bila kau dapat membujuknya agar mengubah sikapnya, aku akan minta ibuku mencabut
larangannya."
"Ah, aku tidak mencampuri urusan ayahku.
Bila kau begitu tergantung pada sikap ibumu,
memang sebaiknya kita berpisah saja. Aku segan
juga berpacaran dengan anak mama!"
"Cempaka!" seru Arman dengan marah. Dia
tersinggung disebut anak-mama, sebab dia justru
selalu mempertanyakan dirinya sendiri, apakah
betul dia terlalu penurut pada ibunya. Arman takut sekali bahwa dia tidak dapat melepaskan batinnya dari jaring-jaring cinta ibunya. Ketakutan
itu selalu menghantuinya dan tuduhan Cempaka
menyengat sangat bagaikan mimpi siang hari
yang menjadi kenyataan.
"Kau tidak tahu, teman-teman kita tengah menertawakan ayahmu!"
"Sekarang tentunya bukan urusanmu lagi,"
sahut Cempaka dengan angkuh membawa kakinya melangkah dari sisi Arman, sementara hati
masing-masing disembelih oleh kata-kata mereka sendiri.
259 Cempaka pulang mempersembahkan seluruh
nestapanya ke hadapan ibunya, menuntut bela.
Nyonya Niha terdiam pucat. Apa yang ditakutinya ternyata sudah menimpa anaknya.
"Tapi Papa sudah berjanji akan menghentikan dandannya yang tidak keruan itu," katanya
pelan dan lesu, "cuma, pakaian dan sepatunya
itu mau dipakainya dulu sampai hancur. Tapi bila
teman-temanmu sampai memperoloknya, tentu
saja Mama akan menyuruhnya melempar ke luar
semua benda itu!"
"Tidak ada gunanya, Mam. Sekarang Arman
dan aku sudah putus."
Nyonya Niha memandangi aliran sungai pada
kedua belah pipi anaknya tanpa daya. Ah, beningnya tangis seorang dara yang putus hati, pikirnya. Diambilnya sepotong kertas harum dan
disekanya air mata Cempaka.
"Katakan padanya, ayahmu sudah berjan
ji mau mengubah kebiasaannya. Mintalah maaf
padanya untuk Papa," bujuk Nyonya Niha.
"Takkan pernah!" tolak Cempaka di antara
isaknya. "Dikiranya cuma dia seorang laki-laki
di bumi!"
"Syukurlah bila kau menyadari hal itu. Bila
Arman memang demikian lemah, tidaklah pantas
dia untukmu."
Syukurlah! Mengapa Ibu semudah itu menar
ik napas lega Di bumi memang bukan Arman
seorang yang laki-laki. Tapi mencari kecocokan,
itu ibarat menyelesaikan teka-teki yang terbuat
260 dari seribu potong tripleks. Arman tidak pantas
baginya Tahukah Ibu, lalu, yang pantas Ya, dia
juga tahu, Arman lemah. Dia tahu, Arman tidak
pantas baginya. Tapi hatinya, oh Ibu, hatinya, dia
tidak tahu itu. Hatinya cuma tahu, bahwa cintanya sudah digadaikannya pada laki-laki itu. Menebusnya kembali, oh Ibu, hatinya tidak mau.
Nyonya Niha mengambil keputusan nekat.
Mulai besok suaminya harus kembali memakai
sepatu lamanya yang berwarna hitam. Kedua
pasang sepatu putih yang telah menakut-nakuti
calon besan itu akan dihadiahkannya pada tukang
loak. Celana dan kemeja putih itu masih boleh
dipakai asal jangan sekaligus bersamaan. Tapi
kemeja-kemeja sirkus harus lenyap. Tancho dan
deo yang tidak diperlukan itu harus tamat tugasnya. Belahan rambut harus kembali ke pinggir.
261 VI uan Niha seakan tuli. Dia membisu
menghadapi semua permintaan dan
I kenekatan istrinya. Akhirnya Nyonya
Niha mengguncangnya.
"Dengarkah kau, Pa Sepatu-sepatu itu akan
kuberikan pada tukang loak. Kau sudah melewati batas. Cempaka jadi bahan olok olok
teman-temannya!"
Tuan Niha mengangkat kepalanya yang sejak
tadi menunduk, seakan baru selesai menghitung
jumlah lantai. Matanya yang coklat kehitaman
menatap kebeningan dalam mata istrinya dan dia
menggigil. Wajahnya yang belum dapat dikatakan uzur, tiba-tiba saja dikerumuni garis-garis
yang dilukis oleh sapuan alam yang kenal usia.
Dia tampak lebih tua dari sebelum penyemiran
rambut yang berhasil itu.
"Kau dengar "
Dia mengangguk seolah linglung. Matanya
menerobos ke luar kepala istrinya, tidak berani
singgah. Antara terdengar dan tiada, dia meng
hela napas. Tubuhnya bergerak seakan hendak
bangkit, namun niatnya itu batal.
Dia kembali menekuri lantai, Dengan siku
bertumpu di lengan kursi, ditopangnya dagunya dalam telapak tangan. Wajahnya kelihatan
lesu serta putus asa. Cakar ayam di sudut sudut
262 matanya kini sudah menyerbu macam ikatan
sapu ijuk.
Nyonya Niha tidak mengerti pikiran laki-laki. Masa dunia harus kiamat hanya karena sepatu-sepatu putih itu akan didermakan pada orang
"Secinta itukah kau padanya " keluh Nyonya
Niha. Tuan Niha sekonyong konyong mengge
letar, terkejut sangat. Lengannya nyaris terkilir
karena terbanting lepas dari topangan dagunya
dan menumbuk pinggir kursi. Lumayan nyerinya kena saraf. Tapi sengatan macam listrik itu
tidak dirasakannya. Kepalanya menoleh, menatap jalang wajah cemas istrinya. Lalu tergesa dia
kembali menunduk. Bibirnya pucat pias.
"Kenapa kau sekaget itu "
"Kenapa kau tanya begitu "
"Karena kau kelihatan begitu sedih berpisah
dengan benda-benda itu!"
"Benda-benda apa "
"Masya Allah! jadi kau tidak mendengarkan
sej ak tadi "
Tuan Niha menelan liur. Dia memang tidak
mendengarkan.
"Sepatu-sepatu itu, Pa. Aku tanya soal mereka."
"Bohong."
"Lho!"
"Kau tahu dari mana " tanyanya pada sandal
jepitnya.
"Tahu apa " Segores firasat buruk terlukis
dalam hatinya. F irasat yang mengatakan bahwa
263 sebentar lagi matahari akan kelam selamanya.
"Kau pasti sudah tahu," keluhnya lesu.
Nyonya Niha tertegun. Gilakah sudah suaminya Sinar matanya meragukan. Di antara kepu
tus-asaan di situ tergambar pula tekad bulat untuk
menerjang setiap rintangan dan mengobrak-abrik
apa saja yang menghalang.
Tobi dan Beni pulang dari latihan sepak bola.
Pembicaraan terpaksa ditangguhkan sampai di


Sembilu Bermata Dua Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

situ. Nyonya Niha tidak mau memperlihatkan
bakatnya sebagai reserse di depan anak anak.
Sore dirasakannya berlalu amat lamban, ter
seok seok menjumpai malam. Namun akhirnya
tiba juga kelam melingkupi seluruh alam disertai kesejukan angin silir yang mengusir panas
siang hari. Daun-daun pohon mangga dan rambutan di halaman bermusik tenang mengipasi
kegerahan manusia. juga kegerahan dalam hati
Nyonya Niha. Rasa ingin dicabiknya sore untuk
menggantinya dengan lembaran malam, seperti
dilakukannya dengan penanggalan harian.
Dugaan Nyonya Niha, pecah kepala suaminya
itu karena ulah kepala kantor cabang di Tanjung
Karang serta wakilnya. Sebulan yang lalu, ketika
pulang dari sana, Tuan Niha sudah cerita sepintas
lalu, bahwa proyek itu terganggu karena biaya
sebesar lima belas juta rupiah, dianglap oleh Ridwan serta Usin, wakilnya. Ketika Tuan Niha tiba
di sana, Ridwan tengah berada di bawah kekuasaan pisau bedah, sehingga tidak dapat diganggu
gugat. Namun Usin, tidak dapat ditemuinya. En
264 tah bersembunyi di pelosok mana. Menurut sekretaris, yaitu hm... Kastaneda, Usin sudah seminggu tidak muncul.
Kata Ridwan, ketika dia sudah boleh menerima tamu lama-lama, dia terlalu sering meninjau
proyek mereka yang lain di Lubuk Hijau, kirakira dua ratus kilometer dari situ. Usin sering
ditinggal sendiri. Mungkin pada saat saat itu dia
mendapat kesempatan dalam kesempitan.
Namun Tuan Niha tidak mau percaya jualan
kata yang semurah itu. Mana mungkin Usin dapat
sebebas itu tanpa diketahui oleh Ridwan ! Masa
Ridwan sebagai kepala kantor tidak menyadari
adanya keterlambatan dalam proyek itu
"Ya, saya menyadarinya," sahut Ridwan.
"Lalu, kenapa tidak diambil tindakan Bila
memang Anda mencurigai Usin, mengapa diam
saj a "
Ridwan tidak segera menjawab. Sebab dia
tidak dapat, pikir Tuan Niha.
"Saya tidak menyangka bahwa dia seberani
itu. Memang saya sudah berniat menyelidikinya,
namun sial, saya harus masuk rumah sakit."
"Juga tidak masuk akal," kata Tuan Niha pada
istrinya, "proyek itu pasti sudah lama terbengkalai. Sedang usus buntu itu baru mengacau beberapa minggu sebelumnya."
"Lalu Usin tidak dilaporkan pada polisi " tanya Nyonya Niha.
"Tentu saja sudah," sahut Tuan Niha dengan
suara kurang sabar, seperti biasa bila dia diberi
265 pertanyaan-pertanyaan dungu oleh istri atau
anak anaknya.
Ya, ya, suaminya murung karena urusan kantor, pikir Nyonya Niha. Tapi itu cuma sebagian
pikirannya. Sebagian lagi, tidak begitu sedap
bagi pencernaannya. Sayup sayup didengarnya
genderang perang ditabuh orang, suaranya makin
lama makin bingar. Kemudian didapatinya, bahwa genderang itu terbuat dari lapisan kulit arinya
yang paling peka.
"Ines," kata suaminya begitu pintu kamar
mereka tertutup, melindungi rahasia-rahasia
mereka dari telinga taj am anak-anak.
Nyonya Niha gemetar dalam hati. Sudah lama
nian suaminya tidak pernah memanggilnya begitu. Sejak Tobi belajar bicara. Anak itu selalu mau
menirukan ibunya memanggil ayahnya, Kino.
Akhirnya mereka saling memanggil mama dan
papa.
Tuan Niha duduk di tepian ranjang. Diraihnya
lengan istrinya dan diajaknya duduk di sampingnya. Kemudian dipeluknya perempuan itu eraterat. Wajahnya yang kusut disusupkannya dalam
dekapan kehangatan dada istrinya.
Nyonya Niha merasa kepalanya berdenyut
nyeri. Ini bukan urusan kantor, pikirnya. Gen
derang yang dibuat di atas penderitaannya yang
sebentar lagi dia tahu akan menyeruak ke
dalam ketentramannya yang hancur berpuing-puing, terdengar makin keras bertalu-talu di kedua
pelipisnya. Terlebih dalam telinganya. Seakan
266 tidak didengarnya suara suaminya. Seakan suara
itu muncul dari hatinya sendiri yang sudah lama
menyimpan curiga.
Bajunya tiba-tiba terasa basah. Ingin sekali
dibelainya rambut hitam bercat itu dan meny
usut air matanya, namun kekuatannya tidak ada.
Semua telah meninggalkan dirinya. Bahagianya,
cintanya, mataharinya. Juga murkanya.
Dibiarkannya suaminya menangis. Lalu mengulangi kata-katanya.
"Ines, aku betul betul tidak mencintainya.
Percayalah. Tapi setan keparat itu ternyata sekarang ada di sini. Dia mengancam akan mengadukan aku pada pimpinan sehingga kita semua
kelaparan di jalan. Oh, lnes, maafkan aku. Apa
yang harus kita lakukan sekarang "
Nyonya Niha merasa dingin. Wajahnya pucat.
Tangan kakinya seakan beku. Cuma hatinya yang
terasa pedih. Pedih sekali. Kepalanya berdenyut
pusing. Setetes air mata bergelantungan di pelupuknya. Mengapa dia dulu tidur nyenyak dalam
kepongahannya Mengapa dirasanya mahligainya putih mulus Sekarang, Kastaneda telah
membukakan matanya. Dilihatnya suaminya
sebagai laki-laki yang terlalu sedikit diberinya
santapan cinta di atas meja perkawinan mereka.
Kino sudah mengatakan, betapa rakusnya dia.
Namun ditolaknya permintaan yang berlebihan
itu. Manalah dia tahu, bahwa ketika itu dia telah
menolakkan suaminya ke pelukan orang lain.
"Kino."
267 "Ines."
Air mata mereka berbaur dalam isakan penyesalan, sementara hati mereka gemuruh bagaikan
derau air terjun di tepian danau.
"Apa yang dimintanya "
"Dia dia ingin... jadi..." Kino tidak dapat
meneruskan kata-katanya dan juga tidak perlu.
"Apakah dia.. "
Kino mengangguk dalam dekapan. Istrinya melepas dekapannya. Mereka nanar bertatapan, saling merenungi lubang hitam yang akan
mengisap masa depan mereka habis-habisan
hingga kerontang. Keduanya gemetar.
"Dia sudah hamil sebulan," bisiknya.
Ines mengisak. Salahnya. Oh, mengapa dia
sepelit itu memberi suaminya juadah serta nyamikan Mengapa suaminya cuma diperbolehkannya mencicip makan yang teratur Mengapa tidak
boleh menyamik di antaranya Mengapa tidak
dibiarkannya laki-laki itu berlena-lena dalam
dekapannya sesering yang diinginkannya
"Apa yang terj adi selama tugasmu tempo hari
Bukankah kau sibuk terus di lapangan " Ines tiba-tiba kembali ingin menjadi reserse. Disekan
ya wajahnya yang basah dengan sepotong kertas
harum. Kemudian diberikannya kertas setengah
basah itu pada suaminya untuk melakukan tugas
yang sama.
"Ines," keluh suaminya, "Kastaneda membayangi aku terus. Bahkan sampai ke kamar
hotel. Menawarkan mau memijit sedemikian
268 mentahnya hatinya...."
"Dan kau tentu mau," tuduh lnes dalam hati,
dan terbaca jelas oleh Kino di atas kebeningan
matanya yang agak memerah.
"Mula-mula aku menolak. Tapi itu berulang
terus dan terus dan terus. Sampai pada suatu
malam aku menyirami kekesalanku dalam peker
jaan serta kesepianku dengan bir berbotol botol.
Tepat pada saat itu, dia datang mengganggu. Aku
tuangkan semua amarahku padanya, tapi tapi
rupanya rupanya aku telah menuangkannya
dengan keliru. Setelah itu, Ines, aku jadi masa
bodoh. Rasa bersalahku berubah jadi kemasabodohan. Aku ulangi pengkhianatan itu berkali-kali seakan itu hal biasa. Ines, kau tidak perlu
memaafkan kehitaman jiwaku. Aku juga takkan
minta maaf. Sebab kau takkan percaya, aku sungguh sungguh telah berusaha untuk tetap setia.
Tapi kau acuh tak acuh saj a selama ini. Aku beru
saha menarik kembali perhatianmu dengan dandanan aneh-aneh. Tapi kau malah menertawakan
aku. Kau dan Cempaka. Dalam setiap kata, kau
berusaha mengingatkan aku, bahwa aku sudah
tua. Aku tidak mau dengar itu, Ines. Aku masih
ingin muda. Aku perlu keyakinan bahwa aku
masih muda. Dari Kastaneda datangnya keyakinan itu."
Ines menatap kosong ke muka. Suara itu
dirasanya bergema dari jauh. Beralun gemuruh
seperti ombak bergurau abadi dengan pantainya.
Kemudian dia sadar, itu cuma debur jantung
269 nya sendiri. Mimpikah dia Betulkah itu suara
Kino Dia mimpi. Ya, dia cuma mimpi. Yang harus dilakukannya mudah saja. Bangun. Dan itu
semua akan bubar seperti asap dihembus angin.
Cuma mimpi.
Betulkah Tangannya disentuh dan dielus. Ah,
kehangatan masa lalu yang ceria. Apakah yang
masih dapat dikumpulkannya dari puing puing
cinta mereka Bagaimana pula akan dibelanya
suaminya kini di depan Cempaka, bila hatinya
sendiri tersembelih dengan semena mena
"Ines, bagimu, ini adalah pengkhianatan. Aku
tahu. Tapi Ines, bagiku, dia cuma sebuah pengala
man. Aku tidak mencintainya. Hanya, aku tidak
menyangka, semua itu akan berakibat begini...."
"Lalu, kauharapkan akan tidak berakibat "
pekiknya dalam hati. Dia membisu. Keinginannya me resersir Kino padam ditumpas semua
kata kata yang telah menggores tajam dalam hat
inya. Dia bersalah. Itu didengarnya sendiri. Dia
menertawakan keuzuran suaminya. Dia mencemooh dandanan yang dimaksud akan memikatn
ya. Oh, Kino, aku tidak bermaksud begitu.
Dalam Mihrab Cinta 3 The Unpredictable You Karya Belowthepar Tengkorak Darah 1

Cari Blog Ini