Kisah Si Pedang Buntung Lanjutan Ratu Wandansari Karya Widi Widayat Bagian 16
Para anak buah Gerombolan Kendeng ini menjadi marah sekali, melihat penyerbuan itu. Beberapa orang melompat, menyambut mereka sambil menggeram. Cambuknya menyambar.
"Tar-tar tar..."
"aduhhh....."
Beberapa orang yang tersambar oleh ujung cambuk menjerit kesakitan dan roboh terguling. Akan tetapi orang-orang tak mengenal takut. Satu jatuh yang lain maju. Akibatnya beberapa orang sudah roboh tak berkutik lagi. Seakan semut-semut yang menyerbu untuk mati. Akan tetapi keberanian mereka bukan hanya kosong saja. Dengan modal nekad, di antara mandor kasar ini sudah roboh dua orang menderita luka parah, terbacok oleh cangkul, kapak maupun tertikam oleh linggis. '
Melihat itu Titiek Sariningsih khawatir kalau makin banyak para pekerja jatuh menjadi korban kekejaman mandor-mandor kasar ini. Kalau semula ia hanya melawan dengan tangan kosong, sekarang ia sudah merampas salah satu cambuk lawan. Kemudian dengan senjata cambuk ini ia mulai mengamuk dan melecuti tubuh orang-orang itu. Cambuknya meledak-ledak di udara. Dan suara cambuk yang digerakkan oleh Titiek Sariningsih ini, mengatasi suara cambuk yang lain. Angin yang menyambar dan cambukpun lebih dahsyat. Hal ini tidak mengherankan. Karena dalam gelisah dan khawatirnya, ia menggerakkan cambuk itu dilambari tenaga sakti. Tentu saja lebih berbahaya dibanding dengan cambuk yang hanya digerakkan oleh tenaga kasar.
Untung sekali bahwa Titiek Sariningsih ini amat taat dan tunduk kepada pesan sang guru. Pesan tertulis Ki Ageng Purwoto Sidik atau Ki Ageng Kebo Kanigoro, agar tidak melakukan pembunuhan. Kalau saja tidak ada larangan membunuh, tentu dalam kegemasannya, gadis ini sudah menurunkan tangan maut. Maka apa yang dilakukan sekarang ini, hanya merobohkan, melukai atau membuat para mandor galak ini roboh pingsan.
"Tar-tar-tar......!"
Tiap kali cambuk meledak di udara, akan segera disusul suara jerit kesakitan para pengeroyok. Setiap ujung cambuk menyambar, tentu membuat orang menderita luka. Namun demikian, tak akan membahayakan jiwanya. Sasaran yang dipilih oleh gadis ini, kadang untuk mematahkan lengan, kadang untuk mencambuk sebelah mata, dengan demikian orang itu akan menderita kesakitan hebat dan takkan berani melawan lagi. Yang selanjutnya kemudian hari akan menderita cacat sebelah matanya buta.
Lebih separo dari mereka sudah roboh tak dapat melawan lagi. Dan beberapa orang pula telah roboh mati terbunuh oleh para pekerja yang semula ditindas. Yang masih sanggup melawan, sekarang tinggal tujuh orang. Akan tetapi tentu saja perlawanan mereka sekarang tak berarti. Mereka dikurung oleh sambaran cambuk Titiek SariningSih yang meledak-ledak. Dan akhirnya mereka menjadi gentar, kemudian sisanya yang masih hidup dan belum luka itu melarikan diri sipat kuping. Tanpa ingat lagi kepada kawan-kawan mereka yang roboh pingsan dan mengerang-erang kesakitan oleh luka mereka.
Di antara para pekerja itu, belasan orang roboh tewas atau menderita luka berat atau ringan. Mendadak orang-orang yang dilanda oleh dendam dan kebencian ini, sudah mengeroyok mereka yang terluka atau pingsan, menggunakan senjata masing-masing.
Titiek Sariningsih kaget. Ia tak menghendaki orang orang itu melakukan kekejaman. Maka teriaknya lantang.
"Hai, saudara-saudara, jangan! Biarkan mereka hidup. Dan sekarang, pulanglah kalian ke rumah masing masing."
Tetapi salah seorang di antara mereka, sudah membungkukkan tubuhnya memberi hormat. Sahutnya,
"Nona. maafkan kami, dan terima kasih atas pertolongan nona. Akan tetapi janganlah nona kepalang tanggung dalam menolong kami."
Titiek Sariningsih heran, kemudian tanyanya,
"Apa maksudmu kepalang tanggung?"
"Nona, kami dipekerjakan di tempat ini, di bawah paksaan dan ancaman. Kalau kami pulang ke rumah, tetapi mereka ini dibiarkan hidup, kami akan menderita
lebih sengsara lagi"
"Apa maksudmu ?"
Titiek Sariningsih kaget dan heran.
"Sebab kemudian hari mereka akan datang ke rumah kami, mengancam dan memaksa kami kembali melakukan pekerjaan semacam ini."
"Kalau begitu, lebih baik kalian pergi saja, tidak pulang. Dengan begitu kalian akan aman."
"Akibatnya malah akan makin hebat, nanti......"
"Apa? Apa lagi?"
Titiek Sariningsih terbelalak dan makin keheranan.
"Apabila mereka gagal mencari kami, tak urung mereka akan menangkap dan mencelakakan seluruh keluarga kami. Keluarga kami akan habis dibunuh."
"Ahhhh..... mana ada aturan macam itu? Kurang ajar! Jangan takut. Aku yang akan melindungi dan membela kalian."
"Terima kasih atas pertolongan nona. Tetapi, manakah mungkin nona bisa menolong dan melindungi kami selamanya? Dalam pada itu rumah kamipun saling berjauhan."
Titiek Sariningsih terdiam mendengar itu. Memang tidaklah mungkin dirinya selalu melindungi dan membela mereka. Kalau demikian halnya, berarti dirinya akan terikat dan tak mungkin bisa meninggalkannya.
Dalam pada itu ia hanya seorang diri, manakah mungkin dirinya bisa berpindah-pindah tempat, hanya untuk mengurusi orang-orang ini?
Lalu bagaimanakah hari depannya nanti?
Di saat Titiek Sariningsih dalam keadaan tak dapat menjawab ini, mendadak terdengarlah suara teriakan nyaring.
"Hai! Siapa berani lancang tangan mengacau di sini? Apakah engkau sudah bosan hidup?"
Orangnya belum nampak. Akan tetapi suara teriakannya terdengar nyata. Mendengar itu, diam-diam gadis cilik ini menjadi khawatir. Orang yang bisa berteriak seperti ini tentu bukan orang sembarangan. Kalau ia gagal, tak urung orang-orang yang ingin ditolong ini akan mati dalam keadaan lebih mengenaskan. Lalu timbullah keputusannya yang nekad.
"Kalau begitu, baiklah! Aku tak bisa melarang kalian membunuh manusia -manusia busuk ini. Tetapi, jangan di depanku."
Begitu selesai mengucapkan kata-katanya, tubuh Titiek Sariningsih sudah melesat dengan ringan. seperti anak panah lepas dari busur, menuju ke arah asal suara. Pendeknya walaupun ia harus mengorbankan jiwa sendiri, ia tidak takut. Ia harus melawan orang yang baru datang itu, guna menyelamatkan mereka.
Orang-orang yang baru saja ditolong itu, terbelalak, melongo dan keheranan menyaksikan gerakan gadis itu yang amat cepat seperti bisa terbang. Serasa mereka seperti mimpi tanpa tidur. Baru sekali ini sajalah mereka menyaksikan orang dapat bergerak seperti itu. Namun setelah mereka sadar, bahwa gadis itu benar-benar manusia, dan bukan jin, demit atau bidadari, dengan geram dan kemarahan yang meluap-luap,mereka sudah menyerbu dengan senjata masing-masing, kepada orang orang Kendeng yang belum mati.
Kasihan juga orang-orang Kendeng ini. Mereka sudah menderita luka parah dan tidak bisa melawan lagi. Maka' mereka terpaksa menyerah untuk menghadapi maut.
Di saat Titiek Sariningsih sedang mendaki bukit kecil pada sisi yang lain, muncullah seseorang yang gerakannya amat cepat seperti terbang. Seorang laki-laki bertubuh jangkung. Kaget juga Titiek Sariningsih begitu melihat orang yang datang itu. Ternyata itu orang yang bernama Sungsang, dan dahulu pernah hampir mencelakakan dirinya. Diam-diam agak gentar juga menghadapi orang ini.
Sanggupkah dirinya melawan orang ini?
"Harus berani! Mati membela yang ditindas sewenang wenang, merupakan perbuatan yang terpuji! "
demikian suara hatinya, yang memberi keyakinan kepada Titiek Sariningsih.
Dan memperoleh bisikan hati demikian ini, hatinya menjadi mantap.
Kenyataannya dahulu dirinya memang tidak berdaya melawan Sungsang. Akan tetapi peristiwa itu terjadi di saat dirinya masih bodoh.
Tetapi sekarang?
Ia tak mau kalah dengan Sungsang. Malah sekarang timbullah niatnya untuk menebus kekalahannya yang lalu. Sekarang dirinya harus dapat mengalahkan orang itu.
Pada mulanya Sungsang melongo terpesona berhadapan dengan gadis cilik yang amat cantik itu.
Tentu saja!
Ia seorang laki-laki pengejar perempuan cantik. Maka setiap berhadapan dengan wanita cantik, ia berobah seperti seekor kucing melihat tikus. Ia mengilar dan terangsang. Kecil-kecil cabe rawit. Sekalipun masih kecil gadis ini amat cantik dan menarik. Oleh sebab itu setelah sadar dari pengaruh kecantikan gadis ini. Sungsang terkekeh gembira sekali. Katanya,
"Heh-heh-heh, engkaukah yang telah mengacau pekerjaan di tempat ini? "
Tentu saja Sungsang bertanya seperti itu. Pertama ia sudah tidak mengenal lagi Titiek Sariningsih, yang dahulu masih begitu kecil. Yang ke dua memang ia merasa tak percaya, apabila gadis sekecil ini sanggup membuat ketakutannya para anak buah Kendeng yang jumlahnya 25 orang.
Seperti sudah diketahui, bahwa Patra Jaya telah bersekutu dengan'Kirtaji. Kalau gurunya bersekutu, tentu saja Sungsang sebagai muridnya, mengikuti jejak gurunya pula. Sebagai seorang yang mempunyai kepandaian cukup tinggi, maka di antara anak buah Kendeng, Sungsang merupakan orang yang disegani dan dihormati. Dan mengingat bahwa kedudukan guru dan murid ini
merupakan tamu, maka guru dan murid itu mempunyai kebebasan bergerak di dalam kekuasaan Gerombolan Kendeng.
Tadi Sungsang sedang melepaskan lelah di tepi sebuah_sungai, setelah ia berkeliaran menuruti kemauan sendiri. Tiba-tiba ia melihat beberapa anak buah Kendeng lari sipat kuping, dan di antara mereka terdapat pula yang pipinya matang biru, dengan bekas memanjang seperti terpukul oleh benda lemas. Melihat sikap anak buah yang seperti ini, Sungsang heran di samping tertarik. Ia berteriak memanggil. Dan anak buah Kendeng yang lari sipat kuping itu segera menghampiri. Setelah memberikan hormatnya dengan gugup mereka melaporkan tentang terjadinya pengacauan ditempat pekerjaan membuat jalan di bawah tanah.
Pada mulanya mendengar laporan tersebut, Sungsang tidak begitu tertarik.
Untuk apa ia mencampuri urusan dan kepentingan Gerombolan Kendeng itu?
Dirinya dan gurunya hanyalah tamu, yang tidak terikat oleh kewajiban untuk membela Kendeng.
Akan tetapi sebaliknya anak buah Kendeng yang melarikan diri itu, bukannya orang-orang tolol. Mereka mengerti juga akan watak dan tabiat tamu ini. Seorang lakilaki yang tak pernah puas berburu perempuan, lebih lebih yang wajahnya cantik jelita. Mereka merasa penasaran telah dikalahkan oleh gadis itu. Maka mereka harus dapat membalas sakit hati itu. Mereka cukup maklum bahwa tamu ini, seorang yang berilmu tinggi. Lalu timbullah niat mereka, untuk bisa membalas gadis itu, dengan meminjam tangan Sungsang. Mereka ingin melihat bagaimanakah nanti apabila gadis itu menghadapi Sungsang yang sakti. Tak urung akan kalah dan kemudian
dapat ditawan. Walaupun pada akhirnya yang dapat memiliki dan menghina gadis itu hanya Sungsang seorang diri, namun hati mereka puas. Sebab dengan jalan itu. berarti mereka sudah dapat melunaskan sakit hati di samping pula akan dapat menyaksikan gadis itu dihina dan dipermainkan oleh Sungsang.
Oleh sebab itu seperti berebut mereka segera melaporkan, bahwa orang yang mengacau dan membuat mereka lari sipat kuping, adalah seorang gadis yang amat cantik. Mendengar disebutnya wanita cantik itu, mendadak saja sepasang mata Sungsang bersinar, cuping hidungnya bergerak-gerak, sedang mulutnya menyeringai. Setelah ia memperoleh kepastian tentang kecantikan gadis itu, tanpa banyak mulut lagi, Sungsang sudah melesat pergi.
Anak buah Kendeng ini menjadi amat gembira sekali.
Kemudian mereka berunding, terus melapor kepada atasan ataukah menonton dahulu?
Dan akhirnya semua sependapat, lebih baik nonton dahulu, sambil mencegah agar orang-orang yang dijadikan pekerja paksa itu tidak melarikan diri. _
Demikianlah sebabnya tiba-tiba Sungsang muncul, dan sekarang sudah berhadapan dengan Titiek Sariningsih. Namun Sungsang maSih kurang percaya akan laporan yang sudah didengarnya, maka masih ditanyakan, apakah benar gadis cilik yang cantik ini yang telah mengacau?
Dan Titiek Sariningsih justeru seorang gadis pemberani. Gadis yang tak akan sudi ingkar dari pertanggunganjawab apa yang sudah ia lakukan. Oleh sebab itu jawabnya tenang dan ketus,
"Huh-huh, kalau benar kau mau apa ?"
sungsang ketawa bekakakan mendengar jawaban yang angkuh dan ketus itu.
"Ha-haha, agaknya engkau menjadi tekebur dan sombong, sesudah engkau dapat mengalahkan gentong-gentong nasi itu. Hem, adik yang cantik. sudahlah. Lebih baik di antara kita menjalin persahabatan, tidak perlu bersitegang leher. Adikku. tahukah bahwa aku ini seorang yang belum pernah mempunyai isteri? Heh-heh-heh, begitu aku berhadapan dengan engkau, timbullah perasaan yang amat aneh. Tiba tiba saja aku menjadi jatuh cinta. padamu. Adik manis "
"Tutup mulutmu!"
bentak Titiek Sariningsih memotong.
Gadis ini menjadi makin marah mendengar ucapan Sungsang yang kurangajar itu.
Adakah orang bisa benar-benar cinta begitu bertemu sudah mengucapkan cintanya?
"Adik manis, jangan marah dulu,
heh-heh-heh, sebab aku memang bukan membual kosong. Aku belum punya isteri, sebaliknya engkau memang cantik dan menarik. Maka marilah kau bersama aku menikmati suasana indah dan memadu kasih mendekatkan hati masing masing . . . "
"Siapa yang sudi padamu?"
bentak Titiek Sariningsih dengan mendelik.
"Engkau sejahat-jahatnya manusia yang hidup di dunia ini. Engkau seorang laki-laki yang suka menghina perempuan. Sekarang rasakan pembalasanku!"
Sungsang terkekeh geli mendengar ucapan gadis ini yang angkuh, ketus dan sombong.
"Heh-heh-heh, menggelikan sekali adikku. Apakah yang engkau andalkan berani menantang aku? Hehheh heh, dari pada kita bersitegang. berkelahi dan mungkin menyebabkan kulitmu lecet, toh lebih baik kita rukun. Heh-heh-heh, sayang sekali jika kulitmu yang halus itu sampai lecet. Sayang sekali jika pakaianmu yang sebagus bentuk tubuhmu itu robek. Hayolah, jangan engkau keras kepala....."
"Tar-tar-tar.......!" kata kata Sungsang terputus sebelum selesai, dijawab oleh ledakan cambuk yang menyambar ke arah dirinya.
Ujung cambuk dengan gampangnya dihindari dengan melompat, mulutnya menyeringai dan matanya berkedip-kedip.
"Heh hehheh, sangkamu engkau bisa melawan aku ?"
ejek Sungsang.
"Mampuslah! Tar-tar....!"
Sambil membentak tubuh Titiek Sariningsih menerjang maju, didahului oleh ledakan cambuknya dua kali.
Cambuk rampasan itu memang lumayan dipergunakan sebagai senjatanya. Akan tetapi ia tidak mengerti ilmu cambuk dan belum pernah pula mempergunakan senjata seperti itu. Ledakan cambuknya memang terdengar begitu nyaring dan sambaran anginnyapun cukup kuat. Semua itu oleh pengaruh tenaga sakti yang sudah ada di dalam tubuhnya. Namun karena sama sekali tidak mengenal ilmu cambuk dan belum pula pernah menggunakannya, gerakannya demikian kaku.
"Heh heh heh, bagus!"
Sungsang terkekeh mengejek. Tubuhnya tidak bergerak. Dan ketika ujung cambuk menyambar ke arah dirinya, Sungsang menggerakkan tangan kanan untuk menangkap ujung cambuk tersebut, sekaligus menggentakkan.
"Aihh....!"
tetapi Sungsang menjadi kaget dan tak terasa ia berseru tertahan.
Telapak tangannya yang dipergunakan mencengkeram ujung cambuk terasa panas dan tergetar. Kemudian iapun terpaksa melepaskan cambuk itu, sambil merendahkan 'kepalanya.
Yang terjadi memang di luar dugaan Sungsang. Begitu jari tangannya berhasil mencengkeram ujung cambuk itu dan menggentakkannya, tenyata cambuk tidak lepas dari tangan gadis cilik itu. Malah hampir saja kepalanya sudah disambar oleh kaki yang kecil, menendang seperti kilat cepatnya.
Akan tetapi sebaliknya Titiek Sariningsihpun diam diam amat kaget. Ketika cambuknya digentak lawan hampir saja cambuk itu lepas. Untung gadis ini cukup cerdik di samping bisa bergerak amat ringan. Ia malah meminjam tenaga tarikan lawan, sehingga tubuhnya dapat melesat lebih ringan. Di udara, ia mengirimkan tendangan ke arah ubun-ubun lawan. Tetapi sayang lawan keburu merendahkan tubuh dan melepaskan ujung cambuk.
Namun setelah hilang kagetnya, Sungsang terkekeh lagi. Katanya garang,
"Hemmm, sampai di manakah kemampuanmu berani melawan aku?"
"Tar tar-tar...."
Sebagai jawabannya, Titiek Sariningsih sudah menggerakkan cambuknya lagi meledak-ledak di udara. Lalu dengan gerakannya yang kaku, ia sudah menyerang lagi kepada lawan.
Akan tetapi karena ia tidak mengerti ilmu cambuk maka menghadapi Sungsang ini tidak banyak membawa hasil. Agaknya dengan melihat cara gadis itu menggerakkan cambuknya, Sungsang menjadi tahu bahwa lawan tidak membahayakan dengan senjata cambuk itu. Kemudian malah timbullah akal Sungsang yang licik ini untuk mengalahkan lawan dengan tipu.
Setelah berkali-kali ia menghindarkan sambaran cambuk sambil menangkis dengan sentilan jari. mendadak ia kembali menangkap ujung cambuk dan menggentakkan. Ternyata apa yang diharapkan benar-benar terjadi. Tubuh gadis itu mengapung di udara seperti tadi. Ia sudah siaga. Begitu gadis itu menendang, ia akan menangkap kaki tersebut. Ia merasa pasti, sekali kerja lawan akan tidak berkutik lagi. '
Namun apa yang terjadi, malah Sungsang kaget sendiri dan cepat melepaskan ujung cambuk sambil melompat. Kalau terlambat sedikit saja tentu lengannya sudah terkurung oleh pedang yang tiba tiba menyambar. Diam diam Sungsang heran juga, oleh kecepatan lawan mencabut pedang, dan menyabat dengan tangan kiri.
Memang di saat Titiek Sariningsih tertarik oleh gentakan tenaga lawan, bocah ini sudah bisa memperbitungkan, apabila menyerang seperti tadi dirinya dalam bahaya. Maka timbullah akalnya. Ia meminjam tenaga gentakan lawan!
Sambil mempertahankan cambuknya. Akan tetapi secepat kilat tangan kiri sudah mencabut pedang. Lalu dengan tangan kiri pula, pedang itu untuk menyabat lengan lawan yang akan menangkap kakinya.
Namun demikian Titiek Sariningsih tidak gegabah untuk menggunakan pedang Si Buntung. Sesuai dengan pesan Sindu, ia dilarang menggunakan pedang pusaka itu, apabila tidak benar-benar amat memerlukan. Artinya dalam bahaya, untuk menolong diri. Oleh sebab itu, Titiek Sariningsih hanya mencabut pedang biasa yang tergantung pada pinggang.
Gadis ini setelah berdiri diatas tanah sambil memegang pedang segera mendelik marah ke arah Sungsang. Siap siaga untuk kembali menyerang lawan. Tetapi Sungsang ketawa mengejek.
"Heh-heh-heh, mengapa engkau berSikeras melawan aku? Tiada gunanya melawan aku,
karena engkau tidak bakal menang. Hayolah, lebih menyenangkan apabila kita bersenang-senang seperti pengantin baru....."
"Tutup mulutmu. Keparat!"
Titiek Sariningsih mencaci sambil menerjang ke depan, menggunakan pedangnya. Ia sudah menggunakan ilmu pedang warisan gurunya, Bernama Ilmu Pedang Mahesa Kurda. Titiek Sariningsih memang sadar, ia tak boleh sembrono menghadapi lawan ini. Bukan saja kalah pengalaman. tetapi juga khawatir apabila datang bantuan orang, yang kemudian mengeroyok. Melawan seorang saja belum tentu menang, kalau harus dikeroyok bisa berbahaya.
Kekhawatiran bocah ini ternyata beralasan juga. Telinganya menangkap gerakan orang yang masih berat. Ketika ia mengerling. benar dugaannya. Mandor-mandor galak yang tadi sudah melarikan diri, sekarang kembali lagi. Orang-orang itu segera menonton. Lalu terdengar salah seorang di antara mereka berteriak.
"Gadis liar itu menyebabkan seluruh pekerja melarikan diri. Peristiwa ini merupakan tamparan hebat bagi kita. Karena itu sudilah ndara Sungsang dapat menebus, dengan menangkap hidup atau mati."
"Heh-heh-heh,"
Sungsang tertawa,
"sayang kalau harus mati sebelum aku dapat melepaskan rindu. Sayang akan cantiknya dan.... aihh.."
Kata kata Sungsang yang belum selesai ini terputus. kemudian berseru tertahan. Sebab di luar dugaannya, gadis itu sudah menyerang dengan kecepatan luar biasa. Semula Sungsang sudah berusaha untuk menangkis dengan sentilan jari. Akan tetapi mendadak di belakang punggungnya angin menyambar. Sungsang kaget dan dapat menghindari dengan melesat ke samping., Namun ia
berseru kaget, karena hampir saja kakinya sudah terbelit oleh ujung cambuk yang dipegang tangan kiri,
Begitu memegang pedang, Titiek Sariningsih seperti seekor anak macan yang keluar tanduknya. Lebih garang dan berbahaya. Gerakan pedangnya amat cepat sulit diduga perobahannya, sedang cambuk yang membantu pada tangan kiri juga amat berbahaya. Karena ujung cambuk itu bisa menyerang dari arah belakang. Walaupun gerakan cambuk Titiek Sariningsih ini hanya ngawur saja, namun mempunyai pengaruh, sehingga gadis cilik ini lebih mantap lagi dalam melancarkan serangan-serangannya.
Sebaliknya Sungsang adalah seorang yang kejam dan tak segan-segan melakukan keganasan. Sebagai seorang yang tak mau menderita kekalahan, tentu saja ia menjadi sadar apabila masih bertangan kosong, dirinya dalam bahaya. Maka begitu cambuk Titiek Sariningsih menyambar, tangan kirinya segera menangkap ujung cambuk. Ketika pedang gadis itu berkelebat cepat, tiba-tiba......
"Trang..!"
tangkisan yang amat kuat membuat Titiek Sariningsih kaget.
Ia terhuyung mundur dua langkah ke belakang, dan terpaksa melepaskan cambuknya untuk menolong diri. Telapak tangannya terasa panas. Namun ia tidak menderita sesuatu.
Sungguh mengagumkan memang Sungsang ini. Entah bagaimana caranya bergerak saking cepatnya, tahu-tahu pedang telanjang telah terpegang tangan kanan. Kemudian menangkis pedang lawan yang akan membabat lengannya. Namun demikian Sungsang terbelalak heran, hampir tak percaya akan pandang matanya sendiri.
Mengapa pedang lawan tidak lepas?
Ia sudah berkali-kali berhadapan lawan yang lebih tua usianya dengan gadis ini.
Dan musuh laki-lakipun belum tentu kuasa mempertahankan senjatanya kalau ia tangkis.
Tetapi mengapa pedang gadis itu tidak runtuh, sedang telapak tangannya sendiri terasa agak panas?
Kalau saja yang dihadapi sekarang ini bukan seorang gadis cilik yang cantik yang menggugah seleranya. Sungsang tentu tidak telaten lagi. Ia tentu sudah menggunakan ilmu andalannya, ialah Wisa Naga. Karena masih timbul rasa sayangnya kepada gadis cilik ini, maka segera terjadilah pertempuran yang cepat dan sengit. Berkali-kali terdengar suara dencingan senjata.
Diam-diam sisa dari mandor galak yang menonton pertempuran itu kagum. Baru sekarang terbuka mata mereka, bahwa gadis cilik itu bukanlah gadis sembarangan. Pantas mereka tadi seperti segerombolan tikus melawan kucing. Buktinya, Sungsang yang mereka kenal sebagai tamu sakti mandraguna, yang tingkatnya sejajar dengan wakil ketua mereka yang bernama Prembun, dan setingkat di bawah ketua mereka Kirtaji, sekarang tak bisa mengalahkan gadis cilik ini dalam waktu singkat.
Itulah berkat ilmu tinggi peninggalan Ki Ageng Purwoto Sidik. Ilmu Pedang Mahesa Kurda memang merupakan ilmu pedang yang hebat keliwat-liwat.
Dahulu semasa hidupnya, Ki Ageng Purwoto Sidik terkenal sebagai seorang sakti mandraguna pilih tanding.
Kalau saja Titiek Sariningsih sudah cukup terlatih dan sudah dapat mendalami ilmu tersebut, manakah mungkin Sungsang yang meyakinkan ilmu sesat ini bisa menang?
Akan tetapi sekarang ini, bagaimanapun Titiek Sariningsih kalah pengalaman, kalah latihan, kalah siasat, dan belum pula pernah berhadapan dengan musuh kuat. Benturan senjata yang berkali kali terjadi itu, membuat telapak tangan gadis ini panas dan lecet. Namun gadis ini masih nekad mempertahankan pedangnya. Kemudian terdengar suara bentakan Sungsang yang nyaring,
"Lepas !"
Sambil berteriak itu, Sungsang mengerahkan tenaganya. Akibatnya telapak tangan Titiek Sariningsih yang sudah panas dan lecet-lecet, tak kuasa lagi mempertahankan pedangnya, dan terpental terbang. Sungsang ketawa terkekeh gembira dapat mementalkan pedang lawan. Sebaliknya Titiek Sariningsih menjadi pucat, tetapi kemarahannya makin meledak. Ia menjadi sadar, kalau tidak menggunakan pedang lemas Si Buntung, dirinya dalam bahaya.
Ketika itu Sungsang justeru terkekeh mengejek.
"Heh heh-heh, adik cantik, bagaimana sekarang? Hayo menyerahlah baik-baik. Engkau takkan celaka adik cantik, tetapi engkau akan aku hargakan bagai dewi. Betapa tidak? Engkau cantik jelita, dan aku jatuh cinta padamu."
"Keparat! Tutup mulutmu!"
bentak Titiek Sariningsih nyaring.
Kemudian
"sring"...... berkelebatlah cahaya putih mengkilap menyilaukan mata.
Ternyata sekarang gadis itu sudah menghunus pedang Si Buntung yang semula melingkar pada pinggang.
"Sing..... wutt....."
dan Sungsang melompat ke samping dengan hati kaget, ketika sinar putih seperti kilat menyambar ke arah dirinya.
Diam diam Sungsang heran sekali.
Di manakah pedang itu tadi disembunyikan?
Akan tetapi ia seorang yang sudah luas pengalaman. Sekelebatan saja ia sudah dapat membedakan mana pedang biasa dan pedang pusaka.
"Pedang bagus, heh-heh-heh, serahkan padaku, dan kita menjadi suami-isteri gagah persilatan....."
kata kata sungsang terhenti dan kembali melompat jauh. ketika' tiba tiba Titiek Sariningsih sudah menyerang lagi dengan pedangnya.
Titiek Sariningsih sudah tak lagi mau membuka mulut. Ia terus menyerang dengan pedang pusaka Si Buntung yang tipis dan ringan akan tetapi tajamnya luar biasa. Dan ternyata di luar dugaan. Sekarang setelah ia memegang pedang pusaka Si Buntung, sekalipun tangannya sudah lecet-lecet, merasa lebih mantap lagi. Gerakannya lebih cepat, lebih ringan, akan tetapi sambaran pedangnya menimbulkan angin yang mujijat. Sungsang tidak berani sembrono, dan terus-menerus melompat menghindarkan sambaran pedang.
Memang sesungguhnyalah bahwa Ilmu Pedang Mahesa Kurda ini, memerlukan kecepatan dan keringanan bergerak. Maka bagi seorang gadis cilik seperti Titiek Sariningsih ini, pedang yang ringan dan tajam luar biasa sangat cocok. Dan entah secara kebetulan, ataukah memang sudah disengaja oleh Ki Ageng Purwoto Sidik. Setelah Titiek Sariningsih itu memegang pedang Si Buntung, serangan-serangannya menjadi hebat luarbiasa. Dan Sungsang yang sadar akan ketajaman pedang tersebut, tidak berani gegabah untuk membenturkan pedangnya. Sekalipun pedangnya sendiri juga merupakan pedang pusaka, ia tidak berani sembrono. Sebab ia pernah mendengar cerita gurunya tentang pedang pusaka yang lemas, yang bisa disimpan melingkar pada pinggang, seperti ikat pinggang. Pedang yang lemas seperti itu, adalah pedang pusaka yang tajamnya amat luar biasa. Oleh sebab itu apabila berhadapan orang yang menggunakan pedang lemas ini, di samping harus bersikap hati-hati, juga harus berusaha untuk merebut dan menguasainya.
Sekarang, jelas bahwa pedang gadis ini pedang lemas yang pernah dibicarakan gurunya. Maka timbullah hasratnya, di samping dapat menaklukkan gadis ini, juga harus dapat merebut pedang pusaka itu. Oleh karena itu sambil menggunakan kecepatannya bergerak untuk menghindar dan setiap kali memperoleh lowongan membalas menyerang, diam-diam Sungsang memutar otaknya.
Bagaimanakah cara yang tepat untuk bisa merobohkan gadis cilik ini dan sekaligus merebut pedangnya?
Untung sekali ia seorang yang cerdik dan licik pula.Untuk mencapai tujuannya, bagi orang yang berbau sesat ini menghalalkan segala macam cara. Tiada halangan untuk berbuat keji maupun menggunakan tipu muslihat. Maka setelah berpikir sambil berloncatan menghindar, tak lama kemudian ia sudah memperoleh cara yang amat bagus. ia tahu bahWa gadis cilik yang dihadapi sekarang ini,sekalipun gerakannya sedemikian hebat, ilmu pedangnya amat berbahaya, akan tetapi seorang gadis yang belum mempunyai pengalaman. Di samping belum berpengalaman, iapun bisa mengukur, dalam hal tenaga sakti ia menang.
Memperoleh pikiran demikian ia akan mempergunakan siasat untuk dapat melibat lawan dengan kekuatan tenaga sakti. Di saat Titiek Sariningsih menerjang lagi dengan pedangnya yang cepat seperti tatit menyambar, iapun menggunakan kecepatannya bergerak, dan pada satu ketika ia telah berhasil menempel pedang lawan. Usahanya berhasil tanpa kesulitan, karena Titiek Sariningsih tak pernah menduga. Dua batang pedang itu kemudian seperti lengket menjadi satu, dan tidak dapat dipisahkan lagi.
Masih untung bahwa Sungsang tergila gila akan kecantikan Titiek Sariningsih. Kalau tidak. di saat pedang saling tempel ini. Sungsang tentu mengirim tenaga racun dingin dari Aji Wisa Naga kepada lawan. Dan akibatnya lawan akan menderita hebat oleh serangan racun dingin, yang dapat membuat lawan mati.
Akan tetapi sudah tentu Titiek Sariningsih takkan mau mengalah dan melepaskan pedang pusakanya. Gadis ini mengerahkan tenaga mati-matian untuk mempertahankan pedangnya. Pendeknya ia akan mempertahankan pedang pusaka Si Buntung dengan mempertaruhkan nyawa sendiri.
Sungsang menyerang terus untuk dapat merebut pedang itu, sebaliknya Titiek Sariningsih terus mempertahankan pedang, agar tidak lepas dari tangannya. Akan tetapi bagaimanapun, dalam hal tenaga sakti Titiek Sariningsih kalah kuat di samping pula kalah latihan. Maka sekalipun ia sudah mengerahkan tenaga mati-matian dan sedikit ia terdesak dan di bawah angin. Wajahnya makin lama menjadi makin pucat. Keringat dingin mulai membasahi sekujur tubuhnya. Tangannya mulai tergetar, serasa tak kuat lagi mempertahankan pedangnya.
Di lain pihak, Sungsang masih nampak segar bugar. sekalipun sesungguhnya merasa heran dan kagum. Sekecil ini sudah sedemikian tangguhnya. Apabila memperoleh bimbingan dan latihan yang cukup, dalam waktu ,dua tiga tahun lagi, dirinya tak mungkin menang melawan gadis ini.
Terpikir bahwa dua atau tiga tahun lagi gadis ini tentu menjadi seorang gadis perkasa, mendadak saja timbullah kekhawatirannya kelak kemudian hari gadis ini menjadi saingannya yang berbahaya. Begitu merasa khawatir. wataknya yang serakah dan ganas segera mendesak dalam dada. Jika gadis ini dibiarkan hidup, dirinya sendiri yang akan rugi. Pikirnya,
"Hemm, untuk apa sayang kepada jiwa gadis ini? Dunia ini masih tidak terhitung jumlahnya gadis jelita. Lebih-lebih di kota raja Mataram, hampir setiap malam aku memperoleh gadis yang menyenangkan hati. Hemm. untuk mempercepat memperoleh kemenangan dan merampas pedang pusaka itu. aku harus membunuh gadis ini dengan Aji Wisa Naga."
Begitu memperoleh keputusan, Sungsang segera terkekeh. Kemudian katanya,
"Huh-huh, engkau gadis keras kepala. Engkau harus mampus, dan pedang pusaka itu jadi milikku!"
Titiek Sariningsih tak menggubris dan terus mengerahkan tenaga untuk melepaskan pedangnya. Namun usahanya sia-sia belaka pedangnya seperti berakar pada pedang lawan. Akan tetapi gadis keras kepala ini terus mempertahankan diri dan berusaha. Pendeknya ia takkan melepaskan pedang pusakanya sebelum nyawa putus.
Akan tetapi tibatiba gadis ini kaget. Semacam hawa Yang dingin luar biasa, menyelundup masuk ke dalam tubuhnya. Membuat tubuhnya menggigil kedinginan. Ia terus bertahan sambil berusaha melawan hawa dingin tersebut. Akan tetapi usahanya tak berhasil. Makin lama tubuhnya terasa dingin dan menggigil. Lalu giginya bercakrukan, dan lengannya tergetar hebat. Pandang matanya makin lama menjadi makin kabur. Bertambah lama menjadi gelap, lalu gadis ini roboh tidak sadarkan diri.
Sungsang terkekeh gembira sekali. Pedang pusaka gadis itu telah lepas dari tangan, lalu mempergunakan tangan kiri untuk menangkapnya. Tetapi mendadak Sungsang kaget dan harus menghindarkan diri, ketika semacam angin yang dahsyat menyambar ke punggungnya.
Ia sadar bahwa penyerang ini seorang sakti, maka ia tak berani gegabah membalikkan pedangnya untuk menyabet ke belakang.
Akan tetapi begitu berhasil menghindarkan diri dan membalikkan tubuh, Sungsang terbelalak. Di depannya sekarang telah berdiri seorang perempuan yang _cantik luar biasa. Tubuhnya ramping, akan tetapi padat berisi, dan menunjukkan kematangannya pula.Sungsang terpesona memandang perempuan ini. Untuk sejenak ia sampai lupa kepada pedang yang tadi berusaha dirampas, dan sekarang pedang itu sudah tergenggam dalam tangan perempuan ini.
Mendadak terdengar suara orang tertawa, suara wanita. Ketika ia menebarkan pandang matanya, ia makin menjadi kaget. Sungguh luar biasa. Telinganya sudah terlatih dan amat peka. Tetapi mengapa sebabnya tak menangkap sesuatu suara, tahu-tahu di sekitarnya sekarang telah berdiri delapan orang perempuan, dan rata-rata wajahnya cantik pula, sekalipun tak dapat menyamai wanita yang sekarang berdiri di depannya. Satu-satunya wanita yang wajahnya buruk hanya seorang saja, ialah gadis tanggung berkulit hitam. Tangan kanannya memegang tongkat dengan hiasan kepala garuda. Ia berdiri dengan angkuh.
Hampir saja Sungsang tak percaya pada pandang matanya sendiri, dan serasa mimpi.
Betapa tidak, sekaligus muncul sembilan orang perempuan. Dari jumlah itu, hanya seorang saja yang wajahnya jelek. Tentu peristiwa macam ini, tidak mungkin dapat ditemui di saat lain. Dan sebagai seorang laki-laki yang gemar berburu wanita cantik, tentu saja kehadiran wanita wanita yang cantik ini membuat Sungsang gembira, kemudian terkekeh.
"Heh-heh-heh-heh, sungguh menggembirakan sekali. TanPa dicari kamu perempuan-perempuan cantik sudah pada datang sendiri. Mari, kalian layani aku bersenang senang."
Perempuan yang amat cantik dan berdiri di depan Sungsang tersenyum dingin. Ia tidak melayani Sungsang, kemudian berpaling kepada salah seorang dari mereka. Katanya terdengar merdu,
"Rukmi, hajarlah manusia ini biar kapok. Kalau perlu berilah tandamata, biar kemudian hari tidak sembarangan membuka mulut."
Seorang perempuan yang disebut namanya Rukmi segera mengangguk hormat dan mengiakan. Kemudian tubuh yang ramping padat berisi, telah melesat maju dengan amat ringannya. Rukmi sudah berdiri di depan Sungsang sambil membentak,
'Huh, kalau saja tidak dilarang majikanku, ingin sekali aku mengirim ke akhirat. Untuk hadiahmu, kiranya cukup sebelah telingamu kubikin putus."
Selesai mengucapkan kata-katanya. tubuh Rukmi bergerak seperti kilat cepatnya menyambar ke depan. Di dahului oleh sinar putih yang mengkilap, sinar pedang. Entah bagaimana caranya bergerak, tahu-tahu perempuan ini sudah memegang pedang terhunus, dan menyerang Sungsang.
Sungsang terpaksa menelan kembali suara ketawanya, dan kaget setengah mati sambil melompat ke samping dan menggerakkan pedangnya untuk menangkis.
"Trang . .... !"
Dua batang pedang yang berbenturan suaranya terdengar nyaring. Tetapi betapa kaget Sungsang, ketika pedang yang bisa ditangkis dan terpental itu, tiba-tiba sudah menyambar ke lehernya. Untung dalam kagetnya sungsang masih keburu membanting tubuhnya. kemudian bergulingan sambil menyambarkan pedangnya ke arah kaki lawan. Akan tetapi sambaran pedangnya mengenakan angin dan kalau saja tidak dapat bergerak cepat menggulingkan diri, tubuhnya tentu sudah berlubang oleh pedang lawan.
Setelah Sungsang berhasil melompat berdiri, diam diam Sungsang kagum. Nampaknya lawan ini seorang perempuan lemah lembut. Namun ternyata bukan perempuan sembarangan, gerakannya amar cepat, dan gerak pedangnya amat aneh dan amat berbahaya. Ia seorang yang selalu membanggakan hebatnya ilmu pedang ajaran gurunya. Akan tetapi menghadapi ilmu pedang gadis ini, ia sungguh menjadi kebingungan. Berkali kali lehernya disambar angin yang dingin. Sedikit terlambat menghindar tentu lehernya sudah putus terpancung.
Akan tetapi ia seorang laki-laki tinggi hati di samping menjadi ganas setiap ia merasa terdesak. Demikian pula sekarang ini, setelah ilmu pedang lawan ini sulit dijajagi, Sungsang menjadi marah dan penasaran. Tangan kirinya diam-diam sudah mempersiapkan senjata rahasianya yang beracun. Senjata rahasia berujut jarum-jarum halus. '
Siapakah perempuan-perempuan ini, yang dapat membuat Sungsang tak bisa lagi mengagulkan kepandaiannya?
Padahal biasanya Sungsang selalu mengganas terhadap perempuan. Biasanya ia selalu menghina dan mempermainkannya.
Di dalam cerita "JAKA PEKIK" maupun "RATU WANDANSARI", para pembaca sudah mengenal tokoh ini. Bukan lain adalah seorang gadis berbaju kuning, yang tidak, diketahui namanya. Sedang di bagian depan dari cerita inipun sudah disebut dan diduga'duga mungkin Gadis Baju Kuning ini adalah keturunan Ronggolawe Adipati Tuban. Dahulu Gadis Baju Kuning ini muncul pertama kali ketika menolong dan menyelamatkan Perguruan Kendeng dari pengkhianatan Kirtaji dan kawan-kawannya. Yang kedua muncul di Pondok Bligo dan menghajar Rara Inten yang membanggakan kepandaiannya, dan berusaha membunuh Kreti Windu, ayah angkat Jaka Pekik. Dan sekarang, tiba-tiba Gadis Baju Kuning ini bersama pengawal-pengawalnya yang semua terdiri dari wanita wanita cantik, telah muncul lagi di saat Titiek Sariningsih terancam bahaya.
Gadis Baju Kuning yang cantik jelita itu, hanya beberapa saat saja mengamati jalannya perkelahian antara Rukmi dengan Sungsang. Tetapi sekalipun hanya beberapa saat mengamati, ia sudah bisa menduga bahwa Rukmi tidak akan di bawah angin melawan Sungsang. Oleh sebab itu dengan sikapnya yang tenang, ia segera menghampiri Titiek SariningSih yang menggeletak pingsan di atas tanah dengan wajahnya yang membiru beku.
Terdengarlah Gadis Baju Kuning ini menggumam perlahan,
"Hemm, untung aku tidak terlambat. Sungguh ganas laki -laki itu. Kalau saja ayah dan ibu tidak melarang aku melakukan pembunuhan, laki-laki macam itu seharusnya dibunuh mampus. Sebab dibiarkan hidup, hanya akan membuat dunia ini kacau dan tidak aman."
Selesai berkata, ia segera membalikkan tubuh Titiek Sariningsih yang kaku, sehingga miring. Sesudah itu dengan cekatan ia menempelkan telapak tangannya ke punggung dengan lengan yang ditelusupknn ke dalam baju. Gadis Baju Kuning ini sekarang duduk bersila sambil menyalurkan hawa sakti ke dalam tubuh Titiek Sariningsih, dalam usahanya menolong dan mengusir hawa beracun dingin Aji Wisa Naga.
Rukmi dan Sungsang telah terlibat dalam perkelahian yang amat sengit. Gerak mereka cepat sama cepat, dan berkali-kali terdengar suara benturan senjata yang nyaring. Makin lama tubuh mereka tidak tampak, sudah terbungkus oleh sinar senjata masing-masing.
Tiba tiba terdengar bentakan nyaring,
"Curang!"
"Tring-tring-tring......!'
Terdengar suara berdencing berapa kali, suara jarum tertangkis oleh pedang, dan akibatnya jarum jarum yang dilepaskan Sungsang runtuh ke tanah tanpa hasil.
Bentakan tadi dari mulut mungil Domasri, yang sejak tadi mengamati perkelahian yang berlangsung dengan seksama. Maka kecurangan Sungsang yang menyerang dengan senjata rahasia, tak lepas dari pengamatan Domasri!
Antara Rukmi dan Domasri, dalam kedudukannya sebagai pengawal Gadis Baju Kuning itu, memang seimbang kepandaiannya. Itulah sebabnya dua orang ini merupakan pembantu-pembantu Gadis Baju Kuning yang patut diandalkan.
Sungsang menjadi amat penasaran dan mendongkol sekali, bahwa serangannya dengan jarum gagal. Ia selalu berusaha untuk bisa menyentuh tubuh lawan dengan tangan, bermaksud untuk mempergunakan Aji Wisa Naga yang ampuh. Tetapi Rukmi gerakannya seperti burung srikatan.
Perkelahian antara Rukmi dengan Sungsang kembali terjadi amat sengitnya. Dalam pada itu Gadis Baju Kuning tersebut, masih memejamkan mata sambil menyalurkan hawa saktinya. untuk mengusir'racun dingin yang mengeram dalam tubuh Titiek Sariningsih. Hasilnya memang segera pula tampak. Wajah gadis itu yang semula sudah membiru dengan tubuh kaku, sekarang warna biru itu berangsur menghilang. Dengan begitu, jiwa Titiek Sariningsih masih tertolong.
Memang sungguh mujur nasib Titiek Sariningsih, dapat bertemu dan ditolong oleh Gadis Baju Kuning yang tidak diketahui namanya ini. Kalau tiada datang pertolongan, mungkin sekali tamat riwayat gadis cilik murid Sindu ini. Dan apabila pedang pusaka Si Buntung sampai jatuh ke tangan Sungsang, tentu akan makin kacaulah dunia ini.-Sungsang tentu lebih mengganas lagi, ibarat seekor harimau tumbuh sayap.
Tiba-tiba terdengar suara jerit nyaring,
"Aduh.....!"
Kemudian disambut oleh suara ketawa perempuan yang merdu,
"Hi-hik-hikk "
Sungsang tampak berdiri tegak dengan pedang masih siap di tangan kanan. Sedang Rukmi pun berdiri tegak dengan pedang melintang di depan dada. Bedanya adalah, kalau Rukmi berdiri dengan mulut yang mungil tersenyum mengejek, adalah Sungsang matanya mendelik merah menyala. sedang tangan kirinya menekap telinga kiri, dengan darah yang terus menetes.
Ancaman Rukmi ternyata bukan hanya ancaman kosong. ia berhasil memutuskan daun telinga sebelah kiri.Sungsang kesakitan di samping penasaran. Sekalipun demikian ia seorang laki-laki licik dan cerdik. Ia sadar dirinya tak mungkin dapat membalas dendam ini seorang diri. Baru berhadapan dengan seorang saja sudah tak menang, apalagi kalau yang lain maju. Maka timbullah niat dalam hatinya, bahwa kelak kemudian hari akan datanglah saatnya membalas malu ini bersama gurunya.
Sekalipun demikian ia seorang laki-laki tinggi hati dan angkuh. Ia tak mau mengakui secara terus terang kekalahannya ini. Katanya dingin,
"Huh, jangan engkau menyembunyikan nama dan tempat tinggal. Kelak kemudian hari datanglah. saatnya aku datang menuntut balas."
Rukmi tidak menjawab, melainkan mengamati Gadis Baju Kuning itu. Ketika melihat bahwa majikannya belum bergerak dan masih memejamkan mata, barulah ia berani menjawab.
"Hem. bukankah engkau ini murid tua bangka Patra Jaya? Gurumu tentu sudah tahu apabila engkau menyebutkan bahwa yang sudah mengiris telinga kamu, adalah salah seorang pengawal Dara Baju Kuning."
, Mendengar ucapan Rukmi itu, diam diam Sungsang terkejut, di samping heran akan tepatnya dugaan orang. Ia tak berani berlambat'lambat lagi, kemudian sudah melompat dan melarikan diri sipat kuping. Ketika ia mencoba melirik ke arah di mana tadi tujuh orang anak buah Kendeng menonton. ia bergidik. Ternyata tujuh orang itu semuanya sudah menggeletak di atas tanah tanpa nyawa lagi.
Dalam waktu singkat Sungsang sudah tidak nampak lagi bayangannya. Sungsang berlarian secepat terbang, dengan maksud untuk segera melapor kepada gurunya, agar gurunya dapat membalaskan sakit hatinya.
Adapun Gadis Baju Kuning itu, tak lama kemudian sudah membuka matanya. Ia menghela napas. lalu meloncat berdiri. Ia melambaikan tangannya ke arah Domasri. Lalu perintahnya,
"Pondonglah dia. Semua urusan kita tunda dulu, dan kita pulang. Aku harus memperoleh ijin eyang dan ibu dahulu, sebelum bertindak terhadap Kirtaji dan gerombolannya." tanpa mengulang kata. katanya, Gadis Baju Kuning ini mendahului bergerak.
Kemudian yang lainpun segera bergerak pula, mengikuti majikannya.
*******
Dengan hati yang gelisah dan khawatir, Sindu terus mencari jejak Titiek Sariningsih. Akan tetapi Sindu menjadi heran berbareng curiga.
Mengapa Titiek Sariningsih seperti lenyap ditelan bumi, dan tidak nampak bayangannya lag ?
Mendadak saja kakek ini menyesal dan cepat menuju kembali ke desa Tulung .Timbullah dugaan dan kekhawatirannya, kalau muridnya yang tadi disuruh bersembunyi dan menunggu di luar, telah ditangkap oleh orang-orang Kirtaji. Dugaannya itu dikuatkan oleh pendapatnya. bahwa sekalipun bandel, muridnya itu bukanlah murid yang tidak taat dan patuh kepada perintahnya. Malah Sindu menganggap bahwa muridnya itu terlalu baik, berbakat, cerdik dan tekun. Sulit mencari seorang murid seperti Titiek Sariningsih. Maka menurut dugaan Sindu, tidaklah mungkin Titiek Sariningsih meninggalkan tempat persembunyiannya, kalau tidak ada alasan penting.
Meskipun demikian, masih timbul rasa ragunya pula. Jelas dilihatnya tadi, bahwa di sekitar tempat Titiek Sariningsih bersembunyi, tidak nampak terjadinya perkelahian. Jadi terang, bahwa kemungkinan besar muridnya tadi terlalu sembrono, sehingga dapat ditangkap oleh anak buah Kendeng tanpa perkelahian. Kemudian dugaannya ini terasa menjadi lebih kuat lagi, apabila diingat bahwa Titiek Sariningsih seorang bocah yang belum cukup umur. Seorang bocah yang belum mengenal tipu-muslihat dan kecurangan orang.
Mempunyai watak yang tidak pernah gentar dan takut berhadapan dengan bahaya.
Maka kemungkinan besar Titiek Sariningsih telah dipancing meninggalkan tempat persembunyiannya.
Bergegas Sindu kembali menuju desa Tulung. Tetapi kakek ini menjadi heran di samping kaget. Ternyata desa Tulung yang semula sepi seperti desa mati itu, sekarang terjadi keributan. Orang saling bersuit dan banyak obor kayu menyuluhi tempat-tempat gelap. Mereka ribut dan saling bertanya. Sindu berkelebat seperti bayangan setan. Salah seorang anak buah Kendeng dapat ditangkap tanpa dapat berkutik lagi. Orang itu kemudian dibawa masuk ke dalam hutan. Hardiknya,
"Jangan engkau mungkir. Apa yang telah terjadi di desa itu? Terangkan sejujurnya apa kamu tadi sudah menangkap seorang gadis cilik ?"
Mendengar bentakan yang berwibawa ini orang tersebut ketakutan di samping merasa heran. Sahutnya tidak lancar,
"Ampun ah....... ahh, tidak seorangpun berhasil ditangkap....... Tetapi tadi memang terjadi pengacauan di desa...Tulung, dan tiga orang di antara kawan kami, roboh pingsan. Mereka yang pingsan itu setelah sadar menerangkan, bahwa tadi...... datanglah seorang gadis cilik yang menerangkan perutnya lapar...... butuh nasi. Gadis itu...... maksudnya memang akan di tangkap..... Tetapi sudah menghilang entah ke mana..."
"Jangan dusta!"
bentak Sindu sambil mendelik dan mengancam, dengan mencengkeram baju di bagian dada.
"Tentu gadis cilik itu sudah berhasil kalian tangkap!"
Tiba-tiba orang itu bangkit kemarahannya. Ia sudah menerangkan sejujurnya, namun tak dipercaya orang. Sahutnya ketus,
"Huh-huh, kau man membunuh boleh bunuh! Aku sudah menerangkan sejujurnya, mengapa engkau tak juga mau percaya? Kalau benar gadis cilik itu yang mengacau itu sudah berhasil kami tangkap, apakah perlunya kami masih ribut dan mencari ?"
Mendengar itu, Sindu menjadi lega. Dari jawaban itu jelas bahwa orang tersebut tidak berdusta. Orang itu dilepaskan, kemudian Sindu berkelebat pergi. Anak buah Kendeng yang tadi ditangkap, terbelalak.
Dalam hatinya timbul pertanyaan, manusia ataukah setan yang tadi sudah menangkap dirinya?
Kalau manusia, mengapa bisa bergerak seperti itu?
Adapun Sindu yang berkelebat pergi, tak juga cepat meninggalkan desa Tulung. Tetapi kakek sakti ini dengan gerakannya yang cukup hati-hati masih berusaha menyelidik.
Siapa tahu sekalipun belum tertangkap, Titiek Sariningsih belum pergi jauh dari desa Tulung dan mungkin malah masih berkeliaran di desa ini?
Ia penuh kekhawatiran, sebab di desa ini sekarang sedang hadir beberapa tokoh sakti. Muridnya yang masih kecil itu, bagi mereka, merupakan lawan yang amat empuk.
Akan tetapi diam-diam Sindu menghela napas menyesal di samping merasa geli juga. Dari keterangan orang yang tadi ditangkap, jelas sekali bahwa Titiek Sariningsih pergi meninggalkan tempat persembunyiannya, dituntut kelaparan perutnya. Agaknya gadis itu pergi dengan maksud mengisi perut. Pikirnya,
"Ah Titiek, mengapa engkau begitu sembrono? Mengapa engkau tak pandai melawan rasa laparmu? Ya Tuhan, lindungilah murid hamba. Kesembronoannya ini. biarlah menjadi bekal pengalamannya, yang sangat berguna bagi hidupnya kelak kemudian hari."
Sindu berkeliaran terus di sekitar desa Tulung ini, dalam usahanya menyelidik dan mencari Titiek Sariningsih. Namun ternyata usahanya sia-sia belaka. Sampai pagi tiba, ia tak juga bisa menemukan Titiek Sariningsih, dan juga tidak ada tanda tanda muridnya itu tertangkap. Ia terpaksa menjadi puas. kemudian pergi meninggalkan desa itu menuju utara. Bagaimanapun ia akan langsung menuju Tuban. Ia perlu mencari sanak keluarga Tumenggung Kebo Bangah, guna mempersiapkan kepentingan Titiek Sariningsih kelak kemudian hari. Agar bocah itu tidak menjadi sedih, setelah mengetahui ayah bundanya sudah tiada. Meskipun demikian, di sepanjang jalan ia selalu berdoa dan mohon perlindungan Tuhan, agar muridnya itu dijauhkan dari bahaya. Akan tetapi
ahh, baru saja Sindu mendaki salah satu bukit di Pegunungan Kendeng ini, ia segera ingat akan bahayanya Titiek Sariningsih berkeliaran seorang diri di Wilayah Pegunungan Kendeng ini. Bocah yang belum cukup umur itu akan selalu berhadapan dengan bahaya yang bisa mengancam jiwanya. Maka lebih bijaksana apabila dirinya tidak meninggalkan daerah Kendeng ini dahulu, untuk menyelidik dan memperoleh kepastian akan keselamatan Titiek Sariningsih. Teringat itu, Sindu mengurungkan maksudnya pergi. Lalu dengan gerakannya yang gesit, ia sudah berkeliaran di sekitar desa Tulung.
Ketika Sindu menunggu sampai hampir tengah hari tidak nampak adanya hal-hal yang mencurigakan, maka Sindu pergi.
Seperti dituntun oleh tangan gaib, ternyata kemudian Sindupun pergi menuju barat, searah dengan kepergian Titiek Sariningsih.
Setelah ia mengisi perut pada sebuah warung, Sindu meneruskan perjalanannya. Sore hari ketika dirinya sedang menerobos hutan kecil di sebelah selatan desa Padas, ia heran berbareng kaget, melihat puluhan orang laki-laki bertubuh kurus dan pucat. Mereka sedang bergerombol di bawah sebatang pohon. Mereka ada yang bertiduran, ada pula yang duduk bersandar pada batu dan pangkal pohon, dan ada pula yang sudah tidur mendengkur nampak amat nikmat. Tentu saja pemandangan itu amat menarik perhatian Sindu.
Apa sajakah yang sedang dikerjakan orang-orang ini?
Dan mengapa pula mereka semuanya kurus pucat, dan pakaiannya tidak utuh lagi?
Tiba-tiba saja timbullah dugaan Sindu, bahwa puluhan orang ini merupakan sisa-Sisa perajurit Tuban atau kabupaten lain yang masih selamat. Mereka tak mau menyerahkan diri, malah memilih berkeliaran.
Akan tetapi dugaannya itu kemudian tidak beralasan, setelah ia mendengar dari pembicaraan mereka.
"Hemm. keajaiban telah terjadi,
" kata seorang laki laki kurus, tetapi membiarkan jenggot dan kumisnya berewok tak teratur
"Tuhan telah menunjukkan kepada kita akan kebesarannya. Kalau tidak, manakah mungkin bisa terjadi seperti yang baru kita alami tadi?"
Kisah Si Pedang Buntung Lanjutan Ratu Wandansari Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Salah seorang yang duduk di dekatnya, laki-laki hitam pendek tetapi juga kurus dan pucat bertanya.
"Kakang, apa maksudmu dengan menyebut keajaiban telah terjadi?"
"Manakah tidak? Coba kaupikirkan,"
kata siberewok kurus itu.
"Telah berbulan-bulan kita ini menderita di bawah tekanan dan paksaan. Kita ini semuanya laki-laki dan jumlahnya banyak. Namun buktinya kita tak mampu berkutik dan tak berani melawan mereka. Bandingkanlah dengan bocah perempuan tadi. Aku menduga usianya tak lebih tigabelas tahun. Namun ternyata bocah perempuan tadi sanggup menghajar mereka semua, dan membebaskan kita dari ancaman dan siksaan yang tiap kali kita rasakan. Kita tak berani melawan, dan hanya bisa sesambat dan minta ampun, tiap kali kita dicambuki seperti kerbau. Maka apa yang terjadi tadi. saya anggap suatu keajaiban. Dan peristiwa itu makin menguatkan hatiku, akan kebesaran Tuhan."
Berdebar Sindu mendengar pembicaraan mereka itu.
Benarkah muridnya sudah begitu sembrono, seorang diri berani membebaskan orang-orang ini dari siksaan dan kerja paksa orang?
Lalu siapakah orang-orang yang sudah begitu ganas mempekerjakan orang-orang ini seperti binatang?
"Tetapi bocah perempuan tadi memang bocah ajaib. Mungkin keturunan bidadari,"
sambung seorang laki-laki pendek hitam, sambil bangkit dari tidurnya, lalu 'duduk.
"Kalau tidak. manakah mungkin gerakannya begitu cepat seperti bisa terbang? Malah cambuk dari mereka, seperti tidak dirasakan mengenai tubuhnya. Kemudian begitu merebut cambuk salah seorang, dia mengamuk dan orang-orang kasar itu roboh semua. Manakah ada bocah perempuan seperti itu?"
"Tetapi, kita ini lalu harus ke mana?"
tiba-tiba salah seorang dari mereka, yang rambutnya amat sedikit sudah menyeletuk penuh kekhawatiran.
"Kalau kita diketahui oleh orang orang Kendeng pulang ke rumah kita masing-masing, apakah hal itu tidak membahayakan keluarga kita sendiri ?"
Atas ucapan orang ini, mendadak saja semua orang itu terdiam. Wajahnya yang sudah pucat menjadi lebih pucat lagi. Bagaimanapun mereka masih tetap khawatir, kalau kemudian hari orang-orang Kendeng datang kembali ke desa masing-masing, lalu memaksa mereka kembali untuk dijadikan pekerja paksa. Untuk beberapa saat lamanya mereka tidak membuka mulut. Mereka semua gelisah, tetapi tak tahu bagaimana harus mengatasi persoalan mereka.
Sindu yang mendengar pembicaraan mereka itu, sudah bisa menduga bahwa Titiek Sariningsih telah lancang tangan menghajar orang-orang Kendeng.
Walaupun menurut pembicaraan mereka ini muridnya dapat menolong akan tetapi siapa tahu muridnya itu berhadapan dengan bahaya?
Gerombolan Kendeng jumlahnya banyak sekali dan merajalela. Kalau muridnya dikeroyok banyak orang, manakah mungkin bisa menyelamatkan diri.
Tiba-tiba Sindu mendehem. Dan tanpa suara Sindu sudah berdiri tak jauh dari mereka. Orang-orang yang jumlahnya sekitar tujuhpuluh orang itu kaget dan terbelalak memandang Sindu. Kemudian seperti memperoleh aba, mereka yang tidak tidur segera menjatuhkan diri berlutut. Salah seorang di antara mereka, mewakili teman temannya, berkata tidak lancar,
"Ndara . ampun . Hamba semua ini sudah merasa bersalah, telah berani lari dari pekerjaan. Ampun...... hamba semua menyerah. Hamba semua sedia kembali ke tempat pekerjaan.... asal saja ndara tidak menyiksa kami semua......"
Sindu menghela napas. Lalu katanya halus,
"Bangkitlah kalian semua, dan marilah kita bicara seenaknya."
Sindu segera menghampiri mereka sambil mengulang supaya mereka bangkit dan duduk yang enak lalu sambil duduk di tengah mereka, Sindu 'berkata '
"Saudara-saudara jangan salah paham. Ketahuilah bahwa aku tertarik Oleh pembicaraan kalian, yang membicarakan seorang bocah perempuan cilik yang menolong kalian tadi. Apakah kalian dapat menerangkan, bocah perempuan cilik itu mengenakan baju warna apa ?"
"Biru......"
hampir serempak mereka menjawab cepat mengatakan biru. ,
Sindu menghela napas lagi dan hatinya makin gelisah berdebar.
"Kalau begitu, benarlah dia.....!"
Orang orang itu terbelalak memandang Sindu. Akan tetapi mereka yang bertatap pandang dengan Sindu segera menundukkan muka, tak kuat bertemu pandang. Mata kakek ini bersinar sinar penuh wibawa. Membuat orang merasa tunduk.
Agaknya Sindu dapat menduga pikiran orang-orang ini. Maka katanya,
'Saudara-saudara semua, ketahuilah bahwa bocah itu adalah muridku. Di mana tadi telah menolong kalian? Dan di manakah dia sekarang?"
Untuk sesaat mereka saling pandang. Tetapi si berewok kemudian memberanikan diri menjawab,
"Ohh, jadi gadis itu murid paduka? Ohhh..... dia telah menyelamatkan hamba semua.... menolong kami dari neraka, tak jauh dari desa Padas. Tetapi ah.. hamba tidak tahu...... Sebab bamba semua tadi diperintahkan secepatnya pergi meninggalkan tempat neraka itu..... uahh.. mana dia?"
Si berewok terbelalak heran, demikian pula yang lain. Untuk beberapa lama mulut mereka seperti terkunci, berhadapan dengan peristiwa yang mereka anggap sangat aneh.
Kakek bertubuh kecil kurus yang tadi duduk di antara mereka, ternyata secara tiba-tiba sudah lenyap dari depan mereka tanpa diketahui ke mana kepergian-nya. Sebagai akibatnya, mereka segera menduga bahwa kakek tadi bisa menghilang. Maka mereka menjadi ramai bicara membicarakan peristiwa yang baru terjadi.
Sindu memang menjadi lupa, tiba-tiba ia tadi sudah melesat pergi, menggunakan kecepatannya bergerak sehingga menganggap Sindu bisa menghilang. Adapun sebabnya Sindu segera bergerak meninggalkan mereka, bukan lain sebagai akibat kegelisahan dan kekhawatirannya kalau Titiek Sariningsih dalam bahaya. Ia harus bertindak sebelum terlambat. Maka dengan gerakan seperti terbang. Sindu sudah berlarian ke arah utara.
Akan tetapi ketika ia tiba di atas bukit di mana tadi Titiek Sariningsih berkelahi mati matian melawan Sungsang, Sindu hanya bertemu dengan puluhan sosok mayat manusia yang tidak terawat. Sedang darah merah tampak berceceran di sana sini. Keadaan amat sepi, ia tidak melihat seorangpun.
Hati Sindu berdebar tegang.
Mungkinkah muridnya sudah tertangkap dan sekarang sedang ditawan orang orang Kendeng?
Kalau memang demikian yang terjadi, ia harus dapat merebut dan membebaskannya.
Ketika melihat penggalian semacam parit raksasa itu diam-diam Sindu heran dan bertanya.
Apakah maksud Gerombolan Kendeng menggali parit seperti ini?
Akan tetapi ketika ia menyelidik, Sindu terbelalak. Katanya dalam hati,
"Sungguh berbahaya sepak terjang Gerombolan Kendeng ini. Hemm. agaknya Kirtaji sudah mempunyai rencana tertentu, sehingga perlu membangun jalan rahasia di bawah tanah. Huh, aku ingin melihat kalau memang muridku ditawan dan menderita. Hidupku tinggal beberapa tahun lagi. Apakah salahnya jika aku mati dalam usaha membela muridku?"
Berpikir demikian, ia semakin menjadi mantap. Pendiriannya telah tetap. Hidupnya ini tanpa keturunan dan keluarga lagi. Dirinya hidup sebatangkara. Kalau muridnya itu yang merupakan bocah yatim piatu, dan sudah ia anggap seperti cucu kandung sendiri sampai celaka di tangan orang, lebih baik dirinya mati saja.
"Aku harus menangkap salah seorang anak buah Kendeng."
Pikir kakek ini.
"Aku harus memaksa mereka supaya memberitahukan, di mana letak persembunyian Kirtaji. Titiek Sariningsih harus kurebut dengan taruhan nyawaku."
Dengan hati yang mantap kemudian Sindu bergerak pergi. Namun karena bukit di Pegunungan Kendeng saat sekarang ini masa kering, maka bukit itu banyak yang gundul. Pohon-pohon jati yang banyak tumbuh pada bukit inipun hampir semuanya sudah tidak berdaun lagi. Daunnya telah rontok dan tampak seperti mati. Akan tetapi kemudian hari apabila jatuh hujan,' pohon pohon jati yang tampak seperti mati itu, kemudian tumbuh lagi daunnya dan subur. Karena keadaan setempat seperti ini, maka menuntut kepada Sindu, agar bertindak cukup hati-hati. Agar kehadirannya di tempat ini tidak bocor sebelum maksudnya, bisa terwujud.
Sesungguhnya peristiwa yang terjadi di tempat penggalian parit raksasa untuk membangun jalan rahasia di bawah tanah ini, merupakan peristiwa yang amat menggemparkan bagi Gerombolan Kendeng. Apa pula ketika semua orang melihat, bahwa Sungsang yang mereka kenal sakti mandraguna itu, menderita luka dengan daun telinga kiri putus. Patra Jaya yang melihat muridnya berlumuran darah dan daun telinga sebelah kiri hilang itu, matanya merah berapi amat marah sekali.
"Apa yang terjadi? Siapa yang sudah mengalahkan engkau dan menghina' macam ini?"
Kirtajipun merasa heran sekali. Lebih-lebih Prembun yang mengakui, bahwa tingkat Sungsang lebih tinggi dari pada dirinya. Sedang Wanengboyo yang ketika itu hadir pula, sekalipun kaget tidak menunjukkan perasaan apa-apa.
Sedang orang yang lain. Wongso Dipo. Kamilah. Wigati dan suaminya, Wiro Sukro maupun Rara Inten tidak tampak. Tokoh-tokoh tamu itu sudah kembali ke tempat tinggal masing-masing, setelah mereka berunding dan memperoleh keputusan rencana yang akan dilakukan untuk menghadang rombongan pengantin Jaka Pekik yang akan memboyong Ratu Wandansari ke Surabaya.
Sungsang pucat wajahnya dan takut. Diam-diam ia memang amat khawatir kalau gurunya menjadi marah karena merasa malu.
Bukankah kekalahan dirinya, berarti pula menampar kepada gurunya?
Akan tetapi sebaliknya kalau ia tidak melapor terus-terang, bagaimanakah mungkin gurunya dapat membalaskan sakit hati dan hinaan ini?
Oleh sebab itu walaupun agak ragu-ragu, ia menjawab juga dengan terus terang,
"Guru, ampunilah murid. Peristiwa yang baru terjadi, memang merupakan satu hal di luar dugaan murid. Sungguh menyesal sekali, murid hanya berhadapan dengan seorang perempuan muda saja, harus mengorbankan sebelah telinga."
Yang mendengar tentu saja amat terkejut. Diam-diam Kirtaji, Prembun maupun Wanengboyo menduga, tentu Sungsang ini sudah berani sembrono dan berani menggoda Rara Inten. Maka akibatnya, Sungsang dihajar dan dibabat telinganya sebelah kiri. .
Akan tetapi sebaliknya Patra Jaya menjadi terkekeh mendengar jawaban muridnya, bahwa Sungsang dikalahkan seorang perempuan muda. Sebagai seorang kakek yang masih tak dapat menguasai nafsu, ia menjadi geli. Muridnya ini seperti dirinya sendiri, selalu berburu perempuan.
Mengapa sekarang bisa dikalahkan oleh perempuan?
Oleh sebab itu, tanya Patra Jaya,
"Cantikkah perempuan itu?"
Sungsang menelan ludah dan tersipu malu. Sahutnya.
"Cantik luar-biasa. Belum pernah murid bertemu perempuan secantik dia . . . . . . "
Makin terkekeh Patra Jaya mendengar jawaban bahwa perempuan itu cantik luar-biasa. Sebaliknya baik Kirtaji. Prembun ,Wanengboyo maupun yang lain mengerutkan alis. Mereka menjadi khawatir kalau yang digoda itu benar Rara Inten. Sebab menurut penilaian mereka. Rara Inten merupakan seorang perempuan yang cantik luarbiasa.
"Siapakah nama perempuan itu?"
tanya Patra Jaya.
Sungsang mengangkat mukanya dan memandang gurunya. Kemudian terdengar jawabnya,
"Guru. perempuan itu tidak mau menyebut nama maupun tempat tinggalnya.. Akan tetapi dia bilang, bahwa guru akan mengenal dirinya, apabila murid mengatakan, 'Seorang Gadis Berbaju Kuning?"
"Ah..?"
Patra Jaya terbelalak kaget dan tiba-tiba saja wajahnya berobah pucat. Akan tetapi hanya sesaat saja. kemudian kakek ini ingat akan kedudukannya yang amat tinggi bagi mereka semua yang hadir. Maka sekalipun kaget setengah mati, ia serega menutup rasa kagetnya itu dengan ketawa yang terkekeh.
Mengapa kakek Patra Jaya yang selalu mengandalkan kesaktiannya ini, menjadi kaget dan pucat wajahnya, mendengar disebutnya "Gadis Berbaju Kuning"?
Memang ada sebabnya. Beberapa hari yang lalu, ia bertemu dengan seorang gadis cantik luar biasa yang mengenakan baju kuning. Gadis itu dikawal oleh tujuh orang gadis yang rata rata wajahnya cantik pula. Sebagai seorang yang selalu mengumbar nafsu berahinya, sekalipun sudah tua dan sudah kakek-kakek, Patra Jaya menjadi amat gembira sekali. kemudian sambil terkekeh-kekeh. Patra Jaya mulai menggoda, membujuk dan mengucapkan kata-kata kotor.
Perbuatan Patra Jaya ini membuat Gadis Baju Kuning itu marah. Kemudian Gadis Baju Kuning itu memerintahkan Domasri dan Rukmi supaya maju mengeroyok. Sebabnya Gadis Baju Kuning itu memerintahkan dua orang pembantunya maju sekaligus, karena dia menduga bahwa kakek ini tentu bukan orang sembarangan. Patra Jaya gembira sekali, dan mulutnya selalu terkekeh menghadapi dua orang gadis itu sekaligus. Dua orang gadis itu Usianya baru sekitar duapuluh tahun.
Manakah mungkin bisa menang melawan dirinya?
Oleh sebab itu dalam menghadapi Rukmi dan Domasri sikapnya amat meremehkan. Malah sesuai dengan wataknya yang cabul, berkali-kali sambil menyerang ini Patra Jaya secara kurang ajar sekali, menggunakan kesempatan untuk meraba dada, dan bagian tubuh terlarang yang lain. Tentu saja perbuatan tak senonoh ini, membuat Rukmi dan Domasri marah sekali, merasa dihina dan diremehkan. Namun Domasri dan Rukmi memang bukan lawan Patra Jaya. Sekalipun harus mengeroyok dua. Akibatnya kemudian Gadis Baju Kuning itu tak dapat menyabarkan hatinya lagi. ia memerintahkan mundur, dan dirinya sendiri yang maju melayani Patra Jaya.
Begitu berhadapan, Patra Jaya terkekeh senang sekali. Sebab Gadis Baju Kuning itu kecantikannya sulit di cari yang lain. Seleranya makin terangsang. Timbullah niatnya seperti ketika melayani Domasri dan Rukmi, tangannya akan diumbar untuk gerayangan sana sini.
Akan tetapi ah, ternyata sekali ini Patra Jaya kecelik. Gadis Baju Kuning itu ternyata bukanlah perempuan yang lemah seperti dikira semula. Baru sepuluh jurus saja berkelahi. Patra Jaya sudah kaget setengah mati. Ia sudah mulai di bawah angin, dan terdesak terus-menerus oleh serangan Gadis Baju Kuning itu yang amat aneh.
Dalam penasarannya, timbullah niat Patra Jaya untuk menggunakan Aji Wisa Naga yang amat dibanggakan. Akan tetapi agaknya Gadis Baju Kuning itu sudah dapat menduganya. Gadis Baju Kuning itu cekikikan mengejek.
"Hi-hi-hik, terhadap orang lain, Aji Wisa Naga itu memang bisa engkau jadikan momok. Akan tetapi di depanku, Aji Wisa Naga itu tak ada gunanya sama sekali."
Sudah tentu Patra Jaya amat penasaran sekali. Sebab selama ini, belum ada seorangpun tokoh yang sanggup menerima pukulan Aji Wisa Naga. Maka Gadis Baju Kuning itu, ia anggap terlalu tekebur dan sombong. Tanpa membuka mulut lagi, Patra Jaya sudah mengamuk menggunakan Aji Wisa Naga yang amat ditakuti orang.
( Bersambung jilid 16 )
Kisah Si Pedang Buntung
Lanjutan Ratu Wandansari
Karya : Widi Widayat
Jilid : 16
Pelukis : Janes
Penerbit "GEMA"
Metrokusuman 761 Rt 17
SOLO Ijin Penerbitan
Ijin : No Pol /3/26 aa-54/0-73
Surakarta tanggal 17 januari 1973
Cetakan Pertama 1973
**** Buku koleksi ; Aditya Indra Jaya
Juru Potret : Awie Dermawan
Edit teks & pdf : Saiful Bahri Situbondo
(KOLEKTOR E-BOOK)
******
NAMUN kemudian ternyata, ucapan Gadis Baju Kuning itu bukanlah tekebur dan kosong. Setelah bertempur terbukti bahwa Aji Wisa Naga itu punah keampuhannya berhadapan dengan Gadis Baju Kuning yang cantik jelita, dan tampaknya lemah-lembut itu. Setelah berkelahi kira-kira limapuluh jurus, Patra Jaya telah memperoleh luka pada pundaknya. Nampaknya jari -jari tangan Gadis Baju Kuning itu halus dan kecil. Namun ternyata kemudian, pundaknya sudah berlubang seperti tertusuk ujung pedang dan darah merah menetes-netes keluar.
Justeru luka ini membuat Patra Jaya makin marah dan penasaran. Sambil melengking nyaring, Patra Jaya segera mencabut tongkat senjatanya yang diandalkan. Dengan senjata tongkat ini, kemudian Patra Jaya mengamuk.
Akan tetapi, gadis itupun kemudian menggunakan senjatanya pula. Sebatang cambuk kecil, yang kemudian meledak-ledak disekitar tubuh Patra Jaya, dan selalu mengancam bagian-bagian tubuh yang berbahaya. Setelah berkelahi kira-kira duapuluh jurus lagi, pada suatu saat yang tak terduga ujung cambuk menyambar lutut Patra Jaya. Walaupun Patra Jaya sudah berusaha menyelamatkan lututnya dengan penyaluran hawa sakti, namun ternyata Patra Jaya seorang yang benar-benar atos dan ulet. Sekalipun sebelah kakinya seperti lumpuh, ia belum mau menyerah. Akibatnya Gadis Baju Kuning itu menjadi marah. Sekali lagi ujung cambuk menyambar lutut. Patra Jaya roboh terguling. Kemudian cambuk Gadis Baju Kuning melecuti tubuh Patra Jaya seperti seekor kerbau yang sedang mogok. Lecutan cambuk terus bertubi-tubi, hingga tubuh kakek itu babak belur dan melepuh, menimbulkan rasa yang perih serta pedih. Semula Patra Jaya memang masih terus melawan sambil menggulingkan diri, dan menangkis maupun membalas menyerang menggunakan tongkatnya. Akan tetapi ternyata perlawanannya itu tidak memberikan hasil. Lecutan cambuk seperti hujan kepada tubuhnya. Sebagai akibat tak kuasa lagi menahan sakit dan pedihnya, tokoh sakti yang biasanya angkuh ini, tak malu lagi untuk meratap-ratap minta ampun.
Lecutan cambuk segera berhenti setelah Patra Jaya mengaduh-aduh dan minta ampun. Kemudian Gadis Baju Kuning itu hanya memberikan ancamannya, apabila Patra Jaya masih tetap meneruskan hubungannya dengan Kirtaji, takkan sudi memberi ampun lagi.
Akan tetapi, manakah Patra Jaya sedia membuka rahasia kekalahannya itu?
Lebih-lebih di depan banyak orang dan semuanya menganggap bahwa dirinya seorang tokoh sakti tanpa tanding?
Oleh sebab itu untuk menutupi rahasia kekalahannya, kakek ini segera terkekeh dan berkata dengan garang,
"Heh-heh-heh, bocah itu belum kapok juga kuhajar hampir mampus. Huhhuh, kalau saja aku tidak mengingat leluhurnya, manakah mungkin aku dapat memberi ampun? Dia terlalu cantik dan sulit mencari yang lain. Hemm, betapa nikmatnya berhari-hari melewati masa pengantin dengan Gadis Baju Kuning itu. Huh-huh, tetapi dia sudah sengaja menghina muridku. Sungsang, sudahlah! Jangan khawatir Lain hari akan tiba saatnya aku membalaskan satu hatimu, dan sekaligus menagih bunga. Bukankah engkau akan gembira juga. memperoleh teman tidur perempuan perempuan cantik pengawal Gadis Baju Kuning itu?"
Tentu saja Sungsang menjadi gembira sekali. Terbayang dipelupuk matanya, Rukmi yang cantik dan Domasri yang manis. Dengan bantuan gurunya, tak urung ia bakal dapat mempermainkan dan menghina perempuan-perempuan yang cantik itu sesuai dengan seleranya, tanpa ada yang berani mengganggunya.
Kalau Patra Jaya dan Sungsang tampak gembira, sebaliknya Kirtaji gelisah dan khawatir sekali. Ia belum begitu yakin Patra Jaya sanggup melawan Gadis Baju Kuning itu.
Dan dirinya sendiri?
Ia tak tahu sanggup melawan atau tidak. Dahulu, rahasia perbuatannya memalsu Raja Tambakyoso. bukan lain Gadis Baju Kuning itulah yang membongkarnya. Dirinya terpaksa melarikan diri. Kemudian ia menyembunyikan diri hampir setahun lamanya. Setelah tak lagi pernah mendengar tentang Gadis Baju Kuning itu, kemudian ia mulai berani muncul lagi. Begitu muncul, ia kembali mengincar untuk merebut kekuasaan Perguruan Kendeng. Berkat bantuan Prembun, Kenyung Setiko Wanengboyo, Wigati dan Wiro Sukro, akhirnya berhasil juga Kirtaji merebut kekuasaan lagi di Kendeng. Seluruh pemimpin Perguruan Kendeng dibinasakan. Lalu anak Raja Tambakyoso yang bernama Mulatsih, ia penjarakan di dalam penjara rahasia di bawah tanah.
Selama ini Kirtaji menganggap keadaannya aman. Gadis Baju Kuning yang dahulu membongkar rahasianya tidak pernah muncul. Maka Kirtaji merajalela dengan
anak buahnya, sehingga Perguruan Kendeng dibelokkan menjadi gerombolan penjahat yang ganas dan sewenang wenang. Malah kemudian ia merencanakan untuk menguasai dunia ini menyelenggarakan kerja sama dengan beberapa tokoh yang sedia membantu.
Karena gelisah dan khawatir, maka dengan isyarat rahasia, ia memerintahkan kepada Prembun supaya meninjau keadaan penjara di bawah tanah, di mana Mulatsih disimpan dan dipenjarakan.
Prembun segera melaksanakan perintah itu. Akan tetapi betapa kagetnya Prembun, ketika melihat keadaan pada penjara di bawah tanah, yang terjaga ketat dan letaknya amat rahasia itu. Ternyata semua penjaga sudah menggeletak mati tak bernyawa lagi. Pintu penjara sudah terbuka, dan di dalamnya telah kosong. Bergegas Prembun meninggalkan penjara di bawah tanah itu, untuk melaporkannya kepada Kirtaji.
Gemparlah mereka semua, ketika mendengar laporan lenyapnya tawanan penting yang bernama Mulatsih itu, dan terbunuh matinya semua penjaga. Dugaan Kirtaji, tentu apa yang terjadi, semua dilakukan oleh Si Gadis Baju Kuning.
"Celaka! "
Tak tercegah lagi Kirtaji berseru tertahan.
"Penjara di bawah tanah telah dibongkar orang, dan tawanan penting kita, telah lenyap."
Patra Jaya mengamati Kirtaji. Tanyanya,
"Apa? Siapa yang kaupenjarakan?"
Saking gelisah dan khawatir, Kirtaji menjawab dengan gugup,
"Paman, ahh .. terus-terang saja. saya sangat mengharapkan bantuannya dalam soal ini. Orang yang saya simpan di dalam penjara itu, adalah gadis
berwajah buruk, puteri tunggal Tambakyoso, yang sesungguhnya berkuasa di Kendeng ini. Saya berhasil mengalahkan semua pemimpin Kendeng dan membunuhnya berkat bantuan kakang Wanengboyo, adi Prembun dan Yang lain. Tetapi anak Tambakyoso yang bernama Mulatsih itu tidak kami bunuh, hanya kami penjarakan saJa. Sejak lama aku sudah khawatir akan munculnya gadis yang diliputi rahasia, yang hanya terkenal dengan sebutan Gadis Berbaju Kuning itu .Untuk menjaga kemungkinan yang tidak kami harapkan itu, kemudian timbullah rencana saya untuk membangun jalan rahasia dan istana di dalam tanah. Rencana itu, bukan lain merupakan perlengkapan bagi kami apabila datang bahaya. Tetapi ahh, paman, sebelum rencana saya itu selesai. Tibatiba muncullah Gadis Baju Kuning itu. Bagaimanakah menurut pendapat paman?"
Walaupun sesungguhnya hati Patra Jaya gelisah dan khawatir sekali, namun kakek ini terkekeh. Katanya garang,
"Heh-heh-heh, mengapa engkau menjadi khawatir dan ketakutan seperti anak kecil? Kalau engkau memang pengecut dan ketakutan, mengapa engkau berani memaklumkan diri sebagai pemimpin tertinggi Gerombolan Kendeng ini?"
Merah padam wajah Kirtaji, penasaran dan malu. Kalau saja yang bicara ini bukan Patra Jaya, mungkin sudah ia pukul mulutnya sampai remuk. Akan tetapi karena yang bicara sekarang ini Patra Jaya, dan yang ia harapkan bantuannya, maka sekalipun penasaran ia bersikap mengalah. Ia tidak membuka mulut.
"Kirtaji! Kalau memang Gadis Baju Kuning itu berani muncul di sini, serahkan padaku. Lihatlah, nanti aku akan membuat perempuan sombong itu menangis malu.
hen-heh-heh!"
kata Patra Jaya lagi, semakin nampak kegarangannya.
"Tak perlu kamu membantu, seorang diri aku sanggup menangkap dan menelanjangi perempuan perempuan itu di depan mata kamu. Heh-heh-heh, betapa menyenangkan......."
"Guru betul!"
Sungsang sudah menyambut dengan gembira.
"setelah guru melumpuhkan mereka, ha-ha-ha, segera akan kusambar dua orang dan kubawa pergi. Lebih-lebih perempuan tak tahu malu yang sudah memotong telingaku kiri. Dan....."
Kata-kata Sungsang itu tiba tiba terputus oleh suara tajam dan nyaring, diucapkan dari tempat yang agak jauh. Namun suara itu terdengar amat jelas, seperti diucapkan orang dari tempat yang dekat sekali. Hingga membuat Semua orang yang hadir di pendapa istana Kendeng itu semua kaget dan berdebar.
"Hah, heh. heh. guru dan murid yang tak tahu malu.Muridnya itu, bagaimanapun juga masih berusia muda.Agak bisa diterima akal, tidak jemunya berburu perempuan. Akan tetapi gurunya yang sudah tua bangka itu,
ha, ha! Sungguh memalukan sekali. Mengapa setelah terjadi peristiwa yang amat memalukan di Mataram itu, tak juga membuat engkau kapok dan membuat engkau sadar ? Huh huh, bukan saja engkau tua bangka yang tak tahu malu. Tetapi engkaupun sekarang sudah berkumpul dengan manusia manusia jahat. Engkau tak boleh hidup lagi, agar tidak membuat malu saudara seperguruan sendiri."
Orang yang mendengar heran. Kecuali Sungsang dan gurunya, yang sudah bisa menduga siapa orang yang berteriak dari kejauhan itu. Patra Jaya Jadi beringas. Sepasang matanya menyala, tanda amat marah sekali. Ia
berdiri dari tempat duduknya. Kemudian dengan gerakannya yang gesit sudah melompat ke luar rumah. Bentaknya nyaring,
"Hai, Gupala! Jangan engkau mengumbar mulutmu yang busuk. Sudah lama aku mencari engkau untuk meremukkan mulutmu. Tetapi sekarang tanpa dicari kau sudah datang sendiri. Hayo, kita tentukan sekarang, siapakah di antara aku dan engkau yang pantas disebut manusia sakti? Heh-heh-heh, engkau saudara muda seperguruan yang kurang ajar. Hari ini, aku takkan memberi ampun lagi."
"Tentu saja aku datang!"
suara jawaban terdengar nyaring makin dekat.
"Haha-ha, he-ho-ho, engkau membanggakan diri sebagai saudara tua perguruan, akan tetapi engkau tak tahu malu. Membuat aku kehilangan muka dengan orang lain, karena sepak-terjangmu yang tak tahu malu. Mari, sekarang ini juga kita tentukan, siapa yang berhak hidup di dunia itu. Sebab aku tidak sudi hidup di dunia ini, jika engkau belum mampus!"
Memang sesungguhnya Gupala atau adik seperguruan Patra Jaya ini, seorang yang tidak pandai bicara. Maka dalam membalas mencaci-maki Patra Jaya, kata-kata yang diucapkannya tidak keruan juntrungnya. Sekalipun demikian orang kerdil ini, wataknya dengan Patra Jaya seperti bumi dengan langit. Kalau Patra Jaya seorang licik, licin, selalu mengumbar nafsunya, sebaliknya Gupala adalah seorang kakek yang jujur. Seorang yang amat benci kepada segala sesuatu yang berbau jahat.
Akan tetapi sesungguhnya dua orang saudara seperguruan ini, pada mulanya selalu rukun dan hampir tidak pernah berpisah. Mereka selalu bahu-membahu, dan Gupala selalu mengalah dan tunduk kepada kakak seperguruannya. Dahulu ketika masih menjadi jago Mataram, Patra Jaya dan Gupala ini amat besar jasanya bagi Ratu Wandansari. Mereka merupakan "dwitunggal"
yang amat dihormati di Mataram.
Tetapi setelah mereka lari dari Mataram, sebagai akibat tuduhan mencuri salah seorang garwa selir Sultan Agung, mereka bisa disebut sebagai orang buruan. Namun demikian mereka masih selalu rukun tak pernah berpisah. Perpecahan antara mereka baru terjadi, lalu merupakan dua orang musuh, baru setelah mereka berhasil dipecah belah oleh Jaka Pekik, ketika dua orang ini mengeroyok Jaka Pekik di belakang Pondok Bligo.
Hasil siasat adu domba yang dilakukan oleh Jaka Pekik terhadap dua orang itu, ternyata amat baik. Sekarang bekas kakak beradik perguruan itu, sudah saling tantang untuk berkelahi.
Kirtaji dan yang lain tidak mengerti tentang hubungan Gupala dengan Patra Jaya. Maka mereka kemudian memandang Sungsang dengan pandang mata bertanya. Sungsangpun dapat menduga maksud orang. Maka katanya,
"Guru memang mempunyai seorang adik seperguruan. Akan tetapi karena watak masing masing tidak cocok, maka mereka berselisih jalan, dan timbullah permusuhan. Hemm, tetapi kalian tidak perlu khawatir. Aku berani bertaruh guruku akan menang. Sebab guru merupakan saudara seperguruan yang lebih tua. Manakah ada kakak seperguruan kalah dengan yang lebih muda?"
Tentu saja Kirtaji dan Wanengboyo tak bisa menerima alasan seperti itu. Kepandaian seseorang tidaklah di tentukan oleh urutan tua dan muda dalam perguruan. Melainkan ditentukan oleh bakat, kecerdasan dan kerajinan berlatih. Walaupun kedudukannya lebih tua.
kalau kurang berbakat, malas berlatih. manakah mungkin memperoleh kemenangan?
Tetapi sekalipun demikian mereka tidak mau membantah. Dan sekarang perhatian mereka dicurahkan kepada seorang kerdil yang sedang melangkah cepat masuk ke halaman. Diam-diam mereka yang melihat kagum juga, nampaknya kakek itu tubuhnya kerdil, dan melangkah dengan seenaknya. Akan tetapi ternyata kakek itu gerakannya cepat sekali seperti terbang saja. Membuat mereka yang melihat diam-diam kagum. Dengan berdebar tegang, kemudian orang orang itu segera keluar dari pendapa. Akan tetapi mereka tak berani mendekat. Mereka berdiri di tempat agak jauh tak berani mencampuri urusan kakak beradik itu. Patra Jaya dan Gupala sekarang sudah berhadapan. Patra Jaya memandang adik seperguruannya itu dengan beringas. Dan Gupala juga menatap kakak seperguruannya dengan sepasang mata yang menyala marah. Agaknya kakek kerdil ini sudah tak lagi dapat menyabarkan diri, berhadapan dengan kakak seperguruannya yang dianggap amat memalukan langkah dan wataknya itu.
"Hai, Patra Jaya!"
bentak kakek kerdil ini, dan tidak lagi menggunakan sebutan kakang seperti biasanya.
"Apakah engkau sudah lupa akan pesan guru almarhum? Kita memikul tugas menjaga nama baik guru kita. Akan tetapi dengan sepak terjangmu yang memalukan itu, dapatkah disebut engkau menjunjung nama baik guru? Huhhuh, sudah lama aku selalu menyabarkan diri. Sudah lama aku selalu menasihati supaya engkau sadar. Namun malah semakin sesat, sekalipun engkau makin pikun. Hemm, hari ini aku menunaikan tugas kewajiban dari guru, untuk membersihkan nama perguruan."
"Heh-heh-heh-heh!"
Patra Jaya terkekeh mendengar kata-kata Gupala itu.
"Sungguh lagakmu amat memuakkan. Seorang muda, terlalu tekebur berani mencela kepada orang tua. Huh-huh, bukan engkau yang berhak memberSihkan nama baik perguruan. Akan tetapi akulah orangnya. Aku sudah muak memandang mukamu. Maka hari ini engkau harus mampus di tanganku!"
"Huh-huh! Mari kita tentukan siapa di antara kita yang harus mampus dan harus hidup'?" teriak Gupaia dan sekaligus sudah menerjang ke depan mengirimkan serangannya.
Nampaknya memang kecil, tetapi gerakan tubuhnya cepat sekali dan pukulannya menerbitkan angin dahsyat.
Patra Jaya tidak berani sembrono sekalipun menghadapi adik seperguruannya sendiri. Dua orang itu dalam waktu singkat sudah terlihat dalam perkelahian yang sengit dan cepat. Ilmu mereka satu sumber, dan masing masing mengetahui rahasia dan kelemahannya. Tubuh mereka berkelebat cepat seperti tidak tampak, dan sekitar mereka dilanda oleh angin yang menyambar-nyambar dahsyat. Kirtaji dan yang lain terpaksa harus mundur, agar tidak tersambar angin pukulan.
Mereka menonton dengan perasaan dan hati tegang. Tetapi Kirtaji adalah lain. Sambil memperhatikan jalannya perkelahian itu, diam-diam otaknya berpikir. Gupala ini adik seperguruan Patra Jaya. Tentu saja seorang yang sakti mandraguna. Betapa keuntungan yang ia peroleh, apabila bisa mempengaruhi keadaan, sehingga kakak beradik seperguruan ini, dapat dijadikan pembantu-pembatunya. Ia sadar bahwa saat sekarang ini dirinya terancam keselamatannya oleh Gadis Baju Kuning. Dirinya membutuhkan bantuan banyak tokoh sakti.
Memperoleh pikiran demikian, ia cepat berteriak,
"Tahan!"
Teriakan Kirtaji nyaring sekali. Dua orang kakek yang sedang terlibat dalam perkelahian sengit itu, tiba tiba saling melompat mundur. Patra Jaya berdiri sambil menyeringai. Sebaliknya Gupala berdiri sambil mendelik ke arah Kirtaji.
"Hai, orang muda! Apa maksudmu menghentikan kami yang sedang berkelahi untuk membersihkan nama perguruan?"
Bukan Kirtaji kalau tidak dapat bersikap cerdik dan penuh dengan Siasat ia segera membungkukkan din memberi hormatnya. Lalu katanya dengan penuh tata kesopanan dan halus.
"Paman, saya yang muda dan bodoh ini merupakan tuan rumah. Kalau paman sedia mendengar isi hatiku, saya yang muda ini ingin sekali mengajukan sebuah pertanyaan, Sampai di manakah hak sebagai tuan rumah dan hak sebagai tamu ?"
Tentu saja Gupala yang jujur dan tak pandai bicara ini, menjadi gelagapan dan tak lekas bisa menjawab. Tetapi karena jujur, kakek kerdil ini segera bertanya,
"Apakah maksudmu, orang muda?"
Kirtaji tersenyum gembira, bahwa kakek ini sedia di ajak bicara. Maka katanya,
"Paman, saya adalah tuan rumah. Dan merupakan kewajiban tuan rumah, selalu menyambut penuh hormat kepada sekalian tamu. Untuk itu, kiranya lebih baik apabila kalian sekarang menghentikan selisih paham ini. Kita bicarakan, kita runding dan kita carikan jalan penyelesaian secara baik. Bagaimanapun sebagai saudara seperguruan, akan amat menguntungkan apabila kalian bisa rukun. Dengan kerukunan ini, tentu memberi keuntungan bagi kalian sendiri. Dan aku percaya pula, kerukunan kalian akan membawa pula keharuman nama perguruan kalian."
Kirtaji berhenti dan mencari kesan. Gupala terbungkam. karena kata-kata tuan rumah ini bisa diterima
oleh akal dan pikirannya yang jujur sekalipun begitu, kakek ini masih berdiri tanpa membantah maupun mengiakan. Sedang Kirtaji diam-diam gembira. Terusnya,
"Paman, hentikanlah perselisihan ini, dan kami sebagai tuan rumah mempersilahkan paman berdua untuk masuk ke pendapa. Segala persoalan bisa kita rundingkan, kita selesaikan, agar paman berdua tidak menjadi bahan tertawaan orang bahwa dua orang perguruan saling pukul sendiri memperebutkan sesuatu yang belum jelas. Paman, manusia di dunia ini manakah yang bersih dan tidak pernah melakukan kesalahan?"
Gupala segera terpengaruh oleh kata-kata Kirtaji yang diucapkan dengan ramah dan sopan itu. Akan tetapi sebelum kakek Ini membuka mulut, tiba tiba saja masuklah suara yang amat halus ke dalam rongga telinganya. Suara itu terdengar jelas sekali,
"Kakang Gupala. Gajah mati meninggalkan gading. Harimau mati meninggalkan belangnya. Tetapi manusia? Manusia mati meninggalkan nama. Semua manusia yang di dunia ini akan mati. Akan tetapi mati dan mati ada dua macam. Antara mati dengan meninggalkan nama harum dan nama busuk. Setiap manusia tentu mencitakan dapat mati meninggalkan nama harum. Kakang Gupala, lupakah engkau akan sebabnya engkau sekarang berkeliaran dengan nama ternoda? Engkau lari dari tugas pengabdianmu kepada Ingkang Sinuhun Sultan Agung, bukan lain oleh kejahatan Patra Jaya. Engkau membela kakak seperguruanmu mati-matian. Namun apa yang engkau peroleh? Engkau merupakan orang buruan Mataram. Namun bagaimanakah dengan orang yang engkau bela itu? Patra Jaya bukan mau menginsyafi kesesatan dan kesalahannya. Malah sekarang makin jauh tersesat, dan membantu gerombolan penjahat Kendeng. Betapa kecewa guru kakang
Gupala jika ternyata engkau sebagai murid yang diharapkan dapat membersihkan nama baik perguruan, malah akan ikut-ikutan tersesat. Tibalah saatnya kakang Gupala harus membunuh murid durhaka, yang akan memburukkan nama perguruan."
Suara yang halus itu, hanya bisa ditangkap oleh Gupala seorang diri. Kakek ini celingukan untuk mencari siapakah yang sudah berbisik dalam telinganya itu. Akan tetapi tidak melihat seorangpun yang menggerakkan bibir. Karena kejujuran wataknya, sekalipun dirinya seorang sakti. ia lupa bahwa di dunia ini terdapat semacam ilmu dengan nama Aji Pameling. Dengan kekuatan hati dan kemauan dapat mengirimkan suara kepada seseorang yang dituju. Yang terbayang dalam otak dan benak kakek ini, hanyalah seorang adik seperguruannya, yang dahulu mati terbunuh oleh tangan Patra Jaya. Terbunuh mati oleh Patra Jaya yang sewenang-wenang, dan dalam keadaan yang menyedihkan.
Betapa tidak?
Isteri adik seperguruannya itu dengan paksa digagahi. Tetapi karena mengadakan perlawanan. akhirnya dibunuh oleh Patra Jaya. Adik seperguruannya yang berusaha membela isterinya, malah harus mengorbankan nyawanya pula.
Sekarang, ia teringat kembali kepada adik seperguruannya itu. Dan menurut perasaannya sekarang, yang berbisik ini adalah dia. Adik seperguruannya itu, di alam baqa agaknya masih amat penasaran kepada Patra Jaya. Dan sekarang adik seperguruannya itu menuntut, supaya dirinya bertindak kepada Patra Jaya yang sesat. Supaya membersihkan nama perguruan.
Teringat akan nasib adik seperguruannya, yang bernama Dirgono itu, tiba-tiba saja kakek ini tertawa. Lalu katanya lantang,
"Heh-heh-heh, Patra Jaya! Lupakah engkau akan peristiwa yang telah terjadi empat puluh tahun lebih yang lalu? Dirgono harus menemui ajalnya. dalam usahanya membela isteri yang engkau gagahi dengan paksa? Ho-ho-ho. sekarang Dirgono menuntut padaku untuk membersihkan nama perguruan!"
Patra Jaya kaget diingatkan kepada peristiwa itu. Akan tetapi bukannya membuat kakek ini sadar dan menyesal, melainkan malah meledak kemarahannya.
"Kurang ajar! Hari ini juga engkau harus mampus di tanganku. seperti Dirgono!"
Begitu membentak, Patra Jaya sudah menerjang maju mengirimkan serangannya.
"Tahan! Tahan!"
teriak Kirtaji.
Akan tetapi teriakan Kirtaji itu seperti angin lalu. Dua orang kakek itu sekarang sudah saling terjang dengan kecepatan luar biasa. Mereka telah dilanda oleh kemarahan masing-masing. Sebab bagi Patra Jaya. dengan diingatkan peristiwa yang menyangkut Dirgono itu, membuat Patra Jaya merasa malu.
Itulah manusia. Sekalipun nyata apa yang sudah ia lakukan dan perbuat, namun tentu akan marah dan penasaran kalau soal itu diaduk lagi, lebih-lebih di depan banyak orang. Sebab akan merupakan semacam tamparan yang takkan bisa dihindari lagi.
Perkelahian antara dua orang kakek ini berlangsung amat sengit. Kirtaji menghela napas panjang dan amat menyesal sekali. Ternyata bujukannya yang sudah hampir berhasil, menjadi berantakan.
Namun sebagai seorang cerdik dan penuh akal dan tipu daya, manakah mungkin ia hanya berdiam diri menonton dan membiarkan dua orang itu berkelahi?
Ia segera memberikan isyarat mata kepada Prembun. Dan pembantunya ini segera pula dapat menangkap isyarat pemimpinnya
Kirtaji. Wanengboyo dan orang-orang Kendeng yang lain segera mundur. Yang tidak mundur hanyalah Sungsang, karena orang ini tidak tahu rencana Kirtaji.
Sesaat kemudian melesatlah semacam benda ke arah mereka yang sedang berkelahi. Sebagai orang-orang sakti, tentu saja mereka menduga ada pihak ketiga yang berusaha menyerang. Seperti diberi aba, hampir berbareng benda yang melayang ke arah mereka itu segera dikebut, kemudian terdorong oleh angin yang dahsyat, benda itu membalik. Kirtaji, Prembun dan orang-orang Kendeng kaget sekali. Mereka tak pernah mengira bahwa benda berbahaya yang disambitkan Prembun itu akan membalik. Untung merekapun sigap. Mereka cepat melompat dan menghindarkan diri. Begitu benda tersebut jatuh ke tanah. terjadilah ledakan yang cukup nyaring. Lalu mengepullah asap amat hitam. Bukan asap sembarang asap. Akan tetapi asap yang mengandung racun berbahaya, dan bisa mematikan orang.
Patra Jaya dan Gupala yang sedang berkelahi sengit tidak terpengaruh sedikitpun, dan tetap berkelahi dengan mengerahkan kepandaian masing-masing. Tetapi sebaliknya, Sungsang yang melihat semua itu menjadi penasaran dan marah. Ia cepat menjadi salah paham, mengira Kirtaji melakukan kecurangan untuk membunuh gurunya. Teriaknya.
"Hai Kirtaji! Apakah engkau secara curang akan mencelakakan guruku?"
"Saudara Sungsang, hem, mengapa engkau cepat salah paham?"
sahut Kiriaji dengan nada sabar.
Sebab bagaimanapun, ia membutuhkan bantuan pihak Sungsang.
"Ketahuilah bahwa maksudku justeru amat baik. Dengan ledakan itu, aku maksudkan mereka yang sedang berkelahi, menjadi mabuk dan berhenti bertempur. Hemm, tetapi sayang usahaku gagal."
"Ahh, engkau sudah keliru menduga guru dan paman guru."
Sungsang yang merasa menuduh tanpa alasan kembali menjadi sabar.
"Mana mungkin segala macam racun mempan kepada beliau? Mereka kebal segala macam racun, baik yang membuat mabuk atau bisa membunuh orang. Hemm, sudahlah! Apa harus dikata? Apabila mereka telah berkelahi seperti itu, tak mungkin bisa kita pisahkan lagi."
Kata-kata Sungsang yang telah mengenal watak guru dan paman gurunya ini, memang tidak bisa dibantah. Kenyataannya kakak beradik seperguruan itu memang berwatak aneh. Apabila sudah mulai berkelahi, tidak mungkin mau berhenti sebelum babak-belur dan menderita luka parah.
Sekarang inipun dua orang tersebut berkelahi mati matian. Orang yang menonton semakin bertambah khawatir dan tegang. Akan tetapi juga menyesal bukan main. Jalan pikiran mereka sama dengan Kirtaji. Betapa untung yang diperoleh Kendeng, apabila dua orang itu bisa bersatu, dan memperkuat pihak Kendeng.
Di saat orang-orang mengamati perkelahian itu penuh perhatian, tiba-tiba terdengar suara,
"Buk-buk.... plak --plak..... dug-dug....."
Disusul oleh tubuh dua orang tersebut yang terhuyung mundur kebelakang. Mereka tadi sudah saling pukul, namun dua orang kakek itu masih sama kuat dan sama gagah. Begitu tubuh mereka terpental mundur, sesaat kemudian sudah saling terjang lagi, dan kembali berkelahi secara sengit. Angin dingin menyambar nyambar di sekitar gelanggang perkelahian. Sungguh mengagumkan. Sekalipun mereka itu sudah kakek kakek,
napas dan tenaganya sudah banyak surut, namun nampaknya mereka seperti tidak mau kalah dengan yang muda.
Ketika itu cuaca sudah hampir gelap. Kirtaji menjadi gelisah. Ia berkata kepada Sungsang,
"Saudara Sungsang, hentikanlah mereka berkelahi, agar sudi beristirahat. Cuaca sudah hampir gelap, dan tak lama lagi datanglah malam. Esok hari masih banyak waktu untuk meneruskan perkelahian lagi kalau memang belum puas."
Sungsang setuju dengan maksud Kirtaji itu. Ia segera pula berteriak, minta supaya guru dan pamannya itu berhenti bertempur. Akan tetapi teriakan Sungsang itu hanya seperti angin lalu. Walaupun kakak beradik seperguruan itu mendengar pula teriakan tersebut, tetapi mereka tidak menggubris. Mereka terus saling serang dengan sengit, tidak perduli cuaca menjadi gelap.
Karena mereka yang sedang bertempur itu tak juga bisa dihentikan, akhirnya Kirtaji menempuh jalan dengan memerintahkan orang-orangnya memasang obor beberapa buah, agar mereka yang sedang berkelahi itu dapat melihat dengan jelas.
Demikianlah, halaman di depan pendapa itu sekarang terpasang beberapa buah obor kayu yang besar. Membuat keadaan tempat perkelahian itu cukup terang. Akan tetapi karena sambaran pukulan mereka itu amat dahsyat dan kuat, maka berkali-kali beberapa obor padam tersambar oleh angin pukulan, sehingga mereka harus menyalakan kembali. Untuk mengatasi hal tersebut, maka oleh Kirtaji lalu diperintahkan, agar pemasangan obor itu dimundurkan. supaya tidak terjangkau oleh sambaran angin pukulan. Sebagai akibat makin jauhnya obor kayu itu ditempatkan, maka gelanggang perkelahian itu tidak begitu terang. Sekalipun begitu, Patra Jaya dan Gupala yang sedang berkelahi dapat melihat dengan jelas.
Ternyata kemudian bahwa perkelahian antara kakak beradik seperguruan ini berlangsung amat lama. Ketika itu sudah larut malam. Namun mereka yang bertempur masih tetap bergerak dengan gesit, dan angin pukulan mereka menyambar-nyambar dahsyat. Walaupun berkali kali terdengar suara bak-bik-buk saling pukul, tetapi Gupala dan Patra Jaya sama tangguhnya. Yang berkelahi tidak kenal lelah, sebaliknya orang yang menonton pada akhirnya merasa lelah, menguap, kemudian masuk tidur ke dalam kamar masing-masing.
Yang masih belum beranjak dari tempatnya, tinggal Kirtaji, Prembun. Sungsang dan Wanengboyo. Mereka terus memperhatikan perkelahian itu dengan seksama. Diam-diam mereka merasa kagum. Perkelahian sudah terjadi dalam waktu lama, namun masing-masing belum nampak kelelahan. Masing-masing masih dapat bergerak cepat dan angin pukulannya menyambar-nyambar sekitarnya. Sekali-sekali diseling oleh suara buk-buk. saling dapat memukul dan terpukul. Sungguh, hal itu membuat mereka yang menonton berkali-kali harus menahan napas saking merasa tegang.
Di saat dua orang kakek itu masih berkelahi dengan sengit, dan di saat Kirtaji dan yang lain tenggelam menyaksikan perkelahian sengit itu, berkelebatlah bayangan yang amat cepat, seperti bayangan hantu.
Siapakah orang itu?
Dialah Sindu. Sudah sejak sore tadi ia menyelidik. Namun karena tak ingin diketahui orang, maka Sindu selalu bersembunyi.
Ia tadi khawatir sekali ketika melihat Gupala hampir terbujuk oleh kata-kata Kirtaji. Maka ia cepat mengirimkan suaranya yang ditujukan kepada Gupala, lewat Aji Pameling. Berkat suara yang dikirimkannya itu terjadilah perkelahian yang sengit antara Gupala dan Patra
Jaya. Melihat itu Sindu gembira sekali. ia kenal watak dua orang itu. Kalau mereka sudah berkelahi, mereka tak ingat apa-apa lagi. Walaupun langit ambruk dan bumi tenggelam mereka akan tetap berkelahi, dan takkan ada yang mau mengalah.
Begitu sudah larut malam, Patra Jaya dan Gupala masih terus berkelahi, sedang Kirtaji, Sungsang, Prembun dan Wanengboyo terpikat perhatiannya kepada perkelahian itu, terpikirlah oleh Sindu bahwa waktu bertindak sudah tiba. Akan tetapi ia seorang kakek yang sudah kaya pengalaman. Ia tahu dan sadar, bahwa istana Kendeng ini penuh jebakan dan perangkap. ia harus bertindak hati-hati, agar tidak celaka. Ia menangkap seorang anggauta Kendeng yang mempunyai kedudukan cukup tinggi, setingkat di bawah Prembun.
Di bawah ancaman dan tekanan, orang itu disuruh menerangkan, adakah seorang gadis berbaju biru, usia sekitar duabelas tahun, telah ditangkap dan ditawan?
Akan tetapi betapa kecewa dan penasaran Sindu. ketika orang tersebut sepatahpun tak mau mengucapkan kata-katanya, malah tiba-tiba dari mulut orang tersebut sudah menetes-netes darah merah. Sadarlah Sindu, bahwa orang yang ditangkap itu, terlalu patuh pada gerombolannya, sehingga lebih suka mati membunuh diri dengan menggigit putus lidahnya sendiri daripada harus berkhianat kepada gerombolannya.
Untung kemudian Sindu dapat menangkap lagi salah seorang anggauta Kendeng. Dan ternyata orang kedua yang ditangkap ini, lebih sayang kepada jiwanya, sehingga ia sedia menerangkan apa adanya. Orang tersebut segera menceritakan, sesuai dengan laporan Sungsang kepada gurunya. Dikatakan oleh orang itu, bahwa tidak seorangpun saat ini ditangkap dan ditawan. Malah tawanan
penting yang selama ini dapat dikurung dalam penjara rahasia di bawah tanah, sekarang telah kabur bersama Gadis Baju Kuning.
Lega bati Sindu mendengar keterangan orang ini. Namun tentu saja Sindu belum percaya sepenuhnya. Maka kemudian orang itu dipaksa untuk menerangkan tentang rahasia istana Kendeng, berikut pula perangkap-perangkap maupun jebakan-Jebakan yang dipasang. Ternyata orang inipun tidak keberatan. Secara lancar orang ini menerangkan rahasia-rahasia istana Kendeng. Maka kemudian agar orang ini tidak dapat melaporkan kehadirannya, orang ini dilumpuhkan, dan baru pada keesokan harinya orang tersebut pulih tenaganya.
Semula memang timbul maksudnya untuk menimbulkan kekacauan di istana Kendeng ini. Akan tetapi ia segera sadar, bahwa perbuatannya itu akan menimbulkan kerugian bagi dirinya sendiri. Gupala dan Patra Jaya yang sedang berkelahi, bisa terpengaruh. Dan apabila kakak-beradik seperguruan itu rukun kembali, hanya akan memberi keuntungan kepada Gerombolan Kendeng saja.
Apa yang dilakukan sekarang ini, walaupun Sindu berkelebat cepat, ia hanya ingin mendekati tempat perkelahian antara Gupala dan Patra Jaya. Apabila ternyata nanti Kirtaji maupun yang lain sampai berani curang membantu Patra Jaya, dengan demikian ia akan bisa bertindak dan melindungi keselamatan Gupala. Demikian pula apabila ternyata Gupala sampai terancam keselamatannya, terdesak oleh Parra Jaya, iapun takkan tinggal diam. Ia akan segera turun tangan memberikan bantuannya.
Namun ternyata, perkelahian antara Gupala dan Patra Jaya ini sungguh menakjubkan. Walaupun berkelahi terus-menerus, saling pukul sampai dinihari, belum juga
tampak salah seorang terdesak. Mereka masih tetap seimbang. Tidak ada yang membuka mulut, dan dua orang itu mencurahkan seluruh perhatian dan kepandaiannya. untuk mengalahkan lawan.
Mereka yang menonton sudah mulai
menguap dan mengantuk. Akan tetapi yang berkelahi seperti lupa keadaan, mereka terus saling pukul dan saling berusaha mendesak. Kemudian bersamaan dengan terbitnya matahari di ufuk timur, agaknya Patra Jaya sudah tidak telaten lagi hanya berkelahi dengan tangan kosong. Mendadak Patra Jaya menggeram dan sebatang tongkat bercabang dengan ujung tanduk rusa sudah terpegang tangan kanan. Melihat Patra Jaya sudah mengeluarkan senjatanya, Gupalapun tak mau kalah perbawa. Iapun segera pula bersenjata tongkat dengan hiasan kepala burung. Hiasan kepala burung ini bukan sekadar supaya tampak indah. Akan tetapi tiruan kepala burung itu merupakan senjata yang berbahaya bagi lawan. Sebab kepala burung terbuat dari baja. Setiap kali bisa di pergunakan mematuk mata, ubun-ubun maupun bagian tubuh lawan yang berbahaya.
Begitu mereka menggunakan senjata, perkelahian menjadi sengit lagi. Pagi itu anak buah Kendeng amat tertarik perhatiannya. Maka dari jarak agak jauh mereka segera membentuk lingkaran dan menonton. Di antara penonton ini, terdapat Sindu yang sudah menyamar seperti anak buah Kendeng.
Akan tetapi perkelahian pagi hari ini dengan kemarin sore dan kemarin malam adalah lain. Sebab kemarin sore dan kemarin malam, di samping tidak terpengaruh oleh panasnya sinar matahari, dua orang itu tenaganya masih cukup penuh. Tetapi setelah berkelahi semalam lebih. dua orang kakek ini bagaimanapun menjadi lelah
terkena Sinar matahari. Tubuh mereka mandi keringat, bibir mereka kering, di samping pula perut mereka sudah lapar. _
Sejak kemarin sore Kirtaji tak meninggalkan tempat, dan memperhatikan jalannya perkelahian. Tetapi sambil menonton ini otaknya selalu bekerja. Ia masih berusaha jalan, untuk dapat menghentikan dua orang kakek yang sedang berkelahi ini. Dan sekarang agaknya kesempatan yang ditunggu-tunggu hampir tiba. Mendadak Kirtaji berteriak,
"Tahan, tahan! Sudilah paman berdua mengaso dulu! Telah kami sediakan minuman dan sarapan pagi untuk kalian. Tetapi kalau kalian masih juga penasaran, setelah mengisi perut, boleh paman berdua meneruskan lagi!"
Tiba-tiba Patra Jaya terkekeh dan melompat mundur. Agaknya kerongkongan yang kering dan perutnya yang lapar sudah sulit ia pertahankan lagi. Maka kakek ini cepat berkata,
"Kirtaji benar! Lebih baik sekarang minum dan mengisi perut., lalu kita kembali berkelahi."
Hampir saja Gupala yang jujur ini terpengaruh. Tetapi Sindu waspada. Ia cepat mengirimkan suaranya lewat Aji Pameling,
"Kakang Gupala! Engkau jangan gampang ditipu orang. Minuman dan makanan itu sudah di campuri racun. Jika kakang Gupala minum atau makan, kau celaka !"
Gupala terlalu percaya bahwa bisikan pada telinganya ini, adalah bisikan roh Dirgono yang mati penasaran dibunuh mati oleh Patra Jaya. Roh manusia yang telah mati adalah awas, sehingga tahu apa yang dilakukan orang. Sekarang dirinya akan dicelakakan orang dengan racun.
Siapa yang mau?
Walaupun tubuhnya kebal akan racun dan takkan membuatnya mati. akan tetapi
Kisah Si Pedang Buntung Lanjutan Ratu Wandansari Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pengaruh racun itu bisa menimbulkan kerugian terhadap dirinya.
Siapa tahu kalau racun yang dipergunakan Kirtaji ini, sama ampuhnya dengan racun hasil penemuannya, yang terkenal dengan nama Racun Raga Lumpuh?
Dahulu racun penemuannya berhasil melumpuhkan puluhan tokoh sakti, sehingga dengan mudahnya bisa di tawan Mataram.
Dalam keadaan lumpuh manakah mungkin dirinya bisa meneruskan berkelahi?
Berpikir demikian ia segera melengking nyaring. Ia menerjang maju sambil menyabetkan tongkatnya, dan paruh hiasan burung yang terbuat dari baja itu mematuk ke arah ubun-unun Patra Jaya. Sudah tentu Patra Jaya tak sudi ubun-ubunnya berlobang oleh patukan tongkat Gupala.
"Trakk.....!"
Dua tongkat bertemu. Kemudian dua kakek ini sudah kembali terlibat dalam pertempuran amat sengit. Berkali-kall Patra Jaya berteriak mengajak mengaso dan mengisi perut. Demikian pula Kirtaji terus berusaha membujuk, agar mereka terhenti dahulu. Akan tetapi Gupala tidak perduli. Tidak membuka mulut, dan terus menyerang dengan ganas.
Demikianlah, perkelahian terus berlangsung, tidak perduli matahari menyinarkan cahaya yang amat terik, dan tidak perduli pula tanah yang mereka injak sekarang mengepulkan debu, dan dari sedikit menempel pada tubuh maupun pakaian mereka.
Anak buah Kendeng menonton dengan hati yang tegang. Bagi mereka apa yang dilihat sekarang ini merupakan hal yang amat baru. Hal yang amat menarik. Merupakan perkelahian yang makan waktu panjang. Mereka menganggap bahwa peristiwa yang disaksikan sekarang ini, merupakan peristiwa yang amat berharga.
Akan tetapi bagaimanapun pula, tenaga manusia memang terbatas. Lebih lebih bagi dua orang kakek ini yang usianya sudah lanjut. Tenaganya tentu saja sudah tidak sepenuh ketika muda. Demikian pula pernapasannya tidak sekuat ketika muda, sekalipun mereka sudah melewati latihan puluhan tahun lamanya. Akibatnya gerak Mereka makin lama menjadi semakin lambat. Namun walaupun gerak mereka menjadi lambat, bukan berarti setiap pukulan mereka tidak berbahaya. Justeru dalam bergerak lambat ini mereka dapat menghemat tenaga, sehingga dapat menyalurkan tenaga pada setiap serangan mereka.
Sindu yang menonton dan menyamar sebagai anak buah Kendeng, sesungguhnya mereka gelisah menyaksikan perkelahian yang belum juga berakhir itu. Untung dia bukan seorang yang suka berbuat curang. Hingga sekalipun gelisah, ia tak juga mau membantu Gupala. Yang bisa ia harapkan hanyalah, agar Gupala menang dan merobohkan Patra Jaya. ,
Lewat tengah hari dua orang kakek itu masih terus berkelahi. Akan tetapi sekarang mereka tidak bergerak lagi. Sekarang dua orang kakek itu duduk bersila di atas tanah. Yang masih bergerak tinggal dua belah tangan. Tangan kiri menggunakan gerakan mendorong dan mengebut, sedang tangan kanan yang masih memegang senjata terus bergerak cepat saling serang.
Bagi orang-orang Kendeng yang tingkat kepandaiannya masih rendah, menjadi melongo heran'melihat perkelahian yang aneh itu.
Kapan bisa berakhir pertempuran macam itu?
Namun bagi orang orang yang sudah memiliki kepandaian tinggi seperti Prembun, Kirtaji, Sungsang. Wanengboyo dan Sindu sendiri, perkelahian macam
itu Justeru amat menegangkan dan mendebarkan. Pertempuran macam itu sungguh berbahaya. Mereka yang kalah tak mungkin bisa ditolong lagi jiWanya. Bukan saja perkelahian itu amat berbahaya bagi pihak yang sedang berkelahi, akan tetapi juga amat berbahaya bagi pihak luar yang berani campur tangan.
Mereka tidak lagi menggunakan tenaga kasar. Mereka sekarang telah berkelahi menggunakan tenaga batin, alias hawa sakti dalam tubuh. Udara di sekitar gelanggang perkelahian ini, sekarang telah dipenuhi oleh hawa sakti, yang akan bisa menyebabkan orang luar mati terbunuh. Hanya bagi orang yang tingkatnya lebih tinggi dari dua kakek ini, dan dapat mengatasinya, akan dapat melerai dan menghentikan perkelahian yang berbahaya ini.
Di antara anak buah Kendeng itu menjadi tidak tertarik, dan banyak pula yang pergi untuk menunaikan tugas kewajiban masing-masing. Akan tetapi masih juga terdapat puluhan orang yang masih di tempat, sehingga menolong kepada Sindu, memperhatikan perkelahian yang masih terus berlangsung penuh bahaya.
Dewa Iblis Karya Tak Diketahui Manusia Harimau Merantau Lagi Karya S B. Chandra Benteng Digital Digital Fortress Karya Dan Brown
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama