Ceritasilat Novel Online

Badai Di Usia Remaja 2

Badai Di Usia Remaja Karya Marissa Bagian 2


setelah meneguk kopinya.
"Bahagia?" Sandy mencibir sinis. "Setelah
aku terluka dan harga diriku tergadai, dia baru
muncul. Kau tahu, Raf? Aku masih merasakan
sakitnya tinju Raka. Aku juga masih merasakan
perihnya penghinaan orangtuanya. Dan yang paling
masih melekat di hatiku, adalah pengusiran Ully
ketika aku cemburu pada Danny. Dan sekarang dia
datang, minta maaf, lalu meminta aku kembali
padanya," Sandy menggeleng dengan hati sakit.
"Tidak akan, Raf, hatiku masih sakit."
"Tapi kamu masih mencintainya, kan?" 116
"Mungkin aku tidak akan pernah berhenti
mencintainya. Tapi, Raf, kalau dulu kukorbankan
harga diriku demi cinta, sekarang sebaliknya, akan
kukorbankan cintaku demi sepotong harga diriku
yang masih tersisa."
"Kamu sombong, San."
"Mungkin."
"Kamu angkuh, tahu?" Rafli mempertegas
ucapannya.
"Kamu boleh bilang apa saja, Raf," sahut
Sandy dengan hati sakit. "Tapi memang tinggal itu
yang saat ini masih kumiliki. Aku hanya memiliki
kesombongan."
"Sandy," Rafli mendatarkan suaranya. "Kamu
tahu apa artinya itu? Artinya, kamu menyakiti
dirimu sendiri. Kesombonganmu akan melukai hati
Ully. Dan bila hati Ully terluka, kamulah yang
merasakan kesakitannya, karena kamu sangat
mencintainya."
"Kamu benar, aku tahu. Tapi sakit ini, Raf, aku
tidak bisa menghalaunya. Kalau saja posisiku ada
padamu, kamu pasti akan memahami apa yang
kulakukan sekarang." 117
"Aku cukup memahami, San. Tapi ada yang
lupa kamu ingat, kamu mencintai Ully, jadi kenapa
tidak coba memaafkannya dan menerima dia
kembali lalu melupakan segala kesalahannya."
Sandy menggeleng.
"Tidak sekarang. Mungkin nanti, bila dendamku
sudah tuntas."
"Dendam?"
"Ya, dendam, Raf."
"Dendam apa? Dan apa yang akan kamu
lakukan? Meminta mamamu untuk memperlakukan Ully seperti orangtua Ully memperlakukanmu
dulu?"
"Tidak, aku hanya ingin mencari gadis lagi,
agar mereka tahu, di dunia ini yang ada bukan cuma
Ully."
"Kalau saja kamu mau mendengarkan aku,
aku ingin mencegahmu melakukan itu."
"Bukan aku tidak mau mendengarkan
saranmu, Raf, aku hanya tidak ingin membiarkan
diriku terhina di mata mereka." 118
"Terserahlah, kuharap kamu tidak menyesali
tindakanmu."
"Mudah-mudahan tidak," ucap Sandy pelan.
Rafli meneguk kembali kopinya.
*** 119
8 Namanya Elma. Dia lebih cantik dari Ully.
Lebih manis. Lebih seksi. Dan dengan rambut nya
yang sepunggung, dia kelihatan anggun. Untuk
menggantikan Ully, mungkin tidak seorang pun
yang bisa, secantik apa pun dia. Tapi untuk
mengobati sakit hatinya sekaligus untuk melarikan
diri dari kepedihannya, Elma tentu sasaran yang
tepat.
Dari bawah pohon di sudut halaman kampus,
Sandy mengawasi gadis itu. Elma sedang melangkah
menuju gerbang. Sandy ingin mengejarnya, tapi
terlalu jauh. Tapi matanya masih mengikuti
langkahnya. Dan begitu Elma berhenti di depan
sana untuk menunggu bus, Sandy buru-buru
bangkit dari duduknya dan berlari menyusulnya.
"Sayang aku nggak punya mobil, nggak
punya motor, nggak punya apa-apa," sesalnya
sambil mempercepat langkahnya. Takut bus keburu
muncul dan dia tidak sempat bicara dengan Elma.
"Hai, El," sapanya dengan napas yang sedikit
terengah karena capek jalan. 120
Elma menoleh, kemudian dibalasnya senyum
Sandy yang manis dan memikat.
"Nunggu bus, ya?" Sandy tertawa sebelum
Elma menjawab. "Pertanyaan tolol, ya?" katanya di
sela tawanya. "Habis bingung banget mau nanya
apa."
"Lucu juga kamu, San, nggak nyangka,"
komentar Elma yang juga ikut tertawa, walaupun
sebenarnya tidak ada yang lucu.
"Coba aku punya mobil, aku pasti bisa antar
kamu pulang, El," kata Sandy, kali ini terdengar
serius.
"Nggak punya mobil juga boleh antar, kok.
Kamu bisa temani aku di bus. Kan lumayan, aku ada
teman ngobrol."
"Benar, nih?"
"He-eh."
"Terus boleh mampir?"
"Duh semangatnya," olok Elma riang. 121
"Nganterin cewek semanis kamu apalagi
boleh mampir ke rumahnya, siapa yang nggak suka,
El?"
Bus muncul sebelum Elma bicara lagi. Elma
menyetopnya, lalu dengan lincah dia melompat ke
dalamnya, Sandy menyusulnya.
"Benaran kamu mau ngantar aku, San?"
tanya Elma begitu Sandy sudah berdiri di belajkangnya. Bus penuh, hingga mereka tidak kebagian
tempat duduk. Tapi Sandy merasa nyaman berada
di sini.
"Kamu emang nggak punya cowok yang bisa
ngantar dan jemput kamu, El?"
"Emang fungsi pacar tuh untuk dijadiin
sopir?"
"Ya nggak sih, tapi gadis secantik kamu, nggak
mungkin deh kalau belum punya seseorang yang
istimewa banget."
"Emang belum kok, San."
"Terlalu banyak pilihan, ya? Sampe
kebingungan dan memilih nggak pacaran dulu." 122
"Ah, nggak gitu kok, San, cuma belum nemuin
yang cocok aja."
"Tipe kamu yang kayak gimana, sih?"
"Yang pintar, yang sayang saya, dan
menerima saya apa adanya."
"Tapi dia harus cakep, kan?"
"Nggak, San, saya malah ngeri lho sama
cowok cakep, takut nggak setia, saya kan paling
takut disakiti cowok, apalagi dikhianati, nggak kebayang deh sakitnya. Makanya saya pengen yang
biasa, biar nggak bertingkah."
"Berarti aku nggak masuk tipe kamu, dong."
"Kamu emang cowok yang nggak setia?"
Sandy tertawa. "Bukan masalah itunya, tapi
aku cakep, dan kamu nggak suka cowok cakep,
kan?"
"Kamu emang ngerasa cakep?"
"Emang nggak?"
"Nggak."
"Berarti saya boleh dong jadi pacar kamu." 123
Elma tertawa. Tak peduli bus berguncang dan
bau yang berbaur menyesakkan dada, hari ini ia
bahagia, dan menikmati candanya dengan Sandy.
"Aku senang di matamu nggak cakep,
padahal teman-teman bilang, wajah saya sekeren
Richard Gere."
"Uuu ge-er!"
Tidak terasa, tujuan Elma sampai. Dia
mengajak Sandy turun.
"Ini rumahku, jelek, ya?" katanya begitu
mereka sampai di depan rumah Elma.
Rumah itu memang tidak semegah rumah
Ully, tapi Sandy menemukan kedamaian di sini. Ibu
Elma menyambutnya ramah. Saudaranya pun,
cowok, pasti adiknya, menyapanya sopan. Tidak
seperti Raka.
Dan sejak hari itu, Sandy jadi sering main ke
rumah Elma. Mereka juga sering jalan bersama.
Tapi yang tidak Sandy mengerti, kenapa baru
sekarang ia berpikir untuk mencari pengganti Ully.
Kenapa tidak dari dulu? Kenapa ia ingin sakiti Ully
pada saat ia sadar, Ully masih butuh dia dan masih
mencintainya? 124
*** Ully gelisah di rumahnya. Ini malam Minggu,
dan dia sangat berharap Sandy datang. Tapi sudah
setengah sembilan, cowok itu belum juga terlihat
batang hidungnya. Ully benar-benar merasa putus
asa. "Nunggu Sandy?" tanya Raka prihatin.
Ully mengangguk.
"Kalian membicarakan Sandy?" tanya Mama
yang sedang nonton TV. "Untuk apa?"
Papa juga terheran-heran mendengar
pembicaraan Raka dan Ully. "Apa artinya ini?
Bukankah sudah Papa larang dia muncul di rumah
ini? Tapi kenapa kamu menunggunya, Ully? Mau
menantang Papa?"
"Dengar, Pa, Ma." Raka mulai bicara. "Selama
ini, kita tidak adil menilainya, kita hanya
memojokkannya, padahal sesungguhnya, Sandy
anak baik. Sandy mampu bertahan dalam
keluarganya yang berantakan. Sandy tetap baik,
Sandy bahkan telah kembali kuliah sekarang. Dia 125
juga aktif di senat, dan aktif pada organisasi
pemuda di lingkungannya. Di samping itu,
prestasinya pada basket pun tidak diragukan. Dia
kapten tim basket kampusnya. Dan dia hampir
selalu memenangkan timnya di setiap
pertandingan. Dia hebat."
"Kenapa kamu bikin pusing? Kenapa dulu
ceritamu tentang Sandy jelek?" bentak Papa. "Papa
kan jadi malu padanya. Anak sehebat itu Papa
remehkan, Papa hina dan Papa perlakukan kasar!"
"Sebenarnya," ucap Raka tertunduk. "Raka
cuma iri pada dia, Pa. Kami pernah bersaing untuk
mendapatkan seorang gadis, dan dia yang menang.
Tapi dia memang curang waktu itu, Pa."
"Curang atau tidak, mestinya tidak kamu
balas dengan cara seperti itu. Malah dengan
mengorbankan adikmu juga!"
"Raka nyesal, Pa."
"Mama juga menyesal, kenapa harus
terpancing dengan omonganmu," timpal Mama
yang sejak tadi cuma diam. 126
"Bikin malu kamu. Dan kamu juga, UI,
bukannya jelaskan pada Papa kalau Sandy itu tidak
sejahat apa kata Raka," sesal Papa.
"Nggak usah menyesal, Pa, kita masih dapat
memperbaiki kesalahan kita pada Sandy. Kita bisa
minta maaf, kita bisa mengundangnya untuk datang
ke sini," kata Ully.
"Kamu sendiri sudah mencoba menghubungi
nya, UI?" tanya Papa pada Ully. Ully mengangguk.
"Ajak dia ke sini, Papa ingin minta maaf."
"Ya, Pa."
"Kamu keterlaluan, Raka." gerutu Papa pelan.
Raka berdiri, "Raka pergi dulu, Pa, Ma,"
pamitnya kemudian.
"Hati-hati," ucap Mama.
"Anak-anak," Papa masih menggerutu,
"Persoalan pribadi melibatkan orangtua, bikin
malu."
Mama diam.
"Makanya, Pa, lain kali jangan gampang
terpancing omongan Raka," kata Ully gemas. 127
"Papa pikir, Raka tuh sudah cukup dewasa
makanya Papa percaya pada ucapannya. Ngga
tahunya dia kekanak-kanakan."
Kedua orangtua itu hanya saling tatap.
Kemudian berangkulan meninggalkan anakanaknya.
*** Bersama Danny, siang itu Ully ke toko buku.
Dan mereka baru saja kembali dari kassa ketika
seorang gadis menghadang langkahnya. Gadis itu
manis, dan matanya yang bagus, mengingatkan Ully
pada seseorang, seseorang yang dekat dengan
kehidupannya. Sandy.
Gadis cantik itu tersenyum, manis sekali.
"Mbak Ully, kan?" tanyanya ramah.
Ully mengangguk.
"Senang ketemu Mbak," katanya lagi. "Kamu
kenal aku?" 128
"Ya. Saya kenal Mbak sudah lama. Tapi baru
kali ini saya ketemu langsung dengan orangnya


Badai Di Usia Remaja Karya Marissa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ternyata, Mbak lebih cantik dari foto yang pernah
saya lihat."
"Foto?" Ully tertawa, "Rasanya saya bukan
orang top, jadi kamu pasti salah lihat, wajah saya
kan belum pernah mejeng di majalah."
Gadis berseragam putih abu-abu itu tertawa.
"Jangan ge-er ah, Mbak, saya nggak ngeliat
foto mbak di majalah, kok, tapi di kamar Mas
Sandy."
"Sandy...?" bergetar suara Ully.
"Ya, saya adik Sandy."
Oh, pantas saja matanya sama.
"Kamu... kamu Renita, kan?" duga Ully.
"Ya."
"Sandy juga sering cerita tentang kamu. Dia
juga cerita, kalau dia selalu kangen kamu karena
rumah kalian terpisah."
"Tapi sekarang, saya mau ke rumah Mama,
iya kangen Mama dan Sandy, Mbak mau ikut?" 129
Ully menggeleng. "Pasti menyenangkan kalau
ikut."
"Ya, pasti menyenangkan," ulang Renita.
"Sekaligus, bikin surprise untuk Mas Sandy, yuk,
mbak," Renita meraih tangan Ully.
"Kamu kan lama nggak ketemu Mas Sandy.
Mama, kamu pasti lagi kangen, dan tentunya gak
mau diganggu."
"Saya nggak akan merasa terganggu."
"Masa', sih?"
"Sungguh."
"Eh, masya Allah," Ully tertawa, dan
memukul Danny yang sejak tadi berdiri bagai
patung sampingnya. "Mbak Ully lupa ngenalin. Ini
teman Mbak Ully, Danny."
Renita menoleh pada Danny, tersenyum,
Danny mengulurkan tangannya yang disambut
Renita. "Danny."
"Renita."
"Cari buku apa, Ren?" tanya Danny. Selain
ingin mengajak bicara Renita yang manis itu. Danny 130
juga ingin mengalihkan pembicaraan ke topik yang
lain, tidak melulu tentang Sandy.
"Cari novel."
"Percintaan?"
Renita menggeleng cepat. "Nggak, aku nggak
suka. Novel kayak gitu, biasanya cengeng, makanya,
Renita nggak suka. Soalnya, selain cengeng, Renita
suka mengkhayal setelah membacanya, saya suka
ngiri lho sama tokohnya, terutama ceweknya. Udah
cantik, dapetin cowok cakep, idola lagi. Beruntung
sekali, nggak kayak saya."
"Kamu juga cantik, kok," kata Ully. "Tanya
Danny, deh."
"Tapi lebih cantik Mbak Ully kan, Dan?"
"Sama, kalian sama-sama cantik. O, ya, aku
nggak setuju lho kalau kamu bilang novel yang
bertema cinta ceritanya cengeng, juga nggak setuju
kalau kamu harus ngiri dengan tokohnya. Kamu
payah sih, ngeliatnya sisi itunya. Coba dong
perhatikan sisi baiknya, seperti pandangan hidup
tokohnya, dan misi yang terkandung di dalamnya." 131
"O. ya? Aku akan coba pikirkan saranmu,"
sahut Renita.
"Tapi soal selera nggak bisa diubah, kan? Aku
nggak maksu kamu untuk mencoba membacanya,
aku cuma ingin mengubah penilaianmu."
Renita cuma senyum, tidak tahu harus
mengomentari bagaimana.
"Senang ketemu kamu, Ren, tapi kami harus
buru-buru pulang, ya kan, UI?" Danny melirik Ully
setelah memandang wajah Renita yang mendadak
kecewa.
"Tapi saya ingin bicara lebih lama dengan
Mbak Ully."
Ully pun sebenarnya sama. Dia ingin bicara
lama dengan Renita, tentang Sandy. Tapi
kelihatannya Danny sudah tidak sabar ingin segera
pergi dari sana. Mungkin telinganya sakit bila terusmenerus harus mendengar nama Sandy.
"Kita ketemu lagi kapan-kapan ya, Ren,
sekarang Mbak pulang," Ully mencubit gemas pipi
Renita. "Yuk, duluan, ya?"
Renita mengangguk. 132
Danny tersenyum padanya sebelum berlalu.
*** Begitu bahagianya Sandy dan Mama
menyambut kehadiran Renita sore itu.
"Senang tiap Sabtu sore kamu ke sini, Ren,"
kata Mama masih memeluk erat Renita.
"Papa nggak, nih?" tanya Sandy curiga.
"Bilang, dong."
"Tapi kok masih pake seragam begitu?"
"Renita nggak sabar, Mas, makanya dari
sekolah, Renita langsung cabut ke sini."
"Terus bilang Papa kapan?"
"Renita telepon Papa ke kantor dari telepon
umum, Renita bilang ke Papa kalau Renita mau ke
sini, Papa ngizinin, dan Renita langsung deh pergi."
"Sekarang mandi dulu, ya?" Mama
melepaskan pelukannya lalu menyuruhnya ke
kamar mandi. 133
"He-eh, baju-baju Renita masih banyak yang
ada di sini kan, Ma?" tanyanya.
"Masih."
Renita berlari ke kamar mandi.
"Kamu sendiri nggak seperti Renita, San,"
kata Mama begitu Renita menghilang.
"Maksud Mama?"
"Kamu nggak pernah nengok Papa."
Sandy terduduk lesu ke kursi. Lalu
menggeleng pelan.
"Kenapa?" tanya Mama seraya duduk dekat
di sisinya.
"Sandy masih merasakan, betapa sakit hati
Mama dengan pengkhianatannya," ucap Sandy
pelan.
"Mama sudah melupakannya. Biar
bagaimanapun dia adalah laki-laki pertama yang
Mama cintai. Dan Mama ingin terus mencintainya."
"Akan terus mencintainya?" Sandy tersentak
mendengar suara Mama yang lirih dan murung. 134
"Ya."
"Walaupun Papa pernah melukai hati Mama?"
"Ya."
"Sungguh, Ma?"
Mama mengangguk lebih mantap.
"Seagung itu hati Mama?"
"Entahlah, Mama hanya merasa, selama ini
Mama memang kurang memperhatikannya, hingga
Papa harus pergi."
"Tidak, Ma, pergi bukan penyelesaian.
Kepergiannya, membuat keluarga ini berantakan."
"Tapi satu hal harus kamu ingat, dia papamu,
dan kamu harus selalu mencintai dan menghormati
nya, sebesar apa pun kesalahannya pada kita."
"Sandy belum bisa memaafkan Papa. Karena
Papa, Raka jadi punya alasan untuk mengalahkan
Sandy, dan mencemoohkan Sandy di depan
keluarganya, hingga aku harus terpisah dari Ully."
"Jadi kamu lebih memikirkan Ully dari Papa.
Kamu lebih mencintainya dari apa pun?" 135
"Entahlah," Sandy bangkit dengan lesu.
"Mau ke mana? Kita belum selesai bicara kan?"
"Sandy mandi dulu, Ma."
*** "Kita makan di luar ya, Ren, Sandy juga
setuju, Kan?" tanya Mama pada kedua anaknya
setelah selesai mandi dan duduk-duduk di teras
samping.
"Renita nggak setuju, Ma. Renita ke sini
karena kangen masakan Mama, masa' kita makan di
luar," rajuk Renita cemberut.
"Kalo gitu, Renita bantuin Mama masak, ya?"
"Sekarang, Ma?"
"Ya, dong, masa' tahun depan."
"Kan udah sore, Ma."
"Untuk makan malam pasti keburu, kok.
Katanya ingin menikmati masakan Mama, masa
nggak mau bantu." 136
"Udah aja makan yang ada, Ma," kata Sandy.
"Kan ada masakan Bibik, masa' nggak dimakan,
kasihan dong, Bibik udah capek-capek."
"Nggak apa-apa, nasinya masakan Bibik,
sayurnya juga, Renita cuma kangen salad masakan
Mama."
"Ya, Ma, Sandy juga kangen, udah lama kan
Mama ngg;ik masak buat Sandy."
"Tu, kan? Mas Sandy setuju juga akhirnya."
"Ya, deh, kita bikin salad ayam asap, ya?" kata
Mama.
"Siip," Sandy setuju.
"Oya, Ma, biar makan malamnya meriah,
Renita punya usul," cetus Renita tiba-tiba.
"Usul apa, Ren?" tanya Sandy ingin tahu.
"Ini kan malam Minggu. Mas Sandy pasti
harus ngapel. Jadi sekarang gini aja, Mas Sandy ke
rumah Mbak Ully sekarang, jemput dia, dan kita
ajak dia makan bersama, sementara Renita dan
Mama masak. Atau suruh buru-buru ke sini biar
bantuin kita masak ya, Ma." 137
"Ide bagus," seru Sandy senang.
"Tapi, Mas...," Renita ragu. "Kenapa?"
"Mas Sandy ntar dimarahin sama orangtuanya nggak?"
Sandy menggeleng. "Mereka sudah baik
sekarang, sudah mau menerima Mas Sandy. Jadi
jangan khawatir, Mas Sandy akan berhasil
membawanya ke sini tanpa halangan."
"Syukur deh, o ya, Renita lupa cerita, tadi
siang, Renita ketemu dia di toko buku."
"Kamu gimana sih? Katanya nggak tahan
kangen Mama, eh malah mampir ke toko buku,"
tukas Sandy.
"Dari sekolah, Renita langsung ke salon
nemuin Mama, dan karena Mama sibuk banget dan
Mama bilang Mas Sandy masih di kampus, Renita
pergi aja ke toko, nyari buku terus di sana Renita
ketemu Mbak Ully."
"Dia sendiri?"
"Ng... he-eh, sendiri." Renita agak tergagap,
sebenarnya ia ingin bilang kalau Ully tidak sendiri,
tapi Renita takut Sandy salah ngerti dan cemburu. 138
Lagi pula Renita yakin, cowok itu pasti cuma
temannya. Walaupun sudah punya pacar, kan tidak
dilarang akrab dengan cowok lain, asal bisa
membatasi diri saja.
"Kalau begitu saya pergi sekarang deh. Sejak
mereka ngajak damai, belum pernah saya ke
rumahnya," cerita Sandy pada Mama dan adiknya.
"Boleh pinjam mobilnya kan, Ma?" Mama
mengangguk.
"Kuncinya, Ma?"
"Di atas meja di kamar Mama."
"Mas Sandy beliin apa kek, Ma. Kalau nggak
motor, mobil Mama kasih dia aja," kata Renita
prihatin mendengar cerita Sandy yang ngejar-ngejar
bus tiap hari.
"Kapan-kapan deh."
"Tapi Papa bilang, kalau Mas Sandy datang ke
rumah Papa, Papa janji mau belikan Mas Sandy
mobil."
Sandy pura-pura tidak mendengar. Rasanya,
lebih baik nggak punya mobil daripada datang ke 139
rumah Papa yang telah menyakiti Mama dan
meninggalkannya.
"Papa bersungguh-sungguh kok. Mas,"
Renita meyakinkan.
"Kalau emang niat beliin, dari dulu aja"
tukasnya judes.
"Dulu kan Mas Sandy masih SMA, Papa aggak
mau anak kecil dibeliin mobil. Sekarang Mas Sandy
sudah pantas memiliki itu."
"Mas Sandy mau beli sendiri aja nanti."
"Kapan? Seabad lagi?" ledek Renita.
"Kapan pun nggak jadi masalah, yang penting
tidak tergantung terus pada pemberian orangtua.
Ya nggak, Ma?"
Mama cuma mengangguk pelan. Mama sedih
bila Sandy terus-terusan memusuhi papanya.
*** 140
Sandy menghentikan Mazda-nya di depan
pintu pagar rumah Ully, tapi dari sana, ia melihat
jelas teras rumah itu. Dan betapa sakit dadanya,
Ully duduk di sana berdua dengan Danny. Mereka
memang cuma ngobrol, tidak terlihat bermesraan.
Tapi ini malam Minggu. Malam yang istimewa dan
khusus. Dan mereka melaluinya berdua.
Sandy meluncurkan kembali mobilnya.
Meninggalkan rumah itu dengan hati sakit.
Dipacunya kendaraannya dengan kecepatan tinggi.


Badai Di Usia Remaja Karya Marissa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sandy melompat turun begitu sampai rumah.
Dibantingnya keras pintu mobilnya.
"Kok udah pulang? Mana Mbak Ully?" Renita
menyongsongnya di teras.
"Pengkhianat!" teriak Sandy.
"Kenapa?"
"Malam Minggu bukannya tunggu aku, malah
enak-enak pacaran! Masih untung kalau dengan
orang lain, ini malah dengan Danny sialan!" Sandy
membanting tubuhnya ke kursi teras.
"Danny?" Renita terkejut. 141
"Kamu kenal Dia?" Sandy menatap wajah
adiknya heran.
Renita mengangguk.
"Kenal?"
"Ya."
"Kenal di mana?"
"Di toko buku tadi siang. Dia bersama Mbak Ully."
Sandy menghempaskan punggungnya pada
sandaran kursi dengan marah.
"Udah deh, Mas, kalau emang Mbak Ully
udah nggak sayang lagi pada Mas, Mas cari aja
cewek lain, dan lupakan dia. Mas Sandy kan cakep,
pasti nggak susah nyari cewek, yang lebih cantik
dari Mbak Ully pun, pasti bisa Mas dapatkan."
"Memang sudah," katanya mendadak ingat Elma.
"Sudah? Berarti Mas yang pengkhianat dong."
"Bukannya gitu, dari dulu aku sudah curiga
dengan Danny. Dan aku juga benci pada
keluarganya. Jadi aku cari aja lagi, lalu aku dapat
Elma." 142
"Elma?"
"Ya, dia lebih cantik."
"Kalau begitu, dia aja Mas Sandy jemput dan
ajak makan malam bersama kita."
"Kupikir memang seharusnya begitu," Sandy
bangkit dari duduknya. "Kamu kasih tahu Mama
biar Mama nggak kaget aku bawa Elma nanti, ya?"
"Ya."
"Yuk, Mas Sandy pergi dulu, ya?"
Renita mengangguk.
*** Sandy mengantar Elma ke rumahnya, setelah
acara makan mereka usai.
"Kamu suka keluargaku?" tanya Sandy.
"Tentu saja, mereka ramah. Mamamu,
Renita, semua menyenangkan, rasanya, aku ingin
kau undang lagi kapan-kapan. Aku suka masakan 143
mamamu, dan aku salut, walaupun sibuk, beliau
masih juga sempat masak untuk anak-anaknya."
Sandy tidak memberi komentar.
"Kelak, aku pun ingin seperti mamamu, tetap
punya waktu untuk keluarga, meskipun sibuk
dengari kariernya."
Sandy tersenyum pahit mendengar itu.
"Kamu beruntung memiliki Mama seperti dia."
"Kamu juga beruntung memiliki ibu seperti
iburnu. Aku suka, ibumu lembut, ramah, dan
kelihatannya, dia begitu memperhatikanmu."
"Tapi aku tetap ingin seperti mamamu, aku
ingin punya karier dan tidak menelantarkan
keluarga. Aku nggak ingin seperti ibuku, yang hanya
bisa mengurus anak, yang hanya tinggal di rumah."
"Tentu saja kamu bilang begitu, El, kamu
tidak tahu siapa mamaku yang sebenarnya..., keluh
hati Sandy. "Kamu pikir pekerjaan ibumu yang
hanya di rumah tidak berat dan tidak mulia?" cetus
Sandy akhirnya, setelah diam beberapa saat.
"Apa kamu lebih suka tipe wanita yang
seperti ibuku?" 144
"Terus terang, ya," tegasnya. Itu
dikatakannya karena ia tahu bagaimana sibuknya
Mama hingga rela mengorbankan pernikahannya
yang bahagia bersama Papa.
"Kamu pun ingin istrimu kelak begitu?"
"Kukira juga ya. Kenapa?"
"Kita berbeda," keluh Elma. "Sudahlah,
jangan bersedih, kita punya cara untuk mengambil
jalan yang terbaik. Dan itu tidak perlu kita pikirkan
sekarang. Perjalanan kita masih terlalu jauh."
Elma diam. Mobil berhenti karena mereka
sudah sampai. Elma melompat turun setelah Sandy
membukakan pintu mobilnya.
Elma baru akan menyentuh pintu rumah,
untuk mengetuknya, ketika tangan Sandy
menyentuh jemarinya.
Elma tidak menolak ketika tangan Sandy
menggenggam jarinya. Mereka berdiri berhadapan,
dekat sekali. Suasana yang sepi, lampu teras yang
tidak terlalu terang, membuat keduanya terhanyut
ke dalam suasana yang amat romantis. 145
Begitu mata mereka saling beradu, mereka
sama-sama tidak mampu menahan diri. Mereka
berpelukan dengan bibir saling berpagutan.
Dengan pasrah, Elma membiarkan saja
wabahnya diciumi. Ia bahkan berusaha membalas.
Mereka berpagutan lama, dengan jari-jari
bertaut. Sambil bergenggaman erat.
*** 146
9 Untuk pertama kalinya Sandy menginjak
rumah Papa, itu pun, kalau tidak didesak Mama dan
Renita, Sandy pasti tidak akan mau. Entah-lah, dia
masih belum ingin ketemu Papa.
Renita menyeretnya ke dalam.
"Duduk ya, Renita panggil Papa," kata Renita.
"Mas Sandy pulang aja, deh."
"Kalau Mas Sandy pulang, Renita janji nggak
akan ke rumah Mama lagi."
Bibik yang tadi membukakan pintu, kembali
membawakannya minum.
"Pacarnya ya, Non. Cakep Lho," bisik Bibik
pelan.
"Pacar! Dia kakak saya, Bik. Mas Sandy, yang
sering saya ceritakan dan sering Papa bicarakan."
"Ooo." Bibik meletakkan gelas ke meja.
"Silakan, Den. Kok Den Sandy baru sekarang datang
ke sini?"
Sandy cuma senyum. 147
Renita meninggalkan mereka. Dan tidak,
lama kemudian, dia kembali dengan Papa.
Papa tersenyum melihat kehadirannya.
Wajahnya yang mulai menua dan sedikit berkerut
dimakan usia, sedikit cerah melihat anak sulungnya
yang sangat dirindukannya.
"Senang kamu mau menengok Papa, Sandy,"
ucapnya hampir tanpa suara. Suara beratnya
tenggelam ke dalam rasa bahagia yang teramat
sangat. Tiga tahun sudah mereka tidak bertemu.
Tak ada sambutan, Sandy tetap duduk membeku di
sofa.
"Papa sangat merindukanmu," ucap Papa.
Sandy bangkit pada saat Papa duduk di sisinya dan
ingin memeluknya.
"Sandy cuma mengantar Renita, Pa, soalnya
Kemalaman, dan takut dimarahi Papa," katanya
bergerak ke pintu.
"Sandy," bibir Papa bergetar ketika
menyebut namanya. "Kamu datang bukan untuk
Papa?"
Sandy menggeleng. "Selama ini Papa tidak
peduli Sandy, jadi untuk apa Sandy pikirkan Papa?" 148
"Mas Sandy jahat!" teriak Renita seraya
memburu ke pintu. "Papa peduli Mas Sandy, tiap
hari Papa bicara tentang Mas Sandy, dan tiap saat
Papa kangen Mas Sandy. Papa sangat mencintai
Mas Sandy."
"Dengan meninggalkan aku dan Mama serta
memisahkan kita, Papa buktikan cintanya?" serang
Sandy sinis.
"Kamu nggak ngerti, Sandy," cetus Papa
putus asa.
Sandi kembali melangkah.
"Dengarkan Papa dulu, duduklah di sini. Papa
ingin bicara."
"Maaf, Pa, Sandy nggak punya banyak waktu."
"Baiklah, kita tidak bicara sebagai ayah dan
anak, tapi bicara sebagai dua orang laki-laki
dewasa," kata Papa seraya menyentuh bahu Sandy.
Sandy memutar tubuhnya, memandang
wajah Papa lurus-lurus.
"Mau duduk sebentar dan kita bicara?"
Sandy mengangguk. 149
Papa berpaling pada Renita. "Kamu masuk
Ren," perintahnya.
Renita menurut, dia segera berbalik dan
meninggalkan mereka. Papa membawa Sandy
kembali ke sofa. Mereka duduk.
"Pada awalnya, Papa hidup berbahagia
dengan Mama. Mama istri yang baik. Dan
kebahagiaan itu terasa kian sempurna setelah
kalian lahir dan tumbuh menjadi besar. Dan ketika
kalia besar itulah Mama berubah. Mama membuka
SaIon. Dan setelah beberapa tahun, Mama berhasil
memperluas salonnya bahkan mendirikan
beberapa cabangnya. Mama lalu sibuk dengan
dunianya. Bahkan Papa dan kalian pun tersisih.
Sampai akhirnya, Papa jarang menemukan Mama di
rumah. Mama benar-benar asyik sendiri ke dalam
dunianya. Dan karena Papa tidak mampu bertahan.
Papa mencoba mencari kompensasi, dan Papa
ketemu Lita. Pada saat itu, Mama tahu, dan Mama
marah lalu meminta Papa untuk memilih, Lita atau
Mama. Dan supaya adil, Papa pun meminta Mama
memilih, Papa atau salon, dan kamu tahu apa
jawaban Mama? Mama bilang, salon adalah
segalanya untuk Mama, lebih dari apa pun. Dan 150
Mama tidak mungkin meninggalkannya, karena
katanya, Mama merintis usahanya dari bawah, jadi
tidak mungkin Mama meninggalkannya begitu saja.
Mama bahkan sempat bilang, kalau dia lebih suka
kehilangan apapun daripada salon, padahal harus
nya Mama mengambil jalan tengah. Tetap
bertanggung jawab pada keluarga, tapi tidak
meninggalkan salon, kan bisa orang lain yang
mengelola, Salon. Tapi Mama tidak terima usul
Papa. Mama benar-benar ingin terjun langsung
tanpa tanggung-tanggung." Papa berhenti untuk
menarik napas. Sandy menunggu kelanjutannya.
"Sandy, kalau posisi Papa ada pada kamu saat itu,
kamu pikir apa yang kamu lakukan?"
Sandy tidak menyahut.
"Papa laki-laki, Sandy. Papa masih butuh
perhatian seorang istri, masih butuh cinta dan kasih
sayangnya, sementara di rumah Papa tidak bisa
mendapatkannya. Tentunya kamu mengerti, kalau
akhirnya Papa pilih keluar dari rumah dan memulai
hidup baru dengan wanita lain. Jangan salahkan
Papa, Sandy. Papa yakin, kamu pun akan melakukan
hal serupa bila mengalami apa yang Papa alami." 151
"Ya, Sandy pasti akan melakukan apa yang
Papa lakukan."
"Jadi kamu bisa mengerti sekarang, kan?"
Sandy mengangguk.
"Papa sayang kalian. Demi Tuhan, berat
sebenarnya Papa tinggalkan kamu dan Mama, tapi
Papa bingung. Dan Papa pikir waktu itu, kamu akan
paham, hingga Papa tidak harus kehilangan kamu.
Tapi nyatanya kamu malah menghindari Papa. Papa
kecewa dan sedih, Sandy, tapi tidak ada yang dapat
Papa lakukan kecuali terus memikirkan dan berdoa
untuk kamu di setiap malam dan setiap shalat
Papa," mata Papa merebak.
"Pa...," Sandy memeluk Papa.
"Papa sayang kamu, Sandy. Papa selalu
merindukanmu. Dan Papa selalu ingin memelukmu
seperti ini," Papa membalas dekapan Sandy lebih
erat lagi. "Renita pernah bercerita kalau kamu
sempat berhenti kuliah. Tapi dia juga tak lupa cerita
tentang kehebatan kamu di lapangan basket. Papa
bangga mendengar prestasimu. Dan Papa juga
bahagia mendengar kamu sudah kembali kuliah.
Dan saat ini, adalah saat yang paling bahagia dalam 152
hidup Papa, karena Tuhan masih mengizinkan Papa
untuk memelukmu kembali, padahal Papa sudah
putus asa."
Sandy kian dalam memeluk Papa. Ada
kedamaian yang sudah lama tidak ditemukannya.
Kerinduannya pada kehangatan dan kasih Papa, kini
terlepaskan.
"Sandy juga bahagia, Pa," ucap Sandy dengan
suara tersekat di kerongkongan.
*** Ully datang lagi ke rumah Sandy, Sandy
berusaha menyambutnya seramah mungkin.
"Kenapa kamu tidak pernah datang-datang
ke rumah, San? Padahal setiap waktu aku
menunggumu," kata Ully sedih.
Sandy tidak menyahut. Dia hanya
memandang Ully yang murung. 153


Badai Di Usia Remaja Karya Marissa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Karena kamu sudah tak mencintaiku lagi?
Atau karena kamu masih belum dapat memaafkan
aku, Raka, dan orangtuaku?"
Semuanya!
Ah! Inginnya Sandy teriakkan kata itu. Tapi
melihat mata Ully yang basah, Sandy cuma
menggeleng.
"Sandy, kamu masih bisa bicara, kan?
Katakan sesuatu padaku, agar aku dapat mengambil
keputusan, terus menunggumu seperti ini, atau
melupakanmu," ucap Ully memelas dan penuh
permohonan.
"Kamu masih mencintaiku?" Sandy malah
tanyakan itu.
"Kalau tidak, untuk apa aku jauh-jauh datang
ke sini," sahut Ully giris.
"Aku juga masih mencintai kamu," ucap
Sandy pelan. Lalu berkelebat adegan di teras rumah
Ully malam Minggu kemarin. "Tapi terus terang, aku
nggak percaya kalau kamu masih cinta aku seperti
katamu tadi. Kamu datang ke sini hanya untuk
menebus kesalahanmu dan keluargamu dulu, kan? 154
Kamu merasa iba padaku yang cengeng dan tolol ini,
kan? Cuma iba, bukan cinta," kata Sandy sedih.
"Begitu yang ada di kepalamu, Sandy? Itu
yang kamu pikirkan tentang aku? Tentang tulusnya
cintaku?"
"Tuluskah bila malam Minggu-mu kamu lalui
dengan Danny dan bukannya menunggu aku?"
"Kau...."
"Aku ke rumahmu, tapi yang kutemui, kau
sedang berdua dengan Danny. Jangan
menyangkal," sela Sandy ketika mulut Ully terbuka
untuk bicara. "Renita pun menjumpai kalian di toko
buku sedang bersama, nggak masuk akal kalau
hanya teman."
"Kamu salah ngerti, Sandy. Kamu...."
"Nggak usah ngeles, deh, aku tahu aku nggak
pantas untuk kamu. Keluargaku berantakan...."
"Demi Tuhan, Sandy, di hatiku cuma ada
kamu. Aku hanya mencintaimu. Danny datang
menemaniku karena tiap malam aku duduk diri
menunggumu. Aku rindu kamu, Sandy, dan setiap
detik kutunggu kehadiranmu di rumah. Tapi kamu 155
tidak pernah muncul. Aku tersiksa dan sepi, lalu
Danny menemaniku, hanya menemaniku."
"Kenapa harus Danny? Kenapa tidak Emil?
Atau tidak bersama keluargamu? Kenapa harus
selalu jalan dengan Danny, UI? Apa di dunia ini
cuma Danny yang bisa kamu akrabi?"
"Karena cuma Danny yang bisa mengerti
penderitaanku. Bahkan kamu yang sangat
kuharapkan pun tidak mengerti kepahitanku. Aku
tahu kenapa kamu begitu, karena kamu tidak
menyayangi aku lagi, kan? Dan Danny yang
menolongku, malah kamu jadikan sasaran
kemarahanmu, dan kamu jadikan dalih untuk pergi
menghindariku. Nggak apa-apa kalau memang itu
maumu. Aku tahu harus berhenti mengemis
cintamu," Ully berdiri, dengan tergesa dia
melangkah ke pintu.
"Ully!" Sandy berseru memanggilnya.
Ully terus melangkah.
"UI!" Sandy memburunya. "Tunggu, UI!"
Sandy menyambar lengannya. Dan dibalikkannya
tubuh Ully menghadap wajahnya.
Sandy tergetar, pipi gadis itu basah. 156
"Maafkan saya, UI," bisik Sandy seraya
menghapus lembut air mata di pipi Ully "Maafkan,
aku sama sekali tidak bermaksud melukai hatimu,
aku cuma cemburu pada Danny, dan kecemburuan
itu datang, karena aku mencintaimu. Maafkan aku
ya, UI, aku janji, aku tidak akan menyakitimu lagi."
Ully menjatuhkan kepalanya ke dada Sandy.
"Kamu mau menjauhi Danny untukku, Ul?"
tanya Sandy seraya membelai lembut rambut Ully.
Ully mengangguk.
"Dan mau berjanji hanya mencintaiku?"
"Tentu, Sandy. Tentu."
Sandy merenggangkan dekapannya.
Ditatapnya mata basah Ully beberapa saat, lalu
dengan lembut disusutnya air mata gadis itu. Sandy
membimbingnya, dan membawanya kembali ke
sofa.
"Minggu kemarin Renita ke sini," cerita
Sandy. "Mama masak banyak, dan Renita ingin
mengundang kamu agar kita kumpul dan kamu
menikmati masakan Mama bersama kami, tapi aku
melihatmu sedang duduk berdua dengan Danny di 157
terasmu." Sandy menggeleng keras setelah berkata
begitu. "Ah, tidak seharusnya kubicarakan itu
kembali, kita tidak harus bertengkar lagi, kan?"
Sandy memandang lembut wajah Ully.
"Aku mencintaimu, UI," ucapnya, lalu
dibelainya wajah Ully dengan jari-jarinya, lalu
lehernya.
Ully membalas tatapan Sandy lebih lembut
lagi.
"Aku tidak mau kehilangan kamu lagi, UI,"
Sandy membelai-belai punggung Ully.
"Aku juga."
Sandy menyentuh dagunya, mendongak
kannya sedikit, lalu ditundukkannya wajahnya, dan
dikecupnya hangat bibir Ully. Gerakan perlahan,
lembut namun meyakinkan. Sensasi yang timbul
karena gerakan bibir Sandy dan bibir Ully, membuat
Ully merangkul bahu Sandy erat.
Dari bibir, mulut Sandy turun, menelusuri
dagu dan lehernya. Ully memejamkan matanya,
menikmati kedamaian yang ada.
*** 158 159
10 Bersama Elma, Sandy berdesak-desakan d
dalam bus. Dulu, dia menikmati ini. Tapi sejak dia
kembali menerima Ully, rasanya Elma tidak lagi
menyenangkan. Sandy memandangi wajat Elma
yang kusut oleh keringat. Betapa tidak tega
meninggalkannya. Sandy tiba-tiba menyesal kenapa
harus dia dekati gadis itu, sementara d hatinya
masih ada Ully. Untuk apa dia balaskan sakit hatinya
pada Ully dengan mengorbankan Elma?
"Tadinya kupikir," kata Sandy dulu pada Rafli,
"Dengan mendekati Elma, aku dapat membalas
dendamku pada Ully dan keluarga Ully. Aki sempat
berpikir, aku akan pacari Elma, dan membiarkan
Ully melihat kami. Dan aku ingin keluarganya tahu,
bahwa aku bisa mendapatkan gadis yang lebih
cantik dari Ully. Dan Ully bukan satu-satunya wanita
di dunia ini. Aku ingin berbuat begitu karena mereka
terlalu menghinaku. Tapi akhirnya aku nggak tega.
Aku mencint Ully, Raf. Teramat sangat."
"Lalu Elma? Haruskah dia yang kamu lukai?"
tanya Rafli. 160
Sandy menggeleng sedih.
"Mau nginap di bus?" suara lembut Elma
disertai tepukannya di bahu Sandy, mengejutkan
cowok itu dari lamunannya.
"Sampai, ya?" tanyanya tergagap.
"He-eh. Yuk, turun," Elma melompat turun
mendahuluinya.
Sandy lalu menyusul turun juga. Mereka
beriringan melangkah. Dari kampus pdi, mereka
jalan-jalan dulu. Dan karena sudah sore, Sandy
merasa berkewajiban mengantar Elma pulang.
"Yuk masuk," ajak Elma begitu mereka
sampai rumah.
Sandy masuk, lalu duduk di ruang tamu.
"Sore-sore begini, pasti enak kalau kita ngopi.
Aku bikinin kopi, ya?"
Ya, Tuhan, betapa manisnya Elma. Terlalu
manis untuk disakiti.
"Kok ngeliatin gitu, sih?" tegur Elma dengan
senyum. Sandy tersentak, lalu mencoba mengurai
senyum. 161
"Mau kan kubuatkan kopi?"
Sandy mengangguk.
"Tunggu di sini, ya?"
Sandy mengambil buku dari dalam tas, lalu
dipakainya untuk mengipasi wajahnya. Setelah
berdesak-desakan di dalam bus, rasanya panas
sekali. Dan sebenarnya, tidak cocok bila harus
minum kopi. Yang Sandy inginkan sekarang adalah,
segelas minuman dingin, bukan kopi. Tapi dia tidak
berani menolak tawaran Elma.
Sandy menyimpan kembali bukunya. Dia
berpikir keras apa yang akan dilakukannya. Bicara
jujur pada Elma? Meninggalkannya setelah sekian
lama memberinya mimpi-mimpi indah? Oh tidak!
Itu terlalu kejam dan tak berperasaan.
Lalu aku harus bagaimana? Tanya hatinya
kesal dan marah. Dia menyesal, kenapa dia
mencoba masuk ke dalam kehidupan Elma? Kenapa
harus Elma, Tuhan?
"Seharusnya, bukan Elma yang kamu pilih
kalau tujuanmu tidak untuk bersungguh-sungguh,"
sesal Rafli ketika Sandy mengajaknya bicara di
rumahnya kemarin. 162
"Aku nggak tahu. Pokoknya yang menarik
perhatianku waktu itu cuma Elma."
"Tapi kalau untuk pelampiasan begitu, bukan
Elma orang yang tepat. Bukan Elma orangnya,
Sandy."
"Melamun?" Elma muncul dengan dua
cangkir kopinya.
"Eh," Sandy menggeleng dan memaksakan
diri untuk tersenyum.
Elma meletakkan cangkirnya ke meja. "Ibu
nggak ada?"
Elma menggeleng. "Padahal dari kemarinkemarin lho Ibu nanyain kamu."
"Masa?"
"Ya, kamu kan jarang main kemari akhir-tkhir
ini. Malah sudah beberapa kali malam minggu
nggak datang."
Sandy berpikir lagi, barangkali inilah
kesempatan itu, kesempatan untuk bicara jujur.
Dan iia diam, menunggu Elma bicara lagi. Dia
bahkan berharap Elma marah karena Sandy jarang 163
ngapel, bahkan hampir sebulan dia tidak ke rumah
ini. Tapi Elma tetap manis. Tidak marah.
"Kapan kamu undang aku ke rumahmu lagi,
San?" tanya Elma mengagetkan Sandy.
"Ng... kapan, ya?"
"Kapan, dong? Aku suka rumah kamu."
"O, ya?"
"He-eh."
"Ada hal lain yang kamu suka?"
"Banyak. Aku juga suka adikmu, suka mamamu yang ramah. Sungguh, aku benar-benar ingin
datang lagi ke sana. Tapi tentu aku tidak berani
datang bila tidak kau undang."
Sandy cuma tersenyum gugup.
"Kopinya diminum dong, San."
Sandy meneguk isi cangkirnya. Terasa sedikit
agak segar.
Elma mengamati wajahnya. Sandy kelihatan
lain hari ini, sejak tadi dia sering terlihat melamun
dan agak gugup. Ada apa dengannya? 164
Sandy meletakkan cangkirnya. Lalu membuka
mulutnya lagi siap bicara, tapi... tenggorokannya
terasa tersekat. Bibirnya beku, dan lidahnya terasa
kelu. Dan dia ingin lari dari itu. Ya, dia harus
melarikan diri karena tidak sanggup berbuat apaapa saat ini.
"Aku... aku pulang dulu," katanya seraya
mengangkat tubuhnya dari kursi.
"Nggak istirahat dulu?"
Sandy menggeleng.
"Sampaikan salamku pada Renita, ya?"
"Ya."
Sandy melangkah ke pintu, Elma mengiringinya di belakang.
"Yuk, El, salam saja untuk Ibu," pamitnya
kemudian.
Elma mengangguk.
*** 165
Malam ini kembali Danny datang. Ully gelisah
dan bingung. Menemaninya dan menerimanya, Ully
sama sekali tidak berminat, tapi mengusirnya,
bukan tindakan yang bijaksana.
"Aku mengganggumu?" tanyanya.
Ully menggeleng. "Kurasa bukan itu niatmu
datang ke sini, kan?"
"Ah, tentu saja tidak," geleng Danny dengan
senyum. Rambut gondrongnya yang diikat
bergoyang.
Ully suka rambut gondrong yang selalu rapi
itu. Suka senyumnya yang manis. Suka tubuhnya
yang macho. Suka perlakuan lembutnya pada Ully.
Pokoknya, semua yang Danny miliki Ully suka. Tapi


Badai Di Usia Remaja Karya Marissa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hanya sebatas itu. Hanya suka. Karena cintanya
sudah diserahkan utuh-utuh pada Sandy. Hanya
untuk Sandy.
"UI, aku ingin mengajakmu menikmati sate di
ujung jalan sana. Masih suka nongkrong di pinggir
jalan, kan?"
"Tentu saja," sahut Ully riang. Sandy tidak
pernah mengajaknya makan di pinggir jalan. Dan
rasanya dia rindu sekali. "Mau?" 166
"Ya, aku mau," kata Ully bersemangat.
"Sudah lama aku tidak makan di sana. Dulu Raka
sering mengajakku, tapi sejak kami bermusuhan
dulu, acara itu terhenti. Dan setelah kami rukun
kembali, Raka selalu sibuk. Jadi aku nggak pernah
lagi nongkrong di sana."
"Pergi sekarang, yuk."
"Yuk."
Bukan Ully berubah pikiran. Ully hanya ingin
menikmati sate. Dan ingin membicarakan masalah
mereka di sana nanti. Ully ingin memberi kesan
manis malam ini untuk Danny. Setelah itu, dia ingin
Danny mengerti, kalau mereka harus membatasi
jarak, walaupun harus tetap bersahabat.
Mereka menempuh tempat yang hanya
setengah kilometer dari rumah Ully tersebut
dengan jalan kaki. Mereka berjalan sambil
membicarakan kegiatan mereka masing-masing.
Ully belum ingin bicara tentang hubungan mereka
dulu. Ully akan mencari waktu dan tempat yang
tepat untuk itu.
Tak terasa, setelah berjalan beberapa menit,
mereka sampai. 167
"Eh, Neng Ully, sudah lama sekali nggak ke
sini?" sapa si Mas penjual sate pada Ully. "Mas Raka-nya mana?"
"Nggak tahu tuh, Mas."
"Silakan."
Ully dan Danny duduk bersisian.
"Saya dua puluh lima tusuk, Mas," pesan
Danny. "Ully?" tanyanya pada Ully.
"Dua puluh, deh."
Mereka duduk menunggu sambil melanjutkan kembali obrolan mereka yang sempat
terpenggal.
"Satenya siap. Selamat menikmati," kata si
Mas penjual sate.
"Terima kasih."
Mereka kemudian melahap pesanan mereka
dengan nikmat.
Ully begitu ingin memulai bicara tentang
Sandy dan tentang mereka berdua, tapi begitu
melihat bernafsunya Danny menikmati satenya, 168
Ully tidak tega. Mendengar nama Sandy, Ully
khawatir selera makan Danny mendadak lenyap.
Dan begitu tusuk-tusuk sate mereka bersih,
Ully pun menarik napas dalam dan berusaha
meredakan gemuruh di dadanya. Betapa berat dan
tidak sanggup membicarakan ini. Tapi Ully harus
bicara. Mereka harus membatasi diri. Danny harus
pergi darinya dan mencari gadis lain yang lebih
layak untuknya. Yang lebih dapat mencintainya
dengan tulus.
"Dan," ucap Ully resah.
Danny mendongak, memandang lembut wali
Ully yang cantik.
"Aku...," Ully memenggal ucapannya.
"Ada apa?" tanya Danny seraya menyeka
mulutnya dengan punggung tangannya.
"Ki... kita cuma sahabat, kan?" tanyanya
seperrti orang linglung.
Danny mengerutkan keningnya tak mengerti.
"Aku tidak tahu maksudmu," sahut Danny. 169
"Maksudku, sejauh ini, kita masih berteman,
kan? Maksudku, aku... aku bukan apa-apamu, kan."
"Selama ini maumu begitu. Tapi aku berharap
lebih dari ini. Kamu pasti mengerti, aku
menghendaki hubungan kita lebih istimewa dari
sekadar bersahabat," ucap Danny bersungguhsungguh. "Apa kamu pun berharap sama? Apa
kamu pun mulai berpikir ke sana, UI?" Danny
bertanya penuh harap.
Ully tertunduk. Tak berani lagi ditentangnya
mata Danny yang sarat cinta. Dia sama sekali tak
tega melukai hati cowok itu. Selama ini, Danny telah
memberikan segalanya untuk Ully. Dia telah
menumpahkan kasih sayangnya, cintanya, dan
kelembutan serta perhatiannya. Dan dengan
melukainyakah Ully membalas ketulusannya?
Ully menggeleng pelan.
"Tidak?" tanya Danny putus asa.
"Dan, aku ingin kamu mengerti." Ully
memberanikan diri menentang mata Danny.
Danny meremas-remas jemarinya sendiri.
"Aku hanya dapat mencintai Sandy." 170
"Kukira sudah ratusan kali kamu ucapkan
kalimat itu," sahut Danny agak ketus.
"Ya, untuk itu aku ingin kamu mengerti. Aku...
aku ingin kita membatasi diri. Aku ingin kamu
memberi kita jarak. Aku ingin kita tidak terlalu
sering ketemu seperti sekarang, ingin kau mengerti
ini, Dan. Karena aku tak ingin Sandy cemburu. Dan
hubungan kami yang baru saja menjadi baik,
kembali hancur seperti dulu." Ully memandang
lembut wajah Danny. "Dani mau mengerti kan,
Dan? Aku takut kehilangan Sandy untuk yang kedua
kalinya," lanjutnya lagi.
Danny mendesah lirih. Dan dianggukkannya
kepalanya berat. Terasa persendian di lehernya
menegang saat mengangguk untuk menjawab Ully.
"Aku mengerti perasaanmu, Dan," kata Ully
lirih. "Aku mengerti. Dan kumohon sekali lagi kamu
pun mau mengerti aku;1 entah untuk yang
keberapa kalinya Ully ucapkan itu.
Danny menarik napas lagi, lalu dihembuskannya keras-keras, seolah dengan begitu, dadanya
yang sesak menjadi lega. 171
"Kamu tidak marah kan, Dan?" tanya Ully
seraya meraih jemari Danny.
"Tidak, aku tidak berhak untuk marah. Dan
Kamu terlalu manis untuk dimarahi," sahutnya
mencoba tersenyum. Getir dan pahit senyum itu.
Dan Danny pun melakukannya begitu sulit. Rasanya,
dia baru saja menelan racun paling pahit. Berbulanbulan dia dekati Ully dengan satu harapan, suatu
saat dia dapat memilikinya.
Saat Ully terluka, dia yang membalutnya. Saat
sayap Ully berdarah, dia yang berusaha dengan
penuh cinta menyembuhkannya Tapi begitu sayapsayap itu kembali kuat, Ully terbang meninggalkan
nya, untuk mengejar Sandy.
Malam terasa kian gelap dan pekat di hati
Danny. Selama hidupnya, baru kali ini dia merasa
mencintai seorang gadis dengan tulus dan dengan
segenap perasaannya. Bahkan ketika dia ingin
memilikinya pun, bukan kekerasan yang dipakainya
walaupun biasanya dia berbuat begitu. Dan semua
dilakukannya karena dia ingin Ully mencintainya
dengan tulus. Tapi apa yang dia dapati akhirnya?
Hanya sepenggal kekecewaan! Sakiiit sekali hati
Danny. 172
"Kita akan terus bersahabat setelah ini kan, Dan?"
Danny diam. Terus bersahabat? Itu konyol,
karena bila mereka bertemu, yang akan Ully
ceritakan padanya pasti hanya tentang Sandy. Dan
itu akan membuat hatinya tambah terluka.
*** "Ully sialan!" Danny meninju keras meja
belajarnya. Buku-buku yang berserakan di atasnya
disapunya dengan telapak tangannya hingga
berhamburan ke lantai. Masih ada yang tersisa di
atas meja, sepucuk surat. Danny tahu, surat itu dari
Asti. Tapi Danny tidak pernah membukanya. Sejak
dia bergaul akrab dengan Ully, dia memang tidak
peduli lagi pada gadis mana pun, termasuk Asti.
Tapi mendadak saja, dia merasa perlu untuk
ke sana. Daripada ngamuk-ngamuk di rumah,
rasanya, lebih baik memang datang ke rumah Asti.
Mungkin Asti dapat menghibur dan dapat
melupakannya dari kepahitan ini. 173
Danny segera meninggalkan kamarnya, lalu
keluar dan memacu mobilnya ke rumah Asti.
"Sudah lama sekali aku menunggumu, apa
Terry tidak menyampaikan suratku?" kata Asti
senang, tapi juga sedikit kecewa.
"Maaf, aku sibuk," sahut Danny lesu.
"Sibuk ngapain?"
"Macem-macem, makanya aku suntuk
banget. Sekarang kamu mau pergi denganku?"
"Ke mana?"
"Ke mana aja, yang penting pergi."
"Kita di rumah aja, deh, kebetulan, rumah lagi
sepi. Papa dan Mama lagi nggak ada."
"Emang kalau sepi kenapa."
Asti tertawa.
"Pura-pura nggak ngerti aja kamu,"
dicubitnya gemas perut Danny. Danny pun
tergeletak karena geli.
"Oke deh, kita di rumah."
"Kubuatkan minum, ya? Kamu mau minum apa?" 174
Danny menggeleng. "Aku mau kamu,
kemarilah," diraihnya jemari Asti.
Rasanya, memang lebih senang berada dekat
dengan seseorang yang mencintai dan membutuh
kannya, daripada berada di dekat Ully, yang hanya
memikirkan Sandy walaupun Danny yang ada di
sisinya.
Danny menarik lembut tubuh Asti mendekati
tubuhnya. "Aku kangen kamu, Asti. Kita sudah lama
tidak bersama-sama, kan?" bisiknya lembut di
telinga Asti.
Asti merebahkan kepalanya di ijada Danny.
Danny membelai rambut Asti, lalu diciumnya
dalam-dalam kening Asti.
"Danny...," Asti berbisik lirih. "Aku sayang pamu."
"Aku tahu," sahut Danny hampir tanpa suara.
"Aku...," tapi Asti tidak melanjutkannya,
bibirnya sudah berada dalam rangkuman bibir
Danny.
Asti membalas lumatan pada bibirnya
dengan gairah. Betapa indah dan nikmatnya
berciuman dengan Danny, Asti selalu rindu. Asti 175
selalu ingin mengulangi peristiwa ini sampai berkalikali.
Kalau saja tidak terdengar suara mobil di
halaman, mereka pasti masih berpagutan.
"Mama," kata Asti seraya mendorong tubuh
Danny menjauhinya.
Danny mendesah kecewa.
Asti mengulurkan tangannya ke bibir Danny,
menghapus sisa lipstik yang melekat di bibir Danny.
*** 176
11 Sejak pukul dua belas seperempat Ully sudah
berdiri di depan pintu gerbang sekolah Renita. Dan
tepat setengah satu, anak-anak berse-ragam putih
abu-abu pun berhamburan keluar gedung. Dengan
matanya, Ully berusaha mencari Renita.
"Ren!" serunya begitu gadis yang dicarinya
didapatkannya di antara mereka.
"Mbak Ully!"
Renita menghambur ke arahnya.
Ully menyeret gadis itu menjauhi kerumunan
teman-temannya.
"Ada apa nih, Mbak? Kok tumben?"
"Mau bicara sebentar."
"Kalau begitu ke kantin, yuk."
"Nggak tutup?"
"Nggak, kan ada anak siang. Jadi kantinnya
buka sampai sore," Renita menjelaskan.
"Ayo, deh," Ully pun setuju. 177
Renita membawa Ully ke kantin.
"Kok Mbak Ully tahu saya sekolah di sini,
sih?" tanya Renita agak heran.
"Mas Sandy yang kasih tahu."
"O, ya?"
"Dua mangkuk bakso sama es kelapa, Bu."
Renita memesan begitu mereka sampai.
"Kok belum pulang, Neng?" tanya ibu pemilik
kantin.
"Mau makan dulu, udah kelaparan nih, Bu."
Renita menarik kursi lalu duduk. Ully mengikutinya.
"Ada apa sih, Mbak?"
Ully tersenyum sebelum berkata, "Minggu
depan Mas Sandy ulang tahun, kan?"
Renita mengangguk. "Tapi dia tidak suka ada
pesta. Dan kami biasa merayakannya sekeluarga.
Dalam suasana tenang, dan itu yang Mas Sandy
suka."
"Aku tahu, Sandy sering bercerita tentang itu,
walaupun aku belum pernah hadir di ulang


Badai Di Usia Remaja Karya Marissa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tahunnya, karena belum setahun usia cinta kami." 178
"Lalu?"
"Walaupun tanpa pesta, aku sudah
mempersiapkan segalanya untuk Sandy. Aku sudah
memesan tart ulang tahun dengan bentuk jantung
hati," katanya dengan senyum. "Norak nggak sih
bentuk seperti itu?"
"Untuk yang sedang kasmaran, aku rasa nggak."
Ully tertawa.
Tapi Renita diam saja. Renita masih ingat
cerita Sandy tentang Danny. Juga pertemuannya di
toko dengan cowok itu.
"Dan sekarang, kamu mau antar aku nyari
kado untuk Sandy, kan? Kamu tentu tahu apa yang
paling Sandy inginkan, Ren."
"Yang Sandy inginkan sekarang mobil, biar
nggak naik bus tiap hari," tukas Renita agak judes
dan tanpa nada bercanda. "Dan agar bisa nyaingin
Danny," tapi kalimat terakhir hanya diucapkannya
dalam hati.
"Mobil?" Ully tertawa lagi.
"Ya, mobil. Kamu sanggup membelikannya?" 179
"Jangan bercanda, Ren, aku serius."
Renita tidak menyahut, bakso dan es pesanan
mereka datang.
"Kenapa sih Mbak Ully begitu repot?" tanya
Renita seraya mengaduk-aduk esnya. Ully tidak
segera menjawab, dia mengambil saos lalu
menuangkannya ke mangkuknya.
"Karena dia istimewa?" tanya Renita lagi
setelah meneguk sedikit es kelapanya.
"Ya, tentu saja, dia istimewa sekali."
"Sungguh?"
Ully mengangguk sambil memasukkan bulatan lezat itu ke mulutnya.
Renita menatapnya sejurus. "Sayang sekali,"
katanya pelan, kemudian dia pun segera melahap
baksonya.
"Sayang kenapa?" Ully membalas tatapannya gusar.
Berkelebat kembali bayang Danny. Dan
terngiang kembali suara Sandy yang penuh
kesakitan ketika berniat mengundang Ully
menikmati masakan Mama malam itu. 180
"Ren...," Ully mendesak Renita untuk kembali
bercerita. "Sayang apanya, Ren?"
"Sayang, di hati Mas Sandy, Mbak tidak
terlalu istimewa," ucapnya, dan dia berharap wajah
Ully bersedih.
"A... apa maksudmu?" Ully tergagap,
sendoknya diletakkannya pada mangkuk. Hilang
selera makannya mendengar suara Renita barusan.
"Di hati Mas Sandy, sudah ada seorang gadis
yang sangat istimewa. Dan kukira, dialah yang akan
diundangnya di acara ulang tahunnya yang hanya
akan kami rayakan dalam suasana sepi nanti."
"Kamu... kamu bersungguh-sungguh, Ren?"
bibir Ully gemetar, dadanya bagai diiris-iris.
Renita mengangguk.
"Mereka sudah lama menjalin cinta. Dia juga
sudah sering datang ke rumah kami. Bahkan waktu
aku pergi ke sana nengok Mama, Sandy memperkenalkannya padaku. Dan kami makan malam
bersama di rumah. Sungguh indah dan romantis.
Hanya dengan diterangi lilin, kami nikmati masakan
Mama...." 181
Ully tidak ingin mendengar itu lebih lanjut,
hatinya perih. Tapi dia tidak bisa lari.
"Maaf kalau aku terlalu polos mengatakan
padamu, aku hanya ingin agar kamu tidak terlalu
memikirkan Sandy, karena sudah ada gadis lain
yang memikirkannya, Mbak mau mengerti, kan?"
"Kamu tidak sedang bercanda kan, Ren?"
tanya Ully tak mampu lagi menyembunyikan air
matanya.
Renita menggeleng. Sebenarnya, dia tidak
tega bila harus melihat Ully menangis di
hadapannya. Tapi pengkhianatannya pada Sandy
harus dibalas. Dan lagi pula, untuk apa Ully harus
menangis, bila sudah ada Danny?
Ully menyeka air matanya.
"Namanya Elma, dia sangat cantik. Dan dia
teman kuliah Sandy. Jadi tiap hari mereka
bertemu."
"Kamu... kamu yakin sekali dia pacar Sandy?"
"Kalau tidak, untuk apa Sandy memperkenalkannya pada saya dan Mama." 182
"Tega Sandy lakukan itu padaku?" katanya
dengan hati nyeri dan suara tenggelam dalam
tangis.
"Ah sudahlah, Mbak, jangan menangis,
sekarang bukan zamannya lagi kita meratap-ratap
karena cinta."
"Mungkin begitu untuk kamu dan Sandy, tapi
bagiku tidak. Ini terlalu pahit untuk kutelan. Terlalu
pahit," katanya seraya menyusut air matanya.
"Aku mengerti, tapi Mbak Ully kan cantik,
tentu masih banyak cowok yang antri untuk
mendapatkan Mbak," ledek Renita.
"Tapi aku hanya dapat mencintai Sandy."
Gombal! Jerit hati Renita marah. Buktinya,
kamu jalan dengan Danny! Dan malam Minggu pun
kalian lalui bersama!
"Tapi Mbak boleh kok datang pada ulang
tahun Sandy nanti, mungkin Mbak-lah yang akan
diundangnya untuk datang. Atau, dia akan memperkenalkan Elma pada Mbak."
Ully bergerak lalu berdiri. 183
"Terima kasih atas pemberitahuanmu
tentang Sandy padaku, Ren. Mungkin aku memang
tidak pantas untuk Sandy," katanya getir. Tapi
diusahakannya tangisnya agar segera mereda.
"Mbak mau ke mana?"
"Kita pulang, yuk."
Renita pun menghentikan suapannya.
Disingkirkannya mangkuk dan gelas itu dari
hadapannya.
Dan setelah Ully membayar bakso dan es
mereka, kedua gadis itu segera meninggalkan
kantin.
Rasain kamu! Kata Renita dalam hati. "Dia
pikir cuma dia aja yang bisa pacaran dengan cowok
lain, Sandy juga bisa," gerutu Renita begitu mereka
telah berpisah.
*** 184
12 Sandy melirik jam di pergelangan tangannya
lengan gelisah. Sudah lima belas menit lewat dia
duduk di teras rumah Ully, tapi gadis yang
ditunggunya tidak juga muncul. Padahal mamanya
bilang tadi, kalau Ully ada di rumah.
"Ayo dong keluar, UI," Mama menggedor
sekali lagi pintu kamar Ully. "Kasihan Sandy, kan?
Dia bisa kelamaan nunggu, lho. Apalagi ini ulang
tahunnya, kan? Apa kamu lupa? Sandy bilang tadi
pada Mama, kalau dia akan mengajakmu ke
rumahnya. Dan pesta sudah hampir dimulai."
"Bilang Ully nggak ada deh, Ma."
"Nggak bisa dong, Mama kan udah telanjur
bilang kalau Ully ada," Mama ngotot.
Terdengar langkah Ully mendekati pintu.
Pintu terbuka.
"Gini aja, Ma, bilang pada Sandy, kalau Ully
akan menyusul. Bilang saja, mungkin Ully punya
surprise untuk Sandy."
"Mama nggak ngerti." 185
"Tolonglah, Ma," paksa Ully.
"Baiklah," Mama ngeloyor meninggalkannya.
Ully menutup kembali pintu kamarnya. Lalu
disandarkannya tubuhnya yang letih pada daun
pintu itu. Kalau dia menerima ajakan Sandy untuk
datang ke rumahnya, dia pasti akan sakit. Karena
tentunya, Elma ada di sana juga. Dan di malam
istimewa ini, tentunya Sandy akan memperkenal
kan Ully dengannya. Lalu Renita akan mengejeknya.
Dari caranya bicara saja, Ully sudah dapat
membaca, Renita begitu berpihak pada Elma.
Ya, Tuhan, kalau hanya untuk melukai,
mengapa Sandy tega bicara tentang cinta. Dan
mengajaknya melambung jauh ke dalam mimpi.
Mimpi-mimpi indah tentang hari esok, tentang
pernikahan. Tentang anak-anak mereka yang
manis. Dan tentang segalanya.
"Oh, Sandy, kenapa kamu tega lakukan itu
padaku?" tanyanya terisak.
*** 186
Kue tart dengan lilin berbentuk angka dua
puluh tiga sudah siap. Tapi pesta yang hanya
dihadiri oleh Mama dan Renita ini akan sepi tanpa
Papa dan Ully. Sepi. Sepi sekali.
Sandy memandangi tartnya dengan mata
nanar dan wajah murung. Renita belum juga
muncul. Padahal janjinya, dia akan datang sejak
siang tadi, dan akan membantu Mama masak untuk
mereka.
"Apa kita akan merayakannya berdua saja,
Ma?" tanyanya pilu. "Tahun kemarin dan dua tahun
yang lalu, walaupun tanpa Papa, Renita masih sudi
hadir. Dan ulang tahun saya kali ini, kupikir akan
manis, karena walaupun tanpa Papa, akan ada
seseorang yang sangat istimewa di hati Sandy, Ully,
Ma, tapi seperti juga Papa, Ully pun tidak sudi
hadir," keluh Sandy.
Mama menggenggam erat-erat tangannya.
"Kita tunggu mereka. Atau kau undang Elma,
gimana?" kata Mama berusaha menghibur.
Sandy menggeleng. "Elma tidak berhak di
sini, Ma, Elma bukan Ully, dan dia tidak bisa 187
menggantikan Ully, walaupun sampai saat ini, kami
dekat."
"Setengah jam lagi mereka tidak datang, kita
rayakan berdua ulang tahunmu, nggak apa-apa,
kan?" Mama mengusap-usap tangan Sandy. Sandy
menyandarkan kepalanya ke bahu Mama.
Dan beberapa saat kemudian, keduanya
terkejut oleh kehadiran seseorang yang sama sekali
tidak mereka duga. Dia datang bersama Renita.
"Papa...," desis Sandy dengan dada hampir
meledak oleh rasa haru.
Sandy berlari mendapatkannya. "Senang
sekali Papa mau datang," kata Sandy hampir tanpa
suara.
"Papa ingin melihatmu tumbuh dewasa,
Nak," ucap Papa sama terharunya. "Setelah dua
tahun Papa tidak melihatmu meniup lilin ulang
tahunmu, malam ini Papa ingin melihatmu kembali
melakukannya. Papa rindu saat-saat seperti ini."
"Sandy juga, Pa."
Dua kali ulang tahun Papa tidak berada di
dekatnya. Bukan Papa tidak mau datang, tapi Sandy 188
memang tidak mengundangnya bahkan memperingatkannya untuk tidak datang. Dan sekarang,
Papa ada di sini. Sandy bahagia menerimanya,
karena dia memang sangat merindukannya.
Papa menghampiri Mama.
"Bagaimana kabarmu?" tanyanya.
"Alhamdulillah, semuanya baik," sahut
Mama bergetar. Bukan cuma rindu yang ada di
dadanya, tapi juga terharu.
"Salonmu?"
"Kurasa semakin maju."
"Syukurlah." Mama mencoba mengalihkan
perhatian dengan berkata, "Kita mulai sekarang?
Atau masih ada yang kamu tunggu, Sandy?"
Sandy mengangguk.
"Ully!" Sandy lalu berlari ke meja telepon.
"Mau hubungi siapa?" tanya Renita yang malam itu
begitu cantik dan anggun dengan gaun birunya yang
feminin.
"Ully." 189
Renita menghampirinya, lalu dipegangnya
tangan Sandy yang siap memutar telepon Ully.
"Aku telah mengundang seseorang yang
lebih istimewa dari Mbak Ully."
Sandy terpana sesaat menatap Renita.
Renita tersenyum. "Dia datang bersamaku
dan Papa, tapi kusuruh dia menunggu di teras,
sebentar aku panggil, ya?"
Sandy diam. Sandy hanya berdiri mematung
dalam bingung, sampai akhirnya, Renita muncul
dengan Elma!
Ya, Tuhan..., Sandy merasa kakinya lemas.
Bagaimana kalau tiba-tiba saja Ully muncul?
Sandy melangkah ke arah Elma dengan
gugup. Dia tahu harus bersikap ramah dan harus
menunjukkan kebahagiaannya.
"Terima kasih kamu mau datang, El," katanya
berusaha tenang.
"Saya sendiri sama sekali tidak tahu tentang
ini. Renita menjemputku tadi. Jadi, maaf, San, aku
tidak bawa kado untukmu, aku sama sekali tidak 190


Badai Di Usia Remaja Karya Marissa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyiapkannya, karena Renita begitu mendadak
memberitahukanku."
"Tidak usah pikirkan itu, kehadiranmu pun
cukup membuatku bahagia," katanya.
Duh, kalau Ully muncul, pesta ini pasti akan
kacau. Dia tidak cuma tak ingin menyakiti Ully, tapi
juga tidak ingin melukai hati Elma. Dan ini bukan
saat yang tepat untuk menentukan sikap. Sandy
akan memilih waktu lain.
"Kita mulai sekarang?" Mama memberi usul.
"Sebentar, Ma," Sandy menyeret Renita
menjauhi mereka. "Kamu tahu ini tindakan gila
Untuk apa kamu jemput dia? Gimana kalau Ully
muncul? Pesta ini akan kacau, tahu?" desis Sandy
gemas. "Kenapa kamu tega lakukan ini padaku, he?!
Kamu tahu ini hari bahagiaku?"
"Jangan marah dulu, kemarin aku ketemu
Ully, dan dia bilang dia tidak bisa datang. Jadi
daripada pestamu sepi, kujemput saja Elma." Dan
karena Renita tidak ingin melihat Sandy murung, dia
segera melanjutkan, "Dia bilang, dia telah
menyiapkan pesta khusus yang akan dirayakannya
berdua denganmu di rumahnya, karena itu, setelah 191
selesai pesta ini, kamu diminta Ully datang ke
rumahnya. Larut malam pun dia akan menerima.
Tapi kamu tenang-tenanglah melalui malam ini di
sini, ya? Jangan kecewakan Mama dan aku. Lagi
pula, bukankah aku telah menggantikan Ully-mu
dengan Papa dan Elma? Dan bukankah mereka pun
orang-orang yang sangat kamu sayangi?"
Sandy pun mengangguk akhirnya. Lalu
dibawanya adiknya ke tengah-tengah mereka.
Mereka kemudian duduk tertib.
"Terima kasih atas kedatangan Papa," kata
Sandy terharu, setelah Mama menyalakan lilinnya.
"Rasanya, saya merasa sangat bahagia malam ini.
Tidak terasa, telah dua puluh tiga tahun Mama dan
Papa membesarkan dan membimbing saya dengan
seluruh cinta dan kasih sayangnya, hingga saya
tumbuh dewasa seperti sekarang/"
Dan suasana sunyi itu pun berubah ramai S
oleh tepuk tangan mereka ketika Sandy meniup lilin
yang berbentuk angka dua puluh tiga tersebut.
Sandy memotong tartnya. Dan potongan kue
pertamanya itu, tidak diberikan pada Elma, karena
dia tahu ada yang lebih berhak dari Elma. Dan 192
karena dia tidak mungkin memberikannya pada
gadis impiannya itu, karena dia memang tak ada di
sini, maka Sandy menyerahkan potongan kue
pertamanya pada Mama.
"Kenapa harus untuk Mama?" tanya Mama
heran. Tahun-tahun sebelumnya, memang selalu
Mama, tapi tahun ini, ada seorang gadis yang lebih
berhak menerimanya.
"Di hati Sandy, Mama masih tetap wanita
paling istimewa," katanya tulus. Tapi di sini, di sudut
hatinya yang paling dalam, ada nyeri dan sepi
membaur. Kenapa Ully tidak ada di sini? Kejutan
apa yang akan dibuatnya? Tapi berupa apa pun
kejutannya kelak, Sandy akan tetap kecewa. Karena
dia tidak di sisinya saat dia butuh kehadirannya.
Mama menerimanya, lalu memeluknya dan
menciumi pipinya.
"Selamat ulang tahun ya, Sayang." Potongan
yang kedua baru diberikannya pada Elma,
selanjutnya pada Papa lalu Renita.
"Mama punya kado untukmu," kata Mama
sebelum mereka mengakhiri pesta itu dengan
makan bersama. 193
Mama menyerahkan bungkusan yang begitu
rapi itu. "Bukalah, mudah-mudahan kamu suka
isinya."
Dengan hati-hati Sandy menyobek kertas
pembungkus kado itu. Dan dari kotaknya, dia
mendapatkan sweater warna ungu.
"Terima kasih ya, Ma, bagus sekali," katanya
senang, diciumnya Mama penuh terima kasih.
"Kamu bilang, kamu akan ke Amsterdam ikut
temanmu yang akan ke tempat oom-nya, dan
karena Mama tahu di sana sedang musim dingin,
Mama belikan sweater ini untukmu."
"Terima kasih, Ma, padahal di sananya nggak
lama, cuma seminggu, itu pun cuma nganter Geno.
"Sekarang giliran saya," Renita tidak mau
kalah. "Buka, deh."
Sandy meraih hadiah dari adiknya. Pita tali
kado itu dilepasnya, lalu dibukanya kotaknya. Tshirt warna putih dengan tulisan Lakers di dadanya,
didapatkan dari sana.
"Ah mentang-mentang aku suka basket,
kaosnya pake model begini." 194
"Nggak suka?" Renita cemberut.
"Tentu saja suka, Adik manis. Terima kasih,
ya?" diciumnya pipi Renita. "Mau deh ulang tahun
tiap hari, biar dikasih kado tiap hari juga."
"Saya tidak bisa memberimu apa-apa, San,"
ucap Elma nggak enak.
"Nggak apa-apa kok, El, kamu mau datang
saja, sudah merupakan hadiah bagiku, sungguh."
Elma tertunduk. Dia merasa asing di sini. Dan
dia merasa Sandy kurang menyukai kehadirannya.
"Sekarang kado dari Papa," Papa mengulurkannya pada Sandy. Sandy meraihnya dengan
berdebar. Bungkusannya besar, Sandy tidak bisa
menerka isinya. Tapi dulu-dulu, biasanya Papa
memberinya hadiah sepatu.
Setelah menyobek bungkusnya dengan tak
sabar, Sandy buru-buru membukanya. Kotaknya
pun segera dia buka. Tapi ternyata, masih ada otak
lain.
"Isinya apa, nih. Kok enteng sih, Pa?"
"Buka dong, masa' nanya," sahut Papa. 195
"Renita tahu nggak apa isinya?"
"Tahu, tapi Papa bilang, Renita harus tutup
mulut, biar surprise, ya nggak, Pa?"
"Ya."
Masih ada kotak lagi di dalam kotak yang tadi.
Begitu seterusnya, sampai akhirnya, Sandy
menemukan kotak kecil. Dan ketika dia membuka,
dia memekik. "Kunci!" teriaknya senang.
"Pa...," dia ternganga bahagia.
"Supaya nggak berdesak-desakan di dalam
bus lagi," kata Papa seraya memukul bahu Sandy.
Papa tersenyum. "Starlet, San, mudahmudahan kamu suka."
"Papa baik sekali."
"Setelah pesta ini usai, kamu ikut Papa ke
rumah, ya? Dan kamu boleh ambil milikmu di garasi.
Papa membelinya khusus untukmu."
"Terima kasih, Pa," sekali lagi Sandy ucapkan
itu. Elma berharap Sandy berpaling padanya, dan
berkata dengan manis. "Besok kita kuliah nggak 196
naik bus lagi, El," bukan, Elma ingin mobil mewah
Sandy. Sama sekali bukan itu yang diharapkannya,
naik bus pun indah bila bersama Sandy. Elma ingin
Sandy memperhatikannya, dan membagi
kebahagiaannya bersama Elma. Tapi Elma harus
menelan kekecewaan, Sandy tidak berpaling ke
arahnya. Dan tidak menjanjikannya untuk
menikmati bersama mobil hadiah papanya.
Setelah itu, mereka menikmati masakan
Mama bersama. Sungguh, ini benar-benar hari
paling bahagia untuk Sandy, karena dia bisa berada
di meja makan bersama Mama dan Papa juga
Renita. Ah, andai saja ada Ully di sini, tentu
kebahagiaan ini akan menjadi sempurna....
Setelah makan, dan setelah berbincangbincang lapia, Papa dan Renita pamit pulang, juga
Elma.
Saya antar Elma dulu ya, Pa, setelah itu baru
saya akan ke rumah Papa," kata Sandy.
"Gini aja, kita ke rumah sama-sama, ajak
Elma sekalian, setelah itu, kamu kan bisa antar Elma
dengan Starlet barumu." 197
"Gimana, El?" tanya Sandy pada Elma. Elma
menggeleng.
"Maaf, Oom. Saya tidak bisa, sudah malam."
"Baiklah kalau begitu."
"Berkorban sedikit nggak apa-apa, El, kan
ntar mobilnya untuk ngantar dan jemput kamu
kuliah. Ya nggak, Mas?"
Sandy mengangguk kaku. Elma merasakan
itu. Elma merasa Sandy begitu dingin dan begitu
gugup menghadapinya.
Mereka keluar, Sandy dengan Elma pergi
dengan mobil Mama. Dan dia segera ingat Ully.
"Pa, karena sudah malam. Sandy ke rumah
Papa besok saja, ya?"
"Ya, deh. Kapan pun Papa tunggu."
"Syukur-syukur kalau nggak datang, mobilnya
kan bisa untuk saya. Ya, Pa, ya?" cetus Renita.
Sandy mengacak rambut adiknya gemas.
"Duh, diacak-acak, Renita kan nata rambut ini
ke salon." 198
Mereka tertawa sebelum berpisah.
*** 199
13 "Aku ingin bicara, El," kata Sandy sesampai
mereka di rumah Elma.
"Nggak bisa besok?" tanya Elma.
"Aku ingin sekarang. Aku ingin masalah kita
segera tuntas."
"Bicaralah."
Sandy menarik napas dalam, lalu menghembuskannya perlahan, dia berusaha mengurangi
ketegangannya.
"Aku ingin jujur," katanya gemetar.
"Tentang apa?"
"El," panggilnya kian resah. "Sebenarnya,
kamu nggak sendiri di hatiku, tapi ada yang lain." dia
berhenti sebentar.
Elma tersentak mendengarnya. Bibirnya gemetar.
Sekali lagi Sandy mendesah. "Maafkan aku.
sama sekali aku tidak bermaksud melukai hatimu." 200
"Tapi kamu sudah melakukannya, bukan?"
tanya Elma giris.
"Sebenarnya... oh, maukah kau mendengar
ceritaku?" tanyanya kian galau.
"Ceritalah, aku akan mendengarnya walau
hatiku harus sakit," kata Elma dengan dada nyeri
dengan suara hampir berisi tangis.
"Sebelum aku kenal kamu, aku sudah kenal
Ully. Kami menjalin kasih, tapi keluarganya tidak
menyukaiku. Dan setelah kami memilih putus,
beberapa bulan kemudian, dia datang lagi dengan
membawa berita, bahwa keluarganya telah sudi
menerima aku, dia tidak menjelaskan padaku apa
alasannya. Dan mendengar kabar itu, bukannya
senang, aku malah marah. Sakit hatiku pada mereka
belum hilang, dan aku ingin membalasnya. Pada
saat mereka menerima aku, aku ingin lari dan
berbalik menyakiti Ully. Aku, lalu merencanakan
untuk mencari pacar lagi. Sebenarnya, aku ingin cari
cewek lain, yang... ah, pokoknya yang bukan sebaik
dan selembut kamu, tapi aku nggak bisa, karena aku
nggak bisa bercinta dengan wanita yang tidak aku
cintai, walaupun hanya untuk iseng atau sekadar
untuk pelarian. Dan aku melihatmu, aku suka 201
padamu, lalu kudekati kamu dan berhasil kumiliki.
Aku tahu, untuk sekadar melampiaskan sakit hatiku
pada keluarga Ully, kamu bukan pilihan yang telat,
kamu terlalu baik untuk itu. Tapi entah kenapa aku
ingin memilihmu. Dan sekarang, aku mulai sadar,
tidak seharusnya kulukai kamu dan kusakiti Ully.
Kalian gadis baik. Dan aku harus dapat memilih
salah satu dari kalian, walaupun aku sayang kamu
dan mencintai Ully. Aku tidak mungkin memilikimu
dan Ully sekaligus. Dan,"
"El, maukah kamu mengalah untuk Ully?
Bukan karena aku lebih mencintainya kupilih dia...
tapi karena, selama ini, kami selalu menghadapi
kesulitan. Dan sekarang, rintangan itu tidak ada lagi,
dan kami ingin bahagia, aku ingin Ully menikmati
cintanya setelah sekian lama selalu mengalami
penderitaan. Kumohon, El, kumohon kamu
mengerti dan merelakan aku untuk kembali
padanya. Percayalah, kamu lebih cantik dari dia.
Kamu lebih segalanya dalam segala Aku bahkan
mengagumimu lebih dari rasa kagumku pada Ully."
Elma tidak menyahut. Dia hanya mengerjapkan matanya agar tidak ada air mata yang ke luar. 202
"Mau kan kamu mengalah untuk Ully?" Sandy
menyentuh bahunya.
Elma mengangguk. Lalu ditepisnya halus
jemari Sandy dari tubuhnya.
"Demi Tuhan saya tidak ingin melukai hatimu."
Elma masih tidak bicara. Sepertinya, memang
tak ada yang perlu dia ucapkan. Toh dia harus
kehilangan Sandy, apa pun yang terjadi. Jadi untuk


Badai Di Usia Remaja Karya Marissa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

apa bicara? Bukankah lebih baik diam dan
menerima apa adanya?
"Maafkan saya, El."
Elma mengangguk. Dan air mata yang telah
susah payah ditahan akhirnya merembes keluar.
Sandy mengulurkan tangannya untuk menghapusnya. Tapi Elma menyingkirkan tangan itu.
"Saya bisa melakukannya sendiri," katanya
parau. "Dan biarkan saya melakukannya tanpamu
sejak malam ini."
Sandy terpekur bisu.
"Pulanglah," katanya pelan.
Sandy berdiri. "Selamat malam." 203
Elma diam.
*** Tadinya Sandy ingin ke rumah Ully setelah
dari rumah Elma tapi karena dia anggap kurang
sopan bertemu malam-malam, dia akhirnya ke
rumah Papa. Dia ingin segera melihat mobilnya. Dan
rencananya, dia akan menginap di sana.
"Udah liat mobilnya?" tanya Renita yang
keliatan sudah mulai mengantuk.
"Sudah."
"Terus kok nggak pulang?"
"Saya ingin tidur di sini."
"Sungguh?" tanya Renita senang.
"Ya."
"Kamu udah ngantuk?"
"Ya, ada apa?" 204
"Tapi masih sanggup bicara sebentar, kan?"
tanya Sandy seraya duduk di sisi tempat tidur
adiknya.
"Masih," sahut Renita sambil menarik selimut
agar dapat menutupi seluruh tubuhnya, lalu
dipejamkannya matanya.
"Kok malah merem? Katanya masih mau
bicara denganku," Sandy menepuk halus pipi
adiknya."
"Ngomong aja, aku dengarin, kok."
"Aku mau bicara tentang Ully dan Elma."
Tanpa membuka matanya Renita berujar,
"Mas Sandy ingin aku memberi penilaian pada
mereka? Jangan khawatir, Elma jauh lebih oke dari
Ully. Dia lebih cantik, lebih lembut, lebih menarik.
Dan Mas Sandy bilang, dia aktifis kampus. Aku
percaya, kalau dalam segala hal, Elma lebih hebat.
Dia pasti idola cowok-cowok. Kalian, serasi deh,
ceweknya, cowoknya, sama-sama idola karena
masing-masing cakep dan berprestasi."
"Bukan itu yang ingin kubicarakan, tapi
tindakanmu yang tanpa persetujuanku." 205
"Yang mana?"
"Untuk apa kamu jemput dia? Padahal aku
sama sekali tidak menghendaki kehadirannya di
pestaku tadi."
"Karena dia memang lebih pantas hadir
daripada Ully."
"Apa katamu?!" sentak Sandy. Mendengar
bentakan keras itu, mata Renita yang sudah
mengantuk terbuka kembali. "Bilang sekali lagi!"
Renita berusaha duduk, setelah itu dia
mundur untuk menghindari Sandy.
"Lalu ketika Ully menemuimu, apa yang kamu
ceritakan tentang aku hingga dia tidak mau
menemuiku ketika aku ke rumahnya dan tidak juga
muncul di pestaku?"
"Aku...," Renita gemetar. "Kubilang, kalau D
kamu sudah punya Elma...."
"Ya, Tuhan..., untuk apa, Ren?!" Sandy
mencengkeram gemas bahu Renita.
"Tapi bukankah memang begitu? Dan lagi,
untuk apa Mas Sandy pikirkan dia? Dia sudah punya
Danny, kan?" 206
"Danny! Tahu apa kamu tentang hubungan
kami! Kamu terlalu jauh mencampuri urusanku!"
"Aku...."
Sandy melepaskan cengkeramannya, lalu
dengan segera, ditinggalkannya Renita.
"Mas Sandy...!"
Sandy keluar.
*** Belum terlalu larut, baru setengah sebelas,
karena itu Sandy memberanikan diri datang ke
rumah Ully.
Ketika Mama memintanya keluar dan
menemui Sandy, sebenarnya Ully tidak ingin
menurut. Tapi karena kata Mama, Sandy janji untuk
menunggu sampai pagi di teras, karena dia memang
tidak mau masuk, Ully pun keluar.
"Ada apa?" tanya Ully sinis. 207
"Aku tahu kenapa kamu sinis begitu. Tapi aku
tidak mengarti kenapa kamu percaya begitu saja
omongan Renita," sahut Sandy langsung pada
pokok persoalannya.
"Renita bukan anak kecil."
"Tapi Renita tidak tahu apa-apa tentang kita."
"Yang dia ketahui hanya tentang kamu dan
Elma?" tukas Ully ketus.
"Dengarkan, UI...."
"Tidak, kalau untuk bicara tentang Elma,
lebih baik tidak perlu. Tapi kalau kamu datang untuk
menagih kado dan ucapan selamatku, aku siap,"
Ully mengulurkan tangannya. "Selamat ulang...."
"Ully, dengar...."
Ully menutup telinganya dengan telapak tangan.
Sandy mendekat, ditariknya tangan Ully dari
telinganya, kemudian digenggamnya tangan itu
kuat-kuat.
"Renita cerita tentang Elma padamu, cuma
karena dia marah padamu. Karena sebenarnya, dia 208
pun tahu bahwa di hati saya tidak pernah ada
Elma."
"Eh, kau bilang apa tadi? Dia marah padaku?"
"Ya, dia marah. Padahal dia begitu sayang
padamu. Tapi kamu sempat membuatnya kecewa
tanpa kamu sadari."
"Apa yang pernah kulakukan pada Renita?"
tanya Ully tidak mengerti.
"Malam itu, Renita ke rumah, Mama masak
untuk kami, dan Renita memintaku untuk
mengundangmu. Tapi kulihat kamu dan Danny..."
"Bukankah sudah kujelaskan padamu bahwa..."
"Aku tahu dan aku sudah jelas, tapi Renita
belum," potong Sandy. "Renita marah ketika aku
pulang tanpa kamu, karena kukatakan padanya
bahwa kamu sedang pacaran dengan Danny. Dia
kemudian memintaku untuk segera cari gantinya,
aku lalu bawa Elma teman kuliahku ke rumah, untuk
mengobati kekecewaan Renita. Tapi sungguh, UI,
Elma bagiku, sama artinya dengan Danny untukmu,
tidak pernah ada cinta. Karena cintaku sudah
kuserahkan sepenuhnya padamu, hanya padamu.
Kamu percaya?" 209
Ully memandang lama mata Sandy. Ada
kesungguhan di sana.
"Demi Tuhan, UI, aku hanya mencintaimu,
tidak pernah mencintai siapa pun," katanya
meyakinkan.
"Aku percaya, Sandy...," Ully menjatuhkan
kepalanya ke dada Sandy. Sandy memeluknya.
"Begitu banyak peristiwa yang selalu begitu
saja hampir menggoyahkan cinta kita," ucap Uli
pelan. "Dan begitu banyak orang yang melibatkan
diri ke dalam cinta kita hingga segalanya kian
kacau."
"Tapi percayalah, dengan kekuatan cinta kita,
dan dengan rasa saling percaya, badai apa pun yang
datang menerjang, cinta kita akan tetap tegar."
SELESAI 210
BADAI DI USIA REMAJA
Raka berhasil menghasut keluarganya untuk
membenci Sandy. Dan yang menderita tentu saja
Ully, adik Raka yang menjadi pacar Sandy.
Cinta mereka menemui jalan buntu, karena
tidak seorang pun keluarganya mengizinkan Ully
bergaul dengan Sandy. Tetapi ketika Raka mulai
berkenalan dengan Tasya, dan Raka pun menerima
perlakuan kasar dari keluarga Tasya persis yang
keluarganya lakukan pada Sandy, Raka sadar dan
menginsyafi kesalahannya menghasut Sandy. Tapi
justru pada saat itu, Sandy sudah tidak sanggup lagi
menahan serangan dari keluarga Ully.
Lelaki ganteng itu telah berpaling pada Elma!
Lantas bagaimana dengan Ully, dapatkah ia meraih
kembali Sandy-nya? Dan mampukah Sandy dan Ully
membangun kembali cinta suci merek yang berkalikali diterjang badai? 211
PERNYATAAN
File ini adalah sebuah hasil dari usaha untuk
melestarikan buku novel Indonesia yang sudah sulit
didapatkan di pasaran, dari kemusnahan. Karya
tersebut di scan untuk di-alih-media-kan menjadi
file digital. Ada proses editing dan layout ulang yang
membuat nomor halaman versi digital ini berbeda
dengan aslinya, hal ini dikarenakan hasil dari proses
scan kurang jelas terbaca.
Tidak ada usaha untuk meraih keuntungan finansial
dari karya yang dilestarikan ini.
Saya tidak bertanggung jawab atas tindakan
pihak lain yang menyalahgunakan file ini diluar dari
apa yang kami nyatakan pada paragraf diatas.
CREDIT
? Awie Dermawan
? Ozan
D.A.S
Kolektor E-Books
Satria Lonceng Dewa 2 Arwah Candi Miring Pencuri Petir The Lightning Thief Percy Jackson 1 Karya Rick Riordan Empat Serangkai - Pulau Rahasia The Secret Island

Cari Blog Ini