Sembilu Bermata Dua Karya Marga T Bagian 2
yang bagus dan paling banyak ditonton. Setelah
itu mereka bicara soal politik. Pukul sepuluh, ibu
menjadi hilang sabar dan masuk ke kamar Ina.
"Ina, apakah setiap malam aku harus mengingatkan engkau kapan waktu tidur Tidakkah
engkau tahu di jendela itu angin sekali Apakah
engkau mau sakit kembali "
93 "Tentu saja tidak, Mama," kata Ina tersenyum
manis untuk melemahkan hati ibunya. "Ayo,
Han, anak ayam mesti tidur."
"Ayo deh. Selamat malam. Aku mainkan lagu
lagu untukmu, ya "
"Ya. Foto itu jangan dibanting, eh," kata Ina
tertawa lalu menutup jendelanya.
Ibunya sudah keluar lagi. Ina menukar baju
lalu masuk ke tempat tidur. Suara gitar yang
tenang mengalun seharusnya membuat dia lekas
terlena, tapi kali ini dia tidak dapat tidur. Perut
bagian bawah sebelah kiri terasa nyeri dan kak
inya kesemutan lagi. Kali ini lebih hebat dari
waktu dia sakit dulu. Ina berbaring diam diam
tidak berani bergerak sebab setiap gerakan dirasanya menambah kesemutan, malah menimbulkan sedikit nyeri. Kenapa aku, pikirnya. Ini pasti
bukan oleh karena terlalu lama berbaring. Dia
sudah dua minggu bekerja kembali dan sama
sekali tidak ada waktu untuk berbaring baring.
Ina mencoba menghibur diri sendiri dengan mengatakan bahwa besok tentu dia akan segar kem
bali, namun dalam hati sebuah kegelisahan baru
menyelinap masuk. Dan esok paginya, kegelisa
han itu makin menjadi jadi, Dia merasa tungkai
kirinya lemas dan seakan akan tidak dapat digerakkan. Dengan panik, dia berteriak memanggil
ibunya. Yang muncul, ibu dan ayahnya. Mereka
kelihatan berusaha supaya tetap tenang. Dokter
yang dulu mengobati flu Ina, kini dipanggil lagi.
Kebetulan tinggalnya di jalan yang sama, jadi da
94 lam sepuluh menit, dokter sudah muncul.
"Oh," kata dokter, juga mencoba tenang,
"Tidak perlu panik. Sebaiknya kita kirim saja
Ina ke rumah sakit untuk pemeriksaan yang lebih
lengkap. Oke, Ina "
Dokter tersenyum, tapi Ina yakin bahwa itu
cuma pura-pura. Dia dapat merasakan kekhawatiran setiap orang. Dan Ayah yang tergesa-gesa menelepon ambulans! Ketika ambulans tidak dapat
datang, Ayah makin sibuk. Untung ada tetangga
di bawah yang mau meminjamkan Colt mereka
dan Ina langsung diangkut tanpa mandi mau
pun gosok gigi. Kejadian selanjutnya tidak lagi
diingat olehnya. Pendeknya dia telah membuat
orang-orang di rumah sakit itu menjadi sibuk. Dia
dipotret. Ditusuk. Diketok-ketok. Diberi senyum,
diberi kata kata manis. Terutama seorang dokter
muda yang luar biasa baiknya, amat disukai oleh
Ina. Sejak dia masuk ke kamarnya, dokter muda
itu telah berada di samping tempat tidurnya,
tersenyum dengan tenang dan menanyakan apakah dia memerlukan sesuatu. Ina menggeleng.
Sekonyong-konyong dia merasa amat tidak
berdaya. Terbaring dikelilingi beberapa orang
berseragam putih. Diperbincangkan. Ditunjuk.
Diraba. Dij adikan bahan berdebat, walaupun secara bisik bisik.
Akhirnya vonis dijatuhkan. Ina harus dioperasi. Segera. Kata dokter, ada nanah yang menekan
saraf dan ini harus lekas-lekas dikeluarkan sebelum menjadi parah. Tekanan ini yang menyebab
95 kan segala kesemutan dan nyeri. Ina memandang
dokter muda yang baik hati itu dan bertanya apakah operasi itu berbahaya.
"Jangan khawatir," katanya, diplomatis.
"Engkau akan mendapat ahli bedah yang paling
jempolan. Guru saya."
"Tapi kalau saya... seandainya saja, saya...
mati...."
"Hei, apa-apaan omong begitu Mereka cuma
mau membersihkan punggungmu, bukan membuka jantungmu!" Dan dokter itu tertawa untuk
melegakan hatinya.
"Tapi seandainya saja...."
"Ayo, saya tidak mau mendengar itu." Dia
mengancam mau pergi meninggalkannya.
"Dokter, mata saya," kata Ina akhirnya setelah
beberapa saat sibuk mencari akal untuk mengut
arakan isi hatinya.
Dokter menoleh dan memandang mata pasi
ennya.
"Matamu tidak apa-apa."
"Ya, saya ingin menyumbangkannya."
"Apa "
"Dokter, maukah dokter mendengarkan saya
sebentar " tanya Ina dengan suaranya yang lem
but yang telah memikat hati tetangganya.
Dokter muda yang baik hati itu menatapnya
lalu mengangguk dan duduk di kursi, di samping
tempat tidurnya.
"Oke, saya siap mendengarkan engkau, Nona
manis," katanya memperlihatkan kedua belah
96 tangannya dan tersenyum.
"Dokter," kata Ina tanpa membalas senyumnya, "Saya adalah manusia yang tidak berarti.
Tubuh saya cacat. Hidup saya tidak mengandung
banyak harapan. Tapi saya ingin sekali berjasa
untuk orang orang, supaya hidup saya jangan
sampai tidak berarti sama sekali. Karena itu saya
ingin menyumbangkan kedua mata saya, seandainya... seandainya... operasi ini... tidak..."
Dokter muda itu menghapus air mata Ina
dengan ujung selimutnya dan menepuk nepuk
bahunya tanpa berkata apa apa. Ina cepat sekali
menguasai dirinya dan minta supaya dokter itu
mau membantu dia melaksanakan niatnya.
"Ya, ya, jangan khawatir. Sekarang engkau
mesti beristirahat."
"Kalau terjadi sesuatu, Dokter..." Ina menco
ba tersenyum, yakin sekali bahwa niatnya yang
luhur itu akan terlaksana segera. "Sebab saya
pernah membaca, selaput mata itu harus diam
bil dalam waktu dua puluh empat jam setelah...
setelah..."
Dokter memberikan janjinya akan mengurus
semuanya dengan baik. Tapi ternyata, janji itu
tidak perlu dipenuhi. Ina keluar dari operasi itu
dengan hasil yang baik. Kepada orang tuanya,
para dokter memperingatkan kemungkinan har
us diadakan operasi yang lebih besar bila tulang
punggungnya bertambah bengkok. Tapi terhadap
Ina, dokter membungkam. Cuma tersenyum dan
membesarkan hati.
97 Tiga minggu kemudian Ina pulang ke rumah.
Hanifah ternyata sudah menanti di j endela.
"Selamat datang, Nona manis," katanya tertawa cerah. "Hari ini aku sengaja tidak ke ma
na mana untuk menyambutmu."
"Huh! Setahuku, engkau memang tidak per
nah ke mana-mana!" tukas Ina menahan senyum.
"O, ya, kadang-kadang aku pergi juga latihan
band dengan rekan-rekan senasib. Tapi bagaimana, kabar kesehatanmu Pulih seperti sediakala "
"Seperti sediakala!" kata Ina dengan gagah.
"Ah, aku senang sekali mendengar hal itu.
Kau tahu, setiap malam aku berdoa supaya engkau lekas kembali. Aku sungguh sungguh tidak
tahan hidup tanpa mendengar suaramu. Aku dengar, engkau dioperasi. Takutkah engkau waktu
itu "
Ina teringat akan kamar yang dingin itu, di
mana banyak orang mengerumuninya tapi tidak
seorang pun yang terdengar berbicara. Semua
bekerja dengan membisu. Dan... betapa ngerinya
dia waktu itu.
"Ya, aku ngeri sekali, Han. Dan kau tahu siapa
yang teringat olehku waktu itu Engkau! !"
Oh, betapa gembiranya Hanifah mendeng
ar itu. Senyumnya melebar dan matanya berkejap kejap.
"Betulkah itu " tanyanya berulang-ulang dan
Ina mengiakan dengan terharu.
Tampaknya Hani memang mencintainya.
Tapi... mungkinkah itu Dia belum pernah me
98 lihatnya. Dan... andaikata melihat pun, dia makin ragu-ragu apakah Hani sungguh akan dapat
mencintainya. Mencintai gadis dengan punggung
bungkuk
"Ina, maukah engkau mendengar sebuah berita gembira "
"Apakah itu "
"Aku mungkin akan dioperasi di Yogya,
dua-tiga bulan lagi!"
"Ow!" seru Ina menimpali antusias tetangganya, walaupun dia sendiri tidak begitu meng
hayatinya. Dia cemas cemas gelisah memikirkan
hal itu. Bila Hanifah sudah pulih kembali pengli
hatannya, apa yang akan terj adi Bila dia ternyata menarik kembali semua kata katanya, tidakkah
persahabatan mereka akan rusak Tidakkah dia
akan sangat kecewa Lebih kecewa daripada bila
Hani memang tidak pernah bicara soal cinta sej ak
pertama kali
"Kalau aku tidak buta lagi," kata Hanifah
tersenyum, "engkau pasti tidak akan malu menjadi pacarku!"
"Hei, dari mana datangnya pikiran konyol
itu " seru Ina tertawa. "Siapa bilang aku malu
menjadi pacarmu "
"Oh, aku tahu sendiri. Engkau kan selalu me
nolak bila aku sebut engkau pacarku "
"Dan sebabnya karena itu "
"Tentu. Apa lagi Karena engkau, maka aku
bertekad harus menjalani operasi ini. Untukmu.
Kau dengar Untukmu. Sebab aku ingin diterima
99 dalam hatimu. Bila untukku sendiri, operasi itu
tidak begitu mutlak. Toh dalam keadaan sekarang,
aku tidak menyusahkan orang-orang. Aku dapat
mencari nafkah sendiri dengan menganyam dan
mengajar anak anak main gitar dan bernyanyi.
Aku dapat menghibur orang orang dengan band
kami. Tapi sekarang, itu semua tidak cukup. Aku
ingin melihat engkau dan menjadi pacarmu."
Air mata Ina tiba-tiba berlinang-linang. Betapa mengharukan semuanya itu. Tapi dunia pacaran bukanlah dunianya. Itu sebuah kenyataan
yang harus diterimanya.
"Kalau begitu, Han," katanya pura pura
senang, "Aku akan nantikan engkau pulang dari
rumah sakit. Awas! Jangan kecantol dengan per
awatmu, lho!"
"Pasti tidak! Pasti tidak!"
Oh, betapa menyenangkan saat itu untuk melihat dia menggeleng-geleng seribu kali dan su
aranya hangat sekali. lna lekas lekas berlalu dari
jendela dengan alasan dipanggil Ibu.
Kini, seminggu setelah Hanifah pergi ke Yogya, Ina mulai merasa bimbang dan gelisah. Setiap kali dia teringat pembicaraan mereka di jen
dela malam itu, dia selalu merasa khawatir. Tidak
ada lagi tersisa rasa senang yang dialaminya saat
itu. Makin hari gelisahnya makin bertambah. Apa
yang akan dikatakan Hani bila dilihatnya pung
gungnya Bila Hani mengejeknya, dia pasti akan
membencinya dan itu tidak boleh terjadi. Dia
tidak boleh membenci Hani dan Hani tidak boleh
100 menjadi jelek dalam kenangannya. Tapi apa yang
dapat dilakukannya Melamun dalam toko bunga
sama sekali tidak memberi ilham apa-apa. Malah
hampir-hampir dia membuat kesalahan. Buket
seharga sepuluh ribu mau dikirimnya ke alamat
yang cuma memesan buket tiga ribuan. Untung
Tante Lili seorang yang teliti dan sedikit pencuriga, sehingga ditanyakannya untuk siapa chathaleya itu. Ah, malu dia telah membuat kekeliruan
sebesar itu.
Dan kesalahan terjadi keesokan harinya.
Sebuah buket untuk Nyonya X, ditempelinya kar
tu pernyataan cinta dari Tuan K. Dia baru mengetahui kekeliruan itu ketika menyelesaikan buket
untuk ulang tahun Nyonya K. Aduh! Betapa kagetnya dia. Buket itu sudah dikirim tiga jam yang
lalu. Apa kata Tuan X bila dibacanya kartu itu
Salah-salah dikiranya istrinya ada main dengan
laki-laki bernama K. Tante menggerutu ketika
Ina menceritakan kesalahannya. Terpaksa pen
gantar bunga disuruh mengambil kembali kartu
itu dan menggantinya dengan kartu yang benar.
"Apakah engkau sakit, Ina " tanya Tante Lili
dengan nada j engkel.
"Tidak, Tante," sahutnya dengan muka merah,
tanpa berani memandang majikannya.
"Mungkin engkau terlalu lelah, ya."
Ya, sore itu dia merasa lelah ketika masuk ke
kamarnya dan mendapati sehelai surat menantinya. Dulu dia juga selalu mendapat surat. Dari
Hardi. Tapi ini dari Hanifah. Dibacanya surat itu
101 dengan cepat. Ah, betapa mulianya orang yang
telah meninggalkan matanya untuk Hanifah.
Siapakah orang yang baik hati itu Mereka takkan pernah tahu. Aku juga ingin melakukan hal
seperti itu, pikirnya sambil merebahkan diri ke
tempat tidur. Betapa lelahnya aku, pikirnya lagi.
Lelah dan kecewa. Dia berbuat kesalahan lagi di
toko.
Ketika ibunya masuk, ternyata Ina sudah
terlelap. Belum mandi. Pukul tujuh malam, dia
terjaga dan rasa lelahnya sudah hilang. Setelah
mandi dan makan, dia kembali lagi ke kamarnya.
Diambilnya setumpuk guntingan koran dari sisipan buku agendanya yang sudah usang. Itu agenda dari kelas terakhirnya di SMA. Ina membaca
guntingan guntingan koran itu, mencari-cari
alamat bank mata. Tapi rupanya dia tidak per
nah menyimpannya atau terlupa meletakkannya
di tempat lain. Bagaimanapun, alamat itu tidak
didapatnya. Bagaimana ini Otaknya yang cerdas
segera bekerja. Lalu dia keluar menemui ayahnya.
"Papa, mungkinkah bank mata itu ada di
RSCM " tanyanya.
Sembilu Bermata Dua Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ayahnya sesaat tercengang mendengar per
tanyaan itu, namun kemudian menj awab juga.
"Mungkin saja. Mengapa kautanyakan itu "
"Oh," kata Ina tertawa. "Saya cuma ingin
menyimpan mata saya di sana!" Lalu dia kembali
ke kamarnya sambil tertawa dengan riang.
Keesokan harinya, toko tidak begitu sibuk.
102 Tante Lili pergi ke Pasar Cikini dan Ina dipercayakan menjaga toko. Terpaksa dia duduk diam
di belakang meja, menanti langganan datang.
Sementara itu matanya kadang-kadang melirik
ke seberang jalan, di mana berdiri sebuah bis su
rat. Dalam tasnya, ada sebuah surat yang ingin
dimasukkannya ke sana. Surat untuk bank mata.
Dia tidak tahu bagaimana menulis surat resmi-resmian. jadi, mungkin suratnya itu akan dianggap
lelucon saja dan dibuang ke tong sampah. Betapa
kesalnya kalau itu terjadi. Tapi dia toh harus tetap
mencoba. Dorongan hatinya begitu keras, sehingga dia tahu, dia takkan merasa tenang sebelum
mengikuti nalurinya. Sebelum surat itu diposkan,
maka hidupnya belum beres.
Ina membuka tasnya dan mengeluarkan surat
tersebut. Dibacanya berkali-kali apa yang tertu
lis di atas sampul. Betulkah ini, alamatnya Kalau tidak Ah, kalau tidak ada responsi, dia akan
mencoba lagi. Atau dia akan menyurati rumah
sakit di Yogya tempat Hanifah dirawat. Mereka pasti tahu alamat yang tepat. Ah, semoga ini
betul.
