Ceritasilat Novel Online

Rimba Persilatan Naga Harimau 1

Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An Bagian 1


- 1 -- 2 Kolektor E-Book
Aditya Indra Jaya
Editing oleh D.A.S- 3 Rimba Persilatan Naga dan Harimau
(Lung Hu Wu Lin)
Buku Pertama
oleh:
Chen Wei An- 4 Hak Cipta 2005, Chen Wei An
Hak Cipta dilindungi oleh Undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau keseluruhan isi tanpa seijin penulis
www.kisahsilat.com
Cetakan pertama 2005- 5 didedikasikan untuk istri saya, Hwee Ling- 6 Daftar Isi
A New Story for A New Generation ................................. 7
Latar Belakang Sejarah ..................................................... 9
1. Tendangan Kaki Menggunting .................................... 17
2. Jenderal Empat Gerbang ............................................. 39
3. Pertemuan Kekasih dan Pendekar ............................... 66
4. Kecantikan Empat Musim......................................... 105
5. Ada Pisau Dalam Senyuman ..................................... 146
6. Partai Naga Langit Tanpa Tandingan ........................ 170
7. Pahlawan Tanpa Pedang............................................ 212
8. Burung Hong Terbang ke Langit............................... 261
9. Kedukaan .................................................................. 299
10. Serigala Putih dari Tong Liao.................................. 340
11. Telapak Pasir Besi................................................... 395
CARA PEMESANAN .................................................. 441
Mengenai Penulis.......................................................... 443- 7 A New Story for A New Generation
aya mengucapkan terima kasih atas perhatian para
pembaca yang telah menamatkan buku pertama dari
serial Lung Hu Wu Lin ini. Buku kedua direncanakan akan
terbit sekitar Mei 2005. Saya sebagai penulis menyadari
akan sulitnya memenuhi semua kerinduan pembaca akan
cerita silat bersambung yang bagus, yang sudah lama
terhenti sejak almarhum Kho Ping Hoo meninggal tahun
1994. Saya juga menyadari bahwa saya mempunyai gaya
cerita dan penuturan yang berbeda dengan beliau, yang
mungkin masih asing bagi kalangan pecinta cerita silat.
Tantangan pertama saya dalam menulis cerita silat
adalah bagaimana menyuguhkan cerita silat yang benarbenar baru bagi pembaca, namun dengan tidak mengubah
tatanan cerita silat yang telah ada yang dasarnya telah
diletakkan dengan baik sekali oleh para penulis sebelumnya.
S- 8 Semua partai persilatan, jurus-jurus serta perkiraan waktu
sejarahnya benar-benar telah dihapal luar kepala oleh para
pecinta cerita silat. Saya merasa tertantang untuk membuat
sebuah cerita silat yang benar-benar baru dalam segi cerita.
Masalah kedua adalah mengenai ejaan. Seperti
diketahui bahwa pembaca silat di Indonesia telah terbiasa
dengan dialek Hokkian sedangkan cerita silat sebenarnya
menggunakan ejaan Hua Yu yang merupakan ejaan resmi.
Saya menuliskan nama-nama jurus, partai dan tokoh-tokoh
dengan menggunakan ejaan Hua Yu sedangkan penulisan
nya disesuaikan dengan cara pengucapan dalam bahasa
Indonesia. Ini saya lakukan untuk menghindari kesalahan
mengeja dikarenakan tulisan tidak sama dengan ucapan.
Cara penulisan bahasa Mandarin dalam abjad latin menurut
Wade-Giles yang resmi dipakai secara internasional sering
kali susah untuk dibaca dalam bahasa Indonesia. Contohnya
tokoh Jien Wei Cen jika ditulis dalam abjad Wade-Giles
menjadi Chien Wei Zhen atau Shi Chang Sing menjadi Xu
Zhang Xin yang tentu saja akan sulit dibaca dalam bahasa
Indonesia. Semoga para pembaca dapat maklum akan cara
penulisan yang saya pakai ini.
Akhir kata saya ucapkan banyak terimakasih, saran dan
kritik dapat langsung dialamatkan ke www.kisahsilat.com.
Jakarta, Januari 2005- 9 Latar Belakang Sejarah
inasti Tang (618-907) merupakan salah satu dinasti
yang dianggap paling besar bahkan melebihi
kehebatan dinasti Han dalam aspek perkembangan
peradaban. Wilayah kekuasaannya jauh lebih luas dari pada
semua dinasti yang ada sebelumnya. Perdagangan dengan
India dan Timur Tengah juga membuat munculnya banyak
kreativitas di pelbagai bidang. Budhisme yang berasal dari
India dan masuk pada abad pertama ke China, amat
berkembang dan kemudian menjadi bagian tak terpisahkan
dari tradisi China berawal pada dinasti Tang. Cetakan balok
juga ditemukan pada jaman dinasti Tang, membuat banyak
buku menjadi dapat dicetak dan dibaca khalayak ramai.
Dinasti Tang adalah dinasti kejayaan karya tulis dan seni.
Sistem pemerintahan yang didukung oleh golongan
terpelajar dilakukan mulai jaman dinasti Tang, di mana
seleksi dilakukan secara terbuka dan luas bagi semua
golongan untuk dapat menjadi pegawai pemerintah dan
dilakukan tiap tahun di ibukota. Cara ini dilakukan untuk
menarik yang bakat bakat terbaik menjadi pegawai
pemerintahan. Tapi mungkin yang menjadi pertimbangan
penguasa pada jaman itu adalah bila pemerintahan terlalu
bergantung pada kalangan bangsawan dan feodal yang
berkuasa maka akan menimbulkan ketidakstabilan
kekuasaan kaisar sehingga dibuat suatu sistem karir untuk
pegawai kerajaan yang tidak mempunyai wilayah kekuasaan
D- 10 atau daerah tertentu. Sistem ini terbukti berhasil dan dipakai
sampai berakhirnya dinasti Qing pada 1911.
Pada pertengahan abad kedelapan, kekuasaan dinasti
Tang melemah karena kacaunya ekonomi dan kalah perang
dari bangsa Arab di Talas, Asia Tengah pada tahun 751,
yang juga menandakan awal melemahnya kekuatan militer
China untuk hampir lima abad berikutnya. Kaisar yang tidak
cakap, intrik perebutan kekuasaan dan banyaknya
pemberontakan melemahkan kekaisaran Tang sehingga
memungkinkan suku suku dari utara untuk masuk dan
menghancurkan dinasti ini pada tahun 907. Lima puluh
tahun berikutnya China terpecah dalam lima dinasti utara
dan sepuluh kerajaan selatan.
Berikut adalah urutan nama kaisar dinasti Tang secara
lengkap berikut tahun naik tahta :
Gao Zu (LiYuan) 618
Tai Zong 627
Gao Zong 650
Zhong Zong 684
Rui Zong 684
Wu Hou (Wu Zhao) 684 dan pada tahun 690 menjadi
permaisuri Wu Ze Tian mendirikan dinasti Zhou dan
berkuasa secara tiran sampai tahun 705- 11 Zhong Zong (Li Xian) 705
Shang Di 710
Rui Di 710
Xuan Di 712
Su Zong 756
Dai Zong 762
De Zong 780
Shun Zong 805
Xian Zong 806
Mu Zong 821
Jing Zong 825
Wen Zong 826
Wu Zong 841
Xuan Zong 847
Yi Zong 859
Xi Zong 874
Zhao Zong 889
Ai Zong 904
Pendiri Dinasti Tang - Li Yuan- 12 -- 13 Legenda Wu Ze Tian
ermaisuri Wu Ze Tian (622-705) adalah salah satu
tokoh kontroversial dalam sejarah dinasti-dinasti
China. Di satu sisi banyak yang mengatakan Wu Ze
Tian sebagai seorang wanita kejam yang tidak bermoral dan
merupakan lembaran hitam dalam sejarah dinasti Tang
namun ada juga pendapat yang mengatakan bahwa dia
adalah seorang negarawan yang cakap dan handal. Kisah
Wu Ze Han juga banyak diwarnai cerita mitos, seperti ketika
Yuan Tian Gang(peramal langit jaman itu) meramalkannya
akan menjadi penguasa kekaisaran ketika dia masih berusia
setahun dan penemuan batu "Mandat Langit" di tepian
sungai Luo mengenai turunnya seorang dewi untuk
memerintah kekaisaran. Semua cerita ini membuat legenda
P- 14 Wu Ze Tian sebagai salah satu legenda paling terkenal
dalam sejarah China.
Wu Ze Tian sendiri memang boleh dikatakan seorang
wanita yang jauh mendahului jaman. Dia menginginkan
persamaan hak antara pria dan wanita hampir dalam segala
hal, termasuk mempunyai banyak selir laki-laki, yang mana
pada jaman dulu tindakan seperti itu dianggap menghina
langit dan aturan alam. Namun sebagai negarawan harus
diakui bahwa Wu Ze Tian adalah seorang negarawan yang
besar, meskipun dia seorang wanita namun kemampuan nya
sejajar bahkan boleh dikatakan di atas kaisar-kaisar besar
dinasti Tang lainnya. Tiga negara di semenanjung Korea
(Kaoli, Paekche dan Silla) yang selalu berperang dengan
dinasti Tang, berhasil dipersatukan pada oleh kehebatan
strateginya, yang mana dua kaisar dari jaman dinasti Sui dan
dua kaisar Tang terdahulu selalu gagal melakukannya.
Sistem perekrutan pegawai pemerintah dari rakyat jelata
juga disempurnakan pada masa dinasti Zhou (690-705). Wu
Ze Tian memang tokoh yang hitam putihnya sulit dijelaskan,
jasa dan kesalahannya susah ditimbang. Bahkan sampai
akhir hayatnya, tugu makamnya sengaja dibiarkan tanpa
tulisan, sebagai tanda untuk orang bebas menilai apakah
kehidupannya salah atau benar.
Cerita Lung Hu Wu Lin sendiri mengambil perkiraan
jaman pada akhir pemerintahan kaisar Tai Zong dan
peralihan masa menuju Permaisuri Wu Ze Tian sekitar tahun
650-685. Lung Hu Wu Lin menggabungkan cerita dengan- 15 kenyataan sejarah mengenai lemahnya kepemimpinan
kaisar Gao Zong sehingga permaisuri Wu dapat mengambil
alih kekuasaan dinasti Tang dan mendirikan dinasti Zhou.
Selamat membaca kisah Lung Hu Wu Lin buku
pertama ini, semoga menikmati!- 16 -- 17 Lung Hu Wu Lin
(Rimba Persilatan Naga dan Harimau)
1. Tendangan Kaki Menggunting
Jaman pertengahan dinasti Tang, jaman setelah masa
panglima dinasti Tang Sie Ren Kuei dan anaknya Sie Ting
San, Cina benar-enar mengalami masa keemasannya.
Wilayahnya membentang dari utara ke selatan, barat ke
timur melewati sungai Huang Ho hingga Laut China
Selatan. Perdagangan berkembang baik dengan India, Arab
dan Tibet. Rakyat makmur karena perdagangan maju dan
negara aman. Pedagang asing dari barat dan selatan banyak
berdatangan seperti semut mengerumuni gula. Banyak dari
mereka yang menyewa pengawal untuk menjaga dagangan
mereka yang berakibat banyak bermunculan jago-jago piausu (jasa pengawalan). Rimba persilatan menjadi semakin
ramai dengan munculnya jago-jago persilatan kelas atas
baik dari golongan Ceng Bai (putih) maupun Sie Bai
(hitam).
Lembah sungai Huang Ho, sebelah utara kota raja
adalah daerah yang makmur. Huang Ho dan anak-anak
sungainya selalu mengairi sawah sepanjang tahun. Kapalkapal dari daerah barat dengan mudah dapat membawa
dagangan ke timur melalui sungai ini. Kota Liu Du- 18 merupakan salah satu kota yang berada di jalan
persimpangan perdagangan dan pertanian ini. Biasanya kota
ini ramai dengan para pedagang maupun petani yang lalu
lalang di pasar kota namun hari ini suasana kota terlihat sepi
mencekam. Toko-toko yang berjajar sepanjang jalan
menutup pintu rapat-rapat namun kelihatan para penduduk
mengintip dengan takut-takut dari balik jendela.
Di kejauhan tampak seorang pemuda berpakaian
sederhana sedang berjalan menyusuri jalan yang sepi.
Pakaiannya sederhana namun badannya tinggi dan kekar
kelihatan gagah sekali. Usianya sekitar duapuluh lima
tahunan. Wajahnya bercambang menambah gagah
penampilannya. Matanya tajam namun sinar matanya
lembut menandakan kecerdasan dan kebaikan hati.
Kelihatannya pemuda tersebut telah melakukan perjalanan
jauh dan tampak heran melihat keadaan kota ini.
Kedai makanan adalah satu-satunya yang buka di
jalan kota itu. Hanya ada satu meja yang terisi oleh dua
orang yang tampaknya sedang berbisik-bisik dengan rasa
khawatir. Pemuda itu melangkah masuk dan segera
disambut oleh pelayan yang kelihatannya juga takut-takut.
"Siao-er (panggilan pelayan) tolong kau sediakan
makanan dan arak yang terbaik yang kalian punya" kata
pemuda itu.
"Ya segera kung-ce (tuan muda)"
"Sebentar" kata sang pemuda itu menahan si pelayan.- 19 "Mengapa kota ini sepi begini? Apakah telah terjadi
sesuatu?"
"Ah tampaknya kung-ce masih belum mendengar
kabar yang terjadi disini"
"Saya sedang dalam perjalanan ke kota raja untuk
bertemu sahabat lama, kebetulan melewati daerah ini. Siaoer tolong ceritakan apa yang terjadi"
"Ah kalau diceritakan sebenarnya membuat hati siaoer ini bersedih. Sebulan yang lalu kota kami kedatangan
serombongan piaw-su yang disewa oleh Wang-ye (hartawan
Wang) untuk mengantarkan kiriman kain sutra ke kota raja.
Pimpinan mereka ada tiga orang berjuluk Huang-Ho-San

Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ta-Ou-Wang (Tiga Raja Buaya Sungai Kuning). Mereka
sebenarnya lebih mirip gerombolan penjahat daripada
pengawal. Mereka kasar dan suka mengganggu penduduk
sini namun karena kami semua sungkan mereka adalah tamu
Wang-ye maka kami semua tidak berani berkata apa-apa.
Tapi ternyata mereka benar-benar serigala berbulu
domba. Tiga hari lalu mereka datang ke rumah Wang-ye dan
menuntut uang hasil penjualan kain sutra itu sebagai bayaran
jasa mereka. Bahkan mereka juga meminta putri wang-ye
untuk dijadikan istri mereka bertiga. Mereka sudah benarbenar keterlaluan" Pelayan itu mengeluh sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Lalu apakah pejabat setempat tidak berbuat apa-apa?"- 20 "Kepala wilayah Liu Du mencoba menghalangi niat
busuk mereka namun beliau akhirnya tewas di tangan SanTa-Ou Wang. Kungfu para bajingan itu benar-benar hebat
apalagi anak buah mereka banyak. Kami benar-benar tidak
berdaya menghadapi mereka. Pemuda-pemuda gagah di
kota ini yang mencoba menghalangi bahkan mereka bunuh
tanpa ampun."
"Benar-benar keterlaluan" kata pemuda itu dengan geram.
"Tidak hanya itu kung-ce, mereka merencanakan
akan datang malam ini untuk mengambil putri Wang wangye. Jika tidak diserahkan mereka akan membunuh seluruh
keluarga Wang."
"Mengapa tuan Wang tidak memanggil bantuan dari
tempat lain?"
"Seluruh jalan ke daerah lain telah ditutup oleh
mereka. Siao-er tadi juga hendak menanyakan bagaimana
kung-ce bisa sampai ke kota kami tanpa bertemu mereka?
Tidakkah kung-ce bertemu mereka di jalan menuju kota
ini?"
"Oh... itu karena aku mengambil jalan setapak dan
bukan jalan besar makanya tidak bertemu mereka" Pemuda
itu memalingkan muka untuk menyembunyikan wajahnya
yang berbohong.
"Oh ya rumah keluarga Wang berada di sebelah mana?"- 21 "Keluar dari sini belok ke kiri di ujung jalan ada
rumah yang paling besar dan bagus. Itulah rumah keluarga
Wang. Eh, apakah tuan bermaksud ke sana? Siao-er kalau
boleh menyarankan sebaiknya jangan, San-Ta-Ou-Wang
amat ganas dan kejam. Lebih baik kung-ce meneruskan
perjalanan saja ke kota raja.Terlalu berbahaya"
"Baiklah, setelah makan aku akan pergi"
Setelah makan dan minum arak sampai puas, pemuda
itu segera pergi. Namun bukannya menuju ke arah kota raja
namun bergegas ke arah rumah keluarga Wang. Seperti yang
dikatakan oleh pelayan kedai tadi, rumah itu memang paling
bagus dan mewah di antara deretan rumah di sana. Gerbang
pintunya ditutup rapat dan kelihatan sepi. Pemuda itu
menoleh ke kiri dan ke kanan, setelah memastikan tidak ada
yang melihat, dengan ringan dia melompat ke atas atap
gerbang. Hal itu dilakukannya tanpa susah payah atau
mengambil kuda-kuda, seperti layaknya menaiki anak
tangga saja! Dengan mengendap-endap pemuda itu berjalan
di atas genteng dan sampai di bagian dalam rumah itu.
Terdengar suara bertangis-tangisan keluarga itu.
"Ayah-ibu, lebih baik ni-er mati daripada harus
menjadi istri tiga penjahat itu" suara seorang gadis terisakisak.
"Semua memang salah ayahmu ini. Jika kau tidak
kami berikan kepada mereka, keluarga Wang pastilah
musnah malam ini"- 22 Suara tangis masih terdengar dari dalam rumah itu
membuat pemuda itu merasa tidak enak hati. Dia bukanlah
pemuda yang terbiasa dengan suara tangis apalagi tangis
seorang gadis yang menyayat hati seperti ini. Tanpa suara
pemuda itu melompat naik ke atas wuwungan yang tinggi
dan terlindung.
"Lebih baik aku istirahat dan menunggu malam para
bajingan itu datang"
Pemuda itu merebahkan diri di atas wuwungan dan
memejamkan mata. Tak terasa sebentar matahari sudah
condong ke barat, kemudian pemuda itu terbangun karena
terdengar suara ribut-ribut dari arah luar pintu gerbang
rumah.
"Mertua Wang, menantumu datang untuk menghaturkan
sembah"
Suara ribut-ribut itu ternyata berasal dari gerombolan
piaw-su Buaya Sungai Kuning yang telah tiba hendak
mengambil putri keluarga Wang. Anak buah mereka
memukul-mukul pintu gerbang dengan kasar sambil
tertawa-tawa mabuk. Sungguh pemandangan yang
menjemukan dan memuakkan hati!
Pemuda itu membungkuk hendak melihat dengan
lebih jelas ketika dua orang pelayan keluarga Wang yang
sudah tua dengan gemetaran berlari ke depan pintu gerbang
hendak membukakan pintu. Ketika balok palang pintu baru
saja ditarik, pintu itu sudah ambrol diterjang para anak buah- 23 gerombolan yang berangasan. Karuan aja dua orang pelayan
yang sudah tua itu terpental beberapa tombak jauhnya dan
langsung pingsan.
Pemuda yang mengintai dari atas genteng itu begitu
geram dengan kelakuan para bajingan itu. Namun ia masih
menahan diri ketika melihat seorang berpakaian mewah
dengan langkah lebar dan sombong masuk. Wajahnya
berjambang lebat dan matanya tampak bengis. Tampaknya
dialah pimpinan gerombolan itu, kemudian di belakangnya
menyusul dua orang tinggi besar dengan tampang kasar.
Pakaian mereka aneh karena di dada mereka terselempang
kulit buaya. Dari cara berjalan mereka, pemuda itu dapat
menyimpulkan ilmu mereka cukup tinggi.
"Mana istriku? Mengapa mertuaku tidak menyambut aku?"
Terdengar langkah kaki tergesa dari dalam rumah.
Seorang yang sudah cukup umur dengan pakaian yang bagus
keluar bersama seorang wanita tua yang berpakaian bagus
pula. Merekalah suami istri Wang. Wajah mereka
menunjukkan ketakutan dan kelelahan karena kurang tidur.
"Ke-wei ta sia (para pendekar sekalian) kiranya putri
hamba tidak cantik dan kurang tatakramanya. Tidak pantas
untuk bersanding dengan para pendekar sekalian"
Seorang yang berpakaian kulit buaya itu mendengus.
"Tua bangka Wang, bukankah sudah kami katakan
tiga hari lalu bahwa kami akan mengambil Wang ku-niang- 24 sebagai istri kakak kami. Mengapa engkau menolak rejeki
ini? Kakak kami gagah dan perkasa, apalagi ditambah
dengan hartamu, bukankah lengkap sudah pendekar gagah
hartawan kaya, bukankah demikian?"
Suara tawa meledak dari sekitar tigapuluh pengikut
gerombolan itu. Sementara tuan dan nyonya Wang hanya
bisa bercucuran air mata meratapi nasib mereka.
"Baiklah jika pengantin wanita malu untuk keluar biar
aku yang akan menjemputnya" seru sang pengantin dengan
lantang. Ia melangkah masuk ke bagian dalam diikuti kedua
orang berpakaian kulit buaya dan anak buahnya. Tuan dan
nyonya Wang terlempar ke samping oleh gerombolan orang
kasar itu. Pintu kamar nona meskipun sudah dikunci namun
dalam sekali dobrak sudah hancur tak berbentuk. Di ujung
kamar tampak nona Wang menangis dengan ketakutan.
"Ah istriku, Mei Lin ternyata kau belum juga berias
menyambut suamimu ini"
"Aku tidak mau menjadi istrimu" sahut nona yang
bernama Mei Lin itu dengan gemetar.
"Hahahahaha lihatlah Ta se-siung, ternyata
pengantinmu sudah tidak sabar lagi hendak bertemu
denganmu" kata pemakai kulit buaya dengan tatapan mata
kurang ajar sekali kepada nona Wang Mei Lin.
Meski berusaha memberontak namun apa artinya
kekuatan seorang gadis dibanding San-Ta-Ou-Wang yang- 25 ditakuti bahkan oleh tentara kerajaan sekalipun. Dengan
sekali tarikan, tubuh gadis itu sudah berada dalam pelukan
ketua mereka. Kedua adik seperguruannya tertawa-tawa
menyaksikan kelakuan kakak tertua mereka. Sungguh
memalukan dan menjemukan sekali!
Pemuda yang dari tadi hanya melihat saja dari atas
atap sudah merasa saatnya untuk turun tangan. Dengan satu
hentakan ia sudah melayang turun dengan ringan sekali dan
berada di antara para gerombolan yang tengah mabuk dan
tertawa-tawa di depan kamar nona Wang. Gemas sekali
pemuda itu langsung beraksi melayangkan tendangan
berantai ke arah para cecunguk yang belum menyadari
kehadirannya!
Tendangan itu begitu cepat dan bertenaga sehingga
dalam satu tarikan napas saja beberapa orang sudah terpental
ke tembok rumah dengan tulang dada remuk. Karuan saja
mereka sudah menghembuskan nafas terakhir sebelum
menyentuh tanah! Segera terdengar jerit kesakitan dan
kehebohan dari tengah-tengah gerombolan yang kacau
balau itu. San-Ta-Ou-Wang yang sedang asyik tertawa-tawa
di dalam kamar menjadi kaget dan segera melompat ke luar
melupakan urusan nona Wang di dalam kamar. Betapa
kagetnya mereka ketika mendapati separuh dari anak buah
mereka sudah tidak bernyawa oleh seorang pemuda yang
mengamuk menendang-nendang di tengah kerumunan!- 26 "Minggir semua!" bentak kepala mereka dan segera
menyingkirlah sisa-sisa gerombolan yang masih selamat itu
ke samping.
Seorang yang berpakaian kulit buaya dan kelihatan
nya paling muda dari antara mereka maju ke depan dan
membentak
"Bocah tengik, katakan siapa dirimu! Berani sekali
mengacau di hari baik Ta-se-siungku"
Saat itu bulan sudah mati hingga malam remangremang lagipula rumah keluarga Wang enggan menyalakan
banyak lilin malam itu. Ketiga Buaya Sungai Kuning itu
menyipitkan mata untuk dapat melihat muka pemuda itu
lebih jelas.
Pemuda itu tertawa menghina.
"Kalian para perampok kadal sungai Kuning, kiranya
sampai mampus pun kalian tidak perlu tahu siapa diriku"
Pembandingan kadal dengan buaya ini benar-benar
menghina ketiga buaya itu. Mata mereka melotot dan
brewok mereka berdiri.
"Jahanam, rupanya kau sudah tidak menyayangi
nyawa anjingmu. Kami Huang Ho San-Ta-Ou-Wang
bahkan Tien-Lung Men Pang-cu Jien Wei Cen Sen Sou Mo
Ciao (ketua partai Naga Langit Jien Wei Cen si Tangan
Dewa Kaki Iblis) pun masih memberi muka kepada kami- 27 tapi kau bocah ingusan masih bau susu ibu sudah berani
menghina kami bertiga."
Sambil melangkah maju sang buaya pemimpin
bertolak pinggang di depan sang pemuda.
"Aku Hu Kung Ye serta dua saudaraku Li Tuan Jin
dan Chang Yun berlaku sesuka kami siapa yang bisa
menghalangi. Kau telah berani membunuh beberapa anak
buahku seharusnya aku sudah menghancurkan kepalamu
namun karena ini adalah hari baikku maka jika kaubutakan
sendiri kedua matamu maka kuampuni nyawa anjingmu"
Pemuda itu diancam sedemikian rupa tidak merasa
gentar malah tersenyum mengejek. "Kiranya Huang Ho
San-Ta-Ou-Wang tidak lebih dari segerombolan perampok
rendah yang mencari kesempatan dalam kesusahan orang,
berpura-pura sebagai pengawal namun merampok dan
merampas anak gadis orang. Benar-benar memuakkan"
"Ta-se-siung (abang seperguruan tertua) jangan
ladeni lagi bocah gila ini. Biar aku yang meremukkan
mulurnya"
Sambil berkata demikian, buaya kedua yang bernama
Li Tuan Jin segera maju menggempur pemuda itu. San-TaOu-Wang terkenal di dunia persilatan karena ilmu tinju
mereka Ou-Wang-Huen-Gu-Chuen (Tinju Raja Buaya
Peremuk Tulang). Ilmu ini benar-benar mengandalkan
kekuatan tinju. Li Tuan Jin yang mengira dalam beberapa
jurus dapat merobohkan pemuda itu ternyata kecele.- 28 Pemuda itu ternyata lihai sekali. Setiap pukulan Li Tuan Jin
yang penuh nui-kung (tenaga dalam) itu mengeluarkan suara
berdesir dan hawa panas namun dapat dihindari pemuda itu
dengan lincah. Kedua saudara seperguruannya pun terkejut
melihat bahwa ternyata pemuda itu mudah saja menghindari
serangan Li Tuan Jin!
Bahkan setelah 20 jurus lebih Li Tuan Jin mulai balik
terdesak oleh pemuda itu. Li Tuan Jin yang berangasan
mengeluarkan segenap tenaga dalam menyerang, dalam 20
jurus sudah merasa kelelahan karena pukulannya selalu
menghantam angin. Pendekar muda itu mengetahui
lawannya mulai kelelahan dan segera mengubah siasat dari
hanya menghindar kini mulai balik menyerang dengan
gencar. Kiranya pendekar muda itu adalah seorang ahli
tendangan karena setiap jurus yang dilancarkan selalu
memakai kaki. Tangan hanya dipakai untuk bertahan dan
melindungi bagian tubuh yang lemah. Begitupun sudah
cukup untuk mendesak Li Tuan Jin dengan hebatnya sampai
ia tak tahan lagi dan berteriak
"Se-siung-ti mari bantu aku menghajar bocah ini"
Serentak Hu Kung Ye dan Chang Yun turun ke gelanggang
membantu Li Tuan Jin yang terdesak hebat itu. Anak buah
mereka yang masih hidup dan terluka melihat pertempuran
pemimpinnya dengan pendekar muda itu dari jarak cukup
jauh karena tahu kehebatan tinju milik para pemimpin
mereka. Sementara Tuan dan Nyonya Wang berpelukan- 29 melihat pertempuran itu dari pintu kamar dengan muka
cemas menyaksikan penolong mereka dikeroyok.
Pendekar muda itu malah tertawa senang menghadapi
keroyokan San-Ta-Ou-Wang sedikitpun tidak terlihat rasa
takut di mukanya.
"Hahahahah bagus jadi aku tidak perlu bertempur tiga
kali untuk menyingkirkan kalian semua"
"Dasar bocah sombong coba kau tahan tinju kami"
Kali ini pertempuran berlanjut lebih hebat lagi. Li
Tuan Jin yang kembali bangkit semangatnya karena


Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendapat bantuan dua saudaranya mulai menyerang
bertubi-tubi lagi. San-Ta-Ou-Wang bergerak dengan
serempak dan kompak sekali sehingga yang satu dapat
menutup celah yang lain. Pendekar muda itu pun sadar
bahwa musuh yang dihadapinya bukan sembarangan saja
dan mulai serius mengeluarkan kemampuannya.
Terdengar suara benturan keras tiap kali kaki
pendekar itu bertemu dengan tinju San-Ta-Ou-Wang. Bagi
mereka yang menonton di sana kelihatannya hanya ada
empat bayangan saling berlompatan jadi mereka tidak
melihat kenyataan yang sebenarnya.
Pendekar muda itu dengan mengeluarkan tiga
perempat tenaga dalamnya saja sudah dapat mengimbangi
Ou-Wang-Huen-Gu-Chuen milik ketiga buaya itu,
sebaliknya tinju mereka terasa pegal dan kesemutan tiap kali- 30 beradu dengan kaki pendekar muda itu. Ini saja sudah
menandakan bahwa tingkat ilmu tiga buaya masih di bawah
pendekar muda itu. Namun pantang bagi mereka untuk
mundur karena selain penasaran dengan pemuda itu, jumlah
mereka juga jauh lebih banyak dan disaksikan oleh anak
buah mereka sendiri. Jadi mundur adalah aib besar bagi tiga
buaya itu yang selama ini amat disegani oleh anak buah
mereka.
Pendekar muda itu setelah 10 jurus berlalu dapat
merasakan bahwa tenaga Chang Yun lah yang paling lemah
karena itu ia memutuskan untuk terus mendesak Chang Yun.
Pada satu kesempatan yang baik, pendekar muda itu berhasil
memasukkan satu tendangan telak ke ulu hati Chang Yun.
Buaya ketiga itu mengeluh sambil terdorong mundur.
Dadanya terasa panas sekali dan nafasnya seakan terhenti
karena sesaknya.
Satu hentakan kaki dan pemuda itu sudah melayang
di atas kepala Chang Yun. Dengan gerakan bersalto,
pendekar muda itu melingkarkan sebelah kakinya di kepala
Chang Yun dan dengan satu putaran tubuh pendekar itu
memutar kakinya. Terdengar suara tulang leher patah
bersamaan dengan robohnya buaya ketiga itu untuk tidak
bangun lagi selama-lamanya!
"San-ti!"
Hu Kung Ye dan Li Tuan Jin berbarengan maju untuk
menyelamatkan adik ketiganya namun sudah terlambat.- 31 Batang leher Chang Yun sudah patah oleh kehebatan jurus
pendekar muda itu.
"Ini jurus Tuo-Ming-Cien-Tao-Ciao (Tendangan
Kaki Menggunting Mengejar Nyawa)! Yang memiliki jurus
ini di dunia hanyalah satu orang, mungkinkah kau Ma Han
Jiang sang Pendekar Tendangan Kaki Menggunting?"
Suara Hu Kung Ye gemetar karena marah dan gentar.
Marah karena adik. ketiganya tewas terbunuh, gentar karena
jika perkiraannya benar maka yang dihadapinya adalah Ma
Han Jiang salah satu tokoh ciang-hu ternama dan tersohor
karena kelihaian jurus-jurus tendangannya.
"Ternyata orang macam kau masih mengenali jurusku
ini. Sayang aku tidak tersanjung sama sekali. Sekarang
bersiaplah menemui adik kalian"
"Kurang ajar"
Li Tuan Jin yang pemarah menjadi gelap mata dan
bertindak nekat. Ia menyerang dengan tubuh direndahkan
dan kedua lengan dipentangkan siap melontarkan tinju
andalannya. Namun justru sikap inilah yang ditunggutunggu oleh Ma Han Jiang. Kedua kakinya dihentakkan ke
tanah dan tubuhnya melayang ringan menyambut Li Tuan
Jin. Dalam gerakan secepat kilat kedua kaki Ma Han Jiang
sudah menjepit leher Li Tuan Jin dalam posisi bersilangan
seperti menggunting. Inilah jurus yang disebut Cien-TaoLung-Wei (Menggunting Perut Naga) yang amat ganas dan
mematikan! Sebelum Li Tuan Jin sempat menyadari apa- 32 yang terjadi, Ma Han Jiang sudah memutar tubuhnya seperti
kincir bersalto di udara dan membanting kepalanya ke tanah.
Li Tuan Jin roboh tak bergerak dengan batang leher patah
menyusul adiknya ke neraka!
Hu Kung Ye melihat kematian tragis dua saudaranya
dalam sekali gebrakan mulai ciut nyalinya dan timbul sifat
pengecutnya. Ia melompat ke arah Tuan dan Nyonya Wang,
mencengkeram kedua orang itu dan melemparnya ke arah
Ma Han Jiang sambil menghunjamkan tinjunya ke
punggung dua orang tua malang itu. Ma Han Jiang yang
tidak mengira Hu Kung Ye akan bertindak sekeji itu
berteriak kaget dan segera melompat menerima tubuh kedua
orang tua itu. Pendekar yang sudah terlatih saja tidak akan
kuat menerima Ou-Wang-Huen-Gu-Chuen apalagi Tuan
dan Nyonya Wang adalah orang-orang biasa yang tidak
pernah belajar silat. Sebelum tubuh mereka menyentuh
tanah nyawa mereka sudah melayang bersamaan dengan
remuknya tulang punggung mereka!
Hu Kung Ye menggunakan kekagetan Ma Han Jiang
untuk kabur melompat melewati dinding rumah. Anak buah
San-Ta-Ou-Wang yang tersisa melihat para pemimpinnya
ada yang tewas dan melarikan diri segera lari lintang pukang
tanpa berani menoleh ke belakang lagi.
Ma Han Jiang yang membopong kedua tubuh orang
tua yang sudah tidak bernyawa lagi itu hanya bisa
menggertakkan gigi melihat kekejaman Hu Kung Ye.- 33 "Bajingan bermarga Hu lain kali jika bertemu lagi aku
Ma Han Jiang tidak akan mengampunimu".
Dengan perasaan sedih Ma Han Jiang meletakkan
tubuh kedua keluarga Wang itu ke tanah. Hu Kung Ye pasti
sudah kabur jauh jadi percuma saja dikejar. Pada saat itu
kedua pelayan tua keluarga Wang yang pingsan dekat pintu
gerbang sudah sadar dan masuk ke bagian dalam rumah.
Keduanya menangis sedih melihat tuan dan nyonya mereka
sudah tidak bernyawa lagi.
"Yang mati tidak bisa hidup lagi, lebih baik kalian
urus nona kalian di dalam" kata Ma Han Jiang menenangkan
kedua pelayan itu.
"Oh ya nona Wang masih ada di dalam" kata pelayan
itu sambil mengusap air mata dan bergegas masuk ke kamar
nonanya.
Nona Wang masih tergeletak pingsan di dekat tempat
tidurnya. Para pelayan tua itu segera membopongnya ke
tempat tidur dan mengambil ramuan obat untuk dibau
sambil memanggil-manggil nama nona mereka supaya nona
mereka cepat sadar.
Sejenak kemudian nona Wang sadar sambil
mengeluh. Dia tadi pingsan karena begitu takut dan kaget
dipermainkan oleh tiga buaya dengan kasar. Pakaiannya
awut-awutan demikian pula rambutnya.- 34 "Apa yang terjadi? Paman Wu, Paman Ye apa yang
terjadi? Mengapa kalian menangis?"
"Tuan dan Nyonya... mereka..."
Kalimat ini tidak keburu diselesaikan karena tangis
mereka kembali meledak.
"Apa yang terjadi dengan ayah-ibuku?" tanya nona
Wang semakin panik.
Melihat keadaan sudah sepi, nona Wang
memberanikan diri berjalan ke luar. Halaman depan kamar
nona Wang sudah dibersihkan oleh Ma Han Jiang dari
mayat-mayat gerombolan piaw-su Tiga Buaya, hanya
tertinggal mayat Tuan dan Nyonya Wang yang tersandar di
dinding tembok rumah.
Nona Wang segera menubruk kedua jenasah orang
tuanya itu dan menangis sejadi-jadinya. Tidak kuat menahan
beban batin, nona Wang kembali pingsan. Kedua pelayan
yang bernama Paman Wu dan Paman Ye itu segera
memapah nona Wang kembali ke kamar.
Ma Han Jiang yang dari tadi hanya melihat kini ikut
masuk ke dalam kamar nona Wang. Sebagai seorang
pengelana dan pendekar yang mengutamakan kegagahan
dan menjunjung tinggi kesusilaan, Ma Han Jiang tidak
pemah masuk ke kamar seorang wanita, apalagi nona dari
keluarga kaya seperti keluarga Wang ini. Kamar itu harum
sekali baunya. Tempat tidurnya dihiasi kain sutra yang- 35 mahal demikian pula meja kursinya terbuat dari kayu yang
bagus. Sementara kedua pelayan sibuk mengurus nona
mereka, Ma Han Jiang mengambil seguci arak yang
ditinggalkan Tiga Buaya tadi dan menengguknya dengan
nikmat. Pertempuran dengan gerombolan liga Buaya tadi
cukup menguras tenaganya dan dengan arak tadi
kesegarannya kembali pulih. Dalam hati Ma Han Jiang
memuji ketangguhan Huang Ho San Ta Ou Wang.
"Paman Wu, Paman Ye lebih baik biarkan nona Wang
beristirahat dan urus jenasah tuan dan nyonya kalian."
katanya sambil beranjak ke pintu kamar.
"Ta-sia (pendekar besar), anda sudah menyelamatkan
nona kami dan kedua orang tuanya sudah meninggal.
Apakah Ta-sia akan membiarkan dia hidup sendirian di sini?
Bagaimana kalau gerombolan penjahat tadi kembali ke
mari? Bukankah ini akan mencelakakan nona kami?"
"Paman berdua, aku adalah seorang pengelana yang
kebetulan lewat daerah sini dalam perjalanan ke kota raja.
Aku sebenarnya tidak bisa berlama-lama. Ada maksud
apakah paman berdua berkata demikian? Tidakkah keluarga
Wang ini mempunyai sanak-saudara yang lain supaya nona
Wang dapat hidup bersama mereka?"
Pelayan yang bernama Paman Wu segera menjura memberi
hormat sambil berlutut diikuti oleh Paman Ye.
"Ta-sia kiranya sudi menolong kami sekali lagi."- 36 Ma Han Jiang segera membantu kedua pelayan itu berdiri.
"Siau-ti Ma Han Jiang hanyalah seorang biasa saja,
tidak patut menerima penghormatan paman berdua. Jika ada
suatu yang bisa siau-ti bantu pasti akan siau-ti lakukan.
Paman berdua katakan saja tidak perlu sungkan"
"Tuan kami mempunyai seorang adik di kota raja.
Sudilah kiranya ta-sia mengantarkan nona kami ke sana
setelah upacara penguburan tuan dan nyonya kami. Kami
memberanikan diri meminta ini karena mendengar ta-sia
juga akan melakukan perjalanan ke kota raja."
Hati Ma Han Jiang tergerak oleh permintaan yang
merendah ini juga karena kesetiaan kedua pelayan tua ini.
Kelihatannya dalam rumah keluarga Wang hanya tersisa dua
pelayan tua ini, sisanya entah sudah kabur ke mana setelah
mendengar ancaman San-Ta-Ou-Wang.
Besoknya diadakan upacara penguburan sederhana
untuk kedua suami-istri Wang. Penduduk kota Liu Du yang
sudah mendengar kejadian malam itu berbondong-bondong
datang untuk mengucapkan belasungkawa namun terlebih
lagi mereka ingin melihat pendekar yang seorang diri saja
dapat mengalahkan gerombolan San-Ta-Ou-Wang. Betapa
herannya mereka melihat nyatanya cuma seorang pemuda
biasa saja. Bisik-bisik di antara mereka membicarakan
pemuda itu. Ma Han Jiang dengan telinganya yang sudah
terlatih mampu menangkap pembicaraan mereka dan
merasa tidak enak hati akibatnya.- 37 Setelah upacara penguburan selesai, nona Wang yang
menggunakan pakaian berkabung berjalan-jalan tertatihtatih, kelihatan pucat sekali dan air mata berderai dipapah
Paman Wu ke dalam tandu yang sudah disewa. Paman Wu
sendiri membagi-bagikan uang perak kepada penjaga rumah
dan kuburan dengan pesan agar mereka menjaganya selama
mereka pergi ke kota raja. Setelah segala persiapan selesai,
kedua pelayan tua itu berpamitan kepada para kenalan
mereka di sepanjang jalan kota yang dilalui. Ma Han Jiang
berjalan di depan mereka dan sebentar saja mereka sudah
berada di luar kota.
"Nona, perjalanan ini sekitar 15 hari berjalan kaki.
Nona harap menjaga kesehatan jangan terlalu bersedih.
Arwah Tuan dan Nyonya pasti tidak akan tenang jika
melihat Nona terus bersedih"
Paman Wu dan Paman Ye hanya menggelengkan
kepala dengan sedih ketika nona mereka menjawab
pertanyaan mereka dengan isak tangis.
"Ma Ta-sia, kami berdua mohon maaf jika perjalanan
ta-sia terhambat karena kami. Keadaan nona masih lemah
sehingga tidak mungkin melakukan perjalanan dengan kuda,
mohon ta-sia mengerti"
"Kedua Paman tidak perlu sungkan. Perjalanan siauti sejalan ke kota raja. Kiranya justru siau-ti yang merasa
senang mendapat teman seperjalanan."- 38 Ma Han Jiang tidak berkata jujur kalau berkata
demikian. Dengan ilmu lari cepatnya yang sudah hampir
sempurna, perjalanan yang ditempuh orang biasa selama 15
hari baginya dapat ditempuh hanya dalam 3-4 hari saja. Ini
pula sebabnya ia tidak bersua dengan gerombolan Tiga
Buaya di jalan masuk kota karena dengan ilmu ringan tubuh
dan lari cepatnya maka bukit dan lereng yang tidak bisa
manusia biasa dapat dilalui dengan mudah seperti berjalan
kaki biasa saja kiranya!
Demikianlah rombongan itu mulai melakukan
perjalanan ke kota raja bersama pendekar Ma. Sebenarnya
apa tujuan pendekar Tendangan Kaki Menggunting itu ke
kota raja? Untuk mengetahui sebabnya marilah kita melihat
keadaan kota raja yang menjadi pusat kekaisaran Tang itu.- 39 2. Jenderal Empat Gerbang
Kota raja adalah suatu kota yang berdiri megah
dikelilingi tembok kota setinggi 30 tombak dengan menara
pengawal di sudut-sudutnya. Adapun gerbang kotanya ada
di keempat penjuru mata angin lebarnya sanggup dilewati
empat kereta kuda sekaligus. Di atas pintu gerbang kota
terpasang panji-panji kerajaan yang berkibar-kibar dengan
gagahnya, dapat terlihat 10 li jauhnya. Pintu gerbang kota
raja sendiri terbuat dari kayu pilihan yang tebalnya hampir
setengah tombak dicat merah dan dijaga siang malam oleh
puluhan prajurit. Jika malam tiba ratusan lampion dengan
simbol kerajaan dinyalakan sehingga dari kejauhan
kelihatan seperti kunang-kunang yang sangat elok
tampaknya.
Meski kota raja sehari-harinya sudah ramai dan penuh
dengan para pendatang dari negeri-negeri tetangga yang
berpakaian aneh-aneh dan mencolok coraknya dibanding
penduduk asli namun beberapa hari ini keadaan kota raja


Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjadi lebih ramai lagi. Di mana-mana kelihatan orangcrang berpakaian aneh-aneh dan tidak biasa yang
merupakan tanda mereka adalah para pendekar jiang-hu.
Para pendatang negeri asing semakin banyak dan pakaian
mereka yang lain corak dan warnanya amat mencolok mata.
Sebenarnya ada apakah hal besar yang terjadi di kota raja?
Di persimpangan tengah kota raja yang hanya
sepelemparan batu jauhnya dari istana kaisar berdiri gedung- 40 yang megah dengan papan nama bertuliskan "Han-ciacuang" (Wisma keluarga Han). Di depannya berdiri empat
prajurit jaga istana dengan gagah dekat gapura singa batu.
Papan nama itu dihiasi sutera merah demikian pula dengan
pintunya, menandakan bahwa di rumah itu sedang diadakan
sesuatu yang membahagiakan. Memang inilah rumah
keluarga bangsawan Han yang turun-temurun merupakan
para jenderal dan menteri dinasti Tang yang setia. Tuan
rumah keluarga Han sekarang ini adalah Jendral Besar Han
Kuo Li, kepala tentara kota raja yang bergelar Si-MenCiang-Cin (Jenderal Empat Gerbang) yang merupakan
keturunan ketiga yang mengabdi pada dinasti Tang.
Ada hal apakah yang menggembirakan kiranya
sedang berlangsung di rumah keluarga bangsawan Han ini?
Ternyata beberapa hari lagi akan diadakan pesta pernikahan
antara tuan rumah dengan putri dari keluarga bangsawan Ye.
Tak heran jika kegiatan di wisma itu seakan-akan tidak
pernah berhenti. Para utusan pembesar dan bangsawan
istana tidak henti-hentinya datang memberikan hadiah juga
para pelayan hilir mudik di pintu belakang untuk
mempersiapkan hari besar tuannnya. Yang mencolok mata
adalah kehadiran para pendekar partai ciang-hu dan utusan
negeri tetangga yang datang hendak memberi selamat.
Baiklah kita mengenal dulu kehidupan Jenderal Han Kuo Li
sehingga bisa begitu banyak menerima penghargaan dari
kalangan istana dan dunia persilatan. Han Kuo Li seperti
diceritakan di depan lahir dalam kalangan keluarga- 41 bangsawan Han yang ikut dalam perjuangan dinasti Tang
sejak awal. Kakeknya, Han Wen Ping adalah menteri
pendidikan dalam masa Jenderal Besar Sie Ting San dan
ayahnya, Han Sing menjadi salah seorang jenderal besar
pada masanya karena ikut memadamkan pemberontakan
suku Nuzhen dan Delu di utara meski harus kehilangan dua
orang kakak Han Kuo Li yang gugur di medan pertempuran
waktu itu.
Sebagai seorang anak yang tumbuh besar dalam
keluarga bangsawan dan militer yang terpandang, Han Kuo
Li mewarisi kepandaian kakeknya dan kegagahan dari
ayahnya. Ilmu sastranya dapat dibandingkan dengan ilmu
para sastrawan yang mengikuti ujian tahunan di kota raja
karena dia dididik oleh kakeknya sendiri sejak kecil. Semua
kitab Si Su Wu Jing (Empat Kitab Lima Ajaran) dapat
dihafalnya luar kepala berkat otaknya yang cerdas. Dalam
hal ilmu silat, Han Kuo Li mewarisi Pai-Hu-Jiang-Fa (Jurus
Tombak Harimau Putih), jurus sakti milik Panglima Besar
Sie Ren Kui dan Sie Ting San! Memang di hari tuanya, Sie
Ting San melihat bakat besar pada diri putra bungsu Han
Sing ini dan mengangkat murid Han Kuo Li yang kala itu
baru berusia 6 tahun. Sayang Jenderal Besar Sie keburu
wafat sehingga Pai-Hu-Jiang-Fa baru sempat diturunkan
seperlimanya saja kepada Han Kuo Li. Berkat kecerdasan
dan ketekunannya berlatih silat, maka ilmu yang baru
seperlima saja itu dapat dikuasai dengan sempurna oleh Han
Kuo Li sehingga dapat dikatakan ilmunya sudah mencapai
tingkat yang luar biasa. Beranjak remaja, Han Kuo Li- 42 senang berkelana jauh dari rumah. Sifatnya yang gagah dan
jujur membuatnya disukai banyak para pendekar ciang-hu
baik dari golongan Ceng-bai dan Sie-bai. Senjatanya
andalannya adalah sebuah tombak cagak yang sudah banyak
mengalahkan para pendekar ciang-hu kenamaan dan
mengharumkan namanya di dunia persilatan. Ketika
ayahhandanya beranjak lanjut usianya, mau tak mau Han
Kuo Li harus pulang ke rumah merawat orang tua itu karena
kedua kakaknya telah gugur di medan perang dan ia menjadi
anak tunggal keluarga Han.
Jenderal Han Sing meminangkan seorang putri
keluarga bangsawan Ye untuk dinikahkan dengannya dan
sebagai seorang anak berbakti, Han Kuo Li menurut kepada
pilihan ayahnya ini. Hidup pernikahan mereka boleh
dikatakan bahagia dan Jenderal Han Sing sempat menimang
cucu laki-lakinya sebelum menutup usia. Anak pertama ini
dinamai oleh kakeknya Han Cia Pao karena inilah cucu yang
telah dinantikannya meneruskan keturunan keluarga Han.
Sebenarnya Han Kuo Li sempat akan dikaruniai seorang
putra lagi hanya saja keadaan Nyonya Han yang lemah pada
saat mengandung kedua kalinya, menyebabkan beliau wafat
setelah mengalami keguguran. Han Kuo Li sangat bersedih
atas kedukaan berturut-turut ini dan terpaksa membesarkan
putra tunggalnya seorang diri.
Tiga tahun kemudian Jenderal Han Kuo Li mendapat
titah Kaisar untuk menumpas gerombolan penjahat di
daerah Pei-An yang meresahkan penduduk. Tak dinyana dan- 43 dasar berjodoh, Jenderal Han memboyong pulang seorang
gadis yang telah menjadi yatim piatu karena orang tuanya
dibunuh gerombolan perampok, untuk menjadi istrinya.
Gadis itu bermarga Pai bernama Lien (Teratai Putih)
yang cocok sekali dengan orangnya. Pai Lien seorang gadis
berusia 16 tahun, bertubuh sedang dengan paras muka yang
elok dan kemerah-merahan. Rambutnya halus, panjang dan
hitam disisir dengan rapi dan digelung ke atas, diikat
selembar sapu tangan putih. Matanya bening dan hangat
menandakan kebaikan dan kelembutan hati. Hidungnya
kecil dan mancung, bibirnya merah dan seperti kelopak
mawar saja bentuknya, membuat mereka yang melihatnya
semakin tertarik saja. Tutur katanya juga halus karena
meskipun berasal dari keluarga kurang berada namun
ayahnya adalah seorang wedana di desa mereka sehingga
sejak kecil Pai Lien sudah diajari adat kesopanan dan tata
krama. Tidak heran Jenderal Han Kuo Li yang hatinya sudah
lama kering tidak tersiram kasih seorang wanita menjadi
langsung jatuh hati melihatnya! Melihat nasibnya yang
malang itu, Jenderal Han menyatakan niatnya mengambil
istri kepada paman dan bibinya yang masih hidup, yang
langsung saja diterima oleh mereka bagaikan menerima
bintang jatuh. Siapa yang tidak suka berbesan dengan
keluarga terpandang seperti keluarga Han? Maka dengan
terburu-buru mereka menyiapkan segala sesuatunya dan
pesta sederhana dilaksanakan di rumah keluarga Pai untuk
melepas putri mereka untuk dibawa ke kota raja. Karena
orang tua kedua mempelai sudah tiada maka yang menjadi- 44 wali dari pihak perempuan adalah paman bibi Pai dan dari
pihak laki adalah Jenderal Song Wei Hao, wakil pasukan
Jenderal Han.
Semua pihak bergembira melepas kepulangan
pasukan Jenderal Han ke kota raja, karena tidak saja berhasil
menumpas gerombolan perampok namun juga atas
kebahagiaan Jenderal Han memperoleh istri baru.
Sesampainya di kota raja, mereka disambut sebagai
pahlawan dan sang Kaisar pun berkenan menyambut mereka
di gerbang kotaraja. Sungguh suatu penghormatan yang
besar karena jarang sekali Kaisar mau keluar Kota Terlarang
untuk menyambut seorang bawahannya.
Tidak hanya itu, sebagai anugerah atas jasa-jasanya
dan kesetiaan keluarga Han yang besar selama ini, maka
Kaisar menaikkan pangkatnya menjadi kepala tentara
kotaraja dan menyandang gelar Si-Men-Ciang-Cin alias
Jenderal Empat Gerbang Kotaraja! Namun selalu saja di
dunia ini, keberhasilan dan kebanggaan selalu menimbulkan
rasa iri dalam diri orang lain. Bangsawan Ye yang pernah
menjadi mertua Han Kuo Li melihat keberhasilan dan
anugerah Kaisar itu menjadi silau oleh pangkat dan
kekayaan dan merasa sayang jika kehilangan seorang
menantu yang bakal mengangkat derajat dan kehormatan
keluarganya. Maka dengan alasan kangen dan hendak
menemui cucunya Han Cia Pao, bangsawan Ye ini dengan
licik sekali berkeluh kesah di depan Han Kuo Li tentang
perlunya pengganti ibu bagi Han Cia Pao. Meski sudah- 45 berusaha menolak dengan halus dan menerangkan bahwa
dirinya sudah menikah lagi dengan Pai Lien, mana bisa ia
memenangkan silat lidah dengan mertuanya itu yang sudah
terlatih berdagang dan menjilat para menteri yang korup.
Bangsawan Ye segera menetapkan hari yang baik
secepatnya bagi pernikahan Han Kuo Li dengan putri
bungsunya, Ye Ing. Demikian pula bangsawan Ye berhasil
memaksakan agar nantinya putrinyalah yang menjadi
nyonya pertama sedangkan Pai Lien hanya menjadi selir saja
karena menurutnya Ye Ing menggantikan posisi kakaknya
sehingga wajar menjadi nyonya pertama.
Meskipun kakak beradik dengan mendiang Nyonya
Han yang pertama, namun sifat Ye Ing dengan kakaknya
bagaikan bumi dengan langit. Sebagai anak bungsu, Ye Ing
sudah terbiasa dimanjakan oleh orang tua dan kakaknya
sehingga sifat menang sendiri dan tinggi hati menjadi
mengakar dalam diri gadis ini. Kesukaannya akan bendabenda mahal dan penghormatan semakin subur karena ia
lahir ketika bangsawan Ye sudah benar-benar sudah berada
dalam puncak kekayaannya sebagai pedagang besar di
kotaraja. Sebenarnya sudah banyak putra saudagar dan
bangsawan yang hendak meminang dirinya namun Ye Ing
yang tinggi hati tidak memandang sebelah mata terhadap
mereka dan sikap ini juga disetujui oleh bangsawan Ye dan
istrinya sehingga semakin sombonglah sikap gadis muda ini.
Hanya para pangeran dan jenderal yang berasal dari
keluarga terhormat sajalah yang menurutnya patut
berkenalan dengannya, sungguh suatu sikap yang sombong- 46 dan tidak baik terutama mengingat usianya belum lagi genap
tujuhbelas tahun. Namun kehendak langit memang berkata
lain, Ye Ing yang sombong itu malah menjadi istri resmi
seorang jendral besar Han Kuo Li.
Dan inilah hari baik yang dinantikan oleh bangsawan
Ye itu telah tiba. Kekayaan keluarga Ye sudah terkenal dan
mereka mempunyai banyak kenalan pejabat tinggi kerajaan,
sementara kedudukan Jenderal Han dalam kerajaaan dan
dunia persilatan sudah amat tinggi sehingga tidak heran
sebulan sebelum pesta pernikahan diadakan, undangan
sudah disebar ke seluruh negeri. Teman-teman dagang,
sanak saudara dan handai tau-lan bangsawan Ye semua
sudah menerima undangan tersebut sedang dari pihak
Jenderal Han tidak ketinggalan mengundang para pangeran,
keluarga kerajaan dan Kaisar sendiri! Maka tidak heran jika
bangsawan Ye benar-benar berani mengeluarkan banyak
uang untuk pesta meriah selama 15 hari berturut-turut untuk
merayakan pesta pernikahan putri bungsunya ini!
Yang mungkin kurang berkenan di harinya hanyalah
permintaan Han Kuo Li untuk turut mengundang para
pendekar dunia persilatan yang dulu banyak dikenalnya
semasa muda. Bangsawan Ye sudah mengenal watak dan
perangai para pendekar yang kadang tidak mengindahkan
aturan yang berlaku umum dan khawatir akan menjatuhkan
namanya di depan para rekan dagang, bangsawan dan
pangeran kerajaan. Hanya saja Han Kuo Li berkeras dan
sebagai orang yang sudah banyak makan asam garam- 47 kehidupan, bangsawan Ye tahu kapan saatnya harus
mengalah atau harus maju.
Demikianlah sekilas cerita mengenai hiruk pikuk
perayaan yang sedang terjadi di kotaraja terutama di Hancia-cuang. Dapat ditebak pula kiranya, Ma Han Jiang sang
pendekar Tendangan Kaki Menggunting berangkat ke
kotaraja untuk menghadiri pesta sahabatnya itu dan meski
mungkin tidak bisa datang tepat pada waktunya namun ia
tetap akan kebagian arak kebahagiaan yang akan
berlangsung selama 15 hari!
Marilah kita ikuti kembali perjalanan Ma Han Jiang
dan rombongan Wang Mei Lin yang masih sekitar 7 hari
perjalanan lagi sebelum sampai di kotaraja. Rombongan itu
sering berhenti untuk beristirahat bagi tukang pikul tandu
dan juga karena kesehatan Nona Wang juga tidak begitu
baik, dalam keadaan jiwa yang terguncang harus melakukan
perjalanan jauh.
Kali ini mereka berhenti di dekat sungai kecil yang
mengalir menuju anak sungai Huang-ho untuk beristirahat.
Tandu diletakkan di bawah pohon yang rindang, Paman Wu
mengambil air untuk bekal dalam batang bambu sedang
Paman Ye membujuk Nona Wang agar mau makan bekal
roti kering yang mereka bawa. Ma Han Jiang sendiri tidur di
dekat rombongan tukang pikul tandu yang sedang
beristirahat namun tetap waspada dan telinganya mendengar
setiap bunyi apapun yang terjadi di sekitar tempat itu.- 48 Tiba-tiba telinganya yang terlatih mendengar langkah
dua orang yang teramat ringan, menandakan pemiliknya
mempunyai ilmu yang tinggi. Ma Han Jiang segera
melompat bangun dan mengagetkan rombongan tukang
pikul yang sedang beristirahat di dekatnya.
"Ta-sia, ada apa gerangan?" tanya kepala tukang
pikul dengan kaget.
"Kalian bersiaplah, tampaknya akan datang dua orang
tamu berilmu tinggi sebentar lagi" kata Ma Han Jiang
dengan sikap waspada mengawasi Nona Wang dan kedua
paman yang duduk agak jauh darinya.
"Eh mana tamu itu?" tanya tukang pikul itu sambil
menoleh ke kanan kiri dengan takut-takut.
Sebentar kemudian di ujung belokan jalan tampak
sepasang pria dan wanita tengah berjalan perlahan dan dari
tindakannya Ma Han Jiang dapat melihat ketinggian ilmu
mereka. Mereka berdua berjalan perlahan dan santai saja
namun langkah mereka begitu ringan seakan akan mereka
terbawa angin saja layaknya.
Para rombongan tukang pikul saling berpandangan.
Inikah tamu yang dimaksud oleh pendekar Ma itu? Dan
darimanakah pendekar Ma tahu mereka akan datang karena
jarak antara mereka saja sekarang masih sekitar 50 tombak
lebih. Mereka hanya terbengong saja menyaksikan kedua


Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang itu semakin mendekat dengan cepat meski
kelihatannya mereka hanya berjalan santai saja.- 49 Pasangan pria wanita itu berumur sekitar awal 30
tahun dan berpakaian bagus sekali, yang pria memakai
pakaian sutra hijau dengan sulaman burung Hong di dada
kirinya, bersabuk hijau dan di pinggangnya tergantung
sebatang pedang bersarung hijau. Wajahnya tampan bersih
dan matanya tenang bagaikan danau tak beriak. Tubuhnya
bagus dan tinggi dengan kedua lengan yang kuat
menandakan kekuatan yang terlatih. Sang wanita memakai
baju sutra pula namun putih bersih tanpa sulaman dengan
ikat pinggang berwarna merah yang mana tergantung pula
pedang bersarung merah yang serasi sekali. Rambutnya
disanggul ke atas dan diikat dengan sehelai saputangan sutra
berwarna putih. Ketika mereka semakin mendekat,
rombongan tukang pikul tadi semakin terbengong melihat
kecantikan sang wanita yang bagaikan dewi kahyangan
turun ke bumi. Wajahnya putih halus dengan alis tebal
hitam, mata bening dan bibir yang merah bagaikan bunga
musim semi. Bentuk badannya juga bagus dan seimbang dan
tingginya hanya sedikit di bawah sang laki-laki, yang mana
cukup tinggi untuk ukuran wanita pada jamannya. Nona
Wang pun bahkan sampai sejenak terlupa akan
kesedihannya karena terkagum melihat kecantikan dan
kegagahan pasangan ini yang demikian serasi.
Setelah jarak mereka hanya sekitar tiga tombak lebih,
sang laki-laki maju sambil menjura kepada Ma Han Jiang
"Ma-ta-sia (Pendekar Ma) apa kabar hampir setahun
tidak berjumpa"- 50 "Aku yang bodoh ini masih diberkati langit umur panjang"
"Hahahaah, ternyata Ma-ta-sia masih tetap tegas
berkata-kata, tegas bertindak membedakan hitam putih"
jawab sang laki-laki sambil tertawa.
"Sepasang perampok meskipun disebut perampok
bijak tetap melakukan hal-hal yang merugikan"
Kali ini sang wanita yang berbicara, suaranya halus
dan menggetarkan hati.
"Ma-ta-sia terlalu berlebihan, kami hanya mengambil
dari yang kaya dan pejabat yang makan suap untuk
diberikan kepada yang miskin dan tertindas, mana pantas
digelari perampok"
Wang Mei Lin dan kedua paman pelayannya
mendekat untuk mendengar lebih jelas percakapan kedua
orang yang bagaikan dewa-dewi turun dari kahyangan ini
dengan tuan penolong mereka.
"Ah rupanya Ma-ta-sia sedang bersama seorang gadis
dan siapa kiranya gadis yang beruntung ini dapat berjalan
bersama Ma-ta-sia?" kata sang wanita itu dengan penuh arti
memandang Mei Lin yang menjadi merah mukanya dan
tersipu-sipu mendengar pertanyaan yang terang-terangan
ini. Sedang Ma Han Jiang yang kelihatannya sudah
mengenal watak sepasang pendekar yang baru datang ini
menghela nafas sambil menjawab,- 51 "Harap Nyonya Tien tidak salah sangka, Nona Wang
ini sedang mengalami musibah dan kebetulan aku yang tidak
berguna ini sedang lewat dan menolongnya. Karena
saudaranya ada di kotaraja maka kami bersama-sama
berangkat sekalian aku mengawalnya jika orang jahat yang
mengganggunya datang lagi"
"Memang seorang pendekar menolong wanita cantik
adalah cocok sekali" kata wanita yang disebut Nyonya Tien
itu dengan tersenyum senyum.
"Ah, aku jadi teringat dengan Nona Pertama Yao,
bagaimana kabarnya sekarang" katanya pula sambil melirik
penuh arti pada Ma Han Jiang
Mei Lin merasa heran melihat muka Ma Han Jiang
kini sebentar merah sebentar pucat mendengar nama Nona
Yao disebut-sebut. Siapakah sebenarnya yang tengah
dibicarakan mereka ini?
Pendekar Tien berbicara menengahi
"Sudahlah istriku, janganlah membuat Pendekar Ma
merasa salah tingkah, bukankah sebentar lagi dia dapat
menemuinya di kotaraja. Pendekar Ma, kami juga akan
menghadiri pernikahan Jenderal Han apakah Pendekar Ma
kiranya sudi berjalan bersama-sama kami?"
"Rombongan kami jalannya lambat, hanya akan
menghambat perjalanan anda berdua. Mohon sampaikan
salam hormatku dulu jika anda berdua sudah tiba di Han-- 52 cia-cuang, Ma Han Jiang yang bodoh ini tidak dapat
menikmati arak kebahagiaan bersama saudara Han dan
istrinya"
"Baiklah jika demikian kami pun tidak memaksa,
akan kami sampaikan kepada Jenderal Han bahwa
kawannya akan datang terlambat"
Penolakan yang halus ini rupanya dimengerti oleh
sepasang suami-istri Tien itu. Maka setelah menjura, mereka
melanjutkan berjalan ringan bagai daun kering tertiup angin
meninggalkan rombongan Nona Wang. Para tukang pikul
masih belum habis terbengong-bengong menyaksikan
kedatangan dan kepergian sepasang suami istri yang luar
biasa itu.
"Pendekar Ma, kiranya anda mempunyai urusan
penting di kotaraja, sebaiknya Pendekar Ma tidak perlu
melakukan perjalanan bersama kami, hanya akan
melambatkan saja" kata Mei Lin
"Nona, kalau tidak ada Pendekar Ma yang menjaga
kita sepanjang perjalanan ke kotaraja, paman kira akan
terlalu berbahaya sekali bagi keadaan kita" bantah Paman
Wu. "Nona Wang tidak perlu sungkan, pesta pernikahan
sahabatku Jenderal Han akan berlangsung selama 15 hari.
Aku mungkin hanya tidak bisa menghadiri upacaranya saja
sedang urusan Nona Wang mana bisa diundur. Jika terjadi- 53 apa-apa nanti di jalan, aku tidak akan bisa memaafkan diriku
sendiri."
"Benar Nona Wang, perjalanan kita sudah dekat
dengan kotaraja. Lebih baik kita percepat saja perjalanan
kita dan tidak berlama-lama istirahat dalam perjalanan. Aku
akan memberikan tambahan upah pada tukang pikul supaya
mereka mempercepat perjalanan" kata paman Ye memberi
usul "Baiklah, paman Wu, paman Ye berikan mereka
tambahan upah supaya kita tidak terlalu menghambat
perjalanan pendekar Ma" kata Mei Lin sambil berjalan
masuk ke dalam tandunya.
Para tukang pikul pun segera bergegas mengangkat
tandu setelah paman Ye membagikan tambahan uang perak
kepada mereka. Mereka pun bergegas melanjutkan
perjalanan karena matahari sudah mulai condong ke barat
dan mereka harus sampai di desa terdekat sebelum malam
tiba. Mei Lin teringat sepasang suami-istri Tien yang
mereka temui tadi. Dari dalam tandu ia bertanya pada Ma
Han Jiang yang berjalan persis di samping tandu.
"Pendekar Ma, siapakah sepasang suami istri Tien
yang kita temu tadi sebenarnya? Mengapa anda memanggil
mereka perampok? Kelihatannya mereka orang baik-baik
dan bukan orang-orang kasar"
"Nona Wang kiranya masih belum mengenal banyak
kehidupan orang-orang ciang hu yang aneh-aneh. Dalam- 54 kehidupan ciang-hu ada yang disebut Ceng-bai (aliran baik)
dan Sie-bai (aliran sesat) dan ada pula mereka yang berada
di tengah-tengah antara baik dan sesat sulit dibedakan. Yang
bertemu dengan kita tadi adalah Fu-Ji Cin-Ce Tau
(Perampok Bijak Suami Istri) yang amat terkenal dan
ditakuti di daerah Li-tau. Suami bernama Tien Jing Fung
(burung Hong Langit Hijau) dan istrinya Cen Pai Jau
(Rumput Putih) dan keduanya mempunyai jurus pedang
gabungan yang amat ampuh dinamai Tien-Jang Ti-Ciu Huo
Fa (Jurus Pedang Kasih Abadi)."
"Jurus Pedang Kasih Abadi? Mereka tampaknya
begitu saling mengasihi"
"Memang, mereka berdua tidak pernah berpisah sejak
menjadi suami istri dan selalu berdua kemana-mana.
Setahun yang lalu, dalam perebutan kursi ketua rimba
persilatan di kuil Shaolin, aku sempat melihat kehebatan
ilmu pedang mereka. Memang benar-benar luar biasa lihai"
Mata Ma Han Jiang menerawang membayangkan
kehebatan pertempuran setahun lalu di kuil Shaolin, di mana
banyak sekali pendekar kenamaan saling adu kepandaian
untuk menjadi nomor satu.
Mei Lin menjadi amat tertarik mendengar kisah ini
sehingga melongokkan kepalanya keluar dari tirai tandu.
"Apakah mereka yang menjadi pemenangnya?"- 55 "Ilmu dan kepandaian bagaikan langit di atas langit.
Selalu saja ada yang melebihi. Tidak, bukan mereka yang
menjadi pemenangnya, tapi ketua partai Naga Langit yang
bernama Jien Wei Cen."
"Pastilah dia memiliki ilmu yang sangat hebat"
"Benar Nona Wang, ilmunya memang sangat hebat"
"Apakah sehebat ilmu pendekar Ma?"
"Aku yang bodoh ini tidak ada sepersepuluh
kemampuan Jien Wei Cen, nona Wang"
Meskipun Ma Han Jiang berkata dengan sungguh-sungguh
namun Mei Lin menganggapnya hanya merendah saja.
Lagipula baginya kehebatan pendekar Ma sungguh tak
tertandingi karena dapat mengalahkan Tiga Buaya Sungai
Kuning dan anak buahnya hanya seorang diri saja, bukankah
itu bukti kehebatan yang nyata. Tidak mungkin ada yang
lebih lagi daripada itu menurut Mei Lin.
"Satu lagi Nona Wang, jangan panggil aku Pendekar
Ma. Aku belum sanggup untuk menyandang nama
pendekar"
"Kalau begitu bolehkah aku memanggilmu Ma-take?"
"Eh iya, mungkin begitu saja"
"Ma take kalau begitu engkau juga jangan
memanggilku Nona Wang, panggil saja aku Wang-mei"
"Baiklah Non... eh Wang mei"- 56 "Aku ingin tahu mengenai cerita pertemuan para
pendekar di kuil Shaolin tadi Ma take"
"Mengapa kau tertarik No...Wang mei"
"Perjalanan kita masih jauh dan tidak enak rasanya
kita terus saling berdiam diri saja."
Ma Han Jiang merasa ada baiknya perkataan ini.
Selama dalam perjalanan ini dia diam saja dan hanya berkata
seperlunya saja dengan rombongan keluarga Wang.
Mungkin Mei Lin akan agak sedikit terobati kedukaannya
dengan mendengarkan ceritanya.
"Baiklah Wang mei, meski aku bukan orang yang
pandai bercerita, maafkan jika nanti Wang mei mengantuk"
"Tidak apa-apa Ma take. Aku mendengarkan"
Demikianlah Ma Han Jiang melanjutkan perjalanan
menuju kotaraja bersama rombongan keluarga Wang sambil
menceritakan pertemuan pendekar setahun yang lalu di biara
Shaolin.
Para pendekar mendapat undangan dari partai Naga
Langit Tien Lung Men untuk adu pi bu di biara Shaolin. Tien
Lung Men yang baru berdiri lima tahun sebelumnya itu
didirikan oleh Jien Wei Cen yang amat terkenal kehebatan
jurus Naga Langitnya. Ketua Jien amat berambisi menjadi
penguasa dunia persilatan, menjadi yang terhebat dan nomor
satu. Meskipun sudah mengalahkan ketua Partai Pasir Laut
(Hai Sa Bai) Chang Bai dan ketua Partai Pedang Matahari- 57 (Yang Cien Hui) Teng Hui Ci, namun dunia persilatan masih
belum mengakuinya sebagai yang terhebat sebelum dia
menaklukan induk segala macam ilmu silat, ketua partai
persilatan tidak tertulis, biara Shaolin alias Shaolin-bai!
Jien Wei Cen tidak tanggung-tanggung mengundang
semua ketua partai besar kecil dan para pendekar pengelana
yang terkenal untuk hadir dalam pertemuan itu. Tidak peduli
dari golongan putih atau hitam, asalkan dianggap punya
ilmu teratas, pasti akan diundang. Ini tidak lain untuk
membuktikan siapa yang terhebat dalam dunia persilatan
sekarang adalah dia sendiri, sang ketua Partai Naga Langit,
Jien Wei Cen.
Ma Han Jiang sang Pendekar Tendangan Kaki
Menggunting tentu saja tidak terlewatkan diundang
menghadiri pertemuan akbar itu. Meski bukan orang yang
gila pangkat dan ambisi, namun seperti semua pendekar
lainnya, pastilah paling gatal jika mendengar akan ada
tanding adu ilmu, apalagi pasti yang datang bertanding
adalah para pendekar kelas satu! Ma Han Jiang menyaksikan
sendiri kehebatan ilmu-ilmu tingkat tinggi yang tidak pernah
diperlihatkan sebelumnya. Kehebatan yang selama ini hanya
pernah dia dengar dan bayangkan, yang aslinya jauh
melebihi apa yang dia bayangkan. Ma Han Jiang meski
bukan pendekar kelas teri namun belum mencapai tahap
tertinggi dalam silat, apalagi sampai tahap nyaris sempurna
tak terkalahkan seperti Jien Wei Cen.- 58 Dalam pertandingan utama itu, Jien Wei Cen
bertanding dengan Fang Cang (kepala biara) Shaolin biksu
Tien Gong. Tidak pemah terbayangkan sebelumnya oleh Ma
Han Jiang akan kehebatan pertandingan itu. Meski tidak
memakai senjata, namun pertandingan itu jauh lebih dahsyat
daripada mereka yang bertanding dengan senjata. Fang
Cang Tien Gong yang sudah menguasai ilmu Se Pa Lo Han
(Delapan Belas Arhat Sakti) melawan Jien Wei Cen yang
dijuluki Sen Sou Mo Ciao (Tangan Dewa Kaki Iblis) berkat
kesempurnaan Ilmu Naga Langitnya! Pertandingan itu
memakan waktu sehari penuh sampai matahari terbenam
baru dapat ditentukan pemenangnya yaitu Jien Wei Cen
dengan selisih tipis saja. Selisih umur Fang Cang Tien Gong
dengan Jien Wei Cen hanya sepuluh tahun dan mengingat
tempat pertandingan dilaksakan di biara Shaolin, maka
kemenangan tipis tetaplah suatu keberhasilan hebat. Sejak
saat itu nama Jien Wei Cen dan nama partai Naga Langitnya
menjulang setinggi langit di dunia persilatan!
*** Maka tidak mengherankan jika pernikahan Jenderal
Han Kuo Li yang masa mudanya malang melintang di dunia
persilatan, juga mengundang banyak tokoh persilatan selain


Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

para keluarga bangsawan dan para jenderal. Partai-partai
besar seperti Shaolin, Tien Long Men, Hai Sa Bai dan
lainnya tidak ketinggalan diundang juga jago-jago
pengelana yang menjadi teman Jenderal Han.- 59 Kesibukan para pelayan bertambah karena mereka
harus tahu nantinya bagaimana mengatur posisi duduk para
tamu. Kesalahan kecil saja dapat berakhir dengan
pertempuran maka Jenderal Song Wei Hao sendiri yang
memimpin pengaturan kursi dan tata layan tamu.
Beruntunglah Han-cia-cuang merupakan gedung yang luas,
dengan halaman yang lebar sehingga memudahkan
pengaturan. Gedung sayap kanan diperuntukkan untuk
undangan dari keluarga bangsawan dan para jenderal,
sedang sayap kiri untuk undangan dari kalangan persilatan.
Halaman tengah berfungsi untuk keluarga besar Han dan Ye
dan telah dihiasi banyak lampion merah di atasnya. Ruang
tengah sendiri disiapkan untuk kedatangan Kaisar sehingga
dihias dengan megah sekali. Jenderal Han Kuo Li sendiri
memohon ijin kepada kaisar agar diperkenankan memajang
jubah kuning berhiaskan gambar naga lambang kaisar pada
tempat duduk utama di ruang tengah sebagai penghormatan
atas kedatangan kaisar. Jubah naga melambangkan kaisar
sendiri karena itu siapa yang berani melakukan tindakan
semena-mena di depannya akan dihukum mati! Jenderal
Han yang cerdik telah memikirkan cara itu karena sadar
akan sulitnya mengatur para pendekar dunia persilatan.
Apalagi tidak semua pendekar dan partai yang diundangnya
itu sepaham, ada yang golongan putih ada yang hitam dan di
antara putih-putih maupun hitam-hitam sendiri terjadi saling
selisih dan pertikaian yang tentunya amat berbahaya jika
bertemu pada satu tempat yang sama sekaligus.- 60 Jenderal Song Wei Hao sebagai wakil Jenderal Han
memeriksa persiapan terakhir di Han-cia-cuang. Persiapan
kelihatannya sudah hampir selesai, tinggal menghias pintupintu belakang dengan lambang kebahagiaan dan
keberuntungan saja. Jenderal Song mengangguk-angguk
tanda puas. Besok adalah hari besar dari sahabatnya yang
amat ia hormati, baik dalam ilmu silat, sastra, kepandaian
maupun kesetiaannya terhadap dinasti Tang. Dia tidak ingin
ada kesalahan yang terjadi dalam 15 hari perayaan
pernikahan Jenderal Han ini, sang Penguasa Empat Gerbang
kotaraja!
Setelah selesai memeriksa persiapan di Han-ciacuang, Jenderal Song menuju ke tempat penginapan terbesar
di kotaraja sambil menunggang kuda bersama beberapa
anak buahnya. Rakyat yang bertemu mereka sepanjang
perjalanan memberi hormat dengan tulus dan sukacita
mengingat keharuman nama Jenderal Han yang setia dan
adil itu juga para prajuritnya terkenal disiplin karena
hukuman dan aturan keras yang diterapkan. Mereka yang
melanggar akan dikenai hukuman berat bahkan tidak
mustahil hukuman mati.
Penginapan terbesar di kotaraja berada di jalan raya
menuju istana, bertingkat dua dan selalu ramai dikunjungi
para tamu. Hua Yen Ge Can (Penginapan Taman Bunga)
mempunyai 88 kamar dan selama 15 hari ini sudah diborong
semua oleh keluarga Ye untuk para tamu persilatan. Begitu
Jenderal Song tiba di depan penginapan, dua orang pelayan- 61 tergopoh gopoh menyambut keluar sambil membungkukbungkuk sampai tulangnya hampir patah. Jenderal Song
berjalan dengan langkah keren ke dalam dan bertemu
dengan pemilik penginapan yang sedang sibuk menulis.
Melihat kedatangan seorang pembesar, sang pemilik
penginapan segera menyambutnya.
"Jenderal Song, apa kabar? Kedatangan anda kemari
sungguh suatu kebanggaan bagi saya"
"Tidak perlu berlebihan. Aku ke sini hanya ingin
melihat apakah para tamu sudah berdatangan atau belum"
Pemilik penginapan segera mengeluarkan buku tamu
dan memeriksanya dengan teliti.
"Jenderal Song, hampir semua tamu undangan yang
ada dalam daftar sudah hadir, kecuali tiga Ma Han Jiang,
Yuan Jin Guan dan Fan Zheng"
Jenderal Song membuka daftar tamu yang dipegang
sang pemilik penginapan.
"Ma Han Jiang Pendekar Tendangan Kaki
Menggunting, Yuan Jin Guan ketua Tie Tau Hui (partai
Golok Besi) dan Fan Zheng, Nela Guo-Se (Guru Negara
Nela)"
"Mungkin mereka sedang dalam perjalanan ke
kotaraja, Jenderal Song"- 62 "Iya baiklah, besok pagi sebelum acara pernikahan,
aku akan mampir kemari lagi untuk mengantar para
undangan ke Han-cia-cuang"
"Kedatangan Jenderal Song akan saya nantikan
dengan senang hati"
Sang pemilik penginapan mengantarkan Jenderal
Song keluar dan membungkuk dengan hormat ketika dia
menaiki kudanya meninggalkan penginapan tersebut.
Hatinya merasa lega karena Jenderal Song puas dengan hasil
kerjanya dan tentu saja harapannya akan mendapatkan uang
terima kasih yang besar dari bangsawan Ye akan terwujud.
Tersenyum-senyum membayangkan untung besar itu dan
ketika hendak masuk dia mendengar ribut-ribut di ujung
jalan. Tampaknya terjadi kehebohan karena banyak di antara
penduduk kotaraja yang lari berhamburan dari ujung jalan
itu sambil berteriak ketakutan. Pemilik penginapan itu
dengan waspada dan gentar menantikan apa yang akan
terjadi. Tanah yang diinjaknya terasa bergetar hebat
sehingga tanpa terasa tubuhnya menggigil ketakutan.
Sebentar tampaklah apa yang menyebabkan
ketakutan hebat dan tanah bergetar itu. Hampir saja pemilik
penginapan itu pingsan jika saja dia tidak pernah bepergian
ke barat sebelumnya. Kiranya tiga ekor gajah sedang
berjalan di tengah jalan kotaraja dan dikawal oleh
serombongan tentara yang kelihatannya juga takut-takut
berjalan terlalu dekat dengan rombongan gajah itu. Bagi
penduduk yang belum pernah melihat gajah, tentunya akan- 63 sangat menakutkan melihatnya. Apalagi gajah itu dihiasi
dengan lempeng besi pada tubuhnya, menambah sangar bagi
yang melihatnya. Di atas gajah pertama dan ketiga duduk
masing-masing tiga orang asing berpakaian merah, bertopi
jambul tinggi berwarna merah pula. Pedang melengkung
tersandang di pinggang tiap orang, wajah mereka merah dan
mata mereka awas memandang, menunjukkan mereka
bukanlah orang sembarangan. Namun yang menarik
perhatian adalah penunggang gajah yang di tengah. Kakek
itu sendirian saja duduk bersila di atas punggung gajah.
Sikapnya semedi dan matanya tertutup, bibirnya komat
kamit seperti membaca doa sikapnya tenang sekali seakan
tidak mempedulikan keadaan di sekitarnya. Meskipun
pakaiannya sama merahnya dengan para penunggang lain,
ada tambahan jubah sutera berwarna ungu serta berlian ungu
pula yang menempel di topinya. Meskipun sudah berumur
namun wajahnya masih tampak segar dan sehat.
Rombongan aneh itu berhenti persis di depan
penginapan. Keenam orang asing yang duduk di depan dan
belakang rombongan melompat turun dengan ringan sekali
sehingga lebih tepat disebut melayang! Mereka berbaris
dengan rapi di hadapan kakek berjubah ungu itu dan
membungkuk dalam sekali. Kakek itu menghentikan komat
kamitnya, membuka matanya dan menoleh ke arah
kerumunan penonton dengan sikap keren. Tanpa
menggerakan tangannya yang tetap dalam posisi semedi,
kakek itu bangkit berdiri di atas punggung gajah dan
melayang turun. Pemilik penginapan itu menggosok gosok- 64 matanya tidak percaya. Jika tadi enam orang itu hanya
kelihatan melayang, namun kakek jubah ungu ini benarbenar melayang seperti kapas layaknya. Bahkan ketika
kakinya mencapai tanah tidak terdengar suara ataupun
kepulan debu, benar benar ringan!
Kakek jubah ungu itu melangkah keren ke arah
penginapan diikuti keenam pengawalnya. Seorang prajurit
kepala yang ikut bersamanya segera maju menghampiri
pemilik penginapan yang masih melongo menyaksikan
kejadian barusan.
"Lau pan, beliau ini adalah Fan Zheng guru negara
dari negara tetangga kita Nela. Harap diantar ke kamar"
"Tentu tentu" kata pemilik penginapan itu
terbungkuk-bung-kuk sambil mempersilahkan tamu agung
itu masuk.
"Amitabha, terima kasih atas kemurahan anda.
Mohon disediakan juga kamar untuk keenam murid pinchengini. Sedang untuk ketiga gajah kami akan diurus oleh
keenam muridku."
"Ah ya tentu Guo-se"
Melihat tamu yang diantarnya telah tiba di tempat,
para prajurit yang belasan orang itu kembali berbaris menuju
ke gerbang barat. Keenam murid Fan Zheng menuntun
ketiga gajah itu ke belakang penginapan yang ternyata
memiliki lapangan lebar untuk tempat kandang kuda. Tentu- 65 saja meskipun cukup besar, lapangan itu jadi kelihatan sesak
sekali kedatangan tiga ekor gajah dewasa yang besar-besar.- 66 3. Pertemuan Kekasih dan Pendekar
Esok harinya, pagi-pagi sekali, rumah bangsawan Ye
sudah ramai sekali dengan suara petasan. Seluruh pembantu
keluarga sibuk mempersiapkan barang-barang yang akan
dibawa pengantin wanita ke rumah barunya. Nampannampan merah berisi perhiasan dan peti-peti pakaian
diangkat keluar oleh belasan pelayan. Di kamar pengantin
wanita yang dihiasi banyak pita merah dan lambang nikah,
tiga orang pelayan sibuk merias Ye Ing yang sebentar lagi
akan menjadi istri Jenderal Han. Di sampingnya berdiri mak
comblang yang tidak henti-hentinya mengucapkan selamat
sambil terbungkuk-bungkuk, tentu saja dengan berharap
perbuatannya itu akan diganjar angpau besar oleh
bangsawan Ye nantinya.
Di ruang tengah yang besar, bangsawan Ye dan
istrinya sibuk melayani tamu-tamu yang sedari pagi sudah
datang sambil membawa banyak hadiah pernikahan.
Bangsawan Ye merupakan orang terpandang di kotaraja dan
kenalan para keluarga raja, apalagi sekarang kembali
bermenantukan seorang jenderal besar, pastilah banyak
yang menjilat untuk mendapatkan keuntungan nantinya.
Bangsawan Ye memang seorang yang tamak dan mudah
disuap, apalagi jika barang yang diberikan itu adalah barang
giok yang mahal-mahal, yang merupakan kegemarannya.
Tidak heran jika meja hadiah hari itu berjejer banyak sekali
patung giok yang mahal-mahal dan antik-antik. Ada yang- 67 berbentuk singa sebesar lengan, burung hong setinggi
pinggang, ataupun patung Buddha yang rumit sekali
ukirannya. Sambil tersenyum-senyum bangsawan Ye
memandangi semua hadiah itu sambil tidak lupa menyuruh
pelayannya mencatat dengan teliti hadiah-hadiah dari siapa
saja itu.
Nyonya Ye pun tidak ketinggalan kebagian banyak
hadiah berupa emas dan mutiara perhiasan. Meskipun
sebenarnya itu diperuntukkan bagi Ye Ing namun keluarga
bangsawan kaya seperti mereka sudah membekali anaknya
banyak perhiasan sehingga hadiah itu semua akan jadi milik
nyonya Ye karena Ye Ing sendiri sejak kecil sudah
dipersiapkan banyak perhiasan sebagai bekal nikah
nantinya.
Ye Ing sendiri berkaca sambil tersenyum-senyum.
Matanya yang bundar, bibirnya yang merah kuncup
bagaikan bunga merekah benar-benar menambah
kecantikan dirinya. Apalagi hari itu ia dirias benar sehingga
pakaiannya merah gemerlap bersulam benang emas, hiasan
kepala mutiara dan emas berkelipan, benar-benar bagaikan
dewi turun dari kahyangan.
Mak comblang yang mendampingi Ye Ing dirias tidak
henti-hentinya memuji kecantikan dan keberuntungannya.
Tentu saja dengan harapan akan mendapat bagian hongpao
yang besar nantinya. Apalagi ketika Nyonya Besar Ye
datang masuk, dengan terbungkuk-bungkuk mak comblang
itu menyambutnya. Nyonya Besar Ye mengangguk kepada- 68 seorang pelayannya dan pelayan itu memberikan sebungkus
hongpao besar tebal kepada mak comblang yang segera
disambut mak comblang itu sambil tersenyum lebar.
Nyonya Besar Ye memberi isyarat dengan tangan supaya
kedua pelayan serta mak comblang itu keluar. Mereka
segera keluar dan menutup pintu.
Ye Ing yang sedang memarut-marut diri di depan
cermin, tersenyum kepada ibunya yang hari itu memakai
baju paling indah dan hiasan terbaiknya juga.
"Ing-er (anak kesayangan Ing) sebentar lagi kamu akan
masuk menjadi keluarga Han. Kamu harus menjaga sikap
dan ingatlah pesan-pesan ibumu ini"
"Tentu saja ibu, Ye Ing tidak akan memalukan nama
keluarga"
"Baguslah. Meski engkau masuk keluarga Han
sebagai istri ketiga namun jangan pernah mau menjadi yang
terakhir. Harus mampu membawa diri dan menyenangkan
suamimu maka semuanya akan beres"
Ye Ing tersenyum sambil mengangguk. Sebagai
seorang nona besar dari keluarga bangsawan terpandang Ye,
ia sudah bertekad tidak akan sudi mengalah pada istri kedua,
apalagi ia merasa kedudukannya adalah menggantikan istri
pertama keluarga Han yaitu kakaknya yang sudah
meninggal.- 69 Setelah semua persiapan selesai dan matahari mulai
meninggi, rombongan pengantin wanita mulai berangkat ke
kediaman Jendral Han. Paling depan rombongan membawa
papan merah besar bertuliskan suang si (pernikahan) dan
tulisan marga Ye.
Berturut-turut di belakangnya menyusul rombongan
peniup terompet yang berpakaian serba merah, kemudian
rombongan pembawa genderang baru kemudian tandu
pengantin wanita yang dipanggul empat orang. Terakhir
rombongan pengawal berkuda dari pasukan Jendral Han


Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang ikut mengawal. Rombongan itu berangkat melewati
tengah kota dan menjadi perhatian penduduk kota raja yang
memang sudah menantikan hari pernikahan ini. Decak
kagum penduduk kotaraja melihat rombongan pengantin
wanita dan tandunya yang dihias dengan sutra halus dan
emas. Juga para pasukan pengawal Jendral Han yang hari itu
semuanya memakai selempang merah di baju zirah mereka,
menambah kegagahan dan kemewahan rombongan itu.
Perjalanan dari kediaman keluarga Ye ke rumah
Jenderal Han memakan waktu setengah hari karena
mengambil jalan memutar agar seluruh penduduk kotaraja
dapat memberi selamat dan menyaksikan rombongan
mempelai yang megah itu. Matahari hampir tepat di atas
kepala ketika akhirnya rombongan itu tiba di ujung jalan.
Para pelayan keluarga Han dengan tergopoh-gopoh segera
berhamburan keluar gerbang dan berjajar rapi menyambut
kedatangan nyonya baru mereka.- 70 Jenderal Han Kuo Li sendiri menunggu pengantin
wanita di ruang tengah. Hari itu dia memakai pakaian
kebesarannya lengkap dengan topi besi dan perisai dada,
hanya saja ada tambahan khusus berupa selempang sutra
bunga merah yang menunjukkan dialah sang pengantin pria
hari itu. Wajahnya yang dihiasi kumis melintang itu semakin
membuat gagah penampilannya yang berkharisma tinggi
sebagai seorang jenderal besar di jamannya. Di sebelah
kanannya berdiri bawahan terpercayanya sekaligus
sahabatnya sejak remaja, Jenderal Song Wei Hao yang pada
hari itu juga memakai pakaian terbaiknya.
Ruangan tengah yang besar, hari itu menjadi
kelihatan kecil karena penuh sesak oleh para kerabat dari
keluarga kedua mempelai. Keluarga besar Han kebanyakan
adalah keluarga jauh mengingat kebanyakan keluarga Han
telah gugur menjadi patriot bagi bangsanya. Sementara
keluarga bangsawan Ye yang sebagian besar saudagar hari
itu memakai pakaian sutra terbaik mereka dan nyonya
mereka menggunakan perhiasan yang mahal-mahal pada
saat yang istimewa itu. Mereka semua melongokkan kepala
untuk melihat dengan lebih jelas pengantin wanita yang
datang digendong oleh mak comblang memasuki gerbang
wisma keluarga Han.
Bersamaan dengan itu, mercon disulut dan meledak-ledak
meramaikan suasana. Semua yang hadir bertepuk tangan
dengan gembira ketika mempelai wanita diturunkan dari
gendongan dan kedua kain sutra merah milik pengantin- 71 diikat menjadi satu sebagai tanda persatuan pernikahan. Ye
Ing yang kepalanya ditutupi oleh kain sutra merah kemudian
berjalan di belakang mengikuti suaminya menuju ke
pelaminan. Di sana sudah menunggu Han Sien, satu-satunya
paman Han Kuo Li yang masih hidup. Han Sien meskipun
sudah kelihatan tua dan tidak sehat, namun sorot matanya
masih menunjukkan kecerdasan dan keteguhan hati seorang
sastrawan yang selalu membela kebenaran dan mencintai
negaranya.
Han Kuo Li berhenti tepat di depan pamannya,
membimbing Ye Ing untuk berlutut sebelum dia sendiri
berlutut di depan pamannya. Mak comblang segera
menuangkan dua cangkir teh dan memberikannya kepada
Han Kuo Li dan Ye Ing. Cangkir teh itu segera diteguk
dengan bahagia oleh Han Sien.
"Aku mewakili ayahmu minum penghormatan ini,
semoga beliau dan seluruh leluhur keluarga Han ikut senang
dan bangga atas pernikahan ini."
Sambil berkata demikian Han Sien mengeluarkan
sebuah bungkusan dari dalam kantongnya. Bungkusan dari
kain sutera berwarna hijau itu kelihatan sekali berisi benda
berharga karena Han Sien mengambilnya dengan hati hati
sekali. Para hadirin dengan penasaran ikut lebih mendekat
dan mendongakkan kepala agar dapat melihat lebih jelas
lagi.- 72 "Li-er, ini adalah warisan keluarga secara turuntemurun. Sebutir permata naga yang ditemukan oleh
kakekmu di Laut Selatan puluhan tahun lalu. Menurut tabib
istana, ini berkhasiat sekali untuk memperpanjang umur.
Aku sudah tua dan tidak punya keturunan, tidak perlu lagi
benda ini. Semoga ini dapat berguna kelak bagi
keluargamu."
"Terima kasih banyak, Paman Sien"
Han Kuo Li menerima bungkusan itu dengan rasa
hormat Seketika itu ia merasakan ada hawa dingin meresap
keluar dari bungkusan sutera itu. Han Kuo Li segera
mengerahkan tenaga dalamnya untuk menahan rasukan
hawa dingin itu namun betapa kagetnya ketika tenaga dalam
yang dikerahkannya seperti amblas terserap permata naga
itu. Buru-buru ia menyimpannya ke dalam kantong bajunya
dan berniat menyelidikinya lagi nanti.
Setelah kedua mempelai menyampaikan
penghormatan kepada Han Sien, mereka berbalik kepada
yang hadir dan sekali lagi menghaturkan penghormatan atas
kedatangan semua undangan. Para pembantu kembali
menyulut perasan yang segera memeriahkan suasana. Mejameja segera digelar di ruang utama dan halaman, juga
lampion mulai digantung sebagai persiapan pesta nanti
malam.
Han Kuo Li dan Ye Ing mendapat tempat kehormatan
duduk di pelaminan tengah. Tepat di atasnya digantungkan- 73 jubah kuning bersulam naga emas sebagai lambang kaisar
yang tampak begitu gagah dan membuat orang segan
berbuat macam-macam. Semua kerabat dan handai taulan
berduyun-duyun menyampaikan salam dan ucapan selamat
ke pelaminan sehingga baik Han Kuo Li maupun Ye Ing
tidak sempat untuk duduk sebentar saja karena banyaknya
undangan yang maju ke depan menyampaikan selamat.
Tidak terasa matahari mulai condong ke barat dan
lampion mulai dinyalakan. Suasana di halaman menjadi
meriah dengan lampion yang berwarna merah menyala
bergantungan sepanjang halaman. Demikian pula dengan
ruangan utama dan ruang sayap. Semua lilin berwarna
merah dinyalakan sehingga menjadi terang benderang
layaknya siang hari saja. Gerbang kediaman keluarga Han
dibuka lebar-lebar sebagai tanda mulai menerima tamu dari
luar sekaligus perayaan besar-besaran yang diselenggarakan
bangsawan Ye selama lima belas hari ke depan.
Song Wei Hao bersama seorang pelayan yang bisa
membaca menulis menunggu di depan gerbang sambil
membawa lembaran catatan undangan. Setiap undangan
yang datang akan dicatat namanya dan disebutkan dengan
lantang oleh si pelayan. Satu persatu undangan mulai
berdatangan, ada yang dari kalangan bangsawan, pedagang
dan dunia persilatan. Song Wei Hao sebagai orang
kepercayaan Han Kuo Li yang sejak remaja sudah bersamasama tentu saja hampir mengenal semua undangan yang
hadir, hanya beberapa undangan dari keluarga Ye saja yang- 74 harus dicocokkan karena Song Wei Hao tidak begitu
mengenal mereka.
Sebenarnya dari pakaiannya saja, para undangan
sudah dapat ditebak dari kalangan mana. Para pedagang dan
saudagar memakai pakaian sutra yang bagus dan mahal
mahal, pembesar dan bangsawan memakai pakaian
bersulam naga sementara golongan yang terakhir yang
paling mencolok karena berpakaian aneh-aneh pastilah
mereka dari golongan persilatan.
"Pangeran kedelapan Huo tibaaaaaa!" teriak pelayan
yang berada di depan gerbang.
Serentak semua undangan yang sudah hadir berdiri
dan memandang ke arah pintu gerbang. Pangeran kedelapan
Huo adalah putra Kaisar yang paling pandai dan juga paling
merakyat. Sikapnya tidak sombong dan hormat kepada
menteri-menteri yang lebih tua sehingga dia sangat disegani
di kalangan bangsawan lainnya, bahkan lebih disukai
daripada putra mahkota Jin sendiri.
Sayang pangeran Huo lahir dari seorang selir dan
menurut tradisi seorang Kaisar harus lahir dari seorang
permaisuri kecuali bila permaisuri tidak dapat melahirkan
seorang putra. Sungguh disayangkan memang bakat besar
harus tersingkir karena tradisi! Namun itulah yang sering
terjadi dan menimbulkan banyak perpecahan yang akhirnya
menimbulkan kerusakan dan kesengsaraan.- 75 Pangeran Huo memasuki gerbang dengan gagahnya
diiringi dua orang pengawal kerajaan. Wajah pangeran Huo
benar-benar mempesonakan mereka yang melihatnya.
Alisnya tebal mendatar, matanya bersinar memancarkan
kepandaian pemiliknya, bibir dan pipi yang kemerahan sehat
dan kulit yang putih bersih. Tubuhnya tidak terlalu tinggi
tapi tegap sehingga saat memakai jubah bersulam naga dia
kelihatan sangat berwibawa sekali. Hiasan naga dari emas
menghiasi ikat kepalanya sehingga menambah decak kagum
saja mereka yang hadir di sana.
Pangeran Huo melangkah mantap menuju aula utama
dan segera disambut Song Wei Hao dan para pelayan. Song
Wei Hao membungkuk dalam sambil menjura menyambut
kedatangan sang pangeran.
"Hamba Song Wei Hao menghaturkan sembah,
semoga pangeran Huo dikarunai panjang umur oleh langit"
"Mien-li (ucapan bangsawan menerima sembah),
Jenderal Song tidak perlu terlalu sungkan. Hari ini adalah
hari bahagia dari Jenderal Han dan tentunya Jenderal Song
pastilah amat repot, silakan jenderal Song melakukan
tugasnya"
"Terima kasih pangeran Huo. Pelayan, antar
Pangeran ke meja yang telah disediakan" sambil kembali
membungkuk jendral Song mempersilakan pangeran Huo
masuk ke aula utama.- 76 Sang pelayan dengan tergopoh-gopoh berjalan
membungkuk mendahului pangeran Huo dan dua
pengawalnya menuju ke aula utama. Han Kuo Li yang sudah
mendengar kedatangan sang pangeran bergegas bangkit dari
kursinya dan menggandeng Ye Ing yang masih berkerudung
menemui sang pangeran.
"Hamba Han Kuo Li menyambut kedatangan
pangeran Huo, semoga pangeran Huo dikaruniai panjang
umur oleh langit"
"Mien li, mien li Jenderal Han. Hari ini adalah hari
bahagiamu, aku turut mengucapkan selamat atas
pernikahanmu ini. Semoga kamu dan istri dikaruniai
kebahagiaan dan banyak anak. Terimalah hadiah kecil
dariku ini"
Pangeran Huo menyorongkan tangannya kepada
seorang pengawalnya yang segera memberikan sebuah
bungkusan sutra emas kepada sang pangeran.
"Ini adalah ginseng seribu tahun dari pegunungan
Chang Bai di utara. Khasiatnya amat hebat untuk
memulihkan kesehatan, semoga bisa diterima oleh keluarga
Han sebagai hadiah dariku"
"Hamba mengucapkan beribu terima kasih" kata Han
Kuo Li sambil menerima bungkusan itu dengan hormat dan
memberikannya kepada pelayannya untuk disimpan
bersama-sama dengan hadiah yang lain.- 77 "Silakan pangeran Huo duduk dan menikmati jamuan
hamba yang sederhana ini. Maafkan jika hamba tidak
melayani pangeran dengan baik"
"Ah Jenderal Han kau terlalu sungkan. Ini hari
bahagiamu tentunya kau sangat sibuk, aku bisa bercakapcakap dengan para undangan yang lain"
Pangeran Huo berlalu diiringi kedua pengawalnya
menuju aula tengah yang semua mejanya ditata khusus
untuk pangeran dan bangsawan kelas tinggi. Sifatnya yang
ramah dan mudah bergaul itulah yang menyebabkan dirinya
disukai oleh semua kalangan. Apalagi pengetahuan
pangeran Huo amat luas termasuk tata negara, sastra dan
juga silat, dan untuk yang terakhir ini sedari kecil sang
pangeran sudah berguru kepada salah satu dari San-TaWang-Pao (Tiga Besar Pengawal Kerajaan) yaitu Cing Lun
Xiahou Yen (Xiahou Yen si Roda Emas) tentunya ilmu
pangeran tidak bisa dipandang sebelah mata saja.
Perlu pembaca ketahui sebelumnya bahwa selain
Jenderal Empat Gerbang Han Kuo Li yang mempunyai ilmu
tinggi di kalangan istana masih ada lagi tiga jago besar yaitu
Cing Lun Xiahou Yen si Roda Emas, Wang Tao Feng Ming
si Golok Raja dan terakhir Tie Sa Cang Lu Xun Yi si Tapak
Pasir Besi yang dijuluki Tiga Besar Pengawal Kerajaan.
Namun yang paling sering berada di ibukota hanyalah Han
Kuo Li sementara tiga jagoan yang lain datang dan raib
begitu saja tanpa permisi dan tanpa dapat dicegah oleh
siapapun juga. Mereka sering tiba-tiba datang begitu saja di- 78 saat keadaan genting sehingga mereka yang akan menyusup
ke dalam istana harus berpikir seribu kali sebelum
melakukannya karena salah langkah sedikit saja bisa berarti
harus berhadapan dengan mereka. Konon bahkan gabungan
San-Ta-Wang-Pao ini sanggup mengimbangi kehebatan
ketua partai Naga Langit Jien Wei Cen!
Dengan langkah-langkah ringan pangeran Huo
menuju ke meja yang telah disediakan dan segera disambut
hormat oleh Han Sien. Mereka segera terlibat percakapan
dengan hangat bersama tamu-tamu bangsawan lainnya.
Sebentar saja aula tengah dan halaman sudah hampir penuh
oleh para undangan, tapi aula sayap kiri dan sayap kanan
masih sepi. Song Wei Hao memeriksa kembali undangan
dari kalangan persilatan.
"Pelayan coba lihat berapa undangan yang sudah
datang dari kalangan persilatan" tanya Song Wei Hao
kepada pelayan penerima tamu.
"Sebentar Jenderal Song, hamba periksa dulu. Yang
telah datang ada 20 orang masih kurang sekitar 100
undangan lagi" "Baiklah kembali ke tugasmu semula"
Song Wei Hao menghela nafas panjang. Memang
orang-orang dunia persilatan amat sulit diatur namun
untunglah pesta masih panjang,sekitar lima belas hari lagi
wisma keluarga Han dibuka untuk mereka yang datang
mengucapkan selamat.- 79 Sementara di meja, jamuan makan telah dihidangkan


Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan mewah sekali. Berbagai masakan yang paling enak
dan aneh-aneh yang biasanya tidak pernah disajikan, hari itu
disajikan dengan berlimpah ruah. Demikian pula arak
terbaik disajikan dengan melimpah sekali sehingga
beberapa tamu yang tidak kuat mulai mabuk. Suasana
menjadi semakin meriah dengan munculnya para penari dan
pemain musik yang menghibur para tamu pada malam itu.
Bangsawan Ye dan istrinya amat bangga
menyaksikan pernikahan putri mereka berlangsung lancar
dan meriah. Para tamu undangan dari kalangan bangsawan
juga semuanya hadir. Deretan hadiah yang mahal-mahal
berjajar di pintu masuk, membuat senyum bangsawan Ye
dan istrinya semakin mengembang.
"Pangeran ketiga Sie tibaaaaa"
Teriakan penjaga pintu itu segera menarik perhatian
para tamu. Pangeran Sie adalah putra ketiga dari Selir Xiao.
Penampilannya tinggi dan gagah, wajahnya tampan
mewarisi kecantikan ibunya. Namun sangat disayangkan
Pangeran Sie mempunyai sifat tinggi hati sehingga tidak
disukai oleh kalangan bangsawan dan menteri
pemerintahan. Di samping itu pangeran Sie terkenal sebagai
pangeran hidung belang dan tidak malu-malu mengambil
istri orang sebagai gundiknya. Selir Xiao tidak pernah
menegur putra kesayangannya ini karena diapun sebenarnya
diam-diam juga mempunyai banyak simpanan yang- 80 diselundupkan ke istana, maka cocok sekali hubungan ibu
dan anak yang sama-sama rusak moralnya ini.
Malam itu pangeran Sie memakai baju kerajaan
berwarna merah bersulamkan naga warna biru. Dengan
langkah mantap dia berjalan memasuki pintu gerbang dan
segera disambut oleh Song Wei Hao.
"Hamba Song Wei Hao menyambut kedatangan
pangeran Sie, semoga pangeran Sie diberkati panjang umur
oleh langit"
Tanpa menoleh sedikitpun, pangeran Sie hanya
mengibaskan tangannya ke arah Song Wei Hao. Dagunya
terangkat tinggi dan matanya tetap memandang ke depan.
Benar-benar sikap menjemukan!
Pelayan keluarga Han dengan tergopoh-gopoh segera
mengantarkan pangeran Sie ke meja yang telah disediakan
untuk keluarga kerajaan. Dia tahu salah sedikit saja
melayani pangeran Sie, kepalanya bisa copot dari batang
lehernya! Karena itu ia sangat berhati-hati dan hormat
mengatur meja untuk pangeran Sie dan sambil membungkuk
dalam-dalam mempersilakan pangeran Sie untuk duduk.
Pangeran Huo yang melihat kedatangan saudaranya
yang lebih tua, segera bangkit dari tempat duduknya dan
menjura memberi hormat.
"Adik memberi hormat kepada kakak ketiga, semoga
kakak ketiga diberkahi oleh langit"- 81 "Ah, adik kedelapan kiranya sudah datang terlebih
dahulu. Tidak perlu sungkan-sungkan. Malam ini aku
sengaja datang untuk meramaikan suasana. Di mana kiranya
pengantin yang berbahagia itu? Aku harus memberi selamat
kepada Jenderal Han atas pernikahannya ini"
"Silakan kakak ketiga" kata pangeran Huo dengan
sopan sambil tetap membungkuk.
Sementara di meja utama, Han Kuo Li sedang
kerepotan melayani tamu-tamu yang memaksa minum arak.
Masing-masing tamu berganti minta dilayani satu cangkir,
sehingga bisa dibayangkan berapa cangkir yang telah
diminum oleh Han Kuo Li karena tamu yang datang sangat
banyak. Beruntung Han Kuo Li sudah terbiasa minum arak
sehingga bisa kuat minum arak baik beberapa kendi
sekaligus!
Ketika melihat pangeran Sie datang, Han Kuo Li
segera meletakkan cangkirnya dan menyambutnya dengan
hormat.
"Hamba Han Kuo Li menyambut kedatangan
pangeran ketiga Sie, kiranya diberkahi panjang umur oleh
langit"
"Ah, Jenderal Han tidak perlu sungkan. Hari ini
adalah hari berbahagia untuk Jenderal Han. Menikah lagi
setelah lama menduda adalah suatu keberuntungan, apalagi
menikah dengan adik sendiri tentu menjadi kebahagiaan
tersendiri" kata pangeran Sie dengan tersenyum mengejek.- 82 Kata-kata yang diucapkan ini tentu amat kurang ajar
sekali, namun karena sadar bahwa yang mengucapkannya
seorang pangeran, Han Kuo Li berusaha menahan
perasaannya.
"Hamba hanya bisa bersyukur kepada langit dan
Kaisar atas segala keberuntungan ini"
"Ha ha ha ha bagus sekali, nah aku bersulang untuk
keberuntunganmu" kata pangeran Sie sambil mengangkat
cangkir arak yang telah disediakan pelayan.
"Jenderal Han, kudengar anda sangat suka minum
arak jadi hari ini aku bawakan arak istana yang terbaik, Arak
Tujuh Langkah. Kuharap Jenderal Han tidak berkeberatan
untuk meminumnya bersamaku" sambil berkata begitu
pangeran Sie mengangkat tangan memberi tanda kepada
pengawalnya untuk membuka bungkusan kuning berisi guci
arak yang dibawanya sebagai hadiah. Arak Tujuh Langkah
adalah arak yang amat keras dan memabukkan, yang
meminumnya tidak akan kuat lagi berjalan lebih dari tujuh
langkah, sehingga ketika penutup guci dibuka, bau harum
arak sudah cukup memabukkan mereka yang tidak kuat.
Han Kuo Li menyadari pangeran Sie sedang menguji
kekuatan dan kesetiaannya sehingga ketika pengawal
pangeran Sie menuangkan arak Tujuh Langkah ke dalam
cangkir, diam diam ia mengumpulkan tenaga dalamnya di
lambung.- 83 "Nah, Jenderal Han aku bersulang untukmu" sambil
tersenyum mengejek pangeran Sie mengangkat cangkirnya
sendiri yang berisi arak biasa dan menyodorkan cangkir arak
Tujuh Langkah kepada Han Kuo Li.
"Terima kasih pangeran Sie" ucap Han Kuo Li sambil
meneguk arak Tujuh Langkah dalam cangkir hingga habis.
Tenggorokan Han Kuo Li terasa seperti terbakar ketika arak
Tujuh Langkah meluncur memasuki mulurnya. Bau arak itu
begitu harum dan kuat sehingga tanpa terasa Han Kuo Li
merasa kepalanya pusing dan berputar-putar. Namun segera
ditahannya semua akibat arak itu dengan mengerahkan
tenaga dalam yang telah disimpan di lambungnya sehingga
pengaruh arak itu tidak sampai diserap oleh tubuhnya.
"Arak bagus, arak bagus, sekali lagi hamba ucapkan
terimakasih atas hadiah ini. Silakan pangeran Sie menikmati
jamuan sederhana ini, maafkan jika pelayanan hamba tidak
memuaskan. Pelayan, silakan antar pangeran Sie ke meja
tamu agung" kata Han Kuo Li sambil mempersilakan
pangeran Sie untuk duduk di deretan tamu agung.
"Jenderal Han memang sesuai apa yang dikatakan
orang. Benar-benar terkesan." ucap pangeran Sie sambil
berlalu menuju meja tamu agung yang telah dipersiapkan
untuk para pangeran. Sebenarnya pangeran Sie menahan
kegeraman hatinya melihat rencananya mempermalukan
Han Kuo Li gagal, ia tidak habis pikir bagaimana arak Tujuh
Langkah yang sudah berumur hampir 50 tahun tidak
sanggup memabukkan Jenderal Empat Gerbang. Padahal- 84 tanpa setahu pangeran Sie dan siapapun juga, Han Kuo Li
mengerahkan tenaga dalamnya di lambung untuk menahan
pengaruh arak itu dan setelah pangeran Sie berlalu agak
jauh, Han Kuo Li segera mengambil cangkir arak dan
memuntahkan kembali arak Tujuh Langkah itu tanpa setahu
siapapun. Han Kuo Li bernafas lega kembali setelah
memuntahkan arak Tujuh Langkah. Nafasnya kembali
teratur dan sambil kembali melayani tamu-tamu yang makin
banyak berdatangan, Han Kuo Li mengatur peredaran darah
dan tenaga dalamnya kembali.
Kita tinggalkan dulu sejenak keramaian pesta
pernikahan Jenderal Han Kuo Li. Wisma Han seperti
tersedot semua di balairung utama sehingga ruang-ruang
lainnya seperti terlupakan. Padahal di salah satu sudut
belakang rumah itu, dua orang wanita tampak sedang
berbicara dengan serius. Yang seorang sudah tua, berambut
putih disanggul sederhana, berpakaian pelayan dan kerutkerut wajahnya banyak sekali menandakan usianya sudah
uzur namun matanya memancarkan kelembutan hati
seorang ibu. Sedang yang seorang lagi berpenampilan
lembut, wajahnya kemerah-merahan dan rambutnya
disanggul ke atas dengan tusuk sanggul giok putih. Ia
memakai pakaian sutera halus warna biru yang amat
longgar, tampaknya sedang hamil tua. Keduanya bercakapcakap di taman yang menghadap ke kolam teratai. Cahaya
bulan berpendar-pendar di atas permukaan air kolam yang
dihiasi banyak bunga teratai bermekaran. Suasana sunyi- 85 senyap sehingga suara pesta keramaian di balairung depan
terdengar lamat-lamat di kolam teratai itu.
"Han Tai-Tai (nyonya Han), mengapa anda masih
saja bersedih di sini? Lebih baik Tai-Tai beristirahat saja di
kamar. Angin malam tidak baik bagi kesehatan, apalagi TaiTai sedang mengandung tua. Jika Tai-tai tidak kasihan pada
diri sendiri, kasihanilah bayi dalam kandungan Tai-tai" kata
si pembantu tua itu dengan iba.
"Chen Yi-Ma (Bibi Tua Chen), bagaimana mungkin
aku dapat tidur pada hari ini. Di luar sedang berlangsung
pernikahan suamiku dengan putri bangsawan Ye, sementara
aku dilarang menghadirinya. Aku tidak menentang
pernikahan ini, karena sebenarnya pantas bagi seorang
jenderal besar untuk mempunyai besar untuk mempunyai
beberapa istri, apalagi ini adalah adik dari mendiang istrinya
yang dahulu. Tapi keluarga bangsawan Ye melarang aku
menghadirinya dengan alasan yang tidak jelas membuat aku
merasa disisihkan dan tidak diterima dalam keluarga Han"
"Han Tai-Tai, meski Chen Yi Ma ini bodoh dan tidak
pernah mengerti kitab dan ujar-ujar kuno yang penuh
kalimat bijaksana tapi pengalaman hidup banyak
mengajarkan pada Chen Yi Ma tentang kesedihan dan
penderitaan. Han Tai-Tai meski berkata tidak menentang
pernikahan Han Lau-Ye (Tuan Besar Han) tapi istri mana di
dunia ini yang tidak sedih melihat suaminya menikah lagi?
Apalagi keluarga bangsawan Ye selalu dengan angkuhya
merendahkan nyonya. Sebaiknya Han Tai-Tai tidak menipu- 86 diri sendiri dan memendam kesedihan karena tidak baik bagi
kesehatan bayi dalam kandungan nyonya"
"Chen Yi Ma, engkau memang bijaksana dan
mengerti isi hatiku, tapi bila suamiku saja tidak berdaya
menghadapi tekanan mereka apalagi aku yang tidak
mempunyai apa-apa ini"
Tidak terasa air mata menetes dari pelupuk mata si
nyonya yang sedang hamil tua itu, yang tidak lain adalah Pai
Lien, istri kedua Han Kuo Li yang diboyongnya dari daerah
utara, sedangkan bibi tua itu adalah Chen Yi Ma pelayan
setia keluarga Han sejak jaman ayah Han Kuo Li masih
kecil.
Sambil menyeka air mata yang meleleh di pipinya
yang putih bersih, Pai Lien masih berusaha tersernyum
kepada Chen Yi Ma.
"Chen Yi Ma, apapun yang terjadi, suamiku tetap
suamiku. Meskipun hari ini aku bersedih, tapi selama
setahun lebih ini aku telah mengalami hari-hari yang paling
membahagiakan dalam hidupku. Kasih sayang kami sudah
akan lahir, anakku aku sudah tidak sabar melihat wajahmu"
kata Pai Lien sambil mengelus-elus perutnya yang buncit
besar.
Sambil memandang ke langit cerah di mana bintang
bintang bersinar terang karena bulan sedang tidak ada, Pai
Lien berkata kepada Chen Yi Ma,- 87 "Jika anakku lahir seorang putra aku akan
menamainya Sing (bintang) dan kalau seorang putri aku
akan menamainya Ye (bulan), karena aku dan suamiku
pertama kali bertemu saat memandang bulan dan bintang di
langit malam utara"
"Han Tai-Tai, nama apapun yang diberikan nantinya
saya percaya bahwa anak dalam kandungan nyonya pasti
akan mewarisi kegagahan ayahnya dan kecantikan ibunya.
Nyonya berdoa saja kepada langit agar diberkahi seorang
anak yang sehat dan berbakti pada negara dan keluarga. Kata
orang bijaksana seorang anak yang berbakti bernilai seribu
kali lipat dari pada harta"
Pai Lien, mengangguk pelan. Perasaan gundahnya
sedikit tertutupi oleh harapan akan lahirnya anak pertama
mereka, yang mungkin akan menjadi tumpuan kasih dan
harapan keluarga.
Chen Yi Ma melihat nyonya sudah tidak begitu sedih,
melihat kesempatan untuk mengajaknya beristirahat namun
Pai Lien menggeleng.
"Chen Yi Ma bila melihat langit malam, aku akan
merasa seperti berada di kampung halaman. Setiap malam,
aku selalu melihat langit dan bintang-bintang berharap bisa
seperti para dewa dewi terbang ke kahyangan dan duduk di
atas rembulan, melihat seluruh bumi. Aku sudah terbiasa
dengan hawa dingin malam hari, Chen Yi Ma tidak perlu
khawatirkan aku"- 88 "Baiklah Tai-Tai, kalau begitu biarlah kita di sini
sebentar lagi. Langit malam ini memang cerah sekali,
bintang bintang bersinar dengan indah, sungguh hebat
ciptaan langit. Wah nyonya, ada satu bintang merah yang
sangat terang, bintang apa ya namanya"
"Oh itu, yang itu namanya Bintang Perang"
"Kalau yang itu..."
Pai Lien sejenak dapat melupakan kesusahan
hidupnya. Dia tahu keluarga bangsawan Ye pasti tidak
senang akan kehadirannya namun pengabdiannya sebagai
seorang istri tidak akan bisa dihapus oleh apapun juga. I Re
Fu Ji Pai Re En (sehari menjadi suami istri, selamanya tidak
akan terpisahkan) adalah kata-kata yang senantiasa
dipegang oleh pasangan yang saling mencintai. Hidup suami
istri adalah kehidupan yang paling membahagiakan bagi
setiap wanita, tidak terkecuali mereka yang mengalami
badai kehidupan seperti yang sedang dialami Pai Lien.


Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pesta pernikahan di kediaman keluarga Han itu sangat
meriah sehingga keramaiannya terdengar sampai gerbang
selatan kotaraja. Pintu gerbang yang terbuat kayu besi yang
amat tebal dan kuat itu sudah ditutup dan obor-obor sudah
dinyalakan di atas benteng sehingga suasana gerbang
menjadi terangbenderang. Para pedagang dan penduduk
ibukota yang masuk terakhir sebelum gerbang ditutup
mengucapkan terimakasih kepada para penjaga karena jika
mereka kemalaman maka mereka harus tidur bermalam di- 89 desa-desa terdekat yang tentu saja berjarak paling tidak
beberapa li dan juga tidak aman karena binatang buas dan
ancaman para perampok yang selalu mengancam.
Di antara rombongan terakhir yang masuk gerbang
kotaraja adalah sebuah tandu yang memakai tanda
berkabung dengan tiga laki-laki yang berjalan di
belakangnya. Yang dua orang sudah tua, berpakaian pelayan
dan tampaknya sudah kelelahan karena berjalan jauh sedang
yang seorang lagi masih muda, tubuhnya tegap, memakai
pakaian sederhana dan tampaknya seorang pengelana yang
sudah biasa berjalan jauh. Pembaca tentunya sudah dapat
menebak bahwa dia adalah Ma Han Jiang dan rombongan
Wang Mei Lin.
Mereka sudah berjalan siang malam untuk mengejar
waktu ke kotaraja termasuk membayar tukang tandu
tambahan sehingga perjalanan tidak banyak terhenti.
Untunglah akhirnya mereka bisa tiba tepat waktu di kotaraja
tepat sebelum gerbang selatan ditutup. Kini rombongan itu
berjalan menyusuri jalan utama kotaraja menuju ke arah
utara, tempat dilaksanakannya pesta besar Jenderal Han Kuo
Li. "Ma ta-sia, terimakasih telah mengantar kami sampai
di kotaraja ini dengan selamat. Kami sangat berterimakasih
atas budi baik tuan pendekar, kami tidak tahu bagaimana
kami bisa membalasnya nanti"- 90 "Eh, paman Wu dan paman Ye, saya juga senang
telah mempunyai teman seperjalanan. Dan seharusnya saya
yang meminta maaf karena paman berdua dan nona Wang
jadi harus ikut terburu-buru bersama aku menuju kotaraja."
"Tidak apa-apa Ma ta-sia, sekarang setelah masuk
kotaraja kami menjadi lebih tenang karena kami tidak lagi
menjadi beban bagi Ma ta-sia untuk menjaga kami. Di
manakah rumah Jenderal Han teman pendekar itu? Rumah
paman nona kami berada di sebelah utara kotaraja." kata
paman Wu
"Ah kebetulan sekali, rumah sahabatku juga berada di
utara. Ternyata perjalanan kita masih bisa diteruskan
bersama beberapa saat lagi" kata Ma Han Jiang sambil
tersenyum lebar.
Beberapa hari bersama paman Wu, paman Ye serta
nona Wang telah membuat Ma Han Jiang merasa akrab
dengan mereka. Sikap dan pribadi kedua pelayan tua itu
sangat hormat namun tidak kaku sehingga enak diajak
bercakap-cakap sepanjang perjalanan. Ma Han Jiang yang
sebenarnya suka berkelana seorang diri dan bebas, jadi
merasakan enaknya mempunyai teman seperjalanan.
Sedangkan nona Wang Mei Lin lebih banyak diam dan
beristirahat dalam tandu karena tidak terbiasa dengan
perjalanan panjang dan melelahkan ditambah lagi kedukaan
karena kehilangan keluarga menjadikannya pendiam.- 91 "Paman Wu, paman Ye, apakah paman berdua masih
ingat rumah paman ketiga?" tanya Wang Mei Lin sambil
menyibakkan kelambu tandu.
"Siau-cie jangan khawatir, aku beberapa kali pernah
ikut tuan ke kotaraja ke tempat paman siau-cie ini. Aku
masih ingat gedung keluarga paman ketiga yang besar dan
berhiaskan naga emas di wuwungannya. Pasti tidak akan
terlewatkan" jawab paman Wu
"Baiklah kalau begitu. Ma ta-ke terima kasih selama
beberapa hari ini telah mengawal kami. Terimalah
pemberian yang tidak seberapa untuk upah pengawalan"
Mei Lin mengeluarkan segenggam uang perak yang
dibungkus kain sutra dan menyodorkannya kepada Ma Han
Jiang.
Wajah Ma Han Jiang menjadi merah padam
Maling Yang Jujur Karya Fyodor Dostoyevsky Sekarsih Dara Segara Kidul Karya Kho Ping Hoo Pendekar Slebor 47 Malaikat Bukit Pasir

Cari Blog Ini