Ceritasilat Novel Online

Kisah Si Pedang Buntung 22

Kisah Si Pedang Buntung Lanjutan Ratu Wandansari Karya Widi Widayat Bagian 22


Dalam beradu tenaga, ia sudah menderita kerugian. Maka sekarang ia harus menebus kerugian ini, dengan
mengadu kepandaian bermain pedang. Ia merasa dirinya lebih tua, ia merasa menang latihan dan menang pula dalam pengalaman.
Manakah mungkin dirinya harus menderita malu dan kalah melawan bocah ini?
Ia amat percaya bahwa ilmu pedang ajaran gurunya cukup tangguh. Dan ia merasa pasti pula, tangan kanan berpedang dan tangan kiri membantu dengan pukulan-pukulan Aji Wisa Naga dalam waktu singkat akan memperoleh kemenangan.
Sungsang menyeka darah yang meleleh pada sudut bibirnya. Matanya menyala dan menatap Titiek Sariningsih. Kemudian katanya dingin,
"Huh, bayi kemarin sore engkau berani lancang mulut menasihati aku? Atas kelancangan mulutmu ini. huh, awas! Rasakan .nanti setelah aku dapat merobohkan engkau......"
"Hi hihik."
Titiek Sariningsih cekikikan mengejek.
"Tetapi kalau tak bisa mengalahkan aku, apakah yang akan engkau lakukan?"
' "Kurang ajar!"
bentak Sungsang yang dadanya seperti mau meledak.
"Apakah sulitnya merobohkan engkau? Hayo, hunuslah pedangmu, dan marilah kita bermain dengan senjata!"
"Siapa takut?"
sahut Titiek Sariningsih tetap dengan nadanya dingin.
"Marilah kita coba, siapa yang lebih unggul di antara kita?"
"Awas pedang!"
teriak Sungsang sambil melompat maju, menyerang menggunakan pedangnya.
Sambaran pedang itu amat dahsyat, dan gerakannya amat cepat. Arah serangannya bukan main-main, tetapi mengarah bagian-bagian tubuh yang berbahaya dan mematikan.
"Curang! Setan alas, engkau curang!"
teriak Nuryanti dari tempatnya berdiri.
Gadis itu agaknya penasaran melihat tingkah laku Sungsang.
Bukanlah Sungsang kalau tidak menggunakan kelicikan dan kecurangannya dalam setiap kesempatan. Sebab bagi pemuda sesat ini, apapun yang dilakukan tiada bedanya untuk memperoleh kemenangan dan keuntungan diri. Maka walaupun tadi ia berteriak "awas pedang", ia sudah menerjang maju dengan serangan berbahaya, sebelum lawan sempat mencabut pedangnya. Maksudnya jelas, menggunakan kesempatan ini untuk memperoleh kemenangan.
Akan tetapi, kecurangannya ini tak ada gunanya berhadapan dengan Titiek Sariningsih. Menggunakan kegesitan dan keringanan tubuhnya, dengan gampang ia dapat mematahkan dan memunahkan serangan lawan. Akibatnya, pedang Sungsang yang menyambar cepat itu, seperti menyerang sebuah bayangan. Dan kalau Nuryanti sudah berteriak mencaci maki kecurangan Sungsang itu, sebaliknya Titiek Sariningsih malah cekikikan sambil menghindari sambaran pedang lawan. Seakan-akan pedang Sungsang yang tajam dan merupakan pedang pusaka pula itu, hanya dianggap sebagai pedang dari kayu yang tumpul.
"Hi-hi-hik."
Titiek Sariningsih ketawa cekikikan sambil berkelebat cepat menghindari sambaran pedang.
"Engkau masih harus belajar sepuluh tahun lagi tentang ilmu pedang, kalau ingin melawan aku."
Ejekan Titiek Sariningsih itu membuat dada Sungsang seperti mau meledak. Sambaran pedangnya cepat, dan ia sudah memilih jurus jurus yang paling hebat.
Akan tetapi mengapa seperti tidak berdaya?
Gadis itu seperti tumbuh sayap tiba-tiba. Gerakannya seperti tatit, dan pada suatu ketika malah lenyap dan baru ia sadar, setelah merasakan sambaran angin pukulan dari belakang.
"Hem......!"
Sungsang menggeram nyaring untuk menambah semangat perlawanannya.
"Siut-wut... hi-hi-hik, luput lagi!"
ejek Titiek Sariningsih tetap cekikikan, tanpa gentar sedikitpun menghadapi sambaran pedang_Sungsang yang amat cepat.
Danardono, Danang dan Nuryanti yang menonton dipinggir menjadi ternganga dan kagum menyaksikan apa yang terjadi.
Sambaran pedang Sungsang itu amat cepat, dan ketika mereka tadi mengeroyok, tak juga mampu mengatasi.
Tetapi mengapa sekarang ini, Titiek Sariningsih bisa melawan tanpa senjata, dan malah dapat mengocok Sungsang sedemikian rupa?
Akibat kocokan Titiek Sariningsih yang dapat bergerak seperti kilat, membuat Sungsang payah sendiri. Berbutir-butir keringat sebesar jagung menetes dari dahi maupun lehernya.
Kenyataan ini membuat Sungsang keheranan, mengapa hanya dalam waktu satu setengah tahun, gadis ini telah berubah sedemikian rupa?
Akan tetapi sambaran pedang yang selalu luput ini bukan membuat Sungsang sadar, melainkan membuat semakin penasaran. Ia terus menghujani serangan dengan pedang dan pukulan Aji Wisa Naga.
Walaupun hatinya merasa kagum menyaksikan kepandaian Titiek Sariningsih sekarang. tetapi dalam hatinya, Nuryanti timbul kekhawatiran hebat. Apa yang dilakukan Titiek Sariningsrh ini, merupakan permainan yang berbahaya. Sebab lawan yang dihadapi adalah seorang yang ganas dan kejam di samping penuh tipu muslihat. Saking khawatir, akhirnya Nuryanti tak kuasa lagi menahan mulutnya dan berteriak,
"Adik Titiek! Kesabaran ada batasnya. Dan memberi hati kepada manusia busuk itu tak ada gunanya sama sekali. Gunakanlah pedangmu! Dan binasakan manusia kejam itu, agar dunia ini menjadi aman dan damai, dan rakyat kecil dapat hidup dengan gembira."
Sesungguhnya apa yang dilakukan Titiek Sariningsih sekarang ini, bukan bermaksud menepuk dada dan menyombongkan tingkat ilmunya. Gadis ini mempunyai maksud lain, yang bermaksud memberi kesadaran kepada Sungsang. Manusia yang bernama Sungsang ini, bukanlah menjadi seorang jahat sejak lahir di dunia ini. Akan tetapi menjadi jahat oleh karena salah asuh dan salah didik. Ia percaya orang orang semacam Sungsang ini masih dapat diperbaiki, dan dibimbing ke jalan benar.
Karena timbul keinginannya membimbing ke jalan henar ini, Titiek Sariningsih ingin menundukkan Sungsang tanpa melalui kekerasan. Karena kekerasan lebih banyak mendatangkan rasa dendam daripada kesadaran. Yang kemudian akan dapat pula menimbulkan permusuhan,
Akan tetapi, sebaliknya Titiek Sariningsih juga tidak ingin membuat tiga orang saudara seperguruan itu disiksa oleh ketegangan dan kekhawatiran, yang jelas merasa khawatir akan keselamatan dirinya. Maka setelah diam-diam ia dapat mempelajari rahasia ilmu pedang Sungsang, tiba tiba Titiek Sariningsih membentak nyaring,
"Mundur!"
' Dua belah lengan yang kecil dan halus itu mendorong ke depan. Sungsang berusaha mempertahankan diri menyambut dengan dorongan tangan kiri. Tetapi ternyata tenaga dorongan Titiek Sariningsih amat dahsyat, dan tak tercegah lagi Sungsang harus terhuyung lebih tiga langkah ke belakang. Kesempatan ini segera digunakan Titiek Sariningsih melompat agak jauh, lalu menyambar pedang Nuryanti yang masih menggeletak di atas tanah.
Pedang itu ditimang -timangnya sebentar, kemudian ia memalingkan mukanya ke arah Nuryanti sambil berkata.
"Maafkan aku mbakyu, terpaksa aku harus pinjam pedangmu."
Titiek Sariningsih meminjam pedang Nuryanti, karena gadis ini tidak ingin menggunakan pedang pusakanya Si Buntung seperti ketika berhadapan dengan Sawungrana. Akan tetapi sekalipun demikian, ia merasa pasti dapat menundukkan Sungsang.Sebab apa bila dibandingkan dengan Sawungrana, bagaimanapun Sungsang masih terpaut agak jauh di bawah tingkat Sawungrana. Bagi dirinya sekarang ini, pedang pusaka Si Buntung tidak akan terhunus dari sarungnya, apa bila tidak benar-benar amat membutuhkan. Artinya, baru akan dipergunakan, apa bila berhadapan dengan lawan yang tangguh.
"Hai, Sungsang!"
teriak Titiek Sariningsih.
"Lihat yang jelas, sekarang aku sudah bersenjata pedang. Engkau harus berhati-hati menghadapi pedangku ini, dan sesudah engkau aku kalahkan, engkau harus sadar akan kesesatanmu. Engkau harus menjadi manusa baik-baik dan berguna' bagi sesama hidup. Pergunakanlah kepandaianmu untuk perbuatan-perbuatan baik dan terpuji.".
"Cerewet!"
teriak Sungsang yang terhina.
"Penghinaanmu ini, huh-huh! Harus engkau tebus dengan mahal. Apa bila aku berhasil mengalahkan engkau, jangan salahkan aku jika nanti aku menggunakan caraku sendiri membalas penghinaanmu ini !"
Titiek Sariningsih tersenyum sama sekali tidak tampak marah. Tentu saja sikap Titiek Sariningsih ini menambah kegemasan Sungsang. Tiba-tiba terdengarlah bentakan Sungsang lantang,
"Huh, mampuslah !"
Berbareng dengan bentakannya, Sungsang sudah menerjang maju. Pengaruh dari tenaga sakti yang menyalur kepada batang pedang membuat pedang Sungsang agak menggetar. Sekaligus Sungsang sudah menyerang empat bagian tubuh yang berbahaya, ialah mata, pelipis, tenggorokan dan ulu hati!
Akan tetapi Titiek Sariningsih dengan bibir yang tersenyum, tidak kesulitan untuk memunahkan serangan itu. Mendadak Titiek Sariningsih menangkis, .
"Trang"... trang......!"
Sungsang kaget dan terhuyung mundur. ketika ia merasakan lengannya tergetar hebat.
Dalam pada itu Sungsangpun merasa heran, mengapa pedang lawan yang hanya merupakan pedang biasa itu, tidak menjadi patah oieh pedang pusakanya?
Diam-diam pemuda ini merasa heran.
Mengapa gadis yang masih amat muda ini, sekarang memperoleh kemajuan sedemikian pesat?
Akan tetapi sekarang Titiek Sariningsih sudah merasa cukup dalam usahanya memperingatkan Sungsang dengan nasehat nasihatnya. Maka di saat Sungsang terhuyung mundur dan kaget itu, Titiek Sariningsih telah menggerakkan pedangnya untuk membalas. Gerakannya demikian cepat dan menggetar. Hingga pedang yang hanya sebatang itu mendadak telah berobah menjadi belasan batang banyaknya. Oleh serangan ini Sungsang cepat mengangkat pedangnya untuk melindungi dada. kemudian bermaksud menangkis dengan keras lawan keras. Ia merasa pasti, pedang pusakanya yang amat tajam akan berhasil mematahkan pedang Titiek Sariningsih.
Sayang sekali, bahwa yang dihadapinya sekarang ini adalah Titiek Sariningsih. Seorang gadis muda, tetapi merupakan seorang ahli dalam ilmu pedang. Ketika Sungsang berusaha menangkis, Titiek Sariningsih cekikikan mentertawakan. Pedangnya cepat ditarik sehingga tangkisan Sungsang luput. Akan tetapi pedang gadis ini tidak hanya berhenti sampai di situ. Setelah ditarik pulang, pedang itu diputar begitu cepat, sehingga terbitlah suara yang mengaung. Tiga kali berturut-turut Titiek Sariningsih mengelebatkan pedangnya di depan muka Sungsang, membuat Sungsang agak gugup dalam usahanya menangkis dan membela diri.
"Siutt...... wut...!"
Sungsang kaget sekali ketika pedang Titiek Sariningsih secara tak terduga, dan dengan kecepatan luar biasa telah menusuk ke arah pundak yang kanan. Maka sambil mengerahkan tenaganya, ia berusaha untuk menangkis.
Gerakan pedang Sungsang yang menangkis itu cepat. Tetapi gerakan Titiek Sariningsih lebih cepat lagi. Tangkisan Sungsang luput. Di saat Sungsang kaget, ujung pedang Titiek Sariningsih telah beruban arah.
"Capp.... !! Aduhhh..!"
terdengarlah pekik Sungsang yang mengaduh.
Lalu mulutnya meringis, dan tangan yang kini telah menekap dada sebelah kiri yang mengucurkan darah.
"Lekaslah enyah dari sini, dan jangan membandel. Aku masih memberi kesempatan padamu untuk merobah cara hidupmu. Akan tetapi jika kemudian hari engkau masih tetap seperti sekarang ini, jangan salahkan aku jika akan menghukum dengan caraku sendiri!"
Halus kata-kata yang diucapkan oleh Titiek Sariningsih. Namun dalam kata-kata itu, terkandung sesuatu ancaman yang bisa mendirikan bulu roma.
Dengan pedang masih terpegang tangan kanan. sedang tangan kirinya menekap dada yang terluka, Sungsang menatap Titiek Sariningsih dengan sepasang mata yang menyala marah. Pemuda ini amat penasaran, dadanya telah dilukai oleh gadis muda ini. Luka itu memang tidak membahayakan jiwanya. Namun demikian terasa amat pedih, dan dadanya terasa sesak. Sebagai seorang pemuda yang licik dan penuh tipu muslihat, ia mengerti keadaannya. Kalau nekad dan memaksa diri. tidaklah mungkin dirinya bisa menang. Maka walaupun hatinya merasa amat penasaran, ia terpaksa menelan hinaan ini, dengan harapan kemudian hari dirinya tentu dapat berhasil membalasnya.
"Huh, hari ini aku mengaku kalah. Akan tetapi kemudian hari, akan datang saatnya aku membalas penghinaanmu ini!"
'Hi-hi-hik, engkau penasaran? Hemm, sayang,"
Titiek Sariningsih memandang pemuda itu dan menghela napas pendek.
"Sungsang. aku bermaksud baik, dan aku sudah berusaha untuk mengembalikan dirimu ke jalan benar. Akan tetapi kalau nasihatku ini engkau abaikan engkau sendiri yang akan menyesal. Sebab engkau bukan hanya berhadapan dengan aku, tetapi akan berhadapan dengan para pembela keadilan. Sekarang, cepatlah engkau enyah dari sini, dan obatilah lukamu. Kapanpun engkau masih penasaran dan akan membalas kekalahanmu hari ini, akan selalu aku terima dengan senang hati."
"Bagus, heh-heh-heh..... uh-uh.."
Sungsang terbatuk-batuk dan dari mulutnya menyemprot darah merah begitu ia ketawa, dadanya terasa lebih nyeri. Sungsang menyeringai dalam usahanya menahan sakit. Kemudian terusnya,
"Tunjukkan tempat tinggalmu, sehingga kelak kemudian hari, dengan gampang aku mencarimu."
Titiek Sariningsih menggeleng.
"Aku tak tahu akan bertempat tinggal_di mana. Hanya kemungkinan besar, aku akan bertempat tinggal di Tuban. Datanglah engkau ke sana apa bila engkau masih juga penasaran. Akan
tetapi sesungguhnya hal itu tidak perlu. Sebab aku akan mencari engkau dan menghukummu, apa bila ternyata engkau bandel dan tetap nekad sebagai pengganggu masyarakat."
"Huh-huh. siapa yang takut?"
Sungsang mendelik. Kemudian membalikkan tubuh, dan tangan kirinya masih tetap menekap dadanya yang terluka. Agaknya dada yang terluka itu terasa amat sakit. Sungsang melangkah dengan terhuyung.
Titiek Sariningsih memandang ke arah Sungsang pergi, dengan bibirnya yang tersenyum penuh rasa bangga. Ternyata kekalahannya yang dua kali melawan Sungsang, sekarang telah terbalas. Dan ternyata benar pula apa yang sudah diucapkan oleh Ki Ageng Lumbungkerep, bahwa dirinya sekarang merupakan seorang muda ahli ilmu pedang. jarang orang bisa menandinginya.
Sesungguhnya kalau Titiek Sariningsih mau melakukan, Sungsang bisa mati terbunuh, atau menderita luka berat atau cacat seumur hidupnya. Sebab ia takkan kesulitan dengan keahliannya bermain pedang sekarang. Akan tetapi selaras dengan kematangan jiwanya setelah memperoleh gemblengan Ki Ageng Lumbungkerep. cara berpikir dara ini menjadi dewasa dan luas pandangan. Maka gadis ini berharap, agar Sungsang dapat merubah cara hidupnya, dan menggunakan kepandaiannya guna kepentingan sesama hidup. Sesuai dengan harapannya ini, maka dalam mengalahkan Sungsang, ia berlaku murah. Ia tidak mau melukai berat atau membuat cacat seumur hidupnya. ia hanya menikam dada Sungsang, pada bagian yang tidak menimbulkan bahaya. Namun walaupun tidak membahayakan jiwanya, pemuda itu karena lukanya takkan sanggup untuk nekad berkelahi.
"Adik Titiek........ mengapa kaubiarkan bangsat itu hidup..._...?"
tegur Nuryanti sambil menghampiri.
Gadis ini masih merasa penasaran sekali kepada Sungsang, yang sudah membuat pedang Danardono dan Danang patah. Maka ia tidak puas atas sikap Titiek Sariningsih terhadap Sungsang.
Titiek Sariningsih memutar tubuhnya, bibirnya tersenyum. Tidak ada bayangan marah sedikitpun pada wajah gadis ini, sekalipun ia sudah ditegur orang.
"Mbakyu, aku bermaksud memberi kesempatan kepada dia, supaya kembali ke jalan benar!"
"Tapi...... manakah mungkin pemuda rusak itu mau sadar?"
"Ya, kalau yang terjadi begitu, apa boleh buat. Itu di luar kekuasaan manusia, mbakyu! Namun sekalipun begitu, manakah aku bisa tahu kalau tidak mencobanya? Aku harapkan dia mau sadar. Tetapi kalau kesempatan yang telah aku berikan diabaikan, pada saatnya nanti, aku masih bisa memberikan hukuman yang setimpal."
"Hemm .. kalau saja adik Titiek tadi mau membuntungi lengannya...... kiranya akan lebih baik."
Timbul rasa tidak senang dalam hati bocah ini mendengar ucapan Nuryanti. Namun, rasa yang demikian itu, ia tutup dengan senyum manis di bibir.
"Mbakyu, aku mengharapkan dia sadar akan kesesatannya, sehingga Sungsang menjadi manusia baik-baik. Aku merasa sayang akan kepandaiannya, dan agar ilmunya dipergunakan untuk kepentingan sesama hidup. Berdasarkan alasan itulah, maka tiada maksud dalam hatiku untuk membuat cacat"
"Tapi...... dengan keadaannya, apa bila dia tidak mau sadar, akan amat berbahaya bagi masyarakat. Dan
mungkinkah orang yang sudah rusak seperti dia bisa sadar?"
"Mbakyu, tiada manusia di dunia ini yang begitu lahir sudah jahat. Itulah sebabnya aku masih berharap Sungsang menjadi manusia baik-baik. Akan tetapi kalau benar seperti dugaanmu, bahwa dia tak juga mau sadar, percayalah bahwa Tuhan selalu adil. Manusia jahat yang luput dari hukum di dunia ini, akan berhadapan dengan hukum Tuhan yang tidak dapat dihindari lagi oleh setiap umat. Maka mbakyu, serahkan semua ini ke tangan Tuhan Yang Maha Tahu."
Danardono dan Danang yang ketika itu sudah menghampiri, terbelalak kagum mendengar ucapan Titiek Sariningsih. Muda usianya, akan tetapi semua ucapannya seperti ucapan seorang nenek yang sudah matang batinnya. Nyatalah bahwa kematangan batin bukan tergantung kepada usia.. Sebab tidak terhitung jumlahnya manusia di dunia ini yang sudah berusia lanjut, akan tetapi masih tetap konyol dan mentah seperti mangga muda tergesa dipetik. Yang nampak tua hanyalah tubuh yang termakan usia, akan tetapi batinnya masih tetap kotor dan tidak enak.
Nuryantipun agaknya tak enak hati terlalu mendesak. Ia mengalihkan pembicaraannya. mengucapkan terima kasih.
"Adik Titiek, betapa gembira dan betapa'terima kasih kami, atas pertolonganmu. Terus terang saja, kami tentu celaka apa bila adik Titiek tidak datang di saat yang tepat."
Sebelum Titiek Sariningsih sempat membuka mulut, Danang telah mendahului berkata,
"Dan mungkin nyawaku sudah melayang oleh tangan bangsat yang ganas itu. Mati penasaran."
Titiek Sariningsih tersenyum manis sekali.
"sudahlah, mengapa kalian merepotkan masalah itu? Marilah kita mencari tempat duduk. Lama kita tak bertemu, dan aku ingin mendengar cerita kalian, sebagai oleh oleh dari Surabaya."
Dengan menyambar lengan Nuryanti, gadis ini telah mengajak mereka menuju ke bawah pohon rindang, dan tumbuh rumput pendek. Dengan senang hati, Danardono dan Danang mengikuti. Lalu mereka berempat duduk di atas rumput. Di antara mereka, yang nampak kagum adalah Danang. Akan tetapi kekaguman pemuda ini, bukan hanya terbatas kepada ketinggian ilmu Titiek Sariningsih. Ada soal lain pula yang membuat jantungnya berdebaran, di samping rasa kekagumannya. Biasa saja persoalan yang membuat jantung pemuda ini berdebaran, ialah rasa kedewasaannya sebagai seorang pemuda melihat gadis cantik. Diam diam Danang sudah jatuh cinta kepada Titiek Sariningsih, sejak pertemuan dan perkenalannya yang pertama, satu setengah tahun yang lalu. Akan tetapi walaupun ia jatuh cinta, Danang termasuk seorang pemuda yang halus perasaannya. Seorang pemuda yang hati-hati dan sopan. Danang sadar akan kedudukannya sendiri, sebagai seorang pemuda yang ilmu kepandaiannya jauh di bawah tingkat Titiek Sariningsih. Sehingga pandangannya terhadap Titiek Sariningsih merupakan seorang gadis yang amat tinggi kedudukannya, ibarat pungguk merindukan bulan.
"Kakang Danang, cobalah engkau ceritakan hasil perjalananmu ke Surabaya. Apakah kalian bisa bertemu langsung dengan Pangeran Pekik dan Kangjeng Ratu Wandansari?"
tanya Titiek Sariningsih sambil mengamati Danang dengan sepasang mata bintangnya yang bersinar-sinar.
"Mati aku!"
sambat Danang dalam hatinya ketika pandang matanya bertaut, dan jantungnya melonjak-lonjak seperti mau meloncat dari dalam dadanya.
Atas pertanyaan Titiek Sariningsih yang tak pernah diduganya itu, membuat Danang gugup.
"Ah. uh...... ak... aku...... nah..... Nuryanti... ceritakanlah....... "
Titiek Sariningsih ketawa cekikikan merasa geli, mendengar jawaban Danang seperti itu. Sebagai seorang gadis remaja yang berusia belum 17 tahun, tentu saja Titiek Sariningsih belum dapat menduga mengapa sebabnya Danang seperti itu. Sebaliknya Nuryanti, sebagai adik kandung Danang, sudah dapat menduga hati kakaknya. Besar harapannya kakak kandungnya itu akan berhasil menyunting gadis perkasa ini.
Namun karena kedudukan Titiek Sariningsih begitu tinggi, diam -diam ia menjadi khawatir. mungkinkah rasa kasih kakak kandungnya itu bisa terbalas?
"Baiklah, akan aku ceritakan apa yang sudah kami alami di Surabaya,"
kata Nuryanti yang memulai ceritanya.
Diceritakan oleh Nuryanti, bahwa mereka memperoleh sambutan cukup menggembirakan di Surabaya. berkat nama gurunya, Bima dan Kunting. Ternyata Pangeran Pekik masih ingat kepada tokoh Perguruan Sumbing itu. Malah mereka memperoleh kesempatan pula bertemu muka dengan Kangjeng Ratu Wandansari, yang menyambut mereka dengan ramah dan murah senyum. Banyak tokoh-tokoh sakti pula yang memerlukan datang ke Surabaya mengucapkan selamat atas perkawinannya dengan Ratu Wandansari. Dan di antara mereka yang tak dapat hadir sendiri, tidak lupa mengutus murid atau wakil.
"Apakah tak ada orang yang berusaha mengacau?"
tanya Titiek Sariningsih.
Pertanyaan ini diajukan oleh
Titiek Siriningsih. karena ia sudah mendengar dari Sindu bahwa sebelumnya, antara Pangeran Pekik dan Ratu Wandansari merupakan musuh.
"Ada juga, adik Titiek. Tetapi kurang artinya aku ceritakan. Sebab dengan gampang mereka dipatahkan oleh tokoh-tokoh Gagak Rimang maupun tokoh-tokoh Kadipaten Surabaya."
jaWab Nuryanti.
"Agaknya hal itu sudah diperhitungkan sebelumnya, sehingga jauh-jauh telah dilakukan persiapan untuk mengatasi keadaan."
"Pihak manakah yang berusaha mengacau itu?"
potong Titiek SariningSih.
"Aku kurang tahu secara jelas. Tetapi aku mendengar ada pula orang-orang Perguruan Semeru. Ahh......terus terang aku kagum atas pribadi Pangeran Pekik. Maka tepat pula kiranya dia dipilih sebagai suami Ratu Wandansari. Ternyata Pangeran Pekik bukan saja seorang sakti mandraguna, tetapi juga seorang ksatrya berjiwa agung dan budiman. Para pengacau yang tertangkap hidup-hidup, diberi pengampunan dan disuruh pulang sambil membawa kawan kawannya yang terluka. Adapun yang terlanjur tewas. jenazahnya dirawat dan dikubur dengan beaya penguburannya ditanggung oleh Kadipaten Surabaya. Yang membuat hatiku merasa kagum adalah Pangeran Pekik tidak lupa menyampaikan surat permintaan maaf kepada para pimpinan perguruan pengacau yang tewas dalam kerusuhan. Padahal jelas bahwa' pihak pengacau yang bersalah masih Pangeran Pekik sempat minta maaf."
Titiek Sariningsih mengangguk-anggukkan kepalanya, dan diam-diam kagum atas pribadi Pangeran Pekik.
"Sungguh mengagumkan. Pantas saja nama Pangeran Pekik amat terkenal sebagai ksatrya berhati emas. Ahh, betapa sejahtera hidup manusia di dunia ini, apa bila
didunia ini banyak orang yang berjiwa seperti Pangeran Pekik"
"Gurukupun memuji-muji keagungan jiwa Pangeran Pekik, setelah kami melaporkan hasil kunjungan ke Surabaya itu."
"Ohh, jadinya. kalian sudih pulang ke Sumbing? "
Tentu saja tiga orang saudara seperguruan itu tertawa mendengar pertanyaan Titiek Sariningsih. Maka Danardono membuka mulut,
'Hi-ha-ha. engkau lucu, adik Tiiiek. PerkaWinan Ratu Wandansari dengan Pangeran Pekik sudah satu setengah tahun berselang. Tentu saja kami sudah pulang ke Sumbing dan melapor kepada guru."
"Tetapi mengapa kalian di sini?"
"Hemm,"
Danardono menghela napas panjang.
"Itu adalah gara-gara terjadinya peristiwa yang menimpa perguruan kami...."
"Ahhh......"
Titiek Sariningsih kaget.
"Apakah yang sudah terjadi?"
"Hemm. perisitiwa ini amat memalukan."
sahut Nuryanti sambil menghela napas pula, dan gadis ini tampak amat sedih.
"Golok emas, golok pusaka perguruan kami telah dicuri orang....._."
"Ahhh, mengapa bisa terjadi?"
Titiek Sariningsih heran hampir tak percaya.
"Bukankah perguruan kalian jumlah muridnya cukup banyak? Dan di samping itu tidak terhitung pula jumlahnya tokoh-tokoh sakti dalam perguruan kalian? "
"Hemm, kalau menggunakan jalan kekerasan, kiranya memang sulit untuk mencuri golok pusaka perguruan kami itu,"
jawab Nuryanti.
"Akan tetapi pencuri itu
agaknya telah lama menunggu kesempatan, sesuai dengan kebiasaan perguruan kami. Adik Titiek. perlu engkau ketahui, bahwa sudah merupakan kebiasaan yang akan berlaku setiap tahun, bahwa satu minggu sebelum tanggal satu bulan Suro, para pemimpin kami sudah masuk ke dalam kamar pengasingan. Para pemimpin kami dalam kamar itu bertapa brata, sambil mendalami ilmu untuk kepentingan perguruan dan para murid. Sebagai akibat para pemimpin bertapa brata ini, maka keselamatan perguruan diserahkan kepada murid. Hemm, agaknya kesempatan ini yang telah ditunggu oleh penjahat itu. Dia datang pada suatu malam dan langsung masuk ke dalam kamar penyimpanan pusaka.Para murid yang bertugas jaga, dan sedang meronda, kaget ketika melihat pintu kamar pusaka terbuka. Di saat saudara-saudara seperguruan sedang mendekati kamar pusaka, berkelebatlah sesosok bayangan yang gesit. Murid-murid itu menegur, akan tetapi tiada jawaban dan orang itu hanya ketawa mengejek. Terjadilah kemudian perkelahian, namun para murid Sumbing tak berdaya, karena pencuri itu sakti mandraguna. Pada fihak kami banyak jatuh korban, tetapi pencuri sakti itu dapat lari sambil membawa golok emas pusaka perguruan kami."
' Nuryanti berhenti dan menghela napas.
"Hem, peristiwa semacam ini takkan mungkin terjadi, apa bila para pimpinan kami tidak sedang mengasingkan diri bertapa. Akan tetapi, ya, apa harus dikata? Golok pusaka kami telah hilang dicuri orang. Maka para pemimpin kami menugaskan kepada beberapa orang murid, untuk dapat menemukannya kembali. Sebab, apa bila golok emas pusaka perguruan kami itu dipergunakan melakukan kejahatan. Perguruan Sumbinglah yang akan menderita akibatnya."
Titiek Sariningsihpun menghela napas terharu.
"Hem, sungguh kurang ajar pencuri itu. Akan tetapi mbakyu, apakah engkau yakin akan dapat menghadapi pencuri yang ternyata sakti mandraguna?"
"Dapat menghadapi maupun tidak, hidup atau mati, tidak pernah aku pikirkan dalam melaksanakan tugas ini,"
sahut Nuryanti mantap.
"Bagi kami, mati dalam melaksanakan tugas membela nama perguruan, adalah amat menggembirakan."?
"Adik Titiek,"
kata Danang tiba-tiba,
"aku amat mengharapkan bantuanmu......."
Titiek Sariningsih memalingkan mukanya, menatap wajah Danang dengan tersenyum. Senyuman ini membuat Danang tak karuan rasa hatinya. Jantungnya melonjak lonjak seperti mau copot. Akan tetapi Titiek Sariningsih yang tak menduga isi hati pemuda itu, sudah berkata,
"Bantuanku untuk soal apa? Jika memang dapat membantumu, tentu saja aku senang sekali."
Karena jantungnya kembali terguncang, pemuda ini kembali menjadi gelagapan dan gugup.
"Anu....... ah anu......."
"Hi-hi-hik,"
Titiek Sariningsih cekikikan karena geli,
"katakan yang jelas."
Nuryanti yang diam-diam sudah dapat menduga sebabnya kakaknya menjadi seperti itu, cepat menolong.
"Adik Titiek, biarlah aku yang menerangkan. Apa bila adik Titiek tidak keberatan, kami mohon bantuanmu dalam masalah ini. Ialah ikut serta menangkap pencuri itu. Kami percaya, adikku, bahwa oleh ketinggian ilmumu, takkan kesulitan menghadapi pencuri sakti mandraguna itu."
Titiek Sariningsih berdiam diri sambil mengerutkan alisnya nampak berpikir. Saat sekarang ini, dirinya sedang menghadapi dua urusan yang belum beres. Ialah untuk bertemu dengan orang tuanya, di samping mencari gurunya, Sindu, yang tidak diketahui di mana sekarang berada. Tetapi kalau harus menolak permintaan ini, iapun tidak tega. Malah kemudian timbul pikirannya. biarlah di samping mencari gurunya, sekaligus menyelidiki pencuri golok pusaka Perguruan Sumbing itu.
"Dengan senang hati, aku akan membantu mencari pencuri itu. Tetapi mbakyu, bagaimana saya dapat mengenal pencuri itu, kalau tidak kauberikan tanda-tanda si pencuri?"
Tiba-tiba saja Nuryanti menubruk, memeluk kemudian mencium pipi yang halus itu. Yang membuat Titiek Sariningsih kaget, tetapi kemudian tertawa sambil mendorong Nuryanti dengan halus.
"Mbakyu, ah, engkau membuat kaget saja,"
"Hi-hik, aku tak kuasa menahan kegembiraan hatiku, mendengar kesanggupanmu membantu menangkap pencuri itu. Adik Titiek, tentang ciri maupun nama pencuri itu, aduhh....... ketika datang dan melakukan pencurian di Sumbing, tidak seorangpun dapat mengenal pencuri itu dengan jelas. Sebab gerakannya amat gesit, seperti bayangan setan. Satu-satunya keterangan yang bisa dijadikan petunjuk, bukan lain adalah golok pusaka itu sendiri. Golok pusaka kami itu disebut Golok Emas, karena batang golok itu warnanya kuning kemilauan. Maka apa bila ada orang yang menggunakan golok menyinarkan cahaya kuning, tentulah dia pencuri itu. Tetapi ehh, bukankah....., bukankah engkau akan menyertai perjalanan kami? '
"Aduhhh sayang, mbakyu,"
sahut Titiek Sariningsih sambil menghela napas kecewa.
"Saat ini aku sendiri sedang menghadapi dua persoalan."
"Persoalan apa?"
Danardono yang sejak tadi berdiam diri kaget dan bertanya.
"Hemm, telah lebih enam tahun aku terpisah dengan orang tuaku. Aku sudah amat rindu sekali kepada ayah bundaku. Sedang di samping itu, akupun harus mencari guruku, di mana beliau sekarang. Aku telah terpisah dengan guruku sejak aku berkenalan dengan kalian."
"Ahhh. pantas engkau seorang diri tanpa disertai gurumu. Jadi, engkau terpisah dengan gurumu? Kalau demikian keadaannya, bukankah hal ini malah kebetulan? Biarlah kami bertiga menyertaimu bertemu dengan orang tuamu. Setelah engkau puas melepas rindumu dengan orang tuamu, barulah kita pergi bersama mencari gurumu sambil pula menyelidiki pencuri golok emas pusaka perguruan kami."
"Benar!"
sambut Danardono gembira.
"Terus terang setelah tadi kami hampir celaka di tangan Sungsang, kami menjadi kecil hati. Baru menghadapi Sungsang saja kami tidak mampu, mungkinkah kami dapat menghadapi pencuri yang sakti mandraguna itu ?"
Terharu Titiek Sariningsih mendengar itu. Ia memang merasa tidak tega kalau tiga orang saudara seperguruan ini terancam bahaya dalam melakukan tugas perguruan. Buktinya baru berhadapan dengan Sungsang saja tidak mampu, apa pula menghadapi pencuri yang sakti mandraguna itu. Akan tetapi sebaliknya kalau dirinya harus bersama tiga orang saudara seperguruan ini, berarti dirinya takkan dapat bebas lagi. Sebab ke manapun dirinya bergerak, tiga orang saudara seperguruan ini akan mengikutinya pula. Terjadilah semacam pertentangan dalam dada gadis ini. Pertentangan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan sesama hidup.
Namun ternyata kemudian kepentingan untuk sesama hiduplah yang lebih menang. Dan ia sanggup mengorbankan kepentingan diri sendiri. Hal ini bisa terjadi bukan lain atas gemblengan lahir batin yang telah diberikan oleh Ki Ageng Lumbungkerep. Yang membuat jiwa dan cara berpikir gadis muda ini menjadi dewasa. Yang membuat Titiek Sariningsih sadar sesadar-sadarnya, bahwa memperhatikan kepentingan sesama hidup, adalah merupakan bagian dari tugas kewajibannya di dunia ini. Manusia di dunia ini takkan dapat hidup sendirian. Takkan dapat hidup tanpa adanya pertolongan orang lain. Namun sayang, bahwa tidak sedikit jumlahnya manusia hidup di dunia ini, yang munafik dan menunggangi istilah pertolongan ini guna kepentingan pribadi. Apa saja yang berbau kepentingan pribadi, dan yang berbau pamrih, pertolongan yang diberikan itu adalah kotor. Dan sebenarnya bukanlah pertolongan lagi. Sebab orang yang demikian, tidaklah mungkin mau mengulurkan tangan dan menolong orang lain, kalau tidak memperoleh pamrih dalam pertolongannya. Dengan kata lain, orang itu jiwanya masih kotor. Dan manusia yang benar-benar ingin menjadi manusia baik, akan berusaha menjauhi hal-hal seperti itu. Pertolongan yang diberikan, tidak akan dikotori lagi oleh pamrih untuk pribadi.
"Baiklah,"
kata gadis ini kemudian dengan bibir tersenyum manis,
"kalian ikut aku dahulu ke Tuban. Dengan begitu, kalianpun akan dapat berkenalan dengan orang tuaku. Baru sesudah aku melepas rindu dengan orang tuaku barang sepekan, kita bersama melakukan perjalanan, mencari pencuri kurang ajar itu."
Tiba-tiba saja Nuryanti sudah menubruk-Titiek Sariningsih, memeluk sambil menciumi pipi yang halus dan
segar itu. Dua orang gadis itu saling ketawa cekikikan. Hatinya dipenuhi rasa gembira dan bahagia.
"Terima kasih, adik Titiek, ahh, engkau baik sekali,"
kata Nuryanti masih diseling memberi ciuman bertubi-tubi.
Danang yang diam-diam telah tergila-gila kepada Titiek Sariningsih, memandang dengan mulut melongo. Jantungnya berdebar, sedang cuping hidungnya bergerak gerak. Ia membayangkan betapa bahagia rasa hatinya. apa bila dirinya memperoleh kesempatan untuk menciumi Titiek Sariningsih, seperti yang dilakukan adiknya sekarang ini.
Masih sambil menciumi pipi Titiek Sariningsih yang segar itu, Nuryanti berkata lagi,
"Dan tentunya engkau tidak akan keberatan pula membimbing kami, guna memperoleh kemajuan dalam ilmu tata kelahi, adik Titiek? Agar kami, lebih-lebih aku sebagai seorang wanita, tidak dihinakan orang lagi?"
Titiek Sariningsih tak lekas dapat memberikan jawabannya. Sebab dalam hal ini, dirinya tidak boleh sembarangan dan merasa lebih tinggi tingkatnya. Akan tetapi bagaimanapun, dalam hati memang merasa tidak rela. kalau Niryanti dihinakan orang pula. Akhirnya setelah ia mempertimbangkan baik dan buruknya, jawabnya kemudian,
"Baiklah, mbakyu, saya akan berusaha untuk memberi petunjuk yang kalian perlukan. Tetapi pintaku, janganlah kalian beranggapan aku lebih pandai dibanding kalian. Sebab terus terang saja, seseorang yang membanggakan diri sebagai orang pandai, dia sesungguhnya orang tolol dan seorang bodoh. Sebaliknya orang yang menganggap dirinya paling bodoh, itu membuktikan bahwa dia malas dan tolol. Manusia dilahirkan di dunia ini adalah sama. Sesuatu kepandaian bisa diperoleh bukan lain karena belajar. Oleh sebab itu, seseorang yang sadar akan hidupnya, akan dapat berbuat seperti yang dilakukan oleh padi."
"Mengapa padi ?"
Nuryanti keheranan sambil mengamati Titiek Sariningsih. Adapun Danang dan Danardonopun mengangkat muka, ikut tertarik.
"Hi-hi-hik, aku hanya menirukan pepatah para orang tua. Katanya, di mana padi itu makin berisi, akan semakin menunduk. Sebaliknya yang kosong akan semakin tegak lurus."
Mendengar jawaban itu, tiga saudara seperguruan ini mengangguk-anggukkan kepala. Mereka merasa kagum kepada gadis remaja ini, yang telah mempunyai pandangan begitu jauh.
Demikianlah, oleh kesanggupan Titiek Sariningsih yang berusaha membantu usahanya mencari pencuri golok pusaka Perguruan Sumbing, dan pula bersedia untuk memberi petunjuk -petunjuknya dalam ilmu tata kelahi, membuat tiga orang saudara seperguruan ini amat gembira. Mereka percaya bahwa oleh petunjuk Titiek Sariningsih, akan memperoleh kemajuan cepat. Akan tetapi bagaimanapun, orang yang paling merasa gembira dan bahagia dalam hal ini, adalah Danang. Sebab dengan demikian. dirinya akan selalu dapat berdekatan dengan gadis yang diam-diam dicintainya. Ia berharap, gadis cantik ini kemudian hari akan sudi memperhatikan keadaannya.
Mengingat bahwa waktu itu hari sudah sore, maka empat orang muda ini meninggalkan hutan tersebut, untuk mencari tempat menginap dalam desa yang terdekat. Mereka melangkah cepat. Namun demikian mereka masih sempat bercakap-cakap.
"Adik Titiek, engkau belum menerangkan siapakah ayah bundamu,"
Nuryanti bertanya sambil menatap Titiek Sariningsih.
'Dan mungkinkah ayah bundamu suka pula menerima kami?"
Titiek Sariningsih tersenyum.
"Mbakyu, mengapa engkau menjadi khawatir seperti itu? Engkau tidak perlu khawatir, sebab ayah bundaku akan menerima kalian dengan senang hati. Sebab, aku hanyalah anak tunggal tanpa saudara. Sedang ayahku mempunyai kedudukan cukup lumayan di Tuban, dengan pangkat tumenggung."
"Ahhh..!"
tiga orang saudara seperguruan itu berseru tertahan.
Mereka baru tahu, bahwa gadis yang lincah dan ramah ini, ternyata seorang puteri tumenggung, dan malah puteri tunggal pula. Mendadak saja mereka menjadi merasa khawatir.
Mungkinkah ayah Titiek Sariningsih yang berkedudukan sebagai tumenggung itu, sedia menerima kehadiran mereka?
Soalnya mereka menjadi sadar pula bahwa kedudukan seorang tumenggung adalah cukup tinggi, lebih-lebih dalam kadipaten seperti Tuban.
"Maafkan saya......"
kata Nuryanti agak gugup.
"Hi-hi-hik,"
Titiek Sariningsih menjadi geli,
"apa salahmu dan mengapa pula mbakyu minta maaf padaku? "
"Maafkan atas kekurangajaran kami, yang kurang menghormati den ajeng . . . . . !"
"Aihhh...... den ajeng?"
Titiek Sariningsih mengerutkan alisnya tidak senang.
"Apakah alasanmu mengganti panggilan seperti itu? "
"Maafkan, den ajeng..... kami tak berani lancang, sebab sebagai salah seorang puteri bangsawan. sepantasnya pula kami menghormatinya."
Nuryanti berusaha memberi penjelasan, sedang sikapnyapun sekarang berobah amat menghormat kepada Titiek Sariningsih.
Titiek Sariningsih terpingkal-pingkal mendengar itu.
"Hi-hi-hik....... hi-hi-hik, heh-heh-heh, lucu, menggelikan. Dan hampir aku tak percaya kalau tidak mengalaminya sendiri. Hi-hi-hik. maaf, engkau ini apakah sudah menjadi linglung? Mbakyu, manusia yang Sadar akan hidupnya akan tahu, bahwa nama dan sebutan kosong itu, menyebabkan orang menjadi mabok. Pandanglah sekitar kita, mbakyu, bukankah banyak orangorang yang mabok terhadap nama dan sebutan kosong yang sudah aku katakan tadi? Karena mabok. akibatnya orang akan menjadi sombong. Menepuk dada dan membanggakan diri. inilah aku, seorang bangsawan! inilah aku, putera tumenggung. Inilah aku, keturunan pahlawan. Inilah aku, salah seorang keturunan dari si A yang berjasa kepada negara. Sungguh menyedihkan bahwa "aku"nya ditonjolkan di paling depan. Hal itu selalu dibanggakan dan dijadikan soal yang penting dalam setiap pembicaraan dan setiap kesempatan, bukan lain bermaksud agar orang menghargainya. Agar orang menghormatinya. Sehingga tidak mau menyadari bahwa orang yang dihargai itu adalah amal dan perbuatannya. Misalnya, keturunan seorang pahlawan, apa bila dia hanya mendekatkan diri dengan "aku "-nya, mendekatkan diri dengan rasa "bangga , kemudian tingkah lakunya bertentangan dengan pahlawan yang menjadi leluhurnya itu, sungguh patut disesalkan. Sebab orang itulah yang akan merusak nama leluhurnya.."
Titiek Sariningsih berhenti, mencari kesan. Ketika melihat bahwa tiga orang saudara seperguruan itu tampak memperhatikan, ia meneruskan,
"Nah, maka aku tidak ingin menjadi orang macam itu. Yang mabok akan sebutan 'dan nama kosong. Tanpa menyombongkan diri, tanpa membanggakan diri, seorang yang mendekatkan
diri dengan amal perbuatan yang baik, tanpa dimintapun masyarakat akan menghargainya. Hanya seorang tolol saja yang berusaha memperoleh penghargaan dari masyarakat, tetapi menjauhkan diri dari amal perbuatan baik."
Mendengar ucapan gadis yang masih muda usia. tetapi cukup dalam itu. tiga orang saudara seperguruan ini menjadi semakin kagum. Diam-diam mereka semakin menjadi hormat, walaupun sesungguhnya umur mereka lebih tua.
. "Nah, setelah kalian tahu pendirianku ini,"
kata Titiek Sariningsih lagi,
"maka tiada alasan lagi kalian bersikap lain, setelah tahu bahwa ayahku seorang tumenggung. Manusia yang bernama Titiek Sariningsih, yang dulu dan yang sekarang adalah sama saja. Karena itu, apa bila kalian nanti berhadapan dengan ayah bundaku, anggap pula sebagai ayah dan bunda kalian sendiri!"
Tiga orang saudara seperguruan ini hanya menganggukkan kepala sulit untuk membuka mulut. Hal ini bukan lain karena mereka terpengaruh oleh apa yang tadi sudah diucapkan oleh Titiek Sariningsih. Yang sekalipun masih muda usia, akan tetapi cara berpikirnya sudah tua.
Dua hari kemudian, tibalah mereka di kota Tuban.
Hati Titiek Sariningsih terasa tegang dan berdebar dan membayangkan apa yang bakal terjadi setelah ayah bundanya tahu, dirinya sekarang telah menjadi dara remaja dan berilmu cukup tinggi?
Ia membayangkan,tentu ibunya akan memeluk sambil menangis bahagia. Dan dirinyapun, tidak mungkin dapat membendung mengalirnya air mata. Tetapi, tiba-tiba saja timbullah kekhawatiran dalam hatinya. Ia baru ingat bahwa dirinya merupakan puteri tunggal, yang usianya sudah hampir dewasa.
Mungkinkah ayah bundanya sedia memberi ijin dirinya bergerak bebas di luar rumah seperti yang telah dialami?
ia sekarang baru ingat, bahwa waktu dirinya pergi dibawa oleh Sindu, ayahnya tak ada di rumah. Ayahnya sedang bertugas mengusir penyerbuan pasukan Mataram ke Tuban. Sedang ibunya ketika ia pergi meninggalkannya juga tanpa pamit, karena ibunya sedang tidur pulas.


Kisah Si Pedang Buntung Lanjutan Ratu Wandansari Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Teringat waktu ia akan pergi bersama dengan Sindu meninggalkan rumah, ia menjadi ragu-ragu. Dalam pada itu segera terbayanglah kembali keadaan ibunya kala itu ibunya tidur di atas lantai tanpa alas tidak bergerak.
Dan yang tiba-tiba membuatnya ia heran, mengapa ketika itu ibunya tidur dalam keadaan telanjang?
Mengapa ibunya tidur tanpa mengenakan pakaian sama sekali?
Padahal seingatnya, dirinya sendiri sebagai perempuan pula, tidak pernah tidur dalam keadaan polos seperti itu.
Ia merasa heran dan aneh!
Apakah maksud ibunya yang tidur tanpa mengenakan pakaian sama sekali?
Tanpa terasa Titiek Sariningsih menghela napas. Nuryanti yang melangkah berdampingan menjadi kaget dan memandang.
"Adik Titiek, apa sebabnya engkau menghela napas?"
"Hemm,"
saking berdebar hatinya, Titiek Sariningsih menghela napas lagi,
"aku menjadi berdebar dan khawatir...."
"Mengapa?"
"Khawatir setelah bertemu dengan ayah bundaku, aku tidak diijinkan berkeliaran di luaran seperti sekarang ini. Pandangan dan tata hidup kalangan bangsawan, mempunyai perbedaan dengan kawula biasa, mbakyu,"
Titiek Sariningsih berhenti dan menghela napas.
"Gadis yang sudah menjelang dewasa, biasanya diikat keras tidak boleh meninggalkan rumah. Inilah yang membuat aku gelisah, mbakyu, khawatir aku tak memperoleh kebebasan lagi. Dan betapa sedih hatiku. kalau harus hidup seperti burung dalam sangkar. Walaupun sangkar itu terbikin dari emas murni sekalipun. manakah mungkin burung itu bisa hidup bahagia? Hem..."
Berdebar juga Nuryanti mendengar itu. Kalau sampai terjadi begitu, bukankah ikut sertanya ke Tuban ini tak ada artinya lagi?
Sebab tidak mungkin dapat minta bantuan dara perkasa ini, untuk mencari dan membekuk pencuri golok emas itu. Tetapi sekalipun begitu. Nuryanti masih menghibur.
"Adik Titiek, mengapa engkau menjadi gelisah begitu? Bukankah semua baru merupakan khayal dan perekaan dari gagasanmu sendiri? Yang kita harapkan, janganlah hal itu sampai terjadi. Janganlah ayah bundamu mengikat kebebasanmu melakukan dharma baktinya kepada masyarakat. Ahh..... tidak! Hal itu tidak mungkin terjadi, adik Titiek. Percayalah!"
"Apakah alasanmu ?"
"Bukankah engkau sendiri mengatakan bahwa ayahmupun seorang gagah? Tentunya beliau tahu bagaimana harus bersikap terhadap engkau dan akan bangga pula apa bila puteri tunggalnya menjadi seorang Srikandi, yang dapat mengangkat derajat orang tuanya."
"Hem, engkau tidak tahu apa yang aku pikirkan saat ini?"
"Tentang apa ?"
"Dahulu aku pergi meninggalkan rumah, tanpa sepengetahuan ayah dan ibu."
"Aihh.....!"
Nuryanti berseru tertahan. Demikian pula Danang dan Danardono yang sejak tadi menjadi pendengar, ikut menjadi kaget. Lalu tanya Danardono.
"Mengapa bisa begitu?"
"Ya, aku sendiri sampai kurang mengerti. mengapa waktu itu aku pergi mengikuti guruku yang telah kalian kenal, kakek Sindu. Hemm. ketika aku pergi bersama kakek Sindu. aku inget..... ya. waktu itu ibuku baru tidur pulas. Sedang ayahku, waktu itu sedang melaksanakan tugas sebagai seorang perajurit, melawan penyerbuan Mataram ke Tuban."
"Ah."
"ohh.....!"
kembaii tiga orang saudara seperguruan itu berseru tertahan. Apabila yang terjadi demikian. memang beralasanlah Titiek Sariningsih menjadi khawatir.
Tetapi sekalipun begitu, Nuryanti masih berusaha membesarkan hati Titiek Sariningsih.
"Adik Titiek. sudahlah. Hal ini tak perlu kaurisaukan sekarang. Yang penting engkau pulang dan melepas rindu dengan ayah bundamu. Segala sesuatu dapat engkau pikirkan kemudian hari. Kalau toh memang ayah bundamu melarang engkau meninggalkan rumah, sebaiknya engkau tunduk. Dan tentang kami kiranya tidak perlu memberatkan hatimu dan kurang perlu engkau pikirkan. Sesuai dengan tugas yang dibebankan pada pundak kami apapun jadinya kami akan melaksanakan tugas itu, dan kalau perlu dengan pertaruhan nyawa."
"Mbakyu. ah.... jangan engkau begitu. Kalian bisa berdiam di rumahku selama kalian suka. Dan sesuai dengan kesanggupanku, aku akan memberikan petunjuk petunjuk yang kalian butuhkan. Hemm. siapa tahu mbakyu. kalau ayahku tahu akan keadaanku, hatinya menjadi terbuka. Kemudian sedia memberi kelonggaran padaku, untuk tidak hanya dikurung seperti burung."
"Terima kasih atas kebaikanmu, adik Titiek."
Danang membuka mulut mengucapkan terima kasihnya.
Karena sejak tadi Danang tidak membuka mulut. Titiek Sariningsih memalingkan mukanya dengan tertawa lirih,
"Hi-hihik. baru sekarang aku mendengar suaramu, kakang Danang. Apa saja yang membuat engkau sekarang lebih suka berdiam diri dan angkuh ?"
Atas pertanyaan Titiek Sariningsih ini, Danang gelagapan. Hatinya berdebar tidak karuan, sehingga sulit ia membuka mulut. Untung Nutyanti selalu pandai menolong kakaknya.
"Sesungguhnya kakang Danang bukan seorang angkuh, adik Titiek. Mungkin itu lebih suka berdiam diri, karena tidak kebagian waktu."
Titiek Sariningsih cekikikan dan Nuryantipun ikut tertawa. Danardono tersenyum-senyum, sedang Danang tersenyum malu.
"Kalau merasa tidak kebagian waktu bicara. baiklah nanti setelah kita tiba di rumah. kakang Danang akan aku ajak bicara secara khusus. Maukah?'
Danang memandang Titiek Sariningsih sekilas.Kemudian ia mengangguk sambil menyahut,
"Sedia."
Tetapi tidak urung jantung pemuda ini berdebaran lebih keras.
Dalam hatinya bertanya, apakah maksud gadis itu akan mengajak bicara secara khusus?
Apakah gadis itu sudah mulai merasa bahwa dirinya tergila gila?
Kemudian dalam kesempatan khusus itu, Titiek Sariningsih akan membuka isi kalbunya, yang setali tiga uang dengan perasaannya?
Ah, betapa bangga dan bahagia hatinya, kalau apa yang diharapkan ini benar-benar bisa terujud.
Setelah mereka berada di dalam kota Tuban ini, rasa hati Titiek Sariningsih serasa tak bisa ditahan lagi, ingin secepatnya dapat tiba di rumah dan berpelukan dengan ibunya. Terdorong oleh keinginannya ini, tanpa terasa langkah Titiek Sariningsih menjadi lebih cepat. Tampaknya saja gadis ini melangkah seperti orang lain
yang berjalan. tetapi gerak tubuh ramping itu gesit, seperti orang berlarian.
Tentu saja hal itu menarik perhatian orang. Mereka berhenti, memperhatikan dan bertanya dalam hati. Untung sekali Nuryanti segera sadar. Ia menyentuh Titiek Sariningsih sambil berbisik.
"Adik Titiek, jangan terlalu cepat engkau melangkah. Kami terpaksa mengikuti langkahmu dengan berlarian, dan menarik perhatian orang."
Bisikan Nuryanti itu baru membuat Titiek Sariningsih sadar. Ia tersenyum sambil mengangguk. kemudian menahan langkahnya agar tidak menjadi cepat.
Sekalipun telah bertahun-tahun Titiek Sariningsih meninggalkan rumah dan kota Tuban, namun Titiek Sariningsih takkan lupa di mana letak rumahnya yang besar dan megah itu. Maka ketika tembok yang merupakan batas pekarangannya sudah tampak dan melihat pula pintu gerbang rumahnya tertutup dan dua orang perajurit bersenjata tombak menjaga di depan pintu gerbang, hatinya lebih berdebaran lagi. Ia memalingkan mukanya lalu berkata,
"Mbakyu. pintu gerbang yang dijaga perajurit itulah rumah ayah. Tapi ahh, sekarang terjadi adanya perubahan perubahan."
"Apa maksudmu?"
Nuryanti agak tertarik.
"Dahulu, sebelah kiri dan kanan pintu gerbang itu terdapat dua batang pohon sawo yang besar dan rindang. Dahulu aku bersama pengasuhku, suka sekali bermain main di bawah pohon sawo itu. Akan tetapi mengapa sekarang pohon itu sudah ditebang orang? Juga pintu gerbang itu sendiri, sekarang warnanya berlainan. Dahulu, pintu gerbang itu warnanya biru. Sekarang telah berubah menjadi hijau. Hemm. hatiku jadi berdebaran melihat perubahan perubahan itu."
"Hi-hi-hik, mengapa hanya hilangnya dua batang pohon sawo dan warna pintu gerbang berubah, hatimu jadi berdenaran? Bukankan itu sudan lumrah terjadi? Mungkin sekali ayahmu berubah seleranya, sehingga perlu adanya perubahan."
"Ya, mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu, mbakyu. Akan tetapi ah...... mengapa aku kok menjadi khawatir?"
Titiek Sariningsih mempercepat langkahnya. Dan karena merasa mau masuk ke dalam rumannya sendiri, maka dirinya langsung saja mau membuka pintu gerbang itu. Akan tetapi Titiek Sariningsih menjadi kaget, Ketika tiba tiba dua batang tombak telah dipalangkan prajurit penjaga itu sambil membentak,
"Hai perempuan. Siapa engkau ?"
Titiek Sariningsih kaget memperoleh bentakan perajurit itu. Tiba tiba saja gadis ini tersinggung dan marah.
Mengapa akan masuk ke rumahnya sendiri, dibentak oleh penjaga?
Dan bukankah dua orang prajurit tni merupakan hamba-hamba dari ayahnya?
Mengapa berani bersikap kurang ajar?
Ia mendelik sambil
bertolak pinggang. Kemudian tangan kanan diangkat dan menuding prajunt itu.
'Kurang ajar! Apakah matamu sudah buta tidak mengenal puteri junjunganmu sendiri? Huhhuh, apakah engkau ini prajurit-prajurit baru, sehingga tidak mengenal aku?"
Dua orang prajurit itu justeru prajurit-prajurit baru. Mereka diterima sebagai prajurit, setelah Tuban takluk kepada Mataram. Karena waktu itu tidak terhltung jumlahnya prajurit Tuban yang tewas. Sebagai prajurit-prajurit baru, mendapat bentakan ini wajahnya berubah agak pucat. Sikapnya segera berubah. Salah seorang membungkuk memberikan hormatnya, kemudian bertanya.
"Bendara, ampunilah hamba. Akan tetapi karena hamba sedang bertugas jaga, perkenankanlah hamba mohon keterangan, tentang diri bandara dan puteri junjungan hamba yang mana?"
Titiek Sariningsih mengangkat alisnya. Ia tersinggung lagi mendengar pertanyaan ini.
Dirinya sudah amat rindu sekali kepada ayah bundanya, mengapa sekarang tinggal masuk ke dalam rumahnya, masih dihalangi oleh prajurit yang sedang jaga?
Akan tetapi karena ingat bahwa prajurit penjaga ini merupakan orang-orang baru, maka ia menjadi maklum. Tentu prajurit ini belum mengenal dirinya yang telah lama meninggalkan rumah.
"Dengarkan baik-baik. Namaku Titiek Sariningsih. Aku adalah puteri tunggal Bandara Tumenggung Kebo Bangah. Nah, kamu tahu sekarang?"
Terbelalak dua orang prajurit itu, mendengar disebutnya nama Tumenggung Kebo Bangah. Walaupun mereka merupakan prajurit-prajurit baru, namun mereka tahu bahwa rumah yang mereka jaga ini, dahulu merupakan rumah Tumenggung Kebo Bangah. Akan tetapi setelah Tumenggung Kebo Bangah gugur dalam peperangan melawan Mataram, rumah ini sekarang merupakan tempat tinggal orang lain. Di samping mereka tahu bahwa Tumenggung Kebo Bangah gugur di medan perang, merekapun masih ingat akan peristiwa mengerikan yang pernah terjadi di dalam rumah ini. Hampir seluruh isi rumah diketemukan telah menjadi mayat. Demikian pula raden ayu tumenggung. Ketika itu terjadilah kehebohan. Sebab di samping isi rumah hampir habis terbunuh mati oleh penjahat yang tidak diketahui namanya, ternyata puteri tunggal Tumenggung Kebo Bangah lenyap. Timbul pertanyaan dalam hati mereka.
Gadis
cantik inikah puteri Tumenggung Kebo Bangah yang dikhabarkan lenyap?
Dan sekarang, secara tiba-tiba puteri itu telah muncul dan menjadi seorang dara jelita. Akibatnya, dua orang prajurit ini hanya terbelalak memandang kepada Titiek Sariningsih.
Titiek Sariningsih yang sudah amat rindu kepada ayah bundanya, menjadi tidak sabar lagi.
"Hai, mengapa kamu seperti patung?"
""Ahhh...... ohhh......!"
dua orang perajurit itu seperti orang kaget.
Namun salah seorang dari mereka cepat sadar dan dapat menguasai perasaannya. Katanya halus,
"Ahh, kalau begitu den ajeng...... sudilah den ajeng bersabar barang-sebentar. Perkenankanlah hamba memberi laporan dahulu."
"Kurang ajar!"
bentak Titiek Sariningsih.
"Pakai lapor segala! Itu hanya berlaku kepada tamu, tahu? Tetapi terhadap aku, manakah ada aturan macam itu?"
Sebelum dua orang perajurit itu sempat membuka mulut, dengan kecepatan luar biasa, tangan gadis itu sudah bergerak merampas senjatanya. Dua orang perajurit penjaga pintu gerbang itu hanya dapat melongo, tetapi wajahnya pucat.
"Krakk... krakk....!"
dengan amat gampangnya Titiek Sariningsih sudah mematahkan tangkai dua batang tombak tersebut, kemudian dilemparkan ke tanah.
"Ohh..
mengapa den ajeng mematahkan senjata hamba? Aduhh .... celaka......!"
tentu saja perajurit itu menjadi pucat dan ketakutan setengah mati. Namun untuk berbuat sesuatu, tidak berani. Mereka sadar, kalau gadis itu dengan gampang mematahkan tangkai tombak tentu bukanlah gadis sembarangan.
Tanpa perduli lagi kepada dua orang perajurit penjaga yang ketakutan itu, Titiek Sariningsih sudah mengajak tiga orang kawannya,
"Hayo. kita cepat masuk!"
Dengan gerakan yang ringan, Nuryanti, Danang, dan Danardono menerobos masuk ke pintu gerbang.
"Hai......tunggu!"
perajurit itu berteriak dan berusaha mencegah.
Akan tetapi perajurit itu terbelalak dan kemudian berdiri seperti patung, menyaksikan gerakan empat orang muda yang gesit dan ringan itu. Untuk mengejar mereka tak berani, karena harus meninggalkan tugas menjaga pintu gerbang Akan tetapi sebaliknya kalau tidak mengejar, juga menjadi khawatir sekali, mendapat marah junjungan mereka.
Karena merasa masuk ke dalam rumahnya sendiri, maka Titiek Sariningsih tanpa ragu-ragu lagi masuk ke pendapa, diikuti oleh tiga orang saudara seperguruan itu.
Akan tetapi baru beberapa langkah 'memasuki pendapa, mendadak terdengar bentakan nyaring dari dalam rumah,
"Hai......! Siapa kamu berani kurang ajar di sini? "
Bentakan itu mengejutkan Titiek Sariningsih dan kawan-kawannya. Mendadak mereka menghentikan langkah. Pada wajah Titiek Sariningsih membayangkan perasaan heran dan bertanya-tanya. Akan tetapi kemudian bibirnya tersenyum. Ia merasa geli terhadap apa yang dialaminya sekarang. Agaknya karena terlalu lama meninggalkan rumah ini, orang tuanya sendiri sampai tidak dapat mengenal lagi. Maka ia berdiri sambil menunggu keluarnya sang ayah, yang tadi sudah membentaknya. Dalam hati timbul sedikit kenakalannya, Walaupun hatinya sudah sangat rindu, ia ingin bergurau barang sebentar dengan ayahnya.
Tak lama kemudian muncullah seorang laki-laki tinggi besar dari dalam rumah besar. Laki-laki itu memelihara kumis yang tebal tetapi tidak berjenggot. Kumis itu sudah bercampur putih seperti rambut kepalanya karena usia tua. Pakaian yang melekat pada tubuhnya indah, sesuai dengan kedudukannya sebagai tumenggung. Wajah tumenggung ini tampak agung, dan pandang matanya berwibawa.
Melihat munculnya laki-laki tinggi besar itu. Titiek Sariningsih mengerutkan alisnya.
Ayahnyakah ini?
Bukan, jawab hati dan perasaannya. Walaupun ia telah berpisah cukup lama, namun ia tak mungkin bisa lupa akan wajah ayahnya. Maka laki-laki yang sikapnya agung ini, jelas bukan ayahnya, tetapi orang lain.
Kalau demikian, di manakah ayahnya, dan ataukah ibunya telah kawin dengan laki-laki ini?
Di saat Titiek Sariningsih berdiri mematung dan keheranan ini, laki-laki yang ke luar dari rumah jaraknya sudah menjadi dekat. Tumenggung setengah tua ini tampak tidak senang, melihat empat orang muda masuk ke dalam pendapa rumahnya tanpa mengenal kesopanan, tanpa ijin, dan lagi tidak segera menjatuhkan diri memberikan hormatnya.
Yang membuat tumenggung ini heran apakah prajurit penjaga pintu gerbang tidak melarang?
"Siapakah kamu ini. masuk ke mari tanpa ijin dan tak kenal kesopanan ?"
Ucapan yang keluar dari mulut tumenggung ini cukup halus, namun empat orang muda ini merasa ditampar mukanya.
Nuryanti dan saudara seperguruannya yang menjadi heran dan bingung, tak tahu apa yang harus dilakukan. Maka mereka hanya mengamati Titiek Sariningsih. dan mengharapkan penjelasan.
Untung sekali, walaupun masih muda usia. Titiek
Sariningsih telah memperoleh gemblengan lahir batin dari Ki Ageng Lumbungkerep. Ia menjadi sadar telah keliru masuk ke dalam rumah orang. Kemudian timbullah dugaannya, bahwa tentu rumah ayahnya telah pindah tempat. Merasa dirinya masuk dalam rumah orang secara kurang sopan, dan sadar pula akan tata kesopanan dalam keluarga bangsawan, tiba-tiba saja Titiek Sariningsih menjatuhkan diri duduk bersila sambil memberikan sembahnya. Nuryanti dan yang lain kaget, cepat meniru perbuatan Titiek Sariningsih dengan hati yang penuh pertanyaan.
"Hamba bernama Titiek Sariningsih."
kata Titiek Sariningsih perlahan, halus, tetapi jelas.
"Hamba telah lama sekali meninggalkan rumah ini. dan meninggalkan ayah Tumenggung Kebo Bangah. Akibat ....."
"Apa?"
tumenggung itu yang masih berdiri, kaget dan memotong kata kata Titiek Sariningsih yang belum selesai.
"Siapa? Tumenggung Kebo Bangah?"
Sambil bertanya ini, tumenggung itu mengamati Titiek Sariningsih penuh perhatian.
Agak canggung juga gadis remaja ini, dipandang orang seperti itu. Namun demikian, ia bersikap tenang, lalu melanjutkan kata-katanya,
"Benar. Hamba belum lupa, bahwa rumah ini, rumah ayah Tumenggung Kebo Bangah. Hamba adalah puteri tunggalnya "
"Aihh......! Kau. kau... puteri tunggalnya yang lenyap secara mendadak beberapa tahun yang lalu?"
Titiek Sariningsih mengangguk.
"Ya Hamba pergi mengikuti kakek Sindu, waktu itu ibu sedang tidur pulas dan ayah masih di medan perang."
"Ahhhh......!"
tumenggnng ini terhuyung ke belakang satu langkah, mungkin saking kagetnya.
Tetapi tamenggung ini yang sebenarnya bernama Wirosekti, segera dapat menguasai perasaannya. Tiba-tiba saja bibirnya tersenyum, lalu berkata ramah,
"Ohhh, maafkan aku anak, hemm Mari, marilah duduk pada kursi, marilah kita bicara."
Mendengar itu Titiek Sariningsih merasa aneh dan tidak sabar lagi. Ia sudah amat rindu sekali, setelah berpisah enam tahun dengan ayah bundanya. Oleh sebab itu Titiek Sariningsih hanya berdiri, dan tidak segera menuruti permintaan tumenggung itu duduk pada kursi.
"Bendara tumenggung..."
"Aihh.. mengapa engkau memanggil aku ndara tumenggung? Jangan anakku, panggil saja uwa atau paman. Sebab engkau puteri adi Tumenggung Kebo Bangah. Jangan engkau membuat aku kikuk. Oh ya. nanti dulu, duduklah! Aku akan panggil isteriku "
"Tidak!"
bantah Titiek Sariningsih tidak sabar.
Dan karena hatinya tegang diliputi oleh kegelisahan tanpa sesadarnya ia mengucapkan bantahan itu dengan keras, dan tenaga sakti lewat suara yang bernama "Gelap Ngampar"
menyalur dengan sendirinya. Suara itu ternyata pengaruhnya hebat sekali. Tumenggung Wirosekti sampai kaget, terhuyung mundur selangkah ke belakang, dan telinganya seperti tuli mendadak. Adapun tiga orang kawannya juga kaget. Tiga orang murid Sumbing itu terhuyung pula.
Melihat akibat dari bentakannya itu. Titiek Sariningsih sadar. Maka suaranya berubah.
"Tidak, paman, janganlah paman membuat aku bingung. Aku masih ingat, sejak kecil aku hidup di rumah ini bersama ibu. dan
ayah. Manakah sekarang ibu dan ayah? Mengapa paman yang datang menemui aku, dan bukan orang tuaku ?"
"Sabarlah, anakku, mari kita duduk dan akan aku berikan keterangan,"
kata Tumenggung Wirosekti membujuk.
"Mari anakku, kita duduk dan bicara."
Titiek Sariningsih terpaksa melangkah menuju ke kursi
yang telah ditunjuk oleh Tumenggung Wirosekti, dan orang tua, itu sudah mendahului duduk, sekalipun hatinya serasa tidak sabar. Nuryanti, Danang dan Danardono yang menjadi bingung dan bertanya tanya itupun mengikuti jejak Titiek Sariningsih, duduk pada kursi yang lain.
Setelah empat orang muda itu duduk pada kursi, tampak Tumenggung Wirosekti kembali mengamati Titiek Sariningsih penuh perhatian, sebelum ia membuka mulut. Adapun Titiek Sariningsih masih berusaha menekan ketegangan hatinya, dan menekan pula rasa kerinduannya kepada ayah dan bundanya. '
"Anakku, ke mana sajakah engkau selama ini ?"
tanya Tumenggung Wirosekti dengan halus.
Tumenggung setengah tua ini memang percaya penuh, bahwa gadis inilah anak Tumenggung Kebo Bangah yang dahulu dikhabarkan lenyap. Sebabnya ia percaya, karena ada kemiripan wajah gadis ini dengan Tumenggung Kebo Bangah maupun isterinya.
Titiek Sariningsih tak ingin membuat orang tua ini kecewa, maka dijawabnya pula pertanyaan itu. Ia menerangkan dari awal mula pergi bersama seorang kakek bernama Sindu secara lancar, sampai pula kepada pengalaman-pengalamannya bertemu dengan Ki Ageng Lumbungkerep dengan yang lain. Mendengar itu Tumenggung
Wirosekti mengangguk-angguk dan kagum. Tidak aneh kalau gadis ini bentakannya membuat dirinya tadi terhuyung, dan telinganya seperti tuli. Ternyata gadis ini murid dua orang sakti.
"Anakku, aku sungguh gembira dan kagum mendengar cerita pengalamanmu selama ini,"
kata Tumenggung Wirosekti.
Sesungguhnya, orang tua ini akan segera menceritakan apa yang sudah terjadi. Untuk memberitahukan, bahwa Tumenggung Kebo Bangah telah gugur di medan perang melawan Mataram. Adapun ibunya bersama hamba-hambanya, diketemukan telah tewas dalam keadaan menyedihkan. Setelah Tumenggung Kebo Bangah gugur,isterinya dibunuh orang, dan puteri tunggalnya lenyap tak diketahui rimbanya, maka oleh Adipati Tuban, dirinya ditunjuk supaya menempati rumah ini. Akan tetapi ia sekarang menjadi bingung, berhadapan dengan puteri tunggal Tumenggung Kebo Bangah.
Bagaimana harus menerangkan tentang orang tuanya yang telah tak ada itu?
Agar gadis ini tidak menjadi kaget, dan agar gadis ini tidak menjadi kecewa dan putus harapan?
Ia teringat kepada ayah Tumenggung Kebo Bangah yang bernama Kebo Pangesti, kakek Titiek Sariningsih ini. Akan tetapi, Tumenggung Kebo Pangesti dan isterinya. sekarang sudah berusia tua. Kalau harus ia datangkan dirumah ini, tentu memerlukan waktu. Padahal bocah ini tampaknya sudah tidak sabar lagi. Maka kemudian untuk menghindarkan hal hal yang tak diharapkan, ia ingin membawa saja bocah ini ke rumah Tumenggung Kebo Pangesti.
"Anakku,"
kata Tumenggung Wirosekti lagi dengan nada halus,
"ketahuilah bahwa rumah ini, dahulu bekas rumah ayahmu. Akan tetapi sekarang atas perintah gusti adipati agar aku yang menempatinya....."
, "Ahhh...... lalu di mana ayah dan bunda .,sekarang?"
Titiek Sariningsih kaget.
"Sabar anakku. engkau akan dapat bertemu dengan orang tuamu, di rumah kediaman kakekmu, Tumenggung Kebo Pangesti."
"Ahhh, kalau begitu biarlah sekarang aku ke sana!"
Titiek Sariningsih sudah bangkit dan akan pergi.
Tumenggung Wirosekti mencegah.
"Jangan tergesa anakku, biarlah engkau mengaso di sini batang sebentar, dan berkenalan dengan isteriku."
"Tidak paman, hari masih panjang. Esok atau lusa aku masih bisa datang kemari. Sekarang, secepatnya aku harus ke sana bertemu dengan ayah bundaku!"
Tanpa memberi kesempatan Tumenggung Wirosekti membuka mulut, Titiek SariningSih sudah memberikan hormatnya, kemudian minta diri diikuti oleh tiga orang temannya.
Tumenggung Wirosekti tak dapat mencegah lagi. Ia tahu betapa perasaan bocah itu, yang ingin segera bertemu dengan orang tuanya. Maka yang bisa diucapkan hanyalah,
"Anakku, mudah-mudahan engkau kuasa mengatasi segala sesuatu yang akan engkau hadapi."
Untung sekali Titiek Sariningsih yang telah ,hampir tak kuasa menahan rindu kepada orang tuanya itu tidak memperhatikan ucapan orang tua ini. Kalau saja memperhatikan, Titiek SariningSih tentu mendesak akan arti ucapannya itu. Dengan langkah cepat empat orang muda itu meninggalkan rumah ini. Adapun dua orang perajurit yang telah dipatahkan senjata tombaknya tadi, masih berdiri di depan pintu gerbang dengan wajah pucat. Melihat dua orang perajurit itu, timbullah rasa kasihan gadis ini. Ia khawatir kalau patahnya tombak itu, menimbulkan amarah Tumenggung Wirosekti. Titiek Sariningsih kembali masuk ke dalam. Dan Tumenggung Wirosekti masih berdiri di pendapa. Ia tidak datang mendekat. Dan dari jauh ia berteriak,
"Paman Tumenggung. maafkan aku, yang sudah mematahkan tombak perajurit penjaga pintu gerbang. Oleh karena itu saya mohon. agar dua orang perajurit itu tidak paman persalahkan."
Tumenggung Wirosekti kaget mendengar itu.
Kecil dan muda gadis itu, tetapi dengan gampang dapat mematahkan tangkai tombak yang kuat itu?
Diam-diam ia menjadi kagum sekali. Akan tetapi sebelum sempat membuka mulut, Titiek Sariningsih telah berkelebat pergi. Maka Tumenggung Wirosekti tinggal dapat menghela napas pendek, merasa kasihan kepada nasib gadis perkasa itu.
Tak sulit Titiek Sariningsih mencari rumah kakeknya. Ketika ia akan masuk pintu gerbang, ia mengalami perlakuan yang sama seperti di bekas rumahnya. Sebab dua orang perajurit yang menjaga belum mengenalnya. Akan tetapi Titiek Sariningsih sekarang sudah dapat bersikap lebih sabar. Ia tersenyum, kemudian katanya halus,
"Perajurit, apakah engkau sudah tak lagi mengenal aku? Aku adalah Raden Ajeng Titiek Sariningsih, puteri ayah Tumenggung Kebo Bangah, dan cucu eyang Tumenggung Kebo Pangesti."
Terbelalak kaget dua orang perajurit penjaga itu, mendengar ucapan gadis ini. Kebetulan mereka yang jaga ini adalah perajurit-perajurit lama, maka mereka tahu tentang seorang puteri Tumenggung Kebo Bangah, yang dahulu dikabarkan lenyap.
Inikah puteri Tumenggung Kebo Bangah itu, dan sekarang sudah gadis remaja?
Maka dengan sikap yang hormat mereka segera mempersilahkan Titiek Sariningsih dan teman-temannya masuk.
Malah salah seorang dari mereka mengiringkannya, untuk memberi laporan kepada Tumenggung Kebo Pangesti.
Kebo Pangesti dan isterinya, ketika itu suami isteri yang telah tua ini, duduk di dalam rumah belakang. Baik Tumenggung Kebo Pangesti maupun isterinya, seluruh rambutnya sudah putih semua, sekalipun usianya baru sekitar limapuluh lima tahun. Kerut-kerut pada wajahnyapun tampak lebih tua dari pada usianya yang sebenarnya. Hal ini bukan lain oleh pengaruh derita batin, setelah anaknya gugur di medan perang, sedang menantunya terbunuh mati dalam keadaan menyedihkan, dan lenyapnya cucu tunggal terkasih Titiek Sariningsih.
Maka ketika perajurit itu datang menghadap dan melaporkan kedatangan Titiek Sariningsih, mereka terbelalak kaget dan hampir tidak percaya.
"Perajurit! Siapa yang datang ?"
tanya Tumenggung Kebo Pangesti.
"Hamba melapor, bahwa cucu bendara yang bernama Raden Ajeng Titiek Sariningsih pulang."
"Mengapa tak langsung menghadap aku ke mari?"
"Beliau dalang bersama tiga orang muda. Maka hamba persilahkan menunggu di pendapa."
Dengan agak gugup, suami isteri yang telah tua ini bangkit dari tempat duduknya, dan tergopoh pergi menuju pendapa.
"Eyang.....!"
jerit Titiek Sariningsih begitu melihat munculnya Tumenggung Kebo Pangesti dan isterinya dari dalam rumah.
Gadis ini sudah lari menghampiri, langsung menubruk dan memeluk neneknya. Perempuan tua itu memeluk cucunya dengan dua tangan erat sekali sambil mengucurkan air mata. Adapun Titiek Sariningsih terisak di dada neneknya yang telah kerempeng itu.
Adapun Tumenggung Kebo Pangesti mengamati cucu yang sudah gadis remaja itu, dengan mata yang basah akan tetapi dalam hatinya timbul rasa bahagia. yang sulit dilukiskan. Ia membiarkan nenek dan cucu itu saling peluk sambil menangis. Tangis kebahagiaan yang tiada taranya, dapat bertemu setelah berpisah belasan tahun.
Nuryanti dan yang lainpun merasa terharu. Mereka masih berdiri sambil mengamati mereka yang berpelukan.
Untung kemudian Tumenggung Kebo Pangesti segera dapat mengatasi keadaan. Ia lalu mempersilahkan isterinya dan cucunya duduk. Kemudian ia mempersilahkan tiga orang muda itupun duduk di atas kursi.
Semua sudah duduk di atas kursi. Akan tetapi Titiek Sariningsih dan neneknya duduk pada kursi panjang, dan nenek itu terus memeluk cucunya menggunakan tangan kanan. Titiek Sariningsih memandang ke dalam lewat pintu tengah.
Gadis ini merasa heran, mengapa ayah bundanya tidak segera muncul mendapatkannya?
Ia mengamati kakeknya sejenak. Kemudian tanyanya,
"Eyang. mengapa ayah dan ibu tak segera muncul? Aku sudah amat rindu."
. Tumenggung Kebo Pangesti menghela napas tak segera dapat menjawab. Adapun isterinya kembali memeluk cucunya sambil menangis lagi. Titiek Sariningsih menjadi heran dan curiga.
"Eyang, katakan terus terang. Apa yang sudah terjadi dengan ayah bundaku?"
Mendengar desakan cucunya ini, Tumenggung Kebo Pangesti kaget, dan menduga kalau cucunya sudah tahu apa yang terjadi. Maka tidak perlu berpura-pura lagi.
"Ah !
Suratan takdir tak bisa dibantah oleh manusia. Engkau tentu sudah mendengar pula bahwa ayahmu gugur di medan perang, dan ibumu mati terbunuh...."
"Aihh......!"
jerit Titiek Sariningsih nyaring.
Ia telah melepaskan diri dari pelukan neneknya dan berdiri. Matanya basah air mata, akan tetapi menyuburkan kemarahan sangat.
"Eyang......! Jelaskan siapa pembunuh ibuku? cepat katakan, akan kubunuh manusia biadab itu!"
Neneknya bangkit memeluk dan berusaha membujuk agar cucunya duduk kembali. Demikian pula kakeknya. Akan tetapi gadis ini tidak mau, dan terus menuntut agar ditunjukkan siapa pembunuh ibunya. Tentu saja Kebo Pangesti tak bisa menerangkan, sebab pembunuhan itu berlangsung dimalam hari dan paginya baru diketahui terjadi pembunuhan. Maka seperti yang lain, ia hanya dapat memberitahukan bahwa Sri Rukmi telah mati terbunuh.
Mendadak.... terdengar lengking yang nyaring dan tubuh Titiek Sariningsih berkelebat lenyap dari pendapa. Gerakan yang cepat itu membuat tiga orang murid Sumbing itu melongo, sedang Kebo Pangesti terbelalak heran. Adapun nenek Titiek Sariningsih menjerit-jerit memanggil nama cucunya, kemudian jatuh terguling pingsan.
Sampai di sini, para pembaca yang budiman, cerita ini berakhir. Namun demikian, cerita ini tentu akan membuat saudara-saudara pembaca penasaran, kalau tiada sambungannya guna mengetahui perjalanan hidup Titiek Sariningsih selanjutnya. Mengingat itu, maka apa bila Tuhan mengijinkan, pengarang akan menyuguhkan
cerita yang baru dengan judul "PERAWAN LOLA".
Dalam cerita yang baru ini, saudara akan berjumpa pula dengan Titiek Sariningsih, Pangeran Pekik, Ratu Wandansari, Sindu, Madu Bala dan tokoh-tokoh yang lain lagi.
Sala, awal tahun 1974.
Tamat
Pendekar Rajawali Sakti 203 Kitab Pelebur Jiwa Dewa Linglung 2 Geger Pedang Inti Es Pendekar Naga Putih 38 Tewasnya Raja Racun Merah

Cari Blog Ini