Ceritasilat Novel Online

Kisah Si Pedang Buntung 20

Kisah Si Pedang Buntung Lanjutan Ratu Wandansari Karya Widi Widayat Bagian 20


Setelah beberapa lama ia menerobos masuk lagi ke dalam, hawa menjadi panas. Dan makin dalam ia masuk gua itu semakin menyempit dan airnyapun makin berkurang dalamnya. Akan tetapi Sindu makin menjadi tertarik dan ingin masuk terus. Hawa semakin menjadi berkurang, dan sekalipun penuh air, namun rasanya gerah. Entah sudah berapa jauh ia masuk ke dalam gua yang berair ini. Dan ketika air tinggal sedalam betis, Sindu menjadi kaget berbareng heran. Kalau semula ia berhadapan dengan suasana yang sepi, menyeramkan dan keadaan amat gelap sekali. hingga memandang telapak
tangan sendiri saja tida nampak , sekarang lain. Ia mendengar suara yang gemericik dan gemerisik tak pernah putus. Sedang matanyapun sekarang melihat cahaya yang suram, akan tetapi dapat menerangi keadaan. Ia dapat melihat dinding gua pada kiri dan kanan tubuhnya, yang merupakan batu cadas yang tidak rata dan berair. Pada langit-langit gua yang tidak begitu tinggi itu, banyak kerucut-kerucut yang runcing mirip piramid terbalik. Dari kerucut-kerucut ini, menitiklah air yang bening, akan tetapi jarang sekali.
Setelah melangkah beberapa lama lagi, cahaya yang semula suram itu menjadi semakin terang. Walaupun keadaan tidak seterang di luar gua, namun sinar terang itu membuat rasa dadanya lebih lapang, dan matanya dapat melihat keadaan. Dan kemudian hampir saja Sindu berseru tertahan, melihat keadaan di dalamnya.
Sekarang dirinya sampai pada ujung gua yang cukup luas. Separuh dari ruangan gua itu rendah dan digenangi oleh air, yang keluar dari mata air dan jumlahnya banyak sekali. Dari puluhan mata air yang mengalirkan air itulah suara gemericik dan gemerisik berasal. Karena sekalipun air terjun itu kecil, tetapi mengalir terus-menerus, maka menimbulkan suara yang tak pernah berhenti.
Kemudian pandang mata Sindu tertumbuk kepada tiga butir batu putih sebesar telor burung merpati, yang menempel pada langit-langit gua. Dan ternyata pula batu itulah yang mengeluarkan sinar suram tersebut, tetapi cukup memberi penerangan ruangan ini. Melihat itu, tiba-tiba hatinya menjadi tegang. Jelas bahwa tiga butir batu bercahaya itu, adalah batu mustika yang dipasang orang. Dan batu yang berkilauan seperti ini, merupakan benda yang tidak ternilai lagi harganya.
Kalau tiga butir batu mustika yang mengeluarkan sinar kemilauan itu dipasang orang, jelas sekali bahwa gua ini dihuni oleh orang pula. Entah siapa penghuninya, dan entah bagaimana bentuk manusia yang bersembunyi di tempat ini, Sindu tidak tahu. Akan tetapi karena dirinya masuk ke dalam gua ini tanpa minta ijin, maka timbullah rasa khawatirnya, kalau dirinya dianggap lancang masuk.
"Kulanuwun !"
seru Sindu sambil menyalurkan tenaaga sakti dalam tubuh, sehingga suaranya kuasa mengatasi suara gemericiknya air.
"Saya bernama Sindu, mohon ampun kepada penghuni gua ini, karena berani lancang masuk tanpa minta ijin."
Sindu berdiam diri dan menunggu, akan tetapi dalam keadaan waspada penuh. Bagaimanapun ia merasa khawatir, kalau penghuni gua ini seorang sakti yang-aneh. Kelancangannya bisa menyebabkan penghuni gua marah. Akan tetapi ia tak mendengar suara jawaban orang. Yang terdengar hanyalah suaranya sendiri yang memantul dari dinding gua yang satu ke dinding yang lain. Hingga suara itu baru lenyap, setelah ia menunggu agak lama. Mungkin, sebagai akibat angin dari luar tak dapat masuk sampai ujung gua ini, membuat pertukaran hawa tidak lancar, dan setiap suara akan terdengar dalam waktu panjang.
Setelah menunggu sampai gema suaranya sendiri menghilang, tidak ada jawaban orang. ia mengulang'lagi. Sindu sudah mengulang sampai lima kali sambil menebarkan pandang matanya ke sekeliling. Akan tetapi sekalipun memperhatikan, Sindu tidak dapat melihat separuh bagian dari ruangan gua ini, yang tanahnya setinggi orang berdiri.
Karena telah lima kali melaporkan kehadirannya tak juga ada jawaban, maka akhirnya Sindu memberanikan diri melenting, untuk naik ke bagian gua yang tanahnya setinggi orang berdiri itu. Sindu berdiri pada bagian tepi tanah ketinggian itu. Matanya mengamati keadaan penuh kewaspadaan. Akan tetapi keadaan tetap sepi dan yang terdengar hanyalah suara gemericiknya air.
Langit-langit gua jaraknya dekat. sekali, ketika ia berdiri pada bagian yang tinggi ini. Makin lama di ruangan ini, matanya menjadi terbiasa, dan ia dapat melihat lebih jelas lagi.
Di ujung sana, dekat sekali dengan dinding gua, ia melihat sesuatu yang membuat jantungnya tegang dan hati 'berdebar. Kemudian seperti di luar sadarnya, Sindu sudah menjatuhkan diri berlutut sehingga dahinya menyentuh tanah. Katanya perlahan,
"Saya bernama Sindu, telah lancang masuk ke dalam gua ini tanpa seijin tuan. Besar harapan saya, tuan, sudi memberi ampun kepada saya yang rendah ini."
Sebabnya Sindu berlutut dan mengucapkan kata-kata seperti itu, adalah karena ia melihat seseorang yang mengenakan pakaian putih duduk tak bergerak di atas kursi batu. Maka Sindu cepat bisa menduga, bahwa orang yang duduk itu tentu penghuni gua ini, dan orang tersebut sedang duduk bersamadhi.
Akan tetapi Sindu berlutut cukup lama, tak terdengar suara jawaban maupun gerakan orang itu. Agaknya orang tersebut tenggelam dalam samadhinya, sehingga tidak mendengar perkataannya. Karena lama ditunggu tiada jawaban, Sindu memberanikan diri mengangkat kepalanya. lalu duduk bersila di atas tanah cadas yang anak basah. Sindu sadar bahwa di dunia ini banyak
orang sakti yang wataknya aneh. Maka ia tidak berani lancang menatap orang yang duduk itu, dan ia meruntuhkan pandang matanya ke lantai yang terdiri dari batu cadas, halus dan rata. Tanpa sengaja pandang matanya tertumbuk kepada huruf yang terukir kecil-kecil dan halus di atas lantai batu cadas itu. Saking kecil dan halusnya, huruf itu tak mungkin terbaca orang, kalau hanya memandang sepintas lalu. Dan tidak mungkin pula terbaca oleh orang yang berdiri.
Begitu memperhatikan dan membacanya, Sindu menjadi kaget sendiri berbareng gembira. Kemudian ia kembali berlutut sambil berkata,
"Terima kasih atas kebaikan dan kepercayaan guru. Semua pesan guru akan murid laksanakan sebaik baiknya."
. Sindu berlutut sambil mengucapkan kata-katanya seperti itu, bukan lain setelah ia membaca huruf yang berderet rapi dan halus di lantai. Huruf itu bunyinya sebagai berikut:
Tuhan akan selalu memberkahi kepada manusia yang selalu mendekatkan diri pada amalnya .Manusia mati takkan membawa harta benda tetapi amal manusia akan dibawa serta .Bahagialah engkau, yang membaca pesanku terakhir ini berlutut di depan orang membuktikan manusia rendah hati .Engkau adalah murid Empu Supa yang berhak mewarisi semua warisannya.
Tetapi Sindu tidak cepat bangkit. Ia masih duduk sambil mencoba mengingat ingat sejarah kehidupan orang-orang sakti jaman lampau.
Siapakah orang yang bernama Empu Supa ini?
Setelah mengingat-ingat agak
lama, kemudian Sindu dapat menduga-duga. Katanya dalam hati,
"Apakah Empu Supa ini seorang empu sakti mandraguna yang hidup di jaman Majapahit? Adik ipar Kangjeng Sunan Kalijogo dan yang menciptakan keris Kyai Sengkelat yang terkenal ampuh?"
Teringat kepada Empu Supa, adik ipar Sunan Kalijogo ini, dalam rongga telinganya seperti mendengar cerita gurunya waktu itu. Yang antara lain,
"Murid muridku, di jaman Majapahit akhir, hiduplah seorang empu sakti mandraguna. bernama Supa. Ia adalah adik ipar Sunan Kalijogo. Karena Empu Supa adalah suami Rasa Wulan, yang semula pergi dari rumah Kadipaten Tuban, dan pergi ke hutan bertapa seperti kijang. Wali Sunan Kalijogo menginginkan, agar Empu Supa dapat membuat sebilah keris yang baik. Maka diberinya Empu Supa, besi calon keris yang besarnya hanya sama dengan isi buah asam. Setelah digarap oleh Empu Supa, jadilah sebilah keris model Sengkelat. Yang kemudian disebut Kyai Sengkelat.
Setelah selesai membuat keris Kyai Sengkelat, yang kemudian oleh Sunan Kalijogo diberikan kepada Empu Supa, maka Sunan Kalijogo memberi calon keris lagi, besi yang besarnya hanya sama dengan isi asam. Sesudah dikerjakan oleh Empu Supa, maka jadilah keris yang ke dua, bernama Kyai Crubuk. Keris Kyai Crubuk ini kemudan oleh Wali Sunan Kalijogo diberikan kepada muridnya yang bernama Karebet, dan kemudian hari menjadi Raja Pajang.
Ada suatu cerita keris Kyai Sengkelat, yang terjadi di jaman Majapahit. "
Guru Sindu, Ki Ageng Lodoyong meneruskan ceritanya,
"Ketika itu Majapahit terserang mala petaka. Dilanda oleh penyakit yang aneh dan berbahaya. Pagi terasa sakit, sore harinya sudah mati. Sore
terasa sakit, paginya sudah mati. Usaha pengobatan tidak Juga dapat menyelamatkan para kawula yang sakit mendadak itu. Bukan hanya para kawula saja yang banyak menderita sakit dan meninggal. Salah seorang isteri raja, bernama Ratu Dwarawati juga menderita sakit dan tiada obat yang dapat menyembuhkan. Raja menJadi amat sedih, dan para ponggawa Majapahit diperintahkan untuk ikut prihatin, dan bergantian bergadang agar sakitnya Ratu Dwarawati lekas sembuh. Adapun sebabnya timbul wabah yang berbahaya itu, bukan lain adanya keris bernama Kyai Condongcampur, yang tersimpan di dalam keraton. Setiap malam keris Kyai Condongcampur itu lepas sendiri dari kerangkanya, lalu terbang di angkasa dan menyebarkan wabah.
Pada suatu malam, Empu Supa yang rumahnya di Tuban, memperoleh giliran untuk bergadang. Ia berjaga bersama Jigjo, anak Supogati. Di saat berjaga ini, Empu Supa membawa kerisnya Kyai Sengkelat, sedang Jigjo membawa pula kerisnya bernama Sabuk Inten. Setelah larut malam, ternyata orang orang yang diperintahkan bergadang itu tak kuasa menahan kantuknya, lalu tertidur. Tinggal Empu Supa seorang diri yang tidak tidur, ia duduk bersila tak bergerak. Di saat itu terjadilah suatu peristiwa aneh. Keris Condongcampur keluar dari kerangkanya, kemudian beterbangan di sekitar Empu Supa duduk. Dan sungguh mengherankan. _Di saat keris Condongcampur beterbangan di sekitarnya itu, Empu Supa mendengar suara yang cukup jelas,
"Hai, keris Sengkelat dan keris Sabuk Inten! Janganlah kamu hanya tidur di tempatmu. Jika kamu memang digdaya sakti, keluarlah! Aku keris Condongcampur, menantang kamu berdua untuk bertanding."
Empu Supa yang duduk berdiam diri keheranan.
Benarkah sebilah keris bisa bicara?
Di saat Empu Supa keheranan ini, tiba-tiba melesat keluarlah keris Sengkelat yang disengkelit pada pinggangnya. Keris Sengkelat melesat dari kerangka, dan seleret sinar merah menyambar ke arah keris Condongcampur. Terjadilah kemudian perang tanding yang amat seru dari dua bilah keris tersebut. Di saat perkelahian seru ini terjadi, muncul pula. keris Sabuk Inten milik Jigjo, dan mengeroyok Condongcampur.
Setelah bertempur beberapa saat lamanya, tiba tiba terdengar suara
"tring....."
dan keris Sabuk Inten terpental. Keris tersebut tidak kembali berkelahi, tetapi langsung kembali ke dalam rangkanya. Yang masih bertempur kemudian tinggal keris Sengkelat dan Condongcampur. Ramai sekali, dan Supa menonton dengan mulut melongo, heran dan kagum.
Apakah dirinya tidak mimpi?
Ia menggunakan jarinya sendiri mencubit paha. Ternyata ia merasa sakit, membuktikan bahwa dirinya tidak mimpi.
Antara Condongcampur dengan Sengkelat masih terjadi perkelahian yang sengit sekali. Ia kagum akan kegesitan Sengkelat dalam melawan Condongcampur. Gerak serangan maupun tangkisannya mantap, sehingga serangan Condongcampur selalu dapat digagalkan. Gerak dan cara Seugkelat berkelahi ini, amat ia perhatikan.
Tiba-tiba terdengar suara "trang..."
yang amat keras sekali. Ternyata Sengkelat berhasil menghajar ujung keris Condongcampur, sehingga patahlah ujungnya. Kemudian keris Condongcampur melesat dan kembali ke dalam rangkanya. Keris Sengkelat yang berhasil mengalahkan Condongcampur, akhirnya juga kembali ke dalam rangkanya.
Setelah semalam terjadi perkelahian hebat antara keris Condongcampur, Sengkelat dan Sabuk Inten itu, pagi harinya sakit Ratu Dwarawati sembuh. Demikian pula wabah penyakit yang semula melanda Majapahit, menjadi sirap. Hal ini membuat raja gembira, maka Empu Supa dan Jigjo memperoleh hadiah benda berharga dari raja.
Setelah mereka mengundurkan diri dari keraton, Jigjo mempersilahkan Empu Supa supaya singgah di rumahnya. Supa bersedia, dan di rumah .Jigjo inilah Empu Supa menceritakan peristiwa aneh yang terjadi semalam. Empu Supa menghunus keris Sengkelat. Ternyata keris itu masih utuh tidak apa-apa, hanya pada bilah keris itu tampak luka-luka baru seperti kena kikir. Akan tetapi ketika keris Sabuk Inten milik Jigjo dihunus, ternyata keris tersebut rusak dan patah ujungnya. Atas nasthat Empu Supa, keris Sabuk Inten itu kemudian diperbaiki lagi. Akan tetapi keris yang semula dengan luk (lengkung) tigabelas itu, terpaksa dikurangi dua, tinggal sebelas.
Demikianlah anakku, sedikit cerita tentang Empu Supa di kala hidupnya. Dan setelah terjadinya peristiwa tersebut, Empu Supa menyembunyikan keris Kyai Sengkelat, karena khawatir diminta (dirampas) oleh raja. Anakku, di jaman aku muda, terjadilah perlombaan orang untuk mencari keris Kyai Sengkelat itu, yang menghilang setelah Empu Supa meninggal. Semua orang menginginkan keris itu. Tetapi setelah orang berlomba mencari tak juga diketemukan, akhirnya maksud tersebut sirap sendiri, dan Kyai Sengkelat tak pernah lagi dibicarakan orang."
Teringat akan cerita gurunya itu, berdebarlah hati Sindu.
Mungkinkah di sini, di gua yang berair ini, Empu Supa dahulu menyembunyikan keris Kyai Sengkelat itu?
Kalau huruf huruf halus yang dibaca dan tertulis pada lantai batu cadas ini menyebutkan,
"Engkau adalah murid Empu Supa, yang berhak mewarisi semua warisannya."
Apakah ini berarti bahwa dirinya bakal menemukan keris Kyai Sengkelat yang dulu banyak dicari orang?
Dengan hati berdebar dan tegang, Sindu mengangkat muka mengamati orang yang mengenakan pakaian putih dan duduk pada kursi batu itu. Ia memandang penuh perhatian dengan rasa heran.
Masih hidup atau sudah matikan orang yang duduk itu?
Kalau sudah mati, mengapa raganya masih utuh?
Dan kalau masih hidup mengapa tidak bergerak sedikitpun?
Tetapi Sindu tidak berani sembrono. Sambil duduk. ia masih meneliti keadaan dengan sepasang matanya. Namun ia tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan. Ia kembali meruntuhkan pandang matanya kepada deretan huruf yang terukir halus di lantai batu cadas. Tiba-tiba,
"Ah.....!"
seru Sindu tertahan.
Setelah ia memperhatikan lebih seksama lagi, ternyata di bawah deretan huruf itu, masih terdapat lagi ukiran tanda panah yang halus dan samar-samar. Tanda anak panah itu menunjuk ke arah kirinya. Diturutlah tanda itu, dengan hati-hati dan teliti, menggunakan pandang matanya. Sindu terpaksa membungkukkan tubuhnya, untuk dapat melihat dan membaca ukiran huruf yang lebih kecil dan halus, kira-kira Setengah lengan jaraknya dari tanda panah.
Pesan Empu Supa yang halus segera dikerjakan muridnya:
1. Bakar hingga menjadi abu, patung kayu yang berpakaian putih.
2. Bongkar kursi batu. Bukalah peti batu yang tersimpan di bawahnya.
3. Murid Empu Supa dilarang meninggalkan gua ini, sebelum berhasil mempelajari warisan ilmu kesaktiannya.
4. Murid Empu Supa menggunakan ilmu untuk kesejahteraan umat manusia, tanpa mengharapkan pamrih untuk pribadi.
5 Serahkan keris Sengkelat kepada raja yang syah dan berkuasa, yang adil dan bijaksana.
Untuk sejenak Sindu ragu-ragu. Tanpa sengaja dirinya masuk di gua ini, kemudian diakui sebagai murid Empu Supa. Tentu saja hatinya gembira, justeru bagi Sindu, mengejar ilmu kesaktian adalah merupakan bagian dari hidupnya. Akan tetapi dirinya dilarang meninggalkan tempat ini, sebelum berhasil mempelajari seluruh ilmu kesaktian Empu Supa. Dengan demikian, dirinya harus berdiam di dalam gua berair ini entah berapa lama.
Lalu bagaimanakah dengan Titiek Sariningsih?
Padahal dirinya amat mengkhawatirkan bocah itu. Betapa kecewa Tumenggung Kebo Bangah dan isterinya yang sudah tiada itu, apa bila Titiek Sariningsih sampai celaka di tangan orang?
Tetapi di saat dirinya diliputi oleh keraguan ini, tibatiba teringatlah ia kepada nasihat Ki Ageng Lodoyong, gurunya yang pertama,
"Hidup adalah saat ini. Bukan kemarin dan bukan pula esok pagi. Terimalah hidup ini dengan wajar. penuh penyerahan, tanpa perbandingan dan tanpa penilaian. Apa bila engkau dapat menerima
hidupmu seperti ini, tanpa kaucari, kebahagiaan akan datang sendiri. Engkau akan dijauhkan dari kecewa, sesal, iri, patah hati, putus asa, benci dan lain lagi. Engkau akan hidup laksana air telaga yang dalam, tenang."
Teringat akan nasihat gurunya itu. Sindu menjadi sadar. Kiranya memang sudah garis Tuhan untuk dirinya. Bahwa masuknya ke gua ini harus tidak ke luar lagi dalam waktu lama. Bahwa dirinya memang masih di perlukan memperoleh ilmu kesaktian baru, guna bekal pengabdiannya kepada masyarakat. Guna pengabdiannya kepada kesejahteraan manusia ini. Namun sekalipun demikian, masih ada pula perasaan yang bimbang.
Mungkinkah dirinya dapat hidup di dalam gua ini tanpa makan?
Teringat soal makan yang tak dapat dihindari oleh setiap manusia ini, ia menebarkan pandang matanya menyelidik. Adakah di tempat ini disimpan makanan yang cukup guna mempertahankan hidupnya?
Akan tetapi ia tidak melihat sesuatu. Ujung gua ini hanya terdapat air melulu. Air yang jernih dan menyegarkan. Tetapi manusia tidak mungkin dapat hidup hanya minum air.
Namun kemudian Sindu bangkit juga. Hal-hal lain bisa dipikirkan kemudian. Yang penting sekarang dirinya harus melaksanakan pesan Empu Supa. Pertama-tama ia harus membakar "manusia"
yang mengenakan pakaian putih itu.
Sindu kagum setelah dapat mengamati patung kayu ini dari dekat. Jelas bahwa patung kayu sebesar manusia ini, hasil karya seorang ahli patung yang jempolan. Halus di samping mirip sekali dengan manusia hidup. Pantas dirinya tadi menduga bahwa patung ini Adalah benar benar manusia. Melihat bagusnya patung ini. timbul pula rasa sayangnya kalau dibakar. Apa pula, menurut pikiran Sindu, tentunya patung ini kiranya merupakan tiruan dari manusia Empu Supa. Dengan adanya patung ini, memberi pengaruh yang besar, seakan dirinya ditunggui orang yang menjadi gurunya.
Tetapi sesaat kemudian pikirannya ini diusir jauhjauh. Ia dapat menyelami maksud Empu Supa. Kiranya perintah agar patung ini dibakar, memang mempunyai maksud yang amat dalam. Untuk mencegah hal hal yang tidak diinginkan. Sebab manusia di dunia ini gampang terpengaruh oleh keadaan, yang membawa ke arah jalan sesat. Manusia dapat terjerumus men-tuhankan benda_.
Patung itu segera diambil dari kursi batu. Lalu diletakkan diatas lantai. Ia mematahkan lengan patung tersebut, untuk alat membuat api. Gosokan dua potongan kayu yang kering dan kuat,
tak lama kemudian menerbitkan api. Disulutlah pakaian putih itu, sehingga dapat membakar patung tersebut. Akan tetapi bagaimanapun pula, karena ruangan gua ini lembab dan penuh hawa air, maka api tersebut tak dapat berkobar.Patung itu terbakar lambat.
Sambil menunggu habisnya patung terbakar. Sindu sudah mulai membongkar kursi batu. Kursi itu diangkatnya. Tetapi tak bergeming. Ia mengerahkan kekuatannya, tetapi kursi batu tersebut tak juga mau bergerak. Sindu heran. Namun ia segera pula sadar, bahwa pada kursi batu ini tentu terdapat semacam alat rahasia. Tempat penyimpanan benda berharga, tentu dilengkapi dengan alat-alat rahasia.
Ia menghentikan usahanya mengangkat kursi batu tersebut, kemudian mulai meneliti keadaan. Lama sekali ia meneliti namun usahanya belum juga memperoleh
hasil. Kursi batu itu tidak terdapat sesuatu yang dapat dijadikan sebagai petunjuk. Juga tiada bagian yang menonjol dan bisa digerakkan oleh tangannya. Sindu menghela napas.
Bagaimanakah mungkin dirinya dapat melaksanakan pesan Empu Supa, kalau dirinya tak dapat membongkar kursi batu ini?
Untuk beberapa lama ia duduk sambil memutar otaknya, guna mencari kunci rahasia batu yang menutup simpanan warisan Empu Supa itu.
Ia duduk sambil bersandar pada.dinding gua. Mulutnya tiba-tiba saja menguap. Sekarang baru terasa, bahwa tubuhnya terasa lelah dan mata mengantuk. Semalam suntuk tak dapat beristirahat, menghadapi lawan. Dan sekarang, di luar tahu Sindu, keadaan di luar gua sudah gelap, siang sudah berganti malam. Akan tetapi karena keadaan di dalam ruangan gua ini tiada perbedaan antara siang dan malam, maka Sindu tidak mengetahui terjadinya perubahan waktu itu.
Sindu gelagapan ketika membuka matanya, mendapatkan dirinya tidur bersandar pada dinding gua. Akan tetapi setelah ingatannya kembali bekerja, ia tersenyum seorang diri. Karena menghadapi kursi batu yang tak dapat digerakkan, dirinya menjadi lelah dan tertidur. Dan ketika melihat ke arah patung kayu yang tadi ia bakar, patung itu sekarang telah menjadi abu. Ia bangkit, kemudian menggunakan dua telapak tangannya, menaburkan abu tersebut ke dalam air.
Setelah selesai, Sindu menghela napas, lalu menebarkan pandang matanya ke sekeliling. Tidak ada perobahan apa-apa dan tiada pula pemandangan baru. Sama saja dengan mula pertama ia datang di tempat ini. Perbedaannya hanyalah, patung berpakaian putih yang kemarin mirip manusia duduk bersamadhi itu, sekarang
sudah tak ada lagi. Juga kalau kemarin perutnya tidak berbunyi dan terasa lapar. sekarang perut itu berkeruyuk karena kosong. Ia meloncat ke bawah, lalu minum air yang bening itu langsung dari sumber air. Kerongkongannya basah, dan perutnya sedikit lega. Ia kembali melompat ke atas, untuk melanjutkan usahanya membongkar kursi batu, seperti pesan tertulis Empu Supa.
Kursi batu itu kembali diteliti dengan sepasang mata, sedang jari tangannyapun membantu dengan merabaraba. Pijat sana pijat sini. Tetapi tidak terjadi perobahan apaapa. Kursi masih tetap di tempatnya semula. Ia kembali meneliti dan membaca huruf-huruf yang telah dibaca. Berulang-ulang ia membaca, namun tak ada perkembangan baru. Huruf itu hanya itu-itu saja.
Kemudian ia menghentikan Usahanya dan duduk mengatur pernapasan dan menenteramkan pikiran. Ia duduk seperti patung. Mata
terpejam dan kemudian kakek ini tenggelam dalam samadhinya.
Entah berapa lama Sindu tenggelam dalam samadhinya, karena tiada perobahan cuaca dalam ruangan ini. ketika Sindu membuka mata, ia hanya merasakan bahwa tubuhnya terasa lebih segar dan nyaman, di samping otaknya lebih jernih dan pandang matanya lebih terang. Lalu ia kembali mengamati pesan Empu Supa.
Tiba-tiba ia tersenyum sendiri, mengakui kurang cermatnya meneliti ukiran huruf pada lantai batu tersebut. Ternyata di bawah pesan Empu Supa yang jumlahnya lima macam itu, terdapat ukiran yang lebih halus lagi dan kalau tidak teliti memang tidak tampak. Ukiran tersebut menggambarkan sebuah kursi. Di samping kanan, kira kira sedepa jauhnya, terdapat lima buah batu bundar yang sebesar telor itik, berjajar pada dinding gua, yang nampaknya seperti batu biasa yang tak ada artinya apa-apa.
Untuk dapat membongkar kursi batu itu, atau lebih tepatnya menggeser kedudukan kursi batu tersebut, batu pada ujung kiri harus ditekan kuat kuat. Setelah batu pada ujung kiri melesak ke dinding, diikuti oleh penekanan batu yang terletak pada ujung kanan. Setelah batu pada ujung kiri dan kanan itu melesak, maka tiga buah batu lain harus digerakkan pula. Batu yang kiri harus diputar ke kanan tiga kali, dan batu yang kanan harus diputar ke kiri tiga kali. Setelah semua dilakukan dengan beres, batu yang terletak di tengah akan segera berputar seperti gasing. Kemudian akan diikuti oleh suara gemerasak, oleh pergeseran kursi batu, dan terbukalah lobang di bawah kursi batu.
Semua petunjuk itu, dilukis halus sekali, demikian pula petunjuk-petunjuknya. Itulah sebabnya pada mulanya Sindu tidak melihatnya.
Dengan hati yang berdebar tegang, kemudian Sindu mulai melakukan segala sesuatu sesuai dengan petunjuk. Setelah semua batu itu digerakkan sesuai dengan petunjuk, terdengarlah suara gemerasak seakan ruangan gua itu ambrol. Diam -diam tegang juga hati Sindu mendengar suara yang gemuruh itu. Hampir berbareng dengan lenyapnya suara gemuruh itu, Sindu terbelalak seperti tidak percaya akan pandang matanya sendiri. Ternyata kursi batu yang tadi digeser tak bergeming, sekarang kursi batu itu tidak tampak lagi entah ke mana. Yang tampak didepannya sekarang, adalah terbukanya dinding gua itu, seperti sebuah pintu. Dan anehnya pula di dalam tidak segelap dalam ruangan yang ditempati sekarang. Ia heran, kagum dan tertarik.
Mengapa ruang lain
yang dirahasiakan itu tidak gelap?
Dengan hati yang berdebar tegang kemudian Sindu menerobos masuk ke dalam. Tetapi ia sadar, bahwa dirinya harus bertindak menutup pintu rahasia tersebut. Maka segera dicarilah alat rahasia. dan tak lama sudah dapat ia temukan. Alat rahasia dalam ruangan ini sama pula dengan alat rahasia di luar. Maka setelah jari tangan Sindu menekan dan memutarnya. segera terdengar lagi suara yang gemuruh gemerasak. Dalam waktu singkat pintu rahasia itu sudah kembali menutup, dan Sindu sekarang terkurung dalam ruangan rahasia. Akan tetapi sekalipun begitu. Sindu tidak khawatir terkurung selama hidup di ruangan ini. Karena ia telah tahu bagaimana harus menggerakkan alat rahasia.
Setelah pintu rahasia kembali menutup perhatian Sindu sekarang tertarik kepada sinar terang yang menyinari ruangan rahasia ini. .
"Ahhh...... pantas saja......"
desisnya seorang diri.
Agaknya ruangan rahasia ini dekat sekali dengan tebing bukit. Sebab cahaya yang masuk itu dari lubang-lubang buatan, akan tetapi tidak khawatir air hujan dapat masuk. Hawa dan suasana di dalam ruangan inipun lebih sejuk dan nyaman dibanding dengan ruangan gua tadi. Sebab dalam kamar ini cukup pertukaran hawa.
Ia meneliti keadaan sekeliling. Tiba-tiba mata Sindu terbelalak, melihat jagung kering yang belum dikupas, bertumpuk dan diletakkan di atas kayu yang malang melintang di bawah langit-langit ruangan. Gumamnya,
"Ah. ternyata ruangan ini dilengkapi dengan persediaan makanan. Akan tetapi adakah simpanan kebutuhan hidup yang lain ?"
Akan tetapi soal persediaan makanan adalah soal yang ke dua. Walaupun perutnya terasa amat lapar, ketika melihat jagung yang masih berkulit, namun ia masih kuasa menekan perasaan itu. Sebab bagi seorang yang berkecimpung dalam ilmu kesaktian, sering sekali perutnya dibiarkan kosong berhari hari, justeru perut yang kosong tersebut memperlancar penyaluran hawa sakti di dalam tubuh yang amat diperlukan.
Kemudian pandang mata Sindu tertumbuk kepada sebuah meja batu, yang terletak di tengah ruangan. Di atas meja batu tersebut, terletaklah sebuah kitab yang tebal, kitab keropak yang dibungkus oleh kain sutera kuning. Di dekat kitab keropak tersebut, menggeletaklah rangka (sarung) keris, sedang di dekatnya sebilah keris telanjang yang berdiri dengan ujung di atas. Yang membuat Sindu takjub adalah keris yang berdiri tersebut. Keris tersebut menyinarkan cahaya agak kemerahan.
"Benarkah keris itu yang terkenal dengan nama Kyai Sengkelat. hasil karya Empu Supa, dan di jaman Majapahit menang perang melawan keris pusaka Majapahit bernama Condongcampur?"
tanyanya dalam hati, dengan hati yang berdebar tegang dan mata memandang tak berkedip.
Akan tetapi mengingat akan pengalamannya sebelum masuk ke ruangan ini, Sindu tidak berani sembrono. Walaupun benda-benda berharga ini tersimpan di dalam ruangan rahasia, dengan cara penempatan semacam itu, perlu dicurigai. Penempatan yang tampaknya dipamerkan kepada orang ini tentu mengandung bahaya bagi orang yang tidak hati-hati. Itulah sebabnya Sindu tidak langsung mengambil kitab dan keris tersebut. Tetapi segera menjatuhkan diri berlutut di depan meja batu, sehingga dahinya menyentuh lantai yang terbuat dari batu pula, sambil berkata,
"Murid melaksanakan perintah guru, dan murid mohon petunjuk."
Sekalipun dalam ruangan itu tiada orang lain kecuali dirinya sendiri dan walaupun tiada keharusan mengucapkan katakata tersebut, namun bagi Sindu baru merasa puas dan lega setelah berkata seperti itu. Sebab dengan begitu ia akan merasa memperoleh tambahan kekuatan batin di samping lebih mantap.
Di saat ia masih berlutut dan mengangkat kepalanya ini. tiba-tiba pandang matanya tertumbuk kepada guratan yang halus, berujud huruf di bawah meja batu. Huruf huruf yang halus guratannya lagi kecil itu tak mungkin terlihat orang. apabila tetap berdiri. Adapun isi dari tulisan di bawah meja tersebut, adalah:
"Empu Supa tak suka kepada murid yang tak kenal sopan. Murid yang baik tentu berlutut di depan meja.
Jangan kausentuh meja maupun benda benda di atasnya Itu semua palsu belaka dan malah bisa mendatangkan celaka. Keris yang nampaknya bercahaya kemerahan itu, bukan warna asli. Itu adalah pengaruh racun yang sengaja aku lumurkan pada bilah keris. Orang yang berani menyentuh keris, rangka keris maupun kitab, termasuk meja. akan segera menderita keracunan yang tak mungkin diobati lagi. Muridku, keris Kyai Sengkelat maupun warisan ilmuku, tersimpan di dalam peti batu, terletak di sudut ruangan yang tertutup oleh batu bundar hitam. Jangan meninggalkan ruangan ini, sebelum yakin telah berhasil menguasai semua ilmu."
Membaca tulisan yang halus di lantai batu itu, Sindu menghela napas. Beruntung sekali bahwa dirinya tadi cukup sopan dan tidak sembrono. Kalau saja begitu masuk segera menyambar keris dan kitab tersebut, niscaya dirinya akan menemui ajalnya di tempat ini, dan takkan
dapat bertemu lagi dengan muridnya.
Titiek Sariningsih.
"Terima kasih guru, engkau sudah memberi petunjuk kepada murid,"
kata Sindu sambil berlutut sekali lagi kemudian bangkit berdiri.
Hatinya berdebar tegang dan menggelengkan kepala, melihat benda-benda di atas meja batu yang amat berbahaya itu.
Setelah itu, barulah ia melangkah menuju sudut sesuai dengan petunjuk. Dengan hati-hati, diangkatlah batu hitam pada sudut tersebut. Ternyata benar, bahwa di bawah batu hitam tersebut, terdapat sebuah lobang. Di dalamnya terdapat sebuah peti dari batu hitam. Cukup berat ketika peti batu tersebut diangkat ke luar dari lobang.
Ia menahan rasa tegangnya, lalu membuka peti batu tersebut. Begitu peti terbuka, pandang matanya yang pertama, tertumbuk kepada rangka keris yang indah, lapisan paling luar terbuat dari emas murni. Sindu menduga, tentu keris inilah Kyai Sengkelat yang kemudian hari harus diserahkan kepada raja yang syah.
"siapakah raja yang syah?"
mau tak mau Sindu bertanya dalam hati.
Sebab walaupun Sultan Agung sekarang berkuasa di Mataram, tetapi menurut ketentuan dan hukum yang berlaku sejak Kerajaan Demak, Kerajaan Mataram adalah tidak syah. Karena baik Panembahan Senopati, Panembahan Sedo Krapyak maupun Sultan Agung sendiri. belum pernah memperoleh pengakuan dari Sunan Giri, seperti raja-raja sebelumnya. Bukan saja Sunan Giri tidak mau mengakui, tetapi Sunan Giripun menentang Mataram mati-matian.
Akan tetapi kemudian Siudu tidak ingin memusingkan soal raja syah dan tidak. Ia akan menyimpan keris Kyai Sengkelat ini, sambil menunggu perkembangan. Kemudian mulai dibongkarlah isi peti tersebut. Ternyata isi dari peti itu tidak banyak. Hanya keris Kyai Sengkelat dengan sebuah kitab dari keropak yang hanya tipis, terbungkus oleh kain sutera kuning. Di bawah kitab, terdapatlah tiga stel pakaian yang masih baru.
"Hem,"
desis Sindu.
"Melihat ada cadangan pakaian, jelas bahwa aku membutuhkan waktu lama di sini. Tapi baiklah! Tuhan telah menakdirkan bahwa diriku harus melalui jalan ini. Mempelajari sesuatu ilmu bukan tergantung oleh waktu. Tetapi tergantung kepada kesungguhan, ketekunan dan kecerdasan otak manusia yang belajar."
Demikianlah, mulai hari itu Sindu menekuni sebuah kitab peninggalan Empu Supa. Pada mulanya ia agak kesulitan, karena bahasanya terlalu sulit dimengerti. Untung sekali bahwa pada kitab itu disertakan gambar gambar sebagai petunjuk. Walaupun gambar itu lukisannya jelek dan bentuk manusianya aneh, namun gambar itu dapat menolong dirinya.
Ternyata isi kitab tersebut titik beratnya bukanlah ilmu tata kelahi, akan tetapi merupakan kitab pelajaran ilmu kesaktian, untuk mengumpulkan hawa sakti dan penggunaannya. Namun kemudian pada bagian belakang dari kitab tersebut, sifatnya sudah lain. Terdapat tulisan yang cukup besar
"Nglurug tanpa bala! Menang tanpa ngasorake!"
Artinya, menggempur musuh tanpa pasukan, memperoleh kemenangan tanpa jalan mengalahkan.
Sindu mengerutkan alisnya.
mungkinkah memperoleh kemenangan tanpa mengalahkan lawan?
Akan tetapi setelah Sindu mulai membuka-buka lembaran keropak
berikutnya, Sindu mengangguk anggukkan kepalanya. Tertulislah di situ tulisan yang berbunyi:
"Ketakutan, kenikmatan, kesengsaraan, fikiran dan kekerasan semuanya saling berhubungan satu dengan lainnya. Kebanyakan dari kita mengambil kenikmatan dari kekerasan, dari ketidaksukaan kita akan seseorang, dari kebencian terhadap golongan orang-orang tertentu, dari perasaan-perasaan permusuhan terhadap orang lain. Tetapi dalam keadaan jiwa di mana semua kekerasan telah lenyap, di situ terdapatlah kegembiraan yang sangat berlainan dari pada kenikmatan kekerasan dengan pertentangan pertentangan, perasaan benci dan ketakutannya.
Taklah mungkin menjelma kehidupan manusia yang sungguh-sungguh damai, apa bila rasa benci, iri hati, kekuatiran dan ketakutan bersemayam dalam diri. Untuk berusaha menghilangkan semua tadi, hanya apa bila mau memandangnya, menyelaminya, menyelidiki, meneliti, mengikuti dan menyelami sedalam dalamnya. Tanpa paksaan tetapi penuh kemauan, semuanya akan berakhir. Kemudian dalam hati berkumandang kata-kata, 'Aku tak boleh membenci kepada siapapun. Aku harus mempunyai cinta kasih yang iklas dalam hatiku.' Jangan lupa bahwa dalam kesenangan itu sendiri ada terdapat penderitaan, yang mengandung cemburu, iri hati, pertentangan dan kebencian. Yang mengandung nafsu mementingkan diri sendiri, prasangka, dan akibatnya memecah belah manusia. '
Amatilah apa yang sesungguhnya berlangsung di dalam diri sendiri dan di luarnya, di lingkungan tempat hidup, dengan keinginan akan kekuasaan, kedudukan, nama besar, dan lain lagi. Sebab itulah yang menimbulkan penentangan, kebencian, iri hati. kekejaman, keganasan, prasangka dan seterusnya.
glurug tanpa bala. Menang tanpa ngasorake. (Menggempur musuh tanpa pasukan. Memperoleh kemenangan tanpa jalan mengalahkan). Hanya dapat dicapai dalam jiwa, di mana semua kekerasan telah lenyap. dan yang ada tinggallah cinta kasih tanpa pamrih pribadi."
Membaca penjelasan itu, Sindu menjadi tertarik dan terbangun semangatnya untuk menekuni petunjuk-petunjuk di dalam kitab keropak ini. Sejak lama Sindu justeru mencitakan agar dirinya bisa membebaskan diri dari pertentangan, kebencian, iri hati, kekerasan dan mendekatkan diri dengan cinta kasih yang ikhlas. Demikianlah mulai saat itu, Sindu tenggelam dalam ketekunannya mempelajari ilmu Warisan Empu Supa tanpa kenal lelah, dan tidak pernah meninggalkan ruangan rahasia ini, justeru di dalam ruangan tersebut terdapat persediaan makanan dan air minum yang cukup.
*****
Tiga orang gadis berkelebat cepat menerobos halimun pagi, dengan wajah yang riang berseri, menuruni pinggang Gunung Wilis. Bagi orang yang belum mengenal, bisa salah tafsir, menganggap tiga orang gadis ini siluman wanita. Sebab kecepatan mereka bergerak memang tidak lumrah manusia lagi, seakan bersayap dan dapat terbang
Akan tetapi tiga orang gadis ini. Wajahnya berlain lainan. Gadis yang tertua wajahnya amat cantik, bentuknya bulat telor dengan kulit yang kuning halus. Lebih lagi gadis itu mengenakan baju warna kuning, sehingga warna kulit dan warna baju hampir serupa, sehingga tampaknya gadis itu seperti tidak mengenakan baju. Yang dua orang, merupakan gadis-gadis remaja. Yang seorang
cantik pula wajahnya, sekalipun tidak menyamai kecantikan gadis yang tertua. Namun demikian kecantikan gadis inipun amat menonjol, justeru sepasang mata gadis ini bersinar-sinar seperti bintang pagi, dinaungi oleh alis yang sedikit tebal. Bibirnya merah merekah pembawaan alam, dan bibir tersebut selalu menyungging senyum, sehingga wajah itu nampak makin berseri. Adapun yang seorang lagi, merupakan kebalikan dari dua orang gadis yang tersebut duluan. Karena di samping gadis ke tiga ini wajahnya jelek, hidungnya besar, mulutnya lebar, bibirnya tebal, aliSnya tebal, juga kulitnya hitam dan tubuhnya kegemukan.
Tiga orang gadis ini bukan lain Damayanti atau gadis yang terkenal dengan sebutannya "Gadis Baju Kuning", Titiek Sariningsih dan Mulatsih. Ternyata apa yang pernah diduga oleh Ki Ageng Lumbungkerep meleset sedikit. Yang diperlukan untuk mematangkan ilmu dan menggembleng Titiek Sariningsih bukan dua tahun, melainkan cukup dengan waktu satu setengah tahun saja. Oleh bimbingan seorang ahli, di dalam waktu yang hanya satu setengah tahun itu, Titiek Sariningsih telah menjadi manusia baru. Seorang gadis remaja yang perkasa. Pada ujian terakhir Gadis Baju Kuning yang bernama Damayanti itu, baru dapat menundukkan Titiek Sanningsih, setelah melewati perkelahian lebih duaratus jurus. Itupun Damayanti harus menggunakan pengalaman pengalamannya dan mengerahkan seluruh kepandaiannya. Nyatalah bahwa Titiek Sariningsih sekarang, seorang gadis yang sulit dicari tandingnya. Malah menurut pesan Ki Ageng Lumbungkerep, apa bila Titiek Sariningsih tekun melatih diri, dalam waktu dua atau tiga tahun lagi, belum tentu Damayanti dapat mengalahkan Titiek Sariningsih.
Untung sekali bahwa di samping digembleng ilmu kesaktian, Titiek Sariningsih juga digembleng tentang batin dan kanuragan. Maka sekalipun sekarang Titiek Sariningsih baru berusia lebih kurang 15 tahun, gadis ini tidak menjadi besar kepala dan sombong. Ia malah menjadi seorang gadis yang rendah hati, sabar, ramah dan tampak akan kematangan jiwanya.
Adapun Mulatsih si gadis jelek itu, juga merupakan gadis remaja yang pilih tanding setelah memperoleh gemblengan bersama, antara Damayanti, ayah dan ibunya. Dan untung juga, bahwa Mulatsih seorang yang tekun dan tak pernah mengenal lelah melatih diri. Maka dengan bekal kepandaiannya yang sekarang diharapkan, Mulatsih dapat mengandalkan kekuatannya sendiri, untuk merebut warisan orang tuanya, di samping mempertahankan haknya itu setelah berhasil mengalahkan Kirtaji maupun Prembun. Sekalipun demikian, Ki Ageng Lumbungkerep maupun yang lain tidak berani sembrono melepaskan Mulatsih seorang diri. Maka dalam perjalanan sekarang ini, di samping ditemani oleh Titiek Sariningsih juga masih dilindungi langsung oleh _Damayanti. Tugas Damayanti sekarang ini, hanya akan bertindak dan campur tangan kalau Mulatsih menghadapi kesulitan.
Mereka melakukan perjalanan cepat, dengan maksud agar mereka sampai di tempat tujuan, markas besar Gerombolan Kendeng, hari masih belum begitu sore. Maka sedikit saja mereka bicara, agar perjalanan dapat cepat. Menurut rencana mereka, Mulatsih dianjurkan agar langsung menantang Kirtaji untuk bertanding. Dengan demikian, tidak perlu memerlukan waktu banyak untuk merebut hak warisan dari orang tuanya. Akan tetapi kalau Kirtaji menggunakan kecurangan mengeroyok, Titiek Sariningsih dan Damayanti siap untuk melindungi,
Akan tetapi di saat mereka bertiga berlarian menerobos hutan di lereng Gunung Pandan, mereka terkejut.
Ditengah kesunyian hutan itu tiba-tiba terdengarlah suara orang ketawa nyaring. Suara ketawa perempuan. Mereka menghentikan langkah dengan hati heran. Hutan yang mereka terobos ini jauh dari dusun.
Merupakan daerah belantara dan tak pernah dijamah manusia, tetapi mengapa ada seorang perempuan yang tertawa?
Untung sekali bahwa tiga orang gadis ini, merupakan gadis gadis pemberani. Dari heran mereka segera bersikap waspada. Sebab dari suara ketawa perempuan itu yang nyaring jelas, membuktikan bahwa orang yang tertawa itu, bukanlah perempuan sembarangan.
Namun sekalipun demikian, tiga orang gadis ini merasa heran juga. Sebab suara ketawa itu, sebuah jurang yang amat dalam. Titiek Sariningsih yang selalu ingin tahu, segera mendekati dan berdiri di pinggir jurang. Gadis itu memandang ke bawah. Tetapi karena jurang itu tertutup oleh halimun dan dalam pula, maka gadis ini tak dapat melihat apa-apa.
Tetapi di saat Titiek Sariningsih memandang ke bawah itu,mendadak dari baWah jurang, melesatlah sebuah benda yang menyambar dari bawah.
"Ihhh....!"
Titiek Sariningsih berseru kaget sambil menghindar ke samping. Dan benda itu meluncur terus, lalu jatuh di tempat agak jauh.
Ternyata bukan hanya Titiek Sariningsih seorang diri yang melihat sambaran benda dari bawah jurang itu. Mulatsih maupun Damayanti melihat pula dan merasa heran. Saking heran, Damayanti segera melompat ke arah di mana benda itu jatuh. Ternyata kemudian bahwa benda yang menyambar dari bawah itu, hanyalah sebutir batu hitam sebesar kepalan tangan.
Akan tetapi walaupun hanya sebutir batu, perhatian Damayanti amat tertarik. Ia dapat menduga bahwa jurang ini amat dalam. Kalau ada seorang wanita yang dapat menyambitkan batu tersebut dari bawah, membuktikan bahwa perempuan itu benar-benar sakti mandraguna.
Hanya yang mengherankan, mereka tidak merasa melakukan kesalahan, mengapa perempuan itu sudah menyerang dengan batu?
Walaupun serangan itu dari bawah, dari jarak jauh dan dengan gampang dapat dihindari, tetapi serangan ini merupakan bukti bahwa perempuan di bawah jurang itu sengaja memusuhi.
Kalau Damayanti maupun Mulatsih dapat bersikap sabar, sebaliknya Titiek Sariningsih tidak. Teriakannya nyaring diarahkan ke bawah jurang,
"Hai! Siapa di bawah dan mengapa menyambit kami?"
Tak ada jawaban dari bawah jurang. Tetapi sesaat kemudian bersiutan angin tajam dari bawah jurang.
"Wut-wut.. siuuutt..... siuuutt..... tak-tak-tak. .!"
Terjadilah hujan batu-batu kecil dari bawah jurang, menyambar ke atas. Tetapi hujan batu itu tidak sebutirpun dapat mengenai mereka.
Sambaran batu dari bawah yang jelas merupakan serangan itu,
membuat Titiek Sariningsih marah. Teriaknya,
"Kurang ajar! Siapa di dalam berani menyambiti kami? Hayo, lekas ke luar! Jika tidak, kami akan turun ke bawah dan menghajarmu!"
Kalau Titiek Sariningsih lekas menjadi marah dan menantang, sebaliknya Damayanti mengerutkan alisnya. Sebagai seorang gadis yang sudah luas pengalaman, dan banyak kali berhadapan dengan lawan berat, gadis ini sudah bisa menduga betapa hebatnya orang yang menyambit itu. Jelas bahwa bukan seorang wanita lembut
tangan. Sesungguhnya Damayanti tak ingin berselisih dengan perempuan di bawah jurang ini. Akan tetapi karena Titiek Sariningsih sudah terlanjur menantang, apa boleh buat. Ia tidak dapat menyalahkan Titiek Sariningsih yang lekas menjadi marah. Mereka tidak bersalah. Mereka lewat di tempat ini tanpa mengganggu siapapun. Akan tetapi ternyata orang sudah memulai. Maka sekalipun tidak menghendaki terjadinya perselisihan, ia merasa terhina juga oleh sikap orang itu. Karena itu sambil memandang pula ke bawah, Damayanti ingin mendengar jawaban dari bawah.
Ternyata tidak membutuhkan waktu lama mereka menunggu. Dari bawah terdengar suara lantang menyahut,
"Bagus! Apakah nyawamu sudah rangkap berani menantang Dewi Pandansari?"
Damayanti mengerutkan alis mendengar orang menyebut nama sendiri Dewi Pandansari itu. Walaupun muda, pengalamannya sudah cukup luas ia banyak mengenal tokoh-tokoh sakti angkatan tua maupun muda. Namun baru sekarang sajalah ia mendengar nama Dewi Pandansari. '
Ia menunggu dengan hati agak tegang. Apa bila perlu, sebagai pelindung dari Titiek Sariningsih, ia akan turun tangan melawan wanita aneh ini. Sekalipun demikian, sikapnya masih tetap tenang dan wajahnya tak berobah.
Tak lama kemudian tampak oleh mereka, bayangan seseorang yang dengan gerakan gesit mendaki tebing jurang. Bukan mendaki melainkan seperti terbang. Sebagai seorang yang pandang matanya amat tajam, Damayanti tahu bahwa perempuan di bawah jurang itu, mengenakan baju merah dan pada tangan kanannya siap sebatang cambuk hitam.
Begitu muncul di atas jurang tak tercegah lagi Damayanti berseru tertahan,
"Ahhh kau ......?"
"Hi-hi-hik, bagus! Kau masih mengenal aku ?"
sahut perempuan baju merah itu, nadanya dingin.
"Nyata bahwa Tuhan benar-benar adil. Hari ini apa yang aku harapkan dikabulkan. Hemm, tanpa kucari engkau sudah datang sendiri. Hari ini engkau harus mampus di tanganku. Hi-hi-hik."
_ Titiek Sariningsih menjadi amat marah sekali mendengar kata-kata perempuan ini yang tidak menghormati Damayanti. Matanya mendelik dan bentaknya lancang,
"Keparat, siapa kau ini? Jika tak lekas mengaku, tanganku sanggup menghancurkan kepalamu !"
"Hi-hi-hik, kau menantang aku?"
perempuau baju merah itu mendelik.
Damayanti mengamati perempuan baju merah itu dengan wajah tenang. Kalau ia tadi berseru tertahan, bukan karena kaget. Damayanti merasa heran saja, melihat Rara Inten muncul dari baWah jurang.
Apakah kerja Rara Inten di bawah?
Memang perempuan baju merah ini Rara Inten. Ternyata sekalipun dalam pertempuran di laut melawan Madu Bala menderita luka cukup parah, namun Rara Inten masih dapat menyelamatkan diri dari ancaman maut. Begitu perahu yang dipergunakan bertempur melawan Madu Bala tenggelam kemudian akibat pukulan Madu Bala ia tercebur ke dalam laut namun Rara Inten tidak tenggelam. Di saat ia merasakan dadanya sesak, pandang matanya kabur dan dari mulut keluar darah segar dan diancam oleh bahaya tenggelam di laut, kaki Rara Inten bergerak menjejak jejak air. Membuat tubuhnya membal kembali ke permukaan air. Kemudian secara tak sengaja, tangannya memperoleh pegangan potongan tiang layar yang terapung di atas air.
Sambil memeluk balok kayu potongan tiang layar perahu ini, Rara Inten mengerahkan sisa-sisa tenaganya, untuk dapat menggerakkan kayu itu menepi. Memang tidak mudah Rara Inten membawa kayu itu menepi, karena di sekitar itu banyak pecahan perahu, dan banyak pula mayat yang mengapung. Dengan pandang matanya yang kabur, ia melihat sekeliling. Keadaan sudah agak sepi dan perahu-perahu kecil sudah tidak banyak tampak seperti semula. Rara Inten dapat menduga bahWa pihaknya menderita kekalahan hebat dalam pertempuran di laut ini. '
Tiba-tiba sebuah perahu kecil mendekati. Perahu itu dengan penumpang lima orang laki-laki. Melihat itu Rara Inten gembira. Apa bila dirinya dapat merebut perahu ini, untuk mendarat takkan kesulitan. Walaupun dirinya sekarang menderita cukup parah, namun tenaganya masih cukup kuat untuk menggerakkan cambuknya.
"Tar-tar-tar-tar-tar!"
Lima kali cambuknya meledak dan menyambar ke arah perahu, tanpa sambat lagi lima orang penumpang perahu itu sudah roboh tercebur ke dalam laut dan tewas .Kemudian Rara Inten menggunakan sisa tenaganya, menekan potongan tiang layar perahu tersebut dengan dua tangannya.
"Wutt."
tubuhnya melambung agak tinggi.
Ketika turun, dua kakinya sudah berdiri di atas perahu dan hanya mengakibatkan perahu itu sedikit tergoncang. Akan tetapi tiba -tiba ia merasakan dadanya sakit, darahnya bergolak, dan tanpa dapat dicegah lagi Rara Inten sudah muntah darah lagi. Agaknya oleh pengerahan tenaganya tadi, membuat luka dalamnya yang cukup parah kambuh lagi.
Rara Inten terpaksa duduk bersila dan mengatur pernapasan. Dan membiarkan perahu itu terapung apung di atas laut. Ketika ia membuka matanya, ternyata perahunya terbawa oleh gelombang laut menjauhi tempat terjadinya pertempuran. Hal ini justeru amat menguntungkan, sehingga tidak ada yang mengganggu di saat ia memejamkan mata mengatur pernapasan.
Perahunya dibawa oleh_gelombang laut menuju timur. Ketika ia menggerakkan pendayung untuk mendarat, ternyata ia mendarat tak jauh dari desa Palang. Rara Inten menghela napas lega setelah dapat menginjakkan kaki di darat. Tetapi dalam hati terasa panas dan penasaran pula, bahwa usaha persekutuannya gagal menghadapi lawan. Ia merasa malu kalau harus singgah ke rumah Perguruan Tuban, bertemu dengan Sarni dan Kedasth. Dirinyalah yang menyebabkan perguruan itu terlibat dalam penghadangan yang akhirnya gagal dan harus pula mengorbankan puluhan orang murid. Ia merasa malu kepada pimpinan Perguruan Tuban itu.
Rara Inten langsung pergi ke Gunung Pandan. Kemudian ia menyembunyikan diri didalam gua tempat tinggalnya, yang terletak di tebing jurang amat dalam. Di dalam gua ini, Rara Inten menggembleng diri tak kenal lelah. Ia amat penasaran sekali, hanya berhadapan dengan Madu Bala saja dirinya tak mampu merobohkan, malah menderita luka dalam.
Kalau hanya berhadapan dengan Madu Bala saja tak mampu mengalahkan, kapankah dirinya dapat mengalahkan orang-orang yang amat dibencinya?
Dalam kamus hatinya terdapat tiga orang yang harus mati dalam tangannya. Pertama Pangeran Pekik, ke dua Ratu Wandansari dan yang ke tiga Gadis Berbaju Kuning. Ia merasa yakin dan percaya. cita-citanya akan dapat tercapai, asal saja sudah berhasil menguasai dua macam ilmu yang telah dapat dihafal luar kepala. Ialah ilmu tangan kosong bernama "Cakar Setan"
dan ilmu cambuk bernama "Samber Nyawa", yang semuanya dahulu tersimpan dalam pedang Jati Sari. Hanya sedikit sayang, bahwa catatan ilmu tersebut telah lepas dari tangannya, jatuh ke tangan Ratu Wandansari, kemudian diserahkan kepada Pangeran Pekik. (Baca:
"RATU WANDANSARI")
Di samping masygul catatan ilmu tersebut lepas dari tangannya ia menyesal pula mengapa dahulu pedang Jati Sari yang telah patah menjadi dua, ia serahkan kepada Pangeran Pekik. Semula ia menduga bahwa pedang Jati Sari yang telah patah menjadi dua itu, tersimpan di rumah Perguruan Tuban. Tetapi ternyata pedang itu sudah hilang tak diketahui rimbanya. Padahal semula ia bermaksud, apa bila pedang Jati Sari itu masih ada, dengan menggunakan kekerasan, ia mau memaksa seorang empu supaya menyambung pedang yang telah patah itu. Padahal apa bila drinya dapat memiliki pedang yang amat tajam itu, dengan ilmunya yang makin menanjak tinggi, dirinya akan dapat melebihi tingkat gurunya yang sudah meninggal. Rara Inten tidak tahu sama sekali, bahwa pedang Jati Sari yang sudah patah itu, dirampas oleh Sindu kemudian sudah dilenyapkan.
Oleh ketekunan berlatih tanpa kenal lelah di dalam gua tempat tinggalnya, dan oleh bakat dan kecerdasan otaknya, dalam waktu lebih kurang satu setengah tahun, ia memperoleh kemajuan yang amat hebat. Ia amat bangga sekali ketika berlatih di bawah hujan yang amat lebat, dengan gerakan cambuknya yang amat cepat, dapat membuat cambuk itu semacam payung. Tidak setitikpun air yang dapat menembus benteng cambuknya. Dengan demikian, apa bila ia menghadapi lawan, Ia
percaya takkan ada senjata lawan yang sanggup menembus benteng pertahanannya.
Selama menyembunyikan diri di dalam gua tempat tinggalnya ini, daerah sekitarnya selalu aman, dan tidak seorangpun berani lewat. Sebab Rara Inten tak tanggung tanggung dalam menghadapi orang yang berani masuk ke Wilayahnya. Orang itu akan mati tergantung di atas pohon. Seringnya peristiwa semacam Itu terjadi, dan tidak ada orang yang bisa tahu siapa yang melakukan menimbulkan dugaan orang bahwa daerah itu angker. Tentu terdapat setan atau siluman yang buas. Siluman atau setan itu merasa terganggu kerenteramannya, apa bila ada orang datang ke tempat itu.
Demikianlah. selama ini Rara Inten yang menyembunyikan diri di tempat tinggalnya merasa aman, dan tidak seorangpun berani masuk dalam Wilayahnya. Dalam waktu satu setengah tahun,ia terputus hubungannya dengan orang.. Dan ia takkan murcul di depan orang sebelum yakin dirinya berobah menjadi manusia perempuan tersakti di dunia ini.
Itulah sebabnya Rara Inten tertawa, kemudian menyambit dengan batu. Ia tertawa karena marah dan penasaran.
Mengapa masih terdapat orang yang berani memasuki wilayahnya yang terlarang bagi orang luar?
Lebih marah dan penasaran lagi dalam hati Rara lnten, ketika mendengar tantangan orang dari atas.
Tetapi begitu muncul dan berhadapan dengan tiga orang itu, Rara Inten yang sudah menamakan diri menjadi Dewi Pandansari agak kaget, ketika berhadapan dengan Gadis Berbaju Kuning. Sebaliknya Damayanti tersenyum. Katanya,
"Hemm, ternyata engkaulah yang bernama Dewi Pandansari. Apakah kesalahan kami, sehingga engkau menyambiti kami?"
Untuk beberapa saat Rara Inten mendelik ke arah Damayanti, dengan wajah merah padam saking marah. Masih terbayang jelas dalam benaknya, perbuatan Gadis Baju Kuning ini, ketika di Pondok Bligo. Hingga rencananya menjadi gagal total, Akan tetapi waktu itu, (baca: "Ratu Waudansari"
) Rara Inten memang tidak berdaya. Ketinggian ilmu dan kesaktiannya yang membuat orang gentar, ternyata tak mampu berbuat apapun.
Akan tetapi lain dulu sekarang. Selama ini ia telah menggembleng diri dengan cita-cita untuk menuntut balas kepada orang yang ia anggap sebagai musuh bebuyutan. Dan diantara musuh itu, bukan lain Gadis Baju Kuning ini.
Bukankah pertemuannya sekarang ini, merupakan suatu peristiwa yang tak terduga tetapi juga menggembirakan?
Hari inilah datang saatnya salah seorang dari musuhnya harus mampus dalam tangannya.
"Hi-hi-hik, bagus!"
Rara Inten ketawa nyaring.
"Tanpa aku cari engkau sudah datang sendiri. Huh, hari ini engkau harus mampus dalam tanganku!"
Berbeda dengan Mulatsih yang sudah mengenal Rara Inten, mendengar kata-kata itu Titiek Sariningsih heran. Ia memalingkan muka memandang Damayanti. Tetapi gadis ini menjadi kagum, ketika melihat bahwa Damayanti nampak tenang tenang, malah bibirnya yang indah itu Masih menyungging senyum, Kemudian terdengar jawabnya,
"Inten! Engkau masih penasaran dengan peristiwa di Pondok Bligo ketika itu? Hemm, sayang! Aku berharap engkau berobah menjadi baik, ternyata harapanku tidak terkabul. Engkau makin dalam tersesat, dan tak pandai memperbedakan mana baik dan mana buruk....."
"Tak usah banyak mulutl"
potong Rara Inten lantang.
"Manusia di dunia ini bebas memilih jalan yang dilalui. Pendeknya hari inilah saat akhir hidupmu, harus mampus dalam tanganku. Huh!"
"Keparat! "
bentak Titiek Sariningsih tiba-tiba.
Gadis ini merasa tidak senang mendengar kelancangan perempuan yang baru muncul dari bawah jurang itu.
"Siapakah engkau berani lancang mulut di depan kami? Huh perempuan macam. kau ini pantas dihajar mulutnya."
Rara Inten mendelik menatap Titiek Sariningsih. Dengusnya dingin,
"Hemm, bayi kemarin sore berani menjual lagak di depan Dewi Pandansari."
'Apa katamu? Bayi kemarin sore? Keparat!"
bentak Titiek Sariningsih lantang.
"Sekalipun kecil, sangkamu aku takut padamu?"
Mendengar ucapan Titiek Sariningsih yang begitu ketus dan berani itu, membuat Damayanti tersenyum. Ia tidak melarang Titiek Sariningsih menantang Rara Inten, walaupun ia tahu benar bahwa Rara Inten bukanlah wanita sembarangan. Damayanti malah merasa senang. Sebab dengan terjadinya perkelahian antara Rara Inten dengan Titiek Sariningsih. ia akan segera dapat mengukur sampai di mana ketinggian ilmu bocah itu sekarang, setelah mendapat gemblengan dari eyangnya.
Bukankah begitu muncul berhadapan dengan lawan berat, akan memberi pengalaman berharga bagi bocah itu sendiri?
Adapun Mulatsih yang pernah menyaksikan sepak terjang Rara Inten ketika di Pondok Bligo, diam-diam hatinya tegang dan khawatir.
Mungkinkah Titiek Sariningsih mampu melawan Rara Inten yang sakti mandraguna itu?
Dan Rara Inten sendiri yang berwatak angkuh itu, mendelik marah. Saking marahnya, wajah ayu itu menjadi merah dan alisnya berdiri. Ia menatap Titiek Sariningsih tak berkedip. Dirinya ditantang oleh seorang gadis yang masih amat muda. Sungguh merupakan suatu peristiwa yang tak pernah diimpikan. Oleh karena itu ia mendengus dingin,


Kisah Si Pedang Buntung Lanjutan Ratu Wandansari Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hai Baju Kuning! Apakah engkau sekarang sudah menjadi seorang pengecut, mengajukan bocah ingusan untuk menghadapi aku? Huh, aku tidak banyak waktu untuk bermain main dengan bocah cilik. Tahukah engkau bahwa setiap tanganku bergerak harus mengantarkan nyawa manusia ke neraka?"
"Kurang ajar kau! "
lengking Titiek Sariningsih yang menjadi penasaran.
"Apakah ketinggian ilmu seseorang ditentukan oleh usia dan keadaan? Kalau engkau dapat membunuh orang, apakah sangkamu tanganku tak dapat menghajar mulutmu yang lancang itu"."
Damayanti tersenyum. Bukan main bocah ini, pikirnya. Apa bila sudah tersinggung perasaannya, berobah menjadi seorang gadis yang amat galak. Sungguh merupakan seorang wanita gagah perkasa, yang kelak kemudian hari tentu memperoleh nama besar.
( Bersambung jilid 20 )
******
AKAN tetapi ia mengerti benar, bahwa watak Titiek Sariningsih tidak ganas. Dia seorang gadis yang pemberani, dan sesuai dengan usianya yang masih terlalu muda, sifatnya yang periang itu cepat berobah. Maka katanya dengan halus, tetapi nadanya memang pedas,
'Hemm. Rara Inten! Lupakah engkau akan keadaanmu sendiri ? Dahulu di Pondok Bligo engkau membanggakan ilmu cakar ayam yang ganas itu untuk merajai keadaan? Namun aku dengan sekali gebrak saja, membuatmu tidak berdaya. Dan apakah engkau masih hidup sampai sekarang, kalau aku tidak memberi ampun? Sekarang engkau mengumbar mulut mau membunuhku. Apakah selama ini engkau tekun berlatih dan merasa sudah jauh maju? Hemm, untuk menguji sampai di manakah kemajuanmu sekarang, maka tepat sekali engkau menghadapi adikku yang masih kecil itu. Biarlah aku uji dahulu. apakah engkau pantas melayani aku atau tidak."
Seperti meledak dada Rara Inten mendengar ucapan yang amat merendahkan itu. Bertahun-tahun ia melatih diri dengan tekun, tiada cita-cita lain kecuali ilmu dan kesaktiannya akan ia pergunakan membalas dendam kepada orang-orang yang dianggapnya sebagai musuh. Namun ternyata sekarang berhadapan dengan salah seorang dari musuhnya, malah dihinakan sedemikian rupa. Terdorong oleh ledakan kemarahan dalam dadanya. ia menjadi lupa keadaan. Teriaknya,
"Bagus, hi-hi-hik. Engkau telah memaksa aku supaya melakukan penjagalan kepada manusia yang tak berdosa. Hi-hi-hik, apakah engkau merasa ngeri menghadapi maut, sehingga engkau perlu mencari teman ?"
Setelah berkata demikian. Rara Inten menghadapi Titiek Sariningsih dengan mata yang menyala. Ledakan kemarahan dalam dadanya ini, membuat ia telah memutuskan bahwa hari ini dirinya harus melakukan pembunuhan. Maka bentaknya kepada Titiek Sariningsih,
"Hai bocah cilik yang berkepala besar. Lekaslah engkau bersiap menyambut datangnya maut!"
"Hi-hik, sejak tadi aku sudah bersiap diri."
Titiek Sariningsih menyahut dengan sikapnya yang mengejek. Gadis itu berdiri seenaknya saja, tanpa menunjukkan sikap telah mempersiapkan diri.
Melihat itu, bukan main marahnya Rara Inten. Dirinya direndahkan sedemikian rupa oleh seorang bocah ingusan.
Manakah mungkin dirinya dapat memberi ampun kepada bocah kurang ajar itu?
Akan tetapi sesungguhnya Rara Inten salah tafsir. Sikap Titiek Sariningsih yang tampaknya berdiri seenaknya itu, sebenarnya memang sudah bersiap diri. Memang inilah keistimewaan dari Ilmu Tangan Kosong Cleret Tahun warisan Ki Ageng Purwoto Sidik. Tampaknya hanya berdiri seenaknya, namun sebenarnya telah siap siaga menghadapi bahaya dan serangan orang. Lebih lebih sekarang, setelah Titiek Sariningsih memperoleh gemblengan seorang ahli, saudara seperguruan Ki Ageng Purwoto Sidik sendiri. Sudah tentu dengan bimbingan orang yang tahu rahasia rahasia ilmu tersebut, Titiek Sariningsih memperoleh kemajuan yang amat hebat.
Rara Inten sudah menerjang maju sambil melengking
nyaring. Dua tangannya bergerak cepat, jari tangannya terbuka setengah melengkung, dan angin yang keluar dari telapak tangannya menyambar tajam. Dalam marahnya Rara Inten tidak tanggung-tanggung lagi dalam serangannya. Ia langsung menggunakan Ilmu Cakar Setan, yang beberapa tahun lewat telah membuat gemparnya semua orang yang mengunjungi Pondok Bligo.
Melihat gerak cepat Rara Inten itu, diam-diam Damayanti kagum dan memuji. Ternyata dalam beberapa tahun ini, Rara Inten telah berhasil mematangkan Ilmu Cakar Setan, jauh lebih dahsyat dengan ketika Rara Inten merajai Pondok Bligo. Sekalipun demikian, Damayanti tidak khawatir. Ia seorang ahli dari semua ilmu warisan leluhurnya. Dan iapun percaya, bahwa Titiek Sariningsih sekarang bukanlah Titiek Sariningsih dua tahun yang lalu.
Sambaran cengkeraman jari tangan Rara Inten dihindari Titiek Sariningsih dengan menggunakan kecepatan geraknya, menghindar ke samping. Kemudian tangannya yang kecil diangkat untuk mencengkeram pergelangan tangan lawan.
"Wutt.. wutt..!"
Diam-diam Rara Inten kaget dan heran, melihat kecepatan gerak lawan yang masih bocah 'ini. Sungguh tak pernah ia duga, bahwa lawan yang muda ini dapat bergerak secepat itu. Bukan saja cepat, tetapi gerakannya juga begitu aneh. Gerakan lawan yang cepat dan aneh itu, membuat Rara Inten penasaran sekali. Maka kalau pada mulanya Rara Inten agak segan menghadapi lawan yang amat muda ini. sekarang lain. Rara Inten melengking nyaring dan sambaran jari tangannya yang seperti cakar garuda itu menyambar lebih cepat lagi. Arah sasaran serangannya juga tidak tanggung-tanggung. Selalu mengarah ke ubun ubun. mata, leher dan bagian tubuh lain yang lemah dan berbahaya. Dalam kemarahannya Rara Inten tak mau main-main lagi. Gadis muda ini harus ia bunuh mati. Bukan saja keputusannya ini terdorong rasa penasarannya bahwa gadis muda ini merupakan sahabat Gadis _Baju Kuning yang menjadi musuhnya bebuyutan, tetapi Juga. oleh ketinggian ilmunya. Rara Inten bercita cita menjadi seorang wanita sakti tanpa tanding. Dan ia tak suka melihat perempuan lain menjadi saingannya. Kalau masih semuda ini telah memiliki ilmu yang cukup tinggi beberapa tahun lagi saja, tentu tingkat dirinya akan dilampauinya.
Itulah sebabnya maka jari-jari yang runcing dan beracun itu, menyambar dahsyat ke arah bagian tubuh Titiek Sariningsih yang berbahaya. Angin yang keluar dari telapak tangannya kuat sekali menekan lawan. Dan kecepatan tangan Rara Inten bergerak, sulit dilukiskan dengan kata-kata.
Sesungguhnya,setelah melatih diri dengan tekun tanpa mengenal lelah selama ini, Rara Inten telah memperoleh kemajuan yang pesat sekali. Tingkatnya sudah jauh menanjak apa bila dibandingkan dengan ketika ia merajai Pondok Bligo. Mestinya dalam beberapa kali gebrakan saja lawan yang masih amat muda itu harus sudah robah dalam tangannya.
Akan tetapi anehnya, mengapa sambaran serangannya yang begitu cepat dan dahsyat, sama sekali tak pernah berhasil menyentuh ujung baju lawan?
Sungguh hal ini amat mengherankan. Dan Rara Inten hampir tak mau percaya akan pandang matanya sendiri.
Akan tetapi kalau Rara Inten tahu keadaan Titiek Sariningsih, yang secara kebetulan menjadi salah seorang pewaris ilmu sakti Ki Ageng Purwoto Sidik, tentu Rara Inten tak akan merasa heran dan kaget. Dan kalau saja Titiek Sariningsih hanya sekedar memperoleh Warisan ilmu tersebut, dan hanya oleh bimbingan Sindu, mungkin tingkat Titgek Sariningsih tidak seperti saat ini. Sebab Sindu bukan seorang ahli, dan diapun termasuk salah seorang pewaris dan murid Ki Ageng Purwoto Sidik. Berbeda dengan Ki Ageng Lumbungkerep, dirinya adalah saudara seperguruan Ki Ageng Purwoto Sidik atau Ki Ageng Kebo Kanigoro. Maka sudah tentu Ki Ageng Lumbungkerep tahu benar akan rahasia dari Ilmu Tangan Kosong Cleret Tahun maupun Ilmu Pedang Mahesa Kurda. Dan sebagai seorang yang hafal akan rahasia rahasianya, tentu saja dalam menggembleng dan membimbingnya selalu tepat pada sasarannya. Oleh sebab itu, walaupun hanya satu setengah tahun saja sebagai murid Ki Ageng Lumbungkerep, gadis remaja itu telah menjadi seorang yang ahli dalam ilmunya.
Gerakan Titiek Sariningsih seringan kapas dan secepat burung walet. Sambaran serangan Rara Inten yang amat berbahaya itu, seakan hanya menyerang sebuah bayangan yang berkelebat amat cepat tidak terduga. Walaupun Rara Inten termasuk perempuan sakti mandraguna yang dapat bergerak amat ringan dan cepat, namun sekarang ini ia terbelalak menghadapi lawan yang gerakannya lebih cepat lagi.
"Aihh...!"
Rara Inten berseru tertahan saking kaget, dan cepat merendahkan tubuhnya sambil merobah gerak tangan kiri menangkis, sedang tangan kanan dengan telapak tangan terbuka bergerak mendorong.
Tadi, Rara Inten menyerang dengan jurus yang paling ampuh dari Ilmu Cakar Setan. Gerakan serangan yang
dilambari oleh tenaga sakti dalam tubuh itu, tangan kiri mencengkeram ke ubun-ubun dan tangan kanan mencengkeram pusar. Serangan itu kemudian diteruskan dengan pukulan tangan kanan ke dada, dan disusul pula oleh tendangan kaki yang tak terduga. Di luar dugaannya. tiba' tiba lawannya melenting tinggi, dan kaki lawan menyambar ke arah kepala dan pundak. Saking kaget tak tercegah lagi Rara Inten berseru tertahan sambil merendahkan tubuh dan menangkis.
Damayanti yang menonton mengangguk anggukkan kepalanya, tampak puas. Bakat Titiek Sariningsih sungguh luar biasa. Dari kedudukan diserang dengan dahsyat, dapat mematahkan lawan dan membalas pula dengan serangan amat berbahaya.
Dalam waktu singkat, puluhan jurus telah dilewati. Rara Inten berusaha menekan lawan dengan menggunakan tenaga saktinya. Sebab ia menduga, lawan yang masih muda ini sekalipun dapat bergerak amat cepat, namun dalam hal tenaga sakti dirinya tentu menang. Tetapi betapa kaget, heran dan penasaran Rara Inten, bahwa sambaran tenaga saktinya yang dilancarkan lewat dorongan dan pukulannya, seakan tak kuasa mempengaruhi lawan yang muda itu.
"Wut-wut..."
Rara Inten melancarkan pukulannya. Tetapi lagi-lagi pukulannya itu hanya mengenakan angin_
Titiek Sariningsih adalah gadis muda yang cerdik. Ia tidak berani mencoba-coba beradu tangan dengan lawan. Maka ia menggunakan kecepatan geraknya sambil melancarkan serangan balasannya yang tak terduga-duga
Makin lama Rara Inten menjadi lebih penasaran lagi. Kalau dirinya hanya menghadapi bocah ingusan ini saja tak mampu mengalahkan, tipis harapannya dapat menang
melawan Gadis Baju Kuning yang amat dibencinya itu. Sadar akan keadaan, bahwa dirinya nanti harus menghadapi pula Gadis Baju Kuning itu, maka menghemat tenaga adalah penting. Ia harus cepat dapat mengakhiri pertempuran ini, dengan senjata cambuk yang amat ia andalkan ketangguhannya.
Mendadak terdengar bentakan Rara Inten sambil melancarkan serangannya yang hebat.
"Mampuslah! "
"Siuut, tar-tar-tar..tar..! "
tahu tahu cambuk yang hitam dan panjang telah terpegang di tangan kanan, langsung menyambar ke arah Titiek Sariningsih.
Serangan senjata yang tak diduga itu, membuat Titiek SariningSih yang masih hijau kaget. Untung masih cukup tangkas, dan dapat menghindari serangan cambuk yang mendadak itu dengan baik. Tetapi walaupun begitu sambaran cambuk yang ke tiga masih menyambar pinggangnya. Baju pada bagian pinggang yang disambar ujung cambuk robek. Akan tetapi Titiek Sariningsih tidak merasa sakit dan menderita luka. Sebab secara kebetulan ujung cambuk itu mengenakan tepat pada pedang lemas Si Buntung yang melingkar pada pinggangnya.
Rara Inten tak memberi kesempatan lawan bernapas. Begitu menggerakkan cambuk dapat mengenakan sasaran, hatinya menjadi mantap dan menghujani serangan yang bertubi-tubi di samping ganas. Ledakan cambuknya terdengar nyaring di samping angin berciutan ia mendesak sedemikian rupa, agar dapat merobohkan dan membunuh lawan yang masih muda ini dalam waktu' singkat.
Tetapi tekanan dan serangan Rara Inten yang bertubi-tubi itu, justeru membuat Titiek Sariningsih amat penasaran.. Tadi secara kebetulan sambaran cambuk lawan mengenakan pedangnya.Kalau tidak, tentu dirinya
sudah menderita luka. Untuk melawan terus dengan tangan kosong amat berbahaya, dan jalan yang terbaik harus menggunakan pedang pusakanya.
"Siut . . . . . tar-tar-tar . . . . .! "
Sambaran cambuk Rara Inten ia hindari dengan kegesitannya bergerak, sambil pula mencoba untuk mencengkeram ujung cambuk lawan. Berbareng dengan itu, entah bagaimana cara Titiek Sariningsih bergerak, tahu-tahu sebatang pedang yang bercahaya menyilaukan, telah berkelebat menyambar ke depan membabat ujung cambuk.
Rara Inten kaget. Ia menarik cambuknya sambil melompat mundur. Terbelalak ia menyaksikan pedang di tangan lawannya.
Sejak tadi ia tidak melihat pedang itu tergantung pada pinggang, tetapi mengapa tiba tiba sudah bersenjata?
Tetapi Rara Inten adalah seorang perempuan cerdik. Sekali pandang ia sudah tahu bahwa pedang lawan adalah pedang pusaka yang ampuh. Mungkin tidak kalah ampuhnya dengan pedang Jati Sari yang sekarang sudah hilang lenyap.
Melihat bahwa pada tangan kanan lawan memegang hulu pedang, sedang tangan kiri memegang sarung pedang, Rara Inten segera dapat menduga, tentu pedang lawan itu amat lemas, dan tadi tersembunyi seperti ikat pinggang. Memperoleh dugaan demikian ia baru mengerti, mengapa sebabnya pukulan cambuknya tidak menyebabkan lawan terluka.
Ah, betapa keuntungan yang aku peroleh, jika dapat merampas pedang lemas itu, pikirnya. Dan oleh pikirannya ini, sambil melengking nyaring Rara Inten melancarkan serangan cambuknya bertubi-tubi. Cambuk itu melecut-lecut dan meledak-ledak di sekitar tubuh Titiek Sariningsih, dan angin yang tajam menusuk-nusuk.
Ilmu cambuk yang bernama Samber Nyawa, ilmu sakti warisan Ronggo Lawe justeru hebat tak terkira. Di kala Ronggo Lawe masih hidup, ilmu cambuknya di takuti oleh lawan. Baru ketika berhadapan dengan Kebo Anabrang yang memiliki aji kekebalan membuat Ronggo Lawe mati sampyuh (gugur bersama dengan lawannya).
Sekarang, Rara Inten yang telah berlatih beberapa tahun lamanya, ia telah dapat menyelami inti sari dari ilmu cambuk tersebut, dan dapat pula memperkembangkan sesuai dengan bakatnya. Maka kecepatan ujung cambuk itu menyerang lawan sulit dilukiskan. Bukan melulu cepat, tetapi juga angin yang ke luar dari ujung cambuk itu menusuk-nusuk menimbulkan rasa panas, sekalipun ujung cambuk tidak menyentuh tubuh lawan.
Sambaran cambuk Rara Inten dalam waktu singkat telah mengurung lawan. Kalau dalam latihannya ia dapat menahan percikan air, maka bisa dibayangkan betapa rapatnya sambaran cambuk itu menekan lawan.
Melihat sambaran cambuk yang sedemikian cepat dan bertenaga itu, diam-diam Damayanti kagum dan memuji. Ternyata Rara Inten telah memperoleh kemajuan yang amat hebat. Tidaklah mengherankan apa bila perempuan itu merasa dirinya tanpa tanding. Sambaran cambuk yang cepat dan aneh, sudah tentu lawan sulit menduga arah sasarannya. Gampang tertipu dan gampang pula terjebak. Membuktikan bahwa selama ini Rara Inten amat tekun dan rajin dalam mematangkan ilmu cambuknya. Sedemikian besar cita-citanya untuk menguasai dunia ini, di samping berbakat luar biasa.
Akan tetapi sekalipun demikian, ia masih menonton dengan tenang tanpa rasa khawatir sedikitpun. Sebagai seorang pewaris langsung dari ilmu kesaktian Ronggo
Lawe dan memperoleh bimbingan langsung oleh seorang yang benar-benar ahli, ia masih dapat melihat beberapa kelemahan. Agaknya karena Rara Inten melatih diri hanya mengandalkan kecerdasan otaknya dan, tiada yang memberi petunjuk, ada beberapa bagian dari Ilmu Cambuk Samber Nyawa itu yang keliru melatih. Juga tentang tenaga dari ilmu terkebut, kurang dapat dikuasai. Hingga walaupun nampaknya cambuk itu menyambar nyambar dahsyat, tenaga yang mendasari gerakan tersebut masih kurang sesuai.
Kalau dirinya yang maju menghadapi, Sekalipun hanya bertangan kosong, Damayati sanggup menundukkan dan merampas cambuk itu. Sebab gadis ini mengetahui rahasia rahasianya mematahkan serangan yang dahsyat itu. Mengetahui kelemahan-kelemahan Rara Inten yang melatih diri secara ngawur, ada beberapa bagian yang _terlupa, sebagai akibat jatuhnya Catatan ilmu sakti itu, 'ke tangan Ratu Wandansari yang kemudian diserahkan kepada Pangeran Pekik.
Diam-diam Damayanti gembira juga, bahwa Titiek Sariningsih telah memiliki pengetahuan pula tentang rahasia Ilmu Cambuk Samber Nyawa itu, selama Titiek Sariningsih memperoleh gemblengan Ki Ageng Lumbungkerep. Dalam latihan-latihan menghadapi dirinya, di mana Damayanti menggunakan ikat pinggang sebagai pengganti cambuk, Damayanti baru berhasil merampas pedang Titiek Sariningsih, setelah melewati perkelahian yang seru lebih tigaratus jurus. Maka dalam menghadapi Rara Inten ini, ia perCaya Titiek Sariningsih dapat mengatasi pula. Sedikit kekurangan dan kelemahan Titiek Sariningsih adalah dalam hal tenaga saktinya.
Demikianlah. antara Rara Inten dengan Titiek Sariningsih telah terjadi pertempuran yang amat sengit. Di saat permulaan, cambuk Rara Inten meledak ledak memekakkan telinga, menyambar dahsyat. Serangannya bertubi-tubi dalam lingkaran yang kian mengurung ruang gerak lawan. Namun dari sedikit, Titiek SariningSih yang menggunakan pedang Si Buntung dapat mengatasi. Pedang Si Buntung yang lemas, ringan dan tajam luar biasa itu sangat cocok dengan gadis itu. Pedang Titiek Sariningsih bergerak sedemikian cepat, menggeliat' dan membentuk lingkaran -lingkaran besar, kecil. yang mengandung daya mujijat. Lingkaran lingkaran itu dapat mematahkan sambaran ujung cambuk lawan, di samping merupakan serangan balasan yang berbahaya. Berkali kali Rara Inten berseru kaget dan cepat-cepat menarik cambuknya. Sebab sedikit saja terlambat, cambuknya akan putus oleh sambaran pedang lawan.
Diam-diam Rara Inten kaget dan heran. Ia merasa bahwa dirinya sekarang telah maju amat pesat.
Mengapa hari ini hanya berhadapan dengan Seorang gadis muda saja, sambaran cambuknya tak pernah berhasil?
Dari heran Rara Inten menjadi amat penasaran. Ia membentak-bentak nyaring, menghujani serangan cambuk dibantu tangan kirinya yang melancarkan serangan serangan dengan pukulan jarak jauh. Sebaliknya apa bila jaraknya dekat, jari; jari tangannya akan segera berusaha mencengkeram lawan.
Gerak serangan Titiek Sariningsih menjadi makin mantap. Makin lama bertempur makin menjadi gembira. Sambutan pedang Si Buntung semakin dahsyat.
"Cring-cring-cring.........!"
dencingan pedang terpukul oleh ujung cambuk Rara Inten terdengar beberapa kali.
Pukulan itu membuat lengan Titiek Sariningsih tergetar. Makin sering terpukul, lengan gadis itu seakan menjadi lumpuh. Namun demikian gadis muda yang tabah ini terus menyambarkan pedangnya tanpa perduli lengannya sakit. Tangan kirinyapun tak mau ketinggalan, memukul dan berusaha mencengkeram ujung cambuk lawan.
Akan tetapi walaupun Rara Inten menang dalam pengalaman, menang dalam hal tenaga sakti dan lebih cerdik, makin lama ruang gerak cambuknya semakin terbatas. Makin menyempit. Sambaran cambuknya tertumbuk oleh benteng pedang lawan. Yang membuat kesulitan adalah karena pedang lawan itu amat tajam. Kalau dirinya memaksa diri, cambuknya bisa putus oleh ketajaman pedang. Ia telah menggunakan kecerdikannya untuk membuat pedang lawan terlepas. Namun apa yang diperoleh sekarang, sambaran pedang lawan makin menguasai keadaan.
Mendadak saja Rara Inten membentak nyaring. Cambuknya menyambar secara nekad tak perduli lagi akan sambaran pedang lawan. Di saat lawan sibuk mematahkan serangan -serangannya yang dahsyat tak terduga itu, tangan kirinya bergerak dan "sing sing-sing."
beberapa sinar berkeredep menyerang ke arah Titiek Sariningsih.
"Kurang ajar!"
teriak Damayanti saking kaget.
Gadis ini menjadi khawatir dan melompat maju, dengan maksud untuk melindungi keselamatan Titiek Sariningsih. Ternyata setelah merasa terdesak, Rara Inten telah menggunakan senjata rahasia jarum yang beracun.
Untung sekali bahwa Titiek Sariningsih sekarang adalah gadis perkasa. Tidak percuma selama satu setengah tahun mendapat gemblengan Ki Ageng Lumbungkerep. Begitu melihat sinar berkeredep menyambar ke arah dirinya, Titiek Sariningsih telah menjejakkan kaki melenting tinggi di udara. Sambaran jarum beracun itu mengenakan tempat kosong.
Tetapi justru serangan senjata rahasia ini membuat Titiek Sariningsih penasaran. Masih di udara ia berjungkir balik dan melancarkan serangan dahsyat. Ilmu Pedang Mahesa Kurda bukan saja cepat, tetapi juga berbahaya. Ujung pedang Titiek Sariningsih menggetar, hingga pedang itu seperti berobah menjadi beberapa batang yang sama tajam dan bahayanya, menyambar leher dan kepala.
Rara Inten kaget!
Ia merendahkan tubuh menghindari sambaran pedang. Cambuknya bergerak untuk menghajar kaki. Berbareng itu tangan kirinya bergerak lagi menghamburkan jarum jarumnya, untuk menghadang tubuh lawan dari udara.
Titiek Sariningsih tak bersayap, dan mengapungnya di udara hanya terbatas. Ia memang sudah akan turun ke bumi. Tetapi begitu melihat menyambutnya senjata rahasia, gadis ini mengerahkan tenaga memukul ke bawah. Berbareng itu ibu jari kaki dan jari telunjuk kanan, telah menjepit atas tumit kaki kiri. Oleh pukulannya ke bawah dan jepitan kaki tadi, luncuran tubuhnya dapat di tahan untuk sementara. Berbareng itu pedangnya menyambar mendeSak lawan, lalu dapat turun ke bumi dengan selamat.
Diam-diam Damayanti kagum dan kepalanya manggut-manggut memuji. Dari terdesak, dalam waktu singkat Titiek Sariningsih telah berbalik menekan lawan. Pedang Titiek Sariningsih sekarang kembali menyambar nyambar dahsyat.
Tetapi Damayanti menjadi tak telaten lagi. Malah
iapun khawatir, Titiek Sariningsih bisa celaka di tangan perempuan yang sekarang tangannya ganas itu. Sebab bagaimanapun juga Titiek Sariningsih masih muda dan belum berpengalaman. MaSih belum pandai menguasai perasaan, dan mudah terpancing oleh kepandaian lawan yang luas pengalaman. Tiba-tiba ia berteriak nyaring,
' Titiek, mundurlah!"
Dalam memerintah ini, Damayanti menyalurkan tenaga sakti dalam suaranya. Hingga suaranya amat nyaring dan berpengaruh. Mau tak mau Titiek Sariningsih melompat mundur sambil memutarkan pedangnya. untuk melindungi tubuh dari sambaran cambuk lawan yang mengejar.
Baru saja Titiek Sariningsih berdiri tegak. terdengarlah suara pekik Rara Inten yang tertahan. Ketika Titiek Sariningsih mengamati, ternyata ujung cambuk Rara Inten telah terlibat oleh ikat pinggang warna kuning di tangan Damayanti. Dua orang wanita yang cantik jelita, berusia sebaya, berdiri tegak. Mereka saling mengerahkan tenaga untuk menarik dan merampas senjata lawan.
Rara Inten dengan mata mendelik dan alis berdiri, mengerahkan semua kemampuannya untuk mempertahankan cambuknya. Sebaliknya Damayanti bibirnya tersenyum-senyum, mengamati Rara Inten. Lalu terdengar katanya yang halus tetapi dingin,
"Rara Inten! Mengapa engkau menjadi sesat seperti ini? Mengapa ilmu warisan yang tersimpan dalam pedang Jati Sari, engkau salah gunakan untuk maksud-maksud tidak terpuji? Hemm, engkau seorang pewaris yang tamak dan tidak patut. Dan sepantasnya aku berhak menghukum engkau, tahu ?"
Diam-diam Rara Inten kagum dan kaget, ia sudah mengerahkan seluruh tenaga guna melepaskan senjatanya
tak juga bisa berhasil, tetapi mengapa perempuan itu masih dapat bicara seperti itu?
Ia sadar apa bila membuka mulut, pengerahan tenaganya jadi berkurang, dan senjatanya dapat dirampas orang. Oleh sebab itu Rara Inten tak berani membuka mulut, melainkan semakin mengerahkan tenaganya.
"Inten!"
kata Damayanti lagi dan lebih tegas.
"Tahukah engkau siapakah sesungguhnya aku ini? Hem, untuk menjaga agar engkau tidak merasa penasaran, baiklah sekarang aku beritahukan padamu. Aku adalah keturunan langsung baik dari eyang Ronggo Lawe maupun eyang Selo Katon. Maka apa bila engkau memamerkan Ilmu Cakar Setan maupun Ilmu Cambuk Samber Nyawa di depanku, engkau takkan dapat berbuat banyak. Sebab akulah orang yang paling tahu tentang rahasia dari ilmu itu. Sesungguhnya, melihat kesesatanmu, sebagai keturunan si pencipta ilmu, aku berhak menghukum padamu, justeru engkau merupakan seorang murid yang berkhianat. Menggunakan ilmu bukan untuk kesejahteraan manusia, melainkan engkau pergunakan mengumbar nafmu."
Betapa kaget Rara Inten mendengar keterangan ini. Pada mulanya, ketika dengan gampang dirinya dapat dikalahkan dengan mudah oleh Gadis Baju Kuning ini beberapa tahun yang lalu, ia sudah menduga-duga. Dan sekarang barulah ia jelas setelah gadis itu sudah mengaku tanpa diduganya. Mendengar pengakuan itu, rasa penasarannya berkurang, sebab taklah mengherankan apa bila dirinya tak mampu melawan Gadis Baju Kuning ini. Akan tetapi sekalipun begitu, ia seorang perempuan yang angkuh dan tinggi hati. Sekalipun ia tahu tingkat lawan ini jauh di atas dirinya, namun ia tidak sudi untuk minta. maaf. Bagi dirinya, lebih baik dirinya mati dari pada
harus merendahkan diri di depan orang, Oleh sebab itu Rara Inten tetap membungkam, namun diam-diam ia semakin mengerahkan tenaganya yang masih ada.
Oleh pengerahan tenaganya dalam usaha menarik senjatanya, menyebabkan peluh dingin membasahi tubuh. Dan dari dahinya menitiklah keringat sebesar jagung. Dari sedikit kakinya melesak ke dalam tanah. Namun ternyata usahanya belum menampakkan hasil, seakan dirinya menarik tugu baja.
Melihat sikap Rara Inten, tahulah Damayanti akan isi hatinya. Rara Inten tentu malu dan penasaran, apa bila harus mengakui kekurangan dan kesalahannya. Sebab pengakuan itu tentu dianggap menurunkan derajatnya, sebagai seorang yang pernah menduduki jabatan ketua Perguruan Tuban,
Sekalipun usia Damayanti masih amat muda, tetapi berkat gemblengan ayah bunda dan kakek buyutnya, pribadi Damayanti sudah masak. Pertimbangannya jauh dan penilaiannya tidak berat sebelah. Ia cukup maklum terjadinya perobahan watak Rara Inten.
Dan ia dapat menyelami pula betapa hancur hati gadis ini menghadapi kegagalan cintanya terhadap Jaka Pekik atau Pangeran Pekik. Dalam keputusasaan dan kekecewaan hatinya itu, mendorong kepada Rara Inten untuk menempatkan diri pada tempat yang berseberangan dengan orang yang membuat dirinya menderita.
Itulah cinta.
Yang aneh dan yang ajaib!
Manusia di dunia ini mudah terpeleset dan terjerumus apa bila tak tahu bagaimana mengetrapkannya. Dan karena tidak dimengerti apa sebenarnya cinta, maka Rara Inten menderita kecewa dan putus asa, setelah harapannya kepada orang yang dicintai tidak terkabul. Tetapi sebaliknya apa
bila maksudnya tercapai, kegembiraan itupun akan diikuti pula oleh kedukaan.
Apakah itu "cinta"
kalau dapat dicampurkan dengan hal-hal lain?
Bukankah percampuran cinta dengan tercapainya cita-cita itu merupakan cara tak langsung dari mementingkan diri sendiri?
Apakah benar itu cinta kalau terdapat kedukaan, kesepian, kekecewaan?
Apakah itu cinta kalau terdapat derita karena ditinggalkan oleh hal-hal yang semula menjadi kepentingan dalam hidup?
Kalau demikian, ia bukan mencinta orang lain, akan tetapi mencinta diri sendiri.
"Inten!"
terdengar lagi kata Damayanti.
"Sekali ini aku masih bisa mengampuni engkau. Harapanku tak lain engkau sadar dan sudi mawas diri. Bukan menggunakan ilmu kesaktian untuk pemenuhan nafsu sendiri, melainkan engkau tempatkan di atas kepentingan diri, demi tugas dan dharmamu sebagai Srikandi, Akan tetapi, hemm, apa bila engkau tak juga sadar dan menyalahgunakan kesempatan baik ini, ada datang saatnya aku mewakili eyang Ronggo Lawe untuk mencabut semua kepandaianmu. Huh, sekarang pergilah!"
"Plakk.....!"
belum juga lenyap suara Damayanti yang terakhir, Rara Inten telah terhuyung-huyung dengan mulut meringis menahan sakit.
Sebab tahu-tahu pundaknya sudah dihajar oleh ujung ikat pinggang, menyebabkan cambuknya lepas dan lengannya lumpuh mendadak. Entah bagaimana cara Damayanti bergerak, Rara Inten sendiri tidak tahu. Cambuk dan ikat pinggang yang semula saling libat itu tahu-tahu telah lepas, dan sebelum ia dapat berbuat sesuatu pundaknya sudah terpukul tanpa dapat menghindarkan diri. .
Wajah Rara Inten sebentar pucat sebentar merah. Sulit dilukiskan betapa perasaan Rara Inten saat ini. Lengannya mendadak seperti lumpuh, dan rasa sakit pada
pundaknya menembus ke tulang sumsum, seakan ribuan semut telah menggerogoti. Tiba-tiba perempuan itu melompat dan lari secepat terbang. lalu terdengar suara lengking panjang. Lengking penasaran bercampur dengan isak tangis.
Damayanti menghela napas. Ia menggulung ikat pinggangnya, disimpan di tempat semula. Kemudian cambuk Rara Inten yang menggeletak di atas tanah ia pungut. Untuk sejenak cambuk itu ditimang-timang, dan ketika tangan Damayanti bergerak, cambuk yang lemas itu berobah menjadi kaku seperti tangkai tombak meluncur cepat, seperti anak panah lepas dari busur.
"Bless.....!"
cambuk itu telah masuk ke dalam tanah ketinggian tidak nampak lagi.
Titiek Sariningsih dan Mulatsih memandang dengan terbelalak. Apa yang baru mereka saksikan, merupakan pameran tenaga sakti yang sungguh mengagumkan.
Di saat dua orang gadis ini masih kagum, terdengarlah suara Damayanti yang halus, tetapi berpengaruh,
"Marilah kita meneruskan perjalanan."
Tanpa membuka mulut Mulatsih dan Titiek Sariningsih melangkahkan kaki. Tetapi baru beberapa langkah, Titiek Sariningsih bertanya,
"Mengapa dia tadi mbakyu biarkan pergi?"
"Aku memberi kesempatan supaya dia menyadari kesalahannya dan bertaubat kepada Tuhan,"
sahut Damayanti.
"Akan tetapi kalau dia tak juga sadar, kemudian hari masih banyak waktu untuk menghukumnya."
"Aku sungguh kagum, menyaksikan sekali gebrak engkau dapat membuat Rara Inten tak berdaya. Padahal hampir putus napasku, aku tak sanggup menundukkanny "
Titiek Sariningsih berterus terang.
Damayanti tersenyum.
"Titiek, engkau tak perlu malu. Kalau dia menggunakan Ilmu Cakar Setan dan Ilmu Cambuk Samber Nyawa, tentu saja aku dapat menundukkannya dalam waktu singkat. Sebab rahasia rahasia dari dua macam ilmu tersebut, semuanya sudah aku ketahui. Lain halnya kalau dia menggunakan ilmu !ain, tentu saja tak gampang aku menundukkannya."
"Mengapa sebabnya dia amat membencimu ?"
"Ada ceritanya dia menjadi benci padaku."
Damayanti kemudian menceritakan apa yang pernah terjadi, ketika di Pondok Bligo, di mana Rara Inten berusaha mencelakakan Kreti Windu, ayah angkat Pangeran Pekik. Sebabnya Rara Inten berusaha membunuh Kreti Windu, bukan lain dalam usahanya untuk menutup rahasia kecurangannya mencuri pedang Jati Sari dan Jati Ngarang. Kreti Windu merupakan saksi satu-satunya yang mengetahui peristiwa itu, tentu tuduhan Pangeran Pekik masih tetap dialamatkan kepada Ratu Wandansari. (Silahkan membaca "Ratu Wandansari"
). "Aku tahu rahasia hati Rara Inten. Maka aku bertindak melindungi Kreti Windu."
Kemudian Damayanti menutup penuturannya dengan,
"Untung sekali bahwa catatan ilmu sakti itu akhirnya dapat dirampas oleh Ratu Wandansari, dan kemudian diserahkan kepada Pangeran Pekik. Kalau catatan ilmu tersebut masih tetap di tangan Rara Inten, akan besar sekali bahayanya. Sebab Rara Inten bisa makin mengganas dan tersesat jauh."
"Tetapi apakah bisa diharapkan dia menjadi sadar ?"
tanya Mulatsih.
"Aku tak tahu, tetapi aku berharap dia menjadi sadar. Engkau harus mengerti bahwa Rara Intenpun seorang perempuan yang patut dikasihani, karena nasib dia tidak lebih baik dari nasibmu."
Mulatsih tertarik dan bertanya,
"Bagaimanakah nasib dia?"
"Sesungguhnya Rara Inten bukanlah gadis kawula biasa,"
Damayanti menerangkan.
"Tetapi dia adalah puteri bangsawan Ponorogo. Akan tetapi ayah bundanya tewas semua, ketika terjadi penyerbuan pasukan Maiaram kesana. Dan Rara Inten dapat selamat, adalah oleh kesetiaan salah seorang hambanya yang membawa lari, Hampir saja Rara Inten dan orang yang menyelamatkan tertangkap oleh pasukan Mataram yang mengejar. Untung bahwa bisa tertolong Wisnu Murti yang ketika itu sedang melakukan perjalanan dengan Pangeran Pekik."
'Oh, jadi antara Rara Inten dan Pangeran Pekik telah kenal semenjak masih kecil?"
"Begitulah menurut cerita yang kudengar. Dan ketika saling menjadi dewasa, mereka saling memberikan kasih sayangnya. Tetapi agaknya Tuhan memang tak mengijinkan cita-cita mereka. Terbukti Rara Inten berkhianat dengan mencuri pedang Jati Sari dan Jati Ngarang, memfitnah Ratu Wandansari sambil berusaha membunuh Salindri dan mencelakakan Kreti Windu. Peristiwa pengkhianatan Rara Inten ini baru menjadi jelas, setelah Salindri yang semula dikira mati, tiba-tiba muncul dan masih hidup. Rara Inten kemudian mengakui segala kesalahannya. Dan Pangeran Pekik yang memang seorang ksatrya berhati emas, memberi ampun."
"Dan oleh peristiwa itu, kemudian Rara Inten menjadi amat benci kepada Pangeran Pekik?"
tanya Titiek Sariningsih.
Damayanti tersenyum. Kemudian jawabnya,
"Mungkin kekecewaan hati, karena cintalah yang besar pengaruhnya."
"Ahh, kalau begitu, apakah masalah cinta bisa menimbulkan akibat-akibat yang tidak menguntungkan?Orang yang semula tidak benci, kemudian membenci.Kalau beguu, lebih baik aku menghindarkan diri dari masalah itu,"
kata Titiek Sariningsih.
Damayanti tersenyum mendengar ucapan gadis remaja itu, kemudian jawabnya,
"Semua itu tergantung dari pengertian. Tanpa dimengerti apa sebenarnya cinta itu, akan selalu ada derita dan kekecewaan yang mendatangkan duka."
"Bagaimanakah bisa mengerti?"
desak Titiek Sariningsih.
"Cinta bukanlah hasil pikiran yang merupakan sesuatu yang lampau. Pikiran tak mungkin mengembangkan cinta. Cinta tak bisa dikurung dan ditangkap dalam kecemburuan. Karena kecemburuan adalah sesuatu dari masa lampau. Cinta dalam arti sebenarnya adalah tanpa rasa benci, tanpa iri hati, tanpa marah, tanpa cemburu, tanpa menyalahkan dan tanpa perbandingan. Orang yang mencintai dengan sepenuh hati, dengan seluruh jiwa, dengan keseluruhan hidup, tentu tanpa perbandingan. Kalau masih menggunakan perbandingan, menggunakan penilaian, cemburu dan menyalahkan, bagaimanapun tidak dapat dikatakan bahwa itu merupakan cinta sejati. Cinta demikian hanya dalam ucapan, tetapi tidak ikhlas dan sepenuh jiwa raganya."
Titiek Sariningsih dan Mulatsih yang mulai dewasa itu, mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar keterangan Damayanti tentang cinta itu. Dalam hati mereka timbul suatu pendapat pula, bahwa cinta yang masih dihinggapi cemburu, benci, marah. penilaian, perbandingan dan sebagainya, adalah tidak ikhlas. Sebab cinta sepenuh hati dan ikhlas, tentu d jauhkan dari perasaan tidak percaya, curiga dan lain sebagainya. Dan diam-diam
dua orang gadis ini juga tak dapat menerima anggapan yang mengatakan bahwa "cemburu itu terdorong oleh besarnya rasa cinta". Sebaliknya malah, timbulnya rasa cemburu berarti kurang mengerti akan arti Cinta yang sebenarnya.
Apakah itu cinta?
Apakah cinta itu keinginan?
Janganlah berkata tidak!
Pendapat kebanyakan di antara manusia hidup ini, keinginan yang mengandung kenikmatan, kenikmatan yang diperoleh melalui panca indera, melalui ikatan-ikatan dan kepuasan seksuil. Memang tak bisa dipisahkan antara cinta dan seksuil. Akan tetapi harus diwawas secara teliti apa yang tersangkut di dalamnya. Yang diberikan seks kepada manuSia, untuk sementara waktu adalah penghapusan diri manusia sendiri secara total. Kemudian manusia kembali lagi dengan kekacauan, lalu menginginkan pengulangan berkali-kali dari keadaan yang tak mengandung kesusahan, persoalan, dan rasa iba diri.
Si A berkata,
"Aku cinta pada isteriku."
Di dalam cinta'itu tersangkut kenikmatan seksuil. Kenikmatan memiliki seseorang di rumah yang dapat menjaga anak anak, dan yang dapat memasak. Si A tergantung padanya ia telah memberi tubuhnya kepada A, perasaannya, dorongannya, suatu perasaan keamanan dan kesejahteraan tertentu. Kemudian isteri itu pada suatu Waktu berbalik dari pada si A; ia menjadi bosan dan pergi kepada laki-laki lain. Lalu si A merasa seluruh keseimbangan perasaannya dirusak. Gangguan ini, yang tak disukai oleh A, disebut iri hati. Di dalamnya terkandung rasa sakit, kekhawatiran, kebencian dan kekerasan. Apa bila demikian, jelas bahwa si A bukan mencintai secara ikhlas, tetapi lebih mementingkan nafsunya.
Apabila si A mau berterus terang, tentu akan berkata,
"Selama engkau milikku, aku cinta kepadamu. Tetapi pada saat engkau berhenti menjadi milikku, aku mulai membencimu. Selama aku bisa bersandar pada engkau dalam hal memenuhi tuntutan-tuntutanku, yang seksuil dan yang bukan, aku mencintaimu, tetapi pada saat engkau berhenti menyediakan apa-apa yang kuinginkan, aku tak menyukaimu."
Cinta adalah sesuatu yang baru, segar, hidup. Ia tak berhari kemarin dan tak berhari esok. Ia di luar segala kekalutan pikiran. Hanya jiwa yang murnilah tahu apakah "cinta"
itu. Dan jiwa murni itu dapat hidup di dalam dunia yang tidak murni. Cinta dalam jiwa yang murni, akan selalu tenang laksana air telaga yang dalam. Lihatlah orang-orang yang sudah berumur. Cinta mereka demikian suci dan murni. Demikian ikhlas. Mereka demikian rukun. Yang perempuan sudah menjadi bongkok dan yang lakilaki Sudah bertongkat.
Kalau yang tua bisa, mengapa yang muda tak dapat?
Hanya mereka yang sadar diri dan tahu arti cinta sajalah yang dapat melakukannya.
Tanpa terasa, mereka sudah sampai di tempat tujuan, ialah markas Perguruan Kendeng. Tetapi oleh tangan kotor Kirtaji, telah dirobah sedemikian rupa, menjadi sarang gerombolan penjahat. Dan kalau saja tidak ditolong oleh Damayanti, tentu sampai sekarang Mulatsih masih menderita dalam tawanan, di dalam penjara di bawah tanah. '
Begitu masuk secara terang-terangan ke dalam pintu gerbang markas itu, tiga orang gadis ini merasa heran.
Mengapa keadaan begitu sepi?
Dan mengapa pula pintu gerbang itu tidak terjaga?
Dan tampak oleh mereka, bahwa di depan pendapa yang luas itu, terdapat empat orang laki-laki bersenjata tombak.
Melihat keadaan yang lain dari biasanya ini, dari heran mereka menjadi curiga.
Mungkinkah sepinya keadaan ini memang sengaja diatur oleh Kirtaji yang cerdik itu?
Akan tetapi bagaimanapun juga mereka tidak takut. Mereka datang di tempat ini secara sengaja, dalam usaha merebut kembali kekuasaan Kendeng. Dan sejak berangkat, merekapun telah memperhitungkan kemungkinan terjadinya pertempuran antara hidup dan mati.
Begitu mereka tiba di tengah halaman markas Kendeng itu, tiba tiba terjadilah perobahan keadaan yang mendadak. Terdengar suara yang berisik. Dan tahu-tahu sekarang mereka telah terkurung secara rapat oleh ratusan laki-laki bersenjata. Kemunculan mereka yang tibatiba itu, semacam setan yang muncul dari dalam bumi. Titiek Sariningsih yang masih sempit pengalaman, merasa heran. Akan tetapi Damayanti dan Mulatsih tidak menjadi heran. Mereka tahu sebabnya orang orang itu muncul mendadak. Agaknya oleh Kirtaji, telah di bangun semacam parit tertutup atau jalan rahasia di bawah tanah.
Diam-diam Damayanti memuji kecerdikan Kirtaji dalain usaha mempertahankan kekuasaannya. Dengan munculnya ratusan orang secara tiba-tiba itu, tentu saja berpengaruh bagi lawan yang datang dan mengganggu.
Ratusan orang laki-laki itu mengurung dalam lingkaran persegi yang cukup luas. Mereka berdiri dengan tertib. Tidak membuka mulut dan tidak menyerbu. Suasana sunyi. Dan tiga orang gadis ini berdiri di tengah halaman dengan sikap yang tenang tetapi penuh waspada. Pandang mata mereka dipusatkan ke pendapa markas yang tampak masih kosong. Kirtaji dan pembantu pembantunya belum menampakkan diri.
Tetapi suasana yang sunyi itu tidak lama berlangsung. Tiba-tiba terdengarlah suara seruan yang nyaring,
"Paduka raja ke luar. Hormaaaaattt!!"
Terdengar suara berisik. Dan semua orang telah menjatuhkan diri berlutut.
"Hi-hi-hik, manakah paduka raja?"
Titiek Sariningsih geli dan tertawa nyaring. Suara ketawanya terdengar lepas dan nyaring, sehingga mengejutkan semua orang Kendeng.
Tetapi di dalam pendapa telah terjadi perubahan. Pendapa yang semula kosong itu, sekarang terjadi kesibukan. Dari dalam muncullah belasan orang perempuan muda, membawa macam-macam perabotan. Kemudian perempuan-perempuan itu menempatkan diri duduk bersimpuh di depan dua buah kursi besar, dan mereka duduk saling berhadapan. Sesaat kemudian muncullah dua orang laki-laki tua yang mengenakan pakaian indah. Di atas kepala dua orang tua itu, dipasang kuluk hitam tidak bedanya dengan pakaian bangsawan tinggi. Di belakang dua orang tua yang mengenakan pakaian indah gemerlapan dan berkuluk ini, beberapa orang wanita lagi. Macam macam pula yang dibawa oleh mereka. Ada tongkat pedang dengan sarungnya, kipas besar sekali, dan kumpulan bulu merak yang diatur menjadi kipas, serta macam-macam perabotan lagi. Dua orang laki laki itu kemudian duduk di atas kursi. Sedang para perempuan yang tadi mengiringkannya, sekarang menempatkan diri duduk bersimpuh, di kanan dan kiri, serta di belakang. Pembawa kipas besar dan bulu merak yang dibuat seperti kipas duduk di belakang, sambil tangannya terus menggoyangkan kipas dan bulu merak itu. Agaknya sebagai usaha agar dua orang tua itu tidak gerah.
Damayanti, Mulatsih maupun Titiek Sariningsih heran melihat munculnya dua orang tua itu, yang disebut sebagai paduka raja. Mereka bukan Kirtaji. Damayanti dan Mulatsih merasa belum pernah kenal dengan dua orang itu. Tetapi sebaliknya Titiek Sariningsih mengerutkan alisnya, seperti sedang mengumpulkan ingatannya. Sebab walaupun jaraknya cukup jauh, namun mata Titiek Sariningsih yang tajam, merasa pernah bertemu dengan dua orang itu. Tetapi siapa, kapan dan di mana pernah bertemu, Titiek Sariningsih tak ingat lagi.
Memang telah terjadi perobahan di Kendeng ini, sejak setahun lebih yang lalu. Ialah sejak terjadinya kegagalan penghadangan rombongan perahu Mataram, yang dilakukan oleh persekutuan Rara Inten, Wongso Dipo, Kirtaji dan yang lain.
Guna memberi gambaran lebih jelas, baiklah kita mundur sedikit. Seperti diketahui, persekutuan itu berantakan dan menderita kekalahan hebat. Malah Wongso Dipo harus mengorbankan kaki kanan menjadi buntung. sedang Kamilah menderita buntung pula pada lengannya. Rara Inten menderita luka parah dalam pertempuran melawan Madu Bala. Menak Kunjono dan Aras Pepet lenyap ditelan air laut. Demikian pula Wanengboyo, semenjak terjadinya peristiwa itu tidak muncul lagi. Akan tetapi sesungguhnya Wanengboyo masih dapat menyelamatkan diri dari maut. Ia dapat mendarat, kemudian pergi entah ke mana. Sedang Jalu Raga, masih selamat kemudian pergi.
Kirtaji dan Prembun dapat mendarat pula sekalipun susah payah. Kemudian dua orang pemimpin Kendeng ini meninggalkan pantai Tuban. oleh sisa anak buahnya yang tinggal beberapa orang saja. Yang menyedihkan adalah nasib para anak murid Perguruan Tuban. Kebanyakan mereka terdiri dari wanita dan tak pandai berenang. Sebagian besar mereka mati tenggelam. Mereka yang tertolong oleh pasukan Gagak Rimang dan Surabaya maupun Mataram nasibnya tidak lebih baik. Anggauta pasukan itu menjadi buas berhadapan dengan perempuan.
Dengan hati yang kecewa dan masygul, Kirtaji, Prembun dan beberapa orang anak buahnya langsung pulang menuju Kendeng. Anak buah yang menjaga di Kendeng menyesal dan sedih pula, mendengar berita kegagalan usaha itu di samping tewasnya puluhan orang kawan saudaranya.
Seminggu setelah Kirtaji kembali ke Kendeng dan sedang mengatur pulihnya keadaan Kendeng, terjadilah peristiwa menyusul yang tak pernah diharapkan.
Pada suatu pagi datanglah dua orang kakek yang memaksa bertemu dengan pemimpin Kendeng.
Beberapa orang anak buah Kendeng yang berusaha menghalangi dan mengusir dua kakek yang datang secara lancang itu,' dengan gampang dirobohkan. Walaupun tidak tewas, namun membuat para anak buah Kendeng tidak berani sembrono lagi. Yang lain segera melaporkan kedatangan dua orang kakek itu kepada Kirtaji.
Kirtaji dan Prembun kaget. Mereka cepat keluar. Mereka menyambut dua orang kakek itu di depan pendapa.
"Kamukah pemimpin di sini?"
tanya salah seorang dengan sikap angkuh
Premoun yang kedudukannya sebagai tangan kanan Kirtaji tak senang melihat sikap kakek itu. sahutnya dingin,
"Hemm, Siapakah kalian ini? Kalian datang tanpa diundang, tetapi mengapa kalian tak pandai menghargai tuan rumah?"
Salah seorang dari dua orang kakek itu mendelik. Bentaknya,
"Bocah, mulutmu lancang! Aku tidak membutuhkan engkau, yang aku butuhkan pemimpin di Sini. Hayo lekas suruh ke luar dia itu!"
Kirtaji yang cerdik dan licin, begitu melihat sinar mata dua orang kakek ini, sadar berhadapan dengan dua orang kakek sakti. Kalau Sikap Prembun begitu kasar, sebaliknya Sikap Kirtaji halus. Sambil membungkuk memberi hormat, ia berkata,
"Apa bila paman berdua ingin bertemu dengan pemimpin di sini, aku yang muda dan rendah inilah orangnya. Namaku Kirtaji. Sebaliknya apa bila paman berdua tak Keberatan, aku berharap paman berdua sudi memperkenalkan diri! "
Kakek yang tadi membentak Prembun mengamati penuh perhatian. Katanya lantang,
"Benarkah engkau? Jangan kau lancang menipu dan mempermainkan kami. Tahu?"
Prembun yang penasaran tak kuasa menahan mulut lagi. Bentaknya,
"Kau ini orang apa? Kakang Kirtaji sudah memperkenalkan diri, tetapi kamu malah tak mau percaya. Huh, tamu yang begini kurang ajar, mengapa kakang sedia melayani ? "
"Keparat, tutup mulutmu!"
bentak kakek itu lagi.
Kakek yang seorang menyentuh lengannya sambil berkata,
"Adi, sabarlah!"
Kemudian kakek itu meneruskan,
"Jadi engkau yang bernama Kirtaji, yang menjadi pemimpin di sini? '
"Benar. paman, akulah orangnya,' sahut Kirtaji masih tampak sabar, sekalipun dalam hati amat marah.
"Hem, bagus!"
kakek yang sikapnya kasar berkata lagi
"Terus terang saja kami datang untuk berunding dengan baik-baik. Mulai saat ini, engkau harus berhenti sebagai pemimpin. Kami yang menggantikan kedudukanmu. Dan jika kau sedia menyerah baik-baik, engkau yang masih muda akan kami angkat sebagai pembantu! Malah......"
"Bangsat busuk !"
Prembun yang tak kuasa menahan kemarahannya telah membentak, memotong kata orang yang belum selesai,
"Sangkamu kami ini orang macam apa, sehingga enak saja kau membuka mulut? Huh-huh, lekas enyah dari tempat ini atau tidak?"
Kakek yang sikapnya kasar itu mendelik. Terdengar tantangnya,
"Kalau kami. tak mau, kau bisa berbuat. apa?"
'Makanlah ini!"
lengking Prembun yang sudah marah sambil menerjang maju.
Dua tinju Prembun bergerak cepat memukul ke depan. Pukulan yang bertenaga kuat, sehingga angin pukulannya menyambar lebih dulu sebelum pukulannya datang.
Tetapi kakek kasar itu menyambut serangan Prembun dengan terkekeh. Gerakannya ringan sekali ketika menghindari terjangan Prembun.
Kirtaji mengerutkan alis tidak senang, melihat sikap Prembun yang begitu sembrono dan kasar. Akan tetapi sekalipun begitu, ia tidak mencegah. Kecerdikan otaknya malah merasa kebetulan oleh kekasaran sikap Prembnn ini. Biarlah Prembun sebagai kelinci percobaan, untuk mengukur sampai di mana ketinggian ilmu kakek itu. Dengan demikian ia akan bisa mengambil sikap dan memperoleh keuntungan. Kalau memang
Dua orang kakek ini merupakan tamu yang empuk, ia akan segera bertindak seperti yang telah dimulai Prembun.
Akan tetapi kalau memang cukup keras dan tak mungkin dirinya dapat mengatasi mengapa harus memaksa diri melawan hanya untuk mati?
Ia memilih hidup. Dalam keadaan masih hidup, sekalipun saat ini dirinya harus bersikap mengalah, namun kemudian hari dirinya akan dapat mengambil keuntungan dan manfaat. Sebagai seorang yang otaknya Cemerlang, dalam waktu singkat ia telah dapat memutuskan. Ia akan menyerah dan menerima pengangkatan sebagai pembantu. Lalu ia akan menggunakan kepandaiannya bersikap, agar dua orang kakek ini sedia mengangkat dirinya sebagai murid.
Kirtaji percaya, oleh gemblengan dua orang kakek ini, kemudian hari dirinya memperoleh kemajuan pesat dalam ilmu kesaktian. Setelah ia berhasil mengambil hati dan menguras ilmu dua orang kakek ini. belum terlambat untuk bertindak melakukan pembalasan. Dengan modal kepercayaan sebagai murid, kemudian hari ia tentu dapat melenyapkan dua orang kakek ini dengan racun atau akal lain. Maka Kirtaji tidak melarang Prembun menyerang, dan ia menonton penuh perhatian.
"Huh-huh, ilmu cakar bebek macam ini, engkau pamerkan di depanku?"
dengus kakek kasar itu sambil berlompatan ringan menghindari terjangan Prembun,
"Hem, orang muda yang tak kenal tingginya gunung dan dalamnya lautan. Orang muda yang cari mampus! Aku akan mengalah sampai tujuh jurus. Tetapi sesudah itu, bersiaplah untuk mampus!"
Pendekar Rajawali Sakti 38 Dewa Iblis Trio Detektif 34 Misteri Manusia Gua Sang Alkemis Karya Paulo Coelho

Cari Blog Ini