Pendekar Mabuk Setan Betina Bagian 1
12 DISCLAIMER
Kolektor E-Book adalah sebuah wadah nirlaba bagi para
pecinta Ebook untuk belajar, berdiskusi, berbagi
pengetahuan dan pengalaman.
Ebook ini dibuat sebagai salah satu upaya untuk
melestarikan buku-buku yang sudah sulit didapatkan
dipasaran dari kpunahan, dengan cara mengalih mediakan
dalam bentuk digital.
Proses pemilihan buku yang dijadikan abjek alih media
diklasifikasikan berdasarkan kriteria kelangkaan,
usia,maupun kondisi fisik.
Sumber pustaka dan ketersediaan buku diperoleh dari
kontribusi para donatur dalam bentuk image/citra objek
buku yang bersangkutan, yang selanjutnya dikonversikan
kedalam bentuk teks dan dikompilasi dalam format digital
sesua? kebutuhan.
Tidak ada upaya untuk meraih keuntungan finansial dari
buku-buku yang dialih mediakan dalam bentuk digital ini.
Salam pustaka!
Team Kolektor Ebook34
PENDEKAR MABUK
Dalam Episode SETAN BETINA
KARYA SURYADI
Sumber Buku YANU ARTHA NUGRAHA
Edit OCR YONS
First in share KOLEKTOR EBOOK5
1 KABAR tentang kematian Pendekar Mabuk masih
merupakan berita hangat di rimba persilatan. Seperti pernah
dikisahkan, Pendekar Mabuk jatuh ke dalam sumur tanpa
dasar pada saat bertarung melawan Perwira Tombala. Pada
waktu itu, Dewa Kubur, tokoh aliran putih dari Gunung
Gandul melihat dengan mata kepala sendiri saat Pendekar
Mabuk jatuh ke dalam sumur dengan luka parah, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode: "Kencana Di Lorong
Maut").
Sekali pun Perwira Tombala berhasil dibunuh oleh
Dewa Kubur, tapi kabar tentang kematian Suto Sinting itu
cepat menyebar ke seluruh penjuru, bak selebaran yang
dijatuhkan dari langit. Dari tokoh tua hingga tokoh muda
atau yang setengah tua, mendengar kabar tersebut. Tetapi si
Gila Tuak, guru sang pendekar tampan itu, tidak percaya
dengan adanya kabar kematian muridnya. Keyakinan si Gila
Tuak mengatakan bahwa Pendekar Mabuk belum mati.6
Beberapa rekan sealiran pun berupaya mencari
mayat Pendekar Mabuk. Terutama si gadis dari Lereng Buana
yang bernama Perawan Sinting, Gadis ini bertekad mencari
mayat Pendekar Mabuk dalam reruntuhan tebing yang
menimbun sumur tersebut, (Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode: "Pengawal Pilihan")
Dalam kenyataannya, Pendekar Mabuk memang
belum mati. Kalau dia mati, lalu siapa yang
menjadii/Pendekar Mabuk lagi? Pasti tidak ada. Oleh sebab
itu, Hyang Maha Dewa mengizinkan Pendekar Mabuk tetap
hidup dengan kedahsyatan ilmunya yang edan-edanan itu.
Tetapi ke mana Pendekar Mabuk saat sekarang ini?
Tentu saja ia berada di antara orang-orang yang
belum mengetahui keawetan nyawanya. la sedang
menyamar sebagai Panji Kanda. Mengenakan pakaian
berwarna kuning kunyit, rambutnya diikat ke belakang, dan
bumbung tuaknya dibungkus dengan gedebong pisang
kering. Bumbung tuak itu tak mudah dikenali sebagai
bumbung sakti senjata Pendekar Mabuk.
Sawung Kuntet, orang yang disuruh mencari
mayatnya Pendekar Mabuk oleh Eyang Cakraduya, ternyata
sudah bertemu dengan Pendekar Mabuk lengkap dengan
nyawanya. Justru si tukang bicara 'anu' itu mem- bantu
penyamaran Pendekar Mabuk dengan menambahkan tato di
bagian dada Suto. Tato yang dibuat dari getah pohon
Singkalang itu berbentuk seekor kuda jantan mengangkat
kedua kaki depannya. Getah pohon itu juga yang membuat7
alis Suto tampak tebal dan sedikit naik. Kumis dan sekitar
cambangnya diberi bintik-bintik dengan getah pohon
Singkalang, sehingga seperti kumis dan cambang yang habis
dikerok. Singkatnya cerita, Pendekar Mabuk sekarang dalam
keadaan tampil beda. Ketampanannya justru kelihatan lebih
jantan lagi. Ketika ia bertemu dengan perempuan cantik
bernama Yunda, ia mengaku bernama Panji Kanda. Nama itu
dikarang asal-asalan, tanpa ada artinya. Sebab pada saat itu
ia sedang ingat Panji Klobot, sehingga nama Panji dipinjam
sebentar.
Yunda adalah perempuan berusia sekitar dua puluh
tujuh tahun yang mengaku berasal dari Pegunungan Gobi.
Menurut keterangannya, ia datang ke Tanah Jawa untuk
mencari ayahnya. Dalam pengakuannya, sang ayah adalah
bekas panglima kerajaan Hastama-nyiana yang selamat dari
kehancuran. Setelah didesak Suto, Yunda mengaku nama
ayahnya adalah si Gila Tuak. Tapi ia tak tahu di mana si Gila
Tuak berada. la mendapat petunjuk bahwa si Gila Tuak
mempunyai seorang murid bernama Pendekar Mabuk.
Sebab itu pula Yunda mencari Pendekar Mabuk agar mau
membawanya bertemu dengan Gila Tuak.
Anehnya, orang yang dimintai bantuan untuk
mencari Pendekar Mabuk adalah Suto Sinting sendiri yang
dikenalnya dengan nama Panji Kanda itu. Tentu saja ini hal
yang aneh dan menggelikan bagi Suto Sinting. Tapi pada saat
itu Suto Sinting tak sempat tertawa terbahak-bahak, sebab
kecantikan dan kemontokan Yunda menggoda hatinya.8
Pendekar Mabuk bagaikan terbius oleh pandangan mata
perempuan itu sehingga cium-mencium dan raba-meraba
tak dapat dielakkan lagi. Sayangnya, sebelum mereka samasama menikmati kehangatan tubuh yang paling dalam,
seseorang telah melepaskan anak panahnya dan mengenai
lengan si Panji Kanda itu, Entah siapa orang yang melepaskan
anak panah itu, yang jelas orang tersebut segera dikejar oleh
Yunda.
Perempuan itu marah kepada si pemanah.
Marahnya itu entah karena merasa kemesraannya terganggu
atau karena membela Suto Sinting, yang jelas perempuan itu
minggat tanpa pamit Suto lagi. Sementara itu, Suto merasa
mencemaskan keselamatan perempuan tersebut, sebab jika
benar Yunda adalah anak si Gila Tuak, secara tidak langsung
Suto harus melindungi nyawa perempuan tersebut.
Maka tanpa pamit si pemilik penginapan, Suto pun
melesat mengejar Yunda. Lukanya sudah diobati dengan
meminum tuak saktinya tanpa diketahui oleh Yunda. Lalu
siapa yang akan membayar uang sewa kamar penginapan itu
jika Suto dan Yunda pergi melalui jendela?
Tak usah dibicarakan, Itu urusan nanti Toh secara
sembunyi-sembunyi penyamaran Suto Sinting diikuti oleh
Sawung Kuntet dan Ki Partolo, pamannya Mayangsita. Bisa
saja urusan biaya penginapan ditangani oleh mereka,
walaupun dalam arti mereka harus ngotot agar bebas dari
biaya penginapan.9
Yang jelas, Yunda sendiri sekarang ada di mana? Suto
Sinting tak melihat gelagat perempuan cantik itu. Si
pemanah sendiri sembunyi di mana? Atau mungkinkah si
pemanah sudah tewas di tangan Yunda? Belum ada yang
tahu. Sebab memang ceritanya belum sampai ke sana. Hati
Suto disuruh sabar oleh dirinya sendiri
"Nanti aku akan tahu juga nasib si pemanah itu dan
nasib Yunda," pikir Suto Sinting dalam pencariannya. "Hanya
saja, kalau terlalu lama tidak bertemu dengan Yunda, waah...
batinku bisa tersiksa sekali. Masalahnya, perempuan itu
berhasil menjerat hatiku dan membuat b?tinku menuntut
untuk tidur dalam pelukannya. Gilal Kuat sekali daya tarik
pada diri Yunda? Padahal aku sekarang sadar bahwa aku
sudah punya calon istri. Tak mungkin aku mengejar Yunda
dan hidup bersamanya. Lalu mau ditaruh di mana calon
istriku: Dyah Sariningrum itu? Jika hati sudah dipenuhi
kemesraan Yunda, lalu apakah bayangan wajah Dyah
Sariningrum harus kuselipkan di tepian hati saja? Jika nanti
tergelincir jatuh di limpa atau di usus, bagaimana? Kalau
ususku buntu, bagaimana? Kalau... aaah, masa bodo soal itu!
Yang penting sekarang aku harus mencari di mana
perempuan yang mengaku anaknya guruku itu?"
Padahal tujuan penyamaran Suto Sinting
adalah/menyusup ke sarangnya orang-orang Tanah Pasung.
la ingin bebaskan Kusir Hantu dan Pematang Hati dari
tawanan orang-orang Tanah Pasung. Dengan tampil beda
dalam penyamarannya, ia berharap dapat menculik atau10
menangkap ketua Tanah Pasung yang bernama Ratu Sinden.
Jika si Ratu Sinden sudah menjadi tawanan Suto Sinting,
maka dapat dilakukan pertukaran tawanan. Ratu Sinden
dibebaskan asal Kusir Hantu dan Pematang Hati juga mereka
bebaskan. Itulah rencana awal Suto. Tapi dasar pemuda
tampan itu agak konyol juga, begitu bertemu dengan
perempuan cantik, rencana itu pun bergeser dari benaknya.
Dalam arti, ditangguhkan sebentar.
Kini perhatian Suto justru tertuju kepada sekelebat
bayangan manusia yang berlari menuju ke kaki bukit. Di hati
Suto timbul kecurigaan terhadap orang tersebut, sebab
orang tersebut menenteng busur. Pada punggung orang itu
ada semacam kantung dari kulit binatang, entah binatang
apa, yang jelas bukan kulit binatang semut. Di kantung itu
ada lima anak panah dengan bagian pangkal batangnya
berbulu merah. Batang panah itu sendiri kelihatan berwarna
putih seperti tulang.
"Itu dia si pemanah yang nyaris membunuhku!"
geram Suto Sinting, kemudian ia berkelebat mengejar orang
tersebut.
"Wuuut, zlaaap...!" Suto Sinting yang mempunyai
jurus Gerak Siluman di mana jika ia berlari dengan jurus itu
gerakannya menyamai kecepatan cahaya, segera lakukan
pengejaran dengan menggunakan jalur udara. Artinya, ia
melompat ke atas pohon. Lalu lari dari pohon ke pohon, dari
daun ke daun, ia mengikuti pelarian si pemegang busur.11
Ternyata. orang yang dikejarnya adalah seorang
pemuda yang usianya sekitar dua puluh dua tahun. Pemuda
itu mengenakan rompi dan celana dari kulit beruang.
Celananya berukuran tanggung, pendek bukan panjang
bukan. Ukuran tubuhnya sedang. Tidak kurus, juga tidak
gemuk. "Siapa anak itu?" pikir Suto Sinting. karena ia masih
merasa asing dengan pemuda yang berhidung bangir.
Sebenarnya pemuda itu punya wajah lumayan
tampan. Selain hidungnya bangir, ia mempunyai bulu mata
yang lebat untuk ukuran lelaki. Kulitnya yang sawo matang
membuat ia berkesan sebagai pemuda berwajah manis.
Sayangnya ia mempunyai potongan rambut seperti jamur.
Rambut depan diponi rata, potongannya melingkar sampai
di atas daun telinga, memutar rata sampal ke sisi lainnya.
Sedangkan di bawah daun telinga ia tidak mempunyai
rambut. Jadi sepintas ia seperti memakai topi bundar.
Melihat wajahnya yang polos dan lugu, Suto Sinting
jadi sangsi sendiri dengan kecurigaannya tadi. Menurutnya
pemuda itu tidak punya bakat jadi penjahat. Bahkan dari
keluguan wajahnya, ia seperti berilmu rendah atau paspasan
"Dalamnya laut dapat diduga, tapi hati orang siapa
tahu ," ujar Suto Sinting dalam hati, seakan berusaha
mengembalikan kecurigaannya tadi. Maka ia pun tetap ingin
mengikuti ke mana perginya pemuda tersebut. la ingin tahu,
benarkah pemuda itu yang melepaskan anak panah dan
nyaris menancap di lehernya.12
"Seet..!" tiba-tiba gerakan pemuda itu terhenti. Suto
Sinting buru-buru merapatkan badan pada sebatang pohon
yang berdaun lebat. la bersembunyi di balik kelebatan daundaun tersebut. "Sepertinya dia merasa kalau sedang
kuikuti?" pikir Suto Sinting. Bumbung tuaknya yang ada di
punggung segera dipindah menggantung di pundak,
menandakan bahwa ia sudah mulai berjaga-jaga.
Pemuda berompi hitam dari kulit beruang itu melirik
ke sana-sini. la memang seperti sedang mencurigai keadaan
di sekelilingnya. la juga sempat melirik ke atas pohon. Tapi
Suto Sinting semakin merapatkan badan pada kerimbunan
daun pohon, sehingga ia merasa tidak dijangkau oleh
pandangan mata pemuda yang belum dikenalnya itu.
"Sebaiknya aku jangan banyak bergerak dulu". ujar
Suto dalam hati. "Biar kecurigaan pemuda itu hilang dulu.
Setelah dia berjalan lagi agak jauh, baru kuikuti dari sisi lain."
Si pemuda yang menenteng busur panah itu
melangkah lagi. Kali ini dia sengaja tidak berlari. Hanya
berjalan biasa, tapi kesannya seperti memancing seseorang
agar menyergapnya. Mengetahui maksud siasat pemuda itu,
Suto Sinting sengaja tetap di tempat dan tak mau lakukan
penyergapan. Tapi pandangan matanya mengikuti terus ke
mana pun arah langkah si pemuda berpakaian kulit beruang
itu. Kejap berikut, Suto Sinting terkejut melihat seberkas
sinar merah bundar seperti tutup gelas melesat dari arah
semak-semak. Claap, werss... Sinar merah itu jelas-jelas akan13
menghantam kepala pemuda berwajah polos. Hampir saja
Pendekar Mabuk berkelebat untuk menghadang sinar
tersebut. Tetapi rupanya si pemuda berwajah polos itu
mengetahui datangnya bahaya, sehingga dengan cepat
tubuhnya memutar menghadap ke kiri dan busur panahnya
disabetkan dari kanan bawah ke kiri atas,
"Wesss... Craalapp..." Rupanya sabetan busur panah
itu bisa keluarkan sinar panjang berwarna biru. Sinar panjang
itu seperti pedang membelah sinar merah lawan. "Blaab,
blegaaarr...!"
Pemuda berwajah polos itu tertempar karena
sentakan gelombang ledak yang cukup kuat. Gelombang
ledakan itu juga membuat sebatang pohon menjadi pecah
walaupun tidak menjadi tumbang.
"Gila! Rupanya dia punya isi lumayan juga?" puji Suto
Sinting dalam hatinya. la tak menyangka pemuda itu mampu
hancurkan sinar merah si penyerang gelap. Tapi hati Suto
Pendekar Mabuk Setan Betina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
agak was-was sedikit melihat si pemuda terlempar dan jatuh
terbanting dengan cukup menyedihkan. Sebelum pemuda
itu bangkit berdiri, dari datangnya cahaya merah tadi muncul
sesosok tubuh yang berkelebat ke arah pemuda tersebut.
"Wuuss...Jleeg...!" Orang itu berdiri dalam jarak
enam langkah dari tempat si pemuda bersenjata panah.
"Oo...? Rupanya seorang perempuan yang
menyerang pemuda itu?" pikir Suto Sinting. Dahinya
berkerut karena ia merasa belum pernah bertemu dengan
perempuan itu.14
Si perempuan ternyata berwajah cantik. Usianya
lebih tua dari pemuda itu, sekitar tiga puluh lima tahun.
Selain bertubuh tinggi, sekal, kekar dan montok, perempuan
itu juga punya wajah yang memancarkan kharisma
tersendiri. Berkesan tegas dan berwibawa. la mengenakan
jubah merah, tepiannya berenda dengan sulaman benang
emas. Sulaman di jubahnya itu berbentuk sepasang naga di
sisi kanan-kirinya. Selain jubah merah berenda, ia juga
mengenakan kutang tipis warna kuning dan pakaian
bawahnya kain warna kuning pula.
Rambutnya yang panjang sebahu itu ditutup dengan
topi besi lapis emas. Topi itu mempunyal tanduk runcing di
tengahnya. Ukiran sisik naga memenuhi lapisan emas pada
topi tersebut.
"Siapa perempuan itu, ya?! Baru sekarang kulihat
seorang perempuan berpenampilan seperti itu. Tapi
sepertinya aku pernah mendengar ciri-ciri seorang tokoh
berilmu tinggl yang mempunyai pedang besar bersarung
emas ukir. Hmmm... Sial! Aku tak ingat lagi siapa perempuan
berciri-ciri seperti ltu?" ujar Suto jengkel sendiri. la mencoba
mengingat-ingat tentang ciri-ciri tersebut, tapi sampai lama
ia tak menemukan siapa perempuan yang pedangnya dari
emas berukir. Bahkan siapa yang sebutkan ciri-ciri itu
padanya, juga tak bisa diingatnya. Yang jelas, perempuan
berpakalan mentereng tampak murka kepada si pemuda.
Cahaya matanya memancarkan nafsu untuk membunuh.
Tapl si pemuda pemegang busur panah kelihatan tenang15
saja. la memang Jatuh terbanting, tapi tak membuatnya
cedera atau teriuka. la bisa berdiri dengan tegak dan
memandang lawannya dengan polos, seakan tidak merasa
bermusuhan dengan perempuan tersebut.
"Lari ke mana pun tetap akan kuburu kau, Bocah
ingusanl" seru perempuan itu sambil melangkah ke samping
kiri pelan-pelan.
"Aku tidak lari ke mana-mana, Bibi. Kurasa kau tak
perlu memburuku".
"Bibi...?l" gumam Suto dalam hati. "Oh, jadi
perempuan itu bibinya si pemuda?'.
"Sudah tiba saatmu persiapkan diri ke liang kubur!
Hari ini juga kau akan mati di tanganku, Dimas Genggong!"
"Aku belum ingin mati, Bibi!"
"Aku bukan bibimu, Keparat! Jangan panggil aku bibi
lagi. Aku belum tua, tahu?! bentak perempuani itu kepada si
pemuda yang ternyata bernama Dimas Genggong
Pendekar Mabuk berkerut dahi, "Dimas
Genggong...?! Sepertinya aku pernah mendengar nama itu.
Hmmm... kalau tak salah Guru pernah sebutkan nama Dimas
Genggong sebagai nama murid dari Eyang Dewa Kubur?"
"Sraang...!"Perempuan cantik itu mencabut
pedangnya. la sudah tak sabar lagi, ingin segera membunuh
Dimas Genggong. Dalam satu lompatan cepat, pedang besar
itu ditebaskan ke leher Dimas Genggong.
"Weess..!"Tubuh pemuda itu tiba-tiba melambung
ke atas dengan lebih cepat lagi. Wuuut.. ta bersalto satu kali16
di udara, membuat pedang yang ditebas tak berhasil kenai
kulit tubuhnya. Saat tubuhnya masih melambung di udara,
Dimas Genggong sabetkan busur panahnya yang berwarma
hitam itu.
"Wuuut..! Claap... Sinar biru panjang kembali keluar
dari sabetan busur. Sinar itu bagaikan menyabet pedang
besar lawannya.
"Jedaarrr...!" Cahaya merah membias sekejap
bersama bunyi ledakan cukup keras. Pada saat itu si
perempuan tersentak mundur, terhuyung-huyung mencari
keseimbangan badan agar tak sampai jatuh. Dimas
Genggong kembali menapakkan kaki ke bumi dengan tanpa
suara.
"Debb... !" la tidak langsung menyerang, melainkan
berseru dengan nada polosnya.
"Urungkan maksudmu membunuhku, Laksamana!
Kalau kau nekat, nanti aku jadi bernafsu membunuhmu!"
"Persetan dengan ucapanmu! Kau harus menebus
hutang nyawa gurumu terhadap pihakku, Bocah ingusan!
Hiaaah..." Pedang itu diputar tiga kali di atas kepala,
kemudian dikebaskan ke depan. "Wuut... Pedang itu
berhenti tepat di depan dada pemegangnya. Dalam keadaan
membujur lurus ke arah lawan, pedang itu keluarkan tiga
cahaya merah yang berbentuk seperti bayangan pedang itu
sendiri.
"Claap, claap, claap..!" Dengan gerakan sangat
cepat, Dimas Genggong tahu-tahu sudah mencabut satu17
batang anak panah. Anak panah itu segera diletakkan pada
tali busur dan dilepaskan ke arah lawannya. "Wizzz..!" Anak
panah itu melesat dan menembus tiga sinar merah secara
beruntun.
"Blaar, blarr, blaaaarrr....!"
Tiga ledakan besar beruntun mengguncangkan alam
sekitar tempat itu. Suto hampir saja terpelanting jatuh dari
atas pohon. Untung ia segera menyambar sebatang dahan
dan bertahan tetap di tempatnya sambil berpegangan dahan
tersebut.
"Gila! Panah itu berkekuatan tenaga dalam cukup
besar?!" gumamnya bernada heran. Perhatiannya tetap
tertuju pada Dimas Genggong dan lawannya. Panah yang
habis menembus tiga sinar secara beruntun itu ternyata
tetap utuh. Bahkan melesat tembus menuju dada
perempuan itu. Tapi secara tidak sengaja, pedang si
perempuan berkelebat di depan dada karena ia terlempar
mundur oleh gelombang ledakan tadi. Panah itu akhirnya
membentur mata pedang bergagang emas.