Datang tiga orang langganan. Ina melayani
mereka dengan manis dan ramah. Setelah itu dia
kembali lagi ke meja. Mira menanyakan men
gapa dia tampak gelisah. Apakah karena surat
itu Ina memandang surat putih di tangannya dan
tahu-tahu mengangguk.
"Nah, aku tahu sekarang. Engkau sudah mulai
pacaran, ya," goda Mira tapi Ina tidak tertawa.
103 "Mengapa aku harus gelisah, kalau aku mulai
pacaran "
"Mana aku tahu," kata Mira mengangkat
bahu.
"Tidak. Aku gelisah menantikan Tante pulang.
Aku mesti lekas lekas memasukkan surat ini ke
sana." Dan ditunjuknya bis surat di seberang
jalan.
"Kau kira surat-surat di situ pernah diambil
oleh pos "
Sebelum Ina menjawab, kelihatan Tante Lili
turun dari mobil.
"Nah, itu Tante. Sudah hampir jam satu. Baiklah aku ke seberang sekarang," kata Ina lalu
bangkit sambil meraih suratnya. "Tolong ganti
kan aku sebentar, Mira."
Di ambang pintu dia bertemu dengan Tante.
"Mau ke mana engkau, In " tanya Tante keheranan. "Tergesa-gesa amat "
"Ke seberang sebentar, Tante. Takut terlambat. Keburu diambil." Lalu dia berjalan terus ke
luar.
Tante tercengang mendengar kata-kata yang
tidak dimengertinya itu lalu memandang Mira.
"Dia mau memasukkan surat, Tante. Mungkin
untuk pacarnya." Mira tertawa.
Tante tersenyum, menggeleng-geleng lalu
masuk ke dalam membawa belanj aannya. Ketika
dia tengah meletakkan barang-barang itu di atas
mej a, tiba-tiba didengarnya bunyi decit rem mobil yang mengiris hati. Dengan tergesa-gesa dia
104 lari ke luar, guna memenuhi kehendak hatinya
yang selalu ingin tahu.
"Ada apa, Mira " tanyanya antusias.
"Entahlah, Tante. Rupanya ada orang ditubruk di depan toko."
Mereka keluar. Kerumunan orang orang su
dah memadat. Mustahil melihat apa yang terjadi.
Tapi mereka tidak bosan tanya ke kiri kanan.
"Anak gadis ditabrak," kata seseorang lalu
mengangkat bahu, menunjukkan bahwa dia tahu
tidak lebih dari itu.
Tante terus mendesak maju. Mira mengekor
di belakang. Mereka tidak berhasil maju ke depan, tapi dari sela-sela orang, terlihat juga sedikit-sedikit. Tiba tiba Mira merasa hampir jatuh ter
dorong oleh tubuh Tante yang oleng ke belakang.
"Ya, Allah!" jerit Tante dan semua orang minggir.
"Ina!" teriak Tante dan maju menubruk Ina
yang terbaring di tengah jalan.
Kakinya hancur dan serpihan serpihan tulang
kelihatan putih di antara genangan cairan merah.
Tante memeluknya dan menangis, Ina mengacungkan sampul putih yang digenggamnya eraterat dalarn telapak kanannya.
"Bukalah ini," bisiknya berulang-ulang.
"Bukalah ini. Lekas"
105 V ari Yogya, Hanifah beristirahat seminggu
Ddi Bandung, memenuhi kehendak
neneknya. Dia sendiri sebenarnya ingin
lekas lekas pulang menjumpai Ina dan melihatnya
untuk pertama kali. Hampir setiap saat, dibayang
bayangkannya bagaimana kiranya rupa Ina dan
apa yang akan dikatakannya bila dilihatnya
Hanifah sudah seganteng pemuda lain. Mungkin
Ina akan langsung jatuh cinta Ah, ah, ah. Dia
akan bilang begini: Ina, tidak aku sangka, engkau
demikian manis dan menarik. Ina tentu akan
tersipu-sipu dan dia akan berusaha untuk tidak
memperhatikan punggungnya. Kasihan! Gadis
dengan suara selembut itu, harus mempunyai
punggung bungkuk. Kata Ibu... ah, apa kata
ibunya Ina amat manis dan menyenangkan.
Sayang dia bungkuk sehingga tidak ada pemuda
yang tertarik padanya. Tidak ada yang mau
menjadi pacarnya. Tidak ada Siapa bilang tidak
ada Tungggulah sampai dia tiba di jakarta. Akan
disaksikannya betapa Ina keheranan mendapati
ada orang yang mencintainya. Ina pasti akan
merasa bahagia. Dan bangga. Sebab aku toh tidak
jelek.
Hanifah mengambil cermin yang tergantung
di dinding lalu memandangnya. Diperhatikann
ya wajahnya sejurus. Ya, dia tidak jelek. Malah
106 boleh dibilang, menarik dan tampan juga. Ah,
betapa inginnya dia cepat-cepat pulang ke Jakarta. Hanya karena sayangnya pada Nenek, dia
menahan diri dan menunggu sampai satu minggu
itu berlalu.
Akhirnya... ah! Hanifah menengok ke atas ke
arah jendela Ina yang tertutup. Hari sudah senja,
namun dia dapat melihat j endela itu. Ya, pasti itu
jendelanya. Wow, dia dapat melihat semuanya
dengan j elas. Tunggulah, Sayang, katanya dalam
hati dan melompat turun dari bemo dengan lagak
orang gila yang digigit semut merah.
"Ongkosnya," seru sopir mencicit.
"O ya, maaf." Diambilnya dompetnya lalu
tergesa-gesa memberikan dua lembar ratusan.
Tanpa menanti ucapan terima kasih, dia sudah
mendobrak pintu depan. Sepi. Setengah berlari
dia menaiki anak-anak tangga ke atas. Di tingkat dua, seorang tetangga keluar. Agaknya perempuan itu terkejut melihatnya, sebab langsung
didekapnya mulutnya sementara kedua matanya
yang bulat itu seakan akan mau melompat ke
luar.
"Selamat sore," sapanya dengan gembira
sambil terus melompat.
Dibukanya pintu flatnya. Sepi. Mungkin ibun
ya ada di dapur. Biarlah. Dia ingin langsung ke
kamarnya dulu. Tanpa menimbulkan suara, dia
masuk ke kamar pertama. Dibukanya pintu. Hm,
segar baunya. Jendelanya tertutup. Tapi sebentar
lagi akan dibukanya dan jendela seberang juga
107 akan terbuka. Lalu... ah, seperti apakah wajahnya
Hanifah meletakkan tas pakaiannya di lantai
dan menghampiri meja tulis dalam dua langkah.
Dulu, dia tidak dapat berjalan secepat itu. Tapi
kini, aduh! Dia betul betul merasa sebagai manu
sia baru. Betapa indahnya hidup. Apalagi bila...
diraihnya foto Ina di atas meja tulisnya. Dia tertegun. Betapa cantiknya gadis ini, gumamnya dalam hati. Dia sudah mendengar ibunya bilang, Ina
manis sekali. Dan dia juga membayangkan Ina
seperti salah satu bintang lilm yang populer. Tapi
dia sungguh terpesona melihat gambarnya. Tidak
disangkanya Ina demikian manis dan menarik.
Senyumnya cerah dan matanya penuh keharuan. Potret itu cuma beberapa senti di atas dada.
Jadi punggungnya tidak nampak. Sukar rasanya
membayangkan Ina yang bungkuk. Gadis seman
is itu cacat Punggungnya yang menonjol ke belakang Mustahil. Tapi itu memang benar. Ketika
dia memperhatikan dengan lebih teliti, dilihatnya
bagian bawah tengkuk Ina sedikit menonjol.
Dengan hati-hati, Hanifah membuka bingkai
itu. Dipegangnya pisau lipatnya sedemikian, sehingga tidak ada kemungkinan menusuk gambar.
Aku ingin tahu, kalau-kalau dia menulis sesuatu
di belakang, pikirnya. Bingkai itu lepas dengan
mudah. Dengan tidak sabar, Hanifah menarik ke
luar gambar Ina dan membaliknya. Ah, betul saj a.
Cuma sebaris kalimat. Hanifah membacanya se
kali. Kemudian mengulangnya. Mengulangnya.
108 Mengulangnya. Mengulangnya. Namun tidak
juga mengerti. Apa maksud Ina dengan: "Aku ingin hidup yang singkat ini berarti." Apa maksud
kata-kata itu
Hanifah menjatuhkan diri ke dalam kursi dan
mengerutkan keningnya. Hari makin bertambah gelap. Dia bangkit dan menyalakan lampu.
Aaaah, seakan-akan baru diingatnya jendela itu
ketika terpandang olehnya kain gorden yang
setengah kotor. Tergesa-gesa dia berjalan ke sana
lalu membuka gerendelnya seperti yang biasa
dilakukannya setiap pagi. Tanpa melihat pun,
sebenarnya dia dapat membukanya. Tapi sekarang kedua matanya baru mengetahui apa sebabnya kadang-kadang kunci itu agak macet. Letaknya sedikit miring dan bagian bawahnya sudah
karatan.
Sambil menahan napas, dibentangkannya
daun jendela itu lebar-lebar lalu dia tersenyum
memandang jendela di seberang. Masih juga tertutup. Rupanya tidak didengarnya aku kutak-kutik dengan gerendel, pikir Hanifah. Sebab biasanya, sebelum jendelanya terbuka, Ina sudah akan
membuka jendela lebih dahulu dan langsung
menyapanya.
Hanifah menggosok-gosok tangannya dan sekali lagi tersenyum. Gambar di tangannya dipan
dangnya sekali lagi. Hei, Ina, dia akan berseru,
aku sudah melihat gambarrnu! Engkau memang
pantas menjadi pacarku! Engkau mau, bukan
Aku kini tidak buta lagi.
109 Hanifah menoleh ke angkasa dan melihat seekor burung terbang solo ketinggalan
teman-temannya. Ah, aku bahkan dapat melihat
burung itu. Aku akan menghitung bintang-bintang nanti malam dan kita akan lihat siapa yang
lebih pandai berhitung.
"Ina," serunya tidak sabar lagi mau mengatakan semuanya. "Ina, lihatlah siapa yang ada di
sini!"
Tiada jawaban. Tiada gerak. Aaah, masa dia
sudah tidur "Ina Ayo, jangan pura pura tidur.
Aku pulang, nih. Menepati janjiku. Ina !! Ayo,
bukalah j endela itu. Tiba saatnya bagimu untuk
memenuhi janjimu. Engkau berjanji menunggu
aku kembali, Ina Ayo, Anak manis. Aku sudah
melihat gambarmu. Engkau cantik dan manis sekali. Ina ,"
Tetap tidak ada reaksi apa apa. Hanifah
tersenyum. Rupanya dia dapat juga menjadi man
ja, ya. Tapi tidak apa. Engkau boleh manja pada
ku, katanya dalam hati.
"Ina Somse kau ya, sekarang Pura-pura
tidak dengar, ya Awas. Tunggu saja."
Hanifah berbalik lalu menghampiri tempat
tidur. Diangkatnya kasur dan ditariknya sebilah
papan dari bawahnya. Dibawanya papan itu ke
jendela lalu disorongnya sampai menyentuh jen
dela Ina. Bunyinya pelan tapi jelas. Duk. Duk.
Duk. Ah, terlalu nih, gumam Hanifah ketika usahanya itu juga tidak memberi hasil. Rupanya dia
sengaja mau memanaskan hatiku atau mencoba
110 sampai di mana kesabaranku berakhir. Oho, kalau begitu, dia keliru. Sebab aku sabar sekali. Aku
sabar sekali.
"Ina " panggilnya dengan nada merayu. "Jan
gan begitu dong, Say. Main pura pura boleh saja,
tapi jangan terlalu lama. Ayo, keluarlah sekarang.
Atau, aku harus datang ke tempatmu Oke, deh.
Aku mandi dulu. Akan kita lihat, ke mana engkau
dapat lari bersembunyi!"
Hanifah terkekeh-kekeh. Tapi suasana di sekitarnya tetap sunyi. Angin berembus sepoi sepoi.
Angin sore yang sejuk. Bulan sepotong sudah
muncul. Daun daun pisang gemetar kegirangan dibelai angin setelah seharian dipanggang
matahari. Burung-burung tidak ada seekor pun
yang sisa. Semua sudah pulang. Dan Ina masih
bersembunyi Di balik jendela itu dia pasti ten
gah mengintai atau mungkin juga tersenyum melihat Hanifah.
"Tunggulah aku, Ina. Aku mandi dulu. Ya,
aku mandi dulu." Lalu Hanifah bersiul-siul dan
berbalik dari j endela.
Dia terkejut melihat ibunya berdiri di ambang
pintu kamar. Waj ahnya aneh dan tegang. Oh, ten
tu dia khawatir mendapatinya berkata-kata sendi
rian.
"Hei, Mama. Saya tadi memanggil manggil
Ina, tapi dia tidak menyahut. Saya mau mandi dulu lalu ke sana. Apa kabar, Mama " Dia
mendekat mau memeluknya namun ibunya
mengelak dan tahu tahu sudah menjatuhkan diri
111 ke atas kasur. Menangis.
"Eh, Mama kenapa " serunya kaget.
Ibunya memandangnya dengan terisak-isak
lalu memandang jendelanya lalu memperkeras
Sembilu Bermata Dua Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tangisnya. Hanifah memegang bahunya dan
mengguncangnya dengan lembut. "Ada apa,
Mama "
Ibunya menunjuk jendela Ina namun tidak
dapat mengucapkan sepatah pun. Hanifah mengikuti pandang ibunya tapi tidak melihat apa yang
dimaksudnya.
"Mama, katakanlah apa maksud Mama. Kena
pa Mama menangis "
"lii... naaaa..." Lalu dia tersedu-sedu dan
Hanifah membelalak. jantungnya berdebar dengan amat buas. Lengannya terkulai lemas tanpa
daya. Ina Ina kenapa Oh, dia tahu. Jangan pu
ra pura bertanya lagi, hardiknya pada diri sendiri.
Dia tahu. Tapi mengapa Apa sebabnya
Hanifah berlari ke jendela. Dijulurkannya
tubuhnya ke muka seakan-akan mau diraihnya
jendela di seberangnya. Ina, mengapa, In Men
gapa Apa sebabnya Ina, mengapa begini Aku
sudah kembali. Tapi engkau tiada. 1na!!!! Hani
fah tiba tiba menj erit jerit. Air matanya bercucuran. Tetangga-tetangga mulai keluar. Tapi Hanifah tidak peduli. Dia terus menjerit memanggil
Ina dan bertanya: Mengapa Mengapa, Ina, mengapa
Tiada seorang pun yang menjawab. Angin
terus berembus dengan lembut dan membuai
112 dedaunan. Bintang-bintang mulai muncul satu-dua. Hanifah masih menjerit-jerit. Tapi Ina
tetap membisu.
113 ISTRIKU
BELAHAN
JIWAKU
I ampai usia dua puluh delapan tahun,
S saya masih hidup sendiri. Dalam rumah
memang banyak orang: Nenek, Ayah-Ibu,
tiga orang adik, dan seorang pembantu. Tapi saya
merasa hidup sendirian dalam kamar saya yang
tidak besar. Bukan saya tidak ingin menikah, tapi
saya takut. Diam diam, saya rajin mendengarkan
keluhan-keluhan suami-suami di mana saja saya
kebetulan mendengarnya. Kesimpulan saya
hanya satu. Suami adalah laki-laki yang malang.
Sebuah species yang ingin saya hapuskan dari
muka bumi ini. Karena saya bukan termasuk
manusia yang omongannya biasa didengarkan
serta dituruti orang orang lain, terpaksa saya
mulai ide itu dengan diri sendiri.
Kawan-kawan saya yang tidak seberapa jumlahnya itu adalah orang-orang bijaksana. Anehnya, mereka mencemooh saya. Sedang istri istri
mereka selalu menjauh bila saya datang. Hampir
selalu, wanita wanita superior itu memasang to
peng campuran dari rasa kagum, kesal, penasaran, dan segan.
Nah, barangkali juga saya menyimpan kelainan. Itu tafsiran seorang kawan yang menyediakan
diri untuk mengantar saya ke depan pintu prak
tek seorang ahli j iwa. Saya kaji pendapatnya itu.
Sayang, bantahan saya masih jauh dari meyakin
115 kan. Tanpa setahu orang lain, fase perkembangan
hidup saya sangat berlainan dengan kawan-kawan. Mereka melalui tahap pendakian dan perpeloncoan di mana tante tante bordil serta ba
bu babu montok menggurui mereka. Saya tidak
memiliki ijazah semacam itu.
Ketika melamun lebih lanjut, saya ingat ucapan Ibu yang penuh kebanggaan, seakan-akan
saya diterima di universitas negeri. Katanya, wah
si Kamal sih enggak suka cewek; liat rapornya
hitam terus. Seandainya saya ini Oedipus, mung
kin saat itu sudah saya bunuh Ayah. Bukan karena cinta pada Ibu, tapi karena Ayah sudah memi
lih wanita yang membikin malu hati remaj a saya,
sebagai ibu saya. Bayangkan. Sungguh mati,
saya suka cewek. Namun tidak tahu bagaimana
mendapatkannya. Bukannya Ibu menolong, ini
malah aduh! Waktu itu saya baru delapan be
las kali berulang tahun, tapi teman teman saya
rata rata sudah pernah mengantar pulang atau
membawa ke bioskop, paling tidak, seorang cewek.
Di kelas SMA, saya hitung ada dua puluh cewek melintas dalam hidup saya dari kelas satu
sampai tamat. Dari jumlah itu, sedikitnya ada tiga
yang sebenarnya ingin juga saya tegur tegur. Pi
lihan saya memang sangat keras, seperti biasanya
tingkah orang yang tidak tahu untung. Saya tidak
mempunyai kendaraan beroda dua, apalagi beroda empat, tapi bila cewek manis itu pesek sedikit
saja hidungnya atau terlalu lebar pinggangnya,
116 untuk saya sudah tidak masuk seleksi. Demikian pongahnya saya. Dan saya terpaksa tarik air
muka angkuh, malah kemudian mulai berkeringat dingin, ketika melihat cewek cewek apkiran
itu satu per satu digandeng oleh teman teman ke
jalan hidup masing masing. Tiada satu pun tersi
sa bagi saya.
Tapi kemalangan saya tidak berlangsung lama.
Saya mulai mendengar keluhan-keluhan tentang
istri-istri tercinta, dan hati saya mekar bila ada
kawan yang sedemikian menderita, sehingga dia
terpaksa merasa iri dengan kebebasan saya.
Untung, kebijaksanaan kawan tersebut belum
mencapai tingkatan kepala sekte, sehingga dia
tidak dapat menjenguk ke dalam hati saya dan
membaca di situ, bahwa saya tidak bangga dengan kebebasan ini.
Mungkin saya mempunyai kelainan. Minggu
depan barangkali harus juga saya kunjungi ahli
jiwa itu, siapa pula namanya dokter itu. Begini,
Dok, saya tidak ingin bebas, dalam arti, ingin
juga beristri. Tapi, Dok, saya tidak mau mem
banting tulang untuk memberi makan anak orang
lain seumur hidup, dengan hanya sedikit imbalan
di malam hari. Lagi pula, Dok, kebetulan saya
tidak sering. Jadi, Dok, bila dihitung laba rug
inya, pasti saya akan rugi. Bagaimana ya, Dok,
mencapai maksud saya tanpa harus menderita
kerugian
Sampai usia dua puluh delapan tahun, saya
masih belum menemukan jawabnya. Mungkin,
117 bila saya kunjungi ahli jiwa itu, akan ada jawab
melintas di antara bibirnya. Tapi prinsip saya,
sebelum aj al berpantang ke dokter.
Sementara itu, ibu saya mulai gelisah. Rasa
bangganya dulu sirna setelah sekolah saya tamat.
Berganti kini dengan kekhawatiran. Kamal nya
yang tidak suka cewek, ternyata betul-betul tidak
suka cewek. Rapornya hitam-hitam. Apakah
hidupnya juga akan hitam hitam Aha, rasakan
kau, Ibu. Dulu kauhindari anak-anak teman-temanmu jatuh hati pada saya. Sekarang akibatnya,
begini.
Ketika Ibu terang-terangan bicara empat mata
dengan saya, enam kuping dengan Ayah yang
menyembunyikan diri di balik koran, saya katakan bahwa saya cuma akan menikah dengan
perempuan yang berdikari. Yang mempunyai
penghasilan. Pasal saya tidak mau memberin
ya makan, sudah tentu tidak saya kemukakan.
Mungkin saya ada kelainan, tapi belum gila.
Ibu merengut mendengar perkataan saya. Hati
saya tersenyum. Bukankah gajimu sebagai kepa
la bagian personalia cukup besar Mengapa dia
harus mempunyai pekerjaan juga Saya tidak
menjawab. Rahasia pikiran saya akan saya bawa
mati. Dan Ibu takkan mungkin menemukan seorang calon menantu yang berkenan pada saya.
Tidak ada cewek yang begitu bodoh: sudah berpenghasilan masih mau menjadi tenaga sukarela dalam rumah seorang laki-laki, dan malam
hari masih harus dinas pula! Kalau saya cewek,
118 terang ogah.
Tapi keajaiban dunia bukan cuma tujuh jumlahnya. Pada suatu hari Minggu yang cerah, penuh langit biru di awan putih, Ibu memperkenalkan keaj aiban nomor delapan. Benda bergerak itu
warnanya hij au sayu, berkilat basah seperti daun
berembun, berbinar binar kedua kelereng coklat
tua itu yang jaraknya kira-kira seratus lima puluh
lima sentimeter dari lantai.
Saya pernah membaca dalam sebuah majalah
yang diselundupkan oleh majikan saya, orang
Amerika, bahwa payudara yang kecil, hampir
selalu disertai dengan kecerdasan yang tinggi.
Hasil riset itu dibubuhi nama yang cukup terkenal, sehingga saya terus menelannya dan percaya.
Cuma saya tidak memperhatikan, bahwa sarjana
yang bijak itu cukup cerdik untuk menambah
kan kata "hampir" sebelum kata "selalu", guna
menghindarkan diri dari kesulitan di kemudian
hari. Dan dia memang berhasil. Sebab hampir
saja saya menuntut dia beberapa tahun kemudian.
Payudaranya kecil. Bahkan boleh ditambah
kan predikat "sekali." Kecil sekali. Jadi logis,
bila saya mengharapkan kecerdasannya akan
tinggi. Dan itu tentunya saya kaitkan lagi dengan penghasilan yang tinggi. Sedikitnya cukup
untuk mencegah saya membanting tulang. Pek
erjaan seperti yang saya lakukan saat itu, sudah
cukup memuaskan ego saya yang memang santai, gemar membaca koran, apalagi kalau digaji,
sekali atau dua kali setahun dikirim ke luar negeri
119 dengan kesempatan makan dan tidur gratis. Kebanggaan yang dirasakan kawan-kawan saya bila
dapat membelikan istri mobil, rumah, pakaian,
dan tetek bengek lain, asing bagi saya. Memang
saat itu saya masih buj ang, tapi seandainya sudah
beristri pun, saya tahu keadaan takkan berubah.
Sebab saya termasuk orang-orang yang tidak
pernah mengubah prinsip-prinsipnya. Eksentrik,
kata seorang kawan. Itu istilah yang dikenalnya.
Berkarakter kuat, itu pujian yang saya hadiahkan
pada diri sendiri. Memang itu pula tujuan saya
sejak remaja. Sebuah karakter yang membaja!
Dan pada langit biru yang penuh hari hari
Minggu putih, hidup saya mengalami tikungan
tajam. Tidak ada rem yang dapat menghentikan
lajunya hati saya. Ibu sudah menyulap sebuah
keajaiban yang bernama Manel. Bibirnya yang
menarik itu tidak pernah menjadi duta sebuah
pertanyaan. Kami memang tidak membicarakan
soal cinta. Saya, asing dengan istilah itu. Manel,
seandainya dia ingin mempersoalkan tentang
cinta, agaknya sudah mendapat jawaban yang
memuaskan dari jumlah penghasilan saya yang
pasti sudah disebut Ibu dalam daftar ciri ciri
pribadi saya. Pokoknya, Manel sudah menunjuk
kan kecerdasannya dengan menutup mulut. Dan
kami pun menikah serta kawin, tanpa sekalipun
ada yang bilang: aku cinta kau.
120 II istri yang dapat menghidupi dirinya sendiri,
akan menjadi kenyataan seandainya saja
saya tidak mempunyai ibu mertua.
Dulu, saya cuma menguping tentang kelu
han keluhan yang dilontarkan ke alamat istri.
Saya tidak tahu, bahwa sebagian keluhan itu di
tujukan pada ibu mertua dengan numpang alamat
pada istri. Kini saya tahu, tapi sudah terlambat.
Baru dua bulan menikah, bulan madu pun
belum lagi usai, ibu mertua sudah mempunyai
gagasan baru. Katanya, Manel, suamimu peng
hasilannya cukup untuk kalian berdua, mengapa
engkau tidak berdiam di rumah saja Janganlah
engkau menyinggung perasaan suamimu, seakan-akan dia tidak sanggup mencukupi keperluanmu, sehingga kau terpaksa bekerj a terus!
Nah, nah, mengapa pula perempuan tua itu
sampai berpendapat bahwa Manel akan menying
gung hati saya bila dia terus bekerja Saya sama
sekali tidak tersinggung. Jauh dari itu. Senang.
Lega. Bahkan bahagia.
Tapi bagaimana caranya membantah seorang
ibu mertua Saya menyadari saat itu, bahwa ibu
mertua lebih menakutkan daripada seorang istri.
Kata orang Inggris, Henry VIII merupakan laki laki yang sangat malang. Bukan karena istrin
S ebenarnya cita-cita saya ingin mempunyai
121 ya banyak, tapi karena ibu mertuanya ada enam!
Betul. Betul.
Manel masih cukup sopan. Dia meminta izin
saya untuk berhenti bekerja. Saya lari ke sana
kemari menanyakan kawan kawan bagaimana
caranya menangkis sebuah intervensi dari ibu
mertua. Kawan kawan saya, yang jumlahnya
tidak banyak itu, yang hampir semuanya menjadi
bijak berkat gemblengan istri, cuma mengangkat
bahu. Di belakang saya, mereka tertawa senang.
Rasakan, sekarang giliranmu! Tertangkap say
up oleh telinga saya. Dulu kami iri akan kebe
basanmu. Engkau tidak tahu, bukan Kaukira,
menikah itu enak dan gampang. Istrimu mungkin
gampang. Kau dapat mengancamnya. Kau dapat
memarahinya. Tapi ibu mertuamu Ha, ha.
Ah, remuk hari depan saya yang santai itu.
Sejak saya memberi izin beranikah saya me
nolak Saya belum ingin masuk neraka, walau
pun di atas dunia maka saya merasa seakan
dilecut untuk meraih tingkat jabatan yang lebih
tinggi.
Apalagi bila ibu mertua sudah memuji-muji
menantunya yang pertama, suami kakak Manel.
Suaranya seperti dengung halus yang menyak
itkan telinga serta menggelisahkan perasaan.
Manel tidak menimpali dengan kata kata. Na
mun dalam kelereng coklat tua yang berbinar itu
saya seakan membawa Corolla, lemari es, teve
berwarna, dan lain-lain kata yang artinya berlawanan dengan "santai".
122 Setelah berulang-ulang melontarkan keluhan
ke sana-sini disertai tarikan napas yang memelas, maka akhirnya saya diterima menjadi anggota
klub elit yang bernama "Kalau dulu tahu" An
ggota klub semuanya berstatus suami satu tahun
Sembilu Bermata Dua Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ke atas. Jenis species ini ternyata tidak berhasil
saya musnahkan dari muka bumi. Tidak apalah.
Saya memang bukan jenius dan gagasan saya
juga tidak orisinal. Siapa tahu kelak manusia
laki-laki insaf sendiri dan berhenti menciptakan
ibu ibu mertua. Oh, saya bukan anti ibu mertua,
bila dia tidak seperti ibu Manel.
Harapan saya agar istri juga berdikari, masih
belum mau saya lepaskan. Bagaimana dengan
menerima jahitan Setidak-tidaknya setiap perempuan dapat menjahit, bukan Ya, dia dapat. Ah, bagus, kau manis, kata saya dalam hati.
Manel memang manis dan cantik.
Jadi akan saya buatkan papan merek seperti
apa Nanti saya pikirkan. Baiklah. Saya membuat
kesalahan besar dengan membiarkan Manel berpikir. Sebab pikirannya itu beipusat pada ibunya
yang angker. Dan perempuan tua yang senang
menyiksa saya itu melengking kaget mendengar
gagasan tersebut.
Apa, katanya. Menjahit Menjahit itu berat.
Bagaimana bila kau nanti sampai keguguran In
gin saya bantah, Manel belum mengandung. Tapi
yang bersangkutan diam saja dan saya merasa
tidak berhak mewakilinya. Sok tahu itu namanya.
Mungkin benar dia sudah mengandung dan ibun
123 ya sudah diberi tahu. Itu adalah rahasia kemenangan wanita yang lebih suka disimpannya bersama
sesamanya, daripada dengan laki-laki yang telah
membantunya meraih kemenangan itu.
Gagal membuka warung menjahit. Belum
putus asa. Karakter saya kuat. Manel memili
ki ijazah mengeriting rambut. Nah, bagaimana
bila kau membuka salon Akan saya pinjamkan
modal yang dapat dibayarnya kembali dengan
angsuran serta bunga yang amat ringan. Saya
puji puji wajahnya yang manis, yang pasti akan
memikat banyak langganan. Saya juga memuji
beberapa wanita berdikari yang sukses sebagai
pengusaha, sekretaris, bintang film, pengacara,
dokter, dan pengeriting rambut. Saya tahu betul,
dari kawan-kawan, bahwa istri paling pantang
mendengar suami memuji wanita lain. Dia juga
harus menyamai wanita tersebut.
Manel sudah mau menelan umpan saya. Dia
segera mau menghubungi bekas gurunya untuk
meminta petunjuk alat-alat merek apa yang terbagus dan tahan lama. Saya sudah menyediakan
waktu untuk memesan papan merek bagi salonnya.
Dasar nasib. Atau kurang pengalaman. Saya
lupa menyarankan, supaya Manel meminta restu
ibunya nanti saja, pada upacara pembukaan. Dia
meminta restunya ketika mencari nama untuk salonnya. Ibu mertua saya mengerutkan keningnya. Apa-apaan ini, katanya. Saya sudah ingin lari
saj a. Begitu gatalnya tangan saya mau menjewer
124 kuping istri.
Sudah tentu ibu mertua yang terhormat itu
tidak setuju anaknya memegang-megang kepala
orang. Nanti kalau banyak ketombe, bagaimana
Kalau ada kutu, bagaimana Apalagi kalau jamu
ran Seandainya langganan itu membawa suami
atau teman laki-lakinya yang mata keranj ang,
bagaimana Kalau ada wanita anu yang datang
dan dia ternyata menderita sakit anu, bagaimana
Pada "bagaimana" yang kesepuluh, saya tahu,
saya akan menjadi kuda beban seumur hidup!
Tidak ada salon, tidak ada istri berdikari yang
akan membelikan saya, katakanlah sebuah mobil
balap kecil. Jangankan mobil, sapu tangan sehelai pun sudah cukup. Jangankan sapu tangan,
asal dia dapat menghidupi diri sendiri, sehingga
saya dapat terus membaca koran di kantor, saya
sudah akan sangat bahagia.
Baiklah. Seperti para suami lainnya, sejak
masa dulu hingga kini, saya juga terima nasib.
Nasi sudah ditelan, kata orang, tidak bisa dikeluarkan lagi. Mending kalau cuma menjadi bubur,
masih dapat dimakan.
Saya sudah jatuh ke dalam perangkap ibu mer
tua yang manis mulutnya, namun kejam otaknya.
Entah dari mana ibu saya memperoleh teman
seperti itu. Dan mengapa pula teman itu harus
mempunyai anak perempuan yang bermata kelereng penuh binar-binar! Bukankah itu nasib namanya Belasan teman Ibu yang lain, tidak ada
yang punya anak gadis serupa Manel.
125 Tentu saja tidak pernah saya katakan pada
yang bersangkutan, betapa terpesona saya oleh
matanya. Tidak pula pernah saya katakan, kalau kalau saya cinta padanya. Sebab sesungguh
nya saya tidak tahu, apakah saya cinta atau tidak.
Sungguh tindakan gegabah yang tidak boleh
ditiru. Setiap orang yang ingin menikah, sedikitnya harus membawa cinta bila tidak dapat membawa uang. Paling sempurna tentunya bila dapat
membawa dua-duanya.
J angan terbalik. Saya membawa buku tabungan dan Manel tidak menanyakan apa apa ten
tang cinta. Sayakah yang gegabah atau dia
126 III iga tahun sudah berlalu. Kedudukan
Manel sebagai nyonya rumah sudah
| stabil. Kemungkinan dipecat kecil sekali.
Dia bahkan sudah pandai menyuruh nyuiuh
saya melakukan ini itu, pada saat saat saya ingin
meraih kesantaian yang tidak lagi saya temukan
di kantor sej ak naik pangkat. Dan untuk siapakah
saya terpaksa naik pangkat
Bila ada yang mengatakan, bahwa kaum wanita dijajah oleh kaum pria, dengarlah dulu nasib saya. Pada ibu mertua, sudah tidak mungkin
mengadu. Ah, pada ibu sendiri juga tidak bisa.
Bahkan pada Ayah, tidak saya peroleh hiburan.
Beliau cuma menghela napas, menyatakan tanpa
kata, bahwa kami senasib.
Ibu memang paling tidak sabar menunggu kabar kenaikan pangkat dari Ayah. Dan Nenek ibu
mertua Ayah setiap kali datang, selalu kontrol
barang apa saja yang sudah bertambah dalam ru
mah kami sej ak kunjungannya yang terakhir. Bila
yang bertambah itu cuma cucu, beliau mendengus dan Ayah merasa terhina.
Berapa gajinya sekarang, pernah saya dengar bisik Nenek pada Ibu. Barangkali ibu mertua
saya menanyakan hal serupa juga pada Manel.
Tercambuk oleh kenangan melihat air muka Ayah
yang pahit, saya tanpa sadar menjadi giat men
127 cari pangkat. Akibatnya, saya lekas menjadi tua.
Anehnya, saya tidak peduli dengan wajah,
tua. Yang saya perhatikan cuma air muka Manel
pada saat menerima amplop gaj i saya. Binar bi
nar dalam matanya itu, membuat penat saya hilang. Lega hati saya.
Tapi saya bukan tidak mempunyai keinginan. Walaupun tersembunyi. Ibu juga suka duit.
Tapi beliau pandai memasak. jadi saya berharap,
Manel juga akan memasak yang enak-enak sebagai imbalan jerih payah saya membanting tu
lang di kantor.
Sejauh itu, harapan saya masih berbentuk
harapan. Harus saya akui, Manel memang giat
berlatih. Namun saya kecewa melihat kecerdasannya yang tidak sesuai dengan hasil riset.
Payudaranya yang ranum seperti jambu kelutuk,
ternyata tidak disertai dengan intelegensi yang
besar. Dia bahkan tidak dapat membedakan an
tara gula dan garam.
Panas juga hati saya waktu itu, walaupun saya
masih sanggup tersenyum berkat karakter saya
yang kuat! Pura-pura lucu. Tapi dalam hati tidak
ada lucu sama sekali bila buah apokat yang sudah
begitu lama saya idamkan diberi garam tiga sen
dok makan dan gula setengah sendok teh!
Tentu saja Manel menyatakan dirinya tidak
bersalah. Lampu dapur terlalu suram. Ketika saya
periksa, cuma dua puluh lima watt. Juga bentuk
stoples sama. Isinya tidak dapat dilihat dari luar.
Stoples itu warnanya putih tidak tembus cahaya,
128 dari keramik murahan yang disayang-sayang
olehnya, karena itu hadiah dari ibunya. Mengkal
juga hati saya melihat kedunguannya. Mengapa
kedua stoples itu tidak diberi etiket ! Belum per
nahkah dia masuk ke apotek
Saya masih sanggup tersenyum dengan si
sa-sisa kesabaran terakhir dan Manel menganggap hal itu lucu. Dalam hati, saya mengeluh
melihat kebodohannya. Insiden itu takkan terjadi seandainya dia dapat membedakan mana
gula mana garam. Memang butir butir kristaln
ya sama besar, sebab itu bukan garam dan gula
dalam negeri, melainkan kiriman dari kenalan di
Timur jauh.
Bila matanya tidak dapat membedakan mereka, apa salahnya bila dia mempergunakan lidahnya Tidak terpikir ke situ, katanya. Apa kau be
nar benar memperhatikan apa yang kautuang ke
dalam apokatku jerit saya dalam hati. Kemudi
an, saya temukan penyebab malapetaka itu.
Dalam laci meja dapur, saya temukan sebuah
buku lusuh yang judulnya lebih lusuh lagi. Karya seorang novelis tentu saj a wanita. Siapuh!
Untung karakter saya yang kuat masih sanggup
menahan gerakan tangan saya ke arah tong sam
pah. Tapi saya tegur juga dia dan saya nasihati
agar dia membaca buku buku bermutu saj a. Dari
Hemingway ke atas. Selebihnya cuma sayur asin.
Dan dia merasa terhina. Malam itu mogok. Wah,
tahulah saya betapa pekanya setia kawan di antara wanita.
129 Akhirnya dia setuju, tidak akan membaca
sambil memasak. Mata melihat buku, tangan
menyenduk garam. Disangka gulall Baik, saya
takkan membaca lagi di dapur, kecuali buku petunjuk resep. Ini pun menimbulkan celaka pula.
Ada resep dari negara dingin, namanya kue
bawang. Ketika saya dikirim oleh kantor ke sana,
kue itu tercicip oleh saya dan rasanya enak. Maka
saya beli buku yang memuat resepnya.
Buatkan saya kue ini, ya. Dia mengangguk
tersenyum. Dalam tiga tahun mengerti sudah dia,
bila keinginan saya terpenuhi, dia akan mendapat
izin membeli segala macam betrak betruk yang
gemar dikumpulkannya dalam lemari, namun
tidak pernah dipergunakannya.
Nah, dalam resep itu tertulis: satu kilo bawang.
Saya tidak mengerti bagaimana salah cetak itu
bisa muncul. Sebab itu terang salah cetak. Orang
tidak perlu lulus dari universitas untuk mengetahui bahwa satu kilo bawang pasti terlalu banyak
untuk sebuah kue dengan seratus gram tepung.
Tapi Manel memang merupakan kekecualian
dari riset. Apa yang dimaksud dengan "hampir
selalu" dalam riset im, nah, Manel contohnya.
Sepanjang hari saya gelisah melamunkan kue
bawang yang lezat itu. Bentuknya bulat macam
pizza. Di antara buih-buih telur terselip potongan-potongan ham serta bawang yang harum dan
manis. Kue itu dibuat untuk merayakan kehadiran oven listrik yang minggu lalu saya beli dengan keringat saya.
130 Jadi, betapa kaget dan kecewanya hati, ketika saya melihat, bukan hanya selipan-selipan,
namun taburan-taburan. Di seluruh kue, cuma
terlihat bawang. Di atas, di samping, di bawah.
Bagaimana mungkin ini, tanya saya putus asa.
Lho, memang kenapa, saya kan menuruti resep !
Manel memang belum pernah mencicip kue serupa itu. Ketika dulu pergi, saya masih bujang.
Mana bukunya Dia melempar resep jahanam
itu ke hadapan saya. Dikit berdikit, dia memang
sudah mulai berani pada saya. Bila pada tahun
pertama perlakuannya selalu halus dan lembut,
pada tahun berikutnya meningkat dengan sedikit
gesekan pada meja misalnya, dan tahun ini, dengan lempar lemparan.
Saya angkat buku yang tergelincir ke lantai
itu dan membukanya. Satu kilo bawang, keluh
saya mau menangis. Nah, ej eknya bercekak pinggang. Kau kan tahu, satu kilo itu terlalu banyak!
Bagaimana tantangnya terus melihat saya bungkam. Saya tidak menjawab: Jelas sudah, Manel
otaknya kecil. Seperti payudaranya. Nasib.
Untung sekali muncul Bello yang menengahi keretakan kami, sehingga saya terhindar dari
malu yang saya alami seandainya ditegur oleh
hakim: coba jelaskan lagi bagaimana kue itu
menyebabkan Anda ingin menceraikan istri !
Bello melahap kue itu dengan rakus. Manel
membelainya dengan air mata berlinang. Saya
membuang muka karena terharu melihat kesetiaan anjing saya yang pasti dapat menerka isi hati
131 saya dan tidak ingin kami bercerai.
Sejak itu saya pantang menyebut nama kue
bawang di depan istri.
132 IV ah, saya kan berhak tahu apa saja yang
dikerjakan Manel seharian di rumah.
| ] Enak benar ya menjadi wanita yang
bersuami. Seandainya dia bekerj a terus, entah
berapa banyak uang simpanan kami. Jadi saya
membayar dia untuk ongkang-ongkang kaki di
rumah.
Setahu saya, tidak ada yang perlu dikerjakannya. Menyapu, memasak air, dan mencuci sudah
diserahkan pada pembantu: Memasak sayur sudah dipercayakan pada restoran serta warung nasi
Padang. Cuma tiga-perempat kali dalam seminggu Manel mempelaj ari buku masaknya dan mencoba mempraktekkannya. Itu pun sudah lebih
dari cukup bagi saya. Kalau lebih sering lagi saya
diharuskan beipuasa, tak lama lagi tentu saya
akan menjadi tiang listrik berjalan.
Beban serta tanggung jawab Manel boleh dibilang hampir tidak ada. Bello tidak pernah rewel. Pembantu kami tidak pernah lupa memberinya makan dan minum. Bayi tidak kami miliki.
Atau barangkali, Manel belum ingin punya anak.
Pernah dia bilang, kalau sudah beranak takkan
sebebas itu lagi dia. Maksudnya, dia takkan dapat mengikuti saya ke luar negeri. Bagi saya, anak
bukan merupakan persoalan. Kalau ada, tentu
akan saya cintai dia. Kalau tidak ada, saya tidak
133 merindukannya. Barangkali saya aneh Atau
saya termasuk segelintir kecil manusia zaman
sekarang yang menginsafi bahwa bumi ini sudah
terlalu padat ! Entahlah.
Tetapi karakter saya yang kuat tidak menuntut agar istri saya memberi saya kemrunan. Kecenderungan saya untuk bersantai-santai agaknya
cocok juga dengan keadaan kami saat itu. Sebab
Sembilu Bermata Dua Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seorang anak tentu saja membawa beban dan
tuntutan bagi ayahnya. Dia harus dicukupi rohani
dan jasmani. Berarti saya harus meraih pangkat yang lebih tinggi lagi. Uang simpanan harus
diperbanyak. Apalagi bila teringat besarnya uang
sumbangan masuk universitas, keringat dingin
saya menetes deras. Bila tekanan batin seperti
itu terus-menerus berlangsung, niscaya kena juga
saya serangan jantung.
Tentu saja, bila anak saya tidak masuk universitas, saya dapat terus hidup santai. Tapi itu tidak
mungkin terjadi. Anak saya harus masuk universitas dan tidak boleh tidak, di fakultas kedokteran. Memang, banyak dokter muda yang nganggur
atau pasiennya kurang dari jumlah jarinya, tapi
bayangkan dulu gengsinya bila ditanya orang:
anak saudara jadi apa
"Nah, Manel, apa saj a yang kaukerjakan hari
ini "
Istri saya menghela napas. Sambil menuang
teh ke dalam cangkir, diulangnya helaan napasnya. Sudah tentu unmk memancing rasa iba. Tapi
perasaan saya tidak lemah. Di samping itu, tiga
134 tahun hidup bersama seorang wanita, cukup sudah untuk membuat saya mengenal tingkah polahnya. Manel tidak boleh diberi hati. Nanti dia
tersedu-sedan. Dan air mata adalah musuh saya
yang tidak dapat saya kalahkan.
Saya pura-pura tidak usai-usai juga membuka tali sepatu. Nanti dia akan bicara sendiri. Saya
dengar dia meletakkan teko kecil itu ke atas mej a.
Saya masih terus menunduk, tapi telinga saya
memperhatikan semua tindakannya.
Disenduknya gula dan dimasukkannya ke dalam cangkir. Dua sendok. Kemudian dikacaunya.
Lalu diletakkannya sendok kecil itu. Triing! Beradu dengan keramik.
"Ada apa dengan tali sepatumu " tanyanya
setelah leher saya pegal menunduk sejak seribu
detik tadi.
"Simpulnya salah ditarik nah, tapi sekarang
sudah beres lagi."
Saya mengangkat kepala dan menggerak-gerakkan leher yang kaku. Lalu saya raih cangkir di
depan saya. Sambil menghirup isinya, saya lirik
dia dari bagian atas cangkir. Wajahnya lesu.
"Siang tadi tidak tidur "
Dia menggeleng manja.
"Aku baru selesai membereskan lemari."
"Oh."
"Baju baju tergantung acak-acakan."
"Oh"
"Juga pakaian dalammu berserakan."
"Oh"
135 Untuk apa saya beristri, keluh saya dalam hati,
bila masih harus menjaga keberesan baju-baju
saya Istri yang tidak berdikari lagi, jangan lupa
im! "Masak apa hari ini "
Saya letakkan cangkir, lalu meraih sepotong
pisang goreng yang setengah hangus.
"Aku tadi ke pasar membeli udang. Karena murah, aku beli setengah kilo. Waktu mau
dimasak, kok baunya tidak enak. Setelah pikir pikir, akhirnya aku mau buang, tapi diminta
oleh si bibi. Katanya akan digorengnya untuk
makan malam."
Dia menunduk seakan bersalah. Tidak sampai
hati saya menegur waj ah yang sudah begitu sayu,
walaupun perut yang lapar sudah mulai meradang.
"Jadi, masak apa "
"Nanti aku dadar telur."
Ukh! Pagi telur, malam telur, bisa bisa terjadi
malapetaka ini. "Janganlah repot. Kita pergi ke
luar saja."
Untuk sedetik wajahnya bersinar, kemudian
sayu lagi. "Ah, kau kan sudah capek Untuk apa
mesti keluar lagi Biar aku masak saja. Tidak
lama kok."
Baru saja saya mau mengangguk dan bilang:
terserahlah, ketika dia menyambung, "Tentu saj a,
bila kau memang ingin keluar..."
" "
"Aku sudah mandi. Tinggal tukar pakaian.
136 Kau mau segera mandi "
" "
"Aku ambilkan handuk baru dan baju dalam."
Lalu dia bangkit. Saya tidak kuasa lagi berpikir dan berkata-kata. Terbayang sudah oleh
saya rekening yang akan disorongkan oleh kasir
restoran. Oh. Makin sering keluar makan, berarti makin besar keharusan bagi saya untuk naik
pangkat. Naik. Naik. Naik.
Dan begitulah siksaan saya hampir dua hari
sekali. Seperti sudah saya bilang, Manel cuma
betul memasak tiga kali seminggu. Im pun dengan hangus-hangus atau kelebihan bumbu. Dia
memang seorang sekretaris yang pandai, tapi majikannya dulu belum pernah sekalipun menuntut
agar dia juga memasak.
Saya pun mandi. Ketika saya membuka lemari unmk mengambil kemeja bersih, terpampanglah di depan saya hasil karya Manel seharian tadi. Semua gantungan yang dikatakannya
acak-acakan, sudah dibereskannya. Warna biru
dengan warna biru. Merah dengan merah. Hijau dengan hijau. Jingga dengan jingga. Kuning
dengan kuning. Abu-abu dengan abu-abu. Hitam
dengan hitam. Rosa dengan rosa. Putih dengan
putih. Coklat dengan coklat. Biru muda dengan
biru muda. Hijau muda dengan...
