Ceritasilat Novel Online

Lolos Dari Maut 2

Lolos Dari Maut Karya Widi Widayat Bagian 2


Bukti-bukti kekuatirannja itu sudah terbukti dengan
terdjadinja peristiwa-peristiwa jang tak diharapkan pada dua minggu
dan sebulan jang lalu.
Sebulan jang lalu ketika Gupito sedang berburu dan
berlindung di tengah semak, datanglah tiga orang laki-laki
bersendjata golok. Jang mengedjutkan hatinja ialah, tiga orang itu
sudah dikenalnja setjara baik, karena mereka merupakan anak buah
Djamingan. Karena tjuriga, Gupito membajangi setjara hati-hati
untuk mengetahui sebab-sebabnja tiga orang anak buah Djamingan
itu datang ke sini.
Betapa terkedjut hatinja ketika mendengar apa jang mereka
pertjakapkan. Ternjata kedatangan mereka itu merupakan petugas
Djamingan untuk mengadakan penjelidikan mengenai berita, bahwa
Mardjaka masih meninggalkan seorang anak gadis jang amat tjantik.
Apabila benar, Djamingan ingin sekali bisa memiliki gadis itu sebagai
selirnja. Djika maksudnja ini berhasil, akan berarti di samping dapat
membalas sakit hatinja, djuga mendapatkan bunga jang sekaligus
dapat memperhinakan keturunan Mardjaka.51
Mendengar pertjakapan mereka itu kemarahan Gupito
meledak. Sebab sebagai orang bekas anak buah Djamingan, ia segera
tahu akan maksud Djamingan jang sebenarnja. Maksud jang terkutuk
dan tak mungkin dilakukan oleh orang berotak waras.
Ia dapat membajangkan betapa kesengsaraan Untari apabila
sampai djatuh ke tangan Djamingan. Bukan sadja ia akan dihinakan
sedemikian rupa, tetapi mungkin sekali akan diperlakukan seperti
bukan manusia lagi kalau sampai menolak kehendaknja. Mengingat
itu, dan mengingat akan kesanggupannja untuk melindungi Untari
seperti kepada anaknja sendiri, ia tak mungkin bisa mengidjinkan
Untari dapat ditjulik tanpa melangkahi majatnja.
Akan tetapi mengingat keadaannja dan mengingat bahwa tiga
orang itu bukanlah lawan jang empuk, apabila harus menghadapi
setjara terang-terang, mungkin sekali akan gagal. Mengingat akan hal
itu dan mengingat pula menghadapi orang-orang djahat tidak perlu
mempertahankan sopan santun dan kedjantanan, ia segera
mempersiapkan busurnja. Setjepat kilat enam batang anak panah
segera lepas dari busurnja.
Mengenai ilmu kepandaian tata kelahi, tingkat Gupito
memang belum tinggi. Akan tetapi tentang melepaskan anak panah,
ia terkenal seorang ahli sedjak masih mendjadi pembantu Djamingan.
Setiap anak panah jang dilepaskan selalu tepat pada sasarannja, dan
sedikit sekali kemungkinan orang dapat melepaskan diri dari maut.
Maka begitu anak panah itu lepas dari busurnja segera berpentjaran
mengarah bagian tubuh berbahaja.
Akibatnya hebat sekali. Tak ampun lagi dua orang jang
berdjalan paling belakang dan tengah segera djatuh terdjungkal,
sedang anak panah itu menantjap tepat pada djalan darah punggung
dan pinggang. Akan tetapi seorang jang berdjalan paling depan, ia
mempunjai kesempatan jang lebih banjak. Ia bisa menjelamatkan diri52
dengan melompat ke samping dan setjara tangkas sudah mentjabut
goloknja.
"Bagus perbuatanmu bangsat Gupito!" bentak orang itu
dengan melotot. "Bukan sadja engkau sudah berkhianat tetapi masih
djuga memusuhi kami."
Gupito kenal pula kepada orang itu, bernama Hangkara. Ia
segera tertawa sambil mendjawab mengedjek. "Hem, berkhianat
terhadap buaja Djamingan dibenarkan oleh Tuhan. Karena aku
membela kebenaran dan melawan kedjahatan."
Hangkara tertawa berkakakan. Balasnja: "Huh huh, manakah
ada Tuhan? Aku tak takut kepada Tuhan, karena Tuhan tidak ada.
Orang jang pertjaja bahwa Tuhan ada, adalah orang tak waras. Huh
huh, menggelikan..."
Belum djuga selesai kata-kata jang diutjapkan itu, tanpa
hudjan dan tanpa angin, mendadak terdengar letusan jang dahsjat
memekakkan telinga. Petir telah menjambar Hangkara, ia roboh dan
hangus terbakar.
Gupito jang ketika itu berhadapan sekira satu tombak dengan
Hangkara, pada saat petir menjambar telah dihempaskan oleh angin
jang dahsjat dan terlempar beberapa tombak djauhnja. Sehingga ia
selamat dari sambaran petir dan hanja merasakan badannja agak
sakit terbentur pepohonan.
Terdjadinja peristiwa jang adjaib itu, Gupito segera sudjud
kepada Tuhan dan mohon ampun. Ia sadar bahwa peristiwa jang baru
sadja terdjadi setjara adjaib itu adalah merupakan hukuman Tuhan
kepada Hangkara jang menghina kepada Tuhan. Semua itu hanja
Tuhanlah jang bisa mentjiptakannja. Dan mata maupun hatinja
semakin terbuka, bahwa kutukan Tuhan telah berlaku kepada
manusia-manusia jang melupakan purwa dumadi.53
Kalau menurutukan hati dan perasaannja, ia tak ingin
merawat majat-majat pendjahat-pendjahat itu. Agar majatnja
mendjadi mangsa binatang-binatang buas. Tetapi sebagai manusia ia
merasa tidak tega kalau harus terkubur dalam perut binatang buas.
Oleh sebab itu ia segera membuat lubang kubur, kemudian tiga orang
itu dikuburnja.
Sedjak terdjadinja peristiwa itu, hati Gupito tak pernah
tenteram. Ia insjaf, bahaja akan datang dan mengantjam Fatimah dan
Untari. Maka ia selalu mohon perlindungan Tuhan, supaja bekas isteri
dan anak sahabatnja itu selamat dari malapetaka.
Di samping selalu mohon perlindungan Tuhan, iapun selalu
meningkatkan kewaspadaannja. Ia selalu berdjaga diri dan meronda
setjara hati-hati untuk menghalau manusia-manusia jang tidak
bermaksud baik. Sebab ia menjadari bahwa sesudah tiga orang itu tak
kembali, Djamingan akan mengirimkan petugasnja lagi untuk
menjelidiki sebab-sebabnja petugasnja tak kembali.
Kekuatirannja itu ternjata benar. Dua minggu kemudian
ketika sedang mandi di sungai, ia melihat empat orang jang
mentjurigakan. Ketika diperhatikan, ia terkedjut. Benarlah
dugaannja, bahwa Djamingan mengirimkan lagi petugasnja. Untuk
melindungi dan agar tidak mendapat perlawanan berat, ia mentjari
tempat jang baik. Kemudian dengan mengandalkan kemahirannja
memanah, sekaligus melepaskan delapan batang anak panah.
Anak panah jang lepas dari busur itu setjepat kilat menjambar
ke sasarannja. Akan tetapi empat orang itu lebih tinggi kepandaiannja
dibanding dengan tiga orang petugas Djamingan dua minggu jang
lalu. Begitu merasakan sambaran angin tadjam mereka segera
menghindarkan diri berlontjatan. Mereka bergerak tjepat, tetapi
anak panah itu lebih tjepat lagi. Dua orang segera roboh karena
tengkuk dan dadanja tertembus anak panah. Akan tetapi dua orang54
jang lain masih selamat, dan dengan kemarahannja dua orang itu
sudah mentjabut sendjata masing-masing menjerang Gupito.
Kemudian terdjadilah perkelahian jang amat sengit. Gupito
dikerojok dua. Pertempuran jang sengit itu berlangsung hampir
setengah hari. Meskipun ia tak tjepat mendapat kemenangan, tetapi
djuga sulit dikalahkan. Karena dua tenaga jang tergabung mendjadi
satu itu imbang dengan kekuatan Gupito. Mengingat imbangnja
tenaga itu, masing-masing makin berhati-hati.
Dalam keadaan Gupito tengah mendapat kesulitan ini, tibatiba muntjullah Untari sambil membentak.
Menjaksikan muntjulnja gadis muda jang tjantik itu, dua orang
tersebut terkedjut dan terbelalak kagum. Kesempatan itu tidak disiasiakan oleh Gupito untuk menerdjang lawan. Untung lawannja masih
belum hilang kesadaran. Begitu merasakan angin menjambar,
mereka tjepat berkelit dan terdjadilah lagi pertempuran jang sengit.
Akan tetapi sekarang pada pihak Gupito mendapatkan
tambahan tenaga. Meskipun kepandaian Untari masih rendah,
bantuannja itu banjak mempengaruhi suasana pertempuran.
Kemudian seorang demi seorang mereka roboh dan tewas oleh golok
Gupito.
Setelah terdjadinja peristiwa berturut-turut itu, Gupito makin
gelisah dan kuatir. Ia insjaf, akan datanglah saatnja Djamingan dan
anak buahnja mengganggu kembali ketenteraman Fatimah dan
anaknja. Padahal untuk menghadapi Djamingan seorang diri sadja ia
merasa tak mampu, apapula harus melawan kerojokan beberapa
orang.
Mengingat bahaja jang sewaktu-waktu datang itu, Gupito
segera mengadjak Fatimah dan Untari untuk menjelamatkan diri
dengan berpindah ke tempat lain. Sajang sekali Fatimah tak dapat
dipengaruhi. Ia tak mau pergi meninggalkan desa itu, sekalipun55
diantjam bahaja sewaktu-waktu. Semua itu diserahkan bulat-bulat
kepada Tuhan.
Dan sekarang datanglah seorang muda berkepandaian tinggi.
Ia pertjaja bahwa kehadiran Handaka ini merupakan perwudjudan
pertolongan Tuhan kepada Fatimah dan Untari. Itulah sesungguhnja
jang mendorong hatinja untuk menahan Handaka ini, dan dalam
hatinja timbullah niatnja untuk memikat hati pemuda ini dan tidak
tanggung-tanggung lagi akan dikawinkan dengan Untari. Sebab
menurut gelagatnja, sekalipun baru kemarin dikenalnja, Untari
tertarik djuga kepada ketampanan Handaka.
Itulah sebabnja Gupito mengadjak Handaka berdjalan-djalan
sambil menikmati indahnja pemandangan. Menurut pendapat
Gupito, akan dapat berbitjara lebih leluasa daripada di rumah. Maka
sesudah djaraknja dengan rumah Fatimah djauh, Gupito mulai
memantjing perhatian Handaka dengan memudji-mudji ketinggian
ilmunja, kesopanannja, keramahannja dan kebaikan hatinja. Tetapi
sesudah itu ia mulai membelok dan memudji-mudji akan ketjantikan
dan tabiat Untari.
Mendengar kata-kata Gupito itu Handaka merasa heran dan
dalam hatinja bertanja-tanja mengapa orang tua itu berbitjara
demikian. Sebagai seorang muda dan romantis pula, ia memang tak
bisa membantah akan kebenaran pendapat Gupito bahwa Untari
seorang gadis jang djelita, djudjur dan menarik. Mentjari seorang
gadis seperti Untari memang tidak gampang, maka tidak
mengherankan apabila Djamingan mengintjar dan berusaha keras
untuk bisa memetik bunga jang indah dan mungil itu.
Ja, Untari memang tjantik. Ketjantikannja hampir seimbang
dengan Pamikatsih, gadis jang ditjintai tetapi tak mau membalas
tjintanja, dan hampir sadja membuat ia gelap mata. Namun demikian
ia sendiri merasa heran, bajangan ketjantikan Pamikatsih itu tak56
djuga mau hilang dari benaknja dan terus membajangi. Ia tak bisa
menipu perasaannja sendiri jang gandrung kepada Pamikatsih itu.
Tiba-tiba terdengar Gupito bertanja: "Anak, engkau sudah
bertunangan atau belum?"
"Belum!" sahut Handaka heran dan menatap Gupito.
"Bagaimanakah hatimu? Apakah engkau sudah menjimpan
suatu pilihan terhadap seorang perempuan?"
Handaka terkejut. Hampir sadja ia menjawab sudah ada gadis
jang ditjintainja. Untung ia segera ingat bahwa gadis jang ditjintai itu
tak membalas tjintanja, dan hal itu tak bisa diberitahukan kepada
orang lain. Oleh sebab itu djawabnja sungguh-sungguh: "Belum ada.
Jang aku tjintai hanja ibuku!"
Gupito tertawa. Katanja: "Mentjintai ibu dan orang tua
merupakan kewadjiban seorang anak jang tahu akan kedudukannja
sebagai anak. Itulah sikap seorang anak jang baik."
Gupito menatap Handaka beberapa saat lamanja. Kemudian
bertanja: "Tetapi anak, kalau sadja terdapat seorang gadis jang sebaik
ibumu dan setjantik ibumu, apakah kiranja engkau suka dan
mentjintainja?"
Handaka tertawa. Kemudian djawabnja agak ragu-ragu:
"Sudah tentu! Tetapi untuk mentjarinja, djuga tidak gampang."
"Tetapi kalau ada, bagaimana?"
Sebelum Handaka menjahut, tiba-tiba suara jang merdu
sudah mendahului: "Kakang Handaka benar. Mentjari seorang
perempuan sebaik ibunja tidak gampang. Mungkin jang bisa
menjamai hanjalah ibuku sadja."
Handaka terkedjut. Dan lebih terkedjut lagi Gupito. Karena
belum lenjap suaranja, Untari sudah muntjul sambil tersenjumsenjum amat manis, sedang menurut penilaian Handaka senjuman
jang tersungging dari bibir jang tipis itu amat menarik sekali. Tetapi57
Untari sendiri tjepat menundukkan kepalanja merasa malu oleh
pandangan Handaka itu.
Kehadiran Untari di luar kehendaknja ini membuat Gupito
sibuk. Ia mengadjak Handaka menjingkir maksudnja untuk
membitjarakan dirinja. Dengan hadirnja orang jang akan didjadikan
objek pembitjaraan itu sudah tentu Gupito tak bisa meneruskan
maksudnja lagi.
Dengan sikapnja jang mandja Untari segera memprotes
Gupito. Katanja: "Paman menjebalkan sekali. Mengapa tidak
mengadjak aku untuk menemani kakang Handaka menikmati
keindahan alam sekitar ini?"
Gupito tertawa. Djawabnja: "Hem, engkau memang gadis
nakal, Tari. Bukankah engkau mempunjai kewadjiban jang penting di
rumah membantu kesibukan ibumu? Kita sedang mempunjai tamu
dan seharusnjalah kita siapkan hidangan jang lain dari jang lain.
Bukankah begitu?"
Untari tertawa lirih. Sahutnja: "Hi hik, bukankah ibuku
seorang ahli memasak? Djika aku membantu, tak ada artinja sama
sekali. Maka lebih baik aku menjusul untuk menemani tamu kita?"
Ia menatap Handaka sambil tersenjum manis. Kemudian
bertanja: "Apakah engkau tak setudju djika aku ikut menemanimu
menghirup hawa segar?"
"Tentu, tentu setudju," sahut Handaka. "Dengan
kehadiranmu lebih menjenangkan lagi."
"Nah, paman mendengar?" tanja Untari sambil menatap
Gupito merasa menang. Lalu terusnja: "Hi hik, paman memang nakal.
Aku jang punja tamu, tetapi paman merebutnja."
Atas godaan Untari itu, Gupito hanja bisa tertawa. Untari
memang seorang gadis jang pintar bitjara. Bagaimanapun ia selalu
kalah. Tjaranja bertanja kepada Handaka tadipun merupakan58
pancingan, sehingga Handaka mengiakan. Kemudian djawabnja
diiring senjum: "Engkau boleh menganggap anak Handaka tamumu.
Tetapi bukankah tadi jang menahan aku?"
"Akupun tadi ingin menahannja," sahut Untari. "Tetapi
sebelum aku membuka mulut, paman sudah mendahului."
Untari tertawa, sedang Gupito dan Handaka pun tak bisa
menahan gelaknja lagi.
Tetapi sesaat kemudian Gupito menggoda: "Tetapi mengapa
engkau kemarin marah-marah kepada anak Handaka?"
"Hi hik," Untari tertawa sambil menutup mulutnja dengan
telapak tangannja. "Kalau aku kemarin tidak marah-marah dan
mengadjak kakang Handaka bertempur, tak mungkin kita
mendapatkan kehormatan menerima tamu. Tapi... tapi kakang
Handaka, maafkanlah kelantjanganku kemarin."
"Tidak mengapa." Handaka menjahut. "Aku malah berterima
kasih sekali. Sebab tanpa berkenalan dengan engkau, mungkin aku
mendapat kesukaran untuk tempat menginap."
"Sesungguhnja apakah tudjuanmu pergi ke Mataram jang
djauh itu?"
"Ah, hanja ingin mentjari pengalaman sadja," sahut Handaka
tak berterus terang. "Ajah jang memerintahkan aku, dan bagiku tak
ada alasan untuk menolak."


Lolos Dari Maut Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tetapi anak Handaka," kata Gupito. "Apakah engkau belum
mendengar di ibukota keradjaan Mataram telah terdjadi peristiwaperistiwa jang menjedihkan?"
Handaka dan Untari terkedjut. Sebelum Handaka sempat
bertanja, Untari sudah mendahului: "Apa jang sudah terdjadi di sana
paman?"
Gupito menelan ludahnja. Kemudian menerangkan: "Di sana
telah terdjadi pembunuhan terhadap ulama-ulama Islam. Semua itu59
terdjadi atas perintah Sinuwun Amangkurat I. Terdjadinja peristiwa
itu menjebabkan para Ulama Islam merasa tak aman hidup di sana."
Untari dan Handaka lebih terkedjut lagi mendengar
keterangan itu, dan lagi-lagi Untari bertanja: "Djika terdjadi
pembunuhan itu, tentunja para ulama Islam bersalah paman?
Bukankah demikian?"
Handaka kurang setudju. Katanja: "Kita tak bisa menjalahkan
salah satu pihak sebelum mendapat keterangan sebab musababnja
terdjadi peristiwa itu. Maka paman, dapatkah paman menerangkan
sebab-sebabnja?"
Gupito mendeham untuk menghilangkan serak pada
kerongkongannja. Sesaat kemudian djawabnja: "Menurut kabarkabar jang telah kutangkap, sebabnja begini. Sesudah Sunan
Amangkurat I naik tahta keradjaan Mataram menggantikan Sultan
Agung, beliau segera menjelenggarakan perdamaian dengan
Kumpeni. Sungguh merupakan sikap jang tak mungkin dilakukan oleh
almarhum Sultan Agung jang melawan Kumpeni setjara gigih."
Ia berhenti, sesaat kemudian landjutnja: "Di samping
menjelenggarakan perdamaian itu, Sunan Amangkuratpun
memindahkan keraton dari Karta ke Plered. Dan karena sikap radja
jang lunak kepada Kumpeni itu menjebabkan banjak ponggawa
maupun bangsawan jang kurang setudju. Sebab berarti merugikan
Mataram sendiri. Agaknja Sinuwun Amangkurat pun tahu bahwa
kebidjakannja itu tak berkenan di hati sementara bangsawan maupun
ponggawa..."
"Akupun tak setudju," potong Untari. Kemudian berpaling
kepada Handaka dan bertanja: "Bagaimanakah pendapatmu?"
Ketika itu Handaka djustru sedang mengamati gadis itu penuh
perhatian, tertarik oleh ketjantikan wadjahnja dan kerampingan60
tubuhnja. Maka atas pertanjaan itu Handaka mendjawab agak gugup:
"Eh... aku... sama dengan kau!"
Untari tertawa merdu. Lalu menggoda: "Eh, mengapa engkau
bilang sama dengan aku? Bukankah engkau laki-laki dan aku
perempuan?"
Gupito tak kuasa menahan gelaknja, sedang Handakapun
tertawa sekalipun agak malu. Kemudian djawabnja: "Jang kumaksud
sama dengan pendapatmu. Karena berdamai dengan Kumpeni
berarti merugikan Mataram."
Apabila Handaka berpendapat demikian, karena semendjak
ketjil ia sudah dididik oleh orang tuanja agar bisa mendjadi seorang
jang berguna bagi bangsa dan tanah air. Ia banjak kali mendengar
tjerita ajahnja tentang kepahlawanan Sultan Agung dalam
menghadapi Kumpeni Belanda. Tjerita kepahlawanan radja itu amat
meresap dalam hatinja, dan inginlah ia meniru tauladan baik dari
radja Mataram itu.
"Bagus!" puji Gupito. "Memang demikianlah seharusnja sikap
jang kamu ambil. Kamu harus menjadari sebagai putera dan puteri
ibu Pertiwi. Maka harus kamu bela dengan djiwa dan ragamu."
"Lalu bagaimana terusnja paman?" desak Untari.
Gupito tersenjum. Kemudian ia mengadjak sepasang merpati
itu untuk duduk di bawah pohon rindang. Bertjerita sambil duduk,
lebih meresap dibanding sambil berdjalan. Sesudah mereka duduk,
Gupito meneruskan.
"Begini. Karena Sinuwun Amangkurat mengetahui gelagat itu
maka sikapnja selalu mentjurigai kepada siapapun. Termasuk kepada
saudara sendiri jang bernama Pangeran Alit. Karena Pangeran Alit ini
salah seorang putera Sultan Agung jang mewarisi djiwa
kepahlawanan almarhum ajahanda, membentji kepada Kumpeni
Belanda. Kalau radja mentjurigai, sebaliknja Pangeran Alit pun tahu61
ditjurigai radja. Maka pada suatu malam dengan lima puluh orang
pengikutnja, Pangeran Alit menjerang keraton dengan maksud untuk
membunuh radja..."
"Bagus!" potong Untari memudji. "Itulah sikap djantan. Lalu
berhasilkah paman?"
"Dengarlah dulu," Gupito menjabarkan. "Begitulah. Pangeran
Alit dengan pengikutnja menjerang keraton. Akan tetapi Sunan
Amangkurat jang sudah mentjurigai orang-orang di sekelilingnja itu,
selalu waspada dan sekelilingnja dikawal setjara kuat oleh orangorang kepertjajaannja. Karena itu usaha Pangeran Alit taklah
gampang terlaksana, dan terdjadilah pertempuran jang sengit sekali
antara Pangeran Alit dan pengikutnja, melawan pengawal-pengawal
radja. Dalam perkelahian seorang lawan seorang antara Pangeran Alit
dengan Pangeran Tjakraningrat, jaitu Bupati Madura, akhirnja
mereka mati sampjuh. Sedang pengikut Pangeran Alit, kemudian
seluruhnja tewas dalam pertempuran karena kalah kuat.
"Sajang!" Untari menjesal dan berduka. "Ah, kalau Pangeran
Alit berhasil, beliau tentu akan bersikap tegas kepada Kumpeni
seperti almarhun Sultan Agung."
"Ja... sajang sekali!" sambung Handaka menjetudjui.
Untuk beberapa saat lamanja suasana ditjekam oleh rasa
kedukaan mereka. Dan sesudah beberapa saat mereka berdiam diri,
Untari bertanja: "Lalu bagaimanakah terusnja paman?"
Gupito menghela nafas, djawabnja kemudian: "Ja, sesudah
terdjadinja peristiwa itu Sinuwun Amangkurat beranggapan bahwa di
belakang peristiwa ini, tentu berdiri para ulama Islam jang menghasut
dan mendjadi dalang. Sebab sebelum peristiwa itu terdjadi, para
Ulama Islam sudah menundjukkan sikapnja jang tak setudju kepada
kebidjaksanaan radja. Karena radja beranggapan demikian, maka
Sunan segera memerintahkan untuk menangkapi para Ulama itu.62
Dalam waktu jang singkat telah dapat ditangkap kira-kira lima ribu
orang dan dikumpulkan di Alun-alun. Sesudah terkumpul, Sinuwun
Amangkurat memerintahkan kepada para algodjo untuk membunuh
mati..."
"Apa?!" Untari terkedjut.
"Ja, memang demikianlah jang terdjadi." Gupito menghela
nafas. "Dalam waktu jang singkat lima ribu Ulama Islam itu roboh
tewas dan djenazahnja bergelimpangan di alun-alun. Peristiwa itu
menggegerkan Plered, dan banjaklah para ulama jang melarikan diri
untuk menjelamatkan diri."
"Sikap jang tidak bidjaksana!" gerutu Untari. "Ah... jang
didjadikan alasan radja, tentu mau memberontak!"
"Engkau benar!" Gupito menjetudjui. "Radja memang merasa
kuatir kedudukannja akan gojah. Maka mendahului membunuh
seluruh orang jang tidak disukainja."
Handaka menghela nafas. Ia amat sedih mendengar tjerita
Gupito itu, dan menjesal pula mengapa radja sanggup melakukan
pendjagalan kepada ribuan orang jang seharusnja mendapat
perlindungan keselamatannja.
"Peristiwa itu, tentunja amat menggembirakan Kumpeni!"
kata Untari. "Sebab setiap terdjadi kekatjauan, Kumpenilah jang akan
memetik buahnja."
"Ja!" Gupito mengangguk membenarkan.
Dalam hatinja Gupito memudji akan pandangan Untari jang
sedjauh itu. Meskipun usianja masih amat muda, tetapi berkat
otaknja jang tjerdik bisa berpikir djauh. Diam-diam Gupito amat
gembira, dan dalam hatinja berharap mudah-mudahan kelak
kemudian hari Untari akan mendjadi seorang wanita jang berguna
bagi bangsa dan tanah airnja, sehingga djerih pajahnja mengasuh63
anak Mardjaka semendjak ketjil itu akan berbuah jang berguna bagi
bangsa dan tanah airnja.
Sesudah beberapa nafas lamanja mereka tertjekam oleh
perasaan menjesal dan berduka itu, lagi-lagi Untari memetjah
suasana. "Lalu, bagaimanakah paman? Bagaimanakah keadaan
Mataram sekarang?"
Gupito menghela nafas. Sahutnja kemudian: "Sudah tentu
masih katjau dan orang selalu diliputi kegelisahan, sekalipun
peristiwa itu sudah lama berlalu, karena antara mereka saling tjuriga
mentjurigai."
Gupito menatap Handaka, kemudian nasihatnja: "Oleh karena
itu anak, djika engkau pergi ke sana, engkau harus hati-hati. Siapa
tahu kalau kehadiranmu di sana ditjurigai orang."
"Terima kasih paman. Akan aku indahkan nasihatmu,"
Handaka mendjawab sambil mengangguk.
Selandjutnja Gupito berkata: "Anak, sebenarnja aku tidak
mengharapkan terdjadinja kekatjauan seperti itu. Dan terdjadinja
perpetjahan antara kita sendiri. Akan tetapi jah, mengingat peristiwaperistiwa itu, aku kuatir apabila kemudian hari terdjadi perang
saudara. Dan aku menguatirkan pula Mataram akan runtuh. Sajang
sekali apabila keradjaan jang dibangun oleh almarhum Panembahan
Senopati dengan susah pajah dan banjak mengorbankankan njawa
itu, akhirnja akan hantjur."
"Mengapa paman berpendapat begitu?" tanja Untari. "Djika
radja tidak bidjaksana, mengapa harus disajang? Menurut
pendapatku, biarlah perang saudara terdjadi, dan siapapun boleh
mendjadi radja. Asal radja itu bidjaksana dan mendjadi pelindung
seluruh kawula. Bukannja malah membuat kawula takut dan ditjekam
kegelisahan."64
"Ja, pendapatmu sedikit benar dan sedikit salah!" kata
Gupito.
"Mengapa salah?" protes Untari.
"Bukannja seluruhnja salah anakku," Gupito tersenjum.
"Bukankah engkau sendiri tadi sudah mengatakan bahwa setiap
terdjadi kekatjauan, bangsa asinglah jang untung? Nah, apabila
terdjadi perang saudara, tak urung salah satu pihak bakal minta
bantuan Kumpeni. Sedang Kumpeni tak mungkin mau begitu sadja
tanpa upah jang berharga. Itulah jang amat kukuatirkan anakku, dan
di samping itu engkau harus mengerti bahwa setiap terdjadi
pertempuran, akibatnja akan hebat sekali. Para kawula jang tak
berdosa mendjadi korban."
Ia berhenti menatap Handaka dan Untari bergantian, seperti
mentjari kesan. Sesaat kemudian landjutnja: "Dan sesungguhnja aku
amat menginginkan negara kita ini dapat tenteram dan damai seperti
pada djaman Demak."
Mendengar itu, Handaka dan Untari tertarik. Untari segera
mendesak agar Gupito mentjeritakan djaman jang sudah lama silam
itu. Atas permintaan itupun Gupito segera mentjeritakan setjara
pandjang lebar.
Oleh keasjikan mereka itu, mereka mendjadi lupa akan waktu
dan lupa akan lapar. Tahu-tahu tjuatja sudah mulai gelap karena
matahari hampir silam di barat gunung. Tiba-tiba hati Gupito
berdebar setjara aneh. Ia seperti menerima firasat jang kurang baik,
maka tjepat-tjepat ia mengadjak Handaka dan Untari untuk lekaslekas pulang.
Ketika mereka tiba kembali di desa Kedawung, Gupito
terkedjut sekali menjaksikan keadaan itu jang mentjurigakan.
Biasanja pada waktu begini, banjak rumah-rumah penduduk jang65
pintunja masih terbuka, sedang orangpun banjak bergerombol
membitjarakan matjam-matjam persoalan.
Akan tetapi jang disaksikan sekarang ini lain. Desa itu sepi,
rumah-rumah penduduk tertutup rapat dan tak terdengar suara
seorangpun, seolah-olah desa itu kosong tanpa penghuni.
Menjaksikan keadaan jang berbeda itu, tiba-tiba sadja ia teringat
kepada peristiwa-peristiwa dua minggu dan sebulan jang lalu. Ia
menduga bahwa Djamingan dan gerombolannja telah datang
mengatjau.
Memperoleh pikiran demikian ia segera berbisik
memperingatkan: "Hati-hati!"
Sesungguhnja sekalipun tanpa peringatan, baik Handaka
maupun Untari sudah merasa tjuriga akan keadaan itu. Mereka
masuk ke desa Kedawung dengan penuh kewaspadaan dan kesiap
siagaan.
Tiba-tiba berdesinganlah anak-anak panah dan menjambar
mereka. Setjepat kilat mereka mementjarkan diri sambil menghunus
sendjata masing-masing untuk menangkis serangan anak panah itu.
Kemudian hampir berbareng mereka menerdjang ke arah asal anak
panah.
Lalu berkelabatlah beberapa orang berpakaian gelap dari
tempat terlindung melarikan diri. Kemudian orang-orang itu
menerobos ladang singkong sambil melepaskan anak panah lagi.
Baik Gupito, Handaka mapun Untari gemas sekali dan
mengedjar untuk bisa membekuk mereka itu, dan ingin mendapatkan
keterangan mengapa sebabnja mereka menjerang. Tetapi tiba-tiba
Gupito mempunjai pikiran lain. Ia dapat menduga bahwa larinja lima
orang ke ladang singkong itu untuk memantjing mereka mendjauhi
desa. Memperoleh pikiran demikian Gupito tjepat berteriak66
mentjegah. "Anak, tak guna kita kedjar. Lebih baik kita pulang melihat
rumah kita."
Tanpa menunggu djawaban Gupito sudah mendahului lari
menudju rumah. Handaka dan Untaripun tjepat mengikuti djedjaknja
seperti orang-orang jang sedang berlomba lari.
Sebenarnja untuk mendahului Gupito, bagi Handaka tidaklah
sulit. Akan tetapi Handaka menguatirkan keselamatan Untari jang
kepandaiannja belum tinggi ini, kalau tidak dilindungi bisa tjelaka
oleh serangan setjara gelap. Mengingat itu Handaka sengadja
melambatkan geraknja untuk mengimbangi ketjepatan Untari lari.
Ketika Handaka dan Untari hampir tiba di rumah, mereka
terkedjut mendengar suara bentakan-bentakan dan sendjata beradu.
Sesaat kemudian mereka menjaksikan Gupito sedang berkelahi di
halaman dikerojok oleh delapan orang sehingga orang tua itu
terantjam serangan dari segala pendjuru.
Handaka terkedjut berbareng marah. Tanpa pikir pandjang
lagi ia melompat dan mendahului Untari. Begitu tiba, teriaknja:
"Paman, aku bantu kerepotanmu!"
"Bagus! Agaknja engkau sudah bosan hidup!" teriak salah
seorang pengerojok itu.
Empat orang segera menjambut dan mengerojok Handaka,
sedang empat orang jang lain masih tetap mengerojok Gupito.
Setjara serempak mereka mengajunkan sendjata untuk mentjintjang
tubuh Handaka.
Akan tetapi dengan amat tenangnja Handaka melajani empat
orang musuh tak dikenal litu dengan kegesitannja. Dan seperti
tumbuh sajap, ia berlontjatan kesana kemari dan sendjata empat
orang itu tak mampu menjentuh udjung badjunja.
Saat itu, Untari pun sudah datang. Gadis itu membentak
njaring dan langsung membantu Gupito jang kerepotan melawan67
empat orang. Tetapi dengan bantuan Untari sekarang, musuhnja
berkurang dan dapat melawan musuhnja dengan goloknja
menjambar-njambar mentjari mangsa.
Sesungguhnja Handaka seorang pemuda jang sabar dan
pemurah. Terbukti dengan sikapnja ketika menghadapi Djlamprang
di desa Sukomoro. Akan tetapi sekarang lain, ia amat marah sekali
tadi sudah diserang setjara gelap. Sekalipun benar penjerang

Lolos Dari Maut Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

penjerang tadi bukan orang ini, tetapi Handaka jakin bahwa kawankawan orang ini.
Bagaimanapun pula empat orang itu bukanlah orang-orang
gemblengan. Mereka hanjalah orang-orang jang tampaknja garang
tetapi kosong. Maka menghadapi Handaka ini hanja dalam beberapa
gebrakan sadja sendjata-sendjata mereka telah terbang dan
menjusul suara-suara pekik kesakitan, kemudian roboh tak berkutik
lagi.
Sesudah merobohkan empat orang lawannja, tanpa menjianjiakan kesempatan ia segera membantu Untari. Salah seorang
menjambut dengan sepasang goloknja jang menjambar tjepat. Tetapi
dengan gampangnja dapat dihindari oleh Handaka, dan sesaat
kemudian terdengar suara njaring golok runtuh, lalu menjusul
orangnja mendjerit ngeri dan roboh.
Pada saat orang itu roboh terguling, Untari pun sudah berhasil
merobohkan lawannja, sehingga goloknja bernoda darah merah.
Sedang Gupito pun telah berhasil membelah dada salah seorang
musuhnja, sedang jang seorang lagi melarikan diri menjelinap ke
tempat gelap.
Hampir berbareng Handaka dan Untari melompat untuk
mengedjar. Tetapi Gupito tjepat berteriak: "Tari! Djangan engkau
terpantjing. Tjepat! Tjepatlah tindjau ibumu! Tetapi engkau harus
hati-hati."68
Tak ajal lagi Untari melompat dan lari ke rumah, di mana
tampaklah pintu rumah depan terbuka lebar.
"Ibu! Ibu!" teriaknja sambil menjerobot masuk.
Mendadak ia merasakan sambaran angin dingin dari belakang
daun pintu, dan terkedjutlah gadis ini sebatang golok sudah
menjambar kepalanja. Tadi dalam ketergesaannja ia sampai lupa
bahaja, sehingga tanpa mengadakan penjelidikan sudah menerobos
masuk.
Bagaimanapun ilmu Untari belum tjukup tinggi, sedang
serangan itupun terdjadi setjara mendadak. Dalam gugupnja ia lupa
menggunakan goloknja untuk menangkis, dan hanja melompat ke
samping. Tjelakanja sambaran golok itu tetap mengedjarnja, dan tak
ampun lagi kepalanja akan petjah kalau golok itu berhasil
menghadjarnja.
Dalam keadaan bahaja itu tiba-tiba terdengar suara trang...
dan golok jang hampir menemui sasarannja itu melentjeng arahnja,
dan selamatlah Untari. Semua itu terdjadi oleh ketjepatan Handaka
bergerak dengan menjambitkan sendjata rahasianja.
Begitu lolos dari bahaja, Untari membentak: "Pengetjut! Siapa
kau?!"
Bentakan itu hanja disambut oleh suara ketawa orang jang
terkekeh. Kemudian melesatlah dari balik daun pintu seorang laki-laki
djangkung berwadjah putjat, dengan mulut menjeringai dan mata
melotot, karena amat kagum menjaksikan ketjantikan gadis di
depannja sekarang ini.
Bergidik djuga Untari menjaksikan pandangan orang laki-laki
jang demikian. Sekalipun ia seorang gadis muda jang masih hidjau, ia
dapat pula menangkap arti dari kilatan mata jang memantjarkan
nafsu terkutuk.
"Hai! Siapa kau?!" bentak Untari.69
Tetapi orang itu tak menggubris. Ia malah menjeringai seperti
iblis, kemudian berkata seperti orang gendeng: "Hem... ternjata tidak
salah. Engkau seorang dara jang tjantik menggiurkan. Manisku,
sarungkanlah sendjatamu. Aku datang dari djauh dan sambutlah
dengan segala kemesraan. Ha ha ha ha ha..."
"Bangsat hina!" damprat Untari marah. "Tutuplah mulutmu
jang kotor!"
Orang itu menjeringai. Lalu djawabnja sabar: "Eh eh, mengapa
engkau marah manisku? Engkau tjantik laksana bidadari. Uh uh, aku
tjinta kepadamu manis..."
"Bangsat!" teriak Untari marah sambil membatjokkan
goloknja.
Tetapi orang itu hanja tertawa. Dengan goloknja ia
menangkis. Trang... golok Untari hampir terpental dan gadis itu
merasakan lengannja kesemutan. Hampir berbareng dengan
tangkisan itu, tangan kiri orang tersebut terulur ke depan ke arah
dada akan mendjamah bukit.
"Kurang adjar!" teriak Untari sambil melompat.
Gadis ini merasa terhina oleh sikap orang itu jang amat kurang
adjar. Dengan sikap laki-laki jang kurang adjar ini, sekalipun ia
menjadari bahwa laki-laki ini ilmunja djauh lebih tinggi, ia mendjadi
kalap. Goloknja kembali bergerak untuk membatjok kepala lawan.
Akan tetapi lagi-lagi dengan gampangnja golok Untari tertangkis
menjeleweng, dan berbareng itu tangan orang sudah terulur lagi
untuk meraba pipinja.
Untari terkedjut dan kembali melontjat. Hatinja semakin
marah dan gemas atas kebiadaban laki-laki tua ini.
"Bangsat Djamingan! Akulah musuhmu!" bentak Gupito jang
sudah menjusul masuk ke dalam rumah berbareng dengan Handaka.70
Orang djangkung dan putjat itu memang Djamingan. Ia
tertawa dingin, djawabnja mengedjek: "Bagus! Engkau pengkhianat
hina. Rasakanlah nanti, sekalipun engkau bersajap tak mungkin lepas
lagi dari tanganku. Ha ha ha ha, sekali tepuk dua lalat. Dapat
membojong gadis tjantik dan membunuh pula seorang pengkhianat
busuk."
"Bangsat! Tjobalah!" teriak Gupito sambil melontjat dan
membatjok.
"Bagus!" sambut Djamingan.
Trang... pidjar api bertebaran. Dan saat itu djuga Gupito
terhujung setindak ke belakang serta merasakan lengannja
kesemutan. Sebaliknja Djamingan tak bergojang sedikitpun dan tetap
tegak di tempatnja berdiri.
"Huh, hanja dengan bekal kepandaianmu jang tak berarti itu,
engkau berani melawan aku?" edjek Djamingan.
Dengan terdjadinja pertjobaan tenaga itu, dapat diketahui
bahwa ilmu Djamingan djauh di atas tingkat Gupito. Tetapi sekalipun
demikian Gupito tak takut, ia bersedia mati untuk membela Untari.
Maka sambil menggeram marah ia sudah mempersiapkan goloknja
lagi untuk kembali menjerang.
Tetapi sebelum Gupito bergerak, Handaka sudah mentjegah.
"Paman! Tak usah kau perdulikan bangsat ini. Tjarilah ibu, dimana
dia?"
Gupito seperti baru sadar dari mimpi. Ia tak melihat Fatimah,
dan di samping itu ia pertjaja bahwa Handaka akan sanggup
menghadapi Djamingan ini seorang diri. Karena itu djawabnja:
"Baiklah anak."
Kemudian ia melangkah pergi untuk mentjari dimana Fatimah
dengan djantungnja memukul keras, kuatir kalau ibu Untari
mendapat tjelaka.71
Sebaliknja Untari jang dilanda oleh kemarahan, tak ingat lagi
kepada ibunja. Karena dengan disebutnja nama Djamingan itu, ia
segera teringat pembunuh ajahnja. Kiranja orang inilah pembunuh
ajahnja sepuluh tahun jang lalu.
"Bangsat tua! Engkau sudah membunuh ajahku!" teriak
Untari. "Malam ini engkau harus mati!"
Goloknja segera menjambar ke kepala Djamingan. Sedang
Djamingan hanja menjambut dengan ketawanja dingin, dan hanja
dengan bergerak menggeser kakinja dan memiringkan kepalanja
golok Untari sudah menjambar tempat kosong. Kemudian tangannja
kembali bergerak dengan maksud merenggut dada lagi.
Kalau kepandaian Gupito sendiri sebagai guru Untari masih di
bawah Djamingan, tak usah dikatakan lagi bahwa Untari bukanlah
lawan Djamingan. Oleh sebab itu buaja ini sengadja mempermainkan
Untari agar kepajahan sendiri, kemudian dalam keadaan pajah akan
ditangkap dan dipeluknja erat-erat.
Sebab kalau ia mau, sesungguhnja golok Untari akan segera
runtuh oleh tangkisan sendjatanja. Atau dengan gampangnja ia dapat
menotok pergelangan tangan gadis ini sehingga goloknja runtuh
sendiri.
Dan terhadap Handaka pun, menjaksikan kemudaan usia
pemuda ini, ia tak memandang sebelah mata. Menurut perkiraannja,
botjah itu tentu muridnja Gupito pula. Sehingga walaupun
mengerojok tiga, baginja bukanlah apa-apa. Itulah sebabnja ia
sengadja mempermainkan Untari sambil mengulurkan tangannja
untuk mendjamah bagian-bagian tubuh Untari jang terlarang untuk
memuaskan seleranja.
Sebaliknja atas perbuatan-perbuatan Djamingan jang rendah
dan kotor itu, dada Untari seperti mau meledak. Ia berlontjatan72
seraja menjambarkan goloknja dengan maksud dapat membunuh
pembunuh ajahnja ini.
Akan tetapi bagaimana pun pula Untari berusaha dan
mengerahkan kepandaiannja, hasilnja tetap sama. Goloknja tak
pernah bisa menjentuh udjung badju Djamingan.
Handaka mengetahui pula kesukaran Untari dalam
menghadapi Djamingan ini. Akan tetapi ia tak mau gegabah bertindak
mengingat kepentingan gadis itu sendiri. Sebagai seorang jang bisa
berpikir, ia insjaf bahwa dendam Untari terhadap pembunuh ajahnja
ini setinggi gunung. Kalau ia harus bertindak, ia kuatir kalau Untari
ketjewa, sehingga bisa menimbulkan hal-hal jang tak diharapkan.
Sesungguhnja ia berharap dan menunggu agar Untari
meminta bantuannja. Sehingga ia mempunjai alasan untuk bertindak,
sedang Untari pun tak akan ketjewa. Tjelakanja sudah menunggu
beberapa saat lamanja, Untari tetap tak meminta bantuannja, dan
sekalipun segala serangannja selalu gagal dan nafasnja mulai
tersengal-sengal, gadis itu tetap menjerang dan melawan.
Karena perkelahian itu berlangsung tak seimbang, maka
keadaannja seperti tikus melawan kutjing. Ia hanja dipermainkan,
sedang tangan Djamingan pun sengadja berbuat kurang adjar, rendah
dan kotor.
Menjaksikan kebandelan Untari jang tak mau meminta
bantuannja itu, Handaka mendjadi sibuk sendiri. Membiarkan Untari
terus melawan salah-salah bisa tjelaka, dan apabila gadis itu sampai
tertangkap oleh Djamingan tidak urung akan mendapat kesulitan
untuk merebutnja. Akan tetapi sebaliknja untuk bertindak tanpa
menunggu permintaannja djuga tak sampai hati.
Ia djadi serba salah dan otaknja sibuk berpikir untuk bisa
menolong Untari tanpa melukai perasaannja.7374
Pada mulanja kekurang adjaran Djamingan itu hanja terbatas
bermaksud meraba dada atau muka. Tetapi makin lama buaja jang
merasa menang itu semakin kurang adjar dan kotor.
Ketika itu Handaka menjaksikan Djamingan menjarungkan
kembali goloknja, dan melawan dengan tangan kosong. Handaka
sudah menduga bahwa orang itu akan melakukan perbuatan jang tak
senonoh. Memperoleh pikiran demikian, ia tjepat mempersiapkan
sendjata bidiknja. Djika buaja itu berani melakukan perbuatan tak
sopan di depannja, ia tak akan tinggal diam.
Dugaan Handaka ternjata benar. Ketika Untari jang sudah
kepajahan itu membatjokkan goloknja, dengan gesitnja Djamingan
menjelinap dan setjepat kilat tangan kanannja akan memeluk
pinggang Untari, sedang tangan kirinja bergerak setjara kurang adjar
sekali.
Untari mendjerit tertahan karena terkedjut, tetapi hampir
berbareng Djamingan mendjerit kesakitan kemudian roboh. Karena
tepat pada djalan darah punggungnja telah menantjap sendjata
rahasia Handaka.
Handaka memilih menggunakan sendjata rahasianja untuk
menolong Untari, agar gadis ini tak begitu menjesal dan ketjewa
musuh besarnja dirobohkan orang lain.
Namun demikian Untari terkesima djuga menjaksikan
lawannja roboh pada saat dirinja terantjam bahaja. Tetapi sesaat
kemudian ia sadar akan keadaannja. Musuh besarnja sekarang roboh
tak berkutik, dan inilah kesempatan untuk memuntahkan segala
dendamnja. Maka tanpa pikir pandjang lagi ia menikamkan goloknja
dan tepat mengenakan djantung, sehingga saat itu djuga Djamingan
menemui adjalnja.75
Begitu berhasil membunuh Djamingan, ia tak kuasa menahan
luapan rasa kebahagiaannja. Tiba-tiba ia terisak-isak menangis sambil
melepaskan goloknja jang berlumuran darah.
Djustru pada saat itu Fatimah telah datang. Ia diketemukan
oleh Gupito terikat erat tak berdaja pada tiang dapur, sedang
mulutnja disumbat dengan serabut kelapa. Sekarang menjaksikan
pembunuh suaminja itu sudah terbalas, sulit dilukiskan lagi
perasaannja, kemudian ia memeluk anaknja sambil menangis pula.
Dalam pada itu Gupito merasa heran Untari bisa merobohkan
Djamingan. Pikirnja: "Aku sendiri tak mungkin mampu merobohkan
Djamingan. Mengapa Untari bisa?"
Mendadak ia melompat kemudian memeriksa majat
Djamingan. Akhirnja ia menemukan luka pada punggung, dan
sekeping badja mengeram di dalamnja. Menemukan petundjuk itu ia
tjepat mengangkat kepala menatap Handaka. Katanja: "Engkau
sungguh-sungguh hebat anak, bukan sadja ilmumu tinggi tetapi
engkaupun pandai pula menggunakan sendjata rahasia."
"Bukannja pandai paman, hanja sekedar bisa
menggunakannja," djawab Handaka merendahkan diri. Kemudian
sambil memandang Untari, terusnja: "Adik Untari, maafkanlah atas
kelantjanganku. Aku terpaksa membantu kerepotanmu dengan
sendjata rahasia. Tentunja engkau tidak marah, bukan?"
"Mengapa marah?" djawab Untari masih terisak. "Tanpa
pertolonganmu tak mungkin aku dapat membalaskan sakit hati
ajahku."
"Engkau memang anak jang baik," sambung Fatimah. "Djika
engkau tak menginap di sini, keluargaku tentu tjelaka. Ja, semua ini
terdjadi atas kekuasaan Tuhan. Engkau dikirimkan Tuhan kemari
untuk menolong kami."76
Saking terharu, Handaka tak bisa mengutjapkan kata-katanja
lagi. Semua jang telah terdjadi adalah di luar kehendaknja. Insjaflah
ia bahwa tangan Tuhan sudah menuntunnja sampai ke desa ini.
Sesudah keadaan mendjadi tenang kembali, Handaka dan
Gupito mendjadi sibuk bekerdja untuk membuat lubang-lubang
kubur di hutan, untuk merawat majat-majat Djamingan dan anak
buahnja. Ketika mereka selesai mengubur majat-majat itu, malam
telah larut.
Akan tetapi Gupito jang semakin tertarik kepada Handaka, ia
masih mengadjak Handaka untuk ngomong. Ja, Gupito masih belum
puas sebelum bisa bitjara setjara blak-blakan kepada pemuda ini,
maksudnja untuk mengawinkan dengan Untari.
"Anak, djasamu amat besar sekali terhadap kami," kata
Gupito sambil duduk pada akar pohon. Sedang Handaka duduk tak
djauh dari Gupito. "Oleh karena itu aku hanja bisa mengutjapkan
terima kasih. Aku tak akan bisa membalasnja sedikit djuga anak."
"Paman tak usah sibuk memikirkan itu," pinta Handaka.
Karena semua ini sudah selaras dengan kehendak Tuhan. Diriku hanja
sebagai perantara sadja paman, maka segala pudji hendaknja paman
tudjukan kepada Tuhan."
"Djawabanmu itu makin menundjukkan kebesaran djiwamu
anak dan membuat aku semakin tertarik kepadamu." Gupito
mengamati Handaka penuh perhatian. Sesudah menghela nafas,


Lolos Dari Maut Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terusnja: "Tetapi anak, aku harapkan agar hendaknja engkau tidak
tanggung-tanggung dalam menolong kami."
"Apa maksud paman?"
"Apakah engkau belum merasa anak, hem... sesungguhnja...
sesungguhnja baik aku maupun ibu Untari mengharapkan engkau,
agar tetap di samping kami sebagai anggauta keluarga..."77
Handaka terkedjut. Sekalipun tidak setjara gamblang, ia telah
dapat meraba maksud orang tua ini jang sebenarnja. Untuk
menerima sulit, karena hatinja masih terdjerat kepada Pamikatsih
jang djelita, sedang untuk menolakpun tak enak hati sebab Gupito
sudah mengulurkan tangannja setulus hatinja, hingga penolakannja
akan bisa menjinggung perasaannja. Karena itu sesudah berpikir
sesaat, djawabnja:
"Paman, terima kasih atas perhatianmu kepada diriku. Tetapi
maafkanlah paman, bahwa kewadjibanku sebagai putera pertiwi
pada saat sekarang ini amat banjak sekali. Sehingga ikatan itu,
mungkin akan mengurangi kebebasanku berdjuang membela bangsa
dan tanah air. Oleh karena itu mengenai maksud paman, mengiakan
tidak dan menolakpun tidak. Semua kita serahkan sadja kepada
Tuhan. Apabila sudah ditakdirkan Untari harus mendjadi isteriku,
waktunja akan tiba djuga."
Atas djawaban Handaka jang tidak tegas itu sebenarnja
Gupito tidak puas. Akan tetapi mengingat bahwa kedudukannja
sebagai pihak perempuan, kalau mendesak tidaklah dibenarkan oleh
adat dan kesopanan. Maka jang bisa dikatakan kemudian hanjalah:
"Besar harapanku anak, agar engkau mendjadi keluarga kami."
Malam itu Handaka terus gelisah, karena otaknja tergoda oleh
tawaran Gupito. Sebagai seorang pemuda, sesungguhnja tidak
mempunjai alasan sedikitpun untuk menolak Untari, karena di
samping gadis itu tjantik djelita, djuga berwatak djudjur. Akan tetapi
di balik itu, wadjah Pamikatsih jang amat dicintainja pun terus
terbajang dalam benaknja. Sekalipun benar gadis itu sudah menolak
tjintanja, namun ia masih djuga belum bisa melupakan.
Esok paginja ketika ia minta diri kepada keluarga itu, Untari
tak nampak. Ibunja mentjari di kamarnja tak diketemukan, sedang
Gupito mentjari ke sekitar desa djuga tak berhasil menemukannja.78
Handaka merasa heran mengapa gadis itu tak nampak pada
saat ia akan pergi meninggalkannja. Namun perasaannja jang
demikian tjepat diusirnja, untuk meneruskan perdjalanan. Ia masih
ingat akan nasihat dan petundjuk ajahnja, bahwa sebagai seorang
muda harus melatih diri untuk dapat menindih segala perasaan jang
menjeleweng, karena dalam usia dewasa itulah udjian hidup jang
paling berat.
***79
III. ORANG BURUAN
Pagi ini Handaka mematju kudanja dengan maksud agar dapat
mentjapai tudjuannja secara tjepat. Tjerita Gupito sekitar terdjadinja
keruwetan di Plered amat mempengaruhi hatinja. Mengapa harus
terdjadi pembunuhan terhadap banjak para Ulama Islam?
Akan tetapi ketika tengah menjeberangi sungai Kedungbang,
ia amat terkedjut karena telinganja jang tadjam mendengar suara
desir angin jang tadjam. Ketika berpaling ia terkedjut melihat
sebatang anak panah ke arah dirinja. Setjepat kilat tangannja
menjambar, dan alangkah terkedjutnja ketika mengamati anak panah
itu. Ternjata pada udjung anak panah tersebut mata tadjamnja sudah
ditjopot dan diganti dengan sebutir tanah liat jang sudah dikeringkan.
Maka sekalipun anak panah ituu mengenainja, tidaklah
membahajakan dan tak akan bisa membuatnja luka.
Pada saat ia sedang keheranan, muntjullah dari belakang
semak seorang gadis muda mengenakan pakaian kulit harimau.
"Haja, engkau memang nakal adik Untari!" tegurnja sambil
tersenjum.
Untari mentjibirkan bibirnja. Mulut jang mungil itu mendjadi
montjong, tetapi tidak djuga mengurangi ketjantikannja. Untari
melompat dan menjeberang sungai Kedungbang untuk mendekati
Handaka jang sudah tiba di seberang. Tegurnja: "Mengapa engkau tak
pamit kepadaku?"80
Ia mengamati gadis tjantik itu, jang pagi ini makin tambah
tjantik. Djawabnja: "Baik ibu maupun paman mentjarimu sedjak pagi,
tetapi engkau tak diketemukan. Maksudku djuga mau pamit
kepadamu."
Handaka menjusuri tubuh gadis jang ramping itu, kemudian
landjutnja: "Dan sekarang adikku, idjinkanlah aku minta diri untuk
meneruskan perdjalanan. Selamat tinggal adikku, sampai bertemu
lagi."
"Tidak!" djawab Untari tjepat. "Aku ikut!"
Handaka terkedjut sekali mendengar pernjataan gadis ini.
Sesungguhnja pergi bersama-sama dengan seorang gadis jang djelita
ini menjedapkan djuga. Tetapi di samping itu, djuga besar bahajanja,
karena ketjantikan gadis itu bisa menimbulkan selera laki-laki dan
mengundang bahaja.
"Djangan adikku," tolak Handaka halus. "Perdjalananku
banjak bahajanja, dan di samping itu aku djuga tak tahu apakah bisa
bertemu dengan orang jang aku tjari ataukah tidak."
"Aku tak takut bahaja!" sahut Untari mantap. "Djika kau takut
menghadapi bahaja, aku berani menghadapi seorang diri tanpa
bantuanmu!"
Handaka menghela nafas. Sesaat kemudian katanja lagi:
"Adikku, engkau harus mengerti alasanku. Engkau seorang puteri
tunggal. Apakah ibu mengidjinkan dan tidak mendjadi sedih engkau
tinggalkan?"
Untari memandang Handaka dengan matanja jang agak
merah dan berkatja-katja. Beberapa saat kemudian katanja: "Tetapi
engkau djuga tak kasihan kepada ibuku jang baik hati. Engkau
memaksa diri pergi djuga sekalipun sesungguhnja ibu tak
mengidjinkan engkau pergi."81
Agak geli djuga Handaka mendengar alasan Untari jang
kekanak-kanakan itu. Ia singgah dan menginap di rumah itu hanja
sebagai tamu, mengapa tak boleh meninggalkan? Namun demikian ia
tak ingin membuat hati gadis ini terluka. Maka djawabnja halus:
"Adikku, engkau djangan salah paham. Kepergianku bukan sekedar
bersenang-senang. Tetapi aku diperintah ajahku untuk menemui
seseorang di Mataram. Itulah alasanku dan terpaksa berpisah
sementara waktu. Sesudah aku selesai, pertjajalah bahwa aku akan
datang kembali bertemu dengan ibu dan engkau."
"Dan engkau tak pergi lagi meninggalkan aku dan ibu?"
Handaka terkedjut mendengar pertanjaan itu. Sadarlah ia
sekarang bahwa gadis ini mentjintai dirinja. Untuk tidak
mengetjewakan, tanpa pikir pandjang djawabnja: "Ja!"
"Benar?"
"Ja."
Untari menatap Handaka mentjari kesan. Hatinja melondjaklondjak dan ingin mendesak lebih djauh. Akan tetapi mulutnja tak
kuasa mengatakan sesuatu. Dan tiba-tiba Untari memutar tubuhnja,
kemudian lari menjeberang kali itu lagi.
Handaka mengikuti dengan pandangan matanja. Ia melihat
bahwa gadis itu lari sambil menjeka air matanja. Handaka menghela
nafas. Ternjata sekalipun hanja berkenalan selama dua hari dua
malam, gadis itu sudah mentjintainja. Dalam hatinja merasa heran,
mengapa gadis ini merupakan kebalikan Pamikatsih. Ia mentjintainja,
tetapi Pamikatsih tak dapat menerimanja. Sebaliknja sekarang ia
tidak memikirkan soal itu, Untari menundjukkan tjinta kasihnja.
Ia menghela nafas pandjang. Ternjatalah nasihat ajahnja tak
ada jang salah. Bahwa hidup manusia di dunia ini penuh dengan likaliku jang sulit diduga sebelumnja. Apabila seseorang tak berhati-hati
akan tergelintjir dan bisa djatuh ke dalam djurang jang amat dalam.82
Namun demikian ia segera sadar akan dirinja. Kemudian
tumitnja memukul perut kuda, lalu kuda itu melompat dan lari. Ia
melarikan kudanja tjepat sekali dan berharap dapat tjepat
meninggalkan Untari djauh-djauh.
Demkianlah Handaka meneruskan perdjalanannja dengan
kenangan baru, tetapi djuga memaksa dirinja untuk mengutjapkan
kata-kata jang bertentangan dengan hatinja. Kata-kata jang tak
mempunjai landasan, karena hatinja sendiri tidak menjanggupkan.
Ketika matahari mulai tjondong di barat, Handaka telah tiba
di hutan Wanakerta. (Kemudian hari atas perintah Sunan
Amangkurat II di babad dan berdirilah keraton Kartasura). Ia tetap
mematju kudanja, dengan harapan sebelum matahari silam sudah
dapat menemukan desa dan bisa minta tempat menginap kepada
seseorang penduduk desa.
Akan tetapi belum lama ia menerobos hutan itu, ia terkedjut
mendengar suara ringkik kuda dalam djumlah banjak dan suara
bentakan-bentakan serta beradunja sendjata. Mendengar itu ia
segera insjaf telah terdjadi pertempuran hebat dalam hutan ini.
Ia amat tertarik dan timbullah keinginannja untuk
menjaksikan apa jang telah terdjadi. Namun demikian ia tak berani
sembrono. Ia menjembunjikan kudanja dalam semak, lalu mengambil
kantung sendjata rahasianja, sedang pedangnjapun dipersiapkan
untuk mendjaga segala kemungkinan.
Sesudah menerobos semak dan menadjamkan telinganja
beberapa saat, tempat pertempuran itu semakin dekat dan suara
beradunja sendjata serta suara bentakan itu makin terdengar njata.
Sesaat kemudian ia menjaksikan puluhan ekor kuda ditambatkan
pada pohon, didjaga oleh dua orang laki-laki berpakaian kembar. Ia
seorang jang lahir dan hidup di tempat jang djauh dengan pusat83
keradjaan, sehingga ia tak tahu bahwa pakaian kembar itu adalah
seragam pradjurit Wirabradja dari Plered.
Dengan hati-hati ia menjelinap agar tidak diketahui oleh dua
orang itu. Dan sesaat kemudian di tengah hutan itu, ia menjaksikan
suatu pertempuran jang berat sebelah. Dua orang laki-laki setengah
tua dikerojok oleh puluhan orang dan diserang dari segala pendjuru
oleh orang-orang jang berpakaian sama dengan dua orang jang tadi
dilihatnja mendjaga kuda.
Menjaksikan itu timbullah rasa tidak senang dan amat bentji
kepada orang-orang berpakaian kembar itu. Mengapa mereka tak
tahu malu mengerojok dua orang, sehingga pertempuran itu
berlangsung amat tidak seimbang.
Akan tetapi di balik rasa tidak senangnja itu, timbullah rasa
kagumnja terhadap dua orang laki-laki jang sedang dikerojok itu.
Sekalipun karoban lawan, dua orang itu melawan dengan gagahnja,
menggunakan sendjata pedang pada tangan kanan dan keris pada
tangan kiri. Gerakan dua orang jang sedang dikerojok itu gesit, ringan
dan tjepat dalam melajani para pengerojoknja.
Menjaksikan sepak terdjang dua orang tua itu ia terkedjut
berbareng kagum. Ternjata dua orang itu merupakan laki-laki jang
tangkas mempermainkan sendjatanja dan berilmu tinggi. Maka
tidaklah mengherankan apabila beberapa orang pradjurit Plered itu
telah menggeletak di atas tanak tak berkutik dan mandi darah.
Sementara ada jang masih merintih dan mengerang dan jang lain
sudah melajang djiwanja.
Menjaksikan itu ia tjepat bisa menduga, bahwa pertempuran
kerojokan tersebut sudah berlangsung agak lama. Sehingga dalam
hatinja makin merasa kagum atas kesanggupan dua orang itu
bertahan dan melawan musuh-musuhnja.
"Gentjet terus! Madju! Bunuh!"84
Handaka terkedjut mendengar teriakan itu dan berbaling ke
kanan. Lalu ia menjaksikan seorang laki berpakaian indah, pada
pinggangnja menutup topi jang tinggi (kuluk ? Djawa), pada
pinggangnja tampak tergantung keris jang bersarung emas, dan pada
tangan kanannja tergenggam sebatang pedang telandjang jang
mengkilat. Orang itu duduk di atas punggung kuda dan kuda itupun
diberi pakaian indah. Menjaksikan orang itu Handaka segera bisa
menduga bahwa orang inilah pemimpin dari para pengerojok, karena
pakaiannja amat indah.
Handaka memang tidak salah. Dia seorang bangsawan
Mataram berpangkat Tumenggung, sedang namanja Bradjalungit. Ia
hanja berteriak memberi semangat kepada pradjuritnja, karena
menganggap pradjuritnja sudah tjukup mampu untuk merobohkan
dua orang.
Menjaksikan orang itu, mendadak sadja meledaklah
kemarahan Handaka. Sebab ia tak senang dan memusuhi kepada
setiap bentuk kesewenangan dan penindasan mengandalkan
kekuatan. Karena itu ia tak akan bisa berdiam diri sebagai penonton,
sekalipun ia sadar pula bahwa dua orang itu belum tentu tjelaka di
dalam tangan para pengerojoknja.
Pada mulanja timbullah keinginannja untuk menjambitkan
beberapa keping sendjata rahasianja. Dengan sendjata rahasia itu, ia
akan sanggup merobohkan beberapa orang. Tetapi maksudnja itu
segera dibatalkan. Karena ia kuatir kalau perbuatannja itu
menjinggung dua orang gagah itu, dan dianggapnja melakukan
perbuatan jang tidak djantan.
Sesudah urung menjambitkan sendjata rahasianja, ia tjepat
mentjabut pedangnja. Sebab ia insjaf, kalau orang jang berpakaian
indah itu diangkat sebagai pemimpin, tentu seorang laki-laki pilih
tanding. Sehingga akan merupakan seorang musuh jang tangguh dan85
harus melakukan perlawanan dengan hati-hati dan penuh
kewaspadaan.
Dengan amat hati-hati ia segera mendekati orang tersebut,
dan sesudah bisa ditjapai dengan sekali lontjatan, ia akan menjerang
setjara mendadak dengan pedangnja.
Tumenggung Bradjalungit sedang memperhatikan
pertempuran, maka tak menjadari seseorang mendekati dan
mengantjam djiwanja. Tahu-tahu ia mendengar suara bentakan
njaring dan angin tadjam berdesir menjentuh pinggangnja.
"Inilah bagianmu!"
Meskipun bisa bertindak tenang, tetapi Handaka seorang jang
masih muda dan gampang terbakar kemarahannja. Maka mulutnja
tak kuasa menahan diri, menjerang sambil membentak. Sebenarnja
apa jang dilakukan ini salah. Apabila ia menjerang tanpa bersuara, ia
akan mendapatkan kesempatan jang lebih banjak, sehingga orang
jang diserang setjara tak terduga-duga itu kehilangan pengamatan
diri.
Oleh kesalahannja ini menjebabkan Tumenggung Bradjalungit
sadar, bahwa seseorang telah menjerang dari belakang. Pedangnja
jang sudah siap itu segera menjambar ke samping dan trang... dua
batang pedang berbenturan. Saat itu djuga Handaka merasakan
lengannja kesemutan dan terhujung selangkah ke belakang. Diamdiam ia terkedjut, dan insjaflah bahwa orang jang berpakaian indah
ini orang berilmu tinggi.
Sebaliknja Tumenggung Bradjalungit pun terkedjut. Karena
dengan benturan itu, ia merasakan lengannja kesemutan pula,
sedang kudanja jang terkedjut sampai meringkik keras. Diam-diam
timbul pula keheranannja, mengapa seorang jang masih semuda ini
sudah memiliki tenaga sakti sedemikian tinggi. Namun demikian86
sesuai dengan kedudukannja sebagai seorang Tumenggung dan
pemimpin pradjurit Wirabradja pula, ia tjepat membentak:
"Hai drohun! Apakah kau ingin mampus?! Huh huh, siapa kau
botjah urakan?!"
Botjak urakan sama pula dengan botjah liar dan suka
melakukan perbuatan kedjahatan. Mendengar itu, kemarahan


Lolos Dari Maut Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Handaka makin meluap. Balasnja membentak: "Tak perlu aku
memperkenalkan namaku kepada seorang pengetjut!"
"Pengetjut?!" teriak Tumenggung Bradjalungit sambil
mendelik. "Kurang ajar! Huh huh, tahukah engkau siapa aku?! Aku
Tumenggung Bradjalungit. Mengapa engkau tak tahu aturan dan
kesopanan? Hajolah tjepat berlutut dan menjembah aku seratus kali.
Kemudian aku bersedia memaafkan kekurang adjaranmu kepada
seorang Tumenggung."
Handaka tertawa dingin. Djawabnja: "Huh huh, Tumenggung
apa engkau!"
"Botjah lantjang!" bentak Tumenggung Bradjalungit. "Aku
Tumenggung keradjaan Mataram. Mengapa engkau katakan
Tumenggung apa?!"
"Tak perduli Tumenggung dari Mataram ataukah dari
keradjaan Siluman." Handaka mengedjek. "Buktinja engkau tak tahu
aturan. Engkau mengandalkan djumlah mengerojok dua orang tak
berdosa."
"Hai, mulutmu makin lantjang botjah!" Tumenggung
Bradjalungit mendelik. "Dua orang itu orang buruan. Djika begitu
engkau tentu muridnja."
Walaupun kenalpun belum, Handaka mendjawab pasti: "Djika
aku muridnja, engkau bisa berbuat apa?!"87
"Bagus!" sambut Tumenggung Bradjalungit sambil tertawa.
"Mentjabut rumput dengan akarnja lebih sempurna. Awas, terimalah
pedangku!"
Dengan gerakan kilat Tumenggung Bradjalungit
menjambatkan pedangnja ke arah leher. Karena ketika itu ia di atas
punggung kuda, maka sasarannja tepat pada leher. Djika Handaka
sampai lengah, sekali sabat lehernja akan segera terpantjung.
Handaka tak berani menangkis dengan kekerasan. Sebab
kuatir lengannja kesemutan lagi. Ia melontjat ke samping sambil
merendahkan tubuhnja, kemudian setjepat kilat pedangnja
menjambar untuk menabas pergelangan tangan lawan.
Tetapi Handaka lupa bahwa sekarang sedang berhadapan
dengan seorang musuh jang berkuda. Tumenggung Bradjalungit
tjepat menarik pedangnja, sedang kudanja meringkik keras dan kaki
depannja terangkat tinggi. Kemudian melompat, dan hampir sadja
Handaka keterdjang kaki kuda, apabila tidak tjepat melompat ke
samping.
Karena ia hampir tjelaka oleh terdjangan lawan, ia segera
insjaf, kalau lawan masih tetap berkuda perlawanannja mendjadi
sulit, karena lawan bisa menghemat tenaga dengan hanja
menggerakkan kudanja. Maka tindakan pertama ia harus dapat
merobohkan kuda itu lebih dahulu, kemudian baru bertempur
dengan sama-sama menggunakan dua kaki.
Akan tetapi sebaliknja Bradjalungit pun bukan orang tolol. Ia
seorang Tumenggung jang sudah kaja pengalaman bertempur dan
amat mahir bertempur di atas punggung kuda. Maka tidaklah
gampang Handaka akan merobohkan kudanja.
Demikianlah Handaka dan Tumenggung Bradjalungit segera
bertempur tjepat dan sengit. Seorang berlontjatan di atas tanah,
sedang seorang jang lain duduk di atas kuda.8889
Pertempuran jang terdjadi antara Handaka dan Tumenggung
Bradjalungit itu mengedjutkan orang-orang jang ketika itu sedang
bertempur sengit. Dua orang laki-laki jang dikerojok itu terbelalak
menjaksikan seorang pemuda jang belum dikenalnja melibatkan diri
memihak dirinja. Sedang pada pihak pradjurit jang sedang
mengerojok amat terkedjut menjaksikan pemimpinnja bertempur
melawan seorang pemuda.
Menjaksikan itu, sebagai pradjurit jang patuh kepada
pemimpinnja, tidaklah mungkin berdiam diri menjaksikan
pemimpinnja terantjam bahaja. Maka lima orang pradjurit segera
melompat dan dengan sendjata masing-masing siap siaga untuk
mentjintjang pemuda kurang adjar itu.
Untung sebelum lima orang itu berhasil mendekati, Handaka
telah berhasil membatjok kaki kuda bagian belakang, dan sebelah
kaki segera tertabas kutung. Kuda itu melengking keras kemudian
roboh, sedang Tumenggung Bradjalungit dengan sigapnja sudah
melontjat, kemudian dengan gerakan setjepat kilat sudah menjerang
dengan pedangnja.
Handaka merasa lega dan bertempur lebih mantap sesudah
kuda itu dapat dirobohkan. Atas serangan lawan itu ia berlaku tenang
sekali, ia hanja menggeser kakinja ke samping disusul dengan
serangan balasan dengan gerakan pedang jang menggetar. Sehingga
pedang jang hanja sebatang itu seperti berubah mendjadi lima
batang pedang jang menjerang berbareng.
Tumenggung Bradjalungit kaget dan berseru tertahan atas
serangan Handaka itu. Tetapi untung ia seorang jang sudah kaja
pengalaman dalam pertempuran. Setjepat kilat ia menjapukan
pedangnja untuk menangkis, sedang tangan kirinja setjepat kilat
mentjabut kerisnja. Dengan dua matjam sendjata ini ia bisa
bertempur lebih tangguh, pedangnja banjak digunakan menangkis90
dan menjerang dari djauh, sedang kerisnja membantu menikam dari
djarak dekat.
Pada saat itu lima orang pradjurit jang bermaksud membantu
sudah tiba. Kemudian lima orang itu menjerang dengan sendjatanja
masing-masing dan mengurung dari segala pendjuru.
Datangnja bala bantuan ini mau tidak mau menambah
kerepotan Handaka. Karena sekarang harus lebih berhati-hati dan
memetjah perhatiannja.
Tumenggung Bradjalungit jang mendapat bantuan anak
buahnja sekarang menundjukkan kegarangannja. Ia tertawa dingin,
kemudian mengedjek: "Hai botjah, kau tak djuga mau membuang
sendjatamu dan menjerah? Hem... sajang... sajang..."
"Apa jang sajang?!" Handaka sengit.
"Engkau masih muda," Tumenggung Bradjalungit tjepat
menjahut. "Sajang djika engkau harus tjepat mati. Kau belum kawin
bukan? Huh, lebih-lebih lagi. Amat sajang djika engkau mati..."
"Tutup mulutmu!" putus Handaka.
Lalu dengan kesebatannja jang luar biasa, pedangnja bergerak
menggetar, menjusul suara trang trang prak... ternjata dengan
gerakan itu ia telah berhasil mementalkan dua batang pedang dan
mematahkan setangkai tombak. Tiga orang pradjurit itu melompat
mundur saking terkedjut, karena mereka merasakan tangannja
kesemutan seperti lumpuh.
Akan tetapi pada saat itu Tumenggung Bradjalungit
melantjarkan serangan kilatnja. Pedangnja membabat ke samping,
sedang kerisnja segera menjambar untuk menikam lengan Handaka.
Serangan itu amat berbahaja sekali. Untung Handaka dapat
bertindak sebat, ia masih bisa lolos dari bahaja. Kemudian pedangnja
menjambar membalas menjerang, menggunakan djurus-djurus
simpanan jang diandalkan.91
Sementara itu dua orang tua jang bertempur melajani
kerojokan sedjak tadi, menjaksikan sepak terdjang Handaka itu
merasa kagum djuga dalam hati. Sebab mereka belum pernah kenal
tetapi pemuda itu sudah sanggup membela dan mempertaruhkan
keselamatannja sendiri untuk menolongnja. Maka sudah barang
tentu dalam hati dua orang tua ini segera timbul rasa jang sajang, dan
sedapat mungkin berusaha untuk bisa melepaskan diri dari kepungan
pradjurit-pradjurit itu, untuk menolong Handaka.
Mengapa? Dua orang jang sekarang sedang dikerojok ini
tjukup mengenal Tumenggung Bradjalungit bukanlah seorang jang
empuk. Tumenggung itu sudah kaja akan pengalaman pertempuran
di samping berilmu tinggi. Bertempur seorang melawan seorangpun
belum tentu menang, apa pula sekarang dikerojok beberapa orang,
sehingga akan sulitlah pemuda itu mendapat kemenangan.
Dugaan dua orang tua ini memang tidak meleset. Karena
makin lama bertempur Tumenggung Bradjalungit makin
menundjukkan kegarangannja, pedang dan kerisnja menjambarnjambar tjepat sekali dibantu oleh lima orang pradjuritnja jang selalu
mentjari kesempatan dan lubang kelemahan.
Dan Handaka sendiri, sesudah lama bertempur dan bertahan
melajani kerojokan itu, makin lama ia semakin merasakan tekanan
dari lawan jang semakin berat dan berat. Makin lama ia semakin
terdesak, dan akhirnja tinggal mampu menangkis tanpa diberi
kesempatan untuk membalas.
Namun demikian ia seorang jang tabah hati. Sekalipun
menjadari lawannja amat berat, namun ia tak mau mundur
setapakpun, dan ia rela mengorbankan njawanja demi memberantas
dan memusuhi kesewenangan dan kebatilan.
Sesungguhnja, kalau ia mau melakukan, ia bisa menolong diri
dengan menjambitkan sendjata rahasianja. Akan tetapi ia tak mau92
melakukan, karena ia selalu ingat akan pesan ajahnja jang melarang
sembarangan menggunakan sendjata itu. Kalau tidak benar-benar
memaksa untuk menjelamatkan djiwanja, sendjata rahasia itu
dilarang untuk digunakannja.
Padahal sekarang, sekalipun dalam keadaan terdesak, tetapi
djiwanja belum terantjam. Walaupun repot pedangnja masih
sanggup menolong diri menangkis setiap serangan lawan. Maka tak
ada alasan untuk melanggar pesan ajahnja.
Demikianlah pertempuran itu berlangsung sengit sekali, tiga
orang melawan kerojokan puluhan pradjurit Wirabradja.
Sekalipun lambar, matahari makin bergeser ke barat dan
sinarnja pun makin berubah merah dan lemah. Tetapi pertempuran
itu masih berlangsung amat sengit, sekalipun dua orang laki-laki itu
telah menambah korban lagi beberapa orang pradjurit.
Tiba-tiba Handaka terkedjut mendengar suara njaring:
"Allo-hu Akbar! Allo-hu Akbar!"
Handaka berpaling dan menjaksikan dua orang laki jang
dibantunja itu sekarang sudah mengamuk seperti banteng ketaton.
Pedang dan kerisnja berkelebatan tjepat sekali dan setiap pradjurit
jang berani mendekati akan segera roboh tak berkutik, njawanja
melajang.
Hanja sesaat sadja Handaka berpaling, tetapi harus
menebusnja dengan mahal. Pundak kirinja sudah terluka oleh
sambaran keris Tumenggung Bradjalungit. Sekalipun luka itu tidak
begitu dalam, ia merasakan pundaknja njeri dan darah merah
mengutjur deras dari lukanja.
Terlukanja pundaknja ini, membuat Handaka marah sekali. Ia
menggeram keras, lalu tangan kirinja meraup sendjata rahasianja.
Begitu tangan kirinja bergerak, terdengarlah pekikan ngeri dari tiga
orang pradjurit pengerojoknja, kemudian roboh terguling.93
Akan tetapi Tumenggung Bradjalungit memang hebat.
Meskipun diserang oleh sendjata rahasia dari djarak dekat, ia masih
mampu menjelamatkan diri dengan melenting tinggi, dan pada saat
masih mengapung di udara sudah menjabatkan pedangnja ke kepala
Handaka.
Handaka tak berani menjambut pedang itu dengan kekerasan
dan melompat ke samping, kemudian setjepat kilat menjabatkan
pedangnja ke lengan lawan. Sekali ini sabetannja berhasil, pedangnja
menjerempet lengan kiri Tumenggung Bradjalungit dan membuatnja
terkedjut.
Sesudah masing-masing terluka, pertempuran itu
berlangsung semakin sengit sekali. Namun demikian Handaka harus
menghadapi perlawanan jang semakin berat. Karena robohnja tiga
orang pradjurit itu sudah digantikan oleh lima orang tenaga baru.
Sehingga sekarang ia harus menghadapi kerojokan delapan orang
jang mengurung dari segala djurusan.
Handaka mengamuk hebat sekali. Tetapi sajang pundaknja
sudah terluka dan tak mendapat kesempatan untuk membalut
lukanja, sehingga darah mengalir terus dari luka. Padahal darah
merupakan bagian tubuh jang amat penting, dan sekarang banjak
terbuang. Maka kekuatannja makin berkurang, sedang kegesitannja
bergerakpun makin menurun.
Ketika itu pedangnja berhasil menabas kutung tangan seorang
pradjurit dan langsung menebas leher seorang pradjurit jang lain.
Akan tetapi pada saat itu djuga, ia merasakan kesakitan pada paha
dan pinggangnja, tertusuk oleh sendjata lawan. Membuat seluruh
pakaiannja merah bernoda darah.
Sekalipun demikian Handaka masih menguatkan diri dan
menahan sakit, terus melawan dan melawan. Beberapa saat
kemudian ia bisa merobohkan dua orang pradjurit, tetapi berbareng94
itu matanja gelap dan kepalanja pening, kemudian roboh tak sadar
akan dirinja lagi.
Entah sudah berapa lama ia pingsan, pada saat membuka
matanja jang pertama kali, ia melihat sinar matahari pagi jang
menerobos lewat lubang dinding papan kaju.
Ia amat terkedjut. Ternjata ia mendapatkan dirinja sudah
terbaring di atas pembaringan bambu dalam sebuah pondok beratap
daun ilalang. Ketika ia menebarkan pandangannja, ia melihat seorang
laki-laki agak tua, sedang berdiri dan matanja mengamati tak
berkedip.
"Bapa, dimanakah aku sekarang ini?" pertanjaan Handaka
jang meluntjur dari mulutnja.
Laki-laki itu tersenjum, djawabnja: "Engkau di rumahku anak,
dan beristirahatlah dengan tenang. Aku sudah berhutang budi
kepadamu, dan sepantasnjalah sebagai pernjataan terimakasihku,
aku merawatmu. Mudah-mudahan Tuhan jang Maha Esa
mengabulkan permohonanku, engkau lekas sembuh kembali."
"Hutang budi? Di mana?" Handaka heran.
"Lupakah engkau kepada dua orang laki-laki jang dikerojok
pradjurit Plered di hutan Wanakerta?" djawabnja sambil tersenjum.
"Salah seorang dari orang itu, aku sendiri."
"Oh!" seru Handaka tertahan. Lalu ia ingat kembali akan
peristiwa itu. Ia roboh sesudah mendapat luka.
"Djadi bapa berhasil memukul mundur para pengerojok itu?"
tanja Handaka. "Dan jang..."
"Semua selamat," sahut orang itu. "Dia bernama Kjai Umar.
Sedang namaku Mochtar. Hem... siapakah namamu anak?"
"Saja... saja Handaka!" djawabnja agak tergugu, karena agak
terharu dan gembira mendapat kabar itu.95
"Adi Umar minta kepadaku pula untuk menjampaikan terima
kasihnja kepadamu, anak Handaka. Dan ia memudji kebaikan
hatimu."
Handaka ingat sesuatu. Lalu bertanja: "Djika... djika begitu...
bapa termasuk Ulama Islam jang dimusuhi radja?"
Kjai Mochtar agak terkedjut, kemudian djawabnja: "Saja
mendengar kabar itu bapa, bahwa radja telah memusuhi para Ulama
Islam. Ah... walaupun saja harus mengorbankan njawaku, saja rela
bapa..."
"Mengapa?"
"Saja tak setudju dengan tindakan radja." Handaka
mendjawab mantap. "Dan saja berpihak kepada para Kjai. Sebab
sebagai radja, Sunan Amangkurat sudah sewenang-wenang."
Kjai Mochtar tersenjum dan amat tertarik akan pernjataan
pemuda ini. Tetapi sesaat kemudian katanja: "Apakah engkau tidak
keliru anak, kalau radja menghukum para Ulama Islam, tentunja radja
mempunjai alasan jang kuat."
"Karena tuduhan mendalangi Pangeran Alit itu?" sahut
Handaka berapi. "Salah atau benar, Pangeran Alit mewarisi semangat


Lolos Dari Maut Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepahlawanan almarhum Sultan Agung jang bentji kepada Kumpeni.
Padahal Sunan Amangkurat malah mengadakan perdamaian dan
bersikap lunak kepada Kumpeni."
Kjai Mochtar terbelalak kagum mendengar djawaban
Handaka jang tegas itu. Masih semuda itu usianja, tetapi djiwa
kepahlawanannja sudah tampak njata. Di samping itu, kekaguman
Kjai Mochtar mengapa semuda ini sudah mengetahui seluk beluk
keruwetan jang terdjadi di Plered.
Kjai Mochtar tidak tahu bahwa pengetahuan Handaka itu
sekadar menirukan kata-kata Gupito. Kebenarannja Handaka tak96
tahu tetapi tjaranja mengutjapkan mantap seperti benar-benar
mengetahui apa jang terdjadi.
Karena pernjataan Handaka jang tegas itu, setjara terus
terang Kjai Mochtar segera mentjeritakan keadaannja. Ia bersama
Kjai Umar telah berhasil menjelamatkan diri dari penangkapan, lalu
pergi djauh dan menjembunjikan diri di dalam hutan pada kaki
Merapi, di luar desa Bojolali. Pada hari itu bersama Kjai Umar
bermaksud menudju Plered, maksudnja untuk mentjari kabar,
keluarga jang ditinggalkan dalam keadaan selamat atau tidak.
Setjara tak terduga, ketika tiba di hutan Wanakerta, telah
berpapasan dengaan Tumenggung Bradjalungit dan pasukannja.
Mimpipun tidak bahwa Tumenggung Bradjalungit itu mempunjai
mata jang awas. Sekalipun mereka sudah mengenakan pakaian
seperti lajaknja penduduk desa, Tumenggung itu masih
mengenalinja. Itulah sebabnja mereka dikerojok.
Handaka merasa terharu mendengar penuturan Kjai Mochtar
itu. Dan karena terharu untuk beberapa saat lamanja ia tak bisa
mengutjapkan kata-kata.
Kemudian atas pertanjaan Kjai Mochtar, Handaka
mentjeritakan kepergiannja dari Tulungagung menudju ke Mataram.
Maksudnja, atas andjuran ajahnja supaja berguru kepada
Panembahan Rama.
Mendengar keterangan Handaka itu Kjai Mochtar gembira.
Kemudian katanja: "Amat kebetulan djika anak mau pergi ke Plered.
Sesudah engkau sembuh, aku akan menjertaimu pergi ke sana agar
memudahkan perdjalanan."
"Terima kasih Bapa."
Luka Handaka memang tjukup parah, karena jang mendapat
luka pada pinggang, paha dan pundak. Untung ia mendapat97
perawatan Kjai Mochtar jang penuh kasih. Sekalipun lukanja parah
makin hari semakin berangsur baik.
Selama menumpang dan dirawat di rumah Kjai Mochtar ini, ia
mendapatkan keuntungan-keuntungan jang amat bermanfaat.
Karena baik Kjai Mochtar maupun Kjai Umar jang berdiam tak djauh
dari rumah Kjai Mochtar, merupakan Ulama-Ulama Islam jang
berpengetahuan luas dan berilmu tinggi. Sehingga pada kesempatan
itu Handaka mendapat kesempatan untuk mempeladjari ilmu-ilmu
jang berguna dalam hal tata kelahi maupun tata nafas.
Atas bantuan otaknja jang tjerdas, dalam waktu singkat ia
telah dapat memahami pokok-pokok dasar ilmu pedang bernama
Tedjarukmi, jang diterima langsung dari Kjai Mochtar dan Kjai Umar.
Ilmu itu diberikan sebagai hadiah atas djasa-djasa Handaka dan
sebagai pernjataan terima kasih.
*** Sampai di sini tjerita : "Lolos dari Maut" berakhir. Tetapi
bagaimanakah djalan hidup gadis Pamitkatsih jang menolak tjinta
kasih Handaka, dan bagaimanakah gadis Untari jang mentjintai
Handaka, maupun kisah hidup Handaka sendiri? Dalam tjerita baru
berdjudul "Dikejar Maut," para pembatja akan mendapatkan
hidangan tjerita jang mengasjikkan, menegangkan, penuh djiwa
ksatria, kedjantanan, dan bertemu pula dengan gadis nakal Untari
jang "Dikejar Maut."
Tamat.
Sala, bulan Puasa 1900 (Desember ?68)
Lolos Dari Maut-Widi Widayat Koleksi Kolektor Ebook
Pendekar Cambuk Naga 8 Kutukan Jaka Bego Pendekar Cambuk Naga 8 Kutukan Jaka Bego Lima Djago Luar Biasa Sia Tiauw Gwa Toan Karya Chin Yung

Cari Blog Ini