Ceritasilat Novel Online

Kisah Si Pedang Buntung 13

Kisah Si Pedang Buntung Lanjutan Ratu Wandansari Karya Widi Widayat Bagian 13


"Ahh, makin gamblanglah sekarang persoalannya."
Yoga Swara berkata.
"Benar, Ratu Wandansari tak menghendaki Rara Inten mempunyai peranan berarti. dalam penyerahan Perguruan Tuban. Ahh, sungguh cerdik puteri itu. Aku yang tua termakan usia, tak juga bisa menduga sebelumnya, apa yang tersembunyi di belakang pertandingan yang aneh itu. Tetapi hemm, dengan tindak dan perbuatannya ini, apakah tak berarti, bahwa sesungguhnya puteri itu ada hati.....?"
"Paman, walaupun aku mencintai puteri itu, tetapi aku tak berani mengharapkan. Terlalu tinggi kedudukan Ratu Wandansari bagi aku. Sedang di samping itu, bukankah kita berhadapan sebagai musuh?"
Jaka Pekik berusaha membatasi pembicaraan tentang hubungannya dengan Ratu Wandansari. Sebab makin dibicarakan dan makin dipikir, rasa hati Jaka Pekik makin tak keruan rasanya.
Untuk bisa mengalihkan kembali kepada soal Perguruan Tuban yang baru saja diselesaikan. Jaka Pekik berkata lagi,
"Tetapi kiranya juga ada sebabnya Ratu Wandansari bersikap demikian. Tuban sekarang merupakan Wilayah Mataram. Bagaimana mungkin Ratu Wandansari bisa tenang, kalau Perguruan Tuban dikuasai Rara Inten ?"
"Antara persoalan pribadi dan kepentingan negara memang pertaliannya amat erat sekali bagi Ratu Wandansari."
Madu Bala menjawab.
"Hanya yang membuat aku keheranan, sikap Ratu Wandansari dan Salindri mempunyai persamaan. seperti telah diatur sebelumnya. Padahal aku percaya, bahwa hal itu hanya kebetulan saja."
"Ya, mungkin sikap Salindri karena rasa yang tak senang kepada Rara Inten."
Jaka Pekik menjawab.
"Hanya hemm, jika aku memikirkan Salindri, aku terharu dan amat kasihan terhadap nasib puteri paman Indrajid itu. 0 ya, apakah tidak mungkin paman berdua membujuk dan mempengaruhi paman Indrajid? Bagaimanakah nasib indri kalau dalam keadaan jiwanya terganggu seperti itu, selalu berkeliaran tanpa sarang dan hari depan? Hemm, kasihan sekali......."
Yoga Swara dan Madu Bala menghela napas panjang dan merasa sedih juga. Kemudian sahut Madu Bala,
'Paduka raja, orang sebawahanmu ini akan selalu sanggup melaksanakan segala perintahmu dengan senang hati. dan kalau perlu mempertaruhkan nyawa. Akan tetapi janganlah paduka memerintahkan bicara tentang urusan pribadi dengan Indrajid. Kiranya paduka masih ingat, bahwa pihak dia bisa gampang salah paham. Sebab, Indrajid Pun mewarisi watak ayahnya yang keras. dan segala sesuatu yang ada hubungan dengan pribadi tak mau dicampuri orang lain. Hemm, sesungguhnya ada juga ..... orang Yang bisa menaklukkan dia ..... tetapi sayang......"
"Siapakah orang itu? " tanya Jaka Pekik dengan hati tertarik.
'Bukan lain ayah angkat paduka sendiri. kakang Kreti windu," sahut Madu Bala.
"Namun sayang, setelah dia bertaubat dan menebus doaa-dosanya, tak mungkin kakang Kreti Windu sedia meninggalkan Pondok Bligo."
Mendengar itu Jaka Pekik menghela napas panjang. Hatinya terasa sedih. Tiada harapan lagi untuk bisa mengembalikan Salindri dalam keadaan seperti semula. Di samping itu terasa sedih pula hatinya, mengapa Indrajid sampai tega pula terhadap putrinya sendiri. Benar Salindri berdosa besar, telah lancang membunuh mati ibu tirinya. Akan tetapi kalau ditelusuri, terjadinya hal itu adalah kesalahan Indrajid sendiri pula. Kalau Indrajid tidak hanya menurutkan kehendak dan nafsunya sendiri yang kawin lagi, tentunya tak mungkin terjadi Salindri sampai membunuh ibu tirinya. Dan kalau anak sampai berbuat seperti itu, tentunya Indrajid menyia-nyiakan isteri pertama sehingga anaknya menjadi penasaran.
"Sudahlah, mengapa paduka menjadi demikian sedih?" hibur Yoga Swara.
"Serahkan kembali persoalan Salindri itu kepada Yang Memberi Hidup. Siapa tahu pada saatnya nanti Indrajid sadar akan kegelapannya? Sadar bahwa sikapnya selama ini keliru. Kemudian ia dapat rukun kembali dengan puterinya."
"Ya. apa boleh buat."
Jaka Pekik menghela napas.
Memang demikianlah kebiasaan manusia yang hidup di dunia ini. Apabila menghadapi sesuatu yang buntu. kemudian menghibur diri. Menggantungkan sesuatu yang tak diketahui akan hasilnya.
*****
Penyerbuan pasukah Mataram ke Tuban dan Surabaya itu, terjadi pada tahun 1622. Walaupun ternyata bahwa pasukan Mataram berhasil mengalahkan Tuban, kemudian pasukan di bawah pimpinan Ratu Wandansari dan Pangeran Kajoran itu berhasil menghancurkan Jaratan dan Gresik. tetapi penyerbuannya ke Surabaya gagal. Kegagalan itu bukan hanya kekuatan Surabaya yang tak bisa dipandang ringan. Tetapi juga berkat bantuan benteng alam. ialah Kali Mas dan Kali Porong. Akibatnya pasukan Mataram tak dapat bergerak maju. Ditambah pula persediaan makan bagi perajurit yang banyak Jumlahnya itu telah habis. Maka kemudian diputuskan penyerbuan ke Surabaya ditangguhkan, dan pasukan itu mundur kembali ke Mataram.
Dua tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1624, berangkatlah pasukan Mataram yang dipimpin oleh Ki Tumenggung Sujonopuro memukul Madura. Penyerbuan atas pulau itu dilakukan, mengingat bahwa Pulau Madura tunduk ke Surabaya. Bantuan Madura amat besar sekali kepada Surabaya, waktu Surabaya diserbu Mataram. Oleh karena itu oleh Sultan Agung diputuskan agar Madura ditundukkan lebih dahulu. Dengan demikian. berarti sekutu Surabaya akan berkurang. Lagi pula dengan ditundukkannya Madura, rencana penyerbuan ke Surabaya yang akan datang, bakal memperoleh hasil baik. Sebab Surabaya bisa digencet dari barat oleh pasukan Mataram, dan dari laut oleh pasukan Madura yang bergabung dengan pasukan Mataram.
Pulau Madura itu dibagi menjadi lima kabupaten. Ialah Arisbaya, Pamekasan, Sumenep, Sampang dan Balega. Penyerbuan ke pulau ini dilakukan oleh pasukan laut Mataram yang terkenal gagah perkasa. Pasukan berhasil mendarat. Namun kemudian dapat dipukul mundur sampai ke pantai. Tetapi berkat keuletan dan kepandaian Ki Tumenggung Sujonopuro yang memimpin pasukan laut itu, dapat kembali maju ke pedalaman. Namun sayang sekali, pada suatu malam pasukan Mataram lengah. Cara pasukan Mataram yang menyerbu pada malam hari ketika berusaha menaklukkan Tuban, ditiru oleh pasukan Balega. Sebagai akibat dari penyerbuan mendadak ini, Ki Tumenggung Sujonopuro yang memimpin perlawanan dengan gigih, gugur!
Gugurnya panglima menyebabkan pasukan itu mundur ke laut dan berlindung di dalam perahu perahu. Untung bahwa tak lama kemudian datanglah menyusul pasukan kedua yang lebih kuat, dipimpin oleh Ki Tumenggung Jurukiting.
Pasukan Mataram kembali menyerbu ke darat. Dalam pertempuran yang hebat itu, banyaklah korban yang Jatuh dari kedua belah pihak. Namun berkat keuletan Panglima Mataram itu, seluruh Madura berhasil ditundukkan. Atas perkenan Sultan Agung, seorang bangsawan bernawa Praseno, kemenakan bupati Arisbaya, diangkat menjadi adipati yang menguasai seluruh Pulau Madura. Praseno kemudian bergelar Pangeran Adipati Cakraningrat. Sebagai tempat kedudukan, dipilihlah Sampang.
Akan tetapi karena segala peristiwa yang terjadi di Madura itu tak begitu erat hubungannya dengan para tokoh dalam cerita ini, kurang perlu kita ceritakan panJang lebar. Yang penting adalah bahwa penyerbuan ke Madura itu guna menggencet Surabaya dari timur dan barat. Agar Surabaya gampang ditundukkan.
Maka baiklah sekarang perhatian kita. kita alihkan ke Pegunungan Kidul. Ke sebuah tempat yang amat sunyi, sepi. akan tetapi penuh pemandangan yang indah dan amat menarik. Tempat itu bernama Sendang Sanga.
Sebabnya tempat tersebut disebut Sendang Sanga. karena di sekitar tempat terasing akan tetapi penuh keindahan itu, dikelilingi oleh sumber-sumber air yang menjadi telaga kecil, jumlahnya sembilan tempat (Kemudian hari tempat ini menjadi wilayah Kecamatan Tawang Weru, Kabupaten Sukoharjo. wilayah Karesidenan Surakarta. Bahkan kemudian lebih terkenal dengan nama Banyubiru, dan banyak orang berjiarah ke sana. Sebab di tempat ini terdapat makam Kebo Kanigoro atau Ki Ageng Purwoto Sidik, tokoh sakti Pengging pada jaman Demak. Atau pak tua Jaka Tingkir. karena Kebo Kanigoro ini saudara tua Kebo Kenongo, ayah Jaka Tingkir Pen.)
Sumber sumber air yang mengelilingi tempat tersebut. bernama Sendang SiluWih, Danumulyo, Sipanjang, Gupakwarak, Bendo, Margojati, Sendang Biru, Sendang Puteri (Krapyak) dan Sendang Margomulyo.
Dengan memilih tempat terasing, sepi, indah pemandangan alamnya, cukup kebutuhan air ini, Sindu (bekas pengawal Ratu Wandansari) menggembleng muridnya. Titiek Sariningsih. Seperti telah diceritakan di bagian depan Titiek Sariningsih adalah puteri Tumenggung Kebo Bangah dari Tuban. Gadis cilik Titiek Sariningsih telah menjadi yatim piatu, karena ayahnya gugur di medan perang, sedang ibunya mati terbunuh oleh Sungsang setelah diperkosa. ,
Pada mulanya Sindu memang menghadapi kesulitan merawat Titiek Sariningsih ini. Gadis cilik yang baru berumur sepuluh tahun itu, belum tahu kalau ayah bundanya telah tiada. Berkali-kali Titiek Sariningsih menangis dan rewel minta kepada Sindu supaya dikembalikan ke rumah. Untung Sindu amat kasih di samping pandai membujuk. Dihiburnya gadis cilik tersebut dengan macam-macam cara. Dikatakan biarlah sekarang sementara waktu berpisah dengan ayah bundanya. Kemudian hari, betapa gembira ayah bundanya apabila dirinya pulang sudah menjadi dara perkasa. Diberilah cerita oleh Sindu bahwa di dalam'cerita wayang. terdapat tokoh wanita bernama Srikandi. Di samping tabah, berani juga sakti mandraguna. Hingga pada waktu perang Barata Yudha, menang melawan Resi Bisma yang sakti mandraguna.
Dengan dorongan semangat agar kelak menjadi seorang Srikandi, dan juga Sikap Sindu yang tak bedanya kakeknya sendiri itu, akhirnya Titiek Sariningsih terlupa akan ayah bundanya. Gadis ini belajar penuh ketekunan dan pantang menyerah. Kalau semula Titiek Sariningsih tak tahan disuruh merendam diri di dalam Sendang Siluwih yang dingin, dalam waktu hanya setengah tahun saja, gadis Cilik ini sudah bisa tahan merendam tubuh semalam suntuk. Makin hari makin bertambah kuat, malah sanggup pula menyelam dalam air beberapa jam lamanya. Latihan merendam diri dan menyelam di dalam air ini, memang amat diperlukan oleh Titiek Sariningsih. Guna menghimpun tenaga sakti dalam tubuhnya, yang penting artinya bagi ilmu kesaktian.
Latihan menghimpun tenaga sakti yang lain, bertempat di Sendang Gupakwarak. Pada sendang ini terdapat sungai yang mengalir di dalam tanah. Air yang keluar dari sungai ini deras sekali, merupakan gerojogan air yang besar dan deras. Pada dinihari Titiek Sariningsih dengan ketekunan luarbiasa tentu sudah berlatih, duduk bersila dan bersamadhi dalam keadaan telanjang, kepala dan tubuhnya menerima air yang menggerojog tak pernah henti. Latihan seperti ini cukup berat. Bukan saja air terasa dingin. tetapi pukulan air terasa pedas dan juga sulit bernapas. Namun menyadari bahwa latihan ini amat berguna bagi kekebalan tubuh dan terhimpunnya hawa dalam tubuh, Titiek Sariningsih tidak pernah mengeluh. Sungguh merupakan anak yang berbakat luar biasa, di samping berkemauan keras. Semua itu membuat Sindu makin mencintai, mengasihi dan amat gembira. Mudah-mudahan harapan dan cita-citanya dikabulkan Tuhan, kelak kemudian hari Titiek Sariningsih menjadi gadis perkasa. Bukan hanya dalam melatih diri dalam air ini saja Titiek Sariningsih rajin dan tekun. Dalam melatih ketangkasan dan keringanan tubuhnyapun, ia amat rajin. Saking rajin dan semangatnya yang penuh, Titiek Sariningsih tak pernah mau berhenti berlatih sebelum dapat memahami. Hingga sering sekali Titiek Sariningsih lupa makan dan lupa mengaso. Kadang pula Sindu terpaksa harus membujuk gadis Cilik ini supaya berhenti berlatih. Maka tak mengherankan bahwa dalam waktu setahun saja. Titiek Sariningsih yang baru berumur sebelas tahun ini di samping tangkas gerak-geriknya, juga merupakan gadis berisi. Kalau hanya berhadapan dengan orang yang kepandaiannya lumayan, dengan gampang Titiek Sariningsih akan bisa menundukkan hanya menggunakan tangan dan kakinya melulu. Sebab berkat latihan bersamadhi dalam gerojogan di Sendang Gupakwarak itu; di samping tubuhnya menjadi kebal oleh pukulan juga dari dalam tubuhnya hawa sakti memberikan perlawanan. Dalam hal permainan senjatapun, Titiek Sariningsih mempunyai bakat yang hebat sekali. Ia seorang yang berbakat untuk senjata pedang. Tetapi justeru bakat muridnya ini, membuat Sindu sendiri harus sibuk menciptakan ilmu yang sesuai dengan bakat muridnya.
Sebab Sindu sendiri bukanlah seorang ahli dalam senjata pedang. Melainkan seorang ahli senjata cambuk rantai.Ilmu cambuk yang telah mendarah daging dalam tubuhnya itu, oleh Sindu di gubah dan dirubah menjadi ilmu pedang yang hebat. Di sebut Ilmu Pedang "Sendang Sanga". Nama ini kecuali disesuaikan dengan nama tempat kediamannya yang di kelilingi oleh sembilan sumber air, juga disebabkan jurus ilmu pedang tersebut, hanya terdiri dari sembilan saja. Akan tetapi walaupun hanya sembilan, pecahan dan perkembangannya menjadi amat luas sekali.
Bakat yang dimiliki oleh Titiek Sariningsih ini, juga membuat Sindu amat gembira. Ia menyimpan sebatang pedang pusaka yang ampuh. ialah pedang Jati Sari. Hanya amat sayang bahwa pedang pusaka itu patah menjadi dua. Telah beberapa kali ia minta pertolongan kepada para ahli pembuat pedang. Akan tetapi begitu melihat pedang Jati Sari. mereka menggelengkan kepalanya tidak sanggup. Sekalipun begitu para ahli pembuat pedang tersebut, menyatakan kekagumannya karena pedang itu terbikin dari bahan logam yang sulit dicari.
Gelisah dan khawatir juga Sindu kalau pedang tersebut tetap patah seperti sekarang. Sebab walaupun pedang Jati Sari merupakan pedang pusaka, kegunaannya menjadi kurang sekali.
Bagaimanakah mungkin muridnya menggunakan pedang yang telah buntung dan pendek itu?
Pada suatu hari, terjadilah hujan yang amat lebat sekali, disertai tofan dan geledek menyambar nyambar. Membuat penduduk sekitar tempat tersebut ketakutan. Banyak pohon yang tumbang atau dahannya patah. Demikian pula pohon beringin yang tak jauh letaknya dari makam Kiageng Kebo Kanigoro, pohon beringin tua yang rindang tinggi dan amat besar ikut tumbang pula. Untung sekali bahwa tumbangnya pohon tersebut memilih arah yang kosong. Tidak menimpa makam maupun pondok Sindu.
Setelah hujan berhenti. Sindu menggeleng-gelengkan kepala, menyaksikan pohon beringin yang garis tengahnya sedepa lebih itu tumbang berikut akar-akarnya. Dan walaupun batang pohon tersebut kalau dibiarkan tidak menimbulkan gangguan, namun oleh Sindu dipotong potong juga agar tidak mengganggu pemandangan. Dan sekalipun kecil dan perempuan pula,Titiek Sariningsih tak mau berpangku tangan. Ia membantu memotong dahan dan membaWanya ke tempat yang telah ditunjuk oleh Sindu. Tetapi karena masih kurang cukup tenaganya untuk membantu memotong batang. maka yang dikerjakan Titiek Sariningsih kemudian, membantu untuk memotong akar akar pohon beringin tersebut.
Titiek Sariningsih memotong akar akar pohon tersebut penuh semangat di samping rajin. Tiba-tiba
"kruk!" kapaknya yang dipergunakan memotong akar tersebut, terbentur benda yang keras sehingga menerbitkan pijar api.
Titiek SariningSih kaget kemudian membungkuk sambil meneliti.
Apakah benda yang membentur kapaknya tadi?
"Ah...... batu !" gerutu Titiek Sariningsih.
Batu gunung yang warnanya hitam, agaknya sejak dahulu sudah ada di situ, sebelum pohon beringin tumbuh. Atau batu gunung yang hitam ini, kemudian tertutup setelah pohon beringin menjadi besar.
Titiek Sariningsih meneruskan pekerjaannya dengan hati-hati supaya kapaknya tak membentur batu lagi. Namun walaupun ia berhati-hati, beberapa kali kapaknya tetap membentur batu tersebut. tiap kali kapaknya meleset dari akar yang dipotong. Gadis cilik ini menjadi penasaran ketika kapaknya gowang (ada yang somplak ). Batu hitam inilah yang menyebabkan kapaknya rusak.
untuk mencegah kapak makin rusak, batu ini harus di singkirkan dahulu. pikirnya. Maka diambilnya sebuah cangkul. Digali tanah sekeliling batu yang merusakkan kapak tersebut. Tetapi ketika ia melihat bentuk batu gunung tersebut yang permukaannya rata, halus dan bentuknya persegi pula, Titiek Sariningsih terbelalak dan curiga.
"Kakek!" seru Titiek Sariningsih nyaring.
"Kemarilah ! '
Ia memang tidak memanggil "guru" kepada Sindu. Ini setujui dengan kehendak Sindu, yang lebih suka disebut kakek. Hal ini disengaja oleh Sindu agar dapat mencurahkan kasih sayang sebagai kakek terhadap cucunya, juga dengan maksud agar Titiek Sariningsih terlupa kepada orang tuanya. Namun nyatanya, masih sering juga Titiek Satiningsih merengek minta supaya diantarkan meninjau orang tuanya. Hanya berkat hiburan dan bujukan Sindu saja, Titiek Sariningsih bisa disuruh sabar menunggu kalau Titiek Sariningsih sudah pandai. Dengan alasan pula bahwa perjalanan sangat jauh, kalau Titiek Sariningsih belum pandai takkan kuat.
Sindu menunda pekerjaannya dan mengangkat muka, memandang kearah "cucunya".
"Ada apa ?"
"Cepat ke mari, kek. Titiek menemukan batu gunung yang aneh."
Titiek Sariningsih menyahut tetapi pandang matanya tak pernah lepas dari batu di depannya.
"Ah, batu hitam itu tetap batu. Apakah anehnya?"
Sindu tak tertarik, dan kembali meneruskan pekerjaannya.
"Kek, ke marilah dulu. Sebentar saja kek. Batu ini mencurigakan !" teriak Titiek Sariningsih lagi, dalam usahanya menarik perhatian gurunya.
"Ah, kau memang seperti nenek bawel," gerutu Sindu yang merasa diganggu, namun ia menghampiri Titiek Sariningsih pula, untuk tdak membuat anak itu kecewa.
"Tapi sekalipun bawel. Titiek toh anak yang baik. bukan?"
Titiek Sariningsih membela diri sambil terkekeh.
"Tentu saja. Memang Titiek cucu tunggal, cantik dan juga penurut, heh, heh. heh."
Sindu pun terkekeh senang.
"Coba periksalah kek, bukankah ini batu yang aneh?"
Titiek Sariningsih segera bangkit dan jarinya yang kecil tersebut tetap menunjuk ke arah batu hitam yang terpendam itu.
Begitu melihat batu hitam itu bentuknya persegi, sedang permukaannya halus. iapun menjadi tertarik dan curiga. Ia mengambil cangkul yang tadi dipergunakan Titiek Sariningsih. Dan tak lama kemudian bentuk batu hitam tersebut makin nyata. Seluruh permukaannya yang persegi itu halus bukan pembawaan alam, tetapi jelas oleh tangan manusia. Dan ketika batu tersebut telah bisa digali dan diangkat oleh Sindu dari lubang, nyatalah bahwa batu hitam tersebut, memang dibuat orang sebagai peti batu.
Heran dan berdebar hati Sindu melihat peti batu hitam ini.
Apa yang tersimpan di dalamnya, dan mengapa pula peti batu ini terpendam di bawah pohon beringin tua ini?
"Nah, bukankah batu ini menarik perhatianmu pula, kek? Cobalah kek, bukalah. Tentu di dalam peti batu terdapat sesuatu yang menarik!"
Titiek Siriningsih yang kecil itu seperti seorang nenek-nenek menggurui kepada guru dan kakeknya.
Sindu tertawa. Kemudian katanya,
"Aku mau membuka peti ini. Tetapi, apakah Titiek mau mendengar kata kakek?" '
"Mengapa tidak? Tentu aku menurut !" sahut Titiek Sariningsih dengan sikapnya yang manja.
"Kau harus tahu, apabila peti batu ini berisi benda berharga, tentu ada bahayanya kalau tutup peti kubuka."
Sindu memberi nasihat.
"Nah, sekarang kau menjauhlah!"
"Eh,'
Titiek Sariningsih merengut,
"aku juga ingin dapat melihat isi peti ini. Mengapa aku disuruh menjauhi?"
"Titiek, hemm mengapa kau bodoh? Aku tadi sudah mengatakan, bahwa ada bahayanya kalau peti ini berisi benda berharga. Guna mencegah bahaya itu. maka kau harus menyingkir dulu."
"Baiklah jika begitu."
Titiek Sariningsih segera berlarian menjauh. Tetapi karena ia ingin bisa melihat isi peti, maka ia meloncat ke atas batu besar.
Peti batu hitam itu sudah amat lama terpendam di dalam tanah. Maka di samping perlu dibersihkan dahulu agar diketahui batas tutupnya, tentunya juga tidak mudah dibuka.
Setelah peti batu itu dibersihkan. ternyata bahwa tutup peti itu tidak sulit dibuka. Namun begitu tutup peti terbuka. Sindu segera melesat lebih dua tombak jauhnya, karena telinganya yang peka mendengar suara mencurigakan dari dalam peti.
'Ihh!"
Titiek Sariningsih berseru tertahan saking kaget, ketika melihat ke dalam peti dari tempat yang agak berjauhan.
"Sss..... ss..."? sss.....!" demikian suara mendesis dari dalam peti itu, terdengar cukup jelas.
Lalu muncullah kepala seekor ular senduk. Agaknya sudah lama sekali ular tersebut tersekap dalam peti. Maka begitu peti dibuka, ular tersebut silau matanya oleh sinar matahari. Kepala ular itu bergerak ke kanan dan ke kiri. Ngeri Titiek Sariningsih melihat itu. Namun matanya terus memandang dan ia tetap di atas batu itu. _
Sindu tidak kaget. Bahkan hatinya menjadi amat gembira. Dengan adanya ular yang sangat berbisa di dalam peti batu itu, jelas bahwa didalam peti yang ditemukan Titiek Sariningsih ini, terdapat benda berharga. Dengan sebat disambarnya sebatang bambu. Karena hanya bambulah senjata yang paling tepat dipergunakan melawan ular.
Sebagai seorang yang sudah luas pengalaman, ia tahu bahwa ular yang lama tersekap dalam peti ini, menderita kelaparan dan tentu saja menjadi amat galak dan berbahaya. Amat kebetulan ia mendengar suara katak dari bawah batu, tak jauh dari tempatnya. Batu tersebut digulingkan. Katak yang akan meloncat itu cepat disambar. Kemudian dengan pengerahan tenaga yang diperhitungkan, katak tersebut disambitkan ke arah ular senduk itu. Melihat benda menyambar. ular tersebut cepat menggerakkan kepalanya menyambar.
" Ciettt. cieeett !"
Katak itu meronta. tetapi tak dapat menolong diri. Terhunjam oleh gigi tajam yang berbisa, sesaat kemudian telah mati.
Di saat ular sedang berusaha menelan korbannya inilah saat yang baik bagi Sindu untuk bertindak. Bambu disabatkan, namun heran sekali!
Ular tersebut dengan tangkasnya bisa menghindar.
Sindu terkejut!
Jangankan hanya seekor ular, manusiapun tak mudah menghindarkan diri dari sabetannya. Ia sadar bahwa ular ini cukup berbahaya. Maka teriaknya kepada Titiek Sariningsih,
"Titiek, cepat menyingkirlah yang jauh. Ular itu amat berbahaya."
Tadi Titiek Sariningsih juga melihat sambaran batang bambu yang luput. Gadis cilik ini terbelalak heran. Akan tetapi ia seorang gadis yang tabah dan berani. Ia tak cepat pergi. malah membantah,
"Aku sudah cukup jauh dan pula, ular itu tak mungkin sanggup melawan kakek."
'Hus! Jangan kau sembrono. Hayo, menyingkir atau tidak ?" hardik Sindu.
"Aiih...... galaknya. Hi-hi-hik, kakek ketakutan melawan ular."
Sindu tak kuasa menahan ketawanya mendengar ejekan cucunya itu. Namun demikian ia menjadi lega juga, setelah melihat Titiek Sariningsih menurut, dan menyingkir cukup jauh.
Sindu kemudian mengamati ular senduk tersebut penuh perhatian. Ular itu sedang menelan korbannya. Ia menyebatkan lagi bambunya. Tetapi ternyata yang ke dua inipun luput. Heran sekali tokoh bekas pengawal Mataram ini, di samping penasaran.
Apakah ular ini, dahulu telah dilatih pemiliknya,, sehingga sedikit banyak gesit dan bisa berkelahi?
Karena penasaran, dibuanglah bambu tersebut. Lalu diambillah senjata yang tak pernah terpisah dari tubuhnya, pecut rantai yang sudah banyak membantu kemasyhuran namanya. Pecut rantai atau cambuk rantai itu, bukanlah terbuat dari baja. Rantai yang dimaksud, adalah bentuk cambuk itu yang dibikin seperti bentuk rantai. terbuat dari otot harimau tutul. Kuatnya bukan main, dan takkan khawatir terpapas senjata, kecuali senjata pusaka yang tajam.
'Tar-tar-tar.....!" cambuk rantai itu meledak di udara ketika digerakkan oleh Sindu.
Dan Titiek Sariningsih yang melihat dari tempat agak jauh heran dan terbelalak.
Mengapa sebabnya hanya melawan seekor ular saja, kakeknya itu sudah menggunakan senjata?
Padahal ia sudah berkali-kali melihat kesaktian gurunya. Berkali kali kakeknya berhadapan dengan perampok dan orang yang sengaja mengganggu. apabila ia bersama kakeknya sedang
pergi untuk sesuatu keperluan. Namun selama itu. kakeknya cukup menggunakan kaki dan tangannya untuk merobohkan lawan.
Titiek Sariningsih tak tahu, bahwa ular berbisa ini lebih berbahaya dari manusia, karena bisanya amat jahat. Maka tak cukup hanya menggunakan tangan dan kaki.
Lecutan cambuk yang menggeledek di udara itu, agaknya membuat ular tersebut kaget tetapi juga marah. Ular itu mengangkat kepalanya agak tinggi, lidahnya yang merah menjulur ke luar dan mendesis-desis. Sindu maSih berdiri tak bergerak. Ia menunggu sesudah ular itu ke luar dari peti. Agar ia dapat menyerang lebih mudah, dan di samping itu ular tersebut tidak mati di dalam peti.
Tiba-tiba Sindu terbelalak kaget ketika melihat kepala ular yang lain, muncul dari dalam peti.
Ah, dua ekor, pikirnya.
Tetapi ketika tubuh ular tersebut sudah menggelesar ke luar semua, Sindu terbelalak heran. Ternyata bukan dua ekor. Ular itu hanya seekor saja, dan mempunyai dua ekor kepala. Sindu heran dan hampir tak percaya akan pandang matanya sendiri.
Benarkah ada ular yang mempunyai dua ekor kepala?
Ia pernah mendengar tentang itu hanya di dalam dongeng saja.
Tetapi mengapa sekarang benar benar ia lihat dan ia hadapi?
Dan Titiek Sariningsih yang sudah berdiri agak jauh, terdengar berseru tertahan. Gadis cilik ini ngeri juga melihat seekor ular yang ajaib itu. Tubuhnya agak menggigil, tetapi matanya terbelalak tak berkedip.
Dua mulut ular itu sama galaknya. Masing-masing mendesis-desis keras dan lidahnya menjulur keluar, warnanya merah darah. Akan tetapi karena tubuhnya hanya satu. maka kepala yang satu menghadap ke balakang, seperti terseret.
Yang membuat Sindu keheranan, di manakah letak lubang pembuang kotoran ular itu?
"Tar-tar-tar...i..!"
Cambuk Sindu meledak lagi di udara. Ular itu mengangkat kepala lagi. .Yang depan agak tinggi, sedang yang belakang agak rendah. Begitu cambuk Sindu menyambar dahsyat, kepala ular tersebut dengan tangkasnya menyelinap dan menghindar. ,Kemudian dengan tangkas pula, dua kepala itu berusaha menyambar ujung cambuk. Namun karena sambaran cambuk Sindu itu menerbitkan angin kuat, tubuh ular tersebut tak kuasa menahan, lalu terguling.
Walaupun hanya angin pukulan, agaknya ular itu kesakitan. Ular itu makin marah dan mendesis-desis. Tibatiba, tak terduga sama sekali, tubuh ular tersebut sudah melesat tinggi dan cepat sekali, menyambar ke arah Sindu. Titiek SariningSih yang berdiri agak jauh berseru tertahan. Agaknya gadis Cilik itu kaget juga melihat menyambarnya ular yang cepat ke arah Sindu.
Untung Sindu seorang tokoh sakti yang sudah cukup pengalaman pula. Ia tidak menjadi gugup. Namun ia tak berani bersentuhan dengan tubuh ular yang amat berbisa itu. Cambuknya meledak dan kembali menyambar ke arah ular yang "terbang" di udara. Sambutan yang pertama dapat dihindari oleh ular. Tetapi ular yang tak menyentuh tanah ini, sudah tentu tak bisa bergerak leluasa. Buktinya, sambaran ujung cambuk yang ke dua berhasil memukul hancur kepala bagian depan dan sambaran cambuk yang ketiga, berhasil meremukkan kepala yang belakang. Tubuh ular ajaib itu terkulai jatuh ke atas tanah. Darah membasahi sekitarnya. berkelojotan sebentar kemudian mati.
Titiek Sariningsih berlarian mendekati peti. Tetapi Sindu cepat menghadang.
"Mau apa kau?"
"Hi, hi, hik. apakah kakek sekarang jadi orang yang mau merampas milik orang lain?"
Titiek Sariningsih terkekeh mengejek.
"Aku yang menemukan peti itu. Mengapa aku tak boleh memiliki?"
"Hemm, bocah bandel eh, bukan... tetapi cucu ku yang amat manis." kata Sindu.
Ia memang tak mau menyinggung perasaan "cucu manis" ini, maka sambil tertawa ia membujuk.
"Titiek, jangan kau salah paham. Bukanlah kakek' mau merampas peti milikmu. Tetapi, demi keselamatanmu."
"Kakek selalu menggunakan dalih demi keselamatanku. Huh, sebal aku.."
Titiek Sariningsih merengut sambil membantingkan kakinya. '
"Titiek, jangan kau salah mengerti dan salah paham," bujuk Sindu.
' Kauharus mengerti, Titiek, peti itu sudah sangat lama dihuni oleh ular berbisa itu., Karenanya peti itu menjadi berbisa pula, dan berbahaya. Jika tanganmu menyentuh. bisa keracunan. Apakah kau mengerti?"
Barulah sekarang Titiek SariningSih membelalakkan matanya yang bening dan indah itu. Ia baru merasa telah salah duga.
"Ah kek..... maafkan Titiek yang lancang mulut....."
"Heh heh-huh. mengapa kau harus minta maaf? Sudahlah, biarkan kakek mengurusi peti itu. Nanti semua isinya akan segera kuberikan padamu."
Sindu menjenguk ke dalam peti. Peti itu menyebarkan bau yang keras dan tak enak. Merupakan bukti bahwa peti ini penuh racun ular yang berbahaya. Ia cepat memalingkan muka ke arah Titiek Sariningsih. Katanya,
"Titiek, engkau harus tetap di situ. Jangan kau mendekati peti. sebelum aku beri ijin. Mengerti?"
Titiek Sariningsih tidak membuka mulut, tetapi mengangguk. Pandang mata gadis ini kemudian terarah ke tubuh ular ajaib yang sudah mati. Bergidik juga gadis ini. Baru kali ini ia melihat ada ular berkepala dua seperti tersebut dalam dongeng.
Keheranan Titiek Sariningsih ini, sesungguhnya bisa dimengerti. ia masih kecil. dan belum mengenal bagaimanakah watak manusia yang hidup di dunia ini. Padahal sesungguhnya, sekalipun manusia itu .kepalanya hanya satu, namun ada sementara pula yang "berkepala dua", dalam usahanya memperoleh keuntungan bagi diri pribadi. Karena di antara manusia hidup dengan kepala dua, maka dunia ini tak pernah bisa damai. Selalu terjadi perpecahan dan peperangan serta saling bunuh dan saling mengalahkan yang lain.
Dengan menggunakan jubah yang dilepas, Sindu mengebut ngebut ke arah peti batu itu. Guna mengusir hawa jahat dan berbisa yang memenuhi peti tersebut. Setelah diperkirakan hawa berbisa sudah terusir bersih seluruhnya, barulah Sindu mendekati dengan hati -hati. Dilihatnya, bagian atas itu terdapat banyak kotoran ular. Titiek Sariningsih ikut mendekat pula dan menjenguk dalam peti.
'lhhh...... isinya tahi ular........! Sudahlah, aku tak mau lagi. Kakek saja yang memiliki semuanya."
Titiek Sariningsih kemudian melangkah meneruskan pekerjaannya memotong akar. Sindu tertawa.
"Bocah." gumamnya.
"Kau belum tahu isinya sudah tergesa menyatakan tak butuh. Hem, jika benar dugaanku......... sungguh beruntung........"
Ia menggunakan kaki mendorong peti tersebut, kemudian peti itu terguling miring. Menggunakan galah ia membersihkan kotoran ular yang memenuhi bagian atas.
Setelah kotoran ular itu bersih, tampak olehnya batu yang halus dan licin. warnanya merah. Ditelitinya batu yang menutup itu. Ternyata pada batu penutup ini terdapat huruf yang halus, bekas digurat dengan jari. Bunyinya dalam Bahasa Jawa, yang terjemahannya kira kira begini:
ISI PETI INI DIBERIKAN KEPADA SIAPAPUN YANG BERJODOH.
Di bawahnya dengan huruf terukir indah, terbaca Ki Ageng Purwoto Sidik.
Betapa gembira Sindu tak terlukiskan lagi. Sindu sudah pernah mendengar dari gurunya dahulu, bahwa Kiageng Kebo Kanigoro bertempat tinggal di tempat ini. dan menamakan diri Ki Ageng Purwoto Sidik. Pergantian nama ini perlu, guna menghindarkan diri dari kejaran penguasa Demak, setelah Ki Ageng Kebo Kenongo dihukum mati oleh Sunan Kudus di Pengging.
Melihat tulisan yang demikian, jelas bahwa dalam peti ini terdapat peninggalan Ki Ageng Purwoto Sidik alias Ki Ageng Kebo Kanigoro yang terkenal sakti mandraguna. Mungkin peninggalan ini berujud warisan ilmu sakti yang tiada taranya. .
Tergugahlah semangat Sindu, lalu dengan amat hati hati, dibukalah lapisan batu penutup yang bertulisan itu. Tak sulit ia membuka lapisan batu tersebut. Tampak kemudian didalamnya kain warna merah darah menutup. Tampaknya masih baru. Akan tetapi begitu disentuh dengan ranting kayu kain itu sudah robek.
Tentu saja!
Kain tersebut usianya sudah amat tua. Hampir seabad. Di bawah kain merah ini, bertumpuk rapi rontal bertulis. Diambilnya satu demi satu, dengan hati-hati. Yang teratas terbaca huruf indah yang berbunyi; Inilah Ilmu "GELAP NGAMPAR",ilmu yang diwariskan Ki Ageng Purwoto Sidik kepada muridnya yang berjodoh. Ada tiga macam
ilmu yang diwariskannya. Yang kedua Ilmu Pedang "Mahesa Kurda" dan yang ketiga ilmu tata kelahi tangan kosong bernama 'Cleret Tahun" dan sebatang pedang pusaka bernama Si Buntung.
Mengapa disebut buntung?
Pedang itu ujungnya patah. Sengaja ujung pedang itu kupatahkan. Agar muridku yang berjodoh. selalu ingat bahwa membunuh orang tidak baik. Ilmu bukan untuk membunuh, tetapi untuk kesejahteraan ummat manueia di dunia ini!
"Titiek, kemarilah!" seru Sindu.
"Kakek memanggil Titiek?' tanya Titiek Sariningsih.
"Ya, kau akan kuberi hadiah."
"Betulkah?"
Titiek Sariningsih tertawa sambil berlarian mendekati Sindu. Ketika melihat Sindu sedang mengeluarkan lembaran-lembaran daun bertulis dengan sikap yang hati-hati. Titiek Sariningsih menjadi kecewa.
"Hem. untuk apa benda macam itu ?"
'Huah, sabarlah dulu, Titiek. Hadiahmu baru kuambil."
Sahut Sindu.
Setelah rontal itu keluar namun, pada lapisan terbawah terdapatlah sebatang pedang bersarung indah sekali. Yang aneh dan menarik, pedang itu didapati terlipat. Tetapi setelah diambil oleh Sindu, pedang tersebut lurus sendiri berikut sarungnya. Titiek Sariningsih terbelalak demikian pula Sindu. Membuktikan bahwa pedang ini pedang mustika, pedang lemas yang tajam luar biasa. Pedang yang lemas ini bisa disimpan melingkar pada pinggang seperti sabuk.
"Inilah hadiah untukmu, Titiek. Tetapi jangan kau terima sekarang."
"Mengapa? Namanya hadiah apa itu, tak boleh kuterima sekarang!"
Titiek Sariningsih tak jadi gembira, malah cemberut.
"Nanti, cucuku yang cantik. Janganlah kau mudah kecewa, tetapi dengarlah dulu baik-baik."
Sindu menasihati.
"Pedang ini pedang pusaka. Dalam keadaan sekarang. belumlah tepat kau menggunakan pedang ini. Sebab bisa mendatangkan bahaya."
"Mengapa mendatangkan bahaya ?"
"Senjata pusaka, akan selalu menarik perhatian orang untuk memiliki. Orang yang ingin merebut, bisa menggunakan kekerasan. Dan jika kau celaka, bukankah kakek mu ini akan menjadi sedih ?"
"Tetapi aku. kecil-kecil cabe rawit, hi-hik. Buktinya aku pernah mengalahkan orang yang lebih besar."
'Ahhh, janganlah engkau cepat membanggakan diri, cucuku. Di dunia ini tak terhitung jumlahnya manuaia sakti. Maka kau harus mau mendengar kataku. Pedang ini harus aku simpan dulu. Kelak setelah kau sudah menguasai semua ilmu yang aku berikan padamu. barulah waktunya kau menyimpan pedang Si Buntung."
Sekalipun bersikap manja, Titiek Sariningsih tahu maksud baik kakeknya. Maka tak membantah lagi, kemudian membantu kakeknya, mengumpulkan rontal tersebut, dibawa pulang.
Sejak menemukan warisan Ki Ageng Purwoto Sidik atau Ki Ageng Kebo Kanigoro tersebut, Sindu jarang sekali keluar dari pondok. Ia selalu sibuk dan tekun mempelajari ilmu tersebut. Untung juga bahwa Sindu merupakan tokoh sakti yang luas pengalaman disamping cerdas, Ia tidak kesulitan dalam melatih ilmu sakti tersebut. Berbeda dengan Titiek Sariningsih, untuk mempelajari tiga macam ilmu sakti tersebut, Sindu harus melatih dan membimbing dengan amat telaten. Sedikit demi sedikit, setataran demi setataran, tak boleh dipaksakan. Lebih-lebih ilmu "Gelap Ngampar" dan Ilmu Tangan Kosong "Cleret Tahun." Orang lebih dahulu harus memiliki tenaga sakti yang cukup tinggi. Sebab Ilmu 'Gelap Ngampar" ini, merupakan ilmu sakti untuk mengalahkan dan merobohkan lawan lewat suara. Dan apabila telah mahir bisa merobohkan lawan hanya dengan suara ketawanya. Sedang ilmu tangan kosong, harus pula digerakkan dengan tenaga sakti dalam tubuh. Sehingga sambaran dan pukulan dalam jarak agak jauh, tanpa menyentuh tubuh lawan, sudah bisa merobohkan lawan.
Singkatnya, telah dua tahun lamanya Titiek Sariningsih digembleng secara tekun oleh Sindu di tempat sunyi ini. Dan karena Titiek Sariningeih termasuk pula murid Ki Ageng Purwoto Sidik atau Ki Ageng Kebo Kanigoro yang bermakam tak jauh dari tempat tinggalnya, maka sering sekali Titiek Sariningsih berziarah di makam tersebut. di samping pula melatih samadhi.
Titiek Sariningsih telah berumur duabelas tahun. Dia menjelma sebagai seorang gadis yang cantik jelita. Cantik, lemah lembut seperti ibunya, Sri Rukmi, tetapi Juga memiliki kegagahan dan ketabahan seperti ayahnya, Tumenggung Kebo Bangah. Nama dan kecantikan Titiek Sariningsih cukup dikenal oleh setiap penduduk desa sekitarnya. Akan tetapi para penduduk juga amat menghormati dan memuja muja seperti seorang dewi. Karena sekalipun kecil, banyak kali pertolongan Titiek Sariningsih, apabila penduduk terancam bahaya. Belum lagi gurunya. yang dipuja puja oleh penduduk. seperti dewa ngejawantah.
Hari itu, Titiek Sariningsih seperti biasanya, duduk bersila di depan batu nisan Ki Ageng Purwoto Sidik sambil bersamadhi. Gadis cilik ini memilih tempat di makam tiada maksud lain. kecuali mencari tempat yang tenang.
Namun menurut anggapan Sindu. seakan Titiek Sariningsih minta pertolongan kepada Ki Ageng Purwoto Sidik yang dimakamkan di situ. Dan biasanya setelah selesai bersamadhi Titiek Sariningsih melatih diri di halaman makam, seakan ingin menunjukkan kepada Ki Ageng Purwoto Sidik yang mewarisi ilmu itu, apakah sudah tepat apa yang dilakukan?
Biasanya apabila Titiek Sariningsih sudah tenggelam dalam samadhinya, gadis ini menjadi lupa makan. Memang dia seorang gadis Cilik yang tekun dan berbakat. Maka kepandaian Titiek Sariningsih makin bertambah maju pesat, setelah mempelajari ilmu yang ditemukan di bawah pohon beringin. Bukan saja Titiek Sariningsih, Sindupun memperoleh keuntungan yang amat besar sekali. Tokoh yang sudah sakti itu sekarang makin menjadi lebih sakti lagi, berkat ilmu -ilmu baru yang dipelajari. Guru dan murid ini sama tekunnya, sehingga di antara mereka seperti sedang berlomba.
Waktu itu Titiek Sariningsih baru saja menyelesaikan samadhinya dan bermaksud melatih ilmu pedang, yang bernama "Mahesa Kurda".
Ia sudah mulai mencabut pedangnya dan memasang kuda-kuda kuat. Namun apa yang dilakukan itu tiba-tiba diurungkan. Karena telinganya yang tajam mendengar suara orang berlarian.Suara itu. langkah kaki beberapa orang. Makin lama makin jelas dan makin menjadi dekat. Sekalipun kecil Titiek Sariningsih sudah dilatih tentang kewaspadaan.
Siapa tahu, tempat terasing dan sunyi ini diganggu oleh lawan?
Maka Titiek Sariningsih curiga di samping agak khawatir. Ia cepat menyelinap, kemudian dengan amat gesitnya ia telah meloncat ke batang pohon. Seperti kera layaknya. ia memanjat pohon gayam itu cepat sekali. Ia bersembunyi di dalam rimbun daun. Namun dari tempat itu ia dapat memandang ke arah jauh dengan terang.
Tetapi, apa yang dilihatnya membuat gadis ini terbelalak heran. Ternyata orang yang berlarian itu sebanyak lima orang dan semuanya laki-laki. Titiek Sariningsih kenal, bahwa lima orang laki-laki itu penduduk desa Tawang. Ia banyak kenal dengan mereka, karena ia kerap kali datang ke desa tersebut, kalau ia membutuhkan garam, gula. teh dan sebagainya, yang ditukar dengan hasil tanamannya.
Kalau lima orang laki-laki penduduk desa Tawang ini berlarian menuju tempat tinggalnya, jelas ada sesuatu yang minta diperhatikan. Oleh sebab itu ia cepat-cepat melayang turun dari pohon gayam tersebut. Kemudian ia meloncat ke pagar tembok makam.
"Hai.. . mengapa kalian berlarian ke mari?" seru Titiek Sariningsih masih sambil nongkrong di atas tembok makam.
Lima orang laki-laki itu kaget dan menghentikan larinya. Mereka memandang ke atas tembok. Lalu salah seorang dari mereka bertanya gugup,
"Nona, di mana kakekmu?"
"Ada apa kalian mencari kakek ?" balas Titiek Sariningsih bertanya, dan masih tetap nongkrong di atas tembok.
"Lekas tolonglah nona. Lekas sampaikan kepada kakek, nona..... Kami penduduk Tawang mohon perlindungan ......"
'Apa yang terjadi ?'
Titiek Sariningsih terbelalak.
"Ohh ohh.... penjahat.... kami.... tak sanggup melawan...."
'Berapa orangkah?"
"Hanya seorang...."
"seorang saja? Dan kalian tak mampu melawan?"
Mereka agak merasa malu. Kemudian salah seorang di antara mereka menjawab,
"Sekalipun hanya seorang.... tetapi sakti mandraguna..... Tadi beberapa orang telah menyerang dengan aneka macam senjata. Tetapi.... senjata kami tiada artinya. walaupun orang itu tak menggunakan senjata......."
"Hemm..hanya seorang penjahat kecil saja, apa sulitnya merobohkan? Biarlah aku datang ke sana menolong kalian,"
Titiek Sariningsih menawarkan diri.
"Jangan, nona. Lebih baik kakek nona yang menolong kami...."
"Apa?"
Titiek Sariningsih meloncat turun dari tembok tanpa suara, kemudian bertolak pinggang di depan lima laki-laki itu. Sikapnya amat gagah dan galak.
"Kalian berani menghina aku? Sangkamu aku takut berhadapan dengan penjahat yang kalian takuti iin? Huh!"
'Nona..... janganlah nona lekas marah dan salah paham," sahut seorang yang lebih tua sambil membungkuk,
"Penjahat itu begitu sakti. Kami khawatir....."
"Sudahlah, apakah penjahat itu keras seperti batu ini?"
Dengan gerakannya yang ringan sekali Titiek Sariningsih telah meloncat ke sebuah batu sebesar kambing tak jauh dari situ. Kemudian tangan gadis yang nampaknya hanya kecil itu memukul.
"Prakk!"
Lima orang laki-laki itu terbelalak kaget berbareng kagum. Sungguh tak pernah mereka sangka sedikitpun, bahwa batu yang keras tadi telah somplak sebagian. Membuktikan bahwa sekalipun masih kecil, bukanlah gadis sembarangan. Memukul batu seperti itu. walaupun menggunakan alat pemukul sekali pun mereka takkan bisa somplak seperti itu.
"Nah. kalian lihat? Apakah kepalan tanganku masih kurang keras untuk memukul kepala penjahat itu?"
Titiek Sariningsih membusungkan dadanya. sikapnya menjadi ketus.
"Kalau kepalan tanganku belum cukup untuk merobohkan penjahat yang kalian takuti itu, hm.....hm lalu pedangku ini yang bicara."
"Sring!"
Dengan gerakannya yang amat sebat, hingga tak bisa diikuti oleh pandang mata lima orang laki laki itu, tahu-tahu di tangan Titiek Sariningsih telah berkelebat sinar putih mengkilap, membabat ke arah sebatang dahan yang tingginya dua meter lebih.
'Krakk!"
Batang pohon tersebut telah patah dan runtuh ke tanah.
Lima orang,laki-laki ini memandang dengan kagum dan kepala mengangguk-angguk. Kalau mereka yang disuruh membacok dahan pohon itu, masih memerlukan enam tujuh kali bacokan. Dan itupun mereka harus memanjat pohon dahulu. Akan tetapi gadis cilik yang baru berumur duabelas tahun ini tidak. Ia cukup meloncat dengan ringan sekali, seperti seekor burung.
"Bagaimana sekarang? Apakah aku belum pantas untuk melawan penjahat yang kalian takuti itu?" tanya Titiek Sariningsih dengan mata mendelik.
Akan tetapi karena mata itu indah dan bening seperti bintang pagi. mata yang mendelik Itu tidak membuat orang takut, tetapi malah mempesonakan,
"Ahhh...... nona ..... kau memang hebat....." puji salah seorang dari mereka.
'Dan ..... sekarang kami percaya. Tanpa kakekmu, penjahat itu sudah bisa nona usir?
Mulut yang kecil itu tersenyum. Akan tetapi senyum itu mengandung ejekan dan rasa bangga. Ia menyarungkan pedangnya. Kemudian ajaknya.
"Mari. antarkan aku! Penjahat itu biar tahu rasa, berani berkeliaran di tempat ini dan mengganggu penduduk."
Mereka kemudian mengiringkan Titiek Sariningsih dengan hati yang gembira dan bangga. Mereka percaya bahwa penjahat itu bakal dihajar roboh oleh gadis cilik yang perkasa ini.
Gadis yang tadi merasa diremehkan dan direndahkan oleh lima orang laki-laki ini, menjadi ngambeg. Ia sengaja berlarian cepat, sehingga lima orang laki-laki tersebut tertinggal jauh. Mereka berteriak sambil mengerahkan tenaga untuk lari. Akan tetapi mereka tetap saja tertinggal, dan makin lama menjadi semakin jauh. Titiek Sariningsih tak mau mengurangi kecepatan larinya. Hati gadis ini amat penasaran sekali oleh laporan lima lakilaki tadi, bahwa penjahat telah mengganggu para penduduk Tawang. Pendeknya ia ingin membela dan menunjukkan jasanya kepada para penduduk desa itu. Untuk menghajar dan kalau perlu akan membunuhnya sebagai hukuman.
Dari jauh Titiek Sariningsih telah melihat puluhan orang laki-laki penduduk desa menggerombol di luar desa. Mereka semua membawa senjata. Sementara itu tak jauh dari gerombolan mereka. perempuan-perempuan tua dan kanak-kanak. Di antara kanak-kanak tersebut malah ada yang menangis. Makin dekat dengan para penduduk itu, Titiek Sariningsih dapat melihat, bahwa penduduk itu menampakkan kegelisahan dan kekhawatiran, di samping pucat pula.
Para penduduk itu juga sudah melihat Titiek Sariningsih yang berlarian seperti terbang. Secercah kegembiraan terbayang pada wajah para penduduk, melihat munculnya gadis cilik itu. Berbondong mereka menyambut. Dan orang tertua di antara penduduk segera menyapa,
"Ah.....syukur. nona telah datang..... Akan tetapi, mengapa nona sendirian saja? Dan manakah kyai?'
Yang disebut kyai oleh penduduk itu. bukan lain Sindu. Sebutan itu tiada lain, sebagai panggilan kehormatan terhadap seorang laki-laki yang dihormati dan dihargai.
"Kakek di rumah," sahut Titiek Sariningsih singkat.
Para penduduk itu berseru terkejut,
"Ah. celaka! Kami amat membutuhkan pertolongan kyai.Mengapa......."
"Tanpa kakek sudah cukup!" bentak Titiek Sariningsih ketus, memotong kata-kata orang itu yang belum selesai.
Para penduduk terbelalak. Kemudian diantara mereka membuka mulut.
"Tapi nona......"
"Kau mau bilang penjahat itu sakti, bukan? Hemm, aku sudah tahu dari laporan lima orang saudara tadi. Hmm..... sangkamu. aku anak kecil yang tak tahu apa apa? Huh, kalian menghina aku!"


Kisah Si Pedang Buntung Lanjutan Ratu Wandansari Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Titiek Sariningsih marah dan penasaran.
'Sudahlah, jangan kalian bicara soal kakek. Aku sendiripun sanggup merobohkan penjahat itu. Mari antarkan aku !"
Orang-orang tersebut ragu-ragu. Mereka memang tahu bahwa Titiek Sariningsih bukanlah gadis cilik sembarangan. Telah berkali-kali Titiek Sariningsih menolong penduduk. Akan tetapi kali ini menurut para penduduk lain. Penjahat yang mengganggu desa mereka sekarang ini. bukanlah penjahat sembarangan. Buktinya mereka tadi telah mengeroyok dengan bermacam-macam senjata. Namun walaupun hanya bertangan kosong, para penduduk tak dapat berbuat apa-apa. Malah kurang lebih empatbelas orang penduduk telah roboh tewas oleh pukulan penjahat itu,
Pada saat para penduduk tampak ragu-ragu,
tibalah lima orang laki-laki yang tadi melapor. Masih sambil terengah-engah. salah seorang diantara mereka bicara.
'Tak perlu kita sangsikan kegagahan nona Titiek Sariningsih. Mari kira antar. Penjahat tak mungkin mampu melawan nona Titiek Sariningsih."
Walaupun begitu, banyak penduduk yang masih ragu ragu. Akan tetapi mereka tak berani mencela dan menghalangi. Lalu berbondong mereka mengiringkan gadis cilik tersebut, memasuki desa. Keadaan Titiek Sariningsih sekarang ini, seperti seorang raja yang sedang dielu-elukan oleh hamba sahayanya. Titiek Sariningsih dibawa oleh penduduk ke arah sebuah rumah tembok yang luas, dan merupakan rumah yang paling bagus dalam desa ini. Memang rumah tembok ini, rumah ketua desa. Maka merupakan rumah yang paling bagus dalam desa Tawang itu.
Tetapi juga oleh kedudukannya sebagai ketua desa, dan karena rumahnya paling bagus ini, ketua desa Tawang menjadi korban pertama keganasan penjahat yang mengganggu desa ini. Kemudian baru menyusul tigabelas penduduk lain, menyusul roboh hilang nyawanya.
Tadi para penduduk desa Tawang seperti biasanya terjadi setiap hari. Setiap pagi yang muda telah pergi ke sawah dan ladang menunaikan tugas kewajibannya sebagai patani. Yang kecil pergi dengan ternaknya. sedang para ibu pergi ke pasar menjual hasil mereka. Para gadis mengasuh adik-adiknya sambil menyelesaikan urusan rumah. Sedang orang orang yang telah tua dan tak kuat lagi mengayun cangkul, mengisi waktu dengan mengerjakan pekerjaan anyam-anyaman dari bambu. Kerajinan mereka di samping mengerjakan sawah masih menghasilkan kerajinan tangan ini, membuat para penduduk hidup tanpa kekurangan.
Desa yang biasanya tenang dan damai ini', tiba-tiba menjadi ribut dan kacau, ketika terdengar jerit seorang gadis yang ketika itu sedang mencuci pakaian sambil mandi di sungai. Jerit yang nyaring itu, kemudian disusul oleh suara ketawa orang yang terkekeh. Lalu beberapa penduduk laki -laki yang sedang bekerja di sawah tak jauh dari sungai itu, kaget!
Mereka melihat bahwa gadis yang tadi menjerit, sekarang telah dipondong oleh seorang laki-laki yang berjalan seenaknya menuju desa sambil menciumi gadis yang tak berpakaian dan ketakutan setengah mati itu. Saking takutnya gadis desa tadi tak dapat meronta dan menjerit lagi, karena ia sudah pingsan dalam pondongan laki-laki tersebut.
Tentu saja hal itu membuat semua yang melihat marah sekali. Mereka meninggalkan pekerjaan, membawa cangkul dan sabit, memburu laki-laki kurang ajar tadi. Dan laki-laki itu, mereka lihat menuju ke rumah ketua desa. Tampaknya laki-laki itu hanya berjalan seenaknya saja. Namun anehnya gerakannya cepat, dan sebelum para penduduk yang mengejar datang, laki-laki itu sudah tiba di depan pintu ketua desa.
Waktu itu, ketua desa Tawang tersebut sedang duduk di rumah depan, menikmati hidangan teh dan juadah bakar. Telinganya dipasang untuk mendengarkan burung perkututnya yang sedang berbunyi. Dan kadang-kadang mulutnya menirukan suara burung dan bersiul kecil. Tetapi tiba-tiba ketua desa itu terbelalak. Cepat bangkit dari duduknya, ketika melihat laki laki tak dikenal masuk ke rumah tanpa ijin, sambil memondong seorang perempuan telanjang. Kaget tuan rumah ini makin tambah.
ketika ia mengenal bahwa perempuan itu adalah anak gadisnya.
"Kurang ajar! Siapa kau ini? Lepaskan anakku!" ia menubruk maju dengan maksud akan merebut anaknya.
Tetapi laki laki itu tanpa berhenti melangkah. menggerakkan tangan kanannya sambil terkekeh,
"Heh hehheh, anakmu? "
Tampaknya tangan laki-laki itu hanya bergerak sembarangan saja. Namun tuan rumah sudah terjangkung ke belakang. Pantatnya membentur tiang. dan ketika terguling kepalanya membentur lantai. Pantat dan kepalanya terasa sakit. Tetapi tak diperhatikan. dan ia cepat merangkak bangun. Ia menjadi marah dan penasaran sekali terhadap tamu kurang ajar ini. Cepat disambarlah parang yang terselip di dinding. Kemudian ia mengayunkan parang tersebut, untuk membacok dari belakang. Laki laki itu tanpa menoleh, terkekeh dan menggerakkan tangan kanan ke belakang. Angin yang kuat menyambar ke belakang. Parang yang dibacokkan itu terpental membalik, dan ahh........ memenggal leher penyerang itu sendiri. Tanpa sambat lagi tuan rumah roboh tertelungkup dan nyawanya melayang.
Tepat pada saat itu, datanglah para penduduk yang tadi mengejar. Melihat robohnya ketua desa, mereka menjadi marah dan berteriak teriak. Dengan senjata cangkul dan sabit, mereka segera menyerang tamu tak diundang yang telah membunuh ketua desa mereka.
"Huh, kamu hanya mengganggu! Mampuslah!" bentak laki-laki itu yang masih memondong dengan tangan kiri, sedang tangan kanan digerakkan ke depan dan mendorong.
Angin kuat menyambar ke arah mereka. Lalu terdengar jerit jerit ngeri dari mulut mereka. ketika senjata masing -masing membalik dan membacok tubuh mereka sendiri. Tigabelas orang lakilaki tadi roboh di lantai, dan seketika itu juga lantai rumah ini dibasahi darah merah.
Peristiwa ini membuat para penduduk geger. Mereka berbondong datang. Akan tetapi ketika melihat tuan rumah dan tigabelas orang yang lain roboh tak bernyawa, mereka menjadi takut dan ngeri. Mereka tak berani masuk ke rumah, malah para penduduk kemudian meninggalkan rumah masing-masing berkumpul di luar desa. Lima orang penduduk segera berlarian meninggalkan desa, menghubungi Sindu, guna minta perlindungan. Akan tetapi mereka terpaksa harus puas dengan hadirnya Titiek Sariningsih, karena gadis kecil ini tak mau lapor kepada kakeknya, dan berkeras untuk bertindak sendiri.
Ketika memasuki rumah depan, Titiek Sariningsih agak ngeri juga melihat korban-korban yang tak bergerak itu. Melihat keadaan orang-orang itu, yang masing masing mati oleh senjata sendiri, gadis ini sadar, bahwa laporan penduduk tadi bukanlah isapan jempol belaka. Membuktikan bahwa orang yang dapat mengalahkan dengan cara demikian, tentu benar-benar seorang sakti mandraguna. Akan tetapi sekalipun masih gadis kecil, Titiek Sariningsih seorang yang tabah, berani dan tak kenal takut. Ia selalu percaya akan diri sendiri, dan selalu membanggakan kepandaiannya. Ia melangkah di dekat mayat-mayat itu tanpa ragu sedikitpun. Kemudian ia berteriak nyaring.
"Hai, bangsat terkutuk! Keluarlah untuk mampus dalam tanganku !"
Terdengar suara menyahut dari dalam, diiringi suara ketawa yang terkekeh.
"Heh-heh-beh, kalau tak salah kau seorang perempuan. Hemm. bagus! Dan menilik suaramu yang merdu. tentunya kau amat cantik dan gadis pula. Bagus, bagus! Aku belum memperoleh pelayanan memuaskan. Tunggu manis. aku segera datang."
Belum juga lenyap suara jawaban itu, telah berkelebat bayangan dan tahu-tahu seorang laki-laki bertubuh kurus tampan. tetapi wajahnya kepucatan, telah berdiri di depan Titiek Sariningsih. Laki-laki ini terbelalak ketika melihat wajah Titiek Sariningsih. Cantik laksana bidadari.
"Kau.....' terluncur sepatah kata dari mulut laki-laki itu dengan mata masih terbelalak heran.
'Ya, aku. Aku yang menantangmu. Mengapa ?" sahut Titiek Sariningsih mengejek.
Sikap Titiek Sariningsih memandang rendah kepada orang itu.
"Kau.....ah, tetapi bukan. Kau terlalu kecil..... hem, tapi kecilpun boleh. Kau cantik sekali heh heh-heh, kau akan menyenangkan aku!" kata laki laki ini.
Laki-laki ini memang kaget, begitu melihat wajah gadis cilik ini. Sebab wajah gadis cilik ini mirip sekali dengan wanita yang paling dikenal. Wanita yang dahulu amat dicintai, tetapi kemudian dianggap berkhianat dan membuatnya patah hati.
Gampang pembaca duga, siapakah sesunggubnya laki-laki ini?
Dia adalah Sungsang yang dahulu pernah menggegerkan kota Tuban. Dan yang dahulu telah membunuh seluruh keluarga Titiek Sariningsih, keluarga Tumenggung Kebo Bangah. Akan tetapi karena ketika itu Titiek Sariningsih masih kecil. baru berusia sepuluh tahun, dan tak ingat lagi kepada semua peristiwa itu. Maka Titiek Sariningsih lupa dan tak kenal lagi kepada Sungsang.
Seperti pembaca masih ingat cerita di bagian depan. Dua tahun yang lalu, Sungsang terluka oleh Sawungrana. Untung gurunya, Patra Jaya secara kebetulan datang dan menolong. Selama lebih kurang dua tahun lamanya, tidak pernah terdengar nama dan kegiatan Sungsang yang jahat. Sebab selama dua tahun itu, Sungsang dibawa oleh Patra Jaya ke tempat tinggalnya, di ujung timur Pulau Jawa, ialah Belambangan.
Di bawah asuhan gurunya yang tekun menggembleng muridnya ini, maka dalam dua tahun, Sungsang memperoleh kemajuan yang amat pesat. Dia menjelma sebagai seorang pemuda sakti mandraguna jarang tandingan. Setelah Sungsang merasa dirinya menjadi seorang sakti mandraguna, ia tak kerasan lagi tinggal di Belambangan. Timbullah kembali wataknya yang liar, untuk berkelana dan membuat keonaran di segala tempat. '
( Bersambung Jilid 13 )
Kisah Si Pedang Buntung
Lanjutan Ratu Wandansari
Karya : Widi Widayat
Jilid : 13
Pelukis : Janes
Penerbit "GEMA"
Metrokusuman 761 Rt 17
SOLO Ijin Penerbitan
Ijin : No Pol /3/26 aa-54/0-73
Surakarta tanggal 17 januari 1973
Cetakan Pertama 1973
**** Buku koleksi ; Aditya Indra Jaya
Juru Potret : Awie Dermawan
Edit teks & pdf : Saiful Bahri Situbondo
(KOLEKTOR E-BOOK)
******
DALAM petualangannya ini. kemudian teringatlah ia akan peristiwa yang pernah terjadi di Tuban. Ia telah dirobohkan oleh Sawungrana dalam keadaan terluka parah.
Timbullah penasarannya dan inginlah ia membalas dendam kepada Sawuugrana yang dahulu telah mengalahkannya. Di samping ia ingin membalas dendam, iapun berselera sekali untuk membuat kegemparan di ibukota Mataram itu. Di sana tak terhitung jumlahnya wanita cantik, puteri-puteri bangsawan. Alangkah senangnya apabila dia dapat mencari korban dalam jumlah banyak. Dan alangkah senangnya apabila dapat membuat ibukota Mataram itu geger. Dengan demikian, bukan saja hatinya menjadi senang, tetapi sekaligus ia ingin pula membalaskan sakit hati gurunya.
Dahulu gurunya diusir dari Mataram, dan menjadi orang buruan pula, karena dituduh menculik salah seorang selir Sultan Agung. Pengalaman gurunya ini membuat ia amat penasaran. Timbullah niatnya pula ia akan masuk ke dalam keraton uutuk menculik puteri-puteri keraton atau selir raja. Begitulah yang terjadi, Sungsang sedang menuju keibukota Mataram, dan setiap ada kesempatan ia mengganggu desa yang dilalui, guna bermain perempuan baik secara iklas maupun paksa. Entah sudah berapa orang mati terbunuh oleh tangan Sungsang yang ganas selama melakukan perjalanan ini. Kehadiran Sungsang di desa ini tidak sengaja. Kalau saja Sungsang tadi tidak sedang lewat di dekat sungai, dan tadi menyaksikan seorang perempuan mandi tanpa pakaian, merendam diri dalam air sebatas pundak, kiranya Sungsang takkan mengganggu desa ini.
Begitu melihat wanita yang mandi telanjang di sungai birahi Sungsang terangsang. Mata Sungsang yang tajam, dapat melihat secara jelas sekali bayangan tubuh menggairahkan di dalam air. Kulit yang kuning itu besar sekali pengaruhnya terhadap pemuda bejat ini. Maka tanpa banyak mulut lagi, gadis yang sedang mandi tersebut telah disambar dan menjerit.
"Siapa kau ?" tegur Sungsang setelah dapat menguasai perasaannya kembali.
"Aku, hi, hi. hik. aku manusia seperti kau. Hanya bedanya. aku perempuan dan kau laki-laki. Huh, huh, huh, tetapi sekalipun perempuan, siapa takut? Kau jahat! Hayo menyerahlah sebelum aku marah !"
"Heh, heh, heh,
"
Sungsang ketawa terkekeh merasa geli agaknya, melihat sikap dan mendengar kata-kata gadis ini yang ketus.
"Kau kecil, tetapi pemberani. Bagus, heh, heh, heh, dan kau cantik sekali. Kau harus melayani aku. Hayo. jangan rewel. Marilah kita bersenang-senang, manis."
Titiek Sariningsih baru berusia duabelas tahun. Tetapi sekalipun demikian, tentu saja Titiek Sariningsih dapat menduga maksudnya. Apa pula ia tadi sudah memperoleh laporan, bahwa masuknya penjahat kedesa ini sudah memondong seorang perempuan yang ditangkapnya di sungai. Maka wajah gadis cilik ini menjadi merah saking marah. Bentaknya,
"Bangsat kurang ajar! Makanlah ini!"
Tanpa memberi kesempatan lagi Titiek Sariningsih sudah menerjang maju memukul. Tentu saja Sungsang memandang rendah. Ia tidak terhenyak dari tempatnya berdiri, hanya menggerakkan tangan untuk menangkap pergelangan tangan Titiek Sariningsih dengan tangan kanan, sedang tangan kirinya menyambar ke arah pinggang untuk memeluk. Ia percaya bahwa gerakannya ini takkan gagal lagi. dan gadis cilik ini sekali sambar tentu tertangkap.
Akan tetapi ternyata kali ini Sungsang kecelik. Ia terbelalak kaget ketika sambaran tangannya menangkap angin. Ia hampir tak percaya kepada pandang matanya sendiri. Gadis cilik yang disambarnya itu ternyata seperti seekor belut yang amat licin. Sambarannya luput dan Sungsang berseru kaget ketika merasakan pinggangnya panas dan sakit.
Memang Sungsang tertipu dan terlalu merendahkan Titiek Sariningsih yang masih tampak kecil. Sungsang tidak tahu bahwa Titiek Sariningsih kecil-kecil cabe rawit. Kalau saja Titiek Sariningsih berhadapan dengan Sungsang setengah tahun yang lalu, mungkin sekali maksud Sungsang tercapai. Tetapi warisan ilmu Ki Ageng Kebo Kanigoro atau Ki Ageng Purwoto Sidik yang ditemukan secara tak sengaja di bawah pohon beringin, membuat Titiek Sariningsih seperti anak macan tumbuh sayap. Gemblengan Sindu sungguh hebat dan berhasil. Dan berkat bakat Titiek SariningSih sendiri, gadis cilik ini dapat menguasai ilmu sakti itu secara baik sekali. Baik Ilmu tangan kosong yang disebut "Cleret Tahun" maupun Ilmu Pedang "Mahesa Kurda". Yang belum dapat dikuasai Titiek Sariningsih tinggal Ilmu "Gelap Ngampar". Sebab ilmu ini berhubungan erat sekali dengan tenaga sakti dalam tubuhnya. Sebab ilmu itu lewat suara, dipengaruhi oleh hawa sakti dalam tubuh.
Namun waktu yang hanya setengah tahun itu, sekalipun Titiek Sariningsih dapat menguasai dua macam ilmu ini tersebut secara baik, baru luarnya saja, atau kulitnya. Sekalipun gerakannya cepat dan tak terduga lawan. namun masih kurang berisi. Maka sekalipun pukulan Titiek Sariningsih tepat mengenakan pinggang Sungsang, hanya menimbulkan rasa sakit dan panas, akan tetapi tidak menyebabkan apa-apa. Padahal kalau gadis ini telah dapat menguasai isinya, sedikitnya pukulan itu akan membuat Sungsang terluka dalam.
Dan sayang sekali, Titiek Sariningsih masih seorang gadis cilik, belum cukup umur dan belum pula luas pengalaman. Begitu dapat menghindarkan diri dari tangkapan lawan, dan berhasil memukul, hatinya sudah menjadi besar dan bangga. Ia ketawa terkekeh mengejek.
"Hi-hi-hik, besar belum tentu menang melawan yang kecil. Maka sebelum nona kecilmu ini marah, menyelahlah!"
Atas ejekan Titiek Sariningsih ini Sungsang merah padam wajahnya saking marah. Dalam hatinya mencaci maki, sungguh terlalu gadis cilik ini. Maka ia mendengus dingin,
"Hemm, baru begitu saja sudah bangga. Pukullah lagi jika kau memang bisa!"
"Siapa yang tak bisa? Makanlah tinjuku ini!" teriak Titiek Sariningsih sambil melancarkan serangannya dengan amat cepat sekali.
Tangan kiri bergerak lebih dahulu mencengkeram ke bagian pusar, sedang tinjunya ke arah uluhati. Sungsang ketawa mengejek melihat serangan tersebut. Ia mengebut dengan tangannya, sehingga angin yang kuat sekali menyambar ke dada Titiek Sariningsih membuat gadis ini gelagapan dan seperti sesak napas. Untung Titiek Sariningsih dapat bergerak tangkas sekali. Kalau tidak tentu tangannya tersambar oleh cengkeraman Sungsang.
Seperti burung walet cepatnya gerakan Titiek Sariningsih dan licin bagai belut. Dengan mengerutkan tubuh dan menarik lengannya, sambaran Sungsang luput. Dan sementara itu, sebuah tendangan telah mampir pada lutut Sungsang. Namun karena kurang tenaga, tendangan pada lutut itu hanya menimbulkan rasa agak sakit saja, dan tidak menyebabkan cedera bagi Sungsang.
Sungguh penasaran sekali Sungsang menghadapi bocah cilik yang bandel ini. Kalau saja bocah ini tidak cantik, tentu Sungsang sudah menggunakan pukulan maut untuk membalas pukulan pukulan titiek Sariningsih.
Memang untung Titiek Sariningsih sekarang ini berhadapan dengan seorang pemuda jahat yang gemar bunga indah. Artinya gemar kepada perempuan-perempuan cantik, terutama gadis-gadis muda.
Kalau tidak sayang akan kecantikan gadis Cilik ini manakah mungkin Titiek Sariningsih yang belum berpengalaman itu sanggup menghadapi Sungsang?
Gerakan pukulan Sungsang selalu ditujukan pada bagian tubuh yang tak berbahaya dan di samping itu tak disertai tenaga pula. Gerakan Sungsang lebih banyak mencengkeram dalam usaha menangkap gadis cilik ini dalam keadaan tak terluka.
Sayang sekali bahwa Titiek Sariningsih yang masih belum pengalaman ini menjadi bangga dan besar hati, dapat melayani lawan yang dipuji oleh penduduk desa ini sebagai penjahat sakti.
Kalau Titiek Sariningsih bangga dan berbesar hati, sebaliknya para penduduk yang menyaksikan perkelahian itu tegang berbareng bangga. Mereka yang tak tahu ilmu tata kelahi ini menganggap bahwa gerakan Titik Sariningsih yang amat cepat dan berkali kali dapat memukul lawan, memang gadis cilik ini cukup tangguh. Tak mengherankan kalau gadis ini tadi marah-marah, oleh sikap mereka yang kurang percaya.
Demikianlah, perkelahian ini berlangsung dalam waktu cukup lama. Akan tetapi setelah duapuluh lima jurus dilalui tampak gerakan Titiek Sariningsih menjadi berkurang cepatnya, agaknya gadis cilik ini sudah mulai manjadi lelah, Tetapi sesungguhnya bukan oleh keadaannya yang lelah saja yang membuat gadis Cilik yang bandel ini gerak larinya menjadi kurang cepat. Titiek Sariningsih memang makin lama merasakan dadanya sesak sulit untuk bernapas. Semua itu bukan lain oleh tekanan-tekanan Sungsang yang menggunakan kelebihannya dalam hal tenaga sakti.
Sungsang mulai menyeringai, dan birahinya terangsang setelah melihat, bahwa pipi gadis cilik ini kemerahan menambah kecantikannya. Terpengaruh rangsang birahinya yang jahat ini, tiba-tiba saja tangan Sungsang mengebut keras.
"Wut...... aihhh....."
Sambutan telapak tangan Sungsang itu kuat sekali. Dada Titiek Sariningsih seperti tertindih dan gadis cilik ini terguling terengah-engah.
"Heh, heh. heh. kau harus menurut padaku, manis, hem, jangan kau membandel."
Sungsang terkekeh. Kemudian melesat maju dengan maksud meringkus Titiek Sariningsih yang kelelahan.
Di saat keadaan gawat bagi Titiek Sariningsih ini, tiba-tiba terdengar lengking tajam,
"Tahan!"
Lengking tajam itu pengaruhnya luar biasa sekali. Penduduk yang tadi menonton pertandingan itu, mendadak sama roboh terguling. Titiek Sariningsih jantungnya terguncang keras. Dan Sungsang yang sudah meloncat untuk meringkus Titiek Sariningsih tertahan gerakannya. Jantung Sungsang seperti diremas. Dan di saat itu, melesatlah bayangan orang yang amat gesit telah berdiri di depan Sungsang.
Inilah pengaruh dari Ilmu 'Gelap Ngampar" peninggalan Ki Ageng Kebo Kanigoro alias Ki Ageng Purwoto Sidik yang diyakinkan oleh Sindu. Untung sekali bahwa ilmu itu belum sempurna diyakinkan. Kalau sudah sempurna, penduduk desa itu tentu roboh pingaan, dan salah-salah bisa tewas.
"Kau.....!" seru Sindu kaget, setelah mengenal siapa yang dihadapi sekarang ini.
Dan Sungsang tak kurang kagetnya.
Hemm, agaknya gadis cilik yang cantik ini muridnya, pikir Sungsang. Akan tetapi kekagetan Sungsang itu hanya sebentar saja. Kemudian pemuda sakti ini terkekeh. Sungguh kebetulan, pikirnya. Ia bermaksud membalas dendam kepada Sawungrana. sekarang malah bertemu dengan Sindu.
Apa salahnya menagih hutang dengan bunganya?
Sindu adalah adik seperguruan Sawungrana. Dan di samping itu. apabila ia dapat merobohkan Sindu ini, berarti pula ia bakal memperoleh tambahan hadiah yang amat menyenangkan. Gadia cilik yang cantik, yang sekarang telah bangkit berdiri sambil menyeka keringatnya.
"Ya, aku, heh-heh-heh!' sahut Sungsang dingin.
"Apa khabar? Baik baik sajakah selama kita berpisah ?"
"Ya, begitulah."
Sindu menyahut agak sungkan.
"Hem..... Sungsang. Engkau tak tau malu, melawan muridku yang masih ingusan.'
"Uahhh......... gadis cilik yang cantik itu muridmu'! Heh heh heh, sungguh kebetulan sekali. paman."
Sungsang berkedip kedip memandang Titiek Sariningsih sambil menyeringai.
'Kau tahu, sampai sekarang aku masih bujang. Kalau begitu, bukankah amat baik sekali apabila muridmu ini dijodohkan padaku? Paman, terus terang begitu bertemu aku sudah jatuh cinta."
"Bangsat! Tutup mulutmu yang busuk. Siapa sudi pada manusia jahat seperti kau!" lengking Titiek Sariningsih marah sekali.
"Sring...." ia mencabut pedangnya.
Kemudian tantangnya.
"Hayo, jika kau berani, kita bertanding lagi. Hemm..... pedangku ini belum bicara......'
"Titiek, mundurlah! Dia bukan lawanmu!" tegur Sindu.
"Tetapi dia kurang ajar sekali, kakek," bantah Titiek Sariningsih.
"Dan aku belum kalah."
"Sudahlah, jangan kau membantah!" hardik Sindu.
Sekalipun manja, tetapi Titiek Sariningsih seorang gadis cilik yang patuh kepada perintah guru. Maka walaupun hatinya merasa penasaran, Ia menyarungkan kembali pedangnya dan menyingkir agak jauh.
Bagaimana sebabnya Sindu menyusul datang ke desa ini?
Sesungguhnya Sindu tak menduga kalau Titiek Sariningsih pergi tanpa pamit. Ia sejak pagi sibuk dengan kepentingannya sendiri, yang sedang meyakinkan Ilmu "Gelap Ngampar". Tiba -tiba terdengar suara panggilan orang yang memanggil dari luar rumah. Ia kaget dan menghentikan samadhinya. Ketika ia keluar, ternyata di depan pintu telah berlutut delapan orang laki-laki muda. Sindu kenal bahwa mereka itu penduduk Desa Tawang. Maka cepat ia menegur,
'Hai, ada apa kalian? Bangkitlah !"
"Kyai, tolonglah kami."
"Ada apa?"
Dilaporkan kemudian oleh para penduduk itu, bahwa tadi telah datang ke sini lima orang utusan dengan maksud mohon pertolongan. Akan tetapi mereka dicegah Titiek Sariningsih, dan gadis itu menyanggupkan diri memberi pertolongan. Namun setelah Titiek Sariningsih datang di desa itu. para orang tua Desa Tawang khawatir kalau Titiek Sariningsih sampai celaka di tangan penjahat. Maka mereka memutuskan untuk melapor kapada Sindu.
"Apa? Titiek Sariningsih lancang pergi?" Sindu amat kaget.
"Benar kyai, dan......"
Para penduduk desa itu melongo gemetar tubuhnya saking kaget. Mereka hanya melihat bayangan berkelebat diatas kepala mereka. Ternyata Sindu telah lenyap dari depan mereka. Dan ketika mereka menoleh, Sindu sudah amat jauh dengan gerakannya yang cepat Sekali. Mereka cukup kenal, bahwa Sindu seorang sakti dan merupakan pelindung bagi mereka semua. Namun mereka tak pernah menyangka, bahwa orang sakti itu dapat terbang pula. Maka mereka kemudian kembali pulang dengan hati lega. Dan karena mereka tadi menuju kemari tergesa dan berlarian, maka sekarang menuju kembali ke desa Tawang ini, mereka hanya berjalan kaki saja.
Demikianlah sebabnya Sindu datang pula ke desa ini. Kehadiran Sindu tepat sekali. pada saat Titiek Sariningsih diancam bahaya.
Sekarang, mendengar ucapan Sungsang yang terusterang tetapi merendahkan itu, Sindu merah padam saking marahnya. Namun demikian ia masih menahan kemarahannya itu, katanya,
"Sungsang. Seorang laki-laki bebas memilih perempuan yang disukai, tetapi harus sopan dan kenal adat. Apakah kau merasa telah menempatkan dirimu sebagai seorang sopan?"
"Heh-heh-heh, paman menganggap aku tidak sopan?" sahut Sungsang dingin.
"Bagiku, apa yang kuucapkan tadi terlalu sopan. Kalau bukan muridmu, apakah perlunya bicara lagi? Aku dapat mengambil perempuan yang manapun tanpa bicara. Cukup tanganku yang bergerak apabila orang kukuh."
Kata-kata Sungsang ini jelas, merupakan tantangan. Sindu cukup maklum, tetapi menyabarkan diri. Bagaimanapun pula ia masih ingat akan Patra Jaya, guru Sungsang. Maka katanya,
"Sungsang, sadarlah engkau sebelum jauh tersesat. Engkau masih muda dan berhari depan gemilang. Mengapa engkau memilih jalan yang kurang patut? Sebagai seorang pemuda gemblengan seperti engkau, untuk memperoleh kedudukan terhormat tak terlalu sulit."
"Hah-heh-heh, apakah kedudukanku sekarang ini kau anggap kurang terhormat? Sudahlah, kurang perlunya kita berpanjang lebar. Aku ingin bertanya padamu, paman. Bagaimanakah pinanganku tadi?" desak Sungsang.
Tak mengherankan kalau Sungsang mendesak dan setengah merendahkan Sindu. Sebab, setahu Sungsang, orang yang bernama Sindu ini merupakan orang paling lemah di antara saudara seperguruannya. Kalau terhadap Sawungrana pun ia tidak takut apa lagi kepada Sindu!
Sungsang merasa cukup tangguh setelah digodog dalam 'Kawah Candradimuka" oleh gurunya selama kurang lebih dua tahun.
Maka apakah sulitnya mengalahkan Sindu?
"Hemm,"
Sindu mendengus dingin. kemudian jawabnya,
"Kalau aku menolak? Apakah yang akan kaulakukan?"
"Hah, heh, heh,"
Sungsang terkekeh mengejek.
"Dua tangan dan kakiku masih sanggup bergerak dan memaksa setiap orang yang melawan kehendakku. Apakah paman mau mencoba?"
"Hemm, ternyata engkau telah jauh tersesat. Sungsang, kau bukanlah lawanku yang setingkat. Betapa dunia akan mentertawakan aku, jika aku melayani orang muda. Sudahlah, memandang muka gurumu aku masih bisa mengampuni engkau. dan pergilah cepat dari sini."
Tetapi maksud baik Sindu ini manakah mungkin dapat diterima oleh Sungsang?
Ia berpikir bahwa Sindu Ini tentu takut. maka menggunakan alasan usia tua dan muda. Ia terkekeh. Katanya.
"Aku sudah berjanji kepada hatiku sendiri. Tidak perduli siapapun, yang berani menentang kehendakku harus berani menebus dengan mengadu kesaktian. Heh, heh. heh. kalau memang paman takut padaku, katakan terus terang. Berikan gadis itu padaku, habis perkara."
Sindu menghela napas panjang menyesal.
Mengapa pemuda ini begitu bandel dan tak tahu maksud baiknya?
Hemm, apa boleh buat. Pemuda ini harus diberi hajaran yang setimpal, dan agar terbuka matanya bahwa manusia di dunia ini tak boleh membanggakan diri paling pandai dan paling sakti.
"Hemm, kau keras kepala, Sungsang. Kalau kau membandel dengan terpaksa aku harus mengusir kau dengan kekerasan. Majulah!"
Sungsang justeru sudah tidak sabar lagi .Ia sudah terlalu ingin sekali dapat memeluk dan menciumi gadis cilik yang cantik itu. Maka tanpa membuka mulut, ia sudah menerjang maju. Dua lengannya bergerak berbareng. Tangan kiri sebelah atas dan tangan kanan sebelah bawah. Tangan kiri mencengkeram ke arah pundak, dan kepalan tangan kanan ke arah ulu hati .Namun serangan ini sesungguhnya pancingan melulu. Apabila lawan terpancing, dua tangan tersebut akan meneruskan gerakannya yang tak terduga, ke arah pusar dan bawah pusar.
Merupakan serangan yang ganas dan sekaligus keji!
kalau saja Sindu belum memperoleh warisan ilmu sakti Ki Ageng Kebo Kanigoro, mungkin Sindu harus berhati-hati melawan pemuda ini. Karena ia maklum, bahwa murid Patra Jaya ini, di samping sakti mandraguna, licin dan banyak tipu muslihatnya juga memiliki pukulan berbahaya, ialah Aji Wisa Naga. Akan tetapi setelah sekarang ia melatih dan mempelajari ilmu warisan tokoh sakti jaman Majapahit dan Demak itu, pengetahuannya tentang ilmu tata kelahi menjadi luar biasa. Walaupun sebenarnya ia tak mengenal ilmu tata kelahi yang dipergunakan Sungsang, ia seakan telah dapat menduga ke mana lawan akan bergerak menyerang, demikian pula perkembangan dan perubahan yang akan terjadi. Maka ia tenang-tenang saja dalam menghadapi serangan Sungsang ini, tidak bergerak ketika Sungsang melancarkan serangan yang pertama.
Keajaiban seperti terjadi pada diri tokoh bekas pengawal rahasia Mataram ini. Dahulu ketika ia memilih bertempat tinggal tak jauh dari makam Ki Ageng Kebo Kanigoro, bukan lain terdorong keadaan tempat itu sendiri yang amat tepat dan menguntungkan baik untuk dirinya sendiri maupun untuk Titiek Sariningsih.
Namun kemudian seperti telah dikehendaki Tuhan. Pohon beringin yang dipergunakan melindungi simpanan ilmu sakti tersebut tumbang. Dengan demikian berarti Sindu dan 'Titek Sariningsih memang berjodoh. Padahal Ilmu Tangan Kosong "Cleret Tahun itu, merupakan ilmu yang amat tinggi nilainya. Ilmu gubahan Ki Ageng Kebo Kanigoro yang tak ada taranya. Merupakan intisari dari sekalian ilmu tata kelahi.
Itulah sebabnya Sindu menjadi seperti tahu dan bisa menduga maksud lawan.
Sungsang gembira sekali melihat Sikap lawan. Tangannya cepat seperti kilat merubah gerakan menukik turun untuk mencengkeram bawah pusar dan memukul pusar. Apabila lawan lengah sekali gebrak lawan akan sudah mampus tanpa sambat lagi.
"Keji! Ganas!" ujar Sindu dan tangannya bergerak mencengkeram pergelangan tangan Sungsang.
Saking kagetnya Sungsang melesat ke belakang sambil menarik serangannya. Namun secepat itu pula Sungsang telah menerjang lagi dengan serangan-serangan yang cepat, ganas dan berbahaya. Melihat bagaimana gerakan Sungsang yang keji dan ganas itu. ia menghela napas dan merasa kasihan kepada Sungsang. Mengapa pemuda yang berbakat ini jatuh ke dibawah bimbingan seorang seperti Patra Jaya. Kalau memperoleh pendidikan baik, pemuda seperti Sungsang ini besar gunanya bagi masyarakat. Namun Sindu juga tak sampai hati untuk menurunkan tangan maut kepada pemuda ini. ia masih mempunyai harapan, agar Sungsang dapat merobah dirinya, dari sesat menjadi berguna bagi masyarakat.
"Pergilah!" bentak Sindu dan entah bagaimana caranya Sindu bergerak saking cepatnya sampai tak bisa diikuti pandangan mata.
Yang tampak hanyalah, tahu tahu tubuh Sungsang telah terlempar cukup jauh, di halaman. Dan sungguh di luar dugaan, pemuda gemblengan seperti Sungsang ini, seperti kehilangan daya ingatan dan kepandaiannya berkelahi. Tubuhnya gedebugan di atas tanah, roboh seperti buah nangka yang jatuh dari pohon.
Sungsang kaget dan menyeringai kesakitan. Cepat ia meloncat. Namun ia terhuyung, kemudian roboh kembali. Baru pada loncatannya yang kedua ia dapat berdiri, tetapi ia merasakan dadanya sesak, darah dalam tubuhnya bergolak. Lalu dari mulutnya menyembur darah kental. Ternyata Sungsang telah menderita luka dalam.
"Pergilah! Dan robahlah jalan hidupmu agar berguna bagi masyarakat,"
Sindu berkata halus, namun cukup berpengaruh dan berwibawa.
Sungsang mendelik ke arah Sindu dan Titiek Sariningsih. Namun tanpa membuka mulut lagi, Sungsang sudah mengeloyor pergi. Perintah Sindu itu tak terbantah lagi dan dalam waktu tak lama telah tak tampak bayangannya lagi.
"Kakek, mengapa dibiarkan pergi?" protes Titiek Sariningsih kurang senang.
"Ia terlalu jahat. Ia telah membunuh belasan orang penduduk desa ini. Terlalu enak bagi dia dibiarkan hidup."
"Hemm, aku tak bisa memberi hidup kepada manusia mengapa aku harus membunuh ?" sahut Sindu dengan sabar.
"Sudahlah, Titiek, mari kita pulang."
Seperti tertarik oleh kekuatan gaib yang tak terbantah lagi, gadis yang biasanya rewel dan agak manja ini telah mengikuti Sindu pergi.
Begitu Sindu dan Titiek Sariningsih pergi, baru ingatlah para penduduk apa yang telah terjadi. Mereka segera merawat yang telah menjadi korban. Dan mereka yang kehilangan anggauta keluarga, menangis meraung'raung. Lebih-lebih isteri ketua desa itu. Ia menjadi pingsan, setelah mendapatkan puterinya telah kaku di atas pembaringan, dalam keadaan tanpa pakaian sama sekali, seperti ketika bayi baru lahir.
Sindu dan Titiek Sariningsih melangkah cepat menuju tempat tinggalnya. Sindu tak membuka mulut dan Titiek Sariningsih pun diam, tak berani membuka mulut pula. Dalam benak gadis cilik ini, terbetik pikirannya bahwa tentu kakeknya ini marah. Sebab ia tadi telah pergi tanpa pamit dan lancang melawan orang yang bukan tandingnya.
Bukan tandingnya?
Bantahnya sendiri.
Kalau bukan tandingnya mengapa dalam berkelahi tadi beberapa kali ia dapat memukul, dan ia dapat melayani pula cukup lama?
Benarkah dugaan Titiek Sariningsih bahwa Sindu marah?
Tidak benar. Kakek ini cukup maklum bahwa usia Titiek Sariningsih masih bisa dimaklumi, bertindak kurang pikir dan tak kenal tingginya langit. Kalau dia tadi bertindak begitu, tiada maksud lain kecuali terdorong keinginannya membela dan melindungi penduduk dari ancaman bahaya.
Kalau toh masih sekecil Titiek Sariningsih sudah memiliki jiwa gagah dan merasa tanggungjawab kepada masyarakat, mengapa harus dimarahi?
Malah sebaliknya jiwa gadis ini dipupuk dan dikembangkan, agar kemudian hari menjadi seorang wanita perkasa pembela keadilan.
Dan kalau sekarang ini Sindu berdiam diri, bukan memikirkan Titiek Sariningsih dan Sungsang yang tersesat. Yang memenuhi benaknya sekarang ini, adalah hal-hal di luar dugaan yang terjadi pada dirinya sendiri.
Mengapa begitu mudah ia mengalahkan Sungsang?
"Sungguh luar biasa hebatnya warisan ilmu Ki Ageng Kebo Kanigoro."
Ia sadar bahwa perubahan yang terjadi pada dirinya sekarang ini, tentu pengaruh ilmu yang sedang dilatih dan diyakini. Maka makin bersemangatlah ia menggembleng Titiek Sariningsih dengan ilmu sakti tiga macam itu.
Demikianlah, setelah tiba di pondok, Titiek Sariningsih segera diajak makan. Seperti ketika pulang, Sindu tidak banyak bicara seperti biasa. Perubahan itu membuat Titiek Sariningsih makin merasa kalau gurunya marah. Maka gadis ini menghentikan suapan nasinya, mengamati kakeknya dan bertanya.
"Apakah kakek masih marah padaku ?"
Nada suara Titiek Sariningsih terdengar menggeletar seperti telah merasa bersalah dan minta maaf. Mendengar itu Sindu terharu. Ia justeru amat kasih seperti kepada anak dan cucunya sendiri. Maka orang tua ini tersenyum dan jawabnya halus,
"Tidak, Titiek. Mengapa aku harus marah? Tiada alasan kakek marah padamu?"
"Tapi.... tapi Titiek merasa bersalah, kek."
Suara gadis cilik ini makin menggeletar dan sekarang malah bercampur dengan isak.
"Titiek bersalah. lancang tanpa ijin kakek."
Tiba-tiba aaja Titiek Sariningsih meninggalkan piringnya, menubruk Sindu, memeluk erat, lalu menyembunyikan wajahnya di dada kakek itu. Sindu amat terharu, membalas mengusap usap rambut.
"Titiek, aku tak menyalahkan engkau. Sudahlah, jangan menangis, cucuku. Hanya kakek minta, kemudian hari jangan engkau mengulangnya. Amat berbahaya, dalam tingkatmu sekarang ini, terlalu berani melawan orang yang bukan tandingnya."
Titiek Sariningaih mengangkat mukanya memandang Sindu.
"Tadi kakek begitu dan sekarang juga begitu. Kalau bukan tandinganku. mengapa Titiek dapat melawan dia sampai cukup lama?"
"Cucuku, hem......"
Sindu menghela napas.
"Kau tidak tahu keadaan yang sebenarnya. Kalau dia tadi benar-benar melawanmu, dalam dua gebrakan saja kau roboh di tangannya. Tahu? Dia memang tak mau melawan engkau. Karena...,..."
"Karena apa ?" desak Titiek Sariningsih.
"Bukankah kau tadi mendengar?"
Titiek Sariningsih baru ingat akan kata-kata tadi. Sebenarnya gadis sekecil Titiek Sariningsih belum tahu apa artinya cinta dan perkawinan. Namun hatinya berkata takkan mau dengan penjahat tadi. Jadi, karena penjahat tadi mau menangkapnya, maka tak mau melawan benar-benar.
"Ham, jadi dia tak mau menyakiti Titiek, karena dia suka padaku ?"
Sindu mengangguk.
"Tapi Titiek tak mau!"
"Maka mulai sekarang Titiek harus berhati-hati. Permintaan kakek, Titiek jangan pergi sembarangan tanpa pamit. Bukan karena kakek mau mengikat kebebasanmu. Tetapi karena kakek sayang padamu. Takut kalau Titiek sampai diganggu orang. Apakah kau mengerti maksud kakek ?"
Titiek Sariningsih mengangguk.
"Kau sudah berusia duabelas tahun sekarang. Dan eh........... "
"Eh apa. kek '!"
"Wajahmu cantik. Itulah sebabnya kau harus hati hati." ,
"Mengapa harus begitu? Kalau jelek bagaimana? Apakah tak perlu berhati-hati? Kalau begitu aku pilih jelek saja, kek."
"Hush!"
Mau tak mau Sindu tertawa terkekeh saking geli. Dan Titiek Sariningsihpun ikut tertawa.
"Sudahlah, teruskan kau makan. Tentang cantik dan jelek itu. kemudian hari engkau bakal tahu sendiri artinya, sesudah engkau dewasa. Hanya sekali lagi, maukah kau memenuhi permintaan kakek tadi?"
"Tentu, kek. Aku ingin belajar lebih tekun agar menjadi gadis perkasa. Tapi berapa tahun lagi, kek?"
Titiek Sariningsih mengamati Sindu.
"Semua itu tergantung kepadamu sendiri. cucuku.Kalau kau rajin dan penurut. takkan lama lagi."
"Aku akan rajin dan penurut, kek. Aku ingin segera dapat bertemu dengan ayah bundaku. Ah, betapa gembira ayah bunda, setelah berpisah beberapa tahun lamanya, Titiek sudah menjadi lain. Hi-hi-hikkkk...... eh, kek, kau menangis...........?"
Titiek Sariningsih kaget ketika melihat dari sudut mata Sindu menitik air mata. Dan Sindu cepat sadar dan menyeka air mata itu sambil menggeleng. Sahut Sindu,
'Kau yang menyebabkan tadi. Karena kau menangis, aku jadi ketularan."
"Hi-hi-hik, kau lucu. kek. Mengapa menangis bisa menyebabkan orang ketularan?"
"Bisa saja. Bukankah kau banyak melihat di desa yang tak jauh dari sini? Seorang kakak yang menangis, akan segera ditiru oleh adiknya yang masih kecil."
"Tapi kakek kan bukan kecil lagi."
Meledak ketawa Sindu. Kata-kata Titiek Sariningsih yang wajar dan polos seperti inilah yang membuat Sindu terhibur dan menyayang Titiek Sariningsih. Sebab bisa memancing gelak dan ketawanya.
Tapi mengapa Sindu tadi menitikkan air mata?
Ucapan Titiek Sariningsih tentang ayah-bundanya itulah yang membuat Sindu terharu dan kasihan kepada Titiek Sariningsih. Apabila teringat akan nasib muridnya ini, Sindu menjadi amat khawatir. Selama ini ia selalu menipu dan mengatakan bahwa ayah bundanya masih hidup. Kemudian ia menghibur betapa ayah bundanya kelak akan senang sekali, Titiek Sariningsih telah menjadi seorang wanita perkasa. Kalau saja Titiek Sariningsih tahu, bahwa ayah bundanya telah meninggal.
Bagaimanakah perasaan muridnya ini?
Ayahnya gugur di medan perang melawan Mataram. Sedang ibunya mati terbunuh oleh orang secara kejam dan biadab. Sungguh Sindu menjadi bingung sendiri.
Bagaimana kelak caranya ia menghadapi dan menerangkan tentang nasib ayah bundanya Itu?
Namun sekarang belum sampai pada waktunya. Mengapa harus dibuat pusing?
Hmm Sindu menghela napas. Memang hidup hanyalah saat ini. Bukan yang telah dilewati dan bukan pula nanti atau besok. Yang telah dilalui berarti sudah lewat. Dan nanti atau esok pagi, setiap orang belum tahu apa yang akan terjadi.
'Titiek," katanya kemudian dengan nada yang halus penuh kasih sayang,
'Engkau apa merasakan juga, betapa besar kaSih sayangku padamu?"
"Hi, hi. hik, mengapa kakek bertanya? Bukankah Titiek sudah berkata, bahwa kakek di samping guru juga kakekku. Bukan kakek angkat. Tetapi kakek kandungku ......" setelah mengucapkan katanya yang terakhir, Titiek Sariningsih kembali menyembunyikan mukanya didada Sindu yang kerempeng.
Sindu mengusap-usap rambut Titiek Sariningsih yang hitam itu penuh getaran kasih sebagai kakek terhadap cucu yang dikasihi.
"Terima kasih, cucuku, terima kasih. Sungguh bahagia kakek mempunyai seorang cucu yang manis seperti engkau." '
Ia berhenti sebentar. Kemudian ia melanjutkan.
"Titiek, pengalaman yang baru lalu, bagimu amat berharga.Dengan sedikit pengalaman itu, berarti mulai terbukalah matamu, bahwa dunia ini amat luas. Orang tak bisa membanggakan sebagai seorang pandai. Maka mulai saat sekarang. engkau harus lebih berhati-hati, di samping makin giat dan tekun berlatih. Engkau harus menjadi seorang Srikandi jaman ini. Harus, kataku! Apakah kau mengerti?"
Titiek Sariningsih menganggukkan kepala.
'Ya. kek."
"Engkau harus mengerti bahwa penjahat tadi mempunyai seorang guru yang sakti mandraguna."
"Oh ya, agaknya kakek tadi sudah kenal?"
Titiek Sariningsih menatap kakeknya. Sindu mengangguk.
"Benar, aku sudah kenal dengan dia dan gurunya pula. Orang yang jahat seperti dia, sulit diduga perasaan dan hatinya. Siapa tahu kalau dia melapor gurunya, kemudian datang kemari untuk membalas dendam?"
Titiek Sariningsih mengangkat mukanya memandang kakek itu dengan wajah heran.
"Kakek, takutkah kakek terhadap dia dan gurunya? Apakah kakek sekarang telah berubah menjadi seorang penakut?"
Mendengar pertanyaan muridnya ini, Sindu terkekeh,
"Hah bukan. bukan karena takut dan tidak takut. cucuku. Orang yang bisa menerima hidup ini secara wajar, apa adanya tanpa penilaian apa-apai, takkan pernah takut kepada apapun. Sebab memang tidak pernah mengenal apa yang disebut takut, derita, sedih. suka dan lain sebagainya. Ibarat tumbuh-tumbuhan. sebatang pohon nyiur. Baik di saat kemarau yang kering maupun di waktu hujan, tak pernah terjadi sesuatu perubahan."
Sindu berhenti dan mengamati muridnya ini. Kemudian lanjutnya,
"Titiek, aku tak menghendaki terjadinya permusuhan, kekerasan dan sebagainya. Harapankupun engkau jangan menjadi seorang yang mendekatkan diri kepada kekerasan dan permusuhan. Kapankah dunia ini bisa damai dan tenteram, kalau orang hanya pandai bicara muluk-muluk tetapi tak dapat melakukan perbuatan baik untuk masalah yang digembar-gemborkan itu? Kapankah manusia ini bisa rukun dan bahu membahu. kalau orang dipecah-pecah dengan macam macam bentuk?
Begitulah, Titiek, jadilah engkau manusia yang dapat mengenal hidupmu. Hidup ini ada yang memberi hdup. Ada Penguasa Tertinggi di atas kita yang tak dapat kita kenal dan kita ketahui akan tetapi jelas ada dan tak terbantah."
Gadis yang masih sekecil Titiek Sariningsih ini tentu saja masih kurang dapat menangkap arti dan maksud katakata Sindu. Namun demikian ada serba sedikit yang masuk ke dalam sanubarinya, dan Titiek Sariningsih mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia berjanji dalam hatinya sendiri, ingin selalu patuh dan tunduk kepada gurunya. Ia bercita-cita tinggi. Agar kelak kemudian hari ia dapat menyumbangkan tenaganya untuk kepentingan manusia. Lebih-lebih bagi kaum wanita yang dianggap lemah, agar wanita memperoleh penghargaan sewajarnya sebagai manusia yang berkedudukan sama tinggi.


Kisah Si Pedang Buntung Lanjutan Ratu Wandansari Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mereka kemudian meneruskan makan. Baik Sindu maupun Titiek Sariningsih makan dengan lahap. sekalipun lauk pauk yang disediakan amat sederhana. Memang demikianlah kenyataannya, setiap makanan yang masuk ke dalam mulut akan lebih terasa enak. bilamana manusia dapat menerima apa adanya.
Tanpa penilaian.
Tanpa perbandingan.
Orang yang selalu menggunakan penilaian perbandingan, manakah mungkin dapat hidup nikmat, senang dan merasa bahagia?
Karena manusia yang demikian akan diperkuda oleh nafsu. Nafsu-nafsu yang selalu berkembang dan tak pernah henti selama manusia tak mau sadar dan menyadari. Dalam segala hal apabila manusia tidak dapat menguasai nafsu yang selalu berkembang ini akan selalu merasa hidupnya sengsara dan tak pernah puas. Kasihan juga manusia macam ini. Dia sama halnya akan menyamai Tuhan.
Manakah mungkin? _
Demikianlah. hari-hari selanjutnya Titiek Sariningsih makin rajin berlatih. Semua ilmu yang diberikan oleh Sindu selalu dilalapnya tanpa rasa segan dan tanpa penilaian. Ia percaya penuh, bahwa apa yang diberikan gurunya, tentu berguna bagi dirinya kelak kemudian hari. Sekalipun demikian bukan berarti Titiek Sariningsih hanya selalu 'membebek". Ia memiliki otak yang cerdas dan bakat luar biasa. Sering sekali ia mengajukan kritik kalau menurut pikirannya yang masih kecil itu dirinya kurang benar. _
Antara guru dan murid ini seperti berlomba dalam membajakan diri dengan tiga macam ilmu warisan Ki Ageng Kebo Kanigoro. atau yang dikenal orang Ki Ageng Purwoto Sidik.
Tanpa terasa, telah tiga tahun lamanya Titiek Sariningsih digembleng oleh Sindu. Baru tiga tahun. Akan tetapi berkat bimbingan Sindu yang tekun tanpa kenal lelah dan memang berbakat. rajin dan cerdik, Titiek Sariningsih telah merupakan gadis cilik yang perkasa, di samping kecantikannya semakin nyata.
Telah beberapa kali Titiek sariningsih mendesak kepada kakeknya agar diantarkan ke Tuban untuk bertemu dengan ayah bundanya yang sudah amat dirindukannya. Pada mulanya Sindu selalu menangguhkan dengan bermacam alasan. Akan tetapi setelah Titiek Sariningsih berumur limabelas tahun, dan kepandaiannya telah tidak mengecewakan. maka permintaan Titiek Sariningsih itu dikabulkan oleh Sindu.
Pagi hari di dalam tahun 1625 itu. Sindu bersama Titiek Sariningsih meningalkan tempat tinggalnya, setelah lebih dahulu berziarah ke makam Kebo Kanigoro atau guru mereka. Didepan makam ini, sesuai dengan kebiasaan yang berlaku. Sindu mengucapkan kata-katanya.
"Guru perkenankanlah murid pertama Sindu, dan murid kedua Titiek Sariningsih, untuk sementara pergi meninggalkan guru. Sekalipun dapat dikatakan masih mentah murid mempelajari dan meyakini ilmu yang guru tinggalkan dan wariskan kepada kami namun murid percaya bahwa dengan bekal ilmu tersebut, murid telah dapat menunaikan tugas seperti yang guru perintahkan. Dalam pada itu murid berjanji pula seauai dengan wasiat guru, akan selalu menghindari pembunuhan dalam melaksanakan tugas kami. Hanya apabila terpaksa saja murid harus melanggar perintah guru, melakukan pembunuhan guna kepentingan masyarakat."
Setelah Sindu mengucapkan kata-katanya tersebut, Titiek Sariningsih tak mau ketinggalan.
"Sekalipun kakek tadi telah memperkenalkan nama murid, namun murid belum lega sebelum mengucapkan sendiri di depan makam guru. Murid bernama Titiek Sariningsih. Asal dari Tuban, anak seorang Tumenggung. Murid masih kecil ketika meninggalkan Tuban mengikuti kakek Sindu. Maka murid ketika itu belum tahu nama ayah. Tetapi oleh pemberitahuan kakek Sindu, murid sekarang mengerti bahwa nama ayah murid, tumenggung Kebo Bangah."
Titiek Sariningaih berhenti sebentar. seakan sedang berpikir. Kemudian lanjutnya,
"Ketika murid pergi mengikuti kakek Sindu, ayah tiada di rumah. Sedang ibu ketika itu tidur. Murid sudah amat rindu sekali kepada ayah bunda. Karena itu ijinkanlah murid pergi ke Tuban mengunjungi orang tua murid. Dan murid berjanji pula, takkan melupakan guru. Pada setiap kesempatan murid akan kemari, berjiarah ke makam guru. Murid merasa banyak berhutang budi kepada guru, dan tidak mungkin murid dapat membalasnya. Maka dari itu murid hanya bisa membalas kebaikan guru, dengan selalu patuh kepada pesan terakhir guru. Murid tidak akan melakukan pembunuhan kepada siapapun, apabila tdak terpaksa."
Gadia cilik ini kembali berhenti. Mengerutkan alisnya, seakan sedang mengumpulkan daya ingatannya. Sesaat kemudian setelah menghirup napas, ia meneruskan lagi,
"Guru, sesuai dengan pesan guru, mulai saat sekarang murid Titiek Sariningsih takkan terpisah lagi dengan pedang pusaka Si Buntung. Pedang pusaka pemberian guru ini, akan murid pergunakan menunaikan tugas membela keadilan dan kebenaran."
Berkali-kaii Sindu menghela napas dan menahan haru, mendengar kata kata Titiek Sariningsih yang demikian itu. Kecil orangnya, namun ternyata Titiek Sariningsih sudah amat pandai menempatkan diri. Maka di samping terharu, diam-diam Sindu juga merasa kagum terhadap murid dan sekaligus adik seperguruanrya ini. Maka besarlah harapannya, mudah mudahan Titiek Sariningsih kemudian hari akan menjadi Srikandi dan pembela keadilan.
Setelah masing-masing mengucapkan janji di depan makam Ki Ageng Purwoto Sidik di makam Banyubiru itu, mereka kemudian bersujud, seperti layaknya orang yang menunjukkan baktinya kepada orang yang dihormati. Setelah itu barulah Sindu dan Titiek Sariningsih menaburkan bunga di atas batu nisan. Kata Sindu kemudian,
"Titiek. cucuku. Tadi engkau sudah mengucapkan janjimu, akan mempergunakan ilmu warisan Ki Ageng Purwoto Sidik untuk membela keadilan dan kebenaran. bukan? Dan tentunya pedang Si Buntung itu, tak akan kaupergunakan sesuka hatimu. bukan? Pedang tetap sebuah benda, dan ilmu tetap ilmu. Baik dan buruknya benda dan ilmu itu, tergantung kepada yang menggunakannya. Maka aku amat gembira sekali, bahwa engkau akan melakukan tugas kewajibanmu sebaik-baiknya. Mudah-mudahan, Tuhan akan selalu melindungi dan memberkahimu."
"Terima kasih kek. Tetapi bukankah aku akan selalu berdekatan dengan kakek?" tanya Titiek Sariningsih.
"Mudah-mudahan Tuhan mengijinkan, aku dan kau selalu berdekatan dan tak pernah terpisah. Sebab terus terang sebelum engkau menjadi matang ilmumu, aku masih selalu khawatir dan tidak tega. Oleh sebab itu kau tak boleh lengah sedikitpun, dan harus selalu tekun berlatih."
"Hi. Hi, hik, tentu saja, kek. Dunia amat luas, dan tak terhitung manusia sakti mandraguna. Maka siapa yang tak ingin ketinggalan, harus merasa selalu bodoh dan terus belajar."
Sindu mengangguk-angguk makin kagum dan terbaru. Benar-benar gadis yang cerdas dan baik, anak yatim piatu ini. Sungguh ia merasa beruntung sekali, dapat menemukan Titiek Sariningsih tiga tahun yang lalu. Namun teringat akan nasib Titiek Sariningsih ini, diam-diam ia khawatir juga.
Bagaimanakah nanti setelah tiba di Tuban?
Hemm, tetapi apa jadinya nanti tidak perlu dipikirkan sekarang.
"Setelah kita tiba di Tuban. akupun perlu mengunjungi rumah Perguruan Tuban."
Sindu berkata, sambil jari-jari tangannya meraba-raba pada pinggang.
"Untuk apa, kek?"
Titiek Sariningsih melengak. Tetapi begitu melihat Sindu meraba-raba pinggang, Titiek Sariningsih dapat menduganya.
"Oh, ya .. . aku tahu maksudmu, kek. Bukankah hubungannya dengan pedang patah yang bernama Jati Sari itu?"
'Kau benar. Akan aku kembalikan pedang ini kepada pemiliknya yang syah."
"Eh. mengapa, kek? Bukankah kau tidak mencuri? Pedang itu kakek serdiri pernah mengatakan merupakan pedang pusaka. Bukankah itu artinya penting sekali? Sebaiknya kakek berusaha mencari empu dan pandai besi, supaya menyambung pedang itu. Sebagai senjata kita menunaikan tugas kewajiban."
Sindu menghela napas panjang. Sahutnya kemudian.
"Ya, waktu itu aku memang berpikir seperti apa yang kau pikirkan. Dan dahulu aku bercita-cita untuk memberikannya kepadamu. Akan tetapi aku menjadi gelisah sendiri dan merasa bahwa yang sudah aku lakukan tidak benar. Pedang Jati Sari itu bukan milikku. Mengapa aku kuasai? Telah lama terpikir olehku untuk mengembalikan pedang ini kepada yang berhak, menunggu saat apabila aku mengantarkan engkau ke Tuban. Hemm ternyata kemudian, rasa kesadaranku ini memperoleh ampun dari Tuhan. Secara tak sengaja, kita temukan peti batu warisan Ki Ageng Purwoto Sidik alias Ki Ageng Kebo Kanigoro, yang sekarang menjadi guru kita. Engkau sekarang telah memiliki sebatang pedang pusaka Si Buntung, pedang lemas yang bisa kaulingkarkan di pinggang. Bukankah pedang warisan guru itu lebih berharga dari pedang Jati Sari ini? Dan hem......"
Sindu berhenti sebentar. Lalu meneruskan,
"Titiek, dengarlah. Manusia memang bisa melakukan apa saja, baik secara sembunyi maupun secara terang. Orang yang berbuat secara tersembunyi, contohnya seperti apa yang sudah aku lakukan. Aku merebut pedang Jati Sari 'itu dari tangan murid Tuban. Benar orang tak tahu aku yang
melakukan kecurangan itu. Akan tetapi janganlah kau berpikir bahwa tidak ada yang tahu. Ada! Yang Maha Tahu yang tak mungkin dapat ditipu oleh manusia. Titiek, sekalipun orang bisa melakukan kecurangannya, namun taklah mungkin rasa hatinya merasa tenteram. Hatinya akan selalu gelisah. Dan rasa tak tenteram maupun rasa gelisah ini merupakan hukuman pertama dari Yang Maha Tinggi."
Sindu berhenti lagi, dan sesudah menghela napas barulah ia meneruskan
"Nah, Titiek. selama ini aku selalu gelisah. Maka jalan satu-satunya dan yang terbaik, adalah apabila aku mengembalikan pedang Jati Sari kepada yang berhak. Sebab pedang itu merupakan pedang pusaku Perguruan Tuban, Apakah engkau bisa mengerti alasanku ini ?"
"Bagus,"
Titiek Sariningsih bertepuk tangan gembira,
"Ya, watak kakek ini merupakan cermin bagi jalan hidupku kemudian hari. Kek. Titiek akan selalu berusaha agar selalu berbuat baik dan dijauhkan oleh Tuhan dari perbuatan-perbuatan yang tak baik."
Sindu amat gembira mendengar pernyataan Titiek Sariningsih ini. dan saking gembiranya, Titiek Sariningsih dipeluk dan diciumi dahinya.
"Bagus, Titiek,. Aku berbesar hati dan percaya, engkau akan selalu dapat memegang teguh janjimu."
Demikianlah, setelah mereka selesai berjiarah di makam guru mereka ini, kakek dan cucu ini lalu meninggalkan makam ini, dan tak diketahui kapan lagi akan bisa datang. Untuk tidak membuat para penduduk desa yang banyak mempunyai hitungan dengan mereka merasa kehilangan, maka lebih dahulu guru dan murid atau kakak beradik seperguruan ini, datang kepada mereka untuk minta diri. Penduduk desa yang mereka datangi itu berkumpul dan berkerumun. Ketika mereka mendengar maksud kakek dan cucu ini, mereka kaget. Di antara mereka tidak sedikit yang menitikkan air mata dan menangis, mohon agar kakek dan cucu ini tidak meninggalkan mereka. Sebab dua orang ini bagi para peduduk desa itu maupun penduduk desa lainnya, merupakan pelindung. Terlebih lagi setelah terjadinya peristiwa pengacauan Sungsang di desa Tawang, para penduduk merasa khawatir kalau peristiwa itu terulang kembali.
Titiek SariningSih yang banyak berhubungan dengan penduduk desa apabila membutuhkan sesuatu, tak kuasa menahan air matanya. Ia ikut menangis.
"Tiada pertemuan tanpa akhir," kata Sindu sambil menghela napas.
Kata kata Sindu berusaha menghibur.
"Namun janganlah kalian gelisah dan khawatir. Kepergian kami ini bukan merupakan kepergian seterusnya. Harap kalian ketahui, bahwa cucuku Titiek Sariningsih ini berasal dari Tuban. Telah tiga tahun lamanya dia berpisah dengan ayah bundanya. Titiek Sariningsih sudah amat rindu sekali kepada orang tuanya. Setelah urusan ku selesai, kami akan segera kembali kemari. Sebab pada kenyataannya, kamipun berat sesungguhnya untuk berpisah dengan kalian."
Melengaklah para penduduk ini ketika memperoleh keterangan, bahwa Titiek Sariningsih berasal dari tempat yang jauh, dan telah tiga tahun terpisah dengan orang tuanya. Selama ini mereka memang tak pernah bertanya tentang hubungan antara Sindu dan Titiek Sariningsih. Semula para penduduk mengira bahwa Titiek Sariningsih merupakan cucu Sindu, yang telah kehilangan orang tua.
Kemudian peristiwa yang tak pernah diduga oleh Sindu dan Titiek Sariningsih terjadi. Berbondong-bondong para penduduk dari lain desa yang tak berjauhan letaknya, tua muda laki-laki dan perempuan. Para penduduk lain desa ini, tadi dihubungi dengan bunyi pukulan kentongan. Mereka kemudian mengerumuni Sindu dan Titiek Sariningsih. Sungguh hal ini membuat kakek dan cucu ini makin menjadi terharu. Sedemikian besar rasa cinta para penduduk desa sekitar ini kepada mereka. Lebih-lebih rasa terbaru ini memenuhi dada Titiek Sariningsih dan Sindu, ketika para penduduk itu memberikan tanda mata yang berujud aneka macam. Ada yang berujud kelapa, beras, pisang dan hasil bumi lainnya, di samping pula kain panjang dan kain baju.
Bagi Sindu dan Titiek Sariningsih yang mau melakukan perjalanan ini, taklah mungkin bisa membawa seluruh benda pemberian penduduk desa tersebut. Akan tetapi kalau harus menolak tanda kasih penduduk ini, juga tidak mungkin. Bagaimanakah perasaan para penduduk imi, tentu menjadi kecewa kalau pemberian yang iklas itu ditolak. Akhirnya ditempuhnya jalan yang paling tepat dan baik, oleh Sindu. Ia membatalkan kepergiannya hari ini, untuk berkumpul selama sehari semalam dengan mereka, sambil menyelenggarakan perta sederhana. Untuk hidangan terselenggaranya pesta ini, cukup dengan benda benda pemberian penduduk secara gotong royong.
Karena dalam pesta perpisahan yang meriah antara penduduk dan Sindu maupun Titiek Sariningsih ini tidak terjadi sesuatu peristiwa yang penting, maka kurang perlu diceritakan.
Pagi harinya, Sindu dan Titiek Sariningsih jadi meninggalkan para penduduk, dengan dieluelukan sampai ke tempat yang cukup jauh.
' Hemm, tak pernah aku duga terjadi peristiwa semacam tadi malam," kata Sindu setelah para penduduk yang mengantarkan kembali ke desa masing-masing.
"Yu. akupun sampai terharu, kek. Demikian besar rasa cinta mereka kepada kita," sahut Titiek Sariningsih.
'Dan dengan terjadinya peristiwa yang baru berlalu, dapat kaujadikan guru dan pengalaman, Titiek."
"Apakah maksud kakek?"
Titiek Sariningsih mengamati Sindu dengan pandang mata heran.
"Cucuku yang baik maksudku adalah apa saja yang baik, tentu tumbuh baik pula serta memetik buahnya. Berkat hubungan baik, berkat keringanan tangan kita untuk kepentingan mereka, maka mereka ingin sekali membalas budi dengan cara mereka sendiri. Nah, begitulah yang terjadi di dunia ini. Siapa menanam tentu bakal memetik buahnya. Maka engkau harus pandai membuktikan janjimu, baik kepadaku maupun kepada guru almarhum."
'Tentu, kek, aku tak akan menodai nama baik kakek maupun nama baik guru.'
Titiek Sariningsih menyahut dengan mantap.
"Tetapi yang perlu engkau ingat dan camkan, janganlah engkau beranggapan, bahwa budi dapat diperhitungkan."
Titiek Sariningsih melengak dan memandang Sindu. Ia belum tahu maksud ucapan Sindu. Maka tanyanya,
"Apakah maksud kakek?"
"Orang beranggapan, bahwa tiap budi itu harus dibalas dengan budi pula. Dengan begitu, barulah orang merasa puas dan merasa lunas hutang budinya. Titiek. sesungguhnya anggapan ini keliru. Manakah mungkin budi bisa diperhutangkan seperti benda dan uang? Seseorang Yang berbuat untuk kebaikan, harus sepi dari pamrih apapun. Bila ada tersembunyi pamrih, kebaikan itu berubah menjadi keburukan dan kepalsuan. Berbuatlah baik. Titiek! Tanpa sesuatu harapan maupun maksud lain lagi. Dengan demikian, perbuatan itu menjadi iklas. Jangan di kotori oleh harapan bahwa orang yang berbuat baik, kelak akan masuk sorga. Dan sebaliknya yang melakukan perbuatan tak baik, kelak akan diceburkan ke dalam neraka "
Titiek Sariningsih mengangguk anggukkan kepalanya. Sepasang matanya yang bening seperti bintang pagi itu bersinar, pertanda ia dapat menangkap maksud kakeknya.
Jaka Sembung 11 Badai Di Laut Arafuru Kisah Tiga Kerajaan Sam Kok Romance Of The Three Kingdom Karya Luo Guan Zhong Gara Gara Warisan Kisah Oey Eng Si Burung Kenari Karya Siao Ping

Cari Blog Ini