Ceritasilat Novel Online

Pendekar Satu Jurus 26


Pendekar Satu Jurus Karya Gan KL Bagian 26




   Pendekar Satu Jurus Karya dari Gan K L

   
"Saudara Hui!"

   Bisik Go Beng si.

   "sebentar lagi kau boleh turun ke bawah dan balaskan dendam bagi kematian orang tuamu!"

   Hui Giok tertunduk dengan mulut membungkam, lama dan sama sekali dia baru berkata "Ku harap tak ada orang yang membantu diriku!"

   Mata Jit-giau-tongcu Go Beng-si memancarkan sinar tajam, tapi tidak bersuara lagi. Wan Lu-tin yang berada di belakang mereka tiba-tiba menghela napas sedih sambil berkata.

   "Ai... akupun tidak ingin menyaksikan orang banyak mengerubuti seorang kakek yang sudah lanjut usia."

   Sekalipun dia... sekalipun dia adalah pembunuh ayahku."

   Hui Giok berpaling dan memandangnya sekejap, ia merasa hanya pada anak perempuan inilah dapat memperoleh pengertian dan simpati. Sementara itu Sin-jiu Cian Hui telah membentak pula.

   "Sahabat-sahabat sekalian, sudah kalian dengar perkataannya bukan?"

   Caci maki bernada marah segera berkumandang kembali dari kerumunan orang banyak.

   "Tham Beng, apalagi yang hendak kau ucapkan?"

   Demikian bentak Cian Hui seraya berpaling "Di tengah malam bersalju pada belasan tahun berselang, apakah kau berada di kota Po-teng?"

   Air muka Liong-heng-pat-ciang kaku seperti mayat, jawabnya dingin.

   "Benar!"

   Caci maki orang banyak seketika meledak.

   sedemikian kerasnya suara itu hampir-hampir menggetar bangunan loteng yang berada di sekeliling tempat itu.

   Air muka Tonghong-hengte berubah hebat sedang Sin-jiu Cian Hui tertegun sejenak, tapi dengan cepat bentaknya lagi "Kalau begitu, jadi kau telah mengakui Jiang-kiam-bu tek Hui-sisiang- kiat mati dibunuh olehmu?"

   Hui Giok yang berada di loteng merasakan jantungnya berdebar keras, kaki dan tangannya terasa jadi dingin semua.

   Liong-heng pit-ciang Tham Beng tidak nampak panik atau gugup, dengan kalem dia berkata "Di tengah malam bersalju pada belasan tahun dulu, entah berapa laksa orang yang berada di kota Po-teng, apakah mereka semua pun kau tuduh sebagai pembunuh Hui-si-siang-kiat?"

   Teriakan marah orang banyak segera berubah jadi caci-maki yang pedas.

   "Hahaha! .. suatu penyangkalan yang licik dan tidak tahu malu,"

   Seru Sin-jiu Cian Hui sambil terbahak-babak.

   "apakah kau..."

   Belum habis perkataannya tiba-tiba Liong heng-pat-ciang Thxm Beng bergelak pula dengan nyaringnya, gelak tertawa yang dilancarkan dengan tenaga murni yang kuat, seketika itu juga suara tertawa Sin-jiu Cian Hui berhasil dibikin sirap.

   "Apa yang kau tertawakan?"

   Bentak Sin-jiu Cian Hui dengan marah.

   "Hm, dalam keadaan demikian kau masih bisa tertawa, sungguh tidak tahu malu"

   Liong-heng pat-ciang Tham Beng berhenti tertawa, katanya dengan lantang.

   "Hanya berdasarkan bualan seorang kasar yang berpendidikan rendah kau berkeras mengangapnya sebagai suatu fakta sungguh aku tak tahu harus mengartikan kau ini seorang yang licik atau seorang goblok?"

   Setelah berhenti sebentar sinar matanya menyapu pandang sekejap sekeliling tempat itu, lalu teriaknya lagi dengan lantang.

   "Saksi seperti itu setiap saat aku pun bisa mendapatkannya belasan orang! Sobat2 sekalian, aku percaya kalian berotak tajam, apakah kalian mau percaya begitu saja atas pengakuan seorang kusir kereta?"

   Teriakan marah serta caci-maki kotor kian lama kian mereda. Tonghong Tiat yang cuma membungkam sejak tadi segera menimbrung dengan dahi berkerut "Berbicara menurut suara hati, bukti semacam ini memang tak dapat dianggap sebagai bukti, Cian-cengcu..."

   Sambil tertawa dingin Sin-jiu Cian Hui menukas.

   "Tak bisa dianggap sebagai bukti? Bagus! Bagus! Kalau begitu, kecuali Jiang-kiam-bu-tek bangkit kembali dari liang kuburnya, maka di dunia ini tak ada yang bisa membuktikan kau orang she Tham adalah pembunuhnya?"

   Tonghong Tiat tertegun, cepat ia berpaling ke arah saudara-saudaranya.

   Waktu itu baik Tonghong Kiam maupun Tonghong Kang dan Tonghong Ouw sama-sama menunjukkan mimik wajah yang berbeda namun mereka sendiri tak tahu harus percaya kepada perkataan siapa."

   "Hehebe seorang kakek yang licik"

   Desis Jit giau tongcu yang beradu di loteng rumah makan ambil tertawa dingin. Hui Giok menghela napas panjang.

   "Ai, jika bicara keadaan yang sebenarnya, hingga kini kita memang belum berhasil mendapatkan suatu buku yang dengan jelas dapat menunjukkan dialah pembunuhnya, jika cuma andalkan beberapa fakta yang semu itu sebagai patokan untuk menjatuhkan vonis bahwa dia pembunuhnya, kurasa..."

   "Saudara Hui."

   Tukas Jit-giau-tongcu Go Bcug-ei dengan dingin.

   "hatimu terlalu mulia, ingatlah berjiwa lembut seperti perempuan selamanya tak akan berhasil dengan pekerjaan besar."

   Hui Giok tertegun sejenak.

   tiba2 dalam hati kecilnya timbul suatu perasaan antipati atas ucapan Go Beng-si itu.

   Cepat sinar matanya beralih lagi ke arah lain.

   Tertampaklah Liong heng-pat-ciang tetap berdiri tegak di tempat semula.

   Seakan-akan embusan angin puyuh yang bagaimana tak akan merobohkan kakek itu.

   Lama dan lama sekali, Tonghong Tiat baru berkata "Urusan telah berkembang jadi begini, meskipun kami berada di luar lingkaran persoalan ini mau tak mau harus mengucapkan juga beberapa patah kata yang adil.

   Seandainua bukti nyata belum ditemukan, kuminta saudara sekalian berpikir lagi sebelum bertindtak, janganlah menuduh orang lain sewenang-wenang!"

   Sin-jiu dan Hui tertawa dingin, baru saja dia hendak bicara, tiba-tiba terdengar bentakan keras, berkumandang dari kejauhan ."Aku mempunyai bukti yang meyakinkan itu."

   Semua orang terperanjat beribu pasang mata serentak beralih ke arah suara itu.

   Tertampaklah pat-kwa-ciang Liu Hui, Koau be-sin-to Kiong Cing-yang, Lo Gi serta Pian Sau yan muncul dengan langkah lebar.

   Empat orang itu semuanya merupakan orang-orang kepercayaan Liong-heng pat ciang, Keruan ucapan tersebut bukan saja bikin semua orang tercengang Sin jiu Cian Hui sendiripun merasa di luar dugaan.

   Liu Hiu! Mau apa kau?"

   Bentak Liong-hen pat-ciang dengan air muka berubah. Pat-kwa-ciang Liu Hui tidak berkata apapun, bahkan melirik saja tidak, Dia langsung menuju ke samping Sin jiu Cian Hui, lalu sambil mementangkan tangannya ke atas, serunya dengan lantang.

   "Sobat-sobat sekalian, meskipun aku Liu Hui sudah puluhan tahun mengikuti Tham Beng, tapi masih mempunyai sedikit Liang sim setelah urusanberkembang jadi begni, mau-tak-mau aku harus mengucapkan beberapa patah kata demi ditegakkannya keadilan dan kebenaran."

   Liong-heng-pat-.ciang berkerut kening, rambut dan jenggotnya serasa kaku saking gusarnya karena merasa dikhianati.

   "Jangan gusar dulu paman,"

   Ujar Tonghong Tiat cepat.

   "coba kita dengarkan apa yang hendak mereka katakan!"

   Sampai saat ini.

   pemuda dan keluarga ternama ini masih tidak mengurangi sopan santunnya dalam bicara, hal ini membuat Tham Beng merasa semakin terharu.

   Suasana dalam arena kembali terjadi kegaduhan, orang banyak mulai berbisik-bisik lagi membicarakan persoalan ini.

   Terdengar Pat-kwa-ciang Liu Hui berkata lebih jauh.

   "Belasan tahun belakangan ini, walaupun Tham Beng mengecup kejayaan dan kecermelangan namun ia selalu tak enak makan tak nyenyak tidur, hal ini menunjukkan hatinya kuatir atas suatu kejadian yang pernah dilakukan olehnya, apalagi sejak ia mendengar pengakuan sahabat kusir kereta yang bernama Ko-put-ki itu, dengan pelbagai tipu muslihat yang paling busuk dan licik ia berusaha melenyapkan orang2 Perserikatan Kanglam dari muka bumi."

   Suatu perasaan tertipu dan dikhianati membuat Liong heng pat-ciang Tham Beng yang selalu tenang jadi naik darah, sampai-sampai sekujur badannya ikut gemetar menahan emosi.

   Mimpipun dia tak mengira orang yang paling dipercaya pada hari-hari biasa, kini malahan menista dirinya.

   Dalam marahnya, tokoh persilatan yang disegani ini segera membentak.

   "Bangsat yang tak tahu budi."

   Kesepuluh jari tangannya dipentangkan seperti kuku garuda, ia siap menerjang dan mengkoyak2 tubuh Pat-kwa-ciang Liu Hui.

   "Jangan bertindak gegabah!"

   Seru Tonghong Tiat sambil bergerak maju dan mengadang di depannya. Dengan suara agak gemetar karena emosi teriak Liong heng-pat-ciang Tham Beng.

   "Dunia persilatan adalah dunianya manusia untuk saling adu otot, saling beradu pikiran dan saling tipu menipu, semua orang sudah tahu Hui liong piaukiak tak bisa hidup berdampingan dengan Perserikatan orang-orang Kanglam, maka apabila dengan pelbagai cara kugunakan membasmi kelompok tersebut dari muka bumi, hal ini adalah kewajiban demi kesejahteraan hidupku, dan akupun tak akan menyangkalnya, tapi jika ada orang menuduh aku Tham Beng seorang pembunuh, dengan mempertaruhkan jiwa ragaku aku Tham Beng akan mengajak orang itu untuk beradu jiwa!"

   Wajahnya yang penuh emosi, ucapannya yang tegas, membuat orang merasa bahwa serangkaian kata-katanya itu bukan bohong belaka. Hati Hui Giok yang berada di atas loteng tergerak, sementara Go Beng-si mengejek sambil tertatawa dingin.

   "Hehe, manusia munafik yang pandai bersandiwara sungguh tak kusangka Liong heng pat ciang sebetulnya adalah manusia macam begini!"

   Waktu itu, Sin-jiu Cian Hui juga sedang tertawa dingin, Saudara Liu, teruskan kata-katamu, dalam keadaan dan saat seperti ini aku tanggung manusia she Tham itu tak berani berbuat apa2 terhadap dirimu!"

   Pat kwa-ciang Lin Hui tersenyum, terusnya.

   "Kesemua ini hanya dapat membuktikan Tham Beng sebenarnya adalah manusia munafik yang berhati keji, tapi belum dapat membuktikan dialah orang berkedok yang sudah melakukan pembunuhan berdarah pada belasan tahun yang lalu itu."

   Ia berhenti sebentar dan memandang sekeliling tempat itu dengan pandangan tajam, tertampak semua orang sedang menahan napas sambil memusatkan seluruh perhatian ke arahnya. Pelahan dia berkata pula.

   "Tapi ada satu hal dapat membuktikan bahwa dialah pembunuh kedua Hui bersaudara Jiang kiam bu-tek."

   "Hal apakah itu... ?"

   Semua orang berebut bertanya dengan tak sabar. Tonghong-hengte ikut memperhatikan dengan wajah serius, sedang Hui Giok yang berada di atas loteng hampir saja tak dapat mengendalikan perasaannya.

   "Masih ingatkah kalian, benda mestika apakah yang sedang dikawal jiang kiam-bu-tek pada hari naasnya itu? Dan apa pula manfaat benda mestika tersebut?"

   Kata Pat-kwa-ciang Liu Hui. Ada sebagian orang yang tak tahu bagaimana harus menjawabnya, tapi ada yang segera berteriak "Pek giok ciam-cu,"

   "Yaa apakah saudara Liu maksudkan mestika Pek giok ciam-cu (katak budak kemala hijau) yang dapat meramalkan terang-mendungnya cuaca?"

   Tanya Sin jiu dan Hui.

   "Benar!"

   Seru Pat-kwa ciang Liu Hui sambil tertawa dingin "Pek-giok-ciam cu itulah yang ku maksudkan, dan kini Pek giok-ciam-cu tersebut justru berada didalam saku Liong-heng-pat ciang "Tham Beng"

   Seruan kaget berkumandang dan empat penjuru ibaratnya ledakan dahsyat, Hui Giok juga terkesiap hingga tangannya mengepal keras, sedang Jit-giau-tongcu menampilkan senyum kebanggaan.

   Setelah suara kaget agak sirap, teriakan marah kembali bergema di udara.

   "Geledah sakunya?"

   "Perintahkan kepadanya untuk keluarkan Pek-giok-ciam-cu,"

   "Manusia she Tham, apakah dalam sakumu tiada Pek-giok-ciam-cu, hari ini kami akan lepas kan kau pergi, tapi kalau sebaliknya kami akan hajar kau sampai mampus untuk membalaskan dendam bagi kematian orang2 gagah yang terjadi belasan tahun dulu. Pat-kwa-ciang Liu Hui berdiri di samping dengan senyum aneh menghias wajahnya, tiba2 ia tertawa dingin dan ikut berseru.

   "Wahai manusia she Tham, kalau kau merasa bahwa dirimu bukan pembunuh, beranikah kau membiarkan kami menggeledah bujumu?"

   Untuk sesaat Liong-heng-pat-ciang Tham Beng berdiri termangu, akhirnya dan marah dia malah bergelak tertawa, gumannya.

   "Mengge!edah bajuku... menggeledah bajuku..."

   Tiba-tiba dengan mata melotot dan wajah beringas penuh kegusaran, dia membentak "Siapa yang berani menggeledah diriku?"

   Bentakan itu ibaratnya gelegar guntur di siang hari bolong, semua orang saling berpandangan dan tak seorang pun berani menghampirinya.

   Tonghong Tiat berkerut kening, tapi sebelum ia sempat bicara tiba-tiba dilihatnya Si-Iam-to (golok perenggut nyawa) Lo Gi tampil ke depan.

   Setelah berada di muka, ia mengerling sekejap sekeliling tempat itu, kemudian sambil menjura katanya dengan lantang.

   "Walaupun kalian mempunyai sakit hati terhadap orang she Tham ini, namun Giok-pek-Ciam-cu tersebut justeru mempunyai hubungan yang sangat erat dengan aku Lo Gi dan aku yakin rahasia ini tak diketahui oleh siapapun!"

   Siapakah pembunuh yang sebenarnya pada peristiwa berdarah belasan tahun yang lalu itu? Cara bagaimana Hui Giok akan menyelesaikan urusan itu dengan bijaksana termasuk kisah cintanya sendiri.

   Jilid ke - 19 TAMAT Si-hun-to Lo Gi yang selama ini tak banyak omong, secara tiba2 mengungkapkan rahasia yang maha besar, sudah tentu keterangannya itu menimbulkan rasa tercengang orang banyak.

   Tonghong-hengte berpaling, mereka lihat air muka Liong-heng-pat-ciang kembali berubah hebat.

   "Saudara, apa yang hendak kaukatakan? Ayo bicaralah secara blak-blakan, kami siap mendengarkannya,"

   Kata Tonghong Ouw.

   "Sebetulnya Pek-giok-ciam-cu tersebut adalah benda mestika milik seorang hartawan dari Wilam yang dititipkan kepada saudara angkatku Toan-hun to (golok pemutus nyawa) Sun Pin sebagai barang kawalan, gara2 benda itu, saudara angkatku sampai mengikat permusuhan dengan Wi-yang-sam-sat yang merupakan bandit ganas di utara sungai, dalam bentrokan yang terjadi, walaupun saudaraku berhasil melukai Tui-mia (si pengejar nyawa) Tio-loji. Tapi dia sendiri pun diuber-uber oleh Siau-siang-bun Thia Eng dan Toh-mia sam-long The Kun sehingga tak ada tempat untuk bercokol. Karena peristiwa inilah maka akhirnya Pek-giok-ciam-cu itu di operkan kepada Jiang-kiam-bu-tek untuk melanjutkan kawalannya"

   Ia menghela napas panjang, tuturnya lebih jauh.

   "Hingga kini saudara angkatku itu masih hidup gelandangan dalam dunia persilatan tanpa kuketahui mati hidupnya ia selalu berusaha melakukan penyelidikan untuk menemukan kembali benda mestika itu. Maka bicara sesungguhnya, akulah yang sebenarnya mempunyai hubungan paling erat dengan benda itu, maka ..."

   Semua orang memperhatikan perkataannya itu dengan seksama, di tengah keheningan itu pelahan ia memutar badan menghadap ke arah Liong-heng pat-ciang Tham Beng, lalu terusnya.

   "Hari ini, akulah yang akan menggeledah dirimu!"

   Begitu selesai bicara, secepat kilat ia melompat ke samping Tham Beng dan bersiap-siap untuk melakukan penggeledahan, Liong-heng-pat-ciang ayun tangannya dengan gusar arah yang diserang adalah dada lawan.

   Seketika itu juga Si-hun-to Lo Gi merasakan damparan angin tajam menerjang ke arah dadanya, dia tertolak mundur tiga langkah, tapi cepat ia menegak dan menubruk maju pula.

   "Kau benar2 ingin mampus?"

   Bentak Liong heng-pat-c!ang Tham Beng dengan gusar.

   Bagaimanapun juga Si hun to Lo Gi sudah cukup lama bekerja padanya, dalam keadaan marah toh serangannya itu masih menaruh beberapa bagian belas kasihan, ujung bajunya dikebaskan dan sekali lagi dia desak mundur Lo Gi.

   Suasana waktu itu sudah amat gaduh, dengan sempoyongan Lo Gi mundur beberapa langkah, cepat ia berpaling sambil berterak.

   "Orang she Tham ini berani turun tangan, sobat-sobat sekarang, siapa yang akan memberi keadilan kepadaku?"

   Bentakan ramai terdengar, tahu-tahu sudah ada puluhan orang menerjang ke atas undakundakan batu, dan entah ada berapa banyak suara yang sedang mencaci maki.

   "Bunuh dia, kemudian menggeledag sakunya."

   Walaupun sejak mula Tonghong hengte sudah menaruh curiga atas tindak tanduk Tham Beng, tapi setelah menyaksikan kejadian ini, timbul juga jiwa pendekar mereka.

   Tertampak perawakan Liong-heng-pat-ciang Tham Beng di bawah sinar sang surya senja meski gagah dan kekar, tapi menghadapi pengkhianatan anak buah seperti ini, terpancarlah perasaan sedih dan kesepian yang mengenaskan.

   ia rela mati daripada membiarkan tangan2 itu menyentuh ujung bajunya, sekarang dia sudah ambil keputusan nekat, asal orang-orang itu menyerbu ke atas undak-undakan batu, maka diadakan menggunakan darah orang lain untuk mencuci kemarahan hatinya, dia hendak menggunakan mayat-mayat orang itu sebagai kuburannya.

   Hui Giok yang ada di loteng merasakan darahnya juga bergolak dia mendidih, Jit giau tongcu Go Beng-si segera berbisik.

   
Pendekar Satu Jurus Karya Gan KL di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
""Saudara Hui, inilah saatnya bagimu untuk muncul"

   Belum habis ucapannya, mendadak sesosok bayangan hitam melayang di udara melewati puluhan orang yang sedang marah itu, bagaikan seekor burung rajawali ia melayang turun di hadapan Liong heng-pat-ciang, dan segera membentak dan menyerang, kelima jari mencengkeram bahu orang paling depan, sekali dorong disertai bentakan nyaring, orang itu dilemparnya ke atas tubuh orang kedua.

   Oleh tenaga gentakan yang keras itu, kedua orang itu menumbuk rombongan manusia yang ada di belakangnya hingga tunggang langgang.

   "Pa-ji, kau yang datang"

   Seru Liong-iieng-pat-ciang kegirangan.

   Di tengah penghianatan dari semua orang menjauhi dirinya, tiba-tiba muncul seorang yang masih setia kepadanya, kejadian ini hampir saja membuat kakek tersebut melelehkan air mata terharu, entah harus bergirang, berterima kasih, ataukah bersedih hati.

   Pemuda berjidat lebar bermata setajam elang dan bertubuh segesit macan tutul ini berdiri dengan wajah yang kelam, tangan kirinya tiba-tiba menyambar ke muka secepat kilat meremas jalan darah Ci-ti-hat di siku seorang, tubuh orang diangkat tegak ke atas.

   Suasana jadi kacau tanpa terasa semua orang melenggong.

   "Siapa yang berani bergerak lagi."

   Bentak si Biau Pa si pemuda kekar itu dengan suara nyaring.

   Sinar surya menerangi tubuhnya yang penuh bertenaga muka yang penuh hawa nafsu membunuh dengan sinar mata yang liar bagaikan seekor binatang buas.

   Diam-diam Tonghong Tiat menghela napas panjang.

   "Ai, sungguh seorang laki-laki perkasa."

   "Binatang mau apa kau?"

   Maki Si hun to Lo Gi dengan alis berkernyit.

   Biau Pa membentak, tiba-tiba ia melancarkan tendangan kilat, dengan kaget Si-hun-to Lo Gi melompat ke samping.

   Siapa tahu sebelum tendangan pertama mengenai sasarannva, Biau Pa telah melepaskan tendangan berikutnya.

   "Duk""

   Si-hui-to Lo GJ menjerit bagaikan layang-layang yang putus, tubuhnya mencelat jauh dan terbanting ke tanah.

   "Kungfu hebat"

   Teriak Sin-jiu Cian Hui dengan air muka berubah.

   "aku Cian Hui ingin menjajal kepandaiannya."

   Biau Pa mendengus, mendadak dilemparnya tubuh orang yang ditangkapnya itu ke arah Cian Hui Sin-jiu Cian Hui berkelit ke samping, telapak tangan kirinya menahan tubuh orang itu terus di lempar ke belakang, sementara telapak tangan kanannya dengan cepat menyambut serangan Biau Pa.

   Ketika kedua tangan beradu, seketika Biau Pa merasakan telapak tangannya panas, badan bergetar keras dan jatuh terduduk.

   Sin-jiu Cian Hui sendiri juga merasakan ditolak oleh tenaga dahsyat ibaratnya terjangan air bah, hal ini membuat dia mau-tak mau menyurut mundur beberapa langkah.

   Tenaga pukulan kedua orang itu yang satu bersifat keras dan yang lain bersifat lunak, walaupun tenaga dalam Sin-jiu Ciau Hui sangat hebat tapi dalam tubuh pemuda Biau itu justeru tersimpan tenaga pembawaan yang maha dahsyat begitu roboh dia segera melompat bangun lagi.

   "Pa ji, apakah kau terluka dalam?"

   Tanya Liong-heng-Dat-ciang dengan kuatir.

   "Tidak!"

   Berbareng dengan ucapan ini, kedua telapak tangan Biau pa bergerak cepat melancarkan serangan pula, mengancam dada serta punggung Cian Hui, jenggot Sin jiu Cian Hui berkibar terembus angin, kontan iapun melancarkan serangan balasan.

   Sebenarnya orang ini berniat membinasakan musuh dalam sekali gebrakan saja, apa mau dikata, ternyata pemuda itu memiliki tenaga yang dahsyat.

   Dalam waktu singkat lima jurus sudah lewat, Sin-jiu Cian Hui memandang kian kemari ia berharap ada orang yang mau menggantikannya.

   Maklumlah Sin-jiu Cian Hui mempunyai kedudukan yang sederajat dengan Liong-heng-patciang bertarung melawan seorang pemuda yang tak ternama, biarpun menang juga kurang gemilang, apa-lagi iapun tidak pasti akan menang setelah saling gebrak dan mengetahui bobot lawan.

   Siapa tahu ketika sorot matanya menyapu pandang sekeliling tempat itu, dilihatnya semua orang hanya berpeluk tangan belaka, bahkan orang-orang yang tadi sudah siap menerjang maju kini berdiri dengan tenangnya.

   Tiba-tiba ia merasa bahwa kedudukannya dalam dunia persilatan sedemikian terkucil, tiada seorang kawan sejati, yang ada hanya kawanan budak.

   Andaikata suatu ketika iapun menghadapi situasi kritis seperti ini? bukankah anak buahnya juga akan bersikap sebagaimana yang dilakukan Pat-kwa-ciang Liu Hui sekalian terhadap Tham Beng"

   Sementara itu tangan kirinya menyerang dengan jurus Hun-hoa-hut-liu (menyiah bunga mengebas pohon liu) tangan kanannya terus menyerang dengan Heng sau-cian-kun (menyapu bersih beribu prajurit).

   Dua jurus ini yang satu bertenaga keras yang lain bertenaga lunak, satu kaku satu lincah, baik dalam penggunaan tenaga maupun dalam gerakan sama sekali berbeda, namun ia dapat menggunakannya sekaligus, bahkan disertai tenaga yang maha dahsyat.

   Sekalipun demikian dalam lubuk hatinya sudah timbul perasaan kesepian, perasaan menyendiri yang cukup mengenaskan.

   Biau Pa melayani serangan-serangan musuh tanpa berbicara, hanya sinar matanya berkilauan dalam waktu singkat ia sudah bergebrak puluhan jurus dengan Sin-jiu Cian Hiu.

   Jurus serangan yang digunakan pemuda ini tidak hebat, tenaga dalam yang dimilikinya juga tidak sempurna, namun dia memiliki kejantanan serta kekuatan alam yang tak dimilikinya orang lain, begitu ia bertarung maka seluruh tubuhnya, kecerdasannya, kehidupannya, sukmanya bahkan seluruh bulu dan rambut di atas tubuhnya seakan-akan sengaja tumbuh khusus untuk pertarungan ini, semuanya bekerja tanpa kecuali.

   Kekuatan pembawaan yang hebat itu bukan saja telah menutupi kelemahan-kelemahan pada kepandajan silatnya juga mendatangkan perasaan ngeri dan jeri bagi musuh yang menghadapinya.

   Makin dilihat kawanan jago itu semakin terperanjat, Pat-kwa-ciang Lui Hui, Koay-be-sin-to Kiong Cing-yang serta Pian Sau-yan sekalian sudah jauh-jauh menyingkir dari situ, kuatir kalau manusia liar itu mencari perkara padanya.

   Lebih-lebih manusia yang bernama Ko-put ki itu, saking takutnya dia merasa ke empat anggota badannya menjadi lemas, ia berjongkok di samping undak undakan batu dan tak sanggup berdiri lagi.

   Cuaca makin kelam angin malam terasa makin dingin, sinar mata Sin jiu Cian Hui yang sedang bertarung makin lama semakin redup, sebaliknya sorot mata Biau Pa makin lama semakin menyala.

   Setiap kalio dia melepaskan pukulan, maka segenap kekuatan dan segenap perasaannya ikut terpancar keluar, sekalipun terkadang harus menggunakan serangan nekat, semua serangan dilancarkan tanpa berpikir panjang, seakan-akan asal ia mampu membinasakan lawan, maka kendatipun nyawa sendiri harus ikut berkorban juga bukan soal apa-apa baginya.

   Keruan alis mata Sin-jiu Cian Hui yang tebal makin lama makin berkerut, tiba-tiba ia membentak keras telapak tangannya di dorong ke muka melancarkan serangan dengan sepenuh tenaga, serangan tanpa diembel-embeli dengan gerakan lain, dengan tangan lain ia menggulung jenggotnya dan digigitnya dengan mulut, menyusul ia lancarkan suatu tendangan dan tangan kiripun segera menghantam.

   Dengan cekatan Biau Pa menyingkir ke samping, kawanan jago yang menyaksikan kejadian itu segera mengerti bahwa Cian-sinjiu sudah marah hingga timbul niatnya untuk mengadu jiwa.

   Beberapa orang sempat mencari lentera dan digantungkan tinggi di sekeliling tempat itu, padahal sang surya makin lama terbenam, hingga cahaya lampu itu kelihatan redup, seredup air muka Liong-heng-pat-ciang Tham Beng ketika itu.

   Walaupun lima puluh gebrakan sudah lewat, namun hal itu hanya terjadi dalam sekejap mata.

   Selagi kelompok manusia di barisan depan asyik menonton tiba2 rombongan belakang terjadi kegaduhan.

   Kegaduhan tersebut menjalar dengan cepatnya, entah siapa yang mulai dulu, tlba-tiba teriakan keras berkumandang "Hui-taysianseng datang."

   Sorak sorai yang gegap gempita segera menggema.

   "Hui-taysianseng datang... Hui-taysianseng...."

   Liong-heng pat-ciang, Tonghong hengte, bahkan Pat-kwa-ciang Liu-hui sekalian sama berubah airmukanya, sinar mata mereka seolah-olah ditarik oleh suatu kekuatan gaib, tanpa merasa mereka berpaling ke arah terjadinya kegaduhan.

   Walaupun kerumunan orang masih gaduh dan ramai, tapi segera mereka menyingkir ke samping hingga terbukalah sebuah jalan lewat.

   Sekalipun pertarungan antara Sin jiu Cian Hui dan Biau Pa bertambah sengit, namun tak seorangpun yang memperhatikan lagi, Seperti air bah kawakan jago membuka sebuah jalan lewat yang lurus ke arah undak-undakan batu di mana Liong-heng-pat-ciang Tham Beng serta Tonghong-hengte berada.

   Cuaca makin gelap, cahaya lampu makin terang.

   Hembusan angin malam menggoyangkan cahaya lampu yang kuning keemas-emasan bersemu merah.

   Dan sinar keemas-emasan yang bercampur warna merah itulah menyoroti wajah Hui Giok.

   Beratus pasang mata bergeser mengikuti langkah kakinya, langkah yang berat dan lambat.

   Beratus pasang mata mengawasi langkah yang berat dan lambat dada yang lebar dan kekar, namun tak seorangpun berani menatap sinar matanya sebaliknya sorot mata pemuda itu justeru sedang mengawasi jalan di hadapannya jalan yang makin lama semakin pendek ia melihat pula undak-undakan batu yang menanjak ke atas, ketika, sinar matanya beralih, ia menyaksikan Liongheng pat-ciang berdiri di situ dengan dada berombak dan jenggot berkibar terembus angin.

   Kemudian, sinar matanya bertemu dengan sinar mata Liong heng-pat-ciang....

   kedua orang saling pandang.

   Detik itu adalah detik yang bersejarah bagi mereka, juga bersejarah bagi dunia persilatan semua kegaduhan dalam detik itu juga menjadi sirna dan hening, bahkan Sin jiu Cian Hui dan Biau Pa yang lagi saling labrak juga menghentikan pertarungan mereka tanpa diketahui apa sebabnya.

   Detik itu, jauh lebih menggetarkan perasaan daripada kejadian apapun dalam sejarah persilatan, beribu orang meninggalkan pekerjaannya, meninggalkan keluarganya, melakukan pencarian dan menunggu yang dinantikan tak lain hanya detik-detik ini.

   Dua orang berdiri berhadapan dengan kaku, entah berapa waktu sudah lewat mungkin juga hanya sekejap mata.

   Tiba-tiba, dan empat penjuru meledak teriakan keras yang memekak telinga, teriakan yang bercampur dengan kemarahan kegembiraan hasutan dan jerit kebanggaan.

   Meskipun suara itu bercampur aduk, begitu kacau sampai-sampai tak terdengar apa yang mereka teriakkan, tapi luapan emosi di balik teriakan itu cukup dimengerti oleh siapapun juga.

   Jit-giau-tongcu Go Beng-si yang ikut di belakang Hui Giok segera maju beberapa langkah ke depan, dengan sinar mata tajam teriaknya dengan lantang.

   "Tham Beng, Tahukah kau siapa gerangan yang berdiri di hadapanmu ini sekarang?"

   Liong-heng-pat-ciang tak berkedip, tanpa memandang sekejap pun ia cuma bergumam dengan suara dalam "Bagus, Bagus, kau telah datang akhirnya kau datang juga?"

   Diam-diam Hui Giok mengertak gigi, menahan emosi hingga kulit wajahnya mengejang, lalu ia berkata.

   "Ya, akhirnya aku datang!"

   "Mau apa kau kemari? Kau datang untuk membalas dendam?"

   Bentak Liong-heng-pat-ciang mendadak dengan dahi berkerut.

   "Aku datang hanya untuk mengajukan satu pertanyaan, benarkah ayahku mati di tanganmu?"

   Kata Hui Giok sambil menatap lawan dengan sorot mata yang tajam.

   Liong-heng-pat-ciang menggenggam kencang kedua tinjunya, dadanya berombak, jenggotnya yang putih bergetar walau tak terembus angin.

   Hui Giok masih menatapnya, sorot matanya makin tandas, makin tegas.

   Sekali lagi kegaduhan jadi sirap, beribu orang yang berdiri di jalanan itu tiada yang bersuara, masing-masing dapat mendengar dengusan napas orang lain, sementara beratus pasang mata sebentar memandang ke arah Hui Gok, sebentar lagi memandang Liong heng-pat-ciang, suasana hening sunyi.

   Tiba-tiba Liong heng pat ciang hentikan dengusan napasnya, sambil membusungkan dada tercetus pengakuannya yang menggetar sukma.

   "Ya, benar"

   Sekujur badan Hui Giok bergetar keras, ia merasakan seperti seribu martil menggodam dadanya, sekaligus, nanar sinar matanya memandang sekelilingnya.

   Gemuruh keras meledak di sekeliling tempat itu, sedemikian dahsyatnya kegaduhan itu sampai orang yang berada sepuluh li dari sanapun dapat mendengar teriakan marah orang-orang itu.

   Air muka Tonghong hengte berubah hebat, serentak mereka menyurut mundur dengan kaget, Biau Pa melompat maju dan berdiri di depan Tham Beng, Jit-giau-tongcu Go Beng si mencorong sinar matanya, sedangkan Sin-jiu Cian Hui berdiri dengan alis menegak.

   Mendadak Hui Giok berputar badan, pelahan dia angkat tangannya memberi tanda, katanya.

   "Harap saudara sekalian tenang sebentar!"

   Sorot matanya memancarkan suatu kekuatan aneh dan berhasil menguasai suasana yang gaduh itu.

   Diam-diam Sin jiu Cian Hui menghela napas, untuk kesekian kalinya ia menghela napas, untuk kesekian kalinya ia merasakan keruntuhan dan keloyoan dirinya.

   Hui Giok membalik tubuh lagi, sorot matanya yang tajam kembali beralih ke wajah Tham Beng sekilas itu dengan jelas ia menyaksikan di antara mata alis orang tua itu tersembunyi semacam penderitaan yang sukar dikatakan.

   Dia maju selangkah dan serunya dengan suara dalam.

   "Hayo jalan!"

   "Kemana?"

   Tanya Tham Beng dengan tercengang.

   "Dendam sakit hati ayah dan pamanku lebih dalam daripada lautan, mari kita mencari suatu tempat yang sepi untuk melangsungkan suatu pertarungan, siapa yang menang dan siapa yang kalah, supaya permusuhan kita dapat dihapus sampai di sini saja."

   Terbelalak mata Liong heng pat-ciang, Jit giau-fcongcu pun melengak, sedang kawanan jago sama tercengang.

   "Seorang laki2 sejati!"

   Pikir Toaghong-hengte sambil menghela napas.

   Tiba2 Lioug-heng pat-ciang menengadah dan tertawa terbahak-bahak, sedang Jit giau tongcu segera mendekati Hui Giok sambil berbisik "Saudara Hui aku telah susun kekuatan besar bagimu, asal engkau memberikan komando, maka Tham Beng segera akan mati dikerubuti orang banyak buat apa."

   "Ya, benar. kalau kau menantang aku berduel mana mungkin ilmu silatmu bisa menandingi kehebatanku?"

   Tukas Tham Beng tiba2 dan berhenti tertawa. Sedingin salju air muka Hui Giok waktu itu ujarnya.

   "Mari kita ber-sama2 pergi dan sini, bila ada orang yang menguntit diriku secara diam2 maka tindakan itu berarti suatu penghinaan besar bagi orang she Hui, berarti mereka anggap aku Hui Giok tak mampu membalas sakit hati orang tuaku dengan kekuatanku sendiri."

   Dengan gemas Jit giau-tongcu Go Bewg-si menggentak kaki ke tanah, sementara sorot mata semua jago yang hadir di situ dan tatapan kecewa berubah jadi kagum.

   Perlu diketahui bahwa di mata orang2 gagah semacam kawanan jago tersebut, yang paling mereka kagumi justeru adalah seorang gagah yang tak kenal takut seperti Hui Giok sekalipun ada pula yang menganggap Enghiong semacam ini adalah orang tolol.

   Padahal bukan demikian maksud Hui Giok yang sebenarnya, tapi setelah berada dalam keadaan seperti ini, timbul pergolakan darah panas dalam hatinya, dan pergolakan darah Enghiong tersebut membuat dia melupakan soal lain.

   Liong-heng-pat-ciang termenung beberapa saat lamanya, dan pancaran sinar matanya dapat diketahui bahwa ia merasa tersiksa, juga merasa serba salah.

   Mendadak Jit giau-tongcu Go Beng si membentak "Kita tak boleh membiarkan Hui-tay sianseng pergi seorang diri, mari kita beramai ramai binasakan bangsat ini lebih dulu"

   Emosi para jago kembali dipancing meluap, air muka Hui Giok berubah kelam suasana kacau segera akan timbul.

   Dalam keadaan yang kritis inilah, tiba-tiba dari empat penjuru berkumandang suara suitan nyaring.

   suitan ini ibaratnya pekikan naga atau jeritan burung hong, demikian tajam, demikian keras hingga berkumandang jauh dan lama.

   Kawanan jago itu terkesiap, bahkan ada yang tak tahan dan segera menutup telinganya.

   Menyusul dari balik atap rumah tiba-tiba menggulung datang embusan angin puyuh yang keras.

   Seketika semua lampu yang menerangi tempat itu padam seluruhnya.

   Matahari belum lama terbenam, bintang dan rembulan belum muncul, seluruh jagat diselimuti kegelapan yang luar biasa, terdengarlah pekikan panjang itu dan jauh makin mendekat dan dari dekat lantas menjauh, hanya sekejap sudah berada ratusan tombak jauhnya dari tempat semula.

   Ketika para jago dapat melihat jelas benda di sekeliling tempat itu, pekikan panjang tadi hanya tinggal serentetan suara lirih yang mendengung di udara malam yang gelap sementara Liongheng- pat-ciang yang semula berdiri di atas undak-undakan batu kini sudah lenyap, segera terjadi lagi kekacauan.

   Ada yang buru-buru memasang lampu, ada pula yang berteriak tanpa berguna.

   "Kejar, kejar, ia melarikan diri"

   Jit giau-tongcu Go Beng-si terbelalak dengan mulut melongo, mukanya hijau, ditatapnya udara gelap dengan pandangan kosong.

   Tonghong-hengte berdiri dengan wajah tercengang, sebagai jago kelas satu dalam kalangan muda, ilmu silat yang mereka miliki terhitung kelas satu dalam dunia persilatan tapi dengan kekuatan mereka ternyata tak tahan oleh suara suitan nyaring itu apalagi dengan ketajaman mata mereka ternyata juga tidak melihat jelas apa gerangan yang sebenarnya terjadi.

   Mereka hanya menyaksikan sesosok bayangan seakan-akan terbawa embusan angin puyuh itu menyambar datang secepat kilat begitu menyambar tangan Liong-heng-pat-ciang Tham Beng, tanpa berhenti orang itu melayang lebih lanjut ke depan sana.

   Di antara sekian banyak orang, Hui Giok yang paling kaget bercampur heran, tanpa melihat juga dia dapat meraba sapa orang yang menyelamatkan jiwa Tham Beng itu.

   Yang menjadi pertanyaan sesarang apa sebabnya kedua tokoh maha sakti itu menyelamatkan jiwa Tham Beng.

   Ia berdiri termangu sambil memandang kegelapan di kejauhan berdiri terus di situ sampai semua lampu disulut kembali.

   Maka pelahan dia naik ke atas undakan batu itu serentak suara yang bergemuruh pun berubah jadi sorakan.

   Hui Giok mengangkat tangannya berulang kali untuk menenangkan suasana, lalu dengan lantang serunya.

   Pendekar Satu Jurus Karya Gan KL di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Sobat-sobat sekalian Tham Beng sudah pergi... harap saudara sekalian kembali ke pos masing-masing... berjuang demi kebenaran dan kebajikan bagi sesamanya, berjuang demi kepentingan umum tapi ada satu hal harap selalu di ingat menghadapi kejadian apapun janganlah terlampau emosi, dendam pribadi bukan kemarahan umum, betapapun aku tak mau menggunakan tipu akal untuk mengubah dendam pribadi menjadi kemarahan umum. Semoga di kemudian hari bila terjadi lagi peristiwa yang membahayakan kepentingan umum, kuharap kalian bisa bersikap seperti hari ini, bersama aku berjuang demi tegaknya keadilan dan kebenaran dalam dunia persilatan."

   Pada hakikatnya perkataannya tak bisa lancar sebab setiap dia mengucapkan satu kalimat, segera meledaklah sorak-sorai yang gegap gempita.

   Ketika kata-katanya itu selesai diutarakan sorakan yang menggelegar dari empat penjuru ibaratnya air bah yang menenggelamkan bumi raya ini.

   Segenap anggota Perserikatan orang-orang Kanglam bersorak sorai.

   "Hidup Bengcu! .... hidup Bengcu kita! mari kita dukung Hui-taysianseng kembali ke wilayah Kanglam!"

   Di tengah badai sorakan yang memekak telinga Wan Lu-tin berdiri dengan air mata bercucuran, ia gembira sekali menghadapi kejadian itu, iapun merasa bangga atas kesuksesan Hui Giok.

   Leng-kok-siang-bok saling pandang dengan tersenyum, bisik Leng Han-tiok.

   "Akhirnya ia berhasil juga!"

   "Ya kitapun harus pulang sekarang,"

   Sambung Leng Ko-bok sambil menghela napas kegirangan.

   ""Bagamana dengan pertaruhan kita?"

   Tanya Leng Hati-tiok. Leng Ko-bok tersenyum "Pertaruhan apa lagi? Peduli amat dengan soal menang atau kalah, toh tak ada sangkut pautnya lagi dengan kita!"

   Kedua orang itu saling pandang sambil tertawa, mereka segera menyelinap pergi di antara orang banyak.

   Sementara itu, Sin jiu Cian Hui yang menyaksikan kejadian itu, dan mendengar sorak gegap gempita itu, ia menundukkan kepala dengan gemas, ia benar2 merasakan kesepian dan kehampaan.

   Lama sekali ia berdiri ter-mangu2 akhirnya gumamnya sendiri.

   "Kehidupan manusia ... ya beginilah kehidupan manusia... Ai, semuanya telah berlalu ....semuanya telah berlalu"

   Tokoh persilatan yang pernah merajai dunia persilatan ini berlalu juga dari situ dengan hati hampa di tengah sorakan yang memekak telinga, walau begitu dalam hati kecilnya masih terdapat juga sedikit hiburan yang manis, sebab ia tahu, tak jauh dan situ masih terdapat secercah senyuman manis sedang menantikan kedatangannya.

   Ya, hatinya yang luka dan penuh kekecewaan itu memang sangat membutuhkan pengobatan serta hiburan dan sepasang tangan yang putih dan mulus.

   Mungkin itulah akhir diri seorang lelaki gagah, tapi siapa tahu kalau merupakan pula suatu permulaan dari kehidupannya? Dia pernah menundukkan banyak orang, tapi bilakah dia pernah menundukkan hati seorang perempuan? Kesenangan dan kesuksesan memang banyak ragamnya, hal ini bergantung dari sudut manakah penilaian itu diberikan sekalipun langkahnya terasa berat waktu berlalu dari situ, namun pada wajahnya yang kesepian tersembul juga sekulum senyuman.

   Jit-giau-tui hun Na Hui-hong berdiri paling dekat dengan Hui Giok, tokoh perampok yang sudah bertobat itu tampak ikut merasa gembira dan bangga di tengah suara sorakan itu.

   Pada wajahnya yang kurus itu terpancar sinar kebanggaan yang sebelumnya tak pernah timbul.

   "Ah, rupanya berbuat kebajikan jauh lebih menyenangkan daripada berbuat kejahatan"

   Katanya berulang-ulang di dalam hati.

   Si-hun-to Lo Gi dengan dada berdarah berbaring di bawah emper rumah yang sepi, teriakan dan sorakan yang gegap gempita itu bagaikan cambuk samudera yang mendampar dadanya, ia terharu dan juga sedih, tapi semua itu mungkin akan bantu dia untuk menentukan arah kehidupan selanjutnya.

   Pat-kwa-ciang Liu Hui, Koay-be-sin-to Kiong Cing-yang serta Pian Siau yan saling pandang sekejap, mereka saling memberi tanda, lalu ngeluyur pergi.

   Setelah jauh dan kota, Piau Siau-yan mengembus napas panjang, dan berkata, Tham Beng sudah kabur, bagaimana dengan kita?"

   "Hmm, mampukah dia kabur dari kejaran orang-orang itu?"

   Dengus Pat-kwa-ciang Liu Hui Koay-be sin-to Kiong Cing-yang yang berada di sisinya ikut menimbrung sambil tertawa dingin.

   "Hehehe, dia sudah mengaku sebagai pembunuh Jiang kiam-bu tek, memangnya Hui Giok mau melepaskan dia dengan begitu saja? Cepat atau lambat dia pasti mampus!"

   Sekeliling tempat itu adalah hutan yang sepi, Pat-kwa-ciang Lm Hui menengadah sambil bergelak tertawa, katanya.

   "Asal Tham Beng mampus hahaha... semua catatan semua pembukuan dan benda-benda penting dan Hui liong-piaukiok akan terjatuh ke tangan kita, dan waktu itu kita bertiga pasti akan hidup dengan gembira."

   "Ya. benar!"

   Sambung Koay-be-sin-to Kiong Cing yang sambil tertawa.

   "apalagi kita sudah mengikat tali persahabatan dengan pihak Perserikatan orang-orang Kanglam, hal ini pasti akan sangat membantu usaha kita untuk membangun kembali Hui-liong-piaukiok di masa depan."

   "Kiong-heng!"

   Tiba-tiba Pat-kwa-ciang Liu Hui berseru dengan wajah masam.

   "kukira kedudukan Congpiautau Hui-liong-Piaukiok di kemudian hari lebih pantas diduduki saudara Kiong, demikian bukan?"

   Sekulum senyuman menghiasi bibir Koay-be-sin-to Kiong Cing-yang, tapi begitu melihat air muka Liu Hui, senyuman itu seketika lenyap pula.

   "Ah, mengapa saudara Liu berkata demikian?"

   Buru-buru serunya sambil tertawa kecut.

   "tentu saja saudara Liu yang lebih pantas memangku jabatan Congpiautau."

   Sesudah mendengar perkataan itu, air muka Pat kwa-cang Liu Hui tampak sedikit membaik.

   Tiba-tiba Pian Sau-yan yang berada di sisi mereka tertawa dingin tiada hentinya, dengan kaget kedua orang itu berpaling, ditatapnya orang she Pian itu dengan melengak.

   Pelahan Pian Sau-yan meraba gagang pedangnya yang tergantung dipinggang, katanya.

   "Liu congpiautau, di kemudian hari apakah siaute masih mempunyai tempat untuk berdiam di Hui-liong piaukiok?" "Saudara Pian, apa maksudmu?"

   Kata Pat kwa-ciang Liu Hui sambil menyeringai "bicara tentang nama maupun soal ilmu silat, sudah sepantasnya kalau kursi Congpiautau itu diserahkan untuk saudara Pian."

   Mendengar perkataan ini Pian Sau-yan tertawa.

   "Hahaha , kalau begitu..."

   Belum habis ucapnya tiba-tiba Koay-be-sin-to Kiong Cing-yang menjerit kesakitan. Dengan terkejut Pian Sau-yan dan Liu Hui berpaling, tertampaklah Kiong Cing-yang berdiri dengan kulit muka mengejang dan sempoyongan.

   "Bluk!"

   Tubuhnya terkapar di tanah, sebilah pisau belati ternyata menancap di punggungnya. Itulah pisau Liu-yap-hui-to yang jarang ditemui! "Siapa?"

   Bentak Pian Sau-yan dan Liu Hui dengan wajah berubah hebat. Dari balik kegelapan pelahan muncul sesosok bayangan, bagaikan sukma gentayangan ia bergerak maju ke muka dan akhirnya berhenti di hadapan kedua orang itu.

   "Hm! Bagus sekali perhitungan swipoa kalian katanya sepatah demi sepatah dengan suara dingin.

   "O, kau . saudara Pa!"

   Seru Pat-kwa-ciang Liu Hui dengan suara gemetar.

   "Kau kenapa kau datang kemari?"

   Biau Pa tertawa dingin.

   "Hehehe! Thamtoaya saja tidak kau kenal lagi, masa masih kenal padaku?"

   Pat-kwa-ciang Liu Hui benar2 ketakutan, peluh dingin membasahi sekujur badannya, sambil menyurut mundur ucapnya dengan tergegap.

   "Kau, kau..."

   Tiba2 ia putar badan dan hendak kabur.

   "Mau lari ke mana kau?"

   Bentak Biau Pa. Telapak tangannya terangkat diantara berkelebatnya bayangan tubuh, tahu2 ia sudah mengadang di depan Liu Hui.

   "Saudara Biau, kau . kau ini apa-apaan?"

   Ujar Liu Hui dengan tergegap.

   "Eh sudah lama kita tak berjumpa, biarlah Siaute mengundang kau...

   "

   "Siapa saudaramu?"

   Ejek Biau Pa, napsu membunuh menyelimuti wajahnya, kedatanganku justeru hendak merenggut nyawa anjing kalian ini!"

   Piau Sau-yan bertindak cepat "Cring", cahaya pedang berkilau, ia putar senjatanya yang memancarkan sinar hijau itu untuk menusuk dada Biau Pa.

   Walaupun harus melayani dua orang musuh dengan tangan kosong, Biau Pa sama sekali tak gentar, malah telapak tangannya segera menghantam dada Liu Hui, sementara kaki kanan melayang ke muka, menendang pergelangan tangan Piau Sau-yan yang memegang senjata.

   Piau Sau-yan tahu kepandaian sendiri bukan tandingan Biau Pa, tepi dengan dua lawan satu, rasa kedernya itu segera dapat diatasi.

   "Hehehe, kau bilang mau cabut nyawa kami?"

   Ejeknya sambil tertawa dingin.

   "justru kamilah yang akan mengantar nyawamu pulang ke rumah nenekmu!"

   Sambil berkata, pedang berputar kencang, cahaya senjata beterbangan ke empat penjuru, secara beruntun ia melancarkan tiga kah serangan berantai.

   Pat-kwa-ciang Liu Hui memang pengecut bukan membantu rekannya untuk menghadapi lawan, justeru dia manfaatkan kesempatan itu untuk melarikan diri lebih dulu.

   Menghadapi keadaan tersebut baru Piau Sau yan merasa terperanjat sementara itu Biau Pa telah mendengus telapak tangan kirinya menyambut tiga kali serangan lawan, sementara telapak tangan kanan kembali di ayun ke muka, tiga bilah pisau suku Biau yang bersinar kehijau-hijauan dengan desing angin meluncur mengancam tubuh Liu Hui yang sedang kabur.

   Perlu diterangkan di sini, bahwa Biau Pa di besarkan di daerah suku Biau, permainan pisau terbang merupakan andalan suku Biau, dia telah menguasai sepenuhnya kepandaian ini, ditambah lagi tenaga dalamnya lumayan dan ilmu silatnya memang hebat, maka serangan itu bertambah dahsyat dan tepat.

   Waktu itu Pat-kwa-ciang Liu Hui sudah berada beberapa tombak lari tempat semula tiba-tiba desing angin menyambar dari belakang.

   Bicara tentang kepandaian silatnya, tak sulit sebetulnya baginya untuk menghindarkan diri dari sambitan ketiga pisau terbang itu, sayang pikirannya waktu itu sudah kalut, meskipun dia sudah berusaha berkelit ke kiri dan menghindar ke kanan, toh masih ada sebilah pisau yang mampir di punggungnya dan menancap begitu dalam hingga tinggal gagangnya saja yang masih kelihatan.

   Tak ampun lagi Pat-kwa-ciang Liu Hui menjerit ngeri, tubuhnya terjungkal dan kebetulan sekali terkapar di samping mayat Koay-be-sin-to Kiong Cing-yang.

   Pian Siau-yan menyaksikan kedua orang rekannya sudah tewas, pikirannya bertambah kalut, otomatis permainan pedangnya juga ikut kacau tak keruan.

   Sementara perasaannya tak tenang, tiba2 di antara kilatan cahaya pedang tertampak sesosok bayangan menerobos tiba, dalam kagetnya cepat ia membentak, cahaya pedang langsung menabas kebawah.

   Tapi bayangan itu sudah keburu menerobos masuk, dadanya kontan termakan pukulan Biau Pa dengan lelaki bagaikan dihantam batu seberat seribu kati, ia kesakitan hebat.

   Sekejap kemudian, matanya jadi berkunang-kunang, tenggorokan terasa anyir, darah segarpun tersembur.

   Biau Pa tidak berhenti sampai di situ saja begitu berhasil dengan serangan pertama, suatu tendangan kilat kembali dilontarkan dan tepat kena jalan darah penting Siu-si-hiat.

   Tubuh Pian Sau-yan yang besar tertendang hingga mencelat, secara kebetulan pula badannya terkapar di samping mayat Pat-kwa-ciang Liu Hui.

   Angin dingin berembus makin kencang, malam bertambah kelam.

   Darah mengucur di lengan kiri Biau Pa dan menodai pakaiannya, ia berhasil menyarangkan pukulannya pada lawan tadi, namun pedang Pian San yan sempat pula menusuk tubuhnya.

   Tapi pemuda perkasa yang liar ini sama sekali tidak memperdulikan lukanya, bahkan melirik pun tidak, dengan dahi berkerut dia memungut pedang Pian Sau-yan itu.

   "Sret", ia kupas kulit pohon, dengan darah kental ketiga orang itulah dia menulis berapa huruf pada batang pohon tadi inilah tulisannya.

   "Begitulah akhir dari pengkhianat yang menjual majikan demi kepentingan pribadi."

   Dengan rasa puas ia memandang sekeliling tempat itu, meski tulisan itu kasar dan jelek, tapi setiap patah kata tersebut terkandung kejujuran, kesetiaan serta peringatan bagi umat manusia di dunia.

   Kemudian ia buang pedang itu dan berjalan menuju kegelapan, angin dingin berembus kencang sesaat kemudian darah yang berceceran di tanah telah mengering.

   Yang tertinggal hanya kegelapan serta keheningan yang menyelimuti sekeliling tempat itu.

   Oo 5*0 - o^ oO Kawanan jago persilatan yang berada di kota Han-ko sedang bersenang-senang dengan penuh kebebasan.

   Mereka mengetuk semua kedai arak yang ada di kota itu dan hampir menyikat habis semua persediaan arak.

   Mereka menciptakan kekacauan yang belum pernah terjadi di kota besar itu.

   Karena mereka segera akan pergi, semua keramaian yang diharapkan tampaknya telah lewat, Leng-kok siang bok lenyap tak berbekas, Hui liong piauwkiok menderita kekalahan total, pertaruhan, pertarungan semuanya sudah selesai sudah lalu Meskipun Liong heng pat ciang belum mati, namun ke mana dia pergi tak seorang pun yang tahu.

   Perhimpunan orang-orang persilatan yang belum pernah terjadi dalam sejarah, tampaknya pasti akan bubar, menghadapi keadaan tersehut, ada yang merasa kecewa, ada yang merasa kesepian, ada pula yang diam-diam bersyukur.

   Hanya ada satu kejadian yang mereka akui bersama, yaitu akhirnya dunia persilatan telah muncul sebuah bintang cemerlang yang membawa kebahagiaan bagi umat manusia.

   Tiada hentinya mereka angkat cawan untuk kesejahteraan bintang cemerlang itu, meski banyak mengalami penderitaan dan penghinaan tapi sekarang, dia adalah manusia yang paling dihormati dikagumi dan disegani oleh seluruh umat persilatan.

   -0o0- oOo -0o0~ Namun, bintang cemerlang itu masih tetap kesepian, dalam bangunan rumah di luar kota, di halaman belakang yang sepi, Hui Giok mengurung diri diam sebuah kamar yang terpencil dan sepi.

   Dia tahu betapa banyak jago persilatan yang berharap bisa minum bersama dia, tapi dia hanya ingin menyendiri bukan dia mau menjauhi pergaulan, namun dalam keadaan seperti itu, dia membutuhkan keheningan untuk menjernihkan pikiran yang kalut, dia butuh ketenangan untuk mengatur kembali arah tujuannya dan untuk menginginkan pergolakan emosinya yang kelewat panas..

   Dia mendengar suara langkah Wan Lu-tin yang mendekati jendelanya dan menengok dirinya, iapun mendengar suara pembicaraan Go Beng-si di kamar sebelah, ia tahu mereka semua adalah sahabat yang memperhatikan keadaannya, ia menyesal karena tak bisa menerima kebaikan Go Beng-si, dia lebih2 menyesal karena tak bisa berbicara sepuasnya dengan Wan Lu-tin yang baru saja berjumpa kembali setelah lama berpisah.

   Dia hanya berkata padanya.

   "Setelah melewati hari-hari yang lelah, kini kita harus mundur."

   Kepergian Leng-kok-siang-bok tanpa pamit, di samping kemurungan bertambah pula perasaan sedih karena perpisahan tersebut.

   Sebab selama ini, antara dia dengan kedua orang kakek yang entah berjiwa dingin atau hangat ini telah terjalin suatu hubungan yang akrab.

   Tapi selanjutnya dia tak akan berjumpa dengan mereka lagi sebab dia tahu ke mana mereka pergi sebab jejak semula tanpa arah tujuan sedang "Lembah Dingin"

   Adalah sebuah tempat yang semu, yang tak diketahui dengan pasti di mana letaknya.

   Ia berbaring tanpa rasa mengantuk sedikitpun, budi dan dendam yang sukar dipisahkan, benci dan cinta yang saling bertentangan masa depan yang sukar diramal serta perasaan bingung setelah sukses, semua ini membuat pikirannya dan hatinya seperti habis membeku dalam gunung salju selama berpuuh tahun, namun masih segar dan jernih.

   Dari kejauhan terdengar suara kentongan ia tidak menghitung berapa kali kentongan itu, dia tak tahu pukul berapakah waktu itu.

   Di tengah malam yang gelap dan kelam, hening dan sepi, dingin dan bersih itulah, tiba-tiba Hui Giok mendengar suara yang memanggil namanya.

   Suara itu seolah-olah berasal dan tempat yang jauh, tapi juga seperti tidak jauh seperti dekat tapi kenyataannya tidak dekat, suara itu mengambang seakan-akan panggilan setan iblis dari neraka, tapi juga seperti panggilan seorang kekasih yang mendambakan kemesraan.

   Berdebar jantung Hui Giok, dia melompat bangun dan membuka jendela, taman itu luas tak tampak sesosok bayangan orang, tapi suara panggilan itu masih berkumandang terus tiada hentinya.

   "Anak Giok... anak Giok...

   "

   Tiba-tiba ia bergidik.

   "Anak Giok... anak Giok...

   "

   Suara panggilan itu mengambang di antara batu-batuan, di pepohonan, di semak bunga.

   Dia menenteramkan hatinya lalu melompat keluar jendela dan melayang ke sana, ia sempat melihat jendela kamar Go Beng-si tidak tertutup rapat tapi dalam kamar tak nampak bayangan pemuda she Go itu, padahal lampu belum padam, tampak nya belum lama Go Beng-si meninggalkan kamarnya itu.

   Ia tak sampai memikirkan ke mana perginya Go Beng-si, sebab suara panggilan tadi masih terus berkumandang.

   
Pendekar Satu Jurus Karya Gan KL di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Dengan cepat dia melompat ke depan, sekejap kemudian ia sudah keluar dari taman yang luas itu.

   Di luar suasana lebih hening dan hawa lebih dingin.

   Mengikuti arah suara panggilan itu, dia terus meluncur ke depan.

   Tapi aneh sekali, bagaimanapun cepatnya ia bergerak maju, berapa jauh perjalanan telah ditempuhnya, namun suara panggilan itu tetap mempertahankan selisih jarak yang sama, suara itu tetap kedengaran begitu jauh, mengambamg, seakan-akan nyata, seakan-akan semu seperti sangat jauh, seperti juga dekat.

   Dia coba memandang ke sana, di depan sana tampak terbentang sebuah telaga kecil, air telaga begitu tenang, di tengah kegelapan malam seakan-akan memantulkan cahaya putih keperak2an.

   Dia ragu2 sejenak, tapi suara panggilan tadi kembali berkumandang "Anak Giok...

   anak Giok...

   "

   Kali ini suara panggilan tersebut terasa lebih nyata, ia menghimpun tenaga dan melayang sepuluh tombak ke depan, Tampaklah di tepi telaga ada sederet bayangan rumah dua-tiga titik cahaya lampu berkelip membayang di permukaan air.

   Suara panggilan yang aneh itu tak terdengar lagi.

   lama sekali ia menunggu dia mulai berpikir "Apakah di sini tempatnya? Apakah di tempat ini dapat kutemukan suara panggilan yang aneh itu?"

   Dengan hati2 ia merunduk ke depan, ia kerahkan ilmu meringankan tubuhnya yang sempurna dan maju belasan tombak lagi ke depan.

   Ternyata bayangan yang disangka bangunan rumah itu tak lebih hanya tiga buah perahu rongsokan berkabin susun, satu sama lainnya dan di pergunakan orang sebagai tempat tinggal, sebab tampak seekor kucing berjalan digeladak perahu dan masuk ke dalam kabin.

   "Siapa yang berdiam di sini? Rahasia apa yang terdapat di situ?"

   Ia berharap suara panggilan itu berkumandang lagi tapi suara panggilan itu tak pernah terdengar pula, maka dia rentangkan tangannya dan melayang ke atas perahu pertama di sebelah kiri, ia turun ke geladak tanpa menimbulkan sedikit suarapun.

   Angin berembus lewat, seperti terbawa desir angin ia melayang pula ke atas perahu yang ada lampunya, bangunan di atas perahu ini sudah kuno, di sana-sini sudah retak, maka diintipnya ruang perahu itu.

   Tiba2 seraut wajah yang sudah dikenal, wajah yang cantik dan pucat terpampang di depan mata.

   "Sun Kim-peng!"

   Hampir saja ia berteriak.

   Di bawah sinar lampu yang redup, seorang gadis cantik berwajah pucat duduk bersila di atas sebuah dipan sambil membelai seekor kucing berbulu putih kelabu, rambutnya yang panjang terurai di bahu, mukanya kurus dan dia bukan lain adalah Sun Kun peng, gadis yang pernah mengisi hati Hui Giok dan sudah berpisah sekian tahun itu.

   

Kuda Binal Kasmaran -- Gu Long Sepasang Golok Mustika -- Chin Yung Renjana Pendekar -- Khulung

Cari Blog Ini