Setiap warna jumlahnya enam. Karena selama
itu warna-warna itu tergantung semaunya di antara bajunya dan baju saya, maka untuk mengumpulkannya, pakaian yang tergantung di situ harus
137 pula dipindah. Sekarang saya mendapat warna
biru, abu-abu, hitam, hijau, coklat...
Dan ini yang membuat dia sibuk seharian
Saya geleng kepala. Logika perempuan memang
berbeda dengan logika saya.
"Kan jadi rapi!" tukasnya bangga seakan-akan
itu sebuah karya besar.
138 V anel tidak kebal terhadap barangbarang Jepang. Hampir setiap kali
membuka koran, dia diperkosa oleh
iklan. Dan setiap rencana pembelian merupakan
siksaan batin bagi saya, sehingga lambat-laun
saya mengidap penyakit yang sulit didiagnosa,
sulit dicari sebabnya oleh dokter cuma saya
sendiri yang tahu. Tapi mungkinkah saya
menyebut istri sendiri sebagai biang penyakit
Pengkhianatan itu namanya serta sulit diobati.
Saya menderita sakit kepala. Dapat juga disebut sakit bulanan. Sebab munculnya pada permulaan bulan, bila saya membawa pulang amplop
dan Manel menyusun rencananya.
Mula-mula lemari es. Saya akui itu memang
berguna. Manel tidak perlu ke pasar tiap hari.
Beli saja ikan, daging, dan sayuran untuk seminggu, lalu santai di rumah. Lagi pula, yang saya
takuti adalah telur serta larva cacing. Jadi setiap
potong daging yang mau dimasak, harus sudah
dibekukan paling sedikit sebulan. Dengan begitu
saya aman dari kemungkinan menelan telur atau
larva yang hidup.
Nah, Manel mengajak saya melihat-lihat ke
toko. Hitachi, Sanyo, National, General Electric,
Electrolux, Bosch, Siemens, Bauknecht, atau
Japara Dari Sanyo, model S234, model SB145,
139 model S atau model S !
"Ingat, kita cuma akan membeli sekali seumur
hidup," kata Manel seakan menyuruh saya berpikir dengan hati-hati.
Tetapi saya kan tidak lebih tahu dari dia soal
lemari es! Tanya saja penjualnya. Dan orang ini
plin-plan. Bila melihat kami tampaknya sudah
tertarik dengan sebuah model, langsung nyerocos
keluar kata-kata pujiannya. Bila Manel beralih
ke model lain, segera pula dia memuji model itu
setinggi langit. Saya yakin, lebih mudah membeli kuda. Buka saja mulutnya, hitung jumlah ka
riesnya, beres. Tapi lemari es semuanya kelihatan
putih mulus dari luar. Apalah yang saya mengerti
soal mesin.
Akhirnya kami pulang dengan membawa setumpuk brosur dari sejumlah toko. Saya lega.
Biarlah Manel mempelajarinya di rumah dan
memutuskan mana model yang disukainya. Patokannya sudah ada: berbintang tiga, tingginya di
atas satu meter, warnanya hijau muda, dan lampunya tahan tiga tahun.
Selama seminggu, percakapan di antara
kami melulu berkisar sekitar lemari es. Setiap
hari berubah terus model yang diinginkan oleh
Manel. Kepala saya berdenyut. Menyakitkan.
Bila saya peluk dia, bukan kata-kata manis yang
saya dengar, tapi uraian mengenai sebuah model
yang baru dihafalnya tadi siang.
Dalam keadaan putus asa, saya memutuskan
akan membeli dua model. Yang sebuah, karena
140 bintangnya tiga, jadi tempat pembekuannya terj amin. Yang kedua, karena warna hijaunya. Manel
harus tidak bisa tidak mempunyai lemari es
yang berwarna hijau. Tidak mau putih.
Sejak pembelian lemari es itu, saya tahu bahwa Manel tidak suka membeli barang barang
yang serupa dengan milik kebanyakan orang.
Dia selalu mencari apa-apa yang lain, yang tidak
diproduksi dengan masal. Yang tidak umum.
Tetangga, kenalan, dan keluarga kami
semuanya punya lemari es putih. Kecil dan putih.
Mereknya Sanyo.
"Tidak!" katanya tegas, "Aku tidak mau yang
putih. Tidak mau yang kecil. Kecil itu percuma,
tidak muat apa-apa."
"Tapi yang hijau itu bintangnya hanya satu,
Nel. Tidak dapat dipakai menyimpan daging ber
bulan bulan. Paling paling cuma untuk mendinginkan air serta puding."
"Tidak mau yang putih."
Wah, wah. Ibarat menarik gaj ah yang mogok.
Bagaimana ini
"Beli saja dua!"
Kurang ajar sekali pelayan toko itu, pikir saya
saat itu. Disangkanya saya baru saja merampok
bank, apa ! Tapi di rumah, kata-katanya saya kaj i
lagi. Saya sudah tidak tahan dengan sakit kepala
saya. Hubungan kami berdua juga agak mendingin, karena lemari es hijau berbintang satu.
Sesungguhnya, saya senang melihat Manel
tersenyum. Melihat dia berwajah cerah dan ber
141 binar mata kelerengnya. Senang bila dia bahagia.
Apa artinya uang bagi saya, bila Manel kusut ter
us waj ahnya !
"Baiklah kita beli dua," usul saya dan dia
tersentak.
"Bukankah kau mau menabung untuk mobilmu "
"Ah, itu tidak penting," kata saya dengan air
muka seorang pahlawan. Tentu saja dia tahu, bagi
laki-laki cuma dua hal yang penting: mobil dan
perempuan. Dia boleh pilih: merelakan suaminya
menyayangi mobilnya atau menyayangi wanita
lain. Saya rasa, hampir setiap wanita akan sama
pilihannya dengan Manel. Istri saya menduga,
bila saya tidak memperoleh mobil idaman saya,
saya akan mencari wanita lain. Tentu saj a dugaan
yang keliru itu tidak saya ralat, demi kepentingan saya sendiri. Manel tidak perlu tahu, betapa
pemalunya saya terhadap wanita dan gemetar
menghadapi mereka.
"Tidak! Kau harus membeli mobil yang kauimpikan!"
"Tidak! Lemari es untukmu lebih penting.
Yang hijau akan kita taruh di kamar tidur, supaya
terpandang olehmu bila kau membuka mata tiap
pagi. Juga supaya orang lain tidak tahu, kita pu
nya yang berwarna hijau dan tidak menirunya.
N ah, yang putih kita taruh di dapur untuk meny
impan makanan. Bagaimana pendapatmu "
Dia terdiam. Jangan-j angan dia betul-betul
mau beli dua. Mati saya!
142 "Hm!"
Ah, lekaslah berlalu siksaan ini! Dia menekur
memandang lantai, lalu mengangkat kepala memandang saya. Lalu menekur lagi. Lalu men
gangkat kepala lagi. Menekur lagi. Saya hitung
mulai dari seribu dalam hati. Bila sampai sejuta
dia masih menekur juga, mungkin akan saya cekik dia. Kepala saya. Mau pecah rasanya.
"Ah, aku ada akal!" serunya.
Saya tidak antusias. Bukankah sudah saya
buktikan sampai di mana kecerdasannya !
"Kita beli yang berbintang tiga, yang tinggi"
"Tapi itu putih," potong saya.
"Tunggu dulu!" tukasnya setengah meng
hardik.
Mengherankan, betapa cepatnya seorang wanita belajar menghardik suaminya. Berani taruhan,
terhadap rekan-rekan sekerjanya dia pasti akan
lebih ramah.
"Kambing dungu! Yang putih itu kan dapat
kita cat lagi menjadi hij au "
Ah, begitu! Tidak terpikir oleh saya. Benar
juga, ya. Cat duco tidak akan semahal sebuah lemari es kecil. Jadi kami tidak perlu beli dua !
"Tapi bila ditaruh di dapur, semua tamu akan
melihatnya!"
"Biar mereka iri!"
"Tidak takut ditiru "
"Bodoh! Orang membeli lemari es kan cuma
sekali seumur hidup!"
143 Manel tersenyum. Moga-moga saja kau juga,
kata saya dalam hati. Begitulah mulainya sakit
kepala saya. Kemudian, kami sebetulnya cuma
Manel perlu teve. Berulang kembali ritual yang
sama. Brosur-brosur dibawa pulang. Dipelajari.
Dibolak-balik. Tanya tetangga, kenalan, dan
keluarga, teve mereka merek apa. Supaya kami
jangan membeli yang sama. Aduh, kurang ajar
pabrik-pabrik itu! Mengapa mereka tidak bergabung saja dan memproduksi satu macam merek
dengan satu macam model untuk seluruh dunia.
Sembilu Bermata Dua Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Alangkah bahagianya suami-suami di Moskow.
Mungkin di sana cuma ada satu merek dengan
satu ukuran, katakanlah sepuluh inci. Mengapa
orang perlu teve tiga puluh inci Bukankah gambarnya sama
"Agar lebih jelas!"
"Pakailah loupe atau kekeran! Itu lebih murah."
"Kan gengsi!"
Nah, gatal badan saya bila mendengar kata
yang satu itu. Saya ini cuma manusia biasa, dari
darah dan daging. Saya juga ingin bergengsi. Kalau gengsi itu artinya tiga puluh inci, berwarna
lagi, dalam kas salon, bagaimana mungkin saya
akan beli yang sepuluh inci dan hitam putih
Lekaslah berlalu soal ini, pikir saya. Hidup
saya kacau. Manel tidak dapat lagi diajak merger. Bagaimana pula mau bersatu, kalau pada kecupan pertama matanya sudah berkedip-kedip
mengingatkan saya pada layar teve yang barusan
144 ditekan kenopnya.
Teve sudah dibeli, mesin jahit perlu. Walaupun saya tidak mengerti di mana perlunya.
"Bukankah kau selalu mengupah orang men
jahitkan gaunmu "
"Itu karena tidak ada mesin jahit!"
"Jadi kau akan jahit sendiri baju-bajumu !"
Girang juga saya, sebab upah jahitan itu sama
dengan seliter keringat saya.
"Ah, tidak. Kalau bahan yang bagus, lebih sip
suruh ahli. Tapi aku dapat menjahit sarung bantal, misalnya."
Saya tidak tertarik. Sarung sarung bantal kami
sudah selemari, tahan sampai datang serbuan dari
ruang angkasa.
"Kalau begitu apa gunanya membeli mesin
jahit "
"Gengsi dong!"
Ampun! Tahukah dia sudah kelemahan saya
Dalam kepala sudah muncul brosur dan iklaniklan penuh rayuan dari Butterfly, Singer, Pfaff,
President, Victoria dan dan
Begitulah berulang terus. Dan sakit kepala
saya menjadi kronis. Namun satu hal yang meng
herankan. Manel tidak pernah menyinggung soal
kaset rekorder. Oh, dia suka musik. Suka bemyanyi. Walaupun sumbang. Tapi di rumah kami
tidak ada kaset, tidak ada radio. Radio tidak menjadi soal. Warta berita selalu kami lihat di teve.
Lebih menarik dengan gambar-gambar. Iklaniklan yang sudah cukup merusak mata, dapat
145 kami baca dalam koran.
Tapi kaset Bukankah sepi rumah tanpa
musik Apalagi bila dia sendirian di rumah, waktu saya di kantor Mustahil dia ngobrol dengan
Bello Atau dengan pembantu Tentu saja saya
tidak mau membangunkan macan tidur. Dia tidak
minta, takkan saya tawarkan. Mengapa cari penyakit Di samping itu, saya tidak pernah kesepian
sehari-hari di kantor. Akhir pekan saya pakai untuk membayar hutang tidur atau kadang-kadang
bertandang ke tempat keluarga.
Namun rasa ingin tahu saya tetap mengapung,
terselubung oleh sikap pura pura tidak peduli.
Kesabaran saya akhirnya berbuah, ketika saya
kena Hu dan terpaksa tidak ke kantor. Saya diam
di tempat tidur. Manel sibuk membuat bubur
hangat di dapur.
Rumah kami kecil, namun dikelilingi kebun
kiri-kanan-depan-belakang. Dengan tetangga,
tidak berdempetan, sebab mereka juga mempun
yai kebun seperti kami. Tapi dinding rumah tipis
dan kebunnya juga cuma semeter lebarnya. Jadi
bila di sebelah bicara dengan suara keras, terdengar jelas oleh kami.
Begitulah, ketika saya terbaring, musik lembut dan merdu mengalun masuk dari tetangga
sebelah kiri. Ah, nyaman rasanya mendengarnya.
Manel masuk dengan sebuah nampan. Saya isyaratkan agar dia tidak berbunyi. Saya tengah
menikmati musik. Dia tersenyum dan menghampiri saya. Diletakkannya makanan yang dibawan
146 ya di meja sebelah tempat tidur, lalu dia duduk
di ranj ang. Digenggamnya tangan saya. Matanya
berbinar-binar. Karni nikmati berdua musik itu
sampai berhenti. Bubur juga menjadi dingin. Teh
cuma suam-suam kuku. Labah-labah di atas kepala saya sudah selesai membuat sarangnya yang
baru.
Kami seakan terjaga dari tidur, ketika udara
menjadi hening. Lalu masing-masing menghela
napas puas. Manel mengangkat cangkir teh. Binar-binar di matanya begitu menawan. Hampir
saja terlontar kata pujian saya baginya. Untung
saya dapat menahan diri, berkat kekuatan karakter saya.
"Nah, bagaimana " tanyanya.
Saya tahu, dia bukan menanyakan soal teh.
Saya menarik napas tanda senang.
"Begitu setiap hari. Selalu berganti ganti. Pasti segudang kasetnya. Dan kita memiliki kamar
musik. Gratis!"
Manel tertawa. Senang juga hati bisa melihat
ketawa istri yang gratis!
"Karena itu, karena itu kita tidak perlu
membeli kaset rekorder!"
Dan dikedipkannya sebelah matanya, kalau
tidak salah yang kiri. Entah dari siapa dipelajarinya seni itu. Tapi saya tidak peduli, selama itu
masih gratis!
147 VI anel mempunyai konsep sendiri
tentang pemeliharaan kecantikan.
Tujuannya hanya satu: membuat suami
betah di rumah dan setia padanya. Bila dia perlu
menderita untuk melaksanakan konsepnya, saya
cuma dapat memuji ketabahannya. Tentu saja
dalam hati. Saya pantang memuji Manel terangterangan. Tidak ada faedahnya memanj akan istri.
Cuma akan lebih banyak saja permintaannya
yang harus dipenuhi.
Tapi, bahwa saya harus ikut-ikutan mender
ita, sebenarnya tidak terlintas dalam pikiran saya.
Protes. Protes. Mana mungkin terdengar protes
dari orang yang hina-dina ini. Nyonya Besar sudah menetapkan begitu, ya begitu.
Nah, mulainya dengan buku berjudul Sepuluh
resep kecantikan. Pengarangnya ya, tidak salah
lagi, wanita. Dua orang. Kaum menolong kaum.
Walaupun hasilnya saya ragukan.
Manel tidak bisa lagi berpisah dengannya.
Dibawa makan, dibawa tidur, dibawa ke dokter,
bahkan dibawa menonton teve.
"Aduh, mengapa kasur ini sekeras batu," kata
saya pada suatu malam. "Baru dijemur "
"Jadi kau juga menganggapnya keras Kalau
begitu memang betul keras."
"Baru dij emur "
148 Dia menggeleng.
"Baru ditambah."
""Apa-apaan "
"Supaya aku dapat begini."
Lalu dia menelentang lurus-lurus dan mengangkat kedua tungkainya. Kira kira sepuluh
senti dari kasur.
"Satu... dua... tiga... empat... lima..."
Pada detik kedelapan suaranya sudah terengah, pipinya memerah, dahinya berkeringat. Diturunkannya tungkainya.
"Harus sampai tiga puluh detik."
"Gunanya "
"Perutku harus kempes. Aku harus langsing."
Ditepuk-tepuknya perutnya yang sebenarnya
tidak gendut. Dalam hati saya tertawa geli. Dia
mati matian mau mengempeskan perutnya, saya
mati matian mau menggendutkannya. Bayangkan. Sudah hampir tahun keemp at. Ibu sudah mulai rusuh. Ibu mertua apalagi. Dalam pikirannya,
pasti saya yang salah. Dan saya sendiri tidak dapat membela diri. Belum ada seorang pun wanita
yang pernah saya gendutkan. Lebih gawat lagi,
saya mulai beitanya-tanya dalam hati, betulkah
saya mempunyai kelainan Ketika semua kawan-kawan saya mencari guru, belaj ar mendekap
dan bercinta, apakah yang saya lakukan Saya
tidak begitu ingat lagi. Mungkin saya main kartu
dengan adik perempuan saya atau membaca komik Superman.
Untung Manel bukan seperti kebanyakan per
149 empuan yang menggantungkan hidupnya pada
buaian. Belum sekali pun dia membicarakan soal
itu dengan saya. Juga tidak tampak risau dia.
Saya tatap tungkainya yang kembali diangkatnya sepuluh senti dari kasur. Atau, dia sengaja
tidak mau gendut Bayi itu memang parasit yang
paling tidak tahu malu. Itu sudah dikatakan oleh
seorang sarjana dalam majalah terhormat. Takutkah Manel badannya akan rusak
"Mengapa kau tambah keduanya Kan cukup
kasurmu saj a !"
"Supaya kau juga begini... seperti aku. Tidak
malu, kalau perutmu gendut "
Sampai saat itu, terus terang saja, tidak. Tapi
begitu, mendengar ucapan Manel, saya langsung
berdiri dari tempat tidur dan menghadap ke cermin. Aduhai. Bila tidak hati-hati, tahun depan
saya akan dipanggil "Oom" atau "Pak" oleh
rekan-rekan di kantor. Saya lihat dari samping.
Bakat gendut memang ada. Terlalu banyak daging!
Saya menelentang di sampingnya.
"Bagaimana caranya " tanya saya.
150 VII onsep berikutnya mengenai perawatan
muka serta rambut. Saya tidak mengerti
| ; rahasia-rahasia salon kecantikan. Entah
apa yang diperoleh Manel di situ, sehingga
dia perlu betul ke sana setiap minggu. Padahal
hasilnya, kalau saya boleh terus terang, cuma
nyata dalam catatan keuangan rumah tangga.
Sekian, amblas ditelan salon.
Dan mengapa pula dia harus ke salon yang
itu Bukankah di Jakarta ada sepuluh ribu salon
Yang mentereng juga tidak kurang Mengapa harus ke jalan sempit, berdebu, berlubang lubang
untuk masuk ke salon yang mereknya saja sudah
ompong !
Logika perempuan memang belum termakan
oleh logika saya. Apa di sana biayanya jauh lebih
murah Apa disangkanya suaminya tidak sanggup membiayainya ke salon yang lebih gemerlapan
Panas juga hati saya bila orang-orang sampai
menduga, bahwa saya kurang mampu mengurus
istri yang satu-satunya itu. Laki-laki macam apa
saya ini. Istri baru satu, sudah kewalahan. Tidak
bisa disuruh ke salon di tengah kota.
Dan siapa yang menyebabkan orang orang
sampai berpikir begitu Manel! Sengajakah dia
berbuat demikian Sengaja ingin saya ditertawa
151 kan orang Mau membalas dendamkah dia Tapi
mengapa Saya kan belum pernah menyakiti hatinya Dia tahu, saya tidak menaruh hati pada perempuan lain.
Atau, dia tahu, saya juga tidak menaruh hati
padanya Saya memang tidak romantis. Belum
pernah saya penuhi udara dengan kata-kata cinta. Bahkan tidak tahu saya, apakah saya menaruh
hati padanya atau tidak.
Bagaimana akan saya tahu Ke mana harus
bertanya Sej ak pernikahan, saya merasa tentram
saja hidup bersama Manel. Tapi saya memang
selalu berjiwa tentram. Yaitu selama uang gajian
saya tidak terlalu banyak dipakai.
Sejak ada Manel, saya merelakan sepuluh
persen dari gaj i untuk dihambur-hamburkan
olehnya. Dan bukan alang-kepalang pandainya
dia dalam seni kewanitaan ini. Saya tidak marah.
Cintakah saya padanya, kalau begitu Mana saya
tahu.
Kalau saya kebetulan diminta menjemputnya
dari salon, panas-dingin rasa badan saya. Seakan-akan setiap orang di sekitar situ menoleh serta mencemooh saya. Huh. Bininya cuma mampu
masuk salon murahan begitu. Aduh, sejak kapan
saya menjadi pencuriga begini Apa saya mulai
dihinggapi sakit jiwa Tidak dapat dibiarkan terus keadaan seperti ini!
Ketika kami berkunjung ke tempat Ibu, saya
tanya adik saya, ke mana dia pergi mengeriting
serta me-entah-apa rambutnya.
152 "Ke salon Anu di jalan Anu," jawabnya.
"Baguskah " timbrung Manel, sesuai dengan
harapan saya.
"Mengapa tidak kaucoba " usul saya.
"Lumayan. Bagaimana kaulihat rambutku "
tanya adik saya pada Manel sambil memperagakan kepalanya sehingga butir butir halus ketombe
menerpa penglihatan saya.
Untung, Manel adalah sebuah jiwa yang mudah diajak kompromi atau istilah kerennya sugestif. Minggu berikutnya dia pergi ke salon langganan adik saya. Pulang tanpa komentar. Saya
juga bungkam, khawatir salah mengeluarkan
kata. Kalau dulu biasa bungkam, saya pikir, lebih
baik sekarang juga bungkam.
Dari catatan keuangan, saya lihat taripnya
sama, seribu lima ratus. Memang mahal. Tapi
jangan lupa, dia istri saya satu-satunya dan saya
baru naik pangkat lagi. Untuk apa uang kalau bukan untuknya
J adi Manel tidak perlu ke jalan sempit itu lagi.
Lega saya. Menj emput ke salon yang baru, saya
tidak keberatan. Letaknya di daerah yang representatif. Pasti ada rung tunggunya yang penuh
dengan gambar-gambar cakep.
Namun aneh bin ajaib. Dua minggu kemudian, dia pulang dengan becak.
"Dari mana "
"Dari salon."
"Kok tidak minta dijemput "
"Aku kira kau segan menjemput ke sana."
153 "Ah, tidak."
"Tempo hari waj ahmu mendung begitu "
Dilemparnya sepatunya. Lalu duduk di depan
saya.
"Ah, itu kan salon di jalan sempit itu! Tidak
representatif!"
"Kaupikir aku ke mana "
"Kau ke mana "
"Ke salon yang dulu!"
"Lho, kenapa "
Manel tersenyum penuh rahasia.
Sembilu Bermata Dua Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apa salon adikku kurang bagus "
Dia tetap senyum.
"Kan tidak lebih mahal "
Senyum Rahasia.
"Kan tidak terlalu jauh "
Senyum. Senyum.
"Apa kau ditertawakan orang di sana "
Malam hari, ketika sudah sunyi, dalam dekapan saya dia berbisik.
"Apakah kau ingin tahu mengapa aku ke salon
yang lama itu "
"0 ya. Kenapa "
"Karena..."
J arinya membelai pipi saya. Lembut juga.
Agak canggung saya diperlakukan seperti itu.
Telinga saya dilekatkannya dengan bibirnya.
"Di sana, kacanya bagus. Juga sinar lampunya."
Apa hubungannya dengan perawatan rambut,
keluh saya.
154 "Dan di sana, di dalam kaca, aku dapat melihat, wajahku. Masih seperti di SMA dulu."
"Apa di salon yang lain tidak ada cermin "
"Di salon lain, cerminnya buruk. Pantulan
wajahku penuh kerut dan masam seperti perempuan empat puluhan yang kurang tidur!"
Astaga! Siapa bilang orang dapat membuka
salon sembarangan Perlu taktik untuk menarik
langganan. Musik merdu dan ruang tunggu yang
nyaman belum tentu cukup, wahai pemilik-pemilik salon! Perhatikan juga cermin serta pantulan
lampu Anda.
"Kalau aku melihat wajahku semanis itu, hati
rasanya senang dan lega. Kepercayaanku bertambah. Aku pikir, kau juga pasti melihat wajahku
seperti itu."
Saya dekap dia lebih erat. Engkau kan akan
selalu berbinar bagiku, kapan saja. Sayang karakter saya melarang saya mengucapkan kata-kata
serupa itu. Semoga dengan dekapan ini dia toh
mengerti juga.
155 VIII sekali anu. Kesempatan sebenarnya ada,
namun keberanian kurang. Ketika masih
bujang, saya pernah dikirim ke Hamburg satu
minggu. Di sana, ada tempat bersantai yang
namanya, Reeperbahn. Tempat gitu-gituan laa.
Kawan Inggris menyebutnya: tempat untuk
etcetera, etcetera, etceteraaa... seperti di Soho
London.
Apa mau, kebetulan di kota itu berdiam seorang anak teman Ibu. Ke rumah sih dia bilang
sekolah. Pada saya dia mengaku, sudah dua semester tidak lagi kuliah dengan teratur. Ikut ujian
cuma dua kali, sekadar jangan dikeluarkan. Tentu
saja dia tidak luntang-lantung. Dia mencari uang,
walaupun gelap-gelapan.
Nah, anak ini kenal betul Reeperbahn dari
atas sampai ke bawah. Didorong rasa ingin tahu,
saya setuju ketika diajaknya ke sana. Ai, ai, dasar
belum jodoh. Setiba di tempat itu, semangat yang
sudah saya kumpulkan dari rumah, tahu-tahu
berceceran lagi.
Cuma air liur yang terteguk. Sambil menghela
napas diam-diam, saya memandangi keindahan
yang terpamer di depan saya. Betulkah si Pirang
itu takkan marah bila saya pijit Betulkah semua
itu akan saya peroleh bila saya letakkan sekian
S ebagai laki-laki, saya toh ingin juga sekali
156 Mark di mej a
Akhirnya anak itu kesal dan menarik saya keluar.
"Taik kucing Lu," sumpahnya, "masa laki-laki kayak gitu Apa belum pernah masuk ke tempat gituan "
"Lho, kan dengan kulit putih belum pernah,"
jawab saya mengelak, memberi kesan bahwa di
J akarta, semua itu sudah barang basi bagi saya.
Tapi semangat saya belum juga terkumpul
kembali. Sampai sekarang, bila saya diam-diam membuka kembali sudut ingatan saya yang
rahasia itu, keringat dingin masih suka keluar.
Mana tidak dapat bicara bahasanya, saya pikir.
Bagaimana mau mengutarakan keinginan saya
Bila dia bertanya, saya mau servis macam apa !
Mampus-la! Apalagi dia pasti akan tahu, bahwa
saya ini masih buta huruf. Aduh, aduh, malunya!
Mana si Pirang yang disodorkan oleh anak itu
siapakah namanya Gisela, kalau tidak salah
tampaknya panas dan beringas. Pasti saya akan
ko. pada menit-menit pertama.
Sampai sekarang, saya tetap malu bertelanjang di depan wanita. Karena itu saya tidak pernah berenang, kecuali waktu kecil. Di depan istri
pun, saya masih pantang. Kecuali semua gelap.
Namun itu semua tidak menghalangi saya
melamunkan hal-hal yang indah dan istimewa,
apalagi kalau sedang duduk sendirian setelah makan malam. Dasar laki-laki.
Tetangga kami yang sebelah kanan adalah se
157 pasang suami-istri setengah umur yang mempunyai tiga anak buj ang. Kecuali bunga mawarnya,
keluarga itu tidak mempunyai keistimewaan apaapa untuk saya lamunkan.
Nah, tetangga yang kiri, yang menyediakan
kami musik indah tiap pagi, masih menyimpan
sekuntum bunga. Betul, sudah tidak lagi ranum,
tapi masih menarik. Dari Manel saya tahu, usianya dua puluh sembilan tiga perempat tahun.
Manel tentu saja tahu dari ibunya, yang selalu
memarahi anaknya yang jual mahal.
"Sudah dua sembilan tiga perempat," kata
Manel menirukan suara sang Ibu, "masih juga
mau pilih-pilih. Tahu, tuh, tunggu yang macam
apa."
Barangkali dia tunggu yang semacam saya
Astaga! Tentu saja Manel tidak saya beri tahu
pikiran saya. Bahkan tidak pula saya beri tahu,
ketika si Montok itu tersenyum pada saya. Kirakira tiga bulan setelah kami pindah ke situ.
Nah, saya memang tidak mempunyai titel.
Tapi bodoh-bodoh, saya ini pernah kuliah di luar
negeri, walaupun untuk sebagian orang, business
administration kurang keren kedengarannya.
Tampang saya, walaupun biasa-biasa saja, selalu memancing senyum dari cewek-cewek yang
melihat saya. Yakin saya, bila kesempatan serupa
itu saya manfaatkan, niscaya bukan Manel nama
istri saya Sayang seribu sayang, rasa malu
memang sudah menjadi ciri saya sejak di Taman
Kanak-kanak.
158 Cuma dalam lamunan saya gagah dan agresif.
Kalau dipikir pikir, si Montok di sebelah itu besar sekali kemungkinannya memang naksir pada
saya. Rasanya, tiap kali saya pergi ke kantor, dia
selalu ada di depan pintu pagar. Oh, tentu saja
tukang sayur kebetulan datang. Tapi seandainya tidak ada tukang sayur Saya yakin, dia akan
tetap di depan pintu.
"Selamat pagi, Dik. Tunggu abang sayur "
saya sapa dia dalam lamunan.
"Selamat pagi, Bang. Iya, mau beli sayur. Pagi
betul perginya "
"Mobilnya mogok. Terpaksa naik bis."
"Oh, saya baru ingat. Ibu pesan, beli telur ke
warung. Bagaimana kalau kita jalan sama-sama
ke depan "
Warung itu letaknya di ujung jalan, sedang
perhentian bis ada di jalan sebelah kanan, kirakira seratus meter dari warung. Kami pun jalan
bersama. Ngobrol punya ngobrol dari pagi ke
pagi, akhirnya dia toh mempercayakan isi hatinya pada saya. Tentu saja dia jatuh hati pada saya.
Amboi! Bagaimana ini Pada Manel saya harus
setia. Tapi hati si Montok tidak tega saya hancurkan.
"Mengapa tidak kaucari orang lain saja Yang
belum kawin " tanya saya dengan iba.
"Kan tambah satu lagi, biasa."
Ooiit! Apakah itu memang keinginan terpendam setiap laki-laki Kalau sanggup membiayai,
apa salahnya! Siapa yang pernah bilang begitu !
159 Lupa saya siapa, tapi pasti salah satu dari kawan-kawan saya yang bij aksana.
"Manel tidak boleh tahu! Awas!"
"Tidak. Manel takkan tahu," kata si Montok.
Kami mulai mengadakan kencan rahasia.
Soal kawin lagi belum saya putuskan. Pelan
pelan saja. Soalnya, Manel memegang gaji saya
seratus persen. Dan uang saku yang saya terima
pasti takkan cukup untuk memperistri si Montok.
Untuk kencan pun susah sekali memperoleh uang
ekstra.
Si Montok itu ternyata betul betul lava men
didih yang sudah terpendam seribu tahun. Ber
beda sekali dengan Manel yang malu-malu dan
pasif. Terus terang saja, kadang-kadang kesal
juga saya menghadapi sikap seperti itu. Sudah
kawin bertahun tahun, masa masih malu malu.
Kan ingin juga saya melihat patner yang aktif
Seperti yang menurut kenalan di Hamburg
itu dilakukan oleh misalnya Gisela.
Ai, ai, ternyata si Montok itu sudah mendidih, beringas lagi. Aktif bukan main. Ah, kalau
saja Manel dapat seperti itu, pikir saya dengan
menyesal. Tentu saya takkan lari dari dia.
Dari cerita kawan kawan saya yang bijak,
dan memperbandingkannya dengan diri sendiri,
saya berani bersumpah, bahwa keinginan laki la
ki itu semuanya sama. Kalau setiap istri dapat
memenuhi keinginan tersebut, niscaya bordil di
seluruh dunia akan terpaksa gulung tikar. Saya
tidak bermaksud menggulingkan periuk nasi para
160 bidadari, karena itu tidak saya katakan di sini apa
keinginan seorang laki-laki. Setiap istri harap
konsultasi dengan suami masing-masing.
