Ceritasilat Novel Online

Terculik Pemuda Jahanam 1

Terculik Pemuda Jahanam Karya Widi Widayat Bagian 1


https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Sumber Pustaka : Gunawan Aj
Photo Image : Awie Dermawan, Kurir : Yons
0 1 TERCULIK
PEMUDA JAHANAM
KARYA :
WIDI WIDAYAT
Omslag & Ilustrasi :
SOEBIYANTO
P e n e r b i t :
S A L A
Sumber Pustaka : Gunawan Aj.
Photo Image : Awie Dermawan
Conveyor : Yons 2
TERCULIK PEMUDA JAHANAM
Karya : Widi Widayat
???????????????????????
BAB I
TAK KENAL BUDI ORANG
Sesudah Ki Menang Langse meminum kopi yang dihidangkan oleh
Budi Candala, mendadak perut orang tua itu mual dan sangat sakit.
Kepalanya pening dan dada terasa sesak. Ki Menang Langse terkejut. Ia
segera mencoba untuk membendung rasa sakit itu dengan tenaga murni
dalam tubuhnya, yang digerakkan menebar keseluruh tubuh.
Akan tetapi ternyata usahanya itu sia2 belaka. Rasa mual dan dan sakit
pada perutnya semakin menjadi, dada semakin sesak dan kepala semakin
merasa pening.
"Bangsat!" desisnya perlahan.
Kemudian ia bangkit dari tempat duduknya, dengan maksud akan
mengambil obat pemunah racun yang tersimpan pada peti obatnya.
Sebagai seorang yang sudah kenyang makan asam garam, dan sebagai
seorang yang penuh pengalaman, ia cepat dapat menduga bahwa racun
yang jahat telah memasuki perutnya. Karena rasa yang sakit ini secara
mendadak serudah ia minum kopi yang dihidangkan oleh Budi Candala
maka dalam hatinya segera timbul kecurigaan bahwa racun itu secara
sengaja telah ditaruh oleh Budi Candala didalam kopi yang diminumnya.
Ia merasa heran, mengapa pemuda itu sampai hati untuk mencelakai
dirinya?
Dengan agak terhujung ia melangkah menuju peti penyimpanan obat.
Tetapi ketika ia membuka peti itu, matanya terbelalak keheranan.
Ternyata obat pemunah racun yang disimpannya itu telah lenyap tanpa
bekas bersama dengan tempat obat pemunah racun itu sendiri.
Ia menggeram, dan amarah menggelora dalam dadanya setiara tibatiba. Giginya gemeretak, matanya merah berapi, dan tinyunya mengepal. 3
Karena luapan amarahnya tang tidak terkendalikan lagi, maka tinyu itu
segera memukul peti penyimpan obat, dan segera terdengar suara
"brekkkk".
Sekali pukul peti penyimpan obat itu telah hancur berkeping-keping.
Tetapi sesudah Ki Menang Langse burhasil menghancurkan peti Itu, ia
sendiri segera roboh tak berkutik. Apa yang diperbuatnya, dan kemarahan
yang secara tiba-tiba menggelegak dalam dada itu sendirilah yang
menyebabkan Ki Menang Langse segera roboh pingsan. Karena oleh
pergaruh kemarahannya itu menyebabkan usaha pertahanannya
membendung pengaruh racun itu tergojah, sehingga racun yang sudah
masuk dalam perutnya dapat bekerja dengan cepat.
Mendengar suara yang mengejudkan itu Budi Candala segera lari
masuk kerumah. Ketika dilihatnya orang tua itu roboh tak berkutik,
bukannya Budi Candala cepat menolong, tetapi malahan tertawa terbahak.
Ia bukannya sedih, sebaliknya malah menjadi gembira. Lalu terdengar
suaranya yang mengejek :
"Ha-ha-ha! Rasakan pembalasanku sekarang tua bangka. Kau sangka
aku tidak dapat menbunuhmu? Tetapi baru saja Budi Candala selesai
mengucapkan kata-kata itu, Ki Menang Langse sadar dari pingsannya.
Matanya terbuka lebar, kemudian tangan kanannya bergerak dan
memukul kepada Budi Candala.
"Bug ..!" tubuh pemuda yang tidak menyadari akan bahaya itu
segera terlempar seperti bola, kemudian menabrak dinding rumah yang
terbuat dari papan, dan dinding itu hancur belantakan, sedang Budi
Candala sendiri roboh pingsan. Akan tetapi Ki Menang Langse sendiri
sesudah memukul muridnya matanya kembali terpejam dan tidak lagi
akan bergerak untuk selamanya. Ki Menang Langse tewas, karena sisa
tenaga terakhirnya telah dipergunakan menuruti luapan amarahnya untuk
memukul Budi Candala.
Dua tubuh manusia itu terkapar diatas lantai rumah tidak bergerak.
Rumah itu sunyi, dan tidak terdengar suara seseorang. Membuat Ki
Merang Langse dan Budi Candala tiada yang memberi pertoloogan.
Sungguh menyedihkan, seorang guru yang bersusah-payah mendidik 4
muridnya, ternyata bukanlah si murid membalas budi yang telah diberikan
oleh guru itu, sebaliknya malah tega membunuh dengan racun. Peristiwa
ini nampaknya mengherankan. Namun apakah latar belakangnya?
**** Lima belas tahun yang lalu, sepasukan prajurit Mataram yang dipimpin
oleh Ki Menang Langse dan raden Rangga Prawiragati mendapat perintah
Panembahan Senapati untik menggempur gerombolan perusuh sisa-sisa
prajurit Pajang jarg tidak mau tunduk dan membentuk gerombolan yang
menamakan diri Gagak Ijo. Sebabnya gerombolan itu menamakan diri
demikian karena pemimpin mereka menamakan diri Gagak Ijo dan
bersarang disekitar kaki gunung Merapi.
Gerombolan perusuh tersebut merajalela dan membuat keonaran
kepada penduduk Mataram. Padahal saat itu Mataram masih muda dan
menghadapi perlawanan-perlawanan dari para Bupati dan dipati dibagian
timur yang tak mau tunduk kepada Mataram, sesudah Pajang berhasil
dipukul hancur.
Gerombolan Gagak Ijo itu ternyata cukup kuat dan mempunyai ratusan
anak buah. Maka bertempuran berlangsung sengit sekali dan banyak pula
korban yang jatuh. Namun sesudah pertempuran berlangsung lima hari,
pasukan Mataram berhasil menguasai keadaan dan berhasil membunuh
Gagak Ijo bersama pembantu-pembantunya. Sisa anak buah Gagak Ijo
kemudian menyerah, mereka ditawan dan dibawa menuju Mataram
bersama pula dengan ratusan perempuan dan kanak-kanak.
Diartara kanak-kanak yang pada ketakutan dan menangis itu, terdapat
seorang anak kecil berumur lima tahun yang menangis kebingungan
memanggii-manggil ibunya. Ki Menang Langse amat iba terhadap anak
laki-laki yang masih kecil itu, kemudian didekati dan, dibujuknya. Namun
anak kecil itu merantai ia tidak mau dibujuk. Karena Ki Menang Langse
kewalahan, maka anak itu dilepaskan kembali.
Namun demikian hati Ki Menang Langse merasa tidak tega
meIepaskan begitu saja kepada anak laki-laki itu. Maka ia mengikuti jejak 5
anak kecil tersebut yang berlarian sambil menangis menyusuri loroag
sempit.
Mendadak ia terkejut. Anak laki-laki tersebut meraung kemudian
menubruk mayat seorang wanita yang terkapar di pinggir jalan. Jelas
didengar oleh Ki Menang Langse bahwa arak kecil itu memanggilmanggil ibunya, sedang dua belah tangarnya yang kecil berusaha
menggoncangkan tubuh perempuan itu, agak nya bermaksud
membangunkannya.
Tanpa sesadarnya, kaki Ki Menang Langse telah melangkah mendekati
anak kecil itu dengan hati yang amat trenyuh dan tidak tega. Timbullah
dugaan dalam hatinya bahwa anak kecil itu telah menjadi yatim piatu
akibat ibunya tewas, sedang ayahnyapun mati dalam pertempuran.
Maka Ki Menang Langse mendekati anak tersebut, lalu kembali
membujuk dengan kata-kata yang manis. Oleh ketelatenannya dalam
usahanya membujuk, pada akhirnja anak tersebut mau diajak
meninggalkan ibunya yang telah tewas, dan diajaknya kekemah pasukan.
Prajurit Matarampun menjadi iba hati atas nasib yang diderita anak
kecil ini, sehingga para prajurit itu mennunjukkan kasih dan sayangnya.
Oleh sikap pan prajurit Mataram itu yang membe-rikan kas h sayang
membuat anak ini terhibur.
Ki Menang Langse kemudian membawa anak kecil itu pulang kerumah
karena sudah lebih dua puluh tahun berumah tangga belum pula
mendapatkan seorang anakpun. Maka anak yatim piatu tersebut kemudian
dipelihara seperti anak sendiri, dan diberinya nama Jaka Temon. Namun
ternyata si anak sendiri lebih suka menggunakan nama pemberian orang
tuanya. Budi Candala.
Setahun sesudah ia mengambil anak angkat Jaka Temon alias Budi
Candala itu, mengambil lagi anak perempuan adik isterinya, dijadikan
adik Budi Candala, dan diberi nama Denok Kinasih. Dua orang anak
pungut ini dikasihi tia ia bedanya anak kandung sendiri, dan sejak kecil
mereka telah ci didik ilmu tata kelahi, agar kelak kemudian hari
menjadilah pemuda dan pemudi yang berguna. Se-dang Budi Candala 6
sendiri maupun Denok Kinasih juga amat cinta ke pada Ki Menang
Langse dan isterinya.
Kemudian sesudah Panembahan Senapati wafat dan Mas Jolang
menggantikan takhta kerajaan Matara m (terkenal disebut Panembahan
Seda Krapjak), Ki Menang Langse mergundurkan dari sebagai hamba
Mataram, karena merasa telah tua. Lalu ia berdiam didesa Candi
Pralabanan dan hidup sebagai petani.
Namun ternyata perkembangannya kemudian, sesudah Budi Candala
dan Denok Kinasih menjadi dewasa. Cinta kasih Budi Candala menjadi
berobah. Ia tidak lagi mencintai Denok Kinasih sebagai seorang adik,
melainkan kepada seorang wanita yang lain. Tetapi perasaan Budi
Candala itu terpaksa ditekan dan disembunyikan, karena ia merasa takut
kepada ayah bundanya. Sebab sesungguhnya Denok Kinasih sendiri telah
dipertunangkan dengan Puji Jatmika putera Dalang Gunajaya, sahabat Ki
Menang Langse yang bertempat tinggal dikota Karta. Ia selalu mencari
akal bagaimanakah dapatnya terlaksana cita-citanya, namun selalu
tertumbuk jalan buntu.
Tetapi kemudian ia seperti mendapat bisikan iblis. Ia teringat bahwa
sesungguhnya bukanlah anak Ki Menang Langse yang sesungguhnya.
Meskipun tidak begitu jelas gambaran dalam benaknya, namun ia masih
teringat bahwa ayah bunda yang sesungguhnya bukan Ki Menang Langse
dan isterinya Dan terbayang pula dalam benak-nya terjadinya suatu
pertempuran yang hebat sekali dan menyebabkan ayahnya dan ibunya
tewas dalam pertempuran itu.
Entah yang membunuh ayah bundanya Ki Menang Langse atau bukan
namun sesungguhnya orang yang mengambilnya sebagai anak sekarang
ini adalah golongan lawan yang menyebabkan ayah bundanya tewas.
Teringat akan hal itu, mendadak timbullah niatnya untuk me-lakukan
betas dendam membunuh ayah angkat dan gurunya. Dengan terbunuh
matinya Ki Menang Langse akan berarti sekali tepuk mendapat dua lalat
sekaligus. Sakit hati keluarganya dapat terbalas. sedang rasa cintanya
kepada Denok Kinasih dapat terwujud. 7
Pada mulanya ia masih bimbang untuk melakukan pembunuhan
terhadap Ki Menang Langse. Dalam hati mengakui bahwa sekalipun ayah
angkatnya itu teah membuat dirinya menjadi yatim piatu, namun juga
telah menunjukkan kasih sayangnya sedemikian rupa. Dalam hati Budi
Candala mengakui bahwa ia telah menerima budi kebaikan yang amat
besar dari Ki Menang Langse. Haruskah orang yang memberikan air susu
dibalas dengan air tuba?
Namun kemudian segala pertimbangan itu terdesak oleh keinginannya
dapat menguasai adiknya yang manis itu. Jalan satu-satunya yang dapat
hanyalah dengan membunuh Ki Menang Langse. Karena tanpa
melenyapkan orang tua ini, amat sulitlah baginya untuk dapat hidup
tenteram.
Terpikir demikian segera timbullah suatu akal untuk meracuni
ayahnya. Sebelum melaksanakan niatnya itu lebih dahulu Ia menguras
habis isi peti penyimpan obat, agar ayahnya tidak dapat menolak racun
yang akan dipergunakan membunuh.
Demikianlah, Ki Menang Langse yang barmaksad baik itu ternyata
harus tewas ditangan anak yatim piatu yang telah ditolong dan dipungut
sebagai seorang anak yang dikasihi. Kasihan sekali nasib orarg tua yang
demikian ini.
Tidak seorangpun tetangga yang mendengar peristiwa menyedih-kan
dirumah Ki Menang Langse ini. Karena rumah Ki Menang Langse agak
berjauhan dengan rumah-rumah tetangganya, ditengah pekarangan yang
amat luas. Denok Kinasih dan ibunya sant Itu tiada dirumah, mereka
sedang pergi kelariang untuk memungut hasil lariang guna mencukupi
kebutuhan hidupnya.
Maka jenazah Ki Menang Langse tidak segera mendapat perawatan,
sedang Budi Candala sendiri yang pingsan juga tidak mendapat
pertotongan. Namun demikian masih untung bagi Budi Candala bahwa
pukulan yang dilontarkan oleh Ki Menang Langse itu didalam keadaan
orang tua itu sudah mendekati ajal oleh pengaruh racun. Hingga pukulan
itu tidak begitu kuat dan tidak membuat Budi Candala tewas. 8
Meskipun begitu, ketika Budi Candala siuman, ia segera merintih
kesakitan. Dadanya terasa sesak, kemudian terbatuk-batuk dan segumpal
darah segar meloncat dari mulutnya. Ia mendapat luka dalam yang akan
dapat membahayakan jiwanya, apabila tidak segera menda-pat
pertolongan obat selyagai penyembuh luka dalamnya.
Untung bahwa Budi Candala cepat teringat bahwa ia membekal obat
penyembuh luka dalam. Maka tangannya cepat merogoh kantung, lalu
mengambil tiga butir obat kering itu kemudian dikunyah dan ditelannya.
Sesudah itu ia segera duduk berdiam diri, mengerahkan tenaga murni
dalam tubuhnya untuk mempercepat obat yang ditelannya Itu bekerja.
Tiada lama kemudian ia merasakan dadanya tidak begitu sesak. Ia
mencoba berdiri, ternyata tiada sesuatu gangguan yang terasa. Dan begitu
ia menyaksikan ayah angkat dan gurunya itu tergolek tidak bergerak, ia
menggeram marah. Tangannya mencabut pedang, kemudian melakukan
kekejaman terhadap orang yang sudah pernah menanam budi kebaikan
kepadanya, dengan memotong putus kaki dan tangan orang tua itu.
Hem ..... hanya setan dan ibiislah yang sampai hati melakukan
kekejaman seperti apa yang dilakukan oleh Budi Candala ini. Terang
bahwa Ki Menang Langse sudah tewas, namun ia masih juga melakukan
perbuatan yang ganas dan kejam. Budi kebaikan yang sudah dilimpahkan
orang tua itu kepadanya, sedikitpun tiada membekas dalam sanubari
pemuda ini. Kasihan ..... kasihan sekali Ki Menang Langse yang sudah
bersusah-payah memelihara sejak kecil dan mencintai tiada bedanya anak
sendiri.
Sesudah ia puas dengan apa yang diperbuatnya, ia menyarungkan
pedangnya dan berkata "Kau telah membunuh ayah bundaku. Maka kau
jangan penasaran apabila aku sekarang menuntut balas kepadamu. Hutang
jiwa bajar jiwa. Lunas! Aku tidak penasaran, maka kaupun juga jangan
penasaran. Sekarang selamat tinggal. Aku akan pergi dari rumah ini
membawa serta Denok Kinasih!"
Sesudah berkata begitu, ia segera mengambil beberapa helai
pakaiannya, dan sesudah itu pakaian Denok Kinasih. Pakaian-pakaian itu 9
ditaruh pada buntalan dipunggungnya, lalu meninggalkan rumah itu
sesudah pintu ditutup rapat.
Budi Candala menuju lariang. Ia telah siap dengan rencana tipu daya
dalam usahanya melarikan Denok Kinasih. Tidak lama kemu-dian sampai
pulalah ia dilariang dan bertemu dengan Denok Kinasih dan ibunya.
"Mengapa kau menyusul kemari?" tanya ibunya dengan halus, seraya
mengamati anaknya itu.
"Ayah memerintahkan aku untuk menyusul kemari," jawab Budi
Candala menyungging senyum. "Aku diperintah ayah untuk mengantar
Denok pergi ke Karta."
"Mengapa ke Karta?" Denok Kinasih terkejut dan heran.
"Apa keperluannya?" tanya ibunya tak kurang terkejut.


Terculik Pemuda Jahanam Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tadi telah datang utusan dari paman Guno, yang maksudnya
mengharapkan kedatangan Denok kesana. Karena adi Djatmiko sakit
keras.
"Sakit keras?" tanya Denok Kinasih dan ibunya hampir berbareng,
sedang wadjah mereka mendadak pucat.
Budi Candala mengangguk, kemudian katanya : "Ayah telah
berangkat mendahului bersama dengan utusan paman Guno. Sedang aku
diminta menyusul bersama dengan kau, Denok. "
"Ah ..... ah ..... " Denok Kinasih gugup dan bingung sesudah
mendengar calon suaminya itu sakit keras.
"Ah, aku . aku harus mengambil ganti pakaian ..... . "
"Telah aku bawakan Denok," putus Budi Candala seraya menunjukkan
buntalannya.
Denok Kirasih memandang ibunya, seakan sedang meminta
pertimbangan. Tetapi ibunya yang tiada rasa curiga itu segera berkata :
"Ya ya, barangkatlah secepatnya. Semoga Tuhan selalu melindungi
keselamatanmu dijalan anakku, dan mudah-mudahan pula sakit Puji
Jatmika segera sembuh." 10
"Terimakasih ibu, kata Budi Candala seraya mencium tangan ibunya.
Nyai Menang Langse yang amat kasih terhadap anak-anak pungutnya ini
segera mengusap rambut anak-anaknya, kemudian sekali lagi berpe-san:
"Hati-hatilah dijalan anakku, jangan menyeleweng. Tiga hari
kemudian kalian harus sudah pulang, karena aku akan menjadi rindu
berpisah dengan kalian anakku."
"Baik bu, akan aku indahkan," jawab Budi Candala.
"Ibu jangan kuwatir," jawab. Danok Kinasih. Karena akupun tidak
dapat lama-lama berpisah dengan ibu."
Sesudah mereka minta diri, kemudian mereka meninggalkan Nyai
Menang Langse yang mengamati kepergian anak-anaknya itu tidak tega.
Maklumlah, dua orang anakn,a itu cidak pernah terpisah sejak kecil, maka
sebagai seorang ibu centu tidak tega melepaskan anak-anaknya.
Tetapi sesudah anak-anaknya pergi, ia mendapat firasat yang kurang
baik. Hatinya berdebar dan ingin mengajak pulang lebih cepat. Ia
menghela nafas, maksudnya agar perasaannya yang demikian itu dapat
diusirnya, namun ternyata apa yang dikehendaki tidak terwujud. Hatinya
semakin timbul perasaan yang amat gelisah can ingin cepat pulang
Akhirnya sanibil menyinying tenggok berisi terong, lombok dan daun
bayem, ia menuju pulang.
la membawa tenggok berisi hasil lariang itu terus kedapur. Kemudian
keluar kembali menuju sumur untuk mencuci kaki sesudah itu ia masuk
kedalam rumah.
Mula-mula ia terbelalak dan cepat surut selangkah kebelakang
menyaksikan sesosok tubuh diatas lantai dengan kaki dan tangan terpisah.
Lalu disusul dengan jeritnya yang melengking keras sekali, kemudian
terkulai roboh dan pingsan. Ya, kiranya tiada seorangpun isteri yang tidak
pingsan mendadak manyaksikan suaminya terbunuh dalam keadaan yang
mengenaskan seperti Ki Menang Langse.
Sekalipun jeritan itu hanya sekali meloncat dari mulut Nyai Menang
Langse, namun sudah cukup manggarakkan tetangga terdekat untuk 11
bergegas menuju kerumah Ki Menang Langse untuk mengetahui apa yang
terjadi.
Begitu mereka masuk kedalam rumah, para orang laki-laki terbe-lalak
dan bergidig. Tetapi perempuan yang menyaksikan segera men-jerit dan
menutup mukanya dengan telapak tangan. Perempuan-perempuan
tetangga itu tidak tahan menyaksikan keadaan yang mengerikan itu, se
hingga maksud mereka datang untuk menolong malah menjerit-jerit
sendiri.
Desa Taji segera geger oleh peristiwa pembunuhan kejam dan keji
terhadap Ki Menang Langse itu. Bukan saja mereka berduka, tetapi
mereka amat geram mengapa terhadap seorang yang sampai hati bertindak
diluar batas kemanusiaan.
Namun semua itu tidaklah cukup hanya dengan bersedih dan menyesal.
Dengan rukun para tetangga itu segera bekerja tanpa di perintah. Orang
yang sudah berumur cepat-cepat berusaha menghungkan anggauta tubuh
yang telah terpisah itu dengan dijahit.
Meskipun seorang jua tidak menyaksikan apa yang sudah dila-kukan
oleh Budi Candala, namun para tetangga cepat dapat menduga bahwa
peristiwa inl timbul dari Budi Candala sendiri. Karena tiada seorangpun
tamu yang datang kerumah ini, disamping keterang an pemuda itu sendiri
yang berdusta kepada ibunya.
Ketika Nyai Menang Langse teringat akan anaknya Denok Kinasih
yang diajak pergi oleh Budi Candala, ia menjadi gemetar dan cemas.
Karena ia segera tahu gelagatnya, bahwa Budi Candala sengaja melarikan
Denak Kinasih dengan tipu muslihat yang amat licin.
Semua orang tidak habis mengerti, mengapa Budi Candala yang sudah
dianggap sebagai anak kandung Ki Menang Langse, bersedia melakukan
Pengkhianatan yang tidak tanggung-tanggung. Perbuatannya sangat kejam
dan biadab, bisamping terkutuk.
**** 12
BAB II
MUDA?MUDI YANG TANGGUH.
Sekalipun ketika itu matahari belum begitu tinggi diangkasa, namun
pada jaman itu orang tidak akan berani melewati jalan ditengah hutan
Randugrowong sebelah Kalasan, jika tidak bersama-sama dengan orang
lain dalam jumlah cukup banyak. Karena baik pagi, siang terlebih
mendekati senja, orang-orang yang lewat selalu mendapat gangguan
begal-begal kejam. Bukan saja barang-barang berharga diram-pas, tetapi
nyawapun kadang dirampas pula oleh penjahat-penjahat yang kejam itu.
Tetapi Budi Candala dan Denok Kinasih sedikitpun tidak takut lewat
pada hutan yang ditakuti orang itu. Terlebih-lebih pada saat ini Denok
Kinasih dalam keadaan agak cemas sesudah mendengar kabar calon
suaminya sakit keras, meskipun harus menyeberang lautan apa, ia tak
akan undur selangkahpun. Namun demikian untuk menghadapi bahaya
setiap waktu, mereka sudah mempersiapkan senjata mereka untuk
menghadapi segala kemungkinan.
" Kakang," kata Denok Kinasih, "Hatiku berdebar-debar terus,
disamping amat gelisah."
" Kau takut dibegal?" sindir Budi Candala.
"Bukan oleh begal itu hatiku berdebar. Tetapi kabar yang mendadak
itu. Dan pula kakang. seakan aku menerima firasat yang kurang baik.
Apakah .. apakah ..
"Denok, jangan terlalu jauh kau mencemaskan Jatmika. Dan jangan
kau membayangkan hal-hal yang kurang menyenangkan."
" Maksudnya tidak begitu kakang, tetapi buktinya hatiku selalu
berdebaran, seakan sesuatu peristiwa yang amat menyedihkan akan
terjadi."
Budi Candala tersenyum, namun dalam hati mengejek akan kebodohan
gadis yang menarik hatinya ini. 13
"Denok, andaikata .. Puji Jatmika tak dapat ditolong lagi, apakah
tiada lain pemuda yang berharga sebagai suamimu Bukankah tiada kurang
pula pemuda tampan?"
"Kau bicara seenakmu sendiri kakang." Denok Kinasih tidak senang.
"Kau bukannya memberi nasehat jangan terlalu jauh mencemaskan dia,
tetapi ternyata kau malah berkata begitu. Aku semakin mandiadi cemas. "
"Tidak perlu cemas adikku, masih tidak terhitung jumlah pemuda yang
tertarik kepadamu!"
"Ngaco!" Denok Kinasih semakin kurang senang. "Kau sangka semua
itu dapat cerjadi tanpa ikatan cinta ?"
Budi Candala tertawa, jawabnya, "Cinta akan tumbuh demi sedikit
sesudah selalu bersanding."
"Sudah! Sudah!" potong Derok Kinasih. "Kau bicara semaumu
sendiri, seperti orang tidak waras."
Wajah Denok Kinasih merengut. Namun menurut pandangan Budi
Candala, malah menambah kemanisannya. Games sekali sebenarnya
pemuda durhaka ini menyaksikan kemanisan adiknya, namun masih
ditahankan, kemudian tertawa.
Tetapi mereka menjadi terkejut ketika secara mendadak terdengar
suara ketawa orang yang menyambut. Lalu terdengar suara orang yang
agak berat "Pemuda yang berjalan dengan kau memang tidak waras
manis, dan kau jangan mau dibujuk. Lebih bahagia kau menjadi isteriku."
Budi Candala dan Denok Kinasih segera menebarkan pendengarannya
ketempat asal suara dengan penuh kesiagaan.
Kemudian beberapa orang laki-laki kekar telah melompat dan
bermunculan dari balik pohon dan semak. Enam orang bersenjata telah
manghadang didepannya dengan pandangan mata mereka yang liar.
"Bocah, buanglah pedangmu dan menyerahlah!" hardik saIah seorang
penjahat itu.
Tetapi Budi Candala malah tertawa mengejek, jawabnya lantang, "Kau
sangka pedangku ini tidak dapat menghajar kamu semua?" 14
"Bocah, buanglah senjatamu dan menyerahlah!" hardik salah
seorang penjahat itu. 15
"Ha-ha-ha-ha!" ketawa penjahat itu, kemudian katanya, "Kau
sombong sekali bocah, kau dapat berbuat apa dikeroyok enam orang?"
"Hem!" dengus Denok Kinasih. "Sangkamu aku hanya seorang
perempuan tiada guna?!"
"Apa? Kau ingin ikut melawan kami? Jangan! Percayalah kau akan
menjadi ratu yang bahagia disarang kami."
"Bangsat ! Tutup mulutmu yang kotor !" damprat Denok Kinasih
dengan marah.
Kemudian ia telah menggerakkan pedangnya menyerang secara cepat.
Mambuat penjahat itu gelagapan dan cepat-cepat menghindar untuk tidak
dirobek oleh mata pedang yang cajam itu.
Budi Candala pun tidak mau tinggal diam. Ia telah bergerak dengan
pedangnya menyerang para penjahat itu cepat sekali membagi tusukan
dan sabetan pedangnya kepada para penjahat. Gerakan-nya cepat dan
tenaganya kuat. Sedikit lenggah niscaya pedang tak bermata itu akan
segera menghajar bagian-bagian tubuhnya. Maka para penjahat itupun
menggunakan taktik kerja sama sedemiklan rapi untuk mengatasi
rangsakan lawan.
Yang menjadi kelabakan adalah penjahat-penjahat yang menghadapi
Denok Kinasih. Dua orang yang mengeroyok gadis ini perlawanannya
diliputi oleh perasaan ragu. Betapa penjahat itu dapat menggerakkan
goloknya secara leluasa menghadapi gadis yang amat manis ini ?
Kemahisan gadis itu amat maharik perhatian mereka. Maka mereka
merasa sayang apabila gadis yang manis ini harus terluka oleh senjata.
Namun oleh keraguan penjahat itu membuat Denok Kinasih mendapat
angin. Berakibat pula penjahat itu yang harus menebus keraguannya
dengan mahal. Gerakan pedang Denok Kinasih yang cepat dan diliputi
oleh amarah itu, tidak akan memberi ampun kepada para penjahat ini.
Maka oleh kelengahan penjahat-penjahat itu, pada suatu kesempatan yang
baik, Denok Kinasih telah menyerang dengan jurus ?kecubung wulung?.
Jurus ini merupakan jurus kunci dari ilmu pedang Ki Menang Langse 16
yang amat berbahaya. Karena pedang itu dapat bergerak cepat sekali dan
arahnya tidak terduga.
Dua orang penjahat tersebut amat terkejut oleh perubahan gerak gadis
ini yang tidak terduga. Mereka berusaha menggempur pedang Denok
Kinasih bersama-sama dengan pukulan golok dan kemudian menjepit.
Dalam hati penjahat-penjahat ini merasa pasti bahwa dengan jepitan itu
pedang si gadis akan segera dapat direbucnya. A pabila si gadis sudah
dada senjata lag', mereka dengan mudah dapat menangkap hidup-hidup.
Namun penjahat-penjahat itu terang kecelik. Jurus kecubung wulung
mempunyai perubahan-perubahan dan tipu-tipu serangan yang banyak
macam ragamnya. Seperti pula buah kecubung yang sudah kering, buah
kecuburg itu akan pecah dan menyebarkan biji-bijinya keseluruh penjuru.
Denok Kinasih cepat menarik pedangnya untuk menghindarkan benturan
dan gencetan senjata lawan. Kemudian dengan gerak yang tidak terduga,
pedang itu telah bergerak cepat sekali dari membagi tusukan.
Penjahat yang mengeroyok itu terkejut. Mereka berusaha
menggerakkan golok untuk menangkis. Tetapi gerakan pedang Denok
Kinasih tiada bedanya dengan ular hidup yang dapat bergerak leluasa.
Tahu-tahu salah seorang dari mereka tertembus oleh ujung pedang pada
pundak sebelah kanan Penjahat itu memekik terkejut dari terhuyunghuyung kebelakang. Ujung pedang Denok Kinasih kembali bergerak
untuk merobohkan penjahat yang telah terluka itu. Untung kawannya
cepat menolong, ia membenturkan goloknya, sehingga senjata mereka
berdentlingan dan masing-masing tergetar mundur.
Ternyata tenaga benturan penjahat itu kuat sekali. Membuat Denok
Kinasih terkejut karena pedangnya hampir saja terlepas dari pegangan
sedang telapak tangannya terasa panas sekali Oleh pengalamannya yang
tidak menguntungkan ini membuat Denok Kinasih lebih ber hati-hati,
menghindari benturan senjata.
Karena salah seorang penjahat Ito telah terluka oleh gempuran Denok
Kinasih, maka para penjahat menjadi sadar bahwa gadis manis yang
nampaknya lemah lembut ini tidak dapat diremehkan. Untuk tidak 17
membuat kerugian pihak mereka sendiri, perasaan sa-jang itu harus
dibuang jauh-jauh dan menyerang tanpa kenal ampun.
Seorang penjahat yang semula ikut mengeroyok Budi Candala
mambantu kawannya yang terdesak hebat oleh Denok Kinasih. Sesudah
salah seorang penjahat terluka, dan sekarang penjahat itu duduk dan sibuk
berusaha mengobati lukanya.
Pada mulanya Budi Candala sulit dapat menembus keroyokan empat
orang penjahat itu, sekalipun telah mengerahkan kepandai-annya. Tetapi
sekarang jumlah pengeroyok itu kurang seorang, maka tekanan dari pihak
lawan berkurang. Pemuda in i sekarang banyak mempunyai kesempatan
dalam usahanya menggempur lawan yang me-nyarang bertubi-tubi itu.
Ilmu Budi Candala memang sudah cukup tinggi. Hal itu tidaklah
mengherankan. Karena Ki Menang Langse yang mencintai anak
pungutnya ini seperti anak kandung sendiri dalam usahania
menggembleng tidak tanggung-tanggung. Seluruh ilmu yang dimiliki
telah dituangkan sepenuhnya kedalam sanubari Budi Candala dengan
seksama. Maka sekalipun ia baru berumur duapuluh lima tahun, tetapi ia
merupakan seorang pemuda gemblengan.
Pertempuran yang tidak seimbang jumlahnya itu semakin menjadi
sengit. Budi Candala maupun Denok Kinasih telah merabu lawan dengan
hebat sekali. Pedang sepasang merpati inl bergerak cepat sekali dan
berubah-ubah tak terduga.
Para penjahat yang tadi meremehkan kepandaian Denok Kinasih,
sekarang makin terbuka matanya lebar-lebar. Kalau saja harus me-lawan
gadis manis itu seorang demi seorang, teranglah bukan tan-dingan gadis
yang nampaknya lemah lembut itu.
Namun demikian, tambah lama bertempur para penjahat itu merasa
semakin repot didalam perlawanannya. Baik Budi Candala maupun
Denok Kinasih semakin memberikan tekanan-tekanan yang barat dan
gerakan pedang pemuda pemudi ini semakin berbahaya. Dalam hati para
penjahat ini sekarang merasa kecelik. Ternyata pemuda pemudi yang tadi
dianggap berkepandaian rendah ini kepandaiannya diatas kepandaian
masing-masing. 18
Mereka mencegat tadi, bukan karena tertarik oleh harta yang dibawa,
tetapi oleh kemanisan wajah Denok Kinasih yang membuat selera mereka
terangsang Dan sekarang mereka sendiri menyaksikan bahwa kepandaian
gadis itu diatas kepandaian masing-masing. Maka gadis ini tidak urung
umpama dapat berhasil mereka tangkap, akan merupakan bunga liar yang
banyak duri. Padahal bagi para penjahat itu lebih menyukai kepada
perempuan-perempuan yang hanya pandai menangis dan meratap.
Perempuan-perempuan lemah tak berdaya seperti boneka hidup yang
dapat dijadikan permainan sesuka hatinya.
Mengingat akan kesulitan mereka dalam menghadapi pemuda pemudi
ini. Salah seorang dari mereka yang agaknya menjadi pemimpin segera
bersuit nyaring dan melarikan diri Maka para penjahat itu cepat me!ompac
dan ambil langkah seribu.


Terculik Pemuda Jahanam Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Sumber Pustaka : Gunawan Aj
Photo Image : Awie Dermawan, Kurir : Yons
Dan cepat menghilang dibalik semak dan
gerumbul.
Budi Candala dan Denok Kinasih tidak mau mengejar. Dengan
kepergian para penjahat itu mereka dapat bernafas lega. Mereka kembali
menyarungkan pedang masing-masing lalu meneruskan perjalanan.
Namun dengan terhalang oleh pertempuran ini, mereka terpaksa
membuang waktu yang tidak sedikit. Apabila dalam rencana sebelum
senja sudah tiba di Karta, dengan halangan ini mereka akan dapat
mencapai Karta agak malam.
"Sayang kita tidak berkuda." kata Denok Kinasih. "Kalau berkuda,
perjalanan kita lebih cepat."
"Ya, tetapi kita tidak memilikinya kuda dalam jumlah cu-kup jawab
Budi Candala. "Kuda milik kita Yang hanya seekor itu telah dipergunakan
ayah mendahului ke Karta."
Tetapi dalam hati pemuda ini tersenyum menyeringai, justru
sebenarnya orang yang disebut ayah itu telah ia bunuh dengan racun.
Namun kemudian Budi Candala terbatuk-batuk. Lalu segumpal darah
merah meloncat dari mulutnya. Luka dalam akibat pukulan Ki Menang
Langse yang belum sembuh, menjadi kambuh kembali sesudah Budi 19
Candala harus mengerahkan tenaganya untuk bertempur. Sudah tentu hal
ini membuat Denok Kinasih amat terkejut dan gugup.
"Kakang, kau terluka ?" tanya gadis itu penuh rasa iba.
Dan Budi Candala mengangguk lemah. Ajaknya kemudian : "Marilah
kita istirahat dahulu Denok agaknya aku telah terluka oleh pukulan salah
seorang penjahat tadi."
Dengan penuh ran iba dan gelisah Denok Kinasih berkata : "Baiklah
kakang, kita istirahat dahu, untuk memulihkan kesehatanmu. Apakah kau
tadi membawa obat? "
"Aku membawa " jawab Budi Candala seraya mengambil bu-tiran obat
kering dari dalam sakirnya. Ia menelan dua butir kemu-dian duduk bersila
tak bergerak.
"Aku akan menyaga keselamatanmu kakang, duduklah dengan tenang,
" kata Denok Kinasih seraya menyiapkan pedangnya, bersiap siaga untuk
menanggulangi serangan orang yang mendadak.
Namun dalam hati Denok Kinasih penuh rasa cemas. Cemas
memikirkan kabar bahwa tunangannya sakit keras dan cemas
menyaksikan saudara tuanya terluka dalam. Sedikitpun ia tidak menyadari
bahwa sesungguhnya ia berdekatan dengan harimau buas dan lapar, yang
setiap waktu akan menerkam tak mengenal ampun lagi.
Budi Candala memang bersikap amat hati-hati dalam melaksanakan
rencananya, agar tidak gagal. Maka meskipun sdera telah merangsang
dalam dada berdekatan dengan gadis idamannya, selalu dicekan dan
ditutup sedemikian rupa agar tidak terbongkar oleh gadis ini.
Denok Kinasih menunggu usaha penyembuhan Budi Candala dengan
gelisah. Matahari telah agak rendah dibarat. Setiap waktu bahaya akan
mengancam oleh perbuatan-perbuatan orang jahat. Berarti memerlukan
kewaspadaan yang cukup.
Hari semakin sore, dan Denok Kinasih semakin cemas dan gelisah.
Dilihatnya Budi Candala masih belum bergerak. Ia ingin memperingatkan, tetapi timbul rasa kuwatir apabila perbuatannya mengganggu ketenangan Budi Candala dan dapat mempengaruhi kesehatannya. 20
Ia tidak sampai hati mencelakakan abangnya yang ia cintai itu. Abang
yang selalu dihormati sebagai wakil ayah bundanya kelak ke-mudian hari.
Sesudah ayah bundanya dada lagi.
Sama sekali tidak pernah terpikir dalam hati Denok Kinasih, bahwa
Budi Candala memang sengaja mempeilambat perjalanan ia bermaksud
malam segera tiba. Sehingga dapat melakukan penaijalanan diwaktu
malam. dan ia dapat melaksanakan rencananya yang jahat itu tanpa
diketahui orang lain.
Sesungguhnya Budi Candala tidak membutuhkan istirahat terlalu lama.
Lukanya tidak begitu berbahaya, dan sesungguhnya cukup dengan makan
obit hasil karya gurunya. Meskipun sekarang meneruskan perjalanan
kesehatannya tidak akan terganggu.
Sekalipun lambat tetapi pasti. Matahari semakin menjadi rendah
dibagian barat, dan cahayapun menjadi semakin pudar. Denok Ki-nasih
tidak lagi kuasa menahan hati untuk berdiam diri Mendekat kepada Budi
Candala, katanya perlahan : "Kakang, hari semakin sore. Apakah
kesehacanmu be.lum pulih?"
Budi Candala membuka matanya perlahan. Begitu matanya tertumbuk
oleh bencuk tubuh Denok Kinasih yang denok dan padat berisi, maka
jantung Budi Candala bergetar hebat. Darah yang panas segera merajapi
ruang tubuhnya, dan ingin sekali segera menubruk, memeluk dan
mnncumbunya. Namun perasaan itu cepat-cepat ditekannya, lalu
mengulum senyum, jawabnya, "Denok, aku tahu keadaanmu. Tetapi,
kesehatanku masih memerlukan istirahat. Oleh sebab itu kalau Denok
ingin mnndahului. baiklah. Tinggalkanlah aku disini."
"Apa katamu?" Denok kinasih menatap saudara tuanya itu dengan
perasaan tidak senang." Sangkamu aku hanya mementingkan kebutuhanku
sendiri dan tidak mau perduli kepada kebutuhan orang lain?"
"Terimakasih Denok, atas perhatianmu," Budi Candala tersenyum.
"Sebentar lagi adikku, kesehatanku akan segera pulih kembali!"
Budi Candala kembali memejamkan mata berpura-pura sematihi untuk
memulihkan kesehatannya. Namun sesungguhnya apa yang didilakukan 21
hanyalah butuh mengulur waktu agar menjadi cepat malam. Sedang
Denok Kinasih kembali berdiam diri seraya menebarkan pandangannya
kesekeliling.
Namun sekalipun Denok Kinasih sudah berusaha menenangkan
hatinya, tidak urung hatinya tetap gelisah dan cemas. Semakin lama
matahari semakin merendah dibarat, sedang jalan didepannya sepi, tiada
seorangpun yang lewat. Hutan didekatnya amat sepi, hanya dihias oleh
bunyi burung yang kembali kesarang untuk beristirahat. Namun untunglah
bahwa ketika itu Budi Candala sudah mulai bergerak seraya berkata,
"Denok, marilah kita menerangkan perjalanan."
Dengan tersenyum gembira Denok Kinasih menyambut ajakan itu,
katanya : "Kau sudah kuat kembali kakang ?"
Budi Candala mengangguk, jawabnya kemudian, "Ya, asal kita tidak
terlalu cepat dan tiada lagi halangan dijalan."
"Ya, mudah-mudahan Tuhan melindungi kita kakang."
**** BAB III
TERKUTUK
Sesungguhnya Budi Candala tidak pernah lupa akan terbunuh matinya
ayah bundanya duapuluh tahun yang lalu. Meskipun peristiwa itu telah
lama berlalu, dan kala itu ia, baru berumur lima tahun. Tetapi dalam
benaknya masih terbayang secara jelas akan penyerbuan pasukan
Mataram yang menghancur-lumatkan sarang gerombolan Gagak Ijo.
Sekarang ia telah berhasil membunuh Ki Menang Langse dan
membawa anak gadis yang dicintai pula. Apabila tiada sesutu rin-tangan,
akan berarti sekali tepuk mendapatkan dua lalat. Dendam lama terbalas,
dan kehendak hati mudarja dapat terwujud. Uncuk menyelamatkan diri
dari gangguan orang, Budi Candala bermaksud membawa gadis itu sejauh 22
mungkin. Sayang sedikit bahwa ia tidak ingat lagi akan sanak keluarga
ayah bundanya. Lalu harus dibawa kemana gadis ini?
"Ah, perduli amat," katanya dalam hati. ,"Hidup didalam hutanpun
boleh."
Saat itu matahari sudah amat rendah dibarat mendekati terbenam. Budi
Candala berpura-pura batuk-batuk dan menderita, untuk meman-cing
perhatian Denok Kinasih.
Budi Candala membuat tubuhnya menggigil sedemikian rupa,
terbatuk-batuk silk dan tangan kirinya mendekap dada. Denok Kinasih
amat iba menyaksikan penderitaan kakaknya itu, justru menurut pe rasaan
Denok Kinasih, sebabnya Budi Candala menderita luka daim ini, adalah
pembelaannya menyelamatkan diri dari gangguan penjahat.
"Kakang, kasihan kau!" kata Denok Kinasih tarharu. Marilah kita
mengaso dahulu untuk mergerrbalikan kesehatanmu". Sebagai seorang
adik yang amat iba terhadap saudaranya, tanpa perasaan ccriga sedikitpun
ia segera memeluk pinggang Budi Candala ia ajak duduk. Pelukan gadis
itu keras sekali dan secara tidak sadar dadanya menyentuh lengan Budi
Candala. Sentuhan itu membuat darah Budi Candala teisirap, dan nafsu
kebinatangannya merangsang amat sangat.
Dengan kecepatan luar biasa Budi Candala telah menggunakan
kesempatan yang baik itu untuk menotok pusat jalan darah Denok
Kinasih. Dan gadis itu yang tidak pernah menduga maksud Budi Candala
yang jahat itu, menjadi terkejut karena mendadak tubuhnya menjadi lemas
tidak bertenaga. Denok Kinasih terbelalak heran, dan tkak dapat menolak
renggutan tangan Budi Candala yang memeluk tubuhnya. Didalam
suasana yang remang-remang itu, Budi Candala nampak tersenyum
menyeringal seperti setan kelaparan.
"Kakang ..... . mengapa kau berbuat seperti ini?" tanya Denok Kinasih
penuh rasa heran.
"Denok, maksudku agar kau tidak dapat melakukan perlawanan.
Denok, tahukah kau bahwa sesungguhnya aku amat mencintai kau?" 23
Jawaban Budi Candala itu seakan seribu geledek yang menyambar
berbareng, dan membuat Denok Kinasih terkejut sekali. Aneh, mengapa
kakaknya sendiri menyatakan kata-kata demikian? Apakah kakaknya
sekarang ini sudah gila?
"Kakang, lupakah kau bahwa aku adikmu sendiri? Kau kau sadarlah
kakang, aku adikmu."
Tetapi Budi Candala nalah tertawa, jawabnya kemudian : "Denok,
benar kau adikku. Tetapi, hanya adik angkat. Aku dan kau anak orang
lain, dan tiada hubungan darah apapun. Salahkah apabila aku sebagai lakilaki menyintai perempuan seperti kau Denok?"
"Kau .. kau .. mengapa bagini?"
Kemudian Denok Kinasih menangis. Air matanya segera meloncat dari
kelopak matanya, membanjir seperti bendungan air yang ambrol. Tetapi
tangannya tak dapat digerakkan, maka air mata itu dibiarkan mengalir
membasahi pipi yang montok. Dengan lancangnya Budi Candala telah
menggunakan tangannya untuk mengusap air matanya, dan tangan itu
menyentuh pipinya yang montok. Denok Kinasih amat ngeri, tetapi ia
tiada tenaga sedikitpun, sehingga tidak dapat menghindari apa yang
dilakukan oleh Budi Candala. Sekarang dada lam keadaan tidak berdaya
ini ia tinggal dapat menangis, masyangul dun menyesal.
"Denok, kau tak usah menangis!" hibur Budi Candala halus.
Percayalah bahwa aku akan dapat membahagiakan hidupmu adikku."
"Denok Kinasih tersedu-sedu, katanya tak lancar "Kau ..... . kau ..... .
mengapa melakukan perbuatan ini Lupakah kau ..... . bahwa aku adikmu
dan telah dipertunangkan dengan pemuda lain? Kakang . .kasihanilah aku
. . Kau ..... kau jangan menurutkan godaan iblis . Kakang, sadarlah ..
"Denok, aku sadar. Aku tidak gila. Akibat rasa cintaku yang tak dapat
kutahankan lagi, terpaksa aku melakukan perbuatan ini. Terpaksa aku
menipumu mengajak menuju Karta, dan mengatakan Puji Jatmiko .... "
"Kakang! " jerit Denok. Kinasih. "Kau tega minipu aku Oh .. oh
..... mengapa kau begini kakang? Sadarlah kakang betapa kemarahan ayah
..... jika mengetahui perbuatanmu ini ?" 24
Budi Candala ketawa terkekeh, jawabnya "Denok, ayah sudah tidak
dapat marah lagi. Ayah telah meninggal ..... "
"Apa ?! ayah meninggal?" jerit Denok Kinasih dan tangisnya semakin
menjadi.
Tetapi Budi Candala hanya tersenyum, malah tangannya kembali
mengusap pipi Denok Kinasih yang moncok dan halus itu. Membuat
Denok Kinasih semakin merasa merderita. Tetapi mendadik Denok
berhenti menangis. Matanya menatap tajam kepada Budi Candala dalam
keremangan suasana. Kemudian terdengar katanya secengah menjerit
"Kau ..... . kau anak durhaka. Kau .. kau telah membunuh ayah ....."
"Kalau benar, kau dapat berbuat apa?" ejek Budi Candala seraya
tertawa.
"Jahanam kau kakang, kau anak durhaka. Begitukah balasanmu
terhadap ayah yang telah memelihara dirimu sejak kecil dengan penuh
kasih sajarg ? Kau ..... kau kejam melebihi iblis. Kau . kau terkutuk.
Tuhan akan memberikan hukuman kepadamu seberat-beratnya."
Namun Budi Candala semakin terkekeh, katanya : "Denok aku bukan
anaknya yang sebenarnya. Dan kaupun bukan. Dia bukan sanak dan
keluarga, tetapi orang lain ....."
"Tapi ..... tapi kau telah dipungut anak seperti anak kandung sendiri.
Mengapa kau sampai hati mencelakakan ayah? Oh ... kau bangsat. Kau
jahanam. Bunuhlah aku ..... bunuhlah dan jangan kau perlakukan seperti
ini."
"Denok, kau jangan berkata begitu!" bujuk Budi Candala. "Demi
cintaku kepadamu adikku, aku melakukan perbuatan itu. Maafkanlah aku
adikku, dan apa harus dikata karena telah terlanjur? Denok, lupakanlah
semuanya itu. Dan marilah kita sekarang membentuk rumah tangga
bahagia."
"Bunuh! Bunuh sajalah aku!" jerit Denok Kinasih.
"Tidak adikku, kau harus menjadi isteriku. Hanyalah kau wanita
diseluruh jagad ini yang dapat menarik hatiku." 25
"Tutup mulutmu ! Bunuhlah aku habis perkara. Bunuhlah aku seperti
kau membunuh ayah. Kau manusa 'Wis. Kau durhaka. Ja-hanam ! Bangsat
! Bayingan ! Terkutuk ! Hajo, bunuhlah segera dan susulkan aku kepada
ayahku."
Merah juga telinga Budi Candala oleh makian Denok Kinasih yang
sekarang tidak berdaya dalam pelukannya itu. Dalam keadaan sekarang
ini, apapun yang dilakukan, gadis itu tidaklah akan dapat memberi
perlawanan sedikitpun. Mengapa berani mencerca sedemi-kian rupa ? Dan
mengapa gadis itu bukannya beriba tetapi malahan mencaci maki
semaunya sendiri?.
"Denok," katanya seraya menadang tajam, kau jangan asal berbicara.
Kau telah didalam kekuasaanku, dan kau taklah dapat memberontak.
Sadarlah Danok, bahwa baik hidup maupun kematianmu didalam
tanganku. Percayalah adikku, bahwa aku akan membahagiakan hidupmu,
jika kau mau membalas cintaku. Tetapi sebaliknya, apabila kau barkeras
kepala. Hem aku tak mau tahu Kau ...... kau hanyalah akan aku buat
seperti barang permainan."
Bergidig dan ngeri juga Denok Kinasih mendengar ancaman Budi
Candala ini. Ia sadar, bahwa dirinya tidak akan dapat melepaskan diri dari
cengkereman pemuda ini. Dan ia sadar pula, bahwa ancamannya ini akan
berlaku pula apabila ia bersikeras. Jalan yang baik sesungguhnya haruslah
manahan gajolak kemarahannya dan menanggapi secara halus kepada
pemuda ini. Dengan cara ini, mungkin masih dapat menundukkan Budi
Candala dan dapat meloloskan diri.
Tetapi Denok Kinasih segera teringat akan nasib ayahnya yang telah
dibunuh oleh anak pungut yang durhaka ini. Terbayang dalam benaknya
bahwa ayahnya tergolek tak bergerak diatas ambin, sedang ibunya
menangis amat sedih didekat jenazah ayahnya. Ayah yang amat ia cintai
telah dibunuh pemuda ini secara curang. Ia tidak akan dapat memaafkan
akan perbuatan terkutuk pemuda ini. Ia tidak ingin berpura-pura kepada
pemuda ini, dan tidak ingin berdamai.
"Denok," bujuk Budi Candala lagi dengan katanya yang halus, "Kau
jangan keras kepala adikku. Dengarlah jeritan hatiku yang amat cinta 26
kepadamu. Lupakanlah peristiwa yang telah berlalu. Dan sesungguhnya
Denok, apa yang aku perbuat, bukan lain oleh rasa cintaku kepadamu
yang sudah tidak tertahankan lagi. Percayalah bahwa aku mencintaimu
dunia sampai akhirat."
"Bunuhlah aku, habis perkara!" jerit Denok Kinasih.
"Sangkamu aku dapat kau bujuk.?"
Budi Candala kembali tertawa bergelak.
"Bangsat! Jahanam! Kau ketawa seperti iblis Kau manusia binatang.
Kau anak yang tak tahu membalas budi. Hajo bunuhlah aku!"


Terculik Pemuda Jahanam Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Budi Candala lagi-lagi tertawa. Kemudian mengancam Sinis! "Kau
telah membuat aku marah. Aku tidak dapat memberi ampun lagi terhadap
orang yang lancang mulut. Aku cinta kepadamu. Te-tapi kau tak mau
menanggapi. Maka hukuman bagimu yang pantas hanyalah dengan cara
mempermainkan dirimu sampai aku bosan. Kau akan mati sendiri oleh
derita batinmu tanpa aku membunuh kepadamu.
Tangan Budi Candala bergerak. Pemuda durhaka ini telah terangsang
oleh nafsu jahatnya yang tidak lagi terkendalikan. Budi Candala
baranggapan, bahwa tiada seorangpun yang akan dapat menolong gadis
ini lepas dari tangannya. Apa yang dikehendaki, akan terlaksana tanpa
rintangan. Pada kesempatan ini ia akan menunjukkan kepada Denok
Kinasih, bahwa apa yang dikatakan bukanlah merupakan ancaman yang
kosong melulu. Ia sanggup melakukan kekejaman yang tiada taranya. Dan
gadis didalam keadaan lumpuh, tidak akan dapat melakukan perlawanan
sedikitpun.
Tetapi Budi Candala lupa bahwa gadis yang dipeluknya sekarang dan
tidak dapat berdaya ini bukanlah penakut dan berhati lemah. Begitu
Denok Kinasih merasa pamuda itu akan mencium dan tangannya meraba
dada, Denok Kinasih menjerit. Kemudian menyemburlah darah merah dan
mulut Denok Kinasih menyemprot kemuka budi Candala. Membuat
pamuda ini terkejut dan gelagapan. Ia malepaskan pelukannya, manyeka
mukanya yang barlepotan darah merah dangan memaki kalang kabut. 27
"Jahanam! Sundal Kupukul hancur kepalamu. Setan Kau sangka aku
tak tega membunuhmu? Tangannya telah bergerak dengan maksud untuk
memukul kepal Denok Kinasih. Tetapi tangan yang sudah bergerak itu
segera ditariknya dengan hati yang gugup. Karena ia curiga akan suara
pernafasan Denok Kinasih.
la cepat mengambil batu api untuk membuat api, dengan maksud
mengetahui apa yang terjadi dengan Denok Kinasih ini. Ketika ia telah
berhasil membuat api pada ranting kaju yang kering, Budi Candala segera
dapat menyaksikan keadaan Denok Kinasih.
la menjadi gugup dan pucat. Tahulah ia sekarang bahwa Denok
Kinasih telah melakukan perbuatan yang amat nekat. Darah merah yang
menyembur dari mulut Denok Kinasih, telah membuat Wajah yang manis
itu sekarang berlepotan darah. Mendadak Budi Candala menubruk tubuh
Denok Kinasih dengan terisak. Benar, pemuda yang kejam ini telah
menitikkan air mata dan menangis. Karena Denok Kinasih telah
membunuh diri dengan jalan menggigit putus lidahnya sendiri.
Budi Candala, tidak pernah menduga bahwa Denok Kinasih akan
berbuat senekat itu. Dan meskipun tadi Budi Candala telah mengancam
sedenykian rupa, tetapi sesudah sekarang Denok Kinasih meninggal
akibat lidahnya putus, ia menjadi amat menyesal sekali. Dalam benaknya
segera terbayang saat-saat mereka masih kanak-kanak, merupakan
seorang kakak beradik yang bahagia dibawah lindungan kasih-sayang
ayah bundanya.
Budi Candala yang durhaka itu, mendapatkan kesadarannya kembali
sesudah ia berkhianat dan durhaka kepada ayah angkatnya, dan sesudah
pula Denok Kinasih mati. Namun segala sesal tiada guna. Ayah dan
adiknya ini sekarang telah mati dan tidak akan kembali hidup lagi.
Beberapa saat lamanya Budi Candala tenggelam didalam
kemenyesalan yang amat sangat. Jenazah Denok Kinasih didekap erat
sakali, seraya terisak-isak.
Adikku ..... . adikku ..... oh aku berdosa kepadamu!" ratap Budi
Candala, "Maafkanlah aku ... Denok, oh ..... aku amat menyasal ..... Ayah 28
..... . ayah aku anak durhaka. Aku ..... aku telah berkhianat dan
membunuhmu .. oh ...... Ayah.. ampunilah aku ayah .....!
Budi Candala bingung sekarang, tak tahu apa yang akan diperbuatnja.
Beberapa lama ia manangis dan menyeka air matanja dengan ujung
bajunya. Didalam kemenyesalannya ini terbayang pula kesedihan ilunya
disisi jenazah ayah yang telah dibunuhnya.
Baru sesudah rasa kemenyesalannya itu agak reda, ia bangkit dan
dengan menggunakan pedangnya ia berusaha membuat lubang kubur
untuk menguburkan jenazah Denok Kinasih. Ia tidak sampai hati untuk
meninggalkan begitu saja jenazah adiknya ini tergolek diatas tanah, dan
akan menjadi mangsa binatang buas.
Ketika ia telah selesai membuat lubang kubur itu, dengan masih terisak
ia segera mengangkat jenazah Denok Kinasih kedalam lubang kubur.
Kemudian ditimbuni tanah. Namun ia tidak segera pergi. Ia masih
menunggui tanah merah yang menutupi jenazah Denok Kinasih dengan
merenung-renung.
Sungguh diluar perkiraan Bucti Candala bahwa akhir rencananya harus
begini. Dengan peristiwa yang tidak pernah terduga ini, secara tiba-tiba
Budi Caniala mendapatkan kesadarannya kembali, bahwa apa yang telah
diperbuatnya adalah suatu perbuatan yang terkutuk dan amat durhaka.
Sekarang, sesudah terjadi peristiwa2 yang menyedihkan, Budi Candala
menemukan kembali. Tuhan yang sejak beberapa lama ini tidak pernah
digubrisnya. Ia sangat menyesal dan mohon ampun serta tobat terhadap
Tuhan yang Maha Esa. Dan sesungguhnya Tuhan bersifat murah dan adil.
Tuhan se1alu memberikan maaf dan ampun kepada umatnya yang
bersedia bertaubat.
"Aku akan menebus segala dosa-dosaku," desisnya seraya merenungi
gundukan tanah kubur Denok Kinasih. "Denok, kau jadilah saksiku.
Bahwa aku bertaubat kepada Tuhan. Aku akan menebus segala dosa dan
kedurhakaanku dengan perbuatan-perbuatan yang berguna."
Dengan hati yang masih amat berduka, Budi Candala kemudian
bangkit berdiri. Ia malangkah perlahan meninggalkan kubur Denok
Kinasih, dan masih sekali-sekali ia berpaling seakan merasa tidak toga 29
untuk meninggakan kuburan itu. Timbullah kemudian keinginannya
uncuk memberikan tanda kepada kubur ini agar tidak hilang. Ia
bermaksud sewaktu-waktu akan menjenguk kembali kubur adiknya yang
amat didintai ini.
Tak jauh dari tempat itu terdapat batu sebesar kerbau. Dengan
mengetrapkan aji bandung-badawasa, batu yang besar itu segera diputar.
Tidak lama kemudian batu yang amat besar au terangkat.
Sungguh menakjubkan tenaga kekuatan pemuda ini. Batu sebesar
kerbau itu saakan benda yang amat ringan. sehingga dengan mudahnya
sudah terangkat. Kemudian batu tersebut dibawanya menuju kubur Denok
Kinasih. Lalu dibantingkannya batu itu didekat gundukan, segera melesek
hampir separo kedalam tanah.
Sesudah ia menyelesaikan hal ini, ia baru merasa puas dan
meninggalkan kubur itu dengan ikhlas. Dalam hatinya telah tetap bahwa
ia akan mendharma-baktikan hidupnya untuk kesejahteraan umat manusia
sebagai tebusan taubatnya kepada Tuhan Sarwa Sekalian Alam.
Demikianlah ia melangkah perlahan menurutkan jejak kaki. Beberapa
saat kemudian ia telah berlarian cepat tanpa tujuan. Ia bermaksud
mengembara dengan tekad satu, akan menebus dosa perbuatannya. Ia
tidak mengenal lelah pada malaria yang gelap itu. Secara rahasia ia
kembali kadesa ayah angkatnya dan sekaligus gurunya pula. Ia ingin
mengetahui apa yang terjadi akibat perbuatannya yang khianat dan
durhaka.
Kemudian ia tertarik kepada pembicaraan orang-orang digardu
penjagaan desa disudut desa. Dengan disinari oleh pelita yang bercahaya
remang-remang, tampaklah enam orang laki-laki yang marokok sambil
mengobrol. Dari pembicaraan orang-orang didalam gardu ini, ia
mendengar bahwa ibu angkatnya amat sedih berkenaan dengan kematian
suaminya, dan kepergian anaknya yang dilarikan oleh Budi Candala. Ki
Menang Langse telah dikuburkan pada suatu bukit yang tidak bagitu
tinggi, tadi sore.
Mendengar semuanya itu, hati Budi Candala semakin merasa berdosa
dan berduka. Inginlah sesungguhnya untuk menemui ibunya yang telah 30
memberi kasih dan sayang sejak kecil itu, dan menghibur agar berkurang
kesedihannya. Akan tetapi sesudah ia teringat apa yang sudah
diperbuatnya, keinginannya itu segera terusir. Ia khawatir bahwa oleh
kehadirannya, ibu yang menderita itu semakin menjadi berduka. Dan
apakah yang dipergunakan alasan apabila ibunya menanyakan Denok
Kinasih?.
Namun demikian, ia masih berkeinginan untuk memandang sekali lagi
kepada ibunya yang kasih dan sayang itu. Sebelum ia akan pergi
mengembara untuk mendharma-baktikan hidupnya bagi kesejahteraan
manusia.
Karena itu secara rahasia ia segera menuju kerumahnya. Ia tidak ingin
bertemu kepada siapapun, agar tidak membuat hatinya semakin bertambah
merasa berdosa. Tak lama kemudian sampai pulalah ia kerumahnya.
Rumah yang cukup besar itu terang benderang oleh lampu-lampu yang
dipasang orang. Tampak oleh Budi Candala para tetangga yang duduk
diatas tikar didalam pendapa dan rumah, untuk berbela sungkawa atas
meninggalnya seorang-orang tua yang amat dihormaci didalam desa itu.
Sedang didapur, orang-orang perempuan sibuk mempersiapkan hidanganhidangan yang diperlukan.
Dari dalam rumah misih terdengar jelas suara orang yang membaca
kitab suci, untuk memohonkan ampun kepada Tuhan segala dosa dan
perbuatan Ki Menang Langse semasa hidupnya.
Hati Budi Candala amat terharu. Air matanya kembali memenuhi
kelopak matanya. Namun untunglah bahwa ia masih kuasa menahan
perasaannya, kemudian secara rahasia ia mengintip kedalam rumah dari
celah-celah genting. Tampaldah olehnya ba'iwa ibu yang per-nah
memel.hara sejak berumur lima taltun dan memberi kasih sa-jarg dada
bedanya anak sendiri itu duduk disudut, dan beberapa orang perempuan
tua menemani. Jelas dilihatnya maca ibunya merah dan agak bengkak
akibat terlalu banyak menangis. Wajahnya nampak pucat, membuat Budi
Candala terharu dan hampir tak kuasa menahan hitinya, yang melonjak- 31
lonjak mengajak kepadanya untuk memeluk dan mencium lutut ibu yang
baik hati itu.
Namun segala parasaan itu dilawan dan ditekannya. Kehadirannya
hanya akan membuat ibunya semakin sedih. Maka jalan satu-satunya
yang. baik haruslah segara pergi dari rumah ini.
"Ibu, berilah aka ampun!" katanya dalam hati. Aku anak durhaka yang
tidak pandai membalas budi orang tua. Ibu, tanganku telah berlumuran
noda dan dosa. Aku tidak barani menyentuhmu bunda, dan mengotorimu.
Karena itu sejak saat ini aku akan mengembara, dan tak akan barjumpa
dengan bunda lagi. Ibu, selatnat tinggal "
Dengm menahan air mata kemudian Budi Candala meninggalkan
rumah dan desanya tanpa tujuan, hanya menurutkan langkah kaki melulu.
Namun oleh kelelahannya, kemudian ia terpaksa melepaskan lelah
didalam hutan yang membentang luas bernaama gunung Payung. Ia tidur
diatas dahan, agar tidak diganggu binatang buas.
**** BAB IV
PERUSUH MENGGANAS
PADA jaman Panembahan Anyakrawati (Panembahan Seda Krapjak),
Mataram sedang dirongrong oleh pemberontakan oleh para Bupati.
Pergolakan-pergolakan itu semula dapat diatasi oleh Panembahan
Senopati. Tetapi sesudah Panembahan Senopati wafat, para Bupati dan
Adipati yang semula sudah tunduk kepada Mataram itu kembali
melepaskan ikatan dengan Mataram.
Sejak Panembahan Anyakrawati menduduki takhta kerajaan Mataram,
Pangeran Puger (putera sulung Panembahan Senapati) yang diangkat
sebgai Bupati Demak telah memberontak. Meskipun Pangeran Niger
saudara tua Panembahan Anyakrawati, terpaksa pula pasukan Mataram 32
bergerak untuk memukul Demak. yang pertama berlangsung pada tahun
1602, tetapi gagal. Baru penyerbuan yang kedua tahun 1604, berhasillah
Demak dikalahkan dan Pangeran Puger tertawan hidup-hidup.
Tetapi semenjak Demak memberontak, para Bupati yang semula
tunduk kepada Mataram. Ikut-ikutan pula memberontak. Hampir seluruh
Bupati dan Adipati didaerah timur membangkang kepada Mataram.
Ponorogo merupakan daerah yang terdekat dengan Mataram dan tidak
mau mengakui Mataram lagi sebagai raja tempat menggan-tungkan nasib.
Karena itu, Ponorogo kembali memaklumkan berdiri sendiri. Sesudah
lebih kurang sepuluh tahun terpaksa mengakui dan tunduk kepada
Mataram, sesudah Panembahan Senopati berhasil memukul Ponorogo dan
Madiun. Tetapi sekatang Ponorogo merasa sudah kuat. Apa yang harus
ditakutkan lagi? Dalam pada Itu Bupati Pono-rogo juga beim lupa bahwa
kekalahan Ponorogo ketika itu adalah atas tipu muslihat Panembahan
Senopati.
Maka Ponorogo sekarang ingin mencoba kekuatan Mataram, dan siapa
siaga menghadapi kemungkinan penyerbuan Mataram. Ponorogo tidak
ingin tertipu untuk kedua kalinya, dan untuk itu telah mempersiapkan
pasukan yang amat cukup. Tipu muslihat (baca: siasat perang) yang
dilakukan Panembaban Senopati, mula-mula mengutus seorang selirnya
yang cantik jelita bemama Adisari. datang ke Ponorogo dengan membawa
hadiah-hadiah berharga sebagai uluran tangan persahabatan. Oleh
pengaruh keluwesan, kecerdikan dan kejelitaan Adisari, tanpa curiga
Ponorogo menerima ajakan tersebut. Sehubungm dengan itu maka
pasukan Ponorogo yang semula sudah dalam kesiap-siagaan perang
dibubarkan, sebagai pelaksanaan perdamaian dan persahabatan yang telah
terintis. Namun ternyata kemudian sesudah Ponorogo dalam keadaan
lenggah dan tiada persiapan itu. Pasukan Mataram yang cukup besar telah
menyerbu Ponorogo secara mendadak. Berakibat Ponorogo jatuh dalam
waktu yang amat singkat.
Demikianlah sebabnya sekarang Ponorogo kembali bangkit dan tidak
lagi mau tunduk kepada Mararam. Dan bukan saja Ponorogo sekarang
dalam kesiap -siagaan tetapi berapa regu pasukan yang terpilih telah mulai 33
menyerundup kedaerah Mataram untuk menimbulkan kekacauankekacauan dan gangguan keamanan kepada penduduk.
Timbuinya kekacauan dan gangguan keamanan itu menyebabkan
penduduk-penduduk desa yang berdiam dikaki gunurg Lawu dan daerahdaerah yang berbatasan dengan daerah Ponorogo dalam ketakutan.
Akibatnya banyak pula yang mengungsi ke desa-desa dalam wilajah
Magetan dan Ponorogo. Dengan berpindahnya penduduk itu sudah
merupakan keuntungan, karena penduduk-penduduk baru itu merupakan
pula tenaga yang dibutuhkan apabila peperangan sudah meletus. Berarti
merupakan tambahan kekuatan.
Namun sesungguhnya gangguan keamanan itu bukanlah melulu
perbuatan pasukan Ponorogo yang ditugaskan. Satiap terjadi kekacauan,
gerombolan-gerombolan penjahat akan meneguk dlair keruh Dan
berakibat semakin meluaslah gangguan-ganguan keamanan yang melanda
dalam daerah kekuasaan Mataram.
Panembahan Anyakrawati juga sudah mengirimkan pasukan-pasukan
pengamanan kedaerah yang berbatasan dengan Ponorogo dan Madiun.
Namun secala usaha itu belum menampakvan hasil yang memuaskan,
karena gargguan terhadap penduduk masih berlangsung.
Budi Candala juga sudah mendengar akan gangguan keamanan
penduduk yang menjadi perhatian Panembahan Anyakrawati itu. Timbul
hasratnya pula sekarang, untuk memberikan andilnya melindungi
penduduk dari ancaman bahaya.
"Aku harus mengabdikan dirku kepada Mataram," gunamnya seraya
berlarian diatas perbukitan Wonogiri. Kewajibanku pula untuk menolong
penduduk itu. Terjaminnya keamanan bagi penduduk, akan membuat
kesantausaan Mataram. Tapi aku harus juga membuang jauh-jauh nama
pemberian orang tuaku, gumamnya lagi seraya menuruni bukit agak
gundul akibat kemarau. Dengan nama Budi Candala aku telah berbuat
pengkhianatan dan kedurhakaan. Sebaiknya aku menggunakan nama
pemberian ayah Menang Langse. Jaka Temon. Dengan nama ini akan
menuntun kepadaku berjalan diatas jalan kebanaran. Disamping nama itu 34
sendiri melekatkan hatiku kepada orang yang telah menolong aku, tetapi
telah kubunuh."
Teringat kembali akan ayah angkatnya yang dibunutnya dengan racun
itu, ia menghe!a nafas dalam-dalam. Karena wajah lembut Ki Menang
Langse segera terbayang kembali dalam benaknya. Dan terasa kembali
pula kasih sayang ayah bunda angkatnya itu dalam sanubarinya.


Terculik Pemuda Jahanam Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pada saat Jaka Temon sedang diombang-ambingkan oleh perasaan itu
ia terkejut. Terdengar sayup-sayup suara senjata beradu dibawa angin.
Kakinya cepat bergerak berlarian untuk mengetahui apa yang telah terjadi.
Jaka Temon semakin tidak sabar ketika terdengar jerit pe-rempuan
disamping senjata berdencingan tanda pertempuran ia menerobos
belantara dan melompati jurang-jurang yang tidak begitu lebar dalam
usahanya cepat mencapai tempat pertempuran.
"Hem," desisnya, "Rampok yang ganas."
Pada jalan dipinggir hutan ita, terjadi suatu pertempuran yang kacau.
Beberapa orang perempuan yang mengenakan pakaian baru mengglgil
ketakutan menggerombol, menyaksikan pertempuran yang berlangsung
dengan cemas. Ditengah perempuan-perempuan itu nampak seorang
perempuan yang dihias seperti pengantin.
Jaka Temon terkesiap. Darahnya segera mendidih dan amarah
menggelagak dalam dada. Tahulah ia sekarang bahwa serombongan
pengantin yang boyongan telah dicegat oleh segerombolan perampok.
Jaka Temon sempat menghitung bahwa perampok itu hanya berjumlah
sepuluh orang.
Sedang laki-laki pengiring pengantin itu jumlahnya lebih tiga puluh
orang. Namun agaknya laki-laki pengi-ring pengantin itu bukan
seluruhnya berjiwa jantan. Terbukti yang memberikan perlawanan dengan
gigih itu hanya separo saja.
Mereka hanya melihat pertempuran itu dengan tubuh menggigil dan
wajah pucat. Mereka berpakaian serba baru dan mentereng, namun
ternyata berjiwa pengecut dan membiarkan kawan-kawan mereka
melawan dengan rapat. 35
Pengantin laki-laki itu dengan gagahnya melawan dua orang
pengeroyok dengan senjata kerisnya. 36
Empat orang laki-laki telah berlumuran darah oleh luka yang diderita.
Mereka tertatih-tatih menyingkir dari tempat pertempuran seraya
mendesis kesakitan.
Namun lebih sepuluh orang laki-laki pengecut itu seakan matanya
buta. Mereka tidak cepat menyongsong dan memberi pertolongan, dan
hanya melihat tanpa berbuat. Muak benar sesungguhnya Jaka Temon oleh
sikap pengecut pengiring pengantin itu.
Penjahat-penjahat yang mencegat rombongan pengantin itu terdiri dari
laki-laki tangguh. Separo dari jumlah perampok itu dengan gigih menghalau pengi:ing pengantin yang mengeroyok. Suara senjata mereka
berdencingan setiap beradu.
Jaka Temon menjelajahkan pandangan matanya ketempat
pertempuran. Sejak tadi ia tidak melihat pengantin laki-laki. Pengantin
yang boyong tidak mungkin tanpa pengantin laki-laki.
"Hah, celaka!" serunya tertahan. Kemudian Jaka Temon melompat
dari semak tempatnya bersembunyi dengan pedang telanjang. Munculnya
Jaka Temon secara tiba-tiba itu merebuat terkejut gerombolan perempuan
dan pengiring-pengiring pengantin yang berjiwa penakut itu. Sampai
beberapa orang diantaranya berseru terkejut.
Ternyata pengantin laki-laki yang dicari oleh Jaka Temon itu lebih
gagah apabila dibanding dengan beberapa pengiringnya. Pengantin lakilaki itu bukannya hanya melihat dengan tubuh menggigil. Tetapi
pengantin itu menggunakan kerisnya bertempur melawan dua orang
penjahat yang mengenakan topeng penutup muka. Tetapi keadaannya
dalam bahaya, karena terdesak.
Pengantin laki-laki itu secara tidak sadar telah terpancing oleh lawan,
sehingga mereka bertempur pada tempat yang terpisah lebih dua puluh
tombak dengan yang lain.
Jaka Temon dalam hati memaki kalang kabut kepada para pengiring
pengaritin itu yang tidak pandai menjaga keselamatan pengantin laki-laki.
Meskipun hanya sekilas Jaka Temon menyaksikan segera tahu akan siasat
licik para penjahat. Pengantin laki-laki itu sengaja dipancing agar terpisah 37
dengan pengiringnya, dan pada saatnya kemudian para penjahat akan
meninggalkan lawan masing-masing untuk menyerbu dan mengeroyok si
pengantin laki-laki.
Maka Jaka Temon langsung menolong pengantin laki-laki yang dlkeroyok dua orang Ito hanya bersenjata keris, dan keadaannla sudah amat
terdesak, hampir tak mampu memberi perlawanan. Mendadak satah
seorang dari pengeroyoknya berbasil memukul jatuh keris pengantin lakilaki itu. Kemudian pedangnya bergerak cepat untuk merobohkan si
pengantin. Tetapi belum juga ujung pedang itu berhasil menyentuh tubuh
si pengantin, pedang itu sendiri telah terpental jauh. Kamudian sebelum
menyadari akan bahaya, pundaknya telah mengucurkan darah merah oleh
tusukan pedang Jaka Temon.
Penjahat yang lain amal terkejut. Dengan amat geramnya menyerang
dari belakang. Tetapi tusukannya hanya mengenai angin. Karena desir
angin yang tajam telah memberitahukan kepada Jaka Temon, atas
serangan orang. Maka dengan merendahkan tubuh seraya
menyerampangkan padangnya, penjahat itu sendiri menjadi gelagapan
secengah mati.
Pengantin laki-laki itu terbelalak menyaksikan hadirnya Jaka Temon
yang menyelamatkan dirinya. Namun ia tidak mau berdiam dari ia cepat
mengambil kembali kerisnya yang terjatuh, dan dengan sigapnya menusuk
kepada penjahat yang terluka itu. Karena penjahat tersebut dalam keadaan
lengah, maka tanpa ampun lagi dada dan punggung penjahat itu telah
tertembus oleh bilah keris. Penjahat itu memekik ngeri, dan terkulai roboh
tak berkutik ketika keris pengantin dicabut.
Hampir bersamaan dengan ito pula, pedang Jaka Temon telah
menghujam keperut penjahat yang lain. Lalu roboh merintih-rintih.
Dengan sigapnya Jaka Temon membuka topeng penutup muka penjahat
itu. Jaka Temon hampir memekik oleh karena terkejut.
"Kau .. kau .. mengapa melakukan ini?" tegur Jaka Temon tidak
lancar.
"Maafkanlah aku Jaka, jawab penjahat itu. Aku tak pernah menyangka
bahwa kau tersesat begini." Jaka Temol menyesal. 38
"Maafkanlah aku. Jaka, aku sekarang menyesal. Namun .. Kau
keliru jika menuduh aku .. sesat. Apa yang sekarang aku lakukan,
terdorong oleh rasa setia kawan terhadap dia." jawab penjahat itu seraya
menunjuk kepada kawannya yang telah tewas oleh tusukan keris pergantin
laki-laki. "Dia meminta bantuanku. Untuk menggagalkan perkawinan
gadis yang dicintai. Jaka .. oh "
Penjahat itu tidak dapat melanjutkan keterangan. Dan Jaka Temon
cepat barjongkok untuk menolong. Tetapi takdir telah tiba. Nyawanya
telah lenyap entah kemana.
Hati Jaka Temon terharu. Tetapi perasaan itu ditekannya. Kemudian
jenazah penjahat itu diangkatnya, kemudian dibawa lari meninggalkan
pertempuran.
Pengantin laki-laki yang ditolongnya memanggil-manggil. Tetapi Jaka
Temon tak mau perduli. Ia berlarian cepat membawa jenazah itu
kemudian hilang dibalik semak.
Pertempuran itu sendiri memang telah terhenti semenjak penjahat yang
mengenakan topeng itu terbunuh mati oleh pengantin laki-laki, sedang
yang seorang terbunuh mati oleh tangan Jaka Temon. Karena perijahatpenjahat yang lain segera lari berserabutan ketakutan.
Sedang Jaka Temon membawa jenazah penjahat yang telah dikenalnya
itu masuk kedalam belantara. Tidak lama kemudian jenazah itu diturunkan
diatas rumput dan dipandangi wajah yang pucat itu dengan menghela
napas. Dalam hatinya timbul penyesalan mengapa Kanduruwan tersesat
jalan menjadi penjahat. Kanduruwan adalah kakak Denok Kinasih, dan
pernah pula berguru kepada Ki Menang Langse.
Kalau saja ia tahu bahwa penjahat yang dihadapi Kanduruwan, kiranya
Jaka Temon tak akan sampai hati untuk membunuh. Yang ia herankan
mengapa pada saat bercempur, Kanduruwan tidak mau mengakui
keadaannya, dan berakhir dengan kematiannya. Jaka Temon mengeluh
menghadapi peristiwa yang tidak pernah diduganya ini.
Namun semuanya telah terjadi. Meskipun dicesalkan tidoklah mungkin
dapat hidup kembali. Akhirnya dengan hati yang berduka, Jaka Temon 39
segera membuat lubang kubur. Tak lama kemudian lubang kubur itu
selesai. Kemudian jenazah Kanduruwan dikuburkan dengan khidmat.
Sambil menimbun tanah, terbayanglah dalam pelupuk matanya,
kebingungan orang tua Kanduruwan dan Denok Kinasih. Dua orang
anaknya hilang tidak diketahui kemana rimbanya. Jaka Temon dapat
memastikan bahwa orang tuanya tidak menyadari bahwa dua orang
anaknya sudah mati.
Kemudian Jaka Temon meneruskan perjalanan ke timur. Ia melangkah
hanya menurutkan kemauan kalinya. Otaknya kosong, tiada tujuan
tertentu. Ia hanya beristirahat pada saat merasa lapar, dan perut isi kembali
melangkahkan kaki. Ketika matahari terbenam, ia benstirahat diatas pohon
rindang dipinggir jalan yang menghubungkan paganungan Wonogiri
dengan Ponorogo. Jaka Temon cepat tertidur karena lelah. Tahu-tahu
keadaan sekeliling amat gelap dan sepi, dan tiada kenal akan waktu.
Hanya dikejauhan terdengar gonggong anjing dan suara kentongan
dipukul orang, sebagai perranda bahwa pemukul kentongan itu terjaga.
Mendadak terdeagar suara derap kuda dalam jumlah agak banyak.
Timbullah rasa aneh dalam dadanya. Mengapa malam-malam begini
serombongan orang berkuda menempuh perjalanan. Padahal jalan dimana
ia baristirahat jauh dari desa, dan akan segera masuk kedalam rimba yang
luas. Rombongan yang amat berani dan tidak mengenal akan bahaya.
Meskipun ditabiri oleh gelap malam, dari tempat persembunnyiannya
ia segara dapat menghitung bahwa kuda itu berjumlah sebelas ekor. Tetapi
dari jumlah itu, tiga ekor diantaranya tanpa penumpang. Namun bukannya
tanpa beban. Pada punggung kuda itu tergantung kantung-kantung basar
dan nampaknya kuda itu merasakan beban pada punggungnya yang amat
berat.
Sebaliknya dari jumlah delapan ekor kuda, lima ekor diantaranya
memuat dua orang penumpang. Sedang tiga ekor yang lain hanyalah
masing-masing seorang. Rombongan berkuda itu samakin dakat dengan
temptnya bersembunyi. Ia makin dapat melihat secara jelas bahwa mereka
yang brarboncangan diacas kuda itu laki-laki dan perempuan. Hatinya
semakin bertanya-tanya, rombongan itu menuju kemana malam ini dan
mengapa membawa serta perempuan-perempuan? 40
Tiba-tiba salah seorang perempuan itu menjerit minta tolong. Tetapi
hanya sekali, dan selanyutnya tidak lagi dapat berteriak. Lalu disusul oleh
suara seseorang : Sumbatlah mulutnya. Sebelum kita dapat melewati
hutan depan itu, keadaan belum aman."
Hati Jaka Temon mandadak berdabar. Sadarlah ia sekarang bahwa
rombongan berkuda itu segerombolan penyamun atau perampok. Agakaya
mereka sehabis merampok pada sebuah desa dan berhasil! merampas
barang-barang berharga dan perempuan. Jaka Temon me. ran heran Apa
sebab para perampok itu setiap mengganggu keten-traman penduduk,
bukan saja menginijar barang-barang berharga, tetapi juga perempuan.
Seakan sudah merupakan rencana tertentu bahwa disamping dapat
merampas kekayaan penduduk juga perlu menculik perempuan. Agaknya
dunia para penjahat itu hanyalah itu-itu saja yang diperhatikan dalam
hidupnya.
"Hasil kita malam ini berlipat ganda dibanding dengan sepekan yang
lalu, " kata salah seorang, diiring ketawanya.
"Ya, dan tugas yang kita pikul sekarang ini merupakan tugas yang
menyenangkan. Ua ha-ha-ha, sesudah kita pulang ke Ponorogo, akan
menjadi orang kaya raya," sambut orang yang lain dengan gembira.
"Tapi kapan dapat pulang?" tanya yang lain bernada mengeluh "Telah
tiga bulan lebih aku berpisah dengan anak dan isteriku."
Mendengar keluhan orang itu, yang lain menyambut dengan gelak
ketawa. Kemudian terdengar ejek seseorang, "Salahmu sendiri mengapa
kau jadi laki-laki penakut dan banci."
"Apa katamu?" dampratnya marah. "Aku laki-laki seJati, bukan banci
dan berani melawan musuh. Apa yang kutakutkan?"
"Uah, kau tidak mengakui keadaanmu." jawab orang itu lagi dengan
mengejek. "Bukankahah law hanya mengenal seorang perempuan,
isterimu sendiri Itukah laki-laki bukan banci dan penakut? Huh! Membuat
Hantu Hantu Lapar Hungry Ghost The X Files Karya Chris Carter Legenda Bunga Persik Tao Hua Zhuan Qi Seri 6 Pendekar Harum Karya Gu Long Pedang Siluman Darah 6 Geger Kitab Inti Jagad

Cari Blog Ini