Ceritasilat Novel Online

Kisah Si Pedang Buntung 11

Kisah Si Pedang Buntung Lanjutan Ratu Wandansari Karya Widi Widayat Bagian 11


"Hem bagus!" lengking Kedasih mengejek.
"Penjahat tetap penjahat. Segala tingkah laku dan perbuatannya tentu liar dan jahat pula!"
Minah dan Kedasih telah beradu punggung. Mereka tahu, bahwa orang-orang Kendeng ini tak boleh dibuat main-main. Maka mereka sadar, kali ini harus melawan mati matian. .
Memang antara Gerombolan Kendeng dan Perguruan Tuban tidak pernah rukun. Karena terdapat persoalan persoalan yang masing masing beranggapan pihaknya yang benar. Seperti pernah diceritakan dalam cerita 'RATU WANDANSARI", bahwa Rara Inten pernah menggunakan Gerombolan Kendeng ini sebagai alat cita-citanya. Namun, maksud Rara Inten ini kemudian gagal, dan ternyata terbongkarlah pemalsuan yang terjadi dalam pimpinan orang-orang Kendeng ini. yang didalangi oleh Kirtaji (murid Cinde Amoh ). Selama gerombolan ini dikuasai oleh Kirtaji dan anak buahnya, keadaannya berubah. Menjadi kelompok dari para penjahat yang mengganggu ketenteraman umum.
Tetapi berdiamnya Rara Inten pada gerombolan ini, menurut anggapan para murid Tuban, Rara Inten telah diculik dan ditawan. Maka antara Tuban dan gerombolan Kendeng yang tak pernah rukun itu, makin diperuncing lagi. Mereka menjadi musuh bebuyutan. Ketika terjadi pertemuan antara beberapa tokoh sakti di Bligo, dalam usaha mengadili Kreti Windu. beberapa orang tokoh Kendeng telah menjadi korban Rara Inten dan anak buahnya.
Namun yang sesungguhnya, setelah terbongkarnya peristiwa pemalsuan pada pimpinan Kendeng ini, sekarang terdapat dua macam kelompok yang sepak terjangnya berbeda seperti bumi dengan langit.
Gerombolan Kendeng yang asli, setelah kembali ke tangan orang yang benar, telah menjadi gerombolan orang baik-baik. Bukan kelompok penjahat lagi, tetapi merupakan gerombolan pendekar dan orang-orang gagah perkasa yang mengabdi kepada kebenaran. Namun sebaliknya Kirtaji yang telah terbuka kedoknya, dan telah ditinggal mati oleh Cinde Amoh, merasa kehilangan tempat bernaung. Sebagai seorang muda yang licin dan cerdik. kemudian Kirtaji berhasil mengumpulkan orang-orang jahat dan terbentuklah Gerombolan Kendeng dengan pimpinan Kirtaji sendiri.
Perbedaannya hanyalah, dua gerombolan yang sama nama ini, wilayahnya dibatasi oleh Sungai Sala atau Bengawan Sala. Kirtaji dan gerombolannya bertempat tinggal di Pegunungan Kendeng sebelah selatan Bengawan Sala, dan Gunung Pandan merupakan markas besarnya.
Sedang gerombolan Kendeng yang semula pimpinannya dipalsu Kirtaji, Wilayahnya di sebelah utara Bengawan Sala.
Sekarang yang berhadapan dengan Minah dan Kedasih, adalah Gerombolan Kendeng yang jahat, yang dipimpin oleh Kirtaji. Maka bagi orang yang tahu, Gunung Pandan dan sekitarnya ini merupakan wilayah berbahaya. Tidak sembarang orang berani menginjakkan kaki di Wilayah ini. Karena orang akan dirampok habis-habisan,
dan salah-salah nyawanya melayang pula.
Minah dan Kedasih yang sedang berusaha mencari Rara Inten, tidak kenal akan daerah yang angker ini. Tidak sadar bahwa mereka sedang berhadapan dengan penjahat-penjahat yang banyak ditakuti orang.
Gerombolan Kendeng selatan yang ganas dipimpin oleh Kirtaji.
Beberapa orang di antara yang mengurung sekarang ini cengar-cengir, dengan pandang mata yang menyinarkan nafsu, melihat dua orang perempuan yang bertubuh denok itu. Bukan rahasa lagi bagi para penjahat ini. Mereka merupakan pengejar-pengejar perempuan apabila memperoleh kesempatan. Dan sekalipun Kirtaji sendiri bukanlah laki-laki hidung belang dan pengejar perempuan. Ia tak pernah mencela maupun melarang anak buahnya melakukan perbuatan terkutuk itu. Kirtaji memang sengaja memberi kesempatan kepada anak buahnya melakukan apa saja yang disuka. Semua itu dimaksud agar anak buahnya gembira dan selalu bersemangat melakukan tugasnya. Yang mengimbangi Kirtaji sebagai kepala gerombolan penjahat ini. Adalah demi keuntungan sendiri. Tak perduli akan tata santun yang berlaku dalam masyarakat. Tak perduli kepada hukum dan apa yang disebut tata masyarakat. Tetapi sebaliknya, guna membuat anak buahnya selalu patuh dan tunduk kepada dirinya. ia membuat peraturan yang amat keras. Barang siapa yang melanggar, bukan hanya dihukum badan. Tetapi kalau perlu disiksa atau dibunuh. Peraturan yang dipegang keras itu membuat anak buahnya menjadi takut. Dan apa lagi di dalam gerombolan ini, tak seorangpun yang dapat menandingi kesaktiannya._
Memang Kirtaji seorang muda yang cerdik, kuat ingatan, licin dan banyak tipu muslihatnya. Seperti di dalam cerita "Ratu Wandansari" telah para pembaca kenal, tentang licik dan tipu muslihat Kirtaji ini. ketika ia berusaha membunuh Kreti windu di Pulau Sapudi. Disamping seorang cerdik, licin dan banyak tipu muslihatnya, adalah seorang murid Cinde Amoh, dan berhasil menguasai secara baik ilmu kesaktian dari Pondok Bligo maupun Perguruan Kemuning.
Minah dan Kedasih telah bersiap siaga menunggu segala kemungkinan yang akan terjadi. Namun para pengurung itu belum juga mulai menyerang.
"Mari kita ukur sampai di mana ketinggian ilmu kalian. Sangkamu, aku hanya dua orang takut menghadapi kamu dalam jumlah banyak?" tantang Kedasih dengan angkuh.
Dada yang sudah membusung itu dibusungkan lagi, sehingga tampak makin menonjol. Belasan laki-laki yang mengurungnya itu, di antaranya menelan ludah. Bagi orang-orang yang telah rusak segalanya ini, sudah tentu akan selalu haus apabila berhadapan dengan perempuan yang Wajahnya lumayan.
Mendengar tantangan yang ketus dari Kedasih itu, pemimpin dari para penjahat ini terkekeh mengejek,
"Heh-heh-heh, sungguh sombong engkau! Hanya dua orang berani menantang kami. Apakah yang kamu andalkan menghadapi kami?"
"Hi-hi-hik. hanya menghadapi tikus macam kamu mengapa repot-repot?" ejek Minah.
"Dua tangan dan padang kami akan sanggup membuat kalian jungkir balik."
"Uah, uah. makin menjadi jadi kesombongan kalian. Menganggap bahwa murid-murid Perguruan Tuban tiada lawan di dunia ini."
Balas laki-laki puCat dan kurus itu. Kemudian pemimpin gerombolan ini memandang kawan kawannya. Terusnya,
"Jangan kalian bergerak. Tetaplah di tempat masing-masing. Agar perempuan ini tahu sampai di mana tingginya langit dan dalamnya lautan. Agar mereka tahu bahwa ilmu kita takkan kalah dengan ilmu mereka. Hemm.......... biarlah mereka tahu, bahwa seorang diri aku sanggup merobohkan mereka."
Belasan orang yang mengurung itu tertawa, kemudian mereka bertepuk tangan sambil berseru.
"Bagus! Biarlah mereka tahu sampai di mana ketangguhan kakang Prembun." '
Belasan orang anak buah Kirtaji ini memang percaya penuh akan ketangguhan pemimpinnya, yang disebut namanya Prembun ini. Sesungguhnya memang, Prembun merupakan orang ke dua bagi gerombolan Kirtaji. Ia merupakan pembantu dan tangan kanannya, di samping pula merupakan pelatih bagi anak buah. Ilmu kepandaian Prembun memang cukup tinggi. Sebelum menjadi pembantu Kirtaji, Prembun adalah seorang perampok tunggal di daerah Kediri. Perampok yang terkenal kejam ganas dan sadis. Maka beberapa waktu yang lalu setiap orang di Wilayah Kediri, akan gemetaran tubuhnya dan ketakutan, apabila mendengar nama Prembun disebut sebut.
Kalau Prembun cukup tinggi ilmu kepandaiannya memang tidaklah mengherankan. Ia adalah murid seorang sakti. Murid ketua Perguruan Semeru, Wangsa Dipa. Nama Perguruan Semeru dan Tuban, keharumannya sejajar, juga dalam ilmu pedang.kalau Perguruan 'Tuban terkenal dengan ilmu pedangnya "Janur Kuning". maka Semeru terkenal dengan ilmu pedangnya yang ampuh, bernama 'Panca Sari".
Prembun segera melangkah maju dengan dada membusung dan sikap yang gagah. Kalau sejak tadi Minah dan Kedasih telah menghunus pedangnya, Prembun melangkah maju tanpa senjata. Sikapnya tenang, menandakan kematangan ilmunya. Tetapi tubuhnya yang kurus dan wajahnya yang pucat, seringkali orang merendahkan.
"Kau..... kau benar-benar merendahkan kami?" lengking Kedasih heran, tetapi juga penasaran sekali melihat Prembun benar benar maju seorang diri, malah tanpa menghunus senjata pula.
"Apakah engkau memang telah bosan hidup?"
Prembun terkekeh mengejek. Sepasang matanya yang bersinar tajam itu mengamati Kedasih dan Minah penuh perhatian. Menyusuri seluruh tubuh, dari ujung jari kaki sampai rambut. Mulutnya menyeringai, seakan laki-laki ini mau menelan mentah-mentah dua orang perempuan ini. Melihat pandang mata laki -laki itu, diam diam Kedasih dan Minah bergidik ngeri juga.
"Hemm," dengus Prembun.
"Telah lama kudengar, bahwa murid-murid wanita Perguruan Tuban, selalu mempertahankan keperawanannya .sekalipun usia makin bertambah. Sekarang aku berhadapan dengan kamu berdua. Aku percaya pula bahwa kamu masih perawan pula seperti khabar yang kudengar itu, heh-heh-heh! Bukankah begitu?"
"Tutup mulutmu yang busuk!" bentak Minah marah
"Janganlah kamu mengumbar mulut di depan kami."
'Heh-heh-heh, galaknya. sungguh menyenangkan, lebih muda dan galak. Biarlah engkau tahu rasa nanti di tanganku. Aku ingin membuktikan sendiri, benar-benarkah para murid wanita Tuban merupakan perawan perawan suci? Heh-heh-heh......"
"Wut, wut, tring . hayaaaa "
Prembun terpaksa menghentikan kata-katanya, karena secara tiba-tiba Kedasih dan Minah telah menerjang maju dengan pedang masing masing. Sambaran pedang itu amat kuat sekali. Membuat Prembun harus melesat ke samping menghindarkan diri sambil mencoba untuk menyentil punggung pedang.
Kedasih dan Minah telah terpancing kemarahannya. Hingga begitu serangannya yang pertama luput, segera dilanjutkan dengan serangan yang kedua dan ketiga. Maksudnya jelas, agar selekasnya dapat merobohkan manusia laki-laki cerewet yang menyebalkan ini. Kedasih dan Minah sampai lupa akan pengertian dalam ilmu berkelahi, bahwa harus menekan perasaan dan kemarahan. Padahal Prembun memang sengaja memancing kemarahan lawan ini, agar kurang pengamatan diri.
Sambil meloncat ke sana ke mari, Prembun masih terus terkekeh mengejek. Ia masih bertangan kosong. dan setiap kali berusaha membalas menyerang dengan dua belah tangan, mencengkeram atau menyentil punggung pedang. Namun makin lama, diam-diam Prembun kagum dan memuji kecepatan dan ketangguhan Ilmu Pedang Janur Kuning dari Perguruan Tuban ini.
Untung bagi Prembun bahwa selama ia menjadi tangan kanan Kirtaji, ia telah digembleng beberapa macam ilmu tata kelahi tingkat tinggi, baik ilmu simpanan Perguruan Kemuning maupun Pondok Bligo. Maka keadaannya sekarang, sudah jauh lebih tinggi dibanding ketika dirinya masih menjadi seorang perampok. Kalau saja ia menghadapi dua orang murid Tuban ini beberapa tahun yang lalu, dengan senjata pedangpun belum tentu bisa menang.
Seperti diketahui, bahwa Perguruan Kemuning merupakan sebuah perguruan yang teliti. Murid Wisnu Murti tidak banyak jumlahnya. Akan tetapi murid yang tak banyak ini, semuanya terkenal sebagai pendekar-pendekar sakti pilih tanding. Di samping Perguruan Kemuning mempunyai ilmu pedang yang sejajar dengan Perguruan Semeru dan Tuban. memiliki pula ilmu tata kelahi tangan kosong yang tak bisa diremehkan. Karena Perguruan Kemuning mendasarkan ilmu yang lemah mengalahkan yang kuat, dan yang tenang menghanyutkan.
Dalam menghadapi terjangan Minah dan Kedasih inipun, Prembun menggunakan ilmu tangan kosong Perguruan Kemuning ajaran Kirtaji. Tubuhnya tampak berkelebatan cepat di antara sinar pedang. sedang jari-jari tangannya selalu mengancam lawan setiap memperoleh lubang.
"Cring, tring..... tring.....!" berkali-kali terdengar suara nyaring, setiap kali punggung pedang Minah dan Kedasih dapat disentil oleh Premhun.
Pedang mereka terpental, dan diam-diam dua orang perempuan ini kaget. Sebab pedang mereka terpental. sedang lengan mereka seperti lumpuh dan telapak tangan terasa panas.
Akibatnya. Minah dan Kedasih makin penasaran dan menyerang lawan lebih cepat. Serangan yang gencar ke arah bagian tubuh berbahaya, disertai oleh lengkingan nyaring yang marah. Tetapi sayang sekali, walau mereka menyerang dengan gencar sekali, ujung pedang mereka tak pernah berhasil menyentuh ujung baju. Seakan mereka hanya menyerang bayangan, dan tiap kali pedang mereka malah terpental membalik disertai telapak tangan panas,
Belasan orang laki-laki yang menonton di sekitar gelanggang, mengikuti penuh perhatian. Mereka sering kali menahan napas saking tegang apabila menyaksikan Prembun diterjang oleh dua gulungan sinar pedang. Namun mereka kemudian menjadi lega, apabila melihat pemimpinnya dapat mengatasi serangan berbahaya itu. Kemudian mereka bersorak, untuk memberi tambahan semangat kepada Prembun.
Sorakan orang-orang itu, makin menambah kemarahan dan penasaran Kedasih maupun Minah. Sungguh amat memalukan sekali, bahwa sudah bersenjata dan mengeroyok. namun ternyata tak kuasa merobohkan lawan yang bertangan kosong.
"Heh-heh-heh, apakah kamu tak mau menyerah ?" ejek Prembun dengan terkekeh. sambil berkelebatan cepat menghindarkan diri dari sambaran pedang.
"Tutup mulutmu!" lengking Minah sambil menerjang dengan Pedangnya.
"Heh-heh'heh, kamu takkan dapat menang."
Prembun tetap bicara.
"Lebih baik kamu menyerah, dan aku menghargai kamu sebagai tamu tamu terhormat. Tamu yang akan membuat aku gembira. memperoleh teman yang manis dan menyenangkan......."
"Wut wut ... tring-cring ......! "
Prembun terpaksa menghentikan kata-katanya, oleh serangan Minah dan Kedasih yang datang seperti badai. Untung dengan kecepatannya bergerak, di samping dapat menghindarkan diri, Prembun juga dapat menyentil punggung pedang hingga menyeleweng.
Makin lama perkelahian itu semakin menjadi seru dan cepat. Serangan pedang Kedesih dan Minah semakin cepat dan berbahaya. Tetapi ternyata semua serangan itu selalu dapat dihindari lawan tanpa kesulitan. Minah dan Kedasih melengking nyaring guna menambah semangatnya. Tetapi tiba-tiba mereka kaget dan heran. karena tiba-tiba lawan telah hilang, lenyap dari depan mereka.
Mereka sadar setelah terlambat. Lengan mereka terasa lumpuh, dan pedang mereka telah pindah ke tangan Prembun. Yang selanjutnya pedang itu dilemparkan kepada anak buah yang menonton. Ternyata Prembun tadi menggunakan kecepatannya bergerak dan keringanan tubuhnya, telab meloncat lewat di atas kepala mereka. Kemudian Prembun menyerang dari belakang, sehingga lengan mereka lumpuh dan pedang mereka dapat direbut.
'Heh-heh-heh. apakah kamu masih kepala batu?" ejek Prembun sambil terkekeh.
"Hayo, menyerahlah baik baik sebelum aku menggunakan kekerasan."
Kedasih dan Minah tak mau lagi membuka mulut. tetapi juga takkan sudi harus menyerah. Kakak beradik ini menerjang maju mengandalkan kaki dan tangan.
Namun, apakah arti serangan ini bagi Prembun?
Kalau dengan senjata saja mereka tak dapat mengalahkan Prembun, apa pula sekarang. Mereka seperti dua ekor tikus yang mencoba melawan kucing.
Serangan Kedasih dan Minah itu disambut oleh ketaWa Prembun yang terkekeh.
"Plak, plak...... aihhh .......!"
Hampir berbareng Kedasih dan Minah meloncat mundur dengan wajah berubah merah. Sebaliknya Prembun makin terkekeh senang sekali.
Apa yang terjadi dalam gebrakan tadi?
Serangan Kedasih dan Minah ditangkis oleh Prembun. Kemudian Prembun meneruskan gerak tangkisannya itu secara kurang ajar sekali, meraba payudara. Tentu saja wanita wanita yang masih perawan suci ini, menjadi amat malu dan penasaran sekali.
Minah dan Kedasih kembali menyerang sekalipun tangan dirasakan panas, akibat tangkisan Prembun tadi. Sedang Prembun melayani serangan dua orang perempuan ini sambil menyeringai dan sepasang mata bersinar sinar.
"Wut, wut plak.. aihhh brett "
Kembali terdengar jerit Minah dan Kedasih, dan wajah dua orang perempuan ini semakin merah.
"Heh, heh, heh. bagus! Ternyata benar kamu masih ,merupakan perawan-perawan suci. Hemm, sungguh menyenangkan. Hayo, menyerahlah baik-baik, manis.... ."
"Bangsat! Siapa sudi?" lengking Kedasih sambil kembali menyerang dahsyat diikuti oleh Minah.
Sudah tentu Minah dan Kedasih menjadi makin penasaran sekali. Kalau tadi Prembun meraba payudara, yang terjadi sekarang Prembun telah mencengkeram lengan baju kiri mereka. Akibatnya lengan baju itu menjadi robek hampir putus. Lengan yang kuning itu sekarang tak tertutup lagi. Dan pada lengan itu, di atas lipatan siku, tampak bintik merah sebesar kedelai. Bintik merah itu merupakan benda yang dipasang pada setiap lengan murid perempuan Tuban. Disebut "Mustikaning Wanodya'. Entah bahan apa yang dibuat oleh Perguruan Tuban itu. Namun yang jelas, benda merah darah sebesar kedelai tersebut akan segera lenyap tanpa bekas, berbareng dengan hilangnya keperawanan orang yang bersangkutan.
Masalah tersebut setiap orang tahu. Maka tak mengherankan pula begitu melihat benda merah di atas lipatan siku, Prembun segera tahu bahwa baik Minah maupun Kedasih masih merupakan perawan-perawan suci. Maka laki-laki pucat dan kurus ini makin menyeringai senang.
Belasan orang laki-laki anak buah Prembun bersorak kegirangan, melihat pemimpinnya dapat mempermainkan dua orang perempuan itu. Malah sekarang mereka mulai berteriak-teriak riuh, mengucapkan kata kata kotor. Kata-kata yang bagi manusia sopan tak mungkin sanggup mengucapkannya. Sebaliknya bagi Prembun, katakata kotor yang diucapkan anak buahnya itu, makin membuat hatinya senang.
Timbullah kemudian kegembiraannya, untuk membuat anak-buahnya makin senang, dengan mempermainkan dua orang perempuan ini. Maka begitu Minah dan Kedasih dengan kemarahan yang meluap-luap melancarkan serangan lagi, tahu-tahu
"bret bret.......!"
baju Kedasih dan Minah telah robek, berikut kain penutup dadanya. Hingga gunung kembar yang membusung itu tanpa tutup lagi.
Jeritan Minah dan Kedasih tenggelam oleh sorak-sorai belasan orang laki-laki yang mengurungnya. Dan kata-kata cabul dan kotor keluar dari mulut para penjahat tersebut.
Prembun terkekeh senang sekali, matanya berkicup-kicup dan mulutnya menyeringai. ketika melihat Kedasih dan Minah kebingungan dalam usahanya menyembunyikan payudara itu. Hampir menangis dua orang murid Tuban ini, menghadapi penghinaan lawan.
Pada aaat Minah dan Kedasih dalam bahaya oleh tingkah Prembun ini, mendadak terdengar suara
'tar-tar tar!"
Lecutan cambuk terdengar nyaring berturut turut membelah angkasa, disusul oleh jerit-jerit ngeri beberapa orang. Jerit ngeri berbareng dengan robohnya belasan orang laki-laki itu. dan melayangnya nyawa mereka entah ke mana.
"Hayaaa.........!"
Prembun meloncat ke belakang dan kemudian berjungkir balik tiga kali. Setelah ia dapat berdiri tegak, wajahnya yang sudah pucat itu makin bertambah pucat lagi. Sebab serangan cambuk tadi amat dahsyat sekali. Baru angin pukulannya saja sudah membuat bagian tubuhnya yang tersambar terasa panas. Apa lagi kalau sampai menyentuh tubuhnya, mungkin nyawanya tak dapat bertahan dalam tubuhnya lagi.
"Adi... Inten..... aih..." jerit Kedasih dan Minah hampir berbareng.
Kemudian dua orang ini menubruk dan memeluk erat sekali. Mereka sampai lupa kepada kain penutup dada dan baju bagian depan yang hancur, saking mereka gembira sekali dalam saat berbahaya ini.
Tak salah, lecutan cambuk yang terdengar nyaring tadi adalah cambuk Rara Inten. Begitu cambuk Rara Inten bergerak berturut-turut, belasan orang laki-laki yang tadi mengurung telah roboh dengan kepala pecah atau dada amblong. Ternyata Rara Inten tak tanggung tanggung lagi, dalam mengajar orang --orang itu sudah menurunkan tangan maut.
Memang tak mengherankan begitu Rara Inten datang telah menurunkan tangan maut. Sebab gadis ini meledak kemarahannya, menyaksikan dua_ orang kakak seperguruannya menderita bukan main di depan lawan. Sungguh kebetulan Rara Inten datang pada saat yang tepat. Dapat menolong Kedasih dan Minah sebelum penghinaan berlangsung lebih mengerikan lagi. Hingga Kedasih dan Minah terhindar dari malapetaka yang mengerikan.
Bagaimana Rara Inten dapat muncul di tempat ini, dan tepat pada saat Kedasih dan Minah dalam bahaya?
Untuk tidak membuat para pembaca bingung. baiklah kiranya kita mengulang sejenak cerita yang telah lalu.
Seperti kita ketahui, Rara Inten menyerahkan kedudukan ketua Perguruan Tuban kepada Jaka Pekik, dengan saksi Wisnu Murti, di rumah Perguruan Kemuning. Setelah ia menyerahkan kedudukan tersebut, hatinya menjadi lega dan dadanya terasa lapang. Dengan bebasnya dari ikatan kedudukan ketua Perguruan Tuban ini, ia akan memperoleh kesempatan banyak melatih kesaktian. Ia bermaksud mengasingkan diri. Dan di tempat terasing ini. ia akan melatih diri. Akan memperdalam ilmu kesaktian yang diperoleh dari ilmu peninggalan Ki Ageng Selo Katon, yang semula tersimpan dalam pedang Jati Sari.
Dalam mencari tempat terasing yang tak mungkin terganggu orang itu, kemudian sampailah Rara Inten di Gunung Kendeng. Dalam penyelidikannya kemudian, ia menemukan sebuah gua yang amat rahasia. Gua yang cukup dalam, lebar dan bersih, pada tebing sebuah jurang yang dalam. Ia kemudian berdiam di tempat ini seorang diri. Cita-citanya tiada lain akan melatih ilmu, agar kemudian hari ia menjadi seorang wanita sakti tanpa tanding. Ia takkan mau meninggalkan gua ini, sebelum mumpuni benar-benar akan ilmu yang dilatih itu. Dan Cita-citanya kelak, ia keluar ke dunia ramai. dapat menandingi Jaka Pekik yang disanjung orang sebagai manusia sakti mandraguna. Memang walaupun pada lahirnya ia mengakui keunggulan Jaka Pekik, tetapi dalam batin ia tetap penasaran. Ia telah menjadi sakit hati, akibat pernyataan Jaka Pekik yang terang-terangan mengingkari janji yang pernah diucapkan kepada dirinya, dan malah mencintai Ratu Wandansari.
Manakah mungkin ada wanita yang bisa sabar merasa ditolak cintanya seperti Rara Inten ini ?
Akan tetapi begitu memperoleh tempat yang amat baik ini, mendadak saja Rara Inten menjadi masygul. Dari masygul ia menjadi makin penasaran. Barulah teringat oleh gadis ini, bahwa catatan ilmu sakti yang bernama "Sakti Mandraguna" itu telah lepas dari tangannya bersama Ilmu Gelar Perang "Sandi Yuda". Tentang Ilmu Gelar Perang "Sandi Yuda" itu bagi dirinya memang kurang kegunaannya. Tetapi ilmu kesaktian tersebut. sungguh membuat ia masygul dan penasaran sekali.
Akibatnya, sakit hati dan kebenciannya kepada Jaka Pekik dan Ratu Wandansari makin memuncak. Diam diam ia bersumpah, pada niatnya nanti akan membalas sakit hati itu. Masih untung bahwa sekalipun harus mengingat-ingat, ia masih hafal akan Ilmu "Cakar Setan" dan Ilmu Cambuk "Samber Nyawa", yang menjadi bagian dari ilmu kesaktian itu. Hanya sayang bahwa ilmu yang dua macam ini termasuk ilmu sesat.
Tetapi apa harus dikata, kalau tak ada yang lain, dua ilmu ini apa salahnya diyakinkan? _
Berkat ketekunannya berlatih, dalam waktu tidak lama ilmu kesaktian Rara Inten makin maju pesat sekali. Tempat yang terasing. kesepian suasana dan keadaan alam di sekitarnya, besar sekali bantuannya terhadap Rara Inten. Cambuknya apabila digerakkan, akan meledak ledak memekakkan telinga seperti halilintar menyambar. Dan kecepatan gerakan ujung cambuk itupun sulit diperhitungkan orang lagi saking cepatnya. Maka tidak mengherankan, begitu cambuknya bergerak, belasan orang anak buah Prembun telah roboh tak bernyawa sebelum sempat menghindar.
Akan tetapi ternyata maksudnya mengasingkan diri dan takkan keluar sebelum memiliki kesaktian tinggi, mendadak menjadi buyar. Tadi ketika ia sedang keluar dari gua guna mengumpulkan akar-akar dan daun obat.
Tiba-tiba ia kaget!
Sayup-sayup didengar oleh telinganya, suara lengking nyaring perempuan. Dan lengking itu, tak salah lagi, amat dikenalnya, merupakan lengking murid Perguruan Tuban yang sedang terancam bahaya, dan membutuhkan pertolongan.
Semula ia ragu dan bimbang. Kalau menuruti kata hati dan janjinya kepada diri sendiri, siapa mau perduli kepada lengking murid Tuban itu?
Bukankah Perguruan Tuban telah dipercayakan kepada Jaka Pekik?
Dan segala yang menimpa murid Tuban, apakah hubungannya dengan dirinya?
Namun kemudian terlintaslah dalam banaknya, pikiran yang sadar, mengapa hanya berpangku tangan dan berdiam diri. mendengar permintaan tolong dari murid Tuban?
Bukankah dirinyapun merupakan murid Tuban pula?
Dan malah bakas ketuanya?
Haruskah ia membiarkan murid Tuban terancam bahaya dan dihina orang lain?
Memperoleh pikiran demikian, ia menunda pekerjaannya. Kemudian ia mendaki tebing jurang seperti terbang. Kemarahannya meledak ketika ia mengetahui, dua orang murid wanita Tuban hampir dihina dan dipermalukan. Dadanya telah telanjang tidak tertutup apa-apa lagi. Kemarahannya membuat begitu ia menggerakkan tangan, belasan penjahat yang semula menonton dengan gembira, mata melotot memandang dada yang tak tertutup apaapa lagi itu, segera roboh tanpa nyawa lagi.
Terharu Rara Inten bertemu dengan saudara seperguruannya. Dengan perlahan ia mendorong pundak Minah dan Kedasih. Katanya,
"Sudahlah. mengapa menangis? Minggirlah kalian. Biarlah kuhajar mampus bangsat cabul tak tahu malu ini."
Kedasih dan Minah menggunakan dua telapak tangan untuk menutupi payudaranya. Tetapi sebelum minggir, Kedasih berkata.
"Adi Inten, telah lama aku mencarimu. Baru sekarang secara tak terduga bertemu dalam keadaan begini. Perguruan Tuban dalam bahaya. Subinem merebut kedudukan....."
"Apa?"
Rara Inten kaget.
"Apa katamu? Subinem mengapa?"
Rara Inten membalikkan tubuh menghadapi dua orang saudara perguruannya. Pada kesempatan ini, sambil mengenakan baju yang diambil dari buntalannya, Kedasih segera menceritakan semuanya. Baik Subinem yang merebut kedudukan ketua Perguruan Tuban, maupun usahanya menyelamatkan pedang Jati Sari.
Mendengar itu Rara Inten membantingkan kakinya marah sekali.
"Kurang ajar! Perempuan jelek itu berkhianat? Huh, biarlah aku yang menghajar mampus. Kalian boleh lihat, mampu atau tidak aku membunuh jahanam itu! Hemm.. tetapi sekarang aku harus membereskan bangsat cabul ini dulu. Baru kemudian kita bersama ke Tuban."
Rara Inten membalikkan tubuh menghadapi Prembun. Sedang Kedasih dan Minah segera minggir. Mereka melihat pedang yang tadi dirampas lawan. Diambilnya pedang itu. Akan tetapi oleh keadaan, pedang itu tak lekas disarungkan. Pedang itu mereka pegang erat-erat, sambil berdiri dan bersiaga menghadapi segala kemungkinan yang terjadi. Mereka sadar bahwa kawan kawan para penjahat ini akan segera tiba pula, dan pengeroyokan akan segera terjadi.
Rara Inten mendelik mengamati Prembun yang sekarang memegang pedang mengkilap.
'Hik hik hik, bagus! Agaknya engkau memang gemblengan. dapat mempermainkan dua orang saudara perguruanku! Huh. tetapi sekarang cobalah hadapi aku seorang lawan seorang. Aku ingin melihat, apakah engkau benar-benar seorang laki-laki gagah perkasa?"
Begitu selesai mengucapkan kata-katanya, Rara Inten telah menerjang maju, didahului oleh gulungan sinar hitam cambuknya, disertai pula suara ledakan cambuk yang nyaring sekali. Memang Rara Inten tidak pernah segan segan lagi turun tangan, apabila sudah marah. Dan terhadap laki-laki yang bermaksud menghina dan menperlakukan perempuan ini, ia takkan dapat mengampuninya lagi. Pendeknya laki-laki kurang ajar ini harus dibunuh mati. Itulah sebabnya begitu menerjang, cambuknya sekaligus mengancam beberapa bagian tubuh lawan yang berbahaya.
Prembun sadar bahwa perempuan ini tak boleh dipandang ringan. Dengan melihat belasan orang kawannya telah roboh dalam waktu singkat, merupakan bukti bahwa perempuan ini tingkatnya jauh lebih tinggi daripada dua orang perempuan yang tadi dihadapi. Dalam pada itu, ia sendiripun tadi sudah merasakan sambaran cambuk yang amat panas. Apabila ia tadi tak cepat-cepat membuang diri dan berjungkir balik, tentu dirinya telah celaka. .
Ia cepat menyambut serangan lawan itu dengan pedangnya. Langsung menggunakan Ilmu Pedang "Panca Sari", dicampur dengan ilmu pedang Perguruan Kemuning yang bernama "Dasa Marga". Perpaduan dua macam ilmu pedang itu sungguh serasi dan kuat pertahanannya.
Ilmu Pedang "Panca Sari" mempunyai gerakan yang cepat, gerak perubahannya banyak sekali dan tak terduga. Sedang Ilmu Pedang "Dasa Marga" dari Perguruan Kemuning, memiliki daya pertahanan yang amat kuat.
Maka sambaran cambuk Rara Inten yang dahsyat itu dapat ditangkis dan dihindari. Sekalipun demikian, Prembun terpaksa menahan mulutnya untuk tidak berseru kaget, ketika merasa telapak tangannya panas dan lengannya agak kesemutan.
Tiba-tiba Rara Inten meloncat mundur dan menahan gerakan cambuknya. Gadis cantik ini mengerutkan alisnya. Lalu tanyanya dingin.
"Hem, kiranya engkau anak murid Perguruan Semeru? Murid siapakah engkau? Tetapi, eh.... gerakan pedang bercampur dengan ilmu pedang Kemuning. Sesungguhnya kau ini siapa dan murid siapa? Dan mengapa pula engkau memusuhi dua orang saudara perguruanku?"
Kalau Rara Inten memerlukan bertanya asal usul lawan ini, memang ada sebabnya. Antara Perguruan Semeru, Kemuning dan Tuban tak pernah bermusuhan. Maka kurang enaklah hati Rara Inten. kalau terpaksa menurunkan tangan maut kepada murid perguruan itu. Namun di samping itu, Rara Inten juga merasa heran.
Kalau benar murid Perguruan Semeru atau Kemuning. mengapa memusuhi murid Tuban? '
Dan sebaliknya Prambun kaget mendengar pertanyaan itu. Kalau dalam beberapa gebrakan saja telah dapat mengenal ilmu tata kelahi yang ia pergunakan. membuktikan bahwa pengetahuan perempuan muda ini amat luas. Bukan hanya luas tetapi tentu amat tinggi ilmu kepandaiannya. Akan tetapi, Prembun tak mau kepalang tanggung. Ia sudah terlanjur memusuhi dua orang murid Tuban. Maka kalau ia berterus-terang sebagai murid Perguruan Semeru, keadaannya malah tidak menguntungkan. Sebaliknya apabila mengaku murid Perguruan Kemuning, iapun tak sudi. Kemudian ia memutuskan untuk tidak membuka asal-usulnya.
"Heh-heh heh, mengapa engkau heran?" sahut Prembun dingin dan ketus, sekalipun sesungguhnya hatinya terasa gentar.
"Ilmu kesaktian di dunia ini, sumbernya hanya satu. Apa salahnya orang menggunakan ilmu pedang guna membela diri? Pendeknya ilmu pedang yang aku pergunakan ini ajaran guruku. Dan tentang mirip dengan ilmu pedang Semeru maupun Kemuning, bukanlah urusanku."
Jawaban yang nadanya ketus itu, tentu saja membuat Rara Inten makin tidak senang. Lalu timbullah keputusannya. tiada gunanya bicara lagi. Murid Semeru atau murid Kemuning, bukanlah urusannya. Ia tadi sudah memberi kesempatan, namun orang malah bersikap sombong. Rara Inten tertawa dingin.
"Hem. bagus! Aku ingin melihat apakah ilmu pedangmu dapat mengatasi cambukku ini!"
Begitu menutup kata-katanya.
Rara Inten telah menerjang maju lagi.
"Tar-tar-tar!"
Cambuknya meledak tiga kali di udara. seperti halilintar menyambar. Belum juga lenyap suara ledakan itu, telah disusul menyambarnya gulungan cambuk yang hitam, menyambar ke tubuh Prembun,
Ledakan seperti halilintar itu, membuat Prembun kaget dan anak telinganya seperti mau pecah. Namun tentu saja ia tak mau menyerah begitu saja. Ia cepat menyambut dengan pedangnya, mengerahkan tenaga agar dapat membabat putus ujung cambuk lawan.
"Siut.....wut wutt.....plak.....cring.....!"
Prembun pucat wajahnya dan terhuyung mundur. Pedangnya telah lepas dari tangan dan terlempar lima meter jauhnya. Yang lalu cepat diambil oleh Minah. Sebaliknya Rara Inten ketawa terkekeh. Cambuknya terputar-putar diudara, membentuk gulungan sinar hitam dan menimbulkan angin menderu-deru.
"Hemm, kiraku engkau cukup gemblengan!" ejek Rara Inten.
'Ternyata engkau hanya pandai menyombongkan diri. Sekarang, sebelum engkau mampus, katakanlah terus terang. Murid siapakah engkau ini? Tetapi janganlah engkau mencoba menggunakan pengaruh gurumu."
Belum juga Prembun yang telah mati kutu ini sempat menyahut, tiba-tiba terdengar suara nyaring dari jauh,
"Siapa berani menghina muridku?"
Mendengar suara itu, wajah Prembun berubah berseri. Mulutnya menyeringai, menatap wajah Rara Inten yang jauh lebih cantik dibanding dengan Minah dan Kedasih. Kemudian terdengar katanya yang ketus dan mengejek.
"Huh-huh, engkau bisa apa sesudah guruku datang? Heh-heh-heh, mudah-mudahan nanti guru sedia melakukan seperti apa yang tadi aku lakukan. Betapa indahnya dan........!" '
"Tar takk .. !"
Prembun kaget setengah mati dan meloncat jauh, lalu berjungkir-balik. Meskipun demikian sambaran angin cambuk masih kuasa membuat ia terhuyung-huyung. Untung sekali sambaran cambuk yang dahsyat itu telah tertangkis oleh pedang laki-laki kurus tetapi wajahnya tampan. Laki-laki itu terhuyung satu langkah ke belakang. Demikian pula Rara Inten. Ternyata antara mereka terdapat keseimbangan dalam hal tenaga sakti.
'Kau......!"
Rara Inten terbelalak kaget.
"Benar, aku!" sahut laki-laki kurus berwajah tampan itu yang bukan lain adalah Kirtaji.
"Sungguh amat kebetulan aku dapat berhadapan dengan engkau, hahaha. Telah lama aku mencarimu."
"Mencari aku?"
Rara Inten heran berbareng curiga.
"Hem... kau masih bertanya?"
Kirtaji menyahut dingin.
"Tidak sadarkan engkau akan dosamu?"
"Jangan sembarangan menuduh!" bantah Rara Inten penasaran. '
" Siapa yang sembarangan?" ejek Kirtaji.
"Dengarkan baik-baik dosa itu. Pertama, sebagai akibat tipu muslihatmu menyerahkan Kreti Windu, kemudian engkau berlindung kepada kami, sarang kami berantakan diobrak abrik oleh siluman Pekik, dan perempuan berbaju kuning. Akibatnya penyamaran temanku terbongkar, dan beberapa orang temanku mengorbankan jiwa ..."
"Jahanam kau! Siapa yang menipu? Engkau memutar balikkan kenyataan. Bukankah dari hasil siasatku, gurumu jahanam Cinde Amoh dapat menawan Kreti Windu ?" bentak Rara Inten marah.
'Dan tentang terbongkar atau tidak penyamaranmu dalam gerombolan Kendeng, adalah urusanmu sendiri. Mengapa kau sangkut pautkan dengan aku!" .
'Hem, baiklah jika engkau mengungkiri."
Kirtaji menyeringai.
"Yang kedua. engkau cantik jelita tetapi hatimu amat busuk. Engkau telah menipu adi Iskandar dengan bujuk rayumu. Adi Iskandar berkorban nyawa, tetapi ternyata engkau hanya memperalat dan menipu."
"Hi, hi, hik, mengapa engkau tidak menyalahkan pemuda tak tahu malu itu?" sahut Rara Inten dingin.
"Siapa yang pernah membujuk dan siapa pula yang pernah menjanjikan cinta kasih? Dia sendiri yang konyol, tergila-gila kepadaku. Apa salahnya aku memperalat dia guna kepentinganku Hi, hi, hik itulah upahnya laki-laki yang membabi buta. Apa perduliku dengan dia ?"
Untuk memberi sedikit gambaran bagi para pembaca yang belum membaca cerita "Ratu Wandansari", baiklah peristiwa ini sedikit diungkapkan. supaya menjadi gamblang. Ketika itu, setelah Jaka Pekik berhasil membebaskan semua tokoh sakti yang tertawan di Mataram, Jaka Pekik bermaksud hendak menjemput Kreti Windu (ayah angkatnya) yang berdiam di Pulau Sawu. Untuk maksud ini Ratu Wandansari menawarkan jasa baiknya. meminjamkan perahu dan puteri itu ikut serta. Bukan tiada maksud puteri Mataram itu ikut berlayar. Sebab telah lama Ratu Wandansaripun berkehendak dapat menguasai baik pedang Jati Ngarang maupun Jati Sari. Dengan pedang itu dimaksud, agar semua orang tokoh sakti mau tunduk dan membantu Mataram.
Berangkatlah kemudian Jaka Pekik, Ratu Wandansari dan Sawitri, menuju ke Semarang. Amat kebetulan sekali bahwa waktu itu Rara Inten tertawan oleh Nenek Ratih, seorang tokoh sakti diliputi rahasia. Maka Jaka Pekikpun ingin pula bisa menolong gadis itu. Ratu Wandansari adalah cerdik. Ia segera mengatur segalanya. Pelabuhan Semarang diatur, sehingga tiada perahu lain kecuali sebuah perahu besar milik Angkatan Laut Mataram. Demikianlah, karena tiada perahu lain, disewalah perahu Angkatan Laut Mataram tersebut. Ternyata kemudian Nenek Ratih menuju ke tempat tinggalnya, Pulau Sapudi.
Tak terduga-duga ayah angkatnya, Kreti Windu telah berdiam di pulau ini. Kreti Windu tertipu oleh Nenek Ratih. Untung bahwa gadis yang bernama Salindri, murid Nenek Ratih tak sedia membantu gurunya yang curang. Ia melawan gurunya sendiri. Akibatnya usaha Nenek Ratih merebut pedang Jati Ngarang gagal. Malah kemudian penyamaran Nenek Ratih terbongkar oleh utusan Surasaji.
Ternyata Nenek Ratih ini Wida Retna, yang dahulu diutus Surasaji menyelundup ke dalam Gagak Rimang. Hampir saja Nenek Ratih alias Wida Retna ini celaka kalau tak ditolong oleh Sawitri, anak Nenek Ratih.
Berkat kebaikan Sawitri, akhirnya Jaka Pekik, Ratu Wandansari, Rara Inten, Salindri dan Kreti Windu diberi pinjaman perahu untuk pulang. Tetapi karena Salindri terluka berat, Jaka Pekik memutuskan singgah di Pulau Bawean untuk mencari bahan obat guna Salindri. Di pulau ini Rara Inten memperoleh kesempatan untuk melaksanakan pesan terakhir gurunya. Ia dapat mencuri pedang Jati Sari dan Jati Ngarang, sedang disamping itu ia melemparkan kedosaan kepada Ratu Wandansari. Sesuai dengan rencana dan maksud Rara Inten itu. maka ketika telah berhasil mencuri pedang Jati Ngarang dan Jati Sari, gadis Salindri berusaha untuk dibunuh. Dan setelah itu, ia menggunakan tipu muslihat menyingkirkan Kreti Windu dari samping Jaka Pekik, diserahkan kepada Cinde Amoh.
Rencana itu tampaknya sudah begitu rapi. Dan Rara Inten percaya, rahasianya terjamin kerahasiaannya. Namun kemudian ternyata semua itu terbongkar. Sebab Tuhan belum mengijinkan Salindri mati. Salindrilah kemudian yang bisa membersihkan nama Ratu Wandansari dari tuduhan tersebut. Di samping rencana gagal, rahasianya memperalat Iskandarpun terbuka. Ternyata Rara Inten sama sekali tidak mencintai Iskandar. Rara Inten hanya memperalat Iskandar guna memecah belah Perguruan Kemuning. Dan Iskandar yang tergila-gila kepada Rara Inten tidak sadar, sehingga di Pondok Bligo
Iskandar berani melawan paman-paman perguruannya sendiri.
Kenyataannya benar, ia menipu dan memperalat Iskandar. Namun tentu saja Rara inten tak sudi dianggap bersalah. Yang salah adalah Iskandar sendiri yang suka dijadikan alat. Sebaliknya, mendengar jawaban Rara Inten ini, wajah Kirtaji menjadi merah padam. Ia mendelik dan penasaran sekali. Bentaknya,
"Setan perempuan licik! Engkau cantik tetapi hatimu busuk! Awas kau! Jika engkau dapat kurobohkan, engkau takkan bisa mati dengan enak. Huh, huh, sebagai hukuman perempuan macam engkau, sebelum kubunuh mati, harus aku berikan dahulu kepada anak buahku secara bergilir!"
Tiba-tiba terdengar suara sorak riuh. Di antara sorak yang riuh itu, terdengar suara-suara gembira menyambut maksud Kirtaji. Tentu saja Perempuan itu cantik jelita bagai bidadari. Prembun yang ketika itu berdiri mengamati Rara Inten tanpa berkedip. tampak menelan ludah. Lalu terdengar katanya.
"Kakang Kirtaji ! Tentunya akulah yang akan memperoleh giliran lebih dulu...... ahh......!"
Kirtaji cepat-cepat melompat ke samping untuk menghindarkan diri dari sambitan Rara Inten yang marah. Untung ia waspada dan cepat menghindar. Kalau tidak, ia akan mati saat itu juga oleh sambitan Rara lnten yang menggunakan kerikil. Betapa hebatnya sambitan itu bisa dilihat, batu kerikil yang meluncur cepat tersebut, menembus batang pohon di belakang Kirtaji.
Sorak riuh dari anak buah yang telah mengurung tempat itu, sejak tadi memang telah diketahui oleh Rara Inten yang bermata awas dan bertelinga tajam. Namun walaupun harus menghadapi musuh dalam jumlah banyak, sama sekali Rara Inten tidak takut dan gentar.
Ia tahu bahwa musuh terkuat hanya Kirtaji seorang. Yang lain, tidak dipandang mata oleh perempuan sakti ini.
Sebaliknya Minah dan Kedasih kaget. Wajahnya berubah agak pucat. Dua orang perempuan ini tadi perhatiannya tercurah kepada Rara Inten yang sedang berhadapan dengan lawan itu. Dan mereka baru tahu, setelah mendengar sorak riuh, lalu bermunculan puluhan orang dari balik gerumbul pohon dan batu. Diam-diam kakak beradik ini bersikap waspada.
Mereka sadar kali ini harus bekerja mati-matian. Sebab perlindungan Rara Inten agak sukar diharapkan, mengingat lawan tadi dapat menangkis senjata Rara Inten. Akan tetapi walaupun mereka menghibur diri, tak urung mereka gentar dan khawatir juga. Tadi telah terbukti bahwa mereka bukanlah lawan Prembun.
Bagaimanakah nanti nasib mereka?
Taklah dapat mereka membayangkan.
Sementara itu Rara Inten yang meledak kemarahannya oleh ucapan Kirtaji dan Prembun yang menghina sudah melengking nyaring sambil menerjang maju. Cambuk yang hitam itu begitu bergerak segera meledak-ledak memekakkan telinga. Berubah menjadi segulung sinar hitam menerjang Kirtaji.
Akan tetapi Kirtaji menyambut serangan cambuk tersebut dengan ketawa terkekeh. Di antara gulungan putih dari pedangnya yang menyambut serangan Rara Inten itu, terdengar suara yang ketus,
"Bagus, heh heh-heh! Saat inilah kesempatan yang sudah kutunggu bertahun tahun. Mari kita uji, ilmu siapakah yang lebih tinggi!"
Tetapi Rara Inten sudah tak sudi membuka mulut lagi melayani lawan. Ia sadar bahwa dua orang saudara perguruannya terancam bahaya. Maka ia harus mengerahkan seluruh kesaktiannya, agar lekas dapat merobohkan Kirtaji.
Kemudian barulah ia memperoleh kesempatan menerjang anak buah Kirtaji yang amat banyak itu.
Dua gulung sinar senjata itu segera saling libat dan menerbitkan angin puyuh yang hebat. Perbedaan senjata itu yang saling bergerak dengan cepat luar biasa. semula masih dapat diikuti oleh pandang mata anak buahnya yang menonton di pinggir. Antara sinar putih dan sinar hitam seperti berusaha saling telan. Namun setelah gerakan dua orang itu makin cepat, mereka menjadi pening dan tak sanggup lagi mengikuti perkelahian tersebut.
Taklah mengherankan apabila dua orang lawan ini terlibat dalam perkelahian yang sedemikian rupa. Sedemikian sengit dan saling berusaha membunuh. Rara Inten sejak semula telah mempunyai bibit tak senang kepada Kirtaji. Sebaliknya Kirtaji menaruh dendam kepada Rara Inten karena membela Iskandar.
Sesungguhnya tingkat kesaktian Rara Inten sekarang ini sudah jauh maju, dibanding dengan ketika ia menjagoi gelanggang Pondok Bligo. Ilmu Cambuk "Sambar Nyawa" telah dapat dikuasai dengan baik. di samping latihan tenaga saktinya sudah jauh maju pula. Belum lagi ditambah dengan lmu "Cakar Setan" yang amat mengerikan itu. Walaupun jari tangan itu hanya kecil runcing dan halus, namun akan kuasa menembus tulang dan batok kepala. Kekuatan jarinya melebihi baja. Dan bukan hanya kuat, tetapi kuku-kuku jarinya juga mengandung racun yang berbahaya. Maka tubuh lawan yang dapat tergores oleh racun, nyawa bisa melayang.
Tetapi yang dihadapi Rara Inten ini adalah Kirtaji. Seorang laki-laki yang otaknya cemerlang, licin, penuh tipu muslihat dan tak segan-segan berbuat curang. Di samping itu. ia merupakan seorang yang tak boleh diremehkan kesaktiannya. Bukan saja sebagai hasil belajarnya di Pondok Bligo, ialah sebelum berkhianat. ia telah dapat menguras ilmu tingkat tinggi di situ. Tetapi dari Cinde Amohpun ia memperoleh gemblengan ilmu kesaktian yang amat hebat. Maka kalau murid Pondok Bligo yang lain jarang sekali dapat menguasai Ilmu Pukulan "Gempur Gunung", Kirtaji dapat menguasainya baik sekali. Pukulan ini walaupun tidak menyentuh tubuh lawan, akan dapat meremukkan isi dada lawan dan menimbulkan luka dalam yang parah. Di samping ia telah memperoleh ilmu kesaktian dari Pondok Bligo dan Cinde Amoh, iapun menguasai baik sekali ilmu kesaktian dari Perguruan Kemuning. Tiga macam ilmu sakti dari tiga aliran ini, kemudian dapat diperas dan digubah menjadi ilmu pedang ampuh, diberi nama Ilmu Pedang "Babahan Sanga". Seperti dimaklumi bahwa tiap manusia ini memiliki lubang pada tubuh sembilan buah banyaknya. Maka sembilan lubang inilah sasaran terutama dari Ilmu Pedang "Babahan Sanga" itu.
Ilmu pedang yang ganas sekali!
Maka pertempuran seorang lawan seorang antara Kirtaji dan Rara Inten ini, berlangsung hebat sekali. Senjata Rara Inten lebih panjang. Rara Inten dapat menggunakan kelebihan ini dengan menggunakan siasat berkelahi dalam jarak agak jauh. Namun ternyata Rara Inten kecelik. Kirtaji yang kalah panjang senjatanya itu dapat menolong diri dengan pukulan-pukulan tangan kiri yang menggunakan Ilmu Pukulan "Gempur Gunung". Pukulan jarak jauh ini. di samping dapat menghalau sambaran ujung cambuk, angin pukulannya berpengaruh juga terhadap Rara Inten. _
Pertempuran sudah lewat enampuluh jurus lebih. Namun keadaan _mereka masih tetap seimbang. Walaupun Rara Inten telah memperoleh ilmu sakti peninggalan KiAgeng Selo Katon, berkali-kali ujung cambuk itu terpental oleh tangkisan pedang atau angin pukulan Kirtaji. Laki-laki ini memang cerdik sekali. Ia selalu menggunakan kesempatan untuk menebas ujung cambuk lawan. Namun sayang sekali, bahwa ujung cambuk Rara Inten keras dan ulet.
Demikianlah, sampai lewat seratus jurus lebih, dua orang itu masih seimbang saja.
Diam-diam Rara Inten penasaran sekali. Mengapa kelewat lama tak juga dapat merobohkan lawan ini?
Padahal ketika di Pondok Bligo, ia sudah kelewat bangga akan ilmu kesaktiannya. Ia telah beranggapan, bahwa dirinya manusia paling sakti di dunia ini. Kecuali Jaka Pekik seorang. tiada lawan yang bisa mengimbangi dirinya. Dan kalau toh ketika itu ia roboh ketika bertempur melawan Patra Jaya dan Gupala, bukan lain karena ia dikeroyok dua. Di samping itu ia kurang hati-hati sehingga terpukul oleh Aji "Wisa Naga".
Mengapa sekarang berhadapan dengan Kirtaji, ia harus mengerahkan kepandaian dan tenaganya?
Tetapi sebaliknya Kirtaji pun kagum dan penasaran. Baru percayalah ia sekarang, bahwa sekalipun perempuan Rara Inten tak bisa dipandang ringan. Ketika itu begitu mendengar Rara Inten menjagoi gelanggang Pondok Bligo, Kirtaji penasaran dan tak percaya. Tetapi sekarang ia memperoleh bukti. Kabar itu ternyata bukan isapan jempol. Rara Inten sekarang bukan Rara Inten dua tiga tahun yang lalu. Dalam penasarannya, Kirtaji memperhebat serangannya. Pedangnya berkelebat semakin cepat, dibantu oleh pukulan-pukulan jarak jauh.
Sementara itu Prembun yang melihat, bahwa pemimpin dan sekaligus gurunya itu dapat mengimbangi lawan.
terkekeh senang sekali, lalu meloncat ka tempat Kedasih dan Minah yang meronton penuh perhatian. Begitu tiba di dekat dua orang perempuan ini, Prembun menyeringai dan mengejek.
'Heh-heh-heh, kamu sudah ganti baju? Bagus! Akan kulihat apakah bajumu yang sekarang, dapat menahan cengkeramanku?"
Begitu menutup katanya, Prembun telah menyerang ke depan dengan tangan kosong. Tentu saja Kedasih dan Minah tidak sudi menyerah begitu saja. Walaupun tahu bahwa laki-laki ini bukan tandingannya, tetapi harus juga melawan sedapatnya. Kedasih dan Minah membentak nyaring dan menerjang berbareng dengan pedangnya. Gerakannya cukup cepat dan berbahaya. Akan tetapi, seperti yang sudah pernah terjadi, serangan itu tiada gunanya bagi Prembun. Setelah lewat duapuluh lima jurus. Prembun kembali berhasil mementalkan padang Kedasih dan Minah. Jatuh berdencing agak jauh, dan cepat dipungut oleh anak buahnya.
Tiba-tiba terdengar suara orang.
" Heh-hehheh, jangan kau monopoli sendiri, adi Prembun. Berikan kepadaku yang seorang."
Orang ini tubuhnya tinggi besar. Berkumis tebal dan berjenggot pendek. Akan tetapi laki-laki ini tidak seperti yang lain. Ia tidak mengenakan baju, sehingga tubuhnya yang kekar tampak nyata, di samping bulu dadanya. Tetapi walaupun tidak mengenakan baju, dan hanya mengenakan ikat kepala dan celana sebatas lutut, didalam gerombolan ini dia bukan orang sembarangan.
( Bersambung jilid ke 11)
Kisah Si Pedang Buntung
Lanjutan Ratu Wandansari
Karya : Widi Widayat
Jilid : 11
Pelukis : Janes
Penerbit "GEMA"
Metrokusuman 761 Rt 17
SOLO Ijin Penerbitan
Ijin : No Pol /3/26 aa-54/0-73
Surakarta tanggal 17 januari 1973
Cetakan Pertama 1973
**** Buku koleksi ; Aditya Indra Jaya
Juru Potret : Awie Dermawan
Edit teks & pdf : Saiful Bahri Situbondo
(KOLEKTOR E-BOOK)
******
DALAM gerombolan ini merupakan orang ke tiga. Sebab kalau Prembun merupakan tangan kanan Kirtaji, orang ini merupakan tangan kiri. Dia bernama Kenyung Setika. Sebelum ia menjadi pembantu Kirtaji, ia sudah mempunyai nama yang cukup terkenal. Seorang yang atos dan bertenaga raksasa. Apa pula sekarang, setelah ia memperoleh gemblengan Kirtaji, kepandaiannya makin tinggi. tingkatnya seimbang dengan Prembun.
Dahulu sebelum menjadi pembantu Kirtaji, Kenyung Setika ini kepala bajak Sungai Brantas. Maka sesuai dengan tempatnya di air, ia bersenjata dayung baja yang amat berat.
Karena tingkatnya dalam kedudukan pada gerombolan ini sejajar dengan Prembun, maka begitu muncul Ia sudah berterus terang seperti itu. Prembun terkekeh. Ia tak dapat menolak tuntutan itu dan terpaksa menjawab.
"Silahkan menangkap sendiri, jika kakang Kenyung memang butuh. Dan aku cukup dengan yang galak itu saja!"
Yang di sebut galak itu adalah Minah. Dan tanpa komentar lagi, Kenyung Setika pun setuju. Ia sudah menerjang Kedasih yang tak bersenjata lagi itu.
Dapat dibayangkan betapa gugup dan gentarnya Kedasih maupun Minah. Tadi mengeroyok dua saja, tak unggul mengatasi Prembun. Apa pula sekarang, harus
berhadapan seorang lawan seorang.
Bagaimanakah mungkin bisa menang?
Kenyung Setika seorang yang kasar. Ia tak mau berlambat-lambat seperti Prembun. Begitu memperoleh bagian, ia menerjang Kedasih menggunakan ilmu tata kelahi seperti orang mau gulat. Serangan-serangannya agak lambat, tetapi semua ditujukan untuk menangkap lawan. Dalam keadaan seperti ini, Kedasih menjadi nekad. Dengan gerakannya yang cepat ia menggunakan tinju dan tendangan menghajar lawan. Namun sayang sekali Kenyung Setika adalah seorang yang kulitnya atos. Dua pukulan Kedasih telah mengenakan secara tepat pada pundak dan kepala lawan. Namun pukulan tersebut tidak menyebabkan apa-apa. malah Kenyung Setika terkekeh.
"Heh, heh, heh, pijatlah aku manis. Tenganmu begitu halus dan aduhh...... baumu sedap sekali .nah-nah.... ha luput......" :
Kenyung Setika menghindari dua jari tangan kanan Kedasih yang bermaksud menusuk matanya. Kemudian dengan gerakan yang tak terduga ia telah menyambar lengan Kedasih.
"Aihh.....!"
Kedasih memekik kaget. Tetapi hanya itu saja yang dapat diucapkan. Karena lengan kanan yang kuat telah berhasil memeluk tubuh Kedasih berikut dua lengannya. Sedang tangan yang kiri, dipergunakan membungkam mulut Kedasih. Pelukan Kenyung Setika ini amat kuat, membuat Kedasih hampir tak bisa bernapas. Sekalipun begitu Kedasih masih berusaha memberontak, namun tak berhasil. Seperti seekor ikan yang berusaha melepaskan diri dari kaitan kail. Makin kuat memberontak. kempitan Kenyung Setika makin kuat. Napas Kedasih sesak dan hampir pingsan. Sedang laki-laki kasar ini. sambil terkekeh sudah lari membawa Kedasih.
Pekikan Kedasih itu membuat Rara Inten yang sedang bertempur melawan Kirtaji kaget. Tetapi karena ia sedang menghadapi gempuran Kirtaji, ia tak berani membagi perhatian. Rara Inten hanya bisa mengeluh dalam hati dan penasaran. Mengapa ia tak dapat melindungi keselamatan saudara seperguruannya. Ia memperhehat serangannya. Namun cambuknya seperti tertumbuk oleh benteng baja. Ujung cambuk itu tak pernah berhasil menyentuh baju Kirtaji. .
Dalam pada itu Prembun masih berkelahi melawan Minah. Prembun adalah seorang licin hampir sama dengan Kirtaji. Sekalipun berahinya sudah tergugah berhadapan dengan gadis manis murid Perguruan Tuban ini, namun ia masih sempat untuk mencari kesempatan membantu kirtaji. Ia tahu, apabila pada kesempatan ini dapat menghina dan mempermalukan Minah, pengaruhnya akan besar sekali bagi Rara Inten. Gadis itu mau tak mau membagi perhatian, dan berusaha untuk menolong saudara seperguruannya. Dengan demikian Kirtaji akan memperoleh keuntungan, dan syukur dengan bantuannya itu cepat dapat mengalahkan lawan.
Maka Minah seperti seekor tikus berhadapan deigan seekor kucing. Perlawanannya tidak berarti dan tiba-tiba terdengar suara.


Kisah Si Pedang Buntung Lanjutan Ratu Wandansari Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Brett....... aihhh....... heh-heh-heh......!"
Baju bagian depan telah hancur lagi oleh cengkeraman Prembun. Akibatnya Minah memekik nyaring dan Prembun yang senang terkekeh.
Rara Inten kaget. Pekikan Minah itu membuat Rara Inten mengerling. Wajahnya mendadak berubah pucat ketika melihat dada Minah telah telanjang lagi seperti tadi. Hanya sedetik saja Rara Inten terbagi perhatiannya, tetapi telah menimbulkan kerugian.
Brett......
pedang Kirtaji menyelonong seperti kilat cepatnya, lepas dari penjagaan. Untung sekali Rara Inten masih dapat menolong diri menyambarkan cambuknya. .Kirtaji terpaksa meloncat kesamping, namun masih juga ujung parang itu memperoleh hasil. Urung melukai lengan. tetapi merobekkan lengan baju kiri Rara Inten. Kulit yang kuning halus yang semula tertutup lengan baju itu, sekarang sebatas bawah siku tak tertutup lagi.
Rara Inten melengking nyaring sekali saking marahnya. Walaupun tak terluka sedikitpun, tetapi robeknya lengan baju ini membuat penasaran dan merasa terhina. Gerakan cambuknya berubah lebih cepat. Dan duaorang itu kembali terlibat dalam pertempuran yang sengit sekali. Lebih sengit dan lebih hebat daripada sebelumnya.
Minah yang dadanya tak tertutup apa apa lagi itu, malu sekali di samping marah. Ia menjadi repot berusaha menutup payudaranya dengan lengan kiri, sedang lengan kanan dipergunakan untuk melawan sedapatnya. Tetapi justeru keadaan Minah ini, membuat puluhan laki-laki anak buah Kirtaji yang menonton menjadi gembira. Pemandangan itu benar-benar menyenangkan mereka. Karena payudara yang berusaha ditutup itu hanya sebagiannya yang tertutup. Mereka bersorak senang sekali. Dan dari mulut puluhan orang itu kemudian terdengar suara-suara yang kotor dan cabul.
Prembun tahu bahwa usahanya membantu Kirtaji berhasil. Sedang di samping itu. iapun dapat membuat anak buahnya menjadi senang. Maka ia akan meneruskan usahanya membantu Kirtaji dengan mempermainkan Minah.
Pada saat itu tiba-tiba terdengar beberapa orang anak buahnya yang usul supaya menelanjangi. Usul ini tepat dan bagus sekali, pikir Prembun. Mudah-mudahan kawan yang sakti itu bisa dikalahkan Kirtaji.
"Bret-bret-bret......aihhhh. ....!" terdengar suara robeknya kain beberapa kali disusul oleh jerit Minah yang agak panjang.
Lalu terdengar pula suara yang riuh dari anak buah, dan orang-orang ini menjadi ribut sendiri ketika melihat Minah tanpa pakaian lagi. Minah menjadi kebingungan dan hampir menangis. Terus berdiri, repot usahanya menyembunyikan bagian tubuhnya yang terlarang. Akhirnya Minah menjatuhkan diri di atas tanah sambil menutup payudaranya.
Rara Inten mendengar pula jeritan Minah itu. Dan bisa menduga pula apa yang terjadi.
Ia memang kaget!
Tetapi pengalamannya tadi merupakan guru dan pelajaran. Ia menekan perasaan, membuat telinganya tuli. Menoleh pun tidak, dan tetap menggerakkan cambuknya untuk menyerang Kirtaji lebih dahsyat, Kirtajipun tak mau mengalah. Pedangnya menyambar-nyambar dahsyat sekali. dibantu dengan pukulan tangan kiri.
Prembun terkekeh senang sekali melihat Minah kebingungan, Akan tetapi betapa kecewa hatinya, ketika Rara Inten tidak terpengaruh oleh keadaan Minah. Timbullah kemudian maksudnya untuk berbuat lebih jauh lagi, supaya perhatian Rara Inten terpecah. Akan tetapi sebelum ia melaksanakan maksudnya, terjadi perkembangan yang tidak diharapkan. Beberapa orang anak buah itu, begitu melihat Minah yang tak mengenakan selembar benangpun, timbul nekadnya. Beberapa orang meloncat dan menubruk maju. Maksudnya ingin saling berebut menangkap perempuan itu.
Prembun waspada.Gerakannya lebih cepat. Tubuh Minah disambar. dikempit dibawa berlarian cepat sekali.
Dalam waktu singkat telah tak tampak bayangannya lagi. Para anak buah tak berani mengejar. Mereka tahu, akibat apa kalau mereka berani mengganggu Prembun.
Betapa marah Rara Inten tak terlukiskan lagi. Ia sadar apa yang akan diderita oleh dua orang mbakyu perguruannya itu.
Tetapi apakah daya?
Ia telah mengerahkan kepandaiannya, namun belum dapat mengalahkan lawan. Malah kalau saat sekarang ini Kirtaji memerintahkan anak buahnya supaya mengeroyok, kesulitannya akan makin bertambah. Tiba-tiba Rara Inten melengking amat nyaring sekali dibarengi serangan cambuknya yang meledak-ledak. .
Sungguh hebat sekali pengaruh lengkingan aneh yang nyaring dari mulut Rara Inten ini. Mendadak beberapa orang anak buah Kirtaji terpelanting roboh tak sadarkan diri. Sedang Kirtaji yang berada paling dekat dengan Rara Inten kaget. Kirtaji merasa jantungnya seperti diremas dan terhuyung. Untung, pemimpin penjahat ini cepat dapat melawan pengaruh aneh tersebut, dengan pengerahan tenaga sakti dalam tubuhnya.
"Tar tar.....cring.....siut.....plak.....!"
Kirtaji terhuyung mundur tiga langkah ke belakang, wajahnya tampak bertambah pucat lagi. Dari pundak kanan tampak darah merah menetes keluar membasahi bajunya yang bolong. Sedang pada sudut bibirnya tampak pula darah yang menetes. Sebaliknya Rara Intenpun mundur tiga langkah ke belakang. Wajahnya nampak pucat pula, akan tetapi matanya mendelik menyinarkan kemarahan yang sangat. Dari ujung sudut bibir yang indah itu, tampak pula darah menetes.
Yang telah terjadi adalah bahwa ketika Rara Inten tadi melancarkan serangan yang hebat, Kirtaji menggunakan pedangnya untuk menangkis dan melindungi tubuhnya. Tetapi ternyata ujung cambuk Rara Inten telah melibat pedangnya. Kirtaji adalah seorang yang licin di samping penuh tipu muslihat. Ia menggunakan kesempatan ini guna menarik keuntungan. Pada saat Rara Inten menyentakkan cambuk untuk merebut pedangnya, Kirtaji tidak mempertahankan malah melepaskannya. Namun berbareng itu ia telah melancarkan pukulannya yang hebat ke arah dada Rara Inten. Apabila pukulan tersebut berhasil mengenai sasaran, tentu Rara Inten akan segera roboh.
Untung sekali bahwa selama Rara Inten menyembunyikan diri dan berlindung dalam gerombolan Kendeng. gadis ini telah mengenal pribadi dan watak Kirtaji. Mengenal bahwa di samping cerdik Juga licin penuh tipu muslihat. Maka begitu menggentak cambuk tanpa perlawanan, secepat kilat Rara Inten telah menggeser ke samping. Namun ternyata pukulan dan Ilmu "Gempur Gunung" Kirtaji itu, masih menyerempet bawah dada. Akibatnya Rara Inten menderita luka dalam cukup hebat. Meskipun demikian, Rara Inten masih dapat menyelamatkan nyawa dari maut.
Hampir berbareng dengan mampirnya pukulan Kirtaji, jari tangan kiri Rara Inten berhasil mencengkeram pundak kanan Kirtaji. Cambuk yang dipukulkan tertangkis tangan kiri Kirtaji. Namun dengan kecepatan luar biasa, Rara Inten berhasil menendang dada lawan. Sebagai hasilnya adalah, Kirtaji menderita luka dalam yang lebih parah. Kalau saja bukan Kirtaji, kiranya tentu sudah roboh oleh tendangan Rara Inten yang hebat ini.
Setelah saling pandang sejenak dengan pandangan yang menyinarkan kebencian dan dendam yang dalam. berkelebatlah bayangan Rara Inten meninggalkan lawan. Dan walaupun Rara Inten telah luka cukup berat. namun beberapa anak buah Kirtaji yang berusaha merintangi, terpukul roboh oleh ujung cambuk. Maka yang lain tak berani gegabah bertindak, membiarkan Rara Inten pergi. Apa pula pada saat itu terdengar suara Kirtaji yang mencegah anak buahnya mengejar malah mengajak pulang ke markas. Kirtaji memang cukup maklum. anak buahnya takkan ada artinya menghadapi Rara Inten sekalipun jumlahnya banyak. Ia tak menghendaki tambahnya korban yang jatuh.
Rara Inten berlarian cepat dari tempat itu dengan hati marah, penasaran dan amat menyesal.
Mengapa baru berhadapan dengan Kirtaji saja, tak bisa mengalahkan malah menderita luka dalam yang cukup parah?
Percuma saja dirinya berpayah-payah melatih diri, haSilnya masih amat mengecewakan hatinya.
Kapankah ia dapat menjadi seorang pendekar wanita tanpa tanding di dunia ini?
Dalam pada itu ia juga amat menyesal sekali. mengapa tak dapat melindungi keselamatan Minah dan Kedasih. Dari apa yang sudah dilihat dan didengarnya tadi, ia sadar akan nasib dua orang mbakyu perguruannya tadi. Bergidik dan berdiri bulu kuduknya teringat nasib Minah tadi. Dipermainkan dan ditelanjangi di depan orang banjak.
Ah, ia merasa kasihan sekali. dan betapa derita Minah.
Tetapi apa harus dikata sekarang?
Ia dapat membuat Kirtaji terluka parah. Namun dirinya menderita pula. Kalau saja ia tidak terluka seperti sekarang ini. ia tentu mencari jejak dua orang laki-laki yang melarikan Minah dan Kedasih. Syukur masih bisa menolong. tetapi setidaknya ia masih bisa menghajar laki-laki kurang ajar dan cabul itu. Akan tetapi karena keadaannya
sedang tidak mengijinkan. tiada nafsu lagi mencari Minah dan Kedasih. Ia berlarian cepat langsung ke gua tempat tinggalnya. Ia harus lekas -lekas mengobati lukanya. Kemudian harus cepat-cepat menuju Tuban. Sesuai dengan laporan Minah dan Kedasih ini, ia harus dapat merebut kembali Perguruan Tuban dari tangan Subinem.
Namun justeru terjadinya pengkhianatan Subinem itu' tiba-tiba saja timbullah penasaran dan kemarahannya kepada Jaka Pekik.
Mengapa penasaran dan kemarahannya ditimpakan kepada Jaka Pekik?
Soalnya ia beranggapan bahwa Jaka Pekik ingkar tanggung jawab dan kewajibannya.
Kalau dahulu, dia menerima penyerahannya, mengapa kemudian dia meninggalkan perguruan 'tersebut, dan dipercayakan kepada Telasih dan Sarni?
Boleh saja menyerahkan tanggung jawab itu'kepada orang lain. kalau memang dia repot. Tetapi tidak boleh dilepaskan begitu saja.
Bukankah Gagak Rimang memiliki banyak tokoh sakti?
Dia bisa menempatkan dua atau tiga orang guna melindungi keselamatan Perguruan Tuban yang menjadi tanggung jawabnya. _
Sebagai akibat rasa penasarannya itu, membuat dadanya nyeri dan sesak. Samadhinya terganggu, dan usahanya menyembuhkan luka dalamnya terhalang. Ia cepat menekan perasaan. Mengosongkan pikiran, agar samadhinya tak terganggu lagi. Tak lama kemudian hawa sakti dari pusarnya mengalir. dan tak terasa sakit lagi. Hawa sakti itu kemudian didorong ke arah bagian tubuh yang terluka.
Demikianlah, pada esok paginya Rara Inten telah merasakan tubuhnya kembali sehat dan segar. Wajahnya yang cantik itu kembali pada keadaan yang semula. Bersinar
gemilang dan sepasang matanya kembali seperti bintang pagi. Bibirnya kembali merah agak basah, indah dan menantang. Ia cepat berkemas. Mengumpulkan beberapa setel pakaian sebagai ganti dalam perjalanan. Cambuknya tak ketinggalan, disembunyikan melingkar tertutup oleh baju, di luar ikat pinggang. Rambut yang hitam dan panjang itu disanggul dan diselipkan setangkai bunga mawar hutan yang merah warnanya. Menambah kecantikannya yang asli dan takkan luntur.
Gerakannya ringan dan tangkas ketika ia berloncatan mendaki tebing jurang meninggalkan gua tempat tinggalnya. Begitu tiba di atas, dan melihat alam bebas, ia meragu sejenak. Ia teringat Minah dan Kedasih kemarin, yang dilarikan dua orang laki-laki. Ia menghela napas panjang setengah mengeluh.
"Hem ..... tiada gunanya lagi. Di tangan manusia laki-laki yang biadab itu, manakah mungkin mereka dapat kutolong? Hemm.. kasihan engkau mbakyu Minah dan mbakyu Kedasih. Dan maafkanlah pula adikmu yang bodoh ini. Tak dapat menyelamatkan kalian dari malapetaka." .
Ia menghela napas panjang lagi. Setelah ia menebarkan pandang matanya ke sekeliling, terdengar lagi katanya, tetapi sekarang nadanya geram.
"Huh, huh, Kirtaji. Kau manusia bangsat! Datanglah saatnya kemudian hari, engkau akan roboh dalam tanganku. Tunggulah saatnya aku datang menghancurkan batok kepalamu. Huh. huh. selama kau masih hidup dunia takkan bisa aman dan damai."
Setelah itu, tubuhnya berkelebat seperti terbang. Gerakannya amat ringan sekali, dan dalam waktu singkat ia telah hilang tertelan rimbun daun hutan.
Dugaan Rara Inten itu sesungguhnya salah. Kalau kemarin Rara Inten mau meluangkan Waktu mencari dua
orang saudara perguruannya itu, mungkin dua-duanya masih bisa diselamatkan dari malapetaka. Sebab Prembun dan Kenyung Setika bukannya membawa korbannya pulang ke markas. Tetapi membawanya ke dalam hutan. Mencari tempat yang terlindung oleh gerumbul pohon dan lebatnya daun. Dan secara kebetulan, arah Prembun dan Kenyang Setika saling bertentangan. Kalau Kenyung Setika yang pergi lebih dahulu dengan mengempit tubuh Kedasih menuju keselatan, adalah Prembun setelah puas mempermainkan, mengempit tubuh Minah yang tak berpakaian lagi itu ke arah barat.
Kedasih berusaha meronta terus dari kempitan Kenyung Setika. Kakinya menendang nendang sejadinya. Mulutnya mencaci maki tak keruan. Akan tetapi semua itu hanya ditertawakan saja oleh orang tinggi besar dan tanpa baju ini. Kenyung Setika yang kuat tennganya' itu, kempitannya kuat sekali. Kedasih yang berusaha menarik lengannya, sampai merasa sakit tak juga berhasil. Dadanya makin lama makin sesak. Ia terengah-engah hampir pingsan, kemudian menutup mulut, tak mencaci maki lagi, namun diam-diam ia memutar pikiran dan otaknya mencari akal meloloskan diri. Namun amat sayang sekali, walaupun ia sudah memutar otak mencari akal, dan kepalanya terasa berdenyut. belum juga menemukan akal yang baik untuk menyelamatkan diri.
Pada akhirnya, Kedasih dilepaskan dari kempitan lengan Kenyung Setika, pada suatu tempat yang agak gelap karena sinar matahari tak kuasa menembus rapatnya daun-pohon. Di situ merupakan hutan yang penuh pohon-pohon besar dan tinggi, merupakan rumpun pohon jati tua. Melihat tinggi dan besarnya pohon jati di tempat itu, mungkin pohon-pohon jati tersebut umurnya tak kurang dari dua abad. Dan karena tempat ini tak pernah dijamah manusia, maka daun yang berguguran bertumpuk di bawah. Tanah di tempat ini menjadi agak lunak, karena lapisan teratas merupakan daun-daun pohon jati yang telah hancur.
Begitu bebas dan berdiri, Kedasih untuk sejenak mengamati sekeliling. Tempat yang agak gelap dan pohon pohon jati yang besar dan tinggi itu, membuat hatinya terasa agak seram juga. Akan tetapi Kedasih sadar, bahwa sekarang ini ia menghadapi malapetaka yarg paling hebat bagi wanita baik-baik. ia tahu akan maksud laki laki kasar ini. Ia bergidik ngeri. Tetapi masih menguatkan hati dan perasaan. Bentaknya.
"Kurang ajar kau! Apa maksudmu membawa aku ke tempat ini?"
"Heh-heh-heh, mengapa kau masih bertanya, manis? Apakah engkau masih belum menangkap detak jantungku yang berdebaran melihat manisnya wajahmu?" sahut Kenyung Setika sambil terkekeh dan bertolak pinggang.
Karena terkekeh, perut besar yang tak tertutup baju itu bergerak-gerak. Dan bulu pada dadanya itupun seperti ikut bergerak-gerak pula.
"Manis, laki-laki dan wanita di dunia ini, heh-heh-heh, untuk apa kalau tidak saling berkasih -kasihan? Nah, sekarang kau dan akupun merupakan laki-laki dan perempuan.........'
"Jahanam! Siapa sudi dengan manusia macam kau?" lengking Kedasih marah
'Huhhuh, tahukan engkau siapa aku?"
"Hehheh-heh, siapa yang tidak tahu? Engkau perempuan manis. Dan aku laki-laki gagah perkasa !"
Kenyung setika memukul-mukul dada yang tak berbaju itu dengan tinjunya sendiri.
"Cih! Laki-laki kotor mau berlagak di depan seorang murid Tuban! Huh-huh, apakah engkau sengaja akan
menghina murid Perguruan Tuban yang besar itu? Murid-murid Tuban yang wanita, pantang berdekatan dengan laki-laki," bentak Kedasih.
Maksudnya untuk membuat laki-laki ini jeri mendengar nama Perguruan Tuban yang terkenal itu.
Tetapi dugaan Kedasih salah. Kenyung Setika tiba tiba berjingkrak seperti kera menginjak api sambil ketawa bekakakan.
'Ha-ta-ha-ha, bagus, sungguh mujur aku hari ini. Jadi kau murid Perguruan Tuban, yang dikenal orang selalu pantang laki-laki, dan mempertahankan keperawanannya? Bagus, tak kusangka hari ini aku memperoleh seorang gadis. Bagus, hayo hari ini kita bersenang-senang, manis. Dan janganlah kau menganggap laki-laki ini tak ada harganya. Wanita dilahirkan untuk menjadi jodohnya laki-laki. Tahu? Mari, jangan kau menolak lagi!" "
"Setan jahanam! Jangan kausentuh aku!" bentak Kedasih sambil melesat ke samping menghindarkan diri.
Ia merasa ngeri melihat lengan hitam yang berbulu itu meraih
'Heh, heh. heh,
"
Kenyung Setika terkekeh.
"Kau mengajak main kucing-kucingan dulu? Mari, kita menjadi kanak-kanak dulu sebelum menjadi pengantin........"
"Plak!"
Kenyung Setika yang berdiri sambil terkekeh itu, perutnya telah terpukul tendangan Kedasih. Namun Kenyung Setika seperti tidak merasa. Ia tetap terkekeh sambil mengamati Kedasih dengan mata berkilat.
"Sebaiknya kau memang harus memijati aku dulu, manis."
Kenyung Setika berkata sambil membalikkan tubuh, Ia memberikan punggungnya yang hitam supaya di pukul oleh Kedasih.
Kedasih mengeluh. Celaka pikirnya.
Manusia ataukah besi?
Kalau manusia mengapa pukulannya tidak menyebahkan sakit?
Kalau demikian halnya, percuma saja melawan.
Mumpung ada kesempatan, apakah salahnya melarikan diri?
Kedasih meloncat untuk lari. Tapi Kenyung Setika tak dapat ditipu. Ia membalikkan tubuh. Dan walaupun tubuhnya tinggi besar, ternyata gerakannya tak kalah ringannya dengan Kedasih. Tahu-tahu Kenyung Setika telah menghadang di depannya sambil mengembangkan lengan mau memeluk. Kedasih menjerit dan membuang tubuhnya ke samping. Namun ternyata gerakannya kalah cepat. Lengan Kenyung Setika telah menjambret ujung bajunya. Kedasih menjerit keras dan terpelanting, bajunya robek bagian belakang. Dan tahu-tahu, lengan berbulu itu sudah memeluknya.
"Plak!" pukulan Kedasih tepat mengenakan tengkuk Kenyang Setika yang bersikap sembrono.
Kenyung Setika kaget dan memekik tertahan, karena terasa sakit. Pelukannya lepas, kemudian mengusap tengkuknya yang tadi terpukul. Menggunakan kesempatan itu Kedasih cepat melompat untuk melarikan diri. Diam-diam perempuan ini ngeri dan mengeluh. Pukulannya tadi kuat sekali dan tepat mengenakan tengkuk.
Namun mengapa laki-laki itu tak apa-apa?
Sungguh ia merasa heran.
Pukulan Kedasih tadi memang keras. Dan kalau yang dipukul bukan Kenyung Setika, mungkin leher itu sudah patah. Tetapi Kenyung Setika adalah bekas bajak Sungai Brantas yang sakti mandraguna dan keras tubuhnya. Sejak masih kecil telah digembleng oleh ayahnya sendiri dengan latihan pukulan kayu. Maka tubuh Kenyung Setika menjadi keras dan kebal pukulan. Jangan lagi pukulan tangan. walaupun tongkat belum tentu dapat melukai Kenyung Setika ini.
"Heh-heh-heh, kau mau lari ke mana?"
Kenyung Setika terkekeh sambil mengejar.
Kedasih mengerahkan kepandaiannya lari. Namun walaupun demikian, Kenyung Setika menguber. Makin lama jaraknya makin pendek, dan Kedasih sudah kempas kempis dan amat khawatir sekali. Pada saat berbahaya ini. tiba-tiba terdengar suara hentakan nyaring.
"Bangsat tak tahu malu! Apa sebabnya kau mengubar perempuan?!"
Sesosok bayangan berkelebat cepat sekali. Tangan yang kecil itu bergerak.
"Dukk..aduhhh.....!"
Kenyung Setika berteriak kaget dan terhuyung ke belakang. Ia meraba pundak kanan yang terasa agak nyeri terpukul orang.
Kedasih juga mendengar bentakan dan antara mengaduhnya Kenyung Setika. Ia menghentikan larinya, sebab ia yakin ada orang datang memberi pertolongan. Semula, mendengar hentakan nyaring perempuan itu, ia menduga Rara Inten datang menolong. Tetapi setelah mengamati, ternyata bukan. Perempuan itu memang bertubuh langsing seperti Rara Inten. Tetapi lebih pendek sedikit. Dan ketika melihat bagian atas...
"Ahhh!"
Kedasih berseru tertahan. Ia meloncat menghampiri. Kemudian katanya.
"Kau.....kau nona Salindri.?"
Kalau begitu saja Kedasih menduga orang perempuan ini Salindri, memang tidak awur-awuran. Ia memang belum kenal dengan Salindri. Tetapi ia pernah mendengar cerita tentang munculnya seorang gadis berkedok kain hitam dari semula membuat Rara Inten ketakutan. Cerita ini didengar Kedasih ketika di Pondok Bligo.
"Hi-hi-hik, benar. Aku memang Salindri. Dan kau siapa? Pula siapakah laki-laki ini yang mengejarmu?" sahut Salindri sambil terkekeh.
Seperti telah diceritakan di bagian depan dari cerita ini Salindri memang berubah tidak waras. Meskipun demikian datangnya penyakit ini kumat-kumatan. Kadang ia seperti orang waras, tetapi kadang tampak tidak Waras. Ketika ia pergi meninggalkan Jaka Pekik dan Rara Inten. gadis ini mengembara semau kaki melangkah. Akan tetapi karena wajahnya penuh bekas luka, ia jarang mau bertemu orang, ia selalu mengenakan kedok kain hitam.
Atas pertanyaan Salindri itu, tiba-tiba saja Kedasih berlutut. Menangis dan meratap.
"Ohhh.. tolonglah aku.. .....nona Salindri. Aku..... murid Perguruan Tuban. Aku dikejar-kejar laki-laki biadab itu, yang mau memaksaku. Ohh..... tolonglah.."
Salindri mengerutkan alisnya. Sesungguhnya gadis ini menjadi tak senang mendengar nama Perguruan Tuban disebut. Sebab nama perguruan itu mempunyai hubungan erat dengan Rara Inten yang pernah berusaha membunuhnya. Akan tetapi perasaan yang kurang senang itu cepat terdesak oleh nurani kewanitaannya. Sekarang ini seorang perempuan, kaumnya diancam keselamatannya oleh seorang laki-laki. Maka harus dibela dan diselamatkan.
"Hi-hi-hik. kalau mengingat ketuamu dahulu pernah mencoba membunuh aku, sebenarnya tak sudi aku membela murid Tuban. Tetapi hi-hi-hik, engkau adalah perempuan. Dan aku perempuan pula. Engkau sama dengan aku dan aku sama dengan kau. Tak boleh perempuan dihina laki-laki! Tak boleh mempermainkan dan memaksa. Hi-hi-hik........ apakah perempuan itu semacam barang permainan? Hi-hi-hik....... jangan khawatir. Biar kuhajar laki-laki hidung belang ini..... eh... tetapi hidung laki-laki itu tidak belang. Malah hitam. .... hi-hi hik. Baiknya kusebut hidung hitam saja........" sahut Salindri sambil terkekeh.
Sebenarnya orang akan segera curiga kalau mendengar cara bicara Salindri yang 'tak keruan ini. Akan tetapi pada saat sekarang ini Kedasih sedang terancam keselamatannya, maka hal itu tidak terpikir. Ia sudah menjadi gembira sekali mendengar kesanggupan Salindri. Kedasih memeluk kaki Salindri dan mencium ujung ibu jarinya. Salindri terkekeh senang, dan membiarkan ibu jarinya dicium orang.
Sedang Kenyung Setika segera terkekeh senang setelah hilang kagetnya. Tadi ia memang kaget sekali dipukul orang yang membuatnya terhuyung dan panas. Akan tetapi setelah melihat bahwa yang memukul itu hanya seorang perempuan, malah perempuan yang masih muda. lebih muda dari calon korbannya, dan tubuhnya ramping berisi, ia menjadi gembira. Untuk beberapa saat ia memandang terpesona ke arah dada perempuan ini yang membusung padat. Kulitnya lebih kuning dan lebih bersih daripada Kedasih. Jelas perempuan ini jauh lebih cantik dan lebih menyenangkan. Dan kalau ,sekarang perempuan ini menutup wajahnya dengan kedok kain hitam. tentu perempuan ini berusaha menyembunyikan wajahnya yang sangat mempesonakan laki -laki.
"Heh-heh-heh, terima kasih, terima huh......"
Kata kata Kenyung Setika ini terputus, dipotong oleh bentakan Salindri yang nyaring.
"Haii! Apa maksudmu mengucapkan terimakasih? Kau berterimakasih kepada siapa?!"
"Uah, kau cantik tetapi galak. heh, heh, heh!"
Kenyung Setika terkekeh.
"Kalau kau bertanya. aku mengucapkan terima kasih kepada dewa. Sebab hari ini, sekaligus telah bermurah hati padaku. Memberi hadiah dua orang perempuan cantik dan manis, menjadi temanku. Heh, heh. huh....."
"Kurang ajar! Siapa yang dijadikan hadiah oleh deWa?" bentak Salindri mendelik.
'Jangan kau ketaWa ketawa seperti kera. Dan jangan kau meringis seperti anjing kena terasi. Jangan kau menyeringai seperti setan kesiangan. Huh. huh.... bau!"
Salindri memijat hidungnya yang tertutup oleh kedok.
"Hawa mulutmu bau jengkol. Gigimu kuning tak pernah kenal kumur, seperti kuda! Hi, hi, hik.. siapa mau menjadi teman laki-laki macam kera, macam anjing dan macam setan seperti kau? Bah, lagakmu gagah. Nyatanya, baju saja kamu tidak punya, berani kau merayu perempuan? Perempuan yang suka kepada orang macam hal ini tentu hanya perempuan wewe gombel... hi, hi, hi ..,..."
Mendengar cara Salindri berkata-kata. yang tajam dan tak tanggung-tanggung itu, Kedasih tersenyum. Pikirnya, modar kau sekarang. Kau ketanggor batu, laki laki mata keranjang. Baru kata-katanya saja sudah tajam, apalagi pedang yang tergantung di pinggang itu. Kedasih sama sekali tidak sadar bahwa kata-kata itu sesungguhnya tak keruan juntrungnya, dari mulut seorang yang tak waras.
Tetapi hebatnya, walaupun kata-kata Salindri itu mengejek tanpa tanggung-tanggung, Kenyung Setika tidak marah, malah ketawa terkekeh. Biarlah sekarang perempuan itu mengatakan apa saja. Yang penting asal nanti dua perempuan ini sekaligus dapat diajak bersenang senang.
"Heh, heh. heh, engkau benar. Mulutku berbau jengkol, karena tadi aku terlalu banyak makan jengkol. Tetapi ha, ha, ha, jangan khawatir manis, guna menghormati kau yang cantik, nanti aku akan berkumur dan membersihkan mulutku ini di sungai. Hayo manis, sekarang kalian harus menurut padaku!"
"Apa? Menurut? Untuk apa?"
Salindri mendelik.
"Ah. jangan kura-kura dalam perahu. Jangan purapura tidak tahu. Kalian berdua hari ini harus menjadi isteriku. Heh-heh-heh, yang seorang cantik jelita dan yang seorang manis. Sungguh beruntung aku hari ini."
"Menjadi isteri?"
Salindri membelalakkan mata.
"Isteri laki-laki macam kau ini? Uah......hi--hi-hik, terus bagaimana? Kalau aku dan dia ini menjadi isterimu, hu waduh, bagaimana kelak kalau punya anak? Yang lahir dari dia, yang hitam sama hitam bakal seperti kera. Hitam logam. Hi-hi-hik.....lucu....."
Salindri terus terkekeh. Dan Kenyung Setika menyeringai. Ia menggaruk kepalanya yang tak gatal. Hatinya senang, tetapi merasa terpukul. Ia cepat membela diri.
"Tidak. Kelak aku bakal mempunyai anak yang cantik dan gagah. Hayo, mari manis, tempat ini cukup baik untuk menjadi pengantin."
"Mana pengantin tanpa disaksikan orang lain? Pengantin apa itu? Hi-hik, jangan kau gila..."
Kedasih menggeleng-gelengkan kepalanya dan menghela napas panjang.
Mengapa Salindri sedia melayani laki-laki cabul ini bicara?
Ingin sekali ia menganjurkan agar laki-laki itu segera dipukul mampus. Namun ia tidak berani, khawatir kalau Salindri marah. Maka yang bisa diperbuat hanya menonton dan mendengarkan.
Sedang Kenyung Setika terkekeh. Sahutnya,
"Tidak gila. Tetapi malah pengantin istimewa. Dengan hanya kita bertiga, tiada orang lain yang mengganggu. Mari manis, kita mulai."
Tangan Kenyung Setika dikembangkan dan melangkah maju setindak demi setindak.
Ia ragu-ragu, peremPuan ini sedia ataukah menolaknya?
Kalau tak sedia, mengapa perempuan yang muda dan cantik ini, bicaranya banyak?
Dan kalau tak sedia, mengapa tidak lekas marah seperti wanita yang satunya itu?
Kenyung Setika walaupun kasar tetapi cukup hati hati. Ia harus berhati hati.
Setindak demi setindak ia melangkah mendekati. Melihat itu Kedasih khawatir sekali.
Apakah Salindri ini sedia melayani kehendak laki-laki jahat itu?
Celaka, keluhnya. Kalau Salindri sedia, ia bukannya memperoleh pertolongan, tetapi malah tambah musuh. Ia bisa dikeroyok dua dan dipaksa. Kalau demikian lebih baik lari saja. Tetapi sebelum ia lari, ia mencoba dulu berkata ditujukan kepada Salindri,
"Nona...'.. awas! Jangan kau mau disentuh laki-laki kotor itu......!"
Akan tetapi Salindri seperti tak mendengar. Ia masih tetap berdiri tenang, malah terdengar suara ketawanya yang nyaring, dan terdengar pula katanya.
"Benarkah kau cinta padaku? Hi-hi-hik....... kau mencintai aku Sekaligus kau memperisteri dua orang.......?'
Kaget tak terkira Kedasih mendengar kata-kata Salindri itu. Saking kaget, ia terpaku dan terbelalak. Tak jadi melarikan diri.
Apakah gadis ini sudah gila, begitu saja melayani laki laki itu?
Sebaliknya Kenyung Setika menjadi gembira. Lupa akan keraguannya, kemudian makin mendekat sambil terkekeh.
"Heh-heh-heh, manis..... jangan khawatir. Aku cinta padamu, heh heh-heh...... dunia dan akhirat. Kau cantik jelita bagai bidadari ..plak... aduhhhh......"
Kenyung Setika menjerit nyaring dan tubuhnya terlempar lebih tiga meter jauhnya. Matanya mendelik, tubuhnya gulung koming seperti semut terpanggang api bergulingan, karena kesakitan luar biasa pada bagian tengah selakangnya. Saking sakit, ia bergulingan terus. Ia
tak menyadari menuju sebuah jurang. Salindri melesat maju, kakinya bergerak. Tubuh Kenyung Setika yang bergulingan itu ditendang dan terlempar ke dalam jurang. Terdengar pekik mengerikan kemudian sepi. Kedasih terbelalak menyaksikan peristiwa itu. Baru sadarlah ia sekarang, bahwa Salindri menggunakan akal dalam mengalahkan orang. Hanya sekali gebrak lakilaki tersebut telah terlempar ke dalam jurang. Ia menghela napas panjang.
Ah, ternyata ia kalah cerdik.
Mengapa dirinya tadi tak menggunakan akal seperti Salindri ?
Namun tak gampang pula bertindak seperti Salindri. Ia memang seorang gadis tabah, sekalipun otaknya tidak waras lagi. Sejak kecil ia merupakan gadis periang. Bisa berlaku halus, tetapi juga bisa berlaku berandalan. Walaupun otaknya sudah agak miring, tetapi otaknya masih bisa bekerja baik sekali. Ia tadi kaget ketika pukulannya yang tepat mengenakan pundak orang itu, tidak membuat terjungkal roboh. Sebagai seorang gadis yang cerdik. ia cepat sadar bahwa laki laki ini bukan orang sembarangan. Sekalipun belum tentu kalah, tetapi kalau harus berkelahi, membutuhkan waktu panjang dan salah-salah nyawa sendiri jadi taruhan. Ia tak mau lewat jalan yang menimbulkan resiko itu.
Terpikir kemudian oleh Salindri untuk menggunakan akal bulus, bersikap lunak. Bersikap seolah-olah bersedia melayani dengan kata katanya bercampur lelucon dan genit. Ternyata usaha Salindri berhasil. Laki-laki kasar itu hilang kecurigaannya dan hilang kewaspadaannya. Namun menggunakan siasat macam Salindri ini memerlukan ketabahan dan perhitungan yang cukup cermat. Harus sekali pukul dapat merobohkan lawan. Dalam otaknya yang sudah terganggu itu, ingatlah ia akan nasihat ibunya ketika masih hidup. Ibunya dahulu juga seorang wanita perkasa, banyak pengalamannya menghadapi musuh dan bahaya. Ibunya banyak bercerita tentang manusia sakti. Orang yang memiliki aji kesaktian yang membuat tubuhnya kebal. Akan tetapi sekalipun orang kebal, masih mempunyai kelemahan. Ada bagian tubuh yang tidak dibuat menjadi kebal ialah pada mata dan alat rahasia. Maka jika berhadapan dengan orang yan memiliki kekebalan seperti ini, harus bagian tersebut yang diserang.
Ingat akan cerita dan nasihat ibunya itu, Salindri sadar bahwa dirinya berhadapan dengan seorang laki-laki kebal. Maka digunakan siasat seperti menyerah, namun diam-diam telah mempersiapkan serangan yang tak terduga-duga, sehingga orang tak mungkin dapat menghindarkan diri. Sebab kalau sampai gagal, niscaya bakal celaka. Maka ia menggunakan ketabahan dan ketenangannya. Ketika Kenyung Setika melangkah mendekati sambi mengembangkan tangannya mau memeluk, Salindri berdiam diri dan setelah Kenyung Setika makin dekat, ia malah mengacungkan tangannya supaya dipegang orang. Namun ketika jarak yang diperhitungkan takkan meleset lagi, dan lawan hilang kecurigaannya, secepat kilat kaki kanan bergerak menendang alat rahasia Kenyung Setika.Begitulah yang terjadi, sekali pukul Kenyung Setika kelabakan dan gulung koming, bisa dikalahkan.
Begitu Kenyung Setika sudah tercebur ke dalam jurarg, Salindri terkekeh. Ia berdiri menghadapi Kedasih sambil berkata.
'Mbakyu, mengapa kau tadi memilih berlar lari dikejar orang? Lihat, jika kau tadi bersikap tenang seperti aku, kau takkan kesulitan."
Kedasih mengangguk-angguk dan memuji.
"Hebat kau nona Salindri. Terima kasih atas pertolonganmu. Terus terang, aku tadi khawatir melihat sikapmu ......"
"Hi, hi, hik..."
Salindri tertawa,
"...... sangkamu aku sudi melayani laki-laki macam begitu? Di dunia ini hanya seorang saja... hi, hik seorang saja yang kucinta..."
Salindri menundukkan kepalanya, dan terkenang kepada orang yang dicintai. Pekik kecil, yang dahulu dikenal pertama kali di rumah Tabib Wesi Aji. Sampai sekarang, pada pergelangan tangannya masih membekas gigitan Pekik kecil.
Kedasih tak dapat menduga perasaan orang. Ia segera mengemukakan perasaannya.
'Tetapi nona. bersikap seperti engkau tadi taklah mudah. Memerlukan ketabahan dan ketenangan, di samping perhitungan yang matang pula."
"Tetapi aku dapat melakukan juga, bukan? Hi-hi-hik, mengapa sebabnya engkau sampai di tempat ini, dan dikejar-kejar laki-laki tadi?" tanya Salindri.
Tiba-tiba saja wajah Kedasih kembali berubah pucat. Baru teringatlah ia sekarang akan Minah, adik seperguruannya yang tadi menghadapi Prembun. Ia bisa menduga bahwa Minah tentu telah tertawan oleh laki-laki itu.
"Tolong... tolonglah adik perguruanku Minah,nona! Dia.. juga terancam keselamatannya oleh seorang laki laki..... '
Salindri mengerutkan alisnya.
"Kau ini bagaimana? Kutanya belum menjawab, sekarang malah merengek lagi. Siapa orang yang kaumaksud itu, dan terancam apa?"
Kedasih yang sudah merasa ditolong, terpaksa bersikap mengalah. Lalu diceritakan secara singkat apa yang terjadi.
Mendengar disebutnya nama Rara Inten yang sedang terlibat dalam pertempuran dengan musuh tangguh. tiba. tiba saja Salindri tertarik sekali.
"Jadi, baik kau sendiri maupun saudara seperguruanmu itu, dilarikan orang di depan hidung ketua perguruanmu sendiri?"
"Nona, adi Inten bukan ketua Perguruan Tuban lagi. Dia hanya bekas ketua saja,' sahut Kedasih.
'Bukan ketua lagi? Siapa penggantinya ?"
"Ketua Perguruan Tuban itu dari tangan inten diserahkan kepada Jaka Pekik."
"Ah... dia? Aneh...... mengapa bisa terjadi?"
Sekalipun hatinya gelisah memikirkan Minah, terpaksa juga Kedasih menceritakan segalanya. Salindri terkekeh mendengar Jika Pekik menjadi ketua Perguruan Tuban. Ia merasa geli, sebab telah amat lama sekali Perguruan Tuban itu selalu dijabat oleh seorang perempuan.
"Mari kita lekas ke sana!" ajak Salindri tiba-tiba.
"Ingin sekali aku melihat Rara Inten sekarang. Sampai di manakah kemajuan ilmunya?"
Kedasih gembira sekali. ia telah membayangkan bahwa lawan akan segera dihajar kocar kacir, dengan datangnya bantuan Salindri ini. Maka dua orang perempuan ini segera berkelebat menuju ke arah di mana tadi terjadi perkelahian antara Kirtaji dengan Rara Inten. Akan tetapi, dalam perjalanan tadi Kedasih dikempit oleh Kenyung Setika, sehingga tak mengenal jalan. Akibatnya Kedasih membawa Salindri menuju jalan yan salah. Mereka tersesat, telah lama berlarian belum Juga tiba di tempat Rara Inten dan Kirtaji berkelahi.
Kemudian ketika mereka lewat di tempat yang banyak bercokol batu-batu besar, dua orang wanita ini memekik tertahan saking kaget. Namun sesaat kemudian setelah jelas dapat mengamati, ia menjerit nyaring lalu lari menubruk sesosok tubuh yang terlentang tak bergerak di atas rumput dalam keadaan telanjang bulat.
"Adi...... oh..... mengapa kau begini? Ohh... kau...... dibunuh mati? Aduhhh..... .."
Salindri terbelalak kaget. Ia cepat menghampiri. Ternyata Minah telah mati dicekik. Kedasih menangis menggerung-gerung. Berbulan-bulan berat sama dipikul, senasib sepenanggungan dengan Minah. Tetapi hari ini, ia menemukan Minah menjadi mayat. Sungguh, ia amat sedih sekali.
Salindri sebal melihat Kedasih yang cengeng itu.
"Sudahlah, mengapa kau terlalu cengeng begini? Yang sudah mati takkan hidup lagi sekalipun kan menangis sebulan suntuk. Mari, sekarang juga kita rawat dan kita kubur."
Kedasih tak membantah. Dua orang itu kemudian bekerja sama menggali lubang. Tak lama kemudian jadilah lubang tersebut. Minah dikuburkan, diiringi oleh isak tangis Kedasih.
Matahari telah condong ke barat dan agak rendah. Ketika mereka tiba di tempat yang tadi menjadi ajang pertempuran, tempat itu telah sepi tak tampak pertempuran lagi. Bahkan semua orang yang tadi telah tewas menjadi korban cambuk Rara Inten juga tak ada lagi. Agaknya korban-korban itu telah dirawat oleh kawan-kawannya
"Hem, sayang,"
Salindri menghela napas tampak menyesal.
"Bagaimanakah kesudahannya. Siapa yang menang ?"
Tetapi Kedasih tak menjawab. Sebab ia sendiri tak tahu siapa yang keluar sebagai pemenang. Kedasih menatap salindri, kemudian bertanya,
"Mau pergi ke manakah nOna sekarang?"
"Hemmm..,.. aku bagai burung bebas ke mana aku terbang menurutkan kehendak hatiku, hi, hik," sahut Salindri.
"Aku tiada rumah dan tiada keluarga.. aih.... hu, hu, huuukkk ....." "
Mendadak saja ketawa Salindri berubah menjadi tangis. Teringatlah gadis ini akan nasibnya yang buruk. Ia terpaksa harus hidup bagai burung. Ia tak berani pulang ke rumah orang tuanya, takut ancaman ayahnya. Seperti telah diceritakan dalam "Jaka Pekik". Salindri ini sesungguhnya puteri Indrajid, salah seorang tokoh Gagak Rimang. Indrajid adalah adik kandung Sita Resmi isteri Wijaya murid Perguruan Kemuning. Dan Wijaya adalah guru Jaka Pekik yang pertama, sekaligus sebagai orang tua angkatnya. Karena Jaka Pekik menganggap Wijaya dan Sita Resmi sebagai ayah bundanya, maka Salindri diakui sebagai saudara sepupu.
Tetapi karena Salindri telah kesalahan membunuh ibu tirinya dalam membela ibu kandungnya, maka indrajid menjadi marah. Salindri diancam akan dibunuh. Inilah sebabnya Salindri merasa nasibnya buruk, dan tak berani pulang ke rumah.
Kedasih terbelalak heran.
Mengapa tiba-tiba Salindri menangis?
Ia menghibur, membujuk dan bertanya dengan halus. Seperti telah diketahui, Salindri keadaannya tak waras lagi. Namun hanya kumat-kumatan. Mendengar kata-kata Kedasih yang halus dan membujuk itu, Salindri memeluk. Selama ini Salindri tak memperoleh tempat untuk mencurahkan perasaan dan isi hatinya. Baru sekarang ia bertemu dengan orang sejenis yang memperhatikan keadaannya. Maka diceritakan kemudian semua peristiwa yang bersangkut paut dengan jalan hidupnya, dari awal sampai akhir. Mendengar itu Kedasih terharu. Kemudian Kedasih menawarkan diri, apabila Salindri sudi, akan diangkat sebagai adiknya. Dan mulai hari ini takkan terpisah lagi.
Salindri amat gembira. Dua orang perempuan ini kemudian saling memeluk lama sekali. Baru ketika matahari sudah rendah di barat dua orang perempuan ini melesat pergi bersama menuju Tuban. Salindri menyanggupkan diri untuk membantu Kedasih, merebut kembali Perguruan Tuban dari tangan Subinem.
Mereka hanya beristirahat sebentar di sebuah desa guna mencari pengisi perut. Sesudah itu mereka meneruskan perjalanan menuju Tuban. Mereka memang tak ingin perjalanan tertunda-tunda.
Demikianlah, karena mereka menempuh perjalanan cepat maka dalam waktu tiga hari saja, mereka telah tiba di Tuban. Begitu mau masuk ke kota Tuban, Kedasih agak kaget melihat perubahan yang terjadi, kota itu dipenuhi oleh perajurit yang pakaiannya berbeda dengan perajurit Tuban. Batas kota dijaga dengan ketat. Beberapa orang yang lalu jalang diperiksa. Kedasih berdebar.
Mungkinkah para perajurit ini pasukan Mataram?
Akan tetapi Kedasih dan Salindri tidak kesulitan masuk ke dalam kota, setelah mengaku sebagai murid Tuban. Kenyataannya memang Kedasih murid Tuban. Maka ketika diminta bukti-bukti dan dihujani pertanyaan tentang Perguruan Tuban. Kedasih dapat menjawab secara tepat. Dan karena Salindri juga perempuan, dalam pada itu ia melepas kedoknya, perajurit yang memeriksa di perbatasan itu agak seram juga hatinya. Wajah Salindri sesungguhnya amat cantik jelita, Akan tetapi wajah itu sudah rusak, penuh bekas luka goresan. Pada pipi kanan terdapat bekas luka silang, sedang pada pipi kiri terdapat bekas beberapa luka memanjang.
Melihat keadaan perempuan yamg wajahnya rusak ini perajurit itu tidak mempersulit. Kecuali merasa kasihan .perajurit tersebut juga menjadi percaya bahwa gadis inipun murid Tuban. Agaknya rusaknya wajah itu, oleh siksaan lawan ketika berkelahi.
Setelah memperoleh bukti bahwa dua orang perempur ini murid -murid Tuban, sikap para perajurit Mataram itu berubah. Mereka menghormati dan mempersilahkan dua perempuan ini masuk ke kota tanpa gangguan lagi. Perubahan sikap perajurit penjaga ini, sudah tentu membuat Kedasih heran. Diam-diam ia menjadi curiga.
Apa yang sesungguhnya telah terjadi?
Sesudah mereka di dalam Kota Tuban, dan memperoleh keterangan dari beberapa orang pedagang kecil dipinggir jalan. Kedasih baru merasa terang. Ternyata Kota Tuban telah diduduki oleh Mataram. Dalam pertempuran mati -matian yang terjadi antara pasukan Tuban dan Mataram, tak terhitung jumlah perajurit yang gugur. Dalam pertempuran mati-matian ini. Adipati Tuban gugur. Sekarang yang diangkat sebagai Bupati Tuban oleh Ratu Wandansari, adalah salah seorang putera Adipa Tuban.
Akan tetapi, pasukan yang menduduki Tuban ini tidak banyak lagi, kira-kira hanya seribu orang saja. Pasukan Mataram yang lain, dipimpin oleh Pangeran Kajoran, Adipati Manduroreja dan Adipati Uposonto, meneruskan gerakannya menuju Jeratan dan Gresik. Menurut perhitungan Pangeran Kajoran, pasukannya bakal bertemu dan bisa bergabung dengan pasukan Mataram yang dipimpin Sultan Agung sendiri.
Perjalanan Kedasih dan Salindri banyak sekali menyimpang apabila berpapasan dengan murid Tuban yang berkeliaran. Kedasih tak mau bertemu mereka. Sebab Kedasih telah menduga, bahwa perbuatannya melarikan pedang Jati Sari tentu telah diketahui oleh semua murid Tuban.
"Mengapa takut?"
Salindri mencela.
"Bukannya takut. Tetapi aku menghendaki, kehadiran kita di rumah Perguruan Tuban tidak bocor lebih dahulu."
Kedasih membela.
"Aku khawatir, apabila saudara-saudara perguruanku melihat aku kembali ke Tuban, mereka segera melaporkan kepada Subinem. Kemudian sebelum kita di sana. Subinem telah mempersiapkan segala sesuatunya."
"Hem, mbakyu. Engkau penakut benar!"
Salindri kurang senang oleh sikap Kedasih ini.
"Yang penting kita datang ke sana untuk membela kebenaran. Baik diketahui lebih dahulu atau tidak. menurut pendapatku sama saja. Sudah, tak perlu mbakyu takut. Adikmu masih mempunyai dua tangan dan kaki yang bisa menghajar mereka."
Kedasih tertawa. Selama dalam perjalanan ini. ia sudah mulai mengenal watak dan tabiat Salindri yang berani, tabah, periang tetapi juga bisa binal liar. Maka ia tidak tersinggung oleh kata-kata adik angkatnya ini yang mencela terang-terangan.
"Hem, bukannya takut. adikku. Tetapi berhati-hati. Bukankah sikap hati-hati itu besar sekali bantuannya kepada kita?"
"Tetapi keadaan dan sikap murid Tuban yang kita lihat tadi mencurigakan."
Salindri masih bersikeras.
"Mbakyu. bukankah Perguruan Tuban itu benci dan bermusuhan dengan Mataram? Tetapi mengapa begitu Tuban di dududuki Mataram, sekarang sikap murid Tuban itu berubah sedemikian rupa? Biarlah kutangkap seorang dan kita tekan supaya memberi keterangan sejujurnya."
'Jangan!" cegah Kedasih cepat.
"Itu bisa menimbulkan keributan. Dan kita bisa berhadapan dengan pasukan Mataram." '
"Hemm, kau terlalu hatihati, mbakyu."
Salindri menyindir, kurang senang atas sikap Kedasih.
Kedasih tak membuka mulut. Dalam benaknya mendadak berkelebat ingatan ketika Subinem datang mengacau Perguruan Tuban. Subinem datang dengan dua orang sakti. Kemudian menyusul pula seorang sakti membantu Subinem. Masih terbayang tentang roboh tewasnya Lawa Ijo dan Jalatunda di tangan pembantu Subinem itu. Kalau sekarang murid-murid Tuban bersikap begitu baik dengan pasukan Mataram. bukankah ini ada hubungannya dengan tiga orang sakti itu ?
Tiba-tiba Kedasih memukul pahanya sendiri.
"Ahhhhhh, sekarang aku baru bisa menduga."
"Menduga apa, mbakyu?"
Salindri terbelalak mengamati Kedasih.
"Hemmm agaknya memang Subinem bekerjasama dengan Mataram."
"Apakah alasanmu?"
"Seperti telah aku ceritakan beberapa hari yang lalu tentang datangnya Subinem ke rumah Perguruan Tuban. Ia datang bersama dua orang sakti. Lalu menyusul datang pula seorang kakek sakti. Hem, agaknya tiga orang itu tokoh-tokoh rahasia Mataram. Ah, kalau demikian. perebutan Perguruan Tuban itu mempunyai jaringan luas."
Kedasih berhenti dan berpikir. Lanjutnya,
"Jadi, Subinem merupakan alat Mataram. Ah, pantas! Dan jika benar dugaanku ini, kita tak boleh sembrono. Kita bukan hanya berhadapan dengan Subinem, tetapi juga berhadapan dengan kekuatan Mataram."
"Hem, siapa takut?" sahut Salindri angkuh.
"Aku tak takut kepada setan belang."
"Adikku, bukannya takut dan tidak takut,"
Kedasih membujuk.
"Tujuan kita kemari, bukankah kita ingin menyelamatkan Perguruan Tuban dari tangan Subinem? Nah, itu saja. Mari adikku, kita teruskan perjalanan. Tujuan kita sudah tidak jauh lagi.'
Letak Perguruan Tuban pada tanah ketinggian di dekat batas kota. Di belakang rumah perguruan tersebut masih merupakan hutan lebat. Akan tetapi pada kanan kiri dan depan pekarangan rumah perguruan tersebut, sudah merupakan ladang dan persawahan. Ladang dan sawah ini dikerjakan para murid Tuban sendiri. Dan dari hasil bercocok tanam inilah untuk mencukupi kebutuhan mereka sendiri, baik untuk makan maupun membeli pakaian.
Tetapi walaupun Kedasih bermaksud agar kedatangannya bisa secara tiba-tiba, maksud itu ternyata tak terujut. Pertama, mereka datang di waktu siang. Yang kedua, mereka datang terang-terangan. Artinya tidak sembunyi sembunyi. Maka kedatangan mereka ini cepat diketahui para murid Tuban yang sedang berjaga. Beberapa orang di antara mereka kaget melihat Kedasih yang sudah sejak lama mereka cari-cari atas perintah ketua.
Akan tetapi, siapakah kawan Kedasih itu?


Kisah Si Pedang Buntung Lanjutan Ratu Wandansari Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kalau Minah, mengapa tubuhnya ramping semampai, sedang Minah bentuk tubuhnya agak gemuk denok.
Dalam pada itu kalau Minah, mengapa mengenakan kedok penutup muka dari kain hitam?
Timbullah kecurigaan para murid Tuban ini. Agaknya Kedasih berani muncul karena mempunyai seorang pembantu yang sakti mandraguna
Seorang di antara para murid itu cepat lari untuk memberi laporan kepada Mirah yang telah diangkat oleh Subinem menjadi pembantu dan tugasnya mengurusi persoalan-persoalan ringan tiap harinya.
"Betulkah sundal itu berani datang kemari?"
Mirah kurang percaya.
"Sendiri ataukah datang bersama Minah?"
"Dia datang berdua. Tetapi terang bukan Minah. Sebab perempuan itu tubuhnya ramping dan mengenakan kedok kain hitam, menutup mukanya."
Murid Tuhan yang melapor itu menjawab.
"Ahhh........." wajah Mirah agak berubah.
"Bertubuh ramping dan mengenakan kedok? jangan-jangan.........'
"Bukan, dia bukan!" potong murid itu.
Mirah mendelik.
"Siapa yang kaukatakan bukan itu? Lancang kau! Apakah kau tahu maksudku?'
'Bukankah mbakyu menduga orang itu adi Inten ?"
"Ah, kau menduga tepat sekali."
Mirah memuji.
"Aku tadi memang menduga dia. Tetapi eh, mengapa engkau mengatakan bukan? Apakah kau sudah merasa pasti?"
Murid itu tertawa,
"Tentu saja, mbakyu, kalau adi Inten tubuhnya ramping dan tinggi, lebih tinggi dibanding Kedasih. Akan tetapi perempuan itu sekalipun bentuk tubuhnya mirip, namun tingginya hanya sama dengan Kedasih saja."
"Mari kita lihat!"
Mirah segera mengikuti murid yang melapor tadi, mengintai dari balik tembok ke arah jalan. Segera tampak oleh Mirah. Kedasih dan perempuan berkedok itu berjalan agak cepat. Jarak dengan pintu gerbang sudah tidak jauh lagi. Dan menurut dugaan Mirah, kawan Kedasih itu memang bukan Rara Inten. Hati Mirah menjadi besar. Lalu mengajak murid yang melapor tadi menuju pintu gerbang. Para murid membungkuk memberi hormat kepada Mirah. Dan Mirah tersenyum dengan sikapnya yang angkuh. Memang sikap Mirah berubah setelah diangkat sebagai pembantu Subinem. Sikapnya angkuh dan galak. Tetapi sebaliknya apa bila berhadapan dengan Subinem, perempuan ini sikapnya menjilat jilat. Ia selalu patuh kepada setiap perintah sang ketua, dan membuat Subinem senang dan selalu dipuji-puji sebagai murid teladan.
Tetapi justeru sikap Mirah yang demikian ini, membuat para murid Tuban diam-diam tidak senang dan benci. Lebih -lebih bagi para murid yang masih setia dan berpihak kepada Sarni dan Rara Inten. Para murid ini diam-diam selalu berusaha menyelamatkan Perguruan Tuban dari tangan Subinem. Namun karena mereka belum memperoleh jalan, mereka tak berani gegabah. Dan sekarang, melihat munculnya Kedasih dan seorang perempuan yang belum mereka kenal, para murid yang anti Subinem ini gembira. Mereka sudah bisa menduga bahwa kedatangan Kedasih ini tentu bermaksud melawan Subinem. Dan diam-diam pula para murid yang masih setia kepada Sarni dan Rara Inten telah bersiaga. Apabila terjadi keributan nanti, mereka telah bersepakat untuk berbalik dan membantu Kedasih.
Mirah telah berdiri di tengah pintu gerbang, bertolak pinggang dan sikapnya angkuh sekali. Beberapa orang murid Tuban yang kebetulan berjaga ini, lebih separo jumlahnya, terdiri dari murid-murid yang tak senang kepada Subinem. Dalam hati mereka menyeringai dan ingin sekali memukul perempuan sombong ini.
Begitu Kedasih dan Salindri tiba di depan pintu gerbang, Mirah telah membentak,
"Kedasih murid khianat. Lekaslah berlutut dan menyerahlah untuk kami tangkap!"
Kedasih yang belum tahu kedudukan Mirah sekarang, memandang heran. Sahutnya,
"Adi Mirah, jangan kau ikut campur semua urusan. Lekas berilah jalan, dan laporkan kepada pengkhianat Subinem, bahwa aku datang untuk menangkap dan mengadilinya."
Mirah yang sekarang besar kepala itu mendelik. Kakinya dibantingkan ke tanah.
"Jahanam! Kau berani kurang ajar di depanku? Aku adalah pembantu utama mbakyu ketua. Tahu? Hayo lekaslah berlutut sebelum aku marah memerintahkan para murid membekukmu. Plak ! Aduhhh ......!"
Mirah mengelus-elus pipi kirinya yang biru dan membengkak seketika.
"Hi, hi. hik, itulah hadiah bagimu yang kelewat sombong. Huh, huh, siapa takut kamu keroyok?" ejek Salindri sambil terkekeh.
Semua mata murid Tuban yang berada di pintu gerbang terbelalak. Mereka tadi tak tahu bagaimana cara bergerak perempuan berkedok kain hitam itu. Akan tetapi tahu-tahu Mirah sudah memekik, pipi kirinya kena pukul dan membengkak seketika. Diam-diam mereka yang menyaksikan kagum. Dan bagi mereka yang tak senang kepada Mirah mentertawakan. Makin mantap hati mereka apabila terjadi keributan nanti, akan berbalik dan berpihak kepada Kedasih. Dan orang di antara mereka segera berlarian pergi ke rumah perguruan. Untuk berhubungan dengan saudara-saudara mereka yang sepaham. dan mempersiapkan perlawanan.
"Bangsat berkedok. Siapa kau berani kurang ajar?!"
Mirah membentak marah. Kemudian ia berpaling kepada anak murid untuk memberi aba supaya mengeroyok. Tetapi sebelum keluar perintahnya, Mirah telah mengaduh kesakitan terpelanting roboh. Sebelum dapat memberi perlawanan, ia telah dibekuk oleh Salindri. Dua tangannya ditelikung ke belakang, tak dapat memberontak. bisanya tinggal mencaci maki.
"Jahanam! Setan berkedok. Lepaskan."
"Berontaklah jika bisa. Hi, hi, hik.. kepandaianmu tak seberapa berani sombong di depanku," ejek Salindri sambil mendorong tubuh Mirah, hingga terhuyung-huyung mau terjungkal. '
"Plakk! Prakk !" dua pukulan telah bersarang di pelipis Mirah.
Perempuan ini terjungkal roboh dan pingsan.
Semua itu terjadi dalam waktu yang amat cepat tak terduga-duga. Hingga Kedasih tak sempat mencegahnya, sedang para murid Tuban yang berada di pintu gerbang hanya terbelalak kaget.
Dalam kegesitan bergerak, Salindri memang seorang ahli. Gemblengan Nenek Ratih bertahun tahun, tidak percuma. Dan jarang pula orang bisa menghindarkan gerakan Salindri yang cukup aneh. Bukan hanya mewarisi ilmu kepandaiannya saja, tetapi Salindri juga mewarisi keganasan dan keringanan tangannya memukul orang.
Mau tak mau para murid Tuban itu terpaksa membuka pintu gerbang dan mempersilahkan Kedasih dan Salindri masuk ke dalam. Beberapa orang murid yang setia kepada Subinem segera menggotong Mirah yang pingsan. Sedang yang lain berlarian melapor kepada Subinem, di samping memukul tanda bahaya.
Dengan sikap yang angkuh Salindri masuk ke dalam tanpa gentar sedikitpun. Kedasih hanya bila menghela napas menyaksikan sepak terjang adik angkatnya ini. Ia memang serba sulit. Sesungguhnya ia tidak menghendaki Salindri sembarangan turun tangan. Akan tetapi sayang sekali sikap Mirah membuat perut panas dan orang tersinggung. Padahal ia tahu benar bahwa Salindri gampang marah dan tersinggung. Tangannya ringan dan tak gentar berhadapan dengan siapapun. Diam-diam ia memuji juga kegesitan Salindri bergerak menghajar Mirah tadi. Hingga ia bisa mengukur, apabila nanti berhadapan dengan Subinem takkan mengecewakan.
Pendekar Rajawali Sakti 20 Penyair Maut Balada Si Roy 10 Epilog Karya Gola Gong Anak Pemburu Beruang Karya Karl May

Cari Blog Ini