Sepagi Itu Kita Berpisah Karya Marga T Bagian 1
SEPAGI ITU
KITA BERPISAH
Buku Kedua
Marga T.
SEPAGI ITU
KITA BERPISAH
Buku Kedua
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Jakarta, 1 994
SEPAGI ITU KITA BERPISAH - buku kedua
Oleh Marga T.
GM 401 94. 977
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Jl. Palmerah Selatan 24-26, Jakarta 10270
Sampul di kerjakan oleh David
Diterbitkan pertama kali oleh
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama,
anggota IKAPI, Jakarta, September 1994
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
MARGA T.
Isi di luar tanggung jawab Percetakan PT Gramedia
* Ini adalah kisah Hktif.
*Persamaan nama tokoh, tempat, atau
kejadian adalah kebetulan belaka
Menyambut Ulang Tahun
GRAMEDLA PUSTAKA UTAMA Kedua
Puluh Semoga Makin Berkembang!
unmk anak-anak PA St. Josef
Hidup adalah bunga, cinta adalah madunya
Victor Hugo
Cinta adalah kain kanvas yang disediakan
oleh alam dan disulam oleh imajinasi
Voltaire
Bab 1
SABTU itu cuaca cerah, langit biru berawan putih
menyebabkan udara tidak terlalu panas. Di luar jendela terdengar burung burung berkicau riuh, aneka
ragam bunyinya. Triska mengenali suara murai seperti yang didengarnya di kebun mertuanya di Depok. Ayah Deni penggemar burung, peliharaannya
belasan jumlahnya, semua terawat baik dalam sangkar yang luas.
Hari ini aku akan pulang ke rumah, piki Triska Omega dengan gembira. Aku akan membawa
pulang bayiku! Aku takkan pernah kesepian lagi.
Hidupku akan sempurna. Semua naluri kewanitaanku sudah terpenuhi, tak ada alasan bagiku untuk
menyesali keadaan.
Triska berdiri di depan jendela kamarnya di
tingkat tiga. Nun di bawah dilihatnya kebun bunga
yang cantik, aneka warna kembang sari memukau
pandangannya membuatnya memuji kebesaran Tuhan. Bagaimana caranya Dikau dapat menciptakan
beribu jenis bunga serta tanaman Manusia sudah
singgah ke bulan, akan tetapi sepotong bunga pun
13 tak mampu kita buat, jangan bilang lagi beribu j enis
tanaman serta binatang. Dan hari ini Tuhan berke
nan mengizinkan aku pulang! Membawa bayiku!
Angin berembus sepoi, meliukkan batang batang
cemara yang tinggi menggapai langit. Ah, betapa
aku pernah khawatir bayiku takkan selamat atau
takkan diselamatkan! Lamat lamat serasa masih
didengarnya dengung suara suaminya pada Dokter
Kamal sesaat sebelum dia dibius, "Dok, kalau ada
kesulitan, istri saya jadi prioritas!" Untunglah tak
ada kesulitan. Terima kasih, Tuhan.
Bayinya ternyata sehat, montok, dan tampan, tidak seperti monyet! Triska tersenyum dalam hati.
0, ya, aku tahu seperti apa bayi bayi yang baru lahir
itu. Terkadang, malah sering, rupa mereka tak ada
bedanya dengan bayi orang utan, terlebih kalau prematur. Untunglah, bayinya yang belum bernama
itu tidak berkerut-kerut seperti anak gorila! Triska
tersenyum dengan hati meluap penuh bahagia, serasa tak ada kesulitan apa pun dalam hidupnya.
Sekarang setelah aku merasakan kebahagiaan
sebagai seorang ibu, semakin aku yakin apa yang
harus kulakukan, pikirnya. Aku takkan menyesali siapa pun, tidak juga nasibku. Semuanya akan
kupasrahkan pada Tuhan. Dikaulah yang akan
membimbingku, terjadilah padaku seperti kehendak-Mu. Semua memang milik-Mu. Manusia tidak
14 bisa memiliki apa-apa, baik harta maupun suami, istri, atau anak. Semuanya milik-Mu. Aku tak pernah
memiliki Deni, seperti dia juga tak pernah memiliki
diriku. Dan anak kami ini juga bukan milik kami,
cuma dititipkan oleh Tuhan untuk dirawat oleh
kami atau untuk diambil kembali bila itu berkenan
pada Nya.
"Dokter Tris!"
Triska terkejut lalu menoleh. Rupanya ia terlalu
asyik dengan lamunannya sehingga tidak didengarnya pintu dibuka serta langkah kaki perawat menghampirinya. Wajah Triska yang tadi sedikit kaget
serta-merta berubah cerah melihat selimut biru
muda yang membungkus gendongan dalam pelukan
Suster Narti.
"Sudah waktunya minum lagi, Dok," ujar perawat setengah umur itu seraya tersenyum men
yorongkan gendongannya.
Triska mengangguk tersenyum dan mengulurkan kedua lengannya untuk menyambut bayinya
yang kini membuka matanya dan mulai menggerak
gerakkan tangan dan kakinya.
"Sudah mulai tahu dia, siapa yang menggendongnya," ujar Suster Narti seraya mencubit pipi kecil
itu dengan gemas. "Saya tinggal dulu, ya, Dok."
Triska mengangguk, lalu berjalan ke kursi yang
terletak di sudut, agak teduh, terlindung dari silau
15 matahari sebab di sampingnya terdapat tirai tebal
berwarna hijau. Tirai itu tak pernah ditarik untuk
menutupi jendela, tapi dibiarkan terbuka, berkumpul di kiri-kanan. Triska menjatuhkan diri pelanpelan (perutnya masih terasa nyeri bila terkena guncangan, luka operasinya belum pulih betul) ke atas
kursi sementara perawat membuka pintu dan keluar
kamar.
Sementara bayinya menyusu, Triska tak puas
puasnya mengagumi putranya. Dielusnya rambutnya yang hitam, dibelainya telinga yang mungil
dan sempurna, ditelusurinya alis mata yang hitam
samar, disentuhnya hidung yang mungil bagaikan
kuntum mawar, dipegangnya tangan tangan mun
gil, diperhatikannya satu satu jari jari yang begitu
mungil namun begitu sempurna dan cantik, diraihn
ya juga kedua kaki-kaki mungil yang terbalut kaus
kaki biru muda dan digenggamnya erat erat. Aduh,
kecilnya, pikirnya kagum dan bahagia. Muat dalam
genggamanku! Tapi kelak sepatunya akan bernomor
43 seperti ayahnya! Ini anakku! Buah hatiku! Buah
cinta kita, Den. Cuma, masalahnya, bagimu bukan
buah cinta, melainkan apa Buah kecelakaan
Karena tidak menyangka ini bakal terjadi, kita teledor... Itukah pendapatmu, Den Manusia kecil yang
begini memikat hati, yang begini tampan, tidak
diharapkan kehadirannya Dianggap merupakan
16 komplikasi
Triska mengepalkan tinju anaknya. Sebesar tinjumu ini jantungmu. Diletakkannya ujung telapak tangannya di atas dada anaknya. Jantungmu berdenyut
begitu teratur, begitu kuat, dan akan setia berdenyut
untukmu sampai kau tua renta. Ujung telunjuknya
menelusuri alis mata anaknya. Alismu akan hitam
tebal seperti alis ayahmu. Dielusnya pipi yang kemerah-merahan. Kau akan menjadi perjaka tampan,
dan kau adalah keaj aiban dunia yang kedelapan!
Kira kira sejam setelah Suster Narti kembali untuk
mengambil sang bayi dari ibunya, Deni muncul un
tuk menjemput Triska.
"Sudah siap, Tris " tanyanya seraya menunduk
mau mengecupnya. Triska cepat cepat mengangguk sehingga kecupan itu melewati sasaran. "Sejak
tadi," sahutnya lalu berputar sehingga cekalan Deni
pada kedua lengannya terpaksa dilepas. Triska pura pura membukai laci laci untuk memeriksa jan
gan sampai ada barang yang ketinggalan. Padahal
ia sudah tahu, semua laci itu sudah kosong. Setelah
semua laci diperiksa, tak ada lagi alasannya untuk
menghindari Deni. Triska berdiri diam di dekat ran
17 jang, tak tahu harus bilang apa.
"Oke, kalau sudah beres, mari kita segera berangkat," ajak Deni seraya meraih dan menggandengnya. Triska tak bisa menghindar.
Deni menjinjing tas pakaian dengan sebelah tangan sementara tangan yang lain dikalungkannya ke
bahu istrinya. Berdua mereka pamitan kepada para
perawat. Mereka semua mengelu-elukannya, memberinya selamat jalan, lalu Suster Kepala mengantar
mereka ke bangsal bayi tempat Suster Narti sudah
siap, sudah memandikan serta mendandani putra
Dokter Melnik. Suster Narti membopong sang bayi
sampai ke mobil dan baru menyerahkannya pada
Triska setelah ia duduk dalam mobil. Setelah saling
memberi lambaian, mobil pun meluncur disaksikan
oleh Suster Narti dan Suster Kepala.
Ketika mobil hampir mendekati gerbang kedua,
barulah Triska membuka mulut. "Aku ingin pulang
dulu ke rumah orangtuaku, Den."
Deni rupanya tercengang sebab ia segera menoleh dengan bibir menganga sementara tangannya
kelihatan mencengkeram setir erat-erat padahal tadi
cuma memegang biasa.
"Kau nggak mau pulang ke rumah " tanyanya
sambil menatap Triska dengan heran. Yang ditanya
cuma menggeleng sambil cepat-cepat melengos ke
samping pura pura memperhatikan lalu lintas.
18 Setelah memandang Triska beberapa menit, akhirnya kedengaran Deni menarik napas. Menyerah.
"Oke, akan ku antarkan kau ke rumah orangtuamu.
Mungkin memang lebih baik bagimu diam di sana
dulu. Ibumu pasti akan bisa merawatmu lebih baik
dari aku...."
Triska menyentuh lengan Deni perlahan. "Bukan
itu sebabnya. Aku cuma ingin yah, dimanja lagi
oleh ibuku." Triska mencoba tertawa kecil sekadar
mencairkan suasana yang sedikit tegang.
"Aku juga bisa memanjakanmu!" tukas Deni,
mungkin sedikit tersinggung. "Apa selama ini aku
kurang memanjakanmu "
"Tentu saja nggak, tapi kau kan perlu dinas. Kalau kau sudah berangkat kerj a, dengan siapa aku di
rumah Seharian nggak ada orang yang akan memperhatikanku dan menyibukkan diri untukku. Aku
pasti akan kesepian. Bi Rinai memang cukup per
hatian, tapi rasanya tetap nggak sama dengan ibu
sendiri..." Huh! Kenapa aku harus menerangkan
panjang-lebar alasanku mau pulang ke orangtua
Seharusnya sepatah kata saja sudah cukup untuk
penjelasan. Sebut saj a Odi, dia pasti akan mengerti
alasanku, pikir Triska pahit.
"Oke, oke, no problem. Aku mengerti." Deni
ngangguk dan menatap Triska sambil tertawa kecil
sebelum mengarahkan kembali matanya ke j alan.
19 Tidak, kau tidak mengerti! kata Triska dalam
hati. Kau masih jauh dari mengerti, Dokter Deniano
Melnik. Kau sama sekali belum mengerti. Tapi kau
akan segera mengerti!
Nyonya Dokter Omega, ibu Triska, tidak keli
hatan kaget menyambut kedatangan mereka, sebab
Triska rupanya sudah menyampaikan niatnya itu
jauh-jauh hari pada salah satu kunjungan ibunya ke
rumah sakit.
"Kamarmu sudah Mama siapkan di loteng. Atau
kau lebih suka kamar di bawah " tanya ibunya seraya membopong cucunya.
"Lebih baik tidur di bawah, Tris," Deni me
nasihati. "Supaya otot-otot perutmu nggak terlalu
dipengaruhi."
"Luka OP ini sudah nggak sakit, kok. Biar di atas
saja, Mam. Supaya bisa melihat jauh ke kebun belakang."
Ibunya mengangguk sambil melangkah masuk
ke rumah diikuti Triska serta Deni. "Ya, dari kamarmu di atas pemandangannya memang jauh lebih bagus dibanding dari kamar di bawah."
Itu adalah kamarnya sendiri sebelum ia menikah.
Semua perabot masih terletak di tempat semula, tak
ada perubahan kecuali di samping ranjang, dekat
tembok, kini terdapat sebuah ranjang kecil berwarna putih, kepala dan kaki ranjang berbentuk Mickey
20 Mouse.
"Oh, Mam!" seru Triska kegirangan. "Bukan
main bagusnya ranjang ini! Terima kasih, Mam."
"Papa sama Mama mencari ubek-ubekan ke
seluruh kota, tapi nggak juga ketemu ranjang yang
istimewa. Akhirnya ada yang memberitahu, dan
pada toko yang kedelapan inilah kami menemukan
nya. Ini adalah hadiah dari Papa Mama. Semula Kris
mau memberimu buaian, tapi Mama bilang, buaian
itu nggak praktis, terlalu kecil seperti untuk boneka,
pasti cuma tahan beberapa bulan. J adi mereka batal
membelinya, dan mau membeli ranjang saja. Tapi
Mama bilang, Mama sudah beli ranjang. Mereka
terpaksa mencari barang lain."
"Untung mereka nggak membeli buaian," tukas
Deni. "Saya sudah membelinya."
Triska menoleh dan tertawa. "Apa Kau... membelinya " Bukankah kau nggak menyukai anak ini,
kenapa sekarang jadi repot !
"Ya." Deni mengangguk. "Bagus sekali. Warnanya biru, dihiasi lukisan kurcaci di seluruh pinggirannya. Kamar di sebelah kamar kita juga sudah
aku ubah, kuberi kertas dinding dengan gambar
bebek serta beruang, kuperlengkapi dengan lemarilemari, meja, dan kursi berwarna putih."
Triska menggeleng, dalam hati tidak habis men
gerti jalan pikiran laki-laki. Tidak suka anak, tapi
21 sekarang malah menyambut kedatangannya secara
berlebihan. Triska memang tidak menyiapkan ka
mar khusus bagi anaknya, sebab pertama, ia khawatir Deni akan kurang senang atau paling sedikit,
akan merasa tertekan bila diingatkan bahwa kebebasan yang direncanakannya setelah warisan diperolehnya, ternyata takkan bisa didapatnya kembali.
Kedua, sebab ia sudah punya rencana untuk tidak
kembali ke rumah mereka! J adi kamar untuk anaknya itu akan berada di rumah orangtuanya.
Ibu Triska meletakkan cucunya yang sedang lelap itu di atas kasur lalu menutupinya dengan seli
mut tipis. "Mama masih belum beres di dapur. Kau
tenang saja di sini, nggak usah turun. Kita akan
makan siang kira-kira sejam lagi, kau belum lapar,
kan, Tris, Den "
"Belum, Mam," sahut keduanya hampir ber
barengan.
"Mana Papa, Mam " tanya Triska.
"Sedang menengok pasien pasiennya yang diopname di rumah-rumah sakit. Tapi dia pasti akan
pulang tepat waktu makan. Sudah, ya, Mama tinggal dulu. Kalau mau minum, itu Papa sudah menyediakan kulkas kecil penuh dengan air botol dan soft
drink."
Triska mengikuti telunjuk ibunya. Ya, dia keliru
Sepagi Itu Kita Berpisah Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tadi ketika menyangka kamarnya tetap tak berubah.
22 Ternyata malah tambah perabot. Kulkas kecil di
pojok, dekat pintu kamar mandi. Lalu pesawat TV
kecil di tembok, di depan sofa. TV nya malah tidak
terlalu kecil. Memang lebih kecil dari TV di ruang
keluarga, tapi ini pun paling sedikit 25 inci.
"Bukan main! Seperti hotel kelas satu saja!" ungkap Triska tertawa senang bercampur geli. Ibunya
cuma tersenyum, lalu tanpa memberi tanggapan,
keluar kamar dan menutup pintu.
Deni mengangkat kursi dan meletakkannya di
samping ranjang kecil. Ia duduk di situ memperhatikan yang sedang lelap. Triska ikut menghampiri
dan berdiri di sampingnya.
"Cakep, ya " tercetus olehnya tanpa sengaja.
"Rupanya ibumu sudah tahu kau akan tinggal di
sini, kok aku nggak tahu "
"Aku senang sekali memperhatikan bibirnya
yang merah dan begitu mungil."
"Ada apa sebenarnya, Tris Kenapa kau nggak
memberitahu sejak dulu, kau akan pulang ke sini "
"Aku juga suka sekali dengan hidungnya. Ah,
cakepnya!" Triska kedengaran mengeluh bahagia.
"Apakah kau mendengar apa yang kukatakan "
"Tentu saja."
"Kenapa nggak kau j awab "
"Sabar. Sebelum kujawab semua pertanyaanmu,
lebih dulu harus kita beri anak ini sebuah nama.
23 Kalau berlarut-larut begini, bisa-bisa ibuku nanti
menyebutnya "cucuku" tok dan kelak kalau ditanya
orang siapa namanya, bisa-bisa anak kita akan bilang, "Namaku Cucuku." Kan gawat!"
"Kau sudah mempunyai ancar-ancar "
Triska mengangguk tersenyum. "Marco."
"Marco Bukankah lebih keren Aleksander "
"Tapi ini dari Marco Polo, petualang yang kukagumi."
"Dan ini dari Aleksander Agung yang juga kukagumi."
"Ah, bosan dengarnya, Den. Nama itu sudah
pasaran, nggak ada istimewanya lagi. Sembilan
dari sepuluh orangtua yang ingin anak mereka jadi
agung, pasti menamakan anaknya Aleksander. Kita
kan nggak gila hormat seperti itu."
"Tris, Aristoteles kan filosof kesayanganku, dan
Aleksander Agung adalah muridnya. Aku pernah
bercita-cita, kalau punya anak laki-laki akan kunamakan begitu."
"Tapi aku juga bercita-cita ingin menamakan
anakku Marco. Kalau yang kau sayangi adalah gurunya, kenapa harus memakai nama muridnya Aristoteles lebih bagus, atau lebih orisinal lagi Aristo."
"Bagaimana kalau Ariston "
"Nanti dia diolok-olok kawan-kawannya, "Ke
napa namamu bukan Modena saja "
24 "Ariston itu bukan cuma merek mesin cuci dan
dapur, Tris. Ariston adalah seorang hlosof Yunani
dari abad ketiga sebelum Masehi. Memang nggak
begitu terkenal seperti Socrates atau Plato, tapi beberapa teorinya sangat menarik, nanti deh kuceritakan."
"Jadi kau ganti Aleksander dengan Ariston "
"Aleksander dan Aristo. Aku rasa lebih baik
Aristo saja, untuk mencegah dia diejek kawankawannya. Aristo dari Aristoteles."
"Nggak terlalu berat jadinya bagi anak kita
Orang Jepang bilang, orangtua memberikan nama
dengan harapan anak mereka akan hidup sesuai
dengan namanya atau merealisasi apa yang tersirat
dalam nama itu. Rasanya terlalu berat bila anak kita
diharapkan akan menjadi filosof dan sekaligus jenderal... j enderal besar! Belum lagi ditambah Marco.
F ilosof, jenderal, dan petualang" Triska mendecak geli.
"Apakah tiga nama nggak terlalu banyak "
"Tapi kalau aku sudah ngalah dan menerima
Alek, kau juga harus menerima Marco, dong."
"Bukan Alek, Tris, tapi Aleksander. Nggak boleh
disingkat jadi Sander atau Aleks, apalagi Alek.
Nanti kawan-kawannya memanggilnya, "Lek, Lek,
Lek] di mana lagi keangkeran nama itu!"
"Gimana kalau Alexei Kedengarannya lebih
25 keren, artinya sama kurasa dengan nama raj a Macedonia itu, bukan "
""Salah-salah nanti kalau dia masuk FK, temanteman kuliahnya akan menamakannya Alexia, dan
jangan-jangan dia betul-betul sama sekali nggak
bisa membaca lagi nanti!"
"Jadi gimana dong Kalau tiga kebanyakan, be
rarti kau harus pilih antara Aristo dan Aleksander.
Yang mana yang lebih kau inginkan "
Deni menggaruk-garuk kepalanya yang tidak
gatal sementara matanya menatap waj ah mungil kemerahan yang tengah lelap. Senyum lembut mem
bayangi rasa bahagia di waj ahnya, membuat Triska
ingin sekali memeluk dan mengecupnya.
Sayang, kau terpaksa harus kulepaskan, pikirnya
pedih.
Deni rupanya kewalahan menjawab desakan
Triska. "Biasanya kalau anak laki-laki, ayahnya
yang memberi nama. Kalau anak perempuan, ibunya. Setuju, kan "
"Ini adalah anakku! Mana buktinya kau adalah
ayahnya "
"Triska!" pekik Deni seperti disengat kalajengking.
Triska tertawa geli. "Uh, sampai pucat begitu!
Aku cuma main main. Betulkah kau nggak lebih
suka bila anak ini bukan anakmu "
26 Deni menatap Triska tanpa menanggapi. Mun
gkin sangkanya aku main main juga. Tapi, bet
ulkah matanya kelihatan sedikit ngeri atau itu cuma
perasaanku belaka Ngeri kenapa Takut anak ini
sungguh-sungguh bukan anaknya Atau... takut rahasianya terbongkar
"Den, aku setuju dengan pendapatmu barusan.
Kalau kita bisa punya anak satu lagi, perempuan,
pasti akan kuakui sepenuhnya hakmu untuk men
carikan nama. Tapi, ini adalah anak kita anakku
satu-satunya. Aku tahu, aku nggak akan gravid lagi,
jadi hak itu kita bagi dong fifty fifty."
"Kau tetap ngotot mau menamakannya Marco
Gimana kalau anak itu kelak jadi petualang "
"Ah, masa kau begitu percaya pada takhayul "
"Jadi kau nggak keberatan kalau dia kub eri nama
Osiris "
"Jenderal mana lagi itu "
"Bukan jenderal. Osiris adalah nama dewa akhirat bangsa Mesir Kuno. Marco Osiris. Kedengarannya boleh juga, bukan " Senyum tersungging
di wajah Deni ketika melihat Triska mengerutkan
kening.
"Iiih, amit-amit! Anakku mau dijadikan dewa
maut! Sudahlah, kalau kau ngotot mau memakai
kedua nama itu, kita beri dia tiga nama, tapi Marco harus di depan. Aleksander biar di tengah dan
27 disingkat nulisnya. Setelah itu baru Aristo, ditulis
penuh. Setuju "
"Kenapa Marco harus di depan "
"Karena orang lain nggak suka buang-buang untuk menyebut atau menuliskan nama kita. Nama itu
cuma penting bagi yang bersangkutan, bagi orang
lain sih sepele. Nah, nama yang simpatik adalah
nama yang singkat, mudah diingat, serta gampang
diucapkan dan ditulis. Berarti, sebaiknya cukup dua
suku kata saj a, kalau bisa satu suku kata saja tentunya lebih baik, tapi aku nggak bisa ingat nama yang
cuma satu suku kata."
Deni menggaruk kembali kepalanya, mengacakacak rambutnya, lalu terdengar menarik napas,
rupanya tobat menghadapi kebandelan istrinya.
Triska memperhatikannya sambil menggigit bibir
bawah tanda hatinya resah. Jangan-j angan dia akan
menolak nama yang kupilihkan!
"Jadi kau tetap memilih Marco. Coba katakan
apa sebabnya kau begitu mengagumi Marco Polo "
"Ah, nggak adil dong! Aku kan nggak menanya
kan kenapa kau begitu mengagumi Aleksander
Agung serta begitu menyayangi gurunya!"
"Salahmu kenapa nggak mau menanyakan! Kalau kau tanya, pasti akan kujelaskan."
"Aku tetap kurang sreg dengan Aleksander. Ter
lalu pasaran. Setiap orangtua yang ingin anak mere
28 ka jadi gagah memberinya nama itu, mungkin dengan harapan biar nantinya kerempeng, dengan nama
itu otomatis akan kelihatan segagah jenderal!"
"Aku juga kurang sreg dengan Marco! Dan kau
belum menjawab aku."
"Jadi maksudmu, kalau kau bersedia menerima
Marco, aku juga harus menerima Aleksander. "
Deni mengangguk. Si kecil tersenyum dalam
tidurnya, lalu menggeliat pelan. Deni mengelus
pipinya dengan ujung jari. "Kau menertawakan
ayah dan ibumu, kenapa pusing-pusing mencarikan
nama! Ah, nama apakah yang kau senangi Kelak,
kalau kau sudah besar dan mengerti banyak, apakah
kau akan menyukai nama-nama yang diberikan untukmu ataukah kau akan membencinya " bisik Deni
dengan suara lembut.
Deni mengangkat kepala dan menoleh pada Triska."Ya, kira kira begitu. Kau terima pilihanku, aku
akan terima pilihanmu. Tapi sebelum itu, aku ingin
penjelasan kenapa justru nama itu yang kau pilih
Pasti ada sebabnya, bukan "
"Pentingkah itu bagimu "
"Semua yang menyangkut dirimu adalah penting bagiku, Tris!"
Gombal! Masih mau berpura-pura jadi suami
yang setia dan penuh cinta Ke mana rencanamu
setelah mendapat warisan Tetap di sini menunggui
29 anakmu tidur
"Oke, kalau kau ingin tahu juga." Triska
tersenyum, mengangkat bahu. "Jadi kau memaksa
supaya aku menceritakan sebabnya "
"Ya. Bila kau nggak keberatan."
"Oh, nggak, nggak. Kenapa aku harus keberatan " Kenapa aku keberatan kalau kau mau men
cari penggebuk sendiri "Yah, aku memilih Marco
untuk sifatnya yang penuh cinta pada istri perta
manya yang dinikahinya ketika dia bertualang di
Cathay, negerinya Kublai Khan. Istrinya kecil,
mungil, dan, cantik seperti boneka porselen, tapi
bisu dan tuli. Karena dia tak mampu mengucapkan
siapa namanya, orang-orang selir-selir yang
suka memperoloknya memberinya nama "Gema,
untuk mengejek ketuliannya. Ceritanya, ketika
"Gema, berumur lima enam tahun, desanya diserbu
tentara Khan dan dia ditawan. Kedua kupingnya dirusak dengan tusukan besi panas. Pita suaranya juga
dirusak dengan cara yang sama. Lalu dia dijadikan
budak belian dan kemudian ketika Marco Polo dijadikan "pejantan, oleh Kublai Khan, "Gema, bertugas
menghadiri "upacara" itu untuk melaporkan adanya
bercak merah di atas seprai. Walaupun Marco Polo
diberi lusinan cewek Mongol yang cakep cakep,
setiap malam berlainan, dia tetap jatuh cinta pada
gadis molek yang berasal dari Provinsi Fukien ini.
30 Mereka akhirnya menikah dan hidup bahagia. Sayang sekali "Gema, akhirnya meninggal ketika mela
hirkan seorang anak laki-laki yang juga, meninggal.
Marco kembali ke Itali, menikah dan mempunyai
tiga anak perempuan tapi dia tak pernah melupakan
Huisheng artinya "gema, *sampai akhir hayatnya. Diakuinya, hatinya yang merana selalu meliuk
ke Timur, mengenang wanita cantik yang dicintain
ya. Istrinya, Donata, nggak tahu mengenai kisah
cinta suaminya yang tragis ini, tapi dia bisa mera
sakan. Katanya, "Kau tidak pernah mencintai aku.
Kau selalu baik dan ramah, tapi bukan aku yang
kau cintai. Apakah itu Sesuatu atau seseorang "
Aku tersentuh sekali pada cintanya yang dibawanya
sampai ke kubur. Sulit sekali mencari laki-laki yang
mencintai seorang wanita sebesar itu, bahkan sampai mati!"
"Kau belum menanyai aku! Siapa tahu akulah
laki-laki yang kau cari itu!" tukas Deni tertawa.
"Perlukah kutanyai " Triska balas tersenyum
dengan mata masih berkaca-kaca memikirkan kisah
cinta Marco Polo dan Huisheng.
"Ngomong-ngomong, setelah punya tiga nama,
anak kita ini masih akan diberi nama permandian
lagi, nggak "
Uh, dia mengelak nggak mau menjawab, pasti
takut aku cecar, nanti diusut-usut ketahuan bahwa
31 cinta yang akan dibawanya ke kubur bukan bernama Triska, melainkan...
"Tentu saja. Markus. Kan bisa dipendekkan jadi
Marko atau Marco."
"Rupanya kau sudah memikirkan segalanya!"
"Aku terima itu sebagai pujian, trims." Triska
tersenyum menatap Deni. "Soalnya, aku kebanya
kan waktu selama berbaring di rumah sakit."
"Aku berani taruhan, pasti kau pikirkan semua
hal, dari nama sampai tetek bengek segala macam!
Asal saja kau tetap berpikir dengan kepalamu, jangan dengan hatimu!"
"Maksudmu "
"Jadi kita sepakat dengan Marco Aleksander
ditulis dengan huruf "A, tok Aristo' "
Hm, lagi-lagi dia mengelak, nggak berani menjawab desakanku!
"Nama permandiannya Markus. Orangtua permandiannya sudah kau pilih Tanggal dan harinya "
"Kris-Martina serta Sumi-Hansa. Harinya belum
kuatur, mungkin dua minggu lagi kalau perutku sudah lebih baikan dari sekarang."
"Kau masih merasa sakit kalau terguncang "
tanya Deni mengelus perut Triska dengan prihatin.
"Tapi jahitannya kulihat sudah kering dan rapi, nggak ada kemungkinan j adi keloid*. Kau tetap bisa
* Jaringan perut yang menebal
32 memakai bikini!"
Huh, masih bisa guyon dan ketawa Berapa hari
lagi masih akan kau hadiahkan cintamu bagiku sebelum akhirnya kau persembahkan kembali pada
pemilik aslinya
Triska mengangguk. "Ya, terkadang malah sakit
kalau terguncang sedikit saja, misalnya kalau aku
menj atuhkan diri ke atas kursi yang keras atau bangun dari ranj ang terlalu tergesa."
"Kau harus selalu duduk di sofa, jangan di kursi
kayu yang keras."
"Kalau pelan-pelan sih nggak apa-apa."
Sepagi Itu Kita Berpisah Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jadi kapan kau akan pulang ke rumah "
Triska terenyak ditanya mendadak begitu. "Ini
kan rumah " jawabnya sedikit bingung.
"Maksudku, rumah kita. Kapan kau akan balik
ke sana " Deni mendesak, membuat Triska jadi ri
kuh. Tiba tiba saja dia jadi segan membalas tatapan
Deni. Tangannya bergerak, pura-pura asyik membetulkan selimut Marco yang tidak kenapa kenapa.
Deni mencekal pergelangan tangannya, memak
sanya menghentikan gerakan yang dibikin bikin itu.
"Tris, kenapa kau kelihatan susah menj awab Adakah sesuatu yang kau sembunyikan yang seharusnya kau katakan padaku "
"Misalnya "
"You tell me! Mana aku tahu. Cuma firasat ku
33 mengatakan, ada apa-apa, ada sesuatu..."
Pintu kamar mendadak terbuka. Triska menoleh,
diam-diam menarik napas lega melihat ibunya.
Huh, selamat! Nggak perlu menjawab pertanyaan
yang mustahil itu!
"Ayo, mari turun, makan," undang ibunya sambil menghampiri ranj ang menengok cucu yang masih lelap. "Anteng, ya. Tapi bila dia terlalu rewel
kalau malam, nanti Mama pindahkan saja ke kamar
sebelah dan Mama suruh Inem tidur di sana menjagainya."
"Oh, biarkan Marco di sini, Mam!"
"Marco J adi kalian akhirnya sudah menemukan
nama baginya! Bagus kedengarannya. Papa pasti
senang. Marco... ya, bagus! Tapi kau baru menjal
ani OP berat, malam harus tidur nyenyak, nggak ..."
"Marco Aleksander Aristo," Deni menambahi
dengan sukarela.
"Wah, banyak amat namanya," ibu Triska mendecak geli.
"Maklum, Mam, anak satu-satunya. Nama-nama
itu sebenarnya disediakan untuk adik-adiknya, tapi
terpaksa diberikan semua padanya!"
"Aleksander akan ditulis sebagai singkatan saja
kecuali di Surat Lahir. Aristo dari Aristoteles," Deni
kembali dengan sukarela menj elaskan.
Melihat ibunya menaikkan alis sebelum ibunya
34 sempat tertawa geli Triska cepat-cepat bilang, "Aristoteles adalah guru kesayangan Deni, Aleksander
Agung adalah muridnya."
""Nama-nama yang bagus. Kalian pintar memilih."
Deni kelihatan senang mendengar pujian itu, tapi
wajahnya sedikit mendung ketika ibu mertuanya
menyambung, "Tapi bagus juga panggilannya Marco tok, praktis dan simpatik, bukan yang anehaneh."
"Mam, saya makan di kamar saja, deh. Marco
nggak bisa ditinggal."
"Tris, Marco nggak bakal kenapa-kenapa kau
tinggal makan sebentar. Dia belum bisa lari, nggak
bakal kabur!" Ibunya ketawa geli melihat kekhawatiran Triska.
"Tapi, Mam ..."
"Mama kan pernah punya anak, Tris. Masa nggak percaya kalau Mama bilang, nggak apa-apa kau
turun makan setengah jam "
"Sudahlah, biar kami makan gantian. Den,
kau duluan deh turun. Nanti aku." Yang disuruh
makan Deni menatap kedua perempuan itu tan
pa bisa memutuskan mau menyokong siapa. Untung
ibu Triska mengalah melihat anaknya ngotot.
"Kalian makan saj a berbareng, sekarang. Nanti
Mama suruh Inem naik menemani Marco." Melihat
Triska ragu, didesaknya, "Ayo, turun. Papa sudah
35 menunggu. Ditinggal lima menit, sih, nggak ber
bahaya. Sebelum kau mulai makan pun, Inem pasti
sudah ada di samping ranjang ini!"
36 Bab 2
TIGA minggu setelah Marco dipermandikan, Deni
kembali mengajukan pertanyaan itu. Hari itu Minggu kedua bulan Juni, cuaca cerah, langit indah perkasa, bunga-bunga di kebun begitu memukau mata,
ikan ikan di kolam berenang hilir mudik dengan
damai, di tengah kolam sekuntum bunga teratai mekar tadi malam, begitu cantiknya sehingga membuat
Triska menghela napas saking kagum.
Hari masih pagi, matahari belum terik, sehingga
Triska masih sempat mengaj ak Marco duduk-duduk
di dalam gazebof di pinggir kolam. Triska duduk
di atas kursi rotan putih berbantal merah muda, di
pangkuannya berbaring Marco, asyik mendengar
kan celotehan dari bibir ibunya yang diawasinya
dengan takjub. Sang ibu pun tidak kalah takjubnya menatap buah hatinya. Sesekali pandangannya
terlontar ke dalam kolam, mengikuti gerak irama
ikan-ikan, mengagumi kecantikan teratai, namun
tak pernah lama. Cepat sekali matanya pondok be
ratap yang terbuka sisi-sisinya kembali singgah ke
* pundak beratap yang terbuka sisi-Sisinya
37 wajah si kecil yang tengah memperhatikannya serta
menunggu dengan sabar kembalinya perhatian sang
ibu padanya.
Triska berceloteh, mendongeng, dan berdendang. Lagu-lagu yang pernah dikenalnya di Taman
Kanak-kanak, yang disangkanya sudah dilupakannya, kini muncul tanpa disadari, tercetus di bibirnya,
mengantarkan si buyung ke alam mimpi.
Ketika Deni muncul di kebun belakang itu
didengarnya Triska tengah asyik bersenandung
lembut sambil menepuk-nepuk Marco yang rupanya lelap di pelukannya. Dari tempatnya berdiri,
Deni dapat melihat punggung Triska bersandar di
kursi, dan rambutnya yang hitam kelam tergerai
lepas di sekeliling bahu. Kepalanya yang cantik
tampak miring menunduk, memperhatikan anaknya
yang lelap. Pemandangan itu demikian menyentuh
hatinya, sehingga untuk beberapa menit Deni serasa terpukau, tak mampu bergerak dari tempatnya,
bahkan napasnya pun tanpa sadar ditahannya seo
lah takut bunyi napasnya akan terdengar sampai ke
pinggir kolam dan akan mengganggu Triska serta
ikan-ikannya.
Triska kembali menoleh ke kanan, ke arah kolam (seperti yang dilakukannya beberapa kali sejak tadi), dan pada saat itulah perimeter matanya
menangkap Deni. la menoleh lebih ke belakang.
38 "Hai, kenapa berdiri di situ " panggilnya tak be
rani terlalu keras, khawatir mengagetkan Marco.
Deni segera melangkah menghampiri gazebo
dan menjatuhkan diri di samping Triska. Matanya
langsung menangkap wajah mungil yang tengah lelap dengan bibir tersenyum.
"Dia sedang bercanda dengan bidadari," tukas
Triska seakan menjelaskan arti senyum anaknya.
"Kau nggak j aga pagi ini "
"Nggak. Hari ini giliran Nero. Ini kan Minggu,
sekarang kami kena Minggu cuma dua bulan sekali, jadi giliranku masih enam minggu lagi. Gimana
Marco, kalau malam rewel "
"Nggak, kok. Heran deh, anteng sekali anak ini.
Malah aku yang jadi senewen, tiap beberapa jam
harus bangun ngecek kalau-kalau dia sudah basah."
"Kelihatannya pertumbuhannya pesat, tubuhnya
gemuk."
"Ya, minumnya kuat dan tabiatnya periang, kalau ditinggal dia akan asyik main sendiri."
"Tris, kapan kau mau balik ke rumah "
Pertanyaan yang mendadak itu membuat Triska terenyak kaget, sehingga untuk sejenak ia cuma
mampu melongo seakan pandir. Melihat itu Deni
segera menyambung, "Maksudku, rumah kita."
Triska menunduk, bermain main dengan pita
baju anaknya, tampak seakan sulit menj awab.
39 "Kurasa sudah cukup lama kau diam di sini, luka
OP mu pasti sudah nggak mengganggu. Pulanglah,
Tris. Aku kesepian."
Triska terus menepuk nepuk Marco tanpa mengangkat wajahnya seakan tidak didengarnya ucapan Deni. Bibirnya kembali bersenandung pelan.
Setelah beberapa saat memperhatikan istrinya, Deni
kembali membuka mulut. "Tris, aku tahu, ada sesuatu dalam pikiranmu. Sejak keluar dari rumah
sakit kau kelihatan agak berubah, rasanya kau
agak menjauh. Kenapa, Tris Kalau ada ganjalan,
sebaiknya kau katakan sekarang juga supaya tuntas.
Mungkin itu cuma salah pengertian saja "
Triska mengangkat muka, menatap Deni, sesaat
kemudian menunduk lagi dan meneruskan senandung serta tepukannya pada putranya. Deni menyambar pergelangan tangan istrinya, dan memohon, "Tris, jawablah. Aku menunggu, Tris. Jangan
ngambek begini, Tris. Katakan terus terang, apa
salahku !"
Triska menoleh dan menatapnya sekali lagi.
Bibirnya bergerak gerak namun selama beberapa
saat tak kedengaran suara apa pun. Rupanya sulit
sekali baginya untuk membuka mulut. Air mukanya menunjukkan bahwa dia tengah berperang batin.
Deni agaknya mengerti pergulatan emosi yang di
alami Triska, sebab dia mempererat genggamannya
40 dan mengguncangnya berulang-ulang seraya meyakinkan, "Katakan, Tris. Jangan takut. Tumpahkan
semua yang berkecamuk dalam hatimu! Aku siap
mendengarkan. Katakan, Tris. Sekarang juga!"
Baiklah, pikirnya. Mungkin saatnya sudah tiba!
Sinar matanya berubah sayu ketika kesedihan menyapu hatinya. Siapa yang menyangka akan begini
akhir kisah kita, Den!
Triska mengangguk. "Ya, aku memang ingin
mengatakan sesuatu, dan rasanya saatnya sudah
tiba. Tapi sebelum aku meneruskan, aku ingin kau
menjawab aku dulu. Siapakah Odi Bobadila itu "
Ular kobra pun mungkin takkan membuat Deni
sepucat itu. Wajahnya langsung pias seperti kapur,
matanya menatap nyalang penuh kengerian seakan
meliliat seseorang yang pernah dibunuhnya kini
datang menghantuinya.
Hm, dia takkan bisa menyangkal, pikir Triska.
Marco tidur nyenyak sekali. Ia pasti akan terpaksa membeberkan persekongkolannya dengan Odi!
Untunglah Marco tak perlu mendengarkan ayah
dan ibunya bertengkar. Ia mungkin akan menantang
dan membela cintanya pada yang lain itu! Tapi jangan takut, Marco, kau takkan kehilangan ayahmu.
Bagaimanapun, Odi adalah cintanya yang pertama.
Karni mungkin akan berpisah, tapi kami takkan
menelantarkanmu. Mungkin juga cintanya satu sa
41 tunya! Mama menyesal kelahiranmu tidak disambut dengan lebih gembira. Mana buktinya, dia juga
mencintaiku
"Den, aku menunggu. Akan kau katakan atau
nggak " desaknya dengan suara tetap pelan. Kalau
dilihat dari jauh, pasti sangka orang kita sedang pacaran, berpegangan tangan, pikirnya geli bercampur
sedih.
Deni menarik napas panjang, lalu ujarnya seten
gah terpaksa, "Dia adalah peragawati, bukan "
Triska mengangguk. "Ratu peragawati seASEAN. Itu aku tahu. Yang ingin kuketahui adalah apakah kau mengenalnya "
"Semua orang kenal dia," sahut Deni setengah
tersenyum seakan merasa lucu.
"Apakah dia temanmu "
"Tergantung apa yang kaumaksud dengan
teman...."
J angan berlagak pilon! Apa ini yang disebut taktik mengulur waktu Kau berharap akan ada orang
datang sehingga percakapan ini terputus dan kau
nggak usah menj awab Oh, kalau maksudmu Kris,
Martina, dan Bobi, mereka baru akan tiba menjelang makan siang! Jangan coba-coba meloloskan
diri, ah!
"Perlu kuambilkan kamus bahasa Indonesia "
"Nggak perlu." Deni menggeleng, melepaskan
42 cekalannya pada Triska, dan menggaruk-garuk belakang kepalanya. "Akan kujawab kalau kau betulbetul ingin tahu. Tapi apakah itu penting bagimu "
Hm, suaramu kedengaran, memelas amat. Kenapa kau segan berterus terang Takut aku pingsan
Khawatir aku ngamuk Oh, nggak usah, ya! Aku
takkan berkedip mendengar jawabmu, taruhan
"Sangat."
"Oke."
Mendadak kau jadi pelit dengan kata katamu.
Taktik mengulur waktu Hm. Memang setiap hari
Minggu, Kris sekeluarga datang ke sini, tapi masih
lama. Kau takkan lolos, percayalah! "Danjawabnya
adalah "
Deni menarik napas panjang dan berat seolah
paru-parunya cuma tinggal separo. "Jawabnya adalah ya. Puas "
"Ngngng... belum. Jangan kesusu, kita banyak
waktu, kok." Triska tersenyum manis. "Baru jam
sepuluh lewat, makan siang jam satu. Kris bersama anak buahnya baru akan muncul sekitar jam dua
belas. Kenapa aku merasa seakan kau ingin menghindari tanya-jawab ini "
"Habis, kau terus yang bertanya, aku cuma kebagian menjawab saja."
"Yang bertanya adalah orang yang pegang sen
jata." Triska tersenyum menanggapi senyum Deni
43 yang sumir.
"Dan apa senjatamu kalau aku boleh tahu "
"Sabar, kau akan tahu. Tapi sebelumnya, aku ingin melanjutkan anamnesa" ini. Kau keberatan "
"Kalau ya, gimana "
"Tanya-jawab ini akan kuhentikan, tapi kau nggak akan tahu jawaban atas semua pertanyaanmu!
Masih keberatan "
"Mana berani!" Deni nyengir sambil bersidekap.
"Tembak saja! Paling paling aku terkapar ping
san kalau pertanyaanmu terlalu maut."
Hm, kau kelihatan salah tingkah, nih ! Rupanya
hidungmu sudah mencium ke mana arah wawan
cara ini, bukan Bagus!
"Kau bilang, Odi adalah temanmu. Teman intimkah Seberapa intim "
Deni menggleng, dan mencoba tertawa namun
dihalangi oleh tatapan Triska yang lembut tapi maut.
Deni membuka kedua telapak tangannya ke atas,
kepalanya menengadah sesaat sebelum menunduk
kembali menatap Triska. "Tris, apa artinya ini "
"Jawab saj a, nanti kau akan tahu artinya," desak
Triska, tersenyum.
"Tapi dari mana datangnya semua ide ini Siapa
yang telah menularkan virus ini ke kepalamu Siapa
yang telah menceritakan gosip ini padamu "
** wawancara dengan pasien/keluarga
44 "Jadi menurutmu, cuma gosip Ck, ck, ck, Odi
pasti akan ngambek kalau mendengar! Ketika dia
menceritakannya padaku, sama sekali tidak memberi kesan dia sedang menggosip."
"Odi "
Nah, nah, melotot deh kau! Kaget, Bung Kasihan. Sayang nggak ada air minum untuk menghilangkan kaget. Ah, ada air kolam. Kalau cukup bersih
untuk ikan ikan, kenapa nggak untukmu
"Kapan dia menceritakannya padamu "
Nah, sudah mulai sesak napas kau. Hati-hati, nanti serangan jantung. Bukankah kakekmu
Sepagi Itu Kita Berpisah Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
meninggal karena jantungnya mogok
"Ketika dia datang ke tempat praktekku."
"Dengarlah, Tris, akan kujelaskan. Semua ini
cuma salah paham."
Aih, suaramu kedengaran begitu memelas,
membuat hatiku nggak tega buat meneruskan,
tapi mungkin itu cuma taktikmu belaka Tahu,
kan, yang disebut serigala berbulu domba
"Lebih baik kau yang mendengarkan, aku yang
menj elaskan." Triska melirik Deni sambil tersenyum
simpul. Marco masih tetap lelap di buaian ibunya
yang terus menepuknya pelan pelan. Deni kelihatan
menyerah, menghela napas, dan menunggu dengan
kedua tangan dirapatkan seakan tengah berdoa.
Dewa mana yang sedang kau mintai bantuan
45 Apakah mereka mau menolong manusia yang menipu istri sendiri
"Odi bilang, kau dan dia sebenarnya sudah hampir menikah. Sayang nenekmu anti dengan peragawati yang dianggapnya suka memamerkan tubuh.
Tentu saj a itu pendapat yang sangat kolot, tapi apa
daya, orang yang punya harta banyak memang berhak membuat pendapatnya jadi undangundang. Pal
ing sedikit, bagimu.
"Odi bilang, nenekmu mengancam kau nggak
bakal diberinya warisan sepeser pun kalau kau
nekat kawin dengan peragawatimu. J adi kalian berdua mencari akal. Nenekmu memberikan syarat
dalam surat wasiatnya, kau harus kawinHlengan
gadis lain paling sedikit tiga tahun sebelum kau
berhak mendapatkan warisanmu.
"Nah, Odi bilang, kalian lalu sepakat untuk membiarkan kau kawin dulu dengan orang lain selama
tiga tahun, sampai warisan itu kau peroleh. Setelah
harta ada di tangan, kau akan segera menceraikan
istrimu dan kembali pada Odi.
"Odi bilang, supaya perceraian ini nggak menjadi ruwet, kau nggak boleh sampai punya anak den
gan istrimu! Nah, berarti kau boleh kawin dengan
siamang atau babon mana saja asal jangan sampai
beranak. Paling ideal tentunya kalau monyetnya
mandul!" Triska berhenti sebentar untuk menatap
46 Deni sambil tersenyum pilu. Yang ditatap cuma balas melongo dengan bengong.
Tampangmu sudah mirip-mirip pasien schizo
phren yang sedang kumat, aku harus hati hati, siapa
tahu kau nanti mata gelap dan menceburkan aku ke
kolam!
"Nah, apa mau, kau ketemu gadis bego yang cocok dengan rencana kalian, pas betul sampai dengan
kriteria mandul itu. J adi tentu saja, kontan kau rayu
dan kau ajak kawin! Cuma dalam waktu... berapa
bulan Lima bulan Bukan main! Ada pos kilat,
rupanya ada juga kawin kilat!
"Masalahnya sekarang, Odi datang menuntut
agar kau dikembalikan padanya olehku! Dia sudah
menghitung-hitung, kau sudah kawin tiga tahun,
nggak lama lagi warisan itu akan jatuh ke tanganmu, dan kau akan bebas untuk kawin dengannya.
Halangannya sekarang cuma satu. Aku. Alternatifn
ya adalah aku harus kau ceraikan atau kau singkirkan. Sebagai manusia yang inteligensinya cukup
tinggi bukankah kau lulus cum laude dan hampir
diterima jadi anggota Mensa, angkanya kurang tapi
diizinkan mencoba lagi, bukan kurasa kau akan
lebih suka memilih jalan pertama. Benar, nggak "
"Semua itu nggak benar!"
"0, ya "
"Percayalah padaku!"
47 "Mungkinkah "
"Masa kau nggak percaya pada suami sendiri
Jadi kau lebih percaya pada orang lain "
"Sekarang kau anggap Odi cuma orang lain
Betulkah aku bisa mempercayaimu Lalu kenapa
kau nggak pernah menceritakan soal warisan itu
padaku Tentunya bukan karena takut aku minta
bagian, bukan Kalau aku nggak mendengar sepupumu, Tono, menyebut nyebut tentang warisan itu,
aku pasti takkan pernah tahu apakah Odi bohong
atau nggak. Tapi ternyata memang ada masalah
warisan...."
"Berilah aku kesempatan untuk menjelaskan."
Aku harus berhati-hati menghadapi orang yang
pintar merayu dan suka memohon-mohon. Mungkin ini semacam taktik pula.
"Cerita Odi sudah cukup jelas, nggak perlu kau
perinci lagi. Kau jawab saja aku. Aku ingin tahu
sampai di mana kejujuranrnu, sampai di mana kau
bisa kupercaya. Pertanyaanku adalah, apakah cerita
Odi itu benar "
"Itu nggak bisa dijawab dengan gampang, Tris.
Nggak bisa dengan ya atau tidak saja."
"Oke, akan kutanyakan inci demi inci. Pertama,
benarkah kau dan Odi pernah pacaran "
"Tris..."
"Bilang saja ya atau nggak," Triska menolongn
48 ya mencari jawab sambil tersenyum. "Nah "
Deni menarik napas panj ang, menunduk, dan
akhirnya mengangguk sekali.
"Aku nggak mendengar jawabanmu," desak
Triska.
"Ya," ulang Deni dengan suaranya yang hampir
tak terdengar. "Tris, kenapa kau sekej am ini padaku "
Hm, sekarang kau yang mau berkaok menuduhku kej am Berkaca dulu, ah, siapa yang ingin meni
pu, siapa yang punya rencana heeeiiibat
Triska tidak meladeni keluh kesah Deni. Dengan
tenang melanjutkan, "Kedua, benarkah kalian sudah
merencanakan untuk menikah Jawab saj a, ya atau
nggak."
Deni kembali menghela napas sebelum menyahut,"Ya."
Kok suaramu makin pelan saja Hm.
"Ketiga, benarkah nenekmu nggak setuju kamu
dengan Odi
"Ya."
"Benarkah nenekmu menulis syarat seperti itu
dalam surat testamennya "
"Ya."
"Kelima, benarkah kau dan Odi membuat rencana supaya kau kawin dulu sampai warisan itu kau
peroleh dan setelah itu kau akan balik padanya "
49 "Ya... dan nggak!"
"Ini bukan multiple choice, Den. J awabnya cuma
mungkin satu, nggak bisa dua-duanya. Jadi kuanggap ya. Nggak adalah sebuah kata yang kurang simpatik, aku nggak menyukainya. Nah, sekarang yang
keenam "
"Biarlah kujelaskan.
"...Kapan kau akan menceraikan aku " Suara
Triska begitu pelan dan manis, orang yang tidak
mengerti bahasa Indonesia pasti menyangka ia se
dang menanyakan hlm apa yang sebaiknya mereka
lihat nanti malam. Tapi reaksi Deni tidak bisa disalahartikan. Ia jelas kelihatan pucat seakan tengah
ditodong senapan mesin di tangan manusia yang
tujuan hidupnya adalah meraih gelar Pembunuh Serial.
Uh! Masa kau hampir tercekik, di tenggorokanmu mengganjal apa, sih Sebongkah penyesalan
Sudah terlambat, Say! Kau yakin rencanamu takkan
meleset. Kau sangka yang kau kawini itu perempuan
steril, nggak tahunya kau kebelejok, istrimu temyata masih sanggup bertelur... ha! Apa yang akan kau
lakukan sekarang Berlagak nggak ada urusan den
gan Odi Sudah telat, orangnya sudah mendahului
datang padaku.
Deni membuka dan mengepalkan tinju berkali
kali, menggeleng, menarik napas, menggeleng lagi,
50 memukulkan tinjunya ke telapak tangan, menggeleng, menarik napas, memukulkan tinju, mengge
leng, menarik napas, dan memukulkan tinju.
Triska jadi kasihan melihatnya. "Jangan takut,
Den," hiburnya setengah membujuk, "dengan bercerai nggak berarti kita otomatis j adi musuh. Kita
akan tetap berteman, aku nggak menyimpan dendam terhadapmu. Kau tetap boleh datang ke sini
setiap saat untuk mengunjungi Marco. Aku akan
selalu menyambutmu dengan tangan terbuka. Dan
kelak, kalau Marco sudah besar, dia boleh kau ajak
nginap di rumahmu, asal Odi nggak keberatan, atau
piknik..."
"Itu adalah rumah kita, Tris! Bukan rumahku!
Dan Odi nggak bakal tinggal di sana. Nggak ada
yang akan menggantikanmu, Tris, baik dia ratu kecantikan atau wanita terkaya di dunia! Dengarlah,
Tris, berilah aku kesempatan untuk ngomong."
"Oke, silakan."
"Apa yang dikatakan Odi sebagian memang benar, maafkan aku, Tris. Waktu itu aku masih ingu
san, pikiranku sempit. Kusangka di dunia ini cuma
ada Odi seorang bagiku. Kukira aku mencintainya.
Kuakui, dia cantik dan namanya terkenal, setiap laki-laki pasti akan bangga menjadi pasangannya."
"Dan kau pilih aku sebagai korban!"
"Tris"
51 "Begitu tahu keadaanku, kau langsung lapor
pada Permaisuri, "Sudah ketemu cewek yang memenuhi syarat! ""
"Maafkan aku, Tris. Setelah aku mengenalmu
lebih dalam, aku mulai menyesali rencana gila itu.
Makin lama penyesalanku makin bertambah, aku
merasa tidak berperikemanusiaan, diriku terasa
merosot lebih rendah dari binatang. Akhirnya aku
tahu, aku sudah j atuh cinta padamu! Aku jatuh cinta
karena suaramu yang lembut, tawamu yang riang,
humormu yang tak pernah habis, kepolosanmu yang
mengharukan, keluguanmu yang mengherankan,
serta kepasrahan dan kerendahan hatimu. Gadis lain
mungkin akan murung atau marahrnarah, menyesali nasib tak sudah sudah, tapi kau mengenyahkan problem itu dan memutuskan untuk menikmati
hidupmu apa adanya. Aku sungguh kagum padamu!
"Tris, kau adalah gadis yang luar biasa. Kau
sangat berarti bagiku. Kau sangat istimewa. Aku
tahu rencana itu sudah gagal. Jadi kudatangi Odi
dan kuberitahukan sejujurnya apa yang terjadi. Ku
katakan, aku minta maaf, nggak bisa meneruskan
rencana itu. Aku akan menikah dengan Triska Ome
ga buat selamanya, bukan cuma tiga tahun seperti
yang direncanakan. Odi marah tentu saja, ngamukngamuk, mengancam akan membeberkan rahasia
kami padamu. Tapi aku yakin, aku sebenarnya ng
52 gak pernah mencintainya. Aku cuma tertarik pada
namanya yang harum selangit, pada kecantikannya
dan penampilannya yang mentereng. Aku nggak
pernah membayangkan untuk berbagi suka dan
duka dengannya setiap hari, setiap malam, sepanjang hidupku. Odi bagiku cuma berarti kemewahan,
kemasyhuran, serta kerlap-kerlip lampu tontonan.
Tapi setelah lampu lampu dipadamkan, setelah pa
kaian mewah ditanggalkan, dandanan dicopot, Odi
sebagai manusia biasa nggak memikat hatiku. Aku
menyadari saat itu setelah mengenalmu Odi dalam daster dan rambut penuh gulungan nggak ada
daya tariknya bagiku."
"Dan aku ada " Triska tersenyum geli. "Juga dalam daster yang sudah bule ini " tanyanya memegang baju yang dikenakannya.
"Kau selalu menarik bagiku, Tris. Dengan atau
tanpa apalagi tanpal baju!" Deni tersenyum,
Triska memukulnya setengah cemberut. "Kau
menarik kalau ketawa, kalau cemberut seperti
tadi kalau ngambek, juga kalau nangis. Ingat dulu,
kau nangis ketika memberitahu aku apa sebabnya
kau ragu menjadi istriku Karena kau nggak mau
me ngecewakan aku Aku jatuh cinta saat itu ketika
melihat matamu penuh air, ujung hidungmu merah, dan bibirmu sembap kemerahan. Aku langsung
jatuh terperosok ke dalam perangkap cintamu, dan
53 nggak pernah bangun lagi sampai sekarang! Aku
juga nggak mau bangun lagi buat selamanya. Sampai akhir hidupku, aku akan tetap mencintaimu.
Percayakah kau padaku "
"Terus terang, sulit. Aku nggak tahu, rahasia
apa lagi yang masih kau simpan yang nggak kaukatakan padaku. Contohnya, soal warisan, kenapa
harus kau rahasiakan Kalau bukan secara kebetulan aku mendengarnya, pasti sampai sekarang pun
aku nggak tahu ada persyaratan yang unik itu serta
rencanamu bersama Odi"
"Tris, salah satu sifatmu yang sangat kukagumi
adalah kejujuranmu. Kau selalu terus terang padaku, bicara apa adanya, dan itu sangat kuhargai. Soal
warisan itu sebenarnya nggak perlu kau risaukan
benar. Aku nggak menceritakannya padamu karena
aku j arang sekali ingat akan hal itu. Aku nggak suka
menggantungkan hari depanku pada uang orang
lain. Dan bila kebetulan aku ingat, suasananya sedang nggak mengizinkan, sebab biasanya pikiranku
baru rileks kalau di tempat tidur, tapi kau tahu
sendiri kegiatan apa yang lebih menggairahkan daripada cuma sekadar ngobrolngobrol di ranjang!"
Deni tersenyum disambut oleh Triska dengan tidak
kurang manisnya.
Kau bilang, nggak suka uang warisan Tapi buktinya...
54 "Kalau nggak suka uang itu, kenapa kau sampai
nekat menyusun rencana ini itu Kenapa nggak laju
saja mengawini Odi, dan masa bodoh dengan warisan "
Deni menghela napas, mengangguk-angguk.
"Soalnya, ayahku sangat mengharapkan uang
itu sebagai tambahan modal. Memang uang itu atas
namaku, tapi aku nggak pernah memusingkannya.
Sampai saat ini pun selalu ayahku yang mengurusnya. Paling-paling kukira, kalau saatnya sudah tiba,
aku akan diajaknya untuk tanda tangan, lalu uang
itu akan langsung masuk rekening ayahku, terser
ah mau diapakan. Tris, aku nggak pernah berharap
bakal ketiban rezeki dari langit maupun dari kubur,
jadi aku juga nggak merasa itu topik yang perlu kita
bicarakan. Tapi kalau kau merasa tersinggung, aku
minta maaf, bukan maksudku merahasiakannya terhadapmu."
"Nggak ada yang harus dimaafkan, Den," bisik
Triska.
Oh, seandainya Odi tak pernah datang menemuiku! Apa pun rela kuberikan seandainya waktu bisa
diundur dan pertemuan itu dibatalkan. Betapa bahagianya aku saat ini seandainya Odi nggak pernah
mampir menceritakan dongengnya yang aneh itu.
Oh, kenapa waktu nggak pernah bisa kembali lagi
"Tris, terus terang kukatakan, sebelum pernika
55 han kita, aku sudah memberitahu Odi, hubungan
kami sudah berakhir, dia nggak boleh menunggu
aku, sebab aku nggak bakal kembali padanya. Dia
marah besar tentu saj a, karena itu dia nggak datang
Sepagi Itu Kita Berpisah Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ke pesta kita. Dia mengancam akan membalas
dendam. Aku meremehkan ancaman itu. Nggak
disangka, rupanya inilah pembalasan yang ditunggu-tunggunya." Deni menghela napas. Suaranya
getir ketika dia menyambung, "Selama tiga tahun
hidup kita begitu tenteram bahagia, aku jadi terlena,
lupa akan bahaya. Habis siapa sangka, kukira Odi
sudah melupakan diriku. Dia nggak pernah sekali
pun menghubungi aku, kecuali... beberapa bulan
yang lalu."
Tapi sering menggerecoki istrimu! Uang hampir
satu miliar, siapa akan gampang-gampang melupakannya
"Yah, tapi nggak ada gunanya menyesali susu
yang tumpah," Deni melanjutkan dengan lesu.
"Apa yang sudah terjadi, terjadilah."
"Kau betul. Nggak ada gunanya menyesali apa
yang nggak bisa diubah lagi. Masalahnya sekarang,
bagaimana mengubah insiden itu j adi sejarah Apa
yang sebaiknya kita lakukan "
"Ya, apa yang harus kita lakukan !" Deni menegaskan dengan kening berkerut. "Setelah menden
gar penjelasanku barusan, tentunya kau langsung
56 mengerti, nggak ada yang harus kita lakukan! Cuek
saja sama Odi! Kalau dia berani menemuimu sekali
lagi, atau mengganggumu dengan apa pun, dia harus berurusan denganku!"
"Aku rasa, pendapatmu sedikit keliru."
"Aku rasa, nggak. Yang perlu kau lakukan hanya satu. Memaafkan suamimu. Aku mengaku salah,
aku sudah bertindak bodoh sekali."
"Dan tanpa perasaan."
"Ya, dan tanpa perasaan. Maafkanlah aku, Tris.
Ampunilah aku. Tapi jangan biarkan masalah ini
mengganggu hidup kita, sama sekali nggak berharga untuk berlaru-larut menyita pikiranmu."
"Kurasa, aku tahu apa yang harus kita lakukan,
lebih tepat lagi, apa yang harus kau lakukan!"
"Aku Apa yang mesti kulakukan "
"Kau harus kembali pada Odi!" Suara Triska
tenang dan manis, seakan dia sedang minta dipetikkan sekuntum bunga dari kebun.
Hm, kenapa kau melotot Apakah usulku itu
tidak masuk akal Kau sudah memberikan janji
pada Odi, masa seenaknya mau kau langgar Nggak begitu gampang membatalkan janji yang sudah
diucapkan, apalagi bila orang yang bersangkutan
datang menagihnya!
"Kau gila!"
"Itukah diagnosismu Beginikah rupanya orang
57 gila " Triska menunjuk dirinya, lalu menyambung
kembali gerakannya menepuk nepuk Marco.
"Tapi kenapa kau suruh aku balik sama Odi Apa
kau sudah nggak mencintai diriku Ah, aku nggak
perlu menanyakannya. Aku tahu, kau mencintaiku
dan akan tetap begitu selamanya. Berarti kau cuma
guyon." Deni mencoba tertawa walaupun sumbang
bunyinya.
"Kau boleh bilang begitu pada pengacara yang
akan menghubungimu," tukas Triska tersenyum, sementara Deni melotot.
Matamu yang mendelik itu kenapa kelihatan cemas dan kaget Setiap orang yang menanam pasti
harus panen, bukan Kau sudah menebar benih keributan, sudah kau berikan janji harapan, sekarang
tiba saatnya kau harus membayar janj i itu dan membawa pulang hasil panen dari benih yang kau semai
di padang hatinya!
"Kau serius "
"Ya."
Deni kelihatan bingung, meremas-remas jarijarinya, mengepalkan tinju, dan memukulkannya
ke telapak tangan berulang-ulang, menjambak rambut, mengacak-acaknya, menggaruk kepala, menggeleng, melenguh, semua dilakukannya kecuali
menyumpah.
"Tris, aku nggak percaya kau mau membalas
58 dendam bila kau anggap aku telah menipumu. Aku
sangat kenal sifatmu, hatimu yang baik nggak bakal
menyuruhmu balas dendam."
"Aku nggak berniat balas dendam. Aku malah
merasa berterima kasih padamu karena kau telah memberi aku Marco. Nggak pernah aku berani
berharap suatu ketika akan bisa gravid atau akan
ada orang yang mau menikah denganku. Tapi kau
ternyata bersedia menerima aku dengan segala
risikonya."
"Tapi motifnya semula nggak terpuji!" keluh
Deni penuh penyesalan. "Aku terima salah. Aku
rela kau maki, kau marahi, kau apakan saja, asal
jangan putuskan hubungan kita berdua."
"Lalu bagaimana kau akan mengembalikan kepercayaanku padamu "
"Tris..."
"Bagaimana kau akan memulihkan harkatmu
sebagai manusia yang berkarakter dan berintegritas
tinggi "
"Tris..."
"Laki-laki tanpa integritas sama sekali nggak
ada harganya, Den. Bagaimana mau kau harapkan aku akan terus mencintaimu kalau kau nggak
memulihkan lagi harga dirimu."
"Aku bersedia menanggung hukuman apa juga
yang mau kau jatuhkan, tapi kalau kau memaksa
59 mau berpisah, lantas gimana aku akan membuktikan padamu bahwa integritasku sudah pulih dan
cintaku utuh bagimu Apa gunanya cintamu yang
abadi bila aku nggak bisa memperolehnya Apa kau
mau menyuruh aku mengagumi Triska Omega dari
jarak jauh "
Triska menatap Deni tanpa bersuara walau bi
birnya terus-menerus bergerak seakan banyak yang
mau diucapkan. Deni juga balas menatapnya sehingga untuk beberapa saat keduanya bertatapan.
Ah, matamu begitu hitam dan sendu. Akan kujadikan kenangan bila aku rindu padamu. Akan kuingat bola matamu yang bening, kelopakmu yang
terlipat dalam, alismu yang lebat...
Triska tersentak ketika dirasakannya sentuhan
pada lengannya dan bisikan yang mengiris hati.
"Kenapa kaulakukan ini padaku, Tris Pada kita
Aku tahu, kau nggak ingin berpisah. Kenapa, Tris "
Triska mengangkat kepala dan menatapnya cukup lama hingga yang ditatap jadi gelisah dan mengguncangnya pelan. Barulah Triska kelihatan menggerakkan bibir, namun baru beberapa saat kemudian
terdengar suaranya. "Karena aku menempatkan diri
di tempatnya!"
Deni tercengang sampai cekalannya terlepas.
"Kau menempatkan diri di tempat Odi "
"Ya. Aku bayangkan pacarku kawin dengan ga
60 dis lain karena terpaksa dan dia berjanji akan kembali padaku setelah tiga tahun, setelah warisan itu
diperoleh. Hubungan kita sudah dua tahun lebih,
ditambah tiga tahun, berarti aku sudah menunggu
lima tahun! Masa dia sekarang mau mungkir janji,
nggak jadi balik padaku Mana aku mau mengerti!
Kau pikir hati perempuan terbuat dari batu, nggak
bisa hancur dibanting, dipermainkan seperti itu "
"Tapi aku kan sudah sejak mula mengatakan
padanya, aku takkan balik. "Aku akan menikah untuk seumur hidup dengan Dokter Triska Omega,
dan rencana kita semula batal." Nah, salah siapa kalau dia masih juga menunggu aku "
"Memang bukan salahmu. Mungkin salah warisan itu. Siapa yang rela melepaskan harta karun se
banyak itu "
"Huh! Gara-gara duit!"
"Dan gara-gara kau sudah telanjur berj anj i akan
kembali padanya!"
"Nggak bolehkah aku jatuh cinta padamu Seti
ap menit, puluhan, ratusan, ribuan orang di seluruh
dunia jatuh cinta lagi dan lagi, dan menyadari, mereka sebenarnya nggak mencintai orang yang sebelumnya. Berapa banyak orang yang keliru menganggap itu cinta padahal sebenarnya mereka cuma
terpukau, silau oleh kecantikan atau kekayaan "
"Tapi aku nggak bisa bahagia di atas kehancuran
61 orang lain, Den. Odi jelas merasa hidupnya akan
hancur bila kau tetap bersamaku."
"Aku sangat menyesal. Tapi apa boleh buat.
Kaulah yang kucintai! Kalau kita harus berpisah,
aku akan patah hati."
Triska menarik napas berat. "Yah! Kalau begitu terpaksa kau harus ikut menderita bersamaku!
Sebab aku juga akan patah hati bila kita terpaksa
berpisah, Den. Tapi perpisahan rasanya tak bisa
dihindari. Kau harus menepati janjimu sebagai laki-laki. Perempuan ini kau nikahi hanya demi memenuhi persyaratan yang dituntut nenekmu. Setelah
warisan itu selamat di tanganmu, urusan perceraian
kita bisa segera diproses.
62 Bab 3
SUDAH tentu setiap orang dalam keluarganya berusaha membujuk Triska agar membatalkan niatnya.
"Kau seharusnya mempertahankan cintamu, bukan sebaliknya begini!" ibunya memberi nasihat.
"Setiap orang tentunya bisa berbuat salah, Tris.
Tapi kita harus selalu siap memaafkan kalau orangnya sudah insaf dan mau memperbaiki salahnya,"
ujar ayahnya.
Justru jalan ini kutempuh agar aku bisa mempertahankan respek dan cintaku padanya, Mam,
Pap. Kalau kami tetap bersama, lambat atau cepat
hubungan kami pasti akan retak. Pelan pelan aku
pasti akan meremehkannya sebagai laki-laki yang
nggak bisa pegang janji. Kalau dia bisa mengkhianati pacar yang begitu setia, apa jaminannya dia
kelak nggak bakal mengulangi hal yang sama terhadapku Tentu saja alasannya karena dia salah
menafsirkan perasaannya, sangkanya dia cinta pa
daku, tahunya itu cuma rasa tertarik belaka. Persis
seperti yang dikatakannya mengenai Odi. Bukann
63 ya nggak mungkin kelak dia yakin, cintanya yang
sejati adalah perempuan ketiga, bukan lagi Triska
Omega!
"Prinses, apa-apaan kau! Masa sudah jadi mami,
tingkahmu masih kayak remaja! Deni kan sudah
tiga puluh, nggak lama lagi kepalanya bakal penuh
uban, kenapa kau nggak mau percaya pada katakatanya Kan mendingan hidup rukun bersama
daripada cerai berai kesepian " bujuk Kris yang
rupanya berdiri di samping Deni. Entah karena sa
ma-sama laki-laki, pikir Triska. Ataukah karena dia
kurang mengerti j elas duduk perkaranya!
"Ingat, kalian sudah menerima Sakramen Per
kawinan!" tukas Martina mengacungkan telunjuk
seperti ibu guru yang galak.
Triska tersenyum sendu. "Kau pikir, apa se
babnya aku terburu-buru minta cerai duluan Kan
supaya Deni terhindar dari salah, dan karena itu ke
mungkinan bisa diizinkan kawin lagi oleh gereja!"
"Walaupun kau merasa nggak memerlukan
Deni, ingatlah Marco," bujuk abangnya sekali lagi.
"Kalau kau nggak mau melakukannya untukmu
sendiri, lakukanlah untuk anakmu. Janganlah berp
isah. Maafkanlah Deni. Dia adalah sahabatku yang
paling karib, aku tahu betul sifat dan perangainya.
Nggak mungkin dia sengaja mau menyakiti hatimu
maupun Odi. Terkadang kita nggak kuasa menahan
64 perasaan kita sendiri. Dia jatuh cinta padamu, walau
mungkin tidak di luar kehendaknya. Tapi dia kon
sekuen dengan cintanya. Dia selalu setia padamu.
Ya, dia terpaksa memutuskan janjinya dengan yang
lain itu setelah ternyata dia memang nggak mencintainya. Tanyailah hatimu, nggak pantaskah Deni
kau maafkan "
Kesulitannya adalah, Triska selalu ngotot men
yatakan bahwa tak ada yang perlu dimaafkan. Pembelaan mereka jadi terbentur tembok tinggi.
"Dia ayah dari anakmu, Tris," sambung Marti tulus walau dulu dia pernah ingin menjodohkan
Triska dengan abangnya, Roy Parega. "Apa kau
tega merenggut ayahnya dari sampingnya Gimana
kalau kelak dia merasa kehilangan "
"Marco akan tetap memiliki ayahnya, Marti.
Jangan khawatir. Hal itu sudah kupikirkan betulbetul. Aku nggak pernah akan menyakiti perasaan
anakku. Aku ingin Marco tumbuh menjadi manusia yang bahagia, dan kurasa ayahnya sependapat
denganku. Dia takkan menghindari atau melupakan
anaknya. Dan aku akan selalu menerimanya dengan
tangan terbuka bila dia datang menjenguk Marco.
Aku ingin dia datang sesering mungkin, sebisanya membagi waktu. Marco nggak akan kehilangan
ayahnya, jangan takut."
Akhirnya kasus Triska minta cerai menjadi gos
65 sip yang tersiar di luar lingkungan keluarga, dari
Marti ke Roy, ke Nero, ke Lupita (pemilik salon
kecantikan), ke Sumi (langganan salon Lupita), ke
Erik, balik lagi ke Triska.
"Sebenarnya aku harus bersyukur mendengar
kabar itu, Tris. Tapi aneh, kok nggak. Memang
kalau kau bebas, kesempatanku akan naik sekian
persen, mungkin juga akan bisa menang. Tapi aku
nggak menyokong keinginanmu itu sebab aku tahu
kau nggak akan bahagia tanpa suamimu. Deni lah
yang kaucintai, bukan aku, bukan siapa-siapa.
Karena itu kau harus bertahan di sampingnya. Aku
minta, pikirkanlah kembali sebaik baiknya. Kau
harus menyayangi dan mengasihani dirimu sendiri,
jangan biarkan dirimu merana hanya demi ego wanita atau karena harga dirimu terinjak-injak," ujar
Erik mencoba memberinya pengertian.
"Kau gampang ngomong begitu, sebab kau ng
',, gak tahu apa persoalannya Triska membela diri
dengan tenang.
"Kalau begitu, ceritakanlah. Aku memang masih
gelap, apa sebenarnya masalahnya. Sumi cuma bilang, kau ingin cerai gara gara misuamu ada main.
Benarkah "
"Maaf, aku nggak ingin membicarakannya denganmu atau Sumi atau siapa pun. Dan kuharap
kau menemui aku di sini bukan semata-mata un
66 '), tuk urusan domestikku Triska melempar senyum
menawan membuat wajah Erik Sigma kontan ter
hiasi senyum gembira. Mungkin teringat masa-masa pacaran kita yang manis di SMA pikir Triska
kangen kepada zaman purba. Ah, kenapa kita harus menjadi dewasa, kenapa zaman harus berubah
Kan enak tetap jadi remaj a, nggak usah memikirkan
masa depan, nggak punya tanggung jawab kecua
li menyelesaikan PR dan membawa pulang rapor
bagus, semua keperluan diurus dan dicukupi oleh
Mama-Papa, nggak ada masalah ruwet yang bikin
pusing tujuh keliling!
"Aku memang berniat mengajakmu makan
siang. Kau ada waktu "
"Tunggulah sebentar, aku cek dulu dengan perawat. Kalau poliklinik sudah kosong dan nggak ada
anak yang perlu tindakan segera, aku bisa pulang,"
Sepagi Itu Kita Berpisah Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
uj ar Triska seraya melirik j am di tangannya. Dimint
anya Erik duduk dalam kamar kerjanya sementara
dia keluar. Seperempat jam kemudian dia kembali
dan mengangguk pada tamunya.
"Beres. Aku sudah mengerjakan semua yang
harus kulakukan." Dibenahinya kertas kertas dan
buku yang dimasukkannya ke dalam tas. "Yuk,"
ajaknya lalu keluar diikuti Erik.
"Pakai mobilku, ya. Nanti kuantarkan balik kes
ini," usul Erik.
67 "Oke, tapi sebaiknya aku taruh dulu tas ini dalam mobilku. Buat apa dibawa bawa, berat banget.
Juga aku harus mengambil teleponku, siapa tahu
ada yang ingin bicara."
Erik tidak keberatan, maka keduanya pun melangkah berdampingan menuju tempat parkir mobil-mobil dokter. Triska langsung melayangkan
pandangnya ke arah yang diingatnya tempat mobil
nya berada, sehingga tidak dilihatnya laki-laki yang
berdiri di samping mobil putih, asyik memperhati
kannya. Dia baru sadar sedang diperhatikan orang
ketika hampir sampai ke mobilnya. Seakan ada indra keenam yang memberitahu, Triska mengangkat
muka dan menoleh ke kiri. Deni tengah menatapnya
dan ketika dilihatnya Triska menoleh, diangkatnya
tangannya, melambai serta menyapa, "Halo, Tris."
"Hai, Den, sudah mau pulang "
"Ya. Kau juga "
Triska melihat mata Deni melayang ke sampingnya tempat Erik berdiri menunggunya. Betulkah
Deni kelihatan kurusan pikirnya. Ataukah peng
lihatanku yang kurang beres Tapi wajahnya jelas
lesu, mungkin Odi rewel
"Ya" Sesaat dia ragu, kemudian memutuskan
untuk berterus terang. Kenapa harus aku tutuptutupi Toh kami tidak berbuat salah!
"Anu, Erik mengajakku makan siang." Dia me
68 noleh seakan memperkenalkan Erik padahal Deni
pasti sudah tahu siapa laki laki yang mengiringin
ya itu. Ketika mereka selamatan Marco dipermandikan, Triska mengundang teman-teman SMAnya
termasuk Erik. Kedua laki laki itu sempat terlibat
dalam percakapan, entah mengenai apa Triska nggak tahu, sebab tidak sempat nimbrung, sibuk di
tempat lain.
"Halo, Deni," sapa Erik mengangkat tangan.
"Halo," balas Deni mengangguk.
"Kenapa kau nggak mau ikut kami " undang
Erik sambil menoleh pada Triska seakan minta persetujuan.
"Betul, Den, yuk ikut. Kau juga pasti belum
makan!" sambung Triska dengan suara lembut menawan membuat Deni mengej ap ngej apkan matanya
sesaat, entah karena terharu dan takut diketahui sedang berkaca kaca matanya, atau karena kaget ti
ba-tiba mendengar lagi suara yang dirindukannya!
Deni kelihatan ragu, namun cuma beberapa
detik. Dengan gesit dia mengambil keputusan posi
tif. "Oke," serunya tertawa. "Kebetulan aku sedang
kepingin makan rendang, atau... kalian punya rencana lain "
"Ah, sebenarnya kami belum membicarakan
mau makan di mana. Tapi Erik kebetulan memang
69 suka masakan Padang, sama seperti kau, jadi kita ke
rumah makan Minang saja, deh."
"Kau sendiri gimana, Tris " tanya Erik. "Apa
prioritasmu "
"Oh, aku sih suka semua!" Triska tertawa.
"Padang, India, Jepang, Korea, Cina, sebut apa saja,
aku pasti sudah mencoba."
Jadi mereka memutuskan untuk makan rendang
di Blok M. Deni tidak menawarkan untuk mengajak
Triska, dan Triska juga tidak menjelaskan bahwa
dia akan ikut Erik. Ketika Deni sudah memutar kunci kontak, Triska juga selesai membenahi tasnya ke
dalam mobilnya. Dia mengunci pintu, lalu melam
bai ke arah mobil putih. "Kita ketemu di sana ya!"
"Ya!" sahut Deni balas melambai, sementara
mobilnya meluncur pergi. Makan siang itu berlangsung dengan tertib, hangat, dan ramah seperti
layaknya pertemuan orang-orang yang sudah dewasa. Erik menaruh simpatik pada keadaan Deni. Walaupun topik itu tidak disinggung-singgung, selama
percakapan jelas kelihatan bahwa Erik tidak berniat
merayu Triska.
Namun tidak semua orang bersimpati terhadap
Deni. "Aku nggak menyalahkan tindakanmu, Tris,"
ujar Roy Parega sambil nyengir kuda. "Deni juga
nggak bisa menyalahkanmu. Semua itu akibat dari
perbuatannya sendiri. Kalau dia sampai patah hati,
70 bukan kau penyebabnya. Dia sendiri yang telah
menyakiti dirinya. J adi kau nggak perlu merasa ber
salah, Tris. Jangan dengarkan ocehan orangorang
mengenai kesetiaan dan hidup rukun dan keluarga
bahagia dan anak perlu ayah! Semua itu gombal.
Mereka bisa berkhotbah panj ang-lebar sebab nggak
merasakan sendiri! Buat apa memaksakan bertahan
dalam perkawinan tanpa kecocokan Buat apa ber
sandiwara biar dipuji rukun, bila hati kita nggak bahagia Jangan ladeni ocehan orang, Tris. Lakukan
saj a apa yang terbaik menurut perasaan dan keyakinanmu! Aku menyokongmu selalu."
Triska tersenyum geli. "Percuma kau buang
buang energi begini, biar kau ngoceh seharian pun,
aku nggak bakal terbujuk mau kawin denganmu!
Aku sudah menerima Sakramen Perkawinan, di
mata Tuhan, aku sudah, masih, dan selalu menjadi
istri Deni."
Nyengir kudanya makin lebar, tapi Roy tidak merasa malu setelah ketahuan belangnya. Dia
malah menggosok gosok kedua tangannya seperti
orang yang sedang mengharapkan rezeki nomplok.
"Omong kosong!" serunya penuh semangat. "Berapa banyak orang Katolik yang cerai lalu kawin lagi
Kalau perlu, minta izin dari Paus!"
"Saat apa susah susah begitu Kan mending cari
saj a gadis lain yang masih bebas. Pasti banyak yang
71 cakep-cakep di pasaran! Dan siapa yang nggak mau
sama dokter ganteng begini Mirip Elvis lagi, ter
lebih kalau sudah nyanyi menjeritkan One Night
With You...." Triska tertawa geli, disambut gelak
membahana dari Roy.
Roy kelihatannya punya bakat bandel, tapi Triska tidak merasa perlu khawatir, dia yakin akan
dapat menjaga jarak dengannya. Lebih sulit lagi
menghindari bujukan serta penyidikan Sumi yang
mendesak.
"Aku sama sekali nggak bisa ngerti gimana ini
bisa terjadi!" serunya geleng geleng kepala keheranan. "Kalian begitu rukun, sampai Hansa pernah
bilang, "Triska sama Deni seperti orang masih pacaran saja! " Karni semua kagmm dan iri pada kalian,
tahu. Sekarang mendadak aku dengar kau mau pisah! Aku nggak bisa percaya! Nggak mungkin kau
tega membuat Deni merana! Katakan sebabnya,
Tris. Kenapa sih "
"Aku sulit mengatakannya, Sum. Mungkin sebaiknya kau tanya Deni saja. Aku merasa kurang
punya wewenang buat menj awab."
"Lihat! Sampai saat terakhir pun kau masih tetap
mau membela Deni! Berarti kau sebenarnya masih mencintainya! O, ya, aku dengar persoalannya
menyangkut seorang wanita. Tapi kalau kau masih
mencintainya, kenapa nggak coba memaafkan saja,
72 Tris Apalagi aku dengar Deni sudah minta maaf
dan menyatakan sangat mencintaimu."
L "Masalahnya lebih rumit dari sekadar ada
wanita lain,, Sum," Triska coba menangkis sambil
menghela napas.
"Aku nggak habis mengerti, serumit apa sih!" serunya geleng kepala kewalahan. "Kalau kau marah,
aku bisa ngerti. Seandainya Hansa ketahuan men
cipok perempuan lain, mungkin kuambilkan golok
dia! Aku maklum bila kau marah. Tapi kan nggak
perlu kontan cerai, bukan Apa nggak bisa tunggu
dulu sampai hatimu dingin dan marahmu reda
"Siapa yang bilang aku marah tukas Triska
tersenyum.
"Habis, kau ngotot mau cerai! Kalau bukannya
marah, apa dong "
"Itu yang sulit kukatakan!"
"Hm. Rupanya kau sudah nggak nganggap diri
ku sebagai teman!"
"Bukan begitu, Sum. Kau tetap kuanggap teman
karibku, tapi ini urusan domestik, maaf deh, nggak
bisa kupublikasikan. Ini antara Deni dan aku. Bahkan kepada orangtuaku nggak aku ceritakan sebabn
ya. Terserah Deni nanti, kalau dia nggak keberatan,
boleh dikatakannya sendiri pada mereka."
"Nah, nah, sekarang malah jadi misterius.
',, Orangtua sendiri pun nggak boleh tahu Sumi ge
73 leng-geleng, tampaknya makin kewalahan. "Tapi,
Tris, apakah ini tindakan yang paling baik Apa su
dah kau pikirkan matang-matang "
"Sudah. Sampai kepalaku ubanan!" Triska tertawa membuat temannya mendelik seakan memarahi.
"Hm. Jadi sudah kau pikirkan apa akibatnya
bagi anakmu Gimana nanti kalau dia menanyakan
ayahnya Lalu gimana anakku, Linus Kami Hansa
dan aku berharap kalian akan mau ikut mendidiknya.
Tapi sekarang Baguskah contoh yang kalian beri
kan ini Gimana aku akan mengajarinya supaya dia
meneladan kalian Masa anakku kecil-kecil sudah
dikenalkan sama perceraian Oh, Tris, jangan bikin
kacau hidupmu dan hidup kita semua! Pikirkanlah
sekali lagi niat ini. Aku yakin, kalau kau mau mengobrak-abrik hati kecilmu, pasti akan kau temukan
kenyataan bahwa kau sebenarnya ingin rujuk lagi!
Tris, janganlah bunuh diri seperti ini. Perceraian
adalah penyakit yang paling mengerikan. Kalau
hatimu dan hatinya sama-sama binasa, tegakah kau
Layak apa nggak perempuan itu kau biarkan mera
jalela merusak hidupmu dan membunuh Cintamu "
Tawa Triska mendadak sirna, berganti den
gan linangan air mata. Kau nggak mengerti, Sum.
Cintaku takkan terbunuh gara-gara perempuan
itu. Justru sebaliknya. Karena aku sangat mencin
tainya, aku nggak ingin dia dicap sebagai laki-laki
74 "terang bulan terang di kali" yang nggak bisa diper
caya mulutnya. Aku ingin dia diagungkan sebagai
laki-laki yang berintegritas tinggi, bukannya yang
"lain di bibir lain di hati". Laki laki yang menerima
seluruh akibat perbuatannya walau itu berarti melukai hatinya dan hatiku, walau itu akan menyeretnya ke lembah sengsara. Kita semua akan merana,
aku tahu. Tapi semua itu akibat dari perbuatan kita
sendiri, nggak ada yang harus disesali. Kau nggak
tahu, Sum, berapa intimnya dia dengan perempuan
itu! Perempuan itu sudah mengorbankan anaknya
sendiri untuk Deni! Demi supaya bisa mempertah
ankan cinta mereka yang penuh halangan. Dia bah
kan merelakan Deni kawin dulu dengan orang lain,
suatu tindakan yang sangat gegabah. Kan selalu ada
kemungkinan istri Deni takkan mau melepasnya
kembali Coba kalau istrinya itu bukan aku, apa
yang akan terjadi Kan pengorbanan perempuan
itu akan sia-sia belaka Bertahun tahun menunggu
hanya untuk dicampakkan. Sekarang, ketika warisan yang diimpi impikan itu sudah akan jatuh ke
tangan. Orang idiot mana yang akan tinggal diam
saja diperlakukan begitu Kalau aku di tempatnya,
aku juga akan nuntut dia kembali. Aku nggak bakal
mundur sebelum dia menepati j anj inya memperistri
diriku! Aku nggak mau mengerti! Aku pasti akan
ngamuk. Memangnya aku ini barang loakan yang
75 gampang dilempar lempar begitu saja
Triska memandang temannya dari balik air mata.
Bibirnya digigitnya sementara dia menghela napas.
Semua itu tanda keresahan. Sejak kecil dia selalu
menggigit bibir serta menghela napas bila sedang
resah.
Kau benar, Sum, perempuan itu nggak layak
dibiarkan mengobrak abrik hidup kami. Tapi dia
berhak, Sum. Pengorbanannya serta kesetiaannya
memberinya hak atas suamiku. Dan aku nggak in
gin suamiku diingat dalam sejarah sebagai laki laki
yang gampang mencampakkan perempuan dan ng
gak segan segan menjilat ludah sendiri.
"Kau nggak usah khawatir, Sum. Anakku nggak
bakal kehilangan ayah, begitu juga anakmu akan
tetap kita didik bersama. Aku tahu Deni, walaupun
lemah hatinya baik. Dia pasti nggak akan menelantarkan anaknya. Dan dia juga pasti akan memberi
teladan yang baik bagi anak-anak kita."
"Tapi kalian akan bercerai!" Sumi menguik
seperti babi yang putus asa di hadapan pembantai.
"Apakah itu kau sebut teladan yang baik "
"Jangan takut. Anak anak lebih bisa menerima
keadaan daripada yang kita sangka. Mereka akan
bisa mengerti asal kita beri penjelasan yang masuk
akal. Aku yakin, situasi ini nggak akan memberi
akibat buruk pada mereka. Kau pikir, aku akan rela
76 mencelakakan anakku sendiri "
"Kau belum menjawabku!" desak Sumi penasa
ran. "Apakah tindakanmu itu sebuah teladan yang
baik "
Triska menghela napas dan menggigit bibirnya
kembali. "Perlukah kujawab, Sum Perlukah kutelanjangi hatiku bulat-bulat di sini, di depanmu
Supaya kau lihat betapa menderitanya aku !"
Sumi tiba tiba menubruk Triska dan memelukn
ya erat erat. "Oh, Tris, maafkan aku. Bukan mak
sudku mau menambah luka hatimu. Tris, aku ingin
menceritakan rahasiaku, mungkin bisa berguna
untuk perbandingan. Kau kan tahu, Hansa sering
sekali ke luar negeri. Biasanya aku suka ikut, tapi
sejak hamil, aku j adi ogah j alan j alan. Hansa waktu
itu ke Jepang, rupanya ketemu kenalan lama yang
pernah kecantol dengannya sebelum dia kawin den
ganku. Nah, Hansa kesepian, kena deh dirayu ha
bis-habisan sampai-sampai janji mau membelikan
apartemen! Kau tahu kan mahalnya tempat tinggal
Sepagi Itu Kita Berpisah Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
di Tokyo!
"Waktu Hansa pulang, sikapnya tetap biasa.
Aku juga sama sekali nggak curiga. Tapi ketika
aku membenahi isi kopernya, aku temukan kuitansi kontrak apartemen untuk tiga tahun! Bayangin,
Tris! Untung cuma ngontrak, nggak sampai beli, be
rapa tuh barganya! Begitu Hansa pulang dari kan
77 tor, langsung aku konfrontasi. Dia langsung pasang
bendera putih, manggut manggut minta ampun,
sampai bertekuk lutut, niatnya mau mencium kakiku tapi kuegoskan sehingga terpaksa puas cuma
mencium tanah air. Wah, hatiku kayak apa panasnya waktu itu! Mungkin dipakai mendadar telur pun
bisa matang! Pikiranku waktu itu juga sama buteknya seperti pikiranmu saat ini. Aku langsung bikin
skenario di kepalaku. Minggat ke rumah Mami, lalu
cerai!
"Untung Hansa mencegah dengan segala daya
agar aku jangan sampai kabur. Alasannya, dia terlalu cinta padaku, sedangkan cewek Sanyo Toshi
ba Mitsubishi itu cuma mainan iseng seperti video
game kegemarannya. Tapi dugaanku sih, alasan sebenarnya adalah, dia malu kalau sampai ketahuan
mertuanya bahwa dia sebenarnya alimalim sambuk!
"Wah, waktu itu rumah kami seperti adegan
Perang Vietnam saja. Tanya deh mbokku. Aku
ngambek, ngamuk, nggak tahu deh berapa hari. Tapi
Hansa tetap telaten meladeniku, menerima salah,
nggak membalas sepatah pun semua makian dan kata kata pedas yang kulontarkan, begitu banyaknya
sampai aku kehabisan kata dan rasanya semua kata
dalam kamus yang lebih pedas dari pada lada sudah aku hamburkan ke mukanya. Tapi Hansa nggak
membalas. Dengan rendah hati dia mengaku salah
78 dan menerima semua akibat ulahnya. Akhirnya aku
juga lemas, kehabisan akal untuk memusuhinya.
Permusuhan itu kan cuma bisa terjadi dari dua pihak, Tris. Kalau yang satunya bertekad nggak mau
balas memusuhi, pihak yang marah itu pun nggak
berdaya lagi, ibaratnya seperti memukul angin, nggak bisa menang.
"Singkat cerita, akhirnya aku yakin, dia memang
mencintaiku, dan aku juga masih tetap mencintainya. J adi kami rujuk, deh. Dan sekarang kalau sedang
angot, dia suka bergurau, "Aku tobat deh, mainmain sama kembang sakura, melati yang kuanyam
di rumah bukannya layu merana tapi malah melilit
sukmaku yang nggak berharga ini, membuat aku
merasa diriku yang paling hina dina..." Sumi ter
tawa. "Itu ocehan Hansa kalau lagi sinting alias
senang. Tapi kuceritakan rahasia ini bukan untuk
menyenangkan batimu atau supaya bisa kau gosip
kan, tapi supaya kau mau membandingkan kesulitanmu dengan problem kami dulu. Apakah kesalahan Deni lebih besar dari kesalahan Hansa Adakah
kesalahan yang lebih fatal dari seorang suami selain
itu Apakah Deni juga mengontrakkan perempuan
itu rumah Atau memberinya nafkah tiap bulan
Atau masih terus menghubunginya sampai seka
rang "
Triska melepaskan diri pelan pelan dari pelukan
79 temannya, lalu beralih ke pinggir kolam mengawasi
ikan ikan. Keduanya memang tengah berada di ga
zebo dalam kebun Dokter Justin Omega. Marco sedang tidur, jadi Triska leluasa menemani tamunya
tanpa gangguan.
Sumi menghampiri dan berdiri di sampingnya,
diam, menunggu. Namun sampai lama Triska tidak
juga membuka mulut, sehingga Sumi akhirnya ter
paksa meneruskan "seminar"-nya sepihak saj a.
"Tris, kau bersedia, kan, memikirkan semua
yang kukatakan Aku menyayangimu seperti saudara kandung, aku juga mengagumi Deni seperti abang
sendiri, masa kau tega menghancurkan perasaan
orang yang mencintai dan mengagumi kalian "
Kau nggak tahu, Sum! Sedangkan hatiku sendiri
kuhancurkan, bagaimana aku akan disuruh mem
perhatikan dan merawat perasaan orang lain
Akhirnya Deni sendiri yang memecahkan perso
alan itu. Semua anggota keluarga dan teman sudah
tak berdaya mengubah keinginan Triska. Bahkan
bujukan agar dia menunda saja dulu niatnya barang
setahun dan selama itu mereka akan hidup terpisah,
juga ditolaknya. Dia ingin putus, sekarang juga!
80 Minggu siang itu seperti biasa Kris membawa
Martina dan Bobi untuk makan siang di tempat
orangtuanya. Deni juga hadir, sebab dia selalu muncul setiap akhir pekan untuk menengok Marco dan
bermain main dengannya sampai malam, sampai
Triska mengingatkannya bahwa j am tidur bayi bukanlah menjelang tengah malam. Deni betah sekali
mengasuh anaknya, seakan waktu absennya selama
seminggu ingin dikejarnya dalam waktu sehari.
Sore itu udara kebetulan jelek, hujan turun, sehingga Kris belum bisa pulang. Jadi Bobi ditidurkan
di samping Marco, ditemani pembantu, sementara
Kris dan Marti duduk di bawah, berbincangbincang
dengan Dokter Justin serta istrinya. Triska dan Deni
juga hadir, namun tidak begitu antusias untuk ikut
iuran komentar.
Setelah ngobrol ke sana kemari, akhirnya seakan
telah disepakati, ibu Triska mulai menyentuh mas
alah konflik anak menantunya, dan Kris langsung
menyambut dengan bujukan bujukan yang dituju
kan ke adiknya.
"Mama nggak bisa mengerti jalan pikiranmu,
Tris. Apa sebabnya kau tetap ngotot nggak mau me
maafkan Deni yang sudah mengaku salah "
"Aku juga nggak ngerti!" sambung Kris. "Kau
sekarang duduk berdampingan dengan Deni, orang
luar pasti mengira kalian adalah pasangan yang san
81 gat rukun, tapi tahunya!" Kris menghela napas dan
geleng-geleng kepala.
Dokter Justin memandangi putrinya dengan
penuh sayang, kedua tangannya dikatupkannya
seakan tengah berdoa, dan kepalanya dimiringkan
seolah olah dengan begitu dia bisa berpikir lebih bi
jaksana atau bisa menilai perasaan anaknya dengan
lebih baik.
"Tris, Papa sudah mendengar pengakuan Deni.
Papa mengerti perasaanmu..."
Nggak! Papa nggak ngerti!
"...tapi apakah niatmu itu tidak terlalu kesusu
Bagaimana kalau kau pikirkan sekali lagi Papa rasa
sebaiknya kau tenangkan pikiranmu dulu, mungkin
selama beberapa minggu atau beberapa bulan kalian
berdua menghindarkan diri tidak saling bertemu
dulu, biar masing masing mendapat kesempatan
untuk menilai seluruh situasi dengan lebih obj ektif.
"Masalahnya sekarang, urusan ini bukan cuma
menyangkut kalian berdua. Kalian sekarang sudah mempunyai Marco. Kau sudah menjadi ibu,
Tris, tugasmu untuk mendidik serta merawat anak
tidak boleh dianggap enteng. Seandainya kau ma
sih berdua saja dengan Deni, mungkin Papa tidak
akan sampai tarik urat begini mencoba membujukmu agar membatalkan niatmu. Kau sekarang punya
tanggung jawab terhadap Marco. Deni juga sudah
82 mengaku bersalah. Apakah tidak sebaiknya kita
kubur saj a peristiwa ini "
Orangnya datang menuntut, Pap! Dia mau bikin
perhitungan, menagih janji yang telah diberikan
padanya oleh suamiku yang tercinta!
"Papa yakin sudah tahu duduk perkara seluruhnya " tanya Triska perlahan.
"Aku sudah menceritakan semua sampai ke de
tail-detailnya, Tris," Deni menolong jawab sambil menoleh padanya, tapi Triska menghindar, tak
mau balas memandang. Mereka duduk di sofa yang
kecil, yang cuma muat untuk dua orang sehingga
keduanya terpaksa bersentuhan, namun Triska sep
erti orang yang sudah putus tulang lehernya sehing
ga dia sama sekali tak bisa bergerak. Ketika Deni
bicara sambil menoleh dan menyentuh lengannya,
Triska tetap diam tak bergeming seolah tidak dirasakannya sentuhan itu.
"Ya, Deni betul, Papa sudah tahu jelas apa persoalannya." Dokter Justin mengangguk. "Dan
Papa setuju dengan permintaan Deni agar kau me
maafkannya serta melupakan masa lalu itu."
Kris menimpali, "Setiap orang bisa khilaf, Prins
es. Aku juga mungkin saja bisa kecantol cewek bahenol..."
"Iiih, maumu!" pekik Martina.
"...tapi setelah kenalan sama cewek bawel ini,"
83 ditunjuknya Marti di sampingnya, "mendadak aku
tahu apa yang disebut cinta, dan baru aku sadar,
aku sebenarnya nggak pernah mencintai si centilku
itu, tapi cuma kesengsem. Nah, masa tiada maaf
darimu Kalau orang nggak boleh berbuat salah,
berarti bukan manusia, dong, namanya."
"Tris, apakah selama ini Papa dan Mama pernah
menyakiti hatimu " tanya ibunya, membuat Triska
menatapnya keheranan.
"Terang nggak dong, Mam. Masa Mama nanya
begitu !"
"Jadi kau percaya, Papa-Mama takkan
menyuruhmu melakukan apa apa yang akan mem
buatmu sengsara "
Triska tertawa dan memandang setiap hadirin
bergantian, termasuk orang di sampingnya, lalu dia
menggeleng sebelum menjawab, "Mam, ada apa,
sih Kok Mama ngomongnya makin aneh aneh
saja, sih !"
"Kau akan mengerti. Jawab saja. Kau percaya,
kan "
Triska menggigit bibir bawahnya dan mengang
guk seperti anak kecil.
"Nah, kalau Papa-Mama sekarang mengusulkan
agar kau jangan berpisah, kau tentu percaya, kan,
itu untuk kebaikanrnu Kebaikanmu sekeluarga:
kau, Deni, dan Marco "
84 Ini yang j adi terdakwa aku atau Deni, sih Kok
semua orang menyokongnya, sedangkan aku cuma
kebagian celaan, mana simpati bagiku, Mam, Pap,
Kris, Marti Aku juga merana! Tak adakah yang
tahu "Tris, anakku," bisik Dokter Justin seraya menyorongkan tubuh ke depan, kedua tangannya terkatup dan sikunya ditumpunya di atas paha. "Se
bagai orangtua, Papa-Mama selalu mengutamakan
kepentingan anak. Kami ingin anak anak mendapat
semua yang diperlukan, semua yang terbaik. Kami
ingin kalian bahagia. Kebahagiaan itu bukan melulu
terdiri atas mainan dan pakaian yang bagus, Tris,
tapi juga kasih sayang bagi anak-anak. Kasih sayang dari orangtua untuk anak, dan kasih sayang
antara orangtua. Papa tidak usah panjang-lebar
mengatakan apa akibatnya broken home bagi seorang anak. Kita umumnya gampang menebak apa
kah seorang anak berasal dari keluarga yang retak
atau tidak. Nah, sekarang Papa mau tanya, apakah
kau ingin membiarkan Marco menjadi anak broken
home "
"Tentu saj a nggak, Pap."
"Nah "
"Pap, boleh saya tanya sesuatu "
"Tentu saja, Tris."
"Seandainya seorang laki-laki ingin menikah
85 dengan saya tapi pernikahan tidak bisa segera dilangsungkan dan dia minta saya menunggu tiga ta
hun denganjanji setelah itu betul-betul akan kawin
dengan saya dan saya sudah berkorban besar seka
li . Menurut Papa, apa yang sebaiknya saya lakukan
bila orang itu ternyata ingkar j anj i "
Sekarang semua orang termasuk Deni terbelalak dan duduk lebih tegak. Semua kuping jadi tegak
ketika Dokter Justin menanyai putrinya, "Apa maksudmu dengan berkorban besar sekali" " Nyonya
Rosa Omega juga mengerutkan kening.
"Maksudmu, Odi sudah berkorban besar seka
li "
"Korban apa, sih " Pertanyaan ini seakan ditujukan pada Deni, sebab Kris menoleh padanya
tapi yang dituju cuma mengangkat bahu dengan
wajab tak mengerti, lalu menoleh pada Triska seo
lah mengharapkan penjelasan. Namun Triska tidak
membalas tatapan Deni. Dia cuma balas menatap
kedua orangtuanya bergantian, lalu menunduk sambil menghela napas.
"Tris, coba jelaskan!" desak ayahnya.
"Saya nggak bisa menjelaskan. Mungkin Deni
bisa " Triska menoleh, menatap suaminya dengan
kening terangkat. Wajah Deni tampak memucat.
Hah! Kaget kau Berterimakasihlah, aku nggak
lancang menyebut nyebut soal aborsi pacarmu! Be
86 ranikah kau berterus terang Ayo, akui secara jantan
bahwa kau memaksa Odi menggugurkan kandun
gannya! Pantas kau selalu berceloteh, bagimu anak
tidak penting. Ternyata yang sudah tumbuh pun
kau suruh bunuh! Anakmu sendiri, darah dagingmu
sendiri, kau enyahkan! Tindakan ini saj a sudah cukup untuk membuat aku menjauhkan diri dari sampingmu. Kalau bukan demi Marco, aku pasti nggak
mau melihatmu lagi! Manusia macam apakah yang
tega membunuh anak sendiri Lakilaki seperti apa
kah yang bisa mengelakkan tanggung jawab segampang itu Sudah sekali kau lari dari tanggung j awab,
sekarang untuk kedua kalinya kau mau lari lagi, me
nolak memenuhi janjimu pada Odi ! Siapakah kau
sebenarnya, Den Kukira kau pantas kucintai, kusangka kau seorang laki laki berkepribadian kuat,
tapi tahunya...
"S-saya s-sungguh ng-nggak m-mengerti mmaksud T triska," Deni menanggapi terbata-bata.
"K kenapa k kau ng nggak b bilang s saja t terus
t terang "
Tapi Triska menggeleng. "Percaya sajalah, Pap,
begitu kej adiannya. Pertanyaan saya adalah, apakah
Papa akan tinggal diam saj a bila orang itu menolak
saya dengan alasan sudah telanjur mencintai yang
lain Ataukah Papa akan memaksa orang itu agar
memenuhi j anj inya Apakah saya berhak menuntut
87 supaya dia kembali "
"Tentu saja. Papa tidak akan membiarkan anak
Papa diperlakukan semena-mena! Tentu saja Papa
akan bikin perhitungan dengan orang itu!"
"Nah " tukas Triska, menoleh pada Deni yang
kelihatan makin pucat wajahnya sedangkan matanya yang hitam tampak oleh Triska menggelepar dalam lumpur ketakutan.
Sepagi Itu Kita Berpisah Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hah! Aku ingin lihat sampai kapan kau akan
mampu menyembunyikan masa lalumu yang hitam!
"Tapi dalam urusan cinta, sulit kita memaksakan
kehendak," komentar Kris hati-hati tanpa memandang siapa pun. "Cinta nggak bisa dipaksakan. Ka
lau orang itu sudah telanjur mencintai yang lain, ya
apa boleh buat! Dalam hal ini, Deni sudah telanjur
mencintaimu, ya apa mau dikata, sudah untungmu.
Odi Bobadila terpaksa minggir. Memangnya nggak
ada laki laki lagi di dunia ini selain Deni Sebagai
wanita yang cantik dan terkenal, mana mungkin dia
bisa kesulitan mendapat pasangan Bukankah dia
sedang pacaran dengan Roy, Mar " Kris menoleh
pada istrinya yang duduk di sampingnya.
Martina mengangguk. "Mereka memang keli
hatannya pacaran. Roy malah pernah bilang sama
Mami, dia sudah ketemu cewek cakep yang kemu
ngkinan bakal j adi calonnya. Tapi ditunggutunggu,
kok nggak ada kelanjutannya. Mami sampai bosan
88 menanyakan, Roy tetap seperti orang tuli, nggak
pernah melapor lagi."
"Aku tahu sebabnya," tukas Triska, tersenyum
pada Marti. "Deni kan punya harta karun, Mar! Sedangkan abangmu nggak!"
"Gara-gara warisan!" Deni mendumal sendirian.
Kau kelihatan kesal, Den. Masa kej atuhan rezeki
dari langit membuatmu jadi kesal Bukannya justru
bahagia Bukankah uang itu merupakan tujuan utama manusia Coba lihat Odi, kalau hartamu nggak
sampai selangit begitu, mungkin dia nggak peduli
kau masih ingat atau nggak padanya!
"Ya, kau benar, Tris! Pasti karena soal harta!"
Marti mengangguk.
Kris tertawa. "Sudahlah, Den, sumbangkan saja
duit itu ke mana, kek! Biar Odi nggak mengganggumu dan Triska juga nggak menuntut yang bukan bu
kan. Tris, seandainya Odi nggak lagi menuntut Deni
kembali padanya, kau juga akan batal bercerai, bukan "
Deni meringis dan mendahului Triska, "Mas
alahnya nggak segampang itu, Kris. Uang itu me
mang untukku, tapi sebenarnya akan diterima oleh
ayahku. Seharusnya ayahku dan adiknya, Tante Leila, yang mendapat warisan itu. Tapi kakekku sudah
tidak mengakui Tante Leila sebagai anak, sebab dia
menikah dengan orang yang dibenci Kakek. Oom
89 Saleh, suami tanteku, pernah dituduh telah menye
babkan kematian Oom Jon, anak kesayangan Ka
kek. Jadi Tante nggak kebagian sepeser pun, tapi
ayahku kasihan pada ketiga keponakannya, jadi
setelah Kakek meninggal dibujuknya Nenek agar
anak-anak Tante diberi bagian juga.
"Nenek menurutinya. Maka cucu cucunyalah
yang jadi ahli waris, Ayah tidak disebut sebab Nenek tetap menolak mengakui Tante sebagai waris,
jadi ayahku juga nggak mau namanya ditulis dalam
testamen. Ayah memang sangat menyayangi adiknya, dan menurut dia, Tante Leila nggak salah apaapa, kenapa harus dihukum. Tapi Kakek dan Nenek
berpendapat, kalau Tante diberi warisan, berarti
Oom Saleh juga akan ikut menikmati, dan mereka
nggak mau itu terjadi."
"Rumit beeng!" komentar Kris menggeleng ge
leng. "Jadi kau ahli warisnya, tapi ayahmu menganggap uang itu sebenarnya miliknya."
"Ya, begitulah." Deni mengangguk.
"Nah, kenapa tidak kau beritahu Odi, uang itu
milik ayahmu " usul Dokter Justin. "Begitu dia tahu
kau sebenarnya tak berduit, pasti dia akan mundur,
kalau motifnya memang semata-mata cuma uang!"
"Pap, walaupun dia tahu keadaan sebenarnya,
belum tentu dia akan mundur. Siapa tahu dia pun
ya rencana j angka panjang. Deni kan anak tunggal,
90 semua kekayaan ayahnya kelak pasti akan jatuh ke
tangannya, berarti ke tangan istrinya, kan. Nah, Odi
tentunya ingin berjaga-j aga, supaya bila saat itu tiba
dialah yang jadi istri, bukannya saya." Triska mengangkat bahu.
"Papa belum menyerah! Pasti masih ada jalan
keluar yang baik. Masa kita mau membiarkan perempuan itu mengobrak abrik hidup kita "
Dokter Justin menundukkan kepala, menangk
upkan kedua tangan dan meletakkannya di depan
bibirnya yang terkatup rapat, lagaknya mirip orang
yang sedang berdoa.
"Masalahnya, ini bukan cuma menyangkut Odi,
Pap. Tapi menyangkut Deni juga. Dia sudah mem
berikan janjinya pada Odi, saya berpendapat dia
harus menepatinya. Di samping itu, saya tidak mau
dituduh merampas calon suami orang lain!"
"Astaga! Dia menuduhmu begitu " Nyonya
Rosa menegaskan.
"Kurang ajar! Berani benar dia!" Kris mendumal
sengit.
"Biar nanti kuadukan pada Roy supaya dia ditegur!" ujar Marti dengan penuh semangat, dan untuk
setia kawannya itu dia dipeluk erat oleh Kris.
"Jangan emosi," cegah Dokter Justin tenang.
"Kita tidak bisa melarang orang bicara. Kita ha
rus menempatkannya sedemikian sehingga dia tak
91 punya alasan sedikit pun untuk menuduh Triska
sembarangan."
"Jalan satu-satunya adalah Deni harus kembali padanya!" tukas Triska tenang seakan tengah
mendiskusikan cara terbaik untuk mereparasi tulang
yang patah. "Dia menuntut agar saya minta cerai.
Kalau tidak, dia mengancam akan menghubungi koran dan menuduh saya merebut calonnya."
Semua orang terkesiap mendengar penuturan
itu. Deni menoleh dan mencekal tangan Triska yang
terletak di pangkuan. Triska tidak menepisnya, khawatir menyinggung atau dianggap kurang sopan.
Kris mengutuk pelan sambil memukulkan tinjun
ya ke telapak tangannya. "Kalau saja dia laki-laki,
sudah kutantang berkelahi!" ujarnya sengit. Marti
buru-buru memeluk dan membujuknya agar tenang.
Dokter Justin berpandangan dengan istrinya.
Mereka tampaknya kehilangan akal, tak tahu persis
apa yang harus dilakukan.
Tapi aku tahu! pikir Triska pasrah.
"Bagaimanapun kita harus mencegah jangan
sampai dia menarik-narik tangan wartawan! Sekali
masuk kolom gosip, buat selamanya hidup takkan
tenteram lagi!" uj ar Dokter Justin.
"Ini kan urusan rumah tangga, masa mau dijadikan bahan sensasi murahan! Aku ingin sekali
menamparnya! Berani beranian dia mengancam
92 anakku! Kalau dia sampai melaksanakan ancamannya, akan kita seret ke pengadilan!" janji Nyonya
Rosa dengan mata berapi-api.
"Sudah gila barangkali dia!" ujar Marti. "Kalau masuk koran, kan berarti namanya juga bakal
terseret. Apa dia takkan malu "
"Orang nekat mana punya malu " Kris menimpali setengah mengejek.
"Dia mengancam akan bunuh diri, dan men
girimkan versi ceritanya ke koran koran!" Triska
menjelaskan. "Dia berharap dirinya sudah mati
pada saat kisahnya dimuat, jadi dia nggak bakal
merasa malu."
"Masya Allah!" seru Nyonya Rosa tercengang
seolah tidak percaya.
"Betul-betul gila!" Marti mengangguk tandas.
Deni menarik napas panjang dan kesal sambil
menggeleng geleng. "Karena aku, kau jadi dibikin
pusing begini!" keluhnya seraya memandang Triska
dan meremas tangannya. Triska membalas tatapannya dengan senyum sendu tanpa berkata apaapa.
"Dan orang gila selalu bisa nekat!" Kris menyambung istrinya.
"Karena itu kita harus bertindak hati-hati sekali", ujar Dokter Justin mengangguk pada semua.
"Jalan satu satunya adalah seperti yang saya
usulkan," ujar Triska setenang batu di dasar kolam.
93 "Tris!" seru ibunya menyayat hati. "Jangan
nekat!"
"Apakah Mama punya usul yang lebih baik "
Triska tersenyum pilu, sementara Deni menunduk
sambil berulang ulang menghela napas.
Kau kelihatan tak berdaya menghadapi Odi, bukan Ya, kau memang nggak berdaya menghadapi
tunmtannya. Dia datang mau bikin perhitungan,
menagih j anj imu padanya. Dan istrimu terpaksa harus berkorban. Istrimu terpaksa harus kau korbank
an, Den.
"Saya juga tidak bercita-cita menjadi janda,
Mam. Saya tahu, perceraian membuat orang mera
na, tapi kalau saya sampai digosipkan dalam koran,
pasti akan lebih merana lagi. Kalau kami bercerai
sekarang, kami masih bisa mempertahankan hubungan baik sebagai teman. Saya tetap respek pada
Deni karena dia bersedia memenuhi janji." Aku
juga masih mencintaimu! "Tapi kalau perkawinan
ini diteruskan, akhirnya toh kita akan bercerai juga
setelah respek dan cintaku padamu hilang, Den."
Bicaranya kini ditujukan pada Deni. Keduanya
saling memandang, mata mereka saling memagut
dalam tikaman yang tak terlerai, penuh rindu dan
derita.
"Alm nggak bisa respek pada laki laki yang
melarikan diri dari tanggung jawab! Dan itulah kau,
94 bila kau bertahan di sampingku! Kalau respek dan
cinta sudah hilang dari perkawinan, kita gampang
menjadi musuh, Den. Aku nggak mau itu terjadi, sebab akibatnya kurang baik untuk Marco."
Semua orang terdiam mendengarkan ucapan
Triska. Mereka memandang pasangan itu dengan
berbagai perasaan, namun tak ada yang buka suara.
Untuk beberapa menit hening di ruangan itu
sampai akhirnya keheningan itu dipecahkan oleh
tarikan napas Deni yang berat.
"Mam, Pap, Kris, dan Marti, saya menyatakan
terima kasih atas support yang kalian berikan pada
saya. Tapi prioritas saya adalah Triska serta Marco.
Setelah saya pikir pikir, saya mendapat kesimpulan,
apa yang dikatakan Triska memang ada benarnya.
Namanya tidak boleh sampai terseret ke dalam koran, menjadi bahan gosip murahan. Untuk mencegah kemungkinan Odi akan mata gelap, walaupun
dengan sangat berat, saya terpaksa menyetujui permintaan Triska untuk bercerai...."
Triska menoleh bersamaan dengan Deni.
Keduanya bertatapan serius tanpa senyum. Triska
menggigit bibirnya yang gemetar, matanya mem
basah namun segera dikejap-kejapkannya sehingga
air matanya tidak sampai terjatuh. Deni mempererat
cekalannya, bibirnya bergerak gerak seperti laku
orang yang ingin minta maaf namun suaranya tidak
Hidung Belang Berkipas Sakti 1 Sherlock Holmes - Rumah Beratap Tiga Misteri Tirai Setanggi 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama