Ceritasilat Novel Online

Dicabik Benci Dan Cinta 4

Dicabik Benci Dan Cinta Karya Marga T Bagian 4


tinggal merampungkan saja. Kau harus datang lho,
Nes. Gedung itu sebenarnya sudah dipakai sejak lima
bulan yang lalu, tapi belum diresmikan, menunggu
hari baik bulan baik."
"Menunggu Prof. Birka balik dari Las Vegas!" ujar
Siska ketawa.
"Husss!"
"Ngomong-ngomong, gimana nih soal
mawar-mawarku, Ish?"
Ishtar menoleh pada Vanessa, menepuk tangannya.
"Sorry, Nes, aku lupa! Mana daundaunnya, kaubawa
enggak? Sebenarnya, Siska juga bisa memberi nasihat."
Vanessa mengeluarkan kantong plastik berisi beberapa helai daun dari tasnya dan memberikannya
pada Ishtar. Siska maju ke pinggir kursi, menjulurkan
209 leher, ikut memperhatikan.
"Dari berapa pohon, nih? Dua? Yang ini, daunnya
kecil, apa biasanya sekecil ini? Enggak? Kalau begitu,
daun kuning, bercak-bercak merah, apa rontok sebelum waktunya?" Melihat Vanessa manggut, Ishtar ber?
paling pada Siska. "Kurasa ini kekurangan nitrogen.
Apa pendapatmu?"
"Mungkin. Apa cara menanamnya sudah optimal?
Cukup matahari, enggak terlalu panas, jarang-jarang
letaknya enggak terlalu dekat, enggak masuk terlalu
dalam ke tanah, cukup diberi kompos?"
"Ya, aku sudah mengikuti petunjuk itu. Sebenam?
ya harus kumasukkan ke greenhouse, tapi enggak ada
tempat."
"Enggak usah khawatir, kurasa cuma kekurangan
gizi. Kalau yang bercak-bercak ungu di bagian bawah
daun, ini enggak salah lagi, pasti kekurangan fosfat!
Iya, kan, Sis?"
Siska manggut?manggut. "Yuk, mampir ke tempat?
ku, aku masih punya pupuk yang kauperlukan."
Ishtar bersiap?siap untuk turun kembali, sebab
waktu istirahatnya sudah habis. "Gimana kau pulang,
Nes? Mau kupanggilkan ambulans?"
"Enggak usah," Siska mendahului. "Aku kebetulan
harus ke bawah, anak?anak perlu kitab tulis dan buku?buku. Kau mau titip apa dari supermarket?"
"Rasanya sih belum perlu apa?apa, semua masih
ada, baru Sabtu lalu sih belanja. Eh, hati-hati lho belanja di supeimarket. Adikku, Vivi, belanja di kompleksnya, masak minyak goreng botol kecil, seharusnya cuma tiga ribu rupiah lebih, dicetak j adi lima liter,
harganya lima belas ribu rupiah. Dia menggugat, tapi
210 uangnya enggak bisa dikembalikan, dia cuma diberikan tambahan."
"Ah, itu sih biasa. Nani beli es krim, sampai di
rumah, anak-anaknya semua sudah berderet dengan gelas dan sendok, eh tahunya es krim itu enggak
dimasukkan ke dalam kantong plastik mereka. Miki,
suaminya, kebetulan kenal sama salah seorang manager lalu mengadu. Kata manager itu, memang ada satu-dua pramuniaga yang nakal! Tapi belum tertangkap
basah, jadi belum bisa dipecat."
Vanessa diam saja mendengarkan. Aku ini kayak
si bego di sini! Semua orang asyik membicarakan
masalah domestik, aku masih sibuk memikirkan siapa
orangtuaku yang sebenarnya. Betapa terbelakangnya aku! Mereka sudah repot ngurus anak, aku masih
ngelamun dalam kamarku, ditemani buku harian yang
bisu.
Kriiing. Ishtar melangkah ke meja di sudut dan
menjangkau telepon. "Halo, oh kau, Kasandra, apa
yang bisa kubantu? Ya, aku baru saja mau turun. Di
trauma center? Oke, dalam lima menit."
Telepon diletakkan, Ishtar menoleh pada kedua tamumya. "Kasandra mau konsul, ada korban tabrakan,
telinganya tertusuk beling. Yuk, kita turun sama-sama.
Ti, Niki enggak boleh keluar lagi, j am dua harus tidur,
setelah bangun suruh minum susu." Sitti mengiyakan
pesan itu.
Nicole muncul dari balkon, berlari memeluk ibunya. lshtar membungkuk dan mencium pipinya. Vanes?
sa tiba?tiba merasa vertigo, jauhj auh-jauh di dalam kepalanya ada sesuatu yang menyentak-nyentak, seakan
dia juga pernah mengalami apa yang dilihatnya saat
211 itu. Dia pernah dipeluk dan dikecup! Tapi kapan, oleh
siapa? Rasanya seperti mengalami deja vu, tapi pasti
bukan kenangan dari Mama, sebab Mama takpernah
memeluk apalagi mengecap pipiku!
"Sweetheart, kau jangan ke bawah lagi, ya. Tante
Siska mau pergi belanja, anak-anaknya semua ikut,
jadi teman?temanmu enggak ada di rumah. Dengar?
kan kaset buku saj a yang Papa rekam tempo hari atau
selesaikan mewarnai buku gambarmu. Ingat, jam dua
tidur!" Anak manis itu cuma manggut berkali-kali
dengan wajah tengadah, matanya hitam berbinar. Isabel juga dielus, goyang-buntutnya makin menj adi-j adi
seperti kesurupan.
*** Karena jalan dari depan paling dekat menuju ke rumah
Siska, maka ketiganya jalan bersama sampai ke trauma
center di bagian depan klinik. Vanessa ikut melongok
ke dalam ruangan pemeriksaan yang hiruk-pikuk tapi
toh kelihatan teratur juga. Tidak ada seorang pun yang
menganggur. Semua sibuk dengan stetoskop, atau
tensimeter, mengukur tekanan darah, atau botol infus,
atau jarum untuk menyuntik atau menyedot darah
kayak vampir kesiangan (sudah enggak kebagian
mangsa tadi malam, terpaksa siang ini gentayangan
di rumah sakit. Hiii, sinting aku, mikir yang bukanbukan, kebanyakan nonton tivil). Vanessa melihat
seorang dokter muda yang tinggi, langsing, dengan
212 rambut pendek yang praktis, tengah melakukan
pemeriksaan di salah satu kabin yang cuma dibatasi
dengan gorden?gorden putih di kedua sisinya. Ketika
Ishtar masuk ke situ, seorang perawat memberitahu,
"Dokter Ishtar, Dok."
"Hai, Kasandra, mau bikin aku repot lagi, ya!" Ish?
tar tertawa.
Dokter Kasandra menoleh dan tersenyum sambil
membuka kedua telapak tangannya dengan sikap pasrah. Vanessa menyukai apa yang dilihatnya.
Wajah Kasandra tidak tirus seperti Korizia, namun
dagunya cukup runcing, hidungnya mancung, matanya
lebih besar dari orang biasa, tapi tidak melotot seperti
exophthalmusf dan bola?bola itu kelihatan indah sekali, letaknya agak miring ke atas. Pipinya yang bulat
dengan bibirnya yang penuh dan melekuk sempurna,
membuat senyumnya kelihatan menawan.
Vanessa sampai gemas, ingin mencubit pipinya.
Kalau saja dia baru berumur tiga tahun, pasti sudah
kujembeli apel?apel di pipinya itu! Cewek ini kelihatannya senang humor dan doyan ketawa!
"...ini Dokter Vanessa Balam"
Tiba-tiba dia tersadar mendengar suara Ishtar.
Nyaris tergagap dia membalas sapaan Dokter Kasandra dan menerima uluran tangannya.
"Vanessa, ini Dokter Kasandra Kuret."
"Kuret? Kau adiknya...?" Kok lain betul sama
abangnya yang plinplan seperti orang enggak punya
tulang punggung! Juga Nemesio relatif enggak tinggi
buat ukuran cowok.
* exophthalmos: mata menonjol keluar biasanya gejala kelainan
kelenjar gondok
213 "Balam? Kau adiknya...?"
Akhirnya keduanya tertawa gelak di dekat kaki
ranj ang pasien. "Aku tahu Nemesio punya adik perem?
puan, tapi kok kita belum pernah ketemu? Kau belum
pernah ke rumah kami? Waktu orangtuamu melamar
Kori, kau enggak ikut, ya?" Kalau enggak salah ingat,
orangtua Nemesio berasal dari Palembang. Pantas
adiknya putih mirip-mirip putri Mongol, rupanya ketetesan darah armada Jenderal Ceng Ho!
Kasandra menggeleng. "Aku masih di Amerika
waktu itu. Nemesio pernah menyebutkan engkau dalam suratnya. Katanya, adik Kori cakep sekali, seperti
putri Seribu Satu Malam." Vanessa jadi rikuh, pipinya
langsung merona merah. Untung Ishtar mengalihkan
perhatian dengan ucapannya, "Kapan abangmu pernah
melihat putri Seribu Satu Malam sih?"
Kasandra tertawa, dalam hati teringat surat abangnya.
"Sebenarnya adiknya jauh lebih cantik dari Kori.
Aku pasti lebih setuju kawin dengannya, sayang dia
cuma anak angkat, enggak bakal dapat warisan apaapa. "
Kiranya Nemesio enggak salah. Vanessa memang
sangaaat cantik, walaupun agak pemalu. Tapi justru
karena dia seperti enggak menyadari kelebihannya,
penampilannyajadijauh lebih menarik.
"Cukup deh perkenalannya. Mana yang mau kaukonsul, Kasandra?"
214 Bab 6
"TADI sore Oma Merlin ngebel."
Pak Bukhari Sukhan menoleh pada istrinya yang
baru masuk ke dalam kamar kerjanya dan tengah
menjatuhkan diri ke dalam kursi di samping mejanya.
Seharusnya istrinya memanggil "Tante", tapi karena
ikut-ikutan anakanak, akhirnya kebiasaan memanggil
"Oma".
"Mau pinjam duit lagi? Eh, jangan duduk di situ,
nanti kau disambar kamera! Sana, duduk dekat tembok!" Laki-laki yang bicara itu berusia lima puluhan,
tingginya hampir seratus delapan puluh senti, langsing, wajahnya yang berkacamata dan berkumis itu
tampak arif dan simpatik, mirip aktor David Niven.
Ibu Yasmin dengan rambutnya yang digelung ke
atas, kelihatan masih cantik?menarik walau sudah punya mantu. Kulitnya putih mulus, hidungnya bangir,
bibirnya manis walau sedang merengut pun, apalagi
kalau tidak, seperti sekarang, matanya hitam dan dalam, alis dan bulu matanya lentik, tubuhnya langsing
namun padat, menggairahkan walau cuma dipalut baju
rumah yang sudah tua. Mendengar ucapan suaminya,
dia bangun kembali dari kursi, lalu berjalan mendekati
suaminya yang sedang asyik di depan komputer.
"Kau sedang latihan apa lagi?" Dia tak bisa men?
215 gerti bagaimana komputer itu bisa mengajak suaminya ngobrol dengan orang-orang di New York dan
menampilkan gambar mereka juga, tak ubahnya seperti orang yang sedang bercakap-cakap dalam satu ruangan. Dilihatnya sekelompok pemusik tengah main
band, penyanyinya cowok bertato di lengan atasnya
yang telanj ang.
"Dan kau juga bisa dilihat oleh mereka?" Suaminya menunjuk kamera di depan mereka dan mengang?
guk, "Kau juga kelihatan di sana! Lihat orang yang di
pinggiran panggung, depan komputer? Nah, dia sekarang menoleh ke arah kamera, dengar dia tanya, siapa
kau"
Pak Sukhan mendecah dan menjawab dalam baha?
sa Inggris, "lni istriku."
Ibu Yasmin terpaksa ketawa melihat laki-laki itu
melambaikan tangan. Lalu dia menyingkir agak ke
belakang komputer, agar tidak kena kamera. Dijatuhkannya dirinya ke dalam kursi yang barusan ditunjuk
oleh suaminya.
"Ini soal Eski Saraya. Menurut Oma, rumah itu
tidak boleh jatuh ke tangan bukan keturunan Balam."
Pak Sukhan cuma mendengus tanpa komentar, j adi
istrinya melanjutkan solo. "Oma bertanya, apa Ponseka menikah resmi sama ibunya Vanessa, apa enggak?
Aku bilang, kurang tahu. Abangku cuma pernah bilang, gadis itu adalah anaknya, tapi soal ibunya aku
sama sekali enggak tahu apa-apa.
"Rupanya Robby datang ke sana setelah telepon
aku. Aku kurang menanggapi, jadi dia cari bantuan
sama Oma. Kau tahu sendiri, Oma kan orangnya serakah. Katanya, kalau Vanessa itu anak di luar nikah,
216 dia enggak berhak atas rumah itu. Sabrina dan Inge-lah yang harus mewarisinya. Dan seandainya aku
menolak, Oma sendiri yang akan merebut rumah itu
untuk Vashti. Dia bilang, Robby sudah setuju dengan
rencananya itu, kemungkinan malah mau kawin den?
gan cucunya nanti, jadi bisa tetap tinggal di sana."
"Biar aja, kita enggak usah ikut campur! Yes, Ken,
the picture is superb, the color Spectacular but [ must
do som ething about the sound, maybe it is the speakers.
I'll get a new pair. "
"Biar, gimana? Dan bagian Vanessa? Kalau anak
itu enggak boleh mewarisi apa-apa, bagiannya,
seluruhnya, bakal jamh ke tangan Oma! Aku enggak
suka sama Vashti, gadis itu enggak punya kepribadian
yang baik, aku enggak rela harta abangku dinikmati
olehnya. Coba pikir, anak?anak kita kan lebih dekat
sama Ponseka dibanding cucu Oma, merekalah yang
sepantasnya mendapat warisan itu. Oma Merlin kan
jauh, ayahnya cuma anak kedua. Kakekku yang anak
sulung dan pewaris rumah itu. Yang bikin Eski Saraya
memang ayah kakekku, tapi kakekku dan kemudian
ayahku yang memperluasnya. Ayah Oma enggak pu?
nya andil sama sekali, jadi kenapa sekarang dia yang
akan dapat?"
"Ya, lantas kau bisa apa? Mau melawan Oma?
Anaknya, si F ranky, kan pengacara ulung, mana sanggup kita melawan kepandaiannya putar lidah. Yes,
Ken, go on, I'm listening "
"Siapa bilang mau melawan Oma? Dia justru
menyuruh aku supaya merebut rumah dan warisan Vanessa untuk Sabrina dan Inge. Dia cuma mengancam,
kalau aku enggak mau, dia yang akan turun tangan,
217 merebutnya buat cucunya."
"Jadi apa yang mau kaulakukan?"
"Oma bilang, ada surat Ponseka di tempat Pak
Razak, surat itu enggak boleh diserahkan pada Vanessa!"
"Dan kau mau suruh aku yang pergi menemui
Razak? Enggak usah, ya! Aku repot! Pergi sendiri kalau mau!" Suara Pak Sukhan sangat pelan dan setiap
kali, mulutnya dialihkannya dari mikrofon agarjangan
masuk ke dalam komputer.
"Ayah macam apa sih kau ini? Buat anakanakmu
sendiri kau bilang repot? Harta sebanyak itu mau kaubiarkan ditadah orang lain? Anak-anak kita sendiri
biar saja miskin?"
"Mereka enggak bakal miskin, Yos. Sabrina sudah
punya titel, nanti pulang dari Amerika, dia pasti akan
gampang mendapat kedudukan yang bagus di salah
satu klinik di sini. Suaminya insinyur, juga enggak
bakal nganggur. Inge pun enggak bakal sengsara atau
kelaparan, bapaknya masih bisa menjaminnya sampai
dia nanti kawin."
"Bukhari, apa kau tega membiarkan harta ayahku
jatuh ke tangan anak orang lain, sedangkan kita punya anak dua?" Ibu Yasmin tahu betul kelemahan suaminya, yang selalu menyerah terhadap suaranya yang
rawan, mengandung ancaman bakal banjir bandang
Betul saj a. Mendengar suara yang agak sengau itu,
laki-laki yang sudah banyak uban itu menghela napas
dan menoleh. "Kusangka selama ini kau menyukai Vanessa."
"Yah! Aku sebenarnya menyukainya. Walau keduanya sama?sama cantik, dibanding sama Vashti, Va?
218

Dicabik Benci Dan Cinta Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nessa itu intan permata. Tapi sekarang, entahlah." Ibu
Yasmin menghela napas. "Kalau ayah-ibunya enggak
pernah menikah resmi, berarti dia bukan keturunan
sah. Kalau dia sampai mewarisi rumah itu, aku khawatir bakal terjadi apa-apa. Ingat apa yang terjadi
dengan Kakek waktu rumah itu dijualnya! Dari em?
pat anak, cuma ayahku seorang yang selamat! Lainnya
mati semua. Kau mau terjadi sesuatu dengan anakanak kita?"
"Bilang saja apa yang mesti kulakukan" Pak
Sukhan menyerah.
"Temui saj a Franky di kantornya. Dia akan mem?
beritahukan apa yang sebaiknya kita lakukan. Menurut
Oma, yang penting surat Ponseka enggak boleh diserahkan pada Vanessa. Paling sedikit, sampai ada bukti
surat kawin orangtuanya!"
*** Alisha Koli berj alan sepanj ang lorong, berlawanan
dengan letak lift. Di depan pintu bercat merah dengan
tanda pengenal gambar anak tangga, dia berhenti lalu
masuk ke situ. Dia memang hampir tak pernah masuk
ke dalam lift. Pertama, tak sabar menunggu lift itu
datang. Kedua, dia selalu ingin membakar kalori yang
berlebihan. Dia sadar, kesenangannya makan coklat
dan semua makanan yang mengandung coklat, harus
diimbangi dengan gerak otot yang sepadan. Karena itu
dia tak pernah absen datang ke tempat Salomi tiga kali
219 seminggu, kecuali ada pasien dalam bahaya mati.
Siang ini pun dia mempunyai jadwal aerobik sej am.
Karena dia biasa lembur hampir setiap hari, atasannya,
Dokter Ariono Hamidf memberinya keringanan untuk
absen sejam, Rabu siang. Senin dan Jumat, dia masuk
kelas sore, jadi tidak bentrok dengan tugas.
Dia sedang menaiki tangga, maksudnya mau
langsung ke lantai tujuh mengambil leotard, pakaian
senamnya, ketika terdengar bip-bipbip dari dalam
saku labjas. Dikeluarkannya benda itu dan dibacanya
pesannya. Dok, cito ke sal.
Diangkatnya kepala, celingukan. Ah, dekatperabot
anti kebakaran ada telepon intern. Dihampirinya pesa?
wat itu dan diputamya nomor Penyakit Dalam di lantai
tiga. "Halo, Dokter Alisha di sini. Betul ada cito?"
"Iya, Dok, segera. "
"Wati, saya kan mau ke belakang, senam. Dokter
Ariono di mana?"
"Di sini, Dok. Ini dia, mau bicara."
"Halo, Alisha! Sebaiknya kau terbang deh ke sini.
Pasien khusus minta kau yang meriksa. Pssst! Cito!
Presto! Keluarganya sudah tidak sabaran, cerewet!"
Alisha meletakkan pesawat dengan alis berkerut.
Siapa sih yang kenal aku? Pasti pernah dirawat di
sini. Asaljangan mau menggugat aku lalai atau salah
kasi obat saja!
Begitu Alisha muncul dari pintu tangga, dilihatnya
Pak Toha sudah menunggu. Rupanya Pak Mantri ini
tahu kebiasaanku, jadi enggaknunggu di depan lift.
Alisha tersenyum. "Ada apa sih, Pak Toha, kok
mengganggu acara saya nih? Masak enggak bisa tung
* Rintihan Pilu Kalbuku
220 gu sejam lagi?"
Laki-laki setengah tua itu menggosok?gosok kedua
tangannya seperti orang kedinginan. Matanya yang
dilindungi beling tebal kelihatan agak menyipit. Normalnya memang kelopak atas itu sudah menggantung
ke bawah, ditarik usia yang sudah lewat setengah
abad, tapi dalam keadaan tegang apalagi, matanya pun
ikut terpicing. Walaupun belum melewati pintu kaca
yang menutup bangsal, laki-laki itu toh tak berani bicara keras-keras. Didekatkannya kepalanya yang sudah
kelabu itu, lalu berbisik seakan menemskan info rahasia, "Pasien penting, Dok. Minta dobel VIP! Istrinya
saj a pakai emas lima kilo! Jangan ketawa, Dok. Saya
serius. Dokter Ariono saja ngeri kok. Begitu dengar
pasien cuma mau diperiksa sama Dokter, Dokter Ariono langsung masuk ke kamarnya, enggak keluar?kel?
uar lagi."
"Minta VVIP saja kan enggak luar biasa? Bedanya
cuma V-nya dua, berarti very, very, sangat, sangat, dan
rekeningnya juga nanti dobel. Sedangkan makanan
dan pelayanan, setahu saya sih sama. Very-very-important?person itu kan cuma istilah saja, Pak. Orangyang?sangat?penting dengan orang?yang?sangat?
sangat?penting, apa sih bedanya, coba? Anatominya
sama, fisiologinya sama, biologisnya sama. Cuma kemampuan atau kesediaannya mengeluarkan uang yang
berbeda, benar tidak?"
Pak Toha cuma melongo, tak sanggup menjawab.
Alisha sengaj a mengobrol begitu untuk menenangkan
hatinya. Enggak biasanya ada pasien yang khusus
menuntutpelayanan dari seorang dokter tertentu, jadi
pasti ada apa-apanya. Moga-moga saja bukan hal
221 yang negatif.
Begitu keduanya muncul dari pintu angin di mulut
lorong, Suster Wati yang sedang berdiri di depan kamar
paling ujung langsung melambai, meminta mereka datang ke situ. Alisha tetap berjalan dengan tenang, tak
mau lebih cepat. Ketika tiba di depan kamar yang termtup itu, baru ditanyakannya apa keluhan pasien.
"Perdarahan lambung, Dok," sahut Suster Wati
menggaruk rambut di bawah topinya dengan ujung
bolpen. Wati berusia pertengahan dua puluh, tapi dia
sudah bekerja di situ sej ak masih siswi perawat, ketika
klinik itu masih di bawah Dokter Edo Sahara. Pengalamannya sudah banyak, orangnya juga cekatan dan cerdas, cepat mengerti teknik?teknik baru yang diajarkan.
Suster Wati mendorong pintu, membiarkan Dokter
Alisha masuk lebih dulu, baru dia sendiri. Pak Toha
paling belakang. Kamar itu luas, jendelanya menghadap ke timur. Setelah lewat tengah hari begini, matahari sudah condong ke barat dan kamar itu teduh, namun tetap terang sebab j endela-j endelanya Iebarlebar.
Alisha masuk perlahan. Sebelum dia sempat menatap jelas wajah pasien yang terhalang lututnya yang
naik ke atas, suara orang itu sudah berseru memanggilnya, "Alisha! Alisha!"
Yang dipanggil langsung menoleh. Koy!
Suster Wati dan Pak Toha saling berpandangan
melihat pasien mengulurkan tangan, memanggil?
manggil seperti kesurupan, sedangkan dokter mereka
termenung, bagaikan terpaku di tempat.
"Alisha! Percayalah, ini bukan mauku, tapi aku
enggak bisa menolakperintah ayah dan ibuku. "
"Enggak bisa gimana? Apa aku akan kawin sama
222 anak di bawah umur yang masih harus menuruti perintah orangtua yang enggak masuk akal? Rikoy, umur
berapa sih kau? "
"Alisha, cobalah mengerti. Ayahku perlu deking,
usahanya sekarang mundur banyak, saingan makin
berat. Aku enggak bisa nolak. Tapi percayalah, perkawinan ini enggak bakal lama. Aku akan segera kembali padamu setelah upacara selesai. Pendeknya, begitu
ada kesempatan! Sumpah! Biar disambar geledek!
Cuma kau yang kucintai! "
Sekarang sudah tiga tahun setelah upacara perkawinan, mana janjimu? Sumpahmu? Kapan kau akan
kembali padaku? Bukan karena aku masih menunggumu, tapi sekedar menunjukkan bahwa kau memang
laki?laki yang bisa dipercaya. Seandainya kau betul
laki?laki! Sudah lama aku sebenarnya meragukan
identitasmu. Seorang lakilaki enggak bakal menjual
dirinya seperti pelacur begitu.
Bila kukenang saat-saat iiu... ah! Rasanya aku
enggak ingin hidup lebih lama. Undangan sudah dikirimkan, pesta sudah disiapkan, malah uang panjar
restoran sudah diberikan dan kalau mau tahu, enggak
bisa diminta lagi. Duajuta melayang begitu saja. Baju
pengantin harus dijual murah tapi enggak ada yang
mau. Orang masih takhayul, merasa tidak baik menyewa gaun yang batal dipakai, takut membawa sial. Akibatnya baju itu terpaksa kusimpan tems, entah mau
kuapakan. Mungkin suatu waktu akan kubuang atau
kubakar. Percayalah, aku sudah enggak mengharap?
kan dirimu lagi. Gaun itu enggak bakal kukenakan.
Sekarang makin jelas kelihatan betapa egoisnya
kau. Apa enggak terpikir olehmu, kedatanganmu ke
223 sini bakal menggugah kembali kenanganku, terlebih
menoreh lagi luka hati yang sudah begitu susah payah
kurawat dan coba kusembuhkan? Apa aku ini satu-sat?
unya dokter yang sanggup mengobatipenyakitmu, apa
pun itu?
"Dokter, jangan diam saja! Periksa suami saya!"
Alisha disadarkan oleh suara yang melengking
nyaring dari arah samping ranjang. Dia menoleh. Tiga
detik pun sudah cukup baginya untuk menilai apa
yang dilihatnya.
Jadi inilah perempuan yang telah merenggut kebahagiaanku, sekali gus juga beljasapadaku, sebab telah
menghindarkan aku dari kesalahan fatal, yaitu kawin
dengan laki-laki yang masih infantil, cengeng kayak
bayi. Hm, manis juga sebenarnya wanita ini seandain?
ya dia enggak merengut. Sayang makeup?nya ketebalan. Rupanya dia enggak tahu, foundation dan bedak
membuat kulitjadi kering dan mempercepat munculnya kerut?kerut. Matanya terlalu galak, dan eyeshadow
itu sebenarnya enggak diperlukan, sebab polesannya
enggak pernah bisa menambah keanggunan. Eyeshadow itu cuma dua fungsinya. Pertama, menambah
kekayaan produsennya, kedua, untuk tempat pembiakan kuman pseudomonas yang sangat ganas kalau
udah menyerang mata.
Melihat Dokter Alisha masih bengong di tempat,
perempuan bergaun ketat hijau tua itu mendelik pada
Suster Wati. "Suster, apa tidak ada dokter lain yang
lebih kompeten?" dia berkaok.
"Aku cuma mau Alisha!" ujar suaminya setengah
serak.
"Diam kau!" pekiknya. "Kau tahu apa! Tahumu
224 '"
cuma minum terus
Pak Toha benar Kalung panjang yang dililit dua
kali, anting?anting yang hampir menyentuh, bahu,
tiga buah cincin, gelang keroncong dua lusin berdenting-denting, itu semua bisa lima kilo, dan tentunya
emas dua puluh empat karat, bukannya empat belas
seperti tutup penaku. Apa dia juga memakai gelang
kaki? Coba kulirik... astaga! Pakaijuga! Mmm, suar?
anya galak banget. Enggak heran suaminya jadi penyakitan, habis dirongrong terus, lari ke minum!
"Dokterrr! Gimana suami saya?"
Seharusnya dia menjadi suamiku, tahu! Tapi aku
masih beruntung, bisa terhindar dari malapetaka
menjadi istrinya.
Alisha menatap perempuan yang mirip kokok beluk itu, lalu dengan tenang, sopan namun tegas, diusirnya, "Silakan Ibu keluar dulu, saya mau memeriksa
suami Ibu." Digerakkannya tangannya ke arah pintu.
"Sana, keluar kau!" seru suaminya menggerakkan
tangan bagaikan menggebah anjing.
"Baiklah, aku tunggu di luar. Jangan terlalu lama
periksanya, Dokter. Lekas diobati saja, dia sudah kehabisan darah, Dokter, tahu enggak!" sungutnya sambil menyeret sandalnya yang berhak sepuluh senti itu
sepanjang lantai vinil.
Kehabisan darah?! Ya, disedot olehmu! Laki-laki
mana yang tahan hidup dengan vampir!
Alisha mengisyaratkan agar perawat dan mantri
juga keluar. Setelah pintu ditutup, dia berjalan ke
samping tempat tidur dan berdiri dengan kedua tangan dalam saku labjas, menunduk memandangi pasien
yang sej ak tadi memperhatikan gerak?geriknya.
225 Matanya enggak segar, kemerahan, kelopak atasbawah coklat kehitaman, menandakan kurang tidur.
Bibir kering, pecah?pecah, kurang Vitamin, berarti
makannya enggak terurus, mungkin juga jarang makan, perutnya sudah kenyang diisi alkohol melulu.
Pipinya kisut dan cekung. Aduh, aduh, tiga tahun yang
lalu dia masih begitu tampan, kenapa sekarang sudah
mirip kakek?
Alisha mengulurkan tangan ke meja tempat mele?
takkan makanan yang bisa dipindah-pindah dan saat
itu berada di kaki ranjang. Diambilnya map kuning di
atasnya dan dibukanya. Dibacanya sekilas, lalu diang?
katnya kepala memandang pasien yang tengah mengawasi tanpa berkedip.
"Halo, Pak Zimpati, kenapa Anda dibawa ke sini?"
Suaranya kalem.
"Aduh, Alisha, jangan panggil aku Pak dong! Apa,
aku kelihatan sudah begitu ma? Aku muntah darah,
Alisha."
"Hm, di sini, ditulis muntah darah banyak. Seberapa banyak? Sesendok makan, secangkir, segelas?"
"Oh, mana aku tahu, Alisha. Coba tanyakan ist...
tanyakan keluargaku saja. Mereka yang lihat, aku
sendiri sudah setengah semaput. Apa penyakitku ini
berbahaya? Apa aku bakal mati?"
"Saya harus memeriksa dulu sebelum bisa menjawab semua pertanyaan itu, tapi melihat keadaan
Anda saat ini, Anda belum akan mati."
"Ah, tapi aku ingin!" keluh pasien mendesah. "Oh,
panggil namaku saja, kau masih ingat, kan?"
Jangan buru?buru mati. Di Amerika baru saja dibuka biro turis buat jalan-jalan ke bulan. Jadi kalau
226 kau kepingin melihat bumi dari atas, lebih baik daftar
saja ke sana, pergi dengan rombongan kan lebih enak
daripada melayang sendirian!
Tanpa menghiraukan ocehan pasien, Alisha segera
mengajukan beberapa pertanyaan yang tertuju ke arah
penegakan diagnosa.
"Kausangka aku bercanda? Enggak! Aku sungguh
kepingin mati! Hidupku sudah jadi neraka benaran, se?
tiap detik kusesali nasibku."
Buat apa disesali? Kau sendiri yang mau nyemplung ke sumut; sekarang baru insaf, kau enggak bisa
berenang! Kenapa dulu mau kawin kalau memang
enggak cocok?
"Maafkan aku, Alisha. Mataku buta, silau melihat
kemewahan dan kekuasaan. Kusangka... kusangka aku
akan bisa melupakan kau."
Enggak ada yang enggak bisa, Koy, asal ada ke?
mauan. Kau pasti bisa melupakan Elizabeth Taylor sekalipun asal mau! Apalagi cuma aku, gadis biasa yang
enggak cantik, enggak kaya....
"Ternyata aku enggak bisa! Satu-satunya yang
masih menyatukan nyawa dengan ragaku adalah
harapan akan bisa ketemu kau lagi dan menyambung
hubungan yang terputus. Mau, kan, Alisha?"
Alisha, selesai menulis dalam status, lalu mengembalikannya ke atas meja panjang dan menutup bolpennya. Diraihnya stetoskop dari leher.
"Sekarang saya akan memeriksa Saudara. Tolong
kemej anya dibuka."
"Oh, jangan panggil aku Saudara," keluh pasien
seraya membuka kancing paling atas.
Kok cerewet sih? Dipanggil 'Pak' enggak setuju,
227 dipanggil 'Saudara' enggak boleh. Memangnya mau
dipanggil apa? Manisku? Sayangku? Uh, itu kan hak
istrimu?
Jadi kau sekarang tinggal di... pikir Alisha teringat nama kompleks mewah di Jakarta Selatan yang
dibacanya dalam status barusan. Apa di sana enggak
ada dokter? Heran, kok malah jauh-jauh datang ke


Dicabik Benci Dan Cinta Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sini? Gimana kalaujalanan kebetulan macet, bisa?bi?
sa kau enggak ketolongan, sampai ke sini sudah kasep!
"Aku tahu, kau pasti heran kenapa aku jauh-jauh
datang kemari. Tujuanku yang utama adalah mau ketemu denganmu. Soal pengobatan, itu nomor belakan?
gan, dua, tiga, atau paling buncit. Jadi seandainya aku
sampai mati di jalan, enggak jadi soal bagiku, malah
senang bisa bebas dari penyesalan yang menyiksa
batinku terus-terusan. Tapi sebelum aku mati, keingi?
nanku adalah mau minta maafmu, dan seandainya aku
masih diizinkan hidup, kerinduanku adalah ingin kem?
bali padamu. Terimalah aku, Alisha. Aku enggak sang?
gup hidup jauh dari sampingmu."
Koy, jangan ngaco! Kau sekarang bukanlah kau
yang dulu. Begitu juga aku sekarang sudah bukan lagi
aku yang dulu. Apresiasiku dalam menilai kehidupan
ini sudah berubah. Bagiku sekarang, pekerjaanlah
terpenting, perkawinan sudah enggak lagi termasuk
prioritas. Aku enggak lagi membutuhkan seorang laki-laki untuk melengkapi hidupku.
"Sekarang tarik napas yang dalam, embuskan.
Tarik lagi, embuskan. Tarik lagi."
"Alisha, apa saj a syaratmu akan kuterima! Mutlak!
Kau menuntut aku bercerai? Hari ini juga aku akan
bercerai! Asal kau mau kembali padaku. Jawablah,
228 Alisha, katakanlah kau mau kembali...."
Uh, egoisnya cowok ini ! Sedikipun enggak dipikirkannya istrinya dan anak?anak mereka... sudah punya
anakkah si konyol ini?
Alisha merabai daerah perut. "Katakan di mana
yang sakit." Ketika sedang menghitung denyut nadi
menggunakan arloji, terlihat olehnya sudah jam berapa. Huh, habislah sudah waktu aerobikku! Gara-gara si brengsek ini ngacau, seperti sudah enggak ada
dokter lain di jakarta! Heran, kok setebal itu mukanya? Sudah mencampakkan diriku, kok masih berani
datang nyatronin, mohon-mohon lagi!
Selesai memeriksa fisik, dengan tenang dituliskan?
nya semua hasil pemeriksaan ke atas status, sementara pasien merepet terus. "Gimana hasilnya, Alisha?
Kenapa kau ogah ngomong sama aku? Ya, aku bisa
mengerti kalau kau marah padaku... dulu. Tapi sekarang kan sudah tiga tahun, masak masih marah terus?"
Betul?betul orang ini! Rupanya belum pernah
dengar soal sakit hati dibawa mati?! Andaikan aku
memang sudah enggak marah juga, enggak mau kuperlihatkan padamu aku sudah enggak marah! S upaya
kau enggak ngelunjak, berkhayal yang bukan-bukan.
"Atau anggaplah aku ini pasien biasa tok. Kita belum pernah kenal sebelumnya. Nah, beginikah perlakuanmu terhadap pasien? Enggak mau mengajaknya
bicara atau menjawab pertanyaan?peitanyaannya?"
Alisha berhenti menulis sebentar dan menoleh,
menatap tepat pada kedua biji mata. "Saya hanya
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan
dengan penyakit pasien. Pertanyaan yang menyangkut
hidup pribadi, biasanya saya sarankan supaya diajukan
229 pada tukang ramal atau orang pintar yang bisa membaca kartu Tarot."
"Tapi pertanyaanku semuanya menyangkut dirimu
juga!"
"Terkadang memang ada pasien yang terserang
halusinasi, menyangka dokter yang merawatnya itu
bekas pacarnya dulu," ujar Alisha tenang sambil terus
menulis.
"Astaga! Masak iya aku sudah gila? Apa aku salah lihat? Namamu Alisha, bukan? Alisha Koli? Andeng-andeng di sudut kanan-luar kelopak matamu itu
bukan halusinasi, kan?"
Alisha terus menulis, kemudian menekan tombol
untuk memanggil perawat. Ditutupnya bolpen dan dicantelkannya kembali ke kantong.
"Alisha, kau enggak bisa mengacuhkan aku seperti
ini! Aku menuntut supaya kau memberi aku kesempatan untuk memperbaiki kesalahanku di masa lalu.
Masakan kau sekejam itu, tega kau membiarkan aku
sengsara seperti ini? Tahukah kau apa sebabnya aku
lari ke alkohol? Pernahkah kau mencintai seseorang,
lalu patah hati betulan?"
Ya dan enggak. Aku memang pernah mencintaimu,
dan aku akan bohong kalau aku bilang, dulu enggak
patah hati. Tapi keinginanku untuk hidup sendirian
bukanlah karena patah hati. Mendadak saja aku sadar,
aku sebenarnya sanggup hidup single. Aku yakin kebahagiaan hidup ini enggakperlu diharapkan datang
dari orang lain, tapi harus dicari dalam hati sendiri.
Sekarang aku menggantungkan kebahagiaan hidupku
pada diri sendiri, dan ternyata aku menemukan apa
yang kucari. Kedamaian batin, alasan untuk bangun
230 setiap subuh, alasan untuk bersukur pada Tuhan atas
semua yang kuperoleh dan kualami setiap hari, kesempatan untuk berbuat baik bagi manusia-manusia
lain yang sakit dan yang sehat, kesempatan untuk
menerima kebaikan dari orang?orang lain sehingga
mereka juga bisa merasakan kebahagiaan sudah berbuat baik.
"Kalau pernah, kenapa kau enggak punya belas
kasihan untukku?" Suara pasien sudah serak, sejak
tadi berkicau sendirian. Tapi Alisha tak peduli. Dia
cuma khawatir, pasien nanti kalap dan ngamuk. Karena itu dipanggilnya Suster Wati.
Aku yakin kau juga bisa menemukan kebahagiaan
dalam hidupmu. Kalau perlu akan kubantu, tapi bukan
dengan jalan yang kauusulkan tadi. Percayalah, kau
enggak bakal menemukan kedamaian dengan merenggutkan kebahagiaan istrimu sendiri. Cuma dengan
memberikan kebahagiaan pada orang lain, baru kita
sendiri bisa merasa bahagia.
"Alisha, sejak malam pertama saja aku sudah enggak cocok sama istriku. Galaknya enggak ketolongan,
sok ngatur melulu. Di atas ranjang misalnya, dia selalu yang menentukan kapan, berapa lama, bagaimana.
Padahal aku sudah ngalah, enggak perawan juga aku
enggak ribut.
"Nah, kalau hidup bersama sudah jadi neraka buat
apa lagi dipertahankan Alisha, jangan tolak aku mentah?mentah begini! Aku sudah melakukan kesalahan
besar dalam hidupku. Membiarkan kau menolak aku
sekarang, akan merupakan kesalahan yang lebih besar.
Aku lebih baik mati kalau itu terjadi!"
Biarpun infantil, aku tahu Rikoy bisa menjadi
231 keras kepala bukan main. Ya, enggak ada bedanya
dari anak?anak balita yang suka merengek sepanjang
hari minta ini minta itu. Tapi pasal tentang dirimu su?
dah kututup, cinta kita sudah expired, Koy. Tahu kan
apa yang harus kita lakukan dengan obat?obatan yang
sudah expired? Buang ke tong sampah!
Suster Wati muncul dan Alisha memberikan penjelasan apa saja yang harus dilakukan untuk pasien.
"Pesan kamar OP kecil untuk besok pagi, endoskopi.
Puasa total malam ini. Cek tensi setiap jam, kalau sistolik di bawah delapan puluh, beritahu dokter jaga...
siapa malam ini?"
"Dokter Potasa, Dok."
"Yang suka ngompol?!" desis Alisha pelan, cuma
kedengaran suster yang mendecah.
"Alisha, enggak mungkin kau sekejam ini! Masak
kau sudah lupa siapa aku? Kita kan pernah pacaran
empat tahun, malah sudah hampir..."
Dokter Alisha buru-buru menyetop ocehan itu.
"Pak Zimpati, tenanglah, malam ini Bapak akan puasa,
dan besok pagi akan diperiksa. Jangan terlalu banyak
buka mulut, nanti masuk angin, kembung, dan akan
mengganggu pemeriksaan besok. Oya, Suster Wati,
pemeriksaan darah lengkap minta cito, malam ini juga
harus sudah ada hasilnya. Dan... ssst, jangan biarkan
ngoceh terus, supaya tidak aerophagi, kalau sampai
kembung kan berabe."
Suster Wati mengangguk, sambil mencatat semua
instruksi dalam buku pintarnya. Dokter Alisha menoleh ke ranj ang, air mukanya lebih rileks.
"Nah, Pak Zimpati, saya tinggal dulu, keluarga
Bapak boleh menunggu di dalam. Kalau ada yang mau
232 nginap, bisa menghubungi tata usaha, kami mempunyai guesthouse yang nyaman di belakang."
Sebelum pasien sempat bersuara lagi, Alisha sudah
berkelebat ke luar. Sangkanya dia sudah bebas, tidak
tahunya di lorong dihadang oleh kokokbeluk dengan
kedua tangannya di pinggang.
Kok lagaknya kayak orang nagih utang? Dandanan begini mutakhir kenapa sikapnya kampungan
betul? Alisha geli sendiri tapi wajahnya tetap serius.
Dihentikannya langkahnya dan ditunggunya wanita
itu membuka mulut.
"Dokter, gimana keadaan suami saya? Dia muntah darah banyak sekali, Dokter, tahu enggak. Apa itu
kanker?"
"Saya belum bisa menjawab, sebab belum melakukan pemeriksaan lengkap. Berapa banyak muntahnya
itu, Bu?"
"Wah, hampir sebaskom! Baskomnya gede, Dokter, tahu enggak. Apa dia dalam bahaya?"
Wajahnya enggak kelihatan khawatir apa dia lebih senang kalau kukatakan suaminya memang dalam
bahaya?
"Saat ini keadaannya stabil, tapi serius, dan kami
akan mengobservasi suami Ibu dengan seksama. Besok kami akan melakukan pemeriksaan untuk mencari
sumber perdarahannya. Apakah ini kejadian yang per?
tama kali?"
"Ya. Tapi memang dia sudah lama punya sakit
maag. Orangnya bandel, Dokter, tahu enggak. Selalu
telat makan, sering malah enggak makan sama sekali,
maunya minum melulu, Dokter, tahu enggak. Rumah
sampai bau asam, ya bau bir, bau wiski, apalagi kamar
233 tidur, Dokter, tahu enggak."
"Baiklah, Bu. Sekarang silakan Ibu menunggu kembali di dalam, mungkin Bapak menjadi lebih
tenang melihat Ibu."
Alisha sudah menggerakkan kaki tapi Ibu Zimpa?
ti masih nyerocos terus, "Tahun lalu dia sampai sakit kuning, Dokter, tahu enggak. Waktu itu dia sedang
pergi, ke Malaysia, urusan dagang. Sampai masuk rumah sakit di sana, Dokter, tahu enggak. Dokter di sana
sampai bilang, harus stop minum, karena livemya bisa
tambah rusak kena alkohol. Nah, dia diperingatkan begitu, Dokter, tahu enggak."
Alisha manggut-manggut. "Ya, itu memang betul.
Sebaiknya Ibu juga menasihati suami Ibu supaya berhenti minum. Maaf, saya harus menengok pasien lain."
Alisha sengaj a melihat arlojinya walau sudah tahu j am
herapa.
"Uh, Dokter, tahu enggak, nih yang namanya mu?
lut, sudah sampai kering menasihati, ya melarang, ya
memarahi, tapi percuma. Orangnya memang bandel.
Nyesel saya kawin, Dokter, tahu enggak." Tapi sekali ini Dokter Alisha tidak ingin menunda langkahnya, terus saja berjalan menghindari kokokbeluk yang
menjemukan itu.
Alisha masuk ke kamar, Dokter Ariono Hamid,
wakil kepala Bagian Inteme. Kepala bagiannya sendiri adalah Profesor Kabila Bey yang datang dua kali
seminggu untuk praktek, menengok pasien?pasien
pribadinya yang diopname serta mengontrol keadaan.
Prof. Bey merupakan guru besar luar biasa, karena itu
jasanya sangat dibutuhkan oleh berbagai rumah sak?
it, waktunya sangat terbatas. Tapi Prof. Birka, teman
234 baiknya, berhasil membujuk beliau supaya membuka
praktek di Klinik SB, sehingga klinik itu bisa berharap
mendapat kunjungan dari internis terkemuka itu paling
sedikit dua kali seminggu.
Ariono mengangkat kepala dan menatap rekannya
dengan senyum tersungging. Alisha menarik napas
dengan bibir dirapatkan dan ditekan ke bawah, menunjukkan kekesalan.
"Ario, sejak kapan pasien dobel-Vi-ai-pi diserahkan
padaku? Bukankah itu jatah wakep?"
"Aku tidak bisa berbuat apa?apa, Alisha. Orang itu
memaksa minta kau yang menangani."
"Aku tahu," keluh Alisha menjatuhkan diri ke atas
kursi.
"Eks calonmu?"
Alisha mengangguk. "Tahu deh, semalam aku
mimpi apa, kok hari ini dapat malapetaka."
Ariono yang dianggap istrinya, Klesia, setampan
bintang Hollywood Patrick Swayze, menatap Alisha
dengan penuh simpati. "Bila kau ingin menghindari
pasien ini, aku dapat memberikannya pada Markoni.
Cutimu masih belum kauambil tahun ini, kan?"
Alisha mengembalikan tatapan itu sambil menggeleng. "Aku harus menghadapinya dan meyakinkan dia
untuk berhenti membuntutiku. Kalau aku menghindar
sekarang, pasti lain kali dia akan tetap mencariku. Besok aku mau melakukan endoskopi. Kalau perlu dibuka, bisa segera kita oper ke Bagian Bedah."
Alisha pamitan dan berjalan ke lantai enam. Karena batal senam, ya dia lebih baik makan saja. Di tengah jalan dia kesamprok dengan Dokter Markoni yang
rupanya baru balik dari kantin. Laki?laki itu berumur
235 tiga puluh lebih, waj ahnya bulat dan selalu berminyak,
kepalanya sudah botak, bibirnya yang sering?sering
dibasahinya itu kelihatan hitam dan tebal.
"Hei, Alisha, eks lakimu aku dengar masuk dengan
hematemesis. Benar?"
"Betul, muntah darah. Tapi dia bukan eks suami!"
Markoni Koballa tertawa ceriwis. "Tapi kan sudah
teken di Catatan Sipil, berarti sudah resmi."
"Aku dengar kau menderita enuresisf" Jangan
malu mencari pertolongan, aku tahu dukun yang bisa
ngobatin. Bilang saja kalau kau mau," ujar Alisha dengan nada manis sambil berjalan terus, meninggalkan
rekannya meringis seperti monyet sakit gigi. Suatu
ketika genderuwo ini mesti diajar adat! Aku sudah
sering mendengar keluhan dari para perawat, sayang
belum bisa menangkap basah.
*** "Alish, sini duduk sama aku!"
Alisha memasukkan uang kembalian ke dalam
dompet, lalu menoleh. Dia mengangguk ketawa meli?
hat Kasandra, lalu membawa nampannya ke sana.
"Biar kutebak. Wajahmu agak mendung... hmmm,
si Markoni bikin ulah? Bukan? Ada pasien plus... bukan? Berat badanmu belum juga turun! Bukan? Ya,
memang berat badanmu sudah pas, mana perlu diturunkan lagi! Jadi? Aku nyerah deh!"
* enuresis: ngompol waktu tidur
236 Alisha menghela napas. "Kau pasti enggak bisa nebak. Eks-ku masuk, dan ngotot mau aku yang memeriksanya. Lalu dia ngomong deh yang bukan-bukan.
Huh!"
"Kenapa enggak disuntik biar pulas saja!" Kasandra tertawa.
Alisha juga ketawa, meringis. "Memangnya dia anj ing! Aku kan belum ingin masuk penjara!"
"Di Bedah juga ada kambing hitamnya. Dokter Saul Ajinomoto!" Kasandra menggeleng sambil
nyengir melihat Alisha melongo. "Nama aslinya sih
Ajimo, tapi sama perawat-perawat diterjemahkan jadi
Ajinomoto. Saul terlalu pedantik, cerewet enggak ketolongan, mereka semua sebal padanya. Selain itu tangannya sering grapa-grepe, camat-comot siapa aja asal
kelihatannya betina. Untung aku bukan bawahannya,
tapi melapor langsung sama Dokter Otto. Dokter-dokter muda yang suka jaga malam, banyak yang mengeluh kalau harus membantunya OP. Mereka kapok, saking pedantiknya. Ada yang disuruh menjahit luka OP,
dikontrol olehnya, ternyata dia kurang puas, masak
harus dibuka lagi dan diulang sampai tiga kali?!"
"Sebabnya?"
"Sekali kurang rapat, katanya nanti lukanya lama
sembuh dan jaringan parut terlalu lebar. Kedua kali,
jarak jahitan terlalu jarang dan terlalu dekat, jadi dianggap enggak rata. Uuuh! Dan dia juga sudah pernah


Dicabik Benci Dan Cinta Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mencoba memperkosa aku!"
"Hah???" Alisha kaget sampai suapnya tertunda.
Kasandra mengangguk. Matanya yang hitam, besar, dan sedikit miring ke atas, kelihatan bersinar tegas
seperti mata elang. "Kalau dia berani, sekali lagi, akan
237 kulaporkan sama Dokter Otto! Pasti bakal dipecat!"
Dokter Otto Lukman* memang terkenal keras memegang disiplin, terlebih mengenai perlindungan bagi
para staf wanita.
"Ibunya kan hakim senior di Pengadilan Tinggi,"
Kasandra menjelaskan. "Jadi sejak masih di sekolah
menengah sudah diajari, lakilaki yang benar harus
selalu melindungi wanita dari kejailan binatang-binatang berkaki dua! ini dikatakan sendiri oleh istrinya,
Dokter Loti, padaku."
"Hebat sekali kamusmu! Jitu! Binatang berkaki
dua! Haa, di tempatku juga ada seekor, kami namakan genderuwo. Tangannya juga suka gerayangan di
atas uniform perawat. Eh, kau lihat meja di pojok itu?
Asyik betul abangmu, sampai-sampai tunangannya
disuruh ngopi sendiri!"
Kasandra menoleh dan mendengus melihat Nemesio tengah mengubur wajahnya dalam buku tebal,
sedangkan Korizia termenung memegangi cangkir
kopinya. "Hm. Jangan cepatcepat memuji itu textbook! Pasti yang dibacanya buku Nostradamus. Itu
satu-satunya karya sastra dunia baginya!"
"Pengarang Amerika atau Yunani? Banyak seksnya, barangkali."
"Ah, jangan bikin aku ketawa! Masak belum pernah dengar buku ramalan yang ditulis tahun 1550
oleh Dokter Nostradamus di Prancis? Menurut Nem?
esio, dokter itu meramalkan semua kejadian di dunia,
dari Hitler sampai ke Khomeini. Abangku memang
nyentrik, hobinya ngumpulin karya-karya para dokter seperti Anton Chekov, de Maupassant, Conan
* Sonata Masa Lalu
238 Doyle...."
"Yang menciptakan Sherlock Holmes?"
"Iya. Kalau penulisnya bukan dokter atau eks mahasiswa FK, dia segan baca, katanya cuma buang waktu."
"Kalau begitu sayang betul dia enggak pernah tahu
novel-novel menarik."
"Katanya kalau enggak pernah dengar, enggak apaapa, enggak merasa dirugikan."
Alisha senang ngobrol dengan Kasandra yang ceplas-ceplos tapi toh cukup jujur dan hangat, menurut
penilaiannya. Sebaliknya Kasandra juga menyukai
Alisha yang tetap sederhana walau otaknya cemerlang
dan wajahnya menarik.
"Sudah punya acara buat akhir pekan?"
"Mudik," sahut Alisha tersenyum. "Kangen sama
anjing-anj ingku. Kau?"
"Tahu deh. Tempo-tempo aku bosan pulang, sepi.
Orangtuaku jarang di rumah. Aku dengar, ayahku
kembali kumat suka judi. Enggak tanggung-tanggung,
ke Pulau Christmas dekat Irian, dijemput temannya
pakai j et kasino. Ibuku ya nebeng jalan-jalannya, tinggal rumah cuma ditunggui setengah lusin pembantu."
"Nemesio?"
"Dia sih boleh dibilang sudah enggak pernah pulang lagi. Senang di apartemennya terus. Apalagi sekarang, aku dengar tunangannya sudah ikut tinggal di
situ. Pasti lebih betah lagi dia."
Alisha tiba-tiba tertarik perhatiannya pada pesawat
TV yang digantung di pojok atas kantin. Dia kelihatan
begitu terpesona pada iklan pembalut wanita itu, sampai akhirnya Kasandra menoleh dan ikut memperhati?
239 kan. Dia mendengus.
"Percaya enggak, sembilan puluh persen iklan?iklan
itu bohong. Aku baru mau percaya setelah kubuktikan
sendiri. Contohnya, sampo. Semuanya menjanjikan
rambut yang indah, subur, berkilat dan seterusnya, padahal semua sampo itu tanpa kecuali, sebenarnya merusak rambut! Lho, jangan heran. Ini dikatakan sendiri oleh insinyur kimia yang bekerja pada salah satu
merek terkenal. Makin banyak campuran kimianya,
makin tak keruan akibatnya. Jadi jangan terlalu sering
keramas. Paling baik kalau bisa dengan bahan-bahan
alami saja seperti bubuk merang atau lidah buaya.
"Misalnya pembalut yang ini. (Kasandra menun?
juk ke TV), ternyata enggak melindungi aku seperti
yang dijanjikan, masih nembus ke baju dalam. Untung
waktu itu rok yang kupakai terbuat dari bahan sintetik yang cukup tebal dan warnanya gelap, jadi enggak
sampai tembus ke luar. Tapi aku kapok pakai merek
itu. Aku paling enggak betah kalau baju dalamku terasa basah dan lengket, rasanya ingin segera masuk ke
kamar mandi, enggak bisa konsentrasi, dan celakanya
kalau aku saat itu kebetulan sedang di ruang OP!"
"Gadis dalam iklan itu Dokter Koleta Bramasta.""
"Masak dokter masuk iklan? Rasanya aku sudah
pernah melihat iklan serupa ini sebelum aku ke Amer?
ika."
"Memang ini iklan kuno kok. Waktu pertama kali
muncul belasan tahun yang lalu, Koleta baru di SMP.
Mungkin kau masih ingat, dia main Hlm bersama
Dante, anak J enderal Bramasta?"
"Sepagi Itu Kita Berpisah, bukan? Dan sekarang
* Dihatimu Aku Berlabuh
240 dia menjadi istrinya? Uh, gampang saja orang lain,
pacaran terus kawin, enggak seperti aku, pacaran berkali?kali tapi"
""Bukan. Dokter Koleta menikah dengan Ramses,
adik Dante. Dante sendiri waktu itu sudah meninggal
akibat kecelakaan lalu lintas."
""Seharusnya dia melarang iklan itu disiarkan. Dokter masuk iklan, itu kan enggak etis, apalagi barang
yang ditawarkan rendah mutunya."
""Aku dengar memang suaminya berusaha supaya
iklan itu ditarik, tapi belum berhasil. Barangkali Pak
Jenderal juga yang harus turun tangan." Alisha tertawa
namun Kasandra tidak menanggapi, matanya sedang
terpaku ke layar. Iklan sudah berganti. Seorang pria
gagah, berkumis, tengah meyakinkan para pirsawan
bahwa mobil yang sedang dipamerkannya itu adalah
satu-satunya simbol status yang akan melejitkan gengsi mereka di jalan, di kantor, maupun di rumah.
Kasandra menatap dengan dada berdenyut nyeri.
Prem! Namun detik berikutnya kesadarannya pulih.
Hatinya merintih. Enggak mungkin kau! Kau sudah
lamajadi debu. Tapi begitu mirip. Oh, Prem, bagaimana caranya melupakan sebuah mimpi seindah mimpi
kita berdua? Aku sudah mengembara sampai ke ujung
langit, tapi sepuluh tahun kuliah sampai jadi spesialis,
sia-sia belaka. Aku enggak diajari caranya melupakan
masa lalu....
"Sandra, kau kenapa?" Alisha menyentuhnya pelan,
khawatir melihat ekspresi matanya yang tak berkedip
selama sepuluh detik.
Kasandra menggoyang kepalanya dengan sedikit
tersipu seakan ketahuan sedang melamun, lalu mende
241 sah, "Uh, aku enggak apa-apa." Ditengoknya arloji,
lalu digesernya kursi. ""Yuk deh, Alish, aku harus OP
dalam setengah jam."
""Aku juga harus balik. Markoni suka mencak-mencak kalau aku kelamaan istirahat." Keduanya melang?
kah ke arah tangga.
Kasandra turun sampai lantai dua. Ketika dia tiba
di dalam kantornya, dilihatnya layar komputer memberi pesan, ada surat masuk. Dijatuhkannya tubuhnya
ke dalam kursi, lalu ditekannya tombol. Sebuah pesan
langsung berkelebat, muncul di monitor.
"Makan bersama malam ini, oke? Aku ada di Eski
Saraya. Aku jemput jam tujuh? Kalau ada OP darurat,
masih ingat kan nomor mobile?ku? Kas."
Kasandra tersenyum sendiri sambil menggigiti pinsil. Kaspar! Masih belum matikah dia? Iiih, kok pik?
iranku enggak keruan! Habis, orang yang keranjingan
balap kayak dia selalu terancam maut, kan? Seperti...
Louis!
Kasandra mengej apkan matanya beberapa kali dan
menarik kertas tisu dari kotak, dibersitnya hidungnya.
Untung perasaannya segera pulih, sebab saat itu juga
pintu dibuka orang setelah terdengar ketukan sekali.
Kau! Kasandra tertegun, nyaris mengutuk melihat
siapa yang masuk. Sebelum dia sempat bangun dari
kursi, langkah?langkah Saul Ajimo yang panjang itu
telah membawanya ke dekat Kasandra, bersandar di
samping meja, lalu memajukan torsonya ke arah gadis
itu. Kasandra tidak bergeming, tapi menambah bara
api yang terpancar dari matanya, seolah berharap bisa
menghanguskan binatang berkaki dua ini.
"Kas, aku punya pasien bagus untukmu! Dan se
242 bagai ucapan terima kasih, kau mau makan malam
bersamaku, kan?"
Saul tersenyum menantang, gigi-giginya yang pasti
ditolak buat iklan itu sudah kehilangan serinya dihajar
nikotin sejak SMA. Seolah yang diundang sudah pasti
takkan menolak, dia melanjutkan, "Tempatku atau...
tempatmu? Aku sudah membeli makanan Korea yang
beku, tinggal dimasukkan ke dalam microwave... drada-da... siap dalam tiga menit! Tapi ditanggung lezat!
Menurut brosur microwave, gizi makanan ditanggung
tetap tak berubah, kalau enggak malah makin ditingkatkan setelah diproses dalam alat itu! Ha, ha, ha!
Hidup modern ini sangat membantu kaum wanita, ya!
Lihat kau! Bukannya ngupas bawang di dapur, tapi
mainmain pisau di ruang OP! Dan hari ini muncul
pasien istimewa yang pasti akan kegirangan disentuh
pisaumu!"
Saul tergelak-gelak, makin tidak menyenangkan
di mata Kasandra. Laki-laki itu sendiri rupanya tidak
sadar bahwa kehadirannya telah menurunkan temperatur ruangan sepuluh derajat. Melihat Kasandra tenang
saja, dia mengira itu pertanda bahwa dirinya mulai
diberi angin. Bagaikan balon yang makin melembung
makin naik, diobralnya senyumnya sambil menumpahkan seluruh isi hati.
""Belum pernah aku ketemu wanita yang begitu
menggairahkan seperti kau, Kas. Impianku..."
Kasandra paling benci dipanggil begitu. Memangnya aku ini kas bon atau brankas atau kulkas sih?
"...adalah ingin bangun di sampingmu pagi hari,
dan berbaring di sebelahmu setelah kerja seharian.
Mungkinkah itu, Kas? Pernahkah kau merindukan be
243 gitu, sama seperti aku?"
Saul makin memajukan kepalanya ke depan, tapi
Kasandra dengan gerakan manis menepiskan tangan
yang berniat mendarat di atas rambutnya. Didorongnya kursinya yang beroda itu ke arah samping men?
jauhi jangkauan tamunya. Sambil berpura-pura sedih,
dia menghela napas dan berkata halus, ""Kau kan sudah
tahu riwayatku. Semua orang di rumah sakit ini sudah
tahu, jangan berlagak pilon. Sebenarnya aku menaruh
simpati padamu, tapi justru karena itu aku enggak
tega mau menjalin hubungan denganmu. Atau... kau
memang enggak takut mati?"
""Siapa bilang aku mau jadi korbanmu yang kesekian? Mana aku rela! Yang kuimpikan kan cuma tidur bersamamu, lalu bangun berdua... tau, kan, Kas?
Masak kau juga enggak kesepian di tengah gunung begini? Orang utan saja enggak pernah mampir kemari.
Sepinya, aduuuh!"
Saul menggeleng, lalu kembali tersenyum, tentu
saja menurut anggapannya senyum mesra, tapi di mata
yang melihat, seperti nyengir banteng disodok-sodok
oleh matador di Juriquilla.... Matadornya adalah
Miguel, yang lembut di bawah sinar bulan namun telengas dalam arena.
Kasandra membalas dengan lemparan senyum
yang teramat manis, membuat hati jantan itu mengge?
lepar membayangkan hidangan malam yang lezat serta
nyamikan istimewa setelah itu. Dengan suaranya yang
halus dilontarkannya serangan balasan, ""Aku lebih
suka tidur dengan tikus daripada denganmu! Dan..."
""Ah, Kas! Kau senang bercanda rupanya. Aku suka
cewek yang penuh humor." Dia menggosok-gosok
244 tangan dengan sukacita.
""...soal undangan makan nanti malam, sorry, Dok,
aku sudah punya janji!" Semula aku enggak bergairah
menemui Kaspar tapi masih lebih mending deh ken?
can sama penipu daripada pemerkosa!
Tepat di atas kantor Kasandra, terletak kantor Alisha. Sakit kepalanya lain lagi dari rekannya. Begitu
masuk, langsung diraihnya setumpuk surat di atas
meja yang rupanya baru saja diantarkan. Dibacanya
pengirimnya. Empat dari perusahaan obat, disisihkannya untuk dibaca kalau iseng bila kepala sudah mumet
tak bisa lagi disuruh berpikir. Lima dari iklan, menawarkan segala rupa barang, langsung dibuangnya ke
keranjang kertas. Sisanya tinggal enam, tiga dari luar
negeri, tawaran mengikuti seminar ini dan itu, satu
dari Internet, tagihan iuran, satu dari seorang rekan
mengenai seorang pasien, topiknya konfidensial, dan
yang terakhir dari Alisha menarik napas berat sampai jelas kedengaran olehnya sendiri.
Kalau Zenda ngirim surat, biasanya isinya enggak
pernah bikin senang hatiku. Mendinganjangan kubuka sekarang. Kalau hatiku jengkel dan otakku harus
memikirkan terus apa yang ditulisnya, berarti aku
bakal sakit kepala, mana bisa bertugas!
Alisha melipat sampul surat putih itu dan memasukkannya ke dalam saku labj asnya yang besar. Setelah itu
dia duduk di depan komputer, memasukkan data-data
perkembangan para pasien hari itu untuk nanti dibuatkan laporan mingguan. Dilihatnya lonceng di tembok.
Masih ada dua jam sebelum aku harus memeriksa
pasien lagi. Kecuali ada yang baru....
245 Alisha tekun bekerja. Sering dia lembur sampai
jauh malam, tapi kalau tidak perlu komputer, dia lebih
suka kerja di tempat tinggalnya sendiri, di lantai tujuh.
Dia sudah tahu, kerja di kantor banyak gangguan.
Benar saja. Belum ada sejam, pintunya sudah
diketuk orang. Mana bisa tenang kerja begini. Tapi karena ini jam kantor, ya terpaksa diterimanya siapa saja
yang datang menemuinya.
""Ya, silakan."
Pintu memang tidak dikunci, jadi mudah saja dibuka dari luar. ""Maaf, mengganggu, Dok."
Alisha langsung melepaskan matanya dari layar
monitor dan menoleh.
"Ah, Mbak Dewi, ada apa, nih? Silakan duduk."
Suster Dewi adalah kepala perawat di Bagian Inteme. Usianya sudah merayap hampir setinggi Monas,
pengalamannya tentu saja tidak kalah berat dari emas
di puncak tugu tersebut. Wajahnya yang bulat keibuan
membuat baik pasien maupun dokter, terutama dokter
muda yang masih tertatih-tatih menj alankan tugas sak?
ing kurang pengalaman, gampang sekali mencurahkan isi hati, terlebih yang bergaya pop yaitu masalah
pribadi seperti ""salah parkir" ketahuan bini, atau satu
ditambah satu kok tidak juga menjadi tiga. Alisha yakin, Suster Dewi apal riwayat hidup setiap staf di situ.
Kelak kalau aku punya waktu luang, akan kugugah
hatinya untuk mendongeng. Pasti akan kudengarseribu satu macam kisah yang lebih menarik dari novel
bestseller mana pun.
Wanita yang sudah bercucu selusin itu mengambil
tempat pada salah satu dari kedua kursi yang tersedia
di depan meja dokter. Alisha menghentikan apa yang
246

Dicabik Benci Dan Cinta Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tengah dikerjakannya, dan melipat kedua tangannya di atas meja, menyiapkan kedua telinganya untuk
mendengarkan.
"Dok, Pak Zimpati, yang sama sekali tidak simpatik itu, minta bicara lagi dengan Dokter. Sudah saya
suruh Wati menanyakan urusannya apa, tapi dia bungkam, malahan marah sama Wati, mengancam akan
menjelek-jelekkan pelayanan kita supaya orang-orang
kaya tidak mau lagi dirawat di sini. Sudah saya laporkan pada Dokter Ariono, katanya lebih baik langsung
saj a sama Dokter."
Yah! Orang itu memang biang penyakit! "Oke, ka?
takan padanya, saya akan datang sejam lagi."
"Baik, Dok." Melihat Dokter Alisha sudah mau
berpaling lagi pada komputer di mej a kiri, Suster Dewi
buru-buru menyambung, "Anu, ada sebuah masalah
lagi, Dok."
""Ya?"
""Ini belum saya laporkan pada Dokter Ariono, sak?
ing malu."
"Hmm."
"Mengenai Dokter Markoni, Dok."
Binatang berkaki dua itu? Menjembeli pipi pasien
atau perawat? ""Apa lagi ulahnya, Mbak?"
""Semalam kan dia jaga, gantian sama Dokter Potasa. Dokter Potasa jaga malam ini, menggantikannya.
Tadi pagi Rani, yang mengumpulkan cucian kotor,
menemukan seprei di kamar jaga acak-acakan dan...
penuh bercak! Basah! Lengket!"
"Hm. Niru Potasa rupanya!"
Alisha mengatupkan kedua tangannya dan menaikkannya ke bibir, matanya dikatupkannya. Un
247 tuk menyembunyikan rasa muak tak terhingga yang
mungkin bisa terbaca dari matanya.
Apa-apaan si Markoni ini! Dulu sudah sekali, tidak
aku persoalkan. Apa karena dulu enggak kena sanksi
sekarang dia jadi berani lagi? Wet dreams! Enggak
kira-kira, masak di tempat umum begitu! M asak enggak bisa mengontrol diri sendiri ! Atau memang kepingin
diketahui semua orang? Biar ada yang manggil wartawan Pos Kota ke sini ?
""Bagaimana sikapnya, apa dia minta maaf?"
""Wah, dokter yang satu itu berkulit badak, Dok.
Jangankan minta maaf, kelihatan rikuh pun tidak. Ma?
lah masih bisa ketawa-ketawa seperti biasa."
""Ya, tadi ketemu saya juga masih berani bergurau.
Hm. Mau kita apakan dia? Saya rasa sebaiknya saya
teruskan saja keluhan ini pada Dokter Ariono. Dialah
yang berwenang menjatuhkan sanksi atau memecatn
"
ya. ""Memang sebaiknya dipecat saja, yang bisa meng
gantikan banyak kok. Toh orangnya tidak luar biasa
pintar, malahan sedikit malas. Cuma susahnya, enggak
bisa segampang itu, Dok. Dekingannya orang gedean."
""Yah, itu urusan Dokter Ariono. Kalau perlu, biar
diteruskannya pada Prof. Bey. Baiklah, terima kasih
atas laporan Mbak, akan saya teruskan sore ini juga.
Dan... katakan pada pasien dobel-Vi-ai-pi itu supaya
sabar, saya akan segera datang."
Alisha tidak tergesa-gesa menyelesaikan laporannya, sebab dia tahu Rikoy Zimpati tidak dalam bahaya.
Setelah laporannya selesai diedit, tinggal dicetak, barulah dia meninggalkan kantor menuju ke ruang perawatan.
248 Benar saja dugaannya. Pak Zimpati tidak kenapa-kenapa, cuma ingin menegaskan bahwa dia harus
tinggal terus di klinik supaya bisa berdekatan selamanya dengan Dokter Alisha.
""Aku enggak mau pisah lagi dari kau, Alisha! Kau
harus membiarkan aku tinggal terus disini."
""Bapak cuma bisa tinggal lama di lantai lima, tem?
pat pasien-pasien penyakit jiwa. Cuma mereka yang
biasanya dirawat berbulanbulan sampai bertahun-tahun, sedangkan pasien-pasien penyakit dalam umumnya sudah dipulangkan setelah seminggu atau sepuluh
hari."
""Biar aku jadi pasien gila atau apa kek, yang penting bisa melihatmu tiap hari."
""Oh, saya tidak pernah naik ke sana. Itu bukan
daerah tugas saya."
""Tapi bisa kan bezoek tiap hari?"
""Saya khawatir, tidak mungkin. Tugas saya kelewat banyak."
"Alisha! Kenapa sih kau begitu tega mencampakkan diriku?"
Lho! Sebenarnya siapa yang mencampakkan siapa? Kok malah aku yang dituduk berdosa?
""Tunggu saj a, Alisha, akan kubuktikan cintaku
padamu! Begitu aku keluar dari sini, akan kuceraikan
istriku! Akan kuperlihatkan surat cerai itu padamu,
dan kau tak bisa lagi menolak aku! Kau harus menjadi
istriku!"
Suster Dewi yang kebetulan sedang berada di luar
kamar, mendengar suara Pak Zimpati yang penuh emosi. Didekatkannya kupingnya ke daun pintu yang
terbuka kira?kira lima senti. F irasatnya mengatakan
249 bahwa Dokter Alisha perlu bantuan. Dia pasti sudah
kepingin minggat, tapi enggakpunya alasan. Tunggu,
Dok, biar saya dobrakpintu ini!
Suster Dewi mengetuk, mendorong pintu sampai
terpentang lebar, lalu dengan kedua tangan saling meremas di depan bibir, katanya terengah-engah, "Dok,
cepat, Dok! Pasien di kamar tiga, serangan lagi, Dok!
Cepaaat!" Lalu dia mengedip sebelah tanpa kelihatan
dari ranjang.
Tentu saja Alisha langsung mengerti. Dengan serius dia mengangguk, lalu menoleh pada pasien seraya berkata, ""Maaf, Pak Zimpati, ada pasien gawat."
Tanpa menunggu reaksi lagi, ditinggalkannya pasien
super VIP itu.
Di luar kamar dipeluknya Suster Dewi yang
tersenyum kesenangan sambil memutar?mutar bola
matanya. "Trims, Mbak! Oh, menjemukan betul
pasien itu!"
"Lelaki begitu mah, Dok, tak boleh dikasihani.
Sudah semaunya saja memutuskan hubungan (Alisha
meringis dalam hati. Tentu saja perawat tua ini tahu
semua kisahnya!), menimpakan aib, eh sekarang mohon-mohon mau balik. Enggak punya malu rupanya.
Enaknya sih, kita listrik saja jantungnya, biar tahu
rasa!"
Alisha jadi terpaksa ketawa melihat wanita itu demikian berapi-api mau membelanya.
""Tapi denyut jantungnya teratur kok, jadi tak ada
indikasi, Mbak."
"Apa susahnya nyuntik digitalis, Dok. Kan
langsung kelojotan, nah, bisa kita listrik!" Melihat
Alisha menggeleng dengan telunjuk teracung seakan
250 menegur, Suster Dewi ketawa meringis. "Habis, sebal saya. Lain kali bila dia minta ketemu lagi, saya
akan bilang Dokter sedang menolong pasien yang gawat atau sedang pergi keluar atau apa saj a, pendeknya
tidak saya biarkan mengganggu lagi. Pintu kamarnya
lebih baik saya kunci saja, ya. Siapa tahu dia nanti
gentayangan mencari Dokter. Yah, mudah-mudahan
besok bisa kita oper dia ke Bedah!"
*** Kasandra masuk ke dalam apartemennya dilantai tujuh,
meletakkan tasnya ke atas meja, mengambil sebotol
air bening dari kulkas, menekan tombol pemutar
kaset yang kedua dari atas (dia tahu lagu apa di situ),
membuang diri ke atas sofa keras, menggerakkan
kakinya satu per satu untuk mencopot sepatu, lalu
direbahkannya kepalanya ke punggung sofa.
Deep within my heart lies a melody,
A song of old San Antone.
Where in dreams I live with a memory,
Beneath the stars all alone.
Broken song, empty words I know,
Still live in my heart all alone.
For that moonlitpass by the Alamo,
And Rose, my Rose ofSan Antone
251 Kasandra memejamkan kedua matanya. Sebuah
keluhan halus terlepas dari celah bibirnya yang merah
saga walau tanpa polesan.
Dalam relung ingatannya sebuah wajah tersenyum
padanya.
"Pernahkah ada yang bilang padamu, kau mirip
dengan Robert Redford? "
"Cuma kulitku enggak seputih Robert?! Ha... ha...
ha...! "
"Ah, kau menertawakan aku? Karena aku menebak
jitu? Atau karena aku... tertarik padamu? "
"Masak aku akan menertawakan cewek cakep
yang jatuh hati padaku? "
"Apa kaukatakan kalimat yang sama pada setiap
cewek cakep, misalnya pada... Estrellita? "
"Uuuh, jangan ingatkan aku padanya, porfavor! "
"Kau harus maafkan aku, enggak disengaja. "
"Aku maafkan, tapi kau enggak boleh menjauhi
aku. Kita kan sama-sama kehilangan, Kasandra.
Orang-orang yang kita cintai sudah tidak lagi di
samping kita, kenapa kau masih belum bisa melupakan dan menerima aku sebagai gantinya?
"Oh, bulan purnama di atas langit San Antonio!
Sapi?sapi Texas tenang di padang, berbaring atau
bengong atau masih juga memakan rumput. Dan kau
memetik gitar....
Jauh di dalam hatiku ada sebuah lagu,
Nyanyian kota tua San Antonio.
Dalam mimpi aku hidup dengan kenangan,
Sendirian di bawah sinar bulan.
252 Serpihan nada serta janji kosong,
Masih memenuhi kalbu
Di mana kau sekarang? Kenapa tak ada kabar ber?
ita? Lagu berganti. Kini Acker Bilk mengisi kesunyian
dengan Stranger on the Shore... ah, Pantai Cabo San
Lucas yang penuh kenangan! Dan lagu?lagunya yang
menawan sukma. Terutama tango! Aku tak menyangka
bahwa irama tango bisa begitu merasuk sukma....
Kriiing.
"Uno momento, Senorita! "
Kriiing....
Hah! Dia tersadar dari lamunan. Dia bukan sedang
menunggu minuman di pantai bersama Miguel! Tak
ada pelayan, tak ada Miguel Cortes yang tampan dan
panas...! Kriiing... Dan dering itu di sini, bukan dalam
kepalanya.
Dengan malas dibukanya matanya pada dering kelima, lalu dengan gerak pelan dijulurkannya lengannya ke arah pesawat di samping sofa.
""Halo..."
""Apa yang kauketahui mengenai gen penyebab
kanker payudara?"
Kasandra meringis mendengar suara atasannya.
Apa-apaan lagi si Otto ini? Bukankah dia sedang
sibuk dengan makalah tentang cortison yang lebih
banyak bahayanya daripada kebaikannya? Bahwa
ucapan Wenn man nicht weiss was zu tun, dann gib
man Kortison" itu salah besar? Dan sekarang dia
* Bila orang tak tahu apa yang harus dilakukan, berikan saja
cortison.
253 mau coba-coba riset baru lagi ?
""Biarkan saja hal itu diriset oleh dokterdokter
Amerika, Ot! Mereka kan punya dana, kita sih lebih
baik jaga muntah saja deh."
""Ini sudah mereka muntahkan! Sandra, ada pasien
barusan, minta di-mastectomy bilateral."
"Alasannya?" tanya Kasandra tenang walau hatinya berjengit kaget.
""Ibu serta kedua adiknya sudah kena Se?a" itu,
lalu di Amerika dia dites, ketahuan mengandung gen
penyebab. Jadi minta di-OP preventif."
""Aku enggak bisa bilang apa-apa. Aku sudah baca
mengenai itu, tapi enggak berani memberi pendapat.
Terserah pasien. Memang faktor risikonya cukup berat. Ibu, adik..."
""Sudah aku minta dia memikirkannya lagi. Dan
bila masih mantap ingin OP, akan kusarankan supaya
dia bicara denganmu saja, oke? Kau akan lebih cocok
untuk memberi nasihat... sebagai sesama wanita!"
""Hei, nanti dulu..." Tapi telepon sudah ditaruh
kembali. Kasandra mengangkat bahu dan meletakkan
juga pesawatnya. Ah, belum tentu pasien itu akan balik lagi! Siapa sih yang begitu tolol mau kehilangan
permatanya tanpa alasan yang kuat? Jangan-jangan
ini pasien bagus yang disebut-sebut Saul tadi !
Kriiing...
Gila betul si Otto! Mau apa lagi dia? Kalau pasien
itu nekat mau di-OP, mendingan aku serahkan pada
Saul. Dia kan senang menangani barangbarang antik.
* mastectomy bilateral: pengangkatan payudara kiri dan
kanan
** Se-a= Ca = carcinoma : tumor ganas (kanker)
254 Selain itu karena dia pedantik, bisa diharapkan jahitannya akan sangat rapi, sehingga jaringan parutnya
takkan kelihatan nyata.
Diangkatnya pesawat. ""Halo..."
""Hai, manisku! Gimana kalau kujemput kau dalam
sepuluh menit?"
Astaga! Aku lupa ada janji! Sudahjam berapa ini?
"Wow! Aku bukannya tukang catut seperti kau
yang punya jam kerja bebas. Aku barusan pulang, beri
aku setengah jam, oke? Ssst, kau enggak mau dong
kencan sama cewek bau? Hiii... sampai nanti!"
""Oke, Say, bersiaplah menyambutku dalam setengah j am!"
Kasandra meletakkan telepon dengan helaan napas! Sudah berani manggil?manggil "Say"! Sebaiknya
kuapakan? Apa akan kujadikan korban yang keempat? Uh, cowok yang enggak kenal gelagat, gegabah
mau menerjang ranjau! Mendingan aku cepat mandi
sebelum pintuku digedor!
*** Vanessa sedang membantu Bi Asri menyediakan
makan malam. Lonceng dekat tangga menunjukkan
j am tujuh kurang sepuluh. Jendela kecil di tembok yang
memisahkan dapur dengan ruang makan diangkat ke
atas, sehingga Nini dapat meletakkan hidangan di atas
meja dapur dan Vanessa dari sebelah lainnya dengan
mudah dapat memindahkannya ke atas meja makan.
255 Terdengar suara langkah turun dari loteng, lalu orangnya muncul di ruang makan. Vanessa mengangkat
kepala dan tersenyum.
""Wah, sudah rapi nih! Mau keluar, Kas? Makan
dulu, ya."
Kaspar mengebut kemeja batiknya yang sebenarnya tidak berdebu, membalas senyum Vanessa dan


Dicabik Benci Dan Cinta Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menggeleng. "Trims, Nes. Aku mau makan di luar, sudah janji sama Kasandra."
Kasandra? Bukan Dokter Kasandra dari Bagian
Bedah? Tentu saja dia! Di mana lagi ada Kasandra di
atas gunung ini!
""Oke deh. Seandainya kau pulang larut, dan pintu depan sudah dikunci, bel saja pintu dapur. Bel itu
disambung ke kamar Bi Asri dan Nini, jadi kau pasti
dibukakan pintu."
Kaspar manggut lalu permisi. Vanessa mengawasi
beberapa saat.
Ganteng sih memang, projilnya mirip Alec Baldwin, bintang Hollywood yang matanya penuh binar;
sayang air muka Kaspar terlalu angker buat seleraku!
Kum isnya mirip kumis paten F u Manchu, sorot matanya seperti tatapan ahli sihir David Coppeijield, yang
gagal menyunting Claudia Schiejj'er yang gagal menjadi ratunya Pangeran Albert yang terkenal senang
ganti?ganti cewek yang memang selalu mengincar
cowok?cowok cakep dan berduit yang memang gemar
petualangan yang... sinting aku! Yah! Setiap orang
bebas punya selera sendiri. Kalau Kasandra memang
tertarik sama F u Manchu, itu kan urusannya.
"Non, jadi piring ini saya angkat satu, ya?"
Vanessa tiba-tiba sadar, Bi Asri tengah menunggu
256 j awabannya. Dia segera mengangguk.
""Ya, tinggalkan dua saja, Bi. Buat Robby dan saya.
Kori kan nginap di tempat tunangannya, ya?"
Bi Asri mengangguk dengan air muka keruh. Vanessa tertawa menepuk lengannya. ""Sekarang udah
bukan zaman meriam sundut, Bi. Nginap-nginap begitu sih udah biasa sekarang. Apalagi mereka memang
sudah tukar cincin. Yang enggak kawin juga banyak!"
""Apa tuh namanya, Non. Kumpul kebo, ya." Nini
nimbrung, dihardik oleh bibinya. ""Husss! Ngomong
pakai otak, jangan pakai lidah!"
""Habis, kalau enggak pakai lidah, gimana ngomongnya, Bi?"
Robert yang baru muncul ketawa geli, sambil
menarik kursi dan duduk. Melihat piring cuma dua,
keningnya berkerut. ""Mana Kaspar? Kori enggak pulang?"
Vanessa melirik Bi Asri sekilas, lalu memandang
Robert.
"Kori nginap di tempat Nemesio, Kaspar makan di
luar bersama Kasandra. Aku punya firasat, dia nginap
di sini bukan lantaran kepingin main catur denganmu,
tapi karena Kasandra."
""Hm. Kasandra? Bukan adiknya Nemesio?"
""Siapa lagi! Apa mereka memang teman sekelas?
Maksudku, di SMA?"
Robert mengangkat bahu. Bi Asri menyendokkannya sayur. Vanessa juga memberikan piringnya.
Lalu tempat nasi ditempatkan di ujung mej a, di antara
mereka berdua.
""Mungkin di Amerika. Keduanya kan sekolah di
sana?"
257 ""Tapi pasti enggak sekelas." Vanessa ketawa. ""Seorang di Kedokteran, lainnya di...?"
Robert menggeleng sambil menyendok sayur.
""Tahu deh. Yang jelas Oom Bukhari sering tarik napas,
sebab anak laki-lakinya hobinya balapan mobil! Apa
rencanamu besok?"
Mereka mulai makan. Radio di atas bufet menghidangkan lagu-lagu nostalgia dari Stasiun Soliter,
musik yang diciptakan jauh sebelum kedua orang itu
lahir.
""Enggak ada. Mungkin mau ngurus tanaman. Siska
memberi aku pupuk buat menyuburkan bunga-bunga
mawarku. Eh, Rob, gimana rencana Papa untuk meluaskan greenhouse? Jadi, enggak?"
""Hm. Mawarrnu enggak bisa disatukan dengan risetku, Nes. Temperaturhya enggak cocok. Mawar kan
perlu udara dingin, sedangkan padi-padianku itu tanaman tropik. Eh, tahukah kau, para sarjana di California
sudah menemukan gen Xa2l dari padi yang tahan penyakit." Wajah Robert selalu cerah bila membicarakan
topik kesayangannya.
""Wah, habis gimana dong?" Vanessa tak peduli
soal padi, urusannya cuma bagaimana menyelamatkan
bunga-bunganya.
"Kurasa udara di luar sudah boleh buat bungamu.
Yang penting, kualitas tanahnya harus dij aga."
Vanessa tidak memberi komentar. Aku sudah tahu,
mereka pasti enggak mau buang duit buat keperluanku! Huh! Seandainya aku punya duit, pasti aku bisa
membangunnya sendiri, enggak usah nempel sama
bangunan yang sudah ada. Yah, apa boleh buat, terima saja putusan mereka. Masih untung aku belum
258 mereka usir dari sini.
""Kalau mau ke Jakarta, bisa ikut mobilku," Robert
menawarkan selang beberapa detik.
""Besok sih, enggak. Tapi Jumat ini aku memang
janji, mau ke tempat Karmila."
"Oke. Jumat aku berangkat lebih pagi dari biasa,
banyak yang mesti kuurus, jadi jam tujuh tiga puluh
kau sudah harus siap, bisa?"
Vanessa mengangguk. Disuruh siap jam lima juga
bisa. Namanya orang nebeng, mana punya pilihan?
Lagu di radio kedengaran menyentuh kalbu, tapi
Vanessa tidak kenal namanya. Dia cuma bisa menangkap kata-katanya.
South of the Border down Mexico way
T hats where Ifell in love,
When stars above came out to play.
And now as I wande); my thoughts ever stray
South of the Border down Mexico way.
T hen she sighed as she whispered "Manana "
Never dreaming that we were parting
And ] lied as ] whispered "Manana "
F or our tomorrow never came.
Jauh di Teluk Jakarta, di tengah laut, Erik Sigma
tengah berdiri di geladak yacht-nya, mendengarkan
lagu yang sama dari walkman dalam kantong j aketnya.
Anjingnya yang setia menemaninya, duduk menempel
ke kakinya.
Dalam kenangan dilihatnya kembali Estrellita.
Mengajaknya bergadang di kubur kakeknya, memba?
259 wa lilin. Hari itu tanggal 2 November.
"Ini adalah El Dia de los Muertos, Hari Peringatan Orang?orang Mati. "
"Namamu indah sekali, apa sih artinya? "
Senyumnya merekah, lebih indah lagi dari namanya.
"Estrellita artinya Bintang Kecil, nama kesayangan dari ayahku. Yang lain-lain memanggilku Stella
tok. Kami dari suku Mestizos, keturunan Spanyol dan
Indian. Menurut cerita dalam keluargaku, kami ini
keturunan Hernan Cortes, conquistador yang mengalahkan Montezuma, raja Aztec, dan Dona Marina,
putri kepala suku Indian yang mengikutinya sebagai
penerjemah. "
Aaah, Bintang Kecil?ku yang cantik, kauajari aku
bahasamu, lagu?lagumu!
""Aku terpesona oleh Mexico, ' Stella, coba terjemahkan. "
" "Me encanta Mexico. ' Gampang, bukan? "
South of the Border ] rode back one day
T here in a veil of white by candlelight
She knelt to pray
T he mission bells told me that ] musn 't stay
Sebuah helaan napas lolos dari paru-parunya.
Di kota Tijuana ada sebuah biara, di situ ada kapel
Santo Agustinus. Seseorang pasti pernah mengalami
sesuatu sampai dia menciptakan lagu yang kini menghantuiku.
In the chapel of SaintAugustine [ 'll waitfor you
260 And the vesper bells will chime their songjustfor
us two
] kneel and say a pray 'rfor that moment when
In the chapel of SaintAugustine we 'll meet again.
Erik menghela napas. Kita memang ketemu lagi,
Stella, tapi aku berlutut sendirian, di belakang. Kau
di depan, berkerudung renda putih. Rambutmu di dahi
berkilat hitam di bawah cahaya lilin, tapi nanti takkan
kelihatan lagi buat selamanya. Lalu... kecupanku yang
penghabisan, bukan lagi di atas bibirmu yang merah
merekah, tapi cuma simbolik pada kedua pipimu. T uhan, Kau memberi, Kau mengambil... bagaimana aku
akan bersaing dengan junjunganku sendiri? Tuhan,
Kau telah mengambiljelita yang kucintai. Mengapa
tidak Kauberikan gantinya?
Lagu berikutnya malah menyengat hatinya, menoreh luka yang belum sembuh. Sebuah wajah lain
mengambang dalam kenangan. Kenapa semua yang
kucintai disingkirkan oleh-Mu? Kenapa tidak Kauberi
aku seorang pun yang mau mencintaiku?
Deep within my heart lies a melody
A song ofold San Antone
Where in dreams I live with a memory....
Di manakah dia kini berada? Kenapa enggak memberi kabar? Haa, kau takut ditagih utangmu olehku,
Sandy? Ataukah hatimu masih tetap beku, tidak juga
mencair? Sia?siakah aku berusaha menghangatkannya selama liburan kita di Pegunungan Rocky?
261 When it is springtime in the Rockies
] am coming back to you
Kaunyanyikan itu sepanjang hari, tapi kenapa
sampai sekarang kau belum juga kembali padaku?
Ataukah yang kaumaksud adalah Roger? Apakah kau
masih belum bisa menerima kenyataan bahwa Roger
takkan pernah kembali lagi padamu?! Seperti juga
Estrellita sudah lenyap dari hidupku?! Beritahulah di
mana kau kini, aku akan segera terbang menjemputmu.
Tapi yang menyahut cuma Pablo yang menggesek?gesekkan kepalanya ke kaki majikannya. Erik
menoleh ke bawah dan mengelus wajah golden retriever kesayangannya. ""Kau kedinginan? Ayolah, kita
masuk ke dalam, pasti hangat."
*** Dalam restoran yang hangat di puncak gunung,
Kasandra sedang melamun sementara Kaspar asyik
berceloteh mengenai balapannya yang akan datang.
Kasandra tampaknya penuh perhatian, namun
sebenarnya telinganya cuma dipinjamkannya sebelah.
Pikirannya sendiri terbang jauh ke San Antonio, ke
kampusnya yang penuh kenangan.
Hidupku yang terindah adalah semasa aku jadi
mahasiswi. Enggak dibebani tanggung jawab harus
mencari duit, tapi juga enggak lagi diremehkan, su
262 dah diperlakukan seperti orang dewasa. Berarti bebas
pula mengatur hidupku semauku sendiri. Misalnya,
bolos kuliah untuk melihat ada banteng di Juriquilla,
dekat Mexico City, dan... di sanalah aku ketemu Roger.
Roger MacCallum, si Rambut Coklat yang telah berhasil membuat aku melupakan Louis.
Liburan musim semi itu kami berdua pergi ke Tijuana, memenuhi undangan teman baikku, teman sekamar, Estrellita, yang akan memasuki hidup baru.
Begitu khusuk, begitu syahdu. . ..
Setelah upacara, kupeluk dia, kukecuppipinya, tapi
aku enggak berani mengingatkan dia akan eskapade
kami semasa di kampus, sebab raut mukanya yang
berseri-seri itu tampak serius. Lalu seorang laki-laki
gagah menghampiri dan mengecupnya dengan mata
berkaca-kaca. Kulihat temanku menengadah, menatap dengan mata bening, lalu mengelus wajah pemuda
itu, yang menangkap tangannya dan membawanya ke
bibirnya, mengecupnya lamaaa seakan tak mau melepasnya lagi. Kulihat Estrellita tersenyum, menggeleng, lalu pelanpelan menarik tangannya dari bibir
namun pemuda itu masih tak mau melepaskan genggamannya.
Estrellita berjinjit, mengecup sebelah pipi lakilaki
itu, mengusap air mata yang meleleh di pipi tampan
itu, memegangi kedua tangannya yang kokoh dalam
tangan?tangannya yang mungil, menatapnya beber?
apa saat, lalu kudengar dia berbisik lembut dan mesra,
"Tuhan besertamu. Kudoakan semoga kau bahagia. "
Aku sampai berlinang air mata melihat adegan
itu, Lekas?lekas kucecap mataku dengan kertas tisu.
Kemudian Estrellita melihatku, lalu menggapai. Aku
263 maju melangkah sampai ke hadapan mereka berdua.
Estrellita mengambil sebelah tanganku, sementara
tangannya yang lain masih menggenggam tangan
pemuda itu.
"Erik, ini teman baikku, Kasandra. Kami sekamar. Sandra, ini Erik, teman Miguel, abangku. Kalian
berdua setanah air tahu enggak? " Estrellita tertawa
manis sekali, rupanya dia berusaha membuat suasana
lebih gembira.
Kita bersalaman untuk pertama kali, kau dan aku.
Kemudian kita pulang bertiga dengan Roger ke San
Antonio. Lalu suatu kali....
""Ingat enggak waktu kita pergi berempat ke Cabo
San Lucas?"
Tentu saja ingat! Roger mengajak teman, samasama hobi balapan, namanya Kaspar Sukhan, anak
orang kaya dari Jakarta. Erik kuundang, memenuhi
pesan Estrellita supaya dia jangan dibiarkan sendirian, nanti melamun terus bisa depresi.
Pantai San Lucas yang indah! Tapi yang juga
menghancurkan hidupku! Kok Kaspar tega sih mengungkit kembali peristiwa itu pada saat kami sedang
bersantap? Apakah dia enggakpunya perasaan?
Kasandra mengangguk pelan. ""Ya, aku ingat."
Kaspar meraih tangan Kasandra di atas meja dan
menutupnya dengan telapaknya yang lebar. ""Maaf,
Kas, aku bukan sengaja mau mengingatkanmu pada
masa lalu. Sorry, wajahmu jadi murung. Aku keterlepasan ngomong. Soalnya, pikiranku terus-menerus
disetel ke lapangan balap, jadi aku teringat pada Roger. Dia banyak mengajari aku tipu-tipu supaya bisa selamat di arena balap."
264 ""Tapi dia sendiri enggak selamat!" cetus Kasandra
pahit.
""Air bukanlah elemennya, Kas. Juga ombak terlalu
besar waktu itu."
""Jadi kapan kau berangkat?" Kasandra sengaja
mengalihkan topik yang tidak enak itu.
""Balapannya mulai 30 Juni, aku akan pergi sem?
inggu sebelumnya, ya empat hari lagi. Karena itu aku
ingin ketemu kau malam ini. Doakan ya, biar aku bisa
mengalahkan Schumacher atau Berger."
""Di mana sih?"
""Di Prancis. Sirkuit Magny-Cours ini paling kuben?
ci. Sama dengan sirkuit Suzuka di Jepang, terlalu rumit belokannya, ada yang sampai patah lho."
""Kenapa sih kau enggak mau berhenti? Bukankah
ayahmu sudah kesal melihat ulahmu?"
"Kasandra, balapan ini mirip sama judi. Orang
gampang ketagihan. Aku tahu bahayanya, suatu waktu
aku mungkin bisa kehilangan nyawaku di arena, tapi
aku enggak bisa stop. Sudah mendarah-daging. Aku
harus selalu ikut walau belum pernah menang. Sebab
aku bukan semata-mata mengincar uang atau pialanya, tapi ketegangannya itu lho, Kas, yang membuat
diriku merasa hidup. Cuma di arena aku baru bisa


Dicabik Benci Dan Cinta Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyadari keindahan hidup ini, betapa pentingnya
seseorang bagiku, betapa rindunya aku untuk kembali
padanya, utuh. Hidup di luar lapangan balap bagiku
sangat membosankan. Aku cuma bisa bertahan karena
kepalaku sibuk memikirkan balapan berikutnya.
""Seperti bulan lalu, aku ikut di Monaco. Ini sirkuit
yang paling pendek, cuma tiga koma tiga kilometer,
tapi putarannya paling banyak, sampai tujuh puluh
265 delapan kali. Bisa kaubayangkan mutar?mutar sampai
tujuh puluh delapan kali? Sirkuit di negara-negara lain
kecuali Hongaria, rata-rata empat sampai enam kilometer, tapi jumlah putaran lebih sedikit, misalnya di
Jerman cuma empat puluh lima kali.
"Kepala bisa mabok, tahu enggak, kalau mutar-mu?
tar begitu. Karena itu orang yang waktu kecil congek
kupingnya, sebaiknya jangan jadi pembalap. Nah,
waktu di Monaco itu aku sebenarnya sudah kurang
enak badan, selesma. Pada saat latihan, aku sudah
dinasihati supaya mundur saja. Pelatihku sebenarnya
bermaksud baik, tapi tentu saja enggak kupedulikan.
Aku kan hidup hanya untuk menunggu saat balap berikutnya dan berikutnya, jadi kalau sudah tiba saat itu,
jelas aku enggak mau dong ketinggalan. Ketegangannya itu lho, Kas, melebihi kenikmatan seks!"
"Hah!" seru Kasandra mengejek dengan senyum
sinis.
""Uh, enggak percaya ya sudah! Pokoknya aku
tetap ikut. Hidungku sedang bocor, tapi pada saat
balapan mutar-mutar, kok aneh bisa kering. Rupanya
ingusnya tetap di dalam, akibatnya aku sesak napas,
apalagi helm yang menutupi kepala dan wajahku itu
terasa mengganggu, menyebabkan aku kepanasan.
Sebenarnya Monaco dalam bulan Mei sih justru bagus
udaranya, enggak panas, enggak terlalu dingin. Juga
biasanya helm itu enggak pernah menyusahkan aku.
Barangkali, karena selesmaku itu.
""Enggak tahu deh, setelah ronde keberapa, tahu-tahu aku berkeringat dingin, pemandanganku tujuh
keliling, napasku sesak. Anggota tim dan pelatihku
yang terus memonitor lewat kamera Video, langsung
266 memerintahkan aku minggir. Sekali ini aku enggak
membantah, sebab bisa kena skors kalau mengacuhkan perintah di lapangan. Aku juga tahu, keadaanku
ini bisa membahayakan pembalap lain. Kalau seorang
saja peserta ngawur, yang lain-lain bisa kena tabrak
atau saling nabrak.
""Yah, jadi petualanganku berakhir sebelum sele?
sai. Aku langsung dikeluarkan dari mobil sempit yang
mirip kerangkeng itu. Empat hari aku ditahan di rumah
sakit, mereka khawatir aku kena Hu Hongkong, nanti
menulari orang lain. Untung akhirnya boleh keluar."
""Dan sekarang masih belum kapok?"
Kaspar tersenyum, mengangkat gelas champagne.
""Hidup tanpa balapan sama saja dengan champagne
tanpa busa!"
""Apa kau mau selamanya mutar?mutar melulu dari
sirkuit satu ke sirkuit lain? Enggak mikir mau berkeluarga? Apa ayahmu enggak menuntut supaya kau memberinya cucu?"
Kaspar ketawa lebar.
Giginya luar biasa putih, ketawanya jadi menarik
sekali. Sayang, tanpa senyum wajahnya jadi angker
bahkan garang. Lebih sayang lagi, orangnya memang
jarang ketawa. Mungkin sudah dari sononya begitu,
pikir Kasandra menatapnya.
""Aku justru mengundangmu malam ini garagara
ayahku yang merasa sudah tua kepingin lekas-lekas
j adi kakek. Kebetulan kau sendiri yang menimbulkan,
j adi aku tinggal meneruskan.
"Kas, Roger adalah sahabat dan mentorku. Aku
sangat menghormati dan menghargainya. Aku bisa
mengerti bila kau menjadi acuh dan dingin, mung?
267 kin hatimu sudah tertutup rapat, mungkin kau sudah
bertekad buat selamanya takkan mencinta lagi. Aku
bisa mengerti, Kas. Sebab aku kenal Roger, dan aku
tahu betapa dia sangat mencintaimu. Tapi, Kas, kau
masih terlalu muda untuk bunuh diri pelan-pelan begini!"
""Siapa yang bilang aku sedang bunuh diri? Kau?
kira wanita enggak bisa hidup tanpa pria? Huh! Teori
itu kan bikinan cowok untuk meniup-niup ego mereka
yang sering ciut, sebab justru mereka yang tidak bisa
bertahan tanpa cewek! Aku sendiri sangat menikmati
hidupku saat ini, dan belum terpikir mau mengubah?
nya."
"Oke, aku percaya kau. Tapi aku enggak bisa membiarkan kau hidup dalam masa lalu. Enggak mungkin
kau bisa merasa bahagia kecuali ada Roger di sampingmu. J adi kalau kau bilang saat ini kau bahagia, berarti kau beranggapan Roger masih ada dalam hidupmu, berarti kau belum menerima kenyataan, berarti
kau enggak bisa membedakan realita dari khayalan.
"Kasandra, kau harus memberi aku kesempatan.
Enggak sembarang wanita bisa menerima orang seperti aku bila dia enggak mengerti apa itu balapan mobil.
Tapi aku yakin kau mengerti dan karenanya bisa menerima. Sebab kau mengerti Roger dan menerimanya,
bukan? Kas, berilah aku harapan supaya ada sesuatu
bagiku untuk kembali dari arena ini dengan selamat.
Mau, kan, Kas?"
Kasandra menatap lama tanpa berkedip. Hidangan
di depannya tak diacuhkan. Kemudian dialihkannya matanya ke atas, ke arah langit-langit tanpa melihat lampu-lampu kristal yang dua susun itu, lalu dia
268 menghela napas. Diturunkannya kembali matanya,
dipandangnya waj ah gelap yang tampan itu. Suaranya
tenang dan pelan.
""Aku enggak mau di-blackmail seperti ini. Kalau
aku menolak, dan kau mendapat kecelakaan, kau akan
bilang, gara-gara tolakanku kau jadi kesal atau kurang
konsentrasi atau sial...." Kasandra menggeleng. ""Per?
gilah balap, pulanglah kembali. Setelah itu baru kita
buka lagi diskusi ini. Sebab aku enggak yakin, diriku
bisa jadi maskot untuk melindungi kau dari kecelakaan. Yang penting, mobilmu harus tokk cer, sarafmu
harus tenang...."
""Tapi apa kau enggak memikirkan mau berkelu?
arga? Umurmu kan enggak bertambah rendah seperti
kurs duit kita?"
*** Tapi apa kau enggak memikirkan mau berkeluaiga?
Umurmu kan enggakmakin muda, Alish. Dan kau juga
harus memikirkan diriku. Selama kau belum kawin,
mana mungkin aku tega mendahului? Mama juga
pasti kurang setuju aku duluan....
Alisha menghela napas, mengangkat matanya dari
surat Zenda dan memandang ke luar sambil merenung.
Langit sudah rembang petang, sedikit awan kelabu
merupakan pemandangan biasa walau ini masih Juni,
belum lagi musim hujan. Kalau sudah tiba bulan-ber,
-ber, -ber, dia harus mengeluarkan sweater yang lebih
269 tebal. Untuk saat ini jaket katun masih tahan melawan
dinginnya udara.
Dari j endela apartemen terlihat puncak?puncak po?
hon di hutan. Di antara pohonpohon itu, dia tahu, terdapat banyak tanaman pakis. Aku senang pakis. Dulu
Rikoy selalu menemaniku ke Maribaya, duduk?duduk
seharian di atas batu atau mencari rumpun pakis. Kalau ketemu yang bagus, kubawa pulang, kutanam dalam kaleng bekas susu KLIM yang lima kilo. Setelah
aku diwisuda, koleksi pakisku yang sebalkon itu kuwariskan pada mahasiswi farmasi yang akan menempati kamarku.
Di jalan Dago ada seorang wanita Belanda yang
hobinya sama denganku. Rambutnya sudah abu-abu,
mungkin sebaya dengan ibuku. Suaminya orang Sunda, pengacara. Mereka tidak mempunyai anak, sedangkan penghasilan suaminya lebih dari cukup, jadi Ma?
deleine enggak perlu ikut mencari nafkah. Di rumah
pun pembantunya ada dua, karena itu waktu luangnya
banyak. Madeleine mengumpulkan dan mempelajari
pakis.
Aku ke tempatnya diajak teman yang mau membeli tanaman pakis. Temanku itu membantu calon sua?
minya, seorang penata kebun. Langganan mereka biasanya rumah-rumah baru, karena itu mereka bekelja
sama dengan pengelola real estate yang sering memberi mereka proyek.
Setelah datang ke rumah Madeleine, baru aku tahu
ada begitu banyak jenis pakis. Selama itu yang kutahu
hanyalah apa yang kusukai saja, itu pun tanpa kuket?
ahui namanya kecuali apa yang dikatakan orang,
teman atau penjual tanaman.
270 "Saya punya jenis ini, apa ya namanya, Madeleine? "
"Oh, orang menyebutnya pakis Rambut Perawan,
nama Latinnya Adiantum capillus veneris. "
Wah, pipiku terasa panas, mungkin agak merah.
Tentu saja aku mengerti artinya 'veneris'. Bukankah
penyakit kelamin itu disebut venereal disease? Asal
katanya "venus", menurut dosen Kulit yang jauh lebih senang membahas penyakit kelamin daripada kulit,
seh ingga aku lebih tahu a-b?c-nya Syphilis, tapi malah
bingung bagaimana mencegah jerawat.
Lekas-lekas kualihkan perhatian temanku yang
sudah mulai cengar?cengir mendengar pembicaraan
nyerempet?nyerempet ke topik yang tabu, dan nunjuk
tanaman lain. "Yang ini namanya asparagus, bukan?
Suka dipakai dalam rangkaian bunga? Kenapa ya, namanya mirip dengan makanan? "
"Ya, kau betul. Nama Latinnya Asparagus plumosus. Jenis lainnya yang daunnya lebih kasar disebut
Asparagus... (aku lupa terusannya). Disebut asparagus, karena daunnya mirip dengan tanaman yang bisa
dimakan itu. Jenis yang halus ini sering kena kutu,
harus disemprot obat ini (Madeleine menunjukkan
sebuah kaleng berwarna hijau, sekalian memberitahu
bahwa dia juga menjualnya) setiap dua minggu. "
"Untung pakis saya belum pernah kena kutu, tapi
daunnya sering kuning dan rontok. "
"Oh, itu kekurangan air atau terlalu panas atau
sirkulasi udara tidak baik. Coba rendam potnya dalam
air selama lima menit, lalu angkat. Pakis juga tidak
boleh kebanyakan air jadi tak boleh terlalu sering
disiram. "
271 Madeleine betul. Kamar kosku itu kurang sirkulasi, sebab jendelanya cuma dibuka sebentar. Semasa
kuliah, aku sering banget selesma, jadi enggak boleh
angin dingin kelamaan masuk ke kamar. Aku juga
kelewat sibuk, sering lupa menyiram tanaman. Setelah
mendengar nasihat Madeleine, semua pot itu kupindahkan ke balkon dan rupanya di sana pakis-pakis itu
lebih betah.
Di tempat Madeleine tentu saja terdapat banyak
macam pakis, dari yang terkecil sampai yang sangat
besar seperti pakis Tanduk Menjangan, pakis Sarang
Burung, pakis Kaki Kelinci, pakis Pedang, pakis Pohon, pakis Kancing... bentuknya mirip sekali dengan
kancing kemejaku, pakis Pita... enggak begitu bagus,
tapi aku naksir pakis Bianglala, sayang uangku enggak cukup. . ..
Setelah wisuda aku balik ke rumah dan mencoba
mengumpulkan pakis lagi, tapi piaraan Zenda, enam
ekor kucing, menggunakan pot?pot itu untuk tempat
mereka main petak umpat, sehingga batangbatangnya
seringpatah dan merupakan bibitpercekcokan antara
kami berdua.
Begitu juga dengan kedua anjingku, Pongo dan
Perdita, yang sering dipersonanongratakan dari dalam rumah, padahal mereka tak pernah mengganggu
kucing-kucingnya. Hewan-hewan itu sendiri yang ketakutan dan selalu miao-miao bila didekati Pongo dan
Perdita, memekakkan telinga orang serumah.
Yah, kalau Zenda dan aku bisa hidup berdampingan secara damai sesuai dengan asas PBB di New
York, mungkin kami akan diangkat sebagai anggota
komite istimewa untuk menjadi penengah di Rwanda,
272 Kambodia, Burundi, Bosnia....
Setelah aku keija di sini, mungkin pakis?pakis itu
terlantar, takpernah lagi disiram atau diberi makanan,
yaa siapa sih yang bersedia meluangkan waktu mengurus hobi orang lain? Tapiii, di sini aku sudah mulai
mengumpulkan pakis lagi. Bukan kubeli, melainkan
kucari sendiri di hutan. Pakispakis lia]; mereka juga
menarik, dan mungkin ada jenis yang masih asing
bagi Madeleine sendiri.
Alisha tersenyum sementara matanya menyapu
balkon dari balik tirai putih yang teMbus cahaya. Dari
semua apartemen, dia tahu, balkonnyalah yang paling
hijau. Hal itu telah membuat Dokter Leo menghubunginya dan menanyakan, sanggupkah dia membantu
merancang taman dalam ruangan serta kebun gedung
di belakang yang akan diresmikan bulan depan.
Tentu saja aku bersedia. Tanaman adalah kesu?
kaanku. Isthar dan Siska sudah setuju untuk membantuku memilih bunga-bunga mawar yang akan ditanam
di sana. Yah, itu adalah hal yang menggembirakan
bagiku. Sekarang kembali ke surat yang menjengkelkan ini....
Alisha mengangkat kembali surat itu dari pangkuannya dan meneruskan baca. Selesai sampai kalimat
terakhir, dia kembali menarik napas lalu bangkit. Surat
itu dikembalikannya ke dalam sampul dan dimasuk?
kannya ke laci meja. Lalu dia melangkah ke dapur, sej enak berdiri diam memandangi isi lemarinya.
Ah, aku enggak kepingin masak?masak. Buka
kaleng saja deh.
Diraihnya sekaleng kecil ikan tuna dalam saus
bawang dan cuka. Dari dalam kulkas dikeluarkannya
273 tempat roti, diambilnya dua potong.
Untung masih ada roti, tapi setelah ini, cuma tersisa dua potong buat burung?burung di jendela. Besok
aku harus beli lagi di bakery kantin.
Dimasukkannya roti itu ke dalam panggangan, di?
tariknya tutup kaleng tuna sampai menjeblak terbuka.
Diambilnya gelas, diisinya dengan sari tomat yang
diperasnya tadi pagi dan disimpan dalam kulkas. Teringat nasihat Petra, diambilnya panci kecil. Dituangnya kembali sari tomat itu dari gelas ke dalam panci lalu
dihangatinya, tidak sampai mendidih. Petra dengan
serius memesan para peserta senam dan semua orang
yang mengikuti ceramahnya, supaya menghindari mi?
numan dingin selama makan.
Itu akan mengganggu pencernaan katanya. Menyebabkan orang gampang konstipasi. Ya, ya, sembelit
memang merupakan musuh terselubung dalan dunia
modern. Enggak bisa bebas dibahas, tapi menyebabkan ketegangan pada banyak orang, terlebih mereka
yang kerjanya tidak terlalu memerlukan gerak. Dan
akibat panjang dari sembelit, ujar ahli gizi itu serius,
adalah wazir!
Ha, aku ingat orang yang duduk di sebelahku?
Dokter Potasa, kalau enggak salah?sampai nyaris
melejit ke luar kursi saking kagetnya mendengar kata
yang menakutkan itu.
Wazir! ulang Petra. Ambeien. Hemorrhoid. Bisul
di anus. Semuanya sama. Musuh terselubung. Semua
orang ngeri kena penyakit itu. Tahukah Anda, kata Petra, di dunia ini ada dua golongan manusia. Golongan pertama, mereka yang sudah kena wazir Golongan kedua, mereka yang AKAN kena wazir! Tidak ada
274 golongan ketiga.
Coba Anda bayangkan, katanya lagi. Laki?laki


Dicabik Benci Dan Cinta Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gagah, tampan, mobilnya BMW, jabatannya eksekutifsenior di lantai tiga puluh, dasinya model terakhir
jasnya potongan luar negeri, celananya bangsa dua
ribu dolar ke atas, celana dalamnya asli Calvin Klein,
tapi dia mesti pakai pengganjal, pakai pembalut istrinya untuk melindungi bisulnya yang sakit dan bisa
pecah sewaktu-waktu. Nah, seharusnya dia sudah
lama telungkup di bawah skalpel, tapi malu terus mau
ke dokter Selama ini cuma main pasang torpedo yang
bisa dibeli bebas di apotek, sebab kenal dengan pegawainya. Tapi Anusol tidak mempan bikin kempes bola
yang melejit keluar tak mau masuk lagi.
Jadi, kakinya terpaksa harus direnggangkan, langkahnya seperti perempuan hamil delapansembilan bulan. Di atas kursi eksekutifnya diletakkannya sebuah
ban motor Vespa. Kalau mau duduk, harus pelanpelan menjatuhkan diri di atas ban itu, supaya jimatnya jangan sampai menyentuh tempat duduk, tapi
tergantung bebas. Dan kalau sudah duduk, tak bisa
bebas menggeser badan, terlebih kalau ada tamu atau
sedang mengepalai pertemuan staf, sebab takut bisulnya nanti terdesak lalu meledak atau siapa tahu ban
pengganjal itu nanti melejit ke lantai!
Wah, Petra memang pintar ngomong, semua had?
irin sampai takut, termasuk diriku sendiri. Sejak itu
aku lebih hati-hati mengurus makanan, enggak pernah lagi makan nasi sama Coca?Cola ditambah es!
Sambil menunggui tomat dipanaskan, disiapkannya roti untuk makan malamnya. Sementara itu pikiran?
nya bicara terus.
275 Gimana rencanaku mau pulang akhir pekan ini?
Aku kangen sama Pongo dan Perdita, tapi aku segan
ketemu Zenda dengan status mental seperti diperlihatkan oleh suratnya. Kapan dia akan mau mengerti bahwa yang menghalangi perkawinannya bukanlah aku,
melainkan Mama.
Sebenarnya kasihan juga Zenda. Sudah pacaran
entah berapa tahun, tapi bertunangan saja enggak
diizinkan. Mama kan enggak kolot, kenapa dia begitu
takhayul sih? Sudah berkali?kali kutegaskan padanya,
aku enggak mau kawin. Enggak bakal kawin. Enggak
pernah akan kawin. Saya benci sama cowok, Mam!
Jadi biarkan saja Zenda kawin sama pacarnya, kasihan mereka sudah pacaran sejak masih di SMA.
Tapi Mama tetap keras kepala. Harus aku dulu.
Dan sekarang Zenda mendesak lagi.
"Apa sih kekurangan Markum? Dia kan juga punya titel, malah akan segera diangkat sebagai hakim.
Keluarganya kaya, punya pengaruh, kau akan gampang membuka klinik pribadi, enggak usah lagi makan gaji. Markum juga mencintaimu, kemarin dia datang diundang Papa untuk makan malam. Setelah itu
mereka ngobrol sampai larut, intinya dia sudah ngebet
kepingin cepat kawin denganmu. Dia menagih janji.
Katanya, kau beljanji akan memberi jawaban dalam
enam bulan. Sekarang sudah enam bulan.
"Jawablah, Alish. Supaya aku juga bisa cepatcepat kawin. Gordon sudah mulai enggak sabar lagi
menunggu. Dia sudah ngancam mau putus kalau terkatung?katung terus begini. Jangan memikirkan diri
sendiri melulu dong, Alish. Pikirkan juga kepentingan
orang lain. Masak gara-gara kau anti cowok, aku ha
276 rus ikut-ikutan jadi perawan tua?
"Mentang?mentang kau yang lebih tua, jadi harus
dapat prioritas terus dalam segala hal ? Dulu kita ber?
dua sama?sama kepingin masukFK. Tapi Papa bilang,
enggak ada biayanya buat dua anak, Kedokteran terlalu mahal. Karena kau sudah duluan masuk FK, aku
telpaksa harus ngalah, harus puas dengan FK G saja
yang biayanya lebih murah.
"Kau tahu, aku sebenarnya sebaljadi dokter gigi!
Ngurusin mulut orang yang kotor dan bau, apalagi kalau ada gigi yang busuk! Kau pasti tidak menyangka,
pasien yang rapi dandannya dan cukup punya pikiran
untuk mandi dulu sebelum ke dokter, bisa menjadi bom
waktu begitu dia menganga lebarrr!
"Enak ya kau jadi dokter! Lebih terpandang, kerjaan enggak kotor, dapat duitnya lebih banyak, labjasnya lebih keren, bisa dipakai nampang. "
Alisha duduk di meja makan, menggeleng dan
mengeluh.
Ah, Zenda, enggak kusangka kau begitu iripadaku.
Kalau aku tahu kau akan menyesali pilihanku, pasti
aku enggak akan maksa kuliah di FK. Aku juga senang
belajar komputer, atau kimia, atau farmasi. Menjadi
dokter cuma salah satu alternative. Kenapa kau enggak bilang?bilang waktu aku mau daftar ke FK ?
Waktu itu kau masih di SMA, mungkin masih belum tahu apa cita-citamu? Tapi barangkali juga kau
kepingin jadi dokter setelah melihat aku masuk FK!
Aku tahu, sejak kecil kau selalu menginginkan apaapa yang kuinginkan. Begitu aku mencampakkan
boneka atau benda lainnya atau enggak menghendaki
lagi biskuit atau kue, maka kau juga mendadak engg
277 ak merengek lagi. Barang atau makanan yang semula
kaurindukan, sekarangjadi sampah bagimu. Apakah
sampai sekarang kau masih begitu?
Tangannya sudah terjulur mau mengambil remote
control TV, tapi dibatalkannya, teringat nasihat Petra.
Jangan makan sambil nonton! Terlebih jangan, bila itu jilm horor. Itu akan mengganggu fungsi
pencernaan. Sehabis menonton jilm yang menyeramkan atau menegangkan, penuh kejahatan, Rambo satu,
Pendekar Mabuk 010 Manusia Seribu Wajah Jaka Sembung 11 Badai Di Laut Arafuru Trio Detektif 38 Misteri Kaca Kaca Remuk

Cari Blog Ini