Ceritasilat Novel Online

Misteri Dua Cinta 1

Misteri Dua Cinta Dalam Satu Karya V Lestari Bagian 1


V. LESTARI
MISTERI
DUA CINTA
DI DALAM SATU
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Jakarta, 2010v
MISTERI DUA CINTA DI DALAM SATU
oleh V. Lestari
GM 401 01 100051
? Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama,
Jl. Palmerah Barat 29-37
Blok I, Lt. 4-5
Jakarta 10270
Desain & Ilustrasi cover oleh Iwan Mangopang
Diterbitkan pertama kali oleh
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama,
anggota IKAPI,
Jakarta, November 2010
390 hlm.; 18 cm.
ISBN: 978 - 979 - 22 -6384 - 8
Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta
Isi di luar tanggung jawab Percetakanvi
Teruntuk
Ikka Vertikavii
- Cerita ini fiktif, tak ada sangkut pautnya dengan siapa
pun serta kejadian mana pun
- Bila ada kesamaan nama orang, tempat, maupun
penggalan cerita, itu hanya kebetulan belaka.1
HARI Minggu. Suasana di rumah duka, pukul sembilan
pagi.
Di bagian belakang tengah ruangan terletak sebuah peti
mati berukir berwarna hitam mengilap dalam keadaan
terbuka. Di dalamnya terbaring sesosok jasad lelaki
berpakaian jas lengkap warna hitam dengan dasi merah.
Perpaduan yang serasi dengan warna peti. Wajahnya tidak
tampak jelas karena ditutupi kain renda putih, tetapi
wajahnya bisa dilihat pada foto yang diberdirikan di atas
meja depan peti. Wajah lelaki muda yang tampan, dengan
ekspresi humoris karena sorot matanya yang kocak dan
bibirnya yang menyunggingkan senyum. Di kiri-kanan foto
ada karangan bunga anggrek, dan di depannya ada lilin
menyala.
Susan, ibu almarhum, berdiri di samping peti di sisi
kepala. Tatapannya tertuju ke arah wajah almarhum.
Beberapa kali tangannya terulur untuk menarik kain renda
yang menutupi wajah, tetapi ditarik lagi. Mengapa sih mesti
ditutupi? Kalau dibiarkan terbuka aku kan bisa leluasa
memandangi wajahnya tanpa harus sebentar-sebentar
buka-tutup? Kelihatannya pelayat pun ingin melihat wajah
Arie, tetapi segan membuka tutupnya. Mungkin mereka
berpikir wajah Arie rusak sampai harus disembunyikan,
padahal wajah Arie mulus-mulus saja, yang benjol besar
hanya di bagian belakang kepalanya. Itu adalah kemauan
Erwina, istri Arie. Aku tak ingin membuat dia tambah sedih
dengan menentang kemauannya. Mungkin dia tidak tahan
memandangi wajah Arie. Beda dengan aku, yang justru9
ingin terus memandanginya. Selagi masih bisa. Kalau peti
sudah ditutup, kemudian berkalang tanah, mana bisa?
Susan menyeka matanya. Kesedihan serasa menikam
jantungnya. Ia menekan dadanya, dan terkejut oleh sentuhan
di lengannya. Katrin, ibu Erwina, berada di sampingnya.
"Ayolah, Sus! Jangan sedih terus! Sudahlah! Yuk, kita
duduk!"
Katrin merangkul bahu besannya, yang juga sahabat
karibnya. Ia setengah menarik tubuh Susan, tetapi Susan
melawan tarikannya dengan berpegang pada pinggir peti.
"Sebentar lagi. Sini, temani aku, Kat!" bujuk Susan.
Katrin memenuhi permintaannya. Ia mengetatkan
rangkulan, dan melirik wajah Susan yang kemerahan.
Kasihan! Belum setahun dia kehilangan Alex, kembaran
Arie, sekarang kehilangan lagi. Dua-duanya pergi, padahal
si kembar adalah kesayangannya dan kebanggaannya.
"Ingat, Sus, kau masih punya Dian dan David! Juga dua
anak mereka yang lucu."
"Ya... ya... ya."
Sahutan bernada bosan itu membungkam mulut Katrin.
Kata-kata seperti itu sudah terlalu sering diucapkan. Dian
adalah putri Susan dan adik si kembar, sedangkan David
adalah suami Dian. Tatapan Katrin kemudian dialihkan ke
wajah almarhum, lalu dia tersentak. Tubuhnya menegang.
Pegangannya ke bahu Susan jadi cengkeraman. Susan ikut
terkejut.
"Ada apa, Kat? Ada apa?" tanya Susan panik.
"Kau nggak lihat tadi?"
"Lihat? Lihat apa?"
"Ituuu...."
Tangan Katrin menunjuk kain renda.
"Apa? Ada apa?" Susan memelototkan mata ke arah
yang ditunjuk.
"Ah, sekarang nggak lagi."10
Cengkeraman Katrin ke bahu Susan mengendur, tetapi
tatapannya masih fokus ke arah semula.
"Ada apa sih?" Susan menatap Katrin penasaran.
Katrin mengarahkan pandangnya dulu ke seputar
mangan sebelum menjawab. Ia merasa kurang nyaman
ketika menyadari pandang sejumlah orang tertuju
kepadanya. Mungkin mereka heran melihat sikapnya tadi
bahkan Erwina, putrinya, mengerutkan kening.
"Hei, Kat," Susan menyikut Katrin. "Kau belum
menjawab."
Dari sudut mata Katrin melihat Erwina berdiri, lalu
melangkah ke arahnya.
Katrin buru-buru mendekatkan mulutnya ke telinga
Susan, lalu berbisik, "Aku... aku melihat kain itu bergetar!"
Meskipun sudah menjaga emosinya, tetap saja suara Katrin
memancarkan sensasi.
"Ha? Bergetar? Apa ya? Aku kok nggak lihat!"
Susan memelototkan matanya ke arah yang di-tunjuk
Katrin, lalu menggeleng.
"Tadi sih ya. Sekarang sudah nggak. Mungkin salah
lihat. Atau tertiup angin, kali," jelas Katrin, dengan perasaan
tak nyaman.
"Angin dari mana? Nggak ada jendela, nggak ada kipas
angin," Susan penasaran.
"Sudahlah. Mataku yang..."
Katrin tak menyelesaikan bicaranya karena Erwina
sudah berada di sisinya.
"Ma! Ada apa sih?" tanya Erwina, berusaha
menghindari tatapan ke arah jenazah.
"Nggak ada apa-apa, Sayang," sahut Katrin.
Erwina tidak percaya. "Betul begitu, Ma?" Ia bertanya
dengan menjawil lengan Susan.
Susan tidak menjawab bahkan menoleh kepada
menantunya pun tidak. Perhatiannya masih fokus kepada11
kain renda penutup wajah Arie. Ia penasaran. Dia yang
sedari tadi mengamati malah tidak melihat apa-apa.
"Benar, Win. Nggak ada apa-apa," sahut Katrin.
"Pergilah sana! Temani tamu!"
"Mama Susan kenapa?" Erwina menatap ibu mertuanya
dengan risau. Susan seperti mematung kena pesona.
"Dia nggak apa-apa. Sudahlah! Temani Benny! Nanti
dia ikut-ikutan ke sini. Orang lain juga."
"Baiklah. Mama temani Mama Susan, ya!"
"Ya, ya. Pergilah!"
Katrin mengamati putrinya sejenak. Erwina duduk di
samping Benny, sahabat Arie. Ia bersyukur bahwa Erwina
bisa menerima musibah itu dengan tabah. Sikapnya sudah
tenang dan terkendali. Jauh berbeda dibanding Susan, yang
sempat pingsan beberapa kali.
"Kalau mati karena penyakit masih bisa kuterima
dengan pasrah, tetapi dibunuh?!" seru Susan berulang kali.
Sulit mencari kata-kata untuk menghiburnya.
Sekarang, Susan seolah-olah akan kumat. Katrin
menyesal telah mengungkapkan apa yang dilihatnya tadi,
tetapi dorongan sensasinya terlalu besar. Sebenar-nya, ia
yakin apa yang dilihatnya tadi.
Ia memeluk Susan. "Sus, ayo kita duduk! Nanti ada
tamu lagi. Sebentar akan ada misa. Kita harus siap-siap."
Susan baru tersadar. "Aku ingin bisa melihat apa yang
kamu lihat, Kat. Masa cuma kamu?!"
"Sudah kukatakan, mungkin tadi aku salah lihat."
Kedua perempuan setengah baya itu beranjak dari
samping peti dengan bergandengan. Mereka duduk di dekat
peti. Belum ada tamu baru yang datang, dan yang hadir pun
belum banyak. Mereka akan mengikuti misa sekitar satu jam
lagi. Setelah itu, akan dilanjutkan dengan acara penutupan
peti. Siang harinya, jenazah akan dimakamkan.
Sebenarnya, Susan berharap Erwina lebih banyak
mendampinginya. Menantu kan tak beda dengan anak.12
Sayangnya, Erwina sejak tadi lebih banyak berada di sisi
Benny. Mungkin dia iri. Erwina juga perlu dihibur, bukan
cuma menghibur. Benny sahabat Arie dan Alex sejak kecil.
Mereka sering main bertiga.
Dian dan keluarganya belum datang. Pasti sibuk
mempersiapkan anak-anak. Kedua cucu lelakinya yang
masih balita nakal-nakal. Sulit disuruh diam.
Jenazah Arie baru disemayamkan di situ sekitar pukul
tujuh pagi tadi. Dari RSCM langsung dibawa ke rumah
duka. Tadinya mau diautopsi, tetapi mereka sekeluarga
menolak keras. Terutama Erwina. Sudah jelas Arie dibunuh.
Mau cari penyebab apa lagi? Kasihan membiarkan tubuh
Arie disayat-sayat, lalu diambili organ-organnya.
Erwina melayangkan pandang ke arah ibu mertua dan
ibunya, lalu tersenyum memberi semangat. Kedua
perempuan setengah baya itu membalas senyum. Katrin
merasakan kepedihan yang menyayat. Mengapa anak
semata wayangnya harus mengalami nasib demikian
malangnya? Masih muda, baru tiga puluhan, empat tahun
menikah dengan Arie, belum punya anak, tiba-tiba menjadi
janda. Tentu kepedihan itu tak seberapa dibandingkan apa
yang dirasakan sahabatnya, yang harus kehilangan untuk
selamanya. Namun, pada saat seperti itu kepedihan diri
sendiri tetap terasa paling dalam. Susan masih punya anak
lain, menantu dan cucu-cucu. Dia tak punya.
Susan mengamati menantunya. Tidak terang-terangan
karena tempat duduk mereka berseberangan, meskipun
Erwina berada di bagian luar ruangan. Dia dan Benny siap
menyambut tamu yang datang. Mengapa Erwina tidak
tampak bersedih secara mendalam? Matanya tidak
kelihatan memerah dan bengkak, meskipun sesekali disusut
dengan tisu. Kelihatannya Benny pintar menghibur Sesekali
Erwina tersenyum oleh ucapan Benny.
Seorang lelaki muda berperawakan gagah dan kekar,
wajah persegi, rambut agak gondrong, dan berkulit bersih13
memasuki ruangan. Dia mengangguk kepada Erwina dan
Benny, lalu duduk di sebelah Benny. Segera wajah Erwina
dan Benny berubah menjadi kaku, dan duduk lebih tegak.
"Tadi kembaii ke markas, Pak?" tanya Benny.
"Ah, nggak. Saya cuma cari sarapan di luar tadi. Kalau
di sini sudah selesai baru saya kembaii. Pukul berapa
pemakamannya, Pak?"
"Kira-kira pukul satu."
"Wah, harus makan siang dulu."
"Jangan repot, Pak. Nanti saya traktir di kantin, ya?
Apakah Bapak mau ikut ke pemakaman?"
"Ya, ikut sajalah."
Diam-diam Erwina berdiri, lalu pergi. Ia ber-gabung
dengan ibu dan mertuanya.
"Siapa itu, Win? Teman Arie atau Benny?" tanya
Katrin.
"Dia intel, Ma. Namanya Martin."
"Lho, intel kok blusukan ke sini?" Susan heran.
"Tugasnya kan jadi mata-mata. Siapa tahu ada yang
bisa dicurigai."
"Oh, begitu."
Kedua perempuan setengah baya itu menganggukangguk maklum. Itu menandakan perhatian yang besar dan
kerja yang serius, meskipun rasanya aneh, seolah-olah Arie
orang besar dan penting. Lagi pula, masa si pembunuh ikut
datang melayat?
Tatapan Erwina tertuju kepada Benny dan Martin.
Kedua orang itu kelihatan berbincang serius. Ia merasa lega
bisa keluar dari situ. Pandang mata Martin tidak disukainya
sejak awal bertemu. Seperti tajam menyelidik. Bukankah
dalam kasus seperti itu biasanya anggota keluarga dicurigai
lebih dulu?
Tiba-tiba pandang Erwina beradu dengan pandang
Martin. Ia buru-buru mengalihkan pandangnya, merasa
tepergok. Wajahnya bersemu merah. Dalam hati mengutuk14
jengkel, apalagi melihat senyum di bibir Martin. Dasar intel
kurang kerjaan.
"Ada apa?" tanya Katrin, mengamati wajah putrinya.
"Nggak apa-apa, Ma."
"Eh... Win, kau nggak mau memandang wajah Arie
untuk terakhir kali?" tanya Susan.
Erwina tersentak. Pertanyaan itu terasa menyimpang
dan di luar dugaan.
"Buat apa lagi, Ma?"
Ganti Susan yang tersentak oleh pertanyaan itu. Ia
merasakan nada jengkel dalam suara Erwina. Mengapa
Erwina harus jengkel? Dia mencoba menahan diri. Tak ada
gunanya bersikap sensitif pada saat itu.
"Ya, sudah. Nggak apa-apa. Aku ingin lihat. Selagi
belum ditutup," kata Susan pelan.
Susan berdiri, lalu melangkah ke dekat peti. Se-karang,
tanpa ragu-ragu ia mengangkat kain renda yang menutupi
wajah jenazah, lalu menyisihkannya ke pinggir. Ia terkesiap
dan terpesona, lalu berdiri mematung.
Ada yang berbeda. Wajah Arie tampak kemerahan.


Misteri Dua Cinta Dalam Satu Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kalau semula hampa, kini kelihatan damai. Seperti bayi
sedang tidur. Beberapa saat kemudian, ia tak begitu yakin.
Apakah penglihatannya dipengaruhi perasaan?
"Arie...," bisiknya. "Apakah kau sudah bertemu Alex?
Sedang apa saja kalian?"
Tentu saja ia tidak mengharapkan jawaban. Ia tahu,
kalau kelak Arie sudah berpindah ke dalam tanah dan
lenyap dari pandangan mata, ia akan sering berbicara sendiri
seperti itu. Seperti ketika Alex, kembaran Arie, baru saja
pergi untuk selamanya. Waktu juga yang menentukan kapan
tiba saatnya ia benar-benar pasrah. Begitu intens curahan
hatinya, ia tak menyadari bahwa dirinya jadi pusat perhatian
orang-orang di dalam ruangan, termasuk Katrin dan Erwina.
Semula Katrin bermaksud menghampiri Susan untuk
menemaninya, tetapi Erwina menariknya.15
"Biarkan, Ma. Mama Susan ingin sendiri."
Susan mengulurkan tangan, lalu membelai kepala Arie
dan mengacak-acak rambutnya yang ikal tebal. Tangannya
pindah ke dahi, lalu tersentak kaget. Ia sempat menarik
tangannya, tetapi kemudian kedua tangannya membelai
kedua sisi wajah Arie. Sambil melakukan hal itu ia terus
bergumam, "Arie... oh, Arie...." Makin lama makin keras.
Katrin dan Erwina terkejut. Mereka melompat ke
sisinya.
"Ada apa, Sus?" tanya Katrin.
"Ada apa, Ma?" tanya Erwina.
Susan menyisih untuk memberi tempat bagi kedua
orang itu. Ia menarik tangan Katrin dan mendorongnya ke
wajah Arie.
"Ayo pegang! Pegang!" seru Susan.
Katrin melaksanakan perintahnya. Ia menyentuh pipi
Arie. Susan memberi tanda kepada Erwina untuk
melakukannya juga. Semula Erwina segan, tetapi Susan
menarik tangannya dan menempelkannya ke pipi Arie. Saat
berikutnya, Erwina memekik.
Ia menarik tangannya, Ialu dengan gerakan limbung ia
kembali duduk. Ia khawatir akan pingsan. Sementara itu,
Katrin masih memegang pipi Arie. Wajahnya tampak
tegang.
"Kau merasakannya juga, kan?" tanya Susan.
"Ya, ya."
"Duh, Arie... Arie...." Susan menangis.
Hal itu mengundang perhatian orang-orang. Mereka
bergerak menghampiri peti. Martin dan Benny paling depan.
Mereka mengambil posisi di sisi peti yang satunya,
berseberangan dengan Susan dan Katrin.
"Ada apa, Bu?" tanya Martin.
"Pegang dia, Pak!" seru Susan. Dia dan Katrin menarik
tangan mereka dari wajah Arie untuk memberi kesempatan
kepada Martin dan Benny melakukan hal yang sama.16
Martin dan Benny merabai wajah Arie. Benny
melompat mundur dengan wajah pucat, lalu bergegas duduk
di sisi Erwina.
Martin tak hanya menyentuh dan merabai wajah Arie,
tetapi juga meletakkan jari di depan lubang hidung Arie. Ia
kemudian memeriksa nadi di leher dan tangan. Terakhir ia
membuka baju Arie bagian dada untuk meraba jantungnya!
"Ada apa, Pak? Ada apa?" tanya Susan tak sabar.
"Apakah anak saya...?
"Ya, Bu. Saya menemukan tanda kehidupan. Suhu
tubuhnya naik, bernapas, dan ada denyut jantung. Cepat
panggil ambulans! Bawa ke rumah sakit!"
Kegemparan terjadi. Orang semakin banyak. Untung
satpam cepat bertindak dengan memerintah-kan mereka
menjauh, dan menjaga agar orang tidak semakin banyak.
Entah bagaimana, kabar cepat sekali tersebar. Ada orang
mati hidup lagi!
Ketika Katrin dan Susan berpelukan, Erwina jatuh
pingsan dalam pelukan Benny!
*** Semalam Arie ditemukan sekitar pukul sebelas malam oleh
warga sebuah pemukiman kelas menengah di bilangan
Jakarta Barat terbujur di selokan. Dia masih hidup, tetapi tak
sadarkan diri. Tak ada luka ataupun memar di tubuhnya,
kecuali lecet-lecet. Bagian yang parah hanya benjol besar di
belakang kepalanya, seolah-olah dia kena pukulan dari
belakang.
Di dalam kantong celananya ditemukan dompet dan dua
kunci yang digabung jadi satu. Di dalam dompetnya hanya
terdapat selembar KTP, tanpa uang sepeser pun atau kartukartu. Ponsel dan arlojinya tak ada. Dari KTP-nya polisi
bisa menghubungi Erwina, sang istri, di rumahnya. Menurut
Erwina, Arie suka keluar malam tanpa pernah berkata jelas17
ke mana perginya. Ia hanya bilang, "Mau ke rumah teman!"
Kalau keluar malam ia jarang menggunakan mobil, tetapi
naik taksi. Demikian pula malam itu.
Pukul dua belas tengah malam Arie dinyatakan
meninggal tanpa pernah sadar lagi. Ia sempat ditunggui
Erwina, ibu dan ibu mertuanya, juga Dian. Ketiga orang
yang disebut belakangan bisa cepat datang karena saat itu
sedang berada serumah. Biasanya Katrin tinggal bersama
Erwina dan Arie, tetapi hari itu dia menginap di rumah
Susan, yang menempati paviliun rumah Dian.
Pukul sembilan lewat esok paginya, setelah dibaringkan
di dalam peti mati Arie dinyatakan hidup karena ada tandatanda kehidupan pada tubuhnya, yaitu detak jantung dan
napas. Jadi, jarak waktu antara meninggal dan hidup
kembali sekitar sembilan jam. Bisa dibilang terlalu lama
untuk kategori mati suri.
Dokter Akbar, ahli forensik, merasa bingung. Ia yakin
sekali Arie sudah meninggal pada pukul dua belas tengah
malam. Semua tanda sudah menyatakan hal itu. Tentu saja
tak ada yang bisa meragukan pendapat seorang ahli. Bila
ahli saja bingung, apalagi orang awam. Oleh karena sulit
menemukan penjelasan medis, orang suka menghubungkannya dengan perkara mistis. Pasti Arie belum
saatnya meninggal. Jadi, disuruh kembali oleh malaikat. Itu
menurut cerita orang yang konon pernah mengalami mati
suri. Biasanya mereka yang kembali itu tidak berlama-lama.
Paling-paling dalam hitungan menit. Mengapa Arie
membutuhkan waktu sampai sembilan jam untuk kembali?
Mungkin salah jalan atau tersesat?
Berkaitan dengan waktu yang sampai sembilan jam itu,
para ahli juga ramai memperbincangkan. Terlalu lama.
Mestinya sel-sel tubuh keburu rusak karena tidak mendapat
pasokan darah dan oksigen mengingat jantung tidak lagi
bekerja untuk memompakan darah ke seluruh tubuh dan
paru-paru yang diam tidak bisa menghirup oksigen. Apakah18
prosesnya terjadi secara tiba-tiba, yang mana jantung dan
paru-paru mendadak bekerja lagi sementara sel-sel tubuh
tidak mengalami kerusakan selama waktu itu?
Yang pasti, kondisi Arie setelah berada di rumah sakit
tetap stabil, walaupun belum sadar. Dia seperti kembali pada
keadaan saat ditemukan. Keadaan itu memberi kesempatan
kepada para dokter untuk memeriksanya dengan teliti.
Terutama untuk mencari jawaban terhadap keadaannya,
yang dianggap aneh. Berbagai tes dilakukan, termasuk CTscan. Bagaimana kondisi isi kepala Arie?
Pertolongan yang diberikan ketika ia pertama kali
dibawa ke ruang gawat darurat hanya sebatas pemberian
infus dan oksigen, sedangkan kepalanya belum diberi
perhatian intensif. Tak ada luka terbuka pada kepala,
meskipun benjolnya sebesar telur ayam dan tampak memar
serta kebiru-biruan. Memarnya tampak jelas karena rambut
di bagian itu dicukur bersih. Juga tak ada retak pada
tengkorak. "Dia punya tempurung kepala yang superkeras,"
kata seorang dokter. Entah bercanda entah serius.
Saat itu, secara perlahan kondisinya menurun, yang
berujung pada kematian sesuai tanda-tanda yang tampak.
Apakah kemungkinan ada perdarahan di dalam kepala yang
belum terdeteksi? Setelah kematian tentunya tes-tes tak
perlu lagi dilakukan, yang bisa dilakukan untuk mengetahui
penyebabnya hanyalah autopsi, tetapi keluarga menolak
keras. Sangat keras.
Sekarang penolakan itu disyukur? pihak keluarga. Sikap
itu menyebabkan para dokter dan juga polisi menjadi tidak
enak hati. Bayangkan bila Arie sempat diautopsi. Tidakkah
itu bisa menutup kemungkinan Arie hidup lagi? Mana
mungkin nyawa bisa kembali ke dalam tubuh, yang sudah
disayat-sayat dan kehilangan organ-organ pentingnya?
Tentu saja belum dapat dipastikan, apakah dengan
"hidup kembali" Arie bisa benar-benar hidup dalam arti
sesungguhnya, yaitu menikmati hidup dengan fisik sehat19
dan normal. Bukan sekadar terbaring kaku, bernapas, dan
berdenyut jantung. Lagi pula, siapa yang bisa memperkirakan berapa lama kondisi seperti itu akan
berlangsung? Jangan-jangan cuma sebentar saja. Besok lusa
terkapar lagi. Para dokter menjelaskan hal itu kepada
keluarga supaya dapat menerima kemungkinan terburuk.
Jangan sampai terlalu melambung oleh harapan karena
kalau jatuh akan sakit sekali.
Pihak keluarga, terutama Susan, tidak memedulikan
peringatan itu. Ada kehidupan berarti ada harapan, biarpun
cuma sedikit. Sebaliknya, kematian meniadakan harapan
sama sekali. Hal yang dirasakan dan kerap diutarakan Susan
sekeluarga serta teman-teman Arie adalah kengerian.
Bagaimana kalau Arie sampai diautopsi atau petinya ditutup
dan kemudian dikuburkan sebelum dia sempat memperlihatkan tanda-tanda kehidupan? Bila hal itu sampai
terjadi, Arie akan benar-benar mati.
Katrin mengklaim, dia orang pertama yang melihat
tanda itu. "Aku melihat kain renda itu bergetar di bagian
hidungnya. Itu berarti, ada udara yang keluar. Dia
bernapas!"
"Ya, memang betul," Susan mengakui.
"Sebenarnya, aku takut disangka mengada-ada, apalagi
kau sedang limbung begitu. Aku salut kepada kamu, Sus.
Berkat kegigihanmu terus-menerus mengamati Arie maka
kau berhasil menemukan tanda yang lebih pasti. Coba kalau
nggak...?"
Katrin tak kuasa melanjutkan karena merasa ngeri
sendiri.
"Sebenarnya, sejak awal ada dorongan untuk melihat
muka Arie tanpa penutup," kata Susan. "Namun, Wina
berulang kali melarang. Mungkin dia takut aku sedih. Aku
cuma ingin melihat selagi masih bisa melihat. Begitu kain
itu kusisihkan, aku sudah merasa aneh. Arie nggak pucat20
lagi, dan persis orang tidur. Begitu tersentuh, aku benarbenar kaget. Kulitnya hangat!"
"Ya, ya. Ajaib, bukan?"
"Kalau dipikir-pikir, sebelum itu tubuhnya juga nggak
begitu dingin. Ya, kan? Kita berdua yang memakaikan
pakaiannya. Kaku juga nggak, kan? Ah, masa sih dokter
bisa salah."
"Jadi, kaupikir begitu? Aku sih nggak menyadarinya.
Mungkin aku nggak punya pengalaman mengurus jenazah."
"Aku membandingkan saat mengurus Alex. Dia... dia
dingin sekali."
Susan termenung dengan wajah sedih. Katrin
memeluknya.
"Sudah. Jangan memikirkan Alex lagi. Sekarang kita
fokus kepada Arie saja. Dia butuh perhatian kita sepenuhnya," hibur Katrin.
"Betul. Menurutmu kita pantas optimis, Kat? Aku jadi
ingat peringatan dokter."
"Harus optimis dong. Apa gunanya harapan kalau tidak
optimis? Kita sudah diberi harapan, biar pun cuma sedikit.
Asal jangan terlalu tinggi, Sus."
"Ya, ya. Tentu saja. Kalau misalnya dia... dia kolaps
lagi, lalu betul-betul pergi aku nggak akan menangis."
"Betul? Janji, ya."
"Ya. Aku yakin, kejadian itu bukannya tak punya
makna. Sesuatu yang baik tentunya."
Katrin mengangguk setuju. Pikirannya tertuju ke hal
lain. Sekarang hari sudah sore, tetapi Erwina belum muncul
di kamar rumah sakit. Tadi setelah menemani sebentar ia
pulang. Bukankah sepatutnya ia memberikan waktunya
lebih banyak bagi suaminya? Erwina tadi menyampaikan
sesuatu, yang membuat ia tak nyaman.
"Ma, kalau nanti Arie hidup lagi, bukankah ia seperti
zombie? Takuuut," bisiknya, tak ingin didengar orang lain.21
Katrin terkejut sekali. "Kau jangan omong
sembarangan! Mana ada yang seperti itu? Hal itu cuma ada
di film horor. Mestinya kau bangga dan senang karena Arie
diberi kesempatan hidup. Apa pun yang terjadi nanti tetap
ada hikmahnya."
Erwina tidak kelihatan bersemangat.
"Pulang ya, Ma. Lemas."
"Kau sendirian di rumah. Nggak kesepian?"
"Si Bibi kan sudah masuk."
Katrin melepas kepergian putrinya dengan agak
kecewa, tetapi tak bisa menyalahkan.
"Jangan terlalu dekat dengan Benny."
"Ya, Ma. Dia kan sahabat."
Susan tidak bertanya-tanya tentang Erwina. Dia
menyuruh Katrin pulang menemani Erwina di rumah. Katrin
menolak.
"Aku mau di sini saja, Sus. Ingin menemani kamu."
"Nggak capek dari tadi?"
"Kalau capek aku bisa rebahan di sofa, walau pun
nggak muat untuk berdua."
"Bisa gantian," sahut Susan ringan, seakan itu masalah
sepele.
Katrin tahu, Susan ingin terus mengamati kondisi Arie.
Ia tak ingin kehilangan momen, dan kalau bisa ingin jadi
orang pertama yang melihat "kebangkitan" Arie.
Katrin tetap menemani Susan bukan cuma karena dia
sahabatnya atau besannya, tetapi dirinya pun ingin tahu
apakah Arie benar-benar bisa "bangkit". Kalau itu terjadi,
apakah dia bisa menjalani hidup seperti sediakala, sehat dan


Misteri Dua Cinta Dalam Satu Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

normal? Adakah kemungkinan cacat, fisik atau mental?
Kemungkinan yang terakhir itulah yang mengkhawatirkan,
mengingat kepala Arie adalah bagian tubuh yang terkena
trauma, apalagi sempat mengalami kematian sel karena tak
mendapat pasokan darah. Ia berpendapat, bila itu terjadi22
lebih baik Arie mati saja untuk seterusnya. Kasihan Erwina
nanti.
Tentu saja pendapat itu tidak ia sampaikan kepada
Susan. Ia tidak tega.
*** Ketika keluarga ramai-ramai meninggalkan rumah duka
untuk mengiringi kepergian Arie ke rumah sakit, di ruang
duka hanya tinggal Benny sebagai wakil keluarga. Semula
ia juga ingin ikut ke rumah sakit, tetapi keluarga
memintanya tetap tinggal mewakili mereka. Tentu saja
harus ada yang tinggal untuk menyambut para pelayat yang
datang, kemudian memberikan penjelasan.
Martin memutuskan menemani Benny, meskipun
semula ia ingin ikut mengiringi Arie ke rumah sakit. Semua
orang ingin tahu, apa yang akan terjadi dengan Arie,
termasuk dirinya. Namun, ia kemudian berpikir lain.
Di ruang duka yang ditinggalkan terlihat banyak
pemandangan lucu. Terutama reaksi yang diperlihatkan para
pelayat, yang datang kemudian dan belum sempat menerima
penjelasan. Mereka terkejut bahkan ada yang terlihat syok
ketika melihat peti mati dalam keadaan kosong. Setelah
menerima penjelasan, ada yang terlihat menyesal sekali
karena telanjur memasukkan amplop uang duka ke dalam
kotak yang disediakan. Mau diambil lagi tidak bisa. Bagi
mereka yang sempat "menyelamatkan" uangnya merasa
bersyukur. Mustahil memberi uang duka bila tak ada yang
meninggal?
Peti mati kemudian diamankan untuk diurus
belakangan. Apakah mau disimpan sementara kalau-kalau
nanti diperlukan lagi atau dijual saja? Mestinya peti mati itu
bernilai lebih karena punya riwayat menghebohkan bagi
pemiliknya. Siapa tahu peti mati itu bertuah hingga
penghuni berikut akan mengalami nasib sama seperti Arie.23
Karangan bunga dukacita dipindahkan ke pojok ruang
sebelah dalam. Di muka ruangan dipasang pengumuman
dengan tulisan spidol bahwa rencana pemakaman dibatalkan
karena Arie dipindahkan ke rumah sakit. Tidak disebutkan
alasannya karena akan terkesan menghebohkan.
Benny menatap bingung pada kotak berisi sumbangan.
"Ambil saja," kata Martin. "Kasih Bu Erwina. Lumayan
untuk mengganti pengeluaran."
Benny mengamankan kotak itu. Ia membungkusnya
dengan kertas koran. a akan membawanya nanti.
Ketika akhirnya Benny terduduk kelelahan, Martin
duduk pula di sampingnya dan menawarinya segelas aqua.
Mereka minum bersama. Dalam hati Benny merasa kesal,
mengapa Martin masih juga belum pergi.
"Apakah Anda senang dengan kejadian ini?" tanya
Martin.
"Senang? Entahlah. Saya bingung. Kok bisa begini, ya?
Kejadiannya aneh. Seram," jawab Benny.
"Mungkin Anda percaya mistik. Itulah sebabnya, bilang
seram. Saya sih bilang ini menarik sekali. Luar biasa.
Kejadian yang langka. Coba saja lihat. Nggak lama lagi
kegemparan ini akan meluas ke mana-mana, apalagi kalau
sampai tercium media. Anda harus siap-siap dikejar
wartawan. Terutama Bu Wina."
"Wah...." Benny bergumam, dengan wajah memelas.
"Nggak usah cemas, Pak," hibur Martin. "Suruh saja
mereka bertanya kepada dokter karena Anda nggak
mengerti. Mereka akan mengejar dokter."
"Betul juga."
Martin tertawa. Benny tersenyum menyembunyikan
kejengkelannya. Martin telah berhasil menakut-nakutinya.
Kapan sih dia pergi?
"Anda dan keluarga Arie tentu berharap Arie bisa hidup
seperti sediakala. Ya, kan?" Martin masih ingin berbincang.
"Tentu saja. Apakah Anda ikut senang?"24
"Oh, ya."
"Karena Anda jadi kehilangan kasus. Pekerjaan pun jadi
berkurang, kan?"
"Bukan. Karena saya jadi bisa menanyai dia, siapa yang
memperlakukan dia seperti itu," sahut Martin, dengan
tersenyum.
Benny terdiam. Martin meliriknya. Sesaat mereka tak
berbicara, hanya memandangi orang-orang yang lalu-lalang.
Setelah pemberitahuan terpasang, tak ada lagi orang yang
mampir. Mereka lebih suka masuk ke ruang duka yang
bersebelahan untuk meminta informasi. Keduanya terbebas
dari gangguan. Benny berharap Martin segera pamitan
supaya ia bisa pergi juga dari situ, tetapi harapan itu
tampaknya masih jauh.
"Katanya, Anda sahabat Arie sejak kecil."
"Saya berteman dengan Arie dan Alex, kembaran Arie,
sejak masih di bangku SD."
"Kapan Alex meninggal? Apa sebabnya?"
Benny berpikir sejenak sebelum menjawab. "Kurang
lebih setahun yang lalu. Kalau nggak salah dia terkena
penyakit radang otak yang akut. Kalau mau jelas, Anda
tanya ibunya saja."
"Pantas ibunya terpukul sekali, ya. Punya anak kembar
memang menyenangkan. Apakah Arie juga terpukul oleh
kematian saudaranya?"
"Tentu saja," sahut Benny, dengan nada seakan itu
adalah pertanyaan yang bisa dijawab sendiri.
"Anda juga tentunya."
"Ya," kata Benny, dengan nada capek.
"Apakah Alex sudah beristri?"
"Belum."
"Anda juga belum?"
"Belum."
"Sudah berapa lama Arie menikah dengan Erwina?"25
"Tiga tahun. Jangan tanya mengapa Alex dan saya
belum menikah. Itu pribadi, Pak."
Martin tersenyum. "Baru saya mau tanya. Ya, sudah. Ini
bukan interogasi kok. Cuma mengobrol saja."
Benny tidak tahan lagi. la berdiri.
"Saya ingin menyusul ke rumah sakit. Anda masih mau
di sini?"
Martin berdiri juga. "Saya ikut ke rumah sakit saja.
Memang ingin ke sana kok."
"Saya ingin pulang dulu, Pak. Istirahat sebentar, baru ke
rumah sakit," Benny berusaha menghindar. Ia tak ingin jalan
bersama Martin.
"Baiklah," sahut Martin, dengan senyum. "Saya jalan
duluan saja."
Benny mengamati kepergian Martin dengan jengkel,
tetapi puas karena sudah terbebas. Ia memang ingin istirahat
dan menemui Erwina sebentar, tetapi keinginan itu
tampaknya harus tertunda. Para pelayat yang semula akan
mendatangi tempatnya tetapi "menyangkut" di ruang
sebelah segera datang mengerumuninya. Mereka menginginkan informasi yang lebih akurat, tetapi tidak berani
mendekat karena sudah diberitahu siapa sebenarnya Martin.
Kalau nanti sampai dicurigai bisa repot, mengingat kasus
"kematian" Arie yang tidak wajar.
Kini, Benny merasa seakan dirinya berhasil bebas dari
mulut harimau, tetapi jatuh ke mulut buaya.
Karena dikerubuti orang, Benny tidak tahu dirinya
diperhatikan dari kejauhan oleh Martin. Lelaki berperawakan sedang dan bertubuh kekar itu berdiri di tempat
yang terlindung dari jangkauan pandang Benny. Ia sedang
tenggelam dalam pikirannya. Apa yang akan terjadi bila
Arie benar-benar hidup lagi? Apa yang akan terjadi bila
Arie meninggal untuk seterusnya?26
"Sahabat keluarga? Huh!" Martin memaki pelan. Tidak
ada yang namanya sahabat atau saudara bila menyangkut
cinta atau uang!27
2 HARI Sabtu, sehari sebelum kejadian di rumah duka.
Pukul sembilan, Erwina membuka butiknya dengan
perasaan tak nyaman. Ia gelisah dan kadang-kadang seperti
orang hilang ingatan atau pikun. Para karyawannya berbisikbisik di belakangnya, membicara-kan kelakuannya yang tak
seperti biasanya. Ada yang bertanya karena ingin berlaku
ramah dan mengambil hati.
"Ibu baik-baik saja?"
"Tentu saja aku baik. Memang ada apa?" sahut Erwina
judes.
"Nggak apa-apa, Bu," sahut si karyawan, terkejut dan
menyesal.
Tak ada lagi yang berani bertanya. Sikap dan jawaban
Erwina semakin memperkuat dugaan bahwa sebenarnya
memang ada apa-apa. Biarpun demikian, mereka merasa
tidak harus peduli karena perhatian mereka tidak dihargai.
Salah-salah malah dihardik.
Erwina kerap kali melamun. Pikirannya terganggu oleh
Arie, suaminya. Semalam mereka bercinta. Arie mengajak,
ia terpaksa melayani. Keseganan menguasai dirinya. Arie
memahami sikapnya, tetapi terus merayu dan membujuk
hingga ia menyerah. Daripada diperkosa, pikirnya.
Kemudian, dengan heran ia menyadari dirinya ikut
menikmati sampai akhirnya terbawa aktif dalam permainan
cinta mereka. Kepuasan yang diperolehnya terasa maksimal.
Sesuatu yang sudah sangat, sangat lama, tak pernah
dirasakannya bersama Arie. Ketika sudah merasa akan
terbawa, ia mencoba melawan perasaan itu dengan28
mengobarkan kebenciannya kepada Arie. Temyata, itu tidak
berhasil. Ketika akhirnya ia membiarkan dirinya terbawa, ia
mencoba membayangkan seseorang yang lain. Bukan Arie.
Itu pun tidak berhasil. Terlalu jelas dan nyata bahwa orang
yang sedang dipeluk dan memeluknya adalah Arie.
Ia tahu, sebenarnya hal itu tidak perlu diherankan. Ia
bisa terbawa karena perlakuan Arie yang berbeda dari
biasanya. Arie bersikap lembut dan penuh atensi, juga
agresif secara menyenangkan. Ia membuatnya terkenang
pada masa-masa yang sudah lewat, masa awal perkawinan
mereka. Arie yang saat ini dihadapi bukanlah Arie yang
sama sekali baru. Dia hanya kembali seperti dulu.
"Kau suka?" tanya Arie.
Erwina hanya tersipu malu. Ia tak bisa menjawab.
Sebenarnya, Arie tak perlu jawaban.
"Aku pikir, kita memang sudah seharusnya memperbaiki hubungan ini," lanjut Arie, tanpa mendesakkan
jawaban atas pertanyaannya tadi. "Maafkan aku, Win,
karena selama ini aku bersikap dingin dan kurang perhatian
kepadamu. Maukah kau memberiku kesempatan?"
Erwina tidak menjawab. Ia pura-pura mengantuk. Arie
tidak memaksanya menjawab. Ia hanya menciumnya, lalu
tidur pulas tanpa beban, seakan yakin jawaban Erwina pasti
positif.
Esok paginya, yaitu pagi tadi, Arie bangun lebih dulu.
Ia menyiapkan sarapan nasi goreng karena Bi lyah,
pembantu mereka satu-satunya, sedang pulang kampung.
Ketika Erwina bangun, meja makan sudah siap dan Arie
menantinya untuk makan bersama. Sikapnya hangat dan
romantis. Lagi-lagi ia tersentuh. Tampaknya Arie benarbenar bertekad memperbaiki diri dan memperbaiki
hubungan mereka.
Sayang sekali, semua itu sudah terlambat.
Dia ragu-ragu. Benarkah terlambat?29
Orang bilang, selama nyawa masih dikandung badan
kesempatan selalu ada. Masalahnya bukan itu. Punyakah dia
keinginan untuk memberi kesempatan? Mengapa justru
sekarang Arie menunjukkan perubahan?
Apakah Arie memiliki indra keenam?
Bagi Erwina, waktu tinggal sedikit untuk berpikir.
Semula, ia begitu yakin tak perlu berpikir lagi. Keputusan
sudah diambil. Ia tak mau melangkah mundur. Apakah
sekarang ia ragu-ragu hanya karena Arie memperlihatkan
perubahan sikap? Perubahan sikap itu belum tentu bertahan
untuk seterusnya. Besok lusa ia bisa berubah lagi.
Masih ada satu hal yang meresahkannya. Mengapa ia
begitu gampang tersentuh oleh sikap Arie, yang mungkin
tak bertahan lama? Apakah itu berarti ia masih mencintai
Arie? Tidak mungkin! Ia membencinya!
Sampai siang Erwina masih diliputi keresahan. Sulit
sekali menenangkan diri. Ia menghitung jam demi jam, dan
menit demi menit yang berlalu. Semakin dekat ke waktu
yang ditentukan. Ia berharap, jam berhenti berdetak supaya
tidak mencapai waktu yang ditentukan itu.
Tiba-tiba Arie menelepon. "Makan siang sama-sama,
yuk! Aku jemput."
Erwina tertegun sebentar. Itu bukan kebiasaan Arie. Ia
tak ingin bertemu Arie di tengah kebimbangannya. Ia
khawatir Arie akan memberinya kejutan lain, sesuatu yang
tampaknya hampir pasti. Nanti ia akan canggung. Ia akan
tambah bimbang. Bagaimana kalau Arie mencurigainya?
"Aku sangat sibuk, Ar. Aku makan di kantorku saja.
Sudah pesan makanan kok."
"Ya, sudah. Nanti malam saja kita makan di Iuar, ya?
Sudah lama banget kita nggak keluar sama-sama."
Erwina tak segera menjawab. Huu, baru sadar rupanya
dia bahwa mereka memang tidak pernah keluar lagi
bersama-sama! Nanti malam sudah tak ada waktu lagi
untukmu!30
"Bagaimana? Mau, ya?" ulang Arie.
"Oh... ki... kita lihat saja nanti, ya."
"Ya, deh."
Arie tidak mendesak. Biasanya kalau dia sudah
menginginkan sesuatu pantang ditolak.
Sebelum menutup telepon, tiba-tiba Benny masuk tanpa
disadari Erwina.
"Hai, Say! Dah makan?" seru Benny riang.
Erwina terkejut. Ia cepat menggoyangkan tangan, dan


Misteri Dua Cinta Dalam Satu Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menunjuk ponselnya. Benny terkejut. Mulutnya terbuka,
mengucapkan kata, "Arie?" tanpa suara.
Erwina mengangguk. Ia bisa mendengar seruan Arie
dari ponselnya, "Siapa itu, Win? Benny, ya?"
Erwina tak berani menutup telepon begitu saja karena
khawatir Arie akan curiga.
"Ya, benar. Dia tanya, apakah aku sudah makan?"
katanya, dengan nada datar.
"Kalau dengan aku kau nggak mau, masa dengan dia
mau?" nada Arie merajuk.
"Tentu saja nggak juga."
"Jangan-jangan kau makan berdua dengan dia di kantor.
Asyik banget."
Nada suara Arie seakan-akan tanpa emosi, tetapi
Erwina merasa bulu romanya berdiri.
"Ah, mana dia mau. Aku cuma makan nasi gudeg."
"Ah, yang penting bukan apa yang dimakan, tetapi
suasananya."
Erwina tidak menyahut, tak tahu mesti bilang apa.
"Ya, sudah. Pergilah makan! Aku toh nggak bisa lihat
apa yang kaumakan, sendiri atau berdua."
Nada suara Arie terdengar dingin. Dia menutup telepon
tanpa menunggu jawaban Erwina.
Erwina berpandangan dengan Benny. Di depan mejanya
tubuh Benny yang tinggi dan atletis berdiri tegak. Wajahnya
yang tampan terlihat risau. Ketika Benny membungkuk ke31
hadapannya, Erwina bisa melihat titik-titik keringat di
puncak hidung Benny. Saat berikutnya, ia tak bisa melihat
lagi ketika bibir Benny menyentuh bibirnya. Tanpa
melepaskan bibir Erwina kedua tangan Benny bertumpu
pada meja, lalu ia melompat melangkahi meja hingga
tubuhnya berhadapan dengan Erwina. Kedua tangannya
berpindah ke bahu Erwina, yang diangkatnya berdiri.
Mereka berpelukan erat, seolah menyatu.
Serta-merta Erwina melupakan kebimbangannya tadi.
Pengalaman bercinta dengan Arie semalam yang begitu
berkesan tak ada lagi artinya. Demikian pula semua
perasaannya yang tersentuh semalam, buyar bagai ditiup
angin kencang.
Sayangnya, kenikmatan itu hanya sekejap saja karena
ponsel Erwina kembali berbunyi. Semula, ia mengira Arie
yang menelepon hingga jantungnya berdebar. Ternyata
bukan. Ibunya, Katrin, memberi-tahu ia akan meninggalkan
rumah karena sudah dijemput Susan. Seperti biasa, setiap
malam Minggu Katrin menginap di rumah Susan. Katrin
ingin me-mastikan, apakah Erwina tidak lupa membawa
kunci rumah.
"Kalau lupa, kau pulang dengan Arie saja."
"Nggak lupa kok, Ma. Selalu kubawa."
"Baik. Aku sudah masak. Tinggal dihangatkan.,,
"Ya, Ma. Bersenang-senanglah. Salam hormat untuk
Mama Susan."
Setelah gangguan telepon itu, suasana romantis di
antara Erwina dan Benny sudah lenyap.
"Apakah tadi Arie mendengar suaraku?" Benny baru
ingat.
"Tentu saja. Kau omongnya keras begitu."
"Duh, sori. Kan nggak biasanya dia telepon siang-siang.
Mau apa sih dia?" tanya Benny, dengan nada seakan Arie
bukan suami Erwina.32
"Mengajak makan. Dia dengar kau menanyakan soal
makan, padahal ajakannya kutolak."
Benny tertawa. "Rasakan dia!"
"Ah, jangan begitu."
"Mengapa?"
Erwina tidak menyahut. Ia tidak mau mengakui
kebimbangannya tadi. Tidak mungkin juga bercerita perihal
pengalaman semalam. Benny bisa marah.
Sikap diam Erwina meresahkan Benny. "Jangan bilang
kau berniat membatalkan rencana kita."
Erwina melihat kecemasan di wajah Benny. Wajah
tampan itu tampak mengibakan, membuat hatinya luluh.
"Tentu tidak," kata Erwina, dengan suara tegas. Ia
senang melihat wajah cemas Benny kembali tampak lega.
"Aku maklum kalau sekali waktu kau merasa bimbang.
Itu manusiawi. Pikirkan saja kebencianmu kepadanya. Dia
iblis. Bukan manusia."
Erwina tertegun. Pantaskah Arie disebut iblis?
Kelihatannya berlebihan, tetapi ia suka sikap Benny yang
bersemangat. Lagi pula, Benny mengenal Arie lebih lama
daripada dirinya.
"Eh, Ben, bagaimana kalau dia curiga tadi?"
Benny menggeleng dengan pasti. "Aku yakin nggak,
Win. Dia kan tahu aku akrab denganmu."
"Dia pasti mendengar kau memanggilku 'Say'."
"Ah, aku kan suka memanggilmu begitu biarpun di
depannya, yang penting kau harus menjaga sikap. Masa
hanya karena mendengar pembicaraan begitu dia langsung
curiga. Selama ini kita selalu bisa menjaga rahasia, kan?"
"Mengapa harus terjadi justru di saat akhir?"
Sebenarnya, yang dimaksud Erwina adalah per-ubahan
sikap Arie yang diperlihatkan belakangan ini. Baru hari ini.
Bukan kemarin-kemarin. Mengapa baru sekarang Arie
menampakkan tanda ingin berubah?
Benny tidak mengerti.33
"Mungkin itu justru petanda bahwa timing-nya memang
tepat," katanya menyimpulkan. "Biasanya Bi Iyah nggak
suka pulang kampung bahkan Lebaran pun nggak. Tahutahu dia minta pulang, padahal kita sudah putar otak
bagaimana menyuruhnya pergi."
"Ya, sih."
"Jadi, nggak usah dipikirkan lagi. Mantap saja."
"Bagaimana menghadapi soal telepon tadi? Suaranya
dingin banget. Aku sampai merinding."
Benny agak kesal. Perempuan memang suka memakai
perasaan, buhan pikiran.
"Begini saja. Nanti aku ke showroom menemui Arie."
Sebagai pengusaha jual-beli mobil bekas, Arie memiliki
sebuah showroom di bilangan Jakarta Barat. Ucapan Benny
itu segera mengingatkan Erwina bahwa ia sudah lama tidak
menjenguk tempat itu. Arie memang sudah lama juga tidak
pernah mengajaknya. Bagaimana perkembangan bisnis Arie,
ia kurang tahu. Tidak ada rasa keingintahuannya. Ia sibuk
dengan bisnisnya sendiri, padahal kalau nanti Arie tidak ada
pastinya bisnis itu akan jatuh ke tangannya. Pikiran itu
membuat ia malu sendiri.
"Kau akan mengatakan apa kepada dia?" tanya Erwina,
mengalihkan pikirannya.
"Aku mau bilang, tadi kebetulan mampir dan melihat
bungkus nasi di mejamu. Jadi, aku tanya. Begitu saja.
Simpel, kan?"
"Apakah dia percaya?"
"Terserah. Dia kan nggak lihat sendiri. Kalau aku
bersikap biasa, masa sih dia nggak percaya. Selama ini, aku
dan dia kan biasa-biasa saja. Terhadap kau saja ada friksi."
"Belakangan ini dia omong apa saja tentang aku? Suka
curhat nggak?"
"Nggak, yang kami omongkan cuma soal rumah dan
mobil. Yah, pekerjaan kita berdua."34
Benny seorang broker rumah. Sejak pertama Erwina
mengenalnya, ia sudah menekuni pekerjaan itu. Menurut
pengakuannya, ia menyukai pekerjaan itu dan sangat
percaya diri akan kemampuannya menjual. Erwina
memercayainya karena Benny pintar berbicara dan
meyakinkan orang. Ditambah lagi dengan sosoknya yang
ganteng dan memikat. Benny pernah diangkat menjadi salah
seorang top broker oleh agensinya. Belakangan, ia suka
mengeluh bahwa saingan tambah banyak dan lahan
penjualan menyempit. Banyak orang menjual rumah, tetapi
yang membeli sedikit atau hampir tak ada. Terutama rumah
mewah, yang menjadi sasarannya karena komisinya besar.
Ia kemudian terpaksa beralih menjual rumah sederhana yang
komisinya kecil sesuai harga rumahnya, tetapi ternyata itu
pun seret. Sekarang, banyak orang mencari rumah kreditan.
"Ya, deh. Aku percaya kepada kau."
Benny sudah akan pergi ketika Erwina teringat sesuatu.
Ia memanggilnya.
"Tadi Arie mengajakku makan malam di luar.
Bagaimana aku harus bersikap?"
Benny mengerutkan kening. "Wah, jangan dong. Justru
malam ini kalian nggak boleh ke mana-mana. Terutama dia.
Ajak dia makan di rumah saja. Masak yang enak. Atau beli
sesuatu yang enak untuk dibawa pulang. Bilang kepadanya,
sayang kalau nggak dimakan."
"Baik. Begitu saja deh."
Benny pergi dengan sedikit ganjalan di hati. Mengajak
makan malam di luar? Bukankah sudah lama sekali mereka
berdua tak suka keluar bersama? Yang sering makan di luar
Arie sendiri. Apa sih yang sedang direncanakan Arie?
*** Susan dan Katrin pulang setelah berbelanja dari pasar
swalayan. Mereka membeli bahan-bahan masakan bagi35
keperluan makan mereka berdua saja, untuk hari itu dan
besok. Juga camilan untuk dimakan sambil menonton film
pilihan dari rekaman DVD. Senin pagi, baru Katrin kembali
ke rumah Erwina. Hal seperti itu dilakukan setiap akhir
pekan dan hari-hari libur. Rasanya sangat menyenangkan
karena terbebas dari rutinitas sehari-hari. Pada hari dan jam
kerja biasanya Katrin ada di rumah saja bersama Bi Iyah,
menunggu kepulangan Erwina dan Arie. Sedangkan Susan
mengawasi pekerjaan pengasuh anak yang mengurus kedua
cucunya karena David dan Dian sama-sama pekerja
kantoran. Bila David dan Dian harus pergi keluar rumah
pada hari Sabtu atau Minggu, Susan masih bisa mengontrol
keadaan cucu-cucunya karena tinggal berdekatan. Paviliun
tempat tinggalnya menempel pada rumah besar yang
ditempati Dian sekeluarga dengan sebuah pintu sebagai
akses keluar-masuk. Biasanya pintu itu dikunci pada akhir
pekan supaya Susan tidak mendapat gangguan. Kalau ada
keperluan orang bisa masuk dari pintu depan. Halamannya
sendiri menyatu. Demikian pula pintu pagarnya.
Rumah besar berikut paviliun itu merupakan rumah
keluarga, milik bersama. Satu per satu penghuninya pergi.
Didahului oleh suami Susan, ayah anak-anak, yang
meninggal karena sakit. Kemudian, Arie menikah dan
tinggal di rumah sendiri. Disusul oleh Alex, yang memilih
tinggal di apartemen. Ketika Dian menikah, Susan
memintanya untuk menempati rumah besar, sedangkan ia
pindah ke paviliun. Dengan demikian, Dian dan David akan
tetap merasa tinggal di rumah sendiri tanpa direcoki ibu atau
mertua.
Katrin tidak punya rumah sendiri hingga ia diajak
tinggal bersama Erwina setelah ayahnya meninggal. Semula
Katrin segan karena merasa jadi pengganggu, tetapi Erwina
tidak mau melepasnya. Sebagai anak tunggal, ia biasa
bermanja-manja ke-pada ibunya. Arie menerimanya dengan
baik, tetapi kadang-kadang Katrin merasa Arie tidak begitu36
menyukai kehadirannya, padahal ia sudah berusaha tidak
pernah mencampuri urusan kedua anak dan menantunya itu.
Ia menerima saja keluhan dan curhat Erwina dan
menasihatinya, tetapi tidak pernah berkata apa-apa kepada
Arie.
Kebersamaan kedua perempuan setengah baya itu jadi
melegakan dan membahagiakan. Mereka bukan hanya
merasa lepas dari beban dan kebosanan, tetapi juga serasa
kembali ke masa lalu yang ceria. Sejak sekolah menengah
pertama mereka sudah bersahabat. Ke mana-mana selalu
bersama. Setelah menikah pun mereka tetap menjaga
hubungan karena keduanya tetap tinggal di Jakarta. Namun,
kesibukan mengurus keluarga tak memungkinkan mereka
sering-sering bertemu, apalagi keluar bersama. Waktu
mereka sudah menjadi milik keluarga masing-masing.
Barulah pada hari libur keduanya merasa memiliki waktu
untuk diri sendiri.
Berbeda dengan Susan, Katrin sebenarnya tidak
sepenuhnya merasa bebas. Ia menganggap Erwina belum
memiliki kemandirian secara mental dan kematangan
emosional, meskipun sikap dan gerak-geriknya tampak
dewasa. Ada rasa bersalah karena dia dan suaminya telah
memanjakan Erwina selama ini hingga Erwina masih
tergantung kepadanya, meskipun sudah mempunyai suami.
Ia tidak tahu apakah Arie menyadari hal itu atau tidak.
Berbagai keputusan yang mesti diambil masih saja
ditanyakan kepadanya, meskipun hanya sebagai penguatan.
Tampaknya Erwina masih kurang percaya diri kalau belum
mendapat dukungan ibunya. Secara emosional Erwina pun
akan lari kepadanya untuk mendapatkan penghiburan.
Dulu, Katrin selalu senang bila Erwina berlaku seperti
itu. Ia merasa dibutuhkan sebagai ibu. Lama-kelamaan
setelah Erwina dewasa, apalagi setelah kehilangan ayah, ia
mulai berpikir lain. Terpikir barangkali bila sudah memiliki
suami Erwina akan mengalihkan tempat bergantung.37
Nyatanya, tidak! Oleh karena itu, dalam berbagai
kesempatan ia berusaha mendorong Erwina agar lebih
memilih Arie sebagai tempat bergantung yang baru.
"Tanya Arie dong," katanya selalu, bila ditanyai Erwina
mengenai sesuatu yang ingin diputuskannya.
Ia tidak tahu, apakah Erwina mematuhi nasihatnya atau
tidak. Ia tidak menanyakan, dan Erwina pun tidak memberi
tahu.
Tampaknya usahanya berhasil karena setelah kurang
lebih dua tahun Erwina mulai menjauh darinya. Pada
mulanya ia merasa senang, tetapi kemudian tak yakin lagi.
Logikanya, bila Erwina menjauh darinya pasti itu
disebabkan karena dia mendekat kepada Arie. Perasaannya
mengatakan ada sesuatu yang tidak pas. Ia tidak melihat
kehangatan dan romantisme di antara kedua suami-istri itu
seperti di awal perkawinan. Ia lebih sering melihat wajah
cemberut dan mulut yang terkunci. Ia berharap Erwina mau
curhat kepadanya seperti kebiasaannya dulu, tetapi ia


Misteri Dua Cinta Dalam Satu Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menunggu sia-sia. Ia ber-tanya kepada Erwina, tetapi seperti
sudah diduganya jawaban Erwina adalah, "Nggak ada apaapa, Ma. Biasa-biasa saja. Kami lagi stres, kali."
Suatu hari, ia memergoki Erwina menangis. Ia
memeluk dan Erwina membalas pelukannya hingga ia
optimis akan mendengar curhat Erwina, tetapi Erwina
menjawab datar, "Aku stres pekerjaanku, Ma."
"Memang ada apa?"
"Ingin menangis saja. Enak rasanya."
"Bicarakan dengan Arie dong."
"Ya, Ma. Sudah. Nggak apa-apa."
Katrin tak lagi merasa senang. Ia merindukan Erwina
yang manja kepadanya.
Ia membicarakannya dengan Susan.
"Apakah kau melihat mereka bertengkar?" tanya Susan
khawatir.38
"Nggak pernah. Justru mulut mereka cemberut dan
terkunci. Kalau bertengkar kan bisa ketahuan masalahnya.
Jangan-jangan mereka bertengkar pada saat aku nggak ada."
"Apakah sebaiknya aku tanya Arie saja, ya?" usul
Susan.
"Ah, jangan. Biar aku awasi dulu saja. Masa sih tinggal
serumah nggak bisa tahu. Nanti aku kasih tahu kalau ada
apa-apa."
"Aduh, aku harap memang nggak ada apa-apa. Biasa
kan kalau suami-istri bertengkar, yang penting bisa baikan
lagi. Mungkin mereka bosan saja karena belum punya
anak."
"Aku pernah mengusulkan Wina supaya pergi ke
dokter, bersama Arie tentu. Kalau ada yang nggak beres kan
bisa cepat diatasi, tetapi dia bersikap cuek."
"Wah, kok begitu, ya? Kalau begitu, aku mesti bicara
kepada Arie. Tentu omongnya nggak langsung ke situ.
Sambil lalu saja. Dia kan suka cepat tersinggung."
"Aku jadi serbasalah terhadap Wina. Dekat salah, jauh
juga salah."
"Sudah. Jangan menyalahkan diri sendiri, Kat."
"Ya, sih. Percuma menyalahkan diri sendiri. Semua
sudah terjadi."
"Kita berdua harus sepakat, apa pun yang terjadi kita
nggak boleh menyalahkan diri sendiri atau saling
menyalahkan. Apa pun yang terjadi dengan mereka, kita
tetap bersahabat. Begitu ya, Kat?"
Susan menatap sahabatnya dengan serius. Katrin
memeluknya, dan menepuk-nepuk bahunya. Ia mengerti apa
yang dimaksud Susan. Dulu, mereka hamil berbarengan.
Mereka bercanda, kelak akan menjodohkan anak-anak
mereka. Tentu tidak serius karena bukan zamannya lagi cara
seperti itu diterapkan kepada anak-anak mereka, tetapi ide
itu akan membahagiakan kalau sampai terjadi.39
Susan melahirkan anak lelaki, dan Katrin anak
perempuan. Hal itu akan mempermudah untuk merealisasikan ide mereka. Masalahnya anak Susan ada dua,
alias kembar!
"Siapa yang harus kita pilih? Kan nggak mungkin duaduanya," kata Katrin.
Mereka tergelak. Canda yang menyenangkan.
Sesungguhnya, keduanya juga tidak yakin apakah ide
mereka bisa terwujud. Waktu masih sangat panjang ke
depannya. Ternyata, keberuntungan berpihak kepada
mereka. Atau memang sudah jodoh. Keseringan bertemu
antara orangtua membuat anak-anak mereka pun jadi sering
bertemu, lalu ketertarikan antara anak-anak pun terjadi.
Masalah timbul ketika si kembar, Arie dan Alex, samasama tertarik kepada Erwina. Mereka jadi bermusuhan.
Susan menjadi bingung. Demikian pula Katrin. Keadaan
seperti itu di luar dugaan mereka, apalagi kemudian ternyata
Erwina pun tertarik pula kepada keduanya. Tentu saja itu
tidak mungkin. Bagi Erwina, kesulitan timbul karena si
kembar memiliki kesamaan fisik. Sama tinggi, tegap, dan
berwajah tampan. Mereka juga humoris. Bagi Erwina, si
kembar seolah satu orang.
Akhirnya, Susan dan Katrin sepakat minta bantuan
Benny, sahabat si kembar. Benny mengaku ikut bingung. Ia
tak bisa menyuruh salah satu mengalah, atau kedua-duanya
mundur saja. Menurutnya, yang harus memutuskan adalah
Erwina. Apakah ia akan memilih salah satu, atau tidak
kedua-duanya? Yang pasti tidak boleh dua-duanya dipilih.
Erwina minta waktu untuk mengenal Arie dan Alex
lebih mendalam. Untuk itu, ia mengajukan syarat yang harus
dipenuhi si kembar, yakni penampilan mereka tak boleh
disamakan. Potongan rambut harus beda. Pakaian tak boleh
ada yang sama. Hal yang ekstrem adalah salah seorang
harus berkumis. Syarat yang terakhir ini ditentang keras.
Tak ada yang mau berkumis. Alasan keduanya sama, yaitu40
takut menjadi kurang tampan hingga tidak menarik bagi
Erwina. Mereka juga menolak usulan untuk mengenakan
kacamata. Dengan demikian, hanya potongan rambut yang
berbeda dan pakaian yang tak boleh sama itulah syarat yang
disepakati. Erwina memerlukan pembedaan itu supaya tidak
merasa bingung menentukan, yang mana di antara keduanya
lebih menarik hatinya.
Bagi Benny, keadaan itu menggelikan. Sementara itu,
Susan dan Katrin menanggapi dengan cemas. Erwina
memang bisa dan akan memilih. Salah seorang dari kedua
bersaudara itu akan tersisih. Bagaimana jadinya dengan
yang tersisih? Tidakkah dia akan patah hati?
Sebelum situasi menjadi berlarut-larut, tiba-tiba terjadi
perkembangan yang mencengangkan. Alex menyatakan
mundur dengan sukarela dari kompetisi. Ia mempersilakan
Arie melanjutkan hubungan yang lebih serius dengan
Erwina.
Benny terheran-heran. Ia sudah lama mengenal kedua
bersaudara itu. Mereka tak suka mengalah begitu saja dalam
suatu persaingan bahkan berkelahi pun pernah. Benny yang
kerepotan melerai mereka. Pendek kata, di mata Benny
kedua bersaudara itu akan bersaing dan bertarung sampai
"titik darah terakhir". Sampai salah satu benar-benar kalah,
barulah persaingan berakhir. Mengapa mengalah begitu saja
sebelum persaingan dimulai?
"Masih banyak cewek lain," alasan Alex waktu
ditanyai. "Mengapa mau saja diperlakukan seperti badut?
Disuruh pakai kumislah, kacamatalah, lalu aku disuruh
pakai poni!"
Benny tertawa. Lega dan senang. Dia menganggap
alasan itu bagus sekali. Jalan keluarnya menyenangkan
semua orang bahkan Alex sendiri tidak kelihatan patah hati.
Dia ceria saja. Hubungannya dengan Arie pun jadi baik.
Seperti tak ada apa-apa yang mengganjal.41
Sebenarnya, Susan juga heran. Kepadanya Alex
menyampaikan alasan yang sama. Akhirnya, Susan
menganggap tak perlu lagi merisaukan soal itu, apalagi
Katrin sangat senang. Ia sudah takut mereka tak jadi
berbesan.
Setelah Erwina dan Arie menikah, Alex tidak kunjung
berpacaran. Susan menyimpulkan itu karena Alex tidak
pernah membawa cewek ke rumah untuk diperkenalkan
kepadanya. Ia juga merasa kesal karena Alex pindah ke
apartemen, padahal rumah mereka besar bahkan ada
paviliun yang bisa ditempati Alex kalau ingin punya privasi.
Alex punya banyak alasan. Jadi, Susan bertanya kepada
Benny.
"Jangan-jangan dia sebenarnya patah hati, Ben. Itulah
sebabnya dia menyendiri."
"Ah, nggak begitu, Tante. Dia baik-baik saja."
"Dia juga sudah lama nggak ke rumah."
"Sudah. Jangan cemas, Tante."
"Kamu masih sering main ke tempatnya?"
"Ya, Tante. Kadang-kadang saya suka menginap juga."
"Dia suka omong soal Wina?"
"Nggak pernah, Tante. Kayaknya itu sudah masa lalu."
"Soal cewek bagaimana?"
"Temannya banyak, Tante, tetapi kayaknya nggak ada
yang spesial. Belum ketemu saja, kali."
"Kamu sendiri juga masih sendiri saja, Ben. Mengapa
sih?"
"Sama kayak Alex, Tante. Masih cari."
"Tolong ya, Ben. Lihat-lihat dia."
"Beres, Tante."
Sebenarnya, Susan tidak begitu yakin apakah Benny
memang bisa dimintai tolong seperti itu. Ia sendiri tidak
mengenal Benny terlalu mendalam. Sejak kecil sampai
dewasa Benny memang teman main kedua anaknya, Arie
dan Alex. Boleh dikata, ia melihat Benny tumbuh seperti42
halnya kedua anaknya. Tentu saja tidak bisa terlalu dekat
mengenalnya secara mendalam, apalagi dalam perkembangan menuju kedewasaan seseorang bisa saja
berubah. Ia hanya tahu Benny baik dan sopan, suka
menolong, dan kadang-kadang bisa disuruh-suruh.
Benny pernah memberi perhatian kepada Dian, tetapi
Dian tidak membalas perhatiannya. Ia sudah punya pilihan
lain, yaitu David. Pada suatu saat, Susan pernah bertanya
kepada Dian. Mengapa putrinya itu lebih memilih David
daripada Benny, padahal dari segi fisik Benny punya nilai
lebih?
"Entahlah, Ma. Dia sih baik-baik saja. Kadang-kadang
dia suka membuat aku merinding," jawab Dian.
"Apa?" Susan terkejut.
"Ya, begitulah." Dian seperti kelepasan bicara.
"Memang ada apa?"
"Nggak apa-apa. Cuma perasaan saja, kali."
"Jangan membiarkan diri larut dalam perasaan."
"Ya, Ma. Toh nggak masalah karena aku nggak suka
bergaul dengan dia. Jangan cerita kepada Arie dan Alex ya,
Ma."
"Tentu saja. Nggak ada gunanya, cuma bikin masalah."
Sebenarnya, Susan tidak menyukai perkataan Dian itu
karena jadi mengganggu pikirannya. Ia jarang bertemu
Benny. Kalau berkomunikasi pun biasanya lewat telepon.
Setelah itu, bila bertemu ia jadi kerap mengamati Benny.
Apa sih yang dilihat Dian? Ia tak pernah bisa memahami.
Susan belum pernah menjenguk Alex di apartemennya.
Setiap kali ia menelepon, Alex selalu mengatakan ia sedang
berada di luar dan baru pulang malam hari. Lembur. Ia
bekerja sebagai teknisi komputer. Kalau ia berniat datang
pada hari libur, Alex mengatakan ia sedang bertugas ke luar
kota. Ada saja alasannya.
"Begitu sempat biar aku saja yang bertemu Mama.
Jangan Mama yang capek-capek ke sini," kata Alex.43
"Mama nggak capek kok. Ingin lihat apartemenmu juga
sih."
"Kecil, Ma. Kamarnya cuma satu. Berantakan lagi."
"Kamu selalu punya alasan. Jangan-jangan di sana ada
orang, ya," kata Susan, dengan nada menggoda. Ia juga
sekalian mengorek.
"Ah, orang siapa, Ma? Cewek? Wah, nggaklah. Kalau
memang ada, aku pasti sudah bawa ke rumah."
"Betul ya, Lex? Mama sudah kangen kepada kamu."
"Aku juga kangen, Ma."
"Kalau kau berniat datang, kasih tahu dulu, ya? Nanti
Mama masak."
"Masak lodeh ya, Ma? Pakai rebung." Suara Alex
kedengaran bersemangat.
"Ya, ya. Tentu. Secepatnya, ya."
Ucapan Alex itu meyakinkan Susan sebenarnya Alex
memang merindukannya, tetapi kesibukan pekerjaan
menghalangi niatnya. Ia merasa lega dan senang karena
yakin segalanya baik-baik saja.
Sayangnya, kelegaan dan rasa senang itu tidak
berlangsung lama. Belum lagi ia sempat bertemu Alex,
sebulan setelah percakapan telepon itu, ia mendapat kabar
mengejutkan dari Benny. Alex masuk rumah sakit karena
demam tinggi. Semula, ia mengira Alex terserang penyakit
demam berdarah. Ternyata, diagnosis yang disampaikan
dokter mengerikan. Alex kena meningitis atau radang
selaput otak. Tak sampai seminggu Alex dirawat, ia
meninggal.
Pukulan itu berat sekali bagi Susan. Ketika ia
menunggu-nunggu kapan bisa bertemu Alex, ternyata Alex
malah pergi untuk selamanya. Tak ada lagi kesempatan
baginya. Pintu sudah tertutup.
Arie juga menangis keras. Belum pernah dia menangis
seperti itu. Susan tersadar, dirinya masih punya Arie. Arie
kehilangan kembaran, yang mungkin punya keeratan batin44
yang lebih besar dibandingkan dengan saudara kandung
Iainnya atau bahkan dengan ibunya sendiri. Susan
menghibur Arie, demikian pula sebaliknya. Pada saat itu,
Susan memperoleh kembali kedekatannya dengan Arie,
yang semula merenggang setelah Arie kawin. Keduanya
hampir tak terpisahkan menjelang dan sesudah pemakaman.
Arie melupakan Erwina. Susan melupakan Dian dan cucucucunya, seolah-olah sama-sama memiliki keinginan untuk
memperbaiki dan mengisi kembali kekosongan yang pernah
terjadi dalam hubungan mereka.
Katrin ingin menghibur dan mendampingi sahabatnya,
tetapi sadar ia harus menyisih untuk Arie. Ia beralih kepada
Erwina. Tentu putrinya itu pun merasa kehilangan,
meskipun tidak sesedih Susan dan Arie. Erwina pun harus
menyisih dari Arie untuk memberi tempat kepada Susan.
Seharusnya, sebagai seorang istri Erwina bisa jadi penghibur
bagi Arie. Dengan kecewa Katrin melihat Erwina sudah
didampingi Benny. Keduanya tampak berpegangan tangan
erat.
Setelah waktu berlalu dan kehidupan yang rutin
kembali harus dijalani, mereka menyadari bahwa betapapun
berat kesedihan dan kehilangan tidak bisa terus bergantung
kepada orang lain. Mereka tidak mungkin terus berpelukan
dan memberi penghiburan. Segalanya harus dihadapi
sendiri.
Ternyata, ada hikmah dari keadaan itu. Susan kembali


Misteri Dua Cinta Dalam Satu Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dekat dengan Arie.
Hanya Katrin yang merasa kehilangan. Apakah Erwina
mendapatkan tempat bergantung yang baru? Seseorang yang
bukan Arie?45
3 MASIH hari Sabtu yang sama. Malamnya.
Menjelang tutup toko, Arie menelepon Erwina
mengajak pulang bersama. Ia akan menjemput Erwina di
butiknya. Biasanya Erwina naik taksi. Erwina mengatakan
ia akan menutup toko lebih awal karena merasa kurang enak
badan. Reaksi Arie di telepon membuat Erwina merasa tidak
nyaman. Perhatian yang diberikan Arie dianggapnya
berlebihan.
"Kau sakit apa? Mau ke dokter atau mau kubelikan
obat?"
"Ah, nggak usah. Aku cukup istirahat. Paling masuk
angin."
"Kalau begitu, mendingan aku jemput saja. Aku bisa
tutup siangan. Tunggu sebentar saja, Say."
Panggilan "Say" itu tiba-tiba jadi menggelikan bagi
Erwina. Sudah lama ia tak mendengar panggilan itu keluar
dari mulut Arie. Ia malah terbiasa mendengarnya dari mulut
Benny.
"Sudahlah, Ar. Aku pulang dulu saja, ya. Biar bisa
masak seadanya."
"Masak? Jangan! Untuk apa capek-capek. Nanti aku
beli makanan. Kau mau apa?"
"Apa saja. Jangan banyak-banyak."
"Beres. Mendingan juga makan di rumah, ya. Ada yang
ingin kulakukan untukmu."
Erwina jadi ingin tahu. "Apa itu?"46
Arie tertawa, kedengaran senang. "Surprise dong.
Pokoknya, nantilah."
Setelah percakapan berakhir, keraguan Erwina kembali
memuncak. Apa sebenarnya yang ingin dilakukan Arie
untuknya? Keingintahuannya menggigit, padahal waktu
sudah hampir habis. Benny sudah menetapkan waktunya.
Pukul delapan malam atau usai makan malam. Barangkali
bisa diundur?
Ia menelepon Benny.
"Apa? Diundur?" Benny kedengaran gusar. "Memang
ada apa?"
"Nggak apa-apa. Diundur kan bisa, Ben. Bagaimana
kalau besok?"
"Aduh, kau lupa ya. Besok ibumu pulang. Juga Bi Iyah.
Sekarang saat yang paling tepat."
Erwina terdiam sejenak. Ia tidak menyukai nada suara
Benny, yang seperti membodohi.
"Win, dengar!" Benny merendahkan suaranya, nadanya
membujuk. "Sori, ya. Aku merasa tegang. Mungkin kau
juga. Apakah kau takut?"
"Entahlah. Aku..."
"Sudah, jangan takut. Pikirkan apa yang telah dia
perbuat kepadamu. Kalaupun dia minta maaf sekarang, itu
nggak bisa menghapus perbuatannya. Dia sudah menghinamu. Merendahkanmu."
"Ya... sih, tetapi kita jadi... jadi... pem... pembunuh,"
kata Erwina perlahan. Suaranya gemetar.
"Ssst! Jangan bicarakan di sini, Win! Kendalikan
dirimu! Apakah kau baik-baik saja?"
"Aku baik-baik saja." Erwina jadi merasa lebih percaya
diri mendengar nada suara Benny yang lembut dan mendukung, padahal tadi ia sempat kesal. Biasanya Benny tidak
pernah bicara dengan nada gusar seperti itu, tetapi ia bisa
menerima alasan Benny. Mereka sama-sama tegang.47
"Tenangkan dirimu! Kalau sudah tenang, segalanya
akan lancar. Ingat selalu! Aku sangat mencintaimu, Win."
"Aku juga, Ben."
Erwina memang menjadi tenang. Kegelisahan semula
bahkan keingintahuan yang menggigit tadi, terasa lenyap
oleh belaian lembut kata-kata penuh cinta.
"Jadi, mantap ya? Kau telepon aku sesuai perjanjian,
ya?"
"Ya."
"Bagus, Sayang. Ingatlah! Secara fisik aku memang
tidak bersamamu saat ini dan nanti, tetapi pikiran dan
perasaanku lekat kepadamu. Ingat kepadaku maka kau akan
kuat!" kata Benny, dengan suara mendayu-dayu.
"Ya," sahut Erwina, sambil memejamkan mata. Alunan
suara Benny mempesonanya. Menyenangkan dan membuai.
Erwina mematuhi anjuran Benny hingga ia bisa
mematikan perasaannya terhadap Arie. Ia bisa merespon
sikap dan ucapan Arie tanpa merasa tersentuh. Ia bisa
membuat dirinya seperti robot, yang tak berperasaan. Ia
sedang berjuang mencari kebahagiaan, dan juga menuntut
keadilan dengan cara apa saja yang bisa ia lakukan.
Erwina menjadi pintar berpura-pura ketika berhadapan
dengan Arie. Ia menyambut kepulangan Arie dengan
hangat. Menerima dan membalas pelukan atau ciuman.
Sikapnya hangat, tetapi hatinya dingin.
Mereka makan bersama dengan ceria. Erwina tidak
kehilangan nafsu makan, meskipun sangat sadar apa yang
akan ia lakukan sebentar lagi.
Arie meraih kedua tangan Erwina, dan menggenggamnya dengan erat.
"Aku tahu, kau tentu merasa heran mengapa aku tibatiba jadi begini. Setelah cukup lama aku bersikap buruk
kepadamu, tiba-tiba sekarang aku berbaik-baik. Kau tentu
berpikir aku gombal atau ada udang di balik batu. Bukan itu,48
Win. Aku sungguh-sungguh tobat. Aku menyesal telah
memperlakukanmu dengan buruk. Ya, aku dan Alex."
Erwina terkejut. Jadi, Arie sudah tahu bahwa ia tahu?
Erwina diam saja, menunggu apa lagi yang akan dikatakan
Arie.
Arie mengangguk, seolah memahami pikiran Erwina.
"Ya, aku dan Alex bersalah kepadamu. Keji sekali. Aku
sekalian mau menyampaikan maaf dari Alex. Aku pernah
berpikir, jangan-jangan ia sakit karena kesalahannya itu. Ia
kena kutuk."
Erwina menunduk untuk menyembunyikan ekspresi
wajahnya yang mengeras. Dalam hati ia mencemooh.
Apakah kau takut kena kutuk juga maka sekarang buru-buru
berubah sikap? Sebentar lagi kau memang akan kena kutuk!
Ketika ia mengangkat kepala, ekspresi keras di
wajahnya sudah lenyap. Ia malah tersenyum. Tampak manis
sekali hingga tatapan Arie jadi berbinar penuh sayang. Ia
menciumi kedua tangan Erwina bergantian.
"Kau ingin bilang apa, Sayang? Katakan saja! Maki
aku! Labrak aku! Pukul aku juga kalau kau mau!" kata Arie
dengan wajah cemas, tetapi optimis.
Erwina menggeleng dengan senyum makin lebar. Oh,
aku bukan cuma akan memukulmu, tetapi lebih dari itu!
"Aku nggak perlu bilang apa-apa. Alex sudah nggak
ada, dan kau sudah menyesal."
Arie melompat dari duduknya, ialu berlutut di depan
Erwina. Kepalanya direbahkan di atas pangkuan Erwina.
Tiba-tiba ia tersedu. Bahunya bergoyang-goyang membuat
paha Erwina ikut bergoyang.
Erwina tercengang, tetapi membiarkan saja.
Spontan saja tangannya hinggap di atas kepala Arie,
tetapi diam membeku tanpa gerakan membelai. la teringat
kepada Benny. Bukan saja tangannya yang membeku, tetapi
juga hatinya. Ah, air mata buaya!49
Arie tidak merasakan kebekuan Erwina. Sentuhan
tangan di atas kepalanya saja sudah cukup menjadi pelipur.
Ia melepaskan pelukan, lalu melompat mencari tisu. Setelah
menyeka mukanya, ia kembali ke sisi Erwina yang masih
saja termangu.
"Terima kasih, Win," kata Arie, dengan suara tersendat.
"Kau perempuan yang luar biasa."
Erwina tersenyum, tetapi matanya tidak menatap
kepada Arie.
Sejenak Arie memandang Erwina dengan heran, seolaholah ada yang kurang pas dengan senyum Erwina. Apakah
Erwina tulus memaafkannya? Ia tidak mau meragukan hal
itu karena sudah terlalu gembira mendengar ucapan Erwina
barusan. Erwina selama ini mengetahui perbuatannya, tetapi
diam saja. Itu sudah merupakan hal yang istimewa baginya.
Arie bangkit berdiri.
"Sebentar ya, Win. Ada yang ingin kuberikan."
Erwina diam saja. Ia seperti tidak mendengar dan
menyadari kepergian Arie. Tatapannya tertuju ke jam
dinding. Hampir pukul delapan. Benny sudah menunggu di
luar sana. Ia harus segera bertindak. Sebelum ia berdiri, Arie
sudah kembali.
Arie menyodorkan sebuah kotak kecil kepada Erwina.
Ia segera tahu isi kotak itu pastilah perhiasan. Sejak
menikah Arie belum pernah memberinya hadiah seperti itu.
"Ayo, bukalah!" Arie menyentuh tangan Erwina.
Sejenak Erwina ragu-ragu. Ia tidak ingin terpengaruh
pada saat-saat akhir, tetapi tidak mungkin menolak.
Dibukanya tutup kotak. Ada kilau menyambar matanya.
Sebuah kalung emas dengan leontin bentuk hati, yang
bertabur berlian kecil-kecil. Ia terpesona. Indah sekali, tetapi
mengapa baru sekarang?
Arie mengamatinya. "Bagus nggak? Kau suka?"50
"Bagus sekali. Terima kasih, Ar." Erwina berkata tulus
sesuai suara hatinya. Memilih benda seperti itu pasti bukan
karena kebetulan, tetapi dilakukan dengan selektif.
"Sini! Kupakaikan."
Sebelum Erwina berkata sesuatu, Arie meraih kalung
itu, lalu melingkarkannya di leher Erwina. Setelah itu, Arie
menggandengnya ke depan cermin. "Lihat, Win! Cantik
sekali!" la berseru.
Erwina harus mengakui, ia memang kelihatan cantik
dengan kalung itu. Kebetulan ia mengenakan baju dengan
potongan leher yang rendah hingga kalung itu jadi tampak
menonjol. Serasi dengan kulitnya yang putih bersih.
Tatapannya kemudian beralih ke mata Arie di belakangnya.
Mata itu tampak berbinar. Ia melengos.
Arie menunduk, mencium pundak istrinya. "Kau cantik,
dengan atau tanpa kalung."
Erwina berbalik, menerima ciuman Arie. Lamakelamaan ciuman itu terasa semakin panas. Tangan Arie
meremas pinggulnya. Erwina merasa cemas. Ia teringat
kepada Benny. Kalau dibiarkan, ciuman itu akan berlanjut.
Ia menarik tubuhnya.
"Kau mau minuman? Aku haus," katanya.
"Oh!" lenguh Arie malas, "Minumnya di kamar saja,
ya?"
"Oke. Kau tunggu di kamar. Aku nggak lama."
Dengan senang hati Arie bergegas ke kamar tidur.
Gairahnya sudah melonjak-lonjak.
Sementara itu, Erwina buru-buru ke dapur. Ia
mengeluarkan dua kaleng minuman ringan. Satu berwarna
kuning, satunya lagi ungu. Ia menuangkan isinya ke dalam
gelas. Setelah itu, ia mengambil sebuah peles kecil dari kaca
berisi kapsul warna merah setengah penuh. Ia mengamati
peles itu sejenak. Saat itu, kilau kalung yang dipakainya
dipantulkan peles itu. Ia terpana sejenak, lupa apa yang akan
dilakukannya. Dipaksanya matanya untuk berpaling. Ia51
membuka peles, lalu mengambil beberapa butir kapsul.
Kapsul-kapsul itu dibukanya, dan isinya dimasukkan ke
dalam minuman berwarna ungu. Setelah habis dengan cepat
ia mengambil lagi beberapa, lalu melakukan hal yang sama.
Mendadak tangannya berhenti. Masih ada sisa kapsul di
dalam peles. Kilau kalungnya terasa mengganggu. Ia
menumpahkan sisa kapsul di peles ke telapak tangannya,
lalu memasukkannya ke dalam lubang pembuangan
wastafel! Keran air dibuka, dalam sekejap kapsul-kapsul itu
tak tampak lagi.
Ia mengaduk minuman warna ungu dengan sen-dok
kecil. Sesudah itu, ia bergegas ke kamar. Jangan sampai
Arie ketiduran! Ternyata, Arie menunggu kedatangannya
dengan hanya bercelana dalam. Tiba-tiba ia merasa jengah.
"Ayo, kita minum, Win! Untuk masa depan yang lebih
baik!" seru Arie.
Erwina menyodorkan gelas minuman warna ungu
kepada Arie. Ia minum sedikit-sedikit sambil mengamati
Arie yang menenggak minumannya. Arie seolah-olah tidak
merasakan ada perbedaan rasa. Mungkin disebabkan karena
dia tengah bergairah.
"Ayo, cepat minumnya, Win!"
Arie menggapai Erwina sambil tetap menenggak
minumannya. Erwina duduk mendekat. Ia meletakkan
gelasnya di meja samping tempat tidur. Ia tak sanggup
menghabiskan minumannya karena merasa terlalu tegang. Ia
mengamati Arie dengan berdebar-debar. Minuman Arie
tinggal sedikit. Mengapa belum ada reaksi? Apakah hal itu
disebabkan ia hanya memasukkan setengah dari jumlah
kapsul yang diberikan Benny? Sebenarnya, instruksi Benny
semua isi kapsul itu harus dimasukkan ke dalam minuman
Arie.
Arie menghabiskan sisa minumannya sambil meremasremas paha Erwina, lalu menjelajah ke sebelah atas. Erwina
pasif saja. Ia sama sekali tidak merasakan gairah karena52
dicekam ketegangan dan ketakutan. Apa yang akan terjadi
nanti? Sekarang sudah tidak bisa mundur lagi.
Akhirnya, Arie meletakkan gelasnya di atas meja, lalu
menarik tubuh Erwina hingga mereka berimpitan di atas
tempat tidur. Ciumannya ganas menghujani tubuh Erwina.
Gaun Erwina ditariknya hingga melorot, lalu bibirnya
mengikuti arah jatuhnya gaun terus ke bawah. Tangannya
juga sibuk menyingkirkan gaun dan apa pun yang masih
melekat pada tubuh Erwina. Arie seperti terbakar oleh
gairahnya yang meledak-ledak. Ia sampai tidak menyadari
betapa dingin sikap Erwina.
Dalam keadaan berbeda pastilah Erwina tidak akan
seperti itu, seperti kemarin malam misalnya. Saat ini, rasa
takut mencengkamnya. Kapan? Kapan? Apakah Arie akan


Misteri Dua Cinta Dalam Satu Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sempat menuntaskan permainan cintanya itu sebelum...?
Erwina merasakan kejantanan Arie mengeras disertai
bunyi lenguhan bagai sapi mabuk. Arie mulai mengimpit
tubuhnya, yang berkeringat dingin. Kalung yang masih
dipakainya serasa menempel pada kulitnya.
Tiba-tiba bunyi-bunyian dari mulut Arie lenyap.
Tubuhnya melemas, dan kepalanya terkulai. Berat tubuhnya
menekan sepenuhnya ke tubuh Erwina. Kejantanannya pun
tak terasa lagi. Seluruh tubuhnya lemas dan lunglai.
Erwina mendorong tubuh Arie ke pinggir. Ia melihat
mata Arie terbelalak, seperti terkejut atau terheran-heran.
Buru-buru Erwina menutup kelopak mata Arie. Ia merasa
ngeri karena mata membelalak itu tampak gusar dan
menuduh. Sesudah itu, ia memeriksa Arie. Masih bernapas,
dan jantungnya masih berdenyut.
Sebelum menelepon Benny, ia merapikan gaun dan
rambutnya. Setelah itu, ia mengenakan pakaian ke tubuh
Arie. Celana dalam, jins, dan baju kaus. Kemudian, ia
meraih ponselnya.
***53
Rumah Arie terletak di wilayah yang rimbun dengan
pepohonan. Satu rumah dengan lainnya berjarak cukup jauh
karena memiliki halaman luas dengan banyak pohon. Masih
ada lagi dinding pembatas dari tembok. Oleh karena itu, apa
yang terjadi di rumah yang satu tidak mudah terlihat oleh
tetangga kiri-kanan.
Erwina membukakan pintu pagar bagi mobil Benny,
yang melesat memasuki halaman menuju depan rumah.
Setelah itu, Erwina kembali mengunci pintu pagar. Untuk
daerah yang sepi selalu ada kelebihan dan kekurangan.
Kelebihannya tak direcoki tetangga, dan kekurangannya
bisa menjadi target empuk penjahat.
Begitu berada di dalam rumah mereka berpelukan.
Setelah melepaskan pelukan, tatapan Benny tertuju ke dada
Erwina. Ia tampak kaget.
"Ada apa?" tanya Erwina heran.
"Kalung dari mana itu?" tanya Benny. Ia meraih dan
mengamati leontin.
Erwina baru ingat. "Dari Arie. Dikasihnya tadi,"
sahutnya, dengan perasaan tak enak. Ia lupa melepasnya
tadi.
"Cepat buka! Simpan saja!" kata Benny, dengan
bernafsu, seolah-olah ia tak sabar ingin merenggut kalung
itu dan melemparnya jauh-jauh.
Erwina bisa memahami sikap Benny. Mungkin ia iri
melihat hadiah yang indah itu atau merasa tak nyaman
karena ingat kepada Arie.
Pada saat melepas kalung itu tanpa sadar air mata
Erwina berlinang. Ada beban berat menindih batin dan rasa
sakit menusuk ulu hati. Arie, maafkan aku!
"Lho, kok menangis sih? Ayo, sini!"
Benny meraih Erwina ke dalam pelukannya. Ia
mencium dan mencecap air mata Erwina dengan bibirnya.
Tangannya membelai kepala Erwina, lalu menepuk-nepuk54
punggungnya. Erwina merasa tenang kembali. Di dalam
pelukanmu aku akan selalu yakin dan tidak pernah
menyesali apa yang kuperbuat.
"Aku mau melihat Arie," kata Benny kemudian.
"Aku nggak mau ikut."
"Ya, sudah. Kau tunggu saja di sini!"
Benny mengeluarkan dua pasang sarung tangan dari
sakunya. Sepasang ia berikan kepada Erwina.
"Kau pakai ini. Kita harus hati-hati. Jangan sampai
meninggalkan jejak."
Benny masuk ke kamar tidur. Ia melihat sosok Arie
terbujur dengan pakaian lengkap. Arie tampak seperti
sedang tidur lelap. Benny memeriksanya dengan teliti. Ia
mengerutkan kening, kemudian keluar menemui Erwina.
"Dia masih hidup, Win."
Erwina tertegun. Ia tak mau memberitahu bahwa tadi ia
tidak menggunakan semua kapsul yang diberikan Benny.
Sebagian sudah dibuangnya.
"Nggak apa-apa," kata Benny, tanpa menunggu
komentar Erwina. "Dia memang harus dibuat benjol sesuai
rencana. Mana barang itu? Aku bereskan dia. Kaubereskan
dompetnya. Jangan lupa kuncinya!"
Dari kolong lemari di dapur Erwina mengeluarkan
sebatang pipa besi, sisa pemasangan pipa air minum. Ia
memberikan pipa itu kepada Benny, yang segera kembali ke
kamar. Erwina membereskan dompet Arie. Ia mengosongkan isinya, hanya menyisakan KTP saja. Itu sesuai dengan
rencana. Kalau Arie ditemukan dan segera diketahui
identitasnya, prosesnya bisa cepat selesai. Ponsel Arie ia
siapkan untuk dibawa dan dimusnahkan oleh Benny. Barang
itu tidak boleh ditinggalkan di rumah. Sekarang, orang ke
mana-mana terbiasa membawa ponsel. Bisakah dipercaya
kalau dikatakan bahwa ponselnya tertinggal di rumah justru
pada saat itu? Kalau tidak ditemukan pada dirinya maka bisa55
disimpulkan perampok telah mengambilnya bersama isi
dompetnya.
Di samping dompet masih ada benda lain yang perlu
dimasukkan ke dalam saku Arie, yaitu kunci rumah. Ada
sepasang kunci yang diikat jadi satu.
Kunci pagar dan kunci rumah. Kalau pergi dan pulang
malam Arie biasa membawa kunci supaya bisa masuk
sendiri.
Benny membalik tubuh Arie dan kepalanya ditelungkupkan, lalu ia mengayunkan pipa ke belakang kepala
Arie. Sekali saja, tetapi cukup keras. Sesaat ia ragu-ragu,
apakah perlu dua atau tiga kali lagi? Bagian yang
dipukulnya hanya berdarah sedikit, tetapi ia yakin
pukulannya cukup keras. Ditambah kondisi teler, yang
disebabkan obat tidur dosis tinggi yang tadi diberikan
Erwina, pasti tidak ada manusia yang bisa mengatasinya
dalam keadaan hidup. Erwina pasti tidak suka kalau banyak
noda darah berceceran karena akan merepotkannya. Ia
memeriksa lagi kondisi Arie. Walaupun masih ada tandatanda kehidupan, pastilah hanya sementara.
Benny memanggil Erwina. Setelah memasukkan
dompet dan kunci ke dalam saku celana Arie, mereka
menggotong tubuh Arie ke depan. Di dalam mobil Benny,
Arie didudukkan di jok depan. Tubuhnya yang lunglai diikat
ke belakang jok dengan tali plastik supaya bisa duduk tegak.
Kepalanya disandarkan ke belakang. Rencananya Arie akan
dibawa ke suatu tempat yang sudah ditetapkan dan disurvei
lebih dulu oleh Benny. Di sana Benny tinggal melepaskan
ikatan itu, lalu menjatuhkan tubuh Arie. Pipa besi yang
dijadikan pemukul kepala Arie ia bawa serta juga. Ia akan
membuangnya di tempat yang berbeda.
Benny pergi sendiri. Erwina mengunci pintu. Ia
membereskan kamar yang berantakan, lalu mencuci bersih
gelas yang tadi digunakan Arie. Sarung tangan ia buang ke
tempat sampah. Ia kemudian mencuci tangannya bersih-56
bersih berulang kali, seolah-olah dengan melakukan itu ia
ingin membersihkan diri dari perbuatan kotornya.
Ketika teringat pada kalungnya, muncul dorongan
untuk kembali mengamatinya. Sesungguhnya, ia sangat
menyukai kalung itu. Belum pernah Arie memberinya
hadiah seindah itu. Namun, ada juga dorongan untuk tidak
melakukannya ketika ia teringat Benny pasti tidak
menyukainya.
Ia tetap mengambil kalung itu untuk diperhatikan dan
ditimang-timang. Ia tidak akan mengenakannya karena
Benny akan marah. Berbeda dengan tadi, kali ini
perasaannya saat menimang kalung itu biasa-biasa saja. Ia
menganggap skornya dengan Arie sudah impas.
Tiba-tiba bunyi ponsel mengejutkannya. Apakah Benny
sudah selesai? Ternyata, yang menelepon Katrin, ibunya.
"Belum tidur, Win?"
"Belum dong, Ma. Kalau sudah tidur kan nggak
menjawab telepon Mama."
"Tadinya Mama takut mengganggu, tetapi Mama Susan
mendesakku menelepon kamu."
"Ada apa, Ma?" tanya Erwina, jantungnya berdebar.
"Dia tiba-tiba merasa nggak enak. Barusan menelepon
Arie berkali-kali nggak diangkat. Apakah Arie sudah tidur?"
"Dia pergi, Ma. Selesai makan langsung pergi. Katanya,
mau ke rumah temannya."
"Kok malam begini belum pulang?"
"Dia kan sudah biasa pulang malam. Mama kan tahu
sendiri kebiasaan dia."
"Bawa kunci?"
"Bawa sih. Nanti aku coba telepon atau SMS dia."
"Ya, Win. Kasihan Mama Susan nih. Dia gelisah."
"Memang belum tidur, Ma?"
"Sudah sih, tetapi barusan tiba-tiba membangunkan
aku. Katanya, mimpi seram. Dia memikirkan Arie. Dia
berusaha menelepon, tetapi nggak diangkat."57
Erwina termangu. Apakah Susan punya firasat?
"Win!" panggil Katrin. "Kau masih di situ?"
"Ya, Ma," sahut Erwina lesu.
"Sudah, pergilah tidur! Arie pasti baik-baik saja."
"Ya, Ma."
Lama setelah itu, Erwina masih termangu. Ia harus
menunggu dulu laporan Benny. Apakah segalanya lancarlancar saja?
*** Di tahun pertama perkawinan, Erwina merasa
bahagia. Baginya, Arie suami yang sempurna. Penuh
perhatian dan cinta. Terutama dalam hal seks, Arie sangat
memuaskan. Arie memiliki potensi atau kemampuan seksual
yang tinggi. Tak ada kata lesu, kurang gairah, atau capek.
Dalam seminggu hampir tak ada hari yang terlewatkan tanpa
permainan cinta yang panas, kecuali pada saat Erwina
"berhalangan".
Erwina sendiri juga menikmatinya. Ia percaya hal itu
disebabkan karena dirinya memiliki daya tarik yang besar
bagi Arie. Dalam kondisi seperti itu, ia yakin tidak mungkin
Arie beralih ke perempuan lain. Arie merasa puas dengan
dirinya seorang. Dengan demikian, kepercayaan dirinya
meningkat.
Di pertengahan tahun kedua, Erwina mulai merasakan
sesuatu yang mengganggu pikirannya. Ada yang mengganjal dan terasa janggal. Bukan karena Arie terlalu aktif
dalam bercinta, tetapi ada sesuatu yang tampaknya tak
mungkin atau mustahil. Sebenarnya, satu atau dua orangkah
yang rutin bercinta dengannya? Arie seorang atau Arie
bersama Alex bergantian?
Pikiran itu membuat ia gemetar oleh amarah. Apa dan
siapakah dirinya sampai diperlakukan seperti itu? Rasanya58
nista sekali, seolah-olah ia cuma dianggap barang yang tak
punya perasaan.
Dulu, ketika ia dihadapkan pada keharusan memilih ia
memang sungguh-sungguh bingung. Ia sulit membedakan
Arie dan Alex. Keduanya memiliki wajah dan postur
yang persis sama. Potongan rambut dibuat sama. Jenis
rambut pun sama, sedikit ikal dipotong pendek. Tak ada tahi
lalat atau tanda lahir di wajah dan sekitarnya. Alis sama
hitam dan lebat, sorot mata pun sama. Bibir, mulut, dan gigi
juga begitu. Tangan dan kaki sama, semuanya berkuku
pendek. Suara dan bunyi tawa pun sama.
Bila direnungkan, kesamaan kedua orang itu mestinya
juga memengaruhi perasaannya. Karena mereka sama maka
mestinya ia juga mencintai dua-duanya. Dua orang itu bagai
satu orang, apalagi ia tak bisa membedakan. Namun, yang
dikehendakinya satu orang saja. Siapa pun di antara
keduanya tak jadi masalah. Arie atau Alex. Ia suka Arie, ia
juga suka Alex. Namun, bukan berarti ia rela dirinya dibagi
bersama antara keduanya. Itu sangat menghina dan
merendahkan. Tentunya mereka pun beranggapan demikian.
Kalau bukan begitu, tentu mereka tak sembunyi-sembunyi.
Itukah sebabnya mengapa Alex mundur dengan
sukarela dari kompetisi? Sebenarnya, ia tidak mundur, tetapi
tetap maju sebagai "partner" Arie! Mereka telah bersekongkol untuk menjadikan dirinya milik mereka berdua!
Kalau Arie menjadi pasangannya secara resmi dan legal
maka Alex menjadi pasangan gelapnya tanpa diketahui.
Bagaimana caranya ia bisa mengendus hal itu?
Salah satu di antara keduanya memiliki napas lebih
pendek daripada yang lain pada saat bercinta. Pada awalnya,
ia tidak menyadari hal itu sebagai perbedaan satu sama
lain. Ia mengira hal itu disebabkan karena Arie sedang
pilek atau meng-alami gangguan pernapasan. Ia tidak begitu
mempedulikan soal itu. Lama-kelamaan hal itu menjadi
rutinitas. Ada hari-hari ia melayani "Arie" yang bernapas59
pendek, tetapi di hari-hari lain ia melayani "Arie" yang
bernapas normal. Hal itu berulang kembali dengan siklus
hari yang sama. Mungkinkah gangguan pernapasan bisa
teratur kumat dan sembuhnya?
Ia tidak ingin curiga karena rasanya itu sangat
keterlaluan. Mustahil seorang suami yang mencintai berbuat
seperti itu, biarpun dengan saudara sendiri, kembar
sekalipun? Setahu dia, lelaki cenderung posesif terhadap
orang yang dicintainya.
Ia harus mendapat kepastian, dan itu mesti ditemukannya sendiri. Didahului dengan pertanyaan, mungkinkah
saudara kembar punya kemiripan dari ujung rambut sampai
ujung kaki? Biasanya bagian tubuh yang bisa diamati adalah
yang kelihatan, seperti wajah dan anggota badan. Bagian
badan yang ditutupi pakaian tak bisa diamati.
Orang lain, bahkan ibu si kembar, tak bisa melakukan
pengamatan bagian tubuh yang ditutupi pakaian itu setelah
si kembar dewasa, tetapi dia bisa. Bukankah selama bercinta
tubuh tak tertutup benang selembar pun? Memang ada
kendala, yaitu penerangan kamar yang temaram pada saat
bercinta. Dalam keadaan demikian sulit rnenemukan adanya
tanda lahir atau tahi lalat dan sejenisnya, sementara tubuh
yang dipeluknya sama-sama padat dan berotot.
Biasanya ia lebih suka memejamkan mata bila sedang
bercinta supaya bisa lebih menikmati apa yang ia rasakan


Misteri Dua Cinta Dalam Satu Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tanpa harus melihat kenikmatan pasangan. Kali ini, ia
membuka mata lebar-lebar. Apa yang ditemukannya
kemudian terasa mengejutkan. Bila sedang berada di puncak
kenikmatan wajah si napas pendek mengernyit begitu rupa
hingga kedua alisnya menyatu dan matanya terpejam.
Berbeda dengan wajah si napas normal yang tidak
mengernyit, meskipun matanya juga terpejam. Justru dengan
mata terpejam begitu, baik si napas pendek maupun si napas
normal tidak bisa melihat bagaimana ia memelototkan mata
mengamati. Dengan berbuat demikian, ia jadi kehilangan60
kesempatan bisa ikut menikmati permainan cinta mereka. Ia
hanya bisa berpura-pura.
Ia juga menemukan benang merah lain, yang ada
kaitannya dengan segala rutinitas yang terjadi. Ada hari-hari
tertentu Arie selalu keluar rumah di malam hari usai makan.
Ia mengatakan mau ke rumah temannya untuk bermain
catur, yang merupakan kegemarannya. Pulangnya jarang
diketahui Erwina karena biasanya ia sudah tidur. Arie
membawa kunci sendiri. Tahu-tahu Arie sudah ada di
tempat tidur di sampingnya, lalu mengajak bercinta.
Sekarang ia tahu Arie memang pergi usai makan malam,
tetapi yang kemudian pulang dan tidur di sampingnya
adalah Alex!
Bila pagi tiba dan keduanya bertatapan muka pada
waktu sarapan dan kegiatan lain, Arie dan Alex sudah tak
bisa lagi dibedakan. Bukan hanya fisik, tetapi tata cara
berlaku dan berbicara juga sama. Hal yang dernikian tentu
bisa saja dipelajari.
Si napas pendek adalah Alex, dan si napas normal
adalah Arie.
Erwina merasa gembira karena berhasil menemukan
penipuan mereka. Ia juga marah sekali, benci dan terhina. Ia
merasa ngeri membayangkan bagaimana kalau dirinya
sampai hamil. Arie dan Alex tidak menggunakan pengaman
saat bercinta. Lantas, anak siapakah itu? Biarpun kembar,
mereka tetap dua orang yang berbeda.
Dendamnya kian menumpuk setiap kali hal itu
berulang, tetapi ia menahan diri tidak meledakkan
emosinya. Ia memikirkan cara dan waktu yang tepat untuk
membalas, apalagi belakangan frekuensi bercinta mereka
berkurang. Alex atau si napas pendek hanya muncul
seminggu sekali, lalu sepuluh hari sekali. Arie pun
mengurangi pula frekuensi bercintanya.
"Capek," alasan Arie tanpa ditanya.61
Erwina memang tidak peduli. Ia sudah menemukan
orang lain, yaitu Benny. Lelaki ini pula yang jadi alasan
mengapa ia bisa mengatasi dendamnya tanpa melupakannya.
Ia menceritakannya kepada Benny. Kemarahan yang
diperlihatkan Benny sampai menakutkan Erwina. Ganti dia
yang menenangkan dan meredakan emosi Benny.
"Kok aku jadi memecah-belah kalian, ya? Dulu kalian
kan begitu rukun."
"Yang salah bukan kau."
"Semua berawal dari aku. Kalau dulu aku tidak mundur
dari persaingan, pasti semua ini nggak akan terjadi."
"Ah, jangan omong begitu. Kembali ke masa lalu kan
nggak mungkin, yang bisa dilakukan adalah merancang
masa depan."
"Apakah kaupikir sebaiknya aku minta cerai saja?"
"Wah, jangan dulu. Rencana harus matang. Kau nggak
akan dapat keuntungan dari perceraian."
"Lalu?"
Erwina kecewa. Ia berharap Benny punya solusi yang
konkret.
"Nantilah, kita pikirkan dulu. Sementara ini, jangan
perlihatkan sikapmu yang sebenarnya. Pura-pura dibalas
dengan pura-pura."
Erwina mematuhi Benny. Semakin dekat hubungannya
dengan Benny, ia semakin jatuh cinta. Bahkan timbul
penyesalan, mengapa dulu ia tidak memilih Benny saja.
Benny sempat menunjukkan perhatian kepadanya. Menurut
Benny, ia tidak mau ikut bersaing karena tak ingin
memperkeruh suasana.
Lalu, Alex terserang virus yang membuatnya sekarat.
Bennylah yang membawanya ke rumah sakit. Erwina
sempat menjenguk Alex, tetapi tak bisa dekat-dekat karena
penyakit Alex tergolong penyakit menular berbahaya.
Erwina ingin sekali mendapat kesempatan berbincang62
dengan Alex. Barangkali di saat akhir hidupnya Alex mau
mengaku dosa kepadanya.
"Percuma. Dia sudah nggak bisa omong," kata Benny.
"Sayang sekali. Aku ingin dengar kata maaf darinya."
"Ah, buat apa? Kalaupun dia sempat bilang maaf, toh
itu nggak tulus."
Erwina cuma bisa mengamati Arie. Tampak jelas Arie
merasa terpukul melihat keadaan Alex, apalagi setelah tahu
prognosis penyakitnya buruk sekali. Pada hari-hari itu, Arie
tak pernah menyentuh Erwina. Bersikap manis dan ramah
pun tidak. Kesannya menghindar. Bagi Erwina, hal itu lebih
baik. Ia juga diam dan acuh saja.
Alex wafat tanpa meninggalkan pesan apa-apa.
"Dia mendapat balasannya," bisik Benny.
Erwina merinding, tetapi dalam hati menyetujui ucapan
Benny. Ia sendiri tidak tahu, apakah sepatutnya ia merasa
puas.
"Tinggal Arie yang belum dapat ganjaran," sambung
Benny.
Melihat wajah Benny yang keras dan geram, ada juga
rasa takut di hati Erwina. Kalau Alex meninggal bukan
karena penyakit, ia akan menduga bahwa Benny-lah
penyebabnya.
Setelah kepergian Alex, hubungan Erwina dan Arie
mendingin. Erwina sendiri bersikap pasif, sesuai instruksi
Benny. Arielah yang berubah. Kalau kebetulan bersentuhan
dengan Erwina, ia seperti kena kontak listrik. Ia bicara
seperlunya saja. Di rumah mereka jarang bertemu. Arie
masih suka pergi di malam hari, seperti kebiasaannya dulu
ketika suka bertukar tempat dengan Alex dan tetap tidak
pernah memberitahu ke mana ia pergi.
Erwina tidak merasa kehilangan apa-apa dengan
perilaku Arie itu. Ia sudah mendapat pengganti untuk
mengisi kekosongan faktor biologis dari Benny. Ia juga63
telah mendapatkan cinta dan perhatian hingga tidak lagi
membutuhkan ibunya untuk masalah itu.
"Apakah orang kembar memang suka begitu, Ben?"
"Entah. Aku nggak mengerti. Semasa suka bermain dan
bergaul, kulihat mereka biasa-biasa saja. Dibilang terlalu
akrab sampai sehati sejiwa juga kayaknya nggak. Lihat saja
bagaimana mereka bersaing memperebutkanmu. Sampai
marahan, kan? Dulu kalau berantem juga karena
memperebutkan sesuatu. Memang cukup sportif sih. Kalau
kalah, ya sudah."
"Mengapa akhirnya mereka membagi diriku?"
"Nggak tahu. Itu mesti kautanyakan kepada yang
bersangkutan. Menurut pendapatku, mungkin cinta Arie
kepadamu nggak begitu dalam hingga rela berbagi karena
dia juga cinta kepada Alex."
"Sekarang kan Alex sudah nggak ada. Kok dia seperti
marah kepadaku. Aku salah apa? Dialah yang salah!"
"Soal itu pun cuma Arie yang bisa menjawab.
Sebenarnya, pada saat Alex sakit Arie sempat bicara
dengannya. Hanya Arie. Tante Susan saja nggak sempat
omong. Aku nggak tahu apa yang dibicarakan karena Arie
nggak bilang apa-apa. Mungkin saja Alex berpesan agar
Arie jangan menyentuhmu karena dia nggak bisa lagi. Kalau
bisa sama-sama, tetapi kalau nggak bisa juga sama-sama."
Erwina terperangah. Teori itu kedengaran fantastis.
"Sudahlah. Untuk apa memikirkan hal yang kita nggak
tahu jawabannya? Lebih baik yang riil saja," kata Benny
kemudian.
Benny kemudian mengajukan usul yang membuat bulu
roma Erwina berdiri.
"Kita eksekusi saja dia!"
"Apa? Membunuhnya?"
"Hus! Bukan begitu istilahnya. Eksekusi tepatnya."
"Sama saja."64
"Nggak, ah. Terserahlah kau menyebutnya apa, yang
penting kau setuju?"
"Mengapa nggak cerai saja? Itu lebih gampang."
"Gampang? Dia sudah membencimu. Nanti jadi tambah
benci. Kau juga nggak dapat apa-apa. Paling cuma butikmu
itu, padahal kurang sukses, kan?"
Erwina perlu waktu untuk menyetujui usul Benny.
"Pikirkan kebencian dan dendammu kepadanya maka
nggak ada lagi keberatan. Dia sudah tega kepadamu.
Mengapa kau nggak bisa?"
Akhirnya, Erwina setuju. Mereka membicarakan
rencana untuk mengeksekusi Arie. Sulit menentukan saat
yang tepat jauh-jauh hari. Nanti saatnya akan datang sendiri,
begitu keyakinan Benny. Saat yang tepat adalah ketika Bi
Iyah minta izin pulang kampung pada hari Katrin menginap
di tempat Susan.
Ketika Arie merayu dan mengajaknya bercinta pada
hari Jumat malam, Erwina menyadari teori Benny tentang
dorongan berbagi di antara kedua saudara kembar itu bahwa
"kalau aku bisa kau bisa, tetapi kalau aku nggak bisa kau
juga nggak bisa" sama sekali meleset. Bukan itu penyebab
sikap dingin Arie. Kalau begitu, apakah sebenarnya Arie
takut kepadanya hingga berusaha menghindar? Ia takut
karena sadar perbuatannya bersama Alex sudah diketahui
Erwina.
"Aku minta maaf untuk perbuatanku bersama Alex."
Itulah yang dikatakan Arie. Mungkin Arie perlu waktu
untuk mengamati reaksi dirinya supaya bisa menentukan
sikap. Setelah ternyata ia pasif saja, tidak melakukan apaapa, barulah Arie mendekatinya. Tentu itu hanya teorinya
saja, yang paling tahu Arie sendiri. Sayangnya, sekarang ia
tak lagi bisa ditanyai.
Kalau begitu, bagaimana Arie menyadari bahwa dia
tahu? Erwina teringat ucapan Benny bahwa di saat terakhir65
Alex sempat berbicara dengan Arie. Apa yang dikatakan
Alex?
Erwina memeras ingatannya ke masa yang sudah lewat.
Ketika ia tengah bercinta dengan si napas pendek atau Alex,
ia mengatakan, "Napasmu lebih pendek." Sesudah itu, tubuh
Alex terasa kaku. Permainan berakhir lebih cepat. Esok
paginya, Alex sudah menghilang sebelum ia bangun. Itu
adalah permainan mereka yang terakhir. Alex tidak datang
lagi. Ia tidak tahu, apakah ucapannya yang jadi penyebab
karena tak lama setelah itu Alex jatuh sakit.
Memang hanya dari Alex-lah Arie bisa tahu bahwa
rahasia mereka sudah terbongkar.
Teorinya itu tak mungkin ia kemukakan kepada Benny.
Ia tak ingin menimbulkan kegusaran Benny.
* * *
Sekarang, tinggal menunggu berita dari Benny. Sendirian
dalam keadaan seperti itu membuat Erwina gelisah. Apakah
roh Arie ada di situ mengamatinya? Ia merasa harus
melakukan sesuatu supaya pikiran-nya tidak ke mana-mana.
Di kamar tidurnya, ia mengamati sekitarnya.
Tatapannya tertuju pada foto-foto perkawinannya dengan
Arie, yang tergantung di dinding. Tiba-tiba kegusaran
melandanya. Ia menurunkan semua foto berbingkai itu, lalu
menatap salah satu di antaranya.
Foto itu menampilkan dirinya dalam gaun pengantin
yang cantik diapit oleh Arie dan Alex, yang mengenakan jas
hitam sama persis. Bahkan sekarang ia tidak bisa
membedakan, yang mana Arie dan yang mana Alex.
Sebelah kiri atau kanannya.
Foto itu ia banting! Kacanya retak, tetapi tak sampai
pecah berhamburan.66
Sesudah itu, ia mengangkut semua foto ke dalam
gudang. Cukup melelahkan karena yang besar hanya bisa
dibawa satu-satu. Itu pun dengan diseret. Ia tak peduli
lantainya menjadi lecet.
Sesudah pekerjaan itu selesai, ia tak perlu me-nunggu
lebih lama lagi.
"Sudah beres," kata Benny di telepon.
"Nggak ada kesulitan?"
"Nggak ada."
Hanya itu saja perbincangan mereka, sesuai perjanjian
sebelumnya. Topiknya berbahaya untuk dibicarakan di
telepon. Ia sudah tahu apa yang harus dikerjakan, yaitu
menunggu lagi. Mungkin bisa ditinggal tidur saja, lalu
menunggu perkembangan. Kalau tubuh Arie cepat
ditemukan, tentu berikut identitasnya, maka ia akan
dibangunkan oleh gedoran polisi. Kelihatannya itulah yang
akan terjadi karena Benny berencana membuang Arie tak
jauh dari kawasan pemukiman. Ada pengecualian kalau
misalnya seseorang mengambil dompet Arie tanpa melihat
dulu isinya, lalu setelah jauh dari situ dan melihat dompet
tak ada isinya ia membuangnya. Kalau sampai terjadi seperti
itu maka perlu waktu untuk menemukan dompet dan
menghubungkannya dengan Arie. Mereka memang sengaja
memasukkan dompet kosong supaya timbul kesan bahwa
Arie korban perampokan. Ponsel dan arlojinya pun tak ada
padanya. Kelihatannya sudah cukup cermat.
Erwina ingin Arie cepat ditemukan supaya ia tak perlu
melapor "orang hilang" kcpada polisi. Bila hilangnya
melebihi dua puluh empat jam maka ia harus melapor.
Kalau tidak bisa dicurigai. Ia merasa tak nyaman bila harus
berhadapan dengan polisi. Ia akan gugup dan salah tingkah.
Erwina teringat ibunya. Ia harus mengirim pesan supaya
ada saksi dan bukti bahwa dirinya resah menunggu
kepulangan Arie.67
Ternyata, Katrin dan Susan belum tidur. Katrin
membalas SMS Erwina dengan menelepon.
"Jadi, Arie belum pulang?"
"Belum, Ma."


Misteri Dua Cinta Dalam Satu Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ponsel Katrin direnggut Susan.
"Ini sudah pukul sepuluh, Win. Apakah sudah biasa jam
segini belum pulang? Dia nggak bilang ke mana? Kau sudah
berusaha menelepon dia?" Susan menyerocos.
"Sudah, Ma. Dia nggak menjawab teleponku. Tenang
saja, Ma. Dia sering pulang malam kok. Biasanya aku
tinggal tidur karena dia bawa kunci."
"Dia pakai mobil?"
"Nggak, Ma. Biasanya pakai taksi. Dia malas buka
pintu pagar untuk keluar-masuk mobil. Tenang saja ya, Ma.
Tidurlah!"
"Nggak bisa tidur, Win. Mamamu jadi ikut-ikutan
nggak bisa tidur nih."
"Begini saja, Ma. Aku akan menunggu dia. Nanti
Mama kukabari lagi kalau dia pulang, ya?"
"Ya, Win."
Saat itu, baru terpikir oleh Erwina betapa Susan akan
kehilangan nanti. Kedua anaknya sudah pergi untuk
selamanya. Ia merasa iba kepada Susan. Mertuanya itu
selalu baik kepadanya. Tak pernah cerewet atau menuntut
ini-itu.
Tak lama setelah itu, tak sampai satu jam, Erwina
mendengar gedoran pada pintu pagar. Polisi sudah
menemukan Arie.68
4 HARI Minggu, sehari setelah kejadian di rumah duka.
Erwina masih berada di rumahnya, ditemani Bi lyah.
Ibunya bersama Susan masih di rumah sakit menunggui
Arie. Semalam Erwina hanya menelepon menanyakan
keadaan Arie.
"Dia masih sama, Win," sahut Katrin. "Kapan kau ke
sini?"
"Besok pagi, Ma. Sekarang kan sudah malam."
"Dengan siapa ke sini besok?"
"Benny, Ma."
"Kalau besok kau datang, aku gantian pulang. Perlu
ambil baju."
"Mama Susan?"
"Katanya, dia mau tetap di sini."
"Baiklah. Sampai besok, Ma."
"Sekarang tidur ya, Win?"
Semalaman Erwina tidak bisa tidur. Ia menempati
kamar ibunya. Kamar tidurnya sendiri masih terasa
mengerikan. Di sana masih tertinggal aroma dan sisa-sisa
aura Arie, meskipun seprai sudah dicabut dan dicuci. Ia
takut bermimpi buruk. Jangankan mimpi, tidur saja tak bisa.
Benny menelepon.
"Bisa tidur, Say?" Suaranya penuh atensi.
Erwina merasa terhibur. "Wah, nggak bisa, Ben."
"Aku maklum. Nggak apa-apa. Nanti juga bisa tidur
lelap."
"Kapan mau ke sana?"69
"Belum pasti, Win. Ada pekerjaan yang mesti diurus.
Kalau kau mau pergi lebih pagi bisa sendiri, kan? Pakai
taksi saja. Jangan bawa mobil."
"Ah, dengan kau saja. Malas pergi sendiri. Eh, kau
sendiri bisa tidur, nggak?"
"Bisa saja," nada Benny seolah-olah itu masalah kecil.
Erwina mengerutkan kening. Bagaimana bisa Benny
tidur dalam keadaan seperti itu? Ia lebih suka bila Benny
pun sama-sama tak bisa tidur seperti dirinya. Senasib dan
sepenanggungan.
"Pasti pakai obat tidur."
Benny hanya tertawa, tetapi tidak mengomentari.
"Semalam kau ke sana, Ben?"
"Ya, dong. Ada si intel di sana. Dia tanya, mengapa kau
nggak datang. Aku bilang kau stres."
"Untuk apa dia di sana?"
"Tentu saja dia ingin tahu. Sama kayak wartawan."
"Wartawan?" Erwina terkejut.
"Ya. Sudah ada dua-tiga orang tuh. Aku sudah pesan
kepada Tante supaya jangan kasih tahu alamatmu.
Wartawan kan suka berlagak seperti detektif. Kalau tanya
kayak interogasi. Aku juga ditanya begitu maka kubentak
saja."
"Omong apa lagi kepada si intel?"
"Sudahlah. Nanti saja, ya."
Erwina hanya bisa termenung-menung. Benny pernah
mengatakan bahwa nanti akan ada efek samping, dan
mereka harus siap mental. "Efek samping" yang Benny
maksud adalah proses penyelidikan dan pemeriksaan, yang
harus mereka lalui. Bisa dimaklumi kalau penyelidik tidak
mau menerima begitu saja kesimpulan bahwa kematian Arie
disebabkan oleh perampokan. Sama sekali di luar dugaan
bahwa efek sampingnya seperti ini. Arie hidup lagi!
Sejak kejadian, ia belum punya kesempatan membicarakan hal itu dengan Benny. Menurut Benny, mereka70
berdua sebaiknya tidak terlalu sering terlihat berdua-dua.
Erwina sependapat. Ia selalu merasa tidak nyaman bila
dipandangi Martin, si intel. Mestinya Martin tidak punya
alasan untuk mencurigai. Ataukah karena ia sendiri yang
paranoid?
Ada perbedaan yang ironis antara malam ini dan malam
kemarin. Malam kemarin ia merasa takut kepada roh Arie,
yang kemungkinan kembali ke rumah lalu menghantuinya.
Malam ini ia takut pada kenyataan bahwa Arie kembali
dalam keadaan hidup. Bukan untuk menghantuinya, tetapi
meminta pertanggungjawaban!
Ia kembali merenungkan dengan cermat apa saja yang
telah dilakukannya terhadap Arie pada malam kemarin.
Pada saat ia memasukkan obat bius ke dalam minuman Arie,
suaminya itu sama sekali tidak tahu. Pada saat Arie akan
bercinta dengannya, Arie juga tidak menyadari reaksinya.
Demikian pula ketika Benny memberinya pukulan di
belakang kepalanya, ia dalam keadaan tidak sadar. Tak ada
alasan mencurigai dirinya maupun Benny. Tak pula ada
alasan menuntut pertanggungjawaban dari mereka berdua.
Ironis juga akibat dari kemungkinan-kemungkinan yang
bisa terjadi. Bila Arie tak jadi hidup atau benar-benar
meninggal maka dia dan Benny adalah pembunuh, yang bisa
dituntut dan dimintai pertanggungjawaban. Memang hal itu
baru bisa terjadi kalau ketahuan, tetapi kemungkinan apa
pun bisa terjadi.
Kalau Arie tetap hidup dan kembali seperti sediakala,
bagaimana dia akan menjalani kehidupan ini selanjutnya?
Tetap bersama Arie atau memilih Benny? Dirinya akan
kembali dihadapkan pada keharusan memilih, yang pastinya
Backstreet Aja Karya Gisantia Bestari The Feels A Fat Karya Windyasari S Dewi Ular Misteri Santet Iblis

Cari Blog Ini