Ceritasilat Novel Online

Sepagi Itu Kita Berpisah 2

Sepagi Itu Kita Berpisah Karya Marga T Bagian 2


95 keluar.
Hujan di luar sudah berhenti. Kris tak punya
alasan lagi untuk menunda pulang ketika dilihatnya
Bobi menuruni tangga loteng.
"Aku menyesal sekali, Prinses," ujar Kris ketika
pamitan.
"Nggak usah," sahut Triska mencoba tersenyum.
"Deni dan aku akan tetap berteman seperti biasa.
Bedanya cuma nggak lagi tinggal serumah. Tapi
kami tetap bisa ketemu kapan saja kami mau. [ya,
kan, Den " Triska bertanya pada Deni yang berdiri
di sampingnya.
"Tentu saja." Deni mengangguk.
Setelah mengantar Kris dan Marti pulang, Tris
ka mengajak Deni ke kebun belakang, duduk dalam
gazebo. Marco sudah bangun. Triska semula ingin
menyuapinya dengan pisang, tapi ibunya mence
gah, menyuruhnya menemani Deni saja, biar Marco
diurusnya sendiri. Triska tidak memaksa, sebab dia
memang ingin berduaan dengan Deni. Mungkin un
tuk terakhir kali.
"Trims untuk pengertianmu, Den," ujar Triska,
tersenyum memandang orang yang duduk di depan
nya. Deni balas tersenyum, mengulurkan lengan,
dan menyentuh tangan halus yang terletak di atas
meja kecil di antara mereka.
"Aku nggak pernah mimpi akan bisa kehilangan
96 kau! Tapi aku nggak melihat alternatif lain. Aku
akan kehilangan cintamu, tapi aku nggak mau ke
hilangan juga respekmu." Deni menggeleng, dan
tersenyum sedih. Kau takkan kehilangan cintaku,
Den! Sebab aku akan mencintaimu seumur hidup
ku! "Hanya karena aku yakin tindakan ini satu-satunya jalan untuk melindungimu dari malapetaka,
aku rela kita berpisah. Mudah-mudahan cuma untuk
sementara. Mudah mudahan Odi bisa diberi penger
tian sehingga aku bisa kembali padamu, seandainya
kau bersedia menerima aku lagi. Maukah kau "
Oh, seandainya itu mungkin! Tak usah kau tanya
lagi, Den. Saat ini pun rinduku hampir tak tertahankan lagi, namun
"Odi nggak bakal gampang mau mengerti. Tampaknya dia sangat mendewakan uang. Harta setinggi langit begitu mana mungkin akan dilepaskannya
kembali."
"Silakan ngamuk atau membunuhku sekalian,
tapi aku nggak akan kembali padanya. Sebelum
perkawinan kita, sudah kuperingatkan dia, jangan
tunggu aku lagi, sebab rencana itu sudah kubatalkan, dan aku nggak akan menceraikan istriku. Dengan perceraian ini dia nggak bisa lagi menuduhmu
merampas calon suaminya. Bila disadarinya aku ng
gak sudi kembali lagi padanya, mudah-mudahan dia
97 insaf dan mencari orang lain sebagai gantiku. Dan
bila itu terjadi, aku akan segera lari ke sampingmu!
Maukah kau menunggu "
Itu takkan terjadi, Den. Percayalah, Odi takkan
melepaskanmu, dan kau dengan cepat akan kembali silau terhadap kecantikannya, kau akan terpukau
pada gemerlapannya lampu-lampu modeshow, kau
akan bangga terlihat berhubungan intim dengan
wanita cantik yang punya nama selangit, ratu kecantikan yang anggun dan gemulai. Kau akan lupa
padaku. Kau dengan cepat akan melupakan bekas
istrimu yang tidak punya nama apa-apa. Kuharap
saja, kau takkan melupakan Marco. Tapi bila kau
pernah tega membunuh anakmu dengan Odi, apa
alasanku berani berharap bahwa Marco akan mempunyai arti lebih bagimu dibandingkan anakmu
yang dulu !
Deni tampak khawatir melihat Triska tercenung
mengawasi kolam. Seperti orang yang baru tersadar,
mendadak keningnya berkerut dan lengan Triska di
guncang guncangnya. "Tris, apakah... apakah... ada
alasan lain kenapa kau ngotot mau berpisah Kenapa
kau sejak tadi nggak mau menj awab pertanyaanku
Apakah kau nggak bersedia menerimaku lagi kelak Apakah... sudah ada yang menunggumu Tris,
katakan! Siapa Erik Atau Roy Tris, jawab aku!"
Triska lambat lambat mengalihkan matanya dari
98 kolam ke laki-laki ke depannya. Matanya yang bulat dan bersih kelihatan berduka, digigitnya bibirn
ya. Dia menghela napas, tapi jelas memaksakan diri
tidak sampai ambruk dalam tangis. "Apakah kau
masih belum mengenal diriku, Den " bisiknya pilu.
99 Bab 4
SEJAK tinggal di rumah orangtuanya, Triska jadi
lebih memperhatikan dandanan serta pakaiannya.
Mungkin karena lebih banyak waktu, pikirnya. Sebab banyak pembantu tiga dan ada ibuku yang
mengurus semua, termasuk Marco, sehingga aku
praktis tak usah menggerakkan tangan lagi, j adi aku
lebih sering bisa berlama-lama di depan cermin.
Tapi mungkin juga karena ibuku sendiri selalu ber
dandan dengan rapi, walau tinggal di rumah, seh
ingga aku juga ketularan ingin sama-sama menarik.
Ataukah ada alasan lain
Triska tidak berani mencari tahu tentang kebe
naran dugaan yang terakhir. Ah, apa pun alasannya,
kilahnya, yang penting adalah hasilnya! Aku jadi
kelihatan lebih menarik, dan karena itu perasaanku
juga jadi lebih ringan serta gembira. Ini tentunya
penting sekali. Kalau aku berpakaian kumuh dan
rambut kusisir seadanya, pasti tak lama lagi aku
akan terserang depresi berat. Dan siapa yang takkan
depresi mengalami petaka seperti diriku Sedang
mekar mekarnya cinta kami, putik sarinya direng
100 gut orang! Masa muda justru masa menikmati kemesraan alam, namun mendung pekat menyita hari
depan kami dan sisa-sisa kenangan yang penuh kehangatan pun harus digadaikan.
Triska patut dipuji. Penampilannya tidak berbeda dari dulu, malah lebih semarak. Air mukanya selalu kelihatan tabah. Orang yang tidak mengetahui
kisah hidupnya, pasti akan menyangka bahwa dia
bahagia dan rukun bersama keluarganya.
Kesan itu pula yang dilontarkan oleh Deni ketika
kebetulan beramprokan dengannya di lorong rumah
sakit.
"Bukan main!" puji Deni. "Kukira dewi dari
kayangan mana yang nyasar ke sini! Kau kelihatan
makin cantik saja, Tris, membikin hatiku makin risau. Pasti penggemarmu makin bertambah, membuat kesempatanku makin tipis saja untuk kembali
lagi...." Triska tersenyum manis tanpa komentar.
"Aduh!" keluh Deni. "Orang yang nggak tahu situasimu pasti akan menyangka kau ini rukun dan bahagia bersama suamimu!"
"Memang kami selalu rukun dan bahagia, kok.
Dulu!"
"Aku iri dengan ketabahan dan semangatmu!"
keluh Deni kembali. "Aku yakin, kau tidak mender
ita insomnia* seperti aku."
* susah tidur
101 "Ck, ck, ck! Apakah Odi menelantarkanmu begitu " Triska geleng geleng kepala seperti orang
kurang percaya.
Deni meringis seolah kesakitan. "Tris, perlukah
kau mengolok olok orang yang sudah jatuh tunggang langgang begini Aku nggak punya hubungan
apa pun dengannya, titik!"
"Jadi kau belum pernah menemuinya "
Deni cuma menggeleng sebagai tanda j awaban.
"Sekali pun " Triska menegaskan dengan mata
melebar.
"Terserah kau mau percaya atau tidak!"
"Apa perlu kuhubungi dia Mungkin dia belum
tahu, kau sekarang sudah bebas!"
"O, ya, dia jelas tahu! Walau kita nggak pasang
iklan, Roy saja sudah cukup untuk jadi penyiar warta berita! Begitu tahu, Odi langsung menemuiku di
tempat praktek. Kemudian minta diantar pulang,
tapi nggak kuladeni. Aku panggilkan taksi dan kubayari ongkosnya."
Triska tidak memberi komentar. Dia cuma me
mandang Deni dengan lugu seperti anak kecil se
dang mendengarkan dongeng yang menarik.
"Dan info untukmu, baiklah kukatakan, dia sudah mendatangi aku di tempat praktek tiga kali,
meneleponku dua kali mau mengaj ak makan malam
tapi"
102 "...Aku nggak pernah meladeni!" Triska me
neruskan kalimat Deni, lalu tersenyum dan meng
geleng. "Di mana kesopananmu ! Kau tolak dia
mentah-mentah Ck, ck, ck! Jangan suka meremehkan seorang wanita cantik! Sakit hatinya bisa mem
bunuhmu!"
"Oh, jangan jual omong kosongmu padaku! Dia
sudah memaksa kita berpisah, lalu kau pikir aku
akan jatuh cinta padanya Mungkinkah itu Yang
ada di hatiku hanyalah kedongkolan sebab dia tel
ah merusak kebahagiaan kita berdua! Cuma satu
hal yang mungkin di antara dia dan aku sekarang.
Kami sedang adu kesabaran, siapa yang lebih lama
bertahan. Percayalah, aku akan tunggu sampai dia
menyerah dan menerima kenyataan, aku sudah ng
gak bisa lagi diharapkannya. Setelah itu aku akan
balik padamu, dan kau harus siap kembali pulang
ke rumah kita! Awas saja bila kau sampai kepincut
orang lain!"
Triska tidak menanggapi dengan kata-kata. Dia
cuma tertawa, dan melirik arlojinya, lalu mendadak
dia teringat bahwa jadwalnya pagi itu ketat sekali.
"Sori, aku sibuk sekali hari ini. Yuk, deh, sampai
nanti". Sudah di ujung lidahnya ingin mengundangnya ke pesta ulang tahunnya dua hari lagi (walaupun itu bukan pesta, cuma sekadar jamuan makan,
sebab hatinya tidak ingin pesta namun ibunya ber
103 keras ulang tahunnya harus diperingati), namun
dibatalkannya. Siapa tahu Deni mempunyai acara
lain, pikirnya. Kita sudah bercerai, dia bukan lagi
milikku, waktunya, perhatiannya, semua bukan
lagi hakku.
"Eh, kapan kau sempat makan siang bersamaku "
"Kapan saja maumu."
"Katamu hari ini kau sibuk, gimana kalau besok "
"Boleh."
"Oke, deh. Besok kuj emput kau setengah dua di
kantormu."
Mereka berpisah, masing-masing melangkah ke
bangsal tempat tugas mereka. Triska berjalan sambil tersenyum. Hatinya terasa lapang, langkahnya
pun seakan lebih ringan. Tiba-tiba dia geli sendiri.
Kok seperti orang baru pacaran saja, nih pikirnya.
Siangnya, Triska baru saja kembali ke kamar
dari ruang OP, ketika telepon berdering. "Halo..."
"Hai, Tris, kita makan siang ke Ponderosa, yuk!"
"Ngugng... aku masih repot, Roy," Triska
mengelak. Tadi pagi sudah bilang nggak sempat
sama Deni, masa sekarang keluar bersama Roy
Salahsalah nanti orang takkan mempercayai aku
lagi!
"Aku tunggu!" ujar Roy tegas, membuat Triska
104 menggigit bibir. Dia mengenali betul kebandelan
dokter kulit ini, kemauannya sulit dicegah.
"Nggak tahu sampai kapan. Mungkin sampai
sore...." Triska berusaha menakut-nakuti.
"Nggak peduli! Pokoknya aku nggak terima penolakan! Soalnya, ada yang mau kurayakan! Bersamamu! Nggak mau sama orang lain!"
Celaka! Kedengarannya dia sedang angot! Asal
saja jangan memaksa mau mengecupku di depan
umum!
"Merayakan apa, sih "
"Kau pasti nggak bisa menebak!"
"Karena itu aku bertanya!"
"Aku baru saja diangkat jadi asisten Kepala Bagian!"
"Wah! Kalau begitu memang harus dirayakan!"
sambut Triska tertawa lega. Kukira kau sedang merancang-rancang j ebakan baru untukku! Kalau cuma
merayakan kenaikan pangkat sih, aman!
"Rupanya kepala bagianku sudah mencium angin, aku bakal mendirikan pabrik kosmetikl
"Hah! Kata Marti, lagakmu kan selalu anginanginan. Idemu segudang, yang betul-betul direal
isasi nggak sampai sejumlah jari tanganmu dibagi
empat!
"Beliau bilang, beliau juga ingin ikut andil da
lam pabrikku nanti. Karena itu disindirnya dokter
105 dokter lain yang pernah dipromosikan tapi nggak
ingat berterima kasih. Dengan kata lain, beliau
mengingatkan aku agar jangan lupa kemurahan hatinya kalau nanti aku punya perusahaan."
Beliau ! Hah! Nggak sekalian bilang, Beliau
bersabda... padahal dulu kau paling sengit dengan
bosmu itu yang kau namakan si Mata J engkol!
"Wah, bisa-bisa beliau harus menunggu sampai
selesai perang nuklir dulu!" sindir Triska tertawa,
tapi Roy yang sedang melayang ke awang awang
sudah tidak peka menangkap nuansa-nuansa negatif.
Roy malah tergelak-gelak seakan Triska baru
saja memujinya, dan melanjutkan ucapannya dengan lebih bersemangat, "Soalnya, Tris, sainganku
banyak sekali! Seleksinya lebih ketat daripada
Pemilu. Dan banyak calon yang sama kuat atau
malah lebih kuat dari aku, terus terang saja nih! Jadi
pilihan yang jatuh ke kepalaku betul-betul menunjukkan kemurahan hati beliau!"
Untung masih belum kau anggap sebagai
anugerah! pikir Triska geli. Betapa manusia mem
butuhkan penghargaan!
"Dan setelah selesai penjelasanku, kita kembali
ke soal makan siang nanti. J am berapa kau siap kujemput "
Hm. Triska sebenarnya tidak bergairah. Dia in
106 gin cepat pulang menemui Marco. Tapi Roy si bandel yang sedang euphoria" malah tambah nggak
mungkin dibantah lagi, kita harus menuruti kemauannya seakan dia masih berumur sembilan tahun.
"Dua jam lagi terlalu telat nggak Kau kan nggak gastritis, nggak usah makan pada jam-jam tertentu "
"Orang baru naik pangkat, mana mungkin sakit
mag! Paling-paling nanti, kalau tanggung jawab
sudah menumpuk! Oke, deh, dua jam lagi aku ke
tempatmu!
