Gema Sebuah Hati Karya Marga T Bagian 1
GEMA SEBUAH HATI
oleh Marga T
GM 401 01 11 0035
Desain cover: cMTc
0 PT Gramedia Pustaka Utama
Jl. Palmerah Barat 29?37
Blok , Lt. 5
jakarta 10270
Hak cipta dilindungi oleh undang?undang
Diterbitkan pertama kali oleh
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
anggota [KAP]
Jakarta, Februari 1976
Cetakan kesepuluh: November 2011
464 hlm; 18 cm
ISBN: 978 - 979 - 22 ? 7658 ? 9
Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta
151 di luar tanggung jawab percetakan
MONIK terlambat lagi, kali ini hampir setengah
jam. Padahal kemarin dia sudah diberitahu oleh
tiga orang temannya, pada tiga waktu yang berlainan,
bahwa kuliah Pancasila atau Civic, mulai jam setengah
delapan. Setengah delapan tepat. Tepat.
Perlahan-lahan Monik membuka pintu nomor dua
dari aula. Ruangan penuh. Anak?anak Kedokteran dan
Kedokteran Gigi. Untung Bapak Siauw tidak melihatnya. Cepat-cepat dia masuk. Kemudian kebingungan
sebab tidak ada tempat.
"Ssst... Monik, duduklah."
Monik menoleh. Laki?laki yang memandangnya itu
tersenyum, sambil melambaikan tangan ke arah kursinya.
"Oh, terima kasih, Martin."
Monik segera duduk. He, he. Cepat?cepat dikeluarkannya sebuah kitab tulis tipis yang tidak diketahui
5 apa isinya. Pokoknya, masih ada beberapa lembar yang
kosong dan itu cukup untuk mencatat kuliah hari ini.
Dikeluarkannya bolpoin. Ah, setan. Dia lupa membeli
isinya yang berwarna biru. Tinggal yang merah. Hm,
menulis dengan warna merah memusingkan mata. Terpaksa diperiksanya kembali tasnya. Ha, untung ada
pensil.
Monik duduk pada baris kesepuluh. Jadi suara bapak dosen yang lembut dan pelan itu tidak begitu
tertangkap olehnya. Dia mencatat tidak keruan. Di
sini kosong. Di sana kosong. Ketika dia menoleh ke
samping, dilihatnya Martin setengah bersandar pada
pintu, mengikuti kuliah dengan mata kosong. Monik
tersenyum. Pasti dia juga tidak mencatat apa yang didengarnya. Martin tidak pernah mencatat kuliah kecuali kuliah patologi anatomi, sebab dia kepala diktat
patologi.
Monik menoleh ke kanan. [ani tengah mencoratcoret buku tulisnya: gambar gaun tanpa lengan, dengan pinggang di bawah dan banyak timpel?timpel.
Monik menggaruk?gatuk lehernya yang tidak gatal.
Dia mencoba kembali memusatkan pikirannya pada
kuliah. Seorang anak Kedokteran Gigi dilihatnya tengah mendengarkan kuliah dengan asyik. Tangan kanannya menyokong kepalanya yang miring ke kanan
dengan siku bertumpu pada lengan kursi. Seluruh tubuhnya tidak bergerak?gerak. Monik memperhatikannya kira?kira lima menit. Dia tidak juga bergerak.
Hm, melamun, pikirnya tersenyum.
"...Memang kalau kita pikir" Monik tidak mendengar sambungannya, lalu tiba-tiba saja beberapa baris
terdepan tertawa. Monik terkejut. Semua mahasiswa
di sekitarnya terkejut. Anak FKG tadi serta-merta
mengubah posisi kepalanya. Tiba?tiba terdengar suara
tertawa seseorang di belakangnya.
"Ssst... kenapa lu tertawa?"
"Tahu. Kan kamerad?kamerad di depan tertawa,
kita mesti tertawa juga dong. Daripada dapat catatan:
'kurang disiplin, sebab tidak ikut tertawa,?!"
Sekarang beberapa orang lain ikut tertawa, entah
karena rekan mereka itu lucu atau karena takut dapat
catatan: kurang disiplin. Monik memandang ke pintu.
Martin tengah asyik memandangi sepatunya.
"'lhe New Emerging Forces ini adalah tantangan
bagi imperialis?imperialis yang..." Monik kehilangan
sambungannya. Apa boleh buat. Dia terpaksa membeli
diktat kuliah hari ini. Catatannya ngawur semua. Diletakkannya pensilnya lalu dipeluknya lengannya sampai kuliah selesai.
Tengah dia berkemas?kemas mau berdiri, tangannya
digores orang dengan bolpoin.
"Oh. Ada apa, Chien?" tanyanya pada gadis di belakangnya. Karena terkejut, buku tulisnya jatuh. Chien
membungkuk dan mengambilnya.
"Oh, terima kasih."
Chien masih memegangi buku itu, lalu memandang
Monik.
"Engkau mencatat kuliah tadi di dalam buku praktikum?"
"Oh, buku itu sudah tidak terpakai."
Tiba-tiba dia merasa omongannya lebih-lebih tidak
benar.
"Maksudku, aku lupa membawa catatan Civic."
Chien memberikan buku itu tanpa komentar.
"Ada apa tadi?"
"Begini. Aku tidak dapat memperoleh mesin tik.
Tolong tik kuliah tadi ya? Separuh saja. Separuh lagi
akan dikerjakan oleh Chen Ho. Bisa?"
Monik memandang gadis itu lalu mengangguk.
"He?eh. Tapi aku harus diberi catatan sebab tadi
aku tidak mendengar apa?apa."
"Baiklah. Liu akan memberikan catatannya nanti.
Dengan siapa kau akan pergi ke Jenderal Sudirman?"
Monik memang belum mendapat teman.
"Dengan kami, bisa. Chen Ho membawa mobil."
"Oh."
"Monik sudah berjanji mau pergi dengan aku,"
tiba?tiba seseorang berkata.
Monik menoleh.
"Oh, betul. Aku sudah janji dengan Martin"
"Oke." Sambil melambaikan tangannya, gadis itu
berlari ke luar meninggalkan mereka.
"Tik lagi. Tik lagi. Bosan aku. Kuliah tidak berguna."
"Aku akan mengambil alih tugasmu."
"Ah, nanti mereka bilang aku malas, tidak kooperatif, de?es-be, de?es?be."
"Tentu saja mereka tidak usah tahu. Kauterima saja
naskahnya dari Liu."
"Betul, Martin?"
"He?eh! Marilah, nanti terlambat."
Setelah kuliah Pancasila di Grogol, anak?anak Kedokteran tingkat empat pergi ke Rumah Sakit Jakarta
untuk kuliah Kebidanan. Hampir setengah kota harus
dijalani. Monik gembira juga sebab kali itu tidak usah
naik bus yang padatnya... ajubilah! Naik mobil memang ideal. Tapi naik mobil plus indoktrinasi tentu
lebih tidak enak daripada naik Vespa bobrok.
Kuliah mulai jam sepuluh. Akan tetapi Dokter
Gozali sibuk dengan seorang pasien yang rupanya
mengalami perdarahan setelah persalinan. Jadi menunggu dulu. Sebagian pergi ke warung Mak Buntut.
Sisanya berdiri atau duduk di halaman. Ruang kuliah
mereka adalah gedung bobrok dari Akademi Pertamanan. Monik duduk di dalam bersama beberapa
anak perempuan. Ada yang menyalin kuliah penyakit
dalam. Ada yang bengong melamun. Ada yang bercakap-cakap tanpa ujung pangkal. Monik diam saja
mendengarkan mereka.
"Ah, bosan hidup begini," kata Tina. "Monik, keluar yuk."
"Hm, yuk."
Tiba?tiba Monik melihat Steve tengah dikerumuni
oleh anak?anak CGMI. Suaranya lantang. Tapi suarasuara di sekelilingnya lantang juga.
"Mari kita lihat!"
"Pokoknya, percaya boleh. Tidak juga tidak apaapa!" teriak Steve sehingga urat?urat lehernya kelihatan
semua.
"Sudah, sudah," kata Chien. "Dia sudah mengajukan alasan. Ibunya harus dibawanya ke rumah sakit.
Jadi dia tidak dapat mengikuti kuliah tadi pagi."
"Usahakanlah supaya minggu depan kau bisa datang!"
Steve meninggalkan mereka tanpa berkata apa-apa.
Mukanya masih merah. Apalagi kedua ujung telinganya.
"Ada apa, Steve?" tanya Monik.
Steve mencoba tersenyum melihat kedua gadis itu.
"Tidak ada apa-apa. Mereka memang mencaricari."
"Hati?hatilah. Engkau sudah masuk blacklz'st," kata
Tina.
"Ah, semua anak PMKRI sudah masuk hlacklist.
Kaupikir, cuma aku sendiri?"
Mereka berjalan menuju warung, tempat anak?anak
borjuis menghabiskan waktunya. Anak?anak proletariat
seperti Chien tentu saja mempunyai tugas lain yang
lebih mulia daripada duduk?duduk membuang waktu,
ketawa?ketawa macam gorila pacaran.
"Ha... ha ha... ini dia biangnya," teriak Jerry menyambut Steve lalu menyeretnya masuk.
"Setan! Aku baru saja diinterogasi gestapo."
"Kenapa?"
"Biasa. Aku tidak datang lagi."
"Ha... ha... ha bangsat! Mereka percaya? Mereka
percaya?"
"Apa peduliku, mereka percaya atau tidak? Yang
pokok: aku bisa lulus ujiannya."
"Hua... hua... hua..." Markus tertawa gelak?gelak,
macam monyet putih. Markus memang putih, tapi dia
tidak seperti monyet. Baru tertawanya saja yang mirip.
"Ah, aku mau minum. Kalian mau minum apa?"
tanya Steve pada kedua gadis tadi.
10 "Tidak ingin minum."
"Sebaiknya kita kuliah saja. Jangan beri mereka
alasan untuk mempersulit kita," kata seseorang pelan.
Monik mencari arah suara itu. Martin tengah duduk sendiri dengan sebotol Coca?Cola di depannya.
Wajahnya tenang. Seakan-akan bukan dia yang bicara
tadi. Martin memang selalu tenang. Ketika Monik
pertama kali berkenalan dengan dia, wajahnya jauh
dari tampan. Dengan kemeja karung yang bau minyak
ikan, mukanya penuh lumpur. Cuma tubuhnya yang
tinggi dan atletis menunjukkan bahwa dia seorang
yang ramah dan tidak ambil pusing perkara?perkara
kecil.
"Ada apa?"
Monik menahan napas sebentar supaya bau minyak
ikan itu tidak masuk hidung. Dia lupa, kepalanya sendiri baru saja dikeramas dengan minyak itu.
"Sapu lidiku jatuh di jalan," katanya hampir menangis.
Orang asing yang tidak dikenalnya itu tersenyum.
Giginya putih dan rata.
"Jangan kuatir. Ibuku memberi aku dua ikat."
Sapu lidinya memang amat tebal ikatannya. Monik
bersyukur dalam hati terhadap ibu yang penuh perhatian itu. Dia sendiri mana mungkin mendapat sapu.
Baru sebulan di Jakarta. Di mana letak pasar, belum
diketahuinya. Dan pulang ke tempat kos, seisi rumah
sudah tidur. Pergi pagi?pagi: Tante Kos belum bangun.
Kepada siapa mau minta tolong beli sapu?
Seseorang melihat lonceng pemilik warung.
"Apa tidak salah, Bu?" tanyanya menunjuk jam itu.
11 "Oh, tiap pagi dicocokkan dengan radio," sahut
wanita itu tersenyum bangga.
Martin menoleh lalu melihat arlojinya.
"Betul kok. Hampir setengah dua belas."
"Iya, lu borjuis," seru Markus sambil menjambak
rambutnya. "Masih bisa punya arloji ya?"
"Arlojimu ke mana?" tanya Anita.
Markus cuma tertawa. Juga Martin. Paling keras
Jerry.
"Arlojinya untuk makan," seru Steve.
"Bangsat! Buka rahasia. Kau sendiri?! Celana bolong
dibawa ke Pasar Rumput?! Siapa yang mau?"
Tiba?tiba suara mereka stop. Dengan terkejut
Monik menoleh. Di ambang pintu berdiri Liu. Tidak
ada yang bersuara. Tidak ada yang bergerak.
"Tidak ada kuliah. Gozali mau operasi."
"Huh. Brengsek. Coba dari tadi. Aku bisa antre
karcis ke Gelora."
"Apa sih filmnya?"
"Monik, ini catatan kuliah tadi pagi."
"0 ya. Terima kasih, Liu. Aku baru mau menanyakan engkau."
"Yul Botak yang main. Kalau kau tidak nonton sekarang... hm, rasanya tidak akan melihat dia lagi seumur hidup. Kalau mau nonton, ayo. Jam tiga," kata
Anton yang nama bagusnya adalah Jenderal Gendut.
Sebab anak buahnya memberontak semua, dia tidak
lagi menjadi jenderal. Tinggal namanya saja: Gendut.
Liu lekas?lekas pergi.
"Bangsat dia tuh," tunjuk Markus. "Bangsat dia,
12 nontonnya film?hlm NeFo. Hitam?putih. Tidak ada
gitu?gituan. Dansa juga haram."
Monik tersenyum. Ketika inaugurasi setelah perploncoan, mereka mengadakan pesta dansa. Dansa terakhir.
Sebab setelah itu, dansa?dansa dilarang. Tidak prihatin.
Tidak sesuai dengan kepribadian. Monik tersenyum
dalam hati mengingat saat itu. Seorang mahasiswa berdiri di hadapannya, kemudian setengah membungkuk
memintanya berdansa. Dansa pertamanya. Monik memandang laki-laki itu dan tidak ingat siapa dia. Wajahnya tampan. Putih. Tinggi. Tapi dia tidak tahu namanya. Untuk menanyakannya tentu tidak sopan. Ketika
itu mereka memainkan Sail Along Silv'fy Moon.
"Apakah engkau perlu sapu lidi lagi?" suatu ketika
laki?laki itu bertanya.
Sekonyong?konyong Monik merasa panas mukanya.
Dia memang sudah "mengaku dosa", bahwa sebenarnya sapu lidinya bukan jatuh di jalan, bahwa dia memang tidak membelinya. Tempat kosnya cuma beberapa ratus meter dari Universitas, bagaimana sapu
lidi dalam karung dapat jatuh? Martin menunduk dan
tersenyum memandangnya.
Steve sudah mau melompat ke luar. Monik mempercepat jalannya.
"Steve, jemput nanti malam ya?"
Steve menoleh.
"Sura O ya, jangan lupa. Nanti malam Pediatri.
Jam delapan."
"Aku jemput, nanti malam?"
"Oh, trims. Tidak usah, Martin. Masakan: KotaGrogol?Mangga Besar?"
13 "Tidak apa?apa. Ada motor."
"Aku... aku... dijemput Steve."
"Oke deh. Aku antar kau pulang sekarang."
*** Jam setengah delapan, seluruh kelas sudah ada di halaman Rumah Sakit Jang Seng 1e. Menanti Dokter
Tang. Monik memandang berkeliling. Mengherankan.
Selalu begitu. Kelas yang terdiri atas empat puluh
mahasiswa itu selalu terbagi dua: kelompok proletariat
dan kelompok borjuis, menurut istilah Markus. Oh,
mereka sebenarnya sama. Manusia. Makati nasi. Tapi
terbagi dalam dua klik: Merah dan Tidak Merah. Kelompok Merah sebenarnya tidak begitu banyak, tapi
mereka kompak. Sepuluh. Tapi sepuluh yang kompak.
Sedangkan sisanya tersusupi makhluk?makhluk oportunistik yang selalu lihat?lihat gelagat.
Gema Sebuah Hati Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jam delapan kurang lima, dosen datang. Terhadap
dosen?dosen, kedua klik sama hormatnya. Mereka
tahu, Dokter Tang tidak mau menerima honorarium.
