Ceritasilat Novel Online

Dua Menantu 7

Dua Menantu Karya V Lestari Bagian 7


Sakit sekali. Ia juga menangis habis-habisan. Tapi lalu berhasil
bangkit dan menutupi perasaannya di depan Kurnia. Lelaki itu
tidak pernah tahu apa yang telah dialaminya. Tapi ia juga
dengan mudah memaafkan Kurnia dan menerimanya kembali
seperti semula. Rasa sakit sudah terlupakan. Kurnia yang pintar
atau dirinya yang bodoh?
Tentu saja kejadian di Bali itu berbeda. Tak ada artinya
dibanding yang sekarang ini. Dulu hanya secuil. Sekarang
masalahnya nyawa. Dua sekaligus. Kedua orangtuanya dihabisi
berturutan. Kedua tangannya mengepal. Kalau saja ia punya
senjata api, maka ia akan mendatangi Kurnia lalu memberondongnya sampai semua pelurunya habis. Utang nyawa
balas nyawa. Tapi itu tentu mustahil. Ia tidak ingin dihukum
sebagai pembunuh, karena seharusnya bukan dialah yang
dihukum.
Cintanya kepada Kurnia sudah musnah, sirna dalam
sekejap. Berubah menjadi kebencian. Dendam yang meruyak.
Tapi ia harus tenang, kepalanya harus tetap dingin.
Ia ingat akan ibunya yang juga mampu bersikap tenang.
Diingat-ingatnya lagi kapan kira-kira ibunya merekam
pengakuan Dadang. Yang pasti sesudah acara makan malam dan
cerita tentang roh itu. Jadi sesungguhnya ibunya sudah tahu
mengenai perbuatan Kurnia dan Dadang dari cerita roh
ayahnya kepada Aditya. Tapi kenapa ibunya tidak segera
mengkonfrontasi kedua Ielaki itu?
Ia segera mengerti, bahwa ibunya tak punya bukti untuk
menuduh. Apalagi tanpa bukti itu ia bersama Eva pasti akan452
meradang dan tak percaya. Ibunya berusaha mencari jalan lain.
Acara makan malam itu sesungguhnya untuk memancing reaksi
kedua menantunya. Kurnia tenang saja, tidak terpancing sedikit
pun. Berbeda dengan Dadang. Maka kepada Dadanglah ibunya
datang untuk mengorek. Itu pasti terjadi pada saat Dadang
berada di apotek. Ibunya ke sana. Pantas lama di sana. Lalu
Kurnia menaruh curiga. Orang bersalah selalu paranoid.
Dadang tak mungkin bercerita kepada Kurnia bahwa ia
sudah mengaku. Ia pasti takut. Sebagai partner kejahatan, ia
adalah bukti kejahatan itu sendiri. Dadang pun berada dalam
bahaya.
Kurnia sangat cerdik. Ia sudah melihat perilaku Dadang
yang mencemaskan, lalu mengetahui keberadaan Ratna bersama
Dadang di apotek, berlama-lama di sana. Biarpun tak bisa
memastikan, ia tak mau mengambil risiko. Dengan kejam ia
menghabisi Ratna sebelum ibunya itu melakukan sesuatu yang
bisa mengancam keselamatannya. Ia pasti bisa menduga bahwa
Ratna dalam proses untuk berencana dan berbuat. Ia harus
mendahului.
Evi merinding. Jadi selama ini ia hidup bersama dengan
setan?
Tapi sekarang ia memiliki bukti itu. Bagaimana kalau
Dadang mengingkari bahwa itu adalah suaranya? Alat bukti itu
seharusnya juga didukung oleh Dadang. Dadang adalah saksi.
Setidaknya yang bisa diajukan adalah bukti bahwa Kurnia
bersama Dadang telah membunuh Simon, tapi mengenai
kematian Ratna, tidak ada buktinya.
Ia harus memberitahu Eva dan mengajaknya mengambil
sikap. Tapi Eva berada dalam kondisi yang tidak cukup kuat
untuk menghadapinya. Apalagi Dadang sendiri sudah
memohon kepada Ratna agar Eva tidak diberitahu dulu. la453
merasa kasihan terhadap Eva. Sama seperti dirinya terhadap
Kurnia, Eva pun sangat mencintai dan percaya betul kepada
Dadang. Sementara Eva tidak sekuat dirinya dalam menghadapi
kejutan itu.
Tapi bukan hanya itu. Ia juga memikirkan apa yang akan
terjadi bila kasus itu ia laporkan. Betapa gemparnya. Ia
membayangkan para kerabat dan relasi, juga masyarakat luas,
ramai menggosipkan keluarganya. Betapa memalukan. Pastinya
semua akan ditelusuri dari awal. Bermula dari godaan dua lelaki
kepada anak gadis keluarga Simon yang tak kunjung mendapat
pacar. Mereka pura-pura mencintai padahal tujuannya adalah
harta. Setelah jadi menantu keduanya meracuni Simon dengan
tujuan menguasai perusahaan. Selanjutnya Ratna menjadi
korban. Mereka, kedua anak gadis, berhasil mendapat suami tapi
kehilangan orangtua. Jelas terlihat betapa bodohnya mereka.
Orang-orang pasti akan mencemooh mereka.
Apakah ia rela kehilangan perusahaan pula? Jelas tidak.
Tapi untuk mempertahankan perusahaan, dia dan Eva
harus mempertahankan nyawa. Ia gentar membayangkan
dirinya harus berhadapan dengan pembunuh. Tapi ia harus, tak
bisa tidak.
Rasa takut menyergapnya. Ia merasa sendirian. Kepada
siapa ia harus meminta bantuan? Apakah Dadang bisa diajak
berkomplot seperti yang dilakukan Ratna? Dadang masih punya
hati nurani. Tapi setelah pertemuan Ratna dengan Dadang,
Ratna kehilangan nyawa. Kurnia terlalu cerdik. Pastinya
Dadang juga mengendus hal itu. Tapi Dadang pun takut. Jadi
sulit mengajak Dadang, karena Kurnia sangat pintar memantau gerak-gerik orang.
Evi teringat kepada Aditya dan Irawan. Barangkali mereka
bisa membantu? Tapi apa yang bisa rnereka lakukan? Paling-454
paling ia hanya bisa curhat pada mereka, dengan akibat
membagi rahasia keluarga pada orang luar. Sama saja dengan
menyerahkan kasus ke-pada polisi.
Ia sadar Kurnia akan memantau gerak-geriknya. Siapa tahu
Kurnia menyewa mata-mata. Bila ia melakukan pertemuan
dengan Aditya atau Irawan, Kurnia akan tahu. Alasan proyek?
Bisakah Kurnia menerimanya? Tapi kemudian ia dilanda
ketakutan yang lain. Bagaimana kalau terjadi sesuatu atas diri
Aditya atau Irawan? Ia tidak ingin menyeret orang lain.
Ia bertekad tidak akan keluar dari rumah sebelum mendapat
jalan keluar. Sebentar lagi ia akan bertemu dengan Kurnia. Ia
tidak ingin Kurnia bisa membaca perubahan sikap atau melihat
ekspresinya yang berbeda. Ia harus mempersiapkan dirinya.
Pastinya tidak mudah. Tapi ia bisa berlindung di balik
kesedihan karena kehilangan ibunya.
Ia merenung, membayangkan lagi Kurnia sepanjang waktu
yang dikenalnya. Sedih lagi memikirkan bahwa Kurnia
sesungguhnya tidak pernah mencintainya. Hanya berpura-pura
saja. Betapa pintarnya ia berpura-pura, sampai membuatnya
terhanyut. Apakah Kurnia akan menyingkirkannya juga?
Hanya dengan berbuat begitu ia bisa menguasai perusahaan.
Memang masih ada Eva, tapi Eva sudah cukup puas dengan
apoteknya. Eva juga tidak ambisius. Tapi dirinya tidak seperti
Eva. Ia menyukai perusahaan mereka, dan punya banyak
rencana. Tentu ia tidak rela kehilangan, apalagi dengan cara
paksa.
Seandainya ia berhasil disingkirkan lalu Kurnia menguasai
perusahaan, apakah Kurnia akan mencari istri lagi? Tentunya ia
bebas mencari perempuan yang disukainya, yang cantik dan
seksi. Tidak seperti dirinya.455
Pikiran itu serasa menikam jantung. Tapi ia tidak ingin
jantungnya kenapa-kenapa. Ia ingin tetap sehat dan kuat.
Ia bangkit berdiri, agak terhuyung, tapi segera mantap
kembali. Tadi ia kelamaan duduk di lantai yang dingin,
menguras air mata dan emosinya hampir di luar batas. Heran dia
bisa kembali pulih. Seharusnya ia menjadi gila atau hilang
ingatan.
Ponselnya di atas meja depan. Sesaat ia bingung kenapa
ponsel itu tidak kedengaran berbunyi. Lalu ia ingat tadi ia
mematikannya. Segera ia menghidupkan kembali, langsung
ponselnya ramai berbunyi, menandakan banyak pesan masuk.
Terutama dari sekretaris dan juga Kurnia.
Ia menelepon sekretaris.
"Sebentar lagi saya kembali. Sudah mau jalan."
'Tadi Ibu dicari Pak Kurnia."
"Ya, saya akan telepon dia."
Lalu ia memaksa diri menelepon Kurnia. Harus belajar dari
sekarang. Bicara lewat telepon dulu, baru nanti berhadapan
muka. Mudah-mudahan kalau nanti berhadapan muka, ia tidak
sampai menjadi mual dan muntah seperti yang terjadi pada diri
Dadang.
"Kau ke mana, Vi? Aduh, aku cemas deh. Hape kok
dimatiin sih."
Dia pura-pura cemas, pikir Evi. Tapi aku sudah siap.
"Aku di rumah Mama," jawabnya terus terang. Kurnia
tidak boleh dibohongi. Kalau dia pakai mata-mata lalu
ketahuan, ia bisa dicurigai.
"Apa? Ngapain di sana? Sama siapa?"
"Sendirian. Emangnya sama siapa?"456
"Ngapain sih?"
"Aku habis nangis-nangis."
"Kasihan. Kenapa nggak ajak aku? Lain kali jangan begitu
ah. Tempat itu kan nggak..."
"Nggak apa, Mas?"
"Ya, jelas nggak nyaman. Kau sendirian lagi."
"Sengaja. Aku berharap bisa ketemu roh Mama."
Evi mengatakannya dengan senyum. Semakin lama rasanya
jadi semakin lancar.
"Apa?" Kurnia kedengaran terkejut. Tak mengherankan.
"Iya. Aku cuma bisa berharap, tapi harapan itu nggak
tercapai. Nggak ada apa-apa di sini. Mama sudah pergi...," ia
tersedak. Bukan pura-pura, tapi rasanya ingin menangis lagi.
"Sudah, sudah. Tenanglah. Kau tunggu aku, ya. Aku ke
sana."
"Aku sudah mau pergi. Ada kerjaan menunggu."
"Hati-hati di jalan ya, Sayang."
"Ya."
Evi mencibir. Pembunuh, pembohong, penipn!
"Oh ya, nanti sore mau pulang bareng? Biar aku jemput,
ya?"
"Nggak usah. Mungkin aku bakal pulang cepat..."
"Iya deh. Istirahat saja. Jangan capek-capek."
"Iya."
"Oh ya, ada yang lupa. Nanti sore jadi ke dokter?"
"Ah, nanti sajalah. Mana bisa ke dokter langsung datang.
Harus pesan nomor dulu."
"Baik. Nanti kau yang tentukan saja."457
Evi terkejut menyadari bahwa ia kemungkinan sedang
hamil. Jadi ia mengandung anak seorang pembunuh. Dia dan
Eva senasib. Mungkin Eva masih lebih baik daripada dirinya.
Setelah hubungan telepon putus, Evi merenung sejenak.
Bicara lewat telepon mudah saja. Tapi berhadapan muka belum
tentu. Ia teringat pada tatapan Kurnia yang tajam dan suka
menyelidik. Mudah atau sulit tetap harus dijalani. Dan demi
keselamatan sendiri ia harus bisa mengatasi.
Sekitar satu jam setelah Evi pergi, Kurnia tiba di rumah
Ratna dengan mengendarai motor. Tapi ia sangat jengkel saat
menemukan pintu gerbang digembok dengan gembok besar
yang kelihatan masih baru. Biasanya pintu gerbang hanya
diselot di sebelah dalam dan bisa dibuka dari luar asal tahu
caranya.
Ia tahu pasti itu dilakukan Evi tadi karena ia ingat persis
sewaktu mereka meninggalkan rumah itu dengan membawa
jenazah Ratna tak ada gembok di situ. Hanya pintu rumah saja
yang dikunci. Semua pembantu keluar dari sana, lalu ditampung
di rumah Eva.
Ia memiliki duplikat kunci pintu rumah, jadi bisa masuk ke
dalam. Sayang pintu gerbang digembok. la marah dan gemas.
Tentunya itu merupakan hak Evi sebagai pemilik. Apalagi
masih cukup banyak barang berharga di dalamnya. Mereka
belum memeriksa dan merapikan rumah itu. Karena itulah
sewaktu tadi ditelepon ia mendengar Evi berada di situ, ia
terkejut. Ia menyadari seharusnya ia memeriksa lebih dulu
tempat itu, yang bisa saja dilakukannya sewaktu jenazah Ratna
masih berada di rumah duka. Semua anggota keluarga berada di
sana, sehingga ia bisa saja menyelinap pergi sendiri tanpa
menarik perhatian.458
Ia menyesal karena Evi mendahuluinya. Apakah Evi
menemukan sesuatu berupa catatan Ratna misalnya? Itu sangat
tidak menguntungkan baginya. Kenyataan bahwa sekarang
pintu gerbang digembok menimbulkan kecurigaannya. Kenapa
baru sekarang setelah Evi datang ke situ? Kenapa tidak sejak
awal?
Ketika ia selesai membunuh Ratna, ia sudah menggeledah
rumah itu, terutama daerah ruang duduk dan kamar. Laptop di
meja tulis pun diperiksa. Berikut laci dan lemari pakaian. Juga
novel di atas meja kalau-kalau ada selipan kertas di dalamnya.
Tidak ada sesuatu apa pun yang menjadi petunjuk bahwa Ratna
sudah menulis pesan atau catatan yang menuduh dirinya dan
Dadang. Ia memeriksa ponsel Ratna tapi mendapati pesan-pesan
lama sudah dihapus. Ia yakin pada saat itu ia sudah memeriksa
dengan cukup cermat. Bahkan di balik lukisan dan foto yang
tergantung pun diperiksa-nya, kalau-kalau di situ tersembunyi
brankas atau selipan kertas. Ide itu diperolehnya dari film.
la juga sempat ke dapur dan ruangan lain. Pemeriksaan di
situ tidak secermat di tempat sebelumnya. Tapi biarpun cuma
sekilas, ia yakin tidak mungkin di situ ada rahasia yang
tersimpan.
la melakukan semua itu dengan menggunakan sarung
tangan. Jangan sampai ada jejak yang tertinggal. Ia harus
berjaga-jaga kalau-kalau Evi melapor ke polisi atau dokter
memastikan adanya kematian yang tidak wajar. Sungguh
beruntung baginya karena Evi lebih mementingkan nama baik
keluarga.
Sekarang ia tidak yakin lagi dengan hasil pemeriksaannya
itu. Hanya karena gembok di pintu gerbang.
Coba saja pikirkan. Tadi Evi bilang ia nangis-nangis di
situ, lalu ingin melihat roh. Masuk akalkah kalau hanya karena459
itu saja ia melakukan pengamanan berupa pemasangan gembok
itu sebelum pergi? Mestinya dalam keadaan emosi, masih
diliputi kesedihan, tingkat kewaspadaan biasanya berkurang.
Bisa jadi malah masa bodoh. Yang pasti ia tidak membawabawa gembok dari kantor atau dari rumah. Tak ada rencana
untuk itu. Jadi bisa disimpulkan, Evi membeli gembok dulu lalu
kembali lagi untuk memasangnya. Jelas gemboknya masih baru.
Rumah itu merupakan rumah masa kecil Eva dan Evi.
Mereka sudah akrab dengan rumah itu, tahu semua selukbeluknya. Banyak yang mereka ketahui tapi asing baginya.
Misalnya sesuatu yang dulu terbiasa dilakukan Ratna dan sangat
familiar bagi kedua anak itu. Apa se-suatu itu tentu saja tidak


Dua Menantu Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diketahuinya. Mungkin saja saat ke situ, Evi tiba-tiba teringat
akan masa lalu lalu menemukan sesuatu.
Ratna mestinya tidak bodoh untuk berdiam diri saja kalau
benar ia mendapat informasi dari Dadang. Kalau pun ia
menunggu untuk bertindak, maka itu disebabkan ia sedang
memikirkan caranya. Pasti Ratna tidak gegabah untuk segera
memberitahu Evi perihal perbuatannya terhadap Simon. Tapi,
tidak bertindak belum memastikan bahwa ia tidak melakukan
sesuatu ke arah itu.
Rasa penasarannya membubung dan membuatnya marah.
Ia ingin sekali menendang pintu gerbang.
"Dasar perempuan sialan," ia mengutuk dan memaki.
Ia memandang berkeliling. Daerah sekitar tenang dan sepi.
Rumah-rumah tidak berdempetan satu sama lain. Banyak
pohon di halaman masing-masing. Tapi ia tidak mau
mengambil risiko. Justru karena terlihat sepi maka ada-tidaknya
orang yang memerhatikan tidak kentara.
Ia bisa saja melompati pintu gerbang yang tingginya sekitar
satu setengah meter. Tapi ia takut diteriaki maling kalau ada460
orang yang melihat. Tetangga sekitar tentu sudah tahu bahwa
rumah itu kosong. Jadi rasa takut mengalahkan penasarannya.
Kurnia berlalu dengan mulut tak henti menyumpah dan
memaki.
Ia sadar, seorang pembunuh seperti dirinya harus terus
waspada. Kecurigaan sedikit pun sudah cukup untuk melakukan
tindakan. la tidak boleh berlama-lama membiarkan keadaan
berkembang menjadi tak terkendali. Semakin dibiarkan semakin
sulit baginya.
Evi dan Kurnia bertemu menjelang makan malam.
Keduanya berupaya sebaik mungkin menutup perasaan hati dari
wajah masing-masing.
Evi harus sering-sering menelan ludah setiap menatap
wajah Kurnia dan berbicara dengannya. Lalu sering pula
minum. Itu untuk mengatasi perasaan mual. Tapi pengamatan
tajam Kurnia melihat hal itu.
"Kenapa?"
"Entah. Jadi sering enek." Evi menunjuk lambungnya.
"Nah, mungkin bener kau hamil. Kok sepertinya kau
nggak semangat ke dokter?"
"Aku mau pakai dokternya si Eva aja, ya. Katanya
orangnya baik dan perhatian. Tapi kalau pesan nomor mesti
seminggu sebelumnya. Kalau nggak bisa dapal nomor besar.
Nunggunya bisa lama."
"Cepat pesan kalau gitu."
"Besok aku tetepon."
Mereka berdua makan tanpa bernafsu.
"Masih sedih?" tanya Kurnia.461
Evi menyadari, wajahnya terlihai murung. Tapi ada alasan
untuk itu.
"Iya."
"Coba ada aku di sana, kan aku bisa menghiburmu."
"Mendadak saja pengin ke sana. Mana mungkin
mengajakmu."
"Kata sekretaris kau pergi ke mal. Kuhubungi hape-mu
ternyata mati."
"Aku nggak ingin diganggu. Aku ingin sendirian."
"Ah, nggak ingat sama aku, ya?"
Nada sesal dalam suara Kurnia itu mcngandung perhatian,
tapi bagi Evi seperti mengobok-obok lambungnya. Sungguh
memuakkan.
"Aku nangis sampai rasanya mau mati, tidur di lantai..."
"Wah... kok sampai begitu sih, Vi? Ingat dong sama aku."
"Kalau kau pernah kehilangan ibu, ya, seperti itulah."
"Aku mengerti. Tapi seperti kukatakan, kalau ada aku kan
bisa kutemani. Berdua lebih kuat daripada sendirian."
"Kadang-kadang ada saja saat di mana orang ingin sendiri,
Mas. Mau nangis, mau teriak, mau apa kek. Nggak perlu malu,
atau takut disebut sinting..."
"Ah, masa aku menganggapmu sinting. Nggak mungkin
dong."
"Keinginan seseorang perlu dihargai juga."
"Ya, ya. Tentu saja. Lalu, adakah sesuatu di sana yang
kaualami?"
"Maksudmu?"
"Bukankah kau bilang ingin ketemu roh?"462
"Nggak. Roh Mama pasti sudah pergi. Sudah ketemu sama
Papa."
Kerongkongan Evi serasa tersumbat waktu berkata begitu.
Bukankah kedua orang itu meninggal di tangan satu orang,
yaitu orang yang ada di depannya itu? Tentu mengenai ibunya
tak ada bukti, tapi ayahnya sudah pasti. Ia cepat-cepat minum
banyak ketika tatapannya beradu dengan Kurnia.
Evi cepat berpaling waktu beradu pandang, tapi bisa
terlihat oleh Kurnia. Ia merasakan tatapan Evi tidak seperti
biasanya. Alarm berdering di kepalanya.
"Ya. Mereka sudah tenang sekarang," kata Kurnia untuk
menutup perasaannya.
Evi diam, berupaya melawan mual. Satu-satunya cara
mengatasi adalah segera menyelesaikan makan.
Malam itu Evi menyatakan ingin tidur di kamar tamu.
Kurnia terkejut.
"Lho, kenapa? Kau tersinggung oleh ucapanku tadi?"
"Bukan. Aku benar-benar lagi ingin sendirian. Kau
mengerti, kan?"
"Baiklah," Kurnia tak bisa membantah. Ia tidak mengerti,
tapi ia curiga.
"Terima kasih atas pengertianmu, Mas."
"Biarlah aku yang di kamar tamu. Kau tetap di kamar kita."
"Ah, jangan. Aku pengin di kamar tamu."
"Baiklah."
Evi pergi ke kamar tamu dengan membawa tas dan
ponseinya. Setelah masuk ke situ ia tidak keluar-keluar lagi.
Napasnya memburu ketika berada di dalam kamar, seolah ia463
baru selamat dari kejaran penjahat. Ia cepat menghindar ketika
merasa Kurnia akan menciumnya.
Setelah tenang ia jadi khawatir jangan-jangan Kurnia
merasa heran lalu curiga akan tingkahnya yang tidak biasa.
Bukankah biasanya ia senang dicium dan senang dikeloni
waktu tidur? Tapi sekarang mana mungkin ia bisa tahan dengan
semua itu. Jangankan diajak bercinta, tidur seranjang
berdekatan pun membuat ia jijik. Bahkan mencium bau tubuh
Kurnia, ia sudah mual.
Di luar kamar Kurnia melotot menatap pintu tertutup.
Dugaannya pasti tak salah. Memang ada sesuatu.464
20 SUDAH dua hari Frans tidak juga sadar. Ia berada dalam
keadaan koma, terbaring di ruang perawatan.
Irawan, Aditya, dan Siska menjenguknya bersama-sama.
Seperti yang sudah disepakati sebelumnya mereka tidak
berbincang mengenai kejadian itu di samping tempat tidur
Frans. Selain karena ada kerabat Frans yang menemani, juga ada
perasaan tak nyaman kalau-kalau percakapan mereka bisa
didengar oleh roh Frans yang sedang gentayangan. Bukan
karena cerita Aditya dari pengalamannya sendiri, tapi dari
kesimpulan yang diperolehnya gara-gara pertemuannya dengan roh Simon. Aditya sudah tak punya pengalaman apa-apa
mengenai kondisi komanya dulu, karena memang tak ada yang
tertinggal dalam kenangan.
Setelah mereka keluar dari kamar, Irawan mengusulkan
untuk berbincang di taman. Tapi Siska dan Aditya sepakat
menolak.
"Bukankah di situ tempat para roh berkumpul?" kata
Aditya, setengah bergurau.
Irawan tak lagi membantah.
Mereka langsung menuju tempat parkir. Di sana sambil
bersandar ke mobil mereka membicarakan kondisi Frans.
"Aku jadi teringat perbincangan dengan Frans terakhir kali.
Dia tanya-tanya tentang roh, lalu kukatakan kalau dia ingin465
tahu lebih banyak, harus jadi roh dulu. Eh, sekarang dia benarbenar koma dan kemungkinan rohnya bisa keluar," kata Siska.
"Iya," Irawan membenarkan. "Tadi waktu memandanginya, sempat kubayangkan apakah dia juga ada di dekat
kita."
"Dia jadi begitu kan akibat perbuatannya sendiri. Maksud
hati mau mencelakai orang, malah jadi celaka sendiri," kata
Aditya.
"Belum terhitung perbuatannya kepadamu," kata Irawan.
"Melihat keadaannya seperti itu, sudah kumaafkan. Aku
pernah seperti itu, tapi selamat. Aku harus mensyukurinya
dengan memaafkan Frans," sahut Aditya.
"Itulah karma," kata Irawan.
Kemudian Aditya menceritakan percakapan teleponnya
dengan Evi.
"Mula-mula miscall, lalu kutelepon balik. Agak lama baru
dijawab. Katanya semula bermaksud berbicara denganku, tapi
karena banyak pekerjaan, nggak jadi. Lain kali saja. Kutanya
apa dia sudah di kantor, ternyata dia berada di rumah Bu Ratna.
Sendirian lagi. Katanya banyak pekerjaan, tapi kenapa ada di
situ? Ngomongnya buru-buru, dan rnenyudahinya tanpa basabasi. Belakangan kucoba menelepon lagi, tapi teleponnya
dimatikan. Sampai sekarang belum aku telepon lagi. Beberapa
kali aku berniat menelepon, tapi takut mengganggu."
"Tunggu saja sampai dia yang menelepon. Mungkin dia
sedang sibuk," kata Irawan.
Lalu Siska pamit pulang duluan. Waktunya makan malam
di asrama. Ia menolak diantarkan, tapi Irawan tetap
mengiringinya. Aditya menunggu dekat mobil, tersenyum-466
senyum memandangi pasangan itu. Ia merasa berbahagia untuk
mereka berdua dan juga untuk dirinya sendiri.
"Kapan mau ke rumah lagi, Sis?" tanya Irawan sam-bil
berjalan.
"Minggu ini aku nggak libur Sabtu dan Minggu, tapi hari
Jumat."
"Nggak apa-apa. Jumat juga oke."
Mereka berpisah dengan bersentuhan tangan.
Sebelum Irawan masuk ke mobil, sebuah mobil berhenti di
dekatnya. Ia terkejut saat mengenali Kurnia pengemudinya.
Kurnia sendirian.
"Mas, katanya Frans dirawat di sini, ya?" kata Kurnia.
"Ya betul. Mau nengok?"
"Ya. Gimana kondisinya? "
"Kami juga baru menjenguk. Dia koma. Sudah dua hari."
"Koma?" Kurnia terkejut.
Irawan memberitahu kamar Frans. "Itu dekat kamar di
mana Pak Simon dulu dirawat," katanya sambil mengamati
wajah Kurnia.
"Oh ya. Terima kasih," kata Kurnia tanpa memperlihatkan
ekspresi apa pun.
"Kalau Mas mau parkir, di sini saja. Kami mau pergi kok.
Di dalam sepertinya sudah penuh."
"Baik. Terima kasih."
Setelah mobil Irawan meluncur pergi, Kurnia mengambil
tempatnya.
Begitu keluar dari lingkungan rumah sakit, Irawan yang
mengemudi berkata, "Bukankah ini saat yang baik kalau kau
mau nelepon Bu Evi? Suaminya kan di sini."467
"Oh ya. Betul sekali. Ada alasannya, ya."
Aditya buru-buru mengambil ponselnya sambil berharap
Evi bisa dihubungi.
"Bu Evi? Selamat sore. Saya Aditya. Mudah-mudahan
nggak mengganggu. Kalau Ibu sedang sibuk, lain kali saja saya
telepon lagi."
"Oh, nggak sibuk kok."
"Tadi saya ketemu Mas Kurnia. Jadi ingat untuk
menelepon Ibu."
"Ketemu di mana?"
"Di rumah sakit, mau menengok Frans. Ibu kenal Frans?
Katanya dia teman masa kecil dari Mas Kurnia. Di mengalami
kecelakaan lalu lintas, sekarang koma."
"Oh, koma? Seperti Mas Adit dulu dan juga Papa?"
"Betul. Jadi Ibu nggak tahu bahwa Mas Kurnia ke sini, ya?"
"Nggak tuh. Dia nggak bilang-bilang. Ya, kebetulan dia
lagi nggak ada. Saya juga cari kesempatan untuk ngomong
sama Mas. Dan saya memang pengin ngomongnya lewat
telepon aja. Terlalu riskan kalau ketemuan. To the point aja nih,
Mas. Tempo hari habis makan-makan di rumah Mama itu, ada
yang belum Mas ceritakan. Kenapa roh Papa minta Mas
melindungi keluarga kami?"
Aditya terperangah. Sejenak bingung untuk menjawab. la
menatap Irawan yang melirik penuh tanya. Tapi tak ada
kesempatan bagi Aditya untuk berdiskusi dengan Irawan. Evi
sudah bicara lagi.
"Saya sudah tahu jawabannya kok, Mas. Nggak usah
mikirin gimana reaksi saya."
"Oh, sudah tahu, Bu? Dari Bu Ratna?"468
"Secara tidak langsung, ya."
"Tapi Ibu kok masih bertanya..."
"Mau memastikan saja. Mereka berdua sudah meracuni
Papa saya, kan?"
Aditya terkejut. Dalam pendengarannya kata-kata itu
diucapkan dengan nada yang tegar, tanpa emosi.
"Bu, apakah dia sudah tahu bahwa Ibu tahu?"
"Belum. Tapi saya nggak tahu berapa lama lagi saya bisa
tahan menghadapinya. Tolong saya memikirkan caranya, Mas.
Apakah saya harus lapor dengan akibat buruk yang harus
ditanggung keluarga kami atau gimana?"
"Kalau mau melapor perlu bukti, Bu."
"Saya punya buktinya."
"Oh..." Aditya terkejut lagi. "Apakah Bu Eva sudah tahu
juga?"
"Belum. Saya khawatir sama kondisinya. Tapi Dadang
kelihatannya baik-baik saja. Dia nggak seperti Kurnia."
"Ibu mesti hati-hati..."
"Pendeknya kalau sampai terjadi sesuatu yang buruk atas
diri saya, Mas Adit tahu siapa yang harus diselidiki."
Sebelum Aditya bertanya lebih banyak, telepon sudah
dimatikan. Ia mencoba menghubungi lagi, tapi telepon tetap
mati.
Aditya segera menceritakannya kepada Irawan. Bersamasama mereka merasakan ketegangan yang seolah merayapi


Dua Menantu Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kuduk.
"Kasihan sekali Evi," kata Irawan.
"Dari ucapan dan nada suaranya kelihatan dia sudah
mengatasi kejutannya. Tapi aneh juga. Dia bilang minta tolong,469
tapi tak jelas bagaimana caranya. Ia hanya bilang kalau sampai
terjadi apa-apa atas dirinya, maka kita tahu siapa yang harus
diselidiki. Bukankah itu terlambat namanya? Harusnya kan
dicegah."
"Dia juga nggak bilang, bukti yang dimilikinya apa. Kalau
kita nggak tahu, bagaimana menolongnya?"
"Sebaiknya nanti ditelepon lagi saja. Kalau dia sedang di
kantor, saat suaminya nggak ada," Aditya berkata sambil
menimang-nimang ponseinya. Ekspresinya penasaran.
Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Pesan dari Evi.
Jangan mendekati saya untuk bicara soal itu. Kalau masalah
proyek tunda saja dulu. Biar saya saja yang menelepon. Terima
kasih.
Aditya membacakan pesan itu kepada Irawan.
"Wah, gawat." Irawan geleng-geleng kepala.
"Ya, kelihatannya begitu. Bukan tanpa sebab dia menulis
seperti ini. Dia nggak mau kita sampai terlibat. Dia akan
menghadapinya sendiri. Pemberani sekali. Padahal pastinya
menakutkan tinggal bersama seorang pembunuh yang
kemungkinan besar juga mengincarnya. Semoga saja dia
mampu mengatasi semuanya."
"Sekarang kita harus berbuat apa, Dit? Diam saja?"
"Untuk sementara ya. Kita harus menghargai keinginannya
juga. Kalau kita gegabah ikut campur, dia bisa terancam. Saya
menduga pada saat ini Kurnia belum tahu bahwa Evi tahu."
"Kelihatannya begitu."
***470
Kurnia berdiri di samping tempat tidur Frans, mengamati
wajah Frans yang kaku tanpa ekspresi. Ia menyentuh pipinya,
terasa hangat. Ya, tentu masih hangat karena dia masih hidup.
Saat itu Kurnia sendirian saja. Kerabat Frans yang semula
duduk menunggui sedang berjalan-jalan melemaskan kakinya
yang pegal.
"Apakah rohmu saat ini sedang memandangi aku, Frans?
Kenapa kau bodoh sekali membiarkan dirimu jadi seperti ini,
mati nggak hidup pun nggak. Percuma kalau rohmu saja yang
bisa keluyuran. Ayolah, cepat bangun!"
Wajah Frans tidak memperlihatkan perubahan. Tetap beku.
Kurnia jadi teringat pada Simon, mertuanya. Seperti itulah
orang koma. Ujung-ujungnya kalau tidak mati, ya hidup. Tapi
kalau hidup, seperti apa? Apakah bisa normal kembali seperli
Aditya, atau cacat entah apanya.
"Sekarang pergilah keluyuran, lihat sana-sini, lalu
tanamkan dalam memori otakmu. Jadi kalau kau bangun, kau
bisa ingat semuanya. Jangan seperti si Aditya yang katanya tidak
ingat barang sedikit pun. Nanti kau bisa ceritakan padaku.
Barangkali banyak rahasia orang yang bisa kauketahui. Seperti
mertuaku yang sepertinya bisa nguping pembicaraaan orang.
Tapi karena dia mati, dia nggak bisa cerita..."
Sesudah bicara seperti itu Kurnia tertawa. Tempat tidur
kosong di sebelah Frans benar-benar membuatnya leluasa.
Kalau ada orang yang melihatnya, pasti orang itu mengira dia
sudah sinting. Tapi tiba-tiba ada perasaan tergelitik. Bagaimana
kalau nanti Evi juga terbaring koma di situ dengan mulut
setengah terbuka? Betapa jeleknya. la ingin sekali tertawa keras.
Evi menggunakan kesempatan perginya Kurnia untuk
menelepon Dadang.471
"Kau ada di mana, Dang?"
"Di rumah."
"Eva?"
"Dia lagi tiduran. Mau bicara sama dia, Vi?"
"Apa dia baik-baik saja? Masih keluar vlek?"
"Dia sudah baik. Sekarang sudah nggak keluar apa-apa lagi.
Dokter sudah memberi obat penguat kandungan. Tapi masih
harus banyak istirahat."
Sesuatu dalam suara Dadang membuatnya tersentuh.
Tampaknya perhatian Dadang kepada Eva benar-benar tulus.
Ataukah Dadang juga pintar berpura-pura seperti Kurnia?
Tetapi kalau Dadang memang suka berpura-pura, ia tidak akan
mengaku kepada Ratna. Bahkan ia bisa terus saja berpura-pura,
karena bukti tak ada. Yang ada semata-mata ucapan roh Simon
kepada Aditya.
Karena itulah ia tidak takut kepada Dadang, tidak seperti
halnya kepada Kurnia.
"Apa kita bisa bicara di tempat yang nggak bisa didengar
orang lain? Terutama oleh Eva."
"Ba...baik."
Sejenak sepi, lalu kedengaran suara Dadang, "Ya, Vi.
Kenapa?"
"Aku sudah tahu perbuatanmu bersama Kurnia terhadap
Papa," kata Evi langsung.
Diam sebentar. Suara Dadang terdengar bergetar, "Ya,
benar, Vi. Aku... aku bersalah, berdosa sangat berat. Ampun, Vi.
Aku pasrah mau diapain juga. Yang kutakutkan cuma kondisi
Eva. Setelah mengaku kepada Mama, aku tahu cepat atau lambat472
kau pasti akan tahu juga. Tapi... tolonglah, Vi. Jangan sampai
Kurnia tahu."
"Kau tahu itu nggak mungkin. Lama-lama dia akan tahu
juga. Sekarang ini aku bersusah payah menahan diri
menghadapinya."
Diam sejenak. Sepertinya Dadang sedang berpikir.
"Ya, kau dalam bahaya, Vi. Kau harus hati-hati. Situasimu
riskan sekali karena kau hidup bersamanya."
"Aku tahu. Apa kau tahu pasti, dia memang berniat
melcnyapkan aku?"
"Dia mengincar perusahaan, Vi."
"Oooo..."
Tubuh Evi menggigil. Ia sudah punya persangkaan, tapi
mendengarnya sendiri ia tetap merasa ngeri.
"Rupanya dia sudah menduga bahwa aku ngomong sama
Mama. Dia sepertinya tahu. Dia berbahaya."
"Apa kau sendiri nggak?"
Di sana diam.
"Ingat, Dang. Kau juga harus menghadapi risiko
perbuatanmu."
"Ya. Aku tahu."
"Aku cuma mau mengingatkan kau, supaya jangan
macam-macam sama Eva."
"Aku akan menjaganya, Vi."
"Menurutmu, apakah Mama dibunuh olehnya?"
"Aku nggak berani menuduh, Vi."
"Ada perkiraan?" desak Evi.
"Mmmm... ada sih, tapi..."473
"Ya sudah. Cukup."
Evi mengakhiri pembicaraan. Ia sengaja bicara ketus supaya
Dadang tidak berpikir bahwa dirinya bisa memaafkan begitu
saja. Lalu ada Eva. Bagaimana reaksi Eva kalau tahu? Evi tidak
bisa membayangkan. Takut membayangkannya.
Ketika Kurnia pulang, Evi menyambutnya seperti biasa. Ia
sudah mulai beradaptasi dalam berhadapan dengan seorang
Kurnia pembunuh, bukan lagi Kurnia yang dicintainya. Ia tahu
untuk bisa survive ia harus bisa melakukannya. Seseorang seperti
Kurnia tak bisa dihadapi dengan keterusterangan, menunjuk
hidungnya dan memakinya, lalu mengusirnya pergi. Ia sendiri
tak ingin berbuat seperti itu, membiarkan Kurnia pergi
melenggang bebas. Tapi ia juga tahu, Kurnia tidak akan mau
pergi begitu saja tanpa mendapat sesuatu atau berbuat sesuatu.
Untuk itu ia harus berpikir mencari jalan yang baik.
Melawan seorang lelaki perkasa seperti Kurnia tentu tak
mungkin bisa. Sangat dilematis dan sulit. Waktu juga
menentukan. Hal itu sudah dibuktikan oleh Ratna. Tak lama
setelah mendapat pengakuan Dadang, belum sempat berbuat
apa-apa, ibunya sudah keburu meninggal. Ia sendiri tak ingin
mati dibunuh.
Kurnia mengamati wajah Evi.
"Kayaknya kau habis menangis lagi, ya," katanya penuh
perhatian.
Perasaan Evi menjadi mual, tapi ditahannya. Ia hanya diam
dan menyusut matanya yang benar-benar mengeluarkan air
mata.
Kurnia menarik Evi ke dalam pelukannya. Evi harus
berusaha keras supaya tidak spontan melepaskan diri dan berlari
pergi. Tapi ia mendapat alasan dengan menangis lebih keras dan474
tersedu-sedu. Untuk mengambil tisu ia harus melepaskan diri
dari pelukan Kurnia.
Kurnia mendudukkan Evi di sofa. Evi terus menangis dan
berharap air matanya tak cepat kering.
"Sudahlah, Vi. Kau harus ikhlas."
Dalam hati Evi memaki. Tapi Kurnia bertahan di
sampingnya.
Akhirnya air mata Evi kering juga. Aku harus tabah,
tekadnya.
Ketika matanya menatap wajah Kurnia, untuk pertama
kalinya ia menyadari bahwa di wajah tampan itu tak ada empati.
Tapi penglihatan itu hanya sekilas. Dengan cepat ekspresi
Kurnia kembali memperlihatkan rasa sayangnya. Evi sedih
kembali. Untuk selamanya ia takkan lagi memiliki kasih sayang
seperti itu karena semuanya palsu belaka.
"Eh, jangan nangis lagi dong," bujuk Kurnia.
Aku harus mengeraskan hati. Aku tak mau jadi pe-rempuan
lembek, Evi membatin berulang-ulang. Kalau Kurnia bisa
berpura-pura, kenapa dirinya tidak bisa?
"Tadi aku ke rumah sakit nengokin si Frans. Ingat sama
dia?"
Evi mengangguk. "Ya, kenapa dia?" tanyanya, padahal
sudah tahu dari Aditya.
"Dia koma karena kecelakaan. Motornya nabrak pohon.
Pakai helm juga nggak menjamin rupanya. Mungkin kalau
nggak pakai malah mati."
"Koma seperti Papa?"
"Ya. Dirawatnya juga di rumah sakit yang sama. Mulia
Bakti. Dan unitnya juga sama, cuma kamarnya aja beda."475
"Oh, gitu..."
"Aku ngomong sama dia, apa rohmu bisa keluar dan jalanjalan? Jangan dilupain bila kau berhasil sembuh. Masa kayak si
Aditya yang melupakan semuanya. Entah bener entah bohong."
Evi tidak berkomentar. Ia tetap memasang wajah sedih.
Kurnia merangkulnya. Duh, rasa mual itu naik ke
kerongkongan. Evi tidak tahan. Ia berlari ke kamar mandi. Di
sana ia muntah. Kurnia bergegas mengikuti lalu memijit-mijit
tengkuknya.
Sebenarnya nyaman sekali pijitannya. Tapi sesudahnya ada
perasaan seperti terbakar. Kemudian Kurnia membawakan
minum air putih. Tapi Evi cuma berkumur saja. Ia takut
meminumnya.
"Mau minum apa? Nanti aku ambilin," kata Kurnia.
"Nggak pengin minum."
"Habis muntah harus minum, Vi. Nanti kekurangan
cairan."
"Nanti saja."
Evi sadar, mereka berdua sama-sama sedang mengulur
waktu. Mungkin Kurnia masih mencari waktu yang tepat
untuk menyingkirkannya. Apa lagi kalau bukan itu?
"Kapan mau ke dokter, Vi?"
"Minggu depan. Biar dapat nomor satu."
"Baguslah. Nanti aku antar, ya."
"Ya."
"Kayaknya kamu bisa seperti Eva, muntah-muntah terus."
"Emangnya kenapa?"
"Kan repot, Vi. Nanti nggak ada yang menggantikan
posisimu di kantor."476
"Di kantor aku nggak suka muntah," sahut Evi dengan
sebenarnya. Di kantor tak ada rasa mual karena Kurnia jauh.
"Ya, belum saja. Ini baru awal."
"Jadi?"
"Kalau aku mendampingimu di kantor kan gampang.
Begitu kau cuti, aku bisa menggantikan."
Huh, enak saja. Jadi itu memang maumu. Begitu kau berada di
kantor, maka aku kaudepak. Itulah saatnya.
"Aku nggak mau cuti. Aku suka kerja. Kalaupun aku
muntah, ya muntah saja. Kan ada kamar mandi."
"Pendeknya kau harus tanya dokter."
"Dokter pasti punya obatnya."
"Si Eva juga makan obat, tapi masih saja muntah. Orang
hamil nggak boleh sembarang makan obat."
"Aku tahu."
Tapi aku tidak tahu, apa sesungguhnya aku senang dengan
kehamilan ini. Dulu aku ingin sekali punya anak, tapi sekarang? Ini
anak seorang pembunuh!
"Aku perlu juga kepastian, Vi. Apa aku bisa pindah ke
kantor pusat saja? Aku ingin dekat denganmu dan belajar juga."
"Lalu di pabrik gimana?"
"Aku bisa cari asisten. Di sana cukup banyak yang
mampu."
"Terserah kau deh."
"Jadi bisa, ya? Begitu dapat orang, aku melatihnya, lalu
pindah ke kantor, ya?"
Ucapan Kurnia itu membujuk sekaligus mendesak.477
Evi merasa tak bisa mencegahnya. Tidak mungkin juga
menolak. Seperti maju kena, mundur kena.
"Ya, ya, bisa," jawab Evi.
Kurnia langsung memeluk Evi dan menciuminya sampai ia
sulit bernapas. Rasa mual kembali mengge-legak, tapi masih
bisa ditahan. Kaiau sampai muntah pun pasti tak ada lagi isi
lambungnya.
Kurnia tampak girang sekali, tapi Evi tak kepalang sedih.
Kalau bukan dalam keadaan seperti ini, pasti ia akan senang
melihat tingkah Kurnia yang seperti anak kecil. Sudah jelas,
bagi Kurnia ambisinya mengalahkan segala sesuatu, sampai
membunuh pun tega.
Padahal kau tidak perlu membunuh. Cukup buktikan dengan
prestasi kerja dan kasih sayang. Mustahil kau tak bisa meraih apa
yang kauinginkan dengan cara yang wajar
"Apa kau suka sama anak kecil, Mas?"
"Tentu saja suka. Asal anak kecil itu anakku sendiri. Kenapa
kautanyakan itu?"


Dua Menantu Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Soalnya dulu kau nggak mau punya anak."
"Ah, itu kan dulu."
Kalau memang betul begitu, mustahil ia mau menyingkirkan aku. Kalau ia membunuhku, berarti ia memhunuh
anaknya juga. Apa dia bisa seperti Dadang yang kelihatannya
sayang sekali pada calon anaknya? Tapi aku tak ingin
membiarkan dia keenakan seperti ini, seolah kejahatan tak perlu
dibayar!
"Eh, nggak percaya?" tegas Kurnia melihat Evi termangumangu.
"Percaya," sahut Evi lirih. Tak ingin memperpanjang
diskusi yang bisa saja bohong belaka.478
Kurnia tidak yakin dengan ucapan Evi yang tak bersemangat, tapi ia tak mau mendesak. Ia beralih ke masalah lain.
"Nggak ada rencana mau ke rumah Mama lagi?"
"Nggak. Kenapa?"
"Rumah kosong tapi ada isinya perlu sering ditengok.
Tahu-tahu dijebol pencuri. Paling tidak dikosongkan dulu.
Yang berharga dikeluarkan. Tinggal perabotnya saja."
"Harus ngajak Eva dong. Itu kan milik bersama."
"Paling tidak ditengok aja."
"Ya. Kapan-kapan."
"Ajak aku untuk menemani. Tempo hari aku lewat situ
kulihat gerbangnya digembok. Seingatku dulu nggak pernah
digembok, ya? Mama selalu merasa aman."
"Ya. Aku yang menggembok."
"Pantas."
"Kenapa?"
"Mustahil pintunya menggembok sendiri."
Kurnia bermaksud melucu, tapi Evi tidak tertawa. Ia merasa
sebal.
"Kalau kau malas ke sana, biar saja aku yang pergi, Vi.
Kalau ada yang ngacak-ngacak bisa ketahuan. Berikan aku
kunci gemboknya, kalau kunci pintu aku punya duplikatnya."
Kurnia mengatakannya tanpa berpikir tapi Evi terkesiap.
Jadi Kurnia punya kunci pintu rumah ibunya?
Pantaslah kalau ia bisa masuk sesukanya. Pintu itu biarpun
kuncinya melekat di sebelah dalam, tapi ada caranya untuk
membuat kunci itu lepas atau jatuh ke dalam, sehingga dari luar
bisa dibuka. Ia tahu hal itu dari Simon, ayahnya.
Kurnia tidak menyadari sikap Evi.479
"Iya. Nantilah sama aku saja. Aku juga ingin melihat-lihat
lagi," kata Evi.
Kurnia tidak mendesak. Ia merasa sudah cukup mendapat
apa yang diinginkannya untuk sementara ini. Yang lain bisa
menyusul. Tadi ia jadi optimis karena Evi menyetujui
permintaannya. Siapa tahu yang lain pun disetujui. Kalau tidak,
ya sudah. Ia akan bersabar.
Malam itu Evi kembali tidur di kamar tamu. Kurnia tidak
lagi mempersoalkan atau membujuk. Ia pun ingin sendiri
dengan kegembiraannya. Ia sudah maju selangkah lagi. Jika
sendirian ia tidak perlu memasang topeng terus-menerus.
Kegembiraan membuat ia merasa tak perlu lagi mencurigai atau
memelototi Evi setiap saat. Ada keyakinannya, kalau Evi
mengetahui perbuatannya, tak mungkin ia setuju.
Jadi biarkan saja Evi menangis sendirian.
*** Setelah ditelepon Evi, Dadang termenung. Sekarang, waktu
baginya terasa semakin singkat saja. Sepertinya dia sudah
kehiiangan masa depan. Tak ada harapan. Tak ada anganangan. Hidupnya hanya dari besok ke besok saja.
Menghitung kehamilan Eva rasanya lama sekali.
Masih sekitar lima bulan Iagi baru anaknya lahir. Ia tidak
tahu apakah masih sempat melihatnya. Air matanya
menggenang membayangkan yang terburuk. Nasibnya sudah
di ujung tanduk. Bisakah Eva survive mengingat Evi sudah tahu?
Ia tidak mengerti jalan pikiran Kurnia. Bila Kurnia
memang berencana keji, kenapa ia membiarkan Evi hamil?
Apakah itu berarti ia akan menghentikan perbuatannya? Tapi480
sekarang Evi sudah tahu. Mustahil Evi akan membiarkannya. Itu
berarti Evi dalam bahaya.
Mungkin Kurnia salah perhitungan. Tapi ia ingat dulu
Kurnia pernah berkata, akan lebih memudahkan baginya untuk
mengambil tempat Evi di saat Evi dalam kondisi hamil, karena
Evi akan sakit-sakitan seperti halnya Eva. Apalagi Ratna sudah
tak ada.
Tapi Evi tidak seperti Eva. Evi keras hati dan tegas juga.
Eva lebih lembut dan mudah bertoleransi. Hal itu
disimpulkannya sejak hidup bersamanya. Tapi ia tidak bisa
memprediksi apa yang akan terjadi bila Eva tahu tentang
perbuatannya.
Ia mendengar Eva memanggilnya. Ia menyahut, lalu
menggerakkan kakinya yang berat. Gaya jalannya seperti orang
yang sudah tua. Lesu dan loyo.
Lalu ponselnya berbunyi lagi. Ia tersentak kaget. Apakah
Evi meneleponnya lagi? Ternyata itu pesan dari Kurnia.
Jantungnya berdebar dalam ketegangan yang berbeda.
Aku ingin bicara, Dang.
Tidak, Kur Aku tak mau lagi berurusan denganmu. Jangan
ganggu aku lagi.
Seteiah membalas seperti itu, ia merasa lega. Lalu
mematikan teleponnya.
Ah, kelegaan itu mernang hanya untuk sementara. Ia sudah
tahu, Kurnia bukan orang yang bisa disepelekan. Lantas, apakah
ia harus menunggu saja tindakan apa pun yang akan dilakukan
Kurnia?
Melewati cermin di dinding ia menoleh lalu terkejut.
Itukah wajahnya? Tampak lebih tua sepuluh tahun! Wajah yang481
semula cukup tampan itu kini kelihatan menua dan jelek. Dosadosanya seperti terpampang di wajahnya. Ia bergidik.
Tiba-tiba ia menyadari, semakin lama menyimpan dosadosa itu, semakin cepat ia menjadi tua oleh beratnya beban yang
ditanggung.
Ia bergegas ke kamar. Setelah masuk ia lupa mengubah
ekspresinya tadi, hingga terkesan seolah ia baru saja dikejar
hantu.
Eva menangkap ekspresi itu lalu mengamatinya dengan
cemas.
"Kau kenapa, Mas? Habis ngapain?"
Dadang salah tingkah. Bingung mencari jawaban.
"Oh... eh... aku... aku sakit perut..."
Sesudah itu ia menghambur ke kamar mandi, lalu
mengunci pintunya. Di dalam ia terengah-engah se-jenak
sambil bersandar ke pintu. Lalu merosot duduk di lantai.
Keputusasaan menguasainya. Ia harus bagaimana? Di depan
sana ada Eva yang menantinya. Barangkali paling baik kalau ia
mati saja pada saat itu juga, hilang lenyap dari muka bumi.
Tapi...
Ia memandang berkeliling. Kamar mandi bersih mengilap.
Udara bau karbol wangi. Kebersihan yang kontras dengan
dirinya yang "kotor".
Eva menunggu di depan pintu kamar mandi dengan cemas.
Kelakuan Dadang dinilainya aneh. Kalau memang sakit perut,
tentu dari pintu langsung masuk kamar mandi, bukan bingung
dulu. Sebenarnya bukan baru kali itu saja ia mencemaskan
Dadang. Ia heran akan penampilan Dadang yang seperti tak
punya semangat, sangat berbeda dibanding beberapa waktu482
yang lalu. Prestasi kerja Dadang memang tak bercela, rajin dan
tekun. Tapi sikap tubuh dan penampilannya berbeda.
Tak sabar menunggu, ia mencoba membuka pintu. Tapi
terkunci.
"Mas...," panggilnya sambil mengetuk pintu.
Tak ada jawaban. Ia memasang telinga ke pintu. Terdengar
ada bunyi desah dan gesekan.
"Mas, kau kenapa?" katanya lebih keras. "Perutmu melilit,
ya?"
"Heeem...," terdengar sahutan seperti keluhan panjang.
"Kalau sudah, cepat keluar, ya? Jangan di situ terus. Duh,
kenapa sih pake dikunci?"
"Ya, sebentar, Va," akhirnya Dadang bicara.
Eva agak lega. Tapi heran kenapa suara Dadang sepertinya
terdengar dekat, di pintu, bukan di sebelah dalam tempat kloset
berada.
"Sudah nggak sakit lagi?"
"Nggak..."
"Mau obat?"
"Nggak perlu."
Eva duduk di tempat tidur. Menunggu. Sepuluh menu
sepertinya lama sekali. Terdengar bunyi gelontor kloset.
Padahal tadi suara Dadang dekat pintu. Baru sekarang klosetnya
bunyi.
Akhirnya Dadang muncul. Eva terkejut melihatnya.
Rambutnya basah dan acak-acakan. Wajahnya merah. Matanya
bengul. Kentara habis menangis.483
Eva melompat lalu memeluk Dadang, membimbingnya ke
tempat tidur. Tapi Dadang hanya diam dan duduk saja. Eva
mengamatinya.
"Aduh, kau kenapa, Mas? Kau sakit apa?"
Dadang menggeleng.
"Nggak? Tapi kau kelihatan sakit. Lesu dan tak bersemangat. Jalan aja kayak diseret-seret."
Pelan-pelan Dadang mengangkat kepalanya, menatap Eva.
Hanya sebentar lalu berpaling.
"Aku memang sakit, Va. Di sini." Ia menunjuk dadanya.
"Ha? Jantung?!" teriak Eva. Ia menubruk Dadang lalu
memeluknya dan mendorongnya ke belakang hingga rebah ke
tempat tidur. Kemudian ia meraih ponselnya di atas meja.
"Aku mau telepon Kurnia, minta bantuan dia membawamu ke rumah sakit. Harus sekarang juga. Ayo..."
"Apa?" Dadang terkejut, lalu merampas ponsel dari tangan
Eva. "Jangan sekali-kali kautelepon Kurnia. Jangan!"
Giliran Eva yang terkejut melihat reaksi Dadang. "Tapi...
kau harus cepat ditolong. Sama aku aja, ya."
Dadang memeluk Eva, menariknya pelan hingga rebah di
sisinya.
"Dengar, Va. Aku bukan sakit jantung."
"Oh... syukurlah. Tadi katanya sakit di dada. Di situ kan
jantung."
"Bukan jantung, Va."
"Lalu apa? Tapi kau memang sakit, kan? Jadi harus ke
dokter. Aku tahu ada yang nggak beres denganmu. Jangan
kaupikir aku cuek saja. Penyakit itu nggak boleh disimpan, Mas.
Kau akan jadi ayah, masa loyo kayak gini."484
"Aku punya penyakit yang nggak ada obatnya."
"Harus ada obatnya."
"Nggak ada, Va. Penyakit ini namanya dosa. Kau mau
dengar?"
"Tentu saja mau," sahut Eva tanpa prasangka.
Dadang sudah pasrah. Tak ada jalan lain baginya. Hanya
tinggal ini satu-satunya. Mengaku.
Sebelum bicara Dadang mengelus perut Eva. Maafkan aku,
Anakku...
Tak lama kemudian dari dalam kamar terdengar teriakan,
lalu bunyi gedebak-gedebuk, ada yang mengaduh, disusul
raungan, tangisan, ratapan dan isakan. Kemudian sepi.
Setelah beberapa waktu pintu kamar terbuka, Dadang
keluar dengan satu tangan menenteng tas dan tangan lain
membawa bantal. Ia masuk ke kamar tamu. Saat lampu kamar
dinyalakan, tampak wajahnya berdarah. Ada guratan panjang di
pipinya. Kedua lengannya pun sama. Ia mengeringkan darah
dengan tisu. Tapi di laci meja dan di kamar mandi kamar tamu
itu tidak ada obat merah. Jadi ia biarkan saja. Tidak ada sakit
atau perih yang terasa. Yang sakit adalah hatinya.
Ia merebahkan tubuhnya di atas kasur yang tak ada
seprainya. Tadi Eva mengamuk, memukuli dan mencakarnya. la
pasrah saja. Sampai badai berhenti sendiri. Lalu Eva
mengusirnya keluar dari kamar.
Sekarang semua sudah tahu. Tak ada lagi yang diharapkannya kecuali Eva bisa mengatasinya dengan baik dan
tidak sampai mencederai kondisi fisiknya. Memang tak
mungkin lagi menunggu sampai Eva melahirkan. Situasi sudah
terasa kritis. Dengan mengetahui masalahnya Eva bisa menjaga
diri dengan lebih baik.485
Di kamar tamu tidak ada lampu duduk yang kecil. Yang
ada hanya lampu plafon yang terang. Jadi setelah lampu
dimatikan ruangan gelap gulita. Ia tidak biasa dengan keadaan
itu, tapi saat itu apa pun bukan masalah. Ia berbaring dalam
gelap.
Menjelang tengah malam ia masih bclum bisa tidur. Lalu ia
melihat pintu kamarnya terbuka perlahan-lahan. Matanya
terbuka lebar, siaga penuh. Pikirannya segera tertuju kepada
Kurnia. Ia akan melawan lelaki itu dengan segala daya yang
dimilikinya. Ia sudah siap melompat.
Tiba-tiba lampu menyala. Ruangan menjadi terang. Ia
segera duduk.
Di sana berdiri Eva, satu tangan memegang kapas, satunya
lagi botol obat merah. Di wajahnya tak ada lagi kegarangan
yang tadi diperlihatkan.
Saat itu juga Dadang segera tahu, ia masih punya harapan.486
21 EVI sudah menyiapkan sebuah kulkas kecil di kamarnya, kamar
tamu yang sekarang ditempatinya. Kulkas itu ada kuncinya dan
selalu ia kunci, lalu kuncinya ia simpan di atas lemari. Dengan
demikian ia tidak perlu mengambil minuman di luar, biarpun
itu dari dapurnya sendiri. Ia merasa perlu berjaga-jaga.
Setiap pergi kamar itu pun ia kunci. Sedang kamar utama
yang tadinya ia tempati berdua dengan Kurnia ia biarkan,
terserah pada Kurnia mau dikunci atau tidak kalau ditinggalkan.
"Kau nggak bermaksud tidur di situ untuk selamanya,
kan?" tanya Kurnia.
"Tentu saja nggak. Aku lagi butuh sendiri. Berdua
membuat pengap."
Kurnia tertawa.
"Ya, ya. Aku ngerli. Orang hamil katanya memang suka
aneh-aneh."
Evi tersenyum. Baguslah kalau kau berpikir begitu.
"Kan tempo hari dokter juga bilang, harus nurutin saja
semua kemauan ibu hamil, biar aneh kayak apa. Yah, kalau
cuma segini sih kecil."
Kurnia merasa lebih yakin setelah kunjungan ke dokter


Dua Menantu Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang menyatakan Evi positif hamil. Lalu ia bertanya apakah
wajar kalau perempuan hamil suka berbuat yang tidak biasa.487
"Mungkin anakmu juga aneh."
Kurnia tertawa.
Mungkin juga dia sayang sama anak ini. Kalau begitu,
sementara ini pastinya aku aman. Ya, selama sembilan bulan
mengandung. Tapi mana mungkin kubiarkan dia enak-enakan begitu
saja? Aku cuma perlu waktu untuk mencari yangpaling baik
"Oh ya, Vi. Aku sudah mendapat asisten, orang pabrik
juga. Pendeknya cekatanlah. Rajin dan giat belajar. Jadi aku
baiknya sesekali datang ke kantor untuk belajar juga, ya?"
Evi tertegun. Kurnia sangat gesit. Benar-benar tak mau
membuang waktu.
"Terserah."
"Dengan demikian bebanmu menjadi lebih ringan. Kalau
ada apa-apa, jadi gampang."
Apa maksudmu dengan "kalau ada apa-apa"?
Tentu saja Evi tak bisa menyuarakan pertanyaan itu.
"Jadi kapan aku bisa mulai?"
"Terserah."
"Besok?"
"Oke. Besok kau diam di kantor. Kau bisa belajar dari
sekretaris. Dia pintar. Aku juga banyak belajar dari dia."
Giliran Kurnia tertegun. Tak menyangka Evi bisa memberi
jalan secepat itu. Ia senang sekali.
"Jadi besok aku mau ngajak Eva ke rumah Mama."
"Wah... aku ingin juga ikut."
"Ngapain? Aku sama Eva mau bagi-bagi barang. Mana
buat dia dan mana buat aku. Bukankah kau mau belajar di
kantor?"488
Kurnia tersipu. "Ya, ya. Soalnya aku kebiasaan ingin
mendampingimu terus."
Bukan mendampingi, tapi memata-matai...
"Saat istirahat siang, aku nyusul ke sana, ya?"
"Terserah."
"Dari tadi rasanya sudah tiga kali kudengar kau
mengucapkan kata itu. Terserah terus."
"Habis aku mesti bilang apa?"
"Ya, ya. Sudah, nggak apa-apa. Memang itu lebih baik
daripada melarang."
Kurnia menganggap wajar saja kalau sesekali Evi bersikap
judes. Dulu-dulu juga begitu. Jadi sebenarnya tak ada yang
perlu dicurigai.
Esoknya, Evi mengemudikan mobiinya menuju rumah Eva
untuk menjemputnya. Mereka sudah janjian terlebih dulu. Ada
rasa kangen. Sejak kematian Ratna, mereka belum bertemu lagi.
Tapi ia juga merasa tegang dan cemas. Bagaimana reaksi
Eva kalau diberitahu? Ia akan mengambil risiko itu karena Eva
harus tahu. Ia tidak percaya kalau Dadang mau memberitahu
sendiri. Lelaki cengeng itu lebih suka menangis sendiri.
Setelah bertemu, mereka berdua berpelukan dan saling
mencium pipi.
"Hei, perutmu tambah besar, ya." Evi meraba perut Eva.
"Ah, ini masih kecil kok. Kau juga nanti sama lho."
Eva menatap perut Evi yang masih rata. Keduanya tertawa.
"Dadang sudah ke apotek?"
"Oh iya. Pagi-pagi sudah pergi."489
Eva membayangkan muka Dadang yang baret panjang dan
masih merah karena dibubuhi Betadine. Untung Evi tidak
melihatnya.
"Kurnia nggak ikut, kan?" tanya Eva, melongok ke luar.
Siapa tahu lelaki itu ikut-ikutan.
"Tadinya dia pengin ikut. Entah apa yang dia mau lihat di
sana. Tapi sekarang dia di kantor."
"Di kantor?" Eva terkejut. "Ngapain dia di sana? Bukan di
pabrik?"
"Dia pengin di sana."
"Wah..."
Eva cemas oleh perkembangan itu. Jadi Kurnia sudah
merambah ke kantor? Bukankah itu memang keinginannya,
seperti yang dikatakan oleh Dadang? Tapi mustahil Evi tidak
menyangka ke situ. Evi sudah tahu perihal perbuatan Kurnia
dan Dadang, seperti laporan Dadang juga.
Tapi Eva menahan diri. Ia sudah menduga Evi pastinya
akan bercerita perihal masalah itu kepadanya, tapi ia menunggu
sampai mereka tiba di rumah Ratna. Di sana lebih leluasa. Tak
ada orang yang bisa mendengarkan. Ia akan memberi
kesempatan kepada Evi untuk bercerita lebih dulu.
Mereka berangkat dan berbincang dalam perjalanan.
"Tadi kau kelihatan kaget waktu kubilang Kurnia ada di
kantor."
"Ya. Emangnya kau mau jadikan dia apa? Katanya pengin
jadi kepala pabrik."
"Itu dulu. Setelah Mama nggak ada, dia pengin di kantor.
Alasannya nemenin aku, kalau nanti aku cuti hamil, dia sudah
bisa."490
Eva geleng-geleng kepala.
"Kenapa kepalamu?" tanya Evi.
"Dia ambisius."
"Memang."
"Akalnya juga banyak."
"Kata siapa? Kok kamu pintar menilai sekarang."
Eva tidak menjawab. Ia tak mau mengatakan bahwa
Dadanglah yang bercerita kepadanya. Itu bisa disimpan sampai
nanti.
Evi pun tidak menuntut jawaban, karena mereka sudah tiba
di rumah Ratna.
"Oh, digembok sekarang, ya?"
"Ya. Aku yang gembok. Takut ada maling."
Malingnya adalah Kurnia.
"Kita nggak boleh terlalu yakin kalau soal keamanan ya,
Vi? Dari dulu sejak tinggal di sini, selalu aman saja."
"Benar. Kita nggak boleh terlalu yakin, baik sama situasi
maupun sama manusia."
Eva mengamati wajah Evi. Ia merasa iba. Dulu mereka
berdua pernah memperebutkan Kurnia, tapi ia mengalah. Evi
yang berhasil mendapatkan Kurnia. Tapi sekarang ternyata
Dadang masih lebih baik dibanding Kurnia.
Setelah mobil masuk halaman, Evi kembali menggembok
pintu gerbang. Ia tidak ingin Kurnia tiba-tiba datang, lalu
masuk diam-diam tanpa ketahuan.
Sama seperti saat ia memasuki rumah itu, udara pengap dari
dalam rumah menyerbu keluar begitu pintu dibuka. Eva pun
membuka beberapa jendela, baru kemudian menutupnya lagi491
setelah AC dinyalakan. Dengan demikian udara lama berganti
dengan udara yang baru.
Sampai di dalam, tanpa basa-basi Evi langsung masuk
kamar Ratna. Eva menyusulnya.
Evi menuju meja tulis, melongok ke kolong meja. Eva
mengamati saja dengan keheranan.
"Di sini ada tempat rahasia. Mama menyimpan sesuatu
yang kutemukan. Cuma aku yang tahu tempat ini.
Lalu Evi mengeluarkan perekam itu. Ia mengajak Eva
duduk di lantai di sebelahnya.
"Kau harus tabah, Va. Ini adalah kebenaran yang kita harus
hadapi."
Sebelum Eva bicara, Evi sudah membunyikan perekam itu.
Terdengar suara Dadang yang sember. Sementara itu Evi duduk
lebih merapat dan merangkul Eva erat-erat. Perekam ia taruh di
lantai di hadapan mereka.
Eva memejamkan mata. Meskipun sudah tahu, tak urung ia
tergetar juga. Suara Dadang itu bukanlah kepura-puraan.
Bagaimana ia memohon supaya jangan dirinya jangan
diberitahu dulu sampai bayinya lahir karena takut terjadi
sesuatu.
Tapi Eva tidak menangis lagi. Baginya badai itu sudah
lewat.
Rekaman selesai. Evi mengamati Eva yang masih tetap
diam menutup mata. Ia heran kenapa Eva tak bereaksi, padahal
ia sudah siap menolong.
Lalu Eva membuka mata. Mereka saling memandang.
"Vi, aku sudah tahu," kata Eva. "Maaf, aku baru ngomong
sekarang. Aku menunggu dulu apa yang kau temukan. Ya, dia
sudah mengatakan semuanya."492
"Oh..." Evi terperangah. "Lalu apa yang terjadi?"
"Aku mengamuk, memukul, dan mencakarinya. Sampai
berdarah-darah."
"Lalu?"
"Sudah selesai sekarang."
"Apa maksudmu dengan selesai?"
"Dia kumaafkan."
"Apa?"
"Dia sudah bertobat, Vi. Dia menyesal. Kalau tidak, masa
dia mengaku. Dan kalau dia tidak mengaku, kita juga nggak
tahu tentang si Kurnia."
"Enak bener dia. Bisa lepas begitu saja."
"Dia sudah menderita batin. Tuhan saja mengampuni
orang yang bersalah."
Evi termenung sejenak.
"Tapi aku tidak akan mengampuni Kurnia."
"Tentu saja, karena dia nggak pernah menyesal. Dia juga
nggak minta ampun. Bahkan dia mengancam Dadang kalau
berani mengaku, maka dia akan mencelakakan aku. Dadang
yang mengatakannya. Ancaman itu dilontarkannya saat kita
sibuk mengurus jenazah Mama."
"Aduh, jahanam sekali dia..."
"Jangan-jangan Mama dibunuh olehnya, Vi."
"Ya, aku pikir juga begitu."
"Duh, Vi..."
Mereka berpelukan dan bertangisan. Belum pernah seumur
hidup mereka merasa begitu dekat satu sama lain.493
"Kau harus hati-hati, Vi. Dia berbahaya sekali. Kalau aku
sama Dadang sudah terbuka satu sama lain. Nggak ada lagi
yang disembunyikan. Tapi Kurnia masih pura-pura di
depanmu. Sekarang bagaimana kau menghadapinya?"
Evi bercerita tentang upayanya yang sulit.
"Sekarang aku berhasil pindah kamar. Dia tampak tidak
keberatan. Untung lagi hamil, jadi dia pikir kehamilan itu yang
membuat aku berubah. Mana mungkin aku seranjang dengan
dia? Bagaimana kalau aku dibunuh dalam tidur?"
"Apa dia tega membunuhmu dalam keadaan hamil? Berarti
anaknya juga ikut dibunuh..."
"Aku juga nggak yakin. Mungkin dia memberiku waktu
sampai saat melahirkan. Tapi aku nggak mau menunggu begitu
lama."
"Lantas tindakanmu apa?"
"Kalau terpaksa kulaporkan dia. Bukti sudah ada."
Evi menunjuk rekaman. Tapi perasaan Eva menjadi
trenyuh. Kalau dilaporkan berarti Dadang ikut terseret. Dadang
sudah mengatakan ia rela dipenjara. Tapi dirinyalah yang tidak
rela!
"Aku juga nggak rela membiarkan perusahaan kita
dirampas olehnya. Apa kau rela, Va?"
Eva menggeleng. Tentu saja ia tidak rela. Perusahaan itu
milik keluarga mereka.
"Apa aku boleh cerita sama Dadang tentang pembicaraan
kita ini?" tanya Eva.
"Tentu saja boleh. Mungkin dia bisa diajak membantu
kita."
"Pasti dia mau."494
"Nanti aku pikirkan dulu gimana cara menghadapinya.
Sekarang dia menyerbu masuk ke kantor. Sepertinya gerak
kilat."
"Wah, hati-hati, Vi."
"Tapi nggak segampang itu merebut perusahaan, Va. Kalau
cuma mengelola nggak berarti jadi pemilik. Semua surat dan
dokumen sudah kusimpan di tempat rahasia." Evi berbisik di
telinga Eva. Padahal ia tidak perlu berbisik karena di rumah itu
mereka cuma berdua.
Eva mengangguk. "Ya, bagus sekali. Dia nggak tahu
bahwa kita tahu. Tapi jangan hilang kewaspadaan, Vi. Dia
pintar meracuni orang."
"Aku tahu."
Eva memeluk Evi lagi. "Duh, Vi, aku bisa memahami
betapa sulitnya keadaanmu. Kalau saja kita bisa mengusir orang
itu. Okelah kalau kita nggak menuntut, tapi dia harus pergi."
Evi menggeleng. "Itu tidak mungkin, Va. Dia meninggalkan anak. Dan dia selalu bisa kembali untuk membalas
dendam. Ah, itu lebih mengerikan."
"Kita harus sering berhubungan, Vi. Tiap hari kontak, ya?"
"Tentu."
Evi akan mengembalikan lagi perekam ke bawah meja.
"Apakah aman di situ. Vi? Aku takut dia bisa menemukannya."
"Oh ya, aku ngeri juga sih. Bagaimana kalau kau simpan di
rumahmu saja? Tapi jangan bilang-bilang Dadang."
"Baik. Aku akan hati-hati menyimpannya."
Mereka keluar dari rumah itu.495
Setelah mengantarkan Eva ke rumahnya, Evi tidak segera
kembali ke kantor. Ia pulang dulu ke rumahnya.
Pembantunya melapor, "Tadi Bapak barusan pulang.
Makan siang di rumah. Ibu mau makan juga?"
"Ya. Siapin aja."
Evi bergegas ke kamarnya. Kenapa Kurnia makan siang di
rumah padahal biasanya tidak? Tidak mungkin Kurnia pulang
hanya untuk makan siang. Jadi Kurnia tidak bermaksud
menyusul ke rumah Ratna, melainkan pulang ke rumah.
Sebelum membuka kunci pintu kamarnya, Eva memeriksanya dulu. Tampaknya tak ada kelainan. Tapi kunci
pintu itu merupakan kunci lama, seperti semua kunci di rumah
itu. Tak berubah sejak mereka menempatinya. Mungkin saja
Kurnia juga memiliki kuncinya.
Yang pertama ia lakukan setelah masuk kamar adalah
memeriksa kulkasnya. Ia selalu mengunci kulkas itu dan
meletakkan kuncinya di atas lemari pakaian. Kulkas masih
terkunci dan kuncinya ada di tempat semula. Tapi sebelum
pergi tadi ia menjepit sehelai benang putih pada pintu. Kulkas
yang berwarna putih menyamarkan keberadaan benang itu.
Kalau kulkas dibuka, benang itu pasti jatuh.
Sekarang benang itu tak ada di tempatnya! Ia


Dua Menantu Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menemukannya di lantai, di bawah pintu.
Apakah itu berarti ada yang membuka?
Cepat-cepat ia membuka pintu kulkas. Tak banyak isinya.
Hanya ada tiga botol Aqua besar, dua masih utuh dan satu lagi
tinggal setengah, satu gelas minum yang masih berisi setengah
air putih, dua kaleng jus jeruk, satu kotak besar jus jambu. Ia
memang tak mau banyak-banyak mengisi.496
Ia termangu memandangi isi kulkas. Ia tidak berani
meminumnya. Baik yang ada di gelas, maupun membuka yang
masih baru.
Ia keluar untuk makan siang karena sudah lapar. Ia
mengambil air putih yang ada di teko, minuman milik
pembantu. Tidak dingin tapi aman.
Sesudah makan ia membuka pintu kamar utama yang
sekarang ditempati Kurnia. Pintu tidak dikunci. Biasanya dialah
yang suka mengunci pintu kamar. Mungkin Kurnia malas atau
merasa tak menyimpan barang berharga. Ia memandang
berkeliling. Kamarnya cukup rapi. Entah Kurnia yang
merapikan sendiri atau pembantu yang melakukannya.
Evi tidak berminat memeriksa isi kamar. Ia langsung
menuju ke kulkas. Di situ kulkasnya lebih besar. Tidak ada
kuncinya.
Sebelum membukanya ia memeriksa dulu. Apakah ada
tandanya seperti yang ia lakukan pada kulkasnya sendiri? Tapi
tidak ada apa-apa. Tentu Kurnia tidak punya alasan untuk
mencurigai orang yang membuka kulkasnya.
Isinya sebagian adalah sisa yang dulu ia tinggalkan, berupa
beberapa kaleng dan botol minuman. Sekarang ada tambahan
kue-kue. Di antaranya ada yang sama dengan isi kulkasnya
sendiri, yaitu botol Aqua besar sebanyak dua buah yang masih
utuh, satu kaleng jus jeruk, dan satu kotak besar jus jambu.
Memang jus jambu merupakan kesukaan mereka bersama.
Ia berpikir dan kemudian mendapat ide.
Sebelum pergi ia berpesan kepada pembantunya supaya
tidak memberitahu Kurnia bahwa ia pulang ke rumah untuk
makan siang. Kalau ditanya, bilang saja tidak datang. Pembantu497
setuju saja karena permintaan itu bukan masalah besar. Majikan
pulang untuk makan, bukan untuk selingkuh.
Di kantor, Kurnia menyambut dengan wajah gembira.
"Kau sudah makan?"
"Sudah. Kau?"
"Sama. Gimana tadi sama Eva. Udah bagi-baginya?"
"Kami baru mendata saja. Pakaian Mama mau dibagi dua.
Aku akan memakainya mumpung masih langsing. Eva juga
mau, tapi akan menyimpannya dulu. Baju Mama itu bagusbagus, modelnya klasik, cocok untuk tua dan muda. Perhiasan
dibawa Eva."
"Ha? Kok nggak dibagi dua?" Kurnia tampak tidak senang.
"Iya, baginya nanti. Sekarang disimpan Eva dulu. Kau
sendiri pernah bilang, di sana bisa kemasukan maling. Jadi
barang berharga dibawa dulu."
"Nggak takut nanti diambil Eva?"
"Nggaklah. Aku dan Eva saling percaya."
"Kenapa bukan kau saja yang bawa? Kan sama juga."
Kurnia tampak cerewet mengenai masalah itu.
"Dia kan mau langsung pulang ke rumah. Sementara aku
ke kantor. Masa bawa-bawa emas berlian ke sini? Dicuri atau
dirampas orang kan sayang."
Sengaja Evi menyebut emas-berlian seolah perhiasan
ibunya banyak sekali. Padahal tidak seperti itu.
"Aneh juga kenapa Mama menyimpan barang berharga di
rumah," kata Kurnia sambil mengingat-ingat. Rasanya waktu
menggeledah kamar Ratna ia tidak menemukan tempat
perhiasan. Atau adanya di tempat tersembunyi? Sementara
waktu mereka melakukan pemeriksaan, tak ada perhiasan yang498
disebut-sebut. Ia memang tidak melihat pemeriksaan yang
dilakukan Eva dan Evi.
"Ya. Mama selalu merasa aman."
Kurnia tidak mengomentari ucapan Evi yang nadanya
seperti keluhan itu.
"Bagaimana belajarnya?" tanya Evi.
"Wah, banyak yang kuperoleh. Sekretaris itu seperti isi
komputer saja. Tadi aku kenalan dengan semua karyawan.
Banyak yang belum mengenalku. Yang penting adalah para
kepala bagian. Bawahannya tinggal ikut saja."
Evi merasa muak mendengarnya. Kurnia terdengar
sombong. Bagi pendengaran Evi, kata-kata Kurnia itu
mengesankan ialah yang memiliki perusahaan itu. Mungkin
nanti ia perlu menginstruksikan kepada para stafnya bahwa
hanya dirinyalah yang berhak mengambil keputusan, apa pun
itu. Sebenarnya hal itu tak beda dengan ketika ibunya masih
ada. Dirinya hanya wakil dan asisten. Yang berkuasa adalah
ibunya.
"Nanti kau mau ikut nengok Frans?" ajak Kurnia.
Evi berpikir. Tak ada salahnya kalau ia ikut. Kurnia tidak
mungkin berbuat jahat di dalam mobil atau di rumah sakit.
"Oke. Kelihatannya kau perhatian banget sama dia, ya?"
"Bukan perhatian, tapi ingin tahu saja."
"Ingin tahu gimana?" tanya Evi heran.
"Apa dia sudah sadar aiau belum. Dan yang penting, mau
memberi pesan padanya kalau dia masih koma."
"Pesan apa? Mana mungkin orang koma bisa mendengar?"
"Yang dengar bukan orangnya, tapi rohnya."
"Wah..."499
Evi geleng-geleng kepala. Rupanya cerita Aditya itu
berkesan bagi Kurnia.
"Kau belum jawab, pesan apa?"
"Supaya dia nggak melupakan pengalamannya sebagai roh
bila sadar nanti. Jangan sampai seperti si Adit yang katanya
nggak ingat lagi."
"Bisa dimaklumi kalau dia nggak ingat. Kan otaknya
cedera, jadi memorinya rusak," sahut Evi ringan.
"Ah, masa begitu?"
"Nggak tahu sih, itu cuma teoriku."
"Makanya mau kupesankan berulang-ulang supaya bisa
tertanam lebih dalam. Si Adit pasti nggak ada yang ngomongin
begitu sewaktu sedang koma."
"Ya, terserah kau sajalah."
Tiba di rumah sakit mereka langsung menuju ruang tempat
Frans dirawat. Ternyata kondisi Frans masih sama. Di mata
Kurnia wajah Frans masih sama seperti saat pertama ia
melihatnya. Yang menarik perhatian Kurnia adalah tempat tidur
di sebelah Frans masih saja kosong. Belum ada pasien baru
masuk. Ia merasa geli ketika membayangkan, apakah tempat
tidur itu me-nunggu seseorang? Evi, misalnya. Tapi itu tak
mungkin, karena kamar itu untuk pasien lelaki. Mestinya tak
ada salahnya bila pasien koma disatukan saja, biarpun berbeda
jenis kelamin.
Evi tidak suka melihatnya. Ia teringat pada ayahnya dulu
yang terbaring seperti itu. Apalagi penyebabnya adalah orang di
depannya itu, yaitu Kurnia. Ia pergi ke luar kamar lalu menuju
taman. Ia duduk menunggu.
Kurnia lebih suka ditinggalkan sendiri. Apalagi saat itu tak
ada yang menunggui Frans. Ia pun mengoceh sambil sesekali500
menyentuh kepala Frans. Setelah merasa puas ia keluar mencari
Evi. Begitu melihat Kurnia, Evi segera bangkit lalu menyongsongnya. Ia tak ingin Kurnia ikut duduk di sampingnya.
"Nggak mau ngobrol dulu? Di situ adem."
"Pulang saja. Aku capek."
"Mau menyendiri lagi?"
"Iya. Mau nonton kartun."
"Kartun?"
"Punya DVD belum ditonton."
"Gede-gede masih nonton kartun?" Kurnia tertawa.
"Nggak apa-apa. Masih lebih baik daripada kecil-kecil
nonton pomo."
Kurnia terbahak. Ia berpikir, menyenangkan juga kalau Evi
bisa terus seperti itu dan mau menyerahkan perusahaannya
secara suka rela. Tapi tentu tidak mungkin.
"Ya. Enak juga nonton sambil minum-minum atau makan
camilan. Minumanmu masih ada?"
"Masih."
Bukankah kan sudah memeriksa isi kulkasku?
"Mau kacang?"
"Nggak. Paling minum saja."
"Ya. Banyak minum baik untuk bayimu."
Bayimu, katanya. Kenapa buhan bayi kita?
"Kalau kau mau kembali ke kamar kita, aku welcome lho.
Pintu nggak pernah dikunci. Biar tengah malam pun nggak
masalah."
"Beres."501
Aku tidak akan kembali.
Setelah berada sendirian di kamarnya, Evi serasa menghirup
kelegaan. Tak ada yang usil, tak ada yang mengamati. Sesaat ia
memandang ke atas, seputar kamar. Kalau-kalau Kurnia
memasang kamera tanpa sepengetahuannya. Tak ada apa-apa. Ia
cuma merasa paranoid.
Ia mengunci pintu kamar, Ialu memutar film Kungfu
Panda. Ia menontonnya di atas tempat tidur. Untuk sejenak ia
bisa melupakan kesedihannya. Ia malah bisa tertawa terbahakbahak. Kemudian tertidur setelah film-nya usai.
Entah berapa lama setelah tertidur ia terbangun oleh
gedoran keras di pintunya.
"Viiiii...! Viiiii...!"
Itu teriakan Kurnia. Ia terkejut dan merinding. Yang segera
terpikir adalah Kurnia bermaksud membunuhnya.
"Tooo...looong...! Tooo...looong...!"
Evi masih bisa berpikir logis. Kalau berniat jahat masa
minta tolong? Suara itu pun kedengaran tidak wajar. Semakin
lama semakin melemah.
Tapi ia belum berani membuka pintu. Ia meraih ponselnya
lalu menelepon Eva.
"Tolong, Va! Suruh Dadang ke rumahku. Kurnia nggak
beres..."
Kemudian ia membuka pintu. Lalu terkejut.
Kurnia tersungkur di depan pintu. Evi berteriak memanggil pembantunya.
Kedua pembantunya menggotong Kurnia untuk dibaringkan di ranjang Evi. Mata Kurnia tampak terbalik-balik,
mulutnya miring. Keluar desah-desah tak jelas.502
"Kenapa, Mas? Kenapa?"
Kurnia tidak menyahut. Mungkin memang tidak bisa.
Evi meraih lagi ponselnya. "Va, cepetan dong. Mana
Dadang?"
"Sedang di jalan, Vi. Aku juga ikut," sahut Eva.
Evi memerintahkan seorang pembantunya untuk menjaga
pintu gerbang, menunggu kedatangan Eva dan Dadang.
Pembantu satunya lagi menjaga Kurnia di samping tempat
tidur. Ia sendiri buru-buru mengganti pakaian, lalu menyiapkan
tas. Kemudian ia menghambur ke kamar Kurnia untuk
mengambil beberapa potong pakaian kalau-kalau Kurnia perlu
pakaian ganti.
Ketika masuk kamar Kurnia ia tertegun. Terpaku beberapa
saat lamanya. Di atas meja di samping tempat tidur terletak
kotak besar jus jambu, di sampingnya ada gelas berisi cairan jus
sebanyak setengahnya. Kurnia telah meminumnya.
Kotak jus itu semula berada di dalam kulkasnya! Ia telah
menukarnya dengan kotak jus yang berada di kulkas Kurnia!
Memang keduanya sama, masih baru belum dibuka. Dan
Kurnia tidak tahu hal itu!
Evi minta Kurnia dibawa ke Unit Gawat Darurat RS Mulia
Bakti, tempat yang sudah dikenalnya.
Dokter yang memeriksa untuk sementara menyimpulkan
Kurnia terkena stroke. Saat itu Kurnia dalam kondisi setengah
sadar. Ia meracau tak jelas dengan ucapan pelo, salah satu gejala
stroke.
Sementara dokter dan perawat memberikan pertolongan
pertama, Evi, Eva, dan Dadang menunggu di luar. Evi yang
masih gemetaran dipeluk erat-erat oleh Eva. Dadang pergi
mencari minuman untuk Evi.503
Setelah minum, Evi menjadi lebih tenang. Kemudian ia
bercerita dengan suara perlahan mengenai apa yang telah
terjadi.
"Aku menukar semua minuman yang sama dengan yang
ada di dalam kulkas Kurnia. Dua botol Aqua dengan dua botol
Aqua juga, lalu satu kotak jus jambu itu. Hanya itu yang bisa
ditukar karena yang lain jenisnya beda. Bisa ketahuan. Itu hanya
untuk pencegahan. Aku tetap tidak berani meminumnya
meskipun sudah ditukar. Lalu sebelum ke sini, aku lihat kotak
jus itu ada di meja, tersisa sedikit. Rupanya habis diminum
Kurnia. Jus itu seharusnya diminum olehku. Oh... dia benarbenar ingin membunuhku dan anakku, anaknya juga."
Evi tersedu-sedu. Persangkaannya salah. Biarpun sedang
mengandung anaknya, Kurnia tetap tega melakukan
pembunuhan terhadap Evi.
"Bersyukurlah, Vi. Kau sudah selamat," hibur Eva.
Dadang termangu-mangu. Ia tahu, Kurnia sudah memakan
racunnya sendiri.
Eva menyikut Dadang.
"Menurutmu, apa itu, Mas?"
"Dia pintar meracik racun hingga gejalanya tidak mirip
orang keracunan, tapi seperti terserang penyakit. Mungkin
racun ini berhasil menyumbat aliran darah ke otak hingga
menimbulkan serangan stroke."
"Tapi dia sempat ke kamarku dan menggedor pintu minta
tolong," kata Eva.
"Tentu dia segera merasakan efek tidak beres setelah
meminumnya. Ia tahu harus cepat mendapat pertolongan."
"Kalau aku yang kena, dia tentu tidak akan menolong,"
kata Evi sedih.504
"Sudahlah, Vi."
"Lantas aku harus bagaimana? Masa aku harus cerita sama
dokter soal itu?"
"Jangan," kata Dadang. "Dia terkena stroke, kan? Ya,
begitulah kesimpulannya. Nanti kau yang dituduh meracuni.
Padahal sebaliknya. Pulang nanti, buanglah sisa jus itu di tempat
yang aman, misalnya ke dalam lubang kloset. Apa pintu kamar
kaukunci sebelum pergi?"
"Ya."


Dua Menantu Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jadi untuk sementara aman. Biarkan dokter menolongnya. Kalau masih bisa ditolong."
Dadang tampak tenang. Eva menatapnya dengan heran.
Baru sekarang ia melihatnya kembali percaya diri.
Bertiga mereka menunggu sampai pagi. Sementara itu
kondisi Kurnia tidak menjadi lebih baik. Mulutnya masih
miring dan kesadarannya malah hilang. Menurut dokter, ia
harus segera menjalani CT Scan untuk melihat seberapa besar
kerusakan otaknya.
Pagi-pagi Siska datang setelah diberitahu Eva. Ia bisa
datang menjenguk sebelum berangkat kerja. Sesudah itu ia
memberitahu Aditya dan Irawan yang berjanji akan segera
datang begitu ada kesempatan.
Evi menelepon sekretaris dan Dadang menelepon apoteker.
Untuk sementara permasalahan bisa diatasi. Aditya dan Irawan
datang ke kantor sebentar, membagi pekerjaan kepada
karyawan, lalu berpesan agar menelepon mereka kalau ada hal
penting. Begitulah para bos mengatur pekerjaan mereka dengan
lebih mudah dibanding bila merekalah yang karyawan.
Selanjutnya mereka bisa fokus pada Kurnia. Sambil
menunggu, mereka berlima berkumpul dan berbincang. Semula505
Dadang agak menjauh, merasa kurang nyaman, tapi Eva
menariknya supaya ikut serta. Evi tidak keberatan menceritakan
apa yang telah terjadi kepada Aditya dan Irawan, karena mereka
sudah menjadi bagian dari permasalahan.
Hasil CT Sean tidak menggembirakan. Kerusakan otak
Kurnia cukup parah, padahal dia boleh dibilang cepat mendapat
pertolongan. Kurnia dinyatakan dalam keadaan koma, tapi
kondisinya cukup stabil. Kemudian ia dibawa ke ruang
perawatan.
Siska memberi kamar di mana Frans dirawat. Hanya itu
satu-satunya ranjang yang kosong.
"Kemarin sore kami baru saja ke sini, menjenguk Frans.
Dia ngomong soal ranjang kosong itu. Kok sepertinya
diperuntukkan baginya," kata Evi.
"Bukankah Kurnia dan Frans berteman? Sekarang pun
berteman," bisik Siska.
Siska membayangkan roh keduanya berbincang membicarakan nasib yang menimpa mereka.
Aditya menatap dua sosok yang terbaring tidak bergerak.
Frans dan Kurnia. Dulu dia seperti itu. Rasa syukur kembali
melimpah ruah menerjangnya. Ia bisa memaklumi kenapa Eva
memaafkan dan menerima Dadang kembali. Seperti Siska yang
memaafkan Frans.
Evi bertekad tidak akan menyesali apa yang telah terjadi.
Jalan hidupnya masih panjang. Ada calon bayi pula di dalam
rahimnya. Aku masih punya seseorang yang bisa kusayangi. Aku
akan mendidiknu supaya kau tidak menjadi seperti ayahmu.
Eva dan Dadang merasa lebih dekat satu sama lain. Nasib
Kurnia merupakan pelajaran yang sangat berharga. Tidak ada506
orang yang berhak atau mampu mengubah jalan hidup orang
lain sesuai kemauannya.
Irawan berbisik kepada Siska, "Aku ingin melamar
secepat mungkin, Sis. Kita harus segera menikah."
"Kenapa?"
"Aku takut kehilangan semua yang sudah ada dalam
genggamanku. Jadi kita tidak boleh menyia nyiakan
kesempatan yang sudah diberikan Tuhan."
Siska tersenyum. Ia mengerti maksud Irawan, bahwa
kebahagiaan di hari ini belum tentu akan tetap menjadi
kebahagiaan di hari esok.
507 Dewa Linglung 5 Munculnya Pedang Mustika Naga Merah Mengejutkan Kawan Kawannya Einstein Anderson Karya Seymour Simon Girl Talk 10 Jatuh Cinta

Cari Blog Ini