Ceritasilat Novel Online

Sepolos Cinta Dini 1

Sepolos Cinta Dini Karya Mira W Bagian 1


SEPOLOS CINTA DINI
Mira W.
SEPOLOS CINTA DINI
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Jakarta, 2003
Cetakan kesembllan. September 2001
Cetakan kesepuluh. September 2002
Cetakan kesebelas. September 2003
"Sesaat sebelum menelan pil-pil itu baru kute
mukan diriku:
bodoh, penakut, dan tidak punya apa-apa kecuali
kesombongan! "
BAB I
TANPA mengurangi kecepatan sedikit pun, Boy
membelokkan motornya memasuki halaman
kampus. Tukang parkir yang sedang mengantuk di
gardu sana gelagapan bangun, begitu segerombolan
debu menyerbu hidungnya.
Tujuh kurang satu menit. Berarti ia hanya punya
waktu satu menit untuk memparkir motornya. Melintasi separuh Kampus. Dan menyerbu ke dalam Laboratorium. Soalnya, praktikum F armakologi tidak
pernah terlambat semenit pun!
"Nah, ini satu lagi terlambat!" sorak Kiki kegirangan. Dia sedang bertengger di depan pintu Kantin
sambil melahap sepotong pisang goreng.
"Ayo Boy, tancap gas!" goda Toto. ""Anak-anak
sudah masuk sejak tadi!"
"Sialan, kesiangan bangun!" gemtu Boy tanpa mengurangi kecepatan larinya. Dilemparkannya
tasnya begitu saja ke perut Toto. "Titip tas, To."
"Wah, seenak perutnya sendiri! Nggak mau, ah!"
Terlambat. Tubuh Boy telah lenyap di balik dinding
mang anatomi. Terus ke laboratorium F armakologi.
Tujuh lewat setengah menit! Dan temantemannya
telah mengeluarkan kertas. Celaka. Kwiz lagi. Kwiz
lagi. Tergesa-gesa Boy memasuki Laboratorium
sambil mengenakan lab-jasnya.
"Kenapa terlambat?" tegur Asisten di depan pintu.
"Ke WC, As. Sakit perut."
Biasa. Mahasiswa, apalagi yang macam Boy, memang sudah terlatih berbohong. "Masuk lekas."
Fiu, selamat. Bergegas Boy mencari bangku
kosong. Dan sudut matanya menangkap isyarat Anto.
Bagus. Bangku di sebelahnya masih kosong. Barangkali khusus disediakan untuk dia. Tapi celaka! Salah
seorang dari dosen-dosennya, minta ampun, yang
paling galak lagi, sedang menuju ke mari!
"Duduk di sini, Boy" katanya sambil melambaikan tangannya, menunjuk ke deretan bangku yang
paling depan!
"Kiamat," dengus Boy hampir tak terdengar. Diseretnya kakinya melewati bangku teman-temannya.
Kurang ajar. Mereka semua sedang menutup mulut
menahan tawa.
Belum juga ia sempat duduk, asisten itu sudah
mulai membacakan soal.
"Wah, tunggu dulu, As! Belum punya kertas!"
Tanpa permisi lagi, Boy menyambar kertas Eni, dan
menyobeknya menjadi dua. Yang selembar dikembalikannya kepada pemiliknya yang sedang mendelik
gusar. Yang selembar lagi lekas-lekas diberinya nama
dan nomor.
"Nomor satu: Sebutkan gejala-gejala intoksikasi
akut Barbiturat."
Kosong.
"Nomor dua: Uraikan terapinya."
Kosong lagi.
"Nomor tiga...."
Kosong lagi. Kosong lagi. Kosong semua.
Boy melirik ke kanan dan ke kiri dengan geli?
sah. Knock out. Dosennya tidak mau pergi juga dari
sana. Matanya beberapa kali bertemu dengan mata
Boy yang sedang repot berkeliaran. Apa boleh buat.
Isi saja sembarangan. Dari pada kosong. Salah?salah
tak boleh ikut praktikum hari ini.
"Ya, kumpulkan semua. Dan kembali ke meja
masing?masing."
Tamat, keluh Boy dalam hati. Dengan lemas ia
berjalan ke meja praktikumnya. Gara-gara Nuning
yang "nyentrik,, masa bikin pesta ulang tahun pukul
duabelas malam. Masih untung Boy tidak sampai
ketiduran di atas motornya.
"Siapa yang jadi orang percobaan?" tanya Boy
sambil menguap lebar.
"Waduh, kalau menguap tutup mulut, dong!"
tegur Arifin sok moralis. Padahal dia sendiri suka
meludah di mana-mana.
"Perduli amat" sembur Boy uring-uringan. "Ayo,
siapa orang percobaan kita hari ini?"
"Minggu lalu aku sudah!" sahut Anita cepat-cepat.
"Aku juga sudah!"
"Aku juga!"
Nah, biasa. Kalau giliran menjadi orang percobaan mereka pasti ribut. Semua mengaku sudah.
"Bagaimana kalau Atiek saja?" usul Anto lunak.
Ini dia. Semangat Boy tiba-tiba terbangun kembali. Atiek. Mengapa tidak? Atiek anak baru. Mahasiswi pindahan dari Semarang. Cantik. Lembut. Dan
10 pendiam. Senyumnya mengingatkan Boy pada bintang Hlem Widyawati.
Tanpa membantah lagi, Atiek naik ke atas meja
percobaan. Berbareng Boy dan Anto melepaskan
lab-jas mereka dan menyerahkannya kepada Atiek.
Seolah?olah tidak melihat uluran lab-jas Anto, Atiek
berpaling pada Boy. Dan menerima lab-jasnya.
Ditebarkannya lab-jas itu ke atas pahanya. Menutupi kutub selatan tubuhnya dari incaran nakal mahasiswa-mahasiswa lain. Lekas-lekas Boy mencari
tempat yang paling strategis di ujung meja. Dari sana
ia dapat berpura-pura menulis sambil menikmati betis Atiek yang tak tertutup. Ah, seandainya lab-jas itu
lebih pendek sedikit, sedikit lagi saja Wow!
"Coba To, hitung lagi nadinya," kata Arilin yang
sedang repot mencatat. "Sudah setengah jam sejak
dia makan obat tadi."
"Biar aku yang ukur," sambar Boy segera. "Kau
catat saja, To. Kau harus membuat laporan "kan?
Nah, catat saja yang rapi!"
Anto tak sempat mengutuk. Boy telah mendorongnya pergi. Tersenyum lembut ke arah Atiek. Dan
langsung meletakkan ketiga jari tengahnya ke atas
nadi di pergelangan tangan gadis itu.
Atiek lekas-lekas menunduk. Mata yang jenaka
itu, yang selalu tersenyum, ah, tak tahan ia menatapnya. Rasanya mata itu mampu membaca seluruh
pikirannya, semudah sebuah buku yang terbuka.
Dan senyumnya! O, senyum tak berdosa, senyum
kebocahan di balik sederet gigi yang putih rata, tak
mampu membantu Atiek menenangkan debaran jantungnya.
ll "Seratus dua belas," kata Boy tenang-tenang,
seakan-akan tak terjadi apa-apa.
"Hah?!" berbareng Anto dan AriHn melompat dari
bangkunya. "Kenapa begitu cepat?"
Boy mengangkat bahu. "Kenapa tanya padaku?
Tanya asisten, ya? Nah, itu dia sedang ke mari!"
"Jangan main-main, Boy!" ancam Anto berang.
"Dia sudah berbaring di sana tiga puluh menit, sudah minum obat lagi! Tak mungkin secepat itu. Coba
ukur dalam satu menit, barangkali kau salah hitung!"
"Iya, Boy," Arifin menimpali. "Jangan hitung dalam seperempat menit, coba lagi dong. Nanti kami
susah bikin laporannya!"
Jangankan satu menit, sepuluh menit pun Boy
mau. Apa yang lebih enak daripada memegangi lengan Atiek saat ini? Tetapi soalnya jadi lain kalau asisten sedang berjalan menuju ke mari! Bahaya!
"Mana lab-jasmu?" tegur asisten itu kepada Anto.
Malas-malasan Anto memperlihatkan lab-jasnya.
"Ini, As."
"Kenapa tidak dipakai?"
"Panas, As." Anto senyum-senyum kecut.
"Pakai!" perintah asisten itu dengan tegas. Lalu
pandangannya berpindah kepada Atiek. "Dia harus
diantar pulang nanti."
"Biar saya yang antar, As. Rumah kami dekat, dan
saya bawa motor," potong Boy secepat mungkin. Takut keduluan.
"Lekas bilang kalau terasa ada efek-efek tidak
enak dari obat itu," kata Asisten itu lagi sebelum
meninggalkan meja mereka.
12 "Pokoknya dia tidak bakal semaput." Boy
tersenyum setelah dirasanya asisten itu cukup jauh
untuk mendengar kata?katanya. Lalu sambil menoleh
kepada Atiek: "Di mana rumahmu, Tiek?"
*** "PINJAM catatan Mikro-mu, Fin," kata Boy tanpa basa-basi lagi, begitu ia sampai di tempat kos Arilin.
"Mikrobiologi maksudmu, Boy?"
"Iya, Mikro apa lagi? Masa Mikrobis?"
"Tapi buat apa, Boy? Kan ada diktat!"
"Pokoknya aku pinjam eatatanmu, jangan banyak
rewel!" potong Boy habis sabar. Soalnya kalau urusan catatan, AriHn yang paling "top" di kelasnya. Sudah tulisannya rapi, isinya lengkap lagi. Semua yang
diucapkan dosen waktu memberi kuliah, dicatatnya
selengkap-lengkapnya sampai ke titik komanya.
"Mau pinjam buku kok galak amat!"
"Pasti mau dipinjamkannya lagi pada Atiek,"
sindir Anto yang kebetulan sedang makan bakso di
sana.
"Atiek?" Arifin mengerutkan dahinya dengan heran. "Kalau dia mau pinjam catatan, mengapa dia ti?
dak langsung minta sendiri padaku? Mengapa harus
lewat kau, Boy?"
"Karena Boy yang ingin menawarkan jasa baiknya pada Atiek!" potong Anto pula. Lalu sambil menoleh ke arah Boy, gerutunya jengkel: "Kau mulai
main mata lagi, Boy! Lantas Nuning mau kau kem?
anakan?"
13 "Ah, barang bekas. Dikemanakan juga boleh," sahut Boy seenaknya.
"Bekas?" belalak Arifin kaget. "Apanya yang
bekas? Dan kau tahu darimana dia barang bekas?"
Meledak tawa Anto demikian hebatnya sampai
beberapa tetes kuah bakso melompat ke dalam saluran pernapasannya. Dan ia terbatuk batuk sampai
mengeluarkan air mata.
"Mengapa kau tertawa?" geram Arilin penasaran.
"Kau!" Anto tertawa geli. "Kau lucu!"
"Apanya yang lucu? Aku bukan badut!"
"Kau tak dapat membedakan barang yang baru
keluar dari pabrik dengan barang bekas dari tukang
loak, itu namanya tolol!"
"Diam kau!" berungut Arifin tersinggung. "Aku
tidak tanya padamu!"
Tetapi tawa Anto bukannya mereda, malah makin
menghebat.
"Mana bukunya, Fin?" sela Boy ketika ia sudah
dapat menghentikan tawanya.
"Tunggu kuambil dulu," sahut Arifin masih uring-uringan. Ia berjalan masuk ke kamarnya dan keluar lagi dengan sebuah buku.
"Jangan lama-lama, Boy," katanya sambil memberikan buku itu kepada Boy. "Dan ingat, jangan rusak!"
"Jangan kuatir," sahut Boy tegas. "Atiek pasti
akan berhati-hati sekali dengan buku yang disampul
serapi ini!"
"Langsung ke medan laga, Boy?" teriak Anto ketika Boy sudah mencapai motornya.
14 "Langsung!" sahut Boy sambil mengacungkan
sebelah tangannya. "Tunggu apa lagi? Takut keduluan, To!" Lalu dengan menerbitkan suara yang aduhai
berisiknya, motor itu meluncur ke jalan raya.
Hampir setengah lima, pikir Boy sambil melirik
arlojinya. Padahal aku janji Atiek pukul lima. Perkenalan pertama harus memberi kesan baik. Tidak boleh
"ngaref. Dan tidak boleh terlalu malam. Datang tepat
pada waktunya. Serahkan buku. Ngobrol-ngobrol sedikit. Lalu pulang. Lebih dari itu: tabu.
Dan Boy terpaksa melambatkan kembali lari
motornya. Ada serombongan gadis-gadis manis sedang menyeberang di muka kampusnya. Boy tahu
sekali siapa mereka. Mahasiswi-mahasiswi Fakultas
Kedokteran Gigi yang baru pulang praktikum sore.
FKG memang terkenal surplus cewek. Dan heran.
Semakin lama, semakin banyak saja gadis-gadis cantik yang ingin jadi dokter gigi.
Sengaja Boy menghentikan motornya dan membiarkan mereka lewat. Beberapa gadis menoleh ke?
padanya dan melempar senyum. Tentu saja mereka
kenal Boy. Siapa pula yang tidak kenal kepada playboy kampus itu?
"Pulang, Mon?" tegur Boy kepada gadis yang paling dekat. Dan tentu saja: yang paling cantik.
Mona mengangguk manja. Senyumnya begitu
menggemaskan. Membuat Boy hampir lupa pada
janjinya dengan Atiek.
"Kau mau ke mana, Boy?"
Yang punya suara selincah itu pasti Henny. Heran.
Kalau menghapalkan nama gadis?gadis cantik, Boy
15 tidak pernah kewalahan. Lain kalau disuruh mengingat-ingat nama kuman atau vektornya. Hhh. Seandainya saja ia tidak punya janji dengan Atiek! Mau
rasanya ia mengantarkan mereka pulang.
Dan Boy belum sempat menjawab ketika matanya bertemu dengan mata Nuning. Celaka betul. Boy
benar-benar tidak ingin menjumpainya saat ini. Saat
ia harus pergi ke rumahAtiek! Tetapi terlambat untuk
berpura-pura tidak melihat. Nuning sudah melihatn?
ya. Dan langsung menghampiri. Memang percuma
untuk mengharapkan yang sebaliknya. Gadis macam Nuning tidak pernah malu-malu kucing. Kalau
butuh, ia akan blak-blakan meminta. Tidak perduli
orang yang dimintainya itu suka atau tidak. Seperti
sekarang.
"Kebetulan, Boy," katanya sambil tersenyum
madu. "Mobilku rusak. Terpaksa pulang sendiri. Antarkan aku pulang, ya?"
Lalu tanpa permisi lagi, tanpa menunggu jawaban
Boy, dia langsung duduk di sadel belakang motor
Boy. Kiamat! pikir Boy runyam. Bagaimana dia bisa
mengusir Nuning? Gadis itu tidak mempan sindiran.
Apalagi yang secara halus. Benar-benar sial.
Mengapa harus bertemu Nuning justru pada saat
ia ingin menghindarinya? Nuning tak pernah puas
kalau hanya diantar pulang ke rumah saja. Biasanya,
dia pasti minta diantar ke tempat lain dulu. Dan du?
gaan Boy tidak meleset. Dia tidak perlu menunggu
lama-lama untuk mendengar rayuan itu.
Sambil melekat erat di bahunya, bisik Nuning
16 manja: "Boy, antarkan dulu ke "Duta Merlin", ya?
Baju yang kubeli kemarin kebesaran."
"Jangan sekarang, Ning." Boy masih coba menawar. "Aku ada janji".
"Janji?" Nuning merengut manja. Dipukulnya
bahu Boy dengan lembut. "Janji sama siapa? Sama
cewek, ya?"
"Janji kembalikan buku."
"Aku boleh ikut? Pulangnya kita mampir ke cDuta


Sepolos Cinta Dini Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Merlin"."
"Wah, jangan!" cetus Boy kaget. Benar?benar
celaka duabelas! Bagaimana mungkin ia membawa
Nuning ke rumah Atiek? Bisa pingsan gadis itu nanti!
"Dia cakep, Boy?"
"Siapa?" geram Boy gemas.
"Siapa lagi? Tentu saja gadismu yang baru itu!
Kalau tidak cakep, masa kau sembunyikan?"
Aduh! pikir Boy putus asa. Perempuan memang
cerewet. Apalagi kalau sudah bicara mengenai sesamanya.
"Aku cuma ingin mengembalikan buku ke tempat Arifin" sahut Boy jengkel. "Sekarang begini saja,
kuantar kau pulang dulu. "Duta Merlin, nya besok
saja. Oke?"
"Tapi mengapa kita tidak langsung saja ke tempat AriHn, Boy? Tempat kosnya "kan sudah di depan
mata?!"
Aku lupa satu hal, pikir Boy gelagapan. Nuning
kenal semua cowok di kampusnya. Dan Nuning bukan Nuning kalau dia tidak tahu alamat rumah mereka masing?masing! Tiba-tiba saja Boy merasa perutnya mules.
17 "Belok kanan, Boy!" teriak Nuning diantara deru
motornya. "Kita tidak jadi mampir ke tempat Arifin?"
Apa boleh buat, geram Boy dalam hati. Kali ini
aku terpaksa mengalah.
Dibelokkannya kemudi motornya tajam-tajarn
memasuki halaman rumah tempat kos Arifin. Pemuda itu masih duduk?duduk di serambi depan bersama
Anto. Dan mereka sama-sama tercengang melihat
kedatangan Boy. Mulut Arifin yang sudah separuh
terbuka hendak menegur, mengatup kembali ketika
matanya bertemu dengan mata Nuning. Dan ia belum
sempat melakukan apa-apa. Boy telah melemparkan
bukunya begitu saja.
"Tuh, bukumu kukembalikan!"
"Lho, kok cepat betul, Boy?" belalak AriHn heran.
Tetapi motor Boy telah menderu kembali meninggalkan halaman. Dan Arihn masih tertegun bengong
di tempatnya sampai tawa Anto meledak menyadarkannya.
BOY memang menyukai gadis-gadis cantik. Tetapi paling tidak suka kalau diminta menemani mereka
berbelanja. Sudah sepuluh toko yang dimasuki Nuning. Sudah seratus baju yang dipegang-pegangnya.
Tetapi belum satupun yang cocok dengan seleranya.
"Sudahlah, Ning," kata Boy jemu. "Kalau begini
caramu memilih, kapan kita mau pulang?"
18 "Tunggu dong, Boy. Baju mahal-mahal begini kalau tidak bagus "kan sayang!"
Minta ampun! keluh Boy dalam hati. Kalau tidak
pakai akal, rasanya dua jam lagi mereka masih juga
berkutetan di sana.
"Yang ini bagus, Ning" kata Boy sambil meraih
gaun yang paling dekat dengan tempatnya berdiri.
Asal saja. Supaya cepat pulang. "Cocok dengan kulitmu."
"Maksudmu cocok dengan kulit anakku?" sahut
Nuning tanpa menoleh. "Kira-kira dong, Boy. Itu
"kan baju anak-anak!"
Astaga! pikir Boy j engah. Mataku benar-benar sudah harus dipensiunkan!
Tetapi di depan seorang gadis, Boy pantang dipermalukan. Maka sambil menyambar sebuah gaun lain,
katanya cepat-cepat: "Bukan yang itu, Ning! Maksudku yang ini!"
Nuning mengambil gaun itu. Mengamat-amatinya
sebentar. Dan mematut?matutkannya pada tubuhnya.
Kemudian sambil bersungut-sungut ditaruhnya kembali gaun itu di tempatnya.
"Heran" berungutnya sambil memandang Boy
dengan mengkal. "Seleramu sekarang kampungan
betul, Boy."
"Astaga" geram Boy gemas. "Baju tiga belas ribu
kau bilang kampungan?"
Tetapi memang percuma bertengkar dengan per?
empuan. Kesudahannya Nuning juga yang menang.
Mereka baru meluncur pulang pada pukul delapan
malam. Dan seolah-olah ikut berduka bersamanya,
19 hujan turun ketika mereka baru mencapai jakarta By
Pass.
"Hujannya makin besar, Boy," keluh Nuning cemas. "Aduh, bajuku basah semua!"
"Kita meneduh sebentar di halte bis," sahut Boy
pendek.
"Ah, jangan di situ, Boy," protes Nuning segera.
"Tempat sepi begitu biasanya banyak todongan!"
"Tak ada pilihan lain," sahut Boy sambil menepi?
kan motornya. "Daripada pulang basah kuyup."
Halte bis itu memang sepi. Dan agak gelap. Hujan
yang turun semakin lebat membuat tempat itu jadi
tampak semakin rawan. Tetapi Boy tidak perduli.
Tidak diacuhkannya Nuning yang terus menggerutu
sambil menyimpan gelang dan cincin emasnya di dalam tas. Pikirannya sedang tertuju pada Atiek. Dusta
apa lagi yang harus dikatakannya pada gadis itu besok pagi? Ah, semua gara-gara Nuning. Rencananya
jadi berantakan semua. Dasar sial. Dan kekesalannya
buyar ketika matanya berpapasan dengan gadis yang
baru datang itu. Ia menjinjing sebuah kopor kecil
di tangannya. Terseok?seok menerobos hujan lebat
menuju halte bis itu. Tentu saja maksudnya untuk
berteduh. Gaun sederhana yang membungkus tubuhnya yang kecil mungil itu sudah basah kuyup. Beberapa kali Boy melihatnya meng gigil kedinginan.
Cahaya lampu-lampu jalanan memang tak cukup
terang untuk menerangi tempat itu. Tetapi sudah cukup memberi kesempatan kepada mata Boy yang berpengalaman untuk menikmati wajahnya. Dia masih
sangat muda. Kurus. Dan lugu. Tetapi wajahnya yang
20 basah kuyup itu, wajah yang polos tanpa make-up,
menyembunyikan keayuan yang menawan. Semakin lama dilihat, semakin enak dipandang. Dan Boy
jadi betah memandanginya. Tanpa menyadari bahwa
gadis itu justru semakin ketakutan dan salah tingkah
ditatap secara demikian oleh seorang pemuda yang
tidak dikenalnya. Apalagi pemuda yang macam Boy.
Tampangnya j elas bukan tampang anak sekolah yang
pada pukul delapan malam sudah duduk alim di rumahnya membuat pekerjaan rumah.
"Jalan yuk, Boy. Hujannya mulai reda." Tentu
saja Nuning sudah melihat gelagat jelek itu. Beberapa kali pertanyaannya cuma dijawab "ah, "uh" saja
oleh Boy. Tidak heran. Di sisinya ada perempuan
ayu. Dan perhatiannya sudah tumplek blek ke sana.
Hujan memang mulai mereda. Walaupun segan, Boy
sudah hampir menghidupkan mesin motornya. Tetapi
sesuatu menahannya kembali. Ada dua orang pemuda melompat turun dari bis. Dan melihat sikap mereka, penilaian Boy sudah negatip. Mereka pasti bukan
orang baik-baik.
"Tunggu bis, Dik?" tegur yang satu langsung kepada gadis itu.
"0, tidak. Hanya numpang berteduh." Gemetar
suara gadis itu. Pasti bukan hanya karena kedinginan
saja. Pemuda-pemuda itu sudah semakin merapatin?
ya. Dan ia makin terdesak ke sudut.
"Sendirian?" tanya pemuda yang satu lagi. Ada
seringai Maha bermain di bibirnya.
Gadis itu cuma mengangguk. Dan Boy tak sampai hati melihat hentakan?hentakan ketakutan yang
21 menggelepar-gelepar di dalam matanya. Ah, mata
yang polos itu! Mata suci seorang bayi! Di mana
pernah dilihatnya mata yang demikian memikat?
Kombinasi antara kejujuran dan pesona yang sangat
memukau! Dia takut. Tetapi tidak sudi menyerah.
Dia masih berjuang untuk mempertahankan koporn?
ya, satu-satunya miliknya! Bagaimana mungkin Boy
tega meninggalkannya begitu saja? Dan dia sudah
bergerak turun kembali dari motornya ketika Nuning
memegang lengannya.
"Jalan saja, Boy," bisiknya serius. "Jangan cari
gara-gara!"
Boy menoleh dengan marah. "Dan membiarkan
mereka merampok gadis itu?"
"Apa perdulimu?" gerutu Nuning jemu. "Jangan
berlagak jadi pahlawan di sini. Sekarang "kan bukan
jamannya Zorro lagi."
Sekarang tatapan Boy berubah heran. "Kau sampai hati membiarkan gadis itu jadi korban mereka?"
"Bukan urusan kita!" geram Nuning j engkel.
"Kita "kan bukan polisi!"
"Tapi aku tak dapat membiarkannya, Ning!"
protes Boy tegas. "Aku harus menolongnya!" Dile?
paskannya tangan Nuning yang masih menggenggam
lengannya. Lalu ia turun dari motornya.
"Boy!" bentak Nuning habis sabar. "Kau mau
antarkan aku pulang tidak?! Atau aku pulang sendiri
saja naik taksi?!"
Sekali lagi Boy menoleh kepada Nuning. Kali
ini dengan tatapan yang lebih heran lagi. "Kau tidak
kasihan kepadanya, Ning? Dia sama-sama perem
22 puan. Seperti kau! Kau tidak ingin aku menolongn?
ya?"
"Tentu saja tidak!" geram Nuning mengkal. "Gadis mana yang rela membiarkan cowoknya jadi pahlawan cewek lain?"
Tetapi Boy tak sempat berpikir lagi. Salah seorang dari mereka telah memegang tangan gadis itu
dan mencoba merampas kopornya. Gadis itu masih
berjuang untuk mempertahankan miliknya. Tetapi
pemuda yang satu lagi merangkul pinggangnya dari
belakang.
"Diam-diam saja, manis! Kami cuma ingin menolongmu membawakan kopor ini!"
"Eh, tunggu dulu!" bentak Boy sambil merenggutkan kemeja laki laki im. "Enak saja minta kopor
orang!"
Melihat Boy, serentak mereka melepaskan korbannya.
"Kau mau apa?!" hardik pemuda yang lebih tegap
sambil mencabut pisaunya. "Jangan turut campur!"
"Membawa kopor orang harus seijin pemiliknya!" sahut Boy sambil mencari-cari peluang. Tentu
saja ia dapat berkelahi. Tetapi melawan dua orang
laki-laki yang berpisau tidak sama dengan berkelahi
melawan teman-temannya sekampus. Mereka pasti
sudah terlatih berkelahi. Mengalahkan mereka pasti
tidak semudah menonton filem kungfu. Salah?salah
dia sendiri yang kena tikam. Tetapi mereka rupanya
tidak suka banyak bicara. Moto kerja mereka, sikat
dan sambar secepatnya. Maka sebelum Boy selesai
bicara, mereka sudah sama-sama menyerang. Terpak
23 sa Boy menanggalkan jaketnya. Membungkus lengan
kirinya dengan jaket itu dan menggunakannya sebagai perisai. Tetapi mereka benar?benar gesit. Ujung
pisau itu telah berhasil merobek lengan Boy sebelum
ia mampu menendang pergelangan tangan yang berpisau itu. Dan dua pukulan yang cukup keras mendarat
di mukanya. Boy merasa cairan hangat mengalir dari
celah-celah bibirnya yang pecah. Ia merasa pusing.
Dan sedang terhuyung mundur ketika tikaman pisau
yang satu lagi hampir mampir di lambungnya. Lalu
terjadilah sesuatu yang tidak disangka-sangkanya.
Gadis itu mengayunkan kopornya ke punggung laki-laki itu. Begitu kuatnya sampai seluruh tubuhnya
yang kecil mungil itu ikut terdorong ke depan. Dia
jatuh terjerembab bersama-sama kopornya. Tetapi ia
telah memberi peluang kepada Boy untuk memperbaiki posisinya.
"Lari!" seru Boy dengan napas terengah-engah.
"Satu ronde lagi aku pasti knock out!"
Boy masih mampu membuat kedua lawannya
kewalahan untuk beberapa saat lagi sebelum satu
jotosan yang sangat telak menghantam perutnya.
Ia terjajar ke belakang. Sempoyongan menahan tubuhnya. Dan ambruk ke tanah. Tetapi tidak sampai tertelentang. Ada sepasang tangan yang lembut
menopangnya duduk. Mula-mula dikiranya Nuning.
Tetapi ketika dari balik tirai darah yang menyelubungi wajahnya ia melihat paras gadis itu, kemarahannya
meledak kembali.
"Lari!" geramnya sambil menyeringai kesakitan.
Ia merasa seluruh isi perutnya seakan-akan hendak
24 tumpah ke luar. Tetapi masih dipaksakannya menolakkan gadis itu dengan sebelah tangan ke balik tubuhnya. "Lari! Kau tunggu apa lagi?!"
Sebaliknya dari lari meninggalkannya, gadis itu
malah mengeluarkan saputangannya dan menyusut
darah yang melumuri wajah Boy. Barulah pemuda
itu dapat melihat lebih jelas. Ada bis berhenti di sana.
Dan halte itu sudah penuh orang. Kedua bajingan itu
telah tak tampak lagi. Juga Nuning.
*** ADA perasaan aneh menggelitiki hati Boy ketika didapatinya gadis itu masih menunggu di luar.
Gadis itu tidak mau meninggalkannya begitu saja.
Tidak pada saat ia berkelahi tadi. Tidak juga pada
saat dokter merawat luka-lukanya. Dia bahkan sudah
mengeluarkan dompetnya untuk membayar ongkos
perawatan ketika Boy mencegahnya.
"Tidak usah. Dokternya guruku. Kalau dibayar,
dia malah marah-marah. "
Gadis itu menatapnya sekejap. Seolah?olah hendak meyakinkan kebenaran kata-kata Boy. Dan melihat mata itu, Boy jadi tidak menyesal memperoleh
tujuh jahitan di lengannya.
"Boleh kuantar pulang?" tanya Boy sambil berusaha melupakan denyutan?denyutan nyeri di kepalan?
ya. Sebaliknya dari menjawab, gadis itu malah balas
bertanya: "Pulang? Pulang ke mana?"
"Pulang ke mana?" Boy berbalik heran. "Tentu
saja ke rumahmu!"
25 Gadis itu menggeleng lirih. "Rumahku jauh."
"Berapa jauh? Lebih jauh dari Siberia?"
"Rumahku di Sumedang."
"Jalan Sumedang? Oke, kuantarkan kau ke sana.
Tapi katakan dulu, di daerah mana Sumedang itu?"
"Di daerah mana?" Sekarang giliran gadis itu
yang bengong. "Tentu saja di daerah Jawa Barat.
Dekat Bandung."
"Dekat Ban ...." Dan Boy tak sanggup lagi melan?
jutkan kata-katanya. Jadi dia benar?benar bukan
orang Jakarta! Astaga! Tiba?tiba saja kepalanya terasa berdenyut lebih nyeri.
"Kau ke mari sendirian?"
"Aku mencari Abangku."
"Kalau begini kuantarkan saja kau ke rumah
Abangmu."
"Itupun tidak mungkin. Aku sendiri tidak tahu di
mana rumah Abangku."
Boy ternganga bingung.
"Kau ke mari seorang diri," gumamnya sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya, mengusir kepusingan yang mulai menyerang. "Kau mencari Abangmu. Tetapi tidak tahu di mana harus mencarinya! Aku
heran bagaimana ayah ibumu merelakan anak sekecil
kamu datang ke sini sendirian!"
"Ayahku di penjara." Gadis itu menggigit bibir
bawahnya. "Ibuku telah meninggal. Ketika Nenek
juga meninggal, aku tak tahu lagi siapa yang harus
kucari kalau bukan abangku!"
"Tapi bagaimana kau bisa mencari abangmu kalau kau tidak tahu alamat rumahnya?"
26

Sepolos Cinta Dini Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tentu saja aku tahu alamatnya. Tetapi dia sudah
pindah."
"Dengar, Upik," kata Boy akhirnya. "Kau tak
mungkin mencari abangmu malam-malam begini!"
Gadis itu menunduk sedih. Menyembunyikan air
mata yang hampir menyembul dari matanya. "Bagiku sama saja," sahutnya getir. "Akupun tak mungkin
pulang ke kampungku sekarang."
"Kalau begitu ikutlah ke rumahku. Kau boleh tinggal di sana selama mencari abangmu. Bagaimanapun,
rumahku pasti lebih aman daripada halte bis!"
Lambat-lambat gadis itu mengangkat mukanya.
"Aku sudah terlalu banyak menyusahkanmu."
"Ah, tambah susah sedikit lagi tak apa-apa!" potong Boy cepat. "Aku sudah terlanjur menolongmu.
Aku malah hampir kehilangan tanganku gara-gara
kopormu. Masa kubiarkan saja kopor itu diambil
orang lagi!"
TAK ada yang memberatkan bagi gadis itu untuk tinggal di rumah Boy. Ia mendapat sebuah kamar untuk dirinya sendiri. Memperoleh makanan
dan minuman secukupnya. Dan mendapat dua orang
teman yang baik hati. Mang Ujang dan Bi Iyem sangat menyukainya. Dari merekalah gadis itu mengetahui segala sesuatu mengenai Boy. Bahwa dia sekolah
dokter. Bahwa ibunya telah meninggal. Dan bahwa
ayahnya lebih banyak tinggal di rumahnya yang di
kampung daripada di sini.
27 "Upik" kata Boy suatu malam, ketika gadis itu
sedang mengganti pembalut lukanya. "Kau belum
bosan juga mencari abangmu?"
"Namaku Dini," sahut gadis itu tanpa mengangkat
mukanya. Ia sedang sibuk membuat balutan baru di
lengan Boy.
"Tapi aku lebih suka memanggilmu Upik. Nama
itu cocok untukmu. Kau "kan masih kecil."
"Umurku enam belas."
"Inilah!" Boy tertawa renyah. "Jadi kau benarbenar anak kemarin sore!"
Tersinggung Dini menatapnya. "Di kampungku
gadis seumurku sudah punya anak dua!"
"Itu di kampungmu! Di kota lain. Di sini, gadis
sekecil kamu masih dianggap anak bawang! Nonton
filem yang ada cinta?cintaannya saja belum boleh!"
Mula-mula Dini hendak membantah lagi. Tetapi
melihat senyum Boy, dibatalkannya saja. Percuma
membantah pemuda itu. Apa boleh buat, pikirnya
sambil menghela napas. Upik ya Upik.
"Uangmu masih cukup, Upik?" tanya Boy tibatiba. "Jakarta tidak murah buat pendatang baru seperti kamu."
"Aku punya ijazah SMP," sahut Dini sambil
melanjutkan kerjanya. "Besok aku akan mulai mencari pekerjaan."
"Tidak mudah mencari pekerjaan di ibu kota,
Upik, jangankan lulusan SMP, Sarjana saja "nganggur!"
"Aku harus mencoba."
"Nah, mengapa tidak mencoba padaku? Aku pun
28 ya banyak pekerjaan untukmu."
"Kerja apa misalnya? Membersihkan luka-lukamu dan membalutnya?"
