Ceritasilat Novel Online

Nirwana Di Balik Petaka 1

Nirwana Di Balik Petaka Karya Mira W Bagian 1


ebook by syauqy_arr
Mira W.
NIRWANA
DI BALIK PETAKA
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Jakarta, 2002v
NIRWANA DI BALIK PETAKA
oleh Mira W.
GM 401 99 412
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Jl. Palmerah Selatan 24-26, Jakarta 10270
Sampul dikerjakan oleh Macel A.W
Foto sampul oleh T. Hermaya
Diterbitkan pertama kali oleh
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama,
anggota IKAPI, Jakarta, 1999
Cetakan kedua: Oktober 1999
Cetakan ketiga: Mei 2002
Peroustakaan Nasional Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Mira W
Nirwana Di Balik Petaka/ Mira W
?Jakarta Gramedia Pustaka Utama, 1999
184 hlm; 18 cm
ISBN: 979 - 655 - 412 ? 7
I Judul
813 Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta
Isi di luar tanggung jawab Percetakan1
DENGAN bersemangat Aris memimpin teman-temannya
memburu bus yang baru lewat. Sekelompok anak STM
Pratama ada di dalam bus itu. Mereka harus dikejar. Dihajar.
Diganyang habis!
Lalu lintas yang padat pada pukul satu siang langsung
menjadi kacau. Anak-anak SMA Favorit pimpinan Aris
berpencar mengejar mangsa. Beberapa orang malah melintas
seenaknya menyeberangi jalan. Memaksa mobil-mobil
berhenti mendadak sambil membunyikan klakson panjang.
Namun, siapa yang peduli? Dalam keadaan kacau begini,
merekalah jagoan jalanan. Dengan semangat juang berkobarkobar, mereka mengejar bus. Melompat naik ke dalam bus
yang terjebak kemacetan itu dan berlomba memburu mangsa.
Sopir bus yang sudah melihat gelagat jelek itu langsung
tancap gas. Dia harus bersicepat menyelamatkan bus beserta
isinya, tetapi jalanan yang macet menghalangi kegesitannya.
Padahal, biasanya dia yang paling ahli seruduk sana serobot
sini,
Beberapa pelajar berani mati sudah bergelantungan di
beberapa bus. Siap menerjang masuk mencari korban.
Penumpang bus mulai berteriak-teriak ngeri. Kondektur
berusaha menggebah mereka. Ketika dia merasa bakal
gagal, berbalik dia yang mengusir anak-anak STM yang ada
di dalam bus.7
Lebih baik mereka berkeiahi di jalanan daripada merusak
bus. Mau ringsek kek, bonyok kek, peduli apa! Asal jangan di
dalam bus!
Beberapa pelajar STM langsung turun untuk menyambut
tantangan lawan-lawannya. Mereka sudah terlibat perkelahian massal yang panas di tengah jalan. Padahal, siapa
yang memukul dan siapa yang ditimpuk, mereka kenal juga
tidak!
Sementara satu-dua orang lagi memilih bersembunyi di
dalam bus mencari selamat. Yang seorang malah sudah
langsung membuka baju. Menyembunyikan seragamnya.
Mereka tidak ingin terlibat perkelahian. Akibat tawuran
antara sekolah mereka dengan sekolah lain, mereka ikut jadi
korban. Padahal mereka tidak tahu apa-apa.
"Turun lu!" teriak Aris dari bawah jendela bus ketika
matanya menangkap pemuda berseragam STM Pratama yang
masih bersembunyi di dalam bus.
Sebuah batu dilemparkan ke arah kaca bus. Melayang
pesat entah dari mana.
Suara pecaban kaca diikuti teriakan histeris dari dalam
bus meningkahi siang yang terik itu. Serpihan kaca yang
hancur berhamburan ke sana ke mari.
Mobil-mobil sedan berlomba-lomba menyelamatkan diri
dari hujan batu. Pejalan kaki lari lintang pukang takut
kepalanya tertimpuk batu nyasar. Pelajar putri bersembunyi
di balik pagar rumah orang. Mengemis masuk mencari
selamat.
Sementara bus yang diserang berusaha meloloskan diri
dengan sia-sia dari jebakan kemacetan total. Pecahan kaca
berserakan di jalan. Tetesan darah orang yang tak bersalah
mengotori aspal berdebu. Korban sia-sia mulai berjatuhan
tanpa mengerti mengapa mereka harus jadi korban.
Perkelahian makin sengit. Perang batu makin seru.
Suasana makin memanas.8
Baru ketika aparat keamanan mencapai tempat itu,
pelajar-pelajar yang sedang berkelahi langsung bubar
menyelamatkan diri. Kejar mengejar yang seru terjadi di
sepanjang jalan.
Aris ikut melompat meloloskan diri. Dia tidak mau
tertangkap. Ditahan. Digunduli. Diberi ceramah. Persetan!
Dia tidak perlu semua petuah itu! Mereka tidak mengerti.
Mana bisa memberi kuliah!
Jiwa yang resah ini butuh pelampiasan. Eksistensi harus
dijelmakan dalam bentuk yang lebih konkret. Oleh karena itu,
seorang pemuka masyarakat dengan lantang pernah berkata,
mereka tidak bersalah! Jadi, siapa yang salah?
Pada saat terakhir, ketika sedang melintasi jalan, Aris
melihat bus yang diburunya berhasil kabur. Walaupun
dengan kaca separuh hancur.
Sekejap Aris melihat dua orang pelajar STM yang
bersembunyi di dalam bus itu. Wajah mereka tampak sekilas
di balik kaca berlubang.
"Pengecut!" geram Aris sengit. Di benaknya, kejagoan
mutlak harus dibuktikan dengan tindakan kekerasan.
Di tangannya masih tergenggam sebuah batu yang
cukup besar. Tanpa berpikir lagi, sambil berlari dia
melemparkan batu itu sekual-kuatnya ke kaca jendela bus.
Tetapi sedetik sebelum batu itu mengenai kaca, bus
mendapat kesempatan untuk meloloskan diri dari kemacetan
yang menjebaknya. Pengemudi bus tancap gas dan busnya
melompat ke depan dengan kecepatan tinggi.
Batu Aris melayang lewat di belakang bus. Melesat ke
seberang jalur dan menghancurkan kaca jendela depan
sebuah mobil sedan....
Terdengar derit rem. Panjang memekakkan telinga.
Disusul benturan keras ketika mobil kecil yang tengah melaju
cepat itu kehilangan kendali dan meliuk menubruk tiang
listrik di tepi jalan.9
Serpihan kaca depan mobil itu berhamburan. Berkilatkilat ditimpa sinar matahari. Aris masih sempat melihat
seorang gadis di balik kemudi mobil itu mendekap wajahnya.
Kedua tangannya berlumuran darah....
*** Aris berhasil meloloskan diri dari penangkapan, tetapi tidak
berhasil mengenyahkan bayangan itu dari depan matanya.
Seorang gadis menutupi wajahnya dengan tangannya.
Darah melumuri jari jemarinya .... Lukakah wajahnya?
Aris masih dapat melukiskan kejadian itu dengan jelas.
Batu yang dilontarkannya melayang mengenai kaca depan
mobil. Lalu mobil itu menyuruk menghantam tiang....
Bayangan serpihan kaca yang berhamburan itu menarinari di depan matanya. Menghantui mimpinya setiap
malam....
Lalu adegan itu terulang kembali dan kembali lagi. Batu
yang dilemparkannya melayang... menghancurkan kaca...
mobil itu menyeruduk tiang... hidungnya ringsek... kaca
depannya hancur.... Gadis itu mendekap wajahnya...
tangannya berlumuran dara.
Aris memang gemar berkelahi. Jagoan tawuran. Andalan
teman-temannya yang suka main keroyokan, tetapi melukai
anak perempuan bukan kebiasaannya.
Justru perkelahiannya ini untuk melindungi teman-teman
putrinya dari keisengan anak-anak STM Pratama di seberang
jalan sana. Mereka sering mengadu, kalau pulang sekolah
selalu diganggu.
Kemarin Inge yang melapor. Waktu pulang sekolah naik
bus, anak-anak STM menggodanya. Dia mengadu pada
pacarnya. Lalu Tobing langsung melaporkan kasus itu pada
Aris.10
Wah, ini termasuk pencemaran nama sekolah mereka,
kan? Masa mereka diam saja teman-teman putri mereka
diganggu? Itu penghinaan namanya!
Aris segera mengumpulkan teman-temannya dan
menyusun rencana pembalasan. Anak-anak STM itu harus
dibuat jera. Supaya kapok. Tidak berani mengganggu pelajar
putri sekolah mereka lagi.
"Aduh, sekolahmu berantem lagi, Ris!" keluh Bu Ida
cemas setelah membaca koran.
"Makanya si Aris diliburkan tiga hari," sambung Paman
Farid. "Tawuran kali ini betul-betul berdarah. Tujuh belas
orang menjadi korban kebrutalan anak-anak remaja itu.
Seorang pelajar putri kabarnya malah terancam buta...."
Bayangan gadis yang tengah menutupi wajahnya dengan
tangan berlumuran darah itu kembali melintas di depan mata
Aris. Diakah korban yang hampir buta itu? Kalau henar dia....
"Nanti kalau kamu sekolah lagi, lebih baik bawa baju
ganti, Ris," Bu Ida menghela napas panjang. "Jangan pakai
seragam jika pulang sekolah. Kalau lagi sial, kamu bisa ikut
terlihat meskipun tidak tahu apa-apa!"
Aku yang melemparkan batu itu, pikir Aris resah. Aku
yang memulai perkelahian! Kalau gadis itu sampai buta...
aku yang bersalah!11
2 SUSAH payah Aris mencari informasi tentang gadis yang
menjadi korban kebrutalannya itu. Dia mengunjungi rumah
sakit yang didengarnya merawat korban-korban tawuran.
Ketika melihat orang-orang yang tak bersalah itu, diam-diam
dia merasa menyesal.
Aris sering berkelahi. Sering ikut tawuran. Namun,
belum pernah melihat dari dekat korban perkelahiannya.
Sekarang dia melihat dengan mata kepalanya sendiri.
Seorang pelajar STM Pratama yang sudah empat hari
koma baru saja meninggal. Orangtuanya sedang terisak
menangisi putra kesayangannya.
Sejenak Aris termenung mengawasi mereka. Sepasang
orangtua yang berduka. Tidak mengerti mengapa anak
mereka harus mati dalam usia yang begitu muda. Tidak tahu
siapa yang memukul kepala putranya dari belakang dengan
potongan besi dan tidak tahu mengapa anak mereka harus
dihukum mati. Apa kesalahannya?
Aris juga tidak tahu. Dia malah tidak tahu apakah anak
itu termasuk salah satu pelajar yang mengisengi teman-teman
putrinya. Barangkali dia seorang pemuda yang berandal,
tetapi barangkali juga dia anak muda yang alim. Yang taat
beragama. Yang tidak pernah mengganggu anak perempuan.
Kebetulan saja dia terjebak dalam perkelahian massal itu....
Hari itu Aris pulang dengan murung. Bayangan orangtua
yang sedang menangis terisak-isak itu terus menerus12
menghantui dirinya. Tidak dibalasnya sapaan Mardi di depan
rumahnya.
"Lu kenapa, Ris?" desak Mardi heran.
Tanpa menjawab Aris menjatuhkan dirinya di lantai teras
depan rumah pamannya.
"Dari kemarin gue cari-cari elu," Mardi ikut duduk di
sampingnya. "Nggak ada melulu. Ke mana aja sih? Bukannya
ngumpet di rumah malah keluyuran! Mau ditangkap lu? Atau
masih penasaran cari musuh? Kalau ketemu mereka, habis lu
dikeroyok! Lu tau nggak, temen mereka ada yang masih
koma?"
"Udah mati," sahut Aris lesu.
"Lu tau dari mana?"
"Gue baru dari sana."
"Dari mana?"
"Rumah sakit."
"Lu sakit ya, Ris? Ngapain cari mampus? Geng mereka
banyak lho di sana!"
"Gue cari korban keganasan gue, Di. Cewek. Kena batu.
Nggak sengaja sih, tetapi gue nyesel banget. Dia kan nggak
salah apa-apa."
"Berapa banyak orang yang nggak salah ikut jadi korban,
Ris? Udah deh, lu jangan emosionil!"
"Gue nasihatin nih, Ris. Mendingan lu ngumpet aja di
rumah! Si Tobing sama si Bayu masih ditahan. Kalau mereka
buka mulut, lu pasti ikut diciduk!"
*** Aris tidak peduli. Dia masih tetap mencari gadis yang malang
itu. "Pratiwi Purnama?" tanya perawat yang sedang sibuk
itu. "Korban tawuran yang mobilnya menubruk tiang listrik?"13
Tentu saja Aris tidak tahu nama gadis itu. Namun, dia
langsung mengiyakan saja. Berapa banyak korban tawuran
yang mobilnya menubruk tiang listrik?
"Kamar empat, sedang buka jahitan."
Buka jahitan? Aris tersentak. Apanya yang dijahit?
Mukanya? Matanya...? Langsung saja dia membayangkan
jarum suntik dan benang.... Muka gadis itu dijahit? Apa akan
meninggalkan parut seperti luka di dadanya? Apakah itu
berarti muka gadis itu bakal... cacat?
"Kamu temannya?" Sekilas perawat melirik pemuda
yang sedang bengong itu.
"Teman sekolah," sahut Aris tanpa berpikir lagi. Sesudah
mengucapkan kata-kata dia baru sadar, bagaimana kalau
gadis itu sudah tidak sekolah lagi?
"Waktu kunjungan setengah jam lagi. Tunggu saja di
luar."
Aris menuruti perintah itu dengan patuh. Jangankan
setengah jam. Asal boleh masuk, dua jam pun dia re?a. Dia


Nirwana Di Balik Petaka Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ingin tahu bagaimana nasib gadis itu, tetapi melihat bekas
jahitan di wajahnya... tegakah dia?
Aris menunggu dengan gelisah di depan pintu. Makin
mendekati waktu kunjungan, suasana makin ramai. Makin
banyak pengunjung berdatangan.
Semuanya berdesakan di depan pintu.
Penjaga di balik pintu berterali besi itu tampaknya
menikmati sekali adegan di hadapannya. Dengan santai dia
mengawasi pengunjung yang saling berdesakan itu. Sebentarsebentar dia menoleh ke arah jam tangannya. Seolah-olah dia
tidak mau kurang sedetik pun dari saat yang ditentukan untuk
membuka pintu.
Akhirnya pintu terbuka dan pengunjung berbondongbondong masuk. Aris ikut masuk bersama mereka. Ikut sibuk
mencari kamar nomor empat.14
Hidungnya mencium bau yang tidak enak. Bau keringat
bercampur bau obat. Mungkin juga bercampur bau darah.
Bau yang khas di rumah sakit. Bau yang membuat orang
sehat kadang-kadang jadi ikut merasa mual.
Ada dua buah tempat tidur di kamar nomor empat. Pintu
yang terbuka lebar memungkinkan Aris melihat dari luar,
salah satu tempat tidur itu kosong.
"Hai," sapanya pada gadis yang sedang membaca
majalah itu. Dia berbaring dengan santai di ranjang yang
dekat jendela. "Ini kamar Pratiwi Purnama?"
Gadis itu menoleh, lalu melirik ke ranjang kosong di
sebelahnya. "Tuh kaplingnya. Dia lagi buka jahitan."
Diawasinya Aris sedemikian rupa sampai yang diperhatikan
merasa rikuh. "Teman sekolahnya, ya?"
"Ya," sahut Aris asal saja.
"Untung nggak ikut jadi korban tawuran!"
"Kebetulan nggak lewat di sana."
"Tuh ortunya datang!"
Aris menoleh ke pintu dan melihat seorang perempuan
separuh baya, tinggi kurus dan berwajah pucat, memasuki
ruangan. Peiupuk matanya masih bengkak bekas tang?s.
Sebentar-sebentar dia menyeka air matanya.
Di belakangnya melangkah seorang laki-laki yang
sebaya. Sama kurusnya. Sama muramnya.
"Selamat siang, Bu, Pak," sapa Aris tersendat.
"Bagaimana Pratiwi?"
Wanita itu cuma menatapnya sekejap. Matanya yang
berlinang air mata memandang Aris dengan pandangan yang
sangat menusuk. Aris tak mungkin melupakan betapa
sedihnya tatapan perempuan itu. Tatapan ibu yang remuk
redam.
Dia hanya menggelengkan kepalanya sambil menahan
tang?s. Suaminyalah yang menjawab.
"Teman Tiwi?" tanyanya sambil menahan perasaannya.15
Aris cuma bisa mengangguk.
"Mukanya cacat, Nak," Pria itu mengatupkan rahangnya
menahan kesedihannya. Sementara istrinya sudah mulai
terisak lagi. "Empat belas jahitan.... Kata dokter, perlu
operasi plastik untuk memperbaikinya...."
Empat belas jahitan! Aris hampir menjerit. Pasti tertoreh
oleh serpihan kaca mobilnya!
Terbayang lagi di depan mata Aris adegan itu. Serpihan
kaca mobil yang berkilat-kilat berhamburan... sebagian
menyayat muka Pratiwi.... Dia mendekap mukanya... dan
tangannya berlumuran darah....
"Mukanya cacat." Terngiang lagi suara Ayah Pratiwi.
"Mukanya cacat... mukanya cacat... mukanya cacat...."
Cacat! Aris mendesah dalam hati. Cacat! Aku yang
melempar batu itu! Aku yang membuat mukanya cacat!
"Ba... bagaimana... matanya, Pak...? tanya Aris terbatabata."
Ayah Pratiwi menggeleng putus asa. Air matanya
langsung menyembul. Dia tidak mampu lagi menahan
perasaannya.
Aris tertegun bengong di tempatnya. Hanya sebuah batu
di tangannya... dan batu itu telah membutakan mata seorang
gadis! Membuat mukanya cacat!
Rasanya Aris tidak mampu lagi menunggu sampai gadis
itu muncul. Tidak tahan melihat hasil perbuatan tangannya....
Diam-diam dia menyelinap pergi. Meninggalkan
sepasang orangtua yang sedang menangis itu.
Di pintu, dia berpapasan dengan sebuah kursi roda.
Seorang perawat mendorong kursi roda itu masuk. Seorang
gadis duduk di atas kursi itu. Matanya masih diperban.
Mukanya penuh balutan....
Sekali lagi Aris terenyak. Itukah hasil perbuatan
tangannya? Begitu sadis! Begitu kejam! Dia telah merusak16
masa depan seorang gadis remaja! Dia telah menghancurkan
hidupnya!
Aris berlari keluar. Dia berlari terus sampai ke pinggir
jalan. Dia baru berhenti berlari ketika sebuah tiang listrik
menghalanginya. Dia telah menubruk tiang itu. Tetapi dia
tidak merasa sakit.
*** Berhari-hari Aris berusaha melupakan wajah gadis itu.
Berhari-hari dia berjuang mati-matian menindas perasaan
bersalahnya. Namun, justru ketika Aris hampir dapat
me?upakan peristiwa naas itu, wajah gadis itu muncul lagi di
depan matanya. Kali ini di salah satu majalah ibukota.
Di dalam majalah itu terpampang lengkap cerita tentang
Pratiwi Purnama. Gadis malang yang menjadi korban
tawuran.
Aris menyimpan majalah itu baik-baik dan membaca
kisah yang tertera di sana berulang-ulang. Pratiwi Purnama
(18 tahun), putri seorang pengusaha, pelajar kelas tiga SMA,
sedang mengendarai mobilnya pulang sekolah ketika
peristiwa naas itu terjadi. Sekolahnya tidak terlibat dalam
tawuran celaka itu. Dia hanya kebetulan lewat di tempat
kejadian.
Ketika dia berusaha meloloskan diri dari hujan batu dan
kemacetan, sebuah batu entah dari mana melayang ke kaca
jendela mobilnya. Kaca yang pecah berhamburan membuatnya hilang kendali. Mobilnya meluncur menubruk tiang
listrik di tepi jalan. Serpihan kaca melukai muka dan
matanya.
Dokter tidak berhasil menolong mata kanannya.
Sementara mata kirinya diberitakan juga mengalami kesulitan
akibat komplikasi mata kanannya. Jika tidak tertolong,
kemungkinan mata kirinya juga akan mengalami kebutaan.17
Sementara empat belas jahitan di wajahnya
membutuhkan operasi plastik supaya tidak menciptakan
cacat yang mengerikan. Pratiwi tidak tahu ke mana harus
menuntut. Siapa yang harus digugatnya untuk bertanggung
jawab....
Aris tepekur mengawasi foto gadis itu. Foto yang
diambil sebelum musibah itu terjadi. Wajah belia seorang
gadis remaja. Tidak terlalu cantik, tetapi cerah dan mulus.
Tatapan matanya hangat bersahabat. Senyumnya ceria dan
ramah.
Namun, sebuah batu di tangan kanannya melenyapkan
semua itu! Aris ingin menjerit. Ingin memekikkan
penyesalannya.
Dia sudah biasa berkelahi. Sudah sering ikut tawuran.
Merusak bus bukan masalah baru baginya. Merusak mobil
orang lain, meskipun orang itu tak bersalah dan cuma
kebetulan lewat, tak pernah lagi menimbulkan sesal di
hatinya. Namun, merusak wajah seorang gadis! Membutakan
matanya....
Berhari-hari Aris menyesali hasil perbuatan tangannya.
Berhari-hari dia merenungi nasib gadis malang itu. Gadis
yang tidak bersalah. Gadis yang bahkan tidak dikenalnya....
Mengapa dia sampai hati merusak masa depannya?
Ketika sebulan kemudian Aris mampu meredam
penyesalannya, dia sudah menjadi seorang pemuda yang
sama sekali berbeda. Keresahan yang selalu mendera jiwanya
sejak meningkat remaja, kini sima. Berganti dengan rasa
bersalah yang menuntut pelunasan.
Dia mulai menjauhi perkelahian. Bersumpah tidak mau
lagi terlibat tawuran dan berusaha mengumpulkan
sumbangan untuk Pratiwi.
Barangkali uang tidak ada artinya dalam segi jumlah.
Ayah Pratiwi kaya. Dia mampu membiayai operasi putrinya,
tetapi bagi Aris, itulah sebagian bentuk pelunasan utangnya.18
Upaya untuk mengurangi rasa bersalahnya. Dia yakin, dari
segi moral, sumbangannya merupakan dukungan simpati
yang mampu menambah semangat hidup gadis itu.
"Ternyata anak itu boleh juga," puji Paman Farid kagum.
"Tidak disangka anak muda bertampang berandal seperti dia
masih memikirkan menolong korban tawuran."
"Gadis itu kan korban perkelahian sekolahnya Aris,
Pak," komentar istrinya. "Pantas sajalah kalau dia dan temantemannya ikut repot mengumpulkan sumbangan. Seharusnya
sekolahnya ikut aktif membantu usahanya mencari dana."
"Sekolahnya masih repot mengurus dua orang pelajarnya
yang masih ditahan. Kabarnya ada anak STM yang
meninggal karena dikeroyok. Aparat keamanan masih
berjaga-jaga di depan sekolah."
"Untung Aris tidak terlibat tawuran semacam itu ya,
Pak," Bu Ida menghela napas lega. "Aduh, malunya kita
sama kakakmu kalau dia sampai ikut ditahan! Pasti kita
dianggap tidak bisa mendidik anaknya!"19
3 ARIS dititipkan ibunya pada Paman Farid tiga tahun yang
lalu, ketika dia baru lulus SMP. Paman Farid yang melihat
keponakannya memiliki harapan masa depan yang baik, tidak
keberatan membawanya ke Jakarta.
Aris cerdas dan memiliki penampilan yang menarik.
Cuma sifatnya yang mengkhawatirkan ibunya. Dia bandel.
Berani. Suka memberontak.
"Sepeninggal ayahnya dia semakin sering membantah
perintahku," keluh ibu Aris. "Aku khawatir sebentar lagi aku
tidak bisa menguasai anakku sendiri."
Aris anak sulung. Kedua adiknya wanita. Ibunya seorang
gur? sekolah dasar. Ayahnya sudah empat tahun meninggal.
Mula-mula tentu saja Aris menolak dibawa pamannya ke
Jakarta.
"Tidak ada laki-laki di rumah." Itu alasannya kepada
pamannya, tetapi alasan utamanya sebenarnya ada di rumah
sebelah.
Nila hanya setahun lebih muda. Makin hari dia kelihatan
makin menarik. Wajahnya makin manis. Sikapnya makin
lembut. Tatapan matanya makin menggemaskan. Tentu saja
itu pendapat Aris.
Mereka telah bersahabat semenjak kecil. Berangkat ke
sekolah bersama. Pergi ke mana-mana berdua.20
Aris sudah menganggap Nila seperti adiknya sendiri.
Mereka bermain bersama. Bergurau. Bahkan, saling pukul
kalau sedang berebut mainan.
Namun, suatu hari, mereka sama-sama menyadari ada
sesuatu yang berubah. Baik dalam diri mereka, maupun
dalam pergaulan mereka.
Hari itu, Aris memanjat pohon mangga Bu Enoh. Tentu
saja tanpa sepengetahuan si pemilik. Nila ingin sekali
mangga muda dan dia merengek minta Aris
mengambilkannya.
Ketika Aris sudah di atas pohon, Bu Enoh datang.
Seperti biasa kalau lewat di bawah pohon mangganya, dia
pasti menoleh ke atas. Menghitung kalau-kalau ada
mangganya yang hilang.
Ibu Enoh memang terkenal pelit. Sebanyak apa pun buah
mangganya, tak seorang pun diperbolehkan memetiknya.
Pernah dia ribut dengan tukang batu yang memperbaiki
rumahnya. Dituduhnya tukang batu itu mencuri mangganya
yang hilang satu. Digeledahnya saku dan tas si tukang batu,
walaupun dia sudah bersumpah tidak mencuri mangga.
Akhirnya, mangga yang hilang itu ditemukan jatuh di
atas atap rumahnya. Si tukang batu menyumpah-nyumpah
dalam hati, semoga nanti malam pohon mangga Bu Enoh
disambar petir.
Begitu melihat Bu Enoh muncul di bawah pohon, secepat
kilat Aris memetik dua buah mangga sekaligus dan
melemparkannya kepada Nila yang menunggu di luar pagar.
Lalu tanpa membuang waktu lagi, dia merosot turun dan lari
lintang pukang.
Nila sudah kabur lebih dulu. Begitu buah mangga
berhasil ditangkapnya, dia menghambur secepat-cepatnya
meninggalkan tempat itu.
"Nila! Tunggu!" teriak Aris sambil mengejar dari
belakang, tetapi Nila tidak mau berhenti. Dia malah lari lebih21
cepat Iagi. Dia sangat ketakutan. Dikiranya Ibu Enoh ikut
mengejar.
Perempuan bawel itu amat mengerikan. Tubuhnya tinggi
kurus seperti tiang listrik. Wajahnya yang selalu masam
seperti mangga muda tidak pernah tersenyum, kecuali ada
tetangga yang mengundang kenduri.
Suaranya nyaring dan nyinyir. Volumenya jarang dapat
dikecilkan, apalagi kalau melihat buah mangganya kurang
satu.
Nah, sekarang mangganya hilang dua! Dalam bayangan
Nila, dia pasti sudah mengejar di belakang mereka sambil
membawa sapu....
Kalau sedang ketakutan begitu, Nila memang
mengagumkan. Dia bisa lari sangat cepat. Melompati parit.
Memanjat tembok. Menyelinap ke bangunan kosong bekas
gudang yang terbakar dan baru berhenti ketika Aris berhasil
menubruknya.
Mereka jatuh bergulingan di tanah. Tanpa menghiraukan
rasa sakitnya, Nila meraih mangganya yang berhamburan dan
bersiap untuk lari lagi.
"Nila!" seru Aris jengkel. Mau ke mana lagi sih dia? Ibu
Enoh tidak mungkin bisa menemukan mereka di sini. Kalau
dia dapat lari sejauh dan secepat ini, pasti habis maling di
kampung mereka!
Aris menerkam Nila. Mencegahnya kabur lagi.
Untuk kedua kalinya mereka jatuh bergulingan.


Nirwana Di Balik Petaka Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Melihat Nila tidak mau melepaskan juga mangganya
biarpun dia sudah terkapar di tanah, timbul keisengan Aris.
Diterkamnya gadis itu sekali lagi. Direbutnya mangganya.
"Jangan!" sambil tertawa geli Nila berguling menjauh
untuk menyelamatkan mangganya.
Aris merangkulnya dari belakang dan tidak sengaja,
tangannya menyentuh daging lembut di dada Nila.22
Sekejap mereka sama-sama tertegun. Nila merasa
dadanya seperti disengat aliran listrik. Sekujur tubuhnya
mendadak tegang. Panasnya terasa sampai ke wajahnya.
Aris menarik tangannya dengan perasaan ganjil.
Perasaan apa itu? Dia sering memegang Nila, tetapi belum
pernah mempunyai perasaan seperti ini....
Ketika melihat Nila beringsut bangun dengan paras
memerah dan sikap tersipu-sipu, Aris merasa lebih aneh lagi.
Belum pernah dia melihat Nila dalam keadaan demikian
menarik. Rasanya wajahnya menjadi lebih cantik... sikapnya
lebih mengundang....
Aris tidak tahu mengapa tiba-tiba dadanya berdebar
begini hangat. Dia masih setengah berbaring. Siku kirinya
masih bertelekan ke tanah. Tatapannya tak lepas dari wajah
Nila, yang tak berani menoleh sekejap pun.
Tidak sadar tangan kanan Aris meraih tangan Nila.
Menggenggamnya dengan lembut.
Nila menoleh dengan tersipu-sipu. Parasnya makin
memerah. Tatapan matanya malu-malu, tetapi betapa
cemerlang sorot matanya! Betapa segar senyumnya!
*** Sejak saat itu Aris dan Nila makin sering pergi berdua. Makin
sering bolos sekolah dan makin sering terlambat pulang.
Mulanya baik ibu Aris maupun ayah Nila tidak keberatan
mereka sering bepergian bersama. Bukankah mereka sudah
bersahabat sejak kecil? Mereka bersekolah di SMP yang
sama pula. Apa salahnya pergi dan pulang sekolah bersamasama?
Namun, suatu hari Aris mengajak Nila pergi agak jauh
dan mereka pulang kemalaman.
Aris dimarahi habis-habisan oleh ayah Nila. Di dalam
caci makinya, nama ayah Aris ikut dibawa-bawa.23
Memang sudah bukan rahasia lagi di kampung mereka,
ayah Aris pernah kabur membawa lari anak Pak Lurah yang
baru berumur tujuh belas tahun. Setelah gadis itu meninggal
bersama bayi yang dilahirkannya, ayah Aris baru berani
kembali ke rumahnya. Suatu hari beberapa minggu
kemudian, dia ditemukan tewas di pematang sawah tidak jauh
dari rumah.
Aris ikut jadi korban karena perbuatan ayahnya. Dia
diejek teman-temannya. Dihina tetangganya. Sering dia
berkelahi dengan orang yang mencemoohkannya, tetapi kalau
yang mencercanya ayah Nila, Aris tidak dapat memukulnya.
Dipendamnya saja perasaan marah dan sakit hatinya.
Ketika ayah Nila melarang mereka pergi berdua lagi, Aris
bertekad untuk ikut pamannya ke Jakarta.
Kalau dia sudah sukses nanti, dia akan kembali! Akan
dibelinya rumah ayah Nila beserta seluruh isinya! Ayah Nila
tak mungkin lagi melarangnya bergaul dengan Nila!
Tentu saja Nila mati-matian mencegah Aris pergi
meninggalkannya. Apa pun alasannya. Namun, sakit hati Aris
rupanya sudah tak terobati. Biarpun oleh air mata kekasihnya.
"Aku pasti kembali," janji Aris dalam pertemuan gelap
mereka. Kini mereka memang harus mencuri-curi
kesempatan untuk bertemu di luar jam sekolah. "Dan kalau
aku kembali, tidak seorang pun bisa menghina diriku lagi.
Tidak juga ayahmu!"
*** Sepeninggal Aris, Nila baru merasakan artinya kehilangan.
Kini sesudah pemuda itu tidak berada lagi di sampingnya, dia
baru menyadari nilai Aris baginya.
Hari-harinya terasa lengang. Hidupnya terasa kosong.
Semangatnya terbang entah ke mana.24
Dia malas melakukan apa saja. Lamunannya selalu
mengejar Aris. Ingatannya tak mau menyingkir dari
kenangan indah yang pernah dialaminya bersama pemuda itu.
Bukan sekali-dua pernah terlintas di benak Nila untuk
pergi menyusul Aris ke Jakarta, tetapi di mana dia harus
tinggal? Maukah paman Aris menerimanya?
Nila belum pernah ke Jakarta. Kota besar itu amat
menarik kata orang, tapi sekaligus juga amat mengerikan.
Terutama bagi gadis desa yang belum berpen-galaman seperti
dirinya.
Jadi, Nila terpaksa menahan rindunya. Menunggu Aris
menepati janjinya.
"Aku pasti kembali," katanya sebelum pergi. Tentu saja
Nila percaya, Aris pasti kembali. Sampai kapan pun dia akan
tetap menunggu.
Tetapi dua bulan sesudah Aris pergi, Nila tiba-tiba
menyadari ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Haidnya
berhenti dan setiap pagi dia sakit. Muntah-muntah seperti
masuk angin.
Mula-mula tidak ada yang menyadari kelainan dalam
tubuh Nila. Ayahnya hanya mengira dia sakit. Masuk angin,
atau mungkin diguna-guna orang yang sakit hati.
Tentu saja ayah Nila mencurigai Aris. Siapa lagi. Anak
muda itu sudah pergi. Tak pernah muncul lagi. Namun, dia
pergi dengan membawa dendam.
Ketika penyakit Nila tak kunjung sembuh, ayahnya
memanggil dukun. Putrinya pasti memerlukan ramuan
penangkal guna-guna.
Tetapi apa yang dikatakan oleh dukun itu sesudah
memeriksa Nila membuatnya kalap. Hampir saja dia
membunuh anaknya sendiri.
"Bilang siapa bapaknya!" bentak Ayah Nila geram.
Ditamparnya pipi anaknya dengan sengit.25
Bapaknya...? Merinding bulu roma Nila. Siapa
bapaknya? Apakah dia akan segera menjadi... ibu? Artinya
dia... hamil?
Ya Tuhan! Umumya baru empat belas tahun! Dia baru
kelas II SMP. Belum pernah memikirkan punya anak.
Siapa bapaknya? Siapa bapak anak ini, kalau memang
ada? Tidak ada laki-laki lain. Cuma... Aris. Cuma Aris
seorang. Tak ada orang lain.... Namun, mereka tak pernah
bermaksud ... tak pernah berpikir akan punya anak!
"Pasti anak sebelah!" sambung ayah Nila berang. "Bapak
bejat, anak rusak!"
Ayah Nila langsung minta pertanggungjawaban ibu Aris.
Namun, perempuan yang sudah lama menahan diri
memendam dendam mendengar cemoohan tetangganya itu
seperti menemukan peluang untuk membalas sakit hatinya.
"Aris sudah lama ikut pamannya ke Jakarta," sahutnya
acuh tak acuh. "Tak mungkin dia yang menodai anakmu!
Mana buktinya?"
Nila memang tak dapat membuktikan siapa bapak
anaknya. Ayahnya juga tidak. Mereka hanya dapat menerima
nasib.
Kabar itu tersiar cepat ke seluruh kampung, dan neraka
seperti pindah ke rumah mereka.
Sekarang tak ada tempat bagi Nila atau bapaknya untuk
dapat bersembunyi dari cercaan orang. Ayah Nila menyesal
sekali telah pergi ke tetangganya menuntut tanggung jawab.
Gara-gara tuntutan itu sekarang semua orang di kampung
mereka tahu anaknya bunting!
Ke mana pun dia pergi, orang-orang menanyakan
anaknya. Sebagian dengan iba. Sebagian lagi dengan sinis.
Bagaimanapun perasaan mereka terhadap dirinya, ayah Nila
tetap merasa terhina, dan noda itu akan tetap melekat sampai
Nila menemukan bapak anaknya dan menikah dengan lakilaki durjana itu!26
"Lebih baik kau pergi cari dia," katanya suatu hari,
setelah tidak mampu lagi menahan perasaannya. "Jangan
kembali kalau dia tidak mau mengawinimu!"27
4 WALAUPUN takut, Nila terpaksa menyusul Aris ke Jakarta.
Tampaknya dia tidak punya pilihan lain. Rumahnya sudah
seperti neraka. Dia tidak betah lagi tinggal di sana.
Ayahnya marah-marah terus. Pekerjaannya tidak ada
yang beres. Bahkan, makanan yang disajikannya pun tak ada
yang enak.
Nila sudah berhenti sekolah. Malu. Bahkan, dia tidak
berani ke luar rumah. Ke pasar sekali pun. Di mana-mana
orang membicarakannya. Seolah-olah dia penjahat besar yang
mengotori seluruh kampung.
Kalaupun orang-orang tidak membicarakannya, Nila
tetap merasa sudah tidak ada tempat aman lagi baginya. Jadi,
dia terpaksa menyingkir.
Tetapi ke Jakarta pun tampaknya tidak mudah bagi Nila.
Dia tidak dapat menemukan rumah paman Aris, biarpun dia
mcmiliki alamatnya.
"Alamatnya nggak lengkap sih," gerutu pengemudi bajaj
yang sudah lelah bertanya-tanya pada setiap orang yang
ditemuinya di mulut gang. "Di Jakarta, ada berapa banyak
gang Mesjid?"
Akhirnya setelah beberapa hari terlunta-lunta, Nila jatuh
ke tangan Pak Wendo, seorang penyalur pembantu rumah
tangga. Dia tinggal berdesakan dalam sebuah kamar yang
sempit bersama beberapa orang gadis dari daerah.28
Kalau ada orang yang datang mencari pembantu, Nila
dan rekan-rekannya dijejerkan di kursi di kantor penyalur itu.
Dan para calon majikan itu memilih salah seorang dari
mereka untuk dibawa ke rumah.
Sungguh nasib yang merupakan tanda tanya besar bagi
gadis-gadis muda itu. Ke mana mereka akan dibawa. Di
rumah macam apa mereka akan tinggal dan majikan model
apa yang akan menanti mereka di sana.
Jika kebetulan menemukan majikan yang baik, mereka
beruntung, tetapi jika sebaliknya, itulah nasib. Ke mana harus
mengadu?
"Hati-hati jaga diri, Nduk," kata teman sekamarnya,
seorang perempuan setengah tua yang sudah beberapa bulan
tinggal di sana karena tidak ada yang mengambil. "Kamu
masih muda dan ayu. Majikan banyak yang genit lho!"
Bi Ginah memang baik. Sayang umurnya sudah tidak
muda lagi. Jarang majikan yang melirikkan mata padanya.
"Yang dipilih duluan kan selalu yang muda," keluhnya
sedih ketika calon majikan sudah berlalu membawa
pembantu lain. Padahal, pembantu itu baru beberapa hari
tinggal di sana. "Yang tua kayak aku ini kan dikira sudah
ndak kuat lagi kerja."
"Sama saja, Mbak," sambung Ipah sambil menghela
napas. "Saya juga sudah empat bulan di sini belum ada yang
ambil!"
Ipah memang lebih muda dari Bi Ginah. Tapi matanya
picek sebelah. Kalau masih ada pembantu lain yang rupanya
lebih baik, dia pasti ditinggalkan.
Nila termasuk laris. Baru beberapa hari saja dia sudah
terpilih. Maklum, parasnya ayu, kulitnya pun bersih.
Sikapnya santun seperti anak sekolah. Dan dia tidak
mengajukan gaji yang diminta, sesuatu yang paling tidak
disukai calon majikan.29
Majikan Nila sebenarnya cukup baik, meskipun agak
cerewet. Dia p?as dengan pekerjaan Nila. Puas dengan sifatsifatnya yang lugu. P?as dengan tutur bahasanya yang baik,
dan dengan kerajinannya. Sampai suatu hari dia mengetahui,
pembantunya yang rajin itu hamil.
"Beranak saja dulu," kata majikannya ketika memberikan gaji bulan itu. "Nanti kalau anakmu sudah bisa ditinggal, boleh balik kemari lagi."
Tapi ditinggal di mana? Beranak di mana?
"Di mana bapaknya?" desak Bu Nining begitu melihat
kebingungan Nila. "Katanya kamu belum kawin! Kok
bunting?"
"Bu, tolonglah saya," pinta Nila sambil menghapus air
matanya. "Saya tidak punya tempat lain untuk berteduh...."
"Lho, ya ndak bisa toh!" Suara majikannya meninggi dan
ketus. Seolah-olah Nila minta menumpang tidur di kamarnya.
"Kami ini keluarga baik-baik! Mana bisa ada bayi ndak ada
bapaknya di rumah ini? Apa kata tetangga nanti? Salah-salah
mereka kira... ah, mereka pasti berpikir yang bukan-bukan!
Iya toh?"
Dengan berbekal sisa gajinya selama dua bulan, hari itu
juga Nila harus berkemas meninggalkan rumah itu. Dia
dikembalikan ke tempat penyalur. Ditukar dengan pembantu
lain supaya uang jaminan yang ditaruh majikannya di tempat
itu tidak hilang.
Sebagian uang gajinya yang dipotong majikannya tiap
bulan, diberikan kepada Pak Wendo sebagai pengganti
administrasi dan biaya menginap di sana sebelum mendapat
pekerjaan.
Bu Nining terpaksa memilih antara Bi Ginah dan Ipah
karena pembantu di tempat Pak Wenda sedang kosong.
"Ndak ada yang lain?" tanya Bu Nining setelah lama
bingung memilih. Yang satu tua. Yang satunya lagi picek.
Tidak enak dilihat. Hhh, betul-betul tidak ada pilihan!30
"Belum datang lagi dari kampung, Bu," sahut Pak
Wendo dari balik meja tulisnya. Di depannya, duduk Bu
Nining. Memandang kedua orang pembantu di hadapannya
dengan dahi berkerut. "Nanti habis Lebaran banyak, Bu."
"Perlunya sekarang!"
"Yang ada tinggal yang dua ini, Bu."
"Ada lagi barangkali di belakang!" tukas Bu Nining
curiga. "Disembunyikan karena saya mau tukar, ya?"
"Nggak ada, Bu. Sungguh! Masa saya bohong sih? Cuma
tinggal dua ini!"
Akhirnya terpaksa Bu Nining memilih. Setelah lama
berpikir, dia mengambil Ipah. Biar matanya cuma satu, dia
masih muda. Kelihatannya sehat dan kuat.
Biarlah matanya satu. Mukanya jelek. Biar suaminya
tidak suka. Malah aman. Masa bodoh amat dia marah-marah.
"Sengaja ya, cari pembantu mata satu begitu?" Bu
Nining sudah dapat membayangkan gerutuan suaminya.
"Biar aku tidak betah dekat-dekat?"


Nirwana Di Balik Petaka Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bi Ginah kembali ke kamar bersama Ipah. Nila yang
sedang menangis di balai-balainya tahu, cuma seorang di
antara mereka yang beruntung.
"Saya pergi dulu ya, Mbak," kata Ipah sambil
mengambil tas pakaiannya. Kepada Nila dia tidak berkata
apa-apa.
Ketika Ipah sudah pergi, Bi Ginah duduk di tepi balaibalai. Parasnya amat muram.
"Aku gagal lagi, Nduk," keluhnya sedih. "Rasanya aku
mau balik ke kampung saja."
"Jangan, Bi!" pinta Nila sambil menangis. "Sama siapa
saya di sini kalau Bi Ginah pergi?"
Sesaat Bi Ginah membisu. Dia hanya memandang Nila
dengan getir.
"Siapa bapaknya, Nduk?"31
*** "Sekarang gimana nih?" gerutu Pak Wendo kesal. Dia
memanggil Nila menghadap ke kantornya. "Kalau bunting,
siapa yang mau ambil kamu jadi pembantu?"
"Tolonglah, Pak," Nila memohon separuh menangis.
"Biar saya numpang tinggal di sini sampai melahirkan.
Semua ongkos-ongkosnya akan saya ganti sesudah saya bisa
bekerja lagi nanti!"
"Iya, Pak," timpal Bi Ginah yang ikut mendampingi
Nila. "Kasihan dia. Orangtuanya di kampung. Dia kemari cari
bapak anaknya. Belum ketemu duitnya sudah habis."
Untung Pak Wendo masih mempunyai rasa perikemanusiaan. Dia membiarkan Nila tinggal di sana sampai
melahirkan. Ketika anak perempuan itu berumur sepuluh
bulan, Nila terpaksa meninggaikannya di sana supaya dapat
bekerja untuk membayar utang.
*** Pada saat liburan panjang kenaikan kelas, Aris pulang. Itulah
pertama kali dia pulang ke kampungnya setelah setahun ikut
pamannya di Jakarta.
Aris sudah membeli sebuah gelang emas imitasi untuk
Nila. Hasil menabung uang jajannya selama setahun. Dia
sudah demikian bersemangat ingin memberikan buah tangan
itu untuk pacarnya, tetapi dia tidak pernah menemukan Nila
lagi.
"Diusir bapaknya," kata ibunya dingin. "Bunting."
Seperti petir kata itu menyambar telinganya. Bunting?
Dengan siapa?
"Siapa yang tahu?" sahut ibunya sinis, ketika Aris
menanyakan siapa bapak si anak dalam perut Nila.32
"Nila punya pacar?" Penasaran Aris mendesak adikadiknya. Mereka pasti tahu! Rumah mereka kan bersebelahan.
"Bang Aris kan pacarnya?!" sahut si bungsu spontan.
Merah muka Aris mendengarnya. Kurang ajar. Ditanya
malah nanya balik!
Ada orang lain, nggak?" desak Aris menahan rasa
kesalnya.
"Bang Aris pasti lebih tahu!"
"Aku kan sudah setahun pergi! Sesudah aku pergi, dia
sering jalan sama orang lain?"
"Malah nggak pernah keluar rumah!" sahut adiknya yang
satu lagi. "Dia kan malu! Bunting nggak ada lakinya!"
Jadi siapa bapak anak itu, pikir Aris resah. Bayangan
senja yang mendung itu kembali mengusik nuraninya.
Mungkinkah?
"Kalian tahu ke mana dia pergi?" desak Aris gelisah. Dia
harus menjumpai Nila! Dia harus tahu....
"Nggak tahu! Kak Nila nggak bilang apa-apa kok," sahut
si bungsu polos. "Mendadak saja dia hilang dari rumah!"
Dengan siapa Nila pergi, pikir Aris kecewa. Dengan
bapak anaknya? Mengapa dia tidak sabar menungguku?
Selama setahun di Jakarta, Aris tak pernah melupakan
Nila. Tidak ada satu malam pun yang lewat tanpa mengenang
gadis itu. Dia rajin menulis surat. Walaupun suratnya tak
pernah berbalas.
Mula-mula Aris mengira surat-surat itu diambil Ayah
Nila. Sekarang dia malah ragu, mungkinkah Nila yang tidak
mau membalasnya karena sudah ada orang lain? Atau... dia
sudah keburu pergi dari rumah?
Paman Farid dan istrinya mempunyai tiga orang anak
perempuan dan seorang anak laki-laki. Perhatian yang terbagi
pada anak-anak mereka tidak terlalu besar karena keduanya
sibuk bekerja.33
Oleh karena itu, walaupun mereka mengizinkan Aris
tinggal di rumah mereka, dia hampir tidak kebagian perhatian
paman dan bibinya.
Tidak heran kalau Aris tumbuh semakin liar dan bebas.
Lebih-lebih setelah dia mengenal minuman keras dan obatobat perangsang. Pacaran dan berkelahi sudah menjadi
kegiatan rutinnya sehari-hari. Meja biliar dan lantai disko
lebih diakrabinya daripa-da buku pelajarannya.
Aris baru berubah ketika peristiwa itu terjadi. Ketika
secara tidak sengaja dia membuat seorang gadis menjadi
buta. Saat itu, Aris sudah duduk di akhir kelas tiga SMA.
Perasaan bersalah terhadap gadis itu seperti amplas yang
mengikis karat yang selama ini menutupi kelembutan
hatinya. Karat yang tumbuh akibat kekecewaannya terhadap
perbuatan ayahnya. Terhadap penghinaan ayah Nila. Dan
yang terakhir, akibat kepergian Nila yang tanpa pamit.
Aris merasa diperlakukan secara tidak adil. Dia
membenci lingkungan yang telah menghukumnya sejak kecil.
Jadi, keberandalannya merupakan tindakan balas dendam
terhadap lingkungan yang tidak ramah itu.
Sampai dia menemukan Pratiwi dan Aris seperti
menemukan dirinya sendiri. Bersembunyi di balik rasa
bersalah yang tak berampun.34
5 ORANGTUA Pratiwi Purnama menyambut kedatangan Aris
dengan ramah meskipun jelas mereka masih diliputi
kedukaan. Mata kiri Pratiwi terkena oftalmia simpatika akibat
kerusakan pada mata kanannya. Meskipun dokter-dokter
mata sudah berusaha keras menolongnya, penglihatannya tak
tertolong lagi. Dia menjadi buta total.
"Terima kasih atas sumbangan dan perhatiannya, Nak,"
sambut ayah Pratiwi terharu. "Kalau semua pelajar seperti
kamu, Tiwi tidak akan bernasib seperti ini...."
Aris mengatupkan rahangnya menahan perasaannya. Dia
tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun.
"Sumbangan ini akan kami pakai unluk menambah dana
operasi plastik wajahnya," sambung ayah Pratiwi lirih.
"Mudah-mudahan operasinya berhasil."
Ibu Pratiwi tidak berkata apa-apa. Dia hanya menatap
anak muda di hadapannya dengan sedih. Anak muda yang
rupawan ini bukan hanya bersimpati, dia kelihatan seperti
ikut merasakan kesedihan mereka. Ah, dia pasti pemuda yang
baik, meskipun tampangnya agak berandalan....
Sampai saat itu, Aris belum pernah bertemu muka
dengan Pratiwi. Dia hanya pernah berpapasan di depan kamar
Pratiwi di rumah sakit. Gadis itu menolak bertemu dengan
siapa pun. Ternyata yang rusak bukan hanya mata dan
wajahnya saja. Sifatnya juga.35
Sia-sia Aris menunggu. Pratiwi tetap menolak anjuran
orangtuanya untuk menemui Aris.
"Maaf, Tiwi belum dapat menemui Nak Aris," kata
ibunya lirih.
Perempuan itu tampak lemah dan pucat. Bukan hanya
karena kesedihan yang menimpanya, tetapi juga karena
penyakit gula yang menggerogoti tubuhnya tambah berat
karena stres yang melanda hidupnya.
"Mungkin nanti kalau Tiwi sudah bisa mengatasi shocknydi" sambung ayah Tiwi berat. "Dia mau menjumpai Nak
Aris."
*** Hampir setiap akhir minggu Aris mengunjungi rumah
Pratiwi, tetapi baru pada kedatangannya yang keenam kali dia
dapat bertemu dengan gadis itu.
Ketika duduk berhadapan dan ketika menyaksikan dari
dekat perbuatan tangannya, Aris hampir menjerit mengutuki
dirinya.
"Ngapain sih kemari terus?!" tanya gadis itu judes.
Aris amat tersiksa mendengar pedasnya suara itu. Sudah
demikian berubahkah Pratiwi?
Di mana kelembutan yang bersorot di matanya? Di mana
kehangatan tatapan yang selalu menghantui Aris sejak
pertama kali dia melihat foto gadis itu di majalah?
Kemalangannyakah yang membuat dia jadi sejudes dan
sedingin ini? Sampai sejauh itukah petaka merusak sifat dan
kelembutan seorang gadis remaja?
"Kata Papa kamu bawa sumbangan dari teman-temanmu.
Oke. Bilang trims berat sama mereka! Mau apa lagi? Ngapain
kamu kemari terus! Sana, cabut!"36
Aris tidak dapat menjawab. Bahkan, tidak dapat
membuka mulutnya. Dia masih terpukau. Shock dan diamnya
membuat kemarahan gadis itu meledak.
"Pergi! Aku nggak mau dikasihani!"
"Jangan begitu, Tiwi," bisik ibunya lembut. "Nak Aris
bermaksud baik...."
Dipeluknya putrinya yang sedang menangis terisak-isak
itu. Air mata berlinang di matanya yang sayu.
"Maafkan dia," gumam ayah Pratiwi pahit. "Adatnya
belakangan ini memang jelek sekali...."
Tanpa menjawab sepatah kata pun, Aris meninggalkan
rumah itu. Dia langsung pulang ke rumah. Masuk ke
kamarnya, lalu meninju dinding kamarnya sambil menggeram penuh penyesalan.
*** Aris sudah memutuskan tidak akan datang lagi ke rumah
Pratiwi. Bukan jera terhadap sikap gadis itu kepadanya. Tapi
takut melihat hasil perbuatan tangannya sendiri.
Pratiwi anak bungsu dari dua bersaudara. Baik
orangtuanya maupun kakak laki-lakinya amat memanjakannya. Mereka keluarga yang berada. Hidup mereka cukup
bahagia sampai datang petaka itu.
Malapetaka yang menghancurkan kebahagiaan mereka.
Sekaligus menghancurkan hidup Pratiwi. Dia bukan hanya
kehilangan penglihatannya. Dia kehilangan masa depannya
dan musibah itu merusak sifatnya.
Dia menjadi gadis yang judes. Kejam dan kasar. Siapa
pun yang menyapanya dibentaknya dengan kesal. Siapa pun
yang berusaha mendekatinya diusirnya dengan bengis.
Dia tidak percaya ada orang yang mau datang untuk
menghiburnya. Untuk membantunya mengatasi kesulitan.
Selain orangtua dan saudaranya, yang lain itu bohong belaka!37
Mereka hanya datang untuk melihat seperti apa wajahnya
sekarang!
Juga pemuda yang tidak dikenalnya itu... yang berkalikali datang mernbawa sumbangan teman-temannya... sialan!
Apa dikiranya dia pengemis yang butuh sumbangan? Butuh
belas kasihan?!
Enyahlah ke neraka! Jangan-jangan salah seorang dari
teman-teman pemuda itulah yang justru melemparkan batu ke
kaca mobilnya!
Sekarang mereka mau menyumbang untuk mem-bantu
operasinya? Mau membayar sebagian utang mereka? Sialan!
Kaiau cuma duit soalnya, ayahnya tidak akan kekurangan!
Papa masih mampu membiayai operasinya tanpa sumbangan
mereka!
Tetapi soalnya memang bukan itu. Pratiwi menolak
operasi plastik.
"Buat apa?" sergahnya dingin. "Muka mulus tapi buta!
Percuma! Biar aja begini! Tanggung. Biar sekalian jadi
monster!"
"Apa yang masih bisa diperbaiki, apa salahnya kita
lakukan, Tiwi?" bujuk ayahnya lirih. "Kalau Papa bisa
memberikan mata ini padamu, pasti Papa relakan! Tapi
karena Papa cuma bisa membiayai operasi wajahmu,
mengapa mesti menambah kesedihan Papa dengan
menolaknya?"
"Nggak ada gunanya! Percuma! Jelek apa bagus, Tiwi
tetap nggak bisa lagi lihat tampang Tiwi!"
"Tapi Papa bisa, Tiwi! Papa tidak mau kehilangan anak
Papa yang manis...."
"Anak Papa emang udah gamel" tangis Pratiwi pahit.
"Udah jadi dedemit!"
Aris membaca keengganan Pratiwi untuk melaksanakan
operasi wajahnya itu di majalah yang sama. Redaksi yang38
sudah bersusah payah membuka dompet simpati untuk
Pratiwi merasa amat kecewa.
Sudah terkumpul sumbangan yang tidak sedikit, tetapi
akhirnya si korban menolak uluran tangan para simpatisannya. Pratiwi memilih mengubur dirinya dalam kemalangan.
Anak manja itu tidak sanggup bangkit melawan nasib.
Akhirnya, Aris memutuskan untuk mencoba sekali lagi.
Dia datang kembali ke rumah Pratiwi, dan tetap datang
biarpun kedatangannya tidak disambut baik oleh gadis itu.
Dia pernah dibantingi pintu. Pernah disiram air meskipun
tidak kena karena Pratiwi tidak tahu persis di mana Aris
berdiri. Pernah dimaki-maki dengan sengit sampai tetangga
sebelah melongokkan kepala.
"Pergi! Pergi!" jerit Pratiwi histeris. "Jangan datang lagi!
Pergi!"
Sesudah menjerit-jerit begitu, biasanya Pratiwi menangis
tersedu-sedu. Orangtuanya datang tergopoh-gopoh minta
maaf.
"Jangan marah, Nak Aris," pinta ayahnya sambil
menghela napas berat. "Semua orang diusirnya. Bukan cuma
Nak Aris. Terus terang, Bapak juga sudah kewalahan
membujuknya.... Dulu, adat Tiwi tidak seperti ini."
"Nggak apa-apa, Pak," sahut Aris tabah. "Saya ngerti
kok, tetapi saya tetap akan datang lagi biarpun seratus kali
diusir. Saya percaya, Tiwi butuh teman. Justru dalam keadaan
sulit seperti sekarang."
"Syukurlah kalau Nak Aris mengerti," ayah Pratiwi
menghela napas lega.


Nirwana Di Balik Petaka Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Akhirnya orangtua Pratiwi mengizinkan anak muda yang
gigih ini masuk ke kamar anaknya. Walaupun dengan pintu
kamar terbuka lebar.
Ketika Aris masuk, Pratiwi sedang menangis tersedusedu di tempat tidur. Ragu-ragu Aris masuk ke kamar. Dan
tegak di depan pintu.39
"Tiwi...," sapanya perlahan.
Kaget dan marah karena pemuda itu lancang masuk ke
kamarnya, meletupkan kekalapan Pratiwi. Dia menyambar
vas kembang di atas meja di samping tempat tidur dan
menimpuknya ke arah suara Aris.
Kali ini jambangan itu kebetulan tepat mengenai dahi
Aris yang tidak menduga timpukan gadis itu begitu jitu. Dia
mengaduh ketika dengan suara "buk" yang cukup keras,
benda itu membentur dahinya.
"Nak Aris!" sergah ibu Pratiwi kaget melihat dahi anak
muda itu luka dan mengeluarkan darah cukup banyak.
"Astaga, Tiwi! Apa yang kaulakukan?!"
Tangis Tiwi langsung berhenti. Dia memasang telinganya baik-baik. Mencoba menafsirkan apa yang terjadi.
Tampaknya Mama amat panik. Lukakah pemuda itu?
Berapa besar lukanya?
"Apa harus dijahit?" terdengar suara ibunya, begitu
cemas. "Darahnya banyak sekali! Aduh, Nak Aris, maafkan
Tiwi, ya...."
Pratiwi berusaha bangkit dari tempat tidurnya. Merabaraba dalam kegelapan, tetapi karena terburu-buru, kakinya
terantuk kursi.
Dia terhuyung ke depan. Hampir jatuh. Namun, sepasang
tangan yang kuat memegang lengannya.
Pratiwi tahu, itu bukan tangan ayahnya. Bukan pula
tangan ibunya. Tidak mungkin pula tangan Mas Pram.
Pramono sedang kuliah. Jadi, itu pasti....
"Ambil obat merah," perintah ayah Tiwi kepada ibu
Tiwi. Dia sendiri membimbing Pratiwi ke kursi. "Gara-gara
perbuatanmu Nak Aris luka."
"Lukanya besar?" tanya Pratiwi bimbang.
"Lumayan."
"Mesti dijahit?"
"Kalau darahnya tidak mau berhenti."40
Pratiwi terdiam. Air mukanya menyiratkan penyesalan
yang tak terungkapkan dengan kata-kata.
"Duduk sini, Nak Aris," pinta ibu Tiwi yang sudah
kembali dengan sebotol obat merah dan kain kasa. "Mari Ibu
obati lukamu."
"Tekan dulu lukanya supaya darahnya berhenti," kata
ayah Tiwi sambil menghampiri pemuda itu.
"Saya nggak apa-apa," terdengar suara yang asing di
telinga Pratiwi. Suara yang besar. Dalam. Sama sekali tidak
menyiratkan rasa sakit, kesal, apalagi marah. Dan suara itu
melunakkan hati Pratiwi.
*** Ketika Aris kembali seminggu kemudian, Pratiwi sudah mau
keluar menemuinya. Walaupun masih dengan wajah penuh
kecurigaan.
"Gimana jidatmu? Dijahit?"
"Ah, cuma dua jahitan," sahut Aris dengan suara enteng.
Seolah-olah cuma celananya yang dijahit. Bukan kepalanya.
"Sori berat, ya," desah Pratiwi perlahan. Benar-benar
penuh penyesalan.
"Ah, nggak usah dipikirin! Ini bukan yang pertama kali
kok kulitku dicium jarum jahit!"
"Di mana lagi bagian badanmu yang pernah dijahit?"
"Dadaku pernah nyangkut di kawat duri waktu nguber
layangan!"
"Kamu biasa cuek begini kalau kecelakaan?"
"Makanya aku pingin nularin kecuekanku padamu!"
"Mana bisa sih!" geram Pratiwi jengkel. "Yang luka kan
mukaku bukan cuma dada! Mataku buta bukan cuma lecet!"
"Kamu kan kecelakaan! Kena musibah!"
"Ada orang yang sengaja melempar batu ke kaca
mobilku!"41
"Dia nggak sengaja!"
"Tahu dari mana?"
"Tahu aja!"
"Kamu kenal orangnya? Salah satu gengmu?"
"Bukan...."
"Kok sok tahu bilang dia nggak sengaja!"
"Masa sih ada orang yang tega sengaja melempar batu ke
kaca mobilmu?"
"Aku juga nggak sengaja melempar vas ke kepalamu.
Tapi kepalamu tetap bonyok!"
"Nggak apa-apa. Kamu kan udah bilang sori."
"Abis kamu maksa terus sih!"
"Maksa gimana? Aku kan cuma pingin berteman."
"Mau berteman sih maksa!"
"Abis kalau nggak dipaksa kamu nggak mau!"
"Emang biasanya begitu?"
"Gimana?"
"Suka maksa?"
"Tergantung siapa yang dipaksa dong! Cukup berharga
nggak buat dipaksa!"
Pratiwi merasa tersanjung. Pemuda ini punya sesuatu
yang khas. Sesuatu yang membuat orang cepat menyukainya.
Mungkin kegigihannya. Sesuatu yang tak pernah dimiliki
Pratiwi.
Sesuatu yang mirip seperti yang dimiliki ayahnya.
Sesuatu yang membuatnya selalu merasa tergantung. Bukan
cuma itu saja yang membuat pemuda ini menarik. Dia
memiliki kharisma yang membuat gadis-gadis cepat merasa
lengket, biarpun Pratiwi belum pernah melihatnya. Benarkah
dia setampan seperti yang dikatakan Mama? Mengapa
seorang pemuda tampan seperti dia mengejar-ngejar gadis
buta?"
"Sebetulnya ngapain sih kamu ke sini terus?"
"Udah bilang, mau berteman."42
"Emang udah abis cewek kece sampai kamu nguber
cewek buta?"
"Yang kece sih banyak," sahut Aris santai. "Yang buta
belon ada."
Sejenak Pratiwi terdiam. Tidak menyangka mendapat
jawaban seperti itu.
"Kamu waras nggak sih?"
"Yang terang nggak ada turunan gokil."
"Kok seneng punya temen buta?"
"Nggak semua orang buta dong! Cuma kamu! Kalau cari
yang buta doang sih, cari aja gembel di jalanan."
"Mukamu nggak cacat?"
"Mau pegang?"
"Idih!"
"Abis nggak percaya!"
Ibu Pratiwi yang mengintai dari balik pintu menghela
napas lega mendengar percakapan mereka. Sejak kecelakaan
itu, belum pernah didengamya suara anaknya seringan hari
ini!43
6 PERSAHABATAN Aris dengan Pratiwi semakin hari
semakin akrab. Dengan dorongan Aris, Pratiwi bersedia
dioperasi. Setelah mengalami dua kali operasi plastik, dia
berhasil memperoleh kembali kemulusan wajahnya.
Sesudah operasi pun Aris tetap tidak meninggalkannya.
Pratiwi yang buta dan rapuh, membutuhkan seorang laki-laki
yang kuat untuk menopang semangat hidupnya. Dulu dia
hanya memperolehnya dari ayah dan abangnya. Kini dia
memperoleh sandaran baru.
Aris berusaha untuk terus-menerus mendampingi
Pratiwi. Menghiburnya. Membangkitkan semangatnya.
Meskipun kuliahnya di fakultas kedokteran cukup
merepotkan, dia tak pernah melalaikan Pratiwi.
"Aku mulai percaya kamu dikirim Tuhan untuk
menolongku." Sering Pratiwi mengucapkannya kalau mereka
sedang berdua. "Supaya aku tidak bunuh diri"
"Ah, ngomong apa sih begitu?!" bantah Aris sambil
memalingkan wajahnya ke tempat lain. Ia lupa Pratiwi tidak
dapat melihat perubahan air mukanya. Dikirim Tuhan?
Dialah setan yang menghancurkan hidup gadis itu!
"Serius. Kamu nggak tahu apa arti kehadiranmu bagi
diriku."
"Aku cuma menyukaimu. Nggak peduli kamu kayak
apa."
Tentu saja Aris berdusta. Pratiwi tidak terlalu cantik.
Bahkan sebelum musibah itu merusakkan wajahnya.44
Banyak pacar Aris yang lebih menarik. Kalau dia
meninggalkan mereka untuk memilih Pratiwi, mula-mula
hanya karena perasaan bersalah.
Lama-lama tumbuh rasa iba. Ketika akhirnya timbul
perasaan simpati, itu hanya akibat kedekatan hubungan
mereka.
Aris tidak pernah merasa jatuh cinta pada gadis itu.
Pratiwilah yang lebih dulu merasakannya. Kalau mula-mula
dia hanya merasa tergantung, kini dia menyadari, ada
perasaan yang lebih dalam lagi.
"Seharusnya aku bersyukur pada orang yang melempar
batu ke kaca mobilku itu," cetus Pratiwi tiba-tiba.
Aris sampai kaget mendengarnya. Sesaat dia mengira
Pratiwi sudah tahu dan hendak menyindirnya.
"Kalau bukan gara-gara dia, kita pasti nggak pernah
ketemu! Kalau aku tidak buta, di mana kamu sekarang?"
"Di sisimu," sahut Aris asal saja. "Kalau memang sudah
takdir, kita pasti bertemu juga. Tidak di sini, pasti di tempat
lain. Mungkin di toko. Di pasar. Di rumah sakit...."
Dan takdir ternyata bekerja lebih cepat. Sebuah musibah
datang lagi. Ayah Pratiwi menderita kanker ganas usus besar.
Bersama istrinya dia berangkat ke Jepang untuk berobat.
Sebelum pergi, d?a memanggil Aris. Mereka berbicara berdua
saja di kamar ayah Pratiwi.
"Tiwi sering bilang, kamu dikirim Tuhan untuk
menolongnya."
"Ah..." Cuma itu yang dapat diembuskan Aris bersama
desah napasnya.
"Tapi sekarang Bapak rasa, peranmu lebih daripada itu."
Berdebar-debar dada Aris mendengarnya. Dia sudah
merasa, ayah Pratiwi akan meminta sesuatu. Sesuatu yang
amat penting....45
"Selama ini hubunganmu dengan Tiwi cukup dekat.
Sebelum Bapak meninggal, Bapak ingin tahu apakah kamu
serius dengan hubungan ini, Aris?"
Sesaat Aris jadi gelagapan. Tenis terang selama ini dia
belum pernah memikirkan kelanjutan hubungannya dengan
Pratiwi. Dia hanya ingin menolong. Ingin membayar utang.
"Bapak mengerti." Ayah Pratiwi menghela napas
panjang melihat kebingungan pemuda itu. "Memang agak
terlalu cepat. Kalian belum berpikir sejauh itu...."
Saat itu umur Aris baru dua puluh tahun. Dia masih
kuliah. Baru duduk di tingkat dua fakultas kedok-teran. Tidak
mungkin Paman Farid menyetujui pernikahannya....
"Tiwi baru dua puluh tahun. Masih terlalu muda untuk
menikah. Tapi dia anak manja. Ibunya sakit-sakitan.
Abangnya telah menikah. Kalau Bapak meninggal, dia perlu
seorang suami untuk menopang hidupnya...."
Tapi aku tidak mencintainya, protes Aris dalam hati.
Mungkinkah menikahi seorang gadis hanya karena aku
mengasihaninya? Karena aku berutang padanya?
"Kamulah lelaki yang paling tepat untuk menggantikan
Bapak melindungi Tiwi jika Bapak sudah tiada...."
Bagaimana menolak tawaran yang begini mendadak?
Bagaimana menolak lamaran seorang tua yang hampir
meninggal? Bagaimana menolaknya tanpa menghancurkan
hati Tiwi?
"Bapak tidak bisa memaksa, Aris," gumam ayah Pratiwi
melihat anak muda itu diam saja, tertegun dengan paras
bingung. "Tapi jika kamu setuju, Bapak ingin kamu menikahi
Tiwi secepatnya. Supaya Bapak masih sempat melihat dia
menikah dan dapat meninggalkan dunia ini dengan tenang...."
"Bapak belum tahu siapa saya...," desah Aris gugup. Jika
dia tahu apa yang telah kulakukan pada putrinya....46
"Bapak sudah hampir dua tahun mengenalmu, Aris.
Bapak merasa lega jika Tiwi memperoleh seorang suami
seperti kamu."
Aris memang belum siap. Namun dia tidak dapat
menolak permintaan seperti itu, apalagi jika Pratiwi juga
menghendakinya. Jika pernikahannya dengan gadis itu dapat
melunasi utangnya, Aris tidak akan menolak, apa pun
taruhannya!
*** Ternyata Paman Farid menolak keinginan Aris untuk
menikah. Apa pun alasannya.
"Kamu baru tingkat dua," katanya berang. "Sekolah
dokter itu lama dan sulit! Bagaimana kamu bisa konsentrasi
belajar kalau sudah jadi ayah?!"
"Tiwi membutuhkan saya, Paman," sahut Aris tegas.
"Ayahnya sakit. Ibunya sakit-sakitan. Kalau orangtuanya
meninggal, Tiwi memerlukan saya untuk mendampinginya
melewati masa-masa yang paling sulit dalam hidupnya...."
"Tapi kamu tidak perlu mengawininya! Kamu boleh
mendampinginya. Menjadi sahabatnya. Tetapi menikah?"
"Saya akan tetap kuliah setelah menikah, Paman."
"Tidak segampang itu! Mengawini gadis buta
memerlukan pengorbanan, dan kamu masih terlalu muda
untuk mengatasi semua cobaan itu!"
Namun Aris tetap dengan tekadnya untuk menikahi
Pratiwi, biarpun akibat pengaduan Paman Farid, ibunya
sampai khusus datang ke Jakarta menemuinya.
"Dia baru tingkat dua!" gerutu Paman Farid marah.
"Umurnya baru dua puluh tahun. Masih kelewat muda untuk
menikah!"
Paman Farid memang sangat kecevva dan kekecewaan
membuatnya marah-marah terus.47
Dia mengharapkan jerih payahnya tidak sia-sia.
Keponakannya bisa jadi dokter. Sekarang baru separuh jalan


Nirwana Di Balik Petaka Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dia sudah mau kawin, dan calon istrinya perempuan buta! Hh,
anak itu benar-benar tidak tahu diuntung! Entah di mana
otaknya!
Larangan ibunya pun tidak menyurutkan langkah Aris.
Dan tidak menghalangi tekadnya untuk mengawini Pratiwi.
Dia hanya merasa menyesal tidak dapat menjelaskan kepada
ibu dan pamannya, mengapa dia harus menikah!
*** Pratiwi menangis ketika meiepaskan kepergian ayahnya
untuk berobat ke Jepang. Dalam tiga bulan saja, keadaan
umum orangtua itu sudah merosot banyak. Tubuhnya amat
lemah sehingga dia tidak mampu lagi melangkah.
Pratiwi demikian terpukul ditinggalkan ayahnya dalam
keadaan seperti itu. Ayah yang kuat. Yang selalu melindunginya dengan lengannya yang kokoh. Sekarang untuk
menopang tubuhnya sendiripun dia sudah tidak mampu!
Dokter-dokter di Jakarta mengatakan kemungkinan
hidupnya enam bulan lagi. Kankernya sudah merambah ke
mana-mana. Tak ada harapan lagi untuk hidup lebih lama.
Bahkan, operasi dianggap akan lebih membahayakan
jiwanya.
Sebenarnya ayah Pratiwi telah pasrah. Istrinya yang
berkeras hendak membawanya ke Jepang. Siapa tahu dokter
di sana punya pandangan lain. Punya cara pengobatan baru.
Sebelum ajal, berpantang mati, bukan? Ibu Pratiwi nekat
membawa suaminya berobat ke sana walaupun kondisinya
sudah amat memprihatinkan.
Kondisi ibu Pratiwi sendiri tidak prima. Gula darahnya
makin tinggi. Mungkin akibat stres.48
Aris ikut terharu melihat perpisahan itu. Dia melihat
bagaimana Pratiwi memeluk ayahnya eraterat. Seolah-olah
enggan melepaskannya.
Masih kuatkah Papa bertahan sampai pulang ke
Indonesia? keluh Pratiwi dalam hati. Masih sempatkah kami
bertemu lagi? Atau... inikah pertemuan kami yang terakhir?
Ayah Pratiwi sudah terlalu lemah untuk bicara. Bahkan
untuk balas memeluk anaknya. Namun dia masih memaksakan diri membelai kepala putrinya.
Istrinya tegak di sisi kursi rodanya dengan air mata
berlinang. Sementara Pramono masih sibuk mengurus
barang-barang mereka.
"Titip Tiwi, Ris," bisik ibu Pratiwi sesaat sebelum
berangkat.
Suaminya sudah tidak mampu mengucapkan sepatah
kata pun, tetapi tatapan matanya yang redup memohon hal
yang sama.
Aris langsung memegang tangannya. Tidak tega membalas tatapan yang demikian getir.
"Jangan khawatir, Pak," katanya lunak. "Jangan pikirkan
Tiwi lagi. Semoga Bapak lekas sembuh. Saya akan menjaga
Tiwi."
* * *
Pratiwi memang sedih. Luluh lantak dalam kedukaan dan
kecemasan. Justru pada saat-saat seperti itu, dia menyadari
punya seseorang yang selalu mendampinginya seperti Aris,
merupakan berkah tersendiri.
Suatu malam, setelah menerima interlokal dari ibu
Pratiwi, Aris tak dapat menahan dirinya lagi untuk melamar
gadis itu.
Ibu Tiwi tidak mengatakan apa-apa pada anaknya, tetapi
pada Aris dia berterus terang.49
"Tidak ada harapan lagi, Ris," katanya sambil menahan
tangis. "Dokter-dokter Jepang juga tidak berani melakukan
operasi. Kankernya telah mengganas ke mana-mana. Mereka
memperkirakan umur Bapak tinggal tiga bulan lagi...."
Malam itu, Aris tinggal lebih lama di rumah Pratiwi. Dia
tidak tahu bagaimana harus menyampaikan kabar itu. Pratiwi
pasti shock. Ah, mengapa buruk benar nasibnya?
"Kapan Papa pulang, Ris?" tanya Pratiwi setelah Aris
meletakkan telepon. "Tadi kok Mama nggak bilang, ya."
Seharusnya saat itu Aris menyampaikan berita buruk itu.
Namun, sampai tiga jam lebih dia duduk di sofa bersama
Pratiwi, dia tetap tidak dapat mengatakannya.
"Kamu pikir Papa masih bisa sembuh, Ris?"
"Hidup-mati manusia di tangan Tuhan, Tiwi,"
"Rasanya aku tidak sanggup hidup tanpa kehadiran
ayahku, Ris. Papa adalah segala-galanya untukku."
"Sekarang kamu punya aku, Tiwi." Begitu saja kata-kata
itu meluncur dari mulut Aris.
Pratiwi menoleh. Seakan-akan dengan indranya yang
keenam, dia ingin memastikan maksud pemuda itu.
Aris memegang tangan Pratiwi dan menggenggamnya
erat-erat.
"Aku mengharapkan ayahmu kembali dalam keadaan
sehat, Tiwi. Tapi jika tidak, berjanjilah padaku, kamu tidak
akan putus asa."
"Aku sudah kehilangan penglihatanku, Ris. Jika aku
harus kehilangan Papa pula, aku seperti orang buta yang
kehilangan tongkat. Kehilangan pegangan...."
"Berpeganglah padaku."
"Kamu sahabat yang baik, Ris. Namun, kamu belum
dapat menggantikan Papa...."
"Sebagai sahabat mungkin belum, tetapi sebagai suami
barangkali aku dapat."50
Sesaat Pratiwi membeku. Tidak menyangka Aris berani
mengucapkan kata-kata seperti itu. Tetapi ketika dia sedang
menajamkan pendengarannya, Aris memeluknya.
"Maukah kau menjadi istriku, Tiwi?"
Sesudah mengucapkan kata-kata itu, Aris merasa lega.
Amat lega. Seolah-olah baru terlepas dari beban utang yang
telah mengimpitnya selama dua tahun.51
7 DUA bulan setelah Pratiwi menikah, ayahnya meninggal.
Ibunya ikut Pramono karena kesehatannya amat menurun.
Rumah dan mobil diberikan kepada Pratiwi sebagai
hadiah pernikahannya. Kakaknya mengelola perusahaan
EMKL milik ayah mereka.
Pratiwi mendapat lima puluh persen dari saham
perusahaan itu. Keuntungannya dibagi setiap akhir tahun.
Pratiwi memakainya untuk membiayai rumah tangganya.
Aris masih melanjutkan kuliah. Pratiwi melarangnya
bekerja.
"Supaya bisa berkonsentrasi penuh pada studimu,"
katanya pada Aris. "Semua biaya menjadi tanggunganku.
Mas Pram dan Mama sudah setuju."
Paman Farid memang sudah tidak bersedia lagi
membiayai studi keponakannya. Dia merasa amat kecewa
Aris tidak mau mendengarkan petuahnya.
Pada awal pernikahannya, kebahagiaan mereka memang
belum lengkap. Pratiwi masih merasa sangat kehilangan
ayahnya. Tokoh yang amat dominan dalam hidupnya sejak
kecil.
Kadang-kadang adatnya begitu jeleknya sampai Aris
kewalahan mengatasi istrinya yang manja dan rapuh itu.
Kalau kesabarannya sudah habis, kadang-kadang dia
menyesal buru-buru menikah.
Tetapi pada tahun kedua, ketika kedukaan Pratiwi mulai
berangsur lenyap, dia mulai dapat memulihkan keseimbangan52
jiwanya. Bersama dengan bertambahnya umur, kedewasaan
pun mulai mematangkan Pratiwi. Dia mulai lebih sabar.
Lebih mampu melayani suaminya, dan lebih pasrah
menerima keadaan yang kadang-kadang tidak mudah bagi
seorang buta.
Ketika anak pertama mereka lahir, Pratiwi malah tak
sempat lagi menangisi kepergian ayahnya. Dia menjadi amat
sibuk, tetapi sekaligus amat berbahagia.
Saat itu, Aris sudah duduk di tingkat empat. Dia
merasakan kebenaran kata-kata Paman Farid. Mempunyai
seorang anak memang repot. Kuliah sambil menjadi ayah
memang sulit, tetapi sekaligus bahagia. Itu yang tak pernah
diberitahukan pamannya.
Menghadapi tentamen pada saat anak sakit memang
menjengkelkan, apalagi istrinya yang buta dan kekanakkanakan itu tidak mampu merawat anak seorang diri.
Sering Aris kesal dan marah-marah kalau Vina menangis
tenis mengganggu konsen-trasinya. Namun, kalau bayi
perempuan yang mungil dan lucu itu sedang sehat dan Aris
punya waktu senggang, dia betah sekali bermain dengan
anaknya.
Semakin hari Aris semakin menyayanginya. Rasanya dia
begitu kehilangan, begitu kangen kalau sehari saja tidak
memanjakannya. Misalnya kalau dia sedang berdinas malam
di rumah sakit. Seperti malam ini.
* * *
Kepaniteraan klinik di Bagian Anak memang bcerat. Lebihlebih kalau gilir jaga malam. Rasanya dalam dua bulan saja,
berat badan Aris sudah turun dua kilo.
Dosen pembimbingnya streng. Asistennya galak-galak.
Barangkali membalas dendam. Dulu mereka juga53
diperlakukan dengan keras, kan? Atau... hanya untuk
menerapkan disiplin seperti kata dosen pembimbingnya?
"Pasien di sini anak-anak semua. Mereka belum bisa
protes kalau diperlakukan sembrono. Betul atau salah cara
pemeriksaan kalian, mereka tetap nangis juga. Jadi, disiplin
di bagian ini sangat penting!"
Bagian Anak memang termasuk satu di antara empat
bagian besar dalam kepaniteraan klinik di fakutas kedokteran.
Oleh karena itu, tidak heran dalam tiga bulan menjadi
koasisten di sana, Aris dan rekan-rekannya digembleng
dengan keras.
Kasus yang harus ditangani tidak sedikit dan tidak
ringan. Lebih-lebih kalau kebagian jaga seperti malam ini.
Ada saja anak yang sakit keras dan datang tengah
malam. Rumah Sakit Umum tempat Aris bertugas memang
tak pernah sepi, apalagi kalau sedang wabah demam berdarah
seperti sekarang.
Dalam satu malam saja, mereka bisa menerima sembilan
pasien demam berdarah. Itu berarti lembur panjang.
Aloanamnesa orangtua pasien. Pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan laboratorium. Memasang infus. Menghitung
tetesan cairan yang diperlukan, dan yang tidak kalah
merepotkan, membuat status.
Belum lagi kalau disuruh dokter melakukan vena seksi.
Mengiris pembuluh darah balik di kaki anak untuk
memasukkan jarum infus yang tidak dapat dimasukkan
dengan cara biasa....
Kalaupun ada waktu luang, itu tidak berarti Aris bisa
tidur. Dia harus menyiapkan diri kalaukaiau dalam visite esok
pagi, dokter pembimbingnya menanyakan hal-hal yang
berkaitan dengan kasus yang masuk tadi malam.... Nah, itu
berarti dia harus bergumul semalaman dengan diktat, catatan
kuliah, dan textbook!54
Kesibukan tampaknya memang sedang menertawakan
Aris. Ketika pekerjaannya masih bertumpuk-tumpuk, pada
pukul sebelas malam masuk seorang anak perempuan
berumur delapan tahun dengan dugaan demam berdarah.
Panas tinggi. Bintik-bintik merah di kulit. Mimisan, dan
muntah berwarna hitam.
Anak itu masuk sudah dalam keadaan shock akibat
dehidrasi. Keadaan di mana cairan tubuh sudah sangat
berkurang. Ketika Aris mencubit kulit perutnya, kulit itu tak
dapat lagi kembali ke tempat semula.
Kesadaran anak itu pun sudah sangat menurun. Dia tidak
menangis lagi, apa pun yang dilakukan Aris terhadap
tubuhnya.
Saat itu dokter dan para perawat sedang sibuk-sibuknya.
Beberapa kasus gawat masuk sekaligus. Dokter jaga hanya
sempat mengirimkan pasien itu dengan diagnosa DSS di
kartu statusnya.
DSS berarti Dengue Shock Syndrome. Kasus demam
berdarah yang sudah masuk dalam fase shock. Hanya
tindakan cepat yang mungkin masih dapat menyelamatkan
nyawanya.
Aris hanya sempat melihat status itu sekilas. Lalu dia
melihat anak perempuan kurus yang berpakaian lusuh itu
digendong ibunya dan diletakkan di atas tempat tidur.
Perawat telah menyiapkan semua peralatan untuk
memasang infus. Namun, karena pembuluh darahnya sudah
kolaps, diperlukan pembedahan kecil di pembuluh darah vena
di kakinya untuk memasukkan jarum infus.
Suster Suharti bekerja gesit menyiapkan peralatan yang
dibutuhkan untuk vena seksi. Termasuk memberitahukan si
ibu prosedur apa yang akan dilakukan dan mengapa harus
dilakukan.
Ibu yang sudah panik itu tidak peduli lagi apa yang akan
dilakukan dokter. Pokoknya anaknya selamat. Dia percaya55
sekali, cuma dokter yang paling tahu apa yang terbaik bagi
kesembuhan anaknya.
Aris hanya melihat punggung ibu itu sekilas ketika dia
membungkuk di dekat kepala buah hatinya. Memeluk
anaknya dengan air mata berlinang.
Aris langsung duduk di dekat kaki anak itu dan sibuk
melakukan vena seksi dibantu oleh Suster Suharti yang sudah
amat berpengalaman.
Ketika jarum infus sudah terpasang, Aris menginstruksikan kepada perawatnya berapa tetesan cairan yang
dibutuhkan per menit. Lalu dia pergi melapor kepada dokter
jaga.
Sejam kemudian, Suster Aida memanggilnya. "Ada
pasien anak yang meninggal di bangsal. Dokter Bahar minta
Dokter ke sana dulu. Ada pasien gawat di kamar tiga."
"Pasien DSS yang baru diinfus itu?" tanya Aris antara
kaget dan kecewa.
"Bukan, Dok. Pasien meningitis yang masuk jam tujuh
Playboy Dari Nanking Karya Batara Penjara Rindu Karya Nia Arissa A Child Called It Karya Dave Pelzer

Cari Blog Ini