Makan siang itu berlangsung dalam suasana
gembira, maklum yang mentraktir sedang melayang


Sepagi Itu Kita Berpisah Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ke surga ketujuh. Triska menggunakan kesempatan
ini untuk menyentil Roy, mumpung perasaannya sedang "kebal" dan takkan gampang tersinggung.
"Roy, boleh aku terus terang, nih "
"Tentu saja! Jangan takut, nggak ada yang ngup
ing, semua tamu asyik dengan steak masing-masing, sedangkan yang melayani takkan mendengar
selama suara kita nggak melebihi sepuluh desibel!"
"Itu kan berbisik, seperti kerisik daun!"
"Kalau kau segan berbisik, ya boleh kerasan,
tapi jangan melebihi tiga puluh desibel. Orang lain
kan nggak perlu tahu bagaimana perasaanrnu terhadapku."
** Gembira di luar batas
107 "Kau memang pintar menebak hati orang!"
Roy mendadak jadi kelihatan lebih gembira, tu
buhnya seakan melembung makin besar seperti T he
Incredible Hulk, laki-laki alim yang bisa menjelma
sebesar kingkong kalau melihat kejahatan, sayang
tertahan oleh kemej a mahal dari Prancis.
"Aku sudah tahu, lambat atau cepat kau pasti
akan mengutarakan isi hatimu padaku!" tukasnya
dengan air muka raja Viking yang menang perang.
"Ayo, cepat katakan! Aku sudah nggak sabar
menunggu! Akhirnya taktikku berhasil juga, memang seharusnya dulu aku yang mendapatkanmu
seandainya Deni nggak muncul mengharu biru!"
Roy menggosok-gosok kedua tangannya dengan
sukacita serta memajukan tubuh ke depan, rupanya
khawatir, jangan jangan ada suku kata yang tidak
tertangkap sehingga tidak bisa dijawab dan akan
melukai perasaan sang dewi.
Sebaliknya, Triska malah j adi ragu membuka mulut setelah menyadari apa yang diharapkan
oleh Roy. Kacamatanya sampai nyaris terjatuh dari
batang hidungnya, namun dibiarkannya. Rambutnya yang berombak terjurai ke dahi sehingga jam
bulnya kempis, tapi dia tak peduli. Wajahnya yang
lonjong dan kurus dengan profil Indo-Belanda, ditambah dengan kemejanya yang ketat, benar benar
membuatnya mirip Elvis-bayangan. Memang Roy
108 senang sekali diberi predikat itu. Menurut Marti,
Elvis adalah penyanyi pujaannya sejak di SMA,
dan tembok kamarnya tidak kelihatan lagi warnanya, saking penuhnya ditempeli gambar Elvis Aaron Presley. Hampir setiap cuti digunakannya unmk
mengunjungi Graceland, tempat tinggal sang Raja
di Memphis. Marti menghitung, abangnya sudah
lima kali ke sana, dan setiap pulang pasti mengangkut sekoper penuh album-album lagu rock 'n roll.
"Jangan salahkan Deni, Roy. Aku justru menyesalimu," tegur Triska.
"Eh " Mata Roy yang empat itu j adi belingsatan,
dasinya yang bergambar bunga kekuningkuningan
nyaris mampir ke kuah di piring yang masih setengah penuh. "Karena aku kurang gesit dari Deni
Tapi sekarang aku sudah belajar dari pengala "
"Karena kau nggak mau membujuk Odi supaya
melupakan Deni!"
"Eh, kok aku yang kena pentung "
"Coba kau berusaha merayu Odi sampai dia
jatuh cinta padamu, kan lain riwayatku sekarang."
"Jadi kau menyesali aku karena itu " Roy menegaskan dengan rupa kurang percaya. Dicopotnya
kacamatanya dan digosoknya dengan saputangan
sutra yang dibelinya di tempat Elvis, setelah berkilat
lagi ditenggerkannya kembali di atas hidungnya,
lalu diajukannya wajahnya lebih ke depan. "Kau
109 mau tahu isi kepalaku Aku malah senang melihat
kau berhasil dipisahkan dari Deni. Kebahagiaan
kalian merupakan duri di mataku, tahu! Mana aku
peduli sama Odi! Dia mau berbuat apa juga bukan
urusanku, dia mau nyemplung ke neraka sekalipun, takkan kucegah! Kalau dia bisa enyah dari
sampingku, aku mah senang. Seandainya dia mau
terbang ke bulan, mungkin akan kubelikan tiket pesawat angkasanya, tapi lebih mungkin lagi aku akan
syukuran membakar kemenyan."
Hiii, bergidik aku mendengar isi kepala si Roy!
Tapi mungkin dia melebih-lebihkannya, maklum
sedang euphoria!
"Aku nggak habis pikir, Odi kan cantik dan anggun, malah bisa luwes kalau dia mau, jadi apanya
yang kurang "
"Terus terang, aku memang tertarik padanya."
"Nah, kau akui sendiri! Tinggal selangkah lagi,
kenapa kau nggak berusaha memikat hatinya "
""Sebenarnya dia juga pernah mencintaiku."
"Pernah Kenapa cuma pernah Kenapa nggak
dipupuk dan dirawat supaya tumbuh terus Lalu diabadikan dalam perkawinan "
Roy mendadak j adi lesu. Wajahnya bagaikan
balon yang sekarang tertusuk jarum sehingga menciut kempis berkerut kerut. Sikapnya yang berbeda
bagaikan siang dan malam dengan barusan mem
110 buat Triska sempat khawatir, j angan-jangan dia
menyimpan gen yang berbakat menimbulkan pen
yakit manik depreszfm
Roy jelas kelihatan sulit menjawab, membuat
Triska bertanya tanya sendiri apa gerangan yang
sudah terj adi antara laki-laki ini dan Odi sampai dia
mendadak jadi bisu begitu ketika diungkit kenapa
tidak dari dulu menyeret Odi ke depan altar.
Seakan tiba-tiba tersadar bahwa mereka sebenarnya sedang makan, Roy mengangkat kembali pisau dan garpunya, namun j elas kelihatan seleranya
sudah berkurang. Dia makan sambil tunduk, emosi
yang melemp-letup tadi itu sudah lenyap diembus
angin. Triska juga meneruskan makannya sambil
sesekali mengerling kawan di depannya yang tampaknya makan untuk menghindari percakapan. Triska mencari akal untuk mencairkan suasana dan beralih ke topik yang netral seperti jumlah pasien yang
menanjak, tempat tidur yang kurang. Dia hampir
membuka mulut karena mengira Roy sudah tak mau
meneruskan diskusi tadi, eh, tahutahu Elvis bayan
gan itu mengangkat muka, menusuknya dengan tatapan penuh api, dan berdesis sekitar sepuluh desibel, "Karena aku mencintaimu!"
Triska terenyak, sesaat tak mengerti ke mana
juntrungan ucapan itu. Kemudian dia teringat pada
*** gembira dan sedih bergantian terus-menerus
111 apa yang ditanyakannya barusan. Rupanya inilah
jawabannya. Jadi kau tidak mau kawin dengan Odi
karena Matamu! Kau kan tahu, aku sudah menerima
"...Sakramen Perkawinan!" cetus Roy membuat
Triska terkejut. Sangkanya dia tengah berpikir dalam kepala, ternyata tanpa sadar dia sudah berpikir
dengan bersuara keras.
"Dan di mata Tuhan, aku sudah, masih, dan akan
tetap menjadi istri suamiku!" sambung Roy ganas,
lalu setelah menghadiahi Triska pelototan mata
yang tajam, dia kembali mengalihkan perhatiannya
ke piringnya.
Triska memperhatikan Roy dengan berbagai
perasaan penuh mduhan.
Egois dan bandel termasuk dalam rangkaian predikat yang ingin dikalungkannya ke lehernya. Tapi
entah kenapa, Triska merasa Roy tidak bicara yang
sebenarnya. Dia punya firasat, Roy tidak serendah
yang dilihatnya sekarang. Pasti ada predikat yang
lebih luhur yang bisa disematkannya sebagai epauleaf di bahunya.
* * * * hiasan di bahu pada pakaian seragam
112 "Gimana kabarnya makan siangmu dengan
Roy " tanya Deni ketika esoknya mereka berdua
makan siang di restoran Padang kegemaran mereka. Triska demikian kaget mendengar pertanyaan
itu sehingga untuk sesaat dia mengira Deni sudah
menyewa detektif untuk membuntutinya. Kemudian dia insaf, dia terlalu dipengaruhi film-tilm luar
negeri, detektif di sini belum banyak dan tidak populer, masa Deni sampai bertindak menj elimet begitu
hanya karena ingin tahu istrinya ralat: mantannya pergi ke mana dengan siapa!
Setelah pikiran sehatnya pulih, Triska malah j adi
ingin tertawa, saking geli membayangkan kemungkinan Deni sendiri yang memata-matainya. Dari
mana waktunya, sedangkan selama ini dia salah
satu dari sepuluh ribu orang tersibuk di J akarta
"Dari mana kau tahu "
"Aku melihat sendiri."
"Aku nggak tahu kau kelebihan waktu untuk ob
',, servasi diriku tukasnya tersenyum sambil menghirup minuman.
"Aku cuma melihat gejala dan membuat diagnosis. Waktu itu aku mau ke Pathology, aku berjalan di
belakang kalian "
Di... belakang kami Astaga!
"...Tentu saja kau nggak tahu, habis keasyikan
berdua, mana mau nengok-nengok ke belakang!
113 Jadi kulihat kau bersama Roy menuju ke tempat
parkir, siang hari, nah, ke mana lagi kalau bukan
pergi makan "
"Kesimpulanmu memang tepat."
"Boleh aku tahu apa prognosisnya "
"Maksudmu "
"Adafollow-up-nya, nggak "
"Itu cuma kebetulan. Sebenarnya hari itu aku si
buk sekali, tapi Roy ngotot mau nunggu sampai jam
berapa juga. Soalnya dia baru diangkat jadi asisten
Kepala Bagian, jadi katanya, mutlak harus dirayakan. Boleh dibilang aku ditodong harus ikut!"
"Tapi yang kulihat adalah istriku yang sedang
tertawa riang, bukannya orang yang kelihatan dipaksa ...."
Hm. Cembuiukah kau Boleh juga, asal masih
dalam takaran normal.
"Ingat, aku sudah bukan istrimu lagi! Alm bebas
sekarang!"
Deni meringis tapi tidak membantah.
Hm. Menyesal Nasi sudah menjadi bubur, Den!
Siapa suruh kau mau menipuku (walau kau bilang
akhirnya dibatalkan, itu kan katamu! Kata Odi, lain
lagi! Ucapanmu versus ucapannya! Mana yang benar ), menjadikan aku tumbal agar kau bisa memperoleh warisan. Seandainya kau sudah mengenal
aku lebih dalam waktu itu, pasti kau takkan co
114 ba-coba menyakiti aku barang seujung rambut pun!
Walaupun ada percakapan yang kurang enak
menyelinap di sana-sini, namun hidangan yang
lezat cukup membuat makan siang itu mengesankan
serta memuaskan. Perbincangan pun terkadang hangat menggairahkan, sebab mereka memang sudah
biasa terlibat diskusi yang seru-seru mengenai segala macam topik. Mulai dari dokter edan yang mera
sa tujuan hidupnya adalah membantu pasienpasien
yang sudah tidak ingin lebih lama lagi menghirup
udara polusi di bumi supaya bisa segera berangkat
menemui Santo Petrus atau Osiris atau Hades atau
Pluto (terserah kepercayaan masing masing), sam
pai ke sidik DNA untuk menggantikan sidik jari,
dari TV ukuran saku sampai ke mobil listrik, dari
real estate kampungan (yang ambruk) di Malaysia
sampai ke calon Stalin kedua (Deni bertanya, Inikah
anti-Christ yang ketiga ).
': "Marco sudah mulai tumbuh gigi," ujar Triska sambil tersenyum. Deni menunda suapnya dan
mendengarkan dengan takjub seakan itu penemuan
kedokteran paling mutakhir.
"Mengherankan anak itu, tumbuh gigi pun ng
gak rewel," puji Triska sambil menyendok lauk.
"Palingpaling cuma resah sedikit tidurnya."
Deni mengangguk angguk lalu meneruskan
makannya. Karena dia menunduk, Triska tak dapat
115 melihat air mukanya.
Tampaknya dia rindu pada anaknya, betulkah
Mungkinkah seorang laki-laki mencintai anaknya
bila dia sudah pernah membunuh anaknya yang
lain Triska teringat pada masa-masa proses perpisahan mereka. Deni tidak mau dia mengangkuti
barang barangnya ke rumah orangtuanya kecuali
keperluan sehari-hari seperti pakaian dan sepatu.
"Kau akan kembali lagi ke sini, Tris. Jadi biarkan
saja begini." Triska merasa skeptis sekali namun
tak ma berbantahan, khawatir membuat Deni makin
depresif. Toh setiap saat bisa diambilnya miliknya.
Pokoknya, begitu Odi punya rencana untuk masuk ke rumah itu, dia pasti akan mengangkuti hadiah-hadiah pernikahan yang diberikan oleh sanak
keluarganya. Dia bertekad, Odi tidak boleh menjamah barang barangnya terlebih piano serta luki
san-lukisan yang dikumpulkannya. Tapi sejauh itu
sirene belum mengaum. Dan dia cuma membawa
lampu beruang, lonceng kukuk, serta Bella. "Biar
untuk menemani Marco," kilahnya.
Marco dengan cepat menjalin persahabatan den
gan Bella. Dia juga senang mendengarkan bunyi
kukuk serta lagu-lagunya, namun bila si kecil sudah tidur, giliran ibunyalah untuk melamun di atas.
Tempat tidur, memegangi jurnal tapi asyik menden
116 garkan kukuk serta lagu-lagunya terutama Di Rondangm' Balani yang mendayu dayu.
"Kenapa kau cukur kumismu, Den " Triska tak
dapat menahan rasa ingin tahunya, sebab seingatnya, Deni sangat bangga akan kumisnya. Ini bukan
kumis Chaplin, bukan Hitler, bukan juga David
Niven tapi kumis ala Deni Melnik! Ini bukan kumis
ijuk, Saudara saudara, tapi kumis priyayi Tris,
mungkin salah satu nenek moyangku bangsawan
Majapahit, ya! Hm, sayang susah ditelusuri!
tulen!
Deni tertawa malu. "Aku kaul, Tris. Selama kau
belum balik ke sampingku, aku nggak mau punya
kumis!"
"Katamu, kumis itu bisa menambah kegagahan,
kan nanti kegagahanmu merosot, gimana "
"Buat apa aku kelihatan gagah kalau kau nggak
ada di sampingku !"
"Dan bila buat selamanya keadaan seperti ini... "
"Ya kumisku juga ikut jadi sejarah!"
Mendadak timbul niat dalam batinya untuk men
gundang Deni makan malam di rumah orangtuanya,
merayakan ulang tahunnya.
"Den" Sudah di ujung lidahnya undangan itu.
Deni mengangkat wajah memandangnya, siap
menungga lanjutannya. Tapi tiba tiba dia ingat be
sok Jumat, praktek Deni biasanya sangat ramai hari
117 itu. Buat apa membikin dia berabe tergesagesa memeriksa pasien pasien, lalu ngebut... salahsalah bisa
tabrakan! Oh, jangan!
Triska menggeleng. "Nggak jadi ngomong,"
uj arnya seraya cepat cepat menyuap makanan agar
punya alasan untuk tidak bicara.
"Ayo, katakan! Nanti gagu kau kalau sudah mau
bicara dibatalkan!"


Sepagi Itu Kita Berpisah Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mereka tertawa gelak. Itu lelucon warisan dari
Tante Kirana yang lebih senang dipanggil Ana tok,
kakak dari ibu Martina.
Didesak begitu, terpaksa Triska cepat-cepat memikirkan ucapan apa yang akan dikatakannya se
bagai gantinya. Untung otaknya masih bisa kerja
kilat. "Nggak penting, kok. Aku cuma ingin tahu,
kau hari ini praktek nggak ! Biasanya kan Rabu kau
libur."
"Ya, sekarang Kamis. Aku masih digantikan
oleb Badur. Tapi kalau dia sudah pindah ke Cilandak, mungkin aku harus mencari orang lain, atau
aku praktek juga Kamis."
"Mau melihat Marco Lucu, deh, gigi depannya
sudah mulai nongol. Dia pasti akan menguik kes
enangan melihatmu. Dia sudah mengenali orang,
lho. Aku sih akan praktek sore ini, tapi kau bisa
main main dengan Marco seandainya kau nggak
punya acara yang lebih penting."
118 Triska melirik Deni sambil tersenyum disambut
dengan kertakan geraham. "Monyet kau! Apa mak
sudmu dengan "acara yang lebih penting" "
Triska mengangkat bahu, dengan senyum masih
terpampang.
"Sebenarnya sore ini rencanaku mau nginap di
Depok, habis sepi sendirian di rumah begitu besar!"
Sekilas terlihat mata Deni berkaca kaca tapi ce
pat-cepat dia mengejap sementara Triska buruburu
melengos memperhatikan isi piringnya.
"Selain itu aku ingin menghindari telepon dari
Odi," bisik Deni menunduk seakan ditujukan ke pir
ingnya.
"Dia sering menelepon "
Deni mengangguk sambil memandang Triska.
"Sekarang makin sering, hampir tiap malam!
Paling nggak, dua hari sekali."
"Apa saja yang dibicarakannya "
"Itulah problemnya! Dia nggak pernah bilang
apa-apa!"
"Lho! Lantas kau tahu dari mana telepon itu dari
dia "
"Pernah dulu dia menelepon mungkin yang
pertama atau kedua kali dan di latar belakang terdengar lagu yang nggak enak didengar, menyayat
perasaan, entah gimana, deh."
"Bikin kita merinding." Triska mengangguk.
119 "Ya, aku tahu maksudmu. Aku juga pernah mendengarnya. Semacam elegi tapi aku nggak kenal gubah
an siapa. Pertama kali memang cuma diputarnya di
latar belakang, tapi kedua kalinya cuma lagu itu tok
yang kedengaran disertai desahan napasnya. Menakutkan, deh. Entah berapa kali aku kena dipermainkannya begitu, lalu aku pasang, deh, alat penerima
telepon. Sej ak itu aku aman. Apa kau juga mengala
mi hal yang sama "
"Persis." Deni manggut sambil mengatupkan bi
bir rapat-rapat.
"Nggak kau pasang alat penerima telepon "
"Aku pasang terus. Tapi walaupun dia tahu yang
menerima bukan aku, toh diputarnya juga lagu itu
untuk kudengar. Aku kesal sekali. Setiap kali habis
menerima kiriman lagu aneh itu aku nggak bisa tidur."
"Gimana kalau kau ganti nomor telepon saja "
"Sudah kupikirkan. Tapi nomorku kan terdaftar
di rumah sakit, setiap orang yang ngaku pasien berhak menanyakannya."
"Benar juga. Tapi masa nggak ada jalan untuk
melindungi dirimu "
"Ya nginap di Depok, deh, seperti rencanaku
hari ini. Moga-moga dia nggak tahu aku ke mana,
jadi nggak akan berusaha mendapatkan nomor tele
',) pon orangtuaku
120 "Memangnya dia bisa tahu dari mana "
Deni menghela napas. "Mungkin saja dari Nila."
"Sepupumu Anak Tante Leila Dia kenal dengan Odi "
Deni mengangguk sambil menyendok lauk ke
atas piring. "Kelihatannya malah sahabat karib!"
"Buset! Ini baru berita!"
"Ya. Dan kau tahu sendiri, anak anak Tante Lei
la kurang senang padaku gara-gara bagian mereka
yang lebih kecil dari bagianku. Nila pasti berpihak
pada Odi, dan nggak akan segan segan membantunya untuk menyusahkan hidupku. Mereka semua iri
karena aku dianggap cucu emas Nenek. Kan sebenarnya bukan aku yang menghendaki uang itu, tapi
Nenek sendiri yang mau memberi. Warisan pembawa bencana! Belum sempat aku nikmati duitnya,
kesusahan yang ditimbulkannya sudah bertimbun!"
"Apa maksud Odi memutar lagu aneh itu ditele
pon "
Deni mengangkat bahu. "Teka-teki silang juga
bagiku! Dugaanku, dia mau membuat aku merasa
bersalah."
"Hm. Dan bila kau berhasil dibikin susah tidur
oleh lagu itu, berarti dia berhasil dengan taktiknya.
Mungkin secara tak sadar kau merasa bersalah "
"Nggak mungkin!" bantah Deni tegas. "Mana
mungkin aku merasa bersalah bila setiap kali terin
121 gat padamu hatiku gembira, dan hidupku bersamamu penuh kebahagiaan. Kalau aku merasa bersalah,
itu adalah terhadapmu! Bukan terhadap Odi!"
"Lho !"
"Karena aku nggak berterus terang sejak mula
sehingga jelas bagimu situasinya, dan kau bisa percaya, aku sungguh sudah memutuskan hubungan
dengannya sebelum kita menikah. Dengan begitu
kau takkan termakan umpannya."
"Jangan menyesali diri sendiri, Den. Kalau me
mang dia berniat jahat, dia tetap bisa mengancam
akan menyeret-nyeret namaku ke koran tabloid walau dia tahu, aku sudah tahu duduk persoalannya."
Hampir berbareng keduanya menarik napas
kesal. Triska merasa pilu menyaksikan kekusutan
wajah laki-laki di depannya. Deni yang dikenalnya
selama ini periang, dan selalu penuh humor. Dalam
situasi apa pun, dia selalu berusaha mencari segi lucunya. Baru pertama kali ini Deni tampak begitu tak
berdaya.
Triska mengulurkan tangan menyentuh lengan
nya. "Tabahkan hatimu, Den. Jangan sampai kau
jatuh sakit. Kalau kau kenapa kenapa, nanti uang
ratusan juta itu nganggur, dong, jamuran berdebu!"
Triska mencoba membuat pendengarnya tertawa,
tapi Deni seperti orang linglung yang tidak menger
ti apa yang disebut tertawa.
122 Setelah keduanya berdiam diri beberapa saat,
Triska mengingatkannya pada tawarannya tadi.
"Apa kau mau menemui Marco atau tetap akan ke
Depok juga Kalau kau mau nginap di sana, nggak
usah menengok Marco. Biar nanti saja, Sabtu atau
Minggu. Sekarang kan Oktober, sudah musim hujan, sebaiknya kau jangan berangkat terlalu sore.
Siapa tahu keburu huj an, jalanan licin dan gelap."
"Aku sudah memutuskan untuk menerima
tawaranmu. Aku kangen sekali sama anak itu. Seti
ap malam, kau dan dialah yang terakhir kupikirkan
sebelum aku terlelap kalau insomnia-ku nggak
sedang angotl dan setiap pagi kalian juga yang
pertama kali muncul dalam ingatanku begitu aku
terjaga."
Triska mendengarkan tanpa komentar, persis
seperti anak kecil sedang didongengi oleh nenekn
ya. Habis, apa yang bisa kukatakan Aku juga sedih
dan merana dengan keadaan kita, namun apa daya
Semua ini akibat ulahmu sendiri, Den. Kau terpaksa
harus mau menanggung akibatnya! Aku nggak bisa
menolong, sebab aku sendiri juga repot membenahi
hatiku yang berantakan.
"Jalan yang terbaik kukira adalah menyibukkan
diri dengan kerjaan atau hobi sehingga kita nggak
sempat lagi memikirkan hal hal yang menyakitkan
perasaan."
123 Deni manggut-manggut, tapi Triska tahu, dia
mendengarkan cuma separo dari apa yang diutara
kannya.
Setelah selesai makan, Deni mengantarkan Tris
ka kembali ke rumah sakit untuk mengambil mobil,
lalu keduanya beriringan meluncur ke tempat Dok
ter Omega.
Nyonya Rosa heran bercampur senang melihat
siapa yang datang. Triska mengecup anaknya dan
mencubit pipinya.
"Mam, saya mengajak Deni. Sore ini kan dia nggak praktek, biar dia main dengan Marco."
"Kau sudah makan " tebak ibunya.
"Astaga! Sampai lupa saya menelepon ke rumah
memberitahu! Tapi Mama nggak menunggu saya
pulang, kan "
"Mama sudah kelaparan, mana sanggup disuruh
makan j am dua!" Ibunya tertawa.
"Untunglah. Kami memang sudah makan, Mam.
Deni yang traktir! Boleh sering sering saja, Den!"
Triska tertawa lalu mengambil Marco dari gendon
gan neneknya, diciuminya berulang ulang. Anak itu
melonjak girang melihat ayahnya yang mengulur
kan lengan untuk memeluknya. Marco juga mengulurkan lengannya yang montok, menyambut pelu
kan ayahnya.
Deni memeluk dan menciumi pipinya.
124 "Eh, coba kasih lihat gigi tikusmu!" ujar Triska
menggelitiki leher anaknya. Marco terkekeh kekeh
kegelian, mulutnya terbuka lebar dan dua buah gigi
putih kelihatan menghiasi tawanya.
"Tris, tadi pagi ibunya Manel ngebel, katanya
Manel sedang selesma dan batuk, sore ini nggak
bisa les," kata Nyonya Rosa pada anaknya.
Deni menaikkan keningnya dan menatap Triska
dengan pandang bertanya. Triska tertawa kecil, se
dikit malu. "Aku membantu Mama, muridnya ke
banyakan sampai kewalahan bagi waktu. J adi aku
oper tiga, yang masih tingkat permulaan."
Mereka masuk ke ruang keluarga sementara ibu
Triska pergi ke belakang mau menyiapkan suguhan
untuk tamu mereka. Triska menemani Deni duduk
di lantai bermain dengan Marco. Suatu ketika Deni
mengangkat kepala, dan matanya terpaku ke dinding di depannya. Dia menoleh ke dinding sebelah
kiri lalu sebelah kanan.
"Hei, Tris, kau punya koleksi baru, nih " tukasn
ya menunjuk dinding depan dan kiri.
"Beli di mana Ini kan Claude Monet." Dia bangkit menghampiri lukisan di hadapannya.
"Aku tahu, Monet memang favoritmu yang utama, tapi... kok nggak ada tanda tangannya Kau beli
di mana ini " Dia beralih dan melangkah meng
hampiri dinding sebelah kiri. Di sini pun kepalanya
125 terteleng teleng memeriksa bagian bawah lukisan,
mencari cari tanda tangan pelukisnya. "Nihil," gu
mamnya seraya meluruskan kembali punggungnya.
"Ini jelas Monet!" sambungnya ngotot. "Tapi, kok
nggak ada namanya Tris, apa kau beli barang pal
su "
Triska tertawa gelak memandangi belakang
Deni. "Mirip, ya "
"Ya. Mirip sekali dengan kebun di belakang. Li
hat, ini gazebo, ini kolam ikan, ini teratainya, ikan
ikan "
"Maksudku, mirip dengan Monet!"
Deni menoleh dan tertegun menatap Triska.
Yang ditatap cuma mengangkat bahu, melebarkan senyumnya, serta menaikkan dahinya sehing
ga kedua matanya tampak makin besar. Pada saat
itu Nyonya Rosa masuk dengan nampan di tan
gan. Rupanya didengarnya ekor percakapan mer
eka. Sambil meletakkan nampan di atas meja, dia
tersenyum memandang Deni.
"Katanya iseng, Den. Daripada duduk melamun,
lebih baik saya mencoba melukis lagi, katanya. Kau
kan tahu, Triska punya hobi melukis waktu masih di
SMA dan FK. Sejak kawin dia stop, mungkin repot.
Lumayan hasilnya, kan "
Deni memandang Nyonya Rosa dan Triska ber
gantian. Bibirnya setengah terbuka saking takjubn
126 ya. Triska cuma tersenyum lalu menunduk menga
jari anaknya menghitung jumlah j arinya.
"Ayo sini, minum kopi, Den. Ini Mama kebetulan
bikin risol, cobalah. Tahu tuh, enak nggak. Mama
tinggal dulu, ya, sedang repot nih di belakang."
Nyonya Rosa kelihatan masih ingin mengatakan sesuatu, tapi melihat kedipan anaknya, dibatalkannya,
dan tanpa banyak omong lagi dia berlalu.
Deni kembali menghampiri anaknya, mengang
katnya, dan mengajaknya duduk di sofa. Triska ikut
duduk di samping mereka, memegangi beruang kesayangan Marco. Deni memeluk Marco dan membelai belai rambutnya.
"Mana kupingmu Ini dan ini. Ini kiri, itu kanan.
Kau kesepian Seperti aku "
"Tentu saja nggak! Begini banyak orang, begini
banyak yang harus kukerj akan!"
"Mana gigi tikusmu Ini. Mana hidungmu Ini!"
Marco terkekeh ketika ayahnya menyentuh hidungnya dengan ujung telunjuk. "Mana bibirmu
Ini. Tapi kau sekarang nggak repot, ya Dulu kau
repot, ya, ngurusi aku "
"Bukan! Dulu waktu luangku bisa kuhabiskan
bersamamu. Sekarang aku harus mengisi waktuku
sendirian, jadi iseng...."
"Karena itu kau memberi les piano dan melukis.
Eh, ayo, tunjukkan mana kakimu "
127 "Aku memang sudah lama ingin mempelajari
gaya Monet yang kukagumi. Eh, diam diam sudah
jam berapa, nih Wow! Sebaiknya aku mandi saja
sekarang. Marco temani Deni, ya!" seru Triska ser


Sepagi Itu Kita Berpisah Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aya mencubit pipi anaknya dan bangkit melangkah
ke tangga.
"De... de... de de...," Marco berceloteh sambil
melonjak lonjak di atas pangkuan ayahnya. Triska
menoleh dari tangga dan melambai.
"Ma maaa! Maaa... maaa!" Deni mengajari
dan Marco mencoba menirukan.
Ketika Triska turun kembali ke bawah, dili
hatnya ayah dan anak sedang asyik melihat Video
Miki Tikus. Dari arah kamar depan terdengar kentang kentong piano. Rupanya ibunya tengah mem
beri les. Triska memandang sekilas grand piano
berwarna putih di dekat jendela ruang keluarga,
kemudian berpikir pikir. Waktunya masih ada se
jam. Sebenarnya dia ingin main Clayderman, tapi
khawatir nanti mengganggu konsentrasi murid
ibunya, jadi dibatalkannya. Dia beralih pada kedua
ayah beranak itu dan ikut nonton dengan mereka
sampai akhirnya dia harus berangkat.
Malam itu huj an turun sej ak pukul tujuh. Namun
mengherankan, pasien tetap banyak. Ketika akhirnya semua pasien sudah pulang, hujan masih lebat.
"Ayo, Mbak Tut, mari saya antarkan," Triska
128 mengaj ak pembantunya.
"Dok, sampai tempat bus saja, deh. Kan sudah
malam, Dokter pasti sudah lapar, mana huj an angin
begini, bisa bisa nanti Dokter masuk angin, kan repot!"
"Dan Mbak Tuti akan saya biarkan berdiri di
pinggir jalan menunggu bus sampai basah kuyup "
"Ah, kan ada payung, Dok," kilah wanita seten
gah tua yang berpotongan gemuk dengan waj ah bulat keibuan itu.
"Tapi tetap akan basah, Mbak, sebab anginnya
kencang. Kalau Mbak Tut sampai sakit, kan kasihan
Pak Bambang. Salah salah nanti saya ditegurnya!
Ya kalau wanita bionik, sih, nggak takut masuk angin."
"Tapi saya masih perlu mensterilisasi alat-alat,
nanti kelamaan."
"Nggak apa, saya tunggu. Sebenarnya saya sedang mempertimbangkan untuk mengganti alat itu
dengan buatan Jepang yang pakai komputer. Jadi
nggak usah disetel sana sini, cukup tekan tombol
tombol saja."
"Wah, enak dong, kalau cuma tekan tekan tom
bol!" komentar Suster Tuti sambil menyelesaikan
tugasnya.
Sebelum pulang, Triska menelepon ke rumah
memberitahu, dia akan mengantar Suster Tuti dulu,
129 jadi kemungkinan sejam lagi baru tiba di rumah.
Mamanya nggak usah khawatir.
Hujan memang lebat sekali, jalanan susah dilihat apalagi kendaraan-kendaraan lain. Suster Tuti
sebentar sebentar menyebut, "Oh, Gusti! Hati-hati,
Dok!"
Dan Triska berkali-kali harus meyakinkannya,
"Tenang, Mbak, tenang. Kita pasti sampai utuh ke
rumah masing masing!"
Ketika akhirnya sejam kemudian Triska masuk
ke halaman rumahnya, huj an belum juga reda, malah
rasanya makin menj adi. Di rumah ayahnya terdapat
dua garasi, masing masing muat dua mobil. Dok
ter Justin memakai garasi yang dekat ke rumah, sedangkan Triska menggunakan garasi di sebelahnya.
Dengan begitu masing-masing dapat membukanya
dengan remote control sendiri sendiri.
Ibunya sudah menunggu di pintu samping dan
langsung menggiringnya ke kamar makan. Semua
orang tentu saja sudah makan. Ayahnya tidak kelihatan, mungkin sedang di kamar kerjanya membaca
buku. Ibunya memanggil Inem, dan para pembantu
pun segera muncul membawakan hidangan yang
masih beruap. Triska makan ditemani ibunya sambil merajut benang katun untuk mantel Marco.
Selesai makan Triska tidak segera naik ke atas,
tapi malah masuk ke ruang keluarga. Dihampirinya
130 lemari piringan hitam, dipilihnya sebuah album dari
Jose Carreras dan diputarnya, lalu dia duduk di sofa
menyandarkan kepala ke belakang dan memejamkan mata. Ibunya menemani sambil terus merajut,
tanpa mengganggunya dengan percakapan.
Musik mengalun mengantar Triska menyuruk ke
belakang, ke saat-saat bahagia dalam hidupnya ketika lagu lagu ini bisa dinikmatinya bersama Deni,
ketika nama Odi Bobadila belum dikenalnya atau
paling banter, cuma sepintas lalu, dari koran dan
media massa lainnya. Tapi sekarang... Carreras, Domingo, dan Pavarotti terpaksa dinikmatinya sendirian. Deni pasti sudah pulang sejak tadi, mogamoga
saja malam ini dia tidak diganggu telepon dan bisa
tidur nyenyak. Kasihan dia jadi menderita insomnia, padahal setahunya, dulu Deni paling gampang
tidur. Begitu kena bantal, langsung disambut oleh
Dewa Morpheus!
Uh, musik memang bisa menenangkan saraf,
pikirnya. Tapi aku nggak bisa semalaman duduk
di sini mendengarkannya. Sebaiknya aku mandi
air hangat sebelum tidur untuk mengusir pikiran
pikiran yang mengganggu.
Tapi semua rencana itu cuma berputar putar dalam kepalanya, sedangkan tubuhnya tidak bergeming seinci pun. Ibunya diam diam meninggalkannya
dan merayap ke loteng agar jangan sampai menim
131 bulkan bunyi yang dapat mengganggu suara musik.
Triska sendiri demikian asyiknya sehingga dia seak
an buta dan tuli terhadap sekelilingnya. Matanya
yang terpejam dan telinganya yang disetel ke arah
musik, membuatnya tidak menyadari bahwa ibunya
sudah pergi.
Keletihan fisik dan mental membuat musik
itu makin meresap ke dalam jiwanya, membuat
pikirannya melayang dan tubuhnya terasa ringan.
Entah berapa lama dia terlena, tahu tahu telinganya
menangkap suara Nat King Cole menyanyikan Star
Dust, lagu kesayangan Bing Slamet dan kesayangannya juga, serta... Deni!
Sometimes [ wonder why [ spend the lonely night
dreaming of a song T he melody haunts my reverie,
and I am once again with you... When our love was
new and each kiss an inspiration, but that was long
ago.... Now my consolation is in the Star Dust ofa
song....
Ibunya pernah bercerita kepada Triska bahwa
lagu itu kesayangan Bing. Ayahnya bilang, pelawak
kesayangannya itu meninggal karena sakit liver
yang parah.
Lagu ini memang cocok sekali untuk mengobati
malarindu tropikangen, pikirnya sedikit sinis, lalu
mendadak otaknya seakan disentak sadar. Entah apa
yang menyebabkan. Mungkin, indra keenam yang
132 mengingatkannya ada sesuatu yang tidak beres, atau
otaknya sendiri yang mendadak ingat bahwa yang
diputarnya adalah Carreras, dan lagu yang diharapkannya adalah 0 Sole Mio atau Mattinata nya
Leoncavallo yang pernah dibawakan oleh Enrico
Caruso. Kenapa suara Nat King Cole jadi ngacau
di sini
...You are in my arms,... T ho 'I dream in vain, in
my heart it will remain
Triska menyentakkan dirinya dan membuka
mata....
"Deni !" serunya tertegun melihat siapa yang ten
gah duduk di tempat ibunya tadi, di seberangnya.
""Kau masih di sini "
Deni tersenyum sambil mengacak acak rambut
nya. ""Aku menunggu hujan reda. Ketika aku turun,
kulihat kau sedang terlena dan lagu sudah berhenti,
jadi aku ganti. Apa kau kukagetkan "
"Nggak." Triska mencoba tersenyum menunjukkan bahwa dia tidak kenapa-kenapa. ""Sebenarnya
aku nggak berniat mendengarkan sampai habis.
Pikirku, aku mau mandi sekarang... sekarang... eh,
tahu tahu ketiduran j adinya! Marco rewel, nggak "
""Nggak. Dia malah mau main terus, tahan, nggak ngatuk-ngantuk."
Nyonya Rosa Omega turun kembali dari loteng.
"Den, rasanya hujan ini takkan berhenti sampai
133 pagi. Sudahlah, kau nginap saja, kamar kosong banyak."
Deni memandang ke lantai, tampak berpikirpikir.
Triska melihat ibunya menatapnya seakan memberi
isyarat. Apakah Mama ingin saya membujuknya
Apakah takkan menimbulkan problem dengan Odi
kalau dia tahu
Deni mengangakat muka dan untuk sesaat pan
dangan mereka bentrok. Deni lekas-lekas mengalihkan matanya memandang nyonya rumah. ""Terima
kasih, Mam. Saya rasa sebaiknya saya pulang saja."
""Kenapa jadi pakai basa-basi begitu Kau kan
anggota keluarga juga, Mama tidak dapat membi
arkanmu pulang menempuh badai begini. Pakailah
kamar tamu di atas, nanti Mama pinjami piama
Papa, kalian kan sama besar, cuma Papa gemukan
sedikit."
Deni menghela napas, tak berani menatap Triska
yang tengah memperhatikannya. ""Saya nggak keberatan nginap di sini, tapi sebaiknya jangan. Saya
pulang saja nanti. Masa sampai tengah malam ng
gak juga berhenti "
""Kenapa jangan "
Semua orang menoleh dan melihat Dokter Justin muncul dan berj alan dari arah kamar kerjanya.
Dia berhenti di dekat mereka dan memandang Deni
seakan menunggu jawaban.
134 ""Untuk melindungi Triska, Pap," sahut Deni lalu
menelan ludah dengan susah payah seakan kerong
kongannya tersumbat.
""Omong kosong!" gelegar Dokter Justin. ""Apa
yang mau dilindungi Kau kan tidur di kamarmu,
dia di kamarnya! Kalian masing-masing akan tidur!
Tidur benaran, bukannya tidur-tiduran lalu melakukan kegiatan lain!"
Triska hampir tak dapat menahan tawanya mendengar kuliah ayahnya yang tidak suka omong
kosong, tapi wajah ayahnya dan Deni yang serius
membuatnya bahkan tak berani berkutik sedikit
pun, jangankan mau ngikik!
""Bukan itu maksud saya. Yang saya pikirkan
adalah Odi..."
""Aaah, lupakan perempuan itu!" Dokter Justin
memotong Deni dengan tegas. ""Buat apa masih kau
pikirkan juga Dia sudah merusak kebahagiaanmu,
tak usah kau ingat-ingat, lebih baik kau doakan biar
cepat dipanggil pulang ke langit!"
""Pap!" tegur Nyonya Rosa mengingatkan sua
minya.
""Saya nggak memikirkannya! Maksud saya, ka
lau Odi tahu saya tidur di sini, bisa-bisa dia nanti
menjelek-jelekkan Triska di luaran atau di korankoran...."
""Betul juga," gumam Nyonya Rosa melirik sua
135 mi dan anaknya bergantian.
Triska juga terkejut diingatkan begitu, namun
dia tetap menunjukkan sikap masa bodoh. Masa
aku harus membiarkan diriku ditakut-takuti oleh siluman betina itu!
""Dia takkan tahu!" Dokter Justin menegaskan
sambil memukul bahu Deni dengan tangannya.
Uuuiiit! Sakit juga tuh, pikir Triska geli, melihat
yang menerima pukulan agak meringis.
""Tak ada orang yang akan tahu! Apa ada orang
yang membuntutimu kemari Di luar hujan lebih
lebat daripada zamannya Nabi Nuh, orang gila mana
yang mau keluar malam malam begini mengincar
suami orang "
Triska berjengit dalam hati mendengar ucapan
ayahnya. Dokter Justin masih tetap tak mau mengakui bahwa mereka sudah bercerai, bahwa Deni
sudah bukan suami anaknya.
Melibat Deni diam saj a seakan terpaku di tempat,
(mantan) ayah mertuanya, mempergencar serangannya. ""Ayo, jangan ragu. Malam ini kau nginap di
sini. Kalau perlu, kau tidur bersamaku, biar Triska
dijagai ibunya dan Marco! Aku larang kau pulang.
Mungkin kau sudah tidak sayang jiwa sendiri, tapi
kau harus ingat pada anak-istrimu! Bagaimana kalau
kau sampai ditabrak Aku percaya, kau akan mem
bawa mobil hati-hati, tapi apa kau bisa menjamin
136 orang lain juga akan begitu Kalau terj adi tabrakan,
buat korbannya sudah tidak penting lagi apakah dia
yang menabrak atau ditabrak! Sudah, sana, naik ke
atas! Mam, pinjami dia piamaku!"
Deni mengatupkan bibir, menghela napas berat,
lalu menoleh mencari wajah Triska. Untuk sesaat
mata mereka berpagutan seakan saling mengadu
kekuatan. Kemudian Triska mengulas senyum di bi
birnya dan mengulurkan tangan menyentuh halus,
halus sekali, hampir tak terasa, pikir Triska lengan
Deni, dan berkata pelan, ""Papa benar, Den. Daripada kau sakit atau tabrakan, kan mending nginap!
Biarlah Odi berkaok kaok semaunya, nanti kita ha
dapi bersama."
137 Bab 5
ESOKNYA, Triska terjaga dibangunkan oleh ce
loteh Marco yang asyik bicara sendiri, dan dia
langsung teringat hari apa itu. Ah, tahun lalu aku
masih terjaga di sampingnya, dan disambut dengan
kecupan selamat ulang tahun! Sekarang dia tidur di
kamar tamu paling ujung, dua pintu dari sini, se
dangkan aku ditemani Marco saj a. Betapa kecewanya aku. Hati ini terasa kosong, kadang aku bertanya, buat apa sebenarnya aku hidup Apakah cuma
untuk mengalami kesusahan Buat apa aku dilahirkan Apakah cuma untuk sekian ini saja Sekian
ini sajakah hidupku Sudah habiskah bahagia yang
menjadi bagianku dan bagiannya
Triska bangun dari ranjang dengan perasaan
kecewa yang mengganjal di dada, namun ketika
dia turun ke bawah setelah beres mandi serta ber
solek, rasa kecewanya makin membubung. Dia
turun menggendong Marco yang diserahkannya
pada Inem untuk diberi minum susu, lalu diham
pirinya ibunya di ruang makan. Hari masih pagi,
belum pukul delapan. Ayahnya belum kelihatan,


Sepagi Itu Kita Berpisah Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

138 begitu juga Deni. Memang dari rumah orangtuan
ya di Menteng ini ke rumah sakit cukup dekat dan
lalu lintas lancar, tak ada yang disebut bottle neck.
Rumah mereka berdua dia dan Deniali Cempaka Putih barulah dianggap cukup jauh dari tempat
kerja, sebab harus melalui jalan macet berkali-kali. Memang kurang strategis tapi waktu itu mereka
tidak menemukan rumah yang lebih baik di lokasi
lain.
""Belum pada bangun, nih " tanya Triska pada
ibunya, maksudnya tentu saja ayahnya dan Deni.
Ibunya meletakkan cerek porselen Rosenthal berisi
kopi ke atas meja makan sambil menjawab, ""Papa
sedang mandi, Deni sudah berangkat."
Ah ! Kenapa dia pergi begitu pagi Tanpa pamit
lagi!
""Deni sudah pergi " Triska menegaskan.
Ibunya mengangguk. ""Jam setengah tujuh tadi.
Katanya mau tukar baju dulu ke rumah."
""Kok nggak pamit " gumam Triska, jelas kecewa.
""Dikiranya kau masih tidur, dia nggak mau
membangunkan. Katanya, dia perlu ngontrol pasien
yang kemarin dibedahnya, perlu bikin laporan sebelum ronde pagi ini. Kau tahu sendiri, jalan ke Ce
mpaka Putih kan cepat sekali macetnya kalau kita
kesiangan sedikit."
139 Tapi ini kan hari ulang tahun saya, Mam! Masa
dia nggak ingat memberi selamat! Triska kecewa
sekali, namun tak berani mengutarakan unek-uneknya, khawatir ibunya ikut-ikutan kecewa pada
Deni.
Ketika dia menj atuhkan diri dengan lesu ke atas
kursi, ibunya menghampiri dan tersenyum me
meluknya. ""Masa yang berulang tahun wajahnya
murung " Dikecupnya pipi Triska kiri kanan. ""Se
lamat ulang tahun, Tris!"
"Trims, Mam," bisik Triska dengan mata basah,
lalu dipaksanya dirinya tertawa sambil berseru seperti kebiasaannya semasa kecil, ""Kadonya mana,
Mam "
Ibunya tertawa. "Tahu, deh, Papa sudah beli
kado atau belum!"
""Mam!" pekik Triska, persis seperti Triska kecil
bila digoda ibunya.
""Kan pestanya nanti malam, masa sudah mau
kado sekarang "
Triska berlagak mengalah dan menerima alasan
ibunya. Tentu saja itu semua cuma guyon, Triska
tahu ibunya pasti sudah punya kado baginya.
""Sore ini kau nggak praktek, kan " tanya ibunya.
""Nggak. Minggu lalu saya sudah minta diganti
kan oleh seorang dokter muda yang baru lulus dua
140 tahun lalu. Dia belum praktek sendiri, jadi gampang
dimintai tolong."
Ayahnya yang baru muncul, sudah berpakaian
rapi, segera nimbrung. ""Betul juga kau libur sore
nanti, Tris. Kalau nggak, masa tamu tamu harus
menunggu jamuan makan dimulai lewat jam sem
bilan Bisa-bisa kita semua bakal kembung makan
angin!" Mereka tertawa semua.
Dokter Justin menghampiri putrinya dan me
meluknya. ""Selamat ulang tahun, Tris. Semoga ka
lian berdua bisa cepat berkumpul lagi."
Triska mengejap-ngejapkan mata sambil
tersenyum dan berbisik, "Trims, Pap. Doakan, ya."
Apakah aku akan pernah bersatu lagi dengannya pikirnya galau. Rasanya, kok sulit sekali. Selama Odi menyelak di tengah, bagaimana kami bisa
serumah lagi, Mam, Pap
""Tentu, Sweetheart! Mama dan Papa sedang
novena pada Maria agar menolong kalian berdua,"
Dokter Justin memberitahu dengan serius.
Triska tertegun sekaligus terharu. Dia tidak men
yangka bahwa orangtuanya begitu tekun memikirkan kebahagiaan dirinya. Hatinya terhibur sedikit,
sehingga kepergian Deni tanpa pamit itu tidak lagi
dipikirkannya.
""Deni sudah berangkat " tanya Dokter Justin
tanpa heran, seakan sudah menduga.
141 ""Tadi setengah tujuh. Ketika aku turun, dia sudah
duduk di dapur minum kopi. Begitu melihatku, dia
langsung pamitan," ibu Triska menjelaskan. ""Jalanan memang gampang sekali macet," ujar Dokter
Justin manggut manggut, lalu duduk dan mulai
sarapan. Yang lain segera mengikuti contohnya.
Kira-kira pukul setengah dua belas, saat poliklinik sudah sepi, Roy mengunjungi Triska yang
baru saja beres memasang infus pada balita dengan muntaber yang sudah shock. Triska tengah
melangkah menuju kamarnya ketika seseorang
merendenginya. Sebelum dia sempat menoleh ke
samping, orang itu sudah mendahului buka mulut,
""Selamat ulang tahun, Tris!"
Terkejut, Triska kontan menoleh dan menyam
but tangan yang terulur padanya. ""Trima kasih, Roy.
Tumben, kok masih ingat " uj arnya geli. Selama ini
Roy tak pernah memperhatikan hari ulang tahunn
ya, kenapa sekarang mendadak jadi tajam ingatannya
""Aku kan diberi agenda oleh detailer, kalau nggak salah dari perusahaan obat Amerika. Ada daftar
ulang tahun segala, jadi aku tanyai Marti"
142 ""Kenapa dulu nggak pernah nanya " Roy
nyengir kuda, ciri khas pribadinya. ""Dulu kan aku
nggak punya vested interest terhadapmu! Sekarang
kan lain! Ini, kubawakan sesuatu, harap jangan ditolak." Diberikannya sebuah bungkusan kecil berwarna biru yang tampaknya cukup berat.
Triska menyambut tapi belum menerimanya.
Sambil tertawa dia melacak dulu hati sang perjaka,
""Ada embel-embelnya, nggak, nih Kalau ini ada
kaitannya dengan vested interest-mu, aku terpaksa
harus menolak."
""Nggak, nggak!" seru Roy terbirit birit sementa
ra kedua tangannya bergerak gerak untuk menam
bah bobot ucapannya. ""Ini bukan umpan, bukan
juga modal! Ini pemberian yang tulus. Aku mohon,
jangan kau tolak. Mungkin harganya nggak seberapa bagimu ...."
Kunyuk kau! Pintar betul meneror orang! Den
gan berlagak seakan kado ini kurang berharga, kau
mau memaksa aku agar menerima, daripada dianggap sombong, menolak karena barangnya dinilai
kemurahan !
""Kenapa nggak kau bawa nanti malam saja
Ibuku mau mengadakan makan malam, cuma antara
kita-kita saj a, Kris, dan Marti. Nggak ada orang lain.
Kau datang, ya." Triska sebenarnya tidak bergairah
mengundang siapa pun, baik semut atau orang. Tapi
143 Roy sudah tahu itu hari apa, dan dari adiknya, Marti, pasti tahu juga (kalau belum, besok-besok pasti akan tahu) bahwa mereka mengadakan jamuan
makan untuk merayakannya. Kalau nggak diundang, nanti salah. Kalau diundang lalu dia datang,
nanti jangan jangan salah juga. Ah, semoga dia nggak mau datang! Jangan terima, tolak, jangan mau
datang! ujarnya dalam hati berulang ulang sambil
menatap Roy dengan senyum manis, seakan mau
menyihirnya.
Ternyata mantranya manjur Roy menggeleng,
menarik napas panjang, dan tarik muka menyesal.
""Aku nggak bisa hadir, Tris. Karena itu aku men
emuimu sekarang. Aku harus terbang ke KL nanti
sore, urusan bisnis.
""Jadi betul apa yang kudengar Kau punya perusahaan di Kuala Lumpur Bikin kosmetik atau
obat-obatan "
""Baru mau kujajaki. Pamanku ada yang tinggal
di sana, kenalannya ada yang punya pabrik farmasi.
Mereka tertarik pada jamu j amu kita terutama yang
bisa bikin awet muda, badan kencang, tambah tenaga, dan sebangsanya, deh."
Triska geli mendengar uraian itu, membuat
nyengir kudanya makin lebar. ""Kalau begitu kuucapkan selamat terbang, deh. Terima kasih untuk
kado ini. Kapan kau balik "
144 ""Besok malam. Lusa aku sudah masuk lagi. Kau
mau oleh oleh apa "
"Tentunya kau tawarkan dalam rangka vested
interest mu, bukan Atau aku mau disuruh ulang
tahun tiap hari Keberatan, dong, nanti umurku terlalu cepat tambahnya!"
"Serius, nih. Kau mau tas, perhiasan, baju kurung, sandal, sepatu, atau manisan atau... "
""Aku juga serius. Triims, nggak usah. Kalau masih mau ngasih kado, tahun depan saja bila aku ultah
lagi." Triska tertawa riang mengantar Roy sampai di
ujung lorong dan mengawasinya hingga lenyap di
belokan, lalu dia masuk lagi ke dalam kamar. Begitu
pintu sudah tertutup, dia menarik napas dan menjatuhkan diri ke atas kursi. Bungkusan yang kecil
dan berat itu dibiarkannya tergeletak di depannya.
Orang lain ingat, dan khusus datang mengantarkan
kado! Kenapa kau sendiri bisa lupa, Den
Kau sudah lupa hari ini hari apa Kau minggat
tanpa pamit. Kalau segan mengganggu tidurku, kau
bisa saja menyelipkan sepotong kertas ke bawah
pintuku, asal mau! Aku tidak mengharapkan bingkisan, aku cuma mendambakan perhatian. Betulkah
kau benar-benar sudah lupa
Seharian itu hatinya resah. Setiap kali telepon
berdering, baik di bangsal, di ruang OP, atau di ka
marnya sendiri, hatinya langsung melonjak, harap
145 harap cemas itu dari Deni mau mengucapkan selamat. Tapi sampai saat pulang ke rumah, tak ada
telepon pribadi baginya. Tak ada yang mengucap
kan selamat ulang tahun setelah Roy.
Sekitar pukul enam sore, Triska sudah mandi dan
bersolek rapi. Walaupun yang akan datang cuma
Kris serta Marti, karena kebiasaan sejak dulu kalau
ultah harus pakai baju baru, Triska pun memakai
gaunnya yang terbaru, yang dibelinya di sebuah butik dalam kompleks Ratu Plaza. Dikenakannya juga
sepatu baru, terbuat dari kulit sapi berwarna krem
sesuai dengan warna dasar bajunya. Buntut kudanya disanggulnya ke atas dan diberinya tiara kecil
bermata intan, hadiah ulang tahun dari orangtuanya
beberapa tahun yang lalu.
Marco tidak lupa pula dimandikannya dan diberinya baju dan sepatu baru, sedangkan Bella diberinya pita merah di leher.
Triska sebenarnya ingin membantu, tapi digebah
keluar dapur oleh ibunya. ""Pembantu ada tiga ini
saja dapurnya sudah terasa sempit. Lebih baik kau
ajak main Marco, diam di dapur nanti bajumu kotor.
Kenapa arloji hadiah Roy nggak kau pakai "
146 ""Terlalu mewah, Mam. Malu sama Marti, nanti dia iri kalau ternyata abangnya nggak pernah
memberinya barang semahal itu. Yuk, Marco, kita
main di dalam, Nenek mau bikin kue nggak boleh
diganggu!"
Mereka tengah asyik bercanda bertiga dengan
Bella, ketika bel pintu berdering. Triska bangkit
dari lantai meninggalkan Marco yang tengah me
meluk Bella. Tumben, Kris datang siang amat, apa
dia juga nggak praktek sore ini pikirnya.
Begitu, pintu dibuka, dia tertegun. Erik Sigma
berdiri di depannya, tubuhnya nyaris cuma terdiri
atas senyum selebar tampah dan segunung bun
ga mawar kuning yang menutupinya dari leher ke
bawah. Tangannya yang lain memegang sebuah
bungkusan berwarna putih, berpita kuning.
"Erik! Kok tahu " seru Triska tercengang.
"Sejak dulu aku selalu ingat kapan ultahmu,"
sahut Erik, tersenyum makin lebar. ""Cuma sebelumnya, aku tidak berani menunjukkan perhatian,
khawatir menimbulkan perang."
""Bisa saja kau!" Triska tertawa. "Yuk, masuk!"
Di dalam, Erik menyerahkan bunga dan kado,
lalu memberi selamat ulang tahun. Triska semula
agak ngeri, jangan jangan Erik mau menggunakan
kesempatan ini untuk memeluknya, sebab dilihatn
ya gerakan yang menjurus ke situ (maklum, sudah
147 belajar dari Amerika!). Untung ibunya muncul pada
saat yang kritis, sehingga insiden bisa dihindari.
Erik kelihatan agak tersipu-sipu ketika menarik
kembali lengan lengannya yang sudah terjulur sep
erti lengan octopas.
Erik segera digiring masuk ke ruang tamu dan
keduanya duduk berhadapan, bercakap-cakap sambil membagi perhatian ke arah Marco yang sudah
dipindahkan dari ruang dalam dan pesawat TV
yang disetel tanpa bunyi.
Ternyata surprise bagi Triska masih belum habis. Kira kira setengah j am kemudian bel pintu
kembali berdering. Sekali ini pasti Kris, pikirnya
melirik grandfather is clock di sudut.
""Sori, ada yang ngebel," dia pamit pada Erik lalu
melangkah ke pintu dan membukanya. "Sumi!" serunya setengah memekik, membuat Marco menoleh
dan cepat cepat merangkak menghampiri.
Sumi tertawa lebar dan tanpa menunggu dipersilakan, sudah melangkah masuk diikuti Hansa yang
juga menyeringai kemalu maluan.
""Kami tidak memberitahu dulu, kata Sum, memang disengaja," tukas Hansa setengah minta maaf
atas kedatangan mereka yang tidak diundang.
""Nggak nyangka, kan " Sumi menambahkan
seraya tertawa haha hihi, lalu mengeluarkan sesuatu
dari tasnya yang besar. ""Ini kenang-kenangan dari
148 kami. Hai, Erik, tumben bisa ketemu di sini!" Sumi
tergelak sendiri sementara Erik cuma tersenyum
malu. ""Ah, ya, maklum aku! Hansipnya absen, maling-maling pada keluar mau nyolong, deh!"
Erik tidak membela diri dituduh mau jadi maling, cuma wajahnya jadi bersemu merah seakan
malu ketahuan niatnya. Triska juga geli mendengar
guyonan Sumi. Erik mau nyolong apa Hatiku Iiih,
masa belum tahu, hatiku sudah tidak ada di tempatnya, sudah lama hilang!
""Eh, kado ini jangan dibuka sekarang, nanti ketahuan Erik!" Sumi melarang ketika dilihatnya Triska
menarik seutas pita seakan mau membukanya.
""Oke, deh. Aku simpan dulu. Trims, ya, kau
juga, Hans."
Sumi memberinya selamat ulang tahun dengan
memeluk dan mencipok pipinya seraya berbisik,
""Kuharap kau akan cepat rujuk lagi." Triska tidak
mengomentari tapi cepat-cepat melepaskan diri
agar keharuan yang dirasakannya bisa cepat menguap dari dadanya. Lalu Hansa juga menjabat tan
gannya. Ketika mereka mau duduk, muncul Nyonya
Rosa dari dalam.
""Wah, apa kabar, Tante " tegur Sumi. ""Maaf,
kami bikin gaduh, Tante, kegandingan, ya."


Sepagi Itu Kita Berpisah Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

""Tante baik baik saja. Bukannya kegandin
gan,Tante cuma ingin tahu siapa yang datang. Her
149 an, sebab kata Triska nggak ada yang diundang.
Triska ogah dipestakan, karena itu kami juga nggak
ngundang-ngundang. Mana Linus, kok nggak di
ajak "
""Makanya kami datang, Tante. Khawatir Triska
nanti kesepian ultah sendiri. Linus ditinggal. Habis
malam, sih, nggak boleh dibawa oleh bapaknya!"
ujar Sumi menunjuk Hansa.
""Mam, j angan-jangan makanan kurang! Sumi
makannya banyak!" Triska meledek temannya yang
kontan memekik nyaring membuat Marco memandang keheranan.
""Hei! Kau kira aku nggak bawa timbel ! Hans,
turunkan rantang dari bak belakang."
Hansa betul-betul berjalan ke luar sehingga Triska menjerit-j erit mencegah, dikiranya pasangan itu
sedang bersandiwara. Ternyata dia kembali lagi menenteng rantang aluminium tiga susun yang di ser
ahkannya pada Triska.
""Aku nggak bertanggung jawab atas isinya," katanya serius seakan serah terima dokumen rahasia
negara.
Triska menoleh dan memandang Sumi dengan
mata bertanya.
""Coba terka!" Sumi menantang, tertawa.
Setelah berpikir setengah detik, Triska akhirnya
menyerahkan rantang itu pada ibunya sambil ter
150 tawa. ""Lebih baik langsung diamankan ke dapur,
Mam. Siapa tahu ada bomnya!"
"Baiklah, Tante tinggal dulu, ya. Tris, baiknya
ajak teman-temanmu pindah ke dalam, lebih enak."
Ruang keluarga memang lebih luas dari ruang
tamu, kursi-kursinya lebih banyak, lebih empuk,
dan suasananya lebih hangat. Begitu melihat grand
piano di dekat jendela, Sumi langsung mendaulat
Triska agar duduk di situ dan main. Karena Marco
sedang dimomong oleh Hansa, Triska tak dapat me
nolak dengan alasan takut Marco digigit Bella (tentu saja anjing kecil itu tak pernah menggigitnya, dia
malah senang menjilati Marco yang dianggapnya
sesama teman). J adi terpaksa dipenuhinya permintaan itu.
Tidak tahunya, lagu-lagu itu justru mengingatkannya pada orang yang ingin dilupakan. Dia terkenang pada masa masa ketika Deni sering men
giringi pianonya dengan gitar. Lagu pertama yang
dimainkannya adalah Mattinata-nya Leoncavallo.
Wajahnya yang cantik kelihatan tenang, menunduk
penuh konsentrasi. Tak ada yang menduga, di dalam
hatinya menangis sambil bernyanyi, You "re break
ing my heart "cause you 're leaving...
Lalu menyusul Angel 3" Serenade nya Braga, dis
usul Come Back to Sorrento-nya Ernesto de Cur
tis, kemudian Non Dimenticar nya Redi disusul La
151 Paloma nya Yradier, diikuti Liebestraum nya Liszt,
lalu Somewhere My Love nya Jarre, La Cumpar
Sita-nya Rodrieyez (Lagu kesayangan kita, Den.
Kapan kau akan mengiringi lagi dengan gitarmu ),
Hawaiian Wedding Song nya King, And I Love
You So nya McLean, disusul dengan jarinya sudah siap untuk memulai Always in My Heart nya
Lecuona, namun dibatalkannya. Terlalu pribadi,
pikirnya. Lalu digantinya dengan Verlassen Bin
lch nycf' Koschat (walaupun artinya sesuai dengan
keadaanku saat ini, para pendengar nggak tahu, jadi
sipl), diteruskan dengan La Madone dan balik lagi
ke Non Dimenticar. Tahu tahu ada suara mengiku
ti, Non Dimenticar means dan 't forget you are my
darling...
Triska mengangkat muka dari piano. Benar du
gaannya! Suara itu datang dari...
"Kris!" serunya gembira. "Marti! Eh, Bobi!"
Triska serentak menghentikan permainannya dan
berdiri menghampiri tamu tamu yang baru datang.
Kris langsung memeluknya. ""Prinses! Selamat
ulang tahun!"
Marti juga memeluk dan mengucapkan selamat,
kemudian memberinya sebuah kotak besar terbungkus kertas hijau. ""Ow! Trims! Apa ini Boleh
dibuka Tidak, tentu saja tidak... nanti saja... dan,
Wgalkan
152 Bobi, kasih Tante selamat nggak, nih " Triska
membungkuk dan memeluk keponakannya.
""Ingin ketemu Marco katanya," uj ar Marti.
""Nah, itu Marco digendong Oom Hansa, ayo
hampiri, kasih tangan!"
Nyonya Rosa yang muncul dari belakang
langsung tertawa melihat tingkah Bobi dan Marco
yang lucu, dan semua orang ikut ikutan terkekeh.
""Pasienmu nggak banyak malam ini " tanya
Nyonya Rosa. Yang menjawab cuma Kris, sebab
Marti memang tidak praktek sore.
""Saya libur, Mam. Kebetulan ada teman yang
bisa menggantikan. Ada yang pesta, masa saya akan
praktek "
""Iya, dong!" sambung Triska. ""Bisa-bisa kau
datang ke sini cuma untuk mengumpulkan tulang
ayam!"
Tak lama kemudian Dokter Justin juga pulang
dari praktek. Sebagai spesialis internis pasienpasien harus mendaftar dulu dan rupanya untuk sore
ini dia sengaja mengurangi jumlah pasiennya.
Karena semua orang sudah hadir, jamuan malam
pun segera dimulai. Bobi dan Marco bersama Bella
diamankan ke loteng oleh Inem.
Triska duduk di sebelah kanan ayahnya, di
samping Erik, menghadap ke luar, ke ruang kelu
arga. Sepanjang makan pikirannya cuma separo
153 mengikuti percakapan-percakapan, separonya lagi
sebentar sebentar ditujukan ke pintu ruang makan,
berharap akan melihat orang yang ditunggunya.
Siapa tahu dia masih akan datang, dia berharap.
Mungkin pasiennya banyak sekali, ini kan Jumat,
biasanya memang penuh.
Namun hidangan demi hidangan muncul dan
disikat habis (termasuk ayam panggang opor
bawaan Sumi serta sambal tomatnya yang paten),
dan harapannya pun berangsur menyusut. Akhirnya
lenyap tak bersisa ketika puding pencuci mulut pun
keluar dalarn mangkuk-mangkuk Noritake yang anggun, yang cuma dipergunakan waktu pesta.
Triska menundukkan kepala ketika doa penutup
diucapkan oleh ayahnya. Hatinya menangis. Begitu
cepatnya kau melupakan aku! Kau tidak ingat lagi
hari ini hari ultahku! Di manakah kau Masih sibuk
dengan pasien Ataukah...
Sebelum mereka beringsut dari ruang makan,
Nyonya Rosa mengeluarkan kue ulang tahun yang
berlilin 29. Triska tersenyum cerah (Tak perlu ada
yang tahu, hatiku sebenarnya tengah meratap!) ketika menyalakan lilin lilin, memejamkan mata (untuk
mengajukan permohonan pada Tuhan), lalu meniup
padam apinya, sementara Kris sibuk membidikkan
kameranya mengabadikan peristiwa itu. J adi tukang
potret memang merupakan hobinya yang mutakhir,
154 terhitung sejak kedatangan Bobi. ""Pada setiap pertemuan keluarga, Kris dan kamera Jepang nya pasti
5 tidak ketinggalan nampang," ujar Marti memberi
komentar pandangan mata.
""Nggak ada yang lihat nih, Kris punya kamera
baru! Tepuk tangan dong!" seru Marti memberi
contoh yang kontan ditiru hadirin.
""Tukar tambah!" Kris tersenyum menjelaskan.
""Makin getol saja kau motret! Asal ambilnya
jangan terbalik saja!" tukas adiknya.
""Tempat prakteknya kan mau dirombaknya jadi
studio foto!" Marti membongkar rahasia sambil
tergelak gelak.
""Aku kan perlu banyak latihan, Tris," jawabnya
pada adiknya. ""Sebagai persiapan kalau Bobi nanti
diwisuda!"
Grrr. Semua orang terbahak-bahak termasuk
Erik dan Hansa, apalagi Sumi yang sampai melipat
perutnya menahan geli.
""Aku sudah lama ingin bikin pas foto yang
cakep, nggak kelihatan uban dan kerut kerut," ujar
Sumi. "Boleh datang ke tempat praktekmu, Kris
Eh, j angan takut, walaupun kenal, aku pasti bayar!"
""Siapa bilang aku buka studio potret " Kris
menggumam sambil menikam istrinya dengan pan
caran matanya. ""Jangan dengarkan Marti!"
Marti tertawa tapi menjelaskan juga tanpa dit
155 anya, ""Dia sedang pikir-pikir mau pasang alat ultrasound, tapi harganya puluhan juta. Dia tahu, ada
beberapa spesialis yang punya alat itu di tempat
praktek jadi "ketagihan, menggunakannya walau
tak ada indikasi, dengan tujuan biar cepat terbayar
lunas utang di bank. Kris keberatan meniru mereka,
jadi kemungkinan besar rencana itu akan dibatalkannya."
Setelah mereka mencicipi kue ulang tahun
bikinan sendiri yang lezat itu, mereka beralih ke
ruang tengah tempat keluarga untuk acara bebas.
Kado-kado, termasuk pemberian orangtuanya,
semuanya diletakkan oleh Triska di atas bufet tem
pat cangkir cangkir antik, dekat piano. Dia belum
mau membukanya, khawatir ada yang keberatan
pemberiannya diketahui orang lain. Mungkin khawatir dianggap kurang bermutu oleh orang yang
memberi barang lebih mahal, pikir Triska.
Dokter Justin mengundurkan diri ke ruang kerjanya, sedangkan Nyonya Rosa naik ke atas mau
menengok cucu cucu, sekalian menggantikan Inem
yang giliran makan.
""Mau ngobrol atau main kartu, nih " tanya Kris.
""Apa saja," sahut Sumi. ""Asal jangan makan
lagi! Timbanganku pasti sudah tambah, nih!"
""Ah, masih seperti lidi, kau nggak perlu risau!"
Triska menenangkan sambil mesem.
156 ""Apanya yang seperti lidi " Sumi mendelik me
nepuk-nepuk perutnya.
""Jari-jarimu!"
Grrr. Mereka terbahak, termasuk Hansa.
""Gimana kalau kita main scrabble saja " usul
Marti menunjuk kotak di bawah meja.
"Setuju!" ujar Sumi segera. ""Aku memang perlu
banyak belaj ar, supaya kalau j alan j alan ke Ameri
ka nanti bisa mengalahkan kakakku! Itu kan mainan
kesukaannya."
Kriiing...
""Sori, sebentar, ya," ujar Triska, bangkit menghampiri pesawat dan mengangkatnya. Ternyata dari
Nyonya Desi Melnik, (mantan) ibu mertuanya. ""Selamat ulang tahun, Tris! Papi dan Marni mendoakan
semoga kau lebih bahagia tahun ini!"
""Terima kasih, ngngng... Mam." Triska sudah
semakin canggung memanggil (mantan) mertuanya
dengan panggilan intim itu, tapi karena yang bersangkutan sendiri tidak mengubah sebutan dirinya,
terpaksa dia juga mencontoh.
""Mami agak selesma, maklum orang sudah tua,
kalau musim hujan penyakitnya begini ini. Selesma
dan encok. Minggu lalu baru disuntik kortison oleh
Deni. Maka itu Mami tidak bisa datang mengucapkan sendiri selamat ulang tahun padamu. Besok lusa
kalau agak baikan, Mami pasti akan datang men
157 gantarkan kado, sekalian mau nengok Marco. Deni
bilang di telepon, anak itu sudah tumbuh gigi "
Maka Triska pun seperti kebanyakan ibu-ibu
muda lainnya bla-bla-bla mengetengahkan anaknya, menyebutkan semua predikat yang bisa menunjang kej empolan anaknya, sehingga orang bisa salah
tangkap, mengira anak itu sudah diramalkan bakal
memenangkan Hadiah Nobel untuk Hsika sebelum
dia berusia delapan belas.
Triska memang kedengaran antusias kalau se
dang mengiklankan anaknya, tapi begitu telepon ditutup, dia balik ke kursinya sambil mengeluh dalam
hati. Ibunya masih bisa ingat, tapi dia sendiri sudah
lupa!
""Jadi kita akan ngapain " Namun sebenarnya dia
tak perlu bertanya, sebab dilihatnya mereka semua
sudah duduk mengelilingi meja bulat, khusus untuk
main kartu atau catur atau scrabble, menantikann
ya. Di tengah meja sudah digelar papan scrabble.
""Karena ada enam orang, Sumi biar berpasangan
dengan Hansa, Marti dengan aku, kau dan Erik mas
ing-masing solo,," Kris menjelaskan.
Walaupun Triska semula gundah, lama lama
perhatiannya terseret juga oleh permainan yang
mengasyikkan ini. Lebih mengasyikkan lagi sebab
siapa yang kalah, kelak harus mentraktir, makan
* * sendirian
158 atau piknik.
Mereka main beronde ronde. Pada ronde per
tama, pasangan Omega kalah. Kris menuntut re
vanche. ""Siapa tahu sekali ini kita bisa menang,
Mar. Kan jadi bisa balas ditraktir, nggak terlalu
rugi!" Kris berkalkulasi dengan istrinya diawasi
oleh yang lain dengan senyum geli.
Ronde kedua dimenangkan oleh Erik (angkan
ya paling tinggi), sedangkan pasangan Karundeng
kalah (angka mereka paling rendah). Sumi sendi
rian menuntut revanche seperti Kris. Ronde ketiga
ini makin seru sebab kedua pasangan Omega dan
Karundeng sama sama bernafsu ingin menang, agar
"modal" mereka (untuk mentraktir) bisa balik.
Saking asyik memutar otak untuk merangkai
huruf huruf itu menjadi kata-kata yang diakui sah
oleh kamus, mereka tidak mendengar dering bel
pintu. Semua sibuk membungkuk di atas meja,
melotot memandangi papan serta simpanan huruf


Sepagi Itu Kita Berpisah Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masing masing, repot memikirkan kata apa yang
mungkin dan paling banyak menambah angka.
Karena itu tidak heran bila Triska terlonjak kaget
ketika tahu tahu ada yang memanggil di belakang
nya, ""Tris..."
Dia serentak memutar leher dan terkesiap. Oh!
Dia datang juga kiranya! Wajahnya kelihatan ca
pek, pasti dia langsung kemari dari tempat praktek!
159 Triska menyerukan namanya, namun suaranya
tidak keluar, hanya bibirnya yang bergerak gerak,
suaranya sendiri seakan tersekat di kerongkongan,
tak bisa sampai ke ujung lidah.
Deni menghampiri sambil tersenyum. Pandangannya khusus dipusatkan pada yang berulang tahun, namun Triska sempat menangkap lirikannya
ke arah Erik yang duduk di hadapannya. Kris me
mang sempat menaikkan alis ketika melihat Erik
duduk bercokol mendengarkannya main piano, tapi
tidak ada orang yang terang-terangan menyatakan
keheranannya menyaksikan tamu tak diundang itu.
""Selamat ulang tahun, Tris. Sori, aku datang
malam sekali," bisik Deni sedikit membungkuk,
seakan ingin mengecupnya tapi tidak jadi. Kalau
pun semula berniat, rupanya dibatalkannya sebab
terlalu banyak penonton (Triska tersenyum me
mikirkan kemungkinan ini). Deni akhirnya cuma
mengulurkan tangan, lalu memberikan sebuah kotak
besar berbungkus kertas dengan motif indah (Rupanya kau masih ingat, aku suka kertas bagus untuk
sampul buku.) disertai pesan, ""Untuk menambah
koleksimu."
""Kotak musik lagi Wow! Pasti Marco yang
akan kegirangan setengah mati! Semua koleksiku
sudah didaulat olehnya. Anak itu betah mendengar
kannya berj am j am dan sudah tahu lagu mana yang
160 disukainya!" Triska tertawa bangga. ""Rupanya memang berbakat musik seperti ibunya! "
""Ahem!" Kris berbunyi keras-keras seakan mau
tercekik, tapi yang disindir rupanya tidak merasa.
"Marco Sudah tidurkah dia Sayang aku nggak
bisa lama-lama." Deni mengangkat tangan, melambai pada semua namun matanya terpaku pada Triska
seorang, lalu berbalik dan cepat cepat melangkah
keluar, diikuti Inem yang rupanya tadi membuka
kannya pintu.
Triska menenangkan napasnya sebentar sambil
membalik-balik kotak itu tanpa membukanya, lalu
tiba tiba diangkatnya mukanya tanpa memandang
siapa siapa, membelalak, dan berseru, "Astaga!
Aku lupa menawarinya makan! Dia pasti sudah
kelaparan!" Serta-merta dia bangkit, melemparkan
kotak itu ke atas kursi, dan berlari keluar. Inem
sudah berlalu ke belakang. Triska membuka pintu
cepatcepat, dan melangkah ke beranda depan tepat
saat mobil putih itu dinyalakan. "Deni!" panggilnya
mengatasi deru mesin yang halus.
Deni mungkin tidak mendengar. Triska sudah
menggerakkan kembali bibirnya, namun dia tidak
bersiaga ketika tiba-tiba sebuah kepala terjulur dari
jendela penumpang dan menoleh ke arahnya. Jan
tungnya langsung mencelat ke langit, nyaris tak
mau balik lagi. Dia hampir semaput.
161 ""Halo, Tris! Happy birthday ya! Sori, kami ng
gak bisa lama lama, banyak acara sih. Daaag!" Dan
Odi pun mengeluarkan lengannya yang putih dan
langsing, lalu melambai riang dibawa pergi oleh
mobil yang meluncur terlalu cepat keluar halaman.
Untuk beberapa saat Triska berdiri terpaku di
tempat, seakan kurang percaya akan penglihatannya. Kemudian lambat lambat pikirannya pulih
kembali dan hatinya hancur dilumat pengkhianatan.
Kau bahkan tidak mau menoleh! Tidak kau acuhkan
panggilanku! Karena kau banyak acara dengannya
Deni, kenapa kau lakukan ini terhadapku Haruskah
kau bawa Odi ke depan hidungku Haruskah kau
tunjukkan betapa cepatnya dia telah berhasil memikatmu kembali Rasanya baru kemarin dulu kau
masih merasa yakin, takkan mungkin tergoda lagi
olehnya! Huh, laki-laki! Apakah kau juga termasuk
satu di antara yang banyak
Triska mengawasi mobil itu sampai lenyap di
balik pohon pohon tetangga, lalu dengan lesu dia
masuk ke dalam dan mengunci pintu. Sebelum
kembali menemui yang lain, dia berdiri sebentar di
depan centrin di ruang tamu untuk memeriksa air
mukanya. Diusahakannya agar wajahnya tetap kelihatan cerah dan tenang. Setelah berhasil, barulah
dia melangkah ke dalam.
""Dia nggak mau " tanya Marti melihatnya kem
162 bali sendirian.
""Dia sudah berlalu," jawabnya senetral mun
gkin. Berlalu dari hatiku! Malam ini mereka banyak
acara, nggak sempat menghadiri pesta yang mem
bosankan begini.
163 Bab 6
ESOKNYA Triska menunggu-nunggu telepon dari
Bagian Bedah, menjelaskan symptom aneh yang di
saksikannya kemarin sore, dan melenyapkan kekha
watirannya bahwa bakteri Bobadilizcoccus telah
berhasil dalam invasinya untuk membobol pertah
anan imunitas Dokter Melnik.
Sepanjang hari itu Dokter Triska bertugas dengan sebelah telinga diarahkan ke pesawat telepon
di mana pun dia berada, di poliklinik, di bangsal,
di ruang OP, atau di kamar dinas. Tapi benda yang
penting itu ternyata diam saja tak berbunyi, atau
kalaupun berbunyi dan membuat hatinya sesaat
kebat kebit, akhirnya setelah diangkat oleh kolega
atau perawat atau dia sendiri, ternyata cuma urusan
dinas, untuknya atau untuk orang lain.
Sepanjang pagi dan siang Triska menunggu tele
pon pribadi, namun sia-sia. Setelah lelah menanti,
akhirnya dienyahkannya harapan itu dari hatinya
dan dijatuhkannya tubuhnya yang penat ke atas kursi di kamar istirahat para dokter di depan ruang OP.
Kamar itu kecil, cuma berisi sebuah dipan, meja,
164 dan dua kursi yang menempel di dinding tempat
meletakkan kotak kotak instrumen, alat suntik,
obat-obatan, dan jurnal-jurnal.
Seperti biasa kamar itu selalu acak acakan seper
ti kandang ayam, terlebih mejanya. Kertas, majalah,
status pasien tumpang tindih. Semula Triska sama
sekali tidak menaruh perhatian. Dia cuma ingin
istirahat sepuluh menit sebelum berdiri lagi untuk
melakukan circumcisf pada seorang bayi dengan
indikasi medis.
Triska meletakkan sikunya di atas meja dan
kepalanya ditumpunya dengan tangannya. Matanya
dipej amkannya sejenak, dan ketika dibukanya kembali, yang pertama tama dilihatnya adalah koran
BERITA KOTA yang terbalik letaknya. Tapi yang
membuatnya waspada adalah headline sebesar gajah di halaman kesatu yang tak bisa dibacanya ke
cuali tiga huruf: ODI, dan itu sudah cukup untuk
membuatnya membuka mata lebih lebar, meraih koran itu, dan membuang waktunya barang lima menit
untuknya.
Judulnya saj a sudah memancing rasa ingin tahu.
ODI BOBADILA: AYAHKU BERBINI DUA
* sunat
165 Odi Bobadila, Rata Peragawati ASEAN tahun
lalu, berhasil dijepret ketika sedang meninggalkan
kelab eksklusif Triple X tengah malam tadi dalam
gandengan seorang laki laki ganteng yang diakuin
ya sebagai pacarnya. Ditanya kapan mereka akan
menikah, Odi yang akan membintangi Sinetron se
rial Ayahku Berbini Dua, produksi Calibri House,
tertawa lebar dan menjawab mantap, "Tak lama
lagi! " Tapi dia menolak memberitahukan nama
pria itu. Siapakah dia Barangkali Anda mengen
alinya Teleponlah Redaksi. Hadiah menanti!
Triska mengertakkan gigi. Itu koran tadi pagi,
berarti kejadiannya baru semalam. Hm. Jadi itulah
acara mereka! Semalam suntuk di kelab malam!
Setelah itu ke mana lagi Pulang ke rumah masing-masing Huh! Memangnya aku sebodoh Marco! Pantas kau tidak meneleponku, rupanya takut!
Habis, bagaimana kau mau membela diri Memang
gambarmu buram, orang luar mungkin takkan
mengenali, mudah mudahan saja, tapi istrimu walau sudah mantan masih bisa mengenali ciricirimu
dari jarak ratusan meter juga, sebab matanya belum
katarak!
Triska mencampakkan koran itu kembali ke
atas meja, mengentakkan kaki, dan langsung ber
diri untuk menyambung tugasnya. Harapannya di
bunuhnya saat itu juga, segala emosi yang berbau
166 rindu dendam dihapusnya dari pusat memory agar
tak dapat di-recall lagi.
Malamnya di tempat praktek, ketika pasien terakhir baru saja keluar, telepon berdering. Mbak Tuti
masih di luar membereskan pembukuan, sebab dia
yang menerima honor dari pasien sesuai instruksi
pada kartu pasien, terkadang pasien dibebaskan bila
mengaku tidak mampu atau sedang nganggur.
Triska mengangkat pesawat. ""Halo, Dokter Tris
ka Omega di sini, apa yang dapat saya lakukan untuk Anda "
"Tris, aku!" Hm. Kenapa napasmu kedengaran
terengah-engah, dan suaramu seperti orang bersalah
""Ya, ada apa " tanyanya setenang mungkin.
""Kau sudah melihat BERITA KOTA hari ini "
""Ya, sudah."
""Tris, aku tahu, kau marah!"
""Kenapa mesti marah "
"Tris, semuanya bisa kujelaskan."
""Buat apa "
""Biar hatiku tenang."
Hatimu Lantas hatiku Kau pikirkan tidak,
gimana hatiku
""Ketenangan itu harus kau cari dalam dirimu
sendiri, bukan dari luar, bukan dari aku!"
"Tris, malam itu Odi datang ke tempat praktek
167 ku, mengajak keluar makan. Aku nggak mau, ala
sannya karena itu hari ulang tahunmu, aku ingin
menemui engkau sebelum pulang. Tapi dia mengejek, menuduh aku menghindarinya karena aku takut pada kenyataan bahwa aku masih mencintainya.
Panas hatiku disindir begitu. Akhirnya aku marah
dan kutantang dia ke nite club semalam suntuk untuk membuktikan bahwa aku sudah tidak tertarik
padanya dan takkan terbius oleh kecantikannya. Dan
memang telah kubuktikan kebenaran ucapanku!
Sungguh mati, Tris, itulah kejadian sebenarnya!
Soal dia memberi jawaban yang bukan bukan pada
wartawan, itu adalah urusannya. Pokoknya sudah
kubuktikan, aku tidak lagi tertarik padanya, dan ku
harap dia takkan menggangguku lagi, agar aku bisa
cepat kembali padamu."
Kurasa tidak segampang itu, Den! Kau pikir
perkawinan itu seperti magang di pabrik, boleh ditinggal kalau bosan, lalu kembali lagi kalau tak ada
kegiatan lain yang lebih menarik
""Sebenarnya nggak perlu kau jelaskan semua
itu, Den. Bukankah kita sama sama bebas Kau
nggak perlu mempertanggungjawabkan segala tindakanmu terhadapku! Aku kan bukan istrimu lagi!"
"Tris, kenapa bilang begitu "
Ha, suaramu kedengaran khawatir Semua ini
salahmu sendiri! Ulahmu yang kurang berpikir pan
168 jang! Kenapa kau coba coba menipuku ketika kaw
in denganku Sekali sudah pernah menipu, siapa
yang akan menj amin bahwa kali ini pun kata-katamu bukannya bohong belaka
""Sori, Den, ada pasien, nih. Nanti, deh, kita di
skusikan lagi."
Triska meletakkan pesawat, lalu bangkit untuk
melangkah ke ruang sebelah menghampiri Mbak
Tuti.
Sejak insiden BERITA KOTA itu, Triska agak
menjaga jarak terhadap Deni walaupun dia masih
meladeni bila diajak bicara, dan Deni juga masih rajin datang mengunjungi Marco setiap akhir pekan.
Tapi kehangatan yang semula masih tersisa dalam
hatinya sirna bersamaan dengan musnahnya harapan untuk kelak rukun kembali bersama (mantan)
suami.
Demikianlah waktu pun berlalu. Minggu demi
minggu, bulan demi bulan. Tak terasa akhir tahun
pun tiba dan berlalu. Harapan yang sudah tiada itu
membuat hubungan jadi dingin. Triska kini lebih banyak menggunakan waktu luangnya untuk
melukis di kebun belakang serta memberi les dan
169 bermain main dengan Marco. Dia tidak ingin lagi
menghitung hitung hari menantikan kedatangan
Deni, tapi hatinya tak dapat dilarang.
Pada suatu sore permulaan Februari, Triska
dikejutkan dengan telepon dari Nyonya Desi Mel
nik, (mantan) mertuanya.
""Tris, hari Minggu ini kau sudah punya acara,
belum "
""Ngngng..."
Sebelum Triska memutuskan akan berterus
terang atau mengarang alasan saja, ibu Deni sudah
menyambung, ""Mami ingin kau datang ke sini men
gajak Marco, bisa, nggak "
Ke Depok Tumben, ada apa Triska dengan
cepat memutar komputer dalam kepalanya. Astaga! Masa aku sampai lupa Itu kan hari ulang tahun
Deni!"
""Agak sulit membawa Marco. Anak itu nggak
bisa diam. Anu, saya boleh membawa teman, nggak Untuk nyopir, Mam!" Triska tertawa sendiri
sambil berpikir siapa yang akan dikerjainya, Erik
atau Roy.
""Oh, tentu saja boleh, Tris!" sahut Nyonya Desi
dengan cepat.
""Deni akan marah, nggak, ya, nanti "


Sepagi Itu Kita Berpisah Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

""Bilang saja, sudah diizinkan Mami!"
Demikianlah hari Minggu itu Triska membawa
170 Marco ke rumah neneknya. Anak itu sudah jalan
sepuluh bulan, cerdas sekali dan sudah mengerti apa
yang disebut kolam renang. Matanya berbinarbinar
dan tawanya cerah menawan ketika ibunya berkali-kali menyebut ""kolam renang".
""Di sana ada kolam renang, kita akan berenang...
kau suka nggak berenang Suka, kan "
Marco manggut manggut belasan kali.
Karena Roy tidak bisa dihubungi, Triska minta
bantuan Erik yang rupanya tak pernah punya kesibukan lain kecuali menunggu telepon dari Triska!
Erik dengan gembira menyatakan bersedia men
yopiri Triska dan Marco. Mereka tiba di Depok
pukul sebelas, disambut oleh Nyonya Desi dengan
gembira. Triska tidak dapat menerka apakah dia
heran atau tidak melihat Erik, tapi bagaimanapun,
Erik diterima dengan cukup ramah walau tanpa kar
pet merah. Pusat perhatian tentu saja Marco.
""Deni menolak dipestakan ini merupakan sur
prise untuknya jadi Marni tidak dapat minta dia
menjemputmu, Tris," Nyonya Desi menjelaskan
pada (mantan) menantunya.
""Nggak apa-apa, Mam," ujar Triska tersenyum.
""Erik memang sempat, kok," katanya. ""Deni ada
di mana "
""Di belakang. Atau mungkin di garasi. Semalam
dia nginap di sini. Ayo, masuk semua. Marco, gen
171 dong sama Oma, ya." Nenek itu segera memboyong
cucunya masuk ke rumah. ""Den, ada Marco, nih. Di
mana kau " seru ibunya, lalu bertanya pada ayahnya yang sedang membaca koran namun langsung
mencelat bangun begitu melihat Marco, ""Di mana
dia, Pa "
""Tadi aku lihat dia ke samping, barangkali di
garasi. Mari sini sama Opa," bujuknya tertawa sambil merebut Marco dari gendongan neneknya.
Triska meninggalkan mereka dan mengajak
Erik ke garasi. Benar saja, Deni tengah berbaring
di kolong mobil asyik menyodok sana sini, buta
dan tuli terhadap sekelilingnya. Bunyi tuk tuk tuk
sepatu Triska pun tidak menggugah perhatiannya.
Dia baru menghentikan ketak ketoknya setelah
Triska membungkuk, menengok ke bawah mobil,
dan menegur, ""Sedang laparotomy" nih rupanya!"
Yang ditegur tampak kaget, tangannya serentak
berhenti disertai seruan, ""Hai!" lalu dia merosot
keluar. ""Sama siapa kau ke sini " tanyanya ketika
masih di kolong. Begitu keluar dari bawah mobil,
dia langsung meloncat berdiri dan melihat Erik.
Sambil menunduk menyeka tangannya yang penuh
oli, Deni bergumam, ""Sori, aku nggak menjemputmu. Tadinya, nanti sore aku berniat ke tempatmu."
Lalu tanpa menunggu komentar Triska, diulurkann
** bedah perut (arti umum)
172 ya tangan menyalami Erik.
""Apanya yang rusak " tanya Erik antusias.
""Masih belum tahu. Kalau nanjak suka mogok,
sama sering konta ."
Wah, dua-duanya gila mobil! Mendingan aku
ajak Marco berenang.
""Aku tinggal dulu, ya!" seru Triska lalu kabur
sebelum ditahan. Dicarinya Marco dalam rumah.
Kiranya ada di beranda belakang, sedang bercanda
dengan kakek dan neneknya.
""Marco, yuk kita berenang!" ajaknya. ""Kolam
renang! Kamu kan senang dengan kolam renang "
Marco melonjak tertawa ke dalam pelukan ibunya. Triska membawanya ke halaman belakang le
wat pintu samping di tengah-tengah kebun bunga.
Di tepi kolam terdapat bangunan pendek dari batu
tempat orang duduk duduk, serta dua kamar ganti
pakaian dan dua kamar mandi.
Setelah mereka berdua mengenakan baju renang, Triska menggendong Marco ke kolam sambil
menenteng pelampung berbentuk ikan lumba lum
ba kesayangan anaknya. Marco langsung berceloteh
ramai melihat air. Baru saja keduanya masuk ke kolam, seseorang muncul dari dalam air di dekat mereka dan menyapa, ""Halo, Tris. Datang sama siapa "
Wajah yang kurus panjang itu langsung dikenalinya. ""Hai, Nila. Kami datang dengan Erik."
173 ""Deni memang nginap di sini, mungkin karena
itu dia nggak menjemputmu."
""Mungkin."
Triska sebenarnya heran melihat Nila Saleh, sebab dia tahu, ketiga anak Tante Leila bukan merupakan tamu yang disukai di situ. Tentu saja tidak
diutarakannya keheranannya, dan Nila pun sudah
menyelam kembali meninggalkannya. Triska sesungguhnya bukan benar-benar berenang, sebab dia
harus menjaga Marco dan mengajarnya berenang.
Anak itu senang sekali didudukkan di atas lumba-lumba, dibawa ke tengah. Sedang asyik-asyiknya
bermain begitu, tanpa setahu Triska seseorang muncul di pinggir kolam, masuk ke air, dan langsung
berenang menghampirinya dari belakang. Ketika
orang itu membuka mulut, Triska nyaris melepaskan pegangannya pada anaknya, saking kagetnya.
""Aku dengar, kau hampir mati waktu bersalin !"
Triska menoleh dan mendapati Odi tengah menatapnya dengan senyum sinis yang membuatnya
merinding. Tapi dia bertekad takkan sudi memper
lihatkan kengeriannya menghadapi betina binal ini.
""Kau lihat sendiri, aku sekarang masih hidup,
segar bugar!"
Odi mengerling ke Marco dan mendesis. "Calon
anak tiriku cakep, deh! Persis bapaknya!"
""Hm. Dapatkah kau meninggalkan kami sendi
174 ri "
Odi memandang Triska dengan penuh kebencian
sehingga dia bergidik dalam hati. ""Kau beruntung,
',, nggak usah menggugurkan anakmu cetusnya
penuh penasaran.
Yah! Laki-laki terkadang memang egois, pikir
Triska sedikit kasihan. Tapi salah siapa Bodoh kau
sendiri kenapa mau saja disuruh melakukan aborsi!
""Aku harap kau nggak bakal menjelek-jelekkan
aku di depan Deni!"
Triska sebal juga lama-lama diganggu terus.
""Odi, permintaanmu sudah kuturuti! Kuharap kau
takkan menggangguku lagi! Selanjutnya terserah
kau sendiri apakah "
""Tapi kau masih juga belum memutuskan hubungan dengannya!" Odi memotong bicara orang seperti kebiasaannya.
""Kami sudah bercerai hampir enam bulan. Kalau
Deni memang berniat kembali padamu, pasti sudah
dilakukannya jauh-jauh hari. Kenapa kok sampai
sekarang kau belum juga menikah dengannya Apa
cita-citamu nggak terlalu tinggi dan..."
""Itu semua gara garamu!" Odi menggelegar
marah.
""Oh " ,Triska menaikkan alis sambil tersenyum.
""Coba j elaskan bagaimana kau sampai menuduh
,, 175 ""Kau seharusnya cepat-cepat kawin lagi! Dengan Erik! Kau kaget O, ya, aku tahu dari Nila, Erik
Sigma adalah bekas pacarmu di SMA! Dia masih
naksir, kau mau tunggu apa lagi Selama kau belum kawin lagi, Deni masih akan terus mengharapkan dirimu, dan nggak bakal mau kawin denganku,
tahu, nggak!" uj arnya meradang.
Triska juga mendongkol mendengar kata katanya. ""Kenapa, sih, akan kubiarkan kau ngatur
hidupku terus Kau ingin agar Deni dan aku bercerai, nah, sekarang kami sudah bercerai! Jangan
menuntut yang bukan-bukan lagi! Hidupku adalah
hak asasiku! Tidak ada yang..."
""Tapi kau nggak boleh setengah jalan ..."
""Jangan suka memotong bicara orang lain!" tegur Triska tersenyum manis tapi menggigit.
""Itu tidak sopan, tahu, nggak ! Biarkan aku bicara sampai habis. Nah, seperti aku bilang barusan,
tidak ada yang bisa memaksa aku untuk kawin dengan orang tertentu! Bahkan orangtuaku juga tidak
bisa memerintah aku kawin atau jangan kawin,
apalagi kau! Sayang sekali, perempuan secantik
dirimu harus buang buang waktu mengejamgejar
laki-laki yang tidak menghendakimu! Seharusnya
kau cari orang lain yang betul betul mencintaimu!
Jangan tenggelam dalam ke..."
""Deni dulu BETUL BETUL MENCINTAI
176 KU!!!" Odi memotong dengan berang, rupanya tak
peduli bila dia mau dianggap tidak sopan. ""Dia men
campakkan diriku gara-gara kau! Bahkan sehari sebelum perkawinannya, dia datang memberitahu dia
nggak akan kembali lagi padaku! Bisa kaubayangkan gimana perasaanku waktu itu! Aku bersumpah
akan mendapatkannya kembali, mati atau hidup! ! !"
Iiih, kalau tekadku sebesar tekadnya, pasti aku
sudah menemukan sesuatu yang akan menderetkan
namaku di antara para pemenang Hadiah Nobel!
Kalau begitu Deni tidak bohong. Dia memang sudah memperingatkan Odi bahwa dia takkan kembali
lagi....
Insiden di kolam renang itu tidak mengurangi
kegembiraan Triska, tapi Odi sebaliknya, kelihatan
uring-uringan, dan tak lama setelah itu langsung
ngacir keluar kolam.
Ketika Triska menggendong Marco kembali ker
umah setelah berganti pakaian dan mengeringkan
rambut, mereka disambut oleh Deni yang segera
mendaulat anaknya. Triska meninggalkan keduanya
dan berlalu ke dapur untuk melihat kalaukalau ada
yang dapat dibantunya.
177 Nyonya Desi sedang asyik membungkusi lemper, sedangkan ketiga pembantu wanita sibuk
mengerjakan yang lain. Dapur kotor yang besar itu
terasa jadi sempit sebab di lantai penuh pancipanci
berisi masakan.
""Ij ah sebenarnya khusus untuk cuci-gosok," kata
Nyonya Desi menunjuk seorang wanita gemuk berusia tiga puluhan. ""Tapi hari ini dia ikut membantu di dapur bersama Titi dan Iyem. Bahkan Totong
Mami suruh bantu-bantu juga biar urusan kebun ditunda dulu."
Triska minta izin ikut membungkusi lemper kesukaannya dan sambil duduk berdampingan di depan
mej a dapur keduanya ngobrol.
""Saya lihat Nila dan Odi," kata Triska sepintas
lalu.
Nyonya Desi menarik napas kesal. ""Ya, mereka
datang tadi pagi. Nila kan kerjanya sebagai physiotherapist, Mami kebetulan kena encok di leher,
sakitnya menj alar ke pundak dan kepala. Kalau sedang angot, waduh kepala sakitnya nggak tahu, deh,
kayak apa! Deni bilang, ada pengapuran di tulang
leher. Kalau disuntik olehnya, sakitnya cepat hilang
tapi nanti datang lagi. Deni bilang, tidak boleh disuntik terus berbahaya. J adi Mami minta diurut sama
Nila dua kali seminggu. Tadi pagi dia datang untuk
mengurut Mami, dan ternyata dia membawa Odi.
178 Ya terpaksa Mami biarkan, habis masa mau kita
usir Sebaiknya kau jangan dekat-dekat mereka,
Tris. Mami sebenarnya juga kurang suka sama Nila,
cuma saking terpaksa, ya minta tolong juga, deh."
Untung Nyonya Desi bij aksana, mereka disuguhi
makan siang prasmanan, sehigga fraksi fraksi yang
saling bertentangan tak perlu merasa tersiksa dipaksa duduk semej a mungkin berhadaphadapan selama bersantap.
Triska mengajak Erik duduk di teras belakang,
dia makan sambil menyuapi Marco. Deni makan di
ruang tamu yang luas, menemani Kris serta Nero
yang ternyata datang juga walau menurut pengakuan mereka sendiri, tidak diundang (Deni memang
tahun ini tidak mau dipestakan, kata ibunya menjelaskan). Marti dan Lupita mencari Triska ke belakang.
""Mana Roy, kok nggak datang " Triska
menanyai Marti.
""Masih di KL, belum pulang. Ibuku bilang, jan
gan-jangan akhirnya dia kecantol juga sama baju
kurung!" ujar Marti.
""Betulkah dia mau jualan jamu di Kuala Lum
pur "
""Jualan jamu matanya! Jangan gampang dikibulin, Tris! Roy kan angin-anginan. Beberapa tahun
yang lalu kita semua sudah yakin, nggak lama, lagi
179 bakal selamatan pembukaan pabrik kosmetik. Tahunya, ditunda... sampai sekarang."
""Jadi ngapain dia sebenarnya di KL " Triska
menegaskan.
""Tanya, dong, orangnya sendiri. Mana aku tahu!
ibuku pernah interlokal ke sana menanyai pamanku,
si Roy kerjanya apa, betah amat hampir tiap akhir
pekan terbang ke sana, tapi Paman mengegos, cuma
menjawab samar-samar. Katanya Roy sedang menjajaki kemungkinan pindah praktek ke sana, gila
nggak tuh!"
""Eh, kalau kalian bikin kosmetik, aku bersedia
tolong menjualkan di salonku," ujar Lupita menawarkan.
Acara makan siang itu cukup menggembirakan,
terutama karena hidangannya lezat-lezat. Nyonya
Desi sendiri tidak menyertai mereka di beranda, sebab harus menemani kerabat-kerabat tua yang rupa
nya diundang. Odi dan Nila juga tak tampak, tapi
tak ada yang peduli mereka ke mana.
Suasana cukup riuh sebab Bobi dan Aurora yang
ogah disuapi ibu masing-masing, telah membuat
Marco juga jadi kepingin makan sendiri.
""Bob, Mami suapi, yuk. Jadi Marco juga mau
disuapi," bujuk Marti. ""Nanti di rumah saja kau
baru makan sendiri."
Bobi ternyata mau mengerti dan mengangguk.
180 Lupita juga mencoba menjelaskan pada Aurora,
dan gadis cilik itu juga gampang dibujuk.
Selesai makan nasi dan kue ulang tahun, tamutamu pria beralih ke kamar biliar kecuali Deni yang
kini menggantikan Erik duduk di samping Triska
di beranda. Marti dan Lupita ikut menonton suami
mereka bertanding.
Mereka duduk bertiga, bercanda dengan Marco.
Tak ada bahan percakapan yang berarti sampai
suatu ketika seakan sambil lalu, Deni bertanya pelan, ""Apakah kau serius sama Erik "
Triska menoleh dan memandang Deni seakan
ingin menduga duga ke mana jatuhnya pertanyaan
itu, dan jawaban apa yang sebaiknya diberikannya.
Setelah lewat beberapa saat, dia memutuskan untuk
berterus terang, namun belum sempat dia membuka
mulut, tahu-tahu mereka dikejutkan oleh suara Odi
Tiga Naga Dari Angkasa 1 Pendekar Mabuk 019 Pembantai Berdarah Dingin Bidadari Untuk Ikhwan 3

Cari Blog Ini