Dan bukan perkara kecil, meninggalkan pasien?pasien
yang begitu banyak untuk pergi ke ujung kota lain,
malam?malam.
Mereka semua berdiri tegak, hampir?hampir meinbentuk barisan kehormatan. Dan di sana?sini, anakanak mengucapkan selamat malam. Dokter Tang tersenyum lalu berjalan diiringi Ketua Kelas. Anak?anak
menyusul di belakangnya.
Ruang kuliah terletak di ujung. Lewat dapur. Berdekatan dengan asrama suster. Jam delapan umumnya
14 semua jendela sudah tertutup. Jadi, beberapa mahasiswa yang mata keranjang akan terpaksa membayangbayangkan saja apa yang ada di balik jendela.
Ketua Kelas membuka pintu dengan kunci yang
dimintanya di kantor Suster Kepala. Lalu lampu dinyalakan. Mula-mula nyala, mati, nyala, mati lalu
akhirnya terang juga. Meskipun masih remang?remang.
Terutama dekat papan tulis, kurang terang. Sebentarsebentar dosen bertanya: apakah tulisan saya jelas?,
disusul dengan: minta neon satu lagi, di sini.
"Malam ini akan saya bicarakan mengenai Marasmus dan Kwashiorkor."
Suasana hening. Semua asyik mencatat. Tidak ada
yang melamun. Tidak ada yang mengawasi sepatunya.
Tidak ada yang menopang kepala. Semua sadar dan
asyik. Ruang kuliah itu dibangun oleh FK, berbentuk
ruang bioskop. Memuat kira?kira dua ratus orang.
Kunci dipegang oleh Suster Kepala dan pihak rumah
sakit boleh mempergunakannya.
Martin duduk di belakang Monik. Telinganya mendengarkan kuliah, tapi kedua matanya tidak dapat
melepaskan tengkuk yang putih di depannya. Kakinya
yang panjang berganti-ganti diluruskannya. Pegal. Potongan badan Eropa memang sulit duduk dalam kursi
Asia. Mau diluruskan sekaligus keduanya, tentu kurang sopan terhadap dosen. Terpaksa berganti?ganti.
Monik, menunduk, menulis. Martin juga menunduk.
Tapi dia menulis lebih cepat lalu memperhatikan tengkuk putih itu sebelum Monik sempat mengangkat
kembali kepalanya.
Setengah sepuluh kuliah selesai. Tapi setiap anak
15 mengajukan pertanyaan paling sedikit satu kali, sehingga jam sepuluh lewat baru mereka dapat pulang.
"Monik," seru Liu sambil berjalan menghampirinya,
"dapatkah engkau selesai besok?"
"Besok? Aku harus mengetik kuliah ini juga. Lusa."
"Besok sore?"
Monik menoleh kebelakang. Martin mengangguk
pelan.
"Oke deh, besok sore. Aku bawa kalau kuliah."
Monik menghambur, mencampurkan diri dengan
anak?anak lain. Suara?suara berisik sebentar?sebentar
di?sst?sst?kan oleh suara?suara lain, mengingatkan adanya suster?suster yang sedang tidur.
Monik merasa sedikit dingin. Sambil berjalan dipakainya mantelnya. Tiba?tiba dilihatnya Markus.
"Eh, bagaimana film tadi siang?"
"Oh, begini," katanya tertawa keras?keras sambil
menunjukkan jempolnya. Mulai sinting lagi, pikir Monik lalu tidak memperhatikannya. Dia ikut dalam kelompok lain yang tengah membicarakan peristiwa
tante kos yang ada main dengan anak kos.
Lewat di samping mereka, Pohon Kebusukan.
Anak?anak selalu berhati-hati kalau di dekatnya ada
Pohon Kebusukan. Mula?mula dia dianggap sebagai
anggota Non?Merah, lengkap dengan kartu anggota
dan topi. Namun demikian, dia ternyata adalah anggota terdaftar dari golongan Merah. Spy, kata Steve
dengan bergaya. Waktu baru naik ke tingkat dua,
Monik pernah terpilih menjadi anggora Senat. Dia
sebenarnya kurang suka hal?hal semacam itu, tapi
orang?orang berhasil meyakinkan bahwa dia harus ber
16 sedia ditunjuk untuk kepentingan bersama. Sebab kalau mereka gagal membentuk Senat, maka golongan
Merah yang akan berkuasa. Dan engkau tahu, apa
artinya itu. Ya, ya, tentu dia tahu. Karena itu dia jadi
anggota seksi pendidikan. Formatur mereka mendapat
suara terbanyak.
Esok harinya datang Pohon Kebusukan ke rumahnya. Tante Kos yang tidak tahu siapa dia, sudah tentu
mengatakan bahwa Monik ada di dalam, belum pergi
kuliah.
"Aku datang untuk kepentinganmu," katanya, dan
Monik benci betul sebab dia baru saja mencuci rainbut. Dandanannya yang tidak keruan itu membuatnya
duduk?salah?berdiri?salah.
"Duduklah."
Pohon Kebusukan memandangnya sambil memutarmutar kunci motor dalam tangannya. Monik sama
sekali tidak menyukai pandangan itu.
"Duduklah," didorongnya bangku ke hadapan lakilaki itu lalu dia sendiri duduk di belakang meja tulisnya. Ditunggunya betul?betul sampai tamu tak diundang itu duduk.
"Ada apa?"
"Hm. Mm. Tidak ada apa?apa."
"Tidak ada apa?apa? Engkau mau mengajak aku
lagi menonton sandiwara perkumpulanmu? Sayang sekali kalau begitu, untuk kedua kalinya aku terpaksa
menolak. Sebab perkumpulanku juga kebetulan mau
mengadakan sandiwara pada hari yang sama!"
Pohon Kebusukan memang anggota perkumpulan
mahasiswa yang sedang tenar?tenarnya waktu itu.
17 "Bukan itu... bukan itu... Adalah hak seseorang untuk masuk apa saja yang disukainya, bukan?"
"Tentu, tentu." Monik menghela napas tidak sabar.
"Begini," kata laki?laki itu tergesa?gesa, "engkau terpilih atau boleh dibilang, diajak masuk Senat, bukan?
Mungkin engkau tidak sadar, engkau menjadi permainan saja. Engkau dan beberapa yang lain. Mereka
bukan menghargai engkau sungguh?sungguh, lihatlah
nanti isi perut mereka yang sebenarnya. Kalau terjadi
sesuatu, pasti engkau dan beberapa yang lain akan
mereka tinggalkan. Aku datang sebelum terlambat.
'l'ariklah diri kembali dari pencalonan itu. Jangan turut campur urusan mereka. Engkau kan cuma kuliah.
Jangan..."
"Tunggu dulu... siapa yang kaumaksudkan dengan
'mereka?"
"Mereka... anak?anak PMKRI. Jangan main politik,
Monik. Keluarlah dari Senat."
"Engkau lupa, aku sebagian dari mereka. Dan aku
tidak main politik. Aku benci politik. Aku cuma kuliah, memang betul. Cuma menjadi mahasiswa. Betul.
Dan setiap mahasiswa berhak menjadi anggota pengurus Senat, bukan? Dan seperti katamu tadi, setiap orang
berhak masuk apa saja yang disukainya, bukan? Ya?"
Monik melirik ke samping ketika Tina menyentuh
sikunya. Pohon Kebusukan lewat begitu saja. Purapura tidak melihat siapa?siapa. Memang sejak itu, dia
tidak pernah lagi bilang, Monik, di anu ada film bagus, atau ayo, kita belajar sama?sama. Bahkan menegur
pun tidak.
18 "Sudah bisa Filr Elixe?nya?" tanya seseorang pada
Tina.
"Oh, belum. Memang tidak ada bakat."
"Nanti aku ajari, mau?"
Tina memandangnya dengan tersenyum, namun
menyumpah?nyumpah dalam hati. Lagi?lagi mereka
mau mengambil hati anak?anak Non?Merah. Memang
mereka itu hebat. Segala ahli ada di situ. Dan rajinnya
tidak kepalang. Serta disiplinnya luar biasa.
"Aku sih mau saja. Tapi, begini... bibiku tidak suka
kalau ada teman laki?laki terlalu lama di rumah. Apalagi yang mengajar piano... tentu berjam?jam."
Laki?laki itu tertawa.
"Engkau mengerti, bukan? Maklum, tinggal di rumah Bibi," kata Tina dengan rupa sedih, menyebabkan
teman?temannya hampir tertawa.
"Oh, tentu. Tidak apa?apa. Kapan?kapan engkau ke
rumahku. Aku ajari."
"Oho, oho," kata Tina setelah manusia itu hilang.
"Dia pikir, aku suka padanya? Suaranya seperti gong
dan ideologinya menakutkan."
Tiba?tiba Steve berlari dari depan.
"Monik, aku harus ikut ke rumah Dokter Tang.
Mengambil catatannya untuk distensil. Engkau dapat
pulang dengan yang lain?"
"He?eh."
Steve berlari lagi.
"0 ya, hampir lupa. Monik, kau kan tadi duduk di
depan. Coba lihat catatanmu sebentar," kata Inge.
"Salahmu tidak mau ikut menyusun diktat, jadi ti
19 dak dapat duduk di depan," kata Monik seraya mengeluarkan bukunya.
"Habis. Aku tidak dapat mengetik," keluar alasan
kunonya.
Lampu di lorong itu agak gelap. lnge pergi ke sebelah kanan, tepat di bawah lampu. Yang lain-lain
berjalan terus. Monik terpaksa menantikan temannya
yang sebentar?sebentar menanyakan huruf apa ini atau
kata apa itu. Tulisan Monik memang jelek meskipun
menurut pendapatnya sendiri sudah cukup bagus.
"Hm," dengus Inge sambil mengembalikan buku
itu. "Tulisan jelek. Cuma Martin bego itu yang dapat
membaca tulisanmu tanpa menyumpah?nyumpah."
"Cepat, ah. Nanti mereka semua sudah pulang.
Aku takut pulang sendiri."
Di pintu gerbang sudah menanti ayah Inge yang
tertawa lebar melihat emas?intannya keluar. Monik
berdiri diam, tertegun. Anak?anak semua sudah pulang. Niangga Besar-Grogol, malam-malam? Sendirian?
Tiba?tiba dia menjadi takut. Di Malang, di kotanya,
tentu saja dia tidak takut. Semua orang mengenalnya.
Tapi di sini... Mama! Tiba?tiba dia merasa kedinginan.
Dia tahu ada orang menghampirinya dari sebelah kiri.
Tidak, dia tidak berani menoleh. Orang itu betul?betul menghampirinya. Pasti. Oh, mengapa Inge tidak
mengajaknya dalam Opel Kapiten?nya itu? Dan mengapa dia terlalu angkuh untuk minta diajak dan diantar?
Nieskipun Inge tinggal di Pasar Baru meskipun
orangtua Inge terkenal tidak mau tahu tentang temanteman anaknya, meskipun... Sekarang orang itu sudah
berdiri tepat di sampingnya. Monik berdiri diam mes
20 kipun jantungnya hampir putus. Tiba?tiba sebuah tangan menyentuhnya pelan.
"Ou!" jeritnya betul-betul kaget, tidak menyangka
orang itu berani...
"Monik. Tunggu apa? Pulang."
Oh, Mama. Monik menoleh. Untunglah lampu di
Jakarta tidak begitu terang. Mukanya tidak kelihatan
jelas pucatnya.
"Oh, untunglah engkau masih di sini, Martin."
Martin menggandengnya tanpa banyak bicara.
*** Chien berkeliling memberitahukan bahwa lusa kuliahkuliah distop sebab mereka akan apel ke Lapangan
Banteng, berkenaan dengan Hari Pendidikan Nasional.
Anak?anak mendengarkan saja tanpa komentar. Namun, begitu pinggulnya menghilang, omelan?omelan
mulai terdengar.
"Aku pasti takkan pergi!" kata bionik.
Monik mempunyai wajah seperti pualam. Putih dan
licin. Tidak ada bercak cokelat, tidak ada jerawat. Dan
dia amat teliti memelihara wajahnya. Neneknya berasal
dari Hang-Chow yang terkenal dengan wanita?wanita
cantiknya yang selalu mandi dengan air susu. Ibunya
mempunyai resep jamu turunan untuk memelihara
kulit sehingga tetap putih dan segar. Secara bergurau,
bionik pernah bilang bahwa dia selalu mencuci mukanya dengan air susu, di rumahnya di Malang. Banyak
yang menyangka, itu memang betul.
"Takut muka rusak?" ejek Inge.
21 "Tidak juga. Tapi aku tidak mau naik truk. Sudah
cukup waktu diplonco, dulu itu. Lebih baik mati daripada disuruh naik truk lagi."
"Iya, betul. Untuk apa berpanas?panas di sana? Kaupikir dapat selesai dalam sejam?"
"He-he. Dunia sudah gila barangkali. Aku juga tidak mau pergi."
"Betul. Lebih baik besok kita tentir Bedah. Di rumah siapa?"
"Giliran rumahku. Tapi... tidak apa?apa, kalau besok tidak ikut?"
Setelah kuliah, diberitahukan sekali lagi tentang
apel lusa. Berangkat dari kampus tepat jam tujuh
pagi. Pakaian putih?putih. Pakai peci. Boleh bawa minum. Dan ditambahi embel-embel: ada absensi, siapa
yang tidak datang, tidak diperbolehkan ikut ujian Bedah.
Itulah yang membereskan semuanya. Terjawab, tidak
apa?apa, kalau besok tidak ikut? Monyet, lu... kunyuk... tidak boleh ujian Bedah... dengar.)? Dengar?!
bionik bersandar ke kursinya, menghela napas.
"O ya, Saudara?saudara," terdengar teriak Liu dari
seksi study club, "besok sore jam lima ada study club
di sekolah. Setiap orang boleh datang."
"Setiap orang? Salah?salah mereka kita, kita sudah
menjadi simpatisan CGMI atau mau menjadi anggotanya," desis seseorang yang tampangnya lusuh betul,
sebab teringat panasnya matahari Lapangan Banteng.
Steve kebetulan lewat. Dilihatnya Monik lalu menjatuhkan diri ke dalam kursi di sebelahnya. "Aku kesal, besok!"
22 "Tidak apa?apa. Nanti aku jemput kau. Aku usahakan pinjam mobil."
"Ou. Untunglah. Aku malas disuruh naik?naik ke
atas truk. Dan dijemur!"
"Nanti aku bawakan koran."
Monik melihat Liu menghampiri Martin di sudut.
Dia tampak mengatakan sesuatu, lalu Martin acuh tak
acuh mengeluarkan uang dari sakunya dan Liu memberikan sebuah buku tipis.
"Ssst, apa itu?" tanya Monik, menyentuh Steve.
"hriajalah mereka."
"Mengapa kita tidak ditawari untuk membelinya?"
"Tentu saja tidak. Sebab kita pasti takkan mau
membelinya. Mereka tahu."
"Mengapa Martin ditawari?"
"Mana aku tahu?" sahut Steve dengan sinis. "Ayo,
ah. Pergi. Kuliah Bedah. Jang Seng le."
Anak?anak duduk bergerombol menanti kuliah Bedah. Sebagian masih asyik mengomel pelan?pelan memikirkan lusa. Ada yang mengeluh, sukarnya Bedah,
belum juga masuk?masuk ke kepala padahal ujian tiga
hari lagi.
Ada seorang pegawai rumah sakit yang latah.
"Numpang ya, Noni?noni," katanya meletakkan ember airnya.
Pada saat dia memegang tangkai alat pengepel,
Monik berseru, "Eh, eh, jatuh!" Winita itu betul-betul
hampir jatuh sambil berseru?seru, "Jatuh... jatuh
eh... eh, eh... eeh, ah, Non jangan begitu... hampir
Bibi jatuh."
"Burung kakaktua... hinggap di jendela..."
23 "Burung kakaktua... hinggap di jendela... si Bibi
sudah tua... eh, tua... eh, tua... ah, jangan begitu...
Bibi mau ngepel nih."
Tina menghentikan gerak?gerak tangannya dan wanita itu juga menurunkan lengannya lalu mengambil
kembali pelnya yang jatuh. Inge datang menghampiri
dengan tergesa?gesa.
"Kenapa, Ing? Dikejar setan?"
"Brengsek si Markus. Lagi?lagi minta rokok. Kan
tahu perempuan tidak merokok? Katanya, uangnya
saja deh."
Markus memang gemar meminta rokok dan uang.
Entah sebagai lelucon atau memang betul?betul tidak
punya.
"Duduklah, Inge. Coba terangkan, apa itu marsupialisasi?"
"Oh, mana aku tahu? Kemarin malam, pulang?pulang langsung tidur. Aku belum belajar apa?apa."
Gema Sebuah Hati Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Model Inge. Selalu bilang: belum belajar, tapi ujiannya angkanya bagus?bagus.
"ltulah salahnya kita," kata Tina dengan nada pahit.
"Kita mempunyai kepandaian, disimpan sendiri. Teman
tidak tahu, itu lebih baik. Tidak ada saingan. Lain dengan mereka: apa-apa dibicarakan bersama. Study
sama?sama. Siapa yang kurang tahu, diberitahu."
"Tapi aku betul?betul tidak tahu. Apa tadi katamu,
Monik? Matsu matsu... apa?"
"Aku toh tidak menuduh engkau?" kata Tina membelalak.
Kuliah baru berjalan beberapa menit, ketika masuk
seorang juru potret.
24 "Hei, halo," seru Dokter Chiu, yang rupanya memang menantikan dia.
Niereka bercakap?cakap sebentar, lalu menoleh ke
arah kambing?kambing yang menamakan diri mahasiswa.
"Nah, Saudara-saudara, hari ini kita mendapat kesempatan untuk berpotret sama?sama. Semua ikut."
Lalu Ketua Kelas dipanggil maju.
"Di mana sebaiknya?"
"Bagaimana kalau di muka pintu gerbang, Dok?
Tapi... dekat asrama suster pemandangannya lebih bagus."
"Yah! Kita bukan mencari pemandangan alam. Yang
penting, ada kenang?kenangan bersama."
"Kunyuk, lu," bisik Jerry ketika Ketua Kelas duduk
kembali. "Mau lu ya?! Biar terlihat oleh suster?suster
itu? Lumayan kalau tampangmu..."
"Betul kan maksudku? Di sana banyak pohon bunga dan..."
Tidak ada yang mendengarkannya. Tidak ada yang
pernah mendengarkan Ketua Kelas, kecuali kalau dia
mengumumkan hari-hari ujian serta bahan ujiannya.
Mereka pergi ke halaman luar. Beberapa dokter rumah sakit yang juga mengajar mereka, diundang beserta Suster Kepala. Selesai bergaya, mahasiswa?mahasiswa itu kembali ke belakang dengan langkah?langkah
macam kambing: lesu. Sudah kira-kira setahun, mereka semua lesu. Tidak ada yang berani bertanya: mengapa. Takut mendengar jawaban yang sama dengan jawab yang ada dalam hati masing?masing. Cuma golongan proletariat yang masih bersemangat dan itu
25 menguntungkan sebab ada yang sikut dan tendang
yang membangun semangat. Terlalu lesu akan menyebabkan masing?masing jadi pemarah dan cepat tersinggung. Sebab tidak ada yang dikerjakan. Hati merasa
tidak puas. Badan capek tidak keruan. Pikiran jadi
kurang beres remnya.
*** Martin terlambat menjemput Monik. Sepeda adiknya
tiba?tiba kempes. Karena sudah terlambat, tak ada
waktu untuk menambalkan. Terpaksa dia mengantarkannya.
Dia tengah membereskan buku?buku di kamarnya,
ketika didengarnya ribut?ribut di halaman belakang.
"Kenapa pulang, Simon?" terdengar suara ibunya.
"Sepeda saya kempes, Mama. Papa sudah pergi?"
"Papa sudah pergi."
"Kak Martin sudah pergi?" kali ini suaranya hampir
menangis. Martin keluar dari kamar.
"Martin belum pergi. Dia akan menambal sepeda
)) mu. "Tidak bisa, Mama. Telat. Gerak badan jam tujuh."
Simon memang paling suka pelajaran gerak badan.
"Kalau begitu... Martin Martin...."
"Ya, Mama."
"Tolong antar dia dulu."
Niartin mengerutkan kening sambil melirik arlojinya
"Mengapa? Ada kuliah pagi?pagi? Tidak? Tolonglah
26 antar Simon dulu. Tidak mungkin naik becak ke Menteng. Telat. Antar, ya?"
"Ya, Mama."
Memang tidak mungkin naik becak dari Kota ke
Kanisius dalam waktu lima belas menit.
Martin mempercepat motornya. Kalau Monik marah, kiamatlah dunia. Niereka ada kuliah jam delapan
di Rumah Sakit jang Seng le.
Sudah terlambat ketika dia melihat kelompok?kelompok polisi itu. Tidak dapat lagi kembali. Apa boleh buat. Prriiit... dia menghentikan motornya. Di
dekatnya sudah ada tiga skuter. Seorang di antaranya
tengah diinterogasi.
"Saya mau ujian, Pak. Jam delapan," kata orang itu
mengiba?iba.
Polisi dengan my?bzm itu seakan-akan tidak mendengar. Dia meneliti kertas di tangannya.
"Saudara Rahman? Rahman Suryapranata?"
"Betul, Pak."
"Niengapa pajak kendaraan belum dilunasi?"
"Saya mau, Pak. Tapi belum sempat."
"Dan sudah lewat tiga bulan!"
"Iya, Pak."
"Jadi bagaimana?"
"Bagaimana Bapak..."
Martin dikejutkan oleh beritakan di dekatnya.
"Surat-surat!!"
Niartin mengeluarkan surat?suratnya. Semua beres,
dia tahu. Karena itu dia biarkan bapak polisi itu memeriksanya seteliti mungkin. Pemuda di depannya tengah
membeber dompetnya di hadapan pemetiksanya.
27 "Cuma seratus, Pak," katanya putus asa. "Saya perlu
ujian, Pak."
"Di Teknik, ya."
"Iya, Pak. Tolong, Pak."
Polisi itu mendengus?dengus tanpa komentar.
"Tolong, Pak. Saya terlambat. Setelah ujian nanti,
saya kembali lagi, Pak."
"Tapi motor ini saya tahan."
"Jangan, Pak. Saya perlu lekas?lekas."
"Universitas Baperki, eh," tanya polisi pada Martin.
"Bukan... eh betul, Pak. Niaksud saya, sekarang
namanya sudah menjadi Res Publica. Itu kartu mahasiswa lama."
"Calon dokter, ya?"
Martin tersenyum sedikit tanpa suara.
"Oke, beres," kata polisi itu menepuk bahunya. "Jalan!"
"Terima kasih, Pak."
Pada saat itu Rahman menoleh. Dia tampak gelisah. Martin mendorong motornya.
"Berapa?"
"Go pe."
Dikeluarkannya uangnya.
"Ambillah. Sori, aku duluan ya. Perlu cepat?cepat.
Telat kuliah," dilambaikannya tangannya lalu terbang
secepat kilat.
Monik sudah mondar-mandir dua belas kali dari
pintu kamarnya ke jalan samping. Belum juga datang.
Mungkin dia tidak datang. Biarlah aku tidak kuliah.
Tidak kuliah sekali memang perkara kecil. Tapi kalau dia berani melanggar janji... Monik duduk di atas
28 meja sambil membereskan buku-bukunya. Lalu dia
melompat turun dan masuk ke dalam kamar tidur.
Dikeluarkannya sulaman yang tengah dikerjakannya
lalu duduk menyulam di atas tempat tidur. Tante Kos
rupanya tertarik pada taplak meja yang dibawanya
dari Malang. Berkali-kali dia memuji, Monik bermaksud memberikan sulaman itu sebagai hadiah ulang
tahun si tante.
Kunyuk, si Steve. Mengapa hari ini dia bolos. Kalau tidak, aku dapat pergi dengan dia.
Tok, tok, tok.
"Masuk, Yem. Mau ambil gelas, ya?" tanya Monik.
Tidak ada yang menyahut. Tok, tok, tok.
Siapa ini? Yaaaa.
lN/lonik keluar kamar dan membuka pintu kamar
belajar merangkap ruang tamunya.
"Hm!" katanya bereekak pinggang. "Aku kira tidak
datang. Lain kali aku tidak mau janji?janji. Naik
bemo, pergi sendiri."
Niartin tersipu?sipu, berdiri di ambang pintu.
"Sori, Monik. Aku ditangkap polisi."
"Hm. Kok bisa lolos? Surat?surat tidak beres, ya?"
"Iya," sahutnya berdusta.
*** Jam setengah tujuh pagi Steve sudah memarkir mobilnya di muka pintu samping Monik. Tuter klakson
berbunyi tidak sabar. Monik tergesa?gesa keluar sebentar.
"Ssst, jangan ribut. Aku segera selesai."
29 "Ce..." tapi Monik sudah memasukkan kembali kepalanya dari lubang jendela.
"Tunggu cewek! Kalau belum sejam, bedaknya belum rata," kata Markus.
Steve bermain?main dengan kuncinya.
"Mobil siapa ini?" tanya Ketua Kelas.
"Lu kira mobil siapa? Siapa lagi yang mau kasi pinjam kalau bukan Babe?"
"Kok jelek?"
"Kalau jelek, lu turun. Naik truk!"
"Lho, apa hubungannya? Aku bilang: jelek, kan betul? Aku selalu bicara tanpa tedeng aling?aling."
"Hm, begitu? Coba bicara pada mereka sekarang!
Tanpa tedeng aling-aling. Bilang, kau tidak suka dijemur lima jam di Lapangan Banteng. Bilang! Gua
mau lihat. Lu berani? Berani? Tidak boleh ikut ujian,
tidak apa?apa? Kalau begitu, lu kunyuk!"
"Sekarang mereka mulai memata?matai kita," kata
Ketua Kelas mengalihkan pembicaraan.
"Kenapa baru: sekarang? Sejak dulu aku sudah tahu
hal itu. Di Teknik ada satu yang dikeluarkan. Alasan:
kurang ajar pada dosen, tapi dosen yang mana dan
kurang ajar bagaimana, tidak dijelaskan."
"Pokoknya kontra-revolusi harus keluar," kata Ketua
Kelas dengan gagah, menirukan suara salah satu proletar. "Dalam revolusi, harus selalu ada korban. Lebih
baik keras sedikit dengan hukuman. Orang tidak. bersalah kena terhukum. Itu kan omongan si Chien?"
He, he. Akhirnya nona manis selesai juga. Pakaian
putih?putih. Rok dan blus. Atas?bawah putih, tapi
putihnya berlainan.
30 "Cepat sedikit."
"Iya, Steve. Aku duduk di depan, ah. Di belakang
selalu pusing."
"Oke."
Markus pindah ke belakang. Mereka menjemput
lagi beberapa gadis.
"Lumayan Fiat bobrok ini," kata Markus. "Pokoknya, sepuluh?sepuluh, kan dapat seratus petak pulangpergi."
"Satu kali lagi bilang bobrok, aku stop mobil ini.
Semua keluar."
"Huh, kalau omong, pikir?pikir dulu. Di situ tenaganya berapa kuda? Dikeroyok jadi dendeng!"
Mereka bersenda gurau sepanjang jalan. Hari masih
pagi. Truk sekolah belum lagi berangkat. Jadi mereka
pelan saja, macam keliling?keliling kota. Lupa ujian
Bedah. Lupa nasib jelek kedokteran swasta.
Setengah delapan mereka sudah tiba. Ajubilah, gerutu Steve.
"Aku sangka, kita yang pertama datang. Tidak tahunya si Liu sama koneo?konconya sudah pasang stelling
lebih dulu. Ketua, ayo lekas absen. Biar kita nanti dapat pulang lebih dulu."
"Kertas absensinya dipegang Liu."
"Apa? Kau ketua atau bukan?" teriak Markus. "Sejak kapan kertas absensi dipegang mereka?"
"Liu kemarin menawarkan mau mengambilkan kertas itu pada tata usaha. Terang aku tidak keberatan.
Grogol kan cukup jauh dari rumahku?"
"Ya, sekarang pergi ambil."
Ketua Kelas mendengus?dengus.
31 "Ambil! Tunggu apa lagi? Atau aku yang ambil?"
"Sebentar lagi," kata Ketua Kelas menggosok?gosok
tangannya.
Truk?truk mulai tiba dan mengosongkan muatannya. Beberapa gadis menjerit ketika harus melompat
turun. Dan laki-laki mata keranjang memuaskan matanya melihat rok?rok bertebaran macam parasut. Malah
ada yang memeluk gadis?gadis yang ketakutan dan tidak tnau melompat.
Matahari sudah mulai muncul. Rumput lapangan
yang separuh gundul itu tampak segar disinari surya.
Di pinggir?pinggir lapangan masih ada beberapa pohon yang memberikan suasana sejuk. Di bawahnya
sudah banyak gadis-gadis berteduh. Dan di dekat mereka, tukang?tukang es siap sedia. Sekarang masingmasing pihak masih acuh tak acuh. Tapi tunggulah
sebentar lagi. Pasti ada yang menjerit karena tidak kebagian es dan terpaksa minum limun panas.
Di tengah lapangan sudah dibangun sebuah panggung kehormatan. Beberapa orang tampak masih sibuk mondar?mandir di situ. Ada yang menarik?narik
kawat. Ada yang mengetuk?ngetuk mikrofon. Beberapa
bangku juga tersedia.
"Mereka boleh mengoceh sesuka hati," kata seseorang. "Toh, tidak capek. Boleh duduk. Tidak panas.
Dapat minum. Ngoceh selama mungkin."
"Jual kecap."
"He?eh," seseorang terkekeh. "Heran tidak ada kecap nomor dua. Seharusnya ada yang berani keluarkan
kecap begituan. Sebab kalau di pasar ada sepuluh
32 merek kecap nomor satu, pasti ibu yang cerdik akan
membeli merek nomor dua."
"Ah... lu sendiri sekarang sedang ngecap!"
"Syadap, yu... he... he" seru temannya tertawa.
Setiap universitas sudah mempunyai tempat tersendiri. Bendera?bendera almamater berkibar pelan?pelan
tertiup angin pagi. Indah. Cemerlang. Membayangkan
harapan dan hari depan generasi muda yang haus
akan kemajuan dan pengetahuan.
Ketua Kelas menghampiri kelompok Liu dan kembali dengan murung.
"Kenapa?" tanya Steve.
"Mereka bilang, absensi nanti sebelum pulang."
"Setan alasl!"
"Keroyok, enaknya."
Martin memarkir motornya di pinggir bersama
anak?anak lain lalu menghampiri mereka. jalannya tenang dan tetap. Seakan?akan dalam hidupnya tidak
ada kesusahan.
"Engkau memang tolol, Monik," bisik Inge sambil
memperhatikan Martin.
"Kenapa?" tanya Monik heran.
Inge membuka mulut tapi menutupnya kembali.
Martin sudah tiba di hadapan mereka, tersenyum dengan tenang.
"Keroyok?" desis Ketua Kelas. "Aku malah dituduh
mau pulang sekarang!"
"Eh, Martin, kok tidak naik Chevrolet?" tanya Leo
menunjuk ke arah truk?truk.
"Habis," kata Gendut, "pake bak terbuka sih di be
lakangnya. Cukong mana mau."
33 Martin tersenyum saja tanpa komentar. Inge masih
mengawasinya terus. Seseorang di depan memberikan
perintah melalui mike, supaya mereka membentuk barisan.
"Tingkat satu di depan," kata seseorang.
"Ya, tingkat satu di depan. Awas lu pada pingsan,
gua siram levertraan."
Tingkat satu, dengan peci?peci yang masih baru,
berjalan ke muka. Beberapa gadis manis melirik seniorsenior yang galak dan senior-senior terpaksa senyum
juga melihat cerahnya wajah-wajah mereka.
"Martin," sapa seorang gadis dengan amat lembut.
Martin melambaikan tangannya tersenyum. Inge
memperhatikan gadis itu. Hm. Boleh juga. Rambutnya
panjang. Mukanya bujur telur. Tapi kalah jauh dengan
Monik.
"Bukankah gadis itu yang ketakutan waktu disuruh
meraba?raba tengkorak dulu?" tanyanya pada Monik.
Gema Sebuah Hati Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Monik tengah memperhatikan bangunan Katedral
di mukanya. Dia menoleh terkejut. Dipandangnya
Inge dengan tanda tanya.
"Tidak apa?apa," bentak temannya, melihat gadis
rambut panjang itu sudah lenyap.
"Martin," tiru Markus, disusul oleh Jerry, "Martin."
Lalu mereka sebentar?sebentar melirik Monik.
Martin diam saja melihat kelakuan teman?temannya.
Dia cuma tertawa dengan tenang. Monik melihat
orang?orang meliriknya sambil berbisik lembut:
Martin, Martin.
"Ada apa?" tanyanya pada Inge.
Inge memperhatikan punggung Martin lalu seakan
34 akan pada dirinya dia bergumam: keledai. Monik
merasa, dia dikatai keledai, namun apa sebabnya dia
tidak mengerti.
Anak?anak tingkat empat yang merupakan tingkat
tertinggi, mendapat tempat di belakang. Tapi yang
beruntung mendapat tempat paling belakang adalah
gerombolan borjuis. Mereka bebas berbisik?bisik. Kalau lelah, boleh jongkok sebentar. Berdiri tidak usah
tegak?siap. Lebih untung lagi, matahari tidak langsung.
Banyak manusia?manusia lain yang menghalangi sinarnya. Golongan proletariat berdiri dengan penuh disiplin. Kalau mereka terdengar tertawa, karena pidato
yang lucu, maka gerombolan borjuis lekas?lekas tertawa juga. Yang memberikan pidato ada tiga orang:
dua orang menteri dan seorang rektor. Sampai ke belakang, tidak ada suara yang terdengar. Mereka tinggal
menanti apa yang dilakukan tingkat satu. Bila mereka
bertepuk tangan dan bila golongan proletariat juga
bertepuk tangan, itu tanda bahwa pembicaraan sudah
selesai atau baru akan mulai pidato. Maka golongan
belakang juga bertepuk tangan. Monik dan temantemannya sudah capek bertepuk tangan. Mereka diam
saja.
"Martin, tepukkan tanganmu lebih keras. Supaya
aku tidak usah," kata lnge.
"Oke," dan Martin bertepuk tangan sekeras?kerasnya.
Monik membagi korannya dengan Tina untuk menutup kepala. Gendut memberikan topinya pada
Anita.
"Ah, aku tidak mempunyai koran."
35 Martin menoleh. Dari sakunya dikeluarkannya sebuah topi pet dan diberikannya pada Inge.
"Kembalikan nanti ya."
Inge tidak pernah mengembalikannya. Topi itu disimpannya untuk tanda mata.
Jam setengah satu apel baru selesai. Bayangkan panasnya matahari Jakarta pada jam setengah satu. Apalagi di Lapangan Banteng. Tukang?tukang es habis diserbu. Rombongan?rombongan lain segera berlari menuju bus masing?masing. Tapi tingkat empat belum
dapat pulang. Monik menepi ke bawah pohon. Ketua
Kelas menghampiri Liu untuk mengambil kertas
absensi. 'l'ampak dia mencatat dalam kertas itu, sambil
sebentar?sebentar melihat anak?anak yang namanya
disebutkan oleh Liu. Setelah selesai diabsensi, anakanak proletariat kembali ke sekolah naik truk.
Ketua Kelas kembali ke rombongannya. Markus
dan yang lain?lain bangkit dari jongkok.
"Cepat dikit."
"Aku kena marah lagi," kata Ketua Kelas.
"Kenapa?" tanya Steve.
"Mereka bilang, anak?anak tidak disiplin. Omongomong terus. Mereka bilang, kalau aku tidak dapat
menjaga disiplin kelas, mereka akan mencari ganti ketua... Sesukanya! Mereka pikir, enak jadi ketua kelas?
Salah sedikit kena maki. Dari atasan. Dari anak?anak.
Ada yang tidak kebagian diktat, marah?marah padaku.
Kena denda bayar uang kuliah, aku yang disalahkan:
mengapa tidak memberitahukan kapan batas waktu
pembayaran dan..."
"Sudah... sudah... kita akan disiplin sekarang," kata
36 Markus sambil merebut kertas absensi lalu menulis
namanya di situ. Kertas itu dikembalikannya sambil
menggumam, "Mencari tenaga kerja tanpa gaji kan
sulit!"
"Betul. Kita akan disiplin, jangan takut. Engkau
tetap ketua," dan direbutlah kertas itu dari tangan Ketua.
"Engkau pulang dengan siapa?" tanya Martin.
"Ikut mobil tadi," sahut Monik dengan kepala pusing dan muka merah, kemudian dia ingat sesuatu.
"Tolong antarkan Inge. Kasihan kalau harus naik
truk."
"Oke. Mari, Inge."
"Kami duluan ya," seru Inge dengan gembira. Lebih
gembira lagi sebab ternyata pemilik topi di dalam tasnya itu lupa meminta kembali miliknya.
37 II 1 sepanjang Jalan Thamrin bermunculan poster
poster raksasa anti imperialis segala imperialis.
Rakyat sedunia bangkit bersatu. Kekuatan baru akan
muncul. Dunia baru, makmur, murah sandang pangan. Hari depan gemilang. Asian Games dinyatakan
tidak lagi mencerminkan isi rakyat Asia. Maka harus
dibentuk game baru, dari '1he New Emerging Forces.
Semua tampak cemerlang.
Di perbatasan kota dinyatakan: Kota ini bebas buta
huruf. Tapi di kampung?kampung becek, masih ada
saja nenek?nenek atau kakek?kakek yang lebih suka
tidur daripada pergi kursus PBH malam ke tempat
lurah atau hansip. Tidak apalah, toh umur di atas
enam puluh umumnya sudah tidak lagi masuk hitungan dalam negara di mana rakyat yang tidak berproduksi, tidak makan. Dari rakyat untuk rakyat, komisinya buat tambah koleksi istri pemimpin.
38 E-Booh by syauqy_arr
Semua orang cuma diajar: yasir, yasir dan betapa
manisnya melihat kepala mengangguk?angguk, apalagi
kalau beribu?ribu kepala. Dan betapa hebatnya tepuk
tangan rakyat makmur?merdeka yang sudah bebas dari
makan baru. Dalam gedung opera mana pun tidak
ada tepuk tangan yang begitu meriah dan cerah. Akan
tetapi di balik pagar betis yang mulus?mulus, terjadi
juga hal?hal aneh. Rakyat yang mempunyai mulut kebesaran atau kelebihan, ditangkap sebab rakyat begitu
adalah musuh rakyat. Salah sendiri. Sudah diberitahu,
bagaimana caranya menjadi rakyat monoloyalitas:
yasir, )Iessir.
Monik dan dua anak kos lain diminta menandatangani kartu beras. Mereka mendapat beras tiap bulan. Kuning dan tidak enak. Nasi air hujan, kata
Monik, sebab butir?butirnya dapat turun satu per satu
kalau kita tuang. Tidak enak. Tapi toh beras, kata
Tante Kos. Tante tidak sanggup membeli di luaran.
Harganya terlalu tinggi. Malah kadang-kadang tidak
ada barang. Monik dan teman?temannya cuma bisa
bilang: ya, Tante. Sama dengan: yessir. Masih untung
tidak harus membawa beras sendiri, seperti yang diminta tante kos Anita.
Sore itu Iyem mengantarkan teh diikuti Tante Kos.
Monik baru saja bangun tidur. Dia baru menerima
surat dari rumah. Sedapnya di rumah. Dia mimpi pulang ke sana, bertemu seisi rumah. Tapi mengapa
Martin ikut?
Dilihatnya loncengnya. ]am empat. Monik melompat bangun. Dinyalakannya radio. Kosong. Terpaksa
putar tape. Lagu?lagu itu juga. Perry Como hilang.
39 Elvis Presley tidak sesuai dengan kepribadian. Connie
Francis cuma terdengar kalau putar radio Australia.
Yang ada: maju tak gentar, ini dadaku mana dadamu,
wah, wah. 721106 brengsek! Dipukulnya tombolnya.
Diam kau, brengsek.
Iyem mengetuk pintu. Monik membukanya.
"Oh, ada apa, Tante?" tanya Monik waswas, sebab
di tempat lain memang uang kos sudah naik.
Iyem meletakkan segelas teh dan dua potong pisang
rebus di atas piring kecil.
"Makan, Non," katanya lalu dia didorong keluar
oleh Nyonya.
"Ada apa, Tante?" tanya Monik sambil berpeluk
tangan.
"Ini hari kau terpaksa minum teh tanpa gula. Di
pasar tidak ada. juga pisang tanduknya terpaksa direbus saja. T idak ada terigu. Dan Tante rasa, sebaiknya
Monik memilih salah satu saja: susu atau telur. Tidak
mungkin keduanya. Tadi tukang susu sudah mengatakan, mulai bulan depan naik sepuluh rupiah seliter.
Dan lyem bilang, telur ayam sudah mulai susah di
pasar."
Tante Kos menggeleng-geleng. Menghela napas.
Monik terdiam bengong.
"Tante juga bingung, Monik. Oom cuma pegawai
negeri. Anak?anak masih perlu banyak makanan. Beras
tidak ada vitaminnya lagi sekarang. Kuning, kotor.
Tante bingung. Bingung betul. Bagaimana, Monik?"
Monik mengejap?ngejapkan mata. Bagaimana ya?
Terpaksa susu saja. Telur mungkin tidak bisa didapat
tiap hari.
40 "Terpaksa, Tante. Saya perlu banyak protein. Kalau
tidak, mana mungkin tidur jam dua belas, jam satu,
bangun jam enam. Siang sering kali tidak bisa tidur.
Mana mungkin bertahan. Terpaksa susu, tetap."
"Ya, betul. Tapi tapi... Monik terpaksa mesti membayar rekening sendiri. Dus tidak termasuk uang kos.
Tante tidak sanggup lagi."
Ya, Tante. Ya, Tante. Ya, Tante. Kasihan juga Tante
Kos itu. Dia sebenarnya baik hari tapi dengan empat
anak yang sedang tumbuh dan suami yang bergaji setengah bulanan, terpaksa dia naikkan uang kos. Gula
mulai muncul cuma kadang?kadang. Listrik mulai dibatasi sampai jam sepuluh malam. Semua itu ditambah absennya air leding, betul-betul membikin kepala
lekas botak. Anehnya, di Jalan "lhamrin, poster-poster
bilang: cukup sandang, cukup pangan.
Monik meneguk teh tanpa gula itu. Lalu dia mengambil handuk., mau mandi. Di muka kamar mandi
sudah ada Iyem.
"Non, mandinya seember saja ya. Airnya tidak keluar."
"Iya, Yem."
Iya, Yem. Iya, Yem. Ya, Tante. Yasir.
Monik menggosokkan sabun wanginya yang terakhir. Di Roxy sudah tidak ada lagi sabun Pear. Tidak
ada Camay. Tapi banyak sabun karbol. Malah sabun
cuci juga sulit. Harus dengan pembagian.
Berhati-hati disiramkannya air ke badannya, seakanakan itu air mawar yang amat mahal. Badan masih
terasa bersabun, apalah mau dikata. Air bagiannya su
dah habis. Tiba-tiba masuk asap ke dalam kamar man
41 di. Memang pintunya terbuka di bagian atas. Aduh,
apa ini.
"Yem, bau kayu terbakar!" teriak Monik dari dalam
kamar mandi.
"Memang kayu dibakar, Tante," seru Ahmad, anak
Tante Kos.
Monik keluar. Di dapur, sebelah kamar mandi,
Iyem tengah mengipas?ngipas.
"Ya Allah. Mau masak apa, Yem.> Menggodok lontong?"
"Masak nasi, Non. Minyak tanah habis. Tidak ada
yang jual."
"Di pembagian?"
"Pembagian juga habis. Cuma kebagian minyak sawit sebotol."
"Untunglah. Tidak usah goreng kerupuk dengan
pasir lagi."
"Tapi minyak kelapa sawit tidak enak untuk menggoreng kerupuk. Untuk masak juga tidak enak."
"O ya?"
Ahmad berlari dari pintu samping.
"Tante Monik, ada teman."
"Siapa, Bob?" tanya Monik tertawa.
Ahmad merupakan anak kesayangan Monik. Dia
selalu menyebutnya Bob, sebab rambutnya digunting
bibob.
Ahmad tertawa memperlihatkan gigi tikusnya yang
bagus: putih dan kecil-kecil. Kulitnya cokelat dan sehat. Makannya banyak. Monik selalu tidak pernah
lupa membawakannya oleh?oleh kalau pulang bepergian. Cuma susahnya, van Houten favorit Ahmad
42 mahal dan sulit dicari. Terpaksa diganti dengan cokelat
kupu-kupu yang tidak begitu disukainya.
"Tante Nik, ada "man," teriak Laila si bungsu.
"Suruh duduk, Lala," kata Monik sambil berjalan
ke kamarnya.
Ahmad membuntuti sampai depan pintu.
"Hai," teriak Monik dari kamar tidurnya, "kok
baru jam empat sudah datang? Kan toko baru buka
jam lima?"
Dari luar tidak terdengar sahutan. Monik menarik
serot bajunya lalu keluar sambil menyisir. Di ambang
pintu dia tertegun. Untung Martin tengah memandang ke jalan. Tanpa bersuara dia masuk kembali
cepat?cepat lalu menutup pintu. Disisirnya rambutnya
dan dibedakinya mukanya. Baru keluar lagi.
"Aku sangka Inge," serunya.
Martin menoleh tersenyum. Dilihatnya Monik sudah rapi dan harum.
"Mau ikut study club?"
"Hari apa ini?"
"Rabu."
Monik mengangguk?angguk sambil memperhatikan
kalendernya. Tiap Rabu: study club di sekolah, jam
lima.
"Duduklah dulu," disotongkannya kursi.
Mereka duduk berhadapan. Setelah diam beberapa
saat, Martin mengeluarkan lima buah bonbon dan
meletakkannya di atas meja.
"Adikku yang kecil ulang tahun."
Monik mengambil satu.
"Mau study club?" tanya Martin lagi.
43 Monik menggeleng.
"Aku sudah berjanji mau ke Pasar Baru dengan
Inge."
Iyem masuk dengan segelas teh, diikuti Laila yang
tersenyum?senyum sambil memegangi kain Iyem.
"Sini, Lala," panggil Martin, "Oom punya bonbon."
"Ayo kemari, Lala. Ini ada bonbon."
Laila menghampiri Monik lalu memandang Martin
malu-malu. Martin memberikan keempat bonbon
itu. "Bilang apa?" tanya Monik.
"Ma acih, Oom," lalu lari menyusul Iyem.
Martin meraih gelasnya.
"Tidak pakai gula lho," kata Monik sambil meletakkan piring pisang rebus di hadapan Martin.
""l'ehnya tidak enak," kata Martin. "Campur bunga
melati, mungkin."
"Teh sulit juga, barangkali."
Mereka makan pisang seorang sepotong. Tiba?tiba
Martin menjulurkan kakinya lalu memandang Monik.
"Ayahku bilang, kalau komunis makin berkuasa di
sini, aku harus pergi. Ke Swiss atau Holland."
Martin menunduk memandangi lantai. Monik tersenyum memandangnya tanpa berkata?kata. Diperhatikannya laki?laki itu mengangkat kembali mukanya lalu
Gema Sebuah Hati Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memandangnya. Ketenangan matanya betul-betul khas
dan paten. Di kelasnya tidak ada laki-laki lain yang
lebih tenang dari dia. Selalu berkepala dingin.
"117811?"
"Maukah... maukah engkau pergi bersama?sama?"
44 Monik tertegun sesaat kemudian tertawa terbahakbahak.
"Pergi ke Swiss? Dengan apa? Tidak pakai uang?
Ongkos hidup di sana??! Omong gampang, Martin.
Ha ha ha.... Mau jadi gembel di sana?"
"Dengarlah. Aku mempunyai paman di Basel dan
bibi di Rotterdam. Paman mempunyai banyak kenalan. Untuk sementara kita dapat bekerja dulu, menabung untuk ongkos sekolah. Dan Bibi adalah seorang
dokter gigi dengan gaji lebih dari cukup. Apalagi dia
tidak kawin. Engkau dapat tinggal di sana untuk sementara. Memang tidak begitu enak seperti di sini, di
mana biji yang dilempar dapat tumbuh sendiri! Tapi
toh masih lebih baik daripada hidup dengan tekanan
batin terus. Pokoknya asal kita tidak malas, kita dapat
hidup. Mau, Monik?"
Monik cuma tersenyum saja.
"Di sini, kita dikejar?kejar sebab kita bukan komunis. Hampir-hampir tidak dapat bernapas. Bersuara
sedikit: ha, anti nasakom tuh dia! Masuk sel! Babak
belur."
"Apakah di luar negeri, engkau akan menjadi raja?
Tidak. Engkau akan tetap menjadi warga negara kelas
dua. Kecuali kalau engkau menjadi menantu Baron
van Rothschild."
"Aku tidak peduli di sana jadi apa, asal tidak dimusuhi. Asal orang-orang tidak menaruh prasangka
yang bukan-bukan, mempunyai prcjudice yang aneh."
Monik menunduk memperhatikan kukunya. Martin
menunduk, menghitung lantai. Beberapa detik keadaan sunyi, kemudian lonceng berbunyi.
45 "Ah, sudah lima kurang seperempat," kata Martin.
"Aku harus pergi."
"Tidak tahukah engkau bahwa study club ini diorganisir oleh CGMI?"
"Aku tahu. Apa salahnya, Monik. Mereka cuma
bicara tentang ilmu. Aku dengar hari ini moderatornya
anak Ul, tingkat enam. Lumayan, menambah pengetahuan."
Monik melempar kedua lengannya dengan rupa
menyerah.
"Engkau toh bukan simpatisannya.)" tanya Monik
bergurau.
"Oh, sayang sekali bukan. Kalau mereka menang,
mungkin aku ikut terusir keluar dari Res Publica."
"Bukankah saat itu engkau sudah menjadi kuli barang di Basel?"
"Dan engkau mencuci piring di restoran kota
Rotterdam?"
"Oh, aku harus memikirkannya dulu. Sebaik?baiknya." kata Monik serius. "Meninggalkan orangtua,
saudara?saudara, mungkin... selama?lamanya...."
"Apakah kaupikir, aku tidak mencintai orangtua
dan saudara-saudaraku?"
*** Pukul lima kurang sedikit, Inge menerobos masuk,
marah?marah. Dia memakai baju baru dari katun putih dengan bunga?bunga merah kecil?kecil. Leher bajunya diberi bis merah. Dan dua buah kantong ikut
menghias bagian bawah.
46 tunuuuu seru 1Vlonll<. baju baru, meK! bikin
sendiri? Bagus lho. Beli di mana?"
"Sialan. Pembagian nih!"
"Oh. Bagianku di sini aku serahkan pada Tante.
Dia yang menebus. Bagus, lng."
"Bagus, apa. Sepanjang jalan, aku sudah melihat
seorang babu dan seorang penjual jamu memakainya.
Persis sama."
Pada saat itu Monik tiba-tiba ingat: bagiannya sendiri, yang direbus Tante Kos, juga seperti itu. Persis
sama. Tante memberikannya pada Iyem untuk Lebaran.
"Sudahlah. Kita pergi sekarang?"
"Aku pinjam bajumu," kata Inge, masih mendongkol.
"Oh."
Monik menyuruh temannya memilih sendiri dalam
lemari. Untung mereka sama besar.
"Lebih baik orang bilang, aku pakai baju pinjaman
daripada bajuku persis sama dengan babu?babu. Huh."
Baju baru itu dilempar ke lantai begitu saja.
"Engkau harus membungkusnya, Ing."
Dengan amat terpaksa Inge memungutnya kembali
dari lantai.
"Tunggu, aku minta koran pada Tante."
"Huh! Aku berikan baju ini pada si Minah atau
siapa saja yang mau!!!"
Inge memang dongkol betul. Sebab dia sudah bersusah payah menjahitnya sendiri. Sangkanya baju itu
bagus. Orang lain belum memakainya. Tapi, baru keluar beberapa meter dari rumah, ternyata seorang
47 babu tetangga berbaju persis sama. Juga masih baru.
Sebenarnya bukan soal babu atau penjual jamu. Pokoknya, dia dongkol sebab begitu banyak wanita sekaligus
kembar dengan dia. Dulu pernah terjadi serupa itu
juga, ketika musim brokat. Baju itu malah belum digunting. Dia pergi ke pesta kawin. Di sana ada tiga
wanita memakai brokat dari tipe dan warna yang
sama dengan miliknya. Inge tidak jadi mengguntingnya. Ibunya seratus kali bilang, itu baju mahal. Tapi
Inge tidak mau memakainya.
Asyik juga belanja dengan Inge. Dia kelihatannya
tahu banyak hal. Pasar Baru kosong. Tidak ada barang. Tapi di koran bilang, baru datang tekstil baru.
Ya, koran sih asal bilang, tidak apa?apa. Tapi barang
tidak ada. Mau cari pensil alis pun tidak ada. Made
in negara imperialis sih. Sepatu jelek?jelek modelnya.
Orang-orang berjalan hilir mudik, tapi sedikit yang
wajahnya cerah.
"Jadi, kita beli apa nih?" tanya Inge kesal.
"Ambillah katun itu saja. Dari jauh kelihatannya
cukup bagus."
"Dari jauh? Memangnya akan dipakai di atas panggung sandiwara?"
Alhasil, mereka tidak membeli baju. Monik membeli gula setengah kilo, kopi setengah kilo, gula?gula
untuk Ahmad dan adik?adiknya, dan sabun wangi
buatan dalam negeri. lnge membeli gantungan baju
setengah lusin dan saputangan yang tidak ada gunanya
sebab miliknya sendiri masih berjumlah tiga puluh.
Dengan penasaran mereka masih menjelajahi tokotoko yang terletak di ujung, dekat jembatan. Biasanya
48 toko?toko Bombay mempunyai persediaan yang anehaneh. Cocok untuk selera wanita yang ingin bajunya
tidak dimiliki wanita lain. Masuk sebuah toko sempit
dengan penerangan suram. Monik mendengus?dengus.
Tercium bau dupa wangi yang selalu membuatnya pusing kepala. Disentuhnya siku Inge. Tapi gadis itu sudah jatuh cinta pada semacam bahan yang mewah.
Dipegangnya cita itu dan digesek?geseknya seperti laku
nyonya-nyonya kaya. Pelayan berdiri di hadapan mereka dengan muka berseri?seri tapi tidak dapat memberikan banyak komentar selain bahwa itu bagus, tidak luntur, dan harga tidak mahal.
"Tidak mahal itu berapa?" tanya Inge.
Pelayan menjentikkan jarinya empat kali.
"Empat ribu."
"Hm. Memang boleh juga. Bagaimana, Monik?"
Monik sudah terlatih dalam hal ini.
"Menurut aku, warnanya tidak cocok untukmu.
Kalau untuk ibumu..."
"Oh, lebih baik suruh dia datang sendiri. Aku tidak
pernah tahu selera Ibu."
"Inge, lekaslah keluar. Bau dupa ini memusingkan."
Mereka bergegas keluar tanpa menghiraukan pelayan maupun tuan muda toko yang terus memburu
mereka sampai ke pintu.
He, he. Monik betul?betul mual menghirup bau
dupa itu.
"Ke mana kita?"
Sudah hampir jam delapan. Dengan lesu mereka
pergi makan bakmi.
49 Ahmad segera mengetuk pintu kamarnya ketika diketahuinya Monik pulang.
"Oh, halo, Bob," serunya, membukakan pintu.
"Tante punya sesuatu untukmu."
"Tadi ada yang datang, Tante."
"Oh, siapa? Dia tidak bilang, siapa?"
"Dia akan kembali, katanya."
"Hm, baiklah. lni gula?gula. Bagi adik?adik ya."
Ahmad mengucapkan terima kasih tergesa?gesa.
"O ya, katakan pada Ibu, Tante sudah makan."
Baru saja dia menukar baju, ketika pintu depannya
diketuk orang.
"Tunggu," serunya penuh harap dan kecewa bukan
main ketika Liu yang berdiri di situ.
"Oh, masuk."
Liu tidak peduli akan sapaan yang kurang manis
itu. Dia langsung duduk seakan?akan itu tempatnya
sendiri. Diletakkannya kaki kanannya di atas lutut kiri
dan pura?pura tidak tahu bahwa nona rumah mengerutkan keningnya.
"Ada urusan penting, rupanya. Malam?malam."
"Ya. Urusan diktat. Sudah selesai?"
Monik tercengang seketika lalu mempermanis senyumnya.
"Bukankah aku janjikan: besok?"
"Besok pagi atau malam ini sebenarnya sama saja.
Kalau memang sudah selesai."
"Tapi belum selesai."
"Lalu kapan engkau mau mengerjakannya?"
"Baru mau aku mulai sekarang. Separuh sudah selesai. Besok pagi pasti siap."
50 "Sebenarnya, kalau ada waktu, dipercepat sedikit
lebih baik. Tidak usah tepat menurut janji. Daripada
menghamburkan waktu tidak keruan."
Monik bangkit dari duduk. Wajahnya angkuh dan
tiba?tiba membayangkan kepercayaan diri yang berlebihan.
"Aku tidak menghamburkan waktu! Aku tidak
ingin mendengarkan orang mendikte aku. Pokoknya
pekerjaanku beres. Titik. Aku tidak mengharapkan
nasihat, bagaimana mempergunakan waktu! Itu milikku sendiri. Waktuku. Aku mau pulang?pergi ke Pasar
Baru atau ke mana saja, itu urusanku. Kalau aku tidak
mau lagi membantu seksi diktat, itu juga hakku. Apa
kau dapat melarang aku?"
Liu sekarang menaikkan kedua kakinya ke atas
meja tulis, namun dia tidak menjawab tantangan
Monik. Dipandangnya saja gadis itu dan senyum sinisnya melebar.
"Kaukira, selama ini aku suka dengan segala perintah?perintahmu? Aku memang diam saja. Tapi itu tidak berarti, aku senang. Aku muak, tahu. Muak dengan keadaan sekarang! Muak dengan Senat, dengan
sekolah, dengan masyarakat! Mau ke mana kita? Ini
susah, itu susah. Perlu textbook, tidak ada yang jual.
Mau beli kain, toko kosong. Bahkan beras dan minyak tidak ada di pasar. Enakkah hidup begitu?"
"Saaabaaaar... engkau mesti sabar. Sebentar lagi, tentu keadaan akan berubah. Kita akan menjadi negara
makmur, bila semua kapitalis itu sudah kita usir dari
sini. Sebab mereka itulah yang merongrong kita,
51 mengisap darah kita, sehingga negara kita menjadi
miskin."
"Huh! Janji kosong! Kita selalu hidup dalam ketakutan. Tidak tahu manipol, dicurigai antek?antek
imperialis. Tidak lulus Civic, tidak boleh ujian yang
lain."
"Untung engkau sempat nyontek Civic si Sui
Chien!" ejek Liu ketawa.
"Masa bodoh!" kata Monik mengangkat bahu. "Biar
dibilang tukang nyontek, daripada tidak boleh ujian
Bedah dan Neuro?!"
"Sudahlah. Jangan marah tidak keruan. Hidup makmur pasti akan tiba. Tugas kita sekarang adalah mengusir semua kapitalis dari sini dan meruntuhkan imperialis di seluruh dunia!" kata Liu dengan bersemangat.
"Huh! Kalau engkau berkuasa, pasti aku akan kautembak ketika berdoa di gereja, bukan?" ejek Monik
sambil berjalan ke dekat jendela.
"Itu tidak betul!" suara Liu keras sekali, tapi Monik
tidak menoleh.
Langit cerah. Memang bulan purnama. Rumah?rumah dan pohon?pohon mempunyai bayang?bayang
yang sejuk. Dari jendela dia dapat memandang ke tumah seberang. Rumah putih. Dengan atap merah.
Sebuah mobil biru. Sepasang anak kecil. Di halamannya terdapat bunga?bunga dan semak?semak. Monik
menamakannya rumah surga. Akan tetapi kebalikannya: rumah di sebelahnya. Lusuh dan loyo, macam
nenek?nenek tua yang sudah hampir tiba di akhir perjalanan hidup. Biliknya sudah goyah. Gentengnya ba
52 nyak yang pecah dan hitam?hitam seperti gigi?gigi tua
yang kotor. Pemandangan yang menyedihkan. Seakanakan rumah itu menangis.
Monik membalik dengan terkejut. Dia mundur selangkah. Matanya terbelalak. Tangannya tiba?tiba menjadi dingin. Liu mengawasinya. Kemudian tersenyum
sambil mengeluarkan rokok dan menyalakannya. Dikepulkannya asap rokoknya ke muka gadis itu.
"Ya, aku tahu aku takkan berhasil. Engkau tak petnah mencintai aku. Tapi bila suatu ketika engkau
perlu pertolongan, ingatlah aku."
"Aku tidak akan butuh pertolonganmu!!!"
"O ya?" Liu membungkuk ke muka dan tersenyum
kurang ajar ke hidung Monik. Dikepulkannya sekali
lagi asap rokoknya. Gadis itu terbatuk?batuk. Dia berusaha menyingkir tapi tangan Liu menghalanginya.
"Engkau tahu? Bila tidak karena aku yang selalu
membelamu, engkau sudah lama masuk blacklist...."
"Apa?" seru Monik keterlepasan, segera menyesal
telah memperlihatkan sikap terkejut dan menjadi marah melihat kecongkakan Liu. "Apa salahku?!"
"Oh, itu tidak penting. Kesalahan dapat selalu timbul kapan saja!"
Liu mengembuskan rokoknya lagi lalu melemparnya
ke luar jendela.
"Monik yang manis, suatu ketika engkau akan datang padaku. Engkau akan menyembah aku. Ha...
ha ha...." Suaranya menyebalkan bagi Monik meskipun disambungnya dengan serius, "Tapi aku tidak
akan kasat. Aku akan selalu menerima engkau dengan
baik."
53 Liu berdiri tegak kembali, mengambil kunci motornya dari atas meja lalu membanting pintu ke luar.
Monik dengan lemas dan lutut gemetar bersandar ke
pintu lalu menguncinya. Kemudian dia duduk di belakang mejanya, namun baru sejam kemudian dia dapat
menggerakkan jari?jatinya di atas mesin tik.
*** Pada hari Sabtu itu kuliah berakhir jam sebelas, yaitu
anesthesi. Monik berjalan bertiga dengan Inge dan
Anita, sepanjang lorong?lorong rumah sakit. Suasana
yang tenang dan sunyi lebih mirip biara daripada rumah sakit. Halaman?halaman yang terpelihara rapi.
Tidak ada kertas-kertas di rumput. Para pengunjung
dilarang keras berjalan di atas rumput. Di sana?sini
terdapat pohon?pohon besar yang rindang. Udara nyaman. Langit cerah dengan awan?awan putih.
Beberapa minggu yang lalu telah dilakukan penggantian nama rumah sakit menjadi HUSADA. Segalagalanya serba menyenangkan mengenai rumah sakit
ini. Terutama kroket dan nasi gorengnya.
Suatu hari mereka harus menantikan dosen Bedah
yang sedang melakukan operasi kandung empedu,
objek kegemaran beliau. Monik dan teman-temannya
pergi ke dapur yang terletak dekat ruang kuliah.
"Ada air, Bi? Boleh minta sedikit?" tanya mereka
pada pegawai?pegawai dapur.
"Ada. Ada. Sebentar ya."
"Wah, kroket?kroket itu kelihatannya enak ya," bisik mereka satu sama lain keras?keras. Alhasil mereka
54 diberi satu ceret air teh dan kroket seorang satu.
Suatu kali lagi, mereka diundang makan ke asrama
Gema Sebuah Hati Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
suster setelah kerja bakti. Suster?suster selalu ramah
terhadap mahasiswa. Mereka mendapat nasi goreng
yang lezat. Lebih lezat lagi, kata Markus, sebab makan
di sebelah suster manis.
Anita berjalan di tengah. Asyik bercerita tentang
sebuah film Jepang yang sedih bukan main. Anita memang jago nonton. Sanggup menghafal sebuah drama
dalam waktu sembilan puluh menit, dan menyitirnya
kembali tanpa salah. Akan tetapi sedihnya kalau menghafal farmakologi: tiga jam satu halaman kitab tulis!
"Selesai, Anita?" tanya Monik.
"Belum. Janda itu kemudian bekerja di rumah sakit
pada kota lain. Kemudian dokter itu secara kebetulan
juga melamar kerja di sana. Lalu..."
"Tolol!" ejek lnge tertawa. "Mana ada yang kebetulan? Kan sudah diatur oleh skrip?!"
"Mau dengar, tidak?"
"Mau, mau," setu Monik sambil mencubit Inge di
belakang punggung Anita.
"Pokoknya happy end deh. Mereka kawin."
"Heran. Mengapa yang dinamakan happy end itu
kalau ,mereka kawin'? Kalau mereka mati bersama,
misalnya, sedang kita percaya mereka tetap bersama
setelah mati, mengapa tidak dianggap happy end?"
tanya lnge.
Anita cuma tertawa, mengatakan pertanyaan itu
konyol.
"Tapi, coba pikir: misalnya kita mencintai seseorang
dan orang itu juga mencintai kita lalu dia mati. Dapat
55 kah kita tetap berbahagia dengan kenangannya? Cukupkah hanya dengan mengingat bahwa ada seseorang
yang amat mencintai kita, untuk merasa bahagia?"
"Bego, ah. Tanya?tanya begitu. Tanya Monik!"
"Bagaimana, Monik?" desak Inge. Monik tertawa.
"Mengapa susah?susah berpikir? Sudah tentu kenangan tidak pernah membuat kita bahagia, walaupun
serbabagus. Sebab itu mengingatkan kita pada suatu
masa dalam hidup kita yang takkan pernah kembali.
Mengingatkan kita bahwa sebagian dari diri kita,
betapapun kecilnya, sudah lenyap. Bersama setiap kawan atau teman yang pergi meninggalkan kita, sebagian diri kita dibawa pergi bersamanya. Mungkin
juga bersama kucingmu yang hilang atau mati. Atau
bersama pacarmu ketika engkau berumur enam tahun,
yang ternyata menikah dengan orang lain."
Inge tertawa kalah.
"O ya, besok engkau datang ke sekolah? Lihat pertandingan basket?"
"Aku tidak dapat pergi. Bagaimana kau, Monik?"
"Aku mau menginap di rumah Bibi di Kota. Malas,
ah."
"Di Kota? Dekat rumah Martin?" tanya Inge berdebar-debar.
"Entahlah. Aku tidak tahu di mana rumahnya."
"Hm. Jadi kalian berdua tidak mau datang ya?"
kata Inge sekali lagi.
*** 56 Pertandingan dimulai jam delapan. Kedokteran lawan
Teknik. Kedokteran Gigi lawan Hukum. Lalu masingmasing pemenang akan maju ke babak final. Jago
Kedokteran: Martin. Setiap tahun dia tidak pernah
dibiarkan absen. Satu?satunya pemain tertinggi di
antara peserta. Yang lain rata?rata seratus enam puluh
lima-tujuh puluh, kira-kira sepuluh senti di bawah
Martin.
Inge datang bersama adiknya. Dia mengenakan
slack putih dengan blus biru tua. Syal berwarna kenari
melilit di lehernya. Kacamata hitamnya model terbaru,
oleh?oleh seorang tuan, yang berhasil dibereskan
urusan pajaknya oleh ayah inge.
Regu Kedokteran memakai celana pendek putih
dari khaki dan kaus hijau. Teknik memakai celana
biru dan kaus putih. Regu?regu putri mempunyai kostum serupa, tapi mereka baru akan bertanding minggu
depan.
Inge tidak lepas?lepasnya memperhatikan favoritnya
dan favorit kebanyakan mahasiswa: Martin. Adik lakilakinya tidak tahan disuruh berdiri terus. Sebentarsebentar digeser?gesernya kakinya. Dilihatnya kakaknya
sebentar-sebentar bertepuk tangan bersama penontonpenonton lain. Dicobanya menarik bajunya. Sia?sia.
Kakaknya tidak mau menoleh. Ketika dia sudah hampir menangis sebab kesal, barulah pertandingan itu
selesai. Dilihatnya sebagian penonton mengerumuni
para pemain. Tapi ketika kakaknya juga mau maju,
cepat?cepat ditariknya.
"Kak" lnge menoleh.
"Ada apa, Frans?"
57 "Capek. Kita duduk, yo." Inge tertawa.
"Kita ke seberang, minum es avokad ya. Tapi jangan menangis. Laki?laki sembilan tahun kan sudah
besar."
Mau juga Frans dibujuk. Mereka pergi ke tempat
Pak Mahmud, langganan mahasiswa. Inge membiarkan
adiknya menikmati minumannya lama?lama, toh bukan giliran Martin bertanding. Masing?masing regu
bertanding dua kali dengan istirahat lima menit. Inge
mengawasi arloji dan adiknya.
Matahari sudah mulai panas. Dari tempat duduknya, Inge memperhatikan gedung Universitas sebelah
timur, tempat Kedokteran dan Kedokteran Gigi. Bertingkat dua. Memang jauh dari memuaskan. Ruanganruangan kurang. Tapi untuk sebuah permulaan dasar,
sudah cukup. Seperti kata salah seorang pendirinya:
kita akan jadikan Res Publica ini sebagai Harvard
Indonesia!
Sebuah permulaan yang baik bagi sebuah negara
yang masih berkembang. Sudah tentu bangunannya
sama sekali tidak menarik ditinjau dari sudut arsitektur. Namun di dalamnya terdapat cukup banyak alatalat yang menarik: tabung-tabung dan peralatan praktikum kimia, puluhan mikroskop, kursi?kursi dental.
Malah dari jalan terlihat sebuah peti berukuran kirakira dua setengah kali dua setengah meter, belum dibongkar. Berisi dental unit dari RRC. lnge dan sebagian mahasiswa lain mengerti juga mengapa mereka
banyak mendapat bantuan dari pihak?pihak tertentu.
Tapi kebanyakan tidak ambil pusing hal itu. Pokoknya
58 mereka belajar dan mendapat cukup alat?alat. Urusan
politik biarlah bagian politikus-politikus.
Mereka cuma mahasiswa. Mungkin lain sekali pandangan Kamerad Chien dan kawan?kawan, tapi tentang hal itu tidak seorang pun yang mau tahu. Tidak
ada yang suka ngobrol?ngobrol dengan mereka, sebab
selalu khawatir salah lidah dan itu amat berbahaya.
Masih untung kalau cuma diperingati dengan indoktrinasi satu jam. Bagaimana kalau sampai terjadi proses
verbal? Enam bulan skors? Atau keluar buat selamanya?
Gelas Frans sudah kosong. Inge memberikan saputangannya dan anak itu membersihkan bibirnya.
"Sudah?"
Frans mengangguk. Inge membayar harga minuman. Kemudian diajaknya adiknya ke toko di dekat
situ. Dibelikannya bubble gum made in RRC supaya
anak itu tidak gelisah menanti pertandingan. Inge melihat arlojinya lalu memanggil becak.
"Kenapa naik becak, Kak?"
"Nanti telat. Bang, kompleks barat Teknik, berapa?"
"Dua puluh, Neng." Inge naik tanpa menawar.
Lima menit setelah Inge tiba, pertandingan akhir
dimulai. Kedokteran melawan Kedokteran Gigi. Amat
seru. Masing?masing mempunyai suporter. Entah
mengapa, antara kedua fakultas seakan?akan terdapat
perasaan marah yang terpendam. Jelas terlihat pada
masa perploncoan. Fakultas?fakultas lain membiarkan
calon?calon mahasiswanya diperiksa oleh tim kesehatan
dari anak?anak tingkat empat. Tapi Kedokteran Gigi
59 minta bantuan seorang dokter. Juga regu P3K dari
Kedokteran tidak laku dan tidak dipandang sebelah
mata oleh senior?senior Kedokteran Gigi. Memang
anak?anak tingkat empat Kedokteran dulu diplonco
oleh mereka. Kedokteran Gigi sudah berumur tiga tahun ketika Kedokteran lahir.
Suatu ketika seorang plonci Kedokteran Gigi pingsan. Anak?anak P3K pura?pura tidak tahu.
"Kan mereka selalu konsultasi dengan dokter mereka sendiri," kata Ketua Kelas merangkap Ketua
P3K. "Betul, Bos," teriak Markus bertepuk tangan.
Sialnya dokter tidak di rumah. Terpaksa plonci itu
dibawa juga ke ruang P3K. Di muka senior?senior
cadok gigi, tidak ada yang buka mulut. Tapi begitu
mereka pergi, mulailah Jerry menyumpah?nyumpah.
"Huh. Kok kemari juga perginya? Butuh juga tenaga kita? Sombongnya."
"Habis. Mereka tidak pernah bergaul dengan profesor?profesor. Jadi tidak insaf bahwa di dunia ini
masih banyak orang?orang yang jauh lebih pintar dari
kita. Bahwa tingkat tujuh kedokteran gigi atau tingkat
empat kedokteran bukanlah sesuatu yang perlu dibanggakan. Kita ini dibandingkan dengan profesor?profesor... huh! Otak kita tidak berisi apa?apa," kata Anita
yang malam itu kebetulan giliran jaga P3K.
Anak?anak Kedokteran Gigi sudah tentu menganggap anak?anak Kedokteran sok?sombong, karena itu
timbullah perasaan amarah terpendam antara kedua
pihak. Dalam pergaulan individu, hal itu tidak jelas
60 tampak. Tapi dalam hal yang menyangkut prestise fakultas, seperti misalnya...
"Hidup FKG!!!" teriak seseorang tepat di sebelah
Inge.
Inge menoleh dengan mata membelalak. Mahasiswa
itu menoleh sebentar lalu membuang muka, pura?pura
tidak bersalah.
Mahasiswa?mahasiswa FK meneriakkan yel?yel yang
membangkitkan semangat jago?jagonya. Begitu pula
dengan FKG.
"Sikat, Martin" Ayo, bikin gol, monyet!" teriak beberapa anak tingkat bawah.
Yang dipanggil monyet itu adalah mahasiswa tingkat dua. Gerakannya gesit. Meskipun dia kalah tinggi
dari Martin, lompatannya tidak dapat dipandang
enteng. Pada pertandingan pendahuluan, dia mencetak
satu dari ketiga gol. Dua yang lain oleh Martin.
Martin dengan manisnya melompat dan bola itu
seakan?akan dimasukkannya dengan mudah ke dalam
keranjang. Lengannya yang panjang terulur ke muka.
Bola itu tidak dilemparkannya tapi dimasukkannya.
Gol. Anak?anak FK melompat?lompar setengah gila.
Bukan main panas hati lawan. Sebenarnya lebih hebat
pertandingan melawan Teknik tadi, tapi pertandingan
sekarang tampak lebih seru karena teriakan?teriakan
penonton.
"FK pasti menang. Stamina mereka lebih baik,"
kata seorang anak Teknik yang jongkok di pinggir.
Gol lagi. Kali ini untuk FKG. Anak Teknik tadi
ikut bertepuk tangan. Martin kembali mendapat kesempatan. Dia melompat tinggi. Inge menahan napas.
61 Sepatu tenis yang putdr ku setengah rnengaung (h
udara. Huuuureeee!!! Gol lagi. Anak Teknik tadi itu
kembali bertepuk tangan.
"Lu suporter dari pihak mana sih?" tanya temannya
curiga.
"T)an Teknng &aang.]apisebab kkasudah kdah,
apa gdahnya nienyorakirnereka?,
Setengah dua belas kurang, pertandingan selesai.
Kedokteran berhasil menang. Anak?anak tingkat satu
menyerbu pahlawan?pahlawan mereka di tengah lapangan. Martin cepat?cepat menyelinap pergi. Dikehuukannyasebuah handuk pudh kecH darisakunya
lalu menyeka keringatnya sambil berjalan.
"Plebat kauf'
Martin menoleh, tertawa.
"146,1nge.h4ana.hdondd"
Inge mengeluh dalam hati namun dia tersenyum
juga.
"Entahlah. Padahal dia berjanji mau datang. Martin,
hebat kau. Tanpa engkau, pasti kita kalah."
Martin tertawa lebar.
"Suporter yang tolol," katanya menggeleng?geleng.
"Sudahtennjiuihadlkedasannlsduruh dnL Bukan
karena aku. Mau minum?"
Sebenarnya perutnyarnanh penuh.dengan avokad,
tapi undangan Martin tidak datang setiap hari.
"Hai!" seru seseorang menepuk bahu Martin.
"Haf'wnrhkumikmnbdihhinmnddm
Anak Teknik itu tertawa melihat Martin terce
ngang.
62 "Lupa? Lupa pada Rahman yang utang go pe? Ha...
ha... ha...."
Martin kelabakan ditepuk pergi?datang begitu.
"Kalau setiap orang selalu lupa utang orang lain
padanya, ha... ha... ha.... Kalau tidak ada kau dulu,
pasti aku terlambat ujian."
Martin menolak lembaran lima ratus itu.
"Sudahlah. Antara teman, mengapa harus banyak
perhitungan? Kalau nanti kebetulan aku tidak ada
uang, tentu teman juga yang akan menolong, bukan?
Kalau aku kebetulan sedang ada sedikit, apa salahnya?
Ayolah. Aku haus. Kau traktir aku minum. Oke? O
ya, sori, perkenalkan, ini lnge. Ini Rahman. Inge, kau
ikut minum?"
Frans menarik baju kakaknya kuat?kuat. Inge tersenyum menggeleng.
"Aku mau pulang. Trims."
Dari Pak Mahmud, Martin memutar skuternya ke
rumah kos Monik. Seisi rumah pergi bertamasya.
Iyem cuma dapat mengatakan bahwa Nona Monik
bermalam di rumah bibinya di Kota. Di jalan apa?
Iyem menggeleng. Martin mengucapkan terima kasih
dengan lesu lalu pulang. Kegembiraannya karena kemenangan mereka lenyap seketika. Mengapa? Dia tidak mau menjawab dirinya sendiri. Dia takut. Untuk
pertama kali dalam hidupnya, Martin merasa takut.
Takut akan sesuatu yang tidak diketahuinya apa, akan
tetapi dirasakannya. Jauh di dalam hatinya, dirasakannya takut itu, samar?samar. Entah apa.
63 III ALAU bermalam di rumah bibinya. Monik pergi
e Gereja Toasebio. Di Grogol jauh dari gereja
yaitu Pax di Jalan Kemakmuran. Rumah bibinya dekat
dengan gereja. Lagi pula di sana ada Peter kecil yang
akan membangunkannya untuk pergi misa pertama.
Peter dan temannya melayani pastor pada misa pertama.
Jam lima beker di kamar Peter berdering. Lekas?lekas dia melompat lalu menghentikannya. Kemudian
dia pergi ke kamar adik perempuannya, tempat Monik
tidur.
"Kak, bangun. Jam lima," bisiknya.
Kalau Monik tidak segera bangun, Peter mencubit
hidungnya sehingga gadis itu terpaksa juga membuka
matanya. Sesak napas.
"Kunyuk."
"Jam lima," bisik Peter tertawa lalu pelan?pelan keluar untuk mandi.
64 http:]lhana-ohi.blogspot.com
Monik bangun dan menyusul anak itu ke belakang.
Rumah Bibi termasuk bangunan kuno dan seperti rumah?rumah lainnya yang serupa itu, terdiri atas sebuah lorong panjang ke belakang, di mana terdapat
dapur serta kamar mandi. Juga ada pintu belakang.
Kamar?kamar tidur besar?besar. Dulu cuma ada dua.
Kemudian ditambah satu lagi, di tempat kamar makan. Televisi dan radio diletakkan di ruang tengah
tempat seisi rumah berkumpul malam hari. Rumah
Gema Sebuah Hati Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu lebih tinggi dari rumah?rumah modern dan terbuat
dari beton. Tidak ada pintu samping. Untuk menjemur pakaian ada ruangan khusus di bawah atap di
mana juga diletakkan perabot?perabor yang sudah tua
dan usang.
Pintu belakang terdiri atas dua bagian: atas dan bawah. Seperti kebanyakan rumah?rumah lainnya, diberi
cat hijau. Tidak berseni, kata Monik melihat rumahrumah tetangga bibinya. Kalau tidak kuning, ya hijau.
Atau biru. Setiap pagi, pintu sebelah atas dibuka dan
Bibi berdiri di situ menanti tukang sayur. Praktis. Tidak usah meninggalkan dapur. Di pintu muka ada juga
tukang?tukang sayur, tapi berlari pulang?pergi dari dapur ke depan adalah mustahil. Pada hari Minggu, Bibi
pergi ke pasar. Kadang?kadang bersama Paman.
Monik berjalan setengah mengantuk. Di muka kamar mandi diambilnya handuk. Kamar Minah masih
tertutup rapat. Dia bangun setengah enam, kalau sudah terdengar bunyi sandal Nyonya diseret ke belakang.
Paman merupakan anak laki?laki tunggal. Jadi di
dalam rumahnya dipasang sebuah altar tempat mem
65 peringati kedua orangtuanya yang telah meninggal. Di
atas meja terdapat dua buah tempat abu terbuat dari
timah murni. Bangka tin. Setiap sore, Bibi menyediakan air teh dua cangkir, sepiring buah-buahan atau
kue-kue, dan menyulut hio. Di atas altar tergantung
gambar kedua almarhum, sebuah lukisan hitam?putih
yang bagus.
Monik duduk di muka altar, menantikan Peter selesai mandi. Sudah ratusan kali dia duduk di situ.
Namun tetap asyik memandangi kedua lukisan itu.
Dua buah wajah tua yang bijaksana. Gambar itu dibuat setelah mereka tua, mungkin di atas umur enam
puluh. Dia tidak pernah mengenal mereka, tapi rasanya kedua pasang mata yang besar?besar itu bercakap
begitu ramah padanya. Bibir?bibir yang tersenyum itu
seakan?akan mau mengungkapkan sesuatu yang tidak
terdengar lagi, sebab tidak ada telinga yang dapat mendengarnya. Kerut?kerut sepanjang pipi itu menambah
keagungan wajah?wajah tua. Nenek dan kakek itu tersenyum begitu ramah. Seakan?akan dia pernah melihat
wajah?Wajah itu, entah di mana.
Di Malang, mereka juga mempunyai sebuah altar.
ibunya, saudara tertua dari Bibi dan tiga orang pamannya, memelihara altar itu untuk memperingati orangtua mereka, persis seperti yang dilakukan Bibi untuk
arwah?arwah kedua mertuanya.
Ayah dan adik?adik Monik yang sudah beragama
Katolik tidak lagi bersembahyang di situ. Monik tahu,
ibunya ingin juga seperti mereka, pergi ke gereja, tapi
dia mau menanti sampai salah satu adik laki?lakinya
menikah dan bersedia memelihara altar itu.
66 Nenek dan kakeknya serupa saja rasanya seperti nenek dan kakek Peter, di atas altar itu. Mereka sama
tua. Sama?sama tersenyum. Cuma bedanya, Monik
mengenal nenek-kakeknya. Sepasang orangtua yang
bukan main baiknya. Tempat pelarian cucu?cucu yang
kena marah orangtua. Tempat meminta hadiah uang
paling banyak, pada Hari Tahun Baru.
Peter keluar dari kamar mandi dengan badan masih
setengah basah.
"Cepatlah mandi," katanya melihat Monik duduk
termenung, lalu mengeringkan badan dengan handuknya.
Peter baru duduk di kelas tiga SD dan bersedia telanjang di muka siapa saja, tanpa bayar. Monik tersenyum melihat anak itu tanpa malu?malu membuka
handuknya.
"Mandi. Cepat," katanya mendorong Monik.
Di Kota, air leding selalu mengalir dengan deras.
Jadi tidak usah mandi "seember saja" seperti di Grogol. Boleh mandi sepuas?puasnya. Lebih sedap lagi,
sebab Bibi ternyata masih mempunyai banyak sirnpanan sabun wangi dari negara?negara imperialis. Selesai mandi, dilihatnya Peter sudah siap.
"Cepat ya, Kak. Peter mau ke rumah Kiu dulu."
Monik memilih baju putih berbunga?bunga kuning
dengan ikat pinggang lebar berwarna kuning tua. Bajunya di rumah Bibi cukup banyak, tergantung satu
lemari penuh. Kadang?kadang beberapa dibawanya ke
tempat kos. Yang sudah bosan dipakai ke kuliah, digantungnya di rumah Bibi. Beberapa baju tua dapat
ditukarkan Bibi dengan barang?barang perabot rumah
67 tangga. Ada beberapa langganan yang setiap hari
mondar?mandir menanyai nyonya?nyonya rumah
kalau?kalau ada baju?baju tua yang mau dijadikan
mangkuk atau gelas atau panci-panci. Menurut kepercayaan mereka, baju?baju bekas tidak boleh dijual.
Tapi ditukar dengan barang rupanya boleh. Sebab
pada zaman nenek dari nenek, agaknya tukar?menukar
begitu belum ada sehingga tidak terpikir oleh mereka
untuk melarangnya.
Monik menyalakan lampu sambil menoleh ke arah
tempat tidur untuk melihat kalau?kalau Nancy terbangun. Tapi anak itu masih terlelap. Matanya mengatup rapat. Bibir?bibirnya cuma merupakan sebuah garis merah yang tipis dan manis. Pamannya mendapat
pendidikan pada sekolah Belanda, jadi anak?anaknya
dididiknya secara modern. Boleh mengajukan keberatan?keberatan terhadap permintaan orangtua, asal
disertai alasan cukup.
Peter kecil sering kali gembar?gembor bahwa dia
benci anak?anak perempuan, kecuali Nancy, dan bahwa dia akan menjadi pastor saja kalau sudah besar.
Ayahnya bilang, "Engkau akan menjadi dokter seperti
Kak Monik."
"Bah! Dokter?" teriak Peter. "Tidak mau!"
"Mengapa?" tanya ayahnya.
Ya, Peter belum dapat mengatakan mengapa. Tapi
tunggulah beberapa tahun lagi, dia akan tahu jawabnya.
"Nah, sampai engkau dapat mengatakan: 'mengapa
tidak mau,, maka engkau harus menjadi dokter!"
Harus! Sebuah kata yang masih ada dalam kamus
68 orangtua?orangtua yang belum dapat menghilangkan
sama sekali pengaruh pendidikan kolot atas diri mereka. Hari depan anak bukanlah ditentukan oleh anak
sendiri tapi oleh mereka, para orangtua, seperti juga
hari depan mereka dulu ditentukan oleh orangtuaorangtua mereka.
Monik memperbaiki sekali lagi lipstiknya lalu mematikan lampu dan keluar. Kedua anak laki?laki itu
sudah menanti. Mereka berjalan pelan?pelan menyusuri
jalan-jalan yang sudah mulai bangun. Tukang?tukang
jualan sudah mulai berdatangan. Apalagi ini hari Minggu. Tentu lebih ramai dari hari?hari biasa.
Penjual nasi tim sudah mulai membuka pintunya.
Dari dalam, keluar bau harum yang sedap. Orangorang yang pulang dari misa pertama sering kali singgah ke situ. Mengherankan, tidak ada seorang pun
yang teringat untuk berkhotbah kepada laki?laki setengah tua itu beserta istri dan anak?menantunya. Siapa
tahu mereka akan tertarik dan ikut masuk gereja. Namun orang?orang mungkin cemas juga: kalau mereka
berbondong?bondong menghadiri misa, boleh jadi tidak akan ada nasi tim kalau mereka pulang. Atau:
nasi tim itu terlalu enak, membuat orang lupa melakukan sesuatu yang ingin dilakukannya.
Bagaimanapun, itulah mereka. Dari hari ke hari,
sejak puluhan tahun, dengan setia membuka satu per
satu papan?papan di muka rumah pada jam enam
pagi. Sebuah meja dan sebuah tungku dikeluarkan. Di
atasnya terdapat sebuah panci kaleng, setinggi setengah
meter, tempat memasak nasi tim itu. Kemudian mangkuk?mangkuk dikeluarkan dan diletakkan di atas meja.
69 Menantu perempuan mulai memasang taplak?taplak
meja seperti yang telah dilakukannya sejak ia menikah.
Anak laki?laki memeriksa apakah tungku itu cukup
arangnya. Sedangkan laki?laki setengah tua itu mulai
memotong?motong ayam rebus dibantu istrinya yang
turut memeriksa kalau-kalau ada bumbu-bumbu yang
kurang.
Setiap pagi, dari bulan ke bulan, dari tahun ke tahun, itulah kerja mereka. Anak laki?laki setelah tamat
sekolah, tidak mempunyai tujuan lain kecuali belajar
mewarisi kemahiran masak ayahnya untuk kemudian
menggantikannya bila dia mati. Orang?orang yang sederhana, yang tidak perlu jauh?jauh dalam mencari
bahagia. Mereka sudah lama menemukannya: dalam
hati mereka sendiri.
Monik melirik ke arah warung itu. Dilihatnya lakilaki setengah tua itu. Dilihatnya istrinya. Mereka betul. Mereka tidak perlu ke gereja. Tuhan sudah ada
dalam hati mereka.
*** Gereja Toasebio, seperti beberapa bangunan lain yang
sedikit jumlahnya, mempunyai arsitektur bergaya
Tiongkok. Cuma bangsa berjiwa besar yang mampu
memelihara peninggalan masa lampaunya. Dalam hal
ini, penduduk Jakarta telah memperlihatkan kebesaran
jiwa dengan membiarkan bangunan itu berdiri utuh
di tempatnya. Mereka tahu apa yang mereka lakukan
dan mengapa mereka melakukannya. Semua penduduk
kota-kota metropolitan di dunia telah dipaksa keadaan
70 untuk belajar hidup seperti sesungguhnya hidup itu:
perjuangan. Hidup adalah perjuangan. Setiap orang
mesti tahu apa yang dilakukannya dan mengapa.
Gereja yang tidak megah itu didirikan pada akhir
abad yang lalu. Bekas rumah seorang Tionghoa kaya,
tuan tanah. Dulu, pekarangan muka masih indah dengan rumput dan bunga?bunga. Namun sekarang sudah diplester dengan semen. Pada samping kanan terdapat pintu berbentuk rembulan yang menembus ke
taman bunga. Bunga?bunga dalam taman itu cukup
terpelihara dengan baik. Dan suasana bertambah sejuk
dengan adanya sebuah kolam kecil berisi ikan?ikan
hias. Semua pintu dan loteng bercat merah.
Dari taman bung terdapat sebuah tangga yang
menuju ke loteng, mungkin dulu tempat pelayan?pelayan keluar?masuk atau tempat seorang putri menantikan kekasih yang tidak disukai ayah. Sekarang loteng
itu merupakan tempat tinggal para pastor. Beberapa
ruangan dekat taman dijadikan kamar perpustakaan
dan kamar tamu. Di sebelah gereja, terdapat sekolah,
lengkap dengan SD dan SMA?nya.
Setiap kali melihat singa-singa batu itu, Monik selalu teringat pada sebuah kartu pos yang dikirimkan
temannya dari Singapore: singa batu menjaga pintu
masuk sebuah taman. Kadang?kadang Monik membelai salah satu singa itu dengan lembut. Binatang
buas itu berbaring dengan begitu manis dan tenang,
masih menarik meskipun tubuhnya sudah berkudis.
"Halo," kata Peter pagi itu pada singa di sebelah
kiri.
Monik tersenyum mendengarnya dan membelai ke
71 pala yang besar itu. Misa belum lagi mulai. Monik
melihat seorang gadis yang dikenalnya dalam salah
satu piknik paroki, lalu melambai kepadanya.
"Belum masuk, Alice?"
"Sebenarnya aku sudah mau masuk, tapi tiba?tiba
aku melihatmu. Kapan engkau mau main ke rumahku
seperti yang kaujanjikan?"
"Oh."
"Datanglah. Di rumahku tidak ada siapa?siapa.
Cuma orangtuaku dan..."
"Suatu ketika, aku pasti akan datang. Misalnya, bila
engkau menikah."
"Huh! Lelucon kuno. O ya, engkau masih kuliah,
bukan?"
Sebelum Monik sempat menjawab, lonceng gereja
telah berbunyi dan mereka tergesa?gesa masuk. Alice
menarik tangannya. Entah mengapa, wajah Alice tibatiba mengingatkannya pada Martin.
*** Sambil bersiul?siul, Paman masuk ke rumah dengan
tangan penuh belanjaan. Di belakangnya berjalan Bibi
dengan sekeranjang jeruk. Nancy menari?nari mengikuti ibunya dan berusaha memasukkan tangannya ke
dalam keranjang.
"Sabar, Nancy. Cuci dulu."
Ibunya memberikan keranjang itu kepadanya. Tergesa?gesa Nancy melarikannya ke dapur.
"Hari baik... hari baik," kata Paman berulang?ulang
72 sambil meletakkan barang-batang itu di atas meja dapur.
"Pa, jangan taruh ikan itu di atas meja!" kata
Bibi.
"Hari baik... hari baik," kata Paman lalu memindahkan ikan kakap itu ke bawah ke tempat mencuci piring.
"Hari ini giliranku di dapur!" kata Paman dengan
pongah. "Kalian lihat saja!"
Bibi mencibir tapi tersenyum juga tanpa berkata
apa?apa. Monik masih mengenakan baju yang dipakainya tadi ke gereja.
"'l'ukarlah dulu bajumu," kata Bibi ketika melihatnya mengambil pisau.
"Biarlah, Bi. Saya menantikan teman."
"Kalau begitu, pakailah celemek. Itu di dalam
laci."
Nancy duduk di atas kursinya sambil mengupas jeruk.
"Apakah engkau sudah makan pagi?"
"Sudah, Papa."
"Di mana Peter? Dia tentu belum makan."
"Kami sudah makan nasi tim."
Paman jongkok di bawah membersihkan ikan. Bibi
membersihkan gaster babi. Mula?mula kantong nasi
atau gaster itu dibalik lalu diremas-remas dengan garam kasar kemudian dibilas dengan air. Ini dikerjakan
dua?tiga kali. Lalu diremas?remas dengan sagu dan
dibilas dengan air. Ini juga diulang. Setelah itu dibersihkan dengan jeruk limau. Setelah bersih betul
dan tidak berbau, dimasukkan sebentar ke dalam air
73 mendidih sampai menjadi kaku. Lalu diangkat dan
dipotong?potong. Kantong nasi itu dimasak dengan
ayam dan teripang laut.
Ikan kakap yang sudah bersih itu dibelah dua dan
diberi bumbu?bumbu rahasia Paman. Kemudian kepala tahu dicuci. Monik selalu diberitahu bagaimana
memasak ini dan itu oleh pamannya tapi setiap kali
selalu lupa. Kali ini dia lupa juga apa-apa bumbu ikan
itu dan untuk menanyakannya dia malu.
"Engkau mau pergi dengan temanmu?" tanya
Bibi.
"Iya. Mau jalan?jalan ke Situ Gintung."
"Memang harus begitu. Anak?anak muda harus
berekreasi sebanyak?banyaknya. Kalau sudah tua mau
ke mana lagi? Dulu waktu aku muda, kenyang berdansa di Singapore. Huh. Noni?noni di sana cantikcantik. He he... he.... Kalau hari sudah malam, mereka mulai berdiri sepanjang jembatan. Kalau kita lewat di situ, seorang nenek akan menghampiri kita dan
bertanya: apa Tuan perlu korek api atau apa Tuan tidak tahu jalan?! Kalau kita mengangguk, maka noni
itu akan keluar dari tempat gelap. Haaa...! Bukan sembarangan lho. Masing?masing mempunyai penjaga,
seorang nenek."
Paman tertawa hua... hua... hua... sementara Bibi
menulikan telinga. Cerita seribu satu malam itu yang
rupanya merupakan satu?satunya sisa kebanggaan Paman. Sudah jutaan kali diulang di muka Bibi sehingga
dia sudah lupa bagaimana reaksinya dulu ketika mendengarnya untuk pertama kali.
Monik tertawa juga meskipun cerita itu sudah basi
74 bagi telinganya. Dilayangkannya matanya pada jam
yang ada di dapur. Sepuluh seperempat. Mengapa
Steve belum datang?
Bibi mengiris hati babi dan teripang. Monik lekaslekas membersihkan kapri kemudian memotong?motong kembang kol.
"Kalau memasak hati, tidak boleh terlalu lama,"
kata Bibi, "nanti dia menjadi keras. Coba, ambilkan
Bibi tempat lada. Vetsin juga."
Sebentar kemudian dapur sudah menjadi harum.
Di situ terdapat dua buah kompor minyak tanah dan
sebuah anglo, dapur arang. Karena tidak ada minyak
tanah, cuma satu kompor yang berisi. Bibi sudah meletakkan wajan di situ. Paman dengan tenang?tenang
menuang minyak babi ke dalamnya.
"Eeiiitt... tunggu dulu. Itu akan aku pergunakan.
Kau di kompor satu lagi."
"Tapi, Ma, kompor itu kosong. Kau tahu sendiri,
kemarin seharian aku mencari minyak tanah!"
"Hm! Sejam mencari minyak lalu sepuluh jam
main mahyong?! Ya?"
Gema Sebuah Hati Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Besok pasti kita akan dapat minyak. Ketua koperasi bilang, besok ada."
"Huh. Menunggu koperasi! Sudah aku bilang, belilah satu drum. Mahal sedikit, tidak apa."
"Enaknya kalau omong. Sudah lupa bagaimana si
A?sam? Membeli minyak goreng dua kaleng.> Dituduh
menimbun? Enaknya!"
"Sudah! Kau di anglo."
Di atas anglo terdapat sebuah cerek: Minah tengah
memasak air untuk membuat air kanji. Terpaksa cerek
75 mengalah. Paman meletakkan wajannya di situ. Wajan
itu amat besar dan cuma Paman yang mempergunakannya.
Tiba?tiba terdengar suara Nancy berlari ke dalam.
"Mama... Mama... ada orang."
"Siapa? Oh, temanmu, Monik."
Dengan gembira Monik berlari ke luar. Sudah hampir jam sebelas. Sebenarnya tidak enak keluar rumah
siang?siang, tapi aku maafkan dia karena toh sudah
datang. Monik membuka pintu dan menjadi lemas.
"Saya mengantarkan beras yang tadi dipesan. Ini
suratnya."
Monik mengangguk?angguk dengan mendongkol.
"Bawa masuk. Letakkan di sini."
Dengan lesu dia kembali ke belakang. Bibi ternganga melihat dia. Monik menggeleng.
"Bukan teman saya. Orang membawa beras," lalu
dia menunduk dan meneruskan kerjanya menumbuk
udang kering.
Bibi mencuci daun?daun selada satu per satu dalam
larutan permangan. Dia amat teliti terhadap sayur?sayuran yang dimakan mentah. Karena itu kedua anaknya hampir dapat dikatakan tidak pernah sakit. Daun
selada dimakan dengan sambal udang kering dan
emping melinjo serta telur rebus.
Paman memberikan sesendok kuah ikan yang dimasak dengan kepala tahu.
"Cicipi! Enak, kan? Tahu sekarang, siapa juru masak di sini?"
Monik mencicipi. Memang enak. Dia terpaksa tertawa. Paman memang benar. Ibunya selalu bilang,
76 Bibi tidak pernah masuk ke dapur sebelum menikah.
Untung benar, dia tidak tinggal dengan mertua. Setelah menikah, Paman dengan tekun mengajarinya segala macam rahasia dapur. Kemudian Bibi menjadi
tertarik dan ikut beberapa kursus masak. Jadi rupanya,
cinta melalui perut itu sudah kuno.
"Nancy, panggil Peter. Waktu makan. Barangkali
dia ada di rumah Kiu," teriak ayahnya.
"Ya, Papa," jawab Nancy dari ruang tengah lalu terdengar langkahnya berlari ke depan.
Paman mencicipi masakan Bibi di atas wajan. Kedua matanya membelalak dengan jenaka ketika dilihatnya Bibi sudah bercekak pinggang di dekatnya dengan
sendok penggoreng dalam tangannya siap untuk
memukulnya kalau ada kritik.
"Enak... enak... murid lihai!" katanya menunjukkan
jempol. Lalu dilihatnya Bibi tersenyum dan cepatcepat ditambahnya, "Tapi guru masih selalu seratus
kali lebih lihai."
Jam dua belas mereka makan. Monik duduk tepat
di hadapan lonceng. Setiap menit diangkatnya wajahnya dan dipandangnya benda itu.
"Mana babi tim yang dimasak kemarin?" tanya Paman.
"O ya, lupa," sahut Bibi tersenyum lalu bangkit.
"Biarlah, saya mengambilnya," kata Monik.
Di dapur, dipandangnya lonceng. Juga jam dua belas. Mengapa dia tidak datang? Selesai makan, Paman
bertanya mengapa dia belum juga datang? Monik
cuma tersenyum.
"Janji jam berapa?" tanya Bibi.
77 "Tidak jam berapa-berapa. Mungkin ibunya mendapat serangan lagi."
Entah mengapa, tiba?tiba keluar saja dusta itu. Dia
sendiri amat ingin memercayai dustanya.
"Sakit jantung?" tanya pamannya ngeri. "Itulah.
Makan jangan terlalu rakus. Secukupnya. Jangan terlalu mewah. Sudah makan telur dihantam lagi dengan
susu, keju, sosis bagaimana tidak mau gemuk?
Orang kurus lebih sehat daripada orang gemuk,
tahu."
"Umur berapa ibunya?" tanya Bibi. Lalu, "Nancy!
Jeruk bagianmu tinggal satu. Itu untuk Peter."
Umur berapakah ibu Steve? Seperti apa rupanya?
Kurus? Atau gemuk?
"Mungkin lima puluhan." Dan untuk menghindari
pertanyaan?pertanyaan lebih lanjut. cepat?cepat ditambahnya, "Saya belum pernah melihatnya."
Paman berdiri dari meja makan. Dia tersenyum memandang Bibi.
"Mahyong lagi?"
Paman cuma terkekeh. Bibi melarang Paman main
di rumah. Tidak baik untuk anak?anak. Jadi setiap
hari Minggu, Paman pergi ke rumah temannya. Pulang jam tujuh atau lebih sedikit.
"Jangan bawa uang!"
"Tidak. Cuma uang kecil."
Sudah jam dua. Monik menukar bajunya. Bibi
asyik menjahit. Nancy dan Peter sudah tidur. Suasana
amat sunyi. Bahkan Minah menyetrika tanpa suara.
Monik berbaring sebentar di atas kursi malas. Kemudian bangkit dan berjalan ke depan. Di depan sepi.
78 Semua rumah menutup pintu. Tidur. Dia kembali lagi
ke dalam. Lalu masuk ke kamar. Ditukarnya bajunya.
Dipakainya kembali baju kuning tadi. Dikaitnya sepatu dari bawah tempat tidur. Lalu diambilnya dompet.
"Bi, saya mau ke rumah teman sebentar."
"Siapa?"
"Alice."
*** Rumah Alice mempunyai corak arsitektur Tiongkok.
Mungkin didirikan pada akhir abad kesembilan belas.
Dari luar tidak banyak yang dapat dilihat. Pagar besi
modern setinggi satu meter dengan cat yang masih
baru. Pekarangan sedikit. Sebatang pohon mawar dan
dua batang pohon kembang turi. Rumput-rumput kering dan kuning. Jendela-jendela dan pintu tertutup
rapat. Juga pintu samping terkunci. Sisa?sisa cat di
situ masih menunjukkan asalnya: merah dan kuning.
Sebuah lampion tua tampaknya sudah diambil alih
fungsinya oleh sebuah bola lampu besar di mana terdapat angka dua?lima?empat, nomor rumah itu. Keseluruhannya memberi kesan: sebuah bangunan yang
megah dan teguh, yang berdiri dengan angkuh, menantang siapa saja. Berdiri sendirian, kesepian tapi toh
tidak mau tahu apa?apa yang terjadi di kiri?kanannya.
Menantang angin dan hujan, panas dan lembap.
Monik membayar becak dan berdiri beberapa lama
di muka pagar sebelum membukanya. Pelan?pelan diinjaknya kerikil yang tersebar dari pintu pagar sampai
79 di bawah tangga masuk. Dinaikinya kedua anak tangga itu lalu tertegun sesaat di muka pintu. Pintu itu
terdiri atas dua buah daun, berwarna mahoni dengan
sebuah gelang besi pada masing?masing daun pintu.
Gelang besi itu merupakan dua ekor ular yang saling
membelit. Monik sudah mengangkat sebuah gelang,
ketika tiba?tiba dilihatnya bel di sebelah kiri. Diulurnya tangannya lalu ditekannya bel itu. Serasa didengarnya bel itu berkumandang di dalam. Tapi dia masih
harus menanti beberapa menit sebelum pintu terbuka.
Seorang pembantu wanita memandangnya kemudian
menanyakan keperluannya.
"Ada Nona Alice?"
"Oh, ada. Silakan masuk, Non."
Pintu dibuka lebar-lebar. Monik masuk. Pemandangan di dalam sungguh kontras dengan di luar. Di
sini semua serba terpelihara. Tembok putih. Cat merah
dan kuning berkilat, megah dan meriah. Monik memandang berkeliling. Dia berada dalam sebuah ruang
tamu yang mewah. Berukuran kira?kira enam kali delapan meter atau mungkin lebih. Monik tidak begitu
ahli dalam menilai ukuran. Pokoknya, amat luas.
Tiga buah jendela yang letaknya berdekatan terbuka
lebar memperlihatkan pemandangan yang indah dari
kebun di samping rumah. Di sudut terdapat sebuah
jambangan besar berwarna putih dengan lukisan berwarna biru. Itulah sebuah porselen dari Dinasti Ming
mungkin yang tidak ternilai harganya. Selain itu, juga
masih ada sebuah jambangan lagi dari usia yang lebih
muda, karena sudah mempergunakan bermacam?ma
cam warna: kuning, ros.
80 Pada dinding terdapat satu seri piring hias, digantung miring berurutan sesuai dengan cerita yang dikisahkan oleh lukisan berwarna biru itu. Monik memandang sebentar. Mungkin itu cerita tentang seorang
wanita cantik yang dijadikan upeti bagi raja lalim, untuk meruntuhkan kekuasaannya. Berhadapan dengan
piring?piring itu, tergantung patung dada Santa Maria.
Juga dari porselen halus. Lalu terdapat sebuah lukisan
pemandangan alam yang menggambarkan gunung-gunung dengan beberapa perahu dalam danau di kaki
gunung itu.
Monik sudah menggerakkan kakinya ke arah kursi,
yang merupakan perabot modern dalam ruang itu,
ketika pembantu itu memintanya untuk masuk terus.
Keluar dari ruang tamu itu mereka masuk ke dalam
sebuah taman yang luar biasa indah. Di belakang gunung?gunungan terdapat sebuah pintu berbentuk rembulan, berwarna merah. Rumput?rumput di situ hijau
dan segar. Di antara bunga?bunga mawar, terdapat
pohon?pohon Willow. Ada jambangan besar yang biasanya dipergunakan untuk tempat air kuno dan tingginya hampir dua meter. Sebuah porselen putih?biru
dipergunakan untuk tanaman melati. Bunganya kecilkecil, gemuk dan banyak sekali. Meskipun dibiarkan
dalarn hujan angin, pot porselen itu tetap bagus dan
tentu berharga sekali. Sebuah kolam ikan berbentuk
oval merupakan salah satu tambahan modern, di samping beberapa lembar atap plastik berwarna biru yang
dipasang di samping gunung?gunungan. Monik memandang berkeliling. Sudah tentu tidak mungkin
memperhatikan semuanya sebab dia terus berjalan.
81 Namun terlihat juga olehnya: bunga cempaka, bunga
kacapiring, bunga lili air. Pasti harum sekali taman ini
pada malam hari.
Setelah hampir lupa bernapas ketika melewati taman
surga itu, Monik menarik napas lega mendengar wanita
di belakangnya menyilakan dia masuk. Monik menginjakkan kakinya ke dalam ruangan yang agaknya merupakan ruangan keluarga. Yang pertama-tama dilihatnya adalah Alice. Dengan slack hitam. Berbaring di
sofa. Mendengar suara pembantunya, dia menoleh.
"Hei!" Emile Zola di tangannya dilemparnya ke
lantai. Dia lari melintasi ruangan yang mahaluas itu
dan memeluk temannya.
"Oh oh oh akhirnya kau datang juga."
Diseretnya Monik ke dalam ruangan dan pada saat
itu dia melihat nyonya rumah di atas kursi goyangnya
yang antik.
"Mama... Mama... ini Monik."
Monik mengatupkan kedua tangannya dan menyalam
"Baik, Tante?"
"Baik, terima kasih. Duduklah."
"Terima kasih, Tante. Rajin betul. Menyulam apa,
Tante?"
"Ah, iseng. Membuat taplak meja."
Di muka nyonya rumah terbentang sebuah empat
persegi panjang yang terdiri atas empat buah batang
kayu. Di dalamnya terentang sehelai sutra halus berwarna putih. Wanita itu dengan cekatan memasukkan
jarumnya dan sebentar saja, sudah terbentuk sebuah
seruni.
82 Sementara itu seekor herder berwarna hitam berkilat
sudah datang menghampiri dari sudut ruangan. Tapi
dia cuma mendengus?dengus sebentar, lalu pergi kembali. Setelah membiarkan Monik memperhatikan ibunya beberapa menit, Alice menariknya ke tempatnya
di seberang ruangan dan mengundangnya duduk di
lantai. Ruang itu jauh lebih luas dari ruang muka.
Monik tidak mampu lagi menaksir ukurannya. Perabot-perabot di situ merupakan kombinasi yang artistik
antara kuno dan modern. Mebel, TV, radio salon,
kipas angin, tape, lukisan?lukisan, tempat?tempat bunga, Emile Zola... Tiba?tiba dari belakang masuk seekor herder cokelat. Tampaknya lebih garang dari temannya. Tapi peringatan dari Alice membuatnya ramah. Dia mendengus sekejap lalu menghilang ke bawah sofa.
Di atas lantai berserakan kaset-kaset. Monik mengambil buku yang dilempar tadi. 777676511. Dalam bahasa
Panglima Gunung Karya Stefanus Sp Manusia Aneh Dialas Pegunungan Hong San Koay Khek Karya Gan K.l Dewi Ular 88 Misteri Bencana Kiamat
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama