Ceritasilat Novel Online

Kisah Si Pedang Buntung 19

Kisah Si Pedang Buntung Lanjutan Ratu Wandansari Karya Widi Widayat Bagian 19


"Di antara perahu-perahu lawan
adalah perahu-perahu teman kita sendiri. Kita tak dapat membedakan mana lawan mana kawan."
Alasan Ki Juru Kiting itu tidak salah. Perahu-perahu kecil tanpa lampu, yang meluncur cepat itu, memang sulit dibedakan mana perahu lawan dan mana perahu kawan. Sebab sekalipun bulan menghias angkasa tanda-tanda pada perahu tidak nampak. Apabila kurang hati-hati memang bisa keliru dan merugikan kawan sendiri.
Ki Juru Kiung yang berkedudukan sebagai panglima angkatan laut, maupun Adipati Mandurorejo, Adipati Uposonto. Tumenggung Suro Agul agul dan beberapa tokoh sakti lain dari Maaram yang memperkuat rombongan ini, masing -masing menebarkan pandang mata penuh kesiagaan. Benar rombongan ini merupakan rombongan palsu. Namun mereka takkan membiarkan lawan menimbulkan kerugian. Dari seluruh isi perahu yang merupakan perajurit-perajurit Angkutan Laut Mataram yang pilihan itu, semua dalam keadaan siaga tempur.
Keadaan saat itu memang amat menegangkan. Sebab perkelahian di atas laut, jauh berbeda dengan di daratan. Yang tak hati-hati. sulit ditoloig jwanya apa bila tercebur dalam laut. Lebih lebih kalau perahu menjadi bocor oleh perbuatan penyelam lawan.
Sesuai dengan rencana yang sudah dibicarakan dalam rumah Perguruan Tuban, yang mempunyai bagian menyerbu perahu pengantin adalah Menak Kunjono, Aras Pepet, dibantu oleh Wongso Dipo, isterinya, Wigati dan Wiro Sukro. Maka enam orang ini dalam sebuah perahu dan perahu itu meluncur cepat sekali, seperti anak panah lepas dari busur, langsung menuju ke arah perahu pengantin yang dihias oleh lampu warna-warni dan janur kuning. Enam orang tokoh ini berdiri tegak di atas perahu tanpa membuka mulut. Pandang mata mereka tak berkedip, memperhatikan keadaan di atas geladag perahu pesiar yang dipergunakan pengantin itu.
Akan tetapi mendadak enam tokoh yang mau menyerbu perahu pengantin ini kaget. Lalu dengan amat sigapnya Wigati merebut kemudi perahunya membanting haluan ke kiri untuk menghindarkan perahunya dari tubrukan perahu kecil hitam itu, yang meluncur cepat sekali dari arah depan.
"Brak! Aihhh.. ! "
terdengar suara tubrukan yang keras sekali.
Ternyata walaupun Wigati sudah sigap merobah haluan perahu, tubrukan tak bisa dihindarkan. Perahu kecil tersebut moncongnya menabrak dinding perahu mereka di bagian belakang. Saking kerasnya tubrukan tersebut, perahu tokoh Semeru ini sampai terpental. Dan begitu terjadi tubrukan keras tersebut, terdengar suara "aihh"
seruan kaget dari mulut Wigati dan Kamilah. Akan tetapi seruan kaget ini, terutama bukan karena tubrukan hebat pada perahunya itu. Melainkan terlihatnya tiga bayangan manusia yang melesat dari atas perahu yang menubruk tersebut, seperti burung-burung raksasa. Di samping gerakan tiga orang itu cukup cepat, juga indah dipandang. Dua orang yang lain kemudian hinggap pada perahu yang bergerak menyusul di belakangnya, sedang yang seorang melesat ke arah perahu yang bergerak di belakang perahu tokoh Semeru itu.
Peristiwa yang tidak terduga ini tentu saja membuat mereka kaget sekali. Untung mereka terdiri dari tokoh tokoh sakti. Dalam kagetnya mereka tak menjadi gugup. Akan tetapi sebaliknya, awak perahu ini dalam kagetnya tak kuasa menahan mulut dan berteriak ribut.
Begitu perahu yang mereka tumpangi oleng dan bocor. awak perahu makin menjadi ribut dan geger lagi.
Air yang kuat membanjir masuk dari bagian dinding belakang yang berlobang dan pecah. Keadaan itu tentu saja membuat awak perahu kebingungan.
Pada mulanya Wongso Dipo dan yang lain membentak-bentak marah, memerintahkan awak perahu supaya tidak ribut. Diperintahkan kepada mereka, agar para awak perahu tersebut berusaha menambal bagian yang berlobang dan pecah, sambil menguras air yang sudah menerobos masuk.
Akan tetapi manakah mungkin awak perahu tersebut dapat melakukannya, karena air yang membanjir masuk dari bagian yang berlobang itu amat deras. Akibatnya makin banyaklah air yang membanjir masuk. Perahu kecil tersebut tinggal beberapa bagian saja yang masih tampak di atas permukaan air. Semua orang makin menjadi ribut dan geger. Khawatir kalau mereka ikut tenggelam bersama perahu mereka.
Melihat keadaan itu, kalau semula enam orang tokoh peng-pengan tersebut masih dapat menguasai perasaan, sekarang sudah lain. Sekarang mereka menjadi sadar bahwa perahu yang mereka tumpangi ini, tak mungkin bisa dipertahankan lagi. Tak lama lagi perahu tersebut akan tenggelam. Secepatnya pula mereka harus memperoleh ganti perahu yang tidak bocor.
Mereka segera berteriak memanggil perahu kawan. Teriakan mereka tentu saja amat nyaring dan terdengar dari jarak yang cukup jauh. Kawan-kawannya mendengar pula teriakan Wongso Dipo dan kawan-kawannya itu. Akan tetapi sekutunya memperoleh kesulitan, karena tanpa terduga mereka telah terlibat dalam pertempuran, yang sama sekali tidak pernah mereka duga. Ternyata di antara perahu-perahu yang berseliweran bergerak tadi. bukan perahu kawan sendiri melulu, tetapi
bercampur dengan perahu lawan. Baru mereka sadar dan tahu kalau lawan, sesudah mereka mulai diserang.
Tak mengherankan kalau perahu perahu Wongso Dipo dan sekutunya tersebut begitu meluncur ke air segera terlibat pertempuran dengan lawan. Sebab pasukan Surabaya dan pasukan Gagak Rimang sudah siap siaga sejak sore hari. Di atas permukaan laut, bagaimanapun juga pasukan Surabaya maupun pasukan Gagak Rimang lebih unggul, karena pasukan itu merupakan pasukan laut dan sudah terlatih dan berpengalaman. Bagi mereka, perahu adalah ibarat kuda bagi mereka di daratan. Maka pasukan Surabaya maupun Gagak Rimang ini, amat mahir sekali mengemudikan perahu. Bukan hanya itu, merekapun merupakan pasukan yang pandai sekali berenang dan menyelam. Maka dengan garang, pasukan pilihan dari Gagak Rimang dan Surabaya ini, dalam waktu tak lama dapat menenggelamkan beberapa buah perahu, di samping sudah merobohkan beberapa orang.
Yang menjadi pertanyaan, siapakah yang sudah mengemudikan perahu kecil. yang sengaja menabrak perahu yang ditumpangi oleh Wongso Dipo dan kawan-kawannya tadi?
Dan siapa pulakah tiga sosok bayangan yang melesat tinggi, kemudian beralih ke perahu lain itu?
Tiga sosok bayangan yang melesat tinggi setelah terjadinya tubrukan hebat itu, bukan lain adalah Madu Bala. Yoga Swara dan Hesti Wiro. Sedang yang mengemudikan perahu adalah Madu Bala. Sesuai dengan watak Madu Bala yang suka main ugal-ugalan, maka dalam usaha mengalahkan lawanpun, Madu Bala menggunakan siasat yang ugal-ugalan pula.
Begitu memperoleh laporan bahwa Wongso Dipo, Kamilah. Wigati. Wiro Sukro dan dua orang tokoh Belambangan yang tiga hari yang lalu berhasil dikalahkan dalam sebuah perahu, Madu Bala segera mengajak Hesti Wiro dan Yoga Swara menumpang dalam sebuah perahu. Setelah tahu bahwa Wongso Dipo dan kawan-kawannya dengan perahu agak besar langsung menuju ke perahu yang disangka merupakan perahu pengantin, Madu Bala mendahului perahu Wongso Dipo. Karena perahu yang ia pergunakan hanya perahu sampan biasa, maka tanpa memutar haluan, ia sudah dapat membalikkan arah perahu. Yalah bagian yang semula di depan, sekarang menjadi bagian belakang.
Madu Bala yang dibantu oleh Yoga Swara dan Hesti Wiro, dapat mendayung amat cepat sekali. Perahu yang kecil itu meluncur seperti anak panah lepas dari busur. Dan kemudian begitu perahu yang mereka tumpangi menubruk bagian belakang perahu Wongso Dipo, tiga orang sakti ini sudah meminjam tenaga tubrukan untuk melesat tinggi. Itulah sebabnya Kamilah dan Wigati tadi berteriak "aihh"
saking kagum.
Begitu mereka melesat dan perahu yang tenggelam, Yoga Swara dan Hesti Wiro segera melayang ke atas sebuah perahu kecil yang datang mendekati, seakan datang untuk memberi pertolongan. Ternyata kemudian bahwa perahu kecil yang menghampiri itu, adalah perahu Sampan yang didayung oleh Sindu seorang diri.
Akan tetapi sebaliknya Madu Bala tidak mau mengikuti jejak Yoga Swara dan Hesti Wiro. Tokoh sakti yang ugal-ugalan itu, begitu melesat dari perahu yang semula ditumpangi. meluncur ke arah sebuah perahu berlayar tiga yang bergerak di belakang perahu Wongso Dipo yang tadi sengaja ia tabrak. Belum juga kakinya dapat menginjak geladag perahu yang akan dipergunakan menyelamatkan diri dari bahaya tenggelam itu. mendadak Madu Bala merasakan sambaran angin yang kuat dari bawah di samping bentakan yang amat nyaring.
"Mampuslah !"
Madu Bala sadar bahwa sambaran angin dari perahu itu merupakan serangan berbahaya. Ia kaget, tetapi tak menjadi gugup. Jari dan ibu jari kaki kanan cepat menjepit bagian atas tumit kaki kiri, sehingga dapat menahan luncuran tubuhnya. Gerakan itu dibarengi dengan gerakan jungkir balik sambil menggerakkan dua tangannya untuk mendorong. Angin yang dahsyat segera keluar dari telapak tangan. Terdengar suara orang memekik nyaring, lalu disusul oleh robohnya tubuh dua orang di atas geladag, terpukul oleh dorongan Madu Bala, sebagai serangan tangkisan dan balasan, atas serangan orang tadi.
Begitu Madu Bala dapat menginjakkan kaki di geladag kapal, tokoh ugal-ugalan ini terkekeh.
"Hah-heh heh, sungguh amat kebetulan. Tanpa sengaja aku sudah mengungsi ke perahumu, nona Inten"
Tanpa sengaja ternyata Madu Bala sudah kesasar ke perahu yang ditumpangi Rara Inten, bersama beberapa murid Tuban. Memang Sarni maupun Kedasih yang terpengaruh oleh Rara Inten memberi persetujuan beberapa orang murid Tuban yang terpilih, membantu gerakan persekutuan itu untuk menghadang rombongan pengantin. Akan tetapi sekalipun begitu baik Sarni maupun Kedasih tidak berani membantu secara terang. Hal itu untuk menjaga keselamatan perguruan itu sendiri, mengingat Tuban merupakan bagian kekuasaan Mataram pula. Kalau terang-terangan ikut memusuhi, tidak urung Perguruan Tuban bisa dimusuhi oleh Mataram maupun Tuban sendiri. Mengingat hal tersebut, maka baik Sarni maupun Kedasih tidak ikut serta ambil bagian dalam gerakan penghadangan ini.
Berhadapan dengan Madu Bbla ini, Rara Inten mendelik dan sepasang matanya yang indah itu. menyala seperti mengeluarkan api. Rara Inten, tokoh Gagak Rimang yang paling dibenci bukan lain adalah Madu Bala ini. Sebab ketika dirinya bersama guru dan saudara saudara perguruannya ditawan di Karta, Madu Bala yang wajahnya buruk ini. sudah sengaja memfitnah nama baik gurunya Anjani dan dirinya.
Fitnah yang menimbulkan dendam dalam hati Rara Inten ini. seperti sudah diceritakan dalam cerita "Ratu Wandansari". adalah ucapan Madu Bala yang mengatakan bahwa Anjani ketua Perguruan Tuban, adalah benar seorang gadis. Seorang wanita yang tidak pernah menikah akan tetapi sudah mempunyai seorang anak perempuan. Oleh Madu Bala dikatakan bahwa anak yang lahir itu, bukan lain adalah Rara Inten.
Sedang siapakah ayahnya?
Madu Bala tanpa malu lagi mengaku Sebagai ayahnya. Dengan demikian. Madu Bala mengumumkan kepada orang bahwa antara Anjani dan Madu Bala ketika muda terjalin hubungan cinta gelap, dan lahirlah seorang anak perempuan, Rara Inten.
Karena benci setengah mati. dan bercita cita untuk dapat membunuh Madu Bala ini. maka tanpa sengaja sekarang bisa berhadapan. sepasang mata Rara Inten menyala menyinarkan api. Tiba-tiba wanita yang cantik seperti bidadari ini ketawa mengikik, tetapi jelas bahwa dalam dadanya bergejolak kemarahan.
"Hi-hi-hik, pucuk dicinta ulam tiba. ibarat seekor anjing engkau mencari gebug! Hemm. agaknya arwah guruku sudah menuntun engkau supaya berjumpa dengan aku. Huh-huh, malam ini engkau harus mampus dalam tanganku!"
"Mampus? Heh-heh-heh. gampangnya!"
balas Madu Bala mengejek.
Tiba-tiba saja terpikir oleh Madu Bala, untuk mengaduk kembali peristiwa yang sudah lalu. Bukankah dengan meminjam mulut Rara Inten sendiri. semua orang bakal mendengar dongeng tentang "hubungan gelapnya dengan Anjani yang melahirkan anak jadah Rara Inten?"
Walaupun pengakuan itu hanyalah fitnah dan isapan jempol, akan tetapi sedikit banyak hal tersebut dapat mempengaruhi pendapat umum dan menimbulkan pula perasaan bimbang dan ragu.
"Inten! Engkau menyebut bahwa arwah gurumu Anjani, yang sudah menuntun aku ke mari. Mengapa?"
"Huh-huh, engkau mungkir?"
Engkau lupa kepada peristiwa beberapa tahun yang lalu di Karta?"
bentak Rara Inten lantang saking tak kuasa menahan kemarahannya.
"Lupakah engkau dahulu sudah memfitnah diriku dan memfitnah guruku, ibu Anjani?"
"Fitnah? Apa yang kulakukan?"
Madu Bala pura' pura bertanya.
"Keparat kau! Apa yang sudah pernah kauucapkan ketika itu? Bukankah engkau memfitnah guruku ibu Anjani, bahwa aku ini sesungguhnya anak kandungnya?"
Madu Bala di samping seorang tokoh yang suka ugal-ugalan juga seorang yang amat cerdik. Orang yang kurang hati-hati, beradu lidah dengan Madu Bala bisa tergelincir sendiri. Maka katanya kemudian.
"Eh, apa yang sudah aku katakan? Aku tak pernah mengatakan sesuatu yang mempunyai hubungan dengan engkau dan Anjani."
Rara Inten terpancing dan membentak marah.
"Jahanam kau Madu Bala. Engkau bisa lupa akan katakatamu sendiri. Akan tetapi manakah aku bisa lupa? Dahulu, di Karta, kepada orang yang bernama Gupala
engkau mengatakan bahwa ibu guru Anjani namanya saja gadis, karena memang belum pernah menikah. Akan tetapi diam-diam telah melahirkan seorang anak, dan kaukatakan bahwa anak itu adalah aku....."
"Ihhh.....!"
beberapa orang murid Tuban yang mendengar kaget.
Maka mereka mengeluarkan seruan tertahan. .
Dan Rara Inten seperti tidak memperdulikan seruan para murid Tuban yang kaget, sudah meneruskan.
"Huhhuh, kemudian engkau mengatakan, bahwa sebabnya ibu guru Anjani mengandung dan melahirkan aku adalah karena ibu Anjani jatuh cinta padamu. Hingga terjadilah hubungan gelap ....."
"Ihhh.....!"
lagi-lagi beberapa orang murid Tuban yang mendengar berseru tertahan karena kaget.
Akan tetapi diam'diam beberapa orang murid Tuban menjadi bimbang dan terpengaruh.
Apakah itu benar fitnah?
Ataukah itu sesungguhnya merupakan pengakuan, bahwa Rara Inten memang anak Anjani sendiri?
Madu Bala terkekeh gembira dapat memancing Rara Inten.
"Heh-heh-heh, siapa yang bilang apa yang dahulu aku ucapkan hanya fitnah dan isapan jempol? Hemm. Inten, engkau tak tahu rahasia itu, maka engkau sudah bersikeras menolak, dan malah kepada ayahmu sendiri bersikap kurang ajar.."
"Keparat! Siapa yang sudi mempunyai ayah seperti macammu?"
Rara Inten melengking marah.
"Heh-heh-heh, engkau tak mau mengaku diriku ini sebagai ayahmu, tidak mengapa. Tapi .."
"Tapi apa?!"
potong Rara Inten lantang.
"Bukalah telingamu lebar-lebar, hai orang tua yang wajahnya buruk. Aku ini adalah keturunan Bupati Ponorogo. Ayahku bernama Saketi. Jangan engkau membuka mulut sembarangan. Tahu?"
"Hehheh-heh, engkau tahu buntutnya tak tahu kepalanya. Dengarlah anakku, dahulu, karena ibumu Anjani merasa malu, maka dia minta persetujuanku untuk menitipkan anak itu kepada Bupati Ponorogo. Kemudian Bupati Ponorogo mempercayakan pemeliharaan itu kepada ayahmu Saketi.. hm..."
Madu Bala terpaksa menghentikan kata-katanya sambil melesat ke samping. Sebab Rara Inten sudah tak kuasa menahan sabarnya lagi. sudah menyerang dengan dua belah tangan yang jari-jarinya terbuka membentuk cakar untuk mencengkeram. Gerakannya cepat sekali, dan dari sambaran tangan gadis itu keluar tenaga kuat yang tidak nampak..
Para murid Tuban cepat-cepat melompat dan menyisih ke pinggir geladag, agar tidak terkena akibat dari perkelahian yang sudah berlangsung itu. Akan tetapi sekalipun begitu, diam-diam timbulah rasa bimbang dalam hati mereka. Sebab dari pengakuan Madu Bala, gadis yang bernama Rara Inten ini adalah anaknya. Akan tetapi agaknya Rara Inten malu mengakui Madu Bala sebagai ayahnya, sehingga tak mau mengakui sebagai ayahnya. Ya, para murid Tuban ini tidak sadar sudah terjebak dalam siasat Madu Bala yang memang suka ugal-ugalan. Dan walaupun apa yang dilakukannya sekarang ini hanya isapan jempol belaka, namun orang yang tak tahu sudah terpengaruh.
Dan untuk mempengaruhi pendapat umum, Madu Bala masih mengoceh lagi. Dalam pada itu iapun seorang cerdik. Ia sengaja membakar kemarahan Rara Inten. Sebab dengan terbakarnya rasa marah gadis itu, dirinya bakal memperoleh keuntungan.
"Inten! Kurang ajar kau. Engkau apakah akan menjadi seorang anak yang tak berbakti? Bukan saja engkau tak mengakui aku sebagai ayah, bahkan engkau berani memusuhi ayahmu sendiri?"
"Jahanam! Keparat kau! Aku bukan anakmu. Engkau bukan ayahku. Mampuslah !"
sambil membentak marah, Rara Inten sudah melesat dan menerjang maju. dengan dua belah tangannya bergerak cepat sekali mencengkeram lawan.
Dalam marahnya dan ingin lekas dapat mengalahkan lawan, Rara Inten telah menggunakan ilmu tangan kosong bernama "Cakar Setan". Ilmu ampuh, warisan dari Ki Ageng Selo Katon, guru Ronggolawe Tuban, yang diperoleh dari catatan dalam pedang Jati Ngarang.
Seperti pernah diceritakan dalam cerita "Ratu Wandansari", bahwa warisan ilmu sakti dari Ki Ageng Selo Katon itu sesungguhnya dua macam. Ialah ilmu yang bersifat bersih bernama "Sakti mandraguna"
dan yang sesat "Cakar Setan". Sayang catatan tersebut sudah dirampas Jaka Pekik. Yang dapat diingat dan dilatih oleh Rara Inten, melulu ilmu sesat yang bernama "Cakar Setan"
itu. Hal ini memang tidak aneh. Karena Rara lnten ketika itu terburu waktu, maka yang gampang dipelajari, hanyalah ilmu sesat tersebut. Tentunya para pembaca masih ingat, bahwa dahulu di Pondok Bligo, Rara Inten ditundukkan oleh "Gadis Baju Kuning", yang kemudian diketahui bernama Damayanti, dengan ilmu yang sama. Akan tetapi karena Damayanti merupakan keturunan Ki Ageng Selo Katon sebagai pencipta ilmu tersebut, maka Gadis Baju Kuning itu lebih menguasai ilmu tersebut dibanding dengan Rara Inten.
Sekarang dalam marahnya Rara Inten langsung menggunakan ilmu tersebut. Maksudnya memang agar dalam
waktn singkat dapat mengalahkan lawan. Sambil mencoba pula sampai di manakah kemajuan yang ia peroleh, setelah bertahun-tahun secara tekun ia melatih ilmu tersebut.
Memang keadaan Rara Inten sekarang ini tak dapat disamakan dengan keadaannya tiga atau empat tahun yang lalu. Ia sudah memperoleh kemajuan yang pesat sekali. Semua gerakannya jauh lebih cepat apa bila dibandingkan dengan dahulu. Juga cengkeraman-cengkeramannya lebih berbahaya,setiap saat dapat membunuh lawan.
Dan diam-diam, Madu Bala kagum juga menyaksikan gerak Rara Inten yang cepat itu. Bukan saja sambaran cengkeraman itu amat berbahaya, tetapi dan setiap sambaran cengkeraman itu menyambar angin mujijat dan menyebarkan bau yang tidak enak. Bau tersebut dapat membuat orang muak dan pening. Maka Madu Balapun tidak berani sembrono menghadapinya.
Akan tetapi walaupun dua orang ini berkelahi cepat dan di atas geladag perahu pula. Injakan kaki mereka tidak menimbulkan goncangan apa-apa. Sehingga perahu yang penuh orang itu terapung di atas air seperti biasanya. Semua penumpang yang memenuhi pinggir geladag perahu itu, menonton pertempuran tersebut dengan hati yang tegang dan berdebar.
Untung juga bagi Madu Bala, bahwa dalam perahu ini khusus terdiri para murid Tuban, dan tiada tokoh lain. Hingga tak usah merasa khawatir kalau dikeroyok.
Kita tinggalkan dahulu Rara Inten dan Madu Bala yang sudah terlibat dalam pertempuran sengit ini. Sebab di laut ini telah pecah pertempuran yang nggegirisi antara kekuatan sekutu Rara Inten, melawan pasukan Angkatan Laut Mataram, pasukan Surabaya dan Gagak Rimang. Beberapa buah perahu saling tabrak. pecah kemudian tenggelam membuat para penumpangnya kelelap pula ke dalam laut. Hanya bagi mereka yang pandai berenang saja, mereka masih bisa melawan maut untuk mencari pertolongan kepada perahu lain. Yang tidak saling tabrak, mereka menggunakan geladag perahu untuk ajang tawur. Berdencingan suara senjata beradu, dan terdengar pula pekik nyaring dari mulut orang yang terluka maupun direnggut maut.
Kalau yang berada diatas geladag perahu bercanda dengan maut, maka pasukan penyelam yang bergerak didalam airpun terlibat dalam perkelahian yang lebih nggegirisi lagi. Sebab pasukan penyelam itu tidak menggunakan alat apa-apa. Mereka dapat menyelam dalam air cukup lama, bukan lain hanya sebagai hasil latihan mereka yang memerlukan waktu lama. Mereka menyelam sambil menahan napas. Maka bagaimanapun para penyelam itu takkan kuat bertahan dalam air tanpa bernapas dalam waktu yang amat lama. Mereka setiap kali membutuhkan waktu menyembul ke atas permukaan air, guna menyedot hawa yang mereka perlukan untuk mempertahankan hidup.
Maka dapat dibayangkan betapa kesulitan para penyelam ini, kalau sudah terlihat bertempur melawan musuh didalam air. Kecuali tidak dapat memandang dengan terang seperti di atas permukaan air, berhadapan pula dengan bahaya kehabisan napas.
Akan tetapi kegunaan pasukan penyelam ini amat besar. Sebab dapat menyerang tanpa diketahui lawan, tahu-tahu perahu sudah bocor oleh perbuatan para penyelam yang melubangi dinding perahu.
Sungguh nggegirisi apa yang terjadi di laut sebelah utara Tuban sekarang ini. Air laut berobah warnanya menjadi merah, digenangi oleh darah manusia. Mayat
manusia terapung di atas air, tetapi sebagian besar menjadi mangsa ikan-ikan buas yang memperoleh kesempatan berpesta pora daging manusia. Padahal rombongan perahu yang disergap oleh Rara Inten dan kawan kawannya ini, hanyalah rombongan palsu. Mereka takkan menemukan Ratu Wandansari maupun Pangeran Pekik. Sebab rombongan perahu yang sesungguhnya, bergerak di tengah, jauh dari jangkauan pandangan mata dari darat. Maka rombongan pengantin itu tanpa gangguan bergerak langsung menuju Surabaya.
Adapun Wongso Dipo, Kamilah, Wigati, Wiro Sukro, Menak Kunjono maupun Aras Pepet yang perahunya pecah, dalam waktu tak lama sudah memperoleh pertolongan sebuah perahu cukup besar. Dengan tergesa mereka melompat ke atas perahu tersebut dengan hati lapang, tanpa memperdulikan para awak perahu yang diancam oleh bahaya kelelap dan disongsong maut.
Akan tetapi ternyata rasa lega mereka itu segera berobah dengan rasa kaget, ketika mereka menyaksikan tiga orang kakek berdiri di atas geladag, dan salah seorang di antara kakek itu ketawa terkekeh-kekeh.
Wajah Wongso Dipo dan Kamilah berobah agak pucat ketika melihat Yoga Swara. Suami isteri ini belum lupa kepada peristiwa yang terjadi belasan tahun yang lalu. Mereka mengeroyok Yoga Swara, dan ternyata mereka tidak berdaya. Akan tetapi perasaan itu segera mereka tekan. Sekarang menghadapi Yoga Swara dan kawan-kawannya bukan seorang diri.
Apa yang harus dibuat takut?
Sungguh hebat siasat Madu Bala dan kawan-kawannya ini dalam usaha menggunakan perahu untuk menabrak perahu Wongso Dipo. sehingga perahu itu tenggelam. Begitu orang membutuhkan perahu, mereka membawa
perahu cukup besar dan menolong. Tidak tahunya bahwa mereka terjebak dalam perahu ini, agar tidak dapat mendekati rombongan perahu.
Adapun Menak Kunjono dan Aras Pepet, wajahnya menjadi merah padam saking marah. Pengalaman mereka dikalahkan tiga hari yang lalu, saat sekarang inilah kesempatan baik untuk menuntut balas. Lawan hanya terdiri dari tiga orang, sedang pihak mereka enam orang. Dengan demikian, mengeroyok duapun tiada halangan..
"Jahanam. Mampuslah!"
terdengar bentakan nyaring dari mulut Menak Kunjono.
Belum juga lenyap suara bentakannya. tubuh dua orang tokoh Belambangan itu sudah melesat maju, menerjang ke arah Yoga Swara.
Melihat kakak beradik seperguruan tersebut menyerang dan mengeroyok Yoga Swara, terdengarlah ketawa Hesti Wiro yang terkekeh dan mengejek,
"Heh-heh-heh, tiga hari yang lalu kamu diberi ampun. Apakah kamu sudah lupa? Atau kamu memang Ingin digebug babak belur lagi sampai mampus? Dan lupakah akan janji bertanding di Gunung Pandan?"
Menak Kunjono dan Aras Pepet tidak menanggapi ejekan kakek itu, dan terus menyerang dengan ganas. Mereka percaya, apa bila mengeroyok tentu akan dapat mengalahkan Yoga Swara.
Adapun kawan-kawannya agak kagum mendengar ucapan kakek jangkung yang belum dikenal itu.
Benarkah Menak Kunjono dan Aras Pepet telah dihajar oleh Yoga Swara ketika terjadi pengacauan yang dilakukan Sungsang malam itu?
Pantas mereka terlambat pulang. Ternyata terlibat dalam pertempuran dengan lawan.
Akan tetapi dalam keadaan sekarang mi, mereka menyadari, bahwa apa bila penyergapan ini sampai gagal, bakal mempunyai buntut panjang. Dalam pertempuran
melawan musuh tidak kenal aturan segala macam. Semua perbuatan dihalalkan untuk memperoleh kemenangan. Maka Wongso Dipo saling lirik dengan isterinya. Setelah saling mengangguk, suami isteri Semeru ini sudah mengikuti jejak Menak Kunjono dan Aras Pepet. Suami isteri ini sudah melompat maju menerjang Hesti Wiro.
Hesti Wiro menghindari terjangan suami isteri Semeru itu dengan terkekeh.
"Heh-heh-heh, Yoga Swara! Tanyakan dulu kepada dua tokoh Belambangan yang peng-pengen itu. Jadi atau tidakkah tantangannya tiga hari yang lalu. sesudah mereka engkau pukul sampai muntah darah? Bukankah mereka menantang tiga bulan lagi di puncak Gunung Pandan? Tetapi mengapa sekarang datang lagi? Apakah dia sudah membatalkan tantangannya yang tekebur itu?"
Mendengar ucapan Hesti Wiro ini, Wongso Dipo dan isterinya menghentikan terjangannya dan ragu. Sedang Wigati dan suaminya yang telah siap untuk menerjang dan mengeroyok Sindu, juga meragu!
Benarkah pada tiga hari yang lalu, antara Yoga Swara dengan dua orang tokoh Belambangan ini sudah terjadi bentrok, dan berakhir dengan kekalahan Menak Kunjono dan Aras Pepet?
Kalau benar mengapa orang yang sudah mengucapkan tantangan itu, menjilat sendiri ludahnya yang sudah dimuntahkan?
Ia tak setuju dengan sikap macam itu. Sebab Wongso Dipo mengagulkan diri sebagai tokoh pertama dari perguruan lurus bersih. Ia merasa malu kalau benar begitu kejadiannya.
"Saudara Kunjono dan saudara Pepet!"
teriak Wongso Dipo.
"Benarkah kata-kata orang int?"
"Mengapa tidak benar?"
sahut Hesti Wiro.
"Aras Pepet muntah darah. Dan Menak Kunjono meringis karena sambungan tulang pundaknya lepas."
Betapa marah dan malu Menak Kunjono maupun Aras Pepet mendengar itu. Maka sambil tetap berkelahi dengan Yoga Swara, ia berteriak dan menjawab,
"Jangan kaudengarkan kata busuk ini!"
Kalau Menak Kunjono bicara segarang ini, bukan lain adalah karena dia tidak melihat Madu Bala. Dalam pada itu saat sekarang ini mereka jumlahnya enam orang. Sedang lawan dalam perahu ini, hanya tiga orang saja.
Manakah mungkin bisa kalah kalau masing-masing mengeroyok dua?
Alasan inilah yang membuat Menak Kunjono berbesar hati.
Kalau bersama Aras Pepet hanya menghadapi Yoga Swara seorang, mana mungkin menderita kalah?
Mendengar jawaban Menak Kunjono itu, walaupun diam diam dapat menduga apa yang sudah terjadi., tokoh Semeru ini mempunyai pendapat pula, dengan enam orang melawan tiga orang tak mungkin sampai menderita kekalahan. Akan tetapi belum juga mereka bergerak, mendadak terdengar ejekan Hesti Wiro.
"Hehheh-heh, apakah kamu menggantungkan jumlah banyak untuk mengeroyok kami? Begitukah sikap dari kelompok perguruan yang selalu membanggakan beraliran lurus bersih? Apa lagi, heh-heh-heh, yang kaukeroyok adalah orang Gagak Rimang yang selalu kamu sebut iblis dan golongan sesat. Apakah kamu tidak malu ?"
Merah padam wajah Wongso Dipo, Kamilah. Wigati maupun Wiro Sukro mendengar ucapan Hesti Wiro itu. Bagaimanapun pula empat tokoh ini merasa ditampar mukanya. Sebab mereka selalu membanggakan sebagai orang -orang dari perguruan yang beraliran lurus bersih. Akan tetapi sekarang ini, mereka sedang berada di atas perahu, hanya disaksikan oleh sejumlah orang yang amat terbatas.
Mengapa harus
merasa malu?
Dalam pada itu sesuai dengan pendapat Rara Inten, bahwa berhadapan musuh dalam perang, tidak ada istilah curang dan gagah perwira. Yang penting berusaha menang. Segala cara dihalalkan guna mengalahkan lawan. Maka kesempatan sebaik ini harus dipergunakan secepatnya, dan tiga orang ini harus dapat mereka robohkan, sebelum bantuan datang.
Dan Kamilah, sebagai isteri Wongso Dipo yang merasa lebih sakti, dan merupakan seorang isteri yang selalu menjajah suaminya, tak sabar lagi. Katanya,
"Hai, Wigati dan Wiro Sukro. Sekarang ini tidak pada tempatnya kita mengadu kepandaian berputar lidah. Hayo kita membagi tugas. Robohkanlah kakek kurus itu, dan aku bersama kakakmu akan menghadapi kakek yang cerewet itu."
, Begitu selesai membentak, Kamilah sudah menghunus pedangnya dan menerjang maju. Melihat itu Wongso Dipo pun melompat dan menerjang Hesti Wiro pula, dan pada tangan kanannya sudah terpegang pula pedang yang mengkilap tajam.
Tidak mengherankan kalau suami isteri Semeru ini, begitu menerjang sudah menggunakan pedang. Mereka menduga bahwa kakek jangkung yang belum mereka kenal ini, adalah salah seorang tokoh Mataram yang berbahaya. Maka dalam menghadapinya tidak boleh tanggung-tanggung. Lebih-lebih bagi suami isteri Semeru ini. amat membanggakan kehebatan ilmu pedang perguruannya, yang bernama "Panca Sari", dan ingin pula dapat mengalahkan lawan dalam waktu Cepat, inilah sebabnya tanpa malu lagi, sudah menerjang dengan pedang.
Kaget juga Hesti Wiro diterjang dengan dua batang pedang yang gerakannya amat cepat itu. Sambaran pedangnya menerbitkan angin yang dingin, dan berkelebatnya pedang hampir tidak nampak. Akan tetapi dalam kagetnya ia tidak gugup. Ia mengebutkan sepasang tangannya sambil menghindaskan diri meloncat ke samping. Akan tetapi tokoh sakti pengawal rahasia Malaram ini menjadi kaget dan baru sadar, bahwa sekarang ini dirinya di atas geladag perahu. Tempatnya sempit, dalam pada itu sebagian tempatnya sudah dipergunakan Yoga Swara menghadapi keroyokan Menak Kunjono dan Aras Pepet. Maka apa bila dirinya bertahan dan melawan musuh ini dengan tangan kosong, dirinyalah yang'bakal menderita rugi.
"Trang-trang.....!"
terdengar benturan senjata berdencing nyaring.
Pedang suami isteri Semeru itu menyeleweng, dan terpaksa harus mundur satu langkah ke belakang. Ternyata entah bagaimana cara Hesti Wiro bergerak, tahu-tahu tangan kanan dan kiri Hesti Wiro sekarang sudah memegang sebatang tombak trisula yang pendek.
Hesti Wiro telah menggunakan sepasang senjatanya, dalam usaha membela diri menghadapi Wongso Dipo dan Kamilah. Tetapi sepasang senjata Hesti Wiro ini telah lebih delapan tahun tak pernah digunakan untuk bertempur. Selama delapan tahun belakangan ini, setiap ia menghadapi lawan, cukup menggunakan sepasang tangannya saja. Maka kalau sekarang Hesti wiro menggunakan senjata yang lama tak dipergunakan, membuktikan bahwa Hesti Wiro memang tak berani merendahkan suami isteri Semeru ini.
Begitu Hesti Wiro menggunakan sepasang senjata tombak trisula pendek, ibarat Hesti Wiro seekor harimau yang tumbuh tanduk. Sepasang senjata itu berkelebat cepat sekali, menyambar-nyambar kepada dua orang lawan yang mengeroyok.
Setelah Wongso Dipo dan Kamilah menerjang maju mengeroyok Hesti Wiro, yang belum bertempur tinggal Sindu seorang diri. Maka setelah Wigati dan suaminya saling pandang, dua orang ini sudah menerjang maju untuk mengeroyok Sindu. Akan tetapi Wigati maupun Wiro Sukro lebih dapat mempertahankan harga diri dibanding dengan Wongso Dipo dan Kamilah. Melihat bahwa Sindu tidak bersenjata, suami isteri ini merasa malu kalau harus menerjang dengan senjata. Maka suami Isteri ini mengandalkan keampuhan dua tangan dan kakinya.
Sindu mendengus dingin atas serangan suami isteri ini. Begitu dua pasang tangan memukul ke arah dirinya Sindu tak mau mengalah begitu saja. Ia sadar bahwa dua orang ini bukan tokoh sembarangan. Maka begitu bergerak ia sudah langsung menggunakan ilmunya yang baru, ilmu berkelahi tangan kosong yang bernama "Cleret Tahun".
"Aihh.... plakk.....!"
Wigati berseru kaget sambil melompat ke samping. Untung ia cukup hati hati dan cepat sekali menghindarkan diri. Lambat sedikit saja dalam satu gebrakan ia bisa celaka oleh gerak cepat Sindu yang tidak terduga sama sekali.
Tadi Wigati heran sekali ketika tiba-tiba lawannya sudah lenyap dari depannya. Semula ia mengira bahwa lawannya dapat menghilang. Untung sekali Wiro Sukro masih dapat menangkap berkelebatnya bayangan Sindu yang seperti kilat cepatnya melesat ke arah belakang punggung isterinya. Maka secepat kilat Wiro Sukro menolong, menangkis pukulan Sindu. Akan tetapi walaupun Wiro Sukro dapat menyelamatkan isterinya dengan tangkisan tangannya, tak urung Wiro Sukro harus menahan rasa sakit pada lengannya. Ia merasakan lengannya nyeri sekali di samping panas seperti dibakar api. Akibatnya untuk beberapa saat lengannya serasa lumpuh.
Sindu memang tidak tanggung-tanggung dalam menghadapi lawan-lawan ini. Ia sadar bahwa lawan dalam jumlah banyak, dan diburu oleh waktu. Makin cepat dapat mengalahkan lawan adalah lebih baik. Itulah sebabnya di samping Sindu menggunakan Ilmu Berkelahi Tangan Kosong "
Cleret Tahun", sekaligus Sindu sudah menyalurkan Aji "Dahana Muncar"
ke lengannya. Akan tetapi sekalipun Sindu menggunakan aji yang ampuh tersebut, Sindu sekarang bukanlah Sindu tiga tahun yang lalu. Sebagai seorang murid Ki Ageng Purwoto Sidik yang dilarang melakukan pembunuhan maka apa yang dilakukan sekarang ini hanyalah sekedar untuk mengalahkan lawan saja, tanpa bermaksud untuk membunuh.
Akan tetapi sebaliknya begitu berbenturan lengan Wiro Sukro merasakan panas dan seperti lumpuh, tokoh ini menjadi penasaran. Ia tak ingin menderita sakit yang kedua kalinya. Teriaknya kepada Wigati,
"Gati! Gunakan senjatamu!"
Begitu berteriak Wiro Sukro sudah menerjang maju dengan goloknya yang besar dan mengkilap tajam. Wigati tidak mau ketinggalan, dengan pedang terhunus sudah mengikuti jejak suaminya. Pecahlah perkelahian sengit sekali antara Sindu dengan dua orang pengeroyoknya. Tetapi Sindu tetap bertangan kosong. Tubuhnya berkelebat seperti kilat cepatnya menerobos ke sana sini, di sela sambaran golok dan pedang lawan. Hanya kadang kala saja Sindu terpaksa menggunakan sentilan-sentilan jarinya memunahkan serangan lawan.
Sambil menggunakan kecepatan bergerak dan kelincahan jari-jari tangannya menyentil, Sindu memutar otaknya, apa yang harus dilakukan guna mengatasi lawan ini tanpa membunuh?
Perkelahian yang terjadi antara Yoga Swara dengan Menak Kunjono dan Aras Pepet tidak kurang pula sengitnya, sekalipun mereka masih bertangan kosong. Soalnya adalah karena dua orang tokoh Belambangan ini ingin sekali menebus kekalahannya tiga hari yang lalu. Kalau perlu, tokoh Gagak Rimang ini harus mereka bunuh. Sayang sekali bahwa Yoga Swara bukan tokoh sembarangan. Dalam hal kesaktiannya, ia masih menang setingkat dibanding Madu Bala. Maka segala usaha Aras Pepet dan Menak Kunjono belum juga memperoleh hasil.
Para awak perahu itu, sekalipun terdiri dari prajurit prajurit'pilihan yang banyak mengalami perkelahian mati-matian dan pertempuran berat, diam-diam menjadi tegang menyaksikan tiga kelompok perkelahian tersebut. Sambaran angin pukulan demikian keras, sehingga mau tidak mau para prajurit itu harus menyingkir agak jauh. Lebih-lebih geladag perahu tersebut tidak begitu luas, dan sekarang perahu tersebut bergoyang-goyang tak keruan. Juru mudi menjadi kebingungan. Ia tak berani sembarangan menggerakkan perahu, khawatir kalau salah arah dan menimbulkan kerugian pada pihaknya sendiri.
Sementara itu, pada perahu yang lain, terjadi perkelahian yang mendebarkan pula. Sesuai dengan tugas yang dibebankan kepada pundaknya, maka Wanengboyo bersama Jalu Raga langsung menyerbu ke perahu perang yang bergerak paling depan. Yang sekarang semua perahu dalam rombongan itu menurunkan jangkar berhenti di tengah laut.
Baik Jalu Raga maupun Wanengboyo adalah orang Orang yang sudah luas pengalaman, maka mereka tidak
berani gegabah dalam bertindak. Dan mereka harus dapat merebut perahu perang yang mempunyai senjata tiga buah meriam ini, dalam Waktu singkat tanpa perkelahian yang berarti. Maka perahu yang ditumpanginya, dengan amat hati-hati ditempelkan ke perahu perang tersebut. Kemudian dengan menggunakan tali yang berkait pada ujungnya, dua orang ini dengan hati-hati sudah merembet naik ke geladag. _
Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara ketawa dari atas geladag. Dan betapa kaget dua orang ini sulit dibayangkan, ketika melihat -ke atas. Tampak dua orang sudah mengayunkan golok untuk memutuskan tali yang dipergunakan merambat, dan sementara itu di pinggir geladag perahu, tampak pula puluhan orang yang sudah siap siaga dengan busur yang terpentang, siap untuk melepaskan anak panah. '
"Crakk...... crakk......!"
terdengar dua kali suara bacokan dan tali yang mereka pergunakan merambat naik telah putus.
"Byur..... byur...!"
tubuh Jalu Raga dan Wanengboyo diterima oleh air laut.
Untuk sesaat mereka tenggelam, kemudian ketika menyembulkan kepala ke permukaan air mereka heran. Ternyata perahu yang tadi ditempelkan pada perahu perang telah lenyap entah ke mana. Pantas saja mereka tadi bukannya jatuh ke atas perahu, melainkan tercebur ke laut.
Hilangnya perahu yang tadi ditumpangi oleh Wanengboyo maupun Jalu Raga bukan karena perahu tadi terhanyut oleh gelombang laut. Itulah kepandaian pasukan penyelam Gagak Rimang. Begitu melihat dua orang meninggalkan perahu dan merambat ke atas perahu perang dua orang penyelam segera meloncat dari perahu. Seperti
katak saja mereka berenang mendekati perahu musuh Kemudian menggunakan tali berkait, mereka sudah dapat merembet naik ke perahu dengan aman, di saat Jalu Raga dan Wanengboyo tidak mengetahui. Dengan sigapnya, perahu tersebut segera dilarikan menjauhi perahu perang.
Baik Jalu Raga maupun Wanengboyo penasaran sekali dengan peristiwa ini. Untung mereka pandai pula berenang. Maka walaupun tercebur ke laut tidak segera tenggelam. Tetapi celakanya, pasukan pemanah yang sudah siap di pinggir geladag tidak mau memberi kesempatan. Baru saja kepala mereka menyembul ke atas air dan celingukan mencari perahu yang tiba tiba lenyap, puluhan anak panah sudah menyambar dari atas seperti hujan.
"Celaka!"
tak tercegah lagi mulut Jalu Raga mengeluh.
Kemudian mereka cepat-cepat menyelam dalam dalam, agar anak panah tersebut tidak mengenakan tubuh mereka. Untuk menghindari serangan anak panah tersebut, untuk beberapa saat lamanya. mereka terpaksa berenang sambil menyelam. Baru setelah diperhitungkan cukup jauh dengan bahaya, hampir berbareng mereka menyembulkan kepala sambil mulut megap megap hampir kehabisan napas. Akan tetapi bagaimanapun mereka merasa lega, lalu menghirup napus banyak-banyak guna menghilangkan sesak dada.
Di saat itu mereka melihat sebuah perahu kecil bergerak tak jauh dari tempat mereka berenang. Mereka tahu bahwa perahu tersebut adalah perahu milik lawan. Dalam marah dan penasarannya, Jalu Raga sudah menggerakkan senjatanya. Senjata rantai baja yang ujungnya diberi bola baja berduri, besarnya sama dengan kelapa ini segera menyambar ke arah dinding perahu.
"Brukk....!"
sekali hantam dinding perahu tersebut sudah pecah dan berlobang.
Para penumpang perahu tersebut kaget. Dalam marahnya. penumpang perahu tersebut menyerang ke arah Jalu Raga dan Wanengboyo.Akan tetapi serangan mereka sia-sia belaka, karena dua orang itu sudah menyelam di bawah air.
Untung sekali bahwa penumpang-penumpang perahu tersebut merupakan ahli-ahli renang. Begitu perahunya miring dan mau tenggelam, mereka segera berlompatan ke air lalu berenang mengungsi ke perahu lain.
Terjadinya peristiwa ini, sehingga mereka harus basah kuyup, membuat Wanengboyo dan Jain Raga amat penasaran. Mereka merasa malu apa bila tak berhasil menunaikan tugas merebut salah sebuah perahu perang itu. Maka dengan menggunakan kayu papan pecahan perahu yang baru saja ditenggelamkan Jalu Raga, dua orang itu sekarang berenang menuju ke arah perahu perang yang lain. Begitu dapat menempel ke dinding perahu perang tersebut, mereka mengulangi apa yang tadi sudah mereka lakukan. Ialah melontarkan tali yang pada ujungnya terdapat kaitan besi. Dengan tali berkait besi pada ujungnya ini, dua orang tersebut merembet naik dengan amat hati-hati.
Agaknya para penumpang perahu perang ini tidak waspada seperti perahu yang tadi mereka ganggu. Terbukti mereka tanpa gangguan dapat merembet naik. Kemudian hampir berbareng dua orang ini melompat ke atas geladag. Akan tetapi betapa heran dan kaget dua orang ini, setelah mereka berdiri di geladag. Ternyata kehadirannya di perahu ini. sudah diketahui oleh lawan pula. Hanya bedanya kalau perahu yang pertama tadi, mereka tidak diberi kesempatan naik sampai ke geladag. Sebaliknya pada perahu ini, tampaknya memang disengaja agar mereka dapat naik sampai geladag.
"Heh-heh-heh!"
suara ketawa terkekeh segera terdengar, begitu Jalu Raga dan Wanengboyo melompat ke geladag.
Orang yang tertawa ini mengenakan pakaian yang indah, bajunya disulam dengan benang emas dan perak, serta kepalanya mengenakan kuluk. Tubuhnya tinggi besar, kumisnya tebal, akan tetapi tidak memelihara jenggot. Dialah Tumenggung Suro Agul-agul. Seorang panglima perang yang namanya amat terkenal. Di samping Tumenggung Suro Agul-agul, berdirilah seorang laki-laki bertubuh gagah tetapi tidak begitu tinggi, hanya pakaiannya juga indah dengan baju bersulam benang emas serta perak. Dialah Adipati Uposonto.
Setelah puas terkekeh, Tumenggung Suro Agul-agul segera menyambut dua orang itu dengan kata-kata halus, tetapi penuh tantangan,
"Selamat datang dalam perahu kami, kisanak. Perkenalkan dahulu nama kalian, kemudian kemukakan pula apa maksud kalian naik ke perahu kami. Terangkan sejujurnya, dan jangan sembrono berhadapan dengan Suro Agul-agul dan Adipati Uposonto. Sebab apa bila ternyata kalian mempunyai maksud tidak baik, tangan kami masih akan sanggup untuk melemparkan kalian ke dasar laut."
"Ha-haha-ha!"
Jalu Raga ketawa bekakakan menyambut kata-kata orang tinggi besar itu.
"Jika kamu ingin tahu siapa aku, dengar baik-baik. Akulah yang dikenal orang bernama Jalu Raga...."
"Ahhh........!"
tak tercegah lagi Tumenggung Suro Agul-agul. Adipati Uposonto dan beberapa orang perwura perajurit Mataram berseru tertahan mendengar nama itu.
Nama Jalu Raga memang cukup dikenal orang. Semula mereka hanya kenal nama saja. Tak tahunya bahwa tokoh Rawa Lakbok yang terkenal ganas dan
kejam itu. tubuhnya kerdil dan rambutnya dibiarkan keriapan berserabutan di atas pundak.
"Ha-ha-ha-ha!"
Jalu Raga menjadi bangga mendengar orang-orang Mataram itu terkejut mendengar namanya. Maka sambil membusungkan dada. orang kerdil ini meneruskan kata-katanya,
"Nah, akulah orang yang bernama Jalu Raga. Sedang kawanku ini. juga bukan orang sembarangan. Dialah Wanengboyo."
Akan tetapi diucapkannya nama Wanengboyo ini, tidak mempengaruhi apa-apa terhadap orang-orang Mataram. Dan setelah Jalu Raga menyapukan pandang matanya kepada semua orang yang berdiri di geladag itu, meneruskan,
"Dan maksud kedatangan kami ini, hanya satu. Serahkan perahu ini secara damai kepada kami. Akan tetapi sebaliknya kalau kalian keras kepala, jangan sesalkan kami apa bila harus menggunakan kekerasan."
Ucapan yang sombong dan. tekebur ini, tentu saja membuat Tumenggung Suro Agul-agul maupun Adipati Uposouto merah padam wajahnya saking marah. Tiba tiba terdengar bentakan Adipati Uposonto,
"Keparat hina! Kami serahkan perahu ini, setelah engkau dapat melangkahi mayatku! Huhhuh!"
"Mari kita coba!"
sambut Wanengboyo yang segera maju, dengan dada membusung dan mata melotot.
"Bagus! Sambutlah pukulanku!"
dengan gemasnya Adipati Uposouto sudah menerjang maju.
Dua belah tangannya bergerak. Akan tetapi tangan itu bukannya membentuk kepalan maupun jari yang terbuka untuk mencengkeram, melainkan dengan jari telunjuk menuding, sedang jari yang lain ditekuk. Hingga gerakan Adipati Uposonto ini seperti orang yang sedang menuding nuding tak keruan arahnya, saking cepatnya tangan tersebut bergerak dan merobah arah.
Tetapi walaupun nampaknya gerakan tersebut hanya menuding nuding tak keruan, tidak boleh diremehkan. Jari-jari tangan yang tampaknya terdiri dari tulang dan kulit itu, dapat berobah semacam sepasang pisau belah yang tajam dan amat berbahaya. Maka walaupun agak merasa heran. Wanengboyo tidak berani sembrono dan memberikan perlawanan secara hati-hati.
Begitu Wanengboyo sudah berkelahi melawan Adipati Uposonto, maka Jalu Raga tak sabar lagi. Tangannya sudah gatal, kemudian berteriak,
"Suro! Sambutlah seranganku !"
Tubuh yang pendek kecil itu mendadak melesat ke depan dan langsung menyerang Tumenggung Suro Agul agul. Hebat juga gerakan Jalu Raga. Sekalipun tubuhnya kerdil, gerakannya cepat sekali. Dan karena tubuh Jalu Raga pendek kecil seperti bocah berusia tigabelas tahun maka perkelahian antara Tumenggung Suro Agul agul dengan Jalu Raga ini, memberikan pemandangan yang cukup lucu. Tumenggung Suro Agul-agul yang bertubuh tinggi besar ini sekarang seperti sedang menghadapi seorang anak kecil. Sebab tinggi Jalu Raga hanyalah sebatas pusar Tumenggung Suro Agul-agul.
Tetapi justru menghadapi seorang yang tubuhnya pendek kecil ini, sebenarnya malah membuat Tumenggung Suro Agul-agul mengeluh dan harus bersikap lebih hati hati. Sebab pusar merupakan bagian tubuh yang amat berbahaya, lebih-lebih bawah pusar. Padahal karena pendeknya tubuh, incaran terutama serangan Jalu Raga kepada dua bagian tubuh yang lemah dan berbahaya ini.
Masih untung walaupun tubuhnya tinggi besar, Tumenggung Suro Agul-agul merupakan panglima Mataram Yang pandai menggunakan dua belah kakinya untuk berkelahi. Karena itu kesukarannya untuk memukul lawan, banyak diwakili oleh gerakan kaki yang menendang atau menyepak. Akan tetapi bagaimanapun pandainya Tumenggung Suro Agul-agul menggunakan dua belah kakinya, tak urung mengeluh dan kerepotan juga, setelah perkelahian terjadi makin sengit. Sering sekali pukulan Tumenggung Suro Agul agul luput, begitu Jalu Raga merendahkan tubuh. Sesudah itu panglima Mataram ini harus cepat-cepat melompat ke belakang atau ke samping, guna menolong diri dari ancaman cengkeraman atau pukulan lawan ke arah bawah pusat atau pusatnya. Guna menolong diri tak ada jalan lain kecuali harus menggunakan senjatanya.
"Tar-tar-tar.....!"
tiba-tiba terdengar tiga kali ledakan cambuk di atas kepala Jalu Raga.
Ternyata panglima Mataram ini sudah menggunakan senjata cambuknya. Akan tetapi sebenarnya, Tumenggung Suro Agul agul lebih senang menggunakan senjatanya penggada berduri. Karena penggada itu di samping sesuai dengan bentuk tubuhnya, juga sekali pukul dapat meremukkan tubuh lawan. Akan tetapi menyadari bahwa lawannya sekarang ini bertubuh kecil dan pendek, maka untuk mengatasi lebih tepat menggunakan cambuk ini.
"Ha-ha-ha! Belum juga keluar peluh, kau sudah menggunakan senjata!"
ejek Jalu Raga dan tiba-tiba orang kerdil inipun sudah mencabut senjatanya.
"Ihhh.....!"
beberapa orang yang menyaksikan berseru tertahan, melihat senjata orang kerdil itu.
Senjata itu seutas rantai baja sebesar ibu jari kaki. dan pada ujungnya masih terdapat sebuah bola sebesar kelapa yang berduri. Jelas bahwa senjata macam itu berat. Tetapi ternyata tanpa kesulitan sedikitpun, Jalu Raga dapat menayunkan senjata itu ringan sekali, di samping gerakannya tidak terganggu.
Setelah mereka berkelahi menggunakan senjata, keadaannya jadi berubah. Dengan cambuknya itu Suro Agul agul dapat menyerang dengan garang. Namun sebaliknya Jalu Ragapun dengan senjata aneh itu, tiap kali mengancam keselamatan Suro Agul-agul.
Perkelahian yang terjadi antara Wanengboyo melawan Adipati Uposontopun amat sengit dan menegangkan. Angin yang kuat menyambar -nyambar sekitarnya. '
"Plak-plak..... buk-buk.....!"
Dua tangan berbenturan, disusul pukulan bersarang ke tubuh lawan, Adipati Uposonto dan Wanengboyo terhuyung mundur. Lalu saling mendelik dan napas masing masing mendengus-dengus. Pukulan yang saling dapat mengenakan dada tadi, sekalipun tidak menyebabkan' luka dalam, namun cukup membuat dada sesak.
Di saat dua orang tak bergerak dan saling mendelik ini. tiba tiba terdengar suara letusan yang mengejutkan dua kali.
"Dar-dar... aduhhh..... byur.....!"
Dua kali letusan itu dari laras bedil Tumenggung Suroyudo dan Tumenggung Wreksokartiko, yang sejak tadi sudah dipersiapkan. Adapun yang memekik kesakitan itu. bukan lain Wanengboyo, yang kemudian tercebur ke laut.
Oleh Tumenggung Suro Agul-agul, Adipati Uposonto maupun perwira yang lain, pagi-pagi memang sudah dipersiapkan rencana yang cukup bagus, guna mengalahkan lawan yang berani naik ke perahu perang ini. Mereka telah bersepakat untuk membiarkan musuh naik ke perahu ini. Setelah lawan berhasil naik ke geladag, disamping diselenggarakan perlawanan secara ksatriya artinya seorang lawan seorang juga digunakan siasat menembak dari belakang. Dipersiapkan bedil-bedil yang sudah diisi peluru dan mesiu. Penembak-penembak mahir dari tempat tersembunyi harus pandai menggunakan kesempatan, untuk memuntahkan pelurunya.
Kesempatan yang sudah lama ditunggu ternyata tiba juga. Ketika terhuyung mundur setelah saling pukul dengan Adipati Uposonto mundurnya Wanengboyo justeru ke tempat Tumenggung Suroyudo dan Tumenggung Wreksokartiko mengintai. Dua letusan terdengar hampir berbareng, disusul oleh pekik Wanengboyo yang lalu melompat ke luar perahu tercebur ke dalam laut. Entah apa yang akan dialami Wanengboyo, orang yang berada di atas geladag kurang tahu. Mereka tidak melihat Wanengboyo menyembul ke atas air. Maka semua orang menduga, tentu peluru bedil tadi mengenakan secara tepat, sehingga Wanengboyo direnggut maut. .
"Bangsat busuk!"
mendadak Jalu Raga berteriak nyaring sambil mencaci.
"Huh-huh, kamu semua tak tahu malu. Secara curang menggunakan senjata api untuk mengalahkan lawan. Huhhuh, kamu semua harus mampus dalam tanganku! "
"Hemm."
Tumenggung Suro Agul-agul mendengus dingin.
"Kami semua ini perajurit. Dalam setiap berhadapan dengan musuh, kami hanya satu saja tujuannya. Menang dan harus menang. Heh-heh-heh, maka sudah tepatlah kawanmu harus mampus oleh peluru bedil."
"Kamu manusia terkutuk dan biadab. Rasakan pembalasanku.... . dar-dar... auwww.. byurr.. ...! "
Lalu disusul suara sorak yang riuh dari atas geladag, dan puluhan kepala cepat menjenguk ke bawah.
Jalu Raga yang sedang menumpahkan perasaan dan kemendongkolan hatinya, berdiri tanpa bergerak sambil
mulutnya mencaci maki. Sama sekali Jalu Raga tidak sadar, justeru keadaannya seperti itu amat berbahaya. Berarti dia memberi kesempatan kepada penembak-penembak yang bersembunyi, untuk mengarahkan moncong bedil ke arah dirinya. Jalu Raga baru menyadari keadaan setelah terdengar dua kali letusan. Untung sekali bahwa Jalu Raga masih dapat bergerak sebat meloncat tinggi. Akan tetapi loncatannya terlalu jauh, keluar dari perahu, maka tokoh kerdil ini berteriak kaget. Akan tetapi bagaimanapun, nasib Jalu Raga masih lebih baik dibanding dengan Wanenghoyo. Sekalipun ia harus basah kuyup lagi, namun ia masih terhindar dari dua butir peluru bedil.
Kalau nasib Wanengboyo dan Jalu Raga tak beruntung, nasib Kirtaji, Prembun dan anak buahnyapun tidak beruntung pula. Pemimpin Gerombolan Kendeng ini dengan perahu berlayar tiga, langsung menyerbu ke arah perahu pengantin. Guna menghindari gangguan lawan, Kirtaji cukup cerdik. Kecuali menggunakan dua buah perahu kecil sebagai pengawal yang bergerak di kanan dan kiri perahunya, masih pula menggunakan pengawal yang bergerak di bawah perahu. Ialah penyelam penyelam mahir Gerombolan Kendeng, dan mengikuti gerak perahu tersebut sambil berpegangan pada dinding perahu.
Akan tetapi Kirtaji lupa bahwa pihak yang dihadapi sekarang ini, merupakan pihak yang lebih berpengalaman bertempur di laut, di samping pula lebih mahir dalam hal berenang maupun menyelam. Maka sekalipun Kirtaji cukup cerdik, masih kalah cerdik pula dengan lawan. Maka ketika perahu Kirtaji dan kawan -kawannya berusaha mendekati perahu pengantin, mendadak bermunculanlah perahu-perahu kecil yang segera mengurung perahu Kirtaji. Perahu-perahu yang banyak jumlahnya dan dapat bergerak cepat itu. sudah tentu menbuat gerak laju perahu Kirtaji terganggu.
Melihat itu Kirtaji marah. Ia mengambil sebatang busur dan serakup anak panah. Setiap perahu kecil yang berusaha menghadang di depannya, Kirtaji segera menarik tali busur dan membidikkan anak panahnya. Sungguh hebat juga kepandaian Kirtaji melepaskan anak panah. Setiap dua atau tiga batang anak panah lepas dari busur. segera disusul suara pekik ngeri, dan robohlah orang orang yang dipanah. Dalam beberapa saat saja, Kirtaji telah membunuh belasan orang lawan dengan anak panahnya. Hingga perahu kecil yang berisi empat atau lima orang itu, setelah tiada pendayung itu terapung-apung tak tentu arah. Begitu diterjang oleh moncong perahunya yang lebih besar, perahu tersebut dalam waktu singkat sudah tenggelam.
Melihat hasil yang ia peroleh itu, Kirtaji gembira sekali dan berbesar hati. Anak buahnya yang menyaksikan kemahiran sang pemimpin itupun gembira pula dan memuji-muji. Malah kemudian setiap jepretan busur, selalu diiring oleh tepuk tangan anak buahnya.
Akan tetapi di saat mereka bertepuk tangan dan gembira itu, tiba-tiba mereka terkejut mendengar suara ribut dan gaduh pada perahu pengawal yang bergerak di sebelah kanan.
"Tolong...."


Kisah Si Pedang Buntung Lanjutan Ratu Wandansari Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perahu bocor.....!"
"Aduh mati aku..... tolonggggg.....!"
Tentu saja Kirtaji kaget. Kemudian perintahnya,
"Kaitlah perahu itu. Tarik ke mari! Lekas !"
Petugas segera melemparkan tali berkait kepada perahu pengawal yang bocor mendadak itu. Akan tetapi
karena gupup. dan jaraknya begitu jauh, lemparan itu tak sampai. Kirtaji tak telaten. Ia sendiri kemudian yang mengambil tali tersebut, kemudian dilemparkan. Besi berkait berhasil nyantol pada tiang layar. Kemudian dengan pengerahan tenaga banyak orang perahu yang bocor itu ditarik. Tetapi sungguh di luar dugaan mereka, baru mereka berhasil mengait dan mendekatkan perahu pengawal yang bocor itu, terdengarlah suara ribut dan gaduh pada perahu pengawal di sebelah kiri. Ternyata perahu tersebut mengalami kebocoran yang sulit diatasi. Orang orang yang menumpang perahu geger dan berteriak.
Heran juga Kirtaji dan Prembun menyaksikan peristiwa ini berturut-turut. Kemudian Prembun segera melemparkan tali berkait ke perahu tersebut, untuk kemudian ditarik mendekat perahu besar. Setelah jaraknya menjadi dekat, penumpang pada perahu pengawal tersebut, segera berlompatan ke perahu yang ditumpangi Kirtaji. ,
Sebagai akibat bocornya perahu pengawal ini, maka gerakan Kirtaji tertunda. Kirtaji menjadi lega setelah semua anak buahnya selamat dan dapat berlompatan ke dalam perahunya. Walaupun muatannya sekarang terlalu penuh, tetapi hal ini masih untung dari pada ia harus kehilangan banyak anak buah yang mati tenggelam bersama perahunya.
Akan tetapi, rasa lega tersebut hanya sesaat saja bersarang di dalam dada Kirtaji maupun Prembun. Belum juga perahu berlayar tiga itu bergerak lagi, mendadak dari ruang bawah terdengar keributan, dan terdengar pula suara gemuruh air yang masuk ke dalam ruang bawah.
"Bocor. Perahu bocor... !"
"Lekas tambal. Hayo lekas kita perbaiki!"
"Kuras air yang masuk.....!"
Ributlah suara orang yang saling memberikan perintahnya guna mengatasi kebocoran pada perahu tersebut. Kirtaji dan Prembun melompat ke bawah dengan maksud ikut mengatasi keadaan. Akan tetapi celakanya dinding perahu yang mengalami kebocoran tersebut pada beberapa tempat, dan anehnya lobang itu cukup besar pula. Maka dapat dibayangkan sulitnya mengatasi kebocoran ini.
Melihat keadaan ini, Kirtaji maupun Prembun segera sadar, bahwa perahu mereka telah dilobangi oleh lawan dari bawah air. Dengan geram dan penasaran,Kirtaji segera memerintahkan pasukan penyelam untuk terjun ke dalam air dan menghancurkan pasukan penyelam lawan. Dan karena khawatir kalau mereka tak mampu melawan penyelam musuh, maka Kirtaji dan Prembun sendiri Ikut terjun pula ke air dengan senjata pedang terhunus.
Terjadilah kemudian perkelahian yang sengit sekali di bawah air. Prembun dan Kirtaji mengamuk hebat untuk menghancurkan dan mengusir pasukan penyelam musuh. Dan oleh amukan Kirtaji maupun Prembun. akhirnya pasukan penyelam musuh itu melarikan diri atau mati terbunuh oleh pedang mereka.
Gembira juga Kirtaji maupun Prembun dapat menghalau pasukan penyelam lawan yang merusakkan perahunya itu. Sama sekali tidak disadari oleh Kirtaji maupun Prembun, bahwa sebabnya pasukan penyelam Gagak Rimang maupun Surabaya itu melarikan diri, karena memang tugas mereka sudah selesai. Perahu lawan sudah berhasil mereka bocorkan dan sulit diselamatkan lagi.
Betapa pucat wajah Kirtaji maupun Premhun ketika menyembulkan kepala dari bawah air. Ternyata anak buahnya dalam perahu sudah geger. Perahunya sendiri
sudah hampir tenggelam, dan semua orang ribut dalam usahanya mencari selamat. Melihat itu baik Kirtaji maupun Prembun baru sadar, kalah cerdik dengan musuh, melakukan pertempuran di tengah laut. Sekarang melihat keadaan perahunya yang sudah hampir tenggelam itu, dua orang pemimpin Kendeng ini sadar, tiada tindakan yang lebih tepat kecuali berusaha menyelamatkan diri .
Sungguh nggegirisi pertempuran yang terjadi di laut sebelah utara Tuban ini. Korban manusia tidak terhitung jumlahnya lagi. Yang gembira dan berpesta pora adalah binatang binatang laut yang buas, antara lain ikan hiu. Tubuh manusia yang tak bernyawa itu segera dijadikan rebutan antara mereka. Diseret ke sana ke mari, dan akibatnya tubuh manusia itu sempal sempal tak keruan lagi ujudnya.
( Bersambung Jilid 19 )
Kisah Si Pedang Buntung
Lanjutan Ratu Wandansari
Karya : Widi Widayat
Jilid : 19 20 21 Tamat
Pelukis : Janes
Penerbit "GEMA"
Metrokusuman 761 Rt 17
SOLO Ijin Penerbitan
Ijin : No Pol /3/26 aa-54/0-73
Surakarta tanggal 17 januari 1973
Cetakan Pertama 1973
**** Buku koleksi ; Aditya Indra Jaya
Juru Potret : Awie Dermawan
Edit Teks dan Pdf : Saiful Bahri Situbondo
KOLEKTOR E-Book
*****
LALU bagaimanakah pertempuran seorang lawan seorang yang terjadi antara Madu Bala dan Rara Inten?
Perkelahian itu berlangsung amat sengit dan mendebarkan mereka yang menonton. Lebih lebih sekarang Rara Inten yang gemas dan penasaran kepada Madu Bala ini, sudah menggunakan senjatanya yang ampuh, cambuk hitam yang berkali-kali telah mengambil korban jiwa ratusan banyaknya. Cambuk hitam Rara Inten itu meledak-ledak memekakkan telinga dan sambaran anginnya amat dahsyat.
Di pihak lain, Madu Bala yang sudah amat lama sekali selalu berkelahi dengan tangan kosong itu, sekarang menggunakan pula senjatanya. Sebab Madu Bala sadar, tak mungkin dirinya menang melawan Rara Inten yang peng-pengan ini, mengandalkan tangan dan kakinya. Ia sudah memegang senjata tongkat pendek yang mengerikan. Sebab pada ujung tongkat tersebut dipasang baja berkait yang amat tajam, seperti pisau belati yang bentuknya melengkung. Dapat dibayangkan betapa menderita lawan yang dapat dilukai dengan belati yang melengkung tersebut, karena bagian tajamnya akan mengait, sehingga akan menderita luka yang dalam dan lebar.
Pertempuran menjadi seru sekali setelah mereka saling menggunakan senjata. Cambuk Rara Inten meledak ledak mengancam bagian tubuh Madu Bala yang lemah.
sebaliknya tongkat Madu Balapan menyambar-nyambar dahsyat siap pula untuk merobek-robek tubuh Rara Inten.
"Tak-tak-tak...... plak-plak..... !"
dan tubuh mereka yang semula bergerak cepat seperti tatit itu, tiba tiba berlompatan mundur.
Mata masing-masing tak berkedip saling pandang dengan mata yang menyala. Sedang senjata masing-masing tergenggam erat pada jari tangan kanan.
Tadi senjata mereka saling beradu. Kemudian disusul oleh pukulan tangan kiri. Namun masing masing dapat bergerak laksana kilat. Dua telapak tangan kiri beradu.
Diam-diam dalam hati Madu Bala dan Rara Inten kagum. Ternyatalah bahwa sekalipun perempuan dan masih berusia muda. Rara Inten memang seorang wanita gagah perkasa. Pantas saja kalau Madu Bala selalu diperingatkan oleh Pangeran Pekik, agar berhati-hati jika berhadapan dengan Rara inten. Buktinya walaupun dirinya sekarang telah jauh maju dibandingkan dengan dua tahun yang lain, dan sekalipun harus menggunakan senjata yang lama ia simpan, belum juga dapat mengatasi perempuan ini.
Sebaliknya Rara Inten menjadi penasaran. Tiga tahun yang lalu, ketika terjadi perkelahian seorang laWan seorang di Pondok Bligo, dirinya keluar sebagai pemenang, lalu menganggap bahwa dirinya seorang wanita sakti tanpa tanding, Buktinya, dahulu Jaka Pekikpun dapat ia kalahkan dalam pertandingan. Mengapa sekarang hanya menghadapi laki-laki tua yang jelek roman mukanya saja, dirinya kesulitan mengalahkan?
Ya, dasar Rara lnren seorang perempuan yang mempunyai watak tinggi hati dan ingin menang sendiri. Ia tidak sadar bahwa kemenangannya atas Jaka Pekik di Pondok Bligo tiga tahun yang lalu. bukan kemenangan
secara wajar. Ia memperoleh kemenangan karena Jaka Pekik memang mengalah. Jaka Pekik tak sampai hati mengalahkan Rara Inten. Maka sekarang tidak aneh kalau melawan Madu Bala dirinya kesulitan. Sebab Madu Bala luas pengalaman, hampir menguasai segala macam ilmu tata kelahi dari semua aliran. Luasnya pengetahuan ini, membuat Madu Bala bisa menduga ke mana arah serangan lawan. Sudah luas pengalaman, ditambah pula oleh gemblengan Pangeran Pekik dengan Ilmu Bajra Sayuta. Maka Madu Bala bisa dikatakan manusia baru.
Setelah mereka saling melotot beberapa saat lamanya, tiba-tiba terdengar lengking Rara Inten yang amat nyaring. Belum juga lenyap suara lengkingannya, tubuh Rara Inten sudah melesat ke depan dan cambuk hitamnya meledak. Rara Inten telah membuka serangannya lagi lebih dahsyat. Lalu terjadilah kembali perkelahian yang amat sengit. .
Ketika Madu Bala dan Rara Inten sedang berkelahi dengan sengitnya ini, mendadak perahu besar tersebut bergoyang goyang dan terjadilah keributan. Penumpang yang lebih banyak terdiri dari Wanita yang tak pandai berenang ini menjadi geger dan ribut. Mereka berteriak teriak, menjerit-jerit dan minta tolong. Sedang murid lakilaki Tuban bekerja keras berusaha untuk mengatasi kebocoran perahu yang tiba-tiba.
Akan tetapi walaupun perahu bergoyang-goyang, terjadi keributan dan para perempuan memekik mekik ketakutan minta tolong, perkelahian antara Madu Bala dan Rara Inten terus berlangsung, seperti tidak mendengar apa yang terjadi di sekitarnya. Masing-masing memperhatikan kepentingan diri, dalam usaha mengalahkan lawan.
Watak Rara Inten dan Madu Bala memang hampir
bersamaan. Bedanya Rara Inten perempuan, sedang Madu Bala laki-laki. Akan tetapi walaupun yang satu laki laki dan yang seorang perempuan, mempunyai watak yang hampir sama anehnya dan sama liarnya. yang selalu memikirkan kepentingan diri. Bagi Madu Bala sudah jelas tidak terpengaruh oleh keributan yang terjadi itu, karena dirinya tidak mempunyai kepentingan dengan para murid Tuban.
Akan tetapi mengapa Rara Inten lebih memberatkan perkelahiannya dengan Madu Bala, tak mau perduli kepada para murid wanita Tuban yang ketakutan dan berteriak-teriak itu?
Sulit dipercaya, tetapi kenyataannya memang demikian. Bagi Rara Inten, walaupun dahulu dirinya merupakan murid Tuban pula tetapi sekarang dirinya merasa bebas. Dirinya bukan pemimpin Perguruan Tuban lagi, maka baginya tidak mempunyai sangkut paut dengan para murid Tuhan itu. Perduli apa mereka mampus tenggelam di laut. Yang penting sekarang dirinya harus dapat mengalahkan Madu Bala. Rara Inten tidak perduli kepada permulaan terjunnya para murid Tuban dalam persekutuan ini, sekalipun dirinya pula yang mempengaruhi dan setengah menekan kepada Sarni maupun Kedasih. Disaat ini, ia hidup seorang diri. Tiada sangkut paut dengan manusia lain. Buktinya sekarang ia berkelahi melawan Madu Bala, tidak seorangpun berusaha membantu. Madu Bala yang mempunyai watak aneh pula, merasa penasaran tak juga lekas dapat mengalahkan Rara Inten, sekalipun dirinya sekarang sudah menggunakan tongkatnya. Ia tak perduli keadaan, tak perduli perahu bergoyang goyang keras, dan geladag perahu sudah hampir tergenang oleh air. Tongkatnya terus menyambar nyambar dahsyat dalam usaha merobohkan Rara Inten. Dalam ngeri dan ketakutannya. para murid Tuban
yang tidak pandai berenang ini, tanpa pikir lagi sudah ambyur kelaut. Tentu saja perbuatannya hanya makin mempercepat kematiannya, karena begitu ambyur tubuhnya sudah kelelep dalam air laut.
Saking ribut dan geger, beberapa orang murid Tuban yang tingkat kedudukannya lebih tua dengan Rara Inten, segera berteriak-teriak kepada Rara Inten, dengan maksud minta perhatian dan minta tolong. Akan tetapi Rara Inten tak perduli, dan terus berkelahi melawan Madu Bala.
Beberapa orang murid Tuban itu kemudian timbul keberaniannya untuk menyerbu ke gelanggang. Maksudnya memang baik, untuk menolong Rara Inten dan mengalahkan Madu Bala. Dengan pedang terhunus, mereka berteriak teriak menerjang ke depan menghujani serangan kepada Madu Bala. Tetapi serangan mereka itu hanya disambut oleh suara ketawa Madu Bala yang terkekeh. Tongkatnya menyambar. Disusul robohnya beberapa orang, dan ada pula yang terlempar ke laut. Tampaknya tongkat Madu Bala tidak menyentuh tubuh mereka, namun akibatnya sudah mengerikan. ,
"Mundur! Dengar, mundurlah kamu!"
Teriak Rara Inten sambil meledakkan cambuknya diatas kepala murid Tuban itu, supaya mau mundur.
Tetapi para murid Tuban yang kebingungan dan ketakutan ini mana mungkin mau mendengar perintah itu?
Tiba-tiba mereka malah marah. Sebabnya mereka di atas perahu ini adalah atas permintaan Rara Inten supaya membantu.
Tetapi mengapa sekarang dalam ancaman bahaya, Rara Inten tak mau menggubris?
Karena beranggapan bahwa peristiwa ini Rara Inten yang menyebabkannya, maka di antara mereka segera menyerbu dan mengeroyok Rara Inten.
sulit dibayangkan betapa marah dan penasaran gadis ini. Sudah perintahnya tidak digubris, sekarang saudara-saudara seperguruannya ini malah membalik dan mengeroyok dirinya. Dalam marah Rara Inten tak ingat apa-apa lagi. Bagi dirinya setiap orang yang berani melawan, berarti lawan. Maka walaupun murid-murid Tuban ini merupakan saudara-saudara seperguruan sendiri, harus dilenyapkan pula. Memperoleh keputusan demikian, mendadak Rara Inten terkekeh dan cambuknya meledak ledak di udara.
"Heh-heh-heh! Kamu semua ini manusia-manusia tak berguna. Payah dan mampuslah!"
Segera terdengar suara jerit mengerikan dari mulut para murid Tuban itu. Bukan saja jerit oleh sambaran cambuk Rara Inten, tetapi juga oleh sambaran tongkat Madu Bala yang tak mengenal ampun lagi. Keadaan sekarang jadi berobah dan nggegirisi. ,
Di atas perahu yang sudah hampir tenggelam itu, terjadi penjagalan manusia besar-besaran. Pertempuran antara Madu Bala dan Rara Inten terhenti, dan sekarang yang terjadi adalah pengeroyokan para murid Tuban itu kepada Rara Inten maupun Madu Bala.
Murid-murid Tuban itu juga bukan gadis-gadis dan jejaka-jejaka sembarangan. Mereka kemudian mengatur diri dengan bentuk kipas (setengah lingkaran) .Dengan perlawanan macam ini, mereka dapat melakukan perlawanan cukup baik. Pedang mereka bergantian menyambar ke depan, menangkis sambaran senjata Rara Inten maupun Madu Bala, kemudian secara teratur pula membalas menyerang. Dalam mengurung dan mengeroyok Rara Inten maupun Madu Bala ini, mereka menjadi lupa bahwa perahu sudah hampir tenggelam. Geladag perahu sudah hampir menyentuh permukaan laut sehingga
percikan gelombang membasahi geladag maupun pakaian mereka yang berdiri di geladag.
Tetapi justeru keadaan perahu yang sudah hampir tenggelam ini, membuat Rara Inten makin bertambah marah. Cambuknya menyambar nyambar untuk membuat korban baru di antara saudara seperguruan sendiri.Sedang Madu Bala dengan ganasnya pula menyambarkan tongkatnya yang berkait tajam. Beberapa orang di antara yang menjadi korban cambuk Rara Inten maupun tongkat Madu Bala, terlempar masuk ke laut maupun menggeletak di geladag perahu dengan nyawa putus dan tubuh mandi darah.
Para murid Tuban ini laksana semut menyerbu api. Maju untuk mati.
Namun ternyata mereka tidak takut!
Mereka terus menyerbu dan menyerbu, tanpa perduli kaki mereka sudah basah air laut yang mulai menggenangi geladag perahu.
Biarlah mereka terus bertempur sekalipun perahu hampir tenggelam. Kita jenguk sekarang apa yang terjadi diatas perahu lain, perkelahian antara Yoga Swara melawan Menak Kunjono dan Aras Pepet, maupun yang lain. Perkelahian di atas perahu ini terjadi amat sengit sekali, karena masing-masing berusaha memperoleh kemenangan. Kalau semula yang bertempur menggunakan senjata hanya Hesti Wiro, Wongso Dipo, Kamilah, Wigati, dan Wiro Sukro, sekarang baik Yoga Swara maupun Menak Kunjono dan Aras Pepet sudah bersenjata pula. Mereka merasa tak telaten lagi harus bertempur dengan tangan kosong. Di antara sembilan orang itu yang tidak bersenjata, tinggal Sindu seorang diri. Memang bukan tidak mau. tetapi Sindu juga tidak memiliki
senjata setelah menjadi murid Ki Ageng Purwoto Sidik. Senjatanya yang berujud rantai baja, sudah lama ia buang dalam
sebuah jurang. bersama-sama dengan pedang Jati Sari yang patah'menjadi dua.
Sungguh hebat dan mendebarkan hati perkelahian di atas perahu tersebut. Enam orang mengeroyok tiga orang. Berkali-kali terdengar dencing senjata berbenturan, dan pijar api beterbangan.
Hesti Wiro yang melihat Sindu tetap berkelahi dengan tangan kosong menjadi heran. Sambil melawan Kamilah ..dan Wongso Dipo, ia berteriak,
"Hai Sindu! Gunakan senjatamu!"
Dengan halus Sindu menjawab,
"Kakang Hesti Wiro. jangan engkau khawatir Sudah sejak lama aku tidak memiliki senjata lagi."
' "Hai Sindu! Jangan kau tekebur!"
teriak Hesti Wiro yang khawatir.
"Ini bukan main-main."
Tetapi Sindu yang menjawab sejujurnya tidak menjadi tersinggung, dan tetap menjawab dengan halus,
"Kakang Hesti Wiro, bukan maksudku untuk sombong. Aku memang benar-benar tidak punya senjata lagi. Hai awas......."
Sindu memperingatkan Hesti Wiro. Agaknya Wongso Dipo dan Kamilah ingin memperoleh keuntungan, ketika Hesti Wiro bicara dengan Sindu, sehingga gerakannya sedikit lengah. Akan tetapi Sindu yang bermata awas, sekalipun sedang menghadapi sambaran pedang dan golok lawan, masih pula melihat dan memperingatkan Hesti Wiro.
"Trang-trang.....!"
tangkisan Hesti Wiro dua kali dengan sepasang senjatanya, berhasil menghalau dua batang pedang lawan.
Kemudian mereka kembali berkelahi sengit sekali.
"Cring-cring.....!"
dan Sindu dengan jari-jari tangannya, kembali menyentil golok Wiro sukro dan pedang Wigati yang menyambar.
Sambil berkelahi ini, diam-diam Sindu merasa kagum menyaksikan ketenangan dan kecepatan gerak Yoga Swara. Tokoh Gagak Rimang itu dapat melayani lawan dengan baik sekali, sekalipun sebenarnya di antara enam orang ini merekalah yang tingkatnya lebih tinggi. Dengan demikian, sesungguhnya Yoga Swaralah yang menghadapi lawan paling berat. Di antara tiga orang ini, yang paling ringan lawannya adalah Hesti Wiro. Karena tingkat Wongso Dipo dan Kamilah saja yang lebih rendah dari kawan -kawannya.
Menyaksikan itu diam-diam Sindu menjadi heran.
Mengapa bisa begitu?
Padahal ia sudah mendengar bahwa Wigati merupakan adik seperguruan Wongso Dipo.
Mengapa tingkatnya bisa lebih tinggi dari pada Wongso Dipo sendiri?
Tetapi sebenarnya hal ini tidak mengherankan. Kemajuan Wigati bukan lain adalah atas bimbingan dan gemblengan suaminya, Wiro Sukro. Maka tanpa disadari oleh Wigati sendiri, tingkatnya sudah melampaui Wongso Dipo maupun Kamilah sendiri.
Karena sudah mengeroyok dua belum juga berhasil mengalahkan Yoga Swara, maka Aras Pepet maupun Menak Kunjono jadi amat penasaran sekali. Ternyata tokoh Gagak Rimang ini cukup atos dan ulet. Tiba tiba hampir berbareng Menak Kunjono dan Aras Pepet sudah membentak keras sekali dengan menggunakan Aji Panggendaman. Akibatnya hebat. Sekalipun Yoga Swara seorang yang sudah memiliki ilmu tinggi tak urung terhuyung pula ke belakang. Karena bentakan dua orang yang bersama sama ini, pengaruhnya amat kuat sekali.
Di antara awak perahu dan anak buah Gagak Rimang yang menonton perkelahian itu sudah roboh terguling pingsan karena jantung mereka seperti ditusuk tusuk dengan jarum. Untung sekali bahwa sejak Sindu mendengar cerita Madu Bala maupun Yoga Swara, bahwa Aras Pepet maupun Menak Kunjono memiliki Aji Panggendaman, Sindu sudah siap siaga sejak tadi.
Begitu mendengar bentakan Menak Kunjono dan Aras Pepet yang menggeledek, Sindu segera ketawa terkekeh menyalurkan Aji Gelap Ngampar guna mengatasi pengaruh Aji Panggendaman lawan. Suara ketawa Sindu yang terkekeh itu semula hanya perlahan saja, akan tetapi makin lama makin keras dan melengking tajam.
Peristiwa yang tak pernah mereka duga ini, sungguh mengejutkan. Lebih-lebih Menak Kunjono maupun Aras Pepet. Bukan saja pengaruh Aji Panggendaman yang mereka salurkan lewat bentakan menjadi kalah pengaruh akan tetapi sekarang berbalik jantung mereka seperti dihimpit dengan jepitan besi dan sakit sekali.
Kembali terjadi perkelahian yang lebih sengit, setelah Menak Kunjono dan Aras Pepet gagal menggunakan Aji Panggendaman. Sedang Sindu sendiri, yang semenjak tadi lebih banyak membela diri, sekarang gerakannya berobah. Ia tidak akan membunuh lawan. Akan tetapi untuk mengalahkan lawan ini, tak mungkin terjadi kalau tidak mau melukai. Terpikir demikian, Sindu segera merobah sikap. Ketika golok Wiro Sukro dan pedang Wigati menyambar hampir berbareng, dibiarkannya dua senjata itu hampir menyentuh bajunya.
Kemudian tanpa terduga oleh lawan, dua tangannya bergerak, dan terjepitlah dua macam senjata itu oleh jari telunjuk dan jari tengah. Tangan kiri menjepit pedang Wigati, sedang tangan kanan menjepit golok Wiro Sukro. Jepitan jari tangan itu, seakan jepitan baja. Walaupun Wiro Sukro dan Wigati berusaha menarik sekuat kuatnya, Sindu tak bergeming dan dua macam senjata itu seakan sudah berakar ke dalam jari-jari tangan Sindu.
Saat inilah Sindu kemudan menyalurkan hawa panas dari Aji Dahana Murcar, ke arah Wiro Sukro. Akan tetapi kepada wigati, Sindu merasa tidak tega.
Suami isteri itu mengerahkan tenaga sekuatnya guna menarik kembali senjatanya. Tetapi tiba-tiba wiro Sukro menjadi kaget sekali ketika merasai semacam hawa yang sangat panas menerobos masuk lewat telapak tangannya seperti benang yang halus, terus menerobos lewat pundaknya. Wiro Sukro mengerahkan hawa saktiya guna melawan dan menolak hawa yang panas dari lawan tersebut. Akan tetapi sungguh celaka. Hawa saktinya tanpa daya, dan makin lama hawa yang amat panas itu seperti membakar tubuhnya. Keringatnya membasahi sekujur tubuhnya, dan dari dahinya keluar dan menetes peluh sebesar biji jagung.
Sesaat kemudian terdengar suara,
"Takk...... uahhh......"
Wigati meloncat mundur dengan wajah pucat ia berhasil mempertahankan pedangnya. akan tetapi pedangnya sudah patah di tengah tengah. Sedang Wiro Sukra terpaksa melepaskan goloknya, terhuyung mundur dan muntah darah segar, kemudian terguling roboh tak sadarkan diri.
Dapat dibayangkan betapa kaget Wigati melihat suaminya roboh tak berkutik iu. Jantungnya seperti ditusuk-tusuk, dan perempuan ini mengira bahwa suaminya telah mati. Maka sambil memekik nyaring campur isak,
Wigati sudah menerjang maju ke arah Sindu, menggunaan pedang buntung dibantu oleh tangan kirinya yang mencengkeram ke arah bawah pusar.
Kaget juga Sindu mendapat serangan sekeji itu. Dari kaget, kakek kurus ini menjadi marah. Ia sudah berlaku murah hati, tak tega melukai perempuan. Akan tetapi
ternyata perempuan ini malah membalas dengan serangan yang amat keji dan berbahaya. Tangan kiri menyentil pedang buntung yang menikam ke arah dadanya, sedang
tangan kanan secepat kilat telah mencengkeram pergelangan tangan kiri perempuan itu. Sebelum Wigati dapat berbuat sesuatu, kaki kirinya sudah melayang ke arah ulu hati.
"Bukk...... ouuuwww.......!"
mulut Wigati memekik nyaring dan tubuhnya terpental beberapa meter jauhnya, lalu roboh terguling tak berkutik lagi, pingsan.
Tendangan Sindu tadi memang sudah diperhitungkan, hanya membuat lawan pingsan. Dengan demikian, akan mencegah mereka maju lagi ikut berkelahi.
Akan tetapi bagaimanapun pula, diam diam Sindu menyesal, mengapa dirinya harus berbuat macam ini. Maksudnya ia hanya ingin mengalahkan tanpa menderita sesuatu, akan tetapi suami isteri ini terlalu keras kepala dan tak tahu kebaikan orang. Setelah mengamati sesaat
kepada dua orang lawannya yang roboh pingsan, ia memalingkan mukanya ke arah Hesti Wiro, Kakek ini kaget dan khawatir. Ternyata Hesti Wiro yang dikeroyok dua oleh Wongso Dipo dan isterinya itu terdesak hebat, sehingga kakek jangkung ini mundur mundur mendekati pinggir geladag. Melihat itu Sindhu khawatir. Ia melompat sambil berteriak,
"Kakang Hesti Wiro. berikan yang laki-laki padaku. Dan kau, hadapilah harimau betina Semeru itu."
Sambil melompat dan berteriak ini, tangannya mengebut. Angin yang dahsyat sekali menyambar ke arah Wongso Dipo. Tokoh Semeru ini kaget dan melompat mundur. Kesempatan ini tak disia-siakan oleh Sindu, memisahkan Wongso Dipo dari isterinya.
Sindu sengaja memilih Wongso Dipo, bukan lain kalau menghadapi perempuan dirinya takkan tega mencelakakannya. Walaupun Kamilah lebih peng-pengan dibanding Wongso Dipo, namun Sindu percaya bahwa Hesti Wiro akan sanggup mengatasi.
Hampir berbareng dengan melompatnya Sindu membantu Hesti Wiro ini. tiba-tiba terdengarlah suara terkekeh lantang dan melesatlah sesosok bayangan orang ke geladag. Begitu kakinya menginjak geladag, bayangan ini sudah menggerakkan tangannya untuk memukul Menak Kunjono sambil membentak,
"Keparat busuk kau! Tiga hari yang lalu aku masih berbuat murah padamu, dan memberi ampun. Ternyata engkau merupakan sekutu pemberontak. Huh, malam ini juga engkau harus kukirim ke dasar laut!"
Melihat munculnya Madu Bala, dapat dibayangkan betapa kaget dua orang tokoh Belambangan ini. Sejak tadi mereka mengeroyok dua kepada Yoga Swara, namun tak juga dapat mengatasi. Bukan saja mereka tak dapat mengatasi lawan, akan tetapi kawan kawan sekutunya juga tak lebih baik dari mereka. Wiro Sukro dan isterinya sekarang malah sudah roboh pingsan. Sedang Wongso Dipo dan isterinya sekarang harus menghadapi dua orang lawan berat. Jelas bahwa pihak mereka malam ini tak mungkin di atas angin.
Tiada keuntungan untuk meneruskan perkelahian ini, pikirnya.
Dan lebih baik menyelamatkan diri sebelum terlambat. Terpikir demikian, Menak Kunjono sudah membentak sambil mengerahkan Aji Panggendaman. Di
saat Madu Bata dan Yoga SWara kaget, Menak Kunjono sudah lari ke pinggir geladag sambil berteriak kepada Aras Pepet,
"Adi, lari!"
"Byar. byur....."
tanpa mempedulikan laut yang dalam dan berbahaya, dua orang tokoh Belambangan ini sudah ambyur ke laut dalam usaha menyelamatkan diri.
Madu Bala terkekeh-kekeh gembira sekali ketika melihat Menak Kunjono dan Aras Pepet timbul tenggelam dalam laut. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara,
"Uahhh....!"
dan Madu Bala muntah darah segar.
Tubuhnya limbung lalu jatuh terduduk di atas geladag. Menyaksikan itu Yoga Swara heran dan kaget. Ia cepat memburu, jari tangannya segera meraba punggung Madu Bala. Akan tetapi setelah tahu bahwa Madu Bala tak berbahaya dibiarkan orang jelek itu duduk mengatur pernapasan dan dirinya sendiri lalu berdiri sambil menonton perkelahian antara Hesti Wiro melawan Kamilah dan Sindu melawan Wongso Dipo.
Melihat bagaimana Sindu melawan Wongso Dipo hanya dengan tangan kosong. Yoga Swara kagum sekali. Ia tadi ketika melihat Sindu dapat mengalahkan Wigati dan Wiro Sukro tanpa menggunakan senjata, diam-diam merasa heran sekali.
Mengapa dalam waktu tidak begitu lama, Sindu sudah memperoleh kemajuan sedemikian pesat?
Dan sekarang ini melihat bagaimana caranya Sindu menghadapi Wongso Dipo, hatinya makin menjadi kagum dan heran. Sindu menghadapi tokoh pertama Perguruan Semeru itu seperti seekor kucing mempermainkan seekor tikus. Sindu tidak memberikan perlawanan sungguh sungguh. tetapi hanya membela diri atau meloncat ke samping menghindarkan sambaran pedang lawan tidak berusaha membalas serangan orang.
Pada mulanya Yoga Swara heran sekali, mengapa Sindu bersikap seperti itu. Akan tetapi setelah menggunakan kecerdikan otaknya, ia segera dapat menduga maksud Sindu yang sebenarnya. Agaknya Sindu tak ingin cepat-cepat mengalahkan lawan, melainkan memancing Wongso Dipo supaya mengerahkan kepandaian dan menguras Ilmu Pedang Semeru yang terkenal itu, untuk dipelajari.
Yoga Swarapun akhirnya berdiri dan mengamati gerak Wongso Dipo penuh perhatian. Ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Pantas bahwa ilmu pedang Perguruan Semeru begitu terkenal kecepatan dan keindahannya. Walaupun Yoga Swara sendiri merupakan seorang ahli pedang diam-diam ia memuji hebat dan indahnya ilmu pedang Perguruan Semeru.
Namun benarkah Sindu dalam menghadapi Wongso Dipo ini hanya ingin mempermainkan sambil mempelajari ilmu pedang lawan?
Benar, tetapi kurang tepat. Sindu memang sengaja memperhatikan dan mempelajari ilmu pedang tersebut, guna kepentingan muridnya kelak kemudian hari. Akan tetapi di samping ingin mempelajari ilmu pedang tersebut, ia mempunyai maksud tersembunyi yang patut dipuji. Ia tak mau merobohkan atau mengalahkan lawannya ini, sebelum Hesti Wiro dapat mengalahkan Kamilah. Sindu tak ingin Hesti _Wiro tersinggung perasaannya maupun merasa terhina, bahwa dalam berlomba mengalahkan lawan, kalah cepat dengan dirinya.
Biarlah kita tinggalkan dahulu perkelahian yang terjadi antara empat orang itu.
Yang perlu diperhatikan sekarang, mengapa tiba-tiba Madu Bala datang di perahu itu, lalu muntah darah setelah ketawa bekakakan?
Memang ada yang menyebabkan.
Seperti diketahui bahwa Madu Bala dengan Rara Inten berkelahi seorang lawan seorang di perahu lain. Perahu bocor dan hampir tenggelam, namun Madu Bala maupun Rara Inten
tetap berkelahi tanpa mau memperhatikan keadaan. Kemudian mereka dikeroyok oleh murid-murid Tuban yang merasa penasaran, ditipu oleh Rara Inten.
Akibat pengeroyokan para murid Tuban itu, pertempuran antara mereka terhenti, dan terpaksa harus mengurusi murid Tuban itu lebh dahulu. Para murid Tuban menggunakan siasat mengeroyok dengan bentuk kipas. Namun berhadapan dengan Rara Inten dan Madu Bala ini, mereka tidak dapat berbuat banyak. Akibatnya para murid Tuban itu seorang demi seorang roboh tewas atau terluka berat. Untung sebelum murid Tuban itu semuanya roboh menjadi korban tangan maut dua orang tokoh aneh itu, air sudah mulai menggenangi geladag. Para murid Tuban itu menjadi kaget dan ribut sendiri, lalu membubarkan diri dalam usaha mereka menyelamatkan diri dari mati kelelap.
Akan tetapi Rara Inten maupun Madu Bala tak perduli keadaan itu. Setelah murid-murid Tuban pergi mereka kembali berkelahi. Air sebatas mata kaki menggenangi geladag perahu. Namun mereka terus mengerahkan kepandaian dalam usaha mengalahkan lawan.
Dari sedikit perahu itu turun ke dalam air, dan kaki mereka yang terendam air makin tinggi. Akan tetapi baik Rara Inten maupun Madu Bala seperti orang yang sudah kalap dan tidak ingat keadaan. Mereka terus berkelahi dengan serunya. Berloncatan ke sana ke mari sehingga air muncrat membasahi pakaiannya.
Tetapi setelah air pada geladag makin dalam mereka
tak lagi dapat berkelahi seperti tadi. Gerakan mereka jadi terganggu, dan geladagpun menjadi licin. Sekalipun demikian mereka tidak kekurangan akal. Kemudian mereka melompat ke atas tiang layar. Lalu dua orang sakti yang aneh ini meneruskan berkelahinya sambil bergantungan pada tiang layar.
Kalau saja saat sekarang ini bukan malam hari, dan apa yang terjadi di laut ini tidak begitu menggiriskan, pertempuran antara Madu Bala dan Rara Inten yang saling berlompatan antara satu tiang ke tiang yang lain, merupakan tontonan yang amat menarik, mengagumkan' tetapi juga mendebarkan. Sebab dengan bertempur seperti ini, apa bila sedikit saja lambat gerakannya, tentu akan tercebur ke laut.
Cambuk Rara Inten terus meledak-ledak, sedang tongkat Madu Bala terus menyambar-nyambar menerbitkan angin yang amat dahsyat. Perahu makin tenggelam, dan mereka makin ke atas bergantungan pada tiang layar.
"Plak.....!"
sambaran cambuk hitam Rara Inten diterima oleh tongkat Madu Bala.
Ujung cambuk melibat tongkat dan antara dua orang tersebut saling tarik. Masing-masing tak mau mengalah, dan masing-masing berusaha memperoleh kemenangan.
Akan tetapi siapa bilang kalau "Wanita itu 'makhluk lemah"?
Buktinya walaupun Rara Inten seorang perempuan, dirinya sanggup melawan Madu Bala dan sekarang malah beradu tenaga saling membetot. Hanya sayang bahwa mereka ini lupa, sedang bergantungan pada tiang layar perahu. Tentu saja bergantungan pada tiang layar, tidak sekuat kalau mereka berdiri di atas bumi. Sebagai akibat saling betot dan dalam pada itu perahupun makin dalam tenggelam, maka tiang layar itu tak kuat bertahan.
"Krak..... krak......!"
dua buah tiang yang masing masing dipergunakan bertahan patah dan roboh.
Namun anehnya dua orang ini belum juga mau mengalah salah seorang. Masing-masing melompat dari tiang yang patah. Menyusul terdengar,
"Bukk.... bukk....! Byur..... byurrr.... !"
Mereka sudah saling hantam dengan tangan kiri. Kemudian tubuh masing-masing sudah terlempar ke laut. Ketika Madu Bala menyembulkan kepala di atas permukaan air ia tidak melihat lagi Rara Inten. Karena itu walaupun hatinya belum puas dan masih penasaran, terpaksa harus mau menerima keadaan. Dengan berusaha menahan sesak dada dan menekan darah dalam tubuhnya yang bergolak, Madu Bala berenang mencari perahu kawan. Untung sekali taklama kemudian dia tertolong oleh perahu kawan sendiri. Setelah ia berdiri di atas geladag perahu dengan pakaian basah kuyup ia mengerutkan alis ketika mendengar sambaran angin dahsyat dan dencingan senjata beradu, dari atas perahu milik pasukan Surabaya. Sadarlah Madu Bala bahwa di atas perahu tersebut tentu sedang terjadi perkelahian hebat. Maka diperintahkan juru mudi mendekati perahu itu.
Demikianlah. Madu Bala berhasil melompat ke atas perahu. Madu Bala lupa bahwa darah dalam tubuhnya yang bergolak sebagai akibat pukulan Rara Inten yang mengenai dadanya. Ia ketawa bekakakan ketika melihat Menak Kunjono dan Aras Pepet melarikan diri. Sebagai akibat kesembronoannya sendiri, maka darah yang semula dapat ditekan itu kemudian naik ke atas, dan ia muntah darah segar.
Madu Bala duduk bersila diatas geladag sambil mengatur pernapasan, menghentikan pergolakan darahnya.
Sedang Yoga Swara berdiri tanpa bergerak sepasang matanya mengamati Sindu yang melawan Wongso Dipo penuh rasa kagum.
Tiba-tiba terdengar pekik nyaring Kamilah,
"Aduhhh... .., mati aku.....!"
Ternyata perempuan itu sudah terhuyung huyung ke belakang. wajahnya pucat dan mulut meringis menahan sakit. Pedang perempuan itu telah lepas jatuh di atas geladak perahu, bersama potongan lengan sebatas siku. Darah merah mengucur deras dari pangkal lengan dan membasahi pakaiannya. Perempuan itu kemudian menjatuhkan diri duduk di atas geladak tanpa perduli apaapa lagi, segera menyibukkan diri untuk menghentikan darah yang keluar, dan berusaha mengobati dan membalut dengan robekan bajunya.
Untung sekali bahwa Hesti Wiro memang tidak berniat membunuh Kamilah. Setelah tombak trisula yang terpegang tangan kanan berhasil mematahkan lengan Kamilah, tokoh pengawal Mataram itu segera berdiri tegak tidak menyerang lagi. Hingga walaupun Kamilah harus menjadi orang cacad kehilangan separuh lengan tangannya, namun perempuan itu masih bisa hidup.
Akan tetapi terjadinya peristiwa itu amat mengejutkan Wongso Dipo, di samping menjadi amat marah. Mendadak Wongso Dipo melengking nyaring sambil melancarkan serangan berantai ke arah Sindu menggunakan ilmu pedang simpanan. Sindu sendiri justeru di dalam melawan Wongso Dipo ini, lebih banyak mempelajari ilmu pedang lawan dari pada bertempur. Maka begitu diserang lawan, ia segera' menghindarkan diri sambil berlompatan mundur. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Wongso Dipo. Ia melompat sambil meneruskan gerak serangannya ke arah Hesti Wiro.
"Trang trang !"
terjadi dua kali benturan pedang dengan tombak Trisula.
Akibatnya dua orang itu masing masing terhuyung mundur. Akan tetapi secepat kilat pula Wongso Dipo sudah menerjang lagi dengan pedangnya. Terjadilah kemudian perkelahian yang sengit antara Hesti Wiro dan Wongso Dipo.
Sindu dan Yoga Swara berdiri sambil mengamati. Diam-diam dua orang ini merasa kagum juga akan kegagahan pemimpin Perguruan Semeru ini. Walaupun sekarang tinggal dirinya sendiri yang masih bisa melawan, Wongso Dipo tidak mau mundur dan terus mengadakan perlawanan sekuat tenaga. Dalam penasaran dan marahnya melihat isterinya menderita patah lengannya, Wongso Dipo sampai tidak menyadari keadaan dirinya.
Tidak sadar, kalau isterinya saja tak mampu melawan, manakah mungkin dirinya yang ilmu kesaktiannya masih di bawah isterinya, dapat menang melawan Hesti Wiro?
"Trang-trang-tring-cring...,.!"
beberapa kali terjadi benturan senjata yang berturut-turut, dan oleh kerasnya benturan, pijar api beterbangan sekitar mereka,
Semula Hesti Wiro memang agak merasa enggan untuk melayani Wongso Dipo ini. Ia bermaksud mengembalikan lawan ini, agar dilayani oleh Sindo, dan dirinya ingin menonton saja. Tetapi oleh sedikit kelambatan geraknya, lengan baju Hesti Wiro bersuara "bret", telah terobek memanjang oleh ketajaman pedang Wongso Dipo. Hal ini memancing kemarahan Hesti Wiro. Sambil menggeram marah, sepasang tombak trisulanya
segera menyambar-nyambar bergantian, menghujani serangan berbahaya terhadap lawan. Perobahan gaya serangan Hesti Wiro ini, tentu saja membuat Wongso Dipo kaget. Dengan kecepatan geraknya berkali-kali ia bisa menghindar sambil membalas dengan pedangnya. Membuat benturan pedang dengan trisula semakin menjadi sering.
Mendadak terdengar seruan Hesti Wiro yang nyaring:
"Lepas ! Trang .. aduhh ..!"
Pukulan trisula pada tangan kiri secara tepat berhasil mementalkan pedang Wongso Dipo dan lepas dari tangan. Tanpa memberi ampun lagi tombak trisula di tangan kanan sudah menyambar seperti kilat cepatnya ke bawah. Disusul dengan teriakan Wongso Dipo yang nyaring, lalu roboh terguling ke geladak dengan wajah pucat.
Yoga Swara dan Sindu kaget menyaksikan akibat sambaran tombak trisula Hesti Wiro. Sesungguhnya mereka tadi ingin mencegah, tetapi sudah terlambat. Kaki kiri Wongso Dipo sekarang sudah patah di bawah lutut, oleh sambaran tombak trisula Hesti Wiro. Sungguh kasihan suami isteri tokoh Semeru ini, bahwa malam ini harus mengalami nasib sial di tangan Hesti Wiro. Dua duanya harus kalah berkelahi, di samping pula harus menderita cacad. Yang seorang kaki kirinya buntung, sedang yang seorang lengannya buntung. Dengan demikian, sekarang mereka menjadi suami isteri cacad buntung.
Di saat Wongso Dipo duduk sambil berusaha menghentikan keluarnya darah dan membalut kakinya itu, Madu Bala sudah bangkit dari duduknya. Tokoh Gagak Rimang itu sekarang wajahnya sudah kembali menjadi segar seperti semula. Begitu bangkit dan melihat keadaan suami isteri Semeru itu,, Madu Bala sudah ketawa bergelak-gelak.
Agaknya ia menjadi senang sekali, bahwa suami isteri itu sekarang harus menderita cacad buntung.
"Ha-ha-ha ha! Siapakah yang sudah membuat mereka buntung ?"
"Aku!"
sahut Hesti Wiro cepat.
"Bagus! Ha-ha-ha, bagus. Merupakan upah yang amat pantas bagi suami isteri yang tinggi hati, sombong dan tak pandai membalas budi orang. Heh-heh-heh, dahulu dengan tangan kanannya, Kamilah pernah mengancam dan memaksa kepada Paduka Raja Pekik dan anak Pangastuti waktu maSih kecil, agar minum tuak beracun. Nah, sekarang tangan yang kotor itu, sudah memperoleh hukuman yang setimpal."
Madu Bala berhenti sejenak. Lalu terusnya,
"Dan untuk Wongso Dipo, hukumannya juga tepat sekali. Dahulu, Paduka Raja Pekik ketika masih kecil, telah menolong menyelamatkan selir Wongso Dipo, dari racun jahat yang direncanakan oleh Kamilah. Namun bukannya terima kasih yang diberikan kepada penolongnya .malah, mengandalkan kesaktiannya, telah mengejar penolongnya. Kemudian Wongso Dipo menggunakan kakinya untuk menendang Paduka Raja Pekik. Untung ketika itu muncul saudara Yoga Swara yang menolong. Kalau tidak, oleh tendangannya tentu membuat Paduka Raja Pekik mati terbentur batu. Heh-heh-heh, ketika itu kaki Wongso Dipo yang bersalah. Maka hukuman potong kaki juga merupakan hukuman yang paling tepat !"
Apa yang diucapkan oleh Madu Bala ini, bukanlah isapan jempol, tetapi terjadi benar-benar. Dan peristiwa tersebut, dituturkan di dalam cerita "JAKA PEKIK".
Yoga Swara yang ketika itu menyaksikan keganasan Wongso Dipo dan isterinya terhadap Jaka Pekik dan puteri tunggalnya Pangastuti, menghela napas panjang. Bagaimanapun pula, sekalipun watak Wongso Dipo dan Kamilah memang tidak terpuji, ia merasa terharu dan tidak tega, melihat suami isteri tersebut akhirnya harus menderita cacad buntung seperti itu.
Sebaliknya para perajurit Mataram maupun sementara anggauta pasukan Gagak Rimang maupun pasukan Surabaya, menjadi gempar dan beriSik. Sementara ada yang mencaci maki perlahan, bersyukur bahwa suami isteri itu harus menjadi orang buntung, tetapi ada pula yang merasa kasihan.
Dengan robohnya suami isteri tersebut, maka selesailah pertempuran di atas perahu ini, dengan kemenangan mutlak pihak Mataram. Tetapi mereka tak berani memutuskan apa-apa. Maka Wongso Dipo, Kamilah, Wigati dan Wiro Sukro dijadikan sebagai tawanan, dan keputusan nanti diserahkan kepada Ratu Wandansari.
Setelah orang-orang menebarkan pandang matanya ke sekeliling perahu itu, ternyatalah bahwa semua pertempuran di laut ini sudah terhenti. Pertempuran sengit yang terjadi di perahu ini, merupakan pertempuran yang terpanjang. Sebab pada perahu yang lain sudah sejak tadi tidak terjadi lagi pertempuran. Perahu pasukan penghadang sudah lari menyelamatkan diri, tetapi sebagian besar dapat ditenggelamkan, dan ratusan orang yang masih hidup menjadi tawanan.
Madu Bala yang bertindak sebagai pemimpin dari pasukan gabungan antara Mataram, Gagak Rimang dan Surabaya, segera memberi perintah agar semua perahu berlabuh. Perintah itu segera pula diturut secara patuh. Mereka kemudian berlabuh dan mendarat. Akan tetapi begitu tiba di darat, Ki Juru Kiting segera berkata kepada Madu Bala,
"Saudara Madu Bala, sesuai dengan perintah Gusti Kangjeng Ratu Wandansari, kami selekasnya harus menyusul rombongan beliau ke Surabaya. Beliau menghendaki laporan kami secepatnya. Lalu bagaimana kalau saudara menahan kami di sini?"
Madu Bala tertawa. Sahutnya,
"Saudara Juru Kiting, apakah engkau lupa bahwa sekarang ini sudah hampir fajar? Menurut pendapatku dari pada kalian meneruskan perjalanan ke Surabaya sekarang, toh lebih tepat menunggu datangnya pagi. Dengan mendarat, berarti saudara memberi kesempatan kepada anggauta pasukan untuk dapat mengaso dengan tenang. Bukankah itu lebih menyenangkan ? "
Ki Juru Kiting tertawa mendengar alasan yang tepat itu, di samping menjadi lega. Para tumenggung dan adipati berkumpul sambil bicara untuk menunggu datangnya pagi, sedang para prajurit yang merasa payah dan mengantuk, tanpa perduli lagi sudah menggelosor di atas pasir, rumput maupun tanah, dalam waktu singkat sudah tidur dan mendengkur.
Kalau orang lain menjadi lega setelah berhasil menghancurkan musuh, sebaliknya Sindu menjadi gelisah. Sebab sesudah selesainya tugas ini, teringatlah ia akan muridnya yang hilang dan belum diketahui rimbanya. Teringat akan Titiek Sariningsih, maka Sindu menyentuh Hesti Wiro diajak menyingkir. Hesti Wiro mengikuti kepergian Sindu dengan bertanya-tanya.
"Adi Sindu! Apakah maksudmu mengajak aku ke tempat ini?"
tanya Hesti Wiro setelah mereka duduk di batu agak jauh letaknya dengan orang.
Sahut Sindu,
"Kakang Hesti Wiro, bukankah engkau mendengar pula persoalanku yang pernah aku laporkan kepada Gusti Kangjeng Ratu Wandansari?"
"Ya. Tentang muridmu yang hilang itu?"
Sindu mengangguk.
"Gusti Wandansari memberi ijin padaku, setelah tugas menghadapi persekutuan jahat itu selesai. Padahal sekarang semuanya sudah beres, kakang, maka sekarang juga aku minta diri untuk pergi."
"Ahhh. mau kemana engkau?"
Hesti Wiro kaget.
"Entahlah. Aku akan menurutkan langkah kakiku, guna mencari Titiek Sariningsih, muridku. Dan aku tak tahu pula, dapat bertemu dengan muridku itu atau tidak."
'Adi Sindu, mengingat bahwa usaha pencarianmu itu akan sulit. apakah tidak sebaiknya engkau sementara bersama kami? Kemudian mohon bantuan Gusti Kangjeng Ratu Wandansari dan Pangeran Kajoran maupun Ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan Agung? Dengan bantuan para bupati dan adipati yang telah tunduk kepada Mataram, usaha pencarianmu akan lebih gampang."
Sindu terkekeh.
"Heh-heh-heh. tidak perlu. Sekalipun lambat, aku percaya bahwa Tuhan akan mengulurkan tangan, menolong kesulitanku."
Akhirnya Hesti Wiro menghela napas panjang. Sulit untuk menahan Sindu lebih lama, dengan tekadnya macam itu. Akan tetapi tiba-tiba Hesti Wiro teringat akan kepergian Sawungrana dan Reksogati ketika itu, yang berusaha mencari jejak Sindu. Tanya kakek ini,
"Adi Sindu, apakah selama ini engkau belum pernah bersua dengan dua orang kakak seperguruanmu itu?"
Mendengar pertanyaan itu, tiba tiba saja Sindu menjadi sedih. Teringatlah perseliSihannya dengan dua orang kakak seperguruannya itu. Kalau kepada orang lain Sindu selalu berusaha menutupi peristiwa itu, kepada Hesti Wiro tidak dapat membohong lagi. Sindu kemudian menceritakan peristiwa yang sudah terjadi.
Mendengar cerita Sindu tersebut, Hesti Wiro menghela napas berulang-ulang dan wajahnya menunjukkan rasa sedih dan menyesal. Kepada Sindu, Hesti Wiro menyatakan penyesalannya, mengapa sampai terjadi perselisihan macam itu. Maka Hesti Wiropun menyanggupkan diri untuk membantu, menyadarkan Reksogati dan Sawungrana itu.
Demikianlah. akhirnya menjelang pagi Sindu pergi, setelah minta diri kepada Yoga Swara, Madu Bala dan para pimpinan yang lain. Mereka pada umumnya ingin mempertahankan Sindu. Lebih-lebih Yoga Swara yang diam-diam sudah tahu tentang keadaan Sindu sekarang ini. Namun usaha mereka itu tak berguna. Sindu sudah tetap pada tekad dan pendiriannya.
Begitu melangkahkan kaki di alam bebas, dada Sindu terasa lebih lapang lagi.
Bukankah sejak sekarang ini, setelah seijin Ratu Wandansari, dirinya tidak perlu merasa khawatir lagi?
Dirinya sekarang benar-benar merupakan orang bebas. Tidak terikat oleh sesuatu tugas apapun. Tugas yang masih dipikulnya sekarang, harus mencari muridnya itu sampai ketemu.
Setelah melewati perbukitan dan hutan belantara di selatan Tuban, tibalah kemudian pada tempat, di mana tumbuh puluhan pohon beringin tua. Perhatian Sindu kemudian tertarik kepada keadaan alam yang agak aneh. Bertemulah ia dengan sebuah sungai yang tidak begitu besar. Sungai tersebut, airnya amat jernih mengalir di Sela-sela barisan pohon beringin yang tua tersebut, kemudian masuk ke dalam tanah di bawah sebuah desa, bernama desa Rengel.
Tertarik oleh jernihnya air kali tersebut, tiba-tiba saja timbullah keinginan Sindu untuk menikmati pemandangan pada sumber sungai itu. Menurut alam pikirannya, tentu sumber air tersebut dilindungi oleh pohon pohon besar dan rindang, berhawa sejuk dan nyaman.
Akan tetapi setelah Sindu melangkahkan kaki menuju hulu, Sindu tertegun dan heran. Ternyata dugaannya sama sekali salah. Aliran sungai itu bukan berasal dari
tempat yang sejuk dilindungi oleh pohon-pohon besar dan tinggi. Tetapi kali itu muncul dari bawah perbukitan gamping. Merupakan semacam gua yang cukup lebar. Dengan demikian, jelaslah bahwa sungai itu muncul dari bawah bukit gamping ini.
Untuk beberapa saat lamanya Sindu berdiri sambil memperhatikan gua yang mengalirkan air itu. Gumamnya,
"Ya Allah, Engkau Maha Besar dan Maha Pengasih"
Apa yang dilihat oleh Sindu sekarang ini, memang ajaib. Sifat dan Tuhan Yang Maha Pengasih sungguh sungguh kasat mata (nampak jelas). Tanah di tempat ini, merupakan tanah campur dengan kapur. Dan perbukitan itupun banyak yang gundul dengan warna kapur yang putih menonjol. Merupakan daerah yang kering. Akan tetapi oleh kebesaran Tuhan, di tempat yang kering ini terdapatlah sebuah sungai yang airnya jernih mengalir dan muncul dari bawah perbukitan kapur.
Tiba-tiba saja timbullah keinginan Sindu untuk masuk, dan melihat keadaan di dalamnya. Panjang dan dalamkah gua yang menjadi mata air dari sungai ini?
Begitu 'kakinya menyentuh air di sungai tersebut, ternyata air yang keluar dari gua itu sejuk, dalam dan deras alirannya. Tak gampang orang masuk tanpa menggunakan perahu.
Namun entah mengapa sebabnya, keras hati Sindu untuk masuk ke dalam. Gua yang menjadi mata air sungai ini nampak gelap. Tiada cahaya yang menembus masuk kecuali dari mulut gua. Ia harus berenang, karena air yang sejuk itu dalam. Pada mulanya cahaya remang-remang, dan makin dalam masuk gua, keadaan menjadi semakin gelap dan gelap sekali. Walaupun mata Sindu luar biasa tajamnya, semakin masuk ke dalam, ia tidak dapat melihat telapak tangannya sendiri. Kadang
ia harus berenang tetapi kadang pula ia harus melangkah melawan arus air yang deras itu, karena aliran sungai dangkal.
Walaupun dirinya seorang yang tak pernah gentar menghadapi apapun, jantungnya berdebar juga dan hatinya tegang. Gua yang mengalirkan air ini amat dalam di samping gelap gulita. Jauh lebih gelap dari malam tertutup oleh mendung tebal. Pakaian Sindu sudah basah seluruhnya, kecuali ikat kepala. Namun demikian Sindu nekad dan masuk terus menurutkan aliran sungai. Beberapa lama kemudian, tibalah Sindu pada tempat yang agak luas. Akan tetapi hidungnya segera mencium bau yang tidak enak disamping suara mencicit yang tak pernah putus.
"Ah, sarang kelelawar."
desisnya seorang diri untuk mengurangi ketegangan hati dan kesepian.
Ketika ia membalikkan tubuh, memandang ke arah dari mana ia tadi datang, jauh di depan tampaklah semacam bola yang bersinar terang. Ia tahu bahwa jauh disanalah mulut gua yang tadi mula-mula ia masuk. Ia menghela napas. Ia sudah amat jauh masuk. Namun belum juga ia tiba pada mata air sungai ini. Dan sungguh ajaib pula, bahwa gua yang berair ini lurus, sehingga dari tempat yang agak jauh ia dapat melihat arah di mana ia tadi mula-mula masuk gua ini.
Tempat ini, yang menjadi sarang kelelawar agak luas, airnya tidak begitu dalam, akan tetapi pemandangan amat gelap. Ia hanya dapat mendengar suara mencicit dari kelelawar itu. Akan tetapi ia tak dapat melihat seekorpun.
"Aku harus masuk lebih dalam lagi,"
kata hatinya dengan nada memerintah.
Dan seperti tanpa disadari,
kakinyapun sudah melangkah lagi melawan aliran air. Ternyata aliran sungai kembali dalam, dan Sindu terpaksa menggunakan kaki dan tangan untuk berenang. Tetapi tidak lama kemudian, ia harus melawan arus sungai yang deras itu, sebatas pusar. Bukan saja keadaan air yang tidak begitu dalam, tetapi juga gua ini tidak selebar semula. Makin lama menjadi semakin sempit, kalau airnya dalam, sulit kiranya Sindu berenang di tempat seperti ini.


Kisah Si Pedang Buntung Lanjutan Ratu Wandansari Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mendadak Sindu kaget. Dalam kegelapan suasana ini, samar-samar ia melihat sesuatu menghadang di depannya. Ia berhenti dan dengan hati tegang memperhatikan. Sebab di dalam kegelapan ini, benda itu seperti mengeluarkan sinar yang tidak begitu terang. Karena ia mengamati, memperhatikan sambil mengumpulkan kemauan, maka makin lama benda itu segera dapat dilihat lebih jelas. Ternyata benda tersebut sebuah batu padas yang bentuknya seperti piramid terbalik, bergantung pada langit gua. Tentunya itu merupakan pengaruh dari tetesan air yang berlangsung lama sekali dan terus-menerus. Hingga terbentuklah semacam benda yang bentuknya seperti piramid terbalik.
Pendekar Pulau Neraka 26 Ratu Lembah Mayat Pendekar Bayangan Sukma 5 Keris Naga Merah Cintaku Selalu Padamu Karya Motinggo Busye

Cari Blog Ini