Sepolos Cinta Dini Karya Mira W Bagian 2
"Boy!"
"Jangan salahkan aku. Hampir dua jam aku dipaksa melotot melihat kalian bercumbu."
"Tapi Boy ..... "
"Aku tahu, itu cuma Hlem."
"Aku harus bermain sungguh-sungguh, Boy.
Demi profesiku, sudah biasa kalau orang menggos
98 sipkan kami. Itu salah satu cara untuk mempublikasikan filem baru. Tetapi antara kami betulbetul
tidak ada apa-apa, Boy. Sumpah!"
"Mereka belum mulai lagi?" Boy mengalihkan
pembicaraan. Pengap rasanya bertengkar terus.
"Skenarionya sudah siap. Sedang kupelajari."
"Dengan laki-laki itu lagi?"
"Apa?"
"Lawan mainmu."
"Dia anak produserku."
"Hm."
"Boy, coba dengar ...."
"Tidak ada peran tersisa buat Dini?"
"Kau begitu memperhatikan dia!" protes Dewi ti?
dak senang. "Kau lebih mencintai dia dari pada yang
lainnya?"
"Yang mana yang paling baik menurut pendapatmu?"
"Bagaimana aku tahu?" sembur Dewi dongkol.
"Aku baru sekali bertemu!"
Ah, dia marah! senyum Boy dalam hati. Alangkah
bahagianya melihat kekasihmu marah karena cemburu!
"Sudah sampai, Tuan." Tukang becak itu memecah kesunyian. Napasnya yang senggal?senggal
sudah terdengar sampai ke seberang. Barangkali dia
punya penyakit asma.
"Sekali lagi, Boy," pinta Dewi manja. Hampir
merengek dia. "Sekali ini tanpa pertengkaran. Aku
ingin menikmati malam ini sepuas-puasnya bersama
77 mu. 99 "Kita cari becak lain saja. Tukang becaknya sudah
hampir mati." Boy turun lebih dahulu. Mengulurkan
tangan kanannya memegang tangan Dewi. Dan membimbingnya turun sesudah membayar ongkos becak.
Mereka baru tiga meter menyusuri kaki?lima ke?
tika terdengar tukang becak di belakang mereka tertawa eekikikan.
"Sialan," gerutu Dewi dongkol. "Dikiranya aku
wanita P."
"Sudah bagus tidak disangka kurang waras,"
menyeringai Boy. "Kita sudah tiga kali bolak-balik
Salemba * jatinegara."
*** 100 BAB VI
AU sudah tiga kali tidak datang, Boy, kata Arifin
ketika sore itu dia dan Anto berkunjung ke rumah Boy. "Ada tentir dari senat. Enak juga, lumayan
daripada pusing-pusing menghapal di rumah."
"Aku repot," sahut Boy singkat.
Anto menatapnya dengan pandangan tidak percaya. "Begitu repotnya sampai tidak bisa ikut tentir?"
"Yanto melihatmu tiap hari di Salemba," sela Arifin pula. "Atiek malah memergokimu sedang jalanjalan di Pasar-Baru. Dengan Dewi katanya."
Boy melemparkan diktatnya jauh?jauh. "Aku sudah bosan belajar." Disisirnya rambutnya dengan kelima jarinya. "Rasanya sudah jenuh."
"Bukan hanya kau yang begitu, Boy. Aku juga sudah muak belajar itu-itu juga. Tetapi tetap saja tidak
bisa!"
"Rasanya aku sudah segan maju ujian. Takut gagal lagi."
"Jangan begitu, Boy. Kita harus tetap mencoba selama masih ada kesempatan. Siapa tahu kali ini kita
lulus."
"Iya, Boy. Untung-untungan," kata Arifin tak mau
kalah. "Kalau kali ini gagal lagi, biarlah aku dagang
tempe saja."
"Kalau aku sih mendingan jadi dukun," gurau
101 Anto sambil tersenyum. "Paling tidak aku sudah bisa
memberi Antibiotika pada pasien?pasienku."
"Aku ngantuk sekali," kata Boy tanpa mengacuhkan kelakar rekan?rekannya. "Ada kue tar di lemari
es. Kalau kalian lapar ambillah sendiri." Tanpa menoleh lagi Boy meninggalkan mereka di ruang tengah.
"Besok ada coaching dari dosen-dosen kita, Boy!"
teriak Anto sebelum tubuh Boy lenyap di kamar ti?
durnya. "Kau datang?"
"Lihat besok saja," sahut Boy malas. "Kalau aku
belum mati nanti malam, rasanya aku datang."
Tetapi besokpun Boy tidak kunjung muncul. Siasia Anto dan Ariiin menunggunya.
"Si Boy betul-betul sudah remuk," gerutu Ariiin.
"Padahal dulu dia termasuk top di kelas."
"Kalau kita sendiri belum pernah dua kali gagal
ujian CMS pasti kita juga tidak mengerti," sambung
Anto tanpa ditanya.
"Boy lagi "in the mood", kau tahu nggak?" sela
Anita. "Pacarnya baru kembali dari luar negeri."
Dengan ekor matanya Anto melihat Atiek diamdiam menyingkir.
Kasihan, pikirnya. Kamu cuma jadi barang iseng
pengisi kesepian. Boy memang keterlaluan. Seharusnya ada seorang di antara kawan priamu yang mau
menghajar laki-laki itu untukmu.
*** BOY sudah memutuskan untuk tidak ikut ujian.
102 Tidak ada satu pelajaran pun yang melekat di otak?
nya. Dewi menilponnya setiap tiga jam sekali. Juga
pada waktu tidur. Tetapi pagi itu, pagi tanggal dua
puluh dua bulan tiga, datang sebuah karangan bunga
ke alamatnya. Tanpa membaca nama pengirimnya,
Boy sudah dapat menduga. Pasti dari Dini. "Ketida?
ktahuan dan kepercayaan diri adalah kunci sukses.
Jangan mau gagal lagi, Boy. Kau harus lulus. Selamat
berjuang." Boy tersenyum tipis.
Dari mana diperolehnya kata?kata ini? pikir Boy
sambil menyerahkan bunga itu pada Bi Iyem.
"Tolong ditaruh di vas, Bi".
"Aduh, bunga begini bagus!" seru Bi lyem kegirangan. "Pasti dari Neng Dini! Iya toh, Tuan muda?"
Boy cuma tersenyum. Diliriknya jam di sudut
sana. Tujuh lewat sepuluh. Masih ada waktu untuk
menyambar sepotong roti dan mencari kartu ujian
yang diantarkan Arilin empat hari yang lalu. Apa
boleh buat. Dia akan mencoba sekali lagi. Untunguntungan.
Delapan kurang dua menit ketika ia tiba di muka
kelas. Teman-temannya sudah duduk di bangku
masing-masing. Semuanya sunyi. Rapi. Dan berdebar-debar. Sebagian sedang menunduk. Mungkin
berdoa. Sebagian lagi sedang mengawasi dua orang
dosen yang tegak di muka kelas. Mungkin tengah
menghitung-hitung derajat kegalakan dosen-dosen
tersebut. Atau sedang mengukur ketajaman mata
untuk melirik ke bangku sebelah. Siapa tahu nanti
pengawasnya lengah sedikit. Mengantuk. Atau bosan
memelototi mereka terus. Dan membutuhkan inter
103 meso sedikit dengan menengok ke luar j endela.
Boy bergegas masuk. Mengangguk sedikit kepada kedua pengawas itu. Dan mencari bangkunya.
Sial lagi. Baris kedua dari depan. Tidak cukup jauh
untuk luput dari pandangan pengawas itu. Sungguhpun ia berkaca?mata miop. Dan lebih celaka lagi
Arihn tidak duduk di sebelahnya! Dia hanya berbeda
satu nomor dengan nomornya. Seharusnya ia duduk
di sini. Di sampingnya. Tetapi nasib benarbenar sedang mempermainkannya. Kemungkinannya adalah
satu berbanding lima untuk dipisahkan oleh pergantian baris baru. Dan sekarang kemungkinan itu telah
terjadi! Arifin duduk di sudut sana, satu baris lebih
belakang dari bangkunya! Celaka! Betul?betul celaka
tiga belas!
"Ya, boleh mulai," cetus pengawas berkaca-mata
itu. Boy meliriknya sekilas. Tampangnya sadis juga.
Seram untuk mulai mencoba-coba. Apalagi kacamatanya agak gelap. Bahaya. Tidak kelihatan kalau
melirik.
Uring-uringan Boy membuka buku soal yang bersampul karton hijau di depannya. Dan jantungnya
merosot sampai ke perut! Soal-soal itu astaga sulitnya.
Boy sedang repot meruncing-runcingkan otak,
memilih-milih jawaban yang benar, ketika manusia
di depannya memiringkan kepalanya sedikit.
"Nomor tiga dong, Boy!"
Tanpa menoleh Boy sudah tahu. Itu suara Abidin.
"Kosong," sahut Boy berbisik. Sungguh. Dia ti
104 dak bohong. Nomor itu memang susah. Boy sedang
berpikir-pikir untuk menghitung kancing saja. Atau
tokek. Tetapi di fakultasnya memang tidak ada tokek.
Boy jadi teringat waktu mapram dulu. Ada cami yang
sampai menangis karena tidak bisa mendapatkan
tokek di sini.
"Nomor dua?"
Sialan. Dia tidak memberikan aku kesempatan
sama sekali untuk berpikir! Terus saja menghujanin?
ya dengan pertanyaan?pertanyaan!
"A", sahut Boy uring-uringan. Dan kiamat! Pengawas itu mendengar suaranya. Rupanya terlalu
keras.
"Kerja sendiri!" Suara pengawas itu bukan main
angkernya. Dan sampai pegal Boy mengharap pengawas itu tidak mau lagi beranjak dari sampingnya!
"Isi saja untung-untungan", kata pengawas itu,
setengah jam sebelum tiga setengah jam yang mele?
lahkan itu berakhir. "Lumayan daripada kosong. Siapa tahu ada yang betul."
Boy menoleh ke arahnya dengan keheran-her?
anan. Ternyata di balik tampangnya yang sadis pengawas ini masih punya hati juga.
*** "AKU nggak ngerti bagaimana orang yang tidak
belajar seperti kau bisa menebak tepat begitu banyak
soal!" gerutu AriHn penasaran. "Sedang aku yang sudah belajar sampai hampir gila, meleset terus!"
"Itu namanya nasib!" Anto menimpali. "Nasibnya
105 si Boy lagi bintang tujuh."
"Yang kita anggap betul "kan belum tentu betul
di mata panitia?" Boy menyimpan ke gembiraan yang
hampir meledak di dadanya. Pura-pura dia. Padahal
sayap hidungnya hampir pecah karena terlalu luas
mengembang. "Siapa tahu jawaban yang kita anggap
benar ternyata salah? Toh di buku tidak ada jawaban
untuk pertanyaan seperti itu."
"Pokoknya kalau kau lulus dan aku tidak, awas
kau Boy!" ancam Abidin geram.
Main-main atau tidak, ancaman itu memanaskan
darah Boy. Tidak percuma dalam usia duapuluh satu
tahun tekanan darahnya sudah 140/95.
"Kau sudah tiga kali E2. Aku juga sudah tiga kali.
Kita sama sama berada di ujung tanduk. Kalau kau
terus-terusan bertanya, kapan aku harus berpikir? Pakai dong sedikit otak kerbaumu!"
Tampaknya Abidin lebih baik mundur daripada
melayani Boy yang sedang meluap.
"Gara?gara kepelitanmu aku betul?betul knockout," katanya sambil cengar?cengir menutup malu.
"Kalau kali ini gagal lagi, tamatlah kuliahku selama lima tahun. Uang kuliah lima ratus ribu plus uang
masuk tiga ratus ribu amblas begitu saja."
"Kau masih mendingan," nyeletuk Arifin. Laki
laki yang satu ini tidak pernah mau kalah kalau bicara.
Biar diadu dengan perempuan sekalipun. ""Orang-tuamu masih ada. Masih ada yang membiayaimu. Coba
lihat aku nih. Semuanya usaha dengkul sendiri. Kapan ya, pemerintah memikirkan nasib mahasiswa
Universitas swasta yang jembel kayak aku ini?"
106 "Memikirkan j embel yang betul saja sudah repot,"
tawa Toto terbahak-bahak. Top-seorer yang satu ini,
yang nilai ujian CMS-nya tidak pernah kurang dari
dua ratus, baru saja selesai ujian E-3A. Kalau melihat
tampangnya yang bermandikan cahaya terus, tampaknya kali ini dia bakal jadi topscorer lagi.
"Aku tidak mengerti kenapa justru mahasiswa
universitas negeri yang uang kuliahnya relatif ringan yang diberi beasiswa. Sedang kita, yang sudah
pengap ditindih uang kuliah, patah semangat karena
kuliah yang tidak tahu kapan selesainya, tidak diberi
beasiswa. Malah dibebani ujian-ujian negara yang
minta ampun susahnya!"
"Prioritas pertama memang diberikan kepada
mahasiswa universitas negeri." Wibowo, mahasiswa
berkumis kecil yang senat itu mencoba berkuliah.
"Tetapi nantinya kita juga bakal kebagian. Siapa tahu
kau yang nanti beruntung dapat beasiswa, F in!"
"Iya, kalau aku belum keburu keluar karena gagal
CMS!" kata Arifin sambil mengomel terus. "Kalau
kali ini aku gagal lagi, seribu beasiswa juga tidak bisa
menolongku!"
"Tentu saja," ejek Abidin. "Beasiswa "kan untuk
mahasiswa yang pandai. Yang sudah tiga kali gagal macam kau buat apa diberi beasiswa?! Itu "kan
namanya membuang-buang uang saja!"
Mereka tertawa riuh.
Yah, beginilah mahasiswa, pikir Boy sambil men?
gambil sebotol Coca-cola dari peti pendingin di sudut
kantin. Biar susah tetap saja banyak tertawa.
Kantin darurat itu ukurannya cuma dua kali dua
107 setengah meter. Lebih dari separuhnya sudah dijejali
oleh lemari?lemari kue, peti pendingin dan peti?peti
minuman. Tidak heran ketika serombongan mahasiswi Kedokteran Gigi menyerbu masuk, Boy jadi terdesak ke sudut. Berdiri susah. Keluar pun lebih sulit
lagi.
"Nah, kebetulan!" seru mahasiswi yang mendesak
paling depan. "Cukong kita ada di sini! Ayo dong,
Boy, traktir kita!"
Diminta cewek, apalagi yang secantik Henny, di
depan gadis-gadis lagi, pantang bagi Boy untuk menolaknya. Orang bilang "jaga gengsi,.
"Ambil saja yang mana kau mau," katanya dengan gaya dikeren-kerenkan. Kapan lagi jual lagak
kalau tidak sekarang? Percuma namanya dikenal di
seantero kampus ini.
"Nah, lihat tuh si Boy!" Abidin mulai menjilat.
"Apa namanya mahasiswa seperti dia ini? Pintar dalam pelajaran, jago dalam pergaulan, ahli dalam me?
mikat gadis?gadis! Pantas tidak kalau kita sebut dia
"mahasiswa teladan,?"
"Ini pertanyaan apa penghinaan?" Boy tersenyumsenyum bangga. "Berapa semuanya?"
Penjaga kantin yang cekatan itu menghitung den?
gan sigapnya.
"Semuanya jadi sembilan ratus dua puluh lima."
Boy menyodorkan sehelai ribuan.
"Wah, belum ada kembalinya. Tidak ada uang kecil, mas?"
"Tidak usah deh. Ambil saja lebihnya," kata Boy
sambil menikmati seraut wajah segar di depannya.
Sepolos Cinta Dini Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
108 "Terima kasih, Mas." Gadis itu menyodorkan sepotong senyum berharga tujuh puluh lima rupiah kearahnya.
Pantas saja teman?temannya menyukai penjual
yang satu ini. Penjaga kantin yang dulu luar biasa
judesnya. Kalau tidak ada uang kembalian, tempat
uangnya, yang bekas kaleng biskuit itu, dibantingbantingkannya ke atas meja. Anak-anak perempuan
memanggilnya si "otak". Selalu marah?marah ka?
lau disodorkan uang besar. Tetapi anak-anak lelaki menyukainya. Karena setiap kali dia habis marah-marah, setiap kali itu pula dia salah menghitung
uang kembalinya.
"KE mana saja kau kemarin, Boy?" Dewi sudah
menembakkan serentetan pertanyaan setengah detik
setelah kata pertama "halo" yang usang itu bergema.
"Dua puluh kali aku mencoba menilponmu. Tujuh
kali menghubungi kantor tilpon. Kata mereka tilpon?
mu tidak rusak! Kenapa tidak kausambuti? Ke mana
kau seharian kemarin?"
"Percuma membela diri di depanmu," sahut Boy
tenang-tenang. "Kau toh tidak perlu tahu aku ujian
dua hari kemarin. Kau tidak perduli aku ada ujian
atau tidak."
"Lho, mana aku tahu? Kau tidak pernah bilang
apa-apa!"
"Dan kau tidak pernah menanyakannya. Semua
yang bukan urusanmu."
109 "Boy, aku menilponmu karena ada kabar gembira
buat Tini-mu."
"Dini." Boy membetulkan. Dewi memang tidak
pernah betul menyebut nama orang yang tidak disukainya. "Aku heran bagaimana kau bisa memanggil
nama sainganmu dengan benar dalam filem."
"Oh, tidak. Misalnya namanya dalam skenario
adalah Tuti. Aku memanggilnya Tati. Mula-mula
sutradara meralat. Lama-lama dia bosan juga. Akhirnya dia sendiri memanggilnya Tati. Dan jadilah per?
empuan itu bernama Tati di sepanjang filem." Tawa
Dewi pecah berderai. "Apalah artinya sebuah nama!"
"Tunggu sampai ada orang yang memanggil salah
namamu! Kiwi misalnya. Baru kau tahu harga sebuah
nama!"
"Kita selalu bertengkar kalau membicarakan gadis itu."
"Kita memang selalu bertengkar. Sejak dulu. Sejak masih pacaran. Pertengkaran membuat percintaan
kita tambah manis, bukan?"
"Kadang-kadang aku tidak mengerti dirimu, Boy.
Semakin coba kudekati, semakin tidak kumengerti."
"Bagaimana kau bisa mengerti? Aku sendiri tidak
bisa mengerti diriku. Bagaimana aku bisa jatuh kembali ke dalam perangkap cintamu sesudah kau tinggalkan mentah-mentah empat tahun yang lalu?!"
"Kau tahu apa yang paling kusenangi dalam dirimu, Boy?"
"Tidak perlu kutanyakan "kan?"
"Kau sombong. Laki?laki paling sombong yang
pernah kutemui. Padahal kau tidak punya apa-apa,
110 Boy. Tidak juga dirimu sendiri."
"Apakah ini dialog yang harus kau hapal dalam
sekenario?"
"Kadang-kadang aku benci padamu, Boy. Kau lelaki paling jahat dalam hidupku."
"Aku berani bertaruh. Tidak ada jembel yang lebih tampan dari padaku di Paris yang masih mau denganmu. Karena itu kau kejar-kejar aku."
"Aku sudah capek bertengkar, Boy. Kapan kau
mau berhenti mengomel?"
"Mungkin sesudah kau menjadi isteriku."
"lni sebuah lamaran?"
"Tergantung ada atau tidaknya kata-kata semacam itu dalam skenario Hlem barumu...."
"Stop, Boy! Stop! Kumohon padamu, berhentilah
menyiksaku dengan pertengkaran?pertengkaran ini!"
Dia pintar bersandiwara, pikir Boy murung. Kata-katanya tidak semurni dulu lagi. Kata-kata yang
diambilnya begitu saja dari skenario! Atau akukah
yang sudah gila? Gila akibat cemburu dan curiga?
"Katakan, Boy, kau mau dengar atau tidak kabar
gembiraku buat si hitam?manismu itu?"
"Dengan apa harus kubuka mulutmu, Wi? Sate
Blora? Atau sea food?"
"HALO, dapat bicara dengan Dini?"
Sengaja atau tidak, Boy masih sempat mendengar
Nyonya Hadi menggerutu di ujung sana. "Tunggu."
Buset judesnya! Sekali-sekali dia harus disogok
111 juga supaya lebih ramah, gerutu Boy dalam hati.
"Halo."
Nah, ini pasti suara Dini. Khas. Hati-hati. Perlahan. Dan setengah ragu.
"Halo, Upik! Apa kabar?"
Boy tersenyum geli membayangkan bagaimana
Dini buru-buru menjauhkan tangkai tilpon itu dari
telinganya.
"Sst ..... tidak usah berteriak-teriak. Aku belum
tuli!" Kemudian dengan lebih lunak, "Bagaimana
ujianmu?"
"Beres."
"Kau pasti lulus?"
"Kalau pasti, bukan ujian dong namanya."
"Aku mendengar nyanyian dalam suaramu."
"Mudah-mudahan itu berarti alamat baik."
"Kudoakan," bisik Dini lembut. "Kau juga berdoa, Boy?"
"Hanya kadang-kadang."
"Berdoalah, Boy. Dia akan mendengar kita."
"Tidak ada gunanya tanpa usaha kita sendiri, bukan?"
"Tentu."
Ya, bagaimana aku berani berdoa: Tuhan, luluskanlah aku, kalau aku sendiri tidak belajar dengan
baik? keluh Boy dalam hati.
"Apa kabar guci taucomu? Dia baik-baik saja?"
"Guci ..... ?" Dini mengerutkan dahinya dengan
heran. Kemudian buru-buru dibatalkannya mengulang pertanyaan itu. Tiba-tiba saja ia tahu ke mana
arah kata-kata Boy tadi. "Sudah dulu ya. Aku sedang
repot!"
112 "Eh, nanti dulu!" potong Boy cepat-cepat. "Aku
belum omong apa-apa!"
"Lekas dong, kau mau bilang apa?"
"Dengar, kau tidak usah takut sama guci taucomu
itu. Kau tahu tidak, dia naksir padaku?"
""Paling-paling dia naksir rambutmu." Dini
tersenyum. "Lumayan buat penambah-nambah sapu
ijuknya."
Meledak tawa Boy begitu kerasnya sampai Dini
terpaksa menutup tilponnya erat-erat. Kuatir Nyonya
Hadi yang sedang melirik-lirik ke arahnya mengomel
lagi.
"Sudah ya," kata Dini sambil buru-buru meletakkan tangkai tilponnya.
Ia baru hendak rneninggalkan pesawat tilpon itu
ketika Nyonya Hadi menegur dengan ketus, "Berdiri
saja di situ dulu. Lagi lima detik ia akan menilpon
lagi...."
Belum habis kata-kata Nyonya Hadi, tilpon itu
betul-betul telah berdering lagi!
Secepat kilat Dini meraih tilpon itu dan memaki,
"Jangan ganggu aku lagi!"
"Nanti dulu! Aku belum bicara apa?apa
"Kau sengaja supaya aku dimarahi."
"Dia sudah memakimu?"
"Hampir. Dia sudah mendelik-delik memandangku."
"Gawat. Lebih baik kau minta berhenti saja sebelum diberhentikan."
"Dengar. Kalau kau belum mau serius juga dalam
dua detik...."
'"
113 "Ciii., aku belum pernah diultimatum cewek!"
"Satu detik."
"Tunggu! Tunggu dulu, dong!" teriak Boy cepatcepat. "Aku hampir tercekik, tidak keburu bernapas!
Dengar! Sore ini juga kau minta berhenti. Bilang
mulai besok kau bukan pelayan toko lagi. Kau bintang-iilem!"
Dini belum sempat membanting tilpon itu ketika sesuatu yang hebat meledak di telinganya, "Besok pagi kau diundang datang ke studio Samudera
Filem. Mereka akan mentesmu!" Boy mengatur dulu
napasnya yang senggal-senggal. "Upik, kau belum
pingsan "kan?"
"Aku hampir tidak bisa bernapas," kata Dini den?
gan suara putus-putus. "Kau tidak main?main, Boy?"
"Nah, bernapaslah dulu. Lalu dengarkan aku
lagi."
"Apa lagi?" desak Dini tak sabar. "Kau hampir
membuatku pingsan."
"Besok pagi pukul sepuluh kuj emput kau. Berhias
yang rapi. Jangan kecewakan aku."
"Kau yakin ini bukan peran ngran yang cuma
numpang lewat?"
"Pasti. Mana ada liguran pakai dites segala?", sahut Boy sok tahu. Padahal ia sendiri juga tidak tahu
apa-apa. "Kata Dewi di Hlem ini kau jadi adiknya."
"Dewi?"
"Dewi Permatasari."
"Aku harus main bersama dia?"
"Pikirmu siapa yang memasukkan kau ke dalam
filem ini?"
114 "Aku tidak menyangka dia begitu baik kepadaku." Suara Dini keheran?heranan.
Bukan kepadamu, gerutu Boy dalam hati. Kepadaku.
Sesudah itu Nyonya Hadi melihat dengan keheran?heranan kepada pembantunya yang satu ini. Dia
bukan saja tidak memperdulikan sindiran-sindiran?
nya, termasuk ancamannya akan menjual tilpon itu.
Dia malah berani meminta ijin untuk tidak masuk
seharian besok!
115 BAB VII
SEMUANYA ada dua puluh peserta. Muda-muda.
Dan cantik-cantik. Semangat Dini yang meluap-luap ketika berangkat dari rumah tadi mendadak
kendor.
"Pulang saja, Boy. Rasanya percuma."
"Lho, tunggu dulu, dong. Masa baru sebegini saja
sudah semaput."
Tentu saja Dini tahu sekali mengapa Boy tidak
mau pulang. Di sebelahnya duduk begitu banyak gadis?gadis cantik. Ada yang mirip Widyawati, Lenny
Marlina. Atau Tanty Yosepha. Sayang sekali perha?
tian mereka sedang tertuju seratus persen kepada tes
yang akan mereka hadapi. Tidak heran kalau tidak
ada perhatian yang tersisa buat salam perkenalan
Boy. "Lama-lama bosan juga nunggu begini," gerutu
Boy sambil meluruskan pinggangnya yang mulai
pegal. "Lagi lima menit tidak dipanggil masuk, aku
pulang."
"Tesnya akan jalan terus biarpun kau pulang."
"Persetan."
"Konyol dong aku, Boy. Sudah capek-capek dandan, semalaman tidak bisa tidur, bolos kerja...."
"Tadi "kan bukan aku yang mengajak pulang."
""Pokoknya aku tidak mau pulang. Kalau kau mau
116 pulang duluan, biar nanti aku pulang jalan kaki."
"Nah, nah, inilah perempuan." Boy terpaksa tertawa lagi. "Tidak ada logikanya. Barusan ya sekarang
tidak."
"Apa bedanya denganmu? Selama mereka masih
melayanimu, kau tidak mau pulang kendati pinggangmu hampir patah."
"Ciii ..... jangan cepat-cepat ngambek dulu dong.
Aku "kan cuma ngobrol. Kau tahu tidak, yang cakepcakep begini jarang ada di fakultasku. Paling?paling
satu dua. Yang lainnya sih payah. Kalau tidak Myop
pasti Kyphosis."
"Jangan bicara bahasa kedokteran denganku.
Nanti seperti bebek dengar guntur."
"Nah, begitulah. Senyum?senyum sedikit membuatmu tambah manis."
Dini menoleh dengan keheran-heranan. "Apa katamu?"
Boy terkejut. "Apa kataku?" ulangnya bingung.
"Barusan kau bilang apa?" desak Dini sekali lagi.
Boy jadi gelagapan. Sungguh mati. la sudah lupa
apa yang barusan dikatakannya. "Aku bilang apa,
ya?"
"Nah, kau persis badut." Dini memalingkan wajahnya dengan kecewa. "Kau bicara hanya dengan
bibir."
"Tentu saja." Boy sudah mau tertawa lagi. "Masakan aku harus bicara dengan kaki?"
Dini menghela napas. Dan Boy semakin tidak
betah di sana. Gadis itu tidak mau bicara apa?apa lagi.
Juga gadis-gadis lain di sekitarnya. Makin mendekati
117 pukul sebelas, makin berdebar-debarlah hati mereka.
"Kalau menunggu giliran sih, bisa pulang pukul
empat nih." Boy mulai mendumal lagi. "Enaknya
sekretaris yang pegang absen itu kusogok dulu."
Dan sogokan memang jarang gagal di manamana. Begitu Boy meletakkan pantatnya kembali di
kursi, begitu nama Dini dipanggil. Beberapa calon
aktris mulai mengomel di tempat.
Perduli amat, ejek Boy dalam hati. Tadi diajak kenal saja pada berlagak tahan harga. Puah!
"Saudari Dini?" tegur lelaki yang duduk di ten?
gah-tengah. Di sebuah kursi putar di belakang meja
tulis.
"Dini Anggraini Permana," sambung Dini se?
sopan?sopannya.
"Nama yang indah," sambar laki-laki muda bertopi putih yang duduk seenaknya di tepi meja?tulis.
Sebelah kakinya bertumpu di atas lantai. Kaki yang
lain ditekuk silang di atas kaki yang pertama.
"Umur?"
"Tujuh belas."
"Wah, terlalu muda! Tinggi badan?"
"Tinggi ...... badan?" Dini menoleh ke arah Boy
dengan bingung. Matanya yang resah berkedip?kedip
minta bantuan.
"Satu lima-lima," sahut Boy tegas, tanpa merasa
perlu untuk menaksir-naksir lagi tinggi badan gadis
ltu. "Cuma satu lima lima?!" belalak sang produser,
orang yang duduk di belakang meja-tulis itu. "Terlalu pendek! Kita butuh bintang yang tingginya paling
118 sedikit seratus enampuluh senti!"
"Tapi dia bisa pakai sepatu yang bertumit tinggi!"
sela Boy tanpa dapat menahan diri lagi. Sudah lupa
dia dengan siapa dia berhadapan.
"Tidak bisa," kata sang produser sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Bagaimana anak sekecil
kamu dapat berperan sebagai adik Dewi yang tingginya satu enam tujuh?"
Sepolos Cinta Dini Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ah, itu tidak jadi soal." Sekarang laki-laki muda
yang bertopi putih itu ikut bicara. "Biar kecil, kalau
mainnya bagus, kupakaijuga! Nah, nona ..... " katanya
sambil menoleh ke arah Dini. "Satu pertanyaan lagi
untukmu. Kau masih sekolah?"
Dini menggeleng putus asa. Pedih rasanya menahan air mata yang hampir menerjang keluar dari
sudut matanya. Tetapi di luar dugaannya, laki-laki
bertopi itu malah tertawa lebar.
"Bagus," katanya jenaka. "Berarti kau tidak perlu
bolos sekolah. Dan tak ada alasan kau repot menghadapi ujian atau ulangan." Sambil menoleh kepada si
produser, sambungnya separuh berkelakar, "Produksi
kitajadi tidak bakal terhambat, Oom Bas."
Tetapi produser yang dipanggil Oom Bas itu
menolehpun tidak. Dengan pandangan yang sangat
menusuk, tanyanya lagi, "Pendidikan saudari?"
"SMA," sahut Dini tersendat?sendat. "Kelas satu."
"Kelas satu SMA?"
Dini mengangguk tanpa berani balas menatap.
"Baru dua bulan," sahutnya jujur.
"Wah." Produser itu merosot lemas di kursi putamya. "Tadinya kami mengharapkan calon?calon
119 bintang dengan pendidikan yang lebih tinggi."
"Tapi ini tes pemilihan bintang filem "kan?" sela
Boy menahan marah. "Bukan tes masuk fakultas!
Untuk jadi bintang lilem, tidak perlu ijazah SMA!"
"Itu pendapatmu," sahut sang produser tajam.
"Dalam filem ini, dia harus memerankan seorang gadis intelek! Bagaimana seorang anak kelas satu SMA
dapat memerankan tokoh Widuri yang baru kembali
dari luar negeri itu?!"
"Pokoknya dia bisa baca, habis perkara!" Lagi-lagi lelaki bertopi putih itu memotong kata-kata Oom
Bas. "Sutradaranya "kan aku. Asal dia punya bakat,
aku akan jadikan dia Julie Christie!" Sambil bersungut-sungut dilanjutkannya dengan lebih lunak. "Empat
puluh tahun yang lalu, ayahku harus membacakan dialog pada pemain-pemainnya yang buta huruf. Toh
filemnya jadi juga."
"Oke, terserah padamulah," kata si produser mengalah. "Sudah pernah main Blem?"
Sialan, maki Boy dalam hati. Kalau dia sudah
pernah main filem, pasti kau yang harus datang ke
rumahnya. Bukan dia yang harus mengemis ke mari.
"Belum," sahut Dini sambil menggeleng. Habislah sudah. Point-point berlalu untuk kekalahannya.
"Oke, Bung Amir akan mentes Saudari. Silahkan mengikuti dia ke ruang sebelah." Laki-laki itu
membukakan telapak tangannya ke arah pintu. "Silahkan." Kemudian katanya pada juru kamera yang
sedang bersandar ke doli sambil berpangku tangan,
"Siapkan kameranya, Mid. Tidak usah pakai doli.
Kamera kecil saja." Dengan patuh juru-kamera itu
mengangguk.
120 "Ngomong?ngomong apakah Anda sendiri tidak
berminat main filem?" Sutradara itu menegur Boy
sambil menaksir-naksir tinggi badan Boy. "Body-mu
boleh juga. Paling sedikit seratus tujuhpuluh enam.
Benar?"
"Seratus tujuh puluh lima" sahut Boy pendek.
Kagum juga ia pada mata elang sutradara muda ini.
"Tidak ingin coba-coba main Blem? Tidak suka
iilem, heh? Padahal kau ada tampang jadi aktor."
"Aku suka nonton Hlem. Tapi tidak suka dipertontonkan."
"Oh...."
"Silakan Saudari menghapal dialog ini." Script
girl itu menyodorkan sebuah buku skenario. Dini
menerima buku tebal itu dengan tangan gemetar.
Hampir terlepas jika script-girl itu tidak lekas?lekas
menanggapinya kembali.
"Maaf ..... " keluh Dini gugup.
"Tidak usah nervous begitu," kata Nona jangkung
berkaca?mata putih itu dengan tersenyum. "Ten?
ang-tenang saja. Rileks."
Dini mengangguk sambil tersenyum kecut. Bicara
memang mudah. Coba dipraktekkan. Sudah setengah
mati Dini menghapalkan teks itu, tetapi begitu tegak
di muka kamera, secepat itu pula dialog?dialog tersebut lenyap dari kepalanya.
"Wah, payah nih," keluh sutradara itu dengan gemasnya. "Bagaimana kau bisa menghapalkan puluhan dialog, kalau satu saja sudah seperti ini?"
"Apa kataku," menimpali sang produser. "Intelegensi juga mempengaruhi seorang artis."
121 "Dia gugup. Belum biasa berhadapan dengan
kamera." Boy coba membela Dini. "Kalau sudah biasa, jangankan sepotong dialog macam itu, sekeranjang juga dia bisa hapal luar kepala."
"Nah, sampai kapan dia terbiasa dengan kamera?
Sampai dapat Citra?"
"Sudahlah, coba kau nangis sekarang. Nangis
betul-betul. Ceritanya kau sangat sedih karena kehilangan kekasihmu. Atau ibumu meninggal. Atau apa
saja. Pokoknya "nangis"?
Kalau yang ini tidak sukar buat Dini. Semenjak
tadi ia memang sudah ingin menangis. Maka begitu aba-aba kamera diteriakkan, Dini sudah menangis
tersedu?sedu.
"Waduh, sekalinya bisa kelewat cepat," tertawa
gemas si sutradara. "Aku malah belum sempat berteriak "take, dia sudah keburu banjir!"
Sampai kamera berhenti berputar, Dini belum
mampu membendung tangisnya.
Ya, Tuhan, beginikah susahnya jadi aktris? pikir
Dini sedih.
"Sudah! Sudah! Sudah dong nangisnya!" Sambil mengedip?ngedipkan matanya dengan jenaka,
sutradara itu memegang kedua belah lengan Dini.
"Kau memang bodoh. Tapi aku percaya kau bisa jadi
pemain yang hebat nantinya."
Sialan. Aku suka manusia yang satu ini, gerutu Boy dalam hati. Dia senang humor. Meskipun
kadang?kadang humornya keterlaluan. Sama dengan
rekan-rekanku di FK.
"Satu pertanyaan lagi." Sambil mengangkat ba
122 hunya si produser menoleh ke arah Dini acuh tak
acuh. "Bersedia melakukan adegan ranjang?"
"Hah?!" Dini menatap produser itu dengan keheran?heranan. Kedua matanya yang masih berlinang
air mata berkilauan dengan bingungnya.
Berlagak bosan si produser berpaling kepada
sutradaranya. "Tolong jelaskan padanya, Mir," katanya jemu.
"Tuan Basuki ingin tahu apakah anda tidak berke?
beratan melakukan adegan percintaan di atas ran?
jang?"
Dini semakin melongo keheranan. Apa bedanya
sekalipun adegan itu dilakukan di atas pasir, di atas
tikar, atau di bawah ranjang sekalipun?
"Maksudnya adegan sex," sambung Boy muak. Ia
menelan ludah dengan sulitnya.
"Nah, kawanmu ini tampaknya punya otak juga,"
tersenyum si sutradara. "Kau tidak usah kuatir, bung.
Kita tidak akan bertindak keterlaluan. Kita punya
Badan Sensor toh? Percuma dibuat kalau hanya un?
tuk digunting! Nah, kawan, kau tidak usah takut kecolongan."
"Sudahlah." Tuan Basuki melambaikan tangann?
ya dengan jemu. "Kami masih banyak calon lain."
"Aku akan melakukan adegan apa pun" kata Dini
tiba-tiba. "Asal sesuai dengan jalan ceritanya."
O, tentu saja! Itu adalah kata-kata mutiara yang
paling sering ditemuinya dalam majalah filem. Diu?
capkan oleh calon?calon bintang yang sedang mekar!
Sekarang Boy?lah yang jadi kerbau bengong.
123 "KALAU gagal jadi bintang filem, aku akan
pulang ke kampung," kata Dini sambil mengatur
tangkai?tangkai mawar dalam jambangan.
"Mau apa kau di sana? Bertapa?"
"Gambaranmu tentang desa sudah saatnya dirom?
bak", protes Dini tersinggung. "Di desa orang malah
tidak punya waktu untuk bertapa. Begitu banyak
pekerjaan yang menunggu."
"Memacul di sawah misalnya?"
"Aku bisa mengajar anak?anak perempuan men?
yulam," sambung Dini tanpa menghiraukan ocehan
Boy. "Dan mengajar mereka beraksi di depan kamera?"
Boy menahan tawanya.
"Aku bisa membuka sebuah kebun bunga. Atau
sebuah peternakan ayam."
"Dan meninggalkan aku mati kesepian di sini?"
"Kau boleh ikut kalau mau."
"Aku tidak bisa macul."
"Kuajarkan."
"Kalau pinggangku patah?"
"Kau tidak pernah serius," keluh Dini. "Hidupmu
cuma main?main."
"Orang hidup tidak boleh terlalu serius. Nanti ce?
pat mati."
Boy menoleh ketika sebuah taksi kuning meluncur memasuki halaman rumahnya.
"Nah, ini dia!" teriaknya sambil menjentikkan
jari?jarinya. "Kalau kau ingin diterima, Upik, ke?
124 padanyalah kau harus minta tolong!"
"Hh? Siapa?" Dini mencoba melihat ke luar jendela dengan memanjang?manjangkan lehernya.
Gadis itu mengenakan celana panjang blue?jean
yang ketat dengan T?shirt merah menyala.
"Halo!" sambut Boy di pintu depan.
"Halo, Sayang!" Tanpa ragu-ragu lagi gadis itu
menghampiri Boy. Berjingkat sedikit dan mengecup
pipinya dengan manja.
Terlambat bagi Dini untuk mundur. Ia sudah
kepalang muncul di ambang pintu. Ketika pandangan
Dewi bertemu dengan mata Dini yang terbelalak, wajah Dewi berubah sedikit dan senyumnya mengambang.
"Hai!" tegur Dewi kaku. "Apa kabar, Rini?"
"Dini," ralat Boy segera. Ia membalikkan badannya dan membawa Dewi masuk. "Duduklah. Aku ambilkan minuman."
"Ah, jangan repot?repot, Boy! Aku "kan bukan
tamu." Dengan lincah Dewi bergerak ke lemari es di
sudut sana. "Ada yang mau menemani aku minum?"
"Terima kasih," sahut Dini. Belum hilang rasa terkejutnya. "Baru saja minum."
Dewi menuang sebotol Seven?up ke dalam gelas
tinggi. Sambil menoleh ke arah Dini, dengan pandan?
gan menghina ia bertanya lagi: "Tesnya berhasil baik
tentunya, ya? Kau punya potongan untuk menjadi
bintang filem, kok!"
Dini mulai merasakan sesuatu yang tidak enak.
Ia sudah menggelengkan kepalanya tetapi belum
sempat menjawab. Boy sudah mendahuluinya, "Kau
125 harus menolongnya sekali lagi, Wi. Begitu banyak
saingan di sana!"
"O, ya?" Dewi tersenyum sinis. "Apa lagi yang
harus kutolong? Meminjamkan bajuku? Wajahku?
Atau bakatku?"
Dini lekas?lekas memalingkan wajahnya. Kuatir
sakit hatinya dapat terbaca di sana.
"Pokoknya dia harus diterima." Sekarang Boy
yang mulai uring?uringan. "Tidak perduli bagaimana
caranya. Kalau perlu kau sogok mereka!"
"Dengan apa?"
"Kau pasti lebih tahu dengan apa."
"Mereka bukan orang-orang macam itu, Boy!
Mereka seniman?seniman tulen, tahu?! Salah?salah
aku yang dipecat!"
"Sudahlah." Dini menebarkan pandangannya
kembali pada mereka. "Tidak perlu meributkan aku.
Diterima atau tidak terserah mereka saja."
"Itu namanya tahu diri" sambut Dewi dengan
nada seolah?olah berkelakar.
"Kau busuk!" geram Boy dengan kemarahan yang
tiba-tiba meledak.
"Rasanya lebih baik aku pulang saja." Dini mulai
merasa gelagat yang kurang baik. "Di mana kutaruh
tasku tadi?"
"Aku tukar baju dulu," kata Boy tanpa menunggu
jawaban Dini. "Nanti kuantarkan."
"Tidak usah," sanggah Dini segera. Tetapi Boy ti?
dak menoleh lagi.
Dewi menjatuhkan dirinya ke sofa tanpa melepas?
kan tatapannya sedikit pun pada Dini.
126 "Boy tentu sangat sayang padamu," katanya
setelah meneguk habis minumannya. Dipermainkan?
nya gelas kosong itu dengan kedua tangannya.
"Bagaimana aku tahu, dia tidak pernah menga?
takan perasaannya."
"Ah, masa?" Dewi berlagak terkejut. "Biasanya
Boy paling murah mengobral cinta."
"Mungkin ia menganggapku lain dari yang lain."
Dewi mengawasi gadis itu dengan perasaan dong?
kol. "Begitu pendapatmu?"
"Bagaimana pendapatmu?" balas Dini dingin.
Lama Dewi menatapnya sebelum melanjutkan,
"Kau tahu, dia telah melamarku."
"Dia pernah cerita."
"Katanya dia sangat mencintaiku."
"Tentu saja. Dulu."
"Dulu?" belalak Dewi gusar.
"Ya, dulu. Sebelum kau kabur ke Paris. Sekarang
tidak lagi."
"Kurang ajar!" Dewi sampai melompat bangun
dari kursinya. Keterlaluan gadis kampung ini!
Tetapi Dini tetap setenang semula. "Aku hanya
mengatakan apa yang kudengar," katanya santai.
"Begitu katanya?" Dewi menahan geram. "Dia ti?
dak cerita kami akan segera menikah?"
Dini belum sempat menjawab, Boy telah muncul
di pintu.
"Kalau kau mau ikut, bisa kuturunkan di depan
rumahmu, Wi," katanya tanpa menoleh. Ia sedang re?
pot membungkuk?bungkuk mencari sesuatu. Melon?
gok ke setiap sudut. Dan menoleh ke kanan kiri. "Eh,
127 di mana kunci mobil sialan itu kutaruh?"
"Tidak kau taruh," sahut Dini sambil berdiri.
"Kau lemparkan."
"Mang! Mang Ujang!" teriak Boy kalang?kabut.
"Lihat kunci mobilku tidak?"
Sepolos Cinta Dini Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sst, kau tidak perlu teriak?teriak begitu," kata
Dini sabar. "Kunci itu ada di bawah lemari. Persis di
belakang kakimu. Barusan kau lemparkan ke sana."
Boy membalikkan tubuhnya. Membungkuk sedikit. Dan memungut kunci itu sambil menghela na?
pas lega.
"Luar biasa!" soraknya puas. "Matamu boleh ditukar dengan kamera." Sambil menyambar kacamata, ia menoleh lagi pada Dewi. "Bagaimana? Mau
ikut nggak?"
"Tentu," sahut Dewi lincah. Semua bekas-bekas
kegusaran sudah lenyap dari wajahnya. "Kau tentu
mau melihat gaun pengantinku. Kebetulan siang tadi
baru sampai."
Dini tertegun di ambang pintu. Tidak sengaja
langkahnya terhenti.
"Gaun apa?" desis Boy kaku. Mulai lagi, pikirnya
jengkel. Serangan baru.
"Gaun pengantinku. Yang kupesan dari Hong?
Kong. Sengaja tidak kukatakan lebih dahulu padamu.
Surprise!"
Hampir terlepas tas itu dari tangan Dini.
"Kau mau kawin dengan siapa?!" bentak Boy pe?
nasaran.
"Dengan siapa?" belalak Dewi pura?pura gusar.
"Tentu saja dengan kau, Bajul!"
128 Dengan ekor matanya Dewi melirik Dini. Dan
sempat melihat wajah gadis itu memucat.
"Sudahlah." Boy sudah melangkah kembali ke
pintu. "Gurauanmu tidak lucu."
"Eh, bergurau katamu?!" Dewi merenggut lengan
baju pemuda itu dan menyeretnya kembali. "Siapa
bilang aku bergurau? Kalau maksudmu lamaran yang
kau ajukan kemarin cuma main-main."
"Dewi!" bentak Boy sengit. Benar?benar telah ke?
habisan kata?kata.
"Oke, Boy," geram Dewi tidak kalah galaknya.
"Sekarang kaubilang terus terang. Kita akan menikah
atau tidak?"
Boy memandang ke dalam mata yang indah itu.
Yang sedang terbakar seperti sebuah bola api. Seka?
rang ia tahu, Dewi tidak main-main. Ia benar?benar
sedang mengancam!
"Tentu saja." Suara Boy melunak. Hampir menggumam. "Tapi tidak sekarang "kan?"
Dini menggigit bibir. Tidak terasa bahunya mem?
bentur ambang pintu. Sakit. Tetapi ada sakit lain yang
lebih nyeri di hatinya. Di sini. Di tengah ini.
Dengan sebelah tangan ditekannya dada yang
sakit itu. Tangan yang lain menggapai?gapai mencari
pegangan. Menghentikan kelimbungan tubuhnya.
"Tentu saja tidak sekarang." Dewi menghela napas lega. Ia sudah menang perang. Senyumnya manis
kembali. "Aku sudah memesan gaun itu ketika masih
di Hong?Kong. Khusus buat hari pernikahan kita. Ti?
dak ada salahnya, "kan?" Sambil melenggang diham?
pirinya Dini dari belakang. "Dia belum mengatakan
129 padamu tentang rencana kami untuk menikah bulan
depan? Terlalu!" Disenggolnya bahu Dini dari belakang. Terlalu keras untuk dikatakan tidak sengaja.
Kalau Dini tidak berpegang erat?erat ke pintu, pasti
dia sudah terjerembab ke luar.
"Harus kau katakan sendiri padanya, Boy." Dewi
mulai menusuk lagi. Kali ini ke arah Boy yang sedang mematung bengong di sana. "Kasihan toh kalau dia sampai lebih dulu baca di koran." Tawa Dewi
pecah berderai. Tawa biludak.
Dini tidak tahan lagi. Ia harus pergi. Sekarang.
Atau ia akan keburu pingsan di sana. Boy tidak sempat mencegah. Dini sudah berlari turun ke halaman.
Melangkahi batu?batu yang sedang menertawakan?
nya. Menginjak ribuan kerikil yang sedang menertawakannya. Menyerempet ranting-ranting mawar
yang sedang menertawakannya.
Boy menghambur ke luar. Berlari-lari di sepanjang kaki?lima, tanpa mengacuhkan senyum penuh
cemooh yang dilontarkan orang?orang yang menon?
ton pertunjukan mereka.
"Upik," kata Boy setelah ia berhasil menyambar
lengan gadis itu dan memaksanya berhenti. "Dengar
dulu."
"Apalagi yang belum kudengar?" balas Dini
terengah-engah. Ia membiarkan Boy membimbing
tangannya, karena percuma untuk mencoba melepaskannya.
"Aku harus bicara padamu."
"Seharusnya kau malah tidak usah bicara apaapa
sekarang."
130 Boy melihat air mata meleleh di kedua belah pipi
gadis itu. Tiba-tiba saja ada rasa nyeri menikam di
jantungnya. Dan ia terpaksa menunduk.
"Aku terpaksa mengatakannya padamu," kata
Boy lambat?lambat. Ditatapnya debu?debu jalan yang
sedang mereka langkahi. Debu yang kotor. Barang
yang paling hina. Tapi aku lebih kotor dan lebih hina
dari semua itu. "Aku mencintai Dewi. Maksudku."
Boy menggagap. "Aku masih mencintainya dan..."
Boy masih berpikir?pikir untuk melanjutkannya
atau tidak ketika Dini memotongnya, "Dan akan me?
nikah dengan dia."
Boy berpaling. Hendak membaca sesuatu di air
muka gadis itu. Tapi Dini keburu memalingkan wa?
jahnya.
"Kau kau tidak marah, Upik?" Pertanyaan yang
tolol itu!
"Kepada siapa?" balas Dini dingin. "Kau berhak
mengawini gadis yang kau pilih. Itu hakmu. Tapi kau
tidak berhak memberi malu aku di mukanya!"
"Aku belum sempat mengatakannya padamu,
Upik," protes Boy sungguh?sungguh. "Aku tidak
mau mengganggu kegembiraan dan konsentrasimu
menghadapi tes tadi."
Mengganggu kegembiraanmu, katanya tadi. Jadi
ia tahu berita itu akan menyakitinya! Dini menghela napas. Mengisi paru-parunya sepenuh-penuhnya
dengan udara berdebu yang dilemparkan oleh ro?
da-roda mobil yang lewat. Dan lambat?lambat mene?
mukan dirinya kembali. Pikirannya. Kepribadiannya.
"Kau tidak bersalah," kata Dini akhirnya. Setelah
kebisuan menyengat selama hampir empat menit.
131 "Aku yang bodoh."
Dini berhenti melangkah. Memalingkan wajahnya ke jalanan. Dan memanggil sebuah taksi.
"Maaf, aku letih," katanya tanpa nada minta maaf.
"Tidak usah kau antarkan. Cukup sampai di sini saja."
Sopir taksi itu membukakan pintu belakang. Dini
masuk ke dalam sambil menyebut alamat rumahnya.
"Pakai meteran, Bu?"
"Terserah," sahut Dini masa bodoh. "Pokoknya
tidak lebih dari seribu lima ratus."
Boy menyerobot masuk tanpa diundang. Dan Dini
terpaksa menggeser duduknya memberi tempat, jika
tidak ingin hidungnya terbentur bahu Boy.
Sopir taksi itu cuma tersenyum?senyum sendi?
ri sambil sebentar?sebentar melirik kaca?spionnya.
Kalau tidak sedang tujuh keliling begini, pasti Boy
sudah membentaknya sejak tadi. Mereka membisu
sepanjang jalan. Sampai Dini membuka mulutnya
kembali, "Pinggir depan, pak."
Ketika Dini menyodorkan dua helai ribuan, Boy
sudah mendahului membayar. Dini tidak memberi
reaksi apa-apa.
"Terima kasih," katanya dingin sambil bergegas
turun. Lekas?lekas ditutupkannya kembali pintu mo?
bil itu, seolah?olah mencegah Boy ikut turun. "Maaf,
aku tidak mengundangmu masuk."
Boy memburu ke jendela. Dan menjulurkan
kepalanya ke luar.
"Artinya aku tidak boleh bertemu lagi dengan?
mu?"
Dini memandangnya dengan nanar.
132 "Bagaimana aku bisa melupakanmu," katanya
seperti sebuah keluhan. "Kalau kau selalu mengikutiku?"
"Kau tidak perlu melupakan aku!" protes Boy pe?
nasaran. "Kau boleh menyimpan sepuluh lelaki seka?
ligus dalam kepalamu! Bukan dosa!"
"Termasuk yang sudah menjadi suami orang?"
Boy terpana. Dan terhenyak kembali ke sandaran.
Tidak mampu berkata sepatah pun.
"Satu lagi...." Dini menambahkan cepat?cepat
sebelum memutar tubuhnya dan berlari masuk ru?
mah. "Jangan kirimi aku undangan! Aku tidak mau
datang!"
133 "Bagaimana aku bisa melupakanmu," katanya
seperti sebuah keluhan. "Kalau kau selalu mengikutiku?"
"Kau tidak perlu melupakan aku!" protes Boy pe?
nasaran. "Kau boleh menyimpan sepuluh lelaki seka?
ligus dalam kepalamu! Bukan dosa!"
"Termasuk yang sudah menjadi suami orang?"
Boy terpana. Dan terhenyak kembali ke sandaran.
Tidak mampu berkata sepatah pun.
"Satu lagi...." Dini menambahkan cepat?cepat
sebelum memutar tubuhnya dan berlari masuk ru?
mah. "Jangan kirimi aku undangan! Aku tidak mau
datang!"
133 BAB VIII
INI menumpahkan air matanya habis?habisan di
atas tempat tidur. Sudah lama ia tidak mengu?
ras air mata. Kapan yang terakhir? Ketika neneknya
meninggal? Ketika penguburan yang tidak dihadiri
siapa?siapa kecuali penggali lubang kubur dan beber?
apa orang tetangga? Atau tadi pagi, ketika ia merasa
begitu kesal di studio? Ah, hari yang sial. Betul-betul
sial.
"Kudengar ia akan kawin dengan gadis lain," cems Dokter Joko ketika ia berkunjung dua hari kemu?
dian.
Dini mengangguk. Yang keenam belas kalinya
sepanjang hari ini. Hanya itu kerjanya. Mengangguk.
Menggeleng. Dan mengangguk lagi.
"Gadis yang merebut Boy dari tanganmu pasti
sangat cantik." Kali ini pancingan Dokter Joko men?
gena.
"Dia tidak merebut," sahut Dini perlahan. Tanpa
nada. "Dia mengambil kembali miliknya. Dia datang
lebih dahulu dari padaku."
Kemarahan meledak di kepala Dokter Joko.
"Bagaimanapun, kalau dia jujur, dia harus cerita
padamu. Kau bukan tipe gadis untuk iseng-iseng.
Semacam ban serep."
"Dia pernah menceritakan gadis itu padaku. Aku
134 yang bodoh. Dia memang tidak pernah mencintaiku."
"Bohong!" bantah Dokter Joko gemas. "Dia bisa
saja mendustaimu. Tapi mustahil menipu aku!"
Dini memejamkan matanya. Dan merasa heran
karena tiada lagi air mata yang mengalir turun.
"Aku tidak bisa melupakannya, Paman. Setiap
kali menghirup udara, aku teringat kepadanya. Setiap
kali memejamkan mata, wajahnya terbayang di sana.
Katakanlah, Paman: inikah yang disebut cinta?"
"Ya," sahut Dokter Joko sabar. "Cinta monyet."
Kata yang terakhir itu hanya diucapkannya dalam
hati.
"Rasanya aku hampir gila, Paman."
"Patah hati tidak menyebabkan gadis yang seh?
ebat engkau menjadi gila, Dini," hibur Dokter Joko
sambil berpikir-pikir apakah kata-katanya tadi merupakan kepastian atau harapan belaka. "Kau masih
muda. Dunia masih terbentang luas di hadapanmu.
Suatu hari nanti, banyak laki?laki akan datang dalam
kehidupanmu. Kau melihat mereka, dan merasakan
laki-laki mana yang cocok untuk kau pilih menjadi
ayah anak-anakmu."
"Dan dunia tidak selebar daun kelor?" Dini
tersenyum pahit. "Ayah sudah tujuh kali menga?
takannya. Kak Nani dua kali."
"Tidak mungkin menasihati seorang muda yang
baru saja mengalami patah hati," keluh Dokter Joko
kepada ayah Dini, ketika itu mereka hanya berdua
saja di serambi depan rumah Arman. "Tapi kau tidak
usah kuatir. Lagi satu dua minggu, dia sudah kemba?
li normal. Dan minggu ketiga, ia sudah menemukan
pacar baru."
135 "Aku ingin kembali ke kampung," berkeras Dini.
Tekadnya itu melumpuhkan sama sekali teori-teori
Dokter Joko. Gadis ini benar-benar lain dari yang
lain. Sampai lewat tiga minggu, jangankan menemukan pacar baru, meninggalkan rumah pun tidak!
"Berpikirlah sedikit dewasa, Dini," gerutu Arman
jengkel. "Siapa mau menemanimu di sana? Ayah sudah tua, lemah, sakit-sakitan dan buta. Apa yang mau
kalian kerjakan di sana?"
"Jika aku tidak mencari kalian, kalian toh tidak
mencariku. Apa bedanya bagiku, sendirian sekarang
atau sendirian setahun yang lalu?"
"Aku akan turut bersamamu," potong ayahnya tegas. Orang tua itu sedang duduk tenang?tenang sam?
bil mengisap cangklongnya. "Bagiku, di manapun
sama gelapnya."
"Tunggulah sampai aku memperoleh cuti minggu
depan." Akhirnya Arman mengalah. "Kuantarkan kalian ke sana. Sekalian menyambangi makam Nenek.
Sambil melihat apa yang mau kaukerjakan di sana."
*** "KAU busuk!" sembur Boy ketika Dewi mengun?
junginya malam berikutnya.
"Aku berjuang merebutmu kembali dari tiga ekor
cacing yang akan menggerogotimu sampai hancur!
Kau sebut aku busuk?!"
"Bukan begitu caranya memperlakukan Dini!"
"Habis bagaimana?! Kau tidak mengajarkannya
Sepolos Cinta Dini Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
padaku! Aku berjuang dengan caraku sendiri!" Sam
136 bil mengomel Dewi menjatuhkan dirinya ke kursi
malas. Meluruskan sebelah kakinya. Dan menekuk
yang lain. Mengangkatnya sedemikian rupa sehingga Boy sempat melihat betis dan pahanya yang putih
mulus. ""Gadis?gadismu memang biang ribut semua!
Brengsek! Lebih?lebih si Nuning!"
Boy terbelalak. "Nuning? Kau pergi padanya
juga?"
"Tentu. Aku "kan harus minta ijin untuk menika?
himu," sindir Dewi pedas. "Kau tahu apa katanya?"
"Kau pasti diludahi!"
"Lebih dari itu. Katanya, untuk menikah denganmu, aku harus minta ijin pada semua gadis di kampusmu, termasuk pelayan?pelayan di rumahmu!"
Boy terpaksa tersenyum. "Jika kau mengharapkan
melihat Nuning menangis, kau harus menunggu sampai matahari terbit di Barat. Dia dua kali lebih hebat
dari padamu."
"Tapi toh kau memilih aku!"
"Karena aku tolol."
"Sama tololnya seperti gadismu yang satu lagi."
"Sialan!" maki Boy sengit. Kali ini ia betul-betul
terperanjat. "Kau pergi juga ke rumah Atiek?"
"Jika kau memilihku, aku berhak untuk memon?
opolimu."
"Kau benar?benar Julius Caesar. Vini, Vidi, Vici."
Boy menggeleng-gelengkan kepalanya dengan putus
asa. "Atiek pasti menangis."
"Menjerit?jerit," sambung Dewi puas. "Aku sam?
pai kaget. Kewalahan untuk menyetopnya."
"Kau benar-benar busuk!" geram Boy sambil
137 meninju telapak tangannya sendiri. "Awas kau! Kub?
alas sesudah kau menjadi isteriku!"
Dewi tersenyum manis. Membuka kedua lengannya lebar?lebar. Dan menerima Boy dalam pelukan?
nya. "KUDENGAR kau mau kawin!" sambut Tuan
Iskandar. Begitu ganas sampai Boy menghentikan
langkahnya di tengah?tengah ruangan.
"Ayah tidak menulis mau datang ke mari," sahut
Boy lunak.
"Aku melihat gambarmu di majalah dengan perempuan itu!"
Boy menoleh. "Aneh juga mendengar Ayah mulai berminat baca majalah." Boy tersenyum sambil
membuka jaketnya dan melemparkannya begitu saja
ke atas kursi. Dibukanya lemari es.
"Ayah sudah menghabiskan dua buah apel," katanya sambil membuka sebotol Fanta. "Pasti Ayah
sudah lama menungguku."
"Di mana ada anak kawin tanpa memberitahu
Ayahnya!" Tuan Iskandar mulai bersungut-sungut.
"Kau benar?benar kurang ajar!"
"Aku belum sempat menulis, Ayah" sahut Boy
setelah meneguk minumannya. "Maksudku akan
kubawa gadisku ke kampung menemuimu. Minta ijin
dan...."
"Kaupikir aku akan mengijinkan kau kawin dengan sembarang wanita?! Terlalu!"
138 "Aku akan mengawininya, Ayah," kata Boy ten?
ang-tenang. "Dengan atau tanpa ijinmu."
"Kau tidak akan kawin dengan perempuan yang
bukan pilihanku. Selama aku masih Ayahmu."
"Aku harus menjadi jejaka tua sambil menunggu
bekas?bekasmu?"
"Kalau kau sudah ingin kawin, aku sudah punya
calon untukmu di kampung."
"Sudah kukatakan, aku tidak sudi menikah den?
gan gadis yang disodorkan ke bawah hidungku. Aku
harus berjuang untuk mendapatkannya sendiri. Den?
gan caraku sendiri."
"Tentunya bukan dengan uangmu sendiri, eh?"
Boy menatap Ayahnya dengan marah.
"Dia anak pejabat desa? Atau keponakan orang
yang sangat penting untuk kelanjutan usahamu?
Kudengar Ayah punya perusahaan pemborong bangunan yang baru. Pasti ada jaminannya."
"Aku tidak mengerti kau omong apa."
"Aku tidak mau jadi barang jaminan, Ayah. Jadi
jangan bicarakan lagi nikah dagang ini."
"Dengar!" geram Ayahnya dengan rahang terkatup. "Seseorang harus membuktikan bahwa kau sebe?
narnya tidak punya apa?apa kecuali kesombongan?
mu! Orang lain tidak mampu melakukannya. Tetapi
Ayahmu sanggup. Jika kau membandel, kemasi barang-barangmu, dan tinggalkan rumah ini sebelum
matahari terbit besok!"
"Aku akan pergi sebelum matahari terbenam," sa?
hut Boy tegas. "Sore ini juga."
139 "TANPA bantuan Ayahmu, kau tidak mungkin
melanjutkan kuliah, Boy," kata Arihn ketika Boy
datang menumpang di tempat kosnya malam itu.
Tentu saja melalui jendela. Dan setelah tante kos
yang bawel itu tidur nyenyak.
"Aku akan cari kerja."
"Sebagai apa? Siapa yang mau menerima calon
dokter yang belum jadi? Kau sudah biasa hidup me?
wah. Serba enak. Percaya padaku, gaji sebagai pega?
wai menengah, tidak cukup untuk setengah bulan
hidupmu!"
Dia benar, pikir Boy murung, tapi aku juga benar!
Aku tidak mau menjadi boneka Ayahku. Dijodohkan
dengan gadis yang sama sekali belum kukenal!
*** "KITA terpaksa mengundurkan hari pernikahan
kita, Boy."
Boy terhenyak.
"Kenapa?" cetusnya tersinggung. "Karena aku
tidak sanggup lagi merayakannya di Hotel Borobudur?"
"Bukan, bukan begitu! Kau selalu salah sangka!"
protes Dewi jengkel. "Filemku akan mulai shooting
minggu depan ..... "
"Apa hubungannya dengan perkawinan kita? Kau
dibayar mereka untuk main Hlem, bukan untuk dila?
rang menikah! "
140 "Pernikahan kita akan menghambat kelancaran
shooting mereka, Boy. Kau "kan tahu, aku pemeran
utamanya. Aku harus muncul hampir di setiap bagian
Hlem itu."
"Kalau begitu kau bisa minta mereka mengundurkannya."
"Dan mengundurkan modal empat puluh juta rupiah yang ditanam dalam filem itu? Kau pasti bisa
menghitung bunganya! Mereka meminjam modal itu
dari bank!"
"Kalau begitu minta berhenti saja."
"Dan menamatkan karierku sebagai bintang-filem? Aku baru saja mulai, Boy. Membatalkan
kontrak berarti bunuh diri!"
"Jika kau benar?benar cinta padaku, apalah artinya menjadi bintang filem? Kita bisa menikah, menentukan jalan hidup kita sendiri, mengatur rumah tangga kita dan saling mencintai ..... "
"Dan makan batu?"
Boy tertegun. Mukanya merah padam.
"Aku bisa bekerja," katanya suram. Tawar. Padahal ia sendiri tidak percaya.
"Di mana? Di mana mereka mau menempatkan
mahasiswa kedokteran yang belum lulus?"
"Aku dapat bekerja di pabrik obat. Di perusahaan
farmasi. Menjadi detailer. Salesman."
"Dan hidup dengan beberapa puluh ribu sebulan?
Kita sudah terbiasa hidup mewah, Boy! Kita tidak
bisa hidup hanya dengan empat puluh ribu sebulan!"
"Kita bisa belajar!"
"Aku tidak sanggup. Aku betul?betul tidak sang
141 gup mengatur uang belanja yang hanya sekian!"
"Jadi tidak ada harapan bagiku untuk memperisteri seorang bintang filem terkenal?"
"Boy ...... " Dewi mengulurkan tangannya membelai pipi laki-laki itu. "Cobalah berpikir lebih dewasa."
"Dan lebih ekonomis." Boy menyingkirkan tangan Dewi dengan kasar.
Ketika ia bangkit berdiri, sekali lagi Dewi memegang lengannya. "Berilah aku kesempatan, Boy. Berilah aku kesempatan untuk mengembangkan bakatku! Kau toh bisa menunggu!"
Boy berpaling dengan sinis. "Sampai kapan?
Sampai kau sudah menjadi nenek-nenek keriput yang
tidak terpakai lagi di filem mereka? Sampai kau dibuang oleh masyarakat penggemarmu? Terima kasih,
aku bukan keranjang sampah!"
"Boy, kau tidak pernah mau mengerti!"
"Sekarang aku justru mengerti sekali, Sayang.
Aku telah mengorbankan segala milikku untuk
mendapatkanmu. Ternyata kau masih terlalu mahal
untukku."
Boy melepaskan lengannya dari cengkeraman
Dewi. Dan berlalu tanpa menoleh lagi.
"Boy!" teriak Dewi sambil lari mengejar.
Dirangkulnya pinggang pemuda itu kuat-kuat dari
belakang. "Jangan pergi, Boy! Aku sungguh?sung?
guh mencintaimu! Sumpah!"
"Cintamu dihitung dengan untung rugi. Cinta
perdagangan. Kau setali tiga uang dengan ayahku!"
Dilepaskannya pelukan gadis itu dengan kasar dan
pergi meninggalkannya.
142 BOY merenungi nasibnya ketika ia sedang berbaring di atas lantai dingin di kamar AriHn. Hanya
dialasi selembar kain panjang.
Mula-mula aku kehilangan Upik-ku, pikirnya
sambil menatap langit-langit kamar yang sempit
itu. Kemudian aku kehilangan Ayahku. Rumahku.
Kekayaanku. Dan kini, aku kehilangan Dewi. Orang
yang paling kucintai. Yang paling kudambakan.
Ternyata cintanya hanya sekian.
"Jangan kirimi aku undangan!" Temgiang lagi
kata-kata Dini beberapa hari yang lalu. Dia demikian polos! Demikian mencintai! Apa yang kuberikan
padanya sebagai balas? Kekecewaan. Kesedihan.
Kekesalan. Sekarang, percuma untuk kembali. Dini
telah menemukan lelaki yang lebih baik. Jauh lebih
baik. Pamannya. Dokter J oko. Boy melihat mereka di
depan rumah Arman sore tadi. Begitu intim. Begitu
hangat. Kembali pada Atiek, juga tidak mungkin.
"Kau jahat!" teriak gadis itu kemarin. "Kau penipu! Bajingan!" Dan entah apa lagi. Atiek memakin?
ya sambil menangis. Kata-katanya tidak jelas. Tapi
cinta gadis itu begitu jelas. Begitu tulus. Sudah disia?siakannya. Hanya untuk Dewi. Untuk seorang gadis yang merampas. Dan mencampakkannya kembali
sesudah diperoleh.
"Cewekmu yang satu ini cocok sekali denganmu,"
kata Nuning sambil tersenyum?senyum. "Sama?sama
jagoan. Dan sama?sama tidak waras."
"Sekali-sekali kau harus memeriksakan otakmu,"
kata Dini dulu.
143 Barangkali mereka benar, pikir Boy sengit. Aku
tidak waras. Gila!
DINI mengantarkan pamannya sampai di serambi
depan.
"Selamat malam, Paman."
"Selamat malam." Dokter Joko membalikkan
tubuhnya. Memegang kedua belah bahu gadis itu.
Membungkuk sedikit. Dan mengecup dahinya. Sudah empat kali Paman Joko melakukannya. Sekali
setiap malam. Setiap mereka berpisah. Paman Joko
akan membungkuk. Dan mengecup dahinya dengan
lembut.
"Ciuman kasih sayang seorang paman," bisiknya
pada Dini yang sedang memandang dengan keheran-heranan. "Tidak apa-apa, Manis. Kau akan terbiasa."
Tetapi malam ini terjadi sesuatu yang tidak biasa. Paman Joko tidak hanya memegang bahu dan
mengecup dahinya. Paman Joko merangkul. Dan
mencium bibirnya!
Dini melepaskan dirinya dengan terkejut. Matanya bersinar penuh tuduhan.
"Itu bukan lagi ciuman kasih sayang seorang
paman!" protesnya sengit. Ciuman itu mengingatkannya kembali kepada Boy. Dan kepada ciuman
paksaan pemuda itu.
Tetapi Dokter Joko tidak mengacuhkan kemarah?
an gadis itu.
144 "Aku cinta padamu," bisiknya lemah lembut.
Dini mundur dengan terkejut. Sinar matanya yang
keheran?heranan berkilauan di bawah cahaya lampu
yang remang-remang.
Dokter Joko menghampiri lebih dekat. Dan memegang kedua belah lengan gadis itu.
"Kau bukan gadis pertama yang kutemukan,
Dini," katanya terus terang. "Bukan pula perempuan
pertama yang kucintai. Tetapi kau adalah orang pertama yang membuatku berpikir tentang perkawinan.
Masih ingat pertanyaanmu tentang isteri cantik dan
anak-anak?"
Dini hanya mengangguk. Masih terpesona menatap pamannya.
"Aku merindukannya sekarang, Dini. Kau memaksaku menginginkan semua itu!"
Dini memandang pamannya dengan bengong, se?
belum ia menghambur ke dalam pelukan laki-laki itu
dan menangis tersedu?sedu.
"Aku sayang padamu, Paman," tangisnya lirih.
Ini bukan tangis seorang wanita dewasa yang menemukan cinta, pikir Dokter Joko murung. Ini tangis
seorang kanak-kanak yang ketakutan dan sedih karena tidak dapat melakukan sesuatu yang menyenangkan pamannya!
"Aku sayang padamu, tapi aku tidak mau menjadi isterimu, Paman! Yang patut menjadi bibiku adalah perempuan yang terbaik, tercantik. Bukan aku,
Paman!"
Dokter Joko menepuk-nepuk punggung gadis itu
dengan lembut. Didekapkannya kepala gadis itu ke
dadanya.
145 Kau masih kanak-kanak, bisiknya dalam hati. Aku
akan menunggumu sampai kau cukup dewasa untuk
dapat membedakan cintaku dengan cinta monyet
anak muda itu!
"RASANYA kau tidak bisa lebih lama lagi tinggal di tempatku, Boy!" keluh Arihn sekali lagi. Yang
ketujuh belas kalinya semenjak Boy menyelundup
tidur di kamarnya.
"Tante kosku mulai curiga. Barangkali ada yang
melaporkan."
Boy tidak menjawab. Dalam hati ia memang mem?
benarkan pendapat Arifin itu. Kemarin tante yang luar
biasa cerewetnya itu sudah memasang kunci tambah?
an di pintu depan pavilyunnya. Dan anak kunci yang
biasanya digeletakkan begitu saja di pinggir jendela, sekarang mulai disimpan. Perempuan itu menjadi tujuh kali lebih rajin dan lebih sering mengontrol
ke kamar?kamar yang disewakannya. Bangun lebih
pagi. Dan tidur lebih malam. Mahasiswa?mahasiswa
yang lain mulai merasa tidak senang dengan peraturan-peraturan yang diperketat dan "jam-malam" yang
diperpanjang. Lagi satu dua hari pasti ada di antara
Sepolos Cinta Dini Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mereka yang melaporkan. Ada seorang penyelundup
di kamar Arifin. Sudah sebulan setengah melompati
pintu pagar setiap pukul sebelas malam. Menyelinap ke belakang seperti hantu. Dan memanjat masuk
melalui jendela kamar Arilin. Pembantu rumah tang?
ga sudah dua kali hampir pingsan karena menyangka
146 melihat hantu di balik pohon?pohonan yang gelap di
halaman. Seorang mahasiswa yang penakut sampai
tergagap-gagap saking kagetnya melihat seseorang
melompat ke luar melewati pintu pagar pada pukul
empat pagi. Sampai kapan mereka bisa menahan
diri? Sampai kapan Arifin dapat menyumpal mulut
mereka dengan sebungkus gado-gado?
"Yang paling celaka ..... " Arifin menambahkan.
"Oomnya bilang, mereka mau beli anjing Herder!
Nah lu! Mati nggak kita!"
"Di rumahku juga berat, Boy," sela Anto tanpa
ditanya. "Aku punya segudang adik perempuan. Bisa-bisa orang tuaku tidak tidur menjaga mereka!"
Gila! maki Boy dalam hati. Siapa yang tertarik
pada adik-adikmu?! Bocah-bocah cilik yang belum
tahu apa-apa!
"Lebih baik kau cari kamar sewa yang murahan,
Boy," usul Arilin. "Nanti kucoba membantumu dengan mengumpulkan uang dari teman?teman."
Jadi, tamatlah sudah petualangannya di tempat
kos Arifin selama tujuh minggu. Dia tidak mau membantunya lagi. Memang bukan salahnya. Posisinya
sudah serba sulit.
Bagaimana aku dapat membayar sewa kamar,
jerit Boy dalam hati. Buat makan saja sudah susah! Sepanjang hari kerjanya hanya duduk?duduk
menunggu teman yang lewat. Menunggu ditraktir.
Atau sengaja bertandang ke rumah mereka pada
waktu-waktu makan. Apa boleh buat. Malu urusan
belakang. Pokoknya perut lapar tidak kenal istilah
tunggu dulu.
147 "Kau sudah coba cari kerjaan, Boy?" tanya Anto
lagi, ketika dilihatnya Boy masih bengong-bengong
saja sejak tadi.
Boy tidak menyahut. Ia benar?benar seperti orang
linglung.
Arifin yang terpaksa menyahut untuknya, "Di mana-mana tidak ada lowongan. Sulit kalau tidak ada
koneksi."
Anto terdiam. Barangkali kau kualat pada Atiek,
sesalnya dalam hati. Kau buat gadis itu betul?betul
merana. Atau kualat pada Ayahmu? Kau selalu mem?
buat orang-tua itu sakit hati.
"Lebih baik kau kembali pada Ayahmu, Boy."
Boy menoleh. Menatap teman?temannya dengan
pandangan kosong.
"Dan menjual diriku?"
"Dirimu tidak berharga sepeser pun!" Temgiang
lagi umpatan-umpatan Atiek.
"Kau tidak punya apa?apa, Boy! Tidak juga dirimu sendiri!," kata Dewi.
Dan apa dampratan Ayahnya dua bulan yang lalu?
"Seseorang harus membuktikan padamu bahwa
kau sebetulnya tidak punya apa?apa kecuali kesombonganmu!"
Ayahnya benar. Atiek benar. Dewi benar. Mereka
semua benar. Kini tidak ada lagi yang tersisa dalam
dirinya. Kecuali yang satu itu. Kesombongan. Dan
milik satu?satunya itu harus dihancurkannya dahulu
sebelum ia dapat kembali pada mereka. Minta ampun
pada Ayahnya. Minta maaf pada Atiek. Pada Dewi.
Pada Dini. Dan pada semua orang!
148 BAB IX
MEREKA sedang duduk-duduk di tangga ruang
kuliah. Menunggu pengumuman hasil ujian
NB - CMS dikeluarkan. Menunggu adalah pekerjaan
yang paling membosankan. Apalagi menunggu hasil
ujian! Dan ujian negara lagi! Wow!
"Aduh, aku takut setengah mati nih!" cetus Yanto.
Ia menggigil seperti orang kedinginan.
"Aku malah hampir-hampir tidak berani melihat,"
sambung Arilin. "Rasanya lebih baik kita pulang
saja, yuk."
"Tolol!" semprot Abidin sekeras?kerasnya. Cukup keras untuk membangunkan sekandang kerbau.
"Contoh dong tuh si Boy! Dia tenang-tenang saja!"
"Tentu saja. Dia safe sih!" berungut Anita yang
baru saja kembali dari wc, untuk keenam kalinya da?
lam dua jam ini.
"Soalnya kali ini lulus atau tidak adalah soal hidup mati," kata Boy terus terang. "Jika kau yang tidak
lulus, An, kau masih bisa jadi sekretaris. Atau hostess. Atau"
"Enak saja kau ngomong!" bentak Anita.
Tetapi Boy melanjutkan kata-katanya tanpa mengacuhkan pelototan?pelototan mata gadis itu. "Jika
Anto tidak lulus, ayahnya sudah menyediakan kursi
direktur muda di perusahaannya."
149 "Waduh, sok tahu!"
"Kalau Arihn yang tidak lulus, dia bisa bekerja di
pabrik tempe ..... "
"Dan kalau aku yang tidak lulus," sambung
Abidin. "Aku cuma bisa memungut puntung di jalanan!"
"Kalau aku yang tidak lulus ...... " Boy meneruskan
tanpa perduli kata-katanya didengar atau tidak oleh
teman?temannya. "Mana aku berani minta suaka lagi
di rumah ayahku?"
"Jadi kau mau apa?" Rupanya Anita masih setia
mendengarkan ocehannya. "Menambah koleksi gelandangan di DKI?"
"Paling enak bunuh diri," kata Boy seperti tidak
ada apa-apa.
"Pakai tali plastik cuma lima perak, Boy!" usul
Abidin sambil tertawa gelak-gelak.
"Menceburkan diri ke kali Ciliwung malah gratis!" Toto tidak mau kalah, ikut?ikutan memberi saran.
Pukul satu tepat, pengumuman yang ditunggutunggu itu muncul. Dan Anto adalah orang pertama
yang sampai di depan kaca pengumuman.
"Yuhui! Aku lulus!" teriaknya seperempat detik
kemudian. Demikian girangnya dia sampai tidak
merasa menginjak kaki gadis di sebelahnya ketika
melompat tadi.
"Aduh! Kira-kira dong!" geram gadis itu sengit.
"Mentang?mentang lulus! Kayak kerbau gila!"
Anto tidak perduli. Ia baru mengaduh ketika rusuknya disodok siku Arihn. "Mana nomorku, To?
Aku lulus tidak?"
150 Kasihan si pendek itu. Sudah pendek. Pakai kacamata minus dua setengah lagi. Didesak orang begitu
rupa dari kanan kiri, jangankan membaca, memegangi kaca-matanya supaya tidak lepas saja sudah repot.
Sekali lagi Anto mendesak ke depan. Lehernya
yang hampir sepanjang leher j erapah itu diulurkannya jauh-jauh ke muka.
"Gila, Fin! Kau lulus!" teriaknya tiba-tiba. Mengatasi kebisingan sejuta tawon yang sedang berdesak-desakan di depan kaca pengumuman.
"Aku lulus?" gumam Arifin tidak percaya. "L-u-lu-s?" Tiba-tiba saja ia menjadi linglung. Tidak diperdulikannya ucapan selamat dari rekan-rekannya.
Tidak didengarnya apa yang dikatakan Anto. Malah
tidak diketahuinya ia sudah terdesak mundur sampai
ke ujung tangga. Ia baru sadar ketika Anto memukul
bahunya. Begitu kerasnya sehingga ia hampir terperosok ke bawah, kalau tangannya tidak lekas-lekas
memegang besi.
"Awas jatuh kau!" teriak Anita ngeri.
"Kau benar-benar dengki, To!" bentaknya purapura gusar. Padahal ia sedang gembira sekali. "Kau
hampir membunuhku!"
"Kau dengar tidak apa yang barusan kukatakan?!"
balas Anto j engkel.
Arifin menatap Anto dengan bingung. Muka Anto
begitu kusut. Mustahil. Ia seharusnya gembira.
"Tidak, To. Kau omong apa?"
"Boy gagal lagi."
Seperti guntur kata-kata itu meledak di telinga
Arifin. Dan menyengat hatinya. Untuk kedua kalinya
151 dalam lima menit ini ia menjadi linglung.
*** "KAUCARI dia di tempat kosmu dan di rumah
Dewi," kata Anto setelah mereka sia-sia mencari Boy
di seluruh kampus. "Aku cari di rumahku dan rumah
Atiek. Kalau tidak ketemu, kau terus saja ke rumah
ayahnya. Aku ke rumah Dini dan Nuning."
"Aku tidak tahu rumah Dewi! " protes Arilin kaku.
"Dan lagi ...... "
"Tolol!" maki Anto dongkol. "Tidak usah kuatir
apa-apa. Dewi tidak tertarik padamu!"
"Tapi aku betul-betul tidak tahu rumahnya!"
Tetapi Anto tidak memperdulikan lagi protes-protes
temannya itu. Ia sudah berlari-lari ke luar. Hampir
menubruk tukang majalah yang sedang berjongkok
membereskan majalah-majalahnya yang lebih sering
diaduk-aduk mahasiswa daripada dibeli.
"Kau lihat Boy?" terjang Anto begitu kepala Atiek
muncul di pintu.
Gadis itu memandangnya sebentar sebelum
menggeleng.
"Sudah ada pengumuman?" tanyanya hati-hati.
Suaranya sedikit gemetar. "Aku tidak lulus, ya ?"
"Kau lulus," potong Anto tidak sabar. "Kaulihat
Boy, tidak?!"
Mata Atiek berubah. Dan Anto buru-buru menambahkan, kuatir disangka main-main. "Boy gagal."
Untuk sekejap Anto seperti melihat sekilas simpati dan belas kasihan di wajah Atiek. Tetapi gadis itu
tidak berkata apa-apa.
152 "Masa sih kusembunyikan di sini?!" Nuning tetap
dalam "running condition"-nya. Tidak ketinggalan
tawanya yang manis merobek-robek kecemasan
Anto. Sampai hampir lupa dia untuk apa datang ke
sana. "Barangkali dikubur pacarnya yang bintang
filem itu. Kuatir main gila lagi sama cewek lain."
Dengan Nuning memang tidak mungkin bicara
serius. Buang-buang waktu. Lebih baik cepat-cepat
ke rumah Dini.
"Dini ke studio," kata ayahnya. "Internasional
Filem. Sejak pagi."
Dini memang di sana. Sutradara Amirruddin memanggilnya dengan sepucuk surat panggilan.
"Oom Bas tidak mau memakaimu," katanya
setelah mereka duduk berhadapan. "Percuma saja
aku memilihmu. Samudera Filem "kan punyanya
Tuan Basuki."
"Barangkali saya memang tidak berbakat." Dini
mengaku dengan jujur. "Mungkin dunia lilem tidak
diperuntukkan buat saya."
"Nah! Kau lihat sendiri!" cetus Amirruddin sambil menoleh kepada laki?laki yang duduk di sampingnya. Begitu keras dan tiba-tiba. "Anak ini punya sesuatu yang menarik! Yang membuat orang tidak bisa
lupa setelah sekali melihat! Dia tidak terlalu cantik.
Tidak terlalu berbakat. Tapi dia punya "Charm"! Dan
dia cocok sekali dengan peran Wydia ini!"
"Terserah padamu," sahut laki-laki itu tanpa
melepaskan tatapannya pada Dini. Pandangan yang
demikian tajamnya tidak menjadikan Dini salah tingkah. Ia hanya tidak berani balas menatap. "Produs
153 ernya memang saya tapi sutradaranya "kan kamu!
Kamu yang akan membuat Hlem itu. Nah, kamu
boleh memilih orang?orang yang cocok dengan seleramu."
"Good!" Amir menjentikkan jari-jemarinya.
"Salah satu sebab yang membuatku lebih suka bekerja padamu adalah politikmu itulah!"
"Saya tidak suka main diktator sendiri." Sayap
hidung sang produser muda itu mengembang tanpa
disadarinya. "Sutradara harus diberi kesempatan untuk mengembangkan kreativitasnya."
Dini berpikir-pikir di mana ia pernah menemui
kata-kata itu. Ketika Amirruddin mulai berkata lagi,
Dini baru ingat di koran mana kata-kata itu pernah
dibacanya.
"Bung Usman ini lain dengan Oom Bas. Dia setuju aku memilihmu untuk pemeran utama dalam Hlem
barunya."
Dini hampir tidak mempercayai telinganya. Pemeran utama! Ya, Tuhan! Terlalu besar untukku! Terlalu besar! Dan terlalu tiba-tiba datangnya! Ia hampir
tidak dapat menahan air mata keharuan yang sudah
mendesak ke luar. O, seandainya Boy ada di sini! Seandainya ia dapat mendengar kabar gembira ini!
"Bagaimana? Apa kira-kira kau sanggup?"
"Akan saya coba," sahut Dini tersendat-sendat.
Ragu-ragu. "Saya sendiri tidak yakin...."
"Aku malah yakin sekali," potong Amirruddin tegas. "Kau tidak usah kuatir. Pokoknya kau mau belajar. Aku sudah bosan melayani bintang?bintang lama.
Sekali-sekali aku kepingin juga menempa muka
baru."
154 "Kau boleh mempelajari kontrak ini sebentar,"
menyela sang produser. Ia menyodorkan sehelai kertas. "Silahkan duduk di luar. Jika sudah oke, akan
kita tandatangani. Dan Saudari menerima sepertiga
bagian dari seluruh honor yang berjumlah tigaratus
ribu. Oke?"
"Terima kasih." Dini menerima kertas itu dan
membawanya ke luar.
Dini baru saja membuka pintu ketika matanya beradu dengan mata yang luar biasa indahnya itu. Mata
Dewi Permatasari. Gadis itu sedang memasuki studio
bersama seorang laki-laki. Dan laki-laki itu bukan
Boy! Mereka sama-sama tertegun. Tetapi Dewi lebih
cepat menguasai diri.
"Hai, Rini!" tegur Dewi sinis. "Cari pekerjaan
lagi?"
"Dini," protes Dini segera. Ia tidak suka namanya
dijungkir balikkan. "Dan aku tidak mencari pekerjaan. Mereka yang mencariku."
"O, ya?" Dewi tertawa menghina. "Mereka mencarimu? Mereka sedang membutuhkan seorang figuran? Atau clepper?"
"Langsung sebagai pemeran utama," potong
Amirruddin yang tahu-tahu sudah tegak di belakang
Dini. "Sorry aku tidak memilihmu, Wi. Anak ini lebih cocok untuk peran Wydia itu. Aku telah dua kali
menggarapmu." Kemudian disambungnya lekaslekas demi dilihatnya kekecewaan memintas di paras Dewi. "Aku tahu benar peran apa saja yang dapat
kaubawakan dengan baik."
"Oh, tentu." Dewi tertawa dibuat?buat. "Aku ke
155 sini hanya mengantar Mas Rusli, kok."
Unit Manager itu menyodorkan sebuah buku.
"Aku menyampaikan jadwal dub buat besok, Bung
Amir. Di PFN, pukul satu."
"Trims." Amirruddin seakan-akan tersenyum ke
arah Dewi. "Aneh seorang bintang terkenal mau capek-capek mengantarkan jadwal dub."
"Mas Rusli mengajakku melihat set dekorasi di
sini," kata Dewi cepat-cepat, menutupi kekecewaannya. "Sekalian menyampaikan jadwal itu padamu.
Boleh, toh?"
"Mampirlah selama kau suka." Amirruddin membuka tangannya lebar?lebar. "Dan silahkan melihat-lihat. Setnya sudah hampir selesai."
Sepolos Cinta Dini Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mengapa harus repot-repot membuat set? Opname di luar "kan lebih irit!"
"Ada beberapa adegan yang memerlukan trick
yang agak sulit. Apa boleh buat. Tidak mungkin
diambil di luar studio."
Ketika Dewi tidak bertanya lagi, baru Amirruddin
menoleh pada Rusli.
"Tolong sampaikan suratku pada Oom Bas, Bung
Rusli. Mungkin hari ini aku tidak sempat ke sana.
Tunggu ya, kubuat dulu."
Ketika Amirruddin telah masuk kembali ke kantornya, Rusli menggamit Dewi. "Ayo, Wi. Katanya
mau lihat-lihat."
"Duluan deh. Aku capek." Dewi sudah menjatuhkan dirinya di kursi sebelum Rusli sempat melancarkan protes-protesnya. Dicondongkannya badannya
lebih dekat pada Dini. Dini terpaksa memiringkan
156 kepalanya sedikit agar kepala mereka tidak saling
beradu. "Wow! Lagi baca kontrak nih bintang kita?!"
"Boy baik?" tanya Dini tanpa dapat lagi menahan
dirinya. Sudah dua bulan ia tidak melihat pemuda itu.
Rasanya sudah rindu sekali. Menyesal juga melarangnya berkunjung dulu.
Dewi sedikit terperanjat. Dan aneh! Wajahnya berubah tegang.
"Tentu. Dia tidak pernah sakit, kok! Kau tidak
perlu kuatir."
Dini memandang Dewi tajam?tajam. Wajahnya
dipulas keriangan yang palsu. Ia menyembunyikan
sesuatu di balik sana. Apa?
Dan Dewi dapat membaca kecurigaan yang
bersinar di mata Dini. "Tidak ada apa-apa. Hanya
konflik sedikit. Biasa. Sejak dulu Boy adatnya jelek."
Konllik! sorak Dini dalam hati. Apakah akan
segera diikuti dengan perpisahan? Dan tiba-tiba saja
ia merasa malu. Ia tidak boleh berpikir demikian.
Memalukan!
"Kami akan menikah bulan depan," sambung
Dewi cepat-cepat. Kuatir Dini sempat bertanya lagi.
"Segera sesudah aku selesai dubbing."
"O ..... " Dini menyembunyikan kekecewaan yang
tiba-tiba menyengat di balik "O" panjang itu.
Dan Dewi telah melihat lampu hijau untuk maju
terus. "Kuharap kau suka menjadi pengiring mempelai."
"Tidak." Dini menggeleng kuat-kuat. Mengusir
kejengkelan yang hampir membunuhnya. "Tidak
77 mau. 157 "Harus Boy yang memintamu? Atau...". Dewi
mengerling lincah ke pintu kantor Amirruddin.
"Bung Amir barangkali?"
"Bukan siapa-siapa. Aku toh berhak menolak."
Pintu kantor terbuka. Dan Amirruddin muncul di
sana.
"Tolong sampaikan pada Oom Bas, Bung Rusli,"
katanya sambil menyodorkan sehelai surat.
Rusli belum sempat menjawab. Dewi lebih dulu
bangkit. Merebut surat itu dari tangan Amirruddin.
Dan melemparkannya begitu saja ke pangkuan Rusli.
"Aku akan menikah bulan depan, Bung Amir,"
kata Dewi sambil bergayutan manja di lengan si
Sutradara.
"Oho, sekarang aku tahu kenapa kau ke mari!"
Amir menepuk?nepuk lengan gadis itu dengan gem?
bira. "Kenapa buru?buru begini? Sudah keduluan?"
Tawa mereka pecah berderai. Dan tidak satu huruf
pun dalam kontrak yang sedang dipegangnya itu
dapat masuk ke otak Dini.
"Sama siapa, Wi?" potong Rusli kurang senang.
Ia merasa gadis itu menyepelekannya sama sekali.
Jangankan mengundang, bilang saja tidak! "Sama
anak bawang itu? Yang calon dokter?"
"Waduh! Nyonya dokter!" Amirruddin tertawa
lebar. "Pasti ia akan melarangmu main filem lagi!
Wah, percuma kugembleng kau mati-matian."
"Kau pasti datang "kan, Bung Amir?"
"Tentu! Kalau kau minta, aku malah bersedia jadi
tukang potretmu."
158 "Kuminta Bung Amir jadi pengiring mempelai.
Keberatan?"
"Oho, tidak sama sekali! Asal jangan diserahkan
tugas pidato saja!"
"Tentu tidak. Tugasmu hanya mendampingi mempelai pria dan memberikan cincin kepadanya."
"Beres! Sebutkan saja tanggalnya!"
Dewi bersenyum madu. Dan berpaling pada Dini.
"Bagaimana, Rin? Mau toh jadi pengiringku
sama-sama Bung Amir?"
"Tidak," sahut Dini pendek. Tanpa menoleh.
"Ah, harus Bung Amir yang minta rupanya!"
"Dia memang pemalu," tersenyum Amirruddin.
"Tapi kalau aku yang minta, pasti dia mau! Ya toh,
Din? jangan kuatir, aku belum kawin, kok!"
Jadi, inilah permainannya!, pikir Dini gemas.
Dengan uang seratus ribu dan predikat bintang-filem,
aku bahkan tidak berhak lagi mengatur diriku sendiri! Seratus ribu! Alangkah banyaknya. Dan dua ratus
ribu lagi nanti. Cukup untuk membeli sebidang tanah
di kampung. Tepat seperti yang diidam-idamkannya
selama ini. Tetapi menjadi pengiring Boy! Melihatnya membuka kerudung mempelai gadis lain, hanya
dalam jarak satu meter! Oh, mimpi yang paling buruk!
"Bagaimana, Rin?" desak Dewi sekali lagi. Senyumnya seperti seratus cemeti yang melecuti wajah
Dini. "Bung Amir pantang ditampik lho!"
"Tidak!" Kata itu seakan?akan diludahkannya ke
luar.
"Waduh soknya! Baru juga jadi bintang sehari!"
159 "Dini." Aminudin mulai meradang. Dihampirinya gadis itu sambil berpangku tangan. Dan sikapnya
menjadi lebih serius. "Kau tidak sungguh-sungguh
"kan?"
Dini tidak menengadah. Tidak memindahkan
matanya dari huruf-huruf di kertas yang sedang dipegangnya. "Menjadi pengiring mempelai tidak ter?
cantum dalam kontrak ini."
"Dini," kata Amirruddin sungguh-sungguh.
"Yang menjadikan aku tertarik padamu adalah sikap
dan pembawaanmu. Jangan kau rusakkan respek itu
dengan keangkuhan. "
"Aku hanya ingin memerintah diriku sendiri."
"Kalian sesama artis harus punya toleransi besar.
Kalau belum-belum sudah begini sikapmu terhadap
kolegamu...."
Sekarang Dini mengangkat wajahnya. Ditatapnya
mereka dengan dingin. Dan Amirruddin menangkap
kebanggaan yang aneh bersinar di mata yang bening
itu. "Tolong kembalikan kontrak ini, Pak Amir. Saya
kira, saya belum siap untuk menjadi bintang. Selamat
siang semuanya." Dini menyodorkan kontrak itu ke
tangan Aminuddin. Meraih tasnya. Dan meninggalkan mereka tanpa menoleh lagi.
Rusli adalah orang pertama yang terjaga dari pesona itu. "Kau benar-benar tidak menginginkan peran
itu?"
Langkah Dini terhenti. "Saya menghargai kebebasan untuk mengatur diri sendiri lebih dari apapun.
Dan saya tidak mau menjadi pengiring mempelai
160 mereka. Itu hak saya." Dini memalingkan kembali
wajahnya. Dan melangkah ke luar. la hampir tidak
mempercayai matanya sendiri ketika melihat Anto
menunggunya di luar.
"Anto?!"
"Dini!"
Hampir berbareng mereka saling menyapa.
"Kaulihat Boy?"
Dini tertegun.
"Kaulihat Boy tidak?" desak Anto sekali lagi.
Samar-samar Dini menggeleng. "Hampir dua bulan," sahutnya was?was. "Ada apa?"
"Ujiannya gagal lagi. Dia menghilang begitu
saja."
Mata Dini menyipit. Dan Anto membaca kekuati?
ran yang bercampur kedukaan hebat di dalam mata
yang bulat itu.
"Su ..... sudah kau cari ke rumah?"
"Rumah yang mana?"
"Rumahnya maksudku."
"Dia tidak tinggal di sana lagi. Sudah diusir
ayahnya."
Dini menahan napas. "Di. usir?"
Anto ngeri melihat betapa pucatnya wajah gadis
itu. Betapa terperanjatnya dia! Betapa ...... aduh!
Lebih baik ia lekas-lekas menyingkir. Kuatir gadis
itu tiba-tiba histeris. Kalau ia menjerit-j erit, persoalannya tambah runyam. Orang?orang akan menyang?
kanya berbuat yang tidak-tidak di tempat sepi ini.
"Maaf, aku harus buru-buru," kata Anto sambil
memutar tubuhnya. "Aku mau menemui Arifin di
tempat kosnya."
161 "Aku ikut!" cetus Dini tiba-tiba.
Anto berpaling dengan terkejut. Dan menatap gadis itu dengan keheran-heranan.
*** ARIFIN sedang duduk separuh berbaring di atas
tempat tidurnya dengan bertelanjang dada. Tangan
kanannya tidak henti-hentinya mengipas-ngipaskan
sehelai koran. Ketika Anto masuk, separuh menerobos ke dalam kamarnya, Arifin tidak berniat menjangkau kemejanya. Tetapi begitu matanya bertemu
dengan mata Dini, ia melompat bangun seperti disengat kala. Dalam sekejap, mukanya menjadi merah
padam sampai ke telinga. Gelagapan disambarnya
kemeja yang masih tergantung di kursi. Sambil membelakangi Dini, lekas?lekas dikenakannya kemeja itu.
"Sorry", katanya sambil tersenyum malu-malu ke
arah Dini.
Akan tetapi Dini sedikitpun tidak menggubris kelakuan pemuda itu. Jangankan memalingkan muka
menjadi merah pun tidak! Perhatiannya bulat-bulat
terpaku pada Boy.
"Boy tidak apa-apa?"
"Di mana Boy?" Anto sudah menindih dengan
seribu pertanyaan sebelum Arifin sempat menjawab.
"Kau ketemu dia?"
"Di rumah ayahnya," sahut Arifin cepat-cepat
sebelum mereka bertanya lebih banyak lagi. "Kata
Mang Ujang sedang tidur. Sudah pesan sebelumnya
jangan dibangunkan. Tidak mau diganggu."
162 Anto menghela napas lega. "Syukurlah", desisn?
ya sambil menjatuhkan dirinya ke kursi. Disusutnya
keringat yang berlelehan di pelipis dengan belakang
tangannya. "F in, tolong belikan minuman di depan,
dong. Aku hampir mati kering, nih."
"Silakan duduk dulu," kata Arifin seraya menyorongkan sebuah kursi kepada Dini. "Minumannya
belum dibeli."
Arifin sudah bergerak ke pintu ketika Dini mence?
gahnya.
"Terima kasih. Aku mau pulang sekarang."
"Nanti kuantarkan kau pulang," kata Anto berlagak gentleman. "Tapi aku mau minum dulu.
Boleh?"
"Terima kasih. Baiknya aku naik taksi saja. Aku
mau ke rumah Boy."
Anto dan Arifin saling bertukar pandang.
*** "TUAN di atas, Neng Dini. Lagi tidur," sambut
Mang Ujang gembira. "Syukur kau datang ke mari.
Sejak kau pergi, di sini ribuuut terus."
"Aku mau melihatnya sebentar," berkeras Dini.
Tanpa menghiraukan kedipan mata Anto ke arah Ari?
1in, Dini melewati tempat mereka. Terus ke atas.
"Tuan pesan jangan dibangunkan," sanggah Bi
Iyem takut-takut. "Kelihatannya mukanya mendung
sekali."
"Kamarnya tidak pernah dikunci. Aku akan hati?
hati sekali supaya ia tidak terbangun."
163 "Ayahnya ke mana?" Lapat-lapat telinga Dini ma?
sih menangkap suara Anto.
"Ke kampung, tuan. Sudah dua hari."
Sesudah itu Dini tidak mendengar suara mereka
lagi. Ia telah sampai di muka kamar Boy. Tangannya
sudah terulur hendak mendorong pintu ketika tiba-tiba dibatalkannya.
Ada secercah rasa malu menampar mukanya. Masuk ke kamar seorang laki-laki! Yang sebentar lagi
akan menjadi suami orang. Memalukan. Ayahnya
pasti marah kalau tahu. Dan Anto akan membawa
berita hangat itu ke fakultas mereka. Besok, ya besok, semua orang pasti sudah mendengar!
Dini sudah mundur kembali, berniat untuk turun
saja ke bawah dan menunggu di sana ketika pikiran
baru melecut otaknya. Jika benar Boy telah diusir
ayahnya, sesuatu pasti telah mengubahnya. Kalau tidak, tidak mungkin ia kembali kemari! Dan lagi ..... ,
dan lagi ...... Dini sudah begitu rindu padanya. Hampir tidak tertahan lagi.
Sebentar saja, pikir Dini nekad. Sebentar saja.
Aku hanya perlu mendorong pintu itu sedikit. Melongok ke dalam. Dan cepat-cepat menyingkir. Akan
kujaga supaya ia jangan sampai terbangun. Aku
akan hati-hati sekali. Hati-hati. Lambat-lambat Dini
mengulurkan tangannya. Jari-jarinya sudah melekat
di pintu, ketika keragu-raguan itu timbul kembali.
Bagaimana kalau dia bangun? Bagaimana kalau dia
kebetulan belum tidur? Alangkah malunya. Tetapi ...... Oh, Tuhan! Rasa rindu ini hampir tidak tertahankan! Aku harus melihatnya. Sekali lagi. Sekali ini
164 saja. Mungkin yang terakhir sebelum aku kembali ke
kampung.
Dipejamkannya matanya. Dan didorongnya pintu
itu perlahan?lahan. Sunyi. Dibukanya matanya sedikit. Mengintai dari balik bulu-bulu matanya. Boy sedang berbaring tertelungkup di sana. Bantal dan gulingnya berserakan di sisi yang lain. Tangan kanannya
mencengkeram alas tempat tidur yang acakacakan.
Tangan kirinya terulur ke bawah. Ter gantung-gan?
tung hampir menyentuh lantai. Dini membuka
matanya lebar-lebar. Tapi tetap tidak dapat melihat
wajahnya! Kepala pemuda itu menengok ke dinding.
Membelakangi pintu.
Dini harus mengitari separuh tempat tidur untuk
dapat melihat mukanya. Dan celaka! Kaki kirinya
menginjak sesuatu. Benda licin yang bergulir lincah
begitu diinjak.
Sepolos Cinta Dini Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dini jatuh terduduk. Ia harus eepat-cepat membungkam mulutnya dengan telapak tangan supaya
tidak menjerit. Dengan cemas ia menoleh ke tempat
tidur. Syukur. Boy tidak terbangun. Padahal benda
terkutuk itu menerbitkan suara yang cukup nyaring
ketika bergulir menjauh dan membentur dinding.
Benda celaka. Rasanya seperti sebuah botol. Di mana
botol itu sekarang?
Dini masih duduk di lantai. Tidak berani bergerak-gerak. Dan tidak berani merasakan sakit yang mulai menusuk?nusuk pantatnya. Matanya menoleh ke
sana ke mari mencari-cari benda itu. Dia di sana. Di
sudut sana. Dekat dinding. Sebuah botol.
Dini merangkak mengambilnya. Aneh sekali.
165 Seperti sebuah botol obat. Kata obat mengobarkan
kembali perasaan tidak enak di hatinya. Obat. Boy
pantang minum obat kalau belum terlalu sakit. Dan
botol ini sudah kosong sama sekali!
Ada dua kemungkinan, pikir Dini. Botol obat ini
sudah kosong ketika Boy hendak meminum isinya.
Atau ...... atau ...... ia menelan habis semua isi botol
itu! Tiba-tiba saja kepanikan menyerbu otaknya. Tergopoh-gopoh ia kembali ke sisi tempat tidur.
"Boy...." bisiknya di telinga pemuda itu.
Sepi. Tidak ada jawaban. Dicobanya sekali lagi.
Lebih keras. Boy tetap tidak bergerak. Setengah kalap Dini memegang bahu pemuda itu. Menariknya
sampai tertelentang. Tidak ada perlawanan!
"Boy!" Hampir berteriak Dini sekarang. "Boy!
Boyl!" Diguncang-guncangkannya tubuh pemuda
itu. Dipegangnya kedua belah pipinya. Dan dipaksanya muka pemuda itu menghadap ke arahnya.
dan Dini tidak kuasa lagi menahan jeritnya!
Muka itu, ya Tuhan! Alangkah pucatnya! Sepucat
mayat Nenek yang dilihatnya setahun yang lalu!
Mata Boy yang separuh terbuka tidak bergerak sedikitpun walau Dini berulang?ulang menepuk-nepuk
pipinya. Putus asa dan panik, Dini roboh lemas di
sisi tempat tidur. Tidak ada lagi yang dapat dilakukannya kecuali mendekap wajahnya dan menjerit
sekuat-kuatnya.
Anto adalah orang pertama yang menerjang masuk. Disusul segera oleh Arifin.
"Dini!" Anto langsung memburu dan memegang
166 bahunya. "Ada apa?" Namun kata yang terakhir itu
ditelannya kembali ketika matanya bertemu dengan
tubuh Boy.
"O, Tuhan! Tidak!" teriak Anto panik.
"Boy!" Arilin juga sudah memburu ke atas tubuh
yang sudah kaku itu. Lekas?lekas dirabanya nadi di
pergelangan tangan pemuda itu.
"Masih hidup!" cetusnya dengan napas tersengal-sengal. "Panggil ambulans, To!"
Harapan baru menjalari pembuluh-pembuluh
nadi Anto. Dipaksanya lututnya yang masih lemas
untuk tegak berdiri. Terhuyung?huyung ia mencapai
pintu sambil menyeret kakinya.
"Tilpon!" kata Anto terengah-engah pada Mang
Ujang yang masih berdiri kebingungan di bawah.
"Di mana tilponnya?"
"Masih ada harapan," bisik Arifin berkali-kali.
Tentu saja maksudnya menguatkan Dini. Tetapi
gadis itu sendiri sudah tidak mendengar apa?apa lagi.
Ia sudah keburu jatuh pingsan.
*** 167 BAB X
SELAMA empat hari yang pertama, Boy hanya berurusan dengan dokter-dokter dan psikiater yang bolak-balik menyuntik dirinya. Bertanya.
Menyuntik lagi. Dan bertanya lagi. Tetapi hari keli?
ma, tampaknya hari-hari yang menjemukan itu telah
lewat. Ia sudah diperbolehkan menerima tamu. Dan
tamu istimewa yang dinantikannya datang pada hari
keenam. Pada saat ia sudah hampir berputus asa.
Langkah-langkah kakinya begitu hati?hati sehing?
ga Boy dapat segera membedakannya dari perawat
biasa. Ketika Boy lambat-lambat membuka matanya, Dini telah tegak di sisi tempat tidurnya. Ia mengenakan rok putih bersih dengan blus putih pula.
Tangan kirinya memeluk seikat mawar.... yang berwarna putih.
Mereka bertukar pandang sejenak, sebelum Boy
mendahului menyapa, "Upik ..... kau baik?"
Dini hanya mengangguk. O, betapa kurusnya dia!
Dagunya menjadi lebih lancip. Tulang pipinya lebih
menonjol. Dan matanya menjadi lebih besar. Terlalu
besar malah untuk muka sekurus itu!
Boy mengulurkan tangannya. Ragu-ragu jari?jemarinya menyentuh pipi Dini.
"Kau benar?benar tidak apa-apa, Upik?" tanyanya dengan nada tidak percaya. "Kau kelihatan tidak
sehat...."
168 "Aku baru sembuh," sahut Dini tanpa balas me?
natap. Ia menjauhi tangan Boy. Dan meletakkan bunga-bunga mawarnya di atas meja.
"Boleh kuganti?" tanyanya tanpa berpaling.
Boy tidak melepaskan tatapannya sekilas pun.
"Kau tambah kurus."
Dini tidak menyahut. Dibuangnya bunga-bunga
layu dalam jambangan itu. Digantinya dengan yang
segar.
Boy mengalihkan pandangannya kepada mawarmawar itu. Dan kepada baju Dini. "Kenapa putih?"
"Karena orang Timur tidak pergi ke pemakaman
dengan warna merah."
Boy tersenyum. "Kalau kau lebih mengharapkan
aku mati, mengapa kau halangi aku?"
Dini menoleh. Mereka saling menatap.
"Karena aku sayang padamu," sahut Dini terus
terang. Tanpa malu-malu. "Kau jahat. Kau hampir
membunuhku! Aku benci padamu!"
Boy tertawa. Untuk pertama kalinya sejak dua bu?
lan terakhir ia dapat tertawa selega ini.
"Kau lucu, Upik. Barusan katamu kau sayang padaku. Sekarang benci ..... "
"Dengan membunuh diri, kau membuktikan
kepengecutanmu! Kau pandir, pengecut, dan tidak
berharga sepeser pun!"
"Aku memang seperti itu," kata Boy. "Sesaat sebelum menelan pil?pil itu baru kutemukan diriku:
bodoh, penakut, dan tidak punya apa-apa kecuali kesombongan!"
"Paling tidak kau masih punya nyawa. Masih punya kehidupan."
169 "Seperti anjing?" Boy menggeleng getir. "Apa
artinya hidup tanpa harga diri,? Tanpa harapan?"
"Selama ini kau hanya menggantungkan hidupmu
sepenuhnya pada ayahmu. Ketika suatu kali tali itu
putus, kau kehilangan pegangan." Dini duduk di sisi
tempat tidur. Dan langsung memegang tangan Boy.
Boy sedikit terkejut. Tak menyangka Dini seberani
itu. "Jika kau sungguh?sungguh," kata Dini tanpa
menghiraukan keheranan pemuda itu. "Aku bersedia
membantumu. Kau harus memulai kembali semuanya. Dari titik yang paling bawah."
"Dan di mana letak titik itu? Aku tidak tahu dari
mana harus mulai."
"Kau muda. Kuat. Dan terpelajar. Jika aku yang
lemah dan bodoh ini berani hidup dari hasil tanganku
sendiri, apakah kau tak merasa malu terhadapku?"
Boy merenungi kata-kata itu. Dan merasakan sesuatu, sesuatu yang tidak diketahui apa, sedang mer?
ayap di sudut hatinya.
"Persoalannya ...... " sambung Dini lagi. "Kau terlalu sombong untuk mulai dari tempat yang paling
rendah. Kau sudah terbiasa di atas sana."
Kau punya tampang untuk jadi aktor, terngiang
kembali kata?kata sutradara itu. Mengapa ia tidak
mencoba dari sana? Mula?mula mungkin hanya figuran. Peran pembantu. Tapi itu bukan pekerjaan hina,
'kan? Kenapa tidak mulai dari sana? Dari tempat
yang paling bawah seperti kata Dini. Dan tiba-tiba
saja Boy teringat kata-kata Anto kemarin.
"Anto bilang, ia menjumpaimu di studio. Mereka
memanggilmu?"
170 Dini memalingkan mukanya, supaya Boy tidak
dapat membaca kesuraman yang terlukis di sana.
"Mereka hendak memakaiku."
"Ciii!" teriak Boy gembira.
Dini tidak berani balas menatap. Tidak tega menyaksikan kegembiraan yang meluap itu. Dan kegembiraan Boy segera surut melihat kemurungan Dini.
"Aku pasti tidak salah lihat," kata Boy hati-hati.
Diangkatnya dagu gadis itu dengan jarinya. "Kau tidak kelihatan gembira."
"Aku tidak suka peran itu." Dini coba mengh?
indari tatapan mata Boy. "Terlalu kecil."
Terlalu kecil! Ya, Tuhan, aku telah berdustal, pekik Dini dalam hati.
Boy memandangnya dengan tatapan tidak per?
caya.
"Tidak sesuai dengan sifatmu," gumam Boy keheran-heranan. "Kau tidak pernah mengecilkan sesuatu. Lagi pula ..... apa katamu tadi? Kita harus mulai
dari tempat yang paling bawah!"
Aku terjebak! pikir Dini gelisah. Aku terjebak
oleh kata-kataku sendiri. Tidak mudah mendustai
orang seperti Boy.
"Aku ..... aku lebih suka pulang ke kampung," kata
Dini menggagap.
"Tapi kata abangmu kemarin, kau baru saja kembali dari sana."
Sekali berdusta, terpaksa berdusta terus. Apa
boleh buat. Dini terpaksa mengarang lebih banyak
dusta di kepalanya. Tetapi Boy tidak memberinya kesempatan lagi. Diangkatnya dagu Dini lebih tinggi.
171 Kali ini dengan kelima jarinya.
"Tataplah mataku, Upik," pinta Boy sungguhsungguh. "Ceritakan yang sebenarnya."
"Ayah telah merencanakan membeli sebidang
tanah di kampung." Lambat-lambat Dini mengangkat pandangannya. Dan matanya bertemu dengan
mata Boy. "Aku akan turut ke sana. besok."
Kata yang terakhir itu belum sempat diucapkan
ketika pintu terbuka. Mereka sama-sama menoleh.
Dewi tegak di sana. Dan jari-jemari Boy masih
melekat di dagu Dini.
Dewi tidak berkata apa-apa. Tidak menyapa. Tidak tersenyum. Tidak seperti biasanya. Ia hanya melangkah menghampiri. Berpura-pura tidak melihat.
Dini segera berdiri. "Ketika mau masuk tadi,
teman?temanmu hanya memberiku kesempatan lima
menit. Sekarang sudah menginjak menit yang ketu?
juh."
Boy menurunkan tangannya perlahan-lahan. Tan?
pa melepaskan tatapannya pada Dini. "Aku boleh
datang ke rumahmu?"
"Sampai jumpa lagi," kata Dini pura-pura tidak
dengar. Ia mengangguk kaku pada Dewi sebelum
meninggalkan kamar itu.
Sampai jumpa lagi, pikir Boy heran. Dini tidak
pernah mengucapkan kata itu sebelumnya! Tetapi ia
tidak sempat berpikir lama-lama. Dewi telah melekat
di sisi tempat tidurnya. Membungkuk dalam-dalam.
Dan mengecup bibirnya. Boy tidak membalas. Tidak
bereaksi. Ia membiarkan Dewi bertelekan dengan
siku di atas dadanya. Ia tidak menoleh ketika gadis
172 itu memegang kedua belah pipinya. Dan menciumn?
ya sekali lagi.
"Maafkan aku, Boy," bisik Dewi ketika bibir mereka hanya berjarak beberapa senti. "Semua salahku.
Seandainya kau memintaku sekali lagi, aku tidak
akan menolak. Aku bersedia menikah denganmu. Se?
karang sekalipun."
Boy memiringkan wajahnya. Dan menghela napas.
"Filemmu sudah selesai?"
"Sedang isi suara." Dewi duduk di sisi tempat tidur. Tangan kanannya membelai bulu-bulu tipis yang
mulai menyemak di pipi Boy. "Tapi aku tidak perduli."
Tentu saja sekarang kau tidak perduli, pikir Boy.
Sekarang mereka yang sangat perduli! Mereka sangat membutuhkanmu. Mereka akan menunggu, karena begitu mereka memakai suara orang lain untuk
menggantikan suaramu dalarn Hlem itu, kau akan
menuntut mereka! Bisnis memang kejam. Tetapi
menghambat produksi seharga empat puluh juta terlalu kejam!
"Aku akan menunggumu sampai selesai," kata
Boy tegas. Kemudian dengan lebih lunak, "Mereka
jadi memakai Dini?"
Dini lagi. Dini lagi. Dewi menghela napas. Dan
menarik tangannya. "Tidak dapatkah kita hidup sehari saja tanpa menyebutkan namanya?"
"Kau tidak dapat melarangku menyebut naman!" geram Boy. "Aku sudah terlanjur kenal!"
"Kalau kau memilihku menjadi isterimu, aku
ya 173 ingin cintamu seutuhnya. Aku tidak mau ada perempuan lain yang merasa mempunyai andil atas dirimu!"
"Kau egois."
"Aku perempuan!" bantah Dewi gemas. "Perempuan ingin memiliki seorang suami. Bukan sepotong!"
"Kalau begitu kau harus mencuci otakku dulu.
Menghapus nama gadis?gadis yang sudah terlanjur
kukenal. Dan kau akan memperoleh seorang suami
yang utuh milikmu. Taat. Patuh. Dan linglung."
"Bagaimana aku harus hidup dalam bayangan
perempuan itu," keluh Dewi separuh menangis. "Dia
selalu menghantui kita. Meracuni setiap pembicaraan
kita!"
Tetapi Dini bukan racun, protes Boy dalam hati.
Dia tidak pernah menuntut apa-apa. Dia menerimaku
seperti apa adanya. Dan dia perempuan juga, bukan?
"Dia beruntung," sambung Dewi tanpa memperlihatkan kejengkelannya. "Amirruddin memilihnya
dari sekian banyak calon untuk menjadi pemeran
utama."
Pemeran utama! pekik Boy dalam hati. Jadi Dini
telah berbohong!
"Dia menolak. Baik aku maupun Amirruddin tidak dapat mengerti alasannya. Ia banyak berbicara
tentang kebebasan. Hak mengatur diri sendiri. Dan
entah apa lagi."
"Kalian pasti memaksanya melakukan sesuatu,"
tuduh Boy curiga. "Sesuatu yang tidak disukainya!"
"Amirruddin hanya memintanya untuk bersa
174 ma-sama menjadi pengiring mempelai pada hari per?
nikahan kita. Salahkah itu?"
Jadi itulah sebabnya! Dini membunuh cita-citan?
ya sendiri, kariernya, harapannya! Karena tidak sudi
didikte?
Bukan alasan! Harus ada alasan lain yang lebih
kuat untuk berbuat senekad itu. Dan Boy baru menemukan jawabnya tepat tengah malam.
*** "AKU telah berpikir semalaman, Wi." Boy membuka pembicaraan dalam taksi yang meluncur ke
luar dari halaman rumah-sakit. "Dan telah membuat
keputusan." Boy memandang langsung ke dalam
mata Dewi yang penuh tanda tanya. "Aku tidak jadi
Sepolos Cinta Dini Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengawinimu."
Dewi tertegun. Bibirnya telah separuh membuka.
Tetapi tidak sanggup mencetuskan sepatah kata pun.
"Aku mencintai Dini," sambung Boy sambil memalingkan wajahnya. Tidak sanggup melihat butirbutir kehancuran yang berjatuhan dari mata Dewi.
"Jangan tanyakan apa yang kurang pada dirimu. Kau
sempurna. Jauh lebih cantik. Jauh lebih pandai. Kau
selalu memperoleh apa yang kau inginkan. Tetapi
pada saat kau hampir mengalahkan dia, aku melihat
sesuatu yang lain dalam dirinya. Sesuatu yang tidak
pernah kutemukan dalam diri gadis-gadis lain. Termasuk kau, Wi."
Dewi membuang pandangannya ke luar jendela.
Dan Boy mendengar isaknya samar?samar di selasela
kebisingan lalu lintas.
175 "Kau kejam," erangnya sambil berkali-kali
menyeka matanya dengan sapu tangan. "Suatu hari
Tuhan akan menghukummu untuk apa yang selama
ini kau lakukan terhadap kaumku!"
"Aku harus memilih, Wi." Boy coba membela diri.
"Aku toh tidak mungkin mengawini kalian semua!"
Dewi menoleh dengan marah. "Kau anggap dirimu apa sih, sampai kau punya hak untuk memilih
isteri semaumu? Kau cuma seonggok sampah busuk
yang tidak berharga, tahu?!"
"Aku memang seperti itu", sahut Boy tenang. Dibalasnya tatapan Dewi yang berapi-api itu dengan
sabar. "Aku memang sampah busuk. Dan sampah
tidak dipamerkan di muka etalase sebuah toko berlian "kan? Sampah dibuang ke tempat pembakaran,
supaya ia menjadi berguna kembali. Dan aku telah
menemukan tempat pembakaran itu". Boy menepuk
bahu si sopir taksi. "Pinggir, Mas."
Gelagapan sopir itu lekas?lekas menepikan tak?
sinya. Kuatir kalau ketahuan mencuri dengar.
"Maaf, aku turun di sini," kata Boy sambil membuka pintu. "Terima kasih mau menjemputku." Sebelum menutupkan kembali pintu taksi itu, ia masih
sempat membungkuk dan melongok ke dalam. "Ongkos taksi dan rumah sakit akan kukirimkan dengan
wesel ke alamatrnu ..... tentu saja kalau aku sudah punya uang."
Dewi memburu ke pintu. Begitu cepatnya sampai
kepalanya hampir terbentur pintu yang sedang tertu?
tup. "Kau bangsat!" semburnya sambil menjulurkan
176 kepalanya ke luar j endela. "Semoga ada mobil yang
menubrukmu!" Dan ia meludah dengan sengit.
Boy tidak perduli. Ia memutar tubuhnya. Melompati parit kecil di muka rumah Arman. Dan masuk ke
halaman.
"Selamat pagi, Kak Nani!" tegur Boy segera
setelah dilihatnya perempuan muda itu sedang menyapu di serambi.
Nani mengangkat mukanya dengan terkejut.
"Boy ..... " gumamnya keheran?heranan. "Kau
kau sudah keluar?"
Boy hanya tersenyum. "Dini ada?"
Dan Boy melihat mata Nani melebar. "Jadi dia belum mengatakannya padamu?"
"Soal apa?" desak Boy dengan hati berdebar-debar.
Nani tertegun menatapnya.
"Soal apa, Kak Nani?"
"Hari ini Dini kembali ke kampung," kata Nani
sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Aku benar
benar tidak mengerti anak itu. Kenapa tidak dikatakannya saja padamu?"
"Aku harus menyusulnya," kata Boy tanpa berpikir panjang lagi. "Tolong Kak Nani, antarkan aku
ke sana."
Nani mengerutkan kening. "Kalau kita cepat?cepat, rasanya masih bisa menyusul mereka di rumah
Paman J oko."
"Paman J oko?"
"Tadi pagi Paman tilpon, mobilnya rusak. Padahal
paman telah berjanji akan turut mengantar Dini dan
ayah."
177 "Kalau begitu, tolong antarkan aku ke rumah
Dokter Joko, Kak Nani."
"Kau bawa mobil?"
"Kita naik taksi saja."
"Beri aku satu menit untuk menukar pakaian.
Oke?"
Boy mengangguk. "Aku panggil taksi. Tapi Kak
Nani ..... "
Nani tidak jadi melangkah. la menoleh kembali.
"Eh, anu kak jangan lupa bawa uang untuk
ongkos taksinya, ya!"
Nani tertegun. Tetapi cepat tersenyum kembali.
Anak muda sekarang, dumal Nani dalam hati. Tidak punya uang mau pacaran!
*** DARI jauh Boy telah melihat mobil Arman diparkir di muka rumah Dokter Joko.
"Mereka masih di sana!" sorak Boy mengejutkan
Nani. "Stop di sini saja, Kak."
Percuma Nani mencegah. Boy telah melompat
turun. Ia tidak mau melewati Arman yang sedang
membungkuk menyusun kopor-kopor di bagian belakang mobil. Boy memilih jalan yang lebih cepat.
Melompati pagar dan berlari-lari menyeberangi halaman dari arah sebaliknya.
"Astaga," desah Nani sambil mengurut dada.
"Yang begini ini yang mau jadi suami Dini?"
Boy telah melihat Dini sedang mendatangi dari
arah mmah. Ia menjinjing sesusun rantang dan sebuah kantong plastik.
178 "Upik! Upik!" teriak Boy berkali-kali.
Tanpa mengurangi kecepatan larinya, Boy menghambur mendapatkan gadis itu. Terkejut dan terpesona, Dini tidak sempat mengelak. Terjangan Boy
menghilangkan keseimbangan tubuhnya. Dan mereka sama?sama terj erumus ke dalam kolam ikan!
"Tolong!" jerit Dini panik. "Aku tidak bisa berenang!" Ia menggelepar-gelepar dengan paniknya di
dalam air. Kedua tangannya menggerayang ke sana
ke mari. Kalang-kabut mencari pegangan.
Boy lekas-lekas mengulurkan tangannya menangkap ketiak Dini. Tetapi Dini malah menjerit dan
meronta-ronta kegelian!
"Diam-diamlah!" teriak Boy kewalahan. Ia berusaha menjinakkan gadis itu sementara Dini meronta
makin kalap.
"Bawa aku ke luar!" jerit Dini berulang?ulang.
"Keluarkan aku dari sini!"
"Kau tidak akan tenggelam, Upik", ujar Boy ketika kepanikan Dini mulai mereda. "Maukah kau kawin denganku?"
"Keluarkan aku", pinta Dini terengah?engah. la
seolah-olah tidak mendengar apa yang baru saja diucapkan Boy. Ketakutan akan tenggelam menyita
habis perhatiannya. Tetapi tiba-tiba ia tertegun. Dan
semua perlawanannya berhenti seketika. "Apa katamu?"
"Kataku, maukah kau kawin denganku, Upik?"
Dini terperanjat. Dan matanya terbuka dua kali
lebih lebar.
"Kau ..... kau mengajakku kawin?"
179 "Oh, aku cuma menanyakannya."
"Maksudmu." Dini menggagap kebingungan.
"Maksudmu ...."
"Aku melamarmu."
"Melamarku?" terbelalak Dini. "Dalam kolam
ikan?"
"Apa salahnya?" sahut Boy seenaknya. "Aku se?
dang membuat sejarah."
"Tapi aku sedang tenggelam!"
"Kau tidak akan tenggelam! Kau sedang berdiri
di atas kakiku!"
"Oh ..... " Dini terkulai lemas dalam pelukan Boy.
"Demi Allah, bawalah aku keluar dari sini, Boy. Aku
hampir mati ketakutan."
"Tidak sebelum kau jawab lamaranku."
"Kau mau aku berdusta?" tanya Dini sambil memejamkan matanya.
"Tidak."
"Kalau begitu, jangan tanyakan!"
Tamat
180 Boy, tipe pemuda masa kini yang urakan
dan selalu semau gue, terkenal sebagai
mahasiswa fakultas kedokteran yang top
di kampusnya. Dia tampan, pintar, kaya,
dan digandrungi oleh teman-teman
gadisnya.
Hidupnya yang serba enak dan santai
berakhir tatkala dalam suatu pertikaian
dengan ayahnya, ia diusir dari rumahnya,
sehingga studinya menjadi berantakan.
Dalam keadaan terlunta-Iunta,
frustrasi, dan putus asa, dia masih dihadapkan pada persoalan asmara yang lebih
rumit lagi. Ia harus memilih empat orang
gadis yang sama-sama menyayanginya.
Nuning, mahasiswi fakultas kedokteran gigi yang cantik, lincah, agresif, dan
populer di kampusnya.
Dewi, cinta pertamanya yang cantik
jelita, bintang film yang sukses, gadis yang
telah matang dalam pengalaman, tahu
sekali apa yang diinginkannya dan sampai
di mana kemampuan dirinya.
Atiek, teman kuliahnya yang manis,
setia, lemah lembut, dan penuh
penyerahan.
Serta Dini, gadis desa yang tidak
punya apa-apa kecuali cintanya yang
polos dan selalu menerima Boy seperti apa adanya.
Anna Karenina Jilid 2 6 03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Kamar Gas 5
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama