Ceritasilat Novel Online

Sembilu Bermata Dua 4

Sembilu Bermata Dua Karya Marga T Bagian 4


"Aku tidak bermaksud menertawakan eng
kau," bisiknya panik, "aku cinta padamu. Kau
tidak perlu memikat mikat aku lagi. Hatiku su
dah dan akan selalu menjadi milikmu."
Tapi kini semuanya sudah terlambat. Kastaneda telah berdiri tegar di antara mereka. janinnya
telah menggerakkan telunjuknya yang lembut
dan mengobrak abrik kesentosaan semua orang.
270 Kino terpaksa, menuruti permintaan Kastaneda. Dia tidak boleh kehilangan kerjanya. Demi
Ines dan anak-anak mereka.
Di luar j endela terdengar hujan mengisak rintik rintik mengiringi sedu sedan Ines ketika menyalami kegagahan suaminya dalam menemukan
kembali masa mudanya yang usang.
Dan Cempaka mulai menyirami benih kebenciannya terhadap ayahnya. Laki laki itu bahkan
tidak sempat lagi diberi tahu, bahwa hati anaknya
yang perawan itu telah memar karena tingkahn
ya. Bahwa hati yang memar itu telah melangkah
pergi dari sisi Arman yang tercinta.
271 VII ino Niha memasang telepon di rumah
Ines, supaya dapat menyalami mereka
| ; tiap hari. Sebab Kastaneda tidak
mengizinkannya berkunjung ke sana, walaupun
hanya untuk memberikan uang bulanan.
Tinggallah dia kini di samping istri barunya,
yang cuma lima tahun di atas Cempaka.
Ines mulai hidup baru dengan wajah dua. Di
depan anak anak, terutama bila ada Cempaka, dia
selalu berwaj ah cerah. Biasa dan cerah. Namun
bila mereka tidak di rumah, bila dia cuma berdua
dengan pembantu, oh Tuhan, betapa sempit terasa
dadanya. Ingin rasanya dia meledak ledak. Tapi
bagaimana. Dia tidak pernah diajar marah ma
rah. Orang tuanya tidak pernah mengamuk. Seandainya mereka marah atau bertengkar, pasti tidak
di depan orang ketiga. Ines tidak tahu bagaimana
caranya melempar piring atau membanting pin
tu. Dia cuma tahu bagaimana dia dapat menangis
sendirian. Kala anak anak semua sekolah.
Dapatkah hal itu berlangsung terus Terhadap Cempaka dia ingin selalu membela Kino,
agar gadis itu jangan barut-barut masa remajanya. Dia ingin Cempaka mengenang ayahnya
dengan kemanisan yang hangat. Dia ingin anak
itu jangan dendam terhadap laki laki dan tidak
takut melangkah ke dalam perkawinan. Setelah
272 kepahitannya bersama Arman, Cempaka setengah bersumpah takkan kawin. lnes bukan tidak
ngeri mendengarnya. Dia tahu, Cempaka kelak
akan mampu mencari nafkah sendiri. Dan perempuan perempuan berdikari tidak sedikit yang
emoh kawin.
Mungkin mereka benar. Itu hak mereka. Tapi
lnes merasa, bahwa dalam jiwa mereka, perempuan-perempuan itu tetap merasa kosong. Senyum
di bibir merah mereka cuma pelabi belaka. Hati
mereka kering kerontang.
Cempaka tidak boleh begitu. Dia harus tum
buh menjadi wanita yang hangat, mesra, penuh
sari, pandai berceloteh, dan sibuk memanjakan
suami serta anak-anak.
Akan tetapi berapa lama akan dipasangnya
topeng itu di depan Cempaka Sebab terhadap
dirinya sendiri, dia ingin mencaci maki Kino
walaupun memang, dia kurang terlatih untuk itu.
Namun perasaannya yang luka parah cukup mam
pu untuk berulang-ulang menyesali kelemahan
suaminya di antara isak-tangis yang masih selalu
menghantarnya ke alam mimpi. Dan mimpinya
sudah lama tunggal warna. Hitam pekat. Tidak
pernah lagi menyelip jingga matahari atau bulan
keperakan atau dedaunan hijau. Hitam semata.
Pekat. Pekat sekali.
Dapatkah dia membelah dirinya seperti itu selamanya Pada saat senyumnya merekah untuk
Cempaka, pada saat dia mengemukakan kebaikan
Kino, pada saat itu pula darah menetes dari luka
273 hatinya dan batinnya menjerit menyesali suaminya. Dapatkah dia terus-menerus hidup dalam
tekanan demikian Jiwanya tidak pernah istirahat
sedetik pun. Sebelahnya, selalu siaga menghadapi Cempaka, untuk mencabuti ilalang kebencian
yang agaknya tumbuh subur dalam hatinya. Dia
juga ingin mempercayai kata-katanya sendiri
tentang kebaikan serta kemanisan Kino. Dia juga
ingin menjangkau kembali lengan-lengan tercinta yang kini telah mendayung perahu lain, ingin
merasakan lagi kerinduan dekapan mereka.
Tapi sebelah jiwanya lagi merasa sakit hati.
Mungkin juga dendam. Bahkan menuntut pembalasan.
Bila bukan untuk anak-anak, segan rasanya
menerima kiriman uang tiap bulan. lnes mengerti, Kino sekarang harus membagi dua penghasi
lannya. Sebab Kastaneda sudah keluar dari kan
tor cabang di Tanjung Karang. Sedang di jakarta
tidak kelihatan ada niatnya untuk masuk kantor.
Rupanya dia sengaja mau membebankan diri
sepenuhnya ke atas bahu Kino. Dan itu memang
haknya.
Kino pernah bilang ditelepon, waktu Kastane
da tidak di rumah, bahwa wanita itu ingin kemba
li bekerja di night club. Tentu saj a dilarang. Lalu
dia bilang, kalau begitu dia akan diam di rumah
saj a.
lnes ingin meringankan beban Kino. Sekaligus menambah nafkah bagi anak-anaknya. Sebab
kiriman Kino seperdua gajinya tidak men
274 cukupi. Kastaneda tentu saja tidak mengizinkan
lnes mendapat lebih walaupun padanya ada tiga
anak.
lnes tidak mau menuntut. Sebegitupun, harga
dirinya sudah lecet lecet setiap kali dia harus ke
kantor pos menguangkan weselnya, berdiri bukan
dalam antrian panj ang yang teratur, namun didesak-desak, disikut, dan dihembusi asap rokok.
Dia memutuskan akan kembali membuat
kue-kue serta menyulam. Nyonya Hamid yang
dikenalnya dalam arisan memberinya saran yang
baik. Kalau mau, Ines dapat membuatkannya per
madani Binding yang indah indah. Sama sekali
tidak sulit. Dia cuma perlu mengikatkan seutas
benang wol pendek yang sama warnanya dengan
warna setiap kotak anyaman pada kanvas. Upahnya lumayan, tergantung ukuran kanvas. Dan
hasilnya yang sudah dilihatnya dikerj akan oleh
Nyonya Hamid menakjubkan. Sebuah gambar
kucing berukuran empat puluh kali empat puluh
sentimeter ternyata laku dijual dengan harga lima
puluh ribu.
[nes memutuskan takkan menolak setiap pekerjaan yang halal. Hari itu juga dibawanya pu
lang sebuah kanvas yang sudah diberi tanda tan
da warna. Lukisannya, sederhana. Perahu layar di
bawah sinar bulan.
"Untuk permulaan, yang mudah dulu," kata
Nyonya Hamid, yang dengan tekun mengajarnya
bagaimana mengikat benang-benang itu. Betulbetul tidak sulit. Dan untuk itu dia dijanjikan
275 sepuluh ribu. Bila dikerj akannya delapan jam sehari, pasti akan selesai dalam tiga hari, kata nyonya itu lagi.
"Ah, saya mau mengerjakannya sebagai sam
bilan saja," kata lnes, "saya masih senang berjualan kue."
"Sesuka Anda."
Ternyata, Cempaka minta diajari dan ketagihan. Akhirnya dia yang menyelesaikan permadani itu. Ketika Ines membawa pulang pesanan
baru dengan upah yang sepuluh ribu itu, Cempa
ka tidak mau menerima uangnya.
"Untukmu, Mam. Untuk kita bersama."
lnes nyaris menumpahkan air mata. Gadis remaj anya sudah mulai mengenal susah. Baju-baju
bagus serta jajanan enak yang mestinya menjadi
haknya, telah dirampas oleh Kastaneda.
Cempaka kini tekun dengan kanvasnya yang
disebutnya hobi. Gadis rupawan itu tidak lagi seriang dulu. Sekarang sikapnya tenang, acuh tak
acuh. Tobi dan Beni malah sedikit takut menghadapinya. Dia tidak banyak omong. Nama ayah
nya tidak pernah lagi muncul di ujung lidahnya.
Tapi dia tidak pernah mau menerima telepon
yang berdering setiap malam. Menjelang jam
delapan, dia pasti menghilang ke dalam kamarn
ya atau terlalu asyik di depan TV, sehingga ibu
maupun adik-adiknya tidak pernah memintanya
menerima telepon ayahnya.
Nama Arman juga sudah menghilang dari
udara. lnes tidak mau menanyakan soal kelan
276 jutan hubungannya yang terputus itu. Dia tidak
mau mengorek-ngorek luka anaknya, sekaligus
dengan itu mau menyatakan, bahwa dia menghargai setiap keputusan yang diambil anaknya.
Begitulah, empat bulan telah berlalu. Pada
suatu hari datang seorang tamu. Ines terhenyak
jauh ke masa silam.
Anak-anak tidak di rumah semua. Ines terduduk bengong menatap tamunya seakan tidak
percaya.
"Mengapa bengong " tanya laki laki itu.
Nyonya rumah tersentak, kembali sadar.
Dicobanya melukis sebuah senyum yang rapi
walaupun potongan-potongan kenangan mesti
bergegas dikumpulkannya dari kekucar-kaciran
mereka.
"Ah, Mardiono!" keluhnya.
277 VIII etika Ines masih di SMA, Mardiono
sudah berusia dua puluh lima tahun.
| ; Mereka selalu bertemu bila lnes main
atau menginap di rumah bibinya, di sebelah
rumah Mardiono.
Pemuda itu bertubuh tegap dan dari belakang,
memang amat menarik. Punggung yang bidang.
Bahu yang tegar. Rambut yang lebat. Leher yang
kuat. Pokoknya dia bolehlah. Apalagi, anak orang
kaya. Cuma, aduh, waj ahnya amat buruk dan bila
dia mulai bergerak, segera tampaklah langkahn
ya yang timpang dan sikapnya yang kikuk. Ka
lau bicara, bukan cuma bibirnya yang mengan
ga lebar lebar, kedua tangannya pun ikut ikutan
menj awil udara, seakan-akan dari situ datangnya
kata-kata yang sering kali tidak dapat diucapkannya.
Mardiono menjadi bahan olok olok saudara
serta teman temannya. Tungkainya yang timpang itu dibawanya dari surga atau dari mana pun
dia berasal.
lnes tahu, pemuda itu menaruh hati padanya.
Tapi aduh, bila dipandangnya wajahnya yang
dihiasi beberapa bopeng, dengan matanya yang
menyempit di sebelah kiri karena luka parut
bekas berkelahi, maulah rasanya dia melarikan
diri. Masih tertahankan bila Mardiono mengatup
278 kan mulutnya. Tapi bila dia tertawa, rupanya bukan lagi buruk, namun sudah menimbulkan iba.
Sudut bibirnya seolah-olah miring ke bawah kiri
dan matanya yang tidak pernah cerdas kelihatan
kusam tak bernyawa.
Waktu itu Mardiono sudah bekerja memban
tu ayahnya yang mempunyai bengkel besi. Ketika lnes jarang datang lagi ke sebelah, pemuda
itu dengan keberanian yang dungu mengunjungi
gadis itu di rumahnya. Terjadilah beberapa kali
pertemuan. Tidak menghasilkan apa apa. Rupan
ya hati Ines menoleh ke arah lain. Ibu Dewi baru
saja menerima anak kos bernama Kino. Ines su
dah dua kali melihatnya.
Mungkin bosan, mungkin juga tahu, akan siasia, mendadak Mardiono tidak pernah muncul
lagi. Beberapa bulan kemudian terbetik kabar
dari bibi, bahwa si Timpang narnanya di rumah
dan di tetangga sudah menikah. Dia bahkan
tidak punya keberanian untuk mengundang lnes.
Ketika Ines kawin, dia juga tidak mengundangnya. Mardiono sudah pindah ke Bandung dan
hubungan diplomatik mereka yang cuma singkat
dan rapuh itu ternyata putus sama sekali.
Pemuda itu memang tidak berbakat mengu
capkan isi hatinya. Dulu tidak. Saat ini pun tidak.
*** 279 Ines menatap tamunya dengan pandangan
ramah. Mardiono tidak berubah, awet muda
seperti biasanya orang-orang yang tidak banyak
menggumakan pikiran mereka. Di atas kepalanya
bahkan, tidak tampak sehelai uban pun.
Laki-laki itu mencoba tersenyum. Masih kikuk seperti dulu. Mulutnya makin miring saja ke
bawah. Dan ketika dia bicara, kedua lengannya
menggapai-gapai udara. Suaranya masih pelan,
penuh hormat, dan kagum seperti dulu.
"Engkau kurus," katanya seperti malu malu,
tapi kekaguman dalam nadanya tidak mungkin
disangsikan.
Tahulah Ines, hati laki-laki itu juga awet muda.
Dia telah menimbun cintanya, memberinya balsam dan rupanya menjaganya sehingga tidak aus
dimakan waktu. Kalau begitu, dia barangkali
menderita harus hidup berrnimpikan cinta yang
tidak sampai. Entah bagaimana keadaan istrinya
"Engkau makmur," sahut lnes mencoba ceria,
mengalihkan percakapan dari dirinya. "Apa kabar istrimu "
"Oh, dia meninggal lima tahun yang lalu," sahutnya cepat, masih dalam nada yang sama. Mardiono merupakan manusia berpikiran sederhana
yang menerima kebahagiaan dan kemalangan
tanpa perasaan berlebihan. Kematian baginya
merupakan ujung dari kelahiran. Tidak lebih.
280 "Bagaimana anak anakmu "
"Oh, anakku cuma satu. Laki-laki. Dua puluh
enam tahun. Sudah kawin."
lnes mencoba tidak melihat tangan-tangan
yang menggapai-gapai itu.
"Wah, sudah punya cucu "
"Ah, belum. Belum," sanggahnya. "Aku katakan pada Juno, anakku, aku baru lima puluh tiga
tahun. Belum ingin punya cucu. Aku masih mau


Sembilu Bermata Dua Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kawin lagi."
Mardiono menjadi tersipu. Seakan dia telah
membeber rahasianya di atas meja.
"Tentu saja, angguk Ines serius, "sudah ada
calon "
Pertanyaan itu sebenarnya cuma basa basi.
Entah mengapa, tamu itu makin tersipu. Malah
menunduk sebentar. Ketika diangkatnya kembali
wajahnya yang terhias tiga buah bopeng di pipi
kanan, lnes melihat mata yang kusam itu seakan
mencoba menyentuh hatinya, mengaj ak bicara.
"Aku baru setahun kembali ke Jakarta. Dulu
di Bandung. Sekarang anakku yang mengurus
usahaku di sana. Sedang aku membuka kantor di
sini."
Dipandangnya Ines dengan kikuk. Ragu-ragu.
Beberapa kali bibirnya bergerak namun tanpa
suara. lnes menggunakan kesempatan itu untuk
memanggil pembantunya agar menyediakan minum. Sengaja tidak ditatapnya tamunya, agar kikuknya tidak bertambah.
Ketika minuman telah terhidang, laki laki itu
281 menyambung bicaranya dengan kesusu seakan
itu penting sekali dan harus lekas dimuntahkannya.
"Aku punya pabrik mebel. Aku punya bengkel yang membuat papan dan neon reklame. Juga
pabrik limun" Sama sekali tidak dengan nada
sombong, namun lebih tepat dikatakan, semua
itu diucapkannya seakan mau menyerahkan sertiHkat harga dirinya ke depan calon mertua.
lnes tergugu mendengarnya. Dia tidak segera
menangkap maksud semua itu.
"Beberapa bulan yang lalu, bengkelku di
minta membuat papan reklame untuk merek cat
yang dipakai pada sebuah hotel yang dibangun
oleh... suamimu. Kemudian beberapa papan serta
neon reklame untuk hotel itu sendiri. Karena itu
aku lantas tahu bahwa kau... bahwa kau sudah...
bahwa suamimu suamimu kawin lagi...." Lalu
Mardiono cepat cepat menunduk untuk menyem
bunyikan perasaan harunya. lnes melihat pipi
yang coklat kekuningan dari tamunya jadi menggelap warnanya. Dia hampir tidak dapat menahan
gelinya. Mardiono masih tetap seperti dulu. Kikuk di depan wanita. Bagaimana dia dapat begitu
sukses dalam usahanya
Tapi laki laki itu sudah mengangkat kembali
wajahnya dan tangannya tampak bergegas meng
gapai udara seakan ada sesuatu yang terlupa.
"Aku baru saja pulang dari Ujungpandang,"
katanya seolah itu cukup menerangkan apa yang
dianggapnya ketinggalan. Mungkin saja kalimat
282 itu sudah disambungnya dalam hati, "Karena itu
baru sekarang aku kemari."
"Ayo diminum tehnya," undang Ines mengangkat cangkir dan menghirupnya, diikuti Mar
diono.
Ines mempunyai lirasat bahwa dia tahu apa
maksud kedatangan laki-laki itu. Tapi, pikirnya
lagi, Mardiono tidak boleh diambil di hati benar.
Apa yang kurang j elas dari ucapannya tidak boleh
ditanyakannya agar laki-laki itu tidak bertambah
rikuh. Kasihan melihatnya sebentar sebentar harus meneguk udara, menunduk, lalu menggapai
kembali. Entah apa maksudnya mengatakan baru
pulang dari luar kota.
"Ines," suaranya sekali ini agak keras, tegas,
dan mengejutkan. Rupanya yang bicara takut kehilangan kembali keberaniannya yang sudah ber
susah payah dihimpunnya.
"Ya !" Suara lnes malah makin merdu.
"Maukah kau... maukah kau ah, sekretarisku baru saja menikah dan berhenti. Aku perlu
gantinya." Dan dipandangnya Ines tanpa melanjutkan katanya.
"Engkau ingin aku bekerj a untukmu "
Mardiono mengangguk dengan gembira.
Matanya yang kusam tampak sedikit mengand
ung cahaya. Barangkali begitulah orang orang
seperti dia menyatakan kebahagiaannya.
"Maukah kau... " Penuh harap sekali.
Ketika lnes tampak merenung, lekas-lekas
diperincinya imbalan yang mau diberikannya.
283 Dan lnes tercengang. Dengan jumlah itu mereka
dapat hidup leluasa. Bahkan tidak perlu lagi diterimanya kiriman dari Kino tiap bulan. Dan selamat dia dari desakan serta asap rokok di kantor
pos. "Dengan senang hati," sahut lnes jujur tanpa
mau lama-lama berpikir.
284 IX idwan diadili dalam perkara penggelapan
Ruang di kantor sebanyak lima belas juta.
Sedang Usin, wakilnya, diadili in absentia
untuk perkara yang sama. Dua buah rumah milik
masing masing disita sebagai barang bukti dan
kemudian dikembalikan ke kantor sebagai ganti
rugi.
Selain itu masing-masing juga mendapat hukuman badan sekian bulan.
[nes biasanya tidak suka membaca berita-ber
ita penipuan yang tidak ada habisnya. Tapi karena itu menyanglmt kantor Kino, disempatkannya
juga membacanya.
Ah, terpujilah Mardiono, pikirnya tersenyum.
Betapa bangga hatinya ketika dapat memberi
tahu Kino, bahwa dia tidak perlu lagi mengirimkan uang pada mereka. Semua gajinya boleh
dipergunakannya untuk memanj akan istri barunya. Betapa nyaman rasanya mendengar suara
Kino menjadi parau diliputi curiga.
"Mengapa " tanyanya sedikit cemburu, walaupun haknya untuk itu sudah dilemparkannya
ke awang-awang.
"Aku punya uang sendiri," kata lnes sedikit sedikit, membuatnya makin ingin tahu.
"Dari mana " Jelas cemburu.
lnes tidak segera menjawab. Dibiarkannya
285 pertanyaan itu diulangi sementara dia pura-pura
batuk.
"Dari mana "
"Aku bekerja."
"Kau kan tidak bisa apa-apa. Mengetik pun
tidak. Di mana kau bekerja "
"Di kantor. Orang kan dapat bekerja sambil
belajar !" Ines merasa suaranya pongah betul.
Biarlah. Kino mesti diajar adat sedikit.
Tapi laki-laki itu berkeras mau terus mengirimkan uang. Bila tidak untuk lnes, sedikitnya
untuk anak-anak.
"Ini menyangkut harga diriku," pintanya memelas.
Masa bodoh, pikir Ines. Kalau begitu kehendaknya, terserah. Tapi dia sudah tidak mau
berdesak-desakan. Uang itu harus diantarkannya
sendiri.
"Ya, ya, ya," sahut Kino. Dia memang ingin
sekali datang melihat anak-anak dan mencari
tahu kantor mana yang telah sudi menerima tenaga seperti lnes.
*** Angin segar berhembus kini dalam rumah
lnes. Cempaka asyik dengan hobinya yang
286 mendatangkan banyak uang. Karena lnes sudah
menghasilkan uang yang cukup, maka upah
dari membuat permadani itu dipaksanya supaya
dimasukkan ke dalam Tabanas Cempaka.
Mereka hampir tidak pernah lagi mempercakapkan masa lalu. Bahkan mungkin tidak lagi
merindukan kehadiran Kino. Cuma dering telepon saja yang mencampakkan mereka kembali ke
musim kemarau yang telah merenggutkan sang
ayah dari tengah tengah keluarganya.
Selain itu, masih ada kunjungan di permulaan
bulan. Sembunyi sembunyi, tanpa persetujuan
Kastaneda, Kino mengantarkan uang. Selalu sore,
masih dalam jam kantor. Tidak sulit mencari kesempatan. Sebab Kino memang sering bertugas di
luar, keliling mengontrol pembangunan.
Sudah tentu Cempaka tidak pernah mau menemui ayahnya. Ada-ada saj a alasannya. Ines tidak
mau memaksa. Kebencian seperti itu harus dihi
langkan pelan pelan, dengan kelembutan.
Tapi musim kemarau sudah lama berlalu.
Sekarang ini cuma angin segar dan sejuk di mana-mana.
lnes mengalami perubahan. Dia mulai berkencan dengan Mardiono. Jarang-jarang. Dan tidak
berbahaya. Makan di luar. Melihat gala premier.
Tapi pulang selalu sebelum tengah malam.
Cempaka memperhatikan semuanya dengan
membungkam. Dia berpura asyik dengan anyamannya. Bila Mardiono kebetulan singgah
untuk secangkir kopi, dipaksanya menyajikan
287 secercah senyum. Dia tidak boleh lupa, bahwa
laki-laki yang kelihatan lucu itu telah menghidupi mereka, sehingga sumbangan ayahnya tampak
sepele sekali. Itu menggembirakan hati Cempa
ka. Dia tahu, gembira serupa itu dosa. Gembira
karena dapat memukul balik ayahnya.
Dia benci sekali dengan ayahnya. Tapi sudutsudut kecil hatinya mendambakan kehadirannya
dalam keluarga yang utuh. Sesalnya lalu menjadi
berkepanj angan manakala disadarinya bahwa hal
seperti itu takkan pernah terulang lagi.
Karena keluarganya takkan lengkap kembali,
Cempaka kadang kadang tidak peduli lagi apa
yang akan terjadi selanjutnya. Bila ibunya mau
menikah dengan Oom Mardiono, masa bodohlah.
Toh mereka memang sudah berantakan. Dan
tidak perlu benar mempertahankan nama baik.
Toh Arman sudah retak dengan dia.
*** Mardiono sendiri sebenarnya belum bilang apaapa. Mengapa pula dia harus Bukankah sering
kali hati merasa lebih banyak dan mata melihat
lebih taj am daripada apa yang mampu dipesankan
288 dalam seribu potong kata
Dan Ines bukanlah perempuan dungu. Bahkan, sedungu apa pun seorang perempuan, dalam
hal-hal seperti ini, dia tidak perlu ragu.
Hati mereka sudah bersalaman. Di atas meja
restoran. Atau dalam gedung bioskop. Tinggal
lnes yang harus memberi titik atau koma. Dalam
banyak hal, keputusan sebenarnya tergenggam
dalam tangan perempuan yang dianggap lemah
serta kurang akal.
lnes mulai berpikir. Cinta, tidak didambakan
nya. Kesepian memang tidak perlu dibiarkan
lama lama bertamu. Sebaiknya diusir kalau
mungkin. Membalas dendam, kalau mungkin, oh
alangkah nikmatnya. Walaupun itu dikutuk oleh
nenek moyang. Tapi mereka kan tidak disakiti
hati oleh Kino, jadi tentu saja takkan mengerti
nikmatnya membalas. Perlunya membalas.
Betulkah dia seceroboh itu Bagaimana pendapat Cempaka Tobi dan Beni tak perlu dirisaukan. Mereka masih terlalu kecil. Untuk mereka,
cukup bila selalu ada penganan enak, baju bagus,
dan uang jajan.
Tapi, Cempaka Setelah lnes bersusah payah
menahan perasaan demi supaya anak itu jangan
melukis kenangan pahit dari ayahnya dalam hati,
apakah dia sendiri akan membiarkan anak itu
menj adi getir karena tindakannya
lnes tidak mau masa remaja anaknya menjadi fasko. Gagal. Cukup sudah kegagalannya
memperpanjang rajutan cintanya bersama Ar
289 man. Lebih dari cukup kemalangan menyaksikan
ayahnya selemah itu.
Ibunya harus kuat. Juga dalam menghadapi
godaan untuk membalas dendam. Begitu pikir
lnes pagi itu, setelah disalami oleh Bos Mardi
ono, sekaligus diberi tahu bahwa dia telah me
mesan tempat untuk melihat pameran mode nanti
petang.
Hari itu Sabtu. Kantor dibuka sampai pukul
dua belas. Pegawai kantor yang jumlahnya sebelas orang itu di luar lnes sudah sama sama
tahu, bahwa bos sering bepergian dengan sek
retaris baru.
lnes bukan tidak tahu, ketiga pembantunya
iri padanya. Mereka sudah lebih lama dan lebih berpengalaman. Jadi berharap sangat akan
diminta menggantikan sekretaris kepala yang
berhenti. Tahunya yang masuk, seorang wanita yang kecuali cantik, tidak menyimpan modal
apa apa dalam otaknya. Tapi lnes belajar dengan
giat dan cepat. Itu harus mereka akui. Kebiasaannya membawahi tiga anak, membuatnya tidak
kikuk membawahi tiga orang sekretaris yang
masing masing mengurus usaha mebel, bengkel
reklame, serta pabrik limun.
Hari hari pertama lnes di kantor penuh co
baan. Selain tiga wanita angker tersebut, masih
ada tiga gadis remaja yang menjadi pengetik.
Ulah mereka kadang-kadang keterlaluan, sehingga menyebalkan. Belum lagi bila mereka sudah
saling berbisik, lalu tiba tiba cekikikan seakan
290 ada yang lucu.
Tiga orang laki-laki yang mengurus pembukuan serta keuangan, tidak pula kekurangan
prakarsa untuk menguj i mentalnya. Seloroh ga
dis gadis itu selalu mereka sambut dengan tambahan minyak dan api.
Untunglah, opas pesuruh dan pembantu dapur
yang bertugas memasak air serta membersihkan
ruangan, sudah sejak hari pertama dikaitnya ke
pihaknya dengan sekadar persen yang terus berulang pada waktu waktu tertentu.
Yang menolongnya mempertahankan harga
diri adalah ijazahnya dari ABA jurusan Inggris.
Kesembilan pegawai lainnya payah sekali bahasa
Inggris mereka yang cuma berkisar sekitar juduljudul hlm serta lagu.
Tibalah saatnya mereka harus membalas sepucuk surat dari Singapura yang berminat mem
beli limun. Nyonya Ida yang mengurus hal ihwal
limun, usianya sekitar pertengahan tiga puluh.
Tepatnya berapa, itu rahasianya, seperti kebiasaan perempuan-perempuan kita yang gemar
menyembunyikan tanggal lahir.
Badannya gemuk. Katanya, karena sudah dua
kali melahirkan. Dia tidak tahu, Ines yang masih
langsing, beranak tiga. Wajahnya bulat dan man
rs. N ah, hari itu dia kelabakan. Surat berbahasa
asing belum pernah diterimanya selama tiga tahun dia bekerj a di situ. Selama ini, pesanan cuma


Sembilu Bermata Dua Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

datang dari dalam negeri. Mau dibuangnya ke
291 keranjang, bos sudah terlanjur membaca surat itu.
"Ida," katanya tadi, "balas surat itu hari ini
juga!"
"Dalam bahasa Inggris " tanyanya ngeri.
"Ya."
Ida hampir tidak percaya bahwa dia begitu
sial. Ines juga mendengarnya. Mardiono merupakan sumber kekaguman. Di depan perempuan,
bila sudah mau berceloteh masalah pribadi, dia
menjadi kikuk dan sibuk menggapai-gapai udara,
seakan dari situ datangnya kata kata yang mau
diutarakannya. Tapi dalam soal pekerjaan, dia
dapat tegas. Pandai pula membentak.
Lambat-laun lnes tahu, laki-laki itu cuma
punya satu hobi. Mencari uang. Dia tidak suka
perempuan, tidak suka makanan enak, tidak suka
buku, tidak suka pohon, tidak suka binatang, tapi
dia suka uang. Mungkin sudah lama disadarinya, bahwa uang akan meluruskan ketimpangann
ya, akan membukakan segala pintu baginya, dan
akan membuat orang menyukai caranya mengais
udara mencari sepatah kata.
Ida tampak menekur di mejanya dengan wajah kusut. Surat yang harus dibalasnya itu sejak
tadi terbentang licin di depannya, belum tersen
tuh. Ines dapat menduga sebabnya. Sebenarnya
itu bukan urusannya. Peduli amat bila dia tidak
mampu. Apalagi dia begitu garang menyambutnya dulu, dengan tertawa menyindir-nyindir.
Dilihatnya Nuri meliriknya. Ines diam saja.
Ingin dia bersyukur, tapi kemudian dipikirnya
292 lagi, bila dia ingin betah di situ, harus dijadikannya mereka itu sahabat. Sebagai pendatang baru,
dialah yang harus mulai mengulurkan tangan.
Dulu memang semuanya enggan menjabat
tangannya. Tapi sekarang Lihat saja, pikirnya.
Tiba istirahat siang. Semua perempuan di
ruang itu sudah keluar. Bagian keuangan kantornya di ruang sebelah, di mana ketiga gadis
remaja itu sudah asyik bergurau dengan para bujang sebelum pergi makan.
Ida tampak bangkit dengan lesu, mendengar
ajakan rekan rekannya berkali kali. Ines berdi
ri. Langkahnya ragu ragu menghampirinya. Dia
tersenyum.
"Dik Ida, barangkali saya dapat membantu suratnya... "
Sepenarikan napas Ida tampak kaget, kemudi
an cepat sekali sekuntum senyum mengembang.
Matanya memancarkan terima kasih yang meng
harukan.
Sejak itu, lnes diterima oleh mereka semua.
293 X api suksesnya di bidang kerja tidak
diimbangi dengan kebahagiaan batin.
| Malam hari bila sulit tidur, pikirannya
pasti akan hilir mudik menerawangi masa lalu.
Bila malam kebetulan bulan penuh, dicobanya
mengusir bayangan itu dengan sinar keperakan
yang menyelinap masuk lewat j endela. Dibukanya
tirai jendela dan dipandanginya purnama sambil
berbaring. Dia mencoba sibuk menyusun hari
depan anak-anaknya. Tobi katanya ingin menjadi
penerbang. Mau melihat dunia asing. Beni, masih
belum menentu. Sebentar mau jadi pelaut. Besok
mau jadi dosen.
Cempaka masih tetap menjadi persoalan.
Hatinya makin hari makin tertutup. Makin asyik menganyam untuk Nyonya Hamid. Sambil pergi kuliah seperti biasa. Namun tidak ada
teman-temannya yang singgah. Setelah Annan,
sebenarnya Ines berharap akan melihat wajah
baru. Misalnya Mido atau yang lain, yang dulu
pernah muncul.
Nihil. Cempaka tidak pernah cerita-cerita lagi
soal kampus. Sesekali terdengar jerit Tobi, "Cempaka, telepon untukmu." Kadang-kadang mau
dia menerima, tidak jarang tapi, dia mendelik
sambil menggelengkan kepala, sehingga Tobi
atau lebih sering lnes sendiri, tersipu minta maaf
294 sebab ternyata "Cempaka belum pulang".
"Kenapa kau begitu " tegur Ines lembut, tapi
dia tidak mau memarahi.
Cempaka cuma menjawab dengan gerakan
bahu yang apatis. lnes sering kali berpikir. Ar
mankah atau ayahnya yang telah membunuh
kegairahannya
Gadis itu masih terus menghindari ayahnya
seakan dia membawa penyakit cacar. Kino masih
muncul sekali sebulan. Kelihatan kurus, tapi
tidak pernah mengeluh dan Ines juga tidak bertanya apa apa. Malah sudah dua kali dia sengaja
keluar makan bersama Mardiono, ketika Kino
menelepon esok akan datang. Entah mengapa
dilakukannya itu
lnes mengaku dalam hati, harga dirinya setinggi Gunung Kinibalu. Bila tengah sendirian
ditemani senja atau ketika lelap tak juga tiba,
hatinya merindu. Oh, sangat. Dia ingin mendekapnya. Ingin didekapnya. Ingin mendengar bisi
kan serta bujukannya. Ingin semuanya surut ke
belakang, ke masa tanpa nama maut yang telah
menj ebak cinta suaminya.
Tapi, oh tapi, begitu matahari muncul meny
ibak tirai malam, begitu pula kejengkelannya
terjaga kembali. Lebih-lebih bila terpandang
olehnya wajah kusut Cempaka. Rasanya berabad
yang lalu wajah itu selalu ramai dengan, senyum.
Bibirnya yang mungil tak henti berceloteh atau
berdebat dengan Tobi. Sekarang, memekik pun
tidak lagi dia bila melihat tikus yang paling dita
295 kutinya.
lnes tidak mau anaknya menjadi dewasa
setelah melalui padang pasir yang penuh dahaga.
Dia ingin gadis itu berlenggok santai di padang
rumput, sambil sesekali berhenti menghirup har
umnya bunga atau menari memuj i alam atau ber
baring-baring menyusun hari depan. Dia ingin,
mereka semua menyertai Cempaka di padang
rumput menuju ke kedewasaan.
Karena itu dia jengkel nian pada Kino. Sebaliknya dari rindu, dia malah ingin menunjukkan
bahwa Kino tidak lagi berarti apa apa baginya.
Gelombang perasaannya sudah dimonitor oleh
pemancar lain. Dan itu ditunjukkannya dengan
meninggalkan rumah kala laki-laki itu datang.
"Tidak di rumah " tanya Kino kurang percaya. "Bukankah kemarin sudah Papa telepon "
Tobi mengangkat bahu. Beni ikut-ikutan.
"Mama biasa pergi dengan Oom Ono," kata
Tobi.
"Ya, biasa," ikut Beni.
Cempaka mengurung diri dalam kamar dan
mendengarkan.
"Sering "
Sejenak kedua anak itu berpandangan. Entah
dari mana datangnya ilham itu, Tobi tiba tiba
merasa bahwa ibunya akan sangat senang bila dia
mengangguk.
"Sering," angguknya.
"Ya, sering," Beni membeo.
Sebenarnya anak itu masih terlalu muda un
296 tuk mengerti. Tiga belas tahun cuma mampu
menangkap bahwa ayah kawin lagi dan orang tua
bercerai. Tapi Tobi yang lima belas, sebenarnya mengerti lebih banyak dari perkiraan orang.
Dia mengerti bahwa Ayah telah menyakiti hati
Mama. Bahwa sebuah nama maut telah memi
sahkan ayah dari ibunya. Bahwa ibunya senang
bepergian dengan Oom Ono. Bahwa ibunya sore
itu sengaja pergi.
"Siapa Oom Ono "
"Oom Ono itu pemilik toko mebel, bengkel
besi, dan pabrik limun. Dia kaya sekali!"
"Ya, kaya sekaliiii."
"Siapa dia !" hardik Kino.
Tobi memandang ayahnya tenang, menunjukkan bahwa dia tidak kena digertak, bahwa hak
ayahnya untuk menghardik sudah lewat.
"Bos Mama," sahutnya dengan nada setengah
menantang: lantas Papa mau apa.
Kino meletakkan sampul coklat yang
dibawanya ke atas mej a,
"Berikan ini pada ibumu," katanya, lalu pulang dengan wajah merah padam.
"Seperti kepiting setengah matang," kata Tobi
menambahi cerita kakaknya ketika lnes pulang.
Cempaka melaporkan semua yang didengar
nya sementara kedua adiknya menambahi apa
yang mereka lihat.
"Papa marah " tanya lnes.
"Rasanya begitu."
"Ya, begitu."
297 "Ben, jangan suka membeo," tegur lnes
menggeleng. "Punyalah pendapat sendiri."
"Tapi Papa memang kelihatan marah!"
tukasnya.
"Memang," kata Tobi, "amplop itu pun dibantingnya."
"Ya, di..." Beni tersenyum menutup mulutnya
kembali melihat lirikan ibunya.
lnes tersenyum meraih Beni, memeluknya
seraya mengacaukan rambutnya.
"Jangan kusutkan rambut saya, Mam."
"Nah, begitu. Punya pendapat sendiri. Jangan
mengekor terus di belakang abangmu."
"Mama gembira malam ini," cetus Cempaka
seakan itu berkaitan dengan kencan ibunya.
"Ah, Mama senang anak-anak Mama pandai
membela Mama," katanya, tapi pada detik yang
bersamaan merasa berdosa telah menyakiti Kino,
karena itu lekas disambungnya, "Sekarang kalian
harus tidur."
"Tunggu dulu," sela Cempaka, "aku ingin
bercerita."
"Wah," seru Tobi. "Cempaka mau..."
"Tobi!" tegur lnes, "ceritalah."
"Ah, sebenarnya bukan cerita."
Cempaka memandang ibunya seakan menim
bang nimbang.
"Ceritalah," desak ibunya, "apakah Tobi dan
Beni tidak boleh dengar "
"Wah, Mama sentimen," protes Tobi, lalu pindah duduk dari kursi rotan ke sofa di samping
298 kakaknya.
Cempaka tidak mempedulikannya. Matanya
tidak lepas dari wajah ibunya. Kepedihan yang
lembut tergambar di situ dengan j elasnya. Seakan
dia siap menangis.
"Marn, tadi aku ketemu Papa dan istrin
ya di Ratu Plaza. Papa sekarang tidak lagi naik
motor. Mobilnya bagus. Tampaknya masih baru.
Berkilat."
"Tadi dia naik motor kemari" sela Tobi.
"Barangkali sekarang dia punya motor dan
mobil," kata Ines tenang, padahal dalam hati
cuma Tuhan yang tahu.
"Mam, mintakan saya motor kalau lulus nanti,
ya," kata Tobi yang agaknya takkan tenang sebelum rengekannya terkabul. Sudah hampir setahun
lamanya didendangkannya lagu itu.
lnes mengangguk saja. Saat itu perhatiannya
cuma untuk Cempaka.
"Seperti apa rupanya Cantik "
"Ah, biasa. Bedaknya tebal dan gincunya
merah seperti api. Alisnya dicoreng hitam pekat.
Rambutnya dikeriting panjang, terurai ke bahu.
Pendeknya, Mam, soleknya menakutkan. Aku
heran bagaimana Papa bisa terbius olehnya Wajahnya juga tidak ayu. Cuma lumayan. Matanya
besar, dilukis. Hidungnya kecil. Bibirnya tebal
bertahi lalat. Tidak ada yang menarik hati kecuali
mungkin, perhiasannya. Anting anting, kalung,
dan gelang."
lnes menarik napas dalam. Tobi dan Beni
299 menganga mendengarkan kisah kakaknya.
"Dia sudah melahirkan. Perutnya tidak gendut," sambung Cempaka.
"Ya, mestinya sudah," angguk Ines merenung
seperti menghitung.
Sudah hampir sepuluh bulan mereka berpi
sah, pikirnya. Ya, Tuhan, sungguh ajaib bahwa
aku masih juga hidup. Tanpa cintanya. Tanpa pelukannya. Cinta yang kadang-kadang aku tolak
dan pelukan aku tepiskan. Kini, apa yang takkan
aku lakukan untuk memperolehnya kembali. Tapi
penyesalan memang selalu terlambat datangnya.
Seperti kereta api kesiangan yang mendapati per
on sudah kosong. Jadi, anaknya sudah lahir. Jadi
anak anakku mempunyai saudara tiri. Laki-laki Perempuan Tidak! Takkan kutanyakan. Ah,
mengapa hidup ini tidak pernah mulus, keluhnya. Mengapa yang terjadi selalu berlainan dari
rencana. Seandainya dia tahu, oh, akan dihidan
gkannya pesta besar bagi suaminya tiap malam.
Seandainya dia dulu tahu bahwa suaminya takut
kehilangan kemudaannya. Seandainya dia tahu....
"Apakah dia melihatmu Maksud Mama,
Papa "
Cempaka menggeleng.
"Papa berjalan cepat cepat saja, menarik len
gan istrinya."
Cempaka keliru. Justru karena melihatnya,
ayahnya jadi bergegas mau pergi dari situ secepatnya. Kino mendadak jadi malu melihat anaknya yang hampir seumur dengan Kastaneda. Kare
300 na itu ketika tadi sore datang dengan amplop, dia
juga tidak berani menanyakan di mana Cempaka.


Sembilu Bermata Dua Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mau apa kau ke Ratu Plaza "
"Ah, iseng bersama kawan kawan. Ada yang
mau beli baju atau tas. Tapi harganya selangit.
Kalau begitu, Papa kaya bisa mengajak istrinya
belanja ke sana."
"Kan sudah punya oto," nyeletuk Tobi.
"Sudah. Sudah. Cukup sekian," kata Ines
bertepuk tangan, "mari kita istirahat semua."
Ditolehnya anak gadisnya dengan senyum tersimpul. Mata yang bening itu tengah memperhatikannya dengan saksama seolah mau bertanya:
tidakkah Mama kecewa atau panas atau sengit...
Didorongnya kedua anak laki-lakinya ke arah
kamar. Ditariknya lengan Cempaka agar berdiri
dan dirangkumnya bahunya dengan mesra.
"Tidurlah, ya," bisiknya manis, seraya mena
tap lembut dengan pesan: Mama tidak apa apa.
Tapi dia berdusta. Sedikit kelegaan yang diper
olehnya karena merasa telah mampu meremehkan Kino dengan meninggalkan rumah ketika dia
datang, ternyata telah tersapu hanyut oleh air bah
dari Ratu Plaza.
Kino hidup bahagia dengan Kastaneda dan
anak mereka Pikiran itu hampir tak tertahankan
olehnya. Matanya lembab. Tidurnya tidak mau
datang-datang hingga lewat tengah malam.
Di luar terdengar kentongan dipukul ronda.
Dua belas kali. Sekali. Dua kali. Lewat jam dua
barulah dia menyerah. Kantuknya menyerang
301 kembali. Lamat-lamat dilihatnya Plaza dan suaminya bekas suami bergandengan mesra den
gan Kastaneda yang bergincu merah dan berbedak, tebal....
302 XI ejak bekerja di kantor, lnes tentu saja
S tidak lagi membuat kue untuk jualan. Juga
pesanan sulaman yang sudah terlanjur
diterima, dioper lagi pada tetangga yang biasa
membantunya menjahit.
Sebaliknya Cempaka. Amat giat menganyam
permadani seakan tak puas puasnya. Walaupun
dia harus bersin berkali-kali menghirup debu benang-benang wol, namun dia tak mau berhenti.
Diambilnya selendang ibunya dan dililitnya sekeliling wajah menutupi hidungnya.
"Awas kuliahmu," ibunya mengingatkan.
"Jangan khawatir," sahutnya tersenyum.
Dan malam itu dimintanya lnes membantu
pekerjaannya, sebab dia harus belaj ar untuk ujian
mendatang. Nyonya Hamid sudah memesan berkali-kali, bahkan menelepon juga, bahwa hiasan
dinding itu harus selesai sebelum tanggal empat
belas Juli, jadi empat hari lagi. Rupanya dipesan
untuk hadiah ulang tahun.
Motifnya indah. Karangan bunga sepanjang
sembilan puluh sentimeter, mempergunakan
sebelas warna. Sudah dua pertiga selesai.
lnes menusukkan ujung pena berkait itu,
memasukkan sehelai benang yang cocok, me
nariknya lalu menyimpulnya. Pekerjaan itu amat
santai. Tidak perlu konsentrasi dan merupakan
303 penenang yang mujarab.
Sesekali diliriknya ketiga anaknya yang
duduk berserak di sekitarnya. Beni asyik menulis di meja. Tobi duduk di kursi empuk dengan
kedua tungkai terangkat tinggi-tinggi. Dia tidak
mau duduk rapi macam nenek nenek, katanya.
Cempaka menggulung diri dalam kursi empuk
juga.
Senang hatinya. Lega melihat mereka sehat
semua. Bangga dengan kemajuan setiap anak
di sekolah. Gembira. Barangkali dia toh harus
melupakan Kino habis habisan. Mereka tidak
kurang suatu apa pun tanpa dia. Dengan dia, tentu saja, musik bidadari akan bergema tiap hari,
tapi di dunia ini mungkin tidak ada kebahagiaan
yang bulat dan penuh. Mesti selalu ada lecet dan
koreng sehingga bulatan itu cacat sedikit. Dan
yang sedikit itu yang akan mengingatkan manusia kepada Tuhan.
Menj elang pukul delapan Cempaka masuk ke
kamarnya. Tapi ayahnya tidak menelepon. Lewat
lima menit pukul delapan dia keluar lagi menyertai yang lain-lain melihat warta berita di TV.
"Kenapa Papa tidak menelepon " tanya Beni
yang paling sayang pada ayahnya.
Cempaka mendengus. Tobi tidak peduli sebab dia tengah asyik mendengarkan hasil hasil
pertandingan olahraga.
"Barangkali sibuk," sahut lnes membayangkan Kino yang repot ketika Cempaka sakit. Dulu.
Dulu sekali. Ketika matahari ada selalu tiap hari.
304 Barangkali bayi mereka kini masuk angin.
"Barangkali Papa sakit."
lnes tidak menyahuti. Dia menunduk berpura
sibuk dengan sehelai benang yang salah masuk.
Beni memang kelihatan amat kehilangan ayahnya. Anak seperti dialah yang paling menderita
pada perpisahan orang tua seperti sekarang. Dia
mencintai Ibu, tapi juga mencintai Ayah. Tinggal
hanya bersama yang seorang Ayah atau Ibu
takkan memuaskan hatinya. Dia ingin berada di
antara keduanya dari waktu ke waktu.
Barangkali akan diusulkannya agar Beni dap
at berlibur di rumah ayahnya. Bila Kastaneda
tidak keberatan.
"Mam, bagaimana ya bila aku meneleponnya " tanya Beni.
lnes merasa perih dalam hati melihat pend
eritaan anaknya. Dan semua itu gara garanya.
Kalau saja dia lebih bergairah menanggapi sua
minya! Kalau saja dulu dia tidak di shock oleh
pembantunya dengan cerita yang bukan bukan!
Kalau saj a ibunya mau menerangkan bahwa perkawinan adalah salah satu keindahan dunia, dan
bukan kejijikan!
Tapi dia sudah terlanjur kena shock. Sudah
terlanjur merasa jijik. Sudah terlanjur merasa
bersalah setiap kali diaj ak bersenang senang oleh
Kino. Sudah terlanjur menganggap bahwa langkah seorang perempuan terhormat akan terhenti
pada kandungannya yang terakhir. Setelah itu
ya, setelah itu, dia tidak lagi bersedia "menji
305 jikkan dirinya". Jarang-jarang, ya. Tapi dengan
terhormat. Artinya, pasif saja. Sebab perempuan terhormat tentu saja tidak diharapkan berjingkrak jingkrak di peraduan. Terlanjur sudah
dia mencetak pengertian dan tabu tabu itu di atas
benaknya. Sulit mencongkelnya kembali. Tapi
dia telah memutuskan, Cempaka akan diberinya
pengertian yang benar. Dalam waktu dekat, dalam liburan nanti, dia akan bicara serius, berduaan dengan Cempaka. Gadisnya yang tersayang
tidak boleh kehilangan suami hanya karena mata
hatinya dibutakan oleh seorang pembantu yang
tidak sengaj a.
Ah, seandainya semua itu cuma kisah film
yang dapat diputarnya balik. Dia pasti akan mengubah perannya. Apa saja akan dilakukannya asal
Kino tidak terlempar ke dalam pelukan orang
lain.
"Tunggulah sampai warta berita selesai," sahutnya.
Warta berita pun selesai. TV dipadamkan.
Dengan rupa tegang dan serius Beni menjang
kau telepon, setelah lebih dahulu mencari nomor
ayahnya lalu mencocokkannya dengan ingatan.
Ines memperhatikan jari-jari kecil itu berkali-kali memutar, membentuk lingkaran. Lalu
pesawat diangkat dan didekatkannya ke telinga.
Ada beberapa detik anak itu berdiri menanti. Pipinya sedikit memerah karena debur jantungnya
meningkat.
Kemudian, dengan rupa kecewa dan terpaksa,
306 diletakkannya kembali tangkai pesawat. lnes lekas menunduk, seakan sibuk.
"Rupanya tidak di rumah," gumam Beni. Suaranya kesal. Atau khawatir Mungkin dia kesal,
mengira ayahnya melupakannya.
"Tunggulah sebentar lagi," hibur Ines sambil
meraihnya dan mengecup keningnya sesaat.
Pintu pagar terdengar dibel orang.
"Nah, ada tamu," kata Ines mendorong Beni
ke luar. Anak itu mengambil rangkaian kunci dari
gantungan lalu berlari.
Dari tempatnya di ruang duduk, Ines mendengar pintu kaca dibuka. Lalu langkah langkah kecil di pelataran semen. Lalu suara gembok pagar
diputar. Kemudian suara Beni yang kedengaran
heran, tapi tidak jelas apa yang dikatakannya.
"Tobi, lekas lihat," serunya.
Tobi baru sampai ke ruang depan, ketika dia
lari balik.
"Papa!" Suaranya sedikit terengah.
"Oh." lnes tidak berkesempatan melahirkan
lebih banyak kata, sebab Kino telah berada di
hadapannya, digandeng Beni.
Untuk menenangkan hati, lnes sengaj a menan
yakan Beni, apakah pintu pintu sudah dikuncinya kembali. Anak itu mengangguk, menunjukkan
rangkaian kunci di tangannya yang segera digan
tungnya di sebelah kalender.
Barulah kini ditatapnya Kino. lnes sedikit
terkejut. Laki-laki itu lebih kurus dari yang diingatnya. Bulan lalu mereka tidak ketemu. lnes
307 ada kerja lembur ketika Kino datang. Tapi yang
mengejutkannya adalah waj ahnya.
"Ines." Suaranya tegang dan penuh emosi.
"Ah, malam amat. Duduklah," undangnya.
Waj ah Kino kelihatan seperti milik penjudi yang
kalah jutaan rupiah. Matanya yang lesu tampak
cekung seakan dikais-kais cakar penderitaan.
Beni dengan cepat menyorongkan kursi
empuk yang tadi diduduki Cempaka. Begitu
mendengar suara Tobi tadi, gadis itu segera bangkit menyuruk ke dalam kamarnya.
Kino menghempaskan diri ke dalam kursi
dengan senyum lega terkembang samar. Barangkali dia mula-mula takut, takkan diterima dengan
baik oleh lnes. Senyumnya bertahan mendengar
tawaran lnes.
"Mau minum teh atau kopi "
"Kopi saja, kalau tidak berabe," sahutnya pe
nuh terima kasih.
"Biar saya yang buat, Mam," kata Tobi sebe
lum ibunya bangkit.
lnes tidak jadi meletakkan pena berkait yang
tengah digenggamnya. Dia mengangguk. Tobi
sudah tahu kopi ayahnya: dua sendok teh kopi
instant dengan satu sendok teh gula, tanpa susu.
Beni berdiri di belakang kursi ayahnya, bertumpu pada bagian atas punggung kursi yang em
puk berwarna hijau. Dengan dagunya ditopang
kedua telapak tangannya dia tampak menantikan
reaksi ibunya.
lnes tidak membenahi pekerj aannya, sebab dia
308 masih harus menyelesaikan paling sedikit sepuluh baris lagi, bila itu harus selesai dalam empat
hari. Tapi diberinya perhatiannya pada tamu.
"Kau tampak tegang. Ada apa Aku harap bu
kan kabar buruk."
Laki laki itu menggosok gosok telapak tan
gannya. Kemudian membuka-menutup mereka
seakan-akan itu ritual yang akan menjawab pertanyaan lnes. Dan memang perhatian perempuan
itu terarah pada mereka. Kepalan kepalannya
kecil, barangkali tidak lebih besar dari kepalan
Tobi. Jari-jarinya kurus dan panjang, hampir
mirip jari tengkorak.
"Sakitkah kau "
Tobi muncul. lnes menyuruh Kino minum
dulu untuk menghangatkan badan dan mengusir
semua perasaan tidak enak apapun jua yang
bersemayam dalam hatinya.
Laki laki itu menurut.
"Kau tidak sakit bukan " ulang Ines setelah
itu. "Tidak. Tapi kepalaku pusing. Bolehkah aku
bermalam di sini "
Mendadak Ines tahu, Kino telah bertengkar
dengan istrinya. Tobi dan Beni juga serentak
menjadi tegang. Ibu mereka seakan dapat meli
hat kedua pasang telinga itu menjadi lebih tegak,
seperti antena yang melejit lurus ke atas, guna
menangkap lebih banyak suara.
"Tentu saja. Di belakang ada kamar kosong.
Nanti aku beri alas."
309 "Terima kasih."
Sedetik tadi, lnes mau menawarkan kamar
mereka yang dulu. Tapi segera juga dia teringat,
bahwa itu tidak pantas. Secara hukum mereka
tidak pantas sekamar lagi, walau bagaimanapun
didambakan oleh salah seorang.
Beberapa menit lamanya semua membisu.
lnes meneruskan anyamannya, sementara Kino
memperhatikan. Lalu dihirupnya kembali kopinya, kemudian menoleh.
"Mengapa kalian belum tidur Bukankah be
sok harus sekolah "
Tobi mengerti, orang tuanya ingin bicara empat mata. Digamitnya adiknya. Diucapkannya selamat malam, lalu dibereskannya buku-bukunya
di atas meja. Suasana tetap hening setelah kedua
anak itu menghilang.
lnes tidak tahu harus mulai dengan pertan
yaan apa. Pikirannya beterbangan ke mana ma
na, seperti sobekan sobekan kertas tertiup angin.
Untung pekerjaannya tidak memerlukan konsentrasi.
"Asyik betul. Kaubuat untuk siapa " terdengar suara Kino akhirnya.
"Ah, ini pesanan Nyonya Hamid. Harus selesai empat hari lagi." Ines lega, pembicaraan su
dah, mulai.
"Jadi kau... menerima upahan " Suaranya getir.
"Ah, tidak." Ines tersenyum mengangkat wajahnya. "Iseng. Cempaka iseng. Tadi dia minta
310 aku membantunya."
"Ah, anak itu. Masih marah rupanya padaku."
"Tidak... dia mau ujian. Sejak sore ngeram di
kamar," katanya berdusta.
Hening lagi. Angin pun berhenti. Udara terasa
lembab dan panas. Bahkan para tonggeret tidak
mau bernyanyi. Ines menawarkan biskuit. Kino


Sembilu Bermata Dua Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengatakan, dia tidak lapar.
Hening lagi.
"Kau masih bekerja " tanyanya semenit
kemudian.
"Masih."
"Di tempat yang biasa "
"Ya."
"Di mana itu sebenarnya Aku sudah lama ingin tahu, di mana kantormu."
"Ah, di jalan Anu. Pembuat reklame "Cahaya
Nada". Tahu, kan Katanya sudah beberapa kali
kantormu memesan papan reklame di situ. Sebe
lum aku bekerja."
"Hm, ya. Mungkin. Yang anu... pemiliknya
bernama Mardiono "
Dan melihat anggukan Ines, Kino juga mengangguk. "Betul. Kami langganannya. Bagaima
na kau sampai ke sana "
Wah, ingin tahu betul jiwa yang satu ini, pikir
lnes. Dipandangnya Kino. Dua puluh tahun yang
lalu bibir yang pucat itu telah membisikkan janj i
setia ketika melingkarkan sebentuk cincin pada
jari manisnya. Ke penjuru angin manakah janji itu kini sudah pergi Tidakkah tersisa sedikit
311 pun "Mardiono dulu pernah pernah... begitulah... menaruh hati padaku."
"Bukankah istrinya sudah meninggal "
Cemburukah dia, pikir Ines.
"Ya. Lima tahun yang lalu," katanya sambil
menusukkan pena ke dalam kanvas. Kino terdiam. Apakah betul dia cemburu Laki-laki itu biasa membungkam bila sebuah pembicaraan telah
mengambil arah yang tidak disukainya. Salahnya
sendiri. Mengapa mencakar cakar di tumpukan
sampah! Terciumlah bau busuk yang membuat
nya muak.
Tapi Ines juga ingin tahu, mengapa dia kabur
dari Kastaneda.
"Kalian bertengkar " tanyanya ringan saja,
seperti laku seorang ibu yang ingin menjadi juru
pendamai di antara anak dan menantunya.
"Ya," keluhnya.
lnes tidak bertanya lebih lanjut. Biarlah Kino
memutuskan sendiri akan menceritakan sebabnya atau tidak.
Suasana menjadi lengang. Detak-detik lonceng tembok terdengar memekakkan telinga.
Sedemikian kakunya hati kedua orang itu. Mere
ka tidak tahu harus bersalaman dari kiri atau
kanan.
Akhirnya Kino tidak tahan. Dimuntahkannya sekalian isi perutnya. lnes tidak mengangkat
mukanya selama mendengarkan. Dia khawatir,
wajahnya akan mengkhianati dirinya, seperti hat
312 inya.
"Menurut pembantu," didengarnya suara
Kino. "Kastaneda sering didatangi seorang laki laki. Aku sendiri belum pernah memergokinya. Aku juga takkan keberatan istriku ditengok
orang. Tapi kenapa dia mesti berahasia Ketika
aku tanyakan, dia membantah. Esoknya, pembantu malah diberhentikan. Jadi jelas, dia berdusta. Ketika aku desak, dia malah berang. Perabotan dihancurkannya dan aku dilemparnya ke
luar rumah!"
lnes menarik napas. Persis seperti seorang ibu
mendengarkan musibah rumah anaknya.
"Lalu apa yang akan kaulakukan "
"Aku tidak tahu."
"Tapi kalian harus berdamai lagi."
"Haruskah Segan rasanya."
"Pertengkaran antara suami dan istri adalah
lumrah," kata Ines dengan nasihat yang aduhai,
padahal dalam hati dia menangis.
"Ines, sudah aku bilang, aku tidak mencintainya. Tidak pernah."
[nes menghela napas. Apalagi, selain itu Berbulan bulan dilaluinya malam penuh air mata.
Penuh sesal. Ternyata Kino juga menderita. Ba
rangkali inilah yang disebut nasib. Mereka sebenarnya dapat mencegahnya. Misalnya bila dia
tidak terlalu dungu. Atau Kino dapat menahan
nafsu.
"Ines, aku tahu engkau menderita karena perpisahan kita. Engkau sakit hati. Aku mengaku
313 salah. Ampuni aku. Tapi Ines, percayalah, yang
menderita bukan cuma kau seorang. Aku juga.
Aku juga. Malah mungkin lebih dari kau. Aku
masih harus kehilangan anak anak dan dan...
cinta dari Cempaka. Perasaanku koyak koyak,
sebagai ayah tidak lagi dihormati...." Kino ter
isak.
lnes tidak berdaya menahan tumbangnya
perasaannya. Dua butir air mata berjatuhan ke
atas benang-benang wol. Mereka tidak terserap,
tapi tinggal bergelimang bening, bersisian di atas
warna biru muda.
"Ines, perpisahan ini merupakan sembilu bermata dua bagi kita. Melukaimu. Melukai aku
juga. Seandainya semua ini dapat diubah, Ines.
Seandainya kita dapat kembali ke masa lalu
aduh, Ines, tidak ada yang tidak akan aku laku
kan. Menyeberangi lautan api atau apa saja."
"Janganlah menengok ke belakang. Engkau
sudah memusnahkan jembatan hati kita. Teruslah
berjalan. Pantang kembali."
Ah, betapa hebatnya kepura puraan, pikirnya getir. Berlaga menasihati sementara hati
ditusuk tusuk sembilu demikian pedih. Betapa
inginnya dia menghambur ke dalam pelukan
laki laki itu. Tapi dia tetap duduk menganyam
sambil sesekali menyeka air matanya yang ber
urai-burai.
"Apa yang harus aku lakukan " tanya Kino
putus asa.
"Kau harus kembali pada istrimu."
314 "Ah." Lenguh pendek yang cuma muncul ketika seseorang menyadari, dia sudah tiba di ujung
sebuah jalan dan tak mungkin kembali.
lnes tidak tahan memperpanj ang penderitaan
mereka. Mengapa saling menelanjangi penderitaan masing masing, bila itu semua cuma men
garah ke tepi jurang Memang dia belum, dapat
melupakan Kino, tapi pelan dan pasti, dia tengah
mulai menutup lembaran perkawinannya helai
demi helai dengan menyibukkan diri. Dengan
memikirkan tentang anak anak melulu.
Dia tidak mau anjlok lagi ke dalam jurang
gelap yang penuh kepahitan di mana malam tak
sudah sudah menumpuk sesal ke atas hatinya
yang gersang. Tidak. Dia harus kuat. Bila Kino
lemah, biarlah dia bersandar padanya. Harus diantarnya kembali hati laki laki itu kepada yang
berhak.
"Barangkali kau sudah mau tidur " tanyanya
seraya melirik jam. "Aku akan bereskan ranjang
mu."
Dia berlalu tanpa menanti jawab. Baru dua
langkah, tiba-tiba teringat olehnya mobil Kino
yang berkilat itu. Apa dia datang bermobil Ten
tunya harus dimasukkan ke halaman.
"Tidak. Aku naik becak. Tidak sempat lagi
mengambil kunci mobil," sahutnya.
315 XII ino sudah kembali pada Kastaneda.
Hidup berjalan biasa lagi bagi kedua
| ; pihak. Cempaka tidak menanyakan
sedikit pun ihwal ayahnya. Dia seakan akan tidak
tahu bahwa laki laki itu pernah tidur semalam
di rumah mereka. Sekeras itu hati remaja yang
disakiti, pikir Ines. Dia masih belum menemukan
jalan untuk bertamu ke hati anaknya dan
mendinginkan kebenciannya terhadap ayahnya.
Telepon masih berdering tiap malam. Suara
Kino biasa saja. Mungkin dia sudah betul betul
mengisap pipa perdamaian bersama istrinya. Se
karang sudah mau lagi dia berbicara agak lama.
Malah diceritakannya juga riwayat penggelapan
uang di kantor cabang, seakan-akan lnes tidak
membaca koran. Ridwan sudah masuk penjara,
katanya. Usin masih menghilang. Ada yang bilang, dia sudah lari ke Jakarta. Bagaimanapun,
baginya telah pula disediakan sel yang dapat
ditempatinya begitu dia terciduk.
lnes masih meneruskan persahabatannya dengan Mardiono. Laki laki itu masih juga belum
mengatakan apa-apa. Namun sikapnya sudah
menjadi demikian telaten juga terhadap anakanak, terutama Cempaka sehingga lnes merasa was was setiap saat akan mendengar lamaran
berkumandang di telinga.
316 Rupanya Cempaka sama arifnya. Dia juga
merasa. Pada suatu sore yang panjang, didekatinya ibunya dengan sebuah pertanyaan sekitar
kegiatan Dewa Cupido.
"Apakah Mama serius dengan Oom Ono "
tanyanya sambil menenggelamkan diri dalam kur
si empuk dengan kedua tungkai terlipat miring.
lnes yang mengamati gerakan itu dengan takjub,
melihat kedua kakinya yang mungil menghilang
tertindih pahanya yang jenjang. Betapa semampainya gadis itu dalam celana panjang yang ketat
begitu, pikirnya kagum.
"Maksudmu "
"Mama tahu maksudku."
lnes tersenyum. Manis sekali. Cempaka bila
setengah mengajuk seperti itu. Barangkali Arman
buta, sehingga membiarkan Cempaka pergi
Dihelanya napas dalam dalam.
"Mama cuma berkawan saja dengannya."
"Kenapa Bukankah Oom Ono sudah lama
menduda Dan dia amat kaya Dan amat baik
Dan pasti juga cinta pada Mama "
"Kau tahu dari mana "
"Ah, kalau tidak, masa seboros itu dia pada
kami!" Merengut Cempaka dianggap tidak tahu
apa apa.
lnes tertawa.
"Kau bijak," puj inya; "tapi Mama tidak berniat menikah lagi."
"Kenapa " Cempaka nyaris melengking sebab kecewa.
317 "Mama tidak ingin saja. Tidak kenapa-kenapa." Ines menggeleng.
"Ah, Mama bodoh. Papa kawin lagi. Mengapa
Mama mesti makan hati sendirian Balas, Mam."
"Balas membalas itu tidak baik, Anakku. Tak
kan ada habisnya. Di samping itu, Mama tidak
makan hati. Bukankah kalian bertiga merupakan
penghibur Mama yang setia "
"Ah, Mama bodoh," gumam Cempaka lagi
dengan merengut. Rupanya tidak puas hatinya
sebab ibunya tidak mau membalas perbuatan
ayahnya.
"Papa berkhianat!" cetusnya parau ditelan air
mata yang nyaris tumpah.
lnes mendekatkan kursinya ke samping kursi anaknya. Dielusnya rambutnya yang hitam
berkilat.
"Kaka, janganlah kaubenci ayahmu. Bukan
cuma dia yang bersalah. Mama juga. Kau heran
Ya, Mama juga. Mama yang sudah menyorong
kan cintanya kepada orang lain...." lnes berhenti
untuk melihat reaksi anaknya. Sekaranglah saat
nya, pikirnya. Tobi dan Beni sedang pergi latihan
bola.
Gadis itu diam tidak bergerak. Tak ubahnya
seperti patung indah terbuat dari batu yang keras
dan dingin.
"Kaka," sambung lnes sambil mengelus kembali rambutnya, "kau sudah besar. Kau akan
mengerti apa yang akan Mama katakan. Marilah
Mama jelaskan. Dalam sebuah perkawinan, se
318 orang laki-laki dan seorang perempuan bertemu
dalam cinta lahir-batin. Cinta badan itu disebut
juga bersanggama. Sebagian orang menyebutnya nafsu daging. Beragam pula macamnya.
Bisa disebut perkosaan, zinah, atau pelacuran.
Tapi yang terjadi sama. Dua orang manusia sal
ing menumpahkan nafsu, mencari kepuasan biologis. Kau mengerti bukan, arti kata itu Nah,
umumnya dianggap, bahwa cuma laki-laki yang
mempunyai nafsu. Atau sedikitnya, Mama dengar, cuma laki laki yang dibenarkan menunjukkan
nafsunya. Kaum perempuan disuruh menunggu
saj a. Misalnya dalam perkawinan. Sebagian suami berpendapat, istri diperuntukkan cuma untuk
beranak. Sedang untuk bersenang-senang, dia
mencari WTS atau bahkan istri muda. Istri juga
diajar supaya pasif seperti batang pisang. Untuk
sebagian suami, hal itu menjengkelkan. Mereka
menghendaki istri yang bergelora dan pandai
bertamasya ke Taman F irdaus. Mama dulu diberi
tahu, bahwa perempuan-perempuan terhormat
semuanya alim dan suci. Mereka takkan pernah
menunjukkan pada suami, bahwa mereka ingin
bersanggama. Apalagi bahwa mereka menyuka
inya. Ada memang suami suami yang tidak mau
istrinya memberi usul atau meminta. Itu diang
gap mereka, lancang. Istri mesti tunggu sampai
suami datang mengecupnya. Ini semua bertolak
dari pandangan, bahwa seks itu kotor serta tabu.
Begitu yang Mama dengar. Mungkin kau juga
akan mendengarnya pada suatu waktu, dari sese
319 orang. Tapi percayalah Mama, seks dalam perkawinan adalah pengalaman yang indah dan bersih,
sebab di situ terjalin ikatan cinta batin yang penuh pengertian dan selalu mau melayani tanpa
berharap akan dilayani. Bila engkau kelak sudah
berumah tangga, janganlah ragu menunjukkan
cintamu pada suami. Jangan mengulangi kesalahan Mama."
Ines menggenggam tangan anaknya erat erat.
Dia terpaksa berhenti sebentar untuk membendung kesenduannya yang merayap rayap ke mata.
Ah, terasa disembilunya hatinya sendiri. Tapi dia
harus melakukannya demi Cempaka.
"Kaka, Papa sebenarnya orang yang baik dan
setia. Tapi sedikit lemak, seperti semua manusia
lainnya. Kita juga. Dengarlah. Dia sebenarnya
cuma minta agar Mama lebih memperhatikan
dirinya. Menjelang usia senja, setiap laki laki


Sembilu Bermata Dua Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dirayapi ketakutan akan menjadi tua dan tidak
berguna. Mereka perlu keyakinan bahwa mereka
masih tetap awet muda, masih tetap menarik. Begitu juga Papa. Dia cuma ingin diberi tahu, bah
wa dia masih menarik. Disemirnya rambutnya.
Dipakainya sepatu putih. Dikenakannya keme
ja kemej a yang warnanya seperti pakaian sirkus.
Semua itu untuk menarik perhatian Mama. Tapi
sayang, Mama lengah. Bukan Mama puji Papa.
Tapi malah Mama tertawakan. Walaupun bukan
dengan maksud jahat. Mama merasa geli. Dan
Papa ternyata tidak mau ditertawakan. Dia mencari orang lain yang mau menerima cintanya."
320 lnes mengerjap-ngerjapkan mata supaya air
matanya turun kembali ke hidung. Dielusnya
lengan anaknya. Cempaka membatu sejak tadi.
Ketika dia membuka mulut, suaranya tetap pahit.
"Papa berkhianat! Dia telah membuat malu
aku, Mam. Sampai teman-teman terkekeh mem
bicarakannya. Dan Ibu Arman yang semula baik,
sekarang mungkin benci padaku!" Cempaka
menggigit bibirnya.
"Bagaimana dengan Arman sendiri " tanyanya hati hati.
"Huh," dengus anaknya, "memang ada juga
beberapa kali dia mendekat dan mencoba ber
baikan. Tapi bila teringat pada ibunya, aku jadi
emoh dengannya. Dia seakan tidak dapat melepaskan diri dari ibunya."
"Sabarlah," bujuk lnes, mengipasi kesengitan
anaknya, "kalau dia sudah lulus, mungkin lain
sikapnya. Bagaimana dia mau lepas sekarang,
kan makannya masih ditanggung orang tuanya "
Cempaka tersenyum kecut. Dari luar terdengar suara Tobi dan Beni, masuk ke dalam rumah.
Kedua perempuan itu lekas-lekas menyimak,
pura pura bukan tengah membicarakan sesuatu
yang penting.
"Kaka," bisik Ines cepat cepat, "bila kau be
lum dapat menerima perkataan Mama tadi, sabar
lah. Pikirkan baik-baik. jangan dilupakan. Suatu
ketika mungkin kau akan mau menerimanya dan
berbaik lagi dengan Papa."
321 XIII ira-kira dua bulan kemudian datang huj an
badai di tengah malam mengantarkan
| ; Kino ke depan pintu mereka.
Semuanya sudah masuk ke kamar mas
ing masing, tapi belum ada yang lelap kecuali
Beni. Tobi baru saja layap layap tidur ayam ke
tika didengarnya bunyi klakson tiga kali. Ines,
yang kamarnya paling luar, juga mendengarnya.
Seakan di muka rumahnya, pikirnya. Tapi dia
tetap berbaring sambil berpikir, siapa gerangan.
Orang jail atau tamu sebelah yang nyasar, pikirn
ya lagi. Kemudian didengarnya bunyi pintu mo
bil dibuka dan digabrukkan kembali. Aduh, tidak
tahu adat. Ini kan sudah hampir jam dua belas!
Tiba-tiba didengarnya bunyi duk, duk, duk
yang tidak asing lagi. Itu suara gembok pagar
diguncang orang. Gembok pagar rumahnya!
lnes segera bangun sambil bertanya tanya, apa
artinya itu. Sambil mengenakan kimononya dia
tersenyum sinis. Tamu yang datang tengah malam
biasanya tidak membawa kabar baik, pikirnya. Di
luar masih terdengar suara duk, duk, duk.
Rampokkah Maling sudah pasti takkan berbunyi senyaring itu. Sejenak berkilat dalam ingatannya berita berita dalam koran yang selalu
dilahapnya tiap hari. Rampok. Di mana mana
rampok. Hatinya berdetak kacau juga sesaat. jari
322 jari tangannya yang terkepal terasa dingin.
Ketika dibukanya pintu kamar, didapatinya
Tobi sudah berdiri menanti.
"Ada orang di luar, Mam," bisiknya berpura
gagah, namun suaranya yang baru saja terjaga
lagi dari kantuk itu menggeletar ngeri juga.
"Ya," angguk lnes.
Cempaka muncul di depan pintunya. Ekor
kudanya yang terurai tanpa ikatan tampak begitu manis seperti sebuah pigura hitam kebiruan
sekeliling wajah rupawan yang lembut menahan
kantuk.
"Ada apa " tanyanya mengikat tali pinggang
kimono.
"Ada orang di luar," kata Ines, "diamlah kau
di sini. Beni jangan dibangunkan. Biar Tobi dengan Mama keluar."
"Kalau kau dengar aku teriak, lekas telepon
polisi," pesan Tobi mengiringi ibunya ke luar.
Betapa terperanjatnya lnes mendapati Kino
berdiri di sana seperti pengemis menantikan
sedekah.
"Buka semua," katanya tanpa memberi penjelasan, lalu masuk lagi ke dalam mobil. Tobi
membuka kedua belah pintu pagar lebar lebar su
paya mobil yang bagus itu dapat masuk ke hala
man. Bulan cukup terang. Seberkas sinar peraknya
mengelus lembut bagian atas mobil. Kino keluar
lagi. Ines dapat menelitinya sekarang. Wajahnya
kusut masai seperti hutan tertimpa hujan badai
323 yang hebat. Celaka, pikirnya. Pasti dia bertengkar lagi dengan Kastaneda. Mengapa dia mesti
datang kemari setiap kali bahtera rumahnya dihanyutkan badai Bukankah itu memancing
belas kasihan serta rasa iba hatiku yang pernah
luka parah Tidakkah tahu dia bahwa hati ini be
lum sembuh betul Bahwa setiap sentuhan akan
membuat luka itu menganga lagi
Oh, kasihanilah hatiku, Kino. Pergilah, pergilah ke tempat lain mengadu. Jangan kusutkan
lagi gelundung benang ketentraman yang sudah
susah payah aku pintal dalam malam malam
kelam yang sarat penyesalan.
Matanya yang indah itu. Ah, betapa iba.
Ketika mereka dulu berkenalan, matanya pula
yang telah memukau hati lnes. Di dekat semak
beluntas. Ya, di dekat semak beluntas laki laki
itu mengikih. lnes ingin lari, tapi matanya yang
indah memukau telah memakunya di tempat.
Kino, anak kos tante sebelah yang malang. Wa
jahnya kusut masai. Uban-uban telah menyembul
lagi dari tempatnya semula. Rupanya dia tidak
mengecat kembali rambutnya.
"Masuklah," undangnya.
Di dalam, Beni juga sudah bangun. Bahkan
Cempaka tidak masuk ke kamarnya kembali. Dia
berdiri jauh, dengan bibir merengut, tapi jelas
ingin tahu. Dan sekali ini Kino tidak mengusir
pergi anak-anak.
Dia duduk tanpa menunggu disilakan dan
menggoyang tangan terus menerus ketika dita
324 wari minum.
"Aku sudah putus dengan dia!" cetusnya tanpa prakata lagi.
lnes menghenyakkan diri di kursi di depannya. Tobi dan Beni berdiri di kiri kanan.
"Apa yang terjadi " Hatinya sebenarnya te
gang, tapi dipaksanya bersuara datar untuk menutupi perasaannya yang gemuruh.
"Sebenarnya pertengkaran kecil kecil. Hampir tiap hari. Hampir tiap malam. Kecil memang
kecil. Tapi lambat laun meletup juga senapan
mesin dalam kepalaku. Mula mula katanya, aku
masih cinta kau. Kemudian, katanya, aku jatuh
cinta pada pembantu baru. Lalu terakhir, dia bilang, aku tidak boleh lagi memberi uang kemari.
Aku jadi naik pitam. Aku bilang, aku akan ceraikan dia. Dia bilang, itu memang sudah lama
ditunggu. Aku bilang, anak itu aku bawa. Dia bilang, kau tahu, apa dia bilang Anak itu bukan
anakku!!!"
Kino menunduk dan mencakar cakar ubannya dengan kesepuluh jari-jarinya. lnes melongo.
Anak-anak kaget.
"Betulkah itu " bisik lnes hampir tak terdengar.
Kino mengangkat wajahnya dan menatap lnes
dengan berkas berkas kepiluan memancar dari
kedua mata indahnya yang meratap bisu meminta-minta tolong.
"Aku bilang, aku tidak percaya. Dia tertawa
nyaring. Mentah dan kering. Tahu tahu, entah
325 bagaimana bisa kebetulan begitu, tahu-tahu dari
luar muncul tamu. Rupanya, tamu yang selama
itu menjadi pangkal percekcokan kami. Dengan
lantang dia berteriak. "Inilah bapak anakku! Dia
sekarang sudah kembali padaku. Aku minta cerai.
Cerai. Cerai. Dari kau!" Bahkan bicaranya tidak
kenal sopan-santun. Apalagi tingkahnya. Aku heran, bagaimana aku dulu sedungu itu membiarkan
duniaku terhimpit di bawah telap ak kakinya. Aku
tersengat kaget melihat tamu itu. Mungkin aku
dungu, tapi ingatanku masih jernih. Wajah orang
itu pernah aku lihat. Di mana Di Tanjung Karang! Rupanya dia melihat keherananku. Dengan
congkak dia bilang, "Ya, dia memang Usin. Usin,
wakil Ridwan. Ya, yang dituduh menggelapkan
uang. Gara-gara kau rumah kami disita polisi!"
Kataku, "Ohjadi kau sebenarnya calon istrinya "
"Ya," sahutnya lantang. "Sekarang kau mau apa
Ini Usin! Kau mau adukan ke polisi Tapi aku
minta cerai, kalau kau adukan dia!" "Oh, lnes."
Kino menangkap tangan lnes dengan membungkuk ke muka. Dia seakan lupa pada ketiga hadirin
lainnya yang turut mendengar dan menyaksikan.
"Oh, lnes, betapa bahagianya aku ketika
mendengar kata itu. Cerai. Ya, itulah impianku
yang selama ini aku sembunyikan dalam hatiku,
yang koyak koyak. Cerai. Ya, cerai. Supaya aku
dapat pulang kembali padamu!"
lnes mencoba sebuah senyum ketika melirik Cempaka, namun gadis itu membuang
muka. Kino sedang mabuk berkisah. Tidak ada
326 yang dapat menghentikan luapan kata-kata yang
melompat-lompat kesenangan di ujung lidahnya.
Tidak disadarinya keadaan sekeliling yang hening tersihir oleh ceritanya, ketika dia jeda untuk
menelan liur. Bahkan air dingin yang disorongkan ke bibirnya oleh Tobi diteguknya tanpa me
raih gelasnya, seakan dia tak berlengan. Lalu secepat itu pula dia lupa, telah minum.
"Ada air " tanyanya celingukan. "Aku haus."
lnes mengelus dadanya dalam lamunan, sebab
terlalu iba melihat keadaan Kino. Tobi menatap
ibunya. lnes mengangguk. Anak itu menyorong
kan kembali gelas yang baru saja dilepasnya dari
sentuhan bibir ayahnya.
Sekali ini Kino menangkap gelas itu erat-erat,
lalu meneguk isinya habis-habis, seolah olah dia
baru saja melalui padang pasir tak bertuan tujuh
hari tujuh malam.
"Nah," katanya sebagai pengganti terima
kasih. Ditolaknya gelas kosong itu, lalu diseka
nya mulutnya dengan punggung tangannya. Wajahnya tampak puas dan lega.
"Apakah kau sudah ke polisi " tanya lnes menerj emahkan keraguan dalam kepalanya.
Kino menggeleng.
"Tidak. Aku ngebut ke rumah Bos. Aku ceri
takan semuanya. Untung dia bijaksana dan tidak
mau memecat diriku. Malah dia berterima kasih.
Polisi segera dihubungi dari rumahnya. Mungkin
sekarang orang itu sudah diciduk kalau dia belum
sempat lari." Kino melempar punggungnya ke
327 belakang dan bersandar nyaman ke kursi empuk.
Tiba-tiba dirabainya kursi itu.
"Ini bukan aku yang beli," katanya seakan
mengingat-ingat.
"Memang bukan. Mardiono kan punya beng
kel mebel. Aku beli itu separuh harga."
Kino sekonyong-konyong menoleh dengan
gerakan macam ular menatap mangsa. Matanya
juga menyempit memperhatikan wajah lnes. Air
muka perempuan itu merona kemerahan diteliti
begitu. Cepat direkahnya, sepotong senyum asal
jadi untuk sekadar mengusir kecurigaan yang ter
pampang nyata di wajah laki laki itu.
"Orang itu pasti sudah lari," tukas Ines untuk
menyambung pembicaraan.
"Belum tentu. Kalau dia memang betul cinta pada perempuan itu serta anak mereka, pasti
dilakoninya liburan dua tahun itu di balik tembok undang undang. Tapi kalian," dan disapunya
semua hadirin dengan tatapan setengah heran,
seolah-olah baru sekarang melihat begitu banyak
orang, "jangan kaget bila polisi datang. Barang
kali mereka takkan muncul. Namun, siapa tahu.
Yang jelas, bukan aku yang mereka cari. Paling paling cuma bertanya atau minta aku bersak
sr."
Cempaka menghindar dari tatapan ayahnya.
Tapi berlalu, tidak mau dia. Sebab keingintahuannya meronta-ronta minta dipuasi.
"Jadi kau akan bercerai dengan... Kastaneda " Terdengar ragu pertanyaan itu membelah
328 udara.
"Jangan sebut lagi namanya!" Kino betulbetul menghardik, sehingga Ines menggigil seketika.
"J angan sebut lagi namanya...," Kino mengu
lang dengan nada lembut, ketika dilihatnya lnes
kaget.
Dering telepon yang nyaring tiba-tiba menyergap lamunan semua orang.
"Itu dia! Jangan diambil," sergah Kino dengan sedikit khawatir.
Tapi nyonya rumah sudah berdiri dan melangkah ke meja kecil di sudut. Sepenarikan na
pas, dia sudah tiba di sana. Diangkatnya tangkai
pesawat dan dibawanya ke telinga. Semua mata
menoleh ke sana. Terlihat Ines mendengarkan
sesaat. Kepalanya agak menunduk, menghadap
ke dinding, sehingga tengkuknya yang mulus terlihat oleh Kino, menggapai gapai membongkar
kenangan lama.
Akhirnya terdengar Ines bicara.
"Mengapa Anda tidak mengatakannya sendiri
padanya "
Namun rupanya di seberang sana sudah me
letakkan kembali pesawatnya. Ines juga mele
takkannya. Terdengar helaan napasnya ketika dia
berjalan balik.


Sembilu Bermata Dua Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa katanya " tanya Kino yang tidak melepaskan lnes dari pandangan.
lnes menjatuhkan diri ke dalam kursinya.
Dilihatnya semua mata menatapnya. Pantaskah
329 mengulangi kembali semua caci-maki yang
didengarnya itu di depan anak-anak lnes kembali menghela napas. Bila dia membisu, mereka
akan lebih ingin tahu dan mungkin akan bertan
ya tanya sepanj ang masa.
"Katanya, kapan kau mau mengambil semua
pakaianmu."
Biarlah pada kesempatan lain akan diulangnya semua ucapan Kastaneda. Bila Kino memaksa. Sebab Kino segera tahu, bahwa bukan itu
yang telah didengar lnes.
Katakanlah pada tua bangka yang tidak tahu
diri itu, dia tidak usah menginjak rumah ini lagi!
Semua pakaiannya akan dikirim ke kantor!
Ya, Kino takkan heran mendengarnya nanti.
Dia akan bilang: itu sudah lembut untuk ukuran
perempuan setan itu.
Setelah tampak bahwa Kino tidak akan ber
cerita lagi, semuanya ingin lekas-lekas kembali
lagi melukis mimpi.
"Kau tidur di kamar yang tempo hari, ya,"
usul Ines.
Kino mengangguk. Bahkan dalam mobil pun
dia rela. Pokoknya, jauh dari Kastaneda.
lnes sudah bangkit, bergerak mau mengambil
seprai dan sarung bantal bersih, ketika Kino ber
kata,
"Bolehkah aku tinggal di sini "
lnes terpaku. Ditolehnya laki-laki itu.
Bibir-bibirnya yang manis kemerahan tampak
merekah seakan kehilangan akal, tidak bisa men
330 jawab.
Kino tersenyum malu. Dia memandang ber
keliling. Tobi dan Beni tengah memandang Ines.
Barangkali berharap mendengar "ya" yang manis, pikir Kino. Atau kebalikannya Cempaka yang
berdiri jauh di belakangnya tidak dapat dilihatnya. Masih marahkah anak gadisnya itu padanya
Ayahnya sekarang sudah hina dan papa. Diusir
orang dari rumah yang dibelinya sendiri. Tidak
kasihankah dia pada ayahnya
"Tentu saja," sambungnya kikuk, "hanya un
tuk sementara. Sampai ada perkembangan lain."
331 XIV etapi, Cempaka tidak menghendaki
perkembangan lain antara ayah dan
I ibunya. Selama dua minggu Kino tinggal
bersama mereka, gadis itu mengancing bibirnya
rapat-rapat. Bercakap pun dia lupa sudah. Bila
ayahnya menanyakan sesuatu, cuma sebuah
dengus pendek terlontar sebagai jawab. Ayahnya
harus menafsirkan sendiri artinya.
Ines berkali-kali menunjukkan, bahwa Ayah
sudah berubah. Dandannya sudah biasa lagi.
Kemejanya biru, abu-abu, krem, dan coklat.
Sepatunya hitam. Pantalonnya kembali yang dulu-dulu. Belah rambutnya sudah kiri lagi. Tancho
hilang. Deodoran hilang.
"Apa maksud Mama mengatakan semua itu "
tanya Cempaka merengut. "Apakah Mama ber
harap Papa akan kembali pada kita Bila Papa
tinggal di sini lagi seterusnya, aku akan pergi,
Mam."
lnes terkejut mendengar ancaman itu. Kino
memang sudah mengatakan isi hatinya untuk
kembali padanya. Pada mereka. Tapi Ines belum
menanggapi karena ingin melunakkan hati Cempaka dulu. Tentu saja dia akan bahagia bila Kino
kembali. Dia ingin seluruh keluarga bahagia.
Sebenarnya, masih banyak urusan yang harus
dibereskan sebelum mereka dapat kawin sekali
332 lagi. Pertama, urusan Usin. Kino sudah tiga kali
dipanggil polisi dalam dua minggu itu. Sebagai
saksi.
Kemudian, urusan perceraian dengan Kastaneda. Perempuan itu menuntut rumah dengan
segala isinya. Sedang Kino ingin, mengambil
kembali semua perabot bila Kastaneda berkeras
mau rumah.
Ketiga, urusan pencabutan hak dan tanggung
jawab Kino atas anak Kastaneda. Kino tidak mau
lagi mengakui diri sebagai ayah. Untuk itu diperlukan serangkaian tes yang makan waktu. Juga
persetujuan Kastaneda. Di tengah kemarahan,
agaknya dia sudah terlanjur melontarkan panah
berapi yang telah membuka mata Kino. Sekarang
rupanya dia menyesal. Mungkin menurut per
hitungannya, anaknya akan lebih baik dianggap
anak Kino daripada anak Usin.
Kino lebih kaya. Anaknya pasti takkan terlantar. Sebaliknya Usin. Pemuda yang ganteng itu
cuma mewariskan sebuah meterai hitam ke punggung anaknya, suvenir dari penj ara. Ke manapun
anak itu kelak melangkah, meterai itu akan dilihat orang. Suvenir yang hitam itu hampir pasti akan menjanjikan anak itu sebuah nasib yang
tidak begitu cerah.
Jadi, Kastaneda masih bertahan. Tidak mau
anaknya diperiksa darah, sementara Usin dengan senyum mengejek sudah lama membiarkan
lengannya ditusuk. "Itu anakku", katanya, "tentu
saja aku akan mengakuinya".
333 Kastaneda agak berang mendengar perkataan
Usin. Perempuan itu rupanya penuh lava serta
gas panas. Dia mudah meledak-ledak.
"Orang tidak bisa hidup cuma dengan kegantengan!" semburnya mendidih.
"Kenapa kau dulu mau pacaran denganku "
ej ek Usin.
"Pacaran itu hidup semu. Segalanya serba
indah. Orang tidak perlu makan. Tidak memikirkan uang. Tidak ingin baju bagus, rumah bagus.
Tapi anak adalah kenyataan. Anak perlu banyak
barang serta biaya. Yang tidak dapat kauberikan!
Selama pacaran, memang terdengar musik merdu tiap hari. Yang diteguk pun madu, bukan air.
Bahkan kesalahan serta kelalaian dianggap lucu.
Tapi, begitu anak lahir dan tidak ada uang, maka
udara pun jadi berbau busuk. Tidakkah kausadari
itu "
Kino menceritakan pertengkaran Usin dengan Kastaneda di meja makan. Tobi bukan main
gelinya, sementara Cempaka menunduk mencari-cari butir pasir dalam nasinya.
"Wah, Pa, tentunya sekarang musiknya sudah
sumbang, ya. Kan senar harpanya sudah putus,"
kata anak itu dan ayahnya tertawa gelak. Ines
cuma senyum kecil.
"Sakitkah diambil darah " tanya Beni mem
perhatikan plester di siku ayahnya. Yang ditanya
menggeleng. Kino dan Usin sudah dicek darahnya. Tinggal Kastaneda yang menolak. Terpaksa
mesti menunggu perintah hakim, kata Kino.
334 Cempaka tetap bertahan pada pendiriannya.
Dia tidak mau ayahnya kembali pada Ibu. lnes
serba salah. Dia tidak mau melukai anaknya.
Apalagi menyebabkan gadis itu sampai kabur
dari rumah. Tapi apakah itu lalu berarti bahwa dia
harus melukai dirinya sekali lagi Membunuh jiwanya sendiri Apakah dia mesti menolak cawan
madu yang kini akan menjadi miliknya kembali
Apakah dia harus menyerah pada keinginan Cempaka
*** Pada suatu malam, Mardiono datang bertamu.
Cempaka segera tampak hidup kembali.
Menawarkan minum. Mengambilkan asbak.
Kino menemaninya ngobrol. Mardiono sudah
tahu, Kino "kos" untuk sementara di situ. Entah
apa yang dimaksudnya dengan kunjungannya.
Barangkali untuk menunjukkan bahwa dia berjiwa besar dan tidak sakit hati seandainya Ines
memilih Kino lagi. Ataupun barangkali untuk
menyatakan, bahwa dia belum bersedia menyerah kalah. Barangkali juga dia tahu bahwa di rumah itu dia telah mempunyai seorang penyokong
335 yang dapat menggoyahkan hati lnes.
Bagaimanapun, Ines memang risau. Bukan
karena sulit memilih. Tapi karena dia kehabisan
jalan menuju ke hati anaknya. Setiap kali dia
mengetuk pintu, anak itu cuma membuka kecil
jendelanya, melongok ke luar lalu menutupnya
kembali. Dia tidak pernah mengizinkan ibunya
bertamu, apalagi membiarkannya dibawa menjumpai ayahnya.
Kino akhirnya setengah putus asa. Dia juga
tidak sampai hati melukai Cempaka. Sebab sebenarnya, dia sangat sayang pada semua anaknya.
Akhirnya dia memutuskan untuk pindah saja.
Kos di tempat lain. Ines setuju. Barangkali bila
berjauhan, rindu akan muncul mendinginkan
perasaan Cempaka.
Begitulah, Kino cuma tinggal dua minggu
bersama mereka. Setelah pindah kos, dia tetap
berkunjung tiap sore. Makan bersama. Bergurau
dengan Tobi dan Beni. Lalu pergi lagi.
Setiap sore dia datang dengan sebuket hara
pan, akan mendengar Cempaka menyapanya atau
melihatnya berlaku manis padanya. Tapi sejauh
itu, buket tersebut selalu gugur sebelum malam
tiba.
Tak terasa, tiga bulan telah berlalu. Desember mulai menampakkan diri. Sekali-sekali, bila
hujan terlalu lebat ingin rasanya Kino bermalam
saj a. Tidur di kamar belakang di mana masih disimpannya sebagian pakaiannya. Tapi Ines tidak
pernah menawarkan dan waj ah Cempaka seakan
336 memaksanya keluar menembus tirai huj an.
Kino pernah mengusulkan agar Ines berhenti saja. Toh sekarang seluruh penghasilannya
ditumpahkannya bagi mereka. Tapi lnes tidak
senang lagi menganggur di rumah. Bibi pemban
tu yang masuk jam tujuh dan pulang jam lima itu
dianggapnya sudah cukup untuk menangani pekerjaan rumah.
"Bekerj a di kantor lebih enak daripada membuat kue-kue," katanya. "Di sana kita dapat berbicara dengan banyak orang, jadi pikiran tidak
lekas kusut."
"Apakah kau berat meninggalkan Mardiono "
tanya Kino sedikit tajam.
"Sebagai pegawai, ya. Dia merupakan bos
yang murah hati. Lagi pula, kau dengar sendiri ketika dia datang tempo hari, dia akan tetap
membutuhkan tenagaku."
"Hm. Sebagai bos! Bagaimana, sebagai laki-laki "
"Aku tidak pernah memikirkan sampai ke
situ," sahut Ines jujur.
"Kalau begitu, usahakan supaya anak itu mau
lekas mengerti. Kita tidak mau menyakiti perasaannya, tapi kita juga tidak boleh menyerah pada
ancamannya."
"Entahlah. Sering kuusahakan," keluh lnes.
Percakapan itu terj adi pada suatu senj a ketika
kedua anak laki laki mereka tengah berlatih bola.
Cempaka, tentu saja, tidak pernah turut dalam
arus percakapan kedua orang tuanya. Kecuali,
337 hadir Mardiono.
"Aku heran kenapa anak itu demikian sakit hati padaku. Dia tampaknya malah menyukai
Mardiono. Mungkin dia ingin kau kawin dengan
nya. Kenapa dia begitu sakit hati "
Ines mengelus Kino di waj ahnya dengan pan
dangan rindu yang lembut penuh cinta.
"Barangkali...," sahutnya sesaat kemudian,
"karena dia putus dengan Arman. Gara-gara
kau!"
"Lho!!" Kaget sekali Kino. Wajahnya pucat seakan melihat ular berbisa menyeringai siap
menggigit seluruh masa depannya.
"Bukankah kau tempo hari ketemu Arman
dan ibunya "
"Yang dulu itu Yang sudah lama itu "
"Ya. Rupanya wanita itu tidak menyukai sikap
serta dandananmu. Arman dilarang mendekati.
Cempaka lagi. Dan anak itu menangis padaku.
Patah hati."
"Ya, Tuhan! Karena aku," keluh Kino menutup wajahnya dengan kedua tangan.
"Teman temannya juga memperolok-olok
engkau. Cempaka merasa malu sekali. Apalagi
sekarang setelah kehidupanmu dibeber dalam
surat surat kabar karena perkara Usin dan soal
Kastaneda dengan anak laki-lakinya yang tidak
mau kauakui!"
"Dan gambarku terpampang begitu jelas di
maj alah mingguan!" ratapnya.
"Ya. jelas sekali. Kino, anak kita perasaan
338 nya sangat halus. Terlebih dalam masa remaja,
kepekaannya berlipat ganda. Aku rasa, dia bukan membencimu, tapi menganggap kau penyebab semua kesusahannya. Tentu saja patah hati
seusianya adalah sebuah malapetaka. Karena itu
bersabarlah kita. Siapa tahu kedua anak muda itu
dapat berbaik lagi. Hati remaja biasanya lentur
dan mudah sembuh. Bila mereka memang saling
menyayang, tentu suatu hari, suatu waktu mereka akan bertemu dan bersalaman lagi. Barangkali
saat itulah kau dapat kembali lagi padaku...."
Air mata Ines berlinang. Cinta mereka bukan
lagi cinta ganas orang orang muda. Bukan kobaran api yang membunuh. Tapi bara kecil yang
hangat dan manis warnanya. Bara seperti itu akan
bertahan lama dalam tungku, menanti hembusan
angin yang akan mengembalikan pesona lidah-lidah api yang membakar di malam-malam sepi.
"Oh, oh, oh. Jadi aku sudah membuatnya
malu. Dan patah hati," keluh laki-laki itu dengan
pilu. "Bagaimana aku dapat membuatnya berpaling lagi kepadaku Katakan, lnes. Apa saja akan
kulakukan."
Ines menatap tak berdaya. Seluruh kebahagiaannya ada cuma sejengkal di hadapannya, dalam kursi empuk. Tapi dia tidak dapat menjang
kaunya. Kepahitan hati Cempaka melintang di
antara mereka.
"Aku tidak tahu," sahutnya bergoyang kepala.
Senj a pun melangkah menanti malam. Sebentar lagi kedua abang-beradik itu akan pulang dan
339 mereka dapat makan.
Dari jendela terlihat langit kelabu yang mengancam akan hujan. Mendungnya pekat, tapi
cuma di sebelah selatan. Dalam pigura jendela
terlihat pohon palma dari rumah seberang. Se


Sembilu Bermata Dua Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dang dedaunan di halaman berkerisik membuat
musik merdu yang sejuk.
"Nikmatnya mendengar-kerisik begitu di
malam sepi di atas ranj ang hangat, bersamamu,"
kata Kino pelan, manj a.
lnes senyum terpaksa. Dia tidak tahu, dari
mana mereka harus mulai langkah baru itu yang
akan mengubah warna warna dalam mimpinya.
"Yang paling sulit adalah langkah pertama," pikirnya.
"Pasti akan hujan," sambung Kino. "Tidak
bolehkah aku tidur di sini Di kamar belakang "
"Tentu boleh," sahut Ines tanpa berpikir lagi.
N amun tiba tiba waj ah murung Cempaka terlukis
di depan matanya. Ah, ya, pikirnya, anak itu sela
lu kurang senang melihat ayahnya!
Entah dari mana datangnya usul itu. Yang
jelas, cetusan keputusasaan yang ingin mencoba
segala jalan.
"Kino, aku ada usul. Siapa tahu ampuh.
Bagaimana bila kau jangan muncul lagi Da
tang sebulan sekali saja. Mungkin Cempaka akan
reda...."
Kino menatap wajah yang terukir selalu dalarn hatinya. Cinta mereka tak dapat menanti lagi.
Apa pun jua mesti dicoba. Walaupun dia akan ku
340 rus dimakan rindu.
341 XV alam itu lnes membantu Cempaka lagi.
MNyonya Hamid memberinya sehelai
kan vas berukuran dua kali tiga meter.
Lukisannya, sebuah tamasya kebun di musim
semi. Tentu saja sangat cantik. Tapi juga sangat
memakan waktu. Karena itu lnes membantu di
sebelah kiri. Sementara Cempaka bekerja dari
kanan ke tengah.
Rumah terasa sepi tanpa kunjungan Kino.
[nes kehilangan. Begitu juga Tobi dan Beni. Tapi
terhadap semua pertanyaan, Ines cuma mengang
kat bahu. Kadang kadang dipolesnya gerak itu
dengan sapuan senyum yang samar. Cempaka,
tentu saja, tidak pernah bertanya.
Malam bulan Desember kebanyakan basah
oleh hujan, namun malam itu bulan tersenyum
damai di atas pohon mangga. Bahkan angin beristirahat. Tapi udara tidak panas.
Mereka bekerja di meja makan, sebab meja di
ruang duduk terlalu kecil. Cempaka tidak banyak
berbunyi, kecuali sesekali berdesah mendendangkan lagu ciptaannya sendiri. Pikiran lnes mel
ayang jauh, mengunjungi hati yang dirindukan
nya. "Ah, seandainya kita dapat berakhir tahun
bersama Papa," keluhnya mencoba Cempaka.
Tapi gadis itu rupanya tidak mendengar.
342 Sayup-sayup dalam ingatannya, lnes melihat
kembali pesta-pesta sederhana keluarganya di
ujung tahun. Penuh balon dan kertas aneka warna. Penuh konfeti. Penuh kue. Penuh limun. Penuh gelak. Penuh senda. Penuh cium. Dan penuh
kenangan.
Ah! *** lnes melihat jam. Hampir pukul sembilan. Tobi
dan Beni masih asyik membuat PR di ruang
duduk. Cempaka juga asyik menganyam. Jari
jarinya yang langsing cantik tampak cekatan
melukis musim semi di dalam kebun.
lnes tiba-tiba merasa perutnya pedih dan
nyeri. Tanpa sadar ditekankannya kedua lengannya di bawah ulu hati. Dia mengaduh kecil.
"Kenapa, Mam " seru Cempaka kaget seraya
melempar pena berkaitnya.
"Perut Mama sakit. Uuuh." Dia meringis.
"Kenapa, Mama " Tobi dan Beni berlari tiba.
Waj ah lnes pucat. Butir-butir keringat muncul
di dahi serta pelipisnya. Dia ingin muntah.
"Barangkali... barangkali tukak... lam
343 bung... Ma...ma... kam...buh."
"Di mana obatnya " tanya Tobi.
"Di lema...ri... makan."
Tobi pergi ke lemari makan dan mencarinya.
Ada di rak paling atas. Diambilnya juga sebuah
gelas yang diisinya dengan air matang. Lalu
bergegas diberikannya pada ibunya.
"Te...ri...ma... ka...sih...."
"Lebih baik Mama tidur saja," usul Cempaka
sambil menyusuti keringat.
lnes mengangguk. Mula mula dia masih ke
kamar mandi mencoba muntah, tapi tidak bisa.
Mual itu bertahan di lambung. Yang keluar cuma
liur dan sedikit asam.
Semua anak mengiringkannya ke kamar dengan wajah beku dipalut gelisah.
"Kalau ada Papa...," gumam Tobi sambil me
natap kakaknya. Sekali itu Cempaka tidak men
delik mendengar ayah dibawa bawa.
Untunglah esoknya lnes sudah merasa baik
lagi. Malah berkeras mau ke kantor walaupun
dicegah oleh tiga pasang tangan. Akhirnya dia
diizinkan pergi setelah berjanji akan segera pulang bila kambuh dan akan menelepon dokter.
Hari itu lnes dapat bertahan selama jam kan
tor. Tapi dia merasa tubuhnya tidak sesehat biasa.
Memang lambungnya sejak dulu suka berting
kah. Apalagi bila dia sedang stres atau banyak
pikiran. Tapi selama itu cuma perih perih singkat yang tidak dipedulikannya. Ines tidak mau
terlalu ambil pusing soal kesehatannya. Selama
344 dia masih dapat berj alan, pikirnya, itu berarti dia
tidak apa apa.
Lain halnya bila menyangkut anak-anak. Walau cuma hangat sedikit, Pak Dokter harus lekas
datang. Ah. Ines tersenyum. Untung anak anakn
ya selalu sehat.
Lusanya, lnes pergi lagi ke kantor. Walaupun waj ahnya masih pucat tak berseri. Larangan
anak anak ditinggalkannya di rumah.
"Mama tidak apa-apa," katanya berkeras,
"kan Mama sudah diet."
Cempaka yang memasakkannya bubur. Bibi
pembantu diminta memasak makanan tertentu
yang tidak pedas dan mudah lumat.
Enam hari lamanya lnes diet. Dia belum mau
ke dokter, selama obat masih ada.
"Obat ini masih baik," katanya menunjukkan
tanggal pemakaian.
Anak-anak lega. Ines kelihatan ceria lagi
walaupun kemerahan pipinya belum kemba
li. Sebenarnya, dia pucat karena berutang tidur.
Pada waktu alam sunyi senyap, pikirannya justru
hilir-mudik bekerj a keras. Dia merana, jauh dari
Kino, padahal laki laki itu dapat menjadi miliknya kembali. Seperti dia, milik Kino.
Sibuk benaknya mencari jalan tengah yang
dapat mempertemukan anaknya dengan Kino.
Hatinya resah. Dia khawatir, jalan itu sudah terlalu lebat ditumbuhi ilalang kebencian, sehingga
tidak dapat lagi dijejaki.
Dan dia ingin setia pada keputusannya sendiri
345 untuk memberi Cempaka masa remaja yang penuh kepercayaan pada ibu. Dia sendiri merasa
jauh dari ibu, karena tidak adanya kepercayaan
itu ketika dia membutuhkannya. Ketika pemban
tu yang iseng itu melontarkan sebuah kejutan
dengan ceritanya yang kotor.
Akibatnya, pada masa-masa seperti sekarang,
dia juga tidak teringat untuk berlari ke ibu, mencari nasihatnya. Tapi itu tidak boleh terjadi dengan Cempaka. Oh. Dia akan merasa pedih sekali
bila Cempaka tidak meminta nasihatnya ketika
langit mendung menghimpit dadanya. Atau ke
tika putus asa melumat hancur kebahagiaannya.
Dia ada, untuk Cempaka. Untuk Tobi. Untuk
Beni. Tapi... dia juga ada untuk Kino. Ah, seandainya Kino tidak menyebabkan Cempaka retak
dengan Arman! Tentu gadis itu takkan sepahit itu
menilai ayahnya.
Malam malam sepi dihabiskannya dengan
menguak semak demi semak dalam hutan lebat
alam pikirannya. Namun dia tersesat dan tidak
menemukan jalan keluar.
Pagi hari selalu menemukan lnes dengan mata
cekung berhiaskan lingkaran hitam yang membuat kerut kerut kekhawatiran terlukis halus di
atas kening Cempaka.
Dan pagi itu, lnes hampir terjatuh di kamar
mandi. Pandangannya tiba tiba berputar seperti
korsel di pasar malam. Cepat dipegangnya pinggir bak, lalu dipej amkannya matanya. Dia merasa
diputar putar ke segenap penjuru. Rasanya tak
346 kan berhenti siksaan itu, walaupun sebenarnya,
menurut Cempaka dia cuma lima menit di kamar
mandi.
Ketika dia muncul lagi, tujuh keliling itu su
dah lenyap. Tapi kepalanya masih berdenyut pus
ing. Di meja makan dia duduk sebentar. Minta
teh hangat secangkir. Dengan gula.
Cempaka memasak bubur havermouth yang
ditelan lnes tanpa dikunyah lagi. Pendeknya, asal
lambungnya jangan kosong, pikirnya. Ketika dilihatnya Tobi dan Beni ragu-ragu meninggalkannya ke sekolah, Ines tertawa meyakinkan mereka
bahwa dia tidak apa apa.
Tapi setelah kedua anak itu pergi, serangan itu
datang lagi. Walaupun sekali ini lebih ringan.
lnes memutuskan untuk diam di rumah. Pada
pembantunya yang baru saja tiba, dipesannya su
paya mengatakan hal itu bila mobil kantor datang
menj emputnya.
Cempaka diam diam kelihatan resah. Tapi dia
menurut ketika dipaksa ibunya untuk tetap kuliah.
Setelah semuanya pergi, barulah Ines masuk
lagi ke kamar membaringkan diri. Tubuhnya
memang terasa tidak nyaman. Dia belum pernah
tujuh keliling dan tidak tahu mesti makan obat
apa. Jadi ditelannya saja obat sakit kepala untuk
meredakan pusingnya. Lalu dia mencoba tidur.
Dan tertidur.
Beberapa jam kemudian, dia merasa gerah.
Digerakkannya tangannya untuk menyibak seli
347 mut, sementara matanya masih terkatup. Tidur
yang selama itu menjauh, ternyata pagi itu telah
mendekapnya dengan ketat. Kantuknya belum
terpuaskan. Dia baru saja terlena kembali, ket
ika tiba tiba dirasanya ada orang dalam kamar.
Didengarnya sayup langkah kaki tertahan tahan.
Kemudian, sehelai kain halus menyentuhnya,
menyeka keringat di dahinya.
Ines membuka matanya. Lebar. Mimpikah
dia Di manakah dia
"Bagaimana rasamu sekarang "
Suaranya berat penuh luapan khawatir.
"Kino!" jawabnya, seakan itu sudah merupakan jawab.
Dia tercengang. Lalu tersenyum. Lalu tersedu.
Kino duduk di tepian ranjang, menggenggam
sebelah tangan Ines dalam senyumnya yang pe
nuh dahaga. Kemudian disusutnya air mata per
empuan itu tetes demi tetes.
"Bagaimana kau tahu " tanya lnes sejenak
kemudian, ketika sedunya reda. Pusingnya juga
terasa pergi menghilang.
"Cempaka datang ke kantor."
"Ah," seru lnes tak menyangka, "apa yang
dikatakannya "
"Tidak banyak. Cuma "Papa, pulanglah.
Mama sakit., Cuma itu."
"Ah." Air matanya kembali berlinang.
"Rupanya dia sudah berbaik lagi dengan Arman. Mereka datang berdua."
"Ah." Hati Ines tiba tiba mengembang lega.
348 "Arman yang banyak bicara. Rupanya, dia sudah tahu, aku sudah kembali ke jalan semula."
Kino tersenyum geli. "Ibunya juga sudah membaca majalah mingguan itu dan rasa jengkelnya
terhadap Kastaneda dilontarkannya sebagai sim
pati bagiku. Dia tidak keberatan Arman menyam
bung kembali rajutan cintanya bersama Cempaka...."
"Ah."
Kino membelai anak-anak rambut yang turun
ke pelipis dan lnes memejamkan matanya.
"Kau kurus, Ines. Kau banyak menderita."
Ines membuka matanya. Tersenyum. Diraihnya tangan Kino dan didekapnya.
"Ines, marilah kita buang sembilu itu dari hati
kita. Aku akan menyembuhkan luka-lukamu, dan
kau, luka lukaku. Janganlah perpanj ang lagi per
pisahan bermata dua ini!" keluhnya panjang sekali, menembus ke jantung perempuan itu yang
menggelepar gelepar dilanda bahagia.
lnes mengangguk dua kali. Matanya bening
sekali dinaungi bulu bulu yang menggulung len
tik. Tamat
349 SEMBILU
Menghadapi puber kedua suami kiranya bukan soal
mudah. lnes sendiri sudah merelakan, namun tidak begitu
dengan Cempaka, putri mereka. Gadis remaja ini mulai
perang dingin dengan Kino, sang ayah. Terlebih ketika
muncul seorang wanita muda yang seakan turun dari langit.
Kastaneda namanya! Dan dia rupanya punya bukti otentik
untuk menuntut masuk ke dalam hidup Kino!
Cempaka henar-bcnar memusuhi ayahnya. Apalagi karena
Kino dianggapnya sebagai penyebab putusnya hubungan
mesranya dengan Arman. Kino sekarang pindah ke rumah
baru bersama Kastaneda. lnes berusaha merapikan kembali
hidup mereka yang terkoyak sembilu. Walau hatinya hancur,


Sembilu Bermata Dua Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dia tak ingin anak-anaknya membenci ayah mereka. Namun
Cempaka sungguh tak bisa lagi dijangkau olehnya.
Kemudian, pada suatu malam, bagaikan geledek dari
angkasa, Kino balik ke rumah, menggedor pintu minta masuk.
Rupanya kecurangan Kastaneda telah diketahui. Mereka
sudah bubar. Kino ingin kembali ke samping lnes.... Cempaka
marah dan sama sekali tak setuju. lnes kembali tercabik
hatinya. Kino dan Cempaka. Siapa yang harus dipilihnya
Berpisah dengan Kino, dia tak mungkin. Hidup bersama lagi
pun, mustahil. ladi! Akhirnya tubuhnya yang memberi
jawaban. Kesehalannya ambruk! Ines tahu dia takkan
mungkin sembuh lagi, kecuali... ah! Sungguh mustahil. Dia
Tiga Maha Besar 7 Pendekar Naga Mas Karya Yen To Naga Bhumi Mataram 2

Cari Blog Ini