Sampai di mana tadi O ya, pacaran dengan si
Montok. Bukan main. Sampai-sampai saya lupa
diri. Bagaimana kalau dia menjadi gendut Apa
yang akan saya katakan pada Manel Apa yang
akan saya katakan pada ibu mertua 0 la... 0
la saya sudah mencari celaka sendiri. Di mana
kenikmatan yang saya rasakan tempo hari Kalau
sudah begini apa yang harus saya lakukan
Keringat mulai keluar. Celaka. Saya menghela napas. Celaka. Mungkin Manel akan bunuh
diri. Ah. Ah. Huh. Saya menghela napas lagi.
"Ada kesulitan apa "
Hiii... saya terkejut seakan ditegur setan.
Manel menjatuhkan diri di bangku dan duduk
merapat pada saya. Pahanya hangat dibungkus
daster tipis. Kepalanya dengan manja disandar
kannya ke bahu saya.
"Mengapa kau menghela napas tadi "
"Ah, tidak apa-apa," sahut saya dengan malu.
Untung lampu di beranda cuma lima belas watt.
"Jangan bohong!"
"Mana pernah "
"Siapa tahu, sekarang "
"Sungguh mati!"
"Ah"
"Biar disambar petir!"
"Jangan bicara gitu, ah! Nanti benar-benar
terjadi! Kau tega aku jadi janda Tega aku diam
161 bil orang lain' "
"Tidak. Tidak. Tidak."
"Betul " Manj a sekali suaranya. Ingin saya
gigit bibirnya.
"Betul!"
"Aku juga tidak rela kau diambil orang lain!"
Aduh, mak. Untung si Montok belum sampai
jalan bersama saya ke warung!
162 IX ernikahan kami sudah memasuki tahun
Pkeempat. Manel masih tetap langsing.
Saya makin kikuk bila dipandangi ibu
mertua. Menurut perasaan saya, mata beliau yang
memang besar itu selalu melotot bila melihat
saya.
Pahamlah saya. Kesalahan dijatuhkan pada
suami. Tapi saya merasa normal senormal-normalnya. Semua organ saya beres-beres saja. Selain sakit kepala bulanan, sebenarnya saya selalu
merasa sehat.
Bagaimana dengan Manel Pertanyaan itu
sebenarnya sudah ribuan kali lahir di ujung li
dah, namun keberanian menyatakannya tidak
ada. Lagi pula saya tidak ingin memberi kesan
bahwa saya mendesak atau menuntut Manel yang
bukan-bukan. Kalau dia memang tidak dapat hamil, untuk saya bukan malapetaka. Hidup kami
saat itu sudah cukup menyenangkan. Kalau tidak
diberkati Tuhan dengan anak, ya kami akan hidup
seadanya saja. Dengan Bello, misalnya.
Menyakiti hatinya adalah pantangan besar un
tuk saya. Tidak pernah sekali pun saya mengeluh padanya: aduh, kok belum ada tanda-tanda !
Bah! Kampungan itu menurut saya. Seakan hidup
di dunia cuma untuk beranak pinak tok.
Setidaknya, saya menghibur diri sendiri, bah
163 wa saya berkorban bagi orang lain yang ngotot
ingin beranak banyak. Jadi saya umpamakan
jatah anak-anak saya dua orang diperuntukkan bagi anak anak orang lain. Misalnya susu,
beras, daging, bangku sekolah, bangku kuliah,
teman hidup, dan bangku jabatan.
Betul, diam-diam saya hubungi juga kebun binatang Pasar Minggu. Tapi di sana memang tidak
pernah ada bangau.
"Untuk apa, Bung "
"Mau dipinjam."
"Gila kali. Untuk apa "
"Mau... anu... pesan bayi."
"Oh, begitu... ha... ha...."
Orang yang saya telepon tertawa gembira.
Harapan saya muncul.
Sembilu Bermata Dua Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Saya juga baru pesan... baru dua bulan."
"Selamat, ah. Bagaimana, bisa " tanya saya
tidak sabar.
"Terima kasih. Apanya yang bisa "
"Itu, burungnya dipinj am."
"Wah, bangau sudah lama tutup pabrik. Tidak
terima pesanan lagi."
"Sejak kapan "
"Sejak saya membaca buku petunjuk perkawinanll Ini Saudara dari mana Baru keluar dari
rumah sakit, ya ! Mau dipanggilkan polisi "
Lho, kok jadi gusar Lekas-lekas saya letakkan telepon. He. Siapa lagi yang dapat saya mintai bantuan Bagi saya sebenarnya, dengan atau
tanpa bayi, sama saj a. Tapi pandangan ibu mertua
164 yang menghunjam itulah yang tidak tertahan oleh
saya.
Saya tanya kawan-kawan yang tidak seberapa
jumlahnya itu. Sebagian malah menertawakan
saya. Teknik la salah. Ini la, itu-la. Tapi seseo
rang menyarankan agar saya membawa istri saya
pada Profesor Ginting.
"Kau yang sinting!" kata saya meradang sedikit. "Kalau istri saya sampai punya anak, maka itu
adalah anak saya! Anak saya, bukan anak orang
lain! Walaupun dia profesor sekalipun!"
Sampai di situ tamat kisah saya meminta nasi
hat kawan kawan. Saya harus berupaya sendiri.
Tapi mengapa Manel tenang-tenang saja Sengajakah dia Barangkali dia takut tubuhnya rusak
Sebab wanita hamil itu memang paling tidak sedap dipandang mata. Apalagi setelah melahirkan.
Ini menurut kawan kawan mengenai istri masing masing.
Kata mereka, mulur sana sini. Ditarik ikut.
Ditekan peyot. Entah organ mana yang dimaksud. Barangkali Manel sudah tahu hal itu dari
kakaknya yang terlanjur Perlukah saya katakan
padanya, bahwa saya takkan keberatan bila dia
mau melahirkan Tidak apa mulur sedikit, kalau
bayinya manis.
Perlukah saya katakan Setahu saya, Manel
tidak menelan pil dan belum ikut KB. Bagaimana, ya !
Akhirnya, saya tidak bilang apa-apa. Sebab
Manel diam saja. Tenang saja. Di samping itu
165 saya tidak mau memberi kesan, bahwa dia kurang
sempurna. Saya tidak mau menyusahkan hatinya.
Tapi dalam lamunan, Manel datang pada
saya mengatakan kesulitannya. Saya baru saja
membaca tentang wanita yang dijadikan organ
pemacak. Setelah bayi yang dikandungnya lahir,
bayi itu diserahkan ada suami-istri yang memesannya.
Nah, Manel baru saja membaca artikel itu.
Sayang di sini tidak dapat kita lakukan, keluhnya. Ah, siapa tahu, kata saya dengan pikiran
melayang ke Nona Montok di sebelah. Manel
ternyata setuju. Tapi dengan syarat, kata saya.
Bahwa saya sendiri yang memacakinya. Ah, ah,
pikiran kotor. Apakah begitu pada setiap laki-laki Mengapa tidak dapat saya biarkan si Montok
itu sendirian Hidupnya kan tenang ! Tiap pagi
menunggu tukang sayur, tukang daging, tukang
ikan. Menikah belum tentu lebih senang dari itu.
"Hus. Melamun. Tidak mau melihat film
seri "
Tangannya lembut mendarat di bahu. Oh,
Manel, kalau kau tahu pikiranku tadi. Busuk.
Busuk. Untunglah kita tidak dapat membaca pik
iran masing-masing.
166 X segi-segi eksentrik atau aneh yang sudah
tentu berusaha kita tutupi. Yang seorang,
lebih banyak dari yang lain. Bila ada orang
dianggap tidak punya kebiasaan aneh, itu cuma
berarti dia telah berhasil menyembunyikan
kebiasaannya itu dari muka umum.
Percayalah, kita semuanya tidak ada yang
normal seratus persen. Sebab, apakah ukuran kenormalan Semata-mata hasil pemikiran seorang
manusia. Dan manusia itu, juga termasuk tidak
seratus persen normal. Berarti, hasil pemikirann
ya juga takkan seratus persen normal.
Tapi agaknya, sedikit sekali yang akan lebih
neurotis dari Manel. Saya sadari itu ketika dia
membeli seratus sampul surat.
"Betulkah ini seratus " tanyanya menimang nimang kotak yang tebalnya lima sentimeter.
Dimasukkannya kotak itu ke laci tanpa membuktikan kebenarannya. Sehari berlalu. Dua hari.
Tiga hari. Tiap kali membuka laci dan terpandang
olehnya kotak itu, Manel akan mengulangi pertanyaan serupa. Tapi dia tidak mendapat kepuasan, sebab tidak tahu jawabnya. Saya juga tidak
peduli.
Pada suatu hari, dia tidak dapat lagi menahan
S aya yakin, kita masing masing mempunyai
diri.
"Betulkah seratus lembar sampul cuma lima
senti tebalnya " gumamnya, lalu dia duduk dan
dikeluarkannya seluruh isi kotak. Dihitungn
ya dari satu hingga seratus. Setelah itu sambil
menghela napas lega dimasukkannya kembali
sampul-sampul itu ke kotak.
"Puas " tanya saya.
"Siapa tahu, sudah berkurang satu!" tukasnya
membela diri. "Kotaknya sudah terbuka!"
"Seandainya betul kurang, apa mau kaukem
balikan Mana buktinya, sampul itu belum kau
pergunakan sendiri Bila kau ditolak, bukankah
engkau jadi kesal dan kecewa "
"Jadi lebih baik tidak tahu, apakah jumlahnya
lengkap atau kurang "
"Ya."
"Huh! Untukku, lebih penting kenyataan, walaupun pahit!"
Ya, kata saya dalam hati, bila itu cuma sampul
surat. Tapi, misalnya suamimu salah injak rel
Betulkah kau juga ingin tahu kenyataannya
Sampul surat masih belum seberapa. Menghitung jumlah kertas dalam satu blok, juga masih
enteng.
Pada suatu hari saya mencari sapu tangan
bersih. Karena Manel sedang di kamar mandi dan
saya harus segera pergi, maka saya cari sendiri.
Lemari saya buka lebar-lebar. Oh, saya salah
buka. Ini bukan tempat baju-baju dalam. Saya
buka lemari yang kedua. Lho, isinya serupa. Apa
ini Saya teliti. Kok semuanya baju dalam Manel
Dan handuk dan taplak. Saya kembali ke lemari
pertama. Ah, juga sama Semua masih baru In
ikah semuanya uang yang saya berikan padanya
tiap bulan
Manel masuk. Dilihatnya kedua lemari terpentang lebar.
"Berapa jumlah baju dalammu "
Dia meringis dengan firasat kurang enak. Lalu
menggeleng.
"Entahlah. Barangkali enam lusin. Kenapa "
"Enam lusin ! Dan handukmu "
"Paling cuma dua lusin," sahutnya enak sekali.
Dua lusin handuk, pikir saya meringis. Berapakah itu !
"Taplakmu Sapu tanganmu "
"Hitunglah sendiri. Apa aku tidak boleh mempunyai persediaan Kan tahu sendiri, barang ba
rang cepat sekali naik!"
"Apa kau mau buka toko "
Dia merengut.
"Mana sapu tangan bersih untukku "
Diraihnya sebuah tumpukan di sebelah dalam
yang tidak terlihat. Ketika ditariknya lengannya,
genggamannya berisi enam buah sapu tangan
baru. Warnanya hij au, biru, abu-abu, coklat, kuning muda, dan hitam muda.
"Oh, bagus-bagus sekali, ya," seru saya dengan antusias.
Sapu tangan sebanyak itu belum pernah saya
miliki sekaligus dalam hidup saya. Ibu biasanya
membelikan dua. Harus dipakai sampai hancur,
baru akan dibelinya lagi dua.
Saya beber sapu tangan itu di atas tempat tidur. Yang mana akan saya pakai hari ini Sulit
memutuskan. Semuanya bagus-bagus. Pasti har
ganya mahal, sebab bagus.
"Yang biru ini " tanya saya padanya, tapi
Manel tidak menjawab.
Ketika saya menoleh, dia tengah mengeluarkan lengannya dari lemari. Wajahnya riang.
"Lihatlah! Ini lebih bagus lagi!"
Dilemparnya setumpuk sapu tangan ke arah
saya. Aduh, aduh! Hari itu saya mulai bertanya
tanya ke sana kemari, bagaimana caranya memperoleh izin untuk membuka toko kelontong.
Sudahlah. Perkara menimbun celana dalam
serta sapu tangan, saya rasa takkan menarik mi
nat kepolisian. Tapi keanehan Manel bukan cuma
itu. Dia dapat duduk berjam-jam tanpa berkutik.
Nah, tidakkah itu aneh Tidakkah itu salah satu
gejala penyakit Dia malah berusaha mengubah ubah pepatah yang sudah umum kita ketahui.
"Huh! Ada gula ada semut, itu tidak tepat!"
katanya suatu hari. "Ada cecak mati ada semut!
Itu baru betul!"
Apa saya tidak menjadi kaget mendengarnya.
Berlagak pintarkah dia Bukankah kecerdasannya tidak sampai ke mana-mana Atau sudah
berubah ingatan
"Tidak percaya Mari sini!"
Diseretnya saya ke depan rumah. Di teras
saya lihat pepatah itu. Seekor cecak mati tengah
disorong oleh ribuan semut. Lho, kok saya malah
jadi ikut-ikutan tertarik. Cecak sebesar itu dapat
dipindahkan! !
"Menarik, ya "
Saya mengangguk tanpa sadar. Jadi ini yang
diperhatikannya berjam-j am
"Semut memang makhluk cerdik," katanya
membuka kuliah yang kemudian ternyata akan
berlangsung sejam, lengkap dengan tanya-jawab
serta diskusi.
"Misalnya, bila aku bunuh seekor,
teman-temannya yang bersama dia akan lari ke
sana kemari, memberi tahu yang lain. Dan mereka tidak jadi meneruskan perjalanannya, tapi
berbalik atau mengambil arah lain. Kalau seperti
sekarang ini! Seratus semut menghinggapi ekor.
Seratus yang lain mengerumuni kepala cecak.
Beratus-ratus menutupi tubuh dan sisi. Bagaimana kiramu, mereka saling bekerja sama supaya
dapat bergerak ke arah yang satu Nah, coba lihat! Mereka sekarang berputar. Kepala diputar
dari selatan ke timur. Mengapa ekor dapat ikut
berputar dari utara ke barat "
"Oh, lama kalau harus aku terangkan," kata
saya mengelak, tidak mau memberi kesan bodoh
padanya.
"Mungkinkah mereka mempunyai komunikasi "
"Oh, tentu. Bahasa semut itu ada. Ada. Cuma
sedemikian halusnya, sehingga takkan terdengar
oleh kita tanpa bantuan alat khusus!" kata saya
sok tahu. Habis, apa mau dianggap tolol oleh istri ! Gengsi nih!
"Oh, ada alatnya!"
Hampir melonjak saya karena kaget. Terbayang sudah pusing kepala saya mendengarkan
rengekannya yang takkan usai sebelum permint
aannya dipenuhi.
"Beli dong, Mal." Itu biasanya permulaan dari
sakit kepala saya.
"Di mana "
"Di mana kau baca iklannya " katanya bersemangat.
"Aku tidak membaca iklannya, kok. Itu cuma
laporan ilmiah," Kepalang dusta, mesti diteruskan supaya otentik.
"Mana majalahnya. Aku ingin baca."
"Milik temanku." Makin terjerumus saya ke
dalam lubang galian sendiri.
"Siapa temanmu "
Mati saya!
"Pinjamkan!"
Aduh, otoriternya nyonya saya kalau sudah
mabuk.
"Coba nanti. Tapi artikelnya cuma setengah
halaman. Tidak istimewa."
"Aku mau tahu alat itu, yang dapat menangkap suara semut!"
Bandel betul dia. ltulah kalau memilih anak
perempuan bungsu. Biasa dimanja.
"Nel, alat itu tidak dijual. Barangkali di dunia
cuma ada satu. Dan sebelum kau diizinkan meminjamnya, kau harus sudah ahli dalam ilmu persemutan! Jenis-jenisnya: Jenis saja kalau tidak salah ada dua puluh ribu, belum lagi sub jenis."
Saya ingin membuat dia ngeri.
"Ilmu apa namanya "
Kok malah tambah antusias
"Ilmu persemutan."
"Bahasa ilmiahnya "
"Antologi."
Gagah juga kedengarannya. Asal jangan
sampai dia tahu, saya bohong. Habis, sudah keterlaluan namanya, bila suami sudah membanting tulang di kantor, tiap tahun diharapkan naik
pangkat oleh mertua, eh di rumah masih diharuskan tahu segala hal yang ilmiah! Betul betul
eksploatasi suami oleh istri! Nah, semut itu dalam bahasa lnggris bahasa mana lagi yang saya
tahu *ant, jadi ilmunya, gampangnya antologi
saj a. Masih untung saya sanggup menjawab, jadi
diamlah kau, kata saya dalam hati.
"Barangkali di toko buku ada, ya "
"Kalau kau memang serius, kenapa tidak pergi mendaftar ke Oxford "
Terdiam dia dan dunia saya kembali hening.
Tapi fase ini belum selesai.
Pada suatu hari rumah terasa sepi ketika saya
pulang. Suara Bello bahkan tidak terdengar. Pin
tu depan terkunci, jadi saya masuk dari kebun
samping. Pembantu juga tidak kelihatan. Cuma
terdengar suara sapu lidi di kebun sebelah kanan.
Ketika hendak melalui ruang makan, saya tertegun. Manel tengah duduk bertumpu di meja.
Kepalanya tengadah. Mula-mula hendak saya tegur, namun tidak jadi. Khawatir dia kaget. Saya
amati dari belakang. Sedetik. Dua detik. Semenit.
Dua menit. Tiga menit. Eh, kenapa dia Kepalanya tidak bergerak sama sekali. Dari arah belakang
tidak dapat saya lihat matanya. Mengapa dia tengadah begitu
Saya jelajahi dinding dengan pandangan saya.
Ah, di sudut sana. Hampir tertawa geli saya.
Sepasang cecak tengah pacaran. Kejar-kejaran.
Sembilu Bermata Dua Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tindih-tindihan. Rupanya itu anak perempuan
bungsu. Sok jual mahal. Berhasil dia melepaskan
diri dari tindihan. Lalu lari. Dikejar. Lucu juga.
Hai! hardik saya dalam hati. Kok jadi ikut ikutan! Bukannya kausadarkan dia.
Saya melangkah pelan. Supaya dia tidak ka
get. Bello membuka matanya dari bawah meja,
lalu menyongsong saya. Manel tersentak dan ikut
menoleh. Matanya bertatapan dengan mata saya.
Ah, sayunya. Apakah dia kesepian ltukah
kerjanya seharian di rumah Menderitakah dia
Saya memang tidak kesepian di kantor. Selain
pegawai wanitanya muda muda dan cantik, udara
kamar juga selalu segar dan sejuk.
Bagi saya, asal sehat dan cukup uang, sudah.
Anak tidak merupakah mati-hidup saya. Tapi un
tuk Manel Bagaimana saya harus menanyakan
nya Dia sendiri selalu bungkam. Bibirnya selalu senyum. Di depan saya, dia tampaknya tidak
mempunyai kesusahan apa-apa. Barangkali disimpannya itu semua dalam hati Barangkali cuma
pada ibunya dia mau bicara Karena itukah ibun
ya selalu melotot memandang saya
"Hai!"
Nadanya begitu riang, bagaimana saya akan
mulai dengan pertanyaan yang terbit di hati
Diambilnya tas saya, Disuruhnya saya duduk.
Bello sudah menggigit sandal jepit dan mem
bawanya ke hadapan saya.
"Masak apa "
Cuma itu yang berhasil saya lahirkan dari
mulut saya. Tapi matanya yang sayu menghantui
saya terus. Betulkah dia kesepian Betul pentingkah kehadiran seorang anak bagi istri Habis,
kalau belum berhasil, bagaimana Oh, janganlah
saya diharuskan ke dokter. Sebelum aj al
Namun, bila dia betul betul susah. Betul
betul menderita. Betul-betul kesepian... Oh, ya,
laki-laki apakah saya ini, tidak mau membela dan
membahagiakan istri sendiri Jangankan cuma
ke dokter! Kalau perlu, bedah dan permak!
Tapi di manakah salahnya Saya kan sehat
Jauh. di dalam hati saya mendapat lirasat, bila
Manel tidak segera ditolong, keadaannya akan
menggawat. Tidak ada orang "normal" yang mau
menghabiskan waktu mempelajari cecak pacaran.
Kecuali dia sudah sangat kesepian atau memang
seorang ahli cecakologi.
XI i antara betrak-betruk dalam lemari yang
D tidak pernah dipergunakannya, termasuk
setumpuk bahan pakaian dengan
gambar gambar yang biasanya diperuntukkan
bagi kanak-kanak. Saya tidak mengerti di mana
pikirannya ketika dia membeli semua itu.
Mengatakan itu hadiah, mustahil. Sebab jum
lahnya cukup banyak. Dan siapa pula mau meng
hadiahkan bahan pakaian anak anak, bila bangau
sudah tutup pabrik dan Profesor Ginting belum
dikunj ungi !
Tapi untuk apa dibelinya semua itu Saya
tidak berani bertanya. Saya mulai takut-takut menatapnya. Saya mulai dihinggapi rasa bersalah
yang terpupuk terus oleh lototan ibu mertua.
Pelan demi pelan, rasa gagal mulai merasuki
jiwa saya. Dan gugup adalah akibat sampingannya. Sudah dua kali saya menandatangani surat
yang salah bunyinya. Untung belum dipecat.
Seandainya Manel suka bergaul, mungkin lain
kisahnya. Tapi dia tidak mau bergaul. Tidak ber
faedah, katanya. Cuma mendengarkan gunjingan
tentang orang lain. Lalu pada giliran berikut, kita
yang akan jadi gunjingan. Atau obrolan orang
tentang kita, disampaikan kembali pada kita.
Bukankah cuma mengundang kekesalan
Mengapa manusia kebanyakan kesal, tan
176 ya Manel. Karena mereka mendengar pendapat
orang lain yang tidak sedap tentang diri mereka.
Coba mereka tidak mendengar apa-apa, tentu
mereka akan terus gembira dan senang.
"Misalnya aku pakai warna merah. Nanti ada
mulut usil yang bilang, ah warna merah tidak
cocok dengan kulitku yang gelap. Selama aku
tidak mendengar perkataan itu, aku akan tetap
santai memakai baju merah. Tapi begitu disampaikan orang padaku, aku menjadi sedih, kesal.
Baju merah itu aku sisihkan, padahal aku sen
angi. Kemudian aku jadi berpikir, kenapa kita
membiarkan orang lain menentukan kebahagiaan kita Kalau orang tersenyum pada kita,
kita merasa bahagia. Kenapa harus bahagia Bila
orang tidak mengacuhkan kita atau bahkan menertawakan kita, kita menjadi kesal. Mengapa har
us kesal Bukankah kita yang harus menentukan
kebahagiaan kita sendiri Peduli amat orang lain.
Mereka tidak senang dengan baju kita, jangan
lihat. Mereka merasa kita tampak lucu, silakan
ketawa. Kita tidak perlu terpengaruh. Tapi karena
kita ini toh akan terpengaruh juga, maka paling
baik, kalau kita menjauhkan diri saja. Jadi tidak
kita dengar apa-apa yang akan mengganggu ketentraman hati kita!"
ltu logika Manel yang menyebabkan dia tidak
suka bergaul. Apa saya mau kata ! Pergaulan
saya sendiri tidak luas. Cuma beberapa kawan
yang tidak banyak jumlahnya. Saya mengerti dan
dapat menerima jalan pikirannya.
177 Tapi akibatnya... Manel kesepian. Ibunya per
nah berkata sayup-sayup, agar kami pindah saja
ke rumahnya. Kan mereka cuma tinggal berdua.
Manel itu anak bungsu.
Mungkin maksudnya baik. Supaya Manel
tidak kesepian. Tapi ampunilah saya. Lebih baik
saya jadi pembunuh, pembunuh ibu mertua tentu
saj a, daripada harus tersiksa terus tiap hari.
Beliau tidak pernah mengeluarkan kata-kata
yang tidak enak, memang. Tapi pandangan serta
sikap dapat juga bicara banyak.
Saya sudah pasrah menerima kehadiran se
orang ibu mertua dalam hidup saya. Janganlah
menuntut lebih dari itu. Saya tahu, Manel kesepian. Tapi dia harus mencari obatnya pada saya,
bukan pada ibunya! Sudah berakhir hidup dengan ibu. Sekarang masanya hidup bersama saya.
Tapi bagaimana memulai diskusi mengenai topik
yang sangat peka ini Asal saja dia mau mulai
buka mulut! Tidak usah berupa pertanyaan atau
keluhan. Sebagai tangis pun jadilah. Berilah saya
kesempatan untuk menghiburmu, pinta saya dalam hati.
Tapi Manel tidak perlu hiburan. Dia tidak
mengeluh. Apalagi menangis. Wajahnya selalu
tenang. Bahkan boleh dibilang, sedikit gembira.
Kesepian, itu pasti. Akhirnya saya mengambil
putusan untuk memecahkan kesepian itu.
Pembantu, sudah tidak dapat diandalkan. Secara alamiah, dia memang senang membisu. jadi
takkan mungkin diharapkan, bahwa dia akan ter
178 tawa sepanjang hari atau mencak-mencak atau
latah.
Bello, yang selalu kekenyangan makan, dari
hari ke hari makin bertambah ramah saja. Melihat tamu baru pun, dia hampir atau sangat jarang
menyalak.
J adi harapan saya tertumpah kini pada Musi.
Saya bawa dia pulang pada suatu sore. Sengaja belum diberi makan seharian, agar segera
berkelahi dengan Bello. Dan memang itu maksud
saya. Apalagi yang lebih ramai daripada anjing
berkelahi dengan kucing
Aneh bin ajaib. Mereka saling menciumi
bokong masing-masing. Tidak ada bunyi sedikit pun. Kucing betina itu sudah gila, gumam
saya. Bello memang ramah. Tapi kucing betina !
Bukankah masih berlaku ungkapan: galak seperti
kucing betina Apakah Musi ini kucing kebiri
Manel tertawa gelak. Jarang sekali saya melihat atau mendengarnya tertawa begitu. Senang
rasanya hati. Biarlah mereka tidak berkelahi.
Pokoknya Manel senang.
Tidak lama. Seminggu kemudian, saya
mendapat perasaan bahwa Musi dianaktirikan.
Manel tidak pernah memberinya makan. Terpak
sa saya turun tangan. Bila saya lihat Bello diberi
piring olehnya, lekas-lekas saya cari pula kaleng
karatan yang disediakan Manel untuk Musi. Tapi
makanan untuk Musi sangat mengenaskan. Kalau
Bello selalu diberi potongan daging utuh, maka
Musi cuma mendapat sisa-sisa belaka.
179 Akhirnya saya meminta keadilan.
"Ah, kan sudah kau urus dia. Mengapa aku
harus turun tangan " katanya.
"Itu kan karena kau tidak mau mengurus. Karena kau menelantarkannya."
"Ah, kucing kan biasa kenyang dari mencuri!"
"Musi tidak mencuri!"
"Betulkah "
"Mengapa kau benci padanya "
"Aku tidak benci!"
"O ya! Aku tahu, kau benci Musi. Kau tidak
pernah membelainya."
"Kan sudah ada orang yang membelainya!
Bukankah kau cinta padanya "
Hm. Cemburukah dia Terhadap seekor kucing Omong kosong! Tapi itu menunjukkan bahwa saya betul-betul tidak mengenal wanita.
"Nel, aku juga sama sayangnya dengan Bello.
Bukankah mereka peliharaan kita bersama "
Kalau saya sudah punya pengalaman dengan
wanita, seharusnya saya tahu, kalimat itu salah.
Semestinya, saya bilang: Nel, aku cinta padamu!
Bukan pada Musi! Bukan pada Bello!
Maaf seribu maaf, Manel, lidahku kelu. Aku
tidak pernah belajar merayu, apalagi mengucapkan kata-kata semesra itu. Memikirkannya saja
sudah berkeringat aku.
Manel merengut mendengar kata-kata saya.
Pandangan saya sengaja saya buat seiba mungkin. Saya tatap dia dengan memelas. Seakan dia
calon majikan yang akan menentukan periuk nasi
180 saya.
"Baiklah. Mulai besok aku serahkan keduanya
pada si bibi. Aku tidak mau tahu lagi. Dan..." Dia
menoleh lalu menatap saya dengan tajam. Sebenarnya dia tidak marah. Cemburu itu namanya.
Cuma saya kurang cerdas dalam ilmu semacam
itu. "Dan..." terusnya "...kau juga tidak boleh
mengurusi kucing itu!"
"Oke."
Musi hidup berdampingan dengan Bello.
Tidak pernah berkelahi. Cuma menghabiskan
nasi dan susu. Rumah tetap sunyi. Saya kembali
gagal. Mata ibu mertua sudah mulai berapi. Kemana saya harus minta tolong
181 XII khirnya saya toh menyerah pada Profesor
AGinting. Demi istri. Cintakah saya
padanya Apakah cinta itu Menyerah
pada Profesor Ginting, bagi saya memang
merupakan pengorbanan yang tidak terkira
besarnya.
Apakah itu berarti saya cinta padanya Oh,
saya berharap, saya tahu jawabnya, tapi saya
tidak tahu. Manel juga tidak pernah mengatakan
hal serupa. Barangkali dia juga tidak tahu, apa
cinta itu. Ah, tidak penting mempersoalkannya.
Apakah artinya tiga patah kata! Aku dan cinta
dan kau! Tiga kata. Tanpa itu pun rumah kami selalu tenang. Sekali-sekali ada yang merajuk kadang-kadang dia, tempo-tempo saya tapi tidak
sampai gempa bumi. Bila orang menanyakan
pembantu kami, mungkin dia akan bilang, dia
tinggal dalam kuburan. Rumah kami sepi. Sekali-sekali terdengar teve. Acara warta berita. Film
seri, lekas bosan. Film cerita, ah, selera kami lain
dengan selera pemimpin acara.
Tapi pada suatu hari, kami harus menghadiri sebuah pesta. Harus ! Ya, sebenarnya tidak.
Dalam hidup ini tidak ada keharusan. Semuanya cuma dapat terjadi bila kita menghendakinya.
Dan kita dapat berdamai pada jiwa sendiri dengan melakukan hanya yang berkenan pada hati
182 kita. jangan pikirkan apa pendapat orang.
Tapi kami berdua masih sangat kuat dan aktif memikirkan apa pendapat orang. Walaupun
kami tidak senang ke pesta. Kami ogah. Tersiksa
rasanya duduk tanpa santai, makan tanpa santai,
minum tanpa santai, diperhatikan orang banyak,
terpaksa memperhatikan orang banyak, terpaksa
ikut ngobrol tanpa makna.
"Tapi apa kata orang kalau kita tidak hadir "
keluh Manel.
"Iya, apa nanti kata orang!"
"Sudahlah. Kita pergi sebentar saj a."
"Ya, sebentar saja."
Sebentar, menurut ukuran pesta, itu paling
tidak satu jam. Tersiksalah kami selama satu jam.
Saya ingin sekali tahu, apakah ada orang yang
merasa bahagia dan senang berdiam di pesta
Kalau ya, ingin saya tahu sebabnya.
Berdandan ekstra, berpameran kekayaan.
Apakah itu menyenangkan Ataukah saya yang
menyimpang dari umum Saya lebih senang berdandan sederhana. Lebih senang berkumpul dengan sedikit kawan, tapi yang akrab, yang tidak
akan menertawakan kekurangan saya. Lebih
senang bicara mendalam, daripada mendangkal.
Bagaimana kita akan bicara mendalam dengan
orang asing yang duduk di sebelah kita di pesta
Topeng Setan 1 Wiro Sableng 131 Melati Tujuh Racun Tiga Dara Pendekar Siauw Lim 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama