Ceritasilat Novel Online

Kisah Si Pedang Buntung 15

Kisah Si Pedang Buntung Lanjutan Ratu Wandansari Karya Widi Widayat Bagian 15


Sindu bertanya dengan bibirnya tetap menyungging senyum.
Titiek Sariningsih yang merasa senang sekali dapat berkenalan dengan tiga orang muda ini, telah mendahului menjawab.
"Kek, mbakyu ini bernama Nuryanti. Dan ini kakang Danardono, di samping kakak seperguruan Juga kakak kandungnya. Sedang ini, adalah kakang Danang. Tadi mereka menerangkan padaku bahwa mereka murid dua orang tokoh sakti Perguruan Sumbing, kakek Bimo dan Kunting."
"Ah." seru Sindu tertahan.
"Benarkah?" tiga orang bersaudara itu mengangguk mengiakan.
Dan Sindu tersenyum sambil mengangguk-angguk.
"Hem. aku sudah lama mendengar nama besar guru kalian, sebagai' tokoh Perguruan Sumbing yang jujur dan perwira. Maka sungguh beruntung, anak, kalian merupakan murid tokoh sakti itu."
"Terima kasih, paman," sahut Danardono mewakili saudara saudaranya.
'Dan kami yang muda, merasa amat beruntung sekali dapat bertemu dan berkenalan dengan paman Sindu."
"Ah... kalian sudah mengenal aku...?"
Sindu terbelalak keheranan.
Titiek Sariningsih cekikikan.
"Hi-hi-hik, mengapa kakek kaget? Akulah yang sudah memperkenalkan nama kakek. Dan aku juga menceritakan tentang peristiwa kemarin, ketika kakek mau dipaksa oleh bekas kakak seperguruan kakek. Namun tanpa kesulitan, kakek telah berhasil mengalahkan bekas kakak seperguruan itu."
Sindu mengerutkan alis mendengar jawaban muridnya ini. Sesungguhnya ia merasa tidak senang akan kelancangan Titiek Sariningsih ini. Akan tetapi perasaannya ini dalam waktu singkat sudah terusir. Sebab muridnya ini memang tak bersalah. Dia hanya menceritakan apa yang terjadi dan diketahui. Bagi seorang bocah yang baru berusia dua belas tahun seperti muridnya ini, tentu saja peristiwa macam itu merupakan peristiwa yang amat menarik. Dan tentu saja bocah itu menjadi bangga, begitu menyaksikan orang yang menjadi gurunya menang dalam berkelahi.
Sebagai seorang bocah yang cara berpikirnya masih amat sederhana. tentu saja tanpa dipesan, segala hal yang dilihat dan diketahui, tentu suka sekali menceritakan kepada orang lain. Ia merasa bangga lebih tahu dari orang lain. Dengan begitu, Titiek Sariningsih tak bersalah. Malah Sindu sendiri yang merasa bersalah, mengapa ia kurang hati hati.
Tetapi sekalipun demikian, Ia agak khawatir kalau Titiek Sariningsih tadi menceritakan pula tentang kedudukannya yang pernah dipangku di Mataram. Maka pancingnya kepada muridnya,
"Apa saja yang sudah engkau ceritakan?"
"Aku tidak menceritakan apa-apa. kecuali tentang terjadinya perkelahian kakek dengan dua orang bekas kakak seperguruan kakek," sahut Titiek Sariningsih.
"Apakah kakek marah?"
Sindu tersenyum sambil menggeleng. Kemudian ia mengalihkan pembicaraan dan bertanya kepada tiga orang muda itu.
"Tempat ini begitu jauh dengan Gunung Sumbing. Apakah kalian saat ini sedang menyelenggarakan perjalanan jauh?"
"Benar. paman." sahut Nuryanti,
"Memang saat ini kami sedang menuju Surabaya, melaksanakan perintah guru."
"Ke Surabaya ?"
Sindu kaget.
"Mungkinkah kalian bisa masuk daerah terlarang itu?'
Kalau Sindu kaget dan mengucapkan kata-kata seperti itu, memang tidak aneh. Sebab sepengetahuan Sindu. wilayah Surabaya merupakan daerah tertutup, yang dikurung oleh pasukan Mataram.
Karena Sindu tampak kaget, tiga orang muda inipun menjadi kaget juga. Tanya Danang agak ragu-ragu,
'Benarkah itu, paman, bahwa Surabaya merupakan daerah terlarang? Mengapa sebabnya? Apakah mempunyai hubungan dengan bakal dilangsungkannya perkawinan antara Kangjeng Adipati Pangeran Pekik dengan Gusti Kangjeng Ratu Wandansari itu?"
'Apa?"
Sindu makin kaget lagi.
"Kau bilang bahwa Gusti Kangjeng Ratu Wandansari bakal kawin dengan Jaka Pekik yang dahulu memusuhi Mataram itu?"
Tiga orang muda ini meleggak mendengar pertanyaan Sindu ini, dan menjadi bingung. Untuk beberapa saat tiga orang muda ini saling pandang dan saling bertanya dengan pandang mata mereka. Sedang Titiek Sariningsih yang biasanya ceriwis itu, berdiam diri pula karena tak tahu tentang soal yang baru dibicarakan. Gadis cilik ini memandang mereka bergantian, agaknya penuh perhatian pula.
Untung bahwa Sindu segara sadar, bahwa sudah cukup lama ia terasing dari pergaulan masyarakat, dan buta pula tentang keadaan Negara Mataram. Lebih tiga tahun lamanya ia bersembunyi dan menggembleng Titiek Sariningsih dan dirinya sendiri.
Maka siapa tahu selama waktu itu sudah banyak terjadi perubahan tanpa diketahui?
Ingat akan soal ini, maka Sindu cepat berkata.
"Eh.... nanti dulu, anak, hemm...... apakah sudah banyak terjadi perubahan selama tiga tahun terakhir ini'? Aku....... ya, lebih tiga tahun lamanya terasing dari pergaulan, dan buta akan kabar peperangan. Cobalah, anak. engkau ceritakan apa yang engkau ketahui."
Mendengar itu, Danardono cepat bisa menduga mengapa sebabnya Sindu tadi menyebut Surabaya daerah terlarang. Dan sesuai dengan pengakuan Sindu, maka pemuda ini dapat menduga, bahwa kiranya kakek ini tidak tahu bahwa antara Mataram dan Surabaya sekarang sudah terjalin hubungan yang baik, dan malah akan dilangsungkan perkawinan antara Ratu wandansari dengan Jaka Pekik. Menduga demikian pemuda ini segera menjawab,
"Paman,
sepanjang yang saya ketahui, Surabaya sekarang sudah tunduk dan mengakui kedaulatan Mataram, karena Surabaya sudah dikalahkan. Pangeran Pekik tetap diangkat sebagai Adipati Surabaya, malah kemudian atas perkenan Ingkang Sinuhun Sultan Agung. akan dikawinkan dengan Gusti Kangjeng Ratu Wandansari."
Mendengar keterangan singkat dari Danardono ini, Sindu mengangguk angguk. Sekarang baru diketahui, bahwa perang telah selesai. Adipati Surabaya yang merupakan lawan terkuat bagi Mataram telah berhasil ditundukkan. Diam-diam ia gembira, bahwa perang telah selesai. Tetapi juga merasa agak malu, bahwa begitu kembali menerjunkan diri ke dalam masyarakat, dirinya sekarang ini ibarat seorang dungu yang tak tahu mana utara dan mana selatan. Ia buta akan keadaan.
Agar para pembaca dapat memperoleh gambaran yang jelas soal jatuhnya Surabaya ini, baiklah kiranya serba sedikit diungkapkan tentang jatuhnya Surabaya oleh penyerbuan Mataram itu.
Seperti sudah diceritakan serba sedikit pada bagian depan cerita ini, bahwa setelah cukup lama mengepung Surabaya tak berhasil menundukkan, maka pasukan Mataram yang jumlahnya puluhan ribu orang itu ditarik mundur. Keuntungan yang diperoleh gerakan pasukan Mataram itu yang terang berhasil menundukkan Tuban. Gresik dan Jaratan. Peristiwa tersebut terjadi pada tahun l6224
Selama lebih kurang dua tahun, ketenangan Surabaya tidak pernah diusik, dan Mataram tidak pernah mengadakan penyerbuan lagi. Di saat Surabaya tidak diancam oleh Mataram ini. Jaka Pekik memperoleh kesempatan untuk mengadakan hubungan dengan sahabat-sahabatnya, para tokoh sakti dari beberapa perguruan. Maksudnya Jaka Pekik minta bantuan para tokoh sakti itu, agar bersedia memperkuat Surabaya dalam menghadapi Mataram.
Akan tetapi para tokoh sakti itu menolak, apabila mereka harus membantu surabaya terang terangan. Hal itu bukan karena tidak simpati kepada perjuangan Jaka Pekik. Tetapi adalah untuk menyelamatkan perguruan dan murid-muridnya dari ancaman Sultan Agung, justeru yang mereka tempati adalah Wilayah Mataram. Maka kemudian mereka hanya mengirimkan bantuan murid-murid perempuan yang terpilih, untuk memperkuat pertahanan Surabaya. Apa yang mereka lakukan bukan lain semacam balas jasa atas kebaikan Jaka Pekik sebelum bertemu dengan ayahnya, dan sebelum diserahi tugas sebagai penguasa Surabaya.
Sebagai akibat banyaknya bantuan dari beberapa perguruan Itu. maka Surabaya menjadi makin kuat. Sulit bagi Mataram untuk menundukkan Surabaya. Karena pasukan Surabaya bertahan di sepanjang benteng alam yang berujud Sungai Mas dan Porong.
Akan tetapi sebaliknya pihak Matarampun cerdik sekali. Sultan Agung tahu, bahwa beberapa wilayah timur terpengaruh oleh Surabaya. Maka pada tahun l024, berangkatlah pasukan Mataram yang dipimpin oleh Tumenggung Sujonopuro, langsung memukul Madura. Di mana daerah Madura ketika itu dibagi menjadi lima kabupaten, ialah Arisbaya, Pamekasan. Sumenep, Sampang dan Balega. Pada mulanya memang pasukan laut Mataram itu dipukul mundur setelah berhasil mendarat, akan tetapi sesudah itu pasukan Mataram maju kembali, dengan bantuan dentuman meriam.
Namun ternyata pasukan Balega merupakan perajurit-perajurit gagah berani. Pada suatu malam diserbulah markas Mataram. Pada penyerbuan ini Tumenggung Sujonopuro terbunuh mati. Hampir saja pasukan Mataram yang kehilangan pimpinan itu berantakan, karena mereka tidak berani keluar dari tempatnya berlindung. Untunglah kemudian bahwa pasukan Mataram yang ke dua di bawah pimpinan Juru Kiting segera datang menolong. Maka pasukan Mataram pada akhirnya dapat menguasai Pulau Madura.
Setelah Madura jatuh, mulai dipikirkan oleh Sultan Agung untuk memukul Surabaya. Banyak pasukan Mataram ditempatkan di Madura, sebagai persiapan untuk menggempur Surabaya dari laut. Dan kemudian pada tahun 1025. jadilah Surabaya dipukul oleh Mataram dengan pasukan yang amat kuat, dipimpin oleh Sultan Agung sendiri. Namun ternyata pasukan Surabaya sangat kuat. Lebih-lebih pasukan Gagak Rimang, dalam mempertahankan Surabaya tidak takut mati. Maka penyerangan yang dlakukan dari darat dan laut tersebut, selalu gagal dan tak berhasil.
Untung segera diperoleh akal yang tepat dan baik guna menundukkan Surabaya. Kali Mas dan Porong dibendung. Karena aliran sungai itu terhalang dan setiap detik air bertambah, maka menggenanglah air tersebut ke Wilayah pinggir Kadipaten Surabaya. Bukan saja air yang menggenang, tetapi juga kotoran dan bangkai maupun jenazah orang yang tak terawat. Sebagai akibatnya, terjangkitlah Wabah penyakit menular di Wilayah Surabaya. Dan akhirnya Jaka Pekik yang berhati emas dan tak tega menyaksikan rakyatnya menjadi korban dan menderita, ia memilih tunduk dan takluk kepada Mataram
Demikianlah yang terjadi. Setelah Surabaya tunduk. Jaka Pekik diangkat lagi oleh Sultan Agung sebagai penguasa Surabaya. Malah kemudian Jaka Pekik memperoleh hadiah puteri Mataram, Ratu Wandansari.
Sulit dilukiskan betapa gembira adipati yang masih muda itu atas perkenan Sultan Agung. Sebab bagi Jaka Pekik, puteri Mataram yang bernama Ratu Wandansari itu merupakan satu-satunya wanita di dunia ini yang amat dicinta. Sejak lama Jaka Pekik jatuh cinta kepada Ratu Wandansari. Namun mengingat bahwa kedudukan Ratu Wandansari berseberangan dengan dirinya, selama itu rasa rindu dan cintanya kepada Ratu Wandansari, selalu disimpan dan ditekan dalam hati.
"Begitulah, paman. Serba sedikit yang saya ketahui." kata Danardono.
'Kami bertiga sebagai utusan guru untuk datang ke Surabaya. Untuk mewakili, guru berdua. guna mengucapkan selamat kepada Pangeran Pekik sahabat guru. Sebabnya guru tidak datang sendiri dan mengutus kami. bukan lain karena guru berdua sekarang sudah merasa terlalu tua. Mereka telah pikun, dan tak mau meninggalkan tempat tinggalnya."
'Hemm, kalau begitu, kesibukan orang desa tadi juga sehubungan dengan perkawinan Jaka Pekik dengan Gusti Kangjeng Ratu Wandansari?"
tanya Sindu.
"Agaknya memang demikian, paman."
sahut Danang.
"Banyak desa yang kami lewati menyelenggarakan keramaian dengan maksud ikut menyambut gembira terjadinya perkawinan antara Pangeran Pekik dengan Gusti Kangjeng Ratu Wandansari."
Sindu mengangguk-angguk. Diam-diam kakek inipun gembira. Tentu saja sebagai seorang bekas pengawal rahasia Mataram. sedikit banyak mengetahui juga hubungan antara Jaka Pekik dengan Ratu Wandansari. Namun karena Ratu Wandansari tak pernah bicara tentang "cinta". maka Sindu tak pernah tahu adanya hubungan batin antara Ratu Wandansari dengan Jaka Pekik.
Tiba-tiba terdengar Titiek berkata. dengan nada yang manja dan setengah merajuk,
"Kek, kalau begitu Titiek kepengin sekali pergi ke Surabaya sambil nonton pengantin agung itu. Ya. kek, maukah kau? Titiek ingin sekali melihat kota Surabaya. Titiek pernah dengar, Surabaya itu dekat sekali dengan laut. Ahhh....... kek. betapa senang Titiek dapat bersenang senang di pesisir. Mumpung sekarang ini banyak teman, kek, dan syukur sekali kalau Titiek dan kakek bisa diterima pula sebagai tamu oleh Pangeran Pekik. Ya, kek, kita ke Surabaya bersama mbakyu Nuryanti."
"Ah, aku gembira sekali apabila adik pergi pula ke Surabaya."
sambut Nuryanti dengan wajah berseri.
"Dan untuk tidak banyak urusan, adik bisa aku perkenalkan sebagai murid Perguruan Sumbing."
Sebelum Sindu sempat membuka mulut, Titiek sudah menjadi amat gembira. Ia memeluk Nuryanti, katanya.
"Benarkah mbakyu suka bersama Titiek? Aduh, aku senang sekali pergi ke Surabaya."
Kemudian tanpa memperdulikan Sindu yang mengerutkan alis dan agak kaget. Titiek Sariningsih sudah memeluk Sindu dengan sikapnya yang amat manja, sambil merajuk,
"Ya, kek, kau tentu mau pergi ke Surabaya, sambil melihat pengantin agung. Hemm, tentu pengantin bangsawan itu amat jauh perbedaannya dengan pengantin rakyat biasa. Ya..... kek, kita pergi ke. Surabaya......"
Sindu tak cepat menyahut. Sindu merasa serba salah menghadapi permintaan "cucunya" yang tiba-tiba ini.
Bagi yang lain, tentu tiada halangannya pergi ke Surabaya dan ikut menyaksikan pengantin agung itu. Akan tetapi bagi dirinya, sebagai seorang yang lari dari tugas dan ada usaha untuk menangkap, apakah hal itu bukan berarti ibarat "ular mencari gebug"?
Apalagi apabila Ingkang Sinunun Sultan Agung sudah menerima laporan dari Reksogati dan Sawungrana yang gagal melakukan penangkapan, tentu Sultan Agung makin marah sekali.
Kalau Sindu berpikir seperti ini memang tidak salah. Ia tidak tahu bahwa baik Reksogati maupun Sawungrana telah memilih mengasingkan diri untuk menggembleng diri, daripada harus pulang ke Mataram melaporkan kegagalannya menunaikan tugas. Kalau saja Sindu tahu soal ini, tentu Sindu tak menjadi khawatir.
Mengingat hal-hal yang menyangkut pribadinya ini, maka sebelum menjawab pertanyaan Titiek Sariningsih, ia bertanya kepada Nuryanti,
"Anak, apakah engkau tahu kapankah perkawinan agung itu berlangsung?"
"Menurut keterangan guru. perkawinan agung itu kurang satu minggu lagi, dan berlangsung di Plered. Malah tentunya Pangeran Pekikpun saat ini sudah di sana, karena sebagai calon pengantin, tentunya perlu memenuhi segala ketentuan dari raja." jaWab Nuryanti.
Lalu terusnya,
"Akan tetapi guru memerintahkan kami langsung ke Surabaya. Kami diperintah bersiap-siap di sana, dan menunggu setelah pengantin itu boyong ke Surabaya. Tentang kapan pengantin Itu diboyong ke Surabaya, kami belum juga tahu."
Mendengar keterangan Nuryanti itu, Sindu tersenyum. Sekarang ia memperoleh alasan untuk tidak menuruti permintaan Titiek Sariningsih, tetapi juga takkan membuat muridnya ini kecewa. Katanya kemudian.
"Titiek. tentu saja akupun setuju untuk menonton perkawinan agung itu. Tetapi sayang sekali, kita belum tahu kapan pengantin itu diboyong ke Surabaya. Untuk itu, kita perlu membagi waktu yang tepat. Kita menonton pengantin itu, tetapi setelah kita memperoleh keterangan pasti. Sambil menunggu pengantin boyong ke Surabaya, kita selesaikan dahulu urusan kita di Tuban. Bukankah Titiek sudah amat rindu kepada orang tuamu....."
Akan tetapi tiba-tiba Sindu kaget sendiri, setelah mengucapkan kata kata "orang tuamu".
Manakah mungkin Titiek Sariningsih bisa bertemu dengan orang tuanya?
Ibunya sudah mati terbunuh oleh penjahat kejam. Sedang ayahnya sudah gugur dalam usaha mempertahankan Tuban. Membayangkan betapa sedih Titiek Sariningsih setelah tiba di Tuban dan tak mungkin bertemu dengan ayah bundanya itu, Sindu terpaksa menghela napas.
Namun ternyata ucapan Sindu ini kemudian menyadarkan Titiek Sariningsih akan tujuan kepergiannya sekarang ini. Tiba-tiba saja rindu kepada ayah bundanya mendesak-desak dalam dada.
"Aihh......, kakek benar. Hampir saja Titiek lupa kepada tujuan semula."
Gadis cilik ini menatap Nuryanti dengan sepasang matanya yang bening, lalu katanya,
"Ah...... mbakyu, maafkan aku. Titiek tak dapat pergi bersama ke Surabaya, sebab Titiek harus bertemu dengan ayah bunda dahulu. Sudah lebih tiga tahun Titiek tak pernah bersua dengan ayah bundaku. Tetapi setelah keperluan Titiek Sariningsih di Tuban selesai akhirnya kita akan bertemu juga di Surabaya."
Mendengar keputusan Titiek Sariningsih itu, diam-diam Sindu menjadi amat gembira sekali. Akan tetapi sebaliknya Nuryanti, Danardono dan Danang menjadi agak kecewa. Mereka mengharapkan dapat berkumpul lebih lama dengan gadis cilik yang sedemikian lihai itu, lebih lebih mereka tertarik kepada kakek Sindu yang tampaknya sederhana itu, akan tetapi berhasil mengalahkan dua orang kakak seperguruannya sendiri.
Dalam pada itu, rasa kecewa Danardono adalah lain. Entah mengapa sebabnya begitu melihat bertemu dan berkenalan dengan Titiek Sariningsih ini, perasaan dan hatinya menjadi tak keruan. Ia tidak tahu mengapa sebabnya. Namun yang jelas ia amat ingin selalu berdekatan dengan gadis cilik tetapi sudah tampak menonjol akan kecantikannya ini di samping pula merupakan gadis yang sakti mandraguna. _
"Ahhh, adik Titiek, mengapa engkau tak jadi beserta kami ke Surabaya?" kata Nuryanti yang terang-terangan membuka rasa kecewanya.
"Kita baru saja berkenalan, mengapa kita harus sudah berpisah lagi?"
Sindu yang khawatir kalau muridnya ini terpengaruh cepat-cepat menyahut,
"Hari masih panjang, anakku, kemudian hari apabila Tuhan memperkenankan, masih ada kesempatan lagi kita bertemu. Percayalah anak, bahwa setelah keperluan Titiek di Tuban selesai, tentu akan aku ajak pergi ke Surabaya. Sebab keperluan Titiek sekarang ini adalah lebih penting dari pada segala keperluan yang lain. Titiek sudah terlalu rindu kepada ayah bundanya."
"Kakek benar, mbakyu, Titiek memang sudah amat rindu kepada ayah bunda,"
Sambung Titiek Sariningsih sambil tersenyum.
"Bagaimana sekarang kalau kalian saja yang menunda perjalanan ke Surabaya. dan lebih dahulu ikut bersama kami? Sesudah selesai urusanku di Tuban, tentu saja aku pergi ke Surabaya pula."
Ajakan gadis cilik ini sesungguhnya amat menarik. Namun dengan menyeleweng ke Tuban berarti sudah mengabaiknn tugas. Mereka tak berani melanggar perintah dan pesan guru. Oleh sebab itu walaupun berat, mereka lebih suka memilih berpisah untuk sementara waktu, dari pada harus menyeleweng dari tugas.
Demikianlah, akhirnya mereka berpisah juga. Danardono dan adik seperguruannya meneruskan perjalanan menuju Surabaya. Sedang Sindu dan Titiek Sariningsih menuju utara ke Tuban. Sekarang Sindu berkesempatan untuk bicara terang terangan kepada muridnya.
"Titiek. ehh, hampir saja engkau membuat aku berhadapan dengan kesulitan."
"Kesulitan apa, kek?"
Titiek sariningsih merasa heran.
"Engkau harus tahu,cucuku yang manis, bahwa aku seorang yang lari dari tugas sebagai pengawal rahasia. Engkau sendiri menyaksikan, betapa kemarin kakang Reksogati dan kakang Sawungrana memaksa aku, agar sedia ditangkap dan dihadapkan kepada raja. Sesudah aku melawan petugas negara, sama artinya aku sudah memberontak. Tentu saja raja menjadi marah dan aku menjadi orang buruan. Kalau diriku ini seorang buruan, kemudian muncul di Surabaya. bukankah sama artinya aku ini seperti ular mencari gebug?"
Titiek Sariningsih tertawa.
"Hi-hi-hik, mengapa kakek menjadi bingung sendiri? Kakek seorang yang tangguh dan tidak gampang dikalahkan orang. Mengapa harus takut menginjakkan kaki di Surabaya? Andaikata orang berusaha menangkap, kakek bisa melawan. Dan akupun tentu membela mati-matian. Tetapi jika kakek ingin menghindarkan diri dari pengetahuan orang. bukankah gampang saja kakek berusaha? Dengan mengenakan kedok, kakek takkan dikenal orang lagi. dan aman."
Mendengar ucapan muridnya ini, Sindn tertawa. Sungguh cerdik akal bocah ini. Ia merasa tak mempunyai alasan untuk membantah lagi. Biarlah soal itu ditunda. kalau memang Titiek Sariningsih benar bersikeras mengajak ke Surabaya, apa boleh buat. Tiap kali berhadapan dengan bahaya, justeru malah baik sekali bagi muridnya yang belum mempunyai pengalaman ini. Dengan demikian Titiek Sariningsih bakal memperoleh keuntungan yang berharga bagi hidupnya selanjutnya sebagai seorang perempuan pembela si lemah dan yang tertindas.
Ketika mereka tiba di desa Tulung hari telah senja. Mereka terpaksa harus menginap di desa ini, karena perJalanan selanjutnya sulit, harus menerobos belantara dan bukit-bukit Pegunungan Kendeng. Merupakan perjalanan yang amat berbahaya di waktu malam. Bukan saja setiap saat bisa berhadapan dengan binatang liar dan buas, tetapi juga karena Pegunungan Kendeng merupakan wilayah Gerombolan Kendeng di bawah pimpinan Kirtaji.
Begitu masuk ke dalam desa Tulung, Sindu segera berusaha minta pertolongan penduduk, agar bersedia memberi tempat untuk istirahat. Tetapi Sindu menjadi heran setelah empat kali menemui penduduk. jawaban mereka selalu sama. Mereka tak bersedia menerima, mengemukakan alasan rumah mereka sempit, keluarganya banyak, dan tidak mempunyai perlengkapan menerima tamu yang layak. Setalah empat kali selalu ditolak ini, Titiek Sariningsih menjadi penasaran. Katanya,
"Kek, mengapa kita harus minta-minta kepada penduduk yang kikir ini? Mari kita pergi meninggalkan desa ini, dan menginap di atas pohon di dalam hutanpun jadilah. Sungguh kurang ajar penduduk desa ini. Apakah kita ini dianggap manusia tak berguna, sehingga tak pantas mereka terima dalam rumah ?'
"Titiek, sabarlah .. .." bujuk Sindu.
"Sabar apa?!"
potong gadis cilik ini tidak senang.
"Mereka menghina kita. kek. bagaimana aku harus bisa sabar? Dan mereka tentu orang-orang jahat pula. Sebab kalau orang baik. tentu dengan senang hati akan menerima kita. Orang baik akan dengan senang hati dapat menolong sesama manusia yang memerlukan pertolongan."
Sindu tersenyum. Kemudian bujuknya perlahan,
"Titiek. dengarlah. Jangan engkau terburu nafsu dan penasaran. Gelagatnya mencurigakan, ada sesuatu yang tidak Wajar."
Titiek Sariningsih heran.
'Apa maksud. kakek? Mencurigakan soal apa? Apakah mereka mencurigai kita sebagai orang jahat? Huh. jika benar demikian Titiek akan menghajar mereka!"
Sindu terkekeh mendengar ucapan muridnya ini, lalu jawabnya,
"Titiek, tak baik engkau gampang marah dan mengandalkan kepandaianmu. Dengan begitu. berarti engkau dipengaruhi oleh watak Adigang, Adigung dan Adiguna......"
"Apakah itu. kek, baru sekarang Titiek mendengar kakek mengucapkan itu,"
Titiek tertarik.
"Adigang adalah gambaran dari watak seekor binatang kijang. Binatang itu biasanya mengandalkan kecepatannya lari dan keringanan tubuhnya. Lalu mempunyai watak angkuh merendahkan yang lain. Karena keangkuhannya, akhirnya kijang itu mati oleh tingkahnya sendiri. Adigung. adalah' gambaran dari watak seekor gajah. Binatang itu terlalu membanggakan besarnya tubuh. kekuatan tenaga dan ketebalan kulitnya. Gajah menjadi angkuh dan sombong terlalu meremehkan yang lain. Akibatnya si gajah akan mati pula oleh tingkahnya sendiri. Mati dalam keadaan menyedihkan, terjepit dan kejatuhan batu yang digugurkan gajah itu sendiri. Sedang Adiguna, merupakan gambaran dari watak seekor ular, yang mengandalkan akan ampuhnya bisa yang terletak pada taring. Akhirnya ular inipun mati oleh tingkahnya sendiri."
Sindu berhenti sejenak. lalu cetusnya,
"Begitulah, cucuku, orang yang membanggakan dan menyombongkan ketangkasan, kekuatan dan kepandaian maupun kesaktiannya pada akhirnya akan binasa oleh tingkahnya sendiri. Maka pesanku, Titiek. janganlah engkau menjadi mabuk akan kepandaian dan kekuatanmu. Ibarat sebatang pohon padi. Makin berisi akan makin menunduk."
Mendengar nasihat Sindu itu, Titiek Sariningsih menjadi sadar. Jawabnya berterus terang,
"Terima kasih, kek. Nasehat kakek akan selalu aku ingat. Lalu bagaimana tentang tadi, kek, kakek curiga tentang apa?"
"Hem, aku menjadi curiga karena melihat ketidak wajaran sikap para penduduk itu," sahut Sindu.
"Tentu bukan kehendak mereka untuk bersikap seperti itu, yang menolak kepada kita menginap di rumah mereka. Aku melihat keraguan mereka di saat mengucapkan kata-kata, dan akupun melihat pandang mata mereka takut."
"Oh,"
Seru Titiek Sariningsih tertahan bernada heran.
"jadi... kakek menduga, bukan kehendak mereka untuk menolak kita menginap di rumah mereka. tetapi memang ada pihak yang membuat mereka takut? Ahh, kek..... kiranya dugaan kakek tak salah. Bukankah desa ini tidak jauh letaknya dari Pegunungan Kendeng yang menjadi sarang gerombolan sesat itu? Kek. kasihan sekali kalau begitu para penduduk desa ini. Kek, alangkah baiknya pada kesempatan ini, kakek menghancurkan gerombolan penjahat itu."
"Hem,"
Sindu menghela napas panjang.
"Lagi-lagi Engkau lupa. Titiek, bahwa watak adigang. adigung dan adiguna harus engkau sisihkan jauh-jauh. Jangan engkau merendahkan kekuatan pihak lain, justeru sikap itu akan membahayakan diri-sendiri. Bukan tanpa alasan gerombolan penjahat Kendeng ini berani meraja-lela. Dan bukan tanpa alasan pula. mengapa dunia yang tak terhitung jumlahnya manusia sakti itu, tidak bersatu dan memusuhi penjahat tersebut. Bersikap hati-hati justeru lebih baik, cucuku, lebih lagi mengingat bahwa akhir-akhir ini, kakek buta akan keadaan. Maka kita harus berhati-hati dalam setiap menanggapi keadaan, apabila tidak diperlukan benar. sebaiknya kita menghindarkan diri dari permusuhan."
Titiek Sariningsih mengerutkan alis kurang setuju dengan pendapat kakeknya itu, Namun ia sudah merasa lelah dan ingin sekali mengaso. ia tak ingin berbantahan, tetapi dalam hati telah timbul keputusan, tak akan memberi hati gerombolan penjahat Kendeng itu meraja-lela menindas dan sewenang-wenang terhadap rakyat yang lemah dan tak berdosa. Katanya kemudian,
"Lalu bagai manakah kita sekarang? Cuaca sudah hampir gelap, dan kita belum mendapat tempat menginap. Apakah kakek berpikir, kita menginap di tempat ini. di pinggir jalan seperti ini, beratap langit dan berselimut awan ?"