"Traang..." Anak panah memantul balik dengan
cepat "Wiiz...!"
Dimas Genggong menangkapnya dengan tangan kiri.
"Teeb...!" Panah segera dipasang kembali di tali busur. Tapi
sebelum dilepaskan, perempuan yang jatuh berlutut itu
segera lepaskan pukulan jarak jauhnya dari tangan kiri.
Pukulan itu berupa segenggam asap merah yang menuju ke
arah Dimas Genggong. "Wuuuss..!" Gumpalan asap itu18
sangat cepat, menyamai kecepatan anak panah. Dimas
Genggong merasa tak punya kesempatan lepaskan anak
panahnya. la segera menghindar dengan lompatan ke kanan
dan menyabetkan busurnya kembali.
"Crap.. Blegaaarrr...!"
Bias cahaya ungu menyebar lebar dalam sekejap.
Bias cahaya ungu itu terjadi setelah sinar biru dari busurnya
Dimas Genggong menghantam gumpalan asap merah
tersebut. Suara ledakannya menggema panjang menyerupai
gemuruh guntur yang membahana di angkasa. Seluruh alam
yang ada di sekitar tempat itu bergetar hebat. Tanah tempat
terjadinya ledakan itu menjadi retak melebar satu tombak,
panjangnya sekitar sepuluh langkah.
Pohon-pohon menjadi hangus dalam sekejap,
karena gelombang ledakan itu sebarkan hawa panas yang
berbahaya bagi manusia. Batu-batu pun sempat pecah,
sedikitnya retak akibat diterjang gelombang hawa panas itu.
Dimas Genggong terpental-pental bagaikan karet
mentah. Tubuhnya berhenti di sela-sela akar pohon yang
letaknya lima belas langkah dari tempat berdirinya semula.
Wajah dan kulit tubuhnya menjadi merah bagai habis
direndam air panas. la mengerang lirih di sana dalam
keadaan terpuruk tanpa daya. Tapi busur dan anak panah
tetap tergenggam kuat di kedua tangannya, seakan tak bisa
lepas dari masing-masing genggamannya.
Perempuan cantik yang menggenggam pedang emas
itu juga terlempar dan jatuh berguling-guling. Kulit wajahnya19
semburat merah. Namun ia masih punya daya untuk bangkit
dengan cepat dan menyambar pedangnya yang sempat
terpental tiga langkah darinya.
"Haaiiaaah...!" Perempuan itu berteriak dengan liar.
Wajahnya menjadi tampak buas dan menyeramkan. Hasrat
membunuhnya semakin besar dan tak bisa tertahankan lagi.
la berteriak sambil berlari beberapa langkah, kemudian
tubuhnya melayang di udara bagaikan terbang. Pedang
emasnya diarahkan lurus ke depan. Sasarannya adalah tubuh
Dimas Genggong yang sedang bersaha berdiri dengan
berpegangan batang pohon. Saat tubuh perempuan itu
meluncur melewati tanah yang terbelah, Pendekar Mabuk
segera ambil tindakan cepat. Jurus Gerak Siluman digunakan.
"Zlaaap...! Tubuhnya melesat melebihi kecepatan
anak panah. Tahu-tahu ia sudah berada di pertengahan jarak
antara Dimas Genggong dan lawannya. Bumbung tuaknya
segera diayunkan dan menghantam pedang si perempuan.
"Jegaaaarrr...!"
"Aaaoow..". perempuan itu melayang tinggi dan
berguling-guling di udara. Pedangnya berasap putih
pertanda sisa tenaga dalam yang disalurkan dalam pedang
itu berhasil dipadamkan oleh kekuatan tenaga dalam dari
bumbung tuak Suto.Seteiah melayang layang melintasi
belahan tanah, perempuan itu jatuh terbanting ke tanah
dengan keras.
"Uhaakh...!" suara pekikannya terdengar
menyentak. Sentakan suara itu dibarengi dengan20
menyemburnya darah dari mulut si perempuan. Rupanya
tenaga dalam yang disalurkan dalam pedang itu mendesak
balik menghantam pemiliknya sendiri setelah pedang itu
dihantam dengan bumbung tuaknya Pendekar Mabuk.
Sekali pun begitu, si perempuan tetap berusaha
buru-buru bangkit dengan terbungkuk-bungkuk. Napasnya
tersengal-sengal dan tubuhnya limbung. Saat mau jatuh lagi,
ia bertahan dengan pedang dipakai sebagai penopang
tubuhnya ke tanah.
"Keparat! Siapa pemuda memukul balik tenaga
dalamku itu?" geram si perempuan, sambil memandang Suto
dengan gusar.
Pendekar Mabuk sempat bingung, maju menyerang
perempuan itu atau menolong Dimas Genggong lebih dulu?
Pada saat Pendekar Mabuk diliputi kebimbangan, si
perempuan pun mulai tegakkan badan kembali.
"Celaka! Tenaga dalamku yang memantul balik mulai
menyumbat pernapasan. Kalau kuteruskan pertarungan ini,
bisa-bisa aku mati kehabisan napas! Hmmm,, sebaiknya
kutinggalkan dulu mereka. Tapi wajah pemuda yang
berpakaian kuning itu akan kuingat-ingat terus. Suatu saat
aku harus bikin perhitungan dengannya! Bluub...!".
Segumpal asap putih menyentak begitu kaki perempuan itu
dihentakkan ke tanah satu kali. Gumpalan asap putih itu
membungkus tubuh si perempuan cantik. Pendekar Mabuk
terperanjat, bersiap menerima serangan lagi. Kuda-kuda
dipasang, bumbung tuak diangkat sampai pundak. Tapi21
gumpalan asap putih itu segera lenyap karena hembusan
angin. Lenyapnya gumpalan asap putih itu, lenyap pula sosok
si perempuan cantik dengan pedang bergagang emas. Pada
saat itu Suto Sinting sempat kebingungan. la mendengar
suara Dimas Genggong berseru kepada lawannya yang
disangka masih berada di seberang tanah yang terbelah itu.
"Kau tak mungkin bisa membunuhku,Laksamana
Tanduk Naga ! Aku akan... akan.. uhuk, uhuk, uhuk..!" Dimas
Genggong terbatuk-batuk. Pernapasannya juga terasa
tersumbat oleh sesuatu yang membakar bagian dalam
tubuhnya. Tetapi seruan itu membuat Suto Sinting terkejut.
"Laksamana Tanduk Naga..?1 Ooh, jadi... jadi
perempuan itu tadi adalah Laksamana Tanduk Naga yang
memburu diriku untuk dijadikan tumbal pembangunan kuil
di Tanah Mangol?"
Pendekar Mabuk tak banyak pertimbangan lagi. la
melesat mengejar Laksamana Tanduk Naga. Benaknya
segera ingat tentang ciri-ciri Laksamana Tanduk Naga yang
pernah dijelaskan oleh sahabatnya, Arya Suaka, yang saat itu
pernah menyusup di kapal orang orang Mangol. (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode: Pemburu Tumbal).
"zlaaap,zlaaap.." Pendekar Mabuk berkelebat pergi
tinggalkan Dimas Genggong. Tetapi ia menjadi bingung juga
menentukan arah kejarannya. la tak bisa melihat ke arah
mana kepergian Laksamana Tanduk Naga yang mempunyai
nama asli Maharani itu.22
"Mungkin dia melarikan diri masuk ke alam gaib?!"
pikir Suto. "Aku harus mengejarnya ke alam gaib!" Dengan
mengusap kening satu kali, Suto Sinting pun lenyap dari
pandangan mata siapa saja. la masuk ke alam gaib, memburu
Laksamana Tanduk Naga. Pendekar Mabuk memang
mempunyai cara sendiri untuk dapat masuk ke alam gaib.
Karena noda darah kecil di keningnya yang tidak bisa dilihat
sembarang orang itu bagaikan kunci masuk ke jalur gaib.
Noda merah itu pemberian dari Ratu Kartika Wangi, calon
mertuanya, penguasa Puri Gerbang Surgawi yang ada di alam
gaib.
Tanda merah itu juga merupakan tanda bahwa Suto
Sinting terpilih sebagai senopati alias panglima perang dari
negeri Puri Gerbang Surgawi. Oleh karenanya, dengan
mengusap titik merah menggunakan telapak tangan kanan,
ia dapat keluar-masuk ke alam gaib, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode: "Manusia si Seribu Wajah").
"Kurangajar Ke mana perempuan itu larinya? Dia sini
tak ada? Apakah aku salah masuk? Hmmm... tapi kurasa ia
tadi masuk melalui pintu gaib yang tak jauh dari lanah
terbelah tadi. Di sekitar sinilah dia tadi masuknya. Tapi
kenapa tak kulihat batang hidungnya?" gumam Suto Sinting
dalam hati sambil clingak-clinguk.
Merasa tak akan berhasil temukan Laksamana
Tanduk Naga di alam gaib, Suto Sinting pun keluar dari alam
Pendekar Mabuk Setan Betina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu. la teringat dengan keadaan Dimas Genggong yang
menderita luka bakar. Di samping itu ia ingin berkenalan juga23
dengan Dimas Genggong dan menanyakan tentang
keberadaan Dewa Kubur. Tetapi alangkah kecewanya hati si
murid Gila Tuak dan Bidadari Jalang itu setelah tiba ditempat
pertarungan tadi. Ternyata Dimas Genggong sudah tidak ada
di tempat. Padahal menurut perhitungan Suto, mengingat
luka-luka yang diderita Dimas Genggong pemuda itu tak
mungkin bisa pergi dengan gerakan cepat.
"Ooh... itu ada anak panahnya?! gumam Suto Sinting
dengan terkejut. la segera memungut anak panah yang
tergeletak di sela-sela akar pohon. Anak panah berwarna
putih seperti tulang dengan bulu-bulu merah di bagian
pangkalnya, jelas merupakan anak panah milik Dimas
Genggong. Anak panah itu berbeda ukuran dan warnanya
dengan anak panah yang melukai Suto pada saat Suto berada
di penginapan bersama Yunda.
"Anak panah itu berwarna coklat dengan bulu-bulu
hitam di pangkalnya. Kurasa.. kurasa anak panah itu bukan
milik Dimas Genggong. Lalu... ke mana Dimas Genggong
sekarang ini? Mengapa ia tinggalkan sebatang anak
panahnya?"
Menurut Suto, anak panah itu bukan anak panah
sembarangan. Karena ketika ia memungutnya, ia merasakan
ada getaran hawa hangat yang mengalir pada batang anak
panah tersebut. Seingat Suto. Dimas Genggong hanya
mempunyai lima batang anak panah. Tak mungkin ia
meninggalkan satu batang pun dengan sengaja. Sebab,
melihat pertarungannya tadi, Suto yakin anak panah itu24
bukan anak panah sembarangan. Terbukti bisa kembali ke
arah pemiliknya setelah membentur pedangnya Laksamana
Tanduk Naga.
"Pasti ada yang tak beres pada diri Dimas
Genggong!" gumam Suto dalam hati. "Jika benar ia paksakan
diri untuk lekas-lekas pergi, pasti ada sesuatu yang membuat
Dimas Genggong memaksakan diri! Hmmm.., ke mana dia?
Haruskah aku mencari si murid Eyang Dewa Kubur itu?"
Suto Sinting tertegun beberapa saat. Anak panah itu
diselipkan dalam ikat pinggangnya. la mencoba memeriksa
keadaan sekeliling melalui atas pohon, mencari sesuatu yang
dapat dijadikan bahan kecurigaan atas perginya Dimas
Genggong.
*** Koleksi Kolektor Ebook25
2 SECARA kebetulan, seorang perempuan berjubah
biru kehitam-hitaman lewat di kaki bukit, tempat
pertarungan Dimas Genggong dengan Laksamana Tanduk
Naga tadi. Perempuan itu tak lain adalah janda mantan
istrinya Badra Sanjaya yang bernama Laras Wulung.
Perempuan yang selalu membutuhkan kemesraan seorang
lelaki itu gagal mengejar Nyai Jurik Wetan yang membawa
lari Ragadenta, yaitu murid sang Nyai sendiri. Padahal
Ragadenta dianggap Laras Wulung sebagai pria yang mampu
memuaskap gairah asmaranya,sehingga selama bersama
Ragadenta, Laras Wulung merasa tak pernah kekurangan
tenaga. Tenaga perempuan itu akan berkurang dan makin
lama semakin lemas jika ia tidak bercinta dengan seorang
lelaki dalam batas waktu tertentu, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode: "Misteri Lembah Seram).
Laras Wulung selalu cemas dan gelisah jika tidak
berada di samping seorang lelaki. Maka setelah ia merasa
gagal mengejar Nyai Lurik Wetan yang membawa lari26
muridnya sendiri itu, Laras Wulung memutuskan untuk
melupakan Ragadenta dan mencoba mencari mangsa lain.
Pada saat ia melihat Dimas Genggong berusaha
menyembuhkan luka bakarnya, Suto Sinting sudat tak ada di
tempat. Laras Wulung melihat adanya satu kesempatan yang
dapat dimantaatkan sebaik mungkin untuk kepentingan
pribadinya.
"Lumayan juga pemuda itu. Tak terlalu buruk
wajahnya, hanya sayang ia dalam keadaan terluka.
Ooh...sepertinya ia terluka karena sesuatu yang membakar
kulit tubuhnya. Hmmm, kalau hanya luka seperti itu, bukan
masalah bagiku. Aku bisa salurkan hawa Patigeni ke dalam
tubuhnya. Kujamin dalam waktu singkat luka bakar itu akan
lenyap dalam waktu sekejap," ujar Laras Wulung saat
mengintai Dimas Genggong. Janda yang kerjanya hanya
memburu kemesraan seorang lelaki itu berharap pemuda
ingusan yang dilihatnya dapat dijadikan pengganti
Ragadenta. Maka ia pun mempunyai rencana tersendiri
dalam benaknya.
Dengan gerakan cepat, ia melesat dari balik semak
yang kebetulan sedang dipunggungi oleh Dimas Genggong.
"Wuuut..Dees...! Sebuah totokan dilepaskan tepat di
tengkuk kiri. Dimas Genggong pun terkulai lemas seketika itu
juga. Laras Wulung segera menyambar pemuda itu dan
membawanya pergi. la tak pedulikan anak panah yang
terlepas dari genggaman Dimas Genggong, tapi juga tak27
pedulikan busur yang talinya tersangkut di sela-sela jemari
pemuda itu.
Sebuah gubuk kosong yang kini ditempati Laras
Wulung sebagai tempat tinggalnya menjadi tujuan utama
dalam melarikan Dimas Genggong. Gubuk itu pernah
ditempati Laras Wulung bersama Mahesa Gibas penglkut
Perawan Sinting. Tapi karena Mahesa Gibas sudah tidak mau
lagi menjadi budak nafsunya Laras Wulung maka gubuk itu
pun beberapa waktu ini dikosongkan. selama janda cantik
berdada montok itu dekat dengan Ragadenta, ia tak pernah
pulang ke gubuknya. Tak heran jika kala itu ia terpaksa
membersihkan gubuk tersebut sebelum lakukan pengobatan
terhadap luka Dimas Genggong. Hawa Patigeni yang
dimaksudkan tadi adalah semacam gelombang tenaga dalam
yang mengandung hawa salju.
Dengan menempelkan telapak tangan ke dada
Dimas Genggong, hawa 'Patigeni' itu mengalir masuk ke tiap
lubang pori-pori pemuda tersebut. Hawa sejuk itu bukan saja
mengandung udara dingin saja. melainkan juga mempunyai
tenaga inti yang berkhasiat untuk mengeringkan luka bakar,
Laras Wulung lakukan pengobatan itu sebelum melepaskan
totokannya, sehingga Dimas Genggong hanya bisa tergeletak
di atas dipan beralaskan tikar pandan tebal. Pada saat
lakukan pengobatan itu, Laras Wulung melepas rompi kulit
yang dipakai Dimas Genggong.
Saat pengobatan sudah merasa cukup dilakukan,
rompi Itu masih tergeletak di samping tubuh pemuda28
berkulit sawo matang itu. Laras Wulung pandangi tubuh yang
telanjang dada. Tangannya mengusap pelan dada yang tak
seberapa kekar namun cukup berisi.
"Tubuhnya memang tidak sekekar Ragadenta, tapi
otot-ototnya terasa keras sekali. Kurasa ia lebih tangguh dari
Ragadenta. Aku yakin ia mampu melayaniku berkali-kali
dalam waktu yang tak sebentar oh..mudah-mudahan saja dia
mau memberiku kemesraan. Sudah lima hari aku tidak
mendapatkan kemesraan dari seorang lelaki. Dan sekarang
aku muiai bergairah lagi begitu menyentuh tubuh ini. Ooh...
celaka sekali kaiau dia tak mau melayani hasratku. Akan
kubujuk dia agar mau melayaniku dengan cara apa pun."
Luka bakar itu memang cepat menjadi kering. Kulit
tubuh Dimas Genggong sudah menjadi segar kembali. Warna
sawo matangnya tampak menonjol, melambangkan sosok
pemuda yang perkasa dalam bercinta. Maka janda bertubuh
sekal itu pun melepaskan totokannya.
"Desss...Uuhk...!" Dimas Genggong tersentak kaget
sebentar, seperti orang baru sadar dari pingsan. Napasnya
terengah-ongah sesaat, dan Laras Wulung hanya
memandang sambil duduk di tepian ranjang,
menyunggingkan senyum manis yang siap dipamerkan
sebagai daya pikat bagi si pemuda.
Dimas Genggong terkejut menyadari keadaan
dirinya sudah terbaring di sebuah dipan, dalam sebuah
rumah beratap jerami. la sedikit menggeragap ketik bangkit
dan duduk di tempat. Pertama-tama yang dicari adalah busur29
panahnya. Ternyata busur dan tempat anak panah ada di
meja tak jauh dari dipan. Laras Wulung telah melepaskan
benda-benda itu darinya sebelum lakukan pengobatan tadi.
Tentu saja Dimas Genggong terheran-heran
memandang seraut wajah cantik dari seorang perempuan
berusia sekitar dua puluh lima tahun. Duduknya bergeser
mundur sedikit sebagai sikap merasa asing terhadap Laras
Wulung. la lebih heran lagi setelah mengetahui kulitnya telah
berwarna sawo matang dan rasa sakit akibat panas yang
membakar tubuhnya telah lenyap
"Sia.. siapa kau, Mbakyu..? tegurnya dengan kikuk.
"Namaku Lara Wulung," jawab perempuan tersebut
dengan keramahan tutur kata dan senyuman yang
menggoda.
"Ap..apakah.. apakah kau yang mengobati luka
panasku ini?"
Anggukan lembut Laras Wulung tetap diringi senyum
keramahan, seakan penuh persahabatan.
"Ap..apakah.. apakah kau orangnya Laksamana
Tanduk Naga?"
Laras Wulung menggeleng, dalam hatinya ia
menggumam, "Ooh.. rupanya ia tadi terluka akibat
pertarungannya dengan Laksamana Tanduk Naga?! Hmmm
... kuanggap cukup besar juga nyali bocah ini!"
Dimas Genggong meraih rompinya, ingin buru-buru
dipakai kembali. Tapi tangan Laras Wulung menahan rompi
tersebut.30
"Jangan pakai dulu. Biarkan kulitmu yang tadi merah
terbakar terkena udara lebih banyak, supaya luka bakar itu
lenyap sama sekali melalui lubang-lubang kulitmu.
" Oo, begitukah, Mbakyu..?!"
"Pengobatan melalui ilmu Patigeniku membutuhkan
bantuan udara bebas. Kulihat tadi sekujur tubuhmu
mengalami luka bakar yang nyaris membuatmu hangus,
Untuk itu, tubuhmu harus banyak kena angin,supaya hawa
'Patigeni' lebih meresap dan menyingkirkan hawa panas
yang merusak jaringan serat-serat daging dan kulit pada
tubuhmu. Itulah sebabnya rompimu kulepas."
"Terima kasih atas pertolonganmu, Mbakyu"
*** Tidak begitu jauh dari bukit tampak gubuk itu berdiri,
seorang wanita muda yang kenal betul dengan Pendekar
Mabuk sedang dalam perjalanannya pulang dari Jurang
Lindu. la habis bicara dengan si Gila Tuak dan Bidadari Jalang
tentang kebenaran kabar kematian Pendekar Mabuk.
Gila Tuak mengatakan, bahwa ia tidak yakin dengan
kematian muridnya sebelum melihat sendiri mayat Pendekar
Mabuk. Wanita muda yang menjadi ketua sebuah perguruan
itu bermaksud mencari mayat Pendekar Mabuk, sebab ia pun
beranggapan sama seperti pendapat si Gila Tuak. Wanita
muda yang mengenakan baju buntung warna jingga bintik-31
bintik putih itu tak lain adalah Ratna Blara, ketua Perguruan
Sekar Biara, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode:
"Terjebak Makelar Perawan").
Ratna Biara adalah sosok gadis berkharisma dan
punya wibawa dalam sikapnya. Selain bertubuh sekal dan
berisi, ia juga mempunyai wajah cantik mempesona tapi
penuh kedewasaan. Bahkan ia sering tampil dengan kesan
dingin. Dengan pedang runcing dan tajam di kedua sisinya, la
selalu tampil sebagai wanita muda yang disegani banyak
pria.
Tetapi satu pria bendel kali ini menghadangnya. Pria
bandel yang merasa sakit hati atas perlakuan Ratna Biara itu
berusia sebaya, sekitar dua puluh empat tahun. Rambutnya
ikal bergelombang sepanjang bahu,mengenakan ikat kepala
kain merah berbenang emas.Pria yang tergolong ganteng
bertubuh tegap itu mengenakan baju lengan tanggung
berwarna hijau cerah, sama dengan warna celananya. la
berkumis tipis yang menimbulkan kesan berwajah sebagai
pria doyan wanita. Pria itu adalah murid Ki Jalu Kuping yang
bernama Badra Sanjaya, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode:"Pusaka Jarum Surga").
Agaknya Badra Sanjaya menyimpan dendam kepada
Ratna Biara atas pertarungannya beberapa waktu yang lalu,
yang membuat Badra Sanjaya nyaris mati, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode: "Pesan Dari Alam Kubur).
Maka ketika ia melihat sekelebat bayangan Ratna
Biara yang melintasi kaki bukit, serta merta wanita muda itu32
diserangnya dengan pukulan jarak jauh yang bersinar hijau
berbentuk seperti mata tombak. "Claap...!" Sinar hijau itu
datang dari arah belakang Ratna Biara. Sasarannya jelas
punggung gadis itu. Merasa seperti ada hawa panas yang
meruncing menuju ke punggungnya, Ratna Biara cepat
bertindak secara naluriah. la memutar tubuh dan sentakkan
tangan kanannya ke depan saat tubuh sudah berbalik total.
"Wuut, claap...!" Dari telapak tangan Ratna Biara
keluar selarik sinar merah panjang yang langsung
menghantam tepat sinar hijau lawannya.
"Claaap... Blegaaarr..!"
Ledakan cukup keras membahana, menimbulkan
getaran pada pohon-pohon di sekitar tempat itu. Ratna Biara
sempat terdorong dua langkah ke belakang, tapi ia tak
cedera sedikit pun. la bahkan mampu melompat dengan
cepat berpindah tempat.
"Wuuut...!" Dari balik sebatang pohon, Ratna Biara
lepaskan pukulan serupa ke arah semak-semak seberangnya.
Sinar merah lurus melesat kembali dan menghantam semaksemak itu.
"Blaaarr..!" Tapi sebelum sinar merah yang akhirnya
menghantam akar pohon besar itu tiba di semak-semak,
sekelebat bayangan telah lebih dulu melesat keluar dari balik
semak-semak.
"Wuuus..." Berpindah ke arah utara dengan cepat.
Ratna Biara segera memburu ke arah utara.33
"Blaas..! Jleeg.... !" Orang yang melepaskan sinar
hijau tadi kepergok langkah. Kini ia berhadapan dengan
Ratna Biara.
Pendekar Mabuk Setan Betina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hmmm.." rupanya kau yang ingin bertindak curang
padaku, Badra Sanjaya?!" geram Ratna Biara dengan wajah
dingin dan angkuh.
"Aku tak akan segan-segan bertindak curang demi
membalas kekalahanku tempo hari padamu, Ratra Biara !"
ujar Badra Sanjaya dengan tak kalah ketus. Rupanya kau
ingin perpanjang urusan kita tempo hari?"
"Badra Sanjaya tak berani pulang menghadap guru
jika belum membalas kekalahannya kepada pihak lawan
mana pun. Untuk itu, sekarang bersiaplah menghadapi hari
naasmu, Ratna Biara! Mungkin juga hari ini adalah hari
terakhir bagimu untuk menikmati kehidupan di permukaan
bumi!"
"Sudah kupersiapkan liang kubur di tempatku. Jika
kau ingin menempatinya, aku tak keberatan, Badra Sanjaya!"
"Kita buktikan siapa yang masuk ke liang kubur lebih
dulu, Ratna. "Heeaat..." Badra Sanjaya maju menyerang
dengan pukulan cepat, lurus ke arah wajah Ratna Biara.
Pukulan itu berhasil ditangkis oleh tangan kanan Ratna Biara
sambil serongkan badan ke arah kiri.
"Dees... !" Sehabis menangkis pukulan Badra
Sanjaya, tangan itu menyodokkan sikunya tepat ke dada
Badra Sanjaya. Duukk.."34
"Uuhk..." Badra Sanjaya menyeringai. Tapi lutut
kirinya segera menyodok ke depan dan tepat kenai pantat
Ratna Biara. Buuuhk..."
"Wuuut, blak, blak, blak, blak." Ratna Biara nyaris
tersungkur karena sodokan siku tadi. la berhasil
berpegangan pada s?batang akar yang turun dari dahan
pohon seperti akar beringin. Dengan berpegangan akar itu ia
tak jadi jatuh, melainkan justru bergelayutan sesaat.
Badra Sanjaya sempat terhuyung-huyung ke
belakang, hilang keseimbangan sehabis terkena sodokan siku
dadanya dan menyentakkan lututnya. la segera tegap
kembali. Kali ini ia mencabut pedangnya tanpa ragu-ragu
lagi. "Sraang..".
Ratna Biara pun segera mencabut pedangnya.
"Srriing..."
"Kuhabisi riwayatmu, Perempuan busuk!" geram
Badra Sanjaya sambil memainkan pedangnya.
"Heeeaaah...Wees..!" la melompat bagaikan
terbang. Pedang diayunkan dari atas ke bawah. Ratna Biara
menangkisnya dengan tubuh meliuk ke kanan.
"Traang..!" Kaki kanannya segera menendang ke
samping.
"Beet,plaak...!" Tendangan itu ditangkis dengan
kibasan tangan kiri Badra Sanjaya.
"Traang, trrang, trring, traang, wiz...!"
"Trring, triing, buuhk.."35
"Uuuhk...!" Badra Sanjaya tersentak mundur karena
kali ini tendangan kaki kanan Ratna Biara tepat kenai
perutnya. Tendangan itu dialiri tenaga dalam, sehingga
Badra Sanjaya menyeringai kesakitan. Seluruh isi perutnya
terasa ingin dimuntahkan lewat mulut. Napasnyapun sempat
menjadi sesak beberapa saat.
"Hiaaah.." Ratna Biara menerjang dengan pedang
lurus ke depan. Ujung pedang yang runcing itu diarahkan ke
leher Badra Sanjaya.
"Weess. Traang...!" Pedang itu dibuang dengan
tebasan pedang Badra Sanjaya. Tubuh yang melayang
hendak meneriang itu segera dihantam dengan pukulan
tenaga dalam. "Beet.. Buuuhk..!"
"Ouhk..!" Ratna Biara terlempar ke samping. karena
gelombang hawa padat dari tangan kiri Badra Sanjaya itu
menghantam tubuhnya pada saat ia masih melayang di
udara. "Bruuk.. Ratna Biara jatuh terpuruk. Badra Sanjaya
merasa punya kesempatan bagus untuk lukai lawannya. la
buru-buru melompat dan menghujamkan pedangnya ke
punggung Ratna Biara yang sedang merangkak untuk
bangkit.
"Wuuut...!" Namun ketika Badra Sanjaya sedang
melayang dalam lompatannya, tiba-tiba segumpal hawa
padat menghantamnya dengan kuat dari arah samping
kanan.
"Bruuus...!"36
"Aaahk." Badra Sanjaya terlempar ke kiri sejauh
enam langkah. Tubuhnya tak terkendali dan membentur
sebatang pohon besar. "Bruuuk..! Eohhk..!"
Badra Sanjaya menggeliat kesakitan Ketika ia
mencoba bangkit dengan merambat batang pohon itu, tibatiba sesosok tubuh kekar yang tadi menyerangnya dengan
pukulan tenaga dalam itu muncul dari kerimbunan semak.
Orang itu melompat dan bergelayutan pada akar pohon
mirip pohon beringin itu.
"Wuuuss... Prrok.!"
Kaki orang yang meluncur dengan bantuan akar dari
atas pohon itu menerjang telinga kiri Badra Sanjaya.
Akibatnya, Badra Sanjaya bukan saja berdarah telinga
kirinya, tapi juga berdarah telinga kanannya, sebab terjangan
itu membuat kepalanya bagaikan diadu dengan pohon kuatkuat.
"Jleeg.. !"Si penyerang segera tapakkan kaki ke bumi.
Ratna Biara segera kenali pemuda bertubuh tinggi, tegap dan
gagah itu.
"Randugara...?"
"Tak akan kuberi kesempatan pada orang ini untuk
mencelakaimu lagi, Ratna!" ujar Randugara yang sempat
makin akrab dengan Ratna Biara sejak mereka sama-sama
nyaris membunuh Suto Sinting karena pengaruh gaib sebuah
keris pusaka. Randugara benar-benar tak memberi
kesempatan kepada Badra Sanjaya untuk lakukan
periawanan terhadapnya, lebih-lebih terhadap Ratna Biara.37
Pemuda yang mengenakan rompi dan celana dari kulit
macan tutul itu menghajar Badra Sanjaya dengan pukulan
telapak tangan kirinya ke arah dada lawan. "Bhaaak...!"
"Uheek...!" Badra Sanjaya memuntahkan darah
kental. Dadanya membekas telapak tangan warna hitam
hangus. Randugara masih kurang puas, segera melompat di
tempat dan lepaskan tendangan putar dengan cepat.
"Wuut, prrok..!" Wajah Badra Sanjaya tersentak ke
samping bersama darah memercik dari mulutnya. Tubuh itu
pun melayang sejauh lima langkah. Jatuh terkapar tanpa
daya lagi. Badra Sanjaya hanya bisa mengerang lirih karena
seluruh kekuatannya bagaikan di?umpuhkan oleh pukulan
dan tendangan Randugara
"Heeaahh...!"
"Cukup, Randu.." sentak Ratna Biara mencegah niat
Randugara yang ingin menghabisi nyawa Badra Sanjaya.
Seruan itu membuat Randugara hentikan gerakan.
Tangannya yang sudah menggenggam dan ingin
dihantamkan ke dada Badra Sanjaya yang terkapar di tanah
itu segera tertahan. Tubuh yang telah merendah menjadi
tegak kembali.
"Tinggalkan dia! Tak perlu dihabisi nyawanya. Orang
macam dia, tak lama lagi nyawanya akan habis sendiri!"
"Tapi aku tak rela jika kau disakiti olehnya, Ratna!"
"Aku tak sampai terluka parah," ujar Ratna Biara
sambil beradu pandang dengan Randugara. Ungkapan kata
'tak rela' itu membuat Ratna Biara merasa mendapat38
perhatian yang amat pribadi dari Randugara. Hatinya sempat
berdesir bangga, walau wajahnya tetap memancarkan
ketegasan dan wibawa.
"Mengapa kau ada di sini, Randu?! Bukankah katamu
kau akan ke negeri Wilwatikta untuk temui Ratu Dewi
Cumbutari?!"
"Aku mendengar kabar bahwa Pendekar Mabuk
tewas di tangan Perwira Tombala. Aku ingin dapatkan
keterangan leblih jelas lagi. Jika hal itu benar, maka aku amat
sedih dan merasa kehilangan seorang sahabat yang
sebenarnya kukagumi dalam hati"
"Aku habis bertemu dengan Eyang Gila Tuak,
gurunya Pendekar Mabuk. Sebelum ada bukti mayat
Pendekar Mabuk, kabar kematiannya disangsikan. Kepastian
itulah yang sebenarnya ingin kudapat kan. Tapi ketika aku
melintas puncak bukit ini, kudengar suara ledakan
pertarungan. Aku segera kemar. Ternyata kau yang
bertarung. Aku amat marah melihat kau terkena pukulan
pemuda keparat itu!"
"Lupakan tentang pemuda itu! Aku cukup kenal
dengan gurunya. Aku tak ingin bentrok dengan guru pemuda
itu. Sebaiknya bantu aku mencari mayat Pendekar Mabuk
yang kabarnya tertimbun tebing di sekitar Lembah Seram."
"Baik. Kita ke sana sekarang saja, Ratna!"
Ketua perguruan Sekar Biara itu pun pergi bersama
Randugara. Diam-diam dalam hati Ratna Biara menaruh rasa
simpati kepada pemuda dari Gunung Gentar itu. Tapi sebagai39
gadis bergengsi tinggi, Ratna Biara tetap menjaga sikap agar
tidak semata-mata kelihatan menaruh rasa kepada
Randugara. Sebenarnya Ratna Biara menaruh hati kepada
Pendekar Mabuk. Tapl sikap Pendekar Mabuk agaknya hanya
mau bersahabat saja dengannya. Di samping itu, Ratna Biara
tahu bahwa Pendekar Mabuk sudah punya calon istri sendiri,
yaitu Dyah Sariningrum. Ditambah fisiknyw lagi, Ratna Biara
tahu bahwa banyak wanita yang berlomba ingin merebut
simpati Pendekar Mabuk. Maka Ratna Blara pun pelan-pelan
mulai batasi perasaannya. Kini la temukan pemuda tampan
yang agaknya masih belum ada yang punya. Tak ada salahnya
jika perhatian Ratna Biara pun mulai dialihkan untuk
Randugara, sebab Randugara sering membuat hatinya
berdebar-debar dalam keindahan.
Kepergian Ratna Biara dan Randugara tidak
dipeduikan lagi oleh Badra Sanjaya. Luka-luka di tubuhnya
tergolong parah. Seluruh tulangnya bagaikan remuk. Bahkan
untuk bangkit pun sulitnya bukan main. Badra Sanjaya
mencoba atasi lukanya dengan menyalurkan hawa murni ke
sekujur tubuhnya, tapi masih belum bisa atasi luka akibat
pukulan telapak tangan Randugara tadi
"Bangsat!" Pukulan itu makin membuat jantung dan
paru-paruku seperti diremat-remat. Oouh, sakitnya bukan
main!" keluh Badra Sanjaya. la paksakan diri untuk bangkit,
tapi tulang lututnya bagaikan menjadi lunak. Sebentarsebentar ia terpaling jatuh.40
"Aku butuh tempat untuk pulihkan keadaanku.
Uuhk... Kalau tak segera kuatasi dengan 'Semedi Cakra', bisabisa luka ini merenggut nyawaku, cepat atau lambat! Ooh...
kulihat tadi di sebelah sana ada gubuk sepi. Mudah-mudahan
tak ada penghuninya, sehingga bisa kupakai untuk lakukan
'Semedi Cakra'..!"
Dengan kerahkan sisa tenaga yang masih ada,
Walaupun harus dengan merangkak-rangkak, Badra Sanjaya
tetap berusaha menuju ke sebuah gubuk beratap jerami
kering. la tak tahu, bahwa di dalam gubuk itu ada nmantan
istrinya yang masih bermusuhan batin dengannya, yaitu
Laras Wulung. Padahal saat itu, Laras Wulung sedang dibakar
oleh gairahnya karena pandangi tubuh anak muda yang
masih polos dan lugu itu. Tubuh itu tak mengenakan
selembar benang pun. Terbaring dengan tenang menuruti
perintah Laras Wulung. Kepolosan pemuda itu benar-benar
dimanfaatkan oleh Laras Wulung untuk memperdaya
kemesraannya.
Janda montok itu semakin berdebar-debar setelah
mengetahui'jarum surga' milik Dimas Genggong mempunyai
kelainan yang unik dan menggelitik. Sikap lugu Dimas
Genggong membuatnya tak mengerti tanda-tanda akan
datangnya kemesraan. Dalam hatinya hanya percaya bahwa
ia harus tidur berbaring dan tak kenakan selembar benang
pun agar sekujur tubuhnya terkena angin, sehingga sisa hawa
panas beracun itu tidak membuatnya busuk. Pemuda itu tak
punya gairah dan tak punya tuntutan untuk bercumbu.41
Tetapi mata Laras Wulung tiada henti-hentinya
melirik pusaka 'jarum surga' milik Dimas Genggong yang
terkulai lemas tanpa daya, tapi memiliki penampilan yang
berbeda dengan yang dimiliki pria lain. Laras Wulung
membatin girang,
"Dalam keadaan tidur saja sudah mencapai hampir
pertengahan paha, apalagi jika ia bangkit dan menampakkan
kehebatannya! Wow... Dahsyat sekali! Anehnya, mengapa ia
mempunyai banyak tahi lalat di sekujur batang pusakanya
itu?1 Mana ukuran tahi lalat itu rata-rata sebesar biji kapas,
jumlahnya.. ooh, mungkin lebih dari dua puluh biji. Tentu
saja akan menghadirkan sentuhan nikmat tersendiri jika
menikam kemesraanku. Aduuh.. bergetar sekali tubuhku
menahan gejolak asmara ini. Jika gairahku tertunda makin
lama, sekujur tubuhku bisa lemas tak berdaya lagi?"
Detak jantung Laras Wulung semakin cepat
Terbayang kemesraan yang teramat indah saat menerima
kehangatan dari pusaka keramat pemuda lugu yang bergerigi
karena banyaknya tahi lalat itu. Napas pun mulai terasa sesak
akibat hasrat makin berkobar-kobar. Oleh sebab itu,
walaupun Laras Wulung mendengar suara dentuman di
kejauhan, ia tak berminat menengok siapa yang bertarung di
tempati itu. la lebih tertarik untuk mulai meraba kaki Dimas
Genggong.
"Untuk mempercepat keluarnya hawa pembusuk,
tubuhmu harus dipijat, Dimas," ujarnya mulai bersiasat lagi.42
"Begitukah, Mbakyu..?1 Juga aku harus sambil
memijat tubuhku?"
"Tidak. Biar aku saja yang memijatnya pelan-pelan" .
"Oh..kau baik sekali, Mbakyu. Terima kasih atas
kebaikanmu."
Dimas Genggong yang awam dengan keromantisan
itu membiarkan kakinya mulai dipijat pelan-pelan oleh Laras
Wulung. Jubah biru kehitaman dilepas oleh Laras Wulung.
Bahkan kain penutup bagian bawahnya dibiarkan tersingkap
lebar, sehingga hampir seluruh pahanya terbuka dan dapat
dil?hat oleh Dimas Genggong dengan jelas.
"Mbakyu, Mbakyu... kainmu tersingkap. Tutuplah
yang rapat biar mataku tak melihatnya," ujar di pemuda lugu
membuat hati Laras Wulung ingin tertawa geli, tapi juga
sempat bernada kesal dengan kebodohan tersebut.
Pendekar Mabuk Setan Betina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jika kau ingin memandang pahaku, pandanglah saja
sesukamu. Aku tak akan marah, Dimas".
"Nanti kau sangka aku tidak sopan padamu,
Mbakyu"
"Tidak. Aku sudah izinkan kau memandangnya,jadi
tak ada istilah tak sopan. Bahkan jika kau ingin
memegangnya, pegang saja."
Laras Wulung bergeser dari duduknya agar lebih
dekat dari jangkauan tangan Dimas Genggong. Tapi tangan
Dimas Genggong tidak segera merabanya. Pemuda itu hanya
memandang dalam keadaan tetap berbaring kepala miring.
Pijatan tangan Laras Wulung mendekati bagian paha. Pijatan43
itu sangat lembut, bahkan sesekali terasa hanya mengusapusap paha pemuda itu.
"Mbakyu, Mbakyu... tanganmu menyentuh 'anu' ku,
Mbakyu."
"Apakah sakit?"
"Tidak, Mbakyu. Tapi.. tapi jantungku jadi degdegan, Mbakyu."
Laras Wulung tertawa cekikikan. Kini ia lebih terangterangan mengusap-usap pusaka keramat itu. Pemuda lugu
itu justru berkata,
"Mbakyu, Mbakyu. jangan kau pakai mainan tempat
itu, nanti jantung ku semakin berdetak cepat"
"Bukankah tanganku memberikan sentuhan
indahpadamu, Dimas?"
"Ya indah sekali!"
"Kau ingin lebih indah lagi? Aku bisa melakukan
sesuatu agar kau merasa lebih indah lagi."
"Caranya bagaimana Mbakyu?"
"Begini caranya.!"
"Ooh, Mbakyu... nikmat sekali rasanya. Oooh...
jantungku berdetak cepat sekali, Mbakyu... aku... aku jadi
ingin buang air, Mbakyu.."
"Tahan dulu!" sergah Laras Wulung. Akan kuberi
tempat bagimu untuk buang air, Dimas."
"Di... di mana tempatnya, Mbakyu?" Dimas
Genggong clingak-clinguk mencari tempat yang dimaksud
dalam keadaan tetap berbaring.44
"Brraaak... Tiba-tiba pintu gubuk diterjang
seseorang. Laras Wulung dan Dimas Genggong tersentak
kaget. Lebih kaget lagi bagi Laras Wulung setelah tahu bahwa
orang yang menerjang pintu itu adalah mantan suaminya
sendiri, yaitu Badra Sanjaya yang terluka parah
"Ooh...?1 Kaauu..?"
"Bangsat.." geram Badra Sanjaya semakin sakit
hatinya memergoki mantan istrinya sedang ingin bercumbu
dengan seorang pemuda. " Lebih baik aku pergi daripada
meliatmu bercumbu dengan orang lain! Jahanam busuk!"
maki Badra Sanjaya dengan sejuta penyesalan yang
menyakitkan hati!"
*** Koleksi Kolektor EBook45
3 SEBENARNYA kasihan juga si Badra Sanjaya. Sudah
terluka akibat pertarungan, eeh... makin luka lagi hatinya
memergoki mantan istrinya sedang berkasih-kasihan dengan
seorang pemuda. Kehadirannya ke gubuk itu mendapat
tanggapan sangat sinis dari Laras Wulung. Pandangan mata
Laras Wulung adalah pandangan mata mengusir.
Mau tak mau Badra Sanjaya pun pergi dalam
keadaan masih terhuyung-huyung, lemas dan kehilangan
banyak tenaga. Laras Wulung hanya memperhatikan
kepergian Badra Sanjaya dengan senyum sinis sambil berdiri
di pintu, berlilitkan kain ala kadarnya.
"Dulu begitu mudahnya kau menyakiti hatiku, Badra.
Sekarang pembalasan itu tiba dengan sendirinya!" gumam
hati Laras Wulung.
"Mbakyu, siapa lelaki tadi?" tanya Dimas Genggong.
"Orang gila!" jawab Laras Wulung. "Jangan hiraukan
dia. Dia sudah pergi. Kita mulai saja keindahan ini ya
Dimas...7!"46
Laras Wulung benar-benar tak pedulikan lagi mantan
suaminya, Kemesraan yang terindah akan diawali. la juga tak
hiraukan hari mulai senja. Bahkan tak menghiraukan sekor
capung merah masuk ke dalam gubuk. Juga, hembusan angin
senja yang mulai membawa udara dingin tak dihiraukan
sedikit pun.
*** Senja semakin petang, petang semakin malam.
Sampai akhirnya tiba di penghujung pagi, suara ledakan
terdengar mengguncang bumi. Pendekar Mabuk bergegas
hampiri tempat datangnya ledakan besar tersebut.
Dua tokoh tua bertarung di sela-sela hutan bambu.
Pohon bambu yang tumbuh sebatang demi sebatang dan
mempunyai kerenggangan jarak tertentu itu menjadi korban
salah sasaran beberapa pukulan mereka yang meleset.
Pendekar Mabuk mengenal kedua tokoh itu tapi ia
terkejut melihat salah satu tokoh tua yang berambut merah
jagung dengan jenggot dan kumis pendek merah jagung pula.
Tokoh tua yang berbaju buntung warna biru dengan celana
hitam itu tak lain adalah si Kusir Hantu, kakek dari Pematang
Hati dan Mahligai Sukma.
"Gila! Kenapa orang itu justru ada di sini?" gumam
Suto Sinting bernada heran. "Mestinya ia dalam tawanan47
orang-orang Tanah Pasung yang mondok di Pantai Bejat
sanal. Mengapa sekarang justru ada di sini dan bertarung
melawan... ooh, si keparat itu muncul lagi?"
Tentu saja Pendekar Mabuk sangat kenal dengan
tokoh tua berusia sekitar delapan puluh tahun, tapi masih
berpenampilan tengil. Tokoh berambut abu-abu panjang
sepundak dengan bagian depannya botak itu mengenakan
jubah hitam, tepian jubahnya dilapisi kaln kuning emas. la
tokoh tua dari aliran sesat yang berjenggot dan berkumis
abu-abu.
Tokoh yang berasal dari Selat Darah itu dikenal
dengan nama Pendita Amor, alias Amoroso Kumayana. la
tokoh aliran hitam yang sejak dulu mengincar nyawa si Gila
Tuak, tapi selalu gagal membunuh gurunya Pendekar Mabuk.
Bahkan ia sendiri pernah dihajar oleh Pendekar Mabuk
sampai babak belur, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode: "Misteri Tuak Dewata")
Pendita Amor juga yang menyulut api permusuhan
di antara orang-orang Mangol dengan meyakinkan kaisar
Mangol mengenai tumbal pemuda tanpa pusar. Menurut
ulah Pendita Amor jika kaisar Mangol ingin membangun kuil
keramat, harus menggunakan tumbal pemuda tanpa pusar
yang bernama Suto Sinting dan bergelar Pendekar Mabuk.
Untuk itu, kaisar Mangol mengirimkan sejumiah pasukannya
ke Tanah Jawa dipimpin oleh Laksamana Tanduk Naga.
Padahal semua itu hanya rekayasa Pendita Amor
yang merasa sakit hati kepada pihak si Gila Tuak, terutama48
kepada Suto Sinting. sebagai anak muda yang mampu
menghajarnya hingga babak belur. Pihak kaisar Mangol tidak
merasa sedang diperalat oleh Pendita Amor untuk
membantu melampiaskan sakit hatinya.
"Sekarang apa lagi yang dilakukan oleh pendita sesat
itu?!' gumam Suto dalam hati. "Mengapa ia bentrok dengan
Kusir Hantu?1 Kelihatannya si Kusir Hantu masih mampu
mengimbangi kekuatan pendita keparat itu. Hmmm.. ingin
kulihat dulu, apa persoalan mereka sebenarnya?!"
Sekali pun si Kusir Hantu bertubuh lebih pendek dari
Pendita Amor, tapi gerakannya sangat lincah dan selalu
diiringi senyum cengar-cengir. Agaknya si Pendita Amor juga
tak mau tampak terlalu tegang, sehingga ia sering pamerkan
senyumannya yang berkesan mencibir di depan Kusir Hantu.
Namun ketika Pendita Amor melepaskan pukulan
berganda dari jarak jauh, Kusir Hantu tidak menghindarinya
melainkan mengadu kekuatan pukulan tenaga dalamnya dari
jarak jauh juga. Dua sinar merah keluar dari tangan Pendita
Amor yang disentakkan ke depan, dan dua sinar biru keluar
dari tangan Kusir Hantu yang dihentakkan ke depan.
"Clap, clap... blaab, blaab...Glegggaaaarrrr...!"
Bumi bagaikan dilanda kiamat. Tanah berguncang
cukup hebat. Pohon-pohon bambu di sekitar mereka patah
berserakan dalam sekejap. Lebih dari sepuluh pohon bambu
yang tumbuh lurus itu mengalami rusak berat, pecah dan
terbelah, patah dan tumbang, hangus dan terbakar. Ledakan
dahsyat itu juga melemparkan Kusir Hantu ke arah belakang.49
Hampir saja ia jatuh diterima oleh potongan tonggak bambu
yang runcing. Untung ia masih sempat kendalikan gerak
sedikit, sehingga tubuhnya tidak jadi jatuh tertancap tonggak
bambu itu.
Sementara lawannya, Pendita Amor, terlempar
menerjang pohon-pohon bambu dengan tanpa bisa
dikendalikan lagi. Pohon-pohon bambu yang sebenarnya tak
ikut patah akibat gelombang ledakan itu, menjadi ikut patah
seperti teman-temannya karena diterjang tubuh kurus si
Pendita Amor.
"Prrak, prrak, brasss,..gubraaak..!"
"Uuuuuh...!" terdengar erangan lirih dari tempat
Pendita Amor terhempas bagaikan boneka plastik dibuang di
tempat sampah. Sementara itu, di pihak Kusir Hantu
terdengar suaranya yang terbatuk-batuk akibat mengalami
sesak napas. Rupanya Kusir Hantu mengeluarkan dahak
darah akibat adu kekualan tenaga dalam tadi. Pendita Amor
yang sudah bangkit berdiri dengan bertopang pohon bambu
yang masih tegak itu juga keluarkan darah segar dari
mulutnya, lebih banyak dari yang dikeluarkan si Kusir Hantu.
"Seru! Keduanya sama-sama kuat!" gumam Suto
Sinting masih belum mau keluar dari persembunyiannya
yang berjarak agak jauh dari arena pertarungan tersebut.
Getaran bumi berhenti, alam menjadi sepi sesaat.
Kedua tokoh tua itu sama-sama tegak dan melangkah saling
berdekatan lagi.50
"Sampai gempor pun akan kulayani tingkahmu,
Pendita Amor!" seru si Kusir Hantu. "Kau akan mati kalau tak
mau tunjukkan padaku dimana letak Goa Kembar yang
sebenarnya,Kusir Hantu!"
"Manusia picik bin budek! Sudah kubilang berkalikali, aku tidak tahu menahu tentang Goa Kembar dan harta
karun itu, masih saja kau memaksaku untuk bicara! Kalau
kusebutkan tempatnya secara asal-asalan dan ternyata goa
itu adalah sarang ular, bisa mampus dikunyah-kunyah ular
kau. Pepatah mengatakan, 'Menepuk air di dulang terpercik
muka... mertua!"
"Apa maksudnya?!"
"Mertua goblok. Seperti dirimu itu gobloknya!
Pendekar Mabuk menahan tawa dari tempatnya.
Kusir Hantu memang sering menyisipkan peribahasa atau
pepatah-pepatah yang sebenarnya tak ada hubungannya
dengan kata-kata yang sedang dibicarakan. Itulah ciri Kusir
Hantu yang terkesan di hati Suto Sinting.
"Rupanya persoalan harta karun peninggalan
kerajaan Hastamanyiana masih belum ada habisnya. Benar
apa kata si Kusir Hantu, orang-orang itu, seperti halnya si
Pendita Amor, memang goblok! Mereka tak tahu bahwa goa
penyimpanan harta karun itu sudah tertimbun bumi,
tertumpuk reruntuhan tebing, eeh... masih saja dicari dan
diperebutkan! Dasar bodoh!" Celoteh batin Suto Sinting
berhenti, karena perhatiannya kembali terpusat pada
perdebatan antara si Kusir Hantu dan Pendita Amor. Agaknya51
Pendita Amor tetap tidak percaya dengan pengakuan Kusir
Hantu.
Mungkin karena ia tahu bahwa Kusir Hantu tinggal
cukup lama di Lembah Seram, sehingga ia menyangka Kusir
Hantu mengetahui persis tentang harta karun tersebut.
Padahal kenyataannya si Kusir Hantu sendiri justru
menganggap harta karun peninggalan kerajaan
Hastamanyiana itu hanya sebuah dongeng kuno yang
dibesar-besarkan dan dianggap nyata.
"Sampai mati pun mayatku tetap tak akan bisa
tunjukkan padamu di mana harta karun itu berada,
Kumbayana! Semua yang kau dengar hanya dongeng kuno
dari orang-orang iseng yang gemar mengarang cerita buat
anak-anak mereka agar bisa lekas tidur. Niatmu mencari
harta karun itu ibarat pepatah mengatakan: 'Seperti katak
hendak jadi kelambu'.
"Hendak jadi lembu!" ralat Pendita Amor.
"Maksudku, lembunya pakai kelambu" elak Kusir
Hantu tak mau disalahkan ucapannya. Singkatnya, kalau kau
tetap memburu harta itu dengan cara apapun, maka yang
kau temukan hanyalah kesia-siaan!. Lebih baik sisa umurmu
yang tinggal setetes itu digunakan untuk hal-hal yang
berguna bagi hidupmu sendiri. Misalnya, menggali tanah
buat bekal mati nanti, jadi tidak usah merepotkan orang lain
untuk menguburmu!"
"Keparat kau, Kusir Hantu! Kau sangka aku tidak
pandai memaksa mulut orang agar mau bicara tentang52
sebuah rahasia?! Terimalah jurusku ini, haaaah...!" Pendita
Amor sentakkan kedua tangannya ke depan dengan jari-jari
membentuk seperti jakar memelas.
Dari masing asing jarinya keluar sinar kuning
berkelok-kelok tanpa putus. Sinar-sinar itu seperti aliran
listrik yang menyambar-nyambar dengan ganas.
"Zzzzrrrr, zzzrrt, zzrrt, zzrrt,"
Rupanya jurus Timbal Rasanya si Kusir Hantu tidak
berlaku dalam pertarungan itu, terbukti ia tidak
menggunakan jurus aneh yang bisa membuat lawan terluka
sendiri jika lawan melukai Kusir Hantu. Cambuk saktinya juga
tidak digunakan. Mungkin untuk mengimbangi lawannya
yang juga tidak menggunakan senjata, sehingga Kusir Hantu
merasa riskan menggunakan senjata. sinar-sinar kuning itu
dilawan dengan menyilangkan lengan di dada. Dari lengan
sepanjang siku sampai pergelangan tangan itu terpancar
sinar biru yang lebar dan pipih, berbentuk seperti piringan.
"Slaaass...!" Sinar-sinar kuning itu membentur sinar biru
tersebut.
"Zuuurrbb, zuuurrb, zuuuurrb, zuuurb...!"
Pertemuan kedua sinar itu tidak timbulkan suara
Pendekar Mabuk Setan Betina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ledakan menggelegar seperti tadi Agaknya mereka saling
kerahkan hawa sakti untuk beradu kekuatan. Tubuh Pendita
Amor bergetar dengan kedua kaki makin merendah agar
kuda-kudanya kokoh. Sementara itu, Kusir Hantu juga
gemetar dengan wajah merengut tanpa memusatkan
perhatian dan kekuatannya pada lengan.53
Setelah beberapa saat mereka saling bertahan,
Pendita Amor mulai terdorong ke belakang secara pelanpelan. Kedua kakinya bergeser bagalkan mau amblas ke
bumi. Namun tanah di kedua kaki Kusir Hantu mulai kepulkan
asap tipis, seakan sekujur tubuh Kusir Hantu mengandung
hawa panas yang membahayakan.
Sebenarnya dalam keadaan keduanya sedang
begitu, Pendekar Mabuk tetap tak ingin campur tangan.
Tindakan campur tangannya bisa timbulkan kesan curang,
sehingga pertarungan itu menjadi tidak seimbang Hanya
saja, pada waktu itu ia segera melihat seseorang berlari
cepat dari arah barat. Orang itu beriari melesat menuju ke
arah si Kusir Hantu. Dalam dua kejap lagi, gerakan cepat
orang berperawakan tinggi-besar itu akan menerjang Kusir
Hantu dari belakang.
"Kelihatannya si Pendita Amor tidak sendirian dan
akan mendapat bantuan dari orang itu! Hmmm... Kusir Hantu
dalam bahaya!"
Tanpa banyak bertimbang rasa lagi, Pendekar Mabuk
segera gunakan jurus 'Gerak Siluman' untuk menghadang
orang yang ingin menerjang Kusir Hantu dari belakang itu.
"Zlaaap, zlaap, zlaap..Bruuuusss...!"
"Huaaaaahhk...Gedebuk, brruuk...!"
Gerakan cepat Suto tak berhasil menghadang orang
tersebut, melainkan menerjangnya hingga orang tersebut
terlempar ke samping sejauh sekitar tujuh langkah.54
Tubuhnya yang berat terbanting-banting dengan
menimbulkan suara berdebam di bumi.
Keadaan itu mengganggu konsentrasi Kusir Hantu. la
terkejut, menyangka dirinya diserang dari belakang. Akibat
goyahnya konsentrasi itu, kekuatan hawa sakti si Kusir Hantu
pun berhasil terdesak oleh kekuatan hawa sakti Pendita
Amor. Tak ada cara lain bagi Kusir Hantu selain
menyentakkan napas sebagai penguat pertahanannya.
"Blegaaarrrr...!"
Ledakan dahsyat kembali menggelegar. Pertahanan
Kusir Hantu jebol. la terlempar ke belakang, menerjang anak
muda yang baru saja selamatkan nyawanya dari terjangan
orang tinggi-besar itu.
"Wuut, bruuus. Gedbruuk, praak, prak, praak,
guzraaak...!"
Empat batang pohon bambu hancur diterjang tubuh
Kusir Hantu dan Suto Sinting. Mereka babak belur. Lebih
menyedihkan lagi keadaan si Kusir Hantu yang tertindih
tubuh Suto Sinting di atasnya. Sedangkan sekujur tubuh Kusir
Hantu terasa bagaikan tak bertulang lagi. Remuk semua.
Pinggang Suto tersodok tonggak bambu yang tak runcing,
tapi membuat pernapasannya menjadi sangat sesak, sulit
dihela.
"Uuuuuuuhhh..." Suto Sinting mengerang panjang.
.la berusaha bangkit pelan-pelan. Saat itu ia mendengar
suara Pendita Amor berseru samar-samar,55
"Bawa aku pergi... Bawa aku pergi sekarang juga.
Aaak.. aaaku... terluka! Uuuhk..."
"Kakek. Kuhabisi dulu kedua orang itu! Bangsaaat..!
Wuuut..." Orang tinggi-besar yang sekujur tubuh penuh bulu
itu melompat tinggi dan ingin menimpa Suto dan Kusir Hantu
dengan tubuhnya yang besar itu.
Tetapi dalam keadaan telentang Suto Sinting masih
sempat lepaskan jurus sentilan Jari Guntur-nya yang
berkekuatan tenaga dalam seberat tendangan kuda jantan.
"Tees, tees, tees, tees, tees tees, tees.. Buu, buu,
buu, buu, buu, buuukkk..!"
Entah berapa kali sentilan beruntun itu dilepaskan
oleh Suto Sinting, yang jelas tubuh besar yang melayang
berhasil didorong mundur bahkan terlempar menerjang
batang-batang bambu.
"Aaa?hkkk...! Prrak, prrak, praass, brraak,
gupraaak..! Aaooow...." orang itu mengerang dengan suara
berat.
"Berhala Murka... cepat bawa aku pergi, ooohk.."
Pendita Amor jatuh berlutut, tak mampu bertahan
lagi, karena luka-lukanya semakin parah.
"Wuut, wuut, blaasss...!" Akhirnya pendita sesat itu
berhasil dibawa kabur oleh orang tinggi besar yang ternyata
adalah Berhala Murka. Suto Sinting dan Kusir Hantu sudah
pernah bertemu dengan Berhala Murka. Bahkan Suto pernah
hampir menewaskan Berhala Murka dalam sebuah
pertarungan menyelamatkan Pematang Hati, cucunya Kusir56
Hantu itu. Tetapi pada waktu itu Berhala Murka segera
disambar oleh sekelebat bayangan hitam. Ternyata
bayangan hitam itu adalah si Pendita Amor,(Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode:"Misteri Lembah Seram").
Apa hubungan Berhala Murka dengan Pendita Amor,
Suto Sinting tak tahu secara pasti. Bahkan untuk saat itu ia
sengaja tak mau tahu dulu tentang hubungan kedua orang
tersebut. Yang ingin diketahuinya adalah keadaan si Kusir
Hantu.
"Pak Tua.. bagaimana dengan keadaanmu?"
Kusir Hantu yang setengah mati karena luka dan
tertindih tubuh Suto itu menjawab dengan suara berat.
"Kalau kau mau tahu keadaanku, menyingkirlah dari
tubuhku, Nak! Aku bukan janda. Jangan kau timpa terusterusan. Uuuhkk...!"
"Ooh, maaf, maa.. Ya, ampun... aku sampai lupa
kalau sedang menindihmu, Pak Tua," ujar Suto Sinting sambil
bangkit dan menyeringai menahan rasa sakit di pinggangnya.
la buru-buru menenggak tuaknya untuk menghilangkan rasa
sakit dan membuat pernapasannya lancar kembali.
Kusir Hantu melelehkan darah dari mulutnya. Tapi
orang tua itu tampaknya masih alot juga. Meski terluka
cukup berbahaya, namun ia masih punya sisa napas yang
dihela dengan berat. Setelah diberi minum tuak Suto,
kekuatan si Kusir Hantu pun menjadi pulih kembali.
Tentu saja si Kusir Hantu menjadi heran
memandangi pemuda berpakaian kuning kunyit yang57
rambutnya dikat ke belakang. la tidak mengenali siapa
pemuda itu, dan serasa baru kali itu berjumpa dengan
pemuda ini. Selain matanya terkesip memandang Suto
sinting, dahinya juga berkerut nenampakkan keheranannya.
"Siapa kau sebenarnya, Anak muda? Mengapa kau
menyelamatkan nyawaku dalam pertarungan konyol ini?!"
"Apakah Pak Tua benar-benar lupa dengan diriku?!"
'Kalau aku lupa. kurasa itu hal yan wajar, karena daya
ingatku sudah ikut-ikutan rapuh seperti usiaku yang makin
tua ini."
"Kau pura-pura lupa atau memang benar-benar lupa
padaku, Pak Tua?"
" Lebih baik aku bertanya, siapa dirimu. Sebab ada
pepatah yang mengatakan: :'Malu bertanya sesat di jalan'"
"Artinya apa itu, Pak Tua?"
"Teka-teki silang!" jawab Kusir Hantu seenaknya saja
membuat Suto tersenyum geli. "Sumpah mati, aku merasa
belum pernah kenal denganmu, Anak muda!! Apa-kah kau
anak dewa yang baru keluar dari pasar?"
"Pak Tua... ujar Suto dengan kalem sambil lebarkan
senyum. "Pandanglah aku baik-baik. Aku adalah Suto
Sinting," bisik Suto kemudian.
"Jabang bayi...?1" sentak Kusir Hantu. "Jadi...
kau..bernama Soto Cacing?"
"Suto Sinting" tegas Suto dalam bisikan kedua.
"Ooh..?! Suto... Suto bunting?"
"Suto Sinting" tegas Suto dalam bisikan ketiga.58
"Ooh..?! Suto... Suto Sinting ! Kau.. kau kau Pendekar
Mabuk?!"
Suto Sinting justru pamerkan senyum, bertolak
pinggang di depan Kusir Hantu. ia biarkan mata si Kusir Hantu
memandanginya sambil bergerak berkeliling bagai
mengamati makhluk asing.
"Ayam berbulu musang kau rupanya," ujar Kusir
Hantu.
"Apa maksudnya, Pak Tua?"
"Kelihatannya orang lain ternyata, sahabat sendiri.
Ooh, Nak, Nak... pandai amat kau mengubah penampilanmu,
sampai-sampai mata tuaku tak bisa mengenali siapa dirimu
sebenarnya!" tutur Kusir Hantu setelah ia yakin bahwa
pemuda itu adalah Pendekar Mabuk.
"Pak Tua.. kulakukan penyamaran ini dengan
maksud untuk membebaskan dirimu dan Pematang Hati dari
tangan orang-orang Tanah Pasung. Tapi ternyata kau justru
ada di sini, Pak Tua."
"Heeh, hee, heee, heee, heee.. Kau terlambat
bergerak, Nak. Si Mangku Randa lebih dulu lakukan
penyerangan terhadap orang-orang Tanah Pasung pada saat
mereka menawan diriku dan Pematang Hati di kapalnya yang
berlabuh di Pantai Bejat. Dalam penyerangannya itulah aku
punya kesempatan untuk lakukan perlawanan. Mangku
Randa kusuruh membawa kabur Pematang Hati dan aku
punya kesempatan menghadapi mereka. Pepatah
mengatakan: Seperti orang kantuk disodori bantal"59
"Artinya...?!"
"Nyenyak! Hee, hee, hee, hee..!"
Suto Sinting tertawa pelan. "Lalu, di mana Pematang
Hati dan Mangku Randa sekarang ini, Pak Tua?!"
"Itulah masalahnya. Aku tak tahu dibawa ke mana
Pematang Hati oleh si Mangku Randa."
"Apakah mereka tidak ada di pondokmu, Pak Tua?"
"Tadi malam aku sampai pondok. Tenda Biru
mengatakan bahwa Pematang Hati belum pulang sejak ada
kabar aku dan dia tertangkap orang Tanah Pasung. Justru
yang kutemukan di pondok adalah seorang gadis cantik yang
menunggu kedatanganmu, dan si gembrot Belatung Gerhana
yang patah kakinya."
Suling Naga Karya Kho Ping Hoo Fear Street - Pesta Tahun Baru The New Years Party Goosebumps - 30 Makhluk Mungil Pembawa Bencana
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama