Ceritasilat Novel Online

Nirwana Di Balik Petaka 3

Nirwana Di Balik Petaka Karya Mira W Bagian 3


sampai habis.
Dia menyodorkan cangkir kosong itu ke tangan Pratiwi,
lalu menoleh ke sana kemari. Rumah begini sepi. Ke mana
pembantu-pembantunya?108
"Ke mana semua orang di rumah ini?" tanya Aris
bingung.
"Siapa?" sahut Pratiwi ringan saja. "Pembantu-pembantu
maksudmu?"
"Ke mana Vina?" Aris tidak ingin bertengkar lagi.
Apalagi dalam suasana seperti ini.
Dia memang ragu ke mana Nanda dan Nila. Sesaat dia
berpikir Pratiwi mungkin sudah mengusir mereka. Oleh
karena itu, dia berusaha mengambil hati suaminya... tetapi tak
mungkin Ani ikut lenyap pula!
"Tidur. Pembantu-pembantu kuliburkan. Kusuruh
mereka nonton bioskop."
"Ada apa?" desak Aris resah. "Ini kan bukan malam
Tahun Baru?"
"Malam ini aku ingin berdua saja," sahut Pratiwi lembut.
Digandengnya suaminya ke meja makan.
Aris terpaku melihat hidangan yang sudah tersaji lengkap
di atas meja makan itu. Pratiwi memang berhasil membuat
kejutan!
"Malam ini aku yang akan melayanimu makan," kata
Pratiwi hangat. "Seperti dulu."
"Tapi aku tidak mengerti...."
"Aku sudah bosan bertengkar dengan suamiku sendiri,"
potong Pratiwi tegas tapi lembut. "Cuma gara-gara babu!
Kupikir aku memang bodoh! Mas Pram bilang, aku cemburu
buta!"
Pratiwi tertawa renyah. Mencomot sepotong tempe
goreng dan melekatkannya ke bibir suaminya.
"Aku mandi dulu," kata Aris gelisah. Digigitnya tempe
itu dan sambil mengunyah, dia melangkah ke kamar.
"Sekalian lihat Vina."
"Jangan lama-lama! Nanti supnya keburu dingin lagi!
Sudah dua kali kupanaskan kamu belum pulang juga!"109
Tanpa berkata apa-apa lagi Aris melangkah ke kamar
anaknya. Sambil menatap Vina yang sedang tidur lelap,
otaknya berpikir keras.
Mengapa sikap Pratiwi berubah begitu drastis? Benarkah
dia sudah menyadari kekeliruannya? Benarkah Pramono
berhasil menginsafkannya?
Ke mana Nila? Benarkah cuma nonton? Apa yang
dikatakan Tiwi kepadanya tadi?
Nanda pasti gembira, tetapi Nila? Aris dapat membayangkan betapa sedih perasaannya tadi. Betapa sakit
hatinya melihat perempuan lain....
Ah, masih perempuan lainkah Pratiwi? Perempuan itu
istrinya! Apa pun pendapat Nila tentang Pratiwi, hal itu tidak
akan mengubah statusnya sebagai istri Aris!
* * *
Malam itu Pratiwi melayani suaminya dengan manis. Di meja
makan, maupun di tempat tidur.
Biarpun gairahnya tidak begitu terpacu karena sakit
kepala, Aris berusaha melayani keinginan istrinya. Dia tidak
ingin mengecewakan Pratiwi.
Istrinya sudah berusaha keras untuk berdamai. Dia sudah
mengakui kekeliruannya. Sudah membeli baju tidur yang
demikian merangsang untuk menggugah gairah suaminya.
Sudah menyiapkan makan malam yang sangat romantis.
"Seandainya aku tidak buta," kata Pratiwi di meja makan
tadi. "Akan kunyalakan dua batang lilin untuk menambah
romantis suasana malam ini."
"Tanpa lilin pun kamu sudah bcrhasil menciptakan
makan malam yang sangat berkesan bagiku," sahut Aris,
sekadar tidak ingin mengecewakan istrinya.
"Kadang-kadang aku ingin sekali melihat seperti apa
orang yang dulu melemparkan batu ke kaca mobilku."110
"Buat apa?" tanya Aris kaget.
"Kadang-kadang aku menyumpahinya. Gara-gara dia
aku tidak pernah dapat melihat wajahmu."
"Katamu dulu, kamu malah bersyukur padanya...."
"Kalau mataku tidak buta, mukaku tidak cacat, kamu
pasti tidak datang ke rumahku dan kita tidak bakal ketemu!"
Aris menarik napas panjang. Tiba-tiba saja dia merasa
sesak.
"Katakan padaku, Tiwi," katanya berat. "Sebenarnya
kamu menyesal tidak kawin denganku?"
Pratiwi tertawa lembut.
"Kalau menyesal, aku tidak akan membeli baju tidur
seharga tiga ratus ribu hanya untuk memiliki suamiku
kembali!"
Mereka tidak menyelesaikan makan malam itu. Aris
keburu menggendong Pratiwi ke kamar dan mereka
menyelesaikan semuanya di sana.
* * *
"Maafkan kekasaranku, Ris," bisik Pratiwi sambil mencium
bibir suaminya, setelah Aris mempersembahkan simfoni cinta
yang sangat indah untuknya. "Aku cemburu buta pada
seorang pembantu! Aku tidak mempercayai kesetiaanmu...."
"Yang sudah lewat, sudahlah," sahut Aris sambil balas
mencium. "Malam ini aku merasa tidak ada yang lebih
penting daripada kebahagiaan kita berdua."
"Karena itu, aku ingin memperbaiki hubungan kita, Ris."
"Tidak ada yang salah dalam hubungan kita."
"Memang tidak sebelum anak itu datang."
Pratiwi membaringkan tubuhnya di sisi suaminya.
"Mula-mula aku cuma kasihan padanya, Tiwi. Tetapi
sekarang aku benar-benar menyayanginya. Tidak bolehkah
aku menyayangi seorang anak yatim yang malang seperti111
Nanda? Aku berjanji tidak akan menyia-nyiakan Vina.
Cintaku masih cukup pekat sekalipun harus dibagi pada dua
orang anak."
"Aku mengerti. Oleh karena itu, aku ada usul.
Bagaimana kalau kita adopsi saja anak itu?"
Tubuh Aris membeku. Hatinya juga. Adopsi? Apakah
tujuan Pratiwi untuk menyingkirkan Nila?
"Nila pasti keheratan," gumam Aris murung.
"Kamu kan belum tanya dia!"
"Satu-satunya alasan dia mau kerja di sini supaya tidak
usah pisah dengan anaknya!"
"Biar aku yang ngomong!"
"Ngomong apa?"
"Dia kan masih muda. Kata Ani, parasnya lumayan. Buat
apa dia menyia-nyiakan umur jadi pembantu? Cuma untuk
merawat seorang anak haram?"
"Tapi Nanda anaknya, Tiwi!"
"Kita lebih mampu merawatnya!"
"Nanda belum tentu mau berpisah dengan ibunya!"
"Kalau dia kerja di tempat lain, mereka kan harus
berpisah juga!"
"Itu sebabnya Nila memilih kerja di sini!"
"Namun aku tidak suka punya pembantu seperti dia!"
"Kenapa kamu begitu ingin menyingkirkan Nila?"
"Aku cemburu," sahut Pratiwi terus terang. "Apa salahnya mencemburui suami sendiri? Sah saja, kan? Selama dia
masih di sini, hidupku tidak tenang."
"Kamu tidak percaya padaku?"
"Aku hanya tidak percaya pada diriku sendiri. Aku tidak
percaya aku masih mampu memilikimu seratus persen, kalau
ada pembantu muda dan cakep di rumahku! Apalagi kamu
sangat menyayangi anaknya dan aku buta!"
"Aku kecewa, Tiwi," keluh Aris antara kesal dan sedih.
"Kukira malam ini kamu hendak memperbaiki suasana...."112
"Justru karena ingin memperbaiki hubungan kita aku
berterus terang. Aku sudah bosan bertengkar. Aku ingin
hubungan kita semanis dulu lagi. Sebelum mereka datang
merusaknya."
"Tadi kamu sendiri yang bilang, kamu keliru! Kamu
cemburu buta!"
"Aku keliru karena menyalahkanmu! Memarahimu.
Menjauhimu. Kamu tidak salah! Kamu cuma kasihan pada
anak itu! Aku yang sudah berprasangka buruk. Menuduh
anak itu punya hubungan istimewa denganmu!"
"Karena itu, biarkan mereka di sini!"
"Nanda oke. Nila tidak."
"Karena dia muda dan ayu?"
"Karena aku cemburu. Sekarang mungkin kamu belum
tergoda. Sebulan-dua lagi, siapa tahu?"
"Tiwi!" geram Aris cemas. "Katanya kamu percaya
padaku!"
"Padamu, ya. Padanya, tidak. Kamu muda dan ganteng.
Calon dokter, kaya, punya masa depan cerah. Perempuan
mana yang tidak tertarik padamu?"
"Nila tidak seperti itu!"
"Mana kamu tahu? Kalian kan baru ketemu di rumah
sakit!"
"Namun orangnya tidak seperti sangkaanmu," sergah
Aris gugup. "Nila alim. Tidak genit. Tanya saja Ani!"
"Justru yang seperti itu yang bahaya! Aku tidak mau
menyimpan dinamit dalam rumah!"
"Kamu tidak kasihan padanya? Nila orangnya baik.
Cuma nasibnya yang jelek!"
"Daripada aku menyiksanya terus karena cemburu,
bukankah lebih baik dia pergi? Kita ambil anaknya. Beri dia
uang. Aku janji, akan coba menyayangi anak itu."
"Nila tidak mungkin mau berpisah dengan Nanda!"113
"Tidak maukah dia berkorban untuk masa depan
anaknya?"
"Kamu pikir karena apa dia mau bekerja di sini? Di
rumah majikannya yang lama, pasti lebih enak!"
"Kamu pikir karena apa?"
"Nanda!"
"Nah, kita bisa memberi anak itu kehidupan yang lebih
baik!"
"Itu memang kewajibanku!"
Terlambat menahan lidahnya. Sesudah mengucapkannya,
baru Aris menyadari, dia telah kelepasan bicara....
"Kewajibanmu?" Pratiwi membeku seperti diguyur
seember air es.
"Kewajiban kita sebagai orang beragama untuk
membantu anak yatim," ralat Aris gugup.
Namun Pratiwi sudah tak dapat ditenangkan kembali.
Suaranya sedingin es ketika dia bertanya dengan tajam.
"Benarkah Nanda anakmu?"
Spontan Aris membuka mulutnya untuk menyang-kal.
Ketika tiba-tiba bayangan wajah Nanda melintas di depan
matanya. Pantaskah dia menyangkali darah dagingnya
sendiri? Untuk alasan apa pun? Akhirnya mulutnya terkatup
kembali.
Diamnya telah meledakkan kemarahan Pratiwi.
"Jadi, aku tidak keliru!" geramnya sengit. Napasnya
memburu cepat. Panasnya udara napas yang melewati
hidungnya seakan membakar seisi kamar itu. "Aku memang
pantas cemburu!"
"Sudah lama aku ingin berterus terang padamu, Tiwi,"
kata Aris sambil menghela napas berat. Dia merasa percuma
berdusta lagi. Sekarang apa yang harus terjadi, terjadilah. Dia
tidak mau menyembunyikan apa-apa lagi. Dadanya terasa
sesak. Sesak sekali. "Nila pacarku waktu di kampung dulu,
tetapi aku tidak tahu Nanda anakku atau bukan...."114
"Jadi, firasatku henar!" desis Pratiwi getir. Napasnya
mulai sesak. Air matanya bercucuran.
"Namun, antara aku dan Nila sekarang sudah tidak ada
hubungan apa-apa lagi. Aku hanya kasihan padanya dan ingin
menolong Nanda...."
"Mereka harus pergi!" teriakan Pratiwi melengking
menyakitkan telinga dan hati Aris. Teriakan penuh kegusaran
dan kegetiran. "Besok pagi mereka berdua harus enyah dari
rumahku!"
"Itu berarti kamu mengusirku juga...."
"Aku tidak tahan lagi!" Pratiwi menangis terse-du-sedu.
"Kalau Papa masih hidup...."
"Apa yang dapat dilakukan ayahmu?" geram Aris
tersinggung. "Mengusirku?!"
"Papa pasti tahu apa yang harus kulakukan!" Pratiwi
mulai tampak sulit bernapas.
"Nah, tanyalah ayahmu!"115
15 MALAM itu mereka bertengkar hebat. Aris terpaksa
menyingkir ke kamar tamu. Mencoba tidur. Melelapkan
problemnya ke alam tak sadar.
Sudah sejam lebih dia membolak-balikkan tubuhnya di
tempat tidur, tetapi dia tetap tak dapat tidur pulas. Akhirnya,
dia bangkit. Menyeret kakinya ke kamar mandi. Mengambil
obat tidur yang ditaruhnya di lemari obat di atas wastafel.
Ketika sedang mengambil air di lemari es, dia
mendengar suara di belakangnya. Aris menoleh. la melihat
Nanda tengah mengawasinya. Matanya yang besar dan bulat
menatap Aris dengan penuh perhatian.
"Belum tidur?" tanya Aris sebelum meneguk obatnya.
Nanda menggeleng tanpa melepaskan tatapannya.
"Pergilah tidur. Sudah malam. Filmnya tadi bagus?"
Sekali lagi Nanda membisu. Dia cuma mengangguk
sedikit. Aris sedang tidak ingin mengobrol. Dengan siapa
pun. Kepalanya pusing. Dia meletakkan gelas kosongnya di
meja, lalu melangkah kembali ke kamar tamu.
Obat memang membantunya tidur, tetapi tidak
senyenyak yang diharapkannya. Dia sering terbangun. Seperti
mendengar suara-suara dad luar kamar.
Aris baru benar-benar terlelap menjelang subuh dan
terjaga pada pukul delapan pagi. Dia bangkit dari tempat
tidur dengan sempoyongan. Kepalanya masih tetap berat.
Santapan pagi sudah terhidang di atas meja, tetapi pintu
kamar Pratiwi masih tertutup rapat. Nila masuk116
mengantarkan koran pagi. Wajahnya sama kusutnya dengan
wajah Aris. Pelupuk matanya bengkak. Pasti karena lama
menangis.


Nirwana Di Balik Petaka Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kopi?" tanyanya datar.
"Ibu belum bangun?" Aris duduk di kursi makan sambil
meraih koran yang diletakkan Nila di atas meja.
Nila menggeleng. Dia membuat kopi, lalu menghidangkannya di atas meja makan. "Di mana Vina?"
"Lagi mandi sama Ani."
Aris menghela napas panjang. Dia mengambil cangkir
kopi yang dihidangkan Nila. Cangkirnya terasa panas.
Asapnya berkepul-kepul. Harumnya aroma kopi menyengat
hidungnya, tetapi lain dari biasa, dia tidak merasa ingin
cepat-cepat menghir-upnya.
"Telur setengah matang atau dadar?" tanya Nila dengan
suara semurung wajahnya.
"Nggak usah. Mau ngopi saja."
Tanpa menjawab sepatah kata pun, Nila bergerak untuk
menyingkir ke dapur. Namun Aris memanggil-nya.
"Duduk di sini," katanya tegas.
Nila menoleh kaget. Apa katanya?
Aris mengulangi perintahnya. Sama mantapnya.
"Tiwi sudah tahu," katanya begitu melihat ker-aguan
Nila. "Tadi malam aku telah berterus terang. Dia tidak mau
kamu tinggal di sini lagi."
Paras Nila memucat.
"Apakah gara-gara kemarin?" gumamnya terbata-bata.
"Kemarin?"
"Mertuamu datang. Kami ngobrol lama, tetapi aku tidak
bilang apa-apa tentang hubungan kita...."
"Bukan salahmu. Aku yang kelepasan ngomong."
Air mata Nila meleleh ke pipinya.
"Ke mana aku dan Nanda harus pergi ?"
"Aku telah mengontrakkan rumah untukmu."117
"Nanda bukan cuma membutuhkan rumah!"
"Aku tetap akan membiayai hidupnya. Sekolahnya...."
"Bukan cuma itu yang diperlukannya!"
"Cuma itu yang dapat kuberikan!"
"Dia butuh seorang ayah!"
"Jangan minta terlalu banyak, Nila. Aku telah beristri."
"Terlalu banyakkah yang kuminta? Aku hanya minta
Nanda boleh tinggal di sini. Bersamamu!"
"Pratiwi tidak keberatan. Asal kamu pergi dari sini."
"Mengapa dia begitu benci padaku? Aku sudah bersedia
jadi babunya!"
"Kalau kamu jadi dia, kamu tidak cemburu?"
"Apa yang mesti dicemburui? Suaminya begitu setia
sampai melirik babunya pun dia merasa takut!" Dengan
gemas Nila meninggalkan ruang makan.
Aris mengejarnya dan meraih lengannya. Nila berpaling
dengan terkejut. Matanya yang merah berair menatap Aris
dengan terperangah.
Sesaat mereka saling tatap. Cinta yang telah lama
terpendam itu kembali menyeruak ke permukaan. Tak sadar
Aris meraih Nila ke dalam pelukannya.
"Inikah yang kamu harapkan?" bisik Aris dengan suara
gemetar. "Tahukah kamu betapa sulitnya bagiku untuk
menahan diri? Namun aku telah banyak berbuat dosa!
Kepadamu dan kepada istriku. Aku tidak ingin berbuat dosa
lagi!"
Nila memejamkan matanya rapat-rapat. Merasakan
pelukan yang begitu dirindukannya. Kenikmatan yang
dicicipinya dari dekapan laki-laki yang dicintainya itu
mengalahkan rasa takutnya.
Jika dia harus mati, matilah sekarang! Pada saat
kekasihnya mendekapnya begitu hangat....
Aris-lah yang lebih dulu melepaskan pelukannya. Nila
mundur dengan tersipu-sipu. Pipinya merah, tetapi matanya118
bercahaya. Ternyata Aris masih mencintainya! Masih ada
secercah kasih yang tersisa dari masa remaja mereka....
"Aku tidak bisa menceraikan Tiwi, Nila," keluh Aris
dengan perasaan bersalah. "Kami sudah punya Vina...."
"Aku hanya minta apa yang menjadi hak Nanda," desah
Nila getir. "Tidak usah pikirkan diriku. Pikirkan saja anak
kita!"
"Aku bersedia membiayai hidupnya. Sekolahnya. Masa
depannya. Aku sudah mengontrakkan rumah untuk kalian...."
"Dengan uang istrimu?"
Aris tertegun. Bahkan Nila tahu semuanya milik istrinya!
Dia tidak punya apa-apa!
"Kemasi barang-barangmu," ujar Aris dingin. "Aku antar
ke sana."
"Apa yang harus kukatakan pada Nanda?"
"Jangan tanya aku!" geram Aris kesal. "Mengapa karnu
seolah-olah menyalahkanku? Aku harus bagaimana?"
"Nanda menuntut tanggung jawabmu!"
"Sebatas kemampuanku! Tidak lebih! Sekarang kemasi
barang-barangmu. Ikut aku. Persetan apa pun yang akan
kamu katakan padanya!"
* * *
Namun Nanda tidak mau pergi. Dia menangis ketika ibunya
mengemasi barang-barang mereka. Dia sudah kepalang betah
di rumah ini. Seperti apa pun pemiliknya memusuhinya.
Bukankah sejak kecil dia memang sudah biasa dimusuhi
lingkungan?
"Jangan usir Nanda, Pak!" pintanya mengiba-iba
kepadaAris. "Nanda janji nggak nakal lagi!"
Aris memeluk anaknya dengan sedih. Dia bisa tegar pada
Nila atau Tiwi, tetapi terhadap anaknya, dia tidak tega.
Diangkatnya Nanda ke dalam gendongannya.119
"Kamu pingin punya rumah sendiri, kan?"
"Nggak!" Mata Nanda yang berkaca-kaca menatap Aris
dengan penuh permohonan. "Nanda mau tinggal sama Bapak
aja!"
"Dengar, Nanda," bujuk Aris lunak. "Bapak akan
membawamu ke rumahmu sendiri. Tidak ada orang yang
akan memarahimu...."
"Nanda mau Bapak!"
"Bapak akan sering datang ke rumahmu."
"Tinggal sama Nanda?"
"Bapak mesti tinggal sama Vina. Kasihan kan, dia masih
kecil."
"Kenapa kita nggak tinggal sama-sama aja?"
Ibumu tidak bisa tinggal bersama Ibu Vina, keluh Aris
dalam hati. Kalau saja mereka bisa, kepalaku ti-dak pusing
begini!
Nila meletakkan kopornya di depan pintu. Tanpa berkata
apa-apa, dia mengambil Nanda dari gendon-gan Aris tetapi
Nanda berontak. Ingin tetap melekat pada ayahnya.
Dengan geram Nila memukul Nanda. Kekecewaannya
pada Aris, dilampiaskannya pada anaknya. Padahal selama
ini dia jarang sekali memukul Nanda.
Nanda memekik dan melekat makin rapat di dalam
pelukan ayahnya. Ketika Nila memaksa hendak merengkuhnya, Aris mendorongnya. Agak terlalu kasar sampai Nila
terjajar mundur.
"Jangan paksa dia seperti itu!" desis Aris antara marah
pada Nila dan pada dirinya sendiri.
"Seperti apa?" balas Nila sengit. "Katamu tadi, Tersetan
bagaimanapun caranya, bawa Nanda pergi dari rumah ini!"
"Aku tidak bilang begitu!" protes Aris kesal.
"Lalu bagaimana caramu supaya Nanda mau pergi dari
sini?"
"Dia mesti dibujuk! Bukan dikasari begitu!"120
"Nah, bujuklah! Aku sudah kehabisan kata-kata!"
* * *
Nila tidak memberi komentar apa-apa tentang rumah itu.
Tampaknya dia menerima saja dengan pasrah.
"Bagaimana?" tanya Aris sebelum memberi uang
kontrak pada Haryo. "Kamu setuju tinggal di sini?"
"Nggak apa-apa," sahut Nila datar. "Rumah ini sudah
cukup buat kami."
Rumah itu memang kecil. Hanya mempunyai dua kamar
tidur. Sebuah kamar mandi dan dapur. Kamar tamu, kamar
makan, dan kamar duduk keluarga hanya terdiri dari sebuah
mangan memanjang dari depan ke belakang.
Halaman depannya sempit. Halaman belakang hanya
cukup untuk mencuci dan menjemur pakaian.
Rumah itu terletak di dalam sebuah gang yang becek dan
sempit, tetapi bagi Nanda itulah rumahnya yang pertama. Dia
langsung kehilangan kesedihannya.
"Ini kamar Nanda?" tanyanya dalam nada tidak percaya
kepada Aris. "Nanda boleh simpan semua mainan Nanda di
sini?"
"Nanti Bapak belikan Nanda ranjang yang bagus," janji
Aris lembut. "Dan sebuah lemari penuh dengan boneka!"
"Nanda boleh taruh sepeda di sini?"
"Di kamar? Hm, Nanda mesti tanya Ibu dulu!"
Namun Nanda tidak berani. Muka ibunya sedang
mendung sekali seperti langit menjelang hujan.
"Ini rumah Nanda, kan?"
"Ya," sahut Aris sambil memeluk anaknya. "Kalau
Bapak punya uang nanti, Bapak belikan Nanda rumah yang
lebih besar dari ini."
"Nggak usah," sahut Nanda spontan. "Yang penting, ada
Bapak di sini!"121
"Kamu pintar sekali!" puji Aris antara kagum dan haru.
Nila pura-pura tidak mendengar kata-kata anakn-ya. Dia
langsung memutar tubuhnya untuk menyembunyikan air
mata yang sudah hampir meleleh ke pipinya.
Haryo yang juga ada di tempat, itu, hanya mampu
menghela napas sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Dalam hati, dia sudah dapat menerka siapa anak perempuan
yang pintar itu.
"Pergilah main," Aris melepaskan pelukannya dan
memukul pantat anaknya dengan lembut. "Bapak mau
ngomong dulu sama yang punya rumah."
Ketika Aris berbalik dan matanya bertemu den-gan mata
temannya, dia sudah tahu apa yang ingin ditanyakan Haryo.
"Ya," sahutnya lirih. "Persis seperti yang kamu sangka,
tetapi tolong jangan menambah bingung Nanda. Dia masih
kecil."
"Dia belum tahu?" tanya Haryo murung.
"Belum waktunya. Nah, kapan kita tandatangani kontrak
rumah ini?"
Selesai menandatangani kontrak sewa rumah dan
membayar uang sewanya untuk satu tahun, Aris mencari Nila
ke belakang. Perempuan itu ada di dapur. Dia sedang
membelakangi pintu. Tegak merenungi dapur kosong.
"Akan kubelikan kompor dan alat-alat dapur yang kamu
butuhkan," kata Aris perlahan. "Sekalian tempat tidur dan
meja makan. Maaf kalau belum lengkap. Aku tidak menduga
semuanya berlangsung begini cepat. Tidak menyangka kamu
harus pindah secepat ini."
"Kamu sudah melakukan apa yang seharusnya kamu
lakukan," sahut Nila tawar tanpa memutar tubuhnya. "Terima
kasih."
"Maaf kalau aku tidak bisa memberi lebih, Nila...."
"Bukan salahmu. Aku menuntut terlalu banyak."
"Kamu melakukannya demi Nanda."122
"Laki-laki dalam hidupnya selama ini cuma Pak Wendo.
Dia telah memberikan Nanda makanan dan tempat tidur,
tetapi kamu memberinya kehangatan sebuah rumah.
Perhatian dan kasih sayang seorang ayah. Maafkan dia kalau
sesudah mengenalmu, dia tidak mau kehilangan kamu
lagi...."
"Aku juga tidak mau meninggalkannya lagi, Nila, tetapi
aku punya rumah sendiri. Punya istri dan anak. Aku minta
pengertianmu."
"Aku mengerti. Nanda yang tidak."
"Dia tidak tahu aku ayahnya."
"Namun dia ingin menjadikanmu ayahnya."
"Kalau kamu izinkan, aku ingin rnengadopsinya. Tiwi
sudah setuju."
Lama Nila terdiam Memikirkannya. Memang berat
berpisah dengan anaknya, tetapi demi Nanda, apa yang tidak
mau dilakukannya? Jika tinggal bersama ayahnya lebih
membahagiakannya....
"Nggak mau!" protes Nanda spontan. Tegas. "Nanda
mau sama Ibu aja!"
"Kamu bisa ikut Bapak ke rumah...."
"Sama Ibu?"
"Ibu tinggal di sini."
"Nanda juga. Kata Bapak, ini rumah Nanda, kan? Nah,
Nanda mau di sini aja sama Ibu!"
"Kalau begitu Bapak bakal sering main ke sini," bujuk
Aris lembut. "Nanda di sini dulu sama Ibu, ya? Nanti siang
Bapak balik lagi. Kita cari ranjang yang bagus buat Nanda!"
Namun Aris tidak dapat memenuhi janjinya, karena
sesampainya di rumah dia menemukan kejutan baru yang
tidak pernah diduganya.123
16 PRATIWI ditemukan tewas di tempat tidurnya. Botol obat
tidur yang dibawa Aris dari rumah sakit teronggok di meja
kecil di samping ranjang.
"Perlu otopsi untuk menentukan sebab kematiannya,"
kata dokter yang memeriksa mayatnya. "Benarkah korban
meninggal karena minum obat tidur melebihi dosis."
Namun karena apa lagi? Korban ditemukan di tempat
tidur. Tidak terdapat tanda-tanda rudapaksa atau kekerasan di
tubuhnya. Kamarnya terlihat rapi. Tidak ada tanda-tanda
pergumulan.
Suaminya tidak ada di rumah. Demikian pula pembantu
barunya beserta anaknya.
Pratiwi ditemukan oleh ibunya. Siang itu ibunya datang
bersama Pramono untuk mengambil obat yang kemarin
tertinggal di meja makan.
Ibu Pratiwi yang curiga karena sampai siang itu anaknya
belum bangun juga, memaksa masuk ke kamar. Pramono
terpaksa mendobrak pintu kamar yang terkunci dari dalam,
setelah mereka sia-sia memanggil-manggil Pratiwi dari luar.
Pratiwi ditemukan sudah dalam keadaan tidak bernyawa.
Sia-sia Vina menangis sambil mengguncang-guncang tubuh


Nirwana Di Balik Petaka Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ibunya.
Aris yang baru pulang dan mendapati begitu banyak
orang berkumpul di rumahnya, tidak mampu menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepadanya.124
Dia begitu shock melihat mayat istrinya. Wajahnya tidak
berubah. Masih tetap wajah istrinya, tetapi wajah itu
demikian pucatnya sampai Aris merasa aneh melihatnya.
Baru tadi malam mereka bercinta. Bertengkar. Masih
diingatnya tangisan istrinya. Sekarang Pratiwi sudah terdiam.
Membisu untuk selama-lamanya!
Dia benar-benar menepati kata-katanya. Menemui
ayahnya. Orang yang paling dihormatinya. Untuk mengadu
dan bertanya!
Meleleh air mata Aris ketika menatap jenazah yang
terbujur kaku di hadapannya. Sebongkah sesal menindih
hatinya. Mengapa harus menyakiti hati istrinya justru pada
saat-saat terakhir hidupnya?
Sejahat apa pun Pratiwi pada Nila, dia melakukannya
karena cintanya pada suaminya! Dia tidak ingin suaminya
direbut perempuan lain!
Namun, mengapa harus bunuh diri, Tiwi? Mengapa
mengambil jalan senekat ini? Tiwi memang rapuh. Tidak
tahan guncangan. Ketika merasa tidak punya siapa-siapa lagi
yang dapat dijadikan sandaran, dia putus asa, tetapi mengapa
bunuh diri?
"Kemarin dia memang sedang kesal," tang?s ibunya lirih.
"Tapi Ibu tidak sangka...."
Mungkinkah Tiwi tidak tahu obat apa yang diminumnya?
Aris memang pernah mengatakan dia menyimpan obat
tidurnya di lemari obat di kamar mandi. Supaya tidak
terjangkau oleh anak-anak.
Obat itu tersimpan di dalam botol plastik kecil. Lain
sekali bentuk maupun besarnya dari obat sakit kepala yang
sama-sama terdapat di dalam lemari itu. Obat sakit kepala
terbungkus dalam blitser. Mustahil Pratiwi keliru
mengambilnya!125
Ah, Aris menyesal sekali meninggalkan istrinya seorang
diri di kamar! Kalau dia tidak mengungsi ke kamar tamu...
peristiwa naas ini tidak bakal terjadi!
* * *
Polisi mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang membuat
Aris tambah tersiksa. Dia mengerti kewajiban mereka.
Istrinya meninggal tidak wajar. Mereka perlu menyelidiki
kalau-kalau terdapat unsur kejahatan dalam kasus ini, tetapi
tidak dapatkah mereka juga memahami perasaannya? Dia
masih shock karena kematian istrinya yang begitu tiba-tiba.
Mengapa harus dihujani pertanyaan sebanyak itu? Padahal
berpikir saja dia sudah hampir tidak sanggup!
Yang bingung bukan hanya Aris. Ani juga. Dia harus
menjawab pertanyaan yang sama banyaknya. Padahal dia
juga sedang ketakutan. Bukan karena ikut bersalah, tetapi
karena melihat polisi sebanyak itu.
Sialnya jawaban-jawaban Ani malah menyudutkan Aris
ke posisi yang sulit. Dia tahu majikannya bertengkar hebat
tadi malam. Waktu dia pulang bersama temannya, mereka
mendengar suara majikannya dari dalam kamar. Tampaknya
kedua majikannya sedang ribut.
Ani juga mengakui akhir-akhir ini mereka sering
bertengkar karena masalah pembantu. Dia menceritakan
semua yang diketahuinya tentang Nila dan anaknya.
"Dari mulai mereka datang sampai kemarin, Ibu marahmarah terus," lapor Ani terus terang. "Pasalnya, Bapak
kelewat sayang sama anak si Nila."
"Sekarang ke mana si Nila?"
"Wah, saya nggak tahu, Pak! Tadi pagi Nila berkemas.
Katanya mau diajak Bapak pergi. Nggak tahu ke mana!
Anaknya nangis terus, tetapi Nila memaksanya ikut juga."126
Dalam interogasi selanjutnya dalam sebuah ruangan
terpisah di kantor polisi, Ani bercerita lebih banyak lagi. Pagi
itu, dia melihat Aris memeluk Nila. Lalu mereka pergi
bersama-sama dan Nila tidak kembali lagi. Aris baru pulang
setelah mayat istrinya ditemukan.
Ani juga tidak lupa menceritakan keganjilan-keganjilan
yang lain. Misalnya saja kata-kata dulu.
"Sabarlak, Nila. Tunggulah beberapa saat lagi. Pasti ada
perubahan....
Inikah perubahan yang dimaksudkannya? Istrinya
meninggal?
Kecurigaan polisi diperkuat oleh keterangan Pramono,
orang yang paling penasaran menyaksikan kematian adiknya.
"Pratiwi memang mencurigai hubungan suaminya
dengan pembantu barunya," katanya antara geram dan sesal.
"Sayalah yang menganggapnya cemburu buta!"
Kecurigaan yang berwajib kepada suami korban semakin
pekat ketika mereka mengetahui, Pratiwilah yang membiayai
rumah tangga mereka dan Aris akan mewarisi harta istrinya
kalau Pratiwi meninggal.
Nila yang dimintai keterangan, tak dapat menyangkal
Nanda adalah anak Aris. Meskipun mula-mula dia berusaha
keras melindungi kekasihnya, Nila tak mampu menghindari
tekanan yang diajukan oleh petugas-petugas yang berpengalaman.
Akhirnya dia terpaksa berterus terang. Menceritakan
segalanya. Meskipun dia tahu, ceritanya justru memojokkan
Aris.
Skenario tuduhan kepada Aris menjadi semakin
sempurna. Istri yang kaya disingkirkan suaminya yang
ketahuan serong dengan pembantu baru yang bekas
kekasihnya dan ibu anak gelapnya.
Tuntutan ke alamat Aris menjadi lengkap ketika hasil
otopsi mayat Pratiwi diungkapkan. Dalam darah korban127
memang ditemukan barbiturat. Zat yang terdapat di dalam
obat tidur yang diduga diminum Pratiwi, tetapi dalam dosis
yang tidak mematikan.
Itu berarti Pratiwi tidak membunuh diri!
Kalau ibu dan abangnya bersaksi sehari sebelumnya dia
masih sehat, pembantu-pembantunya mendengar dia masih
bertengkar dengan suaminya pada malam dia meninggal,
hanya ada satu kemungkinan... Pratiwi dibunuh!
Hari itu juga, Aris ditangkap atas tuduhan membunuh
istrinya.
* * *
"Saya tidak membunuh Tiwi!" keluh Aris ketika paman dan
ibunya datang menengoknya ke tempat tahanan. "Mengapa
nasib begini kejam pada saya, justru pada saat saya ingin
menjadi orang baik-baik?"
"Semuanya salah Nila!" geram ibunya antara kesal dan
sedih. "Kalau bukan gara-gara dia...."
"Dia menuntut tanggung jawabmu mengakui anaknya?"
desak Paman Farid murung. "Almarhum istrimu tidak bisa
menerima kenyataan itu?"
"Paman!" sergah Aris kecewa. "Paman juga percaya
saya yang membunuh istri saya?"
"Paman cuma tanya...."
"Kalau tidak mencurigai saya, Paman tidak akan
bertanya begitu!"
"Ibu percaya kamu tidak melakukannya!" potong ibu
Aris tegas.
Bukan cuma ibu Aris, Nila juga tidak percaya. Dia kenal
Aris. Lelaki itu mungkin bandel, berani, pembangkang.
Tetapi Nila tahu, di balik keberingasannya sebenarnya Aris
mempunyai sepotong hati yang lembut. Tidak mungkin dia
tega melenyapkan istrinya, apa pun alasannya!128
* * *
Setelah melalui hari-hari persidangan yang panjang dan
melelahkan, akhirnya Aris dijatuhi hukuman enam tahun
penjara. Ibu Aris dan Nila kecewa karena mereka yakin Aris
tidak bersalah. Pramono dan ibunya juga kecewa. Mereka
menganggap hukuman itu tidak setimpal bagi orang yang
menghilangkan nyawa Pratiwi.
Pramono mengambil alih semua harta adiknya.
Menempatkan ibunya di rumah Pratiwi untuk mengasuh Vina
dan membiayai hidup keponakannya sampai dia cukup
dewasa untuk mengelola sendiri warisan ibunya.
Nila dengan setia menjenguk Aris di penjara. Dengan
teratur dia mengunjungi kekasihnya. Membawakan makanan,
majalah, buku. Menghibur dan menabahkannya. Sambil tak
lupa menceritakan tentang pertumbuhan Nanda.
Nila sudah bekerja kembali sebagai pembantu di rumah
majikannya yang lama. Nanda dititipkan pada Pak Wendo.
Dia menangis tersedu-sedu ketika sampai hari terakhir
dia harus meninggalkan rumah barunya, Pak Aris tidak
kembali seperti yang telah dijanjikannya. Nanda juga
semakin sedih ketika melihat kembali tempat penampungannya. Akhirnya dia harus kembali ke tempat dari mana dia
datang. Tak ada rumah. Tak ada sekolah. Tak ada laki-laki
yang menyayanginya seperti seorang ayah!129
17 NILA berusaha keras mengumpulkan uang untuk
menyekolahkan anaknya, tetapi Nanda lebih suka
menggelandang di jalan. Kalau malam, baru dia pulang ke
tempat Pak Wendo.
Dia lebih suka berjualan koran. Menjadi pemulung.
Bahkan, menjadi pengemis. Asal bisa kelayapan ke sana
kemari. Mengumbar jiwanya yang resah dan kecewa.
Ketika dia berumur dua belas tahun, Pak Wendo
menawarkannya untuk bekerja sebagai pembantu. Daripada
dia menggelandang tidak keruan setiap hari.
Pak Wendo menyuruh Nanda mengaku sudah berumur
empat belas tahun karena tubuhnya sudah cukup besar. Suatu
hari, seorang nyonya muda mengambilnya untuk menjadi
pembantu di rumahnya.
Namun Nanda tidak pernah betah bekerja pada seorang
majikan saja. Jiwanya yang gelisah membuatnya tidak pernah
tahan tinggal di tempat yang sama lebih dari dua bulan. Dia
berpindah-pindah pekerjaan terus.
Berbeda dengan ibunya. Nila yang rajin dan setia betah
bekerja bertahun-tahun pada seorang majikan saja. Seolaholah dia memang sudah pasrah menerima nasibnya.
"Kenapa sih kamu nggak bisa kayak ibumu?" gerutu Pak
Wendo jengkel. "Kerja sebentar, berhenti. Kerja sebulan,
nggak betah. Kerja dua bulan, kabur! Gimana sih? Kamu mau
majikan yang kayak apa dong?"
Nanda membuang mukanya dengan acuh tak acuh.130
"Bosan!" sahutnya singkat. Datar.
"Ah, dasar malas! Dua bulan kerja, dua bulan nganggur!
Kapan bisa punya duit?"
Buat apa duit, gerutu Nanda dalam hati. Dari kecil pun
aku nggak pernah punya duit!
"Kalau begini terus kerjamu, siapa yang mau pakai kamu
lagi?" keluh Pak Wendo gemas. "Lama-lama mereka kira
malah tempat ini yang brengsek! Pembantu baru dua bulan
kerja sudah diambil balik!"
Namun Nanda tidak pernah mengacuhkan kecamankecaman Pak Wendo. Dia tahu, walaupun galak, sebenarnya
Pak Wendo kasihan padanya. Apalagi ibunya tidak pernah
terlambat mengirim uang setiap bulan.
Jadi dia tidak usah khawatir tidak ada tempat untuk
menginap. Tidak ada nasi untuk dimakan. Pak Wendo pasti
menerimanya kembali kapan pun dia datang ke tempat ini.
Perubahan baru terjadi setahun kemudian.
Nanda berumur tiga belas tahun. Seorang perempuan tua
datang ke tempat Pak Wendo untuk mengambil pembantu.
Fisiknya tampak lemah. Tubuhnya kurus. Wajahnya
penuh kerut-merut. Rambutnya hampir memutih semua.
Dia datang bersama seorang anak perempuan be-rumur
tujuh tahun. Mungkin cucunya.
Sekali lihat saja, Nanda sudah tertarik pada bocah itu.
Wajahnya manis. Gerak-geriknya lincah dan lucu.
Senyumnya ramah.
Sengaja Nanda tersenyum ke arahnya, ketika neneknya
sedang berbicara dengan Pak Wendo. Siasatnya berhasil.
Anak itu langsung menarik lengan neneknya. Ketika
perempuan tua itu membungkuk, dia melekatkan mulutnya ke
telinga neneknya.
Untuk pertama kalinya, mata sang nenek bertemu dengan
mata Nanda.131
* * *
Dalam perjalanan pulang saja, Nanda sudah merasa cocok
dengan anak itu. Dia berani. Gesit. Agak bandel, tetapi pintar
bicara.
Parasnya yang manis mengingatkan Nanda pada
seseorang yang dia lupa entah di mana pernah melihatnya.
Tetapi ketika mobil itu berhenti di depan rumah mereka,
Nanda langsung ingat semuanya.
Nanda hanya sebentar tinggal di rumah itu, tetapi dia
tidak pernah melupakannya. Itulah rumah impiannya. Rumah
lelaki yang pernah dianggapnya bapak....
"Jadi, namamu Vina," gumam Nanda pahit ketika anak
itu menariknya turun dari mobil.
"Kan udah bilang tadi!" sahut Vina lincah. "Davina
Arista! Bagus nggak namanya?"
Nanda tidak menjawab. Dia mengambil tas pakaiannya
dengan perasaan gundah, kemudian dia mengikuti Vina yang
sedang menuntun neneknya memasuki rumah.
Sesaat Nanda tertegun di ambang pintu rumah besar itu.
Bayangan wajah ibunya melintas di depan matanya. Disusul
bayangan Pak Aris dan bayangan istrinya yang galak itu.
Tetapi baik Pak Aris maupun istrinya yang buta itu tidak ada
di dalam. Vina hanya tinggal bertiga dengan neneknya dan
seorang pembantu, tetapi bukan Ani. Nanda tidak kenal
padanya.
"Saya sudah tua dan sakit-sakitan," kata Nenek Vina
pada Nanda. "Tugasmu cuma menjaga cucu saya ini.
Merawat dan menemaninya."
Lima tahun yang lalu aku pernah menemanimu bermain,
pikir Nanda pahit. Lalu ibumu mengusirku!
Tatapan mata Nanda melayang ke tempat itu. Tempatnya
bermain bersama Vina. Saat itu Vina jatuh. Bibirnya luka dan


Nirwana Di Balik Petaka Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berdarah. Ibunya menyalahkan Nanda dan memarahinya.132
Ibumu mengusirku, geram Nanda sengit. Memaksaku
meninggalkan rumah ini. Meninggalkan sekolahku dan
meninggalkan satu-satunya lelaki yang kuanggap bapakku!
Kebencian tiba-tiba berkobar di hati Nanda. Kelucuan
Vina tidak mampu lagi mengusik hatinya. Tiba-tiba saja dia
merasa benci, amat benci kepada gadis kecil ini!
Jiwanya yang resah karena kekecewaan masa kecilnya
seperti menemukan tempat pelampiasan. Sekarang dia tahu
ke mana harus menumpahkan dendamnya!
* * *
Nanda merasa hatinya sakit sekali ketika memasuki kamar
pembantu yang diberikan kepadanya. Di kamar ini pula lima
tahun yang lalu dia tinggal bersama ibunya.
Tidak ada perubahan apa-apa di kamar itu, kecuali
gambar di dindingnya yang bertambah banyak. Rupanya
setiap pembantu yang berkamar di sini menempelkan gambar
bintang film favorit atau pen-yanyi kesayangan mereka di
dinding itu.
Gambar buatan tangan Nanda sudah hilang. Mungkin
dinding itu sudah dicat kembali, tetapi tempat tidurnya masih
yang dulu.
Ketika melihat tempat tidur itu, tiba-tiba saja Nanda
merasa hatinya pedih. Ingat ibunya.
Di sana, hampir setiap malam Ibu mendekapnya sambil
melelehkan air mata. Nanda tahu mengapa Ibu menangis. Ibu
Vina amat galak. Perempuan buta itu selalu memarahi Ibu.
Namun naluri Nanda mengatakan bukan hanya karena itu
Ibu menangis. Ibu menderita, tetapi seka-ligus bahagia karena
bisa mendekapnya tiap malam.
Ibu bertahan tinggal di rumah ini. Ibu Vina-lah yang
mengusir mereka. Perempuan bengis itulah yang merenggut133
impiannya! Impian untuk memiliki rumah. Bersekolah dan
mempunyai seorang bapak!
Bertahun-tahun Nanda menanti realisasi janji Pak Aris.
Bertahun-tahun dia menunggu kedatangan le-laki itu.
Menunggu kapan mereka dapat berkumpul kembali.
Bahkan sesudah d?a kembali ke tempat penam-pungan
pembantu dia masih menunggu. Bukan sekali-dua dia
terkecoh. Tergopoh-gopoh berlari ke luar karena mengira Pak
Aris yang datang. Akan membawanya pulang untuk
berkumpul kembali bersama Ibu. Ternyata yang datang cuma
orang yang mau mengambil pembantu!
Sekarang aku punya kesempatan untuk membalas sakit
hatiku, geram Nanda dalam hati. Perempuan tua itu tidak
akan mampu melindungi cucunya! Ibu Vina yang galak itu
sudah mati. Pak Aris tidak tahu ke mana. Tidak ada orang
yang dapat menghalangiku! Tidak ada!
* * *
Ketika beberapa hari kemudian nenek Vina jatuh sakit,
Nanda merasa saatnya sudah tiba. Dia tahu setiap hari
perempuan tua itu minum obat untuk menurunkan gula
darahnya yang tinggi.
Obat itu berupa tablet kecil berwarna putih yang selalu
disimpannya di lemari makan.
"In? obat keras. " Pernah didengarnya Nenek berpesan
kepada Vina "Jangan coba-coba kamu minum! Gula darahmu
bisa turan dan kamu bisa celakal"
Ketika mendengar kata-kata itu, tiba-tiba saja ingatan
Nanda kembali ke masa lima tahun yang lalu.... Dia pernah
melihat obat itu... di atas meja makan....
"Neng!" Vina menggebuk punggungnya dari belakang.
Kaget dan sakit Nanda spontan berbalik. Ingin balas
memukul, tetapi mendadak dia ingat ada rencana yang lebih134
besar lagi yang belum terlaksana. Rencana yang lebih
menyakitkan daripada pukulan!
Ditahannya tangannya yang sudah separuh terangkat.
Dikatupkannya rahangnya menahan marah.
"Ngapain sih?"
"Tidur?" Vina melirik nakal ke kamar neneknya.
"Emang kenapa?"
"Ikut yuk!"
"Ke mana?"
"Ke gudang!"
"Ngapain ke gudang?"
"Ambil tangga."
"Buat apa?"
"Goblok banget sih kamu, Neng!"
Sejak jadi pembantu, Nanda memang mengganti
namanya menjadi Neneng. Lumayan, ada yang
memanggilnya Neng!
"Ngapain sih manjat?"
"Tuh, ngambil mangga di kebon!"
"Masih mentah!"
"Biarin! Enak buat rujak!"
Selagi menggotong tangga itu ke kebun, Nanda
menyumpahi Vina supaya jatuh. Biar luka bibirnya. Berdarah
mulutnya... seperti dulu....
Sengaja dia menyandaran tangga itu agak terlalu tegak
ke pohon. Supaya gampang jatuh, tetapi Vina yang bandel
rupanya sudah biasa memanjat. Dia langsung memperbaiki
letak tangga itu, lalu dengan kelincahan seekor anak kera
memanjat ke atas....
Nanda sudah menyentuh tangga itu. Bukan untuk
memeganginya, tetapi mengguncangnya sedikit. Namun
pembantu lama Vina muncul dengan tiba-tiba di
belakangnya.135
"Astaga, Neng!" bentaknya antara cemas dan kesal.
"Kalau Ibu tahu, kamu pasti kena damprat! Ayo, suruh Vina
turun! Dia memang bandel!"
Nanda menghela napas kecewa. Kesempatan yang bagus
itu lolos dari tangannya....
* * *
Malamnya, kesempatan kedua muncul. Vina sakit kepala.
Tidak mau makan sama sekali. Mual. Kembung.
"Pasti masuk angin!" gerutu Nanda pura-pura cemas.
"Gara-gara naik-naik ke pohon tadi siang! Kalau Nenek
tahu...."
"Jangan kasih tahu dong!"
"Kalau besok nggak bisa sekolah?"
"Ambilin obat aja."
Obat. Bayangan pil-pil kecil berwarna putih itu melintas
di depan mata Nanda....
"Jangan tidur dulu!" katanya bersemangat. "Saya ambil
obat pusing! Supaya besok nggak sakit kepala lagi. Bisa
sekolah!"
"Jangan bilang Nenek, ya!" pinta Vina ketakutan.
Mengendap-endap Nanda melangkah ke lemari makan. Mbak
Nur sedang asyik menonton televisi di belakang. Pintu kamar
Nenek Vina pun sudah tertutup rapat. Pasti perempuan tua itu
sudah tidur.... Bukankah dia masih sakit?
Nanda menoleh ke sana kemari. Tidak ada orang di sana.
Sepi. Hati-hati dia membuka lemari. Mengulurkan tangannya mengambil botol obat. Nama Nenek tertulis jelas di
etiketnya. Dia mengambil dua butir obat, dan segelas air....
"Kok bukan obat pusing yang biasa?" protes Vina curiga.
"Obat yang biasa kan disimpan Nenek! Ini obat pusing
saya. Biasanya sekaligus minum dua tablet. Pusingnya
langsung hilang!"136
"Obat pusing kan biasanya besar dan putih!"
"Nggak tahu disimpan di mana! Mau saya minta obat
sama Nenek?"
"Jangan!"
"Kalau begitu jangan cerewet lagi! Nih minum! Terus
tidur. Biar besok bisa sekolah!"
Tanpa membantah lagi, Vina mengambil kedua butir
obat itu dan meminumnya.
* * *
Seluruh rumah menjadi gempar ketika keesokan paginya
Vina tidak dapat dibangunkan. Nenek langsung menelepon
putranya. Pramono yang datang tergesa-gesa segera
membawa keponakannya ke rumah sakit.
"Kemarin sehat-sehat saja," lapor Nur penasaran. "Masih
bisa manjat pohon mangga sama si Neneng!"
"Tapi malamnya dia memang sakit," bantah Nanda
segera. "Barangkali masuk angin..."
"Kenapa dibiarkan manjat pohon?" bentak Nenek Vina
marah. "Kan saya sudah bilang, Vina memang nakal! Mesti
dijaga! Untuk itu kamu digaji!"
Sialan, gerutu Nanda dalam hati. Tanpa berkata apa-apa
dia memutar tubuhnya. Melangkah ke kamarnya dan
mengemasi barang-barangnya.
"Lho, mau ke mana?" tegur Nur kaget.
"Berhenti!"
"Masa dimarahi majikan segitu saja mau berhenti?"
"Nggakbetah!"
"Biar saja kalau dia mau keluar," gerutu Nenek Vina
ketika Nur datang melapor. "Jaga anak saja nggak becus!
Geledah du?u tasnya! Jangan-jangan dia bawa lari barangbarangku!"137
* * *
Pertolongan peilama di ruang gawat darurat segera diberikan
pada Vina yang sudah dalam keadaan tidak sadarkan diri.
Setelah melakukan pemeriksaan singkat, dokter langsung
memerintahkan perawatnya memasang infus larutan gula.
Laboran yang dipanggil segera mengambil contoh darah
Vina. Sementara untuk memeriksa urin terpaksa dilakukan
pengambilan air kencingnya melalui kateter.
"Riwayat penyakit keluarga positif mengidap DM," lapor
dokter jaga yang langsung berkonsultasi pada seorang ahli
penyakit dalam. "Tanda-tanda hipoglikemik shock seperti
banyak keringat, palpitasi dan tremor halus jelas ditemukan.
Kadar glukosa darah sangat rendah, mencapai dua puluh lima
miligram persen. Sudah diberikan sepuluh mililiter glukosa
intravena dan dipasang cairan infus dextrosa. Kami
menunggu terapi selanjutnya."
"Saya segera ke sana. Apakah pasien sudah sadar?"
"Kesadaran sudah mulai pulih, tetapi belum dapat
dianamnesis. Aloanamnesis diperoleh dari paman orang
sakit."
"Ke mana orangtuanya?"
"Ibu sudah meninggal. Ayah tidak ada. Penderita tinggal
bersama nenek yang mengidap diabetes mellitus."138
18 NENEK Vina mengawasi botol obatnya dengan dahi
berkerut. Dia ingat sekali, kemarin isi botol itu masih empat
butir. Mengapa sekarang tinggal dua?
Rasanya dia tidak mungkin keliru. Dia selalu menghitungnya dengan cermat karena khawatir cucunya yang
nakal itu mengambil obat penurun gula darahnya dan
mencicipinya. Anak-anak selalu ingin tahu, kan? Apalagi
yang sebandel Vina!
Satu blitzer obatnya berisi sepuluh tablet. Dia selalu
membuka bungkusnya dan menempatkan obat itu di dalam
botol plastik. Supaya mudah kalau hendak diminum.
Kemarin dia memang sakit, tetapi rasanya dia belum
lupa. Dia hanya minum obat itu sekali.... Apakah dia sudah
begitu pikunnya sampai tidak ingat sudah minum obat itu
sampai tiga kali?
Si Nur tidak dapat dimintai bantuan. Urusan obat dia
memang tidak tahu apa-apa. Nenek selalu mengambilnya
sendiri di lemari makan. Kecuali ke-marin... kemarin dia
sakit. Dia tidak keluar dari kamar. Nenek hanya menyuruh si
Neneng mengambilkan obat, tetapi seingatnya cuma sekali....
Ah sayang sekali pembantu baru itu sudah pergi! Kalau
tidak, dia pasti ingat berapa kali Nenek menyuruhnya
mengambil obat!
Jantung Nenek menjadi berdebar-debar karena
ketakutan. Keringat membanjiri sekujur tubuhnya. Pramono139
yang dipanggil si Nur, bergegas membawa ibunya ke rumah
sakit.
"Ibu minum obat gulanya melebihi dosis, Dokter," lapor
Pramono cemas. "Takut pingsan jadi cepat-cepat saya bawa
kemari!"
Namun hasil pemeriksaan kadar gula darah ibu Pratiwi
baik. Malah masih di atas normal.
"Jika Ibu minum obat diabetesnya tiga kali dosis terapi
yang dianjurkan, tidak mungkin kadar gula darah Ibu masih
160 mg%. Apakah Ibu tidak keliru menghitung?"
"Saya ingat betul, Dok," Nenek Vina mengerutkan
dahinya dengan bingung. "Kemarin obat saya masih empat
butir. Kenapa sekarang tinggal dua?"
"Tadi pagi Ibu tidak minum obat?"
"Tadi pagi saya panik karena cucu saya pingsan, Dok.
Mana sempat minum obat? Baru sore ini saya ingat lagi pada
obat gula saya. Saya kaget sebab obat saya tinggal dua!"
"Apa tidak mungkin Vina yang mengambilnya? Dia
mengira obat itu permen atau vitamin?"
"Saya telah bertahun-tahun minum obat itu, Dokter. Vina
sudah sering saya beritahu bahaya obat itu bila coba-coba
diminumnya. Dia memang nakal, tetapi tidak bodoh!"
Vina belum dapat ditanyai. Oleh karena itu, mereka
menunggu sampai dia pulih sama sekali. Keterangan Vina
membuat Pramono sangat marah. Dia langsung mencari
Neneng ke alamat Pak Wendo.
* * *
Ketika Pramono mengetahui siapa Neneng sebenarnya, dia
mengadukan perkara itu ke polisi. Pengusutan pihak yang
berwajib akhirnya berhasil mengorek pengakuan Nanda.
Pramono bermaksud meneruskan perkara itu, tetapi yang
berwajib berkeberatan. Nanda dianggap masih di bawah140
umur dan perbuatannya tidak sampai mengakibatkan
kematian. Dia hanya dikirim ke rumah sakit jiwa. Untuk
menjalani pemeriksaan psikis dan pengobatan.
Nila dipanggil untuk melengkapi data yang dibutuhkan
oleh psikiater yang merawat Nanda. Nila menceritakan
semua penderitaan anaknya dengan terus terang.
"Nanda tidak tahu Aris ayahnya. Dia juga tidak tahu
ayahnya berada dalam penjara karena dipersalahkan
membunuh ibu Vina. Dia hanya tahu, ibu Vina-lah yang


Nirwana Di Balik Petaka Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyebabkan kami terusir dari rumah orang yang sudah
dianggapnya bapak. Mungkin karena itu dia ingin
mencelakakan Vina."
Namun, Dokter Gama, psikiater yang merawat Nanda,
berhasil mengorek lebih banyak lagi. Ketika sedang
melakukan psikoanalisis untuk mengetahui problem-problem
yang berasal dari masa kecil Nanda, ocehan gadis kecil itu
mengusik rasa ingin tahun.
"Vina ngambil bapak saya!" katanya berulang-ulang.
"Bu Tiwi jahat! Bu Tiwi ngusir Ibu! Ngusir saya!"
Selama ini, Nanda selalu terhenti kalau sedang
menceritakan pengalaman masa lalunya, tepat pada malam
kematian Pratiwi. Oleh karena itu, Dokter Gama terpaksa
menghipnotisnya.
Apa yang didengamya dari mulut Nanda dalam keadaan
terhipnotis, benar-benar membuatnya tercengang.
* * *
Ketika Dokter Gama menemui Aris di penjara dan
memperkenalkan dirinya sebagai dokter yang merawat
Nanda, air mata langsung menggenangi mata laki-laki itu.
"Dia tidak bersalah, Dokter," gumam Aris getir.
"Sayalah yang bersalah. Saya yang mencelakakan istri dan141
anak-anak saya. Penjara pun tidak mampu melunasi utang
saya pada mereka."
"Saya tahu kamu tidak membunuh istrimu," cetus Dokter
Gama mantap.
"Apa gunanya lagi diungkapkan sekarang?" desis Aris
lesu.
"Keadilan harus ditegakkan, biarpun sudah agak
terlambat. Kamu dihukum untuk kesalahan yang tidak pernah
kamu perbuat."
"Maksud Dokter, Pratiwi benar-benar bunuh diri?"
"Kecelakaan," Dokter Gama berhenti sebentar sebelum
melanjutkan kata-katanya dengan suara perlahan. "Yang
disengaja."
"Siapa yang mencelakakannya?"
"Nanda."
"Mustahil!"
"Malam itu, ketika Nanda pulang bersama ibunya dan
seorang pembantu lain, mereka mendengar kamu dan istrimu
sedang bertengkar hebat."
Aris menghela napas berat. Sampai sekarang, penyesalan
itu masih membebani hatinya. Mengapa harus menyakiti hati
Tiwi justru pada saat terakhir hidupnya?
"Nanda tidak bisa tidur, apalagi ibunya menangis terus.
Dia keluar dan menemuimu sedang minum obat...."
"Saya tidak bisa tidur," sahut Aris lesu.
"Ketika kamu kembali ke kamar, Nanda masih terus
diam di sana. Tak lama kemudian, dia melihat istrimu datang.
Napasnya sesak. Dia kelihatan sulit bernapas. Dia meletakkan
sebotol obat di atas meja makan dan mengambil air
minum...."
"Pratiwi mengidap asma. Kalau sedang kesal, asmanya
sering kambuh. Dia harus minum obat untuk menghilangkan
sesaknya."142
"Nanda yang bersembunyi di dekat meja makan, melihat
sebotol obat lain, di atas meja. Diam-diam dia menukar obat
itu...."
Mata Aris terbeliak. Parasnya memucat. Bibirnya
bergetar.
"Pratiwi kembali dengan segelas air. Meneguk obatnya.
Lalu masuk kembali ke kamar, tetapi dia tetap tidak bisa
tidur. Mungkin dia merasa kesal karena sesaknya tidak mau
hilang juga. Dia keluar lagi untuk minum obat. Kali ini, dia
bukan hanya minum obat sesaknya. Dia juga mengambil obat
tidurmu dan membawanya ke kamar...."
"Namun... obat apa yang diminum Tiwi?" Aris menggagap dengan suara gemetar.
"Obat ibunya. Obat untuk menurunkan kadar gula
darah."
"Ya Tuhan!" Aris terpuruk lemas di bangkunya.
"Saya sudah melihat obat ibu mertuamu. Saya juga sudah
menanyakan obat asma apa yang biasa dipakai istrimu.
Kedua obat itu mempunyai bentuk dan ukuran yang mirip,
apalagi ditempatkan dalam botol plastik yang berukuran sama
pula. Istrimu yang buta tidak dapat membedakannya. Lebihlebih dalam keadaan kacau dan sesak napas seperti malam
itu...."
Lama Aris tertegun. Termenung mengawasi Dokter
Gama dengan tatapan nanar. Ketika dia sadar kembali dari
kekagetan yang membiusnya, tangannya mengepal ketakutan.
Ditatapnya dokter itu dengan penuh permohonan.
"Tidak ada lagi yang dapat Dokter lakukan untuk saya,
Dok," katanya sungguh-sungguh. "Hukuman saya sudah
hampir selesai, tetapi masih banyak yang dapat Dokter
lakukan untuk Nanda...."
"Kamu tidak mau membersihkan namamu?"
"Kalau saya harus menukarnya dengan menggugat anak
saya sendiri, Dok, saya tidak akan pernah melakukannya.143
Biarlah saya anggap hukuman yang saya jalani ini sebagai
pembayar utang dosa saya pada Nanda. Semoga apa yang
Dokter ungkapkan ini, hanya menjadi rahasia di antara kita
berdua...."144
19 DUA bulan sesudahnya, Aris dibebaskan. Dia mendapat
pengurangan hukuman karena berkelakuan baik di dalam LP.
Vina sudah sehat kembali dan sudah kembali ke
rumahnya sendiri.
Nanda juga sudah selesai menjalankan psikoterapinya,
tetapi Dokter Gama memberikan dua alternatif. Dia harus
tinggal bersama orangtuanya. Atau di sebuah lembaga yang
mengasuh remaja yang memiliki hambatan sosial.
"Demi kebaikan Nanda sendiri," kata Dokter Gama
kepada Nila. "Nanda memerlukan perhatian lebih. Supaya
tidak terjerumus ke dalam perbuatan yang lebih tidak
bertanggung jawab lagi."
Nila memilih alternatif yang pertama. Dia meninggalkan
pekerjaannya. Lalu dengan uang tabungan ditambah bonus
dari majikannya, dia mengontrak sebuah rumah. Dia
membawa Nanda pulang dan mencoba mencari pekerjaan
lain.
Mula-mula Nanda tidak mengenali ketika Aris datang
menemuinya.
"Lupa sama Bapak Aris-mu, Nanda?" sapa Aris lembut.
Hatinya amat terharu melihat keadaan anaknya.
Tubuhnya kurus. Wajahnya muram tak bercahaya.
Matanya menatap kosong seolah tanpa harapan. Tentu
saja Nanda ingat Bapak Aris-nya, tetapi sekarang dia sudah
tidak peduli lagi!145
Sekarang dia tidak butuh siapa pun! Tidak juga lelaki ini!
Ada suatu masa dulu, dia amat merindukan ke-hadiran
seorang ayah. Seseorang yang penuh perhatian seperti lelaki
ini. Namun itu dulu! Sekarang tidak lagi. Persetan dengan
dia! Dia tidak pernah menepati janjinya!
Vina juga tidak mengenali Aris. Dia masih terlalu kecil
ketika ditinggalkan. Dia tidak menolak ketika Aris
memeluknya dengan penuh kerinduan, tetapi dia tidak
mempunyai keinginan untuk balas merangkul.
"Nggak kangen sama Papa, Vin?" bisik Aris kecewa.
Vina tidak menyahut. Dia memang tidak kenal dengan
orang yang mengaku ayahnya ini, apalagi sikap nenek
kepadanya sangat tidak ramah.
Aris tidak diperkenankan masuk ke rumah. Dia hanya
boleh menemui Vina di teras depan. Nenek juga tidak pernah
menceritakan dia masih punya ayah!
Setiap kali Vina menanyakan ayahnya, neneknya selalu
marah-marah.
"Sudah! Jangan tanya-tanya ayahmu! Dia sudah pergi
jauh!"
Sekarang tiba-tiba muncul orang yang mengaku ayahnya.
Neneknya memang tidak menyangkal, tetapi juga tidak
menyambut. Vina dibiarkan menebak-nebak sendiri.
Satu-satunya orang yang masih menerimanya dengan
tangan terbuka cuma Nila. Cuma dia yang tidak berubah. Dia
menyambut kembalinya Aris dengan kebahagiaan yang
diliputi keharuan.
Dia sudah menyiapkan makanan istimewa untuk Aris.
Makanan yang tak pernah dicicipinya lagi selama lima tahun
lebih.
Ketika Aris sedang menyantap hidangan itu dengan
lahap, Nila duduk di hadapannya. Mengupas sebuah mangga.
Melihat buah itu, ingatan Aris melayang ke masa remaja
mereka... ke pohon mangga Ibu Enoh....146
Dia pernah ketahuan mencuri mangga untuk Nila.
Mereka kabur sejauh-jauhnya dan bergulingan di lantai bekas
gudang kosong itu.... Di sanalah untuk pertama kalinya
mereka merasakan getaran-getaran cinta remaja....
Tak sadar Aris mengawasi Nila yang sedang menunduk
mengupas mangga. Sudah tak ada lagi Nila-nya yang manis
dan belia. Di hadapannya kini duduk seorang perempuan
yang letih didera penderitaan. Mukanya Iayu. Matanya sayu.
Penampilannya jauh lebih tua dari umurnya yang sebenarnya.
"Kamu pasti sangat menderita," gumam Aris pahit.
Nila menggeleng. "Aku tidak apa-apa."
"Kamu terlalu capek."
"Bukan kerja yang membuatku menderita, tetapi pikiran.
Aku sedih memikirkan nasibmu dan Nanda."
"Aku memang pantas dihukum."
"Aku masih yakin kamu tidak bersalah."
"Aku bersalah kepadamu dan Nanda."
"Kalau aku tidak muncul lagi dalam kehidupanmu,
sampai sekarang kamu mungkin masih tetap hidup bahagia
dengan anak-istrimu."
"Aku tidak menyesali hukumanku. Aku hanya menyesali
perbuatanku kepada Tiwi. Dia sangat mencintaiku."
"Kamu juga pasti sangat mencintainya."
Aku tidak pernah sungguh-sungguh mencintainya, pekik
Aris dalam hati. Justru itu yang membuatku merasa
bertambah berdosa!
* * *
Selesai makan, Aris mengunjungi kuburan Pratiwi. Nila
berkeras ingin ikut. Dia ikut membeli bunga dan ikut
menaburkan bunga itu di pusara Pratiwi.
Meleleh air mata Aris ketika bersujud di depan makam
istrinya. Beberapa tangkai bunga layu masih teronggok di147
pusaranya. Barangkali ibu dan kakaknya masih sering
kemari.
Pratiwi pasti menyukai tempat ini. Tempat yang teduh di
bawah pohon. Tepat di sisi makam ayahnya, orang yang
paling dihormatinya. Suasananya lengang, dan damai.
Hawanya sejuk. Dan pusaranya tampak bersih terawat.
"Maafkan aku, Tiwi," bisik Aris selesai berdoa untuk
arwah istrinya. "Sekarang tak ada lagi yang tersembunyi di
hadapanmu. Kamu sudah tahu semuanya. Ampuni Nanda,
Tiwi. Dia tidak tahu apa yang dilakukannya. Dia hanya ingin
memiliki seorang ayah...."
Nila tegak mematung di hadapan pusara Pratiwi.
Terbayang di depan matanya kebengisan perempuan itu.
Namun kini sudah tidak ada lagi dendam. Yang ada cuma
rasa iba dan penyesalan.
Jika aku tak pernah bertemu lagi dengan Aris, hidup ini
masih milikmu, desah Nila dalam hati. Kamu masih tetap
memiliki anak dan suamimu.... Kamu memang selalu
membenciku. Tetapi jika aku yang berada di pihakmu,
barangkali aku akan berbuat begitu juga. Untuk
mempertahankan suamiku....
* * *
Aris berusaha keras membangun hidupnya kembali. Dengan
uang yang dipinjamnya dari Nila, dia menyewa sebuah kamar
dan mencari pekerjaan.
Dia berupaya memperbaiki hubungannya dengan anakanaknya. Tiap hari dia menemui Nanda. Menemani dan
mengobrol bersamanya. Nanda mungkin sudah tidak
mendambakan lagi sebuah rumah, tetapi mustahil dia tidak
membutuhkan seorang ayah! Seorang teman!
Vina lebih sulit ditemui. Mertuanya hanya mengizinkan
Aris menemui anaknya seminggu sekali.148
"Supaya pelajarannya tidak terganggu!" Itu alasannya.
Tetapi bagaimanapun, alasan ibu Tiwi masih lebih manusiawi
daripada penolakan Pramono. "Mengapa dia masih dibiarkan
kemari?" gerutunya kepada ibunya ketika kebetulan dia
memergoki kedatangan Aris.
"Kita tidak bisa melarangnya menengok anaknya," sahut
ibunya pahit.
Namun Aris bukan hanya ingin menengok anaknya. Dia
ingin mengambil Vina kembali.
"Saya sudah bekerja, Bu," katanya suatu hari. "Di
laboratorium klinik milik teman saya. Rasanya saya sudah
sanggup merawat Vina. Bukannya saya tidak berterima kasih
pada Ibu yang telah merawat-nya, tetapi sebagai ayahnya
kewajiban sayalah untuk mengasuh Vina."
Pramono berkeras mempertahankan hak perwaliannya
atas Vina. Kalau perlu, melalui pengadilan. "Kamu bakal
kalah!" katanya sinis. "Kamu bekas napi dan tidak punya
duit! Selama aku masih hidup, aku tidak re?a keponakanku
mengikuti jejak anak gelapmu!"
Aris merasa amat terpukul. Dia hanya ingin mengambil
anaknya kembali. Mengapa mereka memperlakukannya
seperti dia ingin menggugat warisan almarhum istrinya?
"Semua warisan Tiwi memang akan jatuh ke tangan
Vina kalau dia sudah dewasa nanti, tetapi jangan harap kamu
bisa ikut mencicipinya!"
"Aku cuma menginginkan anakku!" keluh Aris di depan
Nila. "Aku tidak peduli pada wansan Tiwi!"
"Pertahankanlah hakmu," usul Nila tegas. "Mereka tidak
berhak mengasuh Vina kalau ayahnya masih mampu! Lagi
pula, mereka selalu menghasut Vina dengan menjelekjelekkan ayahnya! Jangan sampai anakmu membenci
ayahnya sendiri!"
Akhirnya Aris terpaksa menggugat Vina melalui


Nirwana Di Balik Petaka Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pengadilan. Dengan bantuan Haryo yang masih tetap setia149
menjadi temannya. Aris mencari pertolongan ke Lembaga
Bantuan Hukum.
Namun setelah melalui beberapa kali persidangan yang
melelahkan, pengadilan memutuskan Vina tetap berada di
bawah asuhan nenek dan pamannya.
Pramono dianggap mampu menjamin masa depan Vina.
Memberikan penghidupan dan pendidikan yang baik kepada
keponakannya. Selama lima tahun lebih diasuh neneknya,
Vina tidak kurang suatu apa.
Ibu Tiwi walaupun sakit-sakitan?itu senjata Aris yang
terpenting, ternyata mampu memberikan perhatian dan kasih
sayang orangtua yang dibutuhkan Vina.
Sebaliknya dengan Aris. Dia memang ayah Vina. Sehat.
Punya pekerjaan tetap, tetapi tidak menjamin masa depan
Vina secerah sekarang.
Aris belum punya istri, belum punya rumah, dan pernah
masuk penjara. Hakim menghargai itikad baiknya untuk
mengambil tanggung jawab merawat anaknya dari tangan
neneknya. Tetapi hakim meragukan kemampuannya. Apalagi
Pramono selalu menekankan, Aris ingin mengambil anaknya
karena menginginkan hidup dari warisan istrinya.
"Sejak menikah dengan Pratiwi, dia memang sudah biasa
menumpang hidup!"
"Ambillah semua hartamu jika itu yang selalu diributkan!" desis Aris kesal. "Aku masih sanggup menghidupi
anakku dengan penghasilanku sendiri!"
"Lalu membuat Vina melarat di tanganmu? Padahal
ibunya mewariskan harta yang cukup banyak?"
Namun keputusan terpenting datang dari Vina sendiri.
Walaupun pilihannya tidak mutlak menentukan keputusan
pengadilan, karena dia dianggap masih anak-anak.
Ketika Vina disuruh memilih mau tinggal bersama siapa,
dengan tegas dan spontan dia menunjuk neneknya.150
Pilihannya itu sudah cukup untuk melengkapi pertimbangan
hakim.
Aris harus mundur dengan jiwa besar. Dia harus puas
dengan kekalahannya, karena Vina-lah yang akhirnya berhak
memilih.
"Seorang ayah tidak otomotis menjadi orangtua yang
terbaik bagi anaknya," kata hakim pada akhir keputusannya.
Aris harus menerima keputusan itu. Menghormati pilihan
anaknya.
Dia memang kecewa mendengar keputusan pengadilan.
Namun ketika melihat bagaimana cara mertuanya memeluk
Vina setelah mendengar keputusan itu, Aris sadar, hakim
tidak keliru.
Ibu Tiwi memang lemah dan sakit-sakitan, tetapi Aris
yakin, Pratiwi akan selalu berada di dekat Vina untuk
melindunginya.
Pramono memang meninggalkan ruang sidang dengan
senyum kemenangan, tetapi ibu Pratiwi tidak. Dia langsung
menghampiri Aris sambil membawa cucunya.
"Kamu tetap boleh mengunjunginya seminggu sekali,"
katanya dengan suara datar. "Bagaimanapun dia tetap
anakmu."
"Terima kasih, Bu," sahut Aris terharu. "Mungkin
memang ini yang dikehendaki Tiwi. Dia ingin Vina bersama
neneknya."
Mungkin Tiwi tidak rela Vina diasuh oleh Nila, pikir
Aris ketika dia keluar dari gedung pengadilan.
Karena kalau lamaranku diterima nanti, Nila akan
menjadi istriku. Ibu Nanda dan Vina.
Dari jauh, Aris sudah melihat Nila. Menunggu di
seberang jalan. Ketika melihat air muka Aris, Nila sudah tahu
apa yang terjadi.151
"Barangkali sudah kehendak Tuhan," desah Nila lirih.
"Jangan putus asa, Ris. Masih banyak kesempatan. Masih
banyak waktu untuk merebut kembali hati anakmu.
"Barangkali sekarang aku harus berkonsentrasi dulu
untuk merebut kembali hati Nanda," sahut Aris pahit.
untuk itu, aku memerlukan bantuanmu, Nila."
Lalu mereka saling tatap. Saat mata mereka ber
Nila dan Aris seperti menemukan kembali ujung benang
kasih mereka yang telah lama terputus.
TAMAT
"
"Dan
temu,
152 Perang Bangsa Naga War Of The Dragons Karya Junaidi Pendekar Slebor 26 Geisha Pendekar Mabuk 04 Perawan Sesat

Cari Blog Ini