Kisah Si Pedang Buntung Lanjutan Ratu Wandansari Karya Widi Widayat Bagian 18
dapat membela diri, Dia tidak mampu untuk melindungi kepentingannya."
Damayanti sadar akan maksud kakeknya ini. Apabila keadaan Mulatsih masih seperti sekarang. ilmu yang dimiliki tidak tinggi. ancaman bahaya masih terus berlangsung. Katanya,
"Kalau demikian. biarlah setelah Mulatsih dapat merebut kembali Kendeng, maka saya berkewajiban untuk membimbingnya,"
' Heh-heh-heh. mungkinkah engkau selalu di sana, tidak pernah meninggalkan Mulatsih? Apakah engkau kuat hidup di Pegunungan Kendeng yang kering itu?"
"Ahhh... .. kalau begitu, bagaimanakah menurut pendapat eyang?"
tentu saja Damayanti tak menghendaki seperti itu.
Selalu terikat kewajibannya untuk melindungi Mulatsih dan Perguruan Kendeng.
"Sekarang harus ditempuh dengan jalan lain. Dan engkau pula yang mempunyai kewajiban membimbing Mulatsih supaya maju dalam waktu singkat. Biarlah untuk sementara Mulatsih di sini dan belajar. Apabila rajin dan tekun berlatih. di bawah bimbinganmu, bimbingan ibumu dan ayahmu dalam waktu dua tahun saja, Mulatsih tentu menjadi manusia baru. Akan menjadi seorang gadis pilih tanding yang tak gampang dikalahkan orang. Dengan bekal ilmunya yang cukup tinggi, kemudian hari dengan kekuatannya sendiri Mulatsih akan mampu merebut tanah warisan orang tuanya. Dan dengan bekal ilmunya yang tinggi pula, dia akan mempunyai wibawa yang besar terhadap orang orang bawahannya. Juga orang yang bermaksud jahat, tentu akan berpikir seribu kali lebih dahulu. sebelum datang dan memusuhi. Dengan begitu, Mulatsih akan bisa berdiri sendiri dan tidak lagi merepotkan engkau."
"Ahh.,.... eyang benar,"
kata Damayanti kemudian, setelah dapat menangkap maksud kakeknya. Memang hanya itulah jalan terbaik untuk menyelamatkan Kendeng. Mulatsih harus menguasai Ilmu yang bisa diandalkan, sehingga tidak gampang orang berkhianat.
"Nah, dengan begitu kita akan membagi tugas. Engkau, bersama ibu dan ayahmu, membimbmg Mulatsih. Sedang aku sendiri berkewajiban membimbing murid kakang Kebo Kanigoro. Dalam dua tahun lagi, niscaya Mulatsih dan Titiek Sariningsih bakal menjadi dara dara perkasa. Dan kau bakal dapat menyaksikan pula, bahwa Mulatsih akan dapat menghukum sendiri kepada manusia manusia yang berkhianat dan memusuhi dirinya. Dengan demikian, Mulatsih-pun akan lebih puas, sebab merasa dapat mengatasi sendiri persoalannya."
Demikianlah keputusan malam itu. Di luar dugaannya, tanpa sengaja Titiek Sariningsih dapat bertemu dengan paman seperguruannya, yang mempunyai perhatian amat besar kepada dirinya. Tentu saja iapun lebih percaya bahwa bimbingan Ki Ageng Lumbungkerep akan lebih bermanfaat bagi dirinya, dibanding Ia belajar sendiri maupun dibimbing oleh Sindu. Sebab Ki Ageng Lumbung kerep dalam segala hal lebih memahaml akan Ilmu warisan Ki Ageng Kebo Kanigoro.
******
Seperti telah direncanakan semula. pasukan penyelam pilihan Gagak Rimang, telah bersedia di suatu tempat tersembunyi tak jauh dari pelabuhan Tuban, dan sebagian pula bersedia di Karta untuk menyertai perjalanan boyong pengantin ke Surabaya. Akan tetapi pasukan penyelam itu dilarang bergerak dan menunjukkan diri
sebelum diperintah oleh Madu Bala yang bertindak sebagai pemimpin pasukan. Bukan saja memimpin pasukan penyelam itu sendiri, akan tetapi juga bertindak sebagai pemimpin dari tiga orang kawannya, ialah Yoga Swara, Sindu dan Hesti Wiro.
Ratu Wandansari memang cerdik. Ia kenal akan watak Madu Bala, seorang sakti yang wataknya aneh. Seorang yang suka membawa kemauannya sendiri, akan tetapi cerdik dan penuh tanggung jawab. Itulah sebabnya Ratu Wandansari menunjuk Madu Bala bertindak sebagai pemimpin. Dengan begitu, pertanggungan-jawabnya sebagai pemimpin, Madu Bala terikat dan tidak akan bertindak menurutkan kehendak sendiri., Karena Madu Bala harus pula memperhitungkan kepentingan mereka yang dipimpin.
Tugasnya di Tuban ini, bagi Sindu memang amat kebetulan. Ia memperoleh kesempatan untuk menyelidik ahli waris Titiek Sariningsih, siapakah saudara Tumenggung Kebo Bangah, yang kemudian hari pantas diajak berbicara tentang nasib bocah itu. Namun ia hanya terbatas mencari keterangan saja. Ia tak berani memperkenalkan diri, mengingat bocah itu belum juga didengar kabar beritanya.
Kalau pihak Mataram yang dibantu oleh Sindu sudah mempersiapkan pasukan penyelam pilihan dan menggunakan desa Jenu sebagai pangkalan, maka diam-diam di rumah Perguruan Tuban terjadi kesibukan. Sarni sebagai ketua Perguruan Tuban, dan Kedasih sebagai wakilnya, terlalu sibuk dalam mengatur segala sesuatu, sesuai dengan perintah Rara Inten. Sehari dua hari kemudian, Perguruan Tuban akan menerima beberapa orang tamu, maka semua murid Tuban harus dapat menghormati dan berusaha supaya tamu menjadi puas.
Akan tetapi tamu yang mau datang itu untuk apa, sama sekali Sarni dan Kedasih tidak mengerti. Rara Inten tidak menerangkan keperluannya. Ketika didesak, Rara Inten malah marah dan menjawab dengan ketus.
"Sudahlah, kalian tak perlu tahu. Laksanakan perintahku, habis perkara!"
Sesungguhnya mendengar perintah Rara Inten seperti itu, hati Sarni maupun Kedasih tidak senang. Mereka merupakan ketua dan wakil ketua Perguruan Tuban. Mereka yang berkuasa dalam perguruan ini.
Namun mengapa sekarang Rara Inten memberi perintah macam itu?
Akan tetapi bagaimanapun pula, baik Sarni maupun Kedasih merasa tak mampu untuk menolak perintah itu. Pertama, Rara Inten dahulu juga ketua Perguruan Tuban. Maka sudah sepantasnya kepada bekas ketua, mereka harus menghormati. Yang kedua Rara Inten terlalu sakti bagi mereka berdua. Kalau mereka menentang dan kemudian Rara Inten menggunakan kekerasan, tidak urung mereka takkan dapat berkutik lagi.
Oleh keadaan ini mereka menjadi serba salah. Menurut perintah, harga diri mereka sebagai ketua dan wakil ketua Perguruan Tuban turun derajat. kalau menolak mereka tak berani menanggung risikonya. Oleh sebab itu Sarni dan Kedasih terpaksa menurut perintah. Namun diam-diam mereka sudah mempersiapkan diri untuk menentang maksud Rara Inten, bilamana Rara Inten akan membawa Perguruan Tuban ke arah jalan sesat dan merugikan nama Perguruan Tuban.
Sesuai dengan perintah Rara Inten, semua murid Tuban sudah membersihkan beberapa kamar kosong, untuk tempat mengaso para tamu terhormat itu, di samping ruangan
dalam yang akan dijadikan tempat perundingan. Bukan hanya kamar dan ruang itu yang harus dipersiapkan. Tetapi diperintahkan pula oleh Rara Inten, agar murid murid Tuban membangun sebuah bangunan darurat yang cukup luas, kira-kira cukup dipergunakan mengaso 100 orang. Semua dilaksanakan dengan patuh, akan tetapi dengan hati heran di samping tegang. Murid-murid Tuban yang melaksanakan perintah tersebut, sekalipun heran, mereka tidak berani bertanya kepada Sarni maupun Kedasih.
Ketika itu menjelang senja. Para murid Tuban yang menjaga di luar pintu gerbang cepat-cepat memberi hormat. ketika mereka melihat Rara Inten melangkah dengan ringan menghampiri pintu gerbang. Dengan gagahnya pintu gerbang yang terbuat dari kayu tebal itu, di buka lebar. Sedang Rara Inten dengan sikapnya yang agung, masuk ke pintu gerbang tanpa membuka mulut.
Ketika ia melihat bangunan darurat yang cukup besar berdiri di halaman samping, bibirnya tersenyum. Ia nampak gembira bahwa perintahnya benar dilaksanakan oleh Sarni dan Kedasih. Bangunan darurat tersebut, tentu saja sudah amat cukup guna menampung anak buah Kendeng dan murid Semeru yang akan melaksanakan tugas.
Para murid Tuban yang berpapasan, semua memberi hormat kepada Rara Inten, seperti kalau mereka berpapasan dengan Sarni maupun Kedasih. Dan ada pula di antara murid Tuban, yang cepat-cepat memberi laporan kepada Sarni maupun Kedasih. Memperoleh laporan ini, Sarni dan Kedasih dengan agak tergopoh keluar ke pendapa untuk menyongsong. .
"Apakah semua sudah beres?"
begitu bertemu Rara Inten sudah menanyakan pelaksanaan perintahnya.
Dan dari nada maupun caranya bicara, Rara Inten menganggap dirinya berkedudukan lebih tinggi dibanding dengan Sarni maupun Kedasih. Dan sesungguhnya sikap Rara Inten seperti ini, membuat Sarni dan Kedasih merasa tidak enak hati.
"Sudah beres semua,"
sahut Sarni.
Kemudian ketua Perguruan Tuban ini mempersilahkan Rara Inten untuk duduk pada kursi yang sudah tersedia.
"Hemm, terima kasih."
Rara Inten berkata dengan nada datar.
"Ketahuilah bahwa malam nanti, tamu-tama kita itu akan sudah mulai datang. Tamu-tamu terhormat. Maka kalian harus dapat menghormati mereka."
"Mengapa datang di waktu malam, adi Inten ?"
Sarni agak kaget, heran dan curiga.
"Mengapa tamu itu tidak datang di waktu siang ?"
"Hemm, mereka tokoh-tokoh penting dan berkedudukan tinggi. Tentu saja mereka selalu bersikap hatihati, sehingga tak ingin kehadirannya diketahui orang,"
sahut Rara Inten.
"Dari mana sajakah tamu-tamu itu, adi Inten?"
"Tamu-tamu tersebut, antara lain tokoh-tokoh dari Semeru. Paman Wongso Dipo, bibi Kamilah, bibi Wigati dan juga suaminya yang bernama Wiro Sukro. Ada pula seorang tokoh dari barat, bernama Jalu Raga. Kemudian Sungsang, Wanengboyo, dan akan hadir pula tokoh tokoh dari Kendeng........!"
"Aihh... orang Kendeng......?!"
Kedasih kaget dan menatap Rara Inten dengan pandang mata heran.
"Mengapa mbakyu Kedasih kaget?"
pancing Rara Inten.
Akan tetapi diam-diam Rara Inten tahu sebabnya.
"Bagaimanakah mungkin orang Kendeng itu bisa datang kemari, adi? Bukankah dahulu adi Inten sendiri pernah berkelahi melawan Kirtaji? Juga lupakah adi bahwa mbakyu Minah dahulu mati penasaran, mati
dalam keadaan terhina, oleh perbuatan biadab orang laki-laki yang bernama Prembun itu? Mana...."
"Sudahlah mbakyu, jangan engkau mengungkap masa lalu !"
putus Rara Inten.
"Yang sudah lalu biarlah lalu, Dunia ini selalu berkembang, dan selalu terjadi pula perobahan suasana."
"Tapi... Kendeng adalah orang-orang sesat, dan mereka sudah menghina Tuban. Apakah adi Inten......."
"Hi-hi-hik. mengapa engkau seperti anak kecil, mbakyu Kedasih?"
putus Rara Inten lagi sambil ketawa terkekeh.
"Ada kalanya kawan menjadi lawan, sebaliknya lawan menjadi kawan. Mari sekarang aku blak blakan, agar kalian mengerti alasanku, dan mengerti pula keadaan yang kita hadapi. Agar mbakyu berdua dapat membantu aku sebaik-baiknya. Agar tidak salah duga dan salah paham. Sebab apa yang kupikir dan kulakukan sekarang ini, sesuai pula dengan pesan terakhir dari ibu guru kita, almarhumah guru Anjani."
Disebutnya nama Anjani yang sudah tiada itu, Kedasih dan Sarni berobah wajahnya. Lalu terbayang oleh dua perempuan ini, bagaimana dahulu guru mereka meninggal di Karta. Meninggal dalam keadaan penasaran, karena ditawan di Karta. Guru mereka melompat dari tempat yang amat tinggi, dan menolak pertolongan Jaka Pekik. Dua orang perempuan ini terdiam, akan tetapi hati mereka tegang.
"Nah, sebagai murid-murid ibu guru Anjani, kita semua ini dituntut oleh kewajiban yang tak terbantah. Dituntut untuk menempatkan Perguruan Tuban ke tempat tinggi. lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan perguruan lain."
Rara Inten berkata dengan mantap. Nadanya merupakan perintah yang tak terbantah lagi. Karena mereka yang berani membantah, berarti
menentang pesan terakhir guru. Akibat bagi murid yang berkhianat kepada guru, akan amat berat.
"Nah, demi pesan terakhir guru kita itulah, maka aku bersusah payah menjalin persekutuan. Dan Perguruan Tuban mempunyai peranan penting serta menentukan."
Melihat bahwa Sarni dan Kedasih mulai terpengaruh oleh alasan-alasan yang dikemukakan, Rara Inten dengan nada mantap dan agung segera menceritakan apa yang sudah terjadi di Kendeng. Menceritakan tentang pertemuan rahsia yang merencanakan pencegatan rombongan boyong Ratu Wandansari ke Surabaya. Itu merupakan kewajiban bagi semua murid Tuban. Harus membalas dendam kepada Ratu Wandansari maupun Jaka Pekik.
Mendengar keterangan Rara Inten ini, Kedasih dan Sarni terdiam. Diam-diam terjadilah penentangan batin dan keraguan dalam hari ketua dan wakil ketua Perguruan Tuban ini. Sebab bagaimanapun pula, menurut ketentuan yang berlaku dalam perguruan. kekuasaan sepenuhnya di tangan ketua atau wakil ketua Perguruan Tuban. Dan bukan seseorang yang tidak menduduki jabatan apa-apa.
Akan tetapi mengapa sekarang Rara Inten telah menentukan langkah bagi Perguruan Tuban, tanpa lebih dahulu minta ijin dan minta pendapatnya?
Tahu-tahu Rara Inten telah memutuskan seperti sekarang ini!
Akan tetapi sebaliknya kalau mereka kukuh pada pendirian, dalam kedudukan sebagai ketua dan wakil ketua yang tak boleh dilanggar wewenangnya. tentu akan menimbulkan hal-hal yang tidak baik.
Manakah mungkin mereka menang melawan Rara Inten sekalipun mengeroyok?
Sesungguhnya mereka tak takut sekalipun harus mati dalam membela dan mempertahankan kedudukan sebagai ketua dan wakil ketua. Tetapi yang di khawatirkan adalah, apabila Rara Inten sebagai bekas ketua ini, dapat mempengaruhi pendapat umum murid Tuban. Kalau Rara Inten memutarbalikkan keadaan, lalu menuduh diri mereka sebagai pengkhianat perguruan, akan celakalah mereka. Mati penasaran dan mati dengan nama ternoda.
Setelah mempertimbangkan kemungkinan terjadinya peristiwa macam ini, akhirnya Sarni berkata,
"Adi Inten, ya, apa harus dikata? Bahwa sekalipun terasa berat dalam hati saya untuk bekerja sama dengan penjahat Kendeng itu, tetapi karena engkau telah memutuskan,-sulitlah bagi kami untuk membatalkan."
Mendengar pernyataan Sarni ini. Rara Inten terkekeh gembira.
"Hi-hi hiiik, terima kasih, mbakyu, bahwa kalian mengerti pula alasanku. Tentang orang-orang Kendeng itu, mbakyu, tak perlu terlalu berat kalian pikir! Kita bersekutu dan bekerja sama, hanya pada saat membutuhkan. Kemudian hari, ada saatnya Tuban menghancurkan Kendeng. Yang penting bagi kita sekarang ini, berhasil membunuh musuh-musuh almarhum guru kita. Membunuh Ratu Wandansari dan iblis Pekik. Percayalah, mbakyu, bahwa Rara Inten bukan seorang tolol dan bertindak tanpa perhitungan. Apa yang aku lakukan semua ini, demi kejayaan Perguruan Tuban sendiri. dan akan membawa keharuman nama mbakyu Sarni sebagai ketua perguruan, dan mbakyu KedaSih sebagai wakil ketua."
Begitulah, pada akhirnya Sarni dan Kedasih setuju kepada rencana dan keputusan Rara Inten. Maka dipanggillah kemudian dua orang murid. Setelah datang menghadap, seorang diperintahkan memberi perintah kepada pengurus dapur, agar mempersiapkan hidangan kepada para tamu yang nanti malam mulai berdatangan. Dan
kepada yang seorang lagi, agar memerintahkan kepada para murid yang bertugas jaga, harus pandai menghormati kepada para tamu yang malam nanti akan berdatangan.
Ternyata kemudian kehadiran para tokoh itu hampir bersamaan. terpautnya waktu amat sedikit saja. Di dalam ruangan yang telah diatur dan dipersiapkan itu, telah duduk di atas kursi. Rara Inten, Kedasih, Sarni, dan tiga orang ini sesuai dengan kedudukan mereka sebagai tuan rumah, kursi mereka berjajar di bagian tengah. Untuk para tamu letak kursinya diatur dalam bentuk setengah lingkaran, dibatasi oleh meja besar untuk tempat hidangan.
Dari pihak tamu yang sudah tampak hadir adalah Kirtaji, Prembun, Wanengboyo, Wigati, Wiro Sukro dan Sungsang. Akan tetapi diam diam Prembun merasa kurang enak hati, menjadi tamu di rumah ini. Peristiwa yang terjadi, di mana dirinya menghina Minah, terasa besar sekali pengaruhnya. Dan diam -diam pemuda ini khawatir, kalau Kedasih mengungkit peristiwa itu. Akibat hatinya kurang tenteram ini, maka Prembun memilih duduk di samping kiri Kirtaji, diapit oleh Wanengboyo. Maksudnya bukan lain akan minta perlindungan dua orang ini, kalau sampai terjadi hal hal yang tidak diharapkan. Juga diam-diam ia menyesal juga, mengapa dahulu ia sampai berbuat seperti itu, menghina salah seorang murid Tuban. ,
Sikap Prembun ini berbeda dengan sikap Sungsang. Begitu berada di kota Tuban, kenangannya segera kembali pada peristiwa tiga tahun yang lalu. Di mana ia membuat kegemparan, melakukan penjagalan manusia besar besaran di samping melakukan kebiadaban yang tak
tanggung-tanggung. Teringat akan perbuatannya ketika itu, diam-diam ia menyeringai. Sayang sekali gurunya sudah meninggal. Kalau saja gurunya masih hidup, ingin sekali ia mengajak gurunya, untuk mengulang perbuatannya dahulu, membuat kegemparan di kota Tuban ini.
Akan tetapi kenangan Sungsang ini menjadi buyar dan terdesak oleh pemandangan yang tampak di depannya. Terdapat tujuh orang gadis muda yang cantik dan manis. sedang melaksanakan tugas mengatur hidangan di atas meja. Gadis murid-murid Tuban.
Sungsang menelan ludah. Sebagai seorang laki-laki bejat moral dan biadab, tentu saja pikirannya segera melayang-layang ke alam khayalnya yang kotor Lalu pikirnya,
"Ah. betapa guru akan senang kalau masih hidup, sebagai tamu pada perguruan yang mempunyai banyak murid wanita seperti ini. Guru tentu saja akan berani sembrono. Tetapi aku, ahh....."
Ia menghela napas. Ia seperti tersiksa. Seperti seekor kucing yang melihat tujuh ekor burung di dalam sangkar yang kokoh.
Baru sesudah tujuh orang gadis murid Tuban ini mengundurkan diri, berkuranglah Siksaan yang berlangsung dan berkecamuk di dalam dada Sungsang.
Ketika itu, masuklah seorang murid Tuban yang melaporkan datangnya lima orang tamu. Rara lnten, Kedasih dan Sarni tergopoh bangkit dari kursinya, lalu melangkah untuk menyambut sampai ke pintu. Begitu berhadapan dengan tamu yang baru datang ini, betapa gembira Rara Inten.
Siapakah yang datang ini?
Mereka adalah Wongso Dipo, Kamilah, Jalu Rogo dan ada tambahan dua orang tokoh sakti lagi yang sudah dikenal oleh Rara lnten. Ialah Menak Kunjono dan Aras Pepet, dua orang tokoh sakti kakak beradik seperguruan yang berdiam di Belambangan. Dan tentu saja diam-diam Rara Inten juga amat berterima kasih sekali kepada Wongso Dipo. Sebab ia menduga, bahwa hadirnya dua orang tokoh sakti kakak beradik seperguruan ini. tentu oleh ajakan Wongso Dipo.
Dengan sikapnya yang penuh hormat, Rara Inten. Kedasih dan Sarni segera mempersilahkan lima orang tokoh sakti itu masuk dalam ruangan. Dan sesuai dengan kedudukan mereka, maka lima orang ini duduk berjajar pada kursi kehormatan yang telah tersedia.
Sekarang setelah Wongso Dipo dan yang lain hadir, maka lengkaplah anggauta persekutuan itu. Setelah dengan sikap ramah Rara Inten mempersilahkan kepada semua tamu untuk minum dan makan hidangan yang sudah tersedia, barulah Rara Inten mulai mengajak semua yang hadir merundingkan hal hal yang harus di laksanakan dalam waktu singkat ini.
Akan tetapi Wongso Dipo yang ingin memperoleh jasa dalam persekutuan ini, minta waktu guna bicara. Katanya dengan lagaknya yang angkuh,
"Bagaimanapun dalam persekutuan ini, di antara kalian semua, akulah yang berusia paling tua, setelah saudara Patra Jaya gugur dalam berkelahi melawan adik seperguruannya sendiri. Mengingat kedudukanku sebagai seorang yang paling tua usianya itu, maka demi tercapainya cita-cita kita yang luhur, tanpa kenal lelah dan kesulitan, aku hubungi saudara Menak Kunjono dan saudara Aras Pepet. Dua orang saudara seperguruan yang sakti mandraguna, bertempat tinggal di Balambangan. Bantuan dua orang saudara seperguruan yang sakti ini, besar sekali artinya bagi kita. Maka untuk menghormati dua orang saudara seperguruan sakti dari Belambangan ini, marilah kita sambut dengan secawan tuak."
Kata-kata Wongso Dipo ini segera disambut oleh tepuk tangan dari semua yang hadir. Kemudian dilakukanlah upacara minum tuak sebagai penghormatan. Menak Kunjono dan Aras Pepet berseri wajahnya, gembira sekali di samping bangga, dipuji sanjung oleh Wongso Dipo. Jawab Menak Kunjono dengan bangkit berdiri dan membusungkan dada,
"Kiranya memang perlu saudara saudara ketahui, bahwa kami menyambut baik persekutuan ini, adalah karena memang sesuai dengan kedudukan Belambangan. Bagi seluruh rakyat Belambangan, apapun yang berbau Mataram harus kita hancurkan. Apalagi Adipati Surabaya yang bernama Pekik itu terang berkhianat. Maka manusia macam itu, tidak boleh diberi kesempatan untuk hidup lagi. Maka ajakan saudara Wongso Dipo, kami sambut dengan senang hati!"
Kembali mereka yang hadir-bertepuk tangan.
Akan tetapi bagaimanakah arti tepuk tangan yang diberikan oleh masing-masing pihak itu?
Tentu saja berlain-lainan dan merupakan rahasia hati masing-masing. Bagi mereka yang hadir di situ, hanya Wigati, Wiro Sukro dan Wanengboyo sajalah yang menyambut peristiwa itu secara tulus. Sebaliknya bagi pihak Kirtaji dan Prembun, pihak Perguruan Tuban dan Jalu Raga sendiri, apa yang terpikir merupakan rahasia hati masing-masing. Mereka justeru orang-orang yang cerdik dan dalam mencapai cita-cita, tidak segan-segan berbuat curang. Bersahabat dan bersekutu hanya di saat membutuhkan. Setelah tidak membutuhkan, sudah tidak ingat lagi akan sejarah_dan permulaannya.
Di antara mereka yang hadir ini, hanyalah Sungsang yang kosong cita-cita. Ia ikut serta dalam persekutuan ini sebenarnya hanya terbawa oleh gurunya. Maka setelah gurunya tewas, sekalipun ia masih termasuk sebagai anggota sekutu, akan tetapi sudah tidak perduli lagi. Perhatiannya sekarang malah lebih banyak dtujukan kepada Rara Inten, Kedasih dan Sarni. Dan sebagai manusia bejat moral maka diam-diam ia membandingkan tiga orang wanita ini, yang usianya sekitar 24 sampai 30 tahun. Usia yang sudah tidak muda lagi bagi gadis. Namun bagi Sungsang, ibarat buah yang malah sudah masak.
Yang amat menyenangkan!
Memang sulit mencari wanita secantik Rara Inten. Tetapi wanita cantik ini, ibarat bunga mawar. Bunga yang indah dan menarik, akan tetapi dijaga oleh duri-duri tajam.
Sebaliknya Sarni dan Kedasih, walaupun tidak secantik Rara Inten, merupakan wanita-wanita yang dapat membuat Sungsang menelan ludah. Semua ini membuat Sungsang makin'tidak tertarik oleh apa yang dibicarakan orang-orang itu.
Memang bagi yang tidak mempunyai kepentingan langsung, apa yang sedang dibicarakan ini tidak akan membuat orang tertarik. Sebab yang sedang mereka bicarakan, bukan lain hanya menentukan Siasat dan pembagian tugas penghadangan rombongan pengantin yang sedang boyong itu. Malah sesuai dengan hasil penyelidikan yang dilakukan oleh para penyelidik Kendeng, Kirtaji memberitahukan kepada kawan-kawan sekutunya ini, bahwa pihak Mataram sama sekali tidak menduga akan rencana pencegatan itu. Pengantin yang boyong akan menggunakan perahu biasa, artinya bukanlah perahu perang. Perahu tersebut mudah dikenal, sebab dihias indah, dan di dalamnya dipasang pula gamelan lengkap dengan pesindennya. Gamelan itu dalam perjalanan harus dipukul terus, guna memberi hiburan kepada sang pengantin. Perahu rombongan pengantin boyong itu, akan terdiri dari sembilan buah perahu besar. Paling depan sebuah perahu perang milik Angkatan Laut Mataram. yang dilengkapi dengan meriam. Di belakang perahu perang ini, dua buah perahu biasa, dan sebagai penumpang penumpangnya sebagian besar abdi dalem Mataram yang membawa perlengkapan upacara. Setelah itu, barulah perahu pengantin. Perahu pengantin ini diapit-apit oleh dua buah perahu perang yang dilengkapi pula dengan meriam, dan pasukan bersenjata. Sedang tiga buah perahu yang lain dan bergerak di belakang perahu pengantin itu, yang dua buah berisi para wanita dan para pengiring, sedang yang sebuah lagi perahu perang.
"Heh-hehheh, perahu-perahu perang itu hanya bisa membuat anak kecil ketakutan !"
Menak Kunjono terkekeh mengejek.
"Biarlah aku dan adi Aras Pepet yang punya bagian untuk menyerbu perahu pengantin itu. Aku ingin membuktikan, benarkah Adipati Surabaya itu sakti mandraguna?"
Sesungguhnya. hampir semua yang hadir di ruangan ini, sudah pernah merasakan berkelahi melawan Jaka Pekik. Malah dahulu, walaupun Wongso Dipo maju berbareng dengan isterinya, tak juga mampu mengatasi Jaka Pekik, malah mereka memperoleh malu. Kemudian Kirtaji dan Rara Intenpun pernah dikalahkan oleh Jaka Pekik. Sedang baik Wigati, Wiro Sukro maupun Wanengboyo, sekalipun belum pernah merasakan tangan Jaka Pekik, namun mereka sudah pernah menyaksikan sepak terjang Jaka Pekik yang memang luar biasa. Semua tokoh yang menyerbu markas Gagak Rimang ditundukkan,
Dan adakah orang lain yang berani menyerbu Mataram tanpa pasukan seperti Jaka Pekik?
Namun sekalipun kenyataan itu tak terbantah, tidak seorangpun di antara orang-orang ini mau mengakui soal itu. Tentu saja mereka merasa malu.
Tetapi sekalipun begitu, penyerbuan pada rombongan perahu sekarang ini, adalah merupakan peristiwa penting dan yang tidak boleh gagal. Sebab mereka Sekarang ini bukan melulu berhadapan dengan pribadi Ratu Wandansari dan Pangeran Pekik. Akan tetapi mereka berhadapan dengan kekuatan Mataram dan Surabaya. Maka buntutnya tentu akan panjang.
Mengingat pentingnya peristiwa ini, maka sahut Rara Inten,
"Terima kaSih atas kesediaan saudara Kunjono yang akan membereskan pengantin itu. Akan tetapi janganlah kalian monopoli sendiri. Aku secara pribadi justeru mempunyai dendam dan menghutangkan sakit hati, baik kepada Wandansari maupun Pekik. Namun, sebaiknya kita atur begini. Mengingat bahwa Pekik memang tidak bisa diremehkan. sebaiknya kalian berdua langsung menghadapi Jaka Pekik. Sedang aku akan menghadapi Wandansari."
Rara Inten berhenti sebentar. Lalu terusnya,
"Dan mengingat bahwa dalam perahu pengantin itu tentu terdapat pula pengawal-pengawal yang berbahaya, maka yang akan mempunyai bagian, adalah paman Wongso Dipo dan bibi Kamilah, dibantu oleh bibi Wigati dan paman wiro Sukro. Adapun paman Jalu Raga dan saudara Wanengboyo, mempunyai bagian untuk melumpuhkan dan merebut salah sebuah perahu perang itu. Apabila salah sebuah perahu perang dapat kita kuasai, akan amat penting artinya guna melindungi kawan-kawan yang lain. Kemudian bagaimana dengan saudara Kirtaji. saudara Prembun dan saudara Sungsang? Kalian memperoleh bagian sebagai pengacau perhatian lawan. Bertugas membuat keributan pada perahu yang lain sambil memimpin pasukan penyelam untuk membocorkan perahu lawan."
"Nanti dulu!"
potong Menak Kunjono dengan mata bersinar kurang senang.
"Apakah engkau sengaja menghina aku, sehingga aku dan adikku harus mengeroyok Pekik itu?"
Rara Inten tersenyum. Sahutnya,
"Paman, maafkan aku, dan aku berharap kalian tidak salah paham. Bukan begitu maksudku. Tetapi semua itu demi tercapainya maksud dengan gampang. Kita sekarang ini bukan sedang mengadu kesaktian dan kepandaian. Kita sekarang ini sedang berperang melawan musuh. Dalam berperang melawan musuh ini tidak ada istilah curang dan memalukan. Pendeknya kita berusaha menang. Untuk menang kita tak boleh ragu-ragu. Kalau perlu seorang lawan dapat kita keroyok sepuluh atau lebih. Sebab lebih cepat lawan mampus, adalah lebih baik."
Wigati yang sejak tadi berdiam diri cepat menyambut,
"Siasat anak Inten memang tepat dan bagus, saudara Menak Kunjono. Maka akupun mohon kepadamu, agar tidak salah paham. Akan tetapi kalau memang engkau tetap keberatan, baiklah tugas ini digeser saja. Biarlah saudara Menak Kunjono dan saudara Aras Pepet yang mempunyai bagian melawan para pengawal. Sedang aku dan suamiku, serta kalau perlu ditambah kakang Wongso Dipo dan mbakyu Kamilah, mengeroyok iblis Pekik."
Menak Kunjono maupun Aras Pepet berdiam diri. Sebab setelah direnungkan, apa yang diajukan oleh Rara Inten memang masuk akal dan tepat. Dan apa pula bagi mereka, merasa turun harga dirinya kalau hanya berhadapan dengan para pengawal, yang belum tentu terdiri dari orang-orang sakti mandraguna. Maka apapun alasannya, masih lebih menguntungkan kalau menghadapi Jaka Pekik.
Karena tidak membuka mulut, Rara Inten bertanya.
"Bagaimanakah menurut pendapat paman berdua?"
Menak Kunjono batuk batuk, lalu jawabnya,
"Baiklah. Aku dan adikku memilih lawan iblis Pekik!"
Keputusan Menak Kunjono ini membuat mereka semua gembira, maka mereka menyambut dengan tepuk tangan.
Kirtaji tidak memberikan pendapatnya. Bagi pemimpin Kendeng ini, justeru malah kebetulan apabila berhadapan dengan musuh yang empuk. Berarti tak usah banyak membuang tenaga, dan dengan gampang akan menjadi pemenangnya. Dan ternyata jalan pikiran Jalu Raga maupun Wanengboyo sejalan pula dengan pikiran Kirtaji. Lebih ringan tugas yang harus dihadapi membuat hati senang .
Lain lagi dengan jalan pikiran Sungsang. Pemuda ini sama sekali tidak tertarik kepada semua pembicaraan dan rencana itu. Bagi dia, akan lebih menyenangkan kalau dapat memperoleh gadis dan wanita cantik. Dan tiba-tiba saja, teringatlah ia kepada tujuh orang murid Tuban yang tadi mengatur hidangan.
Tetapi mengapa sekarang gadis-gadis' tersebut tidak muncul lagi?
Di antara tujuh gadis pelayan tadi, terdapat dua orang yang menarik perhatian dan seleranya. Ialah yang tadi mengenakan baju kembang dan yang satu mengenakan baju lurik. Dua orang itu tubuhnya denok, artinya tidak gemuk tetapi juga tidak kurus, alias cukupan. Kulitnya kuning bersih, rambutnya hitam mengkilap dan sanggulnya begitu besar. Pertanda bahwa rambut dua orang gadis itu panjang. Mulut dua gadis itu tak begitu lebar dan sepasang matanya bening. Ah, bayangan dua orang gadis yang bertubuh denok itu selalu menggoda dalam benaknya. Dan usahanya untuk mengusir bayangan itu
selalu gagal. Makin lama makin tidak kuat bertahan. dan rasa tubuhnya jadi meriang.
Akhirnya Sungsang bangkit berdiri. Memberi hormat kepada Rara Inten dan yang lain, sambil mohon diri untuk keluar sebentar, sambil memegang dan menekan nekan perutnya, sedang mulutnya pringas-pringis.
Melihat keadaan Sungsang itu, semua orang cepat bisa menduga bahwa kiranya Sungsang terserang oleh sakit perut. Wiro Sukro cepat menawarkan jasa baiknya, memberi obat perut. Untuk tidak membuat orang kecewa, Sungsang menerima juga sambil berkata,
"Terima kasih atau pemberian obat ini. Tapi dari dalam sudah mendesak mau keluar......"
Sambil berkata begitu. Sungsang sudah mulai melangkah untuk keluar. Sarni yang tidak mempunyai prasangka apa-apa, cepat memanggil dua orang murid. Dan kebetulan, murid yang masuk adalah gadis yang berbaju kembang dan lurik. Perintahnya.
"Antarkan tamu kita ini keluar, lalu serahkan kepada murid laki-laki, agar mengantarkannya ke kamar kecil."
Mendengar bahwa tamu yang cukup tampan ini mau mencari kamar kecil. si baju lurik cepat mengiakan, lalu melirik Sungsang sambil menggigit bibir bawah untuk menahan ketawanya.
Tetapi justeru di saat gadis berbaju lurik ini menggigit bibir bawah, Sungsang melihat pula. Gadis itu dalam pandangan Sungsang semakin manis dan menarik. Namun juga agak penasaran, merasa ditertawakan. Katanya dalam hati,
"Hemm....... kurang ajar! Kau belum tahu siapa aku ?"
Tanpa rewel-rewel lagi, Sungsang segera melangkah keluar disertai dua orang gadis itu. Di luar bertemu dengan beberapa orang murid wanita yang lain. Mereka
memandang, akan tetapi tidak seorangpun membuka mulut menegur maupun bertanya. Sebab mereka dapat menduga. tentu dua orang saudara seperguruan itu sedang melaksanakan perintah sang ketua.
Setelah keluar dari rumah besar, mereka lewat pada suatu
gang yang cukup panjang. Kiri kanan gang itu dibangun kamar-kamar yang saling berhadapan. Akan tetapi kamar-kamar itu pintunya tertutup, sekalipun di dalam terdapat lampu penerangan.
Sebagai seorang yang telah berpengalaman berhadapan dengan perempuan, maka dengan sikap yang sopan dan tutur yang halus, ia bertanya,
"Bolehkah aku bertanya kepada kalian, kamar-kamar siapakah di kiri kanan gang ini?"
Sebelum menjawab, dua orang gadis itu saling pandang. Lalu Si Baju Kembang menjawab,
"Kamar-kamar ini adalah kamar para murid wanita . tuan."
"Dan tempat murid laki-laki?"
tanya Sungsang.
"Bagi murid pria. tempatnya terpisah,"
sahut Si Baju Lurik.
"Apakah tuan baru kali ini datang ke mari ?"
"Adik tidak salah, memang baru sekali ini saja saya diundang dan menjadi tamu."
sahut Sungsang halus.
"Itulah sebabnya aku masih asing. Oh ya, kita sudah bicara, tetapi mengapa belum saling kenal? Aku bernama Sungsang. Nama yang pendek dan sederhana. Dan adik berdua?"
Dua gadis itu saling pandang, lalu bibir mereka saling membentuk senyum. Sungsang tahu, bahwa sikap gadis seperti yang dihadapi sekarang ini, adalah sikap gadis yang sama sekali asing dari pergaulan dengan pria. Maka Sikapnya malu-malu. Tentu saja Sikap mereka yang
malu-malu ini. makin membuat hati Sungsang tidak karuan rasanya. Dalam ruang pertemuan tadi justeru yang terbayang dalam benaknya, adalah wajah ayu dan tubuh mereka yang denok. Tentu saja dapat berkenalan dengan mereka, hatinya amat gembira.
Sekalipun malu-malu akhirnya dua gadis ini memperkenalkan namanya. Yang berbaju kembang bernama Ratmi dan yang berbaju lurik bernama Sukarni.
"Terima kasih, adik Ratmi dan adik Sukarni. kalian begitu baik padaku,"
kata Sungsang dengan bibirnya membentuk senyum.
"Akan tetapi bolehkah aku bertanya, mengapa kamar-kamar ini nampak sepi?"
"Kami sedang menerima hadirnya beberapa orang tamu agung, sedang di luarpun banyak pula tamu yang harus dilayani oleh para murid laki laki,"
sahut Ratmi.
'Tentu saja semua murid mempunyai kewajiban yang sama, semua membagi tugas agar tamu-tamu kami menjadi puas."
Mendengar jawaban bahwa kamar-kamar pada kiri kanan gang ini kosong dan semua murid sibuk. Sungsang gembira dan tiba-tiba saja nafsu jahatnya bergejolak. Ia tadi minta diri ke luar, bukan disebabkan perutnya sakit dan ingin hajad besar. Ia tadi tak kuasa digoda oleh bayangan wajah perempuan. Dan sekarang, justeru kebetulan sekali dua orang gadis inilah yang bertugas mengantarkan.
Mengapa kesempatan sebaik ini harus dilewatkan tanpa arti?
Bukankah dua orang ini cukup menggairahkan?
Namun kalau ia mengganggu murid Tuban ini, berarti dirinya bakal dimusuhi Perguruan Tuban.
"Ah, perduli amat! Biarlah Perguruan Tuban memusuhi. Siapa takut? Guru sudah tidak ada. Sekarang aku harus bisa hidup dari kekuatanku sendiri. Dari pada aku
payan payah ikut serta menghadang rombongan pengantin itu, toh lebih menguntungkan apabila aku memikirkan kepentinganku sendiri. Lebih menyenangkan aku bersenang. senang dengan perempuan perempuan cantik."
Setelah berpikir dan memutuskan seperti ini, rasa keraguannya hilang. Pendeknya ia tidak takut harus dimusuhi Perguruan Tuban. Dua orang gadis yang menarik hatinya ini harus ia culik dan dibawa pergi. Apapun jadinya, dan apapula akibatnya, ia tak perduli lagi.
Akan tetapi ia seorang yang amat cerdik. Ia tahu, bahwa sebagai murid murid Perguruan Tuban, dua orang gadis ini tentu bukan gadis sembarangan. Maka tak gampang untuk mengalahkannya dalam waktu singkat, tanpa menimbulkan keributan. Sebaliknya apabila harus menggunakan bujuk rayu, iapun kurang yakin. Dua orang gadis ini murid murid wanita Tuban yang terdidik dan digembleng pula pengertian batinnya. Maka jalan yang terbaik untuk dapat menawan gadis ini, kalau ia menggunakan siasat cukup tertib.
Mendadak Sungsang menekan perutnya sambil mendesis-desis kesakitan,
"Aduhh.... aduh!....... tolong...... aduh perutku sakit sekali...... aduh kepalaku sakit sekali...... aduh kepalaku mau pecah....."
Tentu saja Ratmi dan Sukarni kaget berbareng bingung. Kata Ratmi gugup,
"Karni! Cepat panggilkan murid laki-laki. Tuan Sungsang butuh pertolongan."
"Jangan!"
mendadak Sungsang mencegah.
Tentu saja Sungsang tidak membutuhkan pertolongan.
"Adik Ratmi dan Karni... kalian bisa menolong ..... aduh... cepat..... tolong. tolong."
Rintihan dan ratap Sungsang ini tentu saja membuat dua orang gadis itu tidak tega. Mereka saling pandang dan ragu-ragu.
Bagaimana harus menolong?
Lebih lebih mereka merupakan murid-murid yang baru dua tahun belajar di sini. Mereka belum menguasai ilmu ketabiban.
"Kalau bisa..... kalian bisa tolong
aduh....."
ratap Sungsang sambil terus meringis dan mendesis, dan tiba-tiba saja ia menjatuhkan diri duduk.
"Tolong...... aduhh, kepalaku..... kepalaku ini. "
Dalam keadaan gugup dan bingung, tak tahu apa yang dilakukan, Ratmi dan Sukarni segera mendekat. Kemudian' sekalipun agak ragu, jari tangan mereka sudah mulai memijit leher, belakang kepala dan pelipis .
Justeru saat inilah yang ditunggu oleh Sungsang. Tangannya bergerak seperti kilat, menggunakan serangan yang tak mungkin bisa dihindari lagi oleh dua orang murid itu. Tiba-tiba saja Ratmi dan Sukarni seperti lumpuh, hampir saja roboh terguling di atas tanah, kalau dua belah lengan Sungsang yang kuat tidak segera menyambar tubuh gadis itu. Kemudian sebelum hilang kagetnya, dua orang gadis ini sudah dikempit oleh tangan kanan dan tangan kiri, dibawa lari secepat terbang menuju tembok pekarangan. '
Akan tetapi jumlah murid Perguruan Tuban cukup banyak. Di setiap tempat penting tentu dijaga murid Tuban. Maka di saat Sungsang berlarian mendekati tembok pekarangan, penjaga itu sudah berteriak lantang.
"Hai siapa? Berhenti!"
Tetapi tentu saja Sungsang tak berhenti. Malah dengan gerakannya yang gesit ia sudah melayang ke atas tembok. Empat orang penjaga itu memburu sambil berteriak. Dan karena orang sudah di atas tembok dan tidak menjawab, mereka melepaskan anak panah.
"Maling....... maling!"
Untung sekali Sungsang cukup waspada. Sekali bergerak ia sudah melayang turun ke luar tembok, sehingga anak panah yang dilepaskan para penjaga itu semuanya luput.
"Maling! Maling...meloncat ke luar tembok......!"
Teriakan empat penjaga itu mengejutkan semua orang. Beberapa orang murid Tuban Segera melakukan pengejaran meloncat tembok, di mana tadi Sungsang lewat.
Ketika itu murid-murid Perguruan Semeru dan anak buah Kendeng yang terpilih untuk bertugas membantu penghadangan semuanya telah datang. Mereka ditampung pada bangunan darurat, dan dilayani para murid laki laki. Mendengar keributan itu mereka kaget. Dengan sigapnya merekapun segera menyambar senjata masing masing, melakukan pengejaran pula. Akan tetapi di samping itu ada pula yang lari ke sana, lari ke mari dan hanya menambah suasana menjadi ribut. Teriakan maling terdengar di sana-Sini.
Tiba-tiba terdengar seruan nyaring yang mengatasi suara ribut itu.
"Hai! Apa kerjamu?! Ada apa ribut?"
Seruan nyaring ini adalah seruan Rara Inten. Mereka kaget ketika mendengar suara teriakan "maling"
dan keributan. Maka para tokoh itu dengan gerak yang gesit sudah berloncatan ke luar untuk melihat apa yang terjadi.
Beberapa orang segera datang. Mereka kemudian berlutut di depan Rara Inten. Sarni dan Kedasih yang berdiri di depan pendapa. Salah seorang di antara mereka segera melaporkan, bahwa tadi penjaga di sebelah timur melihat berkelebatnya bayangan orang yang meloncat tembok. Karena bayangan tersebut tak mau berhenti, maka para penjaga berteriak maling dan dilakukan pengejaran.
Betapa marah, penasaran dan malu dalam hati Rara Inten, Sarni dan Kedasih mendengar laporan itu Saat ini mereka justeru baru menerima tamu.
Mengapa ada orang berani mengacau?
Maka tanpa minta keterangan lebih jauh lagi. tiga orang wanita ini sudah meloncat ke timur dan ikut mengejar maling. Para tokoh tamu yang berkumpul di rumah inipun penasaran gemas dan marah. Maka merekapun tak mau ketinggalan, masing masing sudah bergerak ke timur pula membantu pengeJaran.
Akan tetapi orang yang dikejar seperti hilang tanpa bekas. Memang bukan Sungsang kalau tak dapat berlaku cerdik. Ia sadar bahwa apabila perbuatannya ini sampai gagal dan tertangkap nyawalah sebagai tebusannya.
Manakah mungkin seorang diri ia dapat melawan beberapa t0koh sakti, dan kebanyakan tingkatnya masih di atasnya?
Oleh sebab itu setelah dapat meloncati tembok ia lari ke timur. Tetapi kemudian ia telah merobah arah larinya ke selatan sambil melemparkan sebutir batu ke arah semak di bagian timur.
Suara gemerisik di bagian timur itu menimbulkan salah duga para pengejar. Mereka langsung lari ke timur, sedang Sungsang sudah berlarian seperti terbang ke selatan. Tak lama ia berlarian ke selatan, ia sudah merobah arah larinya menuju barat. Dengan siasat ini dalam waktu tak lama, Sungsang sudah dapat menghilangkan jejak.
Lebih satu jam semua orang melakukan pengejaran. Tetapi hasil yang mereka peroleh hanyalah rasa hati penasaran dan mendongkol.
Ketika itu, antara Rara Inten, Sarni dan Kedasih melakukan pengejaran bersama-sama. Karena mereka dapat bergerak lebih cepat, maka tiga orang perempuan
ini dapat mendahului para murid Tuban. Namun setelah melakukan pengejaran cukup jauh dan tidak menemukan tanda-tanda, mereka menghentikan pengejarannya. Malah tiba-tiba Rara Inten sudah bersungut-sungut.
"Ahhh ..... celaka! Kita telah tertipu mentah-mentah. Kurang ajar!"
Sarni dan Kedasih heran. Tanya Sarni,
"Siapa yang kaumaksud ? "
. "Siapa lagi kalau bukan bedebah busuk Sungsang?"
sahut Rara Inten dengan nada geram.
"Mana mungkin ada orang berani mengacau perguruan kita, di saat kita menerima banyak tokoh sakti? Lupakah engkau Sungsang tadi minta diri ke luar dengan alasan perut sakit? Hayo kita cepat kembali! Semuanya akan menjadi beres, setelah kita panggil Ratmi dan Sukarni!"
Tiga orang wanita ini segera berlarian pulang. Para murid Tuban yang berpapasan segera diperintahkan supaya kembali dan berkumpul. Sedang para tamu yang kebetulan berpapasan, segera dipersilahkan kembali pula.
Orang sudah mengenal kecerdikan Rara Inten. Maka tanpa ragu sedikitpun mereka sudah menuju ke rumah Perguruan Tuban. Tak lama kemudian hampir seluruh murid Tuban, anak murid Semeru dan anak buah Kendeng sudah berkumpul di halaman. Sedang Rara Inten dan yang lain, telah berkumpul di pendapa. Di antara tamu itu, yang belum nampak hanya Menak Kunjono dan Aras Pepet. Dua orang tokoh Belambangan ini menjadi penasaran dan malu mendengar peristiwa pengacauan itu. Dan mereka berpendapat, kalau tak dapat meringkus si pengacau, berarti muka mereka ditampar dan memperoleh malu. Harga diri mereka akan turun di mata tuan rumah, apa bila mereka tak dapat meringkus pengacau yang hanya seorang itu. Itulah sebabnya
kakak beradik seperguruan ini mengejar ke arah lain. Ia mengejar ke arah selatan. Berarti tanpa sengaja searah dengan Sungsang.
Peristiwa yang baru Saja terjadi, menimbulkan kegemparan. Orang-orang yang ratusan banyaknya dan berkumpul di halaman itu suaranya berisik sekali, saling bicara sendiri, seakan suasana pasar yang sedang ramai. Tetapi bagaimanapun mereka bicara dan mengemukakan pendapat, mereka semua tak juga mengerti peristiwa apa sesungguhnya yang telah terjadi.
Sementara itu Rara Inten masih menunggu Menak Kunjono dan Aras Pepet yang belum tampak hadir. Wajah Rara Inten tampak merah dan matanya berapi. Pertanda bahwa gadis ini amat marah dan penasaran. Sebaliknya Sarni dan Kedasih, wajahnya nampak murung dan berkali-kali mereka menghela napas panjang.
Mengapa?
Ketua dan wakil ketua Perguruan Tuban ini, sekarang sudah memperoleh kepastian bahwa yang menimbulkan keributan ini bukan lain Sungsang. Alasannya amat mudah. Selama terjadi keributan Sungsang tidak tampak, sedang di samping itu baik Ratmi maupun Sukarni lenyap pula tanpa bekas. Maka mereka sudah bisa memastikan, lenyapnya Ratmi dan Sukarni itu tentu dilarikan oleh Sungsang. Itulah sebabnya Sarni dan KedaSih murung dan sedih, karena dua orang ini merasa mempunyai tanggung jawab langsung terhadap dua orang murid itu.
Akan tetapi sesungguhnya bukan hanya Rara Inten yang marah dan penasaran berhadapan dengan peristiwa ini. Semua tamu menyatakan kemarahan. Kemudian mereka berjanji untuk membantu menangkap Sungsang, dan tentang hukuman apa yang harus diberikan kepada Sungsang kelak, itu adalah hak Perguruan Tuban.
untuk mengembalikan suasana, maka oleh Kedasih semua murid Tuban, murid Semeru dan anak buah Kendeng supaya bubaran. Hanya kepada mereka yang bertugas jaga diperintahkan untuk lebih hatihati, lebih tertib dan menambah kewaspadaan. Baru sesudah itu, Rara Inten mempersilahkan Wongso Dipo dan yang lain untuk meneruskan pembicaraan yang belum selesai. Sayang bahwa anggautanya sekarang berkurang tiga orang.
Mengapa Menak Kunjono dan Aras Pepet terlambat datang, dan sekalipun cukup lama ditunggu belum juga muncul?
Memang ada perkembangan baru yang menahan kakak beradik seperguruan ini, tak cepat muncul kembali di rumah Perguruan Tuban. .,
Di luar setahu Rara Inten maupun yang lain, bahwa pertemuan yang mereka lakukan itu, tidak luput dari pengetahuan Madu Bala dan kawan-kawannya.
Untung bahwa Ratu Wandansari telah dengan keras melarang mereka, agar tidak melakukan tindakan apa-apa sebelum pihak mereka memulai. Madu Bala dan kawan-kawannya hanya diberi Wewenang untuk menyelidik maupun mengawasi gerak-gerik mereka saja.
Karena larangan keras dari Ratu Wandansari itulah, maka Madu Bala dan kawan-kawannya tidak berani mengganggu. Akan tetapi diam -diam Sindu sudah menyelinap masuk ke dalam Perguruan Tuban. Seperti perbuatan seekor kucing, Sindu menyembunyikan diri di atas genteng. Berkat kepandaiannya yang amat tinggi dan sikapnya yang amat hati-hati, maka walaupun dalam ruangan di bawah sedang berkumpul beberapa orang tokoh sakti, apa yang dilakukan Sindu tidak diketahui orang.
Mendengar kesombongan Menak Kunjono yang dengan angkuh dan garangnya mau mengalahkan Pangeran Pekik itu. Sindu menjadi penasaran. Maka Sindu berjanji kepada dirinya sendiri, apabila memperoleh kesempatan, ia akan melayani kakak beradik yang sombong itu.
Benarkah tokoh Belambangan itu memang sakti mandraguna dan pilih tanding?
Sindu menjadi geli ketika menyaksikan orang-orang itu bisa ditipu mentah-mentah oleh SungSang. Ia bisa menduga maksud Sungsang sebenarnya. Tentu pemuda bejad moral itu akan melakukan perbuatan yang tercela.
Ternyata kemudian dugaan Sindu tepat. Secara curang Sungsang berhasil menawan Ratmi dan Sukarni. Apa yang dilakukan oleh Sungsang ini justeru membuat Sindu gembira. Inilah merupakan kesempatan yang amat baik untuk menimbulkan kekacauan dan memancing orang-orang itu keluar dari rumah perguruan. Maka begitu Sungsang melarikan diri dan dikejar orang, Sindu segera membantu keselamatan Sungsang. Ia sengaja agar bayangannya bisa diketahui oleh para pengejar. Ketika Sungsang melemparkan batu ke timur, Sindu sengaja menggunakan dirinya agar dikejar orang, guna memberi kesempatan Sungsang lari. Akan tetapi setelah perhatian orang terpancing, ia cepat mengejar Sungsang yang lari ke selatan. Ia membayangi Sungsang, agar tidak tertangkap oleh orang.
Akan tetapi Sindu menjadi kaget dan khawatir, ketika melihat dua sosok bayangan yang bergerak cepat sekali, berlarian ke selatan pula. Akan berbahayalah Sungsang kalau tertangkap, dan gagallah pula usahanya memancing kekacauan.
Akan tetapi bagaimana yang harus dilakukan?
Seorang diri manakah mungkin dapat
mengurus dua persoalan sekaligus?
Kalau mengurus Sungsang. dua orang dalam waktu singkat tentu sudah dapat mengejar Sebaliknya kalau harus mengurus orang ini. bisa jadi kehilangan jejak usahanya mengejar Sungsang dan menyelamatkan dua orang gadis murid Tuban itu. Memang bagaimanapun Sindu takkan tega membiarkan dua orang gadis tersebut menjadi korban keganasan Sungsang.
Untuk sesaat Sindu ragu.
Namun kemudian ia memutuskan untuk menahan dua orang Belambangan ini, guna memberi kesempatan kepada Sungsang lari cukup Jauh.
Memperoleh keputusan seperti itu, Sindu segera berhenti. Ia berdiri ditempat yang cukup lapang, tidak terlindung oleh rimbun daun. Tak lama kemudian datanglah Menak Kunjono dan Aras Pepet.
"Hemm, siapa engkau mengganggu dan mengacau rumah Perguruan Tuban?"
bentak Menak Kunjono yang cepat menduga, bahwa tentu orang yang dihadapi sekarang inilah yang sudah menimbulkan kekacauan.
Sindu terkekeh, kemudian Jawabnya dingin.
Kisah Si Pedang Buntung Lanjutan Ratu Wandansari Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hehhehheh, dengar dan bukalah telingamu lebar lebar! Aku datang dari Belambangan, sedang namaku Menak Kunjono! "
Betapa kaget Menak Kunjono mendengar orang itu mengaku bernama Menak Kunjono, dan mengaku pula berasal dari Belambangan. Akan tetapi sesaat kemudian betapa marah tokoh Belambangan ini, tak mungkin bisa digambarkan. Terang-terangan orang berani memalsu namanya dan melakukan pengacauan di rumah Perguruan Tuban.
Bukankah hal ini merupakan tamparan bagi dirinya yang sedang menjadi tamu?
Akan tetapi sebelum sempat Menak Kunjono membuka mulut, telah didahului
oleh bentakan Aras Pepet.
"Bangsat hina! Engkau berani membuka mulut sembarangan didepan kami, dan memalsu nama orang?"
"Heh-heh-heh! Siapa yang memalsu mama orang? Dengar yang jelas, namaku Aras Pepet."
Dua orang tokoh Belambangan ini tentu saja membelalakkan mata. Tadi mengaku bernama Menak Kunjono, dan sekarang sudah berganti mengaku Aras Pepet. Wajah dua tokoh Belambangan ini mendadak berobah merah saking amat marah. Sadarlah dua orang ini, bahwa mereka telah dipermainkan. Maka hampir berbareng mereka membentak.
"Jahanam! Kau sudah bosan hidup!"
'Keparat! Engkau berani memalsu nama kami dua orang bersaudara?"
"Heh-heh-heh,"
Sindu terkekeh geli,
"apakah kamu ini dua orang tokoh Belambangan yang sombong itu? Hemm, mulutmu terlalu besar berani sesumbar sanggup mengalahkan raja kami Pangeran Pekik. Apakah kamu mempunyai nyawa rangkap, berani menantang raja Gagak Rimang? Tak perlu kamu menantang raja kami. Salah seorang dari anak buahnya, akan sanggup membuktikan bahwa kamu ini sesungguhnya hanya tong kosong berbunyi nyaring!"
Tiba-tiba saja Menak Kunjono terkekeh geli mendengar ucapan orang yang demikian sombong. Dirinya dan adik seperguruannya, di wilayah Belambangan terkenal sebagai dua orang tokoh sakti tanpa tanding.
Manakah takut ditantang oleh seorang kakek bertubuh kurus ini?
"Heh-heh-heh, engkau belum kenal kami, maka berani sombong! Apakah engkau sudah bosan hidup?
Huh, aku akan berguru kepadamu, apabila dalam waktu limapuluh jurus engkau tidak roboh dalam tanganku !"
Begitu mengucapkan kata-katanya itu. Menak Kunjono sudah menyerang, tanpa memberi kesempatan kepada lawan untuk bersiap diri. Memang beginilah watak tokoh Belambangan ini. Ia merupakan seorang yang wataknya berangasan di samping tinggi hati. Akan tetapi juga tidak segan-segan menyerang lawan yang belum siap. Hal ini memang disengaja. Agar musuhnya menjadi gugup, dan dalam waktu singkat dapat mengalahkan lawan.
Dan kenyataannya Menak Kunjono ini, memang bukan sembarang orang. Begitu tangannya bergerak memukul, angin yang kuat segera menyambar ke arah Sindu. Sambaran angin sedahsyat itu, jangankan manusia yang tersambar tidak roboh menderita luka parah, pohon yang cukup besarpun akan tumbang atau patah. Sedang batu yang cukup besar juga segera pecah.
Untung sekali bahwa yang diserang sekarang ini Sindu. Seorang tokoh pendiam sederhana dan tidak pernah mau menyombongkan diri. Begitu merasa ada angin menyambar, dengan gerakannya yang ringan dan gesit telah menghindarkan diri ke samping. Hingga sambaran pukulan itu luput. Yang celaka adalah sebatang pohon yang berada di belakang Sindu. Begitu tersambar oleh angin pukulan dahsyat,
krakk.... patahlah pohon sebesar paha orang itu, kemudian menimbulkan suara gemerasak lalu roboh.
Menak Kunjono bertambah kemarahannya. Begitu serangannya yang pertama luput, ia sudah menggerakkan tangannya lagi untuk memukul. Kali ini tenaganya ditambah. Sebab Menak Kunjono memang berkehendak segera dapat merobohkan lawan dalam waktu singkat.
Disaat Sindu kembali menghindarkan diri dan belum juga mau membalas serangan lawan, tiba-tiba berkelebatlah dua bayangan orang yang seperti tatit cepatnya. Belum juga orangnya tiba suaranya sudah terdengar,
"Hai saudara Slndu! Kau berkelahi dengan siapa?"
"Sungguh kebetulan,"
sahut Sindu sambil meloncat menghindarkan diri.
Saat ini ia Justeru gelisah, memikirkan dua orang gadis murid Tuban yang dicullk oleh Sungsang. Maka kehadiran dua orang kawannya itu amat menggembirakan Sindu.
"Aku serahkan dua orang ini kepada kalian. Aku masih mempunyai sebuah tugas lain. "
Tanpa menunggu jawaban, Sindu sudah melesat pergi. Tetapi dari jauh masih terdengar suara Sindu.
"Saudara. Madu Bala dan saudara Yoga Swara! Dua orang itu adalah tokoh Belambangan, bernama Menak Kunjono dan Aras Pepet. Dua orang itu terlalu sombong dan besar mulut. Tadi didepan sekutunya, menyombongkan diri akan menghajar raja Gagak Rimang, Pangeran Pekik. Cobalah kalian layani, benarkah mereka cukup berharga berhadapan dengan paduka raja Gagak Rimang? Tetapi kalau-memang hanya besar mulut, sepantasnya kalian bubuti saja kumis dan jenggot tikusnya itu!"
"Jangan khawatir!"
sahut Madu Bala.
"Kalau perlu akan adik bubuti pula rambut kepalanya biar pelontos, heh-heh-heh!"
Mendengar jawaban Madu Bala itu, Sindu pun tertawa. Ia cukup kenal akan watak Madu Bala yang suka ugal-ugalan berhadapan dengan lawan. Maka dua orang tokoh Belambangan yang sombong itu, tepat apabila di hadapkan kepada Madu Bala. Biar tahu rasa nanti. Kalau tak mampu melawan tokoh Gagak Rimang yang berangasan itu mereka akan dipermainkan begitu rupa.
Sindu segera bergerak gesit langsung ke barat. Akan tetapi diam-diam hatinya agak gelisah, kalau sampai terlambat. Akan celakalah dua orang murid Tuban itu di tangan laki-laki bejat moral seperti Sungsang.
Biarlah Sindu berlarian terus mencari jejak Sungsang. Kita lihat dulu apa yang akan terjadi antara Madu Bala dan Yoga Swara, yang sekarang sudah berhadapan dengan Menak Kunjono dan Aras Pepet. Sulit dibayangkan betapa mendongkol hati Menak Kunjono itu, belum juga bergebrak sudah ditinggalkan lawan. Ia merasa di hina dan direndahkan orang. seakan dirinya tak berharga. Maka dengan wajahnya yang merah padam, ia sudah membentak.
"Hai, siapakah kamu ini? Dan apakah maksudmu petita-petiti di depanku?"
Bergelak Madu Bala saking geli, mendengar katakata Menak Kunjono yang begitu sombong ini.
"Hehheh-heh, apakah telingamu tuli? Apakah matamu buta? Kami dua orang ini bukan lain raja-raja muda Gagak Rimang yang namanya amat terkenal sakti mandraguna, dengan nama Madu Bala. Dan dia inilah raja muda Gagak Rimang yang terkenal gagah perkasa, Yoga Swara! Bagaimanakah sekarang? Jadikah kamu menantang raja kami Pangeran Pekik? Kalau benar, raja kami mana sudi melayani manusia-manusia tak berharga seperti kamu? Menghadapi kami saja, engkau tentu babak belur dan lari terkencing kencing, heh hehheh! "
Sengaja Madu Bala mengucapkan jawaban seperti ini. ia memang terkenal sebagai seorang yang suka main "ugal ugalan". Lebih lagi, kalau orang sudah memulai seperti Menak Kunjono ini. Kontan saja Madu Bala tentu membalas tak kurang garangnya, juga tak segan-segan pula mengejek orang sejadinya. Mendengar itu Yoga Swara hanya tersenyum. tetapi hatinya amat geli.
Tak dapat dilukiskan betapa marah, mendongkol dan penasaran Menak Kunjono maupun Aras Pepet mendengar kata-kata Madu Bala ini. Bagi mereka memang telah banyak mendengar bahwa pemimpin Gagak Rimang terkenal gagah-perkasa dan sakti mandraguna. Lebih lebih nama Kreti Windu banyak disanjung orang tentang kesaktiannya. Akan tetapi dua orang tokoh sakti Belambangan ini merupakan tokoh-tokoh yang tak gampang percaya akan kata orang. sebelum mereka mencoba dan membuktikannya. Itulah sebabnya baik terhadap Pangeran Pekik maupun yang lain, mereka tidak takut menghadapi.
Saking marah, Menak Kunjono menatap Madu Bala dengan sepasang matanya yang menyinarkan api. Giginya gemeretak dan napasnya mendengus-dengus. lalu terdengarlah bentakannya lantang.
"Jahanam busuk! Engkau bisa mengumbar mulut di depan orang lain, tetapi jangan di depan Menak Kunjono. Mau mencoba? Nih rasakan pukulanku!"
Sambil mengucapkan kata-katanya yang terakhir. Menak Kunjono sudah mencelat ke depan. Tangan kanan dengan jari-Jari terbuka menampar. kemudian disusul oleh tangan kiri yang menampar pula.
"Plak plak.......!"
Begitu dua belah telapak tangan saling bertemu, dua orang itu tampak terhuyung mundur. Hanya bedanya, Menak Kunjono dua langkah mundur, sedang Madu Bala hanya selangkah saja.
Memang kali ini Menak Kunjono ketanggor. Tampaklah perbedaan watak Sindu dengan Madu Bala. Kalau Sindu tadi menghindarkan serangan Menak Kunjono, sebaliknya Madu Bala yang ugal-ugalan, tak mau mengalah begitu saja. Tempuran tangan kanan Menak Kunjono diterima dengan tangan kiri. sedang tamparan tangan kiri diterima oleh telapak tangan kanan. Benturan tenaga tersebut, membuat masing-masing terhuyung mundur. Namun terbukti bahwa Madu Bala lebih kuat.
"Heh-heh-heh,"
Madu Bala tertawa mengejek. Kemudian tanpa memberi kesempatan lagi kepada lawan, Madu Bala sekarang sudah berganti bergerak, membalas serangan Menak Kunjono tadi. Tangan yang kanan bergerak dengan jari terkenal dan tangan kiri dengan jari jari terbuka siap untuk mencengkeram bagian tubuh lawan yang lemah.
Angin menyambar dahsyat. Menak Kunjono tak berani melawan dengan keras. Ia cepat menghindarkan diri meloncat ke samping. Akan tetapi sambil terkekeh mengejek, Madu Bala terus menghujani pukulan-pukulan bertenaga.
Melihat kakak seperguruannya sudah bergebrak dengan seorang kakek yang wajahnya jelek itu, Aras Pepet terasa gatal tangannya. Tanpa membuka mulut, ia sudah menerjang kepada Yoga Swara yang tidak bersiaga sama sekali. Sengaja Aras Pepet menggunakan kesempatan di saat lawan tidak bersiaga, dalam usahanya memperoleh kemenangan.
Sayang sekali bahwa yang diserang sekarang ini Yoga Swara, seorang tokoh nomer dua sesudah Pangeran Pekik dalam Gagak Rimang. Maka sekalipun diserang secara curang. Yoga Swara tidak gugup. Begitu merasakan sambaran angin, dengan amat ringannya sudah menghindarkan diri sambil menampar dengan tangan kiri. Akibatnya Aras Pepet pun terpaksa meloncat ke samping pula,,
Empat orang tokoh sakti ini, dalam waktu singkat telah berkelahi sengit sekali. Angin menderu-deru melanda sekitarnya, sehingga pohon-pohon kecil dan daun daun pohon bosah-basih berhamburan.
Setelah mereka saling bergebrak dan berkelahi, diam diam masing-masing pihak kaget. Pihak Menak Kunjono dan Aras Pepet, baru terbuka matanya sekarang, benar apa yang dikabarkan orang bahwa Gagak Rimang memiliki beberapa tokoh sakti yang tak dapat diremehkan. Kalau baru pembantu-pembantunya saja sudah demikian tangguh, tentu Pangeran Pekik lebih lagi.
Sebaliknya dalam hati Madu Bala dan Yoga Swara mengakui, bahwa lawannya sekarang ini cukup alot dan atos. Pantas saja berani sesumbar menentang rajanya. Kalau mereka tadi tidak datang, belum tentu Sindu seorang diri mampu melawan dua orang itu. Akan tetapi sekalipun demikian, baik Madu Bala maupun Yoga Swara adalah tokoh tokoh sakti yang telah cukup pengalaman. Maka setelah bertempur puluhan jurus lamanya, dapat menunjukkan kelebihannya. Sedikit demi sedikit mereka mulai dapat menekan dan mendesak lawan. Sambaran-sambaran pukulannya makin menjadi lebih mantap dan mengandung tenaga yang berbahaya. Sebaliknya baik Menak Kunjono maupun Aras Pepet main mundur.
Akan tetapi walaupun gerakannya terdesak mundur, kakak beradik seperguruan ini, tidak menjadi turun semangatnya. Tiba-tiba seperti ada yang memberi aba-aba, kakak beradik seperguruan ini menggerakkan dua tangannya ke depan mendorong dibarengi oleh bentakan mereka yang menggeledek. Dorongan itu menerbitkan angin yang amat dahsyat. Sedang bentakannya tadi bukanlah sekadar bentakan akan tetapi adalah pengerahan suara yang dilambari oleh Aji Panggendaman. Pengaruh Aji Panggendaman ini bukan saja dapat membuat orang
kaget, tetapi juga bisa mengguncangkan isi dada dan menyebabkan luka dan salah-salah malah dapat menyebabkan lawan tewas. Dan sesungguhnya, aji Panggendaman inilah yang dijadikan tiang andalan bagi Menak Kunjono dan Aras Pepet, apabila menghadapi lawan tangguh. Kalau lawan tidak menjadi roboh oleh bentakannya, sedikitnya akan membuat kaget. Di saat lawan kaget inilah dapat menurunkan tangan maut.
Akan tetapi sayang sekali, yang mereka hadapi sekarang ini Madu Bala dan Yoga Swara. Dua orang raja muda Gagak Rimang. Kalau peristiwa ini terjadi dua atau tiga tahun yang lalu, mungkin isi dada Madu Bala maupun Yoga Swara terguncang dan terluka 'Akan tetapi sekarang, dua orang raja muda Gagak Rimang ini lain. Selama berdiam di Surabaya dan merupakan pembantu-pembantu utama Pangeran Pekik, dua orang ini memperoleh gemblengan secara khusus tentang ilmu rahasia Gagak Rimang yang bernama Bajra Sayuta. Walaupun tingkat Madu Bala dan Yoga Swara masih terpaut agak jauh dengan Pangeran Pekik, namun bagaimanapun pula mereka ini merupakan manusia-manusia berani gagah perkasa.
(Bersambung jilid 18 )
*******
BENAR bentakan Menak Kunjono dan Aras Pepet yang dilambari Aji Panggendaman tadi, cukup membuat Madu Bala dan Yoga Swara kaget. Akan tetapi tidak mampu menbuat terguncangnya isi dada apa lagi menyebabkan luka. Sebab tenaga sakti Bajra Sayuta melindungi mereka oleh serangan dari luar. Tetapi dalam kagetnya, Madu Bala dan Yoga Swara agak kurang cepat gerakannya. Madu Bala terserempet pundak kanannya oleh tenaga dorongan Menak Kunjono. Sedang Yoga Swara terserempet dadanya sehingga merasa agak sesak.
Memperoleh hasil ini, sekalipun diam diam Menak Kunjono dan Aras Pepet heran dan kagum atas kekuatan lawan, menjadi gembira juga. Ternyata bahwa Aji Panggendaman yang diandalkan itu mempunyai pengaruh yang hebat sekali. Maka apa bila semula mereka terdesak, sekarang keadaan kembali seimbang. Mereka berkelahi dengan gerak cepat. Dan dalam menekan lawan, dua orang tokoh Belambangan ini terus membentak bentak menggunakan Aji Panggendaman, bermaksud membuat lawannya mati kutu dan dalam waktu tak lama bisa dirobohkan.
Akan tetapi keceliklah dua tokoh Belambangan ini apa bila menganggap bahwa Aji Panggendaman itu dapat dijadikan tiang andalan, guna mengalahkan dua orang
tokoh Gagak Rimang ini, yang sudah memperoleh gemblengan Pangeran Pekik. Sebab selama melawan tadi, baik Madu Bala maupun Yoga Swara masih terbatas menggunakan ilmu miliknya sendiri, ajaran dari perguruan masing-masing. Soalnya mereka ini amat tunduk kepada pesan Raja Gagak Rimang, dilarang menggunakan ilmu rahasia Gagak Rimang yang bernama Bajra Sayuta. Pesan dan larangan itu baru boleh dilanggar apa bila menghadapi musuh berat dan terancam oleh bahaya.
Namun sekarang, Menak Kunjono dan Aras Pepet ini termasuk lawan yang cukup berat. Tanpa menggunakan ilmu rahasia Bajra Sayuta, mereka ragu-ragu dapat mengalahkan lawan. Tiba-tiba saja terdengar suara Madu Bala,
"Yoga Swara! Telah cukup lama kita bermain-main. Kita tidak ada waktu. Mari segera kita usir anjing-anjing ini dengan lesus!"
Yoga Swara tertawa. Ia dapat menangkap maksud Madu Bala. Yang dimaksud "lesus"
itu adalah Ilmu Bajra Sayuta. Memang tepat dikatakan "lesus", karena apa bila ilmu tersebut dipergunakan, dari telapak tangan mereka akan segera ke luar angin mujijad yang kuat sekali seperti lesus. Maka sahut Yoga Swara,
"Baik, mari kita usir orang-orang sombong ini!"
Yoga Swara memang lebih halus dibanding Madu Bala. Ia seorang pendiam yang jarang berkelakar dan tidak suka ugal-ugalan. Maka ia tak sanggup untuk menyebut lawannya dengan sebutan'"anjing"
seperti yang diucapkan Madu Bala tadi.
Begitu sependapat, dua orang tokoh Gagak Rimang ini segera merobah cara berkelahinya. Kalau mereka tadi bergerak cepat, sekarang berubah menjadi lambat. Akan tetapi sekalipun gerakan mereka lambat, sekitar tubuh mereka telah dilindungi oleh hawa sakti dan dari
telapak tangan mereka menyambar -nyambar angin dahsyat. Dengan demikian, serangan dan pukulan lawan tak pernah berhasil menyentuh tubuh mereka.
Sayang sekali bahwa Madu Bala maupun Yoga Swara baru sampai ketataran tujuh saja. dapat mempelajari Ilmu Bajra Sayuta. Kalau saja mereka telah berhasil sampai ketataran ke sembilan ,mereka akan dapat mempermainkan lawan. Dengan tenaga Bajra Sayuta, dahulu Jaka Pekik dapat mempermainkan Gupala dan Patra Jaya, tanpa diketahui lawan. Dahulu, setiap Patra Jaya menyerang oleh Jaka Pekik dikembalikan dan ditangkis. Akan tetapi setiap Gupala menyerang. Jaka Pekik mengalihkan pukulan-pukulan Gupala ke arah Patra Jaya. Akibatnya Patra Jaya menjadi salah duga. Menuduh bahwa Gupala malah memusuhi dirinya. Itulah sebabnya antara Gupala dan Patra Jaya kemudian terjadi permusuhan dan berakhir mereka mati sampyuh di Kendeng.
Kalau saja Madu Bala telah dapat mencapai tingkat sedikit di bawah Jaka Pekik, tentu Madu Bala akan dapat mempermainkan dua orang lawan ini. Dan sesuai dengan wataknya yang suka ugal-ugalan, tentu Madu Bala akan berbuat lebih hebat dibanding dengan Raja Gagak Rimang sendiri. Dan ini merupakan keuntungan bagi Menak Kuniono maupun Aras Pepet sendiri.
Sekarang setelah Yoga Swara maupun Madu Bala menggunakan ilmu Bajra Sayuta, keadaan cepat berubah. Baik Menak Kunjono maupun Aras Pepet merasa ditindih oleh tenaga dahsyat yang tidak nampak, yang membuat dada mereka makin lama semakin sesak. Sebagai akibat tindihan tenaga dahsyat yang tak tampak ini, kakak beradik seperguruan itu menjadi penasaran. Mereka kembali membentak-bentak menggunakan Aji Penggendaman. Akan tetapi betapa kaget dua orang tokoh Belambangan ini, bahwa bentakan Aji Panggendaman itu tidak merobah keadaan, dan mereka tetap saja tertindih dan terdesak.
"Heh-heh-heh,"
Madu Bala terkekeh setelah dapat mendesak lawan, sehingga lawan tak bisa berkutik.
'Yoga Swara. Ayo lekas kita usir anjing kudisan ini. Makin lama aku tak kuat menahan bau yang tak enak ini!"
"Marilah!"
sahut Yoga Swara singkat, tanpa menanggapi sikap Madu Bala yang ugal-ugalan itu.
Tiba-tiba saja gerakan dua orang tokoh Gagak Rimang ini berobah. Tampak lebih lambat lagi dan sambaran angin yang keluar dari telapak tangan mereka berkurang. Menak Kunjono maupun Aras Pepet salah duga. Mereka mengira bahwa bentakan bentakan yang mengandung tenaga Aji Panggendaman telah berhasil menguasai lawannya.Tiba tiba kakak beradik seperguruan ini mengerahkan semangat, membentak lebih nyaring lagi sambil melancarkan serangan maut. Tangan kanan yang terkenal menghantam ke depan diikuti tangan kiri dengan jari-jari terbuka, siap untuk mencengkeram bawah pusar lawan.
Melihat serangan yang keji ini, Madu Bala menjadi marah sekali. Kalau semula hanya ingin mengusir saja, sekarang lain.
"Plak plak.... krak....... aduhh.......!"
Tubuh Menak Kunjono terhuyung-huyung ke belakang beberapa langkah sambil mendesis dan meringis kesakitan. Tangan yang kiri terkulai, tergantung. karena tulang pundaknya sudah lepas oleh pukulan Madu Bala.
Aras Pepet lebih untung, karena yang dihadapi Yoga Swara. Ia tidak memperoleh cedera, akan tetapi pukulan Yoga Swara yang mengenai dadanya secara tepat, telah membuat tokoh Belambangan ini muntah darah segar.
Lukanya tidak berat akan tetapi sudah membuat Aras Pepet dadanya sesak sekali dan pandang matanya menjadi gelap.
"Heh-heh-heh!"
Madu Bala ketawa terkekeh mengejek.
"Terbukti kamu Ini hanya gentong-gentong kosong yang berlagak. Baru berhadapan dengan kami saja tak mampu, mengapa menantang raja kami? Hadiah kami ini,jadikan peringatan. Jangan sembarangan membuka mulut. Dan apa bila kamu penasaran, kapan saja akan aku layani sagendingmu !"
Kalau Madu Bala mengejek, sebaliknya Yoga Swara hanya berdiam diri. Ia tak sampai hati berbuat seperti Madu Bala.
Betapa marah, menyesal dan penasaran yang berkacamuk dalam dada Menak Kunjono maupun Aras Pepet, sulit dilukiskan. Kakak beradik seperguruan itu mendelik. Tak lama kemudian terdengarlah jawaban Menak Kunjono.
'Hemm. akan datang saatnya kami membalas sakit hati ini, Madu Bala dan Yoga Swara. Dengar baik baik, tiga bulan lagi kami menantang kalian untuk bertanding seorang lawan seorang di atas Gunung Pandan. Kita tentukan saja di waktu bulan purnama. Apa bila pada waktu yang telah ditemukan kamu tidak muncul, berarti kamu ketakutan. Dan jangan sesalkan kami, yang akan mengumumkan kepada semua orang."
"Heh-heh-heh! Kapan saja dan di mana saja. Madu Bala takkan gigrig! Bagus, tiga bulan lagi di saat bulan purnama. Aku akan datang ke puncak Gunung Pandan. Tetapi dengar, dalam pertandingan itu Jangan kauharap aku sedia mengampuni lagi."
"Engkaulah yang akan mampus dalam tanganku. Huh!"
Menak Kunjono geram. Kemudian tanpa rewel
rewel lagi, kakak beradik seperguruan ini telah ngeloyor pergi. Madu Bala mengikuti kepergian mereka dengan terkekeh. Lalu ia mengamati Yoga Swara sambil berkata,
"Sayang, Gusti Wandansari tidak mengijinkan aku menuruti kemauanku sendiri .Terpaksa kita memberi ampun kepada jahanam tak tahu malu itu. Bagaimanakah kita sekarang? Ke mana?"
"Aku tertarik ucapan Sindu tadi,"
sahut Yoga Swara.
"Dia bilang masih ada sebuah urusan lagi yang penting. Urusan apakah itu? Mari kita susul. Siapa tahu dia berhadapan dengan bahaya !"
"Marilah!"
Madu Bala setuju.
Dua orang tokoh Gagak Rimang ini, dengan gesit sudah bergerak menuju kearah ke mana Sindu tadi pergi.
Kalau Madu Bala dan Yoga Swara dalam waktu singkat sudah jauh meninggalkan tempat perkelahian itu, sebaliknya Menak Kunjono dan Aras Pepet tak lekas pergi jauh. Mereka terpaksa berhenti dan mengurus diri masing-masing. Menak Kunjono terpaksa harus mengembalikan letak tulang pundak yang lepas oleh pukulan Madu Bala, kemudian membubuhkan obat basah pada pundaknya. Adapun Aras Pepet cepat mengambil simpanan obatnya. Buru-buru ia menelan dua butir obat kering, guna mengobati isi dadanya yang terguncang.
Setelah selesai mengurus diri masing-masing, terdengarlah Menak Kunjono bertanya,
"Pepet, bagaimanakah menurut pendapatmu? Kita kembali ke rumah Perguruan Tuban ataukah diam diam kita puiang? Kita menggembleng diri, dan tiga bulan kemudian kita datang ke puncak Gunung Pandan untuk membunuh mereka?"
"Kakang, kurasa kurang tepat apa bila kita pulang di saat mereka membutuhkan. bantuan kita."
sahut Aras
Pepet.
"Kita telah berjanji. Mengapa kita harus ingkar janji? Kakang, sungguh amat memalukan, dan apa kata mereka? Martabat dan harga diri kita akan hancur dalam pandangan mereka. Lebih-lebih lagi kita harus ingat kepada saudara Wongso Dipo. Kasihan suami isteri yang baik hati itu apa bila oleh perbuatan kita, semua orang tak mau percaya lagi."
"Tetapi bagaimanakah kita harus memberi alasan kepada mereka, bahwa kita terlalu lambat ?"
"Ha-ha-ha."
Aras Pepet tertawa.
"mengapa masalah sekecil ini kaurepotkan? Biarlah nanti aku yang menjawab dan menerangkan sebabnya kita lambat. Bukankah amat gampang? Kita gunakan alasan belum mengenal wilayah Tuban ini. Akibatnya kita tersesat dan berputar-putar. Itulah sebabnya lambat."
Alasan itu memang masuk akal. Maka Menak
Kunjono setuju. Lalu dengan langkah seenaknya, mereka menuju ke rumah Perguruan Tuban.
Bagaimanakah dengan Sindu yang berusaha mencari jejak Sungsang?
Kakek ini hatinya berdebar tegang. Ia kenal kecerdikan dan kelicinan Sungsang. Ia menduga, bahwa tidak mungkin Sungsang berani mengganggu dua orang gadis murid Tuban itu, di tempat yang berdekatan dengan rumah Perguruan Tuban. Sebab dia tentu mengenal bahaya yang sewaktu waktu datang.
Akan tetapi, ke manakah kepergian Sungsang itu ?
Dunia ini amat luas. musim kering pula. Sulit untuk mencari jejak Sungsang. Sebab tidak ada bekas bekas kaki yang ditinggalkan. Apa bila terlambat menolong. sulit dibayangkan bagaimanakah nasib dua arang gadis murid Tuban itu. Sindu berdiri di atas sebuah batu cukup besar. sambil mengamati sekeliling sambil menduga-duga.
Memasang telinga, memusatkan panca inderanya agar dapat mendengar suara pada jarak jauh. Namun, tidak terdengar suara yang mencurigakan .Yang terdengar hanyalah suara binatang hutan, sehingga amat mengganggu pendengarannya.
"Hemm........ kasihan gadis itu......"
Sindu mengeluh perlahan,
""...... ke manakah aku harus mencari? Tidak nampak bekas bekas kaki '
Ia menghela napas panjang. Setelah beberapa saat ia memutar otak dan mencari akal guna menentukan arah ke mana Sungsang melarikan diri, tiba-tiba saja ia berjingkrak sendiri. Gumamnya,
"Ah.. Sindu Sindu. Mengapa sekarang engkau menjadi setolol ini? Membuang waktu tanpa guna hanya berhadapan dengan peristiwa kecil seperti ini? Heh-heh-heh. kalau engkau kesulitan mencari jejak di atas tanah, mengapa engkau tidak menyelidiki pada pohon-pohon kecil, rumput-rumput dan semak yang roboh? Dari situlah engkau bakal memperoleh jejak Sungsang. Hutan ini banyak pohon-pohon kecil dan semak, maupun rumput tinggi. Sekalipun cerdik, tak mungkin Sungsang dapat menghindarkan diri dari keadaan itu."
Memperoleh pikiran demikian, berseri wajah kakek ini. Ia melayang turun dari batu tersebut, kemudian menyelidik sekitarnya dengan teliti dan hati-hati.
Akan tetapi bicara memang gampang. Dan melaksanakannya belum tentu. Beberapa saat lamanya ia menyelidik. dengan hati-hati'dan tekun. Dengan bantuan sinar bulan yang keemasan, pekerjaannya lebih mudah dilaksanakan. Tetapi yang membuat kakek ini menghela napas, karena apa yang dibutuhkan untuk menentukan arah Sungsang, belum juga bisa ditemukan. Dan kalau
saja bukan Sindu yang harus melakukan penyelidikan ini, tentu sudah menjadi bosan.
Bukankah dirinya tak mempunyai hubungan apa apa dengan dua orang murid Perguruan Tuban itu?
Dan sepantasnya pula yang harus sibuk dan berusaha mencari, adalah pihak Perguruan Tuban sendiri. Sebab peristiwa seperti ini, bagaimanapun akan merupakan tamparan hebat, dan Perguruan Tuban itu sendiri yang akan menderita malu.
Untung bahwa Sindu tidak mempunyai pendapat dan pikiran semacam itu. Benar ia tidak mempunyai sangkutpaut apa-apa dengan dua orang murid Tuban itu. Dihina, disiksa dibunuh sekalipun, dirinya tidak menderita rugi sedikitpun. Tetapi Sindu tak dapat membiarkan perbuatan orang yang sewenang-wenang, dan melakukan perbuatan tercela kepada manusia lain. Maka bagaimanapun sulitnya, dan apapun kesukaran yang dihadapi, ia akan tetap berusaha. Tetap meneliti dan menyelidik, guna mendapatkan tanda-tanda yang dapat dijadikan sebagai petunjuk mencari jejak Sungsang.
Ternyata kemudian usaha Sindu tidak sia-sia belaka. Setelah beberapa lama meneliti keadaan tampak oleh Sindu sebatang pohon kecil yang patah. Dari bekas bekasnya terlihat oleh Sindu, bahwa pohon tersebut terinjak oleh kaki yang melangkah tergesa. Jelas bahwa orang yang dicari berlarian ke arah barat. Diam-diam Sindu mengangguk-angguk dan memuji kecerdikan Sungsang. Sebab dengan menuju ke barat, berarti orang yang akan mencari jejaknya memperoleh kesulitan. Sebab merupakan hutan belantara dan bukit bukit yang sambung menyambung cukup luas. Dengan demikian banyak memperoleh kesempatan untuk bersembunyi di dalam goa maupun di tengah gerumbul pohon dan semak belukar. Lebih-lebih hutan dan bukit ini, belum mempunyai
penghuni. kecuali binatang binatang. Maka Sungsang memperoleh kesempatan luas tanpa rasa takut diketahui orang perbuatannya.
Dengan gerakannya yang geSit, Sindu pun segera berlarian ke barat sambil berlarian pandang matanya meneliti keadaan. Sebab taklah mungkin mencari jejak orang di waktu malam tanpa menyelidik secara seksama. Tetapi setelah berlarian cukup jauh ke barat, hatinya terasa berdebar sendiri. Ia tak menemukan lagi jejak Sungsang. Tidak ada bekas-bekas rumput terinjak maupun pohon kecil patah. Maka Sindu berhenti sambil menebarkan pandang matanya beberapa lama sambil berpikir. ,
"Ke mana bocah itu pergi?"
tanya hatinya.
Dengan langkahnya yang perlahan kemudian Sindu menyelidik sekitarnya. Akan tetapi tak juga ia menemukan jejak yang dicari. Akhirnya terpikir untuk sekedar menyelidik sambil menuju ke timur kembali. Siapa tahu bocah yang cerdik itu telah menghilangkan jejak berbelok ke selatan.
Diam diam Sindu penasaran.
Mengapa hanya berhadapan dengan bocah itu saja, dirinya kesulitan?
Untuk menghentikan usahanya mencari, hatinya terasa tidak tega. Ia merasa kasihan sekali apa bila dua gadis yang tak berdosa itu menjadi korban kebiadaban Sungsang. Dalam pada itu iapun diam diam merasa ikut bertanggung jawab terjadinya peristiwa ini.
Bukankah sebabnya Sungsang dapat lolos dari kejaran orang orang, oleh perlindungannya pula?
Kalau saja ia tadi tidak menghadang Menak Kunjono maupun Aras Pepet, manakah mungkin Sungsang dapat melepaskan diri dari dua orang tokoh Belambangan itu?
Di saat Sindu agak kebingungan dalam usahanya mencari jejak Sungsang Ini, tiba-tiba terdengar suara jerit perempuan. Dua kali , lalu disusul oleh suara ketawa yang terkekeh. Secepat terbang Sindu melompat, kemudian berlarian ke selatan. Setelah menuruni sebuah bukit, tibalah ia pada suatu lembah. Pada lembah ini banyak tumbuh rumput yang subur dan tinggi. Sindu tersenyum. Di depannya terlihat rumput yang roboh, merupakan tanda belum lama berselang diterjang orang. Diikutinya jejak itu. Tak lama kemudian tibalah ia pada lembah yang banyak tumbuh pohon-pohon tinggi.
Akan tetapi Sindu menjadi heran dan ragu.
Mengapa tidak ia dengar lagi suara orang?
Ia melangkah dengan perlahan dan hati hati, sambil memasang telinga agar dapat menangkap suara yang halus sekalipun.
Tiba-tiba tak jauh di depan, Sindu melihat sebuah gubug di bawah pohon rindang, dan tak jauh dari gubug itu tampak sebuah mata air. Ia dapat menduga, gubug itu dibangun oleh pemburu, sebagai tempat untuk melepaskan lelah.
Gubug itu gelap tanpa penerangan. Dan karena sekitar gubug itu tumbuh pohon-pohon tinggi, besar dan daunnya rimbun. maka sinar bulan tak kuasa menembus kebawah. Tetapi sekalipun gelap bagi pandang mata Sindu yang awas tak begitu kesulitan mengenal keadaan.
Keadaan lembah ini cukup sunyi. Yang terdengar hanyalah suara jangkrik dan walang seakan saling memamerkan suaranya. Dan kadang pula ditambah pula oleh suara gemericik rumput, yang diterjang oleh binatang binatang kecil atau ular yang terkejut dan melarikan diri.
Dalam sunyi malam yang hanya diisi oleh suara jangkrik dan walang ini mendadak Sindu menghentikan langkahnya dengan keheranan. Jerit yang ia dengar tadi tak terdengar lagi. Malah sekarang yang ia dengar berganti dengan suara ketawa yang perlahan, suara ketawa mesra, disela jerit jerit kecil penuh arti. Akan tetapi anehnya pula, di antara suara ketawa laki-laki, jerit kecil perempuan, juga terdengar pula suara orang yang terisak-isak,
Sindu menjadi ragu-ragu. Sebagai seorang kakek, tentu saja cukup tahu akan arti suara yang didengarnya.
"Celaka!"
ia mengeluh seorang diri.
"Kalau demikian, mereka tidak memerlukan pertolongan. Agaknya dua gadis itu memang sudah saling setuju melarikan diri bersama Sungsang."
"Tetapi mengapa tadi aku mendengar jeritannya? Dan mengapa pula sekarang aku mendengar suara isak tangis?"
katanya lagi dalam hati, penuh rasa ragu.
"Hemm, agaknya salah seorang dari mereka tak mau tunduk kepada Sungsang, maka menjerit. Sekarang agaknya dia menangis terisak isak, sebaliknya yang seorang malah cekikikan bercanda dengan Sungsang."
Sindu berdiri mematung penuh rasa ragu dan bimbang. Kalau murid Tuban itu dengan senang hati melayani Sungsang, kelirulah dirinya campur tangan. Sesaat kemudian Sindu membalikkan tubuh. Akan tetapi baru saja ia akan melangkah, mendadak terdengar suara campur isak.
"Huk-huk-huk....... kembalikan aku sekarang... Aku tak sudi......"
"Karni....... jangan engkau keras kepala seperti itu,"
terdengar suara perempuan yang memberi nasihat dan membujuk.
"Kita akan bahagia di samping kakang Sungsang. Kita berdua menjadi kekasih yang takkan pernah
terpisah. Karni, kakang Sungsang bukan saja tampan... hi-hihik.... tetapi juga sakti mandraguna. Karni, percayalah padaku. Tak gampang kau mencari kekasih yang dapat menandingi kakang Sungsang. Maka Karni, ikutilah jejakku dan contohlah apa yang aku lakukan ini. Engkau akan memperoleh kebahagiaan......."
"Tak sudi..... Kembalikan aku. Huk-huk-huk..... jangan kaupaksa dan bujuk aku! Lepaskan..... lepaskan tali yang membelenggu kaki dan tanganku ini...... huk-huk huk......"
"Heh-heh-heh kalau bisa. lepaskan sendiri!"
ejek Sungsang sambil terkekeh.
"Adik manis, lebih baik engkau menyerah secara suka rela seperti adik Ratmi ini. Percayalah, engkau akan bahagia hidup di sampingku. Aku akan mendidik engkau berdua menjadi wanita-wanita perkasa yang memiliki Aji Wisa Naga. Maka engkau jangan keras kepala, adik manis......!"
"Lepas...... lepaskan tali tali ini.....!"
jerit Sukarni.
Tidak perduli akan bujukan Ratmi maupun Sungsang.
Mendengar pembicaraan mereka itu, Sindu berdiri seperti patung, sambil menghela napas. Sekalipun ia tak melihat mereka, namun sudah dapat menduganya. Jelas bahwa Ratmi menyerah secara suka rela kepada Sungsang. Gadis itu sudah terbujuk oleh mulut manis Sungsang, sehingga terpengaruh dan jatuh cinta. Agaknya gadis itu tak tahu, bahwa sebenarnya Sungsang adalah manusia buaya yang amat berbahaya.
Akan tetapi salahkah Ratmi jika mengimbangi maksud Sungsang dan memberikan cinta kasihnya?
Tidak!
Sindu tidak dapat mempersalahkan gadis itu. Perasaan cinta kepada lawan jenis, adalah merupakan hak penuh dari setiap manusia. Sungsang masih muda dan tampan.
Gadis manakah yang tidak menjadi gandrung jika dibujuk dengan kata-kata manis?
"Akan tetapi, benarkah Ratmi cinta kepada Sungsang?"
hati Sindu bertanya.
Sebagai seorang kakek yang telah cukup pengalaman hidupnya, ia merasa kurang percaya.
Adakah "cinta"
yang sesungguhnya, dapat bersemi dalam waktu sesingkat ini?
Agaknya bukan cinta yang telah mengusai dan mempengaruhi perasaan Ratmi sekarang ini. Akan tetapi 'nafsu"!
Tetapi ahh, soal itu adalah urusan pribadi Ratmi. Ia tiada hak untuk mencampurinya.
Siapa dapat melarang kalau Ratmi memang menghendaki?
Maka Sindu memutuskan, biarlah gadis itu menurutkan kemauan dari hatinya, karena memang sudah dikehendaki. Ia tak akan mengganggu. Sebaliknya karena jelas Sukarni keras kepala dan tak mau melayani kehendak Sungsang, maka gadis inilah yang perlu dipikir dan diselamatkan. Ia sudah terlanjur sampai di tempat ini. jiwanya berontak apa bila tak turun tangan menyelamatkan gadis murid Tuban bernama Sukarni itu.
Sementara itu dari dalam gubug yang tanpa penerangan masih terdengar isak tangis, yang membuat Sindu merasa terharu. Namun kakek ini masih berdiri tak bergerak, menunggu perkembangan ia masih ragu.
Benarkah gadis yang bernama Sukarni itu tetap keras kepala dan tidak terbujuk oleh temannya?
Kalau benar, dan di saat gawat barulah Sindu akan menolong. Dengan begitu, ia merasa memperoleh alasan kuat untuk bertindak.
"Karni! Apakah untungmu menolak maksud baik kakang Sungsang yang tampan dan gagah ini? ' terdengar suara Ratmi yang kembali membujuk.
"Malam begini sepi dan dingin, dari pada menangis, toh lebih baik menikmati hidup yang hanya satu kali ini. Apakah engkau khawatir aku menjadi cemburu? Hi hi hik. tak ada
alasan untuk cemburu, Karni. Aku justeru malah senang apa bila aku dan engkau, sekaligus menjadi kekasih kakang Sungsang. Mari Karni, kulepaskan tali yang mengikat kaki dan tanganmu. Lalu, tunaikan kewajibanmu sebagai kekasih kakang Sungsang yang ke dua."
"Tidak! Tidak !"
jerit Sukarni kesal.
"Tiada gunanya engkau membujuk aku. Tak sudi aku mengikuti jejakmu yang sesat dan terkutuk itu.........."
'Plak, plak aduhhh......."
"Ratmi. Jangan! Mengapa kaupukul"
"Huh-huh, dia menghina aku. Untuk apa tidak dipukul ?"
Mendengar suara pukulan dan suara mengaduh dari mulut Sukarni itu, Sindu tahu bahwa saking gregeten dan merasa terhina, Ratmi tak kuasa menahan tangannya, dan memukul dua kali.
"Sundal busuk !"
terdengar caci Sukarni.
"Lumrah saja aku terbelenggu, engkau memukul aku. Hayo lepaskan tali tali ini dan kita coba. Siapa yang kuat di antara kita ini?"
"Keparat. Tutup mulutmu! Huh, kupukul kau......"
"Jangan!"
terdengar Sungsang mencegahnya melarang Ratmi yang akan menghajar Sukarni yang keras kepala itu.
"Kalau memang dia tak sudi menanggapi cintaku, mengapa kaupaksa? Biarkan saja, nanti aku yang akan membereskannya, heh-heh-heh......."
' "Tetapi aku gregeten dan penasaran. kakang,"
bantah Ratmi.
"Dia menuduh dan menghina aku dengan sebutan 'sundal, Huh. aku kepengin menghancurkan mulutnya yang lancang itu."
"Kalau bukan sundal, aku harus menyebut apa? Huh-huh, adakah wanita baik-baik sedia berbuat seperti apa yang kaulakukan sekarang ini? Huh-huh, lepaskan aku......"
jerit Sukarni.
"sabarlah, Ratmi, sabarlah !"
terdengar Sungsang membujuk kepada Ratmi.
Agaknya gadis itu amat marah sekali, di samping merasa terhina oleh kata kata, Sukarni dan bermaksud memukul lagi.
"Serahkan dia padaku, heh-heh-heh, dan engkau boleh menonton pertunjukan yang amat menyenangkan."
Lalu terdengar suara Ratmi yang terkekeh genit.
"Hihi-hik..... apakah kau mau.... paksa dia? Hi-hi-hikk bagus. Lakukanlah! Dan aku ingin menonton pertunjukan yang menarik, kakang. Apakah perlu... kubantu ?"
"Heh-heh-heh, tak perlu, adik manis. Aku sendiri bisa melakukannya."
"Jangan sentuh aku! Bangsat! Bunuh sajalah aku!"
terdengar jerit Sukarni.
"Jangan khawatir, heh-heh-heh! Minta dibunuh, apakah sulitnya? Tanpa kaumintapun akhirnya tentu kubunuh juga, karena engkau keras kepala dan menghina aku!"
sahut Sungsang dengan mengejek.
"Aku mempunyai senjata jarum beracun yang ampuh sekali. Jika sebatang saja aku tusukkan pada tubuhmu, engkau bakal mati perlahan-lahan. Mati dengan enak sekali, karena setelah racun jarumku bekerja dalam tubuhmu, racun itu akan masuk ke dalam tulang sungsum. Hehhehheh, engkau akan mati perlahan-lahan, dengan lebih dahulu engkau merasakan dalam tulang sungsummu seperti dikeroyok ribuan semut api."
"Aduhhh..... tidak. Jangan !"
jerit Sukarni yang agaknya merasa ngeri dan ketakutan, diancam oleh kematian seperti itu.
"Jangan kaulakukan siksaan macam itu. Bunuh saja sekarang..... Bunuh., bunuhlah aku"
"Heh-heh-heh,"
Sungsang mengejek.
"Engkau takut
dan ngeri? Hemm, aku sayang padamu, manis, jika engkau tak membandel dan keras kepala, siapa yang tega padamu?"
"Tak sudi.,... tak sudi! Bunuh sajalah aku. Hayo bunuhlah .."
"Huh, kau gadis keras kepala!"
Sungsang akhirnya geram.
"Baik! Setelah aku menyenangkan adik Ratmi dengan tontonan yang menarik, engkau akan segera mati oleh jarumku......"
"Tapi, dalam gubug ini gelap sekali, kakang."
terdengar suara Ratmi.
"Bagaimana mungkin aku dapat melihat. pertunjukan yang menarik itu? Mari kakang, kita bawa perempuan tak tahu malu ini ke luar saja."
"Siapa'yang tak tahu malu? Sundal busuk kau !"
caci Sukarni.
"Aihh......."
terdengar suara Ratmi yang kaget.
"Lagi lagi kau melindungi dia. Lepaskan tanganku, akan kuremukkan mulutnya yang lancang itu."
"Ratmi, sabarlah!"
bujuk Sungsang.
"siapa yang melarang engkau mau meremukkan mulutnya dan menyiksa dia? Silahkan berbuat apa saja terhadap dia, tetapi jangan sekarang. Hayolah kita keluar sekarang, dan saksikan aku mau membuat pertunjukan yang menarik."
Mendengar apa yang mereka bicarakan itu, Sindu sudah tak dapat menahan sabarnya lagi. Ia tahu apa arti pertunjukan yang akan dilakukan Sungsang. Maka tiba saatnya pula harus bertindak, menyelamatkan gadis murid Tuban yang tak mempan dibujuk dan diancam ini. Lalu dengan gerakannya yang gesit dan tanpa menimbulkan suara, Sindu sudah siap sedia di samping pintu.
Sesaat kemudian pintu gubug terbuka. Sungsang yang tak menduga datangnya bahaya. sambil memondong
Sukarni melangkah ke luar. Tetapi mendadak Sungsang berteriak kaget. Sebab tahu-tahu Sukarni yang dipondong telah lepas dari tangannya, dan mukanya merasa panas dihembus hawa dari mulut. Sungsang meloncat ke samping, dan di saat itu ke luar pulalah Ratmi.
Dua orang ini terbelalak menyaksikan seorang kakek kurus, yang tanpa diketahui kehadirannya, telah merebut Sukarni dari genggaman mereka.
Kisah Si Pedang Buntung Lanjutan Ratu Wandansari Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sindu terkekeh,
"Heh-heh-heh, kamu kaget ?!"
"Siapa kau!"
bentak Ratmi.
"Lepaskan saudara seperguanku !"
Akan tetapi Sungsang tak lekas dapat membuka mulut, setelah tahu Siapa yang merebut calon korbannya. Ia memandang Sindu dengan sepasang mata yang menyinarkan api. Dan setelah dapat menghilangkan rasa kagetnya, katanya,
"Paman Sindu! Apakah engkau sengaja mau menghina orang muda ?"
'Heh heh heh. siapa yang mengganggu engkau ?"
Sindu terkekeh.
"Kau jangan salah paham. Sungsang. Engkau harus berlaku adil. Malam begini dingin, mengapa engkau begitu serakah? Engkau sudah memperoleh gadis manis itu. Maka yang seorang ini, harus kauserahkan padaku. Adil. Seorang sudah cukup, mengapa engkau mau main rangkap?"
"Huh-huh, enak saja kaubicara, orang tua.!"
bentak Sungsang.
"Kalau engkau butuh perempuan, mengapa engkau tak datang ke rumah Perguruan Tuban sendiri dan merebut gadis yang sudah dalam tanganku? Paman, di sana tidak terhitung banyaknya gadis-gadis muda yang cantik dan manis. Murid wanita Perguruan Tuban jumlahnya banyak. Maka pergilah ke sana, dan kembalikan gadis itu."
'Ha-ha-ha, mana bisa? Gadis ini begitu cantik, denok dan menyenangkan. Dia ini bunga Perguruan Tuban murid yang tercantik!"
sahut Sindu sambil mengamati wajah Sukarni yang pucat.
"Aku tak mau yang lain. Gadis ini yang kupilih. Gadis ini yang harus menjadi temanku malam ini."
"Kurang ajar! Lepaskan saudaraku seperguruan !"
tiba-tiba Ratmi membentak nyaring sambil menerjang ke depan, bermaksud untuk merebut Sukarni yang dikempit Sindu.
"Jangan!"
Sungsang berteriak mencegah. Sungsang tahu bahwa perbuatan Ratmi itu akan Sia-sia saja. Dugaan Sungsang tidak meleset. Terjangan Ratmi luput, dan malah gadis itu terhuyung-huyung ke depan seperti mau terjerembab.
"Heh-heh-heh, gadismu cukup hebat, Sungsang!"
Sindu terkekeh mengejek kepada Ratmi, gadis yang tak pandai menjaga martabatnya sebagai gadis, dan tanpa malu hanya menurutkan nafsu.
Sungsang mendelik. Teriaknya,
"Paman! Kembalikan gadis itu !"
"Mana mungkin? Seorang untuk kau dan seorang untuk aku, adalah sudah adil. Sudahlah, malam begini dingin. Gadis ini tentu amat membahagiakan hatiku malam ini."
Sindu melangkah untuk pergi. Tetapi mendadak Sukarni berteriak,
"Mbakyu Ratmi. Tolong .....!"
Tak mengherankan kalau Sukarni berteriak minta tolong. Gadis ini menjadi amat khawatir sekali, mendengar apa yang sudah diucapkan kakek ini.
Sungguh celaka!
Ia bersikeras menolak yang muda dan tampan, di luar
kehendaknya, sekarang malah jatuh ke tangan seorang kakek.
"Lepaskan dia!"
teriak Ratmi sambil menyerang maju lagi.
Sungsangpun sudah tak dapat menahan sabarnya lagi. Iapun sudah menerjang maju dengan pukulan tangan kanan dan cengkeraman tangan kiri. Ia langsung menyalurkan Aji Wisa Naga. Maksudnya sekali terjang, dapat merobohkan lawan.
Tak heran kalau begitu menerjang Sungsang sudah menggunakan Aji Wisa Naga yang ampuh, dan amat diandalkan itu. Dahulu ia pernah dikalahkan oleh Sindu. Maka sekali ini ia harus dapat membalas dan membunuh Sindu.
Akan tetapi Sindu tak ada nafsu untuk melayani Sungsang. Maka kakek ini hanya menghindar ke samping sambil mengebutkan telapak tangannya ke arah Sungsang. Kebutan itu menerbitkan angin yang amat dahsyat, dan membuat Sungsang sesak dadanya, terhuyung ke belakang. Adapun terjangan Ratmi, cukup ia hindari kemudian lari.
"Tolong! Tolong.....!"
teriak Sukarni sambil berusaha meronta.
Sebaliknya Sindu hanya terkekeh sambil terus lari cepat sekali.
Sukarni yang dikempit oleh Sindu, sedang kaki dan tangannya masih terbelenggu, terus berteriak minta tolong. Teriakan ini tentu saja membuat Sindu khawatir, kalau teriakan itu didengar orang.
"Diamlah bocah, mengapa kau berteriak-teriak seperti ini?"
hardik Sindu.
"Apakah engkau sudah tolol dan tak tahu maksud baik orang?"
"Bangsat tua. Lepaskan aku!"
caci gadis itu tanpa rasa takut sedikitpun.
"Heh-heh-heh,"
Sindu terkekeh, sambil menurunkan Sukarni di bawah pohon, dan gadis itu didudukkan di atas rumput.
"Engkau mencaci maki aku dengan sebutan 'bangsat tua'. Apa maksudmu? "
"Jangan pura pura baik dan menolong!"
jerit Sukarni sambil mendelik.
"Engkau tentu tidak lebih baik dari laki-laki biadab Sungsang tadi. Engkau tentu bandot tua bangka!"
Sindu tidak marah dicaci maki seperti itu, dan malah terkekeh. Setelah puas tertawa, kakek ini menjawab,
"Bocah, apa sebabnya engkau menuduh aku bandot tua? Apakah memang tampangku ini, menunjukkan tampang seorang bandot tua?"
"Kalau bukan seorang bandot tua, mengapa engkau menculik aku?"
"Aihh, siapa yang menculik kau?"
"Jangan putar lidah!"
jerit Sukarni marah sambil berusaha melepaskan kaki dan tangannya yang diikat tali kuat.
"Kalau tidak menculik, lalu apa namanya? Dan kalau tak bermaksud jahat, mengapa engkau melarikan aku? "
"Heh heh heh, mari kubantu melepaskan tali-tali itu biar kita dapat bicara enak,"
kata Sindu sambil mengulurkan tangannya ke depan.Kemudian sekali renggut, baik tali yang mengikat kaki maupun tangan gadis itu sudah terputus semuanya. Diam-diam Sukarni heran. Nyata bahwa kakek ini bukanlah orang sembarangan.
Begitu tali sudah putus dan dapat bergerak, gadis ini cepat meloncat bangkit. Lalu ia berdiri berhadapan dengan Sindu dalam keadaan siaga. Melihat itu Sindu tertawa. Katanya,
"Engkau tadi bertanya, kalau aku bukan
bermaksud jahat, mengapa aku melarikan engkau? Sebaliknya anak, aku ingin bertanya padamu. Kalau saja aku tidak datang dan menolongmu, nasib apakah yang akan engkau derita di tangan Sungsang tadi? Bukankah engkau tadi diancam pula akan disiksa dengan jarum beracun?"
Diingatkan kepada ancaman Sungsang tadi, Sukarni bergidik. Ia dapat membayangkan apa yang akan terjadi, apa bila tidak direbut dan dibawa lari kakek ini.
Akan tetapi sebaliknya sekarang, apakah di tangan kakek inipun dirinya bernasib lebih baik?
Bukankah sekalipun sudah kakek-kakek, orang inipun juga laki-laki?
Ketika itu sudah dinihari. Siudu tidak ingin memperpanjang urusan. dan kesalahpahaman gadis yang ditolong ini. Katanya dengan halus,
"Anak, malam sudah hampir pagi. Tidak baik engkau terlalu lama di sini, dan tentu kepergianmu malam ini, membuat perguruan geger."
Sindu berhenti sejenak, lalu terusnya,
"Anak, engkau boleh percaya dan boleh tidak percaya. Dan kalau engkau ingin memuaskan hatimu dengan menuduh aku seorang bandot tua, Silahkan. Akan tetapi yang benar, apa yang aku lakukan ini, bukan lain hanya untuk menolong dan menyelamatkan engkau dari mala petaka yang mengerikan. Tiada maksud lain! Mari kuantar engkau pulang ke rumah Perguruan Tuban. Atau, kau berani pulang sendiri tanpa aku antarkan ?"
Terbelalak gadis ini mendengar ucapan Sindu.
Benarkah kakek ini merebut dari tangan Sungsang tanpa pamrih apa-apa.?
Benarkah ucapan kakek itu merupakan pencerminan hati dan bukan hanya menutupi maksudnya yang buruk?
Oleh perasaannya ini, Sukarni ragu-ragu dan bertanya.
"Tapi...
tapi kalau benar engkau mengulurkan tangan menolong, mengapa mbakyu Ratmi kau biarkan di tangan laki-laki itu?"
"Hemmm,"
Sindu menghela napas,
"mengapa engkau menanyakan tentang dia? Apakah engkau tak ingat lagi kepada peristiwa peristiwa yang tadi berlangsung di depan hidungmu sendiri? Dan apakah engkau lupa oleh pukulan saudara seperguruanmu sendiri, maupun bujukan-bujukannya?"
Terdiam Sukarni mendengar pertanyaan Sindu. Tetapi dalam benaknya kembali terbayang apa yang tadi ia saksikan dan alami. Tadi ia dipukul dua kali oleh Ratmi. Dan tadi iapun menyaksikan sikap Ratmi kepada Sungsang, yang membuat gadis ini bergidik dan memejamkan matanya. Seakan di depan matanya sekarang berlangsung apa yang dilakukan Ratmi dan laki-laki itu. Kemudian dalam rongga telinganya terngiang kembali suara bujukan Ratmi, yang menganjurkan supaya dirinya menyerah pula, seperti yang dia lakukan.
"Anak, tentu engkau tahu alasanku, mengapa hanya engkau yang kubawa pergi. Dia sudah merasa bahagia di' samping Sungsang, sebagai kekasihnya. Maka tepat pula kiranya aku membiarkan dia. Sebab betapa penasaran saudara seperguruanmu itu, apa bila dengan paksa aku pisahkan dengan kekasihnya."
Tiba tiba Sukarni menjatuhkan diri berlutut di depan Sindu sambil menangis. Lalu terdengar kata-katanya yang tidak lancar,
"Paman...... oh, maafkan aku yang bermata buta dan.... kurang ajar ini. Ahh paman apa yang akan aku derita..... di tangan sundal busuk dan.. laki laki biadab itu..? Paman..... budimu amat besar sekali. Bagaimanakah aku..... bisa membalas?"
"Sudahlah, anak, bangkitlah,"
sahut Sindu sambil menggerakkan tangannya mengebut, sehingga mau tak mau Sukarni tak kuasa bertahan dan berdiri.
"Malam sudah hampir pagi. Engkau harus cepat pulang, agar ketuamu tidak gelisah memikirkan engkau."
"Tapi... tapi..... bagaimanakah aku harus melapor? Mbakyu Ratmi tak pulang bersama aku. Apakah hal ini tidak menimbulkan kecurigaan?"
' Sindu mengerti pula kekhawatiran gadis ini. Katanya,
"Anak, katakan saja bahwa di jalan engkau ditolong orang. Akan tetapi saudaramu dibawa pergi penculik itu, dan tak tahu entah dibawa ke mana."
"Kalau saya boleh bertanya, siapakah sebenarnya paman ini?"
tanya gadis ini agak ragu.
"Tiada harganya namaku kauperkenaikan kepada ketua perguruanmu. Cukup kiranya jika engkau mengatakan, seorang kakek yang tak mau menyebut namanya telah menolongmu."
"Tapi... tapi....."
"Sudahlah anak, mari kita lekas pulang."
Sindu yang tak ingin menyebut namanya, tak memberi kesempatan gadis itu mendesak.
"Mari kau kugandeng, agar perjalanan lebih cepat."
Tanpa menunggu persetujuan gadis itu, lengan Sukarni sudah disambar dan dibawa melompat, lalu lari cepat sekali. Gadis ini menjerit kecil saking kaget, karena tahu tahu tubuhnya sudah melayang seperti terbang. Dalam hatinya menjadi kagum kepada kakek ini. Ternyata seorang kakek yang sakti mandraguna, pantas saja Sungsang tadi tidak berdaya.
Akan tetapi ketika makin cepat Sindu lari, angin yang amat dingin dan kencang membuat mata dan telinganya
pedas dan sulit untuk bernapas. Maka gadis ini kemudian memejamkan kedua matanya, lalu menggunakan kedua tangannya untuk menggelantuug pada tangan kanan Sindu. Akan tetapi apa yang dilakukan oleh Sukarni ini, malah membuat Sindu dapat bergerak lebih cepat lagi, sehingga mempercepat tibanya di tempat tujuan.
Dalam keadaan seperti ini, gadis itu hanya merasa tubuhnya melayang -layang seperti terbang. Akan tetapi gadis ini tak berani membuka matanya, karena ngeri melihat pohon pohon dan batu batu berkelebat cepat di samping tubuhnya. Angin yang kencang membuat agak sulit untuk bernapas, sedang dalam rongga telinganya terdengar suara gemerubug dan berdesing tanpa berhenti.
Setelah beberapa lama dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba Sukarni merasa tubuhnya berhenti mendadak. Dirinya sudah berdiri di atas tanah. Ia membuka matanya. Tetapi ah, baru saja matanya terbuka, ia melihat berkelebatnya bayangan manusia yang amat cepat sekali. Ternyata kakek yang sudah menolongnya itu telah pergi sebelum dirinya dapat mengucapkan terima kasihnya. Ketika memandang ke depan, tampaklah pagar tembok halaman Perguruan Tuban, sudah tak jauh di depannya. Hatinya berdebar tak keruan.
Bagaimanakah nanti harus memberi laporan kepada sang ketua?
Dirinya diculik bersama-sama dengan Ratmi, akan tetapi sekarang hanya dirinya seorang yang pulang dengan selamat.
Akan tetapi malam sudah hampir pagi. Sebagai seorang gadis, terlalu lama di tempat ini akan berdekatan dengan bahaya. Maka walaupun hati berdebar, ia melangkah juga menuju pintu gerbang. Diam-diam hatinya memang merasa menyesal sekali,
mengapa Ratmi jatuh hati kepada laki-laki ganas dan kejam itu.
Apakah Ratmi dapat hidup bahagia sebagai kekasih seorang laki-laki tampan, akan tetapi wataknya tak bisa dipercaya itu?
"Ah, masa bodoh!"
katanya seorang diri sambil mempercepat langkahnya, menuju pintu gerbang rumah perguruan.
*****
Malam itu sekalipun bulan hampir penuh menghias angkasa tetapi keadaan cukup menegangkan. Tak lama lagi perahu rombongan pengantin Ratu Wandansari dan Pangeran Pekik yang boyong ke Surabaya, hampir lewat tak Jauh dari pantai Tuhan. Maka sejak sore hari. Madu Bala dan kawan-kawannya sudah mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan. Demikian pula pasukan-pasukan penyelam maupun ahli renang di laut, telah mempersiapkan diri untuk bertempur melawan musuh. Sedang perahu-perahu kecil telah disiapkan pula di tempat terlindung, dan apa bila mereka telah mendengar aba-aba yang berwujud lengking nyaring dan panjang, pasukan Surabaya dan Gagak Rimang itu akan segera bergerak untuk menggagalkan usaha musuh.
Sebagai hasil Sindu menyelidik, mereka sudah dapat memperhitungkan kekuatan lawan. Lebih lebih Yoga Swara dan Madu Bala sudah pernah mencoba berkelahi melawan Menak Kunjono dan Aras Pepet, sehingga bagi pihak lain, musuh yang berbahaya hanyalah Rara Inten, Jalu Raga dan Wiro Sukra. Adapun Kirtaji, Prembun, Wongso Dipo, Kamilah, Wanengboyo, Wigati, Menak Kunjono maupun Aras Pepet, untuk sementara akan dapat ditahan oleh tokoh-tokoh Gagak Rimang yang lain di samping para tokoh Mataram yang menjadi
penumpang perahu rombongan pengantin palsu. Dari Mataram menurut rencana Ratu Wandansari, akan dikirim senopati -senopati peng-pengan, antara lain Ki Juru Kiting, Adipati Mandurorejo, Adipati Uposonto, Tumenggung Suro Agul-agul dan beberapa orang panglima lain yang gagah perkasa.
Kalau mereka yang akan beradu kekuatan ini, masing-masing diliputi oleh ketegangan, sebaliknya para penduduk yang tak tahu apa-apa, menggunakan waktu malam yang disinari bulan hampir penuh ini, menggerombol dan bersuka ria di halaman. Sedang bocah-bocah saling berkejaran, berteriak-teriak dan saling tertawa. Sama sekali mereka tidak menyadari, bahwa tak lama lagi akan jatuh korban-korban jiwa manusia.
Mendekati tengah malam, terdengarlah suara terompet yang nyaring dari arah lautan. Memecah sunyi malam dibawa angin laut yang berhembus kencang. Dari arah barat dan jauh, tampaklah lampu berkelip-kelip di atas permukaan laut, bergoyang goyang seirama dengan gerak gelombang. Itulah perahu rombongan pengantin yang sedang boyong ke Surabaya. Lampu lampu dalam jumlah banyak yang semula hanya seperti kunang-kunang yang beterbangan di atas permukaan air itu, makin lama berobah keadaannya, dan tampaklah titik-titik hitam dari perahu. Layar-layar yang terpancang pada perahu perahu nampak putih terkena sinar bulan yang kuning emas. Makin dekat perahu-perahu rombongan pengantin itu, makin terdengar jelas suara terompet yang mengumandang, Lampu-lampu yang semula hanya seperti kunang-kunang itu sekarang keadaannya lebih nyata. Ternyata lampu-lampu itu warna-warni. Merah, kuning, hijau, putih, biru bergantungan di sekitar geladag perahu
dan ditiang layar. Pemandangan itu indah sekali dan menyedapkan dipandang.
Semakin dekat, di samping warna-warni lampu itu memberi pemandangan yang indah dan menyedapkan, suara gamelan yang mengalun di atas perahu tersebut nikmat didengar pula. Sekalipun gamelan tersebut suaranya agak dikacau oleh suara deburan ombak, namun merupakan hiburan yang menyenangkan sekali bagi mereka yang sedang berperahu, dan yang tampak di kanan kirinya hanya air melulu.
Di tengah suara gamelan yang mengalun nikmat didengar itu, bermunculanlah perahu-perahu kecil warna hitam yang meluncur cepat menuju ke arah rombongan perahu. Seakan perahu-perahu kecil itu adalah ikan ikan besar yang meluncur cepat di atas permukaan air,
Melihat munculnya beberapa buah perahu kecil hitam dan arahnya berlawanan dengan rombongan perahu tersebut, Ki Juru Kiting yang memimpin perahu perang dan bergerak paling depan segera memberikan aba aba supaya semua anak buah perahu bersiap siaga menghadapi Sergapan musuh. Perintah ini oleh nakhoda langsung diperintahkan kepada awak perahu. Sibuklah awak perahu dengan senjata masing-masing.
Akan tetapi diam-diam awak perahu yang berkewajiban menjaga meriam, menjadi heran.
Mengapa tidak diperintahkan untuk menembak perahu-perahu kecil itu dengan meriam?
Dari pada ragu-ragu dan bimbang, maka salah seorang dari penjaga meriam itu berteriak.
"Ohoiii..! Mengapa tidak kita tembak saja dengan meriam ?"
"Jangan!"
terdengar suara jawaban yang nyaring dari suara Ki Juru Kiting.
Goosebumps - Pembalasan Di Malam Halloween Gelang Perasa Serial Tujuh Senjata (4) Karya Gu Long 99 Cahaya Di Langit Eropa Menapak Jejak Islam Di Eropa Karya Hanum Salsabiela Rais Dan Rangga Almahendra
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama