Ceritasilat Novel Online

Jalan Simpang Diatas Bukit 23

Jalan Simpang Diatas Bukit Karya Herman Pratikto Bagian 23


- 0 begitu? Nah, saudara saudara sekalian. Kalian sudah mendengar sendiri pesannya. Apakah saudara-saudara berkenan mematuhi. terserah. Aku sendiri tidak berani mencoba-coba mengadu untung. teriak Tepus Rumput.
Dan ia mendahului mendekam. Akan tetapi tidak menutup kedua telinganya.
Para pemimpin aliran saling pandang. Namun melihat Tepus Rumput melakukan permintaan Yudapati dengan sungguh-sungguh. mereka akhirnya mendekam pula dengan pandang mata tak mengerti. Dan melihat para pemimpinnya mematuhi permintaan Yudapati. sekalian laskar kaum lurus ikut pula mendekam. Seperti para pemimpinnya, mereka pun tidak menutup telinganya. Di antara mereka hanya satu orang saja yang patuh menutup telinganya. Dialah bhiksuni Sekar Tanjung.
Yudapati meraba kecapinya yang digantung di pinggangnya. Lalu melontarkan pukulan kalang kabut dengan maksud mengundurkan mayat-mayat hidup yang datang mengepung. Sekarang tinggal kurang lebih empat puluh sosok. Tetapi di sana masih berdiri Mahera yang memancarkan pandang curiga karena melihat para pendekar mendekam di atas tanah.
Mengapa?
- Mahera tidak boleh dibiarkan memecahkan teka-teki itu. Maka dalam suatu kesempatan, Yudapati melontarkan pukulan dahsyat kepadanya.
Buru-buru Mahera menangkis. Dan pada saat itu, Yudapati duduk di atas tanah dengan alat penggeseknya di tangan kanannya. Kemudian mulailah ia menggesek. Mula-mula lagu lembut. Makin lama makin cepat dan menukik tinggi. Sekarang barulah terasa perbawanya.
Mayat-mayat hidup yang tadi bergerak dengan ganas. sekonyong-konyong berdiri terpaku bagaikan patung. Hilanglah semua keganasannya. Dan tatkala Yudapati memasuki nada kelima dan enam, mereka roboh terpelanting tak berkutik lagi. Di luar dugaan mereka yang masih bertempur seru di atas dinding kepundan berteriak tinggi. Lalu jatuh bergulingan saling tindih.
Mahera kaget setengah mati. Buru-buru ia mengerahkan semua kebisaannya untuk membangunkan mayat-mayat hidupnya kembali. Peluitnya melepaskan bunyi melengking tinggi. Namun tidak berhasil juga mengatasi gesekan kecapi istimewa.
Tiba-tiba saja . . .
krak!
Peluitnya retak, lalu hancur berantakan bertebaran di tanah.
- Hoeeeee . . .!
Mahera berteriak. Kemudian memekik-mekik tinggi sambil menandak-nandak.
Yudapati tahu maksud Mahera. Dengan suaranya itu, dia mencoba mengatasi gelombang nada kecapi. Sebenarnya. ia dapat merobohkan iblis itu dengan mudah saja, asalkan mau memasuki nada ketujuh. Akan tetapi melihat para anak murid kaum lurus menderita pula, ia tidak sampai hati. Sebab nada ketujuh itu, mungkin saja dapat menghancurkan semua bangunan yang terdapat di atas kepundan. Mungkin pula merobohkan dinding kepundan. Akibatnya, semua bakal terpendam hidup hidup.
Memang, sebentar tadi terjadi suatu peristiwa yang menggelikan akan tetapi berbareng mengibakan hati juga. Para anak murid yang tidak menutup telinganya. tibatiba jadi berubah ingatannya. Gendang telinga mereka pecah. Mereka memekik terkejut dan mencoba mengabarkan apa yang terjadi pada dirinya masing-masing. Akan tetapi masing-masing tidak mendengarkan bunyi pekikannya sendiri. Akibatnya mereka saling menggablok. mencubit atau memukul untuk mengabarkan keadaannya. Selagi demikian, beberapa orang di antaranya melompat dan menari-nari seakan-akan menirukan gerakan Mahera. Syukur, mereka yang dapat melawan perbawa gesekan kecapi maut. segera bertindak cepat. Dengan sebat ia merobohkan teman-temannya yang terkena pengaruh gesekan kecapi. Begitu roboh terguling di atas tanah, barulah masing-masing dapat menguasai diri. Namun gendang telinga mereka sudah terlanjur pecah. Untuk selanjutnya mereka bakal hidup cacat. ,
Dalam pada itu. Tapaksila, Kudawani. Goratara. Tepus Rumput, Bhiksuni Aditi. Getah Banjaran, Undagada, Hari Sadana dan Tarusbawa sudah duduk bersama di atas tanah. Hanya Bhiksu Dewayana yang tidak melakukan samadi. karena semenjak tadi ia duduk menumprah di atas tanah. Justru demikian tiba-tiba saja racun jahat yang meresap dalam dirinya terasa-ringan. Nafas dan darahnya berjalan lancar kembali.
Mengapa?
Apakah nada kecapi Yudapati membawa kesembuhan pula bagi mereka yang terkena racun buatan Mahera?
Kalau benar demikian. maka sejarah wajib mencatat keajaiban itu.
Sebaliknya tidak demikianlah halnya yang terjadi pada para pemimpin laskar kaum lurus. Mereka nampak pucat lesi. Dengan mati-matian mereka mencoba menpertahankan diri dari gempuran perbawa nada istimewa kecapi Yudapati.
- Tiarap! Tepus Rumput mencoba mengisiki. Dan seperti yang dilakukannya sebentar tadi, ia mendahului bertiarap. Benar saja. Setelah bertiarap. ia merasa terbebas dari suatu beban yang tidak nampak.
- Tiarap! Tiarap! serunya dengan penuh semangat.
- Lihat. aku dapat berbicara dengan bebas . . . Menyaksikan kenyataan itu, para pendekar lainnya mengesampingkan dulu harga diri mereka. Dengan beruntun, mereka bertiarap. Dan sekarang mereka dapat bebas menyaksikan apa yang terjadi di depan matanya. Mereka melihat betapa Mahera meliuk-liukkan badannya untuk melawan nada kecapi Yudapati. Akhirnya ia bergulingan di atas tanah sambil berteriak-teriak lantang:
- Baiklah . . . kau menang!
Yudapati menghentikan gesekannya. Sambil berdiri mengeprik-eprikkan celananya, ia menyahut:
- Aku menang?
- Ya kau menang, tapi . . . - Bukan! potong Yudapati.
- Bukan aku ,yang menang. Akan tetapi kaummu yang menang. .
- Kaumku yang mana? bentak Mahera sengit sambil meletik bangun.
- Kaum Pasupata Putih.
- Mereka itu?
Mahera menuding kepada sekelompok pemimpin Pasupata Putih yang sudah merayap bangun.
- Aku kalah melawan mereka yang bertiarap seperti tokek tokek tua?
- Benar. Karena kecapi ini adalah miliknya. Juga nada-nada yang kugesek. Inilah kecapi maut dan llmu Pemutus Jiwa ciptaan Tiga Dewa Ganesa, Balitung dan Anggita. Nah. kepada mereka engkau harus menyerahkan diri
- Aku menyerahkan diri? Kapan aku dikalahkan?
- Hm. apakah aku harus mengulang lagi? - ancam Yudapati sambil meraba kecapinya kembali.
- Hooop! Tunggu! Menang dengan cara demikian, apa sih harganya?
Yudapati adalah seorang pemuda yang mempunyai bakat mengikuti arus lawannya. Bila lawannya pandai bersilat lidah. mulutnya pun bisa menjadi jahil seperti tatkala berlawan-lawan dengan palata. Demikian pula- kali ini. Mendengar Mahera hendak mengingkari kekalahannya. segera ia menyahut:
- Bagus! Kalau begitu, apa harganya engkau mengalahkan para orang gagah dengan mayat-mayat hidupmu? Hayo, suruhlah mayat-mayatmu bangkit dari kuburnya! Suruhlah mayat-mayatmu kini bertempur lagi melawan para orang gagah. Kalau bisa mengalahkan seperti tadi, aku akan bunuh diri di depan matamu. Mahera tercengang sejenak. Lalu tertawa terbahak bahak. Ujarnya:
- Orang Jawa! Mulutmu tajam juga. Rasanya aku puas juga, seumpama aku harus kalah.
- He! Apakah kau bisa menang? damprat Tepus Rumput dari kejauhan.
- Kau monyet tua, mengapa engkau masih berani berlagak terhadapku? -bentak Mabera.
- Monyet tua masakan harus tersegan-segan menghadapi iblis yang nyaris bangkrut? Kau sendiri bisa apa menghadapi adikku?
- Orang Jawa ini?
Mahera menegas.
- Apakah dia berani bertanding secara laki-laki?
- Kau tanyalah sendiri! Bukankah engkau mempunyai mulut? damprat Tepus Rumput yang bermulut jahil pula.
Mahera tertawa melalui hidungnya. Lalu beralih kepada Yudapati. Menegas:
- Bagaimana?- '
- Bagaimana apa? jawab Yudapati.
- Kau berani bertanding secara satria?
- Kau sendiri bagaimana? - Hm.
Mahera mendengus.
- Pada saat ini, mayat mayat hidupku tiada gunanya lagi. Laskarku kau runtuhkan juga sehingga mereka tidak berkutik lagi. Tetapi janganlah engkau buru-buru menepuk dada seakan-akan sudah dapat mengalahkan diriku. Aku murid Punta Dewakarma, masakan akan menyerah kalah dengan gampang? Setidak tidaknya engkau harus bisa mengalahkan dalam tiga syarat.
- Coba katakan apa saja syaratmu!
- Yang pertama, apakah engkau berani mengadu kekebalan? Aku mempunyai sebotol racun. Aku akan menuangkannya dalam dua mangkok. Kau semangkok dan aku semangkok. Lalu dengan berbareng kita meneguknya sampai habis. Kau berani?
- Bangsat! Anjing! Iblis! -maki Tepus Rumput.
- Adik. jangan engkau sampai kena tipu muslihatnya yang keji. Paling tidak dia mau mengajak dirimu mati berbareng. Di dunia ini mana ada taruhan seperti itu?
- Saudara Yu . . . Yu . . . teriak Getah Banjaran yang berwatak berangasan. Ia hendak memanggil nama Yudapati. Tetapi pada detik itu teringatlah dia, bahwa Mahera belum mengenai nama pemuda itu. Dan Yudapati sendiri tidak mau memperkenalkan namanya. Tentunya ada alasannya. Maka cepat-cepat ia membungkam mulutnya. Lalu menirukan gaya Mahera:
- Eh saudara dari Jawa! Jangan percaya mulut iblis itu! Di mulutnya dia mengenal istilah satria. tetapi hatinya adalah iblis sejati.
- Tentu saja dia berani menantang dirimu dengan minum racun. karena dia seorang ahli racun yang sudah mempersiapkan diri. Sebaliknya saudara belum mengenal ampuh nya racun buatannya. Meskipun saudara memiliki obat pemunahnya, belum tentu tepat. Mendengar kata-kata Getah Banjaran, wajah Mahera sama sekali tidak berubah. Dengan mengulum senyum, ia menatap pandang mata Yudapati. Menegas:
- Bagaimana?
Semenjak Mahera menantang mengadu kekebalan racun, memaksa Yudapati memeras akal dan pikiran. Perdebatan antara Mahera dengan Tepus Rumput dan Getah Banjaran, memberi kesempatan padanya untuk mengingat sesuatu. Itulah botol rampasan yang berisi obat pemunah. Dan obat pemunah itu, dengan diam diam pula sudah disulap Anggira menjadi obat pemunah racun yang istimewa. Anggira bahkan menamakan obat Perebut Jiwa. Menurut Anggira, obat pemunah dalam botol itu akan dapat melawan racun macam apapun. Dan ia percaya kepada kata-kata Anggira. Karena itu, hatinya mantap. Begitu ditantang Mahera, dengan tenang ia menjawab:
- Silakan!
Dengan tertawa menang. Mahera mengeluarkan botol racunnya yang disimpannya di balik bajunya. Ia tidak menggubris umpatan dan makian Tepus Rumput. Getah Banjaran, Hari Sadana dan Tarusbawa. Dengan tenang ia mencari dua buah mangkok. lalu diangsurkan yang sebuah kepada Yudapati.
- Biarlah aku memenuhi mangkokku dulu. Dengan begitu aku tidak dikatakan mau menang sendiri. Lihat! kata Mahera.
Lalu ia memenuhi mangkoknya sampai nyaris tumpah.
- Sekarang. silakan engkau mengisi mangkokmu sendiri!
Yudapati menerima botol beracunnya dan dituangkannya ke dalam mangkok penuh-penuh. Berkata menegas:
- Bagaimana? Apakah sudah cukup?
- Cukup. cukup. cukup! - sahut Mahera dengan tertawa terbahak-bahak sambil menerima botol racunnya. ,
- Jangan lagi sampai penuh, sedangkan untuk membunuh orang cukup hanya sepercik saja. Kau tak percaya? Mari kita buktikan! - Anjing buduk! Monyet disambar geledek! maki Tepus Rumput.
- Adik. jangan engkau terpedaya! Buang racun itu! Tidak perlu engkau mengadu kepandaian dengan cara demikian. Pada saat ini, kita semua dapat merobohkan dengan mudah.
- Ya betul! Getah Banjaran menguatkan.
- Meskipun dia memiliki kepandaian setinggi langit, masakan dapat mengalahkan kita yang berjumlah banyak?
Tetapi baik Yudapati maupun Mahera tidak mendengarkan kata-kata mereka yang sambung-menyambung dari mulut ke mulut. Sebab Tapaksila, Goratara, Kudawani, Undagada dan Bhiksuni Aditi ikut mengkhawatirkan pula. Bahkan Bhiksu Dewayana yang belum pulih kesehatannya, ikut berbicara pula. Kata orang tua itu:
- Anak muda! Belum pernah aku mendengar apalagi menyaksikan orang mengadu kepandaian dengan cara begini. Dengan iblis, tidak perlu engkau bensikap satria. - Paman! sahut Yudapati dengan tenang.
- Biarlah aku membuatnya puas. Sekiranya aku harus mati, Mahera pada saat ini tidak memiliki kekuatan lagi. Paman tidak perlu cemas. Nah saudara Mahera, silakan!
- Bagus!
Mahera mengacungkan ibu jarinya.
- Kau dulu atau aku dulu yang minum?
- Biarlah aku dulu. Lihat!
Yudapati kemudian meneguk mangkok racun itu pelahan-lahan. Hadirin yang menyaksikan menahan nafas. Seketika itu suasana di atas dataran tinggi Kaum Pasupata hitam menjadi sunyi hening. Mereka terkejut sampai tergugu. Akan tetapi yang lebih terkejut adalah Yudapati. Setelah ia menelan racun itu ke dalam perutnya, sama sekali tiada suatu kelainan apapun. Racun itu seperti minuman keras biasa.
Lalu apa artinya?
Apakah racun itu begitu hebatnya sampai tak terasa sama sekali?
- Bagus! sekali lagi Mahera mengacungkan ibu jarinya.
- Bukan main, bukan main. Aku takluk dan kunyatakan engkau menang. .
- Hai, hai, hai! Enak saja engkau membuka mulutmu! -bentak Tepus Rumput seraya menarik senjata rantainya.
- Mengapa engkau tidak minum?
- Tak usah. -sahut Mahera dengan tertawa.
- Tak usah bagaimana? -. wajah Tepus Rumput berubah pucat.
- Aku hanya menguji ketabahan hatinya. Ternyata orang Jawa ini pantas menjadi seorang satria jempolan. Sebab apa yang kukatakan racun ini, sebenarnya hanyalah arak biasa. Kau tak percaya? Silakan mencobanya. Mari! Atau aku harus meneguknya dulu? Nih, lihat! - Dan ia benar-benar meneguknya, lalu ditelannya dengan nyaman. Sisanya kemudian diangsurkan kepada Tepus Rumput. Silakan mencobanya! Silakan semuanya saja. Tentu saja Tepus Rumput tidak mudah percaya. Ia mengamati wajah Yudapati yang ternyata tetap tenang dan tidak berubah sedikitpun. Meskipun demikian, masih perlu ia menegas. Katanya:
- Adik! Bagaimana?
- Memang hanya arak biasa. jawab Yudapati.
Dan mendengar jawaban Yudapati, semua yang mendengar tercengang-cengang. Kiranya, Mahera benar-benar hanya bermaksud hendak menguji kegagahan dan keperwiraan Yudapati. Siapapun takkan mengira. bahwa minuman yang dikatakan racun itu, sesungguhnya hanyalah minuman keras biasa. Dan siapapun akan mundur sendiri karena gentar mendengar gertakan iblis itu.
- Ah! Kalau dipikir memang terlalu hebat! Sebab siapa saja yang terdiri dari darah dan daging. pasti mati bila benar-benar berani meminum racun.
- Licin benar iblis ini. -pikir Tepus Rumput di dalam hati.
Memikir demikian, wajahnya terasa panas. Sebab dirinya termasuk salah seorang dari sekian ribu orang orang gagah yang masih takut mati. Juga Goratara, Tapaksila. Kudawani dan lain-lainnya.
Sementara itu, diam-diam Yudapati menghela nafas. Di dalam hati ia mengagumi Mahera yang secara tidak langsung adalah saudara-seperguruannya. Kecuali berotak, sesungguhnya memiliki cara berpikir sendiri. Agaknya dia benar-benar menghargai seseorang dari kegagahan peribadinya. Bukan macam kepandaiannya atau kedudukannya. Maka apa yang dikatakannya bahwa orang-orang gagah tidak lebih dan tidak kurang adalah sekumpulan mayat-mayat hidup yang hanya pandai menghabiskan makanan dan merusak pakaian belaka, dibuktikan lagi dengan caranya dia mengadu kegagahan.
- Hm, aku sendiri . . . kalau saja tidak teringat kepada kata-kata paman Anggita . . . pikir Yudapati di dalam hati.
- Memang. mungkin sekali aku bisa menolak racun betapa jahat pun dengan Tantra tingkat tinggi. Tetapi belum berarti selamat. Betapapun juga, aku harus memerlukan beberapa waktu lamanya untuk memusnahkan sisa sisa racun yang mengeram. Harus kuakui, bahwa kata kata paman Anggira yang membuat hatiku mantap.
Memikirkan demikian, tak terasa bulu kuduknya bergeridik. Tak terasa ia menatap wajah Mahera. Menilik perangai. watak dan tingkah-lakunya, ia jadi menyiasati bagaimana kira-kira watak, perangai dan tingkah-laku sang guru Punta Dewakarma. Tentunya lebih hebat. Kata orang, murid biasanya mewarisi watak dan pekerti gurunya lantaran masa pergaulan yang erat. Setidak-tidaknya mewarisi sebagian. Maka pantaslah, gurunya itu pernah menggoncangkan dunia kaum lurus. Sekarang dibuktikan dengan tingkah-laku Mahera yang aneh.
- Sekarang. syarat yang kedua. - suara Mahera membuyarkan kata hati Yudapati.
- Tentunya lebih hebat, kan? ejek Tepus Rumput yang bermulut jahil.
- Tentu saja.
Mahera mendengus.
- Kalau tidak hebat. masakan aku termasuk bangsa kurcaci seperti monyongmu. - Jadi aku masih terhitung kurcaci? Tepus Rumput penasaran. Lalu mengutuk:
- Sambar geledek!
- Apakah kau berani? ejek Mahera.
Iblis itu lalu tertawa hebat. Begitu hebatnya sampai tubuhnya tergoncang-goncang. Bagi mereka yang tidak memiliki himpunan tenaga sakti cukup kuat seluruh tubuhnya menjadi bergidik. Sebab gelombang ter-tawanya berlagu dan nada-nadanya menyeramkan hati. Bumi dataran kepundan itu seakan-akan tergetar ibarat teraba gempa.
Sungguh!
Iblis itu memang mempunyai perbawa yang pantas disegani. Sekarang dapat dimaklumi apa sebab ia ditakuti. disegani dan dikutuk orang.
********
TUJUH PENDETA BERJUBAH KUNING
DENGAN SABAR DAN BERWASPADA, Yudapati menunggu sampai tertawa Mahera mereda. Setelah ia mengantongi ilmu lagu, dapatlah ia mengukur betapa tinggi ilmu kepandaian Mahera. Gelombang tertawanya benar-benar ibarat badai melanda puncak-puncak pohon. Siapapun akan rontok keberaniannya, seumpama berhadap-hadapan seorang diri. Apalagi, perawakan Mahera yang gagah perkasa berjenggot dan berkumis tebal mempunyai daya per-bawa sendiri. Belum lagi. rambutnya yang dibiarkan tumbuh awut-awutan dan pandang matanya yang menyala bagaikan bola api. Beberapa saat kemudian, Mahera menghentikan suara tertawanya. Meskipun mulutnya sudah mengatup, namun gaung suara tertawanya masih memantul jelas pada tebing-kepundan. Lalu mulailah dia membentak:
- Orang Jawa! Bagaimana? Masih belum kasep engkau mengundurkan diri. Sebab pertandingan babak kedua
ini terlalu hebat.
- Karena sudah menjadi syarat. tentunya tak dapat kuelakkan lagi. bukan? Nah. silakan!
Mahera tercengang sedetik, menyaksikan sikap Yudapati yang tenang dan sama sekali tidak gentar.
Apakah pemuda itu mengira bahwa dia hanya menggertak seperti tadi?
Padahal kali ini tidak demikian. Kebetulan malah, kalau pemuda itu menganggap atau mengira begitu. Maka dengan bersenyum tawar ia berkata:
- Aku tidak akan mengadu ilmu pedang. Aku tadi sempat melihat betapa tinggi Ilmu pedangmu. Aku percaya kau pasti sudah mendapat petunjuk-petunjuk orang tua itu. Baiklah, aku mengaku kalah. Aku pun tidak akan mengadu ilmu gaib. Kecapimu terlalu hebat bagiku. Tetapi aku hanya ingin menguji tenaga saktimu. Kau berani menerima gempuran senjata andalanku?
Setelah berkata demikian, ia bersuit. Enam orang anak-buahnya lari masuk ke dalam gedung markasnya. Lalu keluar dengan menggotong sebuah bola besi sebesar kepala kerbau. Bola besi itu bergigi tajam tak ubah sebuah durian raksasa dan diberi seutas rantai. Katakanlah, bola besi itu adalah sebuah bandil raksasa yang hanya pantas sebagai alat pembunuh raksasa pula. Beratnya mungkin setengah kwintal lebih. Karena itu harus digotong enam orang.
Dengan hati-hati mereka meletakkan senjata andalan majikannya di atas lantai. Lalu mundur dengan tergesa gesa dan berdiri beberapa langkah. Pada saat itu berkatalah Mahera:
- Orang Jawa, inilah senjataku yang jarang kubawa keluar. Kau harus berdiri seratus meter di depanku. Aku akan mengayunkan senjata berikut rantainya. Mungkin sekali sambitanku tidak tepat mengenai dirimu. Kuharap
engkau ndak menghindar atau mengelak. kau berani menerima sambitanku dengan tangan terbuka?
Mengadu kepandaian dengan cara begitu, benar-benar berada di luar dugaan siapapun. Keruan saja Tepus Rumput yang bermulut jahil membentak dengan hati penasaran:
- Siapa sudi menerima syaratmu ini. Dewa pun tidak akan berani meluluskan kehendakmu. Jangan lagi manusia yang terdiri dari darah dan daging. Adik. jangan terpedaya akal licik iblis ini!
Mahera tertawa. Sahutnya mendahului Yudapati:
- Karena itu masih ada kesempatan untuk mengaku kalah. Sebaliknya, kalau lulus, yang satu tidak usah dilanjutkan lagi. Pada saat itu, aku bersedia bertekuk lutut. Kau cincang atau kau sembelih, aku tidak peduli lagi.
Yudapati menatap wajah Mahera. Pada saat itu berkelebatlah kedua gurunya yang secara kebetulan, masingmasing mengaku bernama Brahmanatara. Padahal yang pertama, bernama Punta Dewakarma. Dia pulalah guru Mahera. Dan teringat akan gurunya yang pertama, teringat pulalah dia kepada llmu sakti Tantra yang sudah diwarisi sampai tingkat sebelas. Begitu selesai, ia diharuskan membuka dan menutup mulut goa yang disumpal dengan sebongkah batu raksasa. Pikirnya pula di dalam hati:
- Guru mengaku baru memiliki tenaga Tantra tingkat sembilan. Mustahil Mahera melebihi himpunan tenaga sakti gurunya. Memperoleh pikiran demikian, dengan mantap ia menyahut:
- Di mana aku harus menerima gempuranmu? Keputusan Yudapati itu menggegerkan sekalian pendekar. Tepus Rumput jadi kebingungan. Seperti orang kehilangan akal, ia tak tahu lagi apa yang harus diperbuat. Akhirnya ia hanya pandai menggaruk garuk
kepala dan pantatnya.
- Bagus! ujar Mahera dengan Wajah berseri-seri.
Lalu memerintahkan keenam anak-buahnya agar menggotong senjata istimewanya itu ke tengah lapangan terbuka.
Yudapati mengikuti Mahera yang mendahului memasuki lapangan laga yang dikehendaki. Tentu saja para pendekar yang tidak terluka, berbondong-bondong mengikuti. Bahkan Bhiksu Dewayana yang masih menderita luka memerintahkan beberapa anak muridnya agar memayangnya ke tempat laga. Juga Bhiksuni Aditi tidak mau ketinggalan. Saraswati dan Janari dan beberapa saudara seperguruan mengiringkan dari belakang. Hanya bhiksuni Sekar Tanjung yang cantik molek yang tidak beranjak dari tempatnya. Bhiksuni itu duduk bersimpuh dengan memejamkan kedua matanya. Mulutnya berkomatkamit berdoa panjang pendek bagi keselamatan Yudapati.
- Maha Buddha yang baik. lindungilah ummatmu. Yudapati adalah pengikutmu yang baik dan setia. Dia pulalah yang merebut jiWaku dari Palata. Aku berjanji. bila dia Engkau selamatkan, untuk selanjutnya aku akan mengabdi padamu sebagai bhiksuni . . . Sementara itu. Mahera dan Yudapati sudah memasuki lapangan laga. Yudapati berdiri seratus meter di depan Mahera. Sedang para pendekar berdiri tegak mengelilingi lapangan tak ubah pagar hidup. Mereka tidak berani terlalu dekat karena sadar akan akibatnya. Setidak-tidaknya bila Mahera salah arah, senjata yang mengerikan itu dapat melumatkan mereka.
- Apakah sudah siap? suara Mahera menggelegar bagaikan guntur.
Kini sikapnya menyeramkan. Baik senyum maupun kesan ramahnya , lenyap dari pemukaan wajahnya. Pandang matanya bersinar-sinar membawa ancaman pembunuhan yang mengerikan.
- Silakan! sahut Yudapati.
Ia sudah memutuskan tidak berani main coba-coba lagi. Siapa tahu. dengan diam diam Mahera sudah memiliki tenaga himpunan di luar perkiraan. Apalagi dia dibantu oleh senjatanya yang berat. Maka langsung saja ia hendak menggunakan Tantra tingkat sepuluh. Dulu ia dapat membongkar sebongkah batu pengganjal mulut goa dan melontar sebongkah batu gunung dengan sekali hempas.
Masakan kali ini akan gagal?
Di luar dugaan. terjadilah sesuatu yang mengejutkan hati Yudapati. Mula-mula Mahera memegang ujung rantai bola raksasa itu. Lalu dibawanya berputaran makin lama makin cepat. Bukan main perbawanya. Seketika itu juga terdengarlah suara dengung angin yang memekakkan telinga. Sekonyong-konyong hup! Bola itu berikut rantainya dilepaskan tinggi di udara. Aneh adalah gerakan rantai itu yang melingkar-lingkar bagaikan ekor naga raksasa. Dan melihat rantai bola api yang melingkar-lingkar itu, teringatlah dia kepada ukiran-ukiran yang terdapat pada Tantra tingkat sebelas. Itulah puncak Tantra yang diperolehnya dari warisan gurunya yang pertama. alias Sang Punta Dewakarma guru Mahera pula. Dan teringat akan bentuk lingkaran itu, himpunan tenaga sakti Tantra tingkat sepuluh yang dipersiapkan. mendadak saja naik ke tingkat sebelas. Dengan tidak dikehendaki sendiri, tiba-tiba kedua tangan dan kakinya bergerak melingkar lingkar pula.
Suatu arus angin yang dahsyat membersit dari dirinya dan menyongsong bola besi itu. Semua orang memejamkan matanya karena kedua tangan Yudapati kelihatan seperti hendak memukul balik. Sebenarnya tidak demikian. Memang benar tangannya memukul ke depan seperti gerakan tangannya bila melontarkan pukulan dari jauh. Akan tetapi karena membawa arus angin, gerakan
tangannya justru membawa dan meneruskan gerakan lingkaran rantai bola besi itu berputaran. Lalu terlontar balik dan mengarah kepada majikannya dengan kekuatan sekian kali lipat.
- Hoeee!
Mahera terkejut.
Secepat angin ia melompat menghindar, akan tetapi masih saja kena sabetan ujung rantainya. Dan seperti benda berjiwa, ujung rantai itu menarik tubuh Mahera ke dalam. Kemudian bola besi berduri tajam itu menghantam dadanya.
Bres!
Ia roboh terbanting di atas tanah dengan dada somplak tercacah.
Semua orang yang menyaksikan, memang mengharapkan agar iblis itu mati secepatnya. Tapi mati terhantam oleh senjatanya sendiri adalah di luar dugaan siapa saja, termasuk Yudapati.
Betapa mungkin!
Itulah bunyi suara hati setiap orang yang menyaksikan. Senjata bola api Mahera tadi terbang bagaikan anak panah raksasa yang terlepas dari gandewa. Melejit dengan membawa suara gemuruh bagaikan anak meteor dan berputaran seperti bolang-baling.
Mengapa tiba-tiba bisa balik kembali menghantam majikannya?
Jawabannya sebenarnya sederhana saja. Meskipun demikian,andaikata Punta Dewakarma masih hidup tidak akan pandai menjawab. Sebab penghayatannya belum sampai pada tataran sebelas. Seperti diketahui, bunyi kalimat tataran sebelas ditulis dengan lingkaran-lingkaran semacam ukiran-ukiran hasil kerajinan tangan.
Yudapati pernah melihat dan mempelajarinya sewaktu menemukan gambar demikian di dinding goa. Hal itu membuktikan, bahwa orang-orang Suwarnadwipa pada jaman kuno sudah menemukan rumus-rumus pengucapan alam. Itulah yang dinamakan Sandi Sastra. semacam not tangga nada. Bedanya sandi sastra itu tidak dapat dibaca atau dibunyikan. Orang hanya dapat menirukan saja. alias menghafal. Menurut catatan orang-orang bijaksana. itulah pengucapan naluri manusia yang tak dapat dicapai perbendaharaan kata-kata. Maka tidak mengherankan, bila Yudapati tidak dapat mengerti sendiri apa akibatnya. Mungkin sekali merupakan salah satu kunci Ilmu Pengetahuan Hologram pada jaman sekarang. Ilmu Pengetahuan tiga demensi yang hanya diketahui oleh beberapa orang yang jumlahnya tidak melebihi jumlah jari manusia.
Tantra tingkat sebelas yang ditulis oleh seorang pendekar dari Jawadwipa berintikan demikian pula. Bukan mustahil mutunya lebih maju. Namun permasalahannya tidak berbeda. Ialah bentuk ilmu yang mengabarkan, bahwa semua yang terjadi di bumi ini sebagai suatu kenyataan, sebenarnya sudah didahului pada demensi ketiga. Bahkan di dimensi kedua pun sudah mendahului beberapa saat. Umpamanya, seseorang bergerak dengan maksud hendak berharap. Di demensi kedua sudah terjadi adegan orang itu tengah berharap. Sedang di demensi ketiga, orang itu sudah berharap. Bila kita balik di demensi ketiga orarg itu sudah berharap. Di demensi kedua, orang itu tengah berusaha hendak berharap. Di demensi satu atau di bumi ini, orang itu baru bermaksud hendak berharap. Dengan demikian, kecepatannya apa yang bakal terjadi adalah tiga kali lipat. Berarti pula, aksi dan reaksi naluri manusia, sesungguhnya tercetak dahulu pada demensi ketiga. Maka gerakan Yudapati pada tataran Tantra sebelas yang membawa konsep menghantam balik. membuat Mahera tidak dapat berbuat sesuatu untuk mengelak. Meskipun andaikata dia memiliki kecepatan kilat pun masih dapat teraih. Karena tataran Tantra kesebelas adalah rumus-rumus demensi ketiga.
Maka tidak terlalu salah kiranya bila pada saat-saat
penentuan,manusia sering menyerahkan diri pada sang nasib. Seolah-olah manusia adalah tokoh-tokoh wayang belaka yang dimainkan oleh sang dalang. Atau seperti ucapan pujangga besar Inggris. William Shakespeare. bahwasanya perilaku manusia ini tidak lebih seperti peranan peranan sandiwara di atas panggung belaka. yang tentunya ada sutradaranya. Tetapi sesungguhnya, adalah masalah kecepatan yang berada di luar kemampuan kodrat manusia. Dengan tergesa gesa Yudapati lari menghampiri Mahera. Demikian pulalah para pendekar lainnya. Hanya saja kepentingan mereka berbeda dengan Yudapati. Mereka hanya- ingin membuktikan dengan mata kepalanya sendiri, apakah iblis itu benar-benar sudah mampus. Sebaliknya. Yudapati berkaitan dengan masalah perguruan. Betapapun juga Mahera adalah saudara-seperguruan. Bahkan murid angkatan tua atau kakak-seperguruannya. Karena itu, sebenarnya ia tidak bermaksud membunuhnya. ia hanya ingin menundukkannya saja dengan maksud menyadarkan kesalahannya. Siapa tahu ia bisa membawanya balik ke jalan yang-lurus, seperti ajaran Tantra Sejati. Maka ia bersikap melayani saja semua kehendak Mahera. Di luar dugaan, tingkat Tantra kesebelas. berada di luar kontrolnya sendiri. Memang baru untuk pertama kali itulah ia menggunakan. Sama sekali tak terduga, bahwa akibatnya terlalu hebat. Dada Mahera yang bidang hancur bagaikan tercacah, tak ubah lumut. Tetapi Mahera benar-benar manusia istimewa. Dalam keadaan demikian, masih saja ia belum mati. Tatkala melihat Yudapati mendekati, ia berusaha berbicara. Katanya tersendat: - Se...Sebenarnya...kau...siapa'?
Ia berhasil berbicara,sayang tidak sempat mendengarkan jawaban Yudapati. Tiba-tiba saja ia sudah keburu mati. Menyaksikan hal itu. hati Yudapati terharu.
- Ha, itu namanya si iblis ketemu batunya. itulah suara Tepus Rumput.
- Tak terhitung orang mati dengan penasaran. karena tidak tahu-menahu apa sebab mereka harus mati. Dan pembunuhnya adalah dia. Sekarang diapun mampus dengan penasaran pula karena belum mengenal namamu. adik. Biarlah aku yang menerangkan agar arwahnya mendengar. dan setelah berkata demikian ia berteriak sekuat-kuatnya:
- Hai Mahera! Kau iblis besar yang sudah membunuh ratusan ya mungkin ribuan orang. Kau pasti jadi iblis benar-benar. Ketahuilah, siapa nama adik angkatku yang menghancurkan martabatmu? Dialah pendekar besar pada jaman ini. Namanya, Yudapati. Nah, kau puas? Silakan menjadi iblis!
- Dia puas, tetapi aku tidak! sang berangasan Getah Banjaran menimbrung.
- Beberapa kali dia menempelengiku, tetapi belum sekali juga aku menempeleng kepalanya. Biarlah kali ini aku melampiaskan rasa dendamku.
Berkata demikian, ia maju hendak menempeleng Mahera yang sudah menjadi mayat. Tiba-tiba terdengar Hari Sadana membentak:
- Hm, bagus! Ini namanya seorang laki-laki jempolan!
- Jempolan bagaimana?
Getah Banjaran terkejut.
- Kau mengaku golongan lurus. Apakah menempeleng mayat demi membalas dendam perbuatan kaum lurus?
Getah Banjaran seorang pendekar yang berwatak berangasan. Namun ia pandai berpikir. Meskipun sindiran Hari Sadana terlalu tajam baginya, masih bisa ia membatalkan niatnya.
- Kau benar, kawan. ujarnya.
- Aku pun jadi ikut ikutan menjadi iblis.
Setelah berkata demikian, ia tertawa. Hari Sadana tertawa pula. Kedua pendekar itu akhirnya tertawa terbahak-bahak .Tarusbawa yang mengikuti pembicaraan
mereka menyumbangkan pula tertawanya. Suara tertawa mereka bertiga jadi meriuh seperti suara nyanyian sumbang.
Getah Banjaran. Hari Sadana dan Tarusbawa nampaknya sudah sering bekerja sama, sehingga saling mengenal dan saling menghormati pula. Setelah gagal merampas kotak pusaka dari tangan Yudapati,mereka mengalami nasib yang sama. Mereka ditawan anak-buah Mahera dan di kerangkeng seperti anjing. Karena itu. sesungguhnya ketiga-tiganya menaruh dendam kepada Mahera. Namun Hari Sadana dan Tarusbawa tidak berbuat seperti apa yang akan dilakukan Getah Banjaran. itulah sebabnya. Getah Banjaran mau mengerti.
Bhiksu Dewayana. Bhiksuni Aditi dan Undagada, tidak mau mengganggu Yudapati. Melihat pemuda itu tercenung-cenung di depan mayat Mahera, mereka mengundurkan diri untuk melacak dan memeriksa anak-anak muridnya yang menjadi mayat-mayat hidup. Yang menemani Yudapati kini, tinggal Tapaksila, Kudawani, Goratara dan Tepus Rumput.
- Adik! Iblis ini sudah mati. Apa lagi yang kau pikirkan? Kau sudah memenangkan pertandingan. Kita semua sudah menyaksikan. ujar Tepus Rumput.
- Kakak. sahut Yudapati dengan suara pelahan.
- Sebenarnya dia adalah saudara-seperguruanku. - Saudara seperguruan?
Tepus Rumput tercengang.
- Ah, kau pasti bergurau. Bila benar, mengapa dia tidak kenal siapa dirimu?
- Panjang ceritanya. sahut Yudapati datar.
- Hm . . setelah aku berada pada suatu tempat yang asing, aku bertemu dengan seorang brahmana. Dialah yang memberitahukan. bahwa Mahera adalah murid guruku yang Pertama. Kemudian dengan ringkas ia menceritakan Pertemuannya dengan Brahmantara dan saat mengadu
kepandaian melawan Mahera di dalam goa.
- Pantas. Mahera seperti sudah mengenalmu. -tungkas Tepus Rumput.
- Sewaktu adik bertempur melawan Mahera, tahulah kami bahwa orang tua itu pasti sudah memberi petunjuk-petunjuk berharga kepadamu. Terus terang saja, kamilah yang mengirimkan engkau ke pertapaannya sewaktu adik terlena tidur oleh obat ketiga dewa. Adik masih ingat, bukan . . . tatkala berkali-kali aku menyebut seorang ahli pedang yang akan kupertemukan kepadamu? - Ya. Tetapi bagaimana kakak tahu, bahwa guruku itu berada dalam goa yang tak pernah diambah orang selain Mahera?
Tepus Rumput berpaling kepada Tapaksila, Kudawani dan Goratara. Setelah mereka memanggut kecil, berkatalah ia:
- Kepandaian iblis itu begitu tingginya, sehingga membuat kami harus mengadakan penyelidikan, pengamatan dan persiapan secermat-cermatnya. Setelah bertahun tahun menyelidiki dengan mengorbankan beberapa orang, kami ketahui bahwa ahli pedang yang sudah lenyap dari percaturan hidup, di luar dugaan bermukim dalam wilayah kekuasaan Mahera. Mengapa dia justru berada di wilayah Mahera? Mula-mula Mahera sendiri tidak tahu. Mahera baru mengetahui. setelah berhasil menyiksa salah seorang mata-mata kami. Tetapi setelah mendengarkan keterangan adik, barulah aku mengetahui apa sebabnya. Ternyata ada kaitannya dengan mendiang adik-seperguruannya yang pada jamannya pernah menggoncangkan dunia. Itulah gurumu yang pertama. Sang Dewakarma.
- Resi Brahmantara sudah puluhan tahun meninggalkan masalah dunia. Lalu bagaimana kakak mengetahui bahwa beliau berada di wilayah ini?
Yudapati minta keterangan.
- Biarlah aku yang menerangkan. -sahut Tapaksila.
- Ketua kami dahulu bernama Tuanku Kabau Seta. Kami bertujuh adalah murid-muridnya. Aku, Kudawani. Mahera. Tepus Rumput, Ganesa. Balitung dan Anggira. Pada suatu hari markas kami dimusuhi seorang pendekar. Pendekar itu bertempur melawan ketua kami. Setelah bertempur satu hari satu malam. pendekar itu berhasil membunuh ketua kami dan bahkan menculik Mahera. Dialah gurumu, Sang Dewakarma. Pada jaman mudanya,gurumu sangat buas, beringas dan liar. Semua pemimpin-pemimpin perguruan dibunuhnya mati. Maksudnya jelas. Gurumu ingin menguasai seluruh orang-orang gagah di bumi ini. Mungkin sekali, Sang Dewakarma ingin merebut tahta Sriwijaya dengan menggunakan sekalian murid perguruan-perguruan yang terbesar di seluruh kerajaan, sebagai laskarnya. Syukur, pada suatu hari datanglah gurumu yang lain. Dialah sang brahmana Brahmantara. Ternyata beliau adalah kakak seperguruan Sang Dewakarma. Ringkasnya kedua pendekar besar itu bertempur mengadu kepandaian. Masing-masing memiliki kepandaiannya sendiri. sehingga pertempuran itu berlangsung sampai tujuh hari tujuh malam. - Siapa yang menang? Yudapati menegas dengan bernafsu. - Masing-masing menderita luka. Lalu hilang dari percaturan.
Tapaksila menjawab dengan ramah.
- Akan tetapi beberapa tahun kemudian. kami menerima surat dari Resi Brahmantara. Pendek saja bunyinya. Beliau akan membayangi Mahera yang sudah menjadi murid Sang Dewakarma. Maka begitu kami mendengar kabar di mana markas Mahera berada. kami yakin bahwa Rasi Brahmantara berada di wilayah ini. Hanya saja kami tak mengerti apa sebab beliau tidak berbuat sesuatu. sehingga harimau itu mempunyai sayap, Tetapi setelah mendengarkan keteranganmu, semuanya jadi jelas. Ternyata Resi Brahmantara enggan membunuh angkatan muda. Agaknya beliau berharap dapat bertemu kembali dengan Sang Dewakarma untuk sekali lagi mengadu kepandaian.
Mendengar keterangan Tapaksila, tak terasa Yudapati menundukkan kepalanya. kalau dipikir. diapun senasib dengan Mahera. Dengan tak dikehendaki sendiri ia dibawa lari Punta Dewakarma ke Gunung Krakatau. Hanya saja dengan tujuan baik. Dan pada saat itu. Punta Dewakarma sudah menyadari kesesatannya.
Kalau tidak, bukankah dia akan menjadi manusia setali tiga uang dengan Mahera?
- Adik. Tepus Rumput menyambung.
- Selanjutnya kurasa semuanya sudah menjadi jelas bagimu, apa sebab Mahera memisahkan dari kami. Sengaja ia mendirikan kaum Pasupata tandingan. Bukan mustahil atas perintah gurunya. Itulah Punta Dewakarma. Mengingat ketua kami bernama Kabau Seta, maka dia menamakan kaumnya sebagai Pasupata hitam, karena Kabau Seta berarti kerbau putih. Seperti pekerti Resi Brahmantara. engkau datang menolong. Hanya saja terbalik Kalau Resi Brahmantara datang melabrak adik seperguruannya, maka engkau datang sebagai adik-seperguruan Mahera. Bedanya lagi, Resi Brahmantara membutuhkan waktu tujuh hari tujuh malam untuk bertanding melawan adik-seperguruannya. Itu pun belum ada yang menang dan kalah. Sebaliknya engkau hanya cukup setengah hari saja. Maka peristiwa ini perlu diperingati turun-temurun. Ucapan Tepus Rumput segera disetujui ketuanya. Kudawani dan Goratara. Sebaliknya Yudapati merasakan sesuatu yang kurang tepat. Hanya apa itu, ia sendiri tidak mengerti. Selagi demikian, terdengarlah seseorang yang berkata lembut;
- Kakang, engkau selamat. Maha Buddha mendengarkan pemohonanku...Aku...aku...
Yudapati menoleh dan melihat Sekar Tanjung berdiri dengan wajah kuyu namun pandang matanya memancarkan cahaya bahagia yang sulit dialih bahasakan. Tentu saja hanya Sekar Tanjung seorang yang tahu. Itulah sebabnya tak pandai ia menterjemahkan kata hatinya. Sebab yang bergolak di dalam kalbunya adalah perasaannya dan bukan pikirannya.
- Bhiksuni . . . -tungkas Yudapati seraya menghampiri.
- Engkau hendak berkata apa?
Wajah dara bhiksuni itu kelihatan bersemu dadu. Sejenak ia menundukkan kepalanya. Tiba-tiba suatu ingatan membuat dia pandai mengalihkan pembicaraan. Sahutnya:
- Paman Dewayana membutuhkan pertolongan kakang. Menurut paman, setelah .. mendengarkan bunyi kecapi kakang. racun yang mengeram dalam diri paman menjadi berkurang.
- Eh, masakan begitu?
Yudapati heran. Lalu bersama-sama dengan para pemimpin Pasupata, ia mengikuti Sekar Tanjung yang berjalan dengan langkah segan di sampingnya.
Melihat keadaan Sekar Tanjung. si mulut jahil Tepus Rumput tertawa geli. Ujarnya:
- Nona! Pada saat ini, adikku Yudapati adalah pemimpin dan ketua kita semua. Seharusnya nona berbesar hati karena dapat berjalan sejajar dengan pemimpin agung kita. - Tepus Rumput! Apakah engkau tidak dapat mengendalikan rumputmu? bentak Tapaksila.
Buru-buru Tepus Rumput membungkam mulutnya Ujarnva lagi:
- Maaf. maaf, maaf . . . maksudku. tak usah nona bersegan-segan terhadap kami. Nona adalah salah seorang adik. atau eh . . . . saudara muda pemimpin agung kita. Tidak seharusnya memandang kami terlalu tinggi. Sesungguhnya rasa segan Sekar Tanjung meliputi tiga hal. Yang pertama, ia seorang bhiksuni yang tidak pantas berjalan berendeng dengan seorang pemuda. Apalagi hubungannya berkesan rapat. Kedua, dengan sebenarnya ia menaruh hati kepada pemuda itu. Sebagai seorang bhiksuni adalah tabu. Apalagi sebentar tadi ia sudah bersumpah kepada sang Buddha bahwa dirinya akan hidup sebagai bhiksuni, manakala pemuda itu selamat tak kurang suatu apa. ketiga. Tapaksila dan para pemimpin Pasupata setingkat dengan gurunya sendiri. Padahal mereka berjalan di belakangnya seolah-olah sedang mengiringkan seorang permaisuri raja. Itulah sebabnya begitu mendengar ucapan Tepus Rumput,hatinya tergelitik. Tetapi dasar tidak pandai berbicara, langkah kakinya jadi terasa tersendat-sendat. Untung pada saat itu tibatiba terdengar suara hiruk-pikuk. Yang berjalan mengarahkan perhatiannya kepada suara itu.
Kiranya adalah suara laskar kaum lurus yang sedang menggiring dan mengumpulkan sisa-sisa laskar Mahera yang menyatakan takluk. Mereka dikumpulkan di depan Gedung Markas menunggu keputusan atasannya. Senjata mereka diletakkan di atas tanah, lalu ditumpuk menjadi beberapa onggok tak ubah kayu bakar pembakar mayat.
******
MENJELANG SORE HARI, Ganesa Anggira dan Balitung datang ke Gedung Markas Mahera untuk menghadap ketuanya. Kedatangan mereka bertiga menggembirakan Yudapati. Setelah basa-basi dengan caranya yang istimewa, mereka membantu Yudapati menyembuhkan Bhiksu Dewayana yang terkena pukulan beracun. Oleh petunjuk-petunjuk ketiga dewa itu, sebentar saja Bhiksu Dewayana boleh dikatakan sudah sehat kembali. Tentu saja hal itu menambahkan keakraban kaum lurus dengan kaum Pasupata. Apalagi, ketiga dewa itu berkenan pula memeriksa anak-anak murid kaum lurus yang menjadi mayat-mayat hidup. Setelah berdebat berkepanjangan seperti adatnya mereka berkata kepada Yudapati:
- Muridku!Eh. ..salah...Ketuaku!eh...salah atau tidak? Dia belum tua, kan?
- Bagaimana kalau kita sebut pemimpin. usul Balitung.
- Kurang tepat! Belum pernah ia memimpin kita Anggira menentang.
- Kalau begitu. kita panggil anak saja.
Ganesa menyarankan.
- Salah, salah. salah!


Jalan Simpang Diatas Bukit Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Anggira dan Balitung menolak.
- Kapan kita melahirkan dia? Yudapati melerai pertengkaran mereka dengan tersenyum:
- Sudahlah. panggil saja aku murid! Bukankah aku mengaku menjadi murid paman bertiga?
- Benar. mereka bertiga menyahut berbareng.
- Tentang mayat-mayat hidup itu, menurut penglihatan kami masih bisa ditolong. Hanya saja yang sudah cacat lebih baik kita musnahkan daripada akan menderita seumur hidupnya.
Yudapati tidak berani memutuskan. Ia minta pertimbangan para ketua aliran yang bersangkutan. Setelah saling berdebat dan saling bertukar pikir, akhirnya mereka setuju. Ketigi dewa itu, kemudian menjejalkan pel-pel ramuan mereka, Dan mayat-mayat hidup itu kemudian dikuburkan beramai-ramai.
Suasana jadi penuh haru. Akan tetapi mereka terhibur juga, mengingat lainnya masih dapat ditolong. Ketiga dewa itu, kembali lagi menjejali obat-obat ramuannya lalu menyarankan Yudapati agar menggesek kecapinya pada lagu yang kedua belas.
Suatu keajaiban terjadi. Begitu Yudapati menggesek kecapinya, mayat-mayat hidup yang berdiri tegak bagaikan patung, tiba-tiba berkedip-kedip kedua matanya. Lalu menggerak-gerakkan tangan dan kakinya. Setelah memutar pandang seperti terbangun dari tidurnya , mereka terbelalak heran.
- Adik! Yunda! Kakak! -'begitulah terdengar orang
orang berseru beramai-ramai saling susul
Lalu mereka menyerbu ke saudara-seperguruannya yang menjadi mayat hidup Sekian lamanya. Mereka memeluknya erat-erat dan tidak menghiraukan Saudara seperguruannya masih dalam keadaan bingung. Namun setelah dibawa menghadap gurunya masing-masing,mereka yang dapat diselamatkan menangis sedih. Dan keharuan terjadi di mana-mana.
Sementara itu malam hari tiba dengan diam-diam. Sisa-sisa laskar Mahera diperintahkan memasang obor penerangan. Meja-meja dan kursi diangkat dan digotong ke pendapa. Meskipun tidak diumumkan. semua orang tahu pemimpin-pemimpin mereka akan mengadakan perjamuan. Setidak-tidaknya pesta kemenangan atas tumbangnya iblis besar yang mereka takuti.
Pada perjamuan besar itu semua pemimpin aliran lurus setuju mengangkat Yudapati sebagai pemimpin agung. Akan tetapi Yudapati menolak. Ia menerangkan dirinya datang ke Kerajaan Sriwijaya bukan untuk mengangkat diri menjadi pemimpin atau majikan suatu golongan. Juga bukan untuk berguru kepada siapapun. Tetapi semata mata demi tugas negara sebagai pengawal Duta Besar Lembu Seta. '
- Ya, nama Yang Mulia itu pernah kudengar. -tungkas Tapaksila.
- Sebenarnya apa yang terjadi?
- Yang Mulia Lembu Seta adalah duta raja kami. Duta negeri Tarumanagara yang datang untuk mempererat tali persahabatan antara Kerajaan Sriwijaya dan negeri kami. Sayang, di sini terjadi perebutan kekuasaan. Raja Dharmajaya digulingkan Raja Dharmaputera yang kini bertahta. Sebenarnya, itu urusan dalam negeri kalian. Tetapi Raja Dharmajaya tidak rela. karena yang memerintah sekarang adalah kaki-tangan negeri asing. Demi kepentingan
masa depan bangsa dan negeri Tarumanagara Sriwijaya, Duta Besar Lembu Seta melakukan bunuh diri. Dan mengharapkan agar Lambang Dapunta Hyang berada di tangan pemiliknya yang syah. Nah, dari sinilah aku mulai.
- Mulai bagaimana?
Tepus Rumput menegas.
Yudapati tahu, bahwa yang berada dalam perjamuan itu adalah tokoh-tokoh pendekar yang mempunyai wilayah kekuasaannya sendiri. Kalau ia bisa membangkitkan peranan mereka dalam masalah negara dan bangsanya, maka tugasnya untuk membantu anak keturunan Raja Sriwijaya yang syah, akan berhasil. Maka dengan sabar ia menceritakan pengalaman perjalanannya bersama Tilam, puteri Duta Besar Lembu Seta. Kemudian riwayat pertemuannya dengan Isu Wardana. Tara Jayawardani dan Diatri Kama Ratih. Diterangkannya bahwa Tara Jayawardani adalah puteri Pangeran Sanggrama Jayawardana, adik raja yang berguling. Kepada pangeran itulah, dia hendak menyerahkan lambang Dapunta Hyang sebagai pewaris kerajaan yang syah.
- Temanku Kadung dan puteri Tilam pada saat ini, sedang membantu paman Tandun Raja Koneng menyusun kekuatan nyata untuk merebut kembali tahta kerajaan yang hilang. Pendek kata harus direbut kembali dari kaki tangan negeri asing. - katanya dengan berapi-api.
- Kau maksudkan orang asing?
Undagada menegas.
- Orang asing yang mana? - Raja Dharmaputera yang kini menduduki tahta kerajaan adalah orang asing dan kaki tangan negeri asing. Kehadirannya membahayakan kesejahteraan negeri Sriwijaya dan Tarumanagara. Pada jaman mudanya ia bernama Nguyen Siddikara. Dengan dibantu Balada Himawat Supaladewa dan Boma Printa Narayana. berhasillah ia menggulingkan Raja Dharmajaya. Apakah tuan
tuan sekalian tertarik atau tidak, aku akan berusaha menyelesaikan tugasku sampai raja yang tidak berhak naik tahta kerajaan itu terguling dari kedudukannya.
- Bagus! seru Tepus Rumput.
- Engkau mengaku sebagai pengawal Duta Raja Tarumanagara. Namun bersedia berkorban demi tegaknya keadilan di negeri kami. Masakan kami tidak? masakan kami hanya pandai makan minum dan memeluk perempuan saja? Tidak! Dalam hal ini. kami pun ingin mati sebagai putera-putera Sriwijaya yang baik. Dengan begitu ada makna hidup kami.
- Bagus! hadirin menyambut dengan sorak gegap gempita.
- Kalau begitu, mari kita angkat mangkok kita masing masing untuk bersatu menumbangkan pendurhakaan ..
Hureeee . . .! Suasana perjamuan yang tadinya dimaksudkan untuk merayakan kemenangan kaum lurus menumbangkan iblis besar. kini berubah menjadi pelan semangat perjuangan bangsa yang menggebu-gebu. Mereka berteriak-teriak membakar semangatnya sendiri yang segera diikuti yang lain, sehingga pendapa Gedung Markas Mahera terdengar bergemuruh ramai.
Dalam suasana yang hiruk-pikuk itu, berdirilah pendekar Goratara yang nampak prihatin. Dengan mengumpulkan tenaga saktinya ia membuka mulutnya dan berbicara Wajar saja, akan tetapi suaranya dapat menindih suara anak-anak murid yang sedang bersoraksorak gembira. Katanya kepada Yudapati:
- Adik! Aku pernah mengadu kepandaian dengan Boma Printa Narayana. Memang ia seorang ahli pedang. Akan tetapi bila Raja Dharmaputera hanya mengandalkan tenaganya kukira belum dapat merebut tahta. Pastilah
ada tangan-tangan tangguh yang diam-diam membantu Dharmaputera menggulingkan tahta kerajaan. - Benar. sahut Tapaksila.
- Apakah engkau teringat Yoni Nandini?
- Tepat sekali. ..
Goratara mengangguk membenarkan.
- Iblis perempuan itu tidak kalah hebatnya bila dibandingkan dengan Mahera. Mungkin lebih hebat dan lebih licin.
- Ah ya!
Tepus Rumput seperti diingatkan.
- Apakah di antara hadirin ada yang mengetahui di mana dia berada?
- Hm ... . yang kuketahui, anak-buahnya sering menculik anak-anak berumur sebelas tahun.
Getah Banjaran menjawab.
- Tadinya kukira perbuatan Mahera. Tetapi setelah aku berkesempatan menginap di sini,ternyata bukan dia. Dia hanya membuat mayat-mayat hidup dan menekuni ilmu kepandaiannya yang tinggi dengan cara mencuri ilmu kepandaian kita. - Apakah Bhiksuni Aditi pernah melihat wajahnya?
Tepus Rumput menghadapkan pandang matanya kepada ketua aliran Paramita yang angkar itu.
Bhiksuni Aditi hanya menggelengkan kepalanya. Meskipun tidak menjawab, namun gerakan kepalanya itu sudah cukup jelas. Maka seketika itu juga, orang-orang ramai membicarakan iblis Yoni Nandini yang ternyata hanya dikenal namanya saja, dan perbuatannya yang biadab.
- Baiklah, pelahan-lahan akan kita selidiki bersama. Yang penting sekarang adalah masalah negara. Apakah Bhiksu Dewayana mempunyai petunjuk-petunjuk dan saran-saran yang berguna?
Tepus Rumput mengalihkan pandang kepada Bhiksu Dewayana.
Bhiksu Dewayana meskipun sudah Bebas dari ancaman racun namun masih memerlukan waktu untuk memulihkan tenaganya. Walaupun demikian, ia tidak mau ketinggalan ikut meriahkan perjamuan itu. Katanya dengan pelahan-lahan:
- Pertemuan seperti malam ini. barangkali pernah terjadi puluhan tahun yang lalu,sewaktu antara kita masih saling percaya-mempercayai. Barangkali, kalau dunia tidak melahirkan seorang yang kebetulan bernama Yudapati, jangan diharapkan kita bisa bersatu padu kembali.
- Benar, benar!
Tapaksila, Kudawani dan Tepus Rumput menyahut dengan spontan. Dan ucapannya dibenarkan oleh para pemimpin lainnya.
- Waktunya tepat sekali, karena kita berangkat meninggalkan permukiman untuk bergabung dengan kubu kubu Tandun Raja Koneng yang bermukim di atas Gunung Sibahubahu. ,Kemudian terjadilah malapetaka yang membuat kita tertawan di atas gunung ini. Mahera memang pantas dikutuk. Tetapi berbareng dengan itu, kita berterima kasih pula atas kebijaksanaan Hyang Widdhi Wasesa. Karena justru malapetaka itu melahirkan suatu rasa persatuan kita kembali, melalui jasa perbuatan anakku Yudapati. Karena itu apa keberatan kita. kalau anakku Yudapati kita angkat bersama menjadi Pemimpin Agung kita? Dengan begitu, kita melanjutkan kebijakan Hyang Widdhi yang sudah jelas menunjukkan dan membuka mata kita. Yang kedua, selain berkepandaian tinggi. anakku Yudapati seorang militer. Maka tepat sekali, bila dia berkenan memimpin kita merebut kembali tahta yang hilang. - Setuju! Setujuuu . .! orang-orang menyambut dengan gembira.
- Bagaimana pendapat Bhiksuni Aditi?
Bhiksuni Dewayana ingin mendengar ucapan Bhiksuni Aditi.
- Bhiksu Dewayana sudah cukup menjabarkan apa
makna yang tersurat dan yang tersirat. Sekarang tinggal mendengar kesanggupan ananda Yudapati. jawab Bhiksuni Aditi.
- Bhiksuni Aditi dan paman-paman sekalian. ujar Yudapati ,dengan muka kemerah-merahan.
- Sebenarnya aku harus berbesar hati, karena paman sekalian dan Bhiksuni Aditi menaruh kepercayaan kepadaku. Akan tetapi aku malu menerimanya. Sebab selain merasa tidak becus, sesungguhnya kedatanganku ke dataran gunung ini semata-mata untuk merebut kembali saudara Getah Banjaran, Hari Sadana dan Tarusbawa dari tangan Mahera.
- Lo!
Getah Banjaran, Hari Sadana dan Tarusbawa saling pandang. Muka mereka tiba-tiba jadi merah padam karena teringat pekertinya hendak merampas kotak pusaka Yudapati.
- Apakah urusan itu?
- Tidak.
Yudapati melanjutkan kata-katanya seakan akan menjawab kata hati mereka. Memang setelah mewarisi Ilmu Pedang Gunadewa, kini ia mulai pandai menebak hati orang.
- Itulah karena urusan puteri Jayawardani dan Isu Wardana yang hilang diculik orang
- Siapa yang menculik?
Getah Banjaran dan Hari Sadana minta keterangan.
- Yang dapat menunjukkan jalan hanyalah kaum Paramita. jawab Yudapati.
- Kami? Bhiksuni Aditi tercengang.
- Ya. Tadinya aku berharap saudara Getah Banjaran bertiga akan dapat membantu aku menghadap bhiksuni untuk mohon uluran tangan. Terus terang saja, yang menculik puteri Tara Jayawardani adalah . . . Resi Dewasana.
- Resi Dewasana? - hadirin bergumam.
- Ya, Resi Dewasana. - Adik! Apa hubungannya dengan Bhiksuni Aditi?
Tepus Rumput minta keterangan dengan rasa cemas. Sebab. ia kenal tokoh yang menyebut diri sebagai Resi itu. Dialah si Goplo, seorang pendeta edan yang gemar membawa kemauannya sendiri.
Dengan terpaksa, Yudapati menerangkan pertemuannya dengan Sekar Tanjung yang ditawan Palata. Dengan sekuat tenaga ia bertempur mengadu kepandaian. Namun sama sekali ia tidak menyinggung-nyinggung sepak-terjang anak murid Getah Banjaran. Ia mengaku karena kesalahannya sendiri. akibatnya menderita luka parah. Lalu ditolong oleh dua orang pertapa. Ia mendengar mereka berdua saling memanggil namanya. Yang seorang bernama Dewasana.
- Tara Jayawardani sudah berhasil menyusun kekuatan nyata. Kaum Arnawa berkenan membantunya. ia meneruskan ceritanya.
- Pada suatu malam, markas besar Kaum Arnawa diserbu tentara negeri. Tara Jayawardani memimpin laskarnya di garis depan. Selagi bertempur melawan salah seorang perwira, Resi Dewasana membawanya lari. Mungkin untuk diselamatkan. Akan tetapi aku perlu sekali untuk menemukannya kembali. Karena Tara Jayawardani merupakan salah satu lambang kita untuk merebut tahta kerajaan yang diduduki kaki-tangan orang asing. Maka teringatlah aku kepada Bhiksuni Sekar Tanjung
- Ananda Yudapati! potong Bhiksuni Aditi.
- Engkau sekarang sudah menjadi pemimpin kita semua. Siapapun yang kau kehendaki untuk menyertaimu mencari puteri itu dapat kita atur. - Terima kasih. terima kasih.
Yudapati mengucapkan rasa terima kasihnya berulang kembali.
- Tentang goa itu . . . - Ya. bagaimana tentang goa itu?
Getah Banjaran
bernafsu.
Yudapati berpikir sebentar. Lalu menerangkan:
- Menurut pengamatanku, agaknya para cikal-bakal kaum kita terkurung di dalam gua itu oleh suatu kekuatan. Bukan mustahil terjebak dalam suatu muslihat yang licik. Di dalam keisengannya, mereka bertukar kepandaiannya. Lalu dilukis pada dinding goa. Pada suatu kesempatan, aku akan membawa paman-paman sekalian ke goa itu. Juga Bhiksuni Aditi. Sebab, kulihat pula ilmu pedang Paramita tersimpan di sana.
- Apakah ananda membaca suatu nama?
Bhiksuni Aditi menegas.
- Hanya pendek saja. Bunyinya Amarawati. - Ah! terdengar Bhiksuni Aditi dan sekalian anak-muridnya meletupkan rasa kejutnya. Itulah nama cikal-bakal Kaum Paramita. Hanya saja mereka menelan kata hatinya yang hendak diucapkannya.
- Baiklah. kata Bhiksu Dewayana.
- Kukira makin lengkaplah darma bakti anakku Yudapati. Sekarang, karena kita semua sudah Setuju mengangkat ananda Yudapati menjadi Pemimpin Agung. mengapa kita lupa mengadakan upacara pelantikan?
Mendengar kata-kata Bhiksu Dewayana hadirin menyambut dengan gembira. Sebaliknya, Yudapati hampir hampir saja menolaknya. Untung ia dapat dibujuk oleh Tepus Rumput dan Tapaksila.
- Adik. aku tahu dan menghargai perasaanmu. Adik merasa tidak pantas memimpin orang-orang setua usiaku, bukan? ujar Tepus Rumput.
- Tetapi sebaliknya, kita semua tidak berarti apa-apa tanpa kehadiranmu. Mahera ternyata jauh lebih kuat daripada kita semua. Seumpama adik tidak berada di dataran ini. kita semua meniadi mayat-mayat hidupnya. Namun ada satu masalah
lagi yang jauh lebih penting dari semuanya itu. Itulah masalah masa depan kita. Kaum Pasupata kini diterima kehadirannya dengan damai. Maka permusuhan yang sudah berjalan ratusan tahun itu. pada hari ini akan lenyap. Seluruh kaum pergerakan sudah bersedia dipersatukan di bawah satu panji-panji. Itulah dirimu yang sudah dapat merebut hati kita semua.
- Benar. -sambung Tapaksila.
- Ananda adalah simbol persatuan kami. Bila ananda menolak, kembali lagi kita akan saling membunuh. Dengan berdiam diri, Yudapati menyiratkan pandang kepada para ketua. Akhirnya ia mengangguk dengan catatan untuk sementara saja. Katanya:
- Untuk selanjutnya, bila paman-paman sekalian menemukan seorang ketua yang lebih tepat, segera aku akan mengundurkan diri. Sebab betapapun juga aku adalah orang Jawa. Pada suatu kali aku harus kembali ke Jawa, manakala tugasku telah selesai. Maka sebaiknya aku di dampingi oleh tiga orang. Bila sewaktu-waktu aku terpaksa meninggalkan pulau ini, maka ketiga orang itulah yang duduk sebagai pucuk pimpinan. .
Yudapati kemudian menunjuk Biksu Dewayana, Tapaksila dan Bhiksuni Aditi sebagai wakilnya. Setelah disetujui hadirin, upacara pelantikan segera dimulai. Upacara dipimpin oleh Bhiksu Dewayana dan dihadiri oleh segenap laskar semua aliran. Kemudian berkatalah Bhiksu Dewayana:
- Sudah menjadi kesepakatan bersama bahwa ananda Yudapati kita angkat menjadi Pemimpin Agung atau junjungan kita. Karena itu semenjak saat ini kita semua harus menyebutnya dengan tuanku. Selanjutnya masing masing harus mengucapkan sumpah setia dan akan patuh kepada setiap patah katanya. Barangsiapa yang berani
melanggar akan mendapat hukuman yang setimpal .Kalau perlu kita anggap sebagai musuh kita yang utama. Adapun mengenai tata-tertib tugas kewajiban. pembagian kekuasan dan masalah-masalah lainnya. akan kita putuskan dan kita rundingkan bersama.
Hadirin bertepuk tangan dan bersorak gemuruh untuk menyatakan persetujuannya. Dan malam itu akan dilanjutkan dengan pesta pora semalam suntuk. Kini tinggal mengurusi sisa-sisa laskar Mahera yang sudah menyatakan takluk. Yudapati minta petunjuk Bhiksu Dewayana yang bijaksana. Saran Bhiksu Dewayana berbunyi. agar masalah itu diserahkan kembali kepada Kaum Pasupata. Dalam hal ini adalah Tapaksila.
Dia percaya, bahwa Tapaksila akan dapat membimbing mereka kembali ke jalan yang benar.
Keesokan harinya anak-murid kaum lurus sudah bersatu padu dengan laskar Pasupata, membersihkan sisa-sisa pertempuran dan menguburkan mereka yang gugur. Sedang para ketuanya berkumpul di serambi depan Markas Mahera yang mentereng dan luas. Sekarang mereka bersikap rapi dan tertib. Yudapati duduk di tengah diapit ketiga wakilnya. Ia memutuskan agar semuanya meninggalkan dataran kepundan Mahera. Sebab ia bermaksud menghancurkan dan menguburkan kota itu agar lenyap dari ingatan. Maka persiapan segera dilaksanakan dengan cepat. Tiba-tiba teringatlah Yudapati kepada Pataliputra. Dengan ditemani Tepus Rumput, ia minta keterangan kepada ketiga dewa yang biasanya sukar diajak berbicara. Di luar dugaan, ketiga dewa itu sedang baik hati. Meskipun singkat, namun jelas. Ujarnya:
- Pada saat ini dia berada dalam ruwatan Pamasih. Untuk memulihkan tenaganya seperti sediakala. setidak tidaknya membutuhkan waktu dua atau tiga tahun.
Kecuali bila tuanku berkenan membantu.
- Dengan apa?
- Menyalurkan bantuan tenaga sakti. -.
Anggira memberi keterangan. Tetapi Balitung segera membantah:
- Tak bisa. - Mengapa tak bisa?
- Tuanku akan kehilangan tenaga murni.
- Belum tentu. Ganesa menimbrung.
- Mengapa belum tentu?
Balitung dan Anggira menegas dengan berbareng.
- Kalau tepat memilih nada lagu, kecapi itu bisa menolong.
- Ah benar.
Anggira dan Balitung menepuk pipinya.
- Mengapa baru ingat? Tetapi, tentunya lagu ciptaanku, kan? -Belum tentu. - jawab Ganesa.
- Kalau bukan. apakah ciptaanmu?
- Belum tentu. - Belum tentu sambar geledek!
Balitung dan Anggira memaki.
- Itu pun belum tentu. - Lo. belum tentu bagaimana?
Anggira menegas.
- Sebab geledek tidakkan mampu menyambar belum tentu.
Ketiga orang itu lantas saja berdebat bertele-tele tiada ujung pangkalnya. Yudapati kemudian membawa Tepus Rumput menyingkir. Dengan langkah cepat, ia mengarah ke dinding kepundan. Bertanya:
- Sebenarnya bagaimana aku bisa berada di ruang yang lain?
- Itulah akal mereka bertiga. Ringkasnya tuanku kena bius.
Tepus Rumput menjawab dengan tersenyum,
- Tentang keahlian mereka bertiga meracun orang,Yudapati percaya benar. Jangan lagi mereka. sedang tatakerja Pamasih saja tidak dapat dilawannya. Mau tak mau terpaksa ia mengangguk. Seperti kepada diri sendiri ia berkata:
- Pantaslah mereka disebut sebagai tiga dewa. Orang boleh memiliki kepandaian setinggi langit. Akan tetapi dapatkah melawan racunnya yang tak terduga duga'!
- Tetapi tuanku dalam keadaan segar bugar. bukan? Maksudku, setelah tuanku berada dalam ruang sang ahli pedang. -.
- Benar.
Yudapati mengakui. Dan sambil berjalan, Yudapati mengisahkan pengalamannya sewaktu bertemu dan bertempur melawan Mahera. Tatkala tiba pada pesan Resi Brahmantara yang sungguh-sungguh bila melawan Mahera dan Yoni Nandini, ia bertanya:
- Kakang Tepus Rumput. Terus terang saja, sewaktu aku menghadapi serangan Mahera, tak dapat lagi aku menggunakan jurus Ilmu Pedang Gunadewa yang diajarkan Resi Brahmantara kepadaku. Terpaksalah aku menggunakan ilmu ajaran guruku yang pertama. Itulah Resi Punta Dewakarma yang sesungguhnya guru Mahera pula. Dengan begitu, sesungguhnya guru sendiri yang membunuh Mahera. Sekarang aku tinggal menghadapi Yoni Nandini. Menurut Resi Brahmantara dia bertempat tinggal di sekitar Gedung Markas Mahera. Bagaimana pendapat kakak?
- Tuanku. -jaWab Tepus Rumput.
- Mungkin sekali, Resi Brahmantara sudah lama menutup diri sehingga tidak mengetahui keadaan di luar. Bila Nandini benar-benar berada di dekat Gedung Markas Mahera. tentunya tidakkan luput dari pengamatan kami.
- Tetapi menurut guru. dia pun sering menghadap
guru seperti Mahera. Tentunya dengan maksud dan tujuannya masing-masing.
Tepus Rumput tidak segera menjawab. Ia mendongakkan kepalanya seolah-olah ada yang mengusik pikirannya.
- Baiklah, lupakan saja untuk sementara.
Yudapati memutuskan.
- Sekarang maukah kakak menemani aku menghadap guru?
- Tentu saja! Mengapa tidak? Jangan lagi tuanku bawa menghadap guru tuanku. andaikata tuanku bawa menerjang lautan api, merupakan suatu kebahagiaan bagiku.
- Ah, kakak! Jangan berlebih-lebihan!- -tungkas Yudapati.
- Sebenarnya lebih senang bila kakak memanggil diriku dengan adik saja.
- 0, tidak boleh. Keputusan sudah ditetapkan. Dan itu pun bukan putusan tuanku. Sebaliknya kemauan kita sendiri. Maka tuanku pun tidak dapat mengubah.
Tepus Rumput tertawa.
Dengan tangkas,mereka berdua menyeberang jembatan penghubung yang istimewa. Setelah membelok dua kali tibalah mereka di depan goa. Akan tetapi mulut goa sudah tertutup rapat. Memang semenjak berpisah dengan gurunya. Yudapati sudah mengira tidakkan melihatnya lagi. Namun setelah menyaksikan mulut goa itu tertutup rapat. hatinya terpukul. Dengan meninggalkan Tepus Rumput. ia melompat menghampiri dan melihat sederet kalimat yang nampaknya harus dibacanya.
"Aku tahu kau kemari. Jangan buka. Pulang ke Jawa. "
- Siapa yang pulang?
Yudapati berkomat-kamit.
- Guru atau aku yang harus pulang ke Jawa? ...,
Tepus Rumput tidak berani menanggapi ucapan pemimpin agungnya itu seperti biasanya. Ia tahu, tentunya ada latar belakangnya yang terlalu hebat bagi sang murid.
Meskipun demikian, mulutnya yang tak terkendalikan itu, ingin saja berbicara. Maka katanya dengan membungkuk hormat:
- Tuanku, perkenankan aku mengucapkan selamat. Meskipun aku tahu, bahwa tuanku adalah murid Sang Resi yang syah, namun dalam hal berguru aku lebih berpengalaman. Kalau beliau sudah menulis begini. berarti tuanku sudah mewarisi seluruh ilmunya. Karena itu adik perlu bertemu lagi. Itulah makna kata: Jangan buka. Adapun kata-kata Pulang ke Jawa, mempunyai makna Yang tersurat dan Yang tersirat. Yang tersurat berarti dua. Mungkin Sang Resi sudah pulang ke Jawa. Kalau begitu, beliau berasal dari Jawa. Adapun Yang tersirat. bisa berarti beliau sudah pulang ke asalnya. Katakan yang tegas. sudah wafat. Atau peringatan bagi tuanku, bahwa tuanku dirumun marahahaya bila berada di sini. Aku sendiri yakin, ilmu kepandaian apa lagi yang dapat merobohkan tuanku? Taruh kata ketiga dewa akan -meracun atau memasang perangkap betapa hebat pun, prarasa tuanku yang tentunya jadi tajam luar biasa sudah dapat mengisiki diri tuanku. Seumpama toh masih bisa meracun, himpunan tenaga sakti tuanku masih cukup untuk menolaknya. Hal itu sudah terbukti. Tatkala tuanku hendak merebut jiwa mayat-mayat hidup, ketiga dewa hanya mampu menunjukkan. Tetapi yang benar-benar merebut jiwa mayat-mayat hidup adalah gesekan kecapi 'tuanku. Dengan begitu . . . menurut pendapatku . . . bahaya yang mungkin bisa mengancam tuanku, hanyalah . . . maaf . . . wanita cantik. pangkat-derajat dan uang. Mudah-mudahan iman kita bisa menolong, bahwa kemuliaan dunia ini adalah fana belaka. Pada suatu saat siapapun akan kembali ke asal dengan bekal semulanya. Ialah, hanya daging dan tulang-belulang. kemudian . . . keharuman nama.
- Benar, kakak. Kalau saja kita tidak mempunyai hutang yang nampak dan yang tidak. yang berwujud dan yang tidak, rasanya sewaktu-waktu dipanggil pulang sudah suatu karunia. Apalagi bila kita tidak mempunyai hutang terhadap kehendak Hyang Widdhi yang harus kita lakukan. - sahut Yudapati dengan suara agak bergemetar.
- Auumm . . . mastu nama siddham . . . Tepat! Yudapati memeluk Tepus Rumput dan Tepus Rumput balik memeluknya erat sampai beberapa waktu lamanya. Kemudian Yudapati membungkuk hormat ke goa gurunya tiga kali berturut-turut. Tepus Rumput demikian pula untuk menyatakan rasa hormatnya. Setelah itu, dengan penuh haru dan rasa terima kasih, Yudapati pulang ke markas dengan diiringkan oleh Tepus Rumput. Sepanjang jalan, pemuda itu sama sekali tidak berbicara. Di dalam hatinya ia merasa seperti terpanggil.
Terpanggil untuk apa?
Yang terasa, ingin ia menyelesaikan pesan Duta Besar Lembu Seta secepat-cepatnya. Lalu pulang ke kampung halaman. Itulah pulau Jawa yang tersimpan dalam perbendaharaan kalbunya. Dan begitu teringat akan tugas panggilan Lembu Seta, terbayang pulalah wajah dan peribadi Diatri Kama Ratih yang agung dan manis. Gadis, puteri bangsawan itu sudah cukup lama ditinggalkannya.
Oleh semua pikiran dan kesan itu, tiba-tiba saja ia memanggil seluruh pemimpin kaum aliran berhimpun di serambi Gedung markas Mahera. Lalu dengan tegas serta penuh hormat, berkatalah ia:
- Paman-paman sekalian. Kukira pada waktu ini, kita tidak perlu memanjang waktu untuk berbicara berkepanjangan lagi. Paman Tapaksila, apakah masih terdapat benda-benda milik Mahera yang dapat kita selamatkan? - Di luar dugaan kami, Mahera ternyata kaya raya.
semuanya sudah kami kumpulkan. jawab Tapaksila.
- Menilik sejarahnya. sebenarnya harta benda rampasan itu harus kembali kepada Kaum Pasupata. Akan tetapi karena semua kaum aliran ikut mengambil bagian. maka . . .
- Tuanku! -potong Bhiksu Dewayana.
- Kami kira, pada saat ini kita semua sudah manunggal menjadi satu. Mengapa kita meributkan tentang pembagian rejeki? Kami kira, harta rampasan itu akan tepat sekali menjadi biaya perjuangan kita merebut hari depan. -.
- Benar.
Undagada, Getah Banjaran, Hari Sadana dan Tarusbawa menguatkan pendapat Bhiksu Dewayana.
- Aku pun menyokong saran Bhiksu Dewayana.
Bhiksuni Aditi menyatakan pendapatnya.
- Lagipula. kita tidak dirugikan. Sebaliknya, kita sekarang mempunyai modal perjuangan. - Baiklah. Jika demikian, aku mengharapkan paman paman sekalian dan Bhiksuni Aditi berkumpul di Baturaja. Di dalam kota itu. kita mempunyai seorang teman perjuangan yang tepat. ujar Yudapati.
Kemudian dengan singkat, ia memperkenalkan nama Diatri Kama Ratih. Siapa dia dan kapan ia bertemu dengan gadis itu lalu cita-citanya hendak menggalang kekuatan nyata untuk merebut kekuasaan kerajaan dari tangan musuh.
- Kalau begitu. apa lagi yang kita tunggu? Kita semua sudah siap berangkat. -ujar Tepus Rumput.
Meskipun banyak di antara para anggauta laskar yang menderita luka parah, namun sisanya dapat bekerja dengan cepat dan rapi. Lewat tengah hari mereka sudah mulai meninggalkan kepundan Mahera. Yang luka parah diusung dengan tandu. Mereka tentu saja tidak melalui jembatan penghubung istimewa yang pernah dilalui Yudapati. Tetapi jalan pegunungan yang jauh lebih mudah
dan aman.
Kini tinggal Yudapati. Tepus Rumput dan Sekar Tanjung. Setelah mengantarkan laskar para pendekar turun gunung. Yudapati membalikkan tubuhnya. Suasana dataran ketinggian gunung itu sunyi-senyap. Berbagai kesan berkecamuk di dalam hatinya. Tak terasa ia menghela nafas.
- Kakak! ujarnya kepada Tepus Rumput.
- Bawalah bhiksuni Sekar Tanjung menyingkir agak jauh.
- Mengapa? Sekar Tanjung tak mengerti.
Tepus Rumput tertawa lebar. Sahutnya:
- Bhiksuni! Tuanku Yudapati hendak menghapus kenangan buruk dari persada bumi.
- Menghapus bagaimana? Sekar Tanjung tambah tidak mengerti.
- Mari kita saksikan saja dari jauh.
- Oh, paman maksudkan kakak Yudapati akan menghancurkan. kota di atas kepundan ini dengan kecapi mautuya?
- Benar. Tepus Rumput mengangguk.
Sekar Tanjung kemarin menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, betapa dahsyat llmu Kecapi Yudapati. Maka ia menurut ajakan Tepus Rumput yang membawanya menjauh. Tiba di tempat yang dikehendaki Tepus Rumput, segera ia menyumbat kedua telinganya dan bertengkurap. Tepus Rumput yang biasanya berkepala besar, kali ini tidak berani semberono. Ia pun menutup kedua telinganya. Hanya saja, ia masih berdiri dengan gagahnya ingin menyaksikan apa yang bakal terjadi.
Dalam pada itu, Yudapati telah menaruhkan kecapi mautnya di atas tanah. Segera ia duduk bersimpuh dan menghirup nafas untuk menghimpun tenaga sakti Tantrayana tingkat tinggi. Kemudian mulailah ia menggesek
nada istimewanya tingkat sembilan sampai akhir. Akibatnya hebat luar biasa. Seketika itu juga terjadi suatu gempa bumi. Tanah kepundan bergeser. Tebingnya runtuh dan menutup seluruh bangunan yang terdapat di atas dataran kepundan. Debu mengepul tinggi di awan disertai suara gemuruh yang menggeridikkan bulu roma. Dan sirnalah kota iblis itu untuk selama-lamanya.
Syukur baik Sekar Tanjung maupun Tepus Rumput menyumbat kedua telinganya sehingga tidak terpengaruh oleh bunyi nada llmu Pemutus Jiwa yang dahsyat luar biasa .Akan tetapi penglihatan mereka dapat menyaksikan kedahsyatan itu dengan tegas. Betapapun juga, mereka merasa ngeri. Pikir Tepus Rumput di dalam hati:
- Kalau begitu, dengan kecapi ini Yudapati dapat merebut tahta kerajaan sangat mudah. Tetapi, kemudian timbul pertimbangannya:
- Akan tetapi Yudapati tentunya tidak dapat memilih sasaran yang dikehendaki. Bila dibiarkan tanpa pengamatan, dunia akan kiamat. Orang-orang yang tidak berdosa ikut menjadi korban.
Selagi berpikir demikian. Yudapati sudah berhenti menggesek kecapinya. Tepus Rumput memberanikan diri untuk menghampiri. Ternyata pemuda itu duduk dengan terlongong-longong merenungi kota iblis yang hilang itu. Segera ia membesarkan hati pemuda itu. Katanya:
- Tuanku! Sungguh! . . . di dunia ini tiada keduanya yang memiliki kesaktian seperti tuanku. Maka pantaslah tuanku menjadi pengganti raja Sriwijaya.
Mendengar kata-kata Tepus Rumput, Yudapati terkejut. Dengan wajah berubah ia menyahut:
- Kau pikir aku akan merebut tahta kerajaan Sriwijaya dengan cara ini? 0, tidak! Aku justru ingin membuang kecapinya.
- Eh, jangan! -buru buru Tepus Rumput menungkas sambil membuang penyumbat telinganya.
- Taruh kata Matiku tidak akan menggunakan ilmu ini. akan tetapi ilmu itu sendiri tidak boleh hilang begitu saja. Siapa tahu. barangkali di kemudian hari ada seseorang yang berjodoh memiliki ilmu kecapi milik tuanku. -Yudapati menghela nafas. Ia berenung-renung beberapa saat lamanya. Lalu berkata mengalihkan pembicaraan:
- Kakak! Benar-benar Yoni Nandini tidak bermukim di sekitar kepundan. Tetapi mengapa guru berpesan begitu? Tepus Rumput adalah seorang pendekar angkatan tua yang berpengalaman. Dalam menghadapi suatu pertanyaan yang sulit untuk bisa segera dijawab, masih sanggup ia menyahut:
- Guru tuanku adalah seorang Maha Pendekar yang tentunya sangat luas penglihatannya. Sebaliknya, kita ini ibarat seorang anak yang lagi belajar berjalan. Untuk sementara, seyogyanya kita biarkan saja dulu tidak terjawab. Pada suatu kali, kita akan menemukan jawabannya yang tepat. ' '
- Benar.
Yudapati setuju. Dengan cekatan ia membongkar kecapinya dan disimpannya di balik bajunya sambil berkata:
- Sebenarnya, ilmu kecapi ini tidak manusiawi dan terlalu berbahaya. Bila jatuh di tangan orang yang tidak tepat, dunia ini bisa kalang-kabut. Sebaliknya. bila kubuang dengan begitu saja. sejarah kemanusiaan yang menderita rugi. Maknanya kita membuang anugerah Hyang Widdhi bagi ummatnya. Sebab sekiranya bukan oleh tangan Hyang Widdhi bagi ummatnya. Sebab sekiranya bukan -oleh tangan Hyang Widdhi. masakan manusia yang terdiri dari darah daging ini dapat menciptakan ilmu begini ajaib? Ah, paman Ganesa.
Balitung dan Anggira benar benar pantas disebut tiga dewa.
- Benar. Namun tuanku masih kurang seorang. -sahut Tepus Rumput.
- Siapa? .Yudapati heran.
- Tuanku sendiri. jawab Tepus Rumput dengan cepat.
- Sebab, apabila tuanku tidak memiliki himpunan tenaga sakti yang diperlukan, Ilmu Pemutus Jiwa itu tidak akan pernah ada. Walaupun ada hanya merupakan susunan nada-nada tertentu yang tiada maknanya. .
Diingatkan tentang hal itu, berkelebatlah sesosok bayangan di depan kelopak mata Yudapati. Itulah bayangan gurunya yang pertama. Sang Punta Dewakarma, yang dulu pernah malang-melintang sebagai iblis tak terkalahkan. Dan melihat bayangan Sang Punta Dewakarma, teringat pulalah ia kepada Resi Brahmantara yang soleh dan bijaksana. Terngiang-ngiang dalam pendengarannya, bahwa Ilmu Tantra yang dimiliki itu sesungguhnya dari kakek-gurunya: Resi Gunadewa yang bermukim di pulau Jawa.
- Ih! Jawa . . .! ia berkomat-kamit di dalam hati.
Mendadak saja perasaan rindu kepada kampung halaman menghantui segenap perasaannya. Terus saja, bangkitlah semangatnya hendak menyelesaikan tugasnya secepat mungkin.
- Mari kita berangkat! katanya.
- Di mana bhiksuni Sekar Tanjung?
- Aku berada di sini. sahut Sekar Tanjung dengan suara yang halus dan merdu.
Sore hari itu. bhiksuni Sekar Tanjung nampak agung mengesankan. Seolah bidadari tersesat di atas bumi, wajahnya molek luar biasa. Itulah wajah seorang dara berumur tujuh belasan tahun yang sedang mekar bagaikan kuncup
bunga. Apalagi didukung oleh pandang matanya yang cemerlang dan senyum keramahannya. sehingga tidak berlebih-lebihan bila disebutkan sebagai makhluk Tuhan yang memiliki anugerah istimewa.
Tepus Rumput termasuk golongan seorang kakek. Meskipun demikian, semangatnya masih muda. Karena itu masih saja ia sempat terlongoh sejenak. Tercetuslah pengucapan naluriahnya di dalam hati:
- Bhiksuni ini luar biasa cantiknya. Sebenarnya dia berjodoh dengan Yudapati. Sungguh tepat dan serasi. Yang perempuan jelita. Yang laki-laki gagah perkasa. Sayang. dia seorang bhiksuni. Tetapi siapa tahu? Memperoleh gagasan demikian, timbullah pikirannya hendak memberi kesempatan bergaul lebih leluasa terhadap muda-mudi itu. Begitu tiba di suatu lembah ia berkata kepada Yudapati:
- Tuanku, biarlah aku mendahului berjalan. Sesungguhnya, belum pernah aku melintasi jalan panjang ini. Aku berjanji akan memberi tanda sandi, bila melihat sesuatu atau bila aku akan mengambil jalan lain. Tepus Rumput seorang pendekar yang berpengalaman dan cerdik. Ia tidak memberi kesempatan kepada Yudapati untuk menanggapi ucapannya. Terus saja ia menerangkan arti beberapa tanda sandi Kaum Pasupata. Setelah itu, tanpa menunggu ijin Yudapati ia lari mendahului. Sebentar saja, tubuhnya lenyap dari penglihatan.
- Kakak! -ujar bhiksuni Sekar Tanjung.
- Menilik kecekatan dan kecepatannya, ilmu kepandaiannya mungkin melebihi Palata.
Yudapati mengangguk menyetujui. Sahutnya:
- Belum pernah aku mengadu kepandaian dengan dia. Akan tetapi aku pernah menyaksikan caranya bertempur. Meskipun dikerubut puluhan orang, sama sekali ia tidak gentar hanya saja bila dibandingkan dengan Palata. dia harus mengaku kalah.
- Kalah? Sekar Tanjung tercengang.
- Kalah dalam hal mencopet dan. . .Sebenarnya Yudapati akan berkata, kalah dalam hal mencopot dan menawan perempuan. Akan tetapi kata-katanya terakhir segera ditelannya.


Jalan Simpang Diatas Bukit Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sekar Tanjung tertawa geli. Pandang matanya cerah, karena hatinya lega. Memang dalam hal copet-mencopet. Palata satu-satunya ahli yang pernah dikenalnya. Tiba-tiba teringatlah dia akan pengalamannya dulu tatkala kena tawan penjahat itu. Seketika itu juga. wajahnya memerah dan hatinya menjadi kecut ngeri. Maka cepat-cepat ia mengalihkan pembicaraan. Katanya:
- Kakak, Maha Buddha ternyata adil. Bagaimana kakak bisa selamat dari...dari...!
- Kau maksudkan sewaktu' aku jatuh ke dalam jurang? - potong Yudapati.
- He-e.
- Bukankah karena jasa ayah-bundamu?
Sekar Tanjung menundukkan kepalanya. Lalu berkata seakan-akan kepada dirinya:
- Sebenarnya aku harus memanggil kakak dengan tuanku.
- Tuanku? ulang Yudapati cepat.
- Tak usah. Bukankah perkenalan kita terjadi jauh sebelum kita bertemu kembali di atas gunung ini? - Benar. Tetapi menurut peraturan . . .
- Peraturan itu berlaku bagi yang lain. Tetapi bagimu tidak. - potong Yudapati.
- Juga tidak berlaku bagi orang tuaku. kakekku dan kelak . .. tentunya istriku. Aku bukan seorang raja yang kemaruk kehoannatan diri, lebih akrab rasanya, bila engkau memanggilku dengan kakak
seperti dulu.
Mendengar Yudapati mengucapkan istilah isteri, entah apa sebabnya tiba-tiba hati Sekar Tanjung tergetar lembut. Seluruh tubuhnya terasa meremang. Dan perasaannya menjadi bahagia. Akan tetapi pada detik itu. teringatlah ia akan kedudukannya.
Bukankah dirinya seorang bhiksuni yang tidak boleh membiarkan pikirannya menjadi liar?
Maka cepat-cepat ia menguasai diri.
Demikianlah muda-mudi itu turun gunung dengan membawa sikap dan perasaan hatinya masing-masing. Terhadap Sekar Tanjung., Yudapati menganggapnya sebagai adik sendiri. Kecuali usia Sekar Tanjung terpaut jauh, bhiksuni cantik itu seagama dan sealiran. Ia menghormati kaum pendeta semenjak kanak-kanak seperti terhadap gurunya. Itulah sebabnya tak pernah ia kemasukan pikiran yang bukan-bukan. Memang dia bukan seorang pemuda romantis yang memiliki daya khayal. Dalam dirinya mengalir darah militer yang kaku, sederhana dan tulus. Sebaliknya, tidak demikianlah halnya dengan Sekar Tanjung. Bhiksuni dara itu merasa diri berhutang jiwa dan tertarik oleh keluhuran budi Yudapati. Tetapi jubah yang dikenakan itu, selalu saja menghalangi pikiran yang berkecamuk dalam hatinya.
Sebentar saja, matahari sudah tenggelam di barat. Angkasa menjadi kelam. Bintang-bintang mulai bergemerlapan di tengah alam yang maha perkasa. Angin pegunungan yang sejuk kini terasa dingin menyentuh tubuh. Tak jauh di bawah gundukan bukit. terdapat sebuah sungai yang melintang bagaikan naga mati. Suara arusnya terdengar gemerisik menumbuk batu batu yang malang melintang. Di tepi sungai itu. Yudapati berhenti. Berkata kepada Sekar Tanjung:
- Adik! Airnya cukup bersih. Di sini tiada Palata.
Aku akan menjagamu.
Hati Sekar Tanjung seperti tergelitik. Sesungguhnya semenjak tadi ia berharap bertemu dengan anak sungai. Kecuali dapat beristirahat, tentunya Yudapati akan mengijinkan dirinya untuk membersihkan badan. Sekarang, harapannya terkabul. Bahkan pemuda itu cepat sekali menebak keadaan hatinya, sebelum mulutnya sempat minta ijin. Karena itu, segera ia menjauhkan diri mencari tebing yang berbelok. Di balik tebing ini, ia akan dapat menyembunyikan tubuhnya yang mulus dari penglihatan pemuda yang dikaguminya itu.
Ia merendam diri di tengah sungai Sambil menatap bintang-bintang yang bergetar lembut.
- Ah, bintang itu!
Ia bergetar lembut seperti keadaan hatiku. cerita orang, bintang-bintang pandai menjadi saksi perasaan seorang gadis. Dan memperoleh pikiran demikian ia berkomat kamit:
- Hai bintang. coba kabarkan padaku apa sebab hatiku selalu saja bergetar? Pemuda itu berberewok tipis, namun entah apa sebabnya, aku senang melihatnya . . .
Selagi berkomat-kamit demikian, tiba-tiba 5 buah bintang terlepas dari peredarannya dan turun deras menyusup kekelaman udara dengan ekornya yang bercahaya panjang. Jantungnya berdebar-debar. Berkata berbisik:
- Hai! Kata ayunda Saraswati, siapa yang melihat bintang runtuh dapat menyampaikan permintaan. Dan permintaannya akan terkabul.
Oleh ingatan itu, dengan penuh semangat ia mengawaskan bintang-bintang lainnya.
Semoga jatuh!
Semoga jatuh!
Tetapi kalau jatuh, aku memohon apa?
Sebelum memperoleh keputusan, sebuah bintang jatuh lagi dari peredarannya. Cepat-cepat ia berkomat-kamit:
- Bintang . . . oh bintang! Aku mohon semoga kakak
Yudapati . . . -Tetapi sebelum ia menyelesaikan kalimat permohonannya. bintang itu sudah menghilang dan lenyap dari penglihatan. Hatinya berdebar-debar penuh kecewa.
Apakah memang Yudapati bukan jodohnya?
Ih! Mengapa hatinya penuh dengan pikiran kotor ini?
Segera ia meruntuhkan pandangnya ke permukaan air. Lalu berenang menepi dan tidak sudi lagi melihat angkasa luas. Seperti takut terbongkar rahasia hatinya, ia mengenakan pakaiannya dengan tergesa-gesa. Akan tetapi wanita tetap wanita juga. Dalam keadaan betapapun, masih saja ingat merapikan diri. Meskipun setengah acak acakan, ia menyisir rambutnya yang awut-awutan terurai panjang. Setelah sejenak mematut diri, barulah ia beranjak dari tempatnya.
Ia melihat Yudapati duduk bersandar pada sebatang pohon. Pakaiannya masih rapi.
Apakah pemuda itu tidak mandi?
- Hai. jangan-jangan ia mengintip dirinya dari balik tirai malam. Ah, tak mungkin! Yudapati seorang pemuda yang sopan. ia berdebat dengan dirinya sendiri dalam lubuk hatinya.
Sekar Tanjung seorang dara yang lembut hati dan perasa. Segala sesuatunya mudah menyentuh keadaan hati. Apalagi pada dewasa itu, hubungan antara pria dan wanita memperoleh perhatian utama bagi kaumnya. Bahkan merupakan pantangan yang harus diingat-ingat. Maka wajarlah bila ia merasa diintip sesuatu selagi mandi bertelanjang bulat di tengah alam terbuka, walaupun di waktu malam hari.
Yudapati selamanya pandai membawa diri. Tidak menunggu teguran Sekar Tanjung, ia mendahului berkata sambil berdiri:
- Air pegunungan di mana saja. menyegarkan badan dan perasaan. Rasa lelah seolah olah jadi larut.
Sekar Tanjung mengangguk. Menyahut:
- Apakah kakak mandi juga?
- Aku? Ah. belum perlu. Aku hanya membasuh muka. Yudapati tertawa. Sebenarnya. sebentar tadi ia mandi juga. Hanya saja demi menghindarkan terjadinya masalah yang tidak diinginkan, ia mengaku membasuh muka saja.
Mandi di sungai memang mempunyai tatasantun sendiri. Apalagi bila yang mandi seorang wanita dan pria. Bila yang mandi di hulu seorang laki-laki, berarti mengotori yang berada di hilir. Demikian pulalah sebaliknya. Sekar Tanjung tadi berada di hulu. Yudapati berada di hilir. Sebenarnya ia sendiri tidak mempersoalkan meskipun kedudukannya kini sangat tinggi di mata kaum pejuang. Ia sudah menjadi Pemimpin Agung segenap laskar pergerakan. Sebaliknya Sekar Tanjung seorang gadis yang lembut hati dan perasa. Ditambah lagi, ia seorang bhiksuni yang suci. Tentunya akan merasa memberi larutan badannya kepada pemimpinnya. Benar saja dugaan Yudapati. Wajah Sekar Tanjung berubah lembut. Minta keterangan dengan perasaan cemas:
- Di mana?
- Ah, di sana!
Yudapati menuding ke arah jauh.
- Di tepi sungai terdapat semacam sumber air. Airnya jemih bukan main. Aku berkumur dan membasuh muka. Perasaanku jadi segar bugar.
Tentu saja Yudapati membohong, akan tetapi katakatanya menghibur hati Sekar Tanjung. Ia tidak tegang lagi. Bahkan memperdengarkan suara tertawanya yang khas. Suara tertawa keibuan, kemesraan. kelegaan dan penuh terima kasih.
- Dulu, Palata menggangguku. Selagi aku berkaca di permukaan air, tiba-tiba ia datang menawanku. ujarnya.
- Sekarang Palata tidak lagi berani mengganggumu.
- Karena terikat janji dengan kakak. kan?
- Bukan.
- Bukan bagaimana?
Sekar Tanjung 'minta keterangan.
- Karena ayahmu.
- Apa? . . ayah . . . ayahku?
Sekar Tanjung tak mengerti.
Yudapati tidak bersedia menerangkan, karena akan membongkar rahasia hati gadis itu. Akan tetapi Sekar Tanjung mendesaknya. Katanya menegas:
- Mengapa ayahku? Yudapati menimbang-nimbang beberapa saat lamanya. Lalu memutuskan:
- Mari kita melanjutkan perjalanan sambil berbicara. Ayahmu menangkap Palata dan disuruh menemui diriku.
- Oh! Sekar Tanjung terperanjat.
- Aku hanya mengadukan perbuatan Palata yang tidak senonoh terhadapku. Rupanya ayah bertindak terlalu jauh. -ujar Sekar Tanjung dengan suara menyesal.
Sambil melanjutkan perjalanan. Yudapati kemudian menceritakan kisah pertemuannya dengan Palata. Hanya saja ia mengubah maksud Palata menemui dirinya. Ia menerangkan, bahwa ayah Sekar Tanjung menghendaki agar Palata bertempur melawan dirinya sampai mati.
- Tentunya, ayahmu yakin bahwa aku akan dapat membunuh Palata. Akan tetapi aku tidak membunuhnya. Kecuali kepandaianku waktu itu masih kalah jauh bila dibandingkan dengan kepandaian jahanam Palata, lukaku belum sembuh. Untung ayahmu melarangnya. sehingga tidak sanggup membunuh diriku.
- Ayah memang orang aneh. Tetapi apa sebab Palata sudi tunduk pada perintah ayah?
- Sebab bila membunuh diriku, ayahmu tidak akan memberinya obat penawarnya. Rupanya ayahmu memaksa Palata menelan racun yang mengancam jiwanya.
- Ih. ayah!
Sekar Tanjung menyesali.
- Palau memang nakal. Akan tetapi ia seorang kasatria. Buktinya hanya terikat janji denganmu, ia tidak menggangguku lagi. Yudapati tertawa lebar. Sahutnya:
- Adik, engkau seorang bhiksuni suci yang berhati murni dan sederhana. Palata memang berwatak satria, akan tetapi ia lebih mencintai dirinya sendiri daripada segala macam tata-tertib dunia. Kalau saja tidak mencintai diri sendiri, mustahil ia membiarkan aku tetap hidup. Dia termasuk golongan manusia yang mau menang sendiri. Sekar Tanjung memanggut. Tatkala hendak minta kejelasan lagi, Yudapati nampak mengamat-amati sesuatu yang tertancap pada sebatang pohon. Sekonyong-konyong berkata:
- Adik, mari kita merebut waktu!
Kakak Tepus Rumput mengabarkan, bahwa di depan terdapat orang yang kita cari. Hanya saja tidak jelas, siapa orang itu. Mari!
Tanpa menunggu persetujuan Sekar Tanjung, Yudapati menyambar tangannya dan dibawanya lari cepat. Memang, dulu ia pernah menggendong bhiksuni itu dari dalam goa sewaktu direcoki Palata. Bahkan ia pernah kawin semu di depan Palata. Karena itu kalau hanya memegang tangan, Yudapati merasa tidak melanggar pantangan seorang bhiksuni. Apalagi ia tidak mempunyai tujuan yang bukan-bukan.
Dengan mengerahkan tenaga sedikit, Yudapati melesat bagaikan terbang. Sekar Tanjung tahu, bahwa ilmu kepandaian Yudapati jauh berada di atas gurunya
sendiri. meskipun demikian tak pernah terbayang dalam pikirannya, bahwa baik kecepatan maupun tenaganya begitu hebat. Ia hanya mampu mengiringkan tiga langkah saja. Setelah itu, terpaksa ia setengah menggelendot. Kemudian menggelendot benar-benar. Namun Yudapati sama sekali tidak terganggu. Bahkan larinya makin lama makin cepat bagaikan melesatnya bayangan iblis.
Beberapa waktu kemudian. Yudapati berhenti dengan mendadak. Tangan kirinya menuding ke suatu arah. Sekar Tanjung berpaling ke arah telunjuknya dan melihat bayangan seseorang sedang berlari-lari. Beberapa saat lamanya, ia mengamati. Tiba-tiba tengkuknya meremang. Tak dikehendaki sendiri. ia berseru tertahan:
- Palata . . .! - Benar. -'
- Mengapa dia berada di sini? Kakak, kejarlah dia!
Yudapati menyenak nafas. Menyahut:
- Untuk sementara. janganlah kita ganggu!
Sekar Tanjung tidak membantah. Ia percaya, Yudapati pasti mempunyai alasan yang tepat. Maka ia membiarkan dirinya dibawa terbang lagi seperti sebentar tadi. Kirakira seperempat jam lamanya, Yudapati membawanya masuk ke halaman sebuah biara rusak. Biara itu berada di atas bukit kecil. Tiada sebuah bangunan lainnya, sehingga jadi terpencil. Dan suasana sekitarnya sunyi senyap bagaikan kuburan angker.
- Adik! Dapatkah engkau menahan diri bila melihat suatu peristiwa? tiba-tiba Yudapati berkata setengah berbisik.
- Peristiwa apa?
Sekar Tanjung tidak mengerti.
- Palata mempunyai hubungan erat dengan ayahmu. Mungkin sekali ayahmu berada di sekitar tempat ini. Seumpama Palata membokong ayahmu dari kegelapan,
apakah yang akan kau lakukan? Dapatkah engkau berdiam diri sebagai penonton? - Apakah alasan Palata hendak membunuh ayah?
- Dia tunduk dan takluk kepada semua perintah ayahmu karena terpaksa. Bagaimana kalau kakak Tepus Rumput membebaskannya dari belenggu racun maut? Sebab. kakak Tepus Rumput bersahabat erat dengan tiga dewa. Segala jenis racun di dunia bukan merupakan masalah bagi mereka bertiga. Setelah terbebas, tentunya Palata akan membalas dendam dengan cara apapun. Sekar Tanjung menimbang-nimbang sejenak. Lalu mengangguk. Yudapati gembira. Serunya:
- Bagus! Sekarang, marilah kita bersembunyi?! - Bersembunyi?
Sekar Tanjung heran.
- Ya. bersembunyi untuk makan.
Yudapati memberi keterangan.
-Semuanya sudah disediakan kakak Tepus Rumput di dalam biara.
- Ah, kukira kakak benar benar akan bersembunyi.
Sekar Tanjung tertawa.
- Di dunia ini, siapakah yang dapat melawan kesaktian kakak? Kurasa, kakak pun kebal dari segala jenis racun.
Yudapati tertawa lebar. Ujarnya:
- Tetapi apa jeleknya kita berhati-hati? Waktu itu, bulan mulai tersembul penuh di udara. Alam yang sebentar tadi kelam, jadi cerah. Penglihatan di atas persada bumi cukup cerah. Bagi orang-orang yang berkepandaian tinggi tiada bedanya seperti alam ria di waktu menjelang petang hari. Semuanya nampak jelas dan tidak terhalang.
Selagi mereka berdua bergerak hendak melangkahkan kaki, mereka melihat sesosok bayangan muncul dari biara rusak itu. Cepat luar biasa. Yudapati membawa Sekar Tanjung bersembunyi di balik sebatang pohon.
Dengan berbisik Yudapati berkata:
- Adik, kau kenal siapa dia? Sekar Tanjung mengamati. Orang itu mengenakan baju hitam. Matanya celingukan seperti pencuri. Lalu berjalan berjingkit-jingkit menghampiri sebatang hias yang tumbuh di depan biara. Ia menggurat suatu tanda pada batang pohon itu. Kemudian melangkah dengan mulut berkomat kamit. Jelas sekali dia lagi menghitung langkahnya. Setelah genap sepuluh langkah, ia berjongkok dan menggali tanah dengan sebatang golok. Tadinya, Sekar Tanjung mengira Tepus Rumput. Tetapi setelah melihat golok, segera ia mengenai siapa dia. Orang itu, tidak lain adalah si jahanam Palata yang kini mengenakan pakaian hitam.
- Dia mau membuat apa?
Sekar Tanjung minta pendapat Yudapati.
- Kita tunggu saja. bisik Yudapati.
- Pendengaran Palata sangat tajam. Karena itu jangan sampai kita membuat dia terperanjat . . . Palata bekerja seorang diri. Setelah menggali lubang sekian lamanya, ia bangkit menyusut keringatnya. Rupanya ia sudah cukup puas. Sekali lagi ia membagi pandang ke sekitarnya. Merasa aman, ia mengeluarkan sebuah benda dari dalam sakunya. Itulah sebuah benda yang bentuknya mengingatkan Yudapati kepada sesuatu. Ternyata dugaannya benar.
- Kotak pusaka. tak terasa terloncat ucapannya dengan berbisik.
- Apa itu?
Sekar Tanjung minta keterangan.
- Nanti saja kuterangkan. Yudapati jadi menebak-nebak akan tingkah laku Palata. Palata memang seorang jahanam yang licin. Gerak geriknya sukar diduga. ia tahu dengan pasti. bahwa kotak pusaka berada di tangan Aditya Putera.
Mengapa kini berada di tangan Palata?
Sementara itu, Palata meletakkan kotak pusaka ke dalam liang. Lalu ditanam serata tanah. Setelah itu, ia kembali ke dalam biara. Sekar Tanjung yang masih menunggu keterangan Yudapati berkata:
- Benda itu ditanamnya rapi.
- He-e. Pastilah ada permainan tertentu yang sedang diaturnya. Kita tunggu saja. sahut Yudapati.
- Mengapa tidak kita ambil saja? Lalu kita ganti dengan batu. -ujar Sekar Tanjung.
Yudapati tersenyum geli. Pikirnya di dalam hati:
- Meskipun sudah menjadi bhiksuni. namun umurnya masih muda belia. Betapapun juga masih terbersit sisa kenakalannya masa kanak-kanak. Namun ia pun kejalaran rasa sisa kanak-kanak pula. Tiba-tiba saja hatinya jadi tegar. Sahutya:
- Bagus! Mari kita ganti dengan batu saja. Sekali-kali kita perlu mengetabuinya biar tahu rasa.
Namun selagi hendak beralih dari tempatnya, sekonyong-konyong ia mendengar suara langkah beberapa orang. Dan muncullah tujuh orang berjubah kuning dari bawah tanjakan. Meskipun pada malam hari tetapi oleh cerah bulan warna jubahnya masih terlihat dengan jelas. Yudapati mengenal beberapa orang di antara mereka.
- Hati-hati! Mereka rombongan murid Punta Dewakarma. -bisiknya memperingatkan Sekar Tanjung.
- Apakah mereka orang-orang berbahaya?
Sekar Tanjung menegas.
- Jauh lebih berbahaya daripada Palata. Kita lihat saja! Seperti langkah rombongan majikan. mereka bertujuh mendekati pohon yang berdiri di depan biara. Punta Pramodha yang dulu pernah bentrok melawan Yudanati
di Markas Besar Kaum ArnaWa berpaling ke kanan sambil berkata'
- Guru! Jahanam itu rupanya dapat dipegang kata katanya. Disini terdapat petunjuknya. - Hm. Kalau benar. majulah sepuluh langkah. Tentunya mustika itu dipendamnya di tempat itu. .. terdengar bunyi jawaban seseorang yang tidak menampakkan diri.
Tujuh pendeta berjubah kuning itu kemudian menghampiri pendaman mustika. Dengan berbareng mereka membongkar pendaman itu dan mengeluarkan sebuah kotak yang bergemerlap kena pantulan sinar bulan. Seru Pramodha lagi: .
- Benar! Guru, di sini terdapat kotak yang kita idam idamkan. -! '
- Bagus! Ngawen, coba hitung berapa jumlah butir berliannya! Seorang pendeta berperawakan tipis, maju menerima kotak pusaka yang diangsurkan Punta Pramodha kepadanya. Rupanya dialah yang bernama Ngawen. Lengkapnya Punta Ngawen. Dengan cermat ia menghitung jumlah permata yang menghias kotak pusaka itu. Sebentar kemudian berkata nyaring:
- Semuanya berjumlah sembilan puluh enam butir.
- Bagus! sahut gurunya di balik gerombol belukar dengan suara gembira.
- Tetapi apa sebab sinarnya guram?
Punta Ngawen melaporkan penglihatannya.
Yudapati tersenyum. Ia pun pernah membawa kotak pusaka bermata sembilan puluh enam butir. Permata itu guram. Artinya palsu. Kotak pusaka yang dipendam Palata itu pun palsu. Sedetik itu, ia lantas dapat menebak sembilan bagian akal Palata.
Guru para tujuh pendeta berjubah kuning itu. muncul dari balik persembunyiannya. Begitu muncul. Yudapati segera mengenalnya. Dialah Balada Himawat Supaladewa yang dulu mengaku diri bernama Punta Dewakarma. Rupanya sampai pada malam hari itu, ia masih mengenakan nama demikian.
- Ngawen, coba periksa yang lebih cermat lagi! perintah Balada Himawat Supaladewa.
- Kotaknya memang terbuat dari emas murni. Tetapi butir permatanya ini . . -jawab Punta Ngawen sambil membuka kotak itu.
- Awas! Mundur! perintah Balada.
Sekalian pendeta, kecuali Punta Ngawen, dengan gugup mundur ke belakang. Punta Ngawen sudah terlanjur membuka penutup kotak. Tiba-tiba ia memekik sambil memekik. Sebatang jarum berbisa menyerempet pipi.Meskipun tidak telak. tetapi ia menderita luka terbaret.
Tepat pada saat itu, muncullah tiga orang dari dalam biara. Merekalah Palata, Aditya Putera dan Tepus Rumput. Palata tertawa terbahak-bahak. Berkata dengan suara setengah kecewa:
- Sayang! Sayang! Sebenarnya kami memasang jebakan untuk menangkap Punta Dewakarma palsu. Ah, yang kena hanya kelincinya . . . - Hai Balada! teriak Aditya Putera dengan suaranya yang tenang namun berwibawa.
- Kelincimu sudah kena racun tiga dewa. Dia hanya tahan hidup tiga jam lagi. Kecuali kalau bersedia mohon ampun kepada Pemimpin Agung kita. Sang Punta Dewakarma palsu alias Balada Himawat Supaladewa menggerung bagaikan harimau tertangkap dalam kerangkeng. Makinya:
- Bangsat! Hutang piutang tentu ada perhitungannya. - Hoho . . Aditya Putera tertawa.
- Berkat penjelasan Pemimpin Agung kita dan kesaksian rekan perjuanganku ini. semuanya jadi jelas. Engkau Punta Dewakarma gadungan. Bukankah begitu? - Seribu kali benar. -sahut Tepus Rumput.
- Hai bangsat! Menurut keterangan rekanku ini, kalian ingin memperoleh kotak pusaka harta karun. bukan? Haha . . . rupanya kau pun berangan-angan ingin mengangkat diri menjadi raja. Ataukah engkau begundal raja gadungan yang kini memerintah kerajaan?
Punta Dewakarma alias Balada Himawat Supaladewa berkaok-kaok menyaksikan salah seorang muridnya menderita luka. Apalagi setelah melihat luka baret itu mengeluarkan darah berwarna hitam. Tak usah dijelaskan lagi bahwa warna hitam itu akibat racun jahat. Punta Ngawen yang terkena jarum beracun itu, lantas saja mendeprok sambil memijit-mijit lukanya.
- Bangsat! Sebenarnya siapa kalian?
Balada membentak dengan muka merah padam.
- Siapa yang kau tanyakan? sahut Palata.
- Yang mana saja. Bukankah kalian sekawan bangsat? - Bagus! Ini namanya bangsat bertemu dengan bangsat. - Bajingan! maki Balada.
- Nah, katakan namamu yang benar. Setelah itu, baru kami bertiga memperkenalkan nama. Kalau tidak. maridmu bakal mampus penasaran. - Bukankah engkau sudah menyebut namaku? Balada mau mengalah.
- Bagus!
Aditia Putera menimbrung.
- Mengapa engkau menyematkan nama Punta Dewakarma?
- Sebutkan dulu namamu! Baru kita berbicara. bentak Balada.
Punta Pramodha yang semenjak tadi berdiam diri menyambung:
- Guru! Dialah Ketua Kaum Arnawa. Namanya Aditia Putera.
- Ah, bagus! Dan yang dua itu? -Kalau tidak salah...
Palata tertawa terbahak-bahak memotong kata-kata Pramodha. Ujarnya dengan suara ketus:
- Kami bertiga bawahan Tuanku Yudapati. Namaku Palata. Dan ini rekan Tepus Rumput.
- Hm. siapa Yudapati itu?
Balada heran.
- Bukankah engkau pernah bertemu di markas kaum Amawa? sahut Aditia Putera.
- Kau pernah dibuatnya lari terbirit-birit.
- Ah! Apakah kemenakanku?
Seperti kita ketahui Balada mengaku diri bernama Punta Dewakanna. Yudapati sendiri pernah tertipu. Syukur. Diatri menolong membuka topeng orang licin itu. (baca jilid 4)
Balada sendiri sebenarnya sudah mendengar laporan tentang tingkah-laku Palata yang memalsukan peta harta karun dari laporan Pohan Candra Gunawan. Dialah muridnya yang dipercayai. Pernah Pohan diselundupkan sebagai salah seorang pemimpin Kaum Armawa. Di dalam rumah perguruannya, ia menyematkan nama Punta Ngawen yang kini kebingungan karena pipinya terkena racun berbahaya.
- Pantatmu! maki Palata.
- Semenjak kapan tuanku Yudapati menjadi kemenakanmu?
- Dia sendiri yang menyebut.
Balada tidak mau, mengalah. Lalu dengan wajah merah padam ia menuding Palata. Bentaknya:
- Kau bangsat penipu! Rupanya kau sudah bosan hidup.
- Aku bangsat dan engkau bajingan. Bukankah setali
tiga uang?-ejek Palata.
Balada masih ingat kedudukannya, ia merasa dirinya lebih tinggi derajatnya bila dibandingkan dengan Palata meskipun seorang ahli golok nomor satu. Perintahnya kepada Punta Pramodha:
- Tangkap jahanam cabul itu! Bunuh!
Punta Pramodha melompat maju. Dari dalam sakunya ia mengeluarkan senjata andalannya. Itulah kotak jarum berbisa yang dulu pernah digunakan di Markas Besar Kaum Arnawa. Bentuknya bulat seperti piring. Bila terbuka menjadi sebatang pedang pendek melengkung bagaikan sabit. Akan tetapi di balik alasnya terdapat bor beracun.
Yudapati pernah menyaksikan ilmu kepandaian Punta Pramodha. Biasanya ia mengandalkan kepada pukulan mautnya. Akan tetapi menghadapi Palata, ia sudah menggunakan senjata andalannya. Artinya iapun mengenal ilmu kepandaian Palata yang termashur sebagai seorang ahli golok nomor satu.
Palata sendiri selamanya tidak mengenal gentar. Dengan sebat ia menghunus goloknya. Pada saat itu, tangan kiri Punta Pramodha yang berbahaya menggempur ke kiri. Namun tiba-tiba sabitnya yang istimewa membabat pinggang.
Tetapi Palata benar-benar cekatan. Sama sekali ia tidak mencoba mengelak atau menangkis. Sebaliknya ia malah maju. Sekonyong-konyong kakinya menjejak tanah dan melompat tinggi ke depan melewati penyerangnya. Ia memang terkenal memiliki kecepatan kilat dan dapat meringankan tubuhnya bagaikan seekor kucing. Kedua kaki dan tangannya bekerja sambil berjungkir balik di udara. Namun ia tidak mengetahui keistimewaan senjata Punta Pramodha. Begitu kakinya
turun ke tanah mendadak saja tiga bor beracun yang berwarna merah menyala, menyambar berturut-turut. Itulah senjata andalan Punta Pramoda yang disimpannya rapi di balik alasnya. Bidikannya menutup daerah gerak Palata. Tujuannya sudah jelas. Ia ingin membunuh Palata secepat mungkin oleh rasa mendongkolnya.
Punta Pramodha murid kedua Balada. Kepandaiannya hanya 'terpaut setingkat di bawah Punta Sardula, murid kepala yang menguasai jurus-jurus cengkeraman Sardula yang menggemparkan bumi Sriwijaya. Maka tidak mengherankan, bahwa dalam satu gebrakan saja Palata sudah terancam jiwanya. Jahanam yang pernah menawan Sekar Tanjung merasa buntu jalan. Tetapi sekonyong-konyong terdengarlah suara nyaring tiga kali. Dan ketiga bor beracunnya Punta Pramodha runtuh di atas tanah. Dan pada detik itu, Palata lolos daribahaya maut. .
Yang menolong tidak lain adalah Tepus Rumput. Dengan sebat ia menggunakan senjata rantainya yang pernah merenggut jiwa ratusan orang. Yudapati pernah menyaksikan betapa tinggi kepandaiannya. Meskipun sudah kakek-kakek namun baik kecerdikan maupun ketangkasannya tidak berkurang. Bahkan oleh pengalamannya yang luas, ia dapat membaca keadaan hati musuh dengan cepat. Sekiranya tidak demikian, mustahil ia dapat menolong jiwa Palata pada saatnya yang tepat.
Yudapati yang berada di luar gelanggang, memanggut manggut kecil memuji tindakan Tepus Rumput yang cepat dan tepat. Sebaliknya, Sekar Tanjung adalah satu satunya orang yang berada di biara rusak itu. yang tidak mengerti apa sebab pertempuran terjadi di antara mereka. Ia tadi mendengar Balada diejek Aditia Putera mengunakan nama Punta Dewakarma. Sebagai seorang
bhiksuni yang berhati suci. timbullah pertanyaannya.
Apa perlunya seseorang menggunakan nama orang lain?
Siapakah Punta Dewakarma sebenarnya.
Agaknya Punta Dewakarma seorang tokoh agung yang disegani orang.
Kemudian timbullah masalah perebutan sebuah benda yang disebut mereka sebagai kotak mustika.
Mengapa diperebutkan?
Yudapati pun nampaknya menaruh perhatian pula terhadap kotak itu. Sebenarnya ingin ia memperoleh penjelasan. Akan tetapi keadaannya tidak memungkinkan. Syukur, ia seorang bhiksuni yang sudah biasa berlatih menindas perasaan yang bergolak. Maka dapatlah ia menahan diri.
Yudapati yang sudah mengantongi llmu Pedang Gunadewa tentu saja dapat membaca keadaan hati Sekar Tanjung. Ia jadi perasa. Lalu berkata berbisik kepadanya: ,
- Adik! Pusatkan perhatianmu. Aku akan menjelaskan semuanya dengan ilmu Tantrayana tingkat tinggi. Aku percaya mereka tidak akan dapat ikut mendengarkan. karena masing-masing sedang memusatkan perhatian dengan masalahnya masing-masing.
Sekar Tanjung mengangguk. Dan mulailah Yudapati menerangkan dengan melalui saluran gelombang llmu Tantra tingkat tinggi. Katanya:
Goosebumps - 2000 12 Sari Otak Pendekar Mabuk 079 Penjara Terkutuk Pendekar Bayangan Sukma 13 Sumpit Nyai Loreng

Cari Blog Ini