"Mengapa tidak? Aku butuh seorang Perawat
untuk merawat luka-lukaku dan mengganti perban.
Tampaknya kau cukup cakap untuk pekerjaan itu."
"Terima kasih. Tetapi aku tak mau digaji untuk
pekerjaan ini."
"Kau dapat membantu Bi Iyem di dapur. Kau bisa
masak "kan? Kata Bi Iyem masakanmu enak."
"Dan kata Bi Iyem kau jarang makan di ruma ."
"Tentu saja. Karena masakannya tidak enak!"
"Lalu bagaimana kalau masakanku tidak cocok
dengan seleramu?"
"Kau bisa membanm Mang Ujang merawat bunga
di kebun. Kau bisa membersihkan kamarku tiap pagi
,, , "Aku tidak mau menerima kebaikanmu lagi."
Dini mengikatkan pembalut itu dengan rapi. "Aku
sudah terlalu banyak berhutang padamu. Jadi jangan
bicarakan lagi soal gaji."
"Terserah padamu. Pokoknya aku tetap akan
menggajimu."
Dini membereskan sisa-sisa kain bekas pembalut
yang berserakan di lantai dan mengumpulkannya dalam sebuah panci. Ketika ia sedang membungkuk,
tak sengaja mata Boy menembak lekuk tipis di dadanya. Tidak merangsang memang. Sama sekali tidak.
Tipis. Kurus. Tetapi Boy menyukai sesuatu yang
baru, yang belum pernah dicobanya. Maka be gitu
Dini bangkit hendak meninggalkan tempat itu, Boy
29 segera menyergapnya. Dini memekik kaget. Panci
terlepas dari tangannya, jatuh ke lantai dengan suara
keras. Tetapi Boy tidak perduli. Ditangkapnya pinggang gadis itu. Dan didorongnya sampai tubuh Dini
tertelentang di atas sofa.
Terkejut, heran dan sakit memaksa Dini untuk
membuka mulutnya. Siap untuk menjerit lagi. Tetapi Boy lebih cepat. Dibungkamnya teriakan gadis itu
dengan suatu pagutan rapat di bibirnya. Dini merasa
dadanya berdebar aneh ketika bibirnya bersentuhan
dengan bibir pemuda itu. Ada sensasi ganjil yang belum pernah dirasakannya, bahkan yang belum pernah dibayangkannya sama sekali, mengalir dari bibir
pemuda im ke bibirnya. Dan ketika perlahan-lahan
perasaan aneh itu berubah menjadi kehangatan, perlawanan Dini mengendur dengan sendirinya.
Siip, pikir Boy tatkala dirasakannya tubuh yang
mula-mula mengejang kaku itu lambat-lambat
melembut dalam dekapannya. Menurut pengalaman, kalau sudah sampai pada tahap ini, biasanya
gadisgadis yang pernah diciumnya akan membalas
kecupannya dengan lebih mesra lagi. Tetapi kali ini
dugaannya meleset. Bukan ciuman balasan yang di
terimanya dari Dini, tetapi sebuah tamparan yang
cukup keras di pipinya. Boy tersentak kaget. Dan
Dini menggunakan kesempatan itu untuk melepaskan dirinya dari pelukan Boy.
"Kau!" dampratnya terengah-engah. Sekujur
parasnya menjadi merah padam. "Kau kurang ajar!"
Sebaliknya dari marah, Boy malah tertawa pahit.
"Aku cuma ingin kau mencicipinya, Upik" katanya
30 sambil mengusap-usap pipinya. "Percaya padaku,
kau akan ketagihan!"
Tentu saja bagi Boy tak ada persoalan apa-apa. Dia
sudah biasa mencium gadis-gadisnya. Sekali setiap
hari. Tetapi kalau gadis yang diciumnya itu adalah
Dini, persoalannya jadi lain. Bagi Dini, inilah ciuman
pertama yang diterimanya dari seorang laki-laki. Dan
ciuman pertama itu, walaupun dalam bentuk ciuman
curian, membekas begitu dalam di hatinya.
31 BAB II
EGITU tirai-tirai ruang kuliah diturunkan, Boy
langsung menarik tangan Atiek. Pindah ke dere?
tan bangku yang paling belakang. Di sudut yang pal?
ing gelap.
"Di depan saja yuk, Boy," protes Atiek kewalah?
an. Berkali-kali dia membenarkan letak kaca matanya. Memanjang?manjangkan lehernya.
"Enak di sini," bujuk Boy lega. "Kalau proyektornya tiba-tiba meledak, "kan kita yang paling dulu
sampai di pintu."
"Tapi di sini "nggak kelihatan apa-apa, Boy!"
"Ah, masa. Barangkali matamu yang tidak beres,
eh," Boy buru-buru meralat ketika dilihatnya Atiek
mulai merengut: "Maksudku, slidenya yang sudah
tua. Buram. Lagipula ." Boy menepuk tanganAtiek
sambil tersenyum lembut. "Buat apa sih nonton cacing?cacing? Nanti kalau kau mau, kubawakan cacing
besar-besar dari rumahku. Mau berapa, sebut saja."
"jangan main?main, Boy. Ke depan, yuk."
"Mau ke mana lagi? Paling depan? Nanti kita
dapat giliran terus. Tiek. Aku "nggak belajar, nih!"
"Tidak usah paling depan, Boy. Di situ saja tuh, di
tempat Maria."
"Maria? Dia sendiri lagi ribut tidak kelihatan!"
Memang benar. Maria dengan logat Solo-nya
yang khas, sama repotnya dengan Atiek.
32 "Aduh, Tobing, tolong toh simpan dulu kepala
"Iya, tidak tahu diri nih, Pak "cik! Badan sebesar
gerobak duduk paling depan! Sadar dong, Pak "cik!
Sadar!" dumal Hendro tidak kalah cerewetnya.
Dengan sabar Tobing memutar kepalanya ke belakang.
"Di situ yang tidak tahu diri," katanya sambil
memamerkan senyum iklannya, senyum yang digan?
drungi cami?cami waktu Posma dulu. "Badan sebesar
bayi semut duduk di belakang."
"Saudara yang baju biru!"
Hampir rontok jantung Boy. Ia pakai kemeja biru.
Tapi Tobing juga. Dan mata Pak dosen tertuju pada
Tobing.
Jadi bukan aku, sorak Boy dalam hati. Selamat.
"Coba Saudara sebutkan species cacing ini," ujar
dosen itu sambil mengangkat kayu penunjuk dan
menunjuk seekor cacing yang terlukis di atas layar.
Serentak kelas jadi sepi. Anak?anak perempuan
menundukkan kepala. Pura?pura menulis sesuatu di
buku. Atau menggambar. Padahal cuma mengagumi
keindahan model sepatu teman wanita di sebelahnya.
Anak laki?laki membenamkan tubuh mereka lebih
dalam di kursi, mencoba berlindung di balik tubuh
teman yang di mukanya.
"Tidak tahu?" dosen itu mengerutkan dahi. "Coba
perhatikan mulutnya. Apa yang harus Saudara perhatikan pada mulut ini untuk membedakan species
Ancylostoma?"
Persetan, geram Boy dalam hati. Kenapa harus
mu 33 memperhatikan mulut cacing? Lebih enak memper?
hatikan mulut cewek. Yang secantik Atiek terutama.
Diliriknya gadis itu sekilas. Hhh, pakai kaca mata
malah tambah cakep. Biarpun bingkai CDnya terlalu
besar untuk mukanya. Ketika Boy mengeluh sekali
lagi, Atiek menoleh. Dan mata mereka bertemu. Ada
rona merah menjalari pipi Atiek.
"Jangan pandangi aku seperti itu, Boy," bisiknya
kemalu-maluan. "Nanti dilihat orang."
"Ah, tidak ada orang," balas Boy berbisik pula.
Untung memang, asisten-asisten parasitologi tak
pernah ikut kuliah. Karena asisten biasanya duduk di
belakang.
"NANTI malam nonton, yuk," usul Boy ketika ia
sedang mengantarkan gadis itu pulang dengan motornya.
"Hm? Filem apa?"
"The Man with The Golden Gun."
"Oh, kalau James Bond pasti tidak kulewatkan.
Mmm pukul berapa? Kau jemput aku?"
"Iya. Masih tanya lagi. Masa kusuruh kau jalan
kaki ke bioskop?"
"Nuning tidak marah?"
Ada helicak memotong jalan di depannya dengan
tiba-tiba. Tetapi bukan itu yang membuat Boy tersentak.
"PastiAnto yang mengatakannyapadamu", geram
Boy dingin. "Busuk!"
34 "Anto? Kenapa Anto? Semua orang tahu Nuning
pacarmu." Atiek menggigit bibir. "Anak FKG "kan?
Kemarin kulihat dia di kantin. Keren."
"Aku hanya pergi beberapa kali dengan dia".
"Berdua?"
"Apakah aku harus mengajak ibunya juga?" Boy
mendengus gusar. "Semua laki-laki di kampus kita
sudah pernah pergi dengan dia. Kau tidak berhak
melarangku ...."
"Oh, tentu saja tidak!" potong Atiek sambil memejamkan matanya rapat-rapat. Tidak berani melihat
mobil dan motor yang beterbangan di kanan kirinya.
"Jangan cepat-eepat, Boy. Aku takut."
Tetapi Boy tidak perduli. Tak ada yang dapat
menurunkan kemarahannya kecuali melarikan motor
sekencang?kencangnya. Tukang bakso yang sedang
mangkal di depan rumah Atiek melompat mundur
ketika Boy menghentikan motornya tepat di muka
pikulannya.
Atiek baru berani membuka matanya tatkala motor itu sudah berhenti sama sekali. Ia menghela napas lega, bersyukur masih dapat menginjakkan lagi
kedua kakinya ke bumi. Rasanya, seluruh isi perutnya sudah terkocok rata. Dan Boy sudah lenyap sebelum Atiek sempat mengucapkan terima kasih.
*** "ARIES ANDIKA." Mulut Dini berkomat ka?
mit membaca tulisan-tulisan di atas setumpuk surat
yang baru diterimanya dari pengantar surat. Matanya
35 menyipit. "Siapa Aries Andika?"
"Siapa lagi kalau bukan aku?" Boy mengulurkan
tangannya. "Berikan padaku. Coba lihat wesel dari
ayahku sudah datang atau belum."
Dini menyerahkan surat-surat itu ke tangan Boy.
"Nah, ini pasti dari ayahku!" Dilemparkannya begitu
saja surat?surat yang lainnya ke atas lantai. ""Satu-satunya manusia yang menyebut namaku dengan benar."
"Siapa sebenarnya namamu?" tanya Dini curiga.
"Aries Andika?"
"ltu nama pemberian ayahku." Boy membalik
surat itu dan merobek amplopnya. "Aku tidak suka
ayahku. Dan tidak suka nama itu. Aris... An mengingatkanku pada arisan. Seolah-olah aku ini anak hasil arisan ayahku dan isteri?isterinya."
"Dan Boy?"
"Itu nama pemberian teman-temanku. Aku suka
mereka. Dan suka nama itu. Kependekan dari "crossboy" atau "playboy" aku tak perduli, pokoknya kedengarannya enak."
Dini belum sempat memunguti surat-surat yang
bertebaran di lantai ketika tiba-tiba tilpon berdering.
"Teruskanlah membaca. Biar aku yang terima."
Lekas-lekas Dini- berlari ke pesawat tilpon di sudut
ruangan. Sudah dipelajarinya bagaimana cara Boy
melayani tilpon itu. Dia harus bisa. Masa kalah sama
Bi Iyem?
Tetapi Boy cepat?cepat mendahuluinya meraih
pesawat tilpon itu.
"Biar aku saja," katanya sambil tertawa. "Bisa be
36 rantakan semua kalau kau yang terima ya, halo?"
Dengan lemas Dini kembali ke tengah ruangan.
Boy memang kurang ajar. Selalu menganggap remeh


Sepolos Cinta Dini Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

padanya.
Sambil berlutut mengumpulkan surat-surat yang
bertebaran di lantai, Dini menikmati tawa Boy yang
pecah berderai di belakang tubuhnya. Pasti tilpon itu
dari Nuning. Nuning. Ingatan Dini melayang kepada
gadis itu. Aduhai cantiknya. Secantik bintang filem.
Dada yang penuh. Pinggang yang ramping. Pinggul
yang padat berisi. Tinggi semampai. Putih bersih. Oi,
cakepnya. Cakepnya. Seakan?akan tak mau berhenti
mulut Dini memuj i kecantikan gadis itu.
Lamunannya dipecahkan lagi oleh tawa Boy. Ah,
dia pasti sedang amat gembira. Dan Nuning memang
pintar ngobrol. Mereka tidak akan meletakkan tangkai tilpon itu sebelum setengah jam. Dini sudah hapal
sekali. Hanya dua orang gadis yang menilpon Boy
lebih dari setengah jam. Nuning dan Atiek. Yang terakhir ini Dini sendiri belum pernah melihatnya. Tetapi kata Boy, dia juga cantik.
"Lebih cantik dari Nuning?" Dini tak dapat
menyembunyikan rasa ingin tahunya.
"Tidak lebih cantik. Tapi lebih ayu." Nah, dia mulai lagi main teka-teki.
"Lebih cantik dari Dewi?"
Terkejut Dini melihat perubahan air muka Boy.
"Kau pasti lancang mencuri lihat fotonya."
"Apa salahnya? Foto itu selalu terpampang di kamarmu. Aku melihatnya dua kali sehari. Setiap membersihkan kamarmu. Salahkah itu?"
37 "Kau tak bisa membaca namanya kalau foto itu
tidak kau balikkan!"
"Tapi apa salahnya?" Dini masih penasaran. "Ia
masih tetap cantik sekalipun tanganku yang jelek
menyentuh fotonya!"
Dini melihat kemarahan pemuda itu mulai surut.
Tetapi ada sesuatu yang berubah di mata yang selalu
tersenyum itu.
"Lupakanlah" katanya sambil menghela napas.
"Dan jangan tanya apa?apa lagi tentang dia."
Tetapi Dini memang keras kepala. "Tunanganmu?"
"Pacar."
"Kau pasti sangat mencintainya".
Tidak ada jawaban.
"Dia marah karena kau main?main dengan Nuning dan Atiek?"
"Antara kami sudah tidak ada apa-apa lagi."
"Putus?" Dini tercengang. "Tapi katamu kau
mencintai dia!"
"Aku tidak bilang apa-apa. Kau yang bilang begitu!"
"jadi kau tidak mencintainya lagi?"
"Sekarang tidak."
"Bohong!"
"Apa katamu?" Boy membeliak marah.
"Kau bohong! Laki-laki memang tukang bohong
kata Nenek."
"Kataku jangan bicara lagi tentang dia."
"Kalau aku jadi kau, akan kutempuh jalan apapun
untuk mendapatkannya kembali."
38 "Dan mengejarnya ke Paris? Meratap di bawah
kakinya? Aku tidak serendah itu!" Meluap amarah
Boy. "Dia lebih mementingkan kariernya dari pada
aku. Baginya menjadi peragawati terkenal lebih
menarik dari pada menjadi isteriku!"
"Kau hanya memikirkan dirimu sendiri."
"Manusia terdiri dari darah dan daging. Paris
terlalu hangat untuk mengembalikan gadisku tanpa
menghanguskannya ! "
Empat tahun Boy menyimpan kemarahan itu dalam hatinya, tanpa tahu ke mana harus ditumpahkannya kemarahan itu. Sekarang ia merasa lebih lega.
*** "BYE!" dan prak! Suara tangkai tilpon diletak?
kan. Dini menoleh ke arah jam dinding dengan keheran-heranan.
"Cuma seperempat jam. Pasti bukan Nuning atau
Atiek."
Boy tidak menyahut. Sambil bersiul-siul dia memungut surat ayahnya.
"Dia cantik?"
"Hm? Siapa?"
"Gadis tadi. Yang menilponmu."
Boy menoleh. Dini sedang merapikan surat-surat
di atas meja. Tidak menoleh sekejap pun. Tetapi tel?
inganya pasti dipasang baik-baik.
"Tidak tahu."
Sekarang Dini berpaling. Dan mata mereka bertemu.
39 "Tidak tahu?" Ada tanda tanya di dalam matanya.
"Kau tidak tahu gadis yang menilponmu itu cantik
atau jelek?"
"Aku malah tak tahu siapa yang barusan menil?
pon. Tidak kenal."
"Tid.??" Dini tak sanggup lagi bicara saking
herannya.
Boy tersenyum geli. "Dia mau menyambung ke
nomor lain. Tapi salah sambung ke nomorku."
Untuk beberapa saat Dini hanya mampu mengawasinya dengan bingung.
"Kau tidak pernah berpikir untuk memeriksakan
otakmu?" katanya akhirnya.
Boy tertawa gelak-gelak.
"Barangkali kau benar. Aku memang tidak waras.
Itu sebabnya panitia ujian NB?CMS tak mau meluluskan aku. Orang sinting "kan tidak boleh jadi dok?
ter." Dibacanya surat ayahnya dua baris. Lalu dilemparkannya jauh-jauh. "Ayah mau datang ke mari."
"Datang katamu? Bukan pulang?"
Boy menggeleng. "Rumahnya di sana. Istanan
77 ya. "Ayahmu jarang ke sini?"
"Oh, dia terlalu sibuk dengan urusannya. Sawah.
Rumah. Uang. Dan perempuan."
"Jadi apa ayahmu di sana? Tengkulak?"
"Lebih dari itu."
"Ih, kalau begitu ayahmu jahat."
"Ayahku hebat."
"Aku tidak percaya."
40 "Tunggu sampai kau ketemu dia. Kau pasti tergi?
la-gila padanya."
"Ah, aku benci tengkulak. Keluargaku hancur
karena tengkulak."
"Nah, itu cerita yang hebat. Ayo, Upik, ceritalah
tentang keluargamu." Boy menepuk kursi di sebelahnya. "Duduk sini."
Tetapi Dini lebih suka duduk di seberang sana.
Lebih aman. Tentu saja ia belum lupa pengalamannya beberapa malam yang lalu.
"Keluargaku tinggal di kampung."
"Keluargamu miskin tapi bahagia," potong Boy
sok tahu.
Alis Dini terangkat sedikit. "Siapa bilang? Ayah?
ku orang kaya. Ia punya sawah, kerbau, rumah ...."
"Dan membiarkan anak perempuannya kehabisan
duit di kota!"
"Jangan menghina!"
"Oh, maaf!" Boy menyusun telapak tangannya
membentuk sembah. "Jadi ayahmu orang kaya. Kenapa mendadak jatuh miskin? Main judi?"
"Semua gara-gara tengkulak itu."
"Dia menipu ayahmu?"
Dini menggeleng. "Dia menikah dengan kakak?
ku."
"Hah?" Boy terbelalak. Kemudian ia tertawa geli.
"Apa yang lucu?" tanya Dini tersinggung.
"Kau!"
"Aku bukan badut!"
"Barusan kau bilang kau benci ayahku karena dia
41 seorang tengkulak. Ternyata iparmu sendiri tengkulak!"
"Waktu ia menikah dengan kakakku ia belum jadi
tengkulak."
"Jadi siapa yang menyuruhnya jadi tengkulak?
Kakakmu?"
"Kalau kau mengejek terus, aku tak mau cerita
apa-apa lagi!"
"Baiklah. Apa yang kemudian terjadi dengan
tengkulak itu?"
"Sudah kukatakan tadi."
"Oh, ia kawin dengan kakakmu. Lalu?"
"Kakakku hamil. Ayah memaksanya menikah
dengan tengkulak itu."
"Hah?" Boy tersentak kaget. "Jadi mereka belum
menikah ketika ....". Tawanya hampir meledak lagi.
Tetapi buru?buru diralatnya ketika melihat air muka
Dini sudah memerah. "Lalu?"
"Dia menolak kecuali jika kekayaan Ayah diserahkan kepadanya."
"Dan ayahmu menurut saja? Bodoh!"
"Kakakku mengancam akan membunuh diri."
"Ciii." Boy tersenyum sinis. "Jadi kakakmu sekongkol...".
"Jangan menghina kakakku!" geram Dini marah.
"Dia betul-betul tidak tahu apa-apa."
"Dan tengkulak itu jadi kaya." Boy lekas-lekas
meralat.
"Dengan harta ayahku, ia menjadi tengkulak yang
paling kaya dan paling jahat di kampung kami."
42 "Ciii, kasihan ..... " Tetapi tidak ada rasa kasihan
dalam suaranya.
"Suatu hari datang seorang perempuan ke kampung kami."
"Dan tengkulak itu kawin lagi?"
"Mereka sudah kawin sebelum ia menikah dengan kakakku."
"jadi kakakmu dimadu?"
"Lebih dari itu. Mereka sudah punya anak."
"Lengkap."
"Apanya?"
"Seperti dalam filem."
Dini menghela napas.
"Sudah selesai?" desak Boy penasaran.
"Tergantung apakah kau mau mendengar kelanjutannya atau tidak."
"Aku selalu menonton filem sampai tamat."
"Kalau begitu buka telingamu dan tutup mulut!"
"Aduhai, galaknya!"
Dini menatap pemuda itu dengan berang. "Kau
benar?benar tak punya perasaan."
"Habis aku harus bagaimana? Menangis terisakisak di depanrnu?"
"Kalau begitu percuma aku cerita terus." Dini
bangkit dan sudah melangkah pergi ketika Boy menyambar lengannya.
"Jangan marah, Upik. Aku benar-benar terharu,,
katanya sambil menarik tampang sesedih mungkin.
Dini menatapnya sekejap. Tidak, Dini. Dia bohong. Dia sedang menyembunyikan tawanya. Lihat
ke dalam matanya. Dia sedang menertawakan engkau.
, 43 "Lanjutannya pasti akan membuatmu tertawa terpingkal-pingkal." Dengan kasar Dini mengibaskan
lengannya lepas dari cekalan Boy.
"Happy ending?"
"Kakakku ditemukan mati menggantung diri dalam kamar."
Kali ini Boy terhenyak kaku. Dini memandangnya dengan heran.
"Eh, kau tidak tertawa?"
"Barangkali tengkulak itu yang membunuhnya."
"Ayahku juga berpikir demikian. Mereka baru
saja bertengkar. Pikiran itu membuat ayah mata
gelap. Ia hendak membunuh tengkulak itu, tetapi meleset. Kena orang lain."
"Mati?"
Dini mengangguk lemah.
"Ayahku dihukum limabelas tahun. Ibu membunuh diri. Abangku dibawa Paman ke kota. Aku
tinggal bersama Nenek." Dini menunduk, dan melanjutkan lebih perlahan: "Seandainya Nenek tidak tiba-tiba meninggal diserang kolera, aku tidak punya
alasan untuk mencari mereka. Kupikir, aku lebih berbahagia hidup di kampung."
"Paman dan abangmu ..... " potong Boy panas.
"Mereka tak pernah mengunjungimu selama ini?"
Dini menggelengkan kepala. Dan tidak sengaja,
tinju Boy terkepal erat.
"Seharusnya mereka menjengukmu. Paling tidak
mengirim kabar!"
Dini menatap Boy dengan keheran-heranan. "Tak
kusangka kau akan marah". Dini merasa debar yang
aneh di jantungnya. Tetapi Boy tidak memberinya
44 kesempatan untuk berpikir lama-lama.
"Siapa nama mereka?"
Dini mengerutkan dahi. "Pamanku? Joko Sumitro. Adik Ibu yang bungsu."
"Dan abangmu?"
"Arman Permana. Kenal?"
"Belum pernah dengar. Tapi aku punya akal. Kita
coba pasang iklan di suratkabar. Kalau mereka baca,
tapi tak mau mencarimu, kularang kau untuk mencari
abangmu lagi!"
"APA artinya CMS?" tanya Dini ketika Boy sedang makan malam. "Kata AriHn, ia mau mentraktirku kalau lulus ujian CMS."
"Arilin?" Boy mengangkat mukanya. "Heran dia
berani bicara dengan perempuan. Hm, kemajuan."
"Kau belum jawab pertanyaanku."
"Apa? CMS?" Boy mencolek sambal dengan sepotong tempe. "Semacam ujian negara untuk menguji calon-calon dokter dari universitas swasta. Diadakan setahun dua kali tiap bulan Maret dan Agustus.
Puas?"
"Dan E?2?"
"Ujian untuk mendapatkan gelar sarjana muda kedokteran yang diakui negara."
"Jadi sekolahmu belum diakui? Semacam sekolah
gelap, begitu?"
Boy tertawa. "Diakui sih sudah. Cuma belum disamakan. Artinya ijazah sekolahku belum dipercaya.
45 Dan aku harus diuji lagi."
"Ih, mengapa begitu sulit?"
"Mungkin karena salah suntik bisa berarti maut."
"Uh, rasanya tidak enak menjadi dokter. Membosankan. Tiap hari jumpa orang sakit. Mayat. Hhh,
mengapa kau mau jadi dokter?"
"Ayahku yang mau. Aku sih lebih suka jadi
tengkulak. Seperti iparmu. Tiap hari goyang kaki,
uang datang sendiri ke lumbung padinya .".
"Kau mulai lagi!" potong Dini gemas.
"Eh, aku salah omong lagi!" Boy menahan
tawa. "Maksudku, lebih enak jadi petani. Bukankah
menurut statistik, umur rata-rata petani lebih panjang
dari dokter?"
"Kalau aku" kata Dini jujur. "Lebih suka jadi bintang-Hlem. Enak."
Ada nasi melompat dari mulut ke tenggorokannya. Boy terbatuk-batuk sampai keluar air mata. Dini


Sepolos Cinta Dini Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyodorkan segelas air tanpa berkata apa apa. Boy
meneguknya sekali.
"Kau ..... " gumamnya dengan leher tercekik. "Kau
mau jadi bintang-filem?"
Dini membalas tatapan keheranan pemuda itu
dengan tenang.
"Apa salahnya?"
Boy tertawa terkekeh-kekeh. Dan baru berhenti
ketika dirasanya napasnya sesak.
"Untuk jadi bintang-filem, kau harus cantik dan
punya bakat, Upik."
"Nenek bilang, aku cantik seperti Dewi Sinta,"
kata Dini tanpa malu-malu.
46 "Barangkali di mata nenekmu kau yang paling
cantik, Upik. Tetapi di kota Metropolitan ini, nilaimu
cuma empat setengah!"
"Empat setengah?" Dini tersendat. "Empat....??"
*** 47 BAB III
NTUK kesebelas kalinya Dini mengintai melalui
kaca pintu depan. Di luar sepi. Hanya satu dua
becak melintas eepat-cepat di muka rumah, menembus hujan lebat yang turun sejak pukul delapan tadi.
"Belum pukul sepuluh, tapi sudah banyak becak
lewat" kata Bi Iyem yang ikut mengintip dari jendela. "Kalau dipikir, kasihan ya abang-abang becak,
hawa begini dingin masih berkeliaran cari penumpang. Hhh."
"Tuan ke mana ya, Bi?" Dini tak dapat lagi
menyimpan kegelisahannya. "Tidak biasanya belum
pulang kuliah sampai setengah sepuluh malam."
"Barangkali terus nonton," hibur Bi Iyem dengan
alasan yang itu-itu juga. "Dulu tuan muda memang
sering pulang malam. Boleh dikatakan hampir tiap
malam. Sekarang sudah lumayan, sejak Nak Dini
ada di sini. Barangkali Tuan kasihan melihat Nak
Dini menunggu terus sampai mengantukngantuk."
Bi Iyem menguap lagi. Lebih lebar dari tadi. "Kalau
Bibi sih sudah tidak kuat begadang. Apalagi hawa
dingin begini, wah, bisa kumat encoknya!"
"Kalau begitu Bibi tidur saja. Biar saya yang
tunggu tuan di sini."
"Nggak takut sendirian?"
Dini tersenyum. "Ah, takut apa Bi? Pergilah tidur.
48 Nanti kalau takut, saya teriak-teriak."
Masih satu jam lagi Dini harus duduk terkulai di
kursi antara terlelap dan tidak, sebelum deru motor
di halaman menyadarkannya. Bergegas ia melompat
bangun dan membuka pintu. Boy tegak di sana. Basah kuyup. Dan mulut Dini yang telah separuh membuka, siap untuk menyemburkan sejuta pertanyaan,
membeku.
Boy tidak menyapa. Tidak tersenyum. Bahkan
matanya mata yang selalu tersenyum itu, sekarang
tidak tersenyum lagi! Mata itu, ah, begitu suramnya.
Redup dan putus asa. Tanpa menatap sekilas pun, tanpa berkata sepatah pun, Boy melewatinya. Langsung
masuk ke kamar.
Dini menunggu sampai setengah jam di meja
makan. Ketika Boy tidak keluar lagi dari kamarnya,
Dini memberanikan diri naik ke atas. Melalui celah-celah pintu yang tak tertutup rapat, Dini mengintai
ke dalam. Dan tertegun. Boy berbaring tertelungkup
di atas tempat tidur, masih mengenakan sepatu dan
kemejanya yang basah kuyup!
"Tukarlah dulu bajumu," kata Dini tanpa dapat
menahan diri lagi. "Nanti masuk angin."
Tidak ada jawaban. Boy bahkan tidak bergerak
sama sekali. Sambil menghela napas, Dini melebarkan daun pintu. Melangkah masuk. Dan berlutut di
sisi pembaringan. Hati-hati dilepaskannya sepatu
Boy satu persatu. Kemudian kaus kakinya juga.
"Akan kuambilkan air hangat untuk mandi..."
"Tidak usah!"
Dini tersentak. Suara itu, alangkah kasarnya!
49 Tetapi ia cepat dapat mengmasai diri lagi.
"Kalau begitu tukar saja bajumu," katanya sabar.
"Jangan tidur dengan baju basah begini."
Tidak ada jawaban. Dia tetap tak bergerak. Sekali
lagi Dini menghela napas. Lalu ia keluar. Membuat
segelas susu panas. Dan naik kembali ke kamar.
Boy sudah bertukar pakaian. Pakaian-pakaian
basahnya bertebaran di lantai. Dia sedang duduk
termenung di tepi pembaringan, ketika Dini datang
mengulurkan segelas susu hangat.
"Bawa keluar!" bentaknya sambil mengibaskan
tangannya. Tidak sengaja memang. Tidak sengaja
menampar gelas itu. Tetapi susu itu tumpah menyiram tangan Dini. Gelasnya jatuh ke lantai. Pecah
berderai.
"Keluar!" perintah Boy setengah berteriak. "Keluar! Aku tidak haus! Tidak mau minum! Tidak mau
apa-apa!"
Sekejap Dini tampak terpaku. Mengawasi pecahan gelas yang berserakan. Tetapi hanya sedetik. Di
detik lain ia sudah berlutut untuk mengumpulkan kepingan-kepingan gelas itu. Boy merasa terpukul. Ada
rasa berdosa menyesak di dadanya.
"Maafkan aku, Upik," erangnya sambil menjatuhkan diri, berlutut di muka Dini yang masih tunduk
mengumpulkan pecahan gelas. "Aku benar?benar tak
tahu harus berbuat apa!"
Dini memandangnya sekilas. Wajah Boy demikian kusut. Ia benar?benar harus dikasihani.
"Ada apa sebenarnya?" tanya Dini ketika mereka
bertemu pandang.
50 Boy terduduk lemas di atas lantai. Menarik napas dalam?dalam. Dan menghembuskannya kembali
kuat-kuat: "Aku gagal lagi."
Dini terhenyak: "CMS?"
Boy mengangguk lemah. "Hanya ada tiga kesempatan. Aku telah dua kali gagal." Disembunyikannya
wajahnya di balik kedua belah telapak tangannya.
"Kalau aku gagal lagi tahun depan, habislah semuanya. Sia-sia semua jerih payahku selama empat tahun.
Aku tak mungkin lagi jadi dokter!"
Dini menyorongkan pecahan-pecahan gelas itu
ke tepi sebelum merangkak menghampiri Boy. Dan
entah bagaimana tahu-tahu ia telah berada dalam pelukan laki-laki itu.
"Kenapa aku gagal, Upik?" Boy membiarkan
kepalanya bersandar ke bahu Dini. "Aku telah berusaha mati-matian ...."
"Ketika Nenek meninggal," bisik Dini sementara
tangannya membelai rambut Boy. "Aku juga tidak
mengerti mengapa Tuhan masih sampai hati mengambil satu-satunya milikku di dunia ...."
Boy merasakan jari-jemari Dini menyentuh mukanya. Tangan yang kasar itu, tangan seorang gadis
petani, memberi kesejukan baru di hatinya.
"Jika Tuhan tidak mengambil nenekmu, Upik,"
kata Boy sambil mendekapkan wajah gadis itu ke
dadanya. "Dia pasti mengirimkan penghibur yang
lebih baik dari pada engkau ke alamatku."
Dini menghela napas lega. J ika berandal ini sudah
dapat bergurau lagi, artinya dia sudah cukup aman
untuk ditinggal sendiri.
51 "Kau perlu istirahat," katanya sambil melepaskan diri. "Besok kau akan merasa lebih sehat. jangan
pikir apa-apa lagi malam ini. janj i?"
*** "KALAU ada yang cari aku, kau layani sampai
aku pulang, Upik," kata Boy sambil lewat. "Kalau
Anto mengembalikan buku, kau simpan saja. Awas,
dia agak iseng."
Dini mengangkat mukanya. Dan tidak sengaja
pandangannya menangkap bagian atas tubuh Boy
yang terbuka. Laki-laki itu baru keluar dari kamar
mandi. Hanya selembar handuk meliliti pinggang
sampai ke paha. Jantung Dini menggelepar keras.
Aneh. Hampir tiap hari ia melihat lelaki tanpa
baju di sawah. Di pancuran. Di sungai. Tetapi, ah, kapan jantungnya terasa menggelepar begini?
"Pergi lagi?" tanyanya asal saja. Sambil menundukkan kepala, Dini berpikir-pikir mengapa tibatiba
ia tidak berani mengangkat mukanya.
"Nonton," sahut Boy singkat. Ia sedang menyisir
rambutnya di muka cermin wastafel.
"Nonton lagi?" cetus Dini heran. "Rasanya baru
kemarin."
"Kemarin dengan Atiek," sahut Boy sambil
tersenyum. "Sekarang giliran Nuning. Perempuan
"kan tidak boleh nonton sendiri."
"Tapi dua hari yang lalu kau sudah pergi nonton
dengan Nuning!"
Tangan kanan Boy yang sedang menggenggam
52 sisir mengejang di udara. Tidak biasanya anak kecil
ini begini rewel. Ditatapnya gadis itu melalui cermin.
Dan Boy melihat sesuatu yang tadi tidak dilihatnya.
Dini sedang menjahit, ah, bukan menjahit. Barangkali memendekkan sedikit roknya. Rok baru. Yang
paduan warnanya bukan main noraknya di mata Boy.
"Upik..." Boy memutar tubuh dan menatap lebih
cermat. "Kau mau ke mana?"
Sekilas Boy melihat perubahan air muka gadis itu.
Tetapi Dini tetap tidak mau mengangkat matanya.
"Bang Tatang mengajakku ke Taman Mini...."
Boy ternganga heran. "Bang Tatang? Tetangga rumah sebelah?"
Sekarang Dini mengangkat wajahnya. Mereka
bertemu pandang. Dan Boy melihat sesuatu, sesuatu
yang lain di dalam mata yang bening itu.
"Sekarang "kan hari Minggu. Kami akan kembali sebelum pukul dua belas. Jangan kuatir tentang
makan siangmu. Bi Iyem sedang membuat gulai ..... "
"Persetan dengan makan siangku! Kau jangan
pergi dengan anak gondrong itu, Upik ...."
"Tapi kau sendiri berambut gondrong!"
"Aku kenal teman-temannya! Berandalan semua,
tidak sopan!"
"Apa bedanya dengan teman-temanmu? Pukul
dua belas malam mereka masih membiarkan motornya meraung-raung ..... "
"Upik ..... " kata Boy kewalahan. "Dengar, kalau
kau bisa menukar pakaian dalam tiga menit, tetapi
demi Allah, jangan pakai rok yang sedang kau pegang
itu, lalu mendahului aku mencapai pintu depan, akan
53 kubawa kau nonton film bagus!"
Dini menatap dengan tidak percaya. "Kau tidak
main-main?"
Boy memonyongkan bibirnya. "Harus sumpah?"
Belum habis Boy berkata, Dini telah terbang ke
kamarnya!
"Wah, tunggu dulu! Curang!" teriak Boy sambil
bergegas-gegas lari ke atas. Untung ia belum lupa
memegangi handuknya. Kalau tidak, bisa pingsan Bi
Iyem yang sedang tergesa-gesa masuk.
"Tuan muda ...... " teriaknya dari bawah. "Ada...."
Belum habis kata-katanya, Boy sudah melompat
turun dari kamarnya dan hampir menabrak Bi Iyem
yang sedang terbengong bengong.
"Astagalirulah!" Bi Iyem mundur cepat-cepat
sambil mengurut dada. Dan membentur Dini yang
sedang berlari cepat melewati belakang tubuhnya!
"Masya Allah! Kenapa jadi begini?" jerit Bi Iyem
sementara tubuh bambunya tersungkur ke depan.
Dini hanya terhuyung sedikit, untuk kemudian
dengan lebih bersemangat melompat lagi ke depan!
Tetapi tampaknya Boy juga yang akan lebih dahulu mencapai pintu. Pada saat?saat terakhir itu, Dini
nekad membuang dirinya, menyambar tungkai Boy,
dan mereka jatuh terguling-guling menabrak pintu.
Dini memekik antara geli dan sakit. Masih berusaha
menggapai daun pintu dengan tangannya yang bebas.
Tetapi Boy segera meraih tangannya, dan menggulung tubuh Dini menjauhi pintu.
"Kau curang!" maki Dini tanpa dapat menahan
tawanya lagi. Ia berusaha melepaskan diri dari tindi
54 han Boy tetapi sia-sia.
"Siapa dulu?" balas Boy sambil memakukan
kedua lengan gadis itu di sisi kepalanya.
Dini masih meronta beberapa kali sebelum Boy
berhasil mematahkan sama sekali perlawanannya,
dan terkulai pasrah di lantai dingin. Mereka saling
tatap. Begitu dekat. Sebelum Boy menundukkan
kepalanya lebih dalam, siap menyentuhkan bibirnya
Dan Dini menggelinjang ke samping bagai disengat kala! Di mukanya tegak lelaki itu, lelaki tua yang
berdiri dengan berkacak pinggang dan pandangan
yang astaga dinginnya!
"Maaf." Dini tergesa-gesa berdiri. Mencoba
menerka sudah berapa lama lelaki itu tegak di sana
menyaksikan adegan gila ini!
Boy memutar kepalanya. Dan ketika pandangannya bertemu dengan pandangan laki-laki itu, ia
menyeringai masam.
"Ayahku," katanya sambil merayap bangun.
Menggeliat dan mengurut pinggang seenaknya.
"Yang Mulia Bapak Iskandar."
Tuan Iskandar menatap Dini yang sedang tegak
kemalu-rnaluan dengan tatapan menghina. Kemudian
pandangannya beralih kepada Boy.
"Pantas kau tidak pernah lulus ujian," gerutunya
dingin.
Boy tertawa pahit. "Oh, yang seperti ini tidak
pernah diajarkan di sekolah, ayah. Tidak pernah
ditanyakan dalam ujian dan tidak pernah diberi
pekeijaan rumah."
55 "Huh!" Acuh tak acuh Tuan Iskandar melewati
Dini yang masih tegak mematung. Terus berjalan
menuju kursi dan menjatuhkan dirinya. "Kalau begini
cara hidupmu, bagaimana kau bisa memusatkan
pikiranmu pada pelajaran?!"
Boy tersenyum sinis. "Dibandingkan dengan
ayah, aku masih plonco."
Dini menatap mereka bergantian dengan bingung.
Tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Dan
lebih celaka lagi, tidak tahu mesti berbuat apa. Serba
salah. Duduk salah. Berdiri pun salah.
"Gadismu yang keberapa?"
Boy duduk seenaknya di tepi meja. "Gadis yang
sering kuceritakan di surat. Namanya Dini."


Sepolos Cinta Dini Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Oh...." Sekarang nadanya menghina. "Jadi kau
main-main juga sama segala macam pelayan!"
"Dia bukan pelayan!" protes Boy marah. "Aku
sudah menganggapnya adik!"
Alis lelaki itu terangkat sedikit. "Oh, oh, begitu?"
ejeknya pedas. "Tapi per mainanmu tadi bukan
permainan abang dengan adik "kan?"
Dini tidak kuasa lagi menahan perasaannya. Dia
harus menyingkir. Atau dia akan keburu jatuh pingsan
di sana. Tetapi Tuan Iskandar membentak, hampir
merontokkan jantungnya, "Diam saja di situ!"
Dini berpaling. Dan pandangan Tuan Iskandar
menghanguskan mukanya. Tatapan itu! Astaga.
Benar?benar tatapan seorang ahli! Terpaksa Dini buruburu menunduk lagi. Dan mematung di sana seperti
seorang pesakitan. Boy melangkah menghampiri.
Dan membimbingnya masuk.
56 "Mau ke mana? ! " Mengguntur lagi bentakan Tuan
Iskandar.
"Aku tidak mau diadili," geram Boy sengit. "Ayah
tidak berhak mengadili kami!"
"Hm, pantas ujianmu gagal lagi!" Seperti pecut
kata-kata ayahnya melecut telinga.
Boy menghentikan langkahnya. Dan membalik
dengan marah.
"Tapi itu bukan gara-gara dia!"
"Mana bisa kau belajar kalau di rumahmu ada
pelayan secantik dia!"
"Kataku dia bukan pelayan! Aku menganggapnya
adik!"
"Dan kau membayar adikmu?"
"Ayah." Mata Boy berkilat-kilat dijilat api
kemarahan. "Berhentilah mengejekku. Ayah tidak
lebih baik daripadaku!"
"Aku tidak pernah main?main dengan orang
upahanku. Apalagi yang masih anak-anak."
"Aku tidak pernah menyentuhnya!"
"Nah, kau bohong lagi." Senyum ayahnya tajam
menyakitkan. "Ketika aku datang tadi, kau sedang
meremas-remas dia! Atau aku salah mata?"
Boy kewalahan juga. Tentu saja ia berbohong.
Ia sering menyentuh Dini. Memeluknya. Bahkan
menciumnya sekali. Tetapi tidak pernah lebih dari
itu. Sumpah!
DINI membungkuk sedikit. Menghidangkan
57 secangkir teh panas di atas meja. Lalu lekas-lekas
memutar untuk berlalu. Tanpa melihat, ia sudah dapat
merasakan panasnya pandangan Tuan Iskandar. Surat
kabar yang sedang terkembang di tangannya itu pasti
hanya tipuan belaka. Yang benar, laki?laki itu sedang
mengintai dari balik kacamatanya. Mengintai seperti
seekor kucing binal. Hhh. Berdiri semua bulu romanya.
"Aku sudah mendengar apa yang selama ini kau
lakukan terhadap Aries."
Dini tersentak. Dan membatalkan langkahnya.
Untung nampan tidak lepas dari tangannya.
"Bi Iyem dan Mang Ujang banyak cerita tentang
kau."
Dini harus mengatur napasnya dulu sebelum perlahan-lahan membalik. Matanya yang dilumuri sejuta
ketakutan beradu dengan mata Tuan Iskandar. Acuh
tak acuh lelaki itu melepaskan kacamatanya. Melemparkannya begitu saja ke atas meja. Dan menyedot
cerutunya dalam?dalam.
"Kau telah berbuat banyak untuk mengerem keberandalan anakku."
Tuan Iskandar menatap seenaknya pada gadis
yang tegak di mukanya dengan rikuh itu.
"Sa. saya saya tidak berbuat apa-apa
untuknya ...." katanya gugup. Diremas-remasnya
jari-jemarinya tanpa berani balas menatap. "Tuan
muda. Tuan muda yang telah berbuat banyak untuk
menolong saya. Dia sangat baik. Seandainya saya tidak bertemu dengan dia...."
"Kau menyukai anakku?"
58 Ditanya sedemikian rupa, Dini jadi gelagapan.
"Sa... saya saya menyukai semua orang yang
baik...."
"0, ya?" Tuan Iskandar tertawa santai. "Rupanya
kau memang punya bakat untuk jadi bintang-lilem."
Lagi-lagi Dini tersentak. Kali ini ia sampai lupa
pada kengeriannya membalas tatapan Tuan Iskandar.
"Kenapa?" Tuan Iskandar mengepulkan asap cerutunya dengan nikmat. "Kau ingin jadi bintang?filem
"kan?"
"Seharusnya tuan muda tidak mengatakannya
pada semua orang," kata Dini tersinggung.
"Memang tidak."
Mata Dini menyipit. "Dan tuan tahu dari mana?"
"Oh, saya kebetulan melihat latihanmu kemarin.
Kau sedang bicara sendirian di kamar. Saya kira kau
gila. Maka saya tanyakan pada Bi Iyem."
"Tapi, tuan," protes Dini penasaran. "Itu namanya
mengintip!"
"Salahmu sendiri!" sahut lelaki itu seenaknya.
"Kau tidak rapat menutup pintu kamarmu."
Ya, Allah! teriak Dini dalam hati. Orang ini menghalalkan setiap cara!
"Kenapa kau ingin jadi bintang-Hlem?" Tuan
Iskandar meletakkan cerutunya, dan menghirup tehnya.
"Karena mereka cantik dan dikagumi orang."
Tuan Iskandar tak dapat lagi menahan tawanya. Beberapa tetes air teh mengalir masuk ke tenggorokannya, membuatnya terbatuk?batuk beberapa kali.
Kesempatan baik, pikir Dini. Sekarang aku harus
59 cepat-cepat menyingkir sebelum ia sempat mengoceh lagi! Tetapi,
"Pipit! Eh, bagaimana Aries biasa memanggilmu?"
Dini mengeluh. Dan terpaksa memutar tubuhnya,
menghadap lelaki itu lagi.
"Ingatlah. Tidak ada bintang filem yang kawin
dengan dokter."
Dini menatap bingung. Mencoba menapsirkan
arti kata-kata itu.
"Mereka hidup di dunia yang terpisah."
Muka Dini menjadi merah ketika ia menyadari
maksud dari kata-kata itu.
BOY meninggalkan motornya begitu saja di halaman. Melompati dua anak tangga sekaligus dan menerobos masuk ke dalam rumah. Sepi.
Di mana mereka? pikir Boy curiga. Jangan?jangan
Dan jantung Boy melompat ke leher ketika memergoki Ayahnya baru saja keluar dari kamar Dini!
"Eh, kau melihatku seperti melihat hantu," kata
Tuan Iskandar tenang-tenang.
"Ayah ..... " Boy tak dapat menahan hatinya lagi.
"Kenapa Ayah tidak pulang-pulang juga? Biasanya
Ayah tidak rela meninggalkan istanamu lebih dari
dua hari!"
"Ho ? ho - ho." Tuan Iskandar melewati tempat
anaknya sambil tersenyum-senyum. "Sejak kapan
60 kau berhak mengatur Ayahmu?"
"Tidak usah berpura-pura, Ayah!" Boy membalik
dengan geram. "Kalau Ayah bermaksud menipu Dini
dengan kebaikan?kebaikanmu, Ayah akan kecewa!
Aku tidak akan membiarkan Ayah merusak dia!"
"Hah?!" Tuan Iskandar terbelalak kaget. "Lancang benar mulutmu!"
"Ayah ..... " Boy belum sempat menyelesaikan
kalimatnya, ketika matanya menangkap bayangan
tubuh Dini keluar dari kamar. Dan matanya hampir
melompat keluar. Dini mengenakan gaun panjang
biru muda yang sangat indah, yang Boy tahu sekali
tak mungkin terbeli oleh Dini!
"Eh ..... ," tegur Dini keheran?heranan. Matanya
memintas cepat ke arah jam dinding. "Tidak biasanya
kau pulang secepat ini. Tidak ada dosen lagi?"
"Buka!" geram Boy dengan gigi gemeletuk.
"Hah?" Dini tersentak kaget. Terpaku menangkap
pancaran berbahaya yang menyorot dari bola mata
Boy. "Buka bajumu!" bentak Boy sekali lagi. Lebih
keras. "Bukkaaa! !"
"Tapi...." Dini menatapnya antara marah dan bingung.
"Buka kataku!" Boy menghampiri Dini dengan
gaya mengancam. "Mau kurobek?"
Dini mundur dengan ketakutan. "Baju ini dari
Ayahmu..." katanya menggagap. "Dihadiahkan padaku"
"Ayah tak pernah memberi hadiah tanpa mengharapkan dapat mengambil lebih banyak!" Boy
61 menunjuk ke arah Ayahnya yang sudah duduk membelakangi mereka.
"Kembalikan padanya ! "
"Ayahmu sangat baik padaku!" protes Dini
separuh menangis. "Dia menganggapku seperti anak
perempuannya yang sudah meninggal."
"Huh!" Boy mendengus sengit. "Ayah pasti lupa
mengatakan padamu bahwa aku tak pernah punya
adik perempuan, apalagi yang sebesar kau!"
"jangan membuat ayahmu naik darah, Aries,"
geram Tuan Iskandar tanpa menoleh.
"Kenapa? Karena aku berhasil menelanjangi kebohonganmu?"
"Sudah, sudah!" cegah Dini kewalahan. "Jangan
ribut lagi! DemiAllah! Berhentilah bertengkar!"
Tergesa-gesa ia membalikkan badannya. Begitu
bergegas, sehingga ujung kakinya terantuk kaki kursi
dan ia nyaris jatuh terjerembab.
"Kurang ajar," gerutu Tuan Iskandar. "Bikin malu
Ayahmu."
"Selama ini aku tak pernah mengganggu kesenanganmu, Ayah," kata Boy setelah mengatur napasnya.
"Tapi jangan yang ini! Kumohon padamu, jangan
ganggu dia!"
"Huh!" Tuan Iskandar mendengus lagi. "Tak pantas kau mencemburui ayahmu!"
"Siapa bilang aku cemburu?" bantah Boy. "Aku
hanya tidak rela ia jatuh ke dalam perangkapmu!"
Tuan Iskandar berpaling.
"Kau sedang jatuh cinta," gumamnya keheranheranan. "Aku belum pernah melihatmu seperti ini!"
7 62 "Karena Ayah tidak pernah mau melihatku, kecuali kalau aku menghalangi jalanmu."
"Hm ..... " Tuan Iskandar bangkit lambat-lambat
dari kursinya. Melewati tempat Boy dan meninggalkan ruangan. Di pintu, ia berhenti dan menoleh, "Kalau kelak kau bawa mempelai lain ke hadapanku, kau
bukan anakku lagi!"
Boy tertawa sinis. "Ayah kira aku sebodoh itu?
Membawa mempelaiku ke rumah dan tinggal bersama Ayah? Uh, aku tak mau main kucing-kucingan
dengan Ayahku sendiri!"
"Aku tidak serakus itu!"
"Ingat, kita punya selera yang sama, Ayah!"
"Tidak terhadap anak sekecil dia!" Tuan Iskandar
menyemburkan ludahnya ke luar. "Kau benarbenar
harus diajar adat!"
"Terlambat, Ayah," menyeringai Boy. "Kalau
Ayah baru berpikir sekarang untuk mengajarku, Ayah
sudah terlambat sepuluh tahun!"
*** DINI muncul di pintu ketika Tuan Iskandar sedang membereskan kopornya. Ia tidak berani menegur. Dan tidak berani masuk sampai Tuan Iskandar
menoleh ke pintu.
"Ada apa? Masuklah masuk," katanya sambil
melebarkan pintu.
Ragu-ragu Dini menyodorkan gaun panjang yang
telah dilipatnya baik-baik itu.
"Sa ....saya hendak mengembalikan ini," ka
63 tanya terbata-bata. Ia jadi salah tingkah. Tidak tahu
hendak diletakkan saja atau dipegangi terus baju itu.
"Ah, Aries memang keterlaluan." Tuan Iskandar
mengambil baju itu tanpa berani balas menatap. Dimasukkannya begitu saja ke kopor. "Di mana ada
anak mencemburui orang tuanya?"
Dini mengawasi laki-laki yang sedang menggeleng-gelengkan kepalanya itu.
"Tu tuan tidak marah?" tanyanya ragu?ragu.
"Marah? Kepada siapa?" Ketika ia menoleh,
matanya bertemu dengan mata Dini yang terlanjur sedang mengawasinya. Dan mereka sama-sama
menghindar.
"Saya dengar, kau tidak menyukai saya. Benar?"
Dini menunduk lebih dalam. "Saya benci pada
tengkula ."
"Itu berarti kau benci saya."
"Tidak. Saya hanya benci pada pekerjaan Tuan."
Tuan Iskandar tersenyum. Dijejalkannya sebuah
baju lagi ke dalam kopor. "Karena saya memeras
petani?"
"Karena keluarga saya dihancurkan oleh seorang
tengkulak. Karena saya kehilangan masa kanakkanak saya yang indah."
"Tetapi sekarang kau tinggal di rumah seorang
tengkulak. Makan nasinya. Dan mengecap uangnya."
"Saya bekerja di sini," sahut Dini tegas. Diangkatnya dagunya lebih tinggi. "Saya makan keringat
saya sendiri."
Tuan Iskandar menatapnya sambil tersenyum lebar.
64 "Saya mulai menyukaimu," katanya terus terang.
"Sayang Aries tidak suka saya terlalu menyukaimu."
"Saya juga akan menyukai tuan, seandainya tuan
bukan seorang tengkulak." Dan Dini merasa pipinya
panas. Ia telah kelepasan bicara.
Sambil tersenyum, Tuan Iskandar menghampiri
lebih dekat. Menatap lama ke dalam mata Dini. Dan
perlahan-lahan meletakkan kedua tangannya di atas
kedua bahu Dini.
"Kalau saya mengajukan sebuah pertanyaan padamu, kau tidak marah?"
"Marah?" Mata Dini bersorot heran. "Kepada
tuan? Ah, tentu saja tidak. Tuan sangat baik pada
saya."
"Aries pernah mengajakmu tidur di kamarnya?"
Sekarang Dini memandang dengan lebih heran lagi.
"Tentu," sahutnya tanpa ragu sedikitpun. "Waktu
kamar saya bocor dulu, ia mengajak saya tidur di kamarnya."
Wajah Tuan Iskandar berubah. Ia bukan seorang
moralis. Jauh dari itu malah. Ia seorang perusak.
Tetapi merusak seorang gadis sekecil ini! Dan oleh
anaknya pula! 0, anak itu benar-benar keterlaluan!


Sepolos Cinta Dini Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dini mengawasi perubahan air muka laki-laki itu
dengan bingung.
"Ada apa, tuan?" desaknya dengan rasa ingin tahu
yang meluap. "Apakah apakah saya.... saya tak
boleh tidur di kamar tuan muda?"
"Dengar, Dini." Tuan Iskandar menghela napas
dan mengetatkan pegangannya di bahu gadis itu.
"Kau tidak boleh tidur bersama seorang laki-laki, sia
65 papun laki?laki itu, sebelum dia menjadi suamimu!"
"Tentu saja tidak!" protes Dini tersinggung. Mukanya merah sampai ke telinga. "Siapa bilang saya
tidur dengan dia?"
Sekarang Tuan Iskandar yang menatapnya dengan
bingung. "Katamu tadi...."
"Saya memang tidur di kamarnya, tetapi tidak
bersama dia," sahut Dini tegas. "Tuan muda tidur di
kamar belajarnya. O, Tuan, Tuan anggap apakah saya
ini?"
Tuan Iskandar menghela napas lega. Heran. Ia
belum pernah merasa bernapas selega ini. Ternyata
anaknya masih mempunyai moral dan belum sebejat
ayahnya!
66 BAB IV
ARI balik jendela kamarnya Dini mengawasi
kepergian Tuan Iskandar. Aneh. Apa yang telah
diperbuat laki-laki itu sehingga ia merasa begitu tertarik kepadanya?
Lambat-lambat ia melangkah ke pintu. Menjulurkan kepalanya ke luar. Kosong. Sepi. Ke mana Bi
Iyem?
Hati-hati ia melangkah ke dapur. Biasanya saatsaat seperti ini Bi Iyem sedang makan. Dan kalau sedang makan, ia tidak mau ada orang. Ia akan segera
menghentikan makannya bila Dini masuk ke dapur.
Aneh memang. Tapi dia orang baik. Terlalu baik
malah.
Di pintu dapur, ia hampir bertabrakan dengan
Boy. "Hai, barusan kucari kau ke mana-mana, Upik!
Kusangka diculik Ayah!"
Dini membuang muka. Dan melewatinya tanpa
menoleh lagi.
"Kau tidak sedang menangisi Ayah "kan?" gurau
Boy sekali lagi.
Tidak ada jawaban. Dini sedang membelakangin?
ya. Mengangkat sebuah panci ke atas kompor. Padahal dia tahu sekali, sop itu masih panas.
"Kau marah padaku, hm?"
Dini tetap tidak menyahut. Berpura-pura menaik
67 turunkan panci-panci ke atas kompor.
Boy menghampirinya dari belakang. "Kau marah
padaku, Upik?"
Tidak ada jawaban.
Boy habis sabar. Dipegangnya kedua bahu gadis itu. Disentakkannya sampai tubuh Dini berputar
menghadapnya.
"Kau tidak mendadak jadi tuli 'kan?!" bentaknya penasaran. "Kenapa tidak mau jawab pertanyaanku?!"
"Karena aku tidak mau!" bentak Dini tak kalah
pedasnya. "Karena aku sedang kesal!"
Dini menggeliatkan bahunya lepas dari cekalan
Boy. Ia mundur ke sudut dapur. Dan tidak tahu lagi
apa yang mesti dikerjakan di sana. Terpaksa ia melewati lagi tempat Boy untuk meninggalkan dapur.
Dengan kasar Boy menyambar lengannya. "Kau
marah karena aku melindungimu dari kejalangan
Ayah!"
"Lepaskan tanganku!" Dini mengayunkan tangannya lepas. "Aku tidak perlu dijaga! Aku bukan
anak kecil lagi!"
Tetapi Boy tidak mau melepaskan genggamannya.
"Lepaskan!" teriak Dini sengit. "Aku bosan dijaga olehmu! Bosan!"
"Begitu?!" membelalak Boy. Dihempaskannya
lepas tangan gadis itu. "Oke, kau boleh pergi! Pergilah! SusulAyahku!"
"Kau boleh mengusirku," geram Dini berang.
"Tapi kau tak pantas mengusir Ayahmu!"
68 "Aku tidak mengusirnya! Aku memintanya pergi!"
"Apa bedanya? Kau tidak adil! Kau tidak mau
Ayahmu berada di sini. Karena dengan dia di dekatmu, kau tampak tidak berarti di mata semua orang!"
"Persetan!" teriak Boy marah. "Aku muak padamu! Pergi kau! Pergi!" Dibalikkannya tubuhnya
membelakangi Dini.
"Aku memang berhutang banyak padamu." Suara
Dini melunak. "Tapi aku tidak mau menjadi bonekamu. Aku ingin kebebasan bagi diriku sendiri. Bebas
menentukan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh
kulakukan!"
"O, begitu?" Boy menoleh dan mencibir. "Lantas
dari mana kau mau mulai mencari kebebasanmu itu?
Dari bawah Monas? Atau dari kolong jembatan Semanggi?"
Dini menahan air matanya.
"Ada seorang Nyonya di sudut jalan Melati," katanya tanpa mengerti mengapa harus mengucapkan
kata-kata itu. "Dia mengajakku tinggal untuk mengusahakan tokonya. Aku bisa menjadi pelayan toko
sambil belajar menjahit. Kau tidak usah kuatir aku
akan kehujanan di bawah Monas. Atau terbenam di
sungai Ciliwung."
"Bagus sekali." Boy tersenyum sinis. "Dan citacitamu untuk jadi bintang Blem? Dari mana kau mau
mulai?"
"ltu urusanku." Lekas-lekas Dini memutar
tubuhnya. Kuatir Boy keburu melihat air matanya.
"Urus saja urusanmu sendiri."
69 Dan itulah akhir segalanya. Sia-sia Bi Iyem dan
Mang Ujang menahannya. Dini berkeras hendak
pergi. Untuk terakhir kalinya dilayangkannya
pandangannya ke seluruh kebun mawarnya. Kebun
kecil yang dibinanya sejak setengah tahun yang lalu.
Di sana bunga-bunga sedang mekar dengan indahnya.
"Tolong ya, Mang. Pelihara bunga-bungaku. Dan
tolong petikkan beberapa tangkai tiap hari. Minta
Bi Iyem untuk menaruhnya di dalam jambangan di
ruang tengah."
Mang Ujang hanya sanggup mengangguk.
Ketika melalui ruang tengah, Dini tertegun. Boy
sudah bangun. Tidak biasanya ia bangun sepagi ini.
Dia sedang duduk terpekur di sana. Membelakangi
Dini sambil menghirup segelas coklat susu.
Tiba-tiba saja Dini ingin sekali pemuda itu
membalikkan tubuhnya dan memanggilnya. Memintanya tinggal. Atau lebih baik lagi: melarangnya pergi.
Tetapi Boy tidak membalik. Tidak memanggil.
Bi Iyem datang dari belakang. Dan menyodorkan
beberapa lembar ribuan.
"Dari Tuan. Gajimu bulan ini."
Dini tertegun lagi. Bahkan Boy tidak sudi lagi
memberikan sendiri uang itu padanya!
Dini memalingkan mukanya. Menghindari Bi
Iyem melihat air matanya mengalir turun. Sambil
menggigit bibir, ia mengangkat kopornya dan berlalu.
"Tunggu ..... " Bi Iyem cepat-cepat menyisipkan
uang itu ke tangan Dini. "Ini hakmu. Ambillah."
Dipegangnya kedua belah bahu Dini. Dan ditatapnya
dalam?dalam mata gadis itu.
70 Sekarang Dini tidak dapat menghindar lagi. Bi
Iyem sudah melihat air yang menggenangi matanya.
"Hati-hati, Nak," bisiknya lembut. "Jangan raguragu ke mari bila perlu pertolongan Bibi."
"Terima kasih, Bi."
Dini melewatinya. Dan menghampiri Boy dari
belakang.
"Selamat tinggal," katanya terbata-bata. "Dan .....
terima kasih."
Ditunggunya sedetik. Dua detik. Boy masih tetap
menunduk. Menghirup coklat susunya seolah-olah tidak mendengar apa-apa. Dini memandangnya sekali
lagi. Sia-sia. Boy benar-benar tidak ingin menoleh.
Kemudian sambil menunduk Dini meninggalkan
rumah itu. Perlahan-lahan Boy mengangkat mukanya. Mengawasi langkah Dini yang makin menjauh.
Dan menyadari bahwa Dini telah pergi. Ada sesal
tumbuh di hatinya. Tetapi tentu saja tak boleh diperlihatkannya pada Bi Iyem. Ia masih terlalu sombong.
Dan tidak sudi menyerah.
Baru ketika beberapa hari telah lewat, Boy merasa
ada sesuatu yang tak enak di nasinya. Di air minumnya. Bahkan di bantal tidurnya. Semua alatalat di rumah ini mengingatkannya pada Dini. Pada senyumnya. Kepolosannya. Dan kesederhanaannya. Sekarang
Boy baru tahu apa artinya kehilangan.
"Tuan ada tamu."
"Hah?" Boy menoleh dengan malas. Mang Ujang
sedang membungkuk di mukanya.
"Ada tamu, Tuan."
Tidak sengaja Boy bertatapan dengan mawar
71 mawar yang sedang bermekaran di jambangan dekat
jendela. Tiba-tiba saja ia merasa pedih.
"Ada tamu, Tuan," ulang Mang Ujang sekali lagi
ketika dilihatnya Boy kembali termenung.
"Bilang saja aku tidak ada," sahut Boy malas.
"Tapi katanya penting, tuan." Mang Ujang mencoba sekali lagi. "Bawa koran. Katanya baca iklan...."
"Aku tidak jual apa-apa!" bentak Boy habis sabar.
"Dan tidak cari pembantu! Sudah pergi sana!"
Mang Ujang mundur dengan ketakutan. Kalau
Boy sedang uring-uringan begini, paling baik ia
lekas?lekas menyingkir. Tetapi Mang Ujang masih
ingin mencoba sekali lagi. Paling-paling ia kena lempar buku tebal yang sedang dipandangi Boy.
"Katanya cari Nona Dini Anggraini Permana,
Tuan. Mereka baca di koran...."
"Hah?" Boy melompat bangun bagai disengat
kala.
Mang Ujang mundur lagi. Terlambat. Ia tidak
sempat mengelak. Tubuh Boy lewat begitu cepatnya
di pintu. Menyenggol bahunya. Hampir saja ia jatuh
terpental.
"Masya Allah." Mang Ujang menyebut berkalikali. "Hampir rontok onderdilku."
Boy menuruni dua tiga anak tangga sekaligus dan
terpaku di tengah-tengah tangga. Ada empat orang
duduk mengitari meja di ruang tengah. Seorang laki-laki muda berkumis kecil dan bermata tajam. Seorang laki-laki setengah tua bertampang gagah. Seorang kakek-kakek yang membungkuk memegangi
tongkat. Dan seorang perempuan muda yang duduk
membelakanginya.
72 Ketika perempuan itu memutar kepalanya dan
lekas-lekas membuang muka lagi, Boy baru ingat ia
belum mengenakan kemeja.
"Maaf ..... ," katanya tersipu?sipu. Secepat kilat ia
memutar tubuhnya dan lari balik ke atas. Sekali lagi
ia hampir bertabrakan dengan Mang Ujang. Teta?
pi kali ini Mang Ujang sudah lebih berpengalaman.
Sambil buru-buru menepi, ia menyodorkan kemeja
ke tangan Boy.
"Kenapa tidak dari tadi!" semprot Boy sambil
menyambar kemeja itu dan langsung memakainya.
"Lha, serba salah," mengeluh Mang Ujang.
"Dasar lagi sial."
"Kami membaca di koran." Laki-laki muda itu
yang mulai dulu. "Saya yakin ini adik saya. Benar
dia ada di sini?"
"Dia sudah pergi," sahut Boy segera.
"Sudah pergi! Ah...." Berbareng ketiga orang itu
terhempas lemas ke sandaran kursi. Kecuali si kakek.
Dia masih berusaha menggapai?gapai dengan tan?
gannya yang keriput. Dan Boy baru sadar. Kakek ini
buta!
"Pergi ke mana dia, Tuan?" Suara kakek itu gemetar.
"Menyesal, Pak. Saya tidak tahu ..... " Tiba-tiba
saja Boy merasa berdosa. Tapi mendadak Boy teringat sesuatu. "Ada seorang nyonya di sudut Jalan
Melati. Dini pasti ada di sana!" teriaknya.
Perempuan muda itu mengawasi Boy dengan
curiga.
Jangan?jangan orang ini sinting, pikirnya sambil
73 menyipitkan matanya. Tetapi Boy tidak perduli. Ia
sudah melompat berdiri.
"Tunggu apa lagi?" gerutunya kesal ketika dilihatnya mereka masih bengong mengawasinya. "Ayo
kita ke sana!"
"Biar kami saja," kata laki-laki muda itu raguragu. "Jangan merepotkan tuan lagi."
"Dan bagaimana kita bisa mengenali Dini?" potong laki-laki yang satu lagi. "Kita sudah dua belas
tahun tidak melihatnya. Ketika itu dia masih kecil."
"Aku pasti bisa mengenali anakku." Tertatih?tatih
kakek itu berdiri. "Asal aku bisa meraba parut di bahunya ...."
"Dan kau mau merabai bahu semua perempuan
yang kau temui?" Tertawa laki-laki gagah itu. "Bisa
dipukul orang kau nanti."
"Paman benar, Ayah," sambung laki-laki yang
lebih muda. "Sebaiknya kita minta tuan ini menolong
kita sekali lagi...."
Ala kenapa cerewet amat sih?! maki Boy dalam
hati. Ia sudah tidak sabar hendak menemui Dini. Ia
bahkan sudah melompat turun sebelum mobil mereka berhenti di sudut Jalan Melati. Seorang Nyonya
gemuk menyambutnya dengan curiga.
"Ada Dini?" Boy sudah tidak dapat mengatur bahasanya lagi. Dan matanya mencari-cari Dini.
"Upik!" teriaknya ketika matanya bertemu dengan mata Dini yang sedang melayani seorang pembeli di dalam sana.
Tanpa menghiraukan lagi nyonya gemuk itu yang
hampir tersenggol sikunya, Boy menerobos ke dalam.
74 "Upik ...." Boy tidak sempat lagi mengatur na?
pasnya.
Dini menatapnya dengan terpesona.
O, betapa aku merindukannya, jeritnya dalam
hati.
"Upik ..... " Boy langsung memegang tangannya. Lekas-lekas Dini menariknya. Sambil berusaha
menenteramkan debaran aneh di jantungnya, Dini
menoleh pada si pembeli yang sedang melongo di
mukanya, seakan?akan meminta maaf karena Boy
telah menginjak kakinya dengan tidak sengaja. Dan
pandangannya bertemu dengan empat orang yang sedang memasuki toko.
"Itu ayahmu," kata Boy terengah-engah. "Dan
abangmu. Mereka mencarimu!"
Dini menatap mereka dengan tidak percaya. Untuk beberapa saat ia hanya tertegun mengawasi mereka.
"Ini Dini!" Boy yang paling dulu membuka mulut
lagi. Ia paling tidak suka suasana diam seperti itu.
"Tidak ada yang mau memberi salam?"
Mereka seperti tersentak dari pesona yang memukau. Tertatih?tatih kakek itu maju dengan tongkatnya.
Dan tangannya mulai menggapai-gapai ke depan.


Sepolos Cinta Dini Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dini memandangnya dengan bengong sampai
Boy menegurnya, "Ayahmu buta."
Dini mundur dengan terkejut. Dan matanya nanar
mengawasi kakek tua yang sedang maju sambil meraba-raba itu.
Tidak, dia bukan ayahku! bantah Dini dalam hati.
Ayahku tidak buta! Ayahku masih di penjara!
75 Dini hampir memekik ketika kaki laki?laki tua itu
membentur meja. Berbareng Boy dan kedua lakilaki
yang lebih muda itu memegangnya. Sekarang baru
Dini melihat mereka. Dia tidak bisa lagi mengenali
abangnya. Tetapi Paman Joko! Dia sama sekali tidak
berubah! Hidungnya yang tinggi. Matanya yang redup alang-alang. Dan dagunya yang persegi dengan
celah kecil yang khas itu! Dia pasti Paman Joko!
Paman yang sering menggendongnya ke sawah setiap kali datang dari kota.
"Paman ..... ?" Bergetar bibir Dini. "Paman"
Sambil tersenyum lebar laki?laki itu menghampirinya. "Tanpa melihat parut di bahumu, aku sudah
yakin kau pasti Dini," katanya terharu. "Keponakan
kecilku yang nakal!"
"Paman!" Dini menghambur ke pelukannya dan
menangis tersedu-sedu.
Boy terpaksa memalingkan mukanya. Ia tidak
suka Upik?nya dipeluk orang. Kendati oleh paman?
nya sendiri.
Sekali lagi ayah Dini menggapai-gapai. Kali ini
jari-jarinya berhasil meraba-raba wajah Dini. Secara refleks Dini menarik mundur kepalanya. Tetapi
Paman Joko mencegahnya.
"Dia ayahmu, Dini. Buta dalam penjara. Karena
berkelakuan baik, dibebaskan sebelum waktunya."
Sekarang Dini membiarkan kakek itu merabaraba
mukanya.
"Kau benar Dini! Anakku!" bisiknya gemetar.
"Kau sudah besar.... cantik... cantikkah dia, J oko?"
"Sangat." Paman Joko tersenyum.
76 "Seperti ibunya?"
Wajah Paman Joko berubah. "Ya... seperti ibun
,, ya "Ah...." Kakek itu meraih kepala Dini ke dalam
pelukannya. "Seandainya aku tidak buta O, Tuhan!
Aku ingin sekali melihat wajah anak perempuanku!"
*** ARMAN PERMANA membawa Dini tinggal
bersama-sama di rumahnya bersama isteri dan ayah
mereka. Sekaligus memperoleh ayah, abang dan kakak ipar dalam sehari membuat Dini hampir tidak
mempercayai lagi otaknya. Dia masih merasa seperti
mimpi. Dari kamar yang sempit di rumah Boy, pindah ke kamar yang lebih sempit lagi di toko Nyon?
ya Hadi, akhirnya ke rumah Arman yang mungil...
semuanya berlangsung begitu cepat! Dan Pa man
Joko. Mahasiswa kurus bermata redup yang sering
menggendong-gendongnya dulu. bukan main! Sekarang ia telah menjadi dokter. Kaya. Terkenal. Tampan. Dan... belum menikah.
"ADA telegram untukmu."
Dini tersentak. Ah, dia melamun lagi. Toko memang sepi beberapa hari ini. Dan Nyonya Hadi telah
beberapa kali memergokinya sedang melamun.
Kemalu-maluan Dini memandang majikannya.
"Tante panggil saya?"
77 "Kataku ada telegram untukmu."
"Telegram?" Dini mengangkat mukanya dengan
heran. "Untukku? Dari mana, Tante?"
Nyonya gemuk itu cuma mengangkat bahunya
sedikit. Dini mengambil telegram itu. Menyobekn?
ya. Dan bertambah heran lagi. Di telegram itu cuma
ada tujuh buah kata maaf. Alamat pengirimnya sama
sekali tidak dikenalnya. Dari Bogor.
"Tidak tahu dari mana, Tante," katanya bingung.
"Barangkali orang main?main."
"O ..... " Nyonya Hadi menyahut acuh tak acuh.
"Coba kau bereskan baju-baju ini dulu. Sesudah itu
kau boleh pulang."
DINI hampir tidak dapat mempercayai matanya
ketika melihat Boy menunggunya di luar toko. Untuk
beberapa detik Dini hanya mampu menatap bengong.
"Halo, Upik," tegur Boy sambil turun dari motornya. "Hai, kau melihat aku seperti melihat hantu!"
Senyum itu! keluh Dini dalam hati. Senyum kebocahan yang dilatarbelakangi sederet gigi yang putih rata! Senyum yang khas itu! Ia sama sekali tidak
berubah!
"Boleh kuantar pulang?" tanya Boy lagi.
Dini masih tegak mematung. Telegram aneh itu!
Tiba-tiba saja Dini tahu siapa yang menulisnya.
"Boleh kuantar?" pinta Boy sekali lagi.
Dini tidak menyahut. Hati-hati ia melangkah
mendekati motor itu. Dan duduk di sadel belakang.
78 Tangannya telah terulur ke pinggang Boy ketika ti?
ba-tiba dibatalkannya. Dan ia hampir jatuh terguling
kalau tangannya tidak lekas-lekas mencengkeram
jok. ""Bagaimana kalau kita makan es adpukat dulu di
tempat biasa?"
Tanpa menunggu jawaban, Boy sudah membelokkan motornya.
Dia masih tetap seperti dulu, gerutu Dini dalam
hati. Tidak pernah perduli pendapat orang lain.
*** "KAU masih marah padaku, Upik?" menyeringai
Boy ketika pesanan es adpukat mereka datang.
"Kau yang mengirimkan telegram itu "kan? Nah,
kau sudah minta maaf," sahut Dini tanpa menoleh.
"Konyol. Kenapa harus pakai telegram?"
Boy tertawa geli. "Konyol? Aku mampir di Bogor, khusus untuk mengirimkan telegram itu! Kau
bilang konyol?"
"Kenapa tidak sekalian di Bandung saja?"
Boy tersenyum. "Aku baru dari kampung. Minta
duit sama Ayah."
Bayangan profil Tuan Iskandar muncul lagi di
kepala Dini. Mereka sama-sama diam. Sama?sama
berniat membuka mulut. Dan sama-sama membatal?
kannya.
"Kenapa diam ?" desak Dini.
Boy tertawa. "Wah, aku bisa mengajukan pertanyaan yang sama. Tadi kau mau bilang apa?"
79 "Tidak. Kau dulu," sahut Dini.
"Oke. Aku rindu padamu."
Dini merasa pipinya panas. O, kenapa dia jadi
begini pemalu sekarang? Lekas?lekas diangkatnya
gelas adpukat itu ke mulutnya. Ya, Tuhan, mudahmudahan saja dia tidak melihat betapa merahnya mukaku! Tetapi Boy sudah melihatnya.
"Nah, ini di luar kebiasaanmu," goda Boy. "Biasanya kau tidak akan menyentuh gelasmu sebelum
dua kali kuminta."
"Aku harus cepat-cepat pulang. Ayah tahu sekali
pukul berapa toko tutup."
"Kuno" gurau Boy sambil menyedot adpukatnya.
"O, ya. Kau mau omong apa sih tadi?"
"Aku cuma ingin menanyakan mawar?mawarku,"
kata Dini cepat. "Mang Ujang masih merawatnya,
"kan?"
"O, tentu. Dia merawatnya seperti merawat bayi."
"Dan Bi Iyem? Mereka baik-baik ,saja?"
"Mereka tidak pernah sakit." Boy tertawa. "Kalau
semua orang seperti mereka, aku tidak mau jadi dokter. Percuma."
"Aku ingin sekali melihat mawar?mawarku."
"Nah, kenapa tidak sekarang?"
"Ayah sedang menunggu."
"Kalau begitu bagaimana malam Minggu ini? Aku
mengundangmu datang ke pesta ulang tahunku."
"Kau?" Dini melongo keheranan. "Kau berulang
tahun?"
"Lho, aku "kan anak manusia juga! Masa tidak
punya hari ulang tahun?!"
80 "PAMAN, hadiah apa yang pantas untuk ulang tahun kawanku?" tanya Dini pada Dokter J oko.
"Hh?" Dokter J oko menoleh. "Maaf, kau tanya
apa tadi?"
"Ih, Paman melamun terus!" goda Dini. "Kataku,
hadiah apa yang cocok untuk kawanku. Dia ulang tahun."
"Tergantung siapa kawanmu itu. Berapa umurnya. Laki-laki atau perempuan...."
"Laki-laki, Paman, dua puluh satu tahun," potong
Dini segera.
"Ooh ..... " Paman Joko tersenyum. "Maksudmu
pacarmu yang naik Honda itu? Yang rambutnya sampai ke bahu?"
"Kawan baikku," ralat Dini jengah.
"Ho - ho - ho, kenapa masih dirahasiakan? Aku
"kan pamanmu. Dan lagi di Jakarta anak muda sebesar kalian sudah diijinkan pacaran."
"Aku bukan pacarnya," protes Dini lagi. Mukanya memerah.
Dokter Joko menatapnya sambil tersenyum. "Dia
belum pernah menyatakan cintanya?"
"Cinta?" membelalak Dini. "Dia malah tidak per?
nah membicarakannya." Tidak sengaja Dini menghela napas. "Dia tidak tertarik padaku, paman. Katanya
nilaiku cuma empat setengah."
"Hah?!" Sekarang giliran Dokter Joko yang ter?
belalak. "Kalau tidak sakit mata, temanmu itu pasti
sakit ingatan!"
81 "Dia sehat, Paman. Cuma sombong." Lekas-lekas
ditambahkannya, "Tetapi hatinya baik."
"Tentu, Dini. Semua orang jadi malaikat waktu
pacaran. Sesudah menikah baru kelihatan boroknya."
"Karena itu Paman tidak mau menikah sampai sekarang?"
"Buat apa menikah," sahut dokter Joko tenang.
"Kalau tanpa menikah aku toh bisa memperoleh
semuanya? Buat apa mengikat diri?"
"Paman tidak ingin punya isteri cantik dan anak?
anak yang manis?"
"Perempuan cantik bisa kudapat di mana saja,
Dini. Aku tidak perlu menikah untuk memperoleh
mereka. Dan anak?anak cuma merepotkan saja."
"Paman sama seperti Boy!" gerutu Dini kurang
senang. "Sombong. Dan selalu meremehkan perempuan! Apa semua laki-laki demikian, Paman?"
"Tidak, Dini. Laki-laki banyak yang baik. Asal
kau pintar memilih. Jangan yang seperti temanmu
itu. Dia terlalu berpengalaman untukmu."
"Jadi apa yang harus kubeli, paman?" Dini lekaslekas mengalihkan pembicaraan. "Bagaimana kalau
dasi?"
"Dia tidak pernah pakai dasi."
"Mmm kalau pulpen?"
"Boy tidak pernah pakai pulpen, Paman. Biasanya
ball-point. Itupun kalau tidak ketinggalan di rumah,
pasti ketinggalan di sekolah."
"Neurosis," gerutu Dokter Joko tak sengaja.
"Itu bukan nama penyakit "kan, paman?" potong
Dini terkejut.
82 "Oh, tentu saja bukan." Paman Joko meng?
garuk-garuk kepalanya. "Bagaimana kalau kemeja
saja? Yang polos dan berwarna lembut. Berikan sulaman bunga di atas sakunya."
"Sulaman?" Dini menatap tak mengerti.
"Ya. Kau yang harus menyulamnya. Kalau tidak,
apa keistimewaannya kemeja itu? Ia bisa beli sendiri
selusin sekaligus."
"Tapi aku tidak bisa menyulam, paman!"
"Ah ..... , sayang sekali." Dokter Joko melirik arlojinya. "Aku hampir lupa. Aku ke sini untuk mengajakmu nonton."
"Ah, aku segan, paman. Besok saja, ya."
"Besok kau mau mengajakku lagi mencari kado,
"kan?" bujuk Dokter Joko.
"Kenapa tidak sekarang saja, Paman?" tanya Dini
tiba-tiba.
"Sekarang? Ke mana? Nonton?"
"Bukan! Bukan nonton! Sekarang kita cari ke?
meja itu. Lalu paman antarkan aku ke rumah Tante
Hadi! Aku akan minta ia mengajarku menyulam!"
"Tapi bagaimana kau bisa belajar menyulam dalam waktu sesingkat ini?" Dokter Joko tercengang.
"Aku pasti bisa!" berkeras gadis itu. "Ayolah,
paman. Antarkan aku!"
"Dan nontonnya? Kapan kita nonton?"
"F ilem ada sepanjang tahun, Paman," tersenyum
Dini. "Tapi ulang tahun "kan cuma sekali!"
"Filem bagus juga cuma ada setahun sekali!"
Dokter Joko menghela napas.
*** 83 BAB V
OY melirik arlojinya. Pukul empat kurang lima
menit. Ia harus cepat-cepat. Kalau tidak Dini
pasti merengut. Merengut? Tidak, bantahnya sendiri.
Dini tak pernah cemberut. Kendatipun dia terlambat
dijemput. Dan harus satu jam dihukum berdiri di depan toko Nyonya Hadi.
Dini memang bukan Atiek. Bukan juga Nuning.
Boy tersenyum sendiri. Dini memang bukan siapasiapa. Dini adalah Dini. Sudah hampir sebulan tidak
dilihatnya gadis itu. Dia minta jangan dijemput. Dan
Boy tahu alasannya. Dia tidak mau mengganggu Boy.
Mencuri waktu belajarnya. Lebih-lebih CMS tinggal
dua bulan lagi.
"Kau harus lulus," katanya siang tadi di tilpon.
"Kalau tidak, aku tak mau kenal lagi denganmu."
"Aku pasti lulus kalau kau mau kuajak nonton
sore ini," jawab Boy tidak kalah congkaknya. "Kata
Dosenku, jawaban soal-soal ujian itu ada di Hlem
yang akan kita lihat ini. "Mandingo". Ken Norton."
"Tidak ada perempuannya?"
"Pasti ada. Akan kukenalkan padamu."
"Masih tetap kau yang beli karcis?"
"Ya."
"Dua helai?"
"Ya."
"Di mana?"
84 "Pokoknya bukan di Misbar."
"Kapan?"
"Setengah lima. Aku akan beli karcis dulu. Lalu
menjemputrnu di toko. Kita langsung saja ke sana.
Paling-paling tidak lihat ekstranya."


Sepolos Cinta Dini Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dan dimarahi ayahku."
"Kau bisa bilang sekarang."
"Pakai telegram?"
Boy tersenyum. Ingat telegramnya dua bulan
yang lalu.
"Itu urusanmu. Pokoknya kujemput kau di toko
pukul empat lewat seperempat."
"Itu berarti toko belum tutup."
"Kau bisa minta ijin."
"Tapi jangan sering-sering. Aku bisa dipecat."
"Itu urusanmu."
"Bajingan." Dini meletakkan tangkai tilponnya.
Boy tersenyum. Bajingan. Alangkah mesranya salam
perpisahan mereka. Sekali lagi Boy memutar nomor
yang sama. Dan sekali lagi Nyonya Hadi yang men?
yambut.
"Untukmu lagi, Dini." Suaranya bernada jengkel.
Boy menahan tawanya.
"Tentu saja," gerutunya geli. "Apakah kau pikir
aku mencarimu, tante gemuk?"
"Kau mau apa lagi." Suara Dini terdengar di
ujung sana.
"Aku belum habis bicara."
"Jangan main-main."
"Waduh, galaknya."
"Kuhitung sampai tiga .....
97 85 "Aku belum mendengar persetujuanmu."
"Biasanya kau tidak perlu persetujuan."
"Nah, begitu dong.... eh, nanti dulu! Tuanmu
belum habis bicara!" teriak Boy cepat?cepat ketika
dirasanya Dini hampir menutup tilpon itu lagi.
"Apa lagi? Cepat dong! Bisa?bisa aku dipecat!"
"Persetan! Kalau perlu aku beli toko Nyonya Gemukmu itu! Berikut dia sekalian!
Dini buru-buru mendekap tilponnya. Kuatir suara
Boy yang menggeledek itu sampai ke telinga Nyonya
Hadi.
"Bajingan kau." Sekali lagi Dini membisikkan
kata-kata itu. Kali ini lebih mesra.
BOY melarikan motornya lebih cepat lagi. Mumpung lampu masih hijau. Tanpa mengacuhkan maki-makian dan sumpah serapah pengemudi-pengemudi lain di kanan?kirinya ia terus melaju ke depan.
Melintas ke kanan. Memotong ke kiri. Dan terus
menyeruduk maju. Tetapi lampu celaka itu! Terkutuk! Lampu itu sudah menjadi kuning sebelum Boy
sempat melewatinya. Terpaksa diremnya motor itu
kuat-kuat. Ia hampir terpelanting kalau kakinya tidak
lekas?lekas menjejak ke tanah. Dan gadis bercutbrai
kuning yang tegak di bawah lampu itu masih memerlukan menoleh ke arahnya sebelum melangkah
mengikuti arus manusia yang hendak menyeberang.
Cantik, pikir Boy sambil tersenyum ramah. Tidak
ada ruginya memberi sepotong senyum kepada seo
86 rang gadis. Apalagi yang secantik dan semontok dia.
"Halo!" sapa Boy ramah sambil melepas kacamata hitamnya.
Dan tiba-tiba saja gadis itu membatalkan langkahnya.
"Boy?!" serunya keheran?heranan. Tangan kanannya langsung saja tanpa diundang melekat di lengan
kiri Boy.
"Kau benar?benar Boy!" katanya sekali lagi. Seolah?olah hendak membangunkan Boy yang masih
tertegun di atas motornya. "Boy, kau tidak kenali aku
lagi?"
Boy berusaha menembus kaca mata hitam sebesar
bola tenis yang menyembunyikan hampir duapertiga
wajah gadis itu.
"Kau mirip Dewi.?
"Tapi...."
"Aku memang Dewi!" cetus gadis itu sambil
melepas kaca-matanya.
Dan memang. Dia memang Dewi. Dewi Permatasari! Untuk beberapa saat Boy hanya mampu
mengawasi gadis itu sambil tercenung. Dewi! Alangkah cantiknya. Bahkan lebih cantik dari dulu.
Jauh lebih cantik. Dan lebih dewasa!
Tidak diacuhkannya klakson mobil-mobil yang
marah di belakangnya. Tidak diperdulikannya lampu
yang sudah berubah menjadi hijau kembali.
Persetan, pikir Boy. Mereka boleh lewat semaunya. Mau apa kalau aku tetap di sini?
"Kau tidak berubah, Boy," bisik Dewi tanpa
menghiraukan siulan?siulan nakal pengendara motor
&
desahnya ragu-ragu.
87 yang lewat di samping mereka.
"Kau yang berubah." Boy memaksakan sepotong
senyum pahit. "Kau tambah cantik dan sexy. Bukan
salahku kalau barusan aku tidak kenal lagi."
"Ah ..... " Dewi tersenyum malu. Dipukulnya lengan Boy dengan manja.
"Sendirian?" tanya Boy asal saja. Sekedar menutup getaran hebat yang hampir merontokkan jantungnya. Sungguh. Di depan Dewi, ia selalu jadi plonco
kembali.
"Seperti kau lihat sendiri." Dewi tidak mau melepaskan tatapannya sekejap pun dari wajah lakilaki
itu. "Kau?"
"Seperti kaulihat sendiri."
"Pulang kuliah?"
"Mau nonton."
"Sendirian?"
"Jemput teman."
Boy berusaha menapsirkan arti dari "0, panjang
itu. Apa? Cemburu? Atau sekedar ingin tahu?
Sebuah skuter menderu ganas di sisinya. Begitu
dekatnya sehingga hampir menyerempet kaki kanan
Boy. "Hai, minggir dong!" teriak pengendaranya dengan marah. Tetapi Boy tidak perduli. Seandainya ada
bom jatuh di sisinya sekalipun ia tidak perduli. Bibir yang merah itu. bibir yang basah menantang
yang sekali waktu dulu pernah menjadi miliknya .....
kapan pertama kali diciumnya bibir itu? Di mana?
"Boy, tolong dong antarkan aku pulang."
88 Boy tersentak kaget. Untuk pertama kalinya ia te?
ringat kembali pada tujuannya. Pada janjinya siang
tadi. Dan pada Dini yang sedang terrnangumangu di
depan toko Nyonya Hadi. Astaga! Kasihan dia.
"Maaf. Aku ada janji," kata Boy lemas. "Lain kali
aku mampir ke rumahmu."
"Dan meninggalkan aku sendirian di sini? Tega
kau, Boy."
Aduhai. Suara itu demikian memelas. Boy terpaksa menarik napasnya dalam?dalam. Seakan?akan
hendak menarik kembali pikiran sehatnya yang sudah menjebol ke luar.
"Kau bisa naik taksi."
"Aku baru saja ditipu supir taksi. Lima ribu dari
Grogol ke Salemba. Tidak dikembalikan."
"Tentu saja kalau lagakrnu seperti turis Perancis."
"Pokoknya aku sudah kapok. Tolonglah, Boy. Antarkan sekali ini saja." Dewi melirik sadel belakang
Hondanya. "Boleh?"
Ya, Tuhan. Inilah yang tidak bisa dilawannya.
Ada sesuatu yang namanya pesona wanita. Pesona itu yang dimiliki Dewi dengan hebatnya. Pesona
yang tidak dapat dilawan. Yang membuatnya mampu
merebut apapun yang dikehendakinya.
"Naiklah." Kata itu seolah?olah disemburkan Boy
ke luar bersama-sama hembusan napasnya.
"Kau masih kuliah, Boy?"
"Hhh." Cuma itu yang keluar dari mulut Boy.
Cuma itu yang ada di otaknya saat ini. Yang lainnya
sedang merasakan nikmatnya rangkulan lengan Dewi
di pinggangnya.
89 "Aku tidak melanjutkan karierku di bidang mode."
"O _____ ,,
"Ketika aku di Tokio, seorang sutradara filem kita
menawarkan peran padaku."
"Yah, mula?mula memang hanya coba?coba.
Main-main." Dewi menunggu sampai Boy menanyakan kelanjutannya. Tetapi Boy tidak bertanya apaapa. Tidak mendesak. Ia hanya menunggu. Terpaksa
Dewi melanjutkan dengan lebih perlahan, "Tetapi
kemudian kupikir aku menyukai duniaku yang baru
ini, Boy. Dunia Blem."
"O...."
"Boy!" Dewi memukul punggung Boy dengan
gemas. "Kau masih mendengarkan aku?"
"Tentu."
"Kau sama sekali tidak menaruh perhatian."
"Siapa bilang?"
"Kau lebih suka kalau aku diam, Boy?"
"Terserah padamu. Sejak dulu aku tidak bisa men?
gaturmu, bukan?"
Dewi tidak menyahut. Sepi. Lalu, "Kau marah padaku, Boy?"
"Siapa bilang?"
"Kau diam saja."
"Aku sedang berpikir."
"Memikirkan alasan apa yang akan kau ajukan
pada gadismu nanti? Mengarang dusta tentang kelambatanmu menjemputnya?"
O, ingin rasanya Boy berpaling untuk melihat wajah Dewi saat itu. Cemburukah dia?
90 "Dia bukan gadis yang cocok untuk dibohongi,"
kata Boy lega. Ingat kepada Dini selalu membangkitkan kesejukan yang mengompres hatinya. Seandainya seluruh dunia marah sekalipun, dia adalah orang
terakhir yang akan melakukannya.
"Dia cantik?"
"Manis."
"O...."
"0" panjang itu lagi. Tidak enak kedengarannya.
"Rumahmu masih yang dulu?"
"Ya." Napas Dewi begitu hangat menggelitik
tengkuk Boy. "Lupa?"
Boy menggeleng kuat-kuat. Seolah-olah hendak
mengusir rasa pusing di kepalanya. Cinta pertama.
Betapa indahnya. Kapan yang terakhir mereka ber?
boncengan motor seperti ini? Empat tahun yang lalu?
Atau lima?
"Kita sudah sampai." Boy tidak mau suaranya terdengar seperti keluhan. Dihentikannya motornya di
depan rumah Dewi. Tetapi ia tidak turun.
"Mampirlah sebentar, Boy," pinta Dewi sungguh-sungguh. "Ada sesuatu yang ingin kusampaikan."
"Maaf. Aku sedang buru-buru."
"Boy ..... " Dewi menggenggam lengan Boy eraterat. Matanya yang redup alang-alang menikam
langsung ke ulu hati pemuda itu. "Aku menyesal,
Boy."
"Soal apa?" Boy berpura-pura bodoh.
"Seharusnya aku tidak meninggalkanmu dulu."
"Ah, kau tidak bersalah. Seandainya kau memilih
91 aku dulu, tentu kau belum jadi bintang-Hlem seperti
sekarang."
Hati-hati Boy melepaskan lengannya dari
genggaman Dewi. "Maaf aku harus pergi. Salam ya
buat Tante Molly."
"Tante Molly sudah pulang ke Menado, Boy."
Mata Dewi berkedip-kedip dengan indahnya. Begitu
memikat. "Aku sendirian di rumah."
Tidak, Boy. Kau tidak boleh terbujuk lagi. Kau
punya janji dengan Dini!
"Maaf, aku betul-betul tidak bisa." Boy mengatupkan rahangnya kuat-kuat. "Nah, sampai lain
kali."
, DARI jauh sudah dilihatnya Dini tegak di muka
toko. Setengah enam lewat. Apa boleh buat.
"Hai." tegur Boy sewajar mungkin.
Tetapi Dini telah menampak sesuatu yang aneh
di mata pemuda itu. Sesuatu yang tidak biasa. Tetapi
tanpa bertanya apa-apa, ia duduk di sadel belakang.
Dan Boy bertambah tersiksa karenanya. Seandainya tadi Dini menyemprotnya dengan berbagai pertanyaan, ia tidak akan merasa begini berdosa.
"Barangkali kita sudah terlambat sedikit." Boy
mencoba membunuh kesunyian yang menyesak.
"Tentu kita baru terlambat sedikit kalau filemnya
main pukul enam," sahut Dini separuh berkelakar.
jadi dia sama sekali tidak marah, pikir Boy
murung. Bagaimana aku harus mendustai seorang
92 gadis yang tidak pernah menuntut apa-apa?
*** "BOY?" Hampir lepas tangkai tilpon itu dari
genggaman tangan Boy. Suara yang merdu itu! Tidak
salah lagi. Pasti milik Dewi. "Aku mengganggumu?"
"Oh, sama sekali tidak." Boy berusaha mengatur
suaranya sewajar mungkin. Sial. Di depan Dewi ia
harus selalu jadi plonco lagi.
"Tidak ke mana-mana besok malam?"
"Mmm tergantung siapa yang menanyakann?
,, ya. Dewi tertawa renyah sekali. "Kalau aku yang
menanyakan?"
"Kau sendiri sudah tahu jawabannya."
"Pacarmu tidak marah?"
"Pacarku yang mana?"
Dewi tertawa lagi. "Kau masih tetap seperti dulu,
Boy. Sombong."
"Kau lihat sendiri nanti. Boy memindahkan
tangkai tilponnya ke tangan yang lain. "Di mana?"
"Apanya?"
"Kau mau mengajakku nonton atau mentraktir
makan?"
"Kau salah lagi, Boy," kata Dewi di sela-sela
tawanya. "Aku tidak mengajakmu nonton, tidak juga
makan. Aku mengundangmu!"
"Oh...." Suara Boy merendah. "Pesta apa?"
"Bukan pesta, Boy. Besok malam Hlem baruku
dipreviewkan. Kau harus lihat."
"
93 "O." Napas Boy semakin pendek. Entah men?
gapa tiba-tiba saja Boy merasa tidak senang. "Berapa
undangannya?"
"Satu. Khusus buatmu."
Boy menggeleng kuat-kuat. Seolah-olah Dewi
ada di depannya. "Aku minta empat."
"Astaga!" Dewi tersentak. "Apa kau mau bawa
orang-tuamu sekalian?"


Sepolos Cinta Dini Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya. Dengan nenek dan mertuaku sekalian."
"Jangan main?main, Boy!"
"Siapa bilang aku main-main? Kalau tidak ada
empat karcis, aku tidak mau datang!"
"Oke, oke!" Dewi akhirnya mengalah juga. "Kau
masih seperti dulu, Boy. Sinting."
"Oh , tidak." Boy tersenyum sambil meletak?
kan tilponnya. "Aku sekarang lain sekali. Kau lihat
saja nanti."
"KAU masih ingin jadi bintang-filem, Upik?"
Dini membuang mukanya dengan sengit. "Tidak
lagi," katanya pahit. "Sekarang aku sadar, kau yang
benar. Jadi bintang tidak semudah yang kusangka.
Aku sudah dua kali melamar. Semuanya ditola ."
"Jangan cepat putus asa, Upik. Untuk jadi bintang
Blem, kau harus banyak bergaul dengan orangorang
Blem. Produser. Sutradara. Penulis skenario. Unit
manager. Atau rekan-rekan bintang lainnya."
"Di mana?" Dini menyahut tanpa menoleh. "Di
alam mimpi?"
94 "Ciii, jangan jadi pesimis begitu, Upik! Kalau kau
mau berkenalan dengan mereka, kau harus datang
pada saat mereka sedang rileks!"
"Misalnya pada waktu mereka hendak tidur?"
"Maksudku pada saat tidak ada shooting. Waktu
preview, misalnya."
"Dan siapa yang mengundangku ke sana? Kau?"
"Siapa lagi?" Boy tersenyum bangga. "Aku jemput kau nanti malam pukul sepuluh. New Garden
Hall. Oke?"
Mata Dini tiba-tiba melebar. "Kau tidak sedang
mempermainkan aku lagi, "kan?"
"Apa aku kelihatannya seperti sedang mainmain?" balas Boy sambil menyeringai lebar.
*** KETIKA Dini turun ke halaman, dilihatnya Boy
tidak sendirian di dalam mobilnya. Ada seorang gadis lagi di sana. Atiek. Mereka sama-sama terkejut.
Dan sama-sama tidak mampu menyapa apa-apa kecuali sepotong senyum kaku. Mereka baru melun?
cur lima menit ketika mobil Boy sudah menepi lagi.
Atiek tidak perlu mengenakan kaca-mata untuk me
mastikan di mana mereka berhenti. Nuning sudah
muncul di ambang pintu. Langsung menghambur ke
pintu depan mobil. Dan membatalkan niatnya membuka pintu mobil itu ketika matanya beradu dengan
mata Atiek yang tersipu-sipu.
"Astaga!" teriak Nuning sambil mundur. "Mau
kau bawa ke mana kita, Boy? Ke bioskop atau ke harem?"
95 "Anggap saja kita sedang naik oplet," balas Atiek
dengan muka merah. "Kalau aku tahu sejak semula,
tidak bakal aku mau ikut permainan ini."
*** DEWI sedang repot melayani pengunjung?pengunjung yang tidak putus?putusnya. Tidak heran ka?
lau ia hanya punya sedikit waktu untuk mereka.
"Gadismu cantik-cantik sekali, Boy," bisiknya
sambil tersenyum. "Heran kau masih laku keras di
kampus."
Sialan, gerutu Boy dalam hati. Dia bukan saja tidak memandang sebelah mata kepada gadis-gadisku,
malah masih sempat mengejekku!
Memang. Nuning, Atiek, apalagi Dini, tidak dapat
dibandingkan dengan Dewi. Lebih?lebih malam ini.
Dewi luar biasa cemerlangnya. Boy terpaksa mengakui. Di depan Dewi, semua gadis akan tampak
kedodoran. Seperti anak-anak kecil yang baru mulai
belajar berhias. Percuma Boy bersusah payah memamerkan mereka. Semuanya hanya menambah kebanggaan Dewi saja. Menampakkan kelebihannya di
antara gadis-gadis lain.
DAN semenjak malam itu Boy tidak mungkin lagi
menenggelamkan Dewi ke alam tidak sadamya. Dewi
muncul hampir di setiap helaan napasnya. Ketika ia
makan. Tidur. Belajar. Bahkan mandi sekalipun!
96 "Dingin." Dewi merapatkan tubuhnya ke tubuh
Boy. Becak mereka sudah tiga kali bolak-balik Salemba ? Matraman - Jatinegara. Sebentar lagi pasti
abang becak itu akan menyerah kalah.
"Paris pasti lebih dingin." Di telinga Dewi, suara
Boy bahkan lebih dingin dari pada angin malam yang
sedang menerjang becak mereka.
"Di Paris aku selalu memimpikan bisa naik becak
lagi berdua dengan kau, Boy. Seperti dulu?dulu."
"Dulu kita bahkan tidak pernah naik becak
malam?malam."
"Ya, waktu itu Jakarta belum bebas becak." Dewi
mengambil tangan Boy. Dan menggesekkannya ke
telapak tangannya.
"Belum ada jawaban untuk teman gadisku dari
produsermu?"
Tangan Dewi berhenti menggesek. Mengejang sejenak dalam genggaman tangan Boy.
"Gadismu yang mana?"
"Yang kubawa waktu preview filemmu."
"Kau lupa. Waktu itu kau membawa tiga orang
gadis!" Dewi menggerutu sebelum melanjutkan dengan lebih sengit. "Kau hampir membuatku mati kare?
na cemburu"
"O, ya?" Boy tersenyum sinis. "Kau sama sekali
tidak kelihatan cemburu. Kau mengobral senyummu
ke kanan dan ke kiri. Kau malah tidak memandang
sebelah matapun kepada mereka!"
"Sudahlah, Boy. Aku sudah bosan bertengkar
denganmu."
"Ada jawaban buat Dini?" desak Boy sekali lagi.
97 "Gadis yang bertubuh kecil itu, yang paling
muda."
"Ooh" Wajah Dewi berubah sedikit. "Yang hi?
tam manis itu? Aku sangat menyukainya."
"Setiap orang menyukainya."
"Termasuk kau?" Dewi melirik tajam.
"Tentu."
"Dia betul?betul ingin jadi bintang-fllem?"
"Tentu."
"Dia tidak tahu bagaimana tersiksanya jadi bintang."
"Tapi kau mau juga "kan?"
Dewi tidak memperdulikan sindiran laki?laki itu.
"Menjadi bintang berarti menjadi milik mas?
yarakat, Boy. Seluruh kehidupan pribadi kita menjadi album yang terbuka di mata mereka. Belum lagi
kalau ada gossip-gossip yang tidak benar."
"Misalnya seperti gossipmu dengan lawan mainmu itu?"
"Boy!" Dewi menatapnya dengan sungguh-sungguh. "Kau tidak cemburu, toh?"
"Tergantung apakah bagian-bagian yang dipotong
sensor itu ada kelanjutannya atau tidak."
Malaikat Peti Mati 3 Baby Sitter Club 7 Claudia Dan Janine Si Besar Kepala Wajah Baru 1

Cari Blog Ini