Sindu tersenyum. Kakek ini sudah mengenal watak Titiek Sariningsih. Mengenal bahwa saat ini muridnya kini hatinya mendongkol dan tidak senang.
"Tentu saja tidak, cucuku yang manis. Dusun ini cukup luas, sedang penduduknyapun cukup banyak. Kalau empat kali kita ditolak belum cukup menjadi alasan semua penduduk kikir dan tak bersedia memberi tempat menginap kepada kita. Mari kita mencoba lagi. Nah. di sana terdapat sebuah rumah gedung, dan pekarangannya cukup luas. Agaknya pemiliknya seorang kaya. Tentunya tak keberatan memberi tempat kepada kita menginap barang semalam."
Titiek sariningsih yang masih mendongkol akibat empat kali ditolak dengan mulut cemberut menyahut.
"Tetapi bagaimana pula, jika kita ditolak juga?"
"Hemm, kita coba dulu,"
Sindu segera melangkah menuju ke rumah gedung itu. Dan mau tak mau Titiek Sariningsih mengikuti pula di belakangnya.
Rumah gedung itu memang jauh bedanya dengan rumah yang lain di dusun ini. Kalau yang lain rumahnya tidak begitu besar, dan hanya berdinding anyaman bambu, tetapi rumah itu merupakan gedung yang berdinding tembok kuat. Malah pekarangan yang cukup luas itupun dipagar dengan tembok pula. Dan ternyata pintu pekarangannyapun ditutup dengan pintu gerbang, berbentuk rumah kecil dilengkapi dengan balai balai kayu tempat penjaga mengaso. Pada rumah kecil di pintu gerbang ini, bergantung sebuah kentungan yang amat besar. Terbikin dari tonggak pohon kelapa.
Tetapi ah.. celaka sekali. Pintu gerbang itu tertutup rapat. dan mereka tak bisa melihat ke dalam pekarangan, karena pintu itu terbikin dari kayu jati yang tebal dan tanpa lubang pula. Memang terdapat semacam jendela kecil pada sisi daun pintu gerbang. _Akan tetapi ketika didorong, daun pintu jendela kecil itu tak mau terbuka, dikancing dari dalam.
Titiek Sariningsih yang hatinya masih mendongkol menyeringai mengejek. kemudian menyindir._
"Sungguh amat menyenangkan, memperoleh tempat menginap dalam rumah gedung yang hangat, milik orang kaya. Bukan saja kamarnya indah, tetapi kasurnya amat empuk, Baunya wangi. Hem, kek, aku menyesal, mengapa ketika kita dipersilahkan makan, aku lupa menyimpan paha ayam goreng. Betapa nikmatnya sambil tiduran di atas kasur yang empuk, di dalam kamar yang berbau wangi, sambil menggerogoti paha ayam goreng."
Sindu tak kuasa menahan ketawanya, geli mendengar kata sindiran muridnya ini. Pintu gerbang tertutup rapat, dan tiada pula terdengar suara dari dalam.
Apa yang harus dilakukan?
Mungkin sekali rumah gedung yang besar dan berpagar tembok ini memang kosong. Sahut Sindu kemudian,
"Hem, siapa tahu gedung ini memang kosong? Kita memang ingin memilih tempat, tetapi kalau rumah ini kosong. apa harus dikata ?"
'Hemm, bagaimana kakek tahu rumah ini kosong?"
"Buktinya aku tak mendengar suara seorangpun."
"Siapa tahu kalau penghuni rumah ini semua gagu dan tak bisa bicara? Untuk memperoleh kepastian, kakek harus mengetuk pintu dulu."
Kembali Sindu ketawa terkekeh mendengar ucapan muridnya ini, yang Secara berkelakar mengatakan semua penghuni rumah bisu. Untuk tidak mengecewakan muridnya, Sindu menuruti pula, mengetukkan jarinya pada daun pintu gerbang berkali-kali. Ketukan jari tangan Sindu itu tampaknya perlahan saja, namun suara daun pintu yang terketok terdengar nyaring. Kalau rumah itu tidak kosong, orang akan segera mendengar dan membuka pintu.
Sindu menghentikan ketukan pintu, dan menunggu suara penyahutan dari dalam. Tetapi walaupun ia menunggu, dari dalam tidak terdengar suara orang menyahut. Sindu mengulang lagi, namun ketukan itu tak Juga membawa hasil. tiada suara menyahut dari dalam.
Titiek Sariningsih menjadi tidak sabar.
"Sudahlah, kek, tiada gunanya mengetuk rumah kosong. Apa gunanya kita minta belas-kasihan kepada para penduduk desa ini. tak lebih seperti pengemis hina?"
Akan tetapi Sindu tidak menyahut malah tampak kakek ini memasang telinga dan memperhatikan sesuatu. Kemudian kakek ini memberi isyarat kepada muridnya, agar tidak membuka mulut lagi. Lalu ia menarik lengan muridnya supaya mendekat. Namun Titiek Sariningsih merasa heran sekali, karena bocah ini tidak mendengar sesuatu.
Memang tidak terlalu mengherankan apabila bocah itu tidak mendengar suara yang tertangkap oleh telinga Sindu. Karena suara itu amat lirih yang hanya bisa di tangkap oleh telinga seorang yang tingkat tenaga saktinya sudah tinggi seperti Sindu. Itupun kalau tidak diperhatikan, juga tak akan terdengar, saking amat halusnya. Suara seorang perempuan. Sindu menangkap tidak secara penuh. Namun begitu pasti.
"..... kita harus menghimpun kekuatan. Kita harus berhasil mempengaruhi pendapat para tokoh sakti. Sejak dahulu aku memang sudah mencurigai iktikad baik Jaka Pekik dengan Gagak Rimangnya yang sesat. Ternyata sekarang dugaanku benar. Buktinya, sekarang Jaka Pekik kawin dengan Ratu Wandansari. Huh, huh, ternyatalah bahwa selama ini terjadi permainan sandiwara yang merugikan kita ......"
Begitulah suara perempuan yang berhasil ditangkap oleh telinga Sindu. Agaknya di dalam rumah gedung ini, sekarang sedang berlangsung semacam rapat rahasia dari beberapa tokoh sakti, yang menentang perkawinan antara Jaka Pekik dengan Ratu Wandansari. Dan agaknya orang-orang yang berkumpul ini, merasa daerah ini cukup aman, sehingga mereka tidak memerlukan penjagaan. Namun bagaimanapun pula Sindu segera dapat menghubungkan dengan Sikap para penduduk yang tadi sudah ia hubungi. Penolakannya tadi merupakan penolakan yang tak wajar dengan sikap penduduk desa, yang biasanya selalu ramah dan ringan tangan kepada sesama hidup, sekalipun belum mereka kenal. Di samping itu dari cara mereka bicara dan bersikap, dapat diduga bahwa mereka merasa tertekan oleh sesuatu. Dan karena mereka merasa terancam jiwa mereka, maka mereka tak berani bicara'apapun.
Keadaan dikala itu makin menjadi gelap. Karena matahari sudah masuk ke peraduannya. Sindu gelisah mendengar bicara perempuan tadi. Apa lagi ketika didengarnya suara orang, suara laki-laki yang menyambut dengan nada gembira.
"Bagus, aku setuju dengan pendapat nona Inten. Memang Jaka Pekik bersama Gagak Rimang tidak bisa dipercaya. Buktinya mereka sekarang berpaling dan bergandengan tangan dengan Mataram. Kita adalah pejuang-pejuang yang tidak mau dijajah Mataram. Sejak lama kita berjuang melawan Mataram dan kami takkan berhenti sebelum kita berkalang tanah. Hemm, dahulu dengan terjadinya Jaka Pekik lari ketika dilangsungkan perkawinan dengan nona Inten, sesungguhnya kepercayaanku kepada Jaka Pekik telah lenyap, karena terbukti dia lari bersama Ratu Wandansari. Rencana harus segera kita siapkan. Bagaimanakah menurut pendapat kalian semua?"
"Sebaiknya kita tunggu setelah paman Wongsodipo dan isterinya hadir!" suara laki-laki menyahut.
"Lebih lagi, paman Patra Jaya yang amat kita harapkan bantuannya juga belum datang."
Mendengar disebutnya nama Patra Jaya, kagetlah Sindu. Ternyata bekas jago Mataram yang sakti itu sekarang sudah berbalik haluan memusuhi Mataram. Sekarang bersekutu dengan Rara Inten dan yang lain,memusuhi Pangeran Pekik dan Mataram. Apabila Patra Jaya yang memiliki Aji Wisa Naga ini sudah ikut campur, tentu saja muridnya yang bernama Sungsang itupun tak mau ketinggalan. Sungguh berbahaya kalau rencana itu benar-benar terlaksana.
Tetapi rencana apakah yang sedang mereka persiapkan itu?
"Sayang sekali Kyai Makhmud dan Perguruan Bligo tak sedia kita ajak bersekutu. Kalau saja Perguruan Islam Bligo yang banyak memiliki tokoh sakti itu sedia bersekutu. sungguh menggembirakan" terdengar suara laki-laki yang lain, dengan nada kecewa.
"Huh, apakah anehnya Pondok Bligo tak mau bersekutu?"
Terdengar suara Rara Inten lagi yang nadanya dingin, pertanda perempuan sakti itu tidak senang.
"Sekarang ayah angkat Jaka Pekik yang bernama Kreti Windu itu telah menjadi murid Bligo. Di samping itu juga tidak aneh kalau mereka beranggapan bahwa Pondok ,Bligo sudah berhutang budi kepada Jaka Pekik. Sebab ketika terjadi penyerbuan Mataram ketika itu, Jaka Pekik yang mereka anggap berjasa. Huh, kalau saja Jaka Pekik tak dibantu pihak lain, apakah Jaka Pekik dan Gagak Rimangnya itu dapat menghalau pasukan Mataram ?"
Sungguh tak tahu malu Rara Inten ini.
Kalau saja ketika itu tidak ditolong oleh Jaka Pekik. apakah Rara Inten dan murid-murid Tuban masih hidup?
Ketika itu Rara Inten yang berusaha meninggalkan Pondok Bligo bersama murid-murid Tuban, telah lari terbirit-birit di kejar oleh pasukan Mataram. Berkat jasa Jaka Pekik yang menolong, barulah pasukan Mataram itu dapat dihalau mundur.
Mendengar apa yang dibicarakan orang di dalam gedung itu, tegang dan berdebar hati Sindu. Kemudian ia Cepat -cepat menarik muridnya bersembunyi di tengah rumpun pisang, ketika Sindu menangkap gerakan orang yang amat halus dan cepat sekali. Baru saja Sindu dan Titiek Sariningsih bersembunyi di tengah rumpun pisang, berkelebatlah bayangan orang yang cepat sekali seperti bayangan setan.
"Titiek," bisik Sindu lirih sekali,
'di dalam gedung ini sedang berlangsung pertemuan antara beberapa orang, yang merencanakan untuk menggagalkan perkawinan antara Pangeran Pekik dengan Kanjeng Ratu Wandansari. Maukah engkau menunggu dan tetap bersembunyi di tempat ini? Kakek mau mengintip mereka sebentar. Kakek mau melihat, siapakah mereka yang berkumpul di gedung ini."
"Mengapa Titiek tak mendengar ?"
Titiek Sariningsih merasa heran.
"Tentu saja. karena jarak antara kita dengan mereka cukup jauh,"
Sahut Sindu.
"Aku dapat mendengar apa yang mereka bicarakan, karena tenaga dalam tubuhku telah amat cukup. Kelak kemudian hari,engkaupun akan bisa berbuat seperti kakek. apabila engkau tekun dan giat berlatih."
"Kalau bgitu, baiklah, kek,Titiek akan tetap menunggu di sini. Tapi... kakek harus cepat kembali, perutku sudah amat lapar!"
Titiek Sariningsih berterus terang. karena memang tiada alasan untuk menutupi keadaan perutnya yang sudah melilit-lilit minta makan.
"Bukankah engkau masih menyimpan nasi jagung dan dendeng bakar? Kiranya nasi jagung itu dapat engkau gunakan pengisi perut."
"Huh...... nasi jagung yang dingin itu? Titiek ingin sekali makan nasi hangat. Maka setelah kakek selesai, kita segera mencari warung dan menginap pula."
'Baiklah, Titiek, tetapi engkau harus tetap di tempat ini, tak boleh pergi. Engkau harus pandai menjaga diri, dan tak boleh membawa kematianmu sendiri."
Sindu memberi pesanan seperti ini, mengingat keadaan amat berbahaya apabila Titiek Sariningsih tak berhati-hati.
"Kakek tak percaya kepada Titiek ?"
Sahut Titiek Sariningsih dengan membantingkan kaki.
'Ehh, bukannya percaya dan tidak percaya, cucuku yang manis. tetapi demi keselamataamu sendiri," kata Sindu sambil tertawa lirih.
"Sudahlah. kek, jadi atau tidak kakek menyelidik? Kalau memang ingin menyelidik, lakukanlah. Titiek bukan seorang tolol."
Titiek Sariningsih menyahut dengan ketus.
"Baiklah, cucuku, tetapi engkau harus berhati-hati."
Setelah berkata demikian, Sindu segera melesat pergi. Dalam waktu singkat kakek itu telah lenyap ditelan gelap malam. Titiek Sariningsih menghela napas pendek, tetapi diam-diam hatinya bangga juga bahwa ia memiliki seorang guru yang sakti mandraguna, berwatak ksatriya, ringan tangan tanpa pamrih.
Dengan gerakannya yang ringan sekali, Sindu sudah melesat keatas tembok pekarangan yang cukup tinggi itu. Ternyata benar apa yang sudah ia duga. Rumah itu tanpa penjaga. Agaknya orang yang berkumpul di gedung ini sudah terlalu percaya akan keadaan desa yang aman. Meskipun demikian Sindu tak berani gegabah. Sekalipun tanpa penjagaan, bukan berarti rumah ini tidak berbahaya. Biasanya rumah yang tanpa penjagaan, malah lebih berbahaya. Karena orang terlalu percaya kepada alat alat perangkap dan jebakan yang sudah mereka pasang.
Dari atas tembok Sindu segera melompat ke arah sebatang pohon sanakeling yang besar. Ia berdiri beberapa saat pada cabang pohon tanpa bergerak, seperti lengket dengan batang pohon. Setelah merasa pasti tiada sesuatu yang mencurigakan, Sindu segera melompat lagi ke atas rumah gedung tersebut, seperti seekor kucing raksasa. Gerakannya ringan sekali tanpa suara. Lalu ia mendekam pada bagian atap yang terlindung, di atas ruang pertemuan. . .
Sesungguhnya, walaupun tidak mendekam di atas atap gedung seperti sekarang ini, ia sudah dapat mendengar apa yang sedang mereka bicarakan. Akan tetapi ia tidak merasa puas. jika tidak dapat melihat. siapakah mereka yang berkumpul di gedung ini. dan merencanakan persekutuan jahat yang akan memusuhi Ratu Wandansari itu.
Bagi Sindu sekarang.
Sebenarnya sudah tiada ikatan apapun lagi dengan Kerajaan Mataram dan Ratu Wandansari. Namun sebagai bekas seorang pengawal rahasia, yang dahulu selalu melindungi keselamatan Ratu Wandansari, tentu saja ia takkan bisa tinggal diam apabila mendengar orang bersekutu untuk mencelakakan.
Dari sela-sela genteng, Sindu dapat melihat ke dalam. Ruang dalam yang dipergunakan orang berkumpul tersebut cukup terang diterangi oleh lampu minyak empat buah. Di tengah ruang tersebut, terdapat meja kayu yang panjang dan besar. Sepuluh kursi yang diukir-ukir, mengitari meja tersebut. Delapan buah kursi telah terisi. sedang yang dua buah kursi masih kosong. Sindu dapat menduga. bahwa dua buah kursi tersebut diperuntukkan
wongsodipo dan isterinya. Sindu belum lupa bahwa Wongsodipo itu adalah ketua Perguruan Semeru yang terkenal. Dan ia masih ingat, ketika Wongsodipo bersama isterinya ditawan di Mataram. Tokoh Perguruan Semeru itu merupakan tokoh yang angkuh, sombong dan selalu mengandalkan kepandaian sendiri. Di Mataram dahulu. karena Wongsodipo kukuh pada pendiriannya, tak mau tunduk kepada perintah Ratu Wandansari, maka oleh petugas, dua buah jarinya dipotong sebagai hukuman.
Di antara delapan orang yang telah duduk di kursi itu, Sindu sudah kenal. Ialah Patra Jaya, bekas jago Mataram yang telah tua, tetapi masih tetap gagah. Dan ia melihat pula, bahwa sepasang mata Patra Jaya selalu lirak-lirik ke arah Rara Inten yang makin tambah masak dan cantik. Dan sungguh kebetulan sekali, bahwa tempat duduk Patra Jaya hampir berhadapan dengan Rara Inten, terpisah oleh meja, yang di atasnya telah penuh macam macam hidangan. Tetapi agaknya Rara Inten tidak memperhatikan Patra Jaya. Ia sedang asyik bicara bisik-bisik dengan seorang perempuan tua yang duduk di sebelahnya.
Melihat sikap Patra Jaya itu, tahulah Sindu bahwa tokoh ini masih seperti dulu. Sekalipun usianya makin bertambah tua, akan tetapi apabila melihat seorang perempuan muda dan cantik, masih seperti seekor kucing yang melihat ikan dendeng.
Sindu belum pernah kenal dengan perempuan setengah baya yang duduk di samping Rara Inten itu. Akan tetapi melihat Sikap dan sinar mata perempuan itu membuktikan bahwa perempuan inipun bukan sembarangan. Kemudian pandang mata Sindu beralih kepada seorang laki laki kurus jangkung, berwajah tampan tetapi kepucatan, yang duduk pada ujung meja sebelah timur. Orang itu sedang bicara, suaranya cukup lantang dan bersungguh sungguh. Kata orang itu,
"Pendeknya rencana kita ini harus tertib dan setiap saudara harus bertanggung jawab sepenuhnya. Sedapat mungkin kita harus dapat menangkap dan menawan Jaka Pekik maupun Ratu Wandansari."
"Huh, perlu apa harus ditangkap dan ditawan?' sahut laki-laki yang diajak bicara itu.
Laki-laki ini tubuhnya tinggi besar, matanya lebar dan berewok. Jenggot maupun kumisnya dibiarkan tumbuh lebat, sehingga mulutnya hampir tak tampak, tertutup oleh kumisnya yang lebat.
"Benar. mengapa harus ditangkap dan ditawan? Bunuh saja cukup. Kita harus berhati-hati menghadapi siluman jahat Pekik. Lupakah kalian bahwa bocah itu amat berbahaya? Dahulu di Pondok Bligo membuat nama besar," sahut seorang laki-laki bertubuh kecil dan pendek, kerdil, tetapi sinar matanya berkilat-kilat, membuktikan seorang sakti mandraguna.
Orang kerdil ini berbeda dengan yang lain. Ia tidak mengenakan ikat kepala. Rambutnya dibiarkan keriapan di belakang punggung, dan ada pula yang berjuntai di depan dadanya.
"Hi-hi-hik,"
terdengar suara ketawa Rara Inten yang dingin,
'apa yang harus ditakuti tentang siluman itu? Di Pondok Bligo dahulu, akulah pemenang pertandingan. Jika kalian takut, akulah yang akan menghadapi."
Orang kerdil itu mendelik ke arah Rara Inten. Bantahnya,
"Tapi siapa yang tahu. bahwa kau gagal melawan tiga orang tokoh Pondok Bligo? Sebaliknya, semua orang tahu, Jaka Pekiklah yang herhasil menundukkan tiga tokoh itu."
"Apa?"
Bentak Rara Inten yang mendelik marah pula.
"Engkau memuji lawan dan merendahkan kawan sendiri?"
Laki-laki tampan yang duduk di ujung meja cepat melerai dan menyabarkan,
"Sudahlah, mengapa masalah sekecil ini kalian pertengkarkan? Diajeng Inten. dan juga paman Jalu Raga, sudilah kalian bersabar."
Tetapi Patra Jaya malah ketawa terkekeh. Sambil melirik ke arah wajah ayu Rara Inten, ia berkata,
"Kalau seekor jago dan seekor babon bertemu mau tarung, mengapa diributkan? Heh-heh-heh, biarlah saling menguji kepandaian, aku ingin melihat siapa yang akan menang?"
Rara Inten penasaran dan ingin mendamprat Patra Jaya. Tetapi perempuan setengah baya di sampingnya sudah membujuk supaya Rara Inten bersabar. Segala urusan pribadi harus disingkirkan untuk membicarakan urunan yang lebih besar.
Rara Inten sebenarnya tak mau mengalah begitu saja. Akan tetapi mengingat bahwa dirinya sekarang ini membutuhkan bantuan memusuhi Jaka Pekik maka ia terpaksa menyabarkan diri.
Adapun Sindu yang mengintip di atas genteng agak kaget ketika mendengar nama Jalu Raga disebut. Sebagai seorang yang sudah luas hubungan dan pengalamannya, ia pernah mendengar nama tokoh ini. Seorang sakti dari Rawa Lakbok, yang amat mahir menggunakan senjata pisau terbang, di samping pula senjata rantai baja yang ujungnya terdapat bola baja. Dahulu orang ini pernah mengacau Kota Raja Plered. Dan dalam pertempuran melawan Reksogati, berakhir tiada yang kalah dan yang menang.
Sementara itu orang yang lain, kecuali Patra Jaya melerai dan berusaha memenangkan suasana. Mereka semua menitikberatkan urusan besar yang sedang mereka hadapi. Yang akhirnya dapat pula meredakan kemarahan Rara Inten dan Jalu Raga.
Siapakah sebenarnya enam orang yang berkumpul di ruangan ini yang belum dikenal oleh Sindu, kecuali Jalu Raga?
Perempuan setengah baya yang masih nampak cantik itu adalah Wigati. Ia salah seorang adik seperguruan Wongso Dipo. Akan tetapi berkat gemblengan suaminya, bernama Suro Sukro, kesaktiannya sekarang di atas Wongso Dipo. Sekarang hadir pula duduk di sebelah kiri Wigati. Adapun laki-laki tampan yang duduk di ujung meja adalah yang bertindak sebagai tuan rumah, dialah Kirtaji pemimpin Gerombolan Kendeng. Laki-laki yang duduk berhadapan dengan Jalu Raga masih muda pula, dia bernama Prembun, tangan kanan Kirtaji. Sedang yang duduk di samping Patra Jaya, seorang lakilaki tua berewok bertubuh tegap adalah Wanengboyo,
Siapakah Wanengboyo ini?
Dia adalah seorang bekas murid Pondok Bligo seperti Kirtaji pula. Wanengboyo seperti pula Kirtaji memperoleh gemblengan Cinde Amoh yang menyamar dengan nama Kasim, ialah guru Kreti Windu, atau ayah angkat Jaka Pekik. Setelah kedok penyamaran dan usaha jahat Cinde Amoh terbongkar, dan kemudian Cinde Amoh mati di tangan Kreti Windu, maka Wanengboyo melarikan diri pula.
Antara Kirtaji dan Wanengboyo memang sejalan. Seperti guru mereka dahulu, ingin memiliki nama harum dengan jalan menimbulkan kekacauan. Namun usaha mereka tak mungkin berhasil, tanpa bantuan beberapa orang tokoh sakti.
Akan tetapi mungkin para pembaca bertanya, mengapa antara Rara Inten dan Kirtaji yang pernah berkelahi dan bermusuhan itu, mendadak bisa bergandengan tangan?
Bukankah ini merupakan hal yang aneh?
Tidak!
Tidak ada yang aneh di dunia ini, karena manusia di dunia ini selalu bergelut dengan kepentingan pribadi masing-masing. Yang kemudian akan selalu menimbulkan peristiwa-peristiwa dan kemeludnya pertentangan. Sehingga ada kalanya pihak yang semula bermusuhan, mendadak bisa berbalik menjadi sahabat dan bergandengan tangan. Sebaliknya ada kalanya semula bersahabat, tiba tiba telah menjadi musuh bebuyutan.
Tidak ada yang aneh!
Karena semua manusia dikuasai oleh nafsu peribadi yang berusaha memperoleh keuntungan.
Demikianlah pula yang terjadi sekarang ini. Orang sudah kenal akan watak Rara Inten. Seorang perempuan yang mempunyai keinginan amat tinggi. Ingin menguasai dunia dan bercita-cita menjadi manusia paling sakti, menjadi seorang yang paling dihormati orang seluruh dunia. Sedang sebagai pendorong cita-citanya. adalah wataknya yang angkuh dan keras hati. Jika sudah bercitacita, ia sedia mempertaruhkan apa saja.
Bukankah dengan pengakuannya sendiri, telah menikah dengan Iskandar di depan orang ketika di Pondok Bligo dahulu merupakan bukti bahwa ia bersedia mempertaruhkan segalanya guna mencapai cita-citanya?
Dahulu Ia mengumumkan sudah kawin dengan Iskandar, bukan lain dalam usahanya membalas sakit hatinya kepada Jaka Pekik. (Baca cerita "Ratu Wandansari'). Maka begitu mendengar berita bahwa Surabaya telah jatuh. lalu Jaka Pekik akan kawin dengan Ratu Wandansari. Rara Inten menjadi penasaran sekali. Timbullah keinginannya untuk mengacau dan menggagalkan perkawinan itu. Akan tetapi seorang diri, ia merasa tak mampu melaksanakan cita citanya itu.
Sungguh kebetulan, ia bertemu dengan Wanengboyo.
Dalam pertemuan itu. Wanengboyo mengemukakan maksudnya untuk membentuk persekutuan, menggagalkan perkawinan Jaka Pekik dengan Ratu Wandansari. Mendengar itu Rara Inten menyambut gembira. Akan tetapi setelah mendengar bahwa persekutuan itu diprakarsai oleh Kirtaji, perempuan ini kecewa dan membatalkan niatnya.
Tentu saja Wanengboyo kaget, kemudian minta keterangan mengapa sebabnya. Pendeknya Rara Inten tidak sudi bekerja sama dengan Kirtaji sebelum Kirtaji mau minta maaf disertai sikap berlutut dan menyembah tujuh kali. Ternyata kemudian tuntutan Rara Inten ini dikabulkan oleh Kirtaji, dan pemimpin Gerombolan Kendeng Ini sedia berlutut di depan Rara Inten dan menyembah tujuh kali pula, disaksikan oleh beberapa tokoh pimpinan Gerombolan Kendeng.
Mengapa Kirtaji sanggup merendahkan diri, berlutut dan menyembah tujuh kali kepada Rara Inten?
Bukan Kirtaji kalau sedia berbuat seperti itu. Kita telah mengenal watak dan kelicinan Kirtaji. Iapun seorang yang cita-citanya amat tinggi, cerdik, licin dan penuh tipu daya. Kalau ia sedia merendahkan diri seperti itu bukan lain karena ia memastikan. akan memperoleh hasil yang jauh menguntungkan. Dengan bantuan Rara Inten, berarti ia akan memperoleh tenaga yang patut dibanggakan. Kemudian hari setelah cita-citanya berhasil, tiada sulitnya untuk membalas. Rara Inten tentu berlutut didepannya dan menyembah tujuh puluh kali. Kalau Rara Inten sampai berani menolak, dengan kekuasaannya ia akan bisa memaksa. _
Itulah sebabnya segera tiba-tiba Rara Inten bergandengan tangan dengan Kirtaji. Mereka bersekutu memusuhi Jaka Pekik.
Dan bagaimana dengan Patra Jaya?
Tokoh ini seorang yang selalu membanggakan kesaktiannya, di samping pula sebagai seorang kakek yang amat Suka daun muda dan wanita wanita cantik. Lebih-lebih kecantikan Rara Inten amat menarik perhatian kakek ini. Maka setiap berhadapan dengan Rara Inten, kakek ini selalu lirak-lirik. Sayang selama ini Rara Inten selalu acuh tak acuh saja.
Adapun tokoh yang lain, seperti Wongso Dipo, Wigati. Jalu Raga dan yang lain pada dasarnya memang benci kepada Jaka Pekik. Maka segala gerakan yang nadanya untuk mencelakakan Jaka Pekik dengan gembira mereka menyambut dan sedia bekerja sama. Lebih lebih Wongso Dipo, belum lenyap dendamnya kepada Ratu Wandansari, yang dahulu pernah menawan dirinya. (Baca cerita "Jaka Pekik"),
Di saat keadaan agak tegang itu tiba tiba terdengar suara pintu diketuk orang. Kirtaji memberi isyarat kepada dua orang anak buahnya yang bertugas sebagai penjaga pintu. Ternyata yang datang adalah yang sejak tadi mereka harapkan. Ialah Wongso Dipo dan isterinya yang bernama Kamilah. Suami isteri pimpinan Perguruan Semeru ini sekalipun makin tua usianya, masih tampak tangkas dan melangkah dengan gagah.


Kisah Si Pedang Buntung Lanjutan Ratu Wandansari Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Semua orang yang duduk mengitari meja itu, cepat berdiri untuk menghormati yang sedang tiba. Yang tidak berdiri hanya Patra Jaya dan Jalu Raga. Dua tokoh ini tetap duduk dengan enaknya, kemudian malah menyambar makanan yang tersedia di atas meja. Mereka sama sekali tidak mau mengambil perhatian kepada suami isteri ini.
Dan biasanya, baik Wongso Dipo maupun Kamilah adalah suami isteri yang selalu angkuh sikapnya kepada orang membanggakan kedudukan mereka sebagai suami Istri Perguruan Semeru yang terkenal dan amat besar jumlah muridnya. Akan tetapi menghadapi dua orang yang Sikapnya tidak perduli itu baik Wongso Dipo maupun Kamilah tidak tersinggung dan marah. Malah dengan amat ramahnya Wongso Dipo sudah menegur,
"Ah.... maafkan kami adi Jalu Raga dan kakang Patra Jaya, kami datang terlambat."
"Hemm....-"
Patra Jaya hanya mendengus dingin dan meneruskan makan lepet.
Sikap dan tanggapan Jalu Raga lain. Orang ini terkekeh lalu menyindir,
"Heh-heh-beh. tentu saja! Wanita selalu lambat Jika berhias. Padahal engkau takkan pergi tanpa isterimu."
Wongso Dipo hanya meringis disindir seperti itu. Sedang Kamilah mendelik. Tetapi yang lain tidak berani tertawa dan ikut berolok. Meskipun demikian semua orang tahu belaka, bahwa Wongso Dipo ini seorang suami yang dijajah oleh isteri. Soalnya Wongso Dipo takkan menang apabila berkelahi melawan isterinya. Maka walaupun usia Kamilah lebih tua, Wongso Dipo tak berani sembrono. Seperti para pembaca ketahui, dan sudah diceritakan pula dalam cerita "Jaka Pekik", terjadilah peristiwa yang hampir saja merenggut nyawa Jaka Pekik, oleh perbuatan Kamilah. Waktu itu Jaka Pekik menyelamatkan nyawa isteri muda Wongso Dipo dari pengaruh racun. Ternyata kemudian bahwa yang meracuni itu adalah Kamilah. Mestinya Wongso Dipo harus dapat mengatasi. Namun kenyataannya tidak. Wongso Dipo tunduk kepada Kamilah, dan hampir saja Jaka Pekik yang telah menyelamatkan isteri muda itu melayang jiwanya karena racun.
Demikianlah, suami isteri tokoh Perguruan Semeru ini. segera menempatkan diri pada kurSi yang telah tersedia. Dengan hadirnya suami isteri ini', maka lengkaplah mereka yang sedang berunding. Bagi mereka semua, tokoh Perguruan Semeru ini merupakan tokoh penting. Karena disamping dahulu Prembun merupakan murid Semeru, juga Perguruan Semeru ini muridnya amat banyak. Apabila kekuatan itu bergabung dengan anak buah Kirtaji dan murid-murid Perguruan Tuban, tentu merupakan kekuatan yang tak bisa dianggap remeh.
Sindu yang mengintip dari atas genteng, hatinya tegang dan berdebar. Perjalanannya bersama Titiek Sariningsih menuju Tuban. sesungguhnya di samping mengantarkan Titiek Sariningsih, juga mempunyai maksud untuk mengembalikan pedang Jati Sari kepada yang berhak. Akan tetapi sekarang, setelah tahu sikap Rara Inten, pendiriannya sekarang berubah. Pengembalian pedang itu, sekalipun patah menjadi dua bakal menimbulkan hal-hal yang tak diharapkan kemudian hari. Sebab apabila pedang itu dapat disambung kembali, bakal merupakan senjata yang amat berbahaya. Maka terpikir oleh Sindu bahwa sebaiknya pedang Jati Sari yang patah itu, ia buang saja ke dalam jurang yang amat dalam. Dengan demikian, tiada kemungkinan orang menemukannya lagi.
Sindu terus mengintip sambil mendengarkan pembicaraan mereka. Adalah Kirtaji yang bertindak sebagai tuan rumah lebih dahulu mengucapkan terima kasih atas kehadiran Wongso Dipo dan isterinya. Kemudian oleh Kirtaji dijelaskan tentang rencana yang telah dipersiapkan. Kata Kirtaji,
"Rencana persekutuan kita ini sudah pasti. Apapun jadinya, kita harus dapat membuat dunia ini geger. Kita harus dapat menunjukkan kepada dunia, bahwa antara Perguruan Semeru. Perguruan Tuban. Perguruan Kendeng. paman Patra Jaya, paman Jalu Raga dan yang lain tak dapat diabaikan. Namun yang terang, bahwa dosa Jaka Pekik amat besar. Jaka Pekik dan gerombolan Gagak Rimang, ternyata telah merugikan perjuangan kita yang gigih menentang Mataram."
Kirtaji' berhenti sejenak sambil memandang kepada yang hadir, lalu terusnya,
"Sekarang menjadi jelas bahwa selama ini terjadi permainan sandiwara Jaka Pekik, gerombolan Gagak Rimang, dengan Ratu Wandansari dan Mataram. Tak aneh kalau penyerbuan ke Pondok Bligo ketika itu, setelah Jaka Pekik yang memimpin perlawanan, pasukan Mataram lalu mundur. Tentu saja, karena antara mereka memang sahabat dan akur. Dahulu aku tak berani mengemukakan soal ini, karena baru merupakan dugaan, dan tanpa bukti. Tetapi sekarang semuanya sudah terbukti. Perkawinan antara Jaka Pekik dengan Ratu Wandansari, telah membuka rahasia persekutuan mereka. Maka kita telah bersepakat untuk membalas dendam atas tipu muslihat Jaka Pekik itu, dengan menunjukkan gigi dan kekuatan. Pendeknya kita harus dapat menawan mereka, dan kalau perlu membunuhnya. Bagaimanakah manurut pendapat paman Wongso Dipo?"
Sebelum membuka mulut, Wongso Dipo memalingkan muka ke arah isterinya. seperti minta ijin. Setelah Kamilah mengangguk, barulah Wongso Dipo membuka mulut.
"Terus terang saja aku katakan, bahwa sesungguhnya rencana kita ini bukanlah ringan. Namun begitu, guna membalas sakit hati telah dipermainkan orang selama ini, tiada berat nyawa kita untuk pertaruhan. Akan tetapi....."
Wongso Dipo berhenti sejenak. Setelah menghela napas, barulah ia melanjutkan.
"..... kita harus mengakui, bahwa Jaka Pekik seorang sakti mandraguna. Di samping itu tentu saja dilindungi oleh banyak tokoh sakti, antara lain Yoga Swara, Madu Bala dan tokoh-tokoh Mataram. Kalau terjadi perkelahian, sedikitnya itu akan mengorbankan nyawa anak buah dan anak murid yang tak berdosa. Oleh sebab itu, aku mempunyai pikiran demikian. Bukan saja kita gunakan kekuatan, tetapi juga perlu kita gunakan akal. Sebelum kita tentukan apa yang harus kita lakukan. lebih dahulu aku ingin bertanya. Kapankah Jaka Pekik akan memboyong Ratu Wandansari? Dan kendaraan apakah yang akan dipergunakan boyong ke Surabaya?"
Patra Jaya tiba-tiba terkekeh. Katanya.
"Hah-hehheh, maksudmu akan menghadang di jalan? Uahh, hebat! Kalau saja lewat di darat dan atau sungai, masih tak sulit untuk menghadang. Akan tetapi aku menduga pasti, boyongan itu lewat laut dan menggunakan perahu."
"Lewat manapun apabila kita memang benar-benar berusaha akan berhasil. Kalau benar mereka akan menggunakan perahu, kitapun bisa menyerang dengan perahu, dan beberapa orang jago selam. Apabila penyerangan di malam hari, apakah sulitnya? Yang penting bagi kita sekarang, harus tahu kapankah terjadi boyong ke Surabaya itu?"
"Paman, para penyelidik kami telah memperoleh keterangan pasti tentang itu,"
Kirtaji Cepat menyahut.
"Adi Prembun, laporkanlah hasil para penyelidik kepada paman Wongso Dipo."
Mengingat bahwa Prembun dahulu bekas murid Perguruan Semeru. maka sebelum melaksanakan perintah Kirtaji, ia menghormat dahulu kepada Wongso Dipo. Baru kemudian ia menerangkan.
"Dari laporan penyelidik, boyong ke Surabaya itu dilangsungkan setelah pengantin berdiam di Plered selama Selapan ( 35 hari) Jadi menurut perhitungan, kira-kira satu setengah bulan lagi. Hanya sayang, boyong itu hari yang dipilih di waktu bulan purnama, Dengan demikian, kita memperoleh kesulitan juga sekalipun kita menyerang di malam hari."
"Apapun yang akan terjadi, harus kita coba," kata Wongso Dipo mantap.
'Tuban kita jadikan sebagai pangkalan. Apakah anak Inten setuju?"
Rara Inten mengangguk tanda setuju. Wongso Dipo gembira, lalu katanya lagi.
"Bagus! Baik Semeru maupun Kendeng mempunyai banyak orang yang mahir menyelam. Kita hancurkan dengan bahan peledak atau kita bocorkan agar perahu itu tenggelam."
"Tetapi bagamana kalau rencana itu gagal?"
tanya Patra Jaya.
"Kalau ternyata gagal, kemudian hari dapat kita rencanakan lagi. Sekarang belum waktunya,"
sahut Wongso Dipo.
Patra Jaya yang kurang setuju dengan rencana itu cepat berkata,
"Kalau aku. mengapa begitu repot? Kita serang saja pada saat pengantin itu mau naik ke perahu di pelabuhan Semarang, atau ketika mereka akan mendarat. Dengan begitu barulah ramai dan meriah."
Tentu saja Patra'Jaya yang merasa sebagai orang sakti, ingin memamerkan kepandaiannya. Berbeda dengan yang lain, dalam bertindak akan selalu memperhitungkan secara teliti. Kalau menyerbu disaat pengantin mau naik ke perahu maupun ketika mau mendarat, tentu saja hal itu sangat berbahaya. Sebab akan berhadapan dengan pasukan Mataram dan pengawal-pengawal sakti. Akan terjadi perkelahian sengit dan banyak jatuh korban. Maka tak mungkin baik Perguruan Semeru, Perguruan Tuban maupun Gerombolan Kendeng ini sedia mengorbankan orang-orangnya. Tentu saja lebih setuju memilih jalan yang lebih selamat tetapi hasilnya amat meyakinkan.
Lega hati Sindu setelah mendengar perundingan mereka itu. Dengan demikian waktu masih cukup panjang dari rencana seperti itu tidak begitu membahayakan. Sekalipun demikian, ia berpendapat penting juga harus memberitahukan rencana itu kepada Ratu Wandansari atau Pangeran Pekik.
Apakah ruginya kalau Mataram perlu mempersiapkan segala sesuatunya, untuk tidak menggangu perjalanan rombongan pengantin yang boyong itu?
Tiada maksud bagi Sindu untuk mengacau mereka yang sedang berunding itu. Sebab hanya seorang diri harus melawan tokoh sakti Patra Jaya, Jalu Raga,Rara Inten dan yang lain. tentu akan merugikan diri sendiri. Apa pula ia segera teringat akan muridnya, Titiek Satiningsih, yang tadi ditinggalkan ditengah rumpun pisang. Teringat kepada muridnya itu, ia menjadi menyesal sendiri.
Mengapa muridnya ia tinggalkan cukup lama?
Dan bagaimana pula kalau muridnya itu berhadapan dengan bahaya?
Bocah itu belum berpengalaman. Gampang terpancing kemarahannya.
Teringat kepada muridnya, dengan hati-hati ia segera meninggalkan tempatnya mengintip. Gerakannya ringan sekali tanpa suara. Maka walaupun di dalam gedung hadir Patra Jaya dan yang lain, sama sekali tidak merasa bahwa perundingan mereka didengar orang lain.
Akan tetapi ketika Sindu tiba di tempat di mana tadi muridnya disuruh bersembunyi, Sindu menjadi kaget. Ternyata Titiek Saritingsih tidak tampak lagi. Ia berdebar dan curiga, kemudian ia meneliti keadaan sekitar tempat itu. Tetapi tidak terjadi perobahan di sekitar tempat itu. Tidak ada ranting patah dan rumput yang morat-marit akibat terjadinya perkelahian.
Sindu heran. Tidak ada tanda tanda perkelaian.
Namun mengapa Titiek Sariningsih tak ada?
Ia tidak berani membuka mulut memanggil. Suaranya tentu akan menimbulkan kecurigaan orang-orang yang sedang berkumpul di dalam gedung. Dan akibatnya bisa runyam. Di samping dirinya bisa dikeroyok. Titiek Sariningsihpun akan menghadapi kesulitan. Maka setelah menyelidik beberapa saat untuk menentukan arah ke mana muridnya pergi dengan hati gelisah ia segera melangkah ke timur mencari jejak muridnya,
Ke manakah sebenarnya Titiek Sariningsih pergi?
Bocah itu pada mulanya memang tunduk kepada perintah Sindu untuk tetap di tempat. Tetapi celakanya, nyamuk yang beterbangan mencari mangsa, membuat Titiek Sariningsih penasaran dan tidak senang. Bocah ini menyesal, mengapa ia tadi tidak ikut saja, dan tidak menjadi mangsa nyamuk seperti sekarang. Pada mulanya ia memang masih kuat bertahan terhadap serangan nyamuk itu. Tetapi setelah menunggu lama kakeknya belum juga muncul, bocah ini menjadi gelisah. Di saat gelisah ini, tiba tiba saja perutnya berkeruyuk minta isi. Perutnya amat lapar sekali, di samping haus. Makin lama semakin tak kuat menahan rasa laparnya. Akibatnya bocah yang belum cukup umur ini lupa akan segalanya. Lupa pesan Sindu untuk tidak pergi meninggalkan tempatnya. Kakinya melangkah pergi.
Titiek Sariningsih melangkah pergi menuju ke barat. Dengan demikian, arah yang ditempuh oleh Titiek Sariningsih berlawanan dengan yang ditempuh oleh Sindu. Langkah bocah ini cepat. Bukan karena menakutkan sesuatu. Akan tetapi didorong oleh perutnya yang sudah melilit-lilit.
sayang sekali desa itu amat sepi. Sekalipun masih belum malam, semua rumah penduduk sudah tertutup rapat. Agaknya para penduduk sudah penat bekerja Sehari suntuk, dan ingin beristirahat. Memang para penduduk desa yang jauh dari kota, selalu tidak memperoleh kesempatan untuk menghibur diri dengan tontonan. Apabila hari telah malam, mereka sudah cepat-cepat tidur. Akibat dari kebiasaan yang demikian inilah sebabnya yang mungkin memberi dorongan kepada setiap penduduk mempunyai anak cukup banyak.
Tetapi sesungguhnya bukan demikian keadaan desa Tulung ini, di hari-hari yang biasa. Walaupun mereka jauh dari kota dan tiada hiburan, biasanya para penduduk suka bergerombol di suatu tempat, mengobrol menghibur diri. Itulah hiburan mereka. Akan tetapi malam ini, mereka terpaksa menutup pintu rapat-rapat semenjak enam hari. Mereka telah diperintah oleh yang berkuasa di desa ini. Para penduduk desa tidak berani melanggar perintah. Akibatnya para penduduk akan menderita apabila berani membantah perintah itu.
Oleh keadaan ini, maka walaupun Titiek Sariningsih mencari warung, ia tak juga mendapatkannya. Desa itu sepi seperti kuburan. Kemudian rumah-rumah tampak seperti batu nisan, sedang pohon-pohon seperti berobah menjadi hantu. Namun bocah yang baru berusia tujuh belas tahun ini sama sekali tidak takut.
Selama hampir tiga tahun lamanya ia sudah terlatih menghadapi batu nisan Ki Ageng Purwoto Sidik, gurunya, di malam-malam apabila ia bersamadni dan dalam hati mohon petunjuk guru itu. Dalam pada itu selama Itu, ia berdiam dengan gurunya di tempat yang amat sepi, dan jauh dari desa. Maka kesepian desa ini tidak terasa. Sebab masih lebih sepi desa yang baru ditinggalkan.
Dalam hatinya hanya timbul perasaannya yang heran, mengapa rumah -rumah penduduk ini masih sore sudah tutup pintu?
Bukan hanya rumahnya tertutup, tetapi juga tidak terdengar pula suara orang bicara ataupun rengeng-rengeng (menyanyi) seperti yang biasa terdengar di dalam desa.
Telah cukup lama ia menjelajah desa yang tak begitu luas itu. Akan tetapi ternyata tidak sebuahpun rumah yang masih terbuka. Sama sekali tidak disadari oleh bocah ini, bahwa apa yang terjadi di Desa Tulung ini, tidak sewajarnya. Apa yang dilakukan oleh penduduk bukan lain karena terpaksa dan takut.
Kalau saja Titiek Sariningsih ini seorang gadis yang sudah cukup umur dan sudah cukup pengalaman tentu ia menjadi curiga. Dan juga takkan mungkin berani gegabah meninggalkan tempat di mana ia tadi ditinggalkan oleh Sindu. Sebab kalau tadi sore dengan kakeknya tidak seorangpun penduduk sedia menerima kehadiran mereka, tentu saja ada sesuatu yang menyebabkannya.
Kalau rumah-rumah penduduk desa itu semuanya sudah tutup pintu dan tak terdengar suaranya pula, semua itu adalah tunduk kepada perintah. Para penduduk di larang keluar rumah. Barang siapa yang berani melanggar perintah ini kalau sampai diketahui penjaga, bisa di ancam dengan hukum mati. Hal itu dilakukan guna mempermudah penjagaan .Kalau ada orang yang berkeliaran di malam ini, teranglah orang yang berusaha mengacau.
Mengapa sore tadi Sindu dan Titiek Sariningsih dengan gampang bisa masuk Desa Tulung ini'?
Semua itu terjadi karena mujur saja. Para petugas yang ditugaskan menjaga desa lengah, karena mereka menyibukkan diri dengan berjudi. Kesembronoan para petugas ini bukan lain karena mereka mengandalkan kepada pengaruh. Mereka percaya tak mungkin orang luar berani masuk dan mengacau. Maka tampaknya seperti tidak terjaga, sekali pun di desa ini sedang berlangsung pertemuan amat penting.
Tetapi penjagaan di malam ini lain dengan siang dan sore tadi. Di samping jumlahnya ditambah juga mereka tidak berani sembrono. Para penjaga ini menggunakan cara macam-macam. Ada yang ditugaskan memanjat pohon yang agak tinggi. Dengan demikian, orang ini dapat mengawasi tempat yang agak jauh. Ada yang diperintah bersembunyi di balik rumpun bambu atau pisang. Ada pula yang mendekam dibelakang batu. Dan untuk menjaga kesalahpahaman. merekapun telah dilengkapi dengan kata-kata sandi. Orang yang tak bisa menjawab kata-kata sandi tersebut, dengan gampang bisa diketahui tentu orang luar. '
Titiek Sariningsih tidak menyadari keadaan desa ini yang terjaga kuat. Ia terus melangkah menyusuri jalan desa. Setelah usahanya tidak berhasil, akhirnya dengan masgul ia ingin kembali ke tempatnya tadi bersembunyi. Akan tetapi baru saja gadis cilik ini lewat didekat rumpun bambu, ia kaget mendengar bentakan orang.
' Hai ! Siapa kau?"
Titiek Sariningsih kaget dan menghentikan langkahnya. Jawabnya,
"Tentu saja aku manusia!"
( Bersambung Jilid 15 )
Kisah Si Pedang Buntung
Lanjutan Ratu Wandansari
Karya : Widi Widayat
Jilid : 15
Pelukis : Janes
Penerbit "GEMA"
Metrokusuman 761 Rt 17
SOLO Ijin Penerbitan
Ijin : No Pol /3/26 aa-54/0-73
Surakarta tanggal 17 januari 1973
Cetakan Pertama 1973
**** Buku koleksi ; Aditya Indra Jaya
Juru Potret : Awie Dermawan
Edit teks & pdf : Saiful Bahri Situbondo
(KOLEKTOR E-BOOK)
******
KARENA jawaban yang terdengar itu suara perempuan, maka penjaga yang membentak heran. Karena gelap, maka penjaga ini tidak dapat melihat dengan jelas.
Penjaga itu hanya mengira, mengapa masih ada penduduk perempuan yang berani keluar rumah?
Padahal sudah dilarang keras. Oleh sebab itu. terdengarlah hardiknya,
"Kurang ajar kau! Bukankah sudah ada larangan tidak boleh keluar rumah? Hayo, lekaslah pulang dan masuk ke dalam rumah!"
Sekalipun sesungguhnya Titiek Sariningsih bukanlah bocah tolol, akan tetapi memang belum mempunyai pengalaman. Ia bukannya menjadi curiga dengan adanya larangan keluar rumah, melainkan hanya merasa heran. Dalam hatinya berkata,
"Ah, pantas setiap rumah penduduk tertutup pintunya, dan tak terdengar pula suaranya. Ternyata memang ada yang melarang."
Sebagai seorang gadis cilik yang cara berpikirnya masih sederhana, berwatak jujur dan belum mengenal macam-ragamnya watak manusia, mendengar itu ia hanya mengira bahwa penjaga ini seorang petugas desa yang sedang meronda. Terpengaruh oleh rasa melilit-lilit perutnya yang kelaparan, maka yang terpikir oleh gadis ini hanyalah betapa lega hati dan perutnya, setelah dapat mengisi perut.
"Paman, eh, mengapa engkau cepat menuduh aku kurang ajar?"
Jawab Titiek Sariningsih memprotes sikap orang.
"Aku tidak tahu adanya larangan itu."
"Apa?" penjaga itu heran.
"Aneh Setiap penduduk harus tahu adanya larangan itu. lekas pulang tidak ?"
"Aku bukan penduduk desa ini. Bagaimana aku bisa pulang ?"
"Apa? Kau bukan penduduk desa ini? Mengapa bocah perempuan malam begini keluyuran ?" kata petugas itu heran berbareng curiga.
Kemudian ia melompat dari tempat persembunyiannya. Lalu sudah berdiri di depan Titiek Sariningsih.
Tiba-tiba dari atas pohon nyiur terdengar suara orang,
"Hai, Sambego! Kau bicara dengan siapa? Agaknya perempuan. Cantik tidak? Heh-heh-heh, jadinya engkau sudah kencan? Bagi-bagi dengan aku. Jika tidak, engkau tentu aku laporkan."
Berkerut alis Titiek Sariningsih mendengar suara orang dari pohon nyiur itu. Ia menengadah ke arah pohon nyiur, dan samar-samar tampak olehnya seorang laki-laki yang sedang turun dari pohon.
Walaupun masih kecil dan belum berpengalaman mendengar ucapan orang itu, ia sudah bisa menangkap maksudnya.
Mengapa penjaga desa ini sikapnya kurang ajar sekali?
Jawabnya dengan angkuh,
"Huh, siapa sudi kencan dengan kamu ?"
"Aduh, galaknya!" orang yang baru turun dari pohon kelapa itu menyahut.
"Kalau tidak cari laki-laki, mengapa malam begini keluyuran? Heh-heh-heh, jangan engkau jual mahal."
Ucapan yang kurang ajar ini, membuat Titiek SariningSih cepat menjadi marah. Katanya lantang,
"Kurang ajar kau! Malam-malam pergi, karena perutku lapar dan akan membeli nasi. Jangan engkau menuduh orang sembarangan."
Penjaga yang tadi disebut namanya Sambego, cepat berkata,
"Ahh. jadi engkau lapar dan butuh nasi? Mari, ikutlah aku. Kebetulan bagianku belum kumakan. Nanti bisa aku bagi dua. Separo untukmu, dan separo untukku."
Karena tak menduga jelek, tawaran itu menimbulkan rangsang pada perutnya yang lapar. Jawabnya cepat,
"Betulkah? Engkau mau memberi nasi itu? Eh, tidak! Jangan engkau berkorban untukku. Nanti aku ganti dengan uang sekadarnya. Bisa engkau pergunakan membeli tembakau."
Dalam keadaan gelap ini. Titiek Sariningsih tidak menyadari betapa Sambego berseri wajahnya, mulutnya menyeringai dan sepasang matanya mengamatinya tanpa berkedip. Bayangan tubuh Titiek Sariningsih tampak menyedapkan dipandang. Dan sekalipun masih agak kecil, bisa menimbulkan selera pula. Diam-diam Sambego sudah membayangkan sesuatu yang tidak wajar.
Karena terpesona mengamati bentuk tubuh yang menyedapkan itu, maka Sambego tak lekas menjawab. Adapun laki-laki penjaga yang baru turun dari pohon nyiur, sudah datang menghampiri dan menyahut,
"Hehheh-heh. tidak perlu engkau mengganti dengan uang, adik yang manis. Kami tidak membutuhkan uang, tetapi hemmm..... lebih menyenangkan kalau kau mau menjadi kawan kami semalam....."
Sambil berkata ini. laki-laki tersebut mendekati Titiek Sariningsih dan mulutnya cengar-cengir, serta berusaha mengamati wajahnya dari jarak dekat. Titiek Sariningsih selangkah mundur. Bocah ini tersinggung dan marah. Bentaknya,
"Kurang ajar kau! Sangkamu aku ini perempuan apa?"
"hen-heh-heh, tentu saja perempuan betul,"
sahut lakilaki itu dengan Sikapnya yang makin kurang ajar.
"Kalau perempuan palsu. tentu saja kami tidak butuh."
Jawaban ini makin membuat Titiek Sanningsih marah dan penasaran.
"Jahanam kau! Mulutmu bicara tanpa aturan!"
Laki-laki itu terkekeh. Sedang Sambego cepat menyahut,
"Hai, perempuan. Engkau sudah melanggar larangan masuk ke dalam desa ini. Sepatutnya engkau mengucapkan terima kasih kepada kami, yang berSikap murah dan lunak. Tahukah engkau akan akibatnya bagi orang yang berani melanggar larangan kami? Tentu akan ditangkap dan dihukum. Kalau perlu disiksa lebih dulu, agar mau menerangkan apa sebabnya berani melanggar larangan. Dan kalau perempuan, heh-heh-heh, bisa di telanjangi dan dihinakan, dibuat permainan oleh banyak laki-laki kawan-kawan kami."
"Ihhhh..........!" tanpa disadari saking kaget dan ngeri, Titiek Sariningsih sudah berseru tertahan.
Sambego cepat meneruskan,
"Nah, engkau kaget dan ngeri? Heh-heh-heh, engkau berhadapan dengan kami dua orang ini. Bagaimanapun, kami dua orang ini tentu berbeda dengan kawan kawan kami. Maka jangan engkau bersikap kasar kepada kami, dan janganlah engkau bicara keras-keras. Kami takut apabila kawan kami mendengar dan ikut minta bagian. Heh-heh-heh, berabe juga...."
"Bangsat busuk tak tahu malu!" bentak Titiek Sariningsih lantang tak kuasa menahan kemarahannya;
"Kamu ini manusia macam apa? Kamu mengaku sebagai penjaga desa, tetapi mulutmu kurang ajar dan tanpa aturan. Jika engkau tak dapat menahan mulutmu, kupukul kau."
"Heh-heh-beh, mari pukullah aku," sahut laki laki kawan Sambego sambil terkekeh dan maju mendekati.
"Betapa nikmatnya pukulanmu. dipijit oleh tangan yang halus lemas. Heh-heh-heh. selama hidup pengalaman ini takkan mungkin dapat aku lupakan."
Titiek Sariningsih selangkah mundur ketika laki-laki itu maju mendekat. Gadis ini amat marah sekali, tetapi masih belum lancang tangan memukul. Sesuai dengan pesan Sindu, dirinya tak boleh main pukul sebelum jelas persoalannya.
"Hemm,"
Titiek Sariningsih mendengus dingin.
"Jika engkau berani kurang ajar, tentu kupukul benar-benar. Apakah sangkamu sekalipun perempuan tak dapat memukul laki-laki yang berani menghina perempuan?"
Mendadak terdengar suara orang dari tempat yang tak begitu jauh,
"Hai Sambego! Kau bicara dengan siapa? Betulkah kau bicara dengan perempuan? Hemm, jangan banyak bicara. Tangkap saja beres! Orang yang berani melanggar larangan berarti tidak tunduk kepada kita. Kala ini kita bertugas jaga dan berkuasa menentukan macam hukuman bagi orang yang bersalah. Heh. heh-heh. karena yang kautangkap itu perempuan, sebentar kawan, aku segera datang minta bagian."
Mendengar ucapan orang yang belum menampakkan diri itu, Titiek Sariningslh tak kuasa lagi menahan sabarnya. Bentaknya lantang,
"Kurang ajar! Ternyata kamu penjaga desa ini bukan orang baik-baik. Orang orang macam kamu ini harus kuhajar babak-belur biar kapok!"
"Uah, bagaimana sih macamnya perempuan itu? Mengapa begitu galak?" terdengar suara orang yang tadi, sudah dekat jaraknya, dan langkahnya masih berat tertangkap telinga gadis ini.
"Huh-huh!"
Titiek Sariningsih sudah menjadi geram dan beringas.
"Tak usah banyak mulut! Sangkamu aku takut kamu keroyok? Hayo, majulah berbareng!"
"Heh-heh-beh, kau menantang kami?" sahut lakilaki yang tadi memanjat pohon nyiur.
"Aku sendiri saja sudah sanggup menangkapmu."
Sehabis bicara, orang ini melompat maju sambil menggerakkan dua lengannya ke depan. Jari tangan orang itu terbuka siap untuk mencengkeram dan menerkam. Agaknya orang itu merasa pasti, sekali bergerak dapat menangkap dan menawan gadis cilik ini. '
Titiek Sariningsih tersenyum. Gerakan laki-laki itu sekalipun tampaknya cepat, akan tetapi kosong. Tidak sulit merobohkan orang macam ini sekali gebrak. Akan tetapi ia tak mau berbuat begitu. Ia tak ingin bermusuhan dengan siapapun, apa pula dalam keadaan perutnya lapar.
Siapa tahu kalau sudah dipukul, orang ini menjadi kapok, tak berani kurang ajar lagi dan mereka mau tunduk serta mau memberikan nasi yang ia butuhkan?
Berpikir demikian Titiek Sariningsih hanya menggeser kaki. Kemudian seperti kilat cepatnya tangan kiri menangkap pangkal lengan kanan laki-laki tersebut, berbareng dengan tangan kanan mencengkeram pergelangan tangan. .
"Krek!"
Sekali tangan gadis kecil ini menggerakkan tangan, lengan laki-laki tersebut sudah lepas sambungan sikunya, dan menjerit nyaring. Ketika dilepaskan, lakilaki itu mengaduh aduh kesakitan. Tangan kiri memegang lengan kanan yang amat sakit .
Kawan-kawannya amat kaget. Mereka tak menduga sama sekali gadis cilik ini. sekali gebrak membuat kaWannya keok. Dua Orang itu membentak marah.
"Kurang ajar! Apa yang kaulakukan terhadap kawanku?"
"Hi-hi-hik, dia kurang ajar .Tentu saja harus dihajar biar kapok!" sahut Titiek Sariningsih dingin.
"Huh-huh, rasakan pembalasanku!"
teriak Sambego dan hampir berbareng dengan kawannya, sudah menyerang maju.
'Jika engkau dapat kami tangkap, huh, jangan tanya dosa"...
"Aduhhh..."
Belum juga selesai Sambego mengucapkan kata-katanya, laki-laki ini sudah mengaduh kesakitan. Sebab ketika dua orang itu menyerang, Titiek Sariningsih dengan tangannya sudah menghindar ke samping. Kaki yang kiri bergerak secepat kilat, menendang lutut. Akibatnya Sambego mengaduh kesakitan, karena sambungan lututnya sudah meleset bendonya.
Masih untung bahwa yang seorang, di saat menyerang Titiek Sariningsih tidak gegabah. Ia sudah melompat mundur, kemudian melengking nyaring sekali memanggil kawan-kawannya.
Titiek Sariningsih menjadi kaget dan tahu apa arti dari lengking nyaring itu. Diam-diam ia menjadi khawatir akan datangnya bala bantuan. Dan ia takut pula kalau menimbulkan keributan, sehingga dirinya dikeroyok oleh banyak orang. Apabila terjadi demikian, di samping ia berhadapan dengan bahaya, gurunyapun akan berhadapan dengan bahaya pula. Secepat kilat ia menerjang ke depan dan kakinya melayang.
"Buk!"
Tanpa dapat menghindar lagi, orang tersebut perutnya sudah_tertendang. Terpental beberapa meter jauhnya, kemudian roboh pingsan. Untung sekali Titiek Sariningsih selalu ingat akan pesan tertulis dari Ki Ageng Purwoto Sidik. Yang melarang muridnya melakukan pembunuhan. Maka lawannya hanya dirobohkan saja.
Begitu lawannya roboh ia sudah akan berlari pergi. Tetapi Sambego yang lepas sambungan lututnya, dan kaWannya yang lepas sambungan sikunya, melengking nyaring pula untuk mengundang bala bantuan.
"Kurang ajar kau!" bentak Titiek Sariningsih sambil melayangkan tendangannya.
Dan akibatnya, dua kali menendang, dua orang itu sudah terpental dan roboh pingsan. Kemudian secepat kilat Titiek Sariningsih telah melarikan diri keluar desa. Akan tetapi karena bocah ini tak mengenal keadaan, ia hanya lari secara ngawur. Yang penting asal dapat menghindarkan diri dari orang orang itu.
Suitan nyaring terdengar sahut-menyahut. Para anak buah Gerombolan Kendeng yang bertugas jaga menjadi geger, Titiek Sariningsih lari cepat menerobos ladang jagung dan ubi kayu di luar desa. Namun karena cuaca cukup gelap, bocah ini tidak berani lari secepatnya. Di saat Desa Tulung menjadi geger dan ribut ini, Sindu yang mencari jejak muridnya, dan salah arah, telah pergi cukup jauh, sehingga tidak mendengar suitan nyaring itu.
Titiek Sariningsih berlarian terus menuju ke arah barat. Setelah menerobos sana dan sini, bocah ini merasa sudah cukup aman, maka menghentikan larinya dan berjalan. Perutnya terasa makin melilit-lilit. Ia menyesal sekali, mengapa tadi telah mengabaikan pesan gurunya. Mengapa ia tadi pergi dan tak mau mengisi perut dengan nasi jagung yang dibawanya. Buktinya walaupun ia telah berusaha memperoleh nasi, apa yang diharapkan tak terujud. Malah sekarang dirinya terpisah dengan gurunya, dan tak tahu ke mana harus menuju. Akhirnya saking tak kuasa menahan lagi perutnya yang melilit lilit kelaparan, bocah ini kemudian menghentikan langkahnya. Ia merasa penat, lalu duduk di bawah pohon. Ia mengambil nasi jagung dari dalam buntalan. Dingin nasi jagung itu dan sebenarnya ia agak segan untuk makan. Tetapi karena tak ada makanan lain yang bisa dipergunakan mengisi perut, maka sekalipun dingin nasi jagung itu dimakan juga.
Tidak banyak ia makan nasi jagung itu, dan perutnya sudah merasa kenyang. Tetapi makan tanpa minum sungguh menyiksa. Ia segera mencari-cari sumber air. Akan tetapi di daerah yang berdekatan dengan Pegunungan Kendeng ini, merupakan daerah kering yang sulit air. Maka usaha gadis ini berhadapan dengan kesulitan. Pada akhirnya, ketika gadis ini menemukan sungai kecil yang airnya tak begitu banyak, ia terpaksa minum air sungai tersebut di samping membasuh muka dan kaki tangannya.
Semalam suntuk bocah ini tidak tidur.
Bagaimanakah ia harus tidur?
Ia belum pernah bepergian seorang diri seperti sekarang ini. Hatinya merasa tidak tenteram. Biasanya ia masih dapat menggantungkan kepada gurunya. Akan tetapi sekarang, tidak seorangpun yang bisa dimintai bantuannya.
Akan tetapi justeru terpisahnya dengan Sindu ini, sesungguhnya malah membuat bocah ini dewasa berpikir dan berbuat. Ia harus hidup dari dirinya sendiri, di samping menjaga diri dari setiap bahaya. Titiek Sariningsih menyadari, bahwa dirinya seorang perempuan. Walaupun bisa dikatakan belum dewasa, namun ia sudah mulai mengenal keadaannya. Telah dua kali ia berhadapan dengan beberapa orang laki-laki. Tetapi ternyata sikap lakilaki tersebut demikian ganas dan merendahkan martabat perempuan. Tak segan-segan mengucapkan katakata kotor dan sikapnya amat kurang ajar.
Apakah memang demikian watak laki-laki jika berhadapan dengan perempuan?
Tidak!
Bantahnya sendiri. Buktinya, Danardono dan Danang yang baru dikenalnya itu. Sikapnya demikian sopan terhadap dirinya. Demikian pula para laki-laki yang sudah ia kenal di desa-desa sekitar Banyubiru, sikapnya juga sopan.
Ahh, kalau demikian, bukan jenis kelamin manusia yang menentukan corak manusia hidup ini. Tetapi watak dari masing-masing manusia, tak mengenal jenis kelamin. Kalau laki-laki dapat bersikap demikian terhadap perempuan, tentu tidak sedikit pula perempuan yang mempunyai sikap memalukan terhadap lakilaki.
Dalam hati, gadis cilik inipun sadar bahwa agaknya kecantikan wajahnya, banyak menimbulkan selera lakilaki. Maka ia berjanji dalam hatinya, harus berhati-hati dalam melewati jalan hidupnya. Janganlah dirinya hidup terombang ambing dan diperkuda oleh nafsu. Nafsu yang mempunyai' beberapa macam bentuk.
Ketika pagi mendatang, di depannya nampak desa. Tetapi desa tersebut tidak menghijau seperti yang sudah pernah ia kenal di sekitar Banyubiru. Pohon pohonnya berdaun agak kuning, membuktikan bahwa desa itu kering. Malah tampak pula beberapa batang pohon yang tanpa daun, dahan-dahan dan rantingnya sudah mulai mengering tanda mati.
Tanah-tanah ladang disekitar desa itu juga kering. Tanahnya merekah-rekah, dan rumput-rumputpun telah kering. Ladang yang cukup luas itu tiada tanaman apapun. Titiek Sariningsih menghela napas. Kasihan juga para penduduk di daerah ini, dimusim kemarau kesulitan air. Mereka hanya dapat bercocok tanam dimusim hujan melulu. sehingga di musim kemarau tanah yang luas itu tanpa hasil sedikitpun.
Desa yang tampak itu, bernama Desa Padas. Sesuai dengan nama dari desa itu sendiri, memang daerah Ini merupakan daerah kering dan tanahnya bercampur dengan padas. Tanah yang berbatu padas, tanaman sulit bisa hidup. Maka tak banyak memberikan hasil. Walaupun masih kecil, Titiek Sariningsih sudah bisa menduga. Tentu hidupnya penduduk daerah ini miskin. Serba kekurangan, dan mungkin malah selalu berhadapan dengan kekhawatiran akan kelaparan.
Yang membuat Titiek Sariningsih heran, mengapa sebabnya penduduk desa kering ini kerasan hidup di desa itu, dan tidak mencari tempat lain yang lebih menghasilkan?
Di saat bocah itu sedang berpikir sambil melangkahkan kaki perlahan, tiba-tiba ia kaget mendengar suara jerit kesakitan.
"Aduhh.... ampun....... aduhh.. tolong. tar-tar aduh.. tar-tar.... ampun....."
Bocah ini mengerutkan alis dan menghentikan langkahnya.
Ia merasa heran!
Siapakah yang menjerit minta tolong dan suara tar-tar tadi adalah suara cambuk.
"Ahh....!" tanpa terasa gadis cilik ini berseru, tertahan.
Ia cepat bisa menduga bahwa suara cambuk tadi, adalah seorang yang sedang melecutkan cambuknya kepada seseorang.
Tetapi, siapakah orang yang sudah dicambuki itu?
"Tar-tar.... aduhhhh... ampun.. tar-tar......"
Terdengar lagi suara lecutan cambuk dan jerit seseorang. Jantung Titiek Sariningsih tegang.
Siapakah orang yang berani sewenang wenang dan mencambuki orang seperti kerbau itu!?
Seakan cambuk yang meledak itu mengenai bagian tubuhnya, sehingga gadis ini merasa kulitnya terasa panas.
"Hemm, kurang ajar! Siapakah yang berani sewenang-wenang seperti itu ?"
Setelah ia mengucapkan kata-katanya itu, ia segera memasang telinga, untuk menentukan dari manakah arah suara cambuk yang meledak dan suara jerit kesakitan tadi. Jelas bahwa suara tadi dari arah utara. Terhalang oleh sebuah bukit kecil yang gundul. Setelah merasa pasti, dengan gesitnya gadis cilik ini berlarian mendaki bukit kecil yang gundul tersebut. Setiba di atas bukit, Titiek Sariningsih terbelalak. Apa yang dilihatnya, di luar dugaannya sama sekali. Ternyata gadis cilik ini melihat pemandangan yang sungguh menyedihkan.
Di bawah bukit tersebut, merupakan lembah yang kering pula. Tanahnya retak retak, sampai rumputnya juga kering. Di bawah bukit tersebut tampak puluhan orang laki-laki sedang bekerja menggali tanah, memanjang seperti parit yang lebar. Tetapi puluhan lakilaki yang bekerja itu, nampak kurus kering dan pucat. Wajahnya nampak muram, murung dan sedih. Tampaknya mereka sudah amat kepayahan. Namun mereka tetap menggali tanah yang keras tersebut.
"Hmm, agaknya orang-orang itu disuruh bekerja dengan paksa,"
gumam Titiek Sariningsih sambil mengamati ke bawah.
"Mereka yang bekerja tubuhnya kurus dan pucat. Tulang dadanya tampak, seperti hanya dibalut dengan kulit. Pakaian mereka bisa dikatakan kotor dan tidak utuh lagi. Sebaliknya orang-orang yang memegang cambuk dan hanya berdiri mengawasi itu, kecuali pakaiannya utuh, juga tubuhnya tegap, gagah dan sehat. Hemm, tidak adil. Yang bekerja keras menggali tanah kurus-kering. sedang yang hanya mengawasi tubuhnya sehat dan pakaiannya utuh. Hemm. tentu cambuk-cambuk yang hitam dan besar itulah yang tadi dipergunakan mencambuki orang-orang ini. Agaknya orang-orang ini dianggap bekerja kurang baik sehingga harus di cambuki seperti kerbau. Kurangajar! Merupakan tugas kewajibanku untuk menolong orang-orang ini dari tindakan sewenang wenang! "
Memperoleh pikiran demikian. Titiek Sariningsih segera melompat kemudian menuruni bukit itu, untuk menghajar orang-orang yang bersenjata cambuk itu.
Kalau saja bocah ini tahu, tentu ia akan berpikir seribu kali sebelum bertindak.
Apakah yang terjadi sesungguhnya di tempat ini?
Penggalian parit itu, bukanlah parit untuk saluran air. Tetapi sesungguhnya penggalian tersebut, untuk jalan di bawah tanah, yang seterusnya nanti ditutup dengan batu-batu yang kokoh. Penggalian parit raksasa yang akan dipergunakan sebagai jalan di bawah tanah, yang diperintahkan langsung penggaliannya oleh Kirtaji. Pemimpin Gerombolan Kendeng. Pembangunan jalan di bawah tanah ini adalah sesuai dengan cita-cita Kirtaji yang ingin menguasai dunia. Ia amat ingin sekali melebihi kekuasaan Sultan Agung di Mataram.
Timbulnya pikiran Kirtaji yang demikian ini, mengambil contoh markas Gagak Rimang yang berada di dalam perut Gunung Arjuna. Oleh pertolongan jalan rahasia dibawah tanah itulah Gagak Rimang yang diserbu oleh puluhan ribu orang, tidak menjadi hancur, melainkan malah jaya. Maka timbullah kehendak Kirtaji untuk membangun jalan rahasia di bawah tanah, dan di bangun pula rumah-rumah dari batu, guna penyimpanan emas permata dan harta-benda lainnya yang kemudian hari akan dipergunakan beaya perang besar-besaran melawan Mataram.
Guna melaksanakan rencana tersebut, Kirtaji memerintahkan orang-orangnya untuk menangkap dan memaksa laki laki yang kuat tubuhnya, lalu dipekerjakan secara paksa. Dan sebagai pengawas jalan di bawah tanah ini, Kirtaji memerintahkan beberapa orang pembantunya yang mempunyai kepandaian cukup lumayan. Dalam urusan ini karena Kirtaji membutuhkan banyak tenaga, dan agar pembangunan jalan di bawah tanah itu lekas selesai, maka Kirtaji sudah memerintahkan agar tenaga-tenaga paksaan itu dicukupi tentang kebutuhan makan, rokok maupun upahnya. Pemberian jaminan yang cukup dan upah pula ini termasuk dalam rangka perhitungan dan siasat Kirtaji pula. Apabila tenaga paksaan itu dicukupi kebutuhannya, kemudian hari kalau dikembalikan pulang, bakal mempunyai bekal uang cukup banyak. Dengan begitu sekaligus mempunyai pengaruh pula terhadap perkembangan cita-citanya.
Akan tetapi manusia di dunia ini sulit diterka isi hatinya. Dan sulit pula diterka apa yang dipikirkan dan akan dilakukan. Demikian pula orang-orang yang memperoleh tugas pembangunan jalan rahasia di bawah tanah ini. Dalam melaksanakan perintah itu, mereka menggunakan kesempatan untuk mengeruk keuntungan diri sendiri. Orang pertama yang memperoleh kepercayaan Kirtaji, mengambil sebagian uang yang dipergunakan upah orang-orang paksaan itu. Setelah sampai ke tangan orang kedua, bukan saja orang ini memotong upah, tetapi juga mengurangi jaminan yang lain. Orang ketiga dan seterusnya, sampai pihak terbawah menggunakan kesempatan yang sama. Masing masing mengambil keuntungan. Akibatnya, setelah sampai kepada orang orang yang dipaksa bekerja. upah yang mestinya harus diterima orang-orang itu sudah habis. Bukan saja Kerja paksaan ini tidak memperoleh upah, tetapi jaminan makanpun tinggal sebagian kecil. Akibatnya para pekerja paksaan ini makan dalam keadaan tak mencukupi kebutuhan sesuai dengan tenaga yang harus dipergunakan menggali jalan di bawah tanah itu. Dan akibatnya adalah mereka menjadi makin kurus dan makin menjadi ringkih.
Belum lagi orang orang itu selalu dicambuki apabila bekerja tidak sesuai dengan kehendak pengawas. Derita yang tak tertahankan, mengakibatkan banyak diantara mereka yang mati dalam keadaan menyedihkan. Namun orang-orang Kirtaji yang memperoleh kepercayaan ini tidak kekurangan akal. Guna mencukupi kebutuhan tenaga, mereka menangkap dan mempekerjakan secara paksa orang laki-laki muda dari beberapa desa. Mereka tak merasa khawatir apa yang dilakukan diketahui oleh Kirtaji. Sebab pemimpin tertinggi Gerombolan Kendeng ini tak pernah datang ke tempat penggalian. Kirtaji terlalu sibuk dalam urusan yang lain.
Kasihan sekali orang-orang yang jatuh ke tangan anggauta Gerombolan Kendeng yang sewenang wenang ini. Bukan saja secara paksa mereka harus berpisah dengan keluarga, tetapi juga berhadapan dengan pekerjaan berat yang melelahkan, dan setiap kali cambuk besar itu melayang menjamah bagian tubuhnya. Kalau tidak meratap-ratap minta ampun, cambuk itu masih akan terus melayang, dicambuki seperti seekor kerbau. Para pekerja paksaan ini tidak berani melawan maupun mencoba untuk lari. Sebab akibatnya amat luas. Yang mencoba melawan, mereka akan disiksa sampai mati. Dan mereka yang mencoba melarikan diri, apabila sampai tertangkap kembali, akan menemui ajalnya pula. Sedang yang tak bisa tertangkap kembali, keluarganyalah yang akan menjadi korban. Yang laki-laki dipaksa untuk bekerja, sedang yang perempuan akan diperlakukan seperti bukan manusia lagi.
Sadar akan akibat-akibat seperti itu, maka mereka terpaksa harus tunduk diperintah bekerja sehari suntuk. Mereka sedia mati, asal saja keluarga mereka tak ikut menjadi korban kesewenangan Gerombolan Kendeng ini.
Dan sekarang, Titiek Sariningsih yang tak sampai hati melihat orang-orang itu menderita, seorang diri mau membela.
Sungguh, bocah ini tak kenal akan bahaya.
Gerakan Titiek Sariningsih amat ringan menuruni bukit tersebut. Dan karena bocah ini menuruni bukit gundul ini secara terang-terangan, mereka melihat dan kaget. Bagi para pekerja yang tak mengenal ilmu tata kelahi, memandang penuh heran dan melongo. Mereka seperti tak percaya akan pandang mata sendiri, melihat gadis cantik itu menuruni bukit dengan gerakannya yang seperti terbang. Para penduduk itu justeru amat kuat terpengaruh segala macam dongeng. Mereka pernah mendengar cerita embah-embah mereka, bahwa dahulu Jaka Tarub berhasil mencuri pakaian bidadari yang mandi di telaga .Padahal bidadari itu hanya bisa terbang apabila mengenakan pakaian bidadari. Kalau tidak mengenakan pakaian bidadari, tak dapat terbang lagi. Akhirnya, bidadari itu menjadi isteri Jaka Tarub.
Dan sekarang mereka melihat seorang gadis cantik yang menuruni bukit gundul itu seperti terbang. Mereka segera mengira bahwa seorang bidadari turun dari sorga, untuk menolong diri mereka dari derita. Oleh sebab itu mereka menghentikan pekerjaan. lalu semua duduk bersila dan menyembah ke arah Titiek Sariningsih.
Sekalian para pekerja paksaan itu mengira Titiek Sariningsih sebagai bidadari, orang-orang Kirtaji ini kaget. Melihat gadis itu dapat bergerak seringan itu, mereka segera dapat menduga, bahwa gadis cilik itu bukanlah gadis sembarangan, Akan tetapi karena gadis itu hanya datang seorang diri, orang-orang Kirtaji yang jumlahnya sekitar 25 orang itu menjadi gembira dan menyeringai. Kecantikan gadis cilik ini amat menonjol. Membuat laki-laki kasar itu bagai kucing melihat ikan dendeng. Tanpa memperdulikan kewajiban mereka lagi, orangorang itu seperti berlomba. Kemudian orang-orang kasar ini mengerumuni Titiek Sariningsih dengan mulut dengar-cengir dan mata memandang terpesona.
"Adik manis, engkau mencari siapa? Di antara semua kawan ini,akulah yang paling muda dan gagah."
Seorang pemuda berkumis tipis, tubuh tegap telah menegur, mendahului yang lain.
"Hai! Kamu jangan lancang mulut! Dia ini mencari aku, tahu ?"
Seorang laki-laki bertubuh tinggi besar berewok menghardik kawannya sambil mendelik.
"Ah.... hampir saja aku lupa padamu, Rini. Ah, sudah cukup lama kita tidak saling jumpa. Engkau menyusul aku, bukan?"
Yang lain cepat menyahut dengan kasar.
"Kurang ajar kau! Huh, sudah main ngawur masih tak tahu malu. Dia bukan Rini, ini tunanganku, namanya Sarijem. Tahu? Hayo, Jem, ikut aku, jangan gubris mereka."
Orang itu melangkah ke depan untuk mendekati Titiek Sariningsih. Akan tetapi baru melangkah maju sudah ditahan kawannya, sambil dibentak,
"Huh-huh, engkau tak tahu malu. Apakah aku bayi kemarin sore sehingga gampang kautipu ? Kamu semua belum kenal, termasuk aku!"
yang lain segera pula berteriak dan mendukung.
Hingga orang itu gelagapan tak bisa membela diri. Ramailah orang-orang Kendeng ini sehingga mereka lupa akan kewajiban. Kecantikan Titiek Sariningsih besar sekali pengaruhnya terhadap mereka seakan 25 orang laki-laki ini dalam keadaan dahaga, melihat melimpahnya air yang bening dari mataair.
Betapa perasaan Titiek Sariningsih saat sekarang ini, sulit dilukiskan. Campur aduk perasaan di dalam dadanya, antara geli, penasaran. mendongkol dan geram. Bagi seorang gadis yang telah cukup dewasa, melihat keadaan mereka yang saling berebut itu, tentu dapat mempergunakan siasat mengadu-domba di antara mereka, sehingga mereka akan berkelahi sendiri. Tetapi Titiek Sariningsih gadis yang belum dewasa. Ia mudah tersinggung dan marah. Berani dan juga tak kenal bahaya.
"Kurang ajar kamu semua!" bentak Titiek tiba-tiba.
"Apakah matamu sudah buta. secara ngawur mengucapkan kata kata yang seenak perutmu sendiri? Huh. huh, kamu ini manusia-manusia macam apa, berani berbuat sewenang-wenang kepada sesama hidupmu sendiri? Hayo lekas jawab, apakah hak dan kekuasaanmu, berani mencambuki mereka yang sudah kurus kering dan bekerja berat itu?"
Kaget semua orang mendengar ucapan gadis cilik ini. Untuk sejenak mereka tak bisa membuka mulut, hanya mata mereka saja yang saling pandang. Tetapi sesaat kemudian, meledaklah ketawa mereka dan merasa geli.
"Kurangajar! Engkau mentertawakan siapa?!"
bentak Titiek Sariningsih lantang
"Heh-heh-heh.....!"
"ha-ha-ha-ha......!"
"Ho-ho-ho-ho......!"
Wajah Titiek Sariningsih merah padam saking marahnya. Sedang orang-orang itu masih tetap tertawa ada pula yang terpingkal pingkal saking merasa amat geli .
"Hai!"
bentak Titiek Sariningsih lantang mengatasi suara ketawa mereka.
"Apakah kamu ini sudah gila?"
"Heh-heh heh, benar, gadis manis, kami menjadi gila melihat kecantikanmu. Hayo manis, engkau harus sedia melayani kaml!' sahut salah seorang dari mereka.
Tak kuasa lagi Titiek Sariningsih menahan sabarnya. Bentaknya,
"Kurang ajar! Ternyata kamu semua ini laki-laki biadab. Huh, pantasnya kamu memang harus dihajar."
Selesai mengucapkan kata-katanya, tubuh kecil gadis ini sudah melesat seperti terbang.
"Plak-plak aduhhhh.....!"
dua orang di antara mereka sudah terhuyung-huyung sambil mengaduh-aduh kesakitan, dan memegang pipi yang tiba-tiba menjadi bengkak terpukul oleh tangan Titiek Sariningsih yang kecil.
Barulah anak buah Kirtaji ini kaget di samping marah. Gadis yang tampaknya masih kecil dan lemah lembut ini ternyata bukan gadis sembarangan. Maka mereka menjadi marah. Dalam marah ini, mereka berteriak-teriak dan mengucapkan kata-kata kotor.


Kisah Si Pedang Buntung Lanjutan Ratu Wandansari Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tidak aneh justeru mereka terdiri dari orang-orang kasar, yang terbiasa dengan cara hidup yang tidak begitu mengindahkan tata dan kesopanan masyarakat. Pendeknya mereka lebih mendekatkan diri kepada pemuasan hawa nafsu. Di saat mereka masih bisa mengharapkan sesuatu, mereka bermulut manis dan membujuk. Akan tetapi apabila sudah marah, mereka menjadi lupa segalanya. Mereka tak segan untuk membunuh siapapun yang berani menentang atau membuat marah.
Demikian pula dalam menghadapi Titiek Sariningsih ini. Mereka tak ingat lagi bahwa yang mereka hadapi hanya seorang gadis cilik, yang sepantasnya menjadi anak mereka. Lalu mereka mengurung dengan ketat. Masih untung bahwa mereka masih terpengaruh oleh keinginan untuk dapat menangkap gadis yang menarik ini. Hingga kemudian mereka saling berebut lebih dahulu menangkap, tanpa menggunakan senjata.
"hi-hik."
Titiek Sariningsih tertawa,
"memang kamu semua ini perlu dihajar!"
"Plak plak-plak, buk-buk......"
Terdengar suara beradunya lengan beberapa kali, dan mendaratnya pukulan Titiek Sariningsih ke dada dan kepala para pengeroyok itu. Hingga tiga orang di antara mereka sempoyongan mundur sambil meringis dan mengaduh-aduh.
Mereka yang berbenturan lengan dengan Titiek Sariningsih menjadi heran dan kaget. Mereka merasakan lengan terasa panas dan bergetar.
Tetapi mengapa gadis itu nampaknya tidak apa-apa? '
Dengan gerakannya yang tangkas, ringan dan cekatan, Titiek Sariningsih terus membagi pukulan di antara para pengeroyok. Mereka yang terpukul segera mengaduh aduh kesakitan. Sekalipun kecil tangan gadis itu, namun begitu mantap dan membuat sakit.
Tiba-tiba di antara orang-orang kasar ini ada yang berteriak.
"Hai, kawan! Bocah siluman ini harus kita keroyok dengan senjata! Jangan biarkan dia membuat kita kesakitan."
"Tar-tar_tar.....!"
Orang itu sudah meledakkan cambuknya ke udara. Kemudian ledakan tersebut disambut oleh ledakan cambuk yang lain. Dengan menggunakan cambuk ini, berarti mereka dapat menyerang dari jarak jauh. Lebih lagi mereka dalam jumlah banyak dan mengeroyok. Mereka akan memperoleh keuntungan yang banyak.
Beberapa batang cambuk segera menyerang dengan berbareng. Dan saking bernafsu, ada pula di antara cambuk mereka yang saling menyangkut sendiri.
Menggunakan kegesitannya bergerak, Titiek Sariningsih menerobos ke sana ke mari di bawah ledakan banyak cambuk yang menyambar-nyambar. Hingga sekalipun cambuk-cambuk itu digerakkan secara kuat dan menyerang dari seluruh penjuru, Titiek SariningSih dapat menghadapi dengan tangan kosong. Di samping menerobos menghindarkan diri, gadis inipun membalas menyerang menggunakan tangan dan kakinya. Kadang mencengkeram ujung cambuk, menyentakkannya hingga orang yang memegang kaget dan sempoyongan, lalu dengan kecepatan gerakannya, ia membalas memukul atau menendang pergelangan tangan dan lutut lawan. Beberapa laki-laki itu mengaduh-aduh kesakitan.
Apa yang terjadi, sungguh menakjubkan para pekerja paksaan yang sedang bekerja menggali parit. Mereka melongo dan menonton penuh rasa tegang, namun juga kagum. Kecil nampaknya, akan tetapi sanggup melawan sejumlah laki-laki kasar yang mereka takuti, yang biasa mencambuki tubuh mereka, dan mereka tak berani membalas bisanya hanya mengaduh-aduh dan minta ampun.
Memang ketika gadis cilik ini menuruni bukit dengan gerakan gesit seperti terbang, mereka mengira bahwa gadis itu seorang bidadari. Akan tetapi sekarang setelah melihat gadis itu dikeroyok dan tidak bisa terbang lagi, mereka menjadi sadar bahwa gadis itu benar-benar manusia.
Hanya yang membuat mereka heran, mengapa gadis cilik itu sedemikian berani melawan orang ' orang itu, dan tidak pula menggunakan senjata?
Sadar bahwa gadis cilik itu seorang diri melawan banyak orang, dikeroyok dan menghadapi bahaya, dalam usahanya menolong mereka, maka salah seorang di antara mereka sudah berteriak,
"Hai, kawan! Gadis cilik itu sekarang menghadapi bahaya, dikeroyok oleh mereka. Padahal dia dikeroyok dalam usahanya menolong kita yang sengsara ini. Dapatkah kita berdiam diri dan hanya menonton ?"
Mereka tak segera menjawab. Agaknya mereka sedang berpikir, apa yang harus dilakukan. Tiba-tiba salah seorang di antara mereka sudah menyahut,
"Hai, kawan-kawan! Dengarlah baik-baik. Kita sudah cukup lama menderita tekanan mereka, dipaksa bekerja seperti kerbau, tetapi tidak pernah dipikirkan tentang pengisi perut. Di antara kita telah banyak yang mati karena derita dan sengsara oleh siksaan maupun karena kekurangan makan. Apakah kesengsaraan dan' derita ini hanya kita terima begitu saja tanpa mau berusaha? Hai kawan, kesempatan baik datang. Gadis itu merupakan bintang penolong. Tegakah kita membiarkan gadis itu diancam bahaya, dikeroyok mereka yang banyak jumlahnya dan ganas pula? Hayo kawan, kita angkat senjata dan melawan. Kita bantu gadis itu. Jangan takut mati. Sebab mati melawan tindasan mereka jauh lebih berharga daripada kita mati konyol dibawah siksaan mereka. Hayo serbu......!"
Sambil berteriak "serbu" ini, orang itu sudah mendahului bergerak bersenjatakan kapak. Melihat itu. semula kawan-kawannya ragu-ragu. Mereka hanya memandang dengan melongo dan khawatir. Akan tetapi kemudian segera terdengar suara, orang menyambut,
"Hayo serbuu .....!"
Tiga orang bersenjata kapak, linggis dan cangkul telah lari menyerbu. Lalu disusul oleh lima orang, sepuluh orang dan tak lama kemudian semua orang sudah bergerak dengan senjata mereka yang aneka macam, menyerbu dan membalas dendam kepada para mandor yang galak itu. Pendeknya orang-orang itu sudah pada nekat. Mereka lebih baik mati dari pada harus menderita tekanan dan siksaan teruS menerus.
Akan tetapi penyerbuan orang-orang itu malah membuat Titiek Sariningsih kaget dan khawatir. Setelah ia melawan beberapa lama, gadis cilik ini segera bisa mengukur kemampuan orang-orang itu. Walaupun nampaknya mereka terdiri dari para laki-laki yang bertubuh kuat dan tegap, tetapi sesungguhnya mereka hanya gentong gentong kosong. Nampaknya garang, tetapi tak berisi. Mereka hanya pada tubuhnya saja gagah, akan tetapi banyak orang-orang kasar yang memiliki dasar dasar ilmu tata kelahi murahan. Hanya bisa dipergunakan untuk menakut-nakuti orang orang yang lemah dan tak mengenal ilmu tata kelahi.
Sesungguhnya, sekalipun' seorang diri, ia tak gentar menghadapi mereka ini. Sebaliknya sekarang ia malah menjadi khawatir,kalau orang orang yang sudah penuh derita itu malah jatuh menjadi korban. Karena khawatir, maka sambil menggunakan kecepatannya bergerak, ia berteriak nyaring.
"Hai saudara-saudara! Janganlah kamu datang ke mari! Jangan! Sebaiknya kamu lekas pergi dari sini dan pulang ke rumah masing-masing,
seorang diri, kami sanggup menghadapi bedebah-bedebah busuk ini!"
Mendengar itu mereka banyak yang menjadi ragu. Tetapi salah seorang dari mereka sudah berteriak,
"Kawan, hayo kita serbu dan bantu gadis baik hati itu. Janganlah kita menjadi pengecut. Janganlah kita membiarkan dia dalam bahaya. Mati melawan lebih berharga daripada mati konyol disiksa oleh mereka! "
Teriakan itu membangunkan lagi semangat mereka lalu menyerbu dengan senjata mereka yang aneka warna. Mereka terdiri dari lebih kurang 100 orang. Akan tetapi mereka menyerbu dengan modal keberanian melulu.
Joko Sableng 21 Rahasia Kampung Setan Peristiwa Merah Salju Karya Gu Long Pengemis Binal 12 Petaka Kerajaan Air

Cari